“TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

62
“TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIFSKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Disusun Oleh: INDRI ATIKA PUTRI 11170454000013 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021

Transcript of “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

Page 1: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

“TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN

TERPAKSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN

HUKUM PIDANA POSITIF”

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu

Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun Oleh:

INDRI ATIKA PUTRI

11170454000013

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H/2021

Page 2: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

ii

“TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA

DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA

POSITIF”

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

INDRI ATIKA PUTRI

11170454000013

Di Bawah Bimbingan:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. H. A. Salman Manggalatung S.H.,M.H

NIP. 195403031976111001

Afwan Faizin, MA

NIP. 19721026200312101

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H/2021

Page 3: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA

PEMBELAAN TERPAKSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF” telah diajukan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Pidana Islam

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 04 Agustus 2021.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Program Strata (S-1) pada Program Studi Hukum Pidana Islam.

Jakarta, 04 Agustus 2021

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A

NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Qosim Arsadani, M.A. (… ................... )

NIP. 196906292008011016

2. Sekretaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A. (… ................... )

NIP. 197604082007101001

3. Pembimbing I : Prof. Dr. H. A. Salman Manggalatung S.H.,M.H

NIP. 195403031976111001

4. Pembimbing II : Afwan Faizin, MA

NIP. 19721026200312101

5. Penguji I : Mohamad Mujibur Rohman, M.A.

NIP. 197604082007101001

6. Penguji II : M. Ishar Helmy, S.Hi.,M.H

NIDN. 9920112859

(………………)

(………………)

(………………)

(………………)

Page 4: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

iv

Page 5: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

v

ABSTRAK

Indri Atika Putri. NIM 11170454000013. TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

KARENA PEMBELAAN TERPAKSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF. Program Studi Hukum Pidana Islam,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

1442 H/ 2021 M. Ix + 63 halaman.

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menjelaskan dasar pertimbangan hakim

dalam memutus perkara tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam perspektif

hukum pidana islam dan hukum pidana positif. Peneliti menggunakan metode kualitatif,

dengan sumber primer dan sekunder, data penelitian dihimpun dengan pembacaan, dan

kajian teks dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode analisis.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Pertimbangan hakim dalam putusan,

menjatuhkan pidana kepada Anak dengan pidana Pembinaan dalam Lembaga selama satu

tahun. Hukuman yang di jatuhi hakim harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam

hukum pidana islam, membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri

sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda.

Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah wajib.

Sedangkan dalam hukum pidana positif, tindak pidana pembunuhan yang dilakukan karena

pembelaan terpaksa tidak dipidana, jika di lakukan dalam keadaan mendesak dan dalam

seketika itu juga.

Kata Kunci: pembunuhan, pembelaan terpaksa, pertimbangan hakim, anak di bawah umur,

hukum pidana islam, hukum pidana positif.

Pembimbing: Prof. Dr. H.A. Salman Manggalatung S.H.,M.H. dan Afwan Faizin M.A.

Daftar Pustaka: 1987 s.d 2019

Page 6: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan alam beserta

hukum-hukumnya, melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga dengan

pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam semoga

selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad

SAW., beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti

ajarannya. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah

penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan

bantuan, pertolongan serta do‟a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis menyampaikan

terimakasih kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. Selaku Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Qosim Arsadani, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam dan

Mohamad Mujibur Rohman, M.A. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Pidana

Islam (Jinayah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan berbagai motivasi dan arahan, mulai dari proses awal hingga proses

berikutnya.

3. Dr. Alfitra S.H., M.Hum. Selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah mengantarkan

penulis menuju pembuatan skripsi ini.

4. Prof. Dr. H.A. Salman Manggalatung S.H.,M.H. dan Afwan Faizin M.A. Selaku Dosen

Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan

memberikan arahan dalam pembuatan skripsi ini.

5. Dr. Alfitra S.H., M.Hum. dan Dr. Kamarusdiana, M.H. Selaku Dosen Penguji Proposal

Skripsi yang telah memberikan arahan dan petuah dalam langkah awal penulisan

skripsi ini.

Page 7: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

vii

6. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang

telah memfasilitasi penulis dalam menyediakan buku dan literatur lainnya sehingga

penulis dapat memperoleh informasi sebagai bahan rujukan pembuatan skripsi ini.

7. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

menyampaikan ilmu dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah ataupun

dalam diskusi.

8. Teruntuk kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian

dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian kata-

kata.

9. Teruntuk sahabat-sahabat penulis, Lailatul Badriyah, Lilis Karlina, S.Psi, Hanna

Nadhifah, Ficha Malini Dewi, A.md.Keb., Maulidia Permata Citra, SH., Dany Ryzka

Maulidya, SH., Nila Aulia Khairunnisa, SH., Bagas Wijaya, S.Kom., Hamzah

Taqiyuddin Faruqi, Doni Pratama, dan Fathu Rizqi yang selalu memberi semangat

sehingga terselesainya skripsi ini.

10. Teruntuk Fahrurozi, SH., yang turut menemani dan memberi semangat penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terutama

teman-teman Hukum Pidana Islam angkatan 2017 dan teman-teman di lingkungan

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Juni 2020

Penulis,

Indri Atika Putri

Page 8: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

viii

DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .............................................. 6

1. Identifikasi Masalah ........................................................................................ 6

2. Pembatasan Masalah........................................................................................ 6

3. Perumusan Masalah ......................................................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 7

1. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 7

2. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 7

D. Review Studi Terdahulu ...................................................................................... 8

E. Metode Penelitian ............................................................................................. 10

1. Pendekatan Penelitian .................................................................................... 10

2. Jenis Penelitian .............................................................................................. 11

3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum ................................................................... 12

4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 12

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 13

6. Pedoman Penulisan Skripsi ........................................................................... 13

F. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................. 15

A. Kerangka Teori ................................................................................................. 15

1. Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf ........................................................... 15

2. Anak di Bawah Umur .................................................................................... 17

B. Kerangka Konseptual ....................................................................................... 17

1. Tindak Pidana Pembunuhan .......................................................................... 18

2. Pembelaan Terpaksa ...................................................................................... 20

Page 9: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

ix

3. Hukum Pidana Islam ..................................................................................... 22

4. Hukum Pidana Positif .................................................................................... 23

BAB III TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN

TERPAKSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAN DAN

HUKUM POSITIF .................................................................................................. 25

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN

NOMOR 01/PID.SUS-ANAK/2020/PN.KPN TENTANG TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA .................................. 33

A. Duduk Perkara .................................................................................................. 33

B. Pertimbangan Hakim ........................................................................................ 36

C. Pertimbangan Hakim dalam kasus Tindak Pidana Pembunuhan Pembelaan

Terpaksa............................................................................................................ 41

BAB V PENUTUP ................................................................................................... 49

A. Simpulan ........................................................................................................... 49

B. Rekomendasi .................................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 51

Page 10: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum yang memiliki penduduk mayoritas

beragama islam, sengaja atau tidak sengaja hal tersebut mempengaruhi

terbentuknya suatu aturan hukum yang berlandaskan atas agama Islam.

Berbagai masalah yang ada di dalam Negara Indonesia tidak semuanya

dapat diselesaikan berdasarkan hukum umum yang telah ada, namun tetap

memerlukan hukum yang secara filosofis dan sosiologis tertanam dalam

hati dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Hukum secara umum dibuat

untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan berguna memberikan argumentasi

yang kuat bahwa bila hukum diterapkan dalam suatu masyarakat maka

mereka akan dapat merasakan kebenaran, kebaikan, keadilan, kesamaan

dan kemaslahatan dalam hidup di dunia ini.

Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi manusia

terhadap peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan hukum

Islam menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara

kebutuhan rohani dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi

yang mematuhi suruhan Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran

mengerjakan maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri. Namun dalam

prakteknya, manusia saling berhadapan dengan manusia lain sehingga

keseimbangan dalam masyarakat akan terganggu dan timbul pertentangan-

pertentangan di antara mereka.1 Terkadang manusia bersikap egois dan

tidak memperdulikan kepentingan orang lain.

Dari faktor tersebut, kejahatan yang timbul di masyarakat dapat

berupa beberapa bentuk.Dalam KUHP buku kedua tentang kejahatan, telah

disebutkan sebagai bentuk kejahatan beserta penjelasannya lengkap

dengan sanksi hukumnya.

1 Budi Ruhiatudin, Pengantar Ilmu Hukum,(Yogyakarta: Teras, 2009) , h.,9

Page 11: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

2

Salah satu bentuk kejahatan adalah pembunuhan. Pembunuhan

adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau beberapa

orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal

dunia. Pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang dalam Hukum

Islam maupun Hukum Pidana Indonesia. Pembunuhan menurut hukum

Islam sama dengan definisi menurut hukum konvesional, yaitu perbuatan

seseorang yang menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan

jiwa anak Adam oleh perbuatan anak Adam yang lain. Allah sangat

memuliakan mahluknya terutama manusia. Karena manusia mendapatkan

perlakuan khusus dengan dijamin semua hak-haknya. Terutama hak hidup

dan hak mempertahankan barang kepemilikanya (hartanya).

Namun berbeda halnya jika pembunuhan yang dilakukan disebabkan

karena pembelaan diri. Pembelaan diri selain merupakan Hak Asasi

Manusia dalam KUHPidana Indonesia, juga termasuk konsep tujuan

hukum islam yang disebut Maqasid Asy-Syariah.

Pembelaan diri adalah tindakan yang perlu atau bahkan harus

dilakukan jika terjadi ancaman atau serangan melawan hukum. Oleh

karena itu, perlunya memperhatikan asas keadilan dalam memberikan

konsekuensi atau sanksi hukum yang diperoleh bagi pelaku pembunuhan

karena membela dirinya baik pada hukum Islam maupun hukum Pidana

Indonesia.

Salah satu contoh kasus yang sempat terkenal ialah kasus Mochamad

Zainul Afandik, pelajar SMA di Kabupaten Malang yang membunuh begal

karena melindungi pacarnya yang hendak diperkosa sudah disidangkan di

Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Kabupaten Malang. Mochamad Zainul

Afandik didakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan

Berencana dengan ancaman hukuman paling berat penjara seumur hidup.

Sidang dakwaan itu berlangsung pada hari Selasa 14 Januari 2020.

Lukman Chakim, salah satu pengacara Mochamad Zainul Afandik

Page 12: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

3

menyayangkan Pasal 340 KUHP dalam dakwaan tersebut. Menurutnya,

pasal itu tidak sesuai karena mengandung unsur perencanaan.

Seharusnya dalam kasus ini alasan penghapus pidana terdiri dari

Alasan pembenar, alasan pemaaf, dan alasan penghapus kesalahan.

Noodweer masih tetap dipertahankan hingga sekarang sebagai salah satu

alasan peniadaan pidana, sebagaimana dijabarkan di dalam pasal 49 ayat

(1), KUHP. Noodweer digunakan sebagai alasan pembenar, tetapi bukan

alasan yang membenarkan perbuatan melanggar hukum, melainkan

seseorang yang terpaksa melakukan tindak pidana dapat dimaafkan karena

terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan itu. Pandangan ini

telah diakui oleh hukum pidana bahwa seseorang itu memang dianggap

berhak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sebagai bentuk

pembelaan terpaksa.

