Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

93
OBAT ANESTESI INTRAVENA NON OPIOID Dr. L. Sandhie Prasetya Dikenalnya thiopental pada praktek klinik pada tahun 1934 menandai diawalinya teknik anestesi intravena modern. Thiopental dan barbiturate lainnya, sebenarnya, bukan obat anestesi intravena yang ideal, terutama karena hanya dapat menimbulkan hipnosis saja. Obat anestesi yang ideal dapat menimbulkan hipnosis, amnesia, analgesia dan relaksasi otot tanpa depresi kardiak dan respiratorik yang tidak diinginkan. Karena tidak ada obat tunggal yang ideal, banyak obat- obatan lain yang digunakan, sering bersama-sama, yang dapat menghasilkan efek-efek obat yang diinginkan. Sebuah penelitian pada tahun 1988 mengungkapkan bahwa penggunaan kombinasi obat-obat anestesi adalah lebih aman dibandingkan bila hanya menggunakan satu atau dua jenis obat. Walaupun data tersebut sebenarnya tidak mudah untuk diinterpretasikan, penggunaan baberapa obat akan memberikan manfaat dalam pengelolaan anestesi. Bab ini akan memberikan informasi tentang beberapa obat anestesi intravena non- opioid yang tersedia dan dapat digunakan. PROPOFOL SEJARAH Propofol adalah obat anestesi intravena yang paling sering digunakan saat ini. Dimulai pada tahun 1970-an dihasilkan dari substitusi derivate phenol dengan materi hipnotik yang kemudian menghasilkan 2,6- diisopropofol. Uji klinik yang pertama kali dilakukan, dilaporkan oleh Kay dan Rolly tahun 1977, memberikan konfirmasi penggunaan propofol sebagai obat induksi anestesi. Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya tersedia dengan nama Cremophor EL (BASF A.G.) Dikarenakan oleh reaksi anafilaktik yang berkaitan dengan Cremophor EL pada formulasi awal propofol, obat ini tersedia dalam bentuk emulsi. Propofol digunakan untuk induksi dan rumatan anestesi, demikian pula untuk sedasi baik di dalam maupun di luar kamar operasi. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA

Transcript of Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Page 1: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

OBAT ANESTESI INTRAVENA NON OPIOID

Dr. L. Sandhie Prasetya

Dikenalnya thiopental pada praktek klinik pada tahun 1934 menandai diawalinya teknik anestesi intravena modern. Thiopental dan barbiturate lainnya, sebenarnya, bukan obat anestesi intravena yang ideal, terutama karena hanya dapat menimbulkan hipnosis saja. Obat anestesi yang ideal dapat menimbulkan hipnosis, amnesia, analgesia dan relaksasi otot tanpa depresi kardiak dan respiratorik yang tidak diinginkan. Karena tidak ada obat tunggal yang ideal, banyak obat-obatan lain yang digunakan, sering bersama-sama, yang dapat menghasilkan efek-efek obat yang diinginkan.

Sebuah penelitian pada tahun 1988 mengungkapkan bahwa penggunaan kombinasi obat-obat anestesi adalah lebih aman dibandingkan bila hanya menggunakan satu atau dua jenis obat. Walaupun data tersebut sebenarnya tidak mudah untuk diinterpretasikan, penggunaan baberapa obat akan memberikan manfaat dalam pengelolaan anestesi. Bab ini akan memberikan informasi tentang beberapa obat anestesi intravena non-opioid yang tersedia dan dapat digunakan.

PROPOFOL

SEJARAH

Propofol adalah obat anestesi intravena yang paling sering digunakan saat ini. Dimulai pada tahun 1970-an dihasilkan dari substitusi derivate phenol dengan materi hipnotik yang kemudian menghasilkan 2,6-diisopropofol. Uji klinik yang pertama kali dilakukan, dilaporkan oleh Kay dan Rolly tahun 1977, memberikan konfirmasi penggunaan propofol sebagai obat induksi anestesi. Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya tersedia dengan nama Cremophor EL (BASF A.G.) Dikarenakan oleh reaksi anafilaktik yang berkaitan dengan Cremophor EL pada formulasi awal propofol, obat ini tersedia dalam bentuk emulsi. Propofol digunakan untuk induksi dan rumatan anestesi, demikian pula untuk sedasi baik di dalam maupun di luar kamar operasi.

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA

Propofol (Gambar 10-1) adalah salah satu dari grup alkylphenol yang dapat menimbulkan hipnosis pada hewan. Alkylphenols berbentuk minyak pada suhu kamar, tidak larut dalam air tetapi kelarutannya tinggi dalam lemak. Formula baru yang menyisihkan Cremophor tersusun atas 1 % (berat/volume) propofol, minyak kedelai 10 %, glycerol 2,25 % dan 1,2 % purified egg phosphitide. Disodium edentate ditambahkan untuk memperlambat pertumbuhan bakteri pada emulsi. Formula ini memiliki pH 7, viskositasnya rendah, berwarna putih susu. Formulasi berikutnya yang mengandung metabisulfite sebagai antimicrobial diperkenalkan di Amerika. Di Eropa formula 2 % juga tersedia, dimana emulsinya mengandung campuran dari trigliserida rantai pendek dan menengah. Semua formula yang tersedia bersifat stabil pada suhu kamar dan tidak sensitive terhadap cahaya. Perubahan kelarutan akan sedikit menimbulkan perubahan farmakokinetik, memecah emulsi, degradasi spontan propofol dan kemungkinan merubah efek farmakologis.

Page 2: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

METABOLISME

Propofol dimetabolisme secara cepat di hati dengan cara konjugasi menjadi glukoronide dan sulfat untuk membentuk senyawa yang larut dalam air yang diekskresi ginjal. Kurang dari 1 % propofol tidak berubah saat dieksresi melalui urine, dan 2% diekskresi melalui feses. Karena kliren propofol melebihi aliran darah hepar, diperkirakan terjadi eliminasi ekstrahapatal atau ekstrarenal. Paru-paru diperkirakanmemegang peranan penting dalam proses ini, dimana paru bertanggung jawab atas kira-kira 30 % dari uptake dan eliminasi fase pertama. Pada studi invitro diketahui juga bahwa mikrosom pada ginjal dan usus manusia mampu membentuk senyawa propofol glukoronide. Propofol sendiri menunjukkan inhibisi cytochrome-450 yang tergantung pada konsentrasi, yang mungkin dapat merubah metabolism obat-obat yang tergantung pada system enzim tersebut (contohnya obat-obat opioid).

FARMAKOKINETIK

Evaluasi farmakokinetik propofol banyak dilakukan dengan interval dosis yang lebar seperti pemberian melalui infuse kontinyu, dan dijelaskan dalam model dua atau tiga kompartemen (lihat Tabel 10-1). Setelah injeksi bolus, kadar propofol dalam darah menurun cepat sebagai akibat redistribusi dan eliminasi (Gbr. 10-2). Klirens propofol sangat tinggi – 1,5 sampai 2,2 L/mnt. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya kliren ini melebihi aliran darah hepar dan terjadi metabolisme ekstahepatal. Konstanta ekuilibrium propofol berpedoman pada supresi electroencephalogram (EEG) (yang berkorelasi kuat dengan penurunan kesadaran) adalah sekitar 0,3 per menit, dan waktu paruh ekuilibrium antara konsentrasi plasma dan efek EEG adalah 2,5 menit. Waktu untuk mencapai puncak efek adalah 90 sampai 100 detik.

Beberapa faktor dapat menjadi penyebab perubahan farmakokinetik propofol, antara lain jenis kelamin, berat badan, umur, penyakit penyerta, dan pengobatan lain. Peningkatan kardiak output akan menurunkan konsentrasi propofol di dalam plasma dan sebaliknya. Pada keadaan hemorrhagic shock konsentrasi propofol meningkat sampai 20 % sampai terjadi kondisi shock yang tidak terkompensasi, suatu point dimana terjadi penigkatan konsentrasi propofol yang sangat cepat. Pada anak

Page 3: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

FARMAKOLOGI

Efek pada Susunan Saraf Pusat

Sifat utama propofol adalah hipnotik. Mekanisme kerjanya masih belum jelas sepenuhnya, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa sebagian besar kinerja hipnosis propofol adalah dengan potensiasi γ-aminobutiric acid (GABA)-induced chloride current, dengan berikatan pada subunit β dari reseptor GABAA. Subunit β1 (M286), β2 (M286), β3 (M286) pada domain transmembran merupakan area kritis aksi hipnotik propofol. Melalui mekanisme pada reseptor GABAA di hippocampus, propofol menghambat pelepasan acethylcholine pada hippocampus dan kortek prefrontal. Aksi ini sangat penting untuk efek sedasi propofol. Propofol disebutkan juga menghambat reseptor glutamate subtype N-methyl-D-aspartate (NMDA) melalui mekanisme modulasi sodium channel. Propofol juga mendepresi neuron kornu posterior medulla spinalis melalui reseptor GABAA dan glysine.

Propofol memiliki dua efek samping yang menarik yaitu efek antiemetik dan adanya sense of well-being setelah pemberian propofol. Efek antiemetic ini disebabkan oleh penurunan kadar serotonin pada area postrema yang kemungkinan dikarenakan kerja propofol pada reseptor GABA.

Onset hipnosis propofol sangat cepat (one arm-brain circulation) setelah pemberian dengan dosis 2,5 mg/kg, dengan efek puncak terlihat setelah 90 -i 100 detik. Median dosis efektif (ED 50) propofol untuk hilangnya kesadaran adalah 1 – 1,5 mg/kg setelah pemberian bolus. Durasi hipnosis tergantung pada dosis (dose dependent) kira-kira 5 – 10 menit setelah pemberian 2 – 2,5 mg/kg. Usia mempengaruhi dosis induksi, dimana dosis tertinggi adalah pada usia lebih muda dari 2 tahun (ED95 pada 2,88 mg/kg) dan menurun dengan bertambahnya usia. Efek pertambahan usia pada penurunan konsentrasi propofol yang dibutuhkan untuk terjadinya penurunan kesadaran ditunjukkan pada Gambar 10-4.

Beberapa penelitian menyebutkan propofol dapat digunakan untuk penanganan kejang epilepsy dengan dosis 2 mk/kg. Demikian pula propofol dapat digunakan dalam pengobatan chronic refractory headache dengan pemberian 20 – 30 mg setiap 3 – 4 menit (maksimal 400 mg).

Propofol dapat menurunkan tekanan intracranial (TIK) pada pasien dengan TIK normal maupun meningkat. Pada pasien dengan TIK normal terjadi penurunan TIK (30 %) yang berhubungan dengan penurunan sedikit tekanan perfusi serebral (10 %). Pemberian fentanyl dosis rendah bersama dengan propofol dosis suplemen mencegah kenaikan TIK pada intubasi endotrakeal. Pada pasien dengan peningkatan TIK, penurunan TIK (50 %) berkaitan dengan penurunan yang bermakna pada tekanan perfusi serebral.

Efek pada Sistem Respiratorik

Periode apnea terjadi setelah pemberian propofol dengan dosis induksi, durasi dan insidensinya tergantung dari dosis pemberian, kecepatan induksi dan pemberian premedikasi. Dosis induksi propofol menyebabkan 25 – 30 % insiden apnea. Durasi apnea bias lebih dari 30 detik, dimana kejadian ini bias

Page 4: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

disebabkan pemberian opioid, baik sebagai premedikasi maupun pemberian sebalum induksi. Onset apnea terlihat dari penurunan volume tidal dan takipnea.

Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik.

Efek pada Sistem Kardiovaskuler

Efek kardiovaskular propofol telah dievaluasi baik pada saat induksi maupun rumatan (Tabel 10-2). Efek yang paling bermakna adalah penurunan tekanan darah arterial selama induksi anestesi. Pada pasien dengan tanpa gangguan kardiovaskuler, induksi dengan dosis 2 – 2,5 mg/kg menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 25 – 40 %. Perubahan yang sama terlihat pada tekanan darah rata-rata dan tekana diastolik. Penurunan tekanan arterial berkaitan dengan penurunan kardiak output/kardiak index (≈ 15 %), stroke volume index (≈ 20 %) dan tahanan vaskuler sistemik ( 15 – 25 %). Index kerja ventrikel kiri juga berkurang ((≈ 30 %). Pada pasien dengan kelainan katup, tekanan arteri pulmonal dan tekanan kapiler pulmonal juga berkurang, dan hal ini disebutkan karena adanya penurunan preload dan afterload. Penurunan tekanan sistemik setelah induksi propofol dapat disebabkan oleh vasodilatasi dan kemungkinan juga oleh depresi miokard.

Mekanisme lain yang diperkirakan dapat menyebabkan penurunan kardiak output adalah aksi propofol pada sympathetic drive jantung. Propofol dengan konsentrasi tinggi (10 µg/mL) mengurangi efek inotropik dari stimulasi α- bukan β-adrenoreseptor dan meningkatkan efek lusitropik (relaksasi) dari stimulasi β. Secara klinis, efek depresi miokardial dan vasodilatasi kelihatannya tergantung pada dosis dan konsentrasi plasma.

Frekuensi denyut jantung tidak mengalami perubahan yang signifikan setelah pemberian propofol dosis induksi. Diperkirakan propofol mereset atau menghambat baroreflek, mengurangi respon takikardi pada hipotensi. Propofol menurunkan tonus parasimpatis jantung sesuai dengan derajat sedasi yang timbul.

Pada pemeliharaan anestesi dengan propofol denyut jantung dapat meningkat, menurun atau tidak berubah. Pemberian infus propofol menunjukkan penurunan signifikan pada aliran darah miokard dan konsumsi oksigen, suatu hal yang dapat menjaga rasio suplai dan kebutuhan oksigen miokard secara umum. Propofol mengurangi disfungsi mekanik, menurunkan cedera jaringan, memperbaiki aliran koroner dan menurunkan metabolic dearrangement.

Efek lain

Propofol, seperti thiopental, tidak mempotensiasi blok neuromuscular yang disebabkan oleh obat blok neuromuscular depolarisasi dan non-depolarisasi. Propofol tidak memicu hiperpireksi maligna dan mungkin merupakan pilihan pada pasien dengan kondisi tersebut.Pada pasien dengan multipel alergi, propofol harus digunakan dengan berhati-hati.Propofol juga memiliki efek antiemetic yang bermakna pada dosis rendah (subhipnotik). Propofol digunakan untuk mengatasi rasa mual post operasi dengan dosis bolus 10 mg.

Page 5: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

PENGGUNAAN

Induksi dan Pemeliharaan Anestesi

Propofol sesuai bila digunakan untuk induksi maupun pemeliharaan anestesi dan telah disetujui untuk digunakan pada anestesi neurologik dan cardiak (tabel 10-3). Dosis induksi bervariasi mulai dari 1,0 sampai 2,5 mg/kg dan ED95 pada pasien dewasa yang tidak dipremedikasi adalah 2,25 - 2,5 mg/kg. Karakteristik fisiologis yang menjadi penentu dosis induksi adalah umur, massa tubuh dan volume darah sentral. Premedikasi dengan opioid atau benzodiazepin, atau keduanya, akan mengurangi dosis induksi. Dosis 1 mg/kg (dengan premedikasi) sampai 1,75 mg/kg (tanpa premedikasi) direkomendasikan untuk induksi anestesi pada pasien lebih tua dari 60 tahun (lihat juga bab 62). Untuk mencegah hipotensi pada pasien dengan penyakit lebih berat atau mereka yang akan menjalani operasi bedah jantung, pemberian loading cairan harus diberikan, dan propofol harus diberikan dalam dosis kecil (10 – 30 dengan infus) sampai pasien kehilangan kesadaran.ED 95 (2,0 – 3,0 mg/kg) untuk induksi pada anak meningkat, terutama karena disebabkan perbedaan farmakokinetik. Saat digunakan sebagai induksi anestesi, propofol menunjukkan pemulihan serta kembalinya fungsi motorik yang lebih cepat secara signifikan dibandingkan dengan thiopental atau methohexital. Kejadian mual dan muntah pada propofol juga lebih rendah, mungkin disebabkan efek antimuntahnya. Propofol dapat diberikan secara bolus intermitten atau infus kontinyu untuk pemeliharaan anestesi. Setelah pemberian dosis induksi yang sesuai, bolus 10 – 40 mg dibutuhkan setiap 5 menit untuk pemeliharaan. Karena pemberian ini harus dilakukan berulang, akan lebih mudah bila diberikan dengan infus kontinyu. Berbagai metode infus kontinyu telah banyak digunakan untuk mencapai konsentrasi plasma yang adekuat. Kecepatan infus tergantung pada kebutuhan masing-masing individu dan stimulus pembedahan. Bila dikombinasikan dengan propofol, midazolam, clonidine, morphine, fentanyl, sulfentanil, alfentanil atau ramifentanil mengurangi kecepatan dan konsentrasi infus (lihat juga bab 12)Bertambahnya usia berhubungan dengan penurunan kebutuhan terhadap propofol, sedangkan pada anak dan bayi kebutuhan ini meningkat.Untuk operasi singkat (< 1 jam) pada permukaan bagian tubuh, keuntungan akan pemulihan yang cepat dan berkurangnya mual – muntah masih terbukti pada penggunaan propofol. Bila digunakan pada operasi yang lebih lama, kecepatan pemulihan dan kjadian mual - muntah propofol hampir sama dengan penggunaan thiopental/isoflurane.

Sedasi

Page 6: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Propofol telah dievaluasi untuk penggunaan sebagai sedasi selama pembedahan dan pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik di ICU. Propofol dengan infuse kontinyu memberikan tinkatan sedasi yang dapat dititrasi dan pemulihan yang singkat setiap kali infuse dihentikan.

EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI

Induksi anestesi dengan propofol dikaitkan dengan beberapa efek samping, termasuk nyeri saat injeksi, myklonus, apneu, penurunan tekanan darah arterial dan jarang , trombophlebitis pada vena lokasi injeksi propofol. Nyeri dapat direduksi dengan pemilihan vena yang besar, mengindari vena di dorsum manus, dan menambahkan lidokain pada larutan propofol. Apneu pada pemberian propofol sering terjadi dan hampir sama dengan pemberian thiopental dan methohexital; namun propofol menyebabkan kejadian yang lebih sering dan periode apneu lebih dari 30 menit. Pemberian opioid meningkatkan insidensi apneu khususnya apneu yang prolong.

Efek samping yang paling signifikah. n adalah penurunan tekanan darah sistemik. Penambahan opioid sebelum induksi cenderung menambah penurunan tekanan darah. Mungkin pemberian dengan dosisi lebih kecil dan cara pemberian pelan serta rehidrasi yang adekuat akan mengatasi penurunan tekanan darah. Berlawanan dengan hal tersebut, efek laringoskopy dan intubasi endotrakeal dan peningkatan MAP, denyut nadi dan tahanan vascular sistemik kurang signifikan pada propofol jika dibandingkan dengan thiopental.

Propofol infusion syndrome jarang terjadi namun letal, dikaitkan dengan infuse propofal 5 mg/kg/jam atau lebih dari 48 jam atau lebih. Gejala klinik berupa kardiomiopati dengan gagal jantung akut, asidosis metabolic, miopati skeletal, hiperkalemia, hepatomegali dan lipemia. Bukti yang ada menunjukkan kemungkinan sindrom ini disebabkan kegagalan metabolism asam lemak bebas yang disebabkan inhibaisi masuknya asam lemak bebas ke mitokondria dan gangguan rantai respirasi mitokondria.

Barbiturat

Sejarah

Asam barbiturik yang terdiri dari kombinasi urea dan asam melonik yang semakin berkurang potensi sedatifnya pertama kali disintesis oleh J.F.W. Adolph von Baeyerpada tahun 1864.278 Barbital (diethylbarbituric acid) merupakan barbiturate yang pertama dengan potensi sedative telah dilaporkan oleh Fischer dan von Mering pada tahun 1903. ObatHipnotik oral ini mempunyai aksi potensial yang panjang dan dikenal sebagai sedatif dalam praktek klinik. Dengan dikenalkannya Somnifen, sejenis campuran antara dietilbarbiturik (garam barbiturat) dan asam diallybarbiturik, pada tahun 1920 maka barbiturate intravena menjadi popular untuk penggunaan klinik. Pada tahun 1920, Somnifen telah diperkenalkan oleh Redomet dan pertama kali digunakan secara klinik oleh Bardet pada tahun 1921 dalam proses persalinan. Somnifen pertama kali digunakan dalam tindakan bedah pada tahun 1924 oleh Fredet dan Perlis. Sejak itu, Somnifen digunakan pada tahun-tahun berikutnya di Prancis dan Jerman

Page 7: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Barbiturat “ultra-shortacting” yang pertama, hexobarbital ditemukan oleh Kropp dan Taub dan telah digunakan dalam pemakaian klinik pada bulan Juli tahun 1932 oleh W. Weese dan W. Scharpff. Hexobarbital digunakan secara luas di Eropa tetapi tidak begitu popular di Amerika Utara. Pada tahun 1929, Zerfas dkk telah melaporkan penggunaan amobarbital (Amytal) dan hal ini memacu berkembangnya penggunaan barbiturat.

Thiobarbiturat pertama dikenal pada tahun 1930. Oleh karena eksperimen yang fatal pada anjing, maka penggunaanya tidak dieksplorasi sehingga tahun 1930. Pada tahun 1935, Tabern dan Volwiler telah berhasil mensintesis barbiturate yang mengandung sulfur (thiopental). Thiopental diperkenalkan secara klinik oleh Palph Waters dan John Lundy dan langsung menjadi pilihan secara klinik. Ini adalah karena onsetnya yang cepat dan durasinya yang singkat tanpa efek eksitatori hexobarbital.

Walaupun dikritik setelah banyak korban luka-luka sewaktu serangan pada “Pearl Harbour”, barbiturat tetap digunakan secara luas sebagai agen eutanasia yang ideal dalam situasi klinik. Banyak derivate barbiturate yang telah disintesis pada beberapa dekade lalu tetapi tidak ada satu pun yang sepopular thiopental. Thiopental telah berhasil melewati uji coba waktu sebagai obat anestesia intravena. Diskripsi yang lebih rinci tentang barbiurat dalam anestesia bisa ditemukan di sumber yang lain.

