“TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …
Transcript of “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …
“TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN
TERPAKSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN
HUKUM PIDANA POSITIF”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun Oleh:
INDRI ATIKA PUTRI
11170454000013
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2021
ii
“TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA
POSITIF”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
INDRI ATIKA PUTRI
11170454000013
Di Bawah Bimbingan:
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. H. A. Salman Manggalatung S.H.,M.H
NIP. 195403031976111001
Afwan Faizin, MA
NIP. 19721026200312101
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2021
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA
PEMBELAAN TERPAKSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF” telah diajukan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Pidana Islam
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 04 Agustus 2021.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata (S-1) pada Program Studi Hukum Pidana Islam.
Jakarta, 04 Agustus 2021
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A
NIP. 197608072003121001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Qosim Arsadani, M.A. (… ................... )
NIP. 196906292008011016
2. Sekretaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A. (… ................... )
NIP. 197604082007101001
3. Pembimbing I : Prof. Dr. H. A. Salman Manggalatung S.H.,M.H
NIP. 195403031976111001
4. Pembimbing II : Afwan Faizin, MA
NIP. 19721026200312101
5. Penguji I : Mohamad Mujibur Rohman, M.A.
NIP. 197604082007101001
6. Penguji II : M. Ishar Helmy, S.Hi.,M.H
NIDN. 9920112859
(………………)
(………………)
(………………)
(………………)
iv
v
ABSTRAK
Indri Atika Putri. NIM 11170454000013. TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
KARENA PEMBELAAN TERPAKSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF. Program Studi Hukum Pidana Islam,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1442 H/ 2021 M. Ix + 63 halaman.
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menjelaskan dasar pertimbangan hakim
dalam memutus perkara tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam perspektif
hukum pidana islam dan hukum pidana positif. Peneliti menggunakan metode kualitatif,
dengan sumber primer dan sekunder, data penelitian dihimpun dengan pembacaan, dan
kajian teks dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode analisis.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Pertimbangan hakim dalam putusan,
menjatuhkan pidana kepada Anak dengan pidana Pembinaan dalam Lembaga selama satu
tahun. Hukuman yang di jatuhi hakim harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam
hukum pidana islam, membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri
sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda.
Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah wajib.
Sedangkan dalam hukum pidana positif, tindak pidana pembunuhan yang dilakukan karena
pembelaan terpaksa tidak dipidana, jika di lakukan dalam keadaan mendesak dan dalam
seketika itu juga.
Kata Kunci: pembunuhan, pembelaan terpaksa, pertimbangan hakim, anak di bawah umur,
hukum pidana islam, hukum pidana positif.
Pembimbing: Prof. Dr. H.A. Salman Manggalatung S.H.,M.H. dan Afwan Faizin M.A.
Daftar Pustaka: 1987 s.d 2019
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan alam beserta
hukum-hukumnya, melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga dengan
pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam semoga
selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW., beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti
ajarannya. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah
penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan
bantuan, pertolongan serta do‟a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis menyampaikan
terimakasih kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. Selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Qosim Arsadani, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam dan
Mohamad Mujibur Rohman, M.A. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Pidana
Islam (Jinayah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan berbagai motivasi dan arahan, mulai dari proses awal hingga proses
berikutnya.
3. Dr. Alfitra S.H., M.Hum. Selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah mengantarkan
penulis menuju pembuatan skripsi ini.
4. Prof. Dr. H.A. Salman Manggalatung S.H.,M.H. dan Afwan Faizin M.A. Selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan
memberikan arahan dalam pembuatan skripsi ini.
5. Dr. Alfitra S.H., M.Hum. dan Dr. Kamarusdiana, M.H. Selaku Dosen Penguji Proposal
Skripsi yang telah memberikan arahan dan petuah dalam langkah awal penulisan
skripsi ini.
vii
6. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang
telah memfasilitasi penulis dalam menyediakan buku dan literatur lainnya sehingga
penulis dapat memperoleh informasi sebagai bahan rujukan pembuatan skripsi ini.
7. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menyampaikan ilmu dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah ataupun
dalam diskusi.
8. Teruntuk kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian
dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian kata-
kata.
9. Teruntuk sahabat-sahabat penulis, Lailatul Badriyah, Lilis Karlina, S.Psi, Hanna
Nadhifah, Ficha Malini Dewi, A.md.Keb., Maulidia Permata Citra, SH., Dany Ryzka
Maulidya, SH., Nila Aulia Khairunnisa, SH., Bagas Wijaya, S.Kom., Hamzah
Taqiyuddin Faruqi, Doni Pratama, dan Fathu Rizqi yang selalu memberi semangat
sehingga terselesainya skripsi ini.
10. Teruntuk Fahrurozi, SH., yang turut menemani dan memberi semangat penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terutama
teman-teman Hukum Pidana Islam angkatan 2017 dan teman-teman di lingkungan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Juni 2020
Penulis,
Indri Atika Putri
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .............................................. 6
1. Identifikasi Masalah ........................................................................................ 6
2. Pembatasan Masalah........................................................................................ 6
3. Perumusan Masalah ......................................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 7
1. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 7
2. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 7
D. Review Studi Terdahulu ...................................................................................... 8
E. Metode Penelitian ............................................................................................. 10
1. Pendekatan Penelitian .................................................................................... 10
2. Jenis Penelitian .............................................................................................. 11
3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum ................................................................... 12
4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 12
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 13
6. Pedoman Penulisan Skripsi ........................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................. 15
A. Kerangka Teori ................................................................................................. 15
1. Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf ........................................................... 15
2. Anak di Bawah Umur .................................................................................... 17
B. Kerangka Konseptual ....................................................................................... 17
1. Tindak Pidana Pembunuhan .......................................................................... 18
2. Pembelaan Terpaksa ...................................................................................... 20
ix
3. Hukum Pidana Islam ..................................................................................... 22
4. Hukum Pidana Positif .................................................................................... 23
BAB III TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN
TERPAKSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAN DAN
HUKUM POSITIF .................................................................................................. 25
BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN
NOMOR 01/PID.SUS-ANAK/2020/PN.KPN TENTANG TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA .................................. 33
A. Duduk Perkara .................................................................................................. 33
B. Pertimbangan Hakim ........................................................................................ 36
C. Pertimbangan Hakim dalam kasus Tindak Pidana Pembunuhan Pembelaan
Terpaksa............................................................................................................ 41
BAB V PENUTUP ................................................................................................... 49
A. Simpulan ........................................................................................................... 49
B. Rekomendasi .................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 51
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum yang memiliki penduduk mayoritas
beragama islam, sengaja atau tidak sengaja hal tersebut mempengaruhi
terbentuknya suatu aturan hukum yang berlandaskan atas agama Islam.
Berbagai masalah yang ada di dalam Negara Indonesia tidak semuanya
dapat diselesaikan berdasarkan hukum umum yang telah ada, namun tetap
memerlukan hukum yang secara filosofis dan sosiologis tertanam dalam
hati dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Hukum secara umum dibuat
untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan berguna memberikan argumentasi
yang kuat bahwa bila hukum diterapkan dalam suatu masyarakat maka
mereka akan dapat merasakan kebenaran, kebaikan, keadilan, kesamaan
dan kemaslahatan dalam hidup di dunia ini.
Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi manusia
terhadap peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan hukum
Islam menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara
kebutuhan rohani dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi
yang mematuhi suruhan Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran
mengerjakan maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri. Namun dalam
prakteknya, manusia saling berhadapan dengan manusia lain sehingga
keseimbangan dalam masyarakat akan terganggu dan timbul pertentangan-
pertentangan di antara mereka.1 Terkadang manusia bersikap egois dan
tidak memperdulikan kepentingan orang lain.
Dari faktor tersebut, kejahatan yang timbul di masyarakat dapat
berupa beberapa bentuk.Dalam KUHP buku kedua tentang kejahatan, telah
disebutkan sebagai bentuk kejahatan beserta penjelasannya lengkap
dengan sanksi hukumnya.
1 Budi Ruhiatudin, Pengantar Ilmu Hukum,(Yogyakarta: Teras, 2009) , h.,9
2
Salah satu bentuk kejahatan adalah pembunuhan. Pembunuhan
adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau beberapa
orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal
dunia. Pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang dalam Hukum
Islam maupun Hukum Pidana Indonesia. Pembunuhan menurut hukum
Islam sama dengan definisi menurut hukum konvesional, yaitu perbuatan
seseorang yang menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan
jiwa anak Adam oleh perbuatan anak Adam yang lain. Allah sangat
memuliakan mahluknya terutama manusia. Karena manusia mendapatkan
perlakuan khusus dengan dijamin semua hak-haknya. Terutama hak hidup
dan hak mempertahankan barang kepemilikanya (hartanya).
Namun berbeda halnya jika pembunuhan yang dilakukan disebabkan
karena pembelaan diri. Pembelaan diri selain merupakan Hak Asasi
Manusia dalam KUHPidana Indonesia, juga termasuk konsep tujuan
hukum islam yang disebut Maqasid Asy-Syariah.
Pembelaan diri adalah tindakan yang perlu atau bahkan harus
dilakukan jika terjadi ancaman atau serangan melawan hukum. Oleh
karena itu, perlunya memperhatikan asas keadilan dalam memberikan
konsekuensi atau sanksi hukum yang diperoleh bagi pelaku pembunuhan
karena membela dirinya baik pada hukum Islam maupun hukum Pidana
Indonesia.
Salah satu contoh kasus yang sempat terkenal ialah kasus Mochamad
Zainul Afandik, pelajar SMA di Kabupaten Malang yang membunuh begal
karena melindungi pacarnya yang hendak diperkosa sudah disidangkan di
Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Kabupaten Malang. Mochamad Zainul
Afandik didakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan
Berencana dengan ancaman hukuman paling berat penjara seumur hidup.
Sidang dakwaan itu berlangsung pada hari Selasa 14 Januari 2020.
Lukman Chakim, salah satu pengacara Mochamad Zainul Afandik
3
menyayangkan Pasal 340 KUHP dalam dakwaan tersebut. Menurutnya,
pasal itu tidak sesuai karena mengandung unsur perencanaan.
Seharusnya dalam kasus ini alasan penghapus pidana terdiri dari
Alasan pembenar, alasan pemaaf, dan alasan penghapus kesalahan.
Noodweer masih tetap dipertahankan hingga sekarang sebagai salah satu
alasan peniadaan pidana, sebagaimana dijabarkan di dalam pasal 49 ayat
(1), KUHP. Noodweer digunakan sebagai alasan pembenar, tetapi bukan
alasan yang membenarkan perbuatan melanggar hukum, melainkan
seseorang yang terpaksa melakukan tindak pidana dapat dimaafkan karena
terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan itu. Pandangan ini
telah diakui oleh hukum pidana bahwa seseorang itu memang dianggap
berhak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sebagai bentuk
pembelaan terpaksa.
