nlnknm m
-
Upload
erphie-zeloephiephimy-simizztwin -
Category
Documents
-
view
254 -
download
0
Transcript of nlnknm m
-
7/25/2019 nlnknm m
1/10
Vol. 13, No. 2, Juni 201474
KARAKTERISTIK POLA ASUH DAN PSIKOPATOLOGI
ORANG TUA PENYANDANG RETARDASI MENTAL RINGAN
DI SEKOLAH LUAR BIASA-C (SLBC) HARAPAN IBU
CHARACTERISTICS OF PARENTING AND PARENT PSYCHOPATHOLOGY
OF CHILD WITH MILD MENTAL RETARDATION
IN SCHOOL FOR DISABLED CHILDREN HARAPAN IBU
Maya Ariani1, Daniel Ardian Soeselo2, Surilena3
ARTIKEL PENELITIAN
1 Fakultas Kedokteran Unika Atma
Jaya, Jalan Pluit Raya No. 2, Jakarta
Utara 14440
2 Departemen Bedah, FakultasKedokteran Unika Atma Jaya, Jalan
Pluit Raya No. 2, Jakarta Utara
14440
3 Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa,Fakultas Kedokteran Unika Atma
Jaya, Jalan Pluit Raya No. 2, Jakarta
Utara 14440
Korespondensi:
Daniel Ardian Soeselo, Departemen
Bedah, Fakultas Kedokteran Unika
Atma Jaya. E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Introduction: Parents with mild mental retarded children will face many challenges
in raising them. Parents incapability in accepting the children suffering mild mental
retardation can inuence the parenting style and psychopathology (psychiatric
symptoms).
Objectives: To know the characteristics of parenting style and psychopathology
of parents with children with suffering mental retardation in Harapan Ibu School
for Disabled Children.
Methods: The study design is cross sectional on 28 families who have children with
mild mental retardation (6-18 years old), obtained in consecutive sampling. The
study was conducted in Harapan Ibu School for Disabled Children, from September
2013 to January 2014. Demographics, parenting style, and psychopathology were
assessed with questionnaire.
Results: From 56 parents whose children suffered mild mental retardation, 58.9%
was 41-50 years old, 69.6% attended high school as their last education, 39.3%
were private employees, 60.7% had income under 2.2 million Rupiah, 35.7% had
3 children, and 85.7% had 1 child with mild mental retardation. From 28 children
with mild mental retardation, 60.7% were boys, 50.0% were the eldest child, and
53.6% were 12-18 years old. Either father or mother apply authoritative parenting
(type A), respectively 46.4% and 64.3%, and showed negative psychopathology
(no psychiatric symptoms), specically 92.9% of fathers and 75.0% of mothers.
Parents with negative psychopathology dominantly apply non-exposure parenting
(expected parenting), as much as 44 persons (93.6%).
Conclusion: Parents who have children with mild mental retardation mostly apply
authoritative parenting and have negative psychopathology. Parents with negative
psychopathology generally apply parenting exposure.
Key Words:mild mental retardation, parenting, psychopathology
ABSTRAK
Latar Belakang: Orang tua yang memiliki anak dengan retardasi mental ringan akan
menghadapi berbagai tantangan dalam mengasuh anaknya. Ketidakmampuan
orang tua dalam menerima keadaan mental dan sik anak dengan retardasi mental
ringan dapat memengaruhi pola asuh dan psikopatologinya (gejala kejiwaan).
Tujuan: Mengetahui karakteristik pola asuh dan psikopatologi orang tua anak
Damianus Journal of Medicine;
Vol.13 No.2 Juni 2014: hlm. 74-83
-
7/25/2019 nlnknm m
2/10
Vol. 13, No. 2, Juni 2014 75
Karakteristik pola asuh dan psikopatologi orang tua penyandang retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa-C (SLBC) Harapan Ibu
penyandang retardasi ringan di Sekolah Luar Biasa C (SLB-C) Harapan Ibu.
