OLEH SARI MAULIDYAWATI H14070064 - repository.ipb.ac.id fileRINGKASAN SARI MAULIDYAWATI . Dampak...
Transcript of OLEH SARI MAULIDYAWATI H14070064 - repository.ipb.ac.id fileRINGKASAN SARI MAULIDYAWATI . Dampak...
DAMPAK KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG TERHADAPSTRUKTUR SUBSIDI APBN DAN EFISIENSI USAHA MIKRO DI
KOTA BOGOR(PERIODE 2005-2010)
OLEHSARI MAULIDYAWATI
H14070064
DEPARTEMEN ILMU EKONOMIFAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2011
RINGKASAN
SARI MAULIDYAWATI. Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG TerhadapStruktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro Di Kota Bogor (Periode 2005-2010) (dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI).
Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas Bumi merupakan kekayaan alamyang dikuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran dankesejahteraan rakyat Indonesia. Pemerintah menjamin ketersediaan dankelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital bagi seluruhmasyarakat Indonesia.
Terjadinya kenaikan harga minyak mentah di dunia dari awal tahun 2005sampai dengan tahun 2009 ini ternyata berdampak terhadap harga minyak mentahdi Indonesia. Hal ini tentunya akan mempengaruhi besarnya beban subsidi BBMyang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga salah satu upaya untukmengatasi permasalahan ini melalui kebijakan program konversi minyak tanahbersubsidi ke LPG 3 kg pada pertengahan tahun 2007 yang berakhir pada tahun2012.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kondisipenggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari tahun 2005 sampai tahun2010, untuk melihat dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadapstruktur subsidi APBN (2007-2010) dan untuk melihat dampak program konversiminyak tanah ke LPG terhadap usaha mikro dalam hal ini pedagang bakso kakilima di Kota Bogor.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan datasekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan kuesioner kepada usahamikro yaitu 30 pedagang bakso kaki lima yang mewakili enam Kecamatan diKota Bogor. Sedangkan data sekunder diperoleh dari BPS, KementerianKeuangan, Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor, Ditjen Migas dan ESDM(Energi dan Sumberdaya Mineral), Pertamina. Analisis kondisi penggunaanminyak tanah dan LPG di Indonesia dilakukan dengan metode deskriptif. Metodedeskriptif juga digunakan untuk menganalisis dampak konversi minyak tanah keLPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi usaha mikro yaitupedagang bakso kaki lima di Kota Bogor.
Hasil analisis deskriptif kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG daritahun 2005 sampai dengan tahun 2010 di Indonesia mengalami perubahanterutama setelah adanya program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg. Untukkonsumsi minyak tanah mengalami penurunan, sedangkan konsumsi untuk LPG 3Kg mengalami peningkatan. Hal ini menggambarkan sebagian besar masyarakattelah beralih menggunakan LPG dikarenakan jumlah pasokan minyak tanah yangsemakin berkurang/ langka dan harganya semakin mahal dikalangan masyarakat,serta penggunaan LPG yang dirasa lebih efisien. Dampak program konversiminyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010), telahmemberikan penghematan subsidi negara sebesar 21,38 triliun rupiah.Penghematan subsidi energi ini menggambarkan program konversi telah berhasil
menurunkan konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap yang dilaksanakan olehpemerintah Indonesia guna menghemat anggaran subsidi BBM. Sedangkandengan adanya program konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha mikrokhususnya pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, berdampak terhadap efisiensiusaha baik dari sisi biaya, waktu, dan tenaga. Pengeluaran untuk bahan bakarminyak tanah dirasa lebih besar dibandingkan LPG 3 kg, dan besarnyapenerimaan pedagang bakso mengalami peningkatan karena pedagang baksomenetapkan harga yang lebih tinggi setelah program konversi. Sebagian besarpedagang bakso kaki lima menyatakan sangat setuju dengan penggunaan LPG 3kg yang lebih menguntungkan dibandingkan minyak tanah dan setuju menerimaLPG 3 kg sebagai pengganti minyak tanah serta tidak ada unsur keterpaksaandalam menjalankan program konversi.
Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan antara lain pemerintah pusatdan PT. Pertamina hendaknya terus melakukan evaluasi dan lebih memperbaikipelaksanaan program konversi minyak tanah ke LPG, seperti mengatasi distribusiLPG bagi masyarakat dan harus mengambil tindakan hukum yang tegas apabilaterjadi penyelewengan di jaringan distribusi tersebut, sehingga program konversidapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia secara merata. Pemerintah KotaBogor hendaknya lebih memperhatikan para pelaku usaha seperti usaha mikro danPKL dengan adanya program konversi minyak tanah ke LPG, dengan terusmenggalakkan sosialisasi dan penyuluhan kepada pedagang bakso kaki limasehingga dapat mengefisienkan penggunaan bahan bakar LPG dan programkonversi diharapkan dapat berhasil.
DAMPAK KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG TERHADAPSTRUKTUR SUBSIDI APBN DAN EFISIENSI USAHA MIKRO DI
KOTA BOGOR(PERIODE 2005-2010)
Oleh
SARI MAULIDYAWATIH14070064
SkripsiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMIFAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2011
Judul Skripsi : Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap
Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro Di
Kota Bogor (Periode 2005-2010)
Nama : Sari Maulidyawati
NIM : H14070064
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A.NIP. 19520408 198403 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2011
Sari MaulidyawatiH14070064
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sari Maulidyawati lahir pada tanggal 1 Juni 1989 di
Bogor. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Warsono
dan Nunung Yuliati, S.Pd. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Negeri
Kotabatu 06 pada tahun 2001. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan ke SLTP
Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2004. Penulis kemudian diterima di SMA
Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan
diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan
Masuk IPB (USMI). Di tahun berikutnya, penulis mendapatkan Mayor di Ilmu
Ekonomi dan Minor Ekonomi Pertanian di Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif di beberapa organisasi seperti FOSMA
IPB, COAST Tari BEM FEM IPB, dan HIPOTESA. Penulis menjadi pengurus
divisi Training ESQ FOSMA IPB pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis
menjadi pengurus COAST Tari BEM FEM IPB. Dan pada tahun 2009 penulis
menjadi staf divisi INTEL (Information, Comunication, and External
relationship) di HIPOTESA. Selain itu penulis juga aktif dalam kepanitiaan
seperti ESPRESSO 2009, ECONOMIC CONTEST 2009 dan Hipotex-R 2009.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Tidak lupa penulis juga memanjatkan shalawat serta salam ke hadirat Nabi Besar
Muhammad SAW. Judul skripsi ini adalah “Dampak Konversi Minyak Tanah
ke LPG terhadap Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro Di
Kota Bogor (Periode 2005-2010)”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan
bantuan dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain:
1. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A., selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang telah memberikan saran, pengarahan, dan
bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses
penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr., sebagai Dosen Penguji Utama dalam
sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat
berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
3. Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E., selaku Dosen Penguji Komisi
Pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tatacara
penulisan skripsi yang baik, juga memberikan perbaikan pada substansi
skripsi.
4. Seluruh jajaran staf Departemen Ilmu Ekonomi atas segala bantuan dan
kerjasamanya.
5. Kedua orang tua penulis, Ibunda Nunung Yuliati dan Ayahanda Warsono,
serta adik penulis Kharisma Muhamad Naufal atas doa, dorongan moral
dan materi, serta pandangan hidup atas kebahagiaan yang besar artinya
bagi pembentukan karakter dan pola pikir selama perjalanan hidup penulis.
ii
6. Teman-teman tersayang d’rempongs Wahyu Putri Pamungkas, Dyah
Pramita Raharti, Resti Anditya, Ranty Purnamasari, Putri Nilam Kencana,
dan Hilman Kurniawan yang selalu memberikan semangat dan menemani
penulis selama masa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
7. Dian Nurdiana sebagai teman bimbingan atas dukungan dan kerjasamanya
selama ini.
8. Teman-teman tercinta d’cabs Nhimas Anthyan, Novia Handayani, dan
Retno Khairunnisa yang selalu memberikan inspirasi dan menghibur
penulis selama perkuliahan di Ilmu Ekonomi.
9. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 Winda Aprianti, Lilih Suprianti,
Andi Inggryd Cheryana, Elvha Aditia Sidik dan semua teman-teman yang
tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan doa, semangat
dan dukungan selama penulis menyusun skripsi.
10. Teman-teman semasa di Tingkat Persiapan Bersama Indira Indraswari dan
Ganisa Kusumawardhani atas motivasi dan semangat yang telah diberikan
selama ini.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini
namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Juli 2011
Sari MaulidyawatiH14070064
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…….……………………………………………......... i
DAFTAR ISI………………………………………………………………..... iii
DAFTAR TABEL………………………………………………………......... v
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... vi
I. PENDAHULUAN………………………………………………………..
1.1. Latar Belakang…………………………………………………….....
1.2. Perumusan Masalah………………………………………………….
1.3. Tujuan Penelitian...…………………………………………………..
1.4. Manfaat Penelitian…………………………………………………...
1.5. Ruang Lingkup Penelitian……………………………………………
1
1
6
8
9
9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN...................
2.1. Bahan Bakar Minyak dan Gas.............................................................
2.1.1 Minyak Tanah.............................................................................
2.1.2 LPG (Liquefied Petroleum Gas).................................................
2.2. Dampak................................................................................................
2.3. Konversi Energi Minyak Tanah ke LPG.............................................
2.4. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).............
2.4.1 Struktur Subsidi APBN..............................................................
2.5. Usaha Mikro.........................................................................................
2.5.1 Pedagang Mikro.........................................................................
2.5.2 Pedagang Kaki Lima (PKL).......................................................
2.6. Teori Efisiensi......................................................................................
2.6.1 Efisiensi dalam Ekonomi............................................................
2.6.1.1 Efisiensi dalam Produksi................................................
2.6.2 Asas-asas Efisiensi.....................................................................
2.7. Penelitian Terdahulu............................................................................
2.8. Kerangka Pemikiran.............................................................................
11
11
12
12
13
14
15
17
18
19
20
21
21
24
25
28
33
iv
2.9. Hipotesis Penelitian............................................................................. 36
III. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………..
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………...
3.2. Jenis dan Sumber Data…………………………………………….....
3.3. Kerangka Sampel………………………………………………….....
3.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data................................................
3.4.1 Analisis Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG.............
3.4.2 Analisis Dampak Konversi terhadap Struktur Subsidi APBN...
3.4.3 Analisis Dampak Konversi terhadap Efisiensi Usaha Mikro....
37
37
37
38
39
40
40
41
IV. GAMBARAN UMUM SUBSIDI BBM………………………………….
4.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)…….....
4.2. Kondisi Geografis dan Demografi Kota Bogor……………………...
4.2.1 Perkembangan Usaha Mikro di Kota Bogor………………......
4.2.2 Perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Bogor..........
43
43
47
48
50
V. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………….
5.1. Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG di Indonesia daritahun 2005 sampai dengan tahun 2010……………………………...
5.2. Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Struktur SubsidiAPBN (2007-2010)…………………………………….....................
5.3. Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Efisiensi UsahaMikro (Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor)……………..….5.3.1 Karakteristik Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor.........
5.3.2 Efisiensi (Hemat) Pedagang Bakso Kaki Lima Kota Bogor......
5.3.3 Pengeluaran Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor..........
5.3.4 Penerimaan Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor..........
5.3.5 Persepsi Pedagang Bakso Kaki Lima Mengenai ProgramKonversi.....................................................................................
53
53
57
6363
64
73
74
75
VI. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………..…
6.1 Kesimpulan…………………………………………….......................
6.2 Saran……………………………………………………………….....
78
78
79
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...… 81
v
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha Di KotaBogor………………………………………………………………….... 6
1.2. Pengurangan Subsidi Melalui Konversi Minyak Tanah ke LPG…..…... 7
4.1. Ringkasan APBN Tahun 2010 (Triliun Rupiah)..................................... 44
4.2. Perkembangan Jumlah UKM dan Tenaga Kerja Di Kota Bogor …..….. 49
4.3. Jumlah PKL Kota Bogor Hasil Pemetaan 2010....................................... 51
5.1. Produksi Minyak Tanah dan LPG tahun 2005-2009............................... 53
5.2. Penggunaan Minyak Tanah dan LPG 3 kg Tahun 2005-2010................. 54
5.3. Neraca Penggunaan LPG di Indonesia Tahun 2007-2009 (dalam ributon)........................................................................................................... 56
5.4. Subsidi, 2005-2010 (Miliar Rupiah)........................................................ 58
5.5. Besarnya Subsidi Untuk Minyak Tanah dan LPG 3 Kg……………..… 59
5.6. Karakteristik Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor....................... 64
5.7. Harga Terjangkau (%) Pedagang Bakso Kaki Lima................................ 65
5.8. Harga Sebelum Program Konversi (%) Pedagang Bakso Kaki Lima...... 66
5.9. Harga Setelah Program Konversi (%) Pedagang Bakso Kaki Lima........ 66
5.10. Harga Perlengkapan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima.............. 67
5.11. Biaya Pemeliharaan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima.............. 68
5.12. Lama Waktu Memasak (%) Pedagang Bakso Kaki Lima....................... 69
5.13. Memerlukan Bantuaan saat Mengangkat dan Proses Penggantian (%)Pedagang Bakso Kaki Lima..................................................................... 70
5.14. Memerlukan Bantuaan dalam Pemeliharaan Kompor (%) PedagangBakso Kaki Lima..................................................................................... 71
5.15. Penggunaan Bahan Bakar (%) Pedagang Bakso Kaki Lima................... 71
5.16. Jarak Pembelian Bahan Bakar (%) Pedagang Bakso Kaki Lima............. 72
5.17. Pengeluaran (%) Pedagang Bakso Kaki Lima……………………..…... 74
5.18. Penerimaan (%) Pedagang Bakso Kaki Lima.......................................... 74
5.19.Sebaran Responden Berdasarkan Persepsi Mengenai Program Konversi(%)............................................................................................................ 76
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Perkembangan Permintaan, Penawaran dan Harga Minyak Dunia,
2005-2009…………………………………………………………........ 1
1.2. Distribusi Penyebaran Perusahaan Menurut Skala Usaha……………... 5
2.1. Efisiensi Produksi dan Alokasi………………………………………… 22
2.2. Diagram Kotak Edgeworth untuk Efisiensi dalam Produksi…………... 25
2.3. Efisiensi dari Segi Usaha……………………………………………..... 26
2.4. Efisiensi dari Segi Hasil………………………………………………... 27
2.5. Kerangka Pemikiran…………………………………………………..... 35
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas Bumi merupakan kekayaan alam
yang dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemerintah menjamin ketersediaan dan
kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai
hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, hal ini tercantum dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Pasal 8.
Pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi ini secara langsung diimplementasikan
melalui penyediaan BBM murah dengan adanya subsidi BBM yang merupakan
pengeluaran rutin Negara.1
Gambar 1.1. Perkembangan Permintaan, Penawaran dan Harga MinyakDunia, 2005-2009
1 Undang-undang No. 22 tahun 2001 Pasal 8. www.esdm.go.id/.../uu/doc.../500-undang-undang-n022-tahun-2001.html [ 28 Oktober 2010 ]
2
Harga minyak dunia dari awal tahun 2005 sampai dengan pertengahan
tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat signifikan (Gambar 1.1). Rata-
rata harga minyak dunia (West Texas Intermediate Spot Average) tahun 2005
sebesar USD 53,4 per barel meningkat menjadi USD 64,3 per barel pada tahun
2006 dan USD 72,3 per barel pada tahun 2007. Pada awal tahun 2008, terjadi
peningkatan yang cukup drastis yaitu pada bulan Juni yang mencapai USD 97,0
per barel. Namun, memasuki semester kedua tahun 2008, harga minyak dunia
mengalami penurunan. Sementara itu, pemulihan ekonomi dunia yang utamanya
didorong oleh pemulihan ekonomi dua raksasa, yaitu China dan India, telah
memberikan dampak pada naiknya permintaan minyak dunia pada tahun 2009.
Permintaan minyak dunia yang berfluktuasi kecenderungan meningkat,
diikuti pula dengan peningkatan harga minyak dunia (WTI). Seiring dengan
perubahan pergerakan minyak dunia (WTI), harga minyak mentah Indonesia
(Indonesian Crude-Oil Price/ ICP) juga mengalami peningkatan. Dalam semester
I pada tahun 2009 harga minyak ICP mencapai rata-rata sebesar USD 51,6 per
barel, kemudian pada semester II mengalami peningkatan menjadi USD 71,6 per
barel, sehingga selama tahun 2009 harga rata-rata minyak ICP mencapai USD
61,6 per barel.2
Terjadinya persoalan kenaikan harga minyak dunia yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia ini, memaksa pemerintah untuk mengambil keputusan yang
amat berat dengan menaikkan harga BBM selama dua kali pada tahun 2005.
2 Kementerian Keuangan. 2010. Bab II Perkembangan Ekonomi Dan Pokok-Pokok KebijakanFiskal RAPBN 2011 dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2010. Hal. 18.www.anggaran.depkeu.go.id/.../10-0824%20NK%20dan%20RUU%20APBN%202011_BabII_rev1.pdf [ 28 Oktober 2010 ]
3
Selain itu, adanya kenaikan harga minyak mentah Internasional memberikan
dampak terhadap meningkatnya beban subsidi BBM dalam APBN.
Beban subsidi BBM yang terus meningkat ini akan mengganggu
keberlanjutan (sustainability) anggaran pemerintah, yang nantinya dapat
mengancam stabilitas perekonomian dan mengurangi kepercayaan terhadap
ekonomi Indonesia. Selain itu, peningkatan beban subsidi BBM akan membawa
akibat kepada pengurangan anggaran pemerintah untuk berbagai program penting
bagi kesejahteraan rakyat, seperti alokasi untuk kemiskinan dan infrastruktur.
Oleh karena itu, stabilitas makro harus tetap dijaga.