Sedangkan dalam islam pun, Allah menyuruh membela diri
sebagaimana dalam firman-Nya yang berarti:
“Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah
kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang
bertaqwa”. (QS. 2:194).2
Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan
adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-
mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai
dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat
konsekuensi, seperti membunuh.
Sementara dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa
saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja
yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid, siapa saja yang
2
الل ا أ اعي اتقا الل ن عي اعذ ثو ب ف عذا عي ن عي اعذ ت قص ص ف اىحش ش اىحشا ب ىش ش اىحشا اىش
ق ع اى
4
terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang
terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka ia syahid” .3
Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi
membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan
melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh sang
pelaku.
Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan
demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah hadis riwayat Anas
Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Tolonglah saudaramu yang
dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: “bagaimana cara aku
menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab: “kau cegah ia untuk
melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah
menolongnya”4.
Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda: ”Siapa saja yang
menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya
padahal ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Saw. akan
menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia”.5
Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa,
harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan
kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqun
wajib), ataukah sekedar boleh (haqun ja‟iz), maka dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.
Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh)
menurut madzhab al-Hanabilah dan wajib menurut pandangan Jumhur
Fuqoha (Al-Malikiyyah, Al-Hanafiyyah, dan As-Syafiiyah). Hanya saja
3 قو د د ف شذ، قو د د ف شذ، قو د ى ف شذ، قو د أي ف
HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah (شذ )سا أصح ب اىض الأسبعةاصش أخ ك ظ ى أ ظي ، قو: مف أصش ظ ى ؟ ق ه: تحجز ع اىظي، فئ رىل صش )سا اىبخ س 4
(HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi) (أحذ اىشز5 ( أره عذ ؤ، في صش، قذس عي أ صش، أرى الل عي سؤس الأش د اىق ة )سا أحذ
(HR. Ahmad)
5
madzhab Syafiiy memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni
jika pelakunya orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan
itu sesama muslim maka hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil
sabda Rosulullah Saw: “jadilah sebaik-baiknya bani adam.”6
Dalam kasus ini, Anak-anak yang melanggar norma yang hidup
dalam masyarakat dan melakukan tindak pidana lazimnya disebut dengan
„anak nakal‟. Namun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Anak yang menggantikan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, istilah „anak nakal‟
digantikan dengan istilah „anak yang berhadapan dengan hukum‟. Dimana
dalam Bab I Pasal 1 butir 2 dikatakan bahwa: “Anak yang berhadapan
dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang
menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak
pidana”. Selanjutnya dalam butir 3 disebutkan bahwa: “Anak yang
berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut „Anak‟ adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana”.7
Bagi anak-anak sebagaimana disebutkan dalam butir 3 tersebut bisa
dijatuhkan hukuman atau sanksi berupa tindakan atau pidana apabila
terbukti melanggar perundang-undangan hukum pidana. Dalam Bab V
Pasal 69 Undang-undang ini ditegaskan bahwa terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum dapat dijatuhi pidana dan tindakan.8 Anak-anak
membutuhkan rasa kasih saying yang merupakan kebutuhan psikis yang
merupakan kebutuhan paling mendasar dalam kehidupan manusia apalagi
bagi seorang anak.
(Rawa Abu Daud) (م خش اب آد )سا أب داد 67 Hadi Setia Tunggal, UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, (Jakarta: Harvarindo 2013), h.,3 8 Hadi Setia Tunggal, UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, (Jakarta: Harvarindo 2013) h.,37
6
Perlindungan hukum anak atau perlindungan anak secara yuridis
dapat meliputi perlindungan hukum anak dalam bidang hukum privat,
dan dalam bidang hukum publik. Perlindungan hukum anak dalam
bidang hukum publik di antaranya meliputi perlindungan anak dalam
hukum pidana materil dan perlindungan hukum anak dalam hukum pidana
formil. Hukum pidana formil berkaitan dengan peradilan pidana anak yang
termasuk dalam bagian peradilan umum.
Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dan mengkaji masalah kejahatan tindak pidana pembunuhan
karena pembelaan terpaksa kedalam bentuk skripsi dalam perspektif
Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Pertimbangan hakim dalam putusan Nomor: 01/Pid.Sus-
Anak/2020/PN.KPN
b. Tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam perspektif
hukum pidana islam
c. Tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam perspektif
hukum pidana positif
d. Anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan pembelaan
terpaksa
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka yang dijadikan
pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana tindak
pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam perspektif hukum
pidana islam dan hukum pidana positif.
7
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah,
maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja pertimbangan hakim dalam putusan Nomor: 01/Pid.Sus-
Anak/2020/PN.KPN?
2. Bagaimana tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam
perspektif hukum pidana islam dan hukum pidana positif?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk Mengetahui dan Menjelaskan pertimbangan hakim dalam
putusan Nomor: 01/Pid.Sus-Anak/2020/PN.KPN.
b. Untuk Mengetahui dan Menjelaskan tindak pidana pembunuhan
pembelaan terpaksa dalam perspektif hukum pidana islam dan
hukum pidana positif.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan wawasan sekaligus menjadi bahan penelitian
lanjutan bagi mahasiswa/peneliti yang akan melakukan penelitian
yang serupa.
b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan
masukan bagi aparat penegak hukum, khususnya hakim dan
masyarakat pada umumnya mengenai tindak pidana pembunuhan
pembelaan terpaksa.
8
D. Review Studi Terdahulu
No Nama Judul Temuan
1. Muhayati
(Skripsi)
Tinjauan Hukum
Pidana Islam
Terhadap
Pembelaan
Terpaksa Yang
Melampaui Batas
(Noodweer Exces)
Dalam Tindak
Pidana
Pembunuhan
Dalam pembelaan jika sampai
mengakibatkan kematian atau
pembunuhan dalam melakukan
pembelaan diri karena tidak ada
cara lain, maka perbuatan itu
diperbolehkan (Asbab Al-
Ibahah). Sedangkan dalam
KUHP Pasal 49 ayat 1 dikenal
pembelaan terpaksa (noodweer)
sebagai alasan pembenar dan
dalam ayat 2 dikenal istilah
pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (noodweer
exces) sebagai alasan pemaaf
untuk dasar penghapus
hukuman.
2. Aditya Abdi
Pangestu
(Skripsi)
Tindak Pidana
Pembunuhan
Karna Daya Paksa
Pembelaan Diri (
Studi Komporasi
Hukum Pidana
Islam dan Hukum
Pidana Indonesia
Berkesimpulan hukuman yang
menyebabkan pembunuhan
sengaja yang dilakukan karena
keadaan terpaksa pembelaan
diri, menurut hukum pidana
positif adalah terlepas dari
hukuman dikarenakan prinsip
yang dipakai dalam pasal 49
KUHP Tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan
karena adanya terpaksa
9
menjadikan sifat melawan
hukum dalam tindak pidana
tersebut hilang, dengan
demikian tindak pidana
pembunuhan yang terbukti
memenuhi pasal 49 KUHP
tidak dapat dipidana.
Sementara, dalam hukum
pidana Islam tindak pidana
pembunuhan yang disebabkan
adanya keadaan terpaksa
pembelaan diri dilarang karena
orang yang melakukan
pembunuhan terhadap pelaku
itu dengan cara disengaja dan
melawan hukum, secara zalim
disertai keyakinan bahwa
membunuh korban
menyebabkan jiwanya selamat
dan terhindar dari kejahatan
pemaksa atau bahaya. Maka
hukuman yang dijatuhkan
kepada orang yang dipaksa
membunuh daya paksa
pembelaan diri tidak dapat
menghapuskan hukuman
terhadap tindak pidana
pembunuhan dan penjatuhan
sanksi merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dari
pelaku pembelaan diri dalam
10
tindak pidana pembunuhan.
Kedua sumber diatas diatas menjelaskan tentang tindak pidana
pembunuhan menurut Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam. Faktor-
faktor penyebab terjadinya tindak pidana pembunuhan, dan upaya
penanggulangannya. Sedangkan dalam skripsi yang akan ditulis oleh
penulis akan membahas lebih spesifik mengenai pertimbangan hakim
dalam kasus tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa yang
dilakukan oleh anak dibawah umur dalam perspektif Hukum Pidana Islam
dan Hukum Pidana Positif.
E. Metode Penelitian
Agar penelitian ini berjalan dengan baik dan memeperoleh hasil yang
dapat dipertanggungjawabkan, maka penelitian memerlukan suatu metode.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Secara umum, penelitian ini menggunakan pendekatan dengan
metode kualitatif yang sifatnya deskriptif atau cara melaporkan data
dengan menerangkannya, memberikan gambaran, dan kemudian
mengelompokkan atau mengkualifikasikan data yang terkumpul secara
apa adanya, kemudian baru disimpulkan. Secara khusus, dalam
penelitian hukum ini, penulis akan menggunakan pendekatan sebagai
berikut:9
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)
Pendekatan ini biasanya di gunakan untuk meneliti peraturan
perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Revisi. (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2016, Cet. 12, Edisi Revisi), h., 133-134.
11
kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan baik
dalam tataran teknis atau dalam pelaksanaannya dilapangan.
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu
hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini
misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara
Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-
Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain.
b. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)
Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi
perbandigan hukum. Menurut Gutteridge, perbandingan hukum
merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum. Gutteridge
membedakan antara perbandingan hukum yang bersifat deskriptif
yang tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan
perbandingan hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu.
Dalam hal ini penulis akan membandingkan tindak pidana
pembunuhan karena pembelaan terpaksa dalam perspektif hukum
pidana islam dan hukum pidana positif.
c. Pendekatan Kasus (case Approach)
Penulis menggunakan pendekatan ini untuk membangun
argumentasi hukum dalam sudut pandang terhadap konkritnya
kasus yang terjadi. Jenis pendekatan ini biasanya ditujukan untuk
menemukan nilai kebenaran dan penyelesaian terbaik terhadap.
Peristiwa atau kasus hukum yang terjadi berdasarkan dengan
berbagai prinsip keadilan. Dalam hal ini, penulis akan melakukan
penelaahan terhadap berbagai kasus tindak pidana yang dilakukan
oleh seorang anak di bawah umum yang melakukan tindak pidana
pembunuhan karena pembelaan terpaksa melalui putusan-putusan
hakim.
2. Jenis Penelitian
12
Penulis menggunakan jenis penelitian normatif yuridis. Jenis
penelitian normatif yuridis merupakan penelitian yang menggunakan
bahan-bahan pustaka sebagai data dan sumber rujukan penelitian.
Beberapa bahan-bahan pustaka yang digunakan sebagai literatur
yaitu: buku-buku hukum, kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, surat kabar,
berbagai jurnal, hasil penelitian dari peneliti lain yang intinya semua
literatur ini berhubungan dengan objek kajian yang akan penulis teliti
terkait tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam
perspektif hukum pidana islam dan hukum pidana positif.
