KEWENANGAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN ......Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis...
Transcript of KEWENANGAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN ......Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis...
KEWENANGAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM PERADILAN
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
(Studi kasus Setya Novanto ketua DPR RI periode 2014-2019)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Renaldi Hendryan
NIM : 1112048000043
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435H/2016
i
KEWENANGAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM PERADILAN
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
(Studi kasus Setya Novanto ketua DPR RI periode 2014-2019)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Renaldi Hendryan
NIM: 1112048000043
Pembimbing I Pembimbing II
Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum. Ismail Hasani, S.H., MH.
NIP. 196111011993031002 NIP. 197712172007101002
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/ 2016 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul KEWENANGAN MAHKAMAH KEHORMATAN
DEWAN DALAM PERADILAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (STUDI KASUS SETYA NOVANTO
KETUA DPR RI PERIODE 2014-2019) telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2016. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata
Satu (S-1) pada program studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 30 September 2016
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP: 19691216 199603 1 001
PANITIA UJIAN:
Ketua : Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH (……………….)
NIP: 196911211994031001
Sekretaris : Nur Rohim Yunus, L.L.M (……………….)
NIP: 197904162011011004
Pembimbing I : Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum. (……………….)
NIP: 196111011993031002
Pembimbing II: Ismail Hasani, S.H, M.H (……………….)
NIP: 197712172007101002
Penguji I : Dr. Kamarusdiana, S.Ag., M.H. (……………….)
NIP: 197202241998031003
Penguji II : Nur Rohim Yunus, L.L.M. (……………….)
NIP: 197904162011011004
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2016
Renaldi Hendryan
iv
ABSTRAK
RENALDI HENDRYAN. NIM 1112048000043. KEWENANGAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM PERADILAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (STUDI KASUS SETYA NOVANTO KETUA DPR RI PERIODE 2014-2019). PROGRAM STUDI Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. x + 73 halaman + 4 halaman Daftar Pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam peradilan anggota DPR RI pada kasus Setya Novanto ketua DPR RI periode 2014-2019. Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam menyelesaikan kasus ini yang mana seharusnya mengeluarkan putusan terkait kasus tersebut. Sebagaimana sudah tertuang dalam undang-undang MD3 Tahun 2014 Pasal 146 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan putusan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat (1). Dalam hal pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak (2). Skripsi ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara ilmiah yaitu dalam ranah kajian ilmu hukum, maupun secara praktis dan akademis.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan normatif empiris. pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Bahan hukum yang digunakan penulis ada tiga yaitu bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Hasil dari analisis dan penelitian ini mengungkap bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan selaku lembaga yang berwenang mengadili kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR tak dapat memenuhi kewenangan nya sesuai yang telah diatur dalam UU MD3 atau peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Beracara MKD. Karena pada penyelesaian kasus ini MKD tidak mengeluarkan putusan apapun.
Kata Kunci : DPR, Anggota DPR, Mahkamah Kehormatan Dewan, Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas
segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“KEWENANGAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM PERADILAN
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (Studi kasus
Setya Novanto ketua DPR RI periode 2014-2019)” dengan lancar dan baik. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurahkankan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta para
keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat.
Tidak lupa ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang
tua tercinta ibunda Rosidah Nursa’at dan ayahanda John Hendry. Skripsi ini merupakan salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak
yang telah membantu penulis baik secara materiil maupun immateriil. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
vi
3. Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktunya dan memberikan arahan serta bimbingannya dengan sabar kepada penulis
selama ini sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
4. Ismail Hasani, S.H., MH. Selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing
akademik yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta masukan kepada
penulis disela-sela kesibukannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik dan benar.
5. Segenap Dosen serta staf Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas mendidik dan
membimbing penuliis dari semester 1 hingga selesai penulisan skripsi ini.
6. Adik tercinta Relby Reynanda Azzahra, kakak-kakak Rossiana Deniari dan Aditya
Pradana Putra yang telah memberikan dukungan dan semangatnya serta yang telah
menemani penulis sejak kecil hingga selesainya penulisan skripsi ini.
7. Kekasih tercinta Lisa Fauziah Putri, S.pd atas dukungan moril, cinta dan kasih sayangnya
kepada penulis selama ini dan tanpa lelah menemani penulis sejak penyusunan skripsi
hingga selesai.
8. Teman-teman dan sahabat-sahabat tercinta dari Ilmu Hukum Angkatan 2012 Muhammad
Yusuf, Sigit Ganda P, Dimas Anggri, Agie Zaky, Ade Kurniawan, Said Agung Sedayu,
Muchtar Ramadhan, Muhammad Ansyori, Muhammad Raziv, Bagdhady Zanjani, Irvan
Zidniy, M. Ariq Siregar, Murtadlo, Alif, Denny Fernandes, Farid Muhajir, dan teman-
teman lainnya terimakasih atas kebersamaan dan keceriaannya selama ini.
9. Kelompok KKN Kayu Alyasa Gustiyono, Raka Dewo, Nadhira Gofur, Alvina
Rahmawati, Pinto dan lainnya yang telah memberikan kesan dan persahabatan kepada
penulis.
vii
10. Sahabat-sahabat penulis yaitu Irsal Mujiardi, Januar Fauzi Nasution, Danoe Octavian,
Fiqih Wicaksono, Arif Setiawan, Teddy Erlangga, Hafidz Hurairah, Rendy Iswiyandito,
Rifky Oktaviansyah, M. Ikhwanuddin dan yang lainnya terimakasih atas segala waktu,
dukungan serta motivasi dan juga atas kebersamaan dan pelajaran yang bisa penulis petik
dari kalian semoga kita sukses bersama.
11. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, semoga senantiasa dalam perlindungan dan keberkahan dari Allah
SWT.
Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 29 September 2016
Penulis
Renaldi Hendryan
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah...................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ..................................................................... 9
E. Kerangka Konseptual .............................................................................. 12
F. Metode Penelitian.................................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 15
BAB II DPR SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ........................................................... 17
ix
B. DPR Menurut Undang-Undang Dasar 1945 ........................................... 22
1. DPR Sebelum Amandemen UUD 1945 ............................................ 22
2. DPR Sesudah Amandemen UUD 1945............................................. 26
C. Teori Perwakilan ..................................................................................... 32
D. Teori Mandat ........................................................................................... 35
BAB III MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN SEBAGAI ALAT
KELENGKAPAN DPR RI
A. Alat Kelengkapan DPR RI ..................................................................... 38
B. Latar Belakang Mahkamah Kehormatan Dewan ................................... 50
C. Keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan....................................... 53
D. Tugas, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan ........... 54
BAB IV KASUS SETYA NOVANTO DAN PENYELESAIAN OLEH
MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN
A. Duduk Perkara Kasus Setya Novanto ..................................................... 57
B. Mekanisme Penyelesaian Kasus Oleh MKD .......................................... 60
C. Analisis Penyelesaian MKD Terhadap Kasus Setya Novanto ................ 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 77
B. Saran ........................................................................................................ 78
x
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang mengatur
dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap penyimpangan di
dalamnya.1 Hukum sendiri ada di dalam sebuah masyarakat yang berfungsi untuk
menciptakan keamanan, ketentraman dan keteraturan di dalam berkehidupan dan
hukum sendiri memiliki mekanisme untuk saling mengawasi.2 Sedangkan sanksi atau
hukuman ada karena adanya hukum sebagai akibat dari perilaku yang melanggar
aturan.
Negara adalah suatu organisasi yang hidup yang harus mengalami segala
peristiwa yang menjadi pengalamannya tiap-tiap benda yang hidup. Plato (348-427
S.M.) mengatakan bahwa negara adalah suatu tubuh yang senantiasa maju, berevolusi
terdiri dari orang-orang. Adapun menurut Grotius atau Hugo De Groot (1438-1645)
bahwa negara adalah ibarat suatu perkakas yang dibuat manusia untuk melahirkan
keberuntungan dan kesejahteraan umum. Berbeda dengan kedua pendapat tersebut,
Karl Marx (1818-1883) berpendirian lain lagi, mengatakan bahwa negara adalah
1Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar_Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 1 2 Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006), h. 10
2
suatu alat kekuasaan bagi manusia (penguasa) untuk menindas kelas manusia yang
lainnya.3
Indonesia termasuk salah satu negara kesatuan. Negara kesatuan disebut juga
dengan uniterisme atau eenbeistaat, ialah suatu negara merdeka dan berdaulat,
dimana di seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang
mengatur seluruh daerah, jadi tidak terdiri dari beberapa daerah yang berstatus negara
bagian (deelstaat) atau negara dalam negara. Dengan demikian dalam negara
kesatuan hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai
kekuasaaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara,
menetapkan kebijakan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di
pusat maupun di daerah-daerah, di dalam maupun di luar negeri.4
Pemerintahan merupakan alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin
organisasi negara untuk mencapai tujuan. Oleh karenanya, pemerintah seringkali
menjadi personifikasi sebuah negara. Pemerintah menegakkan hukum dan
memberantas kekacauan, mengadakan perdamaian dan menyelaraskan kepentingan-
kepentingan yang bertentangan. Pemerintah yang menetapkan, menyatakan dan
menjalankan kemauan individu-individu yang tergabung dalam organisasi politik
yang disebut negara, pemerintah adalah badan yang mengatur urusan sehari-hari,
3 Trianto dkk, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Prestasi
Pustaka 2007), h. 118 4 Trianto dkk, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan……….. h. 139
3
yang menjalankan kepentingan-kepentingan bersama. Pemerintah melaksanakan
tujuan-tujuan negara, menjalankan fungsi-fungsi kesejahteraan bersama.5
Indonesia membagi 3 kekuasaan untuk menjalankan tata pemerintahan. Yaitu
lembaga eksekutif (Presiden), lembaga legislatif (MPR, DPR & DPD), serta lembaga
yudikatif (MK, MA. dll). Ketiga lembaga negara ini memiliki tugas dan fungsi yang
saling berkaitan satu sama lain. Sehingga ketiga lembaga negara ini tetap
menjalankan tugas dan fungsinya tanpa ada tumpang tindih jabatan atau memiliki
kekuasaan berlebihan dari apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Undang-Undang.
Lembaga-lembaga tersebut dalam praktik dan implementasi nya juga
membutuhkan pengawasan agar tidak menyalahi peraturan yang ada dan agar tetap
dalam jalur yang benar dalam menjalankan tugas nya sebagai lembaga perwakilan
rakyat. Setiap lembaga-lembaga mempunyai Tupoksi (Tugas pokok dan Fungsi) nya
masing-masing, dimana semua nya telah diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilat Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah atau yang lebih dikenal dengan singkatan Undang-Undang MD3.
Setiap lembaga-lembaga negara memiliki alat kelengkapan, dimana alat
kelengkapan ini dibentuk dan dijalankan oleh anggota dari setiap lembaga-lembaga
negara tersebut untuk membantu setiap lembaga negara dalam menjalankan peran dan
fungsinya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. MPR memiliki alat kelengkapan
Pimpinan dan Panitia ad hoc. Sedangkan alat kelengkapam DPR terdiri atas
5 Trianto dkk, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan….. h. 123-124
4
Pimpinan, Badan Musyawarah (Bamus), Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran,
Badan Kerjasama Antar-Parlemen, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan
Urusan Rumah Tangga (BURT), Panitia Khusus (Pansus) dan alat kelengkapan lain
yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Dalam menjalankan tugasnya,
alat kelengkapan dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan
DPR tentang Tata Tertib.6
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki satu alat kelengkapan yang
bertujuan untuk menjaga kehormatan dan keluhuran para wakil rakyat yang duduk di
kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Alat kelengkapan itu adalah Mahkamah
Kehormatan Dewan (selanjutnya disingkat MKD). Sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 & 2
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 yang
berbunyi: “Mahkamah Kehormatan Dewan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.”
Dari pengertian pasal 119 ayat 1 & 2 dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 tadi dapat diketahui dengan jelas dan pasti apa
tujuan utama dibentuknya alat kelengkapan DPR yang bernama Mahkamah
Kehormatan Dewan ini. Tujuan utama dari dibentuknya MKD ini adalah untuk
menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai
lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, setiap anggota DPR (termasuk juga
6 www.id.m.wikipedia.org diakses pada 12 Februari 2016 pukul 20:20
5
ketua DPR) dalam menjalankan tugas nya tidak bisa bertindak diluar batas yang telah
di tetapkan oleh Undang-Undang atau peraturan lain mengenai DPR.
Sehubungan dengan peran dan tugas MKD dalam menjaga serta menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Penulis tertarik untuk meneliti sebuah kasus yang berkaitan dengan Ketua DPR RI
Periode 2014-2019 yaitu Setya Novanto dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik
lantaran diduga meminta sejumlah saham kepada PT Freeport Indonesia dengan
mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia beberapa waktu lalu.
