REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

40
Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 1 Komisaris Utama: dr. Seno Purnomo, Direktur Utama: dr. Mahesa Paranadipa Maykel, M.H.Kes, Direktur Keuangan & Administrasi: Dewi Poernomo Sari, SE, MM Pemimpin Redaksi: DR. Dr. Aida SD Hoemardani, SpKK(K), FINSDV, FAADV, Wakil Pemimpin Redaksi: dr. Mahesa Paranadipa Maykel, M.H.Kes, Sekretaris Direktur: Indah Permata Sari, SE Redaksi: dr. Muhamad Angki Firmansyah, dr. Maria Florencia Deslivia, dr. Hayatun Nufus, Sp.PD, dr. Hari Nugroho, Sp.OG, dr. Gita Nurul Hidayah, dr. Risca Marcelena, dr. Frans Liwang, dr. Naldo Sofian, dr. Husniah, Sp.ak, Kepala Divisi Penelitian : dr. Ekasakti Octohariyanto, MPd, Ked., Desain Grafis : Nanung Haryanto, Pemasaran : Devina Aviani, Dian Awaludin, Eko Yuli S., S.Farm, Apt., Sirkulasi : Endang Kusnaran, Keuangan : Kartini, Muhamad Nuh Kontributor: dr. Pribakti B., dr. Denny Khusen Koresponden: Drs. Zainul Kamal (Jogjakarta), dr. Darmono S.S (Semarang), dr. Dwicha Rahmawansa S. (Surabaya), dr. Laurentius A. Pramono (Jakarta), dr. Nyityasmono Tri Nugroho, Sp.B (Jerman) Alamat Redaksi & Sirkulasi: RUKO MITRA MATRAMAN BLOK B-10 Jl. Matraman Raya, Jakarta Timur 13150, Telp. (021) 2298 5159, Fax. 3190 6649, PO. BOX. 1202/JKS 12012. E-mail : [email protected], Rekening Bank a/n PT. Medika Media Mandiri : BANK CENTRAL ASIA KCU Wahid Hasyim, Jl KH. Wahid Hasyim No.183 A-B, Jakarta Pusat 10240, No. AC: 028 311 2541 Diterbitkan oleh: PT. Medika Media Mandiri Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Kecil : Nomor: 117/24.1PK/31.75.01/-1.824.27/e/2016. Dr. Bisono, Bagian Ilmu Bedah-RSCM/FKUI Jakarta. Dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UMJ, Bagian Bedah Orthopedi dan Traumatologi RSUD Cengkareng, Banten. Dr. Otte J. Rachman, Bagian Kardiologi RSCM/FKUI Jakarta. Prof. Dr. Arjatmo Tjokronegoro, PhD, Bagian Biologi FKUI Jakarta. Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp OG(K), Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD dr. Soetomo. Prof. DR. dr. Fachmi Idris, M.Kes, Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Prof. Dr. Hadiarto, Bagian Paru RS Persahabatan, FKUI Jakarta. Prof. DR. Iskandar Wahidiyat, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM/FKUI Jakarta. Prof. Dr. Junus Alkatiri, Bagian Penyakit Dalam, FK UNHAS Ujung Pandang. Prof. M. Thaha MD, PhD, FINASIM, FACP, FASN, FK UNAIR Surabaya. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Prof. DR. R. Utji, Bagian Mikrobiologi, FKUI Jakarta. REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Transcript of REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Page 1: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 1

Komisaris Utama: dr. Seno Purnomo,Direktur Utama: dr. Mahesa Paranadipa Maykel, M.H.Kes,

Direktur Keuangan & Administrasi: Dewi Poernomo Sari, SE, MM

Pemimpin Redaksi: DR. Dr. Aida SD Hoemardani, SpKK(K), FINSDV, FAADV, Wakil Pemimpin Redaksi: dr. Mahesa Paranadipa Maykel, M.H.Kes,

Sekretaris Direktur: Indah Permata Sari, SE

Redaksi: dr. Muhamad Angki Firmansyah, dr. Maria Florencia Deslivia, dr. Hayatun Nufus, Sp.PD, dr. Hari Nugroho, Sp.OG, dr. Gita Nurul Hidayah, dr. Risca Marcelena, dr. Frans Liwang, dr. Naldo Sofian,

dr. Husniah, Sp.ak, Kepala Divisi Penelitian : dr. Ekasakti Octohariyanto, MPd, Ked., Desain Grafis : Nanung Haryanto, Pemasaran : Devina Aviani, Dian Awaludin, Eko Yuli S., S.Farm, Apt., Sirkulasi : Endang Kusnaran,

Keuangan : Kartini, Muhamad Nuh

Kontributor: dr. Pribakti B., dr. Denny Khusen

Koresponden:Drs. Zainul Kamal ( Jogjakarta), dr. Darmono S.S (Semarang), dr. Dwicha Rahmawansa S. (Surabaya),

dr. Laurentius A. Pramono (Jakarta), dr. Nyityasmono Tri Nugroho, Sp.B (Jerman)

Alamat Redaksi & Sirkulasi: RUKO MITRA MATRAMAN BLOK B-10

Jl. Matraman Raya, Jakarta Timur 13150, Telp. (021) 2298 5159, Fax. 3190 6649, PO. BOX. 1202/JKS 12012.E-mail : [email protected], Rekening Bank a/n PT. Medika Media Mandiri :

BANK CENTRAL ASIA KCU Wahid Hasyim, Jl KH. Wahid Hasyim No.183 A-B, Jakarta Pusat 10240, No. AC: 028 311 2541

Diterbitkan oleh: PT. Medika Media Mandiri

Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Kecil : Nomor: 117/24.1PK/31.75.01/-1.824.27/e/2016.

Dr. Bisono, Bagian Ilmu Bedah-RSCM/FKUI Jakarta.Dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UMJ, Bagian BedahOrthopedi dan Traumatologi RSUD Cengkareng, Banten.Dr. Otte J. Rachman, Bagian Kardiologi RSCM/FKUI Jakarta.Prof. Dr. Arjatmo Tjokronegoro, PhD, Bagian Biologi FKUI Jakarta.Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp OG(K), Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD dr. Soetomo.Prof. DR. dr. Fachmi Idris, M.Kes, Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas,Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.Prof. Dr. Hadiarto, Bagian Paru RS Persahabatan, FKUI Jakarta.Prof. DR. Iskandar Wahidiyat, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM/FKUI Jakarta.Prof. Dr. Junus Alkatiri, Bagian Penyakit Dalam, FK UNHAS Ujung Pandang.Prof. M. Thaha MD, PhD, FINASIM, FACP, FASN, FK UNAIR Surabaya.Prof. Dr. Urip Harahap, Apt, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.Prof. DR. R. Utji, Bagian Mikrobiologi, FKUI Jakarta.

REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Page 2: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

2 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

SYARAT PENULISAN NASKAH

Pedoman Umum- Naskah yang diterima adalah karangan asli yang hanya ditujukan

kepada MEDIKA dan belum pernah dipublikasikan (kecuali abstrakatau laporan yang disajika n dalam temu ilmiah).

- Semua makalah yang ditujukan kepada jurnal ini akan melaluiproses tanggapan ilmiah dari mitra bestari (peer reviewer)dan/atau tanggapan editorial.Dewan Redaksi berhak melakukan suntingan naskah dalam rupa,gaya, bentuk, dan kejelasan, tanpa meng ubah isi.

- Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan jika sebelu mnya adapermintaan. Naskah dialamatkan kepada Redaksi Jurnal Kedokteran IndonesiaMEDIKA: RUKO MITRA MATRAMAN BLOK B-10, Jl. Matraman RayaJakarta Timur 13150; e-mail: [email protected] atau [email protected]. Telp: 021-2298 5159. Naskah yang dikirimkan dan urutan nama penulis diangga p sudahmendapat persetuju an publikasi dari semu a penulis.

- Naskah disampaikan dalam bentuk CD atau disket progra mMS-WOR D atau yang kompatibel dan 2 (dua) berkas salinan (printout) yang tersusun sesuai urutan: 1) halama n judul; 2) abstrakIndonesia dan Inggris; 3) isi; 4) ucapan terima kasih; 5) dafta rpustak a; 6) tabel; 7) gamba r dan keterangan.

Penulis - Pencantuman nama penulis berdasarkan kontribusi yang

bermakna dalam:- Konsep, desain. analisis, dan interpretasi data;- Penulisan makalah atau revisi kritis bagian isi;- Pembuatan makalah versi terakhir yang dipublikasikan;- Setiap perubahan dalam pencantuman nam penulis setelah

naskah diserahkan harus menyertakan per setujua n tertulis olehsemua penulis.

Hak Cipta- Hak cipta seluruh isi naskah yang telah dipublikasikan berali h

kepada penerbit MEDIKA dan seluruh isinya tidak bolehdireproduk si dalam bentuk apapun tanpa izin penerb it.

- Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawabpenulis.

Teks - Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia yang baku, atau, dalam

keadaan tertentu dapat ditulis dalam Bahasa Inggris dengan ejaanAmerika.

- Naskah diformat dengan ukuran kertas letter (8 x 11 inc i atau 21,8x 28,2 cm); diketik dengan spasi ganda; dengan huruf Times NewRoman ukuran 12.

- Satuan ukuran yang dipakai menggunakan Sistem Internasional (SI).- Semua teks dibuat dalam dokumen elektronik (WORD atau PDF).- Kecuali untuk unit pengukuran, penggunaan singkatan sangat tidak

dianjurkan kecuali didahului kepanjangannya pada kemunculanpertam a.

Naskah dari LuarARTIKEL PENELITIAN merupakan laporan hasil penelitia n kesehatandan kedokteran dasar. - Susunan dimulai dari Judul; Abstrak; Pendahuluan; Metodologi;

Hasil; Diskusi; Kesimpulan; dan Ucapan Terima Kasih.- Teks tidak melebihi 2700–3500 kata (15–20 halaman).- Abstrak berbahasa Indonesia dan Inggris (masing-masing

maksima l 200 kata); disusu n dalam satu alinea dengan strukturlatar belakang, metode, hasil, dan simpula n, tanpa disertaisubjudu l tersebut; diserta i 3–10 kata kunci.

- Jumlah keseluruhan tabel dan gambar maksimal 5 (lima) buah.- Daftar pustaka tidak melebihi 30 buah. ARTIKEL KONSEP merupakan tulisan kajian literatur yang komprehensifdan ilmiah dari sebuah topik, dengan penekanan pada perkembangandalam lima tahun terakhir. - Tulisan dapat menjelaskan konsep dasar, deteksi atau identifikasi

masalah, atau intervensi terapi terkini yang berkembang.- Teks tidak melebihi 3500 kata (20 halaman).- Gambar dan tabel maksimal 6 (enam) buah.- Daftar pustaka yang dimuat tidak melebihi 100 buah.- Tidak memerlukan abstrak. STUDI KASUS merupakan laporan kasus yang menarik, yang mungkinditemui dokter umum, dengan kesulitan diagno sis, serta memberikansuatu pembelajaran. Lebih disukai jika memiliki ilustrasi yang baik.Harus disertakan surat persetujuan publikasi dari pasien ataukeluargany a secara tertulis atau secara elektronik. FOKUS merupakan uraian yang terfokus terhadap hal/masalahtertent u, seperti politik kesehatan, kebijakan kesehatan, atau halterkini tentang kesehatan.

KORESPONSDENSI merupakan rubrik surat menyurat mengenai materiyang pernah dipublikasikan dalam MEDIK A, komentar tentangkejadia n dalam dunia kedoktera n dan kesehatan, atau komentarterhada p Redaksi MEDIKA. Surat diharapkan sampai di meja redaksidua minggu setelah publikasi materi yang dibahas dan teks tidakmelebihi 250 kata. Koresponsdensi umum yang tidak terkait materidalam jurnal juga dapat diterima dan maksim al terdiri dari 400 kata.PENGEMBANGAN PROFESI membahas masalah-masalah kesehatanyang ditemukan dalam praktik dokter secara interaktif. DARI LAPANGAN merupakan ulasan berbasis bukti lapang an tentang,topik-topik yang relevan dengan praktik kedokteran, pelayananprimer umum, dan spesialis.- Naskah memuat antara lain: masalah, strategi penyelesai an,

kendala, pendekatan yang digunakan, keberh asilan, kegagalan,simpula n, dan rekomendasi.

- Teks tidak melebihi 2500 kata ditambah sedikit gambar dan tabel.- Tidak diperlukan abstrakTulisan yang Diolah RedaksiKEGIATAN berisi reportase mengenai berbagai kegiatan, seminar,kongre s, dan berbaga i acara yang berkaitan denga n dunia kedok-teran/kesehatan.PROFILBerita tentang tokoh kedokteran/kesehatan atau institusi kesehatanyang diberitakan karena adanya kejadian ataupun prestasi yangistimewa.SARIPATI berisi abstrak tentang artikel yang menarik dan baru dariberbagai jurnal ilmiah kedokteran yang menjadi referensi. EDITORIAL berisi bahasan tentang sebuah artikel yang secarabersamaan di muat di MEDIKA. Bahasan mengenai substansi, konsep,metodologi, atau pengambilan simpula n. KolomTulisan yang mirip TOPIK, lebih supervisial, tanpa daftar pustaka.Ditulis dengan bahasa yang agak pribadi dibandin g TOPIK. Tabel dan Gambar- Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah, dan disebutkan

letaknya dalam narasi makalah.- Tabel dibuat sederhana, tanpa garis vertikal.- Judul tabel diletakkan di atas, tanpa titik, dan diidentifikasi dengan

angka Arab.- Setiap singkatan dalam tabel diberi keterangan sesuai urutan

alfabe t berupa catatan kaki di bawah tabel. - Ilustrasi dan gambar elektronik harus dibuat dengan resolu si yang

cukup tinggi dan diberi angka Arab dengan keterangan yang ditulisdi bawahnya.

- Foto diberikan dalam kertas kilap (glossy) dan diberi ke teran g anseperti gambar. Foto dikirimkan dalam kemasan yang baik,kerusakan bukan tanggung jawab redaksi.

- Foto pasien harus disamarkan identitasnya atau disertaipersetujua n tertulis dari yang bersangkutan

Nama Obat- Harus menggunakan nama generik.- Bila merek tertentu digunakan dalam penelitian, can tum kan nama

merek dan produse nnya dalam tanda kurung mengikuti penulisanpertama nama generik pada bagian

Metode Statistik- Metode statistik yang digunakan harus diterangkan dalam bab

Metodologi dan untuk metode yang jarang digun akan harusditerang kan secara detail serta diberi keterangan rujukannya.

- Panduannya tercantum di Bailar JC III, Mosteller F. Guidelines forstatistical reporting - articles for medical journals: amplificationsand explanations. Ann Intern Med 1988;108:266–73.

Daftar Pustaka- Usia rujukan diutamakan tidak lebih dari lima tahun.- Daftar rujukan disusun sesuai ketentuan Vancouver.- Rujukan diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam makalah.- Nama jurnal disingkat sesuai Index Medicus.- Cantumkan semua penulis bila berjumlah enam orang atau

kurang; tetapi bila tujuh orang atau lebih, cantumkan enam namapertama dan diikuti dengan “et al.”

Semua Naskah yang Dimuat Dalam Majalah Medika tidak Diperbolehkan Disalin atau Diperbanyak

Tanpa Seizin Majalah Medika.

Page 3: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 3

DAFTAR ISI

EDITORIALPreeklampsia dan Target Penurunan Angka Kematian IbuBerdasarkan SDGs (MP) ......................................................................................... 4

ARTIKEL PENELITIANHubungan Leukosituria dan Bakteriuria dengan Kelahiran Prematur dan Aterm pada Preeklamsia di RSUD Ulin Banjarmasin(HERMIN S, PRIBAKTI B.) .......................................................................................... 5

Mewaspadai Lebih Dini Oklusi Vena Retina Sentral(PANDE MADE GUSTIANA) ....................................................................................... 10

TINJAUAN PUSTAKAKonjungtivitis Vernal(MADE DESSY GANGGA AYU CINTHIADEWI) ............................................................... 18

Skrining Penyakit Arteri Perifer di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama diKabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (Sebuah Perbandingan Faktor Risiko Simptomatik dan Asimptomatik Pada Penyakit Arteri Perifer)(NALDO SOFIAN, STEPHANIE WIBISONO) ................................................................... 26

LAPORAN KASUSHipertiroid dan Lupus Eritematosus Sistemik(ANIK WIDIJANTI, ELLA MELISSA L.) .............................................................................. 34

Page 4: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

EDITORIAL

4 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Secara global, angka kematian ibu di tahun 2013sebesa r 210 kematian ibu per 100.000 kelahiran

hidup atau sekitar 800 perempuan meninggal per harikarena komplikasi kehamilan atau persalinan dan 99%terjadi di negara berkembang. Kondisi ini masih sangatjauh dari target Millenium Development Goals (MDGs).Komplikasi utama yang menjelaskan hampir 75%kematia n ibu adalah perdarahan 27%, preeklampsia daneklampsia 14%, infeksi 11%, partus macet 9%, dankomplikasi abortus 8%. Pada tahun 2014, di AsiaTenggara kematian ibu yang diakibatkan oleh pre-eklampsia sebesar 17% dan di Indonesia sebesar 25%.Penyebab kematian ibu akibat preeklampsia daneklampsia di Indonesia masih cukup tinggi dibanding-kan dengan di Asia Tenggara atau dunia.

Di tahun 2015, sebanyak 193 negara sepakat me -ruba h Tujuan Pembangunan Millenial (MDGs) menjadiTujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Di dalamtarget SDGs, kematian ibu diharapkan turun di bawah 70per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2030. Dari dataRiskesdas tahun 2018, dilaporkan penurunan jumlahabsolut kematian ibu dari 4.999 Ibu (tahun 2015) men-jadi 4.295 Ibu (tahun 2017). Penurunan jumlah absolutkematian bayi dari 33.278 bayi (tahun 2015) menjadi27.875 bayi (tahun 2017) di seluruh Indonesia. Namunangka ini masih di atas target SDGs tentunya.

Preklampsia merupakan gangguan dengan etiologiyang tidak diketahui secara khusus pada perempuanhamil. Bentuk sindrom ini ditandai oleh hipertensi, danpro teinuria yang terjadi setelah minggu ke-20 kehamilan.Eklampsia adalah preeklampsia yang ditandai den- ganadanya kejang. Eklampsia yang tidak dikendalikandenga n baik akan dapat mengakibatkan kecacatanmenetap atau bahkan dapat menyebabkan kematianibu dan bayi. Kejadian preeklampsia dan eklampsiaberkisa r 5 – 10% dari seluruh kehamilan. Faktor risikountuk terjadinya preeklampsia adalah usia ibu (kurangdari 16 tahun atau lebih dari 45 tahun), primigravida,adanya hipertensi sebelum kehamilan, kehamilanganda, kehamilan mola, obesitas, riwayat preeklampsiapada kehamilan sebelumnya. Di antara faktor-faktoryang ditemukan, sulit ditentukan faktor yang menjadipenyebab utama dari preklampsia dan eklampsia ini.

Penanda keparahan di preeklampsia adalah ditandaidengan tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih, pro -teiun uria 2+, terjadinya kejang (eklampsia), gangguanpenglihatan, nyeri abdomen atas, terjadi trombositopenia,hemolisis, pertumbuhan janin terhambat, edema paru,dan oliguria. Proteinuria dan hipertensi adalah manifes-tasi klinis yang dominan pada preeklampsia karena ginjalmenjadi target penyakit pada beberapa organ sepertikegagalan ginjal, kerusakan pada organ hati, dan terjadi-nya perdarahan intracranial. Sedangkan kejang padapasien preeklampsia meningkatkan angka kematian ibudan kematian janin dikarenakan terjadinya kolaps sirku-lasi. Keterlibatan hepar pada preeklampsia-eklampsiaadalah hal yang serius dan disertai dengan keterlibatanorgan lain terutama ginjal dan otak, bersama denganhemolisis dan trombositopenia. Keadaan ini yang disebutsindrom hemolisis elevated liver low platele t (HELLP).

Sindrom HELLP merupakan prediktor kuat terjadinyakematian pada ibu hamil yang mengalami preeklampsiaberat. Selama perjalanan klinis sindrom HELLP, kondisiibu dan janin memburuk secara progresif dan terkadangterjadi secara tiba-tiba. Oleh karena itu, pelayanan rawatinap yang cepat dan observasi di pelayanan kesehatandan diharuskan untuk terminasi kehamilan. Penilaiandan stabilisasi pada kondisi ibu, khususnya kelainankoagulasi adalah yang paling penting dan rujukan kepusat perawatan tersier yang harus dipertimbangkandan pentingnya antenatal care dan mengontrol tekanandarah agar tidak terjadi sindom HELLP. Antenatal carememiliki tujuan khusus untuk mengenali tanda penyulitkehamilan, persalinan dan nifas serta mengobatipenyaki t yang dialami ibu hamil.

