NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI
Transcript of NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI
NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI
(UPAYA MENCARI PEMAHAMAN KOMPREHENSIF BERBASIS MAQASHID
SYARIAH)1
Oleh :
Muhammad Fauzinudin Faiz2
A. Pendahuluan
Bagi komunitas muslim Indonesia dan masyarakat Indonesia pada umumnya, nikah
sirri merupakan istilah yang sudah lazim di pergunakan dalam bahasa komunikasi sehari-
hari. Fenomena nikah sirri, di era teknologi informasi ini, semakin muncul ke permukaan
dan menjadi issue nasional yang cukup menyita perhatian masyarakat hukum di Indonesia
sejalan dengan terbukanya akses informasi dan maraknya pemberitaan mengenai pelaku
nikah sirri, terutama yang dilakukan oleh beberapa public fugure di negeri ini yang notabene
seharusnya menjadi contoh masyarakat bawah dalam menegakkan keberlakuan undang-
undang perkawinan Indonesia.
Dalam Islam perkawinan disebut pernikahan. Pernikahan bagi umat Islam merupakan
ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri
berdasar akad nikah dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang
bahagia sesuai hukum Islam. Dalam Islam, pernikahan dispesialisasikan sebagai sebuah
bentuk ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena demikian pentingnya perkawinan atau
pernikahan, maka ia harus dilakukan menurut ketentuan hukum Islam dan oleh karena itu
keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku agar perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Adapun dalam pelaksanaan perkawinan, menjadi permasalahan yang krusial untuk
memperhatikan keabsahan perkawinan secara hukum.3 Akad nikah adalah semacam
1 Makalah ini dipresentasikan pada diskusi periodik oleh Lembaga Penjaminan Mutu IAIN Jember 2 Penulis adalah Dosen Usul Fikih & Filsafat Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
IAIN Jember.
3 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali, (Jakarta: PT. Hida karya Agung 1991), hlm 1.
1
perjanjian perikatan antara pihak-pihak yang melakukan pernikahan. Terdapat kemungkinan
ditemukan pihak-pihak yang ingkar dan meragukan keabsahan atau merasa dirugikan
dengan adanya akad tersebut. Kehadiran saksi dapat dijadikan sebagai alat bukti yang dapat
menghilangkan keragu-raguan oleh berbagai pihak. Selain itu, saksi juga dapat
berkedudukan sebagai sarana pengakuan dan penjaminan baik dari pihak yang melakukan
perkawinan maupun hak masyarakat untuk terjamin dari perbuatan fitnah.4
Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan
hukum antara suami istri. Dengan adanya perkawinan timbul suatu ikatan yang berisi hak
dan kewajiban. Sebagaiman lahirnya hak kekeluargaan, hak pemenuhan nafkah, perwalian,
waris dan pemeliharaan anak.5
Fenomena yang telah terjadi saat ini adalah banyaknya pasangan yang
melangsungkan pernikahan di bawah tangan, baik yang dilakukan secara agama dalam arti
telah memenuhi syarat dan rukunnya maupun yang belum memenuhi rukun tanpa
sepengetahuan PPN yang berwenang dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)
dengan berbagai macam alasan antara lain disebabkan oleh faktor ekonomi, keagamaan,
birokratis, tradisi dan kasuistis.6 Pernikahan tersebut dapat didefinisikan pula dengan nikah
sirri yaitu nikah yang dilakukan secara sembunyi dan di luar ketentuan hukum Islam versi
KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya, sehingga tidak dapat
dibuktikan dengan akta otentik yang disebut akta nikah.
Nikah sirri dalam pandangan masyarakat adalah perkawinan yang dilakukan dengan
mengkuti syarat dan rukun seperti yang disyariatkan Islam, namun tanpa sepengetahuan
Pejabat Pencatat Pernikahan (PPN) yang ada dalam wilayah dan tempat terjadinya peristiwa
perkawinan tersebut dilaksanakan. Sehingga, fokus dari pernikahan sirri adalah pernikahan
yang telah sah menurut aturan agama namun belum dicatatkannya pernikahan yang
dilangsungkan di KUA. Adanya realitas yang ada menimbulkan stigma dalam masyarakat
bahwa terdapat dualisme keabsahan pernikahan yaitu sah secara agama dan sah secara
administrasi negara.
4 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum
Perkawinan Di Dunia Muslim, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009, hlm, 366. 5 Muhammad Fauzinudin Faiz, Dekonstruksi Fiqh Talak: Konsep dan Pembacaan Ulang Dalam
Studi Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2019), hlm 21-22. 6 A. Ghofur Anshori, “Praktik Perkawinan di Bawah Tangan dan Peluang Legalisasinya di Daerah
Istimewa Yogyakarta”, Yogyakarta: Penelitian Fakultas Hukum UGM dengan DEPAG, 2003), hlm 78.
2
Selain itu, sebagaimana disampaikan oleh Gubenrnur Jawa Timur -- Khofifah Indar
Parawansa -- dalam workshop Pentingnya Pencatatan Perkawinan bahwa nikah siri menjadi
hulu penyumbang terbesar terhadap tingginya kasus KDRT dan kasus-kasus lainnya,
menjadikan perempuan dan anak menjadi korbannya. Selain itu, nikah siri, juga cenderung
menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang lebih dirugikan, seperti membuat
perempun adan anak-anak tidak mendapatkan perlindungan administratif dari pemerintah.7
Berdasarkan realitas inilah, pentingnya kajian ulang tentang nikah sirri dalam
pandangan hukum Islam dengan menggunakan maqashid syariah. Hal ini diharapkan
mampu memberikan wacana baru tentang hukum pernikahan yang logis dan dapat
diberlakukan sesuai dengan perkembangan waktu dan keadaan.