Metode:Desain penelitian adalah cross sectional pada 28 keluarga yang
memiliki anak dengan retardasi mental ringan (6-18 tahun) yang didapatkan
secara consecutive sampling. Penelitian dilakukan di SLB-C Harapan Ibu, bulan
September 2013-Januari 2014. Data demogra, pola asuh, dan psikopatologi
dikumpulkan menggunakan kuesioner.
Hasil:Dari 56 orang tua dari anak retardasi mental ringan diketahui 58,9%
berusia 41-50 tahun, 69,6% berpendidikan terakhir SMA, 39,3% pekerja swasta,
60,7% pendapatan kurang dari Rp2.200.000,00, 35,7% memiliki 3 anak, serta
85,7% memiliki 1 anak dengan retardasi mental ringan. Dari 28 anak penyandang
retardasi mental diketahui adalah 60,7% laki-laki, 50,0% anak sulung, serta 53,6%
berusia 12-18 tahun. Baik ayah maupun ibu, menerapkan pola asuh demokratis
(tipe A), masing-masing 46,4% dan 64,3%, serta menunjukkan psikopatologi
negatif (tidak ada gejala kejiwaan), yaitu ayah (92,9%) dan ibu (75,0%). Orang
tua dengan psikopatologi negatif dominan menerapkan pola asuh non-exposure
(pola asuh yang diharapkan), yaitu 44 orang (93,6%).
Kesimpulan: Orang tua dengan anak penyandang retardasi mental ringan
sebagian besar menerapkan pola asuh demokratis dan psikopatologi negatif.
Orang tua dengan psikopatologi negatif umumnya menerapkan pola asuh yang
diharapkan.
Kata Kunci:pola asuh, psikopatologi, retardasi mental ringan
PENDAHULUAN
Retardasi mental adalah suatu keadaan perkem-bangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap
yang ditandai dengan adanya kendala kete-
rampilan anak selama masa pertumbuhan dan
perkembangan, sehingga dapat berpengaruh
pada tingkat kecerdasan anak secara menyelu-
ruh, meliputi kemampuan kognitif, bahasa, dan
sosial.1Rasio retardasi mental pada anak laki-
laki dan perempuan di dunia diketahui 1,2:1.2
Retardasi mental lebih banyak terjadi di negara
berkembang dibandingkan negara maju. Kondisi
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
lingkungan, nutrisi, kemiskinan, dan penyakit
penyerta.3,4Di Indonesia diketahui jumlah anak
berkebutuhan khusus (mengalami gangguan
sik, mental, sosial, dan emosional) menempati
populasi terbesar keempat di dunia.5Belum ada
data yang akurat dan spesik mengenai jumlah
anak berkebutuhan khusus usia 5-14 tahun, na-
mun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mem-
perkirakan paling sedikit 10% dari 42,8 juta jiwa,
sehingga kurang lebih 4,2 juta anak Indonesia
yang berkebutuhan khusus.5
Penyebab retardasi mental adalah faktor genetik
(Sindrom Down atau Sindrom Klinefelter), fak-
tor prenatal (paparan prenatal dengan infeksi,
toksin, antikonvulsan, atau alkohol), faktor peri-
natal (komplikasi kehamilan, penyakit pada ibu,
kelahiran prematur, berat badan lahir rendah,
asfiksia saat lahir), faktor postnatal (infeksi
otak, cedera otak, serta malnutrisi parah dan
jangka panjang, kerusakan otak saat periode
kritis perkembangan pra- atau pascakelahiran),
gangguan metabolisme dan gizi, kekurangan
yodium, paparan penyakit atau toksin (batuk
rejan, campak, paparan merkuri, timbal), serta
faktor perilaku atau sosial, seperti kemiskinan,
-
7/25/2019 nlnknm m
3/10
76 Vol. 13, No. 2, Juni 2014
DAMIANUSJournal of Medicine
malnutrisi, konsumsi obat-obatan ibu dan alko-
hol.6Selain itu, retardasi mental dikelompokkan
menjadi empat macam, yaitu: retardasi mental
ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Pada
anak-anak dengan retardasi mental ringan masih
dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung
sederhana, sehingga mereka dapat diberikan
edukasi dengan bimbingan khusus. Mereka
biasanya tidak mengalami gangguan sik dan
dapat mengurus diri secara mandiri, namun tidak
mampu melakukan penyesuaian sosial secara
independen.4,7Retardasi mental sering dijumpai
komorbid dengan penyakit psikiatri lain, seperti
attention decit hyperactivity disorder/ADHD (8-
15% anak-anak, 17-52% orang dewasa), skizo-
frenia (3% penyandang retardasi mental), gang-
guan bipolar, gangguan kecemasan, depresi,
gangguan obsesif-kompulsif, dan lain-lain.2
Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan
orang tua untuk beradaptasi dengan lingkungan,
mengenal dunia sekitarnya, dan pola pergaulan
hidup di lingkungan.1Anak dengan retardasi
mental memerlukan dukungan keluarga, teru-
tama pola asuh orang tua yang akan sangat
memengaruhi perilaku, pembentukan kepriba-
dian dewasa, dan harga diri (self-esteem) anak
di kemudian hari. Terdapat empat macam polaasuh orang tua, yaitu:8
a. Tipe A atau Authoritative (demokratis).