Sedangkan dalam islam pun, Allah menyuruh membela diri

sebagaimana dalam firman-Nya yang berarti:

“Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka

seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah

kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang

bertaqwa”. (QS. 2:194).2

Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan

adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-

mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai

dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat

konsekuensi, seperti membunuh.

Sementara dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa

saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja

yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid, siapa saja yang

2

الل ا أ اعي اتقا الل ن عي اعذ ثو ب ف عذا عي ن عي اعذ ت قص ص ف اىحش ش اىحشا ب ىش ش اىحشا اىش

ق ع اى

Page 13: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

4

terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang

terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka ia syahid” .3

Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi

membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan

melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh sang

pelaku.

Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan

demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah hadis riwayat Anas

Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Tolonglah saudaramu yang

dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: “bagaimana cara aku

menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab: “kau cegah ia untuk

melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah

menolongnya”4.

Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda: ”Siapa saja yang

menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya

padahal ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Saw. akan

menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia”.5

Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa,

harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan

kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqun

wajib), ataukah sekedar boleh (haqun ja‟iz), maka dalam hal ini terdapat

perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.

Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh)

menurut madzhab al-Hanabilah dan wajib menurut pandangan Jumhur

Fuqoha (Al-Malikiyyah, Al-Hanafiyyah, dan As-Syafiiyah). Hanya saja

3 قو د د ف شذ، قو د د ف شذ، قو د ى ف شذ، قو د أي ف

HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah (شذ )سا أصح ب اىض الأسبعةاصش أخ ك ظ ى أ ظي ، قو: مف أصش ظ ى ؟ ق ه: تحجز ع اىظي، فئ رىل صش )سا اىبخ س 4

(HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi) (أحذ اىشز5 ( أره عذ ؤ، في صش، قذس عي أ صش، أرى الل عي سؤس الأش د اىق ة )سا أحذ

(HR. Ahmad)

Page 14: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

5

madzhab Syafiiy memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni

jika pelakunya orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan

itu sesama muslim maka hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil

sabda Rosulullah Saw: “jadilah sebaik-baiknya bani adam.”6

Dalam kasus ini, Anak-anak yang melanggar norma yang hidup

dalam masyarakat dan melakukan tindak pidana lazimnya disebut dengan

„anak nakal‟. Namun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Anak yang menggantikan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, istilah „anak nakal‟

digantikan dengan istilah „anak yang berhadapan dengan hukum‟. Dimana

dalam Bab I Pasal 1 butir 2 dikatakan bahwa: “Anak yang berhadapan

dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang

menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak

pidana”. Selanjutnya dalam butir 3 disebutkan bahwa: “Anak yang

berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut „Anak‟ adalah anak

yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18

(delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana”.7

Bagi anak-anak sebagaimana disebutkan dalam butir 3 tersebut bisa

dijatuhkan hukuman atau sanksi berupa tindakan atau pidana apabila

terbukti melanggar perundang-undangan hukum pidana. Dalam Bab V

Pasal 69 Undang-undang ini ditegaskan bahwa terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum dapat dijatuhi pidana dan tindakan.8 Anak-anak

membutuhkan rasa kasih saying yang merupakan kebutuhan psikis yang

merupakan kebutuhan paling mendasar dalam kehidupan manusia apalagi

bagi seorang anak.

(Rawa Abu Daud) (م خش اب آد )سا أب داد 67 Hadi Setia Tunggal, UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, (Jakarta: Harvarindo 2013), h.,3 8 Hadi Setia Tunggal, UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, (Jakarta: Harvarindo 2013) h.,37

Page 15: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

6

Perlindungan hukum anak atau perlindungan anak secara yuridis

dapat meliputi perlindungan hukum anak dalam bidang hukum privat,

dan dalam bidang hukum publik. Perlindungan hukum anak dalam

bidang hukum publik di antaranya meliputi perlindungan anak dalam

hukum pidana materil dan perlindungan hukum anak dalam hukum pidana

formil. Hukum pidana formil berkaitan dengan peradilan pidana anak yang

termasuk dalam bagian peradilan umum.

Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dan mengkaji masalah kejahatan tindak pidana pembunuhan

karena pembelaan terpaksa kedalam bentuk skripsi dalam perspektif

Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

a. Pertimbangan hakim dalam putusan Nomor: 01/Pid.Sus-

Anak/2020/PN.KPN

b. Tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam perspektif

hukum pidana islam

c. Tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam perspektif

hukum pidana positif

d. Anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan pembelaan

terpaksa

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka yang dijadikan

pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana tindak

pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam perspektif hukum

pidana islam dan hukum pidana positif.

Page 16: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

7

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah,

maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa saja pertimbangan hakim dalam putusan Nomor: 01/Pid.Sus-

Anak/2020/PN.KPN?

2. Bagaimana tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam

perspektif hukum pidana islam dan hukum pidana positif?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk Mengetahui dan Menjelaskan pertimbangan hakim dalam

putusan Nomor: 01/Pid.Sus-Anak/2020/PN.KPN.

b. Untuk Mengetahui dan Menjelaskan tindak pidana pembunuhan

pembelaan terpaksa dalam perspektif hukum pidana islam dan

hukum pidana positif.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dan wawasan sekaligus menjadi bahan penelitian

lanjutan bagi mahasiswa/peneliti yang akan melakukan penelitian

yang serupa.

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan

masukan bagi aparat penegak hukum, khususnya hakim dan

masyarakat pada umumnya mengenai tindak pidana pembunuhan

pembelaan terpaksa.

Page 17: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

8

D. Review Studi Terdahulu

No Nama Judul Temuan

1. Muhayati

(Skripsi)

Tinjauan Hukum

Pidana Islam

Terhadap

Pembelaan

Terpaksa Yang

Melampaui Batas

(Noodweer Exces)

Dalam Tindak

Pidana

Pembunuhan

Dalam pembelaan jika sampai

mengakibatkan kematian atau

pembunuhan dalam melakukan

pembelaan diri karena tidak ada

cara lain, maka perbuatan itu

diperbolehkan (Asbab Al-

Ibahah). Sedangkan dalam

KUHP Pasal 49 ayat 1 dikenal

pembelaan terpaksa (noodweer)

sebagai alasan pembenar dan

dalam ayat 2 dikenal istilah

pembelaan terpaksa yang

melampaui batas (noodweer

exces) sebagai alasan pemaaf

untuk dasar penghapus

hukuman.

2. Aditya Abdi

Pangestu

(Skripsi)

Tindak Pidana

Pembunuhan

Karna Daya Paksa

Pembelaan Diri (

Studi Komporasi

Hukum Pidana

Islam dan Hukum

Pidana Indonesia

Berkesimpulan hukuman yang

menyebabkan pembunuhan

sengaja yang dilakukan karena

keadaan terpaksa pembelaan

diri, menurut hukum pidana

positif adalah terlepas dari

hukuman dikarenakan prinsip

yang dipakai dalam pasal 49

KUHP Tindak pidana

pembunuhan yang dilakukan

karena adanya terpaksa

Page 18: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

9

menjadikan sifat melawan

hukum dalam tindak pidana

tersebut hilang, dengan

demikian tindak pidana

pembunuhan yang terbukti

memenuhi pasal 49 KUHP

tidak dapat dipidana.

Sementara, dalam hukum

pidana Islam tindak pidana

pembunuhan yang disebabkan

adanya keadaan terpaksa

pembelaan diri dilarang karena

orang yang melakukan

pembunuhan terhadap pelaku

itu dengan cara disengaja dan

melawan hukum, secara zalim

disertai keyakinan bahwa

membunuh korban

menyebabkan jiwanya selamat

dan terhindar dari kejahatan

pemaksa atau bahaya. Maka

hukuman yang dijatuhkan

kepada orang yang dipaksa

membunuh daya paksa

pembelaan diri tidak dapat

menghapuskan hukuman

terhadap tindak pidana

pembunuhan dan penjatuhan

sanksi merupakan hal yang

tidak dapat dipisahkan dari

pelaku pembelaan diri dalam

Page 19: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

10

tindak pidana pembunuhan.

Kedua sumber diatas diatas menjelaskan tentang tindak pidana

pembunuhan menurut Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam. Faktor-

faktor penyebab terjadinya tindak pidana pembunuhan, dan upaya

penanggulangannya. Sedangkan dalam skripsi yang akan ditulis oleh

penulis akan membahas lebih spesifik mengenai pertimbangan hakim

dalam kasus tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa yang

dilakukan oleh anak dibawah umur dalam perspektif Hukum Pidana Islam

dan Hukum Pidana Positif.

E. Metode Penelitian

Agar penelitian ini berjalan dengan baik dan memeperoleh hasil yang

dapat dipertanggungjawabkan, maka penelitian memerlukan suatu metode.

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Secara umum, penelitian ini menggunakan pendekatan dengan

metode kualitatif yang sifatnya deskriptif atau cara melaporkan data

dengan menerangkannya, memberikan gambaran, dan kemudian

mengelompokkan atau mengkualifikasikan data yang terkumpul secara

apa adanya, kemudian baru disimpulkan. Secara khusus, dalam

penelitian hukum ini, penulis akan menggunakan pendekatan sebagai

berikut:9

a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan ini biasanya di gunakan untuk meneliti peraturan

perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Revisi. (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2016, Cet. 12, Edisi Revisi), h., 133-134.

Page 20: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

11

kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan baik

dalam tataran teknis atau dalam pelaksanaannya dilapangan.

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan

perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu

hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini

misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara

Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-

Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain.

b. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi

perbandigan hukum. Menurut Gutteridge, perbandingan hukum

merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum. Gutteridge

membedakan antara perbandingan hukum yang bersifat deskriptif

yang tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan

perbandingan hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu.

Dalam hal ini penulis akan membandingkan tindak pidana

pembunuhan karena pembelaan terpaksa dalam perspektif hukum

pidana islam dan hukum pidana positif.

c. Pendekatan Kasus (case Approach)

Penulis menggunakan pendekatan ini untuk membangun

argumentasi hukum dalam sudut pandang terhadap konkritnya

kasus yang terjadi. Jenis pendekatan ini biasanya ditujukan untuk

menemukan nilai kebenaran dan penyelesaian terbaik terhadap.

Peristiwa atau kasus hukum yang terjadi berdasarkan dengan

berbagai prinsip keadilan. Dalam hal ini, penulis akan melakukan

penelaahan terhadap berbagai kasus tindak pidana yang dilakukan

oleh seorang anak di bawah umum yang melakukan tindak pidana

pembunuhan karena pembelaan terpaksa melalui putusan-putusan

hakim.

2. Jenis Penelitian

Page 21: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

12

Penulis menggunakan jenis penelitian normatif yuridis. Jenis

penelitian normatif yuridis merupakan penelitian yang menggunakan

bahan-bahan pustaka sebagai data dan sumber rujukan penelitian.

Beberapa bahan-bahan pustaka yang digunakan sebagai literatur

yaitu: buku-buku hukum, kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, surat kabar,

berbagai jurnal, hasil penelitian dari peneliti lain yang intinya semua

literatur ini berhubungan dengan objek kajian yang akan penulis teliti

terkait tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam

perspektif hukum pidana islam dan hukum pidana positif.