B. Realitas Nikah Sirri Masa Kini
Kata nikah sirri adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara umum telah
dipahami dan digunakan dalam bahasa Indonesia. Kata sirri dalam bahasa Arab berarti
rahasia. Menurut Faridl pengertian nikah sirri adalah nikah yang dilakukan hanya sesuai
dengan ketentuan agama, tidak dilakukan pengawasan dan pencatatan oleh KUA. Dalam
definisi lain, nikah sirri juga diartikan sebegai pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan agama dan dilakukan pencatatan oleh KUA, tetapi tidak dipublikasikan dalam
bentuk walimah.8 Kata nikah sirri secara terminologis diartikan dalam beberapa definisi,
diantaranya:
Zuhdi Muhdlor mendefinisikan nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan di
luar pengetahuan Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau Kantor Urusan Agama (KUA)
sehingga sepasang suami istri yang menikah sirri tidak memiliki akta nikah yang sah,
biasanya suami istri tersebut dinikahkan oleh para ulama atau kyai yang dipandang mengerti
dan memahami hukum Islam.9
Adapun masyarakat Indonesia mempunyai pandangan yang berbeda tentang definisi
nikah sirri. Pertama, Nikah sirri diartikan sebagai pernikahan yang dilangsungkan sesuai
7 http://news.okezone.com/read/2015/12/07/337/1262448/mensos-nikah-siri-penyumbang-
terbesar-kasus-kdrt (diakses 13 Desember 2015). 8 Effi Setiawati, Nikah Sirri Tersesat Di Jalan Yang Benar?, (Bandung : Kepustakaan Eja Insabni,
2005), hlm 5. 9 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk Menurut Hukum
Islam UU No 1/1974, Bandung : Al Bayan, 1994, hlm 22.
3
dengan syariat Islam tetapi masih bersifat intern keluarga dan belum kepada petugas nikah.
Kedua, Nikah sirri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi syariat Islam dan telah
mendapatkan surat nikah resmi dari KUA akan tetapi pernikahan tersebut belum
diinformasikan kepada masyarakat sekitar. Ketiga, Nikah sirri diartikan sebagai pernikahan
yang dilangsungkan menurut kententuan syariat Islam saja karena terbentur dengan
peraturan pemerintah tentang ijin perkawinan bagi PNS.10
Secara normative, terdapat masyarakat yang menilai bahwa praktik nikah sirri adalah
sah dan dapat memberikah hikmah yang positif. Akan tetapi sebaliknya terdapat pula yang
menilai ketidakabsahan perkawinan dan dapat menimbulkan implikasi yang negative
terhadap pasangan dan pihak-pihak yang berkaitan. Masing-masing kasus nikah sirri
mempunyai beberapa corak dan motif tersendiri. Hal ini memunculkan persepsi yang
berbeda pula. Di antaranya pratek nikah sirri yang dilakukan dengan adanya unsur
kesengajaan dalam merahasiakan pernikahan dari kesaksian masyarakat, namun ada pula
yang dalam pelaksanaanya nikah sirri menjadi suatu model pernikahan yang dianggap
‘biasa’ oleh masyarakat sekitar.
Pada realitas yang ada, telah banyak terjadi perkawinan tanpa akta nikah karena akad
nikah hanya dilakukan oleh kiai atau modin pejabat desa yang menangani masalah agama,
sehingga dapat dikatakan perkawinan mereka hanya sah secara hukum agama. Fenomena
saat ini, pelaksanaan nikah sirri tidak hanya terbatas tentang tidak tercatatnya pernikahan,
namun juga tentang kerahasiaan dan tidak diketahuinya pernikahan tersebut oleh
masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa pernikahan sirri adalah alternatif pernikahan
yang dilakukan untuk menghindari ketentuan hukum perkawinan negara sebagaimana diatur
dalam UUP dan KHI serta aturan lainnya.11
Nikah sirri yang demikian rupanya banyak menimbulkan masalah bagi perempuan
yang menjalaninya. Berbagai masalah yang muncul akibat nikah sirri diantaranya adalah
poligami yang dilakukan dengan nikah sirri untuk menghindari perizinan di pengadilan
agama, kelalaian dalam pemberian nafkah, penyangkalan status anak dari hasil perkawinan
yang dilakukan secara sirri serta penyelesaian harta bersama yang absurd saat terjadi
perceraian. Menurut Konvensi Wanita, kasus yang muncul akibat nikah sirri dapat
10 Kustriyanto, Nikah Sirri di Kalangan Artis, skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Uin Sunan
Kalijaga, 2007). 11 Effi Setiawati, Nikah Sirri Tersesat Di Jalan Yang Benar?, hlm 5.
