Orang Papua Sulit Jadi Pengusaha
-
Upload
ira-triasi-nainggolan -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of Orang Papua Sulit Jadi Pengusaha
5/13/2018 Orang Papua Sulit Jadi Pengusaha - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/orang-papua-sulit-jadi-pengusaha 1/5
Orang Papua Sulit Jadi Pengusaha?
Artikel & Berita - Sosial Budaya
Rabu, 13 Juli 2011 01:08
Oleh : David Deba
Ada yang bilang sistem kekerabatan yang kental dan lemahnya keahlian berbisnis cara
modern menyulitkan orang Papua jadi pengusaha. Yang lain bilang lemahnya etos kerjakeras hidup hemat dan bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian membentuk
suatu halangan mental lain bagi orang Papua untuk menjadi pengusaha. Tapi saya
optimistis orang Papua bisa jadi pengusaha asal dia memenuhi beberapa persyaratan.
Berbagai kisah nyata tentang halangan mental bagi orang Papua untuk menjadi pengusaha bisa diatasi melalui pendidikan/pelatihan kewirausahaan (entrepreneurship) dan
peningkatan mentalitas berdagang suku-suku Papua tertentu.
Kisah John: Utang Sebelum Warung Dibuka
Ketika kembali dari liburnya ke Sukarnapura (kini Jayapura) awal 1970-an, seorangmahasiswa senior Papua pada fakultas ekonomi suatu perguruan tinggi swasta terkenal di
Jawa Tengah ditanya oleh adik-adik mahasiswa Papua yang lain tentang keadaan John.
“John? Belum buka warung, dia sudah utang tiga puluh ribu rupiah.” Dia tertawa dan adik-adik mahasiswa lain yang terkejut tapi merasa geli dengan jawabannya ikut tertawa.
(Nama-nama asli orang dalam tulisan ini disamarkan dengan memakai nama-nama lain.)
John, seorang mahasiswa Papua di perguruan tinggi yang sama dengan mereka, tidak
menyelesaikan kuliahnya. Dia pulang ke Sukarnapura lalu berhasil mendirikan warung
dengan utang tadi sebeluim resmi dibuka untuk umum dan berjualan barang!
Mengapa warung John berutang tiga puluh ribu rupiah sebelum dibuka? Salah satu
penyebabnya adalah kekerabatan yang kental antara dia dan anggota-anggota keluarga inti
dan keluarga besarnya. Bagi mereka, warung John bukan suatu tempat menjual dagangan
melainkan tempat mereka bisa mendapat bantuan secara cuma-cuma. Entah merekameminta bantuan terang-terangan entah melalui kehadiran mereka saja, John tahu mereka
tidak akan dibiarkan pulang dengan tangan hampa. Sebab lain adalah kurangnya kontrol
atas dana usaha kecil-kecilan dia: ada uang yang dipakai di luar rencana. Tidak heranwarungnya utang sebanyak itu sebelum dibuka untuk berjualan dagangan.
Kasus Martin: Mau Kaya Seperti Ence
Kisah lain tentang sistem kekerabatan dan lemahnya manajemen bisnis mengakibatkan
kebangkrutan usaha toko Martin di kampungnya di suatu pulau di Teluk Geelvink (kiniTeluk Cenderawasih) pertengahan 1950-an. Meskipun tamatan SD tiga tahun di
kampungnya, dia, berusia 25 tahun waktu itu, punya jalan pikiran yang cukup modern dan
maju dibanding jalan pikiran teman-teman sebayanya. Dia merombak ruang tamu depan
rumah panggungnya menjadi suatu toko kecil dan menyusun di etalase dari papan berbagai
5/13/2018 Orang Papua Sulit Jadi Pengusaha - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/orang-papua-sulit-jadi-pengusaha 2/5
barang dagangan yang dibelinya di Manokwari. Ada di situ tembakau kunyah (tembakau
prompi), kopi dengan aroma khas dalam kaleng bundar berukuran sedang merek Pelco,
bungkus rokok merek Horse (suatu kata bahasa Inggris yang diucapak sebagai “hors” dan berarti “kuda” tapi diucapkan oleh lidah rakyat sebagai “horse”), tembakau isap merek
Shag lengkap dengan kertas penggulungnya, kail pancing dari nilon dan mata kail dari
berbagai ukuran, gula-gula merek Lonka, gula, garam, korek api, lentera, senter, dan barang-barang lain yang dibutuhkan penduduk kampung. Tapi dalam waktu kurang dari
dua tahun, toko Martin gulung tikar.