Karakteristik fisikokimia

Barbiturat adalah substan hipnotis aktif yang berasal dari asam barbiturik (2.4.6-trioxohexahydropyrimidine). Barbiturat terdiri dari dua divisi yand utama. Yang pertama adalah barbiturate yang mengandung oksigen pada posis 2 (oksibarbiturat) dan barbiturat yang mengandung sulfur pada posisi 2 (thiobarbital). Lewat taumerisasi keto-enol, oksigen atau sulfur pada posisi 2 menjadi sepsis yang reaktif dalam format enol yang menghasilkan garam barbiturate yang larut dalam air di solusi basa. Kelarutan ini memungkinkan barbiturate digunakan secara intravena. Unsure hipnotik barbiturat dihasilkan lewat proses substitusi pada hydrogen yang bercantum pada atom karbon di posisi 5 oleh kelompok aryl atau alkyl. Barbiturat hipnotis aktif bisa dilihat pada Tabel 10-4. Dari tabel tersebut, hanya thiobarbital thiopental dan thianylal dan oksibarbiturat methohexital sering digunakan untuk induksi anestesia. (Fig 10-8)

Formulasi barbiturate melibatkan preparasi barbiturate sebagai garam natrium (dicampur dengan 6% anhydrous natrium karbonat) yang dicampur dengan air ataupun normal saline untuk menghasilkan 2.5% solusi thiopental, 2.0% solusi thiamylal atau 1.0% solusi methohexital. Thiobarbiturat adalah stabil selama 1 minggu kalau disimpan di kulkas dan methohexital bisa digunakan selama 6 minggu setelah direkonstitusi. Nilai basa solusi yang berkurangan bisa mengakibatkan barbiturate mengendap sebagai asam bebas. Ini adalah alasan kenapa ia tidak bisa direkonstitusi dengan solusi Ringer Lactat atau dicampur dengan solusi asidik yang lain. Contoh obat yang tidak bisa diberikan secara bersama atau dicampurkan dalam solusi dengan barbiturat adalah pancuronium, veruronium, atracurium, alfentanil, sufentanil dan midazolam. Studi telah membuktikan bahwa induksi secara cepat,

Page 8: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

mencampurkan thiopental dengan vecoronium atau pancuronium akan menyebabkan formasi endapan yang akan mengoklusi pembuluh darah vena.

Hubungan Struktur-Aktivitas

Substitusi pada posisi 5,2 dan 1 menghasilkan nucleus barbiturate yamg mempunyai aktivitas farmakologik yang berbeda. Substitusi pada posis 5 dengan kelompak aryl atau alkyl menghasilkan efek hipnotis dan sedative. Kelompok phenyl yang disubstitusi pada posisi C5 menghasilkan aktivitas antikonvulsan. Penambahan panjang rantai di salah satu atau kedua hujung rantai kelompok alkyl pada C5 meningkatkan potensi hipnotis. Barbiturate yang digunakan dalam praktek klinis mempunyai oksigen atau sulfur di C2. Substitusi sulfur pada posisi C2 meningkatkan onset aksinya. Penambahan metil atau kelompok etil pada posisi 1 akan meningkatkan onsetnya tapi akan menyebabkan beberapa efek samping. Misalnya tremor, tipertonus dan gerakan involunter. Perbandingan antara potensial, onset aksi, durasi aksi dan efek samping dipaparkan dalam Tabel 10-5.

BENZODIAZEPINE

Sejarah

Benzodiazepine secara tidak sengaja ditemukan sebagai obat sedatif-hypnotic. Sternbach

mensintesiskan chlorodiazepoxide (Librium) pada tahun 1955, tapi Librium ini dibuang tanpa dites

terlebih dahulu karena dianggap lamban kerjanya. Akan tetapi, pada tahun 1957, ditemukan bahwa obat

ini ternyata mempunyai efek-efek “hypnotic, sedatif, dan antistrychnine pada tikus”. Benzodiazepine

pertama ini diperkenalkan untuk digunakan secara oral pada tahun 1960 dan pada tahun tersebut,

dengan dosis-dosis yang cukup tinggi, chlorodizepoxide mempunyai kandungan hypnotic dan amnestic

yang tinggi meskipun dalam anastesi, obat ini tidak tersedia dalam bentuk parenteral. Tapi, seorang

pasien yang diberi chlorodiazepoxide ketika kecelakaan sacrumnya jatuh dan retak; kecelakaan ini atau

rasa sakit tidak dapat diingat oleh pasien tersebut sehingga menunjukkan bahwa benzodiazepine

mempunyai efek tidak dapat mengingat kejadian atau rasa sakit (pembedahan). Diazepam (Valium)

disintesiskan dengan lebih baik oleh Sternbach pada tahun 1959 ketika mencari senyawa yang lebih baru

dan lebih baik. Valium pertama kali digunakan sebagai agent induksi anastesi intravenous pada tahun

1965. Oxazepam (Serax), metabolit diazepam, disintesiskan pada tahun 1961 oleh Bell dan dipasarkan

oleh perusahaan farmasi berbeda. Lorazepam (Ativan), 2’-chloro, produk pengganti oxazepam,

disintesiskan pada tahun 1971 untuk menghasilkan benzodiazepine yang lebih poten. Pencapaian besar

Page 9: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

lainnya adalah sintesis midazolam (Versed) Walser dkk (benzodiazepine larut dalam air pertama yang

digunakan secara klinis). Belum jelas benzodiazepine apa yang pertama kali digunakan untuk

menginduksi anastesi, tapi pada tahun 1966 beberapa kelompok melaporkan adanya penggunaan

diazepam untuk anastesi. Dengan demikian, midazolam merupakan benzodiazepine pertama yang

digunakan dalam anastesi.

Benzodiazepine memiliki banyak karakteristik. Mereka bekerja dengan menempati reseptor

benzodiazepine seperti yang pertama kali didiskusikan di Milan pada tahun 1971. Barnett dan Fiore

meneliti reseptor benzodiazepine dan pada tahun 1977, reseptor-reseptor benzodiazepine tertentu

terjelaskan dengan ditemukannya interaksi antara ligand-ligand dengan reseptor central. Penemuan dan

pemahaman tentang mekanisme reseptor benzodiazepine telah mendorong para ahli kimia

mengembangkan banyak senyawa agonist dan bahkan memproduksi antagonist tertentu untuk

penggunaan klinis.

Karakteristik-Karakteristik Fisikokimia

Beberapa agonist reseptor benzodiazepine biasa digunakan pada praktik anestesi di Amerika Serikat;

midazolam, diazepam, dan lorazepam (gambar 10-10 dan tabel 10-7). Semua molekul ini relatif kecil dan

larut dalam lipid dengan pH fisiologis. Setiap milliliter larutan diazepam (5 mg) mengandung 0.4 mL

benzyl alcohol, dan sodium benzoate/benzoic acid cair untuk injeksi (pH 6.2 hingga 6.9). Larutan

lorazepam (2 atau 4 mg/mL) mengandung 0.18 mL polyethylene glycol dengan 2% benzyl alcohol

sebagai larutan preservatif. Larutan midazolam mengandung 1 atau 5 mg/mL midazolam ditambah 0.8

sodium chloride dan 0.01% disodium edentate, dengan 1% benzyl alcohol yang digunakan sebagai

larutan preservatif. pH disesuaikan hingga 3 dengan hydrochloric acid dan sodium hydroxide. Midazolam

lebih dapat larut dalam lipid dibanding ketiga obat lainnya in vivo, tapi karena kemampuan larutnya

dalam lipid tergantung pH, midazolam larut dalam air ketika diformulasikan dalam medium acidic buffer

(pH 3.5). Cincin imidazole midazolam menghasilkan kestabilan dalam larutan dan metabolisme yang

cepat. Lipophilicitas ketiganya menyebabkan efek CNS mereka cepat, dan volume distribusi mereka

relatif besar.

Metabolisme

Page 10: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Biotransformasi benzodiazepine terjadi dalam liver. Dua saluran utama melibatkan oksidasi microsomal

hepatic (N-dealkalisasi atau hydroxilasi aliphatic) atau konjugasi glucorinide. Perbedaannya pada dua

saluran tersebut signifikan karena oksidasi rentan terhadap pengaruh dari luar dan dapat terganggu oleh

karakteristik-karakteristik populasi pasien tertentu (misalnya hepatic cirrhosis), atau pemberian obat-

obat lain secara bersamaan yang dapat mengganggu kapasitas oksidasi (misalnya cimetidine). Konjugasi

kurang rentan terhadap faktor-faktor ini. Midazolam dan diazepam mengalami reduksi oksidasi atau

reaksi tahap 1 dalam liver. Cincin imidazole midazolam yang difusikan di oksidasi dengan cepat oleh

liver, jauh lebih cepat dari kelompok methylene cincin diazepine dalam beberapa benzodiazepine.

Oksidasi cepat menyebabkan pembersihan hepatic midazolam lebih besar dari diazepam. Lorazepam

kurang terpengaruh oleh induksi enzim dan beberapa enzim tahap 1 lainnya. Sebagai contoh, inhibisi

fungsi enzim oksidatif oleh cimetidine mengganggu pembersihan diazepam, tapi tidak mempengaruhi

lorazepam. Usia menurunkan pembersihan diazepam sedangkan merokok meningkatkannya, tapi

keduanya tidak mempunyai efek pada biotransformasi midazolam. Kebiasaan mengkonsumsi alcohol

meningkatkan pembersihan midazolam. Ras, karena perbedaan pada beberapa isoenzim menyebabkan

hydroxylasi, menghasilkan perbedaan genetik pada metabolisme obat. Frekuensi tinggi alleles termutasi

pada orang Asia dalam gen yang mengkodekan CYP2C19 dapat menjelaskan biotransformasi hepatic

diazepam.

Metabolit-metabolit benzodiazepine menjadi penting. Diazepam membentuk dua metabolit

aktif, oxazepam dan desmethyldiazepam, dimana keduanya menambah dan memperpanjang efek obat.

Midazolam di biotransformasikan menjadi hydroxymidazolam yang mempunyai aktivitas dan, ketika

diberikan dalam waktu yang lebih lama, dapat berakumulasi. Akan tetapi, metabolit-metabolit ini

dengan cepat dikonjugasi dan diekskresi dalam urin. 1-Hydroxymidazolam mempunyai potensi klinis

20% hingga 30% daripada potensi klinis midazolam. 1-Hydroxymidazolam sebagian besar diekskresikan

oleh ginjal dan dapat menyebabkan sedasi dalam pada pasien dengan gangguan renal. Dibanding

midazolam, hydroxymetabolit dibersihkan lebih cepat pada pasien sehat (tabel 10-8). Dengan demikian,

metabolit-metabolit menjadi kurang poten dan secara normal lebih cepat dihilangkan daripada

midazolam, jadi metabolit-metabolit tersebut bukan masalah besar pada pasien dengan fungsi renal dan

hepatic normal. Lorazepam mempunyai 5 metabolit, tapi metabolit utama dikonjugasi menjadi

glucuronide. Metabolit ini tidak aktif, larut dalam air, dan secara cepat diekskresi oleh ginjal.

Farmakokinetik

Page 11: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Tiga benzodiazepine yang digunakan dalam anastesi diklasifikasikan menjadi benzodiazepine short

acting (midazolam), intermediate acting (lorazepam) dan long lasting (diazepam) menurut metabolisme

dan pembersihan plasmanya (lihat tabel 10-1). Kurva penghilangan plasma semua benzodiazepine dapat

disesuaikan dengan model dua atau tiga kompartemen. Pengikatan protein dan volume distribusi tidak

berbeda antara ketiga benzodiazepine ini, tapi pembersihannya sangat berbeda. Kecepatan

pembersihan midazolam berkisar 6 hingga 11 mL/kg/menit, sedangkan pembersihan lorazepam 0.8

hingga 11 mL/kg/menit dan pembersihan diazepam 0.2 hingga 0.5 mL/kg/menit. Karena tiga perbedaan

pembersihan plasma ini, obat-obat tersebut mempunyai kurva pembersihan plasma yang berbeda

(gambar 10-11 hingga 10-13). Mereka juga mempunyai perbedaan dalam context-sensitive half-time

(lihat gambar 10-3). Meskipun berhentinya aksi obat-obat ini diakibatkan redistribusi obat dari CNS ke

tissue-tissue lain setelah digunakan dalam anastesi, tingkat darah midazolam akan menurun lebih cepat

dari tingkat darah obat-obat lain karena pembersihan hepaticnya yang lebih besar setelah pemberian

harian (jangka panjang) atau setelah infusi berkelanjutan yang lama. Dengan demikian, para pasien yang

diberi infusi berkelanjutan atau bolus yang berulang-ulang midazolam selama beberapa hari akan

mengalami awaken lebih cepat daripada yang diberi diazepam atau lorazepam.

Faktor-faktor yang terdeteksi mempengaruhi farmakokinetik benzodiazepine adalah usia,

gender, ras, induksi enzim dan penyakit hepatic dan renal. Diazepam sensitif terhadap factor-faktor ini,

terutama usia. Bertambahnya usia cenderung mengurangi pembersihan diazepam secara signifikan dan

membuat tingkat pembersihan midazolam lebih kecil. Lorazepam resistan terhadap efek-efek

farmakokinetik usia, gender, dan penyakit ginjal. Ketiga obat ini semuanya dipengaruhi oleh obesitas.

Volume distribusi meningkat setelah obat meninggalkan plasma dan masuk ke tissue adipose. Meskipun

pembersihan tidak berubah, waktu half-life eliminasi memanjang karena kembalinya obat ke plasma

tertunda pada orang yang mengalami obesitas. Pada umumnya, sensitifitas terhadap benzodiazepine

pada beberapa kelompok pasien, seperti pasien yang lebih tua, lebih besar meskipun efek-efek

farmakokinetik relatif kecil; dengan demikian, faktor-faktor selain farmakokinetik harus

dipertimbangkan ketika obat ini digunakan.

Farmakologi

Semua benzodiazepine mempunyai sifat hypnotic, sedatif, anxiolytic, amnesic, anticonvulsant dan

muscle relaxant yang diproduksi secara central. Obat-obat ini berbeda potensi dan efektifitasnya dalam

Page 12: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

kaitannya dengan setiap aksi farmakodinamik. Struktur kimia setiap obat menentukan sifat fisikokimia

dan farmakodinamik tertentu obat tersebut serta karakteristik-karakteristik pengikatan reseptornya.

Pengikatan benzodiazepine ke reseptor respektifnya mempunyai afinitas tinggi dan stereospesific serta

dapat disaturasi; urutan afinitas reseptor (dan potensi) tiga agonist ini adalah lorazepam > midazolam >

diazepam. Midazolam sekitar 3 hingga 6 kali dan lorazepam 5 hingga 10 kali lebih poten dari diazepam.

Mekanisme kerja benzodiazepine mudah dipahami dengan baik. Interaksi ligand dengan

reseptor benzodiazepine adalah satu dari beberapa contoh mekanisme kerja dimana system biokimia

yang kompleks, farmakologi molecular, mutasi genetik, dan pola-pola klinis dapat terjelaskan.

Mekanisme kerja benzodiazepine lebih mudah dipahami daripada mekanisme kerja obat anestesi

general lain. Melalui penelitian genetic terbaru, ditemukan bahwa subtype-subtipe GABAA memediasi

efek-efek berbeda (amnesic, anticonvulsant, anxiolytic, dan tidur). Kandungan sedasi, anterograde

amnesia, dan anticonvulsant dimediasi melalui resptor-reseptor , dan anxiolytic dan relaksasi otot

dimediasi oleh reseptor GABAA . Efek obat adalah fungsi tingkat darah. Dengan menggunakan data

konsentrasi plasma dan simulasi farmakokinetik, didapatkan bahwa tingkat penempatan reseptor

benzodiazepine yang kurang dari 20% cukup untuk menghasilkan efek anxiolytic, sedasi teramati dengan

30% hingga 50% penempatan reseptor, dan ketidaksadaran membutuhkan 60% atau lebih tinggi

penempatan reseptor-reseptor agonist benzodiazepine.

Telah diketahui bahwa benzodiazepine menghasilkan efek-efeknya dengan menempati reseptor

benzodiazepine yang memodulasi GABA, neurotransmitter inhibitori mayor di otak. Neurotransmisi

adrenergic GABA mempunyai factor yang menghalangi efek pengaruh neurotransmitter excitatory.

Reseptor-reseptor benzodiazepine ditemukan paling banyak di dalam olfaktori bulb, cerebral cortex,

cerebellum, hippocampus, substantia nigra, dan inferior colliculus, tapi lebih sedikit di striatum, bagian

brainstem bawah, dan spinal cord. Meskipun ada dua reseptor GABA; reseptor benzodiazepine adalah

bagian kompleks reseptor GABAA pada membrane subsynaptic affector neuron. Kompleks reseptor ini

terdiri dari tiga subunit protein— — yang tersusun sebagai kompleks glycoprotein pentameric

(gambar 10-14). Protein-protein ini mengandung beberapa tempat pengikatan ligand reseptor GABAA

seperti tempat-tempat pengikatan benzodiazepine, GABA, dan barbiturate. Tempat pengikatan

benzodiazepine terletak pada subunit , dan subunit mengandung tempat pengikatan untuk GABA.

Dengan aktivasi reseptor GABAA, pembukaan dan penutupan channel untuk ion-ion chloride terjadi. Sel

menjadi ter-hyperpolarisasi dan oleh karenanya resistan terhadap eksitasi neuronal. Sekarang ini

ditemukan bahwa efek-efek hypnotic benzodiazepine dimediasi oleh perubahan-perubahan flux ion

Page 13: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

kalsium yang tergantung potensi. Tingkat modulasi fungsi reseptor GABA mempunyai keterbatasan yang

menjelaskan relatif tingginya kemanan dengan benzodiazepine.

Temuan yang membanggakan dan signifikan secara terapeutik adalah bahwa spektrum

farmakologic beberapa ligand meliputi tiga tipe atau kelas berbeda yang disebut agonist, antagonist, dan

inverse agonist (gambar 10-15), nama-nama yang sesuai dengan aksinya. Beberapa agonist (misalnya

midazolam) merubah konformasi kompleks reseptor GABAA sehingga afinitas pengikatan untuk GABA

meningkat dengan pembukaan resultan channel chloride. Beberapa agonist dan antagonist mengikat

(atau setidaknya menutupi) wilayah reseptor dengan membentuk beberapa ikatan reversible dengan

reseptor. Efek yang terkenal dari sebuah agonist kemudian muncul (aksi anxiolysis, hypnosis, dan

anticonvulsant). Beberapa antagonist (misalnya flumazenil) menempati reseptor benzodiazepine, tapi

mereka tidak menghasilkan aktivitas dan oleh karena itu memblok aksi-aksi agonist dan inverse agonist.

Inverse agonist menurunkan efisiensi transmisi synaptic adrenergic GABA, dan karena GABA inhibitori,

hasil dari penurunan GABA adalah stimulasi CNS. Potensi ligand ditentukan oleh afinitasnya untuk

reseptor benzodiazepine dan untuk durasi efek ditentukan oleh kecepatan pembersihan obat dari

reseptor.

Pemberian jangka panjang benzodiazepine menghasilkan toleransi, yang didefinisikan sebagai

sebuah penurunan efektifitas obat terhadap waktu. Meskipun mekanisme toleransi kronik tidak

sepenuhnya dipahami, pemberian benzodiazepine jangka panjang menyebabkan penurunan pengikatan

dan fungsi reseptor (downregulasi kompleks reseptor benzodiazepine GABAA). Penurunan ini

menjelaskan menurunnya kebutuhan dosis benzodiazepine untuk anastesi pada pasien yang diberi

benzodiazepine jangka panjang. Yang menarik, setelah penghentian penggunaan benzodiazepine jangka

panjang, kompleks reseptor menjadi upregulasi yang berarti meningkatnya kerentanan terhadap

benzodiazepine selama periode setelah penggunaan terakhir.

Onset dan durasi dosis bolus intravenous benzodiazepine tergantung pada kemampuan obat

larut dalam lipid, sebuah temuan yang dapat menjelaskan perbedaan onset dan durasi kerja ketiga

benzodiazepine yang digunakan dalam praktik klinis di Amerika Serikat. Midazolam dan diazepam

mempunyai onset yang lebih cepat (60 hingga 120 detik). Waktu half-life ekuilibrium antara konsentrasi

plasma dan efek EEG midazolam sekitar 2 hingga 3 menit dan tidak terpengaruh oleh usia. Half-life ini

sekitar dua kali lebih lama daripada half-life diazepam, tapi ketika dibandingkan dengan diazepam,

midazolam mempunyai potensi intrinsik enam kali lebih besar. Data lain yang serupa tentang

benzodiazepine belum ada. Seperti onset, durasi efek juga berhubungan dengan kemampuan larut

Page 14: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

dalam lipid dan tingkat darah. Redistribusi midazolam dan diazepam yang lebih cepat dari lorazepam

(karena kemampuan larut dalam lipid yang lebih rendah dibanding lorazepam) menyebabkan durasi

kerja mereka lebih pendek.

Efek-Efek Pada System Syaraf Pusat

(lihat Bab 21)

Beberapa benzodiazepine mengurangi CMRO dan CBF dengan cara yang berhubungan dengan dosis.

Midazolam dan diazepam mempertahankan rasio CBF terhadap CMRO yang relatif normal. Pada

sukarelawan sehat, midazolam, 0.15 mg/kg menginduksi tidur dan mengurangi CBF 34% meskipun ada

sedikit peningkatan PaCO2 dari 34 menjadi 39 mm Hg. Brown dkk meneliti penelusuran EEG setelah

pemberian midazolam intravenous dan menunjukkan adanya aktivitas beta ritmik pada 22 Hz dalam 15

hingga 30 detik pemberian pada sukarelawan sehat. Dalam 60 detik, ritme beta kedua muncul pada 15

Hz. Ritme alpha mulai muncul kembali dalam 30 menit; tapi setelah 60 menit, aktivitas beta ritmik

resistan teramati pada amplitude 15 hingga 20 V. Beberapa perubahan EEG sama dengan efek-efek

EEG dengan diazepam dan bukan tanda light sleep, meskipun pasien secara klinis tidur. Metode yang

paling baik untuk memonitor kedalaman dengan midazolam adalah dengan menggunakan indeks BIS

EEG.

Midazolam, diazepam, dan lorazepam meningkatkan batas minimum mulainya seizure obat

anestesi lokal dan menurunkan mortalitas pada tikus yang diberi dosis lethal obat anestesi lokal.

Midazolam dan diazepam menginduksi efek protektif yang berhubungan dengan dosis terhadap cerebral

hypoxia yang ditunjukkan dengan memanjangnya waktu ketahanan tikus ketika diberi 5% oksigen.

Proteksi yang dihasilkan midazolam lebih baik daripada diazepam tapi kurang dari pentobarbital. Efek-

efek antiemetic tidak muncul pada tiga benzodiazepine ini.

Efek-Efek Pada Sistem Respiratori

Benzodiazepine, seperti kebanyakan obat anestesi intravenous, menghasilkan depresi sistem respiratori

sentral yang berhubungan dengan dosis. Depresi respiratori bisa lebih besar dengan midazolam

daripada dengan dizepam dan lorazepam meskipun penelitian komparatif ketiga obat tersebut belum

Page 15: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

ada. Lorazepam (2.5 mg secara intravenous [IV] menurunkan volume tidal dan minute ventilation yang

sama tapi berakhir lebih pendek daripada diazepam (10 mg IV) pada pasien dengan penyakit paru-paru.