4
dikategorikan sebagai tindak kekerasan dalam perempuan. Secara psikologis, perempuan
menderita terutama jika tidak diakuinya anak hasil pernikahannya dengan suami sirri. Dalam
hal ekonomi, perempuan akan dirugikan terutama dalam hak mendapatkan nafkah dan waris
untuk anaknya karena secara tertib administratif untuk mendapatkan nafkah dan waris harus
ada bukti tertulis.12
Mustofa mengemukakan bahwa masih banyaknya masyarakat yang menjalankan
nikah sirri disebabkan dua faktor. Pertama, faktor di luar kemampuan pelaku, seperti untuk
menjaga hubungan laki-laki dan perempuan agar terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh
agama; tidak ada izin dari wali; alasan poligami dan tidak ada izin dari istri pertama serta
kekhawatiran tidak mendapatkan pensiun janda. Alasan kedua, pandangan bahwa pencatatan
pernikahan bukanlah perintah agama.13 Hal serupa dikemukakan oleh Irfa’i bahwa nikah
sirri dilakukan untuk menjaga laki-laki dan perempuan agar terindar dari perbuatan yang
dilarang agama. Selain itu juga adanya sebagian masyarakat yang berpandangan bahwa
pernikahan adalah walimah, sehingga apabila walimah belaum dilaksanakan karena belum
tersedianya dana maka dilakukanlah pernikahan sirri.14
Dari sekian alasan yang muncul dalam berbagai penelitian, dapat disimpulkan bahwa
adanya stigma dalam masyarakat bahwa pencatatan pernikahan bukanlah hal yang harus
dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena adanya benturan budaya, rekayasan masyarakat
dalam mencari celah hukum yang berlaku di Indonesia juga dualisme hukum dalam
masyarakat yang sebagian meyakini pencatatan perkawinan dilakukan sepaket dengan akad
nikah atau dapat ditunda sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat dengan alasan
administratif.
C. Dasar Hukum Legalitas Perkawinan
1. Landasan Teologis Legalitas Perkawinan
Dalam menganalisis pemasalahan tentang nikah sirri dengan metode maqashid
syariah, diperlukan uraian mengena nash yang berkaitan dengan unsur yang
12 Ibid, hlm 7. 13 Wildan Suyuti Mustofa, “Nikah Sirri antara Kenyataan dan kepastian Hukum” dalam Effi
Setiawati, hlm 41. 14 Muhammad Irfa’I, Menolak Mut’ah dan Nikah Sirri: Pemberdayaan Perempuan dalam Effi
Setiawati, hlm 42.
5
menunjukkan legalitas perkawinan. Nash tidak secara langsung menyebutkan tentang
bagaimana praktek nikah sirri atau ketidakbolehan tentang nikah sirri. Adapun aturan
yang ditemukan adalah tentang bagaimana pelaksanaan pernikahan yang legal dan
sesuai aturan hukum dan mengandung perintah untuk mengumumkan perkawinan.15
اخبروا النكاح واخفوالخطبة
اعلنوا النكاح ولوبالدف
اشهدوا النكاح واعلنوها
اولم ولوبشاة
فصل بين الحلال و الحرام بالصوت والدف في النكاح
Adapun dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara gamblang tentang perintah atau
anjuran legalitas perkawinan. Namun, nash al-Qur’an tentang transaksi hutang piutang
seringkali dikaitkan dalam menentukan legalitas perkawinan. Pencatatan perkawinan
oleh beberapa pemikir dianggap menjadi perlu seiring berkembangnya kadaan dan
zaman demi menjamin beberapa hak dari para pihak.
ى فاكتبوه 16 …يا أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسم
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”
2. Pembacaan Ulama Konvensional dan Kontemporer
Berbicara mengenai legalitas ataupun keabsahan perkawinan, tidak terlepas dari
terpenuhinya rukun nikah pada saat perkawinan dilangsungkan. Adapun yang
diamksudkan sebagai rukun dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri,
jadi tanpa adanya salah satu rukun maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Rukun
pernikahan meliputi sighat ijab-kabul, calon mempelai, wali nikah dan saksi.
Salah satu hal yang berperan penting tentang kebsahan pernikahan sekaligus
sebagai alat bukti terjadinya pernikahan adalah kehadiran saksi. Mengingat pernikahan
yang sah dan akan menimbulkan kewajiban dan hak maka saksi menjadi hal yang urgen
sebagai penjamin hak dari para pihak yang bersangkutan. Para ahli fiqih bersepakat
bahwa pelaksanan akad nikah harus dihadiri oleh saksi-saksi, karena kehadiran saksi
15 Lihat Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1; Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim
Kontemporer, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2005), hlm. 69-70. 16 Q.S Al-Baqarah : 282.
6
merupakan rukun akad nikah. Para ahli fiqih hanya berbeda pendapat dalam hal alasan-
alasan yang digunakan sebagai dasar hukum dari persaksian tersebut.
Abu Hanifah mengqiyaskan persaksian dalam akad perkawinan kepada persaksian
kepada persaksian di dalam muamalat. Adanya saksi-saksi dalam melakukan akad adalah
rukun akad muamalat. Karena itu adanya saksi dalam akad perkawinan tentu lebih utama
dan diperlukan daripada saksi-saksi dalam akad muamalat. Imam Abu Hanifah
melakukan qiyas tersebut karena berpendapat bahwa tidak ada nash yang sahih yang
dapat dijadikan dasar hukum bagi persaksian itu.17 Selain itu, Abu Hanifah juga
menambahkan beberapa kriteria dalam kesaksian yatiu sifat adil untuk menghindari
adanya kebohongan. Asy-Syafi’I juga mengharuskan adanya saksi dalam perkawinan.
