Novita Dwi Ariyani - Studi Deskriptif Tentang Kematangan...
Transcript of Novita Dwi Ariyani - Studi Deskriptif Tentang Kematangan...
1
STUDI DESKRIPTIF TENTANG KEMATANGAN EMOSI PASANGAN
PERNIKAHAN DINI PADA SUKU MADURA PENDHALUNGAN
Novita Dwi Aryani, Nurlaela Widyarini, dan Yayuk Siti Nurhaqimah
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember
ABSTRAK Kematangan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
diri, menempatkan diri dan menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu. Idealnya kematangan emosi harus dimiliki oleh pasangan pernikahan dini. Sedangkan Pernikahan dini adalah menikah di usia muda atau remaja, tepatnya usia dibawah 20 tahun. Dalam penelitian ini Suku Madura Pendhalungan yaitu mereka yang tinggal utamanya di kawasan tapal kuda mulai Pasuruan sampai Banyuwangi, dan mayoritas di Probolinggo, Lumajang, Bondowoso dan Jember. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses kematangan emosi pasangan pernikahan dini pada Suku Madura Pendhalungan.
Desain penelitian menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian ini memusatkan diri secara intensif pada satu objek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus.
Sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik criterion sampling, yaitu individu yang menjadi partisipan haruslah individu yang mengalami fenomena yang sedang dieksplorasi sehingga mereka dapat mengungkapkan tentang apa yang mereka rasakan dengan tepat. Pertimbangan yang dipakai peneliti adalah pasangan yang tinggal di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Jember. Informan yang digunakan sebayak empat pasang yang menikah diusia dini. Meliputi satu pasang di Maesan, satu pasang di Tamanan, satu pasang di Bangsalsari, satu pasang di Wirolegi. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai metode tambahan. Pengambilan data dilakukan tanggal 03 Juni 2008 sampai dengan 28 Juni 2008, kemudian data diolah dengan cara analisa deskriptif mengikuti konsep yang diberikan oleh Miles dan Huberman.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah diperoleh proses kematangan emosi pasangan pernikahan dini pada Suku Madura Pendhalungan terbentuk dengan kemampuan pasangan dalam menjalani kesiapan pernikahan dan adanya proses belajar terhadap penyesuaian atau adaptasi dengan berbagai peran baru. Kata kunci : Kematangan emosi, pernikahan dini, Suku Madura Pendhalungan.
2
A. PENDAHULUAN
Dalam menjalani kehidupan, manusia memiliki kodrat-kodrat yang harus
dijalaninya. Kodrat tersebut antara lain lahir, menikah dan meninggal dunia.
Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia dibekali dorongan untuk
menarik perhatian lawan jenis guna mencari pasangan hidupnya. Seseorang mulai
mencari pasangan hidup ketika beranjak pubertas. Pubertas merupakan masa
pertama kali seseorang merasa tertarik dengan lawan jenisnya. Masa ini berawal
dari usia sekitar 12,5 – 14,5 tahun pada perempuan dan 14 – 16,5 tahun pada laki-
laki (Hurlock, 1980: 186). Masa berikutnya adalah pacaran, sebagai tanda adanya
komitmen awal dengan lawan jenis dan dilanjutkan dengan masa pernikahan.
Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang
di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang,
pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga merupakan
awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu yang berlainan
jenis serta lahirnya anak-anak (Papalia, Olds, & Feeldman, 1998).
Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pernikahan atau
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Undang-
Undang Perkawinan No. 7 tahun 1974 juga menyebutkan perkawinan hanya di
ijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan tersebut,
dapat diketahui bahwa batas minimal usia pernikahan adalah 19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita. Jika pernikahan dilakukan sebelum batas usia tersebut
maka pernikahan itu di kategorikan sebagai pernikahan dini.
Menurut Walgito (2000) dalam memasuki dunia perkawinan perlu adanya
kesiapan dari kedua belah pihak. Hal ini dipengaruhi oleh:
a. Faktor Fisiologis. Faktor fisiologis ini berkaitan dengan 3 hal yaitu segi
kesehatan, keturunan dan sexual fitness.
3
1. Kesehatan, bahwa keadaan kesehatan seseorang dalam hubungannya
dengan perkawinan merupakan satu faktor esensial dalam perkawinan.
2. Keturunan, masalah keturunan ini juga merupakan persoalan dalam
perkawinan, karena dalam perkawinan pasangan suami istri
menginginkan keturunan yang baik. Oleh karena itu masalah keturunan
ini menjadi hal yang perlu mendapat perhatian.
3. Sexual fitness, terkait dengan kemampuan individu dapat melakukan
hubungan seksual secara wajar atau tidak.
b. Faktor sosial ekonomi. Faktor ini perlu mendapat pertimbangan dalam
perkawinan, sekalipun ada beberapa pihak yang memandang hal ini bukanlah
merupakan suatu faktor yang mutlak, namun perlu dipertimbangkan sebelum
menikah.
c. Faktor agama dan kepercayaan. Dalam pernikahan faktor agama atau
kepercayan hendaknya menjadi perhatian pasangan, sebaiknya pasangan
memiliki agama yang sama. Memiliki kesamaan agama maka akan
meminimalkan munculnya perbedaan yang terkait dengan agama tersebut.
d. Faktor psikologis. Kedewasaan dalam sisi psikologis merupakan faktor yang
dituntut dalam perkawinan. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah
kematangan emosi, toleransi atau kesiapan untuk berkorban, sikap saling
pengertian, saling mengerti akan kebutuhan masing-masing pihak, dapat
saling memberi dan menerima kasih sayang, sikap saling mempercayai,
adanya keterbukaan dalam komunikasi, kesiapan diri untuk lepas dari orang
tua untuk hidup mandiri.
Ketentuan batasan umur yang telah di tetapkan oleh Undang-Undang
Perkawinan bila dilihat dari segi fisiologis seseorang umumnya telah dikatakan
matang secara fisiologis. Ini di tandai dengan adanya menarche pada wanita dan
polutio pada laki-laki ketika memasuki usia tersebut. Kemasakan tersebut
berkaitan dengan pengadaan hubungan seksual antar pasangan untuk
menghasilkan keturunan (Walgito, 2000:28) .
