Oleh: Muhammad Nasrulloh NIM:...
Transcript of Oleh: Muhammad Nasrulloh NIM:...
PENGANGKATAN WARGA NEGARA ASING SEBAGAI PEJABAT NEGARA
(Analisis Kasus Pengangkatan Archandra Tahar Sebagai Menteri Energi danSumber Daya Mineral Republik Indonesia)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Muhammad Nasrulloh
NIM: 1113048000040
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439H/2017
皿 NG4NGKATAN WARGA NEGARA ASING SEBAGAIPEJALヽ T NECARA
〔ヽ n3■St Kasus Pengallglratan Archandra Tahar Sebagal Mellteri Ellergl
dan Sunrber Deya Mineral Republik Indoresia)
Skripsi
Diajukatl Kepada Fakultas Syariah dall llukuni Untutri Memenuhi Salah Satlr
Persvaratan Untuk Metnpcroleh Gelar Sa{ana Hukurn (S.lI)
01ch:
Mllhanl■ lad NasrulloL
ll13048000040
Pembimbing II
KONSENTRASI HUKU KELELIIBACAAN NEG轟
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTASSYARIAH DAN HUKU■ lI
mttRSITパ ISLAM NEGERI
SYAttF HIIpAYATlllLLAH
JAKARTA
1439H/2017
6111001 0416201101
l. I(etua
2 Sckcllaris
3 Pe〕 lnbil■ lbilig I
4 Pcmbill〕 billg II
5 1)cilgЧ li l
6 Pc]lgtJi II
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
St■psi bclJudul PENCANGKATAN WARCA NEGARA ASINC SEBAGAI
PEJABAT NECARA(Analisis Kasus Pcngangkatall Archalldra Tahar Sebagai
Mentcri Energi dan Sumber Daya Mheral Republik lndOnesi→ tclall tilllian
d』 alll sldang nlllllaqasytt p7ada ScptcnJoc1 2017 Skl■ psi ini tdall ditcl■ lna scbagal
salall sattl syalat mmpcrolcll Cclal Sttalla Huk血 (SH)pada PrOgram Sttldi■ l■u
HuL■m
PANITIA UJIAN
NIP 19691121 199403 1 001
Drs Abu Tam● nSH¨ M HumNIP 19650809 1119503 1 001
Pro'DF A Sdl■ an Maggulatunq S H M HヽIP 19540303 197611 1 001
Nur Rohl■ Yunus LLMNIP 19790416 201101 1(,o4
―
さヾIP 19680812 219993 1 014
Dl Mcsraini SII M AgNIP 19760213 200312 2 001
29 Scptcllnbcr 2017
196911l6I99603
2
3
1
LEMBAR PEI{NYATA.4.N
Skripsi ini merupakan hasil kar)a asli sala yang diaiukan Luruk rrcn)eiuhi s iu
s)aral mernperolch gelar Sarjana Strata I (Sl) cli Univcrsitas Islam Ncgcri (LllN)
Syalif Hiday atullah Jakalta.
Semua sumbcr vang sa)a glnakan dalam penLrlisan ini telali saya cantulnkau s.'su.li
denSan kctcntlLan lang bcrlaku di llnivcrsitas Islam Ncgei (UIN) S)aLil
Hidayalullah Jakarta.
Jiku cli kemucLian hali terbukti hasil karya saya ini bukan hasil karla asli sala arau
nrerupakan hasil.jiplakan dari kar)a orang lain. tnaka sa\a belscdia menelima satksi
)'ang bellaku di Uni\ersitas Islam Negeri (lllN) SyariI IIida-varu11i1h Jakarta.
iakalta. 29 Septc,rber 2017
iv
ABSTRAK
Muhammad Nasrulloh, NIM 1113048000040, “PENGANGKATAN WARGANEGARA ASING SEBAGAI PEJABAT NEGARA (Analisis KasusPengangkatan Archandra Tahar Sebagai Menteri Energi dan Sumber DayaMineral Republik Indonesia)”, Strata Satu (S1), Konsentrasi Hukum KelembagaanNegara, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2017 M, ix+73 halaman+6 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui a) mekanisme pengangkatan menterinegara ditinjau dari aspek peraturan perundang-undangan, b) legalitas pengangkatanArchandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Minera Republik Indonesiahukum dan c) dampak pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri Energi danSumber Daya Mineral Republik Indoensia. Latar Belakang penelitian ini didasari statuskewarganegaraan Archandra Tahar sebelum diangkat menjadi Menteri ESDM RI yangmerupakan warga negara Amerika Serikat.
Penelitian ini bersifat library research, mengkaji perundangundangan,bukubuku, dan kitabkitab fikih yang berkaitan dengan judul skripsi ini danmengkaitkan kasus yang terjadi. Metode analisis yang digunakan adalah yuridisnormatif dengan menggunakan pendekatan pendekatan konseptual (conceptualapproach), perundang-undangan (statute approach) serta pendekatan kasus (caseapproach).
Hasil penelitian menunjukan bahwa a) mekanisme pengangkatan menteri harussesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara,b) pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineralmelanggar beberapa ketentuan di antaranya adalah asas pemerintahan yang baik, syaratkewarganegaraan dalam pengangkatan menteri oleh presiden dan kewenanganpresiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri, c) pengangkatan ArchandraSebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral berdampak pada statuskewarganegaraan Archandra Tahar, berdampak pada proses pewarganegaraan diIndonesia, dan berdampak pada legalitas kebijakan menteri Energi dan Sumber DayaMineral.
Kata Kunci : Kewarganegaraan Ganda, Pejabat Negara, Archandra Tahar, KementerianNegara, Hak Prerogatif Presiden
Pembimbing : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.Nur Rohim Yunus, LLM.
Sumber Rujukan dari 1983 sampai 2017
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمان الرحیم
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia kepada
hambanya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Nabi Muhammad
SAW. Dengan mengucap Alhamdullilahi Robbil ‘alamin penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “PENGANGKATAN WARGA NEGARA ASING
SEBAGAI PEJABAT NEGARA (Analisisi Kasus Pengangkatan ArchandraTahar Sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia)”.
Dalam penyelesaian skrpsi ini tidak terlepas peran orang-orang yang telah
membantu peneliti, selain itu tidak lupa pula terimakasih atas bimbingan, bantuan,
nasehat, doa, dukungannya. Kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta para Wakil Dekan Fakultas Syariadh dan Hukum.
2. Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan serta masukan atas
penyusunan skripsi.
3. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. dan Nur Rohim Yunus, LLM Selaku
dosen Pembimbing I dan II yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan
pikirannya untuk memberikan saran dan masukan terhadap proses penyusunan
skripsi ini
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan bimbingan selama ini.
5. Kedua Orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi, Bapak Purn. Iptu Endang
Saefulloh dan Ibu Enong Hasanah, S.Pd. serta saudara peneliti, Wildan Hanafiah
vi
yang telah medoakan, mendukung, dan menjadi motivasi untuk menyelesaikan
skripsi ini, tanpa kalian saya tidak akan bisa sampai ke tahap ini.
6. Sahabat-sahabat perjuangan di Rumah Juang yang sekaligus menjadi keluarga,
Khaidir Musa, Rhomi Prayoga, Ahmad Kandiaz, Muhammad Eddy Kurniawan,
yang telah yang telah membantu dalam pengetahuan, memberikan semangat dan
dukungan kepada Penulis sehingga penelitian ini terselesaikan
7. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu peneliti dalam menyelsaikan
skripsi ini.
Akhir kata, atas jasa dan bantuan semua pihak yang telah membantu &
memberikan masukan, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat. Peneliti
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, masyarakat
serta para pembaca kalangan umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 29 September 2017
Muhammad Nasrulloh
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................................iLEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN...............................................................................................iiiABSTRAK..........................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................................vDAFTAR ISI ......................................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................1A. Latar Belakang Masalah.................................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .......................................4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................................5
D. Tinjauan Kajian Terdahulu.............................................................................6
E. Metode Penelitian...........................................................................................7
F. Sistematika Penulisan.....................................................................................10
BAB II KEWARGANEGARAAN DAN KONSEP DASAR PEMERINTAHAN.....12A. Teori dan Konsep Kewarganegaraan .............................................................12
1. Pengertian Warga Negara ..........................................................................12
2. Prinsip Dasar Kewarganegaraan................................................................14
3. Bipatride dan Apatride ..............................................................................18
4. Konsep Kewarganegaraan Menurut Islam ................................................20
B. Konsep Dasar Pemerintahan ..........................................................................23
1. Asas-Asas Pemerintahan yang Baik ..........................................................23
2. Hak Berpartisipasi di dalam Pemerintahan ...............................................25
3. Status Warga Negara dan Kaitannya dengan Hak di dalam
Pemerintahan .............................................................................................28
viii
BAB III PENGATURAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA DANPENGANGKATAN MENTERI DITINJAU DARI PRESPEKTIF
PERATURANPERUNDANG-UNDANGAN..................................................................30A. Pengaturan Kewarganegaraan Republik Indonesia ........................................30
1. Dasar Pengaturan Kewarganegaraan Republik Indonesia.........................30
2. Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia .........39
B. Pengangkatan Menteri Negara di Indonesia...................................................41
1. Mekanisme Pengangkatan Menteri Negara...............................................41
2. Status Kewarganegaraan dalam Pengangkatan Menteri Negara ...............47
BAB VI ANALISIS KASUS PENGANGKATAN ARCHANDRA TAHARSEBAGAI MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
REPUBLIK INDONESIA.................................................................................................50A. Legalitas Pengangkatan Archandra Tahar Sebagai Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Republik Indonesia ....................................................50
1. Asas Pemerintahan yang Baik ...................................................................50
2. Kewenangan Presiden dalam Mengangkat dan Memberhentian Menteri .52
3. Syarat Kewarganegaraan dalam Pengangkatan Menteri ...........................55
B. Dampak Pengangkatan Archandra Tahar Sebagai Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Republik Indonesia yang Statusnya Sebagai Warga
Negara Asing..................................................................................................56
1. Dampak Terhadap Status Kewarganegaraan Archandra Tahar dan Proses
Pengangkatannya Sebagai Menteri ESDM RI...........................................57
2. Dampak Terhadap Proses Pewarganegaraan di Indonesia ........................60
3. Dampak Legalitas Kebijakan Hukum Menteri ESDM RI.........................62
BAB V PENUTUP .........................................................................................................63A. Kesimpulan.....................................................................................................63
B. Saran...............................................................................................................66
ix
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................68LAMPIRAN .......................................................................................................................74
Kepres No. 83/P Tahun 2016..............................................................................74
Keptusan MenkumHam No. AHU-1 AH.10.01 Tahun 2016 .............................79
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahKewarganegaraan merupakan hal yang mendasar dalam kehidupan bernegara,
karena dengan diakui oleh negara sebagai warga negaranya maka seseorang akan
mendapatkan hak-haknya di negara tersebut. Sejarah negara Indonesia sendiri sebelum
merdeka masyarakat berjuang demi kemerdekaan, dengan merdeka maka masyarakat
akan mendapatkan haknya sebagai manusia khususnya sebagai warga negara dan bebas
dalam menjalankan kehidupan bernegara. Dan dengan diakuinya masyarakat sebagai
warga negara tertentu maka negara wajib melindungi warga negaranya dalam setiap
aspek kehidupannya, dari segi keamanan, ekonomi, dan lain sebagainya.
Warga negara pula menjadi salah satu unsur dalam sebuah negara atau sering
disebut dengan rakyat. Kedudukan rakyat sebagai warga negara menciptakan
hubungan berupa peranan, hak, dan kewajiban terhadap suatu negara.1 Menurut
Undang-undang Kewarganegaraan Indonesia (UUKI) 2006, yang dimaksud dengan
warga negara adalah warga negara suatau negara yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.2 Lebih jelasnya siapa saja dikatakan sebagai warga
negara Indonesia yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Indonesia.
Banyak orang yang akan menentukan nasib Indonesia, terutama pejabat-pejabat
negara Indonesia. Pejabat negara harus berkualitas serta memiliki rasa tanggung jawab
yang tinggi agar mampu melaksanakan amanah yang diberikan kepadanya dengan baik
dan jujur, jika memang diperlukan tenaga ahli dari negara lain bisa mengisi posisi
1 Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan : Panduan Kuliah di PerguruanTinggi (Jakarta: PT Bumi Akasara, 2009, cet. Ke-6), h. 47
2 A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an (Civic Education): Demokrasi,Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Ciputat: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015,cet. Ke-12), h. 128.
2
penting di dalam pemerintahan demi memajukan negara Indonesia. Oleh sebab itu
negara Indonesia menetapkan aturan yang ketat untuk menjadi pejabat negara tersebut.
Salah satu aturan yang diberlakukan adalah kewarganegaraan seseorang yang akan
menjadi pejabat negara, dimana untuk menduduki jabatan pemerintahan di Indonesia
adalah Warga Negara Indonesia.
Pejabat negara seperti apakah yang salah satu syarat wajibnya adalah Warga
Negara Indonesia? Bagir Manan, dalam bukunya Teori Politik dan Konstitusi,
menjelaskan bahwa untuk mengetahui arti dari pejabat negara terdapat 3 kategori
lembaga negara berdasarkan fungsinya, yaitu:3 (1) Lembaga Negara yang menjalankan
fungsi Negara secara langsung, (2) Lembaga negara yang menjalankan fungsi
administrasi Negara, dan (3) Lembaga Negara Penunjang. Berdasarkan kategorisasi
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pejabat negara adalah yang menjalankan
fungsinya sesuai ketiga kategori tersebut, adapun pejabat pemerintahan yang
lingkupnya lebih sempit dibanding dengan pejabat negara, dalam arti lain bahwa
pejabat pemerintahan hanya menjalankan fungsi adminitratif seperti menteri-menteri
yang membantu tugas Presiden.
Seorang pejabat negara harus mengabdi kepada negara dan memiliki jiwa
nasionalisme. Jiwa nasionalisme dapat diukur melalui ketundukannya menjadi warga
negara di Indonesia. Kaitannya dengan status kewarganegaraan, bagaimanakah
peraturan perundang-undangan mengatur tentang kewarganegaraan yang harus
dimiliki seseorang untuk menjadi pejabat negara? Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 Tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 1 Angka 3 menyatakan bahwa “Pegawai
Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat
pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Pegawai Negeri Sipil
3 Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan, Klinik Hukumonline, diakses dihttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f38f89a7720/pejabat-negara-dan-pejabat pemerintahan,pada 12 Desember 2016
3
(PNS) sendiri tidak termasuk ke dalam kategori yang dijelaskan Bagir Manan ataupun
termasuk ke dalam Lembaga Negara baik bagian dari pejabat negara ataupun pejabat
pemerintahan.
Sebagai negara berkembang, Indonesia harus banyak melakukan pembangunan
dan inovasi khususnya di dalam pemerintahan. Kurangnya sumber daya manusia yang
berkualitas menyebabkan Indonesia yang kaya akan sumber daya alam belum mampu
menjadi bagian dari negara maju. Apakah alasan di atas memberikan peluang bagi
warga negara asing dapat menjadi bagian di dalam pemerintahan? Jika memang sangat
diperlukan bahwa warga negara asing menjadi pejabat negara lalu bagaiamanakah
mekanisme untuk menjadi pejabat negara atau pejabat pemerintahan jika memang
seseorang tersebut warga negara asing. Kasus Archandra Tahar merupakan salah satu
contoh pengangkatan warga negara asing sebagai pejabat negara yang terjadi di
Indonesia, walaupun saat ini kasus tersebut sudah selesai akan tetapi masih
menimbulkan banyak pertanyaan mengenai ketentuan-ketentuan yang digunakan oleh
pemerintah dan mekanisme yang digunakan sehingga warga negara asing bisa diangkat
menjadi pejabat negara.
Kasus Archandra Tahar merupakan suatu polemik pengaturan status
kewarganegaraan di Indonesia khususnya dalam pengangkatan pejabat negara, yang
kemudian timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya mekanisme pengangkatan
Archandra Tahar sehingga dapat diangkat sebagai Menteri. Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 22 menyatakan “Untuk dapat diangkat
menjadi menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan warga negara Indonesia
(WNI)”. Sedangkan Archandra Tahar adalah seorang warga negara asing tetapi
diangkat menjadi pejabat negara.
