OPTIMASI PEMBUATAN EKSTRAK ETANOLIK KAYU …library.usd.ac.id/Data PDF/F....
Transcript of OPTIMASI PEMBUATAN EKSTRAK ETANOLIK KAYU …library.usd.ac.id/Data PDF/F....
i
OPTIMASI PEMBUATAN EKSTRAK ETANOLIK KAYU SECANG
(Caesalpinia sappan L.) SECARA DIGESTI:
APLIKASI DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
I Gusti Arya Asmarantara Astina
NIM: 068114168
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dedicated to my beloved parents,
Bunda Mariani; Aji Astina
“Ia yang pikirannya tidak digoyahkan dalam keadaan dukacita dan bebas dari
keinginan-keinginan di tengah-tengah kesukacitaan, ia yang dapat mengatasi
nafsu, kesesatan dan kemarahan, ia disebut seorang yang bijaksana”
( Bhagawad Gita II-56)
“Dengan jalan bagaimanapun ditempuh oleh manusia ke arahKU, semuanya
AKU terima dan memenuhi keinginan mereka, melalui banyak jalan manusia
menuju jalanKU” (Bhagawad Gita V-2)
Karya ini dipersembahkan untuk
IDA SANG HYANG WIDHI WACAIDA SANG HYANG WIDHI WACAIDA SANG HYANG WIDHI WACAIDA SANG HYANG WIDHI WACA
Orang-oorang yang saya cintai
dan ALMAMATERKU
iv
v
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga pada akhirnya
penulis berhasil menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul
“Optimasi Pembuatan Ekstrak Etanol Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.)
secara Digesti : Aplikasi Desain Faktorial”. Penyusunan Skripsi ini dilakukan
untuk memenuhi salah satu syarat mendapat gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) dari
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Peneliti berhasil menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini
tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
2. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang dengan
kesabarannya membimbing, memberi saran dan kritik sejak penyusunan
proposal hingga selesainya skripsi ini
3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen penguji atas kesediaannya
meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji
4. Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen penguji yang telah menguji sekaligus
memberikan banyak kritik dan saran kepada penulis
5. Romo Drs. Petrus Sunu Hardiyanta, S.J., S.Si., atas masukan dan arahan yang
diberikan menginspirasi penulis
vi
6. Ibu, Ajik, Bli Agung, Mbok Gek tercinta atas segala doa, dukungan,
perhatian, arahan, nasehat, dan semangat yang selalu menyertai penulis
7. Shasha dan Uthie atas segala kebersamaan, kerjasama, canda tawa, dan
dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini
8. Pak Parlan, Mas Bimo, dan Mas Kunto atas bantuan dan bimbingannya
selama penelitian
9. Grace, Yoki, Anton, Win, Rani, Cica, Lina, Aan, Iwan, Yacob, Iren dan
teman-teman Farmasi angkatan 2006 yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu atas kebersamaan kita selama ini
10. Anak kos-kosan Larasmadyo dan Ngapak Team atas semua kebersamaan dan
pertemanan kita selama ini.
11. Anak-anak Gr3at’S angkatan 2004, Sak De, Naga, Edi, Bokir, Ganesh dan
Gr3at’S lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, “U’r my 2nd family”
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis menyelesaikan skrisi ini
Penulis menyadari penelitian ini masih belum sempurna mengingat
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat
menghapkan adanya kritik dan saran yang dapat berguna bagi penyempurnaan
skripsi ini. Semoga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat berguna bagi ilmu
pengetahuan.
Penulis
vii
viii
INTISARI
Secang (Caesalpinia sappan L.) mengandung senyawa pewarna alami
antara lain brazilin, brazilein, dan 3’-O-metilbrazilin dan disebut sebagai komposit
brazilin serta merupakan senyawa subtipe struktur brazilin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama digesti,
konsentrasi cairan penyari, dan interaksinya terhadap area under curve (AUC)
komposit brazilin serta memperoleh titik optimum pada proses digesti tersebut.
Penelitian ini memakai rancangan desain faktorial dua faktor yaitu lama
digesti dan konsentrasi cairan penyari, serta tiga level yaitu pada faktor lama
digesti: level rendah 90 menit, level tengah 180 menit dan level tinggi 270 menit
dan pada faktor konsentrasi cairan penyari: level rendah 4 %, level tengah 50 %
dan level tinggi 100 %. Metode ekstraksi yang dipergunakan adalah digesti. Data
hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan yate’s treatment menggunakan
tingkat kepercayaan 95% dan titik optimum diperoleh dari counter plot.
Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa lama digesti, konsentrasi cairan
penyari dan interaksinya berpengaruh secara signifikan terhadap AUC komposit
brazilin. Faktor konsentrasi cairan penyari dominan dalam menentukan respon
AUC komposit brazilin. Dari countour plot dapat dilihat titik optimum proses
digesti yaitu dengan lama 102,72 menit dan konsentrasi penyari 63,58%.
Kata kunci: Optimasi proses digesti, Caesalpinia sappan L., brazilin, brazilein, 3’-
O-metil brazilin dan desain faktorial.
ix
ABSTRACT
Sappan wood (Caesalpinia sappan L.) contains natural colorants
compound such as brazilin, brazilein, and 3’-O-metilbrazilin which is named
brazilin composite and represent brazilin structure subtype.
This research were to determine the effect of digesting duration, fluid
concentration, and their interaction on the brazilin and its derivatives area under
curve (AUC) and to determine the optimum digesting process.
This study was carried out by factorial design with two factors which are
digesting duration and fluid concentration, and three levels, the low-level of
digesting time is 90 minutes, middle-level is 180 minutes, high-level is 270
minutes and low-level of fluid concentration is 4 %, middle-level is 50 %, high
level is 100 %. Extraction method used is digestion. The data were analyzed
statistically using Yate’s treatment with 95% level of confidence and optimum
condition obtained from contour plot.
The result show that the digesting duration, fluid concentration and their
interaction influence brazilin and its derivatives AUC significantly. Fluid
concentration was dominant on determining brazilin and its derivatives AUC. The
contour plot showed the optimum spot is 102,72 minute in digesting duration and
63,58% in fluid concentration.
Keywords: Digesting process optimization, Caesalpinia sappan L., braziline,
brazileine, 3’-O-metil braziline and factorial design
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................ iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................................... v
PRAKATA ................................................................................................................ vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................................... viii
INTISARI .................................................................................................................. ix
ABSTRACT ................................................................................................................ x
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xv
BAB I PENGANTAR ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1. Perumusan masalah ........................................................................................ 2
2. Keaslian penelitian ......................................................................................... 2
3. Manfaat penelitian .......................................................................................... 3
B. Tujuan............................................................. ...................................................... 3
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ........................................................................ 4
A. Secang ................................................................................................................. 4
1. Klasifikasi ....................................................................................................... 4
2. Kegunaan ........................................................................................................ 4
3. Kandungan kimia ............................................................................................ 5
xi
4. Komposit brazilin ........................................................................................... 6
B. Penyarian ............................................................................................................. 6
1. Ekstrak ............................................................................................................ 7
2. Cairan penyari ................................................................................................. 7
3. Metode ekstraksi secara digesti ...................................................................... 8
C. KLT-Densitometri ............................................................................................... 9
1. Kromatografi lapis tipis .................................................................................. 9
2. Densitometri ................................................................................................... 13
D. Metode Desain Faktorial ..................................................................................... 15
E. Landasan Teori .................................................................................................... 17
F. Hipotesis ............................................................................................................. 18
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................ 19
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ........................................................................... 19
B. Variabel dan Definisi Operasional ....................................................................... 19
1. Klasifikasi variabel .......................................................................................... 19
2. Definisi operasional ........................................................................................ 19
C. Bahan atau Materi Penelitian ............................................................................... 20
D. Alat atau Instrumen Penelitian ............................................................................. 20
E. Tata Cara Penelitian ............................................................................................ 21
1. Pengumpulan bahan ........................................................................................ 21
2. Identifikasi tanaman dan kayu ........................................................................ 21
3. Pembuatan simplisia secang ........................................................................... 22
4. Analisis kualitatif komposit brazilin ............................................................... 23
5. Penyarian secara digesti .................................................................................. 24
6. Isolasi komposit brazilin dengan KLT ........................................................... 25
xii
7. Pengukuran AUC komposit brazilin dengan TLC scanner densitometric ...... 25
F. Analisis Hasil ...................................................................................................... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..…….…………………………………... 27
A. Pengumpulan Bahan............................................................................................. 27
B. Identifikasi Tanaman dan Kayu ........................................................................... 28
C. Pembuatan Simplisia ........................................................................................... 34
D. Analisis Kualitatif Komposit Brazilin ................................................................ 36
E. Penyarian secara Digesti ..................................................................................... 42
F. Pemisahan Komposit Brazilin ............................................................................. 46
G. Pengukuran AUC Komposit Brazilin dengan
TLC Scanner Densitometric ................................................................................ 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 58
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 58
B. Saran ................................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 59
LAMPIRAN .............................................................................................................. 63
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I Parameter-parameter aplikasi KLT direkomendasikan ........................ 11
Tabel II Rancangan percobaan berdasarkan desain faktorial ............................ 24
Tabel III Hasil identifikasi kayu secara kimia ....................................................... 30
Tabel IV Harga Rf dan profil warna masing-masing bercak hasil pemisahan
dengan KLT-preparatif ............................................................................. 41
Tabel V Hasil penelusuran panjang gelombang serapan maksimum isolat
menggunakan spektrofotometer visibel ................................................... 42
Tabel VI Hasil rendemen ekstrak kayu secang secara digesti ............................... 45
Tabel VII Hasil pengukuran AUC komposit brazilin ............................................... 48
Tabel VIII Nilai Rf bercak B masing-masing percobaan tiap
replikasi ……………………………………………............................... 49
Tabel IX Nilai Rf bercak C masing-masing percobaan tiap
replikasi ……………………………………………............................... 50
Tabel X Hasil perhitugan efek …………………….............................................. 50
Tabel XI Hasil perhitungan Yate’s treatment pada respon AUC
komposit brazilin …………………..………………................................ 54
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur brazilein, struktur 3-0 metil brazilin,
dan brazilin ........................................................................................... 6
Gambar 2. Diagram prinsip kerja TLC scanner ………........................................... 13
Gambar 3. Desain penelitian 2 faktor 3 level …….................................................. 16
Gambar 4. Batang secang segar ………................................................................... 27
Gambar 5. Bagian tanaman secang ………………………….................................. 29
Gambar 6. Reaksi brazilin menjadi brazilein dengan penambahan basa ………... 31
Gambar 7. Pembentukan 3’-O-metilbrazilein dari 3’-O-metilbrazilin dengan
penambahan basa …………………………………………………… … 32
Gambar 8. Reaksi pembentukan senyawa kompleks antara brazilin dengan
FeCl3 ………………………………………………………………….. 33
Gambar 9. Reaksi pembentukan senyawa kompleks antara brazilin dengan
Pb(CH3COO)2 ………………………………………………………… 33
Gambar 10. Serutan kayu secang ............................................................................. 34
Gambar 11. Interaksi antara brazilin atau 3’-O-metilbrazilin dengan fase diam
selulosa ................................................................................................... 37
Gambar 12. Interaksi brazilin, 3’-O-metil brazilin dengan fase gerak kloroform,
metanol, aquadest ..................................................................................... 38
Gambar 13. Profil kromatogram hasil pemisahan dengan KLT-preparatif .............. 40
Gambar 14. Spektra hasil penetapan panjang gelombang serapan maksimum bercak
komposit brazilin menggunakan spektrofotometer visibel ..................... 42
Gambar 15. Hasil penelusuran panjang gelombang serapan maksimum
pada replikasi 1 …………………………............................................... 47
xv
Gambar 16. Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin berbagai
percobaan …………………………….................................................... 49
Gambar 17. Grafik hubungan antara lama digesti dengan AUC komposit
brazilin dan hubungan antara konsentrasi penyari dengan
AUC komposit brazilin ………………...…………................................. 53
Gambar 18. Grafik kontur hasil desain faktorial …………………........................... 56
Gambar 19. Grafik kontur hasil desain faktorial …………………........................... 56
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil identifikasi secara kimia pada
filtrat serbuk kayu ................................................................. 63
Lampiran 2. Alat digesti dan hasil ekstrak kering .................................... 64
Lampiran 3. KLT isolasi komposit brazilin ............................................... 65
Lampiran 4. Kurva AUC komposit brazilin ekstraksi secara digesti
berdasarkan desain faktorial ...................................................... 67
Lampiran 5. Data rendemen hasil penyarian secara digesti ……................... 70
Lampiran 6. Contoh cara menghitung rendemen .......................................... 71
Lampiran 7. Contoh cara menghitung standard error
dan coeffitient of variance …................................................... . 72
Lampiran 8. Contoh cara menghitung persamaan desain faktorial …........... 73
Lampiran 9. Contoh cara menghitung nilai efek menggunakan yate’s
treatment ……………………………............................................ 75
Lampiran 10. Cara menghitung signifikansi dengan yate’s
treatment …………………...................................................... 77
Lampiran 11. Cara menghitung titik optimum menggunakan
fungsi desirability ....................................................................... 79
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Secang merupakan salah satu tanaman yang biasa dipergunakan sebagai
pewarna alami. Hasil ekstraksi kayu secang menghasilkan ekstrak yang dapat
dipergunakan sebagai indikator pH terhadap asam-basa dan pewarna obat-obatan
dengan komponen utama yaitu brazilin (Fu et al., 2008; Jun et al., 2008).
Pemanfaatan kayu secang dilakukan dengan pengolahan terlebih dahulu
menjadi ekstrak. Standar mutu bahan ekstrak dicapai dengan pengendalian proses
ekstraksi sehingga dapat menjamin produk ekstrak yang terstandar dan diharapkan
mampu menunjukkan kualitas ekstrak salah satunya dalam hal kandungan zat
aktif (Hariyati, 2005). Kandungan zat aktif yang diharapkan dalam ekstrak yaitu
mengandung sebagian besar senyawa yang diinginkan (Anonim, 1995), untuk
mencapai tujuan tersebut maka diperlukan proses ekstraksi yang baik pula. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk melakukan optimasi proses pembuatan ekstrak
kayu secang.
Proses ekstraksi kayu secang dilakukan dengan metode digesti karena
pengerjaannya mudah, peralatannya sederhana dan proses ekstraksi lebih cepat
dibandingkan maserasi biasa (Anonim, 1986).
Optimasi proses digesti yang dilakukan berupa optimasi lama digesti dan
konsentrasi cairan penyari yang dipergunakan. Lama proses digesti dioptimasi
untuk melihat waktu digesti yang optimum untuk menghasilkan ekstrak kayu
secang. Cairan penyari etanol dipergunakan dengan pertimbangan kelarutan
2
komponen utama kayu secang yaitu brazilin dalam pelarut tersebut namun belum
diketahui konsentrasi etanol yang tepat untuk dapat mengekstraksi brazilin secara
optimal. Etanol dipergunakan sebagai penyari karena memiliki sifat tidak beracun,
inert, kuman dan kapang sulit tumbuh pada etanol diatas konsentrasi 20%, dan
panas yang diperlukan dalam pemekatan relatif kecil (Anonim, 1986).
