Nota Pembelaan

download Nota Pembelaan

of 12

Transcript of Nota Pembelaan

Nota Pembelaan Dalam Perkara Pidana No: 262/PID. B/2003/PN Tsm Atas Nama Sdr. Sukimin bin SurimMajelis Hakim yang kami hormati Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati Serta saudara-saudaraku tercinta kaum Petani yang haus akan keadilan Terlebih dahulu kami selaku Tim Pembela Umum Lembaga Bantuan Hukum Kota Malang (LBH Kota Malang), untuk dan atas nama sdr. Sukimin bin Surim mengucapkan terima kasih kepada majelis hakim yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mengajukan nota pembelaan ini. Adapun nota pembelaan ini kami buat dengan sistematika sebagai berikut: I. Pendahuluan II. Analisa Fakta 1. Analisa Keterangan Saksi 2. Analisa Alat Bukti III. Analisa Hukum 1. Analisa Terhadap UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria 2. Analisa Terhadap Peraturan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Kehutanan Dan Sengketa Kehutanan 3. Analisa Terhadap Tuntutan Jaksa Penuntut Umum IV. Kesimpulan V. Penutup

I. Pendahuluan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati serta seluruh Pencinta Keadilan yang kami cintai. Setelah melewati tahapan-tahapan persidangan yang cukup melelahkan ini, tiba waktunya bagi kami untuk menjelaskan seluruh fakta hukum yang muncul dalam persidangan yang terhormat dan mulia ini. Seperti yang telah kita pahami bersama bahwa dalam 58 tahun 5 bulan 3 hari perjalanan sejarah Republik Indonesia, masyarakat khususnya kaum petani belum pernah menjadi subyek utama dari derap pembangunan di negeri yang kita cintai ini. Masyarakat Indonesia khususnya kaum petani selalu menjadi obyek atau korban utama dari derap pembangunan di Indonesia ini. Pemerintah Negara Republik Indonesia lebih menyukai

untuk memberikan kesejahteraan pada segelintir orang yang kebetulan menguasai sebagian besar kekayaan dari negeri ini. Pemberian konsesi-konsesi pertambangan dan pemberian konsesi kehutanan seperti Hak Penguasaan Hutan (HPH) kepada para pengusaha dengan cepat telah meminggirkan sekaligus memiskinkan masyarakat yang telah lebih dulu berdiam di wilayah tersebut, pemberian konsesi dan berbagai hak penguasaan lahan kepada para pengusaha telah terbukti merusak ekosistem yang ada, kita bisa melihat banyak contoh soal ini antara lain kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan di wilayah konsesi HPH, kerusakan lingkungan hidup akibat adanya pertambangan di Papua Barat dan Aceh serta terakhir peristiwa longsor yang terjadi di Pacet-Jawa Timur dan Mandalawangi Kabupaten Garut yang ironisnya justru terletak di kawasan hutan yang menurut Perum Perhutani berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Tetapi, pertanyaan yang besar muncul, adakah dari para pengusaha tersebut termasuk Perum Perhutani dibawa dan dihadapkan oleh sdr. Jaksa Penuntut Umum ke depan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang telah merugikan masyarakat banyak? Maka jawaban yang selalu muncul adalah TIDAK, karena tidak ada satupun dari mereka yang melakukan kerusakan terhadap lingkungan hidup pernah dihadapkan oleh sdr. Jaksa Penuntut Umum ke depan Pengadilan yang terhormat dan mulia ini. Sdr. Jaksa Penuntut Umum pada kenyataannya lebih menyukai untuk membawa, menghadapkan, dan melakukan tuntutan hukum terhadap saudara-saudara kami masyarakat petani yang notabene lemah, miskin dan buta hukum itu. Pemerintahan Soekarno pada 1960 telah menyadari bahwa pengusaan lahan yang berlebihan di tangan segelintir orang dan atau badan usaha dapat membahayakan dan mengancam kepentingan serta kelangsungan hidup masyarakat banyak, untuk itu pemerintahan Soekarno mengeluarkan sebuah UU yang menjanjikan adanya Reformasi Agraria yang akan memberikan keadilan atas penguasaan tanah yaitu UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA. Tetapi UUPA ini tidak pernah dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintah. Pemerintah malah mengeluarkan kebijakan-kebijakan sektoral mengenai agraria yang hanya menguntungkan para pemodal besar seperti halnya UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang kemudian menutup rapat akses petani terhadap sumber-sumber agraria dan memaksa sdr. Jaksa Penuntut Umum menghadapkan sdr. Sukimin bin Surim ke depan persidangan ini. Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati serta semua orang yang merindukan Keadilan yang kami cintai, kasus yang terjadi saat ini berawal dari sengketa pertanahan antara Perum Perhutani dengan masyarakat setempat. Perum Perhutani sampai saat ini belum pernah menunjukkan alas hak pengelolaan hutan yang sah kepada masyarakat. Sehingga adalah ganjil ketika Perum Perhutani yang tidak pernah dapat atau setidak-tidaknya belum dapat membuktikan hak atas pengelolaan suatu lahan kemudian melakukan penangkapan dan menghadapkan sdr. Sukimin bin Surim ke depan persidangan ini. Oleh karena itu seharusnya sengketa perdatalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu sehingga tidak ada keraguan sedikitpun tentang siapakah yang berhak atas lahan yang disengketakan tersebut.