Untuk mengendalikan beban subsidi BBM ini, pemerintah mengambil
salah satu kebijakan untuk mengurangi besarnya pengeluaran negara dalam
mensubsidi bahan bakar minyak tanah bagi masyarakat melalui langkah-langkah
penghematan subsidi, salah satunya dengan melaksanakan program konversi
minyak tanah bersubsidi ke LPG (Liquid Petroleum Gas) 3 kg pada tahun 2007.
Jika subsidi minyak terus dipertahankan, hal ini dinilai akan membebani anggaran
pemerintah. Isu inilah yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai targetnya
dalam mengurangi subsidi bahkan hingga tercapainya target akhir yaitu
menghapus subsidi.
Dasar persiapan pemasaran LPG 3 kg untuk penggantian minyak tanah
terdapat dalam surat dari Menteri ESDM No.32429/26/MEM/2006 tanggal 31
Agustus 2006 tentang P.T. Pertamina untuk melakukan pengalihan minyak tanah
ke LPG bagi konsumen rumah tangga serta surat Wakil Presiden RI
4
No.20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006 Perihal : Konversi Pemakaian Mitan
ke Elpiji .
Melalui program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg ini, diharapkan dapat
memangkas subsidi minyak tanah dari 35 trilyun rupiah menjadi 17,5 trilyun
rupiah atau setara dengan 50 persen pada tahun 2008. Regulasi pemerintah
mencanangkan konversi penggunaan sekitar 5,2 kilo liter minyak tanah kepada
pengguna 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 yang dimulai dengan 1 juta kilo
liter minyak tanah pada tahun 2007.3
Program konversi minyak tanah ke LPG dipandang sebagai bahan bakar
pengganti yang lebih murah, yang lebih ditujukkan bagi masyarakat miskin
pengguna minyak tanah yang kemudian beralih ke bahan bakar gas melalui
pembagian kompor gas dan tabung gas 3 kg pada tiap kepala keluarga (KK).
Selain ditujukan bagi masyarakat miskin, program konversi BBM ini tentunya
akan berpengaruh juga kepada para pelaku usaha, dalam hal ini usaha mikro
khususnya pedagang mikro yang menggunakan minyak tanah untuk bahan bakar
memasak dalam usahanya, yang kini harus beralih ke bahan bakar gas guna
menghemat pengeluaran.
Menurut laporan hasil penelitian oleh World Bank (2006), menunjukkan
99 persen perusahaan negara berkembang di seluruh dunia, dengan pekerja kurang
dari 50 orang adalah usaha mikro, kecil dan menengah. Kategori usaha di sektor
3 Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral 2007 dalam Simanjuntak, M., R.A.B. Kusumo,dan M. Nasarullah. 2009. “Pola Pengeluaran, Persepsi, dan Kepuasan Keluarga TerhadapPerubahan Penggunaan Energi dari Minyak Tanah ke LPG”. Jurnal Ilmu Keluarga danKonsumen, Volume 2 Nomor 2 ISSN: 1907-6037. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor. Hal.165
5
ini juga merupakan kesempatan kerja yang paling realistis bagi masyarakat
miskin. Gambaran distribusi penyebaran perusahaan menurut skala usaha ini
berdasarkan Sensus Ekonomi 2006 (BPS, 2006) terlihat sebagai berikut:
Sumber: BPS, 2006.Gambar 1.2. Distribusi Penyebaran Perusahaan Menurut Skala Usaha
Dari grafik pie-chart diatas (Gambar 1.2.) memberikan gambaran dan
penjelasan lebih detail mengenai penyebaran usaha di Indonesia. Terlihat bahwa
skala usaha mikro mendominasi yaitu sebesar 83,27 persen atau sebanyak 18,933
juta dibandingkan 15,81 persen usaha kecil dan 0,67 persen usaha menengah. Hal
ini jelas memberi gambaran bahwa UKM di Indonesia sangat penting, dan
kebijakan yang menyentuh kepadanya harus sistematis dan jelas.
Begitu pula di Kota Bogor, adanya perkembangan dari tahun 2007 hingga
tahun 2009 pada perusahaan menurut skala usaha seperti terlihat pada Tabel 1.1.
Dapat dilihat bahwa usaha mikro juga mendominasi di Kota Bogor, serta adanya
peningkatan dari tahun 2007 sebanyak 23.873 menjadi 25.804 pada tahun 2009,
jika dibandingkan dengan usaha kecil yaitu sebanyak 6.366 pada tahun 2007
menjadi 4.838 pada tahun 2009.
6
Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha Di KotaBogor
No. Jenis Usaha 2007 2008 20091. Usaha Mikro 23.873 25.718 25.8042. Usaha Menengah 1.598 1.607 1.6143. Usaha Kecil 6.366 4.822 4.838
Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2009.
Pada usaha mikro ini, didalamnya terdapat pedagang mikro yang terkena
dampak dari adanya program konversi minyak tanah ke LPG terhadap kegiatan
usaha mereka.
Oleh karena itu, judul Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG
Terhadap Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro di Kota Bogor
(Periode 2005-2010) dipilih untuk dikaji lebih lanjut, dengan menganalisis
struktur subsidi energi dalam APBN yaitu subsidi BBM serta dampaknya terhadap
efisiensi pada usaha mikro.
1.2 Perumusan Masalah
Apabila subsidi BBM dilanjutkan, hal ini dapat mengakibatkan tingginya
subsidi dalam penyediaan energi khususnya BBM dan potensi pemborosan yang
semakin besar dalam APBN. BBM dalam hal ini minyak tanah, digunakan
sebagian besar oleh rumah tangga Indonesia dan disubsidi secara besar-besaran
oleh pemerintah (volume 9,9 juta KL – Rp 37 T/ tahun menurut data tahun 2007).
Sedangkan LPG hanya digunakan 10 persen rumah tangga dan harga per tabung
jauh lebih mahal dari harga subsidi eceran minyak tanah.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi tingginya beban subsidi
BBM yaitu melalui program konversi minyak tanah ke LPG. LPG dipilih sebagai
7
bahan bakar alternatif karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan
minyak tanah, selain karena aspek kelestarian lingkungan, LPG lebih ramah
lingkungan karena gas buangnya bersih. Oleh karena itu, diversifikasi dari minyak
tanah ke LPG merupakan bagian dari kebijakan energi nasional.
Dalam konversi minyak tanah ke LPG ini, dapat dilihat bahwa pemerintah
mendapatkan keuntungan berupa pengurangan subsidi yang harus dikeluarkan
seperti terlihat dalam Tabel 1.2. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh
Direktorat Riset Energi dan Manajemen Indonesia tahun 2007 dengan asumsi
seluruh minyak tanah telah dikonversi ke LPG 3 kg. Dari Tabel 1.2. dapat dilihat
bahwa pemerintah Indonesia dapat menghemat subsidi sebesar 20 triliun rupiah
per tahun. Program konversi seluruh minyak tanah bersubsidi ke LPG 3 kg akan
selesai dalam jangka waktu 5 tahun (dimulai tahun 2007 dan selesai tahun 2012).
Tabel 1.2. Pengurangan Subsidi Melalui Konversi Minyak Tanah ke LPG.Perbandingan Minyak Tanah LPG
Kesetaraan 1 liter 0,57 kgHarga Jual keMasyarakat
Rp 2.500/ltr Rp 4.250/kg
Pengalihan VolumeMinyak Tanah Subsidi
10.000.000 kilo liter 5.746.095 MT/Tahun
Asumsi HargaKeekonomian
Rp 5.665/ltr Rp 7.127/kg
Harga Jual Rp 2.000/ltr Rp 4.250/kgBesaran Subsidi Rp 3.665/ltr Rp 2.877/kgTotal Subsidi Rp 36,65 Triliun/Tahun Rp 16,53 Triliun/TahunSelisih Rp 20,12 Triliun/Tahun
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2007.
Kota Bogor dijadikan daerah studi kasus karena memiliki usaha mikro
sebanyak 25.804 dan mendominasi diantara usaha menengah yaitu sebanyak
1.614 dan usaha kecil sebanyak 4.838 pada tahun 2009. Menurut Kepala Bidang
Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindakop)
8
Kota Bogor, pada 3.600 usaha mikro kecil menengah (UMKM) diantaranya
memproduksi tekstil, sandal, sepatu, tas, dan makanan. Selain itu, usaha mikro
yang meliputi pedagang mikro didalamnya, dengan adanya program konversi
minyak tanah ke LPG ini tentunya akan memengaruhi efisiensi biaya, waktu dan
tenaga usaha mikro.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari
tahun 2005 sampai dengan tahun 2010?
2. Bagaimana dampak setelah diterapkannya program konversi minyak tanah ke
LPG terhadap struktur subsidi APBN tahun 2007 sampai dengan tahun 2010?
3. Bagaimana efisiensi usaha mikro di Kota Bogor khususnya pedagang bakso
kaki lima setelah diterapkannya program konversi minyak tanah ke LPG?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari
kurun waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2010.
2. Menganalisa struktur subsidi APBN dari tahun 2007 sampai dengan tahun
2010 setelah diterapkannya program konversi minyak tanah ke LPG.
3. Menganalisa efisiensi usaha mikro di Kota Bogor, dalam hal ini efisiensi
biaya, waktu, serta tenaga bagi pedagang bakso kaki lima serta pengeluaran,
9
penerimaan dan persepsinya setelah diterapkannya program konversi minyak
tanah ke LPG.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun
pihak-pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara
lain adalah :
1. Bagi pemerintah atau instansi pengambil keputusan terkait diharapkan dapat
memberikan masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan
maupun dalam pengambilan keputusan terkait dengan kelanjutan program
konversi minyak tanah ke LPG.
2. Bagi pembaca diharapakan dapat menjadi sumber informasi dan masukan
dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi tempat untuk pengaplikasian ilmu
pengetahuan sekaligus menambah pengalaman selama menuntut ilmu di
Institut Pertanian Bogor.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian untuk menganalisa dampak konversi minyak tanah ke LPG
terhadap struktur subsidi APBN sebelum adanya program konversi dibatasi pada
periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 dan setelah adanya program
konversi minyak tanah ke LPG yaitu periode tahun 2007 sampai dengan tahun
2010.
10
Untuk usaha mikro, studi kasus pada penelitian ini adalah Kota Bogor
pada periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 dimana tahun 2007 dijadikan
baseline karena dianggap sebagai titik dimulainya program konversi minyak tanah
ke LPG dan untuk responden dapat dipastikan masih memiliki ingatan yang baik
pada tahun tersebut.
Adapun usaha mikro disini dibatasi dengan pedagang mikro yaitu
pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor yang awalnya menggunakan bahan
bakar minyak tanah kemudian beralih ke LPG 3 kg.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa pustaka yang dijadikan
dasar teori dalam penelitian ini. Adapun pustaka tersebut adalah bahan bakar
minyak dan gas, dampak, konversi energi dalam hal ini minyak tanah ke LPG,
struktur subsidi APBN dan usaha mikro. Selain itu dalam bab ini juga akan
dijelaskan mengenai konsep efisiensi, dan beberapa penelitian terdahulu yang
menjadi referensi dalam penyusunan penelitian. Kemudian, di bagian terakhir
dalam bab ini akan dibahas tentang kerangka pemikiran penulis yang mendasari
dimulainya penelitian ini.
2.1. Bahan Bakar Minyak dan Gas
BBM (bahan bakar minyak) adalah jenis bahan bakar (fuel) yang
dihasilkan dari pengilangan (refining) minyak mentah (crude oil). Merupakan
minyak mentah dari perut bumi diolah dalam pengilangan (refinery) terlebih
dahulu untuk menghasilkan produk-produk minyak (oil products), yang termasuk
di dalamnya adalah BBM. Selain menghasilkan BBM, pengilangan minyak
mentah menghasilkan berbagai produk lain terdiri dari gas, hingga ke produk-
produk seperti naphta, light sulfur wax residue (LSWR) dan aspal.4
4 Hanan Nugroho dalam Perencanaan Pembangunan Edisi 02, Tahun X, 2005. ApakahPersoalannya Pada Subsidi BBM? Tinjauan Terhadap Masalah Subsidi BBM, Ketergantunganpada Minyak Bumi, Manajemem Energi Nasional, dan Pembangunan Infrastruktur Energi[jurnal]. Perencanaan Bidang Energi BAPPENAS. Hal. 2.
12
2.1.1 Minyak Tanah
Minyak tanah adalah bahan bakar minyak jenis distilat tidak berwarna
yang jernih. Pengguna minyak tanah pada umumnya untuk keperluan bahan bakar
di rumahtangga, tetapi pada beberapa industri juga memerlukan minyak tanah
untuk beberapa peralatan pembakarannya. Pertamina, sesudah kebijakan
pemerintah telah membatasi pemakaian minyak tanah untuk keperluan industri
(harga dengan izin khusus). Minyak tanah disebut juga kerosene.5
Minyak tanah atau kerosene merupakan bagian dari minyak mentah yang
memiliki titik didih antara 150 °C dan 300 °C serta tidak berwarna. Minyak tanah
digunakan selama bertahun-tahun sebagai alat bantu penerangan, memasak, water
heating, dan lain-lain yang umumnya merupakan pemakaian domestik
(rumahan).6
2.1.2 LPG (Liquefied Petroleum Gas)
LPG (Liquefied Petroleum Gas), merupakan nonbahan bakar minyak yang
merupakan gas minyak cair. Merupakan gas hidrokarbon yang dicairkan dengan
tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya.
Gas minyak cair yang dipasarkan dengan nama elpiji ini, di Indonesia pada
dasarnya terdiri atas propana, butana atau campuran keduanya.7
5 Mayawati, Tuti dan Tri Hidayatno. 2008. Statistika Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 2003-2007. BPS, Jakarta. Hal. 62.
6PERTAMINA. http://www.pertamina.com/index.php/detail/read/fuel-minyak-tanah.[ 01 Maret 2011 ]
7 Mayawati, Tuti dan Tri Hidayatno. 2008. Statistika Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 2003-2007. BPS, Jakarta. Hal. 65-66.
13
LPG adalah produk gas yang dihasilkan dari penyulingan minyak bumi
atau juga produk gas yang dihasilkan dari kondensasi gas bumi di unit pengolahan
pabrik. LPG digunakan sebagai bahan bakar untuk rumahtangga dan industri.
LPG ini banyak digunakan terutama oleh masyarakat tingkat menengah yang
kebutuhannya semakin meningkat dari tahun ke tahun dan selain itu LPG juga
merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Aplikasinya pada kawasan
industri, produk LPG digunakan sebagai pengganti Freon, Aerosol, Refrigerant/
Cooling Agent, kosmetik dan juga digunakan sebagi bahan baku produk khusus.
Adapun spesifikasinya, yaitu berdasarkan penggunaannya LPG dibedakan sebagai
berikut :8
a. LPG Mix, adalah campuran Propana dan Butana dengan komposisi antara 50
persen dan 50 persen dari volume serta ditambah bau (Mercaptant) dan
umumnya digunakan untuk bahan bakar di rumah tangga.
b. LPG Propane dan LPG Butan, adalah LPG yang mengandung 95 persen
Propane dan Butan 97,5 persen dari volume masing-masing dan ditambah bau
(Mercaptant), umumnya digunakan untuk industri.
2.2. Dampak
Dampak dapat diartikan sebagai benturan, pengaruh kuat yang
mendatangkan akibat, baik akibat yang negatif maupun akibat yang positif.
Dampak negatif merupakan pengaruh kuat yg mendatangkan akibat yang negatif,
8 PERTAMINA. http://www.pertamina.com/index.php/detail/read/fuel-minyak-tanah.[ 01 Maret 2011 ]
14
sedangkan dampak positif merupakan pengaruh kuat yang mendatangkan akibat
yang positif. Dampak ekonomis merupakan pengaruh suatu penyelenggaraan
kegiatan terhadap perekonomian.9
Sedangkan pengertian dampak secara umum, dalam hal ini adalah segala
sesuatu yang ditimbulkan akibat adanya sesuatu. Dampak itu sendiri juga bisa
berarti, konsekuensi sebelum dan sesudah adanya sesuatu.10
Dampak disini, penulis ingin menjelaskan mengenai dampak adanya
konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN dari tahun 2007
sampai tahun 2010 dan efisiensi usaha mikro.
2.3. Konversi Minyak Tanah ke LPG
Konversi energi adalah perubahan bentuk energi dari yang satu menjadi
bentuk energi lain. Dalam textbook buku fisika tentang hukum konversi energi
mengatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan (dibuat) ataupun dimusnahkan
akan tetapi dapat berubah bentuk dari bentuk yang satu ke bentuk lainnya.11
Dalam hal konversi minyak tanah ke LPG menurut electroniclab, dapat
dijelaskan sebagai bentuk pengalihan pemakaian bahan bakar minyak tanah ke
LPG yang dilakukan oleh Pemerintah, dalam upaya mengurangi kelangkaan
9 Anonim. 2011. Definisi Dampak. http://www.artikata.com/arti-324325-dampak.htm.[ 5 Mei 2011 ]
10_______. 2008. Pengertian Dampak. http://mediabelajarkoe.worspress.com/2008/11/24/dampak-implementasi-it-di-organisasi/ [ 5 Mei 2011 ]
11_______. 2009. “Konversi Energi”. http://www.electroniclab.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5:konversi-energi&catid=1:archive-alias&Itemid=3.[ 27 Oktober 2010 ]
15
minyak tanah yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia yang diakibatkan
karena semakin melambungnya harga minyak dunia yang berdampak terhadap
harga minyak Indonesia. Hal ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan
terhadap minyak tanah.
Program konversi minyak tanah ke gas (LPG) ini, dicanangkan melalui
regulasi pemerintah dengan melakukan konversi penggunaan sekitar 5,2 kilo liter
minyak tanah kepada pengguna 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 yang dimulai
dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007. 12
Berdasarkan surat Menteri ESDM Nomor 3249/26/MEM/2006 tentang
hasil rapat koordinasi terbatas yang dipimpin oleh Wakil Presiden mengenai
program konversi mitan ke elpiji yang menunjuk Pertamina sebagai pelaksana
program bagi konsumen rumah tangga (31 Agustus 2006).