Saksi dalam perkawinan harus dua orang pria yang adil. Saksi yang menghadiri akad
nikah haruslah dua lelaki muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti
atau faham akan maksud akad nikah tersebut.18
Adapun pandangan Imam Malik, lebih menenankan pada fungsi kehadiran saksi
yaitu pengumuman. Sebagaimana dikutip Khoiruddin bahwa al-Kasani menyatakan
bahwa saksi harus ada dalam akad nikah yang fungsinya sebagai sarana pengumuman
atau untuk menyebarluaskan informasi tentang pernikahan tersebut. Lebih lanjut
disebutkan bahwa dalam kitab Al-Mudawwanah, Imam Malik membedakan antara nikah
sirri dengan perkawinan yang disertai dengan bukti. Nikah sirri didefinisikan sebagai
pernikahan yang sengaja dirahasiakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan
tersebut. Hukum pernikahan seperti ini adalah tidak sah, sebaliknya hukum pernikahan
yang tidak ada bukti tapi diumumkan kepada khalayak (masyarakat) adalah sah.19
Bagi Imam Malik keberadaan saksi dalam pernikahan bukan sebagai syarat sah
perkawinan, bahkan jika terjadi pernikahan tanpa adanya saksi (bayyinah) akan tetapi ada
pengakuan dari salah satu atau keduanya maka hukumnya adalah sah dengan syarat
mempublikasikannya di kemudian hari. Asy-Syafi’I dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
saksi merupakan syarat sah pernikahan. Dua orang saksi harus hadir ketika akad nikah
17 Mukhtar, Kamal , Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993),
hlm 103. 18 Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hlm 62. 19 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum
Perkawinan Di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA , 2009), hlm 327-328.
7
dilangsungkan karena tujuan dihadirkannya saksi adalah menyaksikan terjadinya akad
nikah.20 Bagi asy-Syafi’I fungsi saksi adalah sebagai I’lan (publikasi) dan qabul
(diterimanya akad), berbeda dengan Abu Hanifah yang hanya mengatakan fungsi saksi
sebagai I’lan saja. Dalam konteks ini, fungsi publikasi sudah terpenuhi dengan hadirnya
dua orang saksi pada waktu akad nikah. Apabila terjadi sesuatu di kemudian hari, maka
fungsi saksi dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan perkawinan tersebut.
Melihat dari sekian pendapat yang dikemukakan oleh para Imam Mazhab, maka
tujuan persaksian adalah sebagai alat bukti adanya pernikahan. Pernikahan membutuhkan
alat bukti untuk menagkis segala tuduhan adanya perbuatan yang haram seperti zina dan
juga sebagai alat bukti ketika tejadi pengingkaran terhadap pernikahan oleh beberapa
pihak yang bersangkutan.
Pembahasan mengenai saksi menjadi lebih luas dengan adanya tujuan kehadiran
saksi yaitu pengumuman. Hal ini pula yang member nuansa baru dalam pembaruan
hukum perkawinan di negara Muslim yang membuat cara untuk mengumumkan
perkawinan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan lebih mencakup secara luas
daripada tujuan pengumuman yaitu dengan cara pemcatatan perkawinan secara
administratif.
Mahmud Shaltut menyatakan bahwa perkawinan sirri adalah salah satu bentuk
perkawinan jenis lama yang sudah lama dijelaskan definisi dan hukumnya oleh fuqaha.
Lebih lanjut Shaltut menyatakan bahwa fuqaha tradisional menyepakati perkawinan sirri
adalah akad nikah oleh dua belah pihak tanpa ada saksi, pengumuman dan tanpa
penulisan buku resmi dan pasangan tetap hidup dalam kondisi yang disembunyikan.
Lebih lanjut, Shaltut berpendapat bahwa tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk
memelihara hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perkawinan yaitu hak suami-istri
dan anak-anak sebagai keturunan seperti pemeliharaan, warisan, dan perwalian.21
Qurais Shihab mengungkakan satu pola pernikahan sirri yang tidak lebih
merupakan rekayasa perkawinan. Perkawinan ini hanyalah untuk menyiasati sebuha
perkawinan di luar perkawinan yang mempunyai status hukum (resmi). Quraish Shihan
20 Abi Bakr Ibn Mas'ud al Kasani-al-Hanafi, Kitab Badai' Al Sanai' Fi Tartib Al Sharai', (Beirut: Dar
al Fikr, 1996), hlm 398. 21 Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan
Di Dunia Muslim.
8
berpendapat bahwa hukum perkawinan sebagaimana disebut di atas adalah sah, namun
dapat menimbulkan kerancuan status pasangan suami-istri serta anak yang dilahirkan.
Kerahasiaan perkawinan dapat mengurangi penghormatan, kesucian rumah tangga dan
penjagaan pasangan suami istri agar tidak terjerumus pada hal-hal negative dengan
diketahui masyarakat tentang keberadaan pasangan tersebut.22
Atho’ Mudzhar juga mengemukakan bahwa meskipun umumnya ulama Indonesia
setuju dengan pasal 2 ayat 2 UUP yang mengharuskan pencatatan pernikahan menurut
aturan yang berlaku mskipun tidak disebut dalam kitab fikih, namun dalam
pelaksanaannya masyarakat Islam Indonesia masih mendua. Kecenderungannya adalah
bahwa apabila semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab
fikih telah terpenuhi maka suatu perkawinan tetap sah. Pada realitas saat ini, praktik
seperti ini dapat mengacaukan proses hukum yang selanjutnya atau mengacaukan hak hak
hukum anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut. Seharusnya, aturan ini dipahami
sebagai bentuk bar dan resmi dari perintah Nabi SAW agar mengumumkan atau
mengiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing.23 Sehingga pencatatan
perkawinan menjadi suatu hal yang penting yang menjadi serangkaian seremonial acara
perkawinan yang dilangsungkan.
3. Aturan dalam Perundang-undangan
Sejak berlakunya UUP No. 1 Tahun 1974 sahnya perkawinan menurut hukum
agama di Indonesia sangat menentukan. Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan
menurut hukum agama masing-masing, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah.