Dari keterangan diatas telah jelas sebenarnya, persoalan hukum manakah yang harus diselesaikan terlebih dahulu karena status lahan tersebut masih dalam sengketa. Akan tetapi Perum Perhutani bersama-sama dengan sdr. Jaksa Penuntut Umum telah bertindak jauh dengan hanya mendasarkan klaim ilegal dari Perum Perhutani atas lahan di blok Cibadodon dan hari ini kita melihat bahwa Perum Perhutani bersama-sama dengan sdr. Jaksa Penuntut Umum malah melakukan penangkapan-penangkapan yang menjerat, menghadapkan, dan melakukan tuntutan hukum kepada sdr. Sukimin bin Surim ke depan persidangan ini. II. Analisa Fakta Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati, dan semua orang yang merindukan keadilan yang kami cintai, Sdr. Jaksa Penuntut Umum dengan sengaja telah mengabaikan beberapa hal yang cukup penting seperti proses penyelidikan dan penyidikan yang berlangsung dengan mengabaikan aturan-aturan yang telah ada di KUHAP sehingga hak-hak tersangka sebagaimana yang telah dijamin dan diatur dalam KUHAP terabaikan dan proses pengumpulan alat bukti yang penuh rekayasa dan tergesa-gesa. Sehingga secara substansi mengandung rekayasa hukum yang dengan sengaja mengabaikan akses masyarakat terhadap keadilan (access to justice). Untuk itu, terlebih dahulu kami menolak saksi-saksi dan atau keterangan saksi yang diajukan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum, karena Sdr. Jaksa Penuntut Umum telah mengabaikan kualifikasi saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 jo Pasal 185 ayat 5 KUHAP. Kami juga menolak keterangan ahli yang diajukan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum, karena saksi tersebut tidak pernah diadakan uji kepatutan (fit and proper test) dan uji kelayakan (due diligence) di depan persidangan dan independensinya kami ragukan karena yang bersangkutan adalah karyawan Perum Perhutani yang nota bene mempunyai kepentingan langsung terhadap persidangan ini. Berdasarkan hal-hal yang telah diungkapkan diatas, maka kami akan merinci fakta-fakta yang pada pokoknya terungkap di persidangan sebagai berikut. 1. Keterangan Saksi Edi Dimyati bin Encud (dibawah sumpah) Saksi adalah pegawai Perum Perhutani dan jabatannya sebagai KRPH Cikatomas Saksi mengetahui adanya penebangan pada Rabu 6 Agustus 2003 seluas 16 Ha dan satu minggu sesudahnya bersama-sama Anda Juanda bin Naam mendatangi lokasi dan melihat kayu-kayu acacia mangium yang telah ditebang Saksi tidak mengetahui siapa yang menebang kayu acacia mangium tersebut Saksi baru mengetahui Sdr. Sukimin bin Surim yang menebang kayu ketika diperiksa dan diberitahu oleh Kepolisian Sektor Cikatomas Saksi memperkirakan jumlah kerugian Perum Perhutani sebesar Rp. 133.762.000,00 Saksi memperkirakan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 2600 pohon. Saksi mengetahui ada tanah masyarakat di sekitar hutan (tanah enclave) seluas 5-6 Ha 2. Keterangan Saksi Anda Juanda bin Naam (dibawah sumpah)

