opac.lib.idu.ac.idopac.lib.idu.ac.id/unhan-ebook/assets/uploads/files/61488-2.7... · Lokasi...
Transcript of opac.lib.idu.ac.idopac.lib.idu.ac.id/unhan-ebook/assets/uploads/files/61488-2.7... · Lokasi...
LAPORAN HASIL PENELITIAN
D-LPPM NOMOR 37
RESOLUSI KONFLIK REKLAMASI TELUK BENOA DI BALI
PENELITI:
DR. BAMBANG WAHYUDI MM, M.SI
I WAYAN NURIADA, M.SI (HAN)
NINGSIH SUSILAWATI, S.SOS, M.SI (HAN)
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS PERTAHANAN
BOGOR
OKTOBER 2018
HALAMAN PENGESAHAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS PERTAHANAN
1. Judul penelitian : Resolusi Konflik Reklamasi Teluk
Benoa di Bali.
2. Bidang Keilmuan : Pertahanan
3. Tim Peneliti : 1. Dr. Bambang Wahyudi MM, M.Si
2. I Wayan Nuriada, M.Si (Han)
3. Ningsih Susilawati, M.Si (Han)
4. Jumlah Anggota : 3 orang
5. Lokasi Kegiatan : Teluk Benoa Bali
Bogor, Oktober 2018
Kapuslit Kamnas LPPM,
Sarjono, S.E., M.Si (Han) Kolonel Inf Nrp. 31639
Menyetujui
Ketua LPPM,
Megy M Laihad, SH, MH Pembina Utama Muda IV/c
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, berkah, hidayah serta ridho-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian yang berjudul “Resolusi Konflik Reklamasi Teluk
Benoa di Bali
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis konflik
yang terjadi akibat adanya reklamasi teluk Benoa di Bali, guna menganalisis
strategi konflik yang tepat dalam rangka melakukan resolusi konflik dari
Reklamasi Teluk Benoa di Bali.
Penelitian ini dilaksanakan sejalan dengan salah satu dari fungsi dari
Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu mengimplementasikan fungsi penelitian
ilmiah. Kami berharap, semoga hasil penelitian ini bermanfaat baik secara
teoritis maupun praktis dalam rangka strategi resolusi konflik dalam rangka
melakukan resolusi konflik dari Reklamasi Teluk Benoa di Bali.
Kami menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna, karena
masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat konstruktif dari semua pihak.
Dengan telah terlaksananya tahapan – tahapan kegiatan penelitian ini,
pada kesempatan ini pula, kami Tim Peneliti menyampaikan terima kasih yang
sebesar – besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung pelaksanaan
penelitian ini, sebagai berikut :
ii
iii
5
1. Rektor Universitas Pertahanan;
2. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Bali
3. Kementerian Dalam Negeri RI
4. Kementerian KKP RI
5. Muspida dan Pejabat terkait.
6. Aparat Keamanan dan Militer yang membawahi lokus penelitian.
7. Tokoh Masyarakat/Adat/Pecalang
8. Lembaga Swadaya Masyarakat
9. Media Bali
10. Anggota masyarakat: wakil dari kelompok desa dan banjar adat,
nelayan, dan pengusaha water sport di Tanjung Benoa, Bali
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan
rachmat, taufik dan hidayahnya kepada kita semua.
Bogor, Oktober 2018
Tim Peneliti
DAFTAR ISI
COVER ...................................................................................................... I
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................II
DAFTAR ISI ............................................................................................. V
RINGKASAN ........................................................................................... VI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................1
1.1 Latar Belakang .................................................................. …1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 5
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian ...................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 5
1.5 Ruang Lingkup Penulisan .................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................8
2.1 Teori Resolusi Konflik ......................................................... 8
BAB 3 METODE PENELITIAN................................................................19
3.1 Desain Penelitian ............................................................... 19
3.2 Sumber Data/Subjek/Objek Penelitian ............................... 19
3.3 Teknik Pengumpulan Data................................................. 21
3.4 Teknik Analisis Data .......................................................... 22
3.5 Prosedur Penelitian............................................................ 23
BAB 4 PEMBAHASAN ...........................................................................26
4.1 Kronologis Polemik Teluk Benoa …………………………….30
4.2 Hal-hal yang Mendorong Terjadinya Eskalasi Konflik …… 61
4.3 Tahapan Konflik Menurut Glasl dalam Kasus Telok Benoa……64
4.4 Akar Konflik : Aliansi dan Konsep Tri Hita Karana ………. 73
4.5 Analisis Aktor …………………………………………………… 85
4.6 Analisis Stakeholder …………………………………………. 130
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ……………………………………………………… 157
5.2 Saran ……………………………………………………………159
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
Rencana pembangunan Teluk Benoa didasari kepada upaya untuk
mengimbangi semakin berkurangnya lahan produktif dan upaya mengatasi
sedimentasi akibat belum adanya tata cara kelola sampah dan limbah yang
belum terintegrasi dengan baik, yang berakibat pada rusaknya lingkungan dan
pengurangan efisiensi pariwisata yang bergantung pada keadaan lingkungan
(seperti misalnya water sport). Bentuk konkrit dari pembangunan Teluk Benoa
ialah melakukan reklamasi seluas 700ha atau 50% dari luas perariran Teluk
Benoa saat ini (1400ha). Hanya 400ha yang akan dikembangankan sebagai
pusat-pusat wisata baru, sisanya seluas 300ha beserta kawasan perairan Teluk
Benoa akan didedikasikan untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas sosial serta
fasilitas umum (fasos dan fasum).
Terkait soal pembangunan ini, muncul resistensi yang kuat terutama dari
kalangan mahasiswa, LSM, musisi, seniman, dan individu-individu yang
mengaku peduli lingkungan hidup dan mempunyai keyakinan bahwa
perencanaan reklamasi seluas 838 ha di Teluk Benoa adalah bagian dari
kebijakan penghancuran Bali. Organisasi-organisasi yang menentang rencana
reklamasi Teluk Benoa tergabung dalam ForBali.
Penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan teori resolusi konflik.
Adapaun metode yang digunakan adalah metode penelitian kualittaif dengan
pendekatan analisis deskriptif. Tekni pengumpulan data yang digunakan adalah
melalui indepth interview kepada narasumber terkait.
Kata Kunci: Teluk Benoa, Resolusi, Konflik, Bali.
vi
ABSTRACT
The development plan of Benoa Bay is based on efforts to compensate for the
decreasing productive land and efforts to overcome sedimentation due to the lack
of well-integrated waste and waste management procedures that result in
environmental damage and a reduction in tourism efficiency that depends on
environmental conditions (such as water sport). The concrete form of Benoa Bay
development is reclamation of 700ha or 50% of the current perariran area of
Benoa Bay (1400ha). Only 400ha will be developed as new tourist centers, the
remaining 300ha along with the waters of Benoa Bay will be dedicated to green
open spaces and social facilities and public facilities (social facilities and public
facilities).
Regarding this development issue, strong resistance emerged, especially
among students, NGOs, musicians, artists, and individuals who claimed to care
for the environment and had confidence that the planned reclamation of 838 ha in
Benoa Bay was part of Bali's destruction policy. Organizations opposed to the
Benoa Bay reclamation plan are incorporated in ForBali.
This study was analyzed using conflict resolution theory. The method used
is qualitative research method with descriptive analysis approach. Data collection
techniques used are through in-depth interviews with related sources.
Key Words: Conflict Resolution, Reclamation, Teluk Benoa.
vii
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang wilayahnya terdiri
atas satu pulau, yaitu Pulau Bali dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya.Provinsi
ini memiliki luas wilayah 5633 KM2.Bali sendiri merupakan salah satu daerah
pulau pariwisata di Indonesia yang terkenal di dunia internasional. Hal ini terlihat
dengan diperolehnya penghargaan World Best Awards 2014 sebagai kategori
The Best Island in Asia yang diberikan oleh Travel + Leisure (Dinas Pariwisata
Daerah Provinsi Bali) (Disparda Provinsi Bali : 26/3/2018). Penghargaan ini
menunjukkan adanya apresiasi dan pengakuan dari masyarakat internasional
terhadap pengelolaan industri pariwisata di Pulau Bali.Selain itu, Bali kini
menduduki peringkat ke-4 (empat) sebagai The Best Island in the World, setelah
Pulau Galapagos (Ekuador), Pulau Kauai (Hawaii), dan Pulau Cyclades
(Yunani).Sementara itu di kawasan Asia, Bali masih menduduki peringkat
pertama disusul oleh Pulau Maldives, Pulau Cebu (Filipina), Pulau Ko Samui dan
Pulau Phuket (Thailand).
Dengan keragaman objek wisata seperti wisata alam, budaya dan bahari
menjadikan Bali terkenal sebagai pulau pariwisata. Seperti di Kabupaten Badung
sendiri terdapat wisata watersport Tanjung Benoa, Pura Ulu-Watu, Pantai Sanur
dan Kuta dan masih banyak objek wisata lain. Sementara itu, untuk wisata alam
salah satunya terdapat di Kabupaten Bangli, yaitu kawasan wisata Bedugul yang
merupakan obyek wisata pegunungan dengan ketinggian 1.200-1.450 Meter dari
atas permukaan laut (Somantri, 2014:2-4, Universitas Pendidikan Indonesia).
Selain itu, nilai-nilai budaya tradisional Bali yang masih kental juga
menjadi salah satu faktor keunikan Bali sebagai daerah pariwisata.Sistem dan
tatanan kehidupan inti seperti desa adatdengan banjarnya yang direkat oleh
konsep Tiga Pura, Khayangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem) dan Pura Keluarga
(Sanggah/Merajan) serta organisasi pertanian bernama subak hingga kini tetap
kuat keberadaannya. Lembaga tradisional sosial religius seperti desa adat,
banjar dan subak ini dianggap sebagai pilar-pilar penyangga kelestarian
kebudayaan Bali. Beberapa festival dan pertunjukan budaya juga menjadi faktor
lain menariknya Bali sebagai salah satu destinasi pariwisata di kancah
Internasional.
Namun, apabila pembangunan kepariwisataan di Bali terjadi secara masif
dan tidak direncanakan dengan seksama akan memiliki potensi terjadinya
penggerusan nilai kebudayaan Bali atau bisa juga berakibat kepada rusaknya
lingkungan yang bisa berujung pada berkurangnya daya tarik Bali sebagai
daerah wisata. Salah satu pembangunan yang tidak mengindahkan prinsip
budaya dan lingkungan misalnya pembangunan Pulau Serangan di Kota
Denpasar sebelum era reformasi. Rencananya awalnya di sana akan dilakukan
reklamasi untuk meningkatkan potensi pariwisata. Akan tetapi sayang beribu
sayang karena satu dan lain hal proyek itu terhenti di tengah jalan.
Proyek ini kemudian menimbulkan masalah secara sosial-budaya,
ekonomi, dan lingkungan. daerah Serangan beberapa kali menjadi tempat bagi
para penjahat untuk membuang barang bukti kejahatan. Masyarakat mengalami
kesulitan ekonomi akibat perubahan bentang alam. Masyarakat yang dulunya
bisa melaut di daerah dekat tempat tinggal kini harus melaut lebih jauh ke tengah
laut untuk mendapatkan ikan. Masyarakat yang mengandalkan pencaharian
pada tanaman rumput laut kini menghadapi kenyataan luas lahan yang dapat
ditanami rumput laut semakin berkurang ( Bali Pos : 26/3/2018). Dari sisi
lingkungan ditemukan masalah berupa kerusakan terumbu karang, kepunahan
ikan langka Bali dan rusaknya areal hutan bakau. Meski begitu, tidak dapat
dipungkiri bahwa juga terdapat segi positif dari pembangunan Pulau Serangan
yaitu terbukanya akses jalan menuju ke pulau sehingga warga dapat memarkir
kendaraannya dalam rumah.
Senada dengan proyek yang terjadi di Serangan, terdapat sebuah proyek
yang juga memiliki niat untuk melakukan reklamasi di Teluk Benoa, daerah yang
secara geografis masuk dalam Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Daerah
teluk Benoa mencakup masing-masing enam kelurahan di Kota Denpasar (Sanur
Kauh, Sidakarya, Sesetan, Pedungan, Pemogan, dan Serangan) dan enam
kelurahan di Kabupaten Badung (Tanjung Benoa, Benoa, Jimbaran, Kedongan,
Tuban, dan Kuta). Teluk Benoa merupakan perairan pasang surut yang terletak
di belahan selatan Pulau Bali. Ia berbentuk intertidal yang dilingkari oleh hutan
mengrove dan dilindungi dari gelombang air laut yang besar oleh Semenanjung
Jimbaran di sebelah barat, Tanjung Benoa dan Pulau Serangan di sebelah
timurnya (Conservation International : 26/3/2018).
Rencana pembangunan Teluk Benoa didasari kepada upaya untuk
mengimbangi semakin berkurangnya lahan produktif dan upaya mengatasi
sedimentasi akibat belum adanya tata cara kelola sampah dan limbah yang
belum terintegrasi dengan baik, yang berakibat pada rusaknya lingkungan dan
pengurangan efisiensi pariwisata yang bergantung pada keadaan lingkungan
(seperti misalnya water sport). Bentuk konkrit dari pembangunan Teluk Benoa
ialah melakukan reklamasi seluas 700ha atau 50% dari luas perariran Teluk
Benoa saat ini (1400ha). Hanya 400ha yang akan dikembangankan sebagai
pusat-pusat wisata baru, sisanya seluas 300ha beserta kawasan perairan Teluk
Benoa akan didedikasikan untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas sosial serta
fasilitas umum (fasos dan fasum). Pengembang mengklaim reklamasi akan
disesuaikan dengan nilai budaya Bali (Tri Hita Kirana), bahkan ada upaya
revitaliasi Pulau Pudut sebagai daerah yang bernilai spiritual. Selain itu,
pembangunan juga direncanakan menggunakan konsep green development
yang diklaim tidak akan memiliki dampak negatif terhadap lingkungan (TWBI :
26/3/2018).
Terkait soal pembangunan ini, muncul resistensi yang kuat terutama dari
kalangan mahasiswa, LSM, musisi, seniman, dan individu-individu yang
mengaku peduli lingkungan hidup dan mempunyai keyakinan bahwa
perencanaan reklamasi seluas 838 ha di Teluk Benoa adalah bagian dari
kebijakan penghancuran Bali. Organisasi-organisasi yang menentang rencana
reklamasi Teluk Benoa tergabung dalam ForBali. ForBali inilah yang secara
vokal merencanakan dan mengorganisir penolakan pembangunan Teluk Benoa.
Alasan penolakan yang mereka ajukan antara lain karena dasar hukum
kebijakan yang sangat lemah, dapat dilihat dari tumpang tindihya peraturan yang
satu dengan peraturan lainnya, alasan lainnya yaitu berupa ancaman kerusakan
lingkungan yang begitu nyata dari upaya reklamasi ditunjukkan oeh hasil studi
Universitas Udayana pada 2 September 2013. Namun tidak hanya ada
penolakan soal ini, dukungan dari masyarakat pun mengalir untuk tetap
melakukan pembangunan Teluk Benoa. Dukungan ini misalnya datang dari
ForBali’s (Forum Bali Shanty) yang menyatakan bahwa pembangunan ini dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga bahwa tidak ada masalah
soal dampak lingkungan yang mungkin akan timbul karena telah ada kajian dari
empat universitas terkemuka di Indonesia (Forbali : 25/3/2018).
Perdebatan pro dan kontra tentang pembangunan teluk Benoa dalam tiga
tahun terakhir telah mengkotak-kotakkan masyarakat Bali ke dalam masyarakat
pendukung dan masyarakat yang menolak. Pengkotak-kotakkan ini memiliki
potensi terjadi konflik dalam masyarakat sehingga esensi dinamika konflik dan
bagaimana resolusi konflik Teluk Benoa Bali menjadi kajian mendalam melalui
penelitian. Bentrokkan skala kecil bisa saja terjadi seperti dalam aksi di depan
kantor gubernur Bali pada 18 Juni 2014 di mana pihak pro dan kontra hampir
saja bentrok (Ibid : 25/3/2018).
Upaya untuk mengatasi potensi konflik ini dapat dilakukan dengan kembali
menyelami dan menggali nilai budaya Bali. Konsep yang dapat ditelaah
misalnya adalah Ajeg Bali dan filosofi Tri Hita Karana sebagai kearifan lokal
masyarakat Bali yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat
Bali. Ajeg Bali dapat dimaknai sebagai upaya pelestarian nilai-nilai budaya Bali di
tengah semakin besarnya intrusi nilai budaya dari luar. Adapun tri hita karana
secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya menjaga hubungan baik antara
manusia-sang pencipta (parahyangan), manusia-lingkungan (palemahan), dan
manusia-manusia (pawongan).
1.2. Rumusan Masalah
Perdebatan pro dan kontra tentang pembangunan teluk Benoa dalam tiga tahun
terakhir telah mengkotak-kotakkan masyarakat Bali ke dalam masyarakat
pendukung dan masyarakat yang menolak. Pengkotak-kotakkan ini memiliki
potensi terjadi konflik dalam masyarakat sehingga esensi dinamika konflik dan
bagaimana resolusi konflik Teluk Benoa Bali menjadi kajian mendalam melalui
penelitian. Berikut beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai
berikut :
1. Bagaimana Konflik Reklamasi Teluk Benoa di Bali?
2. Bagaimana Resolusi Konflik Reklamasi Teluk Benoa di Bali?
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Terkait dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menganalisis Konflik Reklamasi Teluk Benoa di Bali.
2. Menganalisis Resolusi Konflik Reklamasi Teluk Benoa di Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah diskursus mengenai upaya
pencegahan dan resolusi konflik dalam bidang studi damai dan resolusi
konflik.
2. Hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan referensi untuk
diaplikasikan di wilayah lain, khususnya mengenai upaya resolusi konflik.
1.4.2. Manfaat Praktis
Diharapkan setelah selesai melaksanakan kegiatan, hasil penelitian dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk kebijakan pemerintah, lembaga
non pemerintahan, dan seluruh stakeholders terkait (Kementerian KKP RI,
Kementerian Dalam Negeri RI, Kementerian Pertahanan RI, Pemerintah Bali,
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM serta
masyarakat lokal) dalam mencegah, meresolusi konflik dan mendukung
terciptanya kondisi damai di Bali.
1.5 Ruang Lingkup dan Sistematika Penulisan
Ruang lingkup penelitian diperlukan untuk membatasi penelitian agar lebih
fokus dan terarah. Ruang lingkup penelitian ini adalah Resolusi Konflik
Reklamasi Teluk Benoa di Bali tahun 2011 s.d September 2018. Lokasi
penelitian mencakup wilayah Reklamasi Teluk Benoa Bali. Lalu, adapun
sistematika penulisan penelitian ini terbagi ke dalam lima bab, yaitu:
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, ruang lingkup dan sistematika penelitian. Keeenam subbab
tersebut membahas hal-hal mendasar dari pelaksanaan penelitian ini.
Bab 2 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran
Bab ini berisi, pertama mengkaji setiap teori dan konsep yang digunakan dalam
penelitian ini. Terdapat teori dan . konsep yang digunakan dalam penelitian ini
untuk memudahkan pelaksanaan penelitian.
Bab 3 Metode Penelitian
Bab ini terdiri atas desain penelitian yang menjelaskan gambaran singkat
penelitian; sumber data/subjek/objek penelitian yang menjelaskan jenis data
primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini; prosedur penelitian
yang menjelaskan instrumen yang digunakan beserta teknik pengumpulan,
analisis, dan pengujian keabsahan data. Setiap subbab saling berkaitan satu
sama lain. Sehingga bab ini menjadi acuan utama dalam melakukan tindakan
yang bersifat teknis operasional dalam penelitian ini.
Bab 4 Analisis Data dan Pembahasan
Bab ini terdiri atas gambaran hasil penelitian dan pembahasan yang dituangkan
dalam bentuk pertanyaan penelitian. Gambaran hasil penelitian menunjukkan
data temuan yang sudah mengalami proses reduksi data, sehingga hasilnya
akurat dan relevan untuk menganalisis fenomena. Sementara itu, pembahasan
masalah merupakan proses dan hasil yang dilakukan dalam penelitian.
Bab 5 Simpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang berisi jawaban-jawaban dari pertanyaan
penelitian. Subbab kedua berisi saran yang bersifat teknis operasional. Saran ini
dibentuk berdasarkan data temuan dan kajian analitis, sehingga bersifat ilmiah
dan aplikatif. Hal ini sesuai dengan manfaat teoretis dan praktis yang ingin
dicapai melalui penelitian ini.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Teori Resolusi Konflik
Galtung (1957:187 mengemukakan bahwa teori resolusi konflik terdiri dari
tiga proses. Ketiga proses tersebut adalah peacekeeping, peacemaking, dan
peacebuilding. Pertama, peacekeeping merupakan proses penghentian atau
pengurangan aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran
sebagai penjaga perdamaian yang netral. Kedua, peacemaking adalah proses
yang bertujuan untuk mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan
strategi dari pihak-pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, dan arbitrasi.
Hal ini digunakan pada level elite dan pemimpin. Ketiga, peacebuilding adalah
proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi
demi terciptanya perdamaian abadi. Melalui proses peacebuilding, dijelaskan
adanya negative peace yang berupa dampak konflik yang terjadi sebelumnya.
Negative peace ini diharapkan berubah menjadi positive peace yang mewujud
dalam keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan perwakilan politik efektif yang
dapata dirasakan oleh masyarakat.
Pada hakikatnya, konflik berasal dari bahasa latin, yaitu confligere yang
artinya saling serang. Kondisi saling serang ini kemudian diartikan sebagai
kondisi akibat adanya aspek-aspek yang saling bertentangan. Fisher (2001, p. 4)
mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak yang saling tidak
sejalan, sedangkan Malik (2007, p. 3) menguraikan bahwa dua pihak dapat tidak
sejalan karena satu sama lain merasa terancam dalam pemenuhan
kebutuhannya. Sama dengan Fisher, Wolff (2006) mengatakan konflik sebagai
perselisihan dan pertentangan yang melibatkan dua pihak atau lebih. Konflik
dideskripsikan sebagai sebuah keadaan perselisihan yang diawali dari
pergerakan pihak yang terlibat dalam situasi tersebut. Wahab (2014, p. 15)
menambahkan bahwa konflik dapat berupa pertentangan fisik maupun nonfisik.
Melalui uraian tersebut, konflik disimpulkan sebagai keadaan atau situasi yang
terjadi ketika ada pihak yang terlibat dalam perselisihan, pertentangan, ataupun
pertengkaran karena satu sama lain merasa terancam dalam mencapai
keinginannya. Konflik tidak berdiri sendiri. Ada faktor lain yang saling mengikat.
Dalam kehidupan bermasyarakat misalnya, ada tiga hal yang perlu diperhatikan
dalam memahami konflik sosial, yaitu struktural, akselerator, dan trigger.
Dengan mempelajari situasi struktural suatu konflik, akar suatu konflik
dapat dilihat secara lebih dalam dan luas. Masalah struktural dalam konflik
biasanya berupa ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik yang terus terjadi
dalam jangka waktu lama. Sementara itu, trigger merupakan pemicu suatu
konflik. Konflik sosial lazimnya terjadi karena dipicu oleh beberapa hal yang
mengarah kriminalitas, yakni perkelahian, pertikaian, maupun pembunuhan.
Yang terakhir, akselerator merupakan suatu hal yang menyebabkan konflik
menjadi lebih besar. Akselerator biasanya timbul dari kebijakan aparat
pemerintah yang condong ke pihak tertentu, misalnya polisi membiarkan pelaku
kriminal atau penyaluran bantuan yang dilakukan pemerintah hanya menyasar
satu pihak (Malik, 2007). Berangkat dari hal tersebut, menarik disimak adalah
bagaimana akar suatu konflik di masyarakat selalu berkaitan dengan tugas dan
wewenang kepolisian, yaitu masalah kriminalitas.
Glasl (dalam Jordan, 2000) membagi tahapan konflik menjadi 9 bagian:
a. Hardening
Tahap awal suatu konflik muncul karena perbedaan memahami suatu isu
atau masalah. Hal ini memunculkan sudut pandang yang berbeda pada
pihak yang berkepentingan terhadap suatu masalah. Upaya mengatasi
perbedaan hadir dalam bentuk situasi yang genting.
b. Debates and Polemics
Pihak yang berkepentingan mulai tidak menerima pendapat satu pihak.
Diskusi berubah menjadi pertentangan verbal. Hal ini kemudian memicu
salah satu pihak hilang kepercayaan atas suatu masalah. Ketidakpercayaan
ini pula yang menumbuhkan rasa tidak aman dan kehilangan kendali.
c. Actions, not Words
Pihak-pihak yang terlibat tidak lagi percaya bahwa diskusi dapat
menyelesaikan masalah. Hal ini karena keadaan eksternal tidak dapat
dikendalikan. Munculnya serangan secara tersembunyi kepada reputasi
sosial lawan.
d. Images and Coalitions
Konflik bukan lagi suatu masalah bagi pihak yang terlibat, melainkan suatu
hal yang harus dimenangkan. Membela reputasi adalah perhatian utama.
Perbedaan sudut pandang pada tahap pertama dan kedua terkonsolidasikan
pada tahap ini dengan munculnya stereotip terhadap masing-masing pihak.
Informasi baru sulit meruntuhkan stereotip yang telah menyatu pada masing-
masing pihak. Konsolidasi yang berasal dari stereotip ini menciptakan
suasana baru yang dapat meningkat ke tahap eskalasi selanjutnya, terutama
ketika satu pihak merasa kehormatannya dirusak di mata publik.
e. Loss of Face
Kehormatan merupakan hal yang krusial. Suatu pihak merasa memiliki
kehormatan ketika mendapat perlakuan yang adil dan dihargai. Hal yang
berkembang dalam masyarakat bukan lagi superioritas, melainkan siapa
yang baik dan siapa yang buruk. Salah satu pihak melakukan upaya balas
dendam atas perlakuan pihak lain. Penyerangan telah dilakukan dalam ruang
publik.
f. Strategies of Threats
Konflik menjadi kompleks serta sulit ditangani dan dipahami. Masing-masing
pihak telah menerapkan strategi ancaman kepada pihak lain. Ancaman
bersifat tegas dan lugas yang artinya masing-masing pihak yang berkonflik
tidak akan mundur dalam masalah yang sedang dihadapi. Ancaman bersifat
ultimatum kepada pihak lain.
g. Limited Destructive Blows
Pihak lawan menjadi musuh yang harus dikalahkan. Tidak ada lagi martabat
manusia untuk menghalangi. Pihak lawan adalah objek yang menjadi
sasaran. Tahap ini adalah tahap mengekspresikan ancaman yang telah
dilayangkan pada tahap sebelumnya.
h. Fragmentation of Enemy
Tahap ini adalah tahap kehancuraan, baik fisik, mental, spritirual, sosial, dan
ekonomi di masyarakat. Pihak yang berkonflik menghancurkan basis
keberadaan pihak lawan sehingga menimbulkan disintegritas dan
kelumpuhan dalam masyarakat.
i. Together into The Abyss
Tahap ini adalah tahap konfrontasi total terhadap pihak lawan. Kehancuran
dan kerusakan tidak lagi dihiraukan walau dapat merusak tatanan pihak
sendiri. Hukuman penjara, kebangkrutan, kehancuran sarana prasarana, dan
munculnya korban jiwa tidak menjadi masalah. Yang terpenting pihak lawan
ikut hancur bersama. Dengan demikian, tahap ini merupakan tahap puncak
dari teori Glasl karena eksistensi kemanusiaan sudah tidak dihiraukan lagi.
Konflik yang tak terkelola dengan baik berpotensi tereskalasi menjadi
pertikaian, bahkan peperangan. Seperti pada teori ekalasi konflik Glasl, tahapan
together to the abyss adalah gambaran nyata mengenai dampak negatif konflik
yang tak terkelola. Konflik dapat terjadi sebagai akibat dari disfungsi pranata
sosial. Disfungsi ini mengakibatkan hilangnya norma baku sehingga setiap
individu berhak menciptakan norma-norma subjektif yang dianggapnya benar.
Kondisi ini kemudian melahirkan bentrokan norma dan nilai yang kemudian
menimbulkan konflik. Pandangan Glasl mengenai konflik dipengaruhi oleh
kondisi psikologis individu dan masyarakat yang digerakkan oleh kepentingan.
Menurut Ganson & Wennman (2013) pencegahan konflik adalah,
“A focus on a strength and resilience of social and political networks
and institutions that identify and mobilise responses to known tensions
and stress factors”.
Stress factors dalam hal ini adalah akar penyebab konflik yang telah lama
ada dan menekan di sistem sosial sehingga mengurangi tingkat stabilitas dan
meningkatkan vulnerabilitas. Maka secara singkat pencegahan konflik adalah
ketahanan sistem untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan konflik dari akar
atau sumber penyebab yang telah lama ada di masyarakat.
Lebih lanjut, Burton (1990) mengenalkan teori provensi konflik, yang
membedakan antara conflict prevention dan conflict provention
“The term prevention has the connotation of containment. The term
provention has been introduced to signify taking steps to remove
sources of conflict, and more positively to promote conditions in which
collaborative and valued relationships control behaviours.”
Istilah prevention memiliki konotasi pembatasan dan hanya bertujuan untuk
menghentikan kemungkinan terjadinya konflik dan tidak sampai pada
pencegahan dari sumber konflik yang telah lama ada. Oleh sebab itu istilah
provention diperkenalkan untuk memperlihatkan langkah-langkah nyata untuk
menyingkirkan sumber-sumber konflik dan secara lebih positif mempromosikan
kondisi kohesi masyarakat yang baik dan bernilai sehingga dapat mengendalikan
perilaku yang menimbulkan konflik. Pada tingkat global, pencegahan konflik
yang paling penting dikenal dengan sebutan Responsibility to Protect atau R2P
yaitu:
“explicitly obliges states to protect their populations from genocide,
war crimes, ethnic cleansing, and crime against humanity, and
moreover, calls on the international community to take collective action
if states fail to do so” (Stanes, et al. 2011).
Namun pencegahan konflik pada tingkat mikro bergantung pada usaha dari
masyarakat lokal itu sendiri. Maka diperlukan sistem yang resilience untuk
mencegah konflik terjadi, dimana perencanaan dan early warning system dapat
segera dilakukan oleh pemerintah lokal.
Definisi mengenai CEWERS berdasarkan Forum on Early Warning and
Early Response - FEWER (sebagaimana dikutip dalam Institut Titian
Perdamaian, 2005:7) yaitu:
“The systemic collection and analysis of information coming from areas of
crises for the purpose of (a) anticipating the escalation of violent conflict; (b)
the development of strategic response to these crises; and (c) the
presentation of options to critical actors for the purpose of decision making.”
Bisa diartikan sebagai kumpulan sistem dan analisis informasi yang berasal
dari daerah krisis untuk tujuan mengantisipasi eskalasi konflik dengan
kekerasan; pengembangan respon strategi terhadap krisis yang ada; dan
memberikan pandangan opsional terhadap aktor penting untuk tujuan
pengambilan keputusan.
Definisi lain juga diungkapan oleh West Africa Network for Peacebuilding –
WANEP (dalam Institut Titian Perdamaian, 2005:8) :
“the collection and analysis of information about potential and or actual
conflict situations, and the provision of policy options to influential actors at
the national, regional and international level that may promote peace”
Yaitu kumpulan dan analisis informasi tentang situasi konflik baik yang
masih merupakan potensi konflik, maupun konflik pada situasi yang aktual, serta
ketetapan pilihan kebijakan untuk aktor yang berpengaruh pada tingkat nasional,
regional, maupun internasional yang dapat mempromosikan perdamaian.
Pada dasarnya, CEWERS dibuat bertujuan untuk mengidentifikasi dan
menilai indikator-indikator konflik yang paling menonjol, menilai kemungkinan
kecenderungan dan skenario konflik (Institut Titian Perdamaian 2005:9). Hasil
laporan CEWERS dapat bervariasi, tergantung pada sumber data, pelaku, dan
metodologi yang digunakan untuk melakukan analisis tren.
Gambar 2.1.2 Proses Kegiatan CEWERS Berbasis Jaringan Sumber: Institut Titian Perdamaian (2005:19)
Menurut Christie (2001), terdapat empat prinsip dalam resolusi konflik,
salah satunya yaitu resolusi konflik merupakan upaya kerja sama. Institut Titian
Perdamaian (2005:18) juga mengungkapkan bahwa jaringan merupakan sumber
informasi sekaligus area pertukaran gagasan dan tindakan bersama dalam
rangka pencegahan konflik. Dalam hal ini adanya sistem antar institusi, serta
adanya koordinasi yang tergabung dalam suatau jaringan sangat menentukan
hasil keluaran dari CEWERS. Salah satu komponen vital adalah adanya kerja
sama dengan pemangku kebijakan, dalam suatu jaringan posisi pemangku
kebijakan juga dianggap penting.
Jaringan haruslah terdiri dari sekelompok orang terpilih yang bertindak
secara kolektif, dan dengan menggunakan jaringan yang ada, secara bersama-
sama dapat mencegah konflik kekerasan di suatu daerah (Institut Titian
Perdamaian 2005:63).
Kerangka Dinamis Pencegahan dan Resolusi Konflik (Malik : 2014)
Konflik dapat berkembang dan bertransformasi, baik ke arah yang lebih
positif ataupun ke arah yang lebih negatif. Hal ini dikarenakan konflik merupakan
situasi dan kondisi yang sangat kompleks serta dinamis. Keadaan tersebut selain
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menjadi latar belakang dari konflik, juga
dipengaruhi oleh peran dari aktor-aktor yang terlibat di dalam konflik. Oleh
karena itu, dibutuhkan analisis dan pemahaman yang juga dinamis, holistik, serta
mendalam untuk melakukan deteksi dini agar dapat mencegah konflik
berkembang semakin parah dengan cara yang tepat.
Salah satu upaya deteksi dini pencegahan konflik dapat dilakukan dengan
memperhatikan perilaku masyarakat seperti cara pandang, kebiasaan, bahasa,
dan budaya. Akan tetapi, cara-cara yang tepat dalam mencegah konflik dan
rekonsiliasi konflik tersebut hanya dapat ditemukan setelah menganalisis
kerangka dinamis konflik secara mendalam. Kerangka dinamis merupakan hasil
analisis situasi dan kondisi yang bersifat dinamis yang dipengaruhi oleh lima
komponen utama, yaitu tingkat eskalasi dan de-eskalasi, faktor konflik, aktor
konflik, stakeholder, dan kemauan politik penguasa.
(1) Komponen tingkat eskalasi dan de-eskalasi konflik. Peningkatan
eskalasi konflik ditandai dengan meluasnya ketegangan dan mobilisasi massa,
serta pihak-pihak yang berkepentingan saling berkontradiksi dalam
menyelesaikan konflik. Keadaan tersebut akan memberikan pengaruh pada
peningkatan konflik hingga dapat terjadi krisis dan kekerasan. Adapun de-
eskalasi konflik merupakan kondisi untuk mereduksi ketegangan dalam konflik,
yang dapat memberikan pengaruh pada peningkatan damai yang ditandai
dengan konflik yang mulai melunak, diiringi dengan adanya musyawarah, serta
ketegangan yang lebih terkendali. Berdasarkan pelatihan de-eskalasi yang
dilakukan oleh Portland University, untuk memulai de-eskalasi dapat dimulai
dengan simple listening (mendengarkan kegundahan tiap-tiap pihak), active
listening (melibatkan emosi dalam mendengarkan sehingga timbul pula
pemahaman), acknowledgement (ikut memahami dan merasakan), apologizing
(dapat merespon balik dengan sikap empati), agreeing (mengungkapkan
kebenaran di balik kegelisahan yang dirasakan dan pihak lain ikut menyetujui
kebenaran tersebut, bukan menyetujui sikap di balik kegelisahannya), dan
inviting criticism (mengkritisi situasi konflik yang terjadi bersama-sama).
(2) Komponen faktor konflik, yang mana di dalamnya terdiri dari tiga
elemen, yaitu akar konflik, akselerator konflik, dan pemicu konflik. Akar konflik
merupakan penyebab struktural yang sebenarnya menjadi sumber konflik utama
dan paling mendasar. Bentuknya dapat berupa sikap diskriminasi, ketimpangan
ekonomi dan sosial, ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumber
daya, kebijakan yang memihak, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut
diumpamakan sebagai rumput kering yang terkena api sedikit amat mudah
terbakar. Sedangkan akselerator konflik merupakan faktor yang bersifat
katalisator karena dapat memperluas dan memperbesar konflik, seperti reaksi
yang muncul terhadap konflik yang sedang terjadi. Akselerator konflik dapat
diumpamakan sebagai angin yang meniupkan api sehingga kebakaran semakin
meluas. Adapun pemicu konflik merupakan faktor yang muncul secara tiba-tiba
dalam konflik, seperti kekerasan atau perkelahian, yang ibarat api dapat
membakar konflik hingga titik terpanas.
(3) Komponen aktor konflik, terdiri dari tiga kategori yang ketiganya
memberi kontribusi terhadap konflik, baik kontribusi positif ataupun negatif.
Ketiga aktor tersebut yaitu provokator, kelompok rentan, dan kelompok
fungsional. Provokator dapat menjadi aktor utama dalam konflik, yang
mengendalikan persepsi dan logika mengenai konflik yang terjadi melalui
penyebaran informasi yang distortif, sehingga kelompok rentan dapat
terpengaruhi. Saat kondisi ini terjadi, peran kelompok fungsional seperti
pemerintah dan polisi amat dibutuhkan untuk menyelesaikannya, salah satu
caranya dengan berkoordinasi dengan para stakeholder agar konflik dapat
dihentikan.
(4) Komponen stakeholder atau pemangku kepentingan, adalah elemen
yang diharapkan dapat menghentikan konflik yang terjadi dengan cara
berkontribusi serta saling berkomunikasi, berkoordinasi, dan berkolaborasi dalam
upaya penghentian konflik. Para pemangku kepentingan ini terdiri dari kelompok
polisi, militer, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, serta lembaga
swadaya masyarakat (LSM). Peran para stakeholder tersebut adalah
mewujudkan forum untuk menyamakan persepsi, menjalin komitmen, membuat
keputusan kolektif, dan menyinergikan aktifitas dalam upaya penyelesaian konflik
(Iqbal : 2007).
(5) Komponen kemauan politik penguasa, yang dapat dilihat dari inisiatif
para penguasa untuk menyelesaikan konflik serta adanya produk hukum terkait
konflik yang sedang ditangani. Beberapa kebijakan di Indonesia terkait
penanganan konflik yang sudah dibuat adalah UU Penanganan Konflik Sosial
No.7/2012 serta Instruksi Presiden No.1/2014 tentang penanganan gangguan
keamanan dalam negeri. Dalam UU Penanganan Konflik Sosial No.7/2012,
inisiatif dan keterlibatan pemerintah digambarkan dalam definisi penanganan
konflik sosial, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun
sesudah terjadi konflik, yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik,
dan pemulihan pascakonflik (ELSAM : 2015). Adapun dalam Instruksi Presiden
No.1/2014 terdapat langkah-langkah penanganan konflik sosial melalui
keterpaduan baik antar aparat pusat, antar aparat daerah, maupun antar aparat
pusat dan daerah. Keterpaduan tersebut dituntut agar penanganan konflik sosial
lebih efektif dan efisien.
Lima komponen tersebut secara keseluruhan akan saling berinteraksi,
berkontribusi, dan mempengaruhi dalam proses pencegahan konflik. Oleh
karena itu, penting untuk cermat dalam mendeteksi eskalasi konflik yang sedang
berlangsung agar kemudian diupayakan de-eskalasinya. Penting pula untuk
menganalisis dengan tajam setiap faktor konflik yang ada dan aktor konflik yang
terlibat, sehingga dapat diurai dengan jelas sumber utama konfliknya,
mengetahui tahap awal yang harus diselesaikan, masalah yang seharusnya
pertama kali ditangani, serta mampu membangun kekuatan dengan aktor
fungsional dalam menangani provokator dan mengontrol kelompok rentan. Selain
itu, yang juga penting adalah terbentuknya suatu regulasi yang menjadi strategi
pemimpin dalam memberikan inisiatif dan keputusan untuk menyelesaikan
konflik.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Berdasarkan klasifikasi jenis dan analisisnya, penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif. Strauss dan Corbin dalam Sujarweni (2014 : 6) menyatakan
bahwa penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik atau cara lain dari kuantifikasi. Secara umum,
penelitian ini dapat digunakan untuk meneliti mengenai kehidupan masyarakat,
sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.