Mengapa gulung tikar? Sistem kekerabatan yang kental, ketiadaan pengalaman yang kaya
dalam usaha toko, dan kesalahan manajemen adalah tiga penyebab utama kebangkrutantoko Martin.
Gagasan untuk mendirikan toko di rumahnya sendiri berasal dari toko seorang ence –
sebutan populer untuk pedagang China di Nieuw Guinea Belanda (sekarang, Papua dan
Papua Barat) – di kampung lain di pulau yang sama. Sebagian besar rumah ence itu dipakai
sebagai toko yang menjual lebih banyak dari yang kemudian dijual Martin di tokonya.Toko pedagang China itu memberinya ilham untuk mendirikan tokonya sendiri. Kalau
ence itu bisa mendirikan toko dan menjadi kaya, mengapa saya tidak bisa? Tanyanya padadirinya sendiri.
Untuk menjawab pertanyaan ini, dia berangkat bersama beberapa orang lelaki
sekampungnya dengan memakai sebuah perahu besar menuju Manokwari. Di sana, Martin
harus berusaha berbulan-bulan lamanya sebelum dia bisa memperoleh barangdagangannya. Sekembalinya dia dan rekan-rekannya di kampung, dia mendirikan toko
kecilnya.
Sebelum mendirikan toko itu, Martin seorang lelaki biasa. Tapi begitu tokonya berdiri,namanya segera beredar dari mulut ke mulut bukan saja di kampungnya melainkan juga dikampung-kampung lain di pulau itu. (Seluruh penduduk pulau itu memakai satu bahasa
suku.) Tidak itu saja. Orang-orang dewasa, lelaki dan wanita, di kampung-kampung itu
sibuk mencari-cari ikatan kekerabatan mereka dengan Martin: apakah dia keponakan,saudara sepupu, cucu, atau saudara jauh mereka. Tanpa menetapkan ikatan kekerabatan itu,
mereka sulit pergi ke toko Martin, duduk-duduk saja di lantai itu, dan berharap Martin yang
ingat ikatan kekeluargaannya dengan mereka bermurah hati memberikan kepada mereka barang-barang jualannya secara cuma-cuma. Mereka yang berhasil menetapkan ikatan
kekerabatannya dengan Martin lalu berdayung dan berlayar ke rumah Martin. Selama toko
Martin masih punya jualan yang banyak di etalase, selama itu juga toko kecil Martin tidak
sepi pengunjung.
Tapi Martin agak berbeda dengan John: dia agak pelit. Dari sepuluh tamu yang datang dari
jauh dan dekat di tokonya, dia memberi kepada satu-dua orang kerabat terdekatnya atau
mereka yang padanya dia pernah berutang budi sedikit barang jualannya. Meskipundemikian, pemberian secara cuma-cuma ditambah kesalahan manajemen (dalam arti
modern) dan kurangnya pengalaman dia berdagang mengakhiri mimpinya menjadi orang
kaya, seperti ence di kampung lain.
5/13/2018 Orang Papua Sulit Jadi Pengusaha - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/orang-papua-sulit-jadi-pengusaha 3/5
Orang Papua Tidak Punya Mentalitas Berdagang
Terkait dengan berbagai hambatan mental tadi adalah pandangan lain: orang Papua tidak
punya mentalitas berdagang. Mereka tidak punya etos kerja keras dan hidup hemat, suatuciri fundamental yang dimiliki orang Kristen Protestan berlatar belakang Kalvinistik dari
Barat (seperti dari Eropa bagian Barat, Inggris, dan Amerika Serikat) yang mengakibatkan banyak pengusaha, termasuk pengusaha besar, menonjol di Barat. Alam Nieuw Guinea
Belanda – dan sekarang Papua dan Papua Barat – yang berlimpah-limpah dengan,misalnya, bahan makanan memanjakan mereka begitu rupa sehingga mereka tidak perlu
bekerja keras. Lihat, misalnya, berbagai suku pesisir utara daerah itu yang makanan
pokoknya adalah sagu. Tepung sagu yang disimpan dalam tumang diperoleh dengan bekerja beberapa hari saja. Sesudah itu, mereka hidup berminggu-minggu lamanya tanpa
kerja keras selama persediaan sagu di dapur masih ada. Karena kelimpahan alam itu, hidup
hemat pun tidak diperlukan. Setiap hari, Bunda Alam selalu menyediakan bahan makanansecara berlimpah-limpah bagi anak-anaknya: orang Papua. Tentang etos kerja keras dan
hidup hemat? Belum perlu selama Bunda Alam masih bermurah hati kepada mereka oleh
kelimpahannya.