Metode optimasi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
desain faktorial, faktor yang paling berpengaruh dilihat dari jumlah komposit
brazilin yang dihasilkan, serta untuk dapat melihat ada tidaknya interaksi antara
kedua faktor tersebut, selain itu dengan metode desain faktorial dapat diprediksi
kondisi digesti meliputi lama digesti dan konsentrasi cairan penyari yang optimum
dalam pembuatan ekstrak kayu secang.
1. Rumusan permasalahan
Permasalahan yang akan diteliti yaitu :
a. Bagaimana pengaruh proses digesti meliputi lama digesti, konsentrasi
cairan penyari dan interaksi yang terjadi antara keduanya terhadap area
under curve (AUC) komposit brazilin?
b. Apakah diperoleh titik kondisi optimum meliputi lama digesti dan
konsentrasi cairan penyari dalam proses digesti kayu secang terhadap AUC
komposit brazilin?
2. Keaslian penelitian
Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian tentang
optimasi konsentrasi cairan penyari dan lama ekstraksi kayu secang (Caesalpinia
Sappan L.) secara digesti menggunakan aplikasi desain faktorial, belum pernah
3
dilakukan. Adapun penelitian yang telah dilakukan yaitu isolasi dan karakterisasi
brazilin dari kayu secang, aktivitas antioksidan kayu secang dalam berbagai usia
tanaman, serta analisis komponen dalam ekstrak kayu secang (Putrandana, 2003;
Wetwitayaklung, Phaechamud dan Keokitichai, 2005; Rusmiati, 2007; dan Fu et
al., 2008).
3. Manfaat
a. Manfaat teoritis penelitian ini yaitu menambah informasi bagi ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang kefarmasian mengenai aplikasi
desain faktorial pada proses digesti kayu secang
b. Manfaat praktis penelitian ini yaitu untuk mempermudah proses ekstraksi
secara digesti dalam memperoleh komposit brazilin.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui :
1. Pengaruh proses digesti meliputi lama digesti, konsentrasi cairan penyari dan
interaksi yang terjadi diantara keduanya terhadap AUC komposit brazilin
2. Titik optimum dalam proses digesti kayu secang meliputi lama digesti dan
konsentrasi cairan penyari terhadap AUC komposit brazilin
4
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Secang
1. Keterangan botani tanaman secang
Kayu secang merupakan tumbuhan yang biasa tumbuh di daerah tropis
dan biasa dijumpai sebagai tanaman pagar serta hidup pada ketinggian 500-1000
m diatas permukaan laut. Tanaman secang memiliki klasifikasi yaitu termasuk ke
dalam familia caesalpiniaceae, genus Caesalpinia L., dan dengan nama ilmiah
Caesalpinia sappan L. (Anonim, 1985; Tjitrosoepomo, 1994).
2. Kegunaan
Di daerah tropis pada umumnya, tanaman secang biasa dipergunakan
sebagai pewarna makanan, kosmetik, cat dan memiliki potensi aksi farmakologi.
Tanaman secang banyak mengandung tanin yang baik untuk menyamak barang
dari kulit dan memiliki kegunaan lain seperti mengobati TBC, luka, antidiare,
analgetik, antipiretik, penyakit kulit, desinfektan, tonikum, dan rematik (Anonim,
1985; Rudjiman, 1995). Menurut Greshop (Heyne, 1987) kayu secang
dipergunakan untuk menyembuhkan penyakit yang berkaitan dengan peredaran
darah seperti memar, murus darah, muntah darah dan sebagainya. Di Thailan kayu
secang dipergunakan dalam pewarna makanan, garmen dan kosmetik. Juga telah
diketemukan bahwa ekstrak kayu secang memiliki aktivitas antioksidan serta
menunjukkan pengaruh yang signifikan dalam menurunkan daya hidup
spermatozoa (Wetwitayaklung, Phaechamud dan Keokitichai, 2005; Rusmiati,
2007).
5
3. Kandungan kimia
Bila batang tanaman secang dipotong kemudian diambil kulitnya maka
akan diperoleh kayu yang berwarna merah kecoklatan yang diberi nama sappan
(Wallis, 1955). Kayu secang mengandung zat warna, asam galat, asam tanat,
sedikit minyak atsiri, resin, tanin dan polifenol (Perry, 1980; Sugati dan Hutapea,
1991). Komponen utama dari ekstrak kayu secang telah diketahui yaitu dalam
bentuk komponen fenolik, dan terdiri dari 4 macan subtipe struktur yaitu subtipe
brazilin, kalkon, protosapanin, dan homoisoflavonoid. Diantaranya derivat
protosapanin seperti protosapanin B dan isoprotosapanin B, 10-O-
metilprotosapanin dan 10-O-metilisoprotosapanin, sama pula halnya dengan
protosapanin E1 dan protosapanin E2 merupakan suatu pasangan epimer.
Sementara itu epimer homoisoflavonoid seperti sapanol dan episapanol, 4-O-
metilsapanol dan 4-O-metilepisapanol, 3-O-metilsapanol dan 3-O-metilepisapanol
telah dapat diisolasi dari kayu secang.
Terakhir telah diisolasi pula senyawa baru dari kayu secang dan
teridentifikasi sebagai 3-benzilkroman yang merupakan turunan dari 3’-deoksi-4-
O-metilepisapanol, dan dengan komponen lainnya dalam kayu secang yaitu :
protosapanin A, sapankalkon, sapanon, asam palmitat, (+)-(8S,8’S)-
bisdihidrosiringenin, brazilein, 3-deoksisapankalkon, (+)-lioniresinol, 3-
deoksisapanon B, protosapanin B, isoprotosapanin B, 3'-O-metilbrazilin dan
brazilin (Fu et al., 2008).
6
4. Komposit brazilin
Komposit brazilin adalah senyawa subtipe brazilin yang terdapat dalam
kayu secang antara lain brazilin, brazilein dan 3’-O-metilbrazilin. Brazilin
merupakan konstituen utama dari ekstrak kayu secang, tetapi brazilein diisolasi
dalam jumlah besar saat ekstrak dipaparkan terhadap udara dan cahaya
menghasilkan reaksi oksidasi gugusan hidroksil brazilin menjadi gugusan
karbonil. Kedua komponen tersebut memiliki empat buat cincin karbon
(tetrasiklis) dengan dua cincin aromatis, satu buah furan dan satu buah cincin 5
karbon. Senyawa 3’-O-metilbrazilin merupakan turunan brazilin dengan gugusan
metoksi pada atom C-3’ pada cincin B (Oliveira, Edwards dan Nesbitt, 2002).
Gambar 1. Struktur brazilein, 3’-O-metilbrazilin
dan brazilin (Fu et al., 2008)
B. Penyarian
Penyarian merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan
yang tidak dapat larut dengan pelarut yang berbentuk cair. Penyarian berlangsung
dengan perpindahan massa, dimana zat yang semula berada di dalam sel ditarik
oleh cairan penyari sehingga larutan penyari menjadi larutan zat yang diinginkan.
Pada umumnya proses penyarian akan bertambah baik apabila luas permukaan
brazilein brazilin 3’-O-metil brazilin
7
simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari makin besar, sehingga
dikatakan bahwa semakin kecil ukuran serbuk simplisia maka semakin baik
proses penyariannya. Tetapi yang menjadi pertimbangan yaitu apabila serbuk
simplisia terlalu halus sehingga mempersulit proses penyarian karena simplisia
halus tadi akan membentuk suspensi yang sulit dipisahkan dari ekstrak cair yang
diperoleh (Anonim, 1986).
1. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan serbuk
yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi standar baku yang telah
ditetapkan (Anonim, 2000).
2. Cairan penyari
Cairan penyari dalam pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik atau
optimal untuk senyawa kandungan yang berkasiat atau aktif, sehingga senyawa
tersebut dapat terpisahkan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak
mengandung sebagian besar senyawa yang diinginkan (Anonim, 1995).
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan
penyari yang baik harus memenuhi kriteria berikut ini:
a. murah dan mudah diperoleh
b. stabil secara fisika dan kimia
c. bereaksi netral
d. tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
8
e. selektif yaitu hanya menarik zat yang dikehendaki
f. tidak mempengaruhi zat yang dikehendaki
g. diperbolehkan oleh peraturan.
Pada prinsipnya cairan penyari harus memenuhi syarat kefarmasian
dengan kelompok spesifikasi pharmaceutical grade. Sampai saat ini berlaku
aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan alkohol (etanol) serta
campurannya. Jenis pelarut yang lain seperti metanol (dan turunan alkohol
lainnya), heksana (hidrokarbon alifatik), toluen (hidrokarbon aromatik),
kloroform, aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan
tahap pemurnian atau fraksinasi (Sidik dan Mudahar, 2000).
3. Metode ekstraksi dengan digesti
Proses penyarian (ekstraksi) secara umum dapat dibedakan menjadi
maserasi, infundasi, perkolasi, destilasi uap dan sering terdapat modifikasi.
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana, dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia atau bahan dalam cairan penyari. Cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke
luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan di luar sel dan di dalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia
yang mengandung zat yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung
zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin
dan sitrak (Anonim, 1986).
9
Dalam proses maserasi, keadaan diam akan menyebabkan terjadinya
profil konsentrasi yaitu kesetimbangan perpindahan massa dari sel ke dalam
pelarut dan dari pelarut ke dalam sel. Keadaan ini dapat dihindari dengan
melakukan pengadukan atau dengan pemanasan (Stahl, 1985). Pada maserasi
dapat dilakukan dimodifikasi menjadi digesti yaitu cara penyarian dengan
menggunakan pemanasan lemah pada suhu 40-50 OC. Cara maserasi ini hanya
cocok dipergunakan untuk simplisia yang zat yang diinginkan tahan terhadap
pemanasan.
Metode digesti memiliki keuntungan yaitu kemampuan cairan penyari
untuk melarutkan zat diinginkan menjadi lebih besar dan memiliki pengaruh sama
dengan pengadukan, kekentalan pelarut berkurang yang dapat mengakibatkan
berkurangnya lapisan batas, serta akibat koefisien difusi yang berbanding lurus
dengan suhu absolut dan berbanding terbalik dengan kekentalan sehingga
kenaikan suhu akan berpengaruh pada kecepatan difusi. Pada umumnya kelarutan
zat akan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu (Anonim, 1986).
C. KLT-Densitometri
1. Kromatografi lapis tipis
Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan senyawa secara
cepat menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata
pada lempeng. Lempeng yang dilapisi dianggap sebagai “kolom kromatografi
terbuka” dan pemisahan dapat didasarkan pada penyerapan, pembagian dan
gabungan, tergantung dari jenis zat penyerap dan jenis larutan pengembang
10
(Anonim, 1979).
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan
fisikokimia. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan ditotolkan berupa
bercak atau pita. Setelah pelat ditaruh dalam bejana yang tertutup rapat dan berisi
larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama
perambatan kapiler selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan
(Hardjono, 1983).
Metode KLT menggunakan dua macam komponen, yaitu fase diam dan
fase gerak. Fase diam dibuat dari salah satu penyerap yang khusus digunakan
untuk kromatografi lapis tipis. Penyerap yang umum digunakan adalah silika gel,
alumunium oksida, kieselgur, poliamida, selulosa dan turunannya. Untuk analisis,
tebal penyerap yang dipergunakan yaitu 0,1-0,3 mm, biasanya 0,2 mm dan
merupakan suatu lapisan berpori menimbulkan adanya gaya kapiler. Sebelum
digunakan, lempeng disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab dan bebas
dari uap (Stahl, 1985).
Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau
campuran beberapa pelarut. Medium bergerak dalam fase diam. Untuk analisa
kromatografi digunakan pelarut yang mempunyai tingkat mutu analitik, dan bila
diperlukan, sistem pelarut multi komponen ini harus berupa campuran sederhana
yang terdiri atas tidak lebih dari tiga macam pelarut (Stahl, 1985).
Pada kromatografi lapis tipis perlu diperhatikan polaritas fase gerak. Fase
gerak yang mengelusi zat terlalu cepat tidak dapat memisahkan komponen dengan
baik, sebaliknya fase gerak yang terlalu lambat mengelusi akan memberikan
11
waktu elusi yang terlalu lama. Urutan polaritas dari fase gerak yang biasa
digunakan (dari non polar ke polar) yaitu n-heksana, heptana, sikloheksana,
karbon tetraklorida, benzena, kloroform, eter, etil asetat, piridina, aseton, metanol,
dan air (Stahl, 1985).
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal dipeoleh haya jika
penotolan sampel dilakukan dengan membentuk ukuran bercak sekecil dan
sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika
sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi (Rohman,
2009). Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang
menyebar dan puncak ganda. Berdasarkan tujuan analisis, berbagai macam jumlah
sampel telah disarankan untuk dipergunakan dan direkomendasikan oleh
Advamovic (1997) dalam tabel 1.
Tabel 1. Parameter-parameter aplikasi yang direkomendasikan
pada analisis menggunakan KLT
Tujuan Diameter Bercak (mm) Konsentrasi
Sampel (%)
Banyaknya Sampel
(µg)
Densitometri 2 mm untuk volume
0,5 µL
0,02 – 0,2 0,1 – 1 (untuk KLT-
kinerja tinggi) atau 1
– 10 (KLT
Konvensional)
Identifikasi 3 mm untuk volume
sampel 1 µL
0,1 – 1 1 – 20
Uji kemurnian 4 mm untuk volume
sampel 2 µL
5 100
Pengembangan adalah proses pemisahan campuran cuplikan akibat
pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembangan normal
yaitu jarak antara garis awal dan garis batas. Jarak pengembangan senyawa pada
kromatogram biasanya dinyatakan dengan harga Rf atau hRf .
12
Jarak titik pusat bercak dari titik awal
Rf =
Jarak garis batas dari titik awal
Angka Rf berkisar antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua
desimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai
berjangka 0 sampai 100 (Stahl, 1985).
Pengekoran noda kromatogram terjadi apabila proses pemisahan yang
terjadi tidak sempurna yang digambarkan dengan noda bercak yang tidak bulat
(berekor). Terlalu tingginya konsentrasi komponen yang ditentukan juga
merupakan salah satu penyebab terjadinya kromatogram yang beekor. Penyebab
pengekoran antara lain adalah ketidakjenuhan tangki (chamber) KLT sehingga
fase gerak yang mengelusi pelat KLT segera menguap dalam ruangan tangki
KLT. Ketidaktepatan pemilihan fase gerak terhadap fase diam dan jenis sampel
yang dianalisis juga merupakan penyebab pengekoran kromatogram yang lainnya
(Mulja dan Suharman, 1995).
Terdapat berbagai kemungkinan untuk deteksi senyawa tanpa warna pada
kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan di
daerah ultraviolet gelombang pendek dengan radiasi utama pada kira-kira 254 nm
atau jika senyawa itu dapat dieksitasi ke fluoresensi radiasi ultraviolet gelombang
pendek dan atau gelombang panjang yakni 365 nm. Jika dengan kedua cara itu
senyawa tidak dapat dideteksi, harus dicoba dengan reaksi kimia dengan atau
pemanasan (Stahl, 1985). Menurut Putrandana (2003), fase diam selulosa dan
fase gerak kloroform, metanol, air (64:50:10 v/v) dapat dipergunakan untuk
mengisolasi brazilin dalam kayu secang.
