NSAID
-
Upload
zikra-alfa-sani -
Category
Documents
-
view
21 -
download
7
description
Transcript of NSAID
![Page 1: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/1.jpg)
1
Sindrom Nyeri Post Operatif dan Nyeri Akut Lainnya
Pemberian anestesi untuk keadaan nyeri sedang hingga berat, khususnya pada
kondisi operasi atau trauma, merupakan tanggung jawab etik yang penting dalam profesi
kedokteran. Anestesiolog memiliki posisi unik untuk memahami dan menerapkan prinsip-
prinsip serta teknik-teknik dari anestesi yang bermanfaat. Tidak ada teknik anastesi yang
benar-benar terbukti efektif, atau bebas dari segala kemungkinan efek samping atau
komplikasi. Beberapa strategi analgesi traditional diketahui memiliki batasan analgesik, baik
karena ambang batas farmakologi yang tidak boleh dilewati atau karena efek samping, yang
menyebabkan peningkatan dosis dilarang. Analgesik tradisional seperti opiod juga diketahui
memiliki efek samping yang dapat terjadi dalam dosis rendah sekalipun, dan penambahan
dosis atau penggunaan opioid mempunyai dampak yang disebut sebagai opioid-induced
hyperalgesia. Kemungkinan dampak yang lebih buruk akibat penggunaan jangka panjang
metode tradisional untuk menanggulangi nyeri akut ini sebaiknya diperhatikan oleh praktisi .
Penggabungan farmakoterapi dan teknik analgesik membutuhkan tinjauan
kepustakaan yang luas , begitu pula dengan pelatihan formal (prosedur seperti teknik blok
saraf perifer). Walaupun tidak ada agen farmakologi dan prosedur yang bebas risiko,
intervensi seperti blok saraf perifer dan multimodalitas teknik terbukti dapat berhubungan
dengan komplikasi yang lebih sedikit, dan hasil akhir yang lebih meningkat, namun masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Pada saat ini, belum ada rekomendasi yang komprehensif
yang dapat ditawarkan guna mendukung perawatan tunggal tertentu ataupun strategi
multimodalitas.
Permintaan sosial terhadap penyediaan layanan kesehatan yang cepat dalam
meminimalisir waktu pemulihan pasca operasi memaksa praktisi penatalaksana nyeri akut
untuk mempertimbangkan semua pilihan terapi yang tersedia dalam bidang anestesi dan
![Page 2: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/2.jpg)
2
analgesik. Pilihan anestesi intra operatif juga perlu untuk diperiksa kembali secara
menyeluruh sebab beberapa mekanisme diduga tidak memiliki efek terhadap nyeri post
operasi dapat terbukti dengan hasil merugikan analgesik pasca pembedahan.
Maka, dalam tulisan ini, pertemuan personal antara dokter dan pasien membawa
dampak yang penting pada kualitas hasil dari perawatan analgesik. Perawatan pasien
sebaiknya bersifat individual; praktisi tidak lagi dapat mengabaikan literatur penting
mengenai modalitas yang terdapat dalam bab ini jika mereka ingin memberikan
‘individualized patient care’. Strategi analgesik tradisional yang paling sederhana dalam
jangka pendek bisa jadi berdampak bahaya pada jangka panjang. Pertimbangan yang hati-hati
terhadap faktor-faktor khusus pasien, termasuk prosedur terencana, riwayat
medis/sosial/pembedahan, dan nilai dasar nyeri preoperative merupakan nilai awal yang
paling harus dipertimbangkan, dalam sebuah sistem layanan kesehatan dengan tekanan-
tekanan terhadap produktivitas yang terus meningkat.
1. Treatment Option
1.1 Analgesi sistemik
1.1.1 Analgesi Opioid
Dulu, analgesi opioid merupakan dasar dari pengobatan nyeri post operatif dan nyeri
akut. Opioid dan derivatnya telah digunakan selama berabad-abad sebagai analgesik dan
opioid merupakan salah satu yang paling umum yang masih digunakan sampai saat sekarang
ini.
Banyak kelebihan dari analgesik opioid dalam mengobati nyeri akut post operatif,
diantaranya tidak adanya ambang batas tertinggi dan dapat diberikan dalam berbagai cara
( subkutan, oral, iv, im dan neuroaxial). Opioid yang diberikan secara IV dan IM dapat
![Page 3: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/3.jpg)
3
mengobati nyeri post operatif sedang sampai berat, walaupun terdapat variabilitas yang luas
antara intrasubjek dan intersubjek yang berhubungan dengan dosis opioid, konsentrasi serum
dan respon analgesi. Pemberian opioid secara oral umum digunakan terutama untuk
mengatasi nyeri ringan sampai sedang atau ketika pasien sudah bisa mendapatkan intake
secara oral.
Opioid memberikan efek analgesik salah satunya melalui reseptor µ-opioid yang bekerja
pada sistem saraf pusat dan perifer. Selain itu reseptor lain seperti gamma dan kappa yang
berhubungan juga denga reseptor µ terutama untuk efek terapeutik dari morfin, analgesic
opioid protolitypic yang dominan diaktivasi melalui reseptor µ.
Sebuah penelitian mendapatkan bahwa pemberian 3 mg morfin setiap 24 jam,
berhubungan dengan gejala kecanduan, efek samping dan komplikasi yang berhubungan
dengan RS. Efek samping yang terkait dengan opioid adalah seperti mual, muntah,
konstipasi, pruritus, dan depresi pernafasan juga mungkin terjadi.
Fisiologi dari reseptor opioid sangat komplek dan belum sepenuhnya dimengerti, diatur
oleh berbagai mekanisme yang masing-masing memainkan peranan penting dalam tolerani
dan desensitisasi reseptor.
Intravenous Patient-Controlled Analgesia
Intravenous Patient-Controlled Analgesia (IV PCA) merupakan gold standar untuk
opioid post operatif. IV PCA memungkinkan klinisi untuk mempertimbangkan beberapa
faktor temasuk variabilitas analgesi yang luas antar pasien, variabilitas obat didalam serum,
dan penundaan pemberian yang mungkin akan mengakibatkan analgesi post operatif yang
tidak adekuat.
![Page 4: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/4.jpg)
4
Patient Control transdermal fentanyl
Walaupun pemberian opioid IV PCA secara umum efektif, angka kegagalannya
masih 25% karena kesalahan teknik dan efek samping. Pemberian fentanyl secara
transdermal merupakan salah satu pilihan untuk mengobati nyeri kronik atau nyeri pada
kanker. Teknologi terbaru menambahkan proses iontophoresis untuk meningkatkan kapasitas
penetrasi secara dermal dengan menghasilkan sebuah “PCA fentanyl Pacth”. PCA yang
berukuran sebesar kartu kredit ini dapat diaplikasikan seperti fentanyl tempel tradisional dan
mengggunakan intensitas yang rendah untuk mentransfer fentanyl karena langsung diserap
dari kulit ke sirkulasi sistemik.
Tramadol
Tramadol bekerja secara sentral, secara struktural sama dengan kodein dan morfin.
Tramadol terdiri dari 2 enantiomer, (+) tramadol yang menginhibisi ambilan serotonin dan
sebuah reseptor u-opioid yang lemah, yang kedua (-) yang menginhibisi ambilan
norepinefrin. Tramadol menghasilkan efek analgesi terutama melalui efek yang berkerja
secara sentral, meskipun kadang-kadang dapat menunjukkan sifat anestesi lokal. Dengan
waktu paruh yang bermakna kurang lebih selam 6 jam, tramadol dan hasil metabolismenya
akan diekresikan di ginjal. Tramadol sering digunakan untuk mengobati nyeri sedang post
operatif dan mempunyai efek analgesi yang sama dengan asiprin 650 mg, codein 60 mg dan
ibuprofen 400 mg. Penggunaan tramadol sebagai analgesi post operatif mempunyai banyak
keuntungan dibandingan opioid sederhana seperti kurangnya efek terhadap depresi
pernafasan, toxic terhadap organ-organ penting, konstipasi dan ketergantungan. sedangkan
efek samping dari tramadol yang umum adalah pusing, lemah, berkeringat, mual, muntah,
mulut kering dan sakit kepala. Pemberian tramadol harus hati-hati pada pasien dengan
dengan riwayat kejang, karena dapat meningkatkan tekanan intra kranial.