Kematangan secara fisiologis dalam pernikahan pada dasarnya harus pula
diikuti oleh kematangan secara psikologis. Namun kematangan fisiologis
4
seseorang belum tentu diikuti oleh kematangan secara psikologis. Pada individu
yang menikah dini dapat diketahui bahwa usia mereka termasuk pada awal masa
remaja. Pada masa tersebut individu dimungkinkan masih mengalami
ketidakstabilan emosi dan dalam psikologi perkembangan individu tersebut masih
berada dalam periode peralihan serta periode perubahan. Beralih dari masa kanak–
kanak akhir menjadi remaja yang akan mengalami tingkat perubahan dalam sikap
dan perilaku untuk mencari identitas diri.
Pernikahan dini merupakan sebuah istilah yang lahir dari komitmen moral
dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternatif adanya seks
pranikah yang terjadi dikalangan remaja. Secara psikologis terkadang pernikahan
di usia muda menimbulkan kekhawatiran tersendiri akan menghambat studi atau
rentannya konflik yang berujung dengan perceraian, karena kekurangsiapan
mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa dari segi usia.
Pernikahan di bawah umur kadangkala menimbulkan kekhawatiran bahwa
pasangan tersebut belum siap mengatasi pernak-pernik pertikaian yang akan
mereka jumpai, sehingga perceraian tidak terhindarkan. Fenomena tersebut
diperkuat dengan tingginya angka perceraian yang terjadi di Kabupaten Jember.
Angka perceraian yang tercatat di PA Jember pada tahun 2007 sebanyak 3.576
kasus (Sumber Pengadilan Agama Jember, 26 Mei 2008), sedangkan di PA
Bondowoso selama bulan januari sampai mei terdapat 537 kasus perceraian
(Sumber Pengadilan Agama Bondowoso, 12 Juni 2008). Diantara kasus-kasus
tersebut perceraian pasangan pernikahan dini termasuk salah satu kasus yang pelik
dikarenakan pasangan tersebut menikah dengan memanipulasi usia agar
mencukupi batas minimum usia pernikahan. Sebab utama terjadinya perceraian
adalah adanya konflik yang tidak mampu diselesaikan oleh pasangan tersebut. Hal
ini dimungkinkan pasangan pernikahan dini belum matang secara emosi (Sumber
PA Jember dan Bondowoso).
Ketidakmatangan secara emosi pada pasangan tentu berhubungan dengan
tingkat kedewasaan dalam mengatasi persoalan yang terkait dengan kehidupan.
Anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi
apabila pada akhir masa remaja mereka tidak “meledakkan” emosinya dihadapan
5
orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk
mengungkapkan emosinya, dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Petunjuk
kematangan emosi yang lain adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis
terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa
berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang (Hurlock,
1980: 213).
Berdasarkan fenomena yang ada di Kabupaten Jember terbentuknya
kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk
menjaga kelangsungan perkawinan. Menurut Green (2001), kematangan emosi
adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri, menempatkan diri, dan
menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu. Monks, dkk (1996)
menilai kematangan lebih ditekankan pada kemampuan untuk menyelesaikan
problem-problem pribadi untuk memperhitungkan pendapat orang lain terhadap
keinginan-keinginan individu sesuai dengan harapan masyarakat dan kemampuan
untuk mengungkapkan emosi yang tepat sehubungan dengan pengertian kita
terhadap orang lain.
Mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki perkawinan
cenderung lebih mampu mengelola perbedaan diantara pasangan, sehingga
mampu menyelesaikan konflik yang terjadi karena adanya perbedaan tersebut.
Tidak lagi bersifat defensif dan emosional, sehingga dapat mengkomunikasikan
arah dan tujuan rumah tangga secara bersama, baik dari segi ekonomi, sosial dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan anak. Namun ketika mereka tidak
memiliki kematangan emosi maka perbedaan tersebut akan memicu terjadinya
konflik. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesediaan untuk saling berbagi, saling
memaafkan dan saling menerima, sehingga akan meningkatkan angka perceraian
yang terjadi di usia muda, meskipun secara fisiologis mereka sudah matang.
Pernikahan dini umumnya terjadi pada masyarakat yang bersuku Madura.
Identitas ini menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam
sikap dan perilaku budaya mereka. Budaya Madura adalah budaya yang lekat
dengan tradisi religius. Mayoritas orang Madura memeluk agama Islam.
6
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan
stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik
madura memiliki kekhususan kultural yang tidak serupa dengan komunitas etnik
lain (Hasan Alwi, 2001: 563). Kekhususan kultural itu tampak antara lain pada
ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat figur
utama dalam kehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagaman. Keempat figur
itu adalah Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin Pemerintahan. Kepada figur utama
itulah kepatuhan hierarkis orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam
kehidupan sosial budaya mereka (Wiyata, 2003:1).
Bagi entitas etnik madura, kepatuhan hierarkis tersebut menjadi
keniscayaan untuk diaktualisasikan dalam praksis keseharian sebagai “aturan
normatif” yang mengikat. Pengabaian atau pelanggaran yang dilakukan secara
disengaja atas aturan itu menyebabkan pelakunya dikenakan sanksi sosial maupun
kultural. Pemaknaan etnografis demikian berwujud lebih lanjut pada ketiadaan
kesempatan dan ruang yang cukup untuk mengenyampingkan aturan normatif itu
dalam makna yang lebih luas dapat dinyatakan bahwa aktualisasi kepatuhan itu
dilakukan sepanjang hidupnya. Tidak ada kosakata yang lebih tepat untuk
menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan kepada
keempat figur tersebut (Farjon 1980; Kuntowijoyo 1980; de Jonge 1989).