3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum
Berikut beberapa sumber dan jenis bahan hukum yang penulis
gunakan dalam penelitian ini:
a. Bahan Hukum Primer: KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) Indonesia, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana) Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-
Undang No. 2 Tahun 2002 Kepolisian, Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 Kejaksaan, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
Kehakiman, Al-Quran, Kumpulan Hadis Sahih Nabi Muhammad
s.a.w dan Tafsir al-Quran.
b. Bahan Hukum Sekunder: Buku-buku yang ditulis para ahli, Hasil
penelitian para sarjana, Berbagai jurnal hukum, Internet, surat
kabar, dan media lain yang berkaitan dengan objek yang diteliti.
c. Bahan Hukum Tersier: Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia,
Kamus Bahasa Inggris dan Kamus Bahasa Arab.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpuan data yang dilakukan oleh peneliti adalah
studi pustaka (library research). Teknik studi pustaka ini berupa
13
peraturan undang-undang, buku-buku, kitab-kitab, jurnal, artikel,
internet, dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan pada
penelitian ini merupakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Teknik
ini dilakukan dengan menguraikan data secara sistematis dengan
memakai ukuran kualitatif dan kemudian di deskripsikan. Hal ini guna
memperoleh suatu gambaran yang berkaitan dengan putusan Hakim
terhadap tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam
perspektif hukum pidana islam dan hukum pidana positif.
6. Pedoman Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017”
F. Sistematika Penulisan
Supaya penulisan skripsi ini terarah, penulis akan menguraikan
materi laporan menjadi 5 (lima) bab, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam pendahuluan akan dibahas Latar
Belakang, Identifikasi Masalah,
Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review
Studi Terdahulu, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan
secara umum terkait teori hukum yang
akan penulis pakai dengan menjabarkan
secara konseptual tentang Tindak Pidana
14
Pembunuhan, Pembelaan Terpaksa,
Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana
Positif.
BAB III :PEMBUNUHAN KARENA
PEMBELAAN TERPAKSA
Bab ini memaparkan dan menjelaskan
tentang Tindak Pidana Pembunuhan
Karena Pembelaan Terpaksa dalam Hukum
Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN NOMOR
01/PID.SUS-ANAK/2020/PN.KPN TENTANG TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN
TERPAKSA
Bab ini menjabarkan duduk perkara,
pertimbangan hakim dan analisis tindak
pidana pembunuhan karena pembelaan
terpaksa
BAB V : PENUTUP
Bab ini antara lain mencakup simpulan
dan rekomendasi dari hasil penelitian
penulis terkait tindak pidana pembunuhan
pembelaan terpaksa dalam perspektif
hukum pidana islam dan hukum pidana
positif.
DAFTAR PUSTAKA
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
Kerangka Teori merupakan suatu bingkai yang mendasari
pemecahan masalah dan dijabarkan berdasarkan tinjauan pustaka. Oleh
sebab itu, dibutuhkan teori-teori untuk meneliti dan menjawab
permasalahan.10
1. Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf
Menurut Moeljatno, biasanya berbagai alasan penghapus pidana
dalam teori hukum pidana dibedakan menjadi alasan pembenar, alasan
pemaaf, dan alasan penghapusan penuntutan. Alasan pembenar
merupakan alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya
perbuatan sehingga perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa akan
menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangkan alasan pemaaf
merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan yang dilakukan
terdakwa. Perbuatan atau tindakan yang dilakukan terdakwa sifatnya
tetap melawan hukum, tetapi dia tidak dipidana atau dikenai sanksi
karena tidak adanya kesalahan.11
Dalam KUHP, alasan pembenar terdapat dalam Pasal 49 ayat 1
tentang pembelaan secara terpakasa, Pasal 50 tentang peraturan
perundang-undangan, dan Pasal 51 ayat 1 tentang perintah jabatan.
Sedangkan untuk alasan pemaaf dalam KUHP meliputi Pasal 44 tentang
kemampuan bertanggung jawab, Pasal 49 ayat 2 tentang noodweer
10
Gunardi. Kerangka Konsep dan Kerangka Teori dalam Penelitian Ilmu Hukum. Jurnal
Era Hukum Nomor 1 Tahun 2005. h., 94 11
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta, 2008, Edisi Revisi), h.,148.
16
exces (pembelaan terpakasa), dan Pasal 51 ayat 2 tentang dengan
iktikad yang baik melaksanakan perintah jabatan.12
Dalam Memorie van Toeliching dilukiskan sebagai : “setiap
kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal yang
disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada
tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan disini
bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si
pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan”
menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si
pembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka dalam overmacht (daya
paksa) dapat dibedakan dalam du hal:
1. Vis Absoluta (paksaan yang absolut).
2. Vis Compulsive (paksaan yang relatif).
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh
kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama
sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang
lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang
pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda
(pasal 406 KUHP).
Hukum Islam juga mengatur tentang alasan penghapus pidana,
Dalam hukum Islam dalam segi pertanggung jawaban pidana, hubungan
hukuman dan pertanggungjawaban pidana, ditentukan oleh sifat
keseorangan hukuman dan ini merupakan salah satu prinsip dalam
menentukan pertanggung jawaban pidana.13
12
M. Rifan F, Nyoman Serikat PJ, and R.B. Sularto, “IMPLEMENTASI ALASAN
PENGHAPUS PIDANA KARENA DAYA PAKSA DALAM PUTUSAN HAKIM,” Diponegoro Law
Review, 4, 1 (2015), h.,5-6.
13 Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqih Jinayah (Bandung: Aksara Baru,
2004), h., 69
17
B. Anak di Bawah Umur
Sesuai dalam pasal 45 KUHP: dalam hal penuntutan pidana
terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan
sebelum umur enam belas tahun hakim dapat menentukan:
memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang
tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tempat pidana apapun atau
memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah
tanpa pidana apapun. 14
Untuk menunjang hak-hak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
sesuai Pasal 2 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 dilaksanakan 10
Asas yang dapat dilakukan kepada anak, meliputi:15
a) Perlindungan;
b) Keadilan;
c) Nondiskriminasi;
d) Kepentingan Terbaik Bagi Anak;
e) Penghargaan Terhadap Pendapat Anak;
f) Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak;
g) Pembinaan dan Pembimbingan Anak;
h) Proporsional;
i) Perampasan Kemerdekaan dan Pemidanaan Sebagai Upaya
Terakhir;
j) Penghindaran Pembalasan
B. Kerangka Konseptual
Untuk memahami tema penelitian ini, penulis akan menguraikan
secara konseptual tentang Pembunuhan dan Pembunuhan Pembelaan
Terpaksa dalam perspektif hukum pidana islam dan hukum positif sebagai
berikut:
14
Alfitra, Hukum Acara Peradilan Anak, (Jawa Timur:Wade Group,2019) , h., 136 15
Alfitra, Hukum Acara Peradilan Anak, h., 121-122
18
1. Tindak Pidana Pembunuhan
Pengertian tindak pidana, Amir Ilyas,16
meyampaikan pendapatnya,
bahwa: “Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwaperistiwa
yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana
haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas
untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam
kehidupan masyarakat”.
Dalam Hukum Pidana Indonesia, unsur terjadinya pembunuhan
yang dapat di pidana adalah ada unsur kesengajaan (dolus) dan kealpaan
(culpa).Pembunuhan karena ada unsur kesengajaan sendiri dirumuskan
menjadi 3 (tiga) yaitu:17
a. Sengaja sebagai maksud, bahwa dengan kesengajaan yang bersifat
tujuan/maksud, si pelaku dapat di pertanggungjawabkan dan mudah
dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini
ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman
pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini,
berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang
menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
b. Sengaja dengan keinsyafan pasti, kesengajaan ini ada apabila si pelaku,
dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang
menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan
mengikuti perbuatan itu
16
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana Dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Disertai Teori-Teori Pengantar Dan
Beberapa Komentar), (Yogyakarta:Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia.2012)
h., 18
17Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberatan dan
Prevensinya), (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 22
19
c. Sengaja dengan keinsyafan kemungkinan, kesengajaan ini yang terang-
terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang
bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka
akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan
bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya
Pada unsur kealpaam (culpa) terdapat dua rumusan yaitu:18
a. Culpa dengan kesadaran;
b. Culpa tanpa kesadaran.
Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam yang dipaparkan oleh
Zainuddin Ali dalam bukunya Hukum Pidana Islam, bahwa klarifikasi
tindak kejahatan berupa pembunuhan ada tiga macam:19
1) Pembunuhan Sengaja (amd), adalah perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan tujuan untuk membunuh orang lain dengan
menggunakan alat yang dipandang layak untuk membunuh.
Unsur-unsur pembunuhan sengaja:
a) Korban yang dibunuh adalah yang manusia masih hidup, yang
mendapat jaminan keselamatan jiwanya dari Islam (negara), baik
jamiman tersebut dengan cara iman (masuk Islam) maupun dengan
jalan perjanjian keamanan.
b) Kematian adalah akibat dari perbuatan pelaku.
c) Pelakunya menghendaki atas kematiannya.20
2) Pembunuhan tidak sengaja (khata), adalah perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Sebagai contoh: sesorang
melakukan penebangan pohon yang kemudian pohon yang ditebang itu
tiba-tiba tumbang dan menimpa orang yang lewat lalu meninggal dunia.
18
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberatan dan
Prevensinya), h., 65 19
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.,24 20
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Karya Abadi Jaya, 2015), h.,127
20
Unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja ada dua macam;
a) Perbuatannya disengaja;
b) Tidak ada niat melawan hukum.21
3) Pembunuhan Semi Sengaja (syibh al-„amdi), adalah perbuatan yang
sengaja dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan
mendidik. Sebagai contoh: seorang guru memulkulkan penggaris kepda
muridnya, tiba-tiba murid yang dipukul oleh gurunya meninggal dunia.
Unsur-unsur pembunuhan menyerupai sengaja:
a. Adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya korban;
b. Perbuatan tersebut terjadi, karena kesalahan (tidak sengaja) pelaku;
c. Antara perbuatan kesalahan dan kematian korban terdapat hubungan
sebab akibat.22
2. Pembelaan Terpaksa
Pengertian Pembelaan Terpaksa Dari segi bahasa, noodweer terdiri
dari kata “nood” dan “weer”. “Nood” yang artinya (keadaan) darurat.
”Darurat” berarti:
1) Dalam keadaan sukar (sulit) yang tidak disangka-sangka yang
memerlukan penanggulangan segera.