Penurunan puncak minute ventilation (setelah midazolam 0.15 mg/kg) hampir sama dengan yang

dihasilkan pada pasien sehat yang diberi diazepam (0.3 mg/kg) sebagaimana ditunjukkan oleh data

respon karbondioksida. Kemiringan kurva respon ventilatori terhadap karbondioksida lebih rata dari

normal (kontrol) tapi tidak bergeser ke kanan seperti dengan beberapa opioid. Dilihat dari tingkat

plasma dan kecuraman efek dosis-respon kurva PaCO2 (gambar 10-16), midazolam kurang lebih lima

hingga sembilan kali lebih poten dari diazepam. Onset puncak depresi vantilatori dengan midazolam

(0.13 hingga 0.2 mg/kg) cepat (sekitar 3 menit), dan depresi signifikan berlanjut sekitar 60 hingga 120

menit. Kecepatan pemberian midazolam mempengaruhi waktu onset depresi ventilatori puncak;

semakin cepat obat diberikan, semakin cepat depresi puncak terjadi. Depresi respiratori yang

berhubungan dengan midazolam lebih sering muncul dan lebih lama durasinya pada pasien dengan

penyakit paru-paru obstruktif kronis, dan durasi depresi ventilatorinya lebih lama dengan midazolam

(0.19 mg/kg) daripada dengan thiopental (3.3 mg/kg). Lorazepam tunggal (0.05 mg/kg) tidak

menurunkan respon karbondioksida, tapi ketika lorazepam dikombinasikan dengan meperidine, depresi

respiratori muncul. Beberapa benzodiazepine bisa menghasilkan depresi respiratori aditif atau supra-

aditif (synergistic), meskipun mereka bekerja dalam reseptor yang berbeda.

Apnea terjadi dengan benzodiazepine. Terjadinya apnea setelah induksi anastesi dengan

thiopental atau midazolam sama. Apnea terjadi pada 20% dari 1130 pasien yang diberi midazolam untuk

induksi dan 27% dari 580 pasien yang diberi thiopental dalam sebuah percobaan klinis dengan

midazolam. Apnea berhubungan dengan dosis benzodiazepine dan lebih cenderung terjadi karena

adanya opioid. Usia tua, penyakit yang sangat lemah, dan obat-obat depresant juga dapat meningkatkan

kejadian dan tingkat depresi respiratori dan apnea dengan benzodiazepine.

Efek-Efek Pada Sistem Cardiovascular

Ketika digunakan sebagai obat tunggal, benzodiazepine mempunyai efek-efek hemodinamik kecil.

Perubahan-perubahan hemodinamik terjadi dengan dosis induksi anastetik diazepam, midazolam, dan

lorazepam ditunjukkan pada tabel 10-2. Nilai-nilai ini menunjukkan efek hemodinamik puncak dalam 10

menit pertama setelah pemberian dan didapatkan dari penelitian subjek sehat dan pasien dengan

Page 16: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

penyakit jantung ischemic dan valvulvar. Perubahan hemodinamik yang dominan adalah sedikit

menurunnya tekanan darah arterial yang disebabkan penurunan resistan vascular sistemik. Mekanisme

dimana benzodiazepine mempertahankan hemodinamik yang relatif stabil melibatkan tetapnya

mekanisme refleks homestatic, tapi beberapa bukti menunjukkan bahwa baroreflex terganggu oleh

midazolam dan diazepam. Midazolam menyebabkan penurunan yang sedikit lebih besar pada tekanan

darah arterial daripada benzodiazepine lain, tapi efek hypotensifnya minimal dan kurang lebih sama

seperti yang nampak dengan thiopental. Tanpa ada hypotensi, midazolam, bahkan dengan dosis

setinggi 0.2 mg/kg aman dan efektif untuk induksi anastesi bahkan pada pasien dengan aortic stenosis

parah. Efek-efek hemodinamik midazolam dan diazepam berhubungan dengan dosis: semakin tinggi

tingkat plasma, semakin besar penurunan tekanan darah sistemik; tapi, terdapat efek obat plasma

plateau dimana diatas efek tersebut terjadi sedikit perubahan tekanan darah arterial. Tingkat plasma

plateau untuk midazolam adalah 100 ng/mL, dan untuk diazepam sekitar 900 ng/mL. Heart rate,

tekanan pengisian ventricular, dan output cardiac tetap setelah induksi anastesi dengan

benzodiazepine-benzodiazepine tersebut. Pada pasien dengan peningkatan tekanan pengisian

ventricular kiri, diazepam dan midazolam menghasilkan efek “mirip nitroglycerin” dengan menurunkan

tekanan pengisian dan meningkatkan output cardiac.

Stres intubasi endotracheal dan pembedahan tidak terblok oleh midazolam. Dengan demikan,

obat anastesi adjuvant, biasanya opioid, sering dikombinasikan dengan benzodiazepine. Kombinasi

benzodiazepine dengan opioid dan nitrous oxide telah diteliti pada pasien dengan penyakit jantung

ischemic dan valvulvar. Jika penambahan nitrous oxide pada midazolam (0.2 mg/kg) dan diazepam (0.5

mg/kg) menghasilkan beberapa konsekuensi, kombinasi benzodiazepine dengan opioid menghasilkan

efek supra-aditif. Kombinasi diazepam dengan fentanyl atau sufentanul, midazolam dengan fentanyl

atau sufentanul, dan lorazepam dengan fentanyl atau sufentanil menghasilkan penurunan yang lebih

besar pada tekanan darah sistemik daripada ketika obat-obat tersebut digunakan secara tunggal.

Kombinasi benzodiazepine tersebut dengan remifentanil bisa juga menghasilkan efek yang sama.

Mekanisme efek hemodinamik synergistic belum sepenuhnya dipahami, tapi mungkin berhubungan

dengan pengurangan tone sympathetic ketika obat-obat tersebut diberikan secara bersamaan. Terdapat

bukti bahwa diazepam dan midazolam menurunkan catecholamine, sebuah temuan yang sesuai dengan

hipotesis ini.

Penggunaan

Page 17: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Sedasi intravenous

Beberapa benzodiazepine digunakan untuk sedasi sebagai premedikasi preoperatif, intraoperatif selama

anestesi regional atau lokal dan postoperatif. Anxiolysis, amnesia, dan peningkatan batas minimum

seizure obat anestesi lokal adalah kerja dari benzodiazepine. Dosis obat harus dititrasi untuk

penggunaan ini; tujuan titrasi adalah cukupnya sedasi atau dysarthria (tabel 10-9). Onset aksi lebih cepat

dengan midazolam, dengan efek puncak biasanya tercapai dalam 2 hingga 3 menit pemberian; waktu

untuk efek puncak sedikit lebih lama denga diazepam dan masih lebih lama dengan lorazepam. Durasi

kerja ketiga obat ini tergantung pada dosis yang digunakan. Meski onsetnya lebih cepat dengan

midazolam daripada dengan diazepam setelah pemberian bolus, recoverynya sama, mungkin karena

kedua obat tersebut mempunyai pola-pola penguraian plasma yang sama (redistribusi) (lihat gambar 10-

11 dan 10-12). Dengan lorazepam, onset sedasi dan khususnya amnesia lebih lambat dengan durasi

lebih panjang daripada dengan dua jenis benzodiazepine lainnya. Perbedaan tingkat sedasi dibanding

kemunculan amnesia (pasien sadar tapi mereka amnesic terhadap kejadian-kejadian dan instruksi)

sering terlihat dengan ketiga jenis benzodiazepine. Lorazepam tidak dapat diprediksi dalam kaitannya

dengan durasi amnesia, dan ketidakmampuan diprediksi tersebut tidak terjadi pada pasien yang harus

atau perlu kembali setelah periode postoperative. Tingkat sedasi dan amnesia yang reliable serta

tetapnya fungsi hemodinamik dan respiratori secara keseluruhan lebih baik dengan benzodiazepine

daripada obat-obat sedatif-hypnotic yang digunakan untuk sedasi sadar. Ketika midazolam dibandingkan

dengan propofol untuk sedasi, dua jenis obat ini secara umum sama kecuali lebih cepatnya emergence

atau wake-up dengan propofol. Propofol lebih memerlukan pengawasan karena depresi respiratorinya.

Meskipun margin keamanan besar dengan benzodiazepine, fungsi respiratori harus dimonitor ketika

obat-obat ini digunakan untuk sedasi untuk mencegah tingkat depresi respiratori yang tidak diinginkan.

Terdapat sedikit aksi synergistic antara midazolam dengan anestesi dalam hal ventilasi. Dengan

demikian penggunaan midazolam untuk sedasi selama anestesi regional dan epidural membutuhkan

kewaspadaan dalam hal fungsi respiratori ketika obat-obat ini digunakan dengan beberapa opioid.

Misalnya, sedasi untuk periode yang lebih lama di ruang ICU dilakukan dengan beberapa

benzodiazepine. Infusi yang panjang akan mengakibatkan akumulasi obat, dan dalam kasus midazolam,

konsentrasi metabolit aktif yang signifikan. Beberapa review telah menemukan manfaat

benzodiazepine. Manfaat yang paling utama adalah amnesia dan kestabilan hemodinamik, dan

kerugiannya yang berhubungan dengan propofol kadang-kadang hilangnya efek-efek propofol yang

lebih lama ketika infusi dihentikan. Kelebihan sebuah obat dibandingkan obat lain belum ditemukan;

Page 18: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

kedua obat harus selalu dititrasi menurun untuk mempertahankan sedasi seperti yang dibutuhkan.

Pendosisan jangan tetap; tapi harus terus dikurangi untuk menghindari akumulasi parent atau metabolit

selama infusi panjang.

Sedasi oral

Selama beberapa tahun diazepam telah diberikan secara oral untuk sedasi preoperatif. Diazepam masih

digunakan dengan dosis 5 hingga 15 mg pada orang dewasa untuk tujuan ini. Yang lebih baru lagi,

formulasi oral midazolam telah digunakan untuk premedikasi oral pada pasien pediatrik. Dosis 0.5

mg/kg dan satu preparat berasal dari formulasi parenteral Roche 0.5 mg/mL (Roche Laboratories, Inc.,

Nutley, NJ) dicampur dengan 10 mg/kg acetaminophen oral (McNeil-PPC, Inc., Fort Washington, PA).

Preparat-preparat lain telah dikembangkan seperti glukosa rasa strawberi (pH 4.5) yang dipreparatkan

oleh farmasi yang stabil selama 8 minggu. Dosis oral 0.5 mg/kg bekerja cepat; dosis ini menghasilkan

amnesia reliable selama 10 menit dan secara efektif menghasilkan sedasi bagi anak-anak untuk induksi

anestesi.

Induksi dan Maintenance Anestesi

Midazolam adalah pilihan benzodizepine untuk induksi anestesi. Meskipun diazepam dan lorazepam

telah digunakan untuk induksi anestesi general, onset yang lebih cepat dan tidakadanya komplikasi

venous membuat midazolam lebih cocok digunakan. Dengan midazolam, induksi anestesi ditentukan

dengan ketidakresponsifan terhadap perintah dan hilangnya refleks bulu mata. Ketika midazolam

digunakan dengan dosis yang pas (lihat tabel 10-9), induksi terjadi kurang cepat daripada thiopental,

tapi amnesianya lebih reliabel. Banyak faktor mempengaruhi kerja midazolam dan beberapa

benzodiazepine lain ketika digunakan untuk induksi anestesi general termasuk dosis, kecepatan injeksi,

tingkat premedikasi, usia, status fisik American Society of Anesthesiologosts (ASA), dan obat anestesi

lain yang diberikan pada waktu yang bersamaan. Pada pasien sehat yang dipremedikasi dengan baik,

midazolam (0.2 mg/kg diberikan dalam 5 hingga 15 detik), induksi terjadi dalam 39 detik. Pasien yang

lebih tua memerlukan dosis midazolam yang lebih rendah daripada pasien lebih muda (gambar 10-17).

Pasien yang lebih dari 55 tahun dan mereka dengan status fisik ASA lebih tinggi dari kelas III

membutuhkan 20% pengurangan yang lebih besar dosis induksi midazolam. Dosis induksi midazolam

Page 19: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

yang biasa diberikan pada pasien yang di premedikasi antara 0.05 dan 0.15 mg/kg. Ketika midazolam

digunakan dengan obat anestesi lain (koinduksi), interaksi synergistic terjadi, dan dosis induksinya

kurang dari 0.1 mg/kg (gambar 10-18). Sinergi nampak ketika midazolam digunakan dengan beberapa

opioid atau hypnotics lain seperti thiopental dan propofol.

Awakening setelah anestesi benzodiazepine adalah akibat dari redistribusi obat dari otak ke

tissue-tissue yang kurang diperfusi dengan baik. Emergence (didefinisikan sebagai keadaan mengetahui

tempat atau waktu) sukarelawan muda dan sehat yang diberi midazolam intravenous 10 mg terjadi

sekitar 15 menit, dan setelah dosis induksi 0.15 mg/kg terjadi sekitar 17 menit. Waktu emergence

berhubungan dengan dosis midazolam dan dosis obat anestesi adjuvant. Emergence dari midazolam

(0.32 mg/kg) / anestesi fentanyl sekitar 10 menit lebih lama daripada emergence dari thiopental (4.75

mg/kg)/anestesi fentanyl dan lebih panjang daripada dengan propofol. Perbedaan membuat beberapa

anestesiologist lebih suka induksi propofol untuk prosedur operasi pendek.

Beberapa benzodiazepine tidak mempunyai kandungan analgesik dan harus digunakan dengan

obat-obat anestesi lain untuk menghasilkan analgesia yang cukup; akan tetapi, sebagaimana obat-obat

anestesi maintenance selama anestesi general, beberapa benzodiazepine menghasilkan hypnosis dan

amnesia. Penelitian double-blind yang membandingkan midazolam dan thipoental sebagai komponen

anestesi hypnotic telah menunjukkan bahwa midazolam lebih bagus digunakan karena amnesia yang

lebih baik dan aliran hemodinamik yang lebih halus. Kebutuhan opioid menjadi kecil dengan midazolam.

Midazolam (0.6 mg/kg) menurunkan MAC halothane 30% dan mempunyai efek yang sama pada obat

anestesi inhalasi lain. Masalah skema pendosisan ulang optimal setelah induksi ketika midazolam

digunakan sebagai komponen hypnotic maintenance anestesi general belum terjawab. Periode amnesic

setelah dosis anestetik sekitar 1 hingga 2 jam. Infusi midazolam telah digunakan untuk memastikan

kedalaman anestesi yang cukup dan konstan. Pengalaman menunjukkan bahwa tingkat plasma lebih dari

50 ng/mL, ketika digunakan dengan beberapa opioid adjuvant (misalnya fentanyl) atau obat anestesi

inhalasi (misalnya nitrous oxide, obat anestesi volatile) atau kedua-duanya, tercapai dengan dosis bolus

0.05 hingga 0.15 mg/kg dan infusi berkelanjutan 0.25 hingga 1 g/kg/menit. Dosis ini cukup untuk

membuat pasien tetap tidur dan amnesic tapi dapat dibangunkan di akhir pembedahan. Dosis infusi

lebih rendah bisa dibutuhkan pada beberapa pasien dan dengan beberapa opioid tertentu. Midazolam,

serta diazepam dan lorazepam, akan berakumulasi didalam darah dengan pemberian obat anestesi

bolus atau dengan infusi berkelanjutan, seperti dengan pemberian sebagian besar obat-obat anestesi

intravenous dengan injeksi berulang-ulang. Jika benzodiazepine benar-benar berakumulasi dengan

Page 20: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

pemberian berulang-ulang, waktu arousal dapat diantisipasi. Ini tidak menjadi masalah dengan

midazolam daripada dengan diazepam dan lorazepam karena context-sensitive half-time yang lebih

pendek dan pembersihan yang lebih besar midazolam.

Efek-efek samping dan kontraindikasi

Beberapa benzodiazepine merupakan obat yang sangat aman. Mereka relatif mempunyai margin

keamanan yang tinggi, terutama ketika dibandingkan dengan barbiturate. Mereka juga bebas efek

allergenic dan tidak mensupresi adrenal gland. Masalah yang paling signifikan dengan midazolam adalah

depresi respiratori. Efek-efek samping terbesar lorazepam dan diazepam, disamping depresi respiratori,

adalah iritasi venous dan thrombophlebitis, masalah-masalah yang berhubungan dengan ketidaklarutan

dalam air dan perlunya solvent. Ketika digunakan sebagai sedatif atau untuk induksi dan maintenance

anestesi, benzodiazepine dapat menghasilkan tingkat atau interval panjang yang tidak bagus dalam

kaitannya dengan amnesia, sedasi, dan kadang-kadang depresi respiratori postoperatif. Efek-efek

residual ini dapat dinormalkan dengan flumazenil.

Beberapa Benzodiazepine Baru

Hambatan utama midazolam sebagai obat yang paling cocok untuk anestesi, adalah onset yang lebih

lambat dan offset yang lama ketika dibandingkan dengan hypnotic seperti propofol. Agonist-agonist

benzodiazepine lain telah digunakan dalam percobaan klinis, tapi mereka perlu dikembangkan lagi.

Untuk onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih pendek, benzodiazepine baru yang paling bagus

adalah benzodiazepine yang secara cepat dimetabolismekan oleh esterase seperti yang nampak dengan

remifentanil. Dengan penemuan subtipe-subtipe GABAA, obat-obat tertentu yang baru dapat

dikembangkan untuk menghasilkan aksi agonsit-agonist tertentu yang bebas dari efek samping yang

tidak diinginkan seperti depresi respiratori.

FLUMAZENIL

Flumazenil (Anexate, Romazicon) adalah antagonist benzodiazepine pertama yang banyak digunakan

secara klinis. Penelitian farmakologis preklinik dengan flumazenil menunjukkan bahwa flumazenil

Page 21: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

menjadi ligand reseptor benzodizepine dengan afinitas tinggi, specifitas tinggi, dan efek intrinsik

minimal. Flumazenil, seperti agonist-agonist yang digantikannya pada reseptor benzodiazepine,

berinteraksi dengan reseptor dengan cara yang tergantung pada konsentrasi. Karena flumazenil

merupakan antagonist kompetitif pada reseptor benzodiazepine, antagonismenya reversibel dan sangat

bagus. Flumazenil mempunyai aktivitas intrinsik minimal yang berarti bahwa efek-efek agonist reseptor

benzodiazepine sangat lemah, secara signifikan lebih kecil daripada efek-efek pada agonist klinis.

Flumazenil, seperti antagonist-antagonist lain pada reseptor, tidak menempati agonist tapi menempati

reseptor ketika sebuah agonist terpisah dari reseptor. Half-time (atau half-life) ikatan reseptor-ligand

beberapa milidetik hingga beberapa detik, dan ikatan reseptor-ligand kemudian segera terbentuk.

Situasi dinamis ini menghasilkan kemampuan agonist atau antagonist untuk dengan mudah menempati

reseptor. Proporsi reseptor yang ditempati oleh agonist ketika terdapat antagonist sesuai dengan

hukum mass action dan tergantung pada afinitas dan konsentrasi kedua ligand tersebut. Persamaan 1

menunjukkan hubungan ini

dimana [RAgo] adalah konsentrasi reseptor agonist, [Rt] adalah jumlah total reseptor, Kago adalah

konstanta dissosiasi untuk agonist, KAnt adalah konstanta dissosiasi untuk antagonist, [Ago] adalah

konsentrasi antagonist pada reseptor.

Rasio agonist terhadap reseptor total menghasilkan efek-efek obat agonist, tapi sebuah

antagonist dapat merubah rasio ini, tergantung pada konsentrasinya dan konstanta disosiasinya (lihat

persaman 1). Dengan demikian, flumazenil, yang merupakan ligand avid (afinitas tinggi), akan mengganti

agonist yang relatif lemah seperti diazepam sepanjang diberikan dengan dosis yang cukup ([Ant] tinggi]).

Akan tetapi, flumazenil dibersihkan relatif cepat, dan hasil akhirnya adalah bahwa [Ant] terus berkurang

dibanding dengan [Ago]; dengan demikian, proporsi reseptor yang ditempati oleh agonist akan

meningkat, dan potensi untuk sedasi muncul (gambar 10-19). Situasi ini jarang terjadi ketika flumazenil

digunakan untuk menormalkan midazolam yang pembersihannya lebih cepat daripada agonist

benzodiazepine. Temuan penting lainnya adalah bahwa dengan dosis agonist sangat tinggi (misalnya

ketika kesalahan dalam pendosisan terjadi atau percobaan bunuh diri), flumazenil dosis rendah

mengurangi kedalaman depresi CNS (hilang kesadaran, depresi respiratori) dengan mengurangi

Page 22: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

penempatan reseptor fraksional oleh agonist tanpa menurunkan efek-efek agonist (mengantuk, dan

amnesia). Sebaliknya, ketika dosis agonist rendah, dosis tinggi flumazenil menormalkan hampir semua

efek agonist. Flumazenil dapat menghilangkan gejala-gejala fisik pada binatang atau manusia tergantung

pada agonist reseptor benzodiazepine. Gejala-gejala tersebut tidak menjadi masalah ketika flumazenil

digunakan untuk menormalkan agonist reseptor benzodiazepine dalam anestesi.

Karakteristik-karakteristik fisikokimia

Flumazenil, yang disintesiskan pada tahun 1979 sama dengan midazolam dan benzodiazepine-

benzodiazepine klasik kecuali dalam hal tidak adanya kelompok phenyl yang digantikan oleh kelompok

carbonyl (lihat gambar 10-10). Flumazenil membentuk bubuk crystalline tanpa warna, mempunyai

konstanta disosiasi 1.7 dan mempunyai kemampuan larut dalam air lemah tapi cukup untuk melarutkan

preparatnya dalam air. Koefisien partisi oktanol/aqueous buffer adalah 14, dan menunjukkan

kemampuan larut dalam lipid sedang pada pH 7.4.

Metabolisme

Flumazenil, seperti benzodiazepine-benzodiazepine lain, yang dimetabolismekan dalam liver,

dibersihkan dengan cepat dari plasma, dan mempunyai tiga metabolit, N-desmethylflumazenil, N-

desmethylflumazenil acid, dan flumazenil acid. Kerja dari ketiga metabolit ini dan glucoronide nya belum

diketahui sampai sekarang. Glucoronide-glucoronide tersebut mungkin diekskresi dalam urine.