Menanggapi kasus Setya Novanto MKD selaku alat kelengkapan DPR RI
yang memiliki peran dan tugas untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dan memiliki tugas,
fungsi dan wewenang yang salah satunya untuk memutus suatu perkara yang diduga
dilakukan oleh anggota DPR yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau
melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
MPR, DPR, DPD dan DPD (UU MD3) yang mengatur tentang Tata Tertib dan Kode
Etik. MKD justru menutup kasus tersebut tanpa memberikan putusan apapun. Ini
kiranya bertentangan dengan Tugas, Fungsi dan Wewenang yang dimiliki oleh MKD
sebagai salah satu alat kelengkapan yang dimiliki oleh DPR.
Permasalahan tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
dan memahami bagaimana kewenangan MKD selaku alat kelengkapan DPR RI
dalam menyelesaikan kasus pelanggaran kode etik yang menyangkut anggota DPR
RI. Oleh karena itu, penulis mengambil judul tentang Kewenangan Mahkamah
6
Kehormatan Dewan dalam sidang etik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (studi kasus Setya Novanto).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu melebar maka penulis hanya
membatasi masalah pada Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai alat
kelengkapan DPR RI dalam sidang etik anggota DPR RI terkait kasus pelanggaran
kode etik anggota DPR RI dalam studi kasus Setya Novanto hanya pada aspek
Hukum Tata Negara.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan di atas, maka perumusan masalahnya akan dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam penyelesaian
kasus dugaan pelanggaran Kode Etik anggota DPR?
b. Bagaimana mekanisme Mahkamah Kehormatan Dewan dalam penyelesaian
kasus pelanggaran kode etik anggota DPR RI Setya Novanto?
c. Apakah penyelesaian kasus Setya Novanto sudah sejalan dengan kewenangan
dan tujuan Mahkamah Kehormatan Dewan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan di atas, tulisan ini bertujuan
untuk:
7
a. Mengetahui kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam penyelesaian
kasus dugaan pelanggaran Kode Etik anggota DPR.
b. Mengetahui mekanisme Mahkamah Kehormatan Dewan dalam penyelesaian
kasus pelanggaran Kode Etik anggota DPR RI Setya Novanto.
c. Mengetahui apakah penyelesaian kasus Setya Novanto telah sesuai dengan
kewenangan dan tujuan Mahkamah Kehormatan Dewan.
2. Manfaat Penulisan
a. Manfaat Teoritis
1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan
menuangkan hasil-hasil penulisan tersebut dalam tulisan;
2) Menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dari bangku kuliah untuk
diaplikasikan dalam praktik di lapangan;
3) Untuk memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya, maupun
dalam bidang ketatanegaraan khususnya yakni dengan mempelajari
literatur yang ada serta perkembangan hukum yang timbul dalam
masyarakat.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis tulisan ini bertujuan menggali lebih dalam, serta
sebagai bahan rujukan di masa yang akan datang tentang alat kelengkapan
DPR RI. Selain itu, di dalam tulisan ini juga terdapat kasus-kasus terkini
yang akan menambah pengetahuan serta kepekaan terhadap situasi hukum
yang ada dalam masyarakat.
8
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam penelitian skripsi ini penulis merujuk kepada buku serta skripsi
terdahulu dengan membedakan apa yang menjadi fokus masalah dalam rujukan
dengan fokus masalah yang penulis terbitkan, diantaranya:
No Nama / Judul
skripsi, tesis, dan
buku / Tahun
Subtansi Perbedaan dengan
penulis
1. Muhammad Iqbal
Hidayatullah,
Problematika
pemberi izin
penyidikan oleh
mahkamah
kehormatan dewan
terhadap anggota
DPR yang diduga
melakukan tindak
pidana
Skripsi ini
membahas tentang
pemanggilan dan
permintaan
keterangan untuk
penyidikan
terhadap anggota
DPR harus
mendapat
persetujuan tertulis
dari MKD
Skripsi ini berbeda
dengan penelitian
penulis yang
menitik-beratkan
kepada
Kewenangan MKD
duntuk tidak
memberikan
putusan dalam
sidang etik,
berbeda dengan
skripsi ini yang
membahas tentang
penyidikan
9
2. Rizqi Ramadhani,
Dilema badan
kehormatan DPR
antara penegak
etika anggota
dewan dan
kepentingan fraksi
(studi kasus video
pornografi
Karolina Margaret
Natasa dan kasus
upaya pemerasan
BUMN)
Skripsi ini
menganalisa
mengenai
penegakkan kode
etik oleh alat
kelengkapan tetap
DPR yang bernama
Badan Kehormatan
(BK DPR)
Perbedaan antara
skripsi ini dengan
Penulis adalah
bahwa yang
menjadi objek
utama dalam
skripsi ini adalah
Badan Kehormatan
(BK DPR).
Berbeda dengan
penulis yang
mengangkat
tentang Mahkamah
Kehormatan
Dewan (MKD).
3. Jimly Asshiddiqie,
perkembangan dan
konsolidasi
lembaga negara
pasca reformasi
Buku ini
menjelaskan
tentang kedudukan
lembaga negara,
termasuk
kedudukan DPR RI
Perbedaan dengan
skripsi penulis
yaitu buku ini
membahasa tentang
kedudukan
Lembaga Negara
10
Pasca reformasi
berdasarkan UUD
1945 dan juga
Fungsi dan tugas
DPR RI
pasca reformasi,
sedangkan penulis
hanya berfokus
pada DPR RI nya
saja.
4. Bivitri Susanti,
Mahkamah
Kehormatan
Dewan Dalam
Konteks Negara
Hukum
Jurnal ini lebih
menjelaskan
tentang posisi atau
kedudukan
Mahkamah
Kehormatan
Dewan dalam
sebuah negara
hukum secara
umum.
Perbedaan jurnal
ini dengan skripsi
penulis adalah
dalam skripsi
penulis lebih
menekankan
tentang
kewenangan
Mahkamah
Kehormatan
Dewan dalam
mengadili sidang
Anggota DPR RI
tidak hanya
kedudukan MKD
secara umum.
11
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
Penulis dalam pembahasan skripsi memakai teori dan konsep terkait istilah yang
akan sering digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Teori Perwakilan
Teori yang diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil
dengan terwakil.
2. Teori Mandat
Teori ini lebih mengajarkan sistem keterwakilan melalui sebuah lembaga
atau parlemen. Yaitu rakyat sebagai pihak terwakil dan lembaga parlemen
sebagai pihak wakil.
3. Alat kelengkapan
Adalah sebuah unit kerja yang dibentuk untuk membantu menjalankan
tugas dan fungsi DPR RI.
4. Mahkamah Kehormatan Dewan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 119 Mahkamah
Kehormatan Dewan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR
yang bersifat tetap.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
12
Menurut Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR RI Pasal 1 DPR RI adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah:
1. Tipe Penelitian
Studi ini menggunakan studi penelitian yuridis normatif dengan judul Hukum
Lembaga Negara terkait dengan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan
untuk tidak memberikan putusan dalam sidang etik anggota DPR RI (studi kasus
Setya Novanto). Dalam kaitan nya, penulis mengacu pada peraturan perundang-
undangan, gejala hukum serta norma-norma yang ada dalam masyarakat.
2. Pendekatan Masalah
Dalam hal ini penulis melakukan pendekatan normatif empiris, pendekatan ini
pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif
dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-
empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang)
dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu
masyarakat.7
3. Bahan Hukum
7 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 14-15
13
Bahan hukum yang di gunakan antara lain:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer
meliputi perundang-undangan, catataan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan atau putusan-putusan hukum.8 Bahan hukum
yang terdapat di tulisan ini antara lain UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Tata Tertib (Tatib) DPR RI.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan ini
terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara, Konstitusi,
Negara, Lembaga Legislatif, Skripsi tentang Hukum Tata Negara, Jurnal-
Jurnal atau materi hukum lain nya yang mendukung penulisan ini.
c. Bahan non Hukum
Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti
kamus hukum, ensiklopedia, berita hukum dan lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana 2010) h. 141
14
Metode pengumpulan data dalam penulisan ini terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder, serta bahan non hukum yang telah di dapatkan kemudian
dipadukan dan disusun sesuai dengan hierarkinya.
5. Analisis Data
Teknis analisis data dalam penelitian ini diawali dengan mengkompilasi
berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lainnya
yang berhubungan dengan judul yang penulis ambil. Kemudian dari hasil
tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata (word), makna (meaning),
simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi
undang-undang tersebut.
Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis
tersebut adalah: pertama, semua bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui
normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek bahasannya. Kedua,
setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi, yakni
diuraikan dan dijelaskan tentang objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga,
bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran
ketentuan hukum yang berlaku.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi ini
disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan
15
Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan penjelasan menyeluruh tentang isi skripsi, maka
sistematika penulisan skripsi sebagai berikut:
BAB I, Pendahuluan. Dalam bab ini dijelasakan latar belakang masalah,
perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan
(review) kajian terdahulu, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II, Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Dalam bab ini dijelaskan mengenai Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat sebelum dan sesudah amandemen
Undang-Undang Dasar 1945, Teori Perwakilan, dan Teori Mandat.
BAB III, Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai alat kelengkapan DPR RI.
Dalam bab ini, akan dijelaskan tentang alat kelengkapan DPR RI, latar belakang
pembentukan MKD, Keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan serta Tugas,
Fungsi dan Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan.
BAB IV, Kasus Setya Novanto dan Penyelesaian Oleh Mahkamah
Kehormatan Dewan. Bab ini merupakan inti dari penelitian skripsi, dalam bab ini
akan dibahas duduk perkara, Penyelesaian oleh MKD, analisis penyelesaian MKD
terhadap kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh anggota DPR RI.
16
BAB V, Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian
skripsi ini, dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran.
17
BAB II
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA
PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
INDONESIA
A. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ialah salah satu lembaga negara dalam
struktur ketatangeraan Indonesia. DPR merupakan lembaga pemegang kekuasaan
membentuk undang-undang, atau sebagai lembaga legislatif. Fungsi DPR,
sebagaimana ketentuan Pasal 20A Ayat (1), adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan.9 Diantara ketiga fungsi DPR itu, fungsi pengawasan bagi
DPR dapat menjadi fungsi yang sangat vital diantara fungsi-fungsi lainnya, sebab
melalui fungsi pengawasan ini lembaga ini sebenarnya dapat melindungi kepentingan
rakyat. Dengan fungsi ini DPR dapat mengawasi pelaksanaan kewajiban yang
diemban oleh lembaga negara lainnya yaitu lembaga eksekutif.
Selain itu, dalam sistem negara yang demokratis fungsi kontrol (pengawasan)
merupakan konsekuensi logis dalam memperbaiki diri.10 Karena keseimbangan
diantara cabang-cabang kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus
tetap terjaga agar tidak terjadi tumpang tindih kekuasaan atau bahkan dominasi yang
9 A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kompas 2009), h.
310 10 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalisa Indonesia,
1983), h. 82
18
dimiliki oleh salah satu cabang kekuasaan diantara cabang kekuasaan yang lain. Jika
dikaitkan dengan hukum tata negara, fungsi pengawasan ini dapat berarti sebagai
penyeimbang diantara lembaga-lembaga negara demi tercapainya tujuan bernegara
sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan kata lain pengawasan ini berarti suatu
kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh
lembaga-lembaga kenegaraan sesuai hukum yang berlaku.11
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan
fungsi pengawasan, DPR dibekali tiga (tiga) hak, yakni:
A. Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah
mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
B. Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
C. Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di
tanah air atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau
11 Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia : 30
Tahun Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 285
19
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan
tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Selain hak-hak tersebut diatas, DPR juga memiliki beberapa hak antara lain,
hak mengajukan pertanyaan yaitu hak yang dimiliki anggota DPR untuk mengajukan
pertanyaan kepada pemerintah baik secara lisan maupun tertulis terkait dengan tugas
dan wewenang DPR. Kemudian ada hak menyampaikan usul dan pendapat adalah
hak untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah
maupun DPR. Dan terakhir hak imunitas, yaitu kekebalan hukum dimana setiap
anggota DPR tidak dapat dituntut dihadapan dan diluar pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan maupun tertulis dalam rapat-
rapat yang diadakan oleh DPR.
