Novita Dwi Ariyani - Studi Deskriptif Tentang Kematangan...

25
1 STUDI DESKRIPTIF TENTANG KEMATANGAN EMOSI PASANGAN PERNIKAHAN DINI PADA SUKU MADURA PENDHALUNGAN Novita Dwi Aryani, Nurlaela Widyarini, dan Yayuk Siti Nurhaqimah Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember ABSTRAK Kematangan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri, menempatkan diri dan menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu. Idealnya kematangan emosi harus dimiliki oleh pasangan pernikahan dini. Sedangkan Pernikahan dini adalah menikah di usia muda atau remaja, tepatnya usia dibawah 20 tahun. Dalam penelitian ini Suku Madura Pendhalungan yaitu mereka yang tinggal utamanya di kawasan tapal kuda mulai Pasuruan sampai Banyuwangi, dan mayoritas di Probolinggo, Lumajang, Bondowoso dan Jember. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses kematangan emosi pasangan pernikahan dini pada Suku Madura Pendhalungan. Desain penelitian menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian ini memusatkan diri secara intensif pada satu objek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik criterion sampling, yaitu individu yang menjadi partisipan haruslah individu yang mengalami fenomena yang sedang dieksplorasi sehingga mereka dapat mengungkapkan tentang apa yang mereka rasakan dengan tepat. Pertimbangan yang dipakai peneliti adalah pasangan yang tinggal di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Jember. Informan yang digunakan sebayak empat pasang yang menikah diusia dini. Meliputi satu pasang di Maesan, satu pasang di Tamanan, satu pasang di Bangsalsari, satu pasang di Wirolegi. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai metode tambahan. Pengambilan data dilakukan tanggal 03 Juni 2008 sampai dengan 28 Juni 2008, kemudian data diolah dengan cara analisa deskriptif mengikuti konsep yang diberikan oleh Miles dan Huberman. Berdasarkan hasil wawancara yang telah diperoleh proses kematangan emosi pasangan pernikahan dini pada Suku Madura Pendhalungan terbentuk dengan kemampuan pasangan dalam menjalani kesiapan pernikahan dan adanya proses belajar terhadap penyesuaian atau adaptasi dengan berbagai peran baru. Kata kunci : Kematangan emosi, pernikahan dini, Suku Madura Pendhalungan.

Transcript of Novita Dwi Ariyani - Studi Deskriptif Tentang Kematangan...

1

STUDI DESKRIPTIF TENTANG KEMATANGAN EMOSI PASANGAN

PERNIKAHAN DINI PADA SUKU MADURA PENDHALUNGAN

Novita Dwi Aryani, Nurlaela Widyarini, dan Yayuk Siti Nurhaqimah

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember

ABSTRAK Kematangan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan

diri, menempatkan diri dan menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu. Idealnya kematangan emosi harus dimiliki oleh pasangan pernikahan dini. Sedangkan Pernikahan dini adalah menikah di usia muda atau remaja, tepatnya usia dibawah 20 tahun. Dalam penelitian ini Suku Madura Pendhalungan yaitu mereka yang tinggal utamanya di kawasan tapal kuda mulai Pasuruan sampai Banyuwangi, dan mayoritas di Probolinggo, Lumajang, Bondowoso dan Jember. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses kematangan emosi pasangan pernikahan dini pada Suku Madura Pendhalungan.

Desain penelitian menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian ini memusatkan diri secara intensif pada satu objek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus.

Sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik criterion sampling, yaitu individu yang menjadi partisipan haruslah individu yang mengalami fenomena yang sedang dieksplorasi sehingga mereka dapat mengungkapkan tentang apa yang mereka rasakan dengan tepat. Pertimbangan yang dipakai peneliti adalah pasangan yang tinggal di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Jember. Informan yang digunakan sebayak empat pasang yang menikah diusia dini. Meliputi satu pasang di Maesan, satu pasang di Tamanan, satu pasang di Bangsalsari, satu pasang di Wirolegi. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai metode tambahan. Pengambilan data dilakukan tanggal 03 Juni 2008 sampai dengan 28 Juni 2008, kemudian data diolah dengan cara analisa deskriptif mengikuti konsep yang diberikan oleh Miles dan Huberman.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah diperoleh proses kematangan emosi pasangan pernikahan dini pada Suku Madura Pendhalungan terbentuk dengan kemampuan pasangan dalam menjalani kesiapan pernikahan dan adanya proses belajar terhadap penyesuaian atau adaptasi dengan berbagai peran baru. Kata kunci : Kematangan emosi, pernikahan dini, Suku Madura Pendhalungan.

2

A. PENDAHULUAN

Dalam menjalani kehidupan, manusia memiliki kodrat-kodrat yang harus

dijalaninya. Kodrat tersebut antara lain lahir, menikah dan meninggal dunia.

Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia dibekali dorongan untuk

menarik perhatian lawan jenis guna mencari pasangan hidupnya. Seseorang mulai

mencari pasangan hidup ketika beranjak pubertas. Pubertas merupakan masa

pertama kali seseorang merasa tertarik dengan lawan jenisnya. Masa ini berawal

dari usia sekitar 12,5 – 14,5 tahun pada perempuan dan 14 – 16,5 tahun pada laki-

laki (Hurlock, 1980: 186). Masa berikutnya adalah pacaran, sebagai tanda adanya

komitmen awal dengan lawan jenis dan dilanjutkan dengan masa pernikahan.

Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang

di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang,

pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga merupakan

awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu yang berlainan

jenis serta lahirnya anak-anak (Papalia, Olds, & Feeldman, 1998).

Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pernikahan atau

perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Undang-

Undang Perkawinan No. 7 tahun 1974 juga menyebutkan perkawinan hanya di

ijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 tahun. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan tersebut,

dapat diketahui bahwa batas minimal usia pernikahan adalah 19 tahun bagi pria

dan 16 tahun bagi wanita. Jika pernikahan dilakukan sebelum batas usia tersebut

maka pernikahan itu di kategorikan sebagai pernikahan dini.

Menurut Walgito (2000) dalam memasuki dunia perkawinan perlu adanya

kesiapan dari kedua belah pihak. Hal ini dipengaruhi oleh:

a. Faktor Fisiologis. Faktor fisiologis ini berkaitan dengan 3 hal yaitu segi

kesehatan, keturunan dan sexual fitness.