Farmakokinetik

Flumazenil adalah senyawa berumur pendek. Tabel 10-1 berisi rangkuman farmakokinetik flumazenil

yang dijelaskan dalam berbagai setting klinis. Yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa ketika

dibandingkan dengan beberapa agonist reseptor benzodiazepine, flumazenil mempunyai pembersihan

paling tinggi dan half-life eliminasi lebih pendek. Half-life plasma flumazenil sekitar 1 jam—flumazenil

Page 23: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

merupakan benzodiazepine yang paling pendek hidupnya dalam praktek anastesi dibanding

benzodiazepine-benzodiazepine lain. Half-life pendek menunjukkan bahwa muncul potensial antagonist

untuk dibersihkan, dengan konsentrasi yang cukup agonist yang tertinggal di tempat reseptor untuk

menyebabkan resedasi. Untuk mempertahankan tingkat darah terapeutik konstan selama periode yang

panjang dibutuhkan pemberian berulang-ulang atau infusi berkelanjutan. Kecepatan infusi 30 hingga 60

g/menit (0.5 hingga 1 g/kg/menit) telah digunakan untuk tujuan ini. Cepatnya pembersihan darah

flumazenil mendekati aliran darah hepatic, temuan yang menunjukkan bahwa pembersihan liver

sebagian tergantung pada aliran darah hepatic. Ketika dibandingkan dengan benzodiazepine lain,

flumazenil mempunyai proporsi obat tak terikat relatif tinggi; pengikatan proteinnya rendah, dengan

fraksi bebas berkisar dari 54% hingga 64%. Sifat flumazenil ini dapat menghasilkan onset cepat dan

pembersihan lebih besar, tapi hipotesis semacam ini belum terbukti.

Farmakologi

Ketika diberikan dengan tidak ada agonist reseptor benzodiazepine, flumazenil mempunyai sedikit efek

CNS yang tampak. Meskipun efek-efek intrinsik (agonist dan inverse agonist) ada dalam flumazenil, efek-

efek tersebut secara klinis tidak penting. Dengan dosis rendah, efek yang menstimulasi dapat terlihat

dan dengan dosis tinggi efek depressant central menjadi lebih muncul. Ketika diberikan pada

sukarelawan dan pasien dengan dosis yang relevan secara klinis, flumazenil tidak mempunyai efek pada

EEG atau metabolisme cerebral. Pada binatang, flumazenil tidak mempunyai kandungan anticonvulsant

dan bahkan menormalkan kandungan anticonvulsant benzodiazepine pada seizure yang diinduksi obat

anestesi lokal. Ketika diberikan pada pasien yang mengalami depresi CNS yang diinduksi benzodiazepine,

flumazenil menghasilkan penormalan keadaan tidak sadar, depresi respiratori, sedasi, amnesia, dan

disfungsi psikomotor yang cepat dan reliable. Flumazenil dapat diberikan sebelum, selama, atau setelah

agonist untuk memblok atau menormalkan efek-efek CNS agonist. Secara klinis, yang harus dilakukan

adalah menormalkan efek-efek agonist yang diberikan sebelum flumazenil. Flumazenil telah berhasil

mernormalkan efek-efek midazolam, diazepam, lorazepam, dan flunitrazepam. Onset flumazenil cepat,

dengan efek puncak 1 hingga 3 menit, yang terjadi secara bersamaan dengan deteksi C-flumazenil pada

otak manusia. Flumazenil menormalkan agonist dengan menggantinya pada reseptor benzodiazepine,

dan onset dan durasinya yang cepat ditentukan dengan hukum mass action (lihat persamaan 1). Tingkat

plasma terapeutik untuk flumazenil adalah 20 ng/mL; tapi, karena karakteristik-karakteristik pengikatan

Page 24: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

relatif agonist dan antagonist menentukan penempatan reseptor oleh agonist residual, dibutuhkan dosis

dan tingkat plasma flumazenil yang berbeda untuk menormalkan efek-efek agonist tertentu.

Durasi kerja flumazenil ditentukan oleh dosisnya, dosis agonist, dan agonist tertentu yang

dinormalkan. Durasinya ditentukan oleh factor-faktor dalam persamaan 1. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa selama infusi konstan agonist, durasi aksi flumazenil tergantung dosis, tapi 45

hingga 90 menit antagonisme bisa dicapai setelah dosis intravenous 3.0 mg atau 2 hingga 3 jam setelah

dosis 0.8 mg/kg. Setting ini hanya kira-kira karena dalam praktek klinis, flumazenil diberikan setelah

pemberian agonist dihentikan.

Flumazenil bebas dari efek-efek depressan respiratori dan depressan cardiovascular agonist

reseptor benzodiazepine. Dosis flumazenil relatif tinggi (0.1 mg/kg) yang diberikan kepada sukarelawan

tidak menghasilkan depresi respiratori signifikan. Akan tetapi, flumazenil yang diberikan ketika terdapat

agonist, efek-efek respiratori signifikan terjadi karena flumazenil menormalkan depresi respiratori yang

disebabkan agonist (misalnya ketika diberikan kepada sukarelawan yang dibuat apneic dengan

midazolam). Penormalan depresi respiratori yang diinduksi midazolam (0.13 mg/kg) dengan flumazenil

(1.0 mg/kg) berakhir antara 3 sampai 30 menit. Agonist-agonist lain dan dosis-dosis lain akan

mempunyai durasi antagonisme depresi respiratori yang berbeda. Jika depresi respiratori berhubungan

dengan pemberian opioid, flumazenil tidak akan menormalkannya. Dosis yang meningkat, sampai 2 mg

secara intravenous, pada pasien dengan penyakit jantung ischemic tidak menghasilkan efek signifikan

pada variabel-variabel cardiovascular. Pemberian flumazenil kepada pasien yang diberi agonist akan

bebas dari efek-efek cardiovascular, tidak seperti penormalan opioid dengan naloxone. Yang harus

diperhatikan adalah efek penormalan agonist reseptor benzodiazepine dengan flumazenil pada plasma

catecholamine karena efek ini pada cathecolamine adalah mekanisme yang dicurigai respon

hiperdinamik pada penormalan opioid. Meskipun flumazenil menormalkan sedasi, flumazenil tidak

berhubungan dengan tingkat catecholamine yang lebih tinggi daripada yang ditemukan pada pasien

yang diberi saline, tapi peningkatan catecholamine yang menyertai arousal lebih cepat setelah

flumazenil.

Penggunaan

Penggunaan antagonist benzodiazepine yang relatif sedikit (tabel 10-10) meliputi penormalan diagnostik

dan terapeutik efek-efek agonist reseptor benzodiazepine. Untuk penggunaan diagnostik dengan

Page 25: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

benzodiazepine yang tercurigai overdosis, flumazenil dapat diberikan dengan dosis intravenous yang

tinggi 0.2 hingga 0.5 mg. Jika tidak terjadi perubahan pada sedasi CNS, mungkin depresi CNS hanya

karena overdosis benzodiazepine. Yang lebih sering terjadi dalam anastesi, flumazenil digunakan untuk

menormalkan sedasi pasien yang masih mengalami depresi setelah pemberian benzodiazepine untuk

sedasi sadar atau untuk anastesi general. Flumazenil dapat menormalkan sedasi tersebut, depresi

respiratori, dan amnesia yang diinduksi oleh benzodiazepine. Akan tetapi, saat ini ada bukti beberapa

efek penormalan yang berbeda pada aksi agonist berbeda. Dengan demikian, flumazenil cenderung

menormalkan efek-efek hypnotic dan respiratori lebih dari efek-efek amnesic benzodiazepine agonist.

Petunjuk dosis dapat dilihat di tabel 10-10 tapi harus diketahui bahwa penelitian tentang pendosisan

skala besar belum selesai dilakukan. Dosis bervariasi dengan benzodiazepine yang sedang dinormalkan,

dan durasi penormalan tergantung pada kinetika agonist dan flumazenil. Disarankan untuk melakukan

pemeriksaan jika benzodiazepin long-acting dinormalkan dengan pemberian tunggal flumazenil karena

efeknya yang relatif pendek. Flumazenil dapat diberikan dengan infusi berkelanjutan untuk mencegah

resedasi dengan agonist reseptor benzodiazepine yang berakhir lebih lama. Dikemukakan bahwa

ketersediaan flumazenil akan menambah manfaat beberapa agonist benzodiazepine, meskipun akan

merubah keamanan kelompok obat ini.

Beberapa efek samping dan kontraindikasi

Flumazenil telah diberikan dengan dosis oral dan intravenous dengan sangat sedikit reaksi toksisitas.

Flumazenil bebas dari kandugnan iritasi tissue atau iritasi lokal, dan tidak mempunyai organotoksisitas.

Seperti semua benzodiazepine, flumazenil mempunyai margin keamanan yang tinggi, mungkin lebih

tinggi dari margin keamanan beberapa agonist karena flumazenil tidak menghasilkan depresi CNS

signifikan. Yang harus diwaspadai adalah bahwa resedasi dapat terjadi karena half-life obat yang relatif

pendek.

PHENCYCLIDINE (KETAMINE)

Sejarah

Di kelasnya, phencyclidine merupakan obat pertama yang digunakan untuk anastesi. Obat ini di

sintesiskan oleh Maddox dan mulai digunakan secara klinis pada tahun 1958 oleh Greifenstein dkk dan

Page 26: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

pada tahun 1959 oleh Johstone dkk. Meskipun phencyclidine terbukti bermanfaat sebagai obat anestesi,

obat ini menghasilkan efek psikologis yang sangat tinggi (halusinasi dan delirium) pada periode recovery

postanesthetic. Cyclohexamine, obat sejenis phencyclidine, telah dicoba secara klinis pada tahun 1959

oleh Lear dll, tapi terbukti kurang efektif daripada phencyclidine dalam hal analgesi dan disamping itu

mempunyai banyak efek psychotomimetic. Saat ini kedua obat tersebut tidak lagi digunakan secara

klinis, meski terkadang phencyclidine digunakan untuk aktivitas yang melanggar hukum. Ketamine

(Ketalar) disintesiskan pada 1962 oleh Stevens dan pertama kali digunakan pada manusia pada tahun

1965 oleh Corssen dan Domino. Ketamine dipilih dari 200 turunan phencyclidine dan terbukti menjadi

obat yang paling menjanjikan pada percobaan dengan binatang. Ketamine di perkenalkan untuk

penggunaan klinis pada tahun 1970 dan masih digunakan pada beberapa setting klinis ekarang ini.

Ketamine berbeda dengan sebagian besar agent-agent induksi anestetik dimana ketamine mempunyai

efek analgesic signifikan. Ketamine biasanya tidak menurunkan system cardiovascular dan system

respiratory, tapi mempunyai beberapa efek psikologis yang menghawatirkan seperti efek-efek yang

ditemukan dengan jenis phencyclidine lain. Ketamine terdiri dari dua stereoisomer: S-(+) dan R-(–).

Isomer S-(+) lebih poten dan lebih sedikit menimbulkan efek samping. Perhatian pada ketamine terus

meningkat akhir-akhir ini karena efek-efeknya pada hyperalgesia dan toleransi opiate, serta

ketersediaan ketamine S-(+) (di beberapa negara).

Karakteristik-Karakteristik Fisikokimia

Ketamine (gambar 10-20) mempunyai berat molekuar 238kd, sebagian larut dalam air, dan membentuk

crystalline salt putih dengan log negatif konstanta ionisasi acid (pKa) 7.5. Ketamine mempunyai

kemampuan larut dalam lipid 5 hingga 10 kali daripada thiopental. Ketamine dipreparat dalam larutan

acidic (pH 3.5 hingga 5.5), dan campuran racemic bercampur dalam konsentrasi 10-, 50-, dan 100-mg

basa ketamine per milliliter larutan sodium chloride yang mengandung benzethonium chloride

preservatif. Molekul ketamine mengandung chiral center dan oleh karenanya berbentuk dua isomer dan

enantiomer optical yang dapat larut. Preprat racemic yang banyak tersedia adalah campuran

enantiomer [S-(+) dan

R-(–) dengan jumlah yang sama. Ketamine S-(+) tersedia dalam konsentrasi 5 dan 25 mg/mL.

Page 27: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Metabolisme

Ketamine dimetabolismekan oleh enzim microsomal hepatic. Saluran utama melibatkan N-demethylasi

untuk membentuk norketamine (metabolite I) yang kemudian di hydroxylasikan menjadi

hydroxynorketamine. Hasil dari ini semua di konjugasikan dengan turunan glucoronide yang dapat larut

di air dan di ekskresikan dalam urine. Aktivitas metabolit utama ketamine belum diteliti dengan baik,

tapi norketamine terbukti mempunyai aktivitas yang kurang signifikan (antara 20% dan 30%) daripada

senyawa utamanya. Aktivitas metabolit lain baru sedikit diketahui, tapi mungkin ketamine lah obat aktif

paling utama.

Farmakokinetik

Farmakokinetik ketamine belum diteliti dengan baik seperti kebanyakan obat anestesi intravena lainnya.

Farmakokinetik ketamine teramati setelah pemberian bolus dosis anastesi (2 hingga 2.5 mg/kg) dan

setelah infusi berkelanjutan (level plasma keadaan stabil 2000 ng/mL). Tanpa memperhatikan dosis,

penghilangan plasma ketamine dapat dijelaskan dengan model dua-kompartemen. Tabel 10-1 berisi

nilai-nilai farmakokinetik dari penelitian pemberian bolus. Yang penting untuk dicatat adalah distribusi

cepat yang dihasilkan dengan waktu half-life yang relatif lambat dan singkat 11 hingga 16 menit (gambar

10-21). Kemampuan larut lipid yang tinggi ketamine ditunjukkan dengan volume distribusinya yang

relatif besar, hampir 3 L/kg. Pembersihan juga relatif tinggi dan berkisar dari 890 hingga 1227 mL/menit

yang menyebabkan waktu half-life eliminasi yang relatif pendek 2 hingga 3 jam. Pembersihan tubuh

total (1.4 L/menit) kira-kira sama dengan aliran darah liver yang berarti bahwa beberapa perubahan

dalam aliran darah liver mempengaruhi pembersihan. Dengan demikian, pemberian obat seperti

halothane yang mengurangi aliran darah hepatic menurunkan pembersihan ketamine. Alfentanil dosis

rendah meningkatkan volume distribusi dan pembersihan ketamine yang menyebabkan konsentrasi

plasmanya lebih tinggi. Disamping itu, alfentanil meningkatkan distribusi ketamine ke otak.

Farmakokinetik kedua siomer berbeda. Ketamine S-(+) mempunyai pembersihan eliminasi yang

lebih besar dan volume distribusi yang lebih besar daripada ketamine R-(+). Enantiomer S-(+) juga lebih

poten dalam mensupresi EEG daripada S-(–) campuran racemic.

Farmakologi

Page 28: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Efek-efek pada Sistem Syaraf Sentral

Ketamine menyebabkan tidak sadar dan analgesia yang berhubungan dengan dosis. Keadaan teranastesi

tersebut diistilahkan anastesi dissosiatif karena pasien yang diberi ketamine tunggal mengalami keadaan

cataleptic, tidak seperti keadaan anastesi lain yang menunjukkan tidur normal. Pasien yang dianastesi

ketamine mengalami analgesia dalam tapi mata mereka tetap terbuka dan refleks-refleks mereka tetap

ada. Refleks-refleks corneal, batuk, dan menelan ada tapi jangan diasumsikan protektif. Pasien tidak

dipanggil kembali untuk pembedahan atau anastesi, tapi dengan benzodiazepine amnesia tidak

semenonjol dengan ketamin. Karena ketamine mempunyai berat molecular rendah, pKa yang mendekati

pH fisiologis dan kemampuan larut lipid relatif tinggi, ketamine melewati batas otak-darah dengan cepat

dan oleh karenanya mempunyai onset aksi selama 30 detik dari pemberian. Efek maksimal terjadi

sekitar 1 menit. Setelah pemberian ketamine, pupil melebar dan terjadi nystagmus. Lakrimasi dan

salivasi biasa terjadi, seperti meningkatnya tone otot skeletal yang sering disertai gerakan lengan, kaki,

trunk, dan kepala yang terkoordinasi tapi tanpa tujuan. Meski antar individu sangat berbeda, tingkat

plasma 0.6 hingga 2.0 g/mL dianggap sebagai konsentrasi minimum untuk anastesi general, tapi anak-

anak bisa membutuhkan tingkat plasma yang sedikit lebih tinggi (0.8 hingga 4.0 g/mL). Durasi anestesi

ketamine setelah pemberian tunggal dosis anestesi general (2 mg/kg IV) terjadi selama 10 hingga 15

menit (lihat gambar 10-21), dan kembalinya kemampuan mengenali orang, tempat, dan waktu terjadi

selama 15 hingga 30 menit.

Enantiomer S-(+) mempercepat recovery (beberapa menit) daripada campuran racemic.

Recovery yang lebih cepat diyakini karena lebih rendahnya dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan

efek equi-anestetik dan karena biotransformasi hepatic yang 10% lebih cepat.

Durasi anastesi ketamine ditentukan oleh dosis; semakin tinggi dosis semakin lama anastesi, dan

penggunaaan obat anastesi lain secara bersamaan juga memperpanjang waktu emergence. Karena

korelasi yang bagus antara tingkat darah ketamine dan efek CNS, durasi aksi ketamine yang relatif

pendek disebabkan redistribusinya dari otak dan darah ke tissue-tissue di seluruh tubuh. Dengan

demikian, berhentinya efek setelah pemberian bolus tunggal ketamine disebabkan oleh redistribusi dari

tissue-tissue yang diperfusi dengan baik ke tissue-tissue yang diperfusi dengan kurang baik. Pemberian

dengan benzodiazepine (biasa dilakukan) dapat memperpanjang efek ketamine. Ketika dikombinasikan

dengan benzodiazepine, enantiomer S-(+) tidak berbeda dalam hal kesadaran 30 menit, tapi lebih baik

120 menit daripada campuran racemic. Analgesi terjadi ketika tingkat darah lebih rendah daripada

hilang kesadaran.

Page 29: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Ketamine menghasilkan analgesi postoperatif penting. Tingkat plasma dimana batas minimum

rasa sakit meningkat adalah 0.1 g/mL atau lebih tinggi, yang berarti bahwa ada periode panjang

analgesi postoperatif setelah anastesi general ketamine dan bahwa dosis subanastetik dapat digunakan

untuk menghasilkan analgesi. Ketamine terbukti menghambat hipersensitisasi sentral nociceptiv.

Ketamine juga mengurangi batas toleransi akut setelah pemberian opiate. Ketamine mengurangi

kebutuhan opiate postoperatif ketika digunakan sebagai komponen tindakan analgesia

preventif/preemptif.

Tempat utama aksi CNS ketamin adalah pada system proyeksi thalamoneocortical. Ketamine

secara selektif menurunkan fungsi neuronal pada beberapa bagian cortex (terutama area-area yang

berhubungan) dan thalamus ketika secara bersamaan menstimulasi bagian-bagian system limbic,

termasuk hippocampus. Proses ini menciptakan apa yang disebut disorganisasi fungsional saluran

nonspesifik pada beberapa area midbrain dan thalamic. Ada juga bukti bahwa ketamine menurunkan

transmisi impuls pada formasi reticular medullary medial yang penting untuk transmisi komponen-

komponen afektif-emosional nocicepsi dari spinal cord ke pusat otak yang lebih tinggi. Blokade channel

sodium CNS terbukti tidak menjadi mekanisme kerja dimana ketamine menghasilkan anastesi. Beberapa

bukti menunjukkan bahwa ketamine menempati wilayah reseptor opiate di otak dan spinal cord, dan

sifat ini menyebabkan beberapa efek. Enantiomer S(+) terbukti mengalami aktivitas -reseptor opioid

yang sebagian menyebabkan efek analgesic. Interaksi reseptor NMDA dapat memediasi efek-efek obat

anastesi general dan beberapa aksi analgesic ketamine. Efek analgesic spinal cord ketamine diyakini

karena inhibisi horn dorsal, aktivitas neuronal kisaran dinamik-lebar. Meskipun beberapa obat telah

digunakan untuk mengantagonis ketamin, belum ada reseptor antagonis tertentu yang menormalkan

kembali efek-efek CNS ketamine.

Ketamine meningkatkan metabolisme cerebral, CBF, dan ICP. Karena efek-efek CNS eksitatori

yang dapat dideteksi dengan perkembangan aktivitas gelombang theta EEG dan dengan aktivitas seperti

seizure pada hippocampus, ketamine meningkatkan CMRO2. Jika aktivitas gelombang theta

menunjukkan aktivitas analgesic ketamine, gelombang alpha tidak menunjukkan adanya aktivitas

tersebut. Terdapat peningkatan CBF yang lebih tinggi daripada peningkatan CMRO2. Dengan

peningkatan CBF dan peningkatan respon system syaraf sympathetic, ICP akan meningkat setelah

pemberian ketamine. Peningkatan CMRO2.dan CBF dapat diblok dengan penggunaan thiopental atau

diazepam. Responsifnya cerebrovascular terhadap carbon dioxide dipertahankan oleh ketamin; oleh

karena itu, menurunkan Paco2 mengurangi peningkatan ICP setelah ketamine. Ketamin juga telah

Page 30: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

terbukti mempunyai ischemia cerebral dan reperfusi yang tidak sempurna untuk mengurangi necrosis

dan meningkatkan outcome neuralgic pada model binatang. Penurunan tone sympathetic dan inhibisi

aliran ion yang dimediasi reseptor NMDA diyakini menjadi penyebab penurunan kematian sel necrotic.

Ketamine, seperti phencyclidine lain, menghasilkan reaksi psikologis yang tidak diharapkan

selama awakening dari anastesi yang disebut reaksi emergence. Tanda-tanda umum dari reaksi ini, yang

bervariasi dalam hal keparahan dan klasifikasi, adalah mimpi indah, pengalaman extracorporeal

(perasaan mengangkat tubuh orang lain) dan ilusi (salah menginterpretasikan pengalaman sensory

eksternal yang nyata). Terjadinya mimpi dan ilusi ini sering disebabkan perasaan antusias, bingung,

euphoria, dan takut. Mereka terjadi saat jam pertama emergence dan biasanya berkurang dalam 1

hingga beberapa jam. Reaksi-reaksi emergence ini terjadi setelah penurunan nuclei relay visual dan

auditory yang diinduksi ketamin sehingga menyebabkan mispersepsi atau misinterpretasi (atau

keduanya) rangsang visual dan auditory. Kejadian-kejadian ini bervariasi dari serendah 3% higga 5%

sampai setinggi 100%. Rentang relevan secara klinis mungkin 10% hingga 30% pada pasien dewasa yang

diberi ketamine sebagai teknik anestetik tunggal atau sebagai bagian dari teknik anestetik lainnya.

Beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya reaksi emergence adalah usia, dosis, gender,

kerentanan psikologis, dan obat yang diberikan secara bersamaan. Memainkan musik selama anestesi

tidak mengurangi terjadinya reaksi psychotomimetic. Pasien pediatric tidak menunjukkan tingkat

kejadian reaksi emergence setinggi pada pasien dewasa, begitu juga pasien pria dibandingkan wanita.

