OPTIMALISASI PERAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN …
Transcript of OPTIMALISASI PERAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN …
OPTIMALISASI PERAN MAHKAMAH KEHORMATAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DALAM PENEGAKAN KODE ETIK
(Analisis Pelanggaran Kode Etik Periode 2004-2019)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
PUTRI AMALIA
NIM: 1112048000032
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
v
ABSTRAK
Putri Amalia NIM 1112048000032. OPTIMALISASI PERAN MAHKAMAH
KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA DALAM PENEGAKAN KODE ETIK (ANALISIS
PELANGGARAN KODE ETIK PERIODE 2004-2019). Program Studi Ilmu
Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. x + 86halaman.
Etika berfungsi untuk mengatur moral seseorang. Dalam hal ini para wakil
rakyat yaitu, anggota DPR. Untuk menegakan etika seorang wakil
rakyat ,memerlukan suatu pedoman yaitu kode etik, yang berarti sebuah norma
yang wajib dipatuhi oleh setiap wakil rakyat selama menjalankan tugasnya.
Selain itu, dapat juga dikatan kode etik adalah suatu alat untuk menunjang
pencapaian tujuan suatu organisasi atau suborganisasi atau bahkan kelompok-
kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi. Penegakan kode etik DPR
dilaksanakan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang merupakakan
Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang bersifat tetap dan berfungsi menegakan
etika anggota wakil rakyat. Keberadaannya tidak lain adalah demi mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab (good and clean governance).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif empiris dengan
melakukan penelitian kepustakaan atau studi dokumen dan wawancara dengan
pihak terkait. Skripsi ini menganalisis peran MKD dalam menegakan kode etik
dengan mengkualifikasikan jenis pelanggaran dan sanksi dalam proses
penegakannya. Dalam memberikan sanksi memerlukan faktor-faktor pendorong
dalam memutus sehingga dapat diketahui sejauh mana peran MKD dalam
menegakan kode etik sebagai pedomannya, dan meminimalisir terjadinya
pelanggaran etika oleh para wakil rakyat dan agar menumbuhkan keindahan moral
para wakil rakyat dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mekanisme penetapan sanksi
dilakukan melalui pengaduan dan atau verifikasi data oleh Sekretariat MKD
dalam rapat MKD, lalu diadakan sidang. Kemudian, ditindaklanjuti dalam rapat
MKD untuk memutus sanksi yang akan diberlakukan. Sedangkan peran MKD
dalam meminimalisir terjadinya pelanggaran dilakukan melalui upaya pencegahan
dan upaya penindakan.
Kata kunci: Etika hukum, kode etik, Mahkamah Kehormatan Dewan, serta
pelanggaran dan sanksi kode etik.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw yang telah
mengantarkan manusia dari zaman jahiliyah kezaman penuh ilmu pengetahuan ini.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna
mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa
dukungan dari berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. Dr. H. Asep SaepudinJahar, M.A.,Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UniversitasIslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H dan, Drs. Abu Tamrin, S.H., M.
Hum, Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
3. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag dan Fitria, S.H., M.R, dosen
Pembimbing Skripsi I dan Pembimbing Skripsi 2 yang telah berkenan
meluangkan banyak waktu untuk memberikan ilmu dan solusi atas setiap
permasalahan atau kesulitan yang penulis hadapi selama menyusun skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
pengetahuan yang sangat bermanfaat selama masa perkuliahan.
5. Seluruh staf dan karyawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
vii
6. Bapak Yusuf, S.Ag.,M.Si beserta staf Tenaga Ahli dan Sekretariat Mahkamah
Kehormatan DPR RI.
7. Kedua orang tua, ayahanda Dahlan dan ibunda almh. Nuria serta ibu Nuraeni
yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil serta doa yang
tiadak henti-hentinya kepada penulis.
8. Adikku Vivin Agustianingsih dan Gusnandar Prihatin beserta segenap
keluarga yang telah menyemangati dan membantu penyelesaian skripsi ini.
9. Keluarga besar Bidik Misi 2012 dan sahabat-sahabat satu atap selama
menimba ilmu terutama Indah, Ela, Meti, Qoni, dan Rereyang telah
memberikan segala bentuk motivasi dan semangat kepada penulis untuk tetap
giat belajar.
10. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum. Khususnya Prodi Ilmu Hukum
Kelembagaan Negara dan Hukum Bisnis 2012, teman-teman KKN Gelas
Kaca, dan Sahabat JJM, serta Teman-teman UIN Karate Club, terimakasih
atas informasi, bantuan, semangat, dan doa yang telah diberikan. Sukses
mulia untuk kita semua.
11. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini bermanfaa tbagi para pembaca khususnya yang konsen
dalam bidang IlmuHukum.
Jakarta, 12 Oktober 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI…………………………………………iii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iv
ABSTRAK………………………………………………………………………..v
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...viii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………...x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….xi
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah…………………………………………...1
B. IdentifikasiMasalah……………………………………………….6
C. PembatasandanRumusanMasalah……………………………….6
D. TujuandanManfaatPenelitian……………………………………7
E. MetodePenelitian………………………………………………….8
F. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu…………………………….11
G. SistematikaPenulisan…………………………………………….12
BAB II KERANGKA TEORI TENTANG KODE ETIK
A. PengertianKodeEtik……………………………………………..14
B. Jenis-jenisPelanggaranKodeEtik……………………………….21
ix
C. Macam-MacamSanksi...………………………………………....23
D. FaktorPenjatuhanSanksiKodeEtik……………………………..26
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KEHORMATAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI
A. PengertianMahkamahKehormatan DPR RI RI………………….29
B. KomposisiPimpinanMahkamahKehormatan DPR RI………….32
C. TugasdanKewenanganMahkamahKehormatan DPR RI RI…...35
D. MekanismePengambilanKeputusanMahkamahKehormatan DPR
RI…………………………………………………………………40
BAB IV ANALISIS PERAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT RI DALAM PENEGAKAN KODE
ETIK
A. PelanggaranKodeEtikAnggota DPR RI Periode 2004-2019…...47
B. Kualifikasi Pelanggaran dan Sanksi Kode Etik…………………..55
C. AnalisisPeranMahkamahKehormatanDewanPerwakilan Rakyat RI
dalamPenegakanKodeEtik…………………………………..60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………..…………..68
B. Saran……………………………………………………………...69
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...70
LAMPIRAN……………………………………………………………………..74
x
DAFTAR TABEL
Tabel. 1.1. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu..................................................11
Tabel. 2.1. JenisPelanggarandanPenjatuhanSanksi............................................24
Tabel. 3.1. Komposisi Pimpinan MKD Periode 2004-2009..................................33
Tabel. 3.2. Komposisi Pimpinan MKD Periode 2009-2014..................................33
Tabel. 3.3. Komposisi Pimpinan MKD Periode 2014-2019..................................34
Tabel. 4.1. PelanggaranPeriode 2004-2009……………………………………………..48
Tabel. 4.2. Pelanggaran Periode 2009-2014..........................................................51
Tabel. 4.3. Pelanggaran Periode 2014-2019..........................................................52
Tabel. 4.4. JumlahPelanggaranKodeEtik............................................................54
Tabel. 4.5. RekapitulasiSanksiMahkamahKehormatan DPR RI………………65
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar. 3.1. Tata Cara PengaduanKe MKD........................................................41
Gambar. 3.2. MekanismePengaduan Perkara.......................................................44
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraaan kekuasaan negara.1
Upaya pembatasan kekuasaan itu
dilakukan dengan mengadakan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan
internal kekuasaan negara itu sendiri. Berdasarkan Perubahan Pertama
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kehadiran Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) juga dalam Pasal 20, yang diadopsikan dalam naskah UUD 1945 di
mana DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam UUD 1945
tergambar jelas bahwa dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan, lembaga
utamanya adalah DPR.2 DPR memutus dengan musyawarah mufakat atau
dengan pemungutan suara.3 DPR merupakan Lembaga legislatif yang para
anggotanya terpilih melalui mekanisme Pemilihan Umum.
Sebagai sebuah institusi, keberadaannya sangat penting dan strategis
dalam melaksanakan perannya guna mewujudkan pemerintahan yang baik dan
1Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
h.281
2Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kostitusi RI), 2006, h. 134
3Jimly Assiddiqie, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara
Langsung, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kostitusi RI), 2006, h.
20
2
bersih (good and clean governance) dalam menjalankan fungsinya perlu
senantiasa mengedepankan komitmen moral dan profesionalitas. Komitmen
tersebut menjadi sangat penting sebagai upaya untuk mewujudkan DPR yang
produktif, terpecaya, dan beribawa.4Pembentukan DPR dimaksudkan dalam
rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia. Perubahan terhadap
ketentuan tersebut diadopsikan dalam naskah Perubahan Pertama dan Kedua,
DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik
rakyat berdasarkan jumlah penduduk secara generik.5
Kedudukan DPR adalah kuat, dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh
Presiden. Untuk menjaga, memelihara, dan mengembangkan kedudukan dan
peran dasar, DPR memerlukan aturan main yang tegas dan jelas yang
diperuntukan bagi dirinya sendiri maupun dalam hubungan kerjanya dengan
badan pemerintahan lainnya. Dalam tradisi tata kelola pemerintahan di
Indonesia, aturan main ini dirumuskan dalam Undang-Undang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD serta Tata Tertib (Tatib) DPR yang berlaku khusus untuk
urusan internal DPR, yang termasuk dalam Tatib DPR adalah batasan-batasan
perilaku anggota yang secara khusus dirumuskan dalam Kode Etik dengan unit
penegaknya, yaitu Badan Kehormatan (BK) DPR.6 Ketentuan tersebut juga
dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi secara optimal sebagai
4Marulak Pardede, Efektivitas Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham, 2011), h. 18
5A.M. Fatwa, Potret Konstitusi, Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kompas, 2009),
h. 313
6Sebastian Salang, M. Djadijono, dan I Made Leo Wiratma, TA. Legowo, Panduan
Kinerja DPR/DPRD, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum
Sahabat, 2009), h. 11
3
lembaga perwakilan rakyat sekaligus memperkukuh pelaksanaan saling
mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR.7
Sementara itu banyak hal-hal buruk yang mewarnai kiprah DPR dalam
pelanggaran kode etik seperti terungkapnya berbagai skandal korupsi, bahkan
DPR pernah diberi label sebagai lembaga terkorup, di samping peradilan, partai
politik, dan kepolisian, atau sarang penyamun. Salah satu dasar dari ungkapan
bahwa DPR merupakan sarang penyamun adalah terungkapnya seorang
anggota Komisi VII DPR-RI yang menandatangani kwitansi kosong dan
dianggap suatu kebiasaan oleh pihak Sekretariat Jenderal DPR. Ungkapan itu
menggambarkan betapa negatifnya citra dewan yang dijuluki sebagai lembaga
wakil rakyat yang terhormat itu.8
Selain itu, pelanggaran kode etik dewan juga terjadi di dalam pelaksanaan
tugas lembaga negara, seperti halnya yang terjadi pada anggota DPR periode
2009-2014 yaitu Frans Agung yang dilaporkan mantan stafnya, Denty Noviany
Sari atas kasus dugaan penggunaan gelar doktor palsu. Denty mengaku, bahwa
Frans sempat meminta dirinya untuk membuat kartu nama dengan
mencantumkan gelar tersebut.9 Kemudian ada pula Anggota DPR RI Fraksi
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fanny Safriansyah alias Ivan Haz yang
telah menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta pada tanggal 29
7A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kompas, 2009),
h. 116
8Sebastian Salang, M. Djadijono, dan I Made Leo Wiratma, TA. Legowo, Panduan
Kinerja DPR/DPRD, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum
Sahabat, 2009), h. 22
9
PPP Pastikan Beri Sanksi Berat, artikel diakses pada 11 Juli 2016 dari
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/02/25/078748307/ppp-pastikan-beri-sanksi-berat
4
Februari 2016. Ivan Haz diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan
penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga. Menurut hasil pemeriksaan
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Ivan terbukti menganiaya asisten
rumah tangganya bernama Toipah. Bukti tersebut ditemukan tim panel MKD
saat memeriksa Toipah, tiga rekan Toipah, serta pemilik warung di kawasan
apartemen yang dihuni Ivan.
Tidak hanya mengenai pelanggaran etik yang telah diproses hukum,
beberapa kasus yang menggambarkan keadaan isu korupsi di DPR dan belum
dilakukan tindak lanjut pembuktian pun merupakan pekerjaan rumah di
internal DPR karena belum dapat menindak dengan cepat dan tegas ketika
adanya dugaan pelanggaran etik tersebut. Di antara pelanggaran etik tersebut
ada pula pelanggaran yang melibatkan 46 anggota DPR yang menunaikan
ibadah haji dengan alasan kunjungan kerja ke Arab Saudi menggunakan
fasilitas negara. Serta mengenai kasus pengakuan beberapa anggota DPR
mengenai suap yang dilakukan BPPN (Komisi IX) yang juga tidak pernah
ditanggapi.10
Dengan berbagai pelanggaran yang sering terjadi di internal DPR, maka
DPR sendiri sebagai bagian dari pada penguatan aspirasi masyarakat Indonesia
tentu memerlukan alat kelengkapan yang berfungsi sebagai pengawas dalam
menegakan dan meningkatkan moril anggotanya agar pelanggaran-pelanggaran
tersebut dapat dikontrol dan diminimalisir terjadinya, dalam hal ini adanya
peran besar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) diharapkan bisa
10
Sebastian Salang, M. Djadijono, dan I Made Leo Wiratma, TA. Legowo, Panduan
Kinerja DPR/DPRD, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum
Sahabat, 2009), h. 38
5
memperkecil pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR. Pasal
119 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Mahkamah
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Badan Kehormatan (BK) atau
selanjutnya disebut MKD merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap
dan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan
pelanggaran terhadap anggota DPR. Selain itu MKD juga bertugas melakukan
evaluasi dan penyempurnaan tata tertib dan kode etik DPR. MKD secara ideal
dapat difungsikan untuk mengawal dari dalam gerak perubahan dan pencitraan
DPR menjadi lembaga negara yang populis dan responsif.
Keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dijelaskan dalam Tata
Tertib DPR RI. Rapat-rapat MK DPR bersifat tertutup. Jika Mahkamah
Kehormatan bertujuan untuk mengambil keputusan maka rapat tersebut harus
memenuhi kuorum. Mahkamah Kehormatan DPR bertugas melakukan
penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota DPR. Selain itu
Mahkamah Kehormatan DPR juga bertugas melakukan evaluasi dan
penyempurnaan DPR tentang tata tertib dan kode etik DPR.
Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas penulis memilih judul
penelitian skripsi tentang “OPTIMALISASI PERAN MAHKAMAH
KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA DALAM PENEGAKAN KODE ETIK (Analisis
Pelanggaran Kode Etik Periode 2004-2019)”.
6
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, dengan adanya perubahan terhadap
lembaga perwakilan di Indonesia salah satunya terhadap DPR RI, seringkali
terjadi beberapa permasalahan di dalam lembaga DPR RI itu sendiri yaitu
adanya pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota dewan. Sehingga DPR
RI perlu lebih meningkatkan lagi efektifitas peran dan kewenangan dari pada
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai suatu alat kelengkapan yang
bersifat tetap untuk memaksimalkan kinerja anggota DPR RI, dan bertugas
dalam sistem kontrol moril anggotanya terkait adanya pelanggaran kode etik
tersebut di dalam internal DPR RI sebagai lembaga negara.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Ruang lingkup penulisan skripsi ini menjelaskan tentang penetapan sanksi
kode etik serta mengaktualisasikan secara optimal peran Mahkamah
Kehormatan DPR RI sebagai alat kelengkapan yang menangani pelanggaran
kode etik anggota DPR Periode 2004-2019.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini adalah:
a. Bagaimana mekanisme penetapan sanksi kode etik DPR RI dalam
Peraturan Perundang-Undangan?
b. Bagaimana peran Mahkamah Kehormatan DPR RI dalam meyelesaikan
pelanggaran kode etik periode 2004-2019?
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan maka, tujuan
penulisan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui mekanisme penetapan sanksi kode etik DPR RI dalam
Peraturan Perundang-Undangan.
b. Untuk mengetahui peran Mahkamah Kehormatan DPR RI dalam
meyelesaikan pelanggaran kode etik periode 2004-2019.
2. Manfaat Penelitian
Berawal dari rumusan penelitian yang telah dijelaskan di atas, ada
beberapa manfaat yang ingin penulis peroleh, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
1) Untuk lebih memperkaya pemikiran ilmu pengetahuan baik di bidang
hukum pada umumnya maupun di bidang hukum ketatanegaraan pada
khususnya.
2) Untuk mengetahui teori yang diperoleh di perkuliahan dengan fakta
hukum yang terjadi di masyarakat, khususnya bagi Hukum Tata
Negara mengenai peran Mahkamah Kehormatan sebagai alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang bersifat tetap sebagai
penegak etik anggota dewan dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia.
3) Untuk menjadi pedoman bagi pihak yang ingin memperoleh khasanah
keilmuan di bidang Hukum Tata Negara, khususnya mengenai
8
keberadaan Mahkamah Kehormatan sebagai alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam tata hukum Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat bagi praktisi hukum, pengamat, dan pejabat
pemerintah, dan mahasiswa ilmu hukum pada khususnya tentang wujud
keberadaan Mahkamah Kehormatan sebagai alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam tata hukum Indonesia dalam pelaksanaan
penegakan kode etik, sehingga diharapkan dapat turut aktif dalam proses
pemerintahan yang demokratis dalam rangka mewujudkan tujuan
bernegara yang diamanatkan dalam Alinea IV UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Kemudian, agar penelitian ini menjadi perhatian
dan dapat digunakan bagi semua pihak khususnya yang hidup di
lingkungan Hukum Tata Negara.
