Nomor : Istimewa Jakarta, 12 Mei 2008 Hal : Revisi Judul...
-
Upload
nguyenkhuong -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
Transcript of Nomor : Istimewa Jakarta, 12 Mei 2008 Hal : Revisi Judul...
v
Nomor : Istimewa Jakarta, 12 Mei 2008
Hal : Revisi Judul Skripsi
Lampiran : Satu (1) buah proposal skripsi,
out line dan daftar pustaka sementara
Kepada Yth
Bapak Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA
Koordinator Teknik Non Reguler
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Di
Tempat
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Teriring salam di atas saya do’akan semoga Bapak berada dalam keadaan sehat
wal’afiat dan selalu berada dalam lindungan Allah SWT, serta sukses selalu dalam
menjalankan aktifitas sehari-hari. Amin Ya Rabbal’alamin
Sehubungan dengan telah terpenuhinya jumlah SKS sebagai salah satu syarat
dalam menulis skripsi maka dari itu, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ahmad Sonifuniam
NIM : : 204044103018
Jurusan / Prodi : Ahwalus’syaksiyah / Peradilan Agama
Semester : VIII
Untuk itu saya menulis skripsi sebagai syarat mencapai gelar Sarjana Hukum
Islam (SHI). Adapun Judul yang saya ajukan adalah “Analisis Keputusan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia No. 2 Tentang Penggunaan Organ Hewan Bagi
Kepentingan Obat-Obatan dan Kosmetika”.
Sebagai bahan pertimbangan untuk bapak maka saya lampirkan satu (1) buah
proposal skripsi, out line, dan daftar pustaka sementara.
Demikianlah surat permohonan ini saya ajukan dengan harapan bapak dapat
memakluminya, dan atas perhatian bapak saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA
Pembimbing Akademik
Ahmad Sonifuniam
Pemohon
v
PENGGUNAAN ORGAN TUBUH MANUSIA BAGI
KEPENTINGAN O B A T D A N K O S M E T I K A
(ANALISIS KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA
INDONESIA NO. 2. TAHUN 2000)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
AHMAD SONIFUNIAM
NIM : 204044103018
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H/ 2008 M
v
PENGGUNAAN ORGAN TUBUH MANUSIA BAGI
KEPENTINGAN O B A T D A N K O S M E T I K A
(ANALISIS KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA
INDONESIA NO. 2. TAHUN 2000)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
AHMAD SONIFUNIAM
NIM : 204044103018
Di Bawah Bimbingan:
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH,MA
NIP. 150 169 102
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H/ 2008 M
v
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratn memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya dapat gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima hukuman dan sanksi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, November 2008
AHMAD SONIFUNIA
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………… i
DAFTAR ISI………………………………………………………….. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………… 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah………………………. 7
C. Tujuan Penelitian…………………………………….. 9
D. Metode Penelitian……………………………………. 9
E. Kajian Terdahulu……………………………………... 11
F. Sistematika Penulisan…………………………………..13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Macam Halal Haram…………………..14
B. Prinsip Dasar Halal Haram…………………………... 21
C. Pengertian dan Kriteria Darurat……………………… 28
D. Metode Istînbâath (Qiỹas, Istihsân, Mashlahah Mursalah,
dan Istishâb)…………………………………………. 37
BAB III FATWA MAJELIS ULAMA TENTANG PENGGUNAAN
ORGAN TUBUH
A. Sejarah Majelis Ulama Indonesia……………………. 50
v
B. Kedudukan Fatwa MUI……………………………… 58
C. Fatwa Majelis Ulama Indonesia……………………... 61
BAB IV ANALISIS FATWA MUI
A. Analisis Batasan Darurat…………………………….. 67
B. Istînbâth Menetapkan Hukum……………………….. 75
C. Analisis Penulis…………………………………….... 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………82
B. Saran………………………………………………… ..84
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………… . .85
LAMPIRAN
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain memanjatkan untaian uji dan
syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan ni’mat, rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabat, dan kepada
kita semua selaku umatnya yang mengharapkan safaatnya di hari akhir nanti.
Pada dasarnya dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mengalami berbagai
kesulitan, akan tetapi dengan kekuatan, bantuan serta partisipasinya dari baebagai
pihak, baik moril maupun materiil, Alhamdulillah akhirnya skripsi ini dapat selesai
dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan
ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya terutama kepada Bapak:
1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma., S.H., MA., M.M., selaku
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil., S.H., M.A., selaku Ketua Jurusan Al Akhwal
Al Syakhsiyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
3. Kamarusdiana., S. Ag. MH., selaku sekretaris Jurusan Al Akhwal Al
Syakhsiyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
4. Drs. Djawahir Hejazziey, SH., MA., selaku Ketua Non-Reguler Fakultas
Syari’ah dan HUkum UIN Jakarta dan Drs. H. Ahmad Yani, MA.,
selaku Skretaris Non-Reguler Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dosen serta karyawan di lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis.
6. Pimpinan serta staff Perpustakaan Utama UIN serta Perpustakaan
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu penulis dalam melengkapi litelatur guna mendukung
skripsi ini.
7. Ibunda (Siti Aminah) dan ayahanda (Ahmadi) tercinta yang telah
memberikan dorongan, semangat, mendo’akan serta memberikan
limpahan kasih sayang, motivasi, dan saran baik secara moril maupun
materiil sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan kuliah ini.
8. Kakakku ( Akhid Ahmadi, Ummi Kulsum, Abdul Halim Alharis, Yaroh,
Siti Magfiroh, Yadi, Samsul Ma’arif dan Hanifah) yang telah
memberikan semangat serta dorongannya baik moril atau materiil.
9. Pengurus Masjid At-Tawqa II Pamulang II dan Pengajian Niftakul
Jannah yang telah banyak membantu dalam membiayai baik moril
maupun materiil demi tercapainya cita-cita kami.
v
10. Sahabat-sahabatku Majid, Badruz, Melqi, Anwar, Bon2, Bang Ayub
dan Lontong, dkk yang telah banyak membantu moril maupun materiil
dalam penulisan ini.
11. kepada seluruh teman-teman seperjuangan angkatan tahun ajaran
2004/2005 yang berkonsentrasi pada Peradilan Agama.
Akhirnya semua partisipasi dari semua pihak penulis serahkan semuanya
kepada Allah SWT, semoga segala dibalas oleh Allah yang berlipat ganda sebagai
amal baik. Dan skripsi ini bermanfaat dan sekaligus dapat menambah ilmu kepada
kita semua. Amin
Ciputat,19 November 2008
Ahmad Sonifuniam
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang memiliki sifat bertanggung jawab karena ia
memiliki kemampuan untuk memilih secara sadar dalam meraih cita-cita dalam
kehidupannya. Sadar akan hal itu berarti, mengetahui kondisi yang ada dan
konsekwensi yang akan ditimbulkannya. Manusia dapat berperan dengan baik dalam
kelompok kecil maupun kelompok masyarakat bahkan dalam pembentukan ulang
norma-norma disekitarnya ketika berhadapan dengan tantangan-tantangan untuk
membuat pilihan-pilihan yang secara mandiri dalam hidup dengan gaya yang
dimiliki.1
Agama Islam memiliki aturan-aturan yang menjaga manusia dari kerusakan.
Menjauhkan manusia dari tiap-tiap zahrah kerendahan serta seterusnya yang
membimbing manusai itu mencapai puncak kemuliaan, kebahagiaaan, dan
kesempurnaan.2
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberhasilan
pembangunan akhir-akhir ini telah merambah seluruh aspek bidang kehidupan
manusia. Tidak saja membawa kemudahan, kebahagiaan dan kesenangan, melainkan
juga menimbulkan sejumlah persoalan. Disisi lain kesadaran keberagaman umat
Islam, khususnya di Indonesia. Pada dasawarsa terakhir ini semakin tumbuh subur
1 Muhammad, R. Lukman Fauroni, Visi Al-Qur`an Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta :
Salemba Diniyah, 2002, hlm . 99
2 Hasby Ash-Shiddieqy, A-Islam II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 202
v
dan meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan, penemuan
maupun aktivitas baru sebagai produk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, memunculkan pertanyaan, bagaimanakah kedudukan hal tersebut dalam
pandangan hukum Islam?3
Salah satu persoalan yang cukup mendesak yang dihadapi umat Islam adalah
membanjirnya produk obat-obatan dan kosmetika. Dengan semakin meningkatnya
tingkat keimanan seseorang, menumbuhkan kehati-hatian dalm memilih produk yang
akan dikonsumsi. Karena mengkonsumsi yang halal dan suci merupakan perintah
agama. Dalam Al-Qur an disebutkan:
��������� ���� ��� ������� ��☺�� ��� ��� !"�� #⌧%��&
�'(*+,- ./0� �����234,5 �670��8�9 �:,8;+<=��� > ?&�A�B �6�C,� D�F
G�H�(�� �I�JK
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Baqarah :
168).4
��������� LMN�OPQ�� ��� ��0�
�����RS :�� �T2*U,- ��
�6�CV';O�W0 ���X�CYP��0� ZQ [�B
]! RS %�^��B L_�F(�,5 �IabK
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang
baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-
benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Qs. Albaqarah : 172).5
3 Departemen Agama, Sistem dan Prosedur Penerapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta : 2003, hlm. 25
4 Departemen Agama, Al-Qur`an dan terjemahannya, Semarang Toha Putra 1989, hlm. 41 5 Ibid. hlm. 42
v
Ayat-ayat di atas menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal hukumnya
wajib karena merupakan perintah agama. Tetapi juga menunjukan bahwa
mengkonsumsi yang halal merupakan salah satu bentuk perwujutan dari rasa syukur
dan keimanan kepada Allah.
Teknologi pembuatan obat-obatan dan kosmetik sama pesatnya dengan
perkembangan teknologi pangan. Menurut wakil ketua lembaga pengkajian pangan,
obat-obatan dan kosmetik, Majelis Ulama Indonesia, Anna P Roeslem, banyak
kosmetika yang beredar di Indonesai mengandung bahan tidak halal, bahan-bahan
yang diragukan kehalalannya diantaranya plasenta.6 Plasenta atau ari-ari ini
merupakan organ manusia yang berfungsi sebagai media nutrisi untuk embrio yang
ada dalam kandungan. Ia memiliki bobot seberat 600 gram berdiameter 16-18 cm dan
mengandung 200 ml darah yang berisi jaringan seperti spon. Selam berfungsi sebagai
sumber kehidupan. Embrio plasenta kaya akan kandungan darah dan juga protein
seperti albumin, hormon seperti estrogin dan subtansi lain seperti asam, deoxy ribo
nukleat. Semula plasenta digunakan dalam bidang farmasi, karena organ ini
mempunyai fungsi yang luas. Di antaranya adalah untuk menyembuhkan cacar
bawaaan, terapi kangker, kehilangan protein akut melalaui luka bakar, infeksi bakteri
yang berulang dan serius serta menginitis.7
Kosmetik bagi wanita, telah menjadi bagaian hidup dalam kesehariannya.
Kosmetik mereka pakai untuk mempercantik diri dan merawat kecantikan itu agar
6 http://www.halal.guid.info/contet/view/610/38, Jum’at, 2 Maret 2007 7http://www.halal.guid.info/contet/view/891/38, Jum’at, 2 Maret 2007
v
tidak lekas pudar. Tak jarang berbagai produk di coba demi mencapai tujuannya
meski terkadang mereka mengabaikan terhadap bahan baku kosmetik itu sendiri. Bagi
muslimah tak hanya fungsi kosmetik yang mesti mereka pikirkan. Namun wanita
muslimah juga harus memperhatikan kehalalan bahan baku kosmetik yang mereka
gunakan.8
Dulu perusahaan kosmetika menggantungkan pada bahan-bahan yang
memiliki khsiat yang misterius, seperti minyak yang diperoleh dari kura-kura yang
meningkatkan peremajaan kulit atau mengencangkan otot yang terdapat didagu.
Kemudian minyak ikan paus, royal jelly yang berasal dari lebah ratu, ekstrak embrio
anak ayam, serum darah kuda, dan ekstrak kulit babi yang mempunyai khasiat
khusus9.
Semakin maju teknologi semakin banyak pula alternati-alternatif bahan baku
kosmetik yang digunakan, sebagai contoh plasenta, ekstrak plasenta merupakan
sumber proterin yang bisa berasal dari hewan maupun manusia, biasanya ia menjadi
bahan baku krem regenerasi untuk memperbaiki elastisitas kulit dan mencegah
degenerasi sel, sehingga menghasilkan fungsi kulit yang diinginkan. Seiring dengan
kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan kulit yang cantik dan menawan, produk-
produk berplasenta semakin digemari. Tetapi tanpa informasi yang mendamai kepada
konsumen tidak menutup kemungkinan masyarakat akan terjebak kepada produk
yang sebenarnya najis dan dilarang agama, preparat kosmetik yang menggunakan
8 http://www.halal.guid.info/contet/610/38, Jum’at, 2 Maret 2007
9 http://www.halal.guid.info/contet/view/892/38, Jum’at, 2 Maret 2007
v
plasenta dan turunannya tidak jelas sumber plasenta ynag digunakan. Apakah berasal
dari plasenta manusia atau hewan, keduanya memiliki permasalahan yang sama
ditinjau dari sudut kehalalan.10
Penggunaan babi dan turunannya atau bagian tubuh manusia dalam dunia
kedokteran memang lazim terjadi. Perusahaan-perusahan farmasi secara terbuka,
sudah bukan rahasia lagi jika bagian tubuh manusia atau pun penggunaan babi
dimanfaatkan dalam pembuatan produk-produk seperti vaksin, sediman obat dan
bahan kosmetik11
.
Namun apakah informasi tersebut sampai pada konsumen muslimah yang
menggunkan? Hadist Nabi SAW mengatakan :
�و ���� ا� ��� ���ا��� �� ��� ا� ��ر ة���ه ��أ ����� " : ل � 12 ء*( �� ل$نا )ا اءد ا� ل$نا
Artinya: “Dari Abu Hurairah Ra. Dari Nabi Saw. Beliau berkata : Kalau
Allah menurunkan penyakit, maka Allah menurunkan obatnya”
Sebagai negeri dengan penduduk mayoritas muslim, menyediakan produk
halal menjadi sebuah kewajiban, namun hingga kini kesadaran perusahaan untuk
mensertifikasi halal masih kurang data MUI hanya 16.040 atau sekitar 20 % produk
yang bersertifikat halal. Dimana jumlah itu didominasi produk pangan. Sedangkan
perusahaan obat dan kosmetik yang bersertifikat halal baru 5%. Ketua Komisi Fatwa
MUI KH. Ma`ruf Amin mengatakan seperti halnya makanan, kehalalan kosmetik dan
10 http://www.hala.guid.info/contet/view/891/38. Jum’at, 2 Maret 2007 11 http://www.halal.guid.info/contet/view/610/38. Jum’at, 2 Maret 2007
12 Imam Bukhori, Sohih Bukhori, Juz. VII, Daar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1992, hlm.15
v
obat-obatan di Indonesai sangat penting. Ia berpendapat, jangan sampai kosmetik dan
obat-obatan di Indonesia yang digunakan masyarakat muslim Indonesia adalah
barang-barang yang haram atau bercampur dengan bahan yang haram. Disinilah
perlunya sertifikasi halal bagi kosmetik dan obat-obatan.13
Disisi lain khususnya untuk pengobatan, konsumen seringkali berlindung
dibalik status darurat. Bila tujuannya untuk pengobatan dan tidak tersedia bahan halal
maka bahan haram pun tidak mengapa. Kaidah fikih menegaskan :
14اتر0123ا� /��. اترو�ا�,�
Artinya: “Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang
(diharamkan”)
Sekali pun kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan)
tetapi tidak boleh sengaja menjatuhkan kepada keadaan dan melewati batas
hukumnya. Tetapi harus berusaha mengikatkan diri kepada pangkal kehalalan terus
berusaha mencari yang halal.15
Alasan yang mendasar pengambilan masalah skripsi yang penulis susun
adalah karena dalam keadaan darurat, kurangnya sosialisasi produk yang diharamkan
sehingga masyarakat tidak tau produk mana saja yang mengandung organ tubuh
manusia dan air seni manusia termasuk benda najis maka haram digunakan untuk
obat.