Di dalam edisi kali ini, Jurnal MEDIKA menghadirkanartikel penelitian berjudul “Hubungan Leukositoria danBakteriuria Dengan Kelahiran Prematur dan Aterm PadaPreeklampsia di RSUD Ulin Banjarmasin”. Penelitianmenyimpulkan bahwa terdapat hubungan leukosituriadan bakteriuria dengan kejadian kelahiran prematurpada preeklampsia. Tentunya diharapkan denganhadirny a artikel penelitian ini dapat menambahwawasa n dan pemahaman terkait preeklampsia danupaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegahkondisi lebih buruk dari ibu dan janin. (MP)

Preeklampsia dan Target PenurunanAngka Kematian Ibu Berdasarkan SDGs

Page 5: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 5

AbstrakInfeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit yang sering ditemukan pada ibu hamil, namunkebanyakan tidak diobati karena dianggap suatu penyakit yang biasa. Ibu hamil dengan ISK padaumumnya akan merasa terganggu jika disertai dengan manifestasi klinis nyeri saat berkemih. ISKdapat terjadi pada ibu hamil dengan preeklamsia. Tatalaksana pasien dengan preeklamsia,dilakukan pemeriksaan urin lengkap (+sedimen). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakahterdapat hubungan leukosituria dan bakteriuria dengan kelahiran prematur pasien denganpreeklamsia di RSUD Ulin Banjarmasin. Penelitian ini menggunakan metode observasional analitiksecara retrospektifberupa cross sectional. Data hasil pemeriksaan urin lengkap (+ sedimen) diambildari rekam medis pasien preeklamsia kelahiran prematur dan aterm yang rawat inap di RSUD UlinBanjarmasin periode Januari 2017 – Desember 2017, dengan menggunakan metode nonpropabilitydan metode purposive sampling. Data dianalisa dengan menggunakan SPSS bivariat chi square.Penghitungan OR (Odds Ratio) dan CI (confidence interval) dengan menggunakan binarry logistic.Hasil penelitian terdapat hubungan bermakna leukositoria, bakteriuria dan usia <30 tahun dengankelahiran prematur pada preeklamsiayang ditunjukkan P value kurang dari 0,05. Untuk leukositurianilai OR =5.850 pada preklamsia lahir preterm meningkat 6 kali lipat dibanding pada preeklamsialahir aterm dengan 95% CI (2.905-11.783). Untuk bakteriuria nilai OR =10.810 artinya padapreeklamsia lahir preterm 11 kali lipat meningkat dibandingkan dengan preeklamsia lahiratermdengan 95% CI (4.045-28.893). Untuk usia pasien rata-rata lahir preterm < 30 tahun sebesar 44%dan usia >30 tahun sebesar 59.4% diperoleh OR=1.869 artinya pada pasienusia <30 tahun lahirpreterm sebanyak 2 kali dibandingkan usia pasien >30 tahun dengan 95% CI (1.056 - 3.310).Kesimpulan: Terdapat hubungan leukosituria dan bakteriuria dengan kelahiran prematurpreeklamsi a.

Kata Kunci: Preeklamsia, Preterm , Infeksi Saluran Kemih

AbstractUrinary tract infection (UTI) is a disease that is often found in pregnant women, but mostare not treatedbecause it is considered a common disease. UTI may occur in pregnant women with preeclampsia.Management of patients with preeclampsia is performcomplete urine examination. The purpose of thisstudy is to determine whether there is a correlation of leukocituria and bacteriuri a with preterm deliver yof patients with preeclampsia at RSUD Ulin Banjarmasin. This study uses retrospective observationalanalyti c (cross sectional). The complete urine laboratory data (+ sediments) was taken from the medicalrecord of Inpatients with preeclampsia preterm and aterm birth in RSUD Ulin Banjarmasin from Januaryuntil December 2017, using nonpropability and purposive sampling methods. Data were analysis usingSPSS bivariate chi square. Calculation of OR (Odds Ratio) and CI (confidence interval ) by using

HERMIN S, PRIBAKTI B.

Departemen Obstetri danGinekologi FakultasKedokteran UniversitasLambung MangkuratBanjarmasin

Hubungan Leukosituria dan Bakteriuriadengan Kelahiran Prematur dan Atermpada Preeklamsia di RSUD UlinBanjarmasin

ARTIKEL PENELITIAN

Page 6: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

binarrylogis tic. The results of this study showed a significantcorrelati on of leukocituria,bacteriuria and age <30 years withpreterm birth with P value < 0.05. For leukocituria the OR = 5,850in preeclampsia preterm birth 6 times increased in comparison topreeclampsia aterm birth with 95% CI (2,905-11,783). Forbacteriuri a the OR = 10,810 means that preeclampisa pretermbirth was 11 times increased in com pa riso n to preeclampsia atermbirth with 95% CI (4,045-28,893). For the mean age of patientspreterm birth <30 years are 44% and age> 30 years are 59.4%obtained OR= 1.869, it means that age <30 years of preterm birth2 times in comparis on to age> 30 years with 95% CI (1.056 - 3.310).Conclusion: There is a correlat ion of leukocituria and bacteriuriawith preeclampsia preterm births.

Keywords: Preeclampsia, Preterm, Urinary Tract Infection

Pendahuluan

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakityang sering ditemukan pada ibu hamil. Penyakit

ini kebanyakan tidak diobati karena dianggapsuatu hal yang biasa dan akan hilang dengansendirinya. Ibu hamil dengan ISK pada umumnyaakan merasa terganggu jika disertai denganmanifest asi klinis yang menganggu aktivitas.1 ISKpada kehamilan dibagi dua yaitu asimptomatikdan simptomatik. ISK asimptomatik padakehamila n bila tidak diobati dapat menyebabkanprognosis yang buruk pada bayi karena banyakterjadi persalin an premature.2 ISK pada kehamilanbila tidak diobati sekitar 30% akan menyebabkansistiti s dan 50% pielonefritis pada ibu hamil.3

Insiden terjadinya ISK selama kehamilanmeningkat sesuai dengan usia kehamilan ibudenga n prevalensi ISK pada kehamilan di Asiasebesar 28,7%, 30,1% pada orang kulit hitam dan41,1% Hispanik. Pasien hamil memiliki 5 kali lipatrisiko peningkatan kejadian bakteriuria dibanding -kan dengan pasien tidak hamil.4

Preeklampsia (PE) adalah salah satu penyebabutama morbiditas dan mortalitas ibu dan perina-tal di negara berkembang. PE didefinisikan seba-gai adanya peningkatan tekanan darah pada ibuhamil sebesar 140 mmHg untuk tekanan sistolik,dan 90 mmHg untuk tekanan diastolik, pada ibuhamil dengan usia kehamilan diatas 20 minggu.5

WHO memperkirakan kasus PE tujuh kali lebihtinggi di negara berkembang daripada di negaramaju. Prevalensi PE di negara maju adalah 1,3% -6%, sedangkan di negara berkembang adalah

1,8% - 18%. Di Amerika Serikat angka kejadian PEberkisar 3,4%, dan meningkat 1,5-2x lipat pada ibunulipara.6 Penyebab PE antara lain adalah me -milik i riwayat preeklamsia, nulliparitas, usia ibu>40 tahun, kehamilan kembar, penyakit komorbidyang menyertai kehamilan seperti DiabetesMelitus Gestasional, obesitas, gagal ginjal maupunberkaitan dengan radikal bebas.7

ISK dapat terjadi pada ibu hamil denganpreeklamsia. Dilaporkan ISK secara signifikan lebihsering terjadi pada wanita hamil dengan PEdibandingkan dengan hamil tanpa PE.Pada tata-laksana pasien ISK asimptomatik, pemeriksaankultur urin merupakan “gold standar”. Dikatakanbacteriuria asimptomatik positif jika pada kultururin didapatkan 105 pembentuk koloni unit permiliter (CFU /ml). Hanya saja dilapangan terdapatkendala dalam penegakan diagnosis ISK denganpemeriksaan kultur urin, selain biaya yang relatifmahal juga butuh waktu yang lama. Padahal di -mung kinkan pemeriksaan urin lengkap (+sedi-men) dapat menjadi salah satu alternatif pene-gakan diagnosis ISK dalam kehamilan denganhasil terlihat peningkatan leukosit dan terdapattidaknya bakteri pada urin.8

Berdasarkan teori menjelaskan bahwa terjadi -nya kelahiran prematur pada PE akibat terjadinyaspasmus pembuluh darah sehingga aliran darahke plasenta menurun yang mengakibatkan gang-guan fungsi plasenta dan spasme arteriol pada talipusat . Jika spasme berlangsung lama selain akanmengganggu pertumbuhan janin juga pening -katan tonus dan kepekaan uterus menimbulkanrangsangan terjadinya persalinan prematur.9

Persalinan prematur juga dapat disebabkanoleh infeksi selaput ketuban akibat ISK. Prosesinfeksi diawali dengan adanya pengeluaran pro-duk sebagai hasil dari aktifasi monosit, interleukin-1(IL-1), tumor necrosis faktor (TNF), interleukin-6 (IL-6),sitokin-sitokin yang diekspresikan tubuh ber -hubungan dengan persalinan prematur. PlateletActivating Factor (PAF) ditemukan dalam cairanketuban bekerja. PAF secara sinergistik denganaktivitas jalinan kerja sitokin (cytokine network). PAFini diperkirakan dihasilkan dalam paru dan ginjaljanin sehingga janin memainkan peran sinergistikdalam mengawali proses persalinan prematuryang disebabkan karena infeksi. Saat ini yang

Hubungan Leukosituria dan Bakteriuria dengan Kelahiran Prematur dan Aterm pada Preeklamsia di RSUD Ulin Banjarmasin. 5–9

6 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Page 7: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

menjadi pertanyaan adalah bagaimana jalurinfeksi kedalam air ketuban dengan selaputketuban yang utuh? Ternyata E-coli sebagaipenyeba b terbanyak ISK dalam kehamilan bisamenembus melalui selaput ketuban (membrankhorioamnion) yang masih u tuh. Dengandemikian selaput ketuban utuh pada servik tidakbisa dipakai sebagai barier terhadap invasi kumandari bawah.4

Sampai saat ini belum ada penelitian bahwa ISKmenjadi salah satu faktor risiko yang menyebab -kan terjadinya kelahiran prematur pada pasienhamil dengan PE. Untuk itu dilakukan penelitian.Adapun tujuan penelitian ini peneliti ingin menge-tahui hubungan peningkatan leukosit dan adanyabakteri pada pemeriksaan urin lengkap (+sedi-men) pada pasien yang terdiagnosis hamil denganPE yang lahir prematur dibanding kan dengan lahiraterm. Manfaat dari hasil penelitian ini dapat di -guna kan sebagai dasar penelitian lanjut man faa tpemeriksaan urin lengkap (+sedimen) terhadappeningkatan persalinan prematur pada kehamilandengan PE.

Bahan dan MetodePenelitian ini menggunakan metode observa-

sional analitik secara retrospektif berupa crosssection al. Metode penelitian ini dimaksud menilaivariabel terikat dan variabel bebas pada waktutertent u. Variabel bebas dalam penelitian iniadalah jumlah leukosit urin dan bakteriuria danvariabel terikatnya adalah pasien PE lahir pretermdan preeklamsia lahir aterm. Data diambil darihasil laboratorium urin lengkap (+ sedimen) darirekam medis pasien hamil preterm dan atermdengan PE yang rawat inap di RSUD.Ulin Banjar -masin pada periode Januari 2017–Desember 2017.

Sampel penelitian dipilih dengan metodepembat asan waktu. Teknik pengambilan sampeldenga n menggunakan metode nonpropabilitydiikuti metode purposive sampling. Sebanyak 204sampel yang memenuhi kriteria Inklusi dibagimenjadi 2 bagian yaitu 102 sampel urin lengkap(+sedimen) pasien dengan PE lahir preterm dan102 sampel urin lengkap pasien PE lahir aterm.Data pasien yang ditetapkan sebagai sampeldiambil dari rekam medis berupa identitas pasien(usia), dan hasil laboratorium pemeriksaan urin

lengkap (+sedimen) yang meliputi leukosit uriadan bakteriuria.

Adapun kriteria inklusi : pasien PE lahirpreterm umur kehamilan < 37 minggu dan PE lahiraterm umur kehamilan <37 minggu, jumlah lekositdan ada tidaknya bakteri di sedimen padapemeriksaan urin lengkap (+sedimen) yang ter-catat di rekam medis. Untuk kriteria eksklusi: biladata hasil pemeriksaan urin lengkap (+sedimen)tidak tercantum secara lengkap atau tidak jelas.Kelompok kontrol adalah pasien dengan diagnosisPE kelahiran aterm yang mempunyai datapemeriksaan urin lengkap (+sedimen) di rekammedis. Pemeriksaan jumlah leukosit dan adatidaknya bakteri dengan menggunakan metodemanual mikroskop. Nilai normal leukosit (sedi-men) urinalisa: 0-3, sedangkan nilai normal bakteripada urinalisa: negatif. Data kemudian dianalisadengan menggunakan SPSS dimana merupakananalisis bivariat dengan menggunakan chi square.Penghitungan OR (Odds Ratio) dan CI (confidenceinterval) menggunakan binarry logistic dan P valuekurang dari 0,05 dianggap bermakna secarastatisti k.

Hasil PenelitianSebanyak 204 sampel penelitian yang meme -

nuhi kriteria inklusi yang terbagi menjadi duabagian yaitu pasien dengan PE kelahiran pretermsebanyak 102 sampel dan pasien PE kelahiranaterm sebanyak 102 sampel. Berdasarkan karak-teristik sampel penelitian dan hubungan antarvariabel yang merupakan faktor risiko lahirpretem dan usia pasien PE dapat dilihat pada tabel1,2 dan 3.

Tabel 1, menunjukkan terdapat hubungan sig-nifikan leukosituria pada pasien PE lahir preterm.Nilai OR sebesar 5.850 menunjukkan terjadinyalekosituria pada PE lahir preterm meningkat 6 kalilipat dibandingkan lahir aterm dengan 95% CI(2.905 - 11.783)

Tabel 2, menunjukkan terdapat hubungan sig-nifikan bakteriuria pada PE lahir preterm dengan Pvalue kurang dari 0,05. Nilai OR sebesar 10.810menunjukkan bakteriuria pada PE lahir pretermmeningkat 11 kali lipat dibandingkan dengan PElahir aterm dengan 95% CI (4.045 - 28.893).

Tabel 3, usia rata-rata pasien preeklamsia pada

HERMIN S, PRIBAKTI B. 5–9

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 7

Page 8: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

sampel penelitian dengan PE kelahiran pretermdan kelahiran aterm dengan usia < 30 tahun sebe-sar 44% dan usia > 30 tahun sebesar 59.4%.Didapatkan OR sebesar 1,869 menunjukkan padapasien usia <30 tahun meningkat sebanyak 2 kalidibandingkan usia >30 tahun dengan 95% CI(1.056 - 3.310).

Pembahasan Pada hasil penelitian ini didapatkan hubungan

signifikan antara leukositoria,bakteriuria dan usia<30 tahun pada PE kelahiran preterm tampakpada tabel 1,2, dan 3 yang menunjukkan P valuekurang dari 0,05. Nilai OR = 5.850 menunjukkanlekosituria pada PE lahir preterm meningkat 5 kalilipat dibanding pada PE lahir aterm dengan 95 %CI (2.905- 11.783). Sedangkan Nilai OR = 10.810menunjukkan bakteriuria pada PE lahir pretermsebanyak 11 kali lipat meningkat dibandingkan

dengan PE lahir aterm dengan 95% CI ( 4.045 -28.893). Didapatkan OR =1,869 menunjukkan usiapasien PE kelahiran perterm usia<30 tahunmening kat sebanyak 2 kali dibandingkan usia >30tahun dengan 95% CI (1.056 -3.310).

Hubungan ISK pada kejadian PE telah ditelitiEaster SR dkk (2015) dengan 129 wanita yang dari235 pasien yang terdiagnosa PE pada trimesterketiga.10 Izadi BT dkk (2015) dalam penelitiannyabahwa ISK secara signifikan lebih sering terjadipada wanita hamil dengan PE dibandingkandenga n hamil normal.11 Hasil yang sama padapenelitian dilakukan Anselmus AP dkk (2015) diruangan bersalin dan poli hamil RS M SoewandiSurabaya menunjukkan terjadi peningkataninside n ISK sebanyak 6,22 kali lebih tinggi padapasien dengan PE dibandingkan hamil tanpa PE.Skrining bakteriuria dapat ditambahkan padapemeriksaan ru tin semua ibu hamil untuk

Hubungan Leukosituria dan Bakteriuria dengan Kelahiran Prematur dan Aterm pada Preeklamsia di RSUD Ulin Banjarmasin. 5–9

8 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Tabel 1. Kejadian leukosituria berdasarkan karakteristik sampel penelitian

Tabel 2. Kejadian bakteriuria berdasarkan karakteristik sampel penelitian

Tabel 3. Rata-rata usia pasien sampel penelitian

Page 9: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

menguran gi resiko persalinan premature padapasien hamil dengan PE.12

Pada penelitian ini diambil rata-rata usia pasienpada PE lahir preterm dimana pada sampel ter-muda berumur 18 tahun dan sampel usia tertuayaitu 42 tahun. Untuk mendapatkan nilai rata-ratausia pasien pada persalinan preterm, maka usiatertua dikurang usia termuda yaitu 42-18 tahundidapatkan 24 tahun. Sampel 24 tahun ini dibagidua kemudian ditambahkan dengan usia termudayaitu 18 dan didapatkan rata-rata usia sampel 30tahun. Untuk itu, sampel dibagi menjadi dua yaituusia <30 tahun dan usia> 30 tahun. Usia rata-ratapasien preeklamsia pada sampel penelitian de -nga n PE lahir preterm dan PE lahir aterm denganusia < 30 tahun sebesar 44% dan usia > 30 tahunsebesar 59.4%. OR menunjukkan usia <30 tahunmeningkat sebanyak 2 kali dibandingkan usia >30tahun. 95% CI (1.056 - 3.310).

Keterbatasan penelitian ini adalah penelitianbersifat retrospektif dengan mengambil data hasilpemeriksaan urin lengkap (+ sedimen) berupaleukosituria dan bakteriuria sehingga menimbul -kan bias yang diperoleh dari beberapa flora yangberada di dekat saluran kemih dan penggunaanalat kateter yang dapat menyebabkan hasil positifpemeriksaan jumlah leukosit dan terdapatnyabakteriuria.

Kesimpulan dan Saran Terdapat hubungan leukosituria dan bakteri-

uria dengan kejadian kelahiran prematur pada PE.Untuk itu dengan mempertimbangkan pentingnyapencegahan terjadinya kelahiran prematur, makapeneliti menyarankan untuk dilakukan pemeriksa -

an urin lengkap (+ sedimen) pada kunjungan per -tam a dan mengulanginya di trimester dua dan tigaibu hamil untuk menentukan ada tidaknya ISK.

Daftar Pustaka1. Cunningham F,Leveno K,Bloom S,Spong CY,Dashe J, Cashe,

Hoffman.2018. Renal and Urinary Tract Disorders. WilliamObstetrics 25/E: McGraw-Hill Education. p. 1600-26.

2. McCormick T, Ashe RG. Kearny PM. 2008. Urinary TractInfection in Pregnancy. The Obstetrician&Gynecolgist.10 (3)p.156-62.

3. Lessabdra M, Rasia, Guillherme, and Comparsi, Eduardo.2016. Urinary Tract Infection in Pregnancy: Review of ClinicalManagement. J Clin Nephrol Res 3(1): 1030.

4. Berghella V.Preterm Labor. 2017. Obstetric Evidance BasedGuidelines. Third Edition.p.213-27.

5. Roberts, James M, August Phyl lis A, Bakris, George,Barton,John R..2013. Prediction of Preeclampsia. Hypertensionin Pregnancy. American Col lege of Obstetricians andGynecologist. Washington. p. 21-23.

6. Pribakti B, 2017. Infeksi Saluran Kemih Pada Kehamilan. KapitaSelekta Uroginekologi. PT.Grafika Wangi Kalimantan.H.27-39.

7. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.2016.Diagnosis dan Tata Laksana Pre-Eklamsia. Pedoman NasionalPelayanan Kedokteran. POGI. Jakarta. H. 6-7.

8. Minardi D,2011.Urinary tract infections in women: Etiology andTreatment Options. Int J Gen Med. P 333-343.

9. Mutianingsih R.2013.Hubungan Preeklamsi Berat dengankelahiran preterm di rumah sakit umum propinsi NTB, NaskahPublikasi. Universitas Nahlatul Watahan Mataram.

10. Easter S.R, Cantownwine D.E. Chloe A,Zera, Li m H.K, Samuel.2015. Urinary Tract Infection during Pregnancy, AngiogenicFactor Profiles, and Risk of Preeclampsia.p.2-30.

11. Izadi B, Rostami,Zahra, Jalilian, Nasrin, Khazaei, Sadigheh,Amiri Amir, Madani, S.H, and Far, M.R. 2015. Urinary TractInfection (UTI) as a Risk Factor of Severe Preeclampsia.8(9):1916-9376.

12. Anselmus AP, Ery GD, 2015. Hubungan Infeksi Saluran Kemihdengan kejadian preeklamsia di ruang bersalin dan poli hamilRSUD DR M Soewandi Surabaya. Abstrak. Thesis UniversitasAirlangga.

HERMIN S, PRIBAKTI B. 5–9

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 9

Page 10: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

ARTIKEL PENELITIAN

10 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

AbstrakRetinal vein occlusion (RVO) merupakan suatu penyakit yang diakibatkan adanya sumbatan baikpartia l ataupun complete pada vena retina yang mengakibatkan gangguan aliran darah di dalambola mata. Sumbatan pada vena retina yang terjadi pada bagian posterior optic disc disebut CentralRetinal Vein Occulsion (CRVO) dan sumbatan yang partial ataupun complate pada cabang dari venaretina sentral disebut Branch Retinal Vein Ocllusion (BRVO). Faktor risiko utama pada CRVO dan BRVOadalah usia. Dimana muncul terutama pada individu dengan umur lebih dari 65 tahun. Tandautama dari oklusi vena retina sentral adalah adanya penurunan tajam pengelihatan tanpa disertairasa sakit. Kondisi ini dapat berlangsung progresif hingga menyebabkan hilangnya pengelihatan.Tatalaksana oklusi vena retina sentral terdiri dari pengobatan farmakologi dan penanganan bedah.Bedah laser adalah pilihan terapi yang dapat dipilih untuk digunakan pada pasien dengan CRVO.

Kata kunci: Oklusi vena retina sentral, RVO, anti-VEGF, bedah laser

AbstractRetinal vein occlusion (RVO) is a disease caused by either partial or complete blockage of the retinal veinwhich results in impaired blood flow in the eyeball. Blockage in the retinal vein that occurs in the posterio roptic disc is called Central Retinal Vein Occlusion (CRVO) and partial or complate blockage in the branchesof the central retinal vein called the Branch Retinal Vein Ocllusion (BRVO). The main risk factors for CRVOand BRVO are age. Where it appears especially in individuals over the age of 65 years. The main sign ofcentral retinal vein occlusion is decrease in visual acuity without pain. This condition can progressivelyleading to loss of vision. Management of central retinal vein occlusion consists of pharmacologicaltreatmen t and surgical treatment. Laser surgery is a therapeutic choice that can be chosen for use inpatients with CRVO.

Keywords: Central retinal vein occlusion, RVO, anti-VEGF, laser surgery

Pendahuluan

Oklusi vena retina sentral merupakan suatu keadaan dimana terjadi penu-runan aliran darah yang diakibatkan adanya sumbatan pada vena retina

sentral sehingga menyebabkan gangguan pada bagian dalam retina.Penyumbatan vena retina dapat terjadi pada suatu cabang kecil ataupunpembulu h vena utama sehingga memberi gejala sesuai dengan daerah yangterkena.1 Retina merupakan bagian yang paling penting dari mata dimanaretina berfungsi menerima rangsang cahaya dan merubahnya menjadi impulssaraf yang diteruskan ke kortek cerebri.2 Tanda utama dari oklusi vena retinasentral adalah adanya penurunan tajam pengelihatan tanpa disertai rasa sakit.Kondisi ini dapat berlangsung progresif hingga menyebabkan kehilangan

PANDE MADEGUSTIANA

Fakultas KedokteranUniversitas Warmadewa

Mewaspadai Lebih Dini Oklusi Vena Retina Sentral

Page 11: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

pengeliha tan yang berat pada mata yang terkena.3

1.2 DefinisiOklusi vena retina atau RVO (Retinal Vein

Occlusion) adalah adanya sumbatan baik partialataupun complete dari vena retina yang mengaki-batkan gangguan aliran darah di dalam bola mata.Oklusi vena retina diklasifikasikan berdasarkanlokasi sumbatannya. Sumbatan pada vena retinayang terjadi pada bagian posterior optic discdisebu t Central Retinal Vein Occulsion (CRVO) dansumbatan yang partial ataupun complate padacabang dari vena retina sentral disebut BranchRetinal Vein Ocllusion (BRVO). Oklusi vena retinamelibatkan beberapa mekanisme, diantaranyaadanya penurunan seluruh ataupun sebagianalira n darah vena pada sirkulasi retina disertaidengan berbagai tingkat kebocoran vaskularretina, yang mengarah pada edema makula danpeningkatan tekanan intravena, sehingga akhirnyamenyebabkan perdarahan intraretinal dankebutaa n.1

1.3 EpidemiologiPada tahun 2008, Amerika Serikat melaporkan

terdapat 500 kasus baru CRVO per 100.000 pen-duduk dan 1.800 kasus BRVO per 100.000 pen-duduk. Baik CRVO maupun BRVO memiliki pening -katan angka kejadian dan prevalensi seiring ber -tambahnya usia. Data di Australia menunjukkanbahwa prevalensi RVO adalah 0,7% bagi merekayang usianya lebih muda dari 60 tahun, 1,2%untuk usia 60-69 tahun, 2,1% untuk usia 70-79tahun, dan meningkat menjadi 4,6% pada orangyang berusia 80 tahun atau lebih. Kebanyakanpasien yang menderita oklusi vena retina ditemu -kan unilateral. Pada CRVO, yang bersifat bilateralditemukan dibawah 10%. Sedangkan pada BRVOhanya 5% pasien menderita pada kedua mata saatdidiagnosis.4

Gangguan pengelihatan lebih sering terjadipada CRVO daripada BRVO. Edema makula adalahpenyebab utama gangguan penglihatan. Diper -kira kan sekitar 11.600 orang dengan BRVO dan5.700 orang dengan CRVO menderita gangguanpengelihatan karena edema makula setiap tahundi Inggris dan Wales. Berdasarkan data insidentahunan, 85% penderita BRVO dan 75% penderita

CRVO ditemukan edema makula yang berkem-bang dalam waktu 2 bulan, dimana 50% penderitaBRVO dan 100% penderita CRVO mengalamiganggu an penglihatan akibat edema makula.4

1.4 PatofisiologiPatofisiologi retinal vein occlusion (RVO) terdiri

dari tiga komponen berdasarkan Triad Virchow,yaitu abnormalitas dinding pembuluh darah,perubahan dalam darah (misalnya, kelainanviskositas dan koagulasi), dan perubahan dalamaliran darah.5

1.4.1 Abnormalitas dinding pembuluh darahCRVO biasanya terjadi di area lamina cribrosa.

Di area ini vena dan arteri memiliki kesamaanpada lapisan adventisial. Oleh karena itu meka -nisme penyempitan vena yang berdinding tipisyang diakibatkan karena adanya arteriosklerosis,dan ini dihubungkan dengan dinding arteri yangkaku dan tebal, dipercaya memainkan perandalam patogenesis CRVO.5

1.4.2 Perubahan dalam daraha) Thrombosis

Thrombosis dan trombofilia memiliki dampakterkecil dari ketiga komponen Triad Virchow.Meskipun demikian, trombofilia memainkan

PANDE MADE GUSTIANA. 10–17

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 11

Gambar 1. Anatomi Bola Mata(Dikutip dari kepustakaan 15)

Page 12: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

peran dalam beberapa kasus RVO. Trombofiliaadalah kelainan pembekuan darah dimana terjadipeningkatan risiko terjadinya pembekuan darah,akibat mutasi genetic pada gen prokoagulanfakto r V. Mutasi genetik tersebut menghasilkanresistensi terhadap efek dari protein aktif C yangberfungsi sebagai antikoagulan faktor dan inimenyebabkan terjadinya trombofilia.6

b) Viskositas Viskositas adalah resistensi terhadap aliran

cairan yang disebabkan oleh gesekan antara dualapisan cairan yang berdekatan. Viskositas ter -gantun g pada suhu, dimana viskositas mening katsaat suhu menurun. Penyebab utama viskositasdarah adalah hematokrit dan plasma fibrinogen.Semakin besar jumlah sel darah merah per satuanvolume, semakin besar agregasi sel darah merah.Fibrinogen adalah molekul penghubung dalamagregasi sel darah merah. Viskositas darahmeningkat bila hematokrit meningkat. Karenasirkulasi vena retina ditandai dengan aliran yangrendah dan resistensi pembuluh darah yang tinggidimana ini terutama dipengaruhi oleh viskositasdarah. Agregasi eritrosit adalah hal u tamapenentu viskositas darah pada aliran rendah dantelah ditemukan meningkat di CRVO padabeberap a studi. Stagnasi aliran darah dapatmenjad i penyebab adanya trombosis dalam RVOdan dapat memperburuk iskemia bila RVO telahterjad i.6

1.4.2 Perubahan dalam aliran darahPada kasus CRVO, thrombosis yang terdapat

pada vena retina sentral menyebabkan berku-rangnya kecepatan aliran darah di vena retinasentr al dan arteri pada mata, dibandingkandenga n mata yang normal. Kecepatan berkuranglebih banyak dalam vena retina sentral daripadaarteri retina sentral dan lebih rendah pada matadengan CRVO iskemik. Menurut hipotesis semakinke anterior thrombus semakin lamban perfusi dariretina dan semakin iskemik tempat terjadinyaoklusi tersebut. Sama seperti CRVO, hal ini jugaberlaku pada kasus BRVO, dimana terjadipengurang an aliran, kecepatan, dan volume darahpada cabang vena retina dan daerah retina yangterkena.6

Oklusi pada vena retina dapat menyebabkanterjadinya iskemia pada jaringan retina. Bilaterjad i iskemia retina, akan mengakibatkanpengeluar an Vascular Endothelial Growth Factor(VEGF). Dimana VEGF ini berfungsi membuatpembul uh darah baru dan mengembalikan suplaioksigen bila terjadi keadaan hipoksia jaringan. Bilaterjadi pengeluaran VEGF berlebihan akanmengaki batkan terjadinya kenaikan permeabilitasvaskular yang berakibat edema makula dan per da -ra han retina, serta terbentuknya neovaskularisasidi iris dan retina yang mengakibatkan perdarahanvitreous dan glaukoma neovaskular.7

1.5 Etiologi dan Faktor RisikoEtiologi yang tepat dari RVO masih sulit

dimengerti, dan hal ini cenderung berhubungandengan adanya thrombosis. Pada CRVO penyum-batan terjadi pada aliran vena di daerah laminacribros a. Dimana pembentukan thrombus yangterjadi di vena retina sentral menyebabkan ter -gangg unya aliran darah. Sementara, pada BRVOpenyumbatan biasanya terjadi dipersilanganarteriov enous.7 Adapaun beberapa faktor risikoyang menyebabkan terjadinya CRVO, yaitu:

1) UmurFaktor risiko utama pada CRVO dan BRVO

adalah usia. RVO muncul terutama pada individudengan umur yang lebih tua, lebih dari 50% kasusterjadi pada orang dengan umur lebih dari 65tahun. Meskipun CRVO dapat terjadi pada usiayang lebih muda dan menyebabkan kehilanganpenglihatan yang parah, 90% pasien dengan umurlebih dari 50 tahun ditemukan pada saat terjadi -nya onset penyakit.8

2) Hipertensi dan Diabetes MellitusHipertensi sistemik adalah faktor risiko inde-

penden terkuat yang berkaitan dengan semuajenis RVO, terutama pada kelompok usia yanglebih tua diatas 50 tahun. Hipertensi yang tidakterkontrol atau baru didiagnosis sering terjadidalam RVO, dan kekambuhan RVO pada matayang terkena atau pada mata normal juga munculpada hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik.Sebuah studi juga menyebutkan adanya hubung -an erat antara hipertensi dengan CRVO dan BRVO.

Mewaspadai Lebih Dini Oklusi Vena Retina Sentral. 10–17

12 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Page 13: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Hubungan diabetes mellitus dengan RVO lebihlemah dan belum ditemukan konsisten padasemua studi. Hubungannya dengan CRVOmungkin lebih kuat daripada dengan BRVO.7

3) Glaukoma Sudut TerbukaPeningkatan tekanan intraokuler jarang men-

jadi penyebab oklusi vena sentral namun memilikipotensi yang penting. Sering ditemukan pasienyang mengalami CRVO juga disertai peningkatantekanan intraokuler atau glaukoma sudut terbukapada mata yang terkena saja atau di kedua mata.CRVO juga bisa diikuti pendangkalan sementaradari ruang anterior chamber, dalam beberapakasus, dapat mengarah ke glaukoma suduttertutu p.8

4) Kelainan Hematologi dan Kondisi SistemikLainnya

Kondisi yang menyebabkan peningkatanviskositas darah seperti myeloproliferative disordersjarang terjadi tetapi diketahui memiliki hubungandengan CRVO. Demikian pula, sejumlah gangguaninflamasi sistemik langka yang menyebabkanvaskulitis sistemik seperti penyakit Behcet danpoliarteritis nodosa juga menyebabkan vaskulitispada retina yang selanjutnya mengarah ke RVO,terutama pada kelompok usia yang lebih muda.Pada antiphospholipid syndrome (APS) antiboditerhad ap fosfolipid mengaktifkan kaskadekoagulas i dan menyebabkan thrombosis padaarteri dan vena. Penelitian lebih lanjut menun-jukkan hubunga n yang signifikan antara sindrom

antiphospholipid dengan CRVO.7

5) Kontrasepsi Oral dan Merokok

1.6 Klasifikasi CRVO1. Non-Ischemic CRVO

CRVO non-iskemia adalah tipe yang palingumum ditemukan dengan presentase sekitar 75%dari semua kasus CRVO.9 Karakteristik CRVO tipeini adalah adanya vena retina sentral yang me -leba r dan berkelok-kelok, dimana ini disebab kanadanya sumbatan pada salah satu pembuluhdarah vena retina sentral. Perubahan lain yangdapat terjadi adalah adanya perdarahan berben-tuk api (flame shape) atau perdarahan berbentuktitik (dot/blo t) pada semua kuadran retina.Perdarahan ini disebabkan oklusi pada vena retinasentral yang mengakibatkan peningkatan VEGFyang selanjutnya melemahkan dinding pembuluhdarah vena dan meningkatakan permeabilitasvaskular, dimana ini menyebabkan bocornyapembulu h darah vena dan merembesnya cairanplasma dan darah ke retina.7 Karakteristik lainnya,yaitu edema makula dan optic disc yang jugadiakibat kan merembesnya cairan plasma dandarah ke jaringan retina.7 CRVO non-iskemia dapatberubah menjadi CRVO iskemia pada 15% kasusdalam 4 bulan dan pada 34% kasus dalam 3 tahun.Adanya cotton woll spot dapat dijumpai pada CRVOtipe ini. Cotton woll spot atau disebut juga eksudatlunak merupakan daerah infark atau jaringan yangmati akibat iskemia pada lapisan serabut sarafretina karena adanya gangguan vaskularisasi

PANDE MADE GUSTIANA. 10–17

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 13

Gambar 2. A; Non ischemic CRVO. B; Cotton woll spot (ditunjuk panah)(Dikutip dari kepustakaan 5 dan 9)

Page 14: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

ataupun adanya sumbatan pada pembuluh darahretina. Spot iskemia ini berwarna putih danmuncul di superfisial dari retina dan berukuran ¼atau kurang dari ukuran area optic disc.10

2. Ischemic CRVOCRVO iskemia ditemukan sekitar 25% dari

semua kasus CRVO. Beberapa karateristik padaCRVO tipe ini adalah ditemukan adanya venaretina sentral yang sangat melebar dan berkelok-kelok. Adanya perdarahan flame shape dandot/blot berat pada semua kuadran retina yangtersebar sampai ke perifer juga ditemukan padatipe ini. Edema macula dan optic disc yang beratdisertai kemerahan yang diakibatkan penum -pukan cairan dan darah pada jaringan retina.Adanya cotton woll spot yang sangat jelas dapatdijumpai pada CRVO tipe ini. Prognosis pada tipeini biasanya buruk akibat adanya iskemia padamacula. Pada 50% kasus ischemic CRVO dapatmuncul Rubeosis Iridis antara 2 sampai 4 bulan.Rubeosis Iridis adalah suatu keadaan dimanamunculnya neovaskularisasi pada iris. Neovas -culariztion adalah pembuluh darah baru yangmuncul sebagai respon dari adanya VEGF akibatiskemia jaringan retina. Pembuluh darah baru inisangat rapuh dan mudah pecah sehingga dapatmenimbulkan pendarahan pada retina dan vitre-ous. Pembuluh darah baru ini dapat muncul padaretina, iris, dan sekitarnya dan dapat menutupsudut anterior mata (anterior chamber) sehinggamenyebabkan gangguan pada aliran aqueoushumor, serta menyebabkan peningkatan tekananintraokular yang disebut Glaucoma neovascular.9

1.7 Diagnosis1.7.1 Gejala dan Tanda Klinis

Penderita CRVO non-iskemia biasanya memilikigejala yang ringan, dengan keluhan kabur padasalah satu mata. Penurunan tajam pengelihatanyang ringan sampai sedang pada salah satu matadengan visus biasanya 6/60 (20/200) atau lebih.Pada pasien CRVO non-iskemia juga kadangditemu kan relative afferent pupillary defect (RAPD)ringan atau kadang tidak ditemukan sama sekali.Sedangkan, pada penderita CRVO iskemia biasa -nya mengeluh pandangan kabur tiba-tiba tanpadisertai nyeri. Penurunan tajam penglihat an yangberat dengan visus dibawah 6/60. Adanya RAPDyang jelas terlihat pada pupil saat disinari cahaya.Pada CRVO iskemia yang sudah terjadi neovascu-lariztion akan terdapat peningkatan tekananintraokuler dan adanya glaukoma neovaskular.8,9

1.7.2 Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan funduscopy CRVO non-iskemia

akan terlihat gambaran vena retina sentral yangmelebar dan berkelok-kelok, perdarahan flameshape atau dot/blot, dan edema makula dan opticdisc. Sedangkan, funduscopy CRVO iskemiamenunjukkan adanya vena retina sentral yangsangat melebar dan berkelok-kelok, perdarahanflame shape dan dot/blot berat pada semua kuad-ran retina yang tersebar sampai ke perifer retina,edema makula dan optic disc yang berat, cottonwoll spot, rubeosis iridis dan neovascularizationpada kasus-kasus retina yang sangat iskemik.8,9

Pada CRVO non-iskemia, fundus fluoresceinangiograp hy (FFA) menunjukkan adanya gambaran

Mewaspadai Lebih Dini Oklusi Vena Retina Sentral. 10–17

14 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Gambar 3. A; Fotografi Funduscopy Ischemic CRVO. B; Rubeosis Iridis(Dikutip dari kepustakaan 9 dan 16 )

Page 15: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

pelebaran dan berkeloknya vena retina, tidakadanya daerah iskemia dan adanya perdarahanpada retina. Pada CRVO iskemia, pembuluh kapilersulit terlihat karena daerah tersebut sudah ditu-tupi perdarahan retina yang luas. Selain itu, padaCRVO iskemia juga ditemukan adanya edemamakula berat yang dapat diketahui bila pada FFAterlihat adanya akumulasi fluoresin pada daerahretina. CRVO dikatakan mendapat perfusi yangmasih mencukupi bila area iskemia pada retinaukurannya kurang dari 10 kali diameter optic disc.CRVO dikatakan tidak mendapat perfusi biladaerah iskemia pada retina ukurannya lebih dari10 kali diameter optic disc dan ini ditemukan padaischemic CRVO.9,11 Pada pemeriksaan opticalcoherence tomography (OCT) pada CRVO iskemiadan non-iskemia ditemukan adanya pembeng -kakan pada macula. Dimana pada CRVO iskemiaedema macula lebih persisten dan disertai retinaldetachment.12