E. Metode Penelitian
Dalam bagian ini penulis akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal
yang terkait dengan metode penelitian dari skripsi ini, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang diteliti ini menggunakan penelitian hukum
normatif empiris yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan
melalui tahap demi tahap dan makna disimpulkan selama proses berlangsung
dari awal sampai akhir kegiatan, bersifat naratif, dan holistik.11
Penelitian
ilmiah ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
11
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Gabungan, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 328
9
keilmuan hukum. Metode ini juga sering disebut sebagai penelitian
kepustakaan atau studi dokumen dan wawancara.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat atau pihak terkait dalam penelitian ini dan
dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh dari masyarakat dinamakan
data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan
pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.12
Adapun yang termasuk dalam sumber data primer dan sekunder dalam
penelitian ini adalah:
a. Sumber Hukum Primer
Sumber hukum primer yang dimaksud adalah yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas. Data hukum primer merupakan data yang
diperoleh dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi, maupun
laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah sendiri
oleh peneliti.
Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim.13
Bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis adalah
melalui wawancara secara langsung, sedianya penulis ingin melakukan
wawancara dengan anggota MKD namun dalam pelaksanaannya penulis
12
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 12
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 181
10
mengalami kendala untuk bertemu, kemudian Tenaga Ahli MKD Bapak
Yusuf, S.Ag., M.Si bersedia untuk melakukan wawancara. Hasil wawancara
sebagai bahan hukum primer kemudian dikaitkan dengan perundang-
undangan yang berlaku. Adapun peraturan perundang-undangan yang
termasuk dalam sumber hukum primer penelitian ini, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 19 tentang Dewan Perwakilan Rakyat.
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Tata Tertib DPR RI.
4) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Kode Etik Mahkamah Kehormatan DPR RI.
5) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI.
6) Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
16/DPR RI/I/2004-2005 tentang Kode Etik DPR RI.
b. Bahan Hukum Sekunder
Sumber hukum sekunder merupakan data yang dikumpulkan oleh pihak
lain, pada waktu penelitian data telah tersedia.14
Berupa publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,
dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.
14
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), h. 37
11
c. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini berupa hasil studi literatur
(kepustakaan). Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan yang bersifat khusus yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum
yang ada dianalisis untuk mengetahui apa peran dari pada Mahkamah
Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai alat kelengkapan yang bersifat
tetap.
d. Tehnik Penulisan
Adapun tehnik yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”
yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian maupun pembuatan skripsi, sering terjadi kesamaan tema yang
diambil meskipun berbeda arah dan tujuan yang diteliti. Berikut pemaparan
beberapa penelitian sebelumnya.
Tabel 1.1 Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
No. Tinjauan Kajian Substansi Pembeda
1. Skripsi: Muhammad
Al Miyzaan
NIM: 108048000023
Judul: Penanganan
Pelanggaran Kode
Etik POLRI
Membahas mengenai
penanganan
pelanggaran kode etik
POLRI di kota
Tangerang
Pembahasan penulis
membahas tentang
penanganan
pelanggaran kode etik
terhadap anggota DPR
2. Skripsi: Rizky Membahas mengenai Pembahasan penulis
12
Ramandhika
NIM:
1111048000074
Judul: Persetujuan
DPR Dalam
Pengangkatan
Kepolisian RI
Menurut Undang-
Undang No. 2 Tahun
2002 Tentang
Kepolisian
peran DPR dalam
pengangkatan
Kepolisian RI
mengenai peran DPR
dalam penegakan
kode etik anggota
dewan
3. Buku: Sebastian
Salang dkk
Judul: Panduan
Kinerja DPR/DPRD,
Menghindari Jeratan
Hukum Bagi
Anggota Dewan
Membahas mengenai
panduan etik anggota
DPR agar tidak
bertindak sewenang-
wenang dalam
berperilaku
Pembahasan penulis
mengenai penegakan
etik yang diadili oleh
MKD DPR
G. Sistematika Penulisan
Untuk dapat menuangkan hasil penelitian ke dalam bentuk penulisan yang
teratur dan sistematis, maka skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan
yang terdiri dari 5 (lima) bab. Adapun sistematika yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
BAB I Berisi pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) kajian
terdahulu, dan sistematika penulisan.
BAB II Berisi tentang kerangka teori kode etik yang membahas mengenai
pengertian kode etik, jenis-jenis pelanggaran kode etik, macam-
macam sanksi, dan faktor penjatuhan sanksi kode etik.
13
BAB III Berisi tinjauan umum tentang Mahkamah Kehormatan DPR, yang
memberikan penjelasan tentang pengertian Mahkamah Kehormatan
DPR RI, komposisi pmpinan Mahkamah Kehormatan DPR RI, tugas
dan kewenangan Mahkamah Kehormatan DPR RI, mekanisme
pengambilan keputusan Mahkamah Kehormatan DPR RI.
BAB IV Bab ini berisi pokok bahasan dalam skripsi ini yaitu mengenai
pelanggaran kode etik anggota DPR RI periode 2004-2019,
kualifikasi pelanggaran dan sanksi kode etik, dan analisis peran
Mahkamah Kehormatan DPR RI dalam penegakan kode etik.
BAB V Bab ini adalah bagian penutup yang merupakan kesimpulan dari
hasil penelitian skripsi ini dan saran penulis terhadap penelitian yang
telah dibahas.
14
BAB II
KERANGKA TEORI KODE ETIK
A. Pengertian Kode Etik
Kode etik terdiri dari dua kata, yakni kode (code) yang semula berarti
tanda, kemudian kode diartikan sebagai kumpulan peraturan yang bersistem,
dan kumpulan prinsip yang bersistem. Sementara, etika secara etimologis
berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang mengandung dua makna, sebagai
berikut: (1) prinsip-prinsip benar dan salah yang diterima oleh individu atau
kelompok sosial, (2) sistem prinsip yang mengatur moralitas dan perilaku yang
dapat diterima.1
Dalam istilah lain, etika disebut juga moral, yang berasal dari bahasa Latin
yakni “mos” yang artinya cara hidup atau kebiasaan.2 Etika menurut bahasa
Sansekerta lebih berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila)
yang lebih baik (su). Etika merupakan kata benda abstrak yang bersifat umum.
Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia
dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika mebahas baik buruk
atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus
menyoroti kewajiban-kewajiban manusia, etika mempersoalkan bagaimana
1Mujar Ibnu Syarif, Contemporary Islamic Political Discourse On The Political Ethics Of
State Officials, Shariah Journal, Vol. 22, No. 2, 2014, Artikel diakses pada 29 September
2016, dari http://e-journal.um.edu.my/public/article-view.php?id=6883., h. 163
2Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008), h. 6
15
seharusnya manusia berbuat atau bertindak.3 Secara khusus penggunaan etika
ialah misalnya etika profesi, kode etik, dan perilaku etis.4 Ada beberapa para
ahli yang mengungkapkan pengertian-pengertian etika, diantaranya:5
1. James J. Spillane SJ
Etika ialah mempertimbangkan atau memperhatikan tingkah laku manusia
dalam mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan moral. Etika lebih
mengarah pada penggunaan akal budi manusia dengan objektivitas untuk
menentukan benar atau salahnya serta tingkah laku seseorang kepada orang
lain.
2. Prof. DR. Franz Magnis Suseno
Etika merupakan suatu ilmu yang memberikan arahan, acuan dan pijakan
kepada tindakan manusia.
3. Aristoteles
Mengemukakan etika kedalam dua pengertian yakni Terminius Technicus
dan Manner and Custom. Terminius Technicus ialah etika dipelajari sebagai
ilmu pengetahuan yang mempelajari suatu problema tindakan atau perbuatan
manusia. Sedangkan yang kedua yaitu, manner and custom ialah suatu
pembahasan etika yang terkait dengan tata cara dan adat kebiasaan yang
3Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009),
h. 174
4Dewan Pewkilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan Parlemen,
Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: “Peran Badan
Kehormatan Dalam Menjaga Harkat, Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif”,
(Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2013), h. 92
5Pengertian Etika Menurut Para Ahli, artikel diakses pada 3 September 2016, dari
http://www.seputarpengetahuan.com/2015/10/15-pengertian-etika-menurut-para-ahli-
terlengkap.html
16
melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang sangat terikat
dengan arti “baik dan buruk” suatu perilaku, tingkah laku atau perbuatan
manusia.
4. Al-Farabi6
Konsep etika yang ditawarkan Al-Farabi dan menjadi salah satu hal
penting dalam karya-karyanya, berkaitan erat dengan pembicaraan tentang jiwa
dan politik. Begitu juga erat kaitanya dengan persoalan etika ini adalah
persoalan kebahagiaan, di dalam kitab At-tanbih fi sabili al-Sa’adah dan
Tanshil al-Sa’adah, Al-Farabi menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah
pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia, Al-Farabi juga menekankan
empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan di ahirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga
negara, yakni :
1. Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak
awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan
kontemplasi, penelitian, dan melalui belajar.
2. Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-
hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalm hal ini, kemampuan
membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran budaya
(fadhail fikriyah madaniyyah).
3. Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini
berada di bawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua jenis
6Konsep Etika Menurut Para Filosof Muslim, artikel diakses pada 22 September 2016,
dari https://8tunas8.wordpress.com/2010/04/07/etika-menurut-para-filosof-muslim
17
keutamaan tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan
kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian etika adalah
aturan perilaku yang menjadi kebiasaan masyarakat, bersifat baik terhadap
suatu peristiwa tertentu dengan mengindahkan sesuatu yang diperbolehkan
dalam suatu wilayah tertentu dan bersifat buruk ketika tidak diindahkan dengan
suatu perbuatan yang dilarang.
Ada pun perbedaan etika dan moral. Etika lebih condong kearah ilmu
tentang baik atau buruk, selain itu etika lebih sering dikenal dengan kode etik.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai yang
berkenaan dengan baik buruk. Kemudian moral dan hukum juga dapat
dibedakan walau sebenarnya atau keduanya terdapat hubungan yang cukup erat
karena antara yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan saling
membutuhkan.
Kualitas hukum ditentukan oleh moralnya, karena itu hukum harus dinilai
atau diukur dengan norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti
apabila dalam suatu masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup
matang. Sebaiknya moral pun membutuhkan hukum, moral akan mengambang
saja apabila tidak dikukuhkan, diungkapkan, dan dilembagakan dalam
masyarakat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan dampak sosial
moralitas. Adapun perbedaan moral dan hukum tersebut antara lain:7
7Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009),
h. 179
18
1. Hukum bersifat objektif karena hukum dituliskan dan disusun dalam kitab
undang-undang maka hukum lebih memiliki kepastian yang lebih besar.
2. Norma bersifat subjektif dan akibatnya sering kali diganggu oleh
pertanyaan atau diskusi yang menginginkan kejelasan tentang etis dan
tidaknya.
3. Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah
manusia saja.
4. Sedangkan moralitas menyangkut perilaku batin seseorang.
5. Sanksi hukum biasanya dapat dipaksakan.
6. Sedangkan sanksi moral satu-satunya adalah pada kenyataan bahwa hati
nuraninya akan merasa tidak tenang.
7. Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat.
8. Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah etika selalu
berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau
dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan atau watak yang baik maupun
kebiasaan atau watak yang buruk. Watak baik yang termanifestasikan dalam
kelakuan baik, sering dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau sepatutnya.
Sedangkan watak buruk yang termanifestasikan dalam kelakuan buruk, sering
dikatakan sebagai sesuatu yang tidak patut atau tidak sepatutnya.8
Sebelumnya, Kode Etik DPR RI didasarkan pada Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 16/DPR RI/I/2004-2005
8Holilah, Etika Administrasi Publik, Jurnal Review Politik Volume 03 Nomor 02,
Desember, 2013, h. 234
19
tentang Kode Etik dan telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu pada
tahun 2009, 2011, dan 2015. Kode Etik DPR, selanjutnya disebut Kode Etik
adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap Anggota selama menjalankan
tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR.
Etika menyangkut hal-hal terkait dengan kepatutan yaitu, hal-hal yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh Anggota DPR RI.
Perkembangan saat ini perilaku politik telah mengalami disorientasi, di
sinilah etika berperan membantu bangsa dalam mencari orientasi yang
tujuannya untuk memberikan panduan dan pedoman dalam bertindak dan
bersikap. Kode Etik merupakan instrument untuk pengendalian sikap dan
tindakan anggota legislatif guna mencegah terjadinya penyalahgunaan
wewenang dan atau kesewenang-wenangan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. Kode etik memerlukan suatu Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD) untuk mengawasi pelaksanaan profesi dan pelaksanaan kode etik.9
Selain itu pendirian MKD didasarkan pada dua hal, yaitu dasar filosofis
dan dasar yuridis. Pada dasar filosofis, etika politik merupakan dasar
konseptual. Etika Politik merupakan ilmu yang fundamental untuk melihat
gejala-gejala politik dari sisi moralitas. Sedangkan dasar yuridis, dapat dilihat
melalui pendekatan kelembagaan dalam lingkup tata hukum nasional.10
Selain nilai-nilai etika di atas, kode etik juga bisa dijadikan sebagai
pedoman bagi seorang legislator dalam menjalankan tugas dan
9Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 50
10
Rizqi Ramadhani, Dilema Badan Kehormatan DPR Antara Penegak Etika Anggota
Dewan Dan Kepentingan Fraksi, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 27
20
kewenangannya. Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik
biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau suatu kelompok, sebagai suatu
patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam
menjalankan tugasnya.11
Kode etik sendiri bertujuan membantu anggota DPR RI dalam
melaksanakan setiap wewenang, tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya
kepada negara, masyarakat dan konstituen. Kode etik membantu kinerja
anggota DPR RI yang berada dalam Mahkamah Kehormatan guna memantau
perilaku politik yang etis, melalui wewenang tugas, kewajiban dan tanggung
jawabnya. Kode etik dalam hal ini dapat disebut sebagai penjaga profesi yang
berorientasi pada peran seorang anggota legislatif. Etika diperlukan dalam
menjaga profesionalisme. Etika berfungsi menjaga agar pelaku profesi tetap
terikat (committed) pada tujuan sosial profesi, sehingga etika profesi dapat
berfungsi memelihara agar profesi itu tetap dijalankan sesuai dengan harapan
lingkungan sosialnya.12
Materi kode etik berisikan kepribadian dan tanggung jawab anggota,
penyampaian pernyataan, ketentuan dalam rapat dan perjalanan dinas. Lalu,
materi tentang kekayaan, imbalan dan pemberian hadiah. Konflik kepentingan
dan perangkapan jabatan. Materi tentang kerahasiaan negara, hubungan dengan
mitra kerja serta sanksi dan rehabilitasi. Kode etik bersifat mengikat dan wajib
11
Holilah, Etika Administrasi Publik, Jurnal Review Politik, Volume 03 Nomor 02,
Desember, 2013, h. 245
12
Elizabeth Elza Astari Retaduari dan Lukas S. Ispandriarno, Hubungan Keanggotaan
Wartawan dalam Organisasi Pers dengan Pengetahuan tentang Kode Etik Jurnalistik (Studi
Eksplanatif terhadap Wartawan Anggota PWI Cabang Yogyakarta), h. 2
21
dipatuhi anggota DPR RI selama di dalam maupun di luar gedung, demi
menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR RI. Saat ini, kode
etik DPR RI sudah berbentuk Peraturan. Yang menjaga martabat DPR RI
bukanlah lembaga semacam Mahkamah Kehormatan Dewan, tetapi kode etik
itu sendiri. Ini berarti kode etik adalah produk yang amat penting dan bahkan
kode etik menjadi perisai pelindung DPR RI.
B. Jenis-jenis Pelanggaran Kode Etik
Pelanggaran kode etik dewan adalah persoalan klasik yang selalu menjadi
persoalan dalam kehidupan nasional maupun internasional. Dalam kehidupan
berlembaga, berorganisasi, dan bernegara, pelanggaran kode etik oleh para
elitnya merupakan hal penting bagi masyarakat dalam menilai intergritas
seseorang dalam menjalankan jabatan publiknya maupun kredibilitas
lembaganya.13
Adapun jenis-jenis pelanggaran etik sesuai dengan Peraturan
DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia antara lain yaitu:
1. Pelanggaran Ringan
Pelanggaran ringan adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Tidak mengandung pelanggaran hukum
b. Tidak menghadiri rapat yang merupakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat
paripurna dalam 1 (satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari
jumlah rapat Alat Kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa
keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi
13
Dewan Pewkilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan Parlemen,
Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: “Peran Badan
Kehormatan Dalam Menjaga Harkat, Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif”,
(Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2013), h. 38
22
c. Menyangkut etika pribadi dan keluarga
d. Menyangkut Tata Tertib rapat yang tidak diliput media massa
2. Pelanggaran Sedang
Pelanggaran sedang adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Mengandung pelanggaran hukum
b. Mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi ringan oleh MKD
c. Mengulangi ketidakhadiran dalam rapat yang merupakan fungsi, tugas,
dan wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat
paripurna dalam 1 (satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari
jumlah rapat Alat Kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa
keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi
setelah sebelumnya mendapatkan sanksi ringan
d. Menyangkut pelanggaran tata tertib rapat yang menjadi perhatian publik.