Sementara itu, Moleong (2006 : 5) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai
suatu jenis penelitian yang menekankan pada penarikan kesimpulan
berdasarkan interpretasi terhadap suatu fenomena maupun fakta.
Dalam mengumpulkan dan mengungkapkan permasalahan dan tujuan yang
hendak dicapai maka penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif
analitis, Sugiyono (1994 : 73) mendefinisikan penelitian kualitatif deskriptif
sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positivisme yang
biasanya digunakan untuk meneliti pada kondisi objektif alamiah dengan peneliti
berperan sebagai instrumen kunci.
3.2 Sumber Data/Subjek/Objek Penelitian
3.2.1 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data penelitian, yaitu data primer
dan data sekunder. Bungin (2001 : 129) mendefinisikan sumber data primer
sebagai sumber pertama data dihasilkan oleh pengumpul data. Sementara itu,
sebaliknya dengan sumber data sekunder yang merupakan sumber data kedua
sesudah sumber data primer atau sumber data yang tidak langsung.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari informan yang
merupakan objek penelitian dengan melaksanakan depth interview bersama
informan yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan Pemerintah
Indonesia. Di sisi lain, penelitian ini juga dilaksanakan melalui desk review dari
laporan yang diperoleh dari Imigrasi pusat maupun daerah, buku, jurnal, artikel,
dan media massa.
3.2.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sesuatu hal yang memiliki kedudukan yang
penting di dalam penelitian yang harus ditata sebelum peneliti siap untuk
mengumpulkan data. Subjek penelitian ini dapat berupa benda, hal, ataupun
orang. Dengan demikian, secara umum subjek penelitian merupakan manusia
atau hal-hal yang menjadi urusan manusia itu sendiri (Arikunto, 2007 : 152). Oleh
karena itu, dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian ini adalah:
a. Kementerian Dalam Negeri RI
b. Kementerian KKP RI
c. Muspida dan Pejabat terkait.
d. Aparat Keamanan dan Militer yang membawahi lokus penelitian.
e. Tokoh Masyarakat/Adat/Pecalang
f. Lembaga Swadaya Masyarakat
g. Media Bali
h. Anggota masyarakat: kelompok perempuan, kelompok pemuda dan juga
wakil wakil dari kelompok-kelompok yang ada di masyarakat seperti desa
dan banjar adat, nelayan, dan pengusaha water sport di Tanjung Benoa,
Bali.
3.2.3 Objek Penelitian
Objek penelitian adalah sesuatu yang menjadi pemusatan dalam kegiatan
penelitian atau sasaran penelitian (Sugiyono, 2002). Oleh karena itu yang
menjadi objek dalam kegiatan penelitian ini adalah dinamika konflik dan resolusi
konflik Reklamasi Teluk Benoa, Bali. Dengan demikian, termasuk di dalamnya
akan diteliti mengenai pentingnya upaya dalam mewujudkan hal tersebut serta
koordinasi antar lembaga dalam upaya mendukung implementasi tersebut
mengingat beberapa instansi terlibat dalam upaya pencegahan konflik ini.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan teknik
observasi langsung, wawancara, dan studi literatur. Observasi merupakan unsur
penting dalam penelitian kualitatif. Observasi adalah proses kegiatan awal yang
dilakukan oleh peneliti untuk dapat mengetahui kondisi dan realitas yang
sebenarnya di lapangan penelitian. Sugiyono (2007 : 67) menyatakan bahwa
tujuan dari dilaksanakannya observasi dalam kegiatan penelitian adalah untuk
memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial agar mendapatkan
pandangan yang holistik atau menyeluruh. Dengan observasi maka akan
diketahui hal-hal yang tidak dapat diungkap oleh responden dalam wawancara
karena bersifat tertutup dan dapat merugikan lembaga misalnya. Dalam
penelitian ini akan dilakukan observasi dengan pengamatan pada data-data yang
didapatkan mengenai potensi konflik yang ditimbulkan oleh rencana reklamasi
Teluk Benoa, Bali.
Selanjutnya, penelitian ini juga akan menggunakan teknik pengumpulan
data melalui wawancara dengan informan terkait topik penelitian. Sujarweni
(2014 : 31) menyatakan bahwa wawancara merupakan proses untuk
mendapatkan penjelasan dengan tujuan mengumpulkan informasi dengan
menggunakan tanya jawab melalui tatap muka ataupun media telekomunikasi
antara pewawancara dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman. Pada hakikatnya, wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh
informasi mendalam mengenai tema penelitian dan proses pembuktian terhadap
informasi yang telah diperoleh melalui teknik pengumpulan data sebelumnya.
Wawancara tersebut akan menggunakan teknik purposive sampling yang
merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan atau kriteri-kriteria
tertentu. Dengan demikian, informan dalam penelitian ini telah ditentukan
berdasarkan kepada kriteria-kriteria tersendiri. Kriteria-kriteria tersebut ditentukan
dengan indikator yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Untuk membantu kegiatan penelitian dan memperkuat analisis hasil
penelitian maka kegiatan penelitian ini juga menggunakan studi literatur dalam
mencari referensi terkait dan relevan dengan fenomena dan permasalahan yang
akan diteliti. Data tersebut dapat dikumpulkan melalui bahan yang berbentuk
dokumentasi, seperti jurnal kegiatan, hasil kegiatan, arsip foto, surat, buku,
otobiografi, dokumen, dan informasi dari media massa baik cetak maupun online.
Data-data tersebut mempunyai sifat utama yang tidak terbatas pada ruang dan
waktu sehingga dapat digunakan untuk menggali informasi yang terjadi di masa
lampau (Sujarweni, 2014 : 33). Oleh karena itu, kegiatan penelitian ini akan
diperkuat dengan data-data yang bersumber dari studi dokumen agar didapatkan
data yang komprehensif terkait subjek dan objek penelitian.
3.4 Teknik Analisis Data
Mudjiarahrdjo dalam (Sujarweni, 2014 : 34) menyatakan bahwa analisis
data merupakan sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga
memperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau permasalahan yang hendak
dijawab. Melalui serangkaian aktivitas kegiatan tersebut, maka data-data yang
telah diperoleh dan dikumpulkan sebelumnya dapat disederhanakan sehingga
dapat dipahami dengan mudah. Setelah seluruh data yang dibutuhkan terkumpul
maka dilakukan analisis data. Miles dan Faisal dalam (Sujarweni, 2014 : 34),
analisis data dilakukan pada saat pengumpulan data di lapangan dan setelah
semua data terkumpul dengan teknik model interaktif, sebagai berikut:
1) Reduksi Data. Data yang diperoleh ditulis dalam bentuk laporan atau
data yang terperinci kemudian disusun berdasarkan data yang diperoleh
direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, dan difokuskan pada hal-hal
yang penting. Hal ini akan memberikan gambaran yang tajam mengenai hasil
pengamatan juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data tambahan
jika diperlukan.
2) Penyajian Data. Data yang diperoleh dikategorisasikan menurut pokok
permasalahan dan dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan untuk
melihat pola-pola hubungan satu data dengan data lainnya.
3) Penyimpulan dan verifikasi. Kegiatan ini merupakan langkah lebih lanjut
dari kegiatan reduksi dan penyajian data. Data yang sudah direduksi dan
disajikan secara sistematis akan disimpulkan sementara. Kesimpulan sementara
tersebut perlu diverifikasi. Teknik yang digunakan untuk memverifikasi adalah
triangulasi sumber data, metode, diskusi teman sejawat, dan pengecekan
anggota.
4) Kesimpulan Akhir. Kesimpulan akhir diperoleh berdasarkan kesimpulan
sementara yang telah diverifikasi. Kesimpulan tersebut diharapkan dapat
diperoleh setelah pengumpulan data selesai.
3.5 Prosedur Penelitian
3.5.1 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan data dengan tujuan agar dapat memudahkan
pekerjaannya serta memiliki hasil yang cermat, lengkap, dan sistematis sehingga
dapat dengan mudah diolah. Arikunto (2006) menyatakan bahwa bentuk dari
variasi instrumen penelitian ini dapat berupa daftar checklist, pedoman
wawancara, angket, dan pedoman pengamatan. Di dalam instrumen penelitian
ini sendiri terdapat variabel, sub variabel, beserta dengan indikatornya. Dalam
penelitian ini, instrument yang digunakan adalah pedoman wawancara karena
menyesuaikan dengan salah satu teknik pengumpulan data yang digunakan.
3.5.4 Pengujian Keabsahan dan Keterandalan Data
Pengujian keabsahan dan keterandalan data dalam penelitian kualitatif
sangat diperlukan untuk menguji ataupun memeriksa akurasi data yang telah
dikumpulkan dari proses penelitian berlangsung. Nasution (2003 : 105)
mengemukakan bahwa pengujian keabsahan dan keterandalan data diperlukan
untuk membuktikan kesesuaian hasil yang sudah diamati dengan fakta dan
peristiwa yang sebenarnya terjadi. Untuk menuju keabsahan dan keterandalan
data maka diperlukan strategi sebagai berikut:
1) Triangulasi. Menurut Creswell (2010 : 286), triangulasi merupakan teknik
mengumpulkan sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa
bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan
menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara
koheren.
2) Member Checking. Sugiyono (2007 : 129) menyatakan bahwa member
checking merupakan proses pengecekan data yang diperoleh dalam
penelitian. Proses ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian data yang
diperoleh dengan data yang diberikan oleh pemberi data. Proses ini dapat
dilakukan dengan membawa kembali laporan akhir atau deskripsi dalam
penelitian pada informan untuk melakukan konfirmasi keakuratan laporan
atau deksripsi tesebut.
3) Expert Opinion. Tahap ini merupakan tahan pemantapan hasil akhir
dengan cara mengkonsultasikan hasil temuan di lapangan kepada para
ahli di bidangnya termasuk pembimbing dalam penelitian.
Dengan demikian, untuk menguji keabsahan dan keterandalan data dalam
penelitian ini maka akan dilakukan triangulasi dengan mengumpulkan data terkait
tema penelitian. Kemudian, juga akan dilakukan member checking dengan
menyesuaikan data yang diperoleh terkait tema penelitian kepada orang-orang
atau instansi yang terlibat dalam upaya pencegahan konflik akibat upaya
reklamasi Teluk Benoa, Bali. Proses terakhir adalah berkonsultasi dengan orang
yang ahli di bidangnya tema penelitian untuk memantapkan hasil akhir penelitian.
BAB 4
PEMBAHASAN
4. 1 KRONOLOGIS POLEMIK TELUK BENOA
Sebuah konflik tidak terjadi secara tiba-tiba, namun merupakan rangkaian
peristiwa yang bersifat kronologis. Yaitu, masa lalu, masa kini dan masa depan
yang saling berhubungan. Artinya, berbagai peristiwa yang terjadi pada masa
lalu, masa kini, dan masa depan terangkai sebagai bagian yang tidak
terpisahkan satu sama lain. Oleh karena itu pemahaman terhadap implikasi
historis atas situasi yang sedang dialami saat ini dapat menjadi sumber informasi
yang sangat berharga dalam analisis pencegahan konflik.
Dengan kata lain, eskalasi atau de-eskalasi konflik yang terjadi pada saat ini
dan masa depan merupakan kelanjutan (kontinuitas) dan perkembangan dari
rangkaian peristiwa sebelumnya. Apabila kita dapat mengenali komponen dan
proses utama yang membangun konflik (conflict building) atau membangun
perdamaian (peace building) pada masa lalu dan masa kini, maka kita akan bisa
memperediksi risiko konflik yang akan terjadi pada masa mendatang dengan
menemukan pola-pola komponen dan proses yang menyebabkan eskalasi dan
de-eskalasi konflik (Institut Titian Perdamaian, 2005). dengan mendeteksi pola-
pola bagaimana komponen dan proses tertentu menghasilkan eskalasi dan de-
eskalasi, maka secara teoritis pola-pola serupa dapat diprediksikan. Dengan kata
lain, risiko konflik yang akan terjadi pada masa depan dapat dicegah.
Dalam pencegahan konflik sosial di Tanjung Benoa, Bali, kita dapat membuat
sebuah kronologis untuk memahami secara lebih utuh dan mendalam mengenai
berbagai rangkaian peristiwa beserta penjelasannya yang berkaitan dengan
munculnya polemik reklamasi/revitalisasi Teluk Benoa. Secara kronologis,
polemik ini dapat direntangkan sebagai berikut:
1. 27 Juli 2011 -- Tanjung Benoa ditetapkan sebagai kawasan konservasi
dalam Peraturan Presiden No 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan
(RTRKP Sarbagita) .
Pada perpres No 45 Tahun 2011, kawasan Teluk Benoa merupakan kawasan
konservasi perairan, hal ini diatur dalam pasal 55 ayat 5b, disebutkan bahwa
“kawasan konservasi perairan di perairan Kawasan Sanur di Kecamatan
Denpasar, Kota Denpasar, perairan Kawasan Serangan di Kecamatan Denpasar
Selatan, Kota Denpasar, perairan Kawasan Teluk Benoa sebagian di Kecamatan
Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, perairan Kawasan Nusa Dua di Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, dan perairan Kawasan Kuta di Kecamatan Kuta, Kabupaten
Badung”.
Perpres tersebut juga berkaitan dengan program pemerintah pusat MP3EI
yang mengatur tentang pembangunan jalan tol Bali (Nusa Dua – Ngurah Rai-
Benoa) sepanjang 10 Km. dalam peresmian jalan Tol yang diberi nama tol Bali
Mandara dengan makna Bali yang Agung, Maju, Damai, dan Sejahtera, Presiden
Susilo Bambang Yoedhoyono (SBY) mengatakan bahwa pemerintah telah
memberikan perhatian besar pada pembangunan infrastruktur. Pembangunan
infrastruktur akan memacu dan mempercepat pemulihan dan pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan mobilitas industri dan perdagangan, serta memperluas
kesempatan kerja. Pembangunan Jalan Tol Nusa Dua - Ngurah Rai – Benoa
merupakan bagian dari pembangunan infrastruktur di tahun 2013, SBY
mengatakan bahwa jalan tol ini juga dapat ditetapkan sebagai sarana pendukung
Konferensi Tingkat Tinggi Kerjasama Ekonomi Asia Pacific/Asia Pacific
Economic Coorporation (APEC) yang akan diselenggarakan pada awal bulan
Oktober 20131.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto
menyatakan bahwa konsep pembangunan jalan tol Bali ini akan mendorong daya
saing perekonomian Pulau Bali. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan
SARBAGITA (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan), yang bertujuan
memperkuat peran Bandara Ngurah Rai sebagai pintu gerbang Pulau Bali dan
pengembangan kegiatan ekonomi dan pariwisata., memperkuat peran
1 http://www.pu.go.id/main/view_pdf/8861
Pelabuhan Benoa sebagai pusat distribusi barang di Pulau Bali, pelayanan
angkutan penumpang dan fungsi pertahanan dan keamanan.
Namun, dalam wawancara kami dengan Ketua Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) Bali yang juga Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali),
I Wayan Suardana (Gendo), ia menyatakan bahwa perpres tersebut pada
dasarnya bermasalah. Berikut kutipannya:
“lahirnya perpres No. 45 Tahun 2011 sebenarnya bermasalah. Situasi politik di
Bali yang mewarnai terbentuknya perpres tersebut sebenarnya adalah sengketa
mengenai Perda No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali. Terjadi pro-kontra
dalam hal revisi perda tersebut, kemudian ada program MP3EI untuk
pembangunan jalan tol, tapi tidak bisa, karena dalam Perda No. 16 Tahun 2009
tidak mengakomodir jembatan tol itu, karena jalan yang ada di perda adalah jalan
dari Benoa ke Serangan. Bukan dari Benoa ke Nusa Dua. Lalu untuk membuat
jalan tol ini, pilihannya adalah merevisi Perda No. 16 Tahun 2009. Hanya saja
situasi waktu itu terjadi pro-kontra dalam hal revisi dan kelompok yang menolak
revisi itu sangat kuat dan secara sosiologis mewakili masyarakat umum, namun
ada desakan juga terkait dengan momen APEC, sehingga pilihannya kemudian
menggunakan hirarki hukum tata ruang, karena hukum tata ruang atau UU No.
26 Tahun 2007 itu memungkinkan Presiden atau pemerintah pusat mengatur
kawasan strategis tata ruang nasional dengan produk hukum yang bernama
perpres itu. Disini pun kami agak curiga jalan tol ada sayapnya, jalan tol juga ada
jalan yang agak naik, kemungkinan untuk jalur kapal, kemudian terconfirm, sayap
katanya untuk istirahat, padahal totalnya hanya 10 km, terus lagi untuk lihat
pemandangan, ko jalan tol untuk lihat pemandangan, disitulah terkonfirmasi
setelah lihat masterplannya jalan sayapnya ternyata untuk ke pulau-pulau
reklamasi tersebut 2''.
Namun, terlepas dari pemanfaatan kawasan Teluk Benoa untuk jalan tol,
namun Perpres No 45 Tahun 2011 tersebut tegas menyatakan bahwa kawasan
perairan Teluk Benoa merupakan kawasan konservasi perairan yang harus
dilindungi. Sehingga semangat dari perpres tersebut adalah terjadinya
keseimbangan dalam asas pemanfaatan kawasan Teluk Benoa untuk jalan tol,
2 Hasil wawancara dengan Koordinator ForBali, Gendo, pada tanggal 25-03-2015 di Kantor Walhi Bali
juga asas perlundungannya dengan menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan
konservasi perairan.
2. 12 September 2012 – MOU studi kelayakan revitalisasi Teluk Benoa
antara PT Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI) dengan Universitas
Udayana (UNUD) melalui Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat Universitas Udayana (LPPM UNUD) dalam konteks Tri
Dharma Perguruan Tinggi.
Tim studi kelayakan (Feasibility Study) LPPM Universitas Udayana diketuai
oleh Ida bagus Putu Adnyana, ST. MT. Hasil dari studi kelayakan dari tim LPPM
UNUD tersebut telah beberapa kali dipresentasikan, yaitu pada tanggal 12
November 2012 dan 14 Desember 2012 dihadapan BAPPEDA Bali. Namun hasil
dari feasibility study tersebut tidak pernah dipublikasikan oleh tim LPPM UNUD
dan Universitas Udayana.
3. 05 November 2012 – PT TWBI mengajukan surat No 009/TWBI/L/XI/2012
mengenai permohonan audiensi kepada Gubernur Bali terkait
permohonan ijin pemanfaatan dan pengembangan kawwasan Teluk
Benoa seluas ± 838 Ha.
4. 12 November 2012 dan 14 Desember 2012 – Atas dasar surat
permohonan PT TWBI tersebut, Gubernur Bali melalui kepala Bappeda
mengundang LPPM UNUD untuk mempresentasikan pra kajian kelayakan
(Feasibility Study) terhadap rencana pemanfaatan dan pengembangan
kawasan perairan Teluk Benoa.
5. 20 Desember 2012 – DPRD Propinsi Bali mengeluarkan surat No
660.1/142781/DPRD dalam rangka memberikan rekomendasi untuk tindak
lanjut studi kelayakan oleh LPPM UNUD.
6. 26 Desember 2012 – Atas dasar surat rekomendasi DPRD tersebut,
Gubernur Bali mengeluarkan SK No 2138/02-CL/HK/2012 tentang
Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan
Wilayah Perairan Teluk Benoa Propinsi Bali.
SK tersebut melahirkan kontroversi dan penolakan dari berbagai elemen
masyarakat diantaranya kalangan akademisi, LSM, praktisi lingkungan hidup,
tokoh adat dan agama serta elemen masyarakat lainnya. Menanggapi
kontroversi yang ada, Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam jumpa pers di
Kantor Gubernur Propinsi Bali menyatakan bahwa reklamasi bukan berari
menjual pulau, namun memiliki dampak positif salah satunya adalah menjaga
Teluk Benoa dari abrasi dan ancaman tsunami, serta membuka lapangan kerja
baru. SK tersebut juga sudah sesuai dengan prosedur, karena diperkuat dengan
adanya rekomendasi dari DPRD Bali.
Dalam surat rekomendasi yang dikeluarkan DPRD Bali disebutkan sebagai
berikut: Berdasarkan surat badan perencanaan pembangunan daerah provinsi
bali tanggal 10 Desember 2012 Nomor 005/4149/BAPPEDA perihal presentasi
Feasibility Study (FS) rencana pemanfaatan dan pengembangan kawasan
perairan teluk benoa oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional, serta pemaparan
dari tim LPPM Universitas Udayana Bali, maka dari itu kami DPRD Provinsi Bali
mendukung eksekutif untuk menindaklanjuti kajian dari tim LPPM Universitas
Udayana Bali dalam menanggulangi dan mengamankan Pulau Bali dari bahaya
Tsunami serta diharapkan dalam pembangunannya tidak terjadi pengerusakan
lingkungan dan pelaksanaannya harus sesuai dengan peraturan perundang –
undangan yang berlaku3.
Dalam SK Gubernur Bali tersebut, memang tidak disebutkan adanya frase
reklamasi yang menjadi pro-kontra pada elemen masyarakat Bali, namun
terdapat beberapa permasalahan mendasar yang menjadi titik berat atas
penolakan berbagai elemen masyarakat Bali atas Sk Gubernur Bali tersebut
diantaranya adalah; Pertama, Jika disandingkan dengan Peraturan Presiden No
122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dalam Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa “Reklamasi tidak dapat dilakukan
pada kawasan konservasi dan alur laut”. kemudian dalam Perpres No 45 Tahun
2011 dinyatakan bahwa kawasan perairan Teluk Benoa merupakan kawasan
3 http://suluhbali.co/sk-reklamasi-telah-mendapat-rekomendasi-dprd/
konservasi perairan. Kesimpulannya adalah Teluk Benoa tidak dapat direklamasi
sebagaimana yang tertuang dalam diktum keenam SK Gubernur Bali yang
berbunyi “Apabila lima Tahun setelah tanggal penetapan keputusan ini, belum
ada pelaksanaan pembangunan kawasan daratan penyangga, maka
keputusan ini akan ditinjau ulang”. Frase Pembangunan kawasan daratan
penyangga ini dilihat sebagai proses reklamasi oleh berbagai pihak yang kontra
terhadap SK Gubernur Bali ini4. Kedua, Frasenya berbunyi lima tahun, dalam
Perpres No 122 Tahun 2012 ada dua perijinan, yaitu ijin lokasi yang berlangsung
selama dua tahun dan ijin pelaksanaan yang berlangsung selama lima tahun, ini
juga yang menjadi perhatian dari elemen masyarakat yang menuntut dicabutnya
SK Gubernur bali tersebut. karena hanya ijin pelaksanaanlah yang berlaku
selama lima tahun dan seharusnya ijin lokasi terlebih dahulu sebelum adanya ijin
pelaksanaan. Ketiga, dalam SK Gubernur tersebut dalam diktum keempat
terdapat klausul melaksanakan analisa mengenai dampak lingkunngan hidup
(AMDAL), dalam kaitannya dengan Perpres No 122 tahun 2012 hanya di ijin
pelaksanaan terdapat klausul penyusunan dan pelaksanaan AMDAL, karena di
ijin lokasi hanya ada studi kelayakan. Keempat, judul SK ini adalah pemberian
Ijin dan Hak, dalam putusan MK mengenai uji materi Undang Undang Nomor
27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak boleh
ada frase hak dalam pengelolaan kawasan pesisir.
Hal ini juga disampaikan dalam wawancara kami dengan Koordinator
ForBali, Gendo. Berikut kutipannya:
“Awalnya ada 27 juni ada ronaldo datang, media mengungkap ada pra feasibility
study, baru dibahas dibappeda, belum pernah tanda tangan apapun, kemudian
tanggal 8 juli baru media bocorkan sk tersebut. ini kemudian bocor di media baru
gubernur ngaku, ternyata 26 desember 2012, artinya enam bulan sebelumnya
dia udah tandatangan, Kalau di cek kemudian, perijinan reklamasi kawasan
pesisir berdasarkan perpres No 122 tahun 2012 itu, ada dua jenis ijin, yang
pertama ijin lokasi, kedua ijin pelaksanaan, ijin lokasi diterbitkan berlaku dua
tahun, setelah pemegang ini dapat ijin lokasi, selama dua tahun sebagaimana
4 Hasil wawancara dengan Dirut Walhi Bali, Suriadi Darmoko, pada tanggal 25-03-2015 di Kantor Walhi
Bali
yang dinyatakan dalam pasal 3 ayat (2) Perpres 122 tahun 2012, maka
pemegang ijin harus melakukan penentuan lokasi, penyusunan rencana induk,
Studi kelayakan; dan penyusunan rencana detail. Studi kelayakan inilah yang
nanti berkembang menjadi amdal. Setelah dia menyusun hal tersebut, kemudian
mengajukan permohonan ijin pelaksanaan yang berlaku 5 tahun. nah SK Gub ini,
memang tidak ada kata reklamasi, namun dalam diktum keenam misalnya, yang
pertama berlaku 5 tahun, nah dalam konteks reklamasi kawasan pesisir hanya
ijin pelaksanaan yang berlaku 5 tahun, yang kedua frasenya adalah pelaksanaan
pembangunan kawasan daratan penyangga, nah kawasan daratan penyangga
kira-kira reklamasi atau tidak ? jelas reklamasi sebagaimana yang saya
sampaikan pada diskusi terbuka di Kantor Gubernur 3 Agustus 2014, juga terkait
dengan frase AMDAL yang hanya ada di ijin pelaksanaan, bagaimana ijin
pelaksanaan bisa keluar tanpa AMDAL? coba lihat diktum keempat ko ada kata
pelaksanaan AMDAL, kalau belum punya AMDAL bahasa hukumnya menyusun
AMDAL, bukan pelaksanaan AMDAL, makanya kami vonis SK ini adalah ijin
pelaksanaan, kemudian juga dalam SK ini ada kata pemberian ijin dan hak, kalau
di cek di putusan MK tentang undang-undang pesisir, tentang HP3 jelas
dipertimbangan hukumnya tidak boleh ada frase hak dalam ijin pemanfaaatan
perairan, karena bisa jadi privat dan tidak lagi untuk kepentingan umum, serius
mas, saya 25 menit ngomong disitu tidak ada yang menanggapi, justru malah
dilempar ke penanya yang lain 5”.
7. 26 Mei 2013 – Menjelang dan Pasca penetapan Gubernur & Wakil
Gubernur Bali terpilih (I Made Mangku Pastika-I Ketut Sudikerta) mulai
muncul aksi protes dan penolakan yang semakin meluas terhadap
rencana reklamasi Teluk Benoa yang dilakukan oleh ForBali yang
merupakan gabungan dari berbagai elemen masyarakat yaitu Walhi Bali,
BEM UNHI, Kekal Bali, Frontier, Gempar, Politisi, Akademisi, Tomas,
Toda, Kalangan Pariwisata, serta elemen masyarakat lainnya yang
menuntut pencabutan SK Gubernur Bali No 2138/02-CL/HK/2012 tentang
5 Hasil wawancara dengan Koordinator ForBali, Gendo, Kantor Walhi Bali
Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan
Wilayah Perairan Teluk Benoa Propinsi Bali.
Sikap penolakan terhadap rencana reklamasi di Tanjung Benoa juga
ditunjukkan oleh warga Tanjung Benoa Bali yang mengancam akan menggelar
unjuk rasa besar-besaran saat penyelenggaraan KTT APEC di Nusa Dua pada
oktober mendatang. Warga Tanjung Benoa merasa resah terhadap rencana
reklamasi seluas 838 hektar di Teluk Benoa. Selain berdampak pada lingkungan
seperti banjir rob, reklamasi akan mengancam mata pencaharian warga
setempat sebagai nelayan dan penyedia jasa olahraga air. Menurut I Kadek
Duarsa, Wakil Ketua Himpunan Mastarakat Tanjung Bersatu, saat unjuk rasa di
Benoa, Jumat (02/08/2013)6, Selain faktor lingkungan dan ekonomi, dari segi
hukum reklamasi ini melanggar Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang
reklamasi tidak dapat dilakukan di wilayah konservasi, sementara kawasan Teluk
Benoa adalah kawasan konservasi sesuai yang tertuang dalam Perpres
Sarbagita No 45 Tahun 2011 pasal 93.
Selanjutnya, Gelombang penolakan atas rencana reklamasi Teluk Tanjung
Benoa di Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung Bali terus bergulir. Kini
penolakan datang dari kalangan industri pariwisata. Berbagai organisasi
pariwisata yang berhimpun dalam Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI)
Bali menyatakan sikap penolakan terkait rencana pemanfaatan, pengembangan
dan pengelolaan di Perairan Teluk Benoa.
Alasan dari penolakan GIPI adalah rencana pemanfaatan dan pengelolaan
Teluk benoa bertentangan dengan falsafal sosial-budaya dan religi masyarakat
Bali, mereka juga menyesalkan terbitnya rekomendasi DPRD Bali No
880.1/4278/DPRD tertanggal 20 desember 2012 dan SK Gubernur tersebut
hanya didasarkan pada laporan pra studi kelayakan yang dibuat LPPM UNUD.
Berikut kutipan juru bicara GIPI Bali Ketut Ardana saat jumpa pers di Kantor
ASITA Bali, Denpasar, jumat (02/08/2013):
“Kami tidak anti-investasi baru bidang pariwisata, namun kami menolak dengan
alasan tidak sesuai falsafah sosio religi masyarakat di Pulau Dewata, GIPI Bali
6
http://regional.kompas.com/read/2013/08/02/1833036/Warga.Tanjung.Benoa.Ancam.Demo.Saat.KTT.APE
C
secara tegas menolak rencana reklamasi sebesar 838 hektar di Teluk Benoa
Bali. Pemerintah semestinya mengarahkan investasi itu ke berbagai daerah
lainnya di Bali yang memang masih sangat membutuhkan pengembangan dan
jangan hanya bertumpu di Bali Selatan, Konsep kebijakan pembangunan yang
mengacu kepada sistem ekologi ini, kata Astawa, merupakan refleksi dari
kearifan lokal Bali yang dikenal konsep Nyegara Gunung berdasarkan filosofi Tri
Hita Karana yang sudah terbukti secara ilmiah. Dampak perubahan bentang
alam akibat dari pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan wilayah
perairan Teluk Benoa dengan cara reklamasi akan memberikan kerugian sosial,
budaya, ekonomi, dan lingkungan bagi masyarakat Bali.
Wilayah perairan Teluk Benoa Provinsi Bali tersebut akan lebih bermanfaat bagi
masyarakat Bali bila kawasan tersebut ditetapkan dan dikelola sebagai kawasan
konservasi7”.
8. 03 Agustus 2013 -- Menyikapi adanya protes dan aksi penolakan yang
semakin meluas, Gubernur Bali mengundang seluruh komponen yang
menolak, serta muspida Bali dalam agenda presentasi oleh tim LPPM
UNUD pada dialog terbuka di kantor Gubernur.
9. 12 Agustus 2013 – Semakin bertambah dan meluasnya aksi penolakan,
DPRD Bali menerbitkan surat rekomendasi No 900/2569/DPRD kepada
Gubernur Bali untuk meninjau ulang dan/atau Pencabutan SK Gubernur
Bali nomor 2138/02-C/HK/2012.
Terbitnya Rekomendasi DPRD Provinsi Bali no: 900/2569/DPRD tertanggal
12 Agustus 2013 perihal: Peninjauan Ulang dan/atau Pencabutan SK Gubernur
Bali nomor : 2138/02-C/HK/2012 dapat dipandang oleh elemen masyarakat yang
menuntut dicabutnya SK Gub tersebut sebagai satu langkah politik yang cukup
baik dalam menyikapi terbitnya SK Gubernur Bali mengenai Ijin dan Hak
Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Perairan Teluk Benoa
Provinsi Bali. Secara singkat dapat diuraikan bahwa pertimbangan yang
melatarbelakangi terbitnya rekomendasi DPRD Provinsi Bali tersebut adalah (1)
aspirasi penolakan dari masyarakat sipil, (2) rekomendasi DPRD Provinsi Bali 7 http://news.okezone.com/read/2013/08/02/340/846697/giliran-industri-pariwisata-bali-tolak-reklamasi-
teluk-benoa
no. 660/14278/DPRD tertanggal 20 Desember 2012 yang tidak dimaksudkan
sebagai dasar penerbitan SK tersebut, namun rekomendasi tersebut hanya
sebatas dukungan melanjutkan feasibility study dari Tim LPPM Unud, (3) SK
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yakni: UU 27 Th
2007, Perpres no: 45 tahun 2011, Perpres no. 122 tahun 2012, Perda no. 16
tahun 2009.
Dalam kaitannya sebagai sebuah keputusan politik maka rekomendasi DPRD
Propinsi Bali tersebut merupakan tindakan yang patut diapresiasi. Namun ada
beberapa hal yang menurut elemen masyarakat yang menolak adanya reklamasi
masih perlu dipertegas tanpa mengurangi apresiasi atas rekomendasi meninjau
ulang dan/atau Pencabutan SK Gubernur Bali nomor 2138/02-C/HK/2012. Dalam
pernyataan sikapnya8, Forbali menanggapi beberapa hal yang kami kutip
sebagai berikut:
A. Rekomendasi tidak cermat dalam menilai SK Gubernur Bali.
Dalam menguraikan peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh SK
Gubernur Bali tersebut DPRD Provinsi Bali tidak cermat dan hanya mengurai
beberapa saja. DPRD Provinsi Bali tidak melakukan penilaian bahwa sejatinya
SK Gubernur Bali tersebut bertentangan pula dengan (1) UU No 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang sebagai payung hukum dari Perpres 45 tahun 2011
tentang tata ruang Sarbagita dan Perda RTRWP Bali No. 16 tahun 2009 (2) UU
No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
halmana UU tersebut adalah pedoman bagi seluuh kebijakan yang terkait
dengan lingkungan hidup. (3) Selain itu, DPRD juga luput menilai bahwa SK
Gubernur tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik, terutama pada asas keterbukaan. (4) Lebih penting lagi, bahwasanya SK
Gubernur Bali mengatur dan memberikan HAK pemanfaatan, pengembangan
dan pengelolaan kawasan perairan Teluk Benoa Provinsi Bali kepada PT. TWBI
dalam jangka waktu selama 50 tahun (akumulatif) atas perairan seluas 838
hektar adalah bertentangan dengan Konstitusi. Bahwa frase hak pemanfaatan,
pengembangan dan pengelolaan kawaaan perairan Teluk Benoa dalam SK
tersebut bermakna sama/setara dengan ketentuan HP3 (Hak Pengusahaan
8 http://www.forbali.org/wp-content/uploads/2013/09/pernyataan-sikap-I-atas-rekomendasi-DPRD-Bali.pdf
Perarian pesisir) yang dimuat dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ketentuan mengenai HP3 tersebut nyata-
nyata dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mengikat secara
hukum oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 3/PUU-VIII/2010. Secara
ringkas Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa frase setiap privatisasi
perairan pesisir adalah bertentangan dengan UUD RI 1945. Bahwa frase hak
pemanfaatan, pengembangan dan pengelolaan kawasan perairan Teluk Benoa
adalah bermakna privatisasi kawasan perairan Teluk Benoa seluas 838 hektar
kepada satu badan hukum yakni PT TWBI. Maka senyatanya SK Gubernur Bali
tersebut bertentangan dengan UUD RI 1945, dengan demikian Gubernur Bali
tidak hanya melanggar peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik, namun juga melanggar konstitusi.
B. Rekomendasi DPRD Provinsi Bali tidak memberikan tenggat waktu
bagi Gubernur Bali, hal ini dinilai dapay menyebabkan keadaan
menjadi mengambang dan tidak menentu.
C. Rekomendasi tidak disertai dengan pencabutan surat Rekomendasi
DPRD Provinsi Bali No. 660/14278/DPRD tertanggal 20 desember
2012.
Fakta hukum digunakannya Rekomendasi DPRD Provinsi Bali no.
660/14278/DPRD tertanggal 20 Desember 2012 sebagai dasar penerbitan SK
Gubernur dimaksud, tercantum dalam konsideran menimbang huruf d. Fakta ini
menjelaskan bahwa rekomendasi DPRD Bali tersebut mempunyai andil besar
atas terbitnya SK Gubernur yang dimaksud, yang telah pula dinyatakan
bertentangan dengan UU dan direkomendasikan dicabut. Alangkah lebih baik
apabila dengan dicabutnya rekomendasi tersebut maka dasar SK Gubernur
tersebut serta merta gugur karena telah kehilangan alas hukum.
D. Rekomendasi tidak disertai dengan tindakan tegas bagi penghentian
seluruh kegiatan yang berkait dengan reklamasi Teluk Benoa,
termasuk penghentian pelaksanaan kajian kelayakan (feasibility
study) yang dilakukan LPPM UNUD.
Kajian kelayakan (feasibility study) yang dilakukan LPPM UNUD sejatinya
adalah produk dari pengaturan reklamasi yang diatur dalam Perpres 122/2012,
yakni produk dari izin lokasi. Namun demikian, mengingat bahwa SK Gubernur
yang dimaksud sejatinya bermasalah secara prosedural karena telah mengatur
izin pelaksanaan bukan lagi izin prinsip, maka feasibility study itupun
bermasalah. Oleh karenanya kajian tersebut sepatutnya dihentikan. Walaupun
secara normatif kajian tersebut berhenti jika SK itu dicabut, namun karena
feasibility study tersebut justru menjadi faktor yang menimbulkan keresahan dan
kecurigaan masyarakat. Maka untuk menghindari ekses dan dampak sosial yang
lebih besar, seharusnya DPRD Provinsi Bali tegas pula menyerukan agar kajian
itu dihentikan-walaupun SK Gubernur belum dicabut.
Hal lain, sikap tidak tegas itu ditunjukkan pula dengan ide dari DPRD Provinsi
Bali bahwa DPRD Provinsi Bali hendak melakukan kajian atau penelitian
reklamasi di Teluk Benoa dengan skema pendanaan dari APBD perubahan
Provinsi Bali mendatang. Ide ini amat disayangkan, karena ide penelitian
tersebut senyatanya adalah bagian dari rencana kegiatan reklamasi yang
diusulkan oleh PT. TWBI. Dengan alasan netralitas, DPRD Provinsi Bali hendak
melakukan penelitian reklamasi di kawasan Teluk Benoa. Tentu saja ide ini
dilihat sebagai bentuk inkonsistensi, karena DPRD Provinsi Bali sangat
mengetahui bahwa berdasarkan perpres 45/2011 kawasan Teluk Benoa adalah
kawasan konservasi yang terlarang untuk direklamasi. Jika demikian, untuk apa
DPRD Provinsi Bali melaksanakan penelitian kegiatan reklamasi di kawasan
Teluk Benoa yang tidak boleh direklamasi?
E. Jika DPRD Provinsi Bali serius menegakkan hukum tata ruang, maka
DPRD Bali seyogyanya tidak mendorong dilakukannya upaya-upaya
pelaksanaan reklamasi di kawasan Teluk Benoa termasuk kegiatan-
kegiatan yang bersifat penelitian atau kajian kelayakan kegiatan
reklamasi. DPRD Bali sebaliknya harus mendorong adanya
kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan arahan zonasi kawasan
konservasi baik memperkuat dan memperkokoh status kawasan,
melaksanakan fungsi legislasi dengan membuat peraturan daerah
yang memperkuat posisi dan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan
konservasi, memastikan ranperda zonasi mengatur kawasan Teluk
Benoa sebagai kawasan konservasi, dan sampai pada tahap
mendorong kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis sesuai prinsip-
prinsip konservasi.