Mekanisme pengangkatan pejabat negara khususnya menteri harus sesuai dengan
undang-undang, jika ada tahapan yang tidak sesuai dengan undang-undang maka hal
tersebut menjadi pelanggaran hukum dan pejabat yang diangkat dapat diberhentikan
4
kembali. Seperti yang terjadi pada kasus Archandra Tahar, karena dianggap adanya
pelanggaran hukum terhadap peraturan tentang pengangkatan pejabat negara maka
Archandra Tahar sempat diberhentikan untuk melakukan proses mempereoleh kembali
kewarganegaraan Indonesia terlebih dahulu. Proses itupun menjadi permasalahan
dimana setiap warga negara asing yang mengikuti proses naturalisasi atau
pengembalian kewarganegaan harus melalui proses yang panjang, karena di dalam
Pasal 19 Undang-Undang 12 Tahun 2006 menyatakan bahwa seorang warga negara
asing harus bertempat tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut atau 10
tahun tidak berturut-turut untuk bisa mengajukan permohonan sebagai WNI,
sedangkan Archandra Tahar tidak memenuhi syarat tersebut namun tetap bisa diangkat
menjadi WNI. Status kewarganegaraan adalah salah satu syarat untuk menjadi pejabat
negara itu sendiri sangat berkaitan. Kasus yang terjadi menjadi sebuah permasalahan
yang perlu untuk dibahas agar kasus serupa tidak terulang lagi di kemudian hari. Maka
pada penelitian ini akan di jelaskan keterkaitan antara status kewarganegaraan dengan
pengangkatan pejabat negara.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
hukum dengan judul PENGANGKATAN WARGA NEGARA ASING SEBAGAI
PEJABAT NEGARA (Analisis Kasus Pengangkatan Archandra Tahar SebagaiMenteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia)
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan di atas, terdapat beberapa
persoalan yang berkaitan dengan pengangkatan pejabat warga negara asing sebagai
pejabat negaraterdapat yaitu:
a. Pengaturan dan Penentuan kewarganegaraan di Indonesia
b. Syarat pengangkatan pejabat negara Indonesia ditinjau dari aspek status
kewarganegaraanya
5
c. Keterkaitan antara pengangkatan pejabat negara di Indonesia dengan status
kewarganegaraan seseorang
d. Mekanisme memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia
2. Pembatasan MasalahAgar masalah yang akan dibahas peneliti terarah dan sistematis sehingga
menjadi lebih fokus dalam pembahasan masalah, maka peneliti membatasi
masalah penelitian kepada Pengangkatan Warga Negara Asing Sebagai Pejabat
Negara dengan Analisis Kasus Pengangkatan Archandra Tahar Sebagai Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.
3. Perumusan MasalahAgar penelitian ini berjalan dengan baik, maka perlu dibuat perumusan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana mekanisme pengangkatan pejabat negara di Indonesia ditinjau dari
aspek peraturan perundang-undangan?
b. Bagaimana legalitas pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia?
c. Bagaimana dampak pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap hal berikut:
a. Untuk mengetahui mekanisme pengangkatan pejabat negara di Indonesia ditinjau
dari aspek peraturan perundang-undangan
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Presiden dalam pengangkatan Archandra
Tahar sebagai menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
6
c. Untuk mengetahui legalitas pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia yang statusnya sebagai
warga negara asing.
2. Manfaat Penelitiana. Manfaat akademis
Secara akademis, penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti lain serta
perkembangan ilmu hukum kedepannya khususnya dalam hukum kelembagaan
Negara dan hukum kewarganegaraan Indonesia
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi peneliti lain serta
bagi pemerintah dalam memberikan kebijakan khususnya dalam proses
pengangkatan pejabat negara. Penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan
dalam penyelsaian kasus yang serupa dimasa yang akan datang.
D. Tinjauan Kajian TerdahuluBanyak teori dan penelitian mengenai mekanisme pengangkatan pejabat negara
dan kewarganegaraan. Penelitian skripsi ini juga merujuk kepada beberapa buku
dengan membedakan apa yang menjadi fokus masalah yang terdapat dalam rujukan
dengan masalah yang penulis teliti, diantaranya Titik Triwulan Tuti (Kontruksi Negara
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945).
Selain itu ada pula sarjana-sarjana yang menulis skripsi tentang pengangkatan pejabat
negara ataupun tentang kewarganegaraan yaitu seperti Andi Anisa Agung, Analisis
Yuridis Mekanisme Pengisian Jabatan Struktural Secara Terbuka di Lingkungan
Intansi Pemerintahan (Universitas Hasanuddin Makassar, 2014), Desi Setiawati,
Penegakan Hukum Terhadap Warga Negara Asing (WNA) yang Tinggal di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011, Studi Kasus di Kota Semarang
(Universitas Negeri Semarang, 2015) dan Nadia Septifanny, Kedudukan Status
7
Kewarganegaraan dalam Jabatan Publik (Studi Kasus Archandra Tahar) (Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016)
Peneliti beranggapan bahwa skripsi ini berbeda dengan yang lain, karena peneliti
menitikberatkan kepada aspek kewarganegaraan sebagai salah satu syarat utama
pengangkatan pejabat negara. Penulis juga memasukan analisis undang-undang yang
berkaitan dengan tema penlitian agar skripsi ini bertumpu pada undang-undang
tersebut.
E. Metode PenelitianMetode penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah:
1. Tipe PenelitianPada penelitian ini peneliti menggunakan studi penelitian normatif. Peneliti
mengacu pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan4,
penelitian hukum normatif mencakup asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematika hukum dan sinkronisasi hukum serta penelitian terhadap sejarah dan
perbandingan hukum,5 yang mengatur tentang kewarganegaraan, terdapat
permasalahan tentang status kewarganegaraan di dalamnya atau dampak hukum
yang terjadi dari kasus-kasus yang terjadi.
2. Teknik PendekatanSehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah studi penelitian
normatif, maka dalam hal ini peneliti melakukan beberapa pendekatan yang
berkaitan dengan penelitian skripsi ini, yaitu pendekatan konseptual (conceptual
approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan
kasus (case approach).6 Pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu
pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2011) h. 1425 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1983), h. 516 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 93
8
berkembang di dalam ilmu hukum, pendekatan perundang-undangan (statute
approach), dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang akan digunakan
adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara dan pendekatan kasus (case approach),
yaitu dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi.
3. Jenis Data dan Bahan HukumData yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder dalam penelitian hukum merupakan data yang diperoleh dari hasil
penelaahan pustaka atau bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan atau
materi penelitian yang disebut dengan bahan hukum.7
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundang-
undangan, catataan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan atau putusan-putusan hukum.8
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum utama. Bahan hukum yang
digunakan dalam tulisan ini adalah: Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara.
7 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif danEmpiris ( Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 156
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 141
9
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang berupa rancangan peraturan
perundang-undangan, hasil penelitian, buku, buku teks, jurnal, media cetak dan
media elektronik.9
c. Bahan Non Hukum
Bahan Non Hukum yaitu berupa literatur yang berasal dari non hukum
yang pempunyai relevansi dengan topik penelitian berupa kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI), kamus hukum, majalah, koran, internet, dan lainya10.
4. Metode Pengumpulan DataPengumpulan data dalam penulisan penelitian hukum normatif dilakukan
dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum maupun non hukum yang
berkaitan dengan topik penelitian. Dilakukan dengan membaca, melihat,
mendengarkan maupun penelusuran lebih lanjut sehingga mampu memberikan
penjelasan terhadap masalah yang terdapat dalam penelitian ini yang nantinya dapat
menyimpulkan uraian dari bahan-bahan hukum tersebut.11
5. Teknik Pengolahan DataTeknik pengolahan data yang digunakan penulis adalah dengan mengelola
data sedemikian rupa sehingga data dan bahan hukum tersebut tersusun secara
runtut, sistematis sehingga akan memudahkan penulis dalam melakukan analisis.12
Pertama, data tersebut diklasifikasikan sesuai pembahasan yang menjadi fokus
penelitian. Kedua, diuraikan dan dijelaskan fokus penelitian tersebut berdasarkan
teori-teori yang sesuai dengan fokus penelitian yang kemudian dihubungkan dengan
9 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum, h. 15710 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 14311 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum, h. 16012 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum, h. 180
10
kasus yang terjadi. Ketiga, penjelasan tersebut dievaluasi atau dinilai berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku.
6. Teknik PenulisanTeknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi ini
berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat dalam “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017”
F. Sistematika PenulisanUntuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh ke dalam penulisan yang
sistematis dan terstruktur maka skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan yang
terdiri dari lima bab sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini dijelasakan latar belakang masalah,
perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, manfaat penulisan, tinjauan (review) kajian terdahulu,
kerangka konseptual, metode penelitian, sistematika penulisan, dan daftar
pustaka sementara.
BAB II : Kewarganegaraan dan Konsep Dasar Pemerintahan. Dalam bab ini,
dijelaskan teori-teori tentang kewarganegaraan dan dasar-dasar dalam
pemerintahan
BAB III : Pengaturan Kewarganegaraan di Indonesia dan Pengangkatan Menteri
Ditinjau dari Prespektif Peraturan Perundang-Undangan. Dalam bab ini,
akan dijelaskan tentang pengaturan dan penentuan mengenai syarat,
ketentuan, dan mekanisme memperoleh kewarganegaraan di Indonesia.
BAB IV : Analisis Kasus Pengangkatan Archandra Tahar Sebagai Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Bab ini akan membahas
mengenai mekanisme pengangkatan pejabat negara yang ditinjau dari
aspek kewarganegaraan kemudian analisa peneliti terhadap kasus
11
pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri ESDM RI, dan
pertimbangan Presiden dalam mengangkat pejabat nagara.
BAB V : Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir dimana akan disimpulkan dari
pembahasan bab-bab sebelumnya dan juga berisi saran.
12
BAB IIKEWARGANEGARAAN DAN KONSEP DASAR PEMERINTAHAN
A. Teori dan Konsep Kewarganegaraan1. Pengertian Warga Negara
Salah satu unsur dalam sebuah negara adalah adanya penduduk
(integezetenen) atau rakyat. Penduduk atau penghuni suatu negara merupakan
semua orang yang pada suatu waktu mendiami wilayah negara.1 Warga negara
diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi
unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut dengan hamba atau kawula negara.
Tetapi kenyataannya istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya
sebagai orang yang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula
negara, karena warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu
negara, yaitu peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan
bersama, atas dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama.2
Adanya warga negara sebagai salah satu unsur negara, maka suatu negara baru dapat
dibentuk. Suatu negara bukanlah tanggung jawab salah satu warga negaranya saja
akan tetapi menjadi tanggung jawab seluruh warga negaranya. Tanggung jawab
tersebut lah yang akan menciptakan hak dan kewajiban bagi warga negara terhadap
negaranya begitupun sebaliknya. Istilah warga negara berasal dari bahasa Inggris,
yakni citizen. Citizen memiliki arti sebagai “a native or naturalized member of a
state or nation who owes allegiance to its government and is entitled to its protection
(distinguished from alien),” dan “an inhabitant of a city or town, especially one
entitled to its privilege or franchises.”3Berdasarkan dari penjelasan tersebut, definisi
1 Samidjo, Ilmu Negara, (Jakarta:Armico, 1986), cet. Ke-1, h. 352 Tim ICCE, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2003), h. 733 Anonim, “Citizen,” http://www.dictionary.com/, Lihat Skripsi Nadia Septifanny, Kedudukan
Status Kewarganegaraan dalam Jabatan Publik (Studi Kasus Archandra Tahar), (Yogyakarta: FakultasSyariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), h. 22.26
13
warga negara secara singkat adalah anggota dari suatu negara yang mengikatkan diri
pada negaranya dan berhak memperoleh perlindungan dari negara tersebut. Semua
warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam negara, serta memiliki hak dan
kewajiban terhadap negara. Sebaliknya, negara memiliki hak dan kewajiban
terhadap warga negaranya.
AS Hikam, mendefinisikan warga negara sebagai terjemahan dari citizenship,
yaitu anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri.4
Sedangkan Koerniatmanto S.,5 mendifinisikan warga negara sebagai anggota
negara. Sebagai anggota negara seseorang warga negara mempunyai kedudukan
yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang
bersifat timbal balik terhadap negaranya. Menurut Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan RI, bahwa Warga Negara Indonesia adalah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan oleh undang-
undang sebagai warga negara Indonesia. Hal yang perlu diingat adalah warga negara
suatu negara tidak selalu menjadi penduduk negara itu. Misalnya, warga negara
Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri, dan penduduk suatu negara yang
tidak selalu merupakan warga negara di mana ia tinggal. Misalnya, orang asing yang
tinggal di Indonesia.6
Siapapun bisa dikatakan warga negara Indonesia apabila yang bersangkutan
menjalankan proses pewarganegaraan dan melakukan kewajibannya sebagai warga
negara Indonesia. Indonesia sendiri merupakan negara yang dikenal dengan
Bhineka Tunggal Ika, sehingga apapun ras, suku, agama, dapat menjadi warga
4 A.S. Muhammad Hikam, Kewarganegaraan dan Agenda Demokratisasi, dalam Titik TriwulanTutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana,2011), cet. Ke-11, h. 303
5 Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,h. 303
6 Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,h. 304
14
negara Indonesia. Penerimaan keberagaman tersebutlah yang nantinya akan
mebangun Indonesia menjadi lebih maju.
Keberadaan warga negara merupakan salah satu hal yang fundamen bagi
bangunan sebuah negara, sehingga kepastian dan jaminan hukum sudah selayaknya
diberikan negara kepada mereka. Seorang warga negara harus mendapat jaminan
perlindungan dan kepastian hukum atas hak-hak yang dimiliki, sekaligus kewajiban-
kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya sebagai warga negara dari suatu
negara. Menurut Bagir Manan, warga negara atau kewarganegaraan merupakan
salah satu unsur konstitutif keberadaan (eksistensi) suatu negara warga negara yang
merupakan salah satu hal yang bersifat prinsipal dalam kehidupan bernegara. Tidak
mungkin ada negara tanpa warga negara begitu juga sebaliknya tidak mungkin ada
warga negara tanpa negara.7 Tak heran bila kemudian adanya warga negara menjadi
hal yang fundamental sebagai unsur pokok berdirinya suatu negara. Negara dinilai
kedaulatannya dari cerminan sikap warga negaranya, artinya kedaulatan nehara di
mata negara lain akan tampak bila warga negaranya mampu membawa kemuliaan
dan keharuman negaranya.8
2. Prinsip Dasar KewarganegaraanTerdapat tiga prinsip yang terdapat di dalam kewarganegaraan yaitu,
citizenship as a political principle of democracy, as a juridical status of legal
personhood, as a form of membership and political identity.9 Pertama,
kewarganegaraan sebagai prinsip politik berdemokrasi. Yaitu adalah
kewarganegaraan dikonstruksi sebagai tindakan seseorang untuk dapat terlibat
7 Bagir Manan, Hukum Kewarganegaraan Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun2006, (Yogyakarta: FH UII Press 2009), h. 1
8 Lihat: Nur Rohim Yunus, Teori Dasar Penelitian Hukum Tata Negara, (Jakarta: Poskolegnas,2017), h. 111-120
9 Jean L. Cohen, “Changing Paradigms of Citizenship and Exclusiveness of the Demos,”International Sociology, No. 3, Vol. 14, (September 1999).
15
dalam proses diperintah dan memerintah secara setara, dan lebih menekankan pada
kesetaraan politik dan partisipasi sebagai pusat dan karakter dasar kewarganegaraan.
Kedua, kewarganegaraan sebagai status yuridis bagi seorang individu yang
merupakan subyek hukum yang tentunya akan selalu diikuti dengan berbagai hak-
hak serta kewajiban di dalamnya.