Dosis yang lebih tinggi dan pemberian dosis tinggi secara cepat tidak menyebabkan pasien mengalami

tingkat kejadian yang lebih tinggi efek-efek tadi. Yang terakhir, kepribadian cenderung menyebabkan

perkembangan reaksi emergence. Pasien yang nilai psychoticism nya tinggi pada Eysenck Personality

Inventory mempunyai kecenderungan berkembangnya reaksi-reaksi emergence, dan orang-orang yang

biasa bermimpi di rumah lebih cenderung mengalami mimpi postoperative di rumah sakit setelah

pemberian ketamine. Banyak obat yang telah digunakan untuk mengurangi kejadian dan tingkat

keparahan reaksi-reaksi postoperative ketamine, dan benzodiazepine tampaknya menjadi kelompok

obat yang paling efektif dalam mengurangi atau menangani reaksi-reaksi emergence ketamine.

Midazolam, lorazepam, dan diazepam berguna untuk mengurangi reaksi terhadap ketamine. Mekanisme

belum diketahui, tapi aksi sedative dan amnesic benzodiazepine lebih baik daripada obat hypnotik-

sedatif lain. Midazolam telah terbukti mengurangi efek psychotomimetic enantiomer S-(+).

Efek-Efek Pada System Respiratory

Page 31: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Ketamine mempunyai efek yang kecil pada respiratory sentral sebagaimana ditunjukkan dengan tidak

berubahnya respon terhadap carbondioxide. Penurunan minute ventilasi dalam waktu yang pendek (1

hingga 3 menit) dapat terjadi setelah pemberian bolus dosis induksi ketamine (2 mg/kg IV). Kadang-

kadang dosis tinggi menyebabkan apnea, tapi efek ini jarang terlihat. Nilai gas darah arterial biasanya

tetap ketika yang digunakan untuk anestesi atau analgesia hanya ketamine saja. Akan tetapi, dengan

penggunaan sedatif atau obat-obat anestetik adjuvant, depresi respiratori dapat berkembang. Ketamin

terbukti mempengaruhi control ventilatory pada anak-anak dan harus dipertimbangkan penggunaan

depressant respiratory ketika ketamine diberikan dengan dosis bolus.

Ketamine merupakan relaxant otot halus bronchila. Ketika diberikan pada pasien yang

mengalami penyakit airway reaktif dan bronchospasm, pemenuhan pulmonary ditingkatkan. Ketamin

sama efektifnya dengan halothan atau enflurane dalam mencegah bronshospasm yang diinduksi secara

eksperimental. Mekanisme untuk efek ini mungkin akibat dari respon sympathomimetic terhadap

ketamine, tapi penelitian otot halus bronchial telah menunjukkan bahwa ketamine dapat

mengantagonis efek-efek spasmogenic carbachol dan histamine secara langsung. Karena efek

bronchodilasi, ketamine telah digunakan untuk mengatasi status asthmaticus yang tidak responsif

terhadap terapi konvensional.

Masalah respiratory potensial, terutama pada anak-anak, adalah salivasi yang meningkat setelah

pemberian ketamine (lihat juga bab 60). Salivasi tersebut dapat menyebabkan gangguan airway atas

yang kemudian dapat diperparah oleh laryngospasm. Peningkatan sekresi juga menyebabkan atau

memperparah laryngospasm. Disamping itu, meskipun refleks menelan, batuk, bersin, dan gag relatif

bagus setelah pemberian ektamine, ada bukti yang menunjukkan bahwa aspirasi tersembunyi dapat

terjadi selama anastesi ketamine.

Efek-Efek System Cardiovascular

Ketamine juga mempunyai efek cardiovascular unik; ketamine menstimulasi system cardiovascular dan

biasanya meningkatkan tekanan darah, heart rate, dan output cardiac (lihat tabel 10-2). Obat induksi

anastetik lain menyebabkan atau merubah variabel hemodinamik atau menyebabkan vasodilatasi

dengan depresi cardiac. Meskipun ada harapan bahwa dengan mengurangi dosis setengah (potensi

equal-anastetik) akan mengurangi efek-efek sampingnya, enantiomer S-(+) sama dengan campuran

racemic dalam hal respon hemodinamik. Peningkatan variabel hemodinamik disebabkan peningkatan

Page 32: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

kerja dan konsumsi oksigen myocardial. Jantung yang sehat dapat meningkatkan suplai oksigen dengan

meningkatkan output cardiac dan menurunkan resistan vascular coronary sehingga airan darah coronary

sesuai untuk konsumsi oksigen yang meningkat. Perubahan-perubahan hemodinamik tidak

berhubungan dengan dosis ketamine (tidak ada perbedaaan hemodinamik antara pemberian 0.5 dan 1.5

mg/kg IV). Menarik juga bahwa dosis kedua ketamine lebih sedikit menghasilkan efek hemodinamik

daripada dosis pertama. Perubahan-perubahan hemodinamik setelah pemberian induksi anastesi

dengan ketmaine cenderung sama pada pasien sehat dan mereka yang mengalami penyakit jantung

congenital atau penyakit jantung acquired. Pasien dengan penyakit jantung congenital tidak mengalami

perubahan yang signifikan dalam direksi atau fraksi shunt atau pada oksigenasi sistemik setelah induksi

anastesi ketamine. Pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan arteri pulmonary (seperti pasien

dengan mitral valvular dan beberapa jejas cogenital) ketamine dapat lebih meningkatkan resistan

pulmonary daripada resistan sistemik.

Mekanisme dimana ketamine menstimulasi system sirkulatori masih belum diketahui.

Mekanisme tersebut bukan mekanisme peripheral seperti inhibisi barorefleks, tapi lebih seperti sentral.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa ketamine menurunkan fungsi baroreseptor melalui efek reseptor

NMDA pada nucleus tractus solitarius. Ketamine yang diinjeksikan secara langsung kedalam CNS

menghasilkan respon hemodinamik system syaraf sympathetic. Ketamine juga menyebabkan

sympathoneuronal release norepinephrine yang dapat ditemukan dalam darah venous. Blockade efek

ini sering dengan barbiturate, benzodiazepine, dan doperidol. Ketamine in vitro bisa mempunyai efek

inotropik negatif. Depresi myocardial telah ditemukan pada jantung kelinci yang terisolasi, anjing

normal, anjing yang secara kronis diberi instrument, dan preparat jantung canine terisolasi, ketamine

merupakan depresan paling kecil dari semua obat induksi besar. Temuan bahwa ketamin dapat

menghasilkan efek-efek myocardial dengan bekerja pada aliran ionic myocardial (yang dapat

menghasilkan efek-efek berbeda dari spesies satu dengan yang lain atau pada jenis-jenis tissue berbeda)

dapat menjelaskan varian model binatang dan tissue dalam aksi myocardial langsung.

Respon sympathetic terhadap ketamine yang dimediasi secara sentral biasanya menghambat

efek-efek depresan langsung ketamine. Beberapa aksi system saraf peripheral memainkan peran yang

tidak jelas pada efek hemodinamik obat. Ketamine menghambat penyerapan catecholamine pada efek

mirip kokain dan penyerapan norepinephrine extraneuronal.

Stimulasi system caridiovascular tidak selalu dapat dilakukan, dan beberapa metode

farmakologis tertentu telah digunakan untuk memblok tachycardia dan hypertensi sistemik yang

Page 33: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

diinduksi ketamine. Metode-metode yang sukses meliputi penggunaan adrenergic antagonis ( dan )

dan beberapa jenis vasodilator dan clonidine. Akan tetapi, teknik yang paling banyak digunakan adalah

pemberian benzodiazepine. Dosis paling kecil diazepam, flunitrazepam, dan midazolam mengurangi

efek-efek hemodinamik ketamine. Bisa saja kita mengurangi tachycardia dan hipertensi yang disebakan

oleh ketamine dengan menggunakan teknik infusi berkelanjutan dengan atau tanpa benzodiazepine.

Obat anastesi general lain, terutama obat anastesi inhalasi, mengurangi efek-efek hemodinamik

ketamine. Ketamine dapat menyebabkan depresi hemodinamik pada setting anastesis ketika respon-

respon sympathetic tidak muncul setelah pemberian ketamin.

Penggunaan

Fitur-fitur famakologi ketamine, terutama kecenderungannya menyebabkan reaksi emergence yang

tidak diinginkan, membuat ketamine jarang digunakan secara rutin. Tapi, ketamine mempunyai posisi

penting dalam praktek anestesiologi ketika muncul aktivitas sympathomimetik unik dan kemampuan

bronchodilatasinya selama induksi anestesi. Ketamine digunakan untuk premedikasi, sedasi, induksi, dan

maintenance anestesi general (lihat tabel 10-11). Penggunaan ketamine dosis kecil (10 hingga 20 mg)

terus meningkat untuk analgesi preventif dan untuk menghambat toleransi opiate dan hyperaglesia.

Induksi Dan Maintenance Anastesi

Pasien beresiko kecil (kelompok ASA IV) dengan disorder respiratory dan system cardiovascular (selain

penyakit jantung ischemic) adalah mayoritas pasien yang diberi induksi ketamin; induksi tersebut

terutama cocok untuk pasien dengan penyakit airway bronchospastic atau mereka dengan bahaya

hemodinamik berdasarkan hypovolemia atau cardiomyopathy (bukan penyakit arteri coronary).

Bronchodilatasi dan analgesi dalam yang membutuhkan konsentrasi oksigen tinggi membuat ketamine

menjadi pilihan paling bagus untuk induksi pasien dengan penyakit airway reaktif. Disisi lain, korban

trauma sehat yang blood loss nya banyak, juga diberi rapid-sequence induction dengan ketamine.

Ketamine bermanfaat juga untuk pasien dengan shock septic. Akan tetapi, pada situasi shock septic, efek

depresan myocardial intrinsik ketamin dapat muncul jika trauma atau sepsis telah mengurangi

catecholamine sebelum pasien tiba di ruang operasi. Penggunaan ketamine pada pasien-pasien ini tidak

menghilangkan kebutuhan preparat preoperatif, termasuk restorasi volume darah. Penyakit cardiac lain

Page 34: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

yang dapat diatasi dengan baik dengan anastesi ketamine adalah cardiac tamponade dan pericarditis

restriktif. Temuan bahwa ketamine mempertahankan heart rate dan tekanan atrial kanan dengan efek-

efek stimulasi sympatheticnya membuat ketamine menjadi obat untuk induksi dan maintenance

anestesi yang paling bagus dalam setting ini. Ketamine juga sering digunakan pada pasien dengan

penyakit jantung congenital, terutama mereka dengan kecenderungan shunting kanan-ke-kiri.

Disamping itu, ketamine juga digunakan pada pasien yang rentan terhadap hipertensi malignant yang

mempunyai massa mediastinal anterior besar ketika ventilasi spontan dan obat anestesi inhalasi

menjadi kontraindikasi.

Ketamine yang dikombinasikan dengan diazepam atau midazolam dapat diberikan dengan infusi

berkelanjutan untuk menghasilkan anastesi cardiac yang sukses pada pasien dengan penyakit jantung

ischemic dan valvulvar. Kombinasi benzodiazepine atau benzodiazepine ditambah sufentanil dengan

ketamine mengurangi atau menghilangkan tachycardia dan hipertensi yang tidak diharapkan serta

gangguan psikologis. Teknik ini menghasilkan gangguan hemodinamik kecil, analgesi yang dalam,

amnesia yang berkurang, dan recovery yang tak terduga. Belum ada perbandingan teknik ini dengan

teknik benzodiazepine-opioid berkelanjutan.

Pada pasien dengan depresi terdeteksi, dosis kecil ketamine yang diberikan dengan induksi

secara signifikan akan meningkatkan keadaan depresif postoperatif ketika dibandingkan dengan

pengontrol lain.

Ketamine dosis kecil telah digunakan sebagai analgesic setelah pembedahan thoracic; sifat-sifat

depresan respiratory dan redanya rasa sakit yang sama dengan mepiridine membuat ketamine dosis

kecil sebagai pilihan ketiga ketika ingin menghindari narkotik karena alasan efek-efek depresan

respiratori narkotik dan karena alasan menghindari agent-agent nonsteroidal seperti ketorolac.

Penggunaan analgesic tambahan dapat dipertimbangkan pada pasien asthmatic. Ketamine yang

diberikan dengan dosis kecil 10 hingga 20 mg sebelum operasi mengurangi konsumsi analgesic

postoperatif. Pasien yang diberi hingga tiga dosis 0.25 mg/kg ketamine dikombinasikan dengan 0.15

mg/kg morphine, atau hanya 0.3 mg/kg morphine, mempunyai skor rasa sakit analog visual yang lebih

baik, lebih awas, dan mengalami mual dan muntah yang lebih kecil. Ketamine yang diberikan dengan

kombinasi satu-satu dengan morphine dan penggunaan interval penghambatan 8-menit menghasilkan

analgesia postoperatif yang optimal. Pemberian ketamine caudal/epidural (0.5 hingga 1 mg/kg) terus

meningkat. Meskipun efektifitas dosis-dosis ketamine ini belum pasti, keamanan teknik ini masih

Page 35: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

diperdebatkan. Pengawet pada campuran racemic berpotensi neurotoxic, tapi beberapa penelitian

menunjukkan bahwa ketamin S-(+) bebas pengawet aman digunakan.

Sedasi

Ketamine cocok untuk sedasi pasien anak-anak yang menjalani prosedur tidak di ruang operasi. Pasien

anak-anak lebih sedikit mengalami reaksi emergence daripada pasien dewasa, dan sifat ini membuat

penggunaan ketamin pada anak-anak lebih cocok. Ketamine digunakan untuk sedasi atau anastesi

general, atau keduanya, untuk prosedur pediatric berikut ini: catheterisasi cardiac, terapi radiasi,

pemeriksaan radiologic, perubahan dressing, dan kerja gigi. Disarankan untuk hati-hati ketika

menggunakan ketamine untuk catheterisasi cardiac pada pasien anak-anak dengan peningkatan resistan

vascular pulmonary karena resistan tersebut bisa meningkat dengan ketamine.

Ketamine sering digunakan berulang-ulang pada pasien yang sama. Sayangnya, beberapa

literatur tidak memberikan informasi berapa kali anastesi ketamine dapat diberikan dengan aman pada

satu pasien, apakah frekuensi pemberiannya berhubungan dengan batas toleransi setelah pemberian

berulang-ulang, dan apakah penggunaan jangka panjang/terus menerus dapat menyebabkan efek-efek

detrimental.

Biasanya, dosis subanastetik ( 1.0 mg/kg IV) digunakan untuk perubahan dressing (penutupan

luka); dosis ini menghasilkan kondisi operasi yang cukup tapi fungsi normal kembali dengan cepat

termasuk mulai makan lagi, yang semuanya itu penting dalam mempertahankan cukupnya nutrisi pada

pasien terbakar. Seringkali, ketamine dikombinasikan dengan premedikasi yang mengandung

barbiturate atau benzodiazepine dan antisialagogue (seperti glycopyrrolate) untuk mempermudah

manajemen. Premedikasi mengurangi kebutuhan dosis ketamine, dan antisialgogue mengurangi salivasi

yang terkadang menyulitkan.

Pada orang dewasa dan anak-anak, ketamine dapat digunakan sebagai supplemen atau

tambahan anastesi regional untuk menambah manfaat anastesi utama (anastesi lokal). Dalam setting ini,

ketamine dapat digunakan sebelum pemberian blok-blok rasa sakit, tapi lebih biasa digunakan untuk

sedasi atau anastesi supplemental selama prosedur lama atau menjenuhkan. Ketika digunakan untuk

tambahan anastesi regional, ketamine (0.5 mg/kg IV) yang dikombinasikan dengan diazepam (0.15

mg/kg IV) lebih dapat diterima dengan baik oleh pasien dan tidak menimbulkan lebih banyak efek

Page 36: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

samping dibanding pada pasien yang di sedasi. Ketamine dengan dosis kecil dapat juga dikombinasikan

dengan nitrous oxide dan propofol untuk suplementasi anastesi konduksi atau anastesi lokal. Teknik-

teknik pemberian ketamin ini digunakan pada setting pasien rawat jalan dan pasien rawat inap, dan

meskipun pasien-pasien nyaman dan kooperatif, mimpi dan reaksi emergence lain dapat muncul. Pada

pasien rawat jalan, premedikasi dengan midazolam, infusi propofol secara bersamaan, dan sesekali

ketamine (untuk analgesia) disarankan dengan dosis kurang dari 3 mg/kg.

Dosis-Dosis Dan Rute Pemberian

Ketamine telah diberikan secara intravenous, intramuscular, oral, nasal, rectal, dan sebagai larutan

bebas pengawet secara epidural. Sebagian besar penggunaan klinis menggunakan rute intravenous dan

intramuscular dimana dengan rute tersebut obat dengan cepat mencapai tingkat terapeutik. Dosis

tergantung pada efek terapeutik yang diinginkan dan rute pemberian. Tabel 10-11 berisi dosis-dosis

yang direkomendasikan untuk pemberian ketamine intravenous dan intramuscular untuk beberapa

tujuan terapeutik. Karena efek-efek samping mereka, sebagian besar obat anastesi perlu diturunkan

untuk pasien lebih tua dan sakit serius; rekomendasi ini cocok dengan ketamine, meski data yang

menunjukkan rekomendasi ini belum ada. Pasien yang mengalami sakit kritis dalam periode waktu yang

lama bisa kehabisan cadangan catecholamine dan bisa mengalami efek-efek depresan ketamine.

Ketamine dapat diberikan secara epidural dan intratechal untuk mengontrol rasa sakit operatif dan

postoperatif. Dosis intratechal 1 mg ketamine yang dikombinasikan dengan 0.15 hingga 0.2 mg

morphine intratechal menghasilkan pereda rasa sakit kanker yang efektif dibanding dengan 0.4 mg

morphine intratechal saja. Ketamine S-(+) (0.5 mg/kg) juga telah dikombinasikan dengan bupivacaine

untuk meningkatkan durasi analgesia. Aksi puncak setelah pemberian intravenous terjadi dalam 30

hingga 50 detik. Onset terjadi kira-kira 5 menit, dengan efek puncak yang terjadi sekitar 20 menit setelah

pemberian intramuscular. Dosis oral 3 hingga 10 mg/kg menghasilkan efek sedasi dalam 20 hingga 45

menit. Infusi berkelanjutan ketamine intravenous dengan atau tanpa disertai obat lain merupakan

metode yang sukses untuk mempertahankan tingkat darah dalam rentang terapeutik (lihat juga Bab 12).

Penggunaan obat-obat secara bersamaan seperti benzodiazepine membutuhkan ketamine dengan dosis

lebih kecil ketika meningkatkan recovery dengan mengurangi reaksi emergence. Interaksi ketamine

dengan propofol hanya bersifat additif, tidak synergistic; dengan demikian dosis masing-masing obat

tersebut perlu dikurangi kira-kira setengah ketika digunakan secara bersamaan untuk induksi. Untuk

sedasi, ketamine dapat diberikan secara intramuscular jika pasien tidak mau melihat penempatan

Page 37: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

catheter intravenous. Ketamine juga diberikan secara oral dengan dosis 3 hingga 10 mg/kg, dengan 6

mg/kg menghasilkan kondisi optimal dalam 20 hingga 25 menit pada sebuah penelitian dan 10 mg/kg

menghasilkan sedasi pada 87% anak-anak dalam 45 menit pada penelitian lain. Setidaknya, dalam satu

kasus, tidur lelap dihasilkan oleh dosis oral sedatif.

Beberapa Efek Samping Dan Kontraindikasi

Reaksi-reaksi emergence psikologis yang biasa muncul telah kita bahas sebelumnya. Kontraindikasi

terhadap ketamine berhubungan dengan aksi-aksi farmakologis tertentu dan penyakit pasien. Pasien

dengan peningkatan ICP dan dengan jejas massa intracranial jangan diberi ketamine karena dapat

meningkatkan ICP dan menyebabkan apnea. Enantiomer S-(+) juga meningkatkan CBF sehingga menjadi

kontraindikasi. Disamping itu, ketamine berkontraindikasi pada pasien dengan luka mata yang terbuka

atau disorder ophthalmologic lain dimana pada pasien ini peningkatan tekanan intraocular yang

diinduksi ketamine akan berbahaya. Karena ketamine mempunyai kecenderungan menyebabkan

hipertensi dan tachycardia dengan peningkatan yang sama pada konsumsi oksigen myocardial, ketamine

menjadi kontraindikasi sebagai obat anestesi tunggal pada pasien dengn penyakit jantung ischemic.

Begitu juga, tidak diperbolehkan memberikan ketamine pada pasien dengan vascular aneurysms karena

kemungkinan perubahan tiba-tiba pada tekanan arterial. Pada penyakit psikiatrik seperti schizophrenia

atau sejarah beberapa reaksi, ketamine atau salah satu obat sejenisnya juga menjadi kontraindikasi.

Disamping itu, harus hati-hati dalam menggunakan ketamine ketika terdapat kemungkinan delirium

postoperatif dari penyebab lain (seperti delirium tremen, kemungkinan trauma kepala) dan efek

psikomimetik yang diinduksi ketamine akan menyulitkan diagnosis.

Efek-efek samping yang lain adalah peningkatan blokade neuromuscular nondepolar oleh

mekanisme yang belum diketahui. Terakhir, karena pengawet ketamine (chlorobutanol) terbukti

neurotoxic, pemberian subarachnoid menjadi kontraindikasi. Karena alasan ini, tidak diperbolehkan juga

memberikan obat ini secara epidural. Ketamine S-(+) tersedia dalam larutan bebas pengawet. Badan

Pemberian Obat dan Makanan belum menyetujui penggunaan ketamine epidural atau intratechal.

ETOMIDATE

Sejarah

Page 38: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Etomidate (Amidate, Hypnomidate) disintesiskan pada tahun 1964 dan diperkenalkan dalam praktek

klinis pada 1972. Sifat-sifat etomidate meliputi stabilitas hemodinamik, depresi respiratory minimal,

proteksi cerebral, dan farmakokinetik yang membuat recovery berlangsung cepat setelah infusi dosis

tunggal atau berkelanjutan. Pada binatang, etomidate juga memberikan margin keamanan yang lebih

besar (dosis efektif median/dosis lethal median [ED50/LD50] daripada dosis thiopental (26.4 banding

4.6). Sifat-sifat yang bermanfaat ini menyebabkan etomidate digunakan secara luas untuk induksi, untuk

maintenance anastesi, dan untuk sedasi pada pasien sakit kritis. Akan tetapi, antusiasme para

anestesiologis pada etomidate terganggu oleh beberapa laporan bahwa obat ini dapat menyebabkan

inhibisi sementara sintesis steroid setelah dosis dan infusi tunggal. Efek ini, yang disertai dengan

beberapa kerugian kecil (rasa sakit injeksi, superficial thrombophlebitis, myoclonus, dan kemunculan

mual dan muntah yang relatif tinggi) menyebabkan beberapa editorial majalah dan koran mengangkat

masalah peran etomidate pada praktek klinis modern. Penggunaan obat ini menurun secara signifikan

setelah kemunculan beberapa editorial ini, tapi kemudian meningkat lagi karena penemuan kembali

sifat fisiologis yang bermanfaat yang disertai dengan tidak adanya laporan baru yang menunjukkan

suppresi adrenocortical yang signifikan secara klinis setelah dosis induksi atau infusi singkat.