2) Dalam keadaan terpaksa “Weer” artinya pembelaan yang berarti
perbuatan membela, menolong, melepaskan dari bahaya23
Jika
digabungakan kedua kata tersebut maka dapat diartikan
melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa atau menolong
dalam keadaan sukar (sulit).24
Noodweer adalah pembelaan yang
diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang
mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum.25
21
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, h.,148 22
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, h.,135-136 23
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h.,156. 24
Pengertian tersebut muncul karena undang-undang tidak memberi pengertian dari pada
“noodweer”. Doktrin memberikan kata “noodweer” bagi pasal 49 ayat (1) KUHP. 25
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.,.200
21
Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat
melanggar, maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana juga dikatakan
alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya
merupakan tindak pidana.26
Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 sebagai
berikut: “Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan
terpaksa untuk diri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta
benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman
serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.” Contoh :
a) Serangan terhadap badan
Seseorang yang ingin balas dendam mendatangi orang lain dengan
memegang tongkat karena berniat ingin memukul, maka orang yang
ingin dipukul tersebut mengambil tongkat dan memukul si orang yang
ingin membalas dendam tersebut.
b) Serangan terhadap barang/ harta benda
Terhadap benda yang bergerak dan berwujud dan yang melekat hak
kebendaan
c) Serangan terhadap kehormatan
Serangan yang berkaitan erat dengan masalah seksual: seorang laki-laki
hidung belang meraba buah dada seorang perempuan yang duduk
disebuah taman, maka dibenarkan jika serangan berlangsung memukul
tangan laki-laki itu. Tetapi sudah tidak dikatakan suatu pembelaan
terpaksa jika laki-laki tersebut sudah pergi, kemudian perempuan
tersebut mengejarnya dan memukulnya, karena bahaya yang
mengancam telah berakhir.27
26
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Eresco,
1989), h.,75 27
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Cet. ke1, 2002), h., 43
22
Maka tidaklah berlaku pasal 49 ayat 1 KUHP jika:
1. Apabila serangan dari seseorang dikatakan belum dimulai dan juga
belum memenuhi syarat dikhawatirkan akan segera menimpa.
2. Apabila serangan dari seseorang dikatakan telah selesai.
3. Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam sering disebut dengan fikih jinayah. Fikih
jinayah terdiri dari dua kata. Fikih secara bahasa berasal dari lafal faqiha,
yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fikih secara
istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah: Fikih adalah
ilmu tentang hukum-hukum syara‟ praktis yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci. Atau fikih adalah himpunan hukum-hukum syara‟ yang
bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.28
Sedangkan Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil
perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Adapun jinayah
secara istilah sebagai mana yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah
yaitu: Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh
syara‟, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.29
Beberapa pandangan intelektual lain mengartikan Hukum Pidana
Islam yaitu Sayid Sabiq memberikan definisi jinayah sebagai berikut: yang
dimaksud dengan jinayah dalam istilah syara‟ adalah setiap perbuatan
yang dilarang. Dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan
yang oleh syara‟ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya
terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan atau harta benda.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah
mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut
terbatas pada perbuatan yang dilarang. Secara umum, pengertian Jinayat
28 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, Ad Dar Al Kuwaitiyah, cet, VIII, 1968, h.,
11. 29
Abdul Qadir Audah,At Tasyri‟ Al Jina‟I Al Islami, Beirut: Dar Al-Kitab Al-„Araby, tt,
h., 67
23
sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang
mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan,
seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya.
4. Hukum Pidana Positif
Menurut Mr. PW. PJ. Pompe, Hukum Pidana adalah “Keseluruhan
aturan atau keseluruhan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat
dihukum dan aturan pidananya”.
Menurut Van Apeldoorn, hukum pidana adalah “Peristiwa–
peristiwa pidana (yakni peristiwa-peristiwa yang dinak hukum), beserta
hukumnya”.
Hukum positif Indonesia menurut bentuknya terdiri dari hukum
tertulis (peraturan perundangan) dan hukum tidak tertulis (hukum adat).
Sumber hukum positif Indonesia ada dua yaitu sumber hukum materiil dan
sumber hukum formil. Sumber hukum materiil adalah kesadaran hukum
masyarakat atau kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat yang
dianggap seharusnya.30
Adapun sumber hukum formil adalah tempat
dimana kita dapat menemukan hukum, prosedur atau cara pembentukan
Undang-undang. Yang termasuk sumber hukum formil adalah:
a. Undang-undang.
b. Adat atau kebiasaan.
c. Jurisprudensi.
d. Traktat.
e. Doktrin hukum31
I Ketut Artadi S.H., SU., menjelaskan bahwa “hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis, adalah produk karya manusia yang
30
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: C.V Armico, 1985), h.,37 31 Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: C.V Armico, 1985), h., 38
24
tujuannya adalah untuk mengatur pergaulan hidup di masyarakat, agar
dalam pergaulan hidup tersebut manusia dan karyanya tetap terjaga”32
.
32
I Ketut Artadi, Hukum Dalam Perspektif Kebudayaan: Pendekatan Kebudayaan
terhadap Hukum, (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2006), h., 29
25
BAB III
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA
POSITIF
Pada dasarnya istilah pembelaaan terpaksa melampaui batas, tidak
ditemukan dalam Hukum Pidana Islam.
Pengertian yang lebih spesifik dalam hukum pidana Islam lebih
dikenal dengan istilah dif‟a asy-syar‟i al-khass (pembelaan syar‟i khusus
atau pembelaan yang sah) atau daf‟u as-sail (menolak penyerang).
Meskipun demikian, secara subtantif pengertian tersebut penulis
analogikan dengan maksud yang terdapat dalam hukum positif.
Dalam masalah pembelaan yang sah Islam membedakannya
menjadi dua yaitu Pembelaan khusus (daf us-sha‟il) dan Pembelaan umum
atau (dif‟a asy-syar‟i al-am) atau yang lebih dikenal dengan istilah Amar
Ma‟ruf Nahi Munkar. Amar adalah fi‟il amar yang berarti perintah atau
anjuran dan Ma‟ruf (kebaikan) yaitu semua perkataan atau perbuatan yang
perlu diucapkan atau dilakukan sesuai dengan nas, dasar umum (aturan
pokok) dan jiwa hukum Islam, bisa dengan perkataan dan perbuatan.
Sedangkan Nahi yaitu Fi‟il nahi yang berarti larangan untuk mengerjakan
dan Munkar yaitu setiap perbuatan yang dilarang terjadinya oleh syara‟.
Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah
suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain
dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda
atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi,
konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka
seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi
tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila dikatakan
kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa ketika
meninggalknnya.33
33
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). h., 211.
26
Serangan seseorang adakalanya ditujukan kepada kehormatan jiwa
atau harta benda. Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat bahwa
hukumnya adalah wajib. Apabila seorang laki-laki hendak memperkosa
seorang perempuan sedangkan untuk mempertahankan kehormatannya
tidak ada lagi kecuali membunuhnya maka perempuan tersebut wajib
membunuhnya, demikian pula bagi yang menyaksikan. Untuk membela
jiwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya. Kemudian atas
dasar inilah penulis berpendapat hal yang dilakukan oleh Anak dapat
termaafkan.
Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang rajih dalam mazhab
Maliki dan mazhab Syafi‟i membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan
menurut pendapat yang marjuh (lemah) di dalam mazhab Maliki dan
mazhab Syafi‟i serta pendapat yang rajih (kuat) di dalam mazhab Hanbali
membela jiwa hukumnya jaiz (boleh) bukan wajib.34
Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu
diharamkan tetapi terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian
perbuatan yang dilarang bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus
sebab kondisi seseorang atau keadaan masyarakat menuntut adanya
pembolehan ini. Juga karena orang yang diperkenankan untuk melakukan
perbuatan yang dilarang sebenarnya melakukannya untuk mencapai suatu
tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam.
Seperti melindungi jiwa, menjaga kehormatan dan mempertahankan
harta baik diri sendiri maupun orang lain.
اأىصو ف اىذ ء اأىعشاض اأىاه اىحشة
“Prinsip dasar pada maslah darah, kehormatan dan harta adalah
34
Misalnya, jika ada seorang laki-laki hendak memperkosa wanita, sedang seorang
wanita tidak sanggup menolaknya (membela diri) kecuali dengan jalan membunuh, wanita tersebut wajib membunuhnya jika dia sanggup. Demikian pula jika seorang lelaki (A) yang melihat lelaki lain (B) hendak menzinahi wanita, tetapi dia tidak sanggup mencegah perzinahan yang menimpa wanita itu kecuali dengan membunuh si B, maka si A wajib membunuh jika dia sanggup. Wajib
adalah suatu hal dimana orang yang meninggalkannya akan tercela secara syara‟. Lihat dalam
Abul Qadir„Audah, at-Tasyri‟i al-Jina‟i al-Islami Jilid II, h.,88.
27
haram.”35
Yang menjadi perbedaan syarat pembelaan diri dalam hukum
pidana Islam dan KUHP adalah Pertama, melewati batas ukuran pembelaan
diri (yang diperbolehkan). Dalam hukum pidana Islam, jika seseorang
melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan
yang diperlukan, maka harus bertanggung jawab atas tindakannya itu.
Kedua, Imam Abu Hanifah, asy-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa jerat atu perangkap yang dipasang dibelakang pintu,
pagar atau di jalan dengan maksud membunuh atau melukai penyerang
hukumnya boleh.
Orang yang mempunyai tempat tersebut tidak bertanggungjawab
apabila bertujuan untuk membela diri karena orang yang memasukinya
berarti membunuh dirinya sendiri lantaran memasuki rumah orang lain
secara ilegal (tanpa hak). Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa orang
yang melakukan hal tersebut harus bertanggungjawab apabila perbuatannya
bertujuan untuk melukai atau membinasakan orang yang memasuki rumah
tanpa izin. Dengan alasan, kaidah pembelaan diri karena pembelaan berdiri
atas dasar untuk menolak serangan dengan penolakan yang paling ringan.36
Hukum pidana Islam juga mengatur adanya pembelaan umum
(amar ma‟ruf nahi munkar) karena dengan adanya pembelaan umum,
maka dapat mencegah terjadinya jarimah dan mengurangi terjadinya
penyelewengan yang tidak diinginkan (upaya prefentif).
Jadi dalam hukum Islam, pembelaan umum hukumnya wajib.
Tetapi tidak semua orang dikenakan kewajiban dalam melaksanakannya.
Ada beberapa syarat yang harus ada pada pembelaan umum, salah satunya
yaitu adanya kesanggupan dan berakal sehat. Dari segi hukum dan dasar
tujuan tidak ada perbedaan antara pembelaan khusus dan pembelaaan
umum tersebut. Tetapi dalam segi objek terdapat perbedaan yaitu: Objek
35
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id
Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009) h.,5 36
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri‟i al-Jina‟i al-Islami Jilid II, h.,152
28
pembelaan khusus adalah setiap serangan yang mengenai keselamatan
orang atau hartanya atau kehormatannya, sedang objek pembelaan umum
adalah yang mengenai hak masyarakat, keamanan dan ketertibannya yang
bersifat wajib. Pembelaan khusus terjadi jika adanya serangan dari
seseorang, sedang pembelaan umum terjadi ketika tidak ada serangan.
