Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc. · akan dikaji melalui tinjauan kritis seputar ‚ijtihad‛ andalan...

25
1 | Studi Kritik Atas Metodologi Tafsir Nas} r H> amid Abu> Zaid dan Dampaknya Terhadap Pemikiran Keagamaan Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc. 1 I. Mukaddimah Liberalisasi pemikiran keagamaan Islam yang dewasa ini diklaim sebagai ‚pembaruan pemikiran Islam‛, yang mengusung paham-paham dan idiologi Barat seperti sekularisme, pluralisme, feminisme dan lain-lain, ternyata semuanya tidak terlepas dari paham relativisme kebenaran. 2 Reltivisme kebenaran merupakan sebuah paham dengan doktrin bahwa disana tidak ada sebuah nilai yang memiliki kelebihan atas nilai-nilai yang lain, termasuk agama. Agama tidak berhak mengklaim memiliki kebenaran absolut. Ia hanya dipahami sama dengan persepsi manusia sendiri yang sifatnya relatif. 3 Paham ini jika dikaitkan dengan penafsiran kitab suci maka akan merelatifkan seluruh penafsiran. Semua penafsiran adalah relatif. Tidak ada penafsiran yang lebih tinggi dari penafsiran lain, semuanya relatif kepada masing-masing penafsir, sesuai latar belakang sosial, budaya, pendidikan dan kecenderungan mereka. Di dunia Arab, salah satu tokoh penting yang mengusung relativitas tafsir adalah Nas} r H>mid Abu> Zaid, dengan pemikiran dekonstruktifnya terhadap konsep wahyu dan metodologi barunya dalam menafsirkan Al-Qur’a>n. Dengan wacana ‚pembaruan‛-nya ini ia cukup dikenal di kalangan akademisi studi Islam di Indonesia, di samping Mohammed Arkoun, Mohammed Syahru> r, ‘A>bid Al-Ja> biri dan para pemikir liberal lainnya. Ia dijadikan sebagai rujukan penting, pemikiran-pemikirannya dipuja nyaris tanpa kritik, meski di negara asalnya ia divonis murtad oleh pengadilan tinggi Mesir. Mengomentari buku-buku Abu> Zaid, Prof. Amin Abdullah, Rektor UIN Yogyakarta, misalnya berkata: ‚Ternyata isinya memang bagus dan sesuai dengan perkembangan studi Islam kontemporer. Saya kira, tema seperti Naqd ‘l- khit} a> b al-Di>ny merupakan tema yang cocok untuk dibahas di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam).‛ 4 Dengan wacananya ini Abu> Zaid mencoba membongkar keyakinan Umat Islam yang selama ini telah mapan. Ia berusaha menghilangkan sakralitas Al-Qur’a>n dengan menganggapnya sebagai produk budaya. Menurutnya Al-Qur’a>n hanyalah respon spontan terhadap kondisi masyarakat ketika ia turun sehingga sifatnya kontekstual. Oleh karenanya, penafsirannya pun harus melalui pendekatan konteks, bahkan tanpa perlu mempedulikan teks, karena pemahamannya selalu berubah dan berkembang dari masa ke masa sesuai dinamika zaman. Penafsirannya pun diserahkan kepada siapa saja, dengan latar belakang apa saja, serta sesuai kecendrungan dan kebutuhan zamannya. Akhirnya penafsiran terhadap teks-teks keagamaan menjadi relatif seluruhnya, tergantung siapa yang menafsir. Akibatnya, 1 Peserta Program Kaderisadi Ulama ISID Gontor angkatan VI 2 Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan setidaknya ada lima agenda utama upaya liberalisasi pemikiran keagamaan di Indonesia, yaitu: a) Menyebarkan paham relativisme kebenaran, b) Melakukan kritik terhadap Al-Qur’a>n, c) Menyebarkan paham Pluralisme Agama, d) Wacana Dekonstruksi Syariah, e) Feminisme/Gender... Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (CIOS-ISID-Gontor, 2010), hal. 92 dst. 3 Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 92 4 Henri Shalahuddin, Al-Qur’a>n Dihujat, (Jakarta: Al-Qalam, 2007), hal. 86

Transcript of Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc. · akan dikaji melalui tinjauan kritis seputar ‚ijtihad‛ andalan...

1 |

Studi Kritik Atas Metodologi Tafsir Nas}r H>amid Abu> Zaid

dan Dampaknya Terhadap Pemikiran Keagamaan

Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc.1

I. Mukaddimah

Liberalisasi pemikiran keagamaan Islam yang dewasa ini diklaim sebagai ‚pembaruan

pemikiran Islam‛, yang mengusung paham-paham dan idiologi Barat seperti sekularisme,

pluralisme, feminisme dan lain-lain, ternyata semuanya tidak terlepas dari paham relativisme

kebenaran.2 Reltivisme kebenaran merupakan sebuah paham dengan doktrin bahwa disana

tidak ada sebuah nilai yang memiliki kelebihan atas nilai-nilai yang lain, termasuk agama.

Agama tidak berhak mengklaim memiliki kebenaran absolut. Ia hanya dipahami sama

dengan persepsi manusia sendiri yang sifatnya relatif.3 Paham ini jika dikaitkan dengan

penafsiran kitab suci maka akan merelatifkan seluruh penafsiran. Semua penafsiran adalah

relatif. Tidak ada penafsiran yang lebih tinggi dari penafsiran lain, semuanya relatif kepada

masing-masing penafsir, sesuai latar belakang sosial, budaya, pendidikan dan kecenderungan

mereka.

Di dunia Arab, salah satu tokoh penting yang mengusung relativitas tafsir adalah Nas}r

H>mid Abu> Zaid, dengan pemikiran dekonstruktifnya terhadap konsep wahyu dan metodologi

barunya dalam menafsirkan Al-Qur’a>n. Dengan wacana ‚pembaruan‛-nya ini ia cukup

dikenal di kalangan akademisi studi Islam di Indonesia, di samping Mohammed Arkoun,

Mohammed Syahru>r, ‘A>bid Al-Ja>biri dan para pemikir liberal lainnya. Ia dijadikan sebagai

rujukan penting, pemikiran-pemikirannya dipuja nyaris tanpa kritik, meski di negara asalnya

ia divonis murtad oleh pengadilan tinggi Mesir. Mengomentari buku-buku Abu> Zaid, Prof.

Amin Abdullah, Rektor UIN Yogyakarta, misalnya berkata: ‚Ternyata isinya memang bagus

dan sesuai dengan perkembangan studi Islam kontemporer. Saya kira, tema seperti Naqd ‘l-

khit}a>b al-Di>ny merupakan tema yang cocok untuk dibahas di lingkungan IAIN atau PTAI

(Perguruan Tinggi Agama Islam).‛4

Dengan wacananya ini Abu> Zaid mencoba membongkar keyakinan Umat Islam yang

selama ini telah mapan. Ia berusaha menghilangkan sakralitas Al-Qur’a>n dengan

menganggapnya sebagai produk budaya. Menurutnya Al-Qur’a>n hanyalah respon spontan

terhadap kondisi masyarakat ketika ia turun sehingga sifatnya kontekstual. Oleh karenanya,

penafsirannya pun harus melalui pendekatan konteks, bahkan tanpa perlu mempedulikan

teks, karena pemahamannya selalu berubah dan berkembang dari masa ke masa sesuai

dinamika zaman. Penafsirannya pun diserahkan kepada siapa saja, dengan latar belakang apa

saja, serta sesuai kecendrungan dan kebutuhan zamannya. Akhirnya penafsiran terhadap

teks-teks keagamaan menjadi relatif seluruhnya, tergantung siapa yang menafsir. Akibatnya,

1 Peserta Program Kaderisadi Ulama ISID Gontor angkatan VI

2 Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan setidaknya ada lima agenda utama upaya liberalisasi pemikiran

keagamaan di Indonesia, yaitu: a) Menyebarkan paham relativisme kebenaran, b) Melakukan kritik terhadap

Al-Qur’a>n, c) Menyebarkan paham Pluralisme Agama, d) Wacana Dekonstruksi Syariah, e)

Feminisme/Gender... Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (CIOS-ISID-Gontor, 2010),

hal. 92 dst. 3 Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 92

4 Henri Shalahuddin, Al-Qur’a>n Dihujat, (Jakarta: Al-Qalam, 2007), hal. 86

2 |

tafsir-tafsir ulama, hukum-hukum Syariat, konsep-konsep nilai, bahkan bangunan keilmuan

Islam akan berusaha didekonstruksi seluruhnya, karena semua itu relatif dan bisa berubah.

Itulah fenomena yang mendorong untuk mengkaji sejauh mana ‚kebenaran‛ paham

relativitas tafsir ini sehingga ia bisa merelatifkan dan mendekonstruksi semuanya. Hal ini

akan dikaji melalui tinjauan kritis seputar ‚ijtihad‛ andalan Nas}r H}amid Abu> Zaid, yaitu

bahwa ‚Al-Qur’a>n produk budaya‛ (dekonstruksi konsep wahyu) dan ‚Kontekstualisasi

Penafsiran Al-Qur’a>n‛ (dekonstruksi metodologi penafsiran). Kajian ini juga mencoba

mengklafirikasi sejauh mana tafsir itu relatif dan apa saja dampak negatif paham relativitas

tafsir ini terhadap Pemikiran Keagamaan Islam.

II. Relativitas Tafsir Dalam Pemikiran Abu> Zaid

Relativitas tafsir sangat jelas terlihat dalam pemikiran-pemikiran Abu> Zaid. Ia

misalnya mengatakan: ‚Kita harus menerima, seperti dinyatakan oleh Louis Althussr, bahwa

tak ada satupun pembacaan yang obyektif.‛5 Ini artinya bahwa semua penafsiran sangat

relatif dan subyektif, tergantung masing-masing pembaca. Ia juga mencatat:

اعم ض د ثاتد دث طل ى دث رعشع —ذس دذثا درى ا—إ امشآ

إ رذشن رعذد تذالر. إ اثثاخ طفاخ اطك ،اإلغا ظثخ "فا" فمذ طفح اثثاخ

. امشآ ض مذط ادح طل ى ظثخ فا امذط أا اإلغا ف غث رغش

... تاغث ارغش أي جح اإلغا رذي إى ض إغاى "رأغ"

‚Sesungguhnya Al-Qur’a>n—yang menjadi poros pembicaraan kita hingga saat ini—

adalah teks agama yang permanen dari sisi lafaznya, tetapi dari sisi akal manusia

berinteraksi dengannya dan ia menjadi ‚sesuatu yang dipahami (konsep)‛, ia

kehilangan sakralitasnya. (Pemahaman)nya selalu bergerak dan beragam. Permanen

adalah sifat wahyu yang mutlak dan sakral, sementara pemahaman manusia adalah

relatif dan profan. Maka Al-Qur’a>n adalah teks sakral dari sisi lafaznya, tetapi

kemudian menjadi konsep yang dipahami oleh manusia yang relatif dan berubah,

sehingga ia bergeser menjadi teks manusiawi...‛6

Dalam kutipan ini tampak jelas Abu> Zaid mendikhotomi antara wahyu dan pemahaman

terhadap wahyu. Menurutnya, agama adalah kumpulan ‚teks-teks suci yang tetap‛ secara

historis, sedangkan pemikiran keagamaan adalah segala usaha ‚ijtihad pemikiran manusia‛

untuk memahami teks-teks agama.7 Jika tafsir adalah pemahaman yang timbul dari usaha

manusia memahami teks wahyu maka tafsir tentu saja bersifat relatif dan tidak bisa menjadi

pemahaman universal yang harus diikuti oleh seluruh manusia. Sementara dalam bukunya

Isyka>liya>t ‘l-Qira>’ah wa A>liya>t ‘l-Ta’wi>l versi terjemahan (Hermeneutika Inklusif) ia juga

menegaskan keraguannya bahwa manusia tidak mungkin dapat memastikan bahwa mereka

memahami kehendak Tuhan dari firman-Nya. Ia menulis: ‚Problem ini adalah bagaimana

mungkin makna obyektif teks Al-Qur’a>n dapat dicapai? Apakah menangkap ‘maksud’ Tuhan

dengan segala kesempurnaan dan keabsolutan-Nya termasuk dalam jangkauan kemampuan

manusia dengan segala keterbatasan dan kekuarangannya?‛8 Jadi, berdasarkan kutipan-

5 Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Isyka>liya>t ‘l-Qira>’ah wa A>liya>t ‘l-Ta’wi>l, hal. 228. Dikutip dari Fahmi Salim

Zubair, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’a>n Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), hal. 315 6 Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd al-Khitâb ‘l-Di>ny, (Kairo: Si>na> li ‘l-Nasyr, 1994) hal. 126

7 Ibid, hal. 185

8 Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Hermeneutika Inklusif, Judul asli: Isyka>liya>t ‘l-Qira>’ah wa A>liya>t ‘l-Ta’wi>l,

(Jakarta: ICIP, 2004), hal. 7

3 |

kutipan di atas tampak bahwa relativitas tafsir dalam pandangan Abu Zaid berangkat dari

dikhotomi antara wahyu dan pemahaman terhadap wahyu serta asumsi bahwa manusia yang

relatif mustahil memahami wahyu Tuhan yang absolut.

III. Metodologi Abu> Zaid Dalam Merelatifkan Tafsir

Penafsiran yang hendak direlatifkan oleh Abu Zaid lebih tepatnya adalah penafsiran

para ulama yang masih berpegang pada metodologi tafsir klasik, tentu saja dengan senjata

‚dikhotomi antara wahyu dan pemahaman terhadap wahyu‛ dan ‚asumsi bahwa manusia

yang relatif mustahil memahami wahyu Tuhan yang absolut ‛ di atas. Dengan senjata ini

akan sangat mudah mengatakan bahwa penafsiran-penafsiran para ulama terdahulu hanya

sekedar pemahaman terhadap wahyu yang semuanya bersifat relatif, karena pemahaman

terhadap wahyu bukanlah wahyu itu sendiri. Dengan senjata ini sangat mudah bagi Abu> Zaid

mengatakan bahwa pembacaan terhadap teks-teks keagamaan hingga saat ini belum ada

yang menghasilkan interpretasi yang bersifat ilmiah-obyektif (‘ilmy-mawd}u>‘iy). Tafsir-rafsir

yang tenggelam dalam mistik dan mitos (khura>fah wa ust}u>rah) karena sangat literal dan

tekstual.9 Bahkan sangat mudah baginya mengatakan bahwa penafsiran Nabi sekalipun

bersifat relatif dan tidak sesuai dengan kehendak wahyu Tuhan.10

Dari sini ia kemudian

sebuah proyek baru yang ia sebut istilah Al-Masyru>‘ al-Istiksya>fy (proyek penyelidikan).