2. Densitometri
KLT-densitometri merupakan salah satu metode analisa kuantitatif.
Penetapan kadar suatu senyawa dengan metode ini dilakukan dengan mengukur
kerapatan bercak senyawa yang dipisahkan dengan cara KLT. Pada umumnya
pengukuran kerapatan bercak tersebut dibandingkan dengan kerapatan bercak
senyawa standar yang dielusi secara bersama
Gambar
Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar
yang diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (reflaktansi) atau
intensitas sinar yang difloures
dimana sinar datang sebagian diserap dan sebagian lagi dipantulkan. Banyaknya
sinar yang direfleksikan akan ditangkap oleh suatu alat yang disebut
densitometri merupakan salah satu metode analisa kuantitatif.
n kadar suatu senyawa dengan metode ini dilakukan dengan mengukur
kerapatan bercak senyawa yang dipisahkan dengan cara KLT. Pada umumnya
pengukuran kerapatan bercak tersebut dibandingkan dengan kerapatan bercak
senyawa standar yang dielusi secara bersama-sama (Hardjono, 1985).
Gambar 2. Diagram prinsip kerja TLC scanner
Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar
yang diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (reflaktansi) atau
intensitas sinar yang diflouresensikan. Teknik pengukuran berdasarkan refleksi
dimana sinar datang sebagian diserap dan sebagian lagi dipantulkan. Banyaknya
sinar yang direfleksikan akan ditangkap oleh suatu alat yang disebut
Keterangan :
1. lampu
2. lensa
3. slit monokromator
4. monokromator
5. cermin
6. piringan celah
7. sistem lensa
8. cermin
9. beam splitter
10.reference photomultiplier
11.objek yang di
12.photomultiplier
13.photodiode
(Sherma an
13
densitometri merupakan salah satu metode analisa kuantitatif.
n kadar suatu senyawa dengan metode ini dilakukan dengan mengukur
kerapatan bercak senyawa yang dipisahkan dengan cara KLT. Pada umumnya
pengukuran kerapatan bercak tersebut dibandingkan dengan kerapatan bercak
ama (Hardjono, 1985).
Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar
yang diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (reflaktansi) atau
ensikan. Teknik pengukuran berdasarkan refleksi
dimana sinar datang sebagian diserap dan sebagian lagi dipantulkan. Banyaknya
sinar yang direfleksikan akan ditangkap oleh suatu alat yang disebut reflection
Keterangan :
monokromator
monokromator grating
piringan celah slit
sistem lensa
beam splitter
reference photomultiplier
objek yang di scan
photomultiplier pengukur
photodiode transmisi
and Fried ,2003)
14
photomultiplier dan kemudian diteruskan ke pencatat untuk diterjemahkan ke
dalam suatu kromatogram (Mintarsih, 1990).
Untuk evaluasi bercak KLT secara densitometri bercak ditelusuri dengan
sumber sinar dalam bentuk celah (slit) yang dapat dipilih baik panjangnya
maupun lebarnya. Sinar yang dipantulkan diukur dengan sensor cahaya
(fotosensor). Perbedaan antara sinyal optik daerah yang tidak mengandung bercak
dengan daerah yang mengandung bercak dihubungkan dengan banyaknya analit
yang ada melalui kurva kalibrasi yang telah disiapkan dalam lempeng yang sama.
Pengukuran densitometri dapat dibuat dengan absorbansi atau dengan flouresensi
(Rohman, 2009). Prinsip TLC Scanner terlihat pada gambar 2 (Sherma dan Fried,
2003).
Pada umumnya tebal lapisan tipis pada lempeng yang digunakan adalah
0,20 mm – 0,25 mm dan maksimum 0,33 mm untuk mengurangi efek hamburan
sinar yang disebabkan oleh fase diam terhadap linearitas hubungan serapan dan
konsentrasi dari senyawa yang diteliti. Hubungan antara serapan terhadap
konsentrasi dilinearkan dengan dasar teori Kubelka-Munk menggunakan kurva
kerja linear yang diprogramkan pada mikrokomputer. Kurva serapan konsentrasi
tersebut ditentukan oleh harga parameter hamburan yang disebabkan oleh fase
diam. Harga parameter hamburan tersebut tergantung ukuran dan distribusi
partikel fase diam pada lempeng KLT (Supardjan, 1987).
Karena adanya penghamburan sinar oleh partikel-partikel yang ada di
lempeng, maka suatu persamaan matematis yang sederhana dan terdefenisi
dengan baik menyatakan hubungan antara sinyal sinar dan banyaknya
15
(konsentrasi) senyawa dalam lapisan tipis tidak pernah dijumpai. Sebagai
akibatnya hubungan ini tidak bersifat linear. Meskipun demikian, karena saat ini
tersedia perangkat lunak (software) ataupun integrator yang dapat menangani
hubungan yang tidak linear maka tidak diperlukan untuk melinearkan hubungan
antara konsentrasi dan respon optis (Rohman, 2009).
D. Metode Desain Faktorial
Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi yaitu teknik untuk
memberikan model hubungan antara variabel respon dengan satu atau lebih
variabel bebas. Model yang diperoleh dari analisis tersebut berupa persamaan
matematika. Desain faktorial menghasilkan suatu desain percobaan untuk
mengetahui faktor yang dominan berpengaruh secara signifikan terhadap suatu
respon (Bolton, 1990).
Aplikasi desain faktorial sejauh ini menggunakan 2 level secara langsung
akan mengakibatkan hubungan linear yang terjadi antara besarnya faktor dan efek
yang ditimbulkan dan daerah diantara level yang dipilih tidak akan dapat dideteksi
nilai efeknya. Karena hubungan antara faktor dengan efek yang ditimbulkan tidak
selalu linear sehingga diperlukan lebih dari dua level untuk menentukannya. Saat
dipergunakan desain 2 faktor dan 3 level maka jumlah percobaan yang dilakukan
berjumlah 9. Diagram percobaan menggunakan metode desain faktorial dapat
dilihat pada gambar 3.
16
Gambar 3. Diagram desain 2 faktor dan 3 level (Armstrong, 1996)
Pengkodean untuk tiga level dalam dua faktor yaitu 0 untuk level rendah,
1 untuk level tengah dan 2 untuk level tinggi. Penelitian dengan dua faktor dilihat
dari dua digit penamaan yang diberikan. Misalnya 00 dimana kedua faktor dalam
level rendah, 12 bermakna faktor pertama memiliki level sedang dan faktor kedua
dalam level tinggi. Penggunaan 3 level menyebabkan hubungan yang tidak linear
antara kedua faktor dengan respon, hal ini dapat dilihat pada persamaan (1) dan
(2) yang keduanya mengandung hubungan linear (yang biasa disimbolkan dengan
AL dan BL) dan hubungan kuadratik (disimbolkan dengan AQ dan BQ).
Respon = a + bAL + cAQ2 …………………… (1)
Respon = a + bBL + cBQ2 …………………… (2)
(Armstrong, 1996).
Jika diketahui bahwa hubungan antara independen variabel dan dependen
variabel tidak linear maka dipergunakan persamaan second order relationship.
Model dari persamaan untuk second order relationship adalah sebagai berikut :
Y = B0 + B1X1 + B2X2 + B11X12 + B22X2
2 + B1B2X1X2
17
Dengan Y merupakan respon hasil (variabel dependen); X1, X2 merupakan kedua
faktor yang diamati dan B0, B1, B2 merupakan koefisien yang dapat dihitung dari
hasil penelitian (Armstrong, 1996).
Desain faktorial memiliki beberapa keuntungan. Metode ini memiliki
efisiensi yang maksimum untuk memperkirakan efek yang dominan dalam
menentukan respon dan memungkinkan untuk mengidentifikasi efek masing-
masing faktor, maupun efek interaksi antar faktor. Metode ini ekonomis, dapat
mengurangi jumlah penelitian jika dibandingkan dengan meneliti dua efek faktor
secara terpisah. Desain faktorial 2 faktor 3 level kemudian dapat dianalisis dengan
ANOVA atau Yate’s treatment untuk mengetahui besarnya efek dan signifikansi
pengaruh tiap faktor dan interaksinya terhadap respon (Bolton, 1990).
E. Landasan Teori
Senyawa subtipe brazilin dalam ekstrak kayu secang yaitu brazilin,
brazilein dan 3’-O-metilbrazilin yang selanjutnya disebut sebagai komposit
brazilin. Brazilin yang berwarna kuning dan pada pH basa akan berubah menjadi
brazilein yang berwarna merah. Proses ekstraksi dilakukan dengan metode digesti
karena komposit brazilin merupakan senyawa yang tahan terhadap pemanasan.
Brazilin sangat larut pada pelarut etanol dan mudah larut pada pelarut air sehingga
campuran keduanya dapat dipergunakan sebagai cairan penyari dalam proses
digesti kayu secang namun belum diketahui konsentrasi yang tepat dalam
mengekstraksi komposit brazilin sehingga perlu dilakukan optimasi. Lama proses
digesti memiliki hubungan langsung dengan jumlah komposit brazilin yang dapat
diekstraksi. Secara umum semakin lama proses digesti maka semakin banyak
18
komposit brazilin yang dapat diekstraksi karena waktu kontak cairan penyari
dengan serbuk kayu secang semakin meningkat.
Sistem kromatografi yang dipergunakan untuk mengisolasi komposit
brazilin yaitu dengan fase diam selulosa dan fase gerak kloroform : metanol :
aquadest (64:50:10 v/v). Bercak yang terdeteksi sebagai komposit brazilin diukur
nilai AUC nya menggunakan TLC scanner secara densitometri.
Analisis Yate’s treatment dilakukan untuk melihat signifikansi tiap faktor
yaitu lama digesti, konsentrasi cairan penyari dan interaksinya terhadap respon
AUC komposit brazilin. Titik optimum kondisi digesti didapat dari countour plot
hubungan lama digesti dan konsentrasi cairan penyari dengan respon AUC
komposit brazilin.
F. Hipotesis
1. Lama digesti, konsentrasi cairan penyari dan interaksinya berpengaruh
terhadap respon AUC komposit brazilin secara signifikan
2. Titik optimum dapat diperoleh dari countour plot lama digesti dengan
konsentrasi cairan penyari terhadap AUC komposit brazilin
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental quasi
menggunakan aplikasi desain faktorial. Penelitian dilakukan pada Laboratorium
Kimia Organik dan Laboratorium Kimia Analisis Instrumental Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Klasifikasi variabel
a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah lama ekstraksi secara digesti dan
konsentrasi cairan penyari
b. Variabel tergantung dalam penelitian ini yaitu AUC dihasilkan oleh
komposit brazilin
c. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini yaitu waktu pemanenan
batang secang dan lingkungan tempat tumbuh
2. Definisi operasional
a. Digesti adalah proses penyarian yang dilakukan dengan merendam serbuk
dalam maserator dalam pemanasan rendah yaitu 45-50 OC
b. Level rendah, tengah dan tinggi dalam lama ekstraksi secara digesti
berturut-turut yaitu 90 menit, 180 menit dan 270 menit yang dilakukan
dalam 3 kali digesti berulang
c. Level rendah, tengah dan tinggi dalam konsentrasi cairan penyari ekstraksi
20
secara digesti berturut-turut yaitu 4 %, 50 % dan 100 %
d. Konsentrasi cairan penyari merupakan konsentrasi aquadest dalam etanol
e. Komposit brazilin adalah komponen fenolik yang merupakan subtipe
struktural brazilin, terdiri dari senyawa brazilin, brazilein dan 3’-O-
metilbrazilin
f. Titik optimum adalah titik dimana proses digesti menghasilkan AUC
komposit brazilin yang maksimum dengan lama digesti yang minimum dan
konsentrasi penyari yang maksimum
C. Bahan atau Materi Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang secang
(Caesalpinia sappan L.) sebagai sampel yang diperoleh dari Desa Kemuning,
Wonosari, Yogyakarta. Cairan penyari berupa aquadest dan etanol 96 %. Bahan
untuk KLT dan KLT-P yaitu berupa fase diam selulosa (E Merck), fase gerak
derajat pro analisis produksi E Merck yaitu kloroform dan metanol. Bahan untuk
pembuatan buffer fosfat yaitu KH2PO4, NaOH, Fe(III) klorida, Timbal(II) asetat
dan aquadest.
D. Alat atau Instrumen Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender simplisia
(Retsch bc ZM1) dengan pisau nomor 4 dan ayakan serbuk simplisia 12 dan 50
mesh, alat–alat gelas, pelat tetes, kertas saring, cawan porselen, waterbath, labu
bersumbat, neraca analitik (Mettler Toledo, AB204), oven (Termaks, salm en tipp
bv Seri 08725), pipet mikro, lampu UV (MINUVIS Desaga Heldelberg Seri
21
05.67.02), spektrofotometer (Perkin Elmer UV/VIS Spectrometer Lambda 20)
dan Thin Layer Chromatography (TLC) Scanner Densitometric (CAMAG TLC
Scanner 3, cat. No. 027.6485, seri 160602)
E. Tata Cara Penelitian
1. Pengumpulan bahan
Batang secang diperoleh dari Desa Kemuning Kecamatan Wonosari
Kabupaten Bantul, Yogyakarta pada bulan Februari 2009 dalam keadaan utuh,
segar, dan masih basah
2. Identifikasi tanaman dan kayu
a. Identifikasi morfologis tanaman
Identifikasi dilakukan dengan melihat morfologi tanaman dan dicocokkan
dengan pustaka Materia Medika Indonesia edisi I mengenai tanaman secang
(Caesalpinia sappan L.)
b. Identifikasi makroskopik kayu
Identifikasi dilakukan dengan melihat kayu secara makroskopik dan
dicocokkan dengan pustaka Materia Medika Indonesia edisi I mengenai kayu
secang
c. Identifikasi kayu secara kimia dilakukan sebagai berikut:
i. Identifikasi awal kayu secara kimia dilakukan dengan mengkocok 100 mg
serbuk kayu dengan metanol P selama 5 menit, warna filtrat diamati
ii. Pada pelat tetes, 3 tetes filtrat ditambah 1 tetes kalium hidroksida P 5 %
b/v, warna yang terjadi diamati
iii. Pada pelat tetes, 3 tetes filtrat ditambah 1 tetes natrium hidroksida P 5 %
22
b/v, warna yang terjadi diamati
iv. Pada pelat tetes, 3 tetes filtrat ditambah 1 tetes timbal(II)asetat P 5 % b/v,
warna yang terjadi diamati
v. Pada pelat tetes, 3 tetes filtrat ditambah 1 tetes besi(III)klorida P 5 % b/v,
warna yang terjadi diamati
3. Pembuatan simplisia kayu secang
a. Sortasi basah
Bahan yang telah dikumpulkan disortasi basah dengan memilah bahan uji
dipisahkan dengan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing dari simplisia.
b. Pencucian, penyerutan, dan pengeringan
Batang secang dicuci dengan air mengalir hingga bersih, kemudian
ditiriskan. Batang secang yang telah bersih dan bebas dari sisa air cucian
tersebut diserut menggunakan alat serut hingga diperoleh hasil dengan
ketebalan yang kurang lebih 3-5 mm. Batang secang yang telah diserut,
disusun di atas alas berlubang dan dikeringkan menggunakan oven pada
suhu 60 OC. Secara berkala dibolak-balik agar pengeringan berlangsung
merata. Pengeringan batang secang dihentikan apabila simplisia mudah
dipatahkan serta menimbulkan bunyi gemerisik jika diremas.
c. Sortasi kering
Batang secang yang sudah kering kemudian dipisahkan dari benda-benda
asing seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan dan kotoran-kotoran
lain yang masih tertinggal dalam simplisia kering.