-

-

Saksi adalah pegawai Perum Perhutani dan mempunyai jabatan sebagai Polter RPH Cikatomas Saksi mengetahui adanya penebangan pada Rabu 6 Agustus 2003 seluas 16 Ha dan satu minggu sesudahnya bersama-sama Edi Dimyati bin Encud mendatangi lokasi dan melihat kayu-kayu acacia mangium yang telah ditebang Saksi tidak mengetahui siapa yang menebang kayu acacia mangium tersebut Saksi baru mengetahui Sdr. Sukimin bin Surim yang menebang kayu ketika diperiksa dan diberitahu oleh Kepolisian Sektor Cikatomas Saksi memperkirakan jumlah kerugian Perum Perhutani sebesar Rp.133.762.000,00

3. Keterangan Ahli Cecep Darso bin Eman (di bawah sumpah) Saksi adalah pegawai Perum Perhutani Saksi menyatakan bahwa benar wilayah kehutanan di Blok CibadodonPetak 48 G Kp. Sinagar Desa Sindangasih Kecamatan Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya adalah tanah milik negara berdasarkan UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan yang pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani Saksi menyatakan bahwa benar wilayah kehutanan di Blok Cibadodon Petak 48 G Kp. Sinagar Desa Sindangasih Kecamatan Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya adalah wilayah kerja Perum Perhutani berdasarkan Pasal 9 PP No 30 Tahun 2003 dan wilayah tersebut adalah hutan produksi berdasarkan PP No 2 Tahun 1978 Saksi baru mengetahui Sdr. Sukimin bin Surim menebang 500 pohon di Kepolisian Sektor Cikatomas.

-

-

4. Keterangan Ahli Marolop Simbolon, SH (dibawah sumpah) Saksi adalah pegawai Perum Perhutani sebagai Ajun Administrasi Saksi menyatakan bahwa benar wilayah kehutanan di Blok Cibadodon Petak 48 G Kp. Sinagar Desa Sindangasih Kecamatan Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya adalah tanah milik negara berdasarkan UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan yang pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani Saksi menyatakan bahwa benar wilayah kehutanan di Blok Cibadodon Petak 48 G Kp. Sinagar Desa Sindangasih Kecamatan Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya adalah wilayah kerja Perum Perhutani berdasarkan Pasal 9 PP No 30 Tahun 2003 dan wilayah tersebut adalah hutan produksi berdasarkan PP No 2 Tahun 1978 Saksi menyatakan bahwa benar Berita Acara Tata Batas dibuat pada 1925 (masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda) dan tidak ada batas waktunya

-

-

5. Keterangan Sdr. Sukimin bin Surim Sdr. Sukimin bin Surim mengakui perbuatan yang dilakukannya di Kepolisian Sektor Cikatomas karena dipaksa oleh Polisi yang bernama Rahmat Santosa

-

Sdr. Sukimin bin Surim menyatakan bahwa benar menebang pohon untuk membuka sawah di satu lokasi sekira 200 bata dengan menggunakan mesin senso Sdr. Sukimin bin Surim tidak menghitung jumlah pohon yang ditebang