Tentang proyek barunya ini Abu Zaid mengatakan:

ترذذذ ارأ اضاد ظص ارخض عمذج ارألذ آ األا خشج زا اأصق "

اششع االعرىشاف.." آر فى إراج اذالح، زاطثعح اظص اذ

‚Telah tiba saatnya untuk keluar dari dilema ini dan melepaskan diri dari

keterpasungan interpretasi yang berlawanan dengan teks-teks (Al-Qur’a>n dan Hadits)

dengan cara membatasi tabiat teks-teks keagamaan dan mekanismenya dalam

melahirkan makna, dan inilah yang disebut proyek penyelidikan (penafsiran)...‛11

Kutipan di atas menunjukkan bahwa proyek baru yang diinginkan oleh Abu Zaid terdiri

dari dua langkah utama: Yang pertama adalah membatasi tabiat teks-teks keagamaan,

dengan kata lain memberikan definisi ulang tentang konsep wahyu (dekonstruksi konsep

wahyu). Yang kedua, membatasi mekanisme teks wahyu dalam melahirkan makna, dengan

kata lain melahirkan metodologi baru dalam memahami teks-teks wahyu (dekonstruksi

metodologi tafsir). Dua hal inilah yang akan coba diulas dalam pembahasan-pembahasan

berikut. Namun, sebelum masuk ke pembaasan, perlu diberikan sedikit catatan, bahwa

proyek baru Abu Zaid ini justru menunjukkan ketidakkonsistenannya dalam berpikir. Sebab,

untuk apa ia membawa proyek baru jika pada akhirnya akan diruntuhkan oleh senjata

miliknya sendiri yaitu ‚dikhotomi‛ dan ‚asumsi‛ di atas. Karena senjata ini pada akhirnya

akan mem-buldozer semua pemikiran dan penafsiran manusia, termasuk pemikiran dan

penafsiran Abu Zaid. Jika semua penafsiran ulama relatif, maka bagimanakah dengan

penafsiran yang dihasilkan oleh metodologi tafsir baru Abu Zaid ini, apakah relatif atau

absolut? Apakah metodologi barunya ini mampu pada akhirnya menyingkap kehendak Tuhan

pada wahyu-Nya yang absolut itu? Jika penafsiran yang ia datangkan tetap relatif dan bahwa

manusia—termasuk Abu Zaid—tidak akan mampu memahami kehendak Tuhan yang

9 Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd ‘l-Khit}a>b ‘l-Di>ny, hal. 62

10 Ibid, hal. 126

11 Ibid, hal. 63

4 |

absolut, lantas apa bedanya ia dengan para ulama yang lain? Kalau demikian, apa nilai serta

urgensi konsep wahyu dan metodologi tafsir baru yang ia bawa jika akhirnya penafsiran

terhadap wahyu tetap relatif dan tak mampu menyingkap kehendak Tuhan?

1. Dekonstruksi Konsep Wahyu (Tah}di>d Thabi>‘at ‘l-Nas}s})

Dengan mengkaji tafsir-tafsir kontroversial Abu Zaid, hemat penulis, metodologi

penafsiran baru yang ia bawa, itulah tujuan utama Abu Zaid, karena metodologi tersebut

menurutnya dapat mengeluarkannya dari ‘keterpasungan interpretasi’. Dekonstruksi konsep

wahyu hanyalah pelicin jalan menuju pembuangan sakralitas Al-Quran supaya metodologi

penafsiran barunya mudah diterima. Maka masuklah ia melalui pintu dekonstruksi terhadap

‚konsep wahyu‛ yang selama ini diimani oleh kaum Muslimin dengan cara memodifikasi

konsep baru tentang wahyu.

Bagi Abu Zaid, Al-Qur’a>n turun melalui dua tahap. Pertama adalah tahap tanzi>l yaitu

proses turunnya teks Al-Qur’a>n secara vertikal dari Alla>h kepada Jibri>l. Kedua, tahap

wahyu/kala>m, yaitu proses Jibri>l menyampaikan wahyu kepada Muhammad. Ia

mengilustrasikannya dengan gambar berikut:12

Dari ilustrasi gambar di atas, tampak bahwa Abu> Zaid cenderung mengatakan Al-

Qur’a>n dibahasaarabkan oleh Jibri>l dan disampaikan kepada Muhammad Saw, karena ia

meletakkan anak panah horizontal dari Jibri>l kepada Muhammad—yang menunjukkan bahwa

Jibri>l satu level dengan Muhammad Saw—dan memberinya keterangan: ‚Wahyu/kala>m (Al-

Qur’a>n verbal yang berbahasa Arab)‛. Adapun yang berasal dari Allah kepada Jibri>l, ia hanya

menyebutnya sebagai Tanzi>l atau proses penurunan, dengan anak panah vertikal dari atas ke

bawah.

Lebih jauh menegaskan konsep wahyunya di atas, ia mempermasalahkan proses tanzi>l

Al-Qur’a>n dari Alla>h kepada Malaikat Jibril, dan dari Jibri>l kepada Muhammad Saw dengan

menukil perbedaan pendapat seputar hal ini dari kitab Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m ‘l-Qur’a>n karya

Al-Zarkasyi. Pendapat pertama adalah pendapat bahwa Al-Qur’a>n turun dengan lafaz dan

maknanya dari Alla>h, dan pendapat kedua mengatakan bahwa Al-Qur’a>n turun kepada Jibri>l

hanya maknanya saja, kemudian Jibri>l membahasakannya dengan bahasa Arab ketika

menyampaikannya kepada Muhammad, dan pendapat ketiga, Al-Qur’a>n turun secara makna

12

Nas}r H>mid Abu> Zaid, Mafhu>m ‘l-Nas}s}, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mis}riyyah al-’A>mmah li ‘l-Kita>b,

1990), hal. 47

Tanzi>l

Allah

Jibril Muhammad

Wahyu/Kala>m

5 |

kepada Jibri>l, lalu Jibri>l menyampaikannya kepada Muhamad juga secara makna, dan

Muhammad lah yang membahasakannya dengan menggunakan medium bahasa Arab.13

Dalam buku konsep wahyunya ini (Mafhu>m ‘l-Nas}s}) Abu> Zaid tidak secara lugas

memilih salah satu dari tiga pendapat tersebut, namun ilustri gambar di atas menunjukkan ia

cenderung kepada pendapat kedua. Namun, kesan dari gambar kedua ini (bahwa Jibri>l yang

membahasaarabkan Al-Qur’a>n) faktanya kontradiksi dengan sekian banyak statemen Abu>

Zaid yang menunjukkan bahwa Al-Qur’a>n adalah produk budaya (muntaj tsaqa>fy) yang

terbentuk di dalam realitas dalam jangka waktu lebih dari 20 tahun.14

Baginya, Al-Qur’a>n

bukanlah sesuatu yang transenden dan berbeda di luar realitas, atau melampaui hukum

realitas. Justru wahyu adalah bagian dari konsep-konsep budaya serta berasal dari syarat dan

ketentuan kebudayaan yang berlaku.15

‚Realitaslah yang memproduksi teks.‛16

‚Pada fase

terbentuknya teks di dalam budaya, budaya menjadi subyek (produsen) dan teks menjadi

obyek (produk)...‛17

Statemen-statemen di atas menunjukkan bahwa Al-Qur’a>n

dibahasaarabkan oleh Muhammad Saw. Hal ini karena konsekuensi logis mengatakan, ‚Al-

Qur’a>n produk budaya‛ ialah manusialah yang memproduk Al-Qur’a>n itu. Sebab tidak ada

budaya tanpa manusia, manusialah yang melahirkan budayanya. Dengan demikian, statemen

Al-Qur’a>n produk budaya secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa Al-Qur’a>n adalah

produk Muh}ammad yang hidup dipengaruhi oleh budaya Arab.

Akan tetapi, meski menurut Abu> Zaid Al-Qur’a>n adalah produk budaya, namun ia

tetap mengakui bahwa Al-Qur’a>n bersumber dari Tuhan. Ia mengatakan:

ثمافح ار ذشىد ف إطاسا تأي داي األداي. غد اظص اذح ظطا فاسلح ثح ا

اظذس اإل ره اظص ال غ إطاللا دممح وا ظطا غح تى ا ذع اغح

اسذثاط تاضا اىا...

‚Bagaimanapun teks-teks keagamaan tidaklah terpisah dengan kerangka kebudayaan

yang melingkupinya. Wujud teks yang bersumber dari Tuhan sama sekali tidak

menafikan hakikatnya sebagai teks linguistik yang sangat terkait dengan zaman dan

tempatnya...‛18

Konsep wahyu menurut Abu> Zaid ini tentu saja sangat problematis, setidaknya karena

hal-hal berikut:

Pertama: Konsep wahyu Abu> Zaid ini bahwa Al-Quran adalah produk budaya, dengan

kata lain: produk manusia, tentu saja sangat bertentangan dengan konsep wahyu menurut Al-

Qur’a>n yang keyakinan Umat Islam. Wahyu sebagaimana ditegaskan Al-Qur’a>n sendiri

adalah:

. زس ا ثه رى . عى ل ح األ اش . ضي ت عا سب ا ض ر إ ث عشت تغا

(195-192)اشعشاء:

‚Dan sesungguhnya Al-Qur’a>n ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia

dibawa turun oleh Ar-Ru>h Al-Ami>n (Jibri>l). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu

13

Ibid, hal. 50 14

Ibid, hal. 27 15

Ibid, hal. 34 16

Ibid, hal. 109 17

Ibid, hal. 200 18

Nas}r Ha>mid Abu> Zaid, Al-Nas}s} wa ‘l-S}ult}ah wa ‘l-Haqi>qah, (Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqa>fy al-‘Araby,

1995) hal. 92

6 |

menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab

yang jelas.‛ [QS. Al-Syu‘ara>’: 192-195].

Ayat-ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa Al-Qur’a>n adalah tanzi>l (wahyu yang

diturunkan) oleh Alla>h melalui perantara Jibri>l ke dalam hati Muhammad. Ayat ke-195

menegaskan lagi bahwa wahyu tersebut turun dari Alla>h dengan menggunakan bahasa Arab,

bukan karena dibahasakan oleh Jibri>l atau Muhammad. Banyak sekali ayat di dalam Al-

Quran yang menunjukkan bahwa wahyu turun dari Allah dengan bahasa Arab. Sebagai

contoh, firman Allah Swt: ‚Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’a>n dengan

berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.‛ [QS. Yu>suf: 2].19

Al-Qur’a>n turun dari Alla>h

dengan Bahasa Arab berarti bahwa Al-Qur’a>n turun dari Allah dengan lafaz dan maknanya

sekaligus, karena bahasa Arab itu adalah lafaz dan makna, bukan makna saja.

Bagi Umat Islam, Al-Qur’a>n adalah Kala>mulla>h20 yang diturunkan kepada Nabi-Nya

21

dan Allah pelihara sendiri,22

tak ada sedikitpun campur tangan manusia di dalamnya.23

Seandainya Muh}ammad berani menambah atau mengurangi sedikitpun dari Al-Qur’a>n,

niscaya Alla>h akan memotong urat nadi jantungnya.24

Tentu saja yang dipelihara oleh Allah

di sini adalah lafaz dan makna Al-Quran, karena jika hanya makananya saja tanpa lafaz

berarti di sana ada campur tangan manusia ataupun malaikat. Maka tak heran jika Syaikh

Abdul Az}i>m Al-Zurqa>ny dalam kitabnya Mana>hil ‘l-‘Irfa>n, mengatakan bahwa pendapat

kedua dan ketiga yang dinukil oleh Al-Zarkasyi di atas adalah pendapat yang sangat keji,

bertentangan dengan Al-Qur’a>n, Sunnah dan Ijma>‘, serta merupakan pendapat yang

dipalsukan atas nama kaum Muslimin.25

Al-Zarkasyi sendiri, demikian pula Al-Suyu>t}y yang

menukil pendapat ini tidak menyebutkan siapa orang yang berkata demikian.26

Adapun masalah realitas mekanisme penurunan wahyu dari Alla>h kepada Jibri>l dan dari

Jibri>l kepada Muh}ammad Saw tentu saja merupakan perkara gaib yang tidak kita ketahui

hakikatnya, kecuali sebatas informasi yang dikabarkan oleh Alla>h dan Rasul-Nya. Alla>h

19

Banyak sekali ayat-ayat yang menegaskan bahwa Al-Qur’a>n diturunkan oleh Alla>h dengan berbahasa

Arab, bukan karena dibahasakan oleh Jibri>l atau Muhammad Saw. Di antara ayat-ayat tersebut: Al-Nah}l: 103,

Al-Ra‘d:37,T}a>ha>: 113, Fus}s}ilat: 2, Al-Zukhruf: 3, Al-Zumar: 28, Al-Syu>ra>: 7, Al-Ah}qa>f: 12, dll. 20

QS. Al-Baqarah: 75, QS. Al-Taubah: 9. Rasulullah bersabda: ‚Adakah seorang yang mau membawaku kepada kaumnya, karena Quraisy telah mencegahku menyampaikan Kalam Tuhanku.‛ [HR. Abu> Da>wu>d,

Ahmad, Ibnu Ma>jah dan Al-Da>rimi] 21

Lihat juga: QS. Al-Isra>’: 106, QS. T}a>ha>: 4, QS. Al-Syu’ara>’: 192, QS. Al-Sajadah: 2, QS. Ya>si>n: 36,

QS. Al-Zumar: 1, QS. Gha>fir: 2, QS. Fus}s}ilat: 4 dan 42, QS. Al-Ja>tsiyah: 43, QS. Al-Insa>n: 23. 22

‚Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’a>n dan pasti Kami pula yang memiliharanya.‛ [QS.

Al-H}ijr: 9]. 23

‚..Dan sesungguhnya Al-Qur’a>n itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’a>n) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.‛ [QS. Fus}s}ilat: 41-42]. Mengomentari ayat ini Imam Ibnu Jari>r Al-T}abary berkata:

‚Sesungguhnya kitab ini adalah kitab yang mulia, dengan Alla>h memuliakannya dan menjaganya dari siapa saja

yang handak mengganti, menyelewengkan atau mengubahnya, baik oleh manusia, jin maupun syetan yang

durhaka.‛ Lihat: Ibnu Jari>r Al-T}abary, Ja>mi’ ‘l-Baya>n ‘an Ta’wi>li A>y ‘l-Qur’a>n, ed. Ahmad Muh}ammad Sya>kir,

(Riya>dh: Mu’assasah Al-Risa>lah, 2000), 21/479. 24

‚Seandainya dia (Muh}ammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.‛ [QS.

