oht 2

31
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Saintifkasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. 2. Jamu adalah obat tradisional Indonesia. 3. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. 4. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 5. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. 6. Pengobatan Komplementer-Alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan, dan efektifitas yang tinggi yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konvensional. 7. Ilmu Pengetahuan Biomedik adalah ilmu yang meliputi anatomi, biokimia, histologi, biologi sel dan molekuler, fisiologi, mikrobiologi, imunologi yang dijadikan dasar ilmu kedokteran klinik. 8. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya untuk menjalankan praktik .

description

obat herbal

Transcript of oht 2

Page 1: oht 2

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIANOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010

TENTANGSAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS

PELAYANAN KESEHATAN

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Saintifkasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. 2. Jamu adalah obat tradisional Indonesia. 3. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. 4. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 5. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. 6. Pengobatan Komplementer-Alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan, dan efektifitas yang tinggi yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konvensional. 7. Ilmu Pengetahuan Biomedik adalah ilmu yang meliputi anatomi, biokimia, histologi, biologi sel dan molekuler, fisiologi, mikrobiologi, imunologi yang dijadikan dasar ilmu kedokteran klinik. 8. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya untuk menjalankan praktik . 9. Surat Bukti Registrasi Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut SBR- TPKA adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan tenaga pengobatan komplementer-alternatif. 10. Surat Tugas Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut ST-TPKA adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki Surat Izin Praktik/Surat Izin Kerja untuk pelaksanaan praktik pengobatan komplementer-alternatif. 11. Surat Izin Kerja Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut SIK-TPKA adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga pengobatan komplementer-alternatif dalam rangka pelaksanaan praktik pengobatan komplementer-alternatif.

BAB IITUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

Tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah: a. Memberikan landasan ilmiah (evidence based ) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. b. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.

Page 2: oht 2

c. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu. d. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.

Pasal 3

(1) Ruang lingkup saintifikasi jamu diutamakan untuk upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif. (2) Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis pasien

sebagai komplementer-alternatif setelah pasien memperoleh penjelasan yang cukup. BAB III

PENYELENGGARAANBagian Kesatu

UmumPasal 4

(1) Jamu harus memenuhi kriteria: a. aman sesuai dengan persyaratan yang khusus untuk itu; b. klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris yang ada; dan c. memenuhi persyaratan mutu yang khusus untuk itu.

(2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan yang berlaku.

Pasal 5

Jamu dan/atau bahan yang digunakan dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademicum, atau merupakan bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.

Bagian KeduaFasilitas Pelayanan Kesehatan

Pasal 6

Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah mendapatkan izin atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7

(1) Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk saintifikasi jamu dapat diselenggarakan oleh Pemerintah atau Swasta. (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. b. Klinik Jamu. c. Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T). d. Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKTM). e. Rumah Sakit yang ditetapkan.

(3) Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan ditetapkan sebagai Klinik Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri ini dan mengikuti ketentuan persyaratan Klinik Jamu Tipe A.

Page 3: oht 2

(4) Klinik jamu dapat merupakan praktik perorangan dokter atau dokter gigi maupun praktik berkelompok dokter atau dokter gigi. (5) Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk saintifikasi jamu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, c, d, dan e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku dengan tipe klinik ditetapkan sesuai pemenuhan persyaratan.

Pasal 8

(1) Klinik Jamu terdiri dari : a. Klinik Jamu Tipe A b. Klinik Jamu Tipe B

(2) Klinik jamu tipe A harus memenuhi persyaratan: a. Ketenagaan yang meliputi :

1) Dokter sebagai penanggung jawab 2) Asisten Apoteker. 3) Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan. 4) Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang tergabung

dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan. 5) Tenaga administrasi.

b. Sarana yang meliputi: 1) Peralatan medis 2) Peralatan jamu3) Memiliki ruangan :

a) Ruang tunggu. b) Ruang pendaftaran dan rekam medis (medical record). c) Ruang konsultasi/pelaksanaan penelitian. d) Ruang pemeriksaan/tindakan. e) Ruang peracikan jamu. f) Ruang penyimpanan jamu. g) Ruang diskusi. h) Ruang laboratorium sederhana. i) Ruang apotek jamu.

(3) Klinik Jamu tipe B harus memenuhi persyaratan: a. Ketenagaan yang meliputi :

1) Dokter sebagai penanggung jawab 2) Tenaga kesehatan komplementer _alternatif lainnya sesuai kebutuhan. 3) Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan. 4) Tenaga administrasi.

b. Sarana yang meliputi: 1) Peralatan medis. 2) Peralatan jamu. 3) Memiliki ruangan :

a) Ruang tunggu dan pendaftaran. b) Ruang konsultasi, pemeriksaan/tindakan/penelitian dan rekam medis (medical record). c) Ruang peracikan jamu.

(4) Tenaga pengobat tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) hanya merupakan tenaga penunjang dalam pemberian pelayanan jamu.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Klinik Jamu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Page 4: oht 2

Pasal 9

(1) Klinik Jamu harus memiliki izin dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kota setempat. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan.