Orang Papua Kekurangan Kualitas Mental Pengusaha
Orang Papua tidak juga akan menjadi pengusaha sukses karena mereka juga kekurangankualitas mental untuk berhasil dalam bisnis modern, seperti kualitas berdagang orang China
di Indonesia. Kita tahu orang China kerja keras, hidup hemat, tidak terburu-buru
memboroskan uangnya untuk memuaskan keinginannya, sabar, ulet, tekun, dan cerdik.Orang Papua kekurangan kualitas mental ini. Mereka, misalnya, cenderung memboroskan
uang yang diperolehnya untuk bermabuk-mabukan, pesta pora, dan berbagai kesenangan
lainnya tanpa memikirkan akibat pemborosan itu bagi masa depannya. Ketika pemborosan
ini dikritik oleh pendatang, mereka akan menjawab, “Memangnya uang akan dibawa ketikamati?” Hambatan mental seperti ini ikut menyulitkan orang Papua menjadi pengusaha.
Kasus Tom: Diandalkan Anggota Keluarga
Suatu hambatan mental lain bagi mereka untuk menjadi pengusaha berasal dari tradisi
pedesaan yang dipraktekkan di kota: mengandalkan anggota keluarga yang berhasil dalam pekerjaannya sebagai sumber topangan kehidupan keluarga besarnya. Masalahnya bukan
pada kewajiban atau kemurahan hati anggota keluarga yang mereka andalkan itu untuk
membantu memenuhi kekurangan mereka. Sejauh dia mampu, dia bisa membantu mereka.Masalah sesungguhnya adalah harapan atau bayangan tidak realistis dari keluarga inti atau
keluarga beaarnya akan topangan yang melebihi kemam;puan anggota keluarga itu untuk membantu mereka.
Sesudah selesai kuliah di Jawa Tengah, Tom berhasil mendapat pekerjaan tetap di Jakarta.Kariernya menanjak dan sesudah bekerja dua belas tahun di Jakarta, dia berhasil menjadi
seorang karyawan staf pada suatu perusahaan multi-nasional. Kariernya makin menanjak
sehingga dia menduduki suatu posisi manajerial pada perusahaan asing itu. Sesudahterpisah selama lebih dari dua puluh tahun dari keluarga inti dan keluarga besarnya, dia
5/13/2018 Orang Papua Sulit Jadi Pengusaha - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/orang-papua-sulit-jadi-pengusaha 4/5
terkejut mendapat suatu telepon jarak jauh dari Karel, seorang keponakannya di Papua.
Dia, saudara-saudara, dan orang tuanya sangat senang akhirnya bertemu dengan pamannya
meskipun hanya melalui telepon. Seminggu kemudian, tiba sepucuk surat dari seorangsaudara perempuan, ibu kandung Karel. Sedaftar permintaan yang mahal ada dalam surat
itu, di antaranya permintaan Karel supaya pamannya membeli dia sebuah keyboard
Yamaha seharga Rp 10.000.000. Dua tahun kemudian, seorang keponakan perempuan,Ruth, tiba di Jakarta, dan telepon Tom, pamannya. Dia minta bantuan Rp 250.000.000
kepada pamannya, biaya operasi anaknya pada suatu rumah sakit di Jakarta. Tom berjanji
akan mengirimklan uang membeli keyboard di Jayapura tapi tidak seharga 10 juta rupiah.Yang tidak sanggup dia bantu adalah permintaan Ruth – terlalu mahal baginya untuk
ditanggung.
Kedua keponakannya barangkali tidak menyadari bahwa sesukses-suksesnya paman
mereka, dia punya keterbatasan juga dalam kemampuannya untuk membantu mereka.Kehidupan kekotaan (urban life) yang sudah menjadi bagian dari hidupnya dicirikan oleh
kerja keras, hidup hemat, ketepatan waktu, perencanaan hidup ke masa depan, pengeluaran
dan pemasukan yang cermat. Perencanaan ke masa depan mencakup juga rencanamelanjutkan hidup pasca-pensiun melalui usaha. Ini berarti dia harus menabung untuk
masa depan; sebagian tabungan itu akan dipakai untuk usaha yang sudah direncanakannya
selama masih aktif kerja. Bayangkan apa jadinya kalau 250 juta rupiah yang diminta Ruth
adalah hasil tabungan untuk masa depannya sesudah pensiun tapi karena perasaan ibaakhirnya diberikan semuanya. Dia dipastikan akan mengalami kesulitan mewujudkan
bisnisnya – kecuali kalau dia punya pengganti pengeluaran mendadak itu dari sumber lain.