Al-Ha>qqah: 44-46] 25

Abdul ‘Az}i>m Al-Zurqa>ny, Mana>hil ‘l-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m ‘l-Qur’a>n, (Beirut: Da>r ‘l-Kita>b al-‘Araby, 1995),

hal. 43-44 26

Lihat: Al-Zarkasyi, Al-Burha>n fi> ‘U>lu>m ‘l-Qur’a>n, (Kairo: Da>ru ‘l-H}adi>ts, 2006), hal. 160. Al-

Suyu>t}y, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m ‘l-Qur’a>n, ed. Syaikh Syu’aib Al-Arna’u>t}, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2008), hal.

101

7 |

mengabarkan di dalam Al-Qur’a>n bahwa Dia berbicara secara langsung dengan Nabi Mu>sa>27

>,

apakah ini tidak berarti Alla>h bisa saja berfirman secara langsung kepada Malaikat Jibri>l?

Rasulullah Saw juga menginformasikan bahwa Alla>h memfirmankan wahyu secara langsung

kepada Jibri>l sampai-sampai langit yang turut mendengarnya bergemerincing dengan keras

sehingga membuat para penduduk langit pingsan. Ini artinya—sebagaimana dikatakan oleh

Al-Suyu>t}y—Jibri>l menerima wahyu dengan cara mendengarnya.28

Rasulullah bersabda:

تادى عع أ اغاء غاء طظح وجش إرا ذى هللا : » -طى هللا ع ع-لاي سعي هللا

اغغح عى اظفا فظعم فال ضا وزه درى أذ جثش درى إرا جاء جثش فضع ع

)سا أت « فم : ا جثش ارا لاي سته فمي : اذك فم : اذك اذك » لاي : «. لت

داد اثخاسي اطثشا(

Rasulullah Saw bersabda: ‚Apabila Alla>h memfirmankan wahyu, para penduduk

langit mendengar suara gemerincing langit seperti rantai yang di tarik di atas bukit

(batu) Shafa, sehingga mereka pingsan. Mereka masih demikian hingga Jibri>l

mendatangi mereka. Setelah Jibri>l mendatangi mereka, barulah mereka tersadar.

Mereka bertanya: Wahai Jibri>l, apakah yang difirmankan oleh Tuhanmu? Ia

menjawab: Kebenaran. Merekapun berkata: Kebenaran, kebenaran.‛ [HR. Abu

Da>wu>d, Al-Bukha>ry dan Al-T}abara>ny]

Kemudian Nabi Saw menerima wahyu Al-Qur’a>n dari Jibri>l juga dengan lafaz

Bahasa Arab juga sebagaimana difirmankan oleh Allah, yang beliau dengar bagaikan

suara lonceng yang keras yang memakakkan telinga, meskipun suara tersebut adalah suara

gaib yang turun ke dalam hati beliau dan tidak didengarkan oleh manusia yang lain.

Bahkan lebih terang lagi wahyu turun dengan ucapan biasa yang beliau dengar dari Jibri>l

yang menjelma sebagai seorang laki-laki. Ketika Al-H}arits bin Hisya>m bertanya

bagaimana wahyu datang kepada beliau, Nabi Saw menjawab:

ع ا لاي ، أداا رث عى لذ عد فظ ف - أشذ عى -طظح اجشط أداا أذى ث

)سا اثخاسي( ى ا ميع اه سجال فىى فأ ى

‚Terkadang ia (wahyu) datang kepadaku bagaikan suara lonceng, dan inilah yang

paling berat bagiku, kemudian suara itu hilang dan aku telah menyadari apa yang ia

(Jibri>l) ucapkan. Terkadang Malaikat (Jibri>l) menjelma menjadi seorang laki-laki

kemudian berbicara kepadaku dan aku memahami apa yang ia ucapkan.‛ (HR. Al-

Bukha>ri)

Kedua: Pernyataan Abu> Zaid bahwa Al-Qur’a>n bersumber dari Tuhan (mas}dar ila>hy)

terkesan kontradiktif dengan statemennya bahwa Al-Qur’a>n produk budaya. Di satu sisi ia

tidak ingin melepaskan diri untuk mengatakan bahwa Al-Qur’a>n bersumber dari Tuhan,

tetapi di sisi lain ia bersikukuh mengatakan Al-Qur’a>n adalah produk budaya. Kalau

demikian, manakah yang benar: Al-Qur’a>n firman Tuhan ataukah produk Muhammad?!

Setiap ucapan mesti ada sumbernya dan penerima/pendengarnya, dan sangat alami

bahkan merupakan aksioma bahwa setiap ucapan dinisbatkan kepada pengucapnya. Al-

Qur’a>n sumbernya adalah dari Alla>h kemudian diterima oleh Muhammad Saw, lalu

dimanakah letak perubahan yang ia maksud? Bagaimana mungkin sumber ucapan menjadi

lenyap, kemudian ucapan itu menjadi diproduk oleh pendengar? Apakah ketika Abu> Zaid

27

QS. An-Nisa>’: 164 28

Al-Suyu>t}y, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m ‘l-Qur’a>n, hal. 101

8 |

menyampaikan kuliah di hadapan mahasiswa-mahasiswanya, lantas kemudian kuliah itu

berubah dan menjadi milik para mahasiswa yang mendengarnya? Padahal Alla>h Swt

berfirman: ‚Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan

kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Alla>h, kemudian

antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya...‛ [QS. Al-Taubah: 6]. Dalam ayat ini Alla>h

menisbatkan Al-Qur’a>n kepada Diri-Nya (firman Alla>h), padahal orang musyrik yang akan

mendengar Al-Qur’a>n itu pasti akan mendengarnya dari Nabi Saw?29

Ketiga: Di dalam Al-Qur’a>n kata wahyu sangat umum maknanya, bisa berarti ilham

seperti kepada lebah dan Ibu Nabi Mu>sa>, mimpi para nabi, komunikasi langsung antara

Tuhan dengan hamba, pengutusan Jibri>l, dll.30

Jika Al-Qur’a>n turun kepada Muhammad Saw

hanya dengan maknanya, tanpa lafaz, lalu apa bedanya antara wahyu Al-Qur’a>n dengan

wahyu ilham yang juga turun kepada manusia biasa bahkan kepada hewan seperti lebah?

Kalau hanya dengan makna, Jibri>l tak perlu turun menyampaikan Al-Qur’a>n, karena ilham

bisa datang tanpa harus melalui Jibri>l? Kemudian bagaimana mungkin Al-Qur’a>n disebut

mukjizat yang mustahil didatangkan oleh makhluk seluruhnya, padahal lafaznya dari

Muhammad atau Jibril yang kedua-duanya adalah makhluk? Bagaimana mungkin Al-Qur’a>n

disebut sebagai Kala>mulla>h (firman Allah) kalau lafaznya disusun oleh Muhammad atau

Jibril,31

padahal tidak dikenal di dalam bahasa Arab kata kala>m yang hanya berarti makna

ungkapan tanpa lafaz.32

Keempat: Barangkali yang menjadi syubha>t (kesangsian) bagi sebagian orang sehingga

membenarkan bahwa Al-Qur’a>n adalah produk budaya adalah karena dia diucap, didengar

dan ditulis oleh manusia, sementara ucapan, pendengaran dan tulisan itu adalah makhluk,

lalu berkesimpulan bahwa Al-Qur’a>n itu produk budaya. Padahal yang namanya

ucapan/kala>m, siapapun yang menukilnya baik dengan lisan maupun tulisan, tetap saja

ucapan/kala>m adalah milik orang yang pertama kali mengucapkannya, bukan milik orang

yang menukilnya.33

Jauh sebelum Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, Imam Al-Bukha>ry telah

membahas masalah ini secara mendetail dalam buku beliau, Khalqu Af’a>l ‘l-’Iba>d.34

Kesimpulannya adalah harus dibedakan antara: tila>wah/qira>’ah dan matluw/maqru>’, s}aut dan

masmu>‘, kita>bah dan maktu>b. (a) Tila>wah/qira’ah adalah perbuatan manusia membaca

firman Alla>h, perbuatan membaca ini jelas makhluk karena merupakan perbuatan manusia.

29

Muna> Muhammad Bahiyyuddi>n, Al-Tayya>r al-’Alma>ny al-H}adi>ts, (Kairo: Da>r ‘l-Yusr, 1429) hal. 289-

290. 30

Na>shir bin Abdul Kari>m al-‘Aql, Al-Itijaha>t al-‘Aqla>niyyah al-H}adi>thah, (Riya>dh: Da>r ‘l-Fad}i>lah,

2001) hal. 155-156 31

Abdul ‘Az}i>m Al-Zurqa>ny, Mana>hil ‘l-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m ‘l-Qur’a>n, hal. 44 32

Kha>lid bin ‘Uthma>n Al-Sibt, Mana>hil ‘l-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m ‘l-Qur’a>n, Dira>sah wa Taqwi>m, hal. 177 33

Ibnu Taimiyah berkata: (اىال وال لا ثرذئا، ال وال تغ ؤدا). Ibnu Taimiyah, Majmu>‘ Fata>wa>, 12/241

34 Imam Al-Bukha>ry, Khalqu Af’a>li ‘l-’Iba>d, (Beirut: Mu’assasah Al-Risa>lah: 1990), 25-26. Imam Ibnu

Taimiyah juga berkata: ىال فظ ا فشق ت ا ا تغ فئ ج تفظ ره اش ش غ تغ وال اضخ فى غ فشق

ث خ ا ط ش ال فظ فغ غ فظ ره ا

فظ ا ش غ خ ره ا ال تظ خ فغ ا تغ تظ ىراتح إ ا مشاءج ا ج ارال فظ

‚Sangat jelas perbedaan antara lafaz kala>m dan suara yang menyampaikan kala>m. Setiap orang yang

menyampaikan kala>m orang lain dengan lafaznya, yang ia lakukan adalah menyampaikan lafaz kala>m

orang itu, bukan kala>m dia sendiri. Tetapi dia menyampaikan lafaz kala>m orang itu dengan suara dia

sendiri bukan dengan suara orang itu. Demikian juga dengan lafz (pengungkapan) tila>wah, qira>’ah

(bacaan) dan kita>bah (tulisan).‛ Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmu>‘ Fata>wa>, 12/74

9 |

Tetapi (b) Matluw/maqru>’ adalah ungkapan yang dibaca dan dilafalkan, yaitu firman Alla>h,

dan firman Alla>h adalah sifat-Nya yang qadi>m. (c) S}aut adalah suara manusia yang

mengucap firman Alla>h, dan tentu saja suara manusia itu makhluk, tetapi (d) Masmu>,

ungkapan yang didengar melalui suara manusia itu adalah Kala>mulla>h, dan kala>m adalah

sifat Alla>h yang qadi>m. (e) Kita>bah, adalah tinta dan kertas yang menuliskan firman Alla>h,

tetapi (f) Maktu>b, ialah ungkapan yang ditulis, dan ungkapan itu adalah firman Alla>h Swt.

Maka tila>wah/qira>’ah, s}aut dan kita>bah, semuanya adalah makhluk, karena merupakan

perbuatan manusia. Tetapi malfu>z}, masmu>‘ dan maktu>b semuanya merujuk kepada

Kala>mulla>h, dan kala>m adalah sifat Alla>h yang qadi>m.35

Berdasarkan pemilahan makna ini,

dapat dipahami bahwa ucapan dan tulisan yang menyampaikan Al-Qur’a>n adalah pembawa

firman Alla>h sehingga ia tetap harus dimuliakan dan tidak boleh direndahkan.

Kelima: Kalaulah Al-Qur’a>n merupakan produk budaya Arab mestinya ia tidak akan

jauh beda dengan tulisan-tulisan sastra yang ada kala itu, karena itu semua juga produk

budaya. Kenyataannya, bangsa Arab yang terkenal dengan kafasihan berbahasa sangat

mengenal siapa Muhammad Saw dan sejauh mana keahliannya berbahasa sebelum wahyu

turun kepadanya, tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani mengatakan bahwa Al-

Qur’an ini adalah ciptaan Muhammad. Hal ini karena mereka melihat perbedaan yang sangat

jelas antara bahasa Al-Qur’a>n dan bahasa Muhammad Saw sendiri, dan karena mereka sangat

mengenal bahwa kefasihan dan keluhuran gaya bahasa Al-Qur’a>n ini terlalu tinggi

melampaui kefasihan berbahasa mereka, dengan ketinggian yang berada di luar batas

kemampuan manusia. Kalaulah ia merupakan produk budayanya niscaya tidak akan

melampaui wawasan dan pengetahun yang ada di tempat dan zamannya. Padahal

perbandingan apapun yang dilakukan terhadap Al-Qur’a>n dengan pengetahun zamannya,

bahkan dengan pengetahun para filosof, Ahlul Kitab, kaum Pagan, bahkan ilmu pengetahuan

modern, akan jelas menyingkap bahwa Al-Qur’a>n dengan keindahan, kefasihan dan

keluhuran bahasanya, serta kebenaran yang dibawanya berupa ajaran akidah, ibadah, akhlak,

adab, muamalah, ilmu pengetahuan, pendidikan, politik, perekonomian, sejarah dan seluruh

isi dikandungnya, telah melampaui zaman, tempat dan manusia seluruhnya.36

Kalaulah Al-Qur’a>n merupakan produk budaya Jahiliyah, bagaimana mungkin ia

kembali mengubah budaya Jahiliyah yang memproduksinya, dan dalam tempo yang sangat

singkat, di mana belum pernah terjadi sepanjang sejarah perubahan keyakinan, tradisi,

budaya dan peradaban secepat itu. Semua itu tidak lain karena perbaikan yang dibawa oleh

Al-Qur’a>n dibangun di atas pondasi iman yang sangat dalam, di mana ia mampu menguasai

jiwa, akal budi, naluri dan kecendrungan manusia serta menghapus kepercayaan dan tradisi

Jahiliyah yang sebelumnya telah lama mendarah daging pada diri bangsa Arab. Pondasi iman

inilah yang tidak mampu dibuat oleh undang-undang dan hukum buatan manusia manapun,

karena paling maksimal yang dapat dilakukan oleh hukum dan undang-undang tersebut

hanyalah menjelaskan fakta, memberikan arahan dan menentukan hukuman, bukan

membawa manusia untuk patuh tunduk berdasarkan keimanan. Sementara Al-Qur’a>n telah

meniupkan pondasi ini ke dalam hati para orang tua, pemuda dan anak kecil, hingga

35

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mukhtas}ar As}-S}awa>‘iq al-Mursalah, hal. 1330-1341. Lihat juga Al-

Baqilla>ny, Al-Ins}a>f, 76, 88-89, 100 dan 110. 36

Muna> Muh}ammad Bahiyyuddin, Al-Tayya>r al-’Alma>ny al-H}adi>ts, (Kairo: Da>r ‘l-Yusr, 1429) hal. 219-