Beberapa Karakteristik Fisikokimia

Etomidate adalah turunan imidazole (R-(+)-pentylethyl-1H-imidazole-5 carboxylate sulfate). Struktur

kimianya diilustrasikan di gambar 10-22. Etomidate muncul sebagai dua isomer, tapi hanya isomer (+)

yang aktif sebagai hypnotic. Berat molecularnya adalah 342.36 kd. Etomidate tidak larut dalam air dan

tidak stabil dalam larutan netral. Oleh karena itu etomidate diformulasikan dengan beberapa solvent. Di

Amerika Serikat etomidate disuplai sebagai 2 mg/kg propylene glycol (35% oleh volume) larutan dengan

pH 6.9 dan osmolalitas 4640 mOsm/L. Di Eropa, formulasi baru dalam emulsi lipid telah diperkenalkan

dalam usaha mengurangi beberapa efek samping etomidate. Tidak seperti thiopental sodium, ketika

etomidate dicampur dengan agent anestetik lain yang biasa digunakan seperti pemblok neuromuscular,

obat-obat vasoactiv, atau lidocaine, tidak menyebabkan precipitasi.

Metabolisme, Induksi, dan Maintenance Anestesi

Page 39: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Etomidate dimetabolismekan dalam liver terutama oleh hydrolysis ester menjadi carboxylic acid

etomidate (metabolit utama) atau oleh N-dealkylasi. Metabolit utama tidak aktif. Hanya 2% dari obat ini

yang tidak dieksresi, yang separuhnya diekskresi sebagai metabolit oleh ginjal (85%) dan dalam bile

(13%).

Etomidate telah digunakan untuk induksi dan maintenance anestesi (tabel 10-12). Dosis induksi

etomidate bervariasi dari 0.2 hingga 0.6 mg/kg, dan dikurangi oleh premedikasi dengan opiate,

benzodiazepine, atau barbiturate. Onset anestesi setelah dosis induksi rutin etomidate 0.3 mg/kg cepat

(one arm-brain circulation) dan sama dengan onset yang didapat dengan dosis induksi thiopental atau

methohexital. Durasi anestesi setelah dosis induksi tunggal berhubungan secara linear dengan dosis

tersebut—setiap 0.1 mg/kg yang diberikan menghasilkan sekitar 100 detik kehilangan kesadaran. Dosis

etomidat berulang-ulang, baik dengan bolus atau infusi, memperpanjang durasi hypnosis. Recovery

setelah dosis banyak atau infusi etomidate biasanya cepat. Penambahan dosis kecil fentanyl dengan

etomidate untuk prosedur pembedahan pendek mengurangi dosis etomidate yang dibutuhkan dan

menghasilkan kesadaran yang lebih cepat. Pada anak-anak, induksi dengan pemberian rectal etomidate

dicapai dengan 6.5 mg/kg. Hypnosis terjadi dalam 4 menit. Pada dosis ini, hemodinamik obat tidak

berubah, dan recovery masih cepat.

Beberapa skema infusi telah disusun untuk menggunakan etomidate sebagai sebuah agent

maintenance untuk komponen hypnotic anestesi (lihat Bab 12). Sebagian besar penanganan medis

bertujuan mencapai tingkat plasma 300 hingga 500 ng/mL yang merupakan konsentrasi yang

dibutuhkan untuk hypnosis. Infusi dua tahap dan tiga tahap telah digunakan dengan sukses.

Penanganan-penanganan medis ini terdiri dari infusi cepat awal 100 g/kg/menit selama 10 menit

setelah itu diikuti dengan 10 g/kg/menit atau 100 g/kg/menit selama 3 menit, 20 g/kg/menit

selama 27 menit, dan setelah itu 10 g/kg/menit. Hilang kesadaran dengan teknik-teknik ini terjadi

setelah 100 hingga 120 detik. Infusi biasanya dihentikan 10 menit sebelum waktu sadar yang telah

ditentukan.

Farmakokinetik

Farmakokinetik etomidate dihitung setelah dosis bolus dan setelah infusi berkelanjutan (lihat tabel 10-

1). Waktu penghilangan plasma setelah bolus 0.3 mg/kg dapat dilihat di gambar 10-23. Kinetika

etomidate paling mudah dijelaskan dengan model tiga-kompartemen terbuka. Obat ini mempunyai

Page 40: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

waktu half-life distribusi awal 2.7 menit, half-life distribusi ulang 29 menit, dan half-life eliminasi yang

bervariasi dari 2.9 hingga 5.3 jam. Pembersihan etomidate oleh liver tinggi (18 hingga 25 mL/kg/menit),

dengan rasio ekstraksi hepatic 0.5 0.9. Dengan demikian obat-obat yang mempengaruhi aliran darah

hepatic merubah waktu half-life eliminasi etomidate. Karena redistribusi adalah mekanisme dimana efek

bolus etomidate dihilangkan, disfungsi hepatic tidak akan merubah recovery dari efek hypnotic nya.

Volume redistribusi pada keadaan stabil adalah 2.5 hingga 4.5 L/kg. Etomidate adalah 75% ikatan

protein. Kondisi-kondisi patologis yang merubah protein-protein serum (misalnya penyakit ginjal atau

hepatic) merubah jumlah fraksi bebas (tidak terikat) dan dapat menyebabkan dosis tertentu mempunyai

efek farmakodinamik lebih parah. Model shock hemorrhagic pada babi kehabisan darah hingga tekanan

rata-rata 50 mm Hg tidak merubah farmakokinetik atau farmakodinamik etomidate. Temuan ini

berlawanan dengan perubahan-perubahan yang nampak pada model yang sama dengan obat anastesi

intravenous lain.

Pada pasien dengan cirrhosis, volume distribusi dua kali lipat, tapi pembersihan normal; hasilnya

adalah waktu half-life eliminasi yang dua kali normal. Ini menunjukkan bahwa half-life distribusi awal

dan efek klinis tidak berubah. Bertambahnya usia menyebabkan lebih kecilnya volume distribusi awal

dan menurunya pembersihan etomidate. Half-life eliminasi etomidate yang relatif pendek dan

pembersihan etomidate yang cepat membuatnya cocok diberikan dengan dosis tunggal, dosis multiple,

atau infusi berkelanjutan.

Farmakologi

Efek-efek pada Sistem Syaraf Sentral

Aksi utama etomidate pada CNS adalah hypnosis, yang dicapai dengan one arm-brain circulation seteleh

dosis induksi normal (0.3 mg/kg). Etomidate tidak menghasilkan aktivitas analgesik. Tingkat plasma yang

dibutuhkan selama maintenance anastesi sekitar 300 hingga 500 ng/mL, tingkat plasma untuk sedasi

150 hingga 300 ng/mL, dan untuk sadar 150 hingga 250 ng/mL (lihat gambar 10-23). Mekanisme dimana

etomidate menghasilkan hypnosis belum sepenuhnya jelas; akan tetapi, sebagian besar (tapi tidak

semua) berhubungan dengan sistem adrenergic GABA. Aksinya dapat diantagonisir oleh antagonis-

antagonis GABA. Secara umum, mekanisme kerja etomidate sangat sama dengan mekanisme kerja

Page 41: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

propofol (lihat bagian selanjutnya). Untuk aksi hypnoticnya bagi etomidate, subunit dan lebih

bermanfaat daripada subunit GABA.

Dengan dosis 0.2 hingga 0.3 mg/kg, etomidate menyebabkan CBF (34%) dan CMRO (45%)

tanpa merubah tekanan arterial rata-rata. Dengan demikian, tekanan perfusi cerebral tetap atau

meningkat, dan terdapat peningkatan akhir rasio supply-demand oksigen yang bermanfaat. Ketika

diberikan dengan dosis yang cukup untuk menghasikan supresi semburan EEG, etomidate secara akut

menurunkan ICP hingga 50% pada pasien yang telah mengalami peningkatan ICP, dan ICP kembali

mendekati nilai normal. Penurunan ICP tetap pada periode segera setelah intubasi (lihat juga Bab 21).

Untuk mempertahankan efek etomidate pada ICP, perlu kecepatan infusi yang tinggi (60 g/kg/menit).

Situasi berbeda muncul dengan agent neuroprotektif lain seperti thiopental dimana pengurangan ICP

dan maintenance supresi semburan tidak berhubungan dengan penurunan tekanan arterial rata-rata.

Karena reaktifitas vascular cerebral masih tetap setelah pemberian etomidate, hyperventiltsi secara

teoritis dapat mengurangi ICP ketika digunakan bersama dengan etomidate. Pada binatang, etomidate

telah mengurangi penyakit otak setelah gangguan ischemic cortical akut. Pada 1993, Takanobu dkk

melaporkan bahwa kualitas etomidat sama dengan thiopental dan lebih baik dari isoflrane pada model

tikus. Peneliti lain tidak sependapat tentang kualitas neuroprotektif etomidate. Struktur yang lebih

dalam seperti brainstem bukanlah proteksi ischemic yang dapat diberikan etomidate.

Dosis 0.3 mg/kg dengan cepat menurunkan tekanan intraocular 30% hingga 60%. Penurunan

tekanan intraocular setelah dosis tunggal berakhir dalam 5 menit, tapi penurunannya dapat

dipertahankan dengan infusi 20 g/kg/menit (lihat Bab 65).

Etomidate menghasilkan perubahan EEG yang sama dengan perubahan yang dihasilkan

barbiturate. Terdapat peningkatan awal pada amplitudo gelombang alpha dengan semburan sharp beta

yang diikuti dengan gelombang campuran delta-theta, dengan aktivitas gelombang delta mendominasi

sebelum onset supresi semburan periodik. Tidak adanya gelombang beta pada tahap awal induksi

dengan etomidate adalah perbedaan utama pada perubahan EEG yang diinduksi thiopental. Etomidate

terbukti menghasilkan peningkatan aktivitas EEG pada foci epileptogenic. Sifat ini terbukti bermanfaat

untuk mengetahui foci seizure intraoperatif sebelum ablasi pembedahan. Etomidate juga berhubungan

dengan tingginya kejadian gerakan myoklonik. Myoclonus tidak dianggap berhubungan dengan aktivitas

EEG yang mirip seizure. Dengan memberikan etomidate pada pasien yang tidak diberi premedikasi,

Page 42: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

etomidate meningkatkan aktivitas EEG pada 22% pasien dibanding 17% mereka yang diberi thiopental.

Gerakan myoclonic diyakini berasal dari aktivitas dalam brainstem atau dalam struktur cerebral dalam.

Efek etomidate terhadap potensial yang dihasilkan pendengaran sama dengan yang dihasilkan

oleh obat anestesi inhalasi dengan peningkatan latensi yang tergantung dosis dan penurunan amplitudo

komponen-komponen cortical awal (Pa dan Nb). Amplitude dan latensi potensial yang dihasilkan

somatosensory cortical limb bagian atas dipengaruhi secara positif setelah 0.4 mg/kg etomidate, yang

secara teoritis akan sulit menyebabkan luka neurologic selama pemposisian segera setelah induksi

anestesi. Respon-respon yang ditimbulkan brainstem tidak berubah setelah pemberian etomidate.

Karena penurunan amplitude kurang, etomidate lebih baik dari propofol sebagai agent induksi ketika

memonitorr respon yang ditimbulkan motor terhadap stimulasi.

Efek-Efek Pada Sistem Respiratory

Etomidate menghasilkan efek minimal pada ventilasi. Etomidate tidak menginduksi pelepasan histamine

pada pasien sehat atau mereka dengan penyakit airway reaktif. Respon ventilatori terhadap carbon

dioxide berkurangi dengan etomidate, tapi respon ventilatori dengan tekanan karbon dioxide tertentu

lebih besar daripada setelah dosis methohexital yang sama-sama poten. Induksi dengan etomidate

menghasilkan periode hyperventilasi singkat, kadang-kadang diikuti dengan periode apnea yang juga

singkat yang menyebabkan sedikit peningkatan PaCO2 ( 15%) tapi tidak merubah PaO2. Munculnya

apnea dirubah dengan premedikasi. Cegukan atau batuk dapat menyertai induksi etomidate, dan

kejadian tersebut juga terjadi setelah induksi methohexital.

Pada model laboratorium, etomidate sama efektifnya dengan propofol dalam merelaksasi cincin

tracheal prekontraksi, tapi kurang efektif dari propofol dalam mencegah kontraksi cincin tracheal oleh

agonist muscarinic.

Etomidate mengurangi respon vasorelaxant arteri pulmonary terhadap acetylcholine dan

bradykinin dengan menginhibisi komponen-komponen yang dimediasi nitric oxide dan EDHF, mungkin

dengan menginhibisi endothelial [Ca ] transien ketika merespon aktivasi reseptor. Aksi-aksi pada tone

vascular pulmonary ini sama dengan aksi-aksi yang muncul dengan propofol dan ketamine.

Page 43: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Efek-Efek Pada Sistem Cardiovascular

Efek minimal etomidate pada fungsi cardiovascular membuatnya berbeda dari agent-agent induksi

beronset cepat lain (lihat tabel 10-2). Dosis induksi 0.3 mg/kg etomidate yang diberikan pada pasien

cardiac untuk pembedahan noncardiac tidak menghasilkan perubahan pada heart rate, tekanan arterial

rata-rata, tekanan arteri pulmonary, tekanan wedge kapiler, tekanan venous central, volume stroke,

index cardiac, dan resistan vascular sistemik dan pulmonary. Dosis relatif tinggi etomidate, 0.45 mg/kg

(yang 50% lebih tinggi dari dosis induksi normal) juga menghasilkan beberapa perubahan minimal pada

parameter cardiovascular. Pada pasien dengan penyakit jantung ischemic atau penyakit valvulvar,

etomidate (0.3 mg/kg) menghasilkan perubahan minimal yang sama pada beberapa parameter

cardiovascular. Pada pasien dengan penyakit mitral atau katup aortik, etomidate dapat menghasilkan

perubahan yang lebih besar pada tekanan arterial rata-rata (penurunan sekitar 20%) daripada pasien

tanpa penyakit valvulvar cardiac. Pada beberapa strip otot myocardial yang diambil dari jantung yang

failure dan tidak failure, etomidate menghasilkan efek inotropik negatif tergantung pada dosis yang

sifatnya reversible dengan stimulasi adrenergic . Dengan konsentrasi terapeutik klinis etomidate,

kemunculan efek-efek inotropik negatif minimal dan bahkan tidak mempunyai pengaruh klinis. Setelah

induksi (18 mg) dan infusi (2.4 mg/kg), etomidate menyebabkan 50% penurunan aliran darah myocardial

dan konsumsi oksigen dan 20% hingga 30% peningkatan saturasi oksigen darah sinus coronary. Dengan

demikian rasio suppy-demand oksigen myocardial tetap. Etomidate menghasilkan efek minimal pada

interval QT.

Kestabilan hemodinamik yang tampak dengan etomidate sebagian karena tidak adanya efek

unik pada sistem syaraf sympathetic dan fungsi baroreseptor. Akan tetapi, etomidate, yang efektifitas

analgesiknya kurang, dapat menghilangkan secara total respon sympathetic terhadap laryngoscopy dan

intubasi. Karena gangguan hemodinamik yang sangat kecil melalui rangkaian induksi/intubasi, dosis

rendah (1.5 hingga 5.0 g/kg) fentanil sering dikombinasikan dengan etomidate.

Pada penelitian kecil 30 pasien yang menjalani prosedur vascular, etomidate (dibanding

thiopental) menyebabkan inhibisi fungsi platelet (waktu pendarahan yang meningkat dan inihibisi

adenosine diphospate dan bersatunya platelet yang diinduksi collagen) dengan blood loss yang

meningkat.

Efek-Efek Endocrine

Page 44: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Masalah seputar efek-efek endocrine etomidate muncul dari surat yang ditulis Ledingham dkk pada

1983 yang menangani pasien yang diberi infusi sedatif etomidate jangka panjang ketika sedang

diventilasikan secara mekanikal selama 5 hari atau lebih. Para peneliti ini menunjukkan bahwa separuh

pasien yang secara mekanikal diventilasikan, dan mengalami banyak trauma, tingkat kematiannya lebih

tinggi selama tahun 1981 hingga 1982 dibanding pada pasien sama yang ditangani selama 1979 hingga

1980. Kelompok pertama mendapatkan morphine dan benzodiazepine untuk sedasi, sedangkan pasien

pada tahun 1981 hingga 1982 diberi etomidate untuk sedasi. Oleh karena itu supresi adrenocortical

setelah infusi etomidate jangka panjang menjadi penyebab tingginya tingkat kematian. ICU lain dengan

pasien yang sama yang mendapatkan etomidate tidak menyebabkan tingginya tingkat kematian; pasien-

pasien ini diberi steroid dosis tinggi sebagai bagian protokol penanganan trauma. Temuan ini

mendukung hipotesis diatas.

Efek-efek endocrine yang muncul dengan etomidate adalah inhibisi reversible yang tergantung

dosis enzim 11 hydroxylase yang merubah 11 deoxycortisol menjadi cortisol, dan efek yang relatif kecil

pada 17 hydroxylase (gambar 10-24). Efek-efek ini menyebabkan peningkatan cortisol percursor 11-

deoxycortisol dan 17-hydroxyprogesterone dan peningkatan ACTH. Blokade 11 hydroxylase dan, yang

lebih jarang, 17 hydroxylase berhubungan dengan radical imidazole cytochrome P450 pengikatan

etomidate. Blokade tersebut menyebabkan inhibisi asorbic acid resynthesis, yang dibutuhkan untuk

menghasilkan steroid pada manusia. Blokade enzim 11 hydroxylase yang tergantung cytochrome P450

juga menyebabkan menurunnya produksi mineralocorticoid dan meningkatnya beberapa intermediari

(11-deoxycorticosterone). Suplementasi vitamin C menormalkan kembali tingkat cortisol setelah

penggunaan etomidate. Karena efek-efek supresif adrenocortical kecil terbukti muncul bahkan setelah

dosis bolus tunggal, muncul juga masalah yang berkaitan dengan penggunaan etomidate untuk induksi

anestesi. Belum ada penelitian prospective yang telah dilakukan, tapi beberapa penelitian kecil telah

memberikan sedikit pandangan tentang supresi adrenocortical setelah dosis induksi.

Duthie dkk menunjukkan bahwa pasien sehat yang menjalani pembedahan periperal kecil,

tingkat cortisol plasmanya sedikit menurun dari tingkat preinduksi hingga 1 jam pasca operasi. Titik nadir

tingkat cortisol rata-rata tidak menjauh dari rentang normal. 11-deoxycorticosterone (substrasi

etomidate yang diinhibisi 11 hydroxylase) berada pada tingkat yang sangat tinggi ketika dibandingkan

dengan kelompok kontrol thiopental. Dalam penelitian lain, pasien bedah ortopedi menjalani induksi

etomidate yang diikuti dengan infusi etomidate (dosis total rata-rata, 68 mg). Supresi adrenocortical

sementara, sebagaimana diukur dengan respon yang berkurang terhadap stimulasi ACTH, adalah 6 jam

Page 45: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

pasca operasi dan kembali normal 20 jam pasca operasi. Tingkat cortisol postoperatif pada pasien

penelitian etomidate tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok pasien yang diberi induksi

midazolam. Sama seperti penelitian Duthie dkk, tingkat cortisol rata-rata pada kelompok pasien

etomidate tetap pada rentang normal pasca operasi. Penelitian lain menunjukkan hasil yang sama ketika

mengevaluasi dosis induksi etomidate; tidak ada outcome yang meleset dari perkiraan setelah supresi

adrenocortical jangka pendek.

Akan tetapi, pada setiap penelitian etomidate prospective yang mengkaji supresi adrenocortical

tanpa menyebabkan sequelae klinis, kesimpulan tentang keamanan belum ada. Alasannya adalah bahwa

penelitian-penelitian ini tidak mengkaji prosedur high-stress dimana manfaat tingginya tingkat cortisol

dalam merespon tekanan besar dapat muncul dan blokade respon terhadap ACTH etomidate dapat

berbahaya. Sebagai bagian dari program jaminan kualitas, kami mengkaji isu ini dengan analisis

retrospective kecil induksi etomidate untuk prosedur high-stress (pembedahan vascular, thoracic, intra-

abdominal mayor, dan retroperitoneal mayor) pada tahun 1993. Indeks-indeks fungsi adrenocortical dan

outcome perioperatif pada pasien yang diberi dosis induksi etomidate dibandingkan dengan pasien

kelompok kontrol yang diberi thiopental. Kejadian infeksi bidang bedah perioperatif, sepsis, infeksi

miscellaneous, infarksi myocardial, dan support inotropik dievaluasi bersama dengan tingkat sodium

serum. Tidak ditemukan perbedaan antara pasien yang diberi etomidate dan mereka yang diberi agent-

agent induksi lain untuk beberapa prosedur high-stress ini. Pada tahun 1994, tingkat cortisol selama dan

setelah bedah bypass arteri coronary dibandingkan pada pasien yang diberi anastesi intravenous total

dengan etomidat/fentanyl (dosis etomidate rata-rata 87 3 mg) dibanding midazolam/fentanyl. Kecuali

untuk jam pertama setelah induksi, tingkat cortisol sama atau lebih tinggi pada kelompok pasien

etomidate daripada kelompok midazolam, sebuah temuan yang menunjukkan bahwa kemampuan

tubuh merespon tingkat stress pembedahan yang tinggi masih bagus meski dosis etomidate relatif

tinggi. Penelitian ini kemudian membuktikan bahwa etomidate bisa aman untuk digunakan pada

pembedahan besar.

Kesimpulannya, ada tiga fakta yang menunjukkan bahwa isu tentang supresi adrenocortical

sementara setelah dosis induksi etomidate tidak signifikan secara klinis: (1) tidak ada laporan mengenai

outcome klinis yang negatif yang disebabkan induksi etomidate meski berjuta-juta kali dilakukan; (2)

setelah induksi etomidate, titik nadir tingkat cortisol biasanya tetap dalam rentang rendah-normal, dan

supresi adrenocortical menjadi fenomena yang kemunculannya relatif sebentar; dan (3) pembedahan

Page 46: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

dengan tingkat stress tinggi dapat mengatasi supresi adrenocortical sementara yang disebabkan

etomidate.