Pada intinya, pernyataan sikap dari elemen masyarakat yang terdiri dari
mahasiswa, LSM, seniman dan individu-individu lintas sektoral yang tergabung
dalam Forbali menhyatakan sikap mendukung penuh sikap politik DPRD Bali
yang meminta untuk meninjau ulang atau pencabutan SK Gubernur Bali No
2138/02-C/HK/2012 tentang ijin dan hak pemanfaatan, pengembangan dan
pengelolaan kawasan perairan Teluk Benoa Provinsi Bali, meminta agar DPRD
Propinsi Bali agar memberikan tenggat waktu 7x24 Jam kepada Gubernur Bali
untuk menanggapi rekomendasi DPRD Bali No 900/2569/DPRD tertanggal 12
Agustus 2013, Meminta DPRD Provinsi Bali c.q. Ketua DPRD Provinsi agar
mencabut pula rekomendasi DPRD Provinsi Bali no. 660/14278/DPRD tertanggal
20 desember 2012 karena rekomendasi tersebut senyatanya telah pula
melanggar status kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi yang
terlarang direklamasi (vide. Pasal 55 Perpres no. 45 Tahun 2011 jo. Pasal 2 ayat
(3) perpres no. 122 tahun 2012) sebagai perwujudan keseriusan sikap DPRD
Provinsi Bali untuk pencabutan SK Gubernur yang dimaksud, Menuntut DPRD
Provinsi Bali untuk menyerukan penghentian kajian/studi kelayakan (feasibility
study) oleh LPPM Unud, karena studi tersebut jelas dan nyata adalah bagian dari
kegiatan yang mendorong upaya-upaya reklamasi di kawasan konservasi
sehingga hal tersebut mencederai pengaturan tata ruang, Menolak tegas
ide/keinginan politik DPRD Provinsi Bali untuk melakukan kegiatan kajian/studi
kegiatan reklamasi dalam berbagai bentuknya terhadap kawasan perlindungan
dan konservasi termasuk Teluk Benoa dengan skema pendanaan dari anggaran
APBD perubahan Provinsi Bali, karena ide tersebut sejatinya adalah
pengkhianatan terhadap status kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan
konservasi dan hal itu adalah bentuk pemborosan anggaran rakyat, dan Meminta
secara serius agar DRPD Provinsi Bali mewujudkan kebijakan-kebijakan yang
selaras dengan status kawasan, termasuk mewujudkan kebijakan-kebijakan
konservasi di kawasan konservas baik melalui kebijakan anggaran maupun
legislasi, dengan mempertahankan dan memperkuat status kawasan dalam
peraturan tata ruang, termasuk dalam rancangan perda arahan zonasi.
10. 16 Agustus 2013 – Gubernur Bali mencabut SK 2138/02-C/HK/2012, dan
menerbitkan SK 1727/01-B/HK/2013 tentang izin Studi kelayakan rencana
pemanfaatan pengembangan dan pengelolaan wilayah perairan Teluk
Benoa kepada PT TWBI.
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Bali mengapresiasi
Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang mencabut S SK Gubernur Bali No
2138/02-C/HK/2012 tentang ijin dan hak pemanfaatan, pengembangan dan
pengelolaan kawasan perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. Menurut Kepala
Ombudsman RI Perwakilan Bali Umar Ibnu Alkhatab, hal ini menunjukkan bahwa
Gubernur Bali peka dan responsive terhadap aspirasi yang disampaikan oleh
berbagai elemen masyarakat, serta mencerminkan adanya kemauan kuat untuk
menciptakan kehidupan sosial dan politik yang kondusif di Bali. Berikut
kutipannya:
"Kami berharap langkah permulaan yang baik ini menandai adanya perubahan
paradigma pada proses pengambilan kebijakan dari yang bersifat atas ke bawah,
ke arah dari masyarakat menuju pemerintah (bottom up9)"
Mengenai SK baru untuk menggantikan SK Gubernur yang sebelumnya,
Gubernur dan SKPD terkait melihat bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-
B/HK/2013 bukanlah SK yang terkait dengan reklamasi, namun SK tersebut
adalah sebatas ijin melakukan penelitian. Hal ini berulangkali disampaikan oleh
Pemerintah Propinsi Bali termasuk oleh Gubernur Bali yang menyatakan bahwa
SK ini adalah ijin penelitian yang boleh dilakukan oleh siapapun; “oh, tidak mesti
(bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat), yang melakukan survei
siapapun boleh10”.
Namun SK Gubernur Bali No 1727/01-B/HK/2013 kembali menuai
kontroversi, berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam ForBali
mendatangi kantor DPRD Bali menuntut agar gubernur mencabut SK tersebut.
dalam wawancara dengan Direktur Walhi Bali, Suriadi Darmoko, ia melihat
bahwa SK Gubernur tersebut sebagai bentuk dari sikap inkonsistensi dan sikap
yang tidak satya wacana. Berikut kutipannya : 9 http://sp.beritasatu.com/home/ombudsman-apresiasi-gubernur-bali-cabut-sk-reklamasi/40190
10 Bali Express, 4 september 2013 , halaman 11, sambungan dari berita halaman 1.
"Kami menemukan sikap inkonsistensi dan sikap yang tidak satya wacana dari
gubernur, pada pertemuan 03 Agustus 2013, Gubernur sudah secara jelas
menyatakan menolak reklamasi jika hasil kajian LPPM UNUD tersebut tidak
layak. Demikian pula, banyak penolakan keras dari masyarakat Tanjung Benoa
terhadap rencana reklamasi, Sikap mereka selalu abu-abu, tutup mulut dan
telinga. Kita minta DPRD Bali segera keluarkan rekomendasi pencabutan SK
Gubernur yang terus menuai kontroversi ini. DPRD semestinya melakukan
kontrol, namun mengapa tidak bersikap11".
Menurut elemen masyarakat yang menolak adanya SK baru tersebut,
penyebutan bahwa SK Gubernur Bali No 1727/01-B/HK/2013 tentang izin studi
kelayakan rencana pemanfaatan pengembangan dan pengelolaan wilayah
perairan Teluk Benoa kepada PT TWBI adalah sebagai SK yang terkait dengan
reklamasi (SK Reklamasi jilid 2) bukan tanpa alasan, namun penyebutan
tersebut sejatinya berdasarkan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
SK kedua Gubernur Bali layak dicabut juga karena kawasan perairan Teluk
Benoa sudah jelas merupakan kawasan konservasi yang harus dilindungi. Tidak
ada lagi alasan untuk menguji kelayakan pemanfaatan, pengembangan, dan
pengelolaan di Teluk Benoa.
Dalam dokumen yang di upload oleh ForBali, yang ditulis oleh Gendo,
pada Diskusi Publik “Pro Kontra SK Reklamasi Jilid 2” yang diselenggarakan
oleh DLC bekerja sama dengan Aji Denpasar di Hotel Inna Grand Bali Beach
pada 18 September 2013, menunjukkan beberapa argumentasi yang
menunjukkan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sebagai SK
Reklamasi jilid 2 dan/atau setidak-tidaknya dimaksudkan sebagai bagian dari
kegiatan reklamasi12. Berikut beberapa hal yang kami kutip:
A. Bersumber dari surat permohonan PT. TWBI (sama dengan sumber
penerbitan SK reklamasi jilid 1)
Bahwa penerbitan hak baru berupa izin studi kelayakan pada SK reklamasi
jilid 2 bersumber pada permohonan dan proses-proses yang sama dengan SK
Reklamasi jilid 1. SK tersebut sekaligus mencabut SK reklamasi jilid 1, dan sama
11
Wawancara dengan Dirut Walhi Bali, Suriadi Darmoko, pada tanggal 25-03-2015 di Kantor Walhi Bali 12
http://www.forbali.org/wp-content/uploads/2013/09/MAKALAH-Seminar-DLC.pdf
sekali tidak ada permohonan dan proses apapun yang mendasari terbitnya SK
reklamasi jilid 2 tersebut. Artinya, SK tersebut berasal dari surat permohonan PT.
TWBI kepada Gubernur Bali dengan nomor 009/TWBI/L/XI/2012 tentang
permohonan audiensi tertanggal 5 November 2012, yang pada paragraf 2
menyebutkan: “Bersama ini kami mengajukan Permohonan Izin Pemanfaatan
dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa, Bali seluas kurang lebih
±838 Ha (delapan ratus tiga puluh delapan hektar). Dari total area tersebut akan
dibentuk pulau baru, pendalaman alur, penataan sendimentasi dan
penghijauan.”. Tidak ada satupun surat permohonan yang baru dari PT. TWBI
bagi penerbitan SK reklamasi jilid 2 ini. Hal ini juga yang disampaikan oleh
Gendo, Koordinator ForBali dalam wawancara kami, berikut kutipannya:
“sori ya mas, ini lompat-lompat, tapi sebelum lanjut, saya mau menambahkan
begini, mengenai SK pertama dan kedua, sebuah SK kan tidak begitu saja
keluar, sebelum mendapatkan SK kan ada permohonan toh, coba cek mas dasar
permohonannya, kalo kemaren dirut PT TWBI bilang ga ada kata reklamasi, tapi
cek di permohonannya PT TWBI kepada pemerintah, apa yang dia bilang, itu
satu, yang kedua terbitnya SK yang kedua tidak ada permohonan baru loh,
permohonannya masih sama, jadi kalau dibilang ini bukan SK reklamasi,
permohonannya masih sama ko untuk reklamasi kawasan seluas 800 hektar,
apanya yang ngga13”
B. Bersumber dari dokumen Feasibility Study LPPM UNUD dan
Rekomendasi DPRD Bali
Penerbitan SK reklamasi jilid 2 juga bersumber pada dokumen hukum yang
sama yakni dokumen studi kelayakan (Feasibility Study) LPPM UNUD yang telah
dipresentasikan di Bappeda Bali pada 12 November 2012 (sesuai surat
undangan rapat dari Bappeda Bali No. 005/3367/Bapedda tertanggal 8
November 2012) dan pada 14 Desember 2012 (sesuai surat undangan rapat dari
Bappeda Bali No. 005/4149/Bapedda tertanggal 10 Desember 2012).
Rekomendasi DPRD yang semula dijadikan sebagai pedoman penerbitan
SK Reklamasi jilid 1, kembali digunakan oleh Pemprov Bali sebagai alasan untuk
menerbitkan SK reklamasi jilid 2 (walaupun tidak disebutkan secara tersurat).
13 Hasil wawancara dengan Koordinator ForBali, Gendo, pada tanggal 25-03-2015 di Kantor Walhi Bali
Namun pernyataan Pemprov Bali melalui Karo Hukum di media massa telah pula
menunjukan bahwa rekomendasi ini menjadi salah satu aspek penting atas
penerbitan SK reklamasi jilid 2. Berikut pernyataannya :
“Rekomendasi DPRD terdahulu belum dicabut dan kami tidak berani
bertentangan dengan itu. Jadi kami berikan PT. TWBI melanjutkan kajian14”
C. Frase “Studi Kelayakan” hanya dikenal dalam Perpres 122/2012
Tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Jika dicermati secara seksama, frase yang mengatur mengenai studi
kelayakan dalam lingkup UU 27 tahun 2007 hanyalah pada Perpres 122 Tahun
2012 sebagai turunan dari Pasal 34 yang mengatur mengenai kegiatan
reklamasi. Studi kelayakan adalah salah satu bagian dari perencanaan reklamasi
sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 3 ayat (2) Perpres 122 tahun 2012
yang menyatakan: “perencanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui kegiatan: (a) Penentuan lokasi; (b) Penyusunan rencana
induk; (c) Studi kelayakan; dan (d) Penyusunan rencana detail”. Demikian pula
pada frase Studi Kelayakan ini diatur pada Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4). Selanjutnya pada Bab III mengenai perizinan Reklamasi dari Pasal 15
s/d 21 menyebutkan frase studi kelayakan tersebut.
Pada pasal Pada Pasal 17 ayat (5) secara tegas-tegas menyebutkan bahwa
studi kelayakanbagian dari izin lokasi. Selengkapnya sebagai berikut: “(5) setiap
pemegang izin lokasi dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun wajib
menyusun: (a) Rencana Induk (b) Studi kelayakan (c) Rencana detail reklamasi”.
D. Mengenai jangka waktu berlaku SK selama 2 tahun
Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, pada Pasal 17 ayat (5) telah
mengatur bahwa terkait dengan penyusunan studi kelayakan diberikan waktu
selama 2 tahun kepada pemegang izin lokasi. Hal ini sesuai dengan diktum
keenam SK reklamasi jilid 2 yang memberikan waktu yang sama, yakni selama
2(dua) tahun. Berdasarkan keempat argumentasi tadi sangat sulit untuk tidak
menyatakan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sebagai SK
yang sejatinya adalah SK yang berhubungan erat dengan kegiatan reklamasi,
sehingga SK tersebut pantas disebut sebagai SK Reklamasi jilid 2.
14
Bali Tribune, Rabu 21 Agustus 2013, hal. 15 “Tak Mau Langgar SK Dewan, Investor Diberi Celah”.
E. SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 Bukan Sebatas Izin
Penelitian
Sekilas, SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sangat sumir kaitannya
dengan reklamasi. Selain karena muatan SK ini menjauhkan kata-kata yang
bermakna reklamasi
dan tidak pula mencantumkan Perpres No. 122 tahun 2012 tentang Reklamasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, SK ini juga memuat konsideran
menimbang yang menggunakan muatan bab VII UU 27 tahun 2007 yang
mengatur kegiatan “penelitian dan pengembangan”. Hal ini terlihat pada
konsideran menimbang huruf (b) dari SK dimaksud, yang menyatakan:
“Bahwa studi kelayakan adalah prasyarat yang dibutuhkan dalam pemanfaatan,
pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar lebih
efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, ramah lingkungan, dan
menghargai kearifan tradisi atau budaya lokal”
Selanjutnya bandingkan dengan Pasal 42 ayat (2) UU 27 Tahun 2007 yang
menyatakan:
“Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk
menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar lebih efektif, efisien, ekonomis,
berdaya saing tinggi dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi
atau budaya lokal”
Jika kedua frase tersebut disandingkan, maka terlihat jelas bahwa SK
Gubernur tersebut mengadopsi secara setengah-setengah Pasal 42 ayat (2) UU
27 Tahun 2007. Sehingga secara sekilas SK tersebut nampak sesuai dengan
kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana diatur dan dimaksud
dalam pasal tersebut.
Namun jika dicermati secara mendalam, frase di luar yang penulis
garisbawahi sebaliknya menjadi penunjuk utama dari perbedaan makna,
kandungan dan tujuan antara konsideran huruf (b) SK Gubernur Bali Nomor
1727/01-B/HK/2013 dan Pasal 42 ayat (2) UU 27 tahun 2007 tersebut.
Perbedaannya adalah; a) pada konsideran menimbang huruf (b) dimaksud
menitikberatkan pada studi kelayakan; sedangkan b) pada pasal 42 ayat (2)
adalah menitikberatkan pada penyelenggaraan penelitian dan pengembangan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk menghasilkan
pengetahuan dan teknologi. Tentu saja antara studi kelayakan dengan kegiatan
penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (2) adalah
dua kegiatan yang berbeda makna dan tujuan. Studi kelayakan atau Feasibilty
Study adalah kegiatan menilai/studi sejauh mana manfaat yang diperoleh
dengan melaksanakan suatu usaha/proyek. Pengertian layak dalam penilaian
studi kelayakan adalah menyangkut kemungkinan dari gagasan usaha/proyek
yang akan dilaksanakan memberikan manfaat/benefit, baik dalam arti financial
benefit atau social benefit/economic benefit.
Sedangkan kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud
Pasal 42 ayat (2) adalah penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan
pengetahuan dan teknologi. Jika melihat ayat (1), semakin nampak apa makna
dan tujuan dari kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut: “Untuk
meningkatkan kualitas perencanaan dan implementasi Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah melakukan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan sumber
daya manusia di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
secara berkelanjutan.”
Maka berdasarkan perbandingan tersebut, nampaklah jurang perbedaan
antara studi kelayakan dengan kegiatan penelitian dan pengembangan. Studi
kelayakan berkaitan dengan layak atau tidaknya sebuah proyek, sedangan
kegiatan penelitian dan pengembangan adalah dalam upaya: 1) “Untuk
meningkatkan kualitas perencanaan dan implementasi Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan 2) Untuk menghasilkan pengetahuan dan
teknologi yang dibutuhkan dalam pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau
Kecil.
Jika demikian maka argumentasi dari Gubernur Bali beserta SKPD nya yang
menyatakan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 hanyalah
sebatas izin penelitian (apalagi survei) dan menyatakan bahwa SK dimaksud
tidak terkait dengan reklamasi adalah kekeliruan besar.
Hal lain yang menguatkan argumentasi di atas adalah dengan mengupas
aktor atau subyek hukum sebagai berikut: (a) Pada kegiatan reklamasi, subyek
hukum yang dibenarkan melakukan kegiatan relamasi adalah pemerintah,
pemerintah daerah dan setiap orang (Pasal 3 Perpres 122 Tahun 2012).
Pengertian setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum
(Pasal 1 angka 18 Perpres 122 Tahun 2012); (b) Sedangkan Pada
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan sebagaimana yang dimaksud
pada pasal 43 menyatakan: “Penelitian dan pengembangan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah
daerah, pergutuan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian dan
pengembangan swasta, dan/atau perseorangan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”
Memperhatikan kedua hal tersebut di atas, maka terlihat jelas bahwa PT.
TWBI bukanlah subyek hukum yang dapat melakukan kegiatan penelitian dan
pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mengingat
PT. TWBI bukanlah lembaga penelitian dan pengembangan swasta. PT. TWBI
adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan, pembangunan, dan
jasa pengelolaan usaha yang berhubungan dengan property. Maka dalam
konteks ini PT. TWBI adalah subyek hukum yang dapat melakukan kegiatan
reklamasi (termasuk studi kelayakan) namun tidak dibenarkan untuk melakukan
kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil. Oleh karenanya argumentasi Gubernur Bali yang menyatakan
penelitian dapat dilakukan siapa saja telah gugur dengan sendirinya. Artinya SK
tersebut adalah SK studi kelayakan reklamasi dan bukan sebatas izin penelitian
dan pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pada akhir makalah di atas, dengan mengaitkan kembali dengan status
kawasan Perairan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi (Pasal 55 Perpres
No 45 Tahun 2011), kemudian dikaitkan dengan larangan melakukan kegiatan
reklamasi pada kawasan konservasi (Perpres No 122 Tahun 2012) maka dapat
dinyatakan bahwa SK Gubernur Bali no 1727/01-B/HK/2013 adalah keputusan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Bahkan
dapat dilihat sebagai perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan
pemanfaatan tata ruang yang berakibat pada hukum pidana tata ruang
sebagaimana yang diatur ketentuan pemidaan tata ruang pada UU No 26 tahun
2007 Tentang Penataan Ruang.
Hal ini juga muncul dalam wawancara kami dengan koordinaator ForBali,
Gendo. Berikut kutipan wawancaranya:
“agak susah ngomongin ini dengan cepat, karena Prosesnya zigzag, tumpang
tindih, dimana ada celah langsung diperbaiki, dia salah disini diperbaiki, maka
tumpang tingih terus, akhirnya prosesnya mundur satu langkah, iut pun ga bener,
karena ga ada ijin studi kelayakan, yang ada ijin lokasi, ijin studi kelayakan
alasannya agar unud bisa melanjutkan studi kelayakannya, kita protes, loh
berarti ini bagian dari proses reklamasi, karena studi kelayakan adalah bagian
dari ijin lokasi di dalam kegiatan reklamasi, karena studi kelayakan mengukur
profit sebuah proyek loh, dan badan hukum yang bukan bergerak di bidang riset
tidak boleh melakukan itu, Cuma ganti direkturnya aja namanya budi wasesa,
almamaternya mas lah, kemudian berlaku dua tahun, cek perpres 122, dua tahun
adalah ijin lokasi15”
11. 19 Agustus 2013 – Draft laporan fibal tim studi kelayakan oleh LPPM
UNUD menyatakan reklamasi Teluk Benoa layak bersyarat.
12. 20 Agustus 2013 – Rapat Koordinasi tim pegulas studi kelayakan oleh
LPPM UNUD menyatakan bahwa hasil reklamasi tidak layak .
Hasil studi tersebut nampaknya tidak dipublikasi oleh tim LPPM dan pihak
Universitas Udayana sendiri, namun pada 20 Agustus 2013 Rapat koordinasi tim
pengulas studi kelayakan oleh LPPM UNUD menyatakan reklamasi “Tidak
layak”. 2 September 2013 kembali dalam Rapat Senat Universitas Udayana
menyatakan reklamasi “Tidak Layak”. Diskusi Publik mengenai Teluk Benoa,
perwakilan dari LPPM Unud juga menyatakan reklamasi Tidak Layak.
Ketidaklayakan reklamasi diperkuat lagi pada 20 September 2013 oleh Prof.
Ketut Satriyawan selaku ketua LPPM Unud, dan ditambah pernyataan resmi
Universitas Udayana yang menyatakan reklamasi Tidak Layak. Namun sampai
saat ini di website resmi http://lppm.unud.ac.id/ belum ada publikasi atau arsip
15 Hasil wawancara dengan Koordinator ForBali, Gendo, pada tanggal 25-03-2015 di Kantor Walhi Bali
hasil studi kelayakan. Padahal hasil studi tersebut penting untuk pengetahuan
dan informasi masyarakat luas yang membutuhkan kajian akademis terkait
reklamasi Teluk Benoa. Namun ketetapan Universitas Udayana yang
menyatakan reklamasi tidak layak dilakukan cukup menenangkan semua pihak
yang menolak reklamasi. Paling tidak ini menjadi keyakinan bahwa reklamasi
memang layak ditolak, karena secara akademis pun sudah dinyatakan demikian.
Menurut berbagai pihak yang menolak adanya reklamasi, sekarang saatnya
Gubernur Bali mencabut izin studi kelayakan itu (SK Gubernur Bali kedua),
seperti pernah dijanjikan sebelumnya, juga seperti yang disampaikan oleh PT
TWBI itu sendiri. Namun yang terjadi sebaliknya Gubernur Bali justru
memberikan pernyataan yang bernada demokratis yang pada intinya Tercatat
tiga kali pernyataan yang dilansir media massa menunjukkan bahwa Gubernur
Bali hendak menutup rencana tersebut dengan menggunakan hasil Kajian Studi
Kelayakan Unud sebagai sebagai alasan. Artinya, jika hasil kajian Unud tersebut
menyatakan Teluk Benoa tak layak direklamasi maka Gubernur Bali akan
menghentikan rencana tersebut. Tentu saja makna dari penghentian tersebut
adalah dicabutnya surat keputusan yang mengizinkan kegiatan reklamasi
termasuk SK No. 1727 yang mengizinkan PT TWBI melakukan studi kelayakan
di perairan Teluk Benoa, namun SK tersebut tidak kunjung dicabut dengan
alasan hasil kajian LPPM UNUD yang menyatakan reklamasi tidak layak, maka
SK tersebut akan gugur dengan sendirinya, hal ini menimbulkan keresahan dan
tanda tanya besar berbagai elemen masyarakat yang menuntut dicabutnya SK
tersebut, karena penafsiran hukum tersebut tidak sesuai dalam konteks Hukum
Administrasi Negara, karena sebuah SK berlaku sampai adanya pembatalan16.
Konsekuensinya PT TWBI terus melanjutkan studi kelayakan melalui kerja
sama dengan tim kajian yang beranggotakan para pakar dari beberapa
universitas, seperti UGM, ITB, IPB, ITS, dan Universitas Hasanudin yang
hasilnya sampai saat ini tidak pernah dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Hal ini juga disampaikan oleh Kordinator Forbali, Gendo, dalam wawancara
kami. Berikut kutipannya :
16 Halaman Opini Bali Post & November 2013
“Pak Gubernur menyampaikan, kalo hasilnya layak semua harus legowo, kalau
tidak ya saya tolak, demikian juga pernyataan PT TWBI,lalu kenapa ketika
hasilnya tidak layak ko diabaikan, buka dong hasil risetnya, ko ga pernah
dipublikasi, kenapa kemudian langkah yang diambil PT TWBI adalah
mengundang beberapa universitas lain untuk mereview hasil LPPM UNUD,
namun juga tidak pernah di buka juga, dan jika hasilnya lima kampus lain
menyatakannya itu layak, mana? namun dokumennya tidak pernah di buka, ko
ga transparan, harusnya kan hasil penelitian domain publik, misalnya
Conservacy International berani ko di buka17”
Menurut riset Conservation International (CI), reklamasi Teluk Benoa bisa
mengakibatkan banjir bagi daerah di sekitar seperti Tuban, Kuta, dan Suwung.
Kedonganan, desa di mana Wiliani ini termasuk daerah berisiko banjir jika
reklamasi berjalan18.
13. 23 Agustus 2013 – ForBali melaporkan DPRD Bali ke Ombudsman atas
dugaan maladministratif dalam hal dikeluarkan dan tidak dicabutnya
rekomendasi DPRD Provinsi Bali no. 660/14278/DPRD tertanggal 20
Desember 2012.
14. 30 Sept 2013 -Rapat Sabha Desa Pekraman Tanjung Benoa Kelurahan
Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, kabupaten Badung, menolak
seluruh rencana reklamasi.. Surat penolakan dikirimkan kepada Gub dan
DPRD Bali
Pertemuan dipimpin Ketua Sabha Desa Desa Adat Tanjung Benoa Wayan
Dibia Adnyana, komponen masyarakat, termasuk dari unsur Himpunan
Masyarakat Tanjung Bersatu (HMTB). Surat yang dikirim kepada Gubernur
dan DPRD Bali, Bupati Badung, DPRD Badung, Camat Kuta Selatan, LPPM
UNUD, WALHI Bali, berisi penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa dan
meminta gubernur mencabut SK atau kebijakan pemerintah yang dapat
meloloskan rencana reklamasi tersebut19.
17 Hasil wawancara dengan Koordinator ForBali, Gendo, pada tanggal 25-03-2015 di Kantor Walhi Bali 18
http://www.mongabay.co.id/tag/reklamasi-bali/ 19
http://www.forbali.org/hasil-keputusan-rapat-sabha-desa-desa-adat-tanjung-benoa-menolak-reklamasi-
tanjung-benoa/
15. 22 Januari 2014 – ForBali, Musisi Bali, Ormas dan LSM (Walhi dan Kiara)
melakukan demonstrasi penolakan reklamasi Teluk Benoa dan
penyelamatan pesisir Indonesia di Istana Negara, Jakarta20.
16. 16 Februari 2014 -- Jaringan Aksi Tolak Reklamasi (JALAK) Sidakarya
melakukan aksi damai pembacaan pernyataan sikap21, pengumpulan
tanda tangan, dan cap jempol darah sebagai bentuk penolakan terhadap
rencana reklamasi Teluk Benoa
17. 26 Februari 2014 -- JALAK Sidakarya menyerahkan spanduk berisi tanda
tangan dan cap jempol darah warga kepada Gubernur dan DPRD Bali.
Spanduk ini diterima oleh Kabag Humas DPRD Bali22.
18. 27 Februari 2014 -- Gubernur Bali mengadakan konferensi pers terkait
penyerahan spanduk bertandatangan dan bercap jempol darah yang
diserahkan oleh JALAK Sidakarya pada hari Rabu, 26 Februari 2014. Di
spanduk tsb ditemukan banyak makian, namun yang digarisbawahi oleh
Gubernur adalah tulisan “Penggal Kepala Mangku P” Tulisan ini
dianggapnya sebagai ancaman fisik yang serius, dan ditindaklanjuti
dengan pelaporan ke Polda Bali.
19. 01 Maret 2014 -- I Wayan Tirtayasa, seorang aktivis JALAK Sidakarya
ditangkap oleh Polda Bali. Ia dijerat dengan pasal 336 KUHP ayat (2)23.
20. 03 Maret 2014 – Tiga aktivis JALAK Sidakarya menyerahkan diri ke Polda
Bali diantar oleh warga Sidakarya sebagai pejuang lingkungan hidup24.
21. 25-27 Maret 2014 -- Organisasi-organisasi masyarakat sipil terkemuka
seperti Walhi, Kontras, dan Greenpeace Indonesia mendesak
pembebasan empat aktivis lingkungan dari Sidakarya. Mereka merilis
20
http://balipost.com/read/headline/2014/01/22/2613/tolak-reklamasi-forbali-berdemo-di-istana.html 21
http://forumsidakaryabersatu.blogspot.com/ 22
http://metrobali.com/2014/02/26/jalak-sidakarya-serahkan-bingkisan-ajak-gubernur-dan-dprd-lihat-cap-
jempol-darah/ 23
http://www.mongabay.co.id/2014/03/02/gara-gara-spanduk-penggal-kepala-aktivis-penolak-reklamasi-
teluk-benoa-ditangkap/ 24
http://suluhbali.co/tiga-warga-sidakarya-serahkan-diri-gendo-pengacaranya/
siaran pers dan mengirimkan surat kepada Kapolda Bali Irjen Pol AJ
Benny Mokalu25.
22. 28 Maret 2014 -- Karena besarnya desakan dari organisasi-organisasi
masyarakat tersebut, keempat aktivis lingkungan hidup dari
Sidakarya dibebaskan oleh Polda Bali26.
23. 30 Mei 2014 – Menjelang akhir masa kepemimpinannya Presiden SBY
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2014 tentang tentang
perubahan atas peraturan Presiden Nomor 45/2011 Tentang Rencana
Tata Ruang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar,
Badung, Gianyar dan Tabanan (SARBAGITA)
Perpres No 51 tahun 2014 intinya adalah menghapuskan pasal-pasal yang
menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebagaimana yang ada
dalam pasal 55 ayat 5 Perpres No 45 tahun 2011, Perpres No 51 Tahun 2014
juga mengurangi kawasan konservasi perairan dengan menambahkan frasa
sebagian pada kawasan Konservasi Pulau Serangan dan Pulau Pudut. Selain
itu, Perpres ini mengubah kawasan perairan pesisir Teluk benoa yang
sebelumnya merupakan kawasan konservasi perairan menjadi zona penyangga
atau kawasan pemanfaatan umum (Pasal 63A Ayat (2) Perpres No 51 tahun
2014). Tidak hanya itu, Berdasarkan arahan zonasi Perpres 51/2014 pasal 101A
huruf d angka 6 kegiatan sebagaimana dimaksud huruf a dan b dapat dilakukan
melalui kegiatan revitalisasi termasuk penyelenggaraan reklamasi paling luas
700 (tujuh ratus) hektar dari Kawasan Teluk Benoa. Selanjutnya pada pasal
101A huruf e angka 1 dijelaskan bahwa penyediaan ruang terbuka hijau paling
kurang 40% dari total luasan pulau hasil reklamasi.
Keluarnya Perpres di atas berawal dari Surat Bupati Badung No.
523/3193/Diskanlut, pada 26 Desember 2012 kepada Menteri Kelautan dan
Perikanan, perihal TOR Reklamasi Pantai Tanjung Benoa dan Pulau Pudut
Kabupaten Badung, Bali. Selanjutnya, Gubernur Bali melalui surat tertanggal 23
Desember 2013 kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua
25
http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2014/03/27/bapak-kapolda-bebaskan-4-pejuang-lingkungan-
bali.html 26
http://balipost.com/read/headline/2014/03/28/8256/penangguhan-dikabulkan-empat-aktivis-jalak-
sidakarya-bebas.html
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional menyampaikan faktual kondisi
umum pemanfaatan ruang di Kawasan Perairan Teluk Benoa, dan sekaligus
mengajukan permohonan agar fungsi L3, khususnya pada perairan Teluk Benoa
di luar kawasan konservasi Tahura Ngurah Rai ditinjau kembali, dan diusulkan
sebagai kawasan pemanfaatan umum sehingga kawasan tersebut dapat
dilakukan revitalisasi.
Hal ini juga ditegaskan oleh Seskab Dipo Alam di Jakarta sebagaimana yang
muncul dalam berbagai media. Berikut kutipan pernyataannya:
“Permintaan Gubernur Bali tersebut dikaji dan ditindaklanjuti dengan pertemuan
tingkat Menteri yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian. Dalam Rakortas tanggal 13 Januari 2014, para Menteri di bawah
koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyetujui perubahan
Perpres No. 45/2011 (Perpres Sarbagita) dengan tetap
menjagagovernance yang baik, dan dilakukan sesuai peraturan perundang-
undangan, Selain itu, lanjut Seskab, kajian tim yang beranggotakan para pakar
dari beberapa universitas, seperti UGM, ITB, IPB, ITS, dan Universitas
Hasanudin menyimpulkan bahwa jika teluk Benoa dibiarkan seperti sekarang
tanpa revitalisasi, maka seiring dengan berjalannya waktu akan terjadi
pendangkalan masif di teluk, yang akan berdampak pada hancurnya taman
hutan raya mangrove karena kekurangan air. Dengan kondisi demikian, menurut
kajian tim, perlu dilakukan revitalisasi secara keseluruhan teluk Benoa yang
luasnya kurang lebih 1.800 hektar27”.
Penerbitan Perpres tersebut pada intinya adalah menghapuskan pasal-pasal
yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi perairan
sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat (5) Perpres 45/2011 dan
mengubahnya menjadi kawasan budidaya-zona penyangga yang dapat
dilakukan reklamasi seluas 700 hektar. Perpres 51/2014 juga menyebabkan
berkurangnya luasan kawasan konservasi perairan Pulau Serangan dan Pulau
Pudut.
Melalui Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam seperti dikutip dari laman
setkab.go.id, menjelaskan bahwa perubahan Perpres No. 45/2011 dilakukan
27
http://www.mongabay.co.id/2014/07/03/inilah-penjelasan-istana-tentang-perpres-reklamasi-teluk-benoa/
dengan pertimbangan untuk menyelaraskan arahan pengaturan peruntukan dan
pemanfaatan ruang di Kawasan Teluk Benoa seperti diatur dalam Perpres No.
45/2011 dengan Perpres No. 12/2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-
Bali. Pertimbangan selanjutnya yaitu karena adanya perkembangan kebijakan
strategis nasional dan dinamika internal di Kawasan Perkotaan Denpasar,
Badung, Gianyar dan Tabanan, khususnya terkait pemanfaatan ruang di
Kawasan Teluk Benoa, sehingga perlu dilakukan kebijakan revitalisasi kawasan
yang sesuai dengan perkembangan potensi alam, wisata, lingkungan dan
masyarakat di Bali secara khusus dan umum28.
Lebih lanjut Seskab menjelaskan, kondisi Kawasan Teluk Benoa sudah tidak
seluruhnya memenuhi kriteria sebagai kawasan konservasi perairan, dimana
secara faktual telah ada perubahan fisik antara lain jalan tol, jaringan pipa migas,
maupun Pelabuhan Internasional Benoa. Selain itu, terjadinya pendangkalan,
menjadi salah satu pertimbangan bahwa Kawasan Benoa tersebut tidak lagi
tepat untuk dikatakan sebagai kawasan konservasi. Khusus keberadaan jalan tol
laying diatas kawasan pantai, telah mengubah dinamika ekosistem pantai di
Kawasan Teluk Benoa, sehingga diperlukan penyesuaian peruntukan ruang.
Pertimbangan lainnya yaitu bahwa kawasan Teluk Benoa dinilai dapat
dikembangkan sebagai kawasan pengembangan kegiatan ekonomi serta sosial
budaya dan agama, dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi Taman
Hutan Raya Ngurah Rai dan pelestarian ekosistem kawasan sekitarnya,
termasuk tanaman bakau. serta keberadaan prasarana dan sarana infrastruktur
di Kawasan Teluk Benoa. Dan pertimbangan terakhir adalah bahwa perubahan
Perpres Sarbagita itu untuk menyesuaikan dinamika dan perubahan tujuan
pembangunan perekonomian nasional, khususnya yang terkait dengan rencana
percepatan pembangunan di Bali, yang merupakan bagian dari rencana
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguan Ekonomi Indonesia 2011-
2025 (MP3EI).
Perpres ini mendapat respon dari elemen masyarakat yang menolak, mereka
melakukan aksi menolak reklamasi di Tanjung Benoa dan mendesak Presiden
membatalkan Perpres No. 51/2014. Aksi yang diikuti ribuan orang itu dilakukan 28
http://old.setkab.go.id/en/nusantara-13421-penjelasan-perpres-no-512014-yang-merevisi-tata-ruang-
badung-gianyar-dan-tabanan.html
pada pada Jumat (27/06/2014) dengan bentuk parade budaya di Lapangan
Renon, dan berlanjut ke depan kantor Gubernur. Masyarakat melalui Forum
Masyarakat Bali (ForBali) juga telah mengirim surat Presiden SBY yang
mendesak membatalkan Perpres itu.
Menurut Suriadi Darmoko, Direktur Walhi Bali, gencarnya penolakan
reklamasi di Teluk Benoa di respon dengan semakin agresifnya pemerintah
bersama PT. TWBI melakukan cara-cara yang tidak transparan dan tidak
partisipatif dalam memuluskan rencana reklamasi di Teluk Benoa29. Hal ini juga
yang disampaikan oleh Gendho, kordinator ForBali dalam wawancara kami ,
berikut kutipannya:
“pasca review lima kampus tersebut, kami melihat ada gelagat merubah perpres,
tanggal 26 januari 2014 kami demo ke jakarta, di depan istana, menyerahkan
bendel protes kami ke sekneg, kemudian hanya muncul tanggal 27 januari di
Jakarta post berita foto dan kompas, tapi hanya mengulas MPE3I dan reklamasi,
diwawancara CI tentang studinya, rupa-rupanya arta graha memberikan hak
jawab, dimuat di kompas 28 Januari 2014, waktu itu yang mewakili wisnu candra,
terus statement yang paling saya ingat, disitu pertama kali terbuka bahwa ini
adalah proyeknya artha graha networking, secara resmi, dia menyatakan bahwa
ingin melakukan revitalisasi dengan cara reklamasi seluas 700 Ha, dan 50%
hasil reklamasi akan digunakan untuk lahan hijau, pertama kali itu juga keluar
master plannya, revitalisasi teluk benoa di kompas, sumbernya adalah Forum
Bali Mangrove, maka jelas adalah itu yayasan yang dibentuk untuk
mensukseskan proses reklamasi, selanjutnya terkait perpres 51 itu, tiba-tiba kami
dapat info bahwa ada publik hearing di Bappeda propinsi atas inisiatif
kementerian koordinator perekonomian sebagai badan koordinasi penataan
ruang nasional, sekaligus ketua MP3EI, akhirnya disitu baru kami tahu ada
rencana merevisi secara terbatas Perpres 45 khusus untuk teluk Benoa, dan
kami tidak diundang, lalu kami memaksa masuk, di dalam teman-teman bertanya
kenapa ga ngundang WALHI alasannya mereka lupa alamat WALHI,padahal
mereka kemaren nganter surat seringkali kesini, sampailah keluarnya perpres 51
tersebut tanggal 30 Mei 2014. salah satu intinya menjadikan kawasan Teluk
benoa sebagai kawasan Budi daya zona penyangga, yang kedua arahan
zonasinya adalah dibenarkan untuk melakukan merevitalisasi dengan cara
reklamasi seluas 700 Ha, herannya persis yang disampaikan hak jawab Artha
Graha pada tanggal 28 januari, bedanya cuma lahan hijaunya jadi 40 %, jadi
kalau dugaan kami tata ruang malah digunakan untuk menyesuaikan
pembangunan atau revitalisasi dengan cara reklamasi bener toh, ternyata inisiatif
perubahan ini ternyata dari surat gubernur, dia lagi-lagi bohong30”.