220

11 |

menguasai jiwa raga mereka, serta menjadikan mereka yang anti terhadapnya—sejak

pertamakali ia diturunkan hingga akhir zaman—takut kepadanya, khawatir terhadap

pengaruhnya jika ajaran-ajarannya diamalkan, bahkan mereka lebih takut kepadanya

daripada tentara yang memanggul senjata. Maka dimanakah semua kejayaan Al-Qur’a>n ini

dari realitas yang diagung-agungkan oleh seorang Abu> Zaid?37

Kesimpulannya, Al-Qur’a>n adalah Kala>mullah, yang diturunkan oleh Alla>h melalui

perantara Malaikat Jibri>l, dengan lafaz dan maknanya. Bagaimanapun Al-Qur’a>n dibaca,

dihafal, didengar atau ditulis, Al-Qur’a>n tetap Kala>mulla>h, dan kala>m adalah sifat Alla>h

yang qadi>m pada zat-Nya. Maka tidak ada alasan mengatakan Al-Qur’a>n muncul dalam

sejarah, lalu diklaim bahwa Al-Qur’a>n telah berubah menjadi produk budaya atau ucapan

Muh}ammad Saw. Pendapat semacam ini hanyalah asumsi tanpa dalil. Sebab siapa saja bisa

membantah dan mengklaim sebaliknya, bahwa ketika Al-Qur’a>n turun ke ranah manusia, ia

tetap sebagai Kala>mulla>h dan tetap suci, tidak terpengaruh budaya Arab tetapi justru

mempengaruhi budaya Arab, bahkan mengubah bangsa Jahiliyah itu menjadi bangsa dengan

peradaban tinggi yang mampu mengalahkan dua imperium besar di zaman mereka. Dan ini

bukan klaim semata, tetapi memiliki dalil, karena Alla>h menyebut Al-Qur’a>n sebagai kala>m-

Nya.38

Bahkan Dia mengancam Al-Wali>d bin Al-Mughi>rah dengan azab yang besar ketika ia

berpaling dari Al-Qur’a>n dan menyebutnya sebagai perkataan manusia. Alla>h berfirman:

‚Kemudian ia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu ia berkata: ‘(Al-

Qur’a>n) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain

hanyalah perkataan manusia. Maka Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.‛

[QS. Al-Muddatstsir: 23-26].

2. Dekonstruksi Metodologi Tafsir (Kontekstualisasi Penafsiran)

Setelah mendekonstruksi konsep wahyu, langkah berikutnya yang dilakukan oleh Abu>

Zaid ialah mendekonstruksi metodologi Tafsir para ulama dan menggantinya dengan

metodologi baru. Inilah tujuan utamanya, karena dengan metodologi baru ini ia bisa merdeka

dari ‚kungkungan teks (al-tah}arrur min sult}ati ‘l-nus}u>s})‛. Ia mengatakan: ‚Telah tiba

saatnya mengevaluasi dan melangkah ke era pembebasan, tidak hanya sekedar dari

kungkungan teks-teks agama tetapi juga dari setiap kekuasaan yang mengekang ruang gerak

manusia di dunia ini. Kita harus bertindak sekarang dan cepat, sebelum disapu oleh banjir

bandang.‛39

Dengan metode baru ini penafsiran terhadap teks-teks keagamaan akan sangat

relatif dan tidak permanen, tetapi selalu berkembang seiring perkembangan budaya. Abu>

Zaid mengatakan: Jika teks agama adalah teks manusiawi disebabkan alokasi bahasa dan

kebudayaannya di dalam periode sejarah tertentu—yaitu periode pembentukan teks dan

produksi makna—maka dapat dipastikan bahwa teks itu bersifat historis dalam arti dila>lah

maknanya tidak terlepas dari sistem bahasa dan kultur setempat.‛40

Berdasarkan kutipan di atas, menurut Abu> Zaid, dila>lah makna teks tidak terlepas dari

kultur dan budaya yang melingkupi teks tersebut. Ini berarti bahwa untuk memahami dan

menafsirkan sebuah teks, yang paling penting dilihat adalah konteks budaya yang melahirkan

37

Ibid, hal. 221-223 38

QS. Al-Baqarah: 75, QS. Al-Taubah: 9. Rasulullah Saw bersabda: ‚Adakah seorang yang mau membawaku kepada kaumnya, karena Quraisy telah mencegahku menyampaikan Kala>m Tuhanku.‛ [HR. Abu>

Da>wu>d, Ahmad, Ibnu Ma>jah dan Al-Da>rimy] 39

Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Al-Ima>m Al-Sya>fi’y, (Kairo: Si>na> li ‘l-Nasyr, 1994) hal. 110 40

Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd ‘l-Khit}a>b ‘l-Di>ny, hal. 206

11 |

teks tersebut, bukan teks itu sendiri. Oleh karena itu, bagi Abu> Zaid, konteks adalah segala-

galanya. Makna asli teks bahkan harus dibuang supaya tidak menyia-nyiakan konteks.

Menurutnya, fokus terhadap makna teks akan menjadikan teks tersebut sebagai mitos. Ia

mengatakan:

اض غر ثمافر طغد فا االع إر األط ال عث إلذاس، االع ذى

. إذاس االع ذغاب ض دالر، فاالع أال االع ثاا االع أخشاح اثشش ذرجذد ي دشور تفعاخال

رذي اض إى أعطسج ع طشك إذاس تعذ ذي وا إى أعطسج. اذالح جاذ ثاتد اعى

...اإلغا ارشوض عى تعذ اغث

‚Realitas (konteks) adalah dasar, tiada jalan untuk mengabaikannya. Dari realitaslah

terbentuk teks, dari bahasa dan budaya terpola konsep-konsep maknanya, dan melalui

pergerakannya dengan aktivitas manusia terbarukan makna-maknanya. Maka realitas

adalah yang pertama, realitas adalah yang kedua dan realitas adalah yang terakhir.

Menyia-nyiakan realitas demi teks agama yang kaku dan konstan, baik makna dan

dila>lah-nya, akan mengubahnya menjadi mitos. Teks akan berubah menjadi mitos

dengan mengabaikan dimensi kemanusiaannya dan memfokuskan dimensi ghaibnya.‛41

Inilah metodologi tafsir baru yang ia ajukan, yaitu penafsiran kontekstual terhadap

teks-teks keagamaan. Lebih rincinya, ia menjelaskan bahwa metodologi penafsiran

kontekstual ini terdiri dari dua mekanisme yang saling melengkapi yaitu: ikhfa>’

(penyembunyian) dan kasyf (penyingkapan). Yang disembunyikan adalah ma’na> yaitu makna

asli teks, dan yang disingkap adalan maghza> yaitu signifikansi atau target akhir/semangat

teks. Pemilahan antara ma’na> dan maghza> ini sebenarnya ia pinjam dari konsep E.D. Hirsch,

dalam kajian sastra yang memilah antara meaning (makna) dan significance (signifikansi).42

Abu> Zaid mengatakan:

أ عجضا عى إعادج إراج دالرا أدى إشاسج إى عذ لذسذا ال عى اإلذاح عى ذاسخح اظص

أ جرعاخ أخشي، فامشاءج ارى ذر فى ص ذاي فى جرع آخش ذم عى ع خاطثح عظس ذاح

ا شش عادج إى اضا اىا ، ذخفى ا ظ جشا تاغثح ا : اإلخفاء اىشفآر رىار

ت ثاترح فى اظص ظ ثح عاطش جشح ذىشف عا جشي تارأ.ال ذمث ارأ إشاسج

جشا ازي ذىشف فى اض.—االجراع تاعى اراسخ—ى لشاءج

‚Historisitas teks tidak berarti teks tidak mampu memproduksi dila>lahnya atau tidak

mampu berdialog dengan masa-masa lain di komunitas lain. Pembacaan teks yang

dilakukan di zaman berikutnya di dalam komunitas lain berdiri di atas dua mekanisme

yang saling melengkapi: (i) Ikhfa>’, menyembunyikan segala hal yang bukan substansi,

biasanya terkait waktu dan tempat yang tidak bisa menerima takwil, dan (ii) Kasyf,

menyingkap sesuatu yang menjadi substansi teks dengan metode takwil. Dalam hal ini

tidak ada unsur-unsur substantif yang permanen di dalam teks tersebut. Tetapi setiap

pembacaan teks—dalam pengertian historis-sosiologis—memiliki substansinya di dalam

teks yang disingkap oleh pembacaan itu.‛43

(a) Mekanisme Ikhfa>’ ‘l-Ma’na> (Ta’t}i>lu ‘l-Ma’na>)

41

Ibid, hal. 130 42

Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Hermeneutika Inklusif, hal. 61 43

Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd ‘l-Khita>b ‘l-Di>ny, hal. 118

12 |

Berdasarkan kutipan di atas, yang dimaksud mekanisme ikhfa>’ ‘l-ma’na> di sini adalah

menyembunyikan makna asli teks yang tidak substansial. Jika diteliti lebih seksama,

mekanisme ini lebih tepat disebut sebagai upaya ta’t}i>l ‘l-ma’na> (nihilisasi makna). Hal ini

karena yang ia inginkan ialah menafikan makna asli teks demi tidak menyia-nyiakan

konteks. Bahkan ia menyangsikan adanya makna asli teks Al-Qur’a>n! Ia mengatakan: ‚Tak

perlu dipedulikan klaim-klaim wacana keagamaan yang menyatakan kesesuaian pemahaman

Nabi terhadap dila>lah asli teks, itupun kalau ada sesuatu yang disebut dengan dila>lah asli

teks.‛44 Nihilisasi makna teks inilah sejatinya paham relativisme tafsir. Sebab, jika Al-

Qur’a>n dinihilkan substansi maknanya sebagaimana diturunkan oleh malaikat Jibril ke dalam

hati Nabi Muh}ammad, maka ia akan menjadi wadah kosong yang dapat diisi oleh setiap

pembaca dengan subyektivitas masing-masing,45

bahkan diisi dengan makna-makna baru

yang sangat jauh dari prinsip-prinsip Ilmu Tafsir dan fiqhu ‘l-lugah al-’Arabiyyah.46

Padahal,

Al-Qur’a>n hakikatnya adalah lafaz, susunan kalimat dan makna. Tidak akan ada nilai

filosofis apapun jika penjagaan hanya sebatas lafaz dengan membuang makna. Maka ketika

Alla>h berfirman: ‘Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’a>n dan Kami pula yang

akan menjaganya.’ [QS. Al-H}ijr: 9], ini juga berarti menjaga kekekalan Al-Qur’a>n baik lafaz,

susunan kalimat maupun makna, sehingga ajaran-ajaran prinsip dalam akidah dan syariah,

serta peradaban Islam tetap eksis sepanjang zaman dan tempat.‛47

Penihilan makna teks ini tentu saja akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis

semisal: Apakah lafaz Al-Qur’a>n turun dengan mengandung makna ataukah nihil makna?

Jika Abu> Zaid cenderung kepada nihil makna, berarti ia menuduh Alla>h menyeru manusia

dengan lafaz-lafaz kosong tak bermakna. Konsekuensinya Alla>h telah berbuat sia-sia,

sesuatu yang tak layak dilakukan oleh makhluk, apalagi Khaliq yang Mahabijaksana. Jika ia

mengatakan Al-Qur’a>n turun dengan maknanya, lalu apa artinya turun dengan makna jika

pada akhirnya harus dibuang dan dinihilkan? Apalah nilai sebuah teks jika ia ditinggalkan,

tidak dijadikan dalil dan sumber hukum? Kemudian atas dasar apa justru yang menjadi dalil

dan sumber hukum adalah realitas (konteks), dan bukan teks itu sendiri?48

Kalaupun harus

mengedepankan konteks, lalu konteks menurut siapa? Bukankah konteks menurut Abu> Zaid

adalah realitas situasi, kondisi dan peristiwa yang melingkupi teks ketika muncul. Jika

konteks adalah realitas, maka realitas bisa ditafsirkan oleh siapa saja dan dengan penafsiran

yang tidak harus sama dengan penafsiran Abu> Zaid.

Pertanyaan berikutnya, apakah lafaz-lafaz Al-Qur’a>n yang mengandung makna itu bisa

dipahami? Kalau tidak dipahami, tidak ada artinya ia mengandung makna, dan tidak ada

gunanya Alla>h menyeru kita dengan lafaz-lafaz perintah atau larangan-Nya jika tidak

mungkin dipahami? Kemudian, jika makna zahir lafaz Al-Qur’a>n dapat dipahami maka tentu

saja makna yang dikandung lafaz itu adalah maksud Alla>h, bukan makna yang bertentangan

dengan zahir lafaznya, sebab jika maksud Alla>h bertentangan dengan zahir firman-Nya,

tanpa ada indikator yang menunjukkan penggeseran makna zahir lafaz kepada makna lain,

maka hal ini adalah sikap dusta yang sangat aib bagi manusia, apalagi bagi Alla>h yang

44

Ibid, hal. 126 45

Fahmi Salim Zubair, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’a>n Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), hal.

