optek ns
-
Upload
dian-hadi-purnamasari -
Category
Documents
-
view
77 -
download
3
Transcript of optek ns
BURR HOLES DIAGNOSTIK, KRANIOTOMI DAN EPIDURAL HEMATOMA
Introduksi
a. Definisi
Burr holes diagnostik adalah suatu tindakan pembuatan lubang pada tulang kepala yang bertujuan
untuk mengetahui ada tidaknya perdarahan ekstra aksial, sebelum tindakan definitif craniotomy
dilakukan.
Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan
duramater.
b. Ruang lingkup
Hematoma epidural terletak di luar duramater tetapi di dalam rongga tengkorak dan cirinya
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di daerah temporal atau
temporoparietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang
tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga
kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang EDH terjadi akibat robeknya sinus
venosus terutama pada regio parieto-oksipital dan fora posterior. Walaupun secara relatif
perdarahan epidural jarana terjadi (0,5% dari seluruh penderita trauma kepala dan 9 % dari
penderita yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan
diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,
prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada
jaringan otak tidak berlangsung lama.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks
cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh
herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Burr holes
merupakan salah satu alat diagnostik untuk mengetahui ada tidaknya perdarahan ekstra aksial
tersebut, yang bila hasilnya positif dapat dilakukan dekompresi awal sebelum tindakan craniotomy
definitif dilakukan. Dengan makin berkembang dan meluasnya penggunaan CT Scan kepala,
tindakan burr holes diagnostik menjadi jarang dilakukan. Namun untuk di RS daerah dimana
fasilitas CT Scan tidak ada, dapat merupakan tindakan life-saving yang dilakukan oleh dokter
bedah.
c. Indikasi Operasi
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
Adanya tanda herniasi/lateralisasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak
bisa dilakukan.
d. Kontra indikasi operasi
Umum keadaan pasien yang jelek
e. Diagnosis Banding
Perdarahan intra kranial lainnya selain epidural Hematom
Teknik Operasi
Pasien diposisikan supine dengan kepala dimiringkan sehingga lokasi yang akan dibuka
terletak di atas, dan di bawah bahu diletakkan gulungan kain untuk membantu perputaran
kepala.
Kepala dicukur kemudian di lakukan tindakan desinfeksi dengan larutan antiseptik.
Burr hole pertama dilakukan di daerah temporal, 2 cm di atas arkus zygoma, 2 cm di depan
tragus. Incisi kulit dilakukan secara tajam hingga tulang setelah infiltrasi dengan pehacain.
Perdarahan dari arteri superfisial temporalis dirawat dengan kauter atau ligasi, kemudian
dipasang retractor otomatis.
Dilakukan burr hole menggunakan bor atau drill hingga menembus tulang temporal dan
tampak duramater.
Tulang diperlebar dengan menggunakan kerrison atau ronger, bila hasil positif EDH maka
tulang burr hole dilebarkan dan dilakukan dekompresi secukupnya. Penderita kemudian
disiapkan untuk operasi craniotomy definitif di kamar operasi, atau dirujuk ke RS dengan
fasilitas bedah saraf.
Bila hasilnya negatif, burr hole ke dua dilakukan dilakukan di daerah frontal yaitu 2 cm di
depan sutura coronaria pada mid pupillary line, ke tiga di daerah parieto-oksipital yaitu 4-6
cm diatas pinna dan ke empat di daerah fossa posterior.
Bila hasilnya tetap negatif, burr holes dilakukan pada sisi kontralateral sesuai dengan cara
diatas.
Pemilihan lokasi inisial burr hole:
a. Ipsilateral dengan pupil yang midriasis, atau pupil yang pertama kali midriasis, atau kontralateral
dengan hemiparesis.
b. Bila tidak ada tanda lateralisasi, dilakukan pada daerah dibawah fraktur tulang atau pada jejas
SCALP yang bermakna.
c. Bila penderita koma tanpa tanda yang jelas, dilakukan pertama pada sisi kiri sebagai hemisfer
dominan.
f. Komplikasi operasi
Perdarahan
Infeksi
g. Mortalitas
Tidak ada, kecuali karena sebab yang lain
h. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari
ke 5-7. Pemberian antibiotika dan anti konvulsan masih diperdebatkan.
i. Follow-up
Klinis penderita pasca dilakukan burr holes.