2.4. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
didasarkan pada ketentuan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
telah diubah menjadi pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Amendemen UUD 1945 yang
berbunyi:
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud daripengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undangdan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnyakemakmuran rakyat. (2) Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan danBelanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan
12_________. 2009. “Konversi Energi”. http://www.electroniclab.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5:konversi-energi&catid=1:archive-alias&Itemid=3.[ 27 Oktober 2010 ]
16
Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan PerwakilanDaerah. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui RancanganAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden,Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yanglalu.13
APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditetapkan dengan undang-undang
(menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1 ayat 7).
APBN juga merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap
tahun dengan undang-undang. Semua penerimaan yang menjadi hak dan
pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam 1 tahun anggaran (1 Januari –
31 Desember) harus dimasukkan dalam APBN.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam APBN 2010,
merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam
rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan,
sekaligus sebagai penentu arah dan prioritas kebijakan pembangunan nasional.
Jadi, APBN berfungsi sebagai otoritas, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi. Oleh karena itu, semua penerimaan yang menjadi hak
dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam satu tahun anggaran harus
dimasukkan dalam APBN.14
13Ismawanto. 2009. Ekonomi 2: Untuk SMA dan MA Kelas XI, Jakarta: Pusat PerbukuanDepartemen Pendidikan Nasional. Hal. 27-29.
14 Kementerian Komunikasi dan Informatika, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)Tahun 2010. (Jakarta, 2010), Hal. iii.
17
2.4.1 Struktur Subsidi APBN
Dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) dan Presiden Republik Indonesia, memutuskan dan
menetapkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran (APBN) 2010 Pasal 1 ayat 16 dan 17 dalam Undang-undang ini,
yang dimaksud dengan subsidi:
(16) Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang danjasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga hargajualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. (17) Subsidi energi adalah alokasianggaran yang diberikan kepada perusahaan atau lembaga yang memproduksidan/ atau menjual bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar nabati (BBN),Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan tenaga listrik sehingga harga jualnyaterjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan.15
Dalam hal dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur
subsidi APBN tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, dapat dilihat dari besarnya
subsidi BBM dalam anggaran belanja negara. Adanya kenaikan harga minyak
dunia yang berdampak terhadap harga minyak Indonesia menyebabkan terjadinya
kelangkaan minyak, sehingga pemerintah harus mengurangi subsidi BBM. Dalam
hal ini melalui bentuk konversi minyak tanah ke LPG terutama untuk LPG 3 kg
bagi seluruh masyarakat, baik bagi rumah tangga maupun pelaku usaha dalam hal
ini usaha mikro. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi besarnya
subsidi terhadap minyak dalam anggaran belanja negara.
15 Ibid, Hal. 11
18
2.5. Usaha Mikro
Kriteria kelompok usaha mikro adalah usaha produktif milik orang
perorangan dan/ atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan
tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).16
Usaha Mikro yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga
Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah) per tahun, dan dapat mengajukan kredit kepada bank paling
banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).17
Adapun ciri-ciri usaha mikro:
1. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat
berganti;
2. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat;
3. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan
tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;
4. Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha
yang memadai;
5. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;
16 Bank Indonesia. 2003. Usaha Mikro sebagaimana dimaksud menurut Keputusan menteriKeuangan No. 40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003. www.bi.go.id/biweb/utama/peraturan/pib-5-18-03.pdf. [27 Oktober 2010]
17 Kementerian Koperasi. 2008. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang UMKM. htpp://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=129 [28 Januari 2011]
19
6. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka
sudah akses ke lembaga keuangan non bank;
7. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya
termasuk NPWP.
Adapun contoh usaha mikro adalah sebagai berikut:
1. Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan
pembudidaya;
2. Industri makanan dan minuman, industri meubelair pengolahan kayu dan
rotan, industri pandai besi pembuat alat-alat;
3. Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dan lain-lain;
4. Peternak ayam, itik dan perikanan;
5. Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit
(konveksi).
Usaha mikro dalam hal ini merupakan studi kasus usaha mikro di Kota
Bogor, yaitu usaha pedagang bakso yang merupakan pedagang kaki lima di Kota
Bogor. Pedagang bakso kaki lima ini termasuk usaha mikro yang terkena dampak
dari adanya kebijakan pemerintah melalui konversi minyak tanah ke LPG, dimana
mereka harus menyesuaikan dalam penggunaan minyak tanah sebagai bahan
bakar kemudian beralih ke LPG.
2.5.1 Pedagang Mikro
Pedagang Mikro adalah suatu bentuk kegiatan ekonomi yang berskala
kecil yang banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat lapisan bawah dengan
sektor informal atau perekonomian subsisten, dengan ciri-ciri tidak memperoleh
20
pendidikan formal yang tinggi, keterampilan rendah, pelanggannya banyak
berasal dari kelas bawah, sebagian pekerja adalah keluarga dan dikerjakan secara
padat karya serta penjualan eceran, dengan modal pinjaman dari bank formal
kurang dari dua puluh lima juta rupiah guna modal usahanya.18
2.5.2 Pedagang Kaki Lima
Pedagang kaki lima yang dapat disingkat PKL adalah penjual barang dan
atau jasa yang secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan
ekonomi yang tergolong dalam skala usaha mikro atau kecil yang menggunakan
fasilitas umum dan bersifat sementara/tidak menetap dengan menggunakan
peralatan bergerak maupun tidak bergerak dan atau menggunakan sarana
berdagang yang mudah dipindahkan dan dibongkar pasang.19
PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit)
layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara
tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan dan menjadi
manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha,
menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya,
padahal fungsi-fungsi manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka
dapatkan dari pendidikan formal. Manajemen usahanya berdasarkan pada
pengalaman dan alur pikir mereka yang otomatis terbentuk sendiri berdasarkan
18 Deperindag dan Abdullah et. all: 1996 dalam Moh. Ridwan. 2006. Determinan Dari KreditRentenir Untuk Pedagang (Studi Kasus Pada Pedagang Mikro di Pasar TradisionalGunungkidul, Yogyakarta) [skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia.Yogyakarta.
19 Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.Pasal 1.
21
arahan ilmu manajemen pengelolaan usaha, hal inilah yang disebut “learning by
experience” (belajar dari pengalaman). Kemampuan manajerial memang sangat
diperlukan PKL guna meningkatkan kinerja usaha mereka, selain itu motivasi juga
sangat diperlukan guna memacu keinginan para PKL untuk mengembangkan
usahanya.20
2.6. Teori Efisiensi
2.6.1 Efisiensi dalam Ekonomi
Efisiensi ekonomi mempersyaratkan penghindaran pemborosan sumber
daya, hal ini guna memastikan pemanfaatan sepenuhnya semua sumber daya.
Sumber ketidakefisienan mengisyaratkan kondisi penting yang harus dipenuhi
agar efisiensi ekonomi tercapai. Kondisi ini dikelompokkan menjadi efisiensi
produksi dan efisiensi alokasi. Efisiensi produksi mempersyaratkan bahwa tiap-
tiap perusahaan memproduksi keluarannya dengan mengkombinasikan faktor-
faktor produksi sedemikian hingga rasio hasil marjinal dari setiap pasang faktor
dibuat sama dengan rasio harga mereka. Sedangkan efisiensi alokasi dimana
alokasi sumber daya ekonomi dikatakan efisien bila, untuk setiap barang yang
diproduksi, biaya marginal produksinya sama dengan harganya. Hal ini telah
ditelaah oleh ahli pakar ekonomi Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karenanya,
20 Mulyanto (2007) dalam Santoso, S. 2008. “Konsep Sektor Informal: Pedagang Kaki Lima”.http://www.santoso.blogspot.com/2008/07/konsep-sektor-informal-pedagang-kaki_28.html [ 28Januari 2011]
22
efisiensi dalam penggunaan sumber daya sering kali dinamai optimalisasi pareto
atau efisiensi pareto untuk menghormatinya.21
Gambar 2.1. Efisiensi Produksi dan Alokasi.
Kurva pada Gambar 2.1. ini memperlihatkan semua kombinasi dua barang
X dan Y yang dapat diproduksi bilamana sumber daya ekonomi dimanfaatkan
sepenuhnya dan digunakan dengan efisiensi produksi. Sembarang titik pada kurva
kemungkinan produksi adalah efisien dari segi produksi, tidak semua titik pada
kurva ini efisien dari segi alokasi.
Sembarang titik dalam kurva, seperti a, tidak efisien dari segi produksi.
Jika ketidak-efisienan terjadi dalam industri x, produksi dapat direalokasikan
diantara perusahaan-perusahaan dalam industri tersebut sedemikian hingga
menaikkan produksi X dari X1 ke X2. Ini akan memindahkan ekonommi dari titik
a ke titik c, meningkatkan produksi X tanpa mengurangi produksi Y. Demikian
pula, jika ketidak-efisienan terjadi di industri Y, produksi Y dapat ditingkatkan
21 Lipsey et all, 1997. Pengantar Mikroekonomi Edisi Kesepuluh Jilid Dua. Binarupa Aksara.Jakarta. Bab 15 Kebijakan Publik Terhadap Monopoli dan Persaingan Sub Bab EfisiensiEkonomi, hal. 96-99.
b
d
ca
X1 X2
Y2
Y1
Barang x
Barang y
23
dari Y1 ke Y2, yang akan memindahkan ekonomi dari titik a ke titik b. Jika kedua
industri tidak efisien dari segi alokasi, produksi dapat ditingkatkan untuk
membawa ekonomi ke titik tertentu pada kurva diantara b dan c, dan dengan
demikian meningkatkan produksi kedua komoditas tersebut.
Efisiensi alokasi menyangkut penetapan titik paling efisien pada kurva
kemungkinan produksi. Menetapkan efisiensi alokasi berarti menilai berbagai titik
pada kurva, seperti b, c, dan d. Biasanya hanya satu titik seperti itu yang efisien
dari segi alokasi, sedangkan titik-titik lainnya akan tidak efisien.
Ada beberapa cara untuk mengukur dan atau membandingkan tingkat
efisiensi antar kelompok perusahaan dalam suatu proses produksi (Saragih, 1980),
yaitu :22
1. Efisiensi teknis; dua perusahaan mempunyai efisiensi teknis yang berbeda jika
pada tingkat penggunaan input yang sama tingkat output yang dihasiilkan
berbeda.
2. Efisiensi harga; dua perusahaan mempunyai efisiensi harga berbeda bila
masing-masing perusahaan mempunyai kesanggupan yang berbeda dalam hal
menyamakan nilai produksi marginal suatu input tidak tetap dengan harga
input tidak tetap bersangkutan.
3. Efisiensi ekonomi; dua perusahaan mempunyai efisiensi ekonomi yang
berbeda walupun keduanya beroperasi pada kondisi pasar input maupun pasar
22 Saragih (1980) dalam Warsana (2007). Analisis Efisiensi dan Keuntungan Usaha Tani Jagung(Studi di Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora) [tesis]. Program Studi Magister IlmuEkonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Diponegoro. Semarang.
24
output yang sama tetapi mungkin masing-masing mendapat perlakuan harga
yang berbeda, atau dapat dikatakan bahwa efisiensi ekonomi merupakan
gabungan antara efisiensi teknis dan efisiensi harga.
Alokasi yang Efisien Pareto (Pareto Efficient Alocation) menurut
Nicholson (1999), alokasi sumber daya bersifat efisien pareto jika tidak mungkin
lagi (melalui alokasi ulang) bagi seseorang untuk berada dalam kondisi yang lebih
baik tanpa membuat seseorang lainnya menjadi lebih buruk. Kondisi ini
dikelompokkan menjadi efisiensi dalam produksi dan efisiensi dalam pertukaran.
Namun dalam hal ini saya hanya akan menjelaskan efisiensi dalam produksi.
2.6.1.1 Efisiensi dalam Produksi
Alokasi sumber daya adalah efisien dalam produksi (atau efisiensi teknis)
jika tidak ada lagi alokasi ulang lebih lanjut yang akan memungkinkan
peningkatan produksi salah satu barang tanpa menurunkan produksi barang
lainnya.23
Pada diagram di bawah ini, menggambarkan kurva produksi sama untuk X
dan Y (Gambar 2.2.) Jadi diagram ini memperlihatkan cara-cara yang efisien
secara teknis untuk mengalokasikan jumlah K dan L yang tetap di antara produksi
dua keluaran. Garis yang menghubungkan Ox dan Oy adalah tempat kedudukan
titik-titik yang efisien ini. Di sepanjang garis ini, RTS (dari L terhadap K) dalam
produksi barang X adalah sama terhadap RTS dalam produksi Y.
23 Nicholson, 1991. Teori Mikroekonomi Jilid 1. Binarupa Aksara. Jakarta.
25
Qy
Q
Total K
Qx Total L
Gambar 2.2. Diagram Kotak Edgeworth untuk Efisiensi dalam Produksi
Perimbangan di antara keluaran diperlukan berdasarkan pergerakan di
sepanjang batas kemungkinan produksi yang mencerminkan sifat efisien secara
teknis dari semua alokasi di batas kemungkinan produksi itu. Efisiensi teknis
adalah prasyarat yang jelas untuk efisiensi Pareto secara keseluruhan. Peningkatan
keluaran ini dapat diberikan kepada seseorang membuatnya berada dalam posisi
yang lebih baik (dan tidak seorang pun menjadi lebih buruk). Jadi, inefisiensi
dalam produksi juga inefisiensi pareto. Tetapi, seperti yang akan kita lihat dalam
bagian berikutnya, efisiensi teknis tidak menjamin efisiensi pareto. Sebuah
perekonomian dapat efisiensi dalam memproduksi barang yang salah.
2.6.2 Asas-asas Efisiensi
Penataan terhadap tatausaha dan pelaksanaan bidang kerja harus selalu
berkiblat pada efisiensi. Efisiensi ini sendiri perlu sekali dijadikan satu-satunya
dasar pemikiran, ukuran baku, dan tujuan pokok bagi semua pelaksanaan kerja
ketatausahaan. Efisiensi adalah suatu asas dasar tentang perbandingan terbaik
Y1
Y2 P4
Y3 P3 X3 X4
P2
Y4 P1
X1 A
X2
26
antara suatu usaha dengan hasilnya. Perbandingan ini dapat dilihat dari 2 segi
yaitu :24
1. Segi Usaha: suatu kegiatan dapat dikatakan efisien jika sesuatu hasil tertentu
tercapai dengan usaha yang sekecil-kecilnya. Pengertian usaha
dapat dikembalikan pada 5 unsur yang dapat juga disebut sumber-
sumber kerja, yakni:
a. Pikiran (untuk mencapai cara yang termudah)
b. Tenaga (untuk mencapai cara yang teringan)
c. Waktu (untuk mencapai cara yang tercepat)
d. Ruang (untuk mencapai cara yang terdekat)
e. Benda, termasuk uang (untuk mencapai cara yang termurah).
Gambar 2.3. Efisiensi dari Segi Usaha
24 The Liang Gie, PhD. 1995. Administrasi Perkantoran Modern Edisi Keempat (dengantambahan). Liberty Yogyakarta. Bab 10 Efisiensi Perkantoran, hlm. 171-172.
A
B
c
Hasil tertentu
Usaha terkecil
Usaha lebih kecil
Usaha biasa
27
Dari Gambar 2.3. diatas, dapat dilihat bahwa usaha huruf C adalah efisien
karena memberikan perbandingan yang terbaik dilihat dari sudut usaha, yaitu
paling sedikit mengeluarkan lima sumber kerja untuk mencapai hasil tertentu yang
diharapkan.
2. Segi Hasil: suatu kegiatan dapat disebut efisien jika dengan sesuatu usaha
tertentu memberikan hasil yang sebanyak-banyaknya, baik yang
mengenai mutunya ataupun jumlah satuan hasil itu.
Gambar 2.4. Efisiensi dari Segi Hasil
Dari Gambar 2.4. diatas, dapat dilihat bahwa hasil huruf C adalah yang
efisien karena menunjukkan perbandingan yang terbaik ditinjau dari sudut hasil,
yaitu memberikan hasil yang paling besar mengenai jumlah atau mutunya.
Efisiensi pada usaha mikro dalam hal ini pedagang bakso kaki lima, erat
kaitannya dengan penggunaan input produksi seperti bahan bakar untuk
menghasilkan suatu output tertentu yaitu bakso. Efisiensi disini lebih kepada
efisiensi teknis, dimana dampak adanya konversi minyak tanah ke LPG, yaitu
C
B
A
Usaha tertentu
Hasil biasa
Hasil lebih besar
Hasil terbesar
28
input bahan bakar minyak tanah dialokasikan kepada input bahan bakar LPG.
Selain itu, efisiensi disini juga meliputi efisiensi dari segi usaha yang berupa
pengematan terhadap benda termasuk uang (untuk mencapai cara yang termurah),
tenaga (untuk mencapai cara yang teringan), waktu (untuk mencapai cara yang
tercepat) dan pikiran (untuk mencapai cara yang termudah). Hal ini tentunya akan
berdampak pada produksi pedagang bakso kaki lima, juga akan berdampak
tehadap pengeluarannya untuk membeli bahan bakar tersebut serta penerimaan
pedagang bakso kaki lima.
2.7. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu terdapat beberapa penelitian yang dapat
dikategorikan berdasarkan metode yang digunakan, serta berdasarkan penelitian
yang sejenis. Penelitian terdahulu tersebut adalah penelitian mengenai perubahan
penggunaan energi dari minyak tanah ke gas, kenaikkan dan subsidi BBM serta
pola efisiensi industri kecil. Sedangkan perbedaan dari penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya, bahwa pada penelitian yang berjudul dampak konversi
minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi
usaha mikro (studi kasus Kota Bogor) dengan menggunakan analisis deskriptif,
belum pernah dilakukan. Penelitian ini akan menjelaskan adanya konversi minyak
tanah ke LPG dampaknya terhadap struktur subsidi dalam APBN dan dampaknya
terhadap efisiensi usaha mikro dimana studi kasus yang diambil adalah pedagang
bakso kaki lima di Kota Bogor.
29
a. Penelitian terdahulu tentang Perubahan Penggunaan Energi dari MinyakTanah ke LPG.