Peluang seperti ini biasanya kecil sekali kalau bukan tidak ada.
Jadi, tradisi mengandalkan anggota keluarga yang sukses itu sendiri tidak bermasalahsejauh anggota itu mampu membantu orang lain tanpa merugikan dirinya sendiri.
Hambatan dari tradisi macam ini adalah kacaunya perencanaan masa depan kalau anggotakeluarga itu membantu mereka yang mengandalkannya melebihi kemampuan realistis diasendiri.
Orang Papua Bisa Menjadi Pengusaha
Jadi, apakah hambatan-hambatan mental tadi masih menyullitkan orang Papua menjadi
pengusaha? Seandainya masih ada, kita tentu perlu mengatasinya. Melalui transformasibudaya pedesaan yang masih dikuasai mentalitas macam itu kepada budaya baru yang
memampukan orang Papua mengembangkan dirinya menjadi pengusaha, dalam artimodern. Pendidikan/pelatihan dan penerangan yang mewujudkan transformasi budaya itumenjadi relevan bagi pengembangan pengusaha Papua.
Potensi orang Papua menjadi pengusaha sebenarnya sudah ada selama berabad-abad.
Misalnya, orang-orang Biak sudah terkenal di masa lampau sebagai tukang-tukang pandai
besi yang sambil merantau ke kawasan pesisir lain di Nieuw Guinea bagian utaramelakukan perdagangan barang-barang, termasuk yang dibuat dari besi. Pertengahan 1950-
5/13/2018 Orang Papua Sulit Jadi Pengusaha - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/orang-papua-sulit-jadi-pengusaha 5/5
an, ada suatu lagu rakyat asal Biak yang mengisahkan suatu toko koperasi milik Herman
Womsiwor: Toko koperasi dari Womsiwor,/ istimewa kabarnya. /Barang-barang datang
dari Jepang dan Amerikano/, istimewa kabarnya. Nyanyian ini jelas mengatakan HermanWomsiwor, kemudian menjadi seorang tokoh masyarakat, sudah mengelola suatu toko
koperasi, barangkali di Biak. Pada tahun 1958, Leopold Pospisil, seorang ahli antropologi-
budaya asal Amerika Serikat, melakukan penelitian ilmiah tentang orang Papua Kapauko(orang Me) di pegunungan tengah-barat Nieuw Guinea Belanda. Tentang ekonomi mereka,
Pospisil mengelompokkannya sebagai “kapitalisme primitif”. Kapitalisme ini dicirikan
oleh pencarian akan kekayaan dalam bentuk kerang kowri, mata uang tradisional yangmereka pakai, perbedaan status sosial berdasarkan kekayaan macam itu, dan suatu
individualisme etnik. Di awal 1960-an, ada beberapa orang pengusaha asal Yapen-
Waropen yang memiliki dan mengelola usaha pompa bensin dan bioskop di Sukarnapura.
Beberapa waktu yang lalu, harian Kompas memuat suatu artikel tentang Ibu Kereway dariRoon, utara Teluk Wondama, yang mengembangkan suatu usaha dari mengelola kulit-kulit
kerang. Ini sekadar beberapa contoh dari potensi orang Papua menjadi pengusaha.
Di masa depan, potensi orang Papua untuk menjadi pengusaha yang berhasil akanditentukan oleh lima faktor. Pertama, keinginan untuk ikut memainkan peranan dalam
perekonomian daerah. Kedua, profesionalisme dalam kewirausahaan yang diperoleh
melalui pendidikan/pelatihan khusus, pengalaman langsung, atau hasil warisan (misalnya,dari orang tua yang adalah pengusaha). Ketiga, terbukanya peluang yang lebih besar untuk
menjadi pengusaha melalui transformasi budaya yang sudah mengatasi hambatan-
hambatan mental, seperti yang sudah disebutkan di atas. Keempat, penemuan dan
penerapan prinsip-prinsip bisnis universal atau inovatif, yang bisa saja bersumber padadoktrin religius (seperti moto “kerja keras hidup hemat” yang dijabarkan dari ajaran
Kristen). Kelima, suku-suku yang sudah punya pengalaman berdagang atau yang bermental pengusaha diperkirakan akan memelopori kelompok pengusaha Papua modern di masadepan.