![Page 5: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/5.jpg)
5
1.1.2. Analgesi Non opioid
Non Steroid Anti-Inflamatory dan Asetaminofen
NSAID dan Asetaminofen sering digunakan sebagai terapi tambahan untuk mengatasi
nyeri akut post operatif. Untuk nyeri yang ringan sampai sedang NSAID dan Asetaminofen
dapat memberikan efek analgesi yang sama dengan analgetik lain atau bisa dikombinasikan
dengan analgesi opioid yang lain. Pada kasus ini, sangat penting untk memperhatikan
kombinasi dari berbagai obat karena berpengaruh kepada ambang analgesik, efek serta dosis
obat yang digunakan.
Untuk nyeri yang sedang hingga berat, NSAID digunakan sebagai terapi tambahan untuk
opioid. Walaupun NSAID dan Asetaminofen menunjukkan ambang batas tertentu, tapi obat
ini penting dalam memanagemen nyeri dan dapat diberikan secara oral dan parenteral.
Obat ini biasa digunakan sebagai bagian dari regimen anastesi multimodal dimana
kombinasi dari 2 atau lebih obat dengan mekanisme kerja yang berbeda dianggap dapat
menurunkan efek ketergantungan analgesik dan menurunkan efek samping obat ( khususnya
opioid) dengan mengurangi dosis masing-masing obat anestesi.
Beberapa penelitian metaanalisis menyebutkan penggunaan NSAID, COX2 Inhibitor,
Acetaminofen dalam kombinasi dengan IV akan menghasilkan efek hemat opioid. Tetapi
bagaimanapun penggunaan Asetaminofen dan COX2 inhibitor tidak menurunkan efek
samping opioid ( mual, muntah post operasi , sedasi, priuritus, retensi urin dan depresi nafas.
Sedangkan penggunaan NSAID non-spesifik hanya menurunkan beberapa resiko opioid.
NSAID dan asetaminofen menunjukkan ciri-ciri farmakokinetik yang berbeda dan
menghasilkan efek analgesi dengan menginhibisi COX dan sintesis prostaglandin yang
penting untuk mediator perifer dan sistem saraf pusat.
![Page 6: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/6.jpg)
6
Terdapat 2 tipe COX, (COX1 dan COX2) dengan fungsi yang berbeda. COX1 berguna
dalam agregasi pltelet, homeostastis dan proteksi mukosa gaster. COX2 biasanya timbul
selama inflamasi dan kebanyakan dikenali sebagai COX2 berperan penting dalam
cardioprotektif melalui prostacyclin 12 (PG12).
Walaupun NSAID adalah bagian yang penting dalam managemen post operasi
penggunaannya dibatasi karena dapat menimbulkan perdarahan gastrointestinal, inhibisi
agregasi platelet, menurnkan penyembuhan tulang dan osteogenesis serta dapat menimbukan
kerusakan pada ginjal. Efek samping ini merupakan hasil dari kerja NSAID dengan
menginhibisi COX dan menurunkan efek prostaglandin, disfungsi platelet, menurunkan
homeostatis yang penting dalam mediator berbagai fungsi fisiologi.
Walaupun efek samping NSAID dalam perdarahan perioperatif belum jelas, akan tetapi
pasien bedah dengan resiko hipovolemi, leukosit yang abnormal beresiko untuk kerusakan
ginjal karena NSAID. Prostaglandin dapat mendilatasi pembuluh darah renal dan
menginhibisi fungsi renal sebagai diuretik dan natriuretik pada pasien euvolemik sekalipun.
Pada dasarnya NSAID memblok COX1 dan COX2 , namun dalam perkembangannya
NSAID selectif terhadap COX2 yang memberikan efek analgesi tanpa berhubungan dengan
inhibisi COX1. Walaupun COX2 masih mempunyai efek samping terhadap Gastrointestinal,
namun COX2 memberikan efek minimal terhadap inhibisi platelet walaupun telah dengan
dosis supraterapeutik.
Namun bedasarkan penelitian terbaru diindikasikan bahwa COX2 inhibitor berhubungan
dengan peningkatan angka kejadian infark miokard. Hali ini disebabkan karena COX2
inhibitor menginhibisi prostacyclin 12, agen ini berkemungkinan menyebabkan trombosis via
tromboxan A2.
![Page 7: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/7.jpg)
7
Ketamin
Ketamin merupakan N-Metil-Aspartat (NMDA) antagonis reseptor dan umumnya
digunakan untuk anestesi intraoperatif. NMDA dapat menurunkan sensitisasi pusat (nyeri
kronik post operasi) dan toleransi opioid. Ketamin dapat diulang pengunaannya untuk
anestesi post operasi.
Pemberian ketamin dosis rendah perioperatif secara multimodal dengan regimen anestesi
lain atau digunakan sebagai terapi tambahan dari opioid dan anestesi lokal dapat
meningkatkan efek analgesi post operatif dan potensial untuk mengurangi efek samping
opioid.
Penelitian membuktikan pemberian ketamin intraoperatif berpengaruh kepada nyeri
ringan dan secara signifikan dapat menurunkan pemakaian morfin dalam 24 jam. Ketamin
dosis rendah tidak menyebabkan halusinasi ataupun penurunan fungsi kognitif.
Gabapentin dan Pregabalin
Gabapentin dan pregabalin merupakan struktur molekul dari gamma-amino butyricacid.
Obat ini digunakan dalam nyeri akut . Efeknya untuk mencegah nyeri kronik masih belum
jelas. Lima penelitian mendapatkan kelebihan gabapentin dan pregabalin dalam nyeri akut
ketika 1200 mg gabapentin diberikan secara oral preoperatif.
1.2. Neuraxial Analgesi
1.2.1 Single dose neuraxial (spinal and epidural) opioid
Injeksi tunggal opioid secara neuraxial (spinal atau epidural) mungkin akan efektif
terhadap analgesi postoperatif. Obat ini dapat tunggal atau sebagai adjuvan anagetik yang
lain. Derajat lipofilik dan hidrofilik obat berperan dalam menentukan onset dan durasi dari
![Page 8: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/8.jpg)
8
opioid. Opioid hidrofilik (morfin dan hydromorfin) akan masuk, bekerja dan menyebar
kedalam LCS setelah pemberiannya secara neuraxial, ini akan menyebabkan penundaan
sehingga durasi obat menjadi lama dan onset kerjanya lambat. Opioid lipofilik (F entanyl dan
Sufentanil) mempunyai onset kerja secara cepat dan durasi yang singkat karena clearance
obat ini di LSC relatif cepat.
Untuk analgesia post operatif, karana penyebaran analgesik opioid yang terbatas, hal
ini juga akan mengurangiatau menunda efek sampingnya seperti depresi pernafasan.
1.2.2. Epidural Anastesi
Salah satu kerugian dari opioid secara neuraxial injeksi tunggal adalah keterbatasan
durasi analgesinya ( kurang dari 24 jam untuk agen tradisional dan kurang dari 24 jam untuk
extented-release morphin ). Continous epidural anestesi memberikan durasi anastesi yang
lebih efektif dibandingkan single shot neuraxial opioid dan analgesi superior dibandingkan
sistemik opioid.
Walaupun continous epidural analgesi memberikan efek analgesi post operatif yang
lebih efektif , tapi efisiensinya tergantung pada berbagai faktor seperti analgesi solution,
opioid versus local anestesi, lokasi pemasangan kateter, durasi dari analgesi, dan agen
tambahan) yang mempenguhi cara insersi dan managemennya.
Terdapat banyak pilihan pengobatan yang digunakan sebagai analgesi epidural post
operatif dimana pilihan yang paling umum termasuk anastesi lokal dan opioid diberikan secra
terpisah atau kombinasi. Pemberian anestesi epidural tunggal dapat digunakan untuk
menurunkan efek samping dari opioid, dan dapat juga digunakan pada keadaan seperti
terjadinya motor block atau hipotensi karena blokade saraf simpatis.
Penggunaan paling umum regimen anastesi epidural adalah kombinasi lokal anestesi
![Page 9: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/9.jpg)
9
dan opioid yang memberikan banyak keuntungan dibandingkan pemberiannya secara tunggal
karena dapat meberikan analgesi superior post operatif. Dibandingkan pemberian lokal
anestesi secara tunggal , gabungan lokal anastesi dan opioid memberikan efek analgesi post
operatif tetapi dengan efek samping yang lebih rendah.
Tidak ada konsensus untuk pilihan yang optimal dari anestesi lokal atau opioid untuk
analgesi epidural post operasi. Secara umum lokal anastesi seperti, bupivacain, ropivacain
atau levobupivacaine dengan durari yang lebih lama dan fungsi blokade sensory dengan
minimal impairmen. Pilihan opioid , seperti lipofilik opioid (fentanyl dan sufentanyl) dengan
kecepatan titrasi yang relatif secara umum digunakan walaupun hydrofilic opioid ( morfin
atau hydromorfin juga digunakan sebagai analgesi post operatif.