Pernikahan dini pada suku Madura merupakan Budaya yang terus diyakini
hingga sekarang. Masyarakat suku Madura meyakini bahwa menikah dini
merupakan ajaran Rasullah SAW untuk menghindari perbuatan maksiat dan
adanya rasa bangga apabila anak gadisnya dapat menikah muda. Stereotip yang
berkembang pada masyarakat Madura adalah jika anak gadisnya dilamar oleh
seorang pemuda pada usia muda maka anak gadis tersebut tergolong gadis baik–
baik dan tidak akan menjadi perawan tua. Sedangkan laki–laki yang menikah di
usia muda diyakini masih memiliki semangat yang kuat untuk bekerja keras.
Pernikahan di usia muda dianggap mengikuti ajaran Rasulullah SAW, karena
kebanyakan pada suku Madura menyelesaikan pendidikannya di Pondok atau
Pesantren. Penggunaan istilah stereotip diartikan sebagai konsepsi mengenai sifat
7
atau karakter suatu kelompok etnik berdasarkan prasangka subjektif yang tidak
tepat oleh kelompok etnik lainnya (Alwi, 2001:1091).
Keterangan diatas di perkuat oleh pernyataan beberapa orang yang bersuku
Madura di Kecamatan Mayangan Probolinggo pada tanggal 11-12-2007 dan
Kecamatan Bangsalsari Jember pada tanggal 08-06-2008. Hasil wawancara yang
diperoleh tidak mengindikasikan bahwa kematangan emosi adalah hal yang patut
diperhatikan dalam mempersiapkan pernikahan, padahal kematangan emosi
adalah salah satu syarat bertahannya sebuah pernikahan menurut Rapaport (dalam
Duvall dan Miller, 1985).
Kematangan Emosi
Berdasarkan definisinya kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emotus
atau emover yang berarti mencerca atau menggerakkan (to stir up) yaitu sesuatu
yang mendorong terhadap dalam diri individu. Crow dan crow (Sobur, 2003)
mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang
berfungsi sebagai penyesuain dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai
kesejahteraan dan keselamatan individu. Emosi merupakan salah satu respon
fisiologis yang menimbulkan kecenderungan individu untuk bertindak dalam
usahanya memberi tanggapan terhadap gejala dan rangsangan yang ada di
sekitarnya.
Menurut Green (dalam Safaria & Farni, 2007: 15), kematangan emosi
adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri, menempatkan diri, dan
menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu. Sedangkan Monks, dkk
(1996) menilai kematangan lebih ditekankan pada kemampuan untuk
menyelesaikan problem-problem pribadi untuk memperhitungkan pendapat orang
lain terhadap keinginan-keinginan individu sesuai dengan harapan masyarakat dan
kemampuan untuk mengungkapkan emosi yang tepat sehubungan dengan
pengertian kita terhadap orang lain.
Young (dalam Herina, 1991: 23) menggunakan istilah kematangan dengan
kata kemasakan, yang berarti kemasakan emosi adalah kemampuan seseorang
dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya. Ditambahkan oleh Marcam
bahwa seseorang yang mempunyai ciri emosi yang sudah masak tidak cepat
8
terpengaruh oleh rangsang stimulus baik dari dalam maupun dari luar. Emosi yang
sudah matang akan selalu belajar menerima kritik, mampu menangguhkan respon-
responnya dan memiliki saluran sosial bagi energi emosinya, misalnya bermain,
melaksanakan hobinya, dsb (www.pikirdong.com, diakses jumat, 28-12-2007).
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kematangan
emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan
emosinya untuk menyesuaikan diri, menempatkan diri dan menghadapi berbagai
kondisi dengan suatu cara tertentu.
Ciri-ciri Kematangan Emosi
Mahmud (dalam Safaria & Farni, 2007: 16) menyatakan bahwa
kematangan emosi memiliki ciri-ciri antara lain :
a. Tidak “meledakkan” emosi dihadapan orang lain, melainkan mampu
mengekspresikan emosi pada saat yang lebih tepat dan wajar dalam
mengungkapkan emosinya sehingga lebih dapat diterima.
b. Dapat melihat situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara
emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak
atau orang yang tidak matang, mengabaikan rangsangan yang dapat
menimbulkan ledakan emosi.
c. Memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi
atau suasana hati ke suasana hati lain seperti dalam periode sebelumnya.
Adapun kriteria individu yang memiliki kemasakan emosi menurut Young
(dalam Herina, 1991: 25) :
a. Kemampuan untuk beradaptasi dengan realitas. Kemampuan yang
berorientasi pada diri individu tanpa membentuk mekanisme
pertahanan diri ketika konflik-konflik yang muncul mulai dirasakan
mengganggu perilakunya. Orang yang masak secara emosional melihat
suatu akar permasalahan berdasarkan fakta dan kenyataan dilapangan,
tidak menyalahkan orang lain atau hal-hal yang bersangkutan sebagai
salah satu faktor penghambat.
9
b. Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan. Perubahan
mendadak kadang membuat seseorang menjadi menutup diri, menjaga
jarak atau bahkan menghindari dari hal-hal yang berkisar lingkungan
barunya. Kemasakan emosi menandakan bahwa seseorang dapat begitu
cepat beradaptasi dengan hal-hal baru tanpa menjadikannya sebagai
tekanan atau stresor. Kemampuan ini dapat tumbuh sebagai bentuk
adaptasinya dengan lingkungan baru yang sengaja diciptakan untuk
mengurangi stres yang dapat berkembang dalam dirinya.
c. Dapat mengontrol gejala emosi yang mengarah pada kemunculan
kecemasan. Munculnya kepanikan berawal dari terkumpulnya
simpton-simpton yang memberikan radar akan adanya bahaya dari
luar. Penumpukan kadar rasa cemas berlebihan dapat memunculkan
kepanikan yang luar biasa. Orang yang mempunyai kemasakan emosi
dapat mengontrol gejala-gejala tersebut sebelum muncul kecemasan
pada dirinya.
d. Kemampuan untuk menemukan kedamaian jiwa dari memberi
dibandingkan dengan menerima. Semakin sehat tingkat kematangan
emosi seseorang, individu tersebut dapat menangkap suatu keindahan
dari memberi, ketulusan dalam membantu orang, membantu fakir
miskin, keterlibatan dalam masalah sosial, keinginan untuk membantu
orang lain, dsb.
e. Konsisten terhadap prinsip, janji dan keinginan untuk menolong orang
yang mengalami kesulitan. Orang yang matang secara emosi adalah
orang-orang yang telah menemukan suatu prinsip yang kuat dalam
hidupnya. Menghargai prinsip orang lain dan menghormati perbedaan-
perbedaan yang ada.
f. Dapat meredam instink negatif menjadi energi kreatif dan konstruktif.