Efek-Efek Lain

Meskipun etomidate menghasilkan kestabilan hemodinamik dan penurunan kecil pada respiratori,

etomidate berhubungan dengan beberapa efek yang merugikan ketika digunakan untuk induksi

termasuk mual dan muntah, rasa sakit injeksi, gerakan myoclonik, dan cegukan. Etomidate

menyebabkan tingginya kejadian mual dan muntah (30% hingga 40%). Sebaliknya, dengan methohexital

dan thiopental kejadian mual dan muntah 10% hingga 20%, tapi pada beberapa penelitian tidak

ditemukan perbedaan. Yang lebih baru lagi, etomidate pada emulsi lipid berhubungan dengan kejadian

mual postoperatif yang sama dengan propofol. Penambahan fentanyl pada etomidate meingkatkan

kejadian mual dan muntah. Mual dan muntah adalah alasan yang paling umum yang mengganggu

anestesi dengan etomidate. Dengan demikan akan lebih baik menghindari etomidate pada pasien yang

mengalami mual dan muntah.

Superficial thrombophlebitis vena yang digunakan dapat terjadi 48 hingga 72 jam setelah injeksi

etomidate. Kejadian ini bisa setinggi 20% ketika hanya etomidate yang diberikan melalui jarum

intravenous kecil (ukuran 21). Injeksi intra-arterial etomidate tidak menyebabkan penyakit vascular atau

lokal. Rasa sakit injeksi, yang juga terjadi dengan propofol, dapat dihilangkan sepenuhnya dengan

menyuntikkan lidocaine segera sebelum penyuntikan etomidate; rendah saja, 20 hingga 40 mg sudah

cukup. Rasa sakit injeksi kemudian dikurangi dengan menggunakan vena besar. Cara yang kurang sukses

tapi efektif adalah premedikasi dengan benzodiazepine ditambah narkotik. Kejadian rasa sakit injeksi

bervariasi dari 0% hingga 50%. Formulasi lipid etomidate juga menurunkan kejadian rasa sakit injeksi,

thrombophlebitis, dan pelepasan histamine saat injeksi.

Terjadinya gerakan otot (myoclonus) dan cegukan juga bervariasi (0% hingga 70%), tapi

myoclonus berkurang dengan premedikasi dengan narkotik atau benzodiazepine. Teknik injeksi cepat

dan pelan juga telah digunakan untuk mengurangi myoclonus.

Etomidate meningkatkan blokade neuromuscular pemblok-pemblok neuromuscular nondepolar.

Fungsi hepatik tidak berubah dengan etomidate. Etomidate in vitro menginhibisi aminoleulinic acid

Page 47: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

synthetase, tapi ketika diberikan pada pasien dengan porphyria etomidate ini tidak menginduksi

serangan porphyria akut.

Pembawa etomidate, propylene glycol, juga terbukti memiliki beberapa efek negatif. Beberapa

laporan menunjukkan bahwa propylene glycol dapat menyebabkan hemolysis ringan. Disamping itu,

infusi panjang dosis tinggi terbukti menghasilkan toksisitas propylene glycol.

Penggunaan

Penggunaan etomidate lebih cocok pada pasien dengan penyakit cardiovascular, penyakit airway reaktif,

hipertensi intracranial, atau kombinasi disorder-disorder yang memerlukan sebuah agent induksi

dengan efek samping fisiologis yang bermanfaat. Kestabilan hemodinamik etomidate lebih unik diantara

agent-agent induksi beronset cepat lainnya.

Etomidate telah banyak digunakan pada pasien sakit. Pada banyak penelitian, etomidate telah

digunakan untuk induksi pada pasien dengan sistem cardiovascular berbahaya yang menjalani

pembedahan bypass arteri coronary atau pembedahan valve, pada pasien yang membutuhkan induksi

anastesi general untuk percutaneous transluminal coronary angioplasty, dan pada beberapa situasi

serupa lainnya. Pada pembedahan cardiovascular, terutama pembedahan untuk aortic aneurysms,

etomidate merupakan obat anestesi induksi yang sangat bagus. Ketika penggunaan etomidate

dikombinasikan dengan fentanyl, mentitrasikan etomidate hingga 0.6 mg/kg mempertahankan tekanan

darah dan heart rate pada rentang sempit; tekanan perfusi coronary tetap pada pasien ini dengan

kemungkinan penyakit arteri coronary ketika respon terhadap intubasi berkurang dan stress yang tidak

perlu pada aneurysm terhindari. Untuk prosedur cardiothoracic, terutama transplantasi cardiac dan

paru-paru, rapid-sequence induction dan kestabilan hemodinamik yang diperlukan membuat etomidate

menjadi obat pilihan untuk induksi. Untuk pasien dengan penyakit arteri coronary dan penyakit airway

reaktif yang terjadi bersamaan, dosis induksi etomidate tidak melepaskan histamine, dan dosis relatif

tinggi (0.6 mg/kg) dapat dititrasikan untuk menghasilkan tingkat anastesi yang dalam untuk intubasi

tanpa membahayakan hemodinamik dan tekanan perfusi coronary. Untuk cardioversi, onset cepat,

recovery cepat, dan maintenance tekanan darah pada pasien yang secara hemodinamik sangat lemah,

dikombinasikan dengan respirasi spontan, membuat etomidate menjadi pilihan yang bagus, meskipun

dalam sebuah kasus myoclonus terganggu dengan evaluasi electrocardiography. Meskipun bukti definitif

efek neuroprotektif etomidate pada manusia kurang, kombinasi data binatang dan beberapa laporan

Page 48: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

anecdotal penggunaan etomidate yang sukses untuk prosedur aneurysm sangat banyak membuat

etomidate menjadi pilihan tepat selama induksi neurosurgical. Disamping itu, karena kemampuannya

mengurangi peningkatan ICP, etomidate harus diberikan ketika maintenance tekanan perfusi coronary

atau cerebral. Pasien trauma dengan status volume yang meragukan dapat diberi induksi dengan

etomidate. Meskipun efek sympathomimetic tidak langsung yang muncul dengan induksi ketamine tidak

tampak, tidak terjadi depresi myocardial langsung dan tidak memunculkan keraguan pada diagnosis

delirium postoperatif. Ini sangat penting pada pasien yang traumanya disebabkan oleh penggunaan obat

atau alkohol (atau keduanya).

Selama infusi, status hemodinamik dipertahankan dengan baik dengan ventilasi spontan yang

cukup, thrombophlebitis cenderung jarang dengan teknik infusi. Bentuk etomidate terkonsentrasi untuk

infusi berkelanjutan di Eropa tidak tersedia di Amerika.

Sedasi jangka pendek dengan etomidate bermafaat pada pasien yang tidak stabil secara

hemodinamik, seperti mereka yang membutuhkan cardioversi, mereka dengan infarksi myocardial akut

atau angina tidak stabil yang membutuhkan sedasi untuk prosedur operasi kecil, atau mereka yang

membutuhkan intubasi di UGD atau ICU. Disamping itu, etomidate telah digunakan untuk menghasilkan

sedasi jangka pendek untuk penempatan blok retrobular dan untuk terapi elektrokonvulsi dimana

selama periode tersebut maintenance respiratori spontan dan recovery cepat menjadi fitur yang

penting. Ketika digunakan selama terapi elektrokonvulsiv, etomidate dapat menghasilkan seizure yang

lebih lama daripada dengan obat hypnotic lain.

Sedasi yang lama untuk pasien di ruang ICU, meskipun seringnya setelah pelepasan etomidate,

menjadi kontraindikasi karena inhibisi produksi corticosteroid dan mineralcorticoid dan peningkatan

morbiditas.

BEBERAPA AGONIST ADRENERGIC : DEXMEDETOMIDINE

Sejarah

Reseptor-reseptor adrenergic pertama kali diturunkan menjadi dan oleh Ahlquist berdasarkan

respon mereka terhadap beberapa amine. Agonist adrenergic menghasilkan sedasi, anxiolysism, dan

hypnosis, serta analgesia dan sympathotholysis. Ide pertama penggunaan beberapa agonis pada

Page 49: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

anestesi berasal dari observasi yang dilakukan pada pasien yang selama anastesi diberi terapi clonidine.

Ini kemudian segera diikuti dengan pengurangan MAC halothan oleh clonidine. Dexmedetomidine jauh

lebih agonis selektif dengan 1600 kali lebih selektif untuk reseptor daripada .

Dexmedetomidine telah lama digunakan untuk sedasi singkat.

Karakteristik Fiskokimia

Medetomidine merupakan agonist adrenergic yang sangat selektif. Dexmedetomidine adalah

stereoisomernya dan tersedia dalam formulasi parenteral. Strukturnya diilustrasikan pada gambar 10-

25.

Metabolisme Dan Farmakokinetik

Dexmedetomidine didistribusikan dengan cepat dan dimetabolismekan secara ekstensif pada liver dan

diekskresikan melalui urin dan feces. Dexmedetomidine mengalami konjugasi (41%), N-methylasi (21%),

atau hydroxylasi yang diikuti dengan konjugasi. Dexmedetomidine merupakan 94% ikatan protesin, dan

rasio konsentrasinya antara whole blood dan plasma adalah 0.66. Dexmedetomidine mempunyai efek

yang dalam pada parameter cardiovascular dan dengan demikian dapat merubah farmakokinetiknya.

Dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan vasokonstriksi tidak lazim yang bisa mengurangi volume

distribusi obat. Dengan demikian, pada dasarnya dexmedetomidine menghasilkan farmakokinetik linear.

Karena obat ini akan diberikan hanya dalam rentang terapeutik kecil 0.5 hingga 1.0 ng/mL, ada baiknya

kita membahas parameter dalam rentang dosis ini. Dalam rentang dosis ini, Dyck dkk menemukan

bahwa faramakokinetik dexmedetomidine pada sukarelawan lebih dapat dijelaskan dengan model tiga-

kompartemen (tabel 10-1). Parameter-parameter farmakokinetik ini tidak berubah dengan usia, berat

badan atau renal failure, tapi pembersihannya merupakan fungsi tinggi badan. Half-life eliminasi

dexmedetomidine 2 hingga 3 jam, dengan half-time sensitif konteks yang berkisar dari 4 menit setelah

infusi 10 menit hingga 250 menit setelah 8 jam infusi. Pasien postoperatif yang di sedasi dengan

dexmedetomidine menunjukkan farmakokinetik yang sangat sama dengan farmakokinetik yang muncul

pada sukarelawan.

Page 50: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Farmakologi

Efek-Efek Pada Sistem Syaraf Pusat

Beberapa agonist menghasilkan efek sedatif-hypnotic dengan aksi pada reseptor-reseptor dalam

locus cerules dan menghasilkan efek analgesi dengan beraksi pada reseptor-reseptor didalam locus

cerules dan spinal cord. Observasi yang menarik adalah bahwa kualitas sedasi yang dihasilkan

dexmedetomidine berbeda dengan yang dihasilkan sedatif lain melalui sistem GABA. Beberapa agonis

beraksi melalui saluran yang menyebabkan tidur untuk menghasilkan efek sedasi mereka. Mereka

menurunkan aktivitas mengarahkan locus ceruleus ke ventrolateral preoptic necleus. Aksi ini

meningkatkan GABAergic dan pelepasan galanin dalam tubermammillary nucleus dan mengakibatkan

menurunnya pelepasan histamine dalam arah cortical dan sucortical. Beberapa agonist menginhibisi

konduktansi ion melalui channel kalsium tipe-A atau tipe-L dan untuk mempermudah konduktansi

melalui channel potassium voltage-gated calcium-activated. Beberapa agonist bermanfaat dimana

efek-efek mereka mudah di reversible oleh antagonist adrenergic (misalnya atipamezole). Seperti

reseptor-reseptor adrenergic lain, beberapa agonist juga menghasilkan toleransi setelah pemberian

yang lama. Akan tetapi karena dexmedetomidine hanya digunakan untuk sedasi jangka pendek,

toleransi, ketergantungan, atau penambahan tidak menjadi masalah. Sebaliknya, dexmedetomidine

telah digunakan untuk rapid opioid detoxification, pembersihan cocaine, dan benzodiazepine yang

diinduksi latrogenic dan toleransi opioid setelah sedasi yang lama. Pada binatang, dexmedetomidine,

tidak seperti opioid, tidak menyebabkan hyperaglesia atau allodynia setelah pembersihannya. Tikus-

tikus yang tolerir terhadap morphine juga menunjukkan penurunan efektifitas efek hypnotic dan

analgesic dexmedetomidine. Setelah toleransi terhadap opioid meningkat, recovery efek hypnotic

dexmedetomidine lebih cepat daripada recovery efektifitas analgesiknya. Data-data ini cenderung

mengindikasikan toleransi menyilang terhadap reseptor-reseptor.

Pada model binatang yang reperfusi dan cerebral ischemianya tidak sempurna,

dexmedetomidine mengurangi cerebral necrosis dan meningkatkan outcome neurologic. Pada model

focal ischemia pada kelinci, dexmedetomidine yang diberikan dengan dosis yang mengurangi 50% MAC

halothane menyebabkan lebih sedikit kerusakan cortical neuronal daripada ketika halothane saja yang

diberikan dengan konsentrasi MAC yang sama-sama efektif. Efek-efek pemberian tunggal

dexmedetomidine pada ICP dan CBF baru sedikit yang diketahui. Pada pasien setelah pembedahan

pitultary, konsentrasi target 600 ng/mL dexmedetomidine tidak meningkatkan tekanan CSF lumbar.

Page 51: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Pada anjing yang diberi obat anestesi volatile dan dexmedetomidine, CBF meurun dan konsumsi oksigen

tetap. Kecepatan CBF, setelah diukur dengan transcranial Doppler, menurun dengan meningkatkan

konsentrasi dexmedetomidine bersamaan dengan menurunkan tekanan arterial rata-rata dan

meningkatkan karbondioksida arterial. Pada sukarelawan, dexmedetomidine konsentrasi rendah (402

hingga 530 pg/mL) dan konsentrasi tinggi (524 hingga 732 pg/mL) menurunkan 30% CBF keseluruhan.

Penurunan ini terjadi selama sekurang-kurangnya 30 menit setelah infusi dihentikan. Pada model tikus

yang mengalami seizure, dexmedetomidine menunjukkan aksi prokonvulsan yang signifikan yang sesuai

dengan temuan sebelumnya bahwa inhibisi transmisi noradrenergic central memicu munculnya seizure.

Akan tetapi, belum ada laporan terjadinya seizure pada manusia. Dexmedetomidine juga dapat

menurunkan kekakuan otot setelah pemberian opioid dosis tinggi. Pada sukarelawan dalam kondisi

istirahat, dexmedetomidine meningkatkan pertumbuhan sekresi hormon tergantung dosis yang

digunakan, tapi tidak pada hormon pituitary. Dexmedetomidine dosis tertentu menghilangkan memori.

Dengan konsentrasi yang digunakan untuk sedasi klinis (0.7 ng/mL), pasien masih bisa mengingat kartu

bergambar. Peningkatan konsentrasi 2 ng/mL dexmedetomidine menghilangkan kemampuan mengingat

dan mengenali kartu bergambar.

Efek-Efek Pada Sistem Respiratori

Pada sukarelawan, dexmedetomidine dengan konsentrasi yang menghasilkan sedasi signifikan

mengurangi minute ventilation tapi mempertahankan penurunan respon ventilatory terhadap

peningkatan CO2. perubahan pada ventilasi sangat sama dengan perubahan yang teramati selama tidur

alami. Ebert dkk menginfusi 15 ng/mL pada sukarelawan yang bernafas secara spontan dan

menunjukkan tidak ada perubahan pada oksigenasi atau pH arterial. Dengan konsentrasi paling tinggi,

PaCO2 meningkat 20%. Kecepatan respiratori meningkat dengan meningkatkan konsentrasi dari 14

hingga 25 breath/menit. Ketika dexmedetomidine dan propofol dititrasi hingga titik akhir sedatif yang

sama (indeks BIS 85) tidak merubah kecepatan respiratory. Dosis 1 hingga 2 g/kg dexmedetomidine

menginduksi peningkatan ringan pada PaCO2 (45 mm Hg) dan perubahan ke arah kanan dan penurunan

kurva respon karbondioksida. Perubahan respirasi yang paling menonjol adah penurunan volume tidal

dengan sedikit perubahan pada frekuensi respiratori. Ketika dikombinasikan dengan alfentanil,

dexmedetomidine meningkatkan analgesia tanpa menyebabkan penurunan respiratori lagi.

Page 52: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Efek-Efek Pada Sistem Cardiovascular

Efek-efek utama agonist pada sistem cardiovascular adalah menurunnya heart rate, menurunnya

resistan vascular sistemik, dan penurunan tidak langsung kontraktilitas myocardial, output cardiac, dan

tekanan darah sistemik. Dengan mengembangkan agonist yang sangat selektif, diharapkan beberapa

efek cardiovascular yang merugikan dapat berkurang dan sifat-sifat hypnotic-analgesik yang diinginkan

dapat dimaksimalkan. Efek-efek hemodinamik bolus dexmedetomidine pada manusia menunjukkan

respon biphasic. Injeksi intravenous akut 2 g/kg meningkatkan tekanan darah (22%) dan menurunkan

heart rate (27%) dari keadaan awal yang terjadi 5 menit setelah injeksi. Peningkatan awal pada tekanan

darah ini bisa disebabkan efek dexmedetomidine pada beberapa reseptor periperal. Heart rate

kembali ke keadaan semula dalam 15 menit, dan tekanan darah terus menurun hingga sekitar 15%

dibawah keadaan semula dalam 1 jam. Setelah injeksi intramuscular dosis yang sama, peningkatan awal

pada tekanan darah tidak terlihat, dan heart rate dan tekanan darah tetap dengan 10% dari nilai

keadaan semula. Ebert dkk melakukan penelitian yang sangat bagus pada sukarelawan dimana target-

controlled infusion system digunakan untuk meningkatkan konsentrasi (0.7 hingga 15 ng/mL)

dexmedetomidine (gambar 10-26). Dua konsentrasi terendah menurunkan tekanan arterial rata-rata

(13%) yang terus diikuti dengan peningkatan (12%). Konsentrasi dexmedetomidine yang meningkat juga

menghasilkan penurunan terus menerus pada heart rate (maksimum 29%) dan output cardiac (35%).

Infusi dexmedetomidine pada sukarelawan juga terbukti menghasilkan pengurangan pada tone

sympathetic sistemik tanpa perubahan pada sensitifitas barorefleks. Dexmedetomidine juga mengurangi

heart rate dan respon sympatgetic sistemik terhadap berkeringat tapi kurang efektif dalam mengurangi

respon sympathetic cardiac terhadap menggigil. Pada beberapa penelitian dengan pemberian secara

intravenous dan intramuscular, dexmedetomidine menyebabkan bradicardia dalam (<40 beat/menit)

dan kadang-kadang sinus arrest/pause pada prosentase pasien yang kecil. Periode-periode ini biasanya

kembali normal secara spontan atau dengan mudah ditangani dengan anticholinergic tanpa outcome

yang jelek. Dari sifat ini dexmedetomidine dapat menunjukkan beberapa efek yang bermanfaat pada

jantung ischemic melalui penurunan konsumsi oksigen dan redistribusi aliran koroner dari zona-zona

nonischemic ke zona-zona ischemic setelah oklusi singkat yang akut. Dexmedetomidine juga

menurunkan tingkat lactate serum pada model anjing ischemia koroner dengan penurunan heart rate

dan catecholamine. Disamping itu, dexmedetomidine menghasilkan 35% peningkatan rasio aliran darah

endocardial-epicardial.

Page 53: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Efek-efek lain

Efek samping dexmedetomidine yang sering terjadi adalah mulut kering, yang disebabkan penurunan

produksi saliva.

Penggunaan

Tidak seperti obat-obat lain yang telah dijelaskan di bab ini, dexmedetomidine tidak digunakan untuk

induksi atau maintenance anastesi. Kerjanya sekarang ini adalah sebagai sedasi postoperatif yang sangat

terbatas hingga singkat (<24 jam). Tapi, ada adjuvant selama anestesi untuk mengurangi kebutuhan

hypnotic dan opioid untuk sedasi sadar dan dapat digunakan selama periode perioperatif pada pasien

beresiko tinggi myocardial ischemia.

Sedasi

Sebagai obat premedikasi dengan dosis intravenous 0.33 hingga 0.67 g/kg yang diberikan 15 menit

sebelum pembedahan, dexmedetomidine efektif ketika meminimalkan efek samping cardiovascular

hipotensi dan bradicardia. Dalam rentang dosis ini, dexmedetomidine mengurangi kebutuhan thiopental

( ) untuk prosedur pendek, mengurangi kebutuhan obat anestesi volatile ( 25%), dan ketika

dibandingkan dengan 2 g/kg fentanyl lebih efektif mengurangi respon hemodinamik terhadap intubasi

endotracheal. Dexmedetomidine juga telah dievaluasi sebagai injeksi intramuscular (2.5 g/kg ) dengan

atau tanpa fentanyl yang diberikan 45 hingga 90 menit sebelum pembedahan. Penanganan medis ini

dibandingkan dengan midazolam plus fentanyl intramuscular dan ditemukan menghasilkan anxolysis,

pengurangan respon terhadap intubasi, mengurangi kebutuhan obat anestesi volatile, dan mengurangi

terjadinya menggigil postoperatif yang sama, tapi dengan kejadian bradycardia yang lebih tinggi.

Atipamezole, sebuah antagonist selektif, efektif dengan dosis 50 /kg dalam menormalkan kembali

sedasi dexmedetomidine dan 2 /kg secara intramuscular ketika digunakan untuk menghasilkan sedasi

Page 54: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

untuk prosedur operasi pendek. Kembalinya efek-efek ke keadaan normal menyebabkan recovery yang

lebih cepat daripada yang terjadi setelah dosis midazolam yang sama-sama sedatif.

Pada beberapa penelitian, dexmedetomidine lebih bermanfaat dari propofol untuk sedasi pada

pasien yang diventilasi secara mekanikal pada periode postoperatif. Ketika kedua obat ini dititrasi hingga

tingkat sedasi yang sama sebagaimana diukur dengan indeks BIS (sekitar 50) dan skor sedasi Ramsay (5),

dexmedetomidine yang dibutuhkan lebih sedikit dari alfentanil (2.5 dibanding 0.8 mg/jam). Heart rate

lebih pelan dengan kelompok dexmedetomidine, sedangkan tekanan arterial rata-rata sama. Yang

menarik, rasio PaO2/FIO2 lebih tinggi secara signifikan dengan kelompok dexmedetomidine. Waktu

menuju ekstubasi setelah pengehentian infusi sama: 28 menit. Pasien yang diberi dexmedetomidine

perlu lebih lama di ICU. Beberapa penelitian lain menunjukkan penurunan kebutuhan opioid (lebih dari

50%) ketika dexmedetomidine digunakan untuk sedasi daripada propofol atau beberapa

benzodiazepine. Sebagian besar penelitian juga menunjukkan hemodinamik yang lebih stabil pada

pasien beresiko tinggi myocardial ischemia. Untuk sedasi di ICU, digunakan dosis 2.5 hingga 6.0

/kg/jam yang diberikan selama periode 10 menit. Kecepatan infusi yang lebih pelan berhubungan

dengan bradycardia parah dan gangguan hemodinamik lain. Dosis ini diikuti dengan kecepatan infusi 0.1

hingga 1 /kg/jam yang bisanya dibutuhkan untuk mempertahankan cukupnya sedasi.