Konsep tersebut diturunkan secara konseptual dari tradisi hukum Romawi
yang mendefinisikan warga sebagai homo legalis. Dalam konsepsi ini, warga
dipandang bukan sebagai aktor politik tetapi lebih dilihat sebagai subyek hukum
dengan kebebasan yang diberikan oleh hukum dan dilindungi oleh hukum. Ketiga,
kewarganegaraan sebagai keberanggotaan seseorang dalam suatu komunitas
memberikan dimensi eksklusif bagi konsep mengenai warga negara. Artinya,
kewarganegaraan dalam hal ini membentuk identitas dan ikatan khusus yang
bersifat lebih tertutup. Berdasarkan ketiga konsep tersebut, dapat diambil simpulan
bahwa jika berbicara mengenai kewarganegaraan berarti berbicara pula mengenai
tiga basis konseptual di atas secara integral sebagai satu kesatuan, yakni modus
tindakan berpartisipasi dalam politik; hukum dan hak; serta modus keberanggotaan
individu dalam suatu komunitas tertentu dalam hal ini adalah negara.10
Mengenai pewarganegaraan, terdapat tiga sistem (kriteria umum) yang
digunakan untuk menentukan siapa yang menjadi warga negara suatu negara, yaitu
kriteria yang berdasarkan atas kelahiran, perkawinan, dan naturalisasi. Kriteria
kelahiran dibagi dalam dua asas yaitu ius sanguinis (asas keturunan) dan ius soli
(asas tempat kelahiran). Hal inilah yang menjadi asas kewarganegaraan. Dalam
praktiknya mungkin salah satu asas digunakan atau mungkin kombinasi asas
keturunan maupun asas tempat kelahiran.11 Adanya asas-asas tersebut merupakan
10 Robertus Robet dan Hendrik Boli Tobi, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan dari Marxsampai Agamben, (Tangerang Selatan: CV. Marjin Kiri, 2014), h. 5
11 Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,h. 306
16
hal dasar untuk menentukan kewarganegaraan seseorang. Sehingga bisa jelas
apabila seseorang yang bukan warga negara Indonesia ataupun warga negara
Indonesia itu sendiri megajukan permohonan pewarganegaraan.
Penentuan kewarganegaraan dengan menggunakan asas ius sanguinis, pada
prinsipnya merupakan cara penentuan kewarganegaraan berdasarkan pertalian
darah atau keturunan. Dengan penentuan seperti ini yang menjadi pokok sorotannya
adalah kewarganegaraan orangtuanya, tanpa mengindahkan di mana ia sendiri dan
orangtuanya berada. Sementara untuk penggunaan ius soli tolak ukurnya terletak
pada daerah atau tempat seorang dilahirkan. Asas ius soli ini biasanya digunakan
oleh negara-negara yang sebagian besar penduduknya adalah imigran, seperti
Amerika Serikat, Kanada, Australia.12 Sehubungan dengan kedua asas tersebut,
setiap negara bebas memilih asas apa yang hendak dipakai dalam rangka pengaturan
kewarganegaraan negara tersebut untuk menentukan siapa saja yang diterima
sebagai warga negara dan siapa yang bukan warga negara.
Selain asas-asas yang dijelaskan sebelumnya, ada unsur lain yang mendasari
kewarganegaraan seseorang, yaitu unsur pewarganegaraan (naturalisasi). Unsur ini
tidak harus memenuhi prinsip ius sanguinis atau ius soli, seseorang juga dapat
memperoleh kewarganegaraannya dengan jalan pewarganegaraan atau naturalisasi.
Pewarganegaraan ini terbagi menjadi dua, ada yang aktif dan ada yang pasif. Dalam
pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau
mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam
pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau dijadikan warga negara suatu
negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak untuk menolak pemberian
kewarganegaraan tersebut.13 Pewarganegaraan tersebut juga dikenal dengan dua
12 Muhammad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Bandung: PT RafikaUtama, 2013), cet. Ke-3, h. 80
13 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Demokrasi,HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 61
17
bentuk stelsel kewarganegaraan, Yakni stelsel aktif dan stelsel pasif.14Stelsel aktif
mengharuskan seseorang yang ingin menjadi warga negara dalam suatu negara,
harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif. Sebaliknya,
menurut stelsel pasif, seseorang yang berada dalam suatu negara sudah dengan
sendirinya dianggap sebagai warga negara tanpa harus melakukan tindakan hukum
tertentu, hal tersebut berlaku juga dalam hal kehilangan kewarganegaraan. Adanya
penerapan dua asas umum kewarganegaraan dan stelsel kewarganegaraan, sangat
mungkin untuk timbulnya permasalahan tertentu seperti keadaan seseorang yang
menyandang status bipatride ataupun apatride, sehingga untuk mengatasi adanya
permasalahan yang timbul sebagai akibat dari penerapan asas dan stelsel tersebut,
dikenal adanya hak opsi dan hak repudiasi.15
Hak opsi merupakan hak yang diberikan kepada seseorang untuk memilih
sendiri kewarganegaraannya. Hak opsi dapat digunakan dalam stelsel aktif.
Kemudian hak repudiasi merupakan hak untuk menolak suatu status
kewarganegaraan. Hak repudiasi berlaku ketika dalam stelsel pasif seseorang
dengan sendirinya memperoleh suatu status kewarganegaraan, maka ia berhak untuk
menolak status kewarganegaraan yang diperoleh tersebut jika tidak
menghendakinya.56 Berkaitan dengan asas-asas umum, stelsel dan hak yang telah
dijelaskan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dijelaskan dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan mengenai beberapa asas yang dianut di Indonesia,
Setiap negara pasti mempunyai kepentingan masing-masing berdasarkan latar
belakang sejarah negara tersebut, sehingga tidak semua negara menganggap asas
yang satu lebih baik dari asas yang lain. Bahkan dalam perkembangannya, timbul
14 Harsono, Hukum Tata Negara: Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, (Yogyakarta:Liberty, 1992), h. 1
15 Zainul Ittihad Amin, Materi Pokok Pendidikan Kewarganegaraan, (Tangerang Selatan:Universitas Terbuka, 2014), Cet. ke-18, hlm. 115.
18
pula kebutuhan baru berdasarkan pengalaman di berbagai negara bahwa kedua asas
tersebut harus diubah dengan asas lain atau harus diterapkan secara bersamaan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya keadaan dwi-kewarganegaraan (bipatrite) atau
sebaliknya sama sekali tanpa status kewarganegaraan (apatrite).16 Penerapan asas-
asas tersebut didasari kebutuhan dan keadaan negaranya tersebut, sehingga nantinya
akan mempermudah memberikan kepastian status warga negara pada warganya,
karena apabila suatu negara tidak dapat memberikan kepastian status warga negara
pada seseorang maka hal tersebut termasuk pelanggaran hak asasi manusia.
3. Bipatride (Dwi-Kewarganegaraan) dan Apatride (Tanpa Kewarganegaraan)Persoalan kewarganegaraan adalah suatu persoalan pokok yang mendasar
tentang bagaimana seseorang hidup pada suatu wilayah negara dimana pada masing-
masing negara itu memiliki aturan hukum masing-masing, inilah persoalan
terpenting bagaimana kepastian tentang status kewarganegaraan seseorang, dimana
seseorang harus mengikuti aturan hukum negara mana dan tergolong warga negara
mana. Terhadap warga negara yang status warga negaranya tidak jelas maka susah
juga bagi negara untuk menentukan aturan hukum bagi seseorang tersebut,
sebaliknya juga akan menjadi permasalahan bagi seseorang apabila dia memiliki
status kewarganegaraan yang tidak pasti atau stateless.
Di era globalisasi dan keterbukaan seperti sekarang ini, banyak sekali
penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan
dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri.
Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang
sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin
kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal negara tempat asal sesorang dengan
negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang
16 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.387-388
19
sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua
negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi
keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi- kewarganegaraan
(double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama
sekali (stateless).17
Pada umumnya, baik bipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak
disukai baik oleh negara di mana orang tersebut berdomisili, maupun oleh yang
bersangkuatn sendiri. Keadaan bipatride membawa ketidakpastian dalam status
seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara tertentu ataupun bagi yang
bersangkutan itu sendiri. Misalnya, yang bersangkutan sama-sama dibebani
kewajiban untuk membayar pajak kepada kedua negara yang menganggapnya
sebagai warga negara itu. Ada juga negara yang tidak menganggap hal ini sebagai
persoalan sehingga menyerahkan saja kebutuhan memilih kewarganegaraan itu
kepada orang yang bersangkutan.
Dikalangan negara-negara makmur, dan rakyatnya sudah rata-rata
berpenghasilan tinggi, tidak dirasakan adanya kerugian apapun bagi negara yang
mengakui status dwi-kewarganegaraan itu. Sebaliknya bagi negara berkembang,
yang penduduknya masih terbelakang, keadaan bipatride sering dianggap lebih
banyak merugikan.18 Kenyataan bahwa bipatride terjadi apabila seseorang penduduk
pada suatu negara yang berasal dari kewarganegaraan lain kemudian diberi
pewarganegaraan oleh negara yang ditempatinya sekarang, tanpa menyatakan
melepaskan kewarganegaraan sebelumnya.19 Sebaliknya keadaan apatrite atau tanpa
17 Rendra Marliyanto, Analisis Yuridis Staus Kewarganegaraan Terhadap Orang yang TidakMemiliki Kewarganegaraan (Stateless) berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Jurnal Universitas Jember, Vol. 1 No. 1, Januari2013), h. 2
18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 38919 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Demokrasi,
HAM, dan Masyarakat Madani, h. 63
20
kewarganegaraan juga membawa akibat bahwa orang tersebut tidak akan mendapat
perlindungan dari negara manapun juga. Faktor utama yang menyebabkan apatride
adalah konflik di dalam suatu negara sehingga warga negaranya harus mengungsi
ke negara lain demi keselamatannya.
Baik bipatride maupun apatride tersebut tentu harus dihindarkan dengan cara
menutup dua kemungkinan terjadinya kedua keadaan itu dengan undang-undang
kewarganegaraan. Umpamanya untuk mencegah bipatride Undang-Undang No. 62
Tahun 1958 Pasal 7 menentukan bahwa seorang perempuan asing yang kawin
dengan laki-laki warga negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan
Indonesia dengan peryataan dan dengan syarat harus meninggalkan
kewarganegaraan asalnya. Demikian pula untuk mencegah apatride.
Undang-undang tersebut dalam pasal 1 huruf f menentukan, bahwa anak yang
lahir di wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui,
adalah warga negara Indonesia. 20 Penolakan kewarganegaraan seseorang pada suatu
negara dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, akan tetapi fenomena
penolakan kewarganegaraan seseorang kerap terjadi dan itupun dianggap sebagai
wujud kedaulalatan negara.
4. Konsep Kewarganegaraan Menurut IslamDalam konteks negara Islam, warga negara mengandung pengertian
penduduk sebuah negara Islam yang memeluk agama Islam. Penduduk yang
bertempat tinggal di wilayah negara Islam namun belum memeluk agama Islam
atau dengan kata lain bahwa masyarakat atau individu non muslim yang bertempat
tinggal diwilayah negara Islam, akan diberi status penduduk permanen, tetapi tidak
dianggap sebagai warga negara dari negara Islam kecuali jika mereka memeluk
20 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 390
21
Islam atas kemauan mereka sendiri.21 Meskipun demikian, ternyata kenyataan
diatas bukanlah sebuah statemen yang bersifat final, hal ini terlihat dari adanya
pemikir Islam yang memandang mereka sebagai warga negara Islam.
Terdapat perbedaam pandangan dalam hal asas kewarganegaraan negara
Islam. Abdulrahman Abdul Kadir Kurdi misalnya, menyatakan bahwa asas
kewarganegaraan dalam negara Islam didasarkan atas olehnya seorang warga dalam
menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan mereka.22 Dengan demikian umat
manusia secara keseluruhan akan dipandang sebagai muslim atau non muslim dalam
sisi kehidupan mereka dalam menjalankan Islam. Pengelompokam ini semata-mata
hanya dimaksudkan hanya untuk membedakan antara orang-orang Islam dengan
lainnya berkaitan dengan tanggungjawab dan persyaratan mereka dalam sistem
Islam.
Pandangan lain menyatakan bahwa sebagai negara ideologi, Islam tetap
membatasi kewarganegaraan bagi mereka yang menetap di wilayahnya saja baik
itu muslim ataupun non muslim dan orang-orang yang telah berimigrasi ke
dalamnya.23 Adapun dasar dari statemen ini adalah firman Allah dalam surat Al
Anfal ayat 72, yang berbunyi :
نصروا أ إن الذین آمنوا وھاجروا وجاھدوا بأموالھم وأنف والذین آووا و ولئك سھم في سبیل
ن شيء حتى یھاجروا ل ھاجروا ما بعضھم أولیاء بعض والذین آمنوا ولم ی ن والیتھم م كم م
ین فعلیكم النصر إال على ق بما تعم وإن استنصروكم في الد یثاق و لون وم بینكم وبینھم م
﴾٧٢بصیر ﴿
21 Abdul Rahman Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosisal Islam Studi Berdasarkan Al-Qur'an danSunah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), h. 115
22 Abdul Rahman Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosisal Islam Studi Berdasarkan Al-Qur'an danSunah, h. 112
23 Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, ( Jakarta:Gema Insani Press,1996), h. 21
22
Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang- orang yang
memberikan tempat kediaman dan pertolongan mereka itu satu sama lain
saling melindungi dan terhadap orang-orang yang beriman tetapi mereka
belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi
mereka." (QS. Al Anfal : 72).
Siapakah yang tercakup warga negara dalam Islam dan bagaimana kedudukan
mereka. Menurut An-Na‟im tidak ada satupun negara yang secara logis diharapkan
memberikan hak-hak sipil, sosial, ekonomi, dan politik secara penuh terhadap
orang-orang yang kebetulan lahir di dalam wilayah negaranya. Tidak ada satu
negarapun yang secara logis berhak memaksakan kewajiban yang diperintahkan
dengan menuntut kesetiaan dari siapa saja yang kebetulan berada di dalam
wilayahnya. Karena itu, sistem konstitusional dan perundang-undangan biasanya
akan membedakan di antara mereka yang berhak, mereka yang terhalangi untuk
melakukan kewajiban setia kepada negara, dan mereka yang tidak demikian.24
Kewarganegaraan selalu berkaitan dengan keseimbangan antara hak dan
kewajiban warga negara di hadapan negara. Untuk mengurai masalah ini barangkali
bisa ditelusuri dengan melihat unsur-unsur dasar apa yang dijadikan basis
pembentukan suatu negara. Ada beberapa unsur yang dapat dijadikan modal
sebagai unsur formatif suatu negara, seperti agama, ras, bahasa, wilayah dan nasib
yang sama. Namun demikian, seberapa jauh keabsahan suatu negara yang hanya
mendasarkan pada unsur-unsur tertentu, agama misalnya. Sehingga pada saatnya,
negara itu akan membedakan hak dan kewajiban warga negaranya atas dasar agama.
Menurut An-Na‟im menolak kewarganegaraan penuh bagi seseorang yang
dilahirkan dan menetap sebagai penduduk dalam suatu wilayah suatu negara, tidak
24 Abdullah An-Naim Ahmad, Dekontruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak AsasiManusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, Terjemahan Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani,(Yogyakarta : LKIS, 1994), h. 163-164
23
dapat diterima secara moral dan politik, kecuali jika orang itu memilih dan
memperoleh kewarganegaraan negara lain.25 Jika dalam islam telah menentukan hak
dan kewajiban bagi seseorang, maka sudah seharusnya negara menjalankan
kewajibannya untuk memenuhi hak warga negaranya, begitupun sebaliknya, warga
negara harus menjalankan kewajibannya pada negara untuk mendapatkan haknya.
Dengan begitu hubungan antara negara dan warganya berjalan dengan semestinya
dan tidak menimbulkan pelanggaran hak asasi.
B. Konsep Dasar Pemerintahan1. Asas-Asas Pemerintahan yang Baik
Dasar pengangkatan menteri negara sudah seharusnya selalu menerapkan
prinsip-prinsip good governance yang terjabarkan dalam asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Beberapa asas-asas umum pemerintahan yang baik yang
dianut di Indonesia, antara lain:
a. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan negara.
b. Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara
negara.
c. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
d. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dam rahasia negara.
25 Abdullah An-Naim Ahmad, Dekontruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak AsasiManusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, h. 164
24
e. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban penyelenggara negara.
f. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada beberapa konsep lain dari asas-asas umum pemerintahan yang baik, salah
satu dari konsep tersebut rumuskan oleh Koentjoro Purbopranoto dan SF. Marbun
yang dikutip oleh Ridwan HR dalam bukunya yang berjudul Hukum Administrasi
Negara, asas-asas tersebut terdiri dari:26
a. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
b. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality);
d. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
e. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation);
f. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of
competence);
g. Asas permainan yang layak (principle of fair play);
h. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of
arbitrariness);
i. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of
meeting raised expectation);
j. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the
concequences of an annulled decision);
26 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014, cet. ke-10), h. 244-245
25
k. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of
protecting the personal may of life);
l. Asas kebijaksanaan (sapientia);
m.Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
2. Hak Berpartisipasi di dalam PemerintahanUndang-Undang Dasar sebagai constitusional right menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan,
pengakuan dan penjaminan akan hak-hak dasar warga negara. Dari berbagai
literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham
konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari: (a) anatomi kekuasaan (kekusaan
politik) tunduk pada hukum, (b) jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia,
(c) peradilan yang bebas dan mandiri, dan (d) pertanggungjawaban kepada rakyat
(akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.27
Hak politik pada hakekatnya mempunyai sifat melindungi individu dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa. Karena itu, dalam mendukung
pelaksanaannya peranan pemerintah perlu diatur melalui perundang-undangan,
agar campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat melampaui batas-
batas tertentu. Hak-hak politik biasanya ditetapkan dan diakui sepenuhnya oleh
konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai warga negara. Artinya, hak-hak ini
tidak berlaku kecuali bagi warga negara setempat, bukan warga asing.