29
http://www.mongabay.co.id/tag/superman-is-dead/ 30
Hasil wawancara dengan Koordinator ForBali, Gendo, pada tanggal 25-03-2015 di Kantor Walhi Bali
4.2 Hal-hal yang Mendorong Terjadinya Eskalasi Konflik
Dalam sebuah konflik, eskalasi biasanya terjadi akibat dari
ketidakcocokan tujuan dari masing-masing pihak. Banyak kejadian menujukkan
bahwa apabila para pihak yang terlibat konflik tidak menemukan kata sepakat
mengenai solusi yang akan digunakan, maka pihak yang merasa lebih kuat akan
menggunakan kekuatannya untuk menekan lawannya yang lebih lemah. Salah
satu hal dapat mendorong terjadinya peningkatan eskalasi ke level yang lebih
tinggi lagi adalah apabila konflik tersebut terkait dengan identitas baik itu secara
individual maupun kelompok. Contohnya adalah ketika salah satu kelompok
berhadapan dengan kelompok lain yang sama sekali berbeda dalam hal tingkah
laku, nilai-nilai budaya serta perilaku mereka, maka pihak lain merasa dikritik,
direndahkan atau bahkan terancam dengan pihak lain . Ancaman yang dilakukan
terhadap identitas ini dapat menumbuhkan rasa marah dan takut yang cukup
besar, yang pada akhirnya menjadi sebuah hal yang dapat mempercepat
eskalasi sebuah konflik.
Selain terkait dengan identitas individu maupun kelompok, hal lain yang
dapat mempercepat terjadinya eskalasi dalam sebuah konflik adalah luka masa
lalu, perasaan tertekan dan diperlakukan tidak adil serta tingkat frustasi yang
sangat tinggi. Mereka yang sebelumnya merasa selalu menjadi pihak yang
ditekan dan lemah akan berusaha membalas lawannya, dengan alasan bahwa
penderitaan mereka selama ini adalah akibat dari lawan mereka yang bertindak
secara tidak adil31.
Apabila dikaitkan dengan teori Opotow diatas dalam konflik di Teluk
Benoa mengenai reklamasi/revitalisasi terdapat beberapa hal yang menjadi
faktor pendorong terjadinya eskalasi. Pihak yang menolak reklamasi/revitalisasi
merasa diperlakukan tidak adil, dan tingkat frustasi yang meningkat akibat dari
tekanan terus menerus dari pihak yang lebih kuat (Pemda Provinsi Bali). Akibat
merasa diperlakukan tidak adil itu maka mereka bergerak untuk melawan Pemda
31
Susan Opotow, "Aggression and Violence," in The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice, eds. Morton. Deutsch and Peter Coleman, San Francisco: Jossey-Bass Publishers, Inc., 2000, hal 411.
Provinsi Bali sehingga eskalasi dalam sengketa yang awalnya kecil ini akhirnya
membesar.
Menurut pihak-pihak yang menolak proyek reklamasi dan revitalisasi ada
beberapa hal yang menjadi penyebab eskalasi dalam kasus ini. Salah satunya
adalah kurang terbukanya Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam melakukan
sosialisasi kepada masyarakat terutama mengenai Surat Keputusan (SK)
Gubernur No. SK 2138/02-C/HK/2012 tentang Izin dan Hak Pemanfaatan,
Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa. Dalam
penjelasannya I Wayan Gendo Suardana yang merupakan Koordinator Umum
dari ForBali (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi –Teluk Benoa) dan Dewan
Daerah WALHI Bali, menyebutkan bahwa pada awalnya masyarakat umum tidak
mengetahui adanya SK tersebut. Mereka bahkan mengaku apabila media tidak
membocorkan rencana proyek revitalisasi/reklamasi ketika kedatangan Cristiano
Ronaldo pada medio Juni 2013 ke Bali itu, maka masyarakat sampai sekarang
tidak akan mengetahui apapun terkait rencana pembangunan di wilayah
tersebut. Berikut kutipan wawancara kami dengan Gendo: “Ini kalo media ga
bongkar, jujur ini gelap semua,kami ga dapet info apa-apa mengenai
pembangunan di tanah kami sendiri” 32.
Gendo menambahkan faktor lain yang menjadi penyebab meningkatnya
eskalasi pada masalah ini adalah terbitnya Perpres no 51 tahun 2014 tentang
perubahan terhadap Perpres no 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan. Menurut Gendo,
terbitnya Perpres ini merubah rencana tata ruang di wilayah Teluk Benoa yang
sebelumnya merupakan wilayah Konservasi menjadi wilayah Penyangga.
Terbitnya Perpres ini semakin mendorong masyarakat untuk melakukan
penolakan terhadap proyek reklamasi/revitalisasi karena menganggap proyek ini
akan mengancam kelestarian alam di wilayah Bali. Selain itu Gendo
menambahkan, bahwa penerbitan Perpres ini merupakan sebuah tindakan tidak
jujur dari pemerintah yang berusaha mengakali peraturan demi proyek
reklamasi/revitalisasi. Berikut kutipan hasil wawancara kami dengan Gendo:
“Prosesnya zigzag, tumpang tindih, dimana ada celah langsung diperbaiki, dia
32 Hasil wawancara dengan I Wayan Gendo Suardana pada 25-3-2015 di Kantor Walhi Bali.
salah disini diperbaiki, maka tumpang tingih terus, akhirnya prosesnya mundur
satu langkah, iut pun ga bener, karena ga ada ijin studi kelayakan, yang ada ijin
lokasi, ijin studi kelayakan alasannya agar unud bisa melanjutkan studi
kelayakannya, kita protes, loh berarti ini bagian dari proses reklamasi, karena
studi kelayakan adalah bagian dari ijin lokasi di dalam kegiatan reklamasi, karena
studi kelayakan mengukur profit sebuah proyek loh, dan badan hukum yang
bukan bergerak di bidang riset tidak boleh melakukan itu, Cuma ganti direkturnya
aja namanya budi wasesa, almamaternya mas lah, kemudian berlaku dua tahun,
cek perpres 122, dua tahun adalah ijin lokasi33.”
4.3 Tahapan Konflik menurut Glasl dalam Kasus Teluk Benoa
Untuk memahami mengenai eskalasi pada sebuah konflik, terdapat
beberapa pendekatan dan alat analisis. Salah satu pendekatan yang paling
sering digunakan untuk menentukan titik eskalasi adalah teori yang dikemukakan
oleh Glasl, atau sering disebut juga model eskalasi Glasl. Teori yang
dikembangkan oleh Frederich Glasl34 ini menyediakan sebuah cara yang dapat
digunakan untuk menggambarkan sebuah pergerakan eskalasi sebuah konflik
dari tahap paling awal hingga mencapai tahap akhir seperti saling
menghancurkan satu sama lain. Tahapan yang terdapat dalam model Glasl ini
sangat membantu bagi para fasilitator35 yang berkepentingan untuk meresolusi
sebuah konflik dan akhirnya menentukan intervensi yang tepat. Selain itu, dalam
model ini juga dapat membantu untuk mengetahui proses eskalasi dan juga
konsekuensi apa yang terjadi apabila eskalasi tersebut terus dibiarkan berlanjut.
Pengetahuan mengenai proses eskalasi ini juga membantu pihak yang
berkepentingan untuk mendamaikan dalam mencari pilihan-pilihan yang lebih
membangun.
Untuk membantu memahami eskalasi tersebut, Glasl mengembangkan
sebuah diagram yang terdiri dari sembilan tahapan yang mencakup seluruh
tahapan konflik. Setiap tahapan yang dikembangkan oleh Glasl ini memiliki ciri
33 Hasil wawancara dengan I Wayan Gendo Suardana pada 25-3-2015 di Kantor Walhi Bali. 34 Frederich Glasl adalah seorang ilmuwan Jerman yang menulis buku yang berjudul asli “Konfliktmanagement. Ein Handbuch für Führungskräfte, Beraterinnen und Berater.” Dalam buku ini Glasl mencoba mendefinisikan 9 tahapan dalam eskalasi konflik. 35 Fasilitator adalah pihak-pihak yang berupaya meredam terjadinya konflik.
dan karakteristiknya masing-masing sehingga sangat membantu untuk
menentukan level eskalasi yang terjadi dalam sebuah konflik.
Diagram 1.
Model Eskalasi Glasl
Glasl membagi tahapan konflik menjadi sembilan tahapan. Tahapan-tahapan
Eskalasi menurut Glasl itu adalah hardening, debate/polemic, actions not words,
image and coalition, loss of face, strategies of threat, limited destructive blows,
fragmentation of enemy, dan together into the abyss.
1. Hardening
Ini adalah merupakan tahap pertama eskalasi dalam sebuah
konflik. Dalam tahapan ini, masing-masing pihak telah mempunyai
kepentingan dan opini yang pasti dan tidak dapat diganggu-gugat. Rasa
frustasi mulai muncul karena kegagalan dari pihak yang terlibat konflik
untuk menyelesaikan perbedaan pandangan diantara mereka, perbedaan
pandangan yang terus dibiarkan ini akhirnya menghasilkan sebuah situasi
dimana meningkatnya kekecewaan dan kecurigaan yang terjadi di antara
pihak-pihak yang bertentangan. Dalam tahapan ini, keinginan masing-
masing pihak untuk berdamai sudah mulai berkurang.
Dalam konflik di Teluk Benoa terkait proyek reklamasi/revitalisasi,
proses hardening dimulai ketika bocornya rencana reklamasi/revitalisasi
bertepatan dengan kedatangan Cristiano Ronaldo ke Bali pada 27 Juni
2013. Rencana reklamasi/revitalisasi memunculkan pihak-pihak yang
menolak reklamasi, dimulai oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) Bali kelompok yang menolak lalu berkembang menjadi kelompok
yang lebih besar terdiri dari puluhan organisasi maupun individu yang
menolak reklamasi/revitalisasi. Kelompok ini berlawanan dengan
pemerintah selaku pembuat kebijakan dan beberapa organisasi lain yang
mendukung proyek reklamasi/revitalisasi.
2. Debate/Polemic
Dalam tahapan ini kedua kelompok yang berkonflik terjebak pada
situasi antara ingin bekerjasama ataupun ingin saling menjatuhkan. Kedua
kelompok mulai terlihat enggan menyampaikan argument-argumen yang
rasional terkait dengan posisi masing-masing. Kondisi debate/polemic ini
juga menggiring kedua belah pihak untuk saling menonjolkan posisi
mereka masing-masing, untuk meraih keuntungan secara taktis dengan
memanfaatkan kelemahan kelompok lain. Selain itu, kedua kelompok juga
berusaha untuk saling mulai menyerang reputasi dan identitas kelompok
lawan.
Dalam konflik yang terjadi terkait dengan reklamasi/revitalisasi
Teluk Benoa ini, kondisi debate/polemic sudah terjadi ketika kelompok
pemerintah tidak memberikan mengundang kelompok yang menolak
reklamasi/revitalisasi pada saat dengar pendapat mengenai SK Gubernur
No. SK 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana
Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk
Benoa yang dilakukan di Bappeda. Berikut kutipannya: “Setelah SK
Gubernur yang kedua itu terbit, kita selalu berusaha untuk mengikuti
setiap dengar pendapat atau debat publik yang terkait dengan reklamasi
itu. Namun belakangan kita tidak pernah diundang lagi, salah satu
alasannya adalah mereka lupa alamat kita. Setelah itu kita tidak pernah
lagi mau hadir dalam setiap acara yang mereka adakan. Karena kami
pikir, apalagi? Semua argumentasi kami sudah kami sampaikan dan kami
tidak mau terjebak dalam debat kusir36.”
Sementara dari pihak pemerintah menyebutkan pihaknya selalu
berusaha untuk melakukan langkah-langkah prosedural sesuai dengan
aturan. Salah satunya adalah dengan mengundang pihak-pihak yang
kontra reklamasi/revitalisasi, namun mereka tidak pernah hadir.
Ketidakhadiran mereka dalam acara yang dilakukan oleh pemerintah ini
akhirnya membuat Pemprov terus melanjutkan langkah-langkah sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku37.
3. Action, not Words
Tahapan ini dimulai ketika salah satu pihak sudah merasa lelah
untuk berbicara dan merasa tidak ada gunanya lagi mereka melakukan
pembicaraan. Pada tahapan ini mereka mulai melakukan aksi-aksi
sepihak tanpa sepengetahuan pihak yang berlawanan. Pada tahapan ini
yang menjadi fokus adalah bagaimana cara agar pihak lawan tidak bisa
mencapai tujuannya. Selain itu keinginan untuk mengakomodasi
kepentingan kelompok lain menurun dan digantikan oleh asumsi, dan rasa
takut dan khawatir yang berlebihan.
Dikaitkan dengan kasus reklamasi/revitalisasi di Bali, tahapan ini
telah terjadi ketika kedua belah pihak melakukan aksi massa turun ke
jalan untuk menunjukkan eksistensinya kepada masyarakat umum. Kedua
belah pihak melakukan aksi turun ke jalan agar tujuan dari pihak lawan
tidak tercapai.
4. Images and Coalitions
Tahapan ini, menurut Glasl, isu utama sudah mulai bergeser, dari
yang sebelumnya mengenai konflik itu, menjadi lebih kepada menang
atau kalah. Menjaga kehormatan dan reputasi menjadi hal yang sangat
penting. Pada tahap empat ini juga masing-masing pihak sudah
melakukan pembangunan citra yang negatif terhadap pihak lawan.
Pembangunan citra itu berupa menyebutkan bahwa pihak lawan tidak
36
Hasil wawancara dengan I Wayan Gendo Suardana di Kantor Walhi Bali. 37 Hasil wawancara dengan Asisten I Pemprov Bali, Dewa Eka Wijaya Wardana di Kantor Gubernur Bali.
mempunyai kompetensi sehingga tidak pantas untuk mendapatkan
dukunga. Dalam tahapan ini juga masing-masing pihak mencoba untuk
melakukan provokasi dalam rangka menggalang dukungan.
Pada konflik di Teluk Benoa, yang terjadi pada tahapan ini adalah
masing-masing pihak mencoba menggalang opini untuk memperluas
dukungan. Seperti yang dilakukan oleh pihak kontra dengan
menempelkan baliho, menyebarkan pamflet yang berisi penolakan
terhadap proyek reklamasi/revitalisasi, bahkan mereka juga melakukan
beberapa kali aksi simpatik Jakarta dalam rangka mencari dukungan.
Sementara itu dari pihak yang pro, mereka juga mencari dukungan
dengan cara yang hampir sama yaitu menyebarkan pamflet dan
menempelkan baliho yang berisi mendukung proyek reklamasi/revitalisasi.
5. Loss of Face
Tahapan ini dimulai ketika usaha untuk mempermalukan pihak
lawan di depan publik. Mempermalukan yang dimaksud disini adalah
dengan menyerang integritas pihak lawan sehingga diharapkan pihak
lawan akan kehilangan dukungan. Tahapan ini adalah merupakan
tahapan dimana eskalasi bisa dengan cepat terjadi dan naik ke tahapan
selanjutnya. Pada tahapan ini sudah terjadi usaha untuk melakukan
penggeseran citra terhadap pihak lawan. Konflik secara keseluruhan juga
telah berubah dengan mencitrakan pihak lawan sebagai “penjahat” dan
memiliki moral yang sangat rendah. Berbeda pada tahap empat dimana
pembentukan citra yang dilakukan menyorot kepada kompetensi dan
kapabilitas pihak lawan, maka dalam tahapan ini yang menjadi sorotan
dari masing-masing pihak adalah mengenai moral dan integritas pihak
lawan.
Apabila dikaitkan dengan konflik di Teluk Benoa, tahapan kelima ini
sudah terjadi. Hal yang mereka lakukan adalah masing-masing pihak baik
itu yang pro maupun kontra terhadap proyek reklamasi/revitalisasi sudah
melakukan penyerangan terhadap moral dan integritas lawan. Dari pihak
pro reklamasi menyebutkan bahwa kelompok masyarakat yang kontra ini
menolak karena proyek ini akan mengancam kelangsungan bisnis
mereka. Sehingga apa yang mereka perjuangkan itu bukan murni demi
kepentingan masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Komandan Unit Intel
Kodim, Lettu Kusnandar, berikut kutipannya: “Ini sebenernya cuma
masalah bisnis aja. Jadi kalo proyek ini jadi, bisa mati itu bisnis dia38”.
Sementara itu pihak yang kontra dengan proyek pembangunan ini
juga tidak mau kalah. Mereka menjelaskan terutama pihak pemerintah
patut diragukan integritasnya karena kerap kali melakukan pelanggaran
terhadap peraturan-peraturan yang ada. Beberapa contoh yang
dipaparkan oleh Gendo adalah seperti menerbitkan SK Gubernur yang
bertentangan dengan Perpres 45/2011 dan juga isi SK Gubernur yang
diktumnya sangat janggal. Berikut kutipannya: “Yang dilakukan oleh
Gubernur adalah dengan terus melakukan pelanggaran peraturan. Mereka
telah melanggar dan memanipulasi peraturan demi mewujudkan proyek
ambisiusnya yang diduga kuat akan berdampak terhadap alam, budaya,
sosial, dan lain-lain39”.
6. Strategies of Threat
Masuknya eskalasi konflik pada tahapan ini ditandai dengan mulai
adanya ancaman dan ultimatum-ultimatum untuk menghancurkan, ini
dilakukan untuk memaksa pihak lawan bisa mengikuti kemauan mereka.
Dalam tahapan saling memberikan ancaman ini sendiri terdapat tiga fase
utama. Fase itu adalah pertama para pihak yang terlibat konflik saling
mengeluarkan ancaman dalam rangka untuk menunjukkan bahwa mereka
tidak akan mundur. Fase kedua adalah kejadian dimana ancaman yang
mereka lakukan menjadi lebih konkret, dan lebih nyata dari sebelumnya.
Fase ketiga adalah dimana ancaman ini diformulasikan menjadi
ultimatum-ultimatum. Pada tahapan ini, pihak yang mengancam merasa
mereka harus melakukan tindakan pengancaman untuk mencegah pihak
lawan menggunakan kekerasan terhadap mereka. Pada tahapan ini,
konflik menjadi semakin kompleks dan secara eskalasi ada kemungkinan
untuk meningkat. Pada tahapan ini, konflik semakin susah untuk
38
Hasil wawancara dengan Dan Unit Intel Kodim Lettu Kusnandar di Hotel Grand Inna Beach, Sanur Bali. 39 Hasil wawancara dengan I Wayan Gendo Suardana di Kantor Walhi Bali.
dikendalikan dan dikontrol dan ada kemungkinan untuk meningkat
menjadi lebih tinggi lagi.
Pada konflik di Teluk Benoa, tahapan eskalasi konflik sudah mulai
memasuki tahapan keenam ini. Ditandai dengan adanya tindakan
pengancaman dari masing-masing pihak. Meskipun apabila ditelaah lebih
jauh lagi pada tahapan ini baru memasuki fase pertama yaitu bahwa
menunjukkan pihak yang kontra tidak akan mundur dari usaha mereka
menolak proyek reklamasi/revitalisasi. Ancaman yang dilakukan oleh
pihak kontra ini dilakukan ketika mereka melakukan aksi menuliskan
sesuatu mengancam Gubernur Bali, Made Mangku Pastika secara
personal yaitu dengan adanya spanduk yang bertuliskan “Penggal Kepala
Mangku P”. Pembentangan spanduk ini dilakukan saat kelompok yang
kontra terhadap proyek reklamasi/revitalisasi melakukan aksi cap jempol
darah di depan Kantor Gubernur Bali. Pihak kepolisian menilai bahwa
spanduk yang dibentangkan oleh aktivis Jalak Sidakarya pada saat aksi
tanggal 28 Februari 2014 lalu itu sudah merupakan sebuah tindakan
pengancaman tertulis dan dapat diancam dengan hukuman maksimal 5
tahun penjara40
. Polisi menangkap dan menahan seorang aktivis Jalak
Sidakarya bernama I Wayan Tirtayasa, meskipun tidak lama kemudian
dilepas karena desakan yang sangat luas dari masyarakat41.
Sementara itu pihak kontra juga merasa ada tindakan
pengancaman dan intimidasi yang dilakukan oleh pihak yang pro terhadap
reklamasi/revitalisasi. Hal ini dirasakan oleh pihak-pihak yang kontra
ketika mereka menghadiri acara diskusi dan seminar yang membahas
mengenai proyek reklamasi dan revitalisasi. Walaupun belum secara fisik,
namun mereka merasa usaha-usahauntuk melakukan intimidasi dan
ancaman itu telah dilakukan oleh pihak pro, yang dimotori oleh
pemerintah. Berikut kutipannya: “Bentuk ancaman itu kebanyakan kita
abaikan. Sebenernya berbagai macam bentuknya, salah satunya adalah
ketika habis melakukan paparan dalam diskusi mengenai reklamasi itu.
40 Hasil wawancara dengan Kasat Reskrim Polresta Denpasar Kompol I Nengah Sadiarta di Hotel Grand Inna Beach, Sanur Bali. 41
Begitu acara selesai saat turun dari panggung dan mau keluar dari
ruangan kita dipepet, terus didorong-dorong oleh pihak yang tidak dikenal.
Tapi kita tahu itu ya orang dari kelompok mana. Tapi ya sudahlah kita
anggap itu sebagai bagian dari perjuanga.42”.
7. Limited Destructive Blows
Dalam tahapan eskalasi ini, para pihak sudah mempunyai
keinginan untuk saling menghancurkan satu sama lain. Pihak lawan pada
tahapan ini sudah dianggap sebagai musuh dan tidak lagi mempunyai
nilai-nilai kemanusiaan. Pada tahapan ini juga sudah tidak ada lagi usaha
komunikasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Mereka hanya fokus
tentang bagaimana mereka menyampaikan pesan mereka. Masing-
masing pihak sudah tidak peduli dengan bagaimana pesan itu diterima
dan bagaimana respon dari pihak lawan. Dalam tahapan ini serangan
dilakukan terhadap target-target yang dimiliki oleh pihak lawan namun
masih secara terbatas. Target-target yang diincar seperti sumber finansial,
status hukum atau fungsi kontrol dari pihak lawan.
8. Fragmentation of Enemy
Pada tahapan ini meraih kemenangan menjadi sebuah hal yang
hampir mustahil. Tahapan ini dianggap sebagai sebuah tahapan dimana
salah satu pihak mencoba untuk memberikan kehancuran secara
maksimal terhdap lawan dengan hanya menimbulkan sedikit kerugian di
pihak sendiri. Penyerangan semakin intensif dengan menyasar pada
objek-objek vital dan basis-basis utama kekuatan musuh. Selain terhadap
mush utama, pendukung dari kelompok musuh juga menjadi target
penyerangan, tujuannya adalah untuk menghancurkan legitimasi serta
memecah-belah kekuatan musuh. Pada tahapan ini juga aksi saling
membalas tindakan yang dilakukan oleh pihak lawan juga meningkat
secara serius. Satu-satunya hal yang menahan masing-masing pihak
dalam melakukan serangan besar-besaran adalah mereka masih khawatir
dengan keselamatan mereka sendiri.
9. Together into the Abyss
42 Hasil wawancara dengan dengan I Wayan Gendo Suardana di Kantor Walhi Bali.
Tahapan ini menurut Glasl adalah merupakan tahapan terakhir dan
tahapan eskalasi paling puncak dari sebuah konflik. Usaha untuk
melakukan pemusnahan terhadap lawan sudah sangat kuat. Pada
tahapan ini masing-masing pihak sudah tidak lagi perduli mengenai
keselamatan mereka sendiri. Hal yang menjadi tujuan mereka adalah
menghancurkan pihak lawan dengan segala resiko dan segala cara.
Kerusakan, kebangkrutan, dan hukuman penjara sudah tidak lagi
dianggap sebagai sebuah hal yang menakutkan, selama mereka bisa
menghancurkan pihak lawan. Sudah tidak ada lagi keinginan untuk
mundur dari pertempuran. Satu-satunya jalan yang mereka tempuh
adalah dengan bertempur habis-habisan, sehingga tidak menjadi masalah
mereka hancur, asal pihak lawan juga hancur.
4.9 Akar Konflik: Ecodevelopmentalism, Alienasi dan Konsep Tri Hita
Karana sebagai Non Negotiable Needs Bagi Masyarakat Bali
Seperti yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya bahwa akar
konflik merupakan sumber penyebab terjadinya konflik yang paling mendasar.
Hal ini bersifat akumulatif dan amat erat kaitannya dengan kebijakan negara. Sub
bab ini akan memaparkan identifikasi akar konflik di wilayah Teluk Benoa.
Pemaparan akan dimulai dengan melihat paradigma pembangunan apa yang
dipilih oleh negara,terjadinya alienasi, dan konsep Tri Hita Karana yang
merupakan Non Negotiable Needs bagi masyarakat Bali.
Secara umum, terdapat tiga paradigma pembangunan yang masing-
masing memiliki efek samping terhadap lingkungan alam dan sosial. Pertama,
paradigma Eco-facism. Paradigma pembangunan ini bertitik tumpu pada
kelestarian lingkungan diatas segalanya sehingga pembangunan apapun harus
tunduk pada kelestarian lingkungan. Paradigma ini melekat pada Green Theory
dan kelompok pecinta lingkungan. Kedua, paradigma Eco-developmentalism.
Paradigma ini merupakan manifestasi dari ambisi pertumbuhan ekonomi dan
investasi sehingga kelestarian lingkungan tidak penting. Atas nama pertumbuhan
ekonomi dan investasi maka pembangunan adalah segala-galanya. Terakhir,
paradigma Eco-populism. Paradigma ini dipahami sebagai titik keseimbangan
antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Eco-populism meletakkan
pembangunan sama pentingnya dengan kelestarian lingkungan, oleh karena itu
keduanya harus berjalan bersamaan tanpa ada satupun yang dikesampingkan43.
Kebijakan negara (politik) sejatinya merupakan hulu dari segala
pembangunan yang ada.44Adanya otonomi daerah membuat Pemerintah
Provinsi maupun Kabupaten/Kota memiliki peran sentral dalam menentukan arah
dan paradigma pembangunan di wilayahnya. Dalam konteks paradigma
pembangunan di Bali – khususnya pembangunan pariwisata – penelitian ini
mengidentifikasi bahwa Eco-developmentalism merupakan paradigma yang lebih
menonjol digunakan oleh negara.
Paradigma pembangunan Eco developmentalism tercermin dalam
pertumbuhan jumlah akomodasi pariwisata di Baliyang terus meningkat sejak
tahun 2010 hingga tahun 2014namun tidak diiringi dengan kelestarian
lingkungan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, jumlah
hotel di Bali – dari hotel bintang satu hingga hotel bintang lima – terus
meningkat.45 Pada tahun 2010, jumlah hotel bintang lima berjumlah 37 hotel,
jumlah ini meningkat pada tahun 2014 menjadi 58 hotel. Demikian pula hotel
bintang empat, tiga, dan satu, semuanya mengalami peningkatan jumlah setiap
tahunnya.46 Berikut data BPS Provinsi Bali mengenai jumlah hotel sejak tahun
2010 hingga 2014.
Tabel 1: Banyaknya Hotel Berbintang di Bali Menurut Lokasi dan Kelas
Hotel
TAHUN
KELAS HOTEL
JUMLAH BINTANG
5
BINTANG
4
BINTANG
3
BINTANG
2
BINTANG
1
2014 58 71 75 25 20 249
2013 54 62 63 24 24 227
43 http://midjournal.com/2014/08/menjual-bali 44
Yudi Latif, “Negara Paripurna” , Jakart: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011 45
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, “Banyaknya Hotel Berbintang di Bali Menurut Lokasi dan Kelas
Hotel” , dalam Bps.go.id , diakses pada 1 April 2018 pukul 14.00 WIB 46
Ibid
2012 52 59 59 25 23 218
2011 51 53 52 23 19 198
2010 37 48 35 26 9 155
Sumber: BPS Provinsi Bali
Ironisnya, pertumbuhan pembangunan itu berdampak buruk pada
lingkungan. Pada tahun 2011 Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH)
Provinsi Bali menyatakan bahwa Provinsi Bali akan mengalami krisis air bersih
pada tahun 2025 akibat sektor industri pariwisata.47 Lebih lanjut, pada tahun
2012 BPLH juga menyampaikan bahwa terdapat 13 titik pantai di Bali yang
tercemar limbah akomodasi pariwisata.48 Ironi tersebut merupakan ciri utama
dari paradigma pembangunan Eco-developmentalism.Pesatnyapembangunan
akomodasi pariwisata di Bali ternyatatidak diiringi dengan terjaganya kelestarian
lingkungan.
Lebih lanjut, pertanyaan yang paling krusial dari pembangunan akomodasi
besar-besaran di Bali adalah;apakah pesatnya pembangunan akomodasi
tersebut diimbangi pula dengan ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan
yang layak? Dapatkah pembangunan besar-besaran akomodasi pariwisata
tersebut meningkatkan Angka Harapan Hidup (AHH) bagi masyarakat? Sejauh
mana pembangunan tersebut memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
sekitar? Jika pertanyaan ini tidak terjawab dengan sebuah data statistik yang
valid dan objektif, maka dapat diidentifikasi bahwa pembangunan besar-besaran
(Eco-developmentalism )tersebut juga turut serta menciptakan alienasi bagi
masyarakat Bali.
Alienasi (keterasingan) merupakan gejala sosial dalam masyarakat
modern. Keterasingan itu sendiri merupakan salah satu tema yang ada dalam
telaah filsafat eksistensialisme.49 Dalam Teori Marx, alienasi merupakan dampak
mekanis dari adanya suatu strata sosial (social class).50 Dalam konteks
penelitian ini, alienasi (keterasingan) tersebut merujuk pada sebuah dampak
47
BPLH Provinsi Bali, Hasil Wawancara 23 Maret 2015 48
Ibid 49
Bud Darma, “Harmonium” , Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 1995 50
Istvan Mieszaros, “Marx’s Theory of Alienation” , UK: Merlin Press, 1970
sosial-ekonomi dari adanya pembangunan akomodasi pariwisata yang begitu
massif.
Penelitian ini menemukan fakta bahwa munculnya konflik di teluk Benoa
bukan tidak berkaitan dengan persoalan Eco-developmentalism dan alienasi.
Pada pembahasan selanjutnya akan diuraikan argumentasi-argumentasi pokok
yang menjadi landasan mengapa penelitian ini mengidentifikasi bahwa
pembangunan Eco-developmentalismjuga telah menciptakan alienasi bagi
masyarakat Bali, khususnya di kabupaten Badung.
Pertama, Kabupaten Badung sebagai lokasi administratif rencana
pembangunan teluk Benoa merupakan kabupaten dengan jumlah akomodasi
pariwisata terbanyak. Berdasarkan data dari BPS Provinsi Bali, Kabupaten
Badung memiliki total 164 hotel berbagai kelas, mulai dari hotel bintang satu
hingga bintang lima. Jumlah ini amat besar dibandingkan dengan jumlah
akomodasi pariwisata di Kabupaten/Kota lain di Povinsi Bali. Akan tetapi,
besarnya jumlah pembangunan akomodasi pariwisata di Kabupaten Badung
tersebut tidak berbanding lurus dengan ketersediaan fasiltas pendidikan dan
kesehatan. Berikut perbandingan jumlah hotel di Provinsi Bali berdasarkan
sebaran per wilayah.51
Tabel 2: Banyaknya Hotel Berbintang di Bali Menurut Lokasi dan Kelas
Hotel Tahun 2014
Kabupaten /
Kota
Kelas Hotel
Jumlah Bintang
5
Bintang
4
Bintang
3
Bintang
2
Bintang
1
1. Jembrana 0 0 2 0 0 2
2. Tabanan 2 0 0 0 0 2
3. Badung 44 55 45 11 9 164
4. Gianyar 7 9 5 0 1 22
5. Klungkung 0 0 2 3 0 5
6. B a n g l i 0 0 0 0 0 0
51
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, “Banyaknya Hotel Berbintang di Bali Menurut Lokasi dan Kelas
Hotel” , dalam Bps.go.id , diakses pada 1 April 2018 pukul 14.00 WIB
7. Karangase
m 1 2 2 1 1 7
8. Buleleng 1 1 9 2 1 14
9. Denpasar 3 4 10 8 8 33
Sumber: BPS Provinsi Bali
Setelah melihat data diatas, dapat dilihat pula data dari BPS Provinsi Bali
tentang ketersediaan jumlah fasilitas pendidikan dan kesehatan. Dari data itu,
fitur utama alienasi (keterasingan) dapat terlihat, kemajuan pembangunan yang
amat pesat itu jutru tidak menghadirkan suatu keberimbangan dengan
ketersediaan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu fasilitas pendidikan dan
kesehatan. Berikut merupakan data BPS Provinsi Bali tentang jumlah fasilitas
pendidikan dan kesehatan per wilayah.52
Tabel 3: Jumlah Fasilitas Pendidikan di Bali Menurut Lokasi Tahun 2014
Kabupaten/
Kota
Sekolah
Negeri Swasta Madrasah Jumlah
1. Jembrana 181 3 9 193
2. Tabanan 323 6 2 331
3. Badung 247 18 2 267
4. Gianyar 280 6 1 287
5. Klungkung 138 0 2 140
6. Bangli 162 0 0 162
7. Karangasem 355 2 6 363
8. Buleleng 476 4 21 501
9. Denpasar 169 41 7 217
Sumber: BPS Provinsi Bali
52
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, “Jumlah Fasilitas Pendidikan di Bali Menurut Lokasi Tahun 2014” ,
dalam Bps.go.id , diakses pada 1 April 2018 pukul 14.00 WIB
Tabel 4 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Bali Menurut Lokasi Tahun 2014
Sumber: BPS Provinsi Bali
Sebagai wilayah dengan jumlah akomodasi pariwisata terbanyak se-
Provinsi Bali, Kabupaten Badung harusnya merupakan wilayah yang memiliki
jumlah ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang paling
memadai.Akan tetapi, data BPS Provinsi diatas tidak menyatakan
demikian.Dalam konteks fasilitas pendidikan misalnya, Kabupaten Badung
berada di peringkat kelima. Posisi tersebut dibawah Kota/Kabupaten Buleleng,
Karangasem, Tabanan dan Gianyar yang pertumbuhan pembangunan
akomodasi pariwisatanya jauh tertinggal dibandingkan dengan Kabupaten
Badung.
Lebih lanjut, dalam konteks ketersediaan fasilitas kesehatan, Kabupaten
Badung juga tidak berada dalam posisi terbaik. Ketersediaan fasilitas kesehatan
terutama Puskesmas dan Puskesmas Pembantu masih kalah jumlah dengan
Kabupaten/Kota Buleleng dan Tabanan. Sebagai kabupaten dengan
pertumbuhan pembangunan yang pesat, Kabupaten Badung seharusnya mampu
Kabupaten /
Kota
Jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Puskesmas Puskesmas
Pembantu
Puskesmas
Keliling
Pos
Pelayanan
Terpadu
1. Jembrana 10 43 10 328
2. Tabanan 20 76 21 828
3. Badung 13 57 1 572
4. Gianyar 13 65 13 566
5. Klungkung 9 53 7 292
6. Bangli 12 59 11 351
7. Karangasem 12 70 12 671
8. Buleleng 20 76 21 714
9. Denpasar 11 24 11 461
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dengan ketersediaanfasilitas pendidikan
dan kesehatan yang lebih unggul dibandingkan dengan kabupaten lainnya.
Kedua, Persoalan alienasi di Kabupaten Badung kembali dapat dilihat dari
data BPS Provinsi Bali terkait Angka Harapan Hidup (AHH). Dalam website resmi
BPS Provinsi Bali, tertera jelas bahwa AHH Kabupaten Badung hanya berada di
posisi kelima. Posisi tersebut secara berturut-turut berada dibawah
Kabupaten/Kota Tabanan, Denpasar, Gianyar dan Jembrana.53Data tersebut
kembali menegaskan bahwa pesatnya pembangunan akomodasi pariwisata di
Kabupaten Badung ternyata justru tidak berbanding lurus dengan AHH
masyarakat Badung. Berikut data dari BPS Provinsi Bali tentang Angka Harapan
Hidup (AHH) masyarakat Bali.
Tabel 5 Angka Harapan Hidup Masyarakat Bali Menurut Lokasi Tahun 2017
Sumber: BPS Provinsi Bali
Ketiga, selain persoalan fasilitas pendidikan, kesehatan dan AHH yang
tidak sejalan dengan pesatnya pembangunan akomodasi pariwisata di
Kabupaten Badung, masalah tenaga kerja juga menjadi wujud alienasi yang
dialami oleh masyarakat. Berdasarkan Survey Opini Publik di Kabupaten Badung
yang dilakukan oleh FISIP Unud pada 15-22 September 2014, didapatkan hasil
53
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, “Angka Harapan Hidup Masyarakat Bali Menurut Lokasi Tahun
2014” , dalam Bps.go.id , diakses pada 1 April 2018 pukul 14.00 WIB
bahwa persoalan kedua yang menjadi keluhan masyarakat di Kabupaten Badung
adalah sulitnya mendapatkan pekerjaan.54 Padahal dengan jumlah akomodasi
pariwisata terbanyak, Kabupaten Badung seharusnya tidak lagi berkutat pada
masalah lapangan pekerjaan.Merujuk
pada tiga argumentasi tersebut, maka penelitianini mengidentifikasi bahwa telah
terjadi alienasi terhadap masyarakat di Kabupaten Badung.
Pembahasan terakhir dalam sub bab ini mengenai konsep Tri Hita Karana
yang dihadapkan pada pembangunan Eco-developmentalism di Bali. Tri Hita
Karana merupakan suatu keyakinan umat Hindu tentang keseimbangan
hubungan (relasi) antara manusia dengan sang pencipta (Parhyangan), manusia
dengan sesame (Palemahan), dan manusia dengan alam (Pawongan). Bagi
umat Hindu, Tri Hita Karana telah menjadi suatu pakem yang harus selalu
dipatuhi. Hal tersebut dapat dipahami sebagai Non Negotiable Needs, yakni
pemahaman John Burton tentang Basic Human Needs yang terkait dengan
nilai/keyakinan.55
Sebagai suatu pakem dan Non Negotiable Needs, konsep Tri Hita Karana
berada di kutub yang berlawanan dengan paradigma pembangunanpariwisata di
Bali, khususnya rencana pembangunan di Teluk Benoa. Keadaan yang
berlawanan inilah yang diidentifikasi sebagai salah satu akar konflik di Teluk
Benoa. Penelitian ini mendapatkan beberapa temuanyang menunjukkan bahwa
penolakan masyarakat atas rencana pembangunan di Teluk Benoa berkaitan
erat dengan kepatuhan mereka terhadap konsep Tri Hita Karana.
Rencana pembangunan di Teluk Benoa menjanjikan lebih dari 200.000
lapangan pekerjaan.56 Akan tetapi, sebanyak 64% masyarakat di Kabupaten
Badung tidak menyetujui adanya reklamasi di Teluk Benoa tersebut.57 Padahal
dalam survey yang sama, masyarakat di Kabupaten Badung menyatakan bahwa
54
FISIP Unud, “Survey Opini Publik di Kabupaten Badung Terkait Isu Reklamasi Teluk Benoa” , 15-22
September 2014 55
John Burton, “Conflict: Human Needs Theory” , London: St. Martin Press, 1990 56
Hasil Wawancara, Heru BS, Direktur TWBI, Sanur 24 Maret 2015 57
Fisip Unud, “Survey Opini Publik di Kabupaten Badung Terkait Isu Reklamasi Teluk Benoa” , 15-22
September 2014
mereka sulit mendapatkan pekerjaan.Temuan survey ini sangat menarik, dari
pilihan sikap masyarakat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat di
Kabupaten Badung memang membutuhkan lapangan pekerjaan, akan tetapi
mereka ingin lapangan pekerjaan yang ada tidak merusak lingkungan.Pola pikir
seperti ini sangat mencerminkan prinsip Pawongan dalam Tri Hita Karana.
Pembahasan sub bab ini berakhir pada beberapa identifikasi faktor
penyebab terjadinya konflik di Teluk Benoa. Pertama, dalam konteks faktor
pemicu, penelitian ini mengidentifikasi bahwa terjadinya konflik Teluk Benoa
dipicu oleh dua momentum, yaitu; penanaman mangrove bersama yang dihadiri
Presiden SBY dan Christiano Ronaldo,serta diterbitkannya SK Gubernur jilid
II.Kedua, terbentuknya ForBALI dan Perpres 51/2014 merupakan manifestasi
dari akselerator. ForBALI dan Perpres 51/2014 merupakan simbol nyata
meluasnya konflik Teluk Benoa ini.Ketiga, telah terjadi eco-developmentalism
dan alienasidi Kabupaten Badung sebagi akar konflik. Rencana reklamasi Teluk
Benoa yang bertentangan dengan Tri Hita Karana (non negotiable needs) juga
diidentifikasi sebagai faktor struktural .Dalam sebuah matriks, identifikasi tersebut
dapat dilihat sebagai berikut;
Tabel 6: Faktor Terjadinya Konflik di Teluk Benoa (Trigger, Accelerator dan
Structure)
FAKTOR KONFLIK
Pemicu (Trigger) Akselerator
(Accelerator)
Akar Konflik (Structure)
Penanaman Mangrove
Presiden SBY dengan
Christiano Ronaldo di
Teluk Benoa.