319 46

Muh}ammad Sa>lim Abu> ‘A>s}i, Maqa>lata>ni fi ‘l-Ta’wi>l, hal. 100 47

Muh}ammad ‘Ima>rah, Al-Tafsi>r al-Marki>si li ‘l-Isla>m, hal. 61 48

Muh}ammad Sa>lim Abu> ‘A>s}i, Maqa>lata>ni fi ‘l-Ta’wi>l, hal. 89

13 |

Mahabenar dengan segala firman-Nya.49

Di sinilah letak fatalnya pemikiran kaum Batiniyah

yang meyakini bahwa Tuhan tidak memaksudkan zahir firman-Nya, tetapi makna batin yang

bertolakbelakang dari zahir firman tersebut, itulah kehendak-Nya!50

Akan tetapi Abu> Zaid

justru tidak jauh berbeda dengan kaum Batiniyah ketika ia menolak makna zahir Al-Qur’a>n,

kemudian mengisinya dengan makna-makna baru yang tak ada sangkut pautnya dengan

makna zahir teks. Padahal Mu‘tazilah yang ia kagumi sekalipun tidak sampai mengatakan

seperti apa yang ia katakan. Al-Qa>dhi> Abd ‘l-Jabba>r mengatakan: ‚Maksud utama kala>m

adalah memberikan pemahaman, maksud-maksud yang lain sifatnya mengikuti. Jika sebuah

kala>m tidak ada kaitannya dengan maksud utama ini maka kala>m itu adalah sia-sia... Umat

selalu merujuk kepada zahir makna Al-Qur’a>n untuk mengetahui halal dan haram. Hal ini

tidak dilakukan melainkan karena mereka bisa memahami makna zahirnya. Jika tidak

mungkin diketahui, maka tidak ada artinya mereka merujuk kepada Al-Qur’a>n.‛51

Namun, di sini Abu> Zaid beralasan bahwa manusia yang relatif tidak mungkin bisa

memahami kehendak Tuhan yang absolut, sekalipun itu seorang Nabi. Bahkan ia mengklaim

suatu yang sangat naif karena menganggap orang yang meyakini kebenaran tafsir Nabi

sebagai seorang ‚musyrik‛! Ia menulis:

، ال ارفاخ ضاع فى ذفاع تاعم اثششيإ ف اث ض ث أى شاد دشوح اض

إ ذالح ازاذح ض عى فشع جد ث ز اذالح ازاذح . تطاتمح ف اشعي اخطاب اذ

د ت اثاتد ارغش دث إ طاتك ت اطك اغث ع اششن زا اضع ؤدي إى

إ صع ؤدي إى ذأ اث زا امظذ وا ف اشعي.طاتك ت امظذ اإل اف اإلغا

ارشوض عى دممح و ثا.أ إ ذمذغ تئخفاء و تششا

‚Sesungguhnya pemahaman Nabi terhadap teks merupakan representasi awal

pergerakan teks dalam interaksinya dengan akal manusia. Tak perlu dipedulikan

asumsi-asumsi wacana keagamaan yang menyatakan kesesuaian pemahaman Nabi

terhadap dila>lah asli teks, itupun kalau ada sesuatu yang disebut dengan dila>lah asli

teks. Asumsi semacam ini akan menjurus kepada ‘kemusyrikan’ karena telah

menyamakan antara yang absolut dan yang nisbi (tafsir Nabi), antara yang konstan

dan dinamis, antara maksud Tuhan dangan pemahaman manusia, sekalipun itu adalah

pemahaman seorang Rasul. Asumsi ini akan menaikan derajat Nabi menjadi Tuhan

dan mensakralkan pribadinya dengan menutupi aspek kemanusiaannya dan hanya

fokus pada aspek kenabiannya.‛52

Menanggapi asumsi Abu> Zaid ini kita katakan bahwa Al-Qur’a>n adalah kitab suci yang

sangat bisa dipahami, karena Al-Qur’a>n menafsirkan dirinya sendiri,53

Sunnah Nabi juga

merupakan baya>n (tafsir dan penjelasan) bagi Al-Qur’a>n.54

Selain itu ada tafsir dengan ijma’,

49

Karena kejujuran dan kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan. Jika pernyataan

Tuhan tidak sesuai dengan maksud-Nya—dan ini mustahil—tentu saja pernyataan tersebut dusta. Mahasuci

Alla>h dari kedustaan. ‚Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’a>n) sebagai kalimat yang benar dan adil...‛ [QS. Al-An’a>m: 115].

50 Musa>‘id bin Sulaima>n Al-T}ayya>r, Syarh} Muqaddimah fi> Us}u >l ‘l-Tafsi>r, (Damma>m: Da>r Ibn ‘l-Jauzy,

1426), hal. 46, dan 217 51

Al-Qa>d}i> Abd ‘l-Jabba>r bin Ah}mad, Syarh{ ‘l-Ushu>l ‘l-Kamsah, hal. 603 52

Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd ‘l-Khita>b ‘l-Di>ny, hal. 126 53

Nabi bersabda: ‚Sesungguhnya, kebinasaan orang sebelum kalian adalah karena ini! Mereka saling membenturkan isi Kitabullah satu sama lain, padahal Kitabullah itu turun isinya saling membenarkan satu sama lain, bukan untuk saling membatalkan. Perhatikanlah apa-apa yang kalian diperintahkan (disana) dan laksanakanlah, serta apa-apa yang kamu dilarang padanya dan jauhilah.‛ [HR. Ah}mad]

54 Karena pengutusan Nabi untuk menyampaikan wahyu tentu saja tidak berarti sekedar mengajarkan

cara baca, tetapi yang lebih penting dari itu ialah menjelaskan makna dan ajaran yang dikandung oleh wahyu.

14 |

di mana Umat tidak akan berkumpul di dalam kesesatan.55

Apakah tafsir-tafsir ini diklaim

relatif, padahal yang menafsirkan ayat tersebut adalah Alla>h, Nabi-Nya dan Umat yang tidak

akan berkumpul dalam kesesatan? Kalaulah pemahaman Nabi terhadap Al-Qur’a>n tidak

sesuai dengan kehendak Alla>h bagaimana mungkin Alla>h membiarkan utusan-Nya

menyampaikan pemahaman yang salah tentang firman-Nya?56

Umat Islam yakin bahwa Nabi

memahami maksud Tuhan dalam firman-Nya, karena tugas beliau adalah untuk menjelas

makna Al-Qur’a>n sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’a>n sendiri.57

Tidak mungkin beliau

menjelaskan sesuatu yang tidak beliau pahami! Lantas, apakah manusia tidak mampu

memahami sabda-sabda Nabi yang menjelaskan makna firman Alla>h? Kalau tidak mampu,

apa gunanya beliau mengajarkan Al-Qur’a>n kepada para sahabatnya, dan apa gunanya beliau

diutus sebagai rasul?

Otoritas Sunnah Nabi sebagai sumber kedua ajaran Islam adalah sebuah aksioma bagi

kaum Muslimin, bukan atas rekomendasi dari Al-Sya>fi’iy, Ma>lik, Ah}mad atau siapapun juga,

tetapi rekomendasi dari Alla>h langsung. Alla>h Swt yang memerintahkan kaum Muslimin

untuk mengikuti dan meneladani Nabi Saw.58

Nabi Saw sendiri tidak akan memerintah atau

melarang sesuatu kecuali karena diperintah atau dilarang oleh Alla>h. Semua informasi yang

beliau kabarkan dan ijtihad beliau dalam urusan Syariah bagi kita adalah kebenaran yang

harus diyakini dan diamalkan. Jika beliau salah dalam berijtihad maka wahyu akan turun

meluruskan kesalahan itu dan kita mengambil pelurusan itu melalui Rasulullah dari Alla>h.59

Di dalam Al-Qur’a>n terdapat banyak sekali ayat yang memerintahkan kaum Muslimin untuk

mengikuti Nabi, apakah hal ini berarti Al-Qur’a>n menyuruh kaum Muslimin syirik?

Selain itu, dalam persfektif epistemologi Islam, pernyataan bahwa semua pemikiran

manusia termasuk penafsiran terhadap wahyu adalah relatif, dan yang absolut hanya Tuhan

dan wahyu-Nya, sebenarnya telah mencampuradukkan antara persfektif ontologis dan ranah

epistemologis. Memang benar bahwa wujud Tuhan itu absolut dan wujud manusia itu relatif,

tetapi masalah ‚wujud (eksistensi)‛ ini adalah persfektif ontologis yang tidak terkait dengan

masalah pemahaman yang merupakan ranah epistemologis.60

Maka tidak relevan asumsi

bahwa kalau manusia mengaku memahami maksud Tuhan yang absolut berarti ia telah

mendaku dirinya sebagai Tuhan. Apakah ketika si A memahami perkataan si B, lantas si A

berubah wujudnya menjadi si B? Pada level wujud sesama makhluk saja hal ini mustahil

terjadi, apalagi makhluk berubah wujud menjadi Tuhan! Wujud manusia yang relatif tidak

menafikan kalau ia bisa memahami makna-makna yang absolut kebenarannya. Jadi, bisakah

makhluk memahami maksud Tuhan atau mengetahui apa yang diketahui oleh Tuhan?

Jawabannya, bisa, tetapi tentu saja ilmu seluruh makhluk tidak ada apa-apanya dibanding

Hal ini ditegaskan oleh Al-Qur’a>n dalam surat Al-Nah}l ayat 44. Dalam melaksanakan tugas ini beliau

dibimbing langsung oleh Alla>h Swt: "Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami lah penjelasannya." [QS. Al-Qiya>mah: 18-19]. Oleh karena itu

jika terdapat tafsir dari Nabi Saw, seluruh umat wajib mengimani dan mengikutinya. Ibnu Taimiyah berkata:

‚Jika diketahui tafsir sebuah ayat dari Nabi maka tidak dibutuhkan kepada tafsir siapapun setelah beliau.‛

Lihat: Kita>b Al-I>ma>n (Oman: Al-Maktab Al-Isla>my, 1996), hal. 224 55

رى عى ضالح )سا ارشزي اذاو اطشا( ع أ ال ج هللا إ56

Muh}ammad Sa>lim Abu> ‘A>s}i, Maqa>lata>ni fi ‘l-Ta’wi>l, hal. 90 57

‚..Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’a>n agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.‛ [QS. Al-Nah}l: 44]

58 Lihat misalnya firman Alla>h surat: A>li ‘Imra>n: 31 dan 132, Al-Nisa>’: 59, Al-Ma>’idah: 92, Al-Anfa>l: 1

dan 46, Al-Nu>r: 63, Al-Muja>dilah: 1, Al-Tagha>bun: 12, dll. 59

Muh}ammad Sa>lim Abu> ‘A>s}i, Maqa>lata>ni fi ‘l-Ta’wi>l, hal. 92 60

Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 95-96

15 |

ilmu Tuhan yang maha luas. Ilmu makhluk seluruhnya tak kan mungkin meliputi sedikit saja

dari ilmu Tuhan, kecuali yang Dia kehendaki untuk diajarkan kepada mereka. Hal ini

ditegaskan oleh Alla>h dalam ayat paling agung di dalam Al-Qur’a>n, ayat Al-Kursy: ( ال

ا شاء إال ت ع ء تش Dan mereka tidak mengetahui sedikitpun dari ilmu Alla>h..‚ (ذط

melainkan apa yang dikehendaki-Nya.‛ [QS. Al-Baqarah: 255]. Artinya, tidak ada makhluk

yang mengetahui sedikitpun dari ilmu Alla>h, kecuali apa-apa yang Alla>h ajarkan kepada

mereka.61

Alla>h Swt misalnya mengajarkan kepada manusia ilmu Tauhid dalam surat Al-

Ikhla>s}, apakah kemudian manusia tidak mengetahui bahwa Alla>h itu esa? Padahal tentu saja

Alla>h mengetahui keesaan Diri-Nya dan bahkan bersaksi atas hal ini, dan para Malaikat pun

mengetahui keesaan Alla>h lalu mereka bersaksi akan hal ini, demikian juga dengan manusia.

Alla>h Swt menegaskan hal ini dalam firman-Nya: ‚Alla>h mempersaksikan bahwa tidak ada

Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat

dan orang-orang yang berilmu (juga mempersaksikan yang demikian itu): tak ada Tuhan

melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‛ [QS. A>li

‘Imra>n: 18]

Dalam hal memahami kehendak Tuhan ini, tentu saja Tuhan Maha berkuasa

memahamkan kehendak-Nya kepada makhluk. Alla>h berfirman: ‚Dia mengajar kepada

manusia apa yang tidak diketahuinya.‛ [QS. Al-‘Alaq: 5]. Sementara itu, makhluk dengan

segala kelengkapan yang diberikan oleh Tuhan, seperti akal, hati, indra, naluri, firasat,

bahasa, ilmu, dsb. juga mampu untuk memahami kehendak Tuhan dari firman-Nya.

Buktinya, banyak sekali di dalam Al-Qur’a>n ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia

mampu memahami wahyu-Nya. Alla>h berfirman misalnya: ‚Tidakkah mereka mentadabburi

Al-Qur’a>n itu...?‛ [QS. Al-Nisa>’: 82, Muh}ammad: 24]. Ayat ini memerintahkan kita untuk

mentadabburi Al-Qur’a>n, dan tidak ada artinya kita diperintahkan untuk mentadaburinya

jika ia tak mungkin dipahami?

Beberapa contoh ayat yang juga menunjukkan bahwa manusia bisa memahami wahyu

Allah adalah firman Alla>h: ‚Sesungguhnya Kami mengutusmu dengan kebenaran sebagai

pemberi kabar gembira dan peringatan.‛ [QS. Al-Baqarah: 119]. Jika Al-Qur’a>n tidak

dipahami, bagaimana mungkin akan menjadi kabar gembira dan peringatan? ‚Kaummu

mendustakannya padahal ia (Al-Qur’a>n) adalah kebenaran.‛ [QS. Al-An’a>m: 66]. Jika ia

tidak dipahami, bagaimana mungkin ia didustakan? ‚Dialah (Alla>h) yang telah mengutus

Rasul-Nya dengan hidayah dan agama yang benar.‛ [QS. Al-Taubah: 33, Al-Fath}: 28, Al-

S}aff: 9]. Kalau ia tidak dipahami, bagaimana mungkin dapat menjadi hidayah dan sumber

ajaran agama? ‚Dan yang Kami wahyukan kepadamu dari Al-Kita>b (Al-Qur’a>n) adalah

kebenaran.‛ [QS. Fa>thir: 31], ‚Dan yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah

kebenaran.‛ [QS. Al-Ra’d: 1], ‚Dan katakanlah bahwa kebenaran itu datang dari Tuhanmu.‛

[QS. Al-Kahf: 29]. Kebenaran itu benar-benar turun dan datang dari Alla>h kepada Nabi-nya,

dan dipahami oleh beliau, kemudian beliau menyampaikan apa yang beliau pahami kepada

umat. Dan bukan hanya kepada beliau, tetapi kebenaran itu datang kepada manusia

seluruhnya: ‚Katakanlah: Wahai sekalian manusia, telah datang kepada kalian kebenaran

dari Tuhan kalian.‛ [QS. Yu>nus: 108]. Kalaulah Al-Qur’a>n tidak dipahami, bagaimana

mungkin kebenaran itu dikatakan datang kepada mereka? ‚Dan perangilah orang-orang yang

61

Lihat: Ibnu Jari>r Al-T}abary, Ja>mi’ ‘l-Baya>n ‘an Ta’wi>li A>y ‘l-Qur’a>n, ed. Ahmad Muh}ammad Sya>kir,

(Riya>dh: Mu’assasah Al-Risa>lah, 2000), hal. 5/397. Dan, Imam Ibnu Katsi>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-’Az}i>m,

(Riya>dh: Da>r T}aibah li ‘l-Nasyr wa ‘l-Tauzi>‘, 1999), 2/323. 1/679-680

16 |

tidak beriman kepada Alla>h dan kepada hari Akhir, tidak mengharamkan apa yang

diharamkan oleh Alla>h dan Rasul-Nya dan tidak mau beragama dengan agama yang benar.‛

[QS. Al-Taubah: 29]. Bagaimana bisa mereka disebut enggan beragama dengan agama yang

benar oleh ayat ini, jika mereka tidak mungkin dapat memahami kebenaran agama itu

sendiri, apalagi harus diperangi lantaran keengganan mereka itu?