Pola asuh yang menganjurkan orang tua
memberikan kebebasan kepada anak untuk
memilih dan melakukan suatu tindakan de-
ngan batas dan tanggung jawab yang jelas,
sehingga dapat membantu mereka untuk
mengaktualisasikan diri sebagai makhluk
sosial yang dapat bekerja dan bermasyara-
kat dengan baik.8,9
b. Tipe B atauAuthoritarian (otoriter). Pola asuh
yang mana orang tua cenderung memberi-
kan perintah, tidak memberi kesempatan
anak untuk bertanya, dan tidak memberi
penjelasan mengenai tugas yang diberikan
kepada anak.
c. Tipe C atau Permissive (permisif). Pola
asuh yang sangat longgar dan terlalu bebas,
orang tua tidak mengharuskan anaknya
untuk mematuhi aturan-aturan sosial, serta
memberi kebebasan penuh kepada anakuntuk memilih kegiatan dan mengambil
keputusan tanpa kontrol dari orang tua.
d. Tipe D, pola asuh yang tidak konsisten dan
campuran. Pola asuh ini terbagi menjadi dua,
yaitu pola asuh neglectful dan indulgent.
Pola asuh neglectful, yang mana orang tua
sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.
Pola asuh indulgent, yang mana orang tua
sangat terlibat dalam kehidupan anak, na-
mun hanya memberikan kontrol dan tuntutan
yang sangat minim. Pada tipe ini anak cen-
derung kurang memiliki kompetensi sosial
dan kontrol diri.8,9
Adapun keempat pola asuh di atas dibagi men-
jadi dua kategori, yaitu pola asuh yang diharap-
kan (non-exposure) umumnya menerapkan pola
asuh tipe A (demokratis); sedangkan pola asuh
yang tidak diharapkan (exposure) cenderung
menerapkan pola asuh tipe B (otoriter), tipe C
(permisif), dan tipe D (campuran).9
Tekanan sik dan mental yang dialami orang tua
ketika merawat anaknya yang menderita retar-
dasi mental ringan dapat menyebabkan mereka
-
7/25/2019 nlnknm m
4/10
Vol. 13, No. 2, Juni 2014 77
Karakteristik pola asuh dan psikopatologi orang tua penyandang retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa-C (SLBC) Harapan Ibu
menutup diri dari pekerjaan dan keseharian-
nya.10,11Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui pola asuh serta psikopatologi
(gejala kejiwaan) orang tua dalam mengasuh
anaknya yang menderita retardasi mental ringan.