Penelitian tentang perubahan penggunaan energi dari minyak tanah ke
LPG, mengenai “Pola Pengeluaran, Persepsi, dan Kepuasan Keluarga terhadap
Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak Tanah ke LPG”. Penelitian ini
dilakukan di dua Desa yaitu Desa Cikarang Kabupaten Bogor dan Desa Setu
Gede Kotamadya Bogor pada Oktober 2008. Metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode survei, dengan mengambil total contoh penelitian
yaitu sebanyak 30 rumah tangga, dengan masing-masing contoh penelitian setiap
desa adalah 15 rumah tangga.
Hasil penelitiannya menunjukkan, rata-rata pengeluaran rumah tangga per
bulan untuk pembelian bahan bakar setelah program konversi BBM dilaksanakan
mengalami penurunan. Sebelum program konversi dilaksanakan rata-rata
pengeluaran untuk membeli bahan bakar dari Rp 96.500,00 per bulan, dan setelah
program konversi menjadi Rp 58.800,00 per bulan atau terjadi penghematan
pengeluaran rumah tangga sebesar Rp 37.700,00 per bulan. Sebagian besar
responden menyetujui program konversi yang dapat membantu mengurangi
pengeluaran rumah tangga, penggunaan LPG lebih menguntungkan dibandingkan
minyak tanah, menerima LPG sebagai pengganti minyak tanah, dan tidak ada
unsur keterpaksaan dalam menjalankan program konversi ini. Dilihat dari tingkat
kepuasan, responden lebih merasa puas dengan keamanan menggunakan minyak
tanah dan kebutuhan biaya untuk membeli bahan bakar. Meskipun, masih terdapat
responden yang merasa kurang puas dengan harga LPG, namun di sisi lain,
30
penggunaan LPG juga dirasakan lebih efisien dari segi waktu, lebih bersih, dan
lebih praktis dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah.25
b. Penelitian terdahulu tentang Dampak Kenaikan BBM.
Studi mengenai “Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Pendapatan dan
Pengeluaran Rumah Tangga di Kota Bogor (Studi Kasus Rumah Tangga Pengojek
Pengguna Kredit Motor)”. Penelitian ini menganalisis pengaruh kenaikan harga
BBM terhadap pendapatan dan pengeluaran konsumsi rumah tangga pengojek,
serta pengaruhnya terhadap daya bayar cicilan kredit motor. Penelitian tersebut
menggunakan data primer, selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan uraian.
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan dijabarkan dalam pendeskripsian.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa adanya kenaikan harga BBM berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap pendapatan rumah tangga pengojek motor.
Sementara itu, kenaikan harga BBM berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pengeluaran konsumsi rumah tangga pengojek.26
c. Penelitian Terdahulu tentang Subsidi BBM
Studi mengenai “Apakah persoalannya pada subsidi BBM? Tinjauan
terhadap masalah subsidi BBM, ketergantungan pada minyak bumi, manajemen
energi nasional, dan pembangunan infrastruktur energi”, menguraikan tentang
25 Simanjuntaki, M., R.A.B. Kusumo, dan M. Nasarullah. 2009. “Pola Pengeluaran, Persepsi, dankepuasan Keluarga Terhadap Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak tanah ke LPG”. JurnalIlmu keluarga dan Konsumen, Volume 2 Nomor 2 ISSN : 1907 – 6037. Fakultas EkologiManusia IPB. Bogor. [28 Oktober 2010]
26Rahmadini, Anadia. 2007. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Pendapatan danPengeluaran Rumah tangga di Kota Bogor (Studi kasus Rumah tangga Pengojek PenggunaKredit Motor) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
31
pengertian dasar, praktek, dan kritik mengenai subsidi BBM yang diterapkan di
Tanah Air. Dikemukakan perkembangan perdagangan minyak bumi yang
dilakukan Indonesia. Lebih jauh, melihat bahwa masalah subsidi BBM sangat erat
kaitannya dengan ketergantungan Indonesia yang sangat besar terhadap BBM
dalam konsumsi energi nasionalnya, suatu hal yang tidak sehat karena negeri ini
memiliki berbagai macam sumber energi yang lain. Dikemukakan langkah keluar
dari perangkap subsidi BBM, bahwa sebagian masalah subsidi BBM dapat diatasi
melalui pengembangan manajemen energi nasional, yang menekankan efisiensi
konsumsi BBM dan pengembangan diversifikasi sumber energi. Upaya
diversifikasi energi dipertegas melalui rencana pembangunan infrastruktur
energi.27
Kemudian studi mengenai “Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Iklim
Usaha (Studi Kasus Pemotongan Subsidi BBM)”, menguraikan tentang kenaikan
harga BBM sebesar 28,7 persen diprediksikan akan berdampak pada peningkatan
nilai produksi usaha mikro 8,4 persen, usaha kecil 7,1 persen dan usaha menengah
15 persen. Tetapi kenaikan harga BBM tersebut berakibat pada kenaikan biaya
produksi UMKM, biaya produksi usaha mikro 34 persen, usaha kecil 24,6 persen
dan usaha menengah 129,6 persen. Akibatnya usaha mikro menderita kerugian
20,56 persen, usaha kecil 21,8 persen dan usaha menengah 12,2 persen. Kenaikan
harga BBM juga telah menyebabkan menurunnya penyerapan tenaga kerja oleh
27 Nugroho, Hanan. 2005. “Apakah Persoalannya pada Subsidi BBM? Tinjauan terhadap MasalahSubsidi BBM, Ketergantungan pada Minyak Bumi, Manajemen Energi Nasional, danPengembangan Infrastruktur Energi”. Jurnal Perencanaan Pembangunan, Edisi 02, Tahun X.Perencanaan Bidang Energi BAPPENAS. [01 Maret 2011]
32
usaha mikro sebesar 1,5 persen, usaha kecil 3,2 persen dan usaha menengah 2,5
persen. Untuk mengantisipasi menurunnya kualitas dan kuantitas keberhasilan
program pemberdayaan UKM, idealnya memang perlu dipikirkan solusi
penggunaan dana hasil pemotongan subsidi BBM, untuk mendukung program-
program perkuatan UMKM dan Koperasi. Beberapa langkah kebijakan
pemerintah seperti BLT, Raskin dan Askeskin tidak akan berperan dalam
mengatasi masalah yang dihadapi UMKM sedangkan efektifitas Program KUR,
dan PNPM-Mandiri masih perlu dikaji lebih lanjut. Oleh karena sekarang ini
belum ada program-program yang dapat menjamin peningkatan upaya
pemberdayaan khususnya untuk dapat mengatasi dampak kenaikan harga BBM
maka diperlukan adanya solusi dalam bentuk konsep kebijakan pemerintah. Salah
satu solusi tersebut dengan mengembangkan program perkuatan UMKM dalam
banyak hal dapat mengindikasikan kemampuannya untuk meningkatkan
keberhasilan usaha dan pendapatan UMKM.28
d. Penelitian Terdahulu tentang Efisiensi
Studi mengenai efisiensi industri kecil, data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan data sekunder baik dari media cetak maupun media
elektronik. Hasil penelitian diperoleh bahwa untuk tetap bertahan, industri kecil
pengolahan pangan melakukan efisiensi meliputi penyesuaian terhadap input,
proses produksi, output dan manajemen. Efisiensi dari sisi input, industri kecil
28 Siahaan, Rapma. 2008. “Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Iklim Usaha UMKM (Studi KasusPemotongan Subsidi BBM)”. Jurnal INFOKOP, Volume 16.
33
melakukan perluasan lokasi sumber bahan baku dan pembelian bahan baku secara
kelompok, dari sisi proses produksi industri kecil pangan melakukan perubahan
pada proses sehingga meningkatkan keawetan pangan maupun rasa yang lebih
menarik konsumen, dari sisi output industri kecil melakukan difersifikasi produk
secara kelompok, memilih bahan kemasan yang lebih menarik, dan dari sisi
manajemen industri melakukan sistem pengupahan berdasarkan prestasi kerja,
penataan tata letak atau lay-out side plan, dan pengelolaan mutu secara
keseluruhan.29
2.8. Kerangka Pemikiran
Alur pemikiran konseptual dalam penelitian ini berawal dari kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005 yang disebabkan oleh
tingginya harga minyak dunia (West Texas Intermediate Spot Average) yaitu rata-
rata sebesar USD 53,4 per barel yang kemudian meningkat menjadi USD 64,3 per
barel dan USD 72,3 per barel pada tahun 2006 dan 2007.
Kenaikan harga minyak dunia yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia ini,
memaksa Pemerintah untuk mengambil keputusan yang amat berat dengan
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selama dua kali pada tahun 2005.
Hal ini menyebabkan semakin mahalnya biaya yang ditanggung masyarakat untuk
membeli BBM. Selain itu, kenaikkan harga minyak mentah Internasional ini
29Siahaan, UB. H. dan Sunaridjan. 1999. “Pola Efisiensi Industri Kecil”. Pusat AnalisaPerkembangan IPTEK-LIPI. Voleme 10 Nomor 22. http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/80 [ 29 Oktober 2010]
34
memberikan dampak semakin besarnya beban subsidi yang harus ditanggung oleh
pemerintah. Sehingga terjadinya defisit anggaran pemerintah untuk mensubsidi
BBM. Meningkatnya beban subsidi BBM akan membawa akibat terhadap
pengurangan anggaran belanja pemerintah terhadap struktur subsidi dalam APBN.
Untuk mengurangi beban anggaran subsidi BBM dalam APBN,
pemerintah melakukan salah satu upaya melalui program konversi minyak tanah
ke LPG, yang dimulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012. Melalui
program konversi minyak tanah ke LPG khususnya LPG 3 kg, akan dilihat
bagaimana pengaruhnya terhadap kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG 3
kg (2005-2010) serta pengaruhnya terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010)
dan pengaruhnya terhadap efisiensi usaha bagi usaha mikro khususnya pedagang
bakso kaki lima di Kota Bogor. Hal ini akan dijelaskan dengan menggunakan
analisis deskriptif. Dampaknya pada efisiensi usaha mikro dilihat dari sisi efisiensi
produksi atau efisiensi teknis dan efisiensi atau hemat dari sisi biaya, waktu serta
tenaga pada pedagang bakso kaki lima, yang kemudian berpengaruh terhadap
pengeluaran serta penerimaannya, dan persepsi dari pedagang bakso atas program
konversi tersebut. Sehingga nantinya diharapkan dapat memberikan saran serta
rekomendasi agar program konversi ini dapat memberikan dampak positif bagi
para pelaku usaha khususnya usaha mikro dan bagi pemerintah untuk mengambil
kebijakan. Kerangka pemikiran aliran dampak konversi minyak tanah ke LPG
terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi usaha mikro (studi
kasus Kota Bogor), dapat dilihat pada Gambar 2.5.
35
Gamabar 2.5. Kerangka Pemikiran
Harga minyak dunia semakintinggi.
Harga minyak Indonesia tinggi.
Program konversiminyak tanah ke LPG
(2007-2012)
Efisiensi usaha mikro(pedagang bakso kakilima di Kota Bogor)
Struktur subsidiAPBN (2007-2010)
Defisit Anggaran
Pengurangan subsidiBBM
Analisis deskriptif
Saran dan rekomendasi
Analisis efisiensi teknis,efisiensi (hemat) biaya,
waktu dan tenaga pedagangbakso kaki lima
Perubahan pengeluaran danpenerimaan pedagang bakso
Persepsi pedagang bakso
Kondisi penggunaanminyak tanah danLPG (2005-2010)
36
2.9. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan mengenai
dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-
2010) dan pola efisiensi usaha mikro (studi kasus Kota Bogor) adalah sebagai
berikut:
1. Melalui program konversi minyak tanah ke LPG ini diharapkan dapat
mengurangi defisit anggaran APBN.
2. Melalui program konversi minyak tanah ke LPG ini diharapkan dapat
mengurangi besarnya subsidi BBM dalam APBN.
3. Para pelaku usaha mikro diharapkan dapat memperoleh keuntungan dengan
adanya program konversi minyak tanah ke LPG.
4. Usaha mikro khususnya pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, diharapkan
melalui program konversi minyak tanah ke LPG ini dapat melakukan efisiensi
produksinya terutama dalam hal penggunaan bahan bakar untuk memasak.
III. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai metodologi penelitian yang
digunakan dalam menganalisa dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap
struktur subsidi APBN tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 dan efisiensi usaha
mikro di Kota Bogor. Bab ini diawali dengan pembahasan mengenai lokasi dan
waktu penelitian, jenis dan sumber data, kerangka sampel, kemudian diikuti
dengan penjelasan mengenai metode analisis dan pengolahan data yang
digunakan.
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian untuk usaha mikro khususnya pedagang mikro yaitu pedagang
bakso kaki lima dilaksanakan di Kota Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan
selama bulan Maret sampai dengan bulan April 2011. Waktu tersebut digunakan
untuk pengambilan informasi dan data dari pedagang bakso kaki lima di Kota
Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (Purposive) dengan
mempertimbangkan bahwa pedagang bakso kaki lima banyak berjualan di lokasi
tersebut dan awalnya mereka menggunakan bahan bakar minyak tanah kemudian
beralih ke gas (LPG 3 kg).
3.2 Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara secara
38
langsung menggunakan kuesioner dengan pelaku usaha mikro khususnya
pedagang mikro di Kota Bogor yaitu pedagang bakso kaki lima. Dimana
pedagang bakso disini awalnya menggunakan bahan bakar minyak tanah
kemudian beralih ke LPG 3 kg.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari pihak-pihak yang terkait antara
lain: berasal dari BPS, Kementerian Keuangan, Dinas Koperasi dan UMKM Kota
Bogor, Ditjen Migas dan ESDM (Energi dan Sumberdaya Mineral),
PERTAMINA, dan data-data penunjang laporan hasil penelitian terkait, jurnal,
buletin, internet, serta sumber-sumber lainnya yang relevan.
3.3 Kerangka Sampel
Penelitian untuk dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha
mikro, dengan melakukan pengambilan sampel pada usaha mikro di Kota Bogor
dengan ruang lingkup pedagang mikro yaitu pedagang bakso kaki lima yang
berlokasi di enam Kecamatan di Kota Bogor. Pedagang kaki lima (PKL) ini yang
berlokasi:
Kecamatan Bogor Tengah : diwakili oleh Jl. Dewi Sartika, Jl. Kapten Muslihat
dan Jl. Merdeka.
Kecamatan Bogor Selatan : diwakili oleh Jl. Surya Kencana dan Jl. Cikaret.
Kecamatan Bogor Barat : diwakili oleh Jl. Semeru dan Jl. Sawojajar.
Kecamatan Bogor Timur : diwakili oleh Jl. Siliwangi, Jl. Malabar dan Jl.
Pajajaran (Sekitar Terminal, Cidangiang, Hero).
39
Kecamatan Bogor Utara : diwakili oleh Jl. Raya Kedung Halang dan Jl. Villa
Bogor Indah.
Kecamatan Tanah Sareal : diwakili oleh Kebon Pedes dan Jl. Cimanggu
Permai.
Lokasi tersebut dipilih sebagai PKL sampel untuk usaha mikro karena
sebagian besar PKL yang berlokasi di jalan tersebut terdapat PKL dalam jumlah
yang banyak. Penarikan sampel dilakukan kepada 30 pedagang bakso kaki lima
pada beberapa lokasi yang mewakili keenam kecamatan di Kota Bogor tersebut
untuk memenuhi syarat sebaran normal.
Pemilihan sampel pedagang bakso kaki lima dilakukan dengan metode
Purposive Sampling atau yang disebut juga judgemented sampling, yaitu
penarikan sampel berdasarkan pertimbangan objektif dan kriteria tertentu dari
penelitian.30 Sampel pedagang bakso kaki lima yang dipilih dengan kriteria adalah
pedagang-pedagang yang minimal berdagang sejak tahun 2006 dan sebelumnya
menggunakan bahan bakar minyak tanah kemudian beralih ke bahan bakar LPG 3
kg. Hal ini dilakukan mengingat tujuan penelitian adalah untuk menganalisis
dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap efisiensi usaha mikro.
3.4 Metode Analisis dan Pengolahan Data
Analisis data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan dari kegiatan
penelitian. Data tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan uraian.
30 Juanda, Bambang. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis Edisi Kedua. Bogor: IPBPress. Hal 113-114
40
Sebagian data didapat melalui kuesioner dan wawancara terstruktur dengan
pedagang sampel, pengamatan langsung di wilayah sampel dan pendukung
lainnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif. Data kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft
Excel 2007.
3.4.1 Analisis Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG di Indonesiadari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2010
Analisis diawali dengan menjelaskan kondisi produksi minyak tanah dan
LPG serta kondisi masyarakat Indonesia dalam penggunaan minyak tanah yang
kemudian beralih ke LPG. Dimana dibatasi oleh peneliti, produksi dan
penggunaan minyak tanah serta LPG pada masyarakat yaitu dimulai dari tahun
2005 sampai dengan tahun 2010 yaitu sebelum dan sesudah program konversi
minyak tanah ke LPG berlangsung. Untuk melihat adanya perubahan pada
produksi dan konsumsi atau penggunaan minyak tanah serta LPG ini akan
dijelaskan dengan tabel dan dijabarkan dalam pendeskripsian.
3.4.2 Analisis Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap StrukturSubsidi APBN
Dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN
akan dijelaskan melalui tabel Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang berasal dari Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dalam hal ini subsidi energi
yaitu subsidi BBM/ LPG dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010.
Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan struktur subsidi
APBN sebelum dan sesudah adanya program konversi minyak tanah ke LPG.
Sebelum adanya program konversi ini, dibatasi dari tahun 2005 sampai dengan
41
tahun 2006 dan setelah adanya program konversi dari tahun 2007 sampai dengan
tahun 2010. Dimana akan dianalisis ada atau tidaknya perubahan dari besarnya
anggaran belanja pemerintah pusat yaitu subsidi BBM/ LPG melalui tabel dan
penjabaran secara pendeskripsian.