Biasanya, dalam berbagai konstitusi negara-negara berdaulat diadakan
perumusan mengenai tugas pembuatan undang-undang (legislasi) dan tugas
pelaksanaan undang-undang itu (eksekutif) ke dalam dua kelompok pelembagaan
yang menjalankan peranan yang berbeda. Meskipun demikian, apabila ditelaah secara
mendalam, tidak satu pun teks konstitusi maupun praktik dimanapun yang
memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif itu secara kaku. Baik
20
dalam rumusan formal apalagi dalam kenyataan praktik, fungsi-fungsi legislatif dan
eksekutif selalu bersifat tumpang tindih.12
Selain itu, dalam menjalankan tugasnya Lembaga legislatif juga bertugas
untuk menjalankan konstitusi. Dalam pengertian sederhana, konstitusi adalah suatu
dokumen yang berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi.13 Organisasi
dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas stukturnya, mulai dari organisasi
mahasiswa, perkumpulan masyarakat di daerah tertentu, serikat buruh, organisasi-
organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi bisnis, perkumpulan sosial
sampai ke organisasi tingkat dunia seperti, perkumpulan ASEAN, European
Communities (EC), World Trade Organization (WTO), Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), dan sebagainya semuanya membutuhkan dokumen dasar yang disebut
konstitusi.14
Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut
sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Bahkan negara yang tidak memiliki
satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap memiliki aturan-aturan yang tumbuh.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas
kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika
negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu
12 Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI Press, 1996), h. 95 13 Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London:
Blacksrone Press Ltd., 1997), h. 3 14Satya Arinanto & Nunuk Triyanti, ed,. memahami hukum dari konstruksi sampai
implementasi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada 2009), h.217
21
adalah rakyat. Jika negara itu menganut paham kedaulatan raja, maka raja yang
menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi.15
Di Indonesia prinsip kedaulatan yang dianut adalah kedaulatan rakyat, oleh
karena itu sumber legitimasi konstitusi berasal dari rakyat. Tugas dan peran lembaga-
lembaga negara utama adalah menjalankan konstitusi berdasarkan kedaulatan rakyat
Indonesia. Ajaran kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya pemilihan umum yang
menghasilkan dewan-dewan rakyat yang mewakili rakyat dan yang dipilih langsung
atau tidak langsung oleh seluruh warga negara yang dewasa. Para dewan inilah yang
sangat berkuasa.16
Perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen ini biasanya
dikenal dengan adanya dua sistem, yaitu sistem unikameral dan sistem bikameral.
Sistem unikameral terdiri atas satu kamar, sedangkan sistem bikameral mempunyai
dua kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.17 Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia menganut sistem yang agak mendekati sistem bikameral,
yaitu terdiri atas dua kamar melalui kehadiran Majelis permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang terdiri dari Dewan Perwkilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini masih dianggap tidak
sempurna karena masih terbatasnya DPD dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
15 Satya Arinanto dkk, memahami hukum………. h. 218 16 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1992), h. 108 17 Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral………. h. 11
22
B. DPR Menurut Undang-Undang Dasar 1945
1. DPR Sebelum Amandemen UUD 1945
DPR sebagai salah satu cabang kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia sejatinya mengalami beberapa perubahan sebelum akhirnya dapat berdiri
dan dipandang sebagai salah satu lembaga perwakilan rakyat yang penting dewasa
ini. Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno untuk
memberlakukan kembali UUD 1945 tentu saja memberikan kesempatan sekali lagi
bagi pemerintah Indonesia untuk menggunakan sistem presidensial. Sistem yang
berlaku hingga pemerintahan orde baru selama 32 tahun.18
Kedudukan serta peran parlemen selama pemerintahan orde baru yang
dipimpin oleh presiden Soeharto selama 32 tahun dinilai sangat lemah. Seperti apa
yang diungkapkan oleh Dahlan Ranuwihardjo, menurutnya untuk mengukur atau
menilai peran dan kedudukan lembaga legislatif ini baik sebelum maupun pasca
amandemen hanya ada satu tolak ukur yang pantas dijadikan acuan, yaitu UUD 1945.
“untuk membahas dan menilai praktek-praktek ketatanegaraan pada masa lalu
dan masa pasca orde baru, kita harus mempergunakan kriteria atau tolak ukur yang
sama. Menurutnya kriteria itu adalah UUD 1945.”19
Menurut UUD 1945 sebelum amandemen, peran dan fungsi DPR hanya
terbatas pada hak mengajukan rancangan undang-undang. Bunyi pasal 21 ayat (1)
18 Moch. Nurhasim & Ikrar Nusa Bakti, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 23 19 A. Dahlan Ranuwihardjo, Seminar Nasional, Format Lembaga Kepresidenan Menuju
Demokratisasi Kehidupan Politik Dimasa Depan, (September 1998), h. 5
23
UUD 1945, misalnya, mengatakan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang. Ketentuan tersebut tentu saja
menumpulkan peran legislasi dan dinamisasi fungsi lembaga legislatif ini selama
kurang lebih 32 (tiga puluh dua) tahun. Peran DPR selama masa itu (sebelum
amandemen UUD 1945) tampaknya hanya menjadi lembaga pelengkap dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, unuk melengkapi teori trias politica yang dianut oleh
negara ini. Bahkan bisa dikatakan bahwa DPR pada masa itu tidak lebih dari sekedar
corong bagi lembga eksekutif.20
Latar belakang keanggotaan DPR hasil pemilu selama Orde Baru mudah
diidentifikasi.sebab untuk setiap pemilihan umum, anggota DPR selalu dipilih dari
organisasi atau kelompok yang sama, yakni birokrasi, partai politik, pimpinan
organisasi kemasyarakatan dan kalangan ABRI. Pada masa pemerintahan Soeharto,
semua calon anggota DPR wajib mengikuti proses seleksi yang dikenal dengan istilah
Litsus atau Penelitian Khusus. Litsus diberlakukan untuk semua calon anggota DPR
dari partai politik maupun anggota DPR yang diangkat dari kalangan ABRI dan
golongan non ABRI.21
Berdasarkan UUD 1945, lembaga DPR RI memiliki tiga fungsi utama yakni,
fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Pelaksanaan ketiga fungsi ini mengalami
proses pasang surut sesuai dengan sistem dan situasi politik secara nasional. Pada
20 Formappi, Lembaga Perwakilan Rakyat dI Indonesia : Studi dan Analisis Sebelum dan
Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Formappi, 2005), h. 75 21 Formappi, Lembaga Perwakilan.......... h. 79
24
masa Presiden Soekarno misalnya, Konstituante dibubarkan karena dinilai tidak
mampu menyusun UUD. Sedangkan pada masa Presiden Soeharto, DPR berada di
bawah dominasi eksekutif sehingga ketiga fungsinya tidak dapat berjalan secara
efektif..22
Dominasi eksekutif begitu terasa pada masa orde baru sehingga melumpuhkan
tugas, fungsi dan wewenang DPR yang sejatinya merupakan sebuah lembaga
perwakilan rakyat. namun pada masa ini DPR seakan tidak berkutik di bawah
Eksekutif. Bahkan pemilihan anggota DPR pun ikut didominasi oleh eksekutif yang
pada saat itu terkesan sangat superior. Seakan tak bernyali, peran DPR pada masa ini
hanya terletak pada pengajuan rancangan undang-undang (Pasal 21 ayat (1) UUD
1945 sebelum amandemen).
Hal ini berdampak buruk bagi situasi politik dan sistem pemerintahan yang
berjalan di Indonesia. Dominasi eksekutif pada masa orde baru seakan melemahkan
peran lembaga negara lain, sehingga pemerintahan pada masa ini dapat berjalan
selama 32 tahun tanpa ada yang dapat menghentikan. Namun apakah dominasi
eksekutif yang super power terhadap lembaga negara lain bisa membawa Indonesia
menjadi lebih baik? Kenyataannya justru setelah 32 tahun dominasi itu berakhir
masih banyak hal yang dijadikan pekerjaan rumah tangga bagi bangsa Indonesia.
Mulai dari sisi ekonomi dimana Indonesia mengalami krisis moneter
(finansial), dilanjutkan pada sisi sosial budaya yang hampir musnah karena
banyaknya daerah-daerah yang memaksa ingin keluar dari bagian kekuasaan Negara
22 Formappi, Lembaga Perwakilan………. h. 81
25
Republik Indonesia dan membentuk negara mereka sendiri hingga berkurangnya
kepercayaan masyarakat akan pemerintah mengakibatkan goncangan dan gejolak
yang luar biasa bagi bangsa Indonesia pada saat itu. Pemerintahan yang sudah
berjalan selama 32 tahun itu dianggap tidak lagi berpihak kepada rakyat dan lebih
mementingkan eksistensi satu pihak sehingga banyak merugikan rakyat Indonesia.
2. DPR Sesudah Amandemen UUD 1945
Orde baru berakhir setelah disampaikannya pernyataan “mundur” atau
“berhenti” dari Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 di Istana Negara,
Jakarta.23 Proses transisi politik dari masa orde baru menuju reformasi juga ditandai
dengan pembenahan institusi kelembagaan negara. Selanjutnya pelaksanaan
pemilihan umum pada tahun 1999 juga merupakan amanat dari MPR menurut
ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional
sebagai haluan negara.24
DPR merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. Dalam
sistem pemerintahan yang demokratis, keberadaan lembaga perwakilan rakyat
diangggap sangat berarti dalam penyelenggaraan sistem ini. Lembaga negara ini
merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal
23 A. Malik Haramain & M.F. Nurhuda, Mengawal Transisi Refleksi Atas Pemantauan Pemilu ’99, (Jakarta: Jaringan Masyarakata Pemantau Pemilu Indonesia Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (JAMPPI- PB PMII, 2000), h. 8
24 Armany Aisyah, Pasang Suurut Peran MPR-DPR 1945-2004, (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2004), h. 334
26
menentukan kebijakan yang mengikat seluruh rakyat. Lembaga perwakilan atau
lembaga legislatif saat ini di berbagai negara disebut dengan nama parlemen.25
Lembaga ini disebut parlemen karena kata parle berarti bicara, artinya mereka
harus menyuarakan hati nurani rakyat. Maksudnya setelah mengartikulasikan dan
mengagregasikan kepentingan rakyat, mereka harus membicarakan dalam sidang
perlemen kepada pemerintah. Oleh karena itu, DPR dibentuk di pusat untuk
mengkritisi pemerintah pusat dan dibentuk di daerah untuk mengkritisi pemerintah
daerah baik provinsi maupun kabupaten sesuai tingkatannya.26
Dewan Perwakilan Rakyat di negara demokratis disusun sedemikian rupa
sehingga ia mewakili mayoritas rakyat. Pemerintah haruslah bertanggung jawab
kepadanya. Dewasa ini, anggota parlemen umumnya mewakili rakyat melalui partai
politik, yang dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation).
Dengan sistem demikian, masyarakat adalah pihak yang diwakili atau selaku pihak
yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili opini, sikap dan
kepentingannya kepada lembaga perwakilan politik di dalam proses politik dan
pemerintahan. Bekerjanya peran dan fungsi badan perwakilan rakyat di satu pihak
dan di pihak lain ditentukan oleh perwujudannya sebagai suatu organisasi yang
mewadahi proses politik.27
25 Reni Dwi Purnomowati, Implementasi SIstem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 10 26 Inu Kencana Syafiie, Proses Legislatif, (Bandung: Refika Aditama, 2014), h. 55 27 A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen
Indonesia Periode 1999-2004, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), h. 72
27
Pasca orde baru, kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan telah diatur
dalam UUD 1945. Menurut UUD 1945 DPR mempunyai tugas yang penting di
bidang ketatanegaraan Indonesia. Tugas sekaligus fungsi itu dapat dibagi atas,
pertama, fungsi legislatif, kedua, fungsi pengawasan, dan ketiga, fungsi anggaran.
Khusus untuk fungsi pengawasan, beberapa pakar tatanegara, misalnya Ismail Suny,
membaginya dalam tiga bentuk: pertama, mengontrol eksekutif (control of
executive); kedua, mengontrol anggaran dan belanja negara (control of expenditure);
dan ketiga, mengontrol atas pajak (control of taxation).28
Penegasan pertama kali tentang tindak lanjut fungsi parlemen dalam bentuk
tugas dan wewenang diatur dalam tatib (tata tertib) DPR berdasarkan Keputusan DPR
Gotong Royong Nomor 10/DPR-RI/III/1966-1969.29 Pada hakikatnya tiga fungsi
utama DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga fungsi ini selalu bersentuhan
dengan fungsi lainnya, misalnya ketika DPR menghasilkan Undang-Undang yang
kemudian disetujui bersama dengan Presiden, maka DPR harus mengadakan
pengawasan terhadap pelaksanaan produk Undang-Undang oleh lembaga Eksekutif
yakni Presiden.30
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 terjdi pada 19 Oktober 1999, dalam
Sidang Umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 Oktober 1999. Dalam
perubahan ini, terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam membentuk Undang-
28 A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun………. h. 78 29 Ronny Bako, Rancangan Disertasi Untuk Ujian Pra Promosi, 2003, h.4 30Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h.
184
28
Undang, yang diatur dalam Pasal 5, berubah menjadi Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang, dan Dewan Perwakilan Rakyat memgang kekuasaan
membentuk undang-undang (Pasal 20). Perubahan pasal ini memindahkan titik berat
kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan Presiden beralih ke tangan
DPR. Rumusan Pasal 20 (baru) berbunyi sebagai berikut:
1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang.