3

1. Kesehatan, bahwa keadaan kesehatan seseorang dalam hubungannya

dengan perkawinan merupakan satu faktor esensial dalam perkawinan.

2. Keturunan, masalah keturunan ini juga merupakan persoalan dalam

perkawinan, karena dalam perkawinan pasangan suami istri

menginginkan keturunan yang baik. Oleh karena itu masalah keturunan

ini menjadi hal yang perlu mendapat perhatian.

3. Sexual fitness, terkait dengan kemampuan individu dapat melakukan

hubungan seksual secara wajar atau tidak.

b. Faktor sosial ekonomi. Faktor ini perlu mendapat pertimbangan dalam

perkawinan, sekalipun ada beberapa pihak yang memandang hal ini bukanlah

merupakan suatu faktor yang mutlak, namun perlu dipertimbangkan sebelum

menikah.

c. Faktor agama dan kepercayaan. Dalam pernikahan faktor agama atau

kepercayan hendaknya menjadi perhatian pasangan, sebaiknya pasangan

memiliki agama yang sama. Memiliki kesamaan agama maka akan

meminimalkan munculnya perbedaan yang terkait dengan agama tersebut.

d. Faktor psikologis. Kedewasaan dalam sisi psikologis merupakan faktor yang

dituntut dalam perkawinan. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah

kematangan emosi, toleransi atau kesiapan untuk berkorban, sikap saling

pengertian, saling mengerti akan kebutuhan masing-masing pihak, dapat

saling memberi dan menerima kasih sayang, sikap saling mempercayai,

adanya keterbukaan dalam komunikasi, kesiapan diri untuk lepas dari orang

tua untuk hidup mandiri.

Ketentuan batasan umur yang telah di tetapkan oleh Undang-Undang

Perkawinan bila dilihat dari segi fisiologis seseorang umumnya telah dikatakan

matang secara fisiologis. Ini di tandai dengan adanya menarche pada wanita dan

polutio pada laki-laki ketika memasuki usia tersebut. Kemasakan tersebut

berkaitan dengan pengadaan hubungan seksual antar pasangan untuk

menghasilkan keturunan (Walgito, 2000:28) .

Kematangan secara fisiologis dalam pernikahan pada dasarnya harus pula

diikuti oleh kematangan secara psikologis. Namun kematangan fisiologis

4

seseorang belum tentu diikuti oleh kematangan secara psikologis. Pada individu

yang menikah dini dapat diketahui bahwa usia mereka termasuk pada awal masa

remaja. Pada masa tersebut individu dimungkinkan masih mengalami

ketidakstabilan emosi dan dalam psikologi perkembangan individu tersebut masih

berada dalam periode peralihan serta periode perubahan. Beralih dari masa kanak–

kanak akhir menjadi remaja yang akan mengalami tingkat perubahan dalam sikap

dan perilaku untuk mencari identitas diri.

Pernikahan dini merupakan sebuah istilah yang lahir dari komitmen moral

dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternatif adanya seks

pranikah yang terjadi dikalangan remaja. Secara psikologis terkadang pernikahan

di usia muda menimbulkan kekhawatiran tersendiri akan menghambat studi atau

rentannya konflik yang berujung dengan perceraian, karena kekurangsiapan

mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa dari segi usia.

Pernikahan di bawah umur kadangkala menimbulkan kekhawatiran bahwa

pasangan tersebut belum siap mengatasi pernak-pernik pertikaian yang akan

mereka jumpai, sehingga perceraian tidak terhindarkan. Fenomena tersebut

diperkuat dengan tingginya angka perceraian yang terjadi di Kabupaten Jember.

Angka perceraian yang tercatat di PA Jember pada tahun 2007 sebanyak 3.576

kasus (Sumber Pengadilan Agama Jember, 26 Mei 2008), sedangkan di PA

Bondowoso selama bulan januari sampai mei terdapat 537 kasus perceraian

(Sumber Pengadilan Agama Bondowoso, 12 Juni 2008). Diantara kasus-kasus

tersebut perceraian pasangan pernikahan dini termasuk salah satu kasus yang pelik

dikarenakan pasangan tersebut menikah dengan memanipulasi usia agar

mencukupi batas minimum usia pernikahan. Sebab utama terjadinya perceraian

adalah adanya konflik yang tidak mampu diselesaikan oleh pasangan tersebut. Hal

ini dimungkinkan pasangan pernikahan dini belum matang secara emosi (Sumber

PA Jember dan Bondowoso).

Ketidakmatangan secara emosi pada pasangan tentu berhubungan dengan

tingkat kedewasaan dalam mengatasi persoalan yang terkait dengan kehidupan.

Anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi

apabila pada akhir masa remaja mereka tidak “meledakkan” emosinya dihadapan

5

orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk

mengungkapkan emosinya, dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Petunjuk

kematangan emosi yang lain adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis

terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa

berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang (Hurlock,

1980: 213).

Berdasarkan fenomena yang ada di Kabupaten Jember terbentuknya

kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk

menjaga kelangsungan perkawinan. Menurut Green (2001), kematangan emosi

adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri, menempatkan diri, dan

menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu. Monks, dkk (1996)

menilai kematangan lebih ditekankan pada kemampuan untuk menyelesaikan

problem-problem pribadi untuk memperhitungkan pendapat orang lain terhadap

keinginan-keinginan individu sesuai dengan harapan masyarakat dan kemampuan

untuk mengungkapkan emosi yang tepat sehubungan dengan pengertian kita

terhadap orang lain.

Mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki perkawinan

cenderung lebih mampu mengelola perbedaan diantara pasangan, sehingga

mampu menyelesaikan konflik yang terjadi karena adanya perbedaan tersebut.

Tidak lagi bersifat defensif dan emosional, sehingga dapat mengkomunikasikan

arah dan tujuan rumah tangga secara bersama, baik dari segi ekonomi, sosial dan

segala sesuatu yang berhubungan dengan anak. Namun ketika mereka tidak

memiliki kematangan emosi maka perbedaan tersebut akan memicu terjadinya

konflik. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesediaan untuk saling berbagi, saling

memaafkan dan saling menerima, sehingga akan meningkatkan angka perceraian

yang terjadi di usia muda, meskipun secara fisiologis mereka sudah matang.