13 http://www.halal.guid.info/contet/view/610/38, Jum’at, 5 Maret 2007 14 Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 149
15 Ibid., hlm. 150-151
v
Banyaknya produk yang belum jelas kehalalannya, tentunya sangat
membingungkan orang Islam. Atas dasar itu MUI menetapkan lembaga yang
dipandang berkompeten dalam memberikan jawaban terhadap masalah sosoial yang
timbul.
MUI mengeluarkan fatwa mengenai penggunaan organ tubuh bagi
kepentingan obat-obatan dan kosmetika sebagai respon terhadap permasalahan yang
mulai meresahkan masyarakat. MUI menganggap bahwa penggunaan organ tubuh,
ari-ari dan air seni manusia haram digunakan untuk obat-obatan dan kosmetika,
kecuali dalam darurat diperbolehkan digunakan sebagai obat.
Berangkat dari masalah di atas, maka bagai mana fatwa MUI dalam mengatasi
terhadap masalah yang timbul, khususnya penggunaan organ tubuh bagi kepentingan
obat-obatan dan kosmetika
B. Batasan Dan Rumusan
1. Batasan Masalah
Masalah skripsi ini dibatasi sebagai berikut: “Dalam Islam sangat
menghormati organ tubuh manusia walau telah wafat karena sebagai makhluk adam
sangat dimuliakan oleh Allah, tapi dalam kenyataan ada sebagian organ manusia
digunakan untuk kepengtingan kosmetika dan obat-obatan karena ingin menjadikan
kulit yang cantik dengan mengabaikan kehalalan produk yang digunakan. Seperti
menggunakan organ tubuh manusia yang sebagai mana Islam melarangnya.”
a. Kosmetika adalah suatu produk yang digunakan untuk perawatan kulit agar tetap
menjadi baik atau indah
b. Obat adalah suatu benda yang dapat menyembuhkan penyakit
v
c. Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan
dan berlaku untuk umum.
d. Batasan adalah larangan yang tidak boleh dilanggar
e. Darurat ialah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila kita tidak dilakukan akan
dapat mengancam jiwa manusia
2. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan tersebut diperinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa hukum penggunaan organ manusia untuk kepentingan obat-obatan dan
kosmetika menurut fatwa MUI ?
2. Bagaimana istînbâth hukum yang dilakukan MUI ?
3. Apa batasan darurat yang diperbolehkan MUI ?
C. Tujuan Penelitian
Dengan memperhatikan rumusan masalah, maka pembahasan skripsi ini
bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui fatwa MUI No. 2 thn 2000 tentang penggunaan organ tubuh
manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika
2. Untuk mengetahui istînbâth hukum yang dilakukan MUI dalam menetapkan
hukum penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika
3. Untuk mengetahui batasan darurat yang diperbolehkan MUI tentang penggunaan
organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini termasuk jenis penelitian (kualitatif) yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data (deskriptif): ucapan atau tulisan dan
v
perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri.16
Secara umum
metode penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Metode pengumpulan data
Sesuai dengan keperluan studi ini pengumpulan data dilakukan dengan cara
studi kepustakaan (Libiary research)17
yaitu penelitian yang bertujuan untuk menbuat
model atau ingin membandingkan apa yang terjadi dengan kejadian yang sebenarnya
maka menggunakan teori. Dengan membaca teks atau dari hasil meneliti buku-buku
yang memuat uraian yang berkenaan tentang keputusan fatwa MUI No. 2 thn 2000
tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan
kosmetika.
Pada metode ini penulis mempergunakan system pencarian sumber data melalui
dua sumber data yaitu :18
a. Sumber data primer
Sumber data primer yang penulis gunakan metode dokumentasi19
yaitu: barang-
barang tertulis. Penelitian menyelidiki bendan-benda tertulis seperti majalah,
dokumen dan buku yang membahas keputusan fatwa MUI No.2 tentang penggunaan
organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
b. Sumber data skunder
16 Furchan Arief, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: 1992, hlm. 21-22
17 Hadi Sutrisno, Metodelogi Researgh, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004, hlm. 10
18 Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm.
87-88
19 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, hlm. 206
v
Data sekunder ini meliputi berbagai bahan yang secara tidak langsung berkaitan
dengan pokok masalah. Sumber data sekunder diantaranya: buku-buku lain yang
berikaitan dengan permasalahan, media masa, media cetak ataupun hasil-hasil
penelitian.
2. Metode analisis data
Untuk menganalisis data yang telah dikumpul dan diteliti, selanjutnya dilakukan
suatu analisis untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya terhadap pokok masalah
yang akan dikaji.
Adapun metode yang digunakan dalam analisis data ini adalah metode
deskriptif20
analisis yakni suatu metode analisis yang menekankan pada pemberian
sebuah gambaran terhadap data yang telah terkumpul, bertujuan untuk
menggambarkan secara obyektif tentang keputusan fatwa MUI No.2 tentang
penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
Metode ini sangat berguna untuk menghasilkan kesimpulan yang falit dan dapat
menggambarkan secara obyektif fatwa MUI tentang penggunaan obat-obatan dan
kosmetika
3. Teknik Penulisan
Adapun mengenai teknik penulisan karya tulis ini, penulis mengacu kepada
buku pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007
E. Kajian Terdahulu
20 Tuwu Alimuddin, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: Universitas Indonesia, 1993, hlm. 71
v
Kajian terdahulu dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang penelitian
atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti
agar tidak terjadi penggandaan atau duplikasi.
1. Skripsi Catur Nopianto yang berjudul “penerapan fatwa MUI dalam melahirkan
produk halal (studi kasus McDonald Indonesia)”. Dalam skripsi tersebut
membahas tentang seputar proses sertifikasi di McDonald Indonesia yaitu hal-
hal yang berkaitan dengan bagaimana proses mekanisme untuk mendapat
sertifikasi halal dari MUI dan prosedur-prosedur aoa saja yang ditetapkan oleh
MUI terhadap McDonald, guna mempertahankan label yang sudah disahkan
oleh MUI.
2. Skripsi Masrukin yang berjudul “mekanisme standarisasi halal haram produk
vetsin (studi fatwa MUI tahun 2000 tentang MSG yang menggunakan
boctosoytone). Skripsi tersebut membahas tentang penggunaan bactosoytone
yang mengandung enzim babi untuk produk penyedap rasa. MUI telah
menetapkan fatwa produk penyedap rasa (MSG) yang menggunakan
bactosoytone dalam proses produknya adalah haram.
3. Skripsi Muhammad Maksum yang berjudul “argumentasi fatwa haram? Halal
produk monosodium glutamate ajinomoto dan pengikatnya”. Skripsi tersebut
membahas mengenai produk penyedap rasa (MSG) dari PT, ajinomoto Indonesia
yang menggunakan mameno adalah halal.
Dari kajian tersebut, dapat penulis simpulkan perbedaan penyusun dengan
kajian terdahulu sebagai berikut:
v
a. Dalam fatwa MUI tentang penggunaan organ tubuh, ari-ari dan air seni manusia
hukumnya haram kecuali dalam keadaan darurat boleh menggunakan organ
tubuh manusia tapi tidak boleh lebih.
b. Fatwa MUI tenteng produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia
yang menggunakan bactosoytore dalam proses produksinya adalah haram.
c. Sedangkan fatwa MUI tentang produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto
Indonesia yang menggunakan mameno adalah halal.
F. Sistematika Penulisan
Mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini penulis membaginya dalam
lima bab yang secara garis besar sebagai berikut :
Bab Pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab Kedua tentang landasan teori. Dalam bab ini berisi tiga sub bab. Pertama,
tentang definisi halal haram, macam halal haram, prinsip dasar halal haram. Kedua,
tentang definisi darurat, tingkatan darurat, batasan-batasan darurat, dan hukum
darurat. Ketiga, tentang metode istinbath hukum (qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
dan istishab).
Bab Ketiga tentang profil singkat MUI, keputusan fatwa MUI No. 2 tentang
penggunaan obat-obatan dan kosmetika.
Bab Keempat tentang analisis batasan darurat fatwa MUI No. 2 thn 2000
tentang penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
v
Analisis istinbath hukum yang dilakukan MUI dalam menetapkan hukum penggunaan
organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
Bab Kelima merupakan penutup. Bab lima ini memberikan penerapan tentang
intisari (kesimpulan) dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta saran-
saran yang sekitarnya dapat dijadikan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan dan
kontribusi pemikiran.
v
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Macam-Macam Halal Haram
1. Pengertian Halal dan Haram
Halal adalah yang boleh, yang terbebas dari ikatan larangan-larangan dan
telah diizinkan oleh syriat dalam melakukannya.21
Haram adalah perkara yang
dilarang melakukannya oleh syariat dengan pelarangan yang sungguh-sungguh.
Apabila ia tidak melanggar larangan tersebut, maka ia akan mendapatkan hukuman di
akhirat berupa siksaan, dan bisa saja hukuman tersebut dilakukan di dunia.22
Menurut ulama ushul fiqh terdapat dua definisi haram, yaitu dari segi
esensinya serta dari segi bentuk dan sifatnya. Dari segi batasan dan esensinya
merumuskan haram dengan sesuatu yang dituntut syari’at (Allah swt dan Rasul-Nya)
untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan mengikat. Dan segi bentuk dan
sifatnya merumuskan haram dengan suatu perbuatan yang pelakunya dicela.23
Ungkapan yang digunakan Al-Qur an dan sunnah untuk menunjukkan haram.
Diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :24
a. Tuntutan yang langsung menggunakan lafadz at-tahrîm dan yang seakar
dengannya. Misalnya, dalam surat an-Nisa’ ayat 23
21 Qaradhawi Yusuf, Halal Haram Dalam Islam, Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2005, hlm. 15
22 Ibid., hlm. 15 23 Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Iktiar Baru Van Houve,
1997,hlm. 523
24 Ibid., hlm. 523
v
YT�c*X& �6R2;+%� �6�Cd����ef �6�C�5�V'g0� �bcK
Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu” dan surah al-
An;am ayat 145
h�O i/ Fj:�f ��� Q�� 9k���ef l�%m�B �n�oXp�q >�%5 r]��,-
s?&☺��Y8� i/�B [�f L_��C� 7pd;U� ��f �'��U On%�Rst�� ��f 96,,� �X�uvw9� �I�K
Artinya : “Katakanlah : Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku. Sesuatu yang diharamkanbagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makan itu bangkai atau darah yang mengalir atau
daging babi”.
Lafadz diharamkan dalam kedua ayat di atas menunjukan secara pasti hukum
keharamannya.25
b. An-Nahy (lafadz An-Nahy). Karena lafadz An-nahy memfaedahkan keharamanya.
Misalnya dalam surat Al. An’am ayat 151
./0� ���gX;B,5 xn�&70�⌧s;��� �I�IK
Artinya : “Jangan kamu mendekati” dalam ayat tersebut menunjukan hukum
haram.
c. Tuntutan untuk menjahui suatu perbuatan. Misalnya dalam surat Al-Maidah ayat
90
�pyLF���� �N�OPQ�� ��z�'��0� ��☺�A�B XY☺,�;{��
|w�;U�☺;���0� 8}�x~A!"��0� 6,�;W!"��0� koY� Y:��� Kh�☺ �:,8;+<=��� %�(��dY���,�
�6�C����,� [�,��;s�5 ��jK
25 Ibid., hlm. 524
v
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syetan, maka jahuilah perbuatan-perbuatan itu agar kami
mendapat keberuntungan.”
Lafadz “ Jauhilah “ dalam ayat ini juga merupakan lafadz yang menunjukan hukum
haram.26
d. Lafadz “ La yakhillu “ (tidak dihalalkan). Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat
230
[��,� ���,B��,- .⌧,� h��� ?f,Q �:�� F�g >k3��& �⌧wC',5 O�:��W
?%0|�X⌧G �bcjK
Artinya “Kemudian jika si suami menolaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, hinnga dia kawin dengan suami yang
lain.“
e. Sesuatu yang dibarengei dengan ancaman hukuman. Misalnya dalam surat An-
Nur ayat 4
�N�OPQ��0� [���X� �TV'x~,☺;��� o6�] ],� ����5���
�p��g� ���g 0�Q��FpyR^ ]���F��Y���,� �H� 04�]
V����� ./0� �����(;B,5 �6�&� �V�Fpy�^ �'Fg�f >
�(��,���ef0� 6�� [�RBwt⌧s;��� �K
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik berbuat
zina dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka dosalah mereka ( yang
menuduh itu ) delapan puluh kali dera, dan janganlah kami terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. Dan mereka adalah orang-orang yang fasik.
“Lafadz“ Deralah” merupakan ancaman Allah SWT hukumnya haram.27
26 Addul Aziz Dahlan., et al., Ensklopedi Hukum Islam., hlm. 524
27 Ibid., hlm., 524
v
f. Setiap lafadz yang menunjukan pengingkaran terhadap suatu pekerjaan dengan
pengingkaran yang amat ditekankan, seperti ungkapan ghadaba Allah ( Allah
melaknat ) dan qatala Allah ( Allah memerangi )
Dalam suatu hadist dijelaskan
*� �0" 345 ��� 67�ا1�< ل " اح>� ا� 5: آ8 �� وا1��ام ا� 5: آ8 �� و" � )رواC ا�8�B"ي وا �� " @� ( 7��
Artinya: “Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya,
yang haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya. Dan hal-hal
yang tidak disebutkan Allah hukumnya adalah pemberian-Nya, maka terimalah
pemberian-Nya, Allah bukan lupa dengan hal-hal yang tidak disebutkan-Nya.”
Maka baik yang ditegaskan halalnya atau hukum ditegaskan tetapi tidak ada
larangan, semua termasuk ke dalam istilah halal atau mubah ini berlaku untuk benda,
manfaat, dan segala urusan keduniaan.28
2. Macam Halal dan Haram
Sebagai mana dikemukakan dalam pendahuluan, masalah kehalalan produk
yang akan dikonsumsi merupakan persoalan besar dan urgen, sehingga apa yang
akan dikonsumsi itu benar-benar halal, dan tidak tercampur sedikit pun barang haram.
Oleh karena tidak semua orang dapat mengetahui kehalalan suatu produk secara pasti,
sertifikat halal sebagai bukti penetapan fatwa halal bagi suatu produk yang
dikeluarkan MUI merupakan suatu keniscayaan yang mutlak diperlukan
keberadaannya.29
28 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatulah, Ensiklopedi Islam Insdonesia, Jakarta: Djambatan,
1999, hlm. 289-290 29 Depag. RI., Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta: Depag. RI.,2003, hlm 14
v
Dalam Islam makanan merupakam tolak ukur dari segala cerminan penilaian
awal yang bisa mempengaruhi berbagai bentuk perilaku seseorang. Makanan bagi
umat Islam tidak sekedar kebutuhan lahiriyah, tapi juga bagian kebutuhan spiritual
yang mutlak dilindungi. Seseorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi sesuatu
makanan sebelum ia tahu benar akan kehalalannya. Mengkonsumsi yang haram, atau
yang belum diketahui kehalalannya akan berakibat buruk, baik di dunia maupun di
akhirat.30
Menurut hukum Islam secara garis besar perkara (benda) haram terbagi
menjadi 2 (dua) yaitu haram li-dhâtih dan haram li-ghairih. Kelompok pertama,
subtansi benda tersebut diharamkan oleh agama, sedangkan yang kedua, substansinya
bendanya halal (tidak haram) namun cara penangannya tidak dibenarkan oleh ajaran
Islam. Contohnya, kambing yang dipotong secara tidak Syar’i, bendanya halal tetapi
diperoleh dengan cara yang dilarang oleh agama, misalnya hasil mencuri, menipu,
korupsi, dan sebagainya.31
Mengenai benda yang haram karena benda (zatnya) itu sendiri dapat terperinci
secara mendetail, bahwa segala sesuatu ada dipermukaan atau di dalam perut bumi
tidak akan melampaui tiga macam keolmpok golongan, yakni adakalanya berupa
tambang seperti garam, tanah liat, sebagainya. Adakalanya berupa tanaman (nabati)
dan adakalanya berupa binatang (hayawani).32
30Thabieb al-Asyhar, Bayaha Makanan Haram Bagi Kepentingan Jasmani dan Kesucian
Rohani, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003, hlm.73-74 31 Depag. RI.,Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI., hlm. 14 32 Al-Ghazali, al-Halal wal Haram terj. Ahmad Sunarto “halal dan haram” Jakarta: Pustaka
amani, hlm. 24
v
Benda tambang merupakan bagian bumi atau segala sesuatu yang dikeluarkan
dari bumi dan berwujud benda mati. Benda-benda semacam ini halal dimakan kecuali
jika dengan memakan sedikit atau banyak, maka dengan demikian hukumnya haram.