1.3. Analgesi Perifer
Analgesi perifer meningkat penggunaannya beberapa tahun terakhir. Efek analgesi
dan anastesi dicapai dengan mekanisme perifer dan memiliki manfaat terbesar ketika teknik
ini mampu mengurangi atau menghilangkan penggunaan anestesi volatile dan opioid.
Anestesi Lokal Subkutan
Dibandingkan opioid sistemik, infus kontinu epidural dan saraf perifer dari anestesi
lokal memberikan efek analgesik yang lebih unggul, namun analgesik tersebut memerlukan
cara yang intensif, mahal, dan pada persentase tertentu akan lebih cepat lepas. Teknik infus
yang relative lebih sederhana untuk anestesi lokal pada lokasi luka dengan menggunakan
kateter yang diletakkan langsung oleh ahli bedah pada akhir prosedur dapat menjadi sebuah
metode efektif untuk analgesia post operasi. Keuntungan dari infus subkutan kontinu dari
anestesi lokal adalah bisa digunakan secara luas dan mudah, dapat memberikan efek
analgesia yang efektif untuk nyeri sedang post operasi, berpotensi untuk mengurangi
![Page 10: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/10.jpg)
10
kebutuhan akan opioid, dan dapat digunakan untuk beberapa hari, memungkinan untuk dasar
ambulasi. Walaupun satu kali infiltrasi anestesi lokal pada luka dapat memberikan efek
analgesik post operasi yang efektif, durasi dari analgesik dibatasi oleh sifat-sifat dari anestesi
lokal (contoh : secara umum kurang dari 6 sampai 8 jam untuk analgesik).
Tinjauan sistematis dengan uji acak menggunakan kateter luka kontinu pada
prosedur operasi multiple secara konsisten menunjukkan efektivitas analgesik atau
pengurangan skor nyeri dan penggunaan opioid untuk semua sub kelompok operasi yang
diteliti.
Sebanyak 39 uji acak terkontrol (1761 pasien) dimasukkan kedalam analisis akhir.
Secara keseluruhan, ketika dibandingkan dengan placebo, infus anestesi lokal memberikan
penurunan skor nyeri yang signifikan sekitar 33% baik pada saat istirahat ataupun saat
beraktivitas. Analisis sub kelompok mengkonfirmasi penurunan skor nyeri pada semua tipe
pembedahan dengan pengecualian subjek yang menjalani operasi abdominal. Dibandingkan
dengan subjek yang menerima placebo, subjek yang secara acak menerima infus subkutan
dari anestesi lokal menunjukkan pengurangan kebutuhan akan opioid dan konsumsi harian
opioid, yang dapat berkontribusi terhadap penurunan kejadian nausea pada kelompok kateter
luka kontinu (21% vs 39%, odds ratio = 0,42; 95% CI = 0,27 sampai 0,67).
Ada beberapa mekanisme yang dapat menunjukkan bahwa pemberian anestesi lokal
pada luka operasi dapat memberikan efek analgesik, termasuk blokade transmisi nosiseptif
dari aferen ke permukaan luka, inhibisi anestesi lokal dari respon peradangan lokal terhadap
jejas operasi, yang dapat mensensitisasi reseptor nosiseptif yang dapat menimbulkan nyeri
dan hiperalgesia, dan penekanan aferen nosiseptif perifer atau penekanan korda spinalis
akibat absorbsi sistemik dari anestesi lokal. Pemberian infus subkutan kontinu akan
menghasilkan tingkat darah non-toksik pada anestesi lokal. Maka, pemberian infus subkutan
![Page 11: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/11.jpg)
11
kontinu dapat menjadi pilihan menarik untuk analgesia pasca pembedahan dan dapat secara
umum menurunkan konsumsi opioid dibandingkan placebo.
Blok Ekstremitas
Sebagai tambahan dari manfaat analgesik dari blok saraf perifer (Perifer Nerve
Block) yang akan dijelaskan pada bagian ini, ada keuntungan lain yang potensial guna
mencapai kualitas perawatan anestesi. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat dicapai saat
digunakan dalam konsep ambulasi pembedahan, dan lama rawatan di rumah sakit berkurang.
PNB mengurangi waktu di ruang operasi ketika induksi anestesi regional (RA) digunakan.
Sebagai tambahan penggunaan RA akan berdampak pada bypass pemulihan ‘fase 1’ (bypass
postanesthesia care unit [PACU]). Biaya rumah sakit juga dapat dikurangi ketika bypass
PACU, keluar pada hari yang sama, dan kriteria lama rawat distandarisasi dan diterapkan
secara sama. Teknik RA penting untuk memfasilitasi penghematan biaya pada ambulasi
pembedahan, sebab teknik GA (termasuk alat-alat bantu pernapasan, agen-agen mudah
menguap, dan opioid, tanpa penggunaan RA) tidak mengurangi beban kerja rawatan pasca
pembedahan ketikan kriteria bypass PACU digunakan. Sehingga praktik RA volume tinggi,
dikombinasikan dengan ‘kriteria milestone’ modern selama periode pemulihan sampai
pemulangan, menjadi hal yang penting untuk meraih penghematan biaya rumah sakit.
Beberapa kasus, tinjauan pustaka, meta analisis, editorial, dan uji klinis acak terkini
melaporkan adanya peningkatan hasil pada pasien ortopedik yang menerima teknik baik
teknik gabungan atau secara eksklusif hanya menggunakan RA.
Blok ekstrimitas atas
![Page 12: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/12.jpg)
12
Blok saraf ekstrimitas atas dapat dilakukan dalam beberapa tingkatan sepanjang jalur
plexus brachialis, pada tingkatan nervus individu, atau sebagai blok IV regional (Bier).
Konduksi saraf pada plexus brakialis dapat diinterupsi pada berbagai tingkatan, dengan
keuntungan spesifik untuk anestesi dan pain relief pasca pembedahan untuk prosedur operasi
spesifik dari ekstrimitas atas (Tabel 14-3).
Blok IV (Bier)
Mekanisme IV RA secara umum diterima untuk memasukkan difusi dari venake
saraf-saraf kecil dan ujung saraf setelah ‘exsanguination’. Ada blok minimal pada tingkatan
trunkus saraf (contoh : saraf perifer). Oleh karena saraf-saraf kecil dan ujung saraf merupakan
lokasi dari aksi injeksi anestesi lokal, secara umum dapat diterima bahwa epinefrin tidak
sebaiknya dimasukkan kedalam campuran anestesi regional IV. Blok IV regional dijelaskan
secara baik pada ekstrimitas atas, menggunakan tourniquet lengan di proksimal atau
tourniquet ganda, dan telah ditinjau pada ekstrimitas bawah juga. Teknik IV tradisional
regional untuk ektrimitas bawah menggunakan tourniquet tunggal atau ganda dapat membuat
tingkat kegagalan yang tinggi, membutuhkan supplementasi oleh ahli bedah atau perubahan
menjadi GA. Ketertarikan potensial, akan tetapi, merupakan teknik intercuff untuk IV RA
untuk operasi lutut yang telah dikembangkan dalam usaha untuk menghasilkan lokalisasi
yang lebih baik dan mengurangi secara umum kebutuhan dosing.
Anestesi lokal yang diberikan sendiri pada blok IV regional tidak diharapkan tidak
diharapkan akan memberikan analgesik pasca pembedahan yang memadai. Relaksan otot
pada dosis rendah diketahui dapat meningkatkan blok motorik, tapi sebaiknya digunakan
dengan hati-hati untuk mencegah depresi respirasi yang tidak diharapkan saat tourniquet
dibuka.
Neostigmin memperlihatkan produksi analgesik bermanfaat ketika 0,5 mg
![Page 13: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/13.jpg)
13
ditambahkan kedalam injeksi, namun temuan ini disangkal saat 1 mg neostigmin digunakan.
Opioid (selain meperidin 30 mg atau lebih) secara umum dipertimbangkan tidak bermanfaat
jika diberikan via teknik IV regional, efek samping sistemik meperidin bermanifestasi pada
ambang batas 30 mg. tramadol 100 mg yang diberikan lewat teknik IV regional dengan
lidokain berhubungan dengan ruam dibawah tourniquet yang dapat sembuh sendiri, dan tidak
memberikan tidak member manfaat pada analgesik. Sebagai tambahan, tramadol belum
menunjukkan pengaruh terhadap peningkatan blok atau kualitas analgesik pasca pembedahan
ketika diberikan bersamaan dengan ropivacaine.