1.8 PenatalaksanaanPengobatan oklusi vena retina terdiri dari

pengobat an farmakologi dan penanganan bedah.Pengobatan sistemik dengan menggunakan vaso -dilator dan anti koagulasi pada CRVO terbukti ti -dak memberikan manfaat. Penggunaan obat-obatsistemik selain untuk mengontrol hipertensi dila-porkan juga tidak memberikan banyak manfaat.10

1.8.1 Pengobatan Farmakologi CRVO1) Kortikosteroid Intravitreal

Mekanisme kerja steroid multifaktorial dantidak sepenuhnya dipahami. Menurut teori, efek

anti-inflamasi dari steroid menekan VEGF dan fak -to r inflamasi lainnya (misalnya interleukin-1 atauprostaglandin). Injeksi intravitreal kortikosteroiddilakukan dengan menyuntikan obat golongansteroid ke bagian belakang bola mata tepatnya kedaerah vitrous. Dalam studi SCORE-CRVO pada sattahun, 27% pasien yang diobati dengan 1 mgtriam sinolon dan 26% dengan 4 mg triamsinolonmengalami perbaikan pengelihatan pada tesmembaca ETDRS chart dibandingkan dengan 7%pasien dalam kelompok observasi. Sebuah studitentang pemberian fluosinolon asetonid selama36 bulan menunjukkan peningkatan ketajamanvisual dan perbaikan anatomi pada edemamakula. Evaluasi injeksi deksametason intravitrealuntuk penatalaksanaan CRVO juga meningkatkanhasil ketajaman penglihatan selama periode 6bulan.8

2) Anti-VEGF IntravitrealPenggunaan obat-obat injeksi anti-VEGF secara

intravitreal dilaporkan memeberikan hasil berupaperbaikan tajam pengelihatan karena berku-rangnya edema makula. Bevacizumab salah satuanti-VEGF yang terbentuk dari antibodi monok-lonal manusia dimana berfungsi mengikat semuabentuk VEGF-A, pertama kali dilaporkan menun -juk kan keberhasilan jangka pendek dalammengoba ti edema makula pada CRVO olehRosenfeld pada tahun 2005 dan sejak itu telahbanyak digunakan sebagai perawatan off labelpada RVO. Pada beberapa kasus edema makulakarena RVO yang diobati dengan bevacizumab,menunjukkan peningkatan ketajaman visual

PANDE MADE GUSTIANA. 10–17

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 15

Gambar 4. Pengelihatan pada penderita CRVO(Dikutip dari kepustakaan 15)

Page 16: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

setela h follow up selama 12 bulan.7 Sebagianbesar studi telah menggunakan bevacizumabdengan dosis dari 1,0 hingga 2,5 mg. Bevacizumabjuga telah dilaporkan sebagai pengobatan yangberhasil untuk reubeosis iridis dan glaukomaneovask ular.5 Obat anti-VEGF lain, aflibercept(juga disebut VEGF Trap), juga telah terbukti efektifdalam pengobatan kehilangan penglihatan danedema makula pada CRVO.8

1.8.2 Penanganan Bedah CRVO1) Bedah Laser

Bedah laser adalah metode yang telah di -tetapka n untuk digunakan pada pasien denganRVO. Dua teknik utama laser yang dapat diguna -kan, yaitu: Macular Grid Photocoagulation untukpengobatan edema makula, dan Panretinal LaserPhotocoagulation (PRP) untuk pengobatan neo-vaskularisasi retina dan/atau optic disc.5 MacularGrid Photocoagulation diyakini meningkatkanmigrasi dan proliferasi sel epitel pigmen retina dansel endotel, sehingga mengurangi pengeluarancairan. Grid laser terutama digunakan di area den-gan kebocoran yang difus dan tanpa kebocoranfokal. Teknik grid terdiri dari pembuatan lukabakar dengan laser, dimana diameter luka bakar -nya berukuran 50-200 μm, yang menghasilkanpola luka bakar yang sama.13 Panretinal LaserPhotocoagulation dilakukan untuk mencegahterbent uknya zat-zat vasoaktif terutama VEGF danmenghilangkannya, sehingga mencegah timbul-nya neovaskularisasi serta mengakibatkan regresipembuluh darah baru.10 Teknik PRP dilakukan de -ngan cara membuat luka bakar (spot) berukuran500 mikron pada retina dan jumlah luka bakarsebanyak 1.200-1.500 spot.13

Beberapa modifikasi dalam teknik laser argonyang menyerupai laser PRP diadopsi untukmengura ngi efek buruk dari paparan PRP. Jenislaser lain yang telah digunakan untuk PRP sepertilaser warna orange (600-nm), merah (630-nm) danlaser warna kuning (580-nm), laser kripton, laserdioda, dan Nd:YAG laser frekuensi ganda.13 DalamCentral Vein Occlusion Study (CVOS), PRP profilaksistidak menghasilkan penurunan yang signifikansecara statistik terhadap kejadian neovaskular-isasi iris. Faktanya, 20% dari peserta yang telahmenerima PRP profilaksis masih ditemukan

adanya neovaskularisasi iris. Oleh karena itu, pe -mantauan ketat pasien berisiko tinggi neo vas ku -larisasi iris diperlukan. Peneliti CVOS merekomen-dasikan menunggu sampai pemeriksaan gonios -kopi memperlihatkan adanya neovaskularisasi irispada arah jam 2 sebelum melakukan PRP.8

2) Pars Plana VitrectomyPars plana vitrectomy dilakukan untuk mem-

buang vitreous yang keruh, menghilangkan traksipada retina, mengelupas jaringan ikat dari per-mukaan retina, dan pengambilan benda asing diretina.10 Vitrektomi disertai mengelupas InternalLimiting Membrane (ILM) retina telah disarankanuntuk proses penyembuhan yang cepat darikerusakan retina dan edema makula pada pasiendengan CRVO. Menghilangkan ILM retina dapatmendekompresi edema retina dan memfasilitasipelepasan cairan ekstraseluler dan darah ke da -lam vitreous, yang dapat membantu memulihkanketebalan retina normal, mengurangi kekeruhandalam retina yang mengganggu transmisi cahayake photoreseptor. Vitrektomi tanpa menghi-langkan ILM dapat memberikan penyembuhanedema makular dengan menghapus VEGF dansitokin lainnya dalam rongga vitreous. Vitrektomijuga meningkatkan transportasi oksigen ke retinayang hipoksia dan menghentikan neovaskularisasiyang disebabkan oleh hipoksia di jaringanretina.14

1.9 KesimpulanOklusi vena retina sentral merupakan suatu

keadaan dimana terjadi penurunan aliran darahyang diakibatkan adanya sumbatan pada venaretina sentral. Faktro risiko penyakit ini antara laindisebabkan oleh umur, hipertensi, diabetesmellitu s, glaukoma sudut terbuka, kelainanhematolog i, kondisi sistemik lainnya, kontrasepsioral, dan merokok. CRVO terbagi dalam dua jenisyaitu, non-ischemic CRVO dan ischemic CRVO.Dimana non-ischemic CRVO ditandai dengan gejalakabur pada salah satu mata dan penurunan tajampengelihatan yang ringan sampai sedang. IschemicCRVO ditandai dengan gejala pandangan kaburtiba-tiba tanpa disertai nyeri dan penurunan tajampengelihatan yang berat. Pengobatan oklusi venaretina terdiri dari pengobatan farmakologi dengan

Mewaspadai Lebih Dini Oklusi Vena Retina Sentral. 10–17

16 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Page 17: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

injeksi intravitreal anti VEGF dan kortikosteroidserta penanganan bedah menggunakan bedahlaser dan pars plana vitrectomy.

Daftar Pustaka1. American Academy of Ophthalmology, The Eye MD

Association. Retinal Vein Occlusions Preferred PracticePattern. September 2015. P190-199.

2. Basri Saiful. Oklusi Arteri Retina Sentral. Indonesia: JurnalKedokteran Syiah Kuala Volume 14 Nomor 1. April 2014: p50-61.

3. Kolar P. Definition and Classification of Retinal Vein Occlusion.International Journal of Ophthalmic Research 2016; 2(2): 124-129. Available from: URL: http: //www.ghrnet.org/index.php/ijor/article/view/1499

4. The Royal College Of Ophthalmologists. Retinal Vein Occlusion(RVO) Guidelines. July 2015. P6-38. Available from: URL:https://www.rcophth.ac.uk/wp-content/uploads/2015/07/Retinal-Vein-Occlusion-RVO-Guidelines-July-2015.pdf.

5. Rehak M, Wiedemann P. Retinal Vein Thrombosis:Pathogenesis And Management. Journal of Thrombosis andHaemostasis. 2010; 8: 1886–1894.

6. Browning, David J. Retinal Vein Occlusions Evidence-BasedManagement. USA: 2012. p33-72. Available from: https://www.springer.com/gp/book/9781461434382.

7. Karia Niral. Retinal Vein Occlusion: Pathophysiology AndTreatment Options. Dove Press Journal: Clinical Ophthal -mology 2010. p809–816.

8. American Academy of Ophthalmology, The Eye MD Asso -ciation. Central Retinal Vein Occlusion. 2014‐2015. p127-133.

9. Manoj S. et al. Retinal Vein Occlusion. Kerala Journal ofOphthalmology Vol. XXV, No.4. December 2013.p319-333.

10. Suhardjo SU, Agni N A. Retina Dan Viterous. Buku IlmuKesehatan Mata Edisi Ke 3. Departemen Ilmu Kesehatan MataFK UGM Yogyakarta. Juni 2017.p138.

11. Morris Rodney. Retinal Vein Occulsion. Kerala Journal ofOphthalmology. January-April 2016 Volume 28: p4-13.

12. Noma H. Clinical Diagnosis in Central Retinal Vein Occlusion.Journal of Medical Diagnostic Methods. Juni 2013. Volume 2:p1-4.

13. Kozak Igor, Luttrull K J. Modern Retinal Laser Therapy. SaudiJournal of Ophthalmology. 2015. p137–146.

14. Berker Nilufer, Batman Cosar. Surgical Treatment Of CentralRetinal Vein Occlusion. Acta Ophthalmologica. 2008: 86:p245–252.

15. Science Of CRVO. The Angiogenesis Foundation. http://www.noweyeknow.com/static/media/downloadables/crvo/CRVO_Brochure.pdfDikutip tanggal 25 Januari 2019).

16. Bowling B. Pterygium. Kanski’s Clinical Ophthalmology. EighthEdition. USA : Elsevier Limited; 2016. p:544.

PANDE MADE GUSTIANA. 10–17

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 17

Page 18: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

TINJAUAN PUSTAKA

18 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

AbstrakKonjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva. Konjungtivitis vernal adalah peradangankonjungti va bilateral dan berulang yang khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Konjungtivitisverna l terjad i akibat reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, sering terjadi padaorang dengan riwayat keluarga yang kuat alergi. Kondisi ini paling sering terjadi pada anak umurantara 3-25 tahun denga n prevalensi pada kedua jenis kelamin sama dan sering terjadi pada anakdengan riwayat eksema, asma, atau alergi musiman, biasanya kambuh setiap musim semi danhilang pada musim gugur dan musim dingin. Penyebaran konjungtivitis vernalis merata di dunia. Terdapat sekitar 0,1% hingga 0,5% pasiendenga n masalah tersebut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada iklim panas (seperti di Italia, Yunani,Israel, dan sebagian Amerika Selatan) daripada iklim dingin (seperti di Amerika Serikat, Swedia,Rusia dan Jerman). Terdapat dua bentuk penyakit ini, yaitu: palpebral dan limbal, yang perbedaanutamanya terletak pada lokasi. Medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya memberikan hasil jangka pendek, karena dapatberbahay a jika dipakai untuk jangka panjang. Penggunaan steroid berkepanjangan ini harusdihindar i karena bisa terjadi infeksi virus, katarak, hingga ulkus kornea oportunistik.

Kata Kunci: Konjungtivitis Vernal, Konjungtivitis Musiman

AbstractConjunctivitis is an inflammation of the conjunctiva. Vernal conjunctivitis is a bilateral conjunctiva linflammation, typically recurrent, and an allergic reaction. Vernal conjunctivitis caused by type Ihypersensi tivity reaction that attacked both eyes, often in people with family history of allergy. Thisconditio n often occur to child between 3 to 25 years old with the same prevalence to both gender, andespecially in a patient with history of eczema, asthma, or seasonal allergy and often reoccur every spring,and disappear in fall or winter.The dispersion of vernal conjunctivitis is equal in the world. There are about 0.1% to 0.5% patients withvernal conjunctivitis. This disease often occur in a summer climate (such as in Italy, Greece, Israel, andsome part of South America), than in a cold climate (such as in United States of America, Sweden, Rusia,and Germany). There are two types of this disease, which is palpebral and limbal type. The difference ofthe two is the location.The medication for the patient can only give a short term result, because of the side effect that can bedange r for a long term use. The use of steroid in a long term must be avoided, as it can cause viralinfection, cataract, to opportunistic corneal ulcer.

Keywords: Vernal Conjunctivitis, Seasonal Conjunctivitis

MADE DESSYGANGGA AYUCINTHIADEWI

Fakultas Kedokteran,Universitas Udayana

Konjungtivitis Vernal

Page 19: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Pendahuluan

Konjungtivitis adalah peradangan selaputbening yang menutupi bagian putih mata dan

bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebutmenyebabkan timbulnya berbagai macam gejala,salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitisdapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, ataukontak dengan benda asing, misalnya kontaklensa.1

Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radangkonjungtiva akibat reaksi alergi terhadap non -infek si, dapat berupa reaksi cepat seperti alergibiasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa harikontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri,dan toksik. Merupakan reaksi antibodi humoralterhadap alergen. Biasanya dengan riwayat atopi.1Konjungtivitis alergi biasanya mengenai keduamata. Tandanya, selain mata berwarna merah,mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga sering-kali dirasakan dihidung. Produksi air mata jugaberlebihan sehingga mata sangat berair.1

Konjungtiva banyak sekali mengandung seldari sistem kekebalan (sell mast) yang melepas-kan senyawa kimia (mediator) dalam meresponterhadap berbagai rangsangan (seperti serbuksari atau debu tungau). Mediator ini menyebab-kan radang pada mata, yang mungkin sebentaratau bertahan lama. Sekitar 20% dari orang me -miliki tingkat konjungtivitis alergi. Konjungtivitisalergi yang musiman dan yang berkelanjutanadalah jenis yang paling sering dari reaksi alergipada mata. Konjungtivitis alergi yang musimansering disebabkan oleh serbuk sari pohon ataurumput, oleh karenanya jenis ini timbul khusus-nya pada musim semi atau awal musim panas.Serbuk sari gulma bertanggung jawab padagejala alergi mata merah pada musim panas danawal musim gugur. Alergi mata merah yang ber-kelanjutan terjadi sepanjang tahun; paling seringdisebabkan oleh tungau debu, bulu hewan, danbulu unggas.1

Konjungtivitis vernalis adalah bentuk konjungti-vitis alergi yang lebih serius dimana penyebabnyatidak diketahui. Konjungtivitis vernalis palingsering terjadi pada anak umur antara 3-25 tahundengan prevalensi pada kedua jenis kelamin samadan sering terjadi pada anak dengan riwayateksema, asma, atau alergi musiman. Konjung tivitis

vernalis biasanya kambuh setiap musim semi danhilang pada musim gugur dan musim dingin.Banyak anak tidak mengalaminya lagi pada umurdewasa muda.1

Penyebaran konjungtivitis vernalis merata didunia, terdapat sekitar 0,1% hingga 0,5% pasiendengan masalah tersebut. Penyakit ini lebih seringterjadi pada iklim panas (misalnya di Italia, Yunani,Israel, dan sebagian Amerika Selatan) daripadaiklim dingin (seperti Amerika Serikat, Swedia, Rusiadan Jerman).6 Umumnya terdapat riwayat ke -luarga yang bersifat alergi atopik (turunan). Sekitar65% pasien yang menderita konjungtivitis vernalismemiliki satu atau lebih sanak keluarga setingkatyang memiliki penyakit turunan (misalnya asma,hay fever, iritasi kulit turunan atau alergi selaputlendir hidung permanen). Penyakit-penyakitturunan ini umumnya ditemukan pada pasien itusendiri.5

Semua penelitian tentang penyakit ini me -laporka n bahwa biasanya kondisi akan memburukpada musim semi dan musim panas di belahanbumi utara, itulah mengapa dinamakan konjungti-vitis ”vernalis” (atau musim semi). Di belahan bumiselatan penyakit ini lebih menyerang pada musimgugur dan musim dingin. Akan tetapi, banyakpasien mengalami gejala sepanjang tahun, mung-kin disebabkan berbagai sumber alergi yang silihberganti sepanjang tahun.5

Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi, Vaskularisasi, dan HistologiKonjungtiva

Konjungtiva merupakan membran halus yangmelapisi kelopak mata dan melapisi permukaansklera yang terpajan dengan lingkungan luar.1Konjungtiva adalah membran mukosa yang trans-paran dan tipis yang membungkus permukaanposterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bul-baris). Konjungtiva bersambungan dengan kulitpada tepi kelopak (persambungan mukokutan)dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtivaterdiri dari tiga bagian:2a. Konjungtiva palpebralis merupakan konjung-

tiva yang melapisi permukaan posterior ke -lopa k mata dan melekat ke tarsus. Konjungtiva

MADE DESSY GANGGA AYU CINTHIADEWI. 18–25

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 19

Page 20: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

ini pada tepi superior dan inferior tarsus akanmelipat ke posterior (pada fornices superiordan inferior) dan membungkus jaringanepiskler a dan menjadi konjungtiva bulbaris.

b. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke sep-tum orbitale di forniks dan melipat berkali-kali.Pelipatan ini memungkinkan bola mata berge-rak dan memperbesar permukaan konjungtiva.Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsultenon dan sclera di bawahnya, kecuali di limbus(tempat kapsul Tenon dan konjungtiva me -nyatu sejauh 3 mm). Lipatan konjungtivabulbari s yang tebal, mudah bergerak dan lunak(plika semilunaris) terlelak di kanthus internusdan membentuk kelopak mata ketiga padabeberapa binatang. Struktur epidermoid kecilsemacam daging (karunkula) menempel super-fisial ke bagian dalam plika semilunaris danmerupakan zona transisi yang mengandungbaik elemen kulit dan membran mukosa.

c. Konjungtiva forniks struktumya sama dengankonjungtiva palpebra. Tetapi hubungan denganjaringan dibawahnya lebih lemah dan mem-bentuk lekukan-lekukan. Juga mengandungbanyak pembuluh darah. Oleh karena itu,pembeng kakan pada tempat ini mudah terjadibila terdapat peradangan mata.

Pembuluh darah okular berasal dari arterioftalmika, yang merupakan cabang dari arterikarotis interna. Arteri oftalmika bercabang men-jadi arteri retina sentralis, arteri siliaris posterior,dan beberapa arteri silaris anterior. Vaskularisasikonjungtiva berasal dari 2 sumber, yaitu:2

1. Arteri PalpebralisPleksus post tarsal dari palpebra, yang di -

perdara hi oleh arkade marginal dan perifer daripalpebra superior akan memperdarahi konjung-tiva palpebralis.

Arteri yang berasal dari arkade marginalpalpebr a akan melewati tarsus, mencapai ruangsubkonjungtiva pada daerah sulkus subtarsalmembentuk pembuluh darah marginal dan tarsal.Pembuluh darah dari arkade perifer palpebraakan menembus otot Muller dan memperdarahisebagian besar konjungtiva forniks. Arkade iniakan memberikan cabang desenden untukmenyuplai konjungtiva tarsal dan juga akanmengad akan anastomose dengan pembuluhdarah dari arkade marginal serta cabang asendenyang melalui forniks superior dan inferior untukkemudian melanjutkan diri ke konjungtiva bulbisebagai arteri konjungtiva posterior.2

2. Arteri Siliaris AnteriorArteri siliaris anterior berjalan sepanjang

tendo n otot rektus dan mempercabangkan dirisebagai arteri konjungtiva anterior tepat sebelummenembus bola mata. Arteri ini mengirimcabangny a ke pleksus perikorneal dan ke daerahkonjungtiva bulbi sekitar limbus. Pada daerah ini,terjadi anastomose antara pembuluh darahkonjungt iva anterior dengan cabang terminal daripembuluh darah konjungtiva posterior, mengha-silkan daerah yang disebut Palisades of Busacca.2

Secara histologis, konjungtiva terdiri atas lapisan:3a. Lapisan epitel konjungtiva, terdiri dari dua

hingga lima lapisan sel epitel silinder ber-tingkat, superficial dan basal. Lapisan epitelkonjungtiva di dekat limbus, di atas karankula,dan di dekat persambungan mukokutan padatepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitelskuamosa.

b. Sel-sel epitel superfisial, mengandung sel-selgoblet bulat atau oval yang mensekresi mukus.Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dandiperlukan untuk dispersi lapisan air matasecara merata diseluruh prekornea. Sel-selepite l basal berwarna lebih pekat daripada sel-se l superficial dan di dekat limbus dapatmengan dung pigmen.