2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan
wajib diundangkan.31
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari sebelumnya di
tangan Presiden dan dialhikan kepada DPR merupakan langkah konstitusional untuk
31 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010),
h. 166-167
29
meletakkan secara tepat fungsi-fungsi lembaga negara sesuai bidang tugasnya
masing-masing yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekuasaan
legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan
eksekutif). Perubahan UUD 1945 yang tercakup dalam materi tentang Dewan
Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk memberdayakan DPR dalam menjalankan
fungsinya sebagai lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya.32
Untuk melaksanakan fungsinya tersebut, sesuai dengan amanat UUD 1945
setelah diamandemen, parlemen mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
1) Membentuk Undang-Undang;
2) Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
3) Melaksanakan pengawsan terhadap pelaksanaan Undang-Undang,
pelaksanaan APBN dan kebijakan Pemerintah sesuai dengan jiwa
UUD 1945 dan Ketetapan MPR RI;
4) Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal pengangkatan
duta besar dan penerimaan duta negara lain;
5) Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal pemberian
amnesti dan abolisi
6) Membahas hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan
negara yang diberitahukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
32 Ni’matul Huda, Hukum Tata…………………….. h. 169
30
yang disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR untuk dipergunakan
sebagai bahan pengawasan;
7) Memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan
perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain serta meratifikasi
perjanjian internasional yang dilakukan oleh Preiden;
8) Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat;
9) Melaksanakan hal-hal yang ditugaskan kepada DPR oleh Ketetapan
MPR RI dan/atau Undang-Undang.33
C. Teori Perwakilan
Perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil
dengan terwakil dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai
tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil.34
perwakilan dalam konteks teori modern merupakan mekanisme hubungan antara
penguasa dan rakyat. Maka hubungan antara penguasa dan rakyat harus harmonis
serta harus memiliki tanggungjawab penuh kepada seluruh masyarakat dalam
menjalankan roda pemerintahan, guna terciptanya keseimbangan dalam menjalankan
roda pemerintahannya.35
Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat kaitannya dengan prinsip
kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan rakyat tidak lagi
33 A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun………. h.77 34 Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 1 35 Rusadi Kantaparwira, dkk, Perihal Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007) h. 93
31
dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga perwakilan. Sebagai
realisasi sistem demokrasi tidak langsung. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika
pengkajian difokuskan pada masalah perwakilan ini, pertama menyangkut pihak yang
diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang mewakili, dan ketiga berkaitan dengan
bagaimana hubungan serta kedudukannya.36
Tata pemerintahan perwakilan demokratis meniscayakan hubungan fungsional
yang harus terjalin antara (anggota) dewan perwakilan rakyat dengan pemerintah
terpilih, yakni dewan menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat, pemerintah
memenuhi kepentingan dan kebutuhan rakyat yang terpantulkan dari aspirasi dan
kepentingan yang disuarakan perwakilan politik, kemudian pemerintah terpilih
mengakomodasi hsil pengawasan dan koreksi dewan untuk menyempurnakan
kebijakan pemenuhan kebutuhan masyarakat.37
Secara singkat dalam teori perwakilan ini, rakyat bertindak selaku pihak
terwakil memberikan aspirasi serta kepercayaan mereka akan kebutuhan dalam hidup
bernegara dan berbangsa kepada para anggota dewan melalui lembaga perwakilan
rakyat sebagai wakil yang dipilih oleh rakyat secara demokratis. Perjanjian yang
terjadi antara kedua belah pihak didasarkan atas kepentingan masyarakat secara
menyeluruh bukan untuk kepentingan sepihak baik untuk si terwakil maupun si
36 Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat, (Medan: Syah Kuala University Press, 2008),
h. 41 37 Sebastian Salang, dkk, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum
Sahabat, 2009), h. 195
32
wakil. Melalui teori ini diharapkan terjadi keseimbangan dan keselarasan antara
rakyat dan lembaga perwakilan rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan.
Dalam dunia Islam istilah perwakilan atau sebagaimana yang kita ketahui
sebagai kepemimpinan dalam suatu masyarakat telah dijelaskan dalam Al-Qur’an
surat As-Sajdah (32) ayat 24 seperti dikutip sebagai berikut:
وجعلنا صبـروالمابأمرنايـهدونأئمةمنـهم ◌ يوقنونتنابآيانواوكا“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar . Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah (32) :24).
Perwakilan atau kepemimpinan telah disebutkan dalam Al-Qur’an oleh karena
itu, untuk menjaga kestabilan dan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, perlu
adanya keselarasan antara rakyat dan pemimpin atau perwakilan. rakyat yang
dipimpin harus mentaati segala bentuk peraturan dan kebajikan yang dibuat oleh
pemimpin untuk masyarakat. Ketaatan terhadap pemimpin juga telah disebutkan
dalam Al-Qur’an surat An-Nisa (4) ayat 59 sebagai berikut:
سول وأولي األمر منكم فإن تنازعتم وأطيعوا الر يا أيها الذين آمنوا أطيعوا هللالك خير و أحسن واليوم اآلخر ذ سول نن ننتم تممنون اال والر و نلهللا هللا في يي ف فرو
تأويال
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.An-Nisa (4):59).
33
D. Teori Mandat
Cara melaksanakan kekuasaan negara ialah senantiasa mengingat kehendak
dan keinginan rakyat. Jadi, tiap tindakan dalam melaksanakan kekuasaan negara tidak
bertentangan dengan kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa sedapat mungkin
berusaha memenuhi segala keinginan rakyat.38 Dalam pelaksanaannya Lembaga
Perwakilan Rakyat atau parlemen atau dalam hal ini DPR berperan sebagai lembaga
yang menampung aspirasi rakyat dan menyuarakan aspirasi tersebut kepada
pemerintah. Hal ini berarti ada satu keterkaitan antara rakyat sebagai pihak yang
memberi amanat atau mandat dan parlemen sebagai pihak yang menerima dan
menjalankan amanat atau mandat tersebut.
Partisipasi masyarakat dalam perwakilan politik berawal dari ide atau
konsepsi demokrasi sebagai gambaran tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam teori mandat, wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk merealisasikan
kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik. Oleh karena itu, wakil hendaknya
selalu berpandangan, bertindak dan bersikap sejalan dengan mandat yang diberikan
terwakil dalam melaksanakan tugasnya.39 Dalam hubungan antara rakyat dan
pemerintah atau sebagai pihak yang terwakili dengan pihak yang mewakili terdapat
beberapa teori mandat yaitu:
38 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h. 43-44 39 Lili Romli, ed., DPR RI Periode 2009-2014: Catatan Akhir Masa Bakti, (Jakarta: Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR Republik Indonesia, 2013), h. 22
34
1. Mandat Imperatif
Menurut ajaran ini si wakil bertugas dan bertindak di lembaga perwakilan
sesuai dengan instruksi yang telah diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak
boleh bertindak diluar instruksi tersebut dn apabila ada hal-hal baru yang tidak
terdapat dalam instruksi tersebut maka si wakil harus mendapat instruksi baru
yang diwakilinya baru dapat melaksanakannya.
2. Mandat Bebas
Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Prancis dan Black Stone di
Inggris. Ajaran ini berpendapat si wakil dapat bertindak tanpa bergantung
instruksi dari yang diwakilinya. Menurut ajaran ini si wakil adalah orang-orang
terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang
diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama mereka yang
diwakilinya atas nama rakyat.
3. Mandat Representatif
Dalam teori ini, sang w akil dianggap tergbung dalam lembaga perwakilan
(parlemen). Dalam teori ini sang terwakil (rakyat) memilih wakil (anggota
parlemen) melalui lembaga perwakilan. Sehingga tidak ada hubungan pasti atau
keterikatan dalam bentuk apapun antara wakil dan yang terwakili apalagi
pertanggungjawaban dari sang wakil terhadap yang terwakili. Teori ini pada
hakikatnya benar-benar mengajarkan bentuk atau sistem keterwakilan secara
35
murni. Karena tidak ada hubungan yang pasti antara wakil dan terwakili, maka
lembaga perwakilan lah (parlemen) yang mempunyai tanggung jawab terhadap
sang terwakil (rakyat).40
Melihat berbagai bentuk dari teori mandat tersebut, teori mandat hampir
menuangkan atau menyatakan hal yang sama dengan teori perwakilan, namun dengan
bentuk dan sistem yang lebih berbeda. Jadi, menurut kedua teori ini ada suatu
hubungan antara rakyat dan wakil rakyat untuk menjalankan suatu roda pemerintahan
meskipun hanya mengandalkan sebuah teori tanpa ada suatu peraturan tertulis.
40 Sri Andriyani, “Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD DAN DPRD.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitasa Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. H. 20
36
BAB III
MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN SEBAGAI
ALAT KELENGKAPAN DPR RI
A. Alat Kelengkapan DPR RI
Dalam menjalankan tugasnya DPR memiliki satuan atau unit kerja yang
disebut dengan Alat Kelengkapan DPR RI. Berdasarkan undang-undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyata Daerah (UU MD3) DPR
memiliki alat kelengkapan yang bertugas sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang
mereka masing-masing. Untuk mendukung kinerja setiap Alat Kelengkapan dibantu
oleh unit pendukung. Unit pendukung yang dimaksud terdiri dari tenaga administrasi
dan tenaga ahli.
Alat kelengkapan DPR RI juga beragam kedudukannya. Ada alat kelengkapan
yang bersifat tetap dan ada juga yang bersifat sementara. Alat kelengkapan yang
bersifat tetap adalah alat kelengkapan yang sudah sejak lama terbentuk dan
menjalankan tugasnya secara terus-menerus dan berkelanjutan. Sementara alat
kelengkapan yang bersifat sementara adalah alat kelengkapan yang dibentuk hanya
untuk menyelesaikan suatu isu atau kasus yang sedang terjadi dan menjadi
kewenangan DPR untuk menyelesaikannya dan alat kelengkapan ini bubar setelah
selesai menjalankan tugas yang diberikan kepadanya. Selain kedudukannya
37
perbedaan satu sama lain dari alat kelengkapan DPR ini terletak pada fungsi dan
tugas masing-masing alat kelengkapan.41
1. Pimpinan
Pimpinan DPR terdiri dari 1 ketua dan 4 orang wakil ketua yang mana dipilih
dari dan oleh anggota DPR. Ketua dan wakil ketua pimpinan dipilih dalam satu paket
dan bersifat tetap untuk satu masa periode kepemimpinan DPR (5 tahun). Pemilihan
ketua dan wakil ketua pimpinan dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan
ditetapkan dalam sidang paripurna DPR. Pimpinan DPR memiliki tugas yang diatur
melalui Pasal 31 ayat (1) Tata Tertib (tatib) DPR RI, sebagai berikut:
1) Pimpinan DPR bertugas:
a. memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan DPR; c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan
agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR; d. menjadi juru bicara DPR; e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR; f. mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya; g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga
negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR; h. mewakili DPR di pengadilan; i. melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi
atau rehabilitasi Anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
j. menyusun rencana kerja dan anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna DPR;
k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu;
41 Riris Katharina, ed., Kajian Terhadap Tata Tertib DPR RI, (Jakarta: Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR Republik Indonesia, 2008), h. 41
38
l. menindaklanjuti usulan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk membentuk panel sidang dalam hal pelanggaran kode etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian; dan
m. menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh Anggota dalam rapat paripurna DPR.
2. Badan Musyawarah
Badan Musyawarah merupakan salah satu alat kelengkapan DPR yang bersifat
tetap. Susunan keanggotan alat kelengkapan ini ditetapkan DPR pada masa
permulaan keanggotaan dan permulaan tahun sidang. Pimpinan Badan Musyawarah
merupakan Pimpinan DPR juga karena jabatannya. Dan oleh karena itu pula,
Pimpinan DPR tidak boleh merangkap sebagai anggota atau mewakili fraksi
manapun. Menurut peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 50 Badan Musyawarah
memiliki tugas yang antara lain:
a. menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna DPR untuk mengubahnya;
b. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan wewenang dan tugas DPR;
c. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas masing-masing;
d. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-undang mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPR;
e. menentukan penanganan suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR;
f. mengusulkan kepada rapat paripurna DPR mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah dibahas dalam konsultasi pada awal masa keanggotaan DPR; dan
g. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna DPR kepada Badan Musyawarah.
39
3. Komisi
Komisi merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR
menetapkan jumlah Komisi pada awal masa keanggotaan DPR dan pada masa awal
permulaan tahun sidang. Susunan keanggotaan Komisi ditetapkan dalam rapat
paripurna DPR sesuai dengan perimbangan dan pemerataan jumlah Anggota tiap-tiap
fraksi. berdasarkan Pasal 58 peraturan DPR RI tentang Tata Tertib. Tugas dari
Komisi sebagai alat kelengkapan antara lain:
1) Tugas komisi dalam bidang pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang.
2) Tugas Komisi dalam bidang anggaran adalah: a) mengadakan pembicaraan pendahuluan rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang meliputi rencana kerja pemerintah (RKP) serta rencana kerja dan anggaran kementerian dan lembaga (RKAKL) dalam ruang lingkup tugas komisi dan usulan Anggota mengenai program pembangunan daerah pemilihan bersama dengan Pemerintah;
b) mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara serta mengusulkan perubahan rencana kerja dan anggaran kementerian dan lembaga (RKAKL) yang termasuk dalam ruang lingkup tugas komisi dan usulan Anggota mengenai program pembangunan daerah pemilihan bersama dengan Pemerintah;
c) membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan program kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi;
d) menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan menyampaikan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan huruf c kepada Badan Anggaran untuk disinkronisasi;
e) membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan program kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi berdasarkan hasil sinkronisasi alokasi anggaran kementerian/lembaga oleh Badan Anggaran;
40
f) menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam huruf e untuk bahan akhir penetapan APBN;
g) membahas dan menetapkan alokasi anggaran per program yang bersifat tahunan dan tahun jamak yang menjadi mitra komisi bersangkutan;
h) mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN; dan
i) membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas komisi.