3. Pelanggaran Berat
Pelanggaran berat adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi sedang oleh MKD
b. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
c. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan yang sah
d. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan
mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang yang
mengatur mengenai pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah
e. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang
yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
f. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana
g. Terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan telah memperoleh putusan yang
berkekuatan hukum tetap.
23
C. Macam-Macam Sanksi
Setiap aturan diciptakan untuk mengatur kontrol hidup seseorang agar
tetap menjalankan hidup sesuai dengan kelakuan yang baik yang telah
ditetapkan dalam suatu tatanan kehidupan, adapun ketika seseorang telah
melanggar aturan tersebut maka akan ada suatu hal yang disebut sebagai sanksi
yang berfungsi sebagai proses jera agar orang tersebut tidak lagi mengulangi
kesalahan lainnya.
Penerapan sanksi atas suatu pelanggaran merupakan bagian penutup yang
penting di dalam penegakan hukum pemerintahan. Adanya penjatuhan sanksi
terhadap pelanggaran norma-norma pemerintahan pasti akan menimbulkan
konsekuensi bagi pemerintah untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan
berupa penerapan sanksi hukum kepada warga masyarakat yang telah
melakukan perbuatan melanggar norma pemerintahan, seperti tidak ditaatinya
izin yang telah dikeluarkan oleh pemerintah atau tidak sesuai dengan
peruntukan dari izin tersebut sehingga menimbulkan kerugian bagi pemerintah.
Sehingga dalam hal ini pemerintah harus melakukan suatu tindakan berupa
penerapan sanksi baik yang berkaitan dengan pengenaan denda administrasi,
paksaan pemerintah (bestuursdwang), pengenaan uang paksa (dwangsom),
maupun pencabutan kembali terhadap izin yang telah dikeluarkan.14
Jenis sanksi pemerintahan dapat dilihat dari segi sasarannya, yakni berupa
sanksi reparatoir artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas terjadinya
pelanggaran norma-norma pemerintahan, sehingga ditujukan untuk
14
Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 299
24
mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran tersebut.
Selain itu sanksi tidak hanya bersifat sanksi punitif yang artinya sanksi yang
ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang, misalnya berupa denda
administrasi, akan tetapi juga sanksi regresif yaitu sanksi yang diterapkan
sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada
keputusan atau ketetapan yang diterbitkan.15
Seiring dengan luasnya ruang lingkup dalam penegakan kode etik yang
diatur dalam peraturan tentang kode etik, macam-macam sanksi dalam rangka
penegakan peraturan itu menjadi beragam. Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun
2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat RI, adapun jenis sanksi
yang diberikan kepada anggota yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan
MKD berupa:
1. Sanksi ringan dengan teguran lisan atau teguran tertulis
2. Sanksi sedang dengan pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan
DPR atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat
kelengkapan DPR
3. Sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat 3 (tiga) bulan
atau pemberhentian sebagai anggota.
Tabel 2.1 Jenis Pelanggaran dan Penjatuhan Sanksi
No. Jenis Pelanggaran Sanksi
1. Menjadi narapidana saat dilantik Berat
2. Sakit selama 1 tahun Berat
15
Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 301
25
3. Menjadi terdakwa pada kasus tipikor Berat
4. Diindikasi adanya konflik kepentingan Sedang
5. Terbukti melanggar kode etik Ringan
Berdasarkan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik
Terkait jenis pelanggaran dan penjatuhan sanksi di atas, terbagi menjadi tiga
yaitu sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat. Misalnya seperti kasus
anggota dewan menjadi seorang narapidana ketika dilantik, dan sakit selama 1
tahun karena yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas secara
berkelanjutan sebagai anggota dewan, pelanggaran ini termasuk dalam
kualifikasi sanksi berat dengan pemberhentian tetap sebagai anggota DPR RI.
Menjadi terdakwa pada kasus tipikor termasuk dalam pelanggaran berat dan
dikenakan sanksi pemberhentian sementara.
Adanya konlik kepentingan dapat dikenakan sanksi sedang yaitu seperti
pemindahan dari Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Sanksi pelanggaran ringan
apabila terbukti melanggar kode etik seperti tidak menghadiri rapat 40 persen
(%) dalam 1 masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi.
Selain itu, sanksi ringan dapat dijatuhkan apabila suatu pelanggaran tidak
mengandung pelanggaran hukum.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dalam hal Teradu tidak terbukti melanggar Kode Etik,
putusan disertai rehabilitasi kepada Teradu.
26
D. Faktor Penjatuhan Sanksi Kode Etik
Seorang anggota dewan dikatakan telah melakukan pelanggaran kode etik
ketika adanya laporan terhadap yang bersangkutan baik melalui perkara
pengaduan maupun perkara tanpa pengaduan, selain itu adanya penyelidikan
dari pihak MKD sendiri merupakan suatu tindaklanjut atas pengaduan yang
ada. Diperlukan sebuah fakta-fakta untuk menjelaskan bahwa telah terjadi
suatu pelanggaran kode etik oleh anggota dewan.
Fakta adalah hal atau keadaan yang merupakan kenyataan atau sesuatu
yang benar-benar ada atau terjadi. Fakta bersifat objektif. Setiap orang akan
memiliki kesamaan dalam pengamatan suatu fakta. Sebuah fakta mempunyai
kebenaran mutlak dan tidak bisa dibantah. Sebelum adanya penjatuhan sanksi
terhadap anggota dewan yang diduga telah melanggar kode etik maka, fakta-
fakta diperlukan sebagai alat bukti dalam pelaksanaan perkara, adapun
beberapa faktor yang mempengaruhi penjatuhan sanksi melalui putusan MKD.
Bukti pelanggaran etik DPR terbagi atas 2 yaitu, bukti yang bersifat
administrasi dan bukti yang bersifat materi. Bukti administrasi adalah bukti
yang diajukan oleh Pengadu atas kelengkapan pengaduan seperti identitas
Pengadu dan Teradu yang kemudian diserahkan kepada Sekretariat MKD
untuk ditindaklanjuti. Sedangkan bukti yang bersifat materi terkait
permasalahan yang diadukan dan berkaitan dengan fakta dan peristiwa
pengaduan.
Pembuktian menjadi dasar pengambilan keputusan dalam sidang
verifikasi. Proses pengambilan keputusan adalah verifikasi terhadap risalah
27
atau transkrip rekaman rapat dan/atau sidang verifikasi, pendapat etik seluruh
pimpinan dan anggota MKD. MKD menetapkan keputusan hasil penyelidikan
dan verifikasi. Sebelum mengambil keputusan, seluruh hasil sidang rapat MKD
diverifikasi dan hasilnya ditulis dalam lembar keputusan. Peraturan DPR RI
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia putusan MKD tersebut didasarkan atas:
1. Asas kepatutan, moral, dan etika16
Asas ini didasarkan atas penilaian seorang hakim secara hati nuraninya
dalam memutuskan suatu perkara dengan memperhitungkan kepatutan, moral,
dan etika pelaku pelanggar kode etik yang telah dianggap menjadi cerminan
bagi rakyat.
2. Fakta dalam hasil Sidang MKD
Merupakan bukti-bukti yang didapatkan ketika adanya dugaan
pelanggaran sampai proses persidangan berlangsung dan telah terbukti adanya
pelanggaran sampai putusan bersifat final.
3. Fakta dalam pembuktian
Merupakan hasil verifikasi dan penyelidikan atas perkara pengaduan atau
pengamatan dan evaluasi atas perkara tanpa pengaduan untuk digunakan
sebagai bukti bahwa anggota tertentu diduga telah melakukan pelanggaran.
4. Fakta dalam pembelaan
Fakta pembelaan yaitu bukti sebagai pembelaan atas dugaan pelanggaran
yang telah diajukan kepada MKD sebagai penegak etik anggota dewan.
16
Wawancara pribadi dengan Yusuf, Staf Tenaga Ahli Mahkamah Kehormatan DPR RI,
(Jakarta, 2 September 2016)
28
5. Tata Tertib dan Kode Etik
Sebagai pedoman dalam memutuskan suatu perkara ketika rapat, sidang,
sampai penjatuhan putusan dengan memperhatikan peraturan tentang Tata
Tertib dan Kode Etik.
29
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KEHORMATAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI
A. Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat RI
Pada awalnya lembaga ini bernama Dewan Kehormatan (DK) sebelum
diresmikan sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap dan berganti nama
menjadi Badan Kehormatan (BK) pada tahun 2003 dan kemudian diubah
menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) seperti saat ini.1 Perubahan
nama MKD dibentuk berdasarkan amanat Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 42 Tahun 2014. Pada 2 periode sebelumnya, MKD
bernama BK, kemudian dengan adanya revisi UU Nomor 27 Tahun 2012
tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, BK berganti nama menjadi MKD. Beberapa
perubahan terkait MKD, yaitu:
1. Jumlah anggota yang semula 13 orang menjadi 17 orang.
2. Pimpinan MKD semula 3 orang terdiri dari 1 orang ketua dan dua orang
wakil ketua, berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2015 perubahan atas UU
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD ditambah 1 orang
wakil ketua.
1Nur Habibi, Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
Jurnal Cita Hukum, Volume 1, Juni 2014, h. 47
30
3. Pembentukan Panel. Berdasarkan Pasal 148 UU Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, MKD harus membentuk Panel yang
terdiri dari 3 orang anggota MKD dan 4 orang dari unsur masyarakat.
Mahkamah Kehormatan Dewan yang selanjutnya disebut MKD
merupakan lembaga baru di parlemen Indonesia, MKD di DPR pada periode
sebelumnya diberi nama ”Dewan Kehormatan” yang tidak bersifat tetap dan
hanya dibentuk bila terdapat kasus dan disepakati untuk menuntaskan suatu
kasus yang menimpa anggota DPR.2 Berbeda halnya dengan periode 1999–
2004 yang menyebut: ”Dewan Kehormatan” sebagai kelembagaan yang tidak
bersifat tetap (ad hoc) karena lembaga ini dapat dibentuk oleh DPR RI bila
terdapat kasus terkait dengan perilaku anggota DPR RI. Hingga periode 1999–
2004 berakhir, tidak ada kasus yang berhasil diproses oleh ”Dewan
Kehormatan”, sehingga dalam periode tersebut ”Dewan Kehormatan” belum
pernah terbentuk guna menjalankan tugas dan fungsinya dalam penegakan
Kode Etik DPR RI.3
MKD merupakan salah satu AKD yang dibentuk berdasarkan amanat
Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Keputusan DPR Nomor
08/DPR RI/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 56-63 yang
ditetapkan tanggal 27 September 2005. Berdasarkan Pasal 57 Peraturan Tata
2Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, Efektivitas
Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 27
3Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, Efektivitas
Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 16
31
Tertib DPR, Dewan menetapkan susunan dan keanggotaan MKD menurut
perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi, pada permulaan
masa keanggotaan DPR dan permulaan Tahun Sidang dengan jumlah anggota
13 orang, yang terdiri dari tiga orang Pimpinan dan 10 anggota.4 Semenjak
bergulirnya UU No.22 Tahun 2003, MKD menjadi alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap dan senantiasa diartikan sebagai penjaga dan penegak etik.5
Mahkamah Kehormatan bekerja dan kode etik adalah pedoman
perilakunya. Dalam pelaksanaannya, MKD memiliki dua sanksi yang sangat
penting, yaitu sanksi moral dan sanksi hukum.6 Dapat dipahami bahwa sanksi
moral terjadi secara langsung menunjuk dirinya sendiri bersalah atau telah
melakukan suatu perbuatan tercela sehingga efeknya menyangkut psikologis
seseorang dalam berfikir dan berperilaku sehingga apa yang dirasakan dalam
batinnya tidak dapat diketahui orang lain, sedangkan sanksi hukum sendiri
jelas terlihat dan dapat dirasakan.
Sesuai UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD saat ini pembentukan MKD
bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakan kehormatan dan
keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Pembentukan
MKD sendiri merupakan respon atas sorotan publik akan kinerja para anggota
dewan yang dinilai buruk. Berdasarkan Pasal 79 Peraturan DPR RI Nomor 1
4Sekretariat Jenderal DPR RI, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban
Amanat dan Aspirasi Rakyat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009), h. 129
5Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan
Parlemen, Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: Peran
Badan Kehormatan Dalam Menjaga Harkat, Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga
Legislatif, (Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2013), h. 46
6Nur Habibi, Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
Jurnal Cita Hukum, Volume 1, Juni 2014, h. 42
32
Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR RI menetapkan susunan dan keanggotaan
MKD yang terdiri atas semua Fraksi dengan memperhatikan perimbangan dan
pemerataan jumlah anggota setiap Fraksi pada permulaan masa keanggotaan
DPR dan permulaan tahun sidang.
Perubahan nama BK menjadi MKD juga bertujuan untuk memperkuat
sebuah Mahkamah Kehormatan Dewan dalam menjaga dan menertibkan moril
dan perilaku buruk seorang anggota dewan serta melindungi anggota DPR dari
citra buruk pelaku pelanggar etik. Perubahan nomenklatur ini tidak semata-
mata berupa perubahan nama, namun juga peningkatan kewenangan MKD.
Tugas dan kewenangan MKD hampir sama dengan BK yaitu melakukan
penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota, namun MKD
memiliki tujuan eksplisit untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat,7 juga untuk
memperkuat suatu alat kelengkapan yang berfungsi dalam menyelesaikan
perkara etik.
B. Komposisi Pimpinan Mahkamah Kehormatan DPR RI
Berdasarkan ketentuan Tartib DPR pasal 80 ayat (1) dan (2), Pimpinan
MKD merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
Pimpinan MKD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 2 (dua)
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MKD dalam satu paket
yang bersifat tetap berdasarkan usulan Fraksi sesuai dengan prinsip
musyawarah untuk mufakat. Berikut komposisi pimpinan MKD.
7 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Langkah DPR Menuju Parlemen
Modern Dalam Demokrasi Indonesia Laporan Kinerja DPR (1 Oktober 2014—13 Agustus
2015), (Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2015), h. 64
33
1. Periode 2004-2009
Tabel 3.1 Komposisi Pimpinan MKD Periode 2004-2009
Jabatan Nama Fraksi Masa Jabatan
Ketua Drs. H. Slamet
Yusuf Effendi,
M.si
FPG Menjabat dari 29 Oktober 2004
sampai 23 Agustus 2007
Drs. H.M Irsyad
Sudiro M,Si
FPG Menjabat selama sisa periode
Wakil
Ketua
Drs. Soewarno FPDIP Menjabat pada Tahun pertama
Ir. Soetjipto (Alm) FPDIP Menjabat pada Tahun ketiga
Permadi, SH FPDIP Hanya Menjabat selama 3 Bulan
pada tahun ke 3
Prof.Dr.T. Gayus
Lumbuun, SH, MH
FPDIP Menjabat selama tahun ke 5
Wakil
Ketua
Tiurlan Basaria
Hutagoul, S.Th,
MA
FPDS Menjabat penuh selama periode.
Tidak pernah
digantikan oleh Fraksi
2. Periode 2009-2014
Tabel 3.2 Komposisi Pimpinan MKD Periode 2009-2014
Jabatan Nama Fraksi Masa Jabatan
Ketua Prof. Dr. T.
Gayus Lumbuun,
SH, MH
FPDIP Menjabat selama 1 tahun.
Diberhentikan oleh Fraksi
karena konflik Internal BK
DPR Tahun 2010
H.Tri Tamtomo,
SH
FPDIP Hanya menjabat selama tiga
bulan lalu digantikan kembali
oleh Gayus Lumbuun
Dr. M. Prakosa FPDIP Menjabat selama 2 tahun
34
menggantikan Gayus Lumbuun
dari Fraksi yang sama
Trimedya
Panjaitan, Sh,
MH.
FPDIP Baru menjabat selama 4 bulan
dari bulan Maret 2013
Wakil
Ketua
H. Abdul Wahab
Dalimuntthe, SH
F-PD Wakil ketua BK dari Fraksi
Demokrat yang tidak pernah
digantikan oleh Fraksi.
Wakil
Ketua..
Chairumman
Harahap, SH, MH
F-PG Hanya menjabat pada tahun
pertama periode 2009-20014
Nudirman Munir,
SH, MH
F-PG Menjabat selama 2 Tahun
(2010-2012)
Dr.(Hc) Ir.
Siswono Yudo
Husodo.
F-PG Menjabat dari tahun 2012-2014
3. Periode 2014-2019
Tabel 3.3 Komposisi Pimpinan MKD Periode 2014-2019
Jabatan Nama Fraksi Masa Jabatan
Ketua Dr. K. H.
Surahman
Hidayat, MA
FPKS Menjabat dari tahun 2014-
2016
Ir. Sufmi Dasco
Ahmad
FPGerind
ra
Mulai menjabat pada tahun
2016
Wakil
Ketua
Dr. Ir. Lili
Asdjudiredja,
SE, P.hd
FPGolkar Menjabat dari tahun 2014
hingga sekarang
Dr. Junimart
Girsang, SH,
MBA, MH
FPDIP Menjabat dari tahun 2014
hingga sekarang
Ir. Sufmi Dasco FPGerind Menjabat dari tahun 2014-
35
Ahmad ra 2016
Prof. Dr. H.
Hamka Haq,
MA
FPDIP Baru menjabat pada tahun
2016
H. Sarifuddin
Sudding, SH,
MH
FHanura Menjabat pada tahun 2016
C. Tugas dan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan
Rakyat RI
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2015 Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat
RI (MKD RI) memiliki tugas sebagai berikut:
1. Melakukan pemantauan dalam rangka fungsi pencegahan terhadap
perilaku anggota agar tidak melakukan pelanggaran atas kewajiban
anggota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta
peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik.
2. Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota
karena:
a. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan yang sah.
c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan
mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang
mengenai pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
d. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-
undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
36
3. Mengadakan sidang untuk menerima tindakan dan/atau peristiwa yang
patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran terhadap
undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan DPR yang mengatur
mengenai Tata Tertib dan Kode Etik.
4. Menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan
dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan
melakukan tindak pidana.
5. Meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan
dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan
melakukan tindak pidana.
6. Meminta keterangan dari Anggota yang diduga melakukan tindak pidana.
7. Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis
mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan dari pihak penegak
hukum kepada Anggota yang diduga melakukan tindak pidana.
8. Mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan
penyitaan di tempat Anggota yang diduga melakukan tindak pidana.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Mahkamah Kehormatan Dewan
Perwakilan Rakyat RI (MKD RI) berwenang untuk:
1. Menerbitkan surat edaran mengenai anjuran untuk menaati Tata Tertib
serta mencegah pelanggaran Kode Etik kepada seluruh Anggota.
2. Memantau perilaku dan kehadiran Anggota dalam rapat DPR.
3. Memberikan rekomendasi kepada pihak terkait untuk mencegah terjadinya
pelanggaran Kode Etik dan menjaga martabat, kehormatan, citra, dan
kredibilitas DPR.
4. Melakukan tindak lanjut atas dugaan pelanggaran Kode Etik yang
dilakukan oleh Anggota, baik berdasarkan Pengaduan maupun tanpa
Pengaduan.
5. Memanggil dan memeriksa setiap orang yang terkait tindakan dan/atau
peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota yang tidak
melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan/atau melanggar
ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan DPR tentang
Tata Tertib dalam Sidang MKD.
6. Melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
7. Memanggil pihak terkait.
8. Menghentikan proses pemeriksaan perkara dalam setiap persidangan
dalam hal Pengadu mencabut aduannya atau diputuskan oleh Rapat MKD.
9. Memutus perkara pelanggaran yang patut diduga dilakukan oleh Anggota
yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan/atau
melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
37
Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan DPR yang mengatur tentang Tata
Tertib dan Kode Etik.
10. Menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan
kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada badan urusan rumah
tangga.
11. Melakukan evaluasi dan penyempurnaan Peraturan DPR yang mengatur
tentang Kode Etik.
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Anggota tidak
diperkenankan memenuhi panggilan penegak hukum tanpa ada persetujuan
tertulis dari MKD, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang yang mengatur
mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Setelah pengesahan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode
Etik dan Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara
Mahkamah Kehormatan Dewan, MKD melaksanakan fungsi penegakan Kode
Etik demi menjaga keluhuran dan kehormatan martabat Anggota Dewan.
Fungsi tersebut terbagi kepada 3 (tiga) kinerja sistemik:8
1. Sistem Penindakan
Sistem penindakan adalah sistem kinerja yang terkait dengan fungsi, tugas
dan wewenang MKD dalam menindaklanjuti perkara-perkara pengaduan
maupun tanpa pengaduan yang melibatkan anggota dewan. Fungsi tersebut
terurai dalam tugas dan wewenang verifikasi, penyelidikan dan pemberian
keputusan. Sistem penindakan meliputi beberapa kegiatan yaitu:
8Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Langkah DPR Menuju Parlemen
Modern Dalam Demokrasi Indonesia Laporan Kinerja DPR (1 Oktober 2014—13 Agustus
2015), (Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2015), h. 68
38
a. Surat pengaduan diverifikasi terlebih dahulu oleh Sekretariat dan
Tenaga Ahli baik secara administrasi maupun terhadap materi
aduannya. Apabila terdapat kekuranglengkapan pengaduan maka
Sekretariat memberitahukan kekuranglengkapan pengaduan terhadap
pengadu melalui surat pemberitahuan.
b. Jika hasil verifikasi sudah terpenuhi baik secara administratif maupun
materi aduannya maka disampaikan kepada MKD untuk dibahas
dalam rapat yang memutuskan tindak lanjut perkara pengaduan.
c. MKD melaksanakan sidang penyelidikan untuk mendengarkan
keterangan baik dari pengadu, para saksi maupun teradu. Apabila
diperlukan, MKD dapat mengundang ahli terkait perkara yang sedang
ditangani.
d. Apabila penyelidikan telah cukup bukti maka perkara dapat segera
diambil keputusan untuk menentukan jenis pelanggaran dan
pemberian sanksi atau rehabilitasi jika tidak terbukti adanya
pelanggaran.
2. Sistem Pencegahan
Sistem pencegahan adalah sistem kinerja yang terkait dengan upaya MKD
dalam menjaga keluhuran dan kehormatan martabat Anggota DPR. Kinerja
tersebut ditunjukkan dengan berbagai kegiatan sosialisasi yang dilakukan
dalam rangka memberi pemahaman dan pencerahan tentang Kode Etik dan
Tata Beracara MKD. Pemahaman dan pencerahan tersebut disampaikan kepada
Badan Kehormatan di berbagai kabupaten, kota, dan provinsi. Sosialisasi Kode
39
Etik dan Tata Beracara juga akan dilakukan dilakukan bersama dengan Fraksi,
Alat Kelengkapan Dewan dan Unit Pendukung, baik dari Kesekjenan DPR
maupun dari Tenaga Ahli Fraksi, Anggota, AKD serta Sekretaris Pribadi
Anggota DPR.
Sosialisasi ini diperlukan dalam rangka penyatuan pemahaman tentang
Kode Etik dalam lingkup internal DPR. Selain sosialisasi Kode Etik dan Tata
Beracara dalam lingkup internal, MKD juga mengadakan sosialisasi dalam
lingkup eksternal, khususnya lembaga-lembaga yang berkaitan langsung
dengan kinerja MKD, seperti Kepolisian, Kejaksaan serta Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sosialisasi ini diperlukan mengingat beberapa
tugas dan wewenang MKD membutuhkan kerja sama dengan lembaga-
lembaga tersebut.
3. Sistem Administrasi
Perubahan nomenklatur MKD dari BK mengharuskan perubahan tatanan
administrasi kesekretariatan sebagai penunjang kinerja MKD secara
keseluruhan. Perubahan tersebut berupa kebutuhan penambahan pegawai
kesekretariatan dalam mendukung kinerja verifikasi dan penyelidikan.
Demikian juga kebutuhan sistem data base serta fasilitas teknologi informasi
yang memadai. MKD juga membutuhkan perubahan tata ruang kesekretariatan,
keanggotaan, Pimpinan dan unit pendukung lainnya persidangan dalam rangka
menunjang kapasitas dan kualitas yang berdampak pada wibawa MKD dalam
melakukan aktivitas persidangan.
40
D. Mekanisme Pengambilan Keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan
Perwakilan Rakyat RI
Pengambilan putusan dalam Rapat MKD diambil dengan cara
musyawarah untuk mencapai mufakat. Sidang MKD adalah proses
mendengarkan keterangan Pengadu dan Teradu, memeriksa alat bukti, dan
mendengarkan pembelaan Teradu terhadap materi Pengaduan berdasarkan Tata
Tertib dan Kode Etik yang dihadiri Pengadu, Teradu, Saksi, Ahli, atau pihak
lain yang diperlukan oleh MKD, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri
dan dilaksanakan dalam ruang sidang MKD.
Setelah melakukan penyelidikan dan verifikasi dengan memanggil
pengadu, teradu, dan saksi-saksi terkait, MKD mengadakan rapat internal
untuk mengambil keputusan dengan menetapkan sanksi bagi teradu. Sanksi
yang dijatuhkan berdasarkan Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
MKD DPR RI adalah Teguran Lisan, Teguran Tertulis, Pemindahan
keanggotaan, di Alat Kelengakapan Dewan (AKD), Pemberhentian dari jabatan
Pimpinan DPR atau Pimpinan AKD, dan Pemberhentian sebagai anggota DPR.
Namun, apabila anggota DPR tidak terbukti melanggar, maka MKD dapat
menetapkan rehabilitasi untuk memulihkan nama baik anggota yang terbukti
tidak melanggar kode etik dan diumumkan dalam Rapat Paripurna DPR.9
Berikut penyampaian rehabilitasi:
9Sekretariat Jenderal DPR RI, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban
Amanat dan Aspirasi Rakyat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009), h. 132
41
a. MKD menyampaikan putusan rehabilitasi kepada Pimpinan DPR dengan
tembusan kepada pimpinan fraksi dari Anggota yang bersangkutan paling
lama 5 (lima) hari sejak tanggal putusan berlaku.
b. Putusan rehabilitasi diumumkan dalam rapat paripurna DPR yang pertama
sejak diterimanya putusan MKD oleh Pimpinan DPR dan dibagikan
kepada semua Anggota.
Adapun tata cara pengaduan pelanggaran kepada MKD, sebagai berikut:
Gambar 3.1 Tata Cara Pengaduan Ke MKD10
10
Sekretariat Jenderal DPR RI, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban
Amanat dan Aspirasi Rakyat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009), h. 129
Rapat
BK
Pengaduan Sekretariat
BK
Rapat
BK
Sidang
Verifikasi
Rapat
BK Rapat
BK
Verifikasi:
a. a. Sekretariat BK
- - Aduan
- - Absensi
kehadiran anggota
dalam rapat (tanpa
aduan)
b. b. Tenaga Ahli BK
- - Analisa materi
aduan
c. c. Hasil:
- - Lengkap;
diajukan rapat BK
- - Belum lengkap;
lengkapi
- - Tidak lengkap;
tidak diregistrasi
Pengaduan dari:
a. Pimpinan DPR
RI
1. Aspirasi
Masyarakat
2. Aspirasi
anggota DPR
RI
3. Perkembangan
dalam
masyarakat
b. Dari
Masyarakat
atau pemilih
1. Bahas:
a. Aduan
b. Ketidakhadiran
anggota dalam
rapat
2. Hasil/Keputusa
n Rapat BK:
a. Bahan
lengkap:
- Sidang
verifikasi
- Beritahu teradu
b. Bahan belum
lengkap
- Panggil
pengadu
c. Bahan tidak
lengkap:
- Drop
Data Tidak Lengkap
1. Verifikasi
dengan pengadu
2. Hasil/Keputusan
Rapat BK
a. Data lengkap:
- Sidang verifikasi
- Beritahu teradu
b. Data belum
lengkap:
- BK adalah rapat-
rapat lanjutan
untuk
mendapatkan
dana
c. Data tidak
lengkap:
- Drop
Verifikasi:
- - Pengaduan
ketidakhadiran
anggota dalam
rapat
- - Pembuktian
- - Pembelaan
1. Pengambilan
keputusan
a. Tidak terbukti
- Rehabilitasi
b. Terbukti
- Sanksi:
1. Teguran lisan
2. Teguran tertulis
3. Pindah
penugasan
4. Pemberhentian
dari jabatan
5. Pemberhentian
dari anggota
Data Lengkap
42
Mekanisme pengaduan ke MKD diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 2
Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD DPR RI.
1. Pengaduan adalah laporan yang dibuat secara tertulis disertai bukti awal
yang cukup terhadap tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga
dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran terhadap undang-undang
yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan
Rakyat Daerah, serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib
dan Kode Etik.
2. Sekretariat MKD, selanjutnya disebut Sekretariat adalah unsur pendukung
teknis administratif kepada MKD.
3. Rapat MKD adalah rapat yang dipimpin oleh Pimpinan MKD dan dihadiri
oleh Anggota guna melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang MKD.
4. Sidang MKD adalah proses mendengarkan keterangan Pengadu dan
Teradu, memeriksa alat bukti, dan mendengarkan pembelaan Teradu
terhadap materi Pengaduan berdasarkan Tata Tertib dan Kode Etik yang
dihadiri Pengadu, Teradu, Saksi, Ahli, atau pihak lain yang diperlukan
oleh MKD, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri dan dilaksanakan
dalam ruang sidang MKD.
5. Verifikasi adalah proses pemeriksaan terhadap unsur administratif dan
materi pengaduan.
6. Pengadu adalah Pimpinan DPR, Anggota, setiap orang, kelompok, atau
organisasi yang menyampaikan pengaduan.
43
7. Teradu adalah Anggota, termasuk Pimpinan AKD dan Pimpinan DPR
yang diduga tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan/atau
melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib.
8. Penyelidik adalah Pimpinan dan seluruh Anggota MKD dengan dibantu
Sekretariat dan Tenaga Ahli. Rapat MKD adalah rapat yang dipimpin oleh
Pimpinan MKD dan dihadiri oleh Anggota guna melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenang MKD.
9. Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan
pada saat Sidang MKD untuk mencari dan menemukan bukti terkait
dengan suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran terhadap undang-
undang yang mengatur mengenai MD3, serta peraturan DPR yang
mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik.
Berdasarkan Pasal 5-12 Peraturan DPR RI tentang Tata Beracara
Mahkamah Kehormatan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 jenis perkara terdiri
atas Perkara Pengaduan dan Perkara Tanpa Pengaduan.
44
Gambar 3.2 Mekanisme Pengaduan Perkara11
1. Perkara Tanpa Pengaduan adalah dugaan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan ini tanpa melalui prosedur pengaduan, yang telah
diputuskan dalam Rapat MKD untuk ditindaklanjuti.
a. Sidang dilaksanakan atas:
1) Usulan Anggota/Pimpinan MKD;
2) Hasil verifikasi oleh Sekretariat dan Tenaga Ahli.
b. Sidang meliputi:
1) Mendengarkan keterangan dan sekaligus pembelaan Teradu;
2) Memeriksa Alat Bukti.
2. Perkara Pengaduan adalah Pengaduan yang telah diputuskan dalam Rapat
MKD untuk ditindaklanjuti.
a. Dugaan Pelanggaran disampaikan oleh:
1) Pimpinan DPR;
11
Keterangan: Penyelidikan dipahami sebagai tindakan untuk turun ke lapangan.
Verifikasi dipahami sebagai tindakan untuk memeriksa dokumen terkait. Klarifikasi dipahami
sebagai rapat untuk meminta keterangan Pengadu dan Teradu
- Mengamati,
mengevaluasi
disiplin etika dan
moral anggota
DPR
- Meneliti dugaan
pelanggaran yang
dilakukan
Perkara Tanpa
Pengaduan (aktif)
Mahkamah
Kehormatan
DPR RI
Keputusan Rapat
Mahkamah
Kehormatan DPR
RI
- Penyelidikan,
verifikasi, dan
klarifikasi atas
pengaduan
Perkara
Pengaduan (pasif)
Kesimpulan
Rekomendasi Rapat
Mahkamah
Kehormatan DPR RI
45
2) Anggota DPR;
3) Masyarkat: baik perorangan atau pun kelompok.
b. Muatan Aduan berisi:
1) Identitas Pengadu;
2) Identitas Teradu;
3) Uraian dugaan pelanggaran.
c. Sidang meliputi:
1) Mendengarkan pokok permasalahan yang diajukan oleh Pengadu;
2) Mendengarkan keterangan Teradu;
3) Memeriksa Alat Bukti;
4) Mendengarkan pembelaan Teradu.
Selain mengenai jenis pengaduan perkara, dalam melaksanakan tugasnya
MKD memiliki anggota sidang yang terdiri atas:
1. Kelompok Kerja
Pembentukan Kelompok Kerja ada dalam rapat untuk penanganan perkara,
beranggotakan paling banyak 7 (tujuh) orang yang mewakili unsur fraksi. Tiap
Kelompok Kerja dipimpin oleh salah satu Pimpinan MKD.
2. Panel
MKD membentuk Panel untuk menangani kasus pelanggaran kode etik
yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian anggota. Sidang
Panel bersifat ad hoc dan anggota Panel terdiri atas 3 orang anggota MKD dan
4 orang dari unsur masyarakat.
46
Semua putusan MKD yang dilaporkan dan atau dibacakan dalam rapat
paripurna wajib ditindaklanjuti secara administratif oleh Sekretaris Jenderal
DPR. Sekretaris Jenderal DPR harus memberikan laporan tentang tindak lanjut
putusan MKD kepada Pimpinan DPR paling lama 14 (empat belas) hari sejak
dilaporkan dan/atau dibacakan dalam rapat paripurna dengan ditembuskan
kepada MKD. MKD mengevaluasi pelaksanaan putusan dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak putusan dilaporkan dan/atau dibacakan dalam rapat paripurna.
Putusan MKD mengenai pemberhentian tetap anggota harus mendapatkan
persetujuan rapat paripurna. Dalam hal putusan MKD mengenai pemberhentian
tetap anggota sebagaimana dimaksud putusan berlaku sejak tanggal
mendapatkan persetujuan rapat paripurna.
Selanjutnya hasil keputusan MKD disampaikan kepada pimpinan DPR.
Keputusan MKD bersifat final dan mengikat kecuali mengenai putusan
pemberhentian tetap anggota. Isi putusan terkait dengan terbukti atau tidaknya
suatu pelanggaran, disertai adanya pemberian sanksi atau rehabilitasi.
Sedangkan Jenis Amar Putusan MKD dalam Pasal 56 ayat (7) Peraturan DPR
Nomor 2 Tahun 2015, menyatakan:
1. Teradu tidak terbukti melanggar, atau;
2. Teradu terbukti melanggar.
47
BAB IV
PERAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DALAM PENEGAKAN KODE ETIK
A. Pelanggaran Kode Etik Anggota DPR RI Periode 2004-2019
Keberadaan MKD saat ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014, bahwa MKD dibentuk sebagai
alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertujuan untuk menjaga serta
menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga
perwakilan rakyat. Sedangkan tugas MKD sendiri adalah melakukan
penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota yang diduga telah
melakukan pelanggaran kode etik. Dalam hal ini MKD berperan untuk
menegakan persoalan etik yang telah dilakukan anggota DPR.