Sedikit kontroversi addiktif terhadap IV RA tampak memiliki potensi terhadap
kemunculan toleransi tourniquet intraoperatif, analgesia pasca pembedahan, atau keduanya.
Ketorolac adalah yang sukses mencapai kedua titik akhir ketika tourniquet digunakan pada
kedua lengan atas dan lengan bawah, dan penggunaan ketorolac untuk tujuan ini diterima,
walau tidak ada dasar pada waktu ini untuk melampaui dosis 20 mg untuk dewasa. Clonidine
dianggap sukses untuk meningkatkan toleransi tourniquet dan mengurangi kebutuhan
analgesik pasca pembedahan, serta efek samping dapat diminimalisir saat masih berupaya
untuk mendapatkan manfaat nya pada dosis 1-μg/kg. Dexmedetomidin (0,5 mg/kg) juga
menunjukkan manfaat. Ketamine, pada dosis 100 μg/kg juga terlihat mampu meningkatkan
toleransi tourniquet dan mengurangi kebutuhan analgesik pasca pembedahan, keadaan yang
lebih potent dibandingkan clonidine pada dosis . Ketika dibandingkan dengan lidocaine
sederhana, deksametason (8 mg) baru-baru ini menunjukkan bahwa ia mampu mengurangi
keperluan analgesik pasca pembedahan selama 24 jam pertama setelah pembedahan.
Beberapa mekanisme dapat berkontribusi terhadap nyeri pasca pembedahan, penelitian
dimasa yang akan datang akan melibatkan penilaian fungsi bertahap dari beberapa tambahan
dan kombinasi, dengan tambahan yang patut dipertimbangkan seperti ketorolac, clonidine,
deksmedetamidin, ketamin, deksamatason. Pemberian bersama anestesi lokal (lidokain 0,5 %
![Page 14: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/14.jpg)
14
vs ropivicaine 0,1% sampai 0,2%) tidak terlihat mampu mempengaruhi hasil dengan
mempertimbangkan durasi dari analgesia pasca pembedahan melebihi lama di ruang
pemulihan.
Blok plexus brachialis
Blok interskalenus
Pendekatan proksimal yang paling sering digunakan untuk plexus brachialis (pada
tingkatan akar), blok interskalenus merupakan tipe yang dilakukan pada tingkatan C6,
dimana akar dari plexus brachialis lewat diantara otot skalenus anterior dan medial. Ini
merupakan blok yang baik untuk trunkus atas (C5-6) dan medial (C7), namun pada trunkus
bawah (C8-T1) sering kali terblok tidak sempurna. Difusi dari anestesi lokal dapat
berdampak kepada blockade sebagian dari plexus servikal supervisial, memberikan anestesi
kutaneus dan analgesik untuk bahu. Akibatnya, blok interskalenus merupakan blok yang baik
untuk pembedahan bahu atau lengan atas, tapi tidak sesuai untuk pembedahan pada lengan
bawah atau atas. Blok ini dapat digunakan untuk prosedur pada siku, tapi blok tambahan
(ulnar, intercostobrankial, kutaneus brachial medial, dan kutaneus antebrachial medial)
diperlukan.
Blok interskalenus dipertimbangkan sebagai standar emas pada analgesik pasca
pembedahan untuk operasi bahu. Nyeri superior dapat dihilangkan dengan teknik ini
didokumentasikan dengan baik saat dibandingkan dengan analgesia opioid. Berdasarkan
laporan, lebih dari 50% pengurangan pada skala nyeri verbal (VPS), menunda waktu untuk
penggunaan analgesik pertama, dan mengurangi kebutuhan total opioid. Blok interskalenus
dapat diberikan dalam bentuk blok injeksi tunggal untuk meredakan nyeri pasca operasi,
biasanya berlangsung hingga 12 sampai 20 jam, atau pemasangan kateter kontinu dengan
infus kontinu dari anestesi lokal meberikan efek analgesia yang lebih konsisten dan lama.
![Page 15: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/15.jpg)
15
Manfaat dari kateter interskalenus kontinu pada arthoplasty bahu dan perbaikan selubung/cuff
rotator didokumentasikan dengan baik.
Walaupun secara logika akan menunjukkan efektivitas yang sama dengan
penggunaan prosedur yang kurang invasive, ada sedikit bukti pada saat sekarang ini yang
menunjukkan bahwa kateter plexus brachialis interskalenus akan sama manfaatnya dengan
pasien yang menjalani prosedur operasi bahu ‘kurang invasif’ seperti stabilisasi bahu, reseksi
klavikula distal dan/atau acromioplasty, dekompresi subacromial, tenodesis bisep dan/atau
tenotomi, atau bahkan debridement rutin didalam sendi glenohumoral saat dibandingkan
dengan blok saraf injeksi tunggal dan analgesia oral multimodalitas perioperatif.11] Sehingga
penelitian dibutuhkan untuk menunjukkan manfaat dari blok saraf kontinu (vs injeksi
tunggal), dan blok injeksi tunggal (vs tanpa blok) untuk keanekaragaman yang luas dari
prosedur bahu yang menghasilkan nyeri pasca pembedahan dengan derajat-derajat yang tidak
diketahui. Tinjauan oleh Chelly dkk., memberikan sebuah tinjauan yang membimbing
praktisi dalam mengkategorikan nyeri bahu pasca operasi, hingga bukti-bukti yang
mendukung tersedia. Pada tinjauan ini, prosedur bahu dikelompokkan kedalam ‘catheter-
eligible’ jika prosedur berikut dilakukan: arthroplasti, perbaikan selubung rotator, perbaikan
Bankart, dan fiksasi terbuka/internal humerus
Salah satu ciri keamanan yang penting untuk dipertimbangkan dalam pemulihan
pasca bedah pasien yang menerima analgesia interskalenus adalah fungsi ventilasi yang
memadai. Umumnya hal ini dapat diterima bahwa kebanyakan pasien yang menjalani blok
saraf nervus brachialis untuk operasi bahu akan menghadapi blok simultan dari nervus
phrenikus, yang bertanggung jawab agar diafragma berfungsi dengan baik. Borgeat dkk.,
mengukur fungsi respirasi selama penggunaan teknik blok saraf kontinu (CNB) yang
melibatkan infus kontinu (ropivicaine 0,2%, 5 ml/hr) dan fungsi bolus CNB (3 sampai 4 ml
dengan istirahat 20 menit). Pada penelitian ini, semua pasien menerima injeksi bolus
![Page 16: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/16.jpg)
16
preoperative dari ropivacaine 0,75%, 30 mL, dan smeua pasien menjalani operasi bahu mayor
(perbaikan selubung rotator, n=26; arthroplasty, n=7). Kelompok kontrol terdiri atas pasien
yang menerima PCA IV yang teriri atas opioid IV. Pasien dalam kelompok CNB nyeri lebih
cepat mereda hingga 24 jam setelah operasi, ketika dibandingkan dengan pasien yang secara
acak menerima PCA IV. Fungsi respirasi secara keseluruhan lebih baik pada kelompok CNB
dibandingkan kelompok PCA IV. Pernapasan paksa (contoh: pergerakan diafragma pada
bagian yang tidak dioperasi) lebih baik pada kelompok CNB saat 24 dan 48 jam ketika
dibandingkan dengan kelompok PCA. Rasionalisasi temuan ini adalah kontrol nyeri lebih
baik pada kelompok CNB dan lebih sedikit efek samping terkait opioid (contoh: depresi
pernapasan) pada kelompok CNB, memfasilitasi usaha pasien untuk melakukan respirasi
paksa. Menariknya, penyimpangan tenaga diafragma pada tempat pembedahan tidak berbeda
secara signifikan antara kelompok CNB dan PCA pada 24 dan 48 jam pasca pembedahan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa usaha pernapasan paksa meningkat hingga 48 jam setelah
pembedahan pada kelompok CNB, dimana saat dikombinaiskan dengan analgesik yang lebih
baik pada kelompok CNB, memberikan sebuah validasi keamanan yang penting dalam hal
evolusi pemulangan pada hari yang sama pada pasien dengan kateter CNB dan alat infus
yang sesuai setelah operasi bahu.