Contoh: jika ada seorang laki-laki mendatangi seorang perempuan
dengan maksud memperkosa, maka disini terdapat pembelaan khusus.
Tetapi jika lelaki itu mendatanginya dengan persetujuan seorang
perempuan tersebut, maka terjadi pembelaan umum yaitu menolak
(menggagalkan) perbuatan munkar. Begitu juga dengan peristiwa
pembunuhan terhadap orang lain terdapat pembelaan khusus tetapi pada
percobaan membunuh terdapat pembelaan umum.
Ciri khas syari‟at Islam yang tidak terdapat pada hukum positif
adalah “amar ma‟ruf nahi munkar”. Dengan adanya asas ini dimaksudkan
agar setiap orang menjadi pengawas atas orang lain dan penguasa serta
sesama manusia saling memberi petunjuk dan mengingatkan untuk
menjauhkan diri dari perbuatan munkar dan maksiat, menjaga keamanan
dan ketertiban, memberantas jarimah dan menjunjung akhlak yang tinggi.
Sistem amar ma‟ruf nahi munkar tidak dikenal oleh hukum positif
kecuali pada awal abad XIX M, dimana hukum tersebut mulai mengakui
adanya hak mengeritik dan membimbing rakyat biasa (perorangan), serta
memberikan hak untuk menangkap orang yang tertangkap basah waktu
melakukan jarimah dan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib.
Bahkan dalam keadaan tertentu perseorangan diberikan hak untuk
menghalangi perbuatan jarimahnya jika menyangkut kepentingan
masyarakat seperti dalam penggulingan kekuasaan pemerintah dan
menghancurkan bangunan umum. Tetapi sistem amar ma‟ruf nahi munkar
hanya diterapkan oleh hukum positif dalam keadaan tertentu saja sedang
dalam syariat Islam dijalankan dengan seluas-luasnya.37
37
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) h., 225-226
29
Dalam KUHP pasal 49 ayat 1, dikenal istilah pembelaan terpaksa
(noodweer), yang berasal dari kata nood dan weer. “Nood” berarti darurat
(keadaan)/ keadaan terpaksa, sedangkan “weer” berarti pembelaan,
menolong atau melepaskan dari bahaya. Sedangkan pasal 49 ayat 2 KUHP
dikenal pengertian pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces).
Pengertian tersebut pada dasarnya sama dengan pengertian yang
dimaksud dalam ayat 1 tetapi dalam ayat 2 terdapat kata “exces” yang
berarti pelampauan batas. Salah satu sebab diperbolehkannya perbuatan
yang dilarang dalam KUHP yang tidak dipidana yaitu melakukan
pembelaan diri. Dalam menentukan apakah perbuatan tersebut merupakan
pembelaan diri atau bukan, maka dalam hukum positif mengatur tentang
syarat maupun unsur-unsur pembelaan diri.
Dalam menetapkan syarat pembelaan diri terdapat persamaan dan
perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum Positif. Persamaan syarat
tersebut yaitu antara lain:
Pertama, pembelaan terpaksa dilakukan karena sangat terpaksa atau
tidak ada jalan lain untuk mengelakan serangan, harus benar-benar dalam
keadaan terpaksa. Sesuai dengan syarat ini menurut penulis Anak sudah
dalam keadaan terpaksa karena Anak berada di situasi yang terpojok selain
berada di tempat yang sepi saat kejadian itupun sudah memasuki waktu
malam hari.
Kedua, untuk mengatasi adanya serangan atau ancaman serangan
seketika yang bersifat melawan hukum. Jadi, disini dalam melakukan
pembelaan tidak boleh adanya praduga / prasangka dan rasa takut yang
berlebihan akan diserang sehingga ia menyerang dulu sebagai bentuk
pembelaan diri, dalam hal ini tidak dibenarkan. Maka pembelaan dilakukan
harus terjadi serangan seketika itu terjadi. Dalam kasus ini Anak memiliki
kesempatan untuk berfikir dan memiliki cukup waktu untuk mengambil
pisau untuk menyerang korban, maka syarat seketika tidak terpenuhi.
Ketiga, serangan atau ancaman serangan ditujukan pada 3
30
kepentingan hukum atas: badan, kehormatan kesusilaan, dan harta benda
sendiri atau orang lain. Syarat inipun menurut penulis sudah sangat tepat
untuk Anak melakukan pembelaan diri.
Keempat, harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan
berlangsungnya serangan, atau bahaya yang masih mengancam.
Kelima, perbuatan pembelaan harus seimbang38
dengan serangan
yang mengancam.
Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan) dan
tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan mengenai
orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah lagi
melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri. Contohnya, apabila
seseorang bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah karena
mengenai orang lain sehingga melukai atau bahkan membunuhnya, si
pembela diri harus bertanggung jawab atas pelukaan atau pembunuhan
tersalah tersebut meskipun bermaksud dengan sengaja melakukan
pembelaan diri. Hal ini disamakan dengan berburu binatang tapi tersalah
sehingga mengenai orang lain. Berburu itu adalah perbuatan yang
diperbolehkan tapi pemburu tetap bertanggungjawab atas penembakan
tersalah yang mengenai manusia tersebut.14
Sedangkan dalam KUHP, pertama dikenal pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, dalam hal ini si korban mengalami kegoncangan jiwa
yang sangat hebat. Jadi, faktor subyektifitas memegang peranan karena
temperamen setiap individu berbeda-beda. Sebaiknya terhadap diri pribadi
si pelaku noodweer exces dimintakan keterangan ahli psikolog/psikiater.
38 Dalam hukum pidana positif, ukuran seimbang atau lebih berat yang dimaksud adalah
terletak pada akal manusia pada umumnya. Jadi di sini terdapat ukuran objektif yang sekaligus
subjektif. Ukuran subjektif yaitu terletak pada akal manusia, sedangkan ukuran objektif adalah
bagi orang normal pada umumnya. Ukuran subjektif dan objektif ini haruslah digunakan secara
bersama. Tidak boleh subjektif saja misalnya hanya pada akal dan perasaan si pembuat, tetapi
harus pada akal pikiran bagi orang pada umumnya. Hakimlah yang berwenang menilai dan
menentukan telah dipenuhinya syarat subjektif maupun objektif tersebut, dan dia harus mampu
menangkap akal pikiran bagi semua orang terhadap resiko atas suatu pilihan perbuatan tertentu
berdasarkan akal budi yang dimilikinya. Lihat dalam Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007) h., 199
31
kedua Mengenai pemasangan alat atau perangkap di depan rumah sebagai
bentuk pembelaan diri, tidak diperbolehkan karena dalam pasal 49 ayat 1
yang menjadi syarat pembelaan terpaksa salah satunya adalah serangan
yang dilakukan harus sedang dijalankan. Jika pemasangan alat atau
perangkap yang mematikan sebagai pembelaan diri diperbolehkan atau
“dikhawatirkan akan segera menimpa”, dengan alasan sebagai
perlindungan diri karena di Indonesia sering terjadi perampokan jadi
sebagai alat perlindungan diri maka tidak dibenarkan karena dikhawatirkan
dalam hal ini tidak ada faktor seimbang antara dua kepentingan yang
dirugikan ada peranan penting.
Persamaan pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang melampaui
batas antara lain yaitu: Pertama, pada keduanya harus ada serangan atau
ancaman serangan yang melawan hukum yang ditujukan pada tiga
kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusialaan dan harta benda),
samasama dilakukan dalam keadaan yang terpaksa (noodzakelijk) dalam
usaha mempertahankan dan melindungi suatu kepentiangan hukum yang
terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan
hukum, kedua, pada keduanya, pembelaan ditujukan untuk
mempertahankan daan melindungi kepentingan hukum (rechsbelang) diri
sendiri atau kepentingan hukum orang lain.
Sedangkan perbedaannya yaitu antara lain: Pertama, perbuatan yang
dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa harus perbuatan yang
seimbang dengan bahaya atau ancaman serangan dan tidak diperbolehkan
melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan. Tetapi dalam
pembelaan terpaksa melampaui batas, pilihan perbuatan tidak seimbang
dengan bahaya yang ditimbulkan oleh serangan atau ancaman serangan
karena adanya keguncangan jiwa yang hebat39
misalnya seseorang
menyerang lawannya dengan pecahan botol yang sebenarnya dapat dilawan
dengan sebatang kayu (noodweer) tapi karena kegoncangan jiwa yang
39
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Cet. ke-1, 2002) h., 51
32
hebat dilawan dengan cara menembaknya (noodweer exces), kedua,
pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan ketika adanya ancaman atau
serangan sedang berlangsung dan tidak boleh dilakukan setelah serangan
berhenti atau tidak ada lagi, tapi dalam pembelaan yang melampaui batas,
perbuatan pembelaan masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.
Ketiga, tidak dipidana dalam pembelaan terpaksa karena sifat melawan
hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar.
Dasar peniadaan pidana pada pembelaan terpaksa terletak pada
perbuatannya. Sedangkan dalam pembelaan yang melampaui batas
merupakan alasan pemaaf karena adanya alasan penghapus kesalahan pada
diri pelaku. Dalam noodweer mengandung asas subsidairiteit yaitu harus
adanya keseimbangan antara kepentingan yang dibela, cara yang dipakai
dan kepentingan yang dikorbankan dan asas propositionaliteit yaitu tidak
semua alat dapat dipakai, hanya yang masuk akal. karena terdapat
pembelaan yang dilakukan harus sesuai dengan serangan yang bersifat
melawan hukum, sedangkan pembelaan diri harus disebabkan terpaksa
karena tidak ada jalan lain.
Jadi, dalam pembuktian suatu kasus, hakim harus benar-benar
memperhatikan asas tersebut apakah merupakan alasan dalam noodweer
atau bukan. Selain pembelaan diri (pembelaan khusus).
33
BAB IV
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR
01/PID.SUS-ANAK/2020/PN.KPN TENTANG TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA
A. Duduk Perkara
Kronologi kejadian yang tertuang dalam putusan Nomor:
01/Pid.Sus-Anak/2020/PN.KPN yaitu Anak pada hari Minggu tanggal 08
September 2019 sekitar pukul 19.30 WIB bertempat dijalan ladang tebu
Serangan desa Gondanglegi Kulon Kecamatan Gondanglegi Kabupaten
Malang atau setidak-tidaknya ditempat lain yang masih dalam wilayah
hukum Pengadilan Negeri Kepanjen, melakukan penganiayaan yang
mengakibatkan korban Misnan meninggal dunia. Bermula Anak sedang
mengedarai sepeda motor bersama teman perempuannya dan tepatnya di
lokasi tanaman tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kecamatan
Gondanglegi Kabupaten Malang selanjutnya Anak bersama Anak saksi
berhenti dan pada saat yang demikian korban Misnan dan Mad
menghampiri Anak yang sedang duduk diatas motor bersama Anak saksi,
kemudian korban Misnan mencabut kunci sepeda motor Anak.