Terlepas dari adanya peran tersebut MKD telah memproses beberapa
pelanggaran etik, adapun pelanggaran kode etik anggota DPR yang pernah
terjadi pada periode 2004-2009 hingga 2014-2019, data yang didapat dari
sumber-sumber terkait digabungkan menjadi satu dan disajikan dalam bentuk
tabel agar mudah dipahami.
48
1. Pelanggaran Periode 2004-2009
BK sebelumnya menerima sejumlah pengaduan dari masyarakat sepanjang
Periode 2004-2009. Berikut ini adalah beberapa dari pengaduan yang masuk
tersebut, terutama yang sempat menarik perhatian masyarakat.1
Tabel 4.1 Pelanggaran Periode 2004-2009
Tahun Sidang Pengadu Materi Pengaduan
2004-2005 Emilia Puspita, Pinping
Wiranata, Rudi Sugianto,
Rohmadi, Lingkar Studi
Indonesia Maju, Perempuan
PPD, Aliansi Pemuda Peduli
Parlemen
Mengenai kericuhan dalam
Rapat Paripurna DPR
2004-2005 Lembaga Advokasi
Reformasi Indonesia
Mengenai dugaan korupsi
dan penyelundupan beras
60.000 Metrik Ton asal
Vietnam
2004-2005 Staf Pemda Pesisir Selatan Mengenai kunjungan kerja
beberapa anggota DPR
yang telah menguras uang
daerah sebesar RP 100 juta
2004-2005 Amalya Murad Mengenai penyalahgunaan
status keanggotaan dalam
pemeriksaan di Polda
2004-2005 Sutardjo dan Chalid Masjkur Mengenai penggunaan
ijazah palsu dalam
pencalonan anggota DPR
2004-2005 DPC PAN Pesisir Selatan Mengenai pelanggaran
oleh anggota DPR dalam
Pilkada
2005-2006 Surat dari Pimpinan DPR RI Perihal isu negatif terhadap
anggota DPR
1Sekretariat Jenderal DPR RI, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban
Amanat dan Aspirasi Rakyat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009), h. 130
49
2005-2006 Bupati Semeulue Mengenai dugaan
pemerasan
2005-2006 Aliansi Mahasiswa dan
Masyarakat Riau dan Yusri
Sabri
Mengenai dugaan
keterlibatan seorang
anggota DPR dalam
peristiwa pemboman di
Provinsi Kepulauan Riau
2005-2006 Anggota DPD Mengenai permintaan
pengembalian uang sewa-
menyewa rumah dinas
Blok E/412, Kalibata
2005-2006 Surat dari Pimpinan DPR RI Perihal tindak lanjut
laporan uang pansus RUU
tentang Pemerintahan
Aceh
2005-2006 Sekretariat Bersama Pokja
Petisi 50, Komite Waspada
Orde Baru (TEWAS ORBA),
Gerakan Rakyat Marhaen
(GRM), dan Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI)
Mengenai kasus percaloan
di pemondokan haji dan
katering
2006-2007 Laporan ICW Tentang kasus dugaan
aliran dana non-bujeter
DKP senilai Rp. 1 miliar
ke anggota DPR2
2006-2007 - BK melakukan kunjungan
ke daerah Provinsi
Yogykarta dalam kasus
percaloan dana bencana
alam
2006-2007 Abdul Aziz Bahlmar Kunjungan ke Semarang
mengenai tindakan ikut
campur dalam pengadilan
2006-2007 - Kunjungan Provinsi Jawa
Timur dalam kasus ijazah
2Kasus ini telah ditindaklanjuti dan diputus melalui proses hukum
50
palsu
2006-2007 - Provinsi Sulawesi Selatan
dalam kasus ijazah palsu
2007-2008 Koalisi Penegak Citra DPR
RI
Mengenai kasus dugaan
aliran dana BI ke DPR
2007-2008 Masyarakat Profesional
Madani
Terkait skandal keuangan
antar lembaga negara
2008-2009 - Tuduhan menerima
gratifikasi senilai
US$6,6000 terkait
pengadaan kapal patroli di
Ditjen Perhubungan Laut3
2008-2009 ICW Dugaan pelanggaran Tatib
oleh Ketua DPR pada saat
memimpin Rapat
Paripurna Pengambilan
Keputusan atas RUU
tentang Mahkamah Agung
Pada periode 2004-2009 terdapat 125 pelanggaran yang masuk dan telah
melalui proses persidangan BK DPR, sebagai contoh adanya pelanggaran
tersebut penulis menyebutkan 21 materi pelanggaran seperti yang terdapat pada
tabel di atas. Berdasarkan tahun sidang 2004-2005 terdapat 6 (enam) materi
pengaduan diantaranya mengenai kericuhan dalam Rapat Paripurna, dugaan
korupsi dan penyelundupan beras, menguras uang daerah saat melakukan
kunjungan kerja, menyalahgunakan status keanggotaan, penggunaan ijazah
palsu, serta pelanggaran mengenai kecurangan dalam pilkada. Kemudian pada
tahun sidang 2005-2006 dibahas enam jumlah pelanggaran perihal isu negatif
3 MKD Beri Pelanggaran Etika Berat, artikel diakses pada 11 Juli 2016, dari
http://www.kompasiana.com/hendisetiawan/pelanggaran-etika-berat-yang-mengherankan
51
anggota DPR, dugaan pemerasan, dugaan keterlibatan dalam peristiwa
pemboman, terkait kasus permintaan pengembalian uang sewa rumah dinas,
perihal tindak lanjut laporan uang pansus RUU, dan mengenai kasus percaloan
di pemondokan haji dan katering.
Sedangkan pada tahun sidang 2006-2007 terdapat 5 (lima) jenis
pelanggaran seperti kasus dugaan aliran dana non-bujeter DKP, terkait 4
(empat) pengaduan terhadap pelanggaran lainnya MKD melakukan kunjungan
untuk menemukan bukti-bukti terkait pelanggaran tersebut seperti kunjungan
ke provinsi Yogyakarta dalam kasus percaloan dana bencana alam, di
Semarang mengenai tindakan ikut campur dalam pengadilan, serta di provinsi
Jawa Timur dan provinsi Sulawesi Selatan dalam kasus penggunaan ijazah
palsu. Sedangkan pada Tahun sidang 2007-2008 terdapat dua kasus
pelanggaran yaitu mengenai kasus dugaan aliran dana BI, dan skandal
keuangan antar lembaga negara. Tahun sidang 2008-2009 terdapat dua
pelanggaran diantaranya tuduhan menerima gratifikasi, dan dugaan
pelanggaran Tatib.
2. Pelanggaran Periode 2009-2014
BK DPR telah menerima 58 pengaduan terkait berbagai dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR dalam periode 2009-2014.4
Tabel 4.2 Pelanggaran Periode 2009-2014
Tahun Sidang Pengadu Materi Pengaduan
4BK Tindak 45 Kasus Kode Etik Anggota DPR, artikel diakses pada 13 Juli 2016, dari
http://m.inilah.com/news/detail/1808641/bk-tindak-45-kasus-kode-etik-anggota-dpr
52
2011-2012 - Perkara korupsi proyek
pembangunan jaringan
pembangkit listrik tenaga
diesel sungai Bahar, Muoro
Jambi
2012-2013 Menteri BUMN, Dahlan
Iskan
Terkait dugaan pemerasan5
2012-2013 - Ketidakhadiran anggota
dewan6
2012-2013 - Ketidakhadiran anggota
dewan7
Dari 58 pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode etik penulis
menguraikan empat contoh pelanggaran pada tahun sidang 2011-2012 yaitu
perkara korupsi proyek, dan pada tahun sidang 2012-2013 terdapat dua jenis
pelanggaran seperti dugaan pemerasan, dan kurangnya kehadiran anggota.
3. Pelanggaran Periode 2014-2019
Tabel 4.3 Pelanggaran Periode 2014-2019
Tahun Sidang Pengadu Materi Pengaduan
2015-2016 Devi Nurmayanti Telah menelantarkan dan tidak
pernah memberikannya nafkah
keluarga8
5DPR Rehabilitasi Empat Nama Anggotanya Terkait Laporan Dahlan Iskan, artikel
diakses pada 28 juli 2016, dari http://www.tribunnews.com/nasional/2012/12/14/dpr-
rehabilitasi-4-nama-anggotanya-terkait-laporan-dahlan-iskan
6Tingkat kehadiran anggota dalam Rapat Paripurna mengenai peringatan ulang tahun ke
68 DPR RI pada saat itu anggota dewan yang hadir hanya 345 orang dari total anggota 560
orang
7Dalam Rapat Paripurna lainnya yaitu rapat paripurna penutupan masa sidang IV tahun
sidang 2012-2013, di mana kehadiran anggota DPR juga hanya berjumlah 288 orang, dengan
batas kuorum 281 anggota. Padahal dalam Paripurna tersebut mengagendakan empat
pembahasan penting, yaitu: laporan Banggar soal penyusunan RAPBN 2014, pandangan fraksi
terkait dengan RUU Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN 2012 yang diajukan
pemerintah, Laporan Badan Legislasi (Baleg) DPR tentang penetapan dan penambahan RUU
prioritas dalam prolegnas tahun 2013 serta pidato penutupan masa sidang IV tahun 2012-2013
53
2015-2016 Denty Noviany Sari Kasus dugaan penggunaan gelar
doktor palsu
2015-2016 Mantan Kepala
Pusat Penerangan
Hukum Kejagung,
Soehandoyo
Dugaan pelanggaran kode etik
karena menggunakan kop surat
lembaga DPR untuk kepentingan
pribadi dan intervensi terhadap
pihak kepolisian9
2015-2016 - Telah melakukan tindak kekerasan
pada asisten rumah tangga10
2015-2016 - Kehadiran yang kurang dalam rapat
2015-2016 Tertangkap tangan
oleh POM Kostrad
Telah membawa narkoba saat
berpesta narkoba bersama 13
orang11
2015-2016 Menteri ESDM
Sudirman Said
Tindakan ikut campur dan
terindikasi mencatut nama Presiden
Joko Widodo dan nama Wakil
Presiden Jusuf Kalla dalam proses
perpanjangan kontrak Freeport12
Sepanjang periode 2014-2019 ini terdapat 68 materi pelanggaran pada
yang telah diproses oleh MKD. Dijelaskan pelanggaran yang pernah terjadi
dalam Tahun sidang 2015-2016 diantaranya yaitu menelantarkan dan tidak
8MKD Putuskan Empat Kasus Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hari Ini, artikel diakses
pada 13 Juni 2016, dari http://nasional.sindonews.com/read/1048502/12/mkd-putuskan-4-
kasus-dugaan-pelanggaran-kode-etik-hari-ini-1443410068
9Tak Ada Sanksi Berat Untuk Anggota DPR Pelanggar Etik, artikel diakses pada 28 Juli
2016, dari
http://nasional.kompas.com/Tak.Ada.Sanksi.Berat.untuk.Anggota.DPR.Pelanggar.Etika
10
MKD Beri Sanksi Berat, artikel diakses pada 28 Juli 2016, dari
http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/12449
11
PPP Pastikan Beri Sanksi Berat Buat Ivan Haz, artikel diakses pada 11 Juli 2016, dari
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/02/25/078748307/ppp-pastikan-beri-sanksi-berat-
buat-ivan-haz 12
Pertama Kali Dalam Sejarah MKD Putuskan Melalui Voting, artikel diakses pada 11
Juli 2016, dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/12/01/nyogb5330-
pertama-kali-dalam-sejarah-mkd-putuskan-melalui-voting
54
pernah memberikan nafkah keluarga, dugaan penggunaan gelar palsu, dugaan
pelanggaran kode etik, perihal tindak kekerasan, kurangnya kehadiran dalam
rapat, dan tertangkap tangan membawa narkoba, serta tindakan ikut campur
bisnis negara.
Berbagai pelanggaran di atas adalah beberapa contoh dari banyaknya
pelanggaran yang telah terjadi selama tiga periode mulai dari periode 2004-
2019. Adapun jumlah pelanggaran yang terjadi pada periode 2004 hingga
tahun 2019 dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 4.4 Jumlah Pelanggaran Kode Etik13
Periode Jumlah Pelanggaran
2004-2009 125
2009-2014 58
2014-2019 68
Berdasarkan jumlah pelanggaran yang terjadi pada periode 2004-2009 ke
periode 2009-2014 terjadi penurunan jumlah pelanggaran yaitu sebesar 3,35
persen sedangkan dari periode 2009-2014 ke 2014-2019 terjadi peningkatan
jumlah pelanggaran sebesar 0,5 persen.
Meskipun sebelumnya terjadi penurunan yang cukup signifikan terhadap
pelanggaran kode etik sehingga dapat dikatakan kinerja MKD sudah cukup
baik dalam menyelesaikan tingkat pelanggaran, tetapi pada periode selanjutnya
ternyata MKD menjadi lemah dalam melakukan pencegahan sehingga pada
periode 2014-2019 terjadi peningkatan pelanggaran, walaupun peningkatan
13
Sumber: Sekretariat Mahkamah Kehormatan DPR RI
55
tersebut tidak cukup besar tetapi besar kemungkinan akan terjadinya
pelanggaran lebih banyak karena periode ini masih berlangsung.
Usia MKD saat ini sebagai pembaharu alat kelengkapan yang bertujuan
menegakan pelanggaran kode etik terhitung sangat dini untuk mengoptimalkan
perannya, tetapi baru 3 (tiga) tahun berjalan MKD sudah banyak menerima
berbagai pelanggaran etik, bahkan jumlah pelanggaran tersebut cukup
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya yang
berjumlah 58 kasus pelanggaran dalam 1 (satu) periode.
Terkait jumlah pelanggaran yang terjadi bisa dikatakan bahwa MKD saat
ini belum melakukan fungsinya secara optimal sehingga belum terlihat dapat
memperkuat pencegahan secara aktif akibat meningkatnya jumlah pelanggaran,
belum lagi mengenai pelanggaran-pelanggaran yang tidak terselesaikan seperti
pelanggaran yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, di mana pelanggaran
etik tersebut melibatkan 46 anggota DPR yang menunaikan ibadah haji dengan
alasan kunjungan kerja ke Arab Saudi menggunakan fasilitas negara. Serta
mengenai kasus pengakuan beberapa anggota DPR mengenai suap yang
dilakukan BPPN (Komisi IX) yang juga tidak pernah ditanggapi sehingga
memunculkan masalah baru terkait tugas MKD dalam pencegahan melalui
pemantauan terhadap anggota DPR.
B. Kualifikasi Pelanggaran dan Sanksi Kode Etik
Terkait penyelidikan dan verifikasi yang telah dilakukan, dalam Periode
2004-2019, MKD telah memberikan sanksi berupa teguran tertulis maupun
lisan, sampai pemberhentian sebagai anggota baik melalui pemanggilan
56
langsung oleh MKD ataupun melalui Pimpinan Fraksi dari anggota yang
melanggar Tata Tertib dan Kode Etik DPR, antara lain:14
Tabel 4.5 Rekapitulasi Sanksi Mahkamah Kehormatan DPR RI15
Jenis/Nama Perkara Jenis Pelanggaran Jenis Sanksi
Perkara dugaan pelanggaran
pada peristiwa kericuhan Rapat
Paripurna
Ringan Teguran Tertulis
Perkara dugaan percaloan dana
bencana alam
Ringan Teguran Lisan
Perkara dugaan kunjungan kerja
teknis luar negeri ke Mesir
Ringan Teguran Lisan
Perkara dugaan pencemaran
nama baik dan fitnah terhadap
Kepala BIN
Ringan Teguran Lisan
Perkara dugaan pemukulan Ringan Teguran Lisan
Perkara dugaan pemerasan Ringan Teguran Tertulis
Perkara sewa-menyewa rumah
dinas di Kalibata
Ringan Teguran Tertulis
Perkara Uang Pansus RUU
tentang Pemerintahan Aceh
Ringan Teguran Tertulis
Pelecehan dan pencemaran
nama baik Presiden RI
Berat Diberhentikan dari
Pimpinan DPR
Penelantaran rumah tangga Ringan Teguran Tertulis
Intervensi terhadap proses
hukum
Ringan Teguran Tertulis
Kasus percaloan Pemondokan
Haji dan Katering
Berat Diberhentikan
sebagai anggota
DPR
14
Sekretariat Jenderal DPR RI, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban
Amanat dan Aspirasi Rakyat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009), h. 132
15
Sumber: Sekretariat Mahkamah Kehormaatan DPR RI
57
Foto asusila anggota DPR yang
tersebar di media massa dan
pelanggaran terhadap tatib
Berat Pemberhentian
sebagai anggota
DPR
Dugaan pelanggaran Tata Tertib
dan Kode Etik DPR dan
gratifikasi dalam
penyelenggaraan haji
Tidak terbukti
melakukan
pelanggaran etik
Rehabilitasi
Penyelewengan dana block
grant dari Direktorat dan
Pembinaan dan Pendidikan Luar
Biasa
Sedang Pemindahan
keanggotaan di
AKD
Tindakan pendzaliman Sedang Pemindahan
keanggotaan di
AKD
Dugaan melanggar Tata Tertib
dan Kode Etik
Tidak terbukti
melakukan
pelanggaran etik
Rehabilitasi
Perkara dugaan pelanggaran
kode etik terkait dugaan
melanggar perjanjian kerjasama
dalam pembangun gudang
pupuk PT Bangkitgiat Usaha
Mandiri
Tidak terbukti
melakukan
pelanggaran etik
Rehabilitasi
Perkara dugaan pelanggaran
kode etik terkait dugaan
penggunaan gelar dan ijazah
Palsu
Tidak terbukti
melakukan
pelanggaran etik
Rehabilitasi
Perkara dugaan pelanggaran
kode etik terkait dugaan
merokok di ruang rapat
Ringan Teguran lisan
Perkara dugaan pelanggaran
kode etik terkait dugaan
penipuan dana BSM sebagai
kompensasi kenaikan BBM
bersubsidi
Tidak terbukti
melakukan
pelanggaran etik
Rehabilitasi
58
Perkara dugaan pelanggaran
kode etik terkait dugaan
perbuatan melawan hukum dan
menguntungkan diri sendiri
dalam urusan kepailitan PT
Indonesia Antique
Tidak terbukti
melakukan
pelanggaran kode
etik
Rehabilitasi
Perkara dugaan pelanggaran
kode etik terkait dugaan telah
menelantarkan isteri
Ringan Teguran lisan
Perkara dugaan pelanggaran
kode etik terkait dugaan belum
membayarkan jahitan sebesar
Rp. 7 juta
Tidak terbukti
melakukan
pelanggaran kode
etik
Rehabilitasi
Perkara dugaan pelanggaran
kode etik terkait dugaan
tindakan sewenang-wenang
yang dilakukan oleh Teradu
terhadap Pegadu, dalam hal
pemberhentian pengadu sebagai
staf administrasi tanpa alasan
dan informasi yang jelas dan
dugaan penggunaan gelar
Doktor palsu pada kartu nama
anggota DPR RI
Ringan Teguran tertulis
Permintaan izin tertulis
pemanggilan dari Polda
Kalimantan Barat atas dugaan
tindak pidana penyimpangan
dana Bantuan KONI Provinsi
Kalimantan Barat
Diberikan izin
untuk pemanggilan
karena sudah
melewati batas
waktu 30 hari
Perkara dugaan pelanggaran
kode etik terkait dugaan
penyalahgunaan wewenang
sebagai anggota dewan berupa
penggunaan Kop Surat Sebagai
Anggota DPR untuk berurusan
dengan Kepolisian Republik
Indonesia dalam urusan
pribadinya
Sedang Pemindahan alat
kelengkapan dewan
59
Perkara dugaan pelanggaran
kode etik terkait dugaan
penghinaan kepada agama lain
(Agama Islam). Menyinggung
atau menghina agama lain.