Kematangan emosi yang dimiliki oleh individu akan dapat mengontrol
perilaku-perilaku impulsif yang dapat merusak energi yang dimiliki
oleh tubuh, individu dapat melakukan hal-hal yang bersifat positif
dibandingkan memenuhi nafsu yang dapat merusak dan bersifat
10
merusak. Mempunyai waktu yang lebih banyak untuk melakukan hal-
hal yang lebih berguna untuk dirinya dan orang lain.
g. Kemampuan untuk mencintai. Cinta merupakan energi seseorang
untuk bertahan dan menjadikannya lebih bergairah dalam menjalani
hidup. Tidak hanya antara cinta antara sesama manusia, pengalaman
spiritual, mencintai Tuhan merupakan keindahan bagi mereka yang
merasakan keterdekatan dengan Sang Ilahi.
Untuk mencapai kematangan emosi remaja harus belajar menggunakan
katarsis emosi guna menyalurkan emosinya. Adapun cara yang dapat dilakukan
adalah latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis.
Cara-cara ini dapat menyalurkan gejolak emosi yang timbul karena usaha
pengendalian ungkapan emosi, namun sikap sosial terhadap perilaku menangis
adalah kurang baik dibandingkan dengan sikap sosial terhadap perilaku tertawa,
kecuali bila tertawa hanya dilakukan bilamana memperoleh dukungan sosial
(Hurlock, 1980: 213).
Faktor-faktor Pencapaian Kematangan Emosi
Dalam proses pencapaiannya, kemasakan emosi dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Berikut ini akan dikemukakan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap pencapaian kemasakan emosi sebagai berikut (dalam Herina, 1991: 28) :
a. Faktor fisik
Dalam studi yang dilakukan oleh Davidson dan Gottileb ternyata ditemukan
adanya perbedaan tingkat perkembangan emosi maupun intelegensi antara wanita
yang belum mengalami menarche (pre-menarcheal girl). Wanita yang telah
mengalai masa menarche memiliki tingkat perkembangan emosi maupun
intelegensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang belum mengalami
masa menarche. Hal tersebut diakibatkan karena terjadinya perubahan hormonal
tubuh yang dimilikinya. Data studi lainnya dengan subjek yang berjenis kelamin
laki-laki, Mussen dan Jones menunjukkan hasil studinya bahwa anak laki-laki
yang terlambat masak secara fisik (physically retarded) ternyata menunjukkan
kebutuhan akan social-acceptance dan agresivitas yang tinggi bila dibandingkan
dengan anak laki-laki yang telah masak secara cepat, setelah subjek diperintahkan
11
untuk merating dari sembilan jenis kebutuhan yang disediakan. Hal ini
dikarenakan, anak laki-laki yang secara fisik terlambat masak memiliki rasa
insecure dan dependence yang lebih besar.
a. Pola-pola kontrol terhadap emosi. Livson dan Bronson berpendapat
bahwa dalam mencapai kematangan emosi, pola-pola kontrol emosi yang
ideal perlu dimiliki oleh individu, misalnya tidak melakukan represi-
represi emosi yang tidak perlu dan mengendalikan emosi dengan wajar
dan sesuai dengan harapan-harapan sosial.
b. Intelegensi. Faktor-faktor intelegensi berpengaruh terhadap persepsi diri,
self evaluation, atau penilaian (appraisal) terhadap orang lain dan situasi
lingkungan. Individu dengan intelegensi tinggi, kemungkinan akan
memperoleh insight dalam pemecahan masalah emosionalnya secara
lebih besar.
c. Jenis kelamin. Perbedaan hormonal maupun kondisi psikologis antara
laki-laki dan wanita menyebabkan perbedaan karakteristik emosi
diantara keduanya. Kahn menyatakan bahwa wanita mempunyai
kehangatan emosionalitas, sikap hati-hati dan sensitif serta kondisi yang
tinggi daripada laki-laki. Laki-laki lebih tinggi dalam hal stabilitas emosi
daripada wanita. Lone menerangkan penyebab wanita lebih memiliki
sifat emosionalitas daripada laki-laki. Hal tersebut terjadi karena wanita
memiliki kondisi emosi didasarkan peran sosial yang diberikan oleh
masyarakat, yaitu wanita harus mengontrol perilaku agresif dan
asertifnya, tidak seperti peran sosial laki-laki. Hal ini menyebabkan
wanita kurang dapat mengontrol lingkungannya, yang pada akhirnya
menimbulkan kecemasan-kecemasan.
d. Usia. Kemasakan emosi seseorang, perkembangannya seiring dengan
pertambahan usia. Hal ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi
oleh tingkat pertumbuhan dan kemasakan fisik-fisiologis daripada
seseorang. Sedangkan aspek fisik-fisiologis sudah dengan sendirinya
ditentukan oleh faktor usia. Tiap-tiap individu adalah berbeda (menurut
pendekatan ideografi). Faktor fisik-fisiologis juga belum tentu mutlak
12
sepenuhnya mempengaruhi perkembangan kemasakan emosi, karena
kemasakan emosi merupakan salah satu fenomena psikis. Tentunya
determinan psikis terhadap kecemasan emosi ini beragam, baik faktor
pola asuh keluarga, lingkungan sosial, pendidikan dan sebagainya.
Jelasnya individu pada usia yang sama belum tentu mencapai tahap
kemasakan emosi yang sama pula.