Pernikahan dini umumnya terjadi pada masyarakat yang bersuku Madura.

Identitas ini menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam

sikap dan perilaku budaya mereka. Budaya Madura adalah budaya yang lekat

dengan tradisi religius. Mayoritas orang Madura memeluk agama Islam.

6

Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan

stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik

madura memiliki kekhususan kultural yang tidak serupa dengan komunitas etnik

lain (Hasan Alwi, 2001: 563). Kekhususan kultural itu tampak antara lain pada

ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat figur

utama dalam kehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagaman. Keempat figur

itu adalah Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin Pemerintahan. Kepada figur utama

itulah kepatuhan hierarkis orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam

kehidupan sosial budaya mereka (Wiyata, 2003:1).

Bagi entitas etnik madura, kepatuhan hierarkis tersebut menjadi

keniscayaan untuk diaktualisasikan dalam praksis keseharian sebagai “aturan

normatif” yang mengikat. Pengabaian atau pelanggaran yang dilakukan secara

disengaja atas aturan itu menyebabkan pelakunya dikenakan sanksi sosial maupun

kultural. Pemaknaan etnografis demikian berwujud lebih lanjut pada ketiadaan

kesempatan dan ruang yang cukup untuk mengenyampingkan aturan normatif itu

dalam makna yang lebih luas dapat dinyatakan bahwa aktualisasi kepatuhan itu

dilakukan sepanjang hidupnya. Tidak ada kosakata yang lebih tepat untuk

menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan kepada

keempat figur tersebut (Farjon 1980; Kuntowijoyo 1980; de Jonge 1989).

Pernikahan dini pada suku Madura merupakan Budaya yang terus diyakini

hingga sekarang. Masyarakat suku Madura meyakini bahwa menikah dini

merupakan ajaran Rasullah SAW untuk menghindari perbuatan maksiat dan

adanya rasa bangga apabila anak gadisnya dapat menikah muda. Stereotip yang

berkembang pada masyarakat Madura adalah jika anak gadisnya dilamar oleh

seorang pemuda pada usia muda maka anak gadis tersebut tergolong gadis baik–

baik dan tidak akan menjadi perawan tua. Sedangkan laki–laki yang menikah di

usia muda diyakini masih memiliki semangat yang kuat untuk bekerja keras.

Pernikahan di usia muda dianggap mengikuti ajaran Rasulullah SAW, karena

kebanyakan pada suku Madura menyelesaikan pendidikannya di Pondok atau

Pesantren. Penggunaan istilah stereotip diartikan sebagai konsepsi mengenai sifat

7

atau karakter suatu kelompok etnik berdasarkan prasangka subjektif yang tidak

tepat oleh kelompok etnik lainnya (Alwi, 2001:1091).

Keterangan diatas di perkuat oleh pernyataan beberapa orang yang bersuku

Madura di Kecamatan Mayangan Probolinggo pada tanggal 11-12-2007 dan

Kecamatan Bangsalsari Jember pada tanggal 08-06-2008. Hasil wawancara yang

diperoleh tidak mengindikasikan bahwa kematangan emosi adalah hal yang patut

diperhatikan dalam mempersiapkan pernikahan, padahal kematangan emosi

adalah salah satu syarat bertahannya sebuah pernikahan menurut Rapaport (dalam

Duvall dan Miller, 1985).

Kematangan Emosi

Berdasarkan definisinya kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emotus

atau emover yang berarti mencerca atau menggerakkan (to stir up) yaitu sesuatu

yang mendorong terhadap dalam diri individu. Crow dan crow (Sobur, 2003)

mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang

berfungsi sebagai penyesuain dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai

kesejahteraan dan keselamatan individu. Emosi merupakan salah satu respon

fisiologis yang menimbulkan kecenderungan individu untuk bertindak dalam

usahanya memberi tanggapan terhadap gejala dan rangsangan yang ada di

sekitarnya.

Menurut Green (dalam Safaria & Farni, 2007: 15), kematangan emosi

adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri, menempatkan diri, dan

menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu. Sedangkan Monks, dkk

(1996) menilai kematangan lebih ditekankan pada kemampuan untuk

menyelesaikan problem-problem pribadi untuk memperhitungkan pendapat orang

lain terhadap keinginan-keinginan individu sesuai dengan harapan masyarakat dan

kemampuan untuk mengungkapkan emosi yang tepat sehubungan dengan

pengertian kita terhadap orang lain.

Young (dalam Herina, 1991: 23) menggunakan istilah kematangan dengan

kata kemasakan, yang berarti kemasakan emosi adalah kemampuan seseorang

dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya. Ditambahkan oleh Marcam

bahwa seseorang yang mempunyai ciri emosi yang sudah masak tidak cepat

8

terpengaruh oleh rangsang stimulus baik dari dalam maupun dari luar. Emosi yang

sudah matang akan selalu belajar menerima kritik, mampu menangguhkan respon-

responnya dan memiliki saluran sosial bagi energi emosinya, misalnya bermain,

melaksanakan hobinya, dsb (www.pikirdong.com, diakses jumat, 28-12-2007).

Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kematangan

emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan

emosinya untuk menyesuaikan diri, menempatkan diri dan menghadapi berbagai

kondisi dengan suatu cara tertentu.

Ciri-ciri Kematangan Emosi

Mahmud (dalam Safaria & Farni, 2007: 16) menyatakan bahwa

kematangan emosi memiliki ciri-ciri antara lain :

a. Tidak “meledakkan” emosi dihadapan orang lain, melainkan mampu

mengekspresikan emosi pada saat yang lebih tepat dan wajar dalam

mengungkapkan emosinya sehingga lebih dapat diterima.

b. Dapat melihat situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara

emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak

atau orang yang tidak matang, mengabaikan rangsangan yang dapat

menimbulkan ledakan emosi.

c. Memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi

atau suasana hati ke suasana hati lain seperti dalam periode sebelumnya.

Adapun kriteria individu yang memiliki kemasakan emosi menurut Young

(dalam Herina, 1991: 25) :

a. Kemampuan untuk beradaptasi dengan realitas. Kemampuan yang

berorientasi pada diri individu tanpa membentuk mekanisme

pertahanan diri ketika konflik-konflik yang muncul mulai dirasakan

mengganggu perilakunya. Orang yang masak secara emosional melihat

suatu akar permasalahan berdasarkan fakta dan kenyataan dilapangan,

tidak menyalahkan orang lain atau hal-hal yang bersangkutan sebagai

salah satu faktor penghambat.