Pasal 10

(1) Klinik Jamu harus memiliki kerjasama rujukan pasien dengan rumah sakit. (2) Untuk rujukan pelayanan jamu dilakukan di rumah sakit yang memberikan pelayanan dan penelitian komplementer-alternatif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Untuk rujukan pengobatan pasien dapat dilakukan di rumah sakit pada umumnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Dalam menangani pasien santifikasi jamu, dokter atau dokter gigi di rumah sakit rujukan wajib mendiskusikan penyakit pasiennya dengan dokter atau dokter gigi klinik jamu yang merujuknya. (5) Dalam hal diperlukan, dokter atau dokter gigi penerima rujukan di rumah sakit dan dokter atau dokter gigi pengirim rujukan di klinik jamu dapat meminta konsultasi kepada Komisi Daerah dan/atau Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.

Bagian KetigaKetenagaan

Pasal 11

(1) Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan jamu pada fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (2) harus memiliki:

a. Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia untuk dokter atau dokter gigi, STRA untuk apoteker dan surat izin/registrasi dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi tenaga kesehatan lainnya. b. Memiliki surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi dan surat izin kerja/surat izin praktik bagi tenaga kesehatan lainnya dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. c. Memiliki surat bukti registasi sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (SBR-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. d. Memiliki surat tugas sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (ST-TPKA/SIK-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12

Untuk tenaga pengobat tradisional harus memiliki surat terdaftar/surat izin sebagai tenaga pengobat tradisional di Dinas Kesehatan Kabupaten /Kota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian KeempatPersetujuan Tindakan

Pasal 13

(1) Jamu yang diberikan kepada pasien dalam rangka penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat diberikan setelah mendapatkan persetujuan tindakan ( informed consent) dari pasien.

Page 5: oht 2

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan dan diberikan secara lisan atau tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian KelimaPencatatan

Pasal 14(1) Tenaga kesehatan dan tenaga lainnya yang melakukan penelitian berbasis pelayanan jamu kepada

pasien harus melakukan pencatatan dalam rekam medis (medical record). (2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat tersendiri sesuai dengan pedoman

pelayanan jamu di fasilitas kesehatan. Bagian KeenamPersetujuan Etik

Pasal 15Pelaksanaan kegiatan penelitian dan etical clearance penelitian jamu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian KetujuhTarif

Pasal 16

(1) Tarif yang ditetapkan di fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai kegiatan saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan harus murah dan terjangkau oleh masyarakat. (2) Pendapatan yang diperoleh oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah harus merupakan pendapatan Negara bukan pajak dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IVPEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 17

(1) Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehata Kabupaten/Kota bersama organisasi/asosiasi terkait melakukan pembinaan dan pengawasan Saintifikasi Jamu; (2) Dalam rangka pembinaan dan peningkatan saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan, Menteri membentuk Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. (3) Komisi Nasional Saintifikasi Jamu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas :

a. Membina pelaksanaan saintifikasi jamu. b. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu. c. Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan saintifikasi jamu. d. Mengusulkan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan bahan jamu, khususnya segi budidaya, formulasi, distribusi dan mutu serta keamanan yang layak digunakan untuk penelitian. e. Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas serta organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di bidang produksi jamu. f. Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek kepenelitiannya. g. Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifikasi jamu.h. Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik, hukum dan metodologinya perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang memerlukannya. i. Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan dewan dosen, penentuan dan pelaksanaan silabus dan kurikulum, serta sertifikasi kompetensi.

Page 6: oht 2

j. Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian-pelayanan termasuk perpindahan metode/upaya antara kuratif dan non kuratif hasil penelitian-pelayanan praktik/Klinik Jamu. k. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, integrasi dan rujukan pelayanan jamu kepada Menteri melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. l. Membina Komisi Daerah Santifikasi Jamu di propinsi atau kabupaten/kota. m. Memberikan rekomendasi perbaikan dan keberlanjutan program Saintifikasi Jamu kepada Menteri. n. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan Menteri.

(4) Dalam rangka pembinaan dan peningkatan saintifikasi jamu di daerah dapat dibentuk Komisi Daerah Saintifikasi Jamu sesuai dengan kebutuhan. (5) Komisi Daerah Saintifikasi Jamu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berwenang dan bertugas:

a. Melakukan pembinaan dalam pelaksanaan saintifikasi jamu di daerah. b. Berkoordinasi dengan Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. c. Melakukan pendidikan berkelanjutan di Provinsi.

(6) Keanggotaan Komisi Nasional/Daerah Saintifikasi Jamu beranggotakan pakar/ahli bidang masing-masing berasal dari berbagai disiplin ilmu, dari berbagai Institusi yang berkaitan dengan jamu dan organisasi profesi kedokteran/kedokteran gigi yang khusus untuk itu, serta wakil produsen dan konsumen. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Nasional Saintifikasi Jamu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 18(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif kepada fasilitas pelayanan kesehatan/ tenaga pengobatan komplementer-alternatif /tenaga pengobat tradisional yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan ini.(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. Teguran lisan; atau b. Teguran tertulis; dan c. Pencabutan izin/registrasi tenaga atau fasilitas.

BAB VKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19

(1) Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang ditugaskan memberikan penelitian dan pelayanan jamu di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Klinik Jamu yang dicanangkan Menteri, dinyatakan telah memiliki SBR-TPKA dan ST-TPKA/SIK-TPKA berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

(2) Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki SBR-TPKA dan ST-TPKA/SIK-TPKA dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak peraturan ini ditetapkan.