Penegasan konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1)
dinyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap warga negara,
27 Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h.2
26
yaitu orang Indonesia asli maupun bangsa lain yang disahkan Undang-Undang
sebagai warga negara, mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum dan
pemerintahan. Setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan (Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (3)).28
Warga negara memiliki hak untuk ikut dalam membuat keputusan-keputusan
politik dalam kehidupan bernegara mengenai apa yang harus diambil atau dihasilkan
sebagai kesepakatan, misalnya kesepakatan legislatif. Hal tersebut didasari oleh
suara yang diberikan oleh warga negara saat pemilu, sehingga setiap keputusan dan
kebijakan yang akan diambil oleh wakil rakyat di parlemen sudah seharusnya
mengutamakan kepentingan warga negara.29
Sri Soemantri menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi
tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:30 (1) Hasil perjuangan
politik bangsa di waktu yang lampau; (2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan
ketatanegaraan bangsa; (3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak
mewujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang,
dan (4) Suatu keinginan, dengan nama perkembangan kehidupan ketatanegaraan
bangsa hendak dipimpin.
Menurut Ramdlon Naning, HAM dapat dibedakan dalam: (1) hak-hak asasi
pribadi (personal right); (2) hak-hak asasi ekonomi (property rights); (3) hak-
hak asasi politik (political rights); (4) hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan
yang sama dalam hukum dan pemerintahan (right of legal equality); (5) hak-hak
asasi sosial dan kebudayaan (social and culture rights); dan (6) hak asasi untuk
mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum dalam tata cara peradilan dan
28 Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, h. 4229 Soetandyo Wignjosiebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta:
ESLAM), h. 50230 Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, h. 57
27
perlindungan (procedural rights).31 Penjelasan mengenai hak politik warga negara
terdapat di dalam Undang Undang tentang HAM khusus Pasal 43:
a. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum
berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung
atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
c. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Penegasan konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam kovenan hak
sipil dan politik ditegaskan Pasal 25 “Setiap warga negara harus mempunyai
hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun” sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk:32
a. Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung
ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
b. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak
pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara
rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih;
c. Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan
dalam arti umum.
31 H.Rosjidi Ranggawidjaja, Pembatasan Konstitusional Hak Warga Negara untuk Memilihdan Dipilih dalam Jabatan Publik, Jurnal Konstitusi PSKN-FH Universitas Padjajaran, Volume IINomor 2, November 2010, Jakarta, FH Unpad dengan Mahkamah Konstitusi h. 38
32 Efrial Rusliandi, Skripsi Hak Politik Warga Moro-Moro Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung,(Lampung: Unila, 2012), h. 44
28
3. Status Warga Negara dan Kaitannya dengan Hak Berpastisipasi dalamPemerintahan
Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai keanggotaan seseorang dalam
kontrol satuan politik tertentu (negara) yang dengannya akan membawa hak untuk
berpartisipasi dalam kegiatan politik. Adanya status kewarganegaraan yang
dimiliki seseorang yang disebut dengan warga negara, maka akan memiliki
implikasi hak dan kewajiban kepada orang tersebut. Hal tersebut sesuai dengan apa
yang dijelaskan oleh Sudargo Gautama bahwa pengertian pokok dari
kewarganegaraan adalah ikatan antara individu dengan negara, individu tersebut
merupakan anggota penuh secara politik dalam negara dan berkewajiban untuk
tetap setia kepada negara, sebaliknya negara juga berkewajiban melindungi
individu tersebut dimana pun individu tersebut berada.33
Jellineck mengemukakan bahwa ada empat macam status warga negara34,
yaitu:
1. Status Aktif; yaitu warga negara diberi hak untuk menuntut tindakan positif dari
negara mengenai perlindungan atas jiwa, raga, milik, kemeerdekaan dan
sebagainya.
2. Status Negatif; adanya status negatif maka negara menjamin bahwa hak asasi
warga negaranya tidak akan diintervensi oleh negara.
3. Status Aktif; yaitu memberikan hak kepada setiap warga negara untuk ikut serta
dalam pemerintahan.
4. Status Pasif; yaitu kewajiban bagi setiap warga negara untuk mentaati dan
tunduk kepada negaranya.
33 Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing: Berikut Contoh-contoh, (Bandung:Alumni, 1987), hlm. 21, Lihat Nadia Septifanny, Kedudukan Status Kewarganegaraan dalam JabatanPublik (Studi Kasus Archandra Tahar), h. 26
34 Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara: AktualisasiDalam Teori Negara Indonesia, (Bandung: Fajar Media), h. 98
29
Pasal 2 Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia menyatakan, bahwa
yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara. Dalam penjelasan Pasal 2 dinyatakan, bahwa “yang dimaksud orang-orang
bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi WNI sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya
sendiri”. Apabila merujuk pada Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,
menurut Philipus M. Hadjon,35 bahwa pasal tersebut pada dasarnya sudah
menggantikan makna orang-orang bangsa Indonesia asli dengan rumusan “WNI
sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri”.
Berdasarkan rancangan penjelasan pelengkap Pasal 6 Ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 pra-amandemen, MPR (S) pernah memberikan ukuran yuridis
sebagai berikut: (1) yang dimaksud orang Indonesia asli, ia warga negara yang
dahulunya digolongkan kepada golongan Bumiputera; (2) orang yang menjadi
warga negara karena naturalisai dapat dianggap orang Indonesia asli, apabila turun-
temurun bertempat tinggal di Indonesia, bersikap dan beripikir secara Indonesia,
sungguh-sungguh setia kepada negara Republik Indonesia dan falsafah Pancasila.36
Padmo Wahjono, berpendapat dengan menggunakan ukuran politis dalam
menafsirkan Pasal 6 Ayat (1) sebagau berikut: “Dengan memahami suasana
dibuatnya teks itu perkataan asli di sini tidak harus diartikan sebagai orang yang
menghayati perjuangan kemerdekaan, atau dengan bahasa yang kita pakai sekarang
kata asli haruslah kita artikan: yang menghayati dan mampu mengamalkan gagasan
bernegara kita sebagai yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945”.
35 Titik Triwulan Tutik, Kontrtuksi Hukum Tata Negara Indonesia, h. 32036 Titik Triwulan Tutik, Kontrtuksi Hukum Tata Negara Indonesia, h. 321
30
BAB IIIPENGATURAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA DAN
PENGANGKATAN MENTERI DITINJAU DARI PRESPEKTIFPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Pengaturan Kewarganegaraan Republik Indonesia
1. Dasar Pengaturan Kewarganegaraan Republik IndonesiaPada saat ini pengaturan kewarganegaraan Indonesia menganut prinsip
berkewarganegaraan tunggal (single nasionality). Prinsip ini telah dianut sejak
Proklamasi 17 Agustus Tahun 1945 dengan menerbitkan UU No.3 Tahun 1946
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang kemudian diganti dengan UU
No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan terakhir di
perbaharui dengan UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia dan PP No.2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan,
Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Hukum kewarganegaraan adalah seperangkat aturan yang berkenaan dengan segala
hal yang berhubungan dengan warga negara (staatsburgers). Di dalam UU No.12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pada dasarnya prinsip
kewarganegaraan tunggal tetap dipertahankan. 1
UUD NRI 1945 Pasal 26 menyatakan bahwa: (1) Yang menjadi warga negara
ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. (2) Penduduk ialah warga
negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. (3) Hal-hal
mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang. Kemudian
diatur lebih lanjut dalam UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia terdapat suatu eksepsi mengenai prinsip kewarganegaraan
1 Eka Martiana Wulansari, Konsep Kewarganegaran Ganda Tidak Terbatas (Dual Nasionality)Dalam Sistem Kewarganegaraan Di Indonesia, Jurnal Rechtvinding Online, h. 2
31
tunggal (single nasionality) yaitu adanya prinsip Kewarganegaraan ganda terbatas
yang diberikan kepada anak-anak hasil perkawinan campuran orang tuanya dimana
salah satunya berkewarganegaraan asing. Yang dimaksud dengan terbatas disini
adalah bahwa terhadap anak-anak hasil kawin campur diberikan batas waktu
terakhir sampai berusia 21 tahun untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang
dimiliki yaitu memilih antara berkewarganegaraan Indonesia atau
berkewarganegaraan asing dan hal ini harus dinyatakan.2
Prinsip kewarganegaraan tunggal ini bahkan tercermin dalam beberapa
ketentuan mengenai alasan-alasan untuk hilangnya status warga negara Indonesia
apabila ternyata bahwa seseorang warga negara Indonesia (i) secara sukarela masuk
dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga
Negara Inndonesia; atau (ii) tidak diwajibkan tetapi turut dalam pemilihan sesuatu
yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing. Kendati Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 dapat dikatakan mulai mengakomodasikan kemungkinan
kewarganegaraan ganda itu untuk anak-anak sampai berumur 18 tahun atau sudah
kawin, namun sikap umum pembentuk undang-undang masih terlihat sangat apriori
dengan orang asing.3
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya yang menjelaskan bahwa
status kewargenagaraan merupakan hal penting bagi setiap orang agar
kedudukannya sebagai subjek hukum yang berhak menyandang hak dan kewajiban
hukum tersebut dapat dijamin secara legal dan aktual. Lebih-lebih dalam lalu lintas
hukum Internasional, status kewarganegaraan itu dapat menjadi jembatan bagi
setiap warga negara untuk menikmati keuntungan dari keberadaan hukum
2 Eka Martiana Wulansari, Konsep Kewarganegaran Ganda Tidak Terbatas (Dual Nasionality)Dalam Sistem Kewarganegaraan Di Indonesia, Jurnal Rechtvinding Online, h. 2
3 May Lim Charity, Urgensi Pengaturan Kewarganegaraan Ganda Bagi Diaspora Indonesia,dalam Jurnal Konstitusi, Vol. XIII, No. 4, Desember 2016, h. 822
32
Internasional. A.W. Bradley dan K.D. Ewing menyebut bahwa nasionalitas dan
status kewarganegaraan menghubungkan seseorang dengan orang lain dalam
pergaulan Internasional. Bahkan MacIver menyebut bahwa masalah
kewarganegaraan (citizenship) merupakan masalah yang nyata bagi seseorang
dalam suatu negara, karena hak dan kewajiban bayi baru lahir itu terkait dengan
status kewarganegaraan.4 Bahkan status kewarganegaraan seseorang juga
menetukan penundukan dirinya terhadap jurisdiksi hukum pada suatu negara.
Terlebih lagi, dengan perkembangan dalam system perhubungan dan
telekomunikasi, perpindahanan manusia antar negara menunjukkan intensitas
yang semakin tinggi. Hal ini membentuk interaksi diantara manusia yang berbeda
kewarganegaraan semakin mudah. Daya tarik sumber daya alam di negara-negara
berkembang menjadi salah satu penyebab kedatangan orang asing untuk
berinvestasi. Hal ini memacu dan memicu pertumbuhan ekonomi dengan masuknya
sejumlah peruhsahaan asing yang membawa serta pekerja dan professional dari
negara yang bersangkutan.5
Hal ini berdampak langsung dan nyata terhadap interaksi antara warganegara
Indonesia dengan warga asing sebagai warga pendatang yang bekerja di
Indonesia. Interaksi ini bukan sekedar dalam hal professional sebatas hubungan
pekerjaan, akan tetapi memunculkan hubungan emosional yang bermuara pada
lembaga perkawinan. Disinilah masalah kemudian muncul terhadap
kewarganegaraa dari anak-anak yang terlahir dari perkawinan campur, terutama
yang memiliki Ibu berwarganegara Indonesia dengan Ayah berwarganegara asing.
Hal yang perlu diingat “Warga Negara suatu Negara tidak selalu menjadi
penduduk Negara itu”. Misalnya, warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal
4 May Lim Charity, Urgensi Pengaturan Kewarganegaraan Ganda Bagi Diaspora Indonesia,dalam Jurnal Konstitusi, Vol. XIII, No. 4, Desember 2016, h. 813
5 Amey Yunita Luntungan, Naturalisasi Warga Negara Asing Menjadi Warga Negara IndonesiaMenurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, Jurnal Lex Et Societatis,Vol I No. 5, September 2013, h. 51-52
33
di luar negeri. Penduduk suatu Negara tidak selalu merupakan warga negara dimana
ia tinggal, misalnya, orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU No. 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI
mengatur tentang tata cara memperoleh kewarganegaraan RI. Berbagai cara orang
asing menjadi Warga Negara Indonesia antara lain melalui pewarganegaraan,
pemberian oleh negara kepada orang asing yang dianggap berjasa atau karena
alasan kepentingan negara. Setiap orang berhak atas suatu kewarganegaraan dan
tidak seorangpun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau
ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya (Pasal 15 Deklarasi Umum
Hak Asasi Manusia). Himbauan PBB tersebut ditindaklanjuti Pemerintah Negara
RI dengan memberi kesempatan bagi orang asing untuk menjadi WNI.6
Adapun pewarganegaraan sering disebut dengan istilah Naturalisasi.7 Setiap
negara memiliki ketentuan yang berbeda tentang bagaimana seseorang dapat
menjadi warga negara di negara tersebut. Negara Indonesia juga memiliki ketentuan
mengenai cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia sebagaiamana diatur dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 20016 Tentang Kewarganegaraan Indonesia.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 menjelaskan tatacara memperoleh
kewarganegaraan Indonesia, antara lain:8
a. Melalui permohonan,
b. Melalui pernyataan,
6 Rendra Marliyanto, Analisis Yuridis Staus Kewarganegaraan Terhadap Orang yang TidakMemiliki Kewarganegaraan (Stateless) berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, h. 5
7 Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah Di PerguruanTinggi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 45
8 Winarno, Kewarganegaraan Indonesia Dari Sosisologis Menuju Yuridis, (Bandung: Alfabeta,2009), h. 104
34
c. Melalui pemberian kewarganegaraan,
d. Melalui pernyataan untuk memilih kewarganegaraan.
Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh
Kewarganegaraan RI melalui permohonan. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 menentukan bahwa permohonan pewarganegaraan dapat diajukan
oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin;
b. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara
RI paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak
berturut- turut;
c. Sehat jasmani dan rohani;
d. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan UUD
1945;
e. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih;
f. Jika dengan memperoleh Kewarganegaraan RI tidak menjadi
berkewarganegaraan ganda;
g. Mempunyai pekerjaan dan/ atau berpenghasilan tetap dan membayar uang
pewarganegaraan ke Kas Negara.
Persyaratan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan Indonesia menjadi dasar penentuan kewarganegaraan
seseorang. Setelah memenuhi persyaratan yang terdapat di dalam pasal 9 di atas,
prosedur selanjutnya yang harus ditempuh oleh seseorang yang ingin menjadi warga
35
negara Indonesia melalui permohonan adalah antara lain diatur dalam Pasal 10
sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006.9
Tata cara permohonan kewarganegaraan diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sebagai berikut:
a. Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara
tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden
melalui Menteri.
b. Berkas permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Pejabat.
Setelah diajukannya permohonan kemudian Menteri meneruskan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disertai dengan pertimbangan kepada
Presiden dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
permohonan diterima. Setiap permohonan kewarganegaraan yang diajukan
dikenakan biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006.
Kewenangan Presiden untuk mengabulkan atau menolak permohonan
kewarganegaraan yang diajukan serta tahapan setelah permohonan diajukan kepada
presiden diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) sampai dengan Ayat (4) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006. Keputusan Presiden untuk menerima atau menolak
permohonan ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah permohonan diterima
oleh menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14 (empat belas)
hari terhitung setelah keputusan Presiden ditetapkan. Penolakan permohonan
kewarganegaraan harus disertai alasan dan diberitahukan oleh menteri kepada
pemohon paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima oleh menteri.