9

b. Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan. Perubahan

mendadak kadang membuat seseorang menjadi menutup diri, menjaga

jarak atau bahkan menghindari dari hal-hal yang berkisar lingkungan

barunya. Kemasakan emosi menandakan bahwa seseorang dapat begitu

cepat beradaptasi dengan hal-hal baru tanpa menjadikannya sebagai

tekanan atau stresor. Kemampuan ini dapat tumbuh sebagai bentuk

adaptasinya dengan lingkungan baru yang sengaja diciptakan untuk

mengurangi stres yang dapat berkembang dalam dirinya.

c. Dapat mengontrol gejala emosi yang mengarah pada kemunculan

kecemasan. Munculnya kepanikan berawal dari terkumpulnya

simpton-simpton yang memberikan radar akan adanya bahaya dari

luar. Penumpukan kadar rasa cemas berlebihan dapat memunculkan

kepanikan yang luar biasa. Orang yang mempunyai kemasakan emosi

dapat mengontrol gejala-gejala tersebut sebelum muncul kecemasan

pada dirinya.

d. Kemampuan untuk menemukan kedamaian jiwa dari memberi

dibandingkan dengan menerima. Semakin sehat tingkat kematangan

emosi seseorang, individu tersebut dapat menangkap suatu keindahan

dari memberi, ketulusan dalam membantu orang, membantu fakir

miskin, keterlibatan dalam masalah sosial, keinginan untuk membantu

orang lain, dsb.

e. Konsisten terhadap prinsip, janji dan keinginan untuk menolong orang

yang mengalami kesulitan. Orang yang matang secara emosi adalah

orang-orang yang telah menemukan suatu prinsip yang kuat dalam

hidupnya. Menghargai prinsip orang lain dan menghormati perbedaan-

perbedaan yang ada.

f. Dapat meredam instink negatif menjadi energi kreatif dan konstruktif.

Kematangan emosi yang dimiliki oleh individu akan dapat mengontrol

perilaku-perilaku impulsif yang dapat merusak energi yang dimiliki

oleh tubuh, individu dapat melakukan hal-hal yang bersifat positif

dibandingkan memenuhi nafsu yang dapat merusak dan bersifat

10

merusak. Mempunyai waktu yang lebih banyak untuk melakukan hal-

hal yang lebih berguna untuk dirinya dan orang lain.

g. Kemampuan untuk mencintai. Cinta merupakan energi seseorang

untuk bertahan dan menjadikannya lebih bergairah dalam menjalani

hidup. Tidak hanya antara cinta antara sesama manusia, pengalaman

spiritual, mencintai Tuhan merupakan keindahan bagi mereka yang

merasakan keterdekatan dengan Sang Ilahi.

Untuk mencapai kematangan emosi remaja harus belajar menggunakan

katarsis emosi guna menyalurkan emosinya. Adapun cara yang dapat dilakukan

adalah latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis.

Cara-cara ini dapat menyalurkan gejolak emosi yang timbul karena usaha

pengendalian ungkapan emosi, namun sikap sosial terhadap perilaku menangis

adalah kurang baik dibandingkan dengan sikap sosial terhadap perilaku tertawa,

kecuali bila tertawa hanya dilakukan bilamana memperoleh dukungan sosial

(Hurlock, 1980: 213).

Faktor-faktor Pencapaian Kematangan Emosi

Dalam proses pencapaiannya, kemasakan emosi dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Berikut ini akan dikemukakan faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap pencapaian kemasakan emosi sebagai berikut (dalam Herina, 1991: 28) :

a. Faktor fisik

Dalam studi yang dilakukan oleh Davidson dan Gottileb ternyata ditemukan

adanya perbedaan tingkat perkembangan emosi maupun intelegensi antara wanita

yang belum mengalami menarche (pre-menarcheal girl). Wanita yang telah

mengalai masa menarche memiliki tingkat perkembangan emosi maupun

intelegensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang belum mengalami

masa menarche. Hal tersebut diakibatkan karena terjadinya perubahan hormonal

tubuh yang dimilikinya. Data studi lainnya dengan subjek yang berjenis kelamin

laki-laki, Mussen dan Jones menunjukkan hasil studinya bahwa anak laki-laki

yang terlambat masak secara fisik (physically retarded) ternyata menunjukkan

kebutuhan akan social-acceptance dan agresivitas yang tinggi bila dibandingkan

dengan anak laki-laki yang telah masak secara cepat, setelah subjek diperintahkan

11

untuk merating dari sembilan jenis kebutuhan yang disediakan. Hal ini

dikarenakan, anak laki-laki yang secara fisik terlambat masak memiliki rasa

insecure dan dependence yang lebih besar.

a. Pola-pola kontrol terhadap emosi. Livson dan Bronson berpendapat

bahwa dalam mencapai kematangan emosi, pola-pola kontrol emosi yang

ideal perlu dimiliki oleh individu, misalnya tidak melakukan represi-

represi emosi yang tidak perlu dan mengendalikan emosi dengan wajar

dan sesuai dengan harapan-harapan sosial.

b. Intelegensi. Faktor-faktor intelegensi berpengaruh terhadap persepsi diri,

self evaluation, atau penilaian (appraisal) terhadap orang lain dan situasi

lingkungan. Individu dengan intelegensi tinggi, kemungkinan akan

memperoleh insight dalam pemecahan masalah emosionalnya secara

lebih besar.

c. Jenis kelamin. Perbedaan hormonal maupun kondisi psikologis antara

laki-laki dan wanita menyebabkan perbedaan karakteristik emosi

diantara keduanya. Kahn menyatakan bahwa wanita mempunyai

kehangatan emosionalitas, sikap hati-hati dan sensitif serta kondisi yang

tinggi daripada laki-laki. Laki-laki lebih tinggi dalam hal stabilitas emosi

daripada wanita. Lone menerangkan penyebab wanita lebih memiliki

sifat emosionalitas daripada laki-laki. Hal tersebut terjadi karena wanita

memiliki kondisi emosi didasarkan peran sosial yang diberikan oleh

masyarakat, yaitu wanita harus mengontrol perilaku agresif dan

asertifnya, tidak seperti peran sosial laki-laki. Hal ini menyebabkan

wanita kurang dapat mengontrol lingkungannya, yang pada akhirnya

menimbulkan kecemasan-kecemasan.

d. Usia. Kemasakan emosi seseorang, perkembangannya seiring dengan

pertambahan usia. Hal ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi

oleh tingkat pertumbuhan dan kemasakan fisik-fisiologis daripada

seseorang. Sedangkan aspek fisik-fisiologis sudah dengan sendirinya

ditentukan oleh faktor usia. Tiap-tiap individu adalah berbeda (menurut

pendekatan ideografi). Faktor fisik-fisiologis juga belum tentu mutlak

12

sepenuhnya mempengaruhi perkembangan kemasakan emosi, karena

kemasakan emosi merupakan salah satu fenomena psikis. Tentunya

determinan psikis terhadap kecemasan emosi ini beragam, baik faktor

pola asuh keluarga, lingkungan sosial, pendidikan dan sebagainya.