Konjungtivitis Vernal. 18–25

20 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Gambar 1. Anatomi KonjungtivaSumber: Azari, Barney, 2013

Page 21: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

c. Stroma konjungtiva, dibagi menjadi lapisanadenoid (superficial ) dan lapisan fibrosa(profun dus). Lapisan adenoid mengandungjaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapatmengandung struktur semacam folikel tanpasentrum germinativum. Lapisan adenoid tidakberkembang sampai setelah bayi berumur 2atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapakonjungtivitis inklusi pada neonatus bersifatpapiler bukan folikuler dan mengapa kemudianmenjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun darijaringan penyambung yang melekat padalempen g tarsus. Hal ini menjelaskan gambaranreksi papiler pada radang konjungitiva. Lapisanfibrosa tersusun longgar pada bola mata.

d. Kelenjar air mata aksesori (kelenjar Krause danwolfring), yang struktur dan fungsinya mirip

kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma.Sebagian besar kelenjar krause berada di for -nik s atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Ke -len jar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas.

2.2. Definisi Konjungtivitis vernal adalah peradangan kon-

jungtiva bilateral dan berulang (recurrence) yangkhas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakitini juga dikenal sebagai “catarrh musim semi” dan“konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis mu -sim kemarau”. Di belahan bumi selatan pe nyaki tini lebih menyerang pada musim gugur dan mu -sim dingin. Akan tetapi, banyak pasien mengala migejala sepanjang tahun, mungkin disebabkanberbag ai sumber alergi yang silih berganti sepan-jang tahun.1

2.3. Etiologi dan PredisposisiKonjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi

hipersens itivitas tipe I yang mengenai kedua mata,sering terjadi pada orang dengan riwayat keluargayang kuat alergi.3

Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dankedua jenis kelamin sama. Biasanya pada laki-lakimulai pada usia dibawah 10 tahun. Penderita kon -jungt ivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejalaalergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.3

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksiseperti berikut:3l Tipe I : Reaksi Anafilaksi

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereak -si dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikatpada sel mast atau sel basofil dengan akibatterlepas nya histamin. Keadaan ini menimbulkanreaksi tipe cepat.l Tipe II : Reaksi Sitotoksik

Di sini antigen terikat pada sel sasaran.Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan adanyakomplemen akan diberikan dengan antigen,sehingga dapat mengakibatkan hancurnya seltersebu t. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepatmenurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkusMooren merupakan reaksi jenis ini. l Tipe III : Reaksi Imun Kompleks

Di sini antibodi berikatan dengan antigen dankomplemen membentuk kompleks imun. Keada -an ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor

MADE DESSY GANGGA AYU CINTHIADEWI. 18–25

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 21

Gambar 2. Vaskularisasi KonjungtivaSumber: Oftalmologi Umum

Gambar 3. Histologi Normal KonjungtivaSumber : Kanski’s Clinical Ophthalmology, 8th Edition, 2016

Page 22: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

yang dapat menyebabkan terjadinya peradanganatau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi padapembuluh darah kecil. Pengejawantahannya dikornea dapat berupa keratitis herpes simpleks,keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas)dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi padakeratiti s Herpes simpleks.l Tipe IV : Reaksi Tipe Lambat

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan IIIyang berperan adalah antibodi (imunitas humo-ral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalahlimfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler.Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksidengan antigen, dan menyebabkan terlepasnyamediator (limfokin) yang jumpai pada reaksipenolak an pasca keratoplasti, keraton- jungtivitisflikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitisdiskifo rmis.

2.4. Manifestasi KlinisGejala yang mendasar adalah rasa gatal, mani-

festasi lain yang menyertai meliputi mata berair,sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, danperasaan seolah ada benda asing yang masuk.Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul ber -ulang, dan sangat membebani aktivitas penderitasehingga menyebabkan ia tidak dapat beraktivitasnormal.4

Terdapat dua bentuk klinik, yaitu:2l Bentuk palpebra, terutama mengenai konjung -tiva tarsal superior. Terdapat pertumbuhan papilyang besar (cobble stone) yang diliputi sekret yangmukoid. Konjungtiva tarsal bawah hiperemi danedema, dengan kelainan kornea lebih berat diban -d ing bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tam - pak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permu-kaan yang rata dan dengan kapiler ditengah nya.l Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus su-perior yang dapat membentuk jaringan hiperpla-stik gelatin, dengan Trantas dot yang merupakandegenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagianepitel limbus kornea, terbentuknya pannus, den-gan sedikit eosinofil.

2.5. PatofisiologiPada bentuk palpebral, jaringan epitel mem -

besa r pada beberapa area dan menular ke area

lainnya. Kadangkala, eosinofil (warna kemerahan)tampak kuat di antara sel-sel jaringan epitel.Perubahan yang menonjol dan parah terjadi padasubstansi propria (jaringan urat). Pada tahap awaljaringan terinfiltrasi dengan limfosit, sel plasma,eosinofil, dan basofil. Sejalan dengan perkem -banga n penyakit, semakin banyak sel yang ber -akumu lasi dan kolagen baru terbentuk, sehinggamenghasilkan bongkol-bongkol besar padajaringa n yang timbul dari lempeng tarsal. Terkaitdengan perubahan-perubahan tersebut adalahadanya pembentukan pembuluh darah barudalam jumlah yang banyak. Peningkatan jumlahkolagen berlangsung cepat dan menyolok.6

Konjungtivitis Vernal. 18–25

22 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Gambar 4. Cobblestone pada KonjungtivitisVernal Bentuk PalpebraSumber: Kanski’s Clinical Ophthalmology, 8th Edition, 2016

Gambar 5. Trantas Dot pada KonjungtivitisVernal Bentuk LimbalSumber: Kanski’s Clinical Ophthalmology, 8th Edition, 2016

Page 23: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Pada bentuk limbal terdapat perubahan yangsama, yaitu: perkembangbiakan jaringan ikat,peningkatan jumlah kolagen, dan infiltrasi selplasma, limfosit, eosinofil dan basofil ke dalamstroma. Penggunaan jaringan yang dilapisi plastikyang ditampilkan melalui mikroskopi cahaya danelektron dapat memungkinkan beberapa obser-vasi tambahan. Basofil sebagai ciri tetap daripenyakit ini, tampak dalam jaringan epitel seba-gaimana juga pada substansi propria. Walaupunsebagian besar sel merupakan komponen normaldari substansi propia, namun tidak terdapatjaringa n epitel konjungtiva normal.6

Walaupun karakteristik klinis dan patologi kon -jung tivitis vernal telah digambarkan secara luas,namun patogenesis spesifik masih belum dikenali.

2.6. Pemeriksaan PenunjangPada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan

Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granulaeosinofilik bebas. Pada pemeriksaan darahditemuk an eosinofilia dan peningkatan kadarserum IgE.4

Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagianbesar sel yang secara rutin tampak dalam jaringanepitel. Pengawetan yang lebih baik adalah meng-gunakan glutaraldehyde, lapisan plastik, danditampilkan pada media sehingga dapat memung-kinkan untuk menghitung jumlah sel ukuran 1μberdasarkan jenis dan lokasinya. Jumlah rata-ratasel per kubik milimeter tidak melampaui jumlahnormal. Diperkirakan bahwa peradangan selsecara maksimum seringkali berada dalam kondisikonjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasilebih banyak sel dalam proses peradangan kon -jun gtivitis vernal, maka jaringan akan membesardengan cara peningkatan jumlah kolagen danpembuluh darah.3,4

Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukandari empat pasien konjungtivitis vernal yangterkonta minasi dengan zat imun, yaitu: dua dariempat pasien mengandung spesimen IgA-, IgG-,dan IgE- secara berlebih yang akhirnya mem -bentu k sel plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemu-kan pada konjungtiva normal dari dua pasienlainnya.3,4

Kandungan IgE pada air mata yang diambil darisampel serum 11 pasien konjungtivitis vernal dan

10 subjek kontrol telah menemukan bahwaterdapa t korelasi yang signifikan antara air matadengan level kandungan serum pada kedua mata.Kandungan IgE pada air mata diperkirakan mun-cul dari serum kedua mata, kandungan IgE dalamserum (1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml)dari pasien konjungtivitis vernal melebihi kan -dung an IgE dalam serum (201ng/ml) dan pada airmata (61ng/ml) dari orang normal. Butiran anti-bodi IgE secara spesifik ditemukan pada air matalebih banyak daripada butiran antibodi padaserum. Selain itu, terdapat 18 dari 30 pasien yangmemiliki level antibodi IgG yang signifikan yangmenjadi butiran pada air matanya. Orang normaltidak memiliki jenis antibodi ini pada air matanyamaupun serumnya. Hasil pengamatan ini me -nyim pulkan bahwa baik IgE- dan IgG- akan men-jadi perantara mekanisme imun yang terlibatdalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimanasistesis lokal antibodi terjadi pada jaringan permu-kaan mata. Kondisi ini ditemukan negatif padaorang-orang yang memiliki alergi udara, tetapipada penderita konjungtivitis vernal lebih banyakberhubungan dengan antibodi IgG dan mekanis -me lainnya daripada antibodi IgE.4,6

Kandungan histamin pada air mata dari sem -bila n pasien konjungtivitis vernal (38ng/ml) secarasignifikan lebih tinggi daripada kandunganhistami n air mata pada 13 orang normal (10ng/ml,P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan meng-gunakan mikroskopi elektron yang diperkirakanmenemukan tujuh kali lipat lebih banyak sel mas -to sit dalam substantia propia daripada denganpengamatan yang menggunakan mikroskopicahaya. Sejumlah besar sel mastosit ini terdapatpada air mata dengan level histamin yang lebihtinggi.4,6

Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yangterinfeksi menunjukkan adanya banyak eosinofildan butiran eosinofilik. Ditemukan lebih dari duaeosinofil tiap pembesaran 25x dengan sifat khaspenyakit (pathognomonic) konjungtivitis vernal.Tidak ditemukan adanya akumulasi eosinofil padadaerah permukaan lain pada level ini.4

2.7. Diferensial DiagnosisWalaupun secara prinsip konjungtivitis vernal

sangat berbeda dengan trakhom dan konjungtivi-

MADE DESSY GANGGA AYU CINTHIADEWI. 18–25

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 23

Page 24: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

tis demam rumput, namun seringkali gejalanyamembingungkan dengan dua penyakit tersebut.Trakhom ditandai dengan banyaknya serabut-serabut sejati yang terpusat, sedangkan pada kon-jungtivitis vernal jarang tampak serabut sejati.Pada trakhom, eosinofil tidak tampak pada kikisankonjungtiva maupun pada jaringan, sedangkanpada konjungtivitis vernal, eosinofil memenuhijaringan. Trakhom meninggalkan parut-parutpada tarsal, sedangkan konjungtivitis vernal tidak,kecuali bila terlambat ditangani.3

Tanda konjungtivitis demam rumput adalahedema, sedangkan tanda konjungtivitis vernaladalah infiltrasi selular. Demam rumput memilikikarakteristik sedikit eosinofil, tidak ada sel masto-sit pada jaringan epitel, tidak ada peningkatan selmastosit pada substantia propria, dan tidakterdapa t basofil, sedangkan konjungtivitis vernalmemiliki karakteristik adanya tiga serangkai, yaitu:sel mastosit pada jaringan epitel, adanya basofil,dan adanya eosinofil pada jaringan.3

2.8. KomplikasiDapat menimbulkan keratitis epitel atau ulkus

kornea superfisial sentral atau parasentral, yangdapat diikuti dengan pembentukan jaringansikatrik s yang ringan. Penyakit ini juga dapatmenyebabkan penglihatan menurun. Kadang-kadang didapatkan panus, yang tidak menutupiseluruh permukaan kornea. Perjalanan penyakit-nya sangat menahun dan berulang, sering menim-bulkan kekambuhan terutama di musim panas.1

2.9. PenatalaksanaanBiasanya penyakit ini akan sembuh sendiri.

Tetapi medikasi yang dipakai terhadap gejalahanya memberikan hasil jangka pendek, karenadapat berbahaya jika dipakai untuk jangka pan-jang. Penggunaan steroid berkepanjangan iniharus dihindari karena bisa terjadi infeksi virus,katarak, hingga ulkus kornea oportunistik.1,6

l Farmakologi- Natrium kromoglikat 2% topikal dapat

diberikan 4 kali sehari untuk mencegahdegranulasi sel mast.

- Anti histamin dan steroid sistemik dapatdiberikan pada kasus yang berat.

- Cromolyn topical adalah agen profilaktik

yang baik untuk kasus sedang sampai berat.Bila tidak ada hasil dapat diberikan radiasi,atau dilakukan pengangkatan giant papil.

- Antibiotik dapat diberikan untuk mencegahinfeksi sekunder disertai dengan sikloplegik.

- Anti-radang non-steroid yang lebih baru,

Konjungtivitis Vernal. 18–25

24 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Tabel 1. Diagnosis Banding Trakoma, Konjung -tivitis Folikularis, dan Konjungtivitis Vernal

Page 25: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

seperti kerolac dan iodoxamine, cukupbermanfaat mengurangi gejala.

l Non FarmakologiPenderita diusahakan untuk menghindari

menggosok-gosok karena akan menyebabkaniritas i berlanjut. Kompres dingin dapat jugadigunak an untuk menghilangkan edema. Selainitu, tidur di tempat ber AC dapat menyamankanpasien. Lebih baik apabila penderita pindah ketempat beriklim sejuk dan lembab.

2.10. PrognosisKondisi ini dapat terus berlanjut dari waktu ke

waktu, dan semakin memburuk selama musim-musim tertentu.1

KesimpulanKonjungtivitis vernal adalah peradangan kon-

jungtiva bilateral dan berulang (recurrence) yangkhas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakitini juga dikenal sebagai “catarrh musim semi” dan“konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitismusim kemarau”.

Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksihipersen sitivitas tipe I yang mengenai kedua mata,sering terjadi pada orang dengan riwayat keluargayang kuat alergi.

Terdapat dua bentuk penyakit ini, yaitu:palpebr al dan limbal, yang perbedaan utamanyaterletak pada lokasi. Bentuk palpebra, terutamamengenai konjungtiva tarsal superior. Terdapatpertumbuhan papil yang besar (cobble stone) yangdiliputi sekret yang mukoid. Bentuk limbal, hiper -tr ofi papil pada limbus superior yang dapat mem-bentuk jaringan hiperplastik gelatin, denganTrantas dot yang merupakan degenerasi epitel kor -ne a atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea,terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil.

Pada eksudat konjungtiva yang dipulas denganGiemsa terdapat banyak eosinofil dan granulaeosinofilik bebas. Dapat menimbulkan keratitisepitel atau ulkus kornea superfisial sentral ataupara sentral, yang dapat diikuti dengan pem -bentuka n jaringan sikatriks yang ringan. Jugakadang-kadang didapatkan panus, yang tidakmenutupi seluruh permukaan kornea. Perjalananpenyakitnya sangat menahun, bertahun-tahun.Penyakit ini sering menimbulkan kekambuhanterutama di musim panas.

Penyakit ini biasanya sembuh sendiri tanpadiobati. Dapat diberi obat kompres dingin,natrium karbonat dan obat vasokonstriktor.Kelainan kornea dan konjungtiva dapat diobatidengan natrium cromolyn topikal. Bila terdapattukak maka diberi antibiotik untuk mencegahinfeksi sekunder disertai dengan sikloplegik. Lebihbaik penderita pindah ke tempat beriklim sejukdan lembab.

Daftar Pustaka1. American Academy of Ophthalmology: Basic and clinical

science course. America. 2016-1017.2. Bowling B. The Glaucomas, in Kanski’s Clinical Ophthal -

mology. Eight edition. Elsevier. London. 2016.3. Suhardji SU, Agni A.N. Buku Ilmu Kesehatan Mata. Edisi ke

3. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Universitas GadjahMada. Yogyakarta. 2017.

4. Budiono, S., Saleh, TT., Moestijab, Eddyanto. 2013. Buku AjarIlmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University Press.

5. Anonim. Konjungtivitis Vernal. Diakses tanggal 23 Agustus2018. Dari: http://francichandra.wordpress.com/2010/04/07/konjungtivitis-vernal/

6. PubMedVernal Keratoconjunctivitis . Diunduh darihttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1705659/. (Diakses 23 Agustus 2018).

MADE DESSY GANGGA AYU CINTHIADEWI. 18–25

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 25

Page 26: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

26 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

AbstrakTujuan: Menilai faktor risiko berbeda pada PAP simptomatik dan asimptomatik.Metode: Kami menilai 332 subjek dengan tekanan darah normal dan riwayat hipertensi yangberkunjung pada puskesmas kami pada 3 wilayah kerja berbeda sesudah mengeksklusi merekadengan data yang tidak lengkap, sedang menggunakan obat antihipertensi, diduga batu ginjal dankemungkinan penyebab hipertensi sekunder lainnya. Sesudah pencatatan riwayat rekam medis,indeks brakialis - pergelangan kaki termodifikasi (IBAm) pengukuran dilakukan dengansphygmomanometer oleh tenaga kesehatan terlatih dengan pasien supinasi selama 5 menit.Hasil: Kami mendapati dominasi perempuan dan petani dimana 31.2% keseluruhan subjek kamiadalah perokok dan 58% sering mengonsumsi NSAID atau steroid. Terdapat 49.6% subjek denganhipertensi dan 30.3% di antaranya baru terdiagnosis. Pada pasien simptomatik, kami mendapatifaktor risiko independennya mencakup lama riwayat hipertensi (p=0.031), terutama pada merekayang mengalami hipertensi selama 5-10 tahun (p = 0.037; OR = 0.227), tetapi tidak pada yang lebihdari 10 tahun (p = 0.298; OR: 2.507). Pada yang asimptomatik, faktor risiko ditemukan lebihbanyak, mencakup jenis kelamin (p = 0.018; OR: 0.274 untuk laki-laki), riwayat hipertensi dalamkeluarga (p = 0.001; OR 6.513), riwayat lebih dari 10 tahun hipertensi (p = 0.008; OR: 8.136),hiperurisemia(p = 0.005; OR: 0.23), dan proteinuria (p value = 0.037; OR 2.801).Kesimpulan: Pada pasien PAD simptomatik, hipertensi dam hiperurisemia cenderung mengurangirisiko PAD, sedangkan pada pasien asimptomatik, perempuan, riwayat keluarga dengan hipertensi,dan proteinuria menjadikan mereka sebagai faktor risiko signifikan.

Kata Kunci: PAP, ankle brachial index, klaudikasio, penapisan

AbstractObjectives: To assess different risk factors both symptomatic and asymptomatic peripheral artery disease(PAD).Methods: We took 332 subjects with both normal and history of hypertension visiting our primary healthcare services as our study samples from 3 rural areas after excluding incomplete data, currently tookantihypertensive medication, suspected renal stones and other secondary hypertension cause, After somemedical history record, modified ankle brachial index (ABIM) measurement had been done usingsphygmomanometer by trained medical staffs while subjects were lying supine after 5 minutes rest. Results: We found females and farmers predominance while 31.2% of our subjects are smokers and 58%often consumed NSAID or steroid. We have 49.6% subjects with hypertension and 30.3% of them werenewly diagnosed. In symptomatic subjects, we found out independent significant risk factors: duration ofhypertension (p = 0.031), especially for 5-10 years (p = 0.037; OR = 0.227 ), but not for more than 10 years

NALDO SOFIAN1,STEPHANIEWIBISONO2

1Dokter Umum Pasca PTTPusat di PuskesmasMagepanda*,2Dokter Umum Pasca PTTPusat di PuskesmasWolofeo*Puskesmas di KabupatenSikka ,Flores, NusaTenggara Timur,Indonesia.