Kemudian selanjutnya korban Misnan meminta seluruh barang
milik Anak, dan Anak menyerahkan HP dan berharap kunci sepeda motor
dikembalikan oleh saksi Mad, namun kunci tidak dikembalikan
selajutnya korban Misnan dan Mad berunding dan meminta sepeda motor
Anak juga HP milik Anak saksi, namun Anak tetap tidak mau
memberikan HP milik Anak saksi dan menjanjikan akan memberikan
uang kepada korban dan Mad.
Setelah itu korban Misnan dan Mad berunding, kemudian Anak
berkesempatan membuka jok sepeda motornya, dan setelah jok terbuka
kemudian Anak mengambil sebilah pisau dan setelah korban Misnan dan
Mad mendekat Anak dan tetap meminta barang barang milik Anak, melihat
keadaan seperti itu Anak emosi dan mengarahkan ujung pisau yang telah
34
dipersiapkan ke dada korban Misnan sebanyak 1 kali hingga menancap
didada korban sambil Anak mengatakan “JANCUK TAK PATENI
KON“, lalu Anak mencabut pisau dari dada korban selanjutnya berusaha
menyerang saksi Mad namun korban Misnan dan saksi Mad berhasil
melarikan diri.
Meski melakukan upaya pembelaan diri, dalam sidang yang digelar
di Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Kabupaten Malang, Anak Dalam
didakwa dengan pasal 351 ayat 3 yang berbunyi “ Jika perbuatan itu
menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh
tahun”. Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan matinya
seseorang adalah merupakan perbuatan dimana berupa penyerangan atas
tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka,
bahkan sampai menimbulkan kematian. Dari hal tersebut maka adapun
permasalahan yang dihadapi yaitu bagaimana penerapan pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap pelaku penganiayaan dan apa yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penganiayaan yang
mengakibatkan matinya seseorang.
Melihat fakta-fakta di Persidangan yaitu pada hari Minggu tanggal
8 September 2019 sekitar pukul 18.00 WIB Anak pergi bersama Anak
Saksi ke Stadion Kanjuruhan untuk melihat expo, anak menjalin hubungan
pacaran dengan Anak Saksi dan Anak sudah memiliki isteri dan 1 (satu)
orang anak, kemudian dikarenakan ibu Anak menelepon Anak meminta
untuk segera pulang, maka Anak dan Anak Saksi segera pulang. Anak dan
Anak Saksi pulang sekitar pukul 19.00 WIB melewati jalan pintas di
daerah gondanglegi dikarenakan jalan yang biasa dilewati dalam kondisi
ramai atau macet.
Pada hari Minggu tanggal 8 September 2019 sekitar pukul 19.30
WIB bertempat dijalan ladang tebu Serangan Desa Gondanglegi Kulon
Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, motor yang dikendarai oleh
Anak dan Anak Saksi didekati oleh motor Korban MISNAN dan Saksi
35
MAMAT lalu Korban MISNAN meminta untuk Anak berhenti
mengemudikan motornya. Anak tidak dapat berbuat selain
memberhentikan motornya karena akan jatuh jika tetap tancap gas, pada
saat didekati oleh motor Korban MISNAN dan Saksi MAMAT, Anak
mengetahui akan terjadi hal buruk kepada mereka.
Pada saat diberhentikan oleh MISNAN dan MAMAT, Anak
meminta Anak Saksi untuk melarikan diri namun Anak Saksi tidak mau,
pada saat kejadian Korban MISNAN meminta HP yang dibawa Anak dan
Anak Saksi, namun Anak hanya memberikan HP milik Anak saja dan
Korban MISNAN tetap meminta HP milik Anak Saksi sesaat kemudian
Korban MISNAN menelepon temannya dengan jarak yang agak jauh
sedangkan Saksi MAMAT masih berada di dekat Anak dan Anak Saksi
dan setelah menelepon, Korban MISNAN meminta untuk dapat
bersetubuh dengan Anak Saksi sebagai ganti jika HP Anak Saksi tidak
mau diserahkan kemudia anak tidak mau dan menawarkan untuk
memberikan sejumlah uang kepada Korban MISNAN dan Saksi MAMAT,
namun Korban MISNAN dan Saksi MAMAT menolaknya dan tetap
meminta untuk dapat bersetubuh dengan Anak Saksi, ketika anak dan anak
saksi di lokasi kemudian terjadi negoisasi dengan korban Misnan dan saksi
Mamat selama 3 (tiga) jam selanjutnya terjadi penusukan terhadap korban
Misnan kemudian Anak mau memberikan HP Anak Saksi kepada Korban
MISNAN dengan syarat agar kunci motor dikembalikan kepada Anak,
namun Korban MISNAN tetap meminta HP Anak Saksi diserahkan
terlebih dahulu, lalu Anak mau menyerahkan HP namun Korban MISNAN
tetap tidak mau menyerahkan kunci motor Anak, setelah itu, Korban
MISNAN dan Saksi MAMAT berdiskusi dengan jarak sekitar 20 meter
dari posisi Anak dan Anak Saksi dimana disaat itu tidak ada yang
menghalangi Anak dan Anak Saksi untuk melarikan diri.
Anak dan Anak Saksi tidak melarikan diri karena kunci motor
masih dibawa oleh Korban MISNAN namun selagi Korban MISNAN dan
36
Saksi MAMAT berdiskusi, Anak mengambil pisau dari dalam jok
motornya, pisau tersebut sebelum kejadian dibawa Anak karena
dipergunakan untuk mata pelajaran prakarya disekolah pada hari kamis
tanggal 5 September 2019, setelah Korban MISNAN dan Saksi MAMAT
selesai berdiskusi, mereka mendatangi Anak dan Anak Saksi dan kembali
meminta agar dapat bersetubuh dengan Anak Saksi selama 3 (tiga) menit.
Anak tidak mau menerima permintaan Korban MISNAN dan menawarkan
untuk memberikan sejumlah uang saja sebagai gantinya, dikarenakan
Korban MISNAN menolak penawaran Anak, maka Anak kemudian
menusukkan pisau yang dibawanya tepat ke bagian dada Korban MISNAN
kemudian mencabut pisau tersebut lalu mengacungkan pisaunya ke arah
Saksi MAMAT sambil berteriak: “Jancuk, tak pateni kon” yang membuat
Korban MISNAN dan Saksi MAMAT melarikan diri ke arah yang
berbeda. Anak melakukan hal tersebut karena takut Korban MISNAN dan
Saksi MAMAT akan memperkosa Anak saksi dan hal tersebut dilakukan
agar Korban MISNAN dan Saksi MAMAT tidak menggangu Anak saksi.
B. Pertimbangan Hakim
Setelah membaca dan memahami duduk perkara dan fakta-fakta di
persidangan dalam putusan Nomor: 01/Pid.Sus-Anak/2020/PN.KPN,
keterangan saksi-saksi, saksi ahli dan anak, Penunutut Umum menyatakan
anak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
“penganiayaan yang menyebabkan matinya orang“, namun anak dan
penasehat hukumnya tetap bersikeras walaupun anak terbukti melakukan
tindak pidana “penganiayaan yang menyebabkan matinya orang “ akan
tetapi, perbuatan itu tidak dapat di tuntut karna di dasarkan pada adanya
suatu Noodweer/alasan pemaaf sehingga dengan demikian anak haruslah
di lepaskan dari segala tuntutan hukum.
Selanjutnya yang menjadi pertimbangan Hakim berdasarkan fakta-
fakta hukum tersebut diatas adalah Anak dapat dinyatakan telah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Bahwa Hakim
37
terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan primer sebagaimana diatur
dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang unsur-
unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Unsur barang siapa;
2. Unsur dengan sengaja dengan rencana terlebih dahulul menghilangkan
nyawa orang lain;
Bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim
mempertimbangkan tentang unsur Barang Siapa dalam hal ini.
Pengertiannya adalah orang perseorangan atau korporasi yang menjadi
subyek hukum atau pelaku dari tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum untuk dibuktikan kebenarannya dan dalam perkara ini
adalah Anak yang bernama MOCHAMAD ZAINUL AFANDIK yang
berdasarkan keterangan saksi-saksi dan Anak sendiri yang menerangkan
identitas sebagaimana dalam berita acara pemeriksaan Penyidik maupun
surat dakwaan Penuntut Umum ternyata telah cocok dengan identitas Anak
di persidangan dan sepanjang persidangan berlangsung tidak terdapat
satupun petunjuk bahwa akan terjadi kekeliruan orang (error in person)
sebagai subjek hukum atau Anak yang sedang diperiksa dalam perkara ini
dengan ini Anak diajukan dalam perkara pidana Anak, dan berdasarkan
keterangan Anak sendiri dan orang tua dari Anak, serta Laporan Penelitian
Kemasyarakatan Nomor 164/BKA/POL-PN/IX//2019 tanggal 20
September 2019 oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang bernama Drs.
Indung Budianto, MH berdasarkan foto copi Kutipan Akta Kelahiran yang
menerangkan Anak lahir pada tanggal 18 Januari 2002, sehingga pada saat
kejadian tindak pidana yang didakwakan tersebut, Anak belum berusia 18
(delapan belas) tahun.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui pada
saat dilakukannya tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh
Penuntut Umum tersebut di atas, dilakukan oleh Anak sebelum berumur
18 (delapan belas) tahun, dan pada saat diajukan di sidang Pengadilan,
Anak belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun sehingga berdasarkan
38
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, maka sudah tepat apabila Anak diajukan ke sidang Anak.
Bahwa sub unsur dengan sengaja dan dengan rencana terlebih
dahulu adalah sub unsur yang bersifat kumulatif. Karena bersifat kumulatif
maka kedua sub unsur tersebut harus terpenuhi. Apabila salah satu tidak
terpenuhi maka unsur kedua tidak terpenuhi. Pengertian dengan sengaja
menurut memorie van toelichting adalah si pelaku harus menghendaki dan
mengetahui akibat dari perbuatannya. Pengertian dengan rencana terlebih
adalah si pelaku harus memiliki rentang waktu yang cukup lama antara
mempersipakan perbuatan yang diketahui dan dikehedakinya itu dengan
waktu pelaksanaan perbuatan tersebut. Si pelaku harus mempunyai waktu
yang cukup
lama dan matang untuk memutuskan apakah si pelaku akan melakukan
perbuatan tersebut. Si pelaku harus mempunyai waktu yang cukup untuk
mempersiapkan alat untuk melakukan perbuatannya tersebut.
Pertimbangan hakim selanjutnya bahwa Anak melakukan
penusukan terhadap korban hanya untuk membuat korban dan Saksi
Mamat takut dengan tujuan supaya korban dan Saksi Mamat pergi dan
tidak memeras Anak serta tidak menggangu teman perempuannya.