Pasal 20(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi harus memfasilitasi pemberian Surat Bukti Registrasi Tenaga Kesehatan Komplementer Alternatif ( SBR-TPKA) bagi dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang telah melaksanakan kegiatan penelitian dan pelayanan kesehatan jamu di Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan sebelum peraturan ini ditetapkan, dan dokter atau dokter gigi dan tenaga

Page 7: oht 2

kesehatan lainnya yang ditunjuk memberikan pelayanan pada Klinik Jamu yang ditetapkan oleh Menteri dalam kegiatan pencanangan saintifikasi jamu.(2) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus memfasilitasi pemberian Surat Tugas Tenaga Pengobatan Komplementer Alternatif Alternatif / Surat Izin Kerja Tenaga Pengobatan Komplementer Alternatif Alternatif ( ST-TPKA/SIK-TPKA ) bagi dokter ataudokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang telah melaksanakan penelitian berbasis pelayanan kesehatan di Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan sebelum peraturan ini ditetapkan, dan dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang ditunjuk memberikan pelayanan pada Klinik Jamu yang ditetapkan oleh Menteri dalam kegiatan pencanangan saintifikasi jamu. (3) Sertifikat kompetensi / rekomendasi organisasi profesi terkait berkaitan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipenuhi segera dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah SBR TPKA dan ST-TPKA/SIK-TPKA ditetapkan. (4) Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya melengkapi :

a. Fotokopi ijazah pendidikan dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan yang disahkan oleh pimpinan penyelenggara pendidikan yang bersangkutan. b. Fotokopi Surat Tanda Registrasi Dokter atau Dokter Gigi atau Surat Izin Tenaga Kesehatan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP. d. Pasfoto terbaru ukuran 4 x 6 cm sebanyak 4 (empat) lembar.

KEPUTUSANKEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

REPUBLIK INDONESIANomor : HK.00.05.4.2411

T e n t a n gKETENTUAN POKOK PENGELOMPOKAN DAN PENANDAAN

OBAT BAHAN ALAM INDONESIAKEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

REPUBLIK INDONESIA

Pasal 1(1). Yang dimaksud dengan Obat Bahan Alam Indonesia adalah Obat Bahan Alam yang diproduksi di Indonesia;(2). Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi :a. Jamub. Obat Herbal Terstandarc. Fitofarmaka

Pasal 2(1). Jamu harus memenuhi kriteria :a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;b. Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris;c. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.(2). Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum dan medium;(3). Jenis klaim penggunaan harus diawali dengan kata – kata : “ Secara tradisional digunakan untuk …”, atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran.

Page 8: oht 2

Pasal 3(1). Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria :a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;b. Klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik;c. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi; Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. (2). Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.

Pasal 4(1) Fitofarmaka harus memenuhi kriteria :a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;b. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik;c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi;d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.(2) Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.

Pasal 5(1) Kelompok Jamu sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir a untuk pendaftaran baru harus mencantumkan logo dan tulisan “JAMU” sebagaimana contoh terlampir;(2). Logo sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa “RANTING DAUN TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah / pembungkus/brosur:(3) Logo (ranting daun dalam lingkaran) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo;(4). Tulisan “JAMU” sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “JAMU”;

Pasal 6Produk obat bahan alam kelompok jamu yang telah memperoleh izin edar sebelum keputusan ini ditetapkan masih diperbolehkan menggunakan penandaan dengan logo lama

Pasal 7(1) Obat Herbal Terstandar sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir b harus mencantumkan logo dan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” sebagaimana contoh terlampir;(2) Logo sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa “JARI – JARI DAUN (3 PASANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah /pembungkus /brosur;(3) Logo (jari – jari daun dalam lingkaran) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo;(4) Tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” yang dimaksud pada Ayat (1) harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam diatas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”.

Pasal 8(1) Kelompok Fitofarmaka sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir c harus mencantumkan logo dan tulisan “FITOFARMAKA” sebagaimana contoh terlampir;(2) Logo sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa “JARI-JARI DAUN (YANG KEMUDIAN MEMBENTUK BINTANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah /pembungkus / brosur;

Page 9: oht 2

(3) Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicetak dengan warna hijau di atas dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo;(4) Tulisan “FITOFARMAKA” yang dimaksud pada Ayat (1) harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA”.

Pasal 9Semua ketentuan mengenai persyaratan dan penandaan obat bahan alam tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.

PERATURANKEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

REPUBLIK INDONESIANOMOR : HK.00.05.41.1384

TENTANGKRITERIA DAN TATA LAKSANA PENDAFTARAN OBAT TRADISIONAL,

OBAT HERBAL TERSTANDAR DAN FITOFARMAKA

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:1. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.2. Jamu adalah obat tradisional Indonesia.3. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi.4. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi.5. Sediaan galenik adalah hasil ekstraksi simplisia yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan.6. Obat tradisional dalam negeri adalah obat tradisional yang dibuat dan dikemas oleh industri di dalam negeri meliputi obat tradisional tanpa lisensi, obat tradisional lisensi dan obat tradisional kontrak.7. Obat tradisional lisensi adalah obat tradisional yang dibuat di Indonesia atas dasar lisensi.8. Obat tradisional kontrak, obat herbal terstandar kontrak dan fitofarmaka kontrak adalah produk yang pembuatannya dilimpahkan kepada industri obat tradisional lain atau industry farmasi berdasarkan kontrak.9. Obat tradisional impor adalah obat tradisional yang dibuat oleh industri di luar negeri, yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah Indonesia.10. Izin edar adalah bentuk persetujuan pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka yang diberikan oleh Kepala Badan untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia.11. Pemberi kontrak adalah industri di bidang obat tradisional yang melimpahkan pekerjaan pembuatan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka berdasarkan kontrak.12. Penerima kontrak adalah industri di bidang obat tradisional atau industri farmasi yang menerima pekerjaan pembuatan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka berdasarkan kontrak.13. Disket adalah disket dengan format khusus untuk pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.14. Formulir adalah formulir pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.