Blok supraklavikula
Blok ini berhubungan dengan blokade terbesar dari plexus brachialis dengan injeksi
tunggal anestesi lokal, terutama karena plexus ini merupakan yang paling padat,. Plexus ini
diblok pada tingkatan batang tubuh dan bagian-bagiannya. Namun, blok supraklavikula tidak
mencakup nervus scapula dorsal yang berasal dari akar C5 serta tidak mencakup plexus
servikal superficial. Oleh karena itu, blok ini bisa jadi tidak cukup memadai untuk operasi
bahu, tapi memberikan blok yang memadai untuk operasi lengan atas. Sebagaimana dengan
blok interskalenus, blok-blok tambahan diperlukan dalam prosedur siku (contoh:
![Page 17: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/17.jpg)
17
interkostobrakialis). Blok supraklavikular memiliki risiko tertinggi pneumonia diantara
semua blok plexus brachialis, terutama jika dilakukan dengan teknik ‘plumb bob’ tradisional,
membuatnya menjadi blok yang tidak popular dalam praktik. Walaupun ada beberapa
keuntungan yang menarik dari blok ini, contohnya, keceptan onset dan cakupan ektrimitas
atas yang luas, blok ini menjadi blok plexus brachialis yang paling jarang untuk dilakukan
sebagai analgesik pasca pembedahan, dan literatur terkini mengenai pendekatannya sangat
jarang.
Blok infraklavikula
Seperti blok klavikula, pendekatan blok ini juga di plexus brachialis di bagian paling
padatnya. Pada tingkat pembagian dan korda proksimal. Blok ini hampir sama dengan
melakukan blok aksila proksimal; dapat digunakan untuk prosedur yang melibatkan siku,
lengan bawah, atau tangan; dan bermanfaat khususnya pada pasien yang tidak mampu untuk
membebaskan bahunya dan memberikan akses pada ketiak. Injeksi tunggal atau kateter
kontinu yang dipasangkan dengan teknik ini memberikan hasil analgesik yang efektif.
Pendekatan ini juga memberikan keamanan yang palin tinggi dalam hal memasukkan kateter
ke lokasi semua blok plexus brachialis. Ada dua pendekatan utama untuk blok ini—
pendekatan infraklavikular perivaskular tradisional dan pendekatan coracoids, keduanya
memberikan hasil yang sama, namunpendekatan coracod berhubungan dengan risiko
pneumotoraks yang lebih sedikit dibandingkan pendekatan-pendekatan untuk plexus
brachialis yang telah disebutkan diatas. Kemudian, Franco dan Vieira menunjukkan
keamanan dan efektifitas dari pendekatan perivaskular tanpa adanya kejadian pneumotoraks
atau deficit neurologis dalam rentetan 1001 blok.
Bagi pasien bedah pergelangan tangan dan tangan rawat jalan, Hadzic dkk.,
menunjukkan pada populasi pasien ini dengan membandingkan blok saraf infraklavikula
![Page 18: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/18.jpg)
18
kloroprokain dan GA dengan agen votil (GAVA), menunjukkan bahwa GAVA dapat
menyebabkan peningkatan jumlah masuk ke PACU (vs bypass pemulihan fase 1), laporan
lebih tinggi untuk nyeri pasca pembedahan, waktu yang lebih lama untuk mulai berjalan,
serta waktu yang lebih lama untuk pemulangan di hari yang sama. Chilly dkk., menyatakan
bahwa kateter PNB diindikasikan untuk prosedur implantasi setelah trauma, begitu pula
dengan reduksi terbuka dan fiksasi interna dari tangan dan/atau jari, walaupun uji acak
prospektif untuk menguji secara pasti konsep ini sulit untuk dicapai. Ilfeld dkk., telah
menunjukkan bahwa kateter plexus brachialis infraklavikula kontinu (saat dibandingkan
dengan infus kateter placebo) akan mengurangi nyeri dinamik pasca pembedahan dan
mengurangi pemakaian opioid, serta lebih sedikit mengalami gangguan tidur. Prosedur
pembedahan yang dilakukan meliputi reduksi terbuka dan fiksasi interna (siku, radius, atau
ulna), prosedur tulang/kapsular pergelangan tangan(carpectomy, capsulodesis, fusi, atau
penyusutan), artroplasti metacarpal, suspension plasty, dan transposisi saraf ulnar.
Blok aksila
Ini merupakan pendekatan distal yang paling banyak pada plexus brachialis yang
masih padat, pada tingkatan cabang-cabang terminal sebagaimana mereka mengitari arteri
aksilaris. Ini merupakan PNB yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat, sepertinya
disebabkan oleh pelaksanaannya yang ringan dan kejadian efek sampingnya rendah. Blok ini
merupakan blok yang paling efektif untuk semua prosedur pembedahan di siku dan bagian
distal, tapi membutuhkan tambahan untuk tourniquet (intercostobrachialis, kutaneus brachial
medial, dan kutaneus anterior medial) jika ingin digunakan sebagai blok dalam pembedahan.
Blok aksila menyebabkan pengurangan nyeri pasca pembedahan lebih dari 50% dan
menurunkan kebutuhan total opiod selama di rumah sakit dengan waktu yang lebih lama
untuk dosis analgetik pertama. Selubung aksila pada waktu ini sering terputus-putus dan blok
sebaiknya dilakukan dengan injeksi berulang menggunakan stimulator saraf untuk memblok
![Page 19: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/19.jpg)
19
semua komponen individual dan mendapat blok yang efektif dengan konsisten. Transarteri
tradisional dan teknik injeksi tunggal sering kali tidak mencakup saraf muskulokutaneus (dari
C5-6); sehingga saraf tersebut harus dicari dan diblok tersendiri.
Kateter plexus brachialis dengan infus kontinu telah lebih jauh meningkatkan durasi
analgesik efektif setelah prosedur lengan bawah dan tangan yang menyakitkan. Akan tetapi,
menjaga lokasi kateter tetap bersih dan menghindari lepasnya kateter dari area yang sangat
mobile merupakan sebuah tantangan bagi dokter dan pasien.
Pasien bedah tangan yang dirawat jalan berpotensi untuk mengalami nyeri pasca
pembedahan yang tidak signifikan, setidaknya sebuah penelitian menunjukkan bahwa skor
nyeri pasien lebih atau sama dengan 5 (dari total 10) ketika banyak sekali penelitian tentang
pasien pembedahan bahu menunjukkan bahwa mereka memiliki skor nyeri yang melebihi 5
dari total nilai 10 pada saat pasca pembedahan. Tinjauan retrospektif dan penelitian
prospektif telah menunjukkan bahwa pasien yang menerima blok kateter PNB, blok Bier, dan
blok plexus brachialis akan memiliki hasil yang meningkat drastis
Penelitian oleh Capdevila dkk., dan Singelyn dkk., menunjukkan bahwa pasien yang
menjalani TKR yang diberikan GA dengan analgesia epidural kontinu atau blok nervus
femoralis kontinu akan mempercepat kemajuan target rehabilitasi tercapai serta lebih cepat
untuk dipulangkan dari rawat inap unit rehabilitasi dibandingkan pasien yang mendapatkan
PCA IV. Pasien yang menerima infus kateter nervus femoral mengalami efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan pasien dengan anestesi epidural pada kedua penelitian, dan pasien
kateter femoral kontinu 20% lebih cepat dipulangkan dari rawat inap unit rehabilitasi pada
kelompok kateter femoral dibanding PCA IV.
Di Amerika Serikat, metode perawatan dengan anestesi serupa dilakukan oleh
Chelly dkk., terhadap pasien penggantian lutut total. Semua pasien mendapat GA dan secara
![Page 20: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/20.jpg)
20
acak diberikan PCA IV, infus epidural, atau injeksi tunggal blok nervus femoral-skiatikus
diikuti dengan infus femoral kontinu. Pasien dengan femoral kontinu (vs pasien PCA IV)
berhubungan dengan perdarahan pasca pembedahan sebesar 75% (P < 0,05), memiliki
performa gerak pasif kontinu yang lebih baik, penurunan sebesar 90% dalam hal komplikasi
yang serius (termasuk lebih sedikit kehilangan darah), dapat berjalan lebih awal (2,5 sampai
3,5 hari), dan penurunan 20% dari lama rawatan di rumah sakit, tidak termasuk rehabilitasi
pasca pembedahan jangka panjang (yang biasanya dilakukan pada pasien rawat jalan di
Amerika Serikat) seperti yang terdapat pada dua penelitian sebelumnya di Eropa, walaupun
rehabilitasi dini pasca pembedahan digambarkan sangat buruk.