Jelasnya individu pada usia yang sama belum tentu mencapai tahap

kemasakan emosi yang sama pula.

Pernikahan Dini

Sedangkan Pernikahan dini (Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al

Ijtimaa’i fi Al Islam) yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua,

hukumnya menurut syara’ adalah sunnah. Menurut Allan Gutmacher Institute

(dalam Setyonaluri, 2005: 1), definisi perkawinan dini atau early childbearing

yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang (istri atau suami) yang berusia di

bawah 19 tahun.

Menurut teori perkembangan (dalam Hurlock, 1980: 215) masa usia

menikah adalah saat usia dewasa awal yaitu 20-40 tahun atau usia 18-40 tahun.

Dengan kata lain, masa dewasa awal merupakan masa dimana seorang individu

mulai mengemban tugas menikah dan membina keluarga. Hal ini sejalan dengan

pendapat dari Havighurst yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang

menjadi karakteristik masa dewasa awal adalah mulai memilih pasangan hidup

dan mulai bekerja.

Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa

pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam

Undang-Undang Perkawinan No. 7 tahun 1974 juga menyebutkan perkawinan

hanya di ijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita

sudah mencapai umur 16 tahun.

Berdasarkan beberapa pengertian pernikahan dini diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa pernikahan dini mengandung pengertian : menikah di usia

muda atau remaja, tepatnya usia dibawah 20 tahun.

13

Kesiapan Menikah

Menikah dini pada hakikatnya dilakukan oleh mereka yang masih muda

dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Menurut hukum

yang berkaitan dengan menikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua

pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari

kondisi khusus, seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin

belum mampu memberi nafkah. Hukum umum tersebut yang terpenting adalah

kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan.

Kesiapan nikah dalam tinjauan fiqih paling tidak diukur dengan tiga hal :

a. Kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang

berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah,

seperti hukum (khitbah), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun akad

nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan rujuk.

Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain

hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan

yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakan.

b. Kesiapan materi atau harta, yang dimaksud harta disini ada dua

macam, yaitu harta sebagai mahar (lihat QS An Nisa : 4) dan harta

sebagai nafkah suami kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhan

pokok/primer bagi istri yang berupa sandang, pangan dan papan (lihat

QS Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6).

c. Kesiapan fisik atau kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu

maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki

(www.gaulislam.com, diakses rabu, 05-03-2008).

Sedangkan menurut Rapaport (dalam Dewi, 2006: 4), seseorang

dinyatakan siap untuk menikah apabila memenuhi kriteria :

a. Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.

b. Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang lain.

c. Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan

seksual.

d. Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim.

14

e. Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain.

f. Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.

g. Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan

harapan.

h. Bersedia bebagi rencana dengan orang lain.

i. Bersedia menerima keterbatasan orang lain.

j. Realistik terhadap karakteristik orang lain.

k. Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah

yang berhubungan dengan ekonomi.

l. Bersedia menjadi suami dan istri yang bertanggung jawab.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pernikahan Dini

Dalam masyarakat sering kita jumpai berbagai permasalahan yang dialami

manusia. Permasalahan yang dialami manusia karena adanya suatu tantangan atau

beban yang memaksa seseorang melakukan tindakan yang belum waktunya, salah

satunya yaitu pernikahan dini. Secara psikologis seseorang dikatakan telah

mampu berkeluarga apabila telah mencapai umur 19/20 tahun. Pernikahan tanpa

didasari kematangan emosional akan berpengaruh terhadap pasangan tersebut

dalam mendidik anaknya. Umumnya pernikahan dini terjadi di daerah pedesaan

dimana tingkat pendidikan masih tergolong rendah. Beberapa faktor yang memicu

adanya pernikahan dini antara lain :

• Keluarga

Di pedesaan pada umumnya masyarakatnya masih memegang teguh tradisi dan

adat istiadat yang terjadi di sekitar atau lingkungannya. Tradisi yang terjadi di

masyarakat pedesaan adalah menikahkan anaknya pada usia dini, jika salah satu

tetangga ada yang menikahkan anaknya maka orang tua akan mendesak atau

menyuruhnya agar segera menikah. Pernikahan dini pada suku Madura

merupakan Budaya yang terus diyakini hingga sekarang. Masyarakat suku

Madura meyakini bahwa menikah dini merupakan ajaran Rasullah SAW untuk

menghindari perbuatan maksiat dan adanya rasa kebanggaan apabila anak

gadisnya itu menikah muda (berdasarkan hasil wawancara awal pada salah satu

15

subjek yang bersuku Madura di Kecamatan Mayangan Probolinggo, tanggal 11-

12-2007, jam 11:30 – 12:45).

• Lingkungan

Sebagai seorang remaja gejolak emosi masih sangat sukar dikendalikan. Apa saja

yang dilakukan bukan berdasarkan akal pikiran tetapi berdasarkan luapan nafsu,

sehingga pengaruh lingkungan yang bersifat duniawi sangat berdampak dalam

kehidupan remaja (Fakhraini, 2007: 2). Peran remaja di lingkungan sekitar

dipengaruhi oleh teman sebaya. Adanya pernikahan dini yang menjadi trend di

lingkungannya mendorong remaja untuk menikah sebagai bentuk pengakuan

terhadap kelompok teman sebaya.