23
d. Pembuatan serbuk kayu secang
Kayu secang yang sudah kering kemudian diserbuk menggunakan blender
kemudian diayak dengan ukuran serbuk 12/50 mesh
4. Analisis kualitatif komposit brazilin
a. Pembuatan bufer fosfat. Kalium dihidrogen fosfat 0,2 M sebanyak 50
ml dimasukkan ke dalam labu ukur 200 ml ditambahkan 29,1 ml natrium
hidroksida 0,2 N dan ditambahkan air bebas CO2 P sampai 200 ml.
b. Ekstraksi kayu secang secara digesti. Serbuk kering kayu secang
sebanyak lima gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup, ditambahkan
cairan penyari yaitu aquadest 50 % dalam etanol berturut-turut sebanyak 75, 50,
dan 25 ml. Digesti dilakukan selama 270 menit. Ekstrak yang diperoleh diuapkan
dengan waterbath pada suhu 80 OC sampai mendapatkan ekstrak kering.
c. Isolasi dengan KLT-preparatif. Ekstrak kering dilarutkan dalam etanol,
kemudian ditotolkan pada lempeng kromatografi dengan fase diam selulosa
setebal 2 mm. Penotolan dilakukan sebanyak 10 µl. Setelah itu lempeng
kromatografi dimasukkan ke dalam bejana yang sebelumnya telah dijenuhkan
dengan fase gerak berupa kloroform : metanol : aquadest (64:50:10v/v).
Pengembangan dilakukan sepanjang 15 cm. Setelah itu lempeng dikeringkan dan
bercak yang diduga komposit brazilin dikerok dan dikumpulkan. Hasil kerokan ini
kemudian disebut sebagai isolat. Istilah isolat sesuai dengan yang disampaikan
oleh Hostettmann (1995). Hasil kerokan bercak tunggal yang telah dikerok
dikerok dilarutkan dalam etanol 96 % dan disentrifugasi.
24
d. Penetapan panjang gelombang serapan maksimum. Supernatan yang
diperoleh diuapkan dan dilarutkan dalam bufer fosfat, kemudian ditelusuri
menggunakan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 400 - 800 nm.
Hasil penelusuran dibandingkan dengan acuan pustaka. Panjang gelombang
serapan maksimum brazilein yaitu 541 nm (Wetwitayaklung, Phaechamud dan
Keokitichai, 2005).
5. Penyarian dengan metode digesti
Kurang lebih seksama serbuk kering sebanyak 5,0 g dimasukkan ke
dalam erlenmeyer bertutup, ditambahkan cairan penyari (aquadest 4 % dalam
etanol, aquadest 50 % dalam etanol dan aquadest 100%) berturut-turut sebanyak
75, 50, dan 25 ml. Pemanasan dijaga pada suhu 45 OC sampai 50
OC.
Tabel 2. Rancangan percobaan berdasarkan desain faktorial
Faktor
Percobaan
Konsentrasi cairan
penyari (%)
Lama ekstraksi
(menit)
00 4 90
10 50 90
20 100 90
01 4 180
11 50 180
21 100 180
02 4 270
12 50 270
22 100 270
Keterangan :
00 : Konsentrasi cairan penyari level rendah dengan lama ekstraksi level rendah
10 : Konsentrasi cairan penyari level tengah dengan lama ekstraksi level rendah
20 : Konsentrasi cairan penyari level tinggi dengan lama ekstraksi level rendah
01 : Konsentrasi cairan penyari level rendah dengan lama ekstraksi level tengah
11 : Konsentrasi cairan penyari level tengah dengan lama ekstraksi level tengah
21 : Konsentrasi cairan penyari level tinggi dengan lama ekstraksi level tengah
02 : Konsentrasi cairan penyari level rendah dengan lama ekstraksi level tinggi
12 : Konsentrasi cairan penyari level tengah dengan lama ekstraksi level tinggi
22 : Konsentrasi cairan penyari level tinggi dengan lama ekstraksi level tinggi
25
Sari diserkai dan ampas diperas. Sari didiamkan selama satu hari
kemudian disaring. Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan waterbath pada suhu
80 OC sampai mendapatkan ekstrak kering. Berat ekstrak kering yang diperoleh
dari tiap percobaan dicatat sebagai berat rendemen hasil ekstraksi. Dilakukan
replikasi sebanyak 3 kali.
6. Pemisahan komposit brazilin dengan KLT
Ekstrak kering dilarutkan dalam etanol sampai 10 mL, kemudian
diencerkan dengan faktor pengenceran 2,5 kali dan ditotolkan sebanyak 0,5 µL
pada lempeng kromatografi 20 cm x 20 cm dengan fase diam setebal 0,25 mm.
Setelah itu lempeng kromatografi dimasukkan ke dalam bejana yang sebelumnya
telah dijenuhkan dengan fase gerak berupa kloroform, metanol, aquadest
(64:50:10 v/v). Pengembangan dilakukan sepanjang 15 cm. Setelah itu lempeng
dikeringkan.
7. Pengukuran AUC komposit brazilin dengan TLC scanner densitometric
a. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum. Pengukuran
panjang gelombang serapan maksimum dengan TLC Densitometer Scanner
dilakukan dengan menyemprot lempeng KLT yang mengandung bercak komposit
brazilin dengan buffer fosfat pH 7. Keseluruhan jalur pengembangan analit
ditelusuri panjang gelombang serapan maksimumnya dengan penelusuran pada
400 - 600 nm.
b. Penetapan AUC komposit brazilin dengan KLT-densitometri. AUC
diukur dengan TLC Scanner Densitometric pada panjang gelombang serapan
maksimum yang didapatkan.
26
F. Analisis Hasil
1. Analisis hasil dari data AUC komposit brazilin dilakukan dengan metode
desain faktorial. Analisis ini bertujuan untuk melihat besarnya efek
konsentrasi cairan penyari, lama digesti, dan efek interaksinya sehingga dapat
diketahui efek dominan yang mempengaruhi AUC Komposit brazilin. Analisis
statistik dengan Yate’s treatment dilakukan untuk mengetahui signifikansi dari
setiap faktor dan interaksi dalam mempengaruhi respon. Berdasarkan analisis
statistik ini maka dapat ditentukan ada atau tidaknya hubungan dari setiap
faktor terhadap respon. Hal tersebut dapat dilihat dari harga F hitung dan F
tabel.
2. Dari contour plot faktor lama digesti dan konsentrasi cairan penyari dan AUC
komposit brazilin dapat diprediksi titik optimum pada proses digesti komposit
brazilin.
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Bahan
Bahan berupa bagian tanaman segar dan batang secang (Caesalpinia
sappan L.) diperoleh dari perkebunan secang di desa Kemuning, Wonosari,
Yogyakarta pada bulan Februari 2009. Hasil pengumpulan batang secang yaitu
batang secang basah dan segar sebanyak 20,6 kg.
Gambar 4. Batang secang segar
Pengumpulan batang secang ini dilakukan untuk keseluruhan proses
penelitian sehingga dapat mengendalikan variabel pengacau seperti waktu
pemanenan, umur tanaman, lingkungan dan tempat tumbuh karena bahan
simplisia diambil pada tempat budidaya yang sama dan waktu pemanenan yang
serempak dari satu tanaman. Menurut Wetwitayaklung, Phaechamud, dan
Keokitichai (2005), kadar komposit brazilin (brazilin dan derivatnya) bervariasi
dan tidak tergantung umur tanaman dengan umur 2, 4, 6, 10 dan 30 tahun.
28
B. Identifikasi Tanaman dan Kayu
Identifikasi tanaman dan kayu dilakukan untuk menghindari kesalahan
pemilihan bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian. Identifikasi dilakukan
dengan identifikasi morfologi untuk tanaman secang (Caesalpinia sappan L.),
pemerian secara makroskopis dan identifikasi dengan pereaksi kimia untuk kayu
secang.
Adapun yang diamati secara morfologis tanaman yaitu ranting berduri
bengkok dan tersebar. Daun majemuk panjang 20 cm – 40 cm, bersirip, panjang
sirip 7,5 cm sampai 13 cm. Setiap sirip mengandung 10 – 20 pasang anak daun
berhadapan. Anak daun tidak bertangkai berbentuk lonjong ujungnya bundar
dengan panjang antara 10 mm – 25 mm.
Bunga berbentuk malai, pinggir kelopak berambut, tajuk memencar dan
berwarna kuning. Bunga terdapat di ujung, panjang malai 10 cm sampai 40 cm,
panjang gagang bunga 15 cm sampai 20 cm, pinggir kelopak berambut, panjang
daun kelopak yang terbawah lebih kurang 10 mm, lebar lebih kurang 4 mm,
empat daun kelopak lainnya panjang lebih kurang 7 mm, lebar lebih kurang 4mm,
panjang benang sari lebih kurang 15 mm, panjang putik lebih kurang 18 mm.
Polong berwarna hitam, panjang 8 cm sampai 10 cm, lebar 3 cm sampai 4 cm,
berisi 3 sampai 4 biji, panjang biji 15 mm sampai 18 mm, lebar 8 mm sampai 11
mm, tebal 5 mm sampai 7 mm.
29
Hasil pengamatan morfologis bagian tanaman terdapat pada gambar 5.
Hasil pengamatan sesuai dengan pertelaan mengenai Caesalpinnia sappan L.
berdasarkan Materia Medika Indonesia (MMI) edisi I.
Gambar 5. Bagian tanaman secang
Pengamatan kayu secara makroskopik adalah berbentuk kayu serutan
ukuran bervarias, keras dan padat serta berwarna jingga sampai kuning. Dari hasil
pengamatan makroskopis menunjukkan ciri yang tercantum dalam Materia
Medika Indonesia edisi I mengenai pemerian kayu secang secara makroskopis.
Pada identifikasi kayu secara kimia serbuk kayu dikocok dalam metanol
P selama 5 menit menghasilkan filtrat berwarna kuning jingga dilakukan sebagai
identifikasi awal terhadap kayu secang. Hasil identifikasi dengan penambahan
pereaksi kimia yang dilakukan yaitu pada penambahan larutan kalium hidroksida
P 5% b/v dan natrium hidroksida P 5% b/v menghasilkan warna ungu kemerahan,
sedangkan pada penambahan timbal (II) asetat P 5 % b/v dan besi (III) klorida P 5
% b/v terjadi warna ungu kecoklatan.
( b )Keterangan:
a. Polong secang
b. Daun secang
c. Bunga secang
( c )( a )
30
Tabel 3. Hasil identifikasi kayu secara kimia
Identifikasi Warna Hasil positif
menurut MMI
Dalam metanol P Kuning jingga Kuning jingga
Kalium hidroksida P 5% b/v Ungu
kemerahan
Ungu
Natrium hidroksida P 5% b/v Ungu
kemerahan
Ungu
Timbal(II)asetat P 5% b/v Ungu
kecoklatan
Ungu
Besi(III)klorida P 5% b/v Ungu
kecoklatan
Ungu
Apabila dibandingkan dengan warna pembanding menurut MMI edisi I
terdapat perbedaan warna dengan timbulnya warna kemerahan dan kecoklatan
dari hasil reaksi. Hal ini mungkin diakibatkan perbedaan standar kayu secang
yang dipergunakan dalam penentuan pembanding dalam identifiksi secara kimia.
Perbedaan simplisia dapat disebabkan perbedaan kondisi tanah dan tempat
tumbuh tanaman yang menyebabkan perbedaan kandungan senyawa metabolit
yang dihasilkan.
Identifikasi menghasilkan reaksi positif terhadap serbuk simplisia secang
sesuai identifikasi pada MMI edisi I mengenai kayu secang. Dari hasil analisis
secara kimia diperoleh bahwa simplisia yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah simplisia kayu secang.
Senyawa penanda dari ekstrak kayu secang yaitu brazilin, mengakibatkan
reaksi positif dengan terbentuknya warna ungu. Pada penambahan kalium
hidroksida dan natrium hidroksida, adanya suasana basa (kehadiran ion -OH) akan
menggeser kesetimbangan reaksi ke arah kanan membentuk brazilein yang
merupakan hasil reaksi pemanjangan kromofor brazilin.
31
Gambar 6. Reaksi brazilin menjadi brazilein dengan penambahan basa
Keterangan : gugus kromofor
auksokrom
Saat suatu senyawa mengabsorbsi panjang gelombang tampak tertentu
dan merefleksikan panjang gelombang yang lainnya maka senyawa tersebut akan
menjadi berwarna. Cahaya tampak yang mengenai kromofor akan diabsorbsi dan
terjadi eksitasi elektron dari ground state menuju excited state. Dengan
keberadaan ikatan berselingan antara ikatan tunggal dan ikatan rangkap yang
panjang maka energi untuk mengeksitasi elektron dari ground state menuju
excited state menjadi lebih rendah karena energi orbital molekul berpasangan
tertinggi (HOMO) dengan orbital molekul tak berpasangan terendah (LUMO)
akan semakin berdekatan daripada ikatan rangkap menyendiri sehingga akan
menggeser panjang gelombang yang dihasilkan menuju panjang gelombang yang
lebih panjang. Energi eksitasi berkurang akibat adanya stabilisasi resonansi pada
saat keadaan eksitasi sehingga semakin panjang kromofor maka semakin kecil
32
energi yang diperlukan untuk menuju keadaan tereksitasi pertama. Dalam kasus
ini dengan perpanjangan kromofor brazilin maka terbentuk intensitas warna yang
lebih kuat membentuk warna merah jingga pada brazilein.
Hal tersebut berlangsung pula pada senyawa 3’-O- metilbrazilin. Pada
penambahan kalium hidroksida dan natrium hidroksida, adanya suasana basa
(kehadiran ion -OH) akan merubah 3’-O-metilbrazilin menjadi 3’-O- metilbrazilein
menurut reaksi di bawah ini,
Gambar 7. Pembentukan 3’-O-metilbrazilein dari 3’-O-
metilbrazilin dengan adanya penambahan basa
Keterangan : gugus kromofor
auksokrom
Pada penambahan timbal(II) asetat atau besi(III) klorida terbentuk
senyawa kompleks antara ion timbal (Pb2+) atau ion besi (Fe
3+) dengan gugus
hidroksil brazilin membentuk kompleks warna merah sampai ungu. Logam timbal
33
dan besi merupakan suatu atom pusat yang bertindak sebagai akseptor elektron
dan memiliki orbital d yang kosong, sedangkan senyawa komposit brazilin
memiliki gugus hidroksil yang merupakan donor elektron yang selanjutnya
disebut sebagai ligan.