Mengingat tujuan anak melakukan penusukan terhadap korban hanya
untuk membuat korban dan Saksi Mamat takut dengan tujuan supaya
korban dan Saksi Mamat pergi dan tidak memeras Anak serta tidak
menggangu teman perempuannya. Anak juga tidak mempunyai niat atau
menginginkan kematian korban maka unsur dengan sengaja tidak
terpenuhi maka sub unsur- sub unsur dalam dalam unsur kedua berbentuk
kumulatif maka apabila salah satu sub unsur tidak terpenuhi maka unsur
kedua tidak terpenuhi.
Hakim menyatakan Anak dibebaskan dari dakwaan primair
tersebut perempuannya maka dapat disimpulkan bahwa anak tidak
mempunyai niat atau menginginkan kematian korban, bahwa oleh karena
dakwaan kesatu subsidair tidak terbukti, maka selanjutnya Hakim akan
39
mempertimbangkan dakwaan kesatu lebih subsidair, sebagaimana diatur
dalam Pasal 351 Ayat (3) KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai
berikut:
1. Unsur barang siapa;
2. Unsur penganiayaan yang mengakibatkan mati;
Unsur barang siapa, pengertian dan pertimbangan unsur barang
siapa telah diuraikan dalam unsur pertimbangan dakwaan primair, maka
Majelis mengambil alih pertimbangan tersebut diatas, yang pada pokoknya
unsur ini dinyatakan telah terbukti. Unsur penganiayaan yang
mengakibatkan mati bahwa “menganiaya” adalah dengan sengaja
menimbulkan sakit atau luka. Kesengajaan ini harus dituduhkan dalam
surat tuduhan.
Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai
kesengajaan. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) terdapat keterangan
yang menyatakan “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya
pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan
dikehendaki (willens) dan diketahui (wetens)”. Dengan singkat dapat
disebut bahwa kesengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan orang
yang mengetahui.40
Penganiayaan yang dilakukan Anak terhadap korban
mengakibatkan korban meninggal dunia maka unsur penganiayaan yang
mengakibatkan mati telah terpenuhi. Oleh karena semua unsur dari Pasal
351 Ayat 3 KUHP telah terpenuhi, maka Anak haruslah dinyatakan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan lebih subsidair Penuntut Umum.
Pertimbangan hakim tentang pasal 49 bahwa syarat-syarat pembelaan
darurat menurut, yaitu:41
1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk
mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh
40
Adami Chazawi, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h., 93-96 41
R. Soesilo Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap
Pasal Demi Pasal h., 64-65
40
dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang
tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk
membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh
membunuh atau melukai orang lain;
2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap
kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan,
kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain;
3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan
sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga;
Menimbang, bahwa R. Soesilo (hal. 65) memberi contoh
“pembelaan darurat” yang diatur dalam Pasal 49 yaitu seorang pencuri
yang akan mengambil barang orang lain, atau pencuri yang ketahuan
seketika mengambi barang orang lain kemudian menyerang orang yang
punya barang itu dengan pisau belati dan sebagainya sedangkan rentang
waktu pertemuan Anak dan Anak Saksi bersama dengan Korban MISNAN
dan Saksi MAMAT sekitar 3 (tiga) jam dan selama rentang waktu tersebut
Anak dan Anak Saksi memiliki peluang untuk melarikan diri walau harus
meninggalkan motor anak yang ditahan oleh Korban MISNAN dan Saksi
MAMAT. Hakim juga berpendapat tidak ada hal yang menghalangi Anak
dan Anak Saksi untuk melarikan diri dikarenakan tidak ada ancaman yang
dapat membahayakan Anak dan Anak Saksi dari Korban MISNAN dan
Saksi MAMAT dikarenakan Korban MISNAN dan Saksi MAMAT tidak
membawa senjata atau alat yang dapat membahayakan Anak dan Anak
Saksi, bahkan Korban MISNAN dan Saksi MAMAT tidak menyentuh atau
menahan secara fisik Anak dan Anak Saksi untuk melarikan diri atas dasar
diatas Hakim berpendapat bahwa perbuatan Anak bukanlah pembelaan
terpaksa (noodweer).
Terkait permintaan bersetubuh yang dilakukan Korban MISNAN
dan Saksi MAMAT kepada Anak Saksi tidak disertai dengan tindakan
melainkan upaya permintaan tersebut berulang kali dinegosiasikan Korban
MISNAN dan Saksi MAMAT kepada Anak, Korban MISNAN dan Saksi
41
MAMAT sendiri sampai selama rentang waktu 3 (tiga) jam tidak sekalipun
menyentuh atau melecehkan secara fisik Anak Saksi. Oleh karena itu,
Anak dalam melakukan perbuatannya dinilai tidak dalam perasaan
tergoncang hebat dikarenakan Anak dengan tenang mengambil pisau di
jok motornya dan menyembunyikannya dibalik badannya serta dengan
sabar menunggu waktu yang tepat untuk melakukan perbuatannya selain
itu juga tidak ada pernyataan dari ahli yang menyatakan sebaliknya terkait
perasaan tergoncang yang dialami oleh Anak; Menimbang, bahwa atas
dasar diatas Hakim berpendapat bahwa perbuatan Anak bukanlah
pembelaan darurat yang melampaui batas (Noodweer Exces) dan menurut
Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan
pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan
pemaaf, maka Anak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan
bahwa karena Anak mampu bertanggung jawab, maka harus dinyatakan
bersalah dan dijatuhi pidana.
C. Pertimbangan Hakim dalam kasus Tindak Pidana Pembunuhan
Pembelaan Terpaksa
Jika penjelasan di atas di kaitkan dengan kasus dalam putusan
Nomor 01/PID.SUS-ANAK/2020/PN.KPN yang menetapkan pelaku yang
masih di bawah umur dengan Pasal 351 Ayat (3) KUHP dan Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta
peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan Hakim
menyatakan Anak MOCHAMAD ZAINUL AFANDIK Als. FANDIK
Bin SARUJI tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Penganiayaan Mengakibatkan Mati”
sebagaimana dalam dakwaan lebih subsidair, Menjatuhkan pidana kepada
Anak oleh karena itu dengan pidana Pembinaan dalam Lembaga di
Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak Darul Aitam di Wajak Kab Malang
selama 1 ( satu) tahun.
Yang dengan putusan tersebut, penulis berpendapat hukuman yang
42
dijatuhi hakim sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dimana
Anak seharusnya dalam pasal 49 ayat 1 yang berbunyi: “Tidak dipidana,
barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri atau
orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang
lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan
hukum pada ketika itu juga.”. Dalam Pasal ini salah satu syarat pembelaan
terpaksa adalah dilakukan seketika yang jika dilihat kronologi kasusnya
syarat tersebut tidak terpenuhi.
Di dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan yang dilakukan
karena pembelaan terpaksa tidak dipidana, karena adanya peniadaan
pidana yang di dalamnya terdapat alasan pembenar yang menyebabkan
hapusnya sifat melawan hukum perbuatan42
, sehingga apa yang dilakukan
terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tidak dipidananya
terdakwa karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya
perbuatan. Walaupun dalam kenyataanya perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat
melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana.
Selain alasan pembenar, juga terdapat alasan pemaaf karena orang
yang melakukan perbuatan karena terdorong oleh pembelaan terpaksa
melampaui batas yang sebenarnya terpaksa dilakukan karena didorong
oleh suatu tekanan batin atau tergoncangnya jiwa, jadi fungsi batinnya
menjadi tidak normal. Oleh karena itu seseorang yang melakukan
pembunuhan karena dalam keadaan terpaksa dan dalam pembuktian di
persidangan benar-benar terbukti adanya syarat dan unsur pembelaan
42
Hal ini berdasarkan pendapat Langenmeyer yang dikutip oleh Roeslan Saleh:“ Sifat
melawan hukum pada suatu perbuatan yang memenuhi rumusan delik akan mempunyai arti jika
melalui cara yaitu hakim akan memutuskan supaya ia lepas dari segala tuntutan hukum
berdasarkan tidak dapat dipidananya perbuatan tersebut bilamana ia berfikir bahwa harus
memperhatikan keadaan-keadaan yang khusus yag dipandang dari sudut peraturan tertulis atau
tidak tertulis perbuatan tersebut merupakan hal yang patut walaupun bertentangan dengan
ketentuan yang melarang. Dalam semua kejadian-kejadian demikian masih dibuktikan apa yang
sepatutnya didakwakan tetapi bersamaan dengan hilangnya sifat melawan hukum, hilang pula hal
yang dapat dipidananya, dan karenanya putusannya adalah lepas dari tuntutan hukum, bukan bebas
dari tuntutan hukum.” Lihat dalam Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, (Jakarta:
aksara Baru, 1987) h., 6
43
terpaksa, maka terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan. Namun
jika dalam pembuktian tidak terbukti adanya unsur pembelaan terpaksa
dalam tindak pidana pembunuhan, dengan mempertimbangkan kaidah
terdapat dalam pasal 49 ayat 1 dan 2 KUHP, maka pelaku dapat
dijatuhkan hukuman sebagaimana yang telah ditetapkan.
Penyerangan yang melawan hukum seketika itu melahirkan
hukum darurat yang membolehkan korban melindungi dan
mempertahankan kepentingannya atau kepentingan hukum orang lain.
Inilah dasar filosofi pembelaan terpaksa. Suatu perbuatan dianggap
sebagai suatu tindak pidana karena perbuatan tersebut bisa merugikan
terhadap tata nilai hidup yang ada di dalam masyarakat, kepercayaan-
kepercayaan, merugikan anggota-anggota masyarakat, harta benda, nama
baik, perasaan-perasaannya dan pertimbanganpertimbangan baik yang
harus dihormati dan dipelihara.
Dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pembunuhan, Islam
tidak terpaku hanya pada satu hukum saja, akan tetapi memberikan
alternatif baik pembunuhan itu sengaja atau pembunuhan yang tidak
disengaja. Bahkan Islam memberikan pilihan bagi keluarga terbunuh
dalam memberikan sanksi terhadap pelaku antara qishash atau
memaafkan dan disuruh memilih disekitar memberikan maaf dengan tidak
memberikan ganti apa-apa.
Dengam demikian, maka dapat di fahami bahwa dalam hukum
Islam, tujuan diadakannya hukum qishash adalah, untuk melindungi hak
Allah atas hamba dalam masyarakat, terutama menyangkut hak hidup
seseorang.
تق ىی الىب ب ىعيکۃ فی اىقص ص ح ىک
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”43
Dari ayat ini maka dapat dilihat bahwa qishash merupakan akibat
43
(QS. Al Baqarah (2): 179
44
dari kejahatan terhadap manusia. Tujuannya adalah untuk menjamin
kelangsungan hidup manusia. Dengan demikian artinya, jika qishash itu
dilaksanakan maka kelangsungan hidup manusia di dunia akan terjamin.
Dari ayat diatas jelas menunjukan bahwa hukuman merupakan sarana
sebagai sebuah jaminan terhadap hak-hak dan kelangsungan hidup
manusia.