• Ekonomi

Adanya jeratan kemiskinan, membuat pernikahan dini merupakan salah satu jalan

untuk keluar dari keterpurukan ekonomi. Dengan menikahkan anak gadisnya,

orang tua beranggapan bahwa beban yang menjadi tanggung jawab keluarga

berkurang sebab akan beralih menjadi tanggung jawab suami (Jurnal perempuan,

2004: 52).

• Pendidikan

Tingkat pendidikan rendah yang dimiliki oleh orang tua membuat orang tua

kurang memperhatikan pentingnya pendidikan. Serta keterbatasan ekonomi

membuat orang tua tidak mampu melanjutkan tingkat pendidikan ke jenjang yang

lebih tinggi atau bahkan tidak di sekolahkan (Desparwati, 2004, 1). Ini membuat

kurangnya pengetahuan tentang apa saja yang perlu dipersiapkan dalam

membentuk sebuah ikatan pernikahan.

Dampak-dampak Pernikahan Dini

Menurut Edi Nur Hasmi, Psikolog yang juga Direktur Remaja dan

Kesehatan Reproduksi BKKBN (Majalah Gemari, 2002: 12) mengatakan bahwa

pernikahan dini atau menikah di usia muda memiliki dua dampak cukup berat

antara lain :

a. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu

kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan.

16

b. Dari segi mental, emosi remaja belum stabil. Kestabilan emosi umumnya

terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki

usia dewasa.

Kehamilan remaja merupakan suatu masalah yang kompleks, salah

satunya isu sosial adanya perang terhadap hak-hak aborsi. Kehamilan pada masa

remaja memperbesar resiko kesehatan bagi anak dan ibu. Bayi-bayi yang

dilahirkan oleh ibu-ibu remaja cenderung memiliki berat tubuh lahir yang rendah

(suatu penyebab utama kematian bayi), dan masalah-masalah neurologis serta

penyakit-penyakit semasa bayi.

Ibu-ibu remaja sering kali putus sekolah, gagal memperoleh pekerjaan,

dan menjadi bergantung pada bantuan kesejahteraan. Kurangnya pendidikan ini

memberi akibat-akibat negatif bagi perempuan-perempuan muda dan bagi anak-

anak mereka. Orang tua yang masih remaja cenderung memperoleh gaji rendah,

pekerjaan yang statusnya rendah atau menganggur (Santrock, 2002: 26).

Adapun hasil penelitian di beberapa kota di Indonesia tentang dampak

yang diakibatkan oleh adanya pernikahan diusia muda atau pernikahan dini,

diantaranya adalah :

- Dinas Kesehatan Semarang.

Pernikahan dini tingkatkan resiko kanker servic.

Ini dikemukakan oleh dr. Nugroho Kompono SpOG staff pengajar Obsgyn FK UI

dalam talkshow “pencegahan dan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara”

di Jakarta. Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena

kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel rahim belum matang, kalau terpapar

human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi

kanker. Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner.

Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia

muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahan disebut

metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia

yang merupakan awal dari kanker. Pada usia lebih tua, diatas 20 tahun, sel-sel

sudah matang, sehingga resiko makin kecil. (Kompas, 2007: 5)

17

- Ketua BKKBN Jawa Barat Drs. Hertog N. Saud, M.P.A.

Dampak perkawinan muda secara umum muncul juga dalam kaitan laju

perkembangan penduduk. Dengan asumsi banyaknya pasangan yang menikah

muda maka dengan otomatis tingkat kesuburanpun tinggi. Jawa Barat telah berasil

menekan laju perkembangan penduduk dengan program keluarga berencananya,

namun tetap saja Jawa Barat menduduki peringkat satu dalam total fertility rate

(rata-rata tingkat kesuburan). Jawa Barat menduduki peringkat satu diatas Jakarta,

Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Banten.

(http://etrida.wordpress.com/2007/03/)

- Faktor penyebab trafiking

Perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan

rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka, karena

perempuan yang menikah dini dan bercerai harus menghidupi diri mereka sendiri

bahkan keluarganya. Mereka juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah

sehingga mudah menjadi objek perdagangan perempuan (Makawekes dalam

www.stoptrafiking.or.id, diakses 08 Maret 2008).

A. METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Salah satu jenis penelitian kualitatif deskriptif adalah berupa penelitian

dengan metode atau pendekatan studi kasus (case study). Penelitian ini

memusatkan diri secara intensif pada satu objek tertentu yang mempelajarinya

sebagai suatu kasus. Sebagai sebuah studi kasus maka data yang dikumpulkan

berasal dari berbagai sumber dan hasil penelitian ini hanya berlaku pada kasus

yang diselidiki. Lebih lanjut Arikunto (1986: 116) mengemukakan bahwa metode

studi kasus sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang

dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme

(individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit

Sampel Penelitian

Subjek dalam penelitian ini ditetapkan dengan menggunakan teknik

pengambilan sampel kriteria (criterion sampling). Pemilihan sampel kriteria

18

adalah yang menjadi partisipan haruslah individu yang mengalami fenomena yang

sedang dieksplorasi sehingga mereka dapat mengungkapkan tentang apa yang

mereka rasakan dengan tepat (Creswell, 1998: 58). Adapun subjek yang dipilih

sebagai sampel criteria dalam studi ini adalah masyarakat suku Madura

Pendhalungan yang melakukan pernikahan dini. Suku Madura Pendhalungan

yaitu mereka yang tinggal utamanya di kawasan tapal kuda mulai Pasuruan

sampai Banyuwangi, dan mayoritas di Probolinggo, Lumajang, Bondowoso dan

Jember.

Adapun pembatasan sampel berdasarkan kriteria sebagai berikut : menikah

diusia muda/remaja, tepatnya dibawah usia 20 tahun, suku Madura Pendhalungan,

usia pernikahan antara 2 sampai 5 tahun, untuk melihat proses adaptasi sebagai

suami atau istri, mempunyai anak, untuk melihat adanya peran baru sebagai orang

tua, tinggal di kawasan mayoritas, yaitu : 2 pasang Kabupaten Jember, dan 2

pasang Kabupaten Bondowoso.

Instrumen Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian kualitatif instrumen utama dari penelitian

adalah diri peneliti sendiri. Orang sebagai instrumen memiliki kemampuan untuk

dapat memutuskan secara luwes dalam menilai dan mengambil keputusan

terhadap suatu persoalan yang tengah diteliti (Moleong, 1990: 4-5). Sedangkan

metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi

yang lebih menekankan metode wawancara secara mendalam (depth interview)

untuk memperoleh data secara akurat.