Pernikahan Dini
Sedangkan Pernikahan dini (Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al
Ijtimaa’i fi Al Islam) yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua,
hukumnya menurut syara’ adalah sunnah. Menurut Allan Gutmacher Institute
(dalam Setyonaluri, 2005: 1), definisi perkawinan dini atau early childbearing
yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang (istri atau suami) yang berusia di
bawah 19 tahun.
Menurut teori perkembangan (dalam Hurlock, 1980: 215) masa usia
menikah adalah saat usia dewasa awal yaitu 20-40 tahun atau usia 18-40 tahun.
Dengan kata lain, masa dewasa awal merupakan masa dimana seorang individu
mulai mengemban tugas menikah dan membina keluarga. Hal ini sejalan dengan
pendapat dari Havighurst yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang
menjadi karakteristik masa dewasa awal adalah mulai memilih pasangan hidup
dan mulai bekerja.
Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa
pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam
Undang-Undang Perkawinan No. 7 tahun 1974 juga menyebutkan perkawinan
hanya di ijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun.
Berdasarkan beberapa pengertian pernikahan dini diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa pernikahan dini mengandung pengertian : menikah di usia
muda atau remaja, tepatnya usia dibawah 20 tahun.
13
Kesiapan Menikah
Menikah dini pada hakikatnya dilakukan oleh mereka yang masih muda
dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Menurut hukum
yang berkaitan dengan menikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua
pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari
kondisi khusus, seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin
belum mampu memberi nafkah. Hukum umum tersebut yang terpenting adalah
kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan.
Kesiapan nikah dalam tinjauan fiqih paling tidak diukur dengan tiga hal :
a. Kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang
berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah,
seperti hukum (khitbah), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun akad
nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan rujuk.
Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain
hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan
yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakan.
b. Kesiapan materi atau harta, yang dimaksud harta disini ada dua
macam, yaitu harta sebagai mahar (lihat QS An Nisa : 4) dan harta
sebagai nafkah suami kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhan
pokok/primer bagi istri yang berupa sandang, pangan dan papan (lihat
QS Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6).
c. Kesiapan fisik atau kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu
maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki
(www.gaulislam.com, diakses rabu, 05-03-2008).
Sedangkan menurut Rapaport (dalam Dewi, 2006: 4), seseorang
dinyatakan siap untuk menikah apabila memenuhi kriteria :
a. Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.
b. Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang lain.
c. Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan
seksual.
d. Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim.
14
e. Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain.
f. Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.
g. Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan
harapan.
h. Bersedia bebagi rencana dengan orang lain.
i. Bersedia menerima keterbatasan orang lain.
j. Realistik terhadap karakteristik orang lain.
k. Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah
yang berhubungan dengan ekonomi.
l. Bersedia menjadi suami dan istri yang bertanggung jawab.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pernikahan Dini
Dalam masyarakat sering kita jumpai berbagai permasalahan yang dialami
manusia. Permasalahan yang dialami manusia karena adanya suatu tantangan atau
beban yang memaksa seseorang melakukan tindakan yang belum waktunya, salah
satunya yaitu pernikahan dini. Secara psikologis seseorang dikatakan telah
mampu berkeluarga apabila telah mencapai umur 19/20 tahun. Pernikahan tanpa
didasari kematangan emosional akan berpengaruh terhadap pasangan tersebut
dalam mendidik anaknya. Umumnya pernikahan dini terjadi di daerah pedesaan
dimana tingkat pendidikan masih tergolong rendah. Beberapa faktor yang memicu
adanya pernikahan dini antara lain :
• Keluarga
Di pedesaan pada umumnya masyarakatnya masih memegang teguh tradisi dan
adat istiadat yang terjadi di sekitar atau lingkungannya. Tradisi yang terjadi di
masyarakat pedesaan adalah menikahkan anaknya pada usia dini, jika salah satu
tetangga ada yang menikahkan anaknya maka orang tua akan mendesak atau
menyuruhnya agar segera menikah. Pernikahan dini pada suku Madura
merupakan Budaya yang terus diyakini hingga sekarang. Masyarakat suku
Madura meyakini bahwa menikah dini merupakan ajaran Rasullah SAW untuk
menghindari perbuatan maksiat dan adanya rasa kebanggaan apabila anak
gadisnya itu menikah muda (berdasarkan hasil wawancara awal pada salah satu
15
subjek yang bersuku Madura di Kecamatan Mayangan Probolinggo, tanggal 11-
12-2007, jam 11:30 – 12:45).
• Lingkungan
Sebagai seorang remaja gejolak emosi masih sangat sukar dikendalikan. Apa saja
yang dilakukan bukan berdasarkan akal pikiran tetapi berdasarkan luapan nafsu,
sehingga pengaruh lingkungan yang bersifat duniawi sangat berdampak dalam
kehidupan remaja (Fakhraini, 2007: 2). Peran remaja di lingkungan sekitar
dipengaruhi oleh teman sebaya. Adanya pernikahan dini yang menjadi trend di
lingkungannya mendorong remaja untuk menikah sebagai bentuk pengakuan
terhadap kelompok teman sebaya.
• Ekonomi
Adanya jeratan kemiskinan, membuat pernikahan dini merupakan salah satu jalan
untuk keluar dari keterpurukan ekonomi. Dengan menikahkan anak gadisnya,
orang tua beranggapan bahwa beban yang menjadi tanggung jawab keluarga
berkurang sebab akan beralih menjadi tanggung jawab suami (Jurnal perempuan,
2004: 52).
• Pendidikan
Tingkat pendidikan rendah yang dimiliki oleh orang tua membuat orang tua
kurang memperhatikan pentingnya pendidikan. Serta keterbatasan ekonomi
membuat orang tua tidak mampu melanjutkan tingkat pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi atau bahkan tidak di sekolahkan (Desparwati, 2004, 1). Ini membuat
kurangnya pengetahuan tentang apa saja yang perlu dipersiapkan dalam
membentuk sebuah ikatan pernikahan.