METODE
Desain penelitian menggunakan studi cross
sectionalbersifat deskriptif. Penelitian dilakukan
bulan September 2013-Januari 2014 di SLB-C
Harapan Ibu, Jakarta Barat. Cara pengambilan
sampel secara consecutive sampling, yaitu sub-
jek yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan
dalam penelitian. Kriteria inklusi: orang tua kan-
dung (ayah dan ibu) dari anak yang menderita
retardasi mental ringan, dapat membaca dan
menulis, memiliki anak dengan retardasi ringan
berusia 6-18 tahun yang bersekolah di SLB-C
Harapan Ibu, serta bersedia berpartisipasi dalam
penelitian (mengisi informed consent). Kriteria
eksklusi: tidak bersedia berpartisipasi dalam
penelitian dan menderita gangguan jiwa berat.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Demogra Orang Tua Penyandang Retardasi Mental Ringan
Karakteristik Demograf n (N=56) %
Usia
30-40 tahun 15 26,8
41-50 tahun 33 58,9
51-60 tahun 8 14,3
Pendidikan terakhir
SD 4 7,1
SMP 9 16,1
SMA 39 69,6
D3/S1 3 5,4
S2 1 1,8
Pekerjaan
PNS 3 5,4
Swasta 22 39,3
Wiraswasta 6 10,7
Tidak bekerja/Ibu Rumah Tangga 20 35,7
Lain-lain (buruh/ojek) 5 8,9Status ekonomi keluarga
< Rp2.200.000,00 34 60,7
Rp2.200.000,00 22 39,3
Jumlah anak dalam keluarga
1 14 25,0
2 16 28,6
3 20 35,7
4 4 7,1
5 2 3,6
Jumlah anak dengan retardasi mental dalam keluarga1 48 85,7
2 8 14,3
-
7/25/2019 nlnknm m
5/10
78 Vol. 13, No. 2, Juni 2014
DAMIANUSJournal of Medicine
Tabel 4. Hubungan Pola Asuh dengan Psikopatologi
pada Orang Tua Penyandang Retardasi Mental Ringan
Variabel Pola Asuh Nilai p IK 95% Exposure Non-Exposure
Psikopatologi Positif 1 8 1,00 0,17 19,91
(11,1%) (88,9%)
Negatif 3 44 (6,4%) (93,6%)
Total 4 52
(7,1%) (92,9%)
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Ciri Pola Asuh dan Psikopatologi
Orang Tua Penyandang Retardasi Mental Ringan
Variabel Ayah (N=28) Ibu (N=28)
n % n %
Pola Asuh
A 13 46,5 18 64,3
B 11 39,3 8 28,5
C 2 7,1 1 3,6
D 2 7,1 1 3,6
Psikopatologi orang tua
Positif 2 7,1 7 25,0
Negatif 26 92,9 21 75,0
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Demogra Anak dengan Retardasi Mental Ringan
Karakteristik Demograf
(N=28)
%
Jenis Kelamin
Laki-laki 17 60,7Perempuan 11 39,3
Urutan anak
Sulung 14 50,0
Tengah 7 25,0
Bungsu 7 25,0
Usia
6-12 tahun 13 46,4
12-18 tahun 15 53,6
n
-
7/25/2019 nlnknm m
6/10
Vol. 13, No. 2, Juni 2014 79
Karakteristik pola asuh dan psikopatologi orang tua penyandang retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa-C (SLBC) Harapan Ibu
Seluruh data dikumpulkan menggunakan kue-
sioner. Pola asuh orang tua dibagi menjadi 2, yai-
tu: 1) pola asuh yang diharapkan (tipe A) dengan
skor < 52, dan 2) pola asuh yang tidak diharap-
kan (cenderung menerapkan pola asuh tipe B,
C, D) dengan skor 52. Penilaian psikopatologi
dilakukan untuk menilai kesehatan mental orang
tua yang dikumpulkan menggunakan kuesioner
SRQ-20 yang mana penilaian dibagi menjadi
dua, yaitu 1) psikopatologi positif (menunjukkan
adanya gejala kejiwaan) dengan skor 6, dan 2)
psikopatologi negatif (tidak menunjukkan gejala
kejiwaan) dengan skor
-
7/25/2019 nlnknm m
7/10
80 Vol. 13, No. 2, Juni 2014
DAMIANUSJournal of Medicine
hadap anaknya. Penelitian yang dilakukan Ling
menyebutkan orang tua dengan latar pendidikan
sekolah dasar dan menengah pertama tidak
dapat merawat anaknya sebaik orang tua de-