Pemberitaan dari event
tersebut menjadi
momentum munculnya
awareness dan
Terbentuknya ForBALI
merupakan simbol nyata
dari meluasnya
perlawanan atas rencana
pembangunan di Teluk
Benoa. ForBALI adalah
koalisi masyarakat yang
terdiri dari berbagai
Ecodevelopmentalism
adalah paradigma
pembangunan yang
terjadi di Bali. Pesatnya
pembangunan pariwisata
di Bali, khususnya di
Kabupaten Benoa
memberikan dampak
perlawanan masyarakat
dalam menolak rencana
pembangunan di Teluk
Benoa
elemen, mulai dari LSM,
Mahasiswa, dan
Organisasi lainnya
lingkungan yang buruk.
Terdapat 13 titik pantai di
Bali yang tercemar limbah
akomodasi pariwisata,
dan pada tahun 2025
Provinsi Bali diprediksi
akan krisis air bersih
1. Diterbitkannya SK
Gubernur Jilid II. SK ini
memperkeruh keadaan
dan kian memicu
perlawanan karena
dianggap manipulatif dan
melanggar peraturan
demi mencapai ambisi
pembangunan yang
merusak lingkungan
Perpres 51/2014 kian
memperluas konflik.
Dikeluarkannya Perpres
tersebut menjadi
hembusan angin yang
membawa konflik ini ke
level nasional. Kelompok
kontra reklamasi Teluk
Benoa kini tidak hanya
berada di Bali, berbagai
simpati dan kesamaan
sikap masyarakat di
daerah lain dalam
menolak reklamasi
membuat ForBALI kian
berjejaring
Terjadi alienasi di
Kabupaten Badung,
lokasi administratif
rencana pembangunan
Teluk Benoa. 3 indikator
terjadinya alienasi adalah:
1. Pembangunan
pariwisata yang
pesat tidak
berbanding lurus
dengan ketersediaan
fasilitas pendidikan
dan kesehatan
2. Pembangunan
pariwisata yang
pesat tidak
berbanding lurus
dengan AHH
masyarakat Kab.
Badung
3. Pembangunan
pariwisata yang
pesat justru tidak
mampu
menghadirkan
lapangan pekerjaan
bagi masyarakat
Kab. Badung
Konsep Tri Hita Karana
sebagai non negotiable
needs masyarakat Bali
kini sedang berhadapan
dengan pembangunan
dengan cara
mereklamasi. Menurut
temuan penelitian,
reklamasi dianggap tidak
sesuai dengan konsep Tri
Hita Karana
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
5. ANALISIS AKTOR
Dalam konflik yang timbul akibat adanya pokasi lahan di wilayah perairan
Teluk Benoa, Kabupaten Badung Selatan, peneliti memetakan aktor-aktor yang
terlibat dalam permasalahan ini. Analisis aktor ini bertujuan untuk mengetahui
siapa saja yang mempengaruhi proses dinamis permasalahan di wilayah
perairan Teluk Benoa dan siapa saja yang dipengaruhi atau terkena dampak dari
proses tersebut. Dengan dipetakannya aktor-aktor ini diharapkan dapat diketahui
bagaimana peran dan pengaruh mereka dalam permsalahan yang terjadi, serta
apakah ada pihak yang dapat menghambat dan pihak yang dapat diajak
berkerjasama dalam terbentuknya resolusi yang akan peneliti berikan melalui
rekomendasi dalam bagian akhir penelitian.
Terdapat kategorisasi beberapa kelompok dalam penelitian ini, sesuai
dengan konsep kerangka dinamis.58 Dalam konsep tersebut dikategorisasikan
58
Malik, Ichsan. 2014. Kerangka Dinamis Pencegahan dan Resolusi Konflik.
tiga kelompok aktor yang harus dipetakan dan memiliki keterkaitan dengan faktor
penyebab munculnya konflik, yaitu kelompok aktor provokator atau securitizing
actor, kelompok aktor rentan atau vulnerable group, dan kelompok aktor
fungsional. Ketiga kategori kelompok aktor ini merupakan bagian yang memiliki
keterkaitan dan pengaruh yang besar dalam meningkatkan ekskalasi konflik.
Sebagaimana dikutip dari Malik bahwa aktor provokator merupakan aktor
utama yang terlibat dalam konflik.59 Kelompok ini terkadang memiliki logika yang
abnormal mengenai suatu peristiwa yang terjadi atau faktor-faktor yang ada
dalam konflik. Logika abnormal inilah yang kemudian disebarkan dalam bentuk
informasi yang distortif dan diterima oleh kelompok rentan. Tanggapan dari
kelompok ini terhadap logika abnormal provokator ini akan membuat ekskalasi
konflik menjadi semakin meningkat. Dengan demikian diharapkan kelompok
fungsional yang dalam konteks permasalahan Teluk Benoa ini adalah
Pemerintah Daerah (Pemda), Komando Resort Militer (Korem), dan Polisi
Daerah (Polda) wilayah Bali untuk dapat memotong pengaruh dari kelompok
provokator kepada kelompok rentan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah
meningkatnya ekskalasi konflik. Kelompok fungsional ini juga diharapkan dapat
berkomunikasi dan berkoordinasi dengan kelompok pemangku kepentingan
(stakeholders) seperti Pecalang, tokoh adat, akademisi dan pihak lain yang
berkepentingan untuk untuk mencegah dan menghentikan konflik.
Dari hasil pemetaan di atas, dapat dianalisa bahwa besar kecilnya
lingkaran masing-masing aktor tersebut berdasarkan pada kekuatan sumber
daya yang ia miliki, yaitu kedudukan, kepribadian, dan politik. Sebagaimana
disadur dari Malik dalam Menyeimbangkan Kekuatan (Malik dkk, 2003:384-385),
terdapat tiga sumber kekuatan untuk mengetahui besar kecilnya pengaruh
kekuatan seseorang, sebagai berikut60 :
a. Kekuatan yang bersumber pada kedudukan. Salah satu jenis kekuatan
yang bersumber dari kedudukan antara lain adalah kekuatan legal.
Misalnya, Gubernur atau Bupati yang memiliki kekuatan legal karena
terpilih sebagai pemimpin daerah berdasarkan hasil suara rakyat
59
ibid 60
Malik, Ichsan dkk. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan : Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik Atas
Sumber Daya Alam. Yayasan Kemala : Jakarta. h. 384-385
terbanyak dalam pemilu. Selain itu, mereka juga diperkuat dengan
peraturan resmi seperti Undang-Undang untuk memimpin daerahnya.
Kekuatan dalam sumber ini selanjutnya adalah kekuatan untuk
mengendalikan sumber dan hukuman, kekuatan untuk mengendalikan
informasi, dan kekuatan kendali atas lingkungan.
b. Kekuatan yang bersumber pada kepribadian. Terdapat beberapa jenis
kekuatan yang bersumber dari kepribadian, antara lain adalah
keterampilan pengetahuan, keahlian, kekuatan persahabatan atau
kesetiaan serta kharisma.
c. Kekuatan yang bersumber pada politik. Terdapat beberapa jenis kekuatan
yang bersumber dari politik antara lain sebagai berikut :
Kekuatan untuk mengendalikan atas proses pembuatan keputusan,
contohnya seorang hakim yang memimpin sidang pengadilan
memiliki kekuatan kendali atas proses berjalannya sidang dan
vonis yang akan dijatuhkan. Contoh selanjutnya ialah seorang
presiden yang mempunyai kekuatan politik karena sebuah undang-
undang yang disetujui oleh DPR baru berlaku jika sudah
mendapatkan tanda tangan dan persetujuan dari presiden.
Kekuatan koalisi. Dalam kekuatan ini dapat dilihat misalnya pada
seorang bupati yang memiliki sumber kekuatan politik sehingga ia
mendapatkan kewenangan untuk membuat kerja sama dengan
kelompok lain.
Kekuatan partisipasi, hal ini juga bersumber dari kekuatan politik,
sebab penguasa terkadang dapat mengatur dan mengontrol siapa
saja yang boleh dan tidak boleh berpartisipasi.
Kekuatan Institusionalisasi, dalam hal ini misalnya seorang kepala
desa, yang memiliki kekuatan untuk mengabsahkan parlemen
desa.
Berdasarkan berbagai sumber kekuatan sebagaimana diuraikan inilah
yang menjadi panduan peneliti untuk merumuskan besar kecilnya lingkaran
dalam pemetaan aktor yang digambarkan di atas. Berikut penjelasan masing-
masing aktor yang telah dipetakan di atas :
5.1. Kelompok Provokator (Securitizing Actor)
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok ini merupakan
aktor utama dalam faktor penyebab munculnya konflik dan meningkatnya
ekskalasi konflik. Oleh karena itu berdasarkan hasil temuan di lapangan dan
studi literatur, kelompok provokator dalam konflik akibat pokasi lahan di wilayah
perairan Teluk Benoa, Bali antara lain akan diuraikan dalam penjelasan di bawah
ini:
a. PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI)
PT. TWBI merupakan salah satu perusahaan swasta yang akan menjadi
investor dalam program revitalisasi wilayah perairan Teluk Benoa, Bali. Hal ini
sesuai dengan SK Gubernur Bali Nomor 172701-BHK 2013 yang berisi uji
kelayakan untuk PT. TWBI dalam program revitalisasi Teluk Benoa. Sebelumnya
Gubernur juga mengeluarkan SK Gubernur Bali Nomor 213802-CLHK 2012
mengenai izin bagi PT. TWBI untuk melakukan pembangunan revitalisasi di
wilayah tersebut, namun SK ini dicabut karena dinilai banyak menimbulkan pro
dan kontra dalam tatanan masyarakat Bali.
Saat ini, proses uji kelayakan ini masih dalam tahapan Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL). Menurut PP No. 27 Tahun 1999, pengertian
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan
keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Tahapan AMDAL ini merupakan
analisis yang meliputi berbagai faktor yaitu faktor fisik, kimia, biologi, sosial
ekonomi dan sosial budaya yang dilakukan secara integrasi dan menyeluruh. 61
Dengan demikian, PT. TWBI masih diuji kelayakannya untuk melakukan
pembangunan kepariwisataan berbasis budaya di Teluk Benoa atau program
revitalisasi di wilayah tersebut.
61
http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-amdal-dan-fungsi-amdal.html#_. Pengertian Amdal
dan Fungsi Amdal. Diakses pada 05 April 2014 pukul 12:09 WIB.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur Utama dari PT. TWBI
(Wawancara, 24/03/2015), dalam hal ini pihak TWBI diberikan tawaran untuk
mengembangkan kawasan Teluk Benoa yang sudah rusak. Dengan melihat
potensi dari Teluk Benoa ini, pihak pengembang bersinergi dengan pemerintah
untuk membangun kawasan modern dengan berbasiskan teknologi untuk
pengembangannya yang juga diyakini dengan cara yang sangat canggih dan
tidak merusak lingkungan. PT TWBI bersama pemerintah berkomitmen untuk
membangun kawasan tersebut dengan tujuan memajukan wilayah Kabupaten
Badung Selatan ini saat kabar revitalisasi ataupun relokasi teluk ini dicanangkan.
Penolakan reklamasi sebelum pihak TWBI ikut serta dan menjadi
Investor, memang sudah ada sebelumnya. Penolakan tersebut muncul setiap
terjadi pembangunan yang dikhawatirkan oleh masyarakat lokal jika tidak ada
penyerapan tenaga kerja secara optimal dan juga rusaknya kebudayaan yang
ada di Bali. Pihak TWBI sebagai Investor utama berupaya untuk melakukan
sosilisasi dan juga untuk reklamasi ini berupaya menggunakan teknologi canggih
agar tidak merusak lingkungan. Janji perusahaan ini adalah akan adanya
optimalisasi penyerepan tenaga kerja dari masyarakat Bali sendiri dan juga
menjanjikan penyediaan lahan untuk pelestarian budaya dengan tujuan taraf
internasional dengan upaya pemasaran budaya dari revitalisasi yang dilakukan
(Wasesa, Wawancara : 24/03/2015).
Upaya sosialisasi dan pemahaman yang dilakukan pihak TWBI dapat
dikategorikan menjadi tolak ukur optimistis dalam pembangunan revitalisasi di
Teluk Benoa ini. Hal demikian didasari oleh berkembangnya sikap masyarakat
yang sebelumnya secara keseluruhan menolak revitalisasi berubah menjadi
pihak pro dan kontra revitalisasi. Pengajuan revitalisasi yang dilakukan oleh
pihak Investor dan pemerintah sendiri hingga saat ini masih dalam proses awal
yaitu dalam proses pengecekan AMDAL yang juga masih harus melalui proses
lebih lanjut untuk pembangunan.
Sebagai salah satu aktor yang dikategorikan dalam kelompok provokator,
PT. TWBI memiliki kekuatan kedudukan sumber daya ekonomi dan politik. Hal ini
dikarenakan investasi yang ia miliki dalam jumlah besar sebagai salah satu
perusahaan swasta yang tergabung dalam Artha Graha Network dan Artha
Graha Peduli. Berkaca dari keberhasilan tersebut, maka perusahaan ini
meyakinkan masyarakat bahwa pembangunan yang ada tidak akan merusakan
nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat Bali setempat. Dengan
sumber daya ekonomi yang dimiliki perusahaan ini maka ia dapat mempengaruhi
pemerintah daerah Bali dengan mengajukan proposal tawaran pembangunan
revitalisasi Teluk Benoa, Bali kepada Pemda Provinsi Bali yang kemudian diikuti
dengan dikeluarkannya SK Gubernur Bali tahun 2012 dan 2013 untuk menguji
kelayakan pembangunan dari perusahaan tersebut.
Selain itu, dengan sumber daya ekonominya, PT. TWBI mampu
mempengaruhi masyarakat lokal Bali dan sekitar wilayah Teluk Benoa untuk
mendukung program pembangunan revitalisasi dari perusahannya. Bersama
dengan Artha Graha Peduli, perusahaan ini membentuk Forum Peduli Mangrove
Bali (FPMB) untuk fokus dan memperhatikan mangrove di perairan Teluk Benoa.
Organisasi FPMB telah terdaftar di Kesbangpolimas Kab. Badung pada tanggal
26 Maret 2014 dan saat ini beranggotakan 147 orang.62 Kegiatan bersama
antara PT. TWBI dan FPMB pun seringkali dilakukan dalam rangka menjaga dan
melestarikan mangrove di Teluk Benoa, seperti diketahui bahwa pelestarian
mangrove merupakan salah satu program pembangunan revitalisasi PT. TWBI.
Wasesa (wawancara, 24/03/2015) juga menyatakan bahwa upaya menjaga
mangrove ini juga merupakan salah satu upaya untuk tetap melestarikan budaya
Tri Hita Kirana masyarakat Bali.
Selain itu, berdasarkan analisis peneliti, PT. TWBI juga memiliki kekuatan
politik dengan kekuatan koalisi dan partisipasi. Sebagai salah satu anak
perusahaan dari Artha Graha Group yang bekerjasama dengan beberapa
instansi pemerintah lokal dan organisasi internasional seperti, Tentara Nasional
Indonesia (TNI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Badan Narkotika
Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), United
Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), dan Taman Safari Indonesia (TSI)
melalui Artha Graha Peduli.63 Beberapa jalinan kerjasama tersebut merupakan
bagian dari kekuatan koalisi dan partisipasi, mengingat beberapa instansi di atas
62
http://twbi.co.id/index.php?page=csr. Forum Peduli Mangrove Bali. Diakses pada 05 april 2015 pukul
15:53 WIB. 63
http://arthagrahapeduli.org/profile/. Profile. Diakses pada 05 april 2018 pukul 16:29 WIB
merupakan organisasi pemerintah dan non pemerintah yang layak
diperhitungkan. Selain itu, PT. TWBI sendiri juga bersama dengan FPMB dan
masyarakat lokal sekitar Teluk Benoa yang mendukung rencana pembangunan
dan revitalisasinya, membentuk beberapa satuan tugas dan koordinator
lapangan yng bertugas merawat hutan mangrove di kawasan Teluk Benoa, yang
diresmikan oleh Gubernur Bali dan Muspida Bali.64
Dari kekuatan sumber daya ekonomi dan politiknya ini, PT. TWBI mampu
mempengaruhi pemerintah daerah Bali dan masyarakat lokal Bali dalam upaya
mewujudkan pembangunan revitalisasi di wilayah perairan Teluk Benoa. Oleh
karena itu, dari hasil program sosialisasi dan beberapa jalinan kerjasamanya
dengan masyarakat lokal Bali dan sekitar Teluk Benoa, maka terbentuklah
kelompok yang mendukung, tidak mendukung, dan abu-abu akan program
pembangunan revitalisasi oleh PT. TWBI di Teluk Benoa.
Di sisi lain, dalam menghadapi pihak-pihak yang kontra akan program
revitalisasi dan pembangunan dari perusahaannya, PT. TWBI masih harus terus
melakukan sosialisasi dan diskusi publik dengan mengundang pihak yang kontra
tersebut. Namun, Wasesa (Wawancara, 24/04/2015) menyatakan bahwa dalam
beberapa kali kegiatan diskusi publik diselenggarakan, pihak yang kontra seperti
Walhi Bali dan beberapa kelompok yang tergabung dalam organisasi ForBali
serta masyarakat yang kontra tidak pernah menghadiri kegiatan tersebut.
Sebagai contoh, Walhi Bali pernah tiga kali menolak undangan konsultasi publik
Amdal Revitalisasi Teluk Benoa dari PT. TWBI pada 11 Maret 2015 lalu.65
Tercatat pihak kontra, yaitu ForBali walkout dalam konsultasi public Amdal
Revitalisasi Teluk Benoa dari PT. TWBI pada 11 Maret 2015 lalu, mereka
mengajukan keberatan dan kajian penolakan kepada pihak perusahaan.
Kemudian, pihak ForBali melihat dan mengkritisi undangan TWBI tak utuh dan
lengkap memenuhi komposisi kepesertaan.66
64
http://www.beritasatu.com/nasional/124208-forum-peduli-mangrove-terus-rawat-hutan-mangrove.html.
Forum Peduli Mangrove Terus Rawat Hutan Mangrove. Diakses pada 05 april 2015 pukul 17:26 WIB. 65
http://twbi.co.id/index.php?page=singlePost&postId=77. Walhi Bali Tiga Kali Menolak Surat Undangan
Konsultasi Publik Amdal Revitalisasi Teluk Benoa. Diakses pada 05 april 2015 pukul 17:14 WIB. 66
http://www.mongabay.co.id/tag/jerinx-teluk-benoa/. Melati Sucikan Bumi Menyambut Nyepi. Diakses
pada 05 april 2014 pukul 23.00 WIB.
b. Yayasan Bumi Bali Bagus
Terdapat beberapa elemen gerakan yang bernaung di bawah Yayasan
Bumi Bali Bagus, antara lain adalah Bali Harmoni, Gassos Bali, Forbara, Badan
Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Bali, dan Keluarga Besar Pendukung
Revitalisasi Teluk Benoa Bali. Semua elemen yang tergabung dalam yayasan ini
fokus pada upaya terwujudnya revitalisasi di Teluk Benoa.67 Dalam Forum Bali
Bebas Bicara yang diadakan setiap hari Minggu di Denpasar pada 16 November
2014, Ketua Yayasan Bumi Bali Bagus, Komang Gede Subudi menambahkan
bahwa Revitalisasi Teluk Benoa sudah dikaji oleh tujuh Universitas terkenal di
negeri ini dan semuanya menyatakan layak direvitalisasi. Alasan ilmiah layak
direvitalisasi ini karena di wilayah perairan Teluk Benoa sudah mulai terdapat
sendimentasi yang begitu tinggi, sehingga membuat mangrove tersebut mati.
Selain itu, alsan lainnya adalah karena mangrove di wilayah ini tidak
mendapatkan air serta oksigen. Dengan demikian, menurutnya wilayah perairan
Teluk Benoa sudah seharusnya direvitalisasi karena adanya beberapa
kerusakan yang terjadi dan sudah tidal layak menjadi lahan konservasi sesuai
dengan Perpres No. 51 tahun 2014.68
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Keluarga Besar Pendukung
Revitalisasi Teluk Benoa Bali, Wayan (wawancara, 24 Maret 2015), ia
menyatakan bahwa kawasan perairan Teluk Benoa ini sudah tidak layak
dipertahankan.69 Hal ini disebabkan terjadi surutnya kawasan teluk setiap dua
kali sehari dan mengancam rusaknya hutan mangrove yang ada. Menurutnya,
Perpres No. 51 tahun 2014 merupakan acuan bagi gerakan dan yayasan Bumi
Bali Bagus ini untuk mendukung program revitalisasi dan pembangunan oleh
investor yang dalam hal ini adalah PT. TWBI. Sebab, Perpres ini turun sudah
berdasarkan pertimbangan yang matang dan atas pelibatan beberapa
kementerian seperti kementerian kelautan dan perikanan, dan kementerian
kehutanan.
67
http://www.jpnn.com/read/2015/02/25/289190/Dukungan-Revitalisasi-Teluk-Benoa-Kian-Besar.
Dukungan Revitakisasi Teluk Benoa Kian Besar. Diakses pada 05 april 2015 pukul 17:34 WIB. 68
http://yayasanbumibalibagus.com/?p=431 PB3AS Episode 3 : revitalisasi Teluk benoa banyak manfaat,
diakses 05 april 2015, 17 : 47 PM 69
Wayan, Renten. Ketua Keluarga Besar Pendukung Revitalisasi Teluk Benoa Bali. Wawancara Personal.
24 Maret 2015. Grand Inna Hotel Bali Beach : Sanur, Bali.
Ia juga menambahkan bahwa pembangunan dan revitalisasi Teluk Benoa
seperti yang dikonsepkan oleh pihak PT. TWBI ini merupakan solusi yang bagus
untuk masyarakat Bali. Mengingat bahwa dalam waktu dekat akan ada
pertemuan internasional di Bali, maka revitalisasi di wilayah ini akan mendukung
nama baik bali sebagai ikon pariwisata nomor 1 di Indonesia. Sebab, selain
diperbaikinya wilayah yang sudah rusak ini, masyarakat lokal Bali juga akan
mendapatkan kesempatan untuk menjadi tenaga kerja yang disediakan oleh
pihak perusahaan. Nelayan yang bekerja di sekitar wilayah Teluk Benoa pun
tidak akan kehilangan pekerjaannya, karena pihak perusahaan akan
menyediakan lahan untuk mencari ikan bagi para nelayan. Bahkan,
pembangunan yang dilakukan oleh pihak perusahaan akan tetap memperhatikan
nilai kebudayaan Tri Hita Kirana masyarakat Bali, dengan diadakannya
pertunjukan-pertunjukan seni dan kebudayaan di wilayah Teluk Benoa jika
pembangunan ini jadi dibangun. Selain itu, menurutnya pembangunan ini akan
tetap memperhatikan aspek lingkungan, antara lain yaitu hutan mangrove yang
ada sebagai salah satu bentuk dari bagian kajian Tri Hita Kirana.70
Dari hasil pemetaan aktor dan tamuan di lapangan, peneliti menganalisa
bahwa Yayasan Bumi Bali Bagus beserta elemen-elemennya seperti Keluarga
Besar Pendukung Revitalisasi Teluk Benoa Bali hanya memiliki kekuatan yang
bersumber pada kepribadian. Hal ini dikarenakan, kelompok ini merupakan salah
satu yayasan yang merupakan organisasi non profit dan non pemerintah.
Dengan demikian, yayasan ini memiliki kekuatan seperti keahlian dan
keterampilan dalam berunding serta kharisma, mengingat beberapa anggotanya
merupakan orang yang dituakan di banjar dan kelurahannya, seperti Renten
Wayan yang merupakan ketua Keluarga Besar Pendukung Revitalisasi Teluk
Benoa Bali. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh yayasan dan anggota-
anggotanya, maka ia dapat mempengaruhi masyarakat yang lokal Bali dan
sekitar Teluk Benoa untuk mendukung visi mereka dalam mewujudkan
pembangunan dan revitalisasi Teluk Benoa.
Yayasan Bumi Bali Bagus melalui Keluarga Besar Pendukung Revitalisasi
Teluk Benoa Bali, seringkali mengadakan koordinasi dan kegiatan bersama
70
ibid
dengan Forum Peduli Mangrove misalnya dalam upaya menjaga mangrove yang
ada di kawasan Teluk Benoa. Selain itu, gerakan ini juga sering mengikuti Forum
Bebas Bicara yang diadakan setiap hari Minggu yang difasilitasi oleh Pemerintah
Daerah Provinsi Bali. Dalam forum ini, kerap kali Yayasan Bumi Bali Bagus
beserta Keluarga Besar Pendukung Revitalisasi Teluk Benoa Bali mendiskusikan
permasalahan pembangunan dan revitalisasi Teluk Benoa. Namun, dari pihak
yang kontra tidak pernah menghadiri kegiatan tersebut secara rutin. Menurut
pengakuan Wayan (wawancara, 24 Maret 2015), pernah suatu kali ia berada
satu panggung dengan Putri yang merupakan anggota organisasi Walhi Bali
dalam Forum Bebas Bicara ini, mereka beradu argumen mengenai
pembangunan dan revitalisasi Teluk Benoa.
Sedangkan, dengan pihak investor sendiri, yaitu PT. TWBI ia sering
melakukan kegiatan bersama dengan mengikuti kegiatan sosialisasi yang
dilakukan oleh pihak perusahaan. Salah satunya, yaitu kegiatan sosialisasi
perusahaan di Tanjung Benoa yang juga dihadiri oleh garakan ini. Bahkan
menurut Wayan, pihak perusahan membangun balai pertemuan di Banjar
Tengah, Tanjung Benoa atas permintaan masyarakat banjar tersebut.
Yayasan dan gerakan ini berharap bahwa pembangunan dan revitalisasi
yang dikonsepkan oleh PT. TWBI dapat diwujudkan. Jika pembangunan ini tidak
jadi dilakukan maka yang akan terkena dampak negatifnya adalah masyarakat
sendiri. Dampak negatif yang akan dirasakannya ialah antara lain seperti
masyarakat terancam akan diserang oleh penyakit virus karena adanya angin
Barat pada saat air kering, sebab di wilayah Teluk Benoa juga menjadi
pembuangan limbah masyarakat, pembuangan limbah saluran sungai yang
kemudian akan mengendap dan menjadi penyakit.
Ia juga mengharapkan agar Pemerintah Bali dapat tegas dalam
menghadapi permasalahan ini. Menurutnya, secara legal revitalisasi Teluk Benoa
ini sudah dapat dilakukan dengan dikeluarkannya Perpres No. 51 tahun 2014
sebagai acuan. Bahkan Gubernur sendiri telah mengeluarkan SK Gubernur Bali
Nomor 172701-BHK 2013 mengenai uji kelayakan PT. TWBI untuk melakukan
pembangunan di Teluk Benoa. Ketegasan pemerintah daerah sangat diharapkan
untuk menangani polemik pro dan kontra yang timbul di masyarakat.
c. Forum Peduli Mangrove Bali (FPMB)
Forum Peduli Mangrove Bali (FPMB) merupakan salah satu forum
masyarakat yang berperan dalam merawat serta melestarikan alam, khususnya
hutan mangrove yang ada di wilayah Bali. Forum ini terbentuk berdasarkan
inisiasi dari lima lembaga pemberdayaan masyarakat di Bali yang mengirimkan
surat ke Yayasan Artha Graha Peduli. Kelima lembaga ini mengawali
tindakannya karena sadar akan adanya potensi kerusakan hutan mangrove
khususnya di Tahura Ngurah Rai, Teluk Benoa. Saat ini FPMB merupakan
badan organisasi yang telah terdaftar di Kesbangpolimas Kabupaten Badung
pada tanggal 26 Maret 2014 dan hingga kini beranggotakan 147 orang.71
Dari hasil wawancara dengan Sunarta, ia menyatakan bahwa program
revitalisasi dan pembangunan di wilayah Teluk Benoa ini merupakan hal yang
aman dilakukan karena merevitalisasi itu sendiri maknanya memperbaiki yang
rusak untuk menjadi bagus, sehingga yang tadinya tidak bermanfaat menjadi
bermanfaat.72 Ia pun merasa dilindungi dengan adanya peraturan revitalisasi
minimal 100 meter dari hutan mangrove, bahkan pihak perusahaan dalam hal ini
PT. TWBI juga mengkonsepkan akanadanya ruang terbuka hijau utuk mangrove
di Teluk Benoa.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh Sukada yang merupakan Ketua
Harian Forum Peduli Mangrove Bali sekaligus masyarakat kelurahan Tanjung
Benoa. Sukada mengungkapkan bahwa pihaknya mendukung revitalisasi Teluk
Benoa karena diyakini akan mengembalikan fungsi kawasan, terutama hutan
mangrove sebagai filter terhadap kotoran dan lainnya. Selain itu, meskipun
dilakukan revitalisasi, namun pihak investor, PT. TWBI tetap memberikan
jaminan akan adanya konservasi kawasan mangrove. Di sisi lain, ia menyatakan
bahwa masyarakat juga akan mendukung rencana pembangunan dan revitalisasi
di wilayah perairan Teluk Benoa. Hal ini dikarenakan program ini memberikan
71
http://twbi.co.id/index.php?page=csr. Forum Peduli Mangrove Bali. Diakses pada 05 April 2015 pukul
19.25 WIB. 72
Sunarta, I Wayan. Ketua Harian Forum Peduli Mangrove Bali. Wawancara Personal. 24 Maret 2015.
Grand Inna Hotel Bali Beach : Sanur, Bali.
manfaat yang jelas, bukan hanya untuk lingkungan namun juga untuk budaya
dan ekonomi masyarakat Bali.73
Menurut Sunarta, munculnya kelompok yang tidak setuju terhadap terkait
perencanaan pembangunan dan revitalisasi di Teluk Benoa, disebabkan karena
pihak-pihak atau kelompok masyarakat tersebut tidak memahami makna dari
revitalisasi itu sendiri.74 Kurangnya pemahaman akan revitalisasi di wilayah Teluk
Benoa ini mungkin juga disebabkan minimnya sosialisai yang lebih mendetail
mengenai hal ini. Ia juga menambahkan bahwa jika kelompok-kelompok ini serta
masyarakat sudah memahami maka mereka akan mendukung rencana
pembangunan dan revitalisasi ini. Hal ini dikarenakan Bali membutuhkan
disinergi baru untuk pariwisata. Adapun munculnya kelompok pro dan kontra ini
merupakan hal yang biasa muncul dalam setiap permasalahan.
FPMB sendiri telah melakukan berbagai pendekatan baik secara personal
maupun kelompok kepada masyarakat terkait rencana pembangunan dan
revitalisasi wilayah perairan Teluk Benoa. Di samping itu, forum ini juga
mengedukasi masyarakat untuk penyelamatan lingkungan dan tidak membuang
sampah ke hutan mangrove serta memberikan edukasi mengenai pengolahan
bibit dan produksi mangrove agar menjadi lebih bermanfaat. FPMB bersama PT.
TWBI melalui beberapa satuan tugas dan koordinator lapangan yang dibentuk
dan diresmikan oleh Gubernur Bali dan Muspida Bali juga melakukan sosialisasi
dengan masyarakat sekitar Teluk Benoa khususnya secara personal dan
mendatangi per keluarga masing-masing. Hasilnya ada beberapa masyarakat
yang sudah paham namun mereka hanya diam saja.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan dan kajian literatur. peneliti
menganalisa bahwa FPMB memiliki kekuatan kedudukan dan kepribadian seperti
dipetakan di atas. Kekuatan kedudukan ini diperoleh karena ia merupakan salah
satu organisasi yang terdaftar di Kesbangpolimas Kabupaten Badung pada tahun
2014 lalu paska pembentukannya. Dengan kedudukannya tersebut, berarti
secara legal organisasi ini dapat bergerak. Selain itu, ia juga memiliki kekuatan
kepribadian, karena dari beberapa anggota organisasi ini merupakan masyarakat
73
http://www.antarabali.com/berita/64525/masyarakat-tanam-bakau-hijaukan-teluk-benoa. Masyarakat
Tanam Bakau Hijaukan Teluk Benoa. Diakses pada 05 april 2014 pukul 20:43 WIB. 74
ibid
lokal di sekitar Teluk Benoa yang berpengaruh. Dengan demikian, orang-orang
yang tergabung dalam anggota FPMB ini dapat mempengaruhi masyarakat lokal
maupun kelompok-kelompok lain untuk memahami edukasi yang ia berikan
terkait perawatan mangrove dan dukungan terhadap revitalisasi Teluk Benoa.
FPMB ini sendiri didirikan oleh Artha Graha Peduli, sehingga secara tidak
langsung organisasi ini berada di bawah koordinasi Artha Graha Peduli. Selain
itu, organisasi ini juga menjalin kerjasama dengan PT. TWBI sebagai bentuk
kegiatan Coorporate Social Responsibility (CSR) untuk melestarikan mangrove di
Tahura, Ngurah Rai sejak tahun 2013. Berbagai kegiatan bersama seringkali
dilakukan antara lain pada 26 Juni 2013, FPMB menghadirkan Christian Ronaldo
sebagai duta mangrove dan melakukan penanaman mangrove bersama mantan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.75 Kemudian, seperti diakui oleh Wayan
yang merupakan Keluarga Besar Pendukung Revitalisasi Teluk Benoa Bali dan
salah satu anggota FPMB, acapkali kedua gerakan ini melakukan kegiatan
bersama terutama dalam hal pelestarian mangrove.76
…….. (Wawancara FPMB, 24/03/2015) mengungkapkan harapannya agar
pemerintah daerah Bali dapat bertindak tegas dalam menghadapi polemik ini.
Apapun keputusan pemerintah, FPMB akan mematuhi keputusan tersebut.
Menurutnya yang dapat menyelesaikan permasalahan adalah Presiden,
Gubernur dan DPRD Bali. FPMB secara lembaga tidak menyatakan bahwa
forumnya mendukung atau menolak revitalisasi, yang penting menurutnya adalah
revitalisasi ini baik dan tidak berdampak negatif pada kawasan mangrove yang
ada.
d. Yayasan Sekretariat Penyelematan dan Pelestarian Lingkungan
Hidup (YSPPLH)
Yayasan independen ini diketuai oleh Made Mangku ini berlokasi di Jl.
Kesuma Sari 19, Sanur Kaja, Denpasar Selatan, Bali. Yayasan ini bergerak
untuk menyelamatkan kemudian melestarikan lingkungan hidup. Dalam perihal
75
http://swa.co.id/corporate/bersama-presiden-sby-cristiano-ronaldo-tanam-mangrove-di-bali diakses 05
april 2015 21:27 PM 76
Wayan, Renten. Ketua Keluarga Besar Pendukung Revitalisasi Teluk Benoa Bali. Wawancara Personal.
24 Maret 2018. Grand Inna Hotel Bali Beach : Sanur, Bali.
rencana pembangunan dan revitalisasi wilayah perairan Teluk Benoa oleh PT.
TWBI, yayasan secara lembaga tidak memihak ataupun menolak. Namun,
menurut Ayu dalam wawancara dengan peneliti bahwa mereka hanya
memberikan informasi yang benar kepada msyarakat terkait permasalahan ini
dengan kajian dan tekhnis yang dimiliki oleh yayasannya. Sebab, menurutnya
selama ini masyarakat seperti dibodohi dengan informasi yang beredar saat ini.
77
Yayasan ini sudah mengikuti perkembangan ini dari tahun 1986.
Menurutnya, pada tahun 1986 rencana revitalisasi layak dilakukan di wilayah
Teluk Benoa berdasarkan hasil uji kelayakan AMDAL. Pihak yang mengujinya
sendiri merupakan Universitas Udayana (UNUD). Namun, saat ini pihak UNUD
dalam menanggapi SK Gubernur Bali Nomor 172701-BHK 2013 tentang uji
kelayakan PT. TWBI, menyatakan bahwa dari hasil kajian mereka bahwa
revitalisasi di wilayah ini tidak layak. Ia pun menambahkan bahwa revitalisasi
Teluk Benoa dengan reklamasi Pulau Serangan merupakan dua hal yang
berbeda jauh. Sebab, jika dilihat dari karakteristik teluk dan pulau ini sangat
berbeda. Di Teluk Benoa ini sendiri sebenarnya tidak ada biota laut yang hidup,
biota yang ada ini hanyalah biota yang muncul akibat perpindahan karena
adanya air yang pasang, mengingat memang tidak ada terumbu karang di
wilayah tersebut.
YSPPLH menyatakan bahwa dalam hal pembangunan dan revitalisasi
oleh investor, PT. TWBI tidak akan merebut lahan milik warga. Menurutnya,
pihak perusahaan akan menyediakan lahan baru untuk warga. Selain itu,
pembangunan ini juga akan melestarikan budaya Tri Hita Kirana dengan adanya
pembangunan yang ramah lingkungan, ruang terbuka hijau dan atraksi
pertunjukan seni dan budaya, serta dibangunnya pura.
Yayasan ini pun bersama dengan pihak TWBI dan Pemerintah Daerah
pun masih sering melakukan kegiatan sosialisasi menyangkut permasalahan
revitalisasi ini. Sosialisasi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat berdasarkan kajian dan fakta yang ada. Ayu pun menyatakan bahwa
yayasan ini seringkali dilibatkan dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh 77
Ayu. Anggota Yayasan Sekretariat Penyelamat dan Pelestarian Lingkungan. Wawancara Personal. 24
Maret 2018. Grand Inna Hotel Bali Beach : Sanur, Bali.
pemerintah daerah. Dalam hal ini pemda meminta masukan dari YSPPLH terkait
hal-hal tertentu, tidak hanya pemsalahan revitalisasi Teluk Benoa saja. Yayasan
ini juga berkoordinasi dengan PT. TWBI dalam konteks untuk mengetahui dan
mengawasi pihak perusahaan terkait permasalahan pembangunan dan
revitalisasi Teluk Benoa. Menurutnya pihak perusahaan terbuka untuk diketahui
kegiatan apa saja yang dilakukan dalam upaya mewujudkan pembangunan dan
revutalisasi ini.
Berdasarkan hasil pemetaan aktor dan hasil studi lapangan serta kajian
literatur, YSPPLH ini memiliki kekuatan kepribadian dalam keahlian. Mengingat
bahwa yayasan ini merupakan yayasan independen dan non pemerintah, serta
anggotanya merupakan orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidang
lingkungan hidup. Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa yayasan ini selalu
mengedepankan kajian dan argumentasi dalam menanggapi suatu hal termasuk
permasalahan revitalisasi Teluk Benoa. Selain itu, YSPPLH ini sudah sering
terlibat dalam program reklamasi ataupun revitalisasi di wilayah lain. Dengan
demikian, keahlian dalam bidang lingkungan hidup yang dimiliki oleh anggota
yayasan ini menjadi suatu kekuatan yang harus diperhatikan dalam memetakan
aktor yang terlibat.
Dengan pengalaman dan keahlian yang dimiliki, yayasan ini menyatakan
bahwa program reklamasi ataupun revitalisasi tidak hanya terjadi di Teluk Benoa,
Bali saja. Namun, di Jakarta dan di pulau-pulau Indonesia lainnya juga pernah
ada program ini. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar masyarakat Bali dapat
memahami secara cerdas kebijakan revitalisasi Teluk Benoa oleh pemerintah
yang akan dikelola oleh PT. TWBI ini.
e. Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBali)
ForBali merupakan aliansi masyarakat sipil lintas sektoral yang terdiri dari
gerakan mahasiswa, Lembaga Swadaya Msayarakat (LSM), musisi, seniman,
dan individu-individu yang menolak revitalisasi wilayah Teluk Benoa, Bali.