Teknik Pengambilan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan

observasi. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara semi-terstruktur

atau wawancara bebas terpimpin. Dalam wawancara bebas terpimpin ini terdapat

daftar pertanyaan (guide interview) yang harus dijawab oleh interviewee, tetapi

tidak berupa kalimat yang permanen atau mengikat (Rahayu, 2004: 79). Marshall

dan Rossman (1989: 62) juga mengemukakan bahwa teknik-teknik dasar yang

dipakai pada penelitian kualitatif untuk mengumpulkan data dengan menggunakan

metode wawancara secara mendalam (depth interviewing). Adapun alat bantu

19

yang digunakan sebagai pelengkap pengumpul data adalah tape recorder untuk

merekam pembicaraan selama proses interview berlangsung.

Keabsahan Data

Generabilitas dan kredibilitas penelitian kualitatif adalah melakukan

triangulasi. Triangulasi mengacu pada upaya mengambil sumber-sumber data

yang berbeda, dengan cara berbeda, untuk memperoleh kejelasan mengenai suatu

hal tertentu. Patton (1990) melihat konsep triangulasi diatas dalam kerangka yang

lebih luas. Triangulasi dapat dibedakan dalam :

a. Triangulasi data, yakni digunakannya variasi sumber-sumber data yang

berbeda. Variasi sumber-sumber data adalah keempat pasangan

pernikahan dini yang berada di daerah Maesan, Tamanan, Bangsalsari

dan Wirolegi.

b. Triangulasi peneliti, disertakannya beberapa peneliti atau evaluator yang

berbeda. Peneliti atau evaluator yang berbeda selain peneliti sendiri

adalah Dosen Pembimbing.

c. Triangulasi teori, digunakannya beberapa perspektif yang berbeda untuk

menginterpretasi data yang sama.

d. Triangulasi metode, dipakainya beberapa metode yang berbeda untuk

meneliti suatu hal yang sama. Metode yang digunakan adalah wawancara

dan observasi (Poerwandari, 2005: 197).

Metode Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

data kualitatif. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2005: 183) mengemukakan

bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan

berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai

tuntas dan datanya sampai jenuh. Aktifitas dalam analisa data yaitu: data

reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.

a. Reduksi data (data reduction). Mereduksi data berarti merangkum,

memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting,

dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi

akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti

20

untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Dalam mereduksi data,

setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Tujuan utama

dalam penelitian kualitatif adalah pada temuan. Oleh karena itu, kalau

peneliti dalam melakukan penelitian menemukan segala sesuatu yang

asing, belum memiliki pola, hal inilah yang harus dijadikan perhatian

peneliti dalam mereduksi data.

b. Penyajian data (data display). Setelah data direduksi, maka langkah

selanjutnya adalah menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif,

penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,

hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Tujuan dari penyajian

data ini adalah memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan

merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami

tersebut.

c. Penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verification). Langkah ketiga

dalam penelitian kualitatif menurut Miles and Huberman adalah

penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang

dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila ditemukan

bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data

berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap

awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti

kembali ke lapangan untuk mengupulkan data, maka kesimpulan yang

dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Dengan demikian

kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab

rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak,

karena seperti yang telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan

masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan

berkembang setelah peneliti berada dilapangan. Kesimpulan dalam

penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya

belum pernah ada.

21

B. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada keempat pasangan

yang menikah dini pada masyarakat Madura Pendhalungan dapat diketahui ada

tidaknya kematangan emosinya melalui cara mereka merespon konflik dalam

pernikahan.

1. Pasangan di Maesan

Cara mereka dalam merespon konflik yang dihadapi adalah berespon secara

langsung, meskipun pertengkaran yang mereka alami sering terjadi pada malam

hari. Hal ini mungkin dikarenakan pasangan tersebut masih mengalami masa

pernikahan selama 2 tahun, sehigga proses adaptasinya terhadap pernikahan masih

belum cukup lama. Begitupun ketika konflik, sehingga berespon secara langsung

yang menandakan mereka kurang mampu melihat situasi secara kritis terlebih

dahulu sebelum bereaksi secara emosional dan meledakkan emosinya sesuai

dengan ekspresi emosi saat itu. Katidakmatangan mereka secara emosi juga

terlihat selama proses interview. Informan D ketika menceritakan konflik yang

pernah terjadi dengan pasangannya menggunakan intonasi nada yang tinggi,

meskipun semula tidak, sesekali melirik merasa takut ada yang mendengar dan

memperegakan gerakan tangan menamparkan. Begitupun informan A selama

proses interview cenderung kurang menanggapi peneleti. Hal ini terlihat dari cara

bicaranya yang selalu tertawa dan menggerakan kaki.

2. Pasangan di Tamanan

Cara pasangan ini dalam merespon konflik yang mereka hadapi adalah dengan

mengalah. Membiarkan salah satu diantara mereka berespon terlebih dahulu tanpa

harus berespon juga. Hal ini menandakan pasangan tersebut dapat melihat situasi

secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi

bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak

matang, mengabaikan rangsangan yang dapat menimbulkan ledakan emosi.

Pasangan tersebut juga sudah melewati masa pernikahan yang lebih lama, yaitu 5

tahun. Sehingga proses belajar adaptasi mereka terhadap konflik pernikahan sudah

cukup banyak. Selama proses interview ini kedua informan cukup tenang

22

menaggapi pertanyaaan yang diajukan peneliti, mereka menggunakan intonasi

nada yang konsisten dan sesekali tersenyum pada peneliti.

3. Pasangan di Bangsalsari

Pasangan ini dalam merespon konflik yang mereka hadapi berbeda-beda, namun

pada akhirnya mereka mengkomunikasikannya bersama. Dalam merspon konflik

yang dihadapinya istri biasanya langsung menangis, baik itu masalah kecil

maupun besar. Hal ini merupakan memberikan reaksi emosional yang tidak stabil.