Blok Ekstremitas Bawah
Serabut saraf yang mensarafi ekstrimitas bawah berasal dari dua plexus saraf yang
berasal dari ramus ventral serabut saraf spinal dari korda spinalis bawah—plexus lumbaris
(L1-4) dan plexus sacral (L4-5, S1-3). Plexus lumbar ‘merupakan asal’ nervus femoralis (L2-
4), nervus obturatorius (L2-4), nervus kutaneus femoral lateral (L2-3), dan tiga cabang
lainnya mensuplai area inguinal dan genitalia. Plexus sacral mengawali nervus skiatikus (L4-
5, S1-3), serta menyediakan cabang-cabang yang akan mensarafi otot-otot disekitar panggul
dan pelvis. Dengan menghalau konduksi saraf pada tingkatan plexus (blok plexus lumbar)
dan sepanjang jalur saraf personal yang berasal dari plexus tersebut, anesthesia dan
analegesia pasca pembedahan dapat secara efektif digunakan untuk prosedur operasi spesifik
pada ekstrimitas bawah (Tabel 14-4).
Blok plexus lumbar
![Page 21: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/21.jpg)
21
Ini merupakan satu-satunya blok yang dapat diandalkan untuk kutaneous femur lateral
dan nervus obturatorius yakni dengan injeksi tunggal. Saat melakukan blok ini respon tiba-
tiba yang optimal dengan simulator saraf—kejangan rektus femoris dengan penyimpangan
proksimal patella. Kejangan merupakan petunjuk yang sesuai untuk penempatan jarum. Jika
jarum terlalu jauh ke medial, seperti pada kasus kejangan obturatorius (adduksi panggul) atau
skiatikus (dorsofleksi/flexi plantar). Kemungkinan jarum terlalu dekat pada lengan dural dan
ada kemungkinan penyebaran anestesi lokal ke epidural atau bahkan intitekal. Berdasarkan
penilaian dan pengalaman klinis kami, dosis anestesi lokal harus dibatasi sebesar 0,5 mg/kg,
dengan volume maksimal yang diinjeksikan sebesar 30 mL untuk rat-rata populasi dewasa.
Pengurangan dosis sepertinya akan bermanfaat jika blok ini digunakan pada pasien lanjut
usia.
Oleh karena saraf-saraf utama yang mensuplai sendi panggul adalah nervus
femoralis dan nervus obturatorius, blok ini (sekali suntik/kontinu) akan memberikan efek
analgesik pasca bedah yang memadai untuk semua jenis pembedahan pada sendi panggul,
termasuk penggantian panggul total (total hip replacement) dan fraktur panggul. Turker dkk.,
membandingkan dalam uji klinis yang dilakukan secara acak pada pasien yang mendapatkan
kateter plexus lumbal secara kontinu (n=15) dengan yang mendapatkan kateter epidural
(n=15) pada pasien yang hemiarthroplasti dengan GA dan didapatkan bahwa pasien dengan
kateter plexus 1) memiliki blok motorik yang lebih sedikit, 2) dapat berjalan lebih awal, dan
3) secara signifikan memiliki komplikasi yang lebih sedikit.
Stevens dkk., melaporkan bahwa pasien yang menjalani arthroplasti panggul total
dengan injeksi tunggal blok plexus lumbal lebih sedikit merasakan nyeri hingga 6 jam pasca
pembedahan serta lebih sedikit kehilangan darah selama 8 hingga 48 jam pasca pembedahan.
Naia dkk., melaporkan (retrospektif) bahwa pasien usia lanjut yang mengalami fraktur
panggul serta mendapat blok plexus lumbal dan parasakral (vs GA) secara signifikan akan
![Page 22: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/22.jpg)
22
mengalami hipotensi lebih sedikit selama pembedahan, lebih sedikit yang dirawat di ICU
pasca pembedahan (0/30 vs 11/30), dan mengurangi lama rawatan di rumah sakit (7 vs 14
hari).
Blok plexus lumbal juga akan menghasilkan efek analgesik pasca pembedahan yang
sangat baik pada kebanyakan prosedur invasive pada lutut seperti rekonstruksi ligament
cruciate anterior (ACL), rekonstruksi multiligamen, atau arthroplasti lutut total (TKA).
Matheny dkk., menemukan kebutuhan akan opioid setela h rekonstruksi ACL arthroskopik
89% lebih rendah pada kelompok yang menerima blok plexus lumbal secara kontinu
dibandingkan kelompok yang mendapatkan PCA IV.
Hasil yang serupa juga disampaikan oleh Luber dkk., yang melaporkan bahwa
pasien yang diberikan blok plexus lumbal dan nervus skiatikus mengalami pemulihan yang
lebih baik dibandingkan dengan pasien dengan PCA IV pada saat pasca TKA. Akan tetapi,
blok nervus femoralis pada pangkal paha lebih sederhana dan lebih mudah untuk dilakukan
dibandingkan blok plexus lumbar, dengan efek analgesik yang sama pada prosedur lutut
invasif dimana tidak ada cakupan terhadap nervus obturatorius. Blok nervus femoralis,
dengan atau tanpa blok skiatikus, sepertinya merupakan sebuah pilihan blok pada kebanyakan
lokasi yang dapat memberikan efek analgesik pasca pembedahan yang bermakna setelah
operasi lutut invasive; namun penelitian lebih lanjut dalam hal sub tipe prosedur pembedahan
serta pendekatannyan diperlukan untuk memberikan gambaran yang lebih baik atau
memperkirakan adanya nyeri yang dimediasi oleh penyebaran nervus obturatorius.
Blok nervus femoralis.
Blok nervus femoralis relative non invasive, sangat aman, dan secara teknis cukup
sederhana untuk dilakukan. Blok nervus femoralis (injeksi tunggal atau kontinu) merupakan
salah satu blok nervus yang sering dilakukan untuk pembedahan ekstrimitas bawaha. Sama
![Page 23: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/23.jpg)
23
halnya dengan blok plexus lumbal, blok nervus femoralis memberikan efek analgesik pasca
pembedahan yang dangat baik untuk smeua prosedur invasif disekitar lutut. Namun, berbeda
dengan blok plexus lumbal, blok nervus femoralis mempertahankan adduksi panggul dan
fleksi panggul psoas medial. Penambahan volume dari anestesi lokal dan pemberian tekanan
distal pada titik injeksi akan memungkinkan seseorang untuk menyebarkan anestesi lokal di
sepanjang fasia iliaka agar mencakup saraf obturatorius dan kutaneus femoralis lateral (blok
‘3 in 1’). Akan tetapi, hasil yang didapatkan sering tidak konsisten dan umumnya ketiga saraf
akan lebih tercakup dengan injeksi tunggal blok plexus lumbal daripada blok nervus
femoralis pada pangkal paha. Blok nervus femoralis dapat memberikan analgesik yang
optimal untuk operas patella, ligament lutut, dan lain sebagainya. Namun, penambahan blok
femoral dengan suntik tuggal atau blok femoralis skiatikus seringkali diperlukan untuk
prosedur pembedahan seperti TKA rekonstruksi dengan menggunakan hamstring autograft.
Pada akhir tahun 1990-an, dua penelitian penting di Eropa memberikan penilaian
terhadap keluaran rehabilitasi pasca penggantian panggul total dengan menggunakan kateter
femoral kontinu (vs kateter epidural atau kelompok kontrol PCA IV). Penelitian tersebut
menduga analgesik dengan blok nervus femoralis kontinu (saat dibandingkan dengan PCA
IV) lebih baik dalam meredakan nyeri dan juga secara signifikan membuat fleksi sendi lutut
lebih baik, lebih cepat untuk pasien kembali berjalan, dan pemulihan pasca pembedahan
secara umum menjadi lebih cepat.
Blok nervus skiatikus.
Nervus skiatikus memiliki tiga bagian anatomis dan fungsional yang berbeda- nervus
kutaneus femoralis posterior, nervus tibialis, dan nervus peroneal komunis. Nervus skiatikus
merupakan persarafan utama bagian posterior paha, termasuk otot hamstring, dan sensorik
utama serta persarafan motorik sepenuhnya untuk bagian ektrimitas bawah di bagian bawah
![Page 24: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/24.jpg)
24
lutut, termasuk kaki dan pergelangan kaki. Nervus skiatikus dapat diblok diberbagai lokasi
sepanjang jalurnya. Kebanyakan bagian proksimal, saraf ini telah diblok sebelum keluar dari
titik skiatik mayor (melalui parasacral). Disekitar panggul, nervus skiatikus diblok
menggunakan pendekatan yang berbeda (cara klasik atau melalui gluteus, melalui lateral,
melalui subgluteal, dan melalui anterior). Pada bagian distal,saraf ini diblok pada fossa
popliteal (secara posterior atau lateral). Blok nervus skiatikus paling sering digunakan
sebagai tambahan unutk blok femoral atau plexus lumbal sebagai salah satu manajemen nyeri
untuk prosedur disekitar panggul atau lutut seperti yang telah disebutkan sebelumnya, namun
juga dapat memberikan efek analgesik untuk semua prosedur mayor pada kaki dan
pergelangan kaki (khususnya saat direncanakan menggunakan tourniquet paha). Dalam
sebuah penelitian yang menilai blockade nervus skiatikus secara kontinu pada subgluteal
untuk bedah ortopedik kaki dan pergelangan kaki, dilaporkan terjadi penurunan skor nyeri
visual analog.