Ketika digunakan untuk sedasi intraoperatif, dexmedetomidine (1 /kg selama periode 10

menit) menghasilkan onset yang lebih lambat daripada propofol (75 /kg/menit selama periode 10

menit) tapi sama efek cardiorespiratori nya ketika dititrasi sampai tingkat sedasi yang sama. Kecepatan

infusi rata-rata dexmedetomidine periode intraoperatif untuk mempertahankan nilai indeks BIS 70

hingga 80 adalah 0.7 /kg/jam. Sedasi menjadi lebih lama setelah penghentian infusi seperti juga

recovery tekanan darahnya. Tapi, dosis yang lebih rendah opioid dibutuhkan dalam jam-jam pertama.

Clonidine dengan dosis 3 hingga 5 /kg secara oral yang biasanya diberikan 30 hingga 90 menit

sebelum pembedahan juga mengurangi MAC obat anestesi volatile poten (30% hingga 50%),

mengurangi kebutuhan opioid, mengurangi respon hemodinamik terhadap intubasi, dan biasanya

menghasilkan hemodinamik yang lebih stabil pada periode intraoperatif, meski muncul bradycardia dan

hypotensi signifikan selama dan segera setelah induksi. Pengurangan pada kebutuhan obat anestesi ini

juga menyebabkan awakening yang lebih cepat setelah pembedahan. Clodnidine juga mengurangi

tekanan intraocular, caecholamine perioperatif, dan kebutuhan analgesik postoperatif dan mencegah

memburuknya fungsi ginjal setelah bypass aortocoronary. Sama dengan clonidine, tekanan intraocular

Page 55: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

menurun (33%), sekresi catecholamine menurun, kebutuhan analgesic perioperatif juga berkurang, dan

recovery lebih cepat setelah pemberian dexmedetomidine.

Maintenance Anastesi

Dexmedetomidine juga telah digunakan sebagai infusi maintenance yang dimulai dengan dosis 170

ng/kg/menit selama 10 menit dan kemudian diikuti dengan infusi 10 ng/kg/menit. Tindakan medis ini

sedikit menurunkan konsentrasi plasma kurang dari 1 ng/mL. Setelah induksi dengan thiopental dan

70% nitrous oxide, dexmedetomidine mengurangi kebutuhan isoflurane 90% ketika dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Interaksi dexmedetomidine, fentanyl, dan enflurane pada pengurangan MAC

dan hemodinamik telah dievaluasi pada anjing. Tiga kombinasi ini kompleks, tapi dexmedetomidine

kemudian meningkatkan penurunan MAC enflurane dengan fentanyl. Akan tetapi, tiga interaksi ini tidak

mengurangi kemungkinan hipotensi atau bradycardia ketika menghasilkan anastesi yang cukup. Pada

pasien yang menjalani pembedahan vascular, tiga kecepatan infusi dexmedetomidine dibandingkan

dengan infusi placebo yang dimulai 1 jam sebelum pembedahan dan diberikan sampai 48 jam setelah

pembedahan. Pada kelompok pasien yang diberi dexmedetomidine, lebih banyak agent vasoactive yang

dibutuhkan untuk mempertahankan hemodinamik pada periode intraoperatif, tapi lebih sedikit

tachycardia postoperatif yang terjadi. Tidak ada perbedaan signifikan yang muncul antara kelompok-

kelompok pasien ini.

Agonist adrenergic mempunyai banyak karakteristik penting yang berguna untuk anastesi.

Akan tetapi, didalam konsentrasi anastetik pada manusia, efek-efek cardiovascular (hipotensi,

bradycardia) obat-obat ini bisa menjadi masalah yang mencegah mereka digunakan sebagai obat

anestesi utama sehingga peran mereka hanya terbatas untuk digunakan sebagai adjuvant untuk obat-

obat anastesi. Peran utama dexmedetomidine baik sebagai premedicant atau sebagai adjuvant obat

anastetik intravenous masih harus ditentukan. Akan tetapi, dexmedetomidine menjadi sedatif yang

sangat efektif untuk pasien di ruang ICU dimana obat ini lebih memberikan manfaat daripada sedatif-

sedatif lain yang ada karena minimalnya efek pada respirasi, efektifitas analgesiknya, dan

hemodnamiknya. Penggunaan dexmedetomidine untuk sedasi jangka panjang perlu penelitian lanjutan.

DROPERIDOL

Page 56: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Sejarah

Anastesi general dengan obat anastesi inhalasi dan barbiturate menurunkan keseluruhan CNS dengan

cara yang belum diketahui. Laborit dan Huguenard pada tahun 1950an mengemukakan bahwa teknik

anastesi yang dapat menghasilkan “hibernasi artificial” tanpa depresi respiratori dan sirkulatori. Konsep

mereka adalah menggunakan obat yang dapat menghasilkan blokade neuro-vegetatif (inhibisi

multifocal) mekanisme cellular, autonomic, dan endocrine yang biasanya aktif ketika merspon stress.

Percobaan pertama pengembangan konsep ini adalah lytic cocktail yang mengandung analgesic

(meperidine), dua tranquilizer (chlorpromazine dan promethazine), dan atropine. Meskipun kombinasi

obat-obat ini banyak digunakan untuk sedasi sadar, kombinasi ini menghasikan depresi respiratori dan

tidak digunakan untuk anastesi general. Janssen mensintesiskan haloperidol (kelompok butyrophenone)

dan menjadi komponen neuroleptic utama dalam neuroleptanestesi (NLAN). DeCastro dan Mundeeer

pada 1959 mengkombinasikan haloperidol dengan phenoperidine (turunan meperidine juga

disintesiskan oleh Janssen) dalam praktek pertama NLAN. Droperidol, sebuah turunan haloperidol, dan

fentanyl, sejenis phenoperidine, yang disintesiskan oleh Janssen, digunakan oleh DeCastro dan

Mundeleer dengan cara dikombinasikan dan menunjukkan bahwa mereka lebih bagus daripada

haloperidol dan phenoperidine. Kombinasi NLAN menghasilkan onset analgesia lebih cepat, depresi

respiratori lebih sedikit, dan lebih sedikit efek samping extrapyramidal. Kombinasi yang pas droperidol

dan fentanyl, yang dipasarkan dengan nama Innovar di Amerika Serikat, merupakan obat yang paling

banyak digunakan untuk NLAN. Penggunaan NLAN telah banyak dihilangkan dalam praktek anastesi.

Penggunaan utama droperidol dalam anastesi adalah sebagai antiemetic dan yang lebih jarang lagi,

sebagai sedatif dan antipruritic. Droperidol sekarang dilarang masuk ke Amerika Serikat karena

berpotensi menimbulkan arrhytmia fatal dan disarankan supaya obat ini diberikan hanya dengan

monitoring electrocardiography. Akan tetapi, dengan penarikan droperidol dari beberapa negara

tertentu dan lebih banyak larangan karena potensi arrhythmia, penggunaan droperidol menjadi

menurun tajam. Validitas resiko droperidol dosis rendah yang menyebabkan pemanjangan QT,

dysrhytmia, dan kematian telah ditentang oleh banyaknya tanggapan yang muncul pada editorial,

artikel, dan surat.

Droperidol adalah butyrophenone, turunan flurinasi phenothiazine (gambar 10-27).

Butyrophenon menghasilkan depresi CNS yang ditandai dengan tranquilitas dan immobilitas cataleptic.

Butyrophenon merupakan antiemitic poten. Droperidol adalah butyrophenon poten, dan seperti yang

lainnya, menghasilkan aksinya secara sentral di tempat dimana dopamine, norepinephrine, dan

Page 57: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

serotonin beraksi. Dikemukakan bahwa butyrophenon dapat menempati reseptor GABA pada membran

postsynaptic yang dengan demikian mengurangi transmisi synaptic dan menghasilkan akumulasi

dopamine di intersynaptic cleft. Secara khusus, droperidol, menghasilkan inhibisi subunit GABAA , ,

dan yang kurang maksimal, dan menghasilkan inhibisi maksimal reseptor acetylcholine . Kurang

maksimalnya inhibisi reseptor-reseptor GABA ini oleh droperidol dapat menyebabkan kecemasan,

dysphoria, dan tidak bisa istirahat. Ketidakseimbangan dopamine dan acetlcholine terjadi dan

mengakibatkan perubahan pada transmisi normal signal-signal dalam CNS. Zona sensitif cemoreseptor

adalah emetic center, dan pentransportasian astrocyte “merah” molekul-molekul neurolept dari kapiler

ke dopaminergic synapses dalam zona sensitif chemoreceptor, dimana mereka menempati reseptor-

reseptor GABA (gambar 10-28). Ini diyakini sebagai mekanisme dimana droperidol menghasilkan efek

antiemitiknya.

Metabolisme Dan Farmakokinetik

Droperidol di biotransformasikan dalam liver menjadi dua metabolit utama, dan penguraian plasmanya

dapat dijelaskan dengan dua model-kompartemen. Farmakokinetiknya ditunjukan di tabel 10-1.

pembersihan droperidol relatif besar (14 mL/kg/menit), dan half-life eliminasi relatif pendek (103 hingga

134 menit). Waktu penghilangan dari plasma sama dengan fentanyl, tapi penurunan durasi efek

keduanya banyak ditentang karena keduanya diformulasikan bersama dalam Innovar. Aksi CNS yang

lebih lama droperidol telah diteliti untuk membuktikan bahwa droperidol mempunyai kecenderungan

menduduki reseptor-reseptor CNS dan bahwa droperidol lebih mengikat reseptor daripada fentanyl.

Farmakologi

Efek-Efek Pada Sistem Syaraf Pusat

Efek-efek neuroleptanestetik pada CBF dan CMRO2 manusia belum diteliti. Pada anjing, droperidol

menyebabkan vasokonstriksi cerebral poten yang mengakibatkan 40% penurunan CBF. Tidak terjadi

perubahan signifikan pada CMRO2 selama pemberian droperidol. EEG pada pasien sadar menunjukkan

beberapa penurunan frekuensi yang kadang-kadang melambat. Droperidol dosis rendah juga terbukti

menyebabkan gangguan ketidakseimbangan pada saat pulang dari rumah sakit ketika diberikan dengan

Page 58: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

dosis yang digunakan untuk antiemitic prophylaxis. Droperidol dapat menghasilkan tanda-tanda

extrapyramidal dan memperparah gejala-gejala penyakit Parkinson. Droperidol bisa juga menyebabkan

sindrom malignant neuroleptic tiba-tiba meski ini jarang terjadi.

Efek-Efek Pada Sistem Respiratori

Ketika digunakan sebagai obat tunggal, droperidol menghasilkan sedikit efek pada sistem respiratori.

Droperidol (0.044 mg/kg) yang diberikan pada pasien bedah menghasilkan sedikit pengurangan pada

kecepatan respiratori, dan pemberian 3 mg secara intravenous tidak menghasilkan efek signifikan pada

volume tidal sukarelawan. Penelitian respiratori yang lebih detail belum ada.

Efek-efek pada sistem cardiovascular

Seperti kebanyakan antipsychotic, droperidol dapat memperpanjang interval QT dengan menunda

repolarisasi myocardial dan menyebabkan torsades de pointes. Efek ini tergantung pada dosis dan dapat

bisa bertambah buruk ketika penyebab pemanjangan QT lain juga ada. Droperidol dapat juga

menyebabkan efek-efek antiarrhytmic yang sangat mirip dengan yang dihasilkan quinidine. Droperidol

menghasilkan vasodilatasi dengan penurunan tekanan darah (lihat tabel 10-2). Efek ini dianggap sebagai

akibat blokade adrenergic . Peningkatan aliran darah renal yang diinduksi dopamine (metodologi

meter aliran arteri renal) tidak secara signifikan tidak tergganggu oleh pemberian droperidol. Droperidol

mempunyai efek kecil pada kontraktilitas myocardial.

Penggunaan

Penggunaan droperidol pada periode perioperatif sekarang ini sangat terbatas pada efek-efek sedatif

dan antiemetic. Droperidol adalah antiemetic yang efektif, dosis untuk antiemetic bervariasi antara 10

dan 20 g/kg (0.6 dan 1.25 mg untuk orang dengan berat badan 70 kg). Dosis-dosis droperidol ini untuk

anestesi berbagai operasi yang berakhir 1 jam, mengurangi terjadinya mual dan muntah sekitar 60%.

Page 59: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

Ketika diberikan untuk induksi, dosis-dosis ini menghasilkan efek yang kecil pada waktu sadar, tapi jika

mereka digunakan di akhir operasi akan menghasilkan beberapa efek hypnotic residual. Droperidol juga

efektif pada pasien anak-anak ketika obat ini diberikan dengan dikombinasikan dengan metoclopramide

oral (0.15 mg/kg). Keseluruhan efektifitas antiemetic droperidol tunggal sama dengan ondansetron;

droperidol menghasilkan jumlah efek samping yang sama tapi lebih murah. Efektifitas droperidol

sebagai antiemtic meningkat ketika digunakan dengan kombinasi beberapa antagonist serotin atau

dexamethasone, atau dengan keduanya.

Penggunaan yang lebih baru droperidol adalah sebagai antiemetic yang kadang-kadang

diberikan sebagai obat adjunctive atau sebagai infusi berkelanjutan untuk pereda rasa sakit postoperatif

sebagai bagian dari tindakan medis pasien terkontrol. Droperidol juga terbukti efektif dalam

penanganan dan pencegahan pruritus setelah pemberian opioid. Droperidol telah diberikan secara

intravenous dan kedalam ruang epidural untuk tujuan ini. Ketika digunakan dengan cara ini, droperidol

juga efektif mengurangi mual, tapi meningkatkan sedasi. Tapi, keamanan pemberian droperidol epidural

belum sepenuhnya dievaluasi sehingga belum banyak yang mendukung pemberian dengan cara ini.

RINGKASAN

Tersedia berbagai macam obat intravenous untuk digunakan pada perawatan pasien yang

membutuhkan anastesi general. Pemilihan obat tertentu harus berdasarkan pada kebutuhan hypnosis,

amnesia, dan analgesia masing-masing pasien. Pemilihan obat harus menyesuaikan fisiologi atau

patofisiologi (atau keduanya) masing-masing pasien dengan farmakologi obat tertentu. Dengan

demikian, untuk pemeriksaan pasien shock yang membutuhkan induksi anastesi harus diberi obat yang

akan menghasilkan onset efek yang cepat tanpa menyebabkan bahaya hemodinamik. Pengetahuan

tentang farmakologi klinis setiap obat anastesi intravenous memungkinkan dokter menginduksi dan

mempertahankan sedasi atau anastesi general secara aman dan efektif. Karena tidak ada obat yang

sempurna untuk pasien tertentu, para praktisi harus menggunakan obat atau obat-obat yang cocok

sebaik mungkin dalam praktek penanganan anastesi yang bagus.

POIN-PON PENTING

Page 60: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

1. pengenalan thiopental dalam praktek klinis pada tahun 1934 menandai dimulainya anastesia

modern. Saat ini, obat-obat anastesi intravenous digunakan untuk induksi anestesi,

maintenance anestesi, dan untuk sedasi sadar.

2. obat anestesi intravenous yang biasa digunakan adalah propofol, sebuah alkylphenol yang

diformulasikan dalam emulsi lipid. Propofol menghasilkan onset dan offset cepat dengan

peningkatan waktu context-sensitif sekitar 10 menit ketika diinfusikan kurang dari 3 jam dan

dalam 40 menit ketika diinfusikan hingga 8 jam. Mekanisme kerja propofol diyakini

mempotensiasi aliran chloride yang diinduksi GABA. Dengan dosis terapeutik, propofol

menghasilkan efek depresan pada ventilasi. Ini menyebabkan penurunan tekanan darah yang

tergantung pada dosis terutama dengan menurunnya output cardiac dan resistan vascular

sistemik. Aksi unik propofol adalah efek antiemetic yang tetap ada pada konsentrasi dibawah

konsentrasi yang menghasilkan sedasi. Dosis induksi 1 hingga 2 mg/kg untuk hilangnya

kesadaran dengan infusi maintenance adalah 100 hingga 200 g/kg/menit. Untuk sedasi sadar,

kecepatan 25 hingga 75 g/kg/menit biasanya cukup.

3. hingga sekarang, agent-agent induksi intravenous yang biasa digunakan adalah barbiturate.

Thiopental menghasilkan onset dan offset cepat ketika digunakan dengan dosis tunggal, tapi

thiopental berakumulasi dengan cepat dengan pemberian yang lama dan menyebabkan

recovery yang lambat. Methohexital mempunyai onset dan offset cepat yang sama dengan

propofol untuk prosedur yang berakhir dalam 2 jam. Barbiturate diberikan sebagai sodium salt

yang diencerkan dalam basa air dengan pH alkaline. Seperti halnya propofol, barbiturate diyakini

menghasilkan efek-efek hypnotic dengan beraksi pada reseptor GABAA. Barbiturate

menghasilkan proteksi cerebral dan pada umumnya digunakan untuk tujuan ini. Barbiturate

menyebabkan sedangnya penurunan yang tergantung pada dosis (terutama disebabkan

vasodilasi peripheral) dan arah respiratory. Barbiturate menjadi kontraindikasi pada pasien

dengan porphyria. Dosis induksi thiopental adalah 4 mg/kg, dan dosis induksi methohexital

adalah 2 mg/kg. Methohexital dapat digunakan untuk maintenance anestesi dengan 200

g/kg/menit atau untuk sedasi sadar 25 hingga 75 g/kg/menit.

4. beberapa benzodiazepine banyak digunakan terutama sebagai premedicant untuk anxiolysis dan

amnesia atau untuk sedasi sadar. Benzodiazepine midazolam yang larut dalam air paling banyak

digunakan secara intravenous karena onset dan offsetnya yang relatif cepat dan tidak adanya

metabolit-metabolit aktif jika dibandingkan dengan benzodiazepine lain (misalnya diazepam).

Onset midazolam lebih lambat dari onset propofol dan barbiturate, dan offsetnya, terutama

Page 61: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

ketika digunakan dengan dosis yang lebih tinggi atau dengan infusi panjang, lebih lama daripada

propofol atau methohexital. Benzodiazepine beraksi melalui reseptor GABA. Flumazenil

merupakan antagonist benzodizepine tertentu. Flumazenil dapat digunakan untuk menormalkan

efek-efek benzodiazepine. Pada umumnya, benzodiazepine hanya menghasilkan penurunan

ringan tekanan darah dan depresi respiratori ringan hingga sedang. Dosis midazolam untuk

anxiolysis dan sedasi ringan adalah 0.015 hingga 0.03 mg/kg secara intravenous dan biasanya

diulangi dalam 30 hingga 60 menit jika perlu.

5. ketamine adalah turunan phencyclidine yang telah digunakan untuk induksi dan maintenance

anestesi. Ketamine beraksi tapi tidak seluruhnya melalui reseptor NMDA. Ketamine

menghasilkan keadaan dissosiatif hypnosis dan analgesia. Ketamine berhubungan dengan efek-

efek psikologis yang signifikan dengan dosis yang lebih tinggi dan beberapa efek samping

lainnya. Oleh karena itu, saat ini ketamine banyak digunakan karena kandungan analgesiknya.

Ketamine memiliki onset cepat dan offset relatif cepat, bahkan setelah infusi beberapa jam.

Ketamine mempunyai aksi sympathomimetic yang mempertahankan fungsi cardiac. Ketamine

memiliki efek minimal pada respirasi dan cenderung mempertahankan refleks-refleks otonom.

Dosis induksi ketamine 2 hingga 4 mg secara intravenous. Infusi ketamine akan menghasilkan

analgesia dan dapat diberikan dengan propofol dengan teknik anestesi intravenous total. Dosis

10 hingga 20 mg pada periode preoperatif terbukti menghasilkan analgesia preemptive.

6. etomidate merupakan turunan imidazole yang banyak digunakan untuk induksi anestesi,

terutama pada pasien tua yang mempunyai bahaya cardiovascular. Etomidate mempunyai onset

efek cepat dan offset cepat bahkan setelah infusi berkelanjutan. Akan tetapi, infusi panjang

mengakibatkan inhibisi adrenocortical synthesis dan potensi mortalitas pada pasien ICU.

Manfaat utama etomidate adalah efek minimalnya pada sistem cardiovascular dan sistem

respiratori. Etomidate berhubungan dengan tingginya tingkat kejadian terbakar ketika injeksi,

thrombophlebitis, dan mual dan muntah postoperatif sehingga mengurangi kepopuleran

penggunaan etomidate. Dosis induksi etomidate adalah 0.2 hingga 0.3 mg/kg.

7. dexmedetomidine merupakan obat anastesi intravenous yang paling baru. Obat ini merupakan

agonist adrenergic selektif yang menghasilkan sedasi, hypnosis, dan analgesia.

Dexmedetomidine saat ini hanya bisa digunakan untuk sedasi postoperatif singkat (< 24 jam).

Aksi utamanya pada reseptor-reseptor dalam locus ceruleus. Dexmedetomidine

menghasilkan efek yang kecil pada respiratori. Dexmedetomidine menghasilkan efek biphasic

pada tekanan darah: dengan konsentrasi rendah tekanan darah rata-rata menurun, dan dengan

Page 62: Obat Anestesi Intravena Non Opioid Completed

konsentrasi yang lebih tinggi tekanan darah meningkat. Heart rate dan output cardiac

menunjukkan penurunan yang tergantung pada konsentrasi. Pendosisan untuk sedasi adalah 2.5

hingga 6.0 g/kg selama periode 10 menit, yang diikuti dengan infusi 0.1 g/kg/jam.

8. droperidol (sebuah butyrophenone dan tranquilizer utama) pertama kali digunakan untuk

menghasilkan keadaan neuroleptanestesi. Masalah yang muncul akhir-akhir ini yang berkaitan

dengan efek droperidol pada memanjangnya interval QT telah menyebabkan ditariknya obat

peredaran ini dari beberapa beberapa negara dan penggunaannya dibatasi pada penanganan

mual dan muntah postoperatif di Amerika Serikat. Pemanjangan interval QT dengan dosis yang

digunakan untuk mual dan muntah postoperatif (0.625 hingga 1.25 mg) ditentang oleh beberapa

editorial, dan efek ini tidak terbukti dengan penelitian laporan beberapa kasus atau penelitian

literatur. Droperidol dengan dosis rendah tetap tersedia sebagai salah satu terapi antiemetic

yang paling efektif.