Jadi keharaman benda tambang semata-mata karena akan menimbulkan atau
mendatangkan bahaya.33
Benda nabati, dari golongan benda ini tidak ada yang diharamkan untuk
memakannya kecuali yang dapat memusnahkan kehidupan atau merusak kesehatan.
Tentang yang melenyapkan akal itu, seperti obat, ganja, narkotika, khamr, dan benda-
benda lain yang memabukkan. Yang memusnahkan kehidupan semacam racun yang
merusak kesehatan misalnya, obat-obatan yang diminium tidak sesuai dengan resep.
Jadi ringkasnya, semua itu diharamkan karena adanya bahaya yang timbul dari
masing-masing benda tadi. Untuk arak (khamr) atau segala sesuatu yang
memabukkan maka hukumnya tetap haram meskipun minum sedikit. Hal ini karena
keharaman khamr sudah qath’ î (sudah pasti) dari nash al-Qur an.34
Benda hayawani dalam hal ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu yang
boleh dimakan dan yang haram dimakan. Binatang-binatang yang halal dimakan
dapat tetap halal dimakan, apabila cara penyembelihannya dilakukan menurut syari’at
Islam, atau tidak mati dengan sendirinya, kecuali ikan dan belalang tetap halal tanpa
disembelih.35
33 Ibid., hlm. 25
34 Ibid., hlm. 25 35
Ibid., hlm. 25
v
Sayyid Sabiq membagi makanan/benda yang haram secara dzatiyah (substansi
barangnya) ke dalam dua kategori yaitu : jamad (benda mati) dan hayawan
(binatang).36
Jamad (benda mati) yaitu semua jenis makanan yang berwujud benda mati,
hukumnya halal selama tidak najis, misalnya membahayakan dan memabukkan.
Najis, misalnya darah mutanajis yaitu sesuatu yang terkena najis misalnya minyak
samin yang di dalamnya ada bangkai tikus. Barang yang diharamkan karena
membahayakan seperti racun. Yang diharamkan karena memabukkan adalah khamr
(minuman keras). Barang ini mutlak keharamannay karena menghilangkan
keseimbangan emosi dan akal bagi peminumnya.37
Hayawan (binatang), hukum bintang yang halal dimakan dapat dikategorikan
dalam dua jenis yaitu : Pertama, binatang darat. Hukum binatang dari jenis ini adalah
ada sebagian halal dan sebagian yang lain haram. Halalnya binatang yang hidup di
darat seperti : sapi liar, unta liar, kijang, dan sebagainya. Binatang itu semua halal
untuk dimakan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Dalam As-Suňnah
binatang yang halal yaitu ayam, kuda, khimar, anab (sejenis biawak), kelinci,
belalang dan jenis burung kecil.38
Adapun binatang darat yang diharamkan adalah binatang sebagaimana yang
disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3 yaitu bangkai, darah, daging babi,
daging binatang yang disembelih selain atas nama Allah, hewan yang mati tercekik,
36 Thabieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian
Rohani, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003, hlm. 126-135
37
Ibid., hlm. 126 38
Ibid., hlm. 130
v
terpukul, terjatuh, tertanduk, tertekam oleh binatang buas (kecuali yang sempat
disembelih) dan binatang yang disembelih untuk berhala.39
Termasuk binatang yang haram dimakan adalah binatang yang dikategorikan
menjijikan, misalnya : ular, kalajengking, jenis kumbang dan sebangsanya, kuku
binatang, kutu rambut, dan sebangsanya. Hewan yang termasuk buas, yaitu yang
mempunyai taring yang kuat dan burung yang mempunyai pelatuk yang kuat yang
bias melukai. Contoh binatang buas adalah harimau, macan kumbang, macan tutul,
anjing pelacak, kera, gajah, buaya, jerapah, dan sebagainya. Hewan-hewan yang
diperintahkan Islam membunuhnya seperti tikus, kalajengking, burung elang, lipan,
dan sebagainya. Hewan yang dilarang oleh Islam untuk membunuh seperti semut,
lebah, dan burung belatuk.40
Kategori yang kedua adalah binatang laut, setiap binatang laut adalah halal,
walaupun tidak berbentuk ikan, dan tidak haram semua binatang laut kecuali yang
mengandung racun yang membahayakan baik berupa ikan atau lainya baik hasil
buruan atau bangkai yang ditemukan.41
B. Prinsip Dasar Halal dan Haram
Allah SWT telah menghalalkan banyak hal dan sangat sedikit pengharaman
karena banyaknya, Allah tidak membatasi yang menghalalkan bagi kita. Kebijakan
Allah dalam tentang halal dan haram telah menjaga kemampuan manusia dalam
39
Ibid., hlm. 132 40 Thabieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian
Rohani., hlm. 134 41 Ibid., hlm. 134
v
bersabar mencegah beberapa keperluan. Berikut prinsip-prinsip dasar mengenai halal
dan haram yang ditemukan Yusuf Qardhawi sebagai berikut:42
a. Asal tiap sesuatu adalah mubah, bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah adalah
halal atau mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali ada nash yang sah dan
tegas dari syari’ yang mengharamkanya. Yang berwenang membuat hukum itu
sendiri, yaitu Allah dan Rasul. Berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 29 :
��� ��OPQ�� L'%��" 6�C,� ��� ��� ��� !"�� �'�U�☺�� �b�K
Artinya : “Dialah dzat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di
bumi ini semuanya “ ( Qs. Al-Baqarah : 29 ).43
X<���0� g�C,� ��� ��� �670��☺tt��� ��0� ��� ��� !"��
�'�+�i,� & ��� > �[�B ��� L���7,� �T��� r���,B��� L_�XPC⌧sd�
�IcK
Artinya : “ Dan Dia menundukan untukmu apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berfikir” (Qs. Al-Jâtsiyah : 13).44
b. Menentukan halal dan haram semata-mata hak Allah. Bahwa Islam telah
memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan
melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan
42 Yusuf Qaradlawi, Halal Haram Fil Islam, terj. Mu’ammal hamidy “Halal dan Haram
Dalam Islam” Semarang: Bina Ilmu, 1993, hlm. 14
43 Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 13 44
Ibid., hlm. 816
v
manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawi. Hak tersebut semata-mata
milik Allah.45
Al-Qur an telah mengecap kepada orang musyrik yang berani mengharamkan
dan menghalalkan tanpa ijin Allah, dalam surat Yunus ayat 59:
�h�O ]!�0�0 �f Q��� D�A�f �Q�� 6�C,� ���� r�;W* ]!������,�
& ��� �'��X�& #⌧%��&0� �h�O �QQ�0� L_���f �6�C,� � Y��f �%5 �Q�� L_�|�;s,5 ���K
Artinya : “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rizqi yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan
(sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikam izn kepadamu
(tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”. (Qs. Yunus : 59).46
Firman Allah juga dalam surat an-Nahl ayat 116
./0� ������RB,5 ��☺�� �w~,5 6R2dV'wt;��f 9}j+,C;��� �⌧+��
h%��& �⌧+��0� ��X�& ���|�;sd��� �%5 �Q��
9}j+,C;��� > �[�B �N�OPQ�� [�|�;s� �%5 �Q�� 9}j+,C;��� ./ [�,��;s� �II�K
Artinya : “ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-
sebut oleh lidahmu secara dusta “ Ini halal dan ini haram “, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah . Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung “ ( Qs. An-Nahl : 116 ).47
Dari ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa hanya Allah yang berhak
menentukan halal dan haram. Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan
45 Yusuf Qaradlawi., Halal Haram Fil Islam, hlm. 19
46
Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, hlm. 315 47
Ibid., hlm. 419
v
hukum syara’ dalam kedudukanya sebagai imam atau mujtahid, mereka tidak suka
berfatwa mengatakan ini halal ini haram kecuali menurut apa yang terdapat dalam Al-
Qur an dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.48
c. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan syirik.
d. Mengharamkan yang halal akan mengakibatkan timbulnya kejahatan dan bahaya.
Dalam pemahaman halal dan haram ada beberapa alasan yang rasional demi
kemaslahatan manusia itu sendiri. Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali
yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.49
Mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa suatu keburukan dan
binasa. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah hukumya haram. Sebaliknya yang
bermanfaat hukumya halal, kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar dari pada
maanfatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya kalau manfaatnya lebih
besar, maka hukumnya menjadi halal.50
e. Setiap yang halal tidak memerlukan yang haram. Salah satu kebaikan Islam dan
kemudahanya yang dibawakan untuk kepentingan umat manusia ialah islam tidak
mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan suatu ganti (way out) yang lebih
baik guna mengatasi kebutuhan itu. Allah mengharamkan mencari untung dengan
menjalankan riba, tetapi dibalik itu diberikan ganti dengan suatu perdagangan yang
memberi untung. Allah telah mengharamkan berbuat zina, tetapi dibalik itu diberikan
ganti berupa perkawinan yang halal. Allah telah mengharamkan khamr tetapi dibalik
48 Yusuf Qaradlawi, Halal Haram Fil Islam, hlm. 22
49 Ibid., hlm. 24-29
50 Ibid., hlm. 31
v
itu Ia berikan gantinya berupa minuman yang lezat yang berguna bagi rohani dan
jasmani.51
f. Apa saja yang membawa kepada haram adalah haram. Apabila islam telah
mengharamkan sesuatu, maka cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan
haram, hukumnya haram, misalnya arak. Rasulullah saw melaknat kepada yang
meminumnya, yang membuat (memeras), yang membawanya, yang diberinya, yang
menjualnya, dan seterusnya. Dari sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu
kaedah apa saja yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.52
g. Bersiasat terhadap hal yang haram, hukumnya haram. Sebagaimana Islam telah
mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat membawa kepada haram dengan cara-
cara yang nampak, maka begitu pula islam mengharamkan semua siasat untuk
berbuat haram dinilai haram.53
h. Niat baik tidak dapat melepaskan yang haram. Masalah haram tetap dinilai haram,
begitu pun baik dan mulianya niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana
selama dia tidak dibenarkan oleh Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh
dipakai alat untuk mencapai tujuan yang terpuji. Sebab islam selamanya
menginginkan tujuan yang suci dan caranyapun harus suci juga.54
i. Menjauhkan diri dari syubhat karena takut terlibat dalam haram. Masalah halal
sudah jelas, boleh dikerjakan. Dan soal haram pun sudah jelas, sama sekali tidak ada
51 Ibid., hlm. 33-34
52 Yusuf Qaradlawi., Halal Haram Fil Islam., hlm. 35 53
Ibid., hlm. 36
54 Ibid., hlm. 37-39
v
keringanan untuk mengerjakanya, selama masih dalam keadaan normal. Di balik itu
ada suatu persoalan, yaitu antara halal yang haram (syubhat) suatu persoalan yang
tidak begitu jelas antara halal dan haram. Hal ini karena tidak jelasnya dalil atau
karena tidak jelasnya jalan untuk menggunakan dalil yang ada terhadap suatu
peristiwa. Terhadap persoalan ini memberikan suatu sikap berhati-hati karena takut
berbuat haram. Dengan demikian seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri
dari masalah yang masih syubhat, sehingga tidak terseret untuk berbuat kepada yang
haram.55
j. Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang. Haram dalam pandangan Islam
mempunyai ciri menyeluruh. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang diharamkan,
selain orang Arab tetapi halal buat orang Arab. Apa saja yang diharamkan, haram
juga untuk seluruh umat manusia.56
k. Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang. Islam sangat mengerti dan
memudahkan terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam
menghadapi kepentinganya itu. Oleh karena itu seorang muslim dalam keadaan yang
sangat memaksa, diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan
dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan.57
Sesuai dengan firman Allah SWT:
��☺�A�B �oX�& 6R2;+%�� ,pd;U�☺;��� �<�Q��0� 96,,�0�
X�c�'��;��� Q��0� �h��ef ��&�g �|�X�� �Q�� � �:�☺,� oX�8YI��
0|�X⌧G �;�g ./0� (U� �⌧,� 96;]�B
55 Ibid., hlm. 41-42
56 Yusuf Qaradlawi, Halal Haram Fil Islam, hlm. 43
57 Ibid., hlm. 47
v
�&;+%� > �[�B PQ�� ⌦ �Rs⌧G ]U�&o �IacK
Artinya : Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia
tidak meninginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Qs. Al-
Baqarah : 173).58
Dari Ayat ini, para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali,
yaitu : keadaan terpaksa yang membolehkan yang terlarang, tetapi ayat itupun
memberikan suatu pembatasan terhadap pelakunya (orang yang disebut dalam
keadaan terpaksa) yaitu tidak disengaja dan tidak melewati batas. Maksudnya tidak
sengaja untuk mencari kelezatan dan tidak melewati batas ketentuan hukum.59
C. Pengertian dan Kriteria Darurat
1. Pengertian Darurat
Darurat itu berasal dari kata ا���ار yang artinya sempit. Adapun
kalimat ا���ورة itu sama seperti رورةا�� yang berarti sesuatu, kebutuhan, hajat, dan
terpaksa.60
Darurat menurut istilah berarti keadaan yang mendesak, yang membuat
seseorang jika tidak melakukan atau memakan apa yang dilarang, keselamatan jiwa
akan terancam.61
Menurut Ibnu Nujaim (ahli fiqh madzhab Hanafi) darurat berarti sampainya
seseorang kepada suatu batas, apabila tidak melakukan perbuatan yang dilarang akan
58 Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, hlm. 42
59 Yusuf Qaradlawi., Halal Haram Fil Islam, hlm. 47 60 Al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hlm.
819
61 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatulah.,Ensiklopedi Hukum Islam., hlm 198
v
dapat mencelakakan dirinya.62
Tatkala madzhab Maliki mendefinisikan darurat
sebagai suatu kekhawatiran atas kebinasaan diri, baik berdasarkan keyakinan maupun
berdasarkan dugaan yang kuat. Darurat ini tidak terwujud kecuali ada suatu keadaan
yang memaksa untuk melakukan yang diharamkan agar terpelihara diri dari
kebinasaan, seperti haus dan lapar yang berlebihan akan sakit yang membawa
kematian.
Sedangkan menurut Al-Suyuthi, “Darurat ialah posisi seseorang pada sebuah
batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa
atau nyaris binasa.63
Menurut Wahbah Al-Zuhaily, darurat ialah datangnya kondisi bahaya atau kesulitan
yang amat sangat kuat kepada diri manusia yang membuat dia khawatir akan terjadi
kerusakan atau sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh, kehormatan, dan yang
bertalian dengannya. Ketika itu boleh tidak mengerjakan yang diharamkan atau
meninggalkan yang diwajibkan, atau menunda untuk pelaksanaannya guna
menghindari kemadharatan yang diperkirakan dapat menimpa dirinya selama tidak
keluar dari syarat-syarat yang ditentukan oleh syara.64
Dari definisi tersebut hampir sama atau mirip, yakni tidak hanya menyangkut
darurat tentang kebutuhan makan saja, tetapi kalau kita lihat lebih umum, yakni selain
mencankup darurat makanan juga mencankup mempertahankan diri dari
62 Abdul Aziz Dahlan,et al.,Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 260
63 Abdul Rosyad Shiddiq, Fiqih Darurat. Jakarta: Pustaka Azzam, 2001, hlm. 18
64 Wahbah Az-Zuhaili, Nazhariyah Al-Dlarurah Al-Syar’iyah. Tej. Said Agil Al-Munawar
“Konsep Darurat Dalam Hukum Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, hlm. 72
v
penganiayaan dari harta dan kehormatan. Ada sebagian ulama yang mendefinisikan
darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk melanggar sesuatu yang dilarang
oleh agama. Ini berarti selain mencankup darurat makan juga mencankup darurat
menolak segala sesuatu yang dapat mengancam keselamatan nyawa atau anggota-
anggota badan atau kehormatan atau akal bahkan harta benda.65
2. Kriteria Darurat
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk
memenuhi penolakan bahaya, bukan untuk selain itu. Dengan demikian memakan dan
meminum sesuatu yang dilarang dalam keadaan darurat dibolehkan. Para ulama telah
memberikan kriteria seseorang yang dapat dikelompokkan ke dalam keadaan
darurat.66
a. Keadaan darurat itu benar-benar telah terjadi. Artinya, bahwa seseorang benar-
benar dapat diduga akan kehilangan nyawa atau harta menurut pengalaman yang
ada.
b. Orang yang dalam keadaan darurat itu benar-benar dihadapkan pada keterpaksaan
untuk melakukan yang diharamkan atau meninggalkan yang diperintahkan agama.