Dengan cara yang sama, keuntungan analgesik yang signifikan dengan
menggunakan blok nervus skiatikus kontinu telah terbukti pada pasien yang menjalani
amputasi bawah-lutut. Penggunaan blok nervus skiatikusproksimal untuk prosedur di bagian
distal kaki dan pergelangan kaki seringkali dibatasi oleh kekhawatiran yang muncul akibat
kelemahan otot hamstring.
Pemilihan blok untuk pembedahan lutut berdasarkan tingkat invasif pembedahan.
Williams dkk., telah memberikan pengetahuan yang rinci mengenai alokasi femoral
dengan atau tanpa blok nervus skiatikus, juga mempertimbangkan pemilihan teknik injeksi
tunggal dibanding blok nervus kontinu, untuk pasien pembedahan lutut yang dirawat jalan
(Tabel 14-5). Laporan tersebut berdasarkan penilaian kebutuhan akan intervensi perawatan
pasca pembedahan untuk analgesik parenteral setelah 1) survei terhadap 1200 pasien
![Page 25: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/25.jpg)
25
pembedahan lutut rawat jalan, 2) survey terhadap 948 pasien rawat jalan yang menjalani
rekonstruksi ACL, dan 3) uji acak prospektif yang melibatkan 270 pasien yang menjalani
rekonstruksi ACL. Sistematika pembagian telah diringkas dalam tinjauan. Sebagai
kesimpulan, 1) pasien yang mengalami nyeri pasca pembedahan (skor nyeri verbal lebih dari
3 dari total 10) pada distribusi saraf tertentu yang berlangsung hingga 24 jam atau kurang,
injeksi tunggal femoral dengan atau tanpa blok nervus skiatikus direkomendasikan, dan 2)
pasien yang mengalam nyeri pasca pembedahan (skor nyeri verbal lebih dari 3 dari total 10)
pada distribusi nervus tertentu yang berlangsung lebih dari 24 jam, disarankan untuk
menggunakan femoral dengan atau tanpa kateter blok nervus skiatikus. Pertimbangan khusus
diperlukan untuk pasien pembedahan lutut dengan garis dasar skor nyeri verbalnya 3 atau
lebih dari total nilai 10, pada kateter bisa jadi indikasi injeksi tunggal telah direncakan
sebelumnya (dalam keadaaan tidak ada nyeri pre operatif).
Blok nervus skiatikus fossa poplitea.
Nervus skiatikus dibagi menjadi nervus tibialis dan peroneal komunis di fossa
popliteal. Blok nervus skiatikus fossa popliteal dilakukan sedekat mungkin pada bagian ujung
anterior fossa popliteal, oleh karena bermacam-macam bifurkasio.
2. Spesial Populations
2.1. Trauma
Trauma merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat,
begitu pula halnya di dunia. Pada pasien trauma, beban muncul dari berbagai faktor seperti
kehilangan fungsi oleh karena luka pada tungkai, tulang belakang, atau luka neurologis,
kerugian ekonomi karena berkurangnya waktu untuk bekerja, serta nyeri dan penderitaan
yang harus dialami pada semua tahapan perawatan. Perhatian kepada nyeri menjadikan
![Page 26: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/26.jpg)
26
banyak laporan yang mengarah kepada penatalaksanaan pengurangan nyeri pada pasien
trauma, terutama pada saat evaluasi dan fase resusitasi saat perawatan.
Beberapa alasan telah disampaikan untuk dapat dipertimbangkan dalam pengamatan
ini. Hal ini mencakup evaluasi nyeri yang tidak memadai, pemberian analgesic yang
terlambat atau tidak sesuai, kekhawatiran mengenai hemodinamik, ketakutan bahwa
analgesia akan mempengaruhi diagnosis luka yang akurat, konsep yang tidak tepat karena
beranggapan bahwa tidur secara otomatis menunjukkan tidak adanya lagi nyeri, kekhawatiran
yang tidak beralasan bahwa pemakaian opiod pada penatalaksaan nyeri akut akan
menyebabkan kcanduan,dan kepercayaan bahwa pasien trauma tidak akan mengingat
kejadian-kejadian yang menyakitkan.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa nyeri membeikan dampak negatif pada respon
stress psikologik terhadap jejas, dan dapat berkontribusi pada kejadian komplikasi seperti
disfungsi pulmonal, fenomene tromboemoli, infark miokard, penurunan fungsi imun, dan
immobilitas. Lebih jauh lagi, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa nyeri akut dapat
menimbulkan hiperalgesia sekunder, allodynia, dan nyeri kronik yang disebabkan oleh
perubahan induksi di jalur sinyal nyeri yang ditransmisikan dan diproses pada SSP. Terakhir,
ada laporan yang menunjukkan bahwa post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan
dampak langsung dari nyeri yang tidak terkendali.
Dalam penjelasan ini, rekomendasi terkini untuk terapi analgesic dini dan aggresif
untuk pasien pasca pembedahan dan trauma. Hingga pada akhirnya, nyeri dimasukkan
kedalam ‘tanda vital kelima’ di dunia klinik, menggarisbawahi bertapa pentingnya penilaian
nyeri yang berkali-kali dan juga akurat, sebagi langkah pertama untuk mencapai analgesia
yang optimal pada situasi trauma.
2.1.1 Survei Primer dan Sekunder serta Evaluasi kebutuhan Analgesik pada Pasien
![Page 27: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/27.jpg)
27
Trauma
Evaluasi pre rumah sakit dan unit emergensi serta fase resusitasi trauma merupakan
periode stress fisiologis yang berat bagi korban. Tujuan terapeutik utama pada saat ini adalah
untuk membuat jalan napas yang patent, memastikan oksigenasidan ventilasi yang adekuat,
membantu sirkuklasi , dan penilaian global fungsi neurologis. Penilaian dan penatalaksanaan
luka yang mengancam jiwa merupakan prioritas utama dibandingkan yang lain, namun
perawatan nyeri tidak perlu dilarang. Pada periode ini, kemungkinan pasien akan mengalami
nyeri yang bersifat general dan sangat buruk pada situasi trauma multiple, begitu pula nyeri
lokal pada lokasi luka. Terlebih lagi pasien akan menjalani prosedur yang menyakitkan yang
dapat melibatkan kanulasi vena sentral dan perifer, pemasangan tub dada,diganostis
peritoneal lavage( DPL), tracheostomi, atau manipulasi fraktur ektrimitas.
Saat survey primer telah selesai dilaksanakan, dan pasien telah dinyatakan memiliki
sirkulasi yang stabil atau hiperdinamik, penggunaan opioid jangka pendek IV seperti fentanyl
dengan hati-hati merupakan sebuah indikasi. Seringkali pasien akan menjadi lebih koorperatif
ketika analgesic telah memadai, memfasilitasi evaluasi yang lebih lanjut dan deteksi luka
yang sebelumnya belum diketahui. Hal ini penting salami evaluasi luka vertebra servikal,
dimana luka-luka yang mengacau dapat mengakibatkan keterlambatan atau kesalahan
diagnosis. Pada beberapa kasus yang jarang, response stress terhadap nyeri dan berhubungan
pada peningkatan level katekolamin akan berdampak padqa stabilitas hemodinamik pasien;
pengurangan nyeri dapat berakibat pada dekompensasi hemodinamik. Pada kasus seperti itu,
walaupun pemberian analgesic dapat menjadi penyebab proksimal dari dekompensasi,
penyebab sebenarnya secara umum berhubungan dengan kehilangan darah dan hipovolumia,
yang respon terhadap resusitasi cairan yang banya namun berhati-hati.