Lebih dari itu, ketidakkonsistenan pola pikir Abu> Zaid sangat kentara dalam kutipan di

atas, ketika ia berasumsi bahwa kaum Muslimin yang mengikuti tafsir Nabi adalah musyrik.

Musyrik dengan makna apakah yang ia maksud? Apakah musyrik sesuai konsep kaum

Muslimin yaitu menyekutukan Tuhan? Tentu saja demikian, karena ia mengatakan kaum

Muslimin telah mengangkat Nabi sebagai ‚Tuhan lain‛ ketika mereka mengikuti tafsir

beliau. Kalau begitu ia tidak konsisten dengan pergeseran dila>lah bahasa yang menjadi

keimanannya dan dasar metodologi tafsirnya.62

Seharusnya lafaz musyrik—berdasarkan

metodologi penafsiran Abu> Zaid—telah bergeser dari makna Syar‘inya kepada makna yang

lain, tidak lagi seperti konsep makna Syirik yang permanen yang dipahami oleh kaum

Muslimin! Selain itu, bagaimana ia sangat yakin pemahaman Nabi tidak sesuai dengan

maksud Tuhan? Bukankah perbedaan itu diketahui ketika seseorang memahami antara dua

hal yang dibedakan? Jika Abu> Zaid meyakini ketidaksesuaian pemahaman Nabi dengan

maksud Tuhan berarti secara implisit ia mengklaim mengetahui maksud Tuhan, padahal

baginya maksud Tuhan yang absolut itu tidak mungkin diketahui oleh manusia yang nisbi?

Dan ketika ia mengkritik kaum Muslimin dengan hal ini berarti ia terjatuh kepada lobang

yang berusaha ia hindari, karena mengabsolutkan pemahamannya sendiri dan merelatifkan

pemahaman orang lain.

(b) Mekanisme Kasyf ‘l-Maghza> (Tah}ri>f ‘l-Kalim ‘an Mawa>dhi’ih).

Setelah menihilkan makna langkah berikutnya yang diperlukan Abu> Zaid ialah kasyf ‘l-

maghza>, yaitu menyingkap makna-makna baru yang menurutnya substansial yang ia sebut

maghza> (signifikansi). Upaya kasyf ini menurutnya diserahkan kepada manusia sepenuhnya.

Siapa saja boleh mengisi teks dengan makna-makna baru yang ia kehendaki, karena makna

Al-Qur’a>n tidak permanen, melainkan terus berubah seiring perjalanan waktu dan dinamika

zaman. Ia mengatakan bahwa teks-teks agama telah termanusiakan sejak menyatu dalam

bahasa manusia dan sejarah, sehingga ungkapan lahir dan dila>lah teks tersebut diserahkan

kepada manusia yang berada dalam realitas historis tertentu. Teks-teks agama itu

dikendalikan oleh dialektika antara yang permanen dan yang terus berubah. Yang permanen

adalah teks lahirnya dan yang bergerak dan berubah adalah pemahamannya.‛63

Mengatakan teks lahir bersifat permanen hanyalah pernyataan retoris Abu> Zaid saja,

sebab ia tidak ingin makna teks dibakukan, tetapi harus terus berubah sesuai perkembangan

budaya dan realitas. Padahal tidak ada artinya mengatakan teks lahir bersifat permanen jika

akhirnya makna asli teks tersebut harus disembunyikan lalu digeser kepada makna lain yang

tidak ada sangkutpautnya dengan makna asli. Jika pemahaman terhadap teks Al-Qur’a>n

‚dipaksa‛ harus selalu berubah, ini berarti pemaksaan bahwa tafsir harus relatif, sehingga

tidak ada lagi pemahaman yang bisa dijadikan pegangan ataupun standar karena semuanya

relatif menurut pemahaman penafsir. Dengan demikian, Al-Qur’a>n tidak bisa lagi menjadi

sumber hukum dan dustur hidup, karena hakikatnya ia telah kehilangan maknanya. Tidak ada

62

Tentang pergeseran makna ini akan dijelaskan dalam sub judul berikutnya, tentang tat}awwur ‘l-lughah 63

Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd ‘l-Khita>b ‘l-Di>ny, hal. 119

17 |

lagi kehendak Tuhan di dalam firman-Nya, yang ada hanya kehendak manusia! Dan jika

semua pemahaman tidak ada yang tetap maka mengatakan ‚semua pemahaman tidak ada

yang tetap‛ juga pemahaman. Dan akhirnya pemahaman ini membunuh dirinya sendiri.

Sebab dari mana Abu> Zaid akan mengatakan pemahamannya yang harus tetap dan tidak

berubah.

Sebagai argumen bagi relativitas tafsir ini Abu> Zaid mengangkat tema tathawwur ‘l-

lughah, bahwa semua bahasa termasuk bahasa Al-Qur’a>n, selalu berkembang dila>lahnya,

tidak ada makna lafaz yang baku dan permenen, sehingga tafsirnya pun harus terus berubah.

Ia mengatakan: ‚Jika teks-teks agama adalah teks manusiawi disebabkan alokasi bahasa dan

kebudayaannya di dalam periode sejarah tertentu—yaitu periode pembentukan teks dan

produksi makna—maka dapat dipastikan bahwa teks itu bersifat historis dalam arti petunjuk

maknanya tidak terlepas dari sistem bahasa dan kultur setempat.‛64

Ia juga menulis bahwa

jika bahasa berkembang bersama perkembangan gerak masyarakat dan budaya dan

menciptakan konsep-konsep baru, atau bersama perkembangan dila>lah lafaz-lafaznya untuk

mengungkapkan hubungan-hubungan yang lebih maju, maka sangat alami bahkan merupakan

kewajiban mengembalikan pemahaman teks melalui pembuangan kosep-konsep makna

historis-sosiologis yang asli, kemudian mendudukkan pada posisinya konsep-konsep makna

yang lebih manusiawi dan maju.65

Ia juga mencatat:

اإلطاس —، ره أ اغحاظص اذى عذ شدح ذشىاذالح ذثثد اعى ظ عى امي تراسخح

. إرا واد اظص تا ذرذشن ذرطس ع اثمافح االع ،غد عاوح ثاتثح—اشجع رفغش ارأ

دالح اظص ما ... فئ ذطس اغح عد ذشن ذغا فى ذطش اغح اثمافح وا عثمد اإلشاسج

.فى اغاة اذممح إى اجاص

‚Historisitas dila>lah teks tidaklah berarti pembakuan makna keagamaan yang terbatas

pada pada periode pembentukannya, karena bahasa yang merupakan kerangka bagi

upaya tafsir dan takwil tidaklah diam dan tetap, tetapi selalu bergerak dan berkembang

bersama perkembangan budaya dan realitas. Jika teks sebagaimana telah diisyaratkan

sebelumnya berkontribusi dalam mengembangkan bahasa dan budaya... maka

perkembangan bahasa itu sendiri berbalik kembali untuk menggerakkan dila>lah teks dan

memindahkannya dari hakikat kepada maja>z!‛66

Namun benarkah tathawwur ‘l-lughah berarti mengharuskan meninggalkan dila>lah dan

makna asli sebuah teks? Dalam kajian Ilmu Dila>lah (Semantik), adalah benar bahwa bahasa

selalu mengalami perkembangan, baik dalam: suara pelafalan, makna lafaz, susunan kalimat,

dila>lah67 dan kaidah.

68 Perkembangan dalam hal-hal inilah yang oleh para kritikus bahasa

diistilahkan sebagai tat}awwur dila>ly (perkembangan dila>lah), yang timbul seiring

perkembangan zaman. Tentu saja tidak ada orang yang mengingkari fenomena ini, baik pada

64

Ibid, hal. 206 65

Ibid, hal. 133 66

Ibid, hal. 206-207 67

Dila>lah: ‚Kaunu ‘l-syai’ bi h}a>latin yalzamu mina ‘l-’ilmi bihi, al-’ilmu bi syai’in a>khar. Asy-Syai’u ‘l-awwal huwa ‘l-da>ll, wa ‘l-syai’u ‘l-tsa>ni> huwa ‘l-madlu>l.‛ Terjemahan bebasnya: Makna relasional yang

mengantarkan pemikiran seseorang dari da>ll (lafaz yang menunjukkan) kepada pengetahuan terhadap sesuatu

yang lain yaitu madlu>l (sesuatu yang ditunjukkan) Lihat: Asy-Syari>f Al-Jurja>ny, Al-Ta’ri>fa>t, hal. 93

68 Di sini perlu ditegaskan bahwa perkembangan (lafaz, cara pelafalan dan susunan kalimat) tidak

berlaku pada Al-Qur’a>n, karena ia terjaga dari segala bentuk distorsi dan perubahan. Terdapat ilmu tajwid, ilmu

qira>’a>t, hafalan dan catatan umat yang menjaganya ketiga hal di atas. Adapun tentang perkembangan dila>lah

dijelaskan selanjutnya.

18 |

Bahasa Arab maupun bahasa-bahasa lainnya. Mayoritas kritikus bahasa sepakat bahwa

tat}awwur dila>ly terbatas pada tiga hal:69

(1) Takhs}i>s} ‘l-Dila>lah (pengerucutan dila>lah), seperti kata ‚h}ari>m‛ yang dahulunya

berarti semua mahram dari kalangan wanita kemudian mengerucut menjadi bermakna istri.

(2) Ta’mi>m ‘l-Dila>lah (pelebaran dila>lah), seperti kata ‚wuru>d‛ yang arti dasarnya

adalah mendatangi mata air, kemudian melebar maknanya menjadi mendatangi apa saja.

Demikian juga kata ‚ba’s‛ yang diartikan segala kondisi yang berat dan melelahkan, dan

secara makna aslinya berarti perang. Jenis ini ada di dalam Al-Qur’a>n dan dapat diterima.

Inilah yang diistilahkan oleh para ulama sebagai tat}wwur ‘l-musamma>, perkembangan

makna lafaz yang diakibatkan oleh perkembangan madlu>l, seperti kata sariqah (pencurian)

yang dahulu hanya sebatas pencurian harta, tetapi sekarang berkembang menjadi sariqat ‘l-

a’dha>’ (pencurian organ tubuh), pembobolan rekening, dsb.

(3) Intiqa>l ‘l-dila>lah (maja>z), yaitu: Pemindahan penggunaan kata, seperti pemindahan

penggunaan kata ‘aql yang semula bermakna ‚mengikat dan menggenggam‛ kepada makna

‚kekuatan berpikir manusia‛. Al-Qur’a>n sendiri banyak memindahkan lafaz Bahasa Arab

dari makna kebahasaan kepada makna Syariat (al-ma’na> al-syar’y), seperti kata: s}alat, puasa,

zakat, haji dsb. Dan pemindahan makna ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan penjelasan

Sya>ri’ (Alla>h atau Nabi-Nya).

Dari pemaparan singkat di atas tampak bahwa perkembangan dila>lah yang dimaksud

oleh Abu> Zaid berbeda tujuannya dengan perkembangan bahasa (tat}awwur ‘l-lughah)

sebagaimana dijelaskan para kritikus bahasa.70

Karena bagi mereka perkembangan dila>lah

bahasa ialah: (a) pengerucutan makna, (b) pelebaran makna dan (c) pemindahan makna, dan

semua itu dengan tidak membuang makna asli. Dr. Abdul Fatta>h} Abu ‘l-Futu>h} berkata:

‚Perubahan dila>lah pada sebagian besar kosakata bahasa tidak menyebabkan ia kehilangan

dila>lah lamanya dalam penggunaan. Di sini kami melihat, dila>lah baru adalah tambahan bagi

dila>lah lama yang masih tetap dalam penggunaan.‛71

Sementara yang dilakukan Abu> Zaid,

adalah menihilkan semua makna teks, baik makna lughawy,’urfy, maupun makna syar’y teks,

dengan alasan historisitas teks, bahwa makna-makna tersebut hanya berlaku untuk masanya.

Membuang makna asli kemudian menyingkap makna baru yang tidak ada

sangkutpautnya dengan makna asli, jelas hal ini merupakan bentuk penyelewengan makna

teks. Jika demikian halnya maka upaya ini lebih tepat jika disebut sebagaimana istilah Al-

Qur’a>n: tah}ri>f ‘l-kalim ‘an mawa>dhi‘ih (menyelewengkan teks dari makna aslinya).72 Jika

penyelewengan makna ini yang ia inginkan, maka kita bisa bertanya: Sejak kapan seorang

boleh memaknai ungkapan orang lain dengan makna-makna yang jauh bertentangan dengan

maksud pemilik ungkapan? Ulama bahasa mengatakan: ‚Sesungguhnya makna, meskipun

berada di dalam diri penyair, hanya saja makna teks adalah yang ditunjukkan oleh lafaz dan

uslu>b (teks tersebut) dan penggunaannya. Maka tidak akan diterima seorang pensyarah

69

Baca lebih lanjut: Muna> Muh}ammad Bahiyyuddin, Al-Tayya>r al-’Alma>ny al-H}adi>ts, hal. 164-165.

Lihat pula: Dila>latu ‘l-Alfa>z} (hal. 152), Muqaddimah li Dira>sat Fiqh ‘l-Lughah, karya Muh}ammad Abu> ‘l-Faraj

(hal. 74), ‘Ilmu ‘l-Dila>lah, karya Dr. Ahmad Mukhtar Umar (hal. 11-dst), Al-Muwallad ba’da S}adr ‘l-Isla>m,

karya Dr. H}ilmi Khali>l (hal. 381), Al-Tat}awwur al-Lughawy, karya Dr. Ramadhan Abd ‘l-Tawwa>b (hal. 114) 70

Muna> Muh}ammad Bahiyyuddin, Al-Tayya>r al-’Alma>ny al-H}adi>ts, hal. 170 71

Abdul Fatta>h Abul Futu>h, Maba>di’ ‘Ilmi ‘l-Lughah, hal. 132. Dikutip dari: Muna> Muh}ammad

Bahiyyuddin, Al-Tayya>r al-’Alma>ny al-H}adi>ts, hal. 170 72

Imam Ibnu Katsi>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-’Az}i>m, 2/323.

19 |

sebuah syair atau teks-teks prosa yang mengklaim bahwa maksud penyair adalah begini dan

begitu padahal tidak ada sangkut pautnya sedikitpun dengan lafaz teks.‛73

Asumsi bahwa teks Al-Qur’a>n berkembang maknanya berdasarkan perkembangan

dila>lah bahasa dan budaya dan harus ditafsirkan dengan perkembangan-perkembangan makna

tersebut adalah kesalahan metodologis yang tidak bisa diterapkan dalam kajian sastra

manapun. Sebuah teks tidak boleh dipahami maknanya kecuali dengan memahami kondisi

sosio-historis di mana teks itu lahir. Inilah yang dimaksud oleh para ulama ketika

menetapkan sebuah kaidah dalam memahami teks: ‚ ذ ظص اىراب عى عد األ فى ذ

terjemahan bebasnya: Ayat-ayat Al-Qur’a>n harus dipahami melalui konsep makna ,‛اخطاب

kebahasaan orang-orang Ummy (Orang Arab) pada saat turunnya Al-Qur’a>n.74

Mengabaikan

dila>lah kebahasaan yang tercantum di dalam kamus-kamus bahasa, demikian juga dengan

konsep-konsep yang ada dalam Syariat akan menimbulkan penafsiran yang tidak masuk akal.