9 Saudin, Permohonan, Pernyataan Dan Pemberian Kewarganegaraan KarenaPewarganegaraan Berdasarkan Undang-Undang Tahun 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan,Jurnal Disiplin. Vol. 21 No. 8, Desember 2015, h. 50
36
Ketentuan terhadap keputusan presiden diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) sampai
dengan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang menjelaskan bahwa
keputusan Presiden mengenai pengabulan terhadap permohonan pewarganegaraan
berlaku efektif terhitung sejak tanggal pemohon mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia. Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan
Presiden dikirim kepada pemohon, Pejabat memanggil pemohon untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Dalam hal setelah dipanggil
secara tertulis oleh Pejabat untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia
pada waktu yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa alasan yang
sah, Keputusan Presiden tersebut batal demi hukum. Dalam hal pemohon tidak dapat
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan
sebagai akibat kelalaian Pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia di hadapan Pejabat lain yang ditunjuk Menteri.
Proses selanjutnya yang dilakukan adalah Adapun pengucapan sumpah atau
pernyataan janji setia yang diatur dalam Pasal 15 Ayat (1) sampai dengan Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Adapun pengucapan sumpah atau
pernyataan janji setia dilakukan di hadapan Pejabat. Pejabat sebagaimana dimaksud
adalah yang membuat berita acara pelaksanaan pengucapan sumpah atau pernyataan
janji setia. Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pengucapan
sumpah atau pernyataan janji setia, kemudian pejabat tersebut menyampaikan berita
acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia kepada Menteri.
Lafal sumpah atau janji setia yang diucapkan adalah sebagai berikut:
Demi Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah melepaskan seluruhkesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepadaNegara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepada sayasebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas.
Yang menyatakan janji setia, lafal janji setianya sebagai berikut:
37
Saya berjanji melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing,mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia,Pancasila, dan Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akanmenjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepada saya sebagai WargaNegara Indonesia dengan tulus dan ikhlas.
Setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia, pemohon wajib
menyerahkan dokumen atau surat-surat keimigrasian atas namanya kepada kantor
imigrasi dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia. Salinan Keputusan Presiden
tentang pewarganegaraan dan berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji
setia dari Pejabat menjadi bukti sah Kewarganegaraan Republik Indonesia
seseorang yang memperoleh kewarganegaraan. Kemudian Menteri mengumumkan
nama orang yang telah memperoleh kewarganegaraan dalam Berita Negara
Republik Indonesia. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan
membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang
dibebankan negara kepada saya sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan
ikhlas.
Selain dengan cara permohonan seperti yang dijelaskan di atas, cara lain untuk
mendapatkan kewarganegaraan Indonesia ditempuh melalui pernyataan dan
pemberian, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006.
Ketentuan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui pernyataan
diatur dalam pasal 19 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, disebutkan bahwa warga
negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dapat
memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan
pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat berwenang. Pernyataan
sebagaimana dimaksud dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat
tinggal di wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut
38
atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, dengan catatan bahwa
perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.10
Secara khusus isi dari Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang
menjelaskan tentang tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
yang ditempuh oleh orang asing melalui pernyataan, sebabagi berikut:
a. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia
dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan
pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat.
b. Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang
bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia
paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun
tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut
mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
c. Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk
menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Adapun persyaratan memperoleh kewarganegaraan melalui pernyataan adalah
sudah berumur 18 tahun atau telah kawin atau seorang anak yang sebagaimana
disebutkan dalam pasal 21 Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaran Republik Indonesia sebagai berikut:
10 Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,h. 312
39
a. Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan
bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya
berkewarganegaraan Republik Indonesia.
b. Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang diangkat secara
sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara Indonesia
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.
c. Apabila anak tersebut memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Cara yang ketiga untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
adalah melalui pemberian kewarganegaraan, yaitu orang asing yang telah berjasa
kepada negara Republik Indonesia dapat diberikan kewargenegaraan Indonesia oleh
Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat
sehingga orang asing tersebut mendapatkan Kewarganegaraan Indonesia. Dalam
Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 menyatakan bahwa orang asing yang
telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan
negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah
memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecali
dengan pemberian kewarganegaraan tersebut dapat mengakibatkan yang
bersangkutan berkewarganegaraan ganda. Pada ketentuan di atas Presiden tidak
dapat memberikan kewarganegaraan kepada seseorang yang telah memiliki
kewarganegaraan karena dapat menimbulkan kewarganegaraan ganda.
Dalam penjelasan dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang asing
yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia” adalah orang asing yang
karena prestasinya yang luar biasa dibidang kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, kebudayaan, lingkungan hidup, serta keolahragaan telah memberikan
kemajuan dan keharuman nama bangsa Indonesia. Serta orang asing yang dinilai
40
oleh negara telah dan dapat memberikan sumbangan yang luar biasa untuk
kepentingan memantapkan kedaulatan negara dan untuk meningkatkan kemajuan
khususnya dibidang perekonomian Indonesia,11 dengan ketentuan orang asing
tersebut tidak memiliki kewarganegaraan di negara lain atau telah melepaskan
kewarganegaraan di negara lain.
2. Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik IndonesiaBagi warga negara Indonesia yang telah melakukan sumpah atau janji setia
menjadi warga negara di negara lain secara sukarela, maka saat itu pula telah
kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia karena Indonesia tidak menganut
sistem kewarganegaraan ganda. Apabila seseorang tersebut ingin kembali menjadi
warga negara Indonesia tidak semerta-merta diterima langsung menjadi warga
negara Indonesia, tetapi harus melakukan proses sebagaimana warga negara asing
lain ingin menjadi warga negara Indonesia, meskipun ia adalah orang Indonesia
asli. Secara hukum seseorang yang bukan lagi WNI harus diperlakukan seperti
orang asing. Namun demikian, peraturan hukum di Indonesia masih memberikan
peluang untuk memperoleh kembali status WNI dengan persyaratan dan prosedur
tertentu.
Persyaratan untuk memperoleh kembali status WNI yang telah hilang sama
saja dengan persyaratan bagi WNA lainnya yang akan menjadi WNI, sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 UU 12/2006, yakni:12
a. Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin meskipun belum 18 tahun.
b. Pada saat mengajukan permohonan, telah tinggal di Indonesia selama 5 tahun
berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.
c. Sehat jasmani dan rohani.
11 Winarno, Kewarganegaraan Indonesia Dari Sosiologis Menuju Yuridis, h. 13112Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI, Kedutaan Besar RI di Timor Leste, diakses di
http://www.kemlu.go.id/dili/id/layanan_WNI_BHI/Pages/memperoleh_kembali_kewarganegaraan.aspx pada 11 Maret 2017 Pukul 23:17
41
d. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan UUD
1945.
e. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana / penjara karena terbukti melakukan tidak
pidana / kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 1 tahun atau lebih.
f. Dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia tidak menyebabkan statusnya
menjadi berkewarganegaraan ganda, sebab hal itu tidak diakui dalam sistem
hukum di Indonesia. Dengan kata lain, status kewarganegaraan dari negara lain
harus dilepaskan.
g. Mempunyai pekerjaan atau memiliki penghasilan tetap.
h. Membayar uang / biaya pewarganegaraan ke Kas Negara.
Di samping 8 syarat tersebut di atas, secara logis seseorang yang akan
mengajukan permohonan untuk mendapatkan kembali status WNI tidak boleh
berada dalam kondisi yang tidak diperkenankan oleh UU 12/2006, seperti sedang
dalam ikatan dinas militer atau pegawai negeri di negara lain. Prosedur yang
dilakukan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia yang
telah hilang juga sama dengan prosedur bagi warga negara asing lainnya yang akan
menjadi warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 10-18 Undang-
Undang No. 12 Tahun 2006.
B. Pengangkatan Menteri NegaraJabatan publik dan pejabat negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, jabatan publik merupakan obyek sedangkan pejabat negara adalah
subyeknya. Dalam sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia, Presiden selaku
kepala negara dan kepala pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan
dibantu oleh organ-organ negara yang terkait dalam fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa ketidakmungkinan Presiden untuk terlibat
langsung atau terlibat secara mendetail dalam urusan-urusan operasional pemerintahan
sehari-hari. Oleh karena itu dibutuhkan jabatan-jabatan menteri selaku pelaksana teknis
42
pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD
1945 yang menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, menteri-
menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, Setiap menteri membidangi
urusan tertentu dalam pemerintahan, dan Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
Kementerian Negara diatur dalam Undang-Undang.
1. Pengaturan dan Mekanisme Pengangkatan Menteri NegaraMenurut Hans Kelsen ada tiga syarat seorang dikatakan sebagai pejabat
negara yakni adanya jabatan, adanya fungsi pembentukan norma hukum negara
yang melekat pada jabatan tersebut, dan juga melekatnya fungsi pelaksanaan norma
hukum negara pada jabatan tersebut.13 Sedangkan dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menjelaskan
bahwa yang disebut dengan pejabat negara adalah “Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.” Badan yang dimaksudkan di sini adalah institusi atau organ,
sementara pejabat adalah orang perorangan yang menduduki jabatan tertentu.
Kementerian Negara sendiri merupakan suatu jabatan publik dan menteri yang
ada di dalamnya merupakan pejabat negara. Kementerian Negara merupakan
lembaga eksekutif di bawah Presiden, dalam Bab V Pasal 17 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan bahwa “Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara”. Selain itu pasal tersebut juga menjelaskan bahwa presiden
merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan, yang berarti presiden berhak untuk
mengangkat dan memberhentikan pejabat negara dalam hal ini menteri-menteri.
Menteri-menteri negara bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada
parlemen.14 Hal tersebut dapat menjadi contoh realisasi dari sistem pemerintahan
13 Hans Kelsen, General Theory of Law and State Translated by Anders Wedberg, (Cambridge :Harvard University Press, 1945), h. 133. Lihat Nadia Septifanny, Kedudukan Status Kewarganegaraandalam Jabatan Publik (Studi Kasus Archandra Tahar, h. 63-64
14 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi,Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. ke-1, h. 160
43
presidensiil yang dianut Indonesia. Pengangkatan dan pemberhentian menteri-
menteri yang menjadi kuasa presiden diserahkan sepenuhnya kepada presiden dan
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai prosedur pengangkatan
dan pemberhentiannya.
Sesuai dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden merupakan pemimpin pemerintahan dalam arti politik, sedangkan menteri
merupakan pemimpin pemerintahan dalam arti teknis.15 Pernyataan di atas
menengaskan bahwa peran menteri negara begitu penting terutama sebagai
pelaksana pemerintahan dan kepanjangan tangan dari presiden. Menteri diangkat
oleh Presiden dan bertanggung jawab terhadap Presiden. Dalam pengangkatan
menteri negara, Presiden tidak bisa sewenang-wenang dalam mengangkat menteri
negara. Lembaga Kepresidenan harus menyeleksi dan menilai siapa saja yang
berkompetensi untuk menjadi menteri negara. Selain itu presiden harus menerima
pertimbangan DPR dalam memilih menteri negara.
Begitu pentingnya posisi menteri negara sebagai pelaksana pemerintahan
mengharuskan seseorang yang ingin menjadi menteri harus memenuhi beberapa
syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang No. 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Syarat-syarat untuk menjadi menteri
adalah sebagai berikut:
a. Warga negara Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan;
d. Sehat jasmani dan rohani;
e. Memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan
15 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 326
44
f. Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Dengan adanya persyaratan di atas diharapkan menteri negara dapat
menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 8
Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yaitu:
a. Mampu merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan di bidangnya;
b. Mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya; dan
d. Melaksanakan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
Pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri di Indonesia merupakan
hak prerogatif presiden yang tidak dapat diganggu oleh lembaga negara lain. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengaturan mengenai kementerian negara
diatur secara umum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 setelah amandemen pada Bab V Pasal 17, yang menyebutkan bahwa:
a. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
b. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
c. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
d. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam
undang-undang.
Pengangkatan dan pemberhentian Menteri di Indonesia mutlak berada di
tangan Presiden. Masing-masing menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan. Undang-undang No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara
memberikan kemudahan bagi Presiden terpilih untuk memilih dan menentukan
orang-orang yang akan duduk di dalam kabinet sampai masa jabatan berakhir. Hal
ini dikarenakan berbagai persyaratan untuk dapat menjadi menteri telah
dikemukakan di dalam Pasal 22 UU No.39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
45
Tujuannya ialah agar terciptanya pemerintahan yang profesional, akuntabilitas, dan
bertanggung jawab. Akan tetapi wewenang dalam pengangkatan dan pemberhentian
menteri-menteri tersebut tidak bisa dicampuri dan mutlak berada di tangan
Presiden.16
Pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana diatur
dalam pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara, dimana pembentukan kabinet tersebut dilakukan paling lama
14 (empat belas) hari setelah presiden mengucapkan janji sebagaimana diatur dalam
Pasal 16 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008. Setelah pembentukan tersebut
maka menteri menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana diamanatkan dan
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kewenangannya,
tentunya dengan segala konsekwensinya, luasnya jangkauan tugas menteri yang
memimpin lembaga kementerian memberikan nilai positif dan negatif tentunya,
dimana nilai positif manakalah ruang lingkup tugas kementerian yang dipimpin
berhasil memberikan kontribusi dalam pembangunan dan berhasil menciptakan
capaian positif dalam pelaksanaan indikator-indikator target capaian pemerintah,
namun disisi lain, mana kala menteri yang memimpin kementerian tidak dapat
mencapai tujuan yang merupakan target pemerintahan maka menteri tersebut
memiliki resiko untuk dilakukan pergantian demi terciptanya agregat pencapain
sesuai target kementerian. Oleh karena itu menteri yang tidak kompeten
berdasarkan keahliannya menyebabkan terjadinya pelambatan dalam mencapai
target/sasaran yang menjadi lingkup kementerian yang bersangkutan, maka presiden
diberikan hak untuk melakukan penggantian menteri sebagaimana diatur dalam
Pasal 26 Ayat (2) Huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 bahwa menteri
diberhentikan dari jabatannya oleh presiden karena tidak dapat melaksanakan tugas
16https://www.researchgate.net/publication/47734956_Pembentukan_Kabinet_Dalam_Sistem_Pemerintahan_Presidensial_Di_Indonesia_Pasca_Amandemen_UUD_1945 diakses pada 11 Maret 2017Pukul 19.34
46
selama 3 (tiga) bulan, selain karena syarat tersebut presiden dapat memberhentikan
menteri karena :
a. Menteri berhenti dari jabatanya karena meninggal dunia dan berakhir masa
jabatannya
b. Menteri diberhentikan dari jabatannya karena :
1) Mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis
2) Tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut
3) Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
4) Melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan; atau
5) Alasan lain yang ditetapkan oleh Presiden.
c. Menteri yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Menteri harus tunduk dan mempertanggungjawabkan hasil dari kinerjanya
kepada presiden, hal ini sesuai dengan lingkupnya bahwa dalam sistem
pemerintahan kabinet dengan sistem parlementer, menteri tunduk dan bertanggung
jawab kepada parlemen, sedangkan dalam sistem presidensiil,para menteri tunduk
dan bertanggung jawab kepada presiden.17 Dalam memilih para menteri, presiden
bebas mengambil dari berbagai sumber rekrutmen, tergantung pada kebutuhan
zaman dan program kerja yang disusunnya, kondisi bangsa pada saat itu, dan bahkan
dapat sesuai dengan kehendak dan kemauan pribadi presiden itu sendiri. Presiden
dapat menunjuk menteri dari kalangan profesional, akademisi atau pakar, partai
17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan KepaniteraanMahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 61
47
politik, tokoh masyarakat, birokrasi, militer dan polisi, serta sumber-sumber
rekrutmen lain.18
Mengenai pengisian jabatan menteri yang akan membantu presiden dalam
menjalankan pemerintahan, tentunya dilakukan dengan proses dan mekanisme yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada. Salah
satu mekanisme yang ditempuh untuk memilih orang-orang yang akan menjabat
sebagai menteri yakni dengan fit and proper test. Pelaksanaan fit and proper test
dalam proses pemilihan pejabat dalam ranah tata negara Indonesia bertujuan untuk
menyaring dan mendapatkan orang-orang yang patut dan layak untuk menduduki
posisi atau jabatan tertentu.