Dampak-dampak Pernikahan Dini
Menurut Edi Nur Hasmi, Psikolog yang juga Direktur Remaja dan
Kesehatan Reproduksi BKKBN (Majalah Gemari, 2002: 12) mengatakan bahwa
pernikahan dini atau menikah di usia muda memiliki dua dampak cukup berat
antara lain :
a. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu
kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan.
16
b. Dari segi mental, emosi remaja belum stabil. Kestabilan emosi umumnya
terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki
usia dewasa.
Kehamilan remaja merupakan suatu masalah yang kompleks, salah
satunya isu sosial adanya perang terhadap hak-hak aborsi. Kehamilan pada masa
remaja memperbesar resiko kesehatan bagi anak dan ibu. Bayi-bayi yang
dilahirkan oleh ibu-ibu remaja cenderung memiliki berat tubuh lahir yang rendah
(suatu penyebab utama kematian bayi), dan masalah-masalah neurologis serta
penyakit-penyakit semasa bayi.
Ibu-ibu remaja sering kali putus sekolah, gagal memperoleh pekerjaan,
dan menjadi bergantung pada bantuan kesejahteraan. Kurangnya pendidikan ini
memberi akibat-akibat negatif bagi perempuan-perempuan muda dan bagi anak-
anak mereka. Orang tua yang masih remaja cenderung memperoleh gaji rendah,
pekerjaan yang statusnya rendah atau menganggur (Santrock, 2002: 26).
Adapun hasil penelitian di beberapa kota di Indonesia tentang dampak
yang diakibatkan oleh adanya pernikahan diusia muda atau pernikahan dini,
diantaranya adalah :
- Dinas Kesehatan Semarang.
Pernikahan dini tingkatkan resiko kanker servic.
Ini dikemukakan oleh dr. Nugroho Kompono SpOG staff pengajar Obsgyn FK UI
dalam talkshow “pencegahan dan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara”
di Jakarta. Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena
kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel rahim belum matang, kalau terpapar
human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi
kanker. Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner.
Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia
muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahan disebut
metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia
yang merupakan awal dari kanker. Pada usia lebih tua, diatas 20 tahun, sel-sel
sudah matang, sehingga resiko makin kecil. (Kompas, 2007: 5)
17
- Ketua BKKBN Jawa Barat Drs. Hertog N. Saud, M.P.A.
Dampak perkawinan muda secara umum muncul juga dalam kaitan laju
perkembangan penduduk. Dengan asumsi banyaknya pasangan yang menikah
muda maka dengan otomatis tingkat kesuburanpun tinggi. Jawa Barat telah berasil
menekan laju perkembangan penduduk dengan program keluarga berencananya,
namun tetap saja Jawa Barat menduduki peringkat satu dalam total fertility rate
(rata-rata tingkat kesuburan). Jawa Barat menduduki peringkat satu diatas Jakarta,
Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Banten.
(http://etrida.wordpress.com/2007/03/)
- Faktor penyebab trafiking
Perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan
rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka, karena
perempuan yang menikah dini dan bercerai harus menghidupi diri mereka sendiri
bahkan keluarganya. Mereka juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah
sehingga mudah menjadi objek perdagangan perempuan (Makawekes dalam
www.stoptrafiking.or.id, diakses 08 Maret 2008).
A. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Salah satu jenis penelitian kualitatif deskriptif adalah berupa penelitian
dengan metode atau pendekatan studi kasus (case study). Penelitian ini
memusatkan diri secara intensif pada satu objek tertentu yang mempelajarinya
sebagai suatu kasus. Sebagai sebuah studi kasus maka data yang dikumpulkan
berasal dari berbagai sumber dan hasil penelitian ini hanya berlaku pada kasus
yang diselidiki. Lebih lanjut Arikunto (1986: 116) mengemukakan bahwa metode
studi kasus sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang
dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme
(individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit
Sampel Penelitian
Subjek dalam penelitian ini ditetapkan dengan menggunakan teknik
pengambilan sampel kriteria (criterion sampling). Pemilihan sampel kriteria
18
adalah yang menjadi partisipan haruslah individu yang mengalami fenomena yang
sedang dieksplorasi sehingga mereka dapat mengungkapkan tentang apa yang
mereka rasakan dengan tepat (Creswell, 1998: 58). Adapun subjek yang dipilih
sebagai sampel criteria dalam studi ini adalah masyarakat suku Madura
Pendhalungan yang melakukan pernikahan dini. Suku Madura Pendhalungan
yaitu mereka yang tinggal utamanya di kawasan tapal kuda mulai Pasuruan
sampai Banyuwangi, dan mayoritas di Probolinggo, Lumajang, Bondowoso dan
Jember.
Adapun pembatasan sampel berdasarkan kriteria sebagai berikut : menikah
diusia muda/remaja, tepatnya dibawah usia 20 tahun, suku Madura Pendhalungan,
usia pernikahan antara 2 sampai 5 tahun, untuk melihat proses adaptasi sebagai
suami atau istri, mempunyai anak, untuk melihat adanya peran baru sebagai orang
tua, tinggal di kawasan mayoritas, yaitu : 2 pasang Kabupaten Jember, dan 2
pasang Kabupaten Bondowoso.
Instrumen Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian kualitatif instrumen utama dari penelitian
adalah diri peneliti sendiri. Orang sebagai instrumen memiliki kemampuan untuk
dapat memutuskan secara luwes dalam menilai dan mengambil keputusan
terhadap suatu persoalan yang tengah diteliti (Moleong, 1990: 4-5). Sedangkan
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi
yang lebih menekankan metode wawancara secara mendalam (depth interview)
untuk memperoleh data secara akurat.