3.4.3 Analisis Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap EfisiensiUsaha Mikro
Dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap efisiensi usaha mikro,
juga menggunakan analisis deskriptif. Dimana akan dianalisis efisiensi teknis
yaitu efisiensi (hemat) biaya, waktu, dan tenaga pada pedagang mikro yaitu
pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor. Kemudian dianalisis juga pengaruhnya
terhadap pengeluaran, pendapatan serta persepsi dari pedagang bakso tersebut.
Lebih lanjut akan dianalisis perilaku pedagang bakso terhadap penggunaan
bahan bakar minyak tanah dan LPG dengan menggunakan metode kuisioner dan
wawancara. Kemudian akan ditelaah melalui pendapat pedagang bakso dalam
memasak bakso mengenani efisiensi meliputi penyesuaian terhadap proses
memasak dengan bahan bakar tersebut. Efisiensi (hemat) dapat dilihat dari sisi
biaya, dimana pedagang bakso untuk mencapai cara yang termurah, dari sisi
waktu dimana pedagang bakso untuk mencapai cara yang tercepat, dari sisi tenaga
dimana pedagang bakso untuk mencapai cara yang teringan dan termudah dengan
adanya konversi penggunaan bahan bakar dari minyak tanah ke LPG tersebut.
Selain itu memberikan gambaran mengenai pengeluaran dan penerimaan, serta
persepsi pedagang bakso kaki lima sebelum dan setelah adanyah konversi minyak
tanah ke LPG juga akan dideskripsikan.
42
Untuk analisis dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap efisiensi
usaha mikro (pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor), teknik analisis yang
digunakan adalah menggali persepsi responden pedagang bakso kaki lima
terhadap pengeluaran dan penerimaan usaha setelah dilakukannya program
konversi bahan bakar minyak tanah ke bahan bakar gas/LPG 3 kg.
IV. GAMBARAN UMUM SUBSIDI BBM
4.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
APBN yang merupakan kependekan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, merupakan instrumen utama yang digunakan pemerintahan
Negara kita untuk menjalankan roda pemerintahannya.31 Pada siklus dan
mekanisme dalam APBN ini meliputi: (a) tahap penyusunan RAPBN oleh
Pemerintah; (b) tahap pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN oleh
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat; (c) tahap pelaksanaan APBN; (d)
tahap pengawasan pelaksanaan APBN oleh instansi yang berwenang, antara lain
Badan Pemeriksa Keuangan; dan (e) tahap pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN. Siklus APBN akan berakhir pada saat Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat (LKPP) disahkan oleh DPR.32
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) didalamnya meliputi:
(a) Pendapatan negara (meliputi penerimaan dalam negeri yang berupa
penerimaan perpajakan dan negara bukan pajak) dan hibah; (b) Belanja negara
(meliputi belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah dan Suspen); (c)
Keseimbangan primer; (d) Surplus/ Defisit anggaran (A-B); dan (e) Pembiayaan
(baik dalam maupun luar negeri).33 Hal ini akan digambarkan secara ringkas
melalui tabel struktur APBN tahun 2010 (Tabel 4.1).
31Kementerian Keuangan .2008. Mari Kenali APBN. Jakarta: Biro Humas, Setjen KementerianKeuangan RI. Hal 5.
32 Ibid, Hal 39.
33 Ibid, Hal 15-18.
44
Tabel 4.1. Ringkasan APBN Tahun 2010(Triliun Rupiah)
Uraian APBNA. Pendapatan Negara dan Hibah 949,6
I. Penerimaan Dalam Negeri 948,11. Penerimaan Perpajakan 742,72. Penerimaan Negara Bukan Pajak 205,4
II. Hibah 1,5B. Belanja Negara 1.047,7
I. Belanja Pemerintah Pusat 725,21. Belanja Pegawai 160,42. Belanja Barang 107 ,13. Belanja Modal 82,24. Pembayaran Bunga Utang 1 15,65. Subsidi 157 ,8
a. Subsidi Energi 105,1- Subsidi BBM 68,7- Subsidi Listrik 37,8
b. Subsidi Non Energi 52,76. Belanja Hibah 7 ,27. Bantuan Sosial 64,38. Belanja Lain-lain 30,7
II. Transfer ke Daerah 322,4C. Surplus/ (Defisit Anggaran) (98,0)D. Pembiayaan 98,0
I. Pembiayaan Dalam Negeri 107,9II. Pembiayaan Luar Negeri (9,9)
Sumber: Kementerian Keuangan (Nota Keuangan dan RAPBN 2011), 2010.
Pada ringkasan APBN tahun 2010 disusun berdasarkan perkembangan
pendapatan dan belanja Negara, serta pokok-pokok kebijakan fiskal yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah. Pada struktur pendapatan negara dan hibah,
penerimaan dalam negeri berupa penerimaan perpajakan dalam APBN tahun 2010
memberikan pemasukan bagi Negara yang paling besar, yaitu sebesar 742,7 triliun
rupiah. Hal ini dikarenakan pemerintah tetap berupaya mengoptimalisasikan
penerimaan perpajakan salah satunya dengan pembinaan pada wajib pajak, dan
45
mengambil kebijakan dibidang kepabeaan cukai. Sedangkan kebijakan di bidang
PNBP, dengan optimalisasi penerimaan SDA terutama migas, peningkatan kinerja
BUMN dan optimalisasi PNBP dari K/L.
a. Belanja Pemerintah Pusat
Belanja negara pada APBN meliputi belanja pemerintah pusat, transfer ke
daerah dan suspen. Untuk belanja pemerintah pusat menurut jenisnya meliputi: (a)
Belanja pegawai (gaji dan tunjangan, honorarium dan vakasi, kontribusi sosial);
(b) Belanja barang (belanja barang, belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja
perjalanan, BLU dan PNBP); (c) Belanja modal; (d) Pembayaran bunga utang,
subsidi (utang dalam negeri dan utang luar negeri); (e) Subsidi (Energi dan Non
energi); (f) Belanja hibah; (g) Bantuan sosial ( penanggulangan bencana dan
bantuan yang diberikan oleh K/L); dan (h) Belanja lain-lain (policy measures dan
belanja lainnya).
Dari sisi Belanja Negara dalam APBN tahun 2010 (Tabel 4.1.), adanya
peningkatan pada belanja negara terutama berasal dari kenaikan belanja
pemerintah pusat yang mencapai 725,2 triliun rupiah, dibandingkan realisasi tahun
2009 sebesar 628,8 triliun rupiah. Kenaikan tersebut salah satunya dikarenakan
kebijakan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa, yaitu
dengan mempertahankan harga BBM, penyesuaian yang lebih rendah terhadap
rencana kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk dan tarif daya listrik.
b. Subsidi BBM
Besarnya subsidi energi khususnya subsidi BBM dalam APBN tahun 2010
(Tabel 4.1.), adalah sebesar 68,7 triliun rupiah yang mengalami kenaikan 23,7
46
triliun rupiah pada realisasi tahun 2009. Kenaikan ini salah satunya dipicu oleh
perubahan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat, dan perubahan parameter yang digunakan dalam
perhitungan subsidi. Sehingga dari tahun ke tahun pemberian subsidi khususnya
BBM mengalami perubahan. Subsidi BBM diberikan dengan maksud untuk
mengendalikan harga jual BBM, sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat di
dalam negeri, sehingga dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat, terutama
masyarakat berpenghasilan rendah. BBM bersubsidi hanya diberikan pada
beberapa jenis BBM tertentu, yaitu minyak tanah (kerosene), minyak solar (gas
oil), premium kecuali untuk industri, dan LPG tabung 3 kilogram.
Sementara itu, dalam APBN tahun 2010 (Tabel 4.1.), transfer ke daerah
mencapai 322,4 triliun rupiah mengalami peningkatan dari realisasi tahun 2009
sebesar 308,6 triliun rupiah. Peningkatan disebabkan terutama oleh kenaikan dana
bagi hasil (DBH) ke daerah dalam rangka mendukung penguatan desentralisasi
fiskal dan percepatan pembangunan daerah. Berdasarkan pendapatan dan belanja
negara tersebut, defisit anggaran mencapai 98,0 triliun rupiah. Tingginya defisit
tersebut disebabkan oleh ekspansi fiskal pemerintah dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekonomi. Guna menutupi defisit APBN tersebut, pemerintah
memprioritaskan pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri sebesar 107,9
triliun rupiah.
47
4.2 Kondisi Geografis dan Demografi Kota Bogor
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS,
kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor
serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang
strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan
nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi dan pariwisata.
Luas wilayah Kota Bogor sekitar 111,73 kilometer persegi atau sebesar
11.850 Ha terdiri dari 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Utara,
Bogor Timur, Bogor Tengah, Bogor Barat dan Tanah Sareal, yang meliputi 68
Kelurahan. Kemudian secara administratif, Kota Bogor terdiri dari 6 wilayah
kecamatan, 31 Kelurahan dan 37 Desa (lima diantaranya termasuk desa tertinggal
yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa),
210 dusun, 623 RW, 2.712 RT dan dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor
dengan batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan
Caringin , Kabupaten Bogor.
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan
Ciawi, Kabupaten Bogor.
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan
Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor.
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan Kecamatan
Ciomas, Kabupaten Bogor.
48
Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk
Kota Bogor sementara adalah 949.066 orang, yang terdiri atas 484.648 laki-laki
dan 464.418 perempuan. Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Tanah Sareal, dan
Kecamatan Bogor Selatan adalah 3 Kecamatan dengan urutan teratas yang
memiliki jumlah penduduk terbanyak yang masing-masing berjumlah 210.450
orang, 190.776 orang, dan 180.745 orang. Sedangkan Kecamatan Bogor Timur
merupakan Kecamatan yang berjumlah penduduk paling kecil yakni sebanyak
94.572 orang.
Dengan luas wilayah Kota Bogor sekitar 111,73 kilometer persegi yang
didiami oleh 949.066 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota
Bogor adalah sebanyak 8.494 orang per kilo meter persegi. Kecamatan yang
paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Bogor Tengah
yakni sebanyak 12.791 orang per kilometer persegi sedangkan yang paling rendah
adalah Kecamatan Bogor Selatan yakni sebanyak 5.880 orang per kilo meter
persegi.
4.2.1 Perkembangan Usaha Mikro di Kota Bogor
Sebagai kota penopang Jakarta, dari tahun ke tahun Kota Bogor terus
tumbuh dan berkembang, menopang berkembangnya Jakarta sebagai pusat
pemerintahan dan perdagangan. Berdasarkan data BPS tahun 2009, laju
pertumbuhan ekonomi kota hujan ini terpacu mencapai 6,02 persen. Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Tahun 2009 mencapai 12,2 triliun rupiah, atau
naik 2 triliun rupiah dari tahun sebelumnya.
49
Tumbuhnya perekonomian beriringan dengan tumbuhnya jumlah
penduduk. Pada kuartal pertama tahun 2010, penduduk Kota Bogor sudah
menembus angka 1,055 juta jiwa. Begitu banyaknya penduduk dengan berbagai
kebutuhan dan mobilitasnya, memicu munculnya berbagai jenis usaha seperti
usaha mikro, kecil dan menegah (UMKM) yang merupakan kesempatan kerja
yang paling realistis bagi masyarakat menengah ke bawah saat ini untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah UKM dan Tenaga Kerja Di Kota BogorNo Uraian 2007 2008 20091. Jumlah UKM 31.831 32.147 32.2562. Jumlah UKM
yang terbinaoleh DinasPerindakop
1.949(6%)
1.984(6%)
2.019(6%)
3. JumlahTenaga Kerja
51.798 54.388 57.107
4. Usaha Mikro 23.873(75%)
25.718(80%)
25.804(80%)
5. UsahaMenengah
1.598(5%)
1.607(5%)
1.614(5%)
6. Usaha Kecil 6.366(20%)
4.822(15%)
4.838(5%)
Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2009.
Pada Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa adanya perkembangan yang
cenderung meningkat pada jumlah tenaga kerja dan sektor usaha mikro, kecil dan
menengah (UKM) di Kota Bogor dari tahun 2007 hingga tahun 2009. Jumlah
UKM meningkat dari tahun 2007 sebanyak 31.831 menjadi 32.147 pada tahun
2008 dan 32.256 pada tahun 2009. Sedangkan jumlah UKM yang terbina oleh
Dinas Perindakop Kota Bogor dari tahun 2007 sampai dengan 2009 tidak
mengalami perubahan yang cukup besar yaitu hanya terserap 6 persen dari total
jumlah UKM yang ada di Kota Bogor. Dimana tenaga kerja pada tahun 2007
50
sebanyak 51.798 orang, meningkat menjadi 54.388 orang pada tahun 2008 dan
57.107 orang pada tahun 2009.
Hal ini juga diikuti dengan meningkatnya jumlah usaha mikro, kecil dan
menengah (UKM) di Kota Bogor, dimana usaha mikro lebih mendominasi
daripada usaha kecil dan menengah. Usaha mikro pada tahun 2007 sebesar 75
persen atau berjumlah 23.873, kemudian meningkat menjadi 80 persen pada tahun
2008 dan 2009 yaitu berjumlah 25.718 dan 25.804 dibandingkan usaha kecil dan
usaha menengah. Ini jelas memberi gambaran bahwa UKM di Kota Bogor sangat
penting, dan kebijakan yang menyentuh kepadanya harus sistematis dan jelas.
4.2.2 Perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Bogor
Usaha mikro pada penelitian ini, dibatasi dengan pedagang mikro yaitu
pedagang kaki lima di Kota Bogor. Pedagang kaki lima di Kota Bogor dari tahun
ke tahun semakin bertambah dan kerap menimbulkan masalah, namun pedagang
kaki lima ini merupakan salah satu sumber pendapatan bagi masyarakat.
Menurut informasi dari Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, pada
tahun 2010 jumlah PKL di Kota Bogor berdasarkan hasil pemetaan sudah
mencapai 9710 PKL, dimana terdapat PKL dalam jumlah terbesar yang berlokasi
di Jl. Dewi Sartika (depan Sartika Plaza) yaitu berjumlah 749 PKL dan yang
terbesar kedua yang berlokasi di Jl. MA. Salmun berjumlah 731 PKL berdasarkan
Tabel 4.3.
51
Tabel 4.3. Jumlah PKL Kota BogorHasil Pemetaan 2010
No. Lokasi Jumlah1. Jl. Veteran (depan perkantoran) 282. Jl. Veteran Kebawah (dari pertigaan veteran ke arah jembatan) 83. Jembatan merah (sebelah kiri dan kanan) 1004. Jl. Kapten Muslihat 3685. Jl. Merdeka (depan Presiden Teater-Jembatan Merah) 2966. Jl. Sancang 247. Jl. MA. Salmun 7318. Jl. Nyi Raja Permas 1969. Jl. Sawojajar 4410. Jl. Pengadilan 8811. Jl. Jendral Sudirman 4012. Jl. Jambu Dua (Jl. Pajajaran ujung Utara) 54813. Jl. Jambu Dua (pasar) 55614. Jl. Surya Kencana 67215. Jl. Mayor Oking 6816. Depan Kesehatan 7617. Jl. Otista 4018. Jl. Pajajaran (Sekitar Terminal, Cidangiang, Hero) 28419. Terminal Bubulak 24020. Jl. Batutulis (Sekitar Istana Presiden) 17221. Jl. Semeru 8822. Jl. Baru Kemang 23623. Jl. Ir. H. Juanda 6024. Villa Bogor Indah 4025. Jl. Siliwangi 12426. Jl. Raya Bogor (simpang Jl. Baru-Ciluar) 28027. Sindang Barang 12428. Taman Kencana 2429. Sekitar kampus Unpak 25230. Jl. Raya Ciawi arah Sukabumi 18031. Jl. Dewi Sartika (dari depan BRI) 33232. Gg. Selot 9633. Jl. Sukasai I 12834. Jl. Dewi Sartika (depan Sartika Plaza) 74935. Depan Bogor Permai dan Apotik Sudirman 21236. Lampu Merah Pangrango-Lodaya 4437. Jl. Bangbarung 20038. Jl. Gedong Sawah 2439. Jl. Polisi 3040. Jl. Pedati 17641. Putaran Air Mancur 5042. Jl. Mawar 4843. KH. Abdullah Bin Nuh 20444. Depan Makam Pahlawan 5045. Jl. Malabar 11646. Jl. Paledang 047. Jl. Lawang Saketeng 58848. Cumpok 20449. Empang 30450. Bale Kembang 4851. Jl. Bina Marga 120
Total Jumlah 9710Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2010.
52
Permasalahan PKL memang menjadi masalah dilematis kota-kota besar,
begitu juga di Kota Bogor. Di satu sisi, PKL sebagai sektor informal harus diberi
hak yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya. Di sisi lain, PKL perlu ditata
untuk tidak menimbulkan gangguan ketertiban umum. Itulah semangat yang
terkandung di dalam Perda Kota Bogor No. 13 Tahun 2005 tentang penataan
PKL.
Semakin meningkatnya jumlah PKL di Kota Bogor, Pemerintah Kota
Bogor pada tahun 2011 akan segera merelokasikan sebanyak 9.710 pedagang kaki
lima (PKL) yang tersebar di sejumlah lokasi di Kota Bogor. Pada kesempatan
yang sama, Dirut PD Pasar Pakuan Jaya khusus untuk PKL di daerah Pasar Anyar,
akan diusulkan untuk dipindah ke gedung eks President Theater. Selain itu,
Satpol PP juga telah mengalokasikan anggaran sebesar 498,1 juta rupiah untuk
program pembinaan PKL dan asongan pada tahun 2011.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil dan pembahasan yang
merupakan jawaban dari rumusan masalah dalam Bab. I. Hasil dan pembahasan
yang akan dijelaskan ini meliputi; kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di
Indonesia dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, kemudian dampak adanya
konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010), dan
menjelaskan dampak adanya konversi minyak tanah ke LPG terhadap efisiensi
usaha mikro di Kota Bogor, khususnya pedagang bakso kaki lima.