Mekanisme fit and proper test dalam pemilihan para menteri oleh presiden
secara garis besar dilakukan presiden dengan mengambil calon-calon menteri,
kemudian mendiskusikan visi dan misi masing-masing calon jika menjadi menteri
nantinya. Dengan hak prerogatifnya, presiden berhak untuk menentukan calon
menteri yang dianggap patut dan layak untuk menjabat sebagai menteri dan
membantu presiden dalam menjalankan program pemerintahannya. Presiden
mempunyai hak untuk menunjuk siapapun sebagai calon menteri dengan caranya
sendiri agar yang bersangkutan dapat bekerja sama dengan presiden sebagai menteri
yang tergabung dalam kabinet, dan memberhentikan seseorang dari jabatan menteri
juga menjadi kekuasaan presiden, namun secara de facto, presiden bukanlah aktor
tunggal yang menentukan seluruh proses penyusunan kabinet.19
Sebelum menunjuk seseorang untuk menjadi menteri, presiden hendaklah
melakukan uji kelayakan dan kepantasan (fit and proper test) yang dilakukan secara
cermat. Untuk menentukan seseorang agar dapat diangkat menjadi seorang menteri,
18 M. Makhfudz, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 12919 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan, (Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2008), h. 252
48
harus memperhatikan beberapa hal yakni seseorang tersebut harus berintegritas,
kompeten, dan memiliki rekam jejak (track record) yang teruji. Nama-nama calon
menteri diperiksa rekam jejak, kompetensi dan integritasnya dengan metode
mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber. Sumber-sumber
informasi tersebut juga harus diseleksi, bahkan perlu untuk dilakukan cross check
untuk menekan distorsi dalam proses seleksi. Dengan melalui mekanisme rekrutmen
yang selektif tersebut, diharapkan dapat menghasilkan sosok menteri yang unggul.
kredibel dan kapabel.20
2. Status Kewarganegaraan dalam Pengangkatan Menteri Negara
Pada prinsipnya setiap negara demokratis memuat jaminan hak-hak asasi
termasuk hak-hak sipil dan politik dari setiap orang atau penduduk pada konstitusi
negara. Namun semuanya sangat tergantung pada political will penguasa untuk
memberikan ruang bagi keberadaan hak-hak sipil dan politik tersebut. Pada tataran
ini diperlukan upaya kedua belah pihak agar tidak terjadi tindak-tindak penindasan
ataupun pengekangan pelaksanaan hak-hak sipil dan politik setiap orang ataupun
warga negara yang berada di suatu negara khususnya Indonesia.21
Secara normatif Pasal 22 Ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementrian Negara menegaskan bahwa syarat mutlak menjadi menteri
negara Republik Indonesia adalah Warga Negara Indonesia. Selain menteri negara,
pejabat negara lainpun yang hubungannya dengan pemerintahan di Indonesia salah
satu syarat wajibnya adalah warga negara Indonesia. Status warga negara Indonesia
menjadi penting ketika proses pengangkatan menteri karena kesetiaan serta
pengorbanan yang bersangkutan akan timbul secara sendirinya tanpa ada paksaan
karena merasa tugas yang akan diemban adalah kewajiban warga negara terhadap
20 Lihat: Nadia Septifanny, Kedudukan Status Kewarganegaraan dalam Jabatan Publik (StudiKasus Archandra Tahar), h. 89-95
21 Muhardi Hasan dan Estika Sari, Hak Sipil dan Politik, dalam Jurnal Demokrasi Vol. IV No.1Th. 2005, h. 94
49
negaranya. Status warga negara sendiri akan menimbulkan rasa ingin memajukan
negaranya sendiri karena akan terikat antara hak dan kewajiban warga negara
terhadap negara dengan hak dan kewajiban negara terhadap warga negara. Hal
tersebut seperti dalam bab sebelumnya dijelaskan oleh Jellineck mengemukakan
bahwa ada empat macam status warga negara22, yaitu:
a. Status Aktif; yaitu warga negara diberi hak untuk menuntut tindakan positif
dari negara mengenai perlindungan atas jiwa, raga, milik, kemeerdekaan dan
sebagainya.
b. Status Negatif; adanya status negatif maka negara menjamin bahwa hak asasi
warga negaranya tidak akan diintervensi oleh negara.
c. Status Aktif; yaitu memberikan hak kepada setiap warga negara untuk ikut
serta dalam pemerintahan.
d. Status Pasif; yaitu kewajiban bagi setiap warga negara untuk mentaati dan
tunduk kepada negaranya.
22 Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara: AktualisasiDalam Teori Negara Indonesia), h. 98
34
50
BAB IVANALISIS KASUS PENGANGKATAN ARCHANDRA TAHAR SEBAGAI
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIKINDONESIA
A. Legalitas Pengangkatan Archandra Tahar Sebagai Menteri Energi dan SumberDaya Mineral Republik Indonesia
Presiden dalam menjalankan visi dan misi pemerintahannya, memerlukan
bantuan para menteri yang selanjutnya bergabung dalam suatu kabinet. Secara de jure,
penentuan menteri-menteri yang akan mengisi kabinet memang merupakan hak
prerogatif presiden, tetapi dilihat secara de facto, presiden bukan satu-satunya orang
yang menentukan seluruh proses penentuan kabinet. Partai politik merupakan salah
satu unsur penting dalam menentukan jabatan menteri, karena salah satu fungsi partai
politik adalah melakukan kaderisasi untuk selanjutnya mendistribusikan kadernya guna
menduduki jabatan publik, termasuk menteri.1
Adapun pada kasus pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral ada beberpa hal yang dilanggar dalam pelaksanaannya, yaitu
sebagai berikut:
1. Asas Pemerintahan yang Baik (Good Governance)Pengangkatan Arcandra Tahar menjadi Menteri ESDM menjadi hak
prerogatif Presiden Republik Indonesia dan dilaksanakan secara tertutup, sehingga
tidak banyak informasi yang diketahui mengenai bagaimana proses penunjukkan
ataupun pemilihan calon Menteri ESDM sebelumnya. Seharusnya, terlaksananya
prinsip good governance, dalam proses pemilihan dan pengangkatan para calon
menteri harus dilakukan secara transparan, agar publik dapat mengetahui proses
pengangkatan menteri tersebut, dan tidak ada suatu hal yang dirahasiakan kepada
1 Dwi Widodo, “Meritrokasi Ala Jokowi, diakses dari: ” https://kastratfebui.wordpress.com/,pada 14 Agustus 2017
51
publik. Pengangkatan dan pemberhentian menteri sudah seharusnya mengacu pada
peraturan perundang-undangan dan asas-asas yang berlaku, salah satunya yakni
prinsip good governance.
Penyelenggaraan prinsip good governance di Indonesia tertuang dalam asas-
asas umum pemerintahan yang baik. Maka dalam kasus pengangkatan Arcandra
Tahar sebagai Menteri ESDM, seharusnya melaksanakan apa yang terdapat di dalam
asas-asas umum pemerintahan yang baik. Salah satunya yaitu asas akuntabilitas,
yaitu setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pada hal Pemerintahan Jokowi, presiden tidak memperhatikan asas
akuntabilitas dalam prinsip good governance, sehingga ada kejanggalan dalam
pengangkatan Arcahdra Tahar. Terbukti Presiden Jokowi belum mendapatkan
informasi secara rinci berkaitan dengan status kewarganegaraan Archandra Tahar.
Komisioner Komisi Informasi Publik (KIP), Rumadi2, berpendapat bahwa
informasi mengenai kewarganegaraan seseorang bukanlah termasuk informasi yang
dikecualikan berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (UU KIP). Oleh karenanya, pemerintah wajib menjelaskan secara terbuka
mengenai status kewarganegaraan Menteri ESDM Arcandra Tahar yang dikabarkan
memiliki kewarganegaraaan Amerika Serikat. Rumadi mengatakan status
kewarganegaraan Archandra telah menjadi polemik yang cukup serius dan menjadi
perhatian banyak pihak. Menurutnya, hal itu dapat segera diakhiri jika pemerintah
melakukan investigasi menyeluruh dan kemudian menjelaskan hasilnya secara jujur
dan terbuka kepada publik. Rumadi menambahkan, semua menteri yang bekerja
2 Mohamad Agus Yozami, Diduga Tak Miliki Kewarganegaraan, Presiden Diminta TanggungJawab Soal Archandra, diakses dari:http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b2b6af300c1/diduga-tak-miliki-kewarganegaraan--presiden-diminta-tanggung-jawab-soal-archandra pada 15 Juli 2017
52
untuk Presiden Jokowi harus berbenah diri dan menyiapkan data dan informasi yang
akurat, benar, dan tidak menyesatkan sebelum suatu kebijakan diambil oleh
Presiden.
2. Kewenangan Presiden dalam Mengangkat dan Meberhentikan MenteriPengangkatan dan pemberhentian Menteri Negara merupakan wewenang dari
Presiden sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 17 Ayat 2 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal itupun dilaksanakan pada
pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam Kabinet Kerja.
Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia
(Sigma) Said Salahudin, berpendapat bahwa pihak yang mengusulkan Archandra
Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada Presiden
Joko Widodo yang seharusnya bertanggung jawab terhadap polemik yang terjadi
dan harus dicari dan dihukum berat karena telah menutupi status kewarganegaran
Archandra Tahar pada saat mengusulkan Archandra sebagai Menteri kepada
Presiden. Selain itu menurutnya, orang yang mengusulkan nama Archandra bukan
saja telah mempermalukan Indonesia di mata internasional, mempermalukan
Presiden dimata publik dalam negeri, tetapi tanpa disadari dia juga telah mengancam
posisi Presiden Jokowi.
Menurut Said, hal ini bukan persoalan main-main, di mana penempatan WNA
dalam jajaran kabinet atau di lingkungan pejabat negara bisa dicurigai sebagai aksi
spionase tingkat tinggi yang dapat mengarah pada pengkhianatan terhadap negara.
Menurut Said, akan lebih bagus jika presiden mau secara terbuka mengungkap siapa
pengusul Archandra, sekaligus mengenakan sanksi berat kepada orang tersebut agar
menjadi peringatan supaya kasus serupa tidak terulang kembali.3 Sangat
3 Hendra Pasuhuk, Ribut Kewarganegaraan Ganda Archandra Tahar, Harapan Bagi DiasporaIndonesia, diakses dari: http://www.dw.com/id/ribut-kewarganegaraan-ganda-arcandra-tahar-harapan-bagi-diaspora-indonesia/a-19475917 pada 20 Mei 2017
53
disayangkan pada pengangkatan Archandra adalah tidak ada yang menyampaikan
pada Presiden atau Menteri yang mengusulkan bahwa dia sudah berubah
kewarganegaraan. Kasus kewarganegaraan ganda Archandra bisa menjadi pelajaran
bagi Badan Intelijen Negara (BIN) untuk lebih cermat memeriksa latar belakang
seseorang yang diusulkan menjadi pejabat pemerintah.
Apabila Archandra tidak segera dicopot dari jabatannya sebagai menteri,
maka akan sangat berbahaya dan dikhawatirkan Presiden bisa dituduh terkait
dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang terkait dan upaya pengkhianatan
terhadap negara yang merujuk pada Pasal 7A UUD NRI 1945 yang berujung pada
pemakzulan. Walaupun Presiden memang sudah memberhentikan Archandra dari
jabatan Menteri ESDM. Berbeda dari pendapat Said, Wakil Ketua DPR Fahri
Hamzah menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pihak yang bertanggung
jawab atas status kewarganegaraan Archandra setelah ia diberhentikan secara
hormat dari jabatan menteri.
Archandra kehilangan status WNI setelah memilih kewarganegaraan Amerika
Serikat (AS) melalui proses naturalisasi pada 2012. Sementara, undang-undang AS
menyatakan kewarganegaraan seseorang hilang saat dirinya menjadi pejabat atau
pengambil kebijakan di negara lain, sehingga diduga Archandra sempat tidak
memiliki kewarganegaraan atau stateless pada saat polemik kasus tersebut. Jika
Archandra ingin kembali menjadi WNI, ia harus tinggal paling singkat lima tahun
berturut turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut sesuai ketentuan Pasal
9 UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Sebelumnya, Pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Fitra Arsil, mengingatkan bahwa Indonesia tidak mengenal yang
namanya dwi kewarganegaraan. Sehingga ketika seseorang dewasa yang menerima
kewarganegaraan lain dengan kehendak dirinya, maka secara otomatis
54
kewarganegaraan Indonesia yang dia miliki hilang4. Apabila Archandra menerima
kewarganegaraan asing, maka saat itu pula hilang kewarganegaraan Indonesianya.
Bahkan jika Archandra memperoleh kewarganegaraan asing dengan kemauannya
sendiri, misalnya atau dia secara sukarela mengangkat sumpah janji setia kepada
negara asing, maka dia otomatis hilang kewarganegaraannya, tidak perlu adanya
keputusan Presiden untuk menghilangkan status kewarganegaraan Archandra
tersebut. Seperti diketahui, Archandra Tahar diberhentikan dari posisi Menteri
ESDM pada Senin 15 Agustu 2016, setelah diketahui berkewarganegaraan Amerika
Serikat, negara tempatnya bermukim sejak 1996. Sementara, UU No. 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara mengatur bahwa menteri yang diangkat oleh
Presiden harus berstatus WNI. Terlepas dari siapa yang bersalah dalam persoalan
ini, sudah seharusnya kewarganegaran seseorang merupakan tanggung jawab
pribadi yang sudah seharusnya dilaporkan kepada negara yang bersangkutan.
Keputusan presiden yang mengangkat Archandra sebagai menteri pasti
memiliki pertimbangan, akan tetapi pertimbangan tersebut merupakan urusan
politik dalam pemerintahan sehingga memunculkan nama Archandra. Memang
terkadang sulit untuk memisahkan kepentingan politik dan hukum sehingga salah
satunya akan saling bersinggungan, begitupun pada kasus Archandra. Kasus
Archandra terindikasi adanya kepentingan politik yang lebih kuat tanpa melihat
dampak hukum yang terjadi, maka timbulah masalah hukum. Pembantu presiden
yang mengusulkan nama Archandra tanpa memberitahukan status kewarganegaraan
Archandra merupakan salah satu yang paling bertanggung jawab terhadap kasus ini.
Karena permasalahan tersebut keputusan Presiden Jokowi selanjutnya yang
langsung memberhentikan archandra karena disadari bahwa telah melanggar
ketentuan sangat tepat..
4Hasyry Agustin, Keppres Pengangkatan Menteri Archandra Dimungkinkan Cacat, diakses dari:http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b1a68714e43/keppres-pengangkatan-menteri-archandra-dimungkinkan-cacat pada 9 Agustus 2017
55
3. Syarat Kewarganegaraan dalam Pengangkatan MenteriPolemik yang terjadi pada pengangkatan Menteri Negara pada masa
Pemerintahan Jokowi adalah ketika Archandra Tahar yang memiliki
kewarganegaraan Ganda diangkat menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral. Archandra Tahar menjadi menteri ‘tercepat’ di kabinet Presiden Joko
Widodo. Dilantik pada 27 Juli 2016 sebagai Menteri Energi Sumber Daya dan
Mineral (ESDM), ia diberhentikan dari posisinya sebagai Menteri Energi dan
Sumber Daya Alam pada 15 Agustus 2016. Masalah dwi-kewarganegaraanlah yang
telah menyebabkan polemik pengangkatannya sebagai Menteri Negara.
Berdasarkan pada penjelasan bab sebelumnya, dapat diketahui bagaimana
kedudukan suatu status kewarganegaraan di Indonesia. Warga Negara Indonesia
merupakan syarat utama seseorang dapat menjadi pejabat negara, sehingga status
kewarganegaraan di Indonesia sangatlah penting, karena diketahui beberapa jabatan
publik di Indonesia mengatur bahwa syarat utama untuk dapat diangkat menjadi
pejabat publik atau pejabat negara adalah Warga Negara Indonesia.
Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly menyatakan bahwa saat kasus
Archandra terjadi, pemerintah berupaya untuk melakukan tindakan terhadap
Archandra Tahar agar tidak dicabut kewarganegaraanya karena akan menyebabkan
stateless, Yassona juga mengatakan bahwa, hilangnya kewarganegaraan seseorang
harus diformalkan melalui keputusan menteri. Dalam kasus Archandra ini, belum
ada proses pencabutan kewarganegaraan melalui surat keputusan (SK) Menteri
Hukum dan HAM. Karena belum ada SK pencabutan kewarganegaraan, maka
Arcandra masih berstatus sebagai WNI.5
5 Jerome Wirawan, Proses Pengangkatan Archandra Tahar Menjadi WNI Dinilai MelanggarHukum, Diakses dari:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160908_indonesia_arcandra_wni#orb-banner pada 21 Desember 2016
56
Indonesia sendiri tidak mengenal asas kewarganegaraan ganda dan tanpa
kewarganegaraan, sehingga untuk menghindari keduanya pemerintah berupaya
untuk melakukan naturalisasi terhadap Archandra Tahar. Meskipun mengakui
bahwa Archandra sempat memiliki paspor AS yang sudah dikembalikan sebelum ia
diangkat menjadi menteri. Yasonna menegaskan bahwa Archandra masuk ke
Indonesia menggunakan paspor Indonesia yang masih aktif. Seperti diketahui,
Archandra kehilangan status WNI setelah memilih kewarganegaraan Amerika
Serikat melalui proses naturalisasi pada 2012. Sementara, undang-undang AS
menyatakan kewarganegaraan seseorang hilang saat dirinya menjadi pejabat publik
atau pengambil kebijakan di negara lain, sehingga diduga saat ini Archandra tidak
memiliki kewarganegaraan atau stateless.