Page 10: oht 2

15. Variasi adalah perubahan terhadap aspek apapun pada produk obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka, termasuk tetapi tidak terbatas pada perubahan formulasi, metode, industri, tempat produksi, spesifikasi bahan baku dan produk jadi, wadah, kemasan dan penandaan.16. Komposisi adalah susunan kualitatif dan kuantitatif bahan berkhasiat dalam obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.17. Formula adalah susunan kualitatif dan kuantitatif bahan berkhasiat dan bahan tambahan.18. Penandaan adalah keterangan yang lengkap mengenai khasiat, keamanan dan cara penggunaan serta informasi lain yang dianggap perlu yang dicantumkan pada etiket dan atau brosur yang disertakan pada obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dan pada pembungkus.19. Wadah adalah kemasan yang bersentuhan langsung dengan isi.20. Pembungkus adalah kemasan yang tidak bersentuhan langsung dengan isi.21. Bets adalah sejumlah produk obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang dibuat dalam satu siklus pembuatan yang mempunyai sifat dan mutu yang seragam.22. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.23. Deputi adalah Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Badan Pengawas Obat dan Makanan.

BAB IIPERSYARATAN DAN KRITERIA

Bagian PertamaPersyaratan

Pasal 2(1) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang dibuat dan atau diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar dari Kepala Badan.(2) Untuk memperoleh izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan pendaftaran.

Pasal 3Dikecualikan dari ketentuan Pasal 2 terhadap :a. obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang digunakan untuk penelitian;b. obat tradisional impor untuk digunakan sendiri dalam jumlah terbatas;c. obat tradisional impor yang telah terdaftar dan beredar di negara asal untuk tujuan pameran dalam jumlah terbatas;d. obat tradisional tanpa penandaan yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan jamu gendong;e. bahan baku berupa simplisia dan sedíaan galenik.

Bagian KeduaKriteriaPasal 4

Untuk dapat memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 obat tradisional , obat herbal terstandar dan fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut :a. menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan / khasiat;b. dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku;c. penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.

BAB IIIPENDAFTAR

Bagian PertamaPendaftar Obat Tradisional Dalam Negeri, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka

Pasal 5(1) Pendaftar obat tradisional dalam negeri, obat herbal terstandar dan fitofarmaka terdiri dari :a. pendaftar obat tradisional tanpa lisensi, pendaftar obat herbal terstandar, pendaftar fitofarmaka;

Page 11: oht 2

b. pendaftar obat tradisional lisensi;c. pendaftar obat tradisional kontrak, obat herbal terstandar kontrak dan fitofarmaka kontrak.(2) Pendaftar obat tradisional tanpa lisensi, obat herbal terstandar dan fitofarmaka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah industri obat tradisional (IOT) atau industri kecil obat tradisional (IKOT) atau industri farmasi.(3) Pendaftar obat tradisional lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah penerima lisensi yang merupakan industri obat tradisional (IOT) atau industri farmasi.(4) Pendaftar obat tradisional kontrak, obat herbal terstandar kontrak dan fitofarmaka kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah pemberi kontrak yang merupakan industri obat tradisional (IOT) atau industri kecil obat tradisional (IKOT) atau industri farmasi.Pasal 6(1) Industri di bidang obat tradisional dan industri farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) proses pembuatannya wajib menerapkan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) atau Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik untuk industri kecil obat tradisional (IKOT) sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) diatur oleh Kepala Badan.

Bagian KeduaPendaftar Obat Tradisional Impor

Pasal 7(1) Pendaftar obat tradisional impor adalah industri di bidang obat tradisional atau industry farmasi atau badan usaha di bidang pemasaran obat tradisional yang mendapat surat penunjukan langsung dari industri di bidang obat tradisional atau pemilik nama dagang di negara asal.(2) Industri di bidang obat tradisional di negara asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan Cara Pembuatan yang Baik (GMP) yang dibuktikan dengan surat keterangan sesuai data inspeksi terakhir paling lama 2 (dua) tahun yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Bagian KetigaPendaftar Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan

Fitofarmaka yang Dilindungi PatenPasal 8

(1) Pendaftar obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang dilindungi paten di Indonesia adalah industri di bidang obat tradisional atau industri farmasi selaku pemegang hak paten atau yang diberi kuasa oleh pemilik hak paten atau mendapat pengalihan paten dari pemegang hak paten sesuai dengan ketentuan yang berlaku.(2) Hak paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan sertifikat paten.(3) Pengalihan paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan adanya pengalihan hak paten sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bagian KeempatTanggung Jawab Pendaftar

Pasal 9Pendaftar bertanggung jawab atas :a. kelengkapan dokumen yang diserahkan;b. kebenaran semua informasi yang tercantum dalam dokumen pendaftaran;c. kebenaran dan keabsahan dokumen yang dilampirkan untuk kelengkapan pendaftaran;d. perubahan data dan informasi dari produk yang sedang dalam proses pendaftaran.