Motivasi penolakan organisasi ini adalah kebijakan revitalisasi dari pemerintah
yang akan dikelola oleh pihak perusahaan PT. TWBI ini akan merusak
lingkungan Bali, khususnya wilayah Teluk Benoa. Berikut daftar anggota-anggota
yang tergabung dalam organisasi ForBali :78
Desa Adat, Banjar Adat & STT (Sekaa Truna-Truni /Lembaga Pemuda
Adat):
Desa Adat Kelan Kabupaten Badung, Banjar Adat Kedaton Kesiman
Denpasar, ST. Dharma Kretih Br. Kedaton Kesiman Denpasar, ST.
Yowana jaya, Banjar lebah, STT Mekar Sari, Banjar Tegeh kori, STT. Ayu
Nulus Gadung, STT. Eka Tunas Satya, Batubulan, STT. Abdi Utama,
Marga, ST. Banjar Tampak Gangsul, STT. Panca Dharma Banjar Tegal
Buah Padang Sambian Kelod Denpasar, ST Yowana Satya Dharma
Banjar Bukit Buwung Kesiman Denpasar, ST. Yowana Dharma Bhakti
Banjar Rangkan Sari Suwung Kauh, ST. Tunas Muda Banjar Dukuh
Mertajati Sidakarya, ST. Dharma Sentana Banjar Anyar Gede
Kedonganan Badung, STT. Setia Budi Banjar Sebual Jembrana,
Organisasi Mahasiswa:
BEM UNHI (Badan Eksekutif Mahasiswa-Universitas Hindu Indonesia),
BEM KBM Politeknik Negeri Bali, Himpunan Mahasiswa Perencanaan
Wilayah Kota- Fakultas Teknik UNHI, Himpunan Mahasiswa Jururusan
Teknik Sipil- Fakultas Teknik UNHI, FRONTIER-Bali (Front Demokrasi
Perjuangan Rakyat), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
Dewan Kota Denpasar.
Komunitas Masyarakat dan Pemuda:
JALAK (Jaringan Aksi Tolak Reklamasi) Sidakarya Denpasar, Allpiss
(Aliansi Pemuda Sidakarya) Denpasar, Jimbaran tolak Reklamasi
(Jiwaraga), MAKAR (Masyarakat Jimbaran Anti Reklamasi), Cakra Wahyu,
Forum Masyarakat Renon Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Masyarakat
Canggu Tibubeneng Sayang Bali, GEMPAR-Teluk Benoa (Gerakan
Masyarakat Pemuda Tolak Reklamasi), Tanjung Benoa Tolak Reklamasi
(TBTR). Pemuda Sukawati Tolak Reklamasi Gianyar, Pemuda Ubung
Denpasar, Pemuda Sanur Bergerak Tolak Reklamasi, Pemuda Banjar
Sama Undisan Bangli, OutSIDers & Lady Rose Bali, OutSIDers & Lady
78
http://www.forbali.org/tentang-kami/. Tentang ForBali. Diakses pada 05 April 2015 pukul 23:38 WIB
Rose Ungasan Jimbaran, OutSIDers & Lady Rose Bali Timur, OutSIDers
& Lady Rose Julah Raya Buleleng, Komunitas sepeda Alcoholic Rider,
TAPALA (Teruna Pencinta Alam) Satak, Kayumas Kaja.
Lembaga Swadaya Masyarakat:
KEKAL (Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup) Bali, WALHI (Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia) Bali, Sloka Institute, Mitra Bali, PPLH (Pusat
Pendidikan Lingkungan Hidup) Bali, PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum
Dan HAM) Bali, Kalimajari, Yayasan Wisnu, Manikaya Kauci, Yayasan
IDEP, Komunitas Taman 65, Komunitas Pojok, Bali Outbond Community,
Penggak Men Mersi.
Seniman & Musisi:
Superman Is Dead, Navicula, Nosstress, The Bullhead, Geekssmile,
Parau, Nymphea, Devildice, Eco Defender, The Dissland, Rollfast, Joni
Agung & Double T, The Hydrant, Scares Of Bums, Ripper Clown, Ganjil,
The Sneakers, Goldvoice, Rootsradical, The Brews, Blackened, Suicidal
Sinatra, Steel Bone Rigid, Suitcase For Kennedy, The Kantin, Ska
Teenagers Punk, Durhaka, Refugee, Hyena Wants A Party, Patrick The
Bastard, The Room, Evi Band, Billy Bob Cats, Poison And Rose, Bali
Xtreme Drummer, Bali Guitar Club, Ugly Bastard.
Selain kelembagaan, dalam gerakan ini juga bergabung individu-
individu yang peduli keselamatan Bali.
Awal dari penolakan ForBali ini adalah terbitnya SK Gubernur
Bali No.2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan dan
Pengembangan pengelolaan wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. SK
Gubernur ini dianggap sebagai salah satu upaya untuk mereklamasi wilayah
tersebut. Munculnya Rekomendasi DPRD Provinsi Bali no: 900/2569/DPRD
tertanggal 12 Agustus 2013 perihal Peninjauan Ulang dan/atau Pencabutan SK
Gubernur Bali tahun 2012 di atas dianggap sebagai suatu tindakan politik yang
cukup baik. Namun, Gubernur kembali mengeluarkan SK Gubernur Bali Nomor
1727/01-B/HK/2013 tentang uji kelayakan untuk PT. TWBI dalam melaksanakan
pemanfaatan dan pengembangan pengelolaan Teluk Benoa. Disusul kemudian
munculnya Perpres No. 51 tahun 2014 mengenai alih fungsi lahan konservasi
salah satunya yaitu Teluk benoa dan kemudian untuk dapat direvitalisasi. Hal ini
kemudian kembali memicu kontradiksi dari masyarakat Bali yang tergabung
dalam organisasi ForBali.
Menurut Suardana atau Gendo, Ketua Walhi Bali yang tergabung dalam
aliansi ForBali, izin pemerintah untuk mereklamasi Teluk Benoa sama saja
dengan menyiapkan agar masyarakat yang berada di sekitar wilayah tersebut
akan kena bencana. Hal ini dikarenakan, Teluk Benoa merupakan daerah
penampungan banjir. Wilayah tersebut menjadi muara lima daerah aliran sungai
(DAS) di Bali.79 Seperti didapatkan dari tayangan Kompas TV, pihak ForBali
menyatakan bahwa solusi untuk kerusakan yang terjadi di Teluk Benoa bukanlah
reklamasi.80 Menurutnya, Pemerintah harus punya solusi selain diadakannya
pembangunan, karena dengan adanya pembangunan makin akan merusak
kondisi yang sudah rusak. Selain itu, reklamasi ini akan membuat nelayan dan
masyarakat lokal kehilangan pekerjaannya di laut.
Pihak ForBali menawarkan agar wilayah Teluk Benoa tetap menjadi
kawasan konservasi. Sebab, menurutnya yang menjadi destinasi wisata
merupakan wilayah konservasi. Organisasi ini mencontohkan bahwa Pulau
Serangan pada zaman Orde Baru yang direklamasi menjadi 400 Ha
menyebabkan rusaknya terumbu karang dan saat ini proses reklamasi ini
berhenti dan tidak dibangun apa-apa di pulau tersebut.
ForBali juga secara jelas menolak kebijakan pemerintah untuk
mereklamasi wilayah perairan Teluk Benoa. Organisasi inipun mengirimkan surat
penolakannya dengan nomor 01/ForBALI/I/2015 kepada Menteri Kelautan Dan
Perikanan serta surat dengan nomor 02/ForBALI/XI/2015 kepada Menteri
Perencanaan Pembangunana Nasional atau Kepala Bappenas. Pihak ForBali
pun sering melakukan aksi massa terbuka, salah satunya yaotu setelah walkout
di konsultasi publik AMDAL tanggal 12 Maret 2015. Dalam aksi massa tersebut,
ForBali dan anggota-anggotanya membawa pelampung, snorkel, hingga boneka
bebek untuk berenang. Mereka mengelilingi lapangan Renon, Denpasar ke
DPRD dan Gubernur Bali . Peralatan ini merupakan simbol peringatan bagi
79
http://www.mongabay.co.id/tag/jerinx-teluk-benoa/ http://www.mongabay.co.id/tag/jerinx-teluk-benoa/.
Melati Sucikan Bumi Menyambut Nyepi. Diakses pada 05 April 2014 pukul 23.00 WIB 80 Kompas TV. 10 Maret 2015 pukul 22.00 WIB
pemerintah dan investor yang akan mereklamasi Teluk Benoa. Massa menuntut
pemerintah membatalkan rencana reklamasi Teluk Benoa dan mendesak
Presiden Joko Widodo mencabut Perpres no 51 tahun 2014.81
Kemudian, para musisi yang tergabung dalam ForBali seperti SID, sering
mengadakan panggung musik tolak reklamasi Teluk Benoa. Sebagai contoh,
pada 23 januari 2015 lalu, SID tampil dalam konser bertajuk Mother Earth's
Calling di Denpasar. Hasil dari donasi konser musik ini akan disumbangkan
sepenuhnya kepada Gerakan Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Bali atau
ForBali.82
Salah seorang anggota dari organisasi ini yang juga ikut aktif
menyuarakan tolak reklamasi di Teluk Benoa, antara lain adalah I Made Wijaya,
SE (Yonda). Ia merupakan salah satu anggota DPRD Kab. Badung terpilih dari
Parta Gerindra dan koordinator dari Gerakan Masyarakat Pemuda Tolak
Reklamasi (GEMPAR) yang teralienasi dalam gerakan ForBali. Berbagai
kegiatan ia lakukan dalam rangka menolak kebijakan tersebut, antara lain adalah
aksi Pesisir Tolak Reklamasi pada tanggal 15 Agustus 2014 di Pesisir Pantai
Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung. Dalam orasi yang dipimpin oleh Ketua
LPM Tanjung Benoa, Yonda meneriakkan bahwa ia secara tegas menolak
reklamasi Teluk Benoa. Aksi yang ia lakukan bersama dengan kelompok kontra
lainnya merupakan suatu bentuk aspirasi di Teluk Benoa agar pemerintah
daerah dapat meninjau kembali kebijakan revitalisasi wilayah tersebut. Dalam
aksi itu pun ia menyebutkan bahwa sebagai salah satu anggota DPRD, akan
berjuang untuk menolak kebijakan revitalisasi dari pemerintah dengan aksi
damai, tujuannya adalah agar Bali tidak diekploitasi.83
Reklamasi ini juga menuai kontra dari masyarakat lokal sekitar Teluk
Benoa. Menurutnya, Seka Teruna Teruni (STT), banjar adat, kumpulan ibu PKK
menolak secara lembaga. Ia pun menambahkan bahwa yang disebutkan ini
81
http://www.mongabay.co.id/tag/jerinx-teluk-benoa/ http://www.mongabay.co.id/tag/jerinx-teluk-benoa/.
Melati Sucikan Bumi Menyambut Nyepi. Diakses pada 05 April 2014 pukul 23.00 WIB 82
http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/sid-tetap-ngotot-tolak-reklamasi-teluk-benoa-lewat-musik-
19df9c.html. SID Tetap Ngotot Tolak Reklamasi Teluk Benoa Lewat Musik. Diakses pada 06 April 2015
pukul 01.00 WIB 83
http://humas.polri.go.id/berita/Pages/PENDUKUNG-TOLAK-REKLAMASI-GELAR-DEMO-DI-
TELUK-BENOA.aspx. Pendukung Tolak Reklamasi Gelar Demo di Teluk Benoa. Diakses pada 06 April
2014 pukul 01.00 WIB.
masih hanya yang bersifat lembaga, karena masih banyak komunitas lain yang
menolak. Sedangkan menurutnya, pihak yang pro hanya terdiri dari beberapa
komunitas.
Menanggapi, ketidakhadirannya dalam beberapa undangan dari
pemerintah daerah dan PT. TWBI, Suardana atau Gendo mengungkapkan
karena adanya undangan yang tidak proporsional. Dalam daftar undangan,
secara spesifik komunitas-komunitas yang pro diundang, namun untuk pihak pro
yang diundang hanyalah ForBali dan Walhi Bali, sedangkan Walhi Bali sendiri
merupakan bagian dari ForBali. Hal ini dianggapnya seolah-olah pihak pro
menganggap hanya ada dua elemen yang secara jelas menolak.
Dalam hubungannya dengan masyarakat yang berada di sekitar Teluk
Benoa sendiri, pihak ForBali terus mengadakan diskusi bersama masyarakat.
Organisasi ini menganggap bahwa keputusan ada di masyarakat Bali. Dengan
simpang siurnya berita yang diterima oleh masyarakat, masyarakat khawatir
akan terancam mata pencaharian dan lingkungannya dengan adanya kebijakan
revitalisasi ini.
Organisasi ini mengharapkan adanya ketegasan dari pemerintah daerah
provinsi Bali. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa gerakan ini tidak anti
investasi dan tidak menentang investor. Akan tetapi, gerakan ini menentang
kebijakan pemerintah karena yang memiliki kewenangan untuk memutuskan
kebijakan permasalahan ini adalah pemerintah itu sendiri.
Berdasarkan hasil temuan lapangan dan kajian literatur, menurut analisa
peneliti, Organisasi ForBali ini memiliki kekuatan kepribadian untuk keahlian di
bidang lingkungan, kekuatan pertemanan, dan kekuatan politik. Sebagai
organisasi yang muncul atas gabungan dari LSM, komunitas, musisi, mahasiswa,
dan individu yang menolak lainnya dapat dilihat bahwa beberapa diantara
terdapat LSM yang konsen dan ahli pada bidang lingkungan, seperti Walhi Bali
dan PPLH. Mengingat juga bahwa salah satu koordinator umum gerakan ini
adalah Ketua Walhi Bali, maka kekuatan yang dominan dari gerakan ini adalah
kekuatan kepribadian. Kemudian, adanya musisi-musisi ternama yang tergabung
dalam organisasi ini, seperti Superman is Dead atau SID juga menjadi kekuatan
sendiri bagi organisasi ini. Banyaknya pengagum dari SID menjadi penentu
bertambahnya dukungan atas organisasi ForBali dalam menolak reklamasi.
Ditambah lagi salah satu anggota organisasi adalah anggota DPRD Kab. Badung
yang merupakan koordinator organisasi Gempar. Oleh karena itu, ForBali juga
memiliki kekuatan politik dengan adanya peran Yonda sebagai salah satu
anggota yang aktif menolak kebijakan revitalisasi dari pemerintah. Dengan
kekuatan di atas, organisasi ini dapat mempengaruhi masyarakat dan komunitas
yang lain untuk memahami motivasi penolakan mereka terhadap reklamsi Teluk
Benoa dan bila perlu mendukung tujuan organisasi ini.
f. Forum Sidakarya Bersatu atau Jaringan Aksi Tolak Reklamasi
Sidakarya (Jalak Sidakarya)
Forum sidakarya bersatu atau kerap dikenal dengan sebutan Jaringan
Aksi Tolak Reklamasi Sidakarya (Jalak Sidakarya) merupakan salah satu forum
dari masyarakat Desa Sidakarya yang menolak kebijakan revitalisasi Teluk
Benoa oleh Pemerintah Daerah Bali. Motivasi dari forum ini untuk menolak
rencana revitalisasi dari pemerintah adalah karena Desa Sidakarya merupakan
salah satu desa yang terletak di sekitar perairan Teluk Benoa. Desa tersebut
hanya berjarak dua meter dari permukaan laut. Berdasarkan fakta yang terjadi di
desanya, menurut forum ini, pada saat bulan purnama, debit air meninggi di
Tukad Rangda dan Tukad Punggawa. Hal tersebut menunjukkan bahwa air
sungai tidak masuk ke lautan. Desa ini pun rawan akan terjadinya banjir, seperti
yang terjadi di Kerta Dalem, dapat dilihat bahwa banjir yang melanda dapat
menenggelamkan rumah dan mobil warga.84
Jalak Sidakarya pun melakukan aksi penolakannya kepada pemerintah.
Salah satu aksi tersebut antara lain adalah dibacakannya pernyataan sikap
forum ini untuk menolak kebijakan revitalisasi dari pemerintah di kantor kepala
desa Sidakarya pada 16 Februari 2014. Forum ini pun melakukan pengumpulan
tanda tangan, dan cap jempol darah sebagai bentuk penolakannya. Selanjutnya
pada 26 Februari, Jalak Sidakarya menyerahkan spanduk yang berisi tanda
84
http://www.tempo.co/read/news/2014/02/16/058554713/Tolak-Reklamasi-Teluk-Benoa-Warga-Bali-Cap-
Jempol-Darah. Tolak Reklamasi Teluk Benoa Warga Bali Cap Jempol Darah. Diakses Pada 06 April 2015
pukul 02.00 WIB.
tangan dan cap jempol darah warga tersebut kepada Gubernur dan DPRD
Provinsi Bali yang diterima oleh Kabag Humas DPRD Bali.85
Menanggapi penyerahan spanduk tersebut, Gubernur Bali keesokan
harinya mengadakan konferensi pers. Ia menemukan adanya tulisan yang
mengancam Gubernur Bali. Tulisan tesebut dianggap sebagai ancaman fisik
yang serius dan ditindaklanjuti oleh gubernur dengan melaporkan hal tersebut
beserta barang bukti ke Polda Bali. Akan tetapi, Jalak Sidakarya menolak
tuduhan gubernur tersebut. Forum ini menegaskan bahwa tidak ada warga
ataupun anggotanya yang menuliskan ancaman untuk Gubernur Bali di spanduk
tersebut.86
Tindak lanjut Polda terhadap laporan Gubernur Bali akan insiden di atas,
menyebabkan I Wayan Tirtayasa yang merupakan salah satu aktivis Jalak
Sidakarya ditangkap dan dijerat pasal 336 KUHP ayat 2. Menanggapi hal ini, tiga
aktivis dari forum ini menyerahkan diri ke Polda Bali dengan diantar oleh warga
Desa Sidakarya. Akan tetapi, pada 25-27 Maret 2014, beberapa LSM seperti
Walhi, Kontras dan Greenpeace Indonesia mendesak pembebasan keempat
aktivis Jalak Sidakarya tersebut.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan dan kajian literatur, Forum
Sidakarya Bersatu ini memiliki kekuatan kepribadian untuk kekuatan
persahabatan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya keinginan yang sama dari
beberapa warga Desa Sidakarya untuk menolak dan berpartisipasi dalam aksi
massa yang dilakukan oleh forum ini. Selain itu, dalam kasus penangkapan salah
seorang aktivisnya, terlihat bahwa ketiga aktivis yang lain ikut mendukung
dengan menyerahkan dirinya ke Polda Bali dengan diantar oleh beberapa warga
setempat. Kekuatan persahabatan ini dapat mmpengaruhi pihak lain maupun
warga setempat untuk ikut andil dalam pergerakan ini. Dengan demikian,
meskipun tidak memiliki kekuatan secara politik dan legal, namun gerakan ini
dapat mempengaruhi massa dengan kekuatan persahabatan yang ia miliki,
85
http://m.liputan6.com/news/read/828613/tolak-reklamasi-teluk-benoa-bali-warga-bubuhkan-cap-jempol-
darah?wp.news. Tolak Reklamasi Teluk Benoa Bali Warga Bubuhkan Cap Jempol Darah. Diakses Pada 06
April 2015 pukul 02.00 WIB 86
http://www.forbali.org/kronologi-2/. Kronologi 2. Diakses Pada 06 April 2015 pukul 02.00 WIB
karena hal ini akan menimbulkan simpati pada masyarakat lain sehingga mereka
akan turut mendukung dalam pergerakan ini.
5.2. Kelompok Rentan (Vulnerable Group)
Kelompok rentan (Vulnerable Group) merupakan kelompok yang terkena
dampak akibat munculnya suatu permasalahan. Selain itu, kelompok ini akan
mudah untuk dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan
terhadap suatu isu. Kerentanan kelompok ini dimanfaatkan oleh kelompok
provokator untuk mencapai tujuannya. Hal inilah yang kemudian berbahaya
karena dapat meningkatkan ekskalasi konflik. Berdasarkan hasil temuan di
lapangan dan kajian literatur, berikut telah peneliti petakan kelompok-kelompok
yang menjadi kelompok rentan dalam konflik akibat pokasi lahan di Teluk Benoa
ini, sebagai berikut:
a. Banjar Adat Sekitar Wilayah Teluk Benoa
Sebagaimana disebutkan dalam Bab tiga bahwa wilayah perairan Teluk
Benoa dikelilingi oleh dua belas kelurahan yang berarti bahwa terdapat banyak
banjar adat yang berada di wilayah ini. Banjar merupakan pembagian wilayah
administratif di Provinsi Bali, Indonesia yang berada di bawah kelurahan atau
desa dan setingkat dengan rukun warga (RW). Banjar adat di Bali adalah
kumpulan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat masyarakat setempat. Sistem banjar
yang berada di bawah desa adat tersebut diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan NKRI sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18,
Undang-Undang (UU) no. 22 tahun 1999 dan Permendagri no.3 tahun 1997
mengenai pemberdayaan dan pelestarian, serta pengembangan adat-istiadat,
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat daerah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga tokoh banjar adat dari
Kelurahan Kedongan, mereka menyatakan bahwa mereka menolak rencana
pembangunan dan revitalisasi dari pemerintah. Alasan mereka menolak adalah
pertama, karena akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Kedua, Peluang
kerja yang terbuka di wilayah Benoa yang sudah padat akan membawa
kekhawatiran tersendiri terhadap generasi penerus di desa, sebab migrasi
secara besar-besaran kekota yang justru di bangun adalah mulai dari desa.
Ketiga, timbulnya pembangunan yang tidak merata atau ketimpangan sosial
karena semua pembangunan terpusat di wilayah Badung Selatan. Keempat,
mereka berpendapat bahwa investasi yang aka nada hanya akan
menguntungkan pihak perusahaan dan masyarakatlah yang akan menerima
dampak negatifnya.87
Mertha mencontohkan kegagalan reklamasi Pulau Serangan yang terjadi
dari beberapa tahun belakangan. Ia menambahkan bahwa saat ini masyarakat
Bali jika ingin masuk ke Pulau tersebut harus membayar kepada pihak
perusahaan sebesar lima ribu rupiah.
Ketiga kelian adat ini juga menyatakan bahwa mereka kerap kali
melakukan aksi penolakan terhadap rencana pembangunan dan revitalisasi
Teluk Benoa. Kekhawatiran dari kelompok ini adalah bahwa pembangunan yang
dikonsepkan oleh PT. TWBI ini merupakan pembangunan yang hanya
memberikan keuntungan untuk perusahaan, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Sudiana dari Banjar Pasak menambahkan bahwa ia sebagai salah satu
wirausaha lokal di daerah tersebut akan merasa tersaingi usahanya oleh
pembangunan yang ada. Sebab, secara tidak langsung hal ini akan mengurangi
pendapatannya dari usaha tersebut.
Perwakilan dari banjar adat ini menyampaikan harapan mereka terkait
pembangunan di wilayah Bali. Harapannya adalah development base on
community seperti yang saat ini telah ada di pesisir pantai. Menurutnya, jika
pembangunan di wilayah Badung Selatan semakin padat, maka persaingan
bisnis akan semakin tinggi dan tidak sehat. Hal ini akan menyebabkan Bali
menjadi memiliki nilai yang murah.
Sedangkan Putu Dedi, seorang Kepala Banjar Tatulung, Kelurahan
Tanjung Benoa, menyatakan bahwa terkait rencana pembangunan dan
revitalisasi wilayah Teluk Benoa, baik pemerintah daerah maupun dari pihak
perusahaan tidak pernah mengadakan sosialisasi di banjarnya. Hal ini
87
I Wayan Mertha, I Ketut Budana, dan I Gede Sudiana. Banjar dari Kelurahan Kedonganananan. FGD
Kecil Prodi Damai dan Resolusi Konflik Dengan Kelompok Banjar Sekitar Teluk Benoa. 24 Maret 2014.
Di Aula LANAL Denpasar, Bali.
menyebabkan masyarakat di Banjar Tatulung tidak mengetahui apa yang akan
dibangun di wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan dan kajian literatur, Banjar adat di
Bali memiliki kekuatan kedudukan dan kepribadian. Kekuatan ini didapatkan dari
kedudukan secara legal berdasarkan UU yang melindunginya sebagaimana
diuraikan di atas. Banjar adat ini juga selalu dilibatkan dalam proses pembuatan
kebijakan oleh pemerintah selaku perwakilan dari masyarakat adat. Dengan
demikian secara kedudukan, banjar adat di Bali memiliki kekuatan legal yang
patut dipertimbangkan. Kemudian, banjar di Bali juga memiliki kekuatan
kepribadian. Sebagaimana diketahui bahwa orang-orang yang terpilih sebagai
kelian dari Banjar Adat adalah masyarakat yang ditokohkan dan dipercaya untuk
memimpin warga banjar sesuai peraturan adat yang berlaku. Dengan demikian,
masyarakat yang tersosialisasi dalam banjar adat memiliki pengaruh yang cukup
besar bagi masyarakat di sekitarnya.
Akan tetapi, banjar adat ini masuk ke dalam kategori kelompok rentan
yang dapat dipengaruhi oleh kelompok provokator sebagaimana dijelaskan di
atas. Ia merupakan kelompok yang dapat terkena dampak akibat adanya
permsalahan yang timbul. Kelompok ini dapat saja ikut menolak atau menerima
kebijakan revitalisasi dari pemerintah. Sikap dan prilaku yang menolak atau
menerima inipun dapat muncul dalam berbagai tindakan, seperti aksi massa
yang dilakukan oleh perwakilan banjar dari Kelurahan Kedongan sebagaimana
diuraikan di atas atau dapat berupa kegiatan sosialisasi untuk mendukung
kebijakan pemerintah dan rencana pembangunan dari perusahaan.
b. Masyarakat Lokal Sekitar Teluk Benoa
Sebagaimana diuraikan dalam bab tiga dan beberapa paragraf di atas,
bahwa wilayah Teluk Benoa dikelilingi oleh dua belas kelurahan dan tiga
kecamatan. Dengan demikian dapat dianalisa bahwa masyarakat yang berada di
sekitar Teluk Benoa merupakan masyarakat dari dua belas kelurahan dan tiga
kecamatan tersebut. Diantara tiga kecamatan ini, dua diantaranya merupakan
bagian dari Kab. Badung, yaitu Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan, mengingat
bahwa Teluk Benoa ini adalah bagian dari Kabupaten Badung.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Komeng salah satu warga yang
tinggal di Denpasar dan bekerja sebagai tour guide, ia sendiri secara individual
menolak kebijakan pemerintah untuk dilaksanakannya revitalisasi di Teluk
Benoa. Alasan ia menolak kebijakan tersebut karena menurutnya pembangunan
di Kabupaten Badung Selatan ini sudah mengalami ketimpangan dengan
pembangunan di Badung Utara. Ia menyatakan bahwa pembangunan di
Kabupaten Badung Selatan sudah sangat banyak, seperti hotel dan resort.
Selain itu, menurutnya rencana pembangunan yang dikonsepkan oleh pihak
investor akan merusak lingkungan dan alam di wilayah Teluk Benoa, salah
satunya adalah dapat menyebabkan banjir bagi masyarakat yang tinggal di
sekitar Teluk Benoa. Komeng berharap agar pemerintah dapat meninjau
kebijakannya dalam memutuskan Teluk Benoa sebagai lahan yang akan
direvitalisasi. Ia menyarankan agar pemerintah membuat keseimbangan
pembangunan antara Badung Utara dan Selatan. Ia sendiri memperoleh
informasi mengenai kebijakan pemerintah ini melalui media seperti televisi dan
media iklan seperti baliho-baliho yang tersebar di beberapa wilayah. 88
Ayu yang merupakan salah satu warga yang tinggal di Kelurahan Tanjung
Benoa dan bekerja sebagai manajer di usaha water sport di wilayah tersebut
menyatakan secara pribadi tidak mendukung kebijakan pemerintah untuk
merevitalisasi Teluk Benoa melalui investor, yaitu PT. TWBI. Ia menambahkan
bahwa pembangunan yang ada akan berdampak pada lingkungan dan dapat
menyebabkan banjir. Selain itu, menurutnya usaha lokal seperti tempat ia
bekerja sekarang akan tersaingi dengan adanya pembangunan dari investor
tersebut. Menurutnya, rencana pembangunan yang dikonsepkan oleh investor
hanya akan menguntungkan perusahaan itu sendiri, bukan untuk kesejahteraan
masyarakat lokal sekitar. 89
Kemudian, Setiana salah satu masyarakat Kelurahan Kedongan
menyatakan bahwa ia secara pribadi menolak kebijakan pemerintah ini. Hal ini
disebabkan karena wilayah pembangunan seluas 700 hektar yang akan diuruk
dari laut dengan ketinggian 6,25 meter, sedangkan masyarakat pesisir sekitar
88
Komeng. Tour Guide, Masyarakat Kota Denpasar. Wawancara Personal. 22 Maret 2015. Sanur,
Denpasar. 89
Ayu. Manajer Usaha Water Sport. Wawancara Personal. 25 maret 2015. Kelurahan Tanjung Benoa
Teluk Benoa tinggal 2 meter dari permukaan laut, maka jika terjadi air pasang
akan menyebabkan terjadi banjir, hal ini akan membahayakan masyarakat
sekitar. Selain itu, menurutnya ada keraguan dari masyarakat mengenai manfaat
dari pembangunan dan revitalisasi ini. Ia khawatir jika pembangunan ini hanya
bermanfaat bagi investor bukan untuk kesejahteraan masyarakat. Ia
mencontohkan seperti pembangunan yang ada di Sidoarjo yang saat ini
masyarakat lokal lah yang menerima dampak terkena lumpur akibat adanya
pembangunan dari salah satu perusahaan. Ia juga menambahkan bahwa
masyarakat lokal juga akan tersaingi usahanya seperti usaha restoran dengan
adanya pembangunan nantinya. Harapannya terkait permsalahan ini adalah
ketegasan dari pemerintah untuk memutuskan kebijakan selanjutnya yang akan
diambil.90
Sementara itu, Made salah satu masyarakat Banjar Tatulung, Kelurahan
Tanjung Benoa, menyatakan bahwa ia sendiri tidak mengetahu persis
permasalahan revitalisasi Teluk Benoa. Namun, ia sendiri secara tidak langsung
mendukung rencana pembangunan dan revitalisasi di wilayah tersebut.
Alasannya adalah karena dengan adanya pembangunan ini ia sebagai warga
yang tinggal di sekitar wilayah ini, akan mendapatkan keuntungan, salah satunya
adalah lapangan pekerjaan baru. Sebab, keseharian ia sendiri adalah sebagai
pekerja di salah satu usaha water sport milik warga lain. Ia juga menambahkan
jika memang pembangunan yang akan dilaksanakan terbaik untuk masyarakat,
maka menurutnya sudah seharusnya masyarakat secara bersama-sama
mendukung rencana tersebut. Selain itu, menurutnya pembangunan ini sama
sekali tidak akan mengganggu lingkungan, seperti banjir. Sebab, banjir yang
terjadi di wilayah ini tidak sampai mengganggu aktivitas keseharian warga.
Mengenai kerusakan mangrove sendiri, Made mengaku bahwa pemerintah
daerah sudah pernah memiliki program untuk membersihkan mangrove, namun
terhenti karena ada permasalahan dana. Namun, sejak dua tahun yang lalu,
90
Sudiana, I Gede. Kelian Banjar di Kelurahan Kedongan. Wawancara Personal. 24 Maret 2014. Aula
LANAL Denpasar, Bali.
pihak swasta, LSM serta mahasiswa mulai memperhatikan wilayah mangrove ini
seperti adanya pembersihan dan penanaman ulang mangrove.91
Koma yang juga merupakan masyarakat Banjar Tatulung, menyatakan
bahwa ia mendukung kebijakan pemerintah untuk merevitalisasi Teluk Benoa
dengan konsep yang ditawarkan oleh PT. TWBI. Sebab, ia juga akan
mendapatkan dampak positif seperti adanya lapangan pekerjaan baru. Selain itu,
menurutnya pembangunan ini akan memperbaik infrastruktur yang ada saat ini.
Ia pun akan menerima segala bentuk kebijakan pemerintah sebagai masyarakat
biasa. Hal ini juga sebagai bentuk aplikasi dari budaya pawongan, yaitu menjaga
hubungan antara manusia dengan manusia dengan tidak melakukan
pengrusakan. Sementara itu, Sugeng salah satu masyarakat pendatang yang
tinggal di kelurahan Tanjung Benoa, mengaku tidak pernah mendengar dan
mengetahui mengenai permasalahan revitalisasi Telok Benoa.
Menurut analisis peneliti, masyarakat lokal yang tinggal di sekitar Teluk
Benoa ini merupakan kelompok rentan. Mereka dapat saja bertindak untuk setuju
ataupun tidak setuju. Bahkan terdapat orang-orang yang tidak mengetahui
permasalahan yang muncul. Namun, masyarakat dapat saja dipengaruhi oleh
provokator untuk menolak ataupun mendukung kebijakan pemerintah untuk
merevitalisasi wilayah perairan Teluk Benoa. Mereka juga dikategorikan sebagai
kelompok rentan karena mereka adalan kelompok orang yang akan terkena
dampak langsung baik itu negatif maupun positif mengenai pembangunan yang
ada. Masyarakat juga yang akan terkena dampak dari adanya isu-isu penolakan
dan dukungan terhadap kebijakan pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara
dengan masyarakat-masyarakat seperti di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat
mengharapkan pemerintah untuk dapat menyelesaikan permasalahan ini dan
menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Mereka akan menerima apapun
keputusan pemerintah tanpa aksi yang anarki, meskipun keputusan tersebut
bertentangan dengan mereka. Hal ini dikarenakan masyarakat ini percaya
kepada karma dan dalam hal mengaplikasikan budaya Tri Hita Kirana yang
menjadi panduan hidup masyarakat setempat.
91
Made. Wiraswasta, Masyarakat Lokal Banjar Tatulung, Kelurahan Tanjung Benoa. Wawancara Personal.
25 Maret 2015. Tanjung Benoa
c. Nelayan Sekitar Wilayah Teluk Benoa
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan kelompok nelayan yang
berasal dari kelurahan Tuban, mereka tidak menyetujui kebijakan pemerintah
untuk merevitalisasi Teluk Benoa melalui PT. TWBI. Seperti diketahui bahwa
mereka melakukan aktivitas mencari ikan di pantai barat maupun di pantai timur
(Tanjung Benoa). Sikap penolakan kelompok nelayan ini lebih kepada dampak
kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan oleh pembangunan tersebut.
Nelayan merujuk pada pembangunan tol di atas laut yang juga melintasi wilayah
Tanjung Benoa, menurutnya pembangunan yang ada mengakibatkan terjadinya
air pasang, yang akan naik ke darat sehingga menyebabkan banjir. Selain alasan
kerusakan lingkungan, nelayan berpendapat bahwa lahan untuk mencari ikan di
pantai timur atau seputaran Tanjung Benoa akan berkurang mengingat luasnya
lahan yang akan digarap perusahaan dalam pembangunan ini. Mereka juga
mengakui bahwa di kelurahan Tanjung Benoa, sebagian masyarakat nelayan
hanya menjadikan profesi mencari ikan sebagai kegiatan refreshing alias hobi
semata, bukan sebagai sumber mata pencaharian utama.92
Namun, meskipun mereka tidak menyetujui rencana pembangunan yang
ada, nelayan ini belum pernah untuk mengikuti aksi-aksi penolakan rencana
pembangunan tersebut. Mereka menganggap bahwa kegiatan aksi penolakan ini
bermotif politik sehingga tidak tertarik untuk ikut dan dimobilisasi. Kelompok
nelayan ini memilih untuk lebih fokus melaut dan menghidupi keluarganya dari
pada ikut melakukan hal yang membuang waktu untuk mencari nafkah.
Sikap tidak setuju kelompok nelayan ini diperoleh dari mendengar
informasi melalui media ataupun dari mulut ke mulut tentang akibat negatif yang
akan timbul dari proyek tersebut. Sosialisasi media dan mulut ke mulut tentang
reklamasi ini berhasil membentuk opini negatif sebagian masyarakat termasuk
nelayan ini mengenai rencana pembangunan tersebut. Nelayan menyatakan
bahwa pihak perusahaan atau pihak terkait belum sama sekali mensosialisasikan
rencana pembangunan dan revitalisasi. Sosialisasi yang belum dilakukan
tersebut berkaitan dengan detail model pembangunan, gambaran grand design
92
I Made Sukarma, Ardiansyah, I Ketut Suwete, dan Made Bagia Antara. Nelayan Kelurahan Tabanan.
Focus Group Discussion Kecil dalam Pengabdian Masyarakat Mahasiswa Prodi Damai dan Resolusi
Konflik. 24 Maret 2014. Lanal Denpasar, Bali.
atau master plan pembangunan ke masyarakat serta manfaat yang dapat
ditimbulkan, sehingga terlihat arus informasi dampak buruk rencana
pembangunan dan revitalisasi di kelompok nelayan lebih kuat daripada manfaat
pembangunan yang semestinya disosilisasikan langsung oleh pihak perusahaan
dan pemerintah ke nelayan. Bahkan nelayan mengakui tidak menutup
kemungkinan bahwa mereka bisa menerima ketika dalam penyampaiannya
rencana pembangunan tersebut lebih baik dan menguntungkan mereka.
Nelayan lokal masih meyakini nilai-nilai leluhur mereka tentang tri hita
karana yaitu bagaimana menjaga harmonisasi dengan sesama, dengan
lingkungan dan dengan Tuhan, sehingga mereka tidak akan setuju atau tidak
akan terlibat dengan cara-cara penolakan yang berujung pada kekerasan.
Mereka dalam hal ini menyetujui aksi-aksi penolakan yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat Bali sebagai bentuk aspirasi, namun tidak dengan cara-
cara yang berujung pada kekerasan.
Nelayan memiliki harapan besar akan keberlangsungan mata pencaharian
mereka sebagai jalan untuk menghidupi diri dan keluarganya. Saat ini nelayan
lokal turut mengeluhkan masuknya nelayan-nelayan tradisional dari luar bali ke
wilayah tangkapan mereka baik di pantai timur maupun di pantai barat yang
diduga akan menjadi penyebab berkurangnya penghasilan mereka akhir-akhir
kini. Sehingga nelayan khawatir pula, dengan keberadaan rencana
pembangunan dan revitalisasi yang menggunakan lahan laut di pinggiran
Tanjung Benoa nanti akan turut pula mengancam sumber mata pencaharian
mereka sebagai nelayam. Nelayan tegas menyatakan bahwa ketika
pembangunan ini akan mengancam mata pencaharian mereka, harapan mereka
adalah agar rencana pembangunan dan revitalisasi tersebut tidak dilanjutkan dan
membiarkan keadaan Tanjung Benoa apa adanya seperti saat ini. Dengan
demikian mereka bisa dengan leluasa untuk mencari ikan untuk menghidupi diri
dan keluarga mereka.93
Kelompok nelayan ini merupakan kelompok rentan karena mereka
merupakan masyarakat lokal yang tinggal di sekitar wilayah Teluk Benoa.
Bahkan mata pencaharian mereka adalah mencari ikan hingga ke wilayah di
93
ibid
sekitar Teluk Benoa. Kelompok ini mudah saja dipengaruhi oleh kelompok
provokator yang menolak ataupun mendukung revitalisasi dan rencana
pembangunan oleh investor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pernyataan dari
mereka sendiri bahwa pada awalnya mereka menolak, namun mereka dapat
berubah arah dengan mendukung rencana tersebut jika mereka selaku
masyarakat dan nelayan memperoleh dampak positif dari rencana pembangunan
tersebut.
d. Mahasiswa Universitas di Bali
Mahasiswa yang sedang menempuh aktivitas perkuliahan di Bali, peneliti
kategorikan sebagai kelompok rentan. Hal ini disebabkan bahwa mereka
merupakan kelompok yang mudah dipengaruhi oleh isu-isu yang saat ini sedang
muncul. Dengan isu-isu mengenai pro dan kontra rencana pembangunan dan
revitalisasi wilayah Teluk Benoa yang sedang mencuat dan munculnya
banyaknya kelompok atau komunitas pendukung atau penolak sebagai
provokator akan dapat mempengaruhi kelompok ini untuk mendukung ataupun
tidak kebijakan pemerintah daerah tersebut. Bahkan, kelompok mahasiswa ini
dapat bergabung dalam salah satu komunitas penolak atau pendukung ataupun
membentuk komunitas sendiri untuk menolak atau mendukung kebijakan
pemerintah.