6. Barang Bukti Sdr. Sukimin bin Surim menyatakan bahwa benar mesin senso yang ditunjukkan dalam persidangan ini adalah mesin senso miliknya. Majelis Hakim dan saudara Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati dan semua orang yang merindukan keadilan sosial tegak di Indonesia yang kami cintai, sebelum melangkah lebih jauh, kami ingin menegaskan bahwa perkara pidana yang telah menyeret sdr. Sukimin bin Surim ke depan persidangan ini sangat terkait dengan aspek pengusaan lahan di kawasan blok Cibadodon Kp. Sinagar Desa Sindangasih, Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya yang diklaim secara melawan hukum (onrechtmatige) oleh Perum Perhutani. Untuk itu, maka kami ingin mengajak agar semua orang yang hadir di persidangan ini untuk memahami dengan terang terhadap semua aspek hukum agraria yang berkaitan dengan perkara ini. 1. Analisa Terhadap UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Kehadiran UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian lebih dikenal dengan UUPA merupakan amanat dari Pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa:Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ketentuan pasal ini secara jelas menyatakan penghapusan domein veklaring yang berlaku sejak jaman pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga telah jelas bahwa negara tidak akan dan tidak pernah mempunyai hak milik atas tanah. Akibat hukum dari adanya Pasal 33 ayat (3) UUD RI ini adalah bahwastatus hukum atau alas hak penguasaan lahan pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berdasarkan domein veklaring menjadi hapus dengan sendirinya. Untuk itu Pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 ini kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam UUPA tentang hal-hal yang dimaksud atas Hak Menguasai Negara tersebut. Oleh karena itu dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA mengatur tentang wewenang dari Hak Menguasai Negara yang dimaksud oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD Republik Indonesia, yaitu :a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 2 UUPA, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 14 UUPA mengenai kewajiban pemerintah untuk membuat rencana umum untuk peruntukan dan penggunaan, bumi, air, dan ruang

angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Pasal 14 UUPA menjelaskan bahwa:(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya: a. untuk keperluan Negara, b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lainlain kesejahteraan; d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. (2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. (3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.

Kiranya telah jelas bahwa, negara tidak pernah mempunyai hak milik atas suatu tanah sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD RI jo Pasal 2 ayat (1) UUPA. Untuk itu dalam rangka Hak Menguasai Negara tersebut, Pemerintah untuk keperluan negara diwajibkan membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan dari bumi, air, dan ruang angkasa serta menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan bumi, air, dan ruang angkasa yang kemudian dilimpahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah setempat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b jo Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UUPA Setelah 41 tahun diundangkannya UUPA ini, ternyata kegiatan-kegiatan yang diperintahkan dalam UUPA ini tidak berjalan dengan baik dan banyak terjadi sengketa agraria antara masyarakat dengan badan usaha yang mengelola perkebunan atau kehutanan serta ditambah lagi tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan soal agraria. Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang terbitnya Ketetapan MPR-RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam seperti yang disebutkan dalam konsideran Menimbang huruf c;bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya serta menimbulkan konflik

dan dalam huruf dbahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan

Ketetapan tersebut juga mengatur tentang beberapa prinsip yang antara lain dijelaskan dalam Pasal 5 huruf fMewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharan sumber daya agraria dan sumber daya alam

Kemudian lebih lanjut ditegaskan tentang arah pembaruan agraria yang dijelaskan dalam Pasal 6 angka 1 huruf a sampai dengan huruf e yang antara lain melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan, penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah yang berkeadilan, menyelenggarakan pendataan pertanahan, dan penyelesaian konflik-konflik agraria. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam pada 2001, seharusnya pemerintah terlebih dahulu melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di bidang agraria termasuk menyelesaikan konflikkonflik agraria yang sedang terjadi akibat masih diteruskannya penguasaan lahan yang berdasarkan pada domein veklaring pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda serta ketimpangan struktur penguasaan lahan. 2.Analisa Terhadap Peraturan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Kehutanan Dan Sengketa Kehutanan Majelis Hakim dan sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati dan semua saudara-saudara kami yang merindukan keadilan yang kami cintai, sudah terang bagi kita sekarang tentang penghapusan status hukum atau alas hak penguasaan lahan yang berdasarkan domein veklaring yang ditetapkan pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, kami ingin mengingatkan kepada Majelis Hakim yang terhormat dan menyatakan dengan tegas kepada sdr. Jaksa Penuntut Umum bahwa UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak bisa dipahami dan dibaca secara terpisah dengan ketentuan-ketentuan dasar yang menjadi payung di atasnya. Bahwa Hak Menguasai Negara atas wilayah hutan mendapatkan pengaturannya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD RI jo Pasal 2 ayat (2) UUPA jo Pasal 4 ayat (1) UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Untuk itu dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b menegaskan penguasaan hutan oleh negara memberi kewajiban bagi pemerintah untuk antara lain untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan. Penetapan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan adalah salah satu kewajiban pemerintah dalam hal pengurusan hutan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa penetapan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan harus melalui tahapan kegiatan perencanaan kawasan kehutanan, inventarisasi hutan dan pengukuhan kawasan hutan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a jo Pasal 12 huruf a jo Pasal 14 jo Pasal 15 ayat 1 huruf a UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 13 jo Pasal 14 ayat (1) UU No 41

tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa tanpa adanya inventarisasi kawasan hutan maka pengukuhan kawasan hutan tidak dapat dilakukan. Sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas bahwa sehubungan dengan hapusnya domein veklaring, penetapan kawasan hutan berdasarkan Berita Acara Tata Batas (BATB) yang dilakukan pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, secara politis dan sosiologis, menjadi hapus dengan sendirinya pada saat proklamasi kemerdekaan RI dan disahkannya UUD RI pada 17-18 Agustus 1945 dan kemudian dengan berlakunya UUPA pada 1960 penghapusan tersebut menjadi lebih kuat secara yuridis, oleh karena itu maka kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan re-inventarisasi hutan kembali sehingga kawasan hutan dapat dikukuhkan dan mendapatkan kepastian hukum. Selain itu UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga mengatur bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan juga mempunyai hak-hak yang dilindungi seperti memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan memperoleh informasi kehutanan dan hal yang lebih penting adalah bahwa masyarakat di dalam dan sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya dan hilangnya hak atas tanah miliknya akibat penetapan kawasan hutan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 68 UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Tetapi hingga detik ini kami mempunyai keyakinan yang kuat berdasarkan keterangan masyarakat bahwa Perum Perhutani tidak pernah melakukan sosialisasi terhadap hak-hak masyarakat yang dilindungi dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan lebih menekankan kewajiban tidak resmi terhadap masyarakat. Untuk itu, telah menjadi terang apabila kawasan hutan menjadi sengketa antara pengelola kawasan hutan dengan masyarakat, maka harus diselesaikan persoalan hak atas penguasaan lahannya terlebih dahulu yang dapat diselesaikan melalui pengadilan atau di luar pengadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74 ayat (1) jo Pasal 75 ayat (2) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 2 ayat (2) huruf c Keppres No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan, sehingga hak-hak masyarakat dapat terlindungi dan kawasan hutan mendapatkan kepastian hukum soal status penguasaan lahannya oleh Perum Perhutani. 3. Analisa Terhadap Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Majelis Hakim dan Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati dan seluruh hadirin yang kami muliakan, setelah kami menjelaskan posisi dari hukum agraria dan status kawasan hutan maka selanjutnya kami akan menanggapi tuntutan dari Sdr. Jaksa Penuntut Umum. Kami menegaskan bahwa Sdr. Jaksa Penuntut Umum telah salah dalam memahami amanat dari Pasal 33 ayat (3) UUD Republik Indonesia. Dan dalam tuntutannya terlihat secara jelas bahwa Sdr. Jaksa Penuntut Umum hanya memahami secara setengah-setengah (parsial) dari Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia pada umumnya dan Hak Menguasai Negara pada khususnya, hal ini menunjukkan kepada kita semua sampai sejauh mana