3) Tugas komisi dalam bidang pengawasan meliputi: a) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,
termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
b) membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
c) memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
d) melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; e) membahas dan menindaklanjuti usulan DPD; dan f) menjalin hubungan luar negeri, baik dengan institusi negara
maupun swasta, sesuai dengan bidang tugas setiap komisi dan dikoordinasikan oleh Badan Kerjasama Antar-Parlemen.
4. Badan Legislasi
Badan Legislasi merupakan alat kelengkapan bentukkan DPR RI yang bersifat
tetap. Keanggotan Badan Legislasi berjumlah paling banyak 2 (dua) kali lipat dari
jumlah anggota Komisi yang mencerminkan Fraksi dan Komisi. Susunan
keanggotaan Badan Legislasi ditetapkan pada masa permulaan keanggotaan DPR,
permulaan tahun sidang, dan setiap masa sidang. Badan Legislasi mempunyai tugas
yang tertuang dalam Pasal 65 Tata Tertib DPR RI, yaitu sebagai berikut:
a. menyusun rancangan Prolegnas yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPR;
41
b. mengoordinasikan penyusunan Prolegnas yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan antara DPR, Pemerintah, dan DPD;
c. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep rancangan undang-undang yang diajukan Anggota, komisi, atau gabungan komisi sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPR;
d. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh Anggota, komisi, atau gabungan komisi di luar prioritas rancangan undang-undang atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam Prolegnas;
e. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugasi oleh Badan Musyawarah;
f. melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang; g. menyusun, melakukan evaluasi, dan menyempurnakan peraturan DPR; h. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap
pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
i. melakukan sosialisasi Prolegnas; dan j. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang
perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
5. Badan Anggaran
Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR
yang bersifat tetap. Keanggotaan DPR ditetapkan berdasarkan representasi Anggota
dari setiap Provinsi sesuai perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi
pada masa permulaan keanggotaan DPR dan pada masa awal tahun sidang. Susunan
keanggotaan terdiri atas Anggota dari tiap-tiap komisi dengan perimbangan jumlah
anggota dan usulan fraksi. Sesuai Pasal 70 peraturan DPR RI tentang Tata Tertib,
Badan Anggaran mempunyai tugas:
1) Badan Anggaran Bertugas: a) membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri
untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum
42
dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
b) menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi yang berkaitan;
c) membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri mengenai alokasi anggaran untuk fungsi dan program Pemerintah dan dana alokasi transfer daerah dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah;
d) melakukan sinkronisasi hasil pembahasan di komisi dan alat kelengkapan DPR lainnya mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
e) melakukan sinkronisasi terhadap usulan program pembangunan daerah pemilihan yang diusulkan komisi;
f) membahas laporan realisasi dan perkiraan realisasi yang berkaitan dengan APBN; dan
g) membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
2) Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.
3) Anggota komisi dalam Badan Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi melalui rapat komisi.
6. Badan Kerjasama Antar-Parlemen
Badan Kerjasama Antar-Parlemen (selanjutnya disingkat BKSAP) dibentuk
oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Jumlah anggota
BKSAP ditetapkan saat sidang paripurna DPR dan menurut perimbangan dan
pemerataan jumlahh anggota dari tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan
dan pada permulaan tahun sidang. Dalam peraturan DPR RI tentang Tata Tertib tugas
BKSAP tertuang dalam Pasal 75, yang antara lain:
a. mengembangkan, membina, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi
43
internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain;
b. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
c. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan
d. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen.
7. Badan Urusan Rumah Tangga
Badan urusan rumah tangga (selanjutnya disingkat BURT) dibentuk oleh DPR
dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Jumlah anggota BURT
paling banyak adalah 25 (dua puluh lima) orang atas usul dari komisi dan fraksi
berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi di komisi.
Anggota BURT ditetapkan pada saat sidang paripurna DPR pada permulaan tahun
sidang. Dalam Pasal 90 perauran Tata Tertib DPR menyebutkan tugas-tugas BURT
yang antara lain:
a. menetapkan arah kebijakan umum pengelolaan anggaran DPR untuk setiap tahun anggaran dan menyerahkannya kepada Sekretaris Jenderal DPR untuk dilaksanakan;
b. menyusun rencana kerja dan anggaran DPR secara mandiri yang dituangkan dalam program dan kegiatan setiap tahun berdasarkan usulan dari alat kelengkapan DPR dan Fraksi;
c. dalam menyusun program dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, BURT memperhatikan geografis daerah pemilihan Anggota;
d. dalam menyusun program dan kegiatan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf b, BURT dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama;
e. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR;
f. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan alat kelengkapan MPR yang berhubungan dengan kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang ditugasi oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah;
44
g. menyampaikan hasil keputusan dan arah kebijakan umum anggaran tahunan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan;
h. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu; dan
i. mengatur alokasi anggaran untuk kunjungan kerja Anggota atau sekelompok anggota komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4).
8. Panitia Khusus & Panitia Kerja
Panitia Khusus adalah alat kelengkapan yang dibentuk oleh DPR dan bersifat
sementara. Jumlah anggota Panitia Khusus paling banyak adalah 30 (tiga puluh)
orang yang ditetapkan pada saat sidang paripurna DPR. DPR menetapkan susunan
dan keanggotaan Panitia Khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah
anggota dari tiap-tiap fraksi. dalam melaksanakan tugasnya peraturan Tata Tertib
DPR Pasal 96 menyebutkan:
1) Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna DPR.
2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh Badan Musyawarah apabila panitia khusus belum dapat menyelesaikan tugasnya.
3) Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.
Selain panitia khusus DPR juga memiliki panitia kerja (panja). Panja
merupakan alat kelengkapan yang dapat dibentuk oleh alat kelengkapan DPR lainnya
kecuali pimpinan DPR. Oleh karena itu, susunan keanggotaan panja juga ditetapkan
oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya, keanggotaan panja paling banyak
berjumlah separuh dari jumlah alat kelengkapan DPR yang membentuknya. Panja
45
dipimpin oleh seorang pimpinan alat kelengkapan DPR. Tugas yang diemban oleh
panja beserta hal-hal lainnya diatur
9. Mahkamah Kehormatan Dewan
Mahkamah Kehormatan Dewan (selanjutnya disingkat MKD) dibentuk oleh
DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR RI yang bersifat tetap. Tujuan dari
dibentuknya alat kelengkapan ini adalah untuk menjaga serta menegakkan
kehormatan serta keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. MKD
memliki tugas yang tertulis dalam Pasal 2 ayat (2) peraturan DPR Nomor 2 Tahun
2015 tentang tata cara beracara MKD yang menyebutkan tugas MKD antara lain:
a. melakukan pemantauan dalam rangka fungsi pencegahan terhadap perilaku Anggota agar tidak melakukan pelanggaran atas kewajiban Anggota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik;
b. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota karena:
1) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
2) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah;
3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang mengenai pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan/atau
4) melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis
46
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c. mengadakan sidang untuk menerima tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik;
d. menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan melakukan tindak pidana;
f. meminta keterangan dari Anggota yang diduga melakukan tindak pidana;
g. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan dari pihak penegak hukum kepada Anggota yang diduga melakukan tindak pidana; dan
h. mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan di tempat Anggota yang diduga melakukan tindak pidana.
B. Latar Belakang Mahkamah Kehormatan Dewan
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) Posisi Mahkamah Kehormatan Dewan
sudah tercantum jelas yaitu sebagai unit kerja atau alat kelengkapan DPR RI. Latar
belakang pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan ini tidak lepas dari berbagai
sorotan atau opini publik yang tidak puas atas kinerja dan kapasitas anggota dewan
dalam melaksanakan tugasnya. Publik menilai maraknya perilaku yang
mencerminkan sifat buruk dari para anggota dewan seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) menjadikan masyarakat seakan tidak percaya atau kehilangan
47
harapan mereka terhadap para anggota dewan yang mengatasnamakan diri mereka
sebagai para wakil rakyat.
Hal ini menjadi tuntutan rakyat untuk melakukan reformasi. Mengingat begitu
pentingnya posisi dan peran dari anggota DPR sebagai representasi rakyat tidak
menjamin bahwa kinerja dari anggota DPR sudah memuaskan. Banyak anggota DPR
yang pernah terjerat kasus hukum ditambah dengan terlalu mudahnya anggota DPR
untuk menjadi saksi dalam sebuah kasus, korupsi misalnya. Hal ini menjadikan
pandangan rakyat terhadap anggota DPR semakin buruk. Hal tersebut juga diakui
oleh wakil Ketua Umum PPP Lukman Hakim Saifuddin, bahwa saat ini parlemen
sudah kehilangan kepercayaan rakyat. Karena itu, DPR hasil pemilu 2014 harus lebih
baik dari pada sebelumnya42.
Pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam lembaga negara ini
merupakan respons atas sorotan publik akan kinerja para anggota dewan yang dinilai
buruk tersebut. Bagaimanapun, pada awalnya lembaga ini bernama Dewan
Kehormatan (DK) sebelum diresmikan sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap
dan berganti nama menjadi Badan Kehormatan (BK) pada tahun 2003 dan kemudian
diubah menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) seperti saat ini.43 Suatu hak
dan (sekaligus) kewajiban memang melekat dan dilekatkan dalam diri anggota
42 Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014 : Tantangan, Prospek Politik Dan Ekonomi
Indoneisa, (Jakarta:Buku Kompas, 2014), h. 131 43 Nur Habibi, “Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”
Jurnal Cita Hukum, Vol. 1 (Juni 2014) h. 47
48
legislatif, dan keduanya harus dijalankan secara proporsional ketika seorang anggota
legislatif menjalankan perannya di lembaga perwakilan rakyat.44
Pantangan atau larangan-larangan bagi para anggota parlemen telah ada untuk
menunjang kinerja MKD dalam menyelidiki dugaan pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh anggota DPR. Larangan-larangan tersebut tertuang dalam Keputusan
DPR RI tentang Kode Etik DPR RI antara lain pasal 9 ayat (1) dan (2) yang
menyatakan bahwa anggota tidak diperkenankan menggunakan fasilitas perjalanan
dinas untuk kepentingan di luar tugas kedewanan; anggota tidak dapat membawa
keluarga dalam suatu perjalanan dinas, kecuali dimungkinkan oleh peraturan
perundang-undangan atau atas biaya sendiri.
Kemudian pada pasal 11 dinyatakan bahwa anggota dilarang menerima
imbalan atau hadiah dari pihak lain sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 13
menyatakan bahwa anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi
proses peradilan untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain. Pada pasal 14
dinyatakan bahwa anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari
kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili, dan kroninya yang
mempunyai usaha atau melakukan penanaman dalam suatu bidang usaha. Dan yang
terakhir, pada pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa anggota tidak diperkenankan
melakukan hubungan dengan mitra kerjanya dengan maksud meminta atau menerima
imbalan atau hadiah untuk kepentingan pribadi.
44 Satya Arinanto & Nunuk Triyanti, ed,. memahami hukum..... h.487
49
Sebagai alat kelengkapan parlemen yang bertugas dan memiliki kewenangan
untuk mengawasi sekaligus menindak segala pelanggaran etik yang diduga dilakukan
oleh anggota DPR MKD tentu butuh peran serta masyarakat atau warga sipil dalam
menjaga kehormatan dan keluhuran citra para wakil rakyat. Peran masyarakat dalam
membantu tugas MKD adalah dengan cara melapor segala tindakan anggota parlemen
yang dianggap melanggar kode etik. Karena dengan adanya laporan ini MKD akan
melakukan penyelidikan dan verifikasi sehingga fungsinya dapat bekerja sebagai
sebuah alat kelengkapan dewan. Oleh karena itu mengapa alat kelengkapan yang
bernaung di bawah DPR ini tidak dapat bekerja sendiri melainkan dengan keikut
sertaan masyarakat sebagai penunjang. Namun laporan yang dilaporkan masyarakat
terhadap MKD akan adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh anggota DPR
haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan yang sudah tertuang dalam Undang-undang
atau tata tertib DPR dan peraturan lainnya yang mengatur tentang kode etik DPR RI.
C. Keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan
Susunan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tertuang dalam
pasal 79 peraturan Tata Tertib DPR (Tatib) yang menyebutkan bahwa:
1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan yang terdiri atas semua Fraksi dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap Fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
2) Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan berjumlah 17 (tujuh belas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
3) Pimpinan DPR mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi untuk menentukan komposisi keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
50
4) Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai dalam penentuan komposisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak dalam rapat paripurna DPR.
5) Fraksi mengusulkan nama anggota Mahkamah Kehormatan Dewan kepada pimpinan DPR sesuai dengan perimbangan jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk selanjutnya ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
6) Penggantian anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dapat dilakukan oleh Fraksinya apabila anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang bersangkutan berhalangan tetap atau ada pertimbangan lain dari Fraksinya.