Sebagai contoh: Nabi pernah bersabda kepada istri-istri beliau: ‚Yang paling pertama

menyusulku adalah yang paling panjang tangannya di antara kalian.‛ 75

Panjang tangan

dalam kamus-kamus bahasa berarti orang yang dermawan,76

dan ini adalah sifat terpuji.

Adapun sekarang, kata tersebut adalah sebutan bagi seorang pencuri. Maka tentu saja

penggunaan makna baru ini untuk memahami makna teks-teks wahyu sangat bermasalah dan

tidak masuk akal, karena berkonsekuansi Nabi menyifati salah satu istri beliau sebagai

pencuri!

Di sisi lain, dengan dalih perkembangan bahasa Abu> Zaid menganggap makna asli teks

berubah menjadi makna maja>zi (metafor). Ia berkata: ‚Perkembangan bahasa akan

menggerakkan dila>lah teks dan memindahkannya secara umum dari makna hakiki menuju

makna maja>zi.‛77

Menurutnya, dila>lah lafaz Al-Qur’a>n yang ada pada masa turunnya adalah

hakikat yang kemudian berubah menjadi makna maja>zi, yang artinya makna dan petunjuk

hakiki Al-Qur’a>n tidak dibutuhkan lagi dan bisa dilipat dengan lembaran sejarah.78

Padahal

telah diketahui bahwa makna hakiki adalah makna asal/primer dari sebuah kata atau teks.

Makna ini tidak boleh berpindah kepada makna majazi (metafor/sekunder)79

kecuali dengan

syarat-syarat yang telah maklum di kalangan ulama bahasa. Misalnya, pemindahan makna

dari makna asli kepada makna majazi mengharuskan adanya qari>nah (indikator) yang

memestikan pamindahan makna.80

Jika pemindahan makna dilakukan tanpa adanya qari>nah,

jelas ini merupakan bentuk penyelewengan makna teks.81

Akan tetapi yang dilakukan oleh Abu> Zaid, ia membalik konsep majaz ini, dengan

menjadikan makna hakiki (makna asli teks) sebagai makna majazi (metafor/sekunder),

sebaliknya makna tat}awwury (makna-makna perkembangan sesuai konteks) ia jadikan

sebagai makna hakiki yang harus diambil! Implikasinya, makna-makna hakiki yang ada di

73

Muna> Muh}ammad Bahiyyuddin, Al-Tayya>r al-’Alma>ny al-H}adi>ts, hal. 162. 74

Al-Sya>t}iby, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l ‘l-Syari>’ah, (Beirut: Da>r ‘l-Kutub ‘l-‘Ilmiyyah, 1991), 2/78 75

HR. Al-Bukha>ri dan Muslim 76

Ibnu Manz}u>r, Lisa>n ‘l-‘Arab, hal. 13/440 77

Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd al-Khita>b ‘l-Di>ny, hal. 207 78

Fahmi Salim Zubair, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’a>n Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), hal.

317 79

Hakikat: Lafaz yang digunakan pada makna aslinya, dan Majaz: Lafaz yang digunakan bukan pada

makna aslinya karena adanya keterkaitan (antara makna hakiki dan makna majazi). Lihat: Al-Isnawy, Al-Tamhi>d fi> Takhri>ji ‘l-Furu>‘ ‘ala ‘l-Us}u>l, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1981), hal. 185

80 Al-Isnawy, Al-Tamhi>d fi> Takhri>ji ‘l-Furu>‘ ‘ala ‘l-Us}u>l, hal. 236

81 Muna> Muh}ammad Bahiyyuddin, Al-Tayya>r al-’Alma>ny al-H}adi>ts, hal. 170

21 |

Al-Qur’a>n akan dianulir seluruhnya karena dianggap sebagai makna maja>zi, karena telah

maklum dalam kajian majaz, bahwa: ‚Al-Maja>z yas}ih}h}u nafyuhu bikhila>f ‘l-haqi>qah‛, yakni

makna maja>zi sah untuk dinafikan, tidak demikian dengan makna hakiki.82

Seseorang yang

melihat singa tidak bisa mengatakan: ‚Hewan ini adalah singa, tetapi ia bukan singa‛, karena

singa dengan makna hakikinya tidak bisa dinafikan, menafikannya akan menimbulkan

kontradiksi. Tetapi ia bisa mengatakan: ‚Aku melihat singa sedang berorasi, tetapi ia bukan

singa.‛ Kata singa yang pertama adalah makna maja>zi, qari>nahnya adalah kata ‚orasi‛,

karena tidak mungkin singa (hewan) berorasi, dan karena itu ia bisa dinafikan dengan

mengatkan ‚ia bukan singa‛, sebab kenyataannya ia mamang bukan singa (hewan). Dengan

demikian, jika semua makna Al-Qur’a>n dianggap makna maja>zi maka makna-makna tersebut

bisa saja dianulir dan dinafikan, kemudian sebagai gantinya adalah makna tat}wwury.

Dalam kajian Us}u>l ‘l-Fiqh, ulama-ulama Islam telah melahirkan konsep penting

seputar interaksi antara tiga hal, yaitu: al-wadha’, al-isti’ma>l dan al-h}aml. (a) Al-wad}a’

ialah: status awal lafaz sebagai dalil (penunjuk) bagi makna. (b) Al-isti’ma>l adalah:

Penggunaan lafaz untuk menginginkan makna, dan ini adalah tugas mutakallkim

(pembicara). Adapun (c) Al-H}aml: keyakinan (pemahaman) pendengar kepada maksud yang

diinginkan oleh mutakallim, dan ini adalah tugas pendengar (pembaca).83

Dari tiga hal ini

para ulama Islam menyepakati sebuah kaidah linguistik mendasar dalam memahami Al-

Qur’a>n dan Sunnah, yaitu: ‚Penggunaan lafaz (al-isti’ma>l) adalah otoritas Pembicara, dan

pemahamannya (al-h}aml) adalah otoritas Pendengar, namun makna asal yang ada sebelum

penggunaan dan pemahaman harus menjadi prioritas.‛84 Maksud kaidah ini: Jika pembicara

menggunakan suatu kosakata maka sewajarnya ia menggunakannya sesuai dengan makna

yang dikenal baik oleh pembicara dan pendengar (lawan bicara). Jika pembicara

menghendaki makna hakiki dari kosakata yang dia utarakan maka lawan bicara harus

memahaminya sesuai dengan makna hakiki yang diinginkna oleh pembicara. Di sisi lain, jika

pembicara ingin mengalihkan makna hakiki kepada makna majazi maka ia harus memenuhi

tiga syarat: (1) Harus ada korelasi antara makna hakiki dan makna maja>zi, (2) Ia harus

membuat qari>nah (indikasi) tertentu dari ucapannya yang menunjukkan pemindahan makna

tersebut, (3) Harus ada hikmah atau alasan tertentu di balik pengalihan makna itu.85

Jika pembicara telah memenuhi ketiga syarat tersebut, maka pendengar harus

mengindahkan dan memperhatikan maksud pembicara dari ucapannya itu. Hal ini karena tiga

hal: Pertama: Pendengar tidak wajar memaknai ucapan pembicara dengan makna majaz yang

ia inginkan, karena adanya klaim makna majaz yang banyak berkembang. Kedua: Pendengar

juga tidak wajar memilih-milih makna majaz yang sesuai kepentingan pribadi, tetapi ia harus

memahami ucapan pembicara sesuai makna majaz yang telah ditentukan oleh pembicara,

setelah ia memenuhi 3 syarat di atas. Jika pendengar melanggar ketetapan di atas, baik pada

saat menghendaki makna hakiki atau makna maja>zi, maka ia telah sengaja berdusta atau

82

Al-Suyu>t}y, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m ‘l-Qur’a>n, ed. Syaikh Syu’aib Al-Arna’u>t}, (Beirut: Mu’assasah al-

Risa>lah, 2008), hal. 574. Lihat juga: Al-Zarkasyi, Al-Burha>n fi> ‘U>lu>m ‘l-Qur’a>n, (Kairo: Da>ru ‘l-H}adi>ts, 2006)

878. 83

Al-Isnawy, Al-Tamhi>d fi> Takhri>ji ‘l-Furu>‘ ‘ala ‘l-Us}u>l, hal. 173 84

Teks Arabnya: ( اي طفح ارى اذ طفح اغاع اضع رمذ عااالعرع ): Ibnu Juzay, Taqri>bu ‘l-Wus}u>l ila> ‘Ilmi ‘l-Us}u>l, hal. 37. Lihat juga: Syiha>buddi>n Al-Qara>fy, Syarh} Tanqi>hu ‘l-Fus}u>l, (Beirut: Da>ru ‘l-

Fikr, 1973) hal. 20. 85

Fahmi Salim Zubair, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’a>n Kaum Liberal, hal. 323. Lihat juga: Wahbah

Al-Zuh}aily, Us}u>lu ‘l-Fiqh al-Isla>my, (Beirut: Da>ru ‘l-Fikr, 1986), 1/296-299

21 |

berkhianat dari maksud pembicara, jika ia mengetahui keadaan sebenarnya. Dan jika ia tidak

tahu keadaan maksud pembicara yang sebenarnya maka ia telah salah atau sesat paham.86

IV. Implikasi Relativitas Tafsir Abu> Zaid Terhadap Pemikiran Islam

Relativitas penafsiran ala Abu> Zaid ini memiliki dampak cukup signifikan terutama

terhadap pemikiran umat Islam. Jika relativisme penafsiran ini diaplikasikan studi keislaman

tentu saja akan melahirkan sikap skeptis dan ragu terhadap agama Islam secara umum,

lantaran Al-Qur’a>n sebagai sumber utama ajarannya diragukan tafsirnya; bahwa semua tafsir

terhadapnya adalah relatif, tidak ada tafsir Al-Qur’a>n yang lebih tinggi atas tafsir lainnya,

sehingga tafsir seperti apapun dan oleh siapapun bisa dibenarakan. Sikap ragu dan skeptis

terhadap Islam ini tampak misalnya pada pernyataan sebagian mereka yang terpengaruh oleh

paham ini:

‚Penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan

demikian upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir)

agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi

sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari. Pada

wilayah ini selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui

kebenaran absolut. Kita tidak mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita.

Artinya kebenaran yang selama ini kita pahami tidak lain adalah kebenaran

sepihak.‛87

Selain itu, dengan paham relativitas tafsir ini bangunan ilmu-ilmu Islam pun akan

didekonstruksi seluruhnya, karena tidak ada konsep ilmu yang tetap dan permanen,

semuanya dapat berubah dan diubah. Akibatnya, jika konsep ilmu dirusak, secara otomatis

umat Islam akan menjauh dari agamanya tanpa mereka sadari. Karena semua nilai kebenaran

akan dianggap realtif, yang haq bisa saja dianggap batil dan sebaliknya, yang qat}‘y bisa saja

dianggap sebagai z}anny dan sebaliknya, yang baik bisa dianggap buruk dan sebaliknya,

demikianlah seterusnya. Hal ini karena semua pemikiran manusia termasuk penafsiran

terhadap wahyu adalah relatif, dan yang absolut hanya Tuhan dan wahyu-Nya. Sementara

manusia yang relatif tidak mungkin dapat memahami maksud Tuhan yang absolut!

86

Fahmi Salim Zubair, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’a>n Kaum Liberal, hal. 322-323.

Dalam Hermeneutika, kajian terhadap teks tidak terlepas dari tiga hal: pengarang, teks dan

pembaca/penafsir. Hubungan antara pengarang dan pembaca terpusat pada teks, sebab ialah produk pengarang

dan konsentrasi pembaca. Penitikberatan terhadap salah satu dari tiga sudut segitiga di atas yang menjadi asas

perbedaan dalam aliran hermeneutika. Mazhab Romansisme memuja posisi pengarang yang dianggap sebagai

roh bagi teks. Di antara tokoh mazhab ini adalah E.D. Hirsch dan Emilio Betti. Di sudut lain mazhab

Strukturalisme mengabaikan pengarang dan memberikan teks nilai yang tinggi. Di antara tokohnya adalah

Dilthey, Gadamer dan Paul Ricoeur. Di sudut ketiga, Roland Barthes berpendapat bahwa ‚pengarah sudah

mati‛, karena menurutnya pengarang tidak membawa kita kepada dasar atau tujuan teks apapun. Umberto Eco

menegaskan hal ini dengan memperjuangkan peran pembaca, yang ia sebut sebagai ‚pembaca ideal‛ yang

mempunyai skill seperti skill teks. Dari sudut ketiga inilah pembaca bebas memahami teks, jauh dari pengaruh-

pengaruh pengarang dan kondisinya. Lebih detail tentang segitiga pengarang ini, lihat: Fahmi Salim Zubair,

Kritik Terhadap Studi Al-Qur’a>n Kaum Liberal, hal. 143-156.

Dari sini dapat dilihat perbedaan mendasar antara konsep ulama Islam dan hermeneutika. Konsep ulama

Islam, menekankan keterkaitan antara ketiga aspek tersebut (wad}a’, isti’ma>l dan h}aml), dengan tetap

memperhatikan teks dan wad}a’-nya sebagai prioritas utama. Sementara hermeneutika, antara ketiga mazhab

tersebut, masing-masing menonjolkan satu sudut: pengarang, teks, atau pembaca. Bahkan yang dominan dalam

studi hermeneutika kontemporer adalah lebih mengedepankan aspek pembaca daripada yang lain, sehingga teks

menjadi milik pembaca, bukan pengarang. 87

Khairul Muqtafa, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Fatayat NU & Ford Pondation, 2005)

hal. 58. Dikutip dari: Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 93

22 |

Anehnya, Abu> Zaid tampak sangat yakin dengan ‚kebenaran‛ tafsir-tafsir baru yang ia

suguhkan, seolah tak mungkin salah. Sebaliknya ia mengkirik tajam tafsir-tafsir para ulama

bahkan tafsir-tafsir yang telah disepakati oleh umat! Semestinya sebagai penganut

relativisme tafsir ia harus bersikap permisif, menerima setiap penafsiran dan konsep ilmu

apapun, tidak mengklaim bahwa penafsirannya atau metodologi penafsirannya saja yang

benar dan sesuai perkembangan zaman. Sebab paham reltivisme tafsir tidak memandang ada

penafsiran atau konsep ilmu yang lebih tinggi dari penafsiran dan konsep ilmu yang lain.