BAB IVKATEGORI PENDAFTARAN

Pasal 10(1) Pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dikategorikan menjadi pendaftaran baru dan pendaftaran variasi.(2) Pendaftaran baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

Page 12: oht 2

a. kategori 1 : pendaftaran obat tradisional yang hanya mengandung simplisia berasal dari Indonesia (indigenous) dalam bentuk sediaan sederhana (rajangan, serbuk, parem, pilis, dodol, tapel, cairan obat luar);b. kategori 2 : pendaftaran obat tradisional yang hanya mengandung simplisia berasal dari Indonesia (indigenous) dalam bentuk sediaan modern (pil, tablet, kapsul, krim, gel, salep, supositoria anal, cairan obat dalam);c. kategori 3 : pendaftaran obat tradisional dari kategori 1 dan 2 dengan klaim indikasi baru, bentuk sediaan baru, posologi dan dosis baru;d. kategori 4 : pendaftaran obat herbal terstandar;e. kategori 5 : pendaftaran fitofarmaka;f. kategori 6 : pendaftaran kategori 4 dan 5 dengan klaim indikasi baru, bentuk sediaan baru, posologi dan dosis baru;g. kategori 7 : pendaftaran obat tradisional yang mengandung simplisia berasal bukan dari Indonesia (non-indigenous) dan atau simplisia yang profil keamanannya belum diketahui dengan pasti;h. kategori 8 : pendaftaran obat tradisional dari kategori 7 dengan klaim indikasi baru, bentuk sediaan baru, posologi dan dosis baru.(3) Pendaftaran variasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :a. kategori 9 : pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang telah mendapat izin edar dengan:9.1. Perubahan nama produk tanpa perubahan komposisi;9.2. Perubahan atau penambahan ukuran kemasan;9.3. Perubahan klaim pada penandaan yang tidakmengubah manfaat;9.4. Perubahan desain kemasan;9.5. Perubahan nama pabrik atau nama pemberi lisensi,tanpa perubahan status kepemilikan;9.6. Perubahan nama importir, tanpa perubahan statuskepemilikan.b. kategori 10 : pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar danfitofarmaka yang telah mendapat izin edar dengan:10.1. Perubahan spesifikasi dan atau metoda analisisbahan baku;10.2. Perubahan spesifikasi dan atau metoda analisisproduk jadi;10.3. Perubahan stabilitas;10.4. Perubahan teknologi produksi;10.5. Perubahan tempat produksi;10.6. Perubahan atau penambahan jenis kemasan.c. kategori 11 : pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang telah mendapat izin edar dengan perubahan formula atau komposisi termasuk bahan tambahan yang tidak mengubah khasiat.

BAB VTATA LAKSANA MEMPEROLEH IZIN EDAR

Bagian PertamaPendaftaran

Pasal 11(1) Pendaftaran diajukan oleh pendaftar kepada Kepala Badan.(2) Pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu pra penilaian dan penilaian.(3) Pra penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tahap pemeriksaan kelengkapan, keabsahan dokumen dan dilakukan penentuan kategori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

Page 13: oht 2

(4) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan proses evaluasi terhadap dokumen dan data pendukung.

Pasal 12(1) Hasil pra penilaian diberitahukan secara tertulis kepada pendaftar dan bersifat mengikat.(2) Hasil pra penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja untuk pendaftaran variasi dan 20 (dua puluh) hari kerja untuk pendaftaran baru terhitung sejak tanggal diterimanya berkas pendaftaran.

Pasal 13Data dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penilaian dalam rangka pendaftaran dijaga kerahasiaannya oleh Kepala Badan.

Pasal 14Terhadap pendaftaran dikenakan biaya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15(1) Pengajuan pendaftaran dilakukan dengan menyerahkan berkas pendaftaran yang terdiri dari formulir atau disket pendaftaran yang telah diisi, dilengkapi dengan dokumen administrasi dan dokumen pendukung.(2) Dokumen administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran 1.(3) Formulir pendaftaran atau disket disediakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 16(1) Dokumen pendukung obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) terdiri dari:a. dokumen mutu dan teknologi sesuai Lampiran 2;b. dokumen yang mendukung klaim indikasi sesuai jenis dan tingkat pembuktian.(2) Pedoman klaim indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan tersendiri.

Pasal 17(1) Berkas pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) harus dilengkapi dengan :a. rancangan kemasan yang meliputi etiket, dus, pembungkus, strip, blister, catch cover, dan kemasan lain sesuai ketentuan tentang pembungkus dan penandaan yang berlaku, yang merupakan rancangan kemasan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang akan diedarkan dan harus dilengkapi dengan rancangan warna;b. brosur yang mencantumkan informasi mengenai obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.(2) Informasi minimal yang harus dicantumkan pada rancangan kemasan dan brosur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai Lampiran 3.

Pasal 18Pendaftaran obat tradisional kontrak, obat herbal terstandar kontrak dan fitofarmaka kontrak, obat tradisional lisensi dan obat tradisional impor selain harus memenuhi ketentuan peraturan pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka juga harus memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 4.

Pasal 19 (1) Untuk pendaftaran baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), berkas yang diserahkan sesuai Lampiran 5 terdiri dari:a. formulir TA berisi keterangan mengenai dokumen administrasi;b. formulir TB berisi dokumen yang mencakup formula dan cara pembuatan;c. formulir TC berisi dokumen yang mencakup cara pemeriksaan mutu bahan baku dan produk jadi;d. formulir TD berisi dokumen yang mencakup klaim indikasi, dosis, cara pemakaian dan bets.(2) Untuk pendaftaran variasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), berkas yang diserahkan terdiri dari formulir pendaftaran variasi sesuai Lampiran 6 dan kelengkapan pendaftaran variasi untuk masing-masing kategori sesuai Lampiran 7.