3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

Berikut beberapa sumber dan jenis bahan hukum yang penulis

gunakan dalam penelitian ini:

a. Bahan Hukum Primer: KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana) Indonesia, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana) Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 8 Tahun

1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-

Undang No. 2 Tahun 2002 Kepolisian, Undang-Undang No. 16

Tahun 2004 Kejaksaan, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009

Kehakiman, Al-Quran, Kumpulan Hadis Sahih Nabi Muhammad

s.a.w dan Tafsir al-Quran.

b. Bahan Hukum Sekunder: Buku-buku yang ditulis para ahli, Hasil

penelitian para sarjana, Berbagai jurnal hukum, Internet, surat

kabar, dan media lain yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tersier: Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia,

Kamus Bahasa Inggris dan Kamus Bahasa Arab.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpuan data yang dilakukan oleh peneliti adalah

studi pustaka (library research). Teknik studi pustaka ini berupa

Page 22: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

13

peraturan undang-undang, buku-buku, kitab-kitab, jurnal, artikel,

internet, dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan pada

penelitian ini merupakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Teknik

ini dilakukan dengan menguraikan data secara sistematis dengan

memakai ukuran kualitatif dan kemudian di deskripsikan. Hal ini guna

memperoleh suatu gambaran yang berkaitan dengan putusan Hakim

terhadap tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam

perspektif hukum pidana islam dan hukum pidana positif.

6. Pedoman Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2017”

F. Sistematika Penulisan

Supaya penulisan skripsi ini terarah, penulis akan menguraikan

materi laporan menjadi 5 (lima) bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam pendahuluan akan dibahas Latar

Belakang, Identifikasi Masalah,

Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review

Studi Terdahulu, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini, penulis akan menjelaskan

secara umum terkait teori hukum yang

akan penulis pakai dengan menjabarkan

secara konseptual tentang Tindak Pidana

Page 23: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

14

Pembunuhan, Pembelaan Terpaksa,

Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana

Positif.

BAB III :PEMBUNUHAN KARENA

PEMBELAAN TERPAKSA

Bab ini memaparkan dan menjelaskan

tentang Tindak Pidana Pembunuhan

Karena Pembelaan Terpaksa dalam Hukum

Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN NOMOR

01/PID.SUS-ANAK/2020/PN.KPN TENTANG TINDAK

PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN

TERPAKSA

Bab ini menjabarkan duduk perkara,

pertimbangan hakim dan analisis tindak

pidana pembunuhan karena pembelaan

terpaksa

BAB V : PENUTUP

Bab ini antara lain mencakup simpulan

dan rekomendasi dari hasil penelitian

penulis terkait tindak pidana pembunuhan

pembelaan terpaksa dalam perspektif

hukum pidana islam dan hukum pidana

positif.

DAFTAR PUSTAKA

Page 24: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

Kerangka Teori merupakan suatu bingkai yang mendasari

pemecahan masalah dan dijabarkan berdasarkan tinjauan pustaka. Oleh

sebab itu, dibutuhkan teori-teori untuk meneliti dan menjawab

permasalahan.10

1. Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf

Menurut Moeljatno, biasanya berbagai alasan penghapus pidana

dalam teori hukum pidana dibedakan menjadi alasan pembenar, alasan

pemaaf, dan alasan penghapusan penuntutan. Alasan pembenar

merupakan alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya

perbuatan sehingga perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa akan

menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangkan alasan pemaaf

merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan yang dilakukan

terdakwa. Perbuatan atau tindakan yang dilakukan terdakwa sifatnya

tetap melawan hukum, tetapi dia tidak dipidana atau dikenai sanksi

karena tidak adanya kesalahan.11

Dalam KUHP, alasan pembenar terdapat dalam Pasal 49 ayat 1

tentang pembelaan secara terpakasa, Pasal 50 tentang peraturan

perundang-undangan, dan Pasal 51 ayat 1 tentang perintah jabatan.

Sedangkan untuk alasan pemaaf dalam KUHP meliputi Pasal 44 tentang

kemampuan bertanggung jawab, Pasal 49 ayat 2 tentang noodweer

10

Gunardi. Kerangka Konsep dan Kerangka Teori dalam Penelitian Ilmu Hukum. Jurnal

Era Hukum Nomor 1 Tahun 2005. h., 94 11

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta, 2008, Edisi Revisi), h.,148.

Page 25: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

16

exces (pembelaan terpakasa), dan Pasal 51 ayat 2 tentang dengan

iktikad yang baik melaksanakan perintah jabatan.12

Dalam Memorie van Toeliching dilukiskan sebagai : “setiap

kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal yang

disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada

tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan disini

bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si

pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan”

menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si

pembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka dalam overmacht (daya

paksa) dapat dibedakan dalam du hal:

1. Vis Absoluta (paksaan yang absolut).

2. Vis Compulsive (paksaan yang relatif).

Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh

kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama

sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang

lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang

pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda

(pasal 406 KUHP).

Hukum Islam juga mengatur tentang alasan penghapus pidana,

Dalam hukum Islam dalam segi pertanggung jawaban pidana, hubungan

hukuman dan pertanggungjawaban pidana, ditentukan oleh sifat

keseorangan hukuman dan ini merupakan salah satu prinsip dalam

menentukan pertanggung jawaban pidana.13

12

M. Rifan F, Nyoman Serikat PJ, and R.B. Sularto, “IMPLEMENTASI ALASAN

PENGHAPUS PIDANA KARENA DAYA PAKSA DALAM PUTUSAN HAKIM,” Diponegoro Law

Review, 4, 1 (2015), h.,5-6.

13 Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqih Jinayah (Bandung: Aksara Baru,

2004), h., 69

Page 26: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

17

B. Anak di Bawah Umur

Sesuai dalam pasal 45 KUHP: dalam hal penuntutan pidana

terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan

sebelum umur enam belas tahun hakim dapat menentukan:

memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang

tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tempat pidana apapun atau

memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah

tanpa pidana apapun. 14

Untuk menunjang hak-hak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

sesuai Pasal 2 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 dilaksanakan 10

Asas yang dapat dilakukan kepada anak, meliputi:15

a) Perlindungan;

b) Keadilan;

c) Nondiskriminasi;

d) Kepentingan Terbaik Bagi Anak;

e) Penghargaan Terhadap Pendapat Anak;

f) Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak;

g) Pembinaan dan Pembimbingan Anak;

h) Proporsional;

i) Perampasan Kemerdekaan dan Pemidanaan Sebagai Upaya

Terakhir;

j) Penghindaran Pembalasan

B. Kerangka Konseptual

Untuk memahami tema penelitian ini, penulis akan menguraikan

secara konseptual tentang Pembunuhan dan Pembunuhan Pembelaan

Terpaksa dalam perspektif hukum pidana islam dan hukum positif sebagai

berikut:

14

Alfitra, Hukum Acara Peradilan Anak, (Jawa Timur:Wade Group,2019) , h., 136 15

Alfitra, Hukum Acara Peradilan Anak, h., 121-122

Page 27: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

18

1. Tindak Pidana Pembunuhan

Pengertian tindak pidana, Amir Ilyas,16

meyampaikan pendapatnya,

bahwa: “Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu

pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan

kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwaperistiwa

yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana

haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas

untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam

kehidupan masyarakat”.

Dalam Hukum Pidana Indonesia, unsur terjadinya pembunuhan

yang dapat di pidana adalah ada unsur kesengajaan (dolus) dan kealpaan

(culpa).Pembunuhan karena ada unsur kesengajaan sendiri dirumuskan

menjadi 3 (tiga) yaitu:17

a. Sengaja sebagai maksud, bahwa dengan kesengajaan yang bersifat

tujuan/maksud, si pelaku dapat di pertanggungjawabkan dan mudah

dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini

ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman

pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini,

berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang

menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Sengaja dengan keinsyafan pasti, kesengajaan ini ada apabila si pelaku,

dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang

menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan

mengikuti perbuatan itu

16

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana Dan

Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Disertai Teori-Teori Pengantar Dan

Beberapa Komentar), (Yogyakarta:Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia.2012)

h., 18

17Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberatan dan

Prevensinya), (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 22

Page 28: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

19

c. Sengaja dengan keinsyafan kemungkinan, kesengajaan ini yang terang-

terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang

bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka

akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan

bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai

pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya

Pada unsur kealpaam (culpa) terdapat dua rumusan yaitu:18

a. Culpa dengan kesadaran;

b. Culpa tanpa kesadaran.

Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam yang dipaparkan oleh

Zainuddin Ali dalam bukunya Hukum Pidana Islam, bahwa klarifikasi

tindak kejahatan berupa pembunuhan ada tiga macam:19

1) Pembunuhan Sengaja (amd), adalah perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang dengan tujuan untuk membunuh orang lain dengan

menggunakan alat yang dipandang layak untuk membunuh.

Unsur-unsur pembunuhan sengaja:

a) Korban yang dibunuh adalah yang manusia masih hidup, yang

mendapat jaminan keselamatan jiwanya dari Islam (negara), baik

jamiman tersebut dengan cara iman (masuk Islam) maupun dengan

jalan perjanjian keamanan.

b) Kematian adalah akibat dari perbuatan pelaku.

c) Pelakunya menghendaki atas kematiannya.20

2) Pembunuhan tidak sengaja (khata), adalah perbuatan yang dilakukan

oleh seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang

mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Sebagai contoh: sesorang

melakukan penebangan pohon yang kemudian pohon yang ditebang itu

tiba-tiba tumbang dan menimpa orang yang lewat lalu meninggal dunia.

18

Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberatan dan

Prevensinya), h., 65 19

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.,24 20

Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Karya Abadi Jaya, 2015), h.,127

Page 29: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

20

Unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja ada dua macam;

a) Perbuatannya disengaja;

b) Tidak ada niat melawan hukum.21

3) Pembunuhan Semi Sengaja (syibh al-„amdi), adalah perbuatan yang

sengaja dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan

mendidik. Sebagai contoh: seorang guru memulkulkan penggaris kepda

muridnya, tiba-tiba murid yang dipukul oleh gurunya meninggal dunia.

Unsur-unsur pembunuhan menyerupai sengaja:

a. Adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya korban;

b. Perbuatan tersebut terjadi, karena kesalahan (tidak sengaja) pelaku;

c. Antara perbuatan kesalahan dan kematian korban terdapat hubungan

sebab akibat.22

2. Pembelaan Terpaksa

Pengertian Pembelaan Terpaksa Dari segi bahasa, noodweer terdiri

dari kata “nood” dan “weer”. “Nood” yang artinya (keadaan) darurat.

”Darurat” berarti:

1) Dalam keadaan sukar (sulit) yang tidak disangka-sangka yang

memerlukan penanggulangan segera.