Artinya, bahwa disekelilingnya tak ada lagi yang dapat membantu
menyelamatkan jiwanya, kecuali yang haram tersebut.67
65 Abdul Rosyad Shiddiq., Fiqih Darurat, hlm. 18 66 Tim Penyusun Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 1, hlm. 293-294
67 Ibid., hlm. 293
v
c. Orang tersebut benar-benar dalam keadaan lemah untuk mencari sesuatu yang
halal dalam menyelamatkan dirinya. Artinya, kalau dia masih sanggup untuk
mencari yang halal, maka keadaannya tersebut delum dapat dikatakan darurat.
d. Yang dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan darurat tersebut tidak
sampai melanggar prinsip-prinsip dasar Islam, seperti pemeliharaan terhadap hak-
hak orng lain, tidak memudharatkan orng lain, dan tidak menyang kut masalah
akidah. Misalnya, walaupun karena darurat zina dan murtad tetap tidak dihalalkan
karena perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang benar-benar dilarang
dan merupakan prinsip dasar Islam.68
e. Kebolehan darurat ini hanya terbatas sekedar melepaskan diri dari keadaan
tersebut. Misalnya, jika seseorang sangat kelaparan dan satu-satunya yang akan
dimakan itu hanya daging babi, maka yang hanya dibolehkan untuknya adalah
memakan daging babi itu sekedar untuk mempertahankan hidup untuk mencari
yang halal.69
f. Jika keadaan darurat itu menyangkut penyakit, maka harus dijelaskan oleh dokter
yang dapat dipercaya, baik agamanya maupun ilmunya di bidang itu, bahwa satu-
satunya obat adalah yang diharamkan itu.
g. Jika menyangkut kepentingan suatu negara, maka pihak penguasa benar-benar
yakin bahwa keadaan yang dihadapin itu adalah negara dalam keadaan terancam
bahaya, ada kesulitan yang sangat mengkhawatirkan keutuhan negara atau
68 Ibid., hlm. 293
69 Ibid., hlm. 293-294
v
kepentingan rakyat banyak terancam bahaya. Misalnya, dalam masalah utang luar
negeri yang harus dibayar dengan bunga yang cukup tinggi. Jika pemerintah
menganggap bahwa satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan Negara itu
adalah dengan pinjam luar negeri dengan bunga tinggi itu, maka para fukaha (ahli
fiqih) membolehkannya. Jadi dalam keadaan negara terancam keuangan riba
dibolehkan, jika memang itu satu-satunya jalan.70
h. Ibnu Hazm menambahkan satu syarat lagi, yaitu keadaan orang yang darurat itu
telah melalui waktu satu hari satu malam.
3. Batasan-Batasan Darurat
Mengenai batasan-batasan dharurat yang memperbolehkan sesuatu yang
diharamkan, dipahami dari definisi, dapat membatasi pengertian darurat sebagai
berikut :71
1. Darurat dimaksud harus sudah ada bukan ditunggu, dengan kata lain
kekhawatiran akan kebinasaan atau hilangnya jiwa atau lima kebutuhan yang
mendasar yaitu: agama, jiwa, kehormatan, akal, dan harta betul-betul ada dalam
kenyataan melalui dugaan yang kuat.
2. Orang yang terpaksa itu tidak punya pilihan lain kecuali melanggar perintah-
perintah atau larangan-larangan syara’, atau tidak ada cara lain yang dibenarkan
untuk menghindari kemadharatan selain melanggar hukum.
70 Tim Penyusun Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 1, hlm. 294
71 Wahbah Az-Zuhaili, Nazhariyah Al- Dlarurat al- Syar’iyah. trj. Said agil Al-Munawar
“Konsep Darurat Dalam Hukum Islam., hlm. 73-75
v
3. Kemadharatan memaksa di mana kekuatiran akan hilangnya jiwa atau anggota
tubuh walau dalam keadaan yang diharamkan bersama yang dibolehkan, seperti
seseorang yang dipaksa untuk memakan bankai dengan ancaman yang
mengkhawatirkan hilangnya nyawa atau anggota tubuhnya, sedangkan
dihadapannya ada yang halal dan baik, atau kuatir akan tidak kuat berjalan
sehingga ia tertinggal rombongan.72
4. Jangan sampai orang yang terpaksa melanggar prinsip-prinsip syara’ yang pokok
seperti memelihara hak-hak orang lain, menciptakan keadilan, menunaikan
amanah, menghindari kemadharatan seperti memelihara prinsip keberagaman
serta pokok-pokok akhidah Islam; umpamanya diharamkannya zina,
pembunuhan, kufur, dan perampasan dalam kondisi bagai manapun.73
5. Bahwa orang yang terpaksa membatasi diri pada hal yang dibenarkan
melakukannya karena darurat itu guna menghindari kemadharatan.
6. Dalam darurat berobat, karena tidak ada obat selain dari yang diharamkan atau
cara lain yang dapat menggantikan yang haram.74
Terdapat bahaya yang
mengancam kehidupan, adanya pernyataan dari dokter muslim yang dapat
dipercaya.
7. Menurut madzhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah
seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan
dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuhnya
72 Ibid., hlm. 74 73 Ibid., hlm. 74
74 Yusuf Qaradlawi,Halal Haram Fil Islam, trj. Mu’ammal hamidy “Halal dan Haram Dalam
Islam, hlm. 66
v
yang akan cacat. Misalnya seseorang yang dipaksa akan dibunuh atau akan
dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau
meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat
yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan
nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. Disebutkan dalam kitab Taisîirut-
Tahrîir, gugurnya keharaman arak dan bangkai bagi seseorang yang terpaksa
harus meminum atau memakannya, adalah karena ia merasa khawatir atas
keselamatan nyawanya, kerana menahan haus dan dahaga.75
8. Menurut madzhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu
yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan
keyakinan atau hanya sekedar dugaan. Ada juga yang berpendapat, darurat ialah
menjga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat. Itu tidak
disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, karena
mkan pada waktu seperti itu sudah tidak ada gunanya.76
9. Menurut madzhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak
cukup hanya diatasi dengan hanya memakan bangkai dan sebagainya. Seperti
halnya ulama-ulama dari madzhb lain, mereka semua sepakat tidak wajib harus
menungu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Hal itu karena pada dasarnya,
sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan tidak boleh diterjang
kecuali karena ada alasan darurat. Dan darurat itu punya standar tersendiri.
75 Abdul Rosyad Shiddiq., Fiqih Darurat., hlm. 31-33
76 Ibid., hlm. 32
v
Apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi
sesuatu yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati, itu artinya ia sudah
berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang
diharamkan.77
4. Hukum Darurat
Maksud dari hukum darurat disisni ialah efek yang ditimbulkan dari hukum
darurat tersebut dan menunutut ditetapkannay ketetapa-ketetapan hukum
pengecualian untuk individu, kelompok ataupun masyarakat dan cocok untuk mereka
yang lalu menghendaki kebolehannya yang dilarang atau ditinggalkan yang wajib
atau ditunda pelaksaannya dengan menentang kaidah-kaidah umum yang berlaku
menyeluruh yang diterapkan dalam keadaan-keadaan biasa. Dalam tema hukum
darurat, akan membicarakan efek yang langsung dari darurat yang tentunya sangat
berpengaruh dalam lingkungan masyarakat. Darurat serupa dengan hajat memiliki
ketetapan-ketetapan hokum yang telah kita kenal yaitu mengenai pemaksaan,
rukhshoh, kaidah-kaidah serta penyerapan-penyerapan masing-masing dari kedua-
duanya.78
Di antara ketetapan-ketetapan hukum yang paling menonjol adalah bahwa
kadangkala terbatas pada terangkatnya tanggung jawab ukhrawi menghilangkan
keharaman, dan kadangkala ada yang wajib mungkin juga ditunda pelaksanaan yang
wajib itu. Dalam pembahasan kali ini akan kami sebutkan pengaruh pelaksanaan
77 Abdul Rosyad Shiddiq, Fiqih Darurat. Jakarta: Pustaka Azzam, 2001., hlm 33-34
78 Wahbah Az-Zuhaili, Nazhariyah Al-Dlarurat Al- Syar’iyah. trj. Said Agil Al-Munawar
“Konsep Darurat Dalam Hukum Islam”.,hlm. 303
v
dalam beberapa ketentuan hukum, dan pengaruh madyarakat dalam mempermudah
ketetapan-ketetapan hukum.79
Tentang pengaruh keterpaksaan ini akan kami bahas dalam keadaan darurat.
Di sini secara garis besar kami ketengahkan dua keadaan yaitu : keadaan darurat
makan dan keadaan darurat yang dipaksa. Contohnya untuk pembahasan dalam
keadaan darurat makan yaitu dibolehkannya sesuatu yang dilarang untuk sementara
guna menghindari kemadharatan dari jiwa. Dalam hal ini maka diperbolehkan bagi
orang yang dalam keadaan terpaksa memakannya di antara makanan da minuman
yang telah diharamkan Allah SWT seperti bangkai, darah, daging babi, minuman
khamr, dan sebagainya.80
Sedangkan masalah tentang pemaksaan, ialah diperbolehkannya untuk
melakukan perbuatan yang diharamkan ketika bebas, atau mungkin juga diberikan
keringanan untuk itu. Tetapi keharamannya untuk selamanya tidak mungkin terhapus.
Mungkin juga tidak dibolehkan dan tidak diberikan keringanan sama sekali.81
Pemaksaan itu tidak selamanya dipandang sebagai salah satu factor yang
membolehkan hal-hal yang dilarang, tetapi ada kalanya dilarang itu menjadi boleh
karenanya. Namun kadangkala terjadi sebaliknya pada saat itu pemaksaan akan
dipandang sebagai salah satu penghalang tanggung jawab dan bukan merupakan
factor yang membolehkan yang haram.82
79
Ibid., hlm. 303
80 Ibid., hlm. 303-304
81 Ibid., hlm. 304
82Wahbah Az-Zuhaili, Nazhariyah Al-Dlarurat Al-Syar’iyah. trj. Said Agil Al-Munawar
“Konsep Darurat Dalam Hukum Islam., hlm. 307
v
D. Metode Is înbâth Hukum
1. Pengertian Istînbâth Hukum
Secara bahasa istînbâth berarti mengeluarkan atau menarik. Upaya
mengeluarkan (menetapkan kesimpulan) hukum dari dalil-dalil(nas). Istînbâth juga
diartikan sebagai ijtihad, yang artinya mengerahkan segenap upaya dan kemampuan
secara sungguh-sungguh untuk mengeluarkan atau menetapkan kesimpulan hokum
dari dalil-dalilnya.83
Orang yang melakukan istînbâth disebut mujtahid mustarbit, artinya seseorang
yang berijtihad untuk menetapkan kesimpulan hukum dari dalilnya (al-Qur an dan
hadish). Selain itu ada juga mujtahid muthabbiq, yaitu orang yang melakukan ijtihad
(upaya) untuk menerapkan hukum hasil istînbâth. Untuk dapat melakukan istînbâth
seseorang harus mengerti dan memahami ilmu ushul fiqh, maka istînbâth juga berarti
proses dan upaya mengambil hukum dari dalil-dalil tertentu dengan menggunakan
metodologi istînbâth yang telah dirumuskan dalam ilmu ushul fiqh.84
Orang yang melakukan istînbâth harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :85
1. Mengetahui hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur an (al-Gazali
menyebutnya sebagai ayat-ayat ahkâm atau hukum)
2. Mengetahui hukum-hukum yang terkandung dalam sunnah (hadis ahkâm)
83Tim Penyusun, Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 2. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994, hlm. 279 84 Ibid., hlm. 279
85 Ibid., hlm. 279
v
3. mengetahui mazhab-mazhab mujtahid yang telah lalu dan metode-metode
istînbâth-nya.
4. mengetahui hakikat (kiyâs dan rukun serta syaratnya, dan
5. bersikap adil dan memiliki akhlak serta kepribadian yang baik.
Dengan memperhatikan kriteria mujtahid mustânbit yang begitu ketat, maka
ada sebagian ulama seperti Muhammad Abu Zahrah (ahli fikih dan usul fikih) dan
Yusuf al-Qardawi (ahli fikih) mengelompokkan mujtahid pada mujtahid mustaqil
(mandiri), mujtahid mazhab, dan mujtahid murajjih (yang menguatkan suatu hukum).
Dari segi jumlah pelaku istînbâth, mujtahid dikelompokkan menjadi mujtahid fardi
(perorangan) dan mujtahid jama’i (kolektif).86
Dalam metode-metode istînbâth yang telah dikembangkan oleh para ahli
ushul masih terdapat perbedaan pendapat diantara mereka dalam memberkan
penekanan dan kekuatannya sebagai metode istînbâth. Metode-metode tersebut
adalah qiâs, istihsân, istislâh, dan istishâb. Menurut Al-Syatibi dasarnya metode
istînbâth adalah hukum yang diambil secara induktif. Meskipun tidak ada ketentuan
tertentu dalam nas, kekuatannya sebagai dalil bersifat qat’’î, walaupun demikian
penerapannya bersifat zanni (tidak pasti lawan qa’î). Karena itu dalam penerapan
hukum dikenal istilah nazariyat i’tibar al-maal (teori penerapan hukum yang melihat
pada dampaknya) seperti hilah (menghindari hukum yang lebih berat menuju hukum
86 Ibid., hlm. 279
v
yang lebih ringan) dan sad azzarî’ah(menghindari jalan yang membawa pada
mafsadat/kerusakan).87
2. Metode Istînbâth
a. Qiŷas (analogi)
Qiŷas adalah menyamakan suatu masalah atau kejadian yang tidak ada nasnya
dengan masalah yang sudah ada nas hukumnya, karena ada
persamaan ilah (sebab) antara kedua masalah tersebut.88
Sedangkan qiŷas menurut
ulama ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada
kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena
adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.89
Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kejadian,
dan telah diketahui illat hukum itu dengan metode di antara metode-metode untuk
mengetahui illat hukum, kemudian terdapat nashnya dalam illat seperti illat hukum
dalam kejadian itu, maka kejadian lain itu harus disamakan dengan kejadian yang ada
nashnya dalam hukumnya dengan dasar menyamakan dua kejadian tersebut dalam
illatnya, karena hukum itu dapat ditemukan ketika telah ditemukan illatnya.90
Ada empat hal yang harus dipenuhi dalam qiŷas, yaitu :91
87Tim Penyusun, Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 2. hlm. 279-280
88
Ibid., hlm. 279-280
89 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002. Hlm. 74 90 Ibid., hlm. 74
91 Tim Penyusun Dewan Redaksi, et al,.Ensiklopedi Islam 2., hlm. 280
v
1. Kejadian dalam nash yang diambil sebagai tempat analogi
2. Kejadian baru yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash (yang
dianalogikan)
3. Hukum asal dijelaskan secara konkret dalam nash.
4. IIlat hukum, yaitu sesuatu yang dimaksud syar’i (pembuat hukum syariat, yakni
Allah SWT) dalam menghukumi suatu kejadian.
Menurut pendapat jumhur ulama Islam, bahwa qiŷas adalah juga hujjah
syar’iyah atas hukum-hukum mengenai perbuatan manusia (amaliyah), dan ia
menduduki martabat yang keempat di antara hujjah-hujjah syar’iyah dengan
pengertian, apabila tidak didapati dalam suatu kejadian itu, hukum menurut nash atau
Ijma, akan tetapi terdapat kesamaan illat dengan suatu kejadian yang telah terdapat
hukumnya dalam nash.92
Setiap qiŷas terdiri dari empat sendi, yaitu :93
a. Al-Ashlu, yaitu sesuatu yang ada hukumnya dalam nash. Disebut Maqis Alaihi
(yang dijadikan ukuran), atau Mahmul Alaihi (yang dijadikan pertanggung), atau
Musyabbah Bib (yang dibuat keserupaan).
b. Al-Far’u, yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash, tetapi ada maksud
menyamakan kepada al-Ashlu dalam hukumnya.
c. Hukum Ashal, yaitu hukum syara yang ada nashnya menurut asal dan dimaksud
dengan ini sebagai pangkal hukum bagi cabang.
92Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih., hlm. 77
93 Ibid., hlm. 87-88
v
d. Al-Illat, yaitu keadaan yang dijadikan dasar oleh hukum asal berdasarkan
wujudnya keadaan itu pada cabang, maka disamakanlah cabang itu kepada asal,
mengenai hukumnya. Maka meminum khamar adalah asal. Karena telah terdapat
nash bagi hukumnya. Yaitu firman Allah (ا�� ���� = maka jauhilah), yang
menunjukkan atas keharaman meminum khamar karena illat memabukkan.94
b. Istihsân
Istihsân menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut
istilah ulama ushul ialah berpindahnya seorang mujhahid dari tuntutan qiỹas jali
(qiỹas nyata) kepada qiỹas khafi (qiỹas samara). Atau dari hukum kulli (umum)
kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela
akalnya.95
Ada pendapat lain menyebut istihsan sebagai memilih satu dari dua dalil
yang lebih kuat. Perpindahan tadi disebabkan beberapa hal, yakni kepentingan
pengecualian hukum, urf (kesepakatan, adat istiadat), dan maslahat atau karena untuk
menghindarkan kesulitan(raf’ al-haraj).96
Macam-macamnya
Dari definisi al-Istihsân menurut syara’ maka jadi jelas bahwa al-Istihsân itu
ada dua macam :97
1. Memenangkan qiỹas khafi atas qiỹas jali dengan dalil
2. Mengecualikan juz ‘iyah dari hukum kulli dengan dalil.
94 Ibid., hlm. 87-88
95 Ibid., hlm. 117 96 Tim Penyusun, Dewan Redaksi, et al., Ensiklopedi Islam 2., hlm. 177
97 Abdul Wahhab Khallaf.,Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih., hlm. 119-120
v
Contohnya : Nash para fuqoha Hanafiyah, bahwa sisa yang tinggal dari
burung buas seperti burung garuda, burung gagak, burung elang, dan burung
rajawali(elang besar) adalah suci menurut istihsan dan najis menurut qiyas.
Bahwa sisa yang tetap tinggal dari binatang yang diharamkan dagingnya ialah seperti
binatang buas, misal: Asad (sebangsa macan tutul), namr (harimau), siba (binatang
buas) dan serigala dzib (anjing hutan). Hukum sisa yang tetap tinggal pada binatang
itu mengikuti hukum dagingnya.98
Menurut para Fuqoha telah menaskan, bahwa orang yang dipercaya
(perlindung), kematiannya yang tidak diketahui membuat menderita karena keadaan
tidak diketahui. Akan tetapi diperkecualikan menurut Istihsân atas matinya bapak,
nenek atau orang yang berwasiat yang juga dengan secara tidak diketahui.99
Tentang kegunaan istihsân sebagi metode istînbât hukum, ulama mahzab
Maliki dan mahzab hanafi menggunakannya sebagai dalil syar’i (berdasarkan syarak).
Ini diambil secara induktif dari sejumlah dalil, bukan karena tuntutan keinginan dan
nafsu. Menurut ulama Syafi’i, orang yang ber- istînbâth dengan istihsân berarti
membuat syariat sendiri. Hal itu dianggap sebagai perbuatan yang didasarkan pada
keinginan dan hawa nafsu.100
Karena itu Imam Al-Syathibi dalam kitab “al-
Muwaafaqat”: “Orang yang melakukan istihsân tidak boleh kembali kepada daya rasa
dan kenginannya semata, akan tetapi hanya kembali kepada hal-hal yang diketahui
dari tujuan pembuatan syariat secara global dalam contoh sesuatu yang diutarakan,
98 Ibid., hlm. 120 99 Ibid., hlm. 120
100 Tim Penyusun, Dewan Redaksi, et al.,Ensiklopedi Islam 2., hlm. 280
v
seperti beberapa masalah yang dituntut oleh qiỹas adanya perintah. Hanya saja
perintah itu dari segi bisa menghilangkan maslaha (kesejahteraan), dan dari segi lain
bisa mendatangkan mafsadah (kerusakan)”.101
c. Istislah atau al-Maslahah al-Mursalah
Istilâh ialah maslahat yang tidak jelas-jelas dinyatakan oleh nas, baik sahnya
atau batalnya, tetapi jenisnya sesuai dengan tindakan syarak (hukum Islam).102
Menurut istilah ulama ushul yaitu, maslahah di mana syar’i tidak mensyariatkan
hukum untuk mewujudkan maslahah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas
pengakuannya atau pembatalannya. Maslahah itu disebut mutlak, karena tidak
dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan.103
Dari penjelasan ini, yaitu bahwa pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan, kecuali
merealisir kemaslahatan ummat manusia. Artinya mendatangakan keuntungan bagi
mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan dari padanya.
Jumhur ulama umat Islam berpendapat, bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah
syariat yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasanya kejadian yang
tidak ada hukumnya dalam nash dan Ijma atau qiỹas atau istihsân itu disyariatkan
padanya hukum yang dihendaki oleh maslahah umum, dan tidaklah berhenti
pembentukan hukum atas dasar maslahah ini karena adanya saksi syari’ yang
mengakuinya.104
101 Abdul Wahhaf Khallaf., Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Eiqih., hlm. 122-123
102 Tim Penyusun, Dewan Redaksi, et al., Ensiklopedi Islam 2., hlm. 280
103 Abdul Wahhab Khallaf., Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih., hlm. 123
104 Ibid., hlm. 125
v
Sebagian ulama umat Islam berpendapat, bahwa maslahah yang tidak
disaksikan oleh saksi syara atas pengakuannya dan juga tidak atas pembatalannya,
maka ia tidak bisa dijadikan dasar pembentukan hukum. Dalil mereka dua hal,
yaitu:105
1. Syariat harus memelihara setiap maslahah ummat manusia denga nash-nashnya
dan dengan petunjuk qiỹas; karena syari’ tidak meninggalkan umat manusia
dengan sia-sia. Juga tidak dapat membiarkan maslahah apa saja tanpa memberi
petunjuk pembentukan hukum baginya. Jadi tidak ada maslahah kecuali telah
terdapat saksi syara yang mengakuinya, sedangkan maslahah yang tidak terdapat
saksi syara yang mengakuinya maka pada hakikatnya bukanlah maslahah, atau
bukan maslahah kecuali hanya bersifat dugaan yang tidak sah dijadikan dasar
pembentukan hukum.
2. Pembentukan hukum atas dasar mutlaknya maslahah berarti telah membuka pintu
hawa nafsu orang di antara para pemimpin, para penguasa dan para ulama fatwa,
maka sebagian mereka terkadang dikalahkan oleh hawa nafsu dan keinginannya,
sehingga mereka menghalalkan kerusakan sebagai kemaslahatan, dan maslahah
adalah hal-hal yang bersifat kira-kira yang berbeda menurut perbedaan pendapat
dan lingkungan. Maka terbukanya pintu pembentukan hukum dengan alasan
kemaslahatan yang mutlak telah membuka pintu kejahatan.106
105 Ibid., hlm. 129-130 106 Ibid., hlm. 130
v
Imam Qayyim berkata: Di antara umat Islam ada yang berlebih-lebihan dalam
memelihara maslahah umum, maka mereka menjadikan syariat sebagai hal yang
terbatas yang tidak bisa berjalan menurut kemaslahatan hamba yang memerlukan
kepada lainnya. Mereka telah menghalangi dirinya untuk menempuh jalan benar yang
berupa jalan kebenaran dan keadilan. Ada pula di antara mereka yang melampaui
batas sehingga membolehkan sesuatu yang dapat memudahkan syariat Allah dan
menimbulkan kejahatan yang kejam serta kerusakan yang dahsyat.107
Menurut ulama
mazhab Maliki, kehujahannya bersifat qat’ i (pasti). Begitu juga menurut al-Syatibi
(ahli ushul fiqih) dan al-Ghazali. Selain itu ada maslahah mu’tabarah yang jelas ada
ketentuannya dalam nash, dan ada juga maslahah mulgah yang bertentangan dengan
ketentuan nas.108
d. Istishâb
Istishâb menurut bahasa Arab ialah mengakui adanya hubungan perkawinan.
Sedangkan menurut istilah ulama Ushul, yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut
keadaan sehingga tersapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya.109
Maka apabila seorang Mujtahid ditanya tentang kontrak atau pengelolaan, dan
dia tidak menemukan nash dalam al-Qur an dan al-Sunnah, juga tidak menemukan
dalil syara’ yang mengitlakkan hukumnya, maka dihukumi dengan kebolehan kontrak
107Abdul Wahhab Khallaf., Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih., hlm. 130 108 Tim Penyusun, Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 2., hlm. 280
109Abdul Wahhab Khallaf., Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih., hlm. 134-135
v
atau pengelolaan tersebut atas dasar bahwa “pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.
Yaitu suatu keadaan yang Allah telah menciptakan di atasnya segala sesuatu yang ada
di bumi secara keseluruhan. Maka sesuatu yang tidak terdapat dalil yang
menunjukkan atas perbuatannya, maka suatu itu dihukumi atas kebolehannya yang
bersifat asal. Apabila seoarang Mujtahid ditanya tentang hukum binatang atau benda-
benda, atau tumbuh-tumbuhan, atau makanan apa saja, atau sesuatu amal, dan tidak
menemukan dalil syara’ mengenai hukumnya, maka dihukumi atas kebolehannya,
karena kebolehan itu adalah pangkal (asal), dan tidak terdapat dalil yang
menunjukkan atas perubahannya.110
Jadi pangkal sesuatu itu adalah kebolehan,
karena Allah telah berfirman:
0��� ��OPQ�� L'%��" 6�C,� ��� ��� ��� !"�� �'�U�☺�� o6�]
��0�d��� �%m�B ��Q��☺tt��� �:�¡o�xt,� �¢�(�� �670��☺�� >
0���0� K£h�C�g }�k⌧� �¢��� �b�K
Artinya : Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan
dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. 2, al-Baqoroh: 29).
Allah telah menjelaskan dalam ayat, bahwasanya dia telah menaklukan segala
yang ada di langit dan di bumi untuk manusia, dan tidaklah apa yang ada di bumi itu
dijadikan dan ditaklukan oleh manusia, kecuali apabila hal itu diperbolehkan bagi
mereka, karena seandainya hal itu terlarang bagi mereka, niscaya bukan untuk mereka
semua itu diciptakan.111
110 Ibid., hlm, 134-135
111 Ibid., hlm. 135
v
Istishâb adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali seorang
Mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya,
karena ulama ushul berkata: “Sesungguhnya istishâb adalah akhir tempat beredar
fatwa”. Yaitu mengetahui atas sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya
selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Setiap orang yang mengetahui wujud
sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan
barang siapa mengetahui ketiadaannya, sampai terdapat dalil yang menunjukkan atas
wujudnya.112
Atas dasar istishâb, telah dijadikan dasar prinsip-prinsip syariat seperti
kaedah:
C ��E� " 6�F� ��8ء " آ ن ��� " آ ن ح H� <� (ا
“Asal sesuatu itu adalah ketetapan yang telah ada menurut keadaan, semula,
sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubahnya”. 113
Iا) �> 5: ا) (� ءا) � ح
“Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan”.
114
ا) �> 5: ا) نJ ن ا���ا ء ة
“Asal pada manusia itu adalah kebebasan”.
115
112 Ibid ., hlm 134-135
113 Abdul Wahhab Khallaf.,Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih.,terj., Noer
Iskandar al-Barsany., hlm. 136
114 Ibid.,136
115 Khallaf., Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih., terj., Noer Iskandar al-
Barsany., hlm. 136
v
Yang benar, menganggap istishâb itu sendiri sebagai dalil hukum adalah
boleh, karena dalil itu pada hakikatnya adalah dalil yang telah menetapkan hukum
tersebut, dan tidaklah istishâb itu kecuali hanya menetapkan dalalah dalil ini kepada
hukumnya. Ulama Hanafiyah telah menetapkan bahwa istishâb itu adalah hujjah
untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan yang dimaksud mereka. Dengan ini
yakinlah bahwa istishab itu adalah hujjah atas ketetapan sesuatu yang telah ada,
menurut keadaan semula, dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda
dengannya, sampai terdapat dalil yang menetapkan sesuatu yang tidak tetap.116
Sedangkan kata-kata Imam Syafi’i yang jelas,117
yaitu bahwa beliau tidak
memandang pendapat seseorang tertentu di antara mereka adalah hujjah, dan beliau
memperkenankan menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan
ijtihad mengenai istînbâth pendapat lain, karena pendapat mereka itu adalah pendapat
ijtihad secara perorangan dari orang-orang yang tidak ma’shum. Sebagaimana
sahabat itu boleh menentang (pendapat) sahabat lain, berarti juga para mujtahid
sesudahnya boleh menentang mereka. Oleh karena itulah imam Syafi’i berkata:
“Tidak boleh menjatuhkan hukum atau fatwa kecuali dari sisi berita yang positif,
yaitu al-Kitab dan al-Sunnah”. Atau dari pendapat yang disepakati oleh para ilmuwan
yang mereka tidak berselisih di dalamnya atau berqiỹas dalam sebagiannya.
116 Ibid., hlm. 137
117
Ibid., hlm.142
v
BAB III
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG PENGGUNAAN
ORGAN TUBUH
A. Profil Majelis Ulama Indonesia
a. Sejarah Perkembangan Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi keulamaan yang bersifat
independen, tidak beraplikasi kapada salah satu aliran politik, madzhab atau aliran
keagamaan Islam yang ada di Indonesia.118
Adanya suatu wadah yang dapat menampung, menghimpun dan
mempersatukan pendapat-pendapat dan pikiran-pikiran dari para ulama Indonesia,
sudah lama menjadi hasrat dan keinginan umat Islam Indonesia dan pemerintahan
republik Indonesia. Dengan adanya wadah ini diharapkan partisipasi para ulama yang
telah mempunyai tempat khusus di hati rakyat Indonesia, terhadap pembangunan
nasionalnya akan lebih dapat terus ditingkatkan. Musyawarah yang diadakan atas
prakasa pusat dakwah Islam Indonesia ini, bertemakan :“Mewujudkan kesatuan
amaliah sosial umat Islam dalam masyarakat dan partisipasi alim ulama dalam
pembangunan nasional”. Dalam musyawarah ini banyak peserta (ulama) yang
mengusulkan perlu adanya Majelis Ulama yang didalamnya mencakup lembaga
fatwa.119
118 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Bandung : remaja Rosdakarya, 2004, hlm.
65 119 Sekretariat MUI Masjid Istiqlal., 15 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta :
Sekretatariat MUI Masjid Istiqlal, hlm. 45-46
v
MUI berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli
1975 M di Jakarta sebagai hasil musyawarah nasional I MUI yang berlangsung pada
tanggal 12 s/d 18 Rajab 1395 H/ 21 s/d 27 Juli 1975 M di balai sidang jakarta.
Musyawarah ini diselengarakan oleh sebuah panitia yang di angkat oleh Menteri
agama dengan surat keputusan No. 28 tanggal 1 juli 1975, yang diketuai oleh Letjen.
Purn. H. Soedirman dan tim penasehat yang terdiri dari Prof.Dr. Hamka, K.H.
Abdullah Syafe’i dan K.H.M. Syukri Ghazali.120
Tujuan pokok musyawarah di samping untuk membentuk majelis ulama
tingkat pusat sebagai tindak lanjut dari pembentukan majelis ulama di daerah-daerah
juga dimaksud untuk memperkokoh ketahanan nasional dan meningkatkan kerukunan
hidup antar umat beragama dalam mensukseskan pembangunan.121
Menteri penerangan Mashuri, SH, menyatakan bahwa “Pembentukan majelis
ulama ini merupakan satu manifestasi dari pada usaha pembangunan kita, suatu
langkah yang penting karena pembangunan kita tidak hanya bidang materiil
melainkan juga spiritual, pembangunan manusia seutuhnya. Lebih-lebih dengan
perkembangan di Indonesia, kaum komunis selalu berusaha menciptakan perpecahan
antara kita sama kita. Maka dengan adanya majelis ulama ini kita hendak
membendung usaha kaum komunitas tersebut”.122
120 MUI., 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : MUI Pusat, hlm. 13
121 Sekretariat MUI Masjid Istiqlal ., 15 Tahun MUI., hlm. 47
122 Ibid., hlm. 48
v
Menjelang musyawarah timbul kekhawatiran dari sementara golongan
masyarakat , namun kekhawatiran itu hampir menjadi hilang setelah Bapak Presiden
memberikan garis-garis. Dalam amanat tersebut beliau menggariskan:123
1. Tugas para ulama adalah amar ma’ruf Nahi munkar.
2. Majelis ulama hendaknya menjadi penterjemah.
3. Majelis ulama agar mendorong, memberi arah dan menggerakkan masyarakat
dalam membangun diri dan masa depannya.