Menebarkan api permusuhan
antar umat beragama. Menekan
pihak kejaksanaan untuk
menghukum lawan politik.
Balas dendam terhadap lawan
politik.
Ringan Teguran Tertulis
Perkara tanpa pengaduan
pelanggaran kode etik dugaan
pemukulan terhadap anggota di
salah satu ruang komisi VII
DPR tanggal 8 April 2015
Berat Pemberhentian
sementara
(skorsing 3 bulan)
Perkara tanpa pengaduan
pelanggaran kode etik
penganiayaan terhadap pekerja
rumah tangga
Berat Pemberhentian
sebagai anggota
Perkara tanpa pengaduan
dugaan pelanggaran kode etik
dugaan mengucapkan perkataan
yang tidak layak pada saat RPD
dengan Polri tanggal 20 April
2016
Ringan Teguran Tertulis
Berdasarkan data di atas, terkait dengan kualifikasi jenis pelanggaran dan
sanksi disesuaikan atas pelanggaran yang terjadi dan bukti-bukti sebelum
persidangan sampai adanya putusan. Penentuan penetapan penjatuhan sanksi
saat persidangan juga didasarkan atas kepastian hukum, keyakinan hakim, dan
bukti-bukti terkait dugaan pelanggaran baik itu melalui perkara pengaduan atau
60
perkara tanpa pengaduan yang telah dibahas dalam Rapat MKD dan sidang
MKD dalam memutus adanya pelanggaran.
Dikatakan jenis pelanggaran ringan apabila penjatuhan sanksi berupa
teguran tertulis dan teguran lisan, sedangkan penjatuhan sanksi berupa
pemindahan alat kelengkapan merupakan jenis pelanggaran yang bersifat
sedang, pada jenis pelanggaran yang bersifat berat maka penjatuhan sanksinya
adalah diberhentikan dari pimpinan DPR, pimpinan AKD, atau pemberhentian
tetap sebagai anggota DPR. Terkait rehabilitasi sesuai Pasal 22 Peraturan DPR
RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik bahwa anggota yang tidak terbukti
brsalah melanggar kode etik maka putusan MKD memberikan rehabilitasi
untuk pemulihan nama baik anggota.
Perkara dugaan atau jenis Perkara Pengaduan yang dihasilkan dari adanya
dugaan pelanggaran terhadap anggota yang melakukan pelanggaran dan
diadukan oleh masyarakat, anggota DPR, maupun instansi kepada Sekretariat
MKD untuk ditindaklanjuti. Sedangkan jenis Perkara Tanpa Pengaduan
termasuk salah satu upaya yang dilakukan oleh MKD dalam meyelesaikan
suatu perkara etik didapatkan dari hasil verifikasi alat kelangkapan MKD
seperti bagian Sekretariat dan Tenaga Ahli MKD, secara langsung atau tidak
langsung misalnya melalui pemantauan MKD, anggota, dan Pimpinan DPR.
C. Analisis Peran Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat RI
dalam Penegakan Kode Etik
Pemberitaan buruk parlemen merupakan berita yang menarik minat
masyarakat. Pameo bad news is a good news merupakan pameo utama dalam
61
dunia pers, ini merupakan sebuah permasalahan yang harus dihadapi oleh
Parlemen.16
MKD atau sebelumnya disebut dengan BK selama ini menjalankan
fungsinya melalui tata tertib DPR yang bersifat kaku dan mengekang. Posisi
MKD diatur sebagai pengawas internal yang kurang bisa membenahi adanya
pelanggaran etika anggota dewan akibat kurangnya wewenang MKD dalam
memproses suatu duagaan pelanggaran.
Sepanjang berdirinya MKD, telah banyak pelanggaran kode etik yang
diproses mulai dari kurangnya kehadiran anggota dalam rapat, percaloan
anggaran, intervensi terhadap hukum, sampai adanya pemberhentian sebagai
anggota akibat melakukan penganiayaan terhadap asisten rumah tangganya.
Seperti pelanggaran yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan sebagian
dari pada pelanggaran yang telah diselesaikan oleh MKD namun ada pula
beberapa kasus yang belum diselesaikan oleh MKD diperiode sebelumnya.
Empat komponen permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan publik
telah diuraikan, yaitu permasalahan keadilan, sosial, partisipasi, dan aspirasi
masyarakat, lingkungan hidup serta pelayanan umum. Semuanya merupakan
merupakan persoalan yang cukup aktual di negara demokratis.17
Persoalan
etika menyeruak karena semakin kompleksnya kehidupan masyarakat modern
berbarengan dengan globalisasi masalah-masalah sosial politik, ekonomi, dan
16
Sekretariat Jenderal DPR RI, DPR RI Periode 2009-2014: Catatan Akhir Masa Bakti,
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI dan
Azza Grafika, 2013), h. 180
17
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.
164
62
budaya. Jangkauan telaah etika pun semakin luas, bukan saja melibatkan
hubungan antar kelompok masyarakat namun juga antar etnis atau negara.18
Kode etik merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi dan tugas para wakil
rakyat. Kode etik memiliki peran dalam menjaga harkat dan martabat wakil
rakyat karenanya diperlukan strategi pelaksanaan tugas yang baik, yang dalam
hal ini didorong oleh adanya penilaian baik rakyat, terhadap kinerja anggota
dewan sebagai wakil rakyat. MKD diharapkan mampu menumbuhkan dan
menerapkan moral yang baik dalam pelaksanaannya menjaga harkat, martabat,
dan kredibilitas anggota DPR secara profesional tanpa intervensi dari pihak
lain guna meminimalisir adanya pelanggaran sehingga dapat memberikan citra
baik terhadap anggota DPR dan memberikan sumbangsih kesejahteraan bagi
rakyat.
Banyaknya pengaduan mengenai adanya dugaan pelanggaran etik oleh
anggota DPR diharapkan berperan sebagai komunikasi publik untuk
membangun kinerja positif dan memberikan gambaran yang utuh tentang
MKD. Hadirnya MKD sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap
merupakan solusi dan terobosan baru untuk mengatasi berbagai pelanggaran
etik yang telah melahirkan bobroknya kepercayaan rakyat terhadap wakil
rakyat, serta mengikis ketamakan sikap yang tidak memperdulikan moral oleh
pengemban penegak etik.
Posisi MKD adalah sebagai alat yang mencegah terjadinya pelanggaran
yang dilakukan anggota dewan serta untuk memberikan sanksi pada setiap
18
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.
23
63
pelanggaran demi mengoptimalisasikan peran dan fungsinya. Sebagaimana
ungkapan bahwa setiap orang yang menerima satu pekerjaan harus bersedia
menerima tanggung jawab yang menyertainya dan mau menanggung
konsekuensi atas setiap kegagalan yang mungkin terjadi, pejabat negara pun
harus memikul tanggungjawab seperti itu.19
MKD dalam hal ini sebagai profesi penegak etik. Profesi penegak etik
adalah profesi yang mulia dan tidaklah mudah dalam pelaksanaannya, karena
sifat etik sendiri tidak terlihat tetapi menyerang jiwa seseorang karena moral
para wakil rakyat melenceng dari yang seharunya baik itu karena disengaja
maupun tidak disengaja, baik itu termasuk pelangaran yang bersifat ringan,
sedang, atau berat. Tugas MKD hanya sekedar melakukan pencegahan dan
penindakan sedangkan perilaku anggota dewan adalah hak dirinya sendiri, jadi
bagaimana seharusnya meluruskan sesuatu yang sudah melenceng itu dengan
atau tanpa melanggar hak anggota DPR itu sendiri? Terkait penyelesaian
persoalan etik dilembaga politik seperti DPR merupakan hal yang cukup sulit
di mana unsur politik akan selalu ada dalam hal memutus hukuman suatu
pelanggaran, berdasarkan hasil wawancara pribadi pengambilan keputusan oleh
MKD terhadap penjatuhan sanksi terkait pelanggaran etik memang memiliki
unsur politik tetapi tidak begitu dominan karena tidak dapat dipungkiri bahwa
keanggotaan MKD sendiri berasal dari anggota DPR yang merupakan
persentase dari partai politik.
19
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.
164
64
Memang tidak bisa dikatakan bahwa seseorang punya moralitas sedangkan
orang yang lain tidak punya moralitas, tetapi hanya bisa dikatakan bahwa orang
itu tidak punya moralitas yang rendah atau tinggi. Dorongan untuk mencari
kebenaran atau kebaikan senantiasa ada pada diri manusia, yang membedakan
tingkat moralitas adalah kadar atau kuat tidaknya dorongan tersebut. Maka,
sekali lagi moralitas juga berkenaan dengan nilai-nilai etika dan moral yang
terdapat di dalam nurani manusia beserta internalisasi nilai-nilai itu dalam
dirinya. Moralitas dimaksudkan untuk menetukan sampai seberapa jauh
seseorang memiliki dorongan untuk melaksanakan tindakan-tindakannya sesuai
dengan prinsip-prinsip etika dan moral. Latar belakang budaya, pendidikan,
pengalaman, dan karakter individu adalah sebagian di antara faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat moralitas seseorang, ukuran moralitas dalam hal ini
bukan bersifat pembedaan hitam putih, melainkan berada dalam suatu garis
kontinum.20
Meskipun pelaksaan MKD banyak mendapat apresiasi dan menjadi
preseden bagi perbaikan internal di DPR, publik tetap mempertanyakan adanya
indikasi tebang pilih. Apa lagi dalam memutuskan pelanggaran kode etik yang
serupa namun dilakukan oleh anggota dewan yang berbeda yang kemudian
mendapat sanksi yang berbeda pula. MKD sebagai salah satu alat kelengkapan
DPR beberapa tahun belakangan ini muncul ke permukaan karena lembaga ini
menyangkut masalah kehormatan para wakil rakyat di DPR, maka keberadaan
MKD menjadi sangat penting, dibandingkan dengan alat kelengkapan DPR
20
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.
10
65
lainnya.21
Di sisi lain, kinerja MKD dalam menegakan kode etik belum dapat
menimbulkan pembentukan yang baik atas sorotan publik terhadap kinerja
buruk sebagian anggota DPR.
Kekuasaan untuk menertibkan anggota merupakan kewenangan para
Pimpinan Fraksi, sedangkan MKD hanya menertibkan secara normatif
berdasarkan undang-undang. Hal ini mengakibatkan peran MKD sendiri sulit
menjadi independen, karena apabila para Pimpinan Fraksi tersebut tetap
membiarkan terjadinya pelanggaran, maka MKD juga tidak dapat berbuat
banyak dalam menegakan etik seorang legislator. Terungkapnya beberapa
kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan
anggota dewan dan kasus pelanggaran etik lainnya, menunjukkan bahwa
kontrol internal di lembaga DPR masih belum berfungsi efektif.
Upaya pencegahan dan penindakan dalam penegakan etik yang didasarkan
pada Pasal 19 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik
dianggap belum maksimal pelaksanaannya. Salah satu upaya pencegahan
dilakukan dengan sosialisasi, pelatihan, mengirimkan surat edaran dan
memberikan rekomendasi, atau cara lain yang ditetapkan oleh MKD sedangkan
upaya penindakan dilakukan oleh MKD berdasarkan peraturan DPR yang
mengatur mengenai tata beracara MKD. Pelaksanaan fungsi pencegahan dan
penindakan terhadap perilaku anggota agar tidak melakukan pelanggaran atas
kewajibannya pada prinsipnya merupakan tugas yang harus dilaksanakan MKD
dan alat kelengkapan DPR sesuai dengan amanat undang-undang yang
21
Ahmad Iqbal Fanani, dkk, Tugas Badan Kehormatan DPR Dalam Menjaga Martabat
dan Perilaku Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Artikel
Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa, 2013, h. 7
66
mengatur mengenai UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD Nomor 17 Tahun 2014
dan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR RI.
Kinerja MKD pada periode sebelumnya belum menunjukkan hasil yang
signifikan sesuai dengan target yang diharapkan berdasarkan jumlah
pelanggaran yang telah terbukti atas pengaduan. Hal ini tidak lepas dari adanya
tantangan dan hambatan dalam menegakan etik anggota dewan, adapun
kendala yang dihadapi oleh MKD dalam menyelesaikan pelanggaran kode etik
seperti kendala yang bersifat formil dan materil.
Kendala yang bersifat formil misalnya, dalam memutus perkara
pelanggaran di mana ada unsur politik dalam memutuskan suatu perkara
namun tidak dominan karena tidak dapat dipungkiri bahwa objek dari pada
MKD sendiri dalam menegakan kode etik adalah anggota DPR sehingga hal
tersebut dapat menghambat kecepatan bertindak karena MKD merupakan
bagian dari fraksi atau partai politik yang tentu ada hal-hal yang diinginkan
oleh partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Selain kendala yang
bersifat formil ada pula kendala yang bersifat material yaitu persepsi publik,
MKD dituntut untuk bersikap dan menuntut seadil-adilnya dalam memutuskan
suatu perkara etik, seolah-olah dipahami dalam persepsi publik tersebut ketika
memutus perkara etik didasarkan atas pertimbangan politik dari pada hukum
dan keadilan. Hal tersebutlah yang menjadi pemicu terhambatnya MKD dalam
menyelesaikan pelanggaran etik yang ada baik melalui perkara tanpa
pengaduan atau pun melalui perkara pengaduan.
67
Perkara yang terjadi dari periode 2004-2019 menimbulkan pertanyaan baru
sejauh mana peran MKD sebagai alat kelengkapan dewan yang berfungsi
mencegah dan menindak adanya pelanggaran etik, terkait jumlah pelanggaran
yang terjadi dalam setiap periode, di mana perubahan nama Badan Kehormatan
(BK) menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) belum dapat direalisasi
secara optimal. Bahwa sampai saat ini MKD belum dapat meminimalisir
terjadinya pelanggaran, bisa juga dikatakan bahwa MKD belum dapat
mengatasi perlakuan anggota DPR yang sewenang-wenang melanggar etik
tanpa berfikir panjang bahwa mereka sebagai wakil rakyat sudah sepatutnya
bisa menjaga harkat, martabat, dan kredibilitas dengan menyempurnakan moral
dan etika mereka sebagai wakil rakyat.
Selain itu, upaya yang dilakukan MKD saat ini untuk meminimalisir
terjadinya pelanggaran ternyata belum cukup untuk menindak setiap
pelanggaran yang terjadi baik itu melalui upaya pencegahan dan upaya
penindakan. Padahal posisi dan peran MKD sangatlah penting untuk menjamin
bahwa pelanggaran etik di DPR sudah ditegakan secara optimal sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan pada bab
sebelumnya, yaitu sebagai berikut:
1. Mekanisme penetapan sanksi kode etik didahului adanya pengaduan dan
atau verifikasi data Sekretariat MKD terkait dugaan pelanggaran etik
anggota DPR. Kemudian, ditindaklanjuti dalam rapat internal MKD untuk
memutus dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran, setelah itu,
MKD mengadakan sidang untuk melakukan pembuktian terkait
pelanggaran. Hasil akhir putusan dilaksanakan dalam rapat internal MKD
untuk memutus sanksi yang akan diberlakukan pada suatu pelanggaran.