Gambar 8. Reaksi pembentukan kompleks brazilin dengan FeCl3
Gambar 9. Reaksi pembentukan kompleks antara brazilin dengan Pb(CH3COO)2
Apabila terbentuk kompleks antara komposit brazilin dengan ion logam
timbal atau besi dan kompleks tersebut terpapar sinar tampak maka terjadi transisi
Brazilin Timbal(II)asetat
Kompleks berwarna ungu
Asam asetat
Besi(III) klorida Brazilin
Kompleks berwarna ungu
Asam klorida
34
elektronik yang mengakibatkan senyawa kompleks ini mengabsorbsi panjang
gelombang di daerah sinar tampak. Efek absorbsi panjang gelombang pada daerah
sinar tampak terjadi karena elektron yang dieksitasi oleh cahaya tampak dari
tingkat energi orbital molekul kompleks yang diisi elektron menuju tingkat energi
yang kosong pada orbital d yang kosong pada atom pusat. Reaksi pembentukan
senyawa komplek yang terjadi antara FeCl3 maupun Pb(CH3COO)2 dapat dilihat
pada gambar 8 dan 9.
C. Pembuatan Simplisia Secang
Batang secang yang diperoleh disortasi basah, dengan maksud untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing dari simplisia sehingga
tidak mengganggu proses penelitian. Kemudian dicuci dengan air mengalir hingga
bersih dan ditiriskan. Batang secang tersebut diserut hingga diperoleh hasil
dengan ketebalan yang kurang lebih 3 - 5 mm dimana apabila irisan semakin tipis
maka semakin cepat penguapan air sehingga waktu pengeringan semakin cepat.
Gambar 10. Serutan kayu secang
Kayu secang yang telah diserut disusun di atas alas berlubang-lubang,
dikeringkan di oven pada suhu 60 0C. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada
35
suhu 30 - 90 OC, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60
OC (Anonim,
1985). Komposit brazilin memiliki suhu degradasi diatas 130 OC, tetapi apabila
pemanasan dilakukan secara terus menerus terhadap simplisia dikawatirkan dapat
mendegradasi komposit brazilin akibat panas yang terakumulasi dalam bahan
simplisia. Penggunaan oven akan menjamin suhu yang terkontrol dan aliran udara
panas akan memastikan pemanasan yang merata tidak hanya pada permukaan
simplisia tetapi panas kering juga dapat mengambil lembab pada bagian bawah
simplisia pada alas pengering yang berlubang-lubang memungkinkan aliran udara
dari atas kebawah atau sebaliknya. Simplisia secara berkala selalu dibolak-balik
agar pengeringan merata.
Kayu yang telah kering dapat diketahui apabila kayu secang dapat
dipatahkan dengan baik dan apabila diremas menimbulkan bunyi gemerisik dan
dapat diasumsikan bahwa simplisia telah berada pada kadar air 8 - 10 %. Fungsi
pengeringan adalah mengurangi kadar air yang terdapat dalam kayu secang
sehingga mengurangi resiko tumbuhnya jamur selama penyimpanan yang dapat
menurunkan mutu simplisia dan mempengaruhi zat aktif. Pada tujuan ekstraksi,
kondisi simplisia yang kering akan meningkatkan keefektifan difusi cairan
penyari ke dalam simplisia karena saat simplisia dikeringkan maka membran sel
akan rusak sehingga cairan penyari akan semakin mudah masuk ke dalam sel
untuk mengekstraksi komposit brazilin. Penyimpanan dilakukan dalam wadah
tertutup rapat dan terlindung dari cahaya. Penyimpanan yang baik akan menjaga
simplisia dalam kondisi kering. Hasil kayu secang kering yaitu sebanyak 20 kg.
Kayu secang yang sudah kering dipisahkan dari benda-benda asing
36
seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan dan kotoran-kotoran lain yang
masih tertinggal dalam simplisia kering. Batang secang yang sudah kering
kemudian diserbuk menggunakan blender dan diayak dengan ayakan 12/50 mesh.
Pada ekstraksi secara maserasi dan modifikasinya termasuk digesti,
serbuk simplisia direndam dalam cairan penyari sehingga ukuran serbuk simplisia
sangat mempengaruhi efektifitas penyarian. Apabila serbuk simplisia terlalu besar
maka luas permukaan kontak dengan cairan penyari akan menurun sehingga
cairan penyari kurang efektif dalam menarik zat aktif. Sedangkan apabila serbuk
berukuran terlalu kecil maka serbuk akan mengambang dan serbuk bagian atas
yaitu bagian permukaan tidak dapat kontak dengan cairan penyari. Ukuran yang
terlalu kecil juga mengakibatkan kesulitan pada waktu pemisahan hasil ekstraksi
dengan serbuk yang membentuk koloid di dalamnya. Menurut Materia Medika
Indonesia ukuran serbuk simplisia yang optimum dalam proses ekstraksi yaitu
dengan ukuran derajar serbuk 4/18, tetapi pada penelitian ukuran serbuk yang
dipergunakan dikonfersi ke dalam ukuran mesh yang paling dekat yaitu ukuran
12/50 mesh. Serbuk ukuran 12/50 mesh diharapkan cukup kecil dan telah dapat
terendam sepenuhnya dalam cairan penyari yang dipergunakan.
D. Analisis Kualitatif Komposit Brazilin
Analisis kualitatif bercak komposit brazilin dilakukan untuk memastikan
bahwa bercak yang dianalisis merupakan komposit brazilin. Analisis kualitatif
dilakukan pada pelat selulosa dengan ketebalan 2 mm dan fase gerak
kloroform:metanol:aquadest (64:50:10 v/v) (Putrandana, 2003). Sebelum isolasi
37
komposit brazilin, dilakukan persiapan ekstrak yang akan dipergunakan untuk
isolasi. Ekstrak yang dipergunakan yaitu ekstrak yang diperoleh secara digesti
dengan konsentrasi cairan penyari 50 % selama 270 menit. Penggunaan cairan
penyari dengan konsentrasi 50 % yaitu untuk merepresentasikan kelarutan
komposit brazilin pada cairan penyari yang akan dipergunakan, dimana kelarutan
brazilin yaitu pada air dan etanol. Digesti dilakukan selama 270 menit untuk
memastikan keseluruhan komposit brazilin telah terekstraksi dengan terbentuknya
ampas yang pucat.
Jumlah ekstrak yang ditotolkan pada pelat selulosa 2 mm adalah
sebanyak 10 µl dan diharapkan dapat mengisolasi komposit brazilin yang cukup
sebelum dianalisis menggunakan spektrometer visibel. Ekstrak yang ditotolkan
sebanyak 10 µl membentuk pita panjang kemudian dielusi menggunakan fase
gerak kloroform, metanol dan aquadest (64:50:10 v/v) dengan pengembangan
sepanjang 15 cm. Pemilihan fase diam selulosa dan fase gerak berdasarkan
penelitian sebelumnya mengenai isolasi brazilin (Putrandana, 2003).
Gambar 11. Interaksi antara brazilin atau 3’-O-metilbrazilin
dengan fase diam selulosa
Keterangan : ------ Ikatan hidrogen
38
Sistem kromatografi yang dipergunakan adalah kromatografi planar fase
normal dimana fase diam selulosa yang dipergunakan bersifat lebih polar daripada
fase gerak campuran kloroform, metanol, air yang dipergunakan. Fase diam
molekul selulosa yang dipergunakan terbentuk dari makromolekul yang
mengandung unit D-glukopiranosa yang tergabung oleh ikatan β-glikosidik pada
posisi 1 dan 4 oleh atom oksigen menbentuk ikatan rantai panjang. Penggunaan
selulosa mikrokristalin memperkecil unit D-glukopiranosa menjadi berkisar 40
sampai 200 unit dalam satu rantai sehingga menurunkan lipofilisitas apabila
dibandingkan dengan penggunaan selulosa alam dengan 400 sampai 4000 unit D-
glukopiranosa. Pengaruh ini sangat penting dalam proses pemisahan senyawa.
Gambar 12. Interaksi antara brazilin atau 3’-O-metilbrazilin dengan fase gerak
kloroform, metanol, dan aquadest
Keterangan : -------- Ikatan hidrogen
------- Interaksi dipol-dipol
Fase diam selulosa ini bersifat relatif lebih polar dibandingkan dengan
fase gerak yang dipergunakan akibat banyaknya atom dengan keelektronegatifan
tinggi yaitu atom O pada D-glukopiranosa yang menyusun rantai selulosa.
δ+
δ+
δ+
δ+
δ+
δ+
δ+
δ+
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ-
δ+
δ-
δ-
39
Senyawa yang akan dipisahkan, dalam hal ini komposit brazilin, akan teradsorpsi
diantara fase gerak dan fase diam yang lebih polar.
Pada pemisahan terdapat 3 buah bercak yang teridentifikasi saat
dipaparkan pada sinar UV panjang gelombang 365 nm dan diberi simbol bercak
A, bercak B dan bercak C walaupun secara visual hanya tampak satu bercak dan
diduga sebagai komposit brazilin yaitu brazilin dan 3’-O-metilbrazilin. Hal ini
dikarenakan pelarut yang dipergunakan dalam penotolan yaitu ekstrak etanolik
yang bersifat asam sehingga komponen brazilein akan berubah menjadi brazilin.
Pernyataan ini diperkuat dengan penambahan pereaksi semprot buffer fosfat
kedua bercak ini menjadi berwarna merah, sedangkan pada bercak A tidak
berubah menjadi berwarna merah. Saat bercak B dan C yang sebelumnya
berwarna kuning terpapar oleh sinar UV panjang gelombang 365 nm, bercak
menjadi berwarna kuning dan hijau dengan Rf 0,76 dan 0,83 hal ini menandakan
bahwa bercak tak terpisahkan tersebut merupakan dua komponen senyawa yang
berbeda. Profil pemisahan tersaji pada gambar 13.
Bercak dengan Rf 0,76 dan 0,83 diduga sebagai brazilin dan 3’-O-
metilbrazilin, yang mengabsobsi pada panjang gelombang yang berbeda karena
perbedaan auksoksrom yang dimiliki masing-masing senyawa walaupun memiliki
kromofor yang identik. Hal ini dapat diketahui dari interaksi yang terjadi antara
senyawa tersebut terhadap fase diam dan fase gerak seperti pada gambar 11 dan
12. Sistem kromatografi yang dipergunakan merupakan kromatografi planar fase
normal dimana senyawa dengan kepolaran lebih tinggi akan lebih terikat pada
fase diam dibandingkan senyawa yang kurang polar. Hal tersebut dapat dilihat
40
pada nilai Rf yang rendah. Akibat hal tersebut maka senyawa 3’-O-metilbrazilin
yang bersifat kurang polar dibandingkan brazilin memiliki Rf yang lebih tinggi
karena brazilin memiliki gugusan karbon lebih panjang yang terikat pada atom
karbon nomor 3, dimana pada brazilin gugusan tersebut adalah sebuah gugusan
hidroksil sedang pada 3’-O-metilbrazilin gugusan yang terikat adalah suatu
metoksi. Pemanjangan atom karbon (alkil) secara umum akan menurunkan
polaritas suatu senyawa. Bercak B dan C dikerok, dikumpulkan dan dianalisis
panjang gelombang serapan maksimum menggunakan spekstrofotometri visibel.
C C C C
B B B B
A A
I II III IV
Gambar 13. Profil kromatogram hasil pemisahan komposit brazilin dengan fase
diam selulosa dan fase gerak kloroform, metanol, aquadest (64:50:10 v/v)
Keterangan
(I) Penampakan secara visibel sebelum disemprot buffer
(II) Kenampakan pada uv 365nm sebelum disemprot buffer
(III) Kenampakan secara visibel setelah disemprot buffer
(IV) Kenampakan pada uv 365nm setelah disemprot buffer
41
Tabel 4. Harga Rf dan profil warna masing-masing bercak hasil
pemisahan dengan KLT-preparatif
Bercak Rf
Sebelum disemprot bufer Sesudah disemprot bufer
Secara
Visual
UV 365 nm Secara
Visual
UV 365 nm
A. 0,36 - Ungu - Ungu
B. 0,76 Kuning Kuning Merah Kuning
C. 0,83 Kuning Hijau Merah Hijau
Selanjutnya bercak yang dianalisis merupakan bercak dengan Rf 0,76 dan
0,83 dimanan bercak B dan C diduga sebagai bercak komposit brazilin karena saat
disemprot dengan buffer fosfat warna bercak berubah menjadi merah. Senyawa
brazilin pada pH 7 akan berubah menjadi brazilein. Hal ini diduga juga terjadi
pada senyawa subtipe brazilin lain yaitu 3’-O-metilbrazilin yang menjadi 3’-O-
metilbrazilein.
Penelusuran terhadap panjang gelombang serapan maksimum dilakukan
pada 3 konsentrasi berbeda dilakukan untuk mengetahui reliabilitas hasil panjang
gelombang serapan maksimum pada absorban 0,2 - 0,8. Penelusuran dilakukan
pada panjang gelombang 400 - 600 nm. Dari ketiga spektra dengan konsentrasi
yang berbeda dapat dilihat profil serapan yang identik dan perbedaan hanya
berasal dari tinggi kurva serapan yang diakibatkan perbedaan jumlah analit dalam
tiap larutan yang diukur.
Dari hasil penelusuran didapat panjang gelombang serapan maksimum
dari ketiga konsentrasi adalah 539 nm. Dapat disimpulkan bahwa bercak B dan C
adalah bercak komposit brazilin karena menurut Wetwitayaklung, Phaechamud
dan Keokitichai (2005) panjang gelombang serapan maksimum brazilein pada pH
7 adalah 541 nm. Menurut
serapan maksimum pada da
gelombang teoritis, diperbolehkan
Tabel 5. Hasil penelusuran
Konsentrasi
1
2
3
Gambar 14. Spekt
(A) serapan 0,357 (B) s
Kayu secang diekstraksi dengan menggunakan metode digesti dengan
berprinsip pada perendaman bahan
pemanasan rendah yaitu pada suhu 45
cairan penyari berturut
sebanyak 3 kali penyarian dengan volume cairan penyari yang m
7 adalah 541 nm. Menurut Farmakope Indonesia III untuk panjang gelombang
serapan maksimum pada daerah di atas 320 nm perbedaan ± 2 nm dari
, diperbolehkan.
penelusuran panjang gelombang serapan maksimum
Konsentrasi Absorbansi Panjang gelombang serapan
maksimum (nm)
0,357 539
0,622 539
0,680 539
pektra penetapan panjang gelombang serapan maksimum
serapan 0,357 (B) serapan 0,622 (C) serapan 0,680
E. Penyarian Dengan Metode Digesti
Kayu secang diekstraksi dengan menggunakan metode digesti dengan
berprinsip pada perendaman bahan simplisia pada cairan penyari dan dengan
pemanasan rendah yaitu pada suhu 45 – 50 OC. Digesti dilakukan 3 kali dengan
berturut-turut sebanyak sebanyak 75, 50, dan 25 ml.
sebanyak 3 kali penyarian dengan volume cairan penyari yang m
42
panjang gelombang
2 nm dari panjang
panjang gelombang serapan maksimum isolat
serapan
a penetapan panjang gelombang serapan maksimum
erapan 0,680
Kayu secang diekstraksi dengan menggunakan metode digesti dengan
simplisia pada cairan penyari dan dengan
Digesti dilakukan 3 kali dengan
75, 50, dan 25 ml. Dilakukan
sebanyak 3 kali penyarian dengan volume cairan penyari yang menurun dengan
43
mempertimbangkan terjadinya titik jenuh pada proses digesti. Pada penyarian
pertama masih terdapat banyak komposit brazilin yang dapat diekstraksi sehingga
titik jenuh pada volume yang sama lebih mudah dicapai daripada penyarian kedua
dan ketiga. Pada penyarian ketiga telah banyak komposit brazilin yang
terekstraksi sehingga hanya diperlukan sejumlah kecil cairan penyari untuk
mengekstraksi komposit brazilin sebelum titik jenuh tercapai.