Skrining Penyakit Arteri Perifer di FasilitasKesehatan Tingkat Pertama di KabupatenSikka, Flores, Nusa Tenggara Timur(Sebuah Perbandingan Faktor Risiko Simptomatikdan Asimptomatik Pada Penyakit Arteri Perifer)

TINJAUAN PUSTAKA

Page 27: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

(p = 0.298; OR: 2.507). Uric acid has similar significance (p value =0.019; OR = 0.206) However, we found more in asymptomatic PAD,including gender (p = 0.018; OR: 0.274 for male), medical history ofhypertension in family (p = 0.001; OR 6.513), more than 10-yearhistory of hypertension (p = 0.008; OR: 8.136), hyperuricemia(p = 0.005; OR: 0.23), and presence of proteinuria (p value = 0.037;OR 2.801), respectively.Conclussion: In symptomatic PAD, hypertension and hyperu ri cemiaseems to protect PAD while asymptomatics, female, hypertensionhistory in family, and proteinuria have been significant risk factors.

Keywords: Peripheral artery disease, ankle brachial index,claudication, screening

Pendahuluan

Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan suatukondisi penyempitan pembuluh darah arteri

perifer termasuk di tungkai, perut, lengan, dankepala. Bagian yang paling sering terkena adalahdi bagian tungkai kaki. Proses aterosklerosissebagai penyebab utama, menghasilkan obstruksipada beberapa bagian organ yang penting.1

Penyakit arteri perifer sekarang lebih dikenalsebagai penyakit vaskular, penyakit arteri oklusi,dan penyakit tungkai bawah.2

Diperkirakan sekitar lebih dari 200 juta orangmenderita PAP di seluruh dunia, dengan spektrumklinis dari tanpa gejala sampai gejala yang berat.2PAP ini sangat jarang ditemukan pada usia muda,prevalensi PAP sendiri meningkat tajam denganberanjaknya umur. Allison,dkk.3 memperkirakanbahwa prevalensi pada beberapa etnik (ras)tertentu di Amerika, diantaranya Kelompok NonHispanik, Asia-Afrika, Hispanik, Asia-Amerika, danPenduduk asli Amerika. Diabetes merupakansalah satu faktor resiko terpenting dari PAP diantara Ras Asia berdasarkan studi populasi darisekitar 3.280 penduduk di Malaysia (78.7% respon)dengan range usia antara 40-80 tahun di Singa -pura yang diteliti.4 Tidak didapatkannya data diIndonesia.

Analisis lebih lanjut mengenai faktor risikoyang dapat dimodifikasi pada PAP sudahditemukannya mekanisme yang sama denganproses aterosklerosis, termasuk usia lebih dari 60tahun, perokok, dislipidemia.5 dan diabetesmelitus (DM). PAP lebih sering ditemukan padausia yang lebih tua,dan meningkat sebanyak 1.5-2kali,pada setiap kenaikan usia, selama 10 tahun.

Lamanya seseorang menderita diabetes itusendiri seringkali dikaitkan dengan derajatberatnya PAP dibanding dengan kadar guladarahnya. Selain itu, proses aterosklerosis akantampak tidak bergejala, sama seperti padapenyakit jantung koroner, meskipun faktor risikodan temuan pemeriksaan yang cermat telahmendapati tanda dini yang luput dari perhatianklinisi. Melihat fakta demikian, kondisi asimpto -matik sekalipun sudah dapat terbentuk meskidengan faktor risiko yang, mungkin, sama. Daridata-data yang ada, dalam hal pengetahuan danpertimbangan penulis yang diterapkan pada PAP,keduanya,baik yang bergejala dan tidak bergejala,belum diketahui dan dapat menjadi sebuahrangkaian patofisiologi terjadinya gejala pada PAP.Kami menduga bahwa proses terjadinya ateros -klerosis yang awalnya bersifat asimptomatikakibat sejumlah faktor risiko, dapat berlanjutmenjadi simptomatik oleh karena faktor risikoyang sama atau berbeda. Kondisi ini layak ditelitimengingat studi terdahulu tersebut mencermin -kan faktor risiko yang cukup prevalen diidap olehmasyarakat di Indonesia.

Menilai keberadaan PAP itu sendiri cukuprumit. Gejala PAP yang paling umum adalahklaudikasio intermiten, namun pengukuran secaranon-invasif, seperti indeks pergelangan kaki-brachial (ankle brachial index), menunjukkanbahwa PAP dapat tidak bergejala, beberapa yanglebih sering terjadi pada populasi dibandingklaudikasio intermiten. Oleh karena itu, sangatdibutuhkan untuk penilaian lebih lanjut faktorrisiko pada PAP baik secara simtomatik maupunasimtomatik.

MetodeResponden diperoleh secara consecu tive

sampling di wilayah kerja 3 Puskesmas di Kabu -paten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur selama 5bulan ( Januari – Mei 2017). Penelitian dilakukanterhadap semua orang dewasa (>18 tahun) yangdatang berobat dan kontak dengan tenagakesehatan, baik di poliklinik maupun programkerja luar (penyuluhan, puskesmas keliling, dsb).Subjek yang dieksklusi adalah yang dicurigaimenderita hipertensi sekunder seperti padamereka dengan riwayat batu ginjal, kehamilan,

NALDO SOFIAN, STEPHANIE WIBISONO. 26–33

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 27

Page 28: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

konsumsi obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS)dan steroid dalam 24 jam terakhir. Perbedaantekanan darah sistolik > 20 mmHg antar ateribrachialis juga kami ekslusikan.

Komorbiditas yang dikaji mencakup stroke,diabetes mellitus, riwayat sindrom koroner akut,hiperkolesterolemia, dan hiperurisemia. Beberapapemeriksaan fisik pun kami lakukan: pengukurantekanan darah dengan sphygmomanometer raksa3 menit sesudah pasien supinasi di tempat tidur,termasuk kedua lengan dan tungkai (terutamapalpasi arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior).Kami juga mengukur indeks masa tubuh subjekdengan mengukur tinggi dan berat badan subjekmenggunakan pengukur standar. Pulsasi yangteraba pertama kali sesudah tekanan mansetditurunkan merupakan tekanan sistoliknya. IBAmkami definisikan sebagai hasil bagi tekanan arteribrachialis tertinggi dibagi dengan tekanan arteriterendah pada masing-masing kaki. Kami meng -kategorikan hipertensi6 sebagai berikut: normal(kurang dari120/80 mmHg), pre-hipertensi (120-130/80-89 mmHg), hipertensi grade I (140-159/90-99 mmHg), hipertensi grade II (160 – 180/100-110mmHg), dan krisis hipertensi (lebih dari 180/110mmHg).

Beberapa definisi dinyatakan lagi dalam studiini. Kami menggunakan kriteria Asia untuk IndeksMassa Tubuh (IMT) (18.5 – 22.9 kg/m2) sebagaiacuan normal. PAP dinyatakan dengan nilaikurang dari 0.9 pada pengukuran IBAm. Batasan200 mg/dl menjadi batasan gula darah sewaktunormal. Selain itu, kami juga mengambil definisihiperurisemia sesuai jenis kelamin dimana kadarlebih dari 7.0 mg/dl bagi laki-laki atau 6.0 mg/dlbagi perempuan menjadi syarat hiperurisemia.Adapun kolesterol total kami batasi sampai 200mg/dl sebagai batas maksimal. Riwayat hipertensikami gunakan 140/90 sebagai cut off tekanandarah normal pada mereka yang tidak pahamakan definisi hipertensi.7 Dilakukan pengukuranminimal 2 kali pada hari yang berbeda ataumemang terkonfirmasi pada catatan rekam medisjika yang bersangku tan pernah datang kepuskesmas. Riwayat merokok mereka pun kamikategorikan sebagai ringan, sedang, dan beratsesuai denga indeks brinkman (IB) yang terhitungdengan mengalikan jumlah maksimal rokok harian

yang dihisap dengan durasi merokok mereka da -lam tahun, berturut-turut kurang dari 20, 20 – 400,dan lebih dari 400.8 Kami juga memeriksakanurinalisis menggunakan panel stik urin 10 peme -riksaan. Untuk mencegah pembacaan negatif ataupositif palsu pada keasaman urin dan beratjenisnya disertai dengan keharusan subjek untukminum segelas air (+ 240 ml) sebelum peme -riksaan. Urin ditampung pada gelas plastik sterilbersih.

Data ini kami masukkan dalam SPSS 20.0 untukdianalisis lebih lanjut dengan chi-square, exactfisher bagi yang tidak memenuhi kriteria chi-square, dan regresi logistik untuk analisis faktorrisiko multiple dengan menggunakan nilai P < 0.05dan interval kepercayaan 95% yang tidak melewati1.0 sebagai faktor risiko signifikan.Adapun faktorrisiko dengan nilai p kurang dari 0.25 dimasukkandalam analisis regresi logistik sebagai syaratseleksi sebelum mendapatkan faktor risiko inde -penden signifikan.9

Kelayakan studi secara etik dilakukan denganbeberapa cara. Subjek turut menandatanganilembar jawaban tersebut sebagai bentuk informedconsent dan data akan dimusnahkan pasca peng -olahan analisis statistik. Studi ini telah mendapatrekomendasi dari Dinas Kesehatan KabupatenSikka dan atas seizin lembaga berwenang(Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Sikka).Tidak ada konflik kepentingan dan subjek telahbersedia dilakukan rangkaian prosedur penelitianini, mencakup wawancara, pemeriksaan fisik, dansampel darah.

HasilKami telah mengeksklusi 2 subjek dengan

riwayat batu ginjal, 3 kasus gawat darurat, dan 34subjek dengan data yang tidak lengkap sebelumkami mendapati 332 subjek yang memberikankonsen untuk bergabung dalam studi kami dantelah terkonfirmasi seluruh persyaratan yang ada.Subjek kami didominasi wanita (pria vs wa -nita–117 [35.1%] vs 216 [64.9%]) dan kebanyakantelah menikah (98.5%). Mereka umumnya bekerjasebagai petani (71.2%). guru (4.2%), dan pedagang(0.6%).Lain-lain tertera dalam tabel 1.

Secara deskriptif, kami mendapati gambaranumum subjek kami. Rerata umur subjek mencapai

Skrining Penyakit Arteri Perifer di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (Sebuah Perbandingan Faktor Risiko Simptomatik dan Asimptomatik Pada Penyakit Arteri Perifer). 26–33

28 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Page 29: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

NALDO SOFIAN, STEPHANIE WIBISONO. 26–33

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 29

57.47 tahun (28-87 tahun) dan IB rerata 212.48batang rokok-tahun. Status nutrisi subjek kamijuga baik (19.79 kg/m2). Di antara seluruhpemeriksaan darah sederhana, asam uratmemiliki rerata nilai tertinggi pada subjek kami(6.9 mg/dl ), sedangkan rerata gula darah dankolesterol umumnya dalam batas normal (104mg/dl dan 196 mg/dl).

Luaran utama kami, IBAm, ditemukan reratamencapai 0.94 – 0.99 baik pada kaki kiri maupunkanan. Kami menemukan 105 (31.5%) denganIBAm kurang dari 0.9 (vs 224 [67.3%] dalam batas

normal), sedangkan hanya 135 (40.5%) di antaramereka yang simptomatik, tetapi mereka hanyaterdiri dari 87 (26.1%) dari total subjek kami yangbenar-benar memiliki klaudikasio intermiten.Klasifikasi rinci rerata IBAm pada kaki kiri sedikitlebih rendah dibandingkan dengan kaki kanan(1.0064 vs 1.0071). Analisis lebih lanjut men -dapati bahwa klaudikasio lebih banyak terjadipada mereka dengan IBAm tibialis posteriorlebih rendah dibandingkan arteri lainnya. (0.89vs 0.93 [arteri tibalis posterior kanan]; 0.97pada kedua arteri dorsalis pedis) Hanya saja,be be rapa dari mereka yang tidak bergejalabahkan memiliki IBAm lebih rendah dari atausama dengan 0.61.

Kami menstratifikasi risiko melalui penilaianodds ratio pada variabel kami. Pada kasus asimp -to matik, kami mendapati temuan signifikan padasemua pemeriksaan laboratorium. Faktor risikolainnya mencakup jenis kelamin (OR 0.361 [0.202 –0.644]), riwayat hipertensi dalam keluarga (OR4.109 [2.280 – 7.404]), keberadaan komorbiditasapapun (;OR 4.152 [1.997 – 8.629]), dan diagnosishi per tensi (OR 2.248 [1.347 – 3.750]). Sedikit per -be daan terlihat pada PAP simptomatik, yaitu di -

Tabel 1. Jumlah subjek dengan PAP (IBAm <0.9) danNormal

Tabel 2. Analisis Faktor Risiko pada PAP Asimptomatik

Tabel 3. Analisis Faktor Risiko PAP Simptomatik

Page 30: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Skrining Penyakit Arteri Perifer di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (Sebuah Perbandingan Faktor Risiko Simptomatik dan Asimptomatik Pada Penyakit Arteri Perifer). 26–33

30 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

dapat nya jenis kelamin (0.002 ;OR 0.303 [0.140 –0.656]), penggunaan analgesik (OR 0.45 [0.27 –1.001]), dan proteinuria (OR 2.667 [1.281 – 5.553])sebagai faktor risiko signifikan.

DiskusiSeperti yang telah kita ketahui, pengukuran

IBAmtelah terbukti menjadi faktor prognostikuntuk kejadian iskemik kardiovaskular dalampenetapan uji prospektif klinis, Jika dilakukandengan melakukan perabaan pulsasi pada lokasianatomis,10 namun nilainya dalam pelayananting kat primer belum dapat ditentukan. Pengu -kuran IBAm dilakukan setelah pasien beristirahatdalam posisi terlentang selama 10 menit. Namun,metode yang berbeda dilaporkan untuk per -hitungan IBAm. Dalam penelitian ini, seperti yangdisarankan oleh American Heart Association (AHA),IBA ditentukan dengan membagi tekanan sistoliktertinggi pada pergelangan kaki dengan tekanansistolik tertinggi pada arteri brachialis,5,11 tetapiakan lebih sensitif jika menggunakan tekanandarah terendah pada kaki sehingga inilah yang di -maksud sebagai IBAm (Hasil modifikasi vs standar= Sensitivitas 84% vs 69%; Spesifisitas = 68% vs83%; Nilai prediksi positif = 16% vs 26%; Nilaiprediksi negative = 98% vs 87%).11 Jika doppler-ultrasound tidak tersedia di sebagian besarperawatan kesehatan primer, metode palpasilebih diutamakan. Nilai diagnostik ABI standar(menggunakan bantuan Doppler ultrasound)dibuktikan oleh meta-analisis dari Xu D, et al(2013) memiliki OR diagnostik 15.33 (95%IK 9.39-25.0), sensitivitas sebanyak 75% (95% CI: 71-79%),spesifisitas 86% (95% CI 83-90%), rasio kecen -derungan positif = 4,18 (2.14 – 8.14) dan rasiokecenderungan negatif 0,29 (0,18-0,47).12 Hasilberbeda justru dibuktikan oleh Migliacci R, et al(2008) akan nilai diagnostik metode palpasi yangtampak lebih sensitif. Penelitian mereka men -dapati sensitivitas 88% (95% IK: 65–100), specificity82% (77–88), positive predictive value 18% (6–29),negative predictive value 99% (98–100), positivelikelihood ratio = 4.98 (3.32–7.48) dan negativelikelihood ratio = 0.15 (0.02–0.95) sehingga dapatdikatakan memang metode palpasi ada tempat -nya dalam praktik klinis kita. Imbas dari peng -gunaan IBAm dinyatakan justru memiliki kecen -

derungan risiko kejadian gangguan kardiovaskularyang lebih tinggi dibandingkan dengan definisiumum.13 Dengan demikian, pengukuran IBAmsecara palpasi pada perawatan primer padapasien dengan risiko kardiovaskular adalahmetode yang cukup sensitif untuk dipertim -bangkan.14

Berdasarkan fakta ini, penelitian kami me laku -kan penilaian terhadap PAP dengan mengukurIBAm baik pada pasien simtomatik maupun asim -tomatik, menanyakan gejala iskemik umum se -perti (nyeri betis berhubungan dengan inten sitasberjalan), membandingkan prevalensinya,danmenyimpulkannya. Tidak ada klasifikasi lebih jauhkarena kami menganggap PAP derajat beratsebagai keadaan gawat darurat dan dieksklusi.

Pengukuran spesifik kami menunjukkan bahwaarteri tibialis posterior merupakan predileksi PAP,baik asimptomatik ataupun simptomatik, masing-masing memiliki prevalensi 39,1% dan 17,2%.Kedua nya juga memiliki IBAm lebih rendah diban -ding kan dengan lokasi arteri dorsalis pedis,bahkan berbeda signifikan jika dibandingkan padasimptomatik PAP. Sepengetahuan kami, tidak adastudi perbandingan untuk menyaring detailsemacam itu. Kami mengakui bahwa menilai arteritibialis dengan menggunakan metode pulsasicukup sulit, bisa saja secara keliru pada saatdiukur pulsasi yang terasa adalah pulsasi jari kita,sehingga setidaknya dilakukan dua kali untuk me -mastikan tekanan darah akurat dan mengu rangikemungkinan biasnya. Bila kita menganggap hasilini benar sebagaimana mestinya, arteri di per -gelangan kaki rentan terhadap turbulensi materialdan deposisi debris, lipid, hingga beragam zatpada dindingnya. Namun, umumnya kami me -nemu kan prevalensi yang serupa untuk keduakaki untuk PAP asimtomatik sementara kaki kirimemiliki prevalensi PAP lebih banyak daripadayang kanan (14,9% vs 10,3%).

Hipertensi kronis, baik yang tidak diobati dantidak terkontrol dapat mencerminkan perkem -bangan aterosklerosis, membuat lumen arterisemakin kecil dan kaku. Penyempitan pembuluhdarah mengurangi perfusi organ perifer danmenyebabkan kerusakan parah pada pembuluhdarah sebelum adanya deposit lipid di dinding -nya.15 Kram otot sering disalah artikan dianggap

Page 31: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

NALDO SOFIAN, STEPHANIE WIBISONO. 26–33

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 31

sebagai masalah muskuloskeletal. Mereka yangmenderita PAP sebanyak 55% memiliki hipertensi.Analisis multivariat menunjukkan bahwa adanyapeningkatan risiko odd ratio untuk PAP sebanyak1,3 (95% CI 1,2 - 1,5) untuk setiap peningkatantekanan darah sistolik 10 mmHg.15 Ini menjadisaran bagi kita untuk memantau arteri periferjuga. Melalui alat apapun, IBAm adalah yang palinglayak, sebagai penapisan komplikasi hipertensiyang potensial. Sebaliknya, hipertensi dapatmelindungi perkembangan PAP simtomatikkarena penelitian kami menemukan bahwa dalam5-10 tahun riwayat hipertensi (p = 0,037; OR =0,227 [0,056 - 0,915]) dan tidak ada hasil signifikanyang lebih jauh dari 10 tahun (p = 0.298; OR =0.2507 [0.444 - 14.166]). Menariknya, gejalaasimtomatik tersebut berisiko lebih besar pada 10tahun yang memiliki riwayat hipertensi (p value =0,008; OR = 8.136 [1.737 - 38.111]) daripada tahun-tahun yang lebih rendah (Tabel 4). Ini berartibahwa hipertensi sebelum berkembangnya PAPseakan-akan membuat pembuluh darah kolateraldalam kondisi iskemik atau sebagai mekanismekompensasi untuk mencukupi perfusi jaringan.Namun, hipotesis ini masih perlu dibuktikan lebihlanjut.