logika hukum dan konstruksi hukum yang dipunyai dan dibangun oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum dalam menghadapi perkara pidana yang telah menjerat Sdr. Sukimin bin Surim ke depan persidangan yang terhormat dan mulia ini. Lebih jauh, Sdr. Jaksa Penuntut Umum juga tidak mengetahui dan tidak memahami dengan baik aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terutama yang berkaitan dengan kualifikasi dari seorang saksi atau keterangan saksi yang dapat dipercaya sebagai mana yang diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 jo Pasal 185 ayat 5 KUHAP. Lebih jauh kami ingin menyatakan, bahwa tidak ada satupun ketentuan dari UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No 2 Tahun 1978 tentang Penambahan Unit Produksi Perusahaan Kehutanan Negara serta PP No 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) yang menyatakan dengan tegas bahwa blok Cibadodon petak 48 G Kp. Sinagar Desa Sindangasih Kecamatan Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya adalah wilayah yang dikuasai atau dikelola oleh Perum Perhutani. UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No 2 Tahun 1978 tentang Penambahan Unit Produksi Perusahaan Kehutanan Negara serta PP No 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) juga tidak menyebutkan secara tegas lokasi-lokasi kawasan hutan yang dikuasai oleh Perum Perhutani di Propinsi Jawa Barat. Sdr. Jaksa Penuntut Umum juga telah salah dalam menerapkan aturan hukum terhadap Sdr. Sukimin bin Surim, karena Sdr. Jaksa Penuntut Umum telah memakai UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan untuk melakukan tuntutan pidana terhadap Sdr. Sukimin bin Surim sementara itu kawasan hutan yang diklaim secara melawan hukum (onrechtmatige) oleh Perum Perhutani, berdasarkan keterangan saksi dari Perum Perhutani, memakai UU No 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Sdr. Jaksa Penuntut Umum juga tidak dapat membuktikan secara tegas bahwa lokasi di blok Cibadodon petak 48 G Kp. Sinagar Desa Sindangasih Kecamatan Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya adalah wilayah yang dikuasai secara sah dan meyakinkan menurut hukum oleh Perum Perhutani. Sdr. Jaksa Penuntut Umum hanya mendasarkan diri pada keterangan ahli dari Perum Perhutani bahwa ada Berita Acara Tata Batas (BATB) yang dibuat pada 1925 masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang tetap dipakai hingga saat ini, yang tidak pernah kita lihat wujud atau setidak-tidaknya keberadaannya selama persidangan ini. Selain itu, Sdr. Jaksa Penuntut Umum juga mengabaikan fakta hukum bahwa di kawasan hutan tersebut ada tanah enclave milik masyarakat. Sehingga menurut pendapat kami Sdr. Jaksa Penuntut Umum telah gagal membuktikan bahwa lokasi di blok Cibadodon petak 48 G Kp. Sinagar Desa Sindangasih Kecamatan Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya adalah kawasan hutan yang dikuasai dan dikelola oleh Perum Perhutani. Sebagaimana yang telah kami sampaikan diatas. Sdr. Jaksa Penuntut Umum

telah mengabaikan kualifikasi saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 jo Pasal 185 ayat 5 KUHAP karena saksi yang diajukan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum memberikan keterangan yang berbelit-belit dan hanya mendasarkan diri dari rekaan dan sangkaan hasil pemikiran saksi sematamata. Kami juga menolak keterangan ahli yang diajukan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum, karena saksi tersebut tidak pernah diadakan uji kepatutan (fit and proper test) dan uji kelayakan (due diligence) di depan persidangan dan independensinya kami ragukan karena yang bersangkutan adalah karyawan Perum Perhutani yang nota bene mempunyai kepentingan langsung terhadap persidangan ini. Sehingga secara umum Sdr. Jaksa Penuntut Umum hanya bisa mendasarkan diri pada keterangan Sdr. Sukimin bin Surim. Kami meminta kepada Majelis Hakim yang terhormat untuk menilai dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh keterangan saksi yang diajukan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan memperlakukan semua keterangan tersebut hanya sebagai petunjuk saja sebagai mana yang diatur dalam Pasal 185 ayat (6) jo Pasal 188 KUHAP.

IV. KesimpulanSetiap orang berhak mempunyai hak milik baik secara sendiri ataupun secara bersama-sama untuk bebas dari kelaparan dan kehausan (Pasal 17 (1) Deklarasi Universal HAM, Pasal 11 (1) & (2) Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Pasal 28 H (4) UUD RI, Pasal 32 TAP MPR RI No XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM, Pasal 36 (1) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM )

Majelis Hakim dan Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati dan seluruh penikmat keadilan yang kami cintai, tibalah bagi kami pada kesimpulan bahwa meskipun Sdr. Sukimin bin Surim memberikan keterangan di depan persidangan bahwa Sdr. Sukimin bin Surim menebang pohon dengan menggunakan mesin senso miliknya, tetapi hingga saat ini tidak terdapat fakta hukum bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Sdr. Sukimin bin Surim adalah merupakan perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf (e) jo Pasal 78 ayat (5) UU No 41 Tahun 1999 yang kemudian menjadi dasar tuntutan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum. Sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas bahwa Perum Perhutani menguasai kawasan hutan tersebut secara melawan hukum (onrechtmatige) atau lebih tepatnya melakukan pendudukan paksa terhadap kawasan hutan tersebut dan melakukan pengusiran paksa terhadap masyarakat yang lebih dahulu tinggal di wilayah tersebut. Hal ini perlu kami kemukakan, karena di dalam persidangan terungkap bahwa Perum Perhutani hanya mendasarkan diri pada Berita Acara Tata Batas (BATB) yang dibuat pada 1925 masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sdr. Jaksa Penuntut Umum bekerja sama dengan Perum Perhutani secara sengaja telah menggunakan aturan-aturan yang dibuat pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk melakukan penangkapan, menjerat, menghadapkan, dan melakukan tuntutan hukum terhadap Sdr. Sukimin bin

Surim pada khususnya dan pada masyarakat lain yang tinggal di Kp. Sinagar Desa Sindangasih Kecamatan Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya.

V. PenutupSetiap orang dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak (Pasal 10 Deklarasi Universal HAM, Pasal 14 (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Pasal 28 D (1) UUD 1945, Pasal 7 TAP MPR No XVII Tahun 1998 Tentang Piagam HAM, Pasal 17 UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM)

Majelis Hakim dan Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati dan semua orang yang hadir dalam persidangan hari ini yang kami cintai, kami ingin meminta kepada setiap orang yang hadir dalam persidangan ini untuk melihat sekali lagi kepada sdr. Sukimin bin Surim dengan hati nurani yang bersih, adil, dan jujur. Kami ingin bertanya kepada anda semua, pantaskah sdr. Sukimin bin Surim dihadapkan dan diadili di depan persidangan ini? Tidakkah Pengadilan yang terhormat dan mulia ini terlalu besar bajunya untuk mengadili sdr. Sukimin bin Surim yang hanya menggarap lahan yang menjadi pekerjaan dan sumber penghidupan utama bagi dirinya dan keluarganya? Tidakkah sebaiknya sdr. Jaksa Penuntut Umum menyeret pengkhianatpengkhianat negara, penjahat-penjahat hak asasi manusia, dan koruptorkoruptor yang secara jelas telah merusak sendi-sendi dan tatanan sosial kemasyarakatan di republik ini ke depan persidangan yang terhormat dan mulia ini, dan bukannya malah menghadapkan dan meletakkan tuntutan pidana terhadap sdr. Sukimin bin Surim. Tidakkah sdr. Jaksa Penuntut Umum lebih baik dan lebih mulia apabila mengarahkan tuntutannya kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia atas ketidakmampuan dan kegagalan Pemerintah Negara Republik Indonesia memenuhi kewajiban konstitusionalnya dalam memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagaimana diperintahkan dalam Alinea IV Pembukaan UUD RI yang berbunyi Kemudian daripada itu untuk membentuk

suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.... dan kemudian dijelaskan lagi dalam pasal 27 ayat (2) UUD RI yang berbunyi Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Lebih lanjut hak yang sama juga dituangkan dalam KetetapanMPR RI No XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak Asasi Manusia dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak dan juga dalam Pasal 27 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin. Ketentuan yang sama juga bisa di dapat dari UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa

setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.

Tidak ada kesalahan yang hakiki dari sdr. Sukimin bin Surim selain hanya menggarap lahan, dimana lahan tersebut belum jelas status penguasaannya, untuk dapat menghidupi diri dan keluarganya. Untuk itu dengan keyakinan hati yang teguh berdasarkan keyakinan kami terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka Demi Keadilan Sosial kami meminta Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini berdasarkan pasal 191 ayat (1) KUHAP untuk

Membebaskan sdr. Sukimin bin Surim dari Seluruh Tuntutan Hukumatau setidak-tidaknya berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP untuk

Melepaskan sdr. Sukimin bin Surim dari Seluruh Tuntutan HukumBandung, 20 Januari 2004. Hormat kami Lembaga Bantuan Hukum Bandung Tim Pembela Umum Wirawan, SH, SpN Anggara, SH Arip Yogiawan, SH Poppy Yuliarti, SH Arif Hendriana, SH