Page 14: oht 2

Bagian KeduaPengisian Formulir

Pasal 20(1) Pengisian formulir pendaftaran, dokumen administrasi dan dokumen pendukung mengikuti ketentuan sebagai berikut :a. pengisian formulir pendaftaran harus menggunakan bahasa Indonesia dan atau bahasa Inggris;b. dokumen pendaftaran dapat menggunakan bahasa Indonesia dan atau bahasa Inggris;c. penandaan obat tradisional dalam negeri, obat herbal terstandar dan fitofarmaka harus menggunakan bahasa Indonesia;d. penandaan obat tradisional impor harus menggunakan bahasa Indonesia disamping bahasa aslinya.(2) Petunjuk pengisian formulir pendaftaran baru sesuai Lampiran 8.

Bagian KetigaPenilaianPasal 21

(1) Terhadap dokumen pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 dilakukan penilaian sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.(2) Pelaksanaan penilaian untuk pendaftaran baru dilakukan melalui:a. jalur 1 : 1.1. untuk produk kategori 1 dan 2 yang menggunakan nama umum dengan komposisi tunggal atau komposisi sederhana (maksimum 5 jenis bahan);1.2. untuk produk kategori 9 yang variasinya tidak mempengaruhi mutu dan keamanan;b. jalur 2 : 2.1. untuk produk kategori 1 dan 2 yang menggunakan nama dagang dengan komposisi tunggal atau kompleks;2.2. untuk produk kategori 10 yang variasinya mempengaruhi mutu;c. jalur 3 : 3.1. untuk produk kategori 3;3.2. untuk produk kategori 11 yang variasinya mempengaruhi mutu;d. jalur 4 : untuk produk kategori 6 dan 8;e. jalur 5 : untuk produk kategori 4, 5 dan 7.

Pasal 22(1) Untuk melakukan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dibentuk Panitia Penilai Obat Tradisional (PPOT) dan Komite Nasional Penilai Obat Tradisional (KOMNAS POT).(2) Pembentukan, tugas dan fungsi PPOT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Deputi.(3) Pembentukan, tugas dan fungsi KOMNAS POT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 23Hasil penilaian mutu, keamanan dan khasiat dapat berupa memenuhi syarat, belum memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat.

Bagian KeempatPemberian Keputusan

Pasal 24Dalam hal memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Kepala Badan memberikan surat keputusan persetujuan pendaftaran dengan menggunakan format sesuai Lampiran 9.

Pasal 25(1) Dalam hal belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, diperlukan tambahan data yang akan diberitahukan secara tertulis dengan menggunakan format sesuai Lampiran 10.(2) Pendaftar yang telah menerima permintaan tambahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:a. menyerahkan tambahan data selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal pemberitahuan;

Page 15: oht 2

b. bila batas waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilampaui, berkas pendaftaran dikembalikan dengan surat sesuai Lampiran 11;c. berkas yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada huruf b dapat diajukan kembali sebagai pendaftaran baru dan dilengkapi dengan tambahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 26Dalam hal tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Kepala Badan memberikan surat keputusan dengan menggunakan format sesuai Lampiran 12.

Pasal 27Keputusan hasil penilaian diberikan terhitung sejak diterimanya berkas pendaftaran yang lengkap disertai bukti pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 selambat-lambatnya untuk :a. pendaftaran jalur 1 (satu ) : 7 hari kerja;b. pendaftaran jalur 2 ( dua ) : 15 hari kerja;c. pendaftaran jalur 3 ( tiga ) : 30 hari kerja;d. pendaftaran jalur 4 ( empat ) : 60 hari kerja;e. pendaftaran jalur 5 ( lima ) : 90 hari kerja.

Bagian KelimaDengar Pendapat

Pasal 28(1) Terhadap keputusan belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 atau tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, pendaftar dapat mengajukan keberatan secara tertulis dengan mekanisme dengar pendapat kepada Kepala Badan.(2) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal surat keputusan.

Bagian KeenamPeninjauan Kembali

Pasal 29(1) Berdasarkan hasil dengar pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat dilakukan peninjauan kembali terhadap hasil penilaian.(2) Dalam hal peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendaftar harus melengkapi dengan data baru dan atau data yang sudah pernah diajukan disertai justifikasi.(3) Hasil peninjauan kembali dapat berupa persetujuan atau penolakan terhadap pengajuan keberatan.

Bagian KetujuhPersetujuan Pendaftaran

Pasal 30Persetujuan pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka berlaku 5 (lima) tahun selama masih memenuhi ketentuan yang berlaku dan dapat diperpanjang melalui pendaftaran ulang.

BAB VIPELAKSANAAN IZIN EDAR

Pasal 31(1) Pendaftar wajib membuat obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka atau mengimpor obat tradisional yang telah mendapat izin edar selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah tanggal izin edar dikeluarkan.(2) Pendaftar harus menyerahkan kemasan siap edar kepada Kepala Badan selambatlambatnya 1 (satu) bulan sebelum obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dibuat atau obat tradisional diimpor.(3) Pendaftar wajib melaporkan informasi kegiatan pembuatan atau impor secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Kepala Badan.