LUKA KRANIOSEREBRAL
Introduksi
a. Definisi
Luka kranioserebral adalah laserasi terbuka adalah luka terbuka yang mengenai kulit, jaringan
dibawah kulit, fraktur tulang tengkorak, robekan duramater dan laserasi serebri sehingga
mengakibatkan terjadinya hubungan langsung antara otak dengan dunia luar.
b. Indikasi Operasi
Adanya luka terbuka SCALP dan patah tulang terbuka disertai laserasi atau prolaps serebri.
c. Kontra indikasi operasi
Umum keadaan pasien yang jelek
Teknik Operasi
Persiapan operasi sesuai prosedur umum
Debridemen luka kulit sampai tulang
Sayatan kulit memperluas luka yang ada harus membentuk huruf S
Penangan terhadap fraktur tulang kepala terbuka
Merapatkan sayatan yang berbentuk S dengan jahitan primer
Jaringan otak diluar dan yang terjepit oleh jahitan dibuang.
d. Komplikasi operasi
Komplikasi berupa infeksi luka operasi dan meningitis mortalitas tergantung berat ringannya cedera
otak.
e. Mortalitas
Mortalitas tergantung berat ringannya cedera otak.
f. Perawatan Pascabedah dan Follow Up
Apabila penderita stabil dan didapatkan peningkatan tingkat kesadaran berdasarkan
Glasgow Coma Scale (GCS), perawatan dilanjutkan.
Penderita dirujuk ke Spesialis Bedah Saraf terdekat dalam waktu 24 jam.
REPOSISI FRAKTUR DEPRES
Introduksi
a. Definisi
Fraktur depres adalah fraktur tulang kranium dimana tabula eksterna melesak ke arah duramater
hingga melebihi tabula interna.
b. Ruang lingkup
Insiden dari fraktur tulang kepala bervariasi mulai dari 3% pada kasus cedera kepala ringan hingga
65% pada cedera kepala berat, bisa disertai dengan ada atau tidaknya robekan duramater.
Sedangkan insidensi dari fraktur depres adalah 11% dari seluruh kasus trauma. Fraktur depres
terjadi bila ada tekanan kuat pada kepala yang mengenai area yang sempit sehingga biasanya
disertai trauma lokal pada korteks.
Bila fraktur depres disertai dengan adanya luka pada kulit kepala maka disebut fraktur depres
terbuka, yang memerlukan tindakan operasi mutlak. Hal yang harus diperhatikan adalah bahaya
perdarahan yang berasal dari luka pada kulit kepala. Hal ini jarang diperhatikan sehingga banyak
pasien ditemukan dalam keadaan anemia atau syok. Penanganan sementara sangat diperlukan
terutaana saat transport ke rumah sakit dengan cara membalut tekan luka dengan kassa atau jika
diperlukan dengan elastik verband.
c. Indikasi Operasi
Fraktur depres terbuka
Adanya kebocoran LCS
Mengenai sinus paranasalis
Defisit neurologis otak dibawahnya
Kosmetik
d. Kontra indikasi operasi
Umumnya tidak ada, kecuali adanya kelainan lain yang berat
e. Diagnosis Banding
Tidak ada
f. Pemeriksaan penunjang
Foto polos kepala AP/Lat (Skull X-Ray)
CT Scan Kepala (Bone Window)
Teknik Operasi
Setelah pasien dilakukan tindakan nakose umum, pasien diposisikan sedemikian mungkin
hingga fraktur depres berada dalam posisi se-horisontal mungkin.
Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik, kemudian dipersempit dengan
linen steril.
Insisi kulit mengikuti luka lama dengan bentuk huruf S supaya daerah operasi dapat
diekspose. Jika fraktur terdapat di daerah frontal, dianjurkan untuk meninggalkan luka lama
dan membuat flap kulit baru full coroner untuk alasan kosmetik.
Setelah insisi kulit, pasang retraktor otomatis untuk menghindari perdarahan yang banyak
dan agar daerah operasi ekspose. Biasanya banyak terdapat kotoran rambut dan bekuan
darah.
Perikranium disekitarnya disisihkan dengan disektor periostel yang tajam, bekuan darah dan
kotoran rambut dibersihkan dengan suction. Tindakan ini membuat daerah operasi ekspose.
Dilakukan burrhole pada sisi luar fragmen tulang yang masih stabil atau sehat.
Duramater dipisahkan dari tulang dengan menggunakan disektor periosteal, kemudian
dilakukan pemotongan tulang dengan bone ronger yang kecil sepanjang sisi fraktur depres.