B. Dampak Pengangkatan Archandra Tahar Sebagai Menteri Energi dan SumberDaya Mineral Republik Indonesia yang Statusnya Sebagai Warga Negara Asing
Polemik kewarganegaraan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral, Arcandra
Tahar, yang sekarang sudah terselesaikan namun masih menyimpan banyak pertanyaan
dan polemik yang salah satunya berimbas terhadap Keputusan Presiden (Keppres) yang
dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo. Keppres tentang pengangkatan Menteri
Negara harusnya memenuhi unsur-unsur dan syarat pengangkatan menteri yang
terdapat di dalam undang-undang. Keppres tersebut dimungkinkan cacat lantaran
belum ada kejelasan, apakah ketika Archandra diangkat sumpah oleh presiden menjadi
menteri, dirinya sudah mendapatkan kembali kewarganegaraannya. Maka dari itu
sudah seharusnya Archandra mengikuti prosedur yang ada untuk kembali mendapatkan
kewarganegaraan RI. Bila tidak maka Keppres tersebut bisa dikatakan cacat. Adapun
dampak legalitas pengangkatan Archandra Tahar Sebagai Menteri ESDM RI adalah
sebagai berikut:
57
1. Dampak Terhadap Status Kewarganegaraan Archandra Tahar dan ProsesPengangkatannya Sebagai Menteri ESDM RI
Berdasarkan pengaturan mengenai kewarganegaraan di Indonesia, dengan
diucapkannya sumpah setia kepada negara Amerika, maka Arcandra Tahar secara
otomatis kehilangan kewarganegaraan Indonesia, sesuai dengan yang telah
disebutkan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa apabila seseorang
memperoleh kewarganegaraan lain dengan kemauan sendiri, maka ia akan
kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, mengenai
kehilangan kewarganegaraan Indonesia juga diatur dalam Pasal 31 Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan,
Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang
menyebutkan bahwa Warga Negara Indonesia dengan sendirinya kehilangan
kewarganegaraannya karena:
a. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
b. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang
yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
c. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden;
d. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas
semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia;
e. Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara
asing atau bagian dari negara asing tersebut;
f. Tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat
ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
g. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat
yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari
negara lain atas namanya; atau
58
h. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia selama 5 (lima)
tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan
dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga
Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5
(lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin
tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal
Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis
kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan.
Menurut Fitra6, yang perlu diihat pertama adalah apakah benar Archandra
melepas kewarganegaraanya dengan mengangkat sumpah untuk menjadi warga
negara Amerika.
Kedua, dilihat apakah dia sudah menerima kewarganegaraan Indonesia-nya
kembali. Ketika keppres pengangkatan menteri itu keluar, Karena kalau belum
melepas kewarganegaraan Amerika-nya maka Kepres tersebut akan cacat. Fitra juga
mengatakan ketika Keppres pengangkatan itu sudah cacat, maka dengan sendirinya
pengangkatan Archandra sebagai Mentri ESDM harus dibatalkan. Namun, semua
itu harus dibuktikan dengan data yang akurat.
Pasal 22 UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyatakan,
(1) Menteri diangkat oleh Presiden.(2) Untuk dapat diangkat menjadi Menteri, seseorang harus memenuhi
persyaratan: a. Warga Negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan YangMaha Esa; c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasikemerdekaan; d. sehat jasmani dan rohani; e. memiliki integritas dankepribadian yang baik; dan f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkanputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
6 Hasyry Agustin, Keppres Pengangkatan Menteri Archandra Dimungkinkan Cacat, diaksespada: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b1a68714e43/keppres-pengangkatan-menteri-archandra-dimungkinkan-cacat pada 9 Agustus 2017
59
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahunatau lebih.
Namun selain itu ada hal penting lain yang menjadi tekanan ketika Presiden
mengangkat Menteri yang pernah mendapatkan atau diangkat sumpah oleh negara
lain, yaitu mengenai nasionalisme. Untuk menjadi Presiden saja, salah satu syarat
terpenting adalah berkewarganegaraan Indonesia sejak lahir dan tidak pernah
menerima kewarganergaraan lain atas kehendaknya sendiri. Nasionalisme menjadi
salah satu hal yang substansial dalam polemik kasus Archandra karena, menjadi
pejabat publik itu seharusnya tidak perlu lagi dipertanyakan masalah nasionalisme
dan dengan hal tersebut kasus Archandra bukan hanya legal secara teknis tetapi juga
secara tujuan. Terkait persoalan ini, pemerintah perlu memberikan penjelasan secara
terang benderang agar tidak terus menerus menjadi perbincangan di masyarakat.
Selain teknis hukum, subtansi hukum juga memiliki solusi dan penyelsaian jika
terdapat masalah di dalamnya.
Sekadar catatan, Pasal 43 PP No.2 Tahun 2007 menyatakan,
(1) Warga Negara yang kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a sampai dengan huruf h
Undang-Undang, dapat memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik
Indonesia dengan mengajukan permohonan kepada Presiden melalui Menteri.
Untuk diketahui, dalam Keppres No.83/P/2016 tercantum 12 nama menteri
yang diangkat Presiden, salah satunya adalah Archandra Tahar. Belakangan,
Archandra diduga pernah memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat. Lantaran
Indonesia tidak mengakui kewarganegaraan ganda, status WNI Arcandra saat
dilantik sebagai menteri pun dipertanyakan.
Menurut Abdul Ghani Abdullah, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
selain warga negara Indoensia tidak boleh diangkat menjadi publik karena
melanggar konstitusi dan Undang-undang terkait. Seperti yang terjadi pada kasus
Archandra yang telah menimbulkan polemik karena kewarganegaraanya. Kemudian
60
pemerintah menyadarai bahwa hak tersebut adalah masalah nasional yang fatal
sehingga dicari jalan keluar dengan memberhentikan Archandra dari jabatannya
sebagai Menteri ESDM lalu mengangkat Archandra kembali menjadi WNI dan
setelah menjadi WNI Archandra diangkat kembali menjadi wakil menteri. Namun,
dalam hal Menteri ESDM, jika benar informasi yang bersangkutan kehilangannya
status WNI-nya, dan menjadi warga negara Amerika Serikat melalui proses sumpah
setia, maka yang bersangkutan tidak akan memenuhi syarat dan ketentuan untuk
kembali menjadi WNI sebagaimana diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12
UU Kewarganegaraan. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, di antaranya Arcandra
Tahar harus mengajukan permohonan kembali sebagai WNI, tinggal di Indonesia
selama 5 (lima) tahun terakhir, dan mengucapkan sumpah janji setia kembali kepada
Indonesia. Mengingat Arcandra kabarnya sudah sekitar 20 tahun terakhir tinggal di
Amerika Serikat, maka syarat untuk kembali menjadi WNI demikian menjadi tidak
terpenuhi. Sedangkan menurut Abdul Ghani, Archandra masih menjadi warga
negara karena belum melepas kewarganegaraan Indonesia saat dia di Amerika dan
pada saat menjadi menteri. Jadi, dia hanya perlu melepas kewarganegaraan Amerika
Serikat yang dimilikinya.7
2. Dampak Terhadap Proses Pewarganegaraan di IndonesiaArcandra Tahar diketahui secara aktif melalui proses naturalisasi di Amerika
Serikat telah memperoleh kewarganegaraan negara tersebut pada 2012. Selain itu,
ia juga diketahui telah memperoleh paspor negara Amerika Serikat atas namanya.
Dengan demikian unsur bipatride telah dipenuhi oleh Arcandra Tahar, maka
berdasarkan ketentuan hukum tentang kewarganegaraan tersebut di atas, dengan
sendirinya Arcandra sudah kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya karena
sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2006 yang menyatakan apabila seseorang
memperoleh kewarganegaraan lain sesuai kehendak atau keinginannya maka telah
7 Wawancara langsung dengan Guru Besar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,Prof. Abdul Ghani Abdullah, pada 29 Mei 2017 pukul 09.00
61
kehilangan kewarganegaraan Indonesia karena Indonesia tidak menganut bipatride
atau dwi-kewarganegaraam. Dalam hal ini keputusan Menteri Hukum dan HAM
sebagai pihak yang berwenang memberi dan mencabut kewargangeraan Indonesia
seseorang berdasarkan hukum yang berlaku tetap diperlukan, tetapi hanya berupa
penegasan kepastian hukum berkaitan dengan administrasi hukum (lihat Pasal 34
ayat 3 PP Nomor 2 Tahun 2007).
Menteri Hukum dan HAM tidak memiliki wewenang untuk menentukan
apakah Arcandra Tahar kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya ataukah tidak.
Karena, secara hukum dengan sendirinya dalam kasus ini Arcandra sudah
kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya, begitu dia atas kemauannya sendiri
memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat, dan juga sudah punya paspor
negara tersebut. Adapun argumen yang menyatakan Arcandra masih WNI karena
dia masih memegang paspor Indonesia yang masih berlaku sampai dengan 2017,
tidak dapat diterima, karena selain mengabaikan ketentuan hukum kewarganegaraan
tersebut di atas, juga memang bisa saja saat ia menerima kewarganegaraan Amerika
Serikat itu paspor Indonesia-nya masih ada di tangannya dan secara formil masih
berlaku, tetapi sebetulnya secara hukum ia sudah kehilangan kewarganegaraan
Indonesia-nya. Untuk kepastian hukum tentang status seseorang yang kehilangan
kewarganegaraan Indonesia yang dengan demikian kehilangan juga hak dan
kewajibannya sebagai WNI seperti yang terjadi pada Arcandra inilah diperlukan
surat keputusan Menteri Hukum dan HAM sebagaimana dimaksud di atas.
Demikian juga halnya dengan yang kabar yang menyebutkan bahwa sebelum
dilantik sebagai Menteri ESDM, ia sudah melepaskan kewarganegaraan Amerika
Serikat-nya, hal tersebut juga tidak membuatnya langsung kembali menjadi WNI.
Kasus Arcandra Tahar ini menjadi sangat serius dan pelik secara hukum dan politik,
ketika dalam statusnya tersebut ia malah dilantik sebagai Menteri ESDM oleh
Presiden Jokowi, pada 27 Juli 2016. Padahal Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara, khususnya Pasal 22 ayat 2 mewajibkan hanya
62
WNI yang boleh diangkat sebagai menteri. Disebutkan kasus Arcandra ini
merupakan masalah hukum dan politik yang sangat serius dan pelik, karena secara
hukum bisa dikatakan Presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran terhadap
Undang-Undang Kementerian Negara, karena telah mengangkat dan melantik
seorang WNA sebagai menteri. Meskipun hal tersebut dapat saja diperdebatkan
dengan “menimpa kesalahan” kepada pihak yang bertanggung jawab terhadap
administrasi negara terkait dengan identitas dan latar belakang seseorang yang akan
diangkat sebagai seorang menteri. Namun tetap saja kesalahan fatal ini bisa menjadi
suatu kekalutan di bidang hukum ketatanegaraan dan implikasinya. Menurut Abdul
Ghani, Secara legalitas, tidak memungkinkan seseorang dengan warga negara asing
menjadi menteri negara atau pejabat publik lainya, walaupun dia juga memiliki
kewarganegaraan indonesia karena telah melanggar UU dan Konstitusi. Ketentuan
syarat warga negara Indonesia menjadi pejabat negara berlaku untuk pejabat
fungsional maupun pejabat struktural. Jika mengharuskannya menjadi pejabat
publik harus melepas kewarganegaraan lainnya terlebih dahulu sebelum diangkat.8
3. Dampak Legalitas Kebijakan Hukum Menteri Energi dan Sumber DayaMineral Republik Indonesia
Masalah hukum lainnya adalah bagaimana dengan nasib keputusan-keputusan
yang telah dibuat oleh Arcandra selama 20 hari ia menjadi Menteri ESDM, seperti
keputusannya yang memberi izin perpanjangan ekspor konsentrat kepada Freeport.
Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang tentang Kementerian Negara menyatakan bahwa
yang dapat diangakat menjadi menteri adalah warga negara indonesia, maka
pelantikan dia sebagai Menteri ESDM itu menjadi tidak sah karena adanya
pelanggaran terhadap Undang-undang yang disebutkan. Kemudian, apabila
pengangkatanya tidak sah, maka dengan demikian menimbulkan pertanyaan apakah
secara otomatis semua keputusannya sebagai Menteri ESDM itu juga tidak sah atau
8 Wawancara pribadi dengan Abdul Ghani Abdullah, Guru Besar UIN Syarif HidayatullahJakarta, pada 29 Mei 2017 pukul 09.00
63
dianggap tak pernah ada? Sedangkan secara politik, kesalahan fatal Presiden ini
berpotensi dijadikan dasar oleh DPR, dengan mengusulkan penggunaan Hak
Interpelasi untuk meminta penjelasan Presiden tentang latar belakang dan alasan
Presiden memilih dan mengangkat Arcandra sebagai Menteri, dan kenapa bisa
sampai kecolongan seperti itu. Untungnya, secara politik, Presiden Jokowi sudah
berhasil merangkul dua parpol yang punya peran cukup penting di parlemen, yang
sebelumnya merupakan parpol oposisi, yaitu Golkar dan PAN, sehingga
kemungkinan diadakan Hak Interpelasi itu mengecil. Namun bagaimanapun
dampak kecerobohan para pembantunya ini akan menjadi beban politik bahkan
hukum bagi Presiden Jokowi. Untuk mencegah terjadinya kecerobohan-
kecerobohan yang fatal seperti ini, maka sebaiknya Presiden Jokowi juga
mengevaluasi para pembantunya, khusunya mereka yang yang bertanggung jawab
atas terjadinya insiden fatal ini.
64
BAB VPENUTUP
A. KesimpulanBerdasarkan penjelasan yang sampaikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan terkait dengan Pengangkatan Warga Negara Asing
sebagai Pejabat Negara (Analisis Kasus Pengangkatan Archandra Tahar Sebagai
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia), yaitu sebagai
berikut:
1. Adapun mekanisme pengangkatan pejabat negara khususnya Kementerian Negara
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, menyatakan bahwa Presiden yang berhak mengangkat dan
memberhentikan para menteri. Adapun proses pengangkatan menteri yang
dilakukan oleh presiden dan jajarannya dilakukan dengan menggunakan mekanisme
fit and proper test. Dalam pemilihan para menteri oleh presiden secara garis besar
dilakukan presiden dengan mengambil calon-calon menteri, kemudian
mendiskusikan visi dan misi masing-masing calon jika menjadi menteri nantinya.
Dengan hak prerogatifnya, presiden berhak untuk menentukan calon menteri yang
dianggap patut dan layak untuk menjabat sebagai menteri dan membantu presiden
dalam menjalankan program pemerintahannya.
2. Adapun legalitas pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral didasarkan pada: pertama, pada pengangkatan Arcahndra
Tahar sebagai Menteri ESDM RI telah melanggar Asas Pemerintahan yang Baik.
Pengangkatan dan pemberhentian menteri pada hal ini Harus mengacu pada
peraturan perundang-undangan dan asas-asas yang berlaku, salah satunya yakni
prinsip good governance. Pengangkatan Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM,
dilaksanakan tanpa didasari pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Salah
satunya yaitu asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
65
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, Syarat Kewarganegaraan
dalam Pengangkatan Menteri Oleh Presiden. Syarat utama untuk dapat diangkat
menjadi pejabat publik atau pejabat negara adalah Warga Negara Indonesia.