2) Dalam keadaan terpaksa “Weer” artinya pembelaan yang berarti

perbuatan membela, menolong, melepaskan dari bahaya23

Jika

digabungakan kedua kata tersebut maka dapat diartikan

melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa atau menolong

dalam keadaan sukar (sulit).24

Noodweer adalah pembelaan yang

diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang

mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum.25

21

Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, h.,148 22

Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, h.,135-136 23

Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1989), h.,156. 24

Pengertian tersebut muncul karena undang-undang tidak memberi pengertian dari pada

“noodweer”. Doktrin memberikan kata “noodweer” bagi pasal 49 ayat (1) KUHP. 25

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.,.200

Page 30: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

21

Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat

melanggar, maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana juga dikatakan

alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya

merupakan tindak pidana.26

Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 sebagai

berikut: “Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan

terpaksa untuk diri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta

benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman

serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.” Contoh :

a) Serangan terhadap badan

Seseorang yang ingin balas dendam mendatangi orang lain dengan

memegang tongkat karena berniat ingin memukul, maka orang yang

ingin dipukul tersebut mengambil tongkat dan memukul si orang yang

ingin membalas dendam tersebut.

b) Serangan terhadap barang/ harta benda

Terhadap benda yang bergerak dan berwujud dan yang melekat hak

kebendaan

c) Serangan terhadap kehormatan

Serangan yang berkaitan erat dengan masalah seksual: seorang laki-laki

hidung belang meraba buah dada seorang perempuan yang duduk

disebuah taman, maka dibenarkan jika serangan berlangsung memukul

tangan laki-laki itu. Tetapi sudah tidak dikatakan suatu pembelaan

terpaksa jika laki-laki tersebut sudah pergi, kemudian perempuan

tersebut mengejarnya dan memukulnya, karena bahaya yang

mengancam telah berakhir.27

26

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Eresco,

1989), h.,75 27

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

Cet. ke1, 2002), h., 43

Page 31: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

22

Maka tidaklah berlaku pasal 49 ayat 1 KUHP jika:

1. Apabila serangan dari seseorang dikatakan belum dimulai dan juga

belum memenuhi syarat dikhawatirkan akan segera menimpa.

2. Apabila serangan dari seseorang dikatakan telah selesai.

3. Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam sering disebut dengan fikih jinayah. Fikih

jinayah terdiri dari dua kata. Fikih secara bahasa berasal dari lafal faqiha,

yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fikih secara

istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah: Fikih adalah

ilmu tentang hukum-hukum syara‟ praktis yang diambil dari dalil-dalil

yang terperinci. Atau fikih adalah himpunan hukum-hukum syara‟ yang

bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.28

Sedangkan Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil

perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Adapun jinayah

secara istilah sebagai mana yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah

yaitu: Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh

syara‟, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.29

Beberapa pandangan intelektual lain mengartikan Hukum Pidana

Islam yaitu Sayid Sabiq memberikan definisi jinayah sebagai berikut: yang

dimaksud dengan jinayah dalam istilah syara‟ adalah setiap perbuatan

yang dilarang. Dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan

yang oleh syara‟ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya

terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan atau harta benda.

Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah

mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut

terbatas pada perbuatan yang dilarang. Secara umum, pengertian Jinayat

28 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, Ad Dar Al Kuwaitiyah, cet, VIII, 1968, h.,

11. 29

Abdul Qadir Audah,At Tasyri‟ Al Jina‟I Al Islami, Beirut: Dar Al-Kitab Al-„Araby, tt,

h., 67

Page 32: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

23

sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang

mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan,

seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya.

4. Hukum Pidana Positif

Menurut Mr. PW. PJ. Pompe, Hukum Pidana adalah “Keseluruhan

aturan atau keseluruhan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat

dihukum dan aturan pidananya”.

Menurut Van Apeldoorn, hukum pidana adalah “Peristiwa–

peristiwa pidana (yakni peristiwa-peristiwa yang dinak hukum), beserta

hukumnya”.

Hukum positif Indonesia menurut bentuknya terdiri dari hukum

tertulis (peraturan perundangan) dan hukum tidak tertulis (hukum adat).

Sumber hukum positif Indonesia ada dua yaitu sumber hukum materiil dan

sumber hukum formil. Sumber hukum materiil adalah kesadaran hukum

masyarakat atau kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat yang

dianggap seharusnya.30

Adapun sumber hukum formil adalah tempat

dimana kita dapat menemukan hukum, prosedur atau cara pembentukan

Undang-undang. Yang termasuk sumber hukum formil adalah:

a. Undang-undang.

b. Adat atau kebiasaan.

c. Jurisprudensi.

d. Traktat.

e. Doktrin hukum31

I Ketut Artadi S.H., SU., menjelaskan bahwa “hukum tertulis

maupun hukum tidak tertulis, adalah produk karya manusia yang

30

Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: C.V Armico, 1985), h.,37 31 Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: C.V Armico, 1985), h., 38

Page 33: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

24

tujuannya adalah untuk mengatur pergaulan hidup di masyarakat, agar

dalam pergaulan hidup tersebut manusia dan karyanya tetap terjaga”32

.

32

I Ketut Artadi, Hukum Dalam Perspektif Kebudayaan: Pendekatan Kebudayaan

terhadap Hukum, (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2006), h., 29

Page 34: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

25

BAB III

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA

DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA

POSITIF

Pada dasarnya istilah pembelaaan terpaksa melampaui batas, tidak

ditemukan dalam Hukum Pidana Islam.

Pengertian yang lebih spesifik dalam hukum pidana Islam lebih

dikenal dengan istilah dif‟a asy-syar‟i al-khass (pembelaan syar‟i khusus

atau pembelaan yang sah) atau daf‟u as-sail (menolak penyerang).

Meskipun demikian, secara subtantif pengertian tersebut penulis

analogikan dengan maksud yang terdapat dalam hukum positif.

Dalam masalah pembelaan yang sah Islam membedakannya

menjadi dua yaitu Pembelaan khusus (daf us-sha‟il) dan Pembelaan umum

atau (dif‟a asy-syar‟i al-am) atau yang lebih dikenal dengan istilah Amar

Ma‟ruf Nahi Munkar. Amar adalah fi‟il amar yang berarti perintah atau

anjuran dan Ma‟ruf (kebaikan) yaitu semua perkataan atau perbuatan yang

perlu diucapkan atau dilakukan sesuai dengan nas, dasar umum (aturan

pokok) dan jiwa hukum Islam, bisa dengan perkataan dan perbuatan.

Sedangkan Nahi yaitu Fi‟il nahi yang berarti larangan untuk mengerjakan

dan Munkar yaitu setiap perbuatan yang dilarang terjadinya oleh syara‟.

Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah

suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain

dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda

atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi,

konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka

seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi

tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila dikatakan

kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa ketika

meninggalknnya.33

33

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). h., 211.

Page 35: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

26

Serangan seseorang adakalanya ditujukan kepada kehormatan jiwa

atau harta benda. Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat bahwa

hukumnya adalah wajib. Apabila seorang laki-laki hendak memperkosa

seorang perempuan sedangkan untuk mempertahankan kehormatannya

tidak ada lagi kecuali membunuhnya maka perempuan tersebut wajib

membunuhnya, demikian pula bagi yang menyaksikan. Untuk membela

jiwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya. Kemudian atas

dasar inilah penulis berpendapat hal yang dilakukan oleh Anak dapat

termaafkan.

Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang rajih dalam mazhab

Maliki dan mazhab Syafi‟i membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan

menurut pendapat yang marjuh (lemah) di dalam mazhab Maliki dan

mazhab Syafi‟i serta pendapat yang rajih (kuat) di dalam mazhab Hanbali

membela jiwa hukumnya jaiz (boleh) bukan wajib.34

Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu

diharamkan tetapi terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian

perbuatan yang dilarang bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus

sebab kondisi seseorang atau keadaan masyarakat menuntut adanya

pembolehan ini. Juga karena orang yang diperkenankan untuk melakukan

perbuatan yang dilarang sebenarnya melakukannya untuk mencapai suatu

tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam.

Seperti melindungi jiwa, menjaga kehormatan dan mempertahankan

harta baik diri sendiri maupun orang lain.

اأىصو ف اىذ ء اأىعشاض اأىاه اىحشة

“Prinsip dasar pada maslah darah, kehormatan dan harta adalah

34

Misalnya, jika ada seorang laki-laki hendak memperkosa wanita, sedang seorang

wanita tidak sanggup menolaknya (membela diri) kecuali dengan jalan membunuh, wanita tersebut wajib membunuhnya jika dia sanggup. Demikian pula jika seorang lelaki (A) yang melihat lelaki lain (B) hendak menzinahi wanita, tetapi dia tidak sanggup mencegah perzinahan yang menimpa wanita itu kecuali dengan membunuh si B, maka si A wajib membunuh jika dia sanggup. Wajib

adalah suatu hal dimana orang yang meninggalkannya akan tercela secara syara‟. Lihat dalam

Abul Qadir„Audah, at-Tasyri‟i al-Jina‟i al-Islami Jilid II, h.,88.

Page 36: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

27

haram.”35

Yang menjadi perbedaan syarat pembelaan diri dalam hukum

pidana Islam dan KUHP adalah Pertama, melewati batas ukuran pembelaan

diri (yang diperbolehkan). Dalam hukum pidana Islam, jika seseorang

melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan

yang diperlukan, maka harus bertanggung jawab atas tindakannya itu.

Kedua, Imam Abu Hanifah, asy-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal

berpendapat bahwa jerat atu perangkap yang dipasang dibelakang pintu,

pagar atau di jalan dengan maksud membunuh atau melukai penyerang

hukumnya boleh.

Orang yang mempunyai tempat tersebut tidak bertanggungjawab

apabila bertujuan untuk membela diri karena orang yang memasukinya

berarti membunuh dirinya sendiri lantaran memasuki rumah orang lain

secara ilegal (tanpa hak). Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa orang

yang melakukan hal tersebut harus bertanggungjawab apabila perbuatannya

bertujuan untuk melukai atau membinasakan orang yang memasuki rumah

tanpa izin. Dengan alasan, kaidah pembelaan diri karena pembelaan berdiri

atas dasar untuk menolak serangan dengan penolakan yang paling ringan.36

Hukum pidana Islam juga mengatur adanya pembelaan umum

(amar ma‟ruf nahi munkar) karena dengan adanya pembelaan umum,

maka dapat mencegah terjadinya jarimah dan mengurangi terjadinya

penyelewengan yang tidak diinginkan (upaya prefentif).

Jadi dalam hukum Islam, pembelaan umum hukumnya wajib.

Tetapi tidak semua orang dikenakan kewajiban dalam melaksanakannya.

Ada beberapa syarat yang harus ada pada pembelaan umum, salah satunya

yaitu adanya kesanggupan dan berakal sehat. Dari segi hukum dan dasar

tujuan tidak ada perbedaan antara pembelaan khusus dan pembelaaan

umum tersebut. Tetapi dalam segi objek terdapat perbedaan yaitu: Objek

35

Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id

Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009) h.,5 36

Abdul Qadir Audah, at-Tasyri‟i al-Jina‟i al-Islami Jilid II, h.,152

Page 37: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

28

pembelaan khusus adalah setiap serangan yang mengenai keselamatan

orang atau hartanya atau kehormatannya, sedang objek pembelaan umum

adalah yang mengenai hak masyarakat, keamanan dan ketertibannya yang

bersifat wajib. Pembelaan khusus terjadi jika adanya serangan dari

seseorang, sedang pembelaan umum terjadi ketika tidak ada serangan.