2. Peran MKD dalam menegakan kode etik DPR dilakukan melalui upaya
pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan dilakukan dengan
sosialisasi, pelatihan, mengirimkan surat edaran dan memberikan
rekomendasi, atau cara lain yang ditetapkan oleh MKD. Upaya
pencegahan juga dilakukan atas Perkara Tanpa Pengaduan melalui tugas
pemantauan yang didapat dari hasil verifikasi alat kelangkapan MKD
seperti bagian Sekretariat dan Tenaga Ahli MKD, secara langsung atau
tidak langsung. Sedangkan upaya penindakan dilakukan oleh MKD terkait
Perkara Pengaduan yang dihasilkan dari laporan pelanggaran terhadap
anggota yang melakukan pelanggaran kode etik.
69
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis berbagai pelanggaran yang sering terjadi dalam
dunia legislatif parlemen penulis memberikan saran terhadap MKD DPR RI
sebagai alat kelengkapan yang sudah bersifat tetap.
1. Melakukan penyempurnaan mekanisme penegakan kode etik dewan oleh
MKD dengan berbagai cara seperti, MKD memerlukan penambahan
kewenangan, selain melalui upaya pencegahan dan penindakan MKD
dapat melakukan fungsi pengawasan secara total untuk bekerjasama
dengan lembaga negara lain yang berwenang.
2. Terkait meningkatkan perannya, MKD sebagai sebuah alat kelengkapan
dapat ditingkatkan menjadi sebuah peradilan khusus bagi anggota DPR
dalam penyelesaian pelanggaran kode etik.
3. Selain dalam penggunaan Kelompok Panel untuk menindak pelanggaran
dengan sanksi berat, MKD juga perlu menambahkan anggotanya yang
berasal dari eksternal DPR RI untuk menegakan pelanggaran yang bersifat
ringan maupun sedang seperti akademisi dan masyarakat umum yang
mempunyai kriteria di bidangnya demi terjaganya kenetralan satu putusan.
4. Perlu adanya keterbukaan publik dengan memberitakan atau
menyampaikan putusan-putusan pelanggaran yang sudah berkekuatan
hukum tetap, terutama pada pelanggaran dengan sanksi berat agar
masyarakat dapat menilai lebih jauh mengenai pelaksanaan kode etik
MKD sekaligus untuk mendorong percepatan peran dalam meningkatkan
sistem kode etik.
70
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Assiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers,
2013.
- - - -, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kostitusi RI,
2006.
- - - - Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara
Langsung, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Kostitusi RI, 2006.
Fatwa, A.M., Potret Konstitusi, Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kompas,
2009.
Ilmar, Aminuddin, Hukum Tata Pemerintahan, Jakarta: Kencana, 2014.
Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008.
Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban Amanat dan Aspirasi
Rakyat, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005.
Mufid, Muhamad, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Prenadamedia Group,
2009.
Nuh, Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.
Pardede, Marulak, Efektivitas Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham, 2011.
Ramadhani, Rizqi, Dilema Badan Kehormatan DPR Antara Penegak Etika
Anggota Dewan Dan Kepentingan Fraksi, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2013.
71
Salang, Sebastian, M. Djadijono, dan I Made Leo Wiratma, TA. Legowo,
Panduan Kinerja DPR/DPRD, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota
Dewan, Jakarta: Forum Sahabat, 2009.
Sekretariat Jenderal DPR RI, DPR RI Periode 2009-2014: Catatan Akhir Masa
Bakti, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika, 2013.
Soekanto, Seojono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007.
Yusuf, A. Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Gabungan,
Jakarta: Kencana, 2014.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Mahkamah Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah dirubah Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2014.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2015
tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015
tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 16/DPR
RI/I/2004-2005 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
72
Jurnal:
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, Efektivitas
Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2013.
Dewan Perkilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan
Parlemen, Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia: “Peran Badan Kehormatan Dalam Menjaga Harkat,
Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif”, Jakarta: Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2013.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Langkah DPR Menuju Parlemen
Modern Dalam Demokrasi Indonesia Laporan Kinerja DPR (1 Oktober
2014—13 Agustus 2015), Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, 2015.
Elza Astari Retaduari, Elizabeth dan Lukas S. Ispandriarno, Hubungan
Keanggotaan Wartawan dalam Organisasi Pers dengan Pengetahuan
tentang Kode Etik Jurnalistik. Studi Eksplanatif terhadap Wartawan
Anggota PWI Cabang Yogyakarta.
Fanani, Ahmad Iqbal, dkk, Tugas Badan Kehormatan DPR Dalam Menjaga
Martabat dan Perilaku Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Republik Indonesia, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa, 2013.
Habibi, Nur, Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Jurnal Cita Hukum, Volume 1, Juni 2014.
Holilah, Etika Administrasi Publik, Jurnal Review Politik, Volume 03 Nomor 02,
Desember, 2013.
Syarif, Mujar Ibnu, Contemporary Islamic Political Discourse On The Political
Ethics Of State Officials, Shariah Journal, Vol. 22, No. 2, 2014, Artikel
diakses pada 29 September 2016, dari http://e-
journal.um.edu.my/public/article-view.php?id=6883.
Media Sosial:
BK Tindak 45 Kasus Kode Etik Anggota DPR, artikel diakses pada 13 Juli 2016,
dari http://m.inilah.com/news/detail/1808641/bk-tindak-45-kasus-kode-
etik-anggota-dpr.
73
DPR Rehabilitasi Empat Nama Anggotanya Terkait Laporan Dahlan Iskan, artikel
diakses pada 28 juli 2016, dari
http://www.tribunnews.com/nasional/2012/12/14/dpr-rehabilitasi-4-nama-
anggotanya-terkait-laporan-dahlan-iskan.
Konsep Etika Menurut Para Filosof Muslim, artikel diakses pada 22 September
2016, dari https://8tunas8.wordpress.com/2010/04/07/etika-menurut-para-
filosof-muslim.
MKD Beri Pelanggaran Etika Berat, artikel diakses pada 11 Juli 2016, dari
http://www.kompasiana.com/hendisetiawan/pelanggaran-etika-berat-yang-
mengherankan.
MKD Beri Sanksi Berat, artikel diakses pada 28 Juli 2016, dari
http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/12449.
MKD Putuskan Empat Kasus Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hari Ini, artikel
diakses pada 13 Juni 2016, dari
http://nasional.sindonews.com/read/1048502/12/mkd-putuskan-4-kasus-
dugaan-pelanggaran-kode-etik-hari-ini-1443410068.
Pengertian Etika Menurut Para Ahli, artikel diakses pada 3 September 2016, dari
http://www.seputarpengetahuan.com/2015/10/15-pengertian-etika-
menurut-para-ahli-terlengkap.html.
Pertama Kali Dalam Sejarah MKD Putuskan Melalui Voting, artikel diakses pada
11 Juli 2016, dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/
politik/15/12/01/nyogb5330-pertama-kali-dalam-sejarah-mkd-putuskan-
melalui-voting.
PPP Pastikan Beri Sanksi Berat Buat Ivan Haz, artikel diakses pada 11 Juli 2016,
dari https://nasional.tempo.co/read/news/2016/02/25/078748307/ppp-
pastikan-beri-sanksi-berat-buat-ivan-haz.
Tak Ada Sanksi Berat Untuk Anggota DPR Pelanggar Etik, artikel diakses pada
28 Juli 2016, dari http://nasional.kompas.com/Tak.Ada.Sanksi.Berat.
untuk.Anggota.DPR.Pelanggar.Etika.
Wawancara Pribadi dengan Yusuf., S.Ag., M.Si, Jakarta: 7 September, 2016.
www.dprri.go.id.
76
Lampiran 4
Transkrip Wawancara dengan Bapak Yusuf, S.Ag., M.Si
Tenaga Ahli Mahkamah Kehormatan DPR RI
Hari Rabu, 7 September 2016, Pukul 11.30, di Gedung Nusantara I
Ruang Sekretariat MKD
Foto bersama dengan (Bapak Yusuf, S.Ag., M.Si: ditengah) beserta Staf Tenaga Ahli Mahkamah
Kehormatan DPR RI
Penulis:
Bagaimana pandangan Anda mengenai MKD saat ini, apakah pembentukan MKD
saat ini sebagai alat kelengkapan dewan sudah tepat?
Yusuf:
MKD saat ini merupakan up grading dari sebuah badan dengan nama
Badan Kehormatan ketika itu terbentuk dari tahun 2004, kemudian pada tahun
2014 melalui perubahan UU MD3 No. 17 Tahun 2014 tidak lagi disebut BK tetapi
MKD, filosofi perubahannya terkait dengan kewenangan sebuah AKD itu
bertugas dan menjaga martabat dewan sebagai lembaga peradilan yang itu lebih
memiliki taji untuk mengawasi dan memonitoring pelaksanaan kode etik di DPR,
maka dinamakan dengan Mahkamah walaupun nama Mahkamah itu
terminologinya adalah peradilan. Dikatakan sebagai lembaga etik di DPR ini tentu
pembentukan MDK itu sudah sangat tepat seiring dengan adanya semangat
memperikan kepuasan dan kepercayaan publik yang tinggi dari lembaga dewan di
mana dari segi tujuan MKD dibentuk untuk menjaga martabat dan keluhuran, hal
ini sangat terkait dengan kinerja kelembagaan eksistensi MKD itu sangat
berhubungan dengan bagaimana kinerja dewan melalui pengawasan dan
monitoring kede etik di DPR. Apabila kode etik dapat ditegakan dan anggota
77
patuh pada kode etik itu secara otomatis akan terjadi penigkatan kinerja
kelembagaan DPR maka kita katakana itu sudah tepat.
Penulis:
Apa saja kendala yang dihadapi oleh MKD dalam menyelesaikan pelanggaran
kode etik?
Yusuf:
Kendala tentu ada yang sifatnya formil dan materil, tetapi itu tidak
menjadi hambatan untuk pelaksanaan fungsi dan tugas MKD sebagai terminologi
ini merupakan suatu hal yang baru, MKD ini hanya ada satu di dunia yaitu di
Indonesia tidak ada Badan Kehormatan lain yang menggunakan nama Mahkamah
karena ini masih baru tentu banyak hal-hal yang perlu diperbaiki dan
disempurnakan tentu sebagai sebuah peradilan etik ia dituntut untuk bersikap dan
menuntut seadil-adilnya nah ini juga menjadi tantangan karena ini berada dalam
sebuah lembaga DPR yang mana itu merupakan lembaga politik contohnya
anggota MKD itu kan bagian dari anggota fraksi yang ada di DPR ini dan itu
menjadi hal yang tentu bisa dikatakan menghambat kecepatan karena dia bagian
dair fraksi bagian dari partai politik tentu ada hal-hal yang diinginkan dari partai
politik ada hal-hal yang diinginkan parpol yang satu dengan parpol yang lain itu
berbeda terkait dengan kepentingan politik nah itu sebagai sebuah peradilan etik
yang berada dalam lembaga politik itu tidak bisa dipungkiri dan ditutupi ada
realitas kendala yang dihadapi terkait dengan kepentingan politik masing-masing
fraksi yang ada di DPR.
Misalnya di dalam soal anggota MKD melakukan pelanggaran kode etik
kan ada istilah tidak mungkin jeruk makan jeruk publik menghambat itu salah satu
hambatan lain lagi yang sifatnya materil yaitu persepsi publik melihat eksistensi
MKD mana mungkin menjatuhkan temannnya sendiri itulah yang dikatakan
kendala-kendala untuk bersikap dan memutus seadil-adilnya jadi persepsi publik
itu selalu menjadi kenadala dan ini harus diatasi oleh MKD karena dalam persepsi
publik toh MKD itu kan bagian dari lembaga politik adanya fraksi-fraksi adanya
parpol yang itu tidak selalu sama kepentingan politik dengan parti dengan
kepentingan rakyat nah itu kan persepsi publik itu kan begitu selalu berbeda
belum tentu yang diinginkan rakyat seperti itu partai politik itu sebenarnya adalah
bagian dari daerah berasal dari rakyat tapi itulah satu kendala yang kedua selain
adanya kepentingan politik yang terkadang berbeda untuk disatukan untuk
ditemukan itu tidak mudah yang kedua ada persepsi publik, MKD di mana ada
kepentingan politik di mana kepentingan politik itu tidak selalu sejalan dengan
rakyat nah maka di dalam menjalankan tugas dan fungsi di Mahkamah
Kehormatan Dewan itu tentu dia harus bisa memastikan apa yang dikehendaki
oleh rakyat di dalam mengawasi dan memonitoring di DPR kalau DPR nya itu
patuh kepada kode etik secara otomatis itu bisa dipahami dalam persepsi publik
mereka memahami kehendak rakyat nah itu.
78
Penulis:
Adakah upaya-upaya yang dilakukan MKD untuk meminimalisir terjadinya
pelanggaran?
Yusuf:
Jadi di dalam peraturan DPR RI No. 1/2015 tentang Kode Etik ada satu
pasal disitu dijelaskan tentang sistem penegakan kode etik bisa dilihat sambil
mewawancara bab 3 pasal 19 penegakan kode etik ayat 2 nya penegakan kode etik
dilakukan melalui upaya pencegahan dan penindakan nah jadi yang melanggar itu
itu namanya penindakan ditindak dia disidangkan diputuskan melanggar atau
tidak terbukti melanggar kalau dia melanggar dikasih sanksi kalau dia tidak
melanggar tidak terbukti direhabilitasi. Pencegahan itu cukup luas misalnya kan
mencegah supaya anggota tidak melanggar, di dalam hal yang menjadi perhatian
publik melalui media massa itu kan ketidakhadiran angota, ketidakhadiran
anggota yang dimaksud kan sering lihat di tv anggota MKD telah berupaya
meminimalisir agar mereka tidak malas ketidakhadiran yang dimaksud oleh aturan
kode etik itu yang diberi sanksi itu yang melanggar tidak hadir terus diberi sanksi
berapa kali dia tidak hadir ada jumlah 40% dalam 1 kali masa sidang kalau masa
sidang nya 10 40% nya 4 jadi dia sudah pasti mendapatkan sanksi maka sebelum
itu terjadi MKD apabila menemukan dan mendapatkan data harus atas rekapitulasi
ketidakhadiran 1 kali aja dia tidak hadir tanpa keterangan dia sudah mendapatkan
surat cinta dari MKD peringatkan itulah salah satu upaya meminimalisir juga
untuk tidak melanggar sampai 40% nah alhamdulillah mereka-mereka yang
mendapatkan surat cinta atau peringatan tadi jangan sampai melakukan
pelanggaran untuk tidak hadir setelah mendapat mereka memperbaiki dan tidak
ditemukan lagi nah itu salah satu bentuk upaya kedua MKD lalu memberikan
edaran-edaran ada pemberitaan tentang bermasalah MKD cepat memberikan
edaran untuk buat laporan kungker.
Terus ada masalah LHKPN laporan harta kekayaan KPK MKD
memberikan edaran setiap tahun itu selalu mengingatkan kepada anggota untuk
membuat laporan kekayaan itu hal-hal yang sifatnya selain itu tentu kita selalu
mensosialisasikan melakukan sosialisasi kepada anggota DPR untuk tidak
melanggar itu jawabannya bahwa adakah upaya yang pelanggaran ada itulah
melalui sistem pencegahan dan penindakan. Kalau dari segi pengawasan MKD itu
monitoring dia tidak dikatakan di dalam tata beracara di peraturan selanjutnya no
2 tentang tata beracara itu disebutkan di sini tugas dan fungsi MKD itu tidak
disebutkan mengawasi tapi melakukan pemantauan monitoring dalam rangka
fungsi pencegahan jadi memantau itu bisa dilakukan setiap saat resmi dan tidak
resmi memantau, yang memantau itu bisa secara langsung juga secara tidak
langsung secara tidak langsung misalnya akses informasi-informasi yang beredar
di media massa tentu monitoringnya tidak lagi berdasarkan itu misalnya ada orang
membuat kerusuhan di dalam rapat, MKD kan tidak ada di sana ikut rapat tiba-
tiba tahunya dari mana dari media massa atau sosial media nah itu monitoring
dilakukan langsung dan tidak langsung kalau mengawasi itu terminologinya
langsung jadi semakin berbatas tentu semangat dari tujuan MKD menegakan dan
79
menjaga maka cakupan yang lebih luas itu adalah memantau jadi anggota itu akan
lebih senang dipantau akan lebih patuh dipantau dari pada mengawasi.
Penulis:
Terkait fungsinya memantau, termasuk dalam jenis pengaduan perkara apakah
pemantauan itu?
Yusuf:
Nah tugas pemantauannya itu terkait dengan adanya pelanggaran tadi kan
pertanyaannya ada dua perkara pengaduan itu ada karena ada yang mengadukan
dari masyarakat baik secara individu maupun kelompok atau organisasi kalau ada
anggota yang mengadukan sesama anggota itu boleh atau pimpinan mengadukan,
nah itu adanya dari pengaduan tentu unsur pemantauannya tidak ada kalau itu
bicara tentang adanya pelanggaran memantau pelanggaran, baru unsur perkara itu
ada diperkara jenis kedua yaitu perkara tanpa pengaduan dari hasil pemanatau itu
dari kerja-kerja tugas pemantauan MKD itu bisa menimbulkan bisa melahirkan
adanya dugaan pelanggaran kode etik dalam kategori perkara tanpa pengaduan
perkara tanpa pengaduan itu ada karena yang pertama ada ususlan pimpinan dan
atau anggota MKD sendiri hasil memantaunya baik itu secara langsung maupun
tidak nah itu lebih luas memantau itu kan, apa hasil pantauan saya si A melanggar
saya isikan ini menjadi perkara tanpa pengaduan nah itu yang pertama pimpinan
dari pemantauan mereka apakah itu yang berhubungan dengan dengan orang-
keorang ngomong atau media sosial atau baca media massa konvensional, yang
kedua perkara tanpa pengaduan itu bisa muncul dari hasil verifikasi sekretariat
mkd tanpa anggota tahu tanpa pimpinan tahu, kita, tenaga ahli juga bisa
memverifikasikan bahwa ini pelanggaran namun kesimpulan dari semuanya itu
erat terkait dengan pelaksaan tugas pemantauan ada dan tidaknya perkara tanpa
pengaduan.