Pemotongan tulang terus dilakukan hingga duramater ekspose dan fragmen fraktur depres
bebas. Pematahan dari fragmen fraktur depres sangat tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah kortikal, yang dalam hal ini sulit dikontrol
karena sumber perdarahan tidak ter-ekspose.
Bila fragmen tulang sudah bebas dan terekspos lalu dilakukan pengangkatan fragmen
tersebut secara perlahan.
Duramater dibersihkan dari bekuan darah dan kotoran lain, dan bila ada pembuluh darah
yang pecah bisa dilakukan koagulasi.
Bila ada robekan duramater, maka tepi dari duramater tersebut harus diidentifikasi.
Bebaskan duramater dari korteks dan retraksi secara halus.
Mungkin duramater perlu diperlebar untuk mengekspose korteks yang terkena, korteks yang
sudah hancur serta bekuan darah dibersihkan dengan suction. Perdarahan yang berasal dari
pembuluh darah kortikal dapat diatasi dengan koagulasi.
Korteks ditutupi surgicell dan dilakukan penjahitan water tight dengan silk 3.0. Bila terdapat
defek duramater yang luas mungkin diperlukan graft untuk menutupnya.
Setelah dibersihkan dengan peroksida dan antibiotika topikal, fragmen tulang dapat
dipasang kembali, lalu lapisan periosteum ditutup untuk memfiksasinya.
Luka operasi dijahit lapis demi lapis.
g. Komplikasi operasi
Perdarahan
Infeksi
Robeknya duramater
Kejang dan kelainan neurologis lainnya
h. Perawatan pasca bedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari
ke 5-7. Pemberian antibiotika dan anti konvulsan masih diperdebatkan. Bila luka yang terjiadi
sudah sangat terkontaminasi atau kejadiannya sudah lebih dari 24 jam, tindakan pemasangan
fragmen tulang atau cranioplasty dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
i. Follow-up
Pasien dengan open depresi fraktur setelah dilakukan tindakan pembedahan idealnya harus
dimonitor dengan CT scan ulangan dalam waktu 2-3 bulan untuk mengevaluasi adanya
pembentukan abses. Follow up juga dilakukan untuk mencari adanya komplikasi yang berhubungan
dengan fraktur depresi misalnya kejang dan infeksi.
REPARASI CEDERA SARAF PERIFER
Introduksi
a. Definisi
Reparasi cedera saraf perifer adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki
cedera saraf perifer.
b. Ruang lingkup
Cedera saraf perifer baik terbuka maupun tertutup sering dihadapi seorang ahli bedah. Prinsip-
prinsip umum dalam menangani cedera saraf perifer didasarkan oleh pemahaman yang baik tentang
dasar-daasr biologis sistem saraf dan responnya terhadap trauma.
Klasifikasi tradisional cedera saraf perifer adalah klasifiaksi Seddon. Seddon mendeskripsikan
adanya tiga macam cedera yaitu: neuropraksia, axonotmesis dan neuotmesis.
Neuropraxia
Adalah tidak berfungsinya sistem saraf yang bersifat sementara tanpa terjadinya disrupsi fisik axon.
Biasanya fungsi saraf akan kembali normal setelah 2-4 minggu.
Axonotmesis
Adalah terjadinya disrupsi axon dan myelin. Jaringan ikat lunak sekitarnya termasuk endo- neurium
intak. Terjadi degenerasi axon distal dan proksimal lokasi terjadinya trauma. Degenerasi distal
dikenal sebagai degenerasi Wallerian. Axon akan memngalami regenerasi dengan kecepatan
1mm/hari. Secara bermakna fungsi akan kembali normal setelah 18 bulan.
Neurotmesis
Adalah terjadinya disrupsi axon dan endoneurial. Komponen kolagen perifer seperti epineurium
dapat intak atau terjadi disrupsi. Degenerasi axonal terjadi pada distal dan proksimal segmen.
c. Indikasi Operasi
Lesi saraf komplit yang disebabkan laserasi atau luka tembus
Lesi saraf lain yang cukup bermakna tanpa perbaikan klinis maupun elektrofisiologis setelah
3-6 bulan observasi klinis
d. Diagnosis Banding
Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculo- neuropathy
Cervical Spondylosis: Diagnosis and Management
Diabetic Neuropathy
Femoral Mononeuropathy
Guillain-Barre Syndrome in Childhood
HIV-1 Associated Acute/Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
HIV-1 Associated Distal Painful Sensorimotor Polyneuropathy
HIV-1 Associated Multiple Mononeuropathies
HIV-1 Associated Neuromuscular Complications
Leptomeningeal Carcinomatosis
Metastatic Disease to the Spine and Related Structures
Peroneal Mononeuropathy
Polyarteritis Nodosa
Radial Mononeuropathy
Spinal Cord Hemorrhage
Spinal Cord Infarction
Syringomyelia
Vasculitic Neuropathy
e. Pemeriksaan Penunjang
EMG (Elektromyografi)
Teknik Operasi
Teknik operasi yang dapat diterapkan pada reparasi saraf perifer mencakup internal dan
eksternal neurolisis.