5.1 Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG di Indonesia dariTahun 2005 sampai dengan Tahun 2010
Untuk memahami kondisi penggunaan dari minyak tanah dan LPG,
sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai produksi minyak tanah
dan LPG dari kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2009 (Tabel 5.1).
Tabel 5.1. Produksi Minyak Tanah dan LPG Tahun 2005-2010
TahunMinyak Tanah LPG
Kiloliter Trend ribu M. Ton Trend2005 8.541.573 0 1.818.900 02006 8.545.566 3.993 1.428.590 -390.3102007 8.257.493 -288.073 1.409.430 -19.1602008 7.636.917 -620.576 1.690.571 281.1412009 4.585.535 -3.051.382 2.201.903 511.332
Sumber: Buku Tahunan 2009 Ketahanan Energi Melalui Efisiensi dan KonservasiEnergi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2010, hal 73.
Dari Tabel 5.1. ini dapat dilihat bahwa produksi untuk minyak tanah dari
tahun 2005 hingga 2009 cenderung mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan
dampak perkembangan harga minyak mentah Indonesia, sehingga terjadi
54
penyesuaian terhadap harga BBM dan berpengaruh terhadap beban subsidi BBM.
Adanya program konversi minyak tanah ke LPG yang merupakan salah satu
upaya penghematan subsidi pada pertengahan tahun 2007, menyebabkan
penurunan produksi menjadi 8.257.493 kiloliter yang berpengaruh pada
penurunan jumlah produksi minyak tanah tahun berikutnya yaitu tahun 2008
menjadi 7.636.917 kiloliter. Sedangkan pada produksi LPG, mengalami
peningkatan dari tahun 2005 hingga 2009. Pada tahun 2007, produksi LPG
sebesar 1.409.430 ribu metrik ton yang merupakan awal dari program konversi
minyak tanah ke LPG tentunya akan meningkatkan jumlah produksi LPG pada
tahun berikutnya yaitu tahun 2008 menjadi 1.690.571 ribu metrik ton dan tahun
2009 sebesar 2.201.903 ribu metrik ton.
Adanya peningkatan pada produksi LPG serta penurunan pada produksi
minyak tanah yang dikarenakan adanya program konversi minyak tanah ke LPG
yang dilakukan oleh pemerintah, tentunya akan menyebabkan perubahan pada
tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap minyak tanah dan LPG. Hal ini
dapat dijelaskan pada Tabel 5.2. dan Tabel 5.3.
Tabel 5.2. Penggunaan Minyak Tanah dan LPG 3 Kg Tahun 2005-2010
TahunMinyak Tanah LPG 3 kg
Juta Kiloliter Trend ribu M. Ton Trend2005 11,355 0 - -2006 9,959 -1,396 - -2007 9,850 -109 21,5 02008 7,855 -1,995 506,4 484,92009 4,596 -3,259 1.753,9 1.247,52010 3,800 -796 2.973,3 1.219,4
Sumber: Kementerian Keuangan (Anggaran Belanja Pemerintah Pusat), 2011.
55
Pada Tabel 5.2. menjelaskan mengenai kondisi penggunaan minyak tanah
dan LPG 3 kg dari kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2010. Besarnya
penggunaan minyak tanah dan LPG 3 kg ini diperoleh berdasarkan besarnya
subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam APBN. Adanya program
konversi minyak tanah ke LPG tentunya menyebabkan konsumsi minyak tanah
mengalami penurunan, sedangkan konsumsi untuk LPG 3 Kg mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2007, penggunaan minyak tanah
sebesar 9.850.000 kiloliter yang merupakan awal dari dijalankannya program
konversi, berpengaruh pada tahun berikutnya yaitu tahun 2008 dimana
penggunaan minyak tanah mengalami penurunan menjadi 7.855.000 kiloliter
yang kemudian penurunan diikuti oleh tahun-tahun selanjutnya yaitu tahun 2009
menjadi 4.569.000 kiloliter dan tahun 2010 menjadi 3.800.000 kiloliter.
Sedangkan untuk penggunaan LPG sendiri, tentunya mengalami
peningkatan. Pada tahun 2007, penggunaan untuk LPG 3 kg sebesar 21.500
metrik ton meningkat drastis menjadi 506.400 metrik ton pada tahun 2008.
Tentunya peningkatan ini diikuti oleh tahun berikutnya yaitu sebesar 1.753.900
metrik ton pada tahun 2009 dan 2.973.300 metrik ton pada tahun 2010. Adanya
peningkatan penggunaan pada LPG 3 kg ini dikarenakan produksi untuk minyak
tanah sendiri mengalami penurunan akibat adanya program konversi ini. Selain
itu, harga jual dari minyak tanah pun semakin mahal serta sulit ditemukan oleh
masyarakat.
56
Pada Tabel 5.3. akan dijelaskan tentang penggunaan LPG di Indonesia
oleh rumah tangga, komersial dan industri. Untuk penggunaan LPG rumah
tangga, memiliki proporsi yang paling besar dibandingkan komersial dan industri.
Tabel 5.3. Neraca Penggunaan LPG di Indonesia Tahun 2007-2009
Penggunaan2007 2008 2009
ribu ton % ribu ton % ribu ton %Rumahtangga 773 70 1.100 75 1.900 83Komersial 143 13 157 11 173 8Industri 187 17 205 14 226 10Total 1.103 100 1.462 100 2.299 100
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), 2010.
Pada rumah tangga, penggunaan LPG tahun 2007 sebesar 773 ribu ton
atau hanya 70 persen, sedangkan tahun berikutnya meningkat menjadi 1.100 ribu
ton atau 75 persen dan tahun 2009 menjadi 1.900 ribu ton atau 83 persen. Adanya
peningkatan penggunaan pada LPG ini dikarenakan adanya program konversi
minyak tanah ke LPG 3 kg. Berbeda dengan penggunaan LPG pada komersial
dan industri dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 yang mengalami sedikit
peningkatan. Hal ini dikarenakan subsidi BBM yaitu program konversi minyak
tanah ke LPG 3 kg sendiri lebih diperuntukkan bagi rumah tangga dengan
maksud untuk mengendalikan harga jual BBM, sebagai salah satu kebutuhan
dasar masyarakat di dalam negeri, sehingga dapat terjangkau oleh daya beli
masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah agar dapat menghemat
penggunaan minyak tanah yang semakin mahal dan langka.
57
5.2 Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Struktur SubsidiAPBN (2007-2010)
Subsidi dalam Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN),
merupakan bagian dari belanja negara yaitu belanja pemerintah pusat. Adanya
konversi minyak tanah ke LPG ini, merupakan bagian dari subsidi energi yaitu
subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.
Subsidi BBM dilakukan oleh pemerintah disebabkan harga jual BBM dalam
negeri sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor eksternal seperti
harga minyak mentah di pasar dunia, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat. Harga minyak dunia yang semakin mahal tentunya berdampak
terhadap harga minyak mentah Indonesia yang dihadapkan dengan permintaan
yang semakin tinggi akan BBM. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bagi
pemerintah untuk mengalihkan bahan bakar minyak tanah menjadi bahan bakar
gas/ LPG bagi konsumsi masyarakat Indonesia agar beban subsidi yang
ditanggung oleh pemerintah semakin berkurang dan daya beli masyarakat
khususnya yang berpenghasilan rendah dapat terjangkau.
Pada Tabel 5.4. dapat dilihat dalam rentang waktu tahun 2005–2010,
dimana tahun 2005-2009 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP) dan tahun 2010 berdasarkan APBN, realisasi anggaran subsidi BBM
secara nominal mengalami penurunan sebesar 6,7 triliun rupiah, atau menurun
rata-rata 1,4 persen per tahun, dari sebesar 95,6 triliun rupiah (3,5 persen terhadap
PDB) pada tahun 2005 dan mencapai 88,9 triliun rupiah (1,4 persen terhadap
PDB) pada tahun 2010. Penurunan realisasi anggaran belanja subsidi dalam kurun
waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan parameter volume konsumsi BBM
58
bersubsidi. Dapat dilihat juga, bahwa subsidi untuk energi lebih besar
dibandingkan subsidi non energi, terutama untuk subsidi bahan bakar minyak
(BBM) daripada subsidi listrik. Hal ini dikarenakan BBM merupakan kebutuhan
pokok yang mendasar dan fital/penting bagi seluruh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya, seperti memasak, mengendarai kendaraan, kegiatan usaha dan
lain-lain.
Tabel 5.4. Subsidi, 2005-2010 (Miliar Rupiah)Jenis
Subsidi2005
LKPP2006
LKPP2007
LKPP2008
LKPP2009
LKPP2010
APBNA.Energi 104449.2 94.605,4 116.865,9 223.013,2 103.568,6 143.997,1
SubsidiBBM 95.598,5 64.212,1 83.792,3 139.106,7 45.039,4 88.890,8
SubsidiListrik
8.850,6 30.393,3 33.073,5 83.906,5 49.546,5 55.106,3
B. NonEnergi
16.316,1 12.826,5 33.348,6 52.278,3 43.496,3 57.265,9
Subsidipangan
6.356,9 5.320,2 6.584,3 12.095,9 12.987,0 13.925,1
Subsidipupuk
2 .527,3 3.165,7 6.260,5 15.181,5 18.329,0 18.411,5
Subsidibenih
1 47,7 131,1 479,0 985,2 1.597,2 2.263,5
PSO 934,6 1.795,0 1 .025,0 1.729,1 1.339,4 1.375,0Subsidibungakreditprogram
149,0 286,2 347,5 939,3 1.070,0 2.856,4
Subsidiminyakgoreng
- - 24,6 225,7 - -
Subsidipajak
6.200,6 1.863,8 17.113,6 21.018,2 8.173,6 18.434,4
Subsidikedele
- - - 103,3 - -
Subsidiobatgenerik
- - - - - -
Subsidilainnya
- 264,4 1.514,0 - - -
Total 120.765,3 107.431,8 150.214,4 275.291,5 138.082,2 201.263,0Sumber: Kementerian Keuangan ( Data Pokok APBN 2005-2010), 2011.
59
Dalam rentang waktu tahun 2005 sampai tahun 2010, realisasi anggaran
belanja subsidi secara nominal mengalami peningkatan sebesar 80,5 triliun
rupiah, atau tumbuh rata-rata 10,8 persen per tahun, dari sebesar 120,8 triliun
rupiah (4,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi 138,1 triliun rupiah
(2,5 persen terhadap PDB) pada tahun 2009, dan mencapai 201,3 triliun rupiah
(3,2 persen terhadap PDB) pada tahun 2010.
Pada Tabel 5.5. menjelaskan tentang perkembangan besarnya subsidi
BBM jenis tertentu yaitu minyak tanah, premium dan solar serta LPG tabung 3
kilogram periode tahun 2005 hingga tahun 2010. Untuk besarnya volume dari
minyak tanah dan LPG 3 kg diperoleh dari laporan perkembangan subsidi (2005-
2010) dalam APBN. Sedangkan untuk besarnya subsidi dalam rupiah, penulis
mengasumsikan besaran subsidi untuk minyak tanah dan LPG 3 kg berdasarkan
perhitungan yang dilakukan oleh Direktorat Riset Energi dan Manajemen
Indonesia tahun 2007 (Tabel 1.2.).
Tabel 5.5. Besarnya Subsidi Untuk Minyak Tanah dan LPG 3 Kg
Tahun
SubsidiJenis
tertentudan LPG 3
kg %Terhadap
PDB
VolumeSubsidi (Triliun
Rupiah)
SelisihBesarnyaSubsidi
TriliunRupiah
MinyakTanah(ribukiloliter)
LPG 3kg(ribuM.Ton)
MinyakTanah
LPG 3kg
TriliunRupiah
2005 95,6 3,5 11,355 - 41, 6175 - -
2006 64,2 1,9 9,959 - 36,4997 - -
2007 83,8 2,1 9,850 21,5 36,1003 0,06185 36,0384
2008 139,1 2,8 7,855 506,4 28,7886 1,45691 27,3317
2009 45,0 0,8 4,596 1.753,9 16,7454 5,04597 11,6994
2010 88,9 1,1 3,800 2.973,3 13,9270 8,55418 5,37282Sumber: Kementerian Keuangan diolah , 2011.
60
Secara keseluruhan, besarnya subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah
untuk mensubsidi jenis tertentu dalam hal ini minyak tanah, premium dan solar
serta LPG 3 kg pada tahun 2005 sebesar 95,6 triliun rupiah dan pada tahun 2010
mengalami penurunan menjadi 88,9 triliun rupiah. Untuk mengendalikan
anggaran subsidi BBM, Pemerintah bersama DPR-RI sepakat untuk melakukan
efisiensi, dengan menurunkan konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap.
Apabila pada tahun 2005 konsumsi BBM bersubsidi khususnya minyak tanah
mencapai 11.355,4 ribu kiloliter, maka pada tahun 2010 konsumsi minyak tanah
bersubsidi mengalami penurunan menjadi 3.800 ribu kiloliter dengan adanya
program konversi minyak tanah ke LPG pada Tabel 5.5.
Dari Tabel 5.5. untuk jumlah subsidi kerosen (minyak tanah) mengalami
penurunan dari tahun 2005 hingga tahun 2010. Pada tahun 2005 subsidi minyak
tanah sebesar 11.355,4 ribu kiloliter atau biaya yang dikeluarkan sama dengan
41,6175 triliun rupiah, kemudian menurun pada tahun 2006 menjadi 9.959 ribu
kiloliter atau sama dengan 36,4997 triliun rupiah, pada tahun 2007 menjadi 9.850
ribu kiloliter atau sama dengan 28,7886 triliun rupiah, dan tahun 2008 turun
drastis menjadi 7.855 ribu kiloliter atau sama dengan 16,7454 triliun rupiah, yang
diikuti penurunan kembali pada tahun 2009 dan 2010 yaitu menjadi 4.569 ribu
kiloliter atau sama dengan 16,7454 triliun rupiah dan 3.800 ribu kiloliter atau
sama dengan 13,9270 triliun rupiah. Pada tahun 2008, penurun drastis terhadap
subsidi minyak tanah ini dikarenakan pada tahun 2007 pemerintah melakukan
program pengalihan minyak tanah ke LPG 3 kg, yang kemudian berpengaruh
61
pada terjadinya penurunan besarnya subsidi minyak tanah pada tahun 2008
hingga tahun 2010.
Sedangkan subsidi untuk LPG 3 kg ini, baru dilakukan pada tahun 2007
yang merupakan awal diadakannya program konversi minyak tanah ke LPG,
tepatnya pada bulan Mei 2007 di Jakarta. Subsidi untuk LPG 3 kg pada tahun
2007 sebesar 21.500 metrik ton atau biaya yang dikeluarkan sebesar 61,8555
miliar rupiah, kemudian meningkat drastis pada tahun 2008 menjadi 506.400
metrik ton atau sama dengan 1,45691 triliun rupiah dan tahun 2009 serta tahun
2010 yaitu menjadi 1.753.900 metrik ton atau sama dengan 5,04597 triliun rupiah
dan 2.973.300 metrik ton atau sama dengan 8,55418 triliun rupiah. Dengan
adanya program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg yang dilaksanakan oleh
pemerintah, jelas terlihat adanya pengurangan besarnya subsidi yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Selain itu, terdapat selisih yang cukup besar antara besarnya
subsidi minyak tanah dengan LPG 3 kg. Besarnya selisih pada tahun 2007 untuk
subsidi minyak tanah dan LPG 3 kg yaitu 36,0384 triliun rupiah, pada tahun 2008
sebesar 27,3317 triliun rupiah, pada tahun 2009 sebesar 11,6994 triliun rupiah,
dan tahun 2010 sebesar 5,37282 triliun rupiah.
Menurut PT Pertamina (Persero), program konversi minyak tanah ke
elpiji 3 kg telah memberikan penghematan subsidi negara sebesar 21,38 triliun
rupiah. Dirut Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, nilai penghematan
tersebut merupakan akumulasi sejak awal program pada tahun 2007 hingga
Agustus 2010. Total penghematan program konversi adalah 32,07 triliun rupiah,
setelah dikurangi biaya paket perdana konversi 10,69 triliun rupiah, didapat
62
penghematan bersih 21,38 triliun rupiah. Pada awal konversi tahun 2007, program
masih memerlukan tambahan subsidi 200 miliar rupiah. Selanjutnya pada 2008,
sudah menghemat 5,53 triliun rupiah, 2009 menghemat 6,92 triliun rupiah, dan
2010 menghemat lagi 9,13 triliun rupiah dari target 13,63 triliun rupiah. Dengan
demikian, akumulasi penghematan bersih mencapai 21,38 triliun rupiah.34
Adapun dari penghematan tersebut, sebesar 21,38 triliun rupiah
diserahkan kembali ke Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk
program subsidi lainnya, seperti dapat digunakan untuk membangun infrastruktur
jalan dan jembatan, sekolah, rumah sakit, perumahan untuk rakyat jelata yang
amat membutuhkannya dari ujung Sumatera hingga Papua.
Selain itu adanya penghematan subsidi dari program konversi, Pemerintah
diminta untuk merelakan/menghibahkan dana sebesar 4 triliun rupiah ke P.T.
Pertamina. Juru bicara Pertamina Mochamad Harun mengatakan, dana hibah itu
nantinya akan digunakan untuk menutup kerugian yang dialami perseroan, akibat
tidak diizinkannya Pertamina menaikkan elpiji nonsubsidi, yakni kemasan 12 kg,
50 kg, dan bulk.35
34Erlangga Djumena . 2010. “Konversi Elpiji Hemat Subsidi Rp 21,38 T”. [Kompas Online]. http://www1.kompas.com/read/xml/2010/09/03/14001394/konversi. elpiji.hemat.subsidi.rp.2138.t[ 3 September 2010]
35Anonim. 2011. “Pemerintah Diminta Hibahkan Dana Rp 4 Triliun ke Pertamina”. http://indonesiacompanynews.wordpress.com/2011/07/25/pemerintah-diminta-hibahkan-dana-rp-4-triliun-ke-pertamina/ [25 Juli 2011]
63
5.3 Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Efisiensi UsahaMikro (Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor)
Di dalam sub bab ini, penulis akan membahas lebih terperinci berdasarkan
kuesioner yang disebarkan serta wawancara kepada 30 pedagang bakso kaki lima
di Kota Bogor di enam Kecamatan yaitu Bogor Utara, Bogor Selatan, Bogor
Barat, Bogor Timur, Bogor Tengah dan Tanah Sareal.