Pada sebuah penelitian yang mengevaluasi penggunaan fentanyl selama pemidahan
![Page 28: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/28.jpg)
28
medis via udara pada trauma, hanya 4 dari 177 pasien (2,2%) yang menunjukkan penurunan
tekanan darah sistolik dibawah 90 mm Hg bersamaan dengan pemberian fentanyl, dengan
nilai terendah pada penelitian ini sebesar 80 mmHg. Pada seluruh kasus, tekanan darah
sistolik kembali ke 90 mm Hg atau lebih dalam rentang 3 sampai 10 menit. Ini menunjukkan
bahwa fentanyl merupakan analgesic yang aman dan efektif pada saat pra rumah sakit dan
analgesia tersebut tidak sebaiknya tidak diberikan karena kekhawatiran akn mengakibatkan
instabilitas hemodinamik pada pasien yang sebaliknya akan stabil.
Pada pasien yang sadar, namun hemodinamiknya tidak stabil. Ketamin atau
tramadol terbukti sebagai alternative yang berguna. Nitrat oksida dapat tersedia di beberapa
klinik sebagai penatalaksanaan nyeri pad prosedur-prosedur tertentu, seperti pemasangan
akses IV, DPL, atau manipulasi fraktur ekstrimitas. Nitrat oksida sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan pneumotoraks. Jika dikhawatirkan akan ada depresi pernapasan,
dexmedetomidin, sebuah agonis a2-adrenergik kerja pusat tanpa efek pernapasan, telah
menunjukkan hasil sebagai analgesia dan seudatif yang efektif denga perubahan
hemodinamik yang minimal saat diberikan dalam bentuk infuse tanpa bolus inisial. Jika
kemampuan untuk mengevaluasi status neurologis pasien secara cepat menjadi kekhwatiran
utama, infuse remifentanil, ultrashort-acting opioid, dapat dipertimbangkan. Terakhir, pada
pasien yang tidak satupun pilihan diatas tersedia oleh karena ketidakstabilan hemodinamik,
alergi obat, atau ketersediaan obat di pelayanan, penggunaan agen adjuvant seperti
scopolamine atau midazolam, dapat berguna untuk membuat amnesia dan meminimalisir efek
psikologis yang berhubungan dengan nyeri yang tidak terkendali tanpa adanya kestabilan
hemodinamik yang menjanjikan setelahnya.
2.1.2. Rawat Inap Pasien Trauma dan Evaluasi Kebutuhan Analgesik
![Page 29: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/29.jpg)
29
Rawat inap dalam periode tertentu biasanya akan terjadi setelah penilaian awal dan
stabilisasi dari luka yang mengancam jiwa. Pasien bisa berada di ICU atau di ruang rawat
bedah. Selama masa ini, studi diagnostik tambahan yang invasive dan non-invasif dilakukan
untuk mengidentifikasi lebih lanjut luka pasien dan melihat karakteristiknya. Penatalaksanaan
bedah untuk luka priorias kedua seperti trauma mata dan wajah, luka musculoskeletal dan
tulang belakang, begitu pula trauma vascular dan visceral dapat dilakukan pada waktu ini.
Pasien akan merasakan nyeri yang tergeneralisir, begitu juga dengan nyeri lokal atau regional
pada lokasi luka. Hal ini dapat dicirikan sebagai nyeri background dengan episode sering dan
nyeri breakthrough. Pasien juga akan mengalami nyeri yang berhubungan dengan interfensi
bedah, diagnostic, dan terapi apapun, begitu pula dengan perawatan rutin seperti mengganti
balutan.
2.1.3 Penggunaan Opiod pada Pasien Trauma
Opioid sistemik sepertinya akan terus lanjut menjadi terapi utama nyeri bagi nyeri
general dan terlokalisir. Opioid kerja jangka menengah seperti morfin, hidromorfon,dan
meperidin untuk mendapatkan level analgesia yang stabil bagi nyeri dasar. Walaupun
meperidin secara logis biasanya dihindari karena efek toksisitas yang berkaitan dengan
metabolitnya, normerperidin, yang dapat terakumulasi terutama pada gagal ginjal (dengan
gagal ginjal akut sebagai komplikasi tersering saat trauma). PCA IV merupakan cara
pemberian yang berguna karena dapat diprogram untuk menangani nyeri background dan
breakthrough. Selama perawatan di rumah sakit nanti, opioid PCA IV akan sering
dikonversikan kedalam sediaan oral ketika pasien sudah mulai dapat menerima intake
makanan lewat mulut. Sewaktu kebutuhan dasar opiois pasien telah ditetapkan, opiod jangka
lama (longer-acting) dan sustained relesase ditambahkan ke regimen nyeri untuk menngani
nyeri background secara spesifik.Contoh opioid sustained release seperti controlled release
morphine atau oxycodone, methadone, atau fentanyl transdermal. Penanganan nyeri
![Page 30: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/30.jpg)
30
breakthrough bisa meliputi opioid oral jangka pendek atau IV yang tersedia tergantung pada
permintaan pasien. Pasien sebaiknya sebelumnya telah diberitahu untuk mengantisipasi
aktivitas-aktivitas yang menyakitkan karena penambahan medikasi nyeri. Beberapa pasien
menjalani prosedur atau penggantian balutan dimana nyeri sengat intens dibandingkan nilai
dasar nyeri background. Nyeri tersebut tidak cukup ditanggulangi dengan dosis tipikal yang
tersedia untuk nyeri breakthrough. Sebuah perencanaan harus dibuat untuk memberikan
analgesic tambahan pada eksaserbasi nyeri tersebut. Sering kali, analgesia yang intens perlu
diberikan untuk beberapa saat, dengan seudasi minimal dan deperesi pernapasan setelahnya.
Analgesik berupa opioid IV atau oral biasa digunakan, tergantung kepada keparahan nyeri.
Pada kasus tertentu, tambahan seperti propofol, dengan fentanyl, kentamin, atau midzolam
dapat digunakan untuk efek analgesia yang adekuat dan seudatif, bahkan GA.
2.1.4. Penggunaan Teknik Neuroaksial pada Pasien Trauma
Analgesia spinal atau epidural dapat sangat berguna pada penatalaksanaan nyeri
pasca pembedahan pada pasien trauma setelah tindakan seperti laparotomi, thorakotomi, atau
reduksi fraktur ekstrimitas bawah. Analgesik epidural kontinu telah menunjukkan mampu
memberikan analgesia yang superior selama pembedahan intra-abdomen saat dibandingkan
dengan PCA IV. Dampak hemodinamik yang potensial dari blokade simpatis yang berkaitan
dengan teknik ini harus benar-benar diperhaitkan. Pemberian kristaloid IV selama
penempatan anestesi spinal telah menunjukkan penurunan perubahan hemodinamik.
2.1.5. Penggunaan Anestesia Regional Perifer pada Pasien Trauma
Pilihan teknik anesthesia regional perifer dapat berguna bagi penatalaksanaan nyeri
yang berhubungan dengan lokasi tertentu trauma. Contoh, blok paravertebrata dapat
diindikasikan untuk nyeri yang berhubungan oleh fraktur iga. PNB terisolasi juga dapat
bermanfaat bagi luka ekstrimitas. Hal ini bisa meliputi blok nervus femoralis dan skiatik
![Page 31: NSAID](https://reader033.fdokumen.com/reader033/viewer/2022042721/577c807f1a28abe054a8f207/html5/thumbnails/31.jpg)
31
untuk luka lutut, blok saraf popliteal dan saphenous untuk luka tungkai bawah, dan blok
plexus brachialis untuk luka ektrimitas atas. Penggunaan kateter perineural kontinu perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan trauma yang lebih luas dimana durasi nyeri
diperkirakan akan lebih lama 1 sampai 2 hari.
Teknik regional perifer tidak hanya meredakan nyeri dan memuaskan pasien serta
menurunkan efek samping terkait opioid sistemik, namun juga memfasilistasi keikutsertaan
dalam terapi fisik serta pemeriksaan bagian ekstrimitas yang terasa terluka dan nyeri. Ketika
keparahan nyeri pasien mulai berkurang oleh karena peradangan awal yang berhubungan
degan luka mulai mereda dan mengalami penyembuhan, kateter neuraksial dan peripheral
sering digantikan dengan analgesic sistemik pada periode ini, kecuali jika intervensi bedah
tertentu yang mempengaruhi ekstrimitas yang terkena telah direncanakan. Manfaat kateter
perineural yang ada, saat proses penyembuhan mulai berlangsung, harus dibandingkan
dengan potensi infeksi yang kecil namun nyata jika kateter ditinggalkan untuk waktu yang
lebih lama.