D. Tugas, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan
Dalam menjalankan tugasnya sebagai sebuah alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap, Mahkamah Kehormatan Dewan memiliki tugas, fungsi dan wewenang
yang diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Pasal 2 yaitu:
1. MKD dibentuk oleh DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
2. MKD bertugas: a) melakukan pemantauan dalam rangka fungsi pencegahan
terhadap perilaku Anggota agar tidak melakukan pelanggaran atas kewajiban Anggota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik;
b) melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota karena:
1) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
51
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
2) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah;
3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang mengenai pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan/atau
4) melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c) mengadakan sidang untuk menerima tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik;
d) menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan melakukan tindak pidana;
e) meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan melakukan tindak pidana;
f) meminta keterangan dari Anggota yang diduga melakukan tindak pidana;
g) memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan dari pihak penegak hukum kepada Anggota yang diduga melakukan tindak pidana; dan
h) mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan di tempat Anggota yang diduga melakukan tindak pidana.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya tersebut MKD berwenang untuk:
52
a) menerbitkan surat edaran mengenai anjuran untuk menaati Tata Tertib serta mencegah pelanggaran Kode Etik kepada seluruh Anggota;
b) memantau perilaku dan kehadiran Anggota dalam rapat DPR; c) memberikan rekomendasi kepada pihak terkait untuk
mencegah terjadinya pelanggaran Kode Etik dan menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR;
d) melakukan tindak lanjut atas dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Anggota, baik berdasarkan Pengaduan maupun tanpa Pengaduan;
e) memanggil dan memeriksa setiap orang yang terkait tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib dalam Sidang MKD;
f) melakukan kerja sama dengan lembaga lain; g) memanggil pihak terkait; h) menghentikan proses pemeriksaan perkara dalam setiap
persidangan dalam hal Pengadu mencabut aduannya atau diputuskan oleh Rapat MKD;
i) memutus perkara pelanggaran yang patut diduga dilakukan oleh Anggota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan DPR yang mengatur tentang Tata Tertib dan Kode Etik;
j) menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada badan urusan rumah tangga; dan
k) melakukan evaluasi dan penyempurnaan Peraturan DPR yang mengatur tentang Kode Etik.
Tugas, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan serta
pengertian lain tentang MKD selain tertulis dalam Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun
2015 tentang Tata Cara Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia juga terdapat pada Tata Tertib DPR
53
BAB IV
KASUS SETYA NOVANTO DAN PENYELESAIAN OLEH MAHKAMAH
KEHORMATAN DEWAN
A. Duduk Perkara Kasus Setya Novanto
Setya Novanto diketahui sebagai seorang politikus asal Bandung, Jawa Barat
yang diusung oleh sebuah partai politik di Indonesia yaitu partai Golongan Karya
atau yang lazim disebut dengan “Golkar”. Setya Novanto menjabat posisi sebagai
ketua DPR RI pada masa periode 2014-2019.45 Namun perjalanan karirnya sebagai
seorang ketua salah satu lembaga tinggi negara ini tidak berjalan dengan mulus.
Setelah hanya berselang satu tahun masa jabatannya sebagai ketua DPR RI Setya
Novanto tersandung kasus pelanggaran kode etik, yaitu pemufakatan jahat yang
diduga dilakukan olehnya dengan mencatut nama presiden JokoWidodo dengan
sebuah perusahaan asing besar di Indonesia yakni PT. Freeport Indonesia, bersama
dengan seorang pengusaha M. Riza Chalid.
Duduk perkara kasus Setya Novanto atau yang lebih dikenal masyarakat luas
dengan kasus “papa minta saham” ini bermula ketika adanya laporan dugaan
pelanggaran etik yang dilakukan oleh ketua DPR RI saat itu Setya Novanto oleh
menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said kepada
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Laporan yang berisi tentang rekaman
perbincangan antara presiden direktur PT Freeport Indonesia Ma’roef Sjamsoeddin
45 Dikutip dari artikel pada https://id.wikipedia.org/wiki/Setya_Novanto diakses pada 30 Juli
2016 pukul 01:22 wib
54
dengan ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha Riza Chalid. Dalam rekaman
tersebut terungkap bahwa Setya Novanto meminta saham kosong kepada Ma’roef
dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo.46
Kronologi kejadian itu terjadi pada tanggal 16 November 2015, menteri
ESDM Sudirman Said melaporkan Setya Novanto secara tertulis kepada MKD.
Dalam kejadian itu Sudirman Said membeberkan kronologis kejadian anggota DPR
pencatut nama presiden dan wakil presiden terkait perpanjangan kontrak PTFI (PT
Freeport Indonesia). Dalam penjelasan tersebut Sudirman mengatakan bahwa anggota
DPR tersebut bersama dengan seorang pengusaha dan telah beberapa kali memanggil
serta melakukan pertemuan dengan pimpinan PTFI. 47 Dalam lobi-lobi Setya
meminta saham melalui presiden direktur PT. Freeport Indonesia. Setya juga
meminta PT. Freeport berinvestasi dalam pembangunan proyek Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA) di Urumuka, Papua.48
Kasus ini berawal dari pertemuan antara presiden direktur PT. Freeport
Indonesia, Ma’roef Sjamsoeddin dengan Setya Novanto pada bulan April 2015.
Ma’roef Sjamsoeddin melakukan pertemuan tidak hanya dengan Setya Novanto.
Namun diketahui Ma’roef pun bertemu dengan pimpinan lembaga negara lain seperti
MPR dan DPD, dasar pertemuan yang dilakukan oleh Presiden Direktur PT. Freeport
itu adalah untuk membahas perpanjangan kontrak perusahaan asing asal Amerika
46 “Papa Minta Saham Topik Terpanas 2015”, Republika. 23 Desember 2015, h. 3 47 www.merdeka.com diakses pada 29 Juli 2016 pukul 00:55 WIB 48 “Kejaksaan Berharap Setya Berubah Pikiran”, Koran Tempo. 13 Januari 2016, h. 4
55
Serikat yang bergerak dibidang pertambangan itu dengan pemerintah Indonesia.
Namun hasil pertemuan Ma’roef dengan para petinggi lembaga Negara tersebut
berbeda cerita antara satu lembaga dengan yang lain. Pada saat Ma’roef melakukan
rangkaian kunjungan dengan MPR dan DPD Ma’roef membawa staf dan diterima
oleh sejumlah pimpinan lain. Namun, khusus saat berkunjung ke ruangan Setya
Novanto, beliau diminta untuk masuk sendiri.49
Pada 13 Mei Setya Novanto kembali mengadakan pertemuan dengan Ma’roef
di hotel Ritz Carlton Jakarta, pada pertemuan yang kedua ini Setya Novanto tidak
sendiri, beliau juga merangkai pertemuan tersebut dengan mengundang seorang
pengusaha minyak M. Reza Chalid. Kemudian pada tanggal 8 Juni Ma’roef menerima
pesan singkat dari Reza Chalid untuk mengadakan pertemuan dengan Setya Novanto.
Sebelum pertemuan dimulai Ma’roef merasa aneh mengapa Reza kembali ikut
bertemu, beliaupun berinisiatif untuk merekam pertemuan tersebut. 50
Setelah pertemuan itu, Ma’roef melaporkan hasil pertemuannya dengan Setya
Novanto dan Reza Chalid tersebut kepada atasannya Jim Bob. Namun reaksi sang
atasan terlihat begitu jelas tidak suka ketika mengetahui apa yang disampaikan
Ma’roef terkait hasil pertemuannya dengan Setya dan Reza, seraya berkata “Kalau
kamu mau masukkan saya ke penjara, lakukan.”51 Setelah menerima reaksi yang
49 Artikel dikutip dari http://news.detik.com/berita/3087343/kronologi-pertemuan-maroef-
sjamsoeddin-setya-novanto-dan-reza-chalid diakses pada 30 Juli 2016 pukul 01:51 WIB 50 Artikel dikutip dari http://news.detik.com/berita/3087343/kronologi-pertemuan-maroef-
sjamsoeddin-setya-novanto-dan-reza-chalid diakses pada 30 Juli 2016 pukul 05:27 WIB 51 Artikel dikutip dari http://news.detik.com/berita/3087343/kronologi-pertemuan-maroef-
sjamsoeddin-setya-novanto-dan-reza-chalid diakses pada 30 Juli 2016 pukul 05:39 WIB
56
cukup keras dari atasannya Ma’roef melapor kepada Sudirman Said selaku menteri
ESDM dan menyerahkan rekaman itu seutuhnya pada bulan Oktober 2015.
B. Mekanisme Penyelesaian Kasus Oleh Mahkamah Kehormatan Dewan
Setelah menerima laporan dari menteri ESDM Sudirman Said terkait dugaan
pelanggaran kode etik oleh Setya Novanto. Tanggal 23 November Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) selaku alat kelengkapan DPR yang berwenang
menangani kasus pelnggaran kode etik oleh anggota DPR menggelar rapat internal.
Rapat pertama ini hanya beragenda untuk menetapkan hasil verifikasi apakah sudah
bisa dilanjutkan ke tahap persidangan dan yang kedua menentukan tentang
bagaimana sidang akan berjalan, terbuka atau tertutup jelas wakil ketua MKD
Junimart Girsang.52
Pada 2 Desember 2015 sidang MKD dimulai, pada saat itu MKD memeriksa
Sudirman sebagai pihak pelapor. Sudirman Said memberikan rekaman utuh dan
transkip percakapan antara Setya Novanto, pengusaha Reza Chalid dan Prsiden
Direktur PT. Freeport Indonesia Ma’roef Sjamsoeddin kepada MKD sebagai alat
bukti.53 Setelah menerima laporan dan rekaman percakapan sebagai alat bukti. MKD
kembali menggelar sidang dan memeriksa Setya Novanto pada tanggal 7 Desember
2015.
52 Artikel dikutip dari http://www.merdeka.com/peristiwa/kronologis-lengkap-kasus-papa-
minta-saham-sampai-bikin-setnov-mundur.html diakses pada 31 Juli 2016 pukul 03:43 WIB 53 Artikel dikutip dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151202_indonesia_mkd_sudirman_said diakses pada 31 Juli 2016 pukul 03:55 WIB
57
Pada sidang yang tertutup ini Setya sebagai pihak terlapor sempat
mempertanyakan legalitas Sudirman Said sebagai pelapor, selain itu Setya juga
memprotes pembicaraannya yang direkam saat bertemu dengan pengusaha M. Riza
Chalid dan Presiden Direktur PT. Freeport Indonesia Ma’roef Sjamsoeddin. 54 Sidang
kembali tertunda tanpa ada putusan yang diambil, pada tanggal 14 Desember menteri
koordinator bidang politik, hokum dan HAM (Menkopolhukam) Luhut Binsar
Pandjaitan diperiksa oleh Majelis MKD karena namanya juga ikut disebut sebanyak
66 kali dalam rekaman percakapan antara Setya Novanto, M. Riza Chalid dan
Ma’roef Sjamsoeddin.
Setelah memeriksa dan meminta keterangan Menkopolhukam, MKD kembali
menggelar sidang pada tanggal 16 Desember 2015 dengan agenda pembacaan
putusan dari seluruh anggota MKD yang berjumlah 17 orang atas kasus “Papa Minta
Saham” di gedung DPR secara terbuka. Seluruh anggota MKD menyatakan Setya
Novanto bersalah dan telah terbukti melakukan pelanggaran etika. Namun beratnya
sanksi yang dibebankan kepada Setya Novanto bervariasi. 10 anggota MKD
memberikan sanksi sedang kepada Setnov dan sisanya 7 orang memberikan sanksi
berat. Sanksi sedang adalah pencopotan dari posisi ketua DPR dan sanksi berat yaitu
pemberhentian dari keanggotan DPR. 55
54 Artikel dikutip dari http://www.merdeka.com/peristiwa/kronologis-lengkap-kasus-papa-
minta-saham-sampai-bikin-setnov-mundur.html diakses pada 1 Agustus 2016 pukul 09:34 WIB 55 Artikel dikutip dari http://news.detik.com/berita/3097875/hasil-akhir-10-anggota-mkd-
minta-sanksi-sedang-7-sanksi-berat-untuk-novanto diakses pada 1 Agustus 2016 pukul 10:13 WIB
58
No. Nama Anggota MKD Fraksi Putusan Jenis Sanksi
1. Darizal Basir Demokrat Bersalah Sedang
2. Guntur Sasono Demokrat Bersalah Sedang
3. Risa Mariska PDIP Bersalah Sedang
4. Dimyati Natakusumah PPP Bersalah Berat
5. Maman Imanulhaq PKB Bersalah Sedang
6. Viktor Lasikodat NasDem Bersalah Sedang
7. Prakosa PDIP Bersalah Berat
8. Sukiman PAN Bersalah Sedang
9. A Bakri PAN Bersalah Sedang
10. Sufmi Dasco Ahmad Gerindra Bersalah Berat
11. Supratman Gerindra Bersalah Berat
12. Adies Kadir Golkar Bersalah Berat
13. Ridwan Bae Golkar Bersalah Berat
14. Sarifuddin Sudding Hanura Bersalah Sedang
15. Junimart Girsang PDIP Bersalah Sedang
16. Surahman Hidayat PKS Bersalah Sedang
17. Kahar Muzakir Golkar Bersalah Berat
Sebelum pembacaan putusan, Setya Novanto mengirimkan surat yang
menyatakan pengunduran dirinya sebagai ketua DPR RI periode 2014-2019 dan telah
59
dibacakan saat sidang pengambilan putusan oleh anggota MKD di gedung DPR RI
secara terbuka. Dengan adanya surat pengunduran diri ini MKD menutup jalannya
persidangan dan juga menutup kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh Setya
Novanto tanpa mengeluarkan putusan apapun.