Secara umum si korban tidak memiliki hak untuk memaafkan
hukuman, akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku bagi tindak pidana
pembunuhan. Pemaafan pada hukuman qishash oleh si korban tidak
dikhawatirkan akan mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
Dengan demikian, jenis hukuman qishash dalam hukum pidana Islam
tidak sematamata diorientasikan pada perlindungan atau pemberantasan
kejahatan, tetapi lebih dari itu ditujukan pada pemberian jaminan
rehabilitasi pada si korban untuk tetap mendapatkan haknya untuk
mendapatkan kembali posisi sosialnya yang setara dengan orang lain.
Islam memberikan kebebasan kepada seseorang selama tidak
melampaui batas. Seseorang diizinkan untuk hidup dan mempunyai hak
untuk hidup selama ia tidak melakukan kekerasan apa pun. Tetapi, bila ia
melampaui batas tersebut dan membuat kekacauan serta penindasan
dalam masyarakat atau menjadi ancaman bagi kehidupan sesamanya,
maka ia kehilangan hak hidupnya. Jadi, dalam menentukan sanksi
hukuman atas pembelaan yang melampaui batas dalam hukum Islam
penulis berdasarkan penjelasan diatas berpendapat bahwa terjadi
perbedaan pendapat dikalangan Ulama.
45
Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (diperbolehkan)
dan tidak ada hukuman baginya.
اأىس بق صذ
“Tiap perkara tergantung maksudnya”44
.
Namun jika sampai melewati batas dan mengenai orang lain
dengan tersalah, maka perbuatannya bukan mubah melainkan kekeliruan
dan kelalaian si pembela diri. Firman Allah SWT:
فض د ف الأسض ش فش أ قو فض بغ ب إصشائو أ ىل مب عي أجو ر قو اى س ع فن ج
مثش إ ت ث سصي ب ىب ىقذ ج ءت ع أح اى س ج أح فن ىل ف الأسض بعذ ر ا
ضشف ى
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia
seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, Maka seolaholah Dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul
Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas
dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”45
Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin
Hambal penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang
diancam dengan hukuman, tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah
(tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan
oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat dilawan. Jika
sampai mengakibatkan kematian maka tidak terdapat
44
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id
Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009) h.,5 45
Q.S Al Maidah (5): 32
46
pertanggungjawaban baginya baik secara perdata maupun pidana.
Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus
berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang
yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan
(serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan
hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan
maka orang yang diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa.
Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam Abu Hanifah
yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam dengan
hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Pendapat Abu Yusuf ini, maka tidak terdapat
pertanggungjawaban secara pidana tapi terdapat pertanggungjawaban
secara perdata yaitu dengan membayar diyat.46
Hakim dalam hal ini mengacu pada Pasal 351 Ayat (3) KUHP yang
unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Unsur barang siapa;
2. Unsur penganiayaan yang mengakibatkan mati;
Unsur penganiayaan yang mengakibatkan mati bahwa “menganiaya”
adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka. Kesengajaan ini harus
dituduhkan dalam surat tuduhan.
Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai
kesengajaan. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) terdapat keterangan
yang menyatakan “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada
barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki
(willens) dan diketahui (wetens)”. Dengan singkat dapat disebut bahwa
kesengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan orang yang
mengetahui.47
Penganiayaan yang dilakukan Anak terhadap korban
46
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Fiqih Jinayah), h.,
90 47 Adami Chazawi, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h., 93-96
47
mengakibatkan korban meninggal dunia maka unsur penganiayaan yang
mengakibatkan mati telah terpenuhi. Oleh karena semua unsur dari Pasal
351 Ayat 3 KUHP telah terpenuhi, maka Anak haruslah dinyatakan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.
Menurut penulis, kata “penganiayaan” dalam kasus ini kurang
tepat karena Anak tidak menghendaki perlakuan tersebut. Anak
melakukan penusukan terhadap korban hanya untuk membuat korban dan
Saksi Mamat takut dengan tujuan supaya korban dan Saksi Mamat pergi
dan tidak memeras Anak serta tidak menggangu teman perempuannya.
Mengingat tujuan anak melakukan penusukan terhadap korban hanya
untuk membuat korban dan Saksi Mamat takut dengan tujuan supaya
korban dan Saksi Mamat pergi dan tidak memeras Anak serta tidak
menggangu teman perempuannya. Anak juga tidak mempunyai niat atau
menginginkan kematian korban maka unsur dengan sengaja tidak
terpenuhi.
Menurut Hakim perbuatan yang dilakukan oleh Anak tidak
termasuk kedalam pembelaan terpaksa hanya karena Korban dan Saksi
Mamat tidak membawa senjata tajam. Namun Anak dalam hal ini juga
tidak sengaja membawa senjata tajam kecuali untuk tugas sekolah dan
dalam hal ini sudah terbukti. Hakim juga berpendapat Anak tidak dalam
keadaan terguncang untuk melakukan pembelaan diri. Padahal saat itu
Anak masih di bawah umur yang masih dalam perasaan yang tidak stabil
dikarenakan belum cukup dewasa dalam menghadapi sesuatu yang
darurat.
Mengenai hukuman bagi anak yang melakukan tindak pidana,
hukum pidana Islam tidak memberikan ketentuan yang jelas karena
menurut hukum Islam anak itu merupakan amanat yang diberikan oleh
Allah SWT yang harus dijaga, dirawat sebaik mungkin. Sehingga ketika
seorang anak melakukan perbuatan melanggar hukum maka anak tersebut
tidak dikenakan hukuman dan sebagai gantinya, yang menjalankan
48
hukuman adalah orang tuanya.
Karena hal tersebut, penulis berpendapat bahwa hukuman yang
dijatuhkan hakim sudah sesuai karena dalam pasal 49 KUHP salah satu
syarat pembelaan terpaksa adalah harus dalam keadaan yang terdesak dan
dilakukan seketika namun dalam kasus ini, pelaku mempunyai cukup
waktu dan kesempatan untuk melakukan tindak pidana tersebut.
49
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis dan interpretasi temuan yang penulis
kemukakan pada bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Pertimbangan hakim dalam putusan Nomor: 01/Pid.Sus-
Anak/2020/PN.KPN menjatuhkan pidana kepada Anak oleh karena itu
dengan pidana Pembinaan dalam Lembaga di Lembaga Kesejahteraan
Sosial Anak Darul Aitam di Wajak Kab Malang selama 1 (satu) tahun.
Yang dengan putusan tersebut, hukuman yang di jatuhi hakim sudah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat syarat dalam
pembelaan terpaksa adalah hal yang harus dilakukan dalam keadaan
yang terdesak dan seketika namun dalam kasus ini Anak mempunyai
cukup waktu dan kesempatan untuk melakukan tindakan tersebut.
2. Tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam perspektif
hukum pidana islam adalah membela diri merupakan suatu jalan yang
sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan
terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Untuk membela
kehormatan, para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah wajib.
Namun apabila jika seseorang melakukan pembelaan diri dengan
kekuatan melibihi kekuatan yang diperlukan maka harus
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Sedangkan hukum
pidana positif, syarat pembelaan terpaksa dalam pasal 49 KUHP adalah
dilakukan seketika namun dalam kasus ini syarat tersebut tidak
terpenuhi.
B. Rekomendasi
1. Kepada aparat penegak hukum dalam hal ini hakim, untuk dapat lebih
memikirkan, merenungkan dan menginterprestasikan kembali konsepsi
pembelaan diri dalam memutus suatu perkara. Dalam tindak pidana
50
pembunuhan memang perlu dipertimbangkan tujuan dan nilai maslahah
demi terciptanya realitas hukum di Indonesia yang adil. Seperti
perbuatan pembelaan yang diperbolehkan harus terdapat kejelasan
dalam menentukan syarat dan untuk dijadikan bahan pertimbangan
dalam pembentukan hukum yang nantinya diharapkan dengan adanya
undang-undang yang tegas terkait dengan kejahatan maka akan
memperkecil jumlah kerusakan moral di Indonesia.
2. Penelitian yang dilakukan penulis ini adalah penelitian lanjutan serta
melengkapi penelitian-penelitian terdahulu. Serta bertujuan untuk
menambah hasanah pengetahuan dalam bidang ilmu hukum pidana
khususnya perbandingan. Namun, bukan berarti penelitian yang
dilakukan penulis ini telah mencapai kesempurnaan dan tentunya masih
banyak kekurangan- kekurangan. Untuk itu, penulis berharap agar
peneliti yang lain mampu melanjutkan kembali serta menambahkan dan
menyempurnakan apa yang menjadi kekurangan penulis dalam
penelitian ini.
51
DAFTAR PUSTAKA
Alfitra. Hukum Acara Peradilan Anak. (Jawa Timur:Wade Group,2019)
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru). (Jakarta: Kencana, 2010)
Artadi, I Ketut, Hukum Dalam Perspektif Kebudayaan: Pendekatan Kebudayaan
terhadap Hukum, (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2006)
Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri‟i al-Jina‟i al-Islami Jilid II. (Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabi, t.t)
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana II. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Cet. ke1, 2002)
Chazawi, Adami. Hukum Pidana. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana I. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
F, M. Rifan , Nyoman Serikat PJ, and R.B. Sularto. “IMPLEMENTASI ALASAN
PENGHAPUS PIDANA KARENA DAYA PAKSA DALAM PUTUSAN
HAKIM,” Diponegoro Law Review. 4. 1 (2015)
Gunardi. Kerangka Konsep dan Kerangka Teori dalam Penelitian Ilmu Hukum.
Jurnal Era Hukum Nomor 1 Tahun 2005.
Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah
HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi
HR. Ahmad
Ilyas, Amir. Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana Dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Disertai
Teori-Teori Pengantar Dan Beberapa Komentar), (Yogyakarta:Rangkang
Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia.2012)
52
Khallaf, Abdul Wahab , Ilmu Ushul Al Fiqh, Ad Dar Al Kuwaitiyah, cet, VIII,
1968
Marsum. Jinayat (HPI). (Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, Cet. ke-2,
1989)
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Revisi. (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2016, Cet. 12, Edisi Revisi)
Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberatan dan
Prevensinya). (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Mubarok, Jaih dan Enceng Arif Faizal. Kaidah Fiqih Jinayah. (Bandung: Aksara
Baru, 2004)
Muslich, A. Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. (Fiqih Jinayah).
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta, 2008, Edisi Revisi)
Ruhiatudin, Budi. Pengantar Ilmu Hukum. (Yogyakarta: Teras, 2009)
Rawa Abu Daud
Rokhmadi. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Karya Abadi Jaya, 2015)
Saleh, Roeslan. Kitab Undang-undang Hukum pidana. (Jakarta: aksara Baru,
1987)
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: C.V Armico, 1985)
Tunggal, Hadi Setia. UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, (Jakarta: Harvarindo 2013)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian
53
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Kejaksaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Kehakiman
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia. (Bandung:
Eresco, 1989)
Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawa‟id
Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009)