Setelah proses digesti selesai, sari diserkai dan ampas diperas. Pendiaman
selama 1 hari dilakukan untuk mengendapkan serbuk yang ikut saat sari diserkai
dan membentuk koloid yang mengakibatkan pemisahan ekstrak dari simplisia
yang ikut diserkai sulit dipisahkan dengan metode pemisahan sederhana seperti
penyaringan menggunakan kertas saring. Pendiaman akan mengakibatkan
pengendapan partikel simplisia sehingga dapat dipisahkan dengan mudah hanya
dengan diserkai kembali dan disaring.
Faktor yang dioptimasi dalam optimasi proses digesti kayu secang adalah
lama digesti dan konsentrasi cairan penyari. Dipilih 3 level untuk lama digesti 90
menit untuk level rendah, 180 menit untuk level tengah dan 270 menit untuk level
tinggi. Pemilihan ketiga level tersebut didasarkan pada orientasi yang dilakukan
sebelum pelaksanaan penelitian, dimana pada menit ke 90 sudah terbentuk ekstrak
yang pekat secara visual dan pada menit ke 270 ampas hasil proses digesti apabila
diberi cairan penyari tidak menimbulkan warna merah secara visuial serta
berwarna pucat menandakan komposit brazilin telah terekstraksi ke dalam cairan
penyari. Level tengah merupakan waktu tengah diantara level tinggi dan level
rendah, pada penelitian dipilih waktu digesti selama 180 menit.
44
Dipilih 3 level pula untuk konsentrasi cairan penyari. Konsentrasi cairan
penyari yang dimaksud adalah konsentrasi aquadest dalam etanol untuk
memudahkan perhitungan menggunakan desain faktorial. Pertimbangan pemilihan
penyari yaitu karena brazilin memiliki kelarutan yang baik pada air dan sangat
etanol (Anonim, 1976). Ekstrak kayu secang dapat dibuat dengan teknik maserasi
menggunakan cairan penyari air, etanol 90 % dan etanol 95 % (Topasri,
Phaechamud dan Chinpaisal, 2009; Kiatthaweepong, Lawanprasert dan
Gritsanapan, 2004; Rusmiati, 2007). Kemudian dipilih 3 level untuk mencari
pengaruh konsentrasi cairan penyari terhadap AUC komposit brazilin, dengan
pertimbangan hasil orientasi yang menghasilkan AUC komposit brazilin tertinggi
pada penyari konsentrasi 50% dibandingkan konsentrasi 4% dan 100%, sehingga
dapat dibuktikan bahwa hubungan antara konsentrasi cairan penyari dengan
respon AUC komposit brazilin bersifat tidak linear. Pemilihan cairan penyari level
atas yaitu konsentrasi 100 % dipilih dengan pertimbangan bahwa cairan penyari
dengan ini memiliki keuntungan yaitu harga yang murah sedangkan pemilihan
aquadest 4 % dalam etanol atau etanol 96 % karena pertimbangan kelarutan
brazilin yang tinggi pada penyari tersebut dan dipilih level tengah yaitu
konsentrasi cairan penyari 50 % dimana perbandingan penyari air dan etanol sama
banyak.
Dalam ekstraksi secara digesti, waktu ekstraksi menentukan banyaknya zat
aktif yang dapat berdifusi keluar simplisia menuju cairan penyari. Semakin lama
proses ekstraksi maka semakin banyak pula zat aktif yang dapat diekstraksi. Pada
maserasi dapat terjadi titik jenuh proses difusi sehingga peningkatan lama
45
ekstraksi tidak dapat meningkatkan jumlah zat aktif yang dapat diekstraksi. Titik
kejenuhan ini dapat diatasi dengan melakukan ekstraksi berulang. Tetapi apabila
peningkatan waktu ekstraksi tidak menimbulkan perbedaan kadar zat aktif
terekstraksi secara signifikan maka efektifitas proses ekstraksi akan menurun.
Oleh sebab itu diperlukan titik optimum dalam proses digesti untuk menghasilkan
ekstrak yang optimum pula.
Konsentrasi cairan penyari mempengaruhi kecepatan difusi zat aktif keluar
simplisia. Hal itu tergantung pula pada kemampuan cairan penyari untuk
menembus ke dalam simplisia dan mengekstraksi zat aktif keluar menuju cairan
penyari. Pengaruh cairan penyari juga pada kelarutan komposit brazilin. Semakin
tinggi kelarutan komposit brazilin pada penyari maka semakin mudah pula
komposit brazilin tersebut terekstraksi.
Tabel 6. Rendemen ekstrak kayu secang secara digesti
Percobaan % Rendemen
SE % CV Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3
00 6,4034 5,5140 4,5782 0,53 9,58
01 8,2314 6,6347 6,5330 0,55 7,71
02 2,9220 3,7908 3,2957 0,25 7,54
10 5,4887 5,3164 5,5197 0,06 1,16
11 5,8193 7,0266 7,1184 0,42 6,29
12 3,1743 3,5740 3,6146 0,14 4,07
20 5,1437 5,6465 5,5523 0,15 2,83
21 6,2632 6,5430 7,1297 0,26 3,84
22 3,1682 3,9738 3,7044 0,24 6,55
Setelah ekstrak diperoleh kemudian penyari diuapkan dengan diatas
waterbath pada suhu 80 OC sampai mendapatkan ekstrak kering. Suhu pemanasan
ini tidak mempengaruhi kestabilan komposit brazilin dimana brazilin dapat
terdegradasi yaitu pada suhu 130 OC (Anonim, 1976). Berat ekstrak kering yang
46
diperoleh dari tiap percobaan dicatat dan dipakai sebagai perhitungan rendemen
dan dapat dilihat pada tabel 6.
F. Pemisahan Komposit Brazilin
Ekstrak dipisahkan dengan menggunakan lempeng kromatografi lapis
tipis 20 cm x 10 cm dengan fase diam selulosa setebal 0,25 mm dan fase gerak
berupa kloroform, metanol, aquadest (64:50:10 v/v) serta penotolan dilakukan
sebanyak 0,5 µl. Untuk keperluan analisis menggunakan densitometer sampel
yang ditotolkan adalah 0,5 µl dengan diameter bercak sempit yaitu 2 mm.
Penotolan sampel yang banyak secara manual dapat menurunkan reprodusibilitas
hasil (Rohman, 2009). Dengan pertimbangan terjadinya hamburan sinar oleh
partikel yang ada di lempeng yang menurunkan linearitas hubungan serapan
dengan konsentrasi senyawa yang diteliti maka dipergunakan lempeng
kromatografi dengan tebal 0,25 mm. Menurut Supardjan (1987) tebal lapisan tipis
pada lempeng yang digunakan biasanya adalah 0,20 - 0,25 mm dan maksimum
boleh dipergunakan 0,33 mm.
Pada kromatografi bercak yang diperoleh tidak tunggal dan merupakan
bercak ganda yang tidak memisah. Hal ini berkaitan dengan analit yang dianalisis
yaitu komposit brazilin. Pada komposit brazilin terdapat subtipe struktural yang
mirip dan sulit untuk dipisahkan secara kromatografi sederhana seperti KLT. Pada
gambar pemisahan KLT dapat dilihat, bercak B dan C dapat diduga sebagai
komposit brazilin karena bereaksi positif dengan terbentuknya warna merah saat
disemprot dengan bufer fosfat pH 7.
47
G. Pengukuran AUC komposit brazilin dengan TLC scanner densitometric
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum pada TLC scanner
densitometric
Penentuan panjang gelombang serapan maksimum dilakukan kembali
menggunakan TLC scanner densitometric untuk melihat kesesuaian dengan hasil
pada pengukuran menggunakan spektroskopi visibel. Hal tersebut juga
disebabkan karena analisis AUC yang dilakukan nanti menggunakan TLC scanner
densitometric sehingga dengan perubahan konsentrasi analit yang kecil
mengakibatkan perubahan respon AUC yang signifikan, hal ini akan
meningkatkan presisi hasil analisis.
Panjang gelombang serapan maksimum diperoleh dengan cara menelusuri
bercak pada panjang gelombang 400 – 600 nm. Panjang gelombang serapan
maksimum dicapai pada saat terjadi serapan maksimum yang ditunjukkan dengan
terbentuknya puncak kurva. panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada
penelitian ini adalah 539,0 nm dari dua kali replikasi yang dilakukan dan dipakai
seterusnya untuk penetapan AUC komposit brazilin.
Gambar 15. Hasil penelusuran panjang gelombang serapan maksimum
menggunakan TLC scanner densitometric pada replikasi 1
48
2. Penetapan AUC komposit brazilin dengan KLT-Densitometri
Pengukuran AUC brazilin melalui TLC scanner densitometric. Pada
penelitian ini respon dipilih adalah respon berupa AUC karena AUC mewakili
kadar komposit brazilin dalam ekstrak kayu secang. Hal ini ditegaskan pada
analisis kualitatif bercak pada KLT-preparatif yang telah dilakukan dengan
penelusuran panjang gelombang serapan maksimum. Sehingga semakin tinggi
AUC komposit brazilin maka diasumsikan semakin tinggi pula kadar komposit
brazilin yang dapat diekstraksi dari kayu secang. Dari pengukuran ekstrak kayu
secang diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil pengukuran AUC komposit brazilin
Percobaan AUC rata-rata SE % CV
00 12803,13 104,89 0,82
10 13402,87 20,21 0,15
20 9762,67 57,86 0,59
01 16375,93 244,07 1,49
11 17237,53 90,25 0,52
21 10182,27 128,14 1,26
02 18725,13 116,88 0,62
12 20612,60 203,38 0,99
22 11475,07 117,65 1,03
Pada kurva pemisahan komposit brazilin maka dapat dilihat secara umum
terjadinya puncak ganda yang menyatakan pemisahan senyawa brazilin dan 3’-O-
metilbrazilin seperti yang terjadi pada kurva percobaan 01 pada gambar 16.
Puncak awal yang terbentuk merupakan puncak yang berasal dari senyawa
brazilin seedangkan puncak kedua yang lebih kecil namun tidak terpisahkan dari
puncak pertama dengan sempurna merupakan puncak senyawa 3’-O-metilbrazilin
.
49
Gambar 16. Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin berbagai percobaan
Keterangan
Dari hasil profil kromatogram dilihat reliabilitas pemisahan dengan
membandingkan nilai Rf masing-masing percobaan pada tiap replikasi. Hasil nilai
Rf disajikan pada tabel 8 dan 9. Dapat dilihat bahwa pemisahan bercak B dan C
yang merupakan komposit brazilin memiliki reliabilitas yang baik pada kondisi
kromatografi yang dipergunakan yang dapat diketahui dari nilai CV yang kurang
dari 2%.
Tabel 8. Nilai Rf bercak B masing-masing percobaan tiap replikasi
Percobaan Rf
SE CV Replikasi
1
Replikasi
2
Replikasi
3
00 0,77 0,76 0,79 0,00801 1,04%
01 0,76 0,79 0,77 0,00801 1,04%
02 0,79 0,77 0,76 0,00801 1,04%
10 0,78 0,76 0,79 0,00801 1,03%
11 0,75 0,76 0,78 0,00801 1,05%
12 0,78 0,78 0,75 0,00889 1,15%
20 0,77 0,75 0,78 0,00770 1,00%
21 0,76 0,78 0,77 0,00588 0,76%
22 0,79 0,77 0,76 0,00801 1,04%
50
Tabel 9. Nilai Rf bercak C masing-masing percobaan tiap replikasi
Percobaan Rf
SE CV Replikasi
1
Replikasi
2
Replikasi
3
00 0,84 0,83 0,83 0,00385 0,46%
01 0,83 0,83 0,81 0,00667 0,81%
02 0,81 0,85 0,82 0,01018 1,23%
10 0,85 0,82 0,84 0,00801 0,96%
11 0,81 0,84 0,83 0,00801 0,97%
12 0,83 0,75 0,81 0,02255 1,83%
20 0,83 0,81 0,85 0,01155 1,39%
21 0,85 0,85 0,81 0,01111 1,33%
22 0,82 0,81 0,83 0,00385 0,47%
Dari perhitungan efek lama digesti, konsentrasi cairan penyari dan
interaksi antara keduanya dalam menentukan AUC komposit brazilin. Semakin
besar nilai efek yang diperoleh maka faktor tersebut paling dominan dalam
meningkatkan AUC komposit brazilin.
Tabel 10. Hasil Perhitungan Efek
Faktor Nilai Efek
AL 29142031,68
AQ 20463,36
BL 52947538,14
ALBL 13290549,12
AQBL 1099142,56
BQ 38836364,95
ALBQ 11509282,42
AQBQ 26961,12
Dari hasil perhitungan efek maka dapat diketahui bahwa efek dominan
terjadi pada faktor konsentrasi cairan penyari daripada faktor lama digesti maupun
Keterangan :
AL : faktor lama digesti linear
AQ : faktor lama digesti kuadratik
BL : faktor konsentrasi penyari linear
BQ : faktor konsentrasi penyari kuadratik
ALBL : interaksi diantara kedua faktor
hubungan linear
AQBL : interaksi faktor lama digesti
kuadratik dengan faktor konsentrasi
penyari linear ALBQ : interaksi faktor lama digesti
kuadratik dengan faktor konsentrasi
penyari linear AQBQ : interaksi diantara kedua faktor
hubungan linear
51
interaksi diantara keduanya dilihat dari nilai efek pada tabel 10. Efek konsentrasi
pada umumnya, baik efek linear maupun quadratik lebih besar daripada faktor
yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan kemampuan ekstraksi pelarut terhadap
komposit brazilin untuk ditarik keluar dari simplisia dan terdistribusi ke dalam
cairan penyari.