C. Analisis Penyelesaian MKD Terhadap Kasus Setya Novanto
Melihat dan memahami kasus “Papa Minta Saham” dan bagaimana MKD
bersikap dan berperan selaku alat kelengkapan DPR RI yang bertugas dan berwenang
untuk menangani kasus pelanggaran etik oleh setiap anggota DPR penulis menyimak
dan mendapati beberapa poin atau masalah yang terdapat dalam penyelesaian kasus
ini. Sebelumnya telah diketahui Setya Novanto adalah ketua DPR RI periode 2014-
2019 oleh karena statusnya sebagai ketua sudah pasti Setya Novanto juga merupakan
anggota dari DPR RI. Dalam kasus ini Setya Novanto dianggap melakukan
pelanggaran kode etik. Sebelum menganalisis lebih jauh, penulis ingin
menyampaikan apa yang dimaksud dengan kode etik. Sebagaimana pengertian yang
tertuang pada pasal 1 ayat (1) Keputusan DPR RI tentang Kode Etik DPR RI, Kode
etik DPR adalah:
Kode Etik DPR ialah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota DPR RI
Kode etik adalah kristalisasi dari hal-hal yang biasanya sudah dianggap baik
menurut pendapat umum serta didasarkan atas kepentingan profesi yang
bersangkutan. Jadi kode-kode etik tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk
60
mencegah kesalahpahaman dan konflik.56 Kaitan Kode Etik DPR RI dengan kasus ini
adalah karena Setya Novanto dianggap melakukan pelanggaran kode etik DPR RI
karena terbukti meminta sejumlah saham kepada presiden direktur PT. Freeport
Indonesia, Ma’roef Sjamsoeddin. Untuk lebih jelas apa yang dilanggar oleh Setya
Novanto, penulis memaparkan Pasal 11 Keputusan DPR RI tentang Kode Etik yang
berbunyi: “Anggota dilarang menerima imbalan atau hadiah dari pihak lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.”
Jika dilihat pada pasal tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang anggota
DPR dilarang menerima imbalan atau hadiah dari pihak lain. Ini tentu berlawanan
dengan apa yang telah dilakukan oleh Setya Novanto, jika dalam Pasal 11 Keputusan
DPR RI tentang Kode Etik sudah sangat jelas melarang anggota untuk menerima
imbalan atau hadiah dari lain apalagi sampai meminta jatah pada sebuah perusahaan
seperti PT. Freeport Indonesia. Untuk lebih memperjelas dan memperkuat argumen
penulis bahwa sikap Setya Novanto yang meminta jatah persenan kepada PT.
Freeport Indonesia juga menyalahi kode etik DPR RI terdapat pada Pasal 14 yang
berbunyi bahwa:
Anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, sanak famili, dan kroninya yang mempunyai usaha atau melakukan penanaman modal dalam suatu bidang usaha.” dan Pasal 17 ayat (2) “Anggota tidak diperkenankan melakukan hubungan dengan mitra kerjanya dengan maksud meminta atau menerima imbalan atau hadiah untuk kepentngan pribadi.
56 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), h. 36
61
Setelah mengemukakan kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan
Setya vc Novanto, penulis menganalisis lebih dalam lagi tentang mekanisme
penyelesaian kasus MKD terhadap kasus ini. Dalam menyelesaikan kasus Setya
Novanto MKD beberapa kali menggelar sidang, ada yang bersifat secara tertutup dan
ada pula sidang yang dilaksanakan terbuka. Pemilihan sifat sidang secara terbuka atau
tertutup memang menjadi kewenangan MKD untuk menentukan sebagaimana
tertuang dalam Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang
berbunyi: “Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan bersifat tertutup.”
MKD dalam menggelar sidang untuk memeriksa Setya Novanto selaku pihak
terlapor menggelar sidang secara tertutup, namun disisi lain MKD menggelar sidang
secara terbuka dalam memeriksa pihak lain seperti Sudirman Said yang berstatus
sebagai pelapor, Ma’roef Sjamseoddin dan Luhut Binsar sebagai saksi. Pada titik itu,
pilihan melaksanakan sidang terhadap Setya Novanto secara tertutup sangat
merugikan kepentingan masyarakat. Bagaimanapun, dengan sidang tertutup bagi
Setya Novanto, masyarakat menjadi kehilangan kesempatan mereka untuk melihat
secara langsung bagaimana pembelaan mantan ketua DPR ini terhadap laporan
Sudirman Said. Sekiranya sidang Setya Novanto dilakukan secara terbuka,
62
masyarakat tentu dapat melihat bagaimana sikap anggota MKD terhadap orang
nomor satu di Senayan ini.57
Jika melihat Pasal 132 UU MD3 yang menyatakan sidang MKD dilakukan
secara tertutup maka MKD telah melakukan tugasnya dengan benar saat menggelar
sidang mendengarkan keterangan dari Setya Novanto, tetapi timbul pertanyaan saat
MKD menggelar sidang untuk memeriksa pihak-pihak lain dimana MKD menggelar
sidang secara terbuka. Dengan sikap MKD yang tidak stabil atau “plin-plan” ini dapat
kita lihat bahwa sesungguhnya MKD tidak menegakkan etika secara utuh tetapi justru
unsur politik yang dikedepankan.
Lebih dalam lagi, dalam Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang tata
cara beracara MKD pasal 15 ayat (2) tertulis dengan jelas bahwa Sidang MKD
bersifat tertutup, kecuali dinyatakan terbuka oleh Sidang MKD. Namun kemudian
kembali timbul pertanyaan kenapa hanya Setya Novanto saja yang notabene adalah
ketua DPR RI periode 2104-2019 yang sidangnya dilakukan secara tertutup
sedangkan pihak-pihak lain digelar secara terbuka? Terlihat jelas unsur-unsur lain
masih ada terlebih unsur politik masih kental dalam penegakkan hukum di negeri ini
terlebih saat para pemimpin yang berperkara. Masyarakat pada umumnya tentu ingin
melihat dan mengetahui bagaimana sidang berlangsung terhadap orang yang
memegang tampuk kekuasaan paling tinggi di lembaga legislatif itu.
57 Saldi Isra, “Manuver Mahkamah Kehormatan DPR”, artikel diakses dari
https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/26-mediaindonesia/609-manuver-mahkamah-kehormatan-dpr.html pada 3 agustus 2016 pukul 02:29 WIB
63
Pada dasarnya dalam menangani kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan
oleh anggota DPR RI memang menjadi kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan
untuk memutus dan menyelesaikan perkara. Namun masyarakat secara luas tentunya
berharap dan menginginkan penyelesaian kasus yang dilakukan oleh para wakil
mereka dilaksanakan secara adil dan tanpa ada unsur-unsur lain yang
dipertimbangkan untuk menyikapi setiap kasus. Terlebih ini merupakan kasus
nasional yang melibatkan seorang ketua dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Penulis juga tidak memungkiri bahwa selalu ada unsur politik dalam setiap
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para pihak yang berwenang atau para
penguasa di negeri ini. Namun, hal itu justru menjadikan kekuasaan tidak berjalan
sepenuhnya, keadilan tidak dapat ditegakkan dengan setegak-tegaknya, dan
penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan dan
akibatnya dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap MKD ataupun
penegak hukum lain di negeri ini. Dalam penyelesaian kasus nasional ini MKD pun
tak lepas dari unsur-unsur tersebut. Salah satu kata kunci yang memungkinkan MKD
berhasil: semua anggota MKD harus membuktikan diri terlepas dari kendali fraksi
dan partai politik masing-masing.58
Pada saat MKD menggelar sidang untuk meminta keterangan Setya Novanto,
Ketua DPR RI periode 2014-2019 itu juga sempat memprotes perihal pengaduan
pelanggaran kode etik terhadap dirinya dan menanyakan legal standing menteri
58 Saldi Isra, “Merusak Kehormatan DPR”, artikel diakses dari
https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/11-artikelkompas/607-merusak-kehormatan-dpr.html pada 3 Agustus 2016 pukul 02:41 WIB
64
ESDM Sudirman Said sebagai pihak pelapor. Untuk meluruskan hal ini peneliti
berpendapat bahwa legalitas Sudirman Said sebagai pelapor dapat dikatakan
memenuhi syarat atau sah. Jabatannya sebagai seorang menteri ESDM seharusnya tak
perlu dipertanyakan lagi. Dengan jabatan menteri memang Sudirman Said berada
dalam pihak eksekutif dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Namun kita dapat melihat lebih dalam tentang pihak pelapor dalam setiap
kasus pelanggaran kode etik oleh setiap anggota DPR. Pasal 126 ayat (1) UU MD3
Tahun 2014 menjelaskan dengan rinci tentang siapa saja yang dapat melakukan
pengaduan kepada MKD
1) Pengaduan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan dapat disampaikan oleh: a. pimpinan DPR atas aduan anggota DPR terhadap anggota DPR; b. anggota DPR terhadap pimpinan DPR atau pimpinan alat
kelengkapan DPR lainnya; dan c. masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap anggota
DPR, pimpinan DPR, atau pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya.
Selain itu, Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Beracara MKD juga menjelaskan hal yang sama pada pasal 5 ayat (1) yang berbunyi:
1) Pengaduan kepada MKD dapat disampaikan oleh: a. Pimpinan DPR atas aduan Anggota terhadap Anggota; b. Anggota terhadap Pimpinan DPR atau Pimpinan AKD; dan/atau c. masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap Anggota,
Pimpinan DPR, atau Pimpinan AKD.
Dari kedua peraturan tersebut dapat kita lihat dan kita pahami bahwa legalitas
Sudirman Said sebagai pelapor seharusnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi oleh
Setya Novanto kepada Majelis Mahkamah Kehormatan Dewan. Meskipun Sudirman
Said menampu jabatan sebagai menteri ESDM tak menghalanginya untuk
65
melaporkan Setnov kepada MKD karena beliau juga merupakan masyarakat secara
perseorangan. Dengan begitu, dapatlah dikatakan atau ditentukan bahwa Sudirman
Said memegang legalitas sebagai pelapor pada kasus ini.
Dari kasus ini penulis juga mengamati dan meneliti bagaimana penyelesaian
kasus yang diambil oleh MKD. Seperti yang kita ketahui bersama dan telah penulis
sampaikan sebelumnya bahwa kasus ini diselesaikan atau ditutup oleh MKD setelah
menerima surat pengunduran diri dari pihak teradu yaitu Setya Novanto tanpa
mengeluarkan putusan apapun. Hal ini terasa aneh dan sangat mengganjal, bagaimana
mungkin sebuah alat kelengkapan dari sebuah lembaga tinggi negara tidak dapat
mengeluarkan putusan apapun terhadap kasus yang melibatkan seorang ketua DPR.
Sudah jelas tertera dalam beberapa peraturan yang mengatur kewenangan
MKD untuk mengeluarkan putusan dalam setiap kasus yang ditangani seperti UU
MD3 maupun Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Beracara
MKD. Dalam UU MD3 Tahun 2014 Pasal 146 ayat (1) dan (2) yangmenyebutkan:
1) Putusan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.
2) Dalam hal pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Atau dalam Tata Cara Beracara MKD Pasal 58 ayat (1) dan (2) yang
menyebutkan hal yang sama, yang berbunyi:
1) Pengambilan putusan dalam Rapat MKD diambil dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.
2) Dalam hal pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
66
Dalam penjelasan kedua Pasal tersebut dapat dipahami bahwa seharusnya
MKD mengeluarkan putusan tentang kasus ini. Namun yang terjadi dalam kasus ini
tidak ada putusan apapun yang keluar oleh MKD untuk menyelesaikan kasus ini.
MKD justru menutup kasus ini setelah menerima surat pengunduran diri dari Setya
Novanto. Bagi masyarakat luas kasus ini belum selesai sampai adanya putusan yang
pasti, final dan mengikat. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan DPR RI tentang
Tata Cara Beracara MKD Pasal 56 ayat (4): “Putusan MKD bersifat final dan
mengikat, kecuali mengenai putusan pemberhentian tetap anggota.”
Dengan penerimaan surat pengunduran diri yang diterima oleh MKD dari
Setya Novanto seharusnya tidak menghalangi tugas dan kewenangan MKD untuk
menyelesaikan kasus ini dengan sebuah putusan. Karena putusan yang dikeluarkan
oleh MKD dengan surat pengunduran diri dari Setya Novanto adalah dua hal yang
berbeda, sebagaimana pendapat yang diungkapkan oleh peneliti dari Pusat Kajian
Anti Korupsi (Pukat) Hifdzi Amil.