Contoh: jika ada seorang laki-laki mendatangi seorang perempuan

dengan maksud memperkosa, maka disini terdapat pembelaan khusus.

Tetapi jika lelaki itu mendatanginya dengan persetujuan seorang

perempuan tersebut, maka terjadi pembelaan umum yaitu menolak

(menggagalkan) perbuatan munkar. Begitu juga dengan peristiwa

pembunuhan terhadap orang lain terdapat pembelaan khusus tetapi pada

percobaan membunuh terdapat pembelaan umum.

Ciri khas syari‟at Islam yang tidak terdapat pada hukum positif

adalah “amar ma‟ruf nahi munkar”. Dengan adanya asas ini dimaksudkan

agar setiap orang menjadi pengawas atas orang lain dan penguasa serta

sesama manusia saling memberi petunjuk dan mengingatkan untuk

menjauhkan diri dari perbuatan munkar dan maksiat, menjaga keamanan

dan ketertiban, memberantas jarimah dan menjunjung akhlak yang tinggi.

Sistem amar ma‟ruf nahi munkar tidak dikenal oleh hukum positif

kecuali pada awal abad XIX M, dimana hukum tersebut mulai mengakui

adanya hak mengeritik dan membimbing rakyat biasa (perorangan), serta

memberikan hak untuk menangkap orang yang tertangkap basah waktu

melakukan jarimah dan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib.

Bahkan dalam keadaan tertentu perseorangan diberikan hak untuk

menghalangi perbuatan jarimahnya jika menyangkut kepentingan

masyarakat seperti dalam penggulingan kekuasaan pemerintah dan

menghancurkan bangunan umum. Tetapi sistem amar ma‟ruf nahi munkar

hanya diterapkan oleh hukum positif dalam keadaan tertentu saja sedang

dalam syariat Islam dijalankan dengan seluas-luasnya.37

37

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) h., 225-226

Page 38: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

29

Dalam KUHP pasal 49 ayat 1, dikenal istilah pembelaan terpaksa

(noodweer), yang berasal dari kata nood dan weer. “Nood” berarti darurat

(keadaan)/ keadaan terpaksa, sedangkan “weer” berarti pembelaan,

menolong atau melepaskan dari bahaya. Sedangkan pasal 49 ayat 2 KUHP

dikenal pengertian pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces).

Pengertian tersebut pada dasarnya sama dengan pengertian yang

dimaksud dalam ayat 1 tetapi dalam ayat 2 terdapat kata “exces” yang

berarti pelampauan batas. Salah satu sebab diperbolehkannya perbuatan

yang dilarang dalam KUHP yang tidak dipidana yaitu melakukan

pembelaan diri. Dalam menentukan apakah perbuatan tersebut merupakan

pembelaan diri atau bukan, maka dalam hukum positif mengatur tentang

syarat maupun unsur-unsur pembelaan diri.

Dalam menetapkan syarat pembelaan diri terdapat persamaan dan

perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum Positif. Persamaan syarat

tersebut yaitu antara lain:

Pertama, pembelaan terpaksa dilakukan karena sangat terpaksa atau

tidak ada jalan lain untuk mengelakan serangan, harus benar-benar dalam

keadaan terpaksa. Sesuai dengan syarat ini menurut penulis Anak sudah

dalam keadaan terpaksa karena Anak berada di situasi yang terpojok selain

berada di tempat yang sepi saat kejadian itupun sudah memasuki waktu

malam hari.

Kedua, untuk mengatasi adanya serangan atau ancaman serangan

seketika yang bersifat melawan hukum. Jadi, disini dalam melakukan

pembelaan tidak boleh adanya praduga / prasangka dan rasa takut yang

berlebihan akan diserang sehingga ia menyerang dulu sebagai bentuk

pembelaan diri, dalam hal ini tidak dibenarkan. Maka pembelaan dilakukan

harus terjadi serangan seketika itu terjadi. Dalam kasus ini Anak memiliki

kesempatan untuk berfikir dan memiliki cukup waktu untuk mengambil

pisau untuk menyerang korban, maka syarat seketika tidak terpenuhi.

Ketiga, serangan atau ancaman serangan ditujukan pada 3

Page 39: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

30

kepentingan hukum atas: badan, kehormatan kesusilaan, dan harta benda

sendiri atau orang lain. Syarat inipun menurut penulis sudah sangat tepat

untuk Anak melakukan pembelaan diri.

Keempat, harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan

berlangsungnya serangan, atau bahaya yang masih mengancam.

Kelima, perbuatan pembelaan harus seimbang38

dengan serangan

yang mengancam.

Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan) dan

tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan mengenai

orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah lagi

melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri. Contohnya, apabila

seseorang bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah karena

mengenai orang lain sehingga melukai atau bahkan membunuhnya, si

pembela diri harus bertanggung jawab atas pelukaan atau pembunuhan

tersalah tersebut meskipun bermaksud dengan sengaja melakukan

pembelaan diri. Hal ini disamakan dengan berburu binatang tapi tersalah

sehingga mengenai orang lain. Berburu itu adalah perbuatan yang

diperbolehkan tapi pemburu tetap bertanggungjawab atas penembakan

tersalah yang mengenai manusia tersebut.14

Sedangkan dalam KUHP, pertama dikenal pembelaan terpaksa yang

melampaui batas, dalam hal ini si korban mengalami kegoncangan jiwa

yang sangat hebat. Jadi, faktor subyektifitas memegang peranan karena

temperamen setiap individu berbeda-beda. Sebaiknya terhadap diri pribadi

si pelaku noodweer exces dimintakan keterangan ahli psikolog/psikiater.

38 Dalam hukum pidana positif, ukuran seimbang atau lebih berat yang dimaksud adalah

terletak pada akal manusia pada umumnya. Jadi di sini terdapat ukuran objektif yang sekaligus

subjektif. Ukuran subjektif yaitu terletak pada akal manusia, sedangkan ukuran objektif adalah

bagi orang normal pada umumnya. Ukuran subjektif dan objektif ini haruslah digunakan secara

bersama. Tidak boleh subjektif saja misalnya hanya pada akal dan perasaan si pembuat, tetapi

harus pada akal pikiran bagi orang pada umumnya. Hakimlah yang berwenang menilai dan

menentukan telah dipenuhinya syarat subjektif maupun objektif tersebut, dan dia harus mampu

menangkap akal pikiran bagi semua orang terhadap resiko atas suatu pilihan perbuatan tertentu

berdasarkan akal budi yang dimilikinya. Lihat dalam Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2007) h., 199

Page 40: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

31

kedua Mengenai pemasangan alat atau perangkap di depan rumah sebagai

bentuk pembelaan diri, tidak diperbolehkan karena dalam pasal 49 ayat 1

yang menjadi syarat pembelaan terpaksa salah satunya adalah serangan

yang dilakukan harus sedang dijalankan. Jika pemasangan alat atau

perangkap yang mematikan sebagai pembelaan diri diperbolehkan atau

“dikhawatirkan akan segera menimpa”, dengan alasan sebagai

perlindungan diri karena di Indonesia sering terjadi perampokan jadi

sebagai alat perlindungan diri maka tidak dibenarkan karena dikhawatirkan

dalam hal ini tidak ada faktor seimbang antara dua kepentingan yang

dirugikan ada peranan penting.

Persamaan pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang melampaui

batas antara lain yaitu: Pertama, pada keduanya harus ada serangan atau

ancaman serangan yang melawan hukum yang ditujukan pada tiga

kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusialaan dan harta benda),

samasama dilakukan dalam keadaan yang terpaksa (noodzakelijk) dalam

usaha mempertahankan dan melindungi suatu kepentiangan hukum yang

terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan

hukum, kedua, pada keduanya, pembelaan ditujukan untuk

mempertahankan daan melindungi kepentingan hukum (rechsbelang) diri

sendiri atau kepentingan hukum orang lain.

Sedangkan perbedaannya yaitu antara lain: Pertama, perbuatan yang

dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa harus perbuatan yang

seimbang dengan bahaya atau ancaman serangan dan tidak diperbolehkan

melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan. Tetapi dalam

pembelaan terpaksa melampaui batas, pilihan perbuatan tidak seimbang

dengan bahaya yang ditimbulkan oleh serangan atau ancaman serangan

karena adanya keguncangan jiwa yang hebat39

misalnya seseorang

menyerang lawannya dengan pecahan botol yang sebenarnya dapat dilawan

dengan sebatang kayu (noodweer) tapi karena kegoncangan jiwa yang

39

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

Cet. ke-1, 2002) h., 51

Page 41: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

32

hebat dilawan dengan cara menembaknya (noodweer exces), kedua,

pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan ketika adanya ancaman atau

serangan sedang berlangsung dan tidak boleh dilakukan setelah serangan

berhenti atau tidak ada lagi, tapi dalam pembelaan yang melampaui batas,

perbuatan pembelaan masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.

Ketiga, tidak dipidana dalam pembelaan terpaksa karena sifat melawan

hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar.

Dasar peniadaan pidana pada pembelaan terpaksa terletak pada

perbuatannya. Sedangkan dalam pembelaan yang melampaui batas

merupakan alasan pemaaf karena adanya alasan penghapus kesalahan pada

diri pelaku. Dalam noodweer mengandung asas subsidairiteit yaitu harus

adanya keseimbangan antara kepentingan yang dibela, cara yang dipakai

dan kepentingan yang dikorbankan dan asas propositionaliteit yaitu tidak

semua alat dapat dipakai, hanya yang masuk akal. karena terdapat

pembelaan yang dilakukan harus sesuai dengan serangan yang bersifat

melawan hukum, sedangkan pembelaan diri harus disebabkan terpaksa

karena tidak ada jalan lain.

Jadi, dalam pembuktian suatu kasus, hakim harus benar-benar

memperhatikan asas tersebut apakah merupakan alasan dalam noodweer

atau bukan. Selain pembelaan diri (pembelaan khusus).

Page 42: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

33

BAB IV

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR

01/PID.SUS-ANAK/2020/PN.KPN TENTANG TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA

A. Duduk Perkara

Kronologi kejadian yang tertuang dalam putusan Nomor:

01/Pid.Sus-Anak/2020/PN.KPN yaitu Anak pada hari Minggu tanggal 08

September 2019 sekitar pukul 19.30 WIB bertempat dijalan ladang tebu

Serangan desa Gondanglegi Kulon Kecamatan Gondanglegi Kabupaten

Malang atau setidak-tidaknya ditempat lain yang masih dalam wilayah

hukum Pengadilan Negeri Kepanjen, melakukan penganiayaan yang

mengakibatkan korban Misnan meninggal dunia. Bermula Anak sedang

mengedarai sepeda motor bersama teman perempuannya dan tepatnya di

lokasi tanaman tebu Serangan desa Gondanglegi Kulon Kecamatan

Gondanglegi Kabupaten Malang selanjutnya Anak bersama Anak saksi

berhenti dan pada saat yang demikian korban Misnan dan Mad

menghampiri Anak yang sedang duduk diatas motor bersama Anak saksi,

kemudian korban Misnan mencabut kunci sepeda motor Anak.