5.3.1 Karakteristik Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor
Karakteristik pedagang bakso kaki lima responden digambarkan oleh jenis
kelamin, umur, tingkat pendidikan akhir, lama berdagang dan jumlah tenaga
kerja. Umumnya jenis kelamin dari pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor rata-
rata berjenis kelamin laki-laki sebesar 80,00 persen responden dan sisanya
perempuan 20,00 persen responden. Banyaknya responden yang berjenis kelamin
laki-laki disebabkan mereka bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga
yang bertugas untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Untuk rata-rata umur
pedagang bakso kaki lima adalah 45 tahun dan yang terbanyak berada pada
kisaran umur 41 tahun keatas sebesar 60,00 persen responden. Untuk tingkat
pendidikan akhir, pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor rata-rata hanya
tamatan SD sebesar 46,67 persen responden.
Lama berdagang para pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, rata-rata
sudah berdagang selama 15 sampai 20 tahun dan yang terlama berdagang berada
pada kisaran lebih dari 12 tahun sebesar 46,67 persen responden. Sedangkan
untuk lama berdagang pedagang bakso ini membuktikan mereka sebelumnya
telah menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, kemudian sekarang
beralih ke LPG 3 kg. Dan rata-rata para pedagang bakso kaki lima di kota Bogor
64
ini bertenaga kerja 1 orang yaitu berjualan sendiri dengan dengan mengandalkan
dirinya sendiri sebesar 70,00 persen responden (Tabel 5.6.).
Tabel 5.6. Karakteristik Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor
Peubah Kategori%Pedagang Bakso Kaki Lima
n=30
Jenis KelaminLaki-laki 80,00Perempuan 20,00
Umur
20-25 tahun 26,6726-30 tahun 3,3331-35 tahun 10,0036-40 tahun 041 tahun keatas 60,00
Tingkat PendidikanAkhir
SD 46,67SMP 40,00SMA 13,33Diploma/S1 0
Lama Berdagang
6-7 tahun 36,668-9 tahun 6,6710-11 tahun 10,00lebih dari 12tahun 46,67
Jumlah Tenaga Kerja1 orang 70,002 orang 26,67>2 orang 3,33
Sumber: Data Primer, diolah.
5.3.2 Efisiensi Pedagang Bakso Kaki Lima Kota Bogor
Untuk melihat efisiensi pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, maka
dibedakan menjadi saat berdagang dengan menggunakan bahan bakar minyak
tanah dan saat menggunakkan gas/LPG 3 kg. Selain itu juga dibagi kembali
menjadi efisiensi dari sisi biaya, efisiensi dari sisi waktu, dan efisiensi dari sisi
tenaga.
65
a. Efisiensi Biaya Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor
Untuk efisiensi biaya, sebagian besar pedagang bakso kaki lima di Kota
Bogor mengatakan bahwa penggunaan LPG dirasa lebih menguntungkan dan
efisien dibandingkan dengan penggunaan minyak tanah.
Tabel 5.7. Harga Terjangkau (%) Pedagang Bakso Kaki Lima
Pernyataan JawabanMinyakTanah LPG 3 kg
Harga terjangkau setelahprogram konversi
Sangat terjangkau 0 26,67Terjangkau 36,67 70,00Tidak terjangkau 63,33 3,33
Sumber: Data Primer, diolah.
Tabel 5.7. menjelaskan mengenai efisiensi biaya pada pedagang bakso
kaki lima di Kota Bogor. Dari tabel dapat diketahui bahwa 63,33 persen
responden mengatakan tidak terjangkau, 36,67 persen responden mengatakan
terjangkau dan tidak ada seorang pun yang mengatakan sangat terjangkau untuk
harga minyak tanah saat pedagang bakso mempergunakannya yaitu setelah
program konversi berlangsung. Sedangkan 70,00 persen responden mengatakan
terjangkau, 26,67 persen mengatakan sangat terjangkau, dan 3,33 persen
mengatakan tidak terjangkau untuk harga LPG 3 kg saat pedagang bakso
mempergunakannya yaitu setelah adanya program konversi.
Adanya 63,33 persen responden yang mengatakan tidak terjangkau untuk
harga minyak tanah saat mereka mempergunakannya yaitu setelah program
konversi berlangsung, harga minyak tanah yang awalnya sebesar Rp 2.500,00 per
liternya meningkat menjadi Rp 7.500,00 per liter. Sedangkan 70,00 persen
responden mengatakan terjangkau untuk harga LPG 3 kg saat mereka
mempergunakannya yaitu setelah program konversi, dikarenakan harga LPG 3 kg
66
lebih murah jika dibandingkan dengan harga minyak tanah saat ini, yaitu untuk
harga satu tabung LPG 3 kg sebesar Rp 14.500,00 sedangkan untuk harga satu
liter minyak tanah sebesar Rp 7.500,00.
Tabel 5.8. Harga Sebelum Program Konversi (%) Pedagang Bakso KakiLima
Sumber: Data Primer, diolah
Tabel 5.8. dapat diketahui bahwa 83,33 persen responden mengatakan
sangat murah, 16,67 persen responden mengatakan murah, dan tidak ada seorang
pun yang mengatakan tidak murah/mahal untuk harga minyak tanah sebelum
adanya program konversi. Sedangkan 100,00 persen responden mengatakan tidak
murah/ mahal dan tidak ada seorang pun yang mengatakan sangat murah dan
murah untuk harga LPG 3 kg sebelum adanya program konversi.
Adanya 83,00 persen responden yang mengatakan sangat murah untuk
harga minyak tanah sebelum adanya program konversi karena saat itu harga
minyak tanah sebesar Rp 2.500,00 per liternya. Sehingga mereka lebih baik
menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak bakso tersebut.
Tabel 5.9. Harga Setelah Program Konversi (%) Pedagang Bakso Kaki Lima
Sumber: Data Primer, diolah
Tabel 5.9. dapat diketahui bahwa 100,00 persen responden mengatakan
tidak murah/mahal dan tidak ada seorang pun yang mengatakan sangat murah dan
Pernyataan Jawaban MinyakTanah
LPG 3 kg
Harga sebelum programkonversi
Sangat murah 83,33 0Murah 16,67 0Tidak murah/ mahal 0 100,00
Pernyataan Jawaban MinyakTanah
LPG 3 kg
Harga setelah programkonversi
Sangat murah 0 10,00Murah 0 90,00Tidak murah/ mahal 100,00 0
67
murah untuk harga minyak tanah setelah adanya program konversi. Sedangkan
90,00 persen responden mengatakan murah, 10,00 persen responden mengatakan
sangat murah dan tidak ada seorang pun yang mengatakan tidak murah/mahal
untuk harga LPG 3 kg setelah adanya program konversi.
Adanya 100,00 persen responden yang mengatakan tidak murah/mahal
untuk harga minyak tanah setelah adanya program konversi dikarenakan harga
minyak tanah melambung dari Rp 2.500,00 per liternya menjadi Rp 7.500,00 per
liternya. Dan adanya 90,00 persen responden yang mengatakan murah untuk
harga LPG 3 kg dikarenakan harga LPG 3 kg sebesar Rp 14.500,00 untuk setiap
tabungnya dianggap lebih murah dibandingkan dengan harga minyak tanah per
liternya, dan LPG 3 kg ini mudah untuk ditemukan.
Tabel 5.10. Harga Perlengkapan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima
Sumber: Data Primer, diolah
Tabel 5.10. dapat diketahui bahwa 63,33 persen responden mengatakan
sangat murah, 36,67 persen responden mengatakan murah dan tidak ada seorang
pun yang mengatakan tidak murah/mahal untuk membeli alat-alat perlengkapan
kompor dengan menggunakan minyak tanah. Sedangkan 90,00 persen responden
mengatakan tidak murah/mahal, 6,67 persen responden mengatakan sangat murah
dan 3,33 persen responden mengatakan murah untuk membeli alat-alat
perlengkapan kompor dengan menggunakan LPG 3 kg.
Pernyataan JawabanMinyakTanah LPG 3 kg
Biaya membeli alat-alatperlengkapan kompor
Sangat murah 63,33 6,67Murah 36,67 3,33Tidak murah/ mahal 0 90,00
68
Adanya 63,33 persen responden mengatakan sangat murah untuk membeli
alat-alat perlengkapan kompor dengan menggunakan minyak tanah seperti sumbu
kompor, kompor dan dirigen minyak. Dibandingkan dengan menggunakan LPG 3
kg, 90,00 persen responden mengatakan tidak murah/mahal untuk membeli alat-
alat perlengkapan seperti kompor, tabung dan selang gas serta karburator.
Tabel 5.11. Biaya Pemeliharaan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima
Sumber: Data Primer, diolah
Dari Tabel 5.11. juga dapat diketahui bahwa 76,67 persen responden
mengatakan murah, 20,00 persen responden mengatakan sangat murah dan 3,33
persen responden mengatakan tidak murah/mahal untuk biaya pemeliharan
kompor dengan menggunakan minyak tanah. Sedangkan 80,00 persen responden
mengatakan tidak murah/ mahal, 20,00 persen responden mengatakan murah dan
tidak ada seorang pun yang mengatakan sangat murah untuk biaya pemeliharaan
kompor dengan menggunakan LPG 3 kg.
Begitu pula dengan pemeliharaan kompor, untuk kompor minyak sebesar
76,67 persen responden mengatakan murah. Jika dibandingkan dengan kompor
gas sebesar 80,00 persen responden mengatakan tidak murah/ mahal. Hal ini
dikarenakan untuk pemeliharaan kompor gas seperti mengganti selang dan
karburator jika rusak membutuhkan biaya yang lebih mahal daripada kompor
minyak yang hanya mengganti sumbu kompor jika sudah tidak layak pakai lagi.
Pernyataan JawabanMinyakTanah LPG 3 kg
Biaya pemeliharaankompor
Sangat murah 20,00 0Murah 76,67 20,00Tidak murah/ mahal 3,33 80,00
69
b. Efisiensi Waktu Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor
Untuk efisiensi waktu, seluruh pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor
menyatakan waktu untuk memasak lebih cepat dengan menggunakan LPG 3 kg
daripada minyak tanah. Sehingga penggunaan LPG 3 kg lebih efisien dari sisi
waktu dan bakso lebih cepat matang serta tetap hangat. Hal ini dapat dijelaskan
pada (Tabel 5.12.).
Tabel 5.12. Lama Waktu Memasak (%) Pedagang Bakso Kaki Lima
Sumber: Data Primer, diolah.
Tabel 5.12. menjelaskan mengenai efisiensi waktu pada pedagang bakso
kaki lima di kota Bogor. Dari tabel dapat diketahui bahwa 73,33 persen
responden mengatakan lama, 16,67 persen responden mengatakan sangat lama,
dan 10,00 persen responden mengatakan tidak lama/cepat waktu memasak
dengan menggunakan minyak tanah. Sedangkan 100,00 persen responden
mengatakan tidak lama/ cepat, dan tidak ada yang mengatakan lama dan sangat
lama waktu memasak dengan menggunakan LPG 3 kg.
Adanya 73,33 persen responden yang mengatakan lama untuk waktu
memasak dengan menggunakan minyak tanah dan 100,00 persen responden
mengatakan tidak lama/ cepat untuk waktu memasak dengan menggunakan LPG
3 kg. Di lapangan didapat informasi bahwa dengan menggunakan gas/LPG 3 kg
memasak lebih cepat 15 menit daripada menggunakan minyak tanah dan
penggunaan minyak tanah dirasa boros/cepat habis.
Pernyataan Jawaban Minyak Tanah LPG 3 kg
Lama waktu memasakTidak lama/ cepat 10,00 100,00Lama 73,33 0Sangat lama 16,67 0
70
c. Efisiensi Tenaga Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor
Untuk efisiensi tenaga, para pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor
menyatakan lebih efisien menggunakan gas/LPG 3 kg, karena dapat menghemat
tenaga serta lebih praktis dalam penggunaannya.
Tabel 5.13. Memerlukan Bantuaan saat Mengangkat dan ProsesPenggantian (%) Pedagang Bakso Kaki Lima
Sumber: Data Primer, diolah.
Tabel 5.13. menjelaskan efisiensi tenaga pada pedagang bakso kaki lima
di Kota Bogor. Dari tabel dapat diketahui bahwa 83,33 persen responden
mengatakan tidak pernah, 16,67 persen responden mengatakan kadang-kadang
dan tidak ada seorang pun yang mengatakan selalu memerlukan bantuan orang
lain untuk mengangkat dan proses penggantian jika minyak tanah habis.
Sedangkan 70,00 persen responden mengatakan tidak pernah, 30,00 persen
responden mengatakan kadang-kadang, dan tidak ada seorang pun yang
mengatakan selalu memerlukan bantuan orang lain untuk mengangkat dan proses
penggantian jika LPG 3 kg habis.
Adanya 16,67 persen responden yang menyatakan kadang-kadang
memerlukan bantuan orang lain saat mengangkat dan proses pengisian minyak
tanah jika sudah habis lebih kecil jika dibandingkan dengan LPG 3 kg yaitu
sebesar 30,00 persen responden, dikarenakan untuk mengganti tabung gas yang
sudah habis dengan tabung yang baru pedagang bakso masih merasa takut salah
Pernyataan Jawaban MinyakTanah
LPG 3 kg
Memerlukan bantuaan saatmengangkat dan prosespenggantian jika habis
Selalu 0 0Kadang-kadang 16,67 30,00Tidak pernah 83,33 70,00
71
dalam pemasangannya yang nantinya dapat menimbulkan kecelakaan seperti
tabung gas meledak.
Tabel 5.14. Memerlukan Bantuaan dalam Pemeliharaan Kompor (%)Pedagang Bakso Kaki Lima
Pernyataan JawabanMinyakTanah LPG 3 kg
Memerlukan bantuan dalampemeliharaan kompor
Selalu 6,67 6,67Kadang-kadang 6,67 16,67Tidak pernah 86,66 76,66
Sumber: Data Primer, diolah.
Tabel 5.14. dapat diketahui bahwa 86,66 persen responden mengatakan
tidak pernah, 6,67 persen responden mengatakan kadang-kadang dan 6,67 persen
responden mengatakan selalu memerlukan bantuan orang lain dalam
pemeliharaan kompor dengan minyak tanah. Sedangkan 76,66 persen responden
mengatakan tidak pernah, 16,67 persen responden mengatakan kadang-kadang,
dan 6,67 persen responden mengatakan selalu memerlukan bantuan orang lain
dalam pemeliharaan kompor dengan LPG 3 kg.
Sama dengan pedagang bakso yang memerlukan bantuan orang lain dalam
mengangkat dan proses penggantian, mereka juga kadang-kadang memerlukan
bantuan orang lain dalam pemeliharaan kompor karena takut melakukan
kesalahan yang dapat menyebabkan tabung gas meledak. Sehingga sebesar 16,67
persen responden pengguna LPG 3 kg kadang-kadang masih memerlukan bantuan
orang lain dalam pemeliharaan kompor.
Tabel 5.15. Penggunaan Bahan Bakar (%) Pedagang Bakso Kaki Lima
Pernyataan JawabanMinyakTanah LPG 3 kg
PenggunaanyaSangat mudah 0 56,66Mudah 40,00 26,67Tidak mudah/ sulit 60,00 16,67
Sumber: Data Primer, diolah.
72
Dari Tabel 5.15. dapat diketahui bahwa 60,00 persen responden
mengatakan tidak mudah/sulit, 40,00 persen responden mengatakan mudah dan
tidak ada seorang pun yang mengatakan sangat mudah untuk penggunaan minyak
tanah sebagai bahan bakar untuk memasak. Sedangkan 56,66 persen responden
mengatakan sangat mudah, 26,67 persen responden mengatakan mudah dan 16,67
persen mengatakan tidak mudah/sulit untuk penggunaan LPG 3 kg sebagai bahan
bakar untuk memasak.
Dalam hal penggunaannya, sebesar 60,00 persen responden menyatakan
tidak mudah/sulit menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar dibandingkan
dengan menggunakan gas/LPG 3 kg yaitu sebesar 56,66 persen responden
menyatakan sangat mudah. Hal ini dikarenakan penggunaan gas/LPG 3 kg dirasa
lebih praktis daripada minyak tanah yang harus memasukkan sumbu ke kompor,
menuangkan minyak tanah dari dirigen minyak ke kompor sedangkan dengan
menggunakan gas/LPG 3 kg mereka hanya perlu mengganti tabung yang kosong
dengan tabung yang baru dan memasangkan selang ke tabung.
Tabel 5.16. Jarak Pembelian Bahan Bakar (%) Pedagang Bakso Kaki Lima
Pernyataan Jawaban MinyakTanah
LPG 3 kg
Jarak pembelianSangat dekat 46,67 50,00Dekat 50,00 36,67Tidak dekat/ jauh 3,33 13,33
Sumber: Data Primer, diolah.
Dari Tabel 5.16. dapat diketahui bahwa 50,00 persen responden
mengatakan dekat, 46,67 persen responden mengatakan sangat dekat dan 3,33
persen responden mengatakan tidak dekat/jauh untuk jarak pembelian minyak
tanah dengan tempat berjualan. Sedangkan 50,00 persen responden mengatakan
73
sangat dekat, 36,67 persen responden mengatakan dekat dan 13,33 responden
menyatakan tidak dekat/jauh untuk jarak pembelian LPG 3 kg dengan tempat
berjualan.
Baik untuk jarak pembelian minyak tanah dan gas/LPG 3 kg, para
pedagang bakso menyatakan sangat dekat jaraknya dengan tempat mereka
berjualan. Terutama untuk wilayah Kecamatan Bogor Tengah di sekitar Jl. Dewi
Sartika, para pedagang mengaku mereka membeli minyak tanah maupun LPG 3
kg dari pedagang keliling, sehingga mereka tidak sulit mencarinya. Dan untuk
pedagang bakso yang tidak tetap/berkeliling, mereka membeli di warung sekitar
mereka berjualan.