"Saya garis bawahi, penyampaian keputusan dan pengunduran diri Setya
Novanto dari ketua DPR adalah dua hal yang sangat berbeda,"59
Lanjut, ia juga berpendapat:
"Kalau pengunduran diri dari posisi Ketua DPR itu urusan pribadi. Mau
mundur silakan, gak juga silakan. Gak ada kaitannya dengan sidang etik. Jadi tidak
pernah akan ketemu, apakah Setya Novanto melanggar etik atau tidak,"60
59 Artikel dikutip dari https://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/17/078728457/tak-ada-
putusan-pengamat-sidang-mkd-hanya-dagelan diakses pada 3 Agustus 2016 pukul 02:17 WIB
67
Selain Hifdzi Amil, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra
berpendapat hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai putusan MKD untuk menutup
jalannya proses persidangan dari kasus “papa minta saham” ini, beliau mengatakan:
“…Meskipun semua anggota Mahkamah Kehormatan DPR (MKD)
menyatakan tokoh berpengaruh Partai Golkar itu melanggar kode etik, putusan
tersebut bukanlah sikap MKD sebagai sebuah institusi. Dalam posisi sebagai
mahkamah penegakan etik, menjadi sulit diterima akal sehat proses persidangan
selesai setelah setiap anggota membacakan pendapat masing-masing.”61
Penulis pun sependapat dengan pernyataan dari dua tokoh tersebut, karena
sejatinya dalam sebuah persidangan apapun itu jenisnya haruslah dikeluarkan sebuah
putusan untuk menyelesaikan sebuah perkara. Karena itulah hakikatnya dibentuk
sebuah persidangan yaitu untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak dengan
sebuah putusan. Oleh karena itu, berkaca pada kasus ini, dapat dikatakan MKD tidak
menegakkan penegakkan etika secara utuh. Karena tak ada putusan apapun yang
keluar dari MKD selaku lembaga yang berwenang untuk mengadili perkara
pelanggaran kode etik seperti ini. Tak hanya MKD, sikap Setya Novanto yang
melanggar kode etik pun bukan sikap yang patut ditunjukkan oleh seorang wakil
rakyat yang mendapat amanat untuk mewakili rakyat. Karena menjadi seorang wakil
tidak hanya memegang amanat terhadap diri sendiri dan profesi nya tetapi juga
bertanggung jawab atas rakyat yang diwakilinya.
60 Artikel dikutip dari https://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/17/078728457/tak-ada-
putusan-pengamat-sidang-mkd-hanya-dagelan diakses pada 3 agustus 2016 pukul 02:17 WIB 61 Saldi Isra, “Manuver di Penghujung Tahun”, artikel diakses dari
https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/26-mediaindonesia/611-manuver-di-penghujung-tahun.html pada 3 agustus 2016 pukul 02:55 WIB
68
Kiranya jelas bahwa dengan adanya amanat yang menyangkut perlindungan
nasib seseorang tadi, tanggung jawab yang berat diletakkan di atas bahu anggota
profesi hukum yang bersangkutan. Ia tidak saja menyangkut amanat kepercayaan
yang menyangkut kepentingan pribadi. Bila dilihat dalam rangka menegakkan hukum
sebagai suatu urusan yang menyangkut kepentingan umum, maka tanggung jawab itu
pada hakikatnya juga merupakan amanat kepercayaan yang menyangkut kepentingan
umum.62 Sikap Setya Novanto tersebut selaku seorang pemimpin dari lembaga
perwakilan rakyat dapat dikatakan tidak efektif. Setiap kepemimpinan yang efektif
harus memperhitungkan social basis (sandaran-sandaran kemasyarakatan atau
hubungan dengan masyarakat) apabila tidak menghendaki timbulnya ketegangan-
ketegangan atau setidak-tidaknya terhindar dari pemerintahan boneka belaka.63
Kembali kepada MKD, sikap MKD yang menutup kasus ini tanpa
mengeluarkan putusan tidak hanya menyakiti hati masyarakat secara umum, namun
juga melanggar ketentuan peradilan dalam Islam. Allah berfirman dalam Al-Qur’an
surat Al-Ma’idah ayat 42 sebagai berikut:
نـهم فاحكم جاءوك فإن للسحت أكالون للكذب مساعون أو بـيـهم أعرض فاحكم حكمت وإن شيئا يضروك فـلن عنـهم تـعرض وإن عنـ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka;
62 Prof. Drs. C.S.T. Kansil S.H dan Christine S.T. Kansil, S.H, M.H, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006), H. 10-11.
63 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada: 2007), h. 255.
69
jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
Firman Allah tersebut seakan menguatkan dan menekankan bagi kita untuk
dapat memutuskan sebuah perkara dengan adil bukan hanya menyelesaikan perkara
tanpa ada sebuah putusan apapun. Selain itu, Allah juga berfirman kepada kita untuk
dapat memutuskan sebuah perkara secara adil karena adil adalah syarat mutlak bagi
seoang saksi. Allah berfirman tentang keadilan bagi seorang saksi:
◌ا أيـها الذين آمنوا كونوا قـوامني بالقسط شهداء لله ولو على أنـفسكم أو يا فالله أو بما فال تـتبعوا اهلوى أن تـع دلوا الوالدين واـقـربني إن يكن ننياا أو فق
اوإن تـل ووا أو تـعرضوا فإن الله كان مبا تـعملون خب Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa [4]: 135).
Kedua firman Allah ini telah menjadi perintah bagi setiap saksi untuk dapat
memberikan kesaksiannya dan memutuskan suatu perkara secara jujur dan adil. Suatu
hal yang sepatutnya dapat dilakukan oleh setiap saksi yang memberikan kesaksiannya
dalam sebuah peradilan terlebih lagi apabila seorang wakil rakyat yang menjadi
seorang saksi tentu harus memberikan kesaksian seadil-adilnya dalam setiap
peradilan agar dapat ditiru oleh rakyatnya. Karena pada hakikatnya bertindak adil
merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Sikap tersebut wajib dilakukan terhadap
70
siapapun, termasuk diri sendiri, orang tua, dan kerabat. Baik terhadap orang kaya
maupun orang miskin. Sikap ini dilakukan seorang Muslim, ketika dia menjadi saksi
maupun menjadi qadhi (hakim yang memutuskan sebuah perkara berdasarkan syariat
islam).64 Dalam semua keadaan itu, sikap adil harus tetap adil.
64 Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Qadi diakses pada 11 September 2016 pukul 09:52 WIB
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penjelasan dari bab 1 sampai bab 4 maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan alat kelengkapan DPR RI yang
bersifat tetap dan bertujuan untuk menjaga citra serta kehormatan DPR dimata
masyarakat. Oleh karena itu kedudukan dan wewenang MKD dalam
menangani kasus ini sudah jelas sebagaimana terdapat pada pasal 119 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3 yang menyatakan bahwa
Mahkamah Kehormatan Dewan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan yang bersifat tetap. (1) dan Mahkamah Kehormatan Dewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan
kehormatan serta keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat
(2). Dengan adanya peraturan yang memayungi kewenangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa MKD berwenang dalam menangani dan menyelesaikan
kasus Setya Novanto.
2. Mekanisme penyelesaian yang dilakukan oleh MKD dalam kasus pelanggaran
kode etik yang menyangkut anggota DPR RI Setya Novanto adalah melalui
72
beberapa kali persidangan dan pada sidang terakhir sebelum seluruh anggota
MKD mengeluarkan pendapat dan putusan masing-masing, MKD menerima
surat pengunduran diri dari Setya Novanto sebagai ketua DPR RI periode
2014-2019. Setelah menerima surat pengunduran diri tersebut MKD langsung
menutup kasus ini tanpa mengeluarkan putusan apakah Setya Novanto
bersalah dan pantas diberikan sanksi atau tidak.
3. Meskipun ada beberapa peraturan yang mengatur tentang kewenangan MKD
namun dalam implikasinya penyelesaian kasus ini masih jauh dari harapan
bahkan dapat dikatakan tidak sempurna karena tidak ada putusan yang
dikeluarkan oleh MKD mengenai kasus ini. Sehingga tidak ada bukti otentik
atau bukti nyata secara sah apakah Setya Novanto melakukan pelanggaran
etik atau tidak. Hal ini tentu tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang kewenangan MKD untuk memberikan
putusan.
B. Saran
Setelah melihat dan memahami kasus Setya Novanto atau kasus “papa minta
saham” ini penulis memiliki beberapa saran yang ingin disampaikan terkait dengan
Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam peradilan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Studi Kasus Setya Novanto Ketua DPR RI
periode 2014-2019). Seorang anggota DPR merupakan cerminan dari rakyat. Oleh
karena itu setiap tindakan atau tingkah laku dari seorang anggota DPR pasti menjadi
sorotan dari masyarakat. Apalagi seorang Ketua dari salah satu lembaga negara yang
73
memiliki peran sentral dalam bidang legislatif ini. Tentunya dengan jabatan sebagai
seorang ketua DPR berarti memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada
anggota yang lain.
Penulis memberi saran dan berharap agar kedepannya tidak ada lagi kasus
pelanggaran kode etik semacam ini yang melibatkan anggota DPR ataupun Ketua
DPR. Karena bagaimanapun DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang harus
menjaga citra dan kehormatannya tanpa harus diadili terlebih dahulu. Masyarakat
akan selalu melihat dan menilai setiap kinerja anggota DPR dan sangat bergantung
pada MKD jika kasus seperti ini terulang lagi suatu saat nanti.
74
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Aminy, Aisyah, Pasang Suurut Peran MPR-DPR 1945-2004, Jakarta, Yayasan Pancur Siwah, 2004.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Setjen dan kepaniteraan MKRI, 2005.
_______, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2011.
_______, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta, UI Press, 1996.
Ali, Ahmad, dkk. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, Kencana, 2012.
Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti, Ed, memahami hukum dari konstruksi sampai implementasi, Jakarta, Rajagrafindo persada, 2009.
Bako, Ronny, Rancangan Disertasi Untuk Ujian Pra Promosi, 2003.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Fatwa, A.M., Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Kompas, 2009.
__________, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2004.
Formappi, Lembaga Perwakilan Rakyat dI Indonesia : Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945, Jakarta: Formappi, 2005.
Haramain, A. Malik & M.F. Nurhuda, Mengawal Transisi Refleksi Atas Pemantauan Pemilu ’99, Jakarta, Jaringan Masyarakata Pemantau Pemilu Indonesia Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (JAMPPI- PB PMII), 2000.
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2010.
75
____________, Ilmu Negara, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1992.
Kantaparwira, Rusadi, dkk, Perihal Ilmu Politik, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007.
Katharina, Riris, ed., Kajian Terhadap Tata Tertib DPR RI, Jakarta, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR RepublikIndonesia, 2008.
Mahmud Marzuki, Peter Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2010.
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta, Badan Penerbit Iblam, 2006.
Muh Kusnardi, dkk. Ilmu Negara, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1995.
Nurhasim Moch. & Ikrar Nusa Bakti, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009.
Purnama, Eddy, Lembaga Perwakilan Rakyat, Medan, Syah Kuala University Press, 2008.
Ranuwihardjo, A Dahlan, Format Lembaga Kepresidenan Menuju Demokratisasi Kehidupan Politik Dimasa Depan, Dalam Seminar Nasional, Borobudur Intel, Jakarta: Continental Hotel, 1998, h. 5
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi SIstem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2005.
Romli, lili, ed., DPR RI Periode 2009-2014: Catatan Akhir Masa Bakti, Jakarta, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR Republik Indonesia, 2013.
Salang, Sebastian, dkk, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan Jakarta, Forum Sahabat, 2009.
Sanit, Arbi, Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta, CV. Rajawali, 1985.
Soekanto, Soerjono, dkk. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta, Rajawali Pers, 2011.
________, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2007.
Soemantri, Sri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia : 30 Tahun Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999.
76
Sumaryono, E, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta, Kanisius, 1995.
Syafiie, Inu Kencana, Proses Legislatif, Bandung, Refika Aditama, 2014.
Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014 : Tantangan, Prospek Politik Dan Ekonomi Indoneisa. Jakarta, Buku Kompas, 2014.
Thompson, Brian, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, London, Blacksrone Press Ltd., 1997.
Wahyono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta, Ghalisa Indonesia, 1983.
Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945; Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Bandung, FOKUSMEDIA, 2007.
Al-Qur’an
QS. Al-Maidah (5) : 42
QS. As-Sajdah (32) :24
QS.An-Nisa (4):59
QS. An-Nisa (4): 135
Internet
www.idi.m.wikipedia.org diakses pada 12 Februari 2016
www.dpr.go.id diakses pada 29 Juli 2016
www.merdeka.com diakses pada 29 Juli 2016
www.detik.com diakses pada 30 Juli 2016
www.saldiisra.web.id diakses pada 3 agustus 2016
www.tempo.co.id diakses pada 3 Agustus 2016
Jurnal
Habibi, Nur, “Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” Jurnal Cita Hukum, Juni 2014.
Skripsi
77
Andriyani, Sri. “Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD DAN DPRD.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitasa Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Berita Dalam Koran
Papa Minta Saham Topik Terpanas 2015, Republika. 23 Desember. 2015
Perundang-undangan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR RI Tahun 2009.
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 16/DPR RI/I/2004-2005 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.