Kemudian selanjutnya korban Misnan meminta seluruh barang

milik Anak, dan Anak menyerahkan HP dan berharap kunci sepeda motor

dikembalikan oleh saksi Mad, namun kunci tidak dikembalikan

selajutnya korban Misnan dan Mad berunding dan meminta sepeda motor

Anak juga HP milik Anak saksi, namun Anak tetap tidak mau

memberikan HP milik Anak saksi dan menjanjikan akan memberikan

uang kepada korban dan Mad.

Setelah itu korban Misnan dan Mad berunding, kemudian Anak

berkesempatan membuka jok sepeda motornya, dan setelah jok terbuka

kemudian Anak mengambil sebilah pisau dan setelah korban Misnan dan

Mad mendekat Anak dan tetap meminta barang barang milik Anak, melihat

keadaan seperti itu Anak emosi dan mengarahkan ujung pisau yang telah

Page 43: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

34

dipersiapkan ke dada korban Misnan sebanyak 1 kali hingga menancap

didada korban sambil Anak mengatakan “JANCUK TAK PATENI

KON“, lalu Anak mencabut pisau dari dada korban selanjutnya berusaha

menyerang saksi Mad namun korban Misnan dan saksi Mad berhasil

melarikan diri.

Meski melakukan upaya pembelaan diri, dalam sidang yang digelar

di Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Kabupaten Malang, Anak Dalam

didakwa dengan pasal 351 ayat 3 yang berbunyi “ Jika perbuatan itu

menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh

tahun”. Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan matinya

seseorang adalah merupakan perbuatan dimana berupa penyerangan atas

tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka,

bahkan sampai menimbulkan kematian. Dari hal tersebut maka adapun

permasalahan yang dihadapi yaitu bagaimana penerapan pidana yang dapat

dijatuhkan terhadap pelaku penganiayaan dan apa yang menjadi dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penganiayaan yang

mengakibatkan matinya seseorang.

Melihat fakta-fakta di Persidangan yaitu pada hari Minggu tanggal

8 September 2019 sekitar pukul 18.00 WIB Anak pergi bersama Anak

Saksi ke Stadion Kanjuruhan untuk melihat expo, anak menjalin hubungan

pacaran dengan Anak Saksi dan Anak sudah memiliki isteri dan 1 (satu)

orang anak, kemudian dikarenakan ibu Anak menelepon Anak meminta

untuk segera pulang, maka Anak dan Anak Saksi segera pulang. Anak dan

Anak Saksi pulang sekitar pukul 19.00 WIB melewati jalan pintas di

daerah gondanglegi dikarenakan jalan yang biasa dilewati dalam kondisi

ramai atau macet.

Pada hari Minggu tanggal 8 September 2019 sekitar pukul 19.30

WIB bertempat dijalan ladang tebu Serangan Desa Gondanglegi Kulon

Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, motor yang dikendarai oleh

Anak dan Anak Saksi didekati oleh motor Korban MISNAN dan Saksi

Page 44: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

35

MAMAT lalu Korban MISNAN meminta untuk Anak berhenti

mengemudikan motornya. Anak tidak dapat berbuat selain

memberhentikan motornya karena akan jatuh jika tetap tancap gas, pada

saat didekati oleh motor Korban MISNAN dan Saksi MAMAT, Anak

mengetahui akan terjadi hal buruk kepada mereka.

Pada saat diberhentikan oleh MISNAN dan MAMAT, Anak

meminta Anak Saksi untuk melarikan diri namun Anak Saksi tidak mau,

pada saat kejadian Korban MISNAN meminta HP yang dibawa Anak dan

Anak Saksi, namun Anak hanya memberikan HP milik Anak saja dan

Korban MISNAN tetap meminta HP milik Anak Saksi sesaat kemudian

Korban MISNAN menelepon temannya dengan jarak yang agak jauh

sedangkan Saksi MAMAT masih berada di dekat Anak dan Anak Saksi

dan setelah menelepon, Korban MISNAN meminta untuk dapat

bersetubuh dengan Anak Saksi sebagai ganti jika HP Anak Saksi tidak

mau diserahkan kemudia anak tidak mau dan menawarkan untuk

memberikan sejumlah uang kepada Korban MISNAN dan Saksi MAMAT,

namun Korban MISNAN dan Saksi MAMAT menolaknya dan tetap

meminta untuk dapat bersetubuh dengan Anak Saksi, ketika anak dan anak

saksi di lokasi kemudian terjadi negoisasi dengan korban Misnan dan saksi

Mamat selama 3 (tiga) jam selanjutnya terjadi penusukan terhadap korban

Misnan kemudian Anak mau memberikan HP Anak Saksi kepada Korban

MISNAN dengan syarat agar kunci motor dikembalikan kepada Anak,

namun Korban MISNAN tetap meminta HP Anak Saksi diserahkan

terlebih dahulu, lalu Anak mau menyerahkan HP namun Korban MISNAN

tetap tidak mau menyerahkan kunci motor Anak, setelah itu, Korban

MISNAN dan Saksi MAMAT berdiskusi dengan jarak sekitar 20 meter

dari posisi Anak dan Anak Saksi dimana disaat itu tidak ada yang

menghalangi Anak dan Anak Saksi untuk melarikan diri.

Anak dan Anak Saksi tidak melarikan diri karena kunci motor

masih dibawa oleh Korban MISNAN namun selagi Korban MISNAN dan

Page 45: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

36

Saksi MAMAT berdiskusi, Anak mengambil pisau dari dalam jok

motornya, pisau tersebut sebelum kejadian dibawa Anak karena

dipergunakan untuk mata pelajaran prakarya disekolah pada hari kamis

tanggal 5 September 2019, setelah Korban MISNAN dan Saksi MAMAT

selesai berdiskusi, mereka mendatangi Anak dan Anak Saksi dan kembali

meminta agar dapat bersetubuh dengan Anak Saksi selama 3 (tiga) menit.

Anak tidak mau menerima permintaan Korban MISNAN dan menawarkan

untuk memberikan sejumlah uang saja sebagai gantinya, dikarenakan

Korban MISNAN menolak penawaran Anak, maka Anak kemudian

menusukkan pisau yang dibawanya tepat ke bagian dada Korban MISNAN

kemudian mencabut pisau tersebut lalu mengacungkan pisaunya ke arah

Saksi MAMAT sambil berteriak: “Jancuk, tak pateni kon” yang membuat

Korban MISNAN dan Saksi MAMAT melarikan diri ke arah yang

berbeda. Anak melakukan hal tersebut karena takut Korban MISNAN dan

Saksi MAMAT akan memperkosa Anak saksi dan hal tersebut dilakukan

agar Korban MISNAN dan Saksi MAMAT tidak menggangu Anak saksi.

B. Pertimbangan Hakim

Setelah membaca dan memahami duduk perkara dan fakta-fakta di

persidangan dalam putusan Nomor: 01/Pid.Sus-Anak/2020/PN.KPN,

keterangan saksi-saksi, saksi ahli dan anak, Penunutut Umum menyatakan

anak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

“penganiayaan yang menyebabkan matinya orang“, namun anak dan

penasehat hukumnya tetap bersikeras walaupun anak terbukti melakukan

tindak pidana “penganiayaan yang menyebabkan matinya orang “ akan

tetapi, perbuatan itu tidak dapat di tuntut karna di dasarkan pada adanya

suatu Noodweer/alasan pemaaf sehingga dengan demikian anak haruslah

di lepaskan dari segala tuntutan hukum.

Selanjutnya yang menjadi pertimbangan Hakim berdasarkan fakta-

fakta hukum tersebut diatas adalah Anak dapat dinyatakan telah

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Bahwa Hakim

Page 46: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

37

terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan primer sebagaimana diatur

dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang unsur-

unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Unsur barang siapa;

2. Unsur dengan sengaja dengan rencana terlebih dahulul menghilangkan

nyawa orang lain;

Bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim

mempertimbangkan tentang unsur Barang Siapa dalam hal ini.

Pengertiannya adalah orang perseorangan atau korporasi yang menjadi

subyek hukum atau pelaku dari tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa

Penuntut Umum untuk dibuktikan kebenarannya dan dalam perkara ini

adalah Anak yang bernama MOCHAMAD ZAINUL AFANDIK yang

berdasarkan keterangan saksi-saksi dan Anak sendiri yang menerangkan

identitas sebagaimana dalam berita acara pemeriksaan Penyidik maupun

surat dakwaan Penuntut Umum ternyata telah cocok dengan identitas Anak

di persidangan dan sepanjang persidangan berlangsung tidak terdapat

satupun petunjuk bahwa akan terjadi kekeliruan orang (error in person)

sebagai subjek hukum atau Anak yang sedang diperiksa dalam perkara ini

dengan ini Anak diajukan dalam perkara pidana Anak, dan berdasarkan

keterangan Anak sendiri dan orang tua dari Anak, serta Laporan Penelitian

Kemasyarakatan Nomor 164/BKA/POL-PN/IX//2019 tanggal 20

September 2019 oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang bernama Drs.

Indung Budianto, MH berdasarkan foto copi Kutipan Akta Kelahiran yang

menerangkan Anak lahir pada tanggal 18 Januari 2002, sehingga pada saat

kejadian tindak pidana yang didakwakan tersebut, Anak belum berusia 18

(delapan belas) tahun.

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui pada

saat dilakukannya tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh

Penuntut Umum tersebut di atas, dilakukan oleh Anak sebelum berumur

18 (delapan belas) tahun, dan pada saat diajukan di sidang Pengadilan,

Anak belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun sehingga berdasarkan

Page 47: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

38

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, maka sudah tepat apabila Anak diajukan ke sidang Anak.

Bahwa sub unsur dengan sengaja dan dengan rencana terlebih

dahulu adalah sub unsur yang bersifat kumulatif. Karena bersifat kumulatif

maka kedua sub unsur tersebut harus terpenuhi. Apabila salah satu tidak

terpenuhi maka unsur kedua tidak terpenuhi. Pengertian dengan sengaja

menurut memorie van toelichting adalah si pelaku harus menghendaki dan

mengetahui akibat dari perbuatannya. Pengertian dengan rencana terlebih

adalah si pelaku harus memiliki rentang waktu yang cukup lama antara

mempersipakan perbuatan yang diketahui dan dikehedakinya itu dengan

waktu pelaksanaan perbuatan tersebut. Si pelaku harus mempunyai waktu

yang cukup

lama dan matang untuk memutuskan apakah si pelaku akan melakukan

perbuatan tersebut. Si pelaku harus mempunyai waktu yang cukup untuk

mempersiapkan alat untuk melakukan perbuatannya tersebut.

Pertimbangan hakim selanjutnya bahwa Anak melakukan

penusukan terhadap korban hanya untuk membuat korban dan Saksi

Mamat takut dengan tujuan supaya korban dan Saksi Mamat pergi dan

tidak memeras Anak serta tidak menggangu teman perempuannya.

Mengingat tujuan anak melakukan penusukan terhadap korban hanya

untuk membuat korban dan Saksi Mamat takut dengan tujuan supaya

korban dan Saksi Mamat pergi dan tidak memeras Anak serta tidak

menggangu teman perempuannya. Anak juga tidak mempunyai niat atau

menginginkan kematian korban maka unsur dengan sengaja tidak

terpenuhi maka sub unsur- sub unsur dalam dalam unsur kedua berbentuk

kumulatif maka apabila salah satu sub unsur tidak terpenuhi maka unsur

kedua tidak terpenuhi.