BAB VIIPENILAIAN KEMBALI

Pasal 32

Page 16: oht 2

(1) Terhadap obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang telah memiliki izin edar dapat dilakukan penilaian kembali oleh Kepala Badan.(2) Penilaian kembali sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila ada data dan atau informasi baru berkenaan dengan mutu, keamanan dan khasiat yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

BAB VIIIPEMBATALAN

Pasal 33(1) Kepala Badan dapat membatalkan izin edar obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka apabila :a. berdasarkan penelitian atau pemantauan setelah beredar tidak memenuhi criteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 atau;b. penandaan tidak sesuai dengan yang telah disetujui atau;c. promosi menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau;d. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau;e. selama 2 (dua) tahun berturut-turut obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka tidak dibuat atau obat tradisional tidak diimpor atau;f. izin industri di bidang obat tradisional, izin industri farmasi atau badan usaha dicabut atau;g. pemilik izin edar melakukan pelanggaran di bidang pembuatan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka atau impor obat tradisional.(2) Pembatalan izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan dengan menggunakan format sesuai Lampiran 13.

BAB IXLARANGAN

Pasal 34(1) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dilarang mengandung :a. bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat;b. narkotika atau psikotropika;c. bahan yang dilarang seperti tercantum pada Lampiran 14;d. hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.(2) Obat tradisional dilarang dalam bentuk sediaan :a. intravaginal;b. tetes mata;c. parenteral;d. supositoria, kecuali digunakan untuk wasir.(3) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dalam bentuk sediaan cairan obat dalam tidak boleh mengandung etil alkohol dengan kadar lebih besar dari 1% (satu persen), kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran.

BAB XSANKSIPasal 35

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenai sanksi administrative berupa :a. peringatan tertulis;b. penarikan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dari peredaran termasuk penarikan iklan;c. penghentian sementara kegiatan pembuatan, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dan impor obat tradisional;d. pembekuan dan atau pencabutan izin edar obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.(2) Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 17: oht 2

BAB XIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 36(1) Semua peraturan yang telah dikeluarkan sebelum ditetapkannya peraturan ini, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan ini.(2) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang telah memiliki izin edar sebelum peraturan ini ditetapkan harus melakukan penyesuaian selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak peraturan ini ditetapkan.

BAB XIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 37(1) Hal-hal yang bersifat teknis yang belum cukup diatur dalam peraturan ini akan diatur lebih lanjut.(2) Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi :

• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis • Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas) • Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas) • Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)

Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.

Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro. Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :

1. Fase I , calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia. 2. Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat.

Page 18: oht 2

3. Fase III melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui.

Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropah lain oleh EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll.

Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.

4. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai contoh cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), fenil propanol amin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi , talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati .

Fase-fase dalam Uji KlinikSuatu uji klinik sebenarnya bertujuan meng-kuantifikasikan tingkat manfaat dan risiko suatu obat baru. Setiap zat yang aktif untuk terapi pasti mengandung sejumlah risiko akibat aktivitasnya dalam mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh. Dalam perkembangan penelitian klinik, mula-mula kita praktis tidak mengetahui sama sekali seluk beluk suatu obat. Maka tujuan penelitian adalah memperoleh pengetahuan lengkap tentang obat itu, kalau mungkin. Dan ini memakan waktu yang lama sekali. Ini dapat digambarkan sbb. (Lihat Gambar 1) Dalam percobaan pre-klinik belum dipakai subyek manusia. Pengaruh-pengaruh suatu obat-baru diselidiki pada hewan percobaan. Begitu obat mulai dicoba pada manusia, dimulailah suatu uji klinik, uji klinik fase I.

Page 19: oht 2

Penelitian Fase IPada hewan, dalam penelitian pra-klinik, telah diteliti sifat-sifat farmakologik suatu obat baru. Namun sulitnya tidaksemua sifat farmakologik yang terlihat pada hewan juga terlihat pada manusia. Misalnya Litchfield (1962) menunjukkan bahwa dari 89 pengaruh obat yang berbeda-beda, 33 hanya terlihat pada manusia.Jadi tujuan penelitian fase ini ialah meneliti sifat-sifat farmakologik obat tsb. sehingga tercapai efek terapetik maksimum. Dalam prakteknya, pertama-tama harus diperoleh data farmakokinetik yang sederhana, misalnya waktu paruh dan "volume of distribution," disamping efek-efek farmakodinamik lainnya. Penelitian yang lebih rumit boleh ditinggalkan untuk fase berikutnya. Fase ini menggunakan subyek manusia sukarelawan yang sehat. Namun demikian, hubungan antara fase I dan pra-klinik erat. Hasil-hasil penelitian di sini dapat merangsang penelitian baru pada hewan. Karena selalu ada bahaya pada percobaan pertama, sebaiknya percobaan dilakukan di rumah sakit, yang siap menanggulangi bahaya efek samping yang mungkin timbul. Sukarelawan biasanya diambil dari karyawan industry farmasi yang ingin mengembangkan obat itu (biasanya dengan imbalan uang). Sulitnya sumber subyek ini biasanya terbatas jumlahnya. Bagaimana bila dipakai mahasiswa kedokteran? Banyak fakultas kedokteran di luar negeri yang melarang mahasiswanya menjadi sukarelawan di fakultasnya sendiri, karena mahasiswa tidak berada dalam posisi yang enak untuk menolak permintaan dosennya. Menjadi sukarelawan di fakultas lain diperbolehkan.