Teknik Pengambilan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan
observasi. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara semi-terstruktur
atau wawancara bebas terpimpin. Dalam wawancara bebas terpimpin ini terdapat
daftar pertanyaan (guide interview) yang harus dijawab oleh interviewee, tetapi
tidak berupa kalimat yang permanen atau mengikat (Rahayu, 2004: 79). Marshall
dan Rossman (1989: 62) juga mengemukakan bahwa teknik-teknik dasar yang
dipakai pada penelitian kualitatif untuk mengumpulkan data dengan menggunakan
metode wawancara secara mendalam (depth interviewing). Adapun alat bantu
19
yang digunakan sebagai pelengkap pengumpul data adalah tape recorder untuk
merekam pembicaraan selama proses interview berlangsung.
Keabsahan Data
Generabilitas dan kredibilitas penelitian kualitatif adalah melakukan
triangulasi. Triangulasi mengacu pada upaya mengambil sumber-sumber data
yang berbeda, dengan cara berbeda, untuk memperoleh kejelasan mengenai suatu
hal tertentu. Patton (1990) melihat konsep triangulasi diatas dalam kerangka yang
lebih luas. Triangulasi dapat dibedakan dalam :
a. Triangulasi data, yakni digunakannya variasi sumber-sumber data yang
berbeda. Variasi sumber-sumber data adalah keempat pasangan
pernikahan dini yang berada di daerah Maesan, Tamanan, Bangsalsari
dan Wirolegi.
b. Triangulasi peneliti, disertakannya beberapa peneliti atau evaluator yang
berbeda. Peneliti atau evaluator yang berbeda selain peneliti sendiri
adalah Dosen Pembimbing.
c. Triangulasi teori, digunakannya beberapa perspektif yang berbeda untuk
menginterpretasi data yang sama.
d. Triangulasi metode, dipakainya beberapa metode yang berbeda untuk
meneliti suatu hal yang sama. Metode yang digunakan adalah wawancara
dan observasi (Poerwandari, 2005: 197).
Metode Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2005: 183) mengemukakan
bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai
tuntas dan datanya sampai jenuh. Aktifitas dalam analisa data yaitu: data
reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.
a. Reduksi data (data reduction). Mereduksi data berarti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting,
dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti
20
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Dalam mereduksi data,
setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Tujuan utama
dalam penelitian kualitatif adalah pada temuan. Oleh karena itu, kalau
peneliti dalam melakukan penelitian menemukan segala sesuatu yang
asing, belum memiliki pola, hal inilah yang harus dijadikan perhatian
peneliti dalam mereduksi data.
b. Penyajian data (data display). Setelah data direduksi, maka langkah
selanjutnya adalah menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif,
penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Tujuan dari penyajian
data ini adalah memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan
merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami
tersebut.
c. Penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verification). Langkah ketiga
dalam penelitian kualitatif menurut Miles and Huberman adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila ditemukan
bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data
berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap
awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti
kembali ke lapangan untuk mengupulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Dengan demikian
kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab
rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak,
karena seperti yang telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan
masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan
berkembang setelah peneliti berada dilapangan. Kesimpulan dalam
penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya
belum pernah ada.
21
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada keempat pasangan
yang menikah dini pada masyarakat Madura Pendhalungan dapat diketahui ada
tidaknya kematangan emosinya melalui cara mereka merespon konflik dalam
pernikahan.
1. Pasangan di Maesan
Cara mereka dalam merespon konflik yang dihadapi adalah berespon secara
langsung, meskipun pertengkaran yang mereka alami sering terjadi pada malam
hari. Hal ini mungkin dikarenakan pasangan tersebut masih mengalami masa
pernikahan selama 2 tahun, sehigga proses adaptasinya terhadap pernikahan masih
belum cukup lama. Begitupun ketika konflik, sehingga berespon secara langsung
yang menandakan mereka kurang mampu melihat situasi secara kritis terlebih
dahulu sebelum bereaksi secara emosional dan meledakkan emosinya sesuai
dengan ekspresi emosi saat itu. Katidakmatangan mereka secara emosi juga
terlihat selama proses interview. Informan D ketika menceritakan konflik yang
pernah terjadi dengan pasangannya menggunakan intonasi nada yang tinggi,
meskipun semula tidak, sesekali melirik merasa takut ada yang mendengar dan
memperegakan gerakan tangan menamparkan. Begitupun informan A selama
proses interview cenderung kurang menanggapi peneleti. Hal ini terlihat dari cara
bicaranya yang selalu tertawa dan menggerakan kaki.
2. Pasangan di Tamanan
Cara pasangan ini dalam merespon konflik yang mereka hadapi adalah dengan
mengalah. Membiarkan salah satu diantara mereka berespon terlebih dahulu tanpa
harus berespon juga. Hal ini menandakan pasangan tersebut dapat melihat situasi
secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi
bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak
matang, mengabaikan rangsangan yang dapat menimbulkan ledakan emosi.
Pasangan tersebut juga sudah melewati masa pernikahan yang lebih lama, yaitu 5
tahun. Sehingga proses belajar adaptasi mereka terhadap konflik pernikahan sudah
cukup banyak. Selama proses interview ini kedua informan cukup tenang
22
menaggapi pertanyaaan yang diajukan peneliti, mereka menggunakan intonasi
nada yang konsisten dan sesekali tersenyum pada peneliti.
3. Pasangan di Bangsalsari
Pasangan ini dalam merespon konflik yang mereka hadapi berbeda-beda, namun
pada akhirnya mereka mengkomunikasikannya bersama. Dalam merspon konflik
yang dihadapinya istri biasanya langsung menangis, baik itu masalah kecil
maupun besar. Hal ini merupakan memberikan reaksi emosional yang tidak stabil.
Sedangkan suami biasanya langsung mengkomunikasikan dengan istri secara
baik-baik. Hal ini menandakan adanya ciri kematangan emosi, yaitu memberikan
reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati
ke suasana hati lain seperti dalam periode sebelumnya. Respon istri ketika
bercerita tentang konflik yang pernah dialami oleh dirinya dan suami cenderung
menggunakan intonasi nada keras dan bergerak menirukan ekspresi saat dirinya
marah, seperti: menepuk-nepuk dada dan melotot.