Hakim menyatakan Anak dibebaskan dari dakwaan primair

tersebut perempuannya maka dapat disimpulkan bahwa anak tidak

mempunyai niat atau menginginkan kematian korban, bahwa oleh karena

dakwaan kesatu subsidair tidak terbukti, maka selanjutnya Hakim akan

Page 48: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

39

mempertimbangkan dakwaan kesatu lebih subsidair, sebagaimana diatur

dalam Pasal 351 Ayat (3) KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai

berikut:

1. Unsur barang siapa;

2. Unsur penganiayaan yang mengakibatkan mati;

Unsur barang siapa, pengertian dan pertimbangan unsur barang

siapa telah diuraikan dalam unsur pertimbangan dakwaan primair, maka

Majelis mengambil alih pertimbangan tersebut diatas, yang pada pokoknya

unsur ini dinyatakan telah terbukti. Unsur penganiayaan yang

mengakibatkan mati bahwa “menganiaya” adalah dengan sengaja

menimbulkan sakit atau luka. Kesengajaan ini harus dituduhkan dalam

surat tuduhan.

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai

kesengajaan. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) terdapat keterangan

yang menyatakan “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya

pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan

dikehendaki (willens) dan diketahui (wetens)”. Dengan singkat dapat

disebut bahwa kesengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan orang

yang mengetahui.40

Penganiayaan yang dilakukan Anak terhadap korban

mengakibatkan korban meninggal dunia maka unsur penganiayaan yang

mengakibatkan mati telah terpenuhi. Oleh karena semua unsur dari Pasal

351 Ayat 3 KUHP telah terpenuhi, maka Anak haruslah dinyatakan telah

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana

didakwakan dalam dakwaan lebih subsidair Penuntut Umum.

Pertimbangan hakim tentang pasal 49 bahwa syarat-syarat pembelaan

darurat menurut, yaitu:41

1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk

mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh

40

Adami Chazawi, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h., 93-96 41

R. Soesilo Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap

Pasal Demi Pasal h., 64-65

Page 49: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

40

dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang

tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk

membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh

membunuh atau melukai orang lain;

2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap

kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan,

kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain;

3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan

sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga;

Menimbang, bahwa R. Soesilo (hal. 65) memberi contoh

“pembelaan darurat” yang diatur dalam Pasal 49 yaitu seorang pencuri

yang akan mengambil barang orang lain, atau pencuri yang ketahuan

seketika mengambi barang orang lain kemudian menyerang orang yang

punya barang itu dengan pisau belati dan sebagainya sedangkan rentang

waktu pertemuan Anak dan Anak Saksi bersama dengan Korban MISNAN

dan Saksi MAMAT sekitar 3 (tiga) jam dan selama rentang waktu tersebut

Anak dan Anak Saksi memiliki peluang untuk melarikan diri walau harus

meninggalkan motor anak yang ditahan oleh Korban MISNAN dan Saksi

MAMAT. Hakim juga berpendapat tidak ada hal yang menghalangi Anak

dan Anak Saksi untuk melarikan diri dikarenakan tidak ada ancaman yang

dapat membahayakan Anak dan Anak Saksi dari Korban MISNAN dan

Saksi MAMAT dikarenakan Korban MISNAN dan Saksi MAMAT tidak

membawa senjata atau alat yang dapat membahayakan Anak dan Anak

Saksi, bahkan Korban MISNAN dan Saksi MAMAT tidak menyentuh atau

menahan secara fisik Anak dan Anak Saksi untuk melarikan diri atas dasar

diatas Hakim berpendapat bahwa perbuatan Anak bukanlah pembelaan

terpaksa (noodweer).

Terkait permintaan bersetubuh yang dilakukan Korban MISNAN

dan Saksi MAMAT kepada Anak Saksi tidak disertai dengan tindakan

melainkan upaya permintaan tersebut berulang kali dinegosiasikan Korban

MISNAN dan Saksi MAMAT kepada Anak, Korban MISNAN dan Saksi

Page 50: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

41

MAMAT sendiri sampai selama rentang waktu 3 (tiga) jam tidak sekalipun

menyentuh atau melecehkan secara fisik Anak Saksi. Oleh karena itu,

Anak dalam melakukan perbuatannya dinilai tidak dalam perasaan

tergoncang hebat dikarenakan Anak dengan tenang mengambil pisau di

jok motornya dan menyembunyikannya dibalik badannya serta dengan

sabar menunggu waktu yang tepat untuk melakukan perbuatannya selain

itu juga tidak ada pernyataan dari ahli yang menyatakan sebaliknya terkait

perasaan tergoncang yang dialami oleh Anak; Menimbang, bahwa atas

dasar diatas Hakim berpendapat bahwa perbuatan Anak bukanlah

pembelaan darurat yang melampaui batas (Noodweer Exces) dan menurut

Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan

pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan

pemaaf, maka Anak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan

bahwa karena Anak mampu bertanggung jawab, maka harus dinyatakan

bersalah dan dijatuhi pidana.

C. Pertimbangan Hakim dalam kasus Tindak Pidana Pembunuhan

Pembelaan Terpaksa

Jika penjelasan di atas di kaitkan dengan kasus dalam putusan

Nomor 01/PID.SUS-ANAK/2020/PN.KPN yang menetapkan pelaku yang

masih di bawah umur dengan Pasal 351 Ayat (3) KUHP dan Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta

peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan Hakim

menyatakan Anak MOCHAMAD ZAINUL AFANDIK Als. FANDIK

Bin SARUJI tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Penganiayaan Mengakibatkan Mati”

sebagaimana dalam dakwaan lebih subsidair, Menjatuhkan pidana kepada

Anak oleh karena itu dengan pidana Pembinaan dalam Lembaga di

Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak Darul Aitam di Wajak Kab Malang

selama 1 ( satu) tahun.

Yang dengan putusan tersebut, penulis berpendapat hukuman yang

Page 51: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

42

dijatuhi hakim sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dimana

Anak seharusnya dalam pasal 49 ayat 1 yang berbunyi: “Tidak dipidana,

barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri atau

orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang

lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan

hukum pada ketika itu juga.”. Dalam Pasal ini salah satu syarat pembelaan

terpaksa adalah dilakukan seketika yang jika dilihat kronologi kasusnya

syarat tersebut tidak terpenuhi.

Di dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan yang dilakukan

karena pembelaan terpaksa tidak dipidana, karena adanya peniadaan

pidana yang di dalamnya terdapat alasan pembenar yang menyebabkan

hapusnya sifat melawan hukum perbuatan42

, sehingga apa yang dilakukan

terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tidak dipidananya

terdakwa karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya

perbuatan. Walaupun dalam kenyataanya perbuatan terdakwa telah

memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat

melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana.

Selain alasan pembenar, juga terdapat alasan pemaaf karena orang

yang melakukan perbuatan karena terdorong oleh pembelaan terpaksa

melampaui batas yang sebenarnya terpaksa dilakukan karena didorong

oleh suatu tekanan batin atau tergoncangnya jiwa, jadi fungsi batinnya

menjadi tidak normal. Oleh karena itu seseorang yang melakukan

pembunuhan karena dalam keadaan terpaksa dan dalam pembuktian di

persidangan benar-benar terbukti adanya syarat dan unsur pembelaan

42

Hal ini berdasarkan pendapat Langenmeyer yang dikutip oleh Roeslan Saleh:“ Sifat

melawan hukum pada suatu perbuatan yang memenuhi rumusan delik akan mempunyai arti jika

melalui cara yaitu hakim akan memutuskan supaya ia lepas dari segala tuntutan hukum

berdasarkan tidak dapat dipidananya perbuatan tersebut bilamana ia berfikir bahwa harus

memperhatikan keadaan-keadaan yang khusus yag dipandang dari sudut peraturan tertulis atau

tidak tertulis perbuatan tersebut merupakan hal yang patut walaupun bertentangan dengan

ketentuan yang melarang. Dalam semua kejadian-kejadian demikian masih dibuktikan apa yang

sepatutnya didakwakan tetapi bersamaan dengan hilangnya sifat melawan hukum, hilang pula hal

yang dapat dipidananya, dan karenanya putusannya adalah lepas dari tuntutan hukum, bukan bebas

dari tuntutan hukum.” Lihat dalam Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, (Jakarta:

aksara Baru, 1987) h., 6

Page 52: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

43

terpaksa, maka terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan. Namun

jika dalam pembuktian tidak terbukti adanya unsur pembelaan terpaksa

dalam tindak pidana pembunuhan, dengan mempertimbangkan kaidah

terdapat dalam pasal 49 ayat 1 dan 2 KUHP, maka pelaku dapat

dijatuhkan hukuman sebagaimana yang telah ditetapkan.

Penyerangan yang melawan hukum seketika itu melahirkan

hukum darurat yang membolehkan korban melindungi dan

mempertahankan kepentingannya atau kepentingan hukum orang lain.

Inilah dasar filosofi pembelaan terpaksa. Suatu perbuatan dianggap

sebagai suatu tindak pidana karena perbuatan tersebut bisa merugikan

terhadap tata nilai hidup yang ada di dalam masyarakat, kepercayaan-

kepercayaan, merugikan anggota-anggota masyarakat, harta benda, nama

baik, perasaan-perasaannya dan pertimbanganpertimbangan baik yang

harus dihormati dan dipelihara.

Dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pembunuhan, Islam

tidak terpaku hanya pada satu hukum saja, akan tetapi memberikan

alternatif baik pembunuhan itu sengaja atau pembunuhan yang tidak

disengaja. Bahkan Islam memberikan pilihan bagi keluarga terbunuh

dalam memberikan sanksi terhadap pelaku antara qishash atau

memaafkan dan disuruh memilih disekitar memberikan maaf dengan tidak

memberikan ganti apa-apa.

Dengam demikian, maka dapat di fahami bahwa dalam hukum

Islam, tujuan diadakannya hukum qishash adalah, untuk melindungi hak

Allah atas hamba dalam masyarakat, terutama menyangkut hak hidup

seseorang.

تق ىی الىب ب ىعيکۃ فی اىقص ص ح ىک

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup

bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”43

Dari ayat ini maka dapat dilihat bahwa qishash merupakan akibat

43

(QS. Al Baqarah (2): 179

Page 53: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

44

dari kejahatan terhadap manusia. Tujuannya adalah untuk menjamin

kelangsungan hidup manusia. Dengan demikian artinya, jika qishash itu

dilaksanakan maka kelangsungan hidup manusia di dunia akan terjamin.

Dari ayat diatas jelas menunjukan bahwa hukuman merupakan sarana

sebagai sebuah jaminan terhadap hak-hak dan kelangsungan hidup

manusia.

Secara umum si korban tidak memiliki hak untuk memaafkan

hukuman, akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku bagi tindak pidana

pembunuhan. Pemaafan pada hukuman qishash oleh si korban tidak

dikhawatirkan akan mengganggu keamanan dan ketertiban umum.