Perkawinan yang dilakukan di Pengadilan atau di kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan
terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu, maka perkawinan tersebut tidak sah.24
Berdasarkan teks al-Qur’an dan hadist, syarat sahnya suatu perkawinan adalah adanya
calon mempelai, adanya kerelaan dua pihak, adanya wali mempelai, adanya dua orang
saksi dan adanya ijab dan kabul.
22 Wannimaq Hasbul, Perkawinan terselubung di antara berbagai pandangan, (Jakarta: Golden
Terayon Press, 1994), hlm 24. 23 Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi Dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1998), hlm 180. 24 Wasman, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Perbandingan Fiqh dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: Teras, 2011), hlm 50.
9
Sejak zaman penjajahan hal-hal yang berkaitan dengan masalah pernikahan, talak
dan rujuk diharuskan dicatat menurut peraturan yang berlaku sebagaimana dalam undang-
undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.25 Adapun dalam UUP
No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dijelaskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” KHI juga menenkankan aturan tentang
keharusan pencatatan perkawinan yang dijelaskan dalam pasal 4 dan pasal 5 dn akibat
penyimpangan pasal tersebut dijelaskan dalam pasal 6 ayat (2), yaitu “perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.” Hal
tersebut diperkuat olah pasal 7 ayat (1) yaitu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah (2) Dalam hal perkawinan tidak
dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
Akta nikah menjai alat bukti baru dalam sebuah pernikahan yang memiliki
kekautan hukum di bawah paying hukum negara. Dengan adanya akta nikah, maka suami
istri bersangkutan mempunyai alat bukti perkawinan yang sah berdasarkan UUP No. 1
tahun 1974, yang dapat digunakan apabila diperlukan baik sebagai suami istri maupun
sebagai orang tua/kepala rumah tangga dan sebagainya.26
Terdapat beberapa pandangan tentang eksistensi pencatatan perkawinan dalam
legalitas perkawinan. Sebagian pemikir berpandangan pencatatan menjadi syarat sah
perkawinan, dengan kata lain perkawinan dianggap sah setelah ada pencatatan. Sementara
pandangan lainnya yang umumnya dipegang oleh kaum muslim tradisionalis dan juga
banyak ahli hukum memandangnya hanya sebagai syarat administrasi.
Pada kelompok pertama yang berpendapat bahwa pencatatan adalah syarat sah
perkawinan secara umum, beralasakan pada beberapa hal diantaranya, pertama, ada
kecenderungan untuk tunduk dan melaksanakan perkawinan berdasarkan perdata dan
ordonansi perkawinan Kristen Indonesia, yang hanya dengan akta perkawinan dapat
25 Adapun isi pokok undang-undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954
adala sebagai berikut : (1) Nikah, Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah. (2) Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Lebih lanjut, lihat Undang-undang No. 22 tahun 1946 pasal 1 ayat (1) dan (2).
26 Wasman, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Perbandingan Fiqh dan Hukum Positif, hlm
67.
10
dibuktikan sahnya perkawinan. Kedua, penafsiran pasal 2 ayat UUP sebagai suatu
kesatuan yang artinya perkawinan yang telah memenuhi syarat keagamaan dan/atau
kepercayaannya disusul dengan pendaftaran atau pencatatan. Ketiga, apabila pasal 2 UUP
dikaitkan dengan Bab III (Pasal 13 s/d 21) dan Bab IV (pasal 22 s/d 28) UU No. 1 Tahun
1974, masing-masing tentang pencegahan dn batalnya perkawinan hanya bisa dilakukan
apabila menempuh prosedur pendaftaran dan pencatatan sebagaimana diatur dalam PP
No. 1975.27 Keempat, berdasarkan tafsiran analogi dari surat al-Baqarah (2): 282, bahwa
untuk muamalah saja yaitu mengenai utang-piutang dan perjanjian dalam waktu yang
lama dibutuhkan kesaksian dua orang saksi laki-laki yang adil dan dituliskan dengan
seorang penulis yang dipercayai. Demikian pula untuk perkawinan yang dianggap
sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidza) dan untuk waktu yang langgeng.28
Adapun kelompok yang lainnya yaitu yang berpendapat bahwa perkawinan
hanyalah syarat administrative saja, memiliki beberapa alasan diantaranya,
Pertama, didukung kebiasaan sejak UU No. 22 tahun 1946 yang berlaku untuk
seluruh Indonesia yaitu Undang-undang tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
dimana pejabat agama hanya berperan sebagai pengawas nikah, talak dan rujuk bukan
undang-undang yang mengatur tata cara perkawinan seperti halnya UU No. 1 Tahun
1974. Kedua, penjelasan UUP pasal 2 jelas menunjukkan kearah pendapat bahwa
pencatatan perkawinan hanya sebagai administrative semata. Bagi kelompok ini, sahnya
perkawinan adalah apabila dilakukan sesuai dengan hukum Islam (memenuhi rukun dan
syarat perkawinan). Neng Djubaidah mencatat, bagi orang Islam sahnya perkawinan
adalah apabila dilakukan menurut hukum Islam sedangkan pencatatan perkawinan hanya
sebagai administratif semata.29 Ketiga, pencatatan kelahiran, kematian, demikian pula
perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting bukan suatu peristiwa hukum.
Bagir Manan menyatakan bahwa pencatatan perkawinan dalam UUP, bukan lagi
peristiwa hukum karena perkawinan sebagai peristiwa hukum ditentukan oleh agama
27 Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan
Di Dunia Muslim, hlm 354-355. 28 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang No.1
Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm 97. 29 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum
Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 214.