4. Majelis ulama agar memberi bahan-bahan pertimbangan mengenai kehidupan
beragama kepada pemerintah.
5. Majelis ulama agar menjadi penghubung antar emerintah dan ulama.
6. Kepengurusan majelis ulama sebaiknya mengambarkan diwakilinya unsur-unsur
dari segenap golongan.
7. Majelis ulama ini cukup hanya mempunyai pengurus saja dan tidak perlu
mempunyai anggota.
8. Sebab itu, majelis ulama ini tidak perlu mendirikan madrasah, masjid, rumah
sakit, dan sebagainya.
9. Majelis ulama tidak perlu melakukan politik.
10. Untuk lebih meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama kita perlu
membentuk semacam badan konsultasi antara umat beragama di Indonesia ini.
Tanda berdirinya MUI dalam bentuk piagam berdirinya MUI yang ditanda
tangani oleh 53 orang ulama yang terdiri dari 26 orang ketua-ketua MUI daerah
tingkat I seluruh Indonesia, 10 orang ulama unsur organisasi Islam tingkat pusat
123
Ibid., hlm. 51-52
v
yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, PERTI, Al-Washliyah, Mathla’ul Anwar,
GUPPI, PTDI, Dewan Masjid Indonesia dan Al-Ittihadiyah; 4 orang ulama dari Dinas
Rohaniah Islam AD, AU, AL dan POLRI, serta 13 orang ulama undangan
perorangan.124
Visi dan Misi MUI
a. Visi
Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang
baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah SWT (baldatun thoyyibatun wa robbun
ghofur) menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan
Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah negara kesatuan
republik Indonesia sabagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil
‘alamin).125
b. Misi
1. Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif dengan
menjadikan ulama sabagai panutan (qudwah hasanah), sehingga mampu
mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah
Islamiyah, serta menjalankan syariah Islamiyah;
2. Melaksanakan dahwah Islam, amar ma’ruf nahi mungkar dalam mengembangkan
akhlak karimah agar terwujud masyarakat berkualitas (khaira ummah) dalam
berbagai aspek kehidupan;
124 MUI., 20 Tahun MUI., hlm. 13
125 Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, Jakarta:
Sekretariat MUI, 2005, hlm. 20
v
3. Mengembangkan ukhuwah Islamiyah dan kebebasan dalam mewujudkan
persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah negara kesatuan republik
Indonesia.126
Peran MUI
MUI mempunyai peran utamayaitu :127
a. Sebagai pewaris tugas para Nabi (warasat al-anbiyah)
MUI berperan sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi, yaitu menyebarkan
ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu kehidupan sehari-hari secara
arif dan bijaksana yang berdasarkan Islam. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi,
majelis ulama Indonesia menjelaskan fungsi profektif yaitu memperjuangkan
perubahan kehidupan agar berjalan sesuai ajaran Islam, walaupun dengan
konsekuensi akan menerima kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya
bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya , dan peradaban manusia.
b. Sebagai pemberi fatwa
MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam baik di minta maupun tidak
dimnita. Sebagai lembaga pemberi fatwa majelis ulama Indonesia mengakomodasi
aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta
organisasi keagamaan.128
c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (ri’ayat wa khadim al-ummah)
126 Ibid., hlm. 20-21
127 Ibid., hlm. 24-25 128 Ibid., hlm. 24
v
MUI berperan sebagai pelayan umat (khdim al-ummah) yaitu melayani umat
Islam dan masyarakat luas dalam memenuhi harapan, inspirasi, dan tuntutan mereka.
Dalam kaitan ini, majelis ulama Indonesia senantiasa berikhtiar memenuhi
permintaan umat Islam, baik langsung maupun tidak langsung, akan bimbingan dan
fatwa keagamaan. Bgitu pula, majelis ulama Indonesia berusaha selalu tampil
didepan dalam membela dan memperjuangkan aspirasi umat dan masyarakat luas
dalam hubungannya dengan pemerintah.129
d. Sebagai pelopor gerakan ishlah
MUI berperan sebagai juru damai terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan
umat. Apabila terjadi perbedaan pendapat dikalanagan umat Islam maka MUI dapat
menempuh jalan al-jam’u wat taufiq (kompromi dan persesuaian) dan tarjih (mencari
hukum yang lebih kuat). Dengan demikian diharapkan tetap terpelihara semangat
persaudaraan di kalangan umat Islam Indonesia.130
e. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
MUI berperan sebagai wahana penegakan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu
dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan dengan penuh
hikmah dan istiqomah. Dalam menjalankan fungsinya ini majelis ulama Indonesia
tampil di barisan terdepan sebagai kekuatan moral (moral force) bersama berbagai
potensi bangsa lainnya untuk melakukan rehabilitasi sosial.131
Orientasi MUI
129 Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, hlm.
25
130 Ibid., hlm. 26 131 Ibid., hlm. 25
v
MUI mempunyai orientasi pengkhidmatan, yaitu :132
Diniyah, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang didasari semua langkah dan
kegiatannya pada nilai dan ajaran Islam. Karena Islam adalah agama yang
berdasarkan prinsip tauhid dan mempunyai ajaran yang meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia.
Irsyadiyah, MUI adalah wadah pengkhidmatan dakwah wal irsyad, yaitu
upaya untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan serta melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar dalam arti yang seluas-luasnya. Setiap kegiatan majelis ulama
Indonesia dimaksudkan untuk dakwah dan dirancang untuk berdimensi dakwah.133
Istijabiyah, MUI adalah pengkhidmatan ijabiyah yang senantiasa memberikan positif
terhadap setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui prakarsa kebijakan
(amal shaleh) dalam semangat berlomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairat).134
Hurriyah, MUI adalah wadah pengkhidmatan independent yang bebas dan merdeka
serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh pihak-pihak lain dalam mengambil
keputusan, mengeluarkan pikiran, pandangan dan pendapat.135
Ta’awuniyah, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang mendasari diri pada
semangat tolong-menolong untuk kebaikan dan ketakwaan dalam membela kaum
dhua’fa untuk meningkatkan harkat dan martabat, serta derajat kehidupan
masyarakat. Semangat ini dilaksanakan atas dasar persaudaraan di kalangan seluruh
132 Ibid., hlm. 21-23
133 Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, hlm.
21-22
134 Ibid., hlm. 22 135 Ibid., hlm. 22
v
lapisan golongan umat Islam. Ukhuwah Islammiyah ini merupakan landasan bagi
majelis ulama Indonesia untuk mengembangkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah
wathaniyah) sebagai bagian intergral bangsa Indonesia dan memperkokoh
persaudaraan manusia (ukhuwah basyariyah) sebagai anggota masyarakat dunia.136
Syuriah, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang menekankan prinsip musyawarah
dalam mencapai kemufakatan melalui pengembangan setiap demokrasi, akomodatif,
dan aspiratif, terhadap berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat.
Tasamuh, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang mengembangkan sikap
toleransi dan moderat dalam menghadapi masalah-masalah khilafiyah.137
Qudwah, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang mengedepantan kepeloporan dan
keteladanan melalui prakarsa kebajikan yang bersifat perintisan untuk kebutuhan
kemaslakatan umat.138
Abdualiyah, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang menyadari dirinya
sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif memperjuangkan perdamaian dan
tatanan dunia yang sesuai dengan hal itu, majelis ulama Indonesia menjalin hubungan
136 Depag. RI., Profil Lembaga Sosial Keagamaan Di Indonesia, Jakarta: Depag. RI., 2002,
hlm. 64
137 Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, hlm.
23
138 Ibid., hlm. 23
v
dan kerjasama dengan lembaga/organisasi Islam internasional di berbagai
negara.(profil lembaga social keagamaan).139
Fungsi MUI140
a. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim dalam
mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami.
b. Sebagai wadah silaturahmi para ulama, zuama dan cendekiawan muslim untuk
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwah
Islamiyah.
c. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antar
umat beragama. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik
diminta maupun tidak diminta.
b. Kedudukan fatwa Majelis Ulama Indonesia
Jumhur ahli fiqh telah sepakat bahwa apabila terdapat sesuatu kejadian yang
memerlukan ketetapan hukum, pertama-tama hendaklah dicari dahulu dalam al-Qur
an, kalau ketakutan hukumnya sudah ada dalam al-Qur an, maka ditetapkanlah
hukumnya sesuai yang ditunjuk al-Qur an, tetapi apabila ketetapan hukum itu tidak
ditemukan dalam al-Qur an barulah meneliti as-Sunnah, jika dalam as-Sunnah
terdapat ketetapan hukumnya, maka ditetapkanlah menurut petunjuk as-Sunnah,
menurut al-Syaukani jika ada nash as-sunnah yang menetapkan hukumnya, maka
barulah beralih kepada tahap pemeriksaan putusan dari para mujtahiddin yang
139 Depag. RI., Profil Lembaga Sosial Keagamaan Di Indonesia, hlm. 64
140 Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, hlm.
23
v
menjadi ijma’ (keputusan bersama) dari masa ke masa tentang masalah yang sedang
dicari ketetapan hukumnya itu. Kalau ada ditetapkanlah padanya. Sekiranya ijma’
dalam masalah tersebut tidak didapatkan, maka hendakny qiyas dengan menggunakan
ketentuan Illat, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh ijtihadnya.141
Namun demikian, tidak berarti setiap orang dapat melakukan ijtihad
(mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk dapat mengeluarkan hukum syar’i
dari dalil-dalil syara’), karena untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi
syarat-syarat tertentu yang dapat membawa derajat mujtahid. Adapun syarat-syarat
yang harus dipenuhi antara lain : mengetahui ketentuan-ketentuan hukum dalam al-
Qur an dan sunnah, mengetahui masalah-masalah ijma’ dan tidak boleh menetapkan
hukum yang bertentangan dengan apa yang telah diputuskan secara ijma, mengetahui
bahasa Arab, mengetahui ilmu ushul fiqh, mengetahui nasikh (yang menghapuskan)
dan mansukh (yang dihapuskan).142
Dalam melakukan ijtihad untuk menetapkan sebuah fatwa hukum, maka MUI
berpedoman pada pedoman fatwa ulama Indonesia yang ditetapkan dalam surat
keputusan MUI Nomor : U-596/MUI/X/1997. Dalam surat keputusan tersebut,
terdapat tiga bagian proses utama dalam menentukan fatwa, yaitu dasar-dasar umum
penetapan fatwa, teknik dan kewenangan organisasi dalam penetapan fatwa.143
141 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevensinya Bagi Pembahasan Hukum Islam
di Indonesia, Jakarta: logos, 1999, hlm. 80 142 Ibid., hlm. 87-94
143 Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Dijen BPIH Depag RI,
2003, hlm. 1
v
Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam 2 ayat (ayat 1 dan
2) pada ayat 1 dikatakan bahwa setiap fatwa didasarkan pada adillat al-ahkam yang
paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Dalam ayat berikutnya (ayat 2)
dijelaskan bahwa dasar-dasar fatwa adalah al-Qur an, hadits, ijma, qi ỹas, dan dalil-
dalil hukum lainnya.144
Sedangkan prosedur penetapan fatwa dilakukan sebagai berikut :145
1. Setiap masalah yang disampaikan kepada Komisi hendaklah terlebih dahulu
dipelajari dengan seksama oleh para anggota Komisi atau Tim Khusus sekurang-
kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (Qat’i ) hendaklah komisi
menyampaikan sebagai adanya dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada
nass-nya dari Al-Qur an dan aS-Sunnah.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang
difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqih muqaram
(Perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaram yang
berhubungan dengan pen-tarjih-an
Kewenangan MUI adalah fatwa tentang : a). Masalah-masalah keagamaan
yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional, b).
Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum di suatu daerah yang diduga dapat
meluas ke daerah lain.146
144
Ibid, hlm. 4
145 Ibid., hlm. 5
146 Ibid., hlm. 6-7
v
B. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Kemajuan dalam bidang iptek dan tuntutan pembangunan yang telah
menyentuh seluruh aspek kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan,
juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru, banyak persoalan
yang berperan waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah dibayangkan,
kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain kesadaran keberagaman umat Islam di
bumi nusantara ini semakain tumbuh subur. Oleh karena itu, sudah merupakan
kewajaran dan keniscayaan jika setiap timbul persoalan baru, umat mendapatkan
jawaban (fatwa) yang tepat dari pandangan ajaran Islam.147
Dasar penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI adalah sebagai berikut :148
a. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan sunnah Rasul
yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
b. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul sebagaimana ditentukan
dalam pasal 2 agar berdasarkan keputusan sidang komisi fatwa MUI, keputusan
fatwa hendaknya tidak bertentangan dengan ijma’, qiỹas, dan mu’tabar dan dalil-
dalil hukum yang seperti : istihsân, maslahah mursalah dan sadd az-zari’ah.
c. Sebelum mengambil keputusan fatwa hendaknya ditinjau pendapat-pendapat para
Imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum
maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang
berbeda pendapat.
147 Depag. RI., Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI, Depag RI:Jakarta,
2003. hlm. 1
148 Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. hlm.4-5
v
d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan
fatwanya dipertimbangkan.
Berkaitan dengan masalah yang dibahas yaitu mengenai penggunaan organ
tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika. Maka komisi fatwa MUI
setelah menimbang dan memperhatikan dari berbagai sudut pandang. Bahwasanya
penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika
hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat, dan keputusan tersebut berdasarkan
pada sidang komisi fatwa MUI berlangsung pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir 1421 H /
30 Juli 2000 M yang membahas tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi
kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
1. Rumusan Masalah
a. Diketahui sejumlah obat-obatan dan kosmetika mengandung unsur atau bahan
yang berasal dari organ (bagian) tubuh atau ari-ari (tembuni) manusia.
b. Menurut sebagian dokter, urine (air seni) manusia dapat menjadi obat
(menyembuhkan) sejumlah jenis penyakit.
c. Bagaimanakah hukum menggunakan obat-obatan dan kosmetika seperti
dimaksudkan di atas?
d. Oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang
hukum dimaksud untuk dijadikan pedoman.149
2. Dalil/Dasar
a. firman Allah SWT
149
Ibid., hlm. 266
v
�:�☺,� oX�8YI�� ��� }px~04;�⌧q 0|�X⌧G (��A���d� r];]v[¤ ¥ �[��,� PQ�� ⌦ �Rs⌧G �]+�&o �cK
Artinya“...Maka, barang siapa terpaksa karena kelaparan, tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Qs. Al-
Maidah : 3)
b. Hadits Nabi SAW yang menyatakan, antara lain :
روا. ا ب� (ت� اووا� ن! ا( )'!و�&! �% $�� داءا"!وض� �� دواء ��� داءوا��ا���م
150)داود
Artinya: “Berobatlah, karena Allah tidak membuat penyakit kecuali membuat
pula obatnya selain satu penyakit, yaitu pikun” (HR. Abu Daud)
151)روا. اب� داود (إن! ا( أن'ل ا��!اءوا��!واءو3�& 12�& داء دواء���وواو"ت�اوواب0�ام
Artinya: “Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat
bagi setiap penyakit; oleh karena itu, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda
yang haram” (HR. Abu Daud)
8 وان $E� ب� , � ;� ه% ا� !�C! بAB ح, <� م ان س ;: )2& أو )� $ 8 � ���و ا�9� $152)روا. ا��G رى( �� �ا ;: ا ب� ا�� وا�
Artinya: “Sekelompok orang dari suku Ukl atau Urainah datang dan mereka
tidak cocok dengan Madinah (sehingga mereka jatuh sakit), maka Nabi
memerintahkan agar mereka diberi unta perah dan meminum air kencing dan susu
unta tersebut...” (HR.Al-Bukhari)
c. Pendapat sebagian ulama menegaskan
150 Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud., JUZ II, Baerut,Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1993, hlm.