Dengan demikian, jenis hukuman qishash dalam hukum pidana Islam

tidak sematamata diorientasikan pada perlindungan atau pemberantasan

kejahatan, tetapi lebih dari itu ditujukan pada pemberian jaminan

rehabilitasi pada si korban untuk tetap mendapatkan haknya untuk

mendapatkan kembali posisi sosialnya yang setara dengan orang lain.

Islam memberikan kebebasan kepada seseorang selama tidak

melampaui batas. Seseorang diizinkan untuk hidup dan mempunyai hak

untuk hidup selama ia tidak melakukan kekerasan apa pun. Tetapi, bila ia

melampaui batas tersebut dan membuat kekacauan serta penindasan

dalam masyarakat atau menjadi ancaman bagi kehidupan sesamanya,

maka ia kehilangan hak hidupnya. Jadi, dalam menentukan sanksi

hukuman atas pembelaan yang melampaui batas dalam hukum Islam

penulis berdasarkan penjelasan diatas berpendapat bahwa terjadi

perbedaan pendapat dikalangan Ulama.

Page 54: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

45

Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (diperbolehkan)

dan tidak ada hukuman baginya.

اأىس بق صذ

“Tiap perkara tergantung maksudnya”44

.

Namun jika sampai melewati batas dan mengenai orang lain

dengan tersalah, maka perbuatannya bukan mubah melainkan kekeliruan

dan kelalaian si pembela diri. Firman Allah SWT:

فض د ف الأسض ش فش أ قو فض بغ ب إصشائو أ ىل مب عي أجو ر قو اى س ع فن ج

مثش إ ت ث سصي ب ىب ىقذ ج ءت ع أح اى س ج أح فن ىل ف الأسض بعذ ر ا

ضشف ى

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,

bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena

orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan

dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia

seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang

manusia, Maka seolaholah Dia telah memelihara kehidupan manusia

semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul

Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian

banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas

dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”45

Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin

Hambal penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang

diancam dengan hukuman, tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah

(tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan

oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat dilawan. Jika

sampai mengakibatkan kematian maka tidak terdapat

44

Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id

Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009) h.,5 45

Q.S Al Maidah (5): 32

Page 55: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

46

pertanggungjawaban baginya baik secara perdata maupun pidana.

Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus

berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang

yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan

(serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan

hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan

maka orang yang diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa.

Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam Abu Hanifah

yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam dengan

hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana. Pendapat Abu Yusuf ini, maka tidak terdapat

pertanggungjawaban secara pidana tapi terdapat pertanggungjawaban

secara perdata yaitu dengan membayar diyat.46

Hakim dalam hal ini mengacu pada Pasal 351 Ayat (3) KUHP yang

unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Unsur barang siapa;

2. Unsur penganiayaan yang mengakibatkan mati;

Unsur penganiayaan yang mengakibatkan mati bahwa “menganiaya”

adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka. Kesengajaan ini harus

dituduhkan dalam surat tuduhan.

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai

kesengajaan. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) terdapat keterangan

yang menyatakan “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada

barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki

(willens) dan diketahui (wetens)”. Dengan singkat dapat disebut bahwa

kesengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan orang yang

mengetahui.47

Penganiayaan yang dilakukan Anak terhadap korban

46

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Fiqih Jinayah), h.,

90 47 Adami Chazawi, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h., 93-96

Page 56: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

47

mengakibatkan korban meninggal dunia maka unsur penganiayaan yang

mengakibatkan mati telah terpenuhi. Oleh karena semua unsur dari Pasal

351 Ayat 3 KUHP telah terpenuhi, maka Anak haruslah dinyatakan telah

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.

Menurut penulis, kata “penganiayaan” dalam kasus ini kurang

tepat karena Anak tidak menghendaki perlakuan tersebut. Anak

melakukan penusukan terhadap korban hanya untuk membuat korban dan

Saksi Mamat takut dengan tujuan supaya korban dan Saksi Mamat pergi

dan tidak memeras Anak serta tidak menggangu teman perempuannya.

Mengingat tujuan anak melakukan penusukan terhadap korban hanya

untuk membuat korban dan Saksi Mamat takut dengan tujuan supaya

korban dan Saksi Mamat pergi dan tidak memeras Anak serta tidak

menggangu teman perempuannya. Anak juga tidak mempunyai niat atau

menginginkan kematian korban maka unsur dengan sengaja tidak

terpenuhi.

Menurut Hakim perbuatan yang dilakukan oleh Anak tidak

termasuk kedalam pembelaan terpaksa hanya karena Korban dan Saksi

Mamat tidak membawa senjata tajam. Namun Anak dalam hal ini juga

tidak sengaja membawa senjata tajam kecuali untuk tugas sekolah dan

dalam hal ini sudah terbukti. Hakim juga berpendapat Anak tidak dalam

keadaan terguncang untuk melakukan pembelaan diri. Padahal saat itu

Anak masih di bawah umur yang masih dalam perasaan yang tidak stabil

dikarenakan belum cukup dewasa dalam menghadapi sesuatu yang

darurat.

Mengenai hukuman bagi anak yang melakukan tindak pidana,

hukum pidana Islam tidak memberikan ketentuan yang jelas karena

menurut hukum Islam anak itu merupakan amanat yang diberikan oleh

Allah SWT yang harus dijaga, dirawat sebaik mungkin. Sehingga ketika

seorang anak melakukan perbuatan melanggar hukum maka anak tersebut

tidak dikenakan hukuman dan sebagai gantinya, yang menjalankan

Page 57: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

48

hukuman adalah orang tuanya.

Karena hal tersebut, penulis berpendapat bahwa hukuman yang

dijatuhkan hakim sudah sesuai karena dalam pasal 49 KUHP salah satu

syarat pembelaan terpaksa adalah harus dalam keadaan yang terdesak dan

dilakukan seketika namun dalam kasus ini, pelaku mempunyai cukup

waktu dan kesempatan untuk melakukan tindak pidana tersebut.

Page 58: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

49

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis dan interpretasi temuan yang penulis

kemukakan pada bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hakim dalam putusan Nomor: 01/Pid.Sus-

Anak/2020/PN.KPN menjatuhkan pidana kepada Anak oleh karena itu

dengan pidana Pembinaan dalam Lembaga di Lembaga Kesejahteraan

Sosial Anak Darul Aitam di Wajak Kab Malang selama 1 (satu) tahun.

Yang dengan putusan tersebut, hukuman yang di jatuhi hakim sudah

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat syarat dalam

pembelaan terpaksa adalah hal yang harus dilakukan dalam keadaan

yang terdesak dan seketika namun dalam kasus ini Anak mempunyai

cukup waktu dan kesempatan untuk melakukan tindakan tersebut.

2. Tindak pidana pembunuhan pembelaan terpaksa dalam perspektif

hukum pidana islam adalah membela diri merupakan suatu jalan yang

sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan

terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Untuk membela

kehormatan, para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah wajib.

Namun apabila jika seseorang melakukan pembelaan diri dengan

kekuatan melibihi kekuatan yang diperlukan maka harus

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Sedangkan hukum

pidana positif, syarat pembelaan terpaksa dalam pasal 49 KUHP adalah

dilakukan seketika namun dalam kasus ini syarat tersebut tidak

terpenuhi.

B. Rekomendasi

1. Kepada aparat penegak hukum dalam hal ini hakim, untuk dapat lebih

memikirkan, merenungkan dan menginterprestasikan kembali konsepsi

pembelaan diri dalam memutus suatu perkara. Dalam tindak pidana

Page 59: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

50

pembunuhan memang perlu dipertimbangkan tujuan dan nilai maslahah

demi terciptanya realitas hukum di Indonesia yang adil. Seperti

perbuatan pembelaan yang diperbolehkan harus terdapat kejelasan

dalam menentukan syarat dan untuk dijadikan bahan pertimbangan

dalam pembentukan hukum yang nantinya diharapkan dengan adanya

undang-undang yang tegas terkait dengan kejahatan maka akan

memperkecil jumlah kerusakan moral di Indonesia.

2. Penelitian yang dilakukan penulis ini adalah penelitian lanjutan serta

melengkapi penelitian-penelitian terdahulu. Serta bertujuan untuk

menambah hasanah pengetahuan dalam bidang ilmu hukum pidana

khususnya perbandingan. Namun, bukan berarti penelitian yang

dilakukan penulis ini telah mencapai kesempurnaan dan tentunya masih

banyak kekurangan- kekurangan. Untuk itu, penulis berharap agar

peneliti yang lain mampu melanjutkan kembali serta menambahkan dan

menyempurnakan apa yang menjadi kekurangan penulis dalam

penelitian ini.

Page 60: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

51

DAFTAR PUSTAKA

Alfitra. Hukum Acara Peradilan Anak. (Jawa Timur:Wade Group,2019)

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru). (Jakarta: Kencana, 2010)

Artadi, I Ketut, Hukum Dalam Perspektif Kebudayaan: Pendekatan Kebudayaan

terhadap Hukum, (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2006)

Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri‟i al-Jina‟i al-Islami Jilid II. (Beirut: Dar al-Kitab

al-Arabi, t.t)

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana II. (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, Cet. ke1, 2002)

Chazawi, Adami. Hukum Pidana. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)

Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana I. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)

F, M. Rifan , Nyoman Serikat PJ, and R.B. Sularto. “IMPLEMENTASI ALASAN

PENGHAPUS PIDANA KARENA DAYA PAKSA DALAM PUTUSAN

HAKIM,” Diponegoro Law Review. 4. 1 (2015)

Gunardi. Kerangka Konsep dan Kerangka Teori dalam Penelitian Ilmu Hukum.

Jurnal Era Hukum Nomor 1 Tahun 2005.

Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)

HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah

HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi

HR. Ahmad

Ilyas, Amir. Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana Dan

Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Disertai

Teori-Teori Pengantar Dan Beberapa Komentar), (Yogyakarta:Rangkang

Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia.2012)

Page 61: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

52

Khallaf, Abdul Wahab , Ilmu Ushul Al Fiqh, Ad Dar Al Kuwaitiyah, cet, VIII,

1968

Marsum. Jinayat (HPI). (Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, Cet. ke-2,

1989)

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Revisi. (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2016, Cet. 12, Edisi Revisi)

Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberatan dan

Prevensinya). (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)

Mubarok, Jaih dan Enceng Arif Faizal. Kaidah Fiqih Jinayah. (Bandung: Aksara

Baru, 2004)

Muslich, A. Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. (Fiqih Jinayah).

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006)

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta, 2008, Edisi Revisi)

Ruhiatudin, Budi. Pengantar Ilmu Hukum. (Yogyakarta: Teras, 2009)

Rawa Abu Daud

Rokhmadi. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Karya Abadi Jaya, 2015)

Saleh, Roeslan. Kitab Undang-undang Hukum pidana. (Jakarta: aksara Baru,

1987)

Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: C.V Armico, 1985)

Tunggal, Hadi Setia. UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, (Jakarta: Harvarindo 2013)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian

Page 62: “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN KARENA PEMBELAAN …

53

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Kejaksaan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Kehakiman

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia. (Bandung:

Eresco, 1989)

Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawa‟id

Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009)