Sedangkan suami biasanya langsung mengkomunikasikan dengan istri secara

baik-baik. Hal ini menandakan adanya ciri kematangan emosi, yaitu memberikan

reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati

ke suasana hati lain seperti dalam periode sebelumnya. Respon istri ketika

bercerita tentang konflik yang pernah dialami oleh dirinya dan suami cenderung

menggunakan intonasi nada keras dan bergerak menirukan ekspresi saat dirinya

marah, seperti: menepuk-nepuk dada dan melotot.

4. Pasangan di Wirolegi

Pasangan ini dalam merespon konflik yang mereka hadapi juga berbeda-beda.

Dalam merespon konflik yang dihadapinya, istri biasanya langsung marah dan

bersikap diam hingga dia merasa puas. Hal ini merupakan meledakkan emosi

secara langsung dan kurang mampu melihat situasi secara kritis. Sedangkan suami

biasanya langsung mengkomunikasikan dengan istri secara baik-baik. Hal ini

menandakan adanya ciri kematangan emosi, yaitu memberikan reaksi emosional

yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati

lain seperti dalam periode sebelumnya. Namun ketika informan A menceritakan

konflik yang pernah dirinya hadapi dengan suami menggunakan intonasi nada

lirih sama seperti sebelum, tidak menirukan ekspresi menangis seperti yang

dihadapi sesungguhnya.

Kesimpulan yang didapatkan dari pembahasan diatas adalah:

Kematangan emosi pada dasarnya pasti akan dialami oleh semua individu

sesuai dengan kemampuannya dalam menyelesaikan setiap tugas perkembangan

sesuai dengan tahapannya. Tugas perkembangan yang telah terselesaikan sesuai

dengan tahapannya, akan menunjukkan bahwa individu tersebut mampu

23

menyesuaikan diri terhadap setiap perubahan yang memang harus dilaluinya.

Kriteria kesiapan menikah adalah tugas perkembangan yang harus dapat dilalui

oleh pasangan yang memutuskan untuk menikah, termasuk pasangan yang

menikah diusia dini. Pada penelitian ini didapatkan data bahwa pasangan yang

menikah diusia dini, tepatnya dibawah 20 tahun mengalami proses kematangan

emosi yang berbeda-beda. Pasangan di Maesan kurang memiliki kematangan

emosi, ini terlihat dari ketidakmampuan pasangan tersebut dalam mengendalikan

perasaan, yaitu ketika menghadapi konflik bereaksi secara langsung tanpa melihat

situasi secara kritis terlebih dahulu, begitupun pasangan di Bangsalsari.

Sedangkan pasangan di Tamanan dan Wirolegi memiliki kematangan emosi, ini

terlihat dari kemampuan mereka dalam mengendalikan perasaan. Kemampuan

mengendalikan perasaan merupakan kriteria pertama kesiapan individu untuk

menikah. Sehingga individu mampu tidak meledakkan emosi dihadapan orang

lain dan dapat melihat situasi secara kritis, serta memberikan reaksi emosional

yang stabil.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT.Rineka Cipta. Creswell, JW. 1998. Qualitative Inquiary and Research Design: Choosing among

Five Traditions. CA: Sage Publishing: Thousand oaks. Desparwati, Budi Dwi. 2004. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Dini dan

Implikasinya Terhadap Pendidikan Anak Dalam Keluarga. Disertasi tidak diterbitkan. Surakarta: FAI UMS.

Dewi, Ika Sari. 2006. Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal Yang

Bekerja. Disertasi tidak diterbitkan. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.

Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2007. Pernikahan Dini Resiko Tingkatkan

Kanker Servic (http:www.dinkes-kotasemarang.go.id, diakses 08-Maret-2008).

24

Fakhraini. 2007. Kesehatan. (www.harian-global.com, diakses 28 Desember 2007).

Hasanat, N. 1994. Apakah Perempuan Lebih Depresif dari laki-laki?. Laporan

Penelitian (tidak disertakan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Herina. 1991. Kematangan Emosi. (www.pikirdong.com, diakses 28 Desember

2007). Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. K. Yin, Robert. 2002. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: Rajawali Press. Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal. Bandung: Mandar Maju. Kompas. 2007. Pernikahan Dini Tingkatkan Resiko Kanker Servic, hlm. 5. Lone, P & Shrene, A. 1986. Working Woman:A Guide To Fitness And Health.

Toronto: The Mosby, Co. Majalah Gemari. April, 2002. Dampak Berat Pernikahan Dini, hlm. 12. Makawekes, Yulmia. 2008. Menggugat Praktik Traffiking

(http://www.satudunia.oneword.com, diakses 08 maret 2008). Meleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. Mujahid. 2001. Pernikahan Dini. Makalah disajikan dalam Seminar setengah hari,

STTL YLH, Yogyakarta, 23 September. Mutadin, Zainun. 2002. Penyesuaian Diri Remaja.

(www.rumahbelajarpsikologi.com). Poewandari, E Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Jakarta: LPSP3 UI. Rahayu, Iin Tri. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia. Sadarjoen, Sawitri Supardi. 2005. Konflik Marital. Bandung: Refika Aditama. Safaria dan Farni. 2007. Kematangan Emosi dan Kecenderungan MengalamiPost

Traumatc Disorder. Disertasi tidak diterbitkan. Universitas Ahmad Dahlan.

Santrock, John W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.

25

Saud, Hertog N. 2007. BKKBN Jabar. (http://www.etrida.wordpress.com. diakses 08 Maret 2008).

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2006. Psikologi Remaja. PT Rajagrafindo Persada:

Jakarta. Setyonaluri, dkk. 2005. Penulisan Laporan Hasil Temuan Survei Pemahaman

Kesehatan Reproduksi dan Perkawinan Usia Dini. Disertasi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Shofiyullah. 2007. Bahan Presentasi Pada Forum Rountable Disucussion on

Indonesian Local Wisdom. Makalah disajikan dalam presentasi Laboratorium Agama dan Budaya Lokal Fakultas Kalijaga Yogyakarta di Smart Hall Venue UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 28 April.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfa Beta. Undang-Undang Perkawinan Pasal 1 Tahun 1974 Tentang Dasar Perkawinan.

2005. Bandung: Fokus Media. Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 Tahun 1974 Tentang Syarat-Syarat

Perkawinan. 2005. Bandung: Fokus Media. Walgito, Bimo. 2000. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi

Offset. Winarno, Bambang. 2007. Cerita Tentang Tapal Kuda, Jawa Timur, (Online),

(http://bambangwinarno.multiply.com, diakses 20 Maret 2008).