219
151 Ibid., hlm. 252
152 Imam Abdullah Muhammad Ismail., Shohih Bukhori, JUZ 1, Baerut, Daar al-Kutub al-
Ilmiah, 1993, hlm. 79
v
اح>� (, � ل ا�$Sه�يS ) �S<1 (�ب 3� ل ا��� س �OP�ة .�$ل ) ن�� ر@M � ل ا� .K ل6����Uا� �� إن� ا� �� �KX> (* ءآ� 0�5 ح��م و� ل ا�� "3KJد �5 ا�7�J )ا�OW 0ة. 7�
�153)رواC ا��] رى. (7���
Artinya: Imam Zuhri (w. 124 H) berkata, “Tidak halal meminum air seni
manusia karena suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis, Allah
berfirman: “...Dihalalkan bagi kamu yang baik-baik...” (QS. Al-Mai’dah. 5:5)”; dan
Ibnu Mas’ud (w.32) berkata tentang sakar (minuman keras), “Allah tidak menjadikan
obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu” (Riwayat Al-Bukhari)
d. Kaidah fiqh menegaskan
.ا3210�راتا�,��ورات .��\
Artinya: “Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (
diharamkan)”154
3. Keputusan fatwa.
a. Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :155
1) Penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan,
bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh; Penggunaan air seni
adalah meminumnya sebagai obat.
2) Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar
tubuh dengan tujuan perawatan tubuh atau kulit agar tetap atau menjadi
baik dan indah.
3) Darurat adalah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan
maka dapat mengancam eksistensi jiwa manusia.
153 Imam Bukhori., Sohih Bukhori, JUZ V, Semarang: Toha Putra, hlm. 248
154 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih Sejarah dan Kaidah Asasi., hlm. 149
155 Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia., hlm. 268
v
b. Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian
organmanusia (juz’ul-insan) hukumnya haram.156
c. Penggunaan air seni manusia untuk pengobatan, seperti disebut pada butir a.2
hukumnya adalah haram.
d. Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ
manusia hukumnya haram.
e. Hal-hal tersebut pada butir b, c, dan d di atas boleh dilakukan dalam keadaan
dharurat syari’ah.
f. Menghimbau kepada semua pihak agar tidak memproduksi atau menggunakan
obat-obatan atau kosmetika yang mengadung unsure bagian organ manusia,
atau berobat dengan air seni manusia.157
156 Ibid,. hlm. 266 157
Ibid., hlm. 268-269
v
BAB IV
ANALISIS FATWA
A. Penggunaan Analisis Batasan Darurat
Perkembangan atau pertumbuhan yang dinamis secara terus menerus
melahirkan berbagai peristiwa baru yang tidak ditunjukkan ketentuan hukumnya
secara spesifik dan pasti dalam al-Qur an. Kondisi demikian melahirkan kesenjangan
antara nash al-Qur an dengan peristiwa-peristiwa yang terlahir sebagai produk dari
dinamika peradaban manusia tersebut, yakni berkesudahannya nash dan tidak
berkesudahannya peristiwa-peristiwa baru.
Tidak setiap orang atau kelompok masyarakat mampu untuk mengembangkan
daya pikirnya untuk melakukan ijtihad.158
Terhadap kelompok masyarakat ini, ulama
dan masyarakat yang memiliki pemahaman yang lebih terhadap agama harus mampu
membimbing dan mengarahkan umatnya kejalan kebenaran.
Dalam konteks inilah kita memahami bahwa sesungguhnya fatwa memiliki
peran yang cukup signifikan sebagai media atau instrumen untuk menjadi arahan
bagaiman sikap dan perilaku yang harus ditunjukkan oleh umat Islam. Dalam hal ini
majelis ulama Indonesia adalah sebuah lembaga yang berperan untuk memberikan
fatwa terhadap setiap permasalahan yang terjadi baik diminta ataupun tidak.159
Pada bab sebelumnya telah penulis kemukakan keputusan fatwa MUI tentang
penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika
158 Nasrun Rusli., Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevensinya Bagi Pembahasan Hukum Islam
di Indonesia, hlm. 87
159 Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesi., hlm. 266
v
kecuali dalam keadaan darurat syar’iyah boleh dilakukan. Dalam uraian tersebut
terdapat permasalahan yang perlu mendapat pembahasan dan analisis serta
pemecahannya. Berkisar pada keharaman penggunaan organ tubuh, ari-ari, air seni
manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika kecuali dalam keadaan dharurat
serta sejauh mana batasan darurat tersebut bagi kepentingan obat-obatan dan
kosmetika.
Namun demikian dengan menggunakan data-data yang telah terkumpul, dan
tidak lepas dari kajian hujjah para ulama sebagai studi komparatif yang penulis
gunakan untuk mencapai suatu kesimpulan yang dapat menggambarkan fatwa secara
obyektif. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan apa yang dimaksud dengan
darurat, menurut Wahbah Al-Zuhaili darurat yaitu datangnya kondisi bahaya atau
kesulitan yang amat berat kepada tubuh, kehormatan, akal, harta dan yang berkaitan
dengannya. Ketika itu boleh atau tidak dapat tidak harus mengerjakan yang dilarang
(diharamkan), atau meninggalkan yang diwajibkan-Nya atau menunda waktu
pelaksanaannya guna menghindari kemadharatan yang diperkirakan dapat menimpa
dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’.160
Dalam
keputusan fatwa MUI penulis sependapat dengan adanya fatwa yang telah
dikeluarkan oleh MUI tentang pengharaman penggunaan organ tubuh manusia bagi
kepntingan obat-obatan dan kosmetika. Hal ini mengingat hadist Nabi SWA :
رواC . (داءواحOا �4�م .Oاووا5 ن� ا� �$و@> �� �,\ داء ا)و�\ �� دواء [��161)أ�3داود
160 Wahbah Az-Zuhaili, Nazhariyah Al-Dlarurat Al-Syar’iyah. Terj. Said Agil Al-Munawar.
Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, hlm. 72 161 Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, JUZ II, Daar al-kutub al-Ilmiah, 1993, hlm.219
v
Artinya : ”Berobatlah karena Allah tidak menbuat penyakit kecuali membuat
pula obatnya selain satu penyakit, yaitu pikun” (HR. Abu Daud)
S�U�, اخ��ن ا�0 ��> �� ��� ش, ث� �$�O�� ه رون, ح�Oث� "O�01 �� �� دة ا�3ا� �� أ�� 0��ان اbنa رى��J" I��Kرداء, �� ث�Oرداء , �� ام اا��Oأ�� ا� ��
�: � ل��ان� ا� أن$ل ا��Oاء وا��Oواء و@S7� <K> : � ل ر�3ل ا� ��� ا� ���� و162)رواC ا�3داود(داء دواء O85اوواو).O8اووا�1�م
Artinya : ”Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat
bagi setiap penyakit; oleh karena itu, berobatlah dan janganlah berobat dengan
benda yang haram” (HR. Abu Daud)
]
Dari hadist tersebut dapat kita pahami bahwa Islam sangat memperhatikan
masalah kesehatan. Kita dianjurkan berobat ketika sakit karena berobat termasuk
salah satu tujuan Islam yang dijaga yakni memelihara jiwa. Kesehatan merupakan
salah satu kenikmatan terbesar yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba-
hamba-Nya, karena dengan badan dan akal yang sehat sesorang akan dapat
melakukan kewajiban agama dan dunia dengan sebaik-baiknya. Sedangkan orang
yang sakit, maka akan lemah untuk melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu
sangat penting kesehatan dan berobat ketika sakit.
Dalam prinsip dasar Islam bahwa asal benda adalah mubah (boleh) selama
tidak terdapat dalil yang mengharamkan.163
Organ (bagian) tubuh seperti ari-ari
misalnya, pada dasarnya ia bukan benda haram, karena tidak ada ketetapan ataupun
dalil nash yang mengharamkan. Tetapi dalam Islam sangat menghormati dan
memuliakan manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Isra’ ayat 70 :
162 Ibid., hlm. 252
163 Yusuf Qaradlawi, Halal Haram Fil Islam., hlm. 14
v
�F,B,�0� �V';�oX⌧� �k�g ��U�0� �6�V'��0i⌧�0� ��� �*|��;��� cX,(;���0� 6�V';O�W0 0� L����
�T(*UP8��� ]�0 ��¦�,�0� >�%5 �|X�§.S Y:�☺��� �V';B%��9
#⌧Uw�;s,5 �ajK
Artinya : Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik
dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan
makhluk yang Telah kami ciptakan
.
Sehingga penggunaan organ tubuh untuk pengobatan haram hukumnya. Urin
atau air seni manusia dalam Islam adalah cairan najis karena air seni membatalkan
wudhu.164
Dalilnya firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 90 :
�pyLF���� �N�OPQ�� ��z�'��0� ��☺�A�B XY☺,�;{��
|w�;U�☺;���0� 8}�x~A!"��0� 6,�;W!"��0� koY� Y:��� Kh�☺ �:,8;+<=��� %�(��dY���,�
�6�C����,� [�,��;s�5 ��jK
Artinta : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.
Oleh karena itu MUI memberi keputusan atau fatwa tentang keharaman
penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika hal itu
mengingat organ tubuh manusia adalah haram digunakan. Allah telah menurunkan
penyakit dan obatnya, dan menjadikan sebagian penyakit ada obatnya, karena itu kita
disuruh berusaha dengan berobat tetapi jangan dengan barang haram.165
164 Anton Afriyantono, Nurbowo, Panduan Belanja Dan Konsumsi Halal, Jakarta: Khairul
Bayan, 2003, hlm. 173 165 Ibid., hlm. 173
v
Dengan begitu organ tubuh manusia seperti ari-ari dan air seni tidak boleh
digunakan sekalipun untuk pengobatan. Walaupun ada yang mengatakan bahwa bisa
untuk mengobati tetapi belum ada bukti secara ilmiah pengaruhnya terhadap vitalis
kesehatan.166
Bagaimana dengan dalil terpaksa atau darurat? Bolehkah menggunakan
barang haram atau najis untuk pengobatan.
Imam Ghazali Abdul Qadir, seorang ulama anggota dewan hisbah PERSIS,
mengemukakan bahwa pengobatan dengan urin binatang di ijinkan. Sebab
menurutnya, urin hewan tidak najis.167
Berdasarkan hadits riwayat Bukhari, Anas
meriwayatkan :
O�ث� ح�0 د�� ز�Oل ح �ب �0�� ن �� ح��� أ�3ب �� أ�� �< I� �� أنM ح�Oث� I��O05 @38وا� I����م أن س "� 7�> أوO� ل � , ���e5"� ه� ا���S�� ��� ا� ���� و
3�ءا "� أ3� ا4� واا�� g5 4�ن3H�Uا3S1� �0�5اار�� اا������ ��� ا� وأن �P�H�� , ح� X5 ءا�]���5 أو�ل ا���4 رK3ا����8 �� و ا��hK�5 �5 اث ره� �0�5 إر.*\ , ���� و
�4� O�أ \UH5 �وأر@4�� و�0�ت أ�4��� وا�3Hا�5 ا�1��ة �3HJ8Jن ا���4 ر@� ء4�I�>� 3�ل أ �3ن HJ� >5 : 3453ا��� وح�3�اا� وآ*�واOK� إ�0 4��, و�3�8ا, )ء
��3� 168)رواC ا��] رى. (ور
Artinya : “Abu Qibalah meriwayatkan : Anas Ra berkata, beberapa suku ‘Ukl
atau Urainah datang ke Madinah, padahal iklimnya tidak cocok bagi mereka. Maka,
Nabi SAW menyuruh mereka pergi kepadang (ternak) unta agar meminum susu dan
air kencingnya (sebagai obat). Tetapi begitu mereka sehat kembali, mereka
membunuh pengembala (unta) Nabi SAW dan menghalau unta-untanya seluruhnya.
Beritanya sampai kepada Nabi SAW keesokan harinya. Nabi mengirim beberapa
orang untuk mengejarnya, mereka tertangkap dan dihadapkan kepada Nabi sore
hari, beliau menyuruh tangan dan kaki mereka di potong, dan mata mereka di tusuk
dengan besi panas. Lalu, dilemparkan ke al-harra’ dan ketika mereka minta minum,
166 Ibid., hlm. 173 167 Ibid., hlm. 174 168 Imam Abdullah Muhammad Ismail, Shohih Bukhori, JUZ I, Daar al-Kutub al-Ilmiah,
1993, hlm. 79
v
tak seorangpun memberinya.” Abu Qibalah berkata, “orang-orang tersebut mencuri,
membunuh, dan kafir sesudah beriman mereka memerangi Allah dan Rasul-Nya.”
(HR. Al-Bukhari)
Ulama madzab Syafi’i berkesimpulan dalam berobat dengan barang najis baru
diperbolehkan jika memang sama sekali tidak ada obat yang suci yang dapat
menyembuhkan penyakit tersebut. Itu pun dengan rekomendasi ahli pengobatan yang
mengetahui benar tidak ada alternatif lain.169
Menurut Yusuf Qardhawi berobat dengan benda haram atau najis boleh dalam
keadaan dharurat. Dengan syarat tidak ada obat lain selain benda itu, dalam keadaan
terdesak jika tidak berobat dengan itu dikhawatirkan akan menimbulkan
kebinasaan/kematian, digunakan seperlunya atau tidak berlebihan, dan dari saran
dokter ahli yang dapat dipercaya dan berakhlak mulia.170
Karena bisa mengancam jiwa, maka dalam keadaan darurat seseorang
diperbolehkan melakukan sesuatu yang dilarang dalam rangka menyelamatkan jiwa
dari kematian. Dapat disimpulkan bahwa bangkai, darah, air kencing, dan daging babi
(sesuatu yang diharamkan oleh syara’) adalah halal bagi seseorang yang khawatir
dirinya binasa akibat kelaparan, kehausan ataupun sakit. Melebihi dari itu hukumnya
haram.
Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa kebolehan untuk melakukuan sesuatu
yang diharamkan itu, semata-mata demi untuk menghilangkan dharar (bahaya) dan
menjaga jiwa pelakunya. Kebolehan ini didasarkan hadits Nabi SAW, yang
169 Anton Afriyantono, Nurbowo, Panduan Belanja Dan Konsumsi Halal., hlm.174
170 Yusuf Qaradlowi.,Halal Haram Fil Islam, terj. Mu’ammal hamidy”Halal dan Haram
Dalam Hukum Islam., hlm. 66
v
menyatakan bahwa tidak berbahaya dan tidak membahayakan. Yang kemudian
dirumurkan oleh para ahli hukum Islam menjadi kaidah: bahaya itu harus
dihilangkan. Dari kaidah ini kemudian dimunculkan dan disepakati oleh para ulama
kaidah: darurat dapat memperbolehkan hal-hal yang dilarang.
Dalam wacana ushul fiqh, kondisi demikian merupakan bagian dari
kemaslahatan yang bersifat daruriyah, yaitu suatu kemaslahatan primer dalam
kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat, jika tidak terwujud maka rusak
kehidupan dunia, dan kehidupan manusia akan terancam.171
Mewujudkan
kemaslahatan di dunia dan akhirat adalah tujuan syari’at yang sangat prinsipil. Dalam
ushul fiqh, kemaslahatan dharuriyat meliputi pemeliharaan terhadap agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Keselamatan jiwa adalah ukurannya. Inilah yang menjadi
sebab adanya keringanan atau penghapusan beban hukum selama keadaan darurat itu
belum hilang.
Batasan dharurat menurut al-Zuhaili adalah: keadaan darurat itu sudah ada
bukun ditunggu, terpaksa mengkonsumsi sesuatu yang dilarang karena tidak ada
alternatif yang lain, membatasi diri hanya untuk menghilangkan kemadharatan dan
dari rekomendasi dokter yang ahli.172
Dalam dunia fashion, ari-ari (plasenta) diyakini dapat berfungsi meregenerasi
sel-sel tubuh sehingga dapat mempertahankan kulit agar tetap sehat, segar, muda, dan
cantik. Juga mampu mengembalikan kemulusan kulit akibat luka atau penyakit kulit.
171 Wahbah Az-Zuhaili, Nazhariyah Al-Dharurat Al-Syar’iyah, terj. Said Agil Al-
Munawar”Konsep Darurat Dalam Islam., hlm. 51 172
Ibid., hlm. 73-74
v
Sebab, plasenta mengandung sel-sel muda yang sedang tumbuh dan berkembang.