Indonesia sendiri tidak mengenal asas kewarganegaraan ganda dan tanpa
kewarganegaraan, pada kasus Archandra Tahar hal tersebut telah dilanggar karena
mengangkat warga negara asing sebagai menteri. Ketiga, kewenangan Presiden
dalam mengangkat dan memberhentikan menteri. Kesalahan yang terjadi pada kasus
pengangkatan Archandra Tahar sebagai menteri ESDM RI bukanlah kesalahan
presiden seorang, tapi juga merupakan tanggung jawab dari pembantu-pembantu
presiden yang mengajukan nama-nama para menteri, walapun pada dasarnya
pengangkatan dan pemberhentian Menteri Negara merupakan hak prerogatif
presiden. Keputusan presiden yang mengangkat Archandra sebagai menteri pasti
memiliki pertimbangan, akan tetapi pertimbangan tersebut merupakan urusan
politik dalam pemerintahan, sehingga memunculkan nama Archandra. Memang
terkadang sulit untuk memisahkan kepentingan politik dan hukum sehingga salah
satunya akan saling bersinggungan, begitupun pada kasus Archandra. Kasus
Archandra terindikasi adanya kepentingan politik yang lebih kuat tanpa melihat
dampak hukum yang terjadi, maka timbulah masalah hukum. Pembantu presiden
yang mengusulkan nama Archandra tanpa memberitahukan status kewarganegaraan
Archandra merupakan salah satu yang paling bertanggung jawab terhadap kasus ini.
Karena permasalahan tersebut keputusan Presiden Jokowi selanjutnya yang
langsung memberhentikan Archandra karena disadari bahwa telah melanggar
ketentuan sangat tepat..
3. Adapun dampak Pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Republik Indonesia adalah pertama, dampak terhadap status
kewarganegaraan Archandra Tahar dan Proses Pengangkatannya sebagai Menteri
ESDM RI. Status kewarganegaraan Indonesia seseorang akan secara otomatis
hilang apabila yang bersangkutan menerima kewarganegaraan dari negara lain. Hal
66
tersebut menegaskan bahwa Indonesia tidak menganut asas kewarganegaraan
ganda. Pada kasus Archandra Tahar, yang bersangkutan sudah tidak menjadi warga
negara Indonesia lagi semenjak menerima kewarganegaraan dari Amerika Serikat.
Begitupula dengan negara Amerika Serikat yang memiliki aturan bahwa seseorang
yang menjadi pejabat negara di negara lain maka akan kehilangan warga negara
Amerika Serikatnya. Dengan kata lain Archandra Tahar dikhawatirkan menjadi
stateless ketika menjadi menteri di Indonesia. Kedua, Dampak Terhadap Proses
Pewarganegaraan di Indonesia. Sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2006 yang
menyatakan apabila seseorang memperoleh kewarganegaraan lain sesuai kehendak
atau keinginannya maka telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia karena
Indonesia tidak menganut bipatride atau dwi-kewarganegaraam. Demikian juga
dengan pelepasan kewarganegaraan Amerika Serikat-nya sebelum dilantik sebagai
Menteri ESDM, hal tersebut juga tidak membuatnya langsung kembali menjadi
WNI, karena untuk menjadi WNI harus melewati beberapa proses berdasarkan
Undang-undnag No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesia. Dalam
proses pewarganegaraan di Indonesia, bagi siapapun yang ingin menjadi warga
negara Indonesia harus melewati beberapa proses diantaranya tinggal di Indonesia
dalam kurun waktu 5 tahun berturut-turut dan 10 tahun tidak berturut-turut,
sedangkan Archandra Tahar belum memenuhi syarat tersebut. Ketiga, dampak
terhadap legalitas kebijakan menteri ESDM RI. Masalah hukum lainnya adalah
bagaimana dengan nasib keputusan-keputusan yang telah dibuat oleh Arcandra
selama 20 hari ia menjadi Menteri ESDM, seperti keputusannya yang memberi izin
perpanjangan ekspor konsentrat kepada Freeport. Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang
tentang Kementerian Negara menyatakan bahwa yang dapat diangakat menjadi
menteri adalah warga negara Indonesia, maka pelantikannya sebagai Menteri
ESDM menjadi tidak sah, karena adanya pelanggaran terhadap Undang-undang
yang disebutkan.
67
B. Saran1. Presiden harus teliti dalam memilih calon menteri dan mengacu pada Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kementerian Negara yang menjelaskan
persyaratan menjadi menteri dan mekanisme yang ada di dalamnya.
2. Perlu adanya peraturan yang lebih rinci mengenai prosedur atau mekanisme
pengangkatan dan pemberhentian menteri, karena hingga saat ini belum ada
peraturan yang menjelaskan secara detail mengenai pengangkatan dan
pemberhentian Menteri Negara oleh Presiden Republik Indonesia.
3. Setiap kebijakan yang diambil harus berdasarkan peraturan yang berlaku, sehingga
terciptanya kepastian hukum, karena hukum sudah sepatutnya untuk dijalankan agar
Negara Indonesia tertata dengan baik.
68
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Ahmad, Abdullah An-Naim, Dekontruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, HakAsasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, Terjemahan AhmadSuaedi dan Amiruddin Arrani, Yogyakarta : LKIS, 1994
Akbar, Patrialis, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta:Sinar Grafika, 2013
Al Hakim, Suparlan, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia,Malang: Madani, 2016
Amin, Zainul Ittihad, Materi Pokok Pendidikan Kewarganegaraan, TangerangSelatan: Universitas Terbuka, 2014
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
______________, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Busro dan Abu Daud Busroh, Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991
Dewata, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatifdan Empiris, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Erwin, Muhammad, Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Bandung: PTRafika Utama, 2013
Gautama, Sudargo, Warga Negara dan Orang Asing: Berikut Contoh-contoh,Bandung: Alumni, 1987
Harsono, Hukum Tata Negara: Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan,Yogyakarta: Liberty, 1992
69
Hikam, A.S. Muhammad, Kewarganegaraan dan Agenda Demokratisasi, dalam TitikTriwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca AmandemenUUD 1945, Jakarta: Kencana, 2011
Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Gema InsaniPress, 1996
Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan,Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State Translated by AndersWedberg,Cambridge : Harvard University Press, 1945
Maggalatung, Salman dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara:Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia, Bandung: Fajar Media
Mahendra, Yusril Ihza Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual MasalahKonstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema InsaniPress, 1996
Makhfudz, M, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013
Manan, Bagir, Hukum Kewarganegaraan Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor12 Tahun 2006, Yogyakarta: FH UII Press 2009
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2011
Robet, Robertus, Hendrik Boli Tobi, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan dariMarx sampai Agamben, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2014
Samidjo, Ilmu Negara, Jakarta: Armico, 1986
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1983
70
Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu TinjauanSingkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Thaib, Dahlan, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001
Tim ICCE, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCEUIN Syarif Hidayatullah, 2003
Ubaedillah, A, Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an (Civic Education):Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Ciputat: ICCE UINSyarif Hidayatullah Jakarta, 2015
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan : Panduan Kuliah diPerguruan Tinggi, Jakarta: PT Bumi Akasara, 2009
Wignjosiebroto, Soetandyo, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,Jakarta: Eslam, 2002
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: GhaliaIndonesia, 1987
Winarno, Kewarganegaraan Indonesia Dari Sosisologis Menuju Yuridis, Bandung:Alfabeta, 2009
Yunus, Nur Rohim, Teori Dasar Penelitian Hukum Tata Negara, (Jakarta:Poskolegnas, 2017
Jurnal Hukum
Charity, May Lim, “Urgensi Pengaturan Kewarganegaraan Ganda Bagi DiasporaIndonesia,” Jurnal Konstitusi, Vol. XIII, No. 4, (Desember 2016)
Cohen, Jean L. “Changing Paradigms of Citizenship and Exclusiveness of the Demos,”International Sociology, Vol. 14, No. 3, (September 1999).
71
Hasan, Muhardi dan Estika Sari, “Hak Sipil dan Politik,” Jurnal Demokrasi, Vol. IVNo.1 (September 2005)
Luntungan, Amey Yunita, “Naturalisasi Warga Negara Asing Menjadi Warga NegaraIndonesia Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 TentangKewarganegaraan,” Jurnal Lex Et Societatis, Vol I No. 5, (September 2013)
Marliyanto, Rendra, “Analisis Yuridis Staus Kewarganegaraan Terhadap Orangyang Tidak Memiliki Kewarganegaraan (Stateless) berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RepublikIndonesia,” Jurnal Universitas Jember, Vol. 1 No. 1, (Januari 2013)
Ranggawidjaja, H. Rosjidi, “ Pembatasan Konstitusional Hak Warga Negara untukMemilih dan Dipilih dalam Jabatan Publik,” Jurnal Konstitusi PSKN-FHUniversitas Padjajaran, Vol. 2 No. 2, (November 2010)
Saudin, “Permohonan, Pernyataan Dan Pemberian Kewarganegaraan KarenaPewarganegaraan Berdasarkan Undang-Undang Tahun 12 Tahun 2006 TentangKewarganegaraan,” Jurnal Disiplin, Vol. 21 No. 8, (Desember 2015)
Wulansari, Eka Martiana, “Konsep Kewarganegaran Ganda Tidak Terbatas (DualNasionality) dalam Sistem Kewarganegaraan Di Indonesia,” JurnalRechtvinding OnlineI, Vol. 13 No. 4 (Desember 2016)
Karya Ilmiah
Rusliandi, Efrial, Hak Politik Warga Moro-Moro Kabupaten Mesuji ProvinsiLampung, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas NegeriLampung, 2012
Septifanny, Nadia, Kedudukan Status Kewarganegaraan dalam Jabatan Publik (StudiKasus Archandra Tahar), Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN SunanKalijaga Yogyakarta, 2016
72
Internet
Dwi Widodo, Meritrokasi Ala Jokowi, diakses dari:https://kastratfebui.wordpress.com/, pada 14 Agustus 2017
Hasyry Agustin, Keppres Pengangkatan Menteri Archandra Dimungkinkan Cacat,diakses dari:http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b1a68714e43/keppres-pengangkatan-menteri-archandra-dimungkinkan-cacat pada 9 Agustus 2017
Hendra Pasuhuk, Ribut Kewarganegaraan Ganda Archandra Tahar, Harapan BagiDiaspora Indonesia, diakses dari: http://www.dw.com/id/ribut-kewarganegaraan-ganda-arcandra-tahar-harapan-bagi-diaspora-indonesia/a-19475917 pada 20 Mei 2017
Mohamad Agus Yozami, Diduga Tak Miliki Kewarganegaraan, Presiden DimintaTanggung Jawab Soal Archandra, diakses dari:http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b2b6af300c1/diduga-tak-miliki-kewarganegaraan--presiden-diminta-tanggung-jawab-soal-archandra pada 15Juli 2017
Jerome Wirawan, Proses Pengangkatan Archandra Tahar Menjadi WNI DinilaiMelanggar Hukum, Diakses dari:http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160908_indonesia_arcandra_wni#orb-banner pada 21 Desember 2016
https://www.researchgate.net/publication/47734956_Pembentukan_Kabinet_Dalam_Sistem_Pemerintahan_Presidensial_Di_Indonesia_Pasca_Amandemen_UUD_1945 diakses pada 11 Maret 2017 Pukul 19.34
http://www.kemlu.go.id/dili/id/layanan_WNI_BHI/Pages/memperoleh_kembali_kewarganegaraan.aspx diakses pada 11 Maret 2017 Pukul 23:17
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f38f89a7720/pejabat-negara-dan-pejabat pemerintahan, diakses pada 12 Desember 2016
73
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesian
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Wakil Menteri
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83/P Tahun 2016 tentang PenggantianBeberapa Menteri Negara Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 94/P Tahun 2016 tentangPemberhentian dengan Hormat Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi danSumber Daya Mineral
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/P Tahun 2016 tentangPengangkatan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: AHU-1 AH.10.01 Tahun2016 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Atas Nama ArcandraTahar.
Wawancara
Wawancara pribadi dengan Abdul Ghani Abdullah, Guru Besar Hukum Tata NegaraUIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, 29 Mei pukul 09.00
PRES IDENREPUBLII( INDONESIA
SALIITIAN
KEPUTUSAN PRESIDEI{ REPUBLIK INDOIVBSIANOMOR 83lP TAHUTI 2016
TENTA}{GPENGGAN?IA$ BEBERAPA MENTERI I{EGARA I(ABINE:r KERJA
PERIODE TA}IUII 2A L4-2AL9
DEilGAI{ RAHMAT TUHAN YA$G MAHA ESA,PRESIDpI{ REPUBLIK IITDONESIA,
Menimbang
Mengingat
a. bahwa untuk lebih meningkatkan kinerja Kabinet KerjaPeriode Tahun 2O|4-2OL9, dipandang perlu melakukanpenggantian beberapa Menteri Negara Kabinet Kerja PeriodeTahun 2Ol4-2O19 yang ditetapkan pengangkatannyadengan Keputusan Presiden Nomor 121l? Tahun2Ol4 tanggal 27 Oktober 2014 dan Keputusan PresidenNornor 791? Tahun 2015 tanggal 12 Agustus 2O15;
b. bahwa mereka yang namanya tercantum pada DiktumKEDUA Keputusan Presiden ini, dipandang mampu dancakap untuk diangkat sebagai Menteri Negara KabinetKerja Dalam Sisa Masa Jabatan Periode Tahun 2A14-2O19;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a danb, perlu menetapkan pemberhentian dengan hormatmereka yang namanya tercantum pada Diktum KESATUsebagai Menteri Negara Kabinet Kerja Periode Tahun2A74-2019 dan pengangkatan mereka yang namanyatercantum pada Diktum I(EDUA Keputusan Presiden inisebagai Menteri Negara Kabinet I(erja Dalam Sisa MasaJabatan Periode Tahun 2AA-2O79.
1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentangKementerian Negara {Lernbaran Negara Republik IndonesiaTahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4916\.
MEMUTUSKAN:
PRTS IDENREPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSATS PRPSIIDEI{ RINOMOR 83/P TAIIUN 2016TANGGAL 27 JULI 2016
MEMUTUSKAN:
MenetapKan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGGANTIAN BBBtrRAPAMENTERI NEGARA KABINET KBRJA PERIODE TAHUN2014-2A19
KESATU : Memberhentikan dengan hormat sebagai Menteri NegaraKabinet Kerja Periode Tahun 2Ol4-2O19, masing-masing:
I Sdr. Luhut BinsarPanjaitan
-2-
3
4
2. Sdr. Rizal Ramli
Sdr. BambangBrodjonegoro
Sdr" Anies Baswedan
5. Sdr. Saleh Husin
6. Sdr. Thomas TrikasihLembong
7. Sdr. Sudirman Said
B. Sdr. Ignasius Jonan
9. Sdr. Marwan Jafar
10. Sdr. Ferry MursyidanBaldan
- Menteri KoordinatorBidang Politik, I{ukum,dan Keamanan;
- Menteri KoordinatorBidang l(emaritiman;
- Menteri Keuangan;
- Menteri Pendidikan danKebudayaan;
- Menteri Perindustrian;
- Menteri Perdagangan;
- Menteri Energi danSumber Daya Mineral;
- Menteri Perhubungan;
- Menteri Desa,Pembangunan DaerahTertinggal, danTransmigrasi;
- Menteri Agraria dan TataRuangl Kepala BadanPertanahan Nasional;
11. Sdr. Soffan Djalil . . .
PRESIDENREPUBLIK TNDONESIA
10. Sdr. Sofoan Djalil
11. Sdr. Bambang
Brodjonegoro
72. Sdr. Asman Abnur
KEPUTUSAN PRESIDEN RIrrroMoR 83/P TAHUN 2016TANGGAL 27 JULI 2016
- Menteri Agraria dan Tata
Ruang/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional;
- Menteri Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Kepala Badan
Perencanaan
Pembangunan Nasional;
- Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi.
-4-
KETIGA Keputusan Presiden ini mulai berlaku sejak saat pelantikanMenteri Negara Kabinet I(erja Dalam Sisa Masa JabatanPeriode Tahun 2OI4-2OL9 sebagaimana dimaksud pada
Diktum KEDUA l(eputusan Presiden ini.
SALINAN Keputusan Presiden ini disampaikan kepada:
1. Ketua Majelis Permusyawaratan Ratryat;
2. I(etua Dewan Perwakilan Rakyat;
3. Ketua Dewan Perwakilan Daerah;
4. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
5. Ketua Mahkamah Agung;
6. Ketua Mahkamah Konstitusi;
7. Para Menteri Negara Kabinet Kerja Periode Tahun20t4-2019;
8. Kepaia Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
Jakarta I.
PETIKAN . . .
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN PRESIDEN RINOMOR 83lP TATTUN 2OL6TANGGAL 27 JULI 2016
-b-
PETIKAN Keputusan Presiden ini disampaikan kepada masing-
masing yang bersangkutan untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakartapada tanggal 27 Juli 2016PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.JOKO WIDODO
Disalin sesuai dengan aslinya:SEKRETARIAT NEGARA
INDONESIAAdministrasi Aparatur
I