Berbeda dengan faktor risiko lainnya, hiperu ri -semia dapat secara langsung menghambatpengu kuran IBAm. Beberapa penelitian meng -klaim bahwa hiperurisemia sebagai faktor risikosementara, yang lain menyarankan bahwa iskemiaanggota badan bagian bawah dapat menyebab -kan kenaikannya, antara lain hipertensi, gagalginjal, dan gangguan metabolik.15 Terlepas darifakta tersebut, hal ini berkorelasi baik denganstatus fungsional sirkulasi yang buruk pada arteriperifer. Peradangan yang terus-menerus padagout telah diteliti oleh peneliti Inggris di antara8.386 pasien berusia lebih dari 50 tahun dalampercobaan terkontrol secara acak. Ini membukti -kan bahwa pengendapan kristal gout, non-akutdapat mempotensiasi penyakit serebrovaskularlebih jauh, namun tidak ada penjelasan ataupembuktian spesifik,karena komplikasinya, yangtelah dipublikasikan dalam penelitian besar.16

Namun, kami menemukan hasil yang kontradiktif.Pada kedua PAP baik yang simtomatik dan asimp -tomatik, hiperuricemia mengurangi risikonya

secara signifikan (OR ≈ 0,2 [95% CI = (0,055 - 0,773dalam gejala); (0,083 - 0,636 asimtomatik)]).Temuan ini mendukung pendapat adanyakemungkinan peran protektif dari hiperurisemiapada sel-sel tubuh. Asam urat memiliki potensisebagai antioksidan mengingat ia merupakanproduk sampingan dari hydrogen peroksida pascapengolahan hipoxantine dan xanthine. Hanyasaja, memang peranannya tidak sepenuhnyademikian karena ia juga memediasi pembentukanradikal bebas dari aminokarbonil terhadap lowdensity lipoprotein (LDL) serta menghambatnitrogen oxide synthase. Dominasi kerusaanannyaada pada epitel vaskular renal sehingga padabeberapa kelompok populasi, temuan hiperuri -semia dapat tidak bermakna terhadap beberapaparameter kardiovaskular walaupun sebagianbesar mendukung efek hiperurisemia terhadapkejadian kerusakan vaskular.17 Mengukur asamurat secara acak mungkin penyebabnya juga olehkarena menyiratkan metode yang berbedadibandingkan dengan penelitian sebelumnya dantidak mencerminkan implikasi kronis yangdisebabkan oleh hiperurisemia Oleh karena itu,temuan tersebut perlu dikonfirmasi ulang.

Tampaknya wanita lebih rentan terhadapgangguan fungsional pada PAP dibandingkan pria.Namun, kualitas hidup lebih berdampak padawanita dengan PAP. Hal ini ditunjukkan melaluistudi tentang jarak berjalan yang lebih rendahpada wanita dengan PAP jika dibandingkanpria dengan PAP, sekalipun perbedaanya hanya8-10%.18 Semua ini sesuai dengan temuan kami,bahwa wanita lebih rentan terdampak PAP,berdasarkan sebanyak 0,274 (0,094 - 0,798) risikoPAP pria dibandingkan wanita (p = 0,018) sekali -pun jumlah subjek laki-laki pada penelitian kamihanya sepertiga dari keseluruha.

Riwayat keluarga juga memiliki korelasi denganPAP. Hal ini dijelaskan dengan baik dalam variangenetik tertentu, namun tidak terdapat penelitianbesar lebih lanjut. Pasien yang menderita PAP usiadini, tepatnya kurang dari 49 tahun, ditemukanodds ratio sebanyak 1,1 - 1,3. Mereka yang memilikikecenderungan riwayat keluarga mungkinmemiliki odds ratio yang sama dengan perokok,hipertensi, dan diabetes.19 Kami menganggapmasalah ini sebagai sesuatu yang baru, sehingga

Page 32: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Skrining Penyakit Arteri Perifer di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (Sebuah Perbandingan Faktor Risiko Simptomatik dan Asimptomatik Pada Penyakit Arteri Perifer). 26–33

32 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

kami tidak bertanya mengenai riwayat keluargayang menderita PAP. Selain itu, populasi penelitiankami belum banyak mengenal diagnosis PAP.Sebaliknya, hipertensi sudah lama dikenal sebagaifaktor risiko yang kuat dan memang mem e nga -ruhi PAP pertanyaan tentang hipertensi dalamkeluarga lebih valid dan signifikan (p = 0,01; OR =6,513 (95% CI [2.165 - 19.590]).

Proteinuria merupakan faktor risiko lain yangmenarik. Studi kami menemukan hubungan yangsignifikan (p = 0,037) dan risiko untuk menjadi PAD(OR = 2,801 [95% CI = 1,063 - 7,377]). Proteinuriadi hasilkan karena ada kebocoran ginjal, ditemu -kan pada pasien dengan kerusakan fungsi ginjal.Apakah proteinuria ini bermakna apa tidak, belumada studi lanjutan mengenai ini, tetapi IBAm telahbanyak diteliti dalam penyakit gagal ginjal kronisdan juga dipadukan sebagai masalah yangberkaitan dengan albuminuria sebagai disfungsiendotel umum dan aterosklerosis oleh Pranay S,dkk (2014). Penelitian lainnya yang sama adalahtentang kalsifikasi arteri medial oleh albuminuriayang dapat menghasilkan bias hasil IBAm, yangseharusnya normal.20 Dengan kata lain, pro -teinuria dan IBAm dapat memiliki hubungan baiksecara statistik maupun klinis.

Sepengetahuan kami, inilah studi pertamayang mencoba menilai perbedaan faktor risikopada kedua kelompok pada sebuah populasi diIndonesia. Memilih kandidat skrining PAP untukmencegah mortalitas dan morbiditas lebih lanjut,bahkan untuk menyaring penyakit aterosklerosisprogresif lainnya secara efisien itu penting, se -hingga berdasarkan hasil ini, wanita dan merekayang memiliki riwayat hipertensi keluarga harusdiprioritaskan dalam skrining untuk mendeteksiPAP asimptomatik sehingga berhasil mencegahperkembangan PAP lebih awal, termasuk skriningproteinuria untuk menilai kerusakan ginjal lebihlanjut.20 Hipertensi dapat mempercepat per -kembangan PAP mesikipun tanpa gejala.14

Dengan demikian, kami menemukan beberapaperbedaan faktor risiko antara PAP simtomatikdan asimtomatik, baik dari segi variabilitas danintensitasnya. Kedua kelompok memerlukan kon -firmasi lebih lanjut mengenai peran hyperu ri -cemia sebagai faktor risiko pelindung ataudestruktif, dan juga lamanya hipertensi. Riwayat

hipertensi dalam keluarga dan jenis kelamin(perempuan) harus dicatat dalam skrining PAPkarena memiliki risiko lebih tinggi pada PAPasimptomatik dalam populasi penelitian kami. Inimemerlukan penyelidikan lebih lanjut untukmengungkapkan sepenuhnya tentang PAP.

KelemahanKami telah mengumpukan jumlah sampel yang

cukup untuk analisis. Namun, kesulitan untukfollow up dan menyulitkan konfirmasi beberapaparameter untuk menentukan kronisitasnya,seperti masalah hiperurisemia, merokok, danhipertensi. Ditambah dengan dominasi wanitasangat besar pada studi ini.

Daftar Pustaka1. About Peripheral artery disease (PAD). Dalam: American Heart

Association ; 2017 [cited 2017 Dec 26]. Tersedia di:http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/VascularHealth/PeripheralArteryDisease/About-Peripheral-Artery-Disease-PAD_UCM_301301_Article.jsp#

2. Criqui MH, Aboyans V. Epidemiology of Peripheral Artery Disease.Circ Res. 2015 Apr 24;116(9):1509–26.

3. Allison MA, Ho E, Denenberg JO, Langer RD, Newman AB,Fabsitz RR, et al. Ethnic-Specific Prevalence of Peripheral ArterialDisease in the United States . Am J Prev Med. 2007Apr;32(4):328–33.

4. Tavintharan S, Ning Cheung, Su Chi Lim, Tay W, Shankar A,Shyong Tai E, et al. Prevalence and risk factors for peripheralartery disease in an Asian population with diabetes mellitus. DiabVasc Dis Res. 2009 Apr;6(2):80–6.

5. Amjad Al Mahameed. Peripheral Arterial Disease. Dalam:Cleveland Clinic [Internet]. The Cleveland Clinic Foundation;2009 [Diakses 26 Desember 2016]. Tersedia di:http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/cardiology/peripheral-arterial-disease/#top

6. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA,Izzo JL, et al. Seventh report of the Joint National Committee onprevention, detection, evaluation, and treatment of high bloodpressure. Hypertension [Online]. 6 November 2003 [Diakses 1Februari 2018]; 42:1206-52.

7. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K,Manaf A, et al. Konsensus pengelolaan dan pencegahandiabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. Juli 2015. PB PERKENI.

8. Djojodibroto RD. Respirologi. Jakarta: EGC.h60, 2009.9. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi ke-

6. Jakarta: Epidemiologi Indonesia, 201710. Espinola-Klein C, Rupprecht HJ, Bickel C, Lackner K, Savvidis S,

Messow CM, et al. Different calculations of ankle brachial indexand their impact on cardiovascular risk prediction. Circulation[Online], 7 Juli 2008 [Diakses 6 Mei 2018]; 118: 961-7.

11. Oksala NKJ, Viljamaa J, Saimanen E, Venermo N. Modified ankle-brachial index detects more patients at risk in a Finnish primary

Page 33: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

health care. Eur J Vasc Endovasc Surg [Onine]. 6 Desember2009 [Diakses 1 Mei 2018]; 39: 227-33.

12. Xu D, Li J, Zou L, Xu Yawei, Hu D, Pagoto SL, et al. Sensitivity andspecificity of the ankle-brachial index to diagnose peripheralartery disease: a structured review. Vascular Medicine [Online].2010 [Diakses 6 Mei 2018]; 15(5): 361-9.

13. Migliacci R, Nasorri R, Ricciarini P, Gresele P. Ankle-BrachialIndex measured by palpation for the diagnosis of peripheralartery disease. Family Practice [Online]. 22 Mei 2008 [Diakses 26Desember 2017]; 25: 228-32.

14. Carmo G, Mandil A, Nascimento B, Arantes B, Bittencourt J,Falqueto E, et al. Can we measure the ankle-brachial index usingonly a stethoscope? A pilot study. Fam Pract. 24 November 2008;26(1):22–6.

15. Blood Pressure Association. Peripheral artery disease and highblood pressure. Blood Pressure UK [Internet]. 2008; Tersedia di:http://www.bloodpressureuk.org/BloodPressureandyou/Yourbody/Peripheralarterydisease.

16. Jonathan S Coblyn. Is gout associated with vascular disease ?Dalam: New England Journal of Medicine [Internet]. 2015 [cited2018 Jan 15]. Tersedia di: 3.https://www.jwatch.org/na37335/2015/03/24/gout-associated-with-vascular-disease.

17. Jin M, Yang F, Yang I, Yin Y, uo JJ, Wang H, et al. Uric acid,

hyperuri cemia, and vascular diseases. Biosci [Online]. 1 Juli2012 [Diakses 5 Mei 2018]; 17:656-69.

18. Collins TC, Suarez-Almazor M, Bush RL, Petersen NJ. Genderand Peripheral Arterial Disease. J Am Board Fam Med. 1 Maret2006;19(2):132–40.

19. Wassel CL, Loomba R, Ix JH, Allison MA, Denenberg JO, CriquiMH. Family History of Peripheral Artery Disease Is Associated WithPrevalence and Severity of Peripheral Artery Disease. J Am CollCardiol. September 2011;58(13):1386–92.

20. Garimella PS, Hirsch AT. Peripheral Artery Disease and ChronicKidney Disease: Clinical Synergy to Improve Outcomes. AdvChronic Kidney Dis. November 2014;21(6):460–71.

21. Fowler B, Jamrozik K, Norman P, Al len Y. Prevalence ofperipheral arterial disease: persistence of excess risk in formersmokers. Aust N Z J Public Health. 2002 Jun;26(3):219–24.

22. Yang S, Wang S, Yang B, Zheng J, Cai Y, Yang Z. AlcoholConsumption Is a Risk Factor for Lower Extremity Arterial Diseasein Chinese Patients with T2DM. J Diabetes Res. 2017;2017:1–6.

23. Langlois M, De Bacquer D, Duprez D, De Buyzere M, DelangheJ, Blaton V. Serum uric acid in hypertensive patients with andwithout peripheral arterial disease. Atherosclerosis. Mei2003;168(1):163–8.

NALDO SOFIAN, STEPHANIE WIBISONO. 26–33

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 33

Page 34: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

34 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

AbstrakPenyakit autoimun dapat terjadi secara sistemik atau spesifik pada organ tertentu danbahkan ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya pada individu yang sama.Hubungan antara SLE dengan abnormalitas pada tiroid pertama kali dijelaskan pada tahun 1961oleh White dan kawan kawan. dan Hijmans dan kawan kawan. yang menunjukkan bahwa gangguantiroid lebih sering didapat kan pada pasien SLE dibandingkan dengan populasi umumnya. Chan dankawan kawan (2001) dan Joshi dan kawan kawan.(1998) melaporkan bahwa sebagian besar disfungsitiroid yang didapatkan adalah hipotiroid (73,2%) diikuti oleh hipotiroid subklinis (17,1%) dan hiper-tiroid (7,3%). Koeksistensi dari SLE dan tirotoksikosis jarang dijumpai sampai saat ini. Pada beber-apa kasus dapat dijumpai tirotoksikosis mendahului manifestasi SLE, kasus lainnya didapatkanmanifestasi SLE muncul terdahulu dan pada kasus lainnya didapatkan keduanya munculbersamaan. Penelitian Porkodi dan kawan kawan. menunjuk kan dari 20 pasien SLE dengan dis-fungsi tiroid didapatkan pasien disfungsi tiroid yang mendahului SLE sebanyak 30%, setelah SLE40% dan bersamaan dengan SLE sebanyak 30%.Kami laporkan kasus seorang perempuan dengan SLE dan hipertiroid yang disertai sepsis karenasuspek infeksi saluran kemih. Hipertiroid pada pasien ini kemungkinan koeksistensi dari SLE den-gan tirotoksikosi s atau kelainan autoimun tiroid yang terjadi pada SLE. Kelainan hematologi yangterjadi pada pasien ini dapat disebabkan oleh perjalanan penyakit SLE itu sendiri dan kemunkinanadanya defisiensi nutrisi. Pemeriksaan lebih lanjut disarankan pemeriksaan pemantauan analisisgas darah, kultur urin dan darah, elektroforesis protein, foto thorax, thyroid uptake, TSHR-Ab, evalu-asi hapusan darah, SI dan TIBC.

Kata kunci: SLE, hipertiroid, koeksistensi, autoimun

AbstactA 27-years-old woman was admitted to Hospital with chief complaint of diarrhea. Patient was diarrheasince 3 days before admission, five times a day, accompanied with nausea & vomitting. She also com-plained fever since 5 days ago accompanied with productive cough & pain when swallowing. Urination iswithin normal limit. History of past illness: productive cough but self limiting, No TB contact, decreasedbody weight since 4 months ago, appendicitis & appendectomi 9 months ago. In physical examination:moderately ill, GCS 456. BP: 130/70 mmHg, HR: 140 bpm irreguler, RR: 20x/mnt, Tax: 40°C, oral ulcer (+),in colli anterior: thyroid gland enlargement 4x4x5, painless, unfixed, abdomen: epigastric tenderness (+).Laboratory finding showed normochromic normocytic anemia, thrombocytopenia, hypoalbuminemia,hyponatremia, elevated blood T3 & T4, decreased blood TSH, positive ANA test & IgM Anti-dsDNA (weakpositive), positive Direct Coombs test, metabolic acidosis, proteinuria trace, ketonuria, leukocyturia,hematuria, nitrite-uria. Accompanied with clinical, physical & other examination showed a SLE withhyperthyroid & sepsis e.c susp UTI. Hyperthyroidism in this patient might be coexistence of SLE &thyrotoxi cosis or autoimmune thyroid disorders in SLE. Hematological disorders in this patient might bedue to SLE, chronic disease and nutritional deficiencies. Further suggestion examination are BGAmonitorin g, urine & blood culture, chest x-ray, thyroid uptake, TSHR-Ab, blood smear, SI, TIBC.

Key words: SLE, hyperthyroid, hematological disorders

ANIK WIDIJANTI,ELLA MELISSA L.

Laboratorium PK RSUDDr Saiful Anwar/FKUBMalang

Hipertiroid dan Lupus Eritematosus Sistemik

LAPORAN KASUS

Page 35: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Pendahuluan

Penyakit autoimun merupakan suatu penyakityang berkaitan dengan genetik, hormonal dan

faktor-faktor lingkungan. Penyakit autoimundapat terjadi secara sistemik atau spesifik padaorgan tertentu, juga dapat ditemukan bersamaanterjadi kelainan autoimun di beberapa organ padaindividu yang sama. Angka kejadian penyakitautoimun seperti systemic lupus erythematosus(SLE) telah banyak dilaporkan. Kakehasi dkkmelapor kan pada SLE didapatkan 17 % dengankelainan fungsi tiroid yang terdiri dari 10 %subklini s hipotiroid, 2 % subklinis hipertiroid, 4 %hipotiroid primer, serta 1 % serum tiroksin di -bawah normal. Sehingga disimpulkan bahwa padasLE sering ditemukan kelainan fungsi tiroid, tetapitak ada hubungan antara aktifitas SLE se cara klinisdengan kelainan fungsi tiroid.1 Kejadi an penyakitautoimun SLE dengan abnormalitas tiroid per-tama kali dilaporkan pada tahun 1961 oleh Whitedkk (dan kawan kawan) & Hijmans dkk. Penelitiantersebut menunjukkan bahwa ganggu an tiroidlebih sering didapatkan pada pasien SLE di -banding kan dengan pada populas i umum.dikutip1,2

Peneliti lain melapor kan terjadinya kelainan fungsitiroid pada 13,1 % SLE, dan 5,1 % pada RA (rema-toid arthritis). Hipertiroid lebih jarang dan terjadipada kelompok usia lebih muda, diikuti subklinishipotitoid pada usis lebih tua, dan klinikalhipotiroid pada usia tua.2 Chan dkk. (2001)¸ Joshidkk. (1998) melapor kan bahwa sebagian besardisfung si tiroid yang didapatkan adalah hipotiroid(73,2%) diikuti oleh hipotiroid subklinis (17,1%)dan hipertiroid klinis (7,3%).dikutip 2

Hubungan antara SLE dengan kelainan tiroidautoimun dapat saling berhubungan mengingatautoimunitas berperan penting pada keduakelainan tersebut. Dilaporkan prevalensi tiroidantibodi lebih sering ditemukan pada pasien SLEdibanding kontrol sehat, sehingga mengesankanbahwa SLE dapat dihubungkan dengan pening -katan resiko autoimunitas tiroid.3 Topik mengenaiapakah SLE merupakan faktor risiko tersendiri darikelainan tiroid atau merupakan penemuan yangtidak disengaja karena kesamaan faktor risikoyaitu keduanya paling sering didapatkan padakelompok usia wanita muda sampai saat ini masihtetap menjadi bahan diskusi.4 Sebagian besar

pasien SLE awalnya diterapi karena disfungsitiroidnya sebelum diagnosis lupus ditegakkan dansebaliknya.5 Penyakit tiroid sulit didiagnosis padapasien SLE karena gejala yang saling tumpangtindih antara penyakit tiroid dengan lupus di manapada keduanya dapat dijumpai kelelahan, edemalokal, kelemahan, mialgia, atralgia dan berbagaikeluhan-keluhan tidak spesifik lainnya.6 Koeksis -tensi dari SLE dan tirotoksikosis jarang dijumpaisampai saat ini. Pada beberapa kasus dapatdijumpai manifestasi tirotoksikosis mendahuluiSLE, kasus lainnya didapatkan manifestasi SLEmuncul terdahulu dan pada kasus lainnyadidapat kan keduanya muncul bersamaan.7

Penelitian Porkodi dkk. menunjukkan dari 20pasien SLE dengan disfungsi tiroid didapatkanpasien disfungsi tiroid yang mendahului SLEsebanyak 30%, setelah SLE 40% dan bersamaandengan SLE sebanyak 30%.2 Pada beberapapenelitian menunjukan bahwa kelainan fungsitiroid lebih banyak pada hipotiroid dibandingdenga n hipertiroid.1-5

Kami laporkan kasus seorang perempuan 27tahun dengan SLE dan hipertiroid yang disertaisepsis.

KasusWanita 27 tahun datang ke RS. dengan keluhan

diare, lima kali sehari selama 3 hari disertaidengan mual dan muntah. Selain itu pasien jugamengalami demam selama 5 hari disertai denganbatuk produktif dan nyeri telan. Pasien memilikiriwayat batuk produktif yang sembuh sendiri,tidak ada kontak TB, riwayat penurunan beratbadan sejak 4 bulan yang lalu dan riwayat radangusus buntu dan diakhiri dengan operasi ususbuntu pada 9 bulan yang lalu.

Pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedangdengan GCS 456, tekanan darah 130/70 mmHg,nadi cepat (140x/menit), frekuensi nafas 20 kaliper menit, suhu 40oC, status gizi dalam batasnorm al, pada cavum oris didapatkan oral ulcer,pada colli anterior terdapat pembesaran kelenjartiroid (4x4x5cm), tidak nyeri, unfixed. Pada abdo -men didapatkan nyeri epigastrium. Pemeriksaanlaboratorium pada awal masuk RS (7 Oktober)didapatkan anemia ringan (borderline) normo -krom normositer (Hb 11 g/dL, MCV 83,7 fL, MCH

ANIK WIDIJANTI, ELLA MELISSA L. 34–40

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 35

Page 36: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

26,7 pg) dan hiponatremia (132 mmol/L), urinelengkap: agak keruh, protein trace, ketonuria 2+,nitrituria, leukosituria 1+, hematuria 2+, bak -teriuri a (?). Tanggal 10 Okrober didapatkan pening -katan T3 dan FT4, penurunan TSH, tinja lengkapdalam batas normal. Pada tanggal 12 Oktobermenjadi anemia normokrom normositer (9,7 g/dL,MCV 80,4 fL, MCH 26,4), leukopenia, trombositope-nia (115.000/μL), hipoalbuminemia (2,84 g/dL).Tanggal 17 Oktober didapatkan ANA test positif,Anti-dsDNA IgM positif borderline 21 IU/mL(negatif <20, positif ≥20), Coomb’s test direk 1+,ana lisa gas darah: asidosis metabolik. Pemeriksa -an USG tiroid tanggal 19 Oktober didapatkanstruma difusa bilateral dengan peningkatanvaskularisasi, curiga tiroiditis dan didapatkanlimfade nopati submandibula.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laborato-rium dan pemeriksaan penunjang lainnya menun-jukkan pasien SLE dengan hipertiroid dan sepsisdisebabkan karena suspek Infeksi Saluran Kemih(ISK). Pemeriksaan selanjutnya yang disarankanadalah pemantauan analisis gas darah, kultur urindan darah, thyroid uptake, TSHR-Ab, evaluasi hapu-san darah tepi, SI dan TIBC.

DiskusiSystemic Lupus Erythematosus adalah

penyaki t au toimun dimana s istem imunmembent uk antibo di terhadap sel-sel tubuh(autoantibodi) sehingga menyebabkan infla-masi dan kerusakan jaringan. Penyebab SLEmasih belum diketahui dan diyakini oleh paraahl i berhubungan dengan faktor genetik ,linkungan dan hormonal. Dapat terjadi padamasa pertumbuhan sampai usia lanju t denganpuncaknya d idapatkan pada wanita us iaprodukti f. Lebih sering terjadi pada wanitadibandingkan dengan laki-laki (4-12:1). Orangkulit hitam (dan kemungkinan Hispanic, Asiandan pendud uk asli Amerika) lebih sering ter -kena dibandingkan dengan kulit putih. Orangyang memiliki riwayat keluarga terkena SLEatau penyakit autoimun lainnya memiliki risikoyang sedikit lebih tinggi untuk SLE. SLE jugadapat terjad i dengan kondisi-kondisi autoimunlainnya seperti tiroiditis, anemia hemolitik, idio-pathic thrombocytopenia purpur a.8

Systemic Lupus International Collaborating Clinics(SLICC) 2012, merupakan grup internasional yangberfokus pada penelitian klinis SLE dan merevisikriteria klasifikasi SLE untuk mengatasi berbagaimasalah yang muncul sejak kriteria AmericanCollege of Rheumatology (ACR) 1982 dikembang -kan.9 Kriteria SLICC 2012 ini memerlukan minimalsatu criteria klinis dan satu criteria imunologisuntuk SLE. Adanya nefritis yang dikonfirmasidenga n biopsy ginjal sesuai dengan lupus (disertaidengan adanya autoantibody SLE) sudah meme -nuhi untuk SLE.10

Dikatakan SLE apabila memenuhi Kriteria SLEjika didapatkan ≥4 kriteria (minimal ada 1 kriteriaklinis dan 1 kriteria imunologis) atau nefritis lupusyang sudah dibuktikan dengan biopsy denganANA atau anti-DNA yang positif.10

Hipertiroid dan Lupus Eritematosus Sistemik. 34–40

36 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Page 37: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Pada kasus ini, didapatkan oral ulcer, leukope-nia (limfopenia dan neutropenia) dan trombosi-topenia (beberapa hari setelah dirawat di RS) danuntuk criteria imunologisnya didapatkan ANApositif (9,8), IgM anti-dsDNA positif (21,00 IU/mL)dan tes Coomb’s direk (1+) sehingga sudahmemenuhi criteria SLE menurut SLICC dan dapatdidiagnosis sebagai SLE.

Autoimunitas tiroid merupakan penyakitendokrin autoimun tersering. Graves’ Disease (GD)dan Hashimoto’s Thyroiditis (HT) merupakanpenyakit klinis tersering dari autoimunitas tiroid.GD ditandai oleh hipertiroidisme karena produksiberlebih dari hormon tiroid yang disebabkan olehautoantibodi spesifik terhadap reseptor tiro -tropin. HT merupakan penyakit autoimun yangdimediasi oleh sel T (T cell-mediated) yang menye-babkan klinis hipotiroidisme karena destruksikelenjar tiroid. Karakteristik autoimunitas tiroidadalah produksi autoantibodi tiroid. Namun,mekanisme yang mendasari dimana antibodispesif ik terhadap jaringan tiroid yang diproduksimasih belum diketahui secara pasti. Penelitianbelakangan ini mengilustrasikan bahwa keduafakto r endogen dan eksogen mempengaruhiberatnya reaksi autoimun dengan meginduksirespon imun.3

Kelainan tiroid sering terjadi pada SLE danrheumatoid arthritis (RA). Sebagian besar diawalidengan kelainan tiroid yang diterapi sebelum diag-nosis SLE ataupun RA ditegakkan atau sebaliknya(vice versa). Hubungan antara penyakit tiroidautoimun dengan SLE dan RA telah banyak ditelitidan bahwa keduanya dapat memicu dan mem -perber at gejalanya. Prevalensi penyakit tiroidautoimun pada SLE masih kontroversi dan di per -kira kan bervariasi. Presentasi klinisnya bervariasiantar pasien seperti hipotiroid klinis, hipotiroid

subklinis dan hipertiroid11 Pasien SLE jugan dapatmemiliki abnormalitas fungsi tiroid denganfrekuensi yang cukup tinggi walaupun pasientersebut tidak memiliki klinis penyakit tiroid.Mekanisme patogenesis yang mendasari hu bung -a n tersebut juga masih belum jelas.6 Hubunganantara SLE dengan abnormalitas pada tiroidpertam a kali dijelaskan pada tahun 1961 olehWhite dkk. dan Hijmans dkk. Penelitian tersebu tmenunjukkan bahwa gangguan tiroid lebih seringdidapatkan pada pasien SLE dibanding kan denganpopulasi umumnya.1 Chan dkk. (2001) dan Joshidkk. (1998) melaporkan bahwa sebagian besardisfung si tiroid yang didapatkan adalah hipotiroidklinis (73,2%) diikuti oleh hipotiroid subklinis(17,1%) dan hipertiroid (7,3%).2 Porkodi dkk.(2004) menunjukkan bahwa hipertiroid pada SLEterjadi pada usia yang lebih muda (rata-rata usia27 tahun) dibandingkan dengan hipotiroidsubklini s (rata-rata usia 28 tahun) dan hipotiroidklinis yang terjadi kemudian (rata-rata usia 30,4tahun).2

Faktor autoimunitas menjadi ciri umum padaautoimunitas tiroid dan SLE oleh karena itukeduan ya dapat ditemukan bersamaan padaseoran g pasien. Adanya potensi hubungan antaraautoimunitas tiroid dengan SLE perlu mendapatperhatian sehingga dapat mempersiapkanstrategi pencegahan dan terapinya.3 Penyakittiroid sulit didiagnosis pada pasien SLE karenagejala yang tumpang tindih diantara keduanya.Kelainan tiroid dapat terjadi akibat aktivitas anti-tiroid dari salah satu antibodi yang diroduksi padaSLE.6 Saat ini terdapat 4 kemunkinan hubunganantara SLE dan tirotoksikosis yaitu:71). Koeksistensi antara SLE dengan tirotoksikosis2). Kemunkinan SLE akibat drug-induced dengan

obat anti-tiroid3). Adanya kelainan tiroid autoimun pada pasien

SLE4). Kemungkinan perubahan serologis akibat

drug-induced setelah pengobatan denganpropylthiouracil (ANA positif dari tipe berbedatanpa adanya SLE)

Pada pasien ini didapatkan adanya takikardia(140/menit), demam (40°C), diare, riwayat penu-runan berat badan sejak 4 tahun lalu, hasil

ANIK WIDIJANTI, ELLA MELISSA L. 34–40

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 37

Tabel Kriteria SLE menurut SLICC (2012)10

Page 38: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

pemeriksaan TSH yang kadarnya sangat rendah(<0,01 μIU/mL) dengan kdar FT4 dan T3 yangmeningkat yaitu 3,03 dan 3,92. USG tiroid meun-jukkan struma difusa bilateral dengan peningkatanvaskularisasi, curiga tiroiditis. Tidak diketahuiadanya kelainan tiroid sebelumnya namun tidakada riwayat terapi dengan anti-tiroid sebelumnya.Sehingga menunjukkan adanya gambaran hiper-tiroid dan dapat diperkirakan bahwa hipertiroidpada pasien ini kemungkinan koeksistensi antaraSLE dengan hipertiroid atau karena kelainan tiroidautoimun yang terjadi pada SLE. Saran pemerik-saan lanjutannya adalah thyroid uptake dan thyroidstimulating hormone receptor antibody (TSHR-Ab).

Dalam perjalananya pasien juga mengalamisuspek sepsis (kriteria lama sepsis) yang didukunggejala SIRS (Systemic Inflamatory Respone Syn drome)dengan disertai adanya sumber infeksi. Padapasien ditemukan adanya takikardia (140/menit),febris (40°C), leukopenia (2.300-2630/μL), sertapada pemeriksaan laboratorium didapatkan leu -kosituria, nitrituria, bakteriuria serta adanya batukberdahak, febris dan nyeri telan maka penye babsepsis masih diduga antara ISK 9infeksi salurabKemih) atau pneumonia. Namun jika digunakankriteria baru dengan Sofa score masih borderline,karena ada pemeriksaan yang belum dilakukanseperti bilirubin darah.12

Pada pasien juga didapatkan hipoalbumin yangdapat disebabkan karena peningkatan metabo-lisme dari kondisi hipertiroidnya, kehilangan darisaluran cerna (gastrointestinsl loss) yaitu diare danmuntah serta karena peningkatan peningkatanpermeabilitas kapiler akibat sitokin-sitokin padakondisi SIRS dan sepsis. Pemeriksaan lanjutanyang disarankan adalah pemantauan analisis gasdarah, kultur urin dan darah serta foto thorax danelektroforesis protein, serta procalcitonin.

Saat onset SLE, dapat dijumpai keterlibatansatu sistem organ atau lebih dan seiring berjalan-nya penyakit dapat terjadi berbagai manifestasisetelah waktu tertentu. Manifestasi hematologipada pasien SLE (kelainan elemen darah, kelainanfaktor pembekuan dan fibrinolisis serta sistemyang berkaitan) biasanya beragam dan seringkalimenggambarkan manifestasi penyakit. Manifes -tasi hematologi utama dari SLE adalah anemia,leukopenia, trombositopenia dan antibodi antifos-

folipid.13 Anemia merupakan kelainan hematologiyang umum terjadi pada SLE, didefinisikan sebagainilai hemoglobin (Hb) <12 g/dL untuk wanita dan<13,5 g/dL untuk pria. Anemia ini dibagi menjadianemia of chronic disease (ACD) yang merupakanbentuk tersering (60-80%), anemia defisiensi besi,autoimmune hemolytic anemia (AIHA) dan anemiakarena insufisiensi ginjal kronis. Pada penelitiankohort dari 132 pasien SLE dengan anemia, ACDdijumpai pada 37,1% kasus, defisiensi besi pada35% kasus, AIHA pada 14,4% kasus dan anemiakarena sebab lain pada 12,9 kasus. ACD disebab -kan supresi eritropoiesis sekunder akibat infla-masi kronis (normositik dan normokrom denganretikulosit yang rendah, iron serum yang rendahsampai normal, cadangan besi yang cukup padasumsum tulang dan kadar feritin serum yangmeningkat). Anemia defisiensi besi umumnyadisebabkan karena menorrhagia dan kerentananperdarahan saluran pencernaan akibat pengguna -an kortikosteroid jangka panjang.14

AIHA ditandai dengan peningkatan retikulosit,penurunan kadar haptoglobin, peningkatan kon-sentrasi bilirubin indirek, tes Coombs direk yangpositif. AIHA ditemukan pada sekitar 10% pasienSLE. Adaya anemia hemolitik dapat berhubungandengan manifestasi penyakit yang berat sepertipenyakit ginjal, seizure dan serositis. Adanyaimmunoglobulin dan komplemen pada eritrositbiasanya dihubungkan dengan berbagai derajat

Hipertiroid dan Lupus Eritematosus Sistemik. 34–40

38 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Gambar 1. Penyebab anemia pada SLE15

Page 39: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

hemolisis, sedangkan adanya komplementersendiri (C3 dan/atau C4) sering tidak ber -hubunga n dengan hemolisis.14

Leukopenia merupakan tanda khas dan dapatdijumpai pada SLE yang disebabkan karenaleucope nia, neutropenia atau kombinasi dari ke -duany a. Prevalensi limfopenia pada SLE berkisarantara 20-81% dan derajatnya dapat berhubung -an dengan aktivitas penyakitnya. Limfosit T dan Bmenurun sedangkan natural killer cell biasanyameningkat. Neutropenia umum didapatkan padaSLE dengan prevalensi 47% dan dapat dimediasioleh adanya antibodi anti-neutrofil. Peningkatankadar TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL)pada SLE dapat juga menyebabkan terjadinyaneutropenia karena adanya apoptosis neutrofilyang berlebihan. Penyebab lain terjadinya neu-tropenia pada SLE adalah drug-induced sepertiimunosupresan, terapi kombinasi selain kortikos-teroid, imunosupresif atau NSAIDs.14

Prevalensi trombositopenia pada pasien SLEberkisar antara 7-30%. Mekanisme pathogenesisyang sering terjadi adalah karena peningkatandestruksi trombosit di perifer dan adanya antibodianti-platelet. Adanya autoantibodi antifosfolipidjuga berperan pada beberapa pasien. Trombo -sitopenia pada SLE dapat terjadi pada onset yangakut dan sangat berat yang biasanya berhubung -an dengan aktivitas penyakit dan berespon ter-hadap kortikosteroid. Bentuk yang kronis lebihsering dijumpai dan kurang berhubungan denganaktivitas penyakit dan biasanya kurang responsiveterhadap terapi steroid. Immune thrombocytopenia(ITP) dapat mendahului SLE pada 16% pasien danbiasanya muncul sekitar 10 tahun sebelum klinisSLE muncul. Diperkirakan 3-15% pasien denga ITPberkembang menjadi SLE. Kadar komplemen C3yang rendah (batas bawah) dijumpai padabeberap a pasien SLE dengan trombositopenia.Hal ini berhubungan dengan peningkatan risikorelaps nya trombositopenia pada pasien ini danmem pre diksi pemeriksaan C3 selanjutnya. Pasiendengan riwayat trombositopenia dan kadarkomple men yang rendah lebih sering mengalamirelaps. Trombositopenia merupakan faktor risikotersendiri untuk peningkatan mortalitas pada SLE.Pada penelitian retrospektif dari 126 pasien SLE,trombositopenia yang late-onset berhubungan

dengan peningkatan mortalitas. Penelitianretrospekt if terkini dari 632 pasien SLE menun-jukkan bahwa prevalensi trombositopenia padasaat diagnosis ditegakkan sekitar 58 %. Terdapathubungan yang jelas antara trombositopeniadenga n aktivitas penyakit, peningkatan mortalitasdan hipo-komplementemia.14

Pada kasus ini didapatkan hasil pemeriksaanhematologi anemia normokrom normositik(borderl ine) yang dalam perjalanannya menjadianemia (overt), leukosit dan trombosit dalam batasnormal yang kemudian menjadi limfopenia, neu-tropenia dan trombositopenia didukung denganadanya SLE, hipertiroid dan kemungkinan adanyadefisiensi nutrisi (diare, nausea, vomiting, asupankurang), maka kelainan hematologis pada pasienini kemungkinan akibat SLE dan defisiensi nutrisi.Saran pemeriksaan selanjutnya adalah evaluasihapusan darah, SI (serum Iron) dan TIBC (Total IronBinding Capacity).

Kesimpulan Kami laporkan kasus perempuan berusia 27

tahun datang ke rumah sakit dengan SLE, hiper-tiroid dan sepsis karena suspek ISK. Hipertiroidpada pasien ini kemungkinan koeksistensi dari SLEdengan tirotoksikosis atau kelainan autoimuntiroid yang terjadi pada SLE. Kelainan hematologiyang terjadi pada pasien ini dapat disebabkanoleh perjalanan penyakit SLE itu sendiri dan ke -mung kinan adanya defisiensi nutrisi. Pemeriksaanlebih lanjut disarankan pemeriksaan pemantauananalisis gas darah, kultur urin dan darah, fotothora x, elektroforesis protein, thyroid uptake,TSHR-Ab, evaluasi hapusan darah, SI dan TIBC

Daftar Pustaka1. Kakehasi A M, Dias V N, Duarte J E, Lanna C D D dan

Carvalho M A P. Thyroid Abnormalities in Systemic LupusErythematosus:a Study in 100 Brazilian Patients. Rev BrasReumatol 2006 ;46(6) :375-379.

2. Porkodi R, Ramesh S, Mahesh A, et al. Thyroid DysfunctionIn Systemic Lupus Erythematosus and RheumatoidArthritis. J Indian Rheumatol Assoc 2004 ; 12 : 88-90.

3. Pan X F, Gu J Q, Shan Z Y. Patients with Systemic LupusErythematosus Have Higher Prevalence of ThyroidAutoantibodies: A systematic Review and Meta-analysis.Plos One 10(4):e0123291.doi:10.371/journaql.pone.0123291. (2015).

ANIK WIDIJANTI, ELLA MELISSA L. 34–40

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 39

Page 40: REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

4. Pyne D, Isenberg D A. Autoimmune Thyroid Disease inSystemic Lupus Erythematosus. Ann Rheum Dis 2002;61:70–72.

5. Zakeri Z, Sandhoogi M. Thyroid Disorder in Systemic LupusErythematosus Patients in Southeast Iran. Shiraz E-MedicalJournal 2010; 11 (1): 34-38.

6. Al-Girgawy S A F dan Al-Shabrawy D A. Thyroid Disordersand Autoantibodies in Systemic Lupus Erythematosus.Egypt Rheumatol Rehab 2007; 34(3):497-508.

7. Baleva M, Nikolov K, Manov E, et al. The Coexistence ofSystemic Lupus Erythematosus and Thyrotoxicosis: TheDiagnostic Value of Antihistone Antibodies. HindawiPublishing Corporation case Reports in Rheumatology2012. Article ID 517059, 4 pages doi:10.1155/2012/517059.

8. Page OT. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Centers forDisease Control and Prevention | National Center forChronic Disease Prevention and Health Promo tion | Divisionof Population Health. http://www.cdc.gov/arthritis/basics/lupus.htm

9. Yu C, Gershwin M E, Chang C. Diagnostic criteria for sys-temic lupus erythematosus: A critical review. Journal ofAutoimmunity 2014; 48-49:10-13.

10. Petri M, Orbai A M, Alarcon G S, et al. Derivation andValidation of Systemic Lupus International CollaboratingClinics Classification Criteria for Systemic LupusErythematosus. Arthritis Rheum 2012; 64(8): 2677–2686.

11. El-saadany H, Elkhalik M A, Moustafa T, El-bar E A. Thyroiddysfunction in systemic lupus erythematosus and rheuma-toid arthritis:Its impact as a cardiovascular risk factor. TheEgyptian Rheumatologist 2014; 36:71-78.

12. SingerM, Deutschman CS, Seymur CW, et al. The ThirdInternational Consensus Definitions for Sepsis and SepticShock (Sepsis-3). Yama 2016 ; 315(8) : 801-810.

13. Sasidharan P K, Bindya M, Kumar K G S. HematologicalManifestation of SLE at Initial Presentation: Is ItUnderestimated ?. International Scholarly ResearchNetwork ISRN Hematology 2012; Article ID 961872, 5 pagesdoi:10.5402/2012/961872.

14. Bashal F. Hematological Disorders in Patients with SystemicLupus Erythematosus. The Open Rheumatology Jour2013;7:87-95.

Hipertiroid dan Lupus Eritematosus Sistemik. 34–40

40 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019