Penelitian fase IITujuan utama dari percobaan-percobaan di sini ialah meneliti apakah suatu obat baru berguna untuk satu (atau lebih) indikasi klinik. Fase ini dimulai ketika orang sakit (pasien) pertama kali digunakan sebagai subyek dan bukan sukarelawan sehat. Penelitian-penelitian awal mungkin bersifat tanpa – control (uncontrolled). Dulu penelitian begini sering dikecam, namun sebenarnya bila dilakukan dengan benar, banyak informasi berharga yang dapat diperoleh. Penelitian di sini harus cukup memadai agar perkiraan perbandingan keuntungan : kerugian dapat diketahui seawal mungkin. Dapat diperoleh pula informasi tentang efek samping serta perkiraan manfaat klinik dalam hubungannya dengan konsentrasi obat dalam cairan tubuh dan jaringan-jaringan (farmakokinetik). Eliminasi obat dari tubuh (yang juga dilakukan pada penelitian fase I) harus dicheck juga pada pasien karena pada orang sakitmungkin eliminasi obat berbeda akibat perubahan fungsi tubuh (farmakodinamika) Penelitian yang cermat pada tahap awal ini kadang kala dapat menunjukkan adanya indikasi baru. Penemuan ini dapat terjadi pada setiap tahap penelitian (termasuk fase IV akhir) dan kemungkinan ini harus selalu diingat.Penelitian awal ini biasanya cukup arnan karena dimulai dengan obat yang meskipun baru, tapi dengan dosis yang kecil dan dosis tunggal, pada beberapa orang pasien yang dimonitor dengan ketat. Penambahan dosis, penambahan frekuensi pemberian, dan penambahan populasi pasien hanya dilakukan bila penelitian awal ini memberi hasil yang baik.

Penelitian fase IIIKeputusan untuk memasuki fase III diambil bila para peneliti yakin bahwa rasio manfaat : risiko obat baru itu dapatditerima. Karena itu pemberian secara lebih meluas obat baru itu dapat dibenarkan, dengan jumlah pasien yang lebih banyak dan supervisi yang kurang ketat. Perubahan dari fase II ke fase III ini berlangsung berangsur-angsur: supervisi pasien pada awal fase III sama ketatnya dengan fase II. Sementara keyakinan meningkat dan lebih banyak pasien yang terlibat, supervise dengan sendirinya makin berkurang. Tapi harus dijaga juga agar pasien tidak dalam bahaya. Ketatnya supervisi ini tidak hanya tergantung pada perkembangan tahap penelitian, tapi juga pada sifat obat yang diuji. Sementara fase III berlangsung, berbagai jenis disain penelitian dapat diujikan.Pada akhir uji klinik seharusnya seorang dokter telah dapat menggunakan suatu obat baru dengan cukup kompeten sampai manfaat maksimumnya. Untuk ini dia harus dapat menimbang secara tepat perbandingan keuntungan dan kerugian/risiko penggunaan obat itu pada berbagai kasus. Pada akhir fase III harus telah ada bukti-bukti tentang indikasi-indikasi dan dosis obat, juga tentang keamanannya untuk

Page 20: oht 2

penggunaan jangka panjang bila ada indikasi untuk itu. Untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan : Apakah obat berakumulasi dalam tubuh? Apakah toksisitas meningkat dengan penggunaan jangka panjang? insidensi dan tingkat beratnya efek samping harus dimonitor dengan cermat.

Penelitian fase IVDapat dikatakan bahwa fase IV mencakup semua penelitian yang dilakukan setelah obat baru mendapat izin untuk pemasarannya. Penelitian pra-pemasaran masih meninggalkan beberapa pertanyaan penting yang belum terjawab. Sebagai contoh, toksisitas suatu zat tak mungkin dinilai secara tepat dalam fase-fase sebelumnya bila insidensi agranulositosis adalah 1 : 20.000. Namun demikian penting diketahui apakah efek tersebut memang ada. Ada beberapa kekurangan dalam fase II dan III, yaitu terutama :* Jumlah pasien terbatas* Lama pemberian obat terbatas* Populasi pasien terbatasOleh sebab itu penelitian fase IV harus di-disain untuk mengungkapkan:- Efek samping akibat penggunaan kronik- Manfaat obat dalam penggunaan jangka panjang.- Data-data komparatif lainnya dalam penggunaan jangka panjang.- Non-responder- Penggunaan-penggunaan baru dan indikasi baru.- Penilaian kemungkinan penyalahgunaan obat- Penilaian kemungkinan penggunaan obat secara berlebihan atau kesalahan dalam penggunaannya.Interaksi obat dan kompatibilitasnya dengan zat-zat lain karena :1. Metabolisme mungkin meningkat atau menurun2. Perubahan pH urin mungkin mengubah ekskresi obat3. Mungkin ada sekresi tubuler aktif4. Mungkin ada hambatan pada absorpsi dalam usus.5. Perubahan motilitas usus mungkin terjadi6. Interferensi farmakologik, misalnya pada ujung saraf, dapat terjadi.Jadi, ada sejumlah alasan untuk membenarkan dilakukannya penelitian fase IV; alasan yang tak ada hubungannya dengan motivasi komersial, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa hasil-hasil penelitian itu sering dipakai untuk menunjang pemasaran.

Page 21: oht 2