ngan latar pendidikan yang lebih tinggi.13Orang
tua dengan latar pendidikan tinggi umumnya
mengetahui tahap penerapan pola asuh yang
sesuai dengan tahap perkembangan anaknya,
sedangkan orang tua dengan latar pendidikan
rendah cenderung memiliki pengetahuan yang
terbatas tentang kebutuhan perkembangan
anak, kurang menunjukkan pengertian, dan
mendominasi anak.14
Sebagian besar orang tua pada penelitian ini
bekerja sebagai pekerja swasta dan tidak beker-
ja/ibu rumah tangga. Selain itu, diketahui orang
tua, khususnya ibu, tidak menunjukkan adanya
beban pekerjaan. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar dari mereka bekerja sebagai ibu
rumah tangga, sehingga memiliki cukup waktu
dalam memberi perawatan dan pengasuhan.15
Tingkat penghasilan rendah dapat memenga-
ruhi fungsi keluarga. Beban psikososial yang
dirasakan keluarga yang memiliki anak dengan
retardasi mental berkaitan pula dengan keti-
dakmampuan keluarga untuk memenuhi fungsi
ekonomi karena keluarga dipenuhi rasa cemas
dan khawatir tentang masa depan, biaya hidup,
dan pengobatan anaknya.16
Orang tua yang memiliki satu anak dengan retar-
dasi mental menunjukkan dampak penyesuaian
atau coping stressyang baik. Hal ini dikarena-
kan pengasuhan anak dengan retardasi mental
tersebut dibantu oleh kakak atau adik kandung-
nya, sehingga mengurangi beban psikologis
dan emosional orang tuanya.17Penelitian lain
menemukan bahwa anak yang memiliki saudara
kandung retardasi mental mampu mengekspre-
sikan perasaan positif terhadap saudaranya,
seperti membimbing, mengasuh dengan sabar,
pengertian, tanggung jawab, serta bersikap lebih
dewasa.18 Namun, hubungan tersebut dapat
menjadi negatif karena anak dengan retardasi
mental memiliki perasaan takut, marah, pe-
rasaan bersalah, malu, dan cemas, sedangkan
saudara yang normal perkembangannya merasa
takut akan memiliki masalah perilaku, emosi, dan
mental yang sama dengan saudaranya yang
menderita retardasi mental.19
Hasil penelitian ini didapatkan anak dengan re-
tardasi mental ringan lebih banyak dijumpai pada
anak laki-laki dibandingkan perempuan, yang
mana perbandingan tersebut tidak jauh berbeda
dengan perbandingan di dunia, yaitu 1,2:1.2Hal
ini disebabkan karena anak laki-laki lebih sering
teridentikasi masalah perilaku dan emosinya
di sekolah, serta terlihat jelas perkembangan
neurologisnya seiring bertambahnya usia anak.19
Pola asuh yang paling banyak diterapkan
orang tua penyandang retardasi mental ringan
adalah pola demokratis. Anak yang dididik
dengan pola asuh demokratis umumnya
cenderung menunjukkan agresivitas (marah
dan kebencian) yang bersifat sementara
dalam tindakan konstruktif.9 Pola asuh tipe ini
lebih kondusif dalam mendidik karakter anak,
khususnya anak dengan retardasi mental
ringan, karena orang tua bersikap rasional,
selalu mendasari tindakannya pada rasio/pemikiran, memprioritaskan kepentingan anak,
namun tidak ragu-ragu mengendalikan anaknya
-
7/25/2019 nlnknm m
8/10
Vol. 13, No. 2, Juni 2014 81
Karakteristik pola asuh dan psikopatologi orang tua penyandang retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa-C (SLBC) Harapan Ibu
(bebas bersyarat, tanggung jawab). Orang tua
juga bersikap realistis terhadap kemampuan
anak, yaitu tidak berharap berlebihan yang
melampaui kemampuan anak dan memberikan
kebebasan kepada anak dengan perhatian.
Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik
anak yang mandiri, mampu mengontrol diri,
mempunyai hubungan baik dengan teman,
mampu menghadapi stres, mempunyai minat
terhadap hal-hal baru dan bersikap kooperatif
terhadap orang lain.8
Umumnya keluarga yang memiliki anak denganretardasi mental mengalami banyak tantangan,
membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk
mengasuh anaknya, terisolasi secara sosial,
besarnya beban nansial, dan kurang dukungan
sosial. Kondisi tersebut dapat berisiko terjadi
psikopatologi (gejala kejiwaan) pada orang
tua.20,21 Wawancara lebih lanjut dengan orang
tua diketahui orang tua penyandang retardasi
mental harus menghadapi stigma dan diskrimi-
nasi lingkungan, khawatir dengan masa depan
anak, serta hal-hal yang perlu dilakukan orang
tua. Orang tua yang mempunyai anak dengan
retardasi mental memiliki rerata skala depresi
dan cemas yang lebih tinggi, parenting stress
yang lebih tinggi, dan perasaan yang tidak
adekuat mengenai pola asuh.18Penelitian lain
menyebutkan pada ibu dengan psikopatologi
positif dari anak penyandang retardasi mental se-
dang hingga berat usia 6-18 tahun menunjukkan
sebanyak 22% mengalami gangguan emosi dan
kecemasan, 17% mengalami Conduct Disorder,
11% mengalami Attention Decit HyperactivityDisorder(ADHD), dan 8% mengalami Pervasive
Development Disorder(PDD).22
Wawancara pada orang tua penyandang
retardasi mental ringan dengan psikopatologi
(gejala kejiwaan) positif didapatkan adanya
rasa khawatir yang berlebihan tentang masa
depan anaknya; dan bagaimana nanti jika
anaknya tumbuh menjadi dewasa, namun
tidak mampu memenuhi segala kebutuhan
dasarnya dan tidak mandiri. Anak yang orang
tuanya psikopatologi positif merupakan faktor
kontribusi yang bermakna dalam pola asuh
orang tua yang tidak diharapkan (exposure)
dan timbulnya masalah kesehatan jiwa pada
anak usia 6-12 tahun.9 Pola asuh orang tua
tidak saja memengaruhi psikopatologi orang tua,
tetapi juga anaknya. Anak yang memiliki orang
tua dengan psikopatologi positif menunjukkan
gangguan perilaku, fungsional kognitif yang
buruk, mudah marah, insecure attachment, dan
mengalami depresi yang dapat berlanjut hingga
dewasa.23
Sebagian besar responden kurang kooperatif
saat dilakukan penelitian, sehingga data tentang
permasalahan dalam pola pengasuhan anak
dengan retardasi mental ringan kurang ter-
eksplorasi. Selain itu, kuesioner yang digunakan
untuk menilai psikopatologi kurang menggam-
barkan jenis psikopatologi orang tua penyandang
retardasi mental ringan.
KESIMPULAN
Pola asuh yang diterapkan sebagian besar
orang tua penyandang retardasi mental ringan
adalah pola asuh non-exposure dengan ciri
dominan adalah tipe A (demokratis). Sebagian
-
7/25/2019 nlnknm m
9/10
82 Vol. 13, No. 2, Juni 2014
DAMIANUSJournal of Medicine
besar orang tua tidak menunjukkan gejala keji-
waan (psikopatologi negatif). Orang tua dengan
psikopatologi negatif dominan menerapkan pola
asuh non-exposure(pola asuh yang diharapkan).
DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan
PPDGJ-III. Jakarta: FK Atmajaya; 2002.
2. Zeldin AS, Bazzano ATF. Intellectual dis-
ability. Medscape [Internet]. 2014 [updated
2014 Feb 3, cited 2014 Sept 17]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/
article/1180709-overview#aw2aab6b2b4aa.
3. Fujiura GT, Park HJ, Rutkowsk-Kmitta V.
Disability statistics in the developing world:
A reection on the meaning of our numbers.
J Appl Res Intellect Disability. 2005; 18:
295-304.
4. David M, Dieterich K, Billette de Villemeur
A, Jouk PS, Counillon J, Larroque B, et al.
Prevalence and characteristics of chil-
dren with mild intellectual disability in a
French county. J Intellect Disabil Res.