11
karena itu (pencatatan perkawinan) tidak diperlukan dan tidak dapat mengesampingkan
sahnya perkawinan yang telah dilakukan menurut masing-masing agama.30
Dengan adanya penafsiran yang berbeda-beda oleh para pakar hukum dan para
pemikir, maka hal ini berimplikasi terhdap umat Islam di Indonesia. Ada kecenderungan
umat Islam tidak perlu mencatatkan perkawinannya kepada Pejabat Pencatat Nikah (PPN)
di KUA. Sehingga banyak kasus ditemukan tentang pernikahan di bawah tangan atau
yang lazim dikenal dengan sebutan nikah siri pada berbagai kalangan masyarakat.
D. Maqasid Syariah dalam menjawab permasalahan Nikah Siri
Secara leksikal, Maqashid adalah bentuk plural (shigah muntaha al-jumu’) dari kata
maqshud. Derivasi dari fi’il madhi Qa-sha-da yang berarti menuju, bertujuan, berkeinginan,
dan kesengajaan.31 Kata maqshud-maqashid dalam ilmu gramatikal bahasa Arab disebut
dengan isim maf’ul yang berarti sesuatu yang menjadi obyek, oleh karenanya kata tersebut
dapat diartikan dengan ‘tujuan’ atau ‘beberapa tujuan’. Dalam istilah syariat, maqashid
mempunyai beberapa makna seperti al-hadf (tujuan), al-gard (sasaran), al-mathlub (hal yang
diminati), ataupun al-ghayah (tujuan akhir) dari hukum Islam.
Secara praktis, al-Maqashid dapat diklasifikasikan berdasarkan dimensi keniscayaan
(dasar klasifikasi klasik), dimensi hukum yang berusaha untuk mencapai al-Maqashid,
dimensi golongan manusia yang diliputi al-Maqashid, dan dimensi universalitas al-
Maqashid.32
Para ulama klasik mengklasifikasikan al-Maqashid berdasarkan dimensi keniscayaan
menjadi 3 tingkatan, yaitu al-Dharuriyyah (primer), al-Hajiyat (sekunder), dan al-
Tahsiniyyat (tersier). Kemudian tingkatan al-Dharuriyyah mereka pecah lagi menjadi 5
tingkatan, yaitu Hifz al-Dien (pelestarian agama), Hifz al-Nafs (pelestarian diri), Hifz al-Mal
(pelestarian harta), Hifz al-‘Aql (pelestarian akal), dan Hifz al-Nasl (pelestarian keturunan).
Sebagian ulama menambahkan Hifz al-‘Ird (Pelestarian kehormatan).33
30 Ibid, hlm 217. 31 Muhammad Fauzinudin Faiz, Kamus Kontemporer Mhasantri 3 Bahasa, (Surabaya: Penerbit
Imtiyaz, 2012), hlm. 105. 32 Yunal Isra’, Langkah Awal Memahami Maqashid Syari’ah: Resuman buku Maqashid al-
Syari’ah; Dalilun li al-Mubtadi’ karya Jaser Audah, pdf. 33 Ibid.
12
Maqashid al-syari’ah adalah prinsip dasar dan pintu utama untuk memahami hukum
yang telah diturunkan oleh Tuhan kepada Muhammad SAW yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
Menurut Jasser Auda, maqashid al-syari’ah (sekumpulan tujuan ketuhanan dan nilai-nilai
moral) itu dapat dijadikan sebagai jembatan antara syariah Islam dengan berbagai isu-isu
dan tantangan kekinian, bahkan menjadi kunci utama. Ia menjadi pintu dasar untuk
melakukan ijtihad terhadap pembaharuan. Bahkan maqashid al-syari’ah merupakan bagian
terdalam dari inti agama Islam itu sendiri.
Jasser Audah berkeinginan untuk mengkontruksi konsep maqashid lama menuju
konsep yang lebih baru yang lebih terbuka, elastis, dan damai dalam menjujung nilai
kemanusiaan.34 Berikut adalah pernyataan Jasser ‘Audah yang berkaitan dengan
penelitiannya:
Current Applications (Or rather, mis applications) of Islamic law are redutionist
rather than holistic, literal rather than moral, one-dimensional rather than
multidimensional, binary rather than multi-valued, deconstructionist rather
than reconstructionist, and causal rather than teleological.113
Adapun patokan dari terciptanya maqashid syari‘ah adalah terjaganya usul al-
khamsah, yaitu penjagaan terhadap agama, Penjagaan terhadap jiwa, penjagaan
terhadap akal, penjagaan terhadap keturunan dan penjagaan terhadap harta. Patokan
maqashid di atas mengalami pergeseran teori dengan mempertimbangkan perkembangan
kontemporer dalam rangka merespon kebutuhan zaman.
Perubahan paradigma dan teori Maqasid lama ke teori Maqasid baru terletak pada
titik tekan keduanya. Titik tekan Maqasid lama lebih pada protection (perlindungan) dan
preservation (penjagaan; pelestarian) sedang teori Maqasid baru lebih menekankan pada
development (pembangunan; pengembangan) dan right (hak-hak).
Tabel Pergeseran Paradigma Teori Maqasid Klasik Menuju Kontemporer35
No. Teori Maqasid Klasik Teori Maqasid Kontemporer
34 Inna Fauziatul Azizah, Tinjauan Maqashid Syariah terhadap poligami masyarakat miskin : (Studi
Empat Keluarga di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali), thesis tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga, 2015), hlm 61-62
35 Book Review Maqashid Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A System Approach, Maksum, mahasiswa Magister Studi Islam, Kons. Ekonomi Islam, Universitas Islam Indonesia, 2014.