Berdasarkan hasil literatur dan wawancara dengan Clara, seorang ketua
Bem Udayana (UNUD) secara personal dan lembaga memberikan sikap
tegasnya berupa penolakan terhadap rencana pembangunan dan revitalisasi
Teluk Benoa. Penolakan terbaru mereka lakukan dengan melakukan aksi solo
pada tanggal 23 maret 2015 dalam aksi nasional serentak mengkritisi 200 hari
kerja Presiden Jokowi-JK. dalam aksi tersebut BEM Udayana turut menyuarakan
pencabutan perpres no.51 tahun 2014 tentang pengalihan fungsi lahan
konservasi dan rencana revitalisasi Teluk Benoa.94
Bem ini memiliki kajian internal dan terdapat empat alasan fundamental
penolakan Bem UNUD ini, antara lain adalah pertama, Bem udayana mengacu
pada Pada Pasal 55 ayat (5) Perpres No. 45 Tahun 2011 sebelum diubah
94
Bem PM Universitas Udayana. 2014. Kajian Reklamasi Teluk Benoa. Bem PM Unud
menjadi Perpres No. 51 Tahun 2014. Dalam Perpres ini yang disebutkan bahwa
Teluk Benoa masuk ke dalam wilayah lahan konservasi. Selanjutnya pada Pasal
2 ayat (3) Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa Reklamasi tidak dapat dilakukan
pada kawasan konservasi dan alur laut. Selain itu, dalam Perda Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali No. 16 Tahun 2009 soal sempadan
pantai untuk laut diatur 100 meter. Mereka menyatakan bahwa masyarakat Bali
sudah menyepakati Perda RTRWP yang menyatakan sempadan pantai untuk
laut yakni 100 meter untuk dapat melakukan aktifitas pembangunan.
Kedua, menurut kajian Bem ini, pada hakikatnya Bali tidak memerlukan
wisata artifisial atau buatan. Akan tetapi, lebih memerlukan pengembangan
pariwisata budaya yang tentunya menjadi roh pariwisata yang ada di Bali.
Pembangunan di Bali harus senantiasa berlandaskan konsep Tri Hita Karana
sehingga mampu menjaga keharmonisan jangka panjang yang mampu
dirasakan oleh generasi penerus Bali nantinya. Pengembangan pariwisata
diharapkan dapat lahir langsung dari inisiatif Desa Pakraman maupun karma
banjar melalui pengembangan desa wisata melalui dukungan penuh dari pihak
pemerintah sehingga manfaatnya dapat menyentuh masyarakat secara
langsung. Karena wisatawan datang ke Bali adalah untuk mencari otentisitas
atau keaslian dari kebudayaan Bali itu sendiri.
Ketiga, mereka mengkhawatirkan bahwa percepatan pembangunan hanya
berfokus pada beberapa tempat khususnya di Bali Selatan yang pada akhirnya
akan semakin menambah kesenjangan antar masyarakat khususnya dari aspek
ekonomi. Keempat, menurut Bem UNUD bahwa pemerintah sudah seharusnya
memberikan subsisi kepada para petani agar mampu mengolah lahannya untuk
budidaya pertania. Bukannya pemerintah malah mengalihfungsikan lahannya
pada bisnis yang dinilai lebih menguntungkan.
Sebagaimana halnya dengan sikap ketua Bem UNUD yang secara
personal dan kelembagaan menolak rencana pembangunan dan revitalisasi
pemerintah melalui investor. Mahasiswa IHDN melalui ketua Bemnya, Desi dan
putra ketua DPM (dewan perwakilan Mahasiwa) secara personal menolak
kebijakan revitalisasi Teluk Benoa, namun tidak pernah menyampaikan
penolakannya secara kelembagaan yang dalam hal ini Bem IHDN. Dalam
melakukan penolakan tersebut, Personal-personal mahasiswa IHDN,
melakukannya dengan bergabung dengan lembaga mahasiswa eksternal atau
lembaga LSM kontra reklamasi tanpa sama sekali membawa instansi lembaga
IHDN.
Penolakan yang mereka lakukan karena kekhawatiran mereka akan
kerusakan lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh pembangunan tersebut.
Mereka juga menambahkan bahwa adanya kemungkinan masuknya pendatang-
pendatang dari luar Bali yang lambat laun akan menimbulkan masalah di Bali.
Mereka berharap bahwa Tanjung Benoa sudah cukup seperti saat ini saja
(alamiah), tanpa harus ada perubahan dengan adanya rencana pembangunan
dan revitalisasi. Namun dalam bersikap tersebut, Bem IHDN tidak
mempersalahkan secara total rencana tersebut, mereka pun turut
menyampaikan aspek positif yang bisa timbul dari proyek tersebut, antara lain
seperti terbukanya lapangan kerja baru dan makin mendunia nya pariwisata bali
dalam kancah internasional.
Sementara itu, Putri mahasiswa program studi Psikologi UNUD
menyatakan bahwa secara pribadi ia mendukung kebijakan pemerintah untuk
merevitalisasi Teluk Benoa, jika memang hal ini baik untuk masyarakat dan
wilayah Bali. Namun, menurutnya, pembangunanan ini harus tetap berlandaskan
pada nilai kebudayaan Bali sepeti Tri Hita Kirana.
5.3. Aktor Fungsional
Aktor fungsional merupakan aktor yang bertugas untuk menyelesaikan
suau permasalahan, terkait dalam hal ini adalah permasalahan pro dan kontra
kebijakan pemerintah untuk merevitalisasi Teluk Benoa, Bali. Aktor ini adalah
Pemerintah Daerah, Polisi Daerah, dan Korem Provinsi Bali. Ketiga aktor
tersebut berkepentingan untuk menjaga keamanan wilayah Bali terutama jika
ada suatu permasalahan yang muncul ke publik. Mereka juga bertugas untuk
memotong informasi abnormal yang diberikan oleh kelompok provokator kepada
kelompok rentan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir ekskalasi konflik. Ketiga
aktor ini merupakan aktor fungsional juga disebabkan karena sesuai dengan
Undang-Undang bahwa Pemerintah Daerah bersama kepolisian daerah dan
Korem bertugas menjaga keamanan daerah yang dipimpinnya. Berikut
penjelasan mengenai ketiga aktor fungsional ini :
a. Pemerintah Daerah Provinsi Bali
Putu Eka dalam paparan pembekalan Kuliah Kerja Dalam Negeri
mahasiswa FSP Unhan menjelaskan bahwa permasalahan mengenai tanggapan
masyarakat akan kebijakan rencana revitalisasi dan pembangunan yang timbul
saat ini hanyalah perbedaan ide atau pendapat semata. Sebagaimana diketahui
bahwa hal tersebut merupakan nature atau alami terjadi. Ia pun menambahkan
bahwa sebelum kebijakan untuk merevitalisasi wilayah perairan Teluk Benoa
dikeluarkan, Pemda terlebih dahulu mempertimbangkan pendapat masyarakat
terutama masyarakat adat. Pemerintah Daerah Bali akan mengundang
masyarakat adat dalam suatu forum, seperti diketahui bahwa di Bali terdapat
Desa Adat dan Desa Dinas. Desa adat inilah yang memiliki peran yang besar di
Bali, seperti dalam pengambilan keputusan pemerintah daerah. Selain itu,
Pemerintah Daerah Provinsi Bali juga mengadakan Forum Bebas Bicara yang
diadakan setiap hari minggu dan Simakarme yang diadakan setiap awal bulan.
Dalam kedua forum tersebut, masyarakat bebas untuk berbicara mengenai hal
apa saja kecuali permasalahan agama.95
Selain itu, mengenai masalah pembangunan kepariwisataan sendiri,
pemerintah selalu melakukan sosialisasi pada masyarakat. Sosialisasi ini
dilakukan dengan mengundang pihak perusahaan atau hotel, perwakilan dari
pemerintah yang berkaitan seperti Dinas Pariwisata, dan masyarakat adat
setempat. Bagian pemerintah daerah yang mengurusi masalah ini adalah Biro
Hukum. Eka juga menambahkan bahwa pembangunan yang ada di Bali selalu
mempertimbangkan budaya Tri Hita Kirana karena hal ini merupakan landasan
hidup masyarakat Bali yang tidak terpisahkan. 96
Terkait dengan permasalahan revitalisasi kawasan perairan Teluk Benoa,
Pemerintah Daerah Provinsi Bali melalui Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten
Badung. Suendi, menyatakan bahwa kebijakan revitalisasi dari Pemerintah 95 Putu Eka. Ass. Gubernur Bidang Ketataprajaan Sekda Prov. Bali. Paparan Pembekalan KKDN
Mahasiswa FSP Unhan. 23 Maret 2015. Auditorium Kantor Gubernur Bali. 96
Putu Eka. Ass. Gubernur Bidang Ketataprajaan Sekda Prov. Bali. Wawancara Personil. 23 Maret 2015.
Auditorium Kantor Gubernur Bali.
Masih dalam tahapan Amdal. Dimana dalam tahapan ini akan dipertimbangkan
dari aspek lingkungan dan kelayakan pembangunan. Ia juga menambahkan
bahwa pihak investor pada awalnya mengajukan permohonan untuk melakukan
pembangunan di wilayah Teluk Benoa sebagai bentuk revitalisasi, di mana siapa
saja dapat melakukan hal yang sama. Tugas pemda adalah menerima
pengajuan tersebut dan meninjau serta menguji kelayakannya. Suendi kembali
menegaskan bahwa pemda sendiri dalam mengambil keputusan ini tentu saja
atas pelibatan masyarakat yang diwakili oleh masyarakat adat setempat. 97
Beberapa kali pemerintah memfasilitasi pertemuan dengan pihak yang
setuju dan tidak setuju serta mengundang masyarakat adat untuk membicarakan
kelanjutan kebijakan rencana pemerintah untuk merevitalisasi Teluk Benoa.
Namun, jika pihak-pihak ini masih bertentangan pendapat, maka pemerintah
daerah pun akan sama-sama menyepakati untuk tidak sepakat sebagai hasil
pertemuan tersebut. Pemerintah juga menyediakan forum bebas bicara setiap
hari minggu dan simakarme setiap awal bulan sebagaimana diuraikan Putu Eka
di atas.
Menurutnya, meskipun saat ini di Bali timbul perbedaan pendapat
mengenai permsalahan revitalisasi, namun tidak akan menimbulkan aksi-aksi
yang anarkis. Sebab, masyarakat Bali percaya akan adanya karma dan menjaga
hubungannya sebagai sesame manusia atau pawongan sebagai salah satu
bentuk aplikasi konsep Tri Hita Kirana. Tidak hanya mengenai permasalahan ini
saja, ia menyatakan bahwa dalam banyak kasus lain, di Bali tidak pernah sampai
menimbulkan aksi yang anarkis.98
b. Polisi Daerah Bali
Dalam menangapi pihak yang setuju dan tidak setuju terkait
permasalahan kebijakan rencana pembangunan dan revitalisasi Teluk Benoa
melalui PT. TWBI ini, pihak kepolisian daerah Bali menyatakan bahwa hal ini
berdampak pada stabilitas keamanan dan ketertiban di Bali. Berdasarkan hasil
catatan kepolisian daerah Bali terkait aktivitas yang dilakukan oleh pihak yang
pro dan kontra, tercatat beberapa laporan penganiayaan dan pengancaman di
97
Suendi. Kepala Kesbangpol Kab. Badung. Wawancara Personal. 23 Maret 2015. Auditorium Kantor
Gubernur Bali 98
ibid
muka umum. Polda Bali menangkap salah satu aktivis yang tergabung dalam
Jaringan Aksi Tolak Reklamasi (Jalak) Desa Sidakarya, Denpasar, I Wayan
Tirtayasa. Penangkapan ini terkait laporan Gubernur Bali mengenai spanduk
bertuliskan 'Penggal Kepala Mangku P' yang dipasang aktivis tersebut saat
berunjuk rasa beberapa waktu lalu dan kemudian diserahkan ke Pemda Provinsi
Bali. 99
Pihak kepolisian daerah Bali sendiri menginginkan adanya pertemuan
yang memfasilitasi pihak yang pro dan kontra terkait permasalahan ini. Hal ini
dimaksudkan agar ada upaya-upaya preventif dalam menjaga perdamaian di
Bali. Pihak Polda berharap agar solusi dari permasalahan ini dapat ditemukan,
karena tanpa adanya jaminan keamanan, maka pengembangan pariwisata serta
tujuan besar dalam berbangsa dan bernegara tidak akan terwujud.
Pihak Polda juga menambahkan, bahwa ia bersama dengan TNI wilayah
dan Polisi Adat atau Pecalang juga telah berkoordinasi untuk menjaga dan
mengamankan wilayah Bali. terutama terkait permsalahan pro dan kontra
rencana revitalisasi Teluk Benoa. Ketiga pihak ini telah melakukan upaya
pencegahan. Menurutnya, keamanan dan ketertiban di Bali juga merupakan
tanggung jawab masyarakat yang tinggal di Bali.
Selanjutnya, salah satu tindakan yang dilakukan oleh Polda Bali adalah
dengan melakukan sharing informasi. Upaya ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman mengenai rencana pembangunan dan revitalisasi dari pemerintah
dan pihak perusahaan tersebut. Sehingga, dengan adanya upaya berbagi
informasi ini, diharapkan masyarakat dapat mengerti dan mencegah
berkembangnya ketidakpahaman oleh masyarakat ini menjadi suatu konflik yang
dapat mengancam keamanan masyarakat itu sendiri.
Upaya lain yang dilakukan oleh Polda Bali antara lain adalah pertama,
melakukan tindakan pengamanan dalam setiap aksi penolakan maupun
pendukungan terhadap kebijakan pemerintah dan konsep pembangunan
investor. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya tindakan anarkis yang dapat
mengganggu stabilitas ketertiban di Bali. Kedua, yaitu Polda melalui
Babinkamtibnas melakukan sosialisasi pada masyarakat khususnya yang tinggal 99
Komisaris Polisi I Nyoman Wejo. Polresta Denpasar. Tanggapan Dalam FGD Prodi Damai dan Resolusi
Konflik. 24 Maret 2015. Grand Inna Bali Beach, Sanur.
di wilayah sekitar Teluk Benoa mengenai kebijakan pemerintah yang
sebenarnya. Tindakan ini bertujuan agar masyarakat lokal ini tidak terprovokasi
oleh kelompok-kelompok provokator yang sudah peneliti petakan di atas.
c. Komando Resort Militer (DANREM 163/WSA) Denpasar
Dalam tata kelola pemerintahan daerah provinsi, Komando Resort Militer
(Korem) menjadi bagian dari unsur muspida (Musyawarah Pimipinan Daerah).
Oleh karena itu, dalam hal tersebut Danrem 163/WSA Denpasar, turut menjadi
bagian dalam unsur Muspida provinsi Bali yang dipahami sebagai pihak yang
mendukung keberadaan rencana pembangunan dan revitalisasi wilayah Teluk
Benoa. Namun, dalam permasalahan tersebut, Danrem bersikap untuk
menempatkan dirinya dalam posisi netral.
Dalam posisi ini, Danrem memahami bahwa tindakan yang akan dilakukan
oleh perusahaan dalam kaitannya dengan revitalisasi Teluk Benoa didasari atas
keberadaan perpres no.51/ 2014. Dalam perpres ini disebutkan memgenai izin
dan hak pemanfaatan pembangunan maupun pengelolaan wilayah perairan
Teluk Benoa. Menurut Kolonel Wiranto, kebijakan revitalisasi Teluk Benoa oleh
pemerintah menjadi kebijakan strategis nasional atas dinamika internal di
kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan status zona kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil di kawasan Telok benoa, sehingga menurutnya hal ini perlu untuk
direvitalisasi.
Danrem mengatakan bahwa upaya revitalisasi ini didasari pula oleh
penjelasan pemerintah pusat melalui seskab Dipo Alam pada era presiden SBY,
bahwa upaya revitalisasi dilakukan dengan kegiatan pengerukan. Selain itu,
revitalisasi yang disyaratkan harus berjarak minimal 100 meter dari Tahura
dengan kedalaman 5 meter dan secara khusus mengenai kegiatan revitalisasi
harus dilakukan dalam bentuk pulau-pulau dengan luas maksimal 700 Ha
dengan ketentuan 40% untuk ruang terbuka hijau.
Dalam kaitannya kemudian, beliau menyampaikan bahwa instansi yang
ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan penelitian kelayakan revitalisasi
perairan Teluk Benoa adalah kementrian Lingkungan Hidup RI, Pemerintah Bali,
Pemerintah NTB, Pemerintah Denpasar, Pemerintah Kabupaten Badung, dan
LPPM universitas Udayana, Universitas Negeri Makassar dan Universitas Gajah
Mada.
6. Analisis StakeHolder
Konflik merupakan sesuatu hal yang wajar terjadi dalam kehidupan dan
akan selalu ada di dalam kehidupan hal ini sesuai dengan yang dipaparkan oleh
Moore (1986) cited in Gordon (1966) bahwa “Conflict is not necessarily bad,
abnormal, or dysfunctional; it is a fact of life”. Memandang perkembangan dan
pembangunan di Teluk Benoa Kabupaten Badung merupakan hal yang wajar
bahwa terdapat perbedaan pendapat pada Masyarakat Bali menanggapi
pembangunan ini. Perbedaan pendapat masyarakat akan pembangunan di Teluk
Benoa bukanlah tanpa sebab “Dalam proses pembuatan Perpres ini terdapat
bagian yang miss”, dipaparkan oleh Rektor Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar pada kesempatan wawancara tanggal 23 Maret 2015 di Kantor
Gubernur. Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar merasa sosialisasi
pemerintah terhadap peraturan kurang dilakukan sehingga perpres dianggap
sebagai sesuatu hal yang ujug-ujug bagi sebagian masyarakat Bali. Hal ini
sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Groton (1997) bahwa two main
identifiable group causes for organization conflicts: project uncertainty and
process problems. Rektor IHDN memaparkan perbedaan pendapat ini terjadi
disebabkan oleh process problem Perpres No. 51/ 2014100 dalam bidang
sosialisasi dan keterbukaan proses pembuatan regulasi.
Dalam perbedaan pendapat yang terjadi pada pembangunan di Teluk
Benoa seperti yang dipaparkan oleh Putu Rio, Biro Humas Kepala Sub-Bagian
Elektronik, bahwa mulai timbul persepsi-persepsi negatif dari masyarakat
terhadap pemerintah. An interaction of independent people who acknowledge
different objectives, wishes and values in the other part, capable of interfering
with their own. Setiap kelompok baik yang setuju maupun yang tidak setuju
dalam pembangunan Teluk Benoa memiliki perbedaan alasan yang berbeda
dalam memandang pembangunan Teluk Benoa tersebut. Namun dalam
100
Lembaga Negara Republik Indonesia. 2014. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Diakses
<http://peraturan.go.id/inc/view/11e44c4f298e9bc0bae6313231393231.html> pada 4 April 2015.
perkembangan perbedaan pendapat ini, Pemerintah Bali menganggap hal ini
adalah hal yang cukup wajar terjadi, Pemerintah menghargai seluruh perbedaan
ini. Seperti yang dipaparkan oleh Asisten Gubernur I Bali Dewa Putu Eka
melakukan suatu forum yang menampung perbedaan-perbedaan ini melalui
Forum Bali Bebas Bicara101 yang diselenggarakan setiap hari Minggu pukul
08.00 WITA di depan kantor Gubernur, sehingga diharapkan tiga komponen
yang akan membentuk konflik tidak terjadi yaitu interdependence, perception (at
least by one part) and antagonism102.
Perbedaan pendapat antara pihak yang mendukung pembangunan Teluk
Benoa dengan yang tidak didasari pada persoalan lingkungan, budaya, dan
ekonomi. Pihak yang menolak berpendapat bahwa pembangunan
kepariwisataan di Teluk Benoa akan merusak lingkungan yang ada seperti hutan
mangrove, merusak ekosistem biota laut di Teluk Benoa, menimbulkan abrasi di
pantai-pantai sekitar dan lain sebagainya103. Perusakan lingkungan tersebut juga
berbenturan dengan persoalan budaya. Pembangunan yang akan dilakukan
dianggap melanggar norma-norma budaya yang ada di masyarakat Bali.
Pembangunan kepariwisataan Teluk Benoa dianggap tidak akan
memberikan keuntungan secara ekonomi kepada masyarakat Teluk Benoa.
Pihak yang menolak berpendapat bahwa dilihat dari pengalaman pembangunan
di Bali selama ini, keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari pembangunan
sangatlah kecil porsinya untuk masyarakat Bali. Keuntungan ekonomi yang besar
hanya dinikmati oleh investor maupun orang-orang luar Bali. Sehingga pada
akhirnya, pihak yang menolak pembangunan kepariwisataan menyatakan bahwa
upaya pembangunan harus dibatalkan104.
Pihak yang setuju atas pembangunan Teluk Benoa berpendapat bahwa
pembangunan di Teluk Benoa pasti akan didasari dengan penelitian uji 101
Sri Lestari. 2014. Kini, Warga Bisa Kritik Gubernur Bali Melalui “Forum PBB”. Diakses
<http://regional.kompas.com/read/2014/11/16/09203781/Kini.Warga.Bisa.Kritik.Gubernur.Bali.Melalui.Fo
rum.PBB.> pada 5 April 2015. 102
Marilynn B. Brewer. 1999. The Psychology of Prejudice: Ingroup Love or Outgroup Hate?. Diakses
<http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.197.4614&rep=rep1&type=pdf> pada 3 April
2015. Pg. 438-442. 103
ForBali. 2014. 13 Alasan Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Diakses <http://www.forbali.org/wp-
content/uploads/2014/10/ForBALI-Newsletter-2.pdf> pada 4 April 2015. 104
Putu Herry Idrawan. 16 Februari 2014. Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Warga Bali Cap Jempol
Darah.Diakses <http://www.tempo.co/read/news/2014/02/16/058554713/Tolak-Reklamasi-Teluk-Benoa-
Warga-Bali-Cap-Jempol-Darah> pada 3 April 2015
kelayakan (feasibility study)105 dan uji publik (public hearing) terlebih dahulu.
Direktur PT Tirta Wahana Bali Internasional, Heru Budi Waseso mengatakan
bahwa pembangunan akan tetap sesuai dengan aturan-aturan dan tidak
merusak lingkungan dan dipastikan tidak akan berbenturan dengan budaya yang
ada di Bali106. Investor juga berkomitmen bahwa potensi SDM Teluk Benoa akan
dimaksimalkan dalam pembangunan kepariwisataan Teluk Benoa, sehingga
keuntungan ekonomi akan dirasakan oleh masyarakat lokal.
Dilihat dari sudut pandang psikologi, Dosen Psikologi Univeritas Udayana
Yohannes Herianto, melihat adanya perbedaan pendapat dan informasi yang
tidak sempurna mengenai rencana pembangunan kepariwisataan di Teluk Benoa
akan menciptakan group think. Group think ini harus dicegah agar tidak
berkembang menjadi stereotype yang akan memperuncing masalah sehingga
perbedaan pendapat berubah menjadi konflik intergroup107.
Stereotype akan terbentuk ketika sudah terjadi kategorisasi dalam
memandang kelompok lain. Menurut Oakes (2001)108, kategorisasi adalah akar
kejahatan dari hubungan antar kelompok (the root of all evil in intergroup
relations). Jalan menuju diskriminasi bermula dari tindakan pengkategorisasian.
Untuk mencegah hal tersebut, maka masing-masing pihak baik pihak pendukung
maupun menolak harus berusaha menerima dan memahami informasi dari pihak
lainnya sehingga tidak terjadi bias dalam berpikir. Salah satu cara bertukar
informasi adalah dengan melakukan FGD (Focus Group Disscussion).
6.1. Stakeholder
Stakeholder are persons, groups or organizations having any interest in
the project and who may influence the project planning, design, implementation
and future use. Terdapat beberapa kategori Stakeholder yaitu stakeholder
utama, stakeholder pendukung dan stakeholder kunci. Stakeholder Utama 105
Russell Craig Robinson. 2011. Feasibility Study for Development of an 81-Unit Single Family
Residential Subdivision. Diakses <http://www.csus.edu/uld/thesis-project/bank/2011/Robinson.pdf>. Pg.3 106
Latief. 21 November 2014. Pengembangan Tetap Lanjutkan Proyek Revitalisasi Teluk Benoa. Diakses <
http://properti.kompas.com/read/2014/11/21/154517021/Pengembang.Tetap.Lanjutkan.Proyek.Revitalisasi.
Teluk.Benoa> pada 5 April 2015. 107
Morton Deutsch, “Subjective Features of Conflict Resolution: Psychological, Social and Cultural
Influences” dalam R. Vayrynen (editor), New Directions in Conflict Theory: Conflict Resolution and
Conflict Transformation, London, Sage Publication, 1991, hlm.27. 108
Penelope Oakes, “The Root of all Evil in Intergroup Relations? Unearthing the Categorization Process”
dalam Rupert Brown dan Sam Gaertner (editor), Blackwell Handbooks of Social Psychology, Oxford,
Blackwell Publishing, 2001, hlm. 3-4.
adalah pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan langsung dengan suatu
kebijakan dalam studi lapangan ini dapat dikatakan bahwa masyarakat Bali dan
Tokoh Masyarakat Bali atau dalam hal ini pecalang merupakan stakeholder
utama. Stakeholder pendukung adalah pihak-pihak yang tidak memiliki
keterkaitan langsung dengan suatu kebijakan tetapi memiliki perhatian terhadap
situasi tertentu sehingga mereka akan turut bersuara. Menurut hasil penelitian
lapangan dapat dikatakan bahwa kelompok-kelompok yang setuju dan yang tidak
setuju yang terlibat aktif menanggapi pembangunan di Teluk Benoa dapat
dikategorikan sebagai stakeholder pendukung. Elemen-elemen yang memiliki
kewenangan secara legal dalam mengambil segala keputusan yang berdasar
pada levelnya adalah pemerintah, kepolisian, dan TNI. Memandang
pembangunan di Teluk Benoa Kabupaten Badung terdapat kelompok-kelompok
yang memiliki kepentingan dalam kasus ini.
Dalam Dynamic Framework Pencegahan dan Resolusi Konflik oleh Ichsan
Malik (2014) dijelaskan bahwa stakeholder adalah orang, kelompok, organisasi
atau elemen-elemen yang memiliki kepentingan untuk mencegah suatu konflik
terjadi. Pencegahan dan Resolusi Konflik tidak terlepas dari peran kelompok
fungsional yang mampu memotong hubungan provokator yang mempengaruhi
vulnarable group melalui rencana aksi. Rencana aksi yang dimotori oleh
Kelompok fungsional diharapkan mampu menciptakan situasi damai atau de-
ekskalasi konflik namun dalam kenyataannya kelompok fungsional terdiri dari
beberapa aktor pemangku kepentingan atau yang disebut stakeholder terkadang
mampu mengekskalasi konflik yang terjadi. Konflik yang terdapat pada Teluk
Benoa melibatkan beberapa stakeholder yang memiliki kepentingan masing-
masing. Cara terbaik untuk menurunkan ekskalasi konflik adalah dengan
mentransformasi permasalahan agar konflik tidak terekskalasi. Dalam proses ini
diharapkan bahwa keinginan duduk bersama menekankan bahwa posisi masing-
masing kelompok adalah bagian dari suatu resolusi bukan bagian dari masalah
pembangunan Teluk Benoa.
Dalam mengetahui munculnya perbedaan pendapat terhadap
pembangunan di Teluk Benoa cukup penting untuk mencaritahu penyebab
utama perbedaan ini muncul, hal ini merupakan langkah awal usaha untuk
menyelesaikan permasalahan ini. Penyebab-penyebab yang melandasi
perbedaan ini terjadi sudah dipaparkan pada bagian faktor, dimana pada bagian
faktor, penyebab suatu konflik diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar.
Dengan adanya faktor yang sudah diinvestigasi dengan sangat baik akan
berdampak pada mudahnya menganalisis mengapa perbedaan pendapat ini
terjadi. Dengan mengetahui penyebab dasar munculnya fenomena ini langkah
selanjutnya yang dapat dilakukan adalah meluruskan hal yang kurang jelas pada
masyarakat.
Selain faktor yang perlu diidentifikasi karakteristik konflik juga sangat
penting untuk diketahui. Menurut Rijsberman (1999) dalam meresolusi suatu
konflik dibutuhkan definisi karakteristik konflik yang jelas, karakteristik konflik
dibagi menjadi dua jenis yaitu: (a) Well definfed dimana terlihat jelas perbedaan
yang ada pada masyarakat sehingga solusi yang dibuat dapat jelas dilakukan.
(b) Fuzzy or ill definfes dimana tujuan masing-masing kelompok tidak terlalu
jelas, variabel-variabel yang ada tidak mampu dihitung dengan baik dan
didefinisikan dengan baik. Dengan kasus seperti ini akan sulit untuk
mengidentifikasi solusi yang tepat dan pantas untuk dijalankan. Perbedaan
pendapat dalam memandang pembangunan di Teluk Benoa tidak terdefinisi
dengan jelas terdapat aktor-aktor yang relatif sulit untuk dipetakan sehingga
dapat dikatakan konflik pada Teluk Benoa dapat dikategorikan sebagai peristiwa
yang fuzzy or ill defined. Stakeholder merupakan aktor yang memiliki peran
penting dalam menurunkan ekskalasi konflik, sehingga aktor ini tidak dapat luput
dari pemetaan peneliti. Dalam penelitian ini untuk menganalisis fenomena
munculnya perbedaan pendapat dalam pembangunan di Teluk Benoa, peneliti
mendapatkan fakta di lapangan bahwa terdapat beberapa stakeholder, antara
lain:
a. Pemerintahan Daerah dan Pemerintah Pusat
Local and national authorities adalah stakeholder yang memiliki peran
sangat penting sebab Local and national authorities memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi keputusan suatu pembangunan dapat terjadi ataukah tidak yang
melalui persetujuan atas pembangunan tersebut. Pembangunan Teluk Benoa
dapat dilakukan apabila AMDAL109 telah dilakukan oleh pigak-pihak yang ditunjuk
oleh pemerintah, dimana pada akhirnya pemerintah yang akan memutuskan
layak tidaknya suatu pembangunan dilakukan. Pemerintah dan masyarakat
harus mampu mengawasi pembangunan melalui regulasi-regulasi yang ada.
Regulasi-regulasi yang ada juga harus mampu diintepretasi secara tepat dan
baik oleh masyarakat agar dapat memberikan efek yang positif dalam
pengambilan setiap strategi pembangunan. Hal ini diperkuat dari beberapa
narasumber yang ada seperti Ass Gub I Dewa Putu Eka, Memaparkan bahwa
pemerintah menganggap bahwa peristiwa ini bukan konflik melainkan perbedaan
pandangan satu kelompok dengan kelompok lain. Hal ini menjelaskan bahwa
pemerintah daerah dalam mengintepretasikan fenomena ini hanya sebatas
perbedaan pandangan yang wajar dalam proses pembangunan di Bali.
Intepretasi ini juga perlu dilihat dari sisi masyarakat Bali apakah hal ini juga
hanya sebatas perbedaan pandangan.
Dalam menanggapi peristiwa ini pemerintah memiliki beberapa langkah
untuk mencegah munculnya konflik yang tidak diinginkan, seperti adanya Forum
Bali Bebas Bicara yang diselenggarakan setiap hari Minggu pukul 08.00 WITA di
depan Kantor Gubernur Bali. Pemerintah menganggap forum ini merupakan
langkah efektif untuk menyampaikan dan menyalurkan pendapat warga Bali
kepada pemerintah. Forum ini dibentuk melalui cetusan I Made Mangku Pastika
salah satunya untuk menanggapi perbedaan pandangan di masyarakat
mengenai pembangunan di Teluk Benoa. Hal yang juga dilakukan pemerintah
untuk mencegah munculnya konflik horizontal adalah melalui Simakrama.
Simakrama merupakan proses pemerintah Bali “menjemput bola” kepada
masyarakat dimana masyarakat mampu menyampaikan aspirasi terhadap
pembangunan di Provinsi Bali pelaksanaan kegiatan ini bergilir di wilayah-
wilayah di Bali yang sudah ditentukan110.
109 Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penyususnan Dokumen Lingkungan Hidup pasal 1. Diakses < http://jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-PUU-7-2012-Permen%20LH%2016%20th%202012%20Penyusunan%20Dokumen%20LH.pdf> pada 1 April 2015. 110 Ni Luh Rhismawati. 2015. Wagub Bali Pimpin “Simakrama” Maret 2015. Diakses <http://bali.antaranews.com/berita/69868/wagub-bali-pimpin-simakrama-maret-2015> pada 6 April 2015.
Kebijakan stakeholder di atas dapat berdampak positif dan mampu
menurunkan ekskalasi konflik di Bali namun juga terdapat sikap pemerintah,
yang merupakan bagian dari stakeholder, yang mampu meningkatkan ekskalasi
konflik di Bali. Ketidakterbukaan pemerintah terhadap proses AMDAL dan
pembangunan di Teluk Benoa menimbulkan berbagai persepsi di masyarakat hal
ini yang perlu diluruskan dan disosialisasikan pemerintah terhadap masyarakat
Bali.
Ib. Rai Dharma Wijaya Mantra yang berkedudukan sebagai Walikota
Denpasar mengatakan bahwa pembangunan berdampak buruk pada masyarakat
sekitar dari aspek legalitas yang berdasar pada UU, Perda RTRWP, RTRWP
Kabupaten/ Kota dan peraturan pemerintah bahwa kawasan ini hanya untuk
pusat penelitian, pendidikan, mangrove, dan area pelabuhan Benoa. Pandangan
yang menitikberatkan pada beberapa aspek dipandang seharusnya
pembangunan ini tidak dilakukan. Pada aspek teknis Teluk Benoa dianggap
sebagai muara dari beberapa sungai besar di Denpasar apabila pembangunan
dilakukan akan berakibat pada perubahan arus air laut secara signifikan, abrasi
dan bahkan rob. Pada aspek lingkungan pembangunan ini akan berdampak
pada perubahan bentang alam yang akan berdampak pada ekosistem dan biota
di wilayah ini. Pada aspek sosial budaya, Teluk Benoa memiliki nilai suci lokasi
Upacara Segara Kertih untuk menjaga keseimbangan alam. Pada aspek sosial
ekonomi menekankan pada jumlah penduduk yang meningkat dan ketimpangan
jumlah penduduk di wilayah ini.
Putu Sukadana (Kasubbid Wasdin) memaparkan pada 23 Maret 2015 di
Kantor Gubernur, bahwa Bali merupakan provinsi yang memiliki keunikan
tersendiri berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya dimana nilai adat sangat
mempengaruhi proses pemerintahan di provinsi ini. Keadaan inilah yang
meyakinkan Putu Sukadana bahwa tidak akan muncul konflik yang berlandas
pada kekerasan. Namun dalam proses bermasyarakat di Bali, beliau
mengatakan bahwa media memiliki peran yang cukup berpengaruh dalam hal ini
untuk menghasut masyarakat Bali. Beliau mengatakan bahwa keberpihakan
media dapat menimbulkan permasalahan baru di masyarakat Bali dengan
menerbitkan berita-berita yang membentuk opini publik tidak netral.
Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Badung, Nyoman
Suhendi, mengatakan bahwa Tingkat eskalasi yang rendah berkaitan dengan
terbiasanya masyarakat Bali terhadap perbedaan pendapat. Menurut Kepala
Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Badung, Nyoman Suhendi,
perbedaan pendapat mengenai ide pembangunan kepariwisataan di Teluk
Benoa merupakan sebuah perang ide yang sebenarnya merupakan hak yang
lumrah terjadi di masyarakat Bali, sehingga tidak mempengaruhi hubungan sosial
antar masyarakat Bali. Potensi konflik dianggap kecil karena masyarakat Bali
saling mengenal satu dengan yang lainnya dan mampu untuk bersikap secara
rasional. Perbedaan pendapat mengenai pembangunan sudah ada sebelum
rencana pembangunan kepariwisataan di Teluk Benoa, contohnya adalah pro-
kontra pembangunan jalan underpass dan jalan tol bandara. Dengan adanya
perbedaan pendapat ini, maka pemerintah memberi ruang kepada masyarakat
Bali untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui Ruang Bebas Bicara Apa
Saja. Forum ini akan terus menerus difasilitasi oleh pemerintah sampai ada
kesepakatan diantara kedua belah pihak, baik yang mendukung maupun yang
menolak.
Menanggapi perbedaan pendapat ini Bupati Badung Aa. Gede Agung
memaparkan bahwa Teluk Benoa tak boleh diutak-atik terkait pembangunan
Teluk Benoa, Bupati tidak mengatakan mendukung atau menolak namun dalam
prinsip yang menjadi pedoman adalah setiap pembangunan pada Kabupaten
Badung harus selalu mengacu pada peraturan yang ada. Apabila berlandas pada
Perda RTRW Badung, Teluk Benoa tetap masuk ke dalam kawasan konservasi
namun terkait dengan diterbitkannya Perpres no. 51/ 2014 Bupati Badung
menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah membuat ususlan untuk mengubah
Perpres no.45/ 2011 sehingga menurut Bupati Badung perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap Perpres No. 51/ 2014.
Kepala Desa Pamongan yaitu I Nyoman Gede Wiryanata berpendapat
bahwa Desa Pemongan Denpasar Selatan telah membuat surat pernyataan
menolak reklamasi Teluk Benoa yang disepakati oleh 12 banjar di Desa Adat
Kepaon dan 5 banjar di Desa Adat Pemongan. Surat pernyataan ini diserahkan
kepada walikota Denpasar yang diharapkan mampu menjadi bahan
pertimbangan yang dikirim kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan,
khususnya Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K). Hal serupa
juga dilakukan oleh Lurah Pedungan, Denpasar Selatan A.A. Gede Oka yaitu
membuat surat pernyataan menolak pembangunan di Teluk Benoa yang
disepakati oleh 14 banjar yang terdapat pada Kelurahan Padungan yang
kemudian akan diserahkan kepada Walikota Denpasar. Alasan penolakan
berlandas pada dua hal penting yaitu aspek kesucian lantaran pantai di
Pedungan digunakan untuk upacara Melasti dan alasan matapencaharian
masyarakat sebagai nelayan.
Putu Rio humas Kasubag Elektronik menjelaskan bahwa kasus ini
merupakan proses politik yang berdampak pada sikap apriori masyarakat
terhadap pemerintah daerah. Proses pembangunan yang berlangsung saat ini
baru memasuki tahap awal dan masih begitu panjang proses yang harus dilalui
menuju implementasi pembangunan Teluk Benoa. Dalam memainkan peran
stakeholder pemerintah daerah menurut Putu Rio Pemda harus mampu
melakukan kontrol terhadap proses pembangunan pada Teluk Benoa. Kontrol
pembangunan masih berada pada tahap awal melalui penanganan konflik-konflik
kecil dari kelompok yang pro dan kontra. Sementara bentuk lain aksi masyarakat
ditindaklanjuti sesuai kondisi yang ada. Saat ini proses yang berjalan baru
berupa pengeluaran kebijakan proses selanjutnya akan dikembalikan kepada
pemerintah pusat.