4. Pasangan di Wirolegi
Pasangan ini dalam merespon konflik yang mereka hadapi juga berbeda-beda.
Dalam merespon konflik yang dihadapinya, istri biasanya langsung marah dan
bersikap diam hingga dia merasa puas. Hal ini merupakan meledakkan emosi
secara langsung dan kurang mampu melihat situasi secara kritis. Sedangkan suami
biasanya langsung mengkomunikasikan dengan istri secara baik-baik. Hal ini
menandakan adanya ciri kematangan emosi, yaitu memberikan reaksi emosional
yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati
lain seperti dalam periode sebelumnya. Namun ketika informan A menceritakan
konflik yang pernah dirinya hadapi dengan suami menggunakan intonasi nada
lirih sama seperti sebelum, tidak menirukan ekspresi menangis seperti yang
dihadapi sesungguhnya.
Kesimpulan yang didapatkan dari pembahasan diatas adalah:
Kematangan emosi pada dasarnya pasti akan dialami oleh semua individu
sesuai dengan kemampuannya dalam menyelesaikan setiap tugas perkembangan
sesuai dengan tahapannya. Tugas perkembangan yang telah terselesaikan sesuai
dengan tahapannya, akan menunjukkan bahwa individu tersebut mampu
23
menyesuaikan diri terhadap setiap perubahan yang memang harus dilaluinya.
Kriteria kesiapan menikah adalah tugas perkembangan yang harus dapat dilalui
oleh pasangan yang memutuskan untuk menikah, termasuk pasangan yang
menikah diusia dini. Pada penelitian ini didapatkan data bahwa pasangan yang
menikah diusia dini, tepatnya dibawah 20 tahun mengalami proses kematangan
emosi yang berbeda-beda. Pasangan di Maesan kurang memiliki kematangan
emosi, ini terlihat dari ketidakmampuan pasangan tersebut dalam mengendalikan
perasaan, yaitu ketika menghadapi konflik bereaksi secara langsung tanpa melihat
situasi secara kritis terlebih dahulu, begitupun pasangan di Bangsalsari.
Sedangkan pasangan di Tamanan dan Wirolegi memiliki kematangan emosi, ini
terlihat dari kemampuan mereka dalam mengendalikan perasaan. Kemampuan
mengendalikan perasaan merupakan kriteria pertama kesiapan individu untuk
menikah. Sehingga individu mampu tidak meledakkan emosi dihadapan orang
lain dan dapat melihat situasi secara kritis, serta memberikan reaksi emosional
yang stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT.Rineka Cipta. Creswell, JW. 1998. Qualitative Inquiary and Research Design: Choosing among
Five Traditions. CA: Sage Publishing: Thousand oaks. Desparwati, Budi Dwi. 2004. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Dini dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan Anak Dalam Keluarga. Disertasi tidak diterbitkan. Surakarta: FAI UMS.
Dewi, Ika Sari. 2006. Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal Yang
Bekerja. Disertasi tidak diterbitkan. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2007. Pernikahan Dini Resiko Tingkatkan
Kanker Servic (http:www.dinkes-kotasemarang.go.id, diakses 08-Maret-2008).
24
Fakhraini. 2007. Kesehatan. (www.harian-global.com, diakses 28 Desember 2007).
Hasanat, N. 1994. Apakah Perempuan Lebih Depresif dari laki-laki?. Laporan
Penelitian (tidak disertakan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Herina. 1991. Kematangan Emosi. (www.pikirdong.com, diakses 28 Desember
2007). Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. K. Yin, Robert. 2002. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: Rajawali Press. Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal. Bandung: Mandar Maju. Kompas. 2007. Pernikahan Dini Tingkatkan Resiko Kanker Servic, hlm. 5. Lone, P & Shrene, A. 1986. Working Woman:A Guide To Fitness And Health.
Toronto: The Mosby, Co. Majalah Gemari. April, 2002. Dampak Berat Pernikahan Dini, hlm. 12. Makawekes, Yulmia. 2008. Menggugat Praktik Traffiking
(http://www.satudunia.oneword.com, diakses 08 maret 2008). Meleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Mujahid. 2001. Pernikahan Dini. Makalah disajikan dalam Seminar setengah hari,
STTL YLH, Yogyakarta, 23 September. Mutadin, Zainun. 2002. Penyesuaian Diri Remaja.
(www.rumahbelajarpsikologi.com). Poewandari, E Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Jakarta: LPSP3 UI. Rahayu, Iin Tri. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia. Sadarjoen, Sawitri Supardi. 2005. Konflik Marital. Bandung: Refika Aditama. Safaria dan Farni. 2007. Kematangan Emosi dan Kecenderungan MengalamiPost
Traumatc Disorder. Disertasi tidak diterbitkan. Universitas Ahmad Dahlan.
Santrock, John W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
25
Saud, Hertog N. 2007. BKKBN Jabar. (http://www.etrida.wordpress.com. diakses 08 Maret 2008).
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2006. Psikologi Remaja. PT Rajagrafindo Persada:
Jakarta. Setyonaluri, dkk. 2005. Penulisan Laporan Hasil Temuan Survei Pemahaman
Kesehatan Reproduksi dan Perkawinan Usia Dini. Disertasi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Shofiyullah. 2007. Bahan Presentasi Pada Forum Rountable Disucussion on
Indonesian Local Wisdom. Makalah disajikan dalam presentasi Laboratorium Agama dan Budaya Lokal Fakultas Kalijaga Yogyakarta di Smart Hall Venue UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 28 April.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfa Beta. Undang-Undang Perkawinan Pasal 1 Tahun 1974 Tentang Dasar Perkawinan.
2005. Bandung: Fokus Media. Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 Tahun 1974 Tentang Syarat-Syarat
Perkawinan. 2005. Bandung: Fokus Media. Walgito, Bimo. 2000. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi
Offset. Winarno, Bambang. 2007. Cerita Tentang Tapal Kuda, Jawa Timur, (Online),
(http://bambangwinarno.multiply.com, diakses 20 Maret 2008).