Tidak ada pemahaman yang berhak menyalahkan atau mengkritik pemahaman lain, karena

semua kriteria benar-salah, baik-buruk, relatif kepada masing-masing individu atau budaya!88

Dengan relativitas tafsir ini Abu> Zaid ingin melicinkan jalan menuju pembuangan

hukum-hukum Al-Qur’a>n. Oleh karena itu, mengomentari tafsir-tafsirnya yang nyeleneh, Dr.

Muh}ammad Sa>lim Abu ‘A>s}i mengatakan:

‚Praktek-praktek tafsir yang dilakukan oleh Dr. Nasr tersebut hanyalah sekedar

contoh. Karena sebenarnya melalui konsep ‘historisitas teks’ ini ia ingin membuang

Syariat Islam seluruhnya. Ia berkata: ‘Apabila kita membaca teks-teks hukum melalui

analisa mendalam terhadap struktur teks—struktur yang mengandung masku>t ‘anhu

(makna tak terkatakan)—dan sosio-kultural yang memproduk hukum dan undang-

undang maka bisa saja pembacaan tersebut menggiring kita untuk menggugurkan

sekian banyak hukum-hukum yang merupakan produk sejarah yang lebih tepat

dikatakan mendeskripsikan sejarah daripada menciptakan Syariat’.‛89

Dengan relativitas tafsir ini ia mengubah konsep-konsep yang telah ma’lu>m min ‘l-di>n

bi ‘l-d}aru>rah, seperti keimanan kaum Muslim terhadap hal-hal yang gaib seperti ‘arsy, kursy,

malaikat, qalam, al-lauh ‘l-mah}fu>z} sihir, hasad, jin dan syetan, dengan menganggap semua

itu hanyalah mitos budaya Arab zaman dahulu yang sudah tidak relevan lagi dimaknai secara

harfiah di zaman sekarang.90

Ia juga merombak tafsir ayat-ayat hukum seperti keharaman

riba, ketentuan mawa>rits, hukum-hukum hudu>d dan lain-lain. Disamping itu ia

mengharamkan poligami lalu membenarkan homoseksual dan menjustifikasi kebenaran

paham feminisme.91

Bahkan paham pluralisme agama, karena ia menyamakan antara

keyakinan Umat Islam bahwa Al-Qur’a>n adalah Kala>mulla>h dan keyakinan Umat Kristen

bahwa ‘I>sa> adalah Kalimatulla>h. Padahal sangat jauh perbedaan antara Al-Qur’a>n sebagai

Kala>mulla>h yang berarti sifat Kala>m Alla>h, dengan ‘I>sa> Kalimatulla>h yang berarti bahwa

Nabi ‘I>sa> dilahirkan oleh Ibunda Maryam tanpa ayah, tetapi dengan kalimat Alla>h yaitu

‚Kun (Jadilah)‛ maka jadilah ‘I>sa>, atau ‚kalimat‛ di sini berarti kabar gembira yang

diberikan kepada Maryam.92

Padahal dengan melakukan semua ini ia tidak konsisten dengan

paham relativitas tafsirnya. Sebab, jika semua penafsiran selalu berubah, atas dasar apa

88

‚Seandainya relativisme moral benar, maka tidak bisa terjadi bahwa dalam satu kebudayaan mutu etis

lebih tinggi atau rendah daripada dalam kebudayaan lain. Setiap kebudayaan akan kebal terhadap kritik atas

praktek-praktek moralnya. Tidak akan pernah mungkin kita mengatakan tentang praktek-praktek dalam suatu

lingkup budaya: ‚Hal itu tidak etis‛. Padahal kita yakin bahwa kita berhak mengkritik masyarakat lain yang

menggunakan norma-norma moral yang kita tolak. Kita yakin bahwa mutu etis setiap masyarakat tidak sama.‛

Lihat: K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 2007), 151 89

Muh}ammad Sa>lim Abu> ‘A>s}i, Maqa>lata>ni fi ‘l-Ta’wi>l, hal. 93. Teks Nas}r H>mid dikutip dari Majalah

Kairo, Juni, 1993 90

Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd ‘l-Khit}a>b ‘l-Di>ny, hal. 207, 212, 91

Lihat tafsir-tafsir Abu> Zaid ini beserta jawabannya pada: Henri S}alahuddin, Al-Qur’a>n Dihujat, (Jakarta: Al-Qalam, 2007), hal. 47-59

92 Lihat tafsir para ulama seputar ayat 171 surat Al-Nisa>’. Juga kritikan terhadap Abu> Zaid seputar hal

ini dalam: Muna> Muhammad Bahiyyuddi>n, Al-Tayya>r al-’Alma>ny al-H}adi>ts, hal. 227-230.

23 |

penafsiran-penafsiran sepihaknya bisa absolut dan tidak relatif? Tidak mungkin yang relatif

bisa menyalahkan atau mendekonstruksi yang relatif!

Selain itu, paham relativitas tafsir meniscayakan bahwa pengutusan nabi, penurunan

wahyu, semua itu tidak ada gunanya, karena pada akhirnya manusia tidak akan memahami

maksud wahyu Tuhan yang absolut! Dan jika Tuhan tetap menurunkan wahyu, sementara

manusia mustahil memahami kehendak-Nya, maka Tuhan, telah berbuat sia-sia. Selain telah

berbuat sia-sia, Dia juga dianggap tidak berkuasa, karena tidak mampu memahamkan

kehendak-Nya kepada manusia!

V. Kesimpulan

Paham relativitas tafsir adalah paham yang merelatifkan seluruh penafsiran. Tidak ada

penafsiran yang lebih tinggi dari penafsiran lain, semuanya relatif kepada masing-masing

penafsir, sesuai latar belakang sosial, budaya, pendidikan dan kecenderungan mereka. Salah

satu tokoh yang populer dalam hal ini adalah Nas}r H>mid Abu> Zaid. Dengan paham

relativitas tafsir Abu> Zaid berusaha mendekonstruksi hukum-hukum dan konsep-konsep ilmu

Islam, merombak hal-hal yang ma‘lu>m min ‘l-di>n bi ‘l-d}aru>rah dan tafsir-tafsir ulama yang

telah mapan dan disepakati oleh umat, namun di lain sisi ia memberikan tafsir-tafsir

nyeleneh yang ingin mengganti ajaran-ajaran Islam tersebut.

Untuk Tujuan ini ia berusaha mengubah konsep wahyu yang selama ini diyakini oleh

Umat Islam, bahwa Al-Qur’a>n adalah Kala>mulla>h yang sakral, yang turun kepada Nabi

Muhammad Saw dengan lafaz dan maknanya dan menjadi pedoman hidup Kaum Muslimin,

lalu menggantinya dengan konsep baru bahwa Al-Qur’a>n tidak lain hanyalah teks manusiawi

biasa yang merupakan produk budaya, sehingga penafsirannya pun harus dengan

memperhatikan konteks budaya di mana ia turun. Kemudian dari pintu gerbang ini ia

melangkah menuju dekonstruksi metodologi tafsir para ulama, dan menggantinya dengan

metodologi baru yaitu Kontekstualisasi Penafsiran melalui mekanisme ikhfa>’ ‘l-ma‘na> dan

kasyf ‘l-magza>. Dengan metode ini ia berusaha mendekonstruksi akidah Umat Islam dengan

menganggap Surga, Neraka, Malaikat, Jin dan sebagainya sebagai mitos orang-orang Arab

zaman lampau, lalu berusaha merombak hukum-hukum Islam yang telah mapan seperti

hukum keharaman riba, ketentuan hukum waris, hukum-hukum hudud dan sebagainya,

seraya mengharamkan poligami dan menghalalkan homoseks, kemudian menjustifikasi

kebenaran paham-paham impor dari Barat seperti feminisme dan pluralisme agama.

Itulah wacana ‚Ijtihad‛ Abu> Zaid yang menurutnya obyektif dan ilmiah untuk

mengkaji teks-teks keagamaan, supaya bisa menjadi syariat yang s}a>lih} li kulli zama>n wa

maka>n. Tentu saja asumsi Abu> Zaid ini terbalik. Sebab, kandungan Al-Qur’a>n tidak akan

keluar dari informasi (khabar) dan hukum-hukum (ah}ka>m). Kalaulah informasi yang ada di

dalamnya selalu berubah maknanya, niscaya hal itu akan mengakibatkan ketidakbenaran

informasinya, dan jika hukum-hukumnya tidak bersifat permanen, tentu tidak akan menjadi

adil, karena siapa saja bisa mengubah ketentuannya sesuai nafsu masing-masing. Padahal

firman Alla>h itu s}idqan wa ‘adla> (benar dalam informasinya dan adil dalam hukumnya). [QS.

Al-An‘a>m: 115].93

Justru Syariat Islam akan menjadi s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n dengan

integralitas dan universalitas hukum-hukum dan kaidah-kaidahnya, serta kandungan makna

93

Imam Ibnu Katsi>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-’Az}i>m, 3/322

24 |

dan konsepnya yang permanen dan tidak berubah sehingga bisa menjadi barometer bagi

setiap fenomena baru di dunia ini. Walla>hu a‘lam.

Referensi:

Abu ‘A>s}i, Muhammad Sa>lim, Maqa>lata>ni fi ‘l-Ta’wi>l, (Dimasyq: Da>r ‘l-Fa>ra>bi>, 2010)

Abu> Zaid, Nas}r H{>a>mid, Hermeneutika Inklusif, Judul asli: Isyka>liya>t ‘l-Qira>’ah wa A>liya>t ‘l-Ta’wi>l, (Jakarta: ICIP, 2004)

_________, Al-Tafki>r fi> Zaman ‘l-Takfi>r, (Kairo: Maktabah Madbu>li, 2003)

_________, Al-Ima>m Al-Sya>fi’y, (Kairo: Si>na> li ‘l-Nasyr, 1994)

_________, Al-Nas}s} wa ‘l-S}ult}ah wa ‘l-Haqi>qah, (Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqa>fy al-‘Araby,

1995)

_________, Mafhu>m ‘l-Nas}s}, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mis}riyyah al-’A>mmah li ‘l-Kita>b, 1990)

_________, Naqdu ‘l-Khita>b al-Di>ny, (Kairo: Si>na> li ‘l-Nasyr, 1994)

Al-Asy‘ary berkata: Maqa>la>t Isla>miyyi>n, (Kairo: Maktabah Al-Nahdhah al-Mis}riyyah, 1950)

Al-Ba>qilla>ny, Al-Qa>dhi> Abu Bakr, Al-Ins}a>f fi>ma> yajib I’tiqa>duhu wala> yaju>zu ‘l-Jahlu bihi, (Kairo: Maktabah Al-Az}ariyyah li ‘l-Tura>ts, 2000)

Al-Dhahaby, Al-’Uluw li ‘l-‘Alyyi ‘l-Ghaffa>r, (Riya>dh: Maktabah Adhwa>’ ‘l-Salaf, 1995)

Al-Isnawy, Al-Tamhi>d fi> Takhri>ji ‘l-Furu>‘ ‘ala ‘l-Us}u>l, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1981)

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Mukhtas}ar As}-S}awa>‘iq al-Mursalah, ed. Al-H}asan bin

Abdurrah}ma>n al-’Alawy, (Riya>dh: Maktabah Adhwa>’u ‘l-Salaf, 2004)

Al-Qa>d}y Abd ‘l-Jabba>r bin Ah}mad, Syarh{ ‘l-Us}u>l al-Kamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,

1996)

Al-Qara>fy, Syiha>buddi>n, Tanqi>hu ‘l-Fus}u>l, (Beirut: Da>ru ‘l-Fikr, 1973)

Al-Suyu>t}y, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m ‘l-Qur’a>n, ed. Syaikh Syu’aib Al-Arna’u>t}, (Beirut: Mu’assasah

al-Risa>lah, 2008)

Al-Sya>t}iby, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l ‘l-Syari>’ah, (Beirut: Da>r ‘l-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991)

Al-T}abary, Ibnu Jari>r, Ja>mi’u ‘l-Baya>n ‘an Ta’wi>li A>y ‘l-Qur’a>n, ed. Ahmad Muh}ammad

Sya>kir, (Riya>dh: Mu’assasah Al-Risa>lah, 2000).

Al-T}ayya>r , Musa>‘id bin Sulaima>n, Syarh Muqaddimah fi> Us}u>l ‘l-Tafsi>r, (Damma>m: Da>r Ibn

‘l-Jauzy, 1426)

_________, Musa>‘id bin Sulaima>n,, Fus}u>l fi> Us}u>li ‘l-Tafsi>r, (Riya>dh, Da>ru ‘l-Nasyr al-

Dauly, 1993)

Al-Zarkasyi, Al-Burha>n fi> ‘U>lu>m ‘l-Qur’a>n, (Kairo: Da>ru ‘l-H}adi>ts, 2006)

Al-Zuh}aily, Wahbah, Us}u>lu ‘l-Fiqh al-Isla>my, (Beirut: Da>ru ‘l-Fikr, 1986)

Al-Zurqa>ny, Abdul ‘Az}i>m, Mana>hil ‘l-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m ‘l-Qur’a>n, (Beirut: Da>r ‘l-Kita>b al-

‘Araby, 1995)

Bahiyyuddin, Muna Muh}ammad, Al-Tayya>r al-’Alma>ny al-H}adi>ts, (Kairo: Da>r ‘l-Yusr,

1429)

Ibnu Juzay, Taqri>bu ‘l-Wus}u>l ila> ‘Ilmi ‘l-Us}u>l, Ibnu Katsi>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Riya>dh: Da>r T}aibah li ‘l-Nasyr wa ‘l-Tauzi>‘, 1999)

Ibnu Taimiyah, Majmu>‘ Fata>wa>, (Riya>dh: Majma’ Malik Fahd li ‘l-T}iba>‘ah, 1995)

_________, Kita>b Al-I>ma>n (Oman: Al-Maktab Al-Isla>my, 1996)

Ima>rah, Muh}ammad, Al-Tafsi>r al-Marki>si li ‘l-Isla>m, (Kairo: Da>ru ‘l-Syuru>q, 2002)

K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 2007)

Kha>lid bin ;Uthma>n Al-Sibt, Mana>hil ‘l-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m ‘l-Qur’a>n, Dira>sah wa Taqwi>m

25 |

Shalahuddin, Henri, Al-Qur’a>n Dihujat, (Jakarta: Al-Qalam, 2007)

Zarkasyi, Hamid Fahmy, Liberalisasi Pemikiran Islam, (CIOS-ISID-Gontor, 2010)

Zubair, Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’a>n Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif,

2010)