Efek yang paling besar menentukan respon AUC komposit brazilin yaitu
efek linear dari konsentrasi cairan penyari yang dipergunakan dalam proses
digesti kayu secang. Efek tersebut menyatakan bahwa hubungan kenaikan
konsentrasi cairan penyari secara linear lebih berperan dalam menentukan AUC
komposit brazilin yang dihasilkan. Dari efek utama yaitu efek linear faktor
konsentrasi cairan penyari dapat diketahui bahwa semakin meningkat konsentrasi
cairan penyari pada umumnya akan semakin menurunkan komposit brazilin yang
dapat tersari. Telah diketahui bahwa brazilin memiliki kelarutan yang sangat baik
pada etanol dibandingkan dengan aquadest sehingga pada umumnya kemampuan
penyarian aquadest terhadap brazilin lebih kecil daripada etanol. Akan tetapi efek
lainnya juga dapat mempengaruhi respon AUC pada penentuan titik kondisi
optimum. Respon AUC juga tetap dipengaruhi oleh efek hubungan kuadratik
faktor konsentrasi cairan penyari meskipun besarnya efek tidak setinggi efek
linear konsentrasi cairan penyari.
Dengan pertimbangan efek kedua yaitu efek kuadratik faktor konsentrasi
cairan penyari maka meningkatnya konsentrasi cairan penyari akan meningkatkan
kandungan aquadest dalam cairan penyari. Suatu penyarian berlangsung dengan
efektif salah satunya apabila kelarutan komposit brazilin baik pada pelarut
52
tersebut sehingga memudahkannya terekstraksi. Kelarutan brazilin akan lebih
tinggi pada saat polaritas penyari yang semakin mirip dengan komposit brazilin
sehingga terjadi efek kuadratik dari perubahan konsentrasi cairan penyari.
Semakin menjauh kepolaran cairan penyari dari kepolaran komposit brazilin maka
semakin kecil pula kandungan komposit brazilin yang dapat diekstraksi.
Efek ketiga yaitu efek lama proses digesti yang secara umum berjalan
secara linear. Dari data penelitian disimpulkan bahwa semakin meningkat lama
proses digesti maka semakin tinggi pula kandungan komposit brazilin yang dapat
terekstraksi ke dalam cairan penyari.
Semakin lama proses digesti yang dilakukan pada semua level
konsentrasi cairan penyari, respon AUC semakin meningkat, tetapi peningkatan
respon AUC semakin menurun akibat pada level tengah waktu digesti telah
banyak komposit brazilin telah terekstraksi ke dalam cairan penyari, sehingga
dengan penambahan waktu digesti tidak banyak komposit brazilin yang dapat
disari (gambar 17a). Pada semua level lama proses digesti, semakin meningkat
konsentrasi cairan penyari dari 4 % menuju 50 % terjadi peningkatan respon
AUC, dan pada konsentrasi 100 % terjadi penurunan respon AUC (gambar 17b).
Akibat hubungan antara konsentrasi cairan penyari dan respon AUC yang tidak
linear maka persamaan matematis optimasi desain faktorial menjadi berbentuk
kuadratik.
53
(a)
(b)
Gambar 17. (a). grafik hubungan antara lama digesti dengan AUC komposit brazilin,
(b). grafik hubungan antara konsentrasi penyari dengan AUC komposit brazilin
Jika dilihat dari gambar 17 dapat disimpulkan terjadi interaksi antara
lama digesti dan konsentrasi cairan penyari dalam menentukan respon AUC
komposit brazilin, hal ini dapat dilihat dari tidak sejajarnya garis-garis yang
terbentuk baik antara lama digesti dan konsentrasi cairan penyari ataupun antara
konsentrasi cairan penyari dan lama digesti. Adanya interaksi tersebut harus
dibuktikan dengan perhitungan Yate’s treatment untuk menentukan signifikansi
0.00
5000.00
10000.00
15000.00
20000.00
25000.00
90 180 270
konsentrasi level
tengah
konsentrasi level
rendah
konsentrasi level
tinggi
menit
AUC
Lama Digesti
0.00
5000.00
10000.00
15000.00
20000.00
25000.00
4 24 44 64 84
lama level rendah
lama level tengah
lama level tinggi
%
AUC
konsentrasi penyari
54
tiap efek yang timbul.
Hasil perhitungan Yate’s treatment dengan taraf kepercayaan 95 % untuk
respon AUC disajikan pada tabel 11. Hipotesis alternatif (H1) menyatakan adanya
hubungan antara faktor dengan respon, sedangkan Ho merupakan negasi dari H1
yang menyatakan tidak adanya hubungan antara faktor dengan respon. H1
diterima dan Ho ditolak bila harga F hitung lebih besar daripada harga F Tabel
yang berarti bahwa faktor berpengaruh signifikan terhadap respon. Perhitungan
harga F hitung yang diperoleh dari Yate’s treatment untuk respon AUC
memperlihatkan bahwa lama digesti, suhu pencampuran dan interaksi antara
keduanya baik dalam efek linear maupun kuadratik, memberikan pengaruh yang
bermakna secara statistik, hal ini dapat ditunjukkan oleh harga F hitung dari
ketiganya lebih besar daripada F(1,18) tabel yaitu 4,41.
Tabel 11. Hasil Perhitungan Yate’s treatment pada respon AUC komposit brazilin
Source of
Variation
Sum Of
Squares
df Mean
square
F hitung f tabel
(1,18)
A
AL 29142031,68 1 93744103,8 24951,5 4,41
AQ 20463,36 1 405518363,2 107935,1 4,41
B
BL 52947538,14 1 307282792,4 81788,2 4,41
BQ 38836364,95 1 24737716,9 6584,3 4,41
AB
ALBL 13290549,12 1 8759479,7 2331,5 4,41
AQBL 1099142,56 1 8279143,0 2203,6 4,41
ALBQ 11509282,42 1 72963,0 19,4 4,41
AQBQ 26961,12 1 46805525,0 12458,0 4,41
Error
67627,02 18 3757,1
Total 26
55
Dilihat dari hasil perhitungan desain faktorial dan Yate’s treatmen dapat
disimpulkan bahwa respon AUC dominan ditentukan oleh faktor konsentrasi
cairan penyari, hal ini dapat dilihat dari nilai perhitungan efek faktor dan F hitung
dari faktor konsentrasi cairan penyari yang lebih besar dibandingkan lama digesti
dan interaksi antara keduanya. Hasil perhitungan Yate’s treatment menunjukkan
bahwa terjadi interaksi antara lama digesti dan konsentrasi cairan penyari dalam
menentukan respon AUC (F hitung interaksi lebih besar dari F tabel), sehinga
dapat disimpulkan bahwa respon AUC tidak hanya dipengaruhi oleh lama digesti,
tapi juga dipengaruhi oleh konsentrasi cairan penyari.
Optimasi proses digesti dimaksudkan untuk memperoleh proses digesti
yang optimum yang merupakan perpaduan antara lama digesti dan konsentrasi
cairan penyari tertentu. Suatu proses ekstraksi secara digesti dikatakan optimum
jika hasil AUC maksimum untuk waktu digesti yang minimum dan konsentrasi
cairan penyari yang maksimum, diharapkan proses digesti berlangsung dengan
singkat dan dengan menggunakan cairan penyari yang mengandung semakin
banyak aquadest (dengan pertimbangan bahwa aquadest merupakan cairan
penyari yang lebih ekonomis dibandingkan etanol) untuk dapat menghasilkan
komposit brazilin yang lebih banyak pula. Dari data dapat dilihat bahwa faktor
lama digesti kayu secang dan konsentrasi cairan penyari merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi AUC komposit brazilin yang dihasilkan, oleh karena itu
kedua faktor tersebut harus diperhatikan dan dikendalikan dalam proses digesti
kayu secang.
Proses perhitungan titik optimum dilihat dari countour plot respon AUC
56
dari faktor lama digesti dan konsentrasi cairan penyari yang dipergunakan.
Respon hasil pengukuran AUC komposit brazilin dapat dibuat countour plot
berdasarkan pehitungan desain faktorial. Dari hasil perhitungan desain faktorial
diperoleh persamaan untuk respon AUC komposit brazilin yaitu Y = 7846.92 +
(46.27) X1 + (157.10) X2 + (-0.25) X1X2 + (-0.02) X12 + (-1.63)X2
2. Bentuk grafik
kontur persamaan kuadratik yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 18.
Gambar 18. Grafik kontur hasil desain faktorial
ekstraksi kayu secang secara digesti
Dari countour plot fungsi desirability didapat hasil bahwa titik optimum
proses digesti komposit brazilin kayu secang yaitu pada konsentrasi cairan penyari
63,62 % dan digesti yang berlangsung selama 102,74 menit (dalam 3 kali digesti
berulang) dilihat dari terbentuknya puncak grafik kontur (gambar 19). Prediksi
AUC komposit brazilin pada kondisi ini yang diperoleh dari persamaan yaitu
sebesar 14194,5.
57
Gambar 19. Grafik kontur fungsi desirability hasil desain faktorial
ekstraksi kayu secang secara digesti
58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Lama digesti, konsentrasi cairan penyari dan interaksinya mempengaruhi area
under curve komposit brazilin secara signifikan
2. Titik optimum dalam proses digesti kayu secang secara digesti diperoleh dari
persamaan Y = 7846.92 + (46.27) X1 + (157.10) X2 + (-0.25) X1X2 + (-0.02)
X12 + (-1.63)X2
2 yaitu dengan komposisi proses digesti dengan lama digesti
102,72 menit dan konsentrasi cairan penyari 63,58 %
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat
diberikan adalah perlunya pembuktian lebih lanjut tentang AUC sebenarnya pada
kondisi optimum yang telah didapatkan.
63
DAFTAR PUSTAKA
Adamovic, J.A., 1997, Chromatographic Analysis Of Pharmaceutical, 2nd edition,
marcel dekker, new York
Anonim, 1976, The Merck Index 9th ed, 1362, Merck&Co Rahway, New York
Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I, 29-33, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, jakarta
Anonim, 1985, Tanaman Obat Indonesia, Jilid I, 72, Departemen Kesehatan
Republik Indonesi, Jakarta
Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 5-25, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, 9, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Cetakan I, 1-
12, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Armstrong, N. A., 1996, Pharmaceutical Experimental Design and interpretation,
146, Taylor&Francis ltd, Britain
Balsam, M.S., Sagarin, E., 1974, Cosmetic Science and Technology, Volume III,
2nd edition, 539, A. Willey Interscience Publicaion John Wiley and sons,
New York
Backer, C.A., Bakhuizen Van den Brink Jr.R.C., 1968, Flora of Java
(Spermatophytes Only), Volume I, 545-546, N.V.P. Noordhoff,
Groningen, The Netherlands
Bolton, S., 1997, Pharmaceutical Statistic Practical and Clinical Application, 3rd
Ed., 84-85, 308-337, 533-545, Marcel Dekker Inc., New York
Fu, L., Huang, X., Lai, Z., Hu, Y., Liu, H., dan Cai, X., 2008, A New 3-
Benzylchroman Derivative from Sappan Lignum (Caesalpinia sappan),
Molecules 2008, 13, 1923-1930; DOI: 10.3390/molecules13081923,
http://www.mdpi.org/molecules , diakses tanggal 14 Oktober 2009
Hardjono, S., 1983, Kromatografi, 32-34, Laboratorium Analisa Kimia Fisika
Pusat, UGM, Yogyakarta
64
Hariyati, Sri, 2005, Standarisasi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Salah Satu
Tahapan Penting dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia, infoPOM
volume 6 No.4 juli 2005,
http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/InfoPOM/0405.pdf, diakses
tanggal 2 Januari 2010
Hostettmann, K; Hostettmann M., dan Marston, A., 1995, Preparative
Chromatography Techniques, 9-11, Terjemahan Kosasih Padmawinata,
Penerbit : ITB, Bandung
Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia I, cetakan ke-1, 1443-1446,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan
Republik Indonesia
Harbelubun, A. E., Kesaulija, E.M., dan Rahawarin, Y.Y., 2005, Tumbuhan
Pewarna Alami dan Pemanfaatannya secara Tradisional oleh Suku
Marori Men-Gey di Taman Nasional Wasur Kabupaten Merauke, b i o d i
v e r s i t a s volume 6, nomor 4 oktober 2005 halaman: 285-288,
http://www.unsjournals.com/D/D0604/D0604pdf/D060414.pdf, diakses
tanggal 14 Oktober 2009
Jun, H., Xiaoling, Y., Wei, W., Hao, Wu, Lei, H., Lijun, D., 2008, Antioxidant
Activity In Vitro of Three Constituents from Caesalpinia sappan L, 474-
479, Tsinghua Science and Technology, August 2008, 13(4),
http://news.tsinghua.edu.cn, diakses tanggal 4 Oktober 2009
Kiatthaweepong, S., Lawanprasert P., dan Gritsanapan W., 2004, Phytochemical
Evaluation Of Herbal Colorant From Ceasalpinia sappan L., Abstracts of
FAPA 20th 2004, 181, Faculty of Pharmacy, Mahidol University. Bangkok
Mintarsih, E. R.R., 1990, Penetapan Kadar Alkaloid Kinina dalam Akar, Batang,
dan Daun Chinchona succirubra Pavon et Klotzsch dari daerah Kaliurang
Secara Spektrodensitometri (TLC Scanner), Skripsi, Fakultas Farmasi,
UGM, Yogyakarta
Mulja, H.M., dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, cetakan I, airlangga
university press, Surabaya
Oliveira L., Edwards, H., Veloso, E., dan Nesbitt, M., 2002, Vibrational
Spectroscopic Study of Brazilin and Brazilein, The Main Constituent of
Brazilwood from Brazil, Vibrational Spectroscopy 28 (2002), 243-249,
www.elsevier/locate/vibspec , , diakses tanggal 14 Oktober 2009
Perry, L. M., 1980, Medicinl Plants of East and South Asia, 190, The MIT Press,
Cambridge, Massachussets and London England
65
Putrandana, F.H., 2003, Isolasi dan Krakterisasi Brazilin dari Kayu Secang
(Caesalpinia sappan L.), Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
Rohman, A., 2009, Kromatografi Untuk Analisis Obat, 48-54, Graha Ilmu,
Yogyakarta
Rudjiman, 1995, Seluk Beluk Caesalpinia sappan L., Makalah Seminar Nasional,
Kelompok kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia IX, Yogyakarta 21-
22 September 1995
Rusmiati, 2007, Pengaruh Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L) terhadap