2014;58(7):591-602.
5. Harnowo PA. Jumlah anak berkebutuhan
khusus di Indonesia diperkirakan 4,2 juta.
Detikhealth [Internet]. 2013 Jul 17 [cited
2014 Sep 23]. Available from: http://health.
detik.com/read/2013/07/17/184234/230616
1/1301/jumlah-anak-berkebutuhan-khusus-
di-indonesia-diperkirakan-42-juta.
6. Armatas V. Mental retardation: denitions,etiology, epidemiology diagnosis. J Sport
Health Res. 2009;1(2):112-22.
7. Grossman HJ. A manual on terminology and
classication in mental retardation. 3rd ed.
Washington DC: American Association on
Mental Deciency; 1983.
8. Baumrind D. Patterns of parental authority
and adolescent autonomy. New Dir Child
Adolesc Dev; 2005;(108) 61-9.
9. Surilena. Pola pengasuhan ODHA penasun
pada anak usia 6-12 tahun yang terdampak
HIV/AIDS. Psychiatry, PhD [dissertation].
Jakarta: Universitas Indonesia; 2011.
10. Brown MA, McIntyre LL, Crnic KA, Baker
BL, Blacher J. Preschool children with and
without developmental delay: Risk, parent-
ing, and child demandingness. J Ment Health
Res Intellect Disabil; 2011: 4: 206-26.
11. Dogar IA, Azeem MW, Shah S, Cheema MA,
Asmat A. Anxiety and depression among
parents of children with mental retardation.
European Psychiatry. 2013;28(1):1.
12. Rout D. Penerimaan orang tua yang me-
miliki anak retardasi mental ditinjau ber-
dasarkan anak kandung dan anak angkat.
Bachelor [thesis]. Yogyakarta: Universitas
Ahmad Dahlan; 2009.
13. Fan L. Self-care behaviors of school-aged
children with heart disease. Pediatr Nurs;
2008: 34(2): 131-8.
14. Hetherington EM, Parke RD. Child psychol-
ogy: A contemporary viewpoint. 4th ed. New
York: McGraw-Hill Inc; 1993.
15. Serr J, Mandleco B. Linkages between de-pression and caregiver burden in parents
raising children with disabilities. 18th sigma
-
7/25/2019 nlnknm m
10/10
Vol. 13, No. 2, Juni 2014 83
Karakteristik pola asuh dan psikopatologi orang tua penyandang retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa-C (SLBC) Harapan Ibu
Theta Tau International Nursing Research
Congress Focusing on Evidence-Based
Practice; Vienna, Austria; 2007: 6.
16. Sethi S, Bhargava SC, Dhiman V. Study of
level of stress and burden in the caregivers
of children with mental retardation. Eastern
Journal of Medicine; 2007: 12: 21-4.
17. Khodarahimi S, Ogletree SL. Birth order,
family size, and positive psychological con-
structs: What roles do they play for Iranian
adolescents and young adults. The Journal
of Individual Psychology; 2011: 67(1):41.
18. Schaefer E, Edgerton M. The sibling inven-
tory of behaviour. Unpublished Manuscript.
Chapel Hill: University of North California;
1981.
19. Hitchcock JE, Schubert PE, Thomas SA.
Community health nursing caring in action.
New York: Delmar; 1999: 583-606
20. McConkey R, Truesdale-Kennedy M, Chang
MY, Jarrah S, Shukri R. The impact on moth-
ers of bringing up a child with intellectual
disabilities: Across-cultural study. Int J Nurs
Stud; 2008; 45(1): 65-74.
21. Baxter C. Investigating stigma as stress in
social interactions of parents. Journal of
Intellectual Research;2008: 1365-88.
22. Dekker MC, Koot HM. DSM-IV disorders in
children with borderline to moderate intel-
lectual disability: Prevalence and impact. J
Am Acad Child Adolesc Psychiatry; 2003:
42(8): 915-22.
23. Whitely J. A model of general self-concept
for student with learning disabilities: Does
class placement play a role? Dev Disabil
Bull; 2008: 36: 106-34.