Bersama air ketuban, ekstrak plasenta manusia menjadi favorit bahan kosmetik,
karena paling pas buat konsumen yang sesama manusia.173
Menurut peraturan menteri kesehatan RI tahun 1976, kosmetika adalah bahan
atau bahan campuran untuk digosokkan, diletakkan, dituangkan, dipercikkan, atau
disemprotkan, dipergunakan pada badan manusia dengan maksud membersihkan,
memelihara, menambah daya tarik dan mengubah rupa dan tidak termasuk golongan
obat.174
Sesuai ajaran Islam, yang perlu diperhatikan dalam kosmetika adalah halal
dan suci. Yayasan halalan thayyiban memberi petunjuk sejumlah titik habis haram
kosmetika. Pertama, sumber bahannya, bisa jadi hewan dan cara penyembelihan atau
bagian tubuh manusia. Kedua, penggunaan bahan penstabil simulasi. Beberapa
kosmetika merupakan salah satu campuran emulsi sehingga membutuhkan bahan
penstabil emulsi. Bahan penstabil emulsi tersebut halal sumbernya dan
pembuatannya.175
Plasenta ada hampir pada semua makhluk yang hamildan menyusui
(mamalia), termasuk manusia. Plasenta yang sering digunakan untuk kosmetika atau
untuk produk kesehatan berasal dari hewan (kambing, sapi dan lain-lain) atau dari
manusia.
173 Anton Afriyantono, Nurbowo, Panduan Belanja Dan Konsumsi Halal., hlm. 95-96
174 Ibid hlm. 96 175 Ibid., hlm. 96
v
Dewan hisbah persatuan Islam, dalam sidangnya pada 2 September 2000 di
sumedang jawa barat, mengharamkan penggunaan plasenta untuk kosmetika. Dewan
menyatakan membuat kosmetika dari organ tubuh manusia yang sudah mati haram.176
Pertimbangannya firman Allah SWT, surat al Isra’ ayat 70 yang artinya : Allah telah
memuliakan anak Adam.
B. Istînbâth Menetapkan Hukum
Telah menjadi kesepakatan jumhur ulama bahwa apabila terdapat suatu
kejadian yang memerlukan ketetapan hukum, pertama-tama hendaknya mencari dulu
dalam al-Qur an, kalau ketetapannya sesuai dengan yang ditunjuk oleh al-Qur an
maka ditetapkanlah menurut al-Qur an itu. Tetapi apabila ketetapan hukum itu tidak
diketemukan dalam al-Qur an, barulah meneliti sunnah. Jika sesuai, ditetapkanlah
menurut as-sunnah itu jika tidak nash as-sunnah yang menetapkan hukumnya maka
barulah beralih kepada tahap pemeriksaan utusan dari para mujtahid yang menjadi
ijma’ (kesepakatan bersama) dari masa ke masa tentang masalah yang sedang dicari
ketetapan hukumnya itu kalau ada ditetapkan maka berusaha sungguh-sungguh
dengan mengeluarkan semua kemampuan dan daya pikir untuk melakukan ijtihad
guna menetapkan dasar hukum peristiwa tersebut.177
Dasar keputusan fatwa tentang penggunaan organ tubuh ari-ari dan air seni
manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika adalah berdasarkan al-Qur an,
hadist, kaidah fiqh dan pendapat ulama. Sebagaimana yang penulis kemukakan pada
bab sebelumnya firman Allah:
176 Ibid, hlm. 97 177 Nasrun Rusli., Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevensinya Bagi Pembahasan Hukum Islam
di Indonesia, hlm. 80-81
v
�:�☺,� oX�8YI�� ��� }px~04;�⌧q 0|�X⌧G (��A���d� r];]v[¤ ¥ �[��,� PQ�� ⌦ �Rs⌧G �]+�&o �cK
Artinya : “...maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (al-
Maidah ayat: 3
Dalam ayat tersebut telah menentukan hukum atas perbuatan-perbuatan
keharaman memakan bangkai, darah, daging babi dan lain-lain. Namun, dibalik
ketegasan hukum itu dilanjutkan dengan ditekankan adanya keadaan darurat. Ini
merupakan salah satu prinsip kebijakan hukum dalam al-Qur an, kebijakan itu adalah
sesuatu yang semula hukumnya haram dapat berubah menjadi halal karena adanya
faktor darurat (terpaksa atau hal yang membahayakan manusia).
Menurut Ibnu Abbs “kebolehan atas perbuatan yang dilarang atau diharamkan
karena darurat”. Hal ini berlaku untuk semua orang yang beriman. Pendapat ini juga
didukung oleh Al-Jâshah sesuai dengan penafsiran yang diberikan Ibnu Abbas,
Hasan, dan Masruk. Mereka berpendapat bahwa maksud pada ayat tersebut adalah
“tidak berlebihan” dalam perbuatan yang dilarang atau diharamkan. Sebagian ulama
berpendapat bahwa kebolehan atas perbuatan yang telah diharamkan, dalam keadaan
darurat hanya terbatas pada perbuatan yang telah disebutkan secara khusus dalam
nash al-Quran.178
Tetapi dengan adanya kaidah :
ا�,��ورات .��/ ا�3210رات
Artinya : “Kondisi dharurat membolehkan hal-hal yang dilarang.”179
178 Said Agil Husein al-Munawar, Hukum Islam dan Pruralitas Sosial, Jakarta: Paramadina,
2004, hlm. 50
179 Jaih Mubarok., Kaidah Fikih Sejarah dan Kaidah Asasi., hlm. 149
v
Maka pada prinsipnya diperbolehkan atas perbuatan yang diharamkan karena
faktor dharurat tapi teori ini berlaku untuk semua perbuatan yang diharamkan.180
Adanya keadaan darurat menunjukkan bahwa al-Qur an memberikan
kebijakan dibalik kepastian hukum yang telah ditetapkan maksudnya adalah agar
kemaslahatan manusia dapat direalisasikan sejalan dengan batas kemampuan
manusia.181
Hal ini tidak dapat kita terapkan kapan saja atau dimana saja secara luas,
tetapi dilakukan dalam kondisi sangat terbatas, misalnya karena terpaksa. Unsur
terpaksa atau darurat menjadi sebab (illat) hukum dibolehkannya melakukan
perbuatan yang diharamkan oleh syara. Sebab, nyawa manusia hanya satu, maka ia
wajib diselamatkan.182
Ahli fiqh Hanafiyah berpendapat boleh berobat dengan barang yang haram
jika ia yakin bahwa padanya ada peyembuhan dan tidak ada obat lain yang dapat
menggantikannya. Kalau hanya dalam batas perkiraan, maka itu tidak boleh
sedangkan dokter tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) dalam arti kata, bahwa
pendapat satu dokter tidak melahirkan keterangan yang meyakinkan. Ada keringanan
untuk meminum khamar karena haus dan makan bangkai ketika lapar, apabila
180 Said Agil Husein al-Munawar., Hukum Islam dan Pruralitas Sosial., hlm. 87
181 Ibid., hlm. 50 182 Ibid., hlm. 88
v
diperkirakan pasti binasa jika tidak dimakan misalnya minum yang dapat
menghilangkan akal untuk menjalani operasi dan sebagainya.183
Menurut Al-‘Izz ibn Abd al-Salam berpendapat; boleh menggunakan benda-
benda najis untuk berobat, jika seseorang tidak mendapatkan yang suci yang dapat
menggantikannya, sebab kemaslahatan kesehatan dan keselamatan itu lebih sempurna
dari pada kemaslahatan menghindari benda najis.184
Ulama Syafi’iyah berpendapat boleh dipakai sebagai obat disaat tidak
didapatkannya obat lain yang suci, yang menggantikan posisinya, seperti berobat
dengan menggunakan air kencing. Demikian pula dibolehkan berobat dengan hal-hal
tersebut untuk mempercepat proses kesembuhan berdasarkan rekomendasi dari dokter
yang ahli atau ia mengetahui bahwa hal itu dapat dijadikan obat dengan syarat kadar
yang digunakan itu sedikit.185
Sebab kemaslahatan kesehatan, dan kesehatan itu lebih
sempurna dari pada kemaslahatan menghindari barang najis. Berdasarkan firman
Allah :
�:�☺,� oX�8YI�� 0|�X⌧G �;�g ./0� (U� �⌧,� 96;]�B �&;+%� > �[�B PQ�� ⌦ �Rs⌧G ]U�&o �IacK
Artinya : “...Barang siapa terpaksa dan tidak menginginkannya dengan tidak
berlebihan.” (QS. Al-Baqarah : 173)
Dengan ini jelas bahwa penggunaan barang-barang haram (organ tubuh, ari-
ari, dan air seni manusia) untuk berobat adalah boleh karena darurat. Pengecualian
183 Wahbah Az-Zuhaili,Nazhariyah Al-Dlalurah Al-Syar’iyah, terj Said Agil Al-
Munawar”Konsep Darurat Dalam hukum Islam., hlm. 89
184 Ibid., hlm. 90 185 Ibid, hlm. 90
v
dari ayat tersebut berkaitan dengan soal akidah karena pengecualian hanya bersifat
sementara. Semakin jelas bahwa dibalik ketegasan dan kepastian hukum dalam al-
Qur’an terkandung pula kebijaksanaan pemberian kelonggaran. Hal ini membuktikan
bahwa hukum Islam adalah hukum yang luas, luwes, dan dinamis karena tujuan
utamanya adalah mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia.
C. Analisis Penulis
Menurut penulis setelah melihat beberapa pendapat yang ada dan dasar
istinbâth yang digunakan MUI sebagai dasar penetapan fatwa penggunaan organ
tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika, penulis sependapat
dengan fatwa pengharaman penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-
obatan dan kosmetika baik dari segi landasan hukum maupun dari hasil keputusan
fatwa. Sesuai firman Allah :
YF,B,�0� �V';�oX⌧� �k�g ��U�0� �6�V'��0i⌧�0� ��� �*|��;��� cX,(;���0� 6�V';O�W0 0� L����
�T(*UP8��� ]�0 ��¦�,�0� >�%5 �|X�§.S Y:�☺��� �V';B%��9
#⌧Uw�;s,5 �ajK
Artinya : “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
angkut mareka di daratan dan di lautan, kami beri mereka dari yang baik-baik dan
kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk
yang kami ciptaka.”Al-Israa: 70
Dari nash di atas dapat dipahami bahwa keharaman organ tubuh, ari-ari, air
seni untuk obat atau kosmetika haram untuk dikonsumsi dan dipakai sebagai obat.
Dan untuk menyelamatkan jiwa seseorang diperbolehkan mengkonsumsi sesuatu
yang dilarang karena jiwa manusia hanya satu, kita diperintahkan menjaga sebaik-
v
baiknya dan tidak boleh menjatuhkan diri kedalam kebinasaan. Sesuai firman Allah
dalam surat al-Baqorah ayat 195:
./0� ���RB���5 �g�C��F����g �%m�B �p,C���y^☺��� t
Artinya: “...Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu bsendiri kedalam
kebinasaan...”
Menurut penulis dalam penetapan fatwa tentang penggunaan organ tubuh bagi
kepentingan obat-obatan dan kosmetika, penulis berpendapat haram berobat dengan
organ tubuh manusia karena manusia itu sangat dimuliakan akan tetapi kalau dalam
keadaan darurat diperbolehkan. Dengan syarat tidak ada obat lain selain organ tubuh
manusia, dalam keadaan terdesak jika tidak berobat dengan itu dikhawatirkan akan
menimbulkan kebinasaan/kematian, digunakan seperlunya atau tidak berlebihan, dan
dapat saran dari dokter ahli yang dapat dipercaya dan berakhlak mulia.
v
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia sangat dimuliakan dalam Islam sehingga diharamkan
memanfaatkan organ tubuh manusia. Dan karena air seni manusia termasuk benda
najis sehingga haram pula digunakan. Dalam Islam pengobatan juga dianjurkan
karena untuk memelihara jiwa dan termasuk tujuan syari’ah.
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Fatwa MUI mengenai penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan
obat-obatan dan kosmetika hukumnya haram kecuali dalam keadaan dharurat
syar’iyah. Keadaan dharurat disini adalah keadaan darurat itu benar-benar
telah terjadi dalam arti bahwa seseorang benar-benar dapat diduga akan
kehilangan nyawa. Sehingga mau tidak mau harus terpaksa atau dharurat
sebagai satu-satunya jalan karena tidak adanya alternatif lain untuk
pengobatan.
2. Dalam menetapkan fatwa, MUI menggunakan metode istinbath hukum qiyas
yaitu menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian
lain yang ada nashnya. Dengan berdasarkan pada al-Qur’an as-sunnah, kaidah
fiqh. MUI mempertimbangkan dimana kemaslahatan menjadi tujuan akhir
disyariatkannya hukum Islam. Dengan demikian kemaslahatan jiwa lebih
didahulukan karena termasuk salah satu dari lima tujuan tercapainya syar’iah
oleh karena itu MUI mengeluarkan fatwa tersebut.
v
3. Dharurat disini dibatasi sebatas menghilangkan kemadharatan (kebinasaan)
dan tidak boleh lebih dari itu.
B. Saran-Saran
Setelah membahas mengenai penggunaan organ tubuh, ari-ari dan air seni
manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika maka berkaitan dengan
skripsi ini disarankan sebagai berikut:
1. Sebagai umat Nabi akhiruzzaman hendaklah kita selalu bersabar dan
bertawakal karena setiap yang kita alami adalah peringatan dan ujian dari
Allah, supaya kita selalu ingat dan bersyukur akan nikmatnya.
2. Hendaklah kita senantiasa memperhatikan sesuatu yang kita gunakan baik
obat-obatan maupun kosmetika agar kita jangan sampai menggunakan obat-
obatan maupun kosmetika yang tidak halal dan tidak suci.
3. Pemerintah beserta MUI perlu secara intensif mensosialisasikan secara
komprehensif dan berkesinambungan tentang manfaat dan bahayanya
menggunakan obat-obatan dan kosmetika yang dilarang.
4. MUI sebagai pewaris ulama, lembaga yang berwenang dalam penentuan
seharusnya senantiasa tanggap terhadap persoalan-persoalan dunia Islam yang
memerlukan fatwa. Hal ini dikarenakan persoalan semakin kompleks dan jauh
berbeda pada masa lalu.
v
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van
Houven, 1997
Abdul Rosyad Shiddiq, Fiqih Darurat, Jakarta: Pustaka Azzm, 2001
Afriyantono, Anton, dan Nurbowo, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Jakarta:
Khairul Bayan, 2003
Al-Asyar, Thabieb, Bahaya Makanan Haram, Jakarta: Al Mawardi Prima, 2003
Al-Ghazali, al-Haram wal-Haram, terj. Ahmad Sunarto ”Halal dan Haram” Jakarta:
Pustaka Amani, 2004
Al-Munawir, Said Agil Husein, Hukum Isalam dan Pruralitas Sosial, Jakarta:
Paramadani, 2004
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Bina
Aksara, 1987
------.Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1998
Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani, Bandung: Remaja Rosdakaya, 2004
Az-Zuhaili, Wahbah, Nazhariyah Al-Dlarurat Al-Syar’iyah. Terj. Said agil Al-
Munawar “Konsep Darurat dalam Konsep islam”, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997
Daut, Iman Abu, Sunan Abu Daud, JUZ 2, Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1993
Departemen Agama. RI., Al-Qur’an dan terjemahnya, Semarang: Toha Putra. 1989
------.Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Hala Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta: RI., 2003
------.Profil Lembaga Sosial Keagamaan di Indonesia, Jakarta: Depag. RI., 2002
------.15 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta
------.Himpunan Fatwa MUI, Jakarta: Depag. RI., 2003
v
-------Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, Jakarta:
Sekretariat, 2005
Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teoari dan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1991
Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-Kaidah Hukum Ialam Ilmu Ushulul Fiqih, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Kartini Kartona, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju. 1991
Muhammad, R. Lukman Fauroni, Visi al-Quran tenatng Etika dan Bisnas, Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002
Qaradlawi, Yusuf, Halal Haram Fil Islam, terj. Mu’ammal Hamidy “ Halal dan
Haram Dalam Islam” Semarang: Bina Ilmu, 1993
Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevansinya Bagi Pembahasan Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1990
Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1999
Timpenyusun, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam 2, Jakarta: Icktiar Baru Van
Hoeve, 1994
Tim Penyusun, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam 1, Jakarta: Icktiar Baru Van
hoeve, 1997
http://www.halal.guide.info/content/view/6/10/38. Jum’at, 2 Maret 2007
http://www.halal.guide.info/content/view/891/38. Jum’at, 2 Maret 2007
http://www.halal.guide.info/content/view/892/38. jum’at, 2 Maret 2007
v