Upaya yang dilakukan Guberbur Bali untuk menangani perbedaan
pendapat dalam pembangunan di Teluk Benoa. Tanggal 3 Agustus 2013
bertempat di Gedung Wiswa Sabha Kantor Gubernur Bali telah melakukan rapat
koordinasi dan diskusi tentang Pembangunan di Teluk Benoa dengan
mengundang tokoh-tokoh masyarakat baik yang pro maupun yang kontra. Pihak-
pihak yang hadir seperti Muspida Bali, anggota DPRD Bali, LSM, pimpinan LBH
Bali dengan perkiraan jumlah peserta 500 orang. Dimana pada kesempatan ini
Gubernur memaparkan hasil uji kelayakan yang dilakukan oleh LPPM Unud yang
akan menentukan apakah Gubernur akan mencabut SK No.2138/ 02-C/HK/2012
atau tidak. Dialog juga dilakukan pada 1 Juli 2014 di kantor Bappeda Provinsi
Bali yang dihadari oleh Sekda Provinsi Cok Pemayun, Wakil Ketua DPRD Bali I
Ketut Suwandhi, Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya dan SKPD dengan
mengundang Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar menindaklanjuti surat yang
berasal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen Kelautan Pesisir
dan Pulau-pulau kecil (KP3K) untuk meminta pertimbangan terkait permohonan
izin lookasi reklamasi Teluk Benoa oleh TWBI. Ketegasan antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah kabupaten sangat diperlukan agar
terdapat kejelasan atas situasi ini.
b. Kepolisian
Kepolisian yang merupakan salah satu stakeholder memiliki peran untuk
mencegah agar konflik tidak meningkat di wilayah Bali walaupun kepolisian
memaparkan bahwa permasalahan ini belum terekskalasi menjadi sesuatu hal
yang patut dikhawatirkan. Dalam menanggapi fenomena-fenomena yang ada,
Polres Denpasar melalui wawancara dengan Wakapolres Denpasar pada
tanggal 23 Maret 2015 beranggapan bahwa kepolisian menggunakan
Babinkamtibmas untuk meredam dan mencegah meluasnya konflik di Teluk
Benoa melalui beberapa langkah seperti: (a) Observasi, dengan melakukan
tindakan pengamanan dalam setiap aksi unjuk rasa untuk mencegah unjuk rasa
yang dilakukan berubah menjadi anarkis. (b) Sosialisasi, melalui babinkamtibmas
melakukan sosialisasi ke masyarakat agar tidak terpancing oleh aktor-aktor yang
memprovokasi untu mencegah tindakan anarkis. (c) Fasilitasi, Polres
memfasilitasi pihak-pihak yang ingin menyampaikan pendapat ke pemerintah
setempat baik melalui unjuk rasa atau melalui dialog melalui prosedur yang
sudah ditentukan. Diharapkan langkah-langkah ini terus dilakukan oleh
kepolisian agar peran stakeholder mencegah suatu konflik terjadi mampu
telaksana dengan baik.
Menurut Komisaris Polisi I Nengah Polda Bali, dalam proses
pembangunan Teluk Benoa pada tataran masyarakat Bali terjadi misinformasi
mengenai rencana pembangunan kepariwisataan baik pada pihak pro maupun
kontra. Misinformasi dapat dicegah dengan bantuan tokoh masyarakat maupun
pemerintah. Menurut beliau, pihak Polres Denpasar melakukan sharing
informasi. Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman mengenai
pembangunan dan untuk mencegah adanya misinformasi mengenai rencana
pembangunan kepariwisataan di Teluk Benoa. Namun pihak Polres
mengharapkan ada sinergitas dalam proses sharing informasi antar elemen
masyarakat dengan tujuan mencegah misinformasi ini menjadi konflik.
Sharing informasi ini dilakukan agar tidak terjadi bias informasi antara
kedua belah pihak mengenai rencana pembangunan kepariwisataan di Teluk
Benoa. Sharing informasi yang dilakukan haruslah melibatkan seluruh elemen
masyarakat seperti tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat (toda, toga,
tomas), kepolisian, pemerintah daerah, investor, serta pihak-pihak yang
mendukung maupun yang menolak pembangunan kepariwisataan Teluk Benoa.
diperlukan adanya sinergitas dalam proses sharing informasi antar elemen
masyarakat dengan tujuan untuk mencegah misinformasi ini menjadi konflik.
Berikut bagannya:
Bagan 4.1 Pola Sharing Informasi Pembangunan Kepariwisataan Teluk
Benoa111
Kasubdit 3 Intel Bidang Sosial Budaya, Priyanto Utomo, Menurut hasil
wawancara dengan Kasubdit 3 Intel Bidang Sosial Budaya yaitu Priyanto Utomo,
beliau memaparkan bahwa media BaliPos menyoroti pro dan kontra
111 Dibentuk berdasarkan gabungan paparan Dekan Fakultas Teknik Universitas Udayana Prof. Redane,
Direktur PT TWBI Heru Budi Waseso, pihak Polres Denpasar Komisaris Polisi I Nengah dan dosen
psikologi Universitas Udayana Yohannes Herianto dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan
Program Studi Damai dan Resolusi Konflik di Grand Inna Beach Hotel, Sanur, Bali tanggal 24 Maret 2015.
Sharing Informasi
Pemda dan
Universitas
Kepolisian
(Babinkamtibmas)
Masyarakat
Toda, Toga, Tomas
(Pecalang,
Banjar)
pembangunan di Teluk Benoa dalam perkembangannya LSM berperan penting
dalam mendukung dan menolak pembangunan di Teluk Benoa, melalui
pengamatan kepolisian di lapangan masyarakat pesisir pantai menolak keinginan
pemerintah untuk pembangunan Teluk Benoa ini. Fenomena ini terjadi menjadi
lebih intens ketika pemilihan Gubernur Bali 2013. Universitas Udayana yang
pada awalnya menyatakan bhwa reklamasi Teluk Benoa layak dilakukan
akhirnya menjadi kontra dikarenakan kemungkinan terdapat desakan-desakan
dari pihak tertentu.
Kasubdit 1 Intel Bidang Politik I Made Ayutha, Kasubdit 1 Intel Bidang
Politik I Made Ayutha berpendapat bahwa rencana pembangunan
kepariwisataaan di Teluk Benoa memiliki kepentingan politik. Perbedaan
pendapat mengenai isu ini pada awalnya merupakan masalah yang
dilatarbelakangi aspek ekonomi, namun pada perkembangannya, masalah
tersebut berkembang meliputi aspek politik. Namun demikian, tingkat eskalasi
konflik masih dianggap rendah sehingga pemerintah belum merasa perlunya
upaya intervensi.
c. Tentara Nasional Indonesia
TNI yang merupakan salah satu alat negara dengan fungsi untuk menjaga
keseimbangan dan kestabilan keamanan dalam rangka tugas TNI. TNI yang
dalam menjalankan tugasnya diharapkan mampu bersikap netral terhadap situasi
apapun. Menanggapi pembangunan di Teluk Benoa, TNI beharap tetap mampu
memelihara keseimbangan stabilitas dan dalam proses yang harus dilalui ini
tidak muncul friksi dan bahkan konflik terbuka. Pemerintah, masyarakat serta
pihak-pihak terkait diharapkan mampu mencari dan mendorong win-win
solution112 yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Fasilitasi pemerintah
terhadap perbedaan pendapat di masyarakat Bali adalah melalui Simakrama dan
Podium Bebas Bicara yang dilakukan setiap hari minggu diharapkan dengan
adanya fasilitasi pemerintaah ini konflik tidak terekskalasi menjadi konflik terbuka
yang akan sangat merugikan masyarakat Bali.
d. Pecalang
112 Helder Moura and Jose Cardoso Teixeira. Managing Stakeholders Conflicts. Diakses < http://repositorium.sdum.uminho.pt/bitstream/1822/17572/1/Managing%2520Stakeholder's%2520Conflicts.pdf > pada 25 Maret 2015. pg.303
Panglima Pacalang, Pencalang berada di tengah atau tidak memihak
sebab Pecalang, Polres, Danrem dan Dandim harus bekerjasama untuk
membangun sistem pengamanan yang bertaraf internasional. Pecalang yakin
bahwa di Bali tidak akan terjadi gejolak kedepannya dan menganggap bahwa
media memberi pengaruh yang cukup besar dalam membesarkan suatu isu.
Dalam proses ini sudah terdapat pertemuan yang dilakukan investor dengan
banjar-banjur namun dalam skala yang masih kecil. Pencalang juga
menjembatani pertemuan investor dengan masyarakat, dipaparkan oleh
Panglima Pencalang bahwa pertemuan ini harus dilakukan secara terbuka dan
terus terang sebab terdapat kepentingan politik dibaliknya harus terdapat kajian
yang berlandas pada hati nurani begitu pula dengan kajian teknologi yang harus
diamankan dan diawasi jangan ada yang ditutupi semua harus terbuka dan jelas
sehingga tidak terdapat kasus “yang memberi uang yang dibela” atau dengan
kata lain tidak terdapat kelompok yang memanfaatkan kondisi ini untuk
mengambil keuntungan.
Politik merupakan muatan yang sangat mempengaruhi dinamika di
masyarakat Bali mengenai pembangunan Teluk Benoa ini. Pemerintah harus
tegas dan berani dalam mengambil segala keputusan. Pecalang menganggap
bahwa saat ini pemerintah lemah, DPR tidak berani untuk berbicara karena
terdapat kepentingan terutama pada pilkada. Terdapat pandangan bahwa
Pemerintah lemah sebab tidak berani mengambil keputusan menanggapi
persoalan ini. Segala pembangunan di Bali harus disesuaikan dengan budaya
yang ada di Bali. Pencalang beranggapan bahwa pembangunan akan lebih
dapat dipertanggungjawabkan apabila dilakukan oleh pemerintah dan bukan
investor. Peran pecalang dalam masyarakat akan selalu menjadi penjembatan
antara pihak-pihak yang perlu melakukan diskusi melalui proses-proses adat.
Inilah peran stakeholder yang dimainkan pecalang agar suatu konflik tidak
terekskalasi menjadi lebih besar.
e. Banjar
Banjar merupakan sistem pemerintah yang unik dari Bali dan
berhubungan langsung dengan masyarakat. Banjar terdiri dari beberapa rumah
atau kepala keluarga. Dalam proses pembangunan di Teluk Benoa yang akan
merasakan dampak langsung adalah Banjar melalui wawancara pada tanggal 24
Maret 2015 kepada pecalang, pecalang memaparkan bahwa investor perlu
melibatkan banjar sebanyak-banyaknya dan menjelaskan kepada banjar apa
yang diinginkan investor sehingga masyarakat jelas apa yang diinginkan oleh
investor. Pertemuan yang dilakukan investor dengan banjar perlu ditingkatkan
volumenya sehingga tidak sekedar beberapa banjar saja yang mengetahui.
Banjar berada di bawah desa adat kemudian di bawah banjar ada seko teruna
teruni atau pemuda adat, apabila akan mengambil keputusan mereka harus
melakukan rapat kelembagaan sehingga keputusan suatu banjar dan
pemasangan baliho bukan sesuatu hal yang serta merta. Diharapkan pemerintah
dapat mewadahi semua aspirasi masyarakat Bali, apa yang diinginkan
masyarakat Bali dapat tersampaikan kepada pemerintahan seperti yang
dipaparkan Steurer (2005) pada triple-perspective typology of stakeholder theory,
yang menekankan pada pendeskripsian “what do stakeholders expect or claim
and how do they actually try to achieve their claim?”113.
f. Universitas – expert assassment
Rektor IHDN berpendapat bahwa untuk mencegah hal yang tidak
diinginkan terjadi, pembangunan di Bali harus tetap mematuhi nilai-nilai adat
yang sudah ditetapkan. Pemerintah juga sebaiknya terbuka dalam setiap
langkah-langkah yang ditentukan perihal pembangunan di Bali terutama
pelibatan universitas dalam uji kelayakan dan AMDAL serta sosialisasi
pemerintah yang terbuka terhadap peraturan pemerintah yang akan dibuat.
Rektor IHDN memaparkan bahwa pembangunan di Bali saat ini mengalami
pergeseran sehingga menyebabkan pelanggaran-pelanggaran adat. Seperti
pembahasan mengenai bisinis pariwisata di Bali tidak lagi mengikuti nilai-nilai
adat seperti bangunan tidak menempel pada tempat-tempat ibadah. Jarak
bangunan dengan pantai sebesar 100 m saat pasang. Model bangunan Bali
yang sudah mulai dilanggar seperti ornamen-ornamen Bali yang seharusnya
dibuat menggunakan bahan yang asli/ yang seharusnya sudah ditentukan seperti
113 Reinhard Steurer, et al. 2005. Corporations, stakeholders and Sustainable Development I: A Theoretical Exploration of Business-Society Relations. Journal of Bussiiness Ethics (2005) 61: 263-281: Springer. Diakses < http://www.environmentalmanager.org/wp-content/uploads/2008/01/corporations-stakeholders-and-sustainable-development.pdf> pada 5 April 2015. Pg. 266.
ukuran dan gaya budaya Bali. Tata Ruang yang tidak tepat dan penuh
pelanggaran. Rektor IHDN mengatakan bahwa pembangunan Tol Teluk Benoa
dibutuhkan namun jika pembangunan untuk Teluk Benoa dilanjutkan kembali,
rektor IHDN tidak setuju sebab akan menyebabkan kesumpekan pada wilayah
Bali Timur Teluk Benoa dengan pertimbangan Tata Ruang seperti air, listrik,
alam, sampah, dan perilaku manusia. Dia beranggapan bahwa dalam proses
pembuatan Perpres ini terdapat bagian yang “miss” bagaimana proses dan
kajiannya, Rektor IHDN merasa sosialisasi peraturan kurang dilakukan oleh
pemerintah dan perpres merupakan sesuatu hal yang ujug-ujug. Beliau
mengatakan bahwa Teluk Benoa sudah diuji dan dikaji dengan hasil tidak layak.
Beliau berpendapat bahwa untuk mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi
pembangunan di Bali harus tetap mematuhi nilai-nilai adat yang sudah
ditetapkan. Pemerintah juga sebaiknya terbuka dalam setiap langkah-langkah
yang ditentukan perihal pembangunan di Bali terutama pelibatan universitas
dalam uji kelayakan dan AMDAL serta sosialisasi pemerintah yang terbuka
terhadap peraturan pemerintah yang akan dibuat.
Dekan Fakultas Teknik Universitas Udayana Prof Redane, Beliau
menyatakan bahwa pembangunan tidak layak untuk dilakukan namun bukan
berarti menolak pembangunan, kepariwisataan. Beliau mengatakan bahwa
pembangunan kepariwisataan di Teluk Benoa dapat dilakukan tetapi
menggunakan teknologi selain pembangunan. Teknologi yang digunakan dalam
pembangunan dengan mempertimbangkan unsur-unsur budaya Bali, sehingga
budaya harus menjadi alat kontrol bagi kemajuan teknologi sehingga tidak
memberikan efek destruktif terhadap masyarakat dan lingkungan melalui Tri Hita
Karana. Pembangunan sah untuk dilakukan apabila teknologinya tepat guna.
Teknologi tepat guna ialah teknologi yang dalam implementasinya tidak
mendapatkan penolakan dari masyarakat.
Solusi yang ditawarkan oleh Prof Redane adalah dilakukannya sharing
informasi antara pihak pemerintah dengan pihak pro dan kontra agar
mendapatkan outcome demi keamanan dan kenyamanan bersama.
Pembangunan kepariwisataan di Teluk Benoa tidak harus dihentikan secara total
tetapi ditunda pembangunannya. Dalam penundaan ini beliau menyarankan agar
pemerintah membuat proposal baru selain reklamasi melalui instansi-instansi
terkait seperti Bappeda dan Dinas Pekerjaan Umum. Pembangunan di Bali harus
bersifat People Centered Development yaitu pembangunan berwawasan budaya
dan penggunaan teknologi pembangunan yang tepat guna. Menurut United
Nation Development Programme (UNDP), People-Centred Development
merupakan pembangunan yang tidak hanya bersifat ekonomis tetapi juga
pembangunan manusia lebih jauh. People-Centred Development akan
membantu pengembangan sumber daya manusia demi mendapatkan kehidupan
yang lebih baik114. Dengan proses pembangunan yang memiliki wawasan
budaya dan teknologi tepat guna, maka hal tersebut akan menuju kepada
kesejahteraan masyarakat Teluk Benoa.
Bagan 4.2 People-Centred Development Pembangunan Kepariwisataan
Teluk Benoa115
Dosen Psikologi Universitas Udayana Yohannes Herianto (Penanggap FGD),
Perbedaan pendapat dan informasi yang tidak sempurna mengenai rencana
pembangunan kepariwisataan di Teluk Benoa menciptakan group think116. Group
think ini harus dicegah agar tidak berkembang menjadi stereotype yang akan
memperuncing masalah sehingga perbedaan pendapat berubah menjadi konflik.
114
UNDP, “People-Centred Development: Empowered Lives Resilient Nations”, United Nations
Development Programme Annual Report, 2011, hlm. 2 115
Dibentuk berdasarkan paparan Dekan Fakultas Teknik Universitas Udayana Prof. Redane dalam Focus
Group Discussion yang diselenggarakan Program Studi Damai dan Resolusi Konflik di Grand Inna Beach
Hotel, Sanur, Bali tanggal 24 Maret 2015 116
Ichsan Malik. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Kemala. Pg. 178
Kesejahteraan
Teknologi
Budaya
Pembangunan Kepariwisataan
Masing-masing pihak baik pro maupun kontra harus berusaha menerima dan
memahami informasi dari pihak lainnya sehingga tidak terjadi bias dalam berpikir.
Salah satu cara bertukar informasi dengan melakukan FGD.
Forum Rektor dan APTISI (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia)
Bali dengan Ketua Forum Rektor Bali Prof. Dr.dr. Ketut Swastika, Sp.PD-KEMD
wilayah VIIIA Bali menyatakan menolak pembangunan serta akan melakukan
perlawanan melalui jalur akademisi. Universitas yang seharusnya mampu
memberikan berbagai pandangan dan pertimbangan kepada masyarakat serta
berdiri sebagai pihak yang netral.
g. Public in General
Masyarakat yang secara langsung akan menerima dampak dari adanya
suatu project. Dampak yang muncul juga dapat bersifat positif maupun negatif.
Masyarakat yang akan mengalami dampaknya secara langsung apabila
pemerintah membentuk suatu kebijakan maupun regulasi sehingga keterlibatan
masyarakat memiliki peran yang sangat esensial. Sehingga keikutsertaan
masyarakat dalam pembentukan regulasi sangat dibutuhkan. Apabila
masyarakat sebagai salah satu elemen stakeholder tidak dilibatkan maka akan
menimbulkan permasalahan terutama dalam intepretasi masyarakat terhadap
suatu regulasi117.
Seperti yang dipaparkan I Wayan Gendo Suardana, masyarakat yang
tidak menyetujui pembangunan di Teluk Benoa sering menghadiri undangan
diskusi dari pemerintah sebab dianggap sebagai bagian dari mencari policy
sedangkan Walhi sering diundang bappeda untuk melakukan diskusi namun
keputusan berada pada masyarakat. Dalam memandang Simakrama dan
Podium Bebas Bicara, Gendo mengatakan bahwa dia tidak pernah mau datang
karena tidak mempercayai fasilitasi pemerintah Gendo menganggap bahwa hal
ini Cuma settingan demokrasi, dan Gendo merasa bahwa podium itu lebih
digunakan oleh kelompok yang menyetujui pembangunan di Teluk Benoa. Dalam
riset yang dilakukan Udayana masyarakat tidak mengetahui proses dan
117 Rofiqi Hasan. 17 Juni 2014. Pro-Kontra Reklamasi Teluk Beoa Bali Terus Berlanjut. Diakses <http://www.tempo.co/read/news/2014/06/17/058585835/Pro-Kontra-Reklamasi-Teluk-Benoa-Bali-Terus-Berlanjut> pada 6 April 2015.
reviewnya hanya hasil review yang disosialisasikan bahwa pembangunan ini
layak yang tidak menyertakan review hal-hal mengapa hasil yang tidak layak
mampu berubah menjadi layak. Masyarakat yang menolak pembangunan di
Teluk Benoa merasa bahwa terdapat ketimpangan pemerintah dalam
mendudukan masyarakat pro dan kontra dalam diskusi-diskusi yang dilakukan
oleh pemerintah. Dari sisi masyarakat kontra menganggap bahwa masyarakat
pro tidak pernah memiliki niat baik untuk duduk bersama membicarakan hal ini.
Hubungan antar Stakeholder
Setiap stakeholder memiliki kepentingan masing-masing yang dapat
berdampak pada de-ekskalasi konflik maupun ekskalasi konflik namun juga perlu
dilihat bagaimana relasi antar stakeholder dalam hal ini adalah hubungan antara
Pemda Bali, Kepolisian, TNI, Pecalang, Banjar, Universitas, dan masyarakat Bali
apakah diklasifikasikan unitary, pluralist atau coercive seperti yang dipaparkan
oleh Rijberman (1999). Unitary relationship dimana stakeholder memiliki
persamaan nilai dan akan memiliki persamaan objective namun memiliki
perbedaan kepentingan. Pluralist situation dimana stakeholder tidak setuju atau
tidak membagikan nilai masing-masing kelompok terhadap kelompok lain dimana
terdapat dominasi satu stakeholder terhadap stakeholder lainnya walaupun
kelompok yang terlibat memiliki kelonggaran dalam tujuan dan nilai. Hubungan
yang ketiga adalah coercive relationship hubungan diantara stakeholder yang
mendeskripsikan suatu situasi dimana para kelompok tidak membagikan nilai
yang dianut bersama namun lebih menekankan pada dominasi satu stakeholder
terhadap stakeholder lainnya karena memiliki power yang cukup besar untuk
melakukan dominasi tersebut. Melalui penelitian di lapangan dan melalui Focus
Group Disscussion dapat dikatakan bahwa Kepolisian, TNI, Pemerintah dan
Pecalang melakukan sinergitas kekuatan untuk bekerja sama agar Bali tetap
aman, damai, dan nyaman. Hal ini dipaparkan oleh Irwan Darmawan setelah
acara Focus Group Disscussion pada tanggal 24 Maret 2015 di Hotel Grand Inna
Plaza Bali.
Perbedaan pendapat pada pembangunan Teluk Benoa tidak dapat
dihindari namun perbedaan ini mampu didorong ke arah yang membangun
namun juga berpotensi ke arah yang merusak. Melihat karakteristik masyarakat
Bali dengan nilai-nilai budaya yang positif seperti Tri Hita Karana, seperti yang
diungkapkan Putu Sukadana Kasubbid Wasdin pada FGD Universitas
Pertahanan dengan Pemda, Kepolisian dan Kodam di Kantor Gubernur Bali
tanggal 23 Maret 2015, hal ini memungkinkan perbedaan ini didorong untuk
menjadi perbedaan yang membangun bukan perbedaan yang merusak atau
functional conflict. Functional conflict leads to the improvement of the production
process or to a better outcome than would otherwise be expected, dengan
harapan perbedaan pendapat ini mampu menghasilkan hal-hal positif yang
mampu memberi masukan kepada pemerintah atau aparat demi Bali yang aman
dan nyaman.
Analisis Stakeholder dalam Resolusi Konflik
Situasi perbedaan pendapat ini harus ditangani dengan tepat dan baik
agar tidak meningkat menjadi permasalahan serius. Terdapat beberapa tahap
yang dapat dijadikan acuan memanage suatu konflik seperti yang digambarkan
pada bagan di bawah ini.
4.3 Bagan Conflict Management Phases118
Sumber: www.repositorium.sdum.uminho.pt 118 Helder Moura and Jose Cardoso Teixeira. Managing Stakeholders Conflicts. Diakses < http://repositorium.sdum.uminho.pt/bitstream/1822/17572/1/Managing%2520Stakeholder's%2520Conflicts.pdf > pada 30 Maret 2015. Pg. 300.
Hal yang awal dilakukan adalah mengidentifikasi stakeholder119 itu sendiri
dengan menganalisis stakeholder yang ada diharapkan peneliti mampu
mendeskripsikan bagaimana keadaan sebenarnya mengapa muncul perbedaan
pendapat di dalam masyarakat Bali mengenai pembangunan Teluk Benoa.
Menurut Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Badung, Nyoman
Suhendi yang diwawancara paska kegiatan Focus Group Disscussion pada
tanggal 23 Maret 2015 di Kantor Gubernur, beliau memaparkan perbedaan
pendapat mengenai ide pembangunan kepariwisataan di Teluk Benoa
merupakan sebuah perang ide yang sebenarnya merupakan hak yang lumrah
terjadi di masyarakat Bali, sehingga tidak mempengaruhi hubungan sosial antar
masyarakat Bali. Dengan melihat karakteristik masyarakat Bali, Nyoman Suhendi
juga memaparkan bahwa potensi konflik dianggap tidak terlalu besar sebab
masyarakat Bali saling mengenal satu dengan yang lain dan mampu untuk
bersikap secara rasional sehingga melihat pendapat dari Kepala Badan
Kebangpol dan Linmas Kabupaten Badung dapat dikatakan potensi konflik
terhadap pembangunan di Teluk Benoa cukup kecil. Namun terdapat keunikan
bahwa konflik ini terjadi dengan intensitas yang cukup tinggi setelah Pilkada
dimana Gubernur Bali saat ini terpilih.
Dalam mengetahui dan mendeskripsikan konflik yang terjadi pada
pembangunan Teluk Benoa dibutuhkan analisis struktur dan karakteristik konflik
ini sehingga dapat diketahui penyebab dasar konflik ini terjadi. Setelah
mendeskrpsikan konflik tersebut peneliti juga harus melihat bagaimana
construction project cycle ini atau dengan kata lain bagaimana proses tahap-
tahap perizinan dan regulasi yang mengatur pembangunan di Teluk Benoa.
Construction project cycle akan dianalisis melalui studi kelayakan atau yang
disebut dengan feasibility yang mendasari bagaimana legal dan institutional
context yang mendasari pembangunan ini.
Namun sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Rektor IHDN bahwa
dalam proses pembuatan regulasi ini terdapat proses yang “miss”, beliau
119 Christina Prell, Klaus Hubacek and Mark Reed. 2008. Stakeholder Analysis and Social Network Analysis in Natural Resource Management. Routledge: Taylor & Francis Group. Diakses < http://www.sustainable-learning.org/wp-content/uploads/2012/01/Stakeholder-Analysis-and-Social-Network-Analysis-in-Natural-Resource-Management.pdf> pada 1 April 2015. Pg.507.
memaparkan bahwa tidak semua masyarakat Bali mengetahui dibentuknya
regulasi ini. Dari bagan di atas yang diakses dari tulisan Helder Moura dan Joses
Cardoso Teixeira pad Managing Stakeholders Conflict bahwa terdapat proses
untuk melihat construction project cycle dimana di dalamnya memuat aspek uji
kelayakan. Menurut Kasubdit 3 Intel Bidang Sosial Budaya yaitu Priyanto Utomo
pada tanggal 25 Maret 2015 di Polda Bali bahwa Universitas Udayana yang pada
awalnya menyatakan bahwa pembangunan Teluk Benoa layak dilakukan
akhirnya berubah menjadi tidak setuju akan pembangunan di Teluk Benoa beliau
berasumsi terdapat kemungkinan desakan-desakan yang dilakukan dari pihak
lain.
Setelah melalui kontruksi ini pemerintah baru dapat menerbitkan suatu
regulasi yang diinginkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek tertentu
dengan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat Bali atau yang disebut
dengan legal and institutional context. Namun dengan perkembangan ini muncul
dua pandangan terhadap pembangunan di Teluk Benoa sehingga stakeholder
yang merupakan elemen-elemen yang memiliki tujuan untuk mencegah agar
konflik tidak terjadi perlu melakukan penelitian di lapangan mengapa hal ini
terjadi. Stakeholder yang berkaitan dengan hal ini adalah Pemerintah, Kepolisian
dan TNI yang di dalam prosesnya dapat dibantu oleh Pecalang dan Banjar yang
selalu bersinergi dengan kepentingan masyarakat Bali.
Pemahaman terhadap peraturan dan regulasi mengenai diputuskannya
suatu pembangunan dalam hal ini adalah pembangunan di Teluk Benoa sangat
diperlukan terutama apabila dari rencana pembangunan ini muncul konflik-konflik
atau perbedaan-perbedaan pendapat di dalamnya. Rencana pembangunan yang
menyebabkan konflik atau perbedaan-perbedaan ini harus diresolusi dengan
baik agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar apabila konflik
terekskalasi. Pencegahan ini dapat dilakukan melalui conflict resolution strategy
dimana dalam bagan conflict management phases oleh Helder Moura and Jose
Cardoso Teixeira menjelaskan bahwa dialog merupakan langkah yang harus
dilakukan untuk meresolusi konflik yang ada baik berupa negotiation, mediation,
adjudication, arbitration, dan litigation. Menurut penelitian kami di lapangan
dialog sudah dilakukan masyarakat Bali dengan pemerintah untuk menurunkan
ekskalasi konflik pada pembangunan Teluk Benoa ini. Dialog-dialog yang
dilakukan lebih kepada pemaparan alasan-alasan dibalik pandangan terhadap
pembangunan di Teluk Benoa itu sendiri. Dari dialog ini diharapkan dapat
menghasilkan suatu kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.
namun pada pelaksanaannya tidak semua pihak yang diharapkan tersebut hadir
sebab terdapat kekecewaan yang timbul dari salah satu pihak karena merasa
dalam proses pembentukan peraturan kelompok ini tidak dilibatkan. Dinamika
masyarakat yang ada di Bali saat ini masih memikirkan dan berfokus pada
kepentingan masing-masing belum menekankan pada solusi-solusi yang harus
dibentuk dan menguntungkan kedua belah pihak sehingga belum muncul
rekomendasi yang muncul yang dapat memperbaiki situasi ini.
Pada bagan conflict management phases yang dimiliki Helder Moura and
Jose Cardoso Teixeira setelah dialog dilakukan terdapat beberapa alternatif yang
ditawarkan terhadap suatu rencana proyek dalam hal ini pembanguna di Teluk
Benoa. Alternatif pertama adalah change project, dimana Moura memberi
rekomendasi untuk mengubah suatu project demi kebaikan dan resolusi konflik,
alternatif kedua adalah social interaction, kemudian technical decision yang lebih
menekankan pada perubahan teknik suatu project agar rencana pembangunan
dapat lebih diterima oleh masyarakat Bali atau alternatif terakhir adalah minimize
effect dimana suatu rencana suatu proyek harus mempertimbangkan efek-efek
yang muncul apabila proyek ini tetap dilakukan apabila aktor-aktor yang terlibat
dalam proyek ini mampu meminimaisir dampak negatif yang akan timbul
diharapkan masyarakat Bali akan lebih dapat menerima rencana pembangunan
di Teluk Benoa. Alternatif-alternatif yang ditawarkan Helder Moura dan Jose
Cardoso tidak selamanya dapat berlaku dalam setiap kasus sebab setiap kasus
atau fenomena memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing apabila
alternatif-alternatif ini dapat diterapkan dan masyarakat dapat menerima serta
berdampak pada menurunnya ekskalasi konflik terhadap pandangan
pembangunan Teluk Benoa maka pemerintah dan masyarakat dapat
mengaplikasikan solusi ini dan kemudian akan dilakukan follow up oleh pihak-
pihak yang berkepentingan atau yang disebut dengan stakeholder. Apabila
alternatif yang ditawarkan tidak mampu diterapkan dan dianggap tidak dapat
menurunkan ekskalasi konflik maka akan dilakukan conflict resolution strategy
yang menekankan pada proses dialog lagi hingga ditemukan solusi terbaik yang
sesuai dengan karakteristik masyarakat Bali dengan menekankan pada solusi
bukan kepada kepentingan masing-masing kelompok.
Dalam menyelesaikan suatu konflik harus bergantung pada situasi-situasi
yang ada di lapangan. Dimana setiap konstruksi suatu situasi tergantung dari
proses yang mempengaruhi beberapa orang dengan perbedaan kebutuhan dan
persepsi dalam waktu yang cukup lama.
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Konflik di Teluk Benoa mengenai reklamasi/revitalisasi yang terdapat
beberapa hal yang menjadi faktor pendorong terjadinya eskalasi. Pihak yang
menolak reklamasi/revitalisasi merasa diperlakukan tidak adil, dan tingkat frustasi
yang meningkat akibat dari tekanan terus menerus dari pihak yang lebih kuat
(Pemda Provinsi Bali). Akibat merasa diperlakukan tidak adil maka masyarakat
bergerak untuk melawan Pemda Provinsi Bali sehingga eskalasi dalam sengketa
yang awalnya kecil ini akhirnya membesar.
Menurut pihak-pihak yang menolak proyek reklamasi dan revitalisasi ada
beberapa hal yang menjadi penyebab eskalasi dalam kasus ini. Salah satunya
adalah kurang terbukanya Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam melakukan
sosialisasi kepada masyarakat terutama mengenai Surat Keputusan (SK)
Gubernur No. SK 2138/02-C/HK/2012 tentang Izin dan Hak Pemanfaatan,
Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa. Dalam
penjelasannya I Wayan Gendo Suardana yang merupakan Koordinator Umum
dari ForBali (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi –Teluk Benoa) dan Dewan
Daerah WALHI Bali, menyebutkan bahwa pada awalnya masyarakat umum tidak
mengetahui adanya SK tersebut. Mereka bahkan mengaku apabila media tidak
membocorkan rencana proyek revitalisasi/reklamasi ketika kedatangan Cristiano
Ronaldo pada medio Juni 2013 ke Bali itu, maka masyarakat sampai sekarang
tidak akan mengetahui apapun terkait rencana pembangunan di wilayah
tersebut.
Kebijakan negara (politik) sejatinya merupakan hulu dari segala
pembangunan yang ada. Adanya otonomi daerah membuat Pemerintah Provinsi
maupun Kabupaten/Kota memiliki peran sentral dalam menentukan arah dan
paradigma pembangunan di wilayahnya. Dalam konteks paradigma
pembangunan di Bali – khususnya pembangunan pariwisata – penelitian ini
mengidentifikasi bahwa Eco-developmentalism merupakan paradigma yang lebih
menonjol digunakan oleh negara.
Paradigma pembangunan Eco developmentalism tercermin dalam
pertumbuhan jumlah akomodasi pariwisata di Baliyang terus meningkat sejak
tahun 2010 hingga tahun 2014namun tidak diiringi dengan kelestarian
lingkungan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, jumlah
hotel di Bali – dari hotel bintang satu hingga hotel bintang lima – terus meningkat.
Pada tahun 2010, jumlah hotel bintang lima berjumlah 37 hotel, jumlah ini
meningkat pada tahun 2014 menjadi 58 hotel. Demikian pula hotel bintang
empat, tiga, dan satu, semuanya mengalami peningkatan jumlah setiap
tahunnya.
Ironisnya, pertumbuhan pembangunan itu berdampak buruk pada
lingkungan. Pada tahun 2011 Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH)
Provinsi Bali menyatakan bahwa Provinsi Bali akan mengalami krisis air bersih
pada tahun 2025 akibat sektor industri pariwisata. Lebih lanjut, pada tahun 2012
BPLH juga menyampaikan bahwa terdapat 13 titik pantai di Bali yang tercemar
limbah akomodasi pariwisata. Ironi tersebut merupakan ciri utama dari
paradigma pembangunan Eco-developmentalism.Pesatnyapembangunan
akomodasi pariwisata di Bali ternyatatidak diiringi dengan terjaganya kelestarian
lingkungan.
Lebih lanjut, pertanyaan yang paling krusial dari pembangunan akomodasi
besar-besaran di Bali adalah keseimbangan pesatnya pembangunan akomodasi
dengan ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang layak, Dampak
positif pembangunan besar-besaran akomodasi pariwisata bagi Angka Harapan
Hidup (AHH) bagi masyarakat, dan peran pembangunan tersebut dalam
memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Jika permasalahan
tersebut tidak terjawab dengan sebuah data statistik yang valid dan objektif,
maka dapat diidentifikasi bahwa pembangunan besar-besaran (Eco-
developmentalism) tersebut juga turut serta menciptakan alienasi bagi
masyarakat Bali.
Alienasi (keterasingan) merupakan gejala sosial dalam masyarakat
modern. Keterasingan itu sendiri merupakan salah satu tema yang ada dalam
telaah filsafat eksistensialisme. Dalam Teori Marx, alienasi merupakan dampak
mekanis dari adanya suatu strata sosial (social class). Dalam konteks penelitian
ini, alienasi (keterasingan) tersebut merujuk pada sebuah dampak sosial-
ekonomi dari adanya pembangunan akomodasi pariwisata yang begitu massif.
5.2. Saran
Dari hasil penelitian ini, maka berikut beberapa saran untuk Stakeholders
terkait:
1. Pemerintah Pusat
Agar memfasilitasi penyelesaian dinamika konflik Teluk Benoa, Bali. Hal
ini dapat dilakukan melalui mengadakan pertemuan antara Pemerintah
Daerah bersama dengan masyarakat yang pro dan kontra.
2. Pemerintah Daerah & Perusahaan
a. Pemerintah Daerah diharapkan dapat bekerjasama dengan
perusahaan untuk mensosialisasikan tujuan dari Revitalisasi dan
memberikan pemahaman ilmiah kepada masyarakat.
b. Pemerintah Daerah dan perusahaan diharapkan dapat menjelaskan
jangka panjang dari revitalisasi kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Darma, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Davis, N.J. 1999. Resilience: Status of the Research and Research-Based
Programs. ERIC Digest. University of Illinois at Urbana Champaign
Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education
Druckman, D. 2005. Doing Research: Methods of Inquiry for Conflict Analysis.
California: SAGE Publication, Inc.
FISIP Unud. 2014. Survey Opini Publik di Kabupaten Badung Terkait Isu
Reklamasi Teluk Benoa. Tidak diterbitkan
Forbali. 2014. Kliping Media Kronologis Inkonsistensi Gubernur. Tidak diterbitkan
Gallo, G. 2012. Conflict Theory, Complexity and System Approach. Research
Paper. SystemResearch and Behavioral Science. Wiley Online Library.
Galtung, J. 1996. Peace By Peaceful Means: Peace and Conflict, Development
And Civilization. Oslo: PRIO.
Greef, A. 2005. Resilience : Personal Skills for Effevtive Learning. UK : Crown
House Publishing Ltd.
Ho-Wo Jeong. 2008. Understanding Conflict and Conflict Anlysis. London: SAGE
Publication
Ichsan Malik, dkk. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi
Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan
Kemala.
Isaacson, B. 2002. Charateristic and Enhancement of Resiliency in Young
People : A Research Paper. University of Winsconsin-Stout.
Istvan Mieszaros,. 1970. Marx’s Theory of Alienation. UK: Merlin Press.
John Burton. 1990. Conflict: Human Needs Theory. London: St. Martin Press.
Kriesberg, Louis. 1998. Constructive Conflicts: From Escalation to Resolution.
Oxford: Rowman and Littlefield Inc
Margi, Ketut. 2005. Pariwisata dan Kebudayaan. Singaraja: IKIP Negeri
Singaraja.
Michael E. Brown, 1996. The International Dimension of Internal Conflict. MIT
Press.
Morton Deutsch. 1991. Subjective Features of Conflict Resolution: Psychological,
Social and Cultural Influences dalam R. Vayrynen (editor), New Directions
in Conflict Theory: Conflict Resolution and Conflict Transformation, London,
Sage Publication.
Opotow, Susan. 2000. Aggression and Violence, in The Handbook of Conflict
Resolution: Theory and Practice, eds. Morton. Deutsch and Peter
Coleman, San Francisco: Jossey-Bass Publishers, Inc.
Penelope Oakes. 2001. The Root of all Evil in Intergroup Relations? Unearthing
the Categorization Process. dalam Rupert Brown dan Sam Gaertner
(editor), Blackwell Handbooks of Social Psychology, Oxford: Blackwell
Publishing, 2001.
Pruitt and Rubin. 1986. Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement.
USA: McGraw- Hill Humanities/Social Sciences/Languages
Rahmawati, Putu Indah. 2003. Pengantar Pariwisata. Singaraja: IKIP Negeri
Singaraja.
Rutter, M. 1987. Psychosocial resilience and protective mechanisms. American
Journal of Orthopsychiatry.
Simon A. Mason, Sandra Rychard. 2006. Conflict Analysis Tools. developed by
Swiss Agency for Development and Corporation (SDC).
LAMPIRAN FOTO