13
1. Menjaga Keturunan (al-Nasl) Teori yang berorientasi kepada perlindungan
keluarga; kepedulian yang lebih terhadap
institusi Keluarga
2. Menjaga Akal (al-Aql) Melipatgandakan pola pikir dan research
ilmiah; mengutamakan perjalanan untuk
mencari ilmu pengetahuan; menekan pola
pikir yang mendahulukan kriminalitas
kerumunan gerombolan; menghindari upaya-
upaya untuk meremehkan kerja otak.
3. jaga kehormatan; menjaga
jiwa (al-nafs/al-‘Irdh)
Menjaga dan melindungi martabat
kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-
hak asasi mMenanusia.
4. Menjaga agama (al-Diin) Menjaga, melindungi dan menghormati
kebebasan beragama atau berkepercayaan.
5. Menjaga harta (al-Maal) Mengutamakan kepedulian sosial; menaruh
perhatian pada pembangunan dan
pengembangan ekonomi; mendorong
kesejahteraan manusia; menghilangkan jurang
antara miskin dan kaya.
Dari sekian penjelasan megenai maqashid oleh beberapa tokoh, maka solusi dari
permasalahan tentang nikah sirri dapat dijawab dengan menggunakan konsep ini.
Sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelumnya, terdapat beberapa nash yang
mengacu pada legalitas perkawinan. Dari kesekian dalil yang berhubungan, dapat
disimpulkan bahwa terdapat beberapa yang menjadi syarat sahnya sebuah perkawinan.
Hal yang dituntut untuk dissuaikan dengan kebutuhan zaman saat ini adalah mengenai
kehadiran saksi dalam akad nikah.
Fungsi –ataupun dapat dikatakan tujuan pensyariatan saksi- adalah untuk
mengumumkan atau memberitahukan telah terjadi pernikahan. Pernikahan bukan lagi
perbuatan hukum yang bersifat privat namun sudah menjadi urusan publik yang siapapun
sepantasnya mengetahui pernikahan yang dilangsungkan. Dengan demikian yang
memilik hak untuk mengetahui adalah pihak yang terkait langsung dengan pernikahan
14
yaitu suami-istri, wali dan saksi juga pihak yang tidak terkait secara langsung yaitu
masyarakat. Fungsi dari pengetahuan masyarakat adalah untuk menjamin hak dari pihak
yang terlibat perkawinan dan hak masyarakat untuk terjamin dari perbuatan fitnah.
Pengakuan dan penjaminan dari masyarakat ini muncul karena adanya pemberitahuan
tentang prosesi pernikahan yaitu dengan adanya walinah, saksi ataupun pencatatan secara
tertulis.36
Hal ini juga akan sejalan dengan tujuan pencapaian perkawinan yaitu sakinah.
Cita-cita pasangan yang melangsungkan perkawinan dalam mewujudkan sakinah atau
ketenangan akan tercapai apabila status perkawinan diketahui oleh masyarakat. Dengan
adanya pengakuan masyarakat tentang perkawinan yang telah terjadi, anggota keluarga
yaitu suami, istri, anak ataupun krabat yang lain akan merasa lebih tenang dari segala
kekhawatiran, prasangka juga fitnah yang muncul dari pihak terkait ataupun masyarakat.
Adapun hak yang timbul dari adanya pengumuman pernikahan kepada publik
dapat dikategorikan sebagai penjagaan keturunan (hifz an-nasl) yang lebih berkembang
pada orientasi perlindungan keluarga dan kepedulian yang lebih terhadap institusi
keluarga. Selain itu juga mengandung unsure penjagaan jiwa dan kehormatan (hifz al-
nafs) menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-hak
asasi manusia. Lebih jelas akan diuraikan dalam table berikut.
Kategori maqashid Aplikasi
Penjagaan keturunan Dengan adanya pengumuman pernikahan dan
ketiadaan pernikahan sirri (dirahasiakan), maka
seluaruh anggota keluarga dapat terhindar dari
prasangka ataupun kekhawatiran tentang keabsahan
pernikahan.
Hak-hak dari para pihak dapat terjamin mengingat
perkawinan melaihrkan beberapa hak dan kewajiban
seperti nafkah, waris, pemeliharaan dan perwalian.
Problematika komtemporer yang muncul saat ini
36 Menelusuri Makna Perkawinan Dalam Al-Qur’an; Kajian Sosio-Linguistic Qur’ani, (Bandung :
Mizan, 2015), hlm. 52.
15
adalah adanya KDRT, dengan adanya status
pernikahan yang sah dapat menjamin hak-hak hukum
ataupun perlindungan dari pihak yang berwenang
Penjagaan jiwa dan
kehormatan
Pada kategori maqashid ini diperuntukkan kepada
masyarakat yang menyaksikan pengumuman
pernikahan. Dengan adanya pengumuman pernikahan
atau bukti autentik pernikahan, maka masyarakat akan
terhindar dari segala prasangka ataupun kekhawatiran
dari pasangan yang bersama namun tidak terikat dalam
perkawinan (baik melalui pernikahan sirri ataupun
tidak melalui penikahan)
Cakupan masyarakat yang lebih luas, membutuhkan
suatu jaminan hak untuk lebih mudah mengetahui
keberadaan status pernikahan sebuah pasangan ketika
dibutuhkan pembuktian pernikahan.