Neurolisis eksternal dikerjakan dengan membebaskan saraf dari jaringan sekitarnya secara
sirkumferensial.
Neurolisis internal diindikasikan untuk lesi saraf parsial yang memerlukan reparasi terpisah
antara fasikulus saraf yang berfungsi dengan fasikulus saraf yang tidak berfungsi.
Prosedur ini sangat berpotensi untuk melukai axon yang mengalami regenerasi dan harus
dikerjakan dengan tuntunan elektrofisiologis. Secara umum neurolisis internal mencakup
diseksi segmen yang non fungional.
Kemudian fasikulus yang sudah didiseksi dilakukan reparasi end to end dengan atau tanpa
graft saraf.
Reparasi end to end lebih disukai apabila gap yang terjadi kecil dan kedua ujung dapat
didekatkan tanpa tegangan/tension yang bermakna. Tension akan menghambat proses
penyembuhan. Jika jarak cukup jauh maka dapat dilakukan graft interposisi.
Umumnya donor saraf diambil dari saraf sensoris superfisial autologus misalnya nervus
suralis.
Jahitan monofilamen (7.0-10.0) pada epineurium digunakan untuk mendekatkan fasikulus.
Ujung saraf harus direseksi sampai ke fasikulus yang sehat untuk mendapatkan orientasi
yang baik dan mengoptimalkan perbaikan fungsi. Meskipun begitu kontinyuitas fasikulus
secara anatomi tidak menjamin terjadinya regenerasi axon.
Dua penyebab kegagalan adalah preparasi yang tidak baik stump sarat dan adanya tension.
Kedua hal itu akan menyebab terjadinya scar interneural yang akan mengganggu regenerasi
sarabut saraf.
f. Komplikasi operasi
Kegagalan anastomosis
g. Perawatan Pascabedah
Setelah terjadinya cedera saraf perifer, sangatlah penting bahwa pasien harus menjalani fisioterapi
untuk mempertahankan ROM dan mencegah imobilisasi untuk mengoptimalkan penyembuhan
fungsi motorik bersamaan dengan terjadinya reinervasi otot.
h. Follow-up
Pemantauan EMG sangat membantu untuk mendeteksi tanda-tanda dini reinervasi otot beberapa
bulan sebelum kontraksi secara klinis didapatkan.
TREPANASI / KRANIOTOMI PADA EDH DAN SDH
Introduksi
a. Definisi
Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak
untuk tindakan pembedahan definitif.
Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan
duramater.
Subdural hematoma (SDH) adalah suatu perdarahan yang terdapat pada rongga diantara lapisan
duramater dengan araknoidea
b. Ruang lingkup
Hematoma epidural terletak di luar duramater tetapi di dalam rongga tengkorak dan cirinya
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di daerah temporal atau
temporoparietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang
tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga
kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang EDH terjadi akibat robeknya sinus
venosus terutama pada regio parieto-oksipital dan fora posterior. Walaupun secara relatif
perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita trauma kepala dan 9 % dari
penderita yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan
diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,
prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada
jaringan otak tidak berlangsung lama.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks
cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh
herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
c. Indikasi Operasi
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
Adanya tanda herniasi/lateralisasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak
bisa dilakukan.
d. Diagnosis Banding
Hematom intracranial lainnya
e. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan kepala
Teknik Operasi
Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang lebih 15o (pasang
donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal
bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri
dan sebaliknya.
Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan lemak yang ada
di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek
steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi
Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar dengan melihat CT
scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk kosmetik, sinus – untuk menghindari
perdarahan, sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII
(kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita)
Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000 yang mengandung
lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di
bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya
nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek.
Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada
daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.
Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT scan.
Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian dengan mata
bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula interna.
Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorhole dengan
kapas basah/ wetjes.
Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan sonde.
Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan penuntun
gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan
gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang dipegang
dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator kemudian miringkan
posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling dan
suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax.
Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi dura,
perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi bawah tulang
yang merembes tambahkan hitch stitch pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan
spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan profus dari bawah tulang (berasal dari arteri)
tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari
sinus.
Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpul dengan
jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan dengan spoeling berulang-
ulang.
Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah salanjutnya adalah
membuka duramater.
Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berlawanan dengan
sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian bagian yang terangkat
disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar
cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui
lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas
ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus. Koagulasi yang
dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk pembuluh darah kulit atau
subkutan.
Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan pembuluh-
pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di ruang
subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak ada darah
lagi.
Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak yang direseksi
harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari perlengketan. Untuk membakar
permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter
monopolar, untuk memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu
kauterisasi.
Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya tulang dengan evaluasi
klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak dikembalikan lapangan operasi dapat
ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut:
- Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar kulit.
- Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
- Pasang drain subgaleal.
- Jahit galea dengan vicryl 2.0.
- Jahit kulit dengan silk 3.0.
- Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
- Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang yang tidak
diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang akan dikembalikan untuk menghindari
dead space. Buat lubang pada tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang
akan di fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura).
Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis demi lapis seperti
diatas.
f. Komplikasi operasi
Perdarahan
Infeksi
g. Mortalitas
Tergantung beratnya cedera otak
h. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari
ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8
minggu kemudian.
i. Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai
apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
KRANIEKTOMI DEKOMPRESI UNTUK EDEMA SEREBRI
Introduksi
a. Definisi
Edema serebri adalah pembekakan jaringan otak yang berkaitan dengan trauma.
b. Indikasi Operasi
Edema serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran.
c. Kontra indikasi operasi
Umum keadaan pasien yang jelek
d. Diagnosis Banding
Semua cedera kepala yang mengakibatkan penurunan kesadaran
Teknik Operasi
Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang lebih 15o (pasang
donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi. Ganjal bahu satu sisi
saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan
sebaliknya.
Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan lemak yang ada
di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek
steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.
Markering
Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan,
sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih
1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita).
Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000 yang mengandung
lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60o.
Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di
bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya
nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek.
Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada
daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.
Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian dengan mata
bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula interna.
Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering. Perdarahan dari tulang dapat
dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan sonde.
Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan penuntun
gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan
gergaji dan asisten memfixir kepala penderita. Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas
menjauhi otak dengan cara tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah
dilindungi dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan
tulang.
Setelah terdekompresi fragmen tulang dapat di simpan di subgaleal atau di dinding abdomen
kemudian lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut:
- Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar kulit.
- Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
- Pasang drain subgaleal. Jahit galea dengan vicryl 2.0.
- Jahit kulit dengan silk 3.0.
- Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
e. Komplikasi operasi
Komplikasi berupa infeksi luka operasi dikepala maupun di dinding abdomen tempat menyimpang
tulang.
f. Mortalitas
Mortalitas tergantung berat ringannya cedera otak.
g. Perawatan Pascabedah dan Follow Up
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Perawatan luka
dilakukan pada luka operasi dikepala dan pada dinding abdomen. Jahitan dibuka pada hari
ke 5-7.
Tindakan pemasangan fragmen tulang atau cranioplasty dianjurkan dilakukan setelah 6-8
minggu kemudian
MENUTUP KEBOCORAN LIKUOR SPINA BIFIDA
Introduksi
a. Definisi
Bocoran likuor adalah keluarnya cairan otak (LCS) dari kerusakan jaringan penutup pada kelainan
spina bifida
b. Indikasi Operasi
Kebocoran likuor spina bifida.
c. Kontra indikasi operasi
Umum: keadaan pasien yang jelek
Teknik Operasi
Persiapan operasi secara umum
Sayatan kulit disesuaikan ruptur, pada umumnya sesuai luka ruptur berbentuk S atau Z
(perencanaan menutup kulit )
Identifikasi struktur kulit, fascia, jaringan saraf, arachnoid dan duramater, masing-masing
lapisan dipisahkan.
Struktur saraf dimasukkan kedalam kantong duramater, duramater ditutup rapat kedap air.
Lapisan diatasnya ditutup berurutan mulai dari fascia, otot, subkutis dan kutis
d. Komplikasi operasi
Komplikasi operasi berupa infeksi, insidensi cukup tinggi
e. Mortalitas
Pada umumnya kecil
f. Perawatan Pascabedah dan Follow Up
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Perawatan luka ditujukan
pada luka operasi.