Viabilitas Spermatozoa Mencit Jantan (Mus musculus L),
BIOSCIENTIAE Volume 4, Nomor 2, Juli 2007, halaman 63-70
http://bioscientiae.unlam.ac.id , , diakses tanggal 14 Oktober 2009
Sherma, J. and Fried, B.,2003, Handbook of Thin layer Chromatography, Edisi 3,
146-148, Marcell Dekker, Inc., New York
Sidik dan Hafia Mudahar, 2000, Ekstraksi Tumbuhan Obat, Metode dan Factor-
Faktor Yang Mempengaruhi Produksi, dalam seminar PERHIBA
pemenfaatan bahan obat alam III, fakultas farmasi Universitas 17 agustus
1945, Jakarta
Stahl, E., 1985, Drug Analysis by Chromatography and Microscopy : A Practical
Supplement to Pharmacopoias, 1-8, terjemahan Kosasih Padmawinata,
Iwang Soediro, Penerbit ITB Bandung
Sugati, S.S., dan Hutapea, J.R., 1991, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, 98-99.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Supardjan, A.M., 1987, Pemisahan Tetrasiklin Dan Hasil Uraiannya Dalam
Sediaan Tetrasiklin Secara KLT-Densitometri, lembaga penelitian, UGM,
Yogyakarta
Trijotosoepomo, G., 1994, Taksinomi Tumbuhan Obat-obatan, Edisi I, Gadjah
Mda University Press, Yogyakarta
Voigt, Rudolf, 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi 5, --, Universitas
Gadjah Mada Press, Yogyakarta
Wallis, T. E., 1955, Textbook of Pharmacognosy, IIIrd edition, 65, Little Brown
and company, Boston
66
Wetwitayaklung, P., Phaechamud, T., dan Keokitichai, S., 2005, The Antioxidant
Activity of Caesalpinia sappan L. Heartwood in Various Ages, Naresuan
University Journal 2005; 13(2): 43-52,
http://office.nu.ac.th/nu_journal/pdf/journal/13(2)43-52.pdf, diakses
tanggal 14 Oktober 2009
67
68
Lampiran 1. Hasil foto identifikasi kimia
Hasil Identifikasi
1 Dalam metanol P
2 Kalium hidroksida P
5% b/v
3 Natrium hidroksida P
5% b/v
4 Timbal(II)asetat P 5%
b/v
5 Besi(III)klorida P 5%
b/v
69
Lampiran 2. Foto alat ekstraksi secara digesti (a) dan foto hasil ekstrak
kering (b)
(a)
(b)
70
Lampiran 3. Foto KLT isolasi komposit brazilin
Sebelum disemprot bufer fosfat secara visual pada replikasi 1 (a), replikasi 2 (b),
dan replikasi 3 (c)
Sebelum disemprot bufer fosfat pengamatan UV 365 nm pada replikasi 1 (a),
replikasi 2 (b), dan replikasi 3 (c)
(a) (b) (c)
(a) (b) (c)
71
Setelah disemprot buffer fosfat pada replikasi 1 (a), replikasi 2 (b), dan replikasi 3
(c)
(a) (b) (c)
72
Lampiran 4. Kurva Area Under Curve ekstraksi secara digesti berdasarkan
desain faktorial
Replikasi I
(a) (b) (c)
Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin dengan lama digesti 90
menit dan konsentrasi penyari 4 % (a), 50 % (b) dan 100 % (c)
(a) (b) (c)
Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin dengan lama digesti 180
menit dan konsentrasi penyari 4 % (a), 50 % (b) dan 100 % (c)
(a) (b) (c)
Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin dengan lama digesti 270
menit dan konsentrasi penyari 4 % (a), 50 % (b) dan 100 % (c)
73
Replikasi II
(a) (b) (c)
Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin dengan lama digesti 90
menit dan konsentrasi penyari 4 % (a), 50 % (b) dan 100 % (c)
(b) (b) (c)
Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin dengan lama digesti 180
menit dan konsentrasi penyari 4 % (a), 50 % (b) dan 100 % (c)
\
(b) (b) (c)
Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin dengan lama digesti 270
menit dan konsentrasi penyari 4 % (a), 50 % (b) dan 100 % (c)
74
Replikasi II
(a) (b) (c)
Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin dengan lama digesti 90
menit dan konsentrasi penyari 4 % (a), 50 % (b) dan 100 % (c)
(c) (b) (c)
Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin dengan lama digesti 180
menit dan konsentrasi penyari 4 % (a), 50 % (b) dan 100 % (c)
\
(c) (b) (c)
Kurva hasil pengukuran AUC komposit brazilin dengan lama digesti 270
menit dan konsentrasi penyari 4 % (a), 50 % (b) dan 100 % (c)
75
Lampiran 5. Data rendemen hasil penyarian secara digesti
Percobaan
Replikasi 1
Berat serbuk
(mg)
Berat ekstrak
(mg)
Rendemen
(%)
00 5036,4 322,5 6,40
01 5013,7 412,7 8,23
02 5000,0 146,1 2,92
10 5013,9 275,2 5,49
11 5022,9 292,3 5,82
12 5012,1 159,1 3,17
20 5025,6 258,5 5,14
21 5005,4 313,5 6,26
22 5021,7 159,1 3,17
Percobaan
Replikasi 2
Berat serbuk
(mg)
Berat ekstrak
(mg)
Rendemen
(%)
00 5001,8 275,8 5,51
01 5004,0 332,0 6,63
02 5017,4 190,2 3,79
10 5003,4 266,0 5,32
11 5013,8 352,3 7,03
12 5008,4 179,0 3,57
20 5008,4 282,8 5,65
21 4999,2 327,1 6,54
22 5010,3 199,1 3,97
Percobaan
Replikasi 3
Berat serbuk
(g)
Berat ekstrak
(g)
Rendemen
(%)
00 5004,2 229,1 4,58
01 5006,9 327,1 6,53
02 5009,6 165,1 3,30
10 5009,3 276,5 5,52
11 5001,1 356,0 7,12
12 5024,1 181,6 3,61
20 5008,7 278,1 5,55
21 5003,0 356,7 7,13
22 5007,6 185,5 3,70
76
Lampiran 6. Contoh cara perhitungan rendemen
Untuk menghitung % rendemen digunakan rumus sebagai berikut :
%100serbukberat
keringekstrakberatx
Contoh perhitungan menggunakan percobaan 00
Replikasi 1
% Rendemen = berat rendemen X 100%
berat serbuk
= 322,5 X 100% 5036,4
= 6,40%
Replikasi 2
% Rendemen = 275,8 X 100% 5001,8
= 5,51%
Replikasi 3
% Rendemen = 229,1 X 100% 5004,2
= 5,50%
77
Lampiran 7. Contoh cara menghitung standard error dan coeffitient of
variance
Untuk menghitung Standard Error dan Coeffitient of Variance digunakan rumus
sebagai berikut :
N
SDSE =
%100xx
SECV =
Keterangan :
SE : Standard Error CV : Coeffitient of Variance
SD : standard deviation x : rata-rata rendemen
N : jumlah replikasi
Misalnya hendak menghitung SE untuk percobaan 00 replikasi 1, maka
perhitungannya adalah sebagai berikut :
0.526943
0,9127==SE
%9.58331%1005.50
0.52694== xCV
78
Lampiran 8. Contoh cara menghitung persamaan desain faktorial
Faktor
Percobaan
Lama digesti
(X1)
Konsentrasi
cairan
penyari
(X2)
AUC
Rata-rata
(Y)
00 90 4 12803,1
10 180 4 16375,9
20 270 4 18725,1
01 90 50 13402,9
11 180 50 17237,5
21 270 50 20612,6
02 90 100 9762,7
12 180 100 10182,3
22 270 100 11475,1
Persamaan umum
Y = bo + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X2
2 + b12X1X2
Percobaan 00
12803,1 = bo + b1(4) + b2(90)+ b11(16) + b22(8100)
+ b12(360)
Percobaan 01
13402,9= bo + b1(4 )+ b2(180)+ b11(16) + b22(32400)+ b12(720)
Percobaan 02
9762,7 = bo + b1(4) + b2(270)+ b11(16)+ b22(72900) + b12(1080)
Percobaan 10
16375,9 = bo + b1(50) + b2(90) + b11(2500) + b22(8100)
+ b12(4500)
Percobaan 11
17237,5= bo + b1(50) + b2(180) + b11(2500) + b22(32400)
+ b12(150)
Percobaan 12
10182,3= bo + b1(50) + b2(270) + b11(2500) + b22(72900)
+ b12(250)
Percobaan 20
18725,1= bo + b1(100) + b2(90) + b11(10.000) + b22(8100)
+ b12(100)
Percobaan 21
20612,6 = bo + b1(100) + b2(180) + b11(10.000) + b22(32400)
+ b12(300)
Percobaan 22
11475,1 = bo + b1(100) + b2(270) + b11(10.000) + b22(72900)
+ b12(27000)
79
Melalui metode substitusi eliminasi didapat koefisien sebagai berikut :
bo : 7846,92 b11 : - 0,02
b1 : 46,27 b22 : - 1,63 b2 : 157,10 b12 : - 0.25
maka didapat persamaan sebagai berikut :
Y = 7846,92+ 46,27X1 + 157,10X2 - 0.25X1X2 – 0,02 X12 – 1,63 X2
2
80
Lampiran 9. Contoh cara menghitung nilai efek menggunakan yate’s
treatment
Percobaan R 1 R2 R3 Total
00 12968.9 12831.6 12608.9 38409.40
10 16109.8 16863.4 16154.6 49127.80
20 18492.6 18820.7 18862.1 56175.40
01 13443.2 13384.9 13380.5 40208.60
11 17404.4 17094.5 17213.7 51712.60
21 20978.0 20275.1 20584.7 61837.80
02 9737.1 9677.7 9873.2 29288.00
12 9949.9 10392.1 10204.8 30546.80
22 11401.1 11318.6 11705.5 34425.20
Total
AUC kolom 1 kolom 2 efek
mean
divisor Square
00 38409.40 94584.80 158298.00 - - -
10 49127.80 102046.40 22903.20 AL 18 29142031.68
20 56175.40 63713.20 -1051.20 AQ 54 20463.36
01 40208.60 17766.00 -30871.60 BL 18 52947538.14
11 51712.60 21629.20 -12628.80 ALBL 12 13290549.12
21 61837.80 5137.20 6290.40 AQBL 36 1099142.56
02 29288.00 -3670.80 -45794.80 BQ 54 38836364.95
12 30546.80 -1378.80 -20355.20 ALBQ 36 11509282.42
22 34425.20 2619.60 1706.40 AQBQ 108 26961.12
Kolom 1 dihitung dengan cara sebagai berikut :
Baris 1 merupakan jumlah dari total AUC pada percobaan 00, 10, dan 20
Baris 2 merupakan jumlah dari total AUC pada percobaan 01, 11, dan 21
Baris 3 merupakan jumlah dari total AUC pada percobaan 02, 12, dan 22
Baris 4 merupakan selisih dari total AUC pada percobaan 20 dan 00
Baris 5 merupakan selisih dari total AUC pada percobaan 21 dan 01
Baris 6 merupakan selisih dari total AUC pada percobaan 22 dan 02
Baris 7 merupakan jumlah dari total AUC pada percobaan 20 dan 00 dikurangi
dua kali total AUC pada percobaan 10
Contohnya : 56175,40+ 38409,40- (2 x 49127,80) = -3670,80
81
Baris 8 merupakan jumlah dari total AUC pada percobaan 21 dan 01 dikurangi
dua kali total AUC pada percobaan 11
Baris 9 merupakan jumlah dari total AUC pada percobaan 22 dan 02 dikurangi
dua kali total AUC pada percobaan 12
Kolom 2 diturunkan dari kolom 1 dengan cara yang sama
Mean divisor dihitung dengan rumus: 2r3tn
Dimana r adalah jumlah faktor dalam percobaan, t adalah jumlah faktor dalam
percobaan dikurangi jumlah sifat linear dalam percobaan, dan n adalah jumlah
replikasi
Contohnya :
AQBL
r = 2, t = 2-1 = 1, n = 3, maka
mean divisor = 2231.3 =36
Square dihitung dengan cara : nilai kolom 2 dikuadratkan kemudian dibagi mean
divisor
Contohnya :
AQBL
nilai kolom 2 = -17264,1, mean divisor = 2231.3 =36 maka
Square = (-6290,40)2 : 36 = 1099142,56
82
Lampiran 10. Cara menghitung signifikansi dengan yate’s treatment
Sum of squares = square pada perhitungan nilai efek
Mean squares = Sum of squares dibagi df
F hitung = Mean squares dibagi experimental error mean square
experimental error mean square =
experimental error Sum of squares : df experimental error
df experimental error = total percobaan – 1 - 8 = 18
experimental error Sum of squares =
total sum of squares – replicate sum of square – treatment sum of square
Source
of
variation
Sum of squares
Degree
of
freedom
Mean square F hitung
A
AL 93744103,8 1 93744103,8 24951,47
AQ 405518363,2 1 405518363,2 107935,1
B
BL 307282792,4 1 307282792,4 81788,17
BQ 24737716,87 1 24737716,87 6584,334
AB
ALBL 8759479,688 1 8759479,688 2331,474
AQBL 8279143,022 1 8279143,022 2203,625
ALBQ 72963,01361 1 72963,01361 19,42026
AQBQ 46805525,02 1 46805525,02 12458,03
Error 67627,02444 18 3757,056914
Total 26
83
Lampiran 11. Cara menghitung titik optimum menggunakan fungsi
desirability
Titik optimum didapat dari plot fungsi desirability dengan lama digesti dan
konsentrasi cairan pennyari.
Rumus umum desirability:
Dimana d1 : nilai desirability untuk faktor lama digesti
d2 : nilai desirability untuk faktor konsentrasi cairan penyari
d3: nilai desirability untuk
Cara perhitungan desireability dengan penentuan di dimana nilai di yaitu
1. Pada faktor konsentrasi cairan penyari dan AUC komposit brazilin
di = 0 jika respon berada pada batas paling rendah
0 < di < 1 jika respon range rendah sampai tinggi
di = 1 jika respon berada pada batas nilai tertinggi
2. Pada faktor lama proses digesti
di = 0 jika respon berada pada batas nilai tertinggi
0 < di < 1 jika respon range rendah sampai tinggi
di = 1 jika respon berada pada batas paling rendah
Contoh perhitungan pada kondisi lama digesti 180 menit, konsentrasi cairan
penyari 50 % dengan AUC 17237,53.
d1 = batas atas – x
batas atas – batas bawah
d1 = 270 – 180
270 - 90
84
= 0,5000
d2 = x – batas bawah
batas atas – batas bawah
= 50 - 4
100 - 4
= 0,4792
d3 = x – batas bawah
batas atas – batas bawah
= 17237,53 – 9677,7
20978 - 9677,7
= 0,6690
0,5432
Keterangan
1. Batas bawah lama proses digesti yaitu 90 menit dan dengan batas atas yaitu
270 menit
2. Batas bawah konsentrasi cairan penyari yaitu 4 % dan dengan batas atas yaitu
100 %
3. Batas bawah AUC komposit brazilin yaitu 9677,7 dan dengan batas atas yaitu
20978
BIOGRAFI PENULIS
Penulis lahir pada tanggal 25 Mei1988 di Tabanan, Bali.
Lahir dari Ayah bernama I Gusti Arya Astina dan Ibu
bernama Luh Putu Mariani, memiliki satu saudara laki-laki
dan satu saudara perempuan. Penulis telah menyelesaikan
masa studinya di TK Rare Suci pada tahun pada tahun 1993
sampai tahun 1994, SD N 4 Denbantas pada tahun 1994 sampai pada tahun 2000,
SLTP N 1 Tabanan pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2003, kemudian
penulis melanjutkan sekolah di SMU N 1 Tabanan pada tahun 2003 sampai pada
tahun 2006 dan kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta mulai tahun 2006 sampai tahun 2010.
Mempunyai pengalaman sebagai asisten praktikum Botani Dasar (2007),
asisten praktikum Formulasi Teknologi Sediaan Solid (2008) dan asisten
praktikum Analisi Makanan (2009). Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan di Universitas Sanata Dharma antara lain sebagai pengurus
komunitas kerohanian KMHD (2007-2009) dan ikut aktif dalam kegiatan-
kegiatannya baik di dalam maupun diluar lingkungan universitas.