5.3.3 Pengeluaran Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor
Untuk pengeluaran bahan bakar pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor,
dari lapangan diperoleh bahwa rata-rata mereka menggunakan minyak tanah dua
liter setiap harinya. Dimana sebelum konversi, harga minyak tanah hanya Rp
2.500,00 per liter sehingga biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 5000,00 per hari.
Akan tetapi setelah adanya konversi, pengeluaran mereka untuk minyak tanah
menjadi Rp 15.000,00 per hari meningkat tiga kali lipat karena harga minyak
tanah menjadi Rp 7.500,00 per liternya.
Tabel 5.17. menjelaskan pengeluaran bahan bakar pedagang bakso kaki
lima di Kota Bogor sesudah program konversi. Dari tabel dapat diketahui bahwa
60,00 persen responden menyatakan sangat setuju, 30,00 persen responden
mengatakan setuju dan 10,00 persen responden mengatakan tidak setuju bahwa
setelah program konversi pengeluaran untuk bahan bakar makin kecil.
74
Tabel 5.17. Pengeluaran (% Responden) Pedagang Bakso Kaki Lima
Pernyataan JawabanSangat setuju Setuju Tidak setuju
Setelah program konversipengeluaran bahan bakar makin
kecil60,00 30,00 10,00
Sumber: Data Primer, diolah
Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pedagang bakso untuk membeli
bahan bakar setipa harinya, sebesar 60,00 persen responden mengatakan sangat
setuju dan 30,00 persen responden mengatakan setuju bahwa setelah program
konversi pengeluaran pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor makin kecil.
Sehingga upaya pemerintah dengan mengkonversi minyak tanah ke LPG dirasa
tepat, hal ini dikarenakan satu tabung LPG 3 kg seharga Rp 14.500,00 lebih
murah dari minyak tanah setelah adanya konversi dan penggunaan satu tabung
LPG 3 kg ini dapat digunakan untuk 2-3 hari.
5.3.4 Penerimaan Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor
Untuk besarnya penerimaan usaha yang diterima oleh pedagang bakso
kaki lima di Kota Bogor setelah adanya program konversi dirasa makin besar. Hal
ini ditunjukan di lapangan, bahwa sebelum adanya konversi mereka memperoleh
omset rata-rata sebesar Rp 226.500,00 setiap harinya dan setelah adanya konversi
menjadi Rp 434.166,00 setiap harinya.
Tabel 5.18. Penerimaan (% Responden) Pedagang Bakso Kaki Lima
PernyataanJawaban
Sangat setuju Setuju Tidak setuju
Setelah program konversipenerimaan usaha makin besar
20,00 76,67 3,33
Sumber: Data Primer, diolah.
75
Tabel 5.18. menjelaskan penerimaan pedagang bakso kaki lima di Kota
Bogor setelah adanya program konversi. Dari tabel dapat diketahui bahwa sebesar
20,00 persen responden mengatakan sangat setuju, 76,67 persen responden
mengatakan setuju dan 3,33 persen responden mengatakan tidak setuju bahwa
setelah program konversi, penerimaan usaha pedagang bakso kaki lima di Kota
Bogor makin besar.
Penerimaan pedagang bakso kaki lima setelah program konversi yaitu
20,00 persen responden mengatakan sangat setuju dan 76,67 persen responden
mengatakan setuju bahwa setelah program konversi penerimaan usaha pedagang
bakso kaki lima di Kota Bogor makin besar. Hal ini dikarenakan tentunya harga
bahan bakar LPG 3 kg lebih murah dibandingan harga minyak tanah dan mereka
ikut menaikkan harga setiap mangkok bakso mereka seiring dengan adanya
program konversi ini. Selain itu, para pedagang bakso merasa cukup untuk omset
pendapatan yang diterima dari berjualan bakso dalam mencukupi biaya rumah
tangganya sehari-hari dikarenakan mereka beranggapan dari penghasilannya
tersebut, yang penting kebutuhan akan makan sehari-hari saja dapat terpenuhi.
5.3.5 Persepsi Pedagang Bakso Kaki Lima Mengenai Program Konversi
Untuk persepsi dari pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor mengenai
program konversi akan dijelaskan melalui Tabel 5.19. Dapat dilihat bahwa
sebagian besar responden dengan 66,66 persen menyatakan setuju bahwa terdapat
perbedaan harga yang cukup besar pada minyak tanah dan LPG 3 kg saat ini,
kemudian 26,67 persen menyatakan setuju dan 6,67 persen menyatakan tidak
setuju. Dimana dari lapangan dapat diketahui bahwa untuk 1 liter minyak tanah
76
pedagang bakso harus membayar dengan Rp 7.500,00 per liter untuk penggunaan
satu hari, sedangkan dengan LPG 3 kg dengan harga Rp. 14.500,00 per tabungnya
dapat digunakan 2-3 hari. Hal ini sejalan dengan harga minyak tanah menjadi
mahal setelah adanya program konversi, dimana responden menyatakan 43,33
persen sangat setuju, 36,67 persen responden menyatakan setuju dan sisanya
20,00 persen responden menyatakan tidak setuju.
Tabel 5.19. Sebaran Responden Berdasarkan Persepsi Mengenai ProgramKonversi (%)
PernyataanJawaban
Sangatsetuju Setuju
Tidaksetuju
Terdapat perbedaan harga yang cukup besarpada minyak tanah dan gas/ LPG 3 kg
26,67 66,66 6,67
Setelah program konversi, harga minyaktanah menjadi mahal
43,33 36,67 20,00
Penggunaan gas/ LPG 3 kg lebihmenguntungkan dibanding minyak tanah
60,00 30,00 10,00
Program konversi dapat membantumengurangi pengeluaran
20,00 60,00 20,00
Sudah bisa menerima gas/ LPG 3 kgsebagai pengganti minyak tanah
30,00 70,00 0
Ada unsur keterpaksaan dalam menjalankanprogram konversi
16,67 30,00 53,33
Pernah mengalami kecelakaan akibatpenggunaan gas/ LPG 3 kg
6,67 13,33 80,00
Sumber: Data Primer, diolah.
Mahalnya harga minyak tanah setelah program konversi ini memang
terlihat dilapangan, bahwa harga minyak tanah yang awalnya sebelum program
konversi hanya Rp 2.500,00 setelah program konversi melonjak menjadi Rp
7.500,00 per liternya. Kemudian sebesar 60,00 persen responden mengatakan
sangat setuju bahwa penggunaan LPG 3 kg lebih menguntungkan dibandingkan
minyak tanah, 30,00 persen responden mengatakan setuju dan sisanya 10,00
persen responden mengatakan tidak setuju. Hal ini dikarenakan pemakaian gas
77
dari segi biaya lebih ekonomis dibandingkan minyak tanah dan pemakaian gas
pun dirasa lebih praktis dibandingkan minyak tanah. Selain itu proses memasak
pun menjadi lebih cepat. Oleh karena itu, sebesar 60,00 persen responden
menyatakan setuju bahwa program konversi dapat membantu mengurangi
pengeluaran mereka terhadap bahan bakar, lalu 20,00 persen responden sangat
setuju sedangkan sisanya 20,00 persen responden menyatakan tidak setuju.
Sebagian besar responden yaitu 70,00 persen menyatakan setuju dan 30,00 persen
menyatakan sangat setuju untuk menerima gas sebagai pengganti minyak tanah
karena responden merasakan manfaat dengan menggunakan bahan bakar gas.
Begitu pula sebesar 53,33 persen responden menyatakan tidak setuju,
30,00 persen responden menyatakan setuju dan sisanya 16,67 persen responden
menyatakan sangat setuju bahwa ada unsur keterpaksaan dalam menjalankan
program konversi. Adanya responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju
ini dikarenakan masih ada beberapa pedagang bakso yang belum bisa menerima
gas sebagai pengganti minyak tanah. Hal ini dikarenakan responden telah
bertahun-tahun menggunakan minyak tanah dan telah nyaman menggunakannya.
Dan sebesar 80,00 persen responden menyatakan tidak setuju bahwa mereka
pernah mengalami kecelakaan akibat penggunaan gas/ LPG 3 kg, sedangkan
sisanya sebesar 13,33 persen responden dan 6,67 persen responden menyatakan
setuju dan sangat setuju. Hal ini dikarenakan mereka yang setuju dan sangat
setuju mengakui kurang berhati-hati dalam penggunaan gas/ LPG 3 kg dan
kurangnya informasi mengenai tata cara penggunaan gas/ LPG 3 kg tersebut.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap
struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi usaha mikro (studi kasus Kota
Bogor) maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kondisi penggunaan minyak tanah oleh masyarakat Indonesia mengalami
perubahan setelah adanya program konversi minyak tanah ke LPG yang
dilaksanakan oleh pemerintah pada pertengahan tahun 2007. Sebagian besar
masyarakat beralih menggunakan LPG. Hal ini dikarenakan jumlah pasokan
minyak tanah yang semakin berkurang/ langka dan harganya semakin mahal
dikalangan masyarakat, serta penggunaan LPG yang dirasa lebih efisien.
2. Dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi
APBN (2007-2010), telah memberikan penghematan subsidi negara sebesar
21,38 triliun rupiah. Penghematan subsidi ini diserahkan kembali ke Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk program subsidi lainnya, selain itu
dihibahkan sebesar 4 triliun rupiah ke P.T. Pertamina untuk menutup kerugian
yang dialami perseroan akibat tidak diizinkannya Pertamina menaikkan elpiji
nonsubsidi.
3. Dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha mikro
khususnya pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, telah memberikan
efisiensi usaha baik dari sisi biaya, waktu, dan tenaga. Setelah adanya program
konversi pengeluaran pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor untuk bahan
79
bakar makin kecil, sedangkan penerimaan pedagang bakso semakin besar.
Sebagian besar pedagang bakso kaki lima menyatakan sangat setuju dengan
penggunaan LPG 3 kg yang lebih menguntungkan dibandingkan minyak tanah
dan setuju menerima LPG 3 kg sebagai pengganti minyak tanah serta tidak
ada unsur keterpaksaan dalam menjalankan program konversi.
6.2 Saran
1. Pemerintah pusat dan P.T. Pertamina hendaknya terus melakukan evaluasi dan
lebih memperbaiki pelaksanaan program konversi minyak tanah ke LPG,
seperti mengatasi distribusi LPG bagi masyarakat dan harus mengambil
tindakan hukum yang tegas apabila terjadi penyelewengan seperti
pengoplosan dan penyuntikan gas yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu
di jaringan distribusi tersebut, serta mempertajam sasaran penerima subsidi
melalui sistem seleksi yang ketat dan basis data yang transparan, dan menata
ulang sistem penyaluran subsidi yang lebih akuntabel, predictable, serta makin
tepat sasaran sehingga program konversi dapat berjalan secara merata di
Indonesia.
2. Adanya penghematan subsidi yang berasal dari program konversi, pemerintah
pusat hendaknya lebih transparan dalam menyalurkan penghematan subsidi
untuk mensubsidi kegiatan lain seperti subsidi untuk pendidikan, kesehatan
serta untuk pembangunan dan infrastruktur Negara Republik Indonesia.
3. P.T. Pertamina hendaknya melakukan perbaikan kualitas tabung gas 3 kg yang
berstandar SNI untuk memerhatikan keamanan bagi para konsumen.
80
4. Pemerintah Kota Bogor hendaknya lebih memerhatikan para pelaku usaha
seperti usaha mikro dan PKL dengan adanya program konversi minyak tanah
ke LPG, dengan terus menggalakkan sosialisasi dan penyuluhan kepada
pedagang bakso kaki lima sehingga dapat mengefisienkan penggunaan bahan
bakar LPG dan program konversi diharapkan dapat berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Pengertian Dampak. http://mediabelajarkoe.worspress.com/2008/11/24/dampak-implementasi-it-di-organisasi/ [ 5 Mei 2011 ]
_______. 2009. “Konversi Energi”. http://www.electroniclab.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5:konversienergi&catid=1:archive-alias&Itemid=3 [ 27 Oktober 2010]
_______. 2011. Definisi Dampak. http://www.artikata.com/arti-324325-dampak.htm. [ 5 Mei 2011 ]
_______. 2011. “Pemerintah Diminta Hibahkan Dana Rp 4 Triliun ke Pertamina”.http://indonesiacompanynews.wordpress.com/2011/07/25/pemerintah-diminta-hibahkan-dana-rp-4-triliun-ke-pertamina/ [25 Juli 2011]
Badan Pusat Statistik. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor 2005-2009. Bogor: BPS.
Bank Indonesia. 2003. Usaha Mikro sebagaimana dimaksud menurut KeputusanMenteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003.www.bi.go.id/biweb/utama/peraturan/pbi-5-18-03.pdf[ 27 Oktober 2010]
Deperindag dan Abdullah et all: 1996 dalam Moh. Ridwan. 2006. DeterminanDari Kredit Rentenir Untuk Pedagang Mikro (Studi Kasus pada PedagangMikro di pasar Tradisional Gunungkidul, Yogyakarta) [skripsi]. FakultasEkonomi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. [ 28 Oktober 2010]
Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor. 2007-2010. Usaha Mikro dan PKL di KotaBogor. Bogor.
Erlangga Djumena . 2010. “Konversi Elpiji Hemat Subsidi Rp 21,38 T”. [Kompas Online].http://www1.kompas.com/read/xml/2010/09/03/14001394/konversi.elpiji.hemat.subsidi.rp.2138.t [ 3 September 2010]
Ismawanto. 2009. Ekonomi 2: Untuk SMA dan MA Kelas XI. Pusat PerbukuanDepartemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis edisi Kedua. IPBPress. Bogor.
Kementerian Keuangan. 2008. Mari Kenali APBN. Jakarta: Biro Humas, SetjenDepartemen Keuangan RI.
82
Kementerian Keuangan. 2009. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan danBelanja Negara Tahun Anggaran 2009. www.fiskal.depkeu.go.id/ webbkf/.../NKAPBN2009complete.pdf [ 28 Oktober 2010]
Kementerian Keuangan. 2010. Perkembangan Ekonomi dan Pokok-PokokKebijakan Fiskal RAPBN 2011. www.anggaran.depkeu.go.id/.../10-08-24,%20NK%20dan%20RUU%20APBN%202011_BabII_rev1.pdf[ 28 Oktober 2010]
Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2010. Anggaran Pendapatan danBelanja Negara (APBN) tahun 2010. Jakarta.
Kementerian Koperasi. 2008. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengahmenurut Undang-Undang No. 2 tahun 2008 Tentang UMKM.http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=129 [ 28 Januari2011]
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RepublikIndonesia. 2010. Usaha Kecil di Bogor.http://www.mediacenterkopukm.com/detail-berita.php?bID=6737 [ 28 Januari 2011]
Lie, A. 2009. Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji: Potret kebijakanpemerintah dalam Sektor Pengelolaan Energi Nasional. Dalam: KuliahUmum ; Semarang, 10 Januari 2009. eprints.undip.ac.id/990/1/Kulum_Alvin_Lie_2009.pdf [ 29 Oktober 2010]
Lipsey et all. 1997. Efisiensi Ekonomi. Pengantar Mikroekonomi edisi Kesepuluhjilid dua. Binarupa aksara. Jakarta
Mayawati, T. dan Tri Hidayatno. 2008. Statistik Pertambangan Minyak dan GasBumi 2003-2007. BPS. Jakarta.
Mulyanto. 2007. “Konsep sektor Informal: Pedagang Kaki Lima”.http://ssantoso.blogspot.com/2008/07/konsep-sektor-informal-pedagang-kaki_28.html[28 Januari 2011]
Nicholson. 1991. Teori Mikroekonomi jilid 1 Edisi Kelima. Binarupa aksara,Jakarta
Nicholson. 1999. Teori Mikroekonomi jilid 2 . Binarupa aksara, Jakarta
Nugroho, H. 2005. “Apakah Persoalannya pada Subsidi BBM? Tinjauan terhadapMasalah Subsidi BBM, Ketergantungan pada Minyak Bumi, ManajemenEnergi Nasional, dan Pengembangan Infrastruktur Energi”. Jurnal
83
Perencanaan Pembangunan, Edisi 02, Tahun X. Perencanaan BidangEnergi BAPPENAS. [01 Maret 2011]
Pertamina. 2011. http://www.pertamina.com/index.php/detail/read/fuel-minyak-tanah [01 Maret 2011]
Rahmadini, A. 2007. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Pendapatan danPengeluaran Rumah tangga di Kota Bogor (Studi kasus Rumah tanggaPengojek Pengguna Kredit Motor) [skripsi]. Fakultas Ekonomi danManajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saragih (1980) dalam Warsana (2007). Analisis Efisiensi dan Keuntungan Usahatani jagung (Studi di Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora) [Tesis]Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan,Universitas Diponegoro. Semarang
Siahaan, UB. H. dan Sunaridjan. 1999. “Pola Efisiensi Industri Kecil”. PusatAnalisa Perkembangan IPTEK-LIPI. Voleme 10 Nomor 22.http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/80[ 29 Oktober 2010]
Siahaan, R. 2008. “Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Iklim Usaha UMKM(Studi Kasus Pemotongan Subsidi BBM)”. Jurnal INFOKOP, Volume 16.
Simanjuntaki, M., R.A.B. Kusumo, dan M. Nasarullah. 2009. “Pola Pengeluaran,Persepsi, dan kepuasan Keluarga Terhadap Perubahan Penggunaan Energidari Minyak tanah ke LPG”. Jurnal Ilmu keluarga dan Konsumen, Volume2 Nomor 2 ISSN : 1907 – 6037. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor.[28 Oktober 2010]
The Liang Gie. 1995. Administrasi Perkantoran Modern Edisi Keempat (dengantambahan). Liberty Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 8 No. 22 Tahun 2001. www.esdm.go.id/.../uu/doc.../500-undang-undang-n022-tahun-2001.html.[28 Oktober 2010]
.