Dalam konteks saat ini, pengumuman pernikahan tidak lagi dapat menjamin
keabsahan pernikahan secara maksimal. Peradaban yang terus berkembang seiring
dengan globalisasi dan kemajuan teknologi memaksa keadaan untuk memudahkan upaya
pembuktian dengan cara yang resmi dan diakui oleh setiap pihak. Upaya yang dilakuakn
beberapa negara muslim termasuk Indonesia dalam mengeluarkan kutipan akta nikah
sebagai bukti pencatatan perkawinan menjadi salah satu cara terbaru dalam menjamin
dan membutian keabsahan pernikahan dengan mudah. Hal ini dikarenakan pengetahuan
masyarakat tidak dapat lagi menjadi sebuah alat bukti untuk membuktukan adanya
pernikahan.
Sebagai salah satu contoh adalah ketika pasangan suami istri hendak bepergian ke
luar kota dan mengharuskan keduanya untuk menginap dalam sebuh hotel, maka hal yang
dapat menjadi alat bukti seketika itu untuk menjamin hak mereka sebagai pasangan suami
istri adalah akta nikah. Sehingga eksistensi akta nikah yang merupakan implikasi dari
adanya pencatatan nikah dapat menjadi solusi ataupun skala besar dari fungsi saksi
sebagaiman perintah syariat.
16
Dapat disimpulkan bahwa demi mecapai tujuan pensyariatan saksi yang
dijelaskan dalam dalil syariat, keberadaan saksi diperluas dengan adanya pencatatan
pernikahan oleh pihak berwenang yang melahirkan kutipan akat nikah yang dapat dibawa
ke mana saja sebagai alat bukti telah terjadinya perkawinan yang sah diantara pasangan.
Meskipun tidak ada dalil khusus yang menunjukkan adanya perintah untuk mencatatkan
perkawinan, namun hal ini perlu dilakukan untuk menjamin kebutuhan manusia dalam
menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah.
E. Kesimpulan
Pada dasarnya, fungsi saksi dalam perkawinan adalah sebagai bukti bahwa seseorang
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Saksi beralih menjadi skala
yang lebih luas yaitu pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar
seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) sekaligus jaminan kebebasan untuk melakukan
perbuatan yang menjadi hak yang ada dalam perkawinan. Hal ini dikarenakan salah satu
bukti yang dianggap sah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi
yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil,
tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat
bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan
pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak,
perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Meskipun saksi telah beralih pada pencatatan, bukan berarti eksistensi saksi dalam
perkawinanhilang begitu saja. Perkawinan yang dilakukan mengandung unsur ibadah yang
mana terdapat beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Sehingga hemat penyusun,
perkawinan dapat dikatakan sempurna apabila perkawinan tersebut telah memenuhi
keabsahan pada beberapa aspek yaitu agama melalui rukun dan syarat yang ada, negara
melalui pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang, serta masyarakat melalui
walimah atau resepsi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi, Perkawinan dan perceraian keluarga muslim, Bandung: Pustaka setia, 2013.
Anshori, A. Ghofur, “Praktik Perkawinan di Bawah Tangan dan Peluang Legalisasinya di
Daerah Istimewa Yogyakarta”, Yogyakarta: Penelitian Fakultas Hukum UGM dengan
DEPAG, 2003Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab
Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali, Jakarta: PT. Hida karya Agung 1991.
Azizah, Inna Fauziatul, Tinjauan Maqashid Syariah terhadap poligami masyarakat miskin :
(Studi Empat Keluarga di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali), thesis tidak
diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015.
al Kasani-al-Hanafi, Abi Bakr Ibn Mas'ud Kitab Badai' Al Sanai' Fi Tartib Al Sharai', Beirut:
Dar al Fikr, 1996.
Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum
Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Faiz, Muhammad Fauzinudin, Kamus Kontemporer Mahasantri 3 Bahasa, Surabaya: Penerbit
Imtiyaz, 2012.
............................, Dekonstruksi Fiqh Talak: Konsep dan Pembacaan Ulang Dalam Studi Hukum
Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2019.
............................, Menelusuri Makna Perkawinan Dalam Al-Qur’an; Kajian Sosio-Linguistic
Qur’ani, Bandung : Mizan, 2015.
Hasbul, Wannimaq Perkawinan terselubung di antara berbagai pandangan, Jakarta: Golden
Terayon Press, 1994.
Isra’, Yunal, Langkah Awal Memahami Maqashid Syari’ah: Resuman buku Maqashid al-
Syari’ah; Dalilun li al-Mubtadi’ karya Jaser Audah, pdf.
Kustriyanto, Nikah Sirri di Kalangan Artis, skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2007.
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum
Perkawinan Di Dunia Muslim, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009.
Maksum, Book Review Maqashid Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A System
Approach, Magister Studi Islam, Kons. Ekonomi Islam, Universitas Islam Indonesia,
2014.
18
Muhdlor, Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk Menurut
Hukum Islam UU No 1/1974, Bandung : Al Bayan, 1994.
Mukhtar, Kamal , Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1993.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat,(Semarang: Dina Utama Semarang, 1993.
Mudzhar, Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi Dan Liberasi, Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1998.
Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang No.1
Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Setiawati, Effi, Nikah Sirri Tersesat Di Jalan Yang Benar?, Bandung : Kepustakaan Eja Insabni,
2005.
Wasman, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Perbandingan Fiqh dan Hukum Positif,
Yogyakarta: Teras, 2011.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Undang-undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Kompilasi Hukum Islam.
http://news.okezone.com/read/2015/12/07/337/1262448/mensos-nikah-siri-penyumbang-
terbesar-kasus-kdrt (diakses 13 Desember 2015).