Penulis:
Terkait verifikasi tersebut apa saja indikatornya?
Yusuf:
Verifikasi sendiri selain dari absensi misalnya, ada keributan nah kita
verifikasi peristiwanya pengaduannya itu apa siapa yag terlibat ada anggota di situ
dan di mana kapan kita virifikasi agar orang-orang yang melihatnya di dalam
pemberitaan itu, kita verifikasi terus ternyata tidak ada unsur pelanggaran kode
etik ya kita abaikan kalau itu ada unsur pelanggaran kode etik kita sampaikan
kepada MKD bahwa ini dalam sosial media ada terjadi perselisihan yang itu
menimbulkan unsur pelanggaran kode etik, di antara masyarakat yang ada di
sosial media itu dengan angota misalnya seperti itu.
80
Penulis:
Apa saja faktor yang mempengaruhi penjatuhan sanksi kode etik, ketika ada
anggota dewan yang terjerat kasus atau pelanggaran yang sama tetapi perlakuan
hukumnya berbeda?
Yusuf:
Tentu ketika melakukan tugas penindakan atas dugaan pelanggaran kode
etik yang dilakukan oleh anggota DPR yaitu tentang pertanyaan sanksi itu adalah
ujungnya, pelnggaran itu bisa dilahirkan dari orang yang adanya pengaduan
adanya tanpa pengaduan tentu diselidiki benar ga anggota ini melakukan
pelanggaran di mana dan kapan siapa saja diselidiki, bisa penyelidikan di luar
sidang sebelum sidang atau di dalam siding keputusan adanya sanksi itu
penyelidikan setelah melalui proses sidang, sidang MKD itu urutannya
mendengarkan kalau dia pengaduan ditanya medengarkan kesaksian pengadu
setelah itu teradu, tinggal memanggil pihak-pihak terkait memanggil saksi, saksi
itu bisa dari pengadu bisa dari teradu atau dari MKD sendiri, untuk membuktikan
benar ga anggota ini melanggar kode etik kan ada buktinya bisa jadi saksi bisa
jadi keterangan-keterangan misalnya dokumentasi rekaman video yang berbeda
atau ahli, kalau dia perkara tanpa pengaduan tentu ga ada pengaunya yang ada
keterangan teradu atau pun memanggil saksi-saksi.
Setelah diselidiki berdasarkan bukti-bukti yang ada dia melanggar ya
diputuskan, MKD tidak pernah memutuskan dugaan pelanggaran kode etik itu ada
buktinya melanggar diputuskan tidak melanggar, berdasarkan bukti dia melanggar
atau tidak kalau dia terbukti melanggar dia akan mendapatkan sanksi, sanksinya
ada tiga jenis. Sanksi ringan itu tertulis atau lisan, sanksi sedang diberhentikan
sebagai pimpinan atau jabatan dia dipindahkan dari keanggotaan di komisi satu ke
komisi lain kalau berat dia diberhentikan. Faktor-faktornya ya pertimbangan
hukum dan etika yang berlaku, sudah terbukti nih apakah dia ringan, sedang, atau
berat itu didasari oleh pertimbangan hukum dan etika. Sanksi sedang itu diberikan
ketika pelanggaran kode etiknya mengandung unsur perbuatan melanggar hukum
kalau yang sanksi ringan itu biasanya belum mencapai itu dia murni kode etik.
Misalnya pertimbangan etika ini kan tidak bisa universal ada yang sifatnya lokal
namanya kearifan lokal menurut masyarakat daerah tertentu melakukan perbuatan
begini itu melanggar etika tapi menurut masyarakat lain tidak, dia anggota dor
berasal dari dapil A yang dia melakukan perbuatan itu tidak melanggar, dia
melakukan kunjungan ke daerah lain yang ada suatu perbuatan yang asalnya dia
lakukan itu dia tidak melangar tapi daerah sana itu melanggar dia bisa dikenakan
sanksi berdasarkan pertimbangan etika yang berlaku di sana itu, makannya di sini
di dalam kode etik tentang pasal integritasnya pasal 3 bisa dibaca itu salah satu
pertimbangan etik, ayat satu anggota harus menghindari perilaku tidak pantas atau
tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR blablabla menurut
pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat, tentu suatu
masyarakat itu berbeda pandangan moral dan etikanya ada yang sifatnya lokal dan
universal nah itu terkait faktor yang mempengaruhi.
Penulis:
81
Banyak isu mengenai peran MKD yang dalam memutus cenderung lebih nampak
mempertimbangkan hak politis dari pada hukum dan keadilan, lalu bagaimana
memperkuat peran MKD terkait isu atau pembicaraan publik tersebut?
Yusuf:
Ya itu tadi salah satu kendalanya jadi itulah persepsi publik, jadi itu salah
satu tantangan yang harus dihadapi oleh MKD yang saudara tanya itu adalah
persepsi publik seolah-olah nah dipahami dalam persepsi publik itu MKD
memutus perkara itu berdasarkan pertimbangan politik dari pada hukum dan
keadilan itu tadi, ceritanya kan sudah banyak itu pertimbangan hukum sebagai
sebuah peradilan etik dalam lembaga politik kasat-kasat mata itu memang
persepsi tentang itu tidak bisa ditutup namanya persepsi publik ketika MKD
memutus perkara ini ya menurut MKD itu sudah adil berdasarkan pertimbangan
hukum dan etik tapi semangatnya MKD itu kan bagaimana mendekatkan apa yang
diinginkan oleh publik, tentu itu terus ditingkatkan harus bisa diatasi terkait
dengan persepsi itu yang dalam kasat mata memang itu sebagaimana kendala yang
pertama tadi kepentingan politik itu tidak bisa dipungkiri terkait dengan
memberikan sanski ringan berat sedang dikatakan itu politik ya namanya lemabga
politik tapi apakah dia dominan mempengaruhi nah itu pertanyaannya apakah dia
dominan tentu tidak ada pengaruh-pengaruh politik tetapi tidak dominan di kode
etik saja sudah diatur walaupun dia anggota fraksi, dipasal itu halaman 14 fraksi
itu tidak boleh mengintervensi MKD kalau itu dilakukan itu melanggar kode etik,
independensi pasal 11 bagian 10 tentang independensi anggota MKD harus
bersikap indpenden dan bebas dari fraksinya itulah yang dominan walaupun ya ini
mengatakan ada pengaruh fraksi maka dibuat aturan ini pertanyaannya adakah
pengaruh ya ada maka dia dibatasi yang kedua dibatasi lagi anggota fraksi dan
pimpinan DPR dilarang melakukan upaya intervensi terhadap putusan MKD
karena faktanya ada pengaruh polikit itu maka dia dilarang krena di dalam kode
etik dibatasi tidak boleh terpengaruh kepentingan politik orang yang
mempengaruhi apakah dia pimpinan DPR itu adalah pelanggaran kode etik
walaupun hanya bertanya misalnya anggota DPR bertanya bagaimana itu dugaan
pelanggarannya si A itu juga tidak boleh termasuk intervensi mau perkara itu ada
atau tidak ada jalan atau tidak jalan tetap tidak boleh karena itu sepenuhnya adalah
kewenangna MKD nah itu begitu ketatnya yang saya katakan adalah
pertimbangan hukum dan etika bukan pertimbangan politik.
Penulis:
Apakah dampak dari putusan MKD mengikat secara eksternal atau internal?
Yusuf:
Iya apalagi dia diputuskan itu diberhentikan dari jabatannya contohnya itu
tahun 2015 tahu kan ketua DPR disidang di MKD akhirya yang bersangkutan kan
mengundurkan diri dia tidak menginginkan mendapatkan sanksi karena setelah dia
melakukan dia akan mendapatkan sanksi pemberhentian untuk menjaga nama
82
baiknya mungkin mengundurkan diri dari jabatan itu karena kalau tidak
mengundurkan diri, dari pendapat dominan pimpinan dan pendapat MKD akan
memberikan sanksi pemberhentian jabatan ketua DPR dia mengikat secara
internal dan eksternal tidak lagi ketua DPR nya si A karena sudah diadili.
Penulis:
Seberapa besar peran MKD sesungguhnya dalam menegakan kode etik?
Yusuf:
Cukup besar kembali kepada filosofi di dalam MD3 No. 17 Tahun 2014
Pasal 119 ayat (2) MKD bertujuan menjaga keluhuran serta martabat anggota
DPR sungguh luar biasa berat dan cukup luar biasa besar tugas MKD itu bicara
tentang bagaimana kehormatan itu tegak dan keluhuran itu terjaga itu di tangan
MKD dialah yang memastikan panggilan yang terhormat itu benar-benar
terhormat untuk bisa memastikan dan menjamin kehormatan dan keluhuran
martabat dewan itu tadi tegak dan terjaga itu jaminannya adalah kode etik ketika
anggota itu mematuhi kode etik kehormatannya tegak kalau dia tidak mematuhi
kode etik ya kehormatannya tidak tegak tercoreng tercemar nah tugas MKD
bagaimana caranya dijelaskan tadi adalah menegakan kode etik jadi cukup besar
dan cukup luar biasa berat tugas MKD itu sekali lagi bicara tentang meningkat
dan tidak meningkatnya kinerja kelembagaan dewan itu ada di MKD perannya
melalui penegakan kode etik.
Penulis:
Apakah MKD berwenang dalam memberhentikan anggota dewan?
Yusuf:
Sangat berwenang. Dalam undang-undang anggota DPR itu berhent karena
diberhentikan oleh pihak partainya sendiri melalui pencabutan keanggotaan atau
diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap atau
inckrah sampai ke kasasi MA karena adanya dugaan tindak pidana yang dia
lakukan, yang ke dua sifatnya yang di luar eksternal itulah yang di internal MKD
berwenang memberhentikan, anggota DPR itu diberhentikan oleh MKD karena
dia mendapatkan sanksi berat setelah melanggar kode etik, seperti pelanggaran
seperti kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, itu MKD tahunya ada
pelanggaran dari si korban mengadu ke pihak kepolisian disidik dulu dipolisi baru
MKD merespon, peradilannya belum selesai tetapi MKD telah memproses dan
menghasilkan putusan memberhentikan dan keputusan MKD itu final, hanya di
dalam mekanisme pemberhentian anggota DPR itu MKD tidak bisa menyelidiki
sendiri anggota, dia harus melibatkan perwakilan masyarakat itulah namanya
panel, panel itu sebuah majelis penyelidik pelanggaran kode etik yang bersifat
berat yang terdiri dari 7 orang 3 orang dari anggota MKD dan 4 orang lainnya dari
perwakilan masyarakat yang direkrut yang menyelidiki, bersidang, dan
83
memutuskan orang itu hingga akhirnya dia diberhentikan setelah diputuskan
disampaikanlah lagi dalam rapat paripurna ditetapkan.
Penulis:
Bagaimana hakim sidang dalam pelanggaran kode etik ringan dan sedang?
Yusuf:
Kalau terkait pelanggaran kode etik yang sifatnya ringan sedang itu MKD
sendiri, makannya yang berat itu pasti diawali sidang-sidang MKD sendiri pas
mau mengambil keputusan terakhir hasil penyelidikan MKD oh ini ada dugaan
pelanggaran kode etik yang bersifat berat maka putusannya MKD memutuskan si
“A” telah terbukti melanggar kode etik berat sehingga harus dibentuk panel kalau
dia tidak berbentuk panel berarti dia ringna atau sedang. Hakim yang mengadili
yaitu semua anggota mengadili 17 orang itu walaupun di dalam tata beracara
boleh dibentuk kelompok tetapi sejauh ini belum pernah dibentuk kelompok, yang
ringan sedang itu karena semuanya itu masih bisa diatasi, kecuali yang panel
harus 7 orang.
Penulis:
Apa saja faktor yang mempengaruhi penjatuhan sanksi pelanggaran etik?
Yusuf:
Untuk memutuskan dia terbukti atau tidak terbukti ya berdasarkan bukti
untuk mentukan ringan, sedang, dan berat dalam kode etik tidak ada itu
pertimbangan hukum namanya tapi ada juga pertimbangan etika, etika itu beda
dengan hukum etika itu ada unsur subjektifitasnya ini ringan, sedang, dan berat
beda dengan hukum, hukum itu kalau sudah tertulis dia harus dilakukan semuanya
etika kan tidak tertulis ada dalam rasa ada dalam fikiran itulah yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat ringan sedang dan berat hukumnya bicara ada
klasifikasinya tetapi di dalam hukum ini ada ruang pertimbangan etika yang itu
sifatnya subjektif tergantung hakim itu unsur masyarakat mana dalam
memutuskan, sama, putusan pegadilan hukumnya juga begitu di dalam KUHP kan
jelas, misalnya JPU menuntut sekian tahun mengapa hakim itu memutus 1 tahun
ya ada unsur subjektifitas hakim sehingga apa yang JPU itu tuntut tidak selalu
dipenuhi malah kadang kalau JPU nya menuntut ringan hakimnya malah
memberatkan hak itulah pertimbangna hukum dan etika keyakinan subjektif ada
di dalam setiap hakim untuk memfinalkan apakah dia kualifikasi ringan, sedang,
dan berat walaupun panduannya sudah ada tetapi ada pertimbangan hukum
subjektif.
84
Penulis:
Peran MKD dalam menyidangkan suatu perkara perlukah dalam sidang perkara
yang bersifat ringan dan sedang juga ada unsur dari masyarakat untuk menjaga
kenetralan suatu putusan?
Yusuf:
Kalau dari persepsi publik ketika dalam perubahan MD3 ini itu ada seperti
itu sampai sekarang agar sisi yang ke tiga itu tadi MKD kuat, dihormati, dan
disegani dari internal dan eksternal salah satu strategi penguatan MKD itu adalah
melibatkan pihak eksternal di dalam penyelidikan perkara-perkara dugaan
pelanggaran kode etik di MKD apakah itu yang sifatnya permanen atau temporer
seperti panel itu tetapi setiap pelanggaran apa pun itu ada semangat itu ada hasil
dari kesepakatan sehingga sampai sekarang ini apa yang dikehendaki oleh publik
melibatkan masyarakat baru sebatas pelanggaran berat kan tadi harapannya kan
kita tidak tahu ke depan, sementara ini keinginan untuk memperkuat itu ada jadi
masyarakat kalau itu didorong terus bisa terjadi visi penguatan itu dengan
melibatkan masyarakat menjadi anggota MKD.
Penulis:
Seperti apakah kepantasan seorang anggota dewan itu sebagai wakil rakyat?
Yusuf:
Sikap etik yang pantas itulah yang memang berlaku di dalam masyarakat
tentu ada yang sifatnya universal berlaku untuk semuanya ada yang sifatnya lokal
itu namanya etik pemberlakuannya itu ada dari masyarakat, anggota dewan ketika
ada sebuah rapat membalikan meja pasti dikatakan itu marah dia, marah
berlebihan sehingga tidak etik nah itu berlaku di masyarakat pantaskan anggota
dewan itu di tengah rapat sambil ketawa-ketawa kan dilihat dulu ketawanya itu
mengejek mengganggu rapat atau tidak kalau semuanya lagi ketawa yang
ditertawakan itu hal yang berkaitan dengan masyarakat ya mungkin itu untuk
merilekskan suasana supaya tidak tegang tetapi ada anggota lain mengatakan
masyarakat si “A” mendengarkannya meresponnya dengan ketawa-ketawa itu
melanggar kode etik kan dia tidak menghargai menghormati rekannya ketika
menyampaikan aspirasi dia malah ketawa-ketawa sampai ada yang mengatakan
ada pelanggaran HAM hak asasi manusia dikatakan hak asasi monyet nah itu kan
melawan partainya aja jadi itu pantas dan tidak pantasnya itu tadi dirasa dalam
panca indera kita ada di tengah-tengah masyarkat dikatakan etik dan tidak etik
tetapi panduannya secara umum itu ada di sini bagaimana memahaminya ya ada
unsur subjektifitasnya itu tadi perbuatan pantas tidak pantasnya yang beelaku
dalam masyarakat bisa dibuat di sini lengkap.
85
Penulis:
Apa harapan Anda terhadap MKD di masa mendatang?
Yusuf:
Sebagaimana kita katakan di awal tadi ternyata MKD ini sungguh kuat
lembaga penegak kode etik di parlemen dinamakan Mahkamah itu baru 1 di dunia
sebagai suatu hal yang baru tentu wajar kalau dia belum sempura dan banyak yang
harus diperbaiki terus harapannya tentu MKD ke depan semakin meningkat di
dalam menegakan kode etik semakin efektif dan semakin kuat target ke depennya
ya semakin kuat itu menjadi lembaga penegak etik di DPR yang disegani dan
dihormati oleh siapa pun baik di internal maupun eksternal ituah visi MKD
meningkat efektif dan kuat itu harapannya MKD yang menjadi visi dalam
program-program meningkat itu pasti terus efektif iya tapi yang paling berat itu
nantinya MKD adalah menjadi lembaga penegak hukum kode etik yang kuat baik
secara internal maupun secara eksternal itu lah harapan kita semua tentang MKD.