NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

19
NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI (UPAYA MENCARI PEMAHAMAN KOMPREHENSIF BERBASIS MAQASHID SYARIAH) 1 Oleh : Muhammad Fauzinudin Faiz 2 A. Pendahuluan Bagi komunitas muslim Indonesia dan masyarakat Indonesia pada umumnya, nikah sirri merupakan istilah yang sudah lazim di pergunakan dalam bahasa komunikasi sehari- hari. Fenomena nikah sirri, di era teknologi informasi ini, semakin muncul ke permukaan dan menjadi issue nasional yang cukup menyita perhatian masyarakat hukum di Indonesia sejalan dengan terbukanya akses informasi dan maraknya pemberitaan mengenai pelaku nikah sirri, terutama yang dilakukan oleh beberapa public fugure di negeri ini yang notabene seharusnya menjadi contoh masyarakat bawah dalam menegakkan keberlakuan undang- undang perkawinan Indonesia. Dalam Islam perkawinan disebut pernikahan. Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Dalam Islam, pernikahan dispesialisasikan sebagai sebuah bentuk ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena demikian pentingnya perkawinan atau pernikahan, maka ia harus dilakukan menurut ketentuan hukum Islam dan oleh karena itu keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku agar perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Adapun dalam pelaksanaan perkawinan, menjadi permasalahan yang krusial untuk memperhatikan keabsahan perkawinan secara hukum. 3 Akad nikah adalah semacam 1 Makalah ini dipresentasikan pada diskusi periodik oleh Lembaga Penjaminan Mutu IAIN Jember 2 Penulis adalah Dosen Usul Fikih & Filsafat Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam IAIN Jember. 3 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali, (Jakarta: PT. Hida karya Agung 1991), hlm 1.

Transcript of NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

Page 1: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

(UPAYA MENCARI PEMAHAMAN KOMPREHENSIF BERBASIS MAQASHID

SYARIAH)1

Oleh :

Muhammad Fauzinudin Faiz2

A. Pendahuluan

Bagi komunitas muslim Indonesia dan masyarakat Indonesia pada umumnya, nikah

sirri merupakan istilah yang sudah lazim di pergunakan dalam bahasa komunikasi sehari-

hari. Fenomena nikah sirri, di era teknologi informasi ini, semakin muncul ke permukaan

dan menjadi issue nasional yang cukup menyita perhatian masyarakat hukum di Indonesia

sejalan dengan terbukanya akses informasi dan maraknya pemberitaan mengenai pelaku

nikah sirri, terutama yang dilakukan oleh beberapa public fugure di negeri ini yang notabene

seharusnya menjadi contoh masyarakat bawah dalam menegakkan keberlakuan undang-

undang perkawinan Indonesia.

Dalam Islam perkawinan disebut pernikahan. Pernikahan bagi umat Islam merupakan

ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri

berdasar akad nikah dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang

bahagia sesuai hukum Islam. Dalam Islam, pernikahan dispesialisasikan sebagai sebuah

bentuk ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena demikian pentingnya perkawinan atau

pernikahan, maka ia harus dilakukan menurut ketentuan hukum Islam dan oleh karena itu

keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku agar perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Adapun dalam pelaksanaan perkawinan, menjadi permasalahan yang krusial untuk

memperhatikan keabsahan perkawinan secara hukum.3 Akad nikah adalah semacam

1 Makalah ini dipresentasikan pada diskusi periodik oleh Lembaga Penjaminan Mutu IAIN Jember 2 Penulis adalah Dosen Usul Fikih & Filsafat Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam

IAIN Jember.

3 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali, (Jakarta: PT. Hida karya Agung 1991), hlm 1.

Page 2: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

1

perjanjian perikatan antara pihak-pihak yang melakukan pernikahan. Terdapat kemungkinan

ditemukan pihak-pihak yang ingkar dan meragukan keabsahan atau merasa dirugikan

dengan adanya akad tersebut. Kehadiran saksi dapat dijadikan sebagai alat bukti yang dapat

menghilangkan keragu-raguan oleh berbagai pihak. Selain itu, saksi juga dapat

berkedudukan sebagai sarana pengakuan dan penjaminan baik dari pihak yang melakukan

perkawinan maupun hak masyarakat untuk terjamin dari perbuatan fitnah.4

Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan

hukum antara suami istri. Dengan adanya perkawinan timbul suatu ikatan yang berisi hak

dan kewajiban. Sebagaiman lahirnya hak kekeluargaan, hak pemenuhan nafkah, perwalian,

waris dan pemeliharaan anak.5

Fenomena yang telah terjadi saat ini adalah banyaknya pasangan yang

melangsungkan pernikahan di bawah tangan, baik yang dilakukan secara agama dalam arti

telah memenuhi syarat dan rukunnya maupun yang belum memenuhi rukun tanpa

sepengetahuan PPN yang berwenang dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)

dengan berbagai macam alasan antara lain disebabkan oleh faktor ekonomi, keagamaan,

birokratis, tradisi dan kasuistis.6 Pernikahan tersebut dapat didefinisikan pula dengan nikah

sirri yaitu nikah yang dilakukan secara sembunyi dan di luar ketentuan hukum Islam versi

KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya, sehingga tidak dapat

dibuktikan dengan akta otentik yang disebut akta nikah.

Nikah sirri dalam pandangan masyarakat adalah perkawinan yang dilakukan dengan

mengkuti syarat dan rukun seperti yang disyariatkan Islam, namun tanpa sepengetahuan

Pejabat Pencatat Pernikahan (PPN) yang ada dalam wilayah dan tempat terjadinya peristiwa

perkawinan tersebut dilaksanakan. Sehingga, fokus dari pernikahan sirri adalah pernikahan

yang telah sah menurut aturan agama namun belum dicatatkannya pernikahan yang

dilangsungkan di KUA. Adanya realitas yang ada menimbulkan stigma dalam masyarakat

bahwa terdapat dualisme keabsahan pernikahan yaitu sah secara agama dan sah secara

administrasi negara.

4 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum

Perkawinan Di Dunia Muslim, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009, hlm, 366. 5 Muhammad Fauzinudin Faiz, Dekonstruksi Fiqh Talak: Konsep dan Pembacaan Ulang Dalam

Studi Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Ilmu, 2019), hlm 21-22. 6 A. Ghofur Anshori, “Praktik Perkawinan di Bawah Tangan dan Peluang Legalisasinya di Daerah

Istimewa Yogyakarta”, Yogyakarta: Penelitian Fakultas Hukum UGM dengan DEPAG, 2003), hlm 78.

Page 3: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

2

Selain itu, sebagaimana disampaikan oleh Gubenrnur Jawa Timur -- Khofifah Indar

Parawansa -- dalam workshop Pentingnya Pencatatan Perkawinan bahwa nikah siri menjadi

hulu penyumbang terbesar terhadap tingginya kasus KDRT dan kasus-kasus lainnya,

menjadikan perempuan dan anak menjadi korbannya. Selain itu, nikah siri, juga cenderung

menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang lebih dirugikan, seperti membuat

perempun adan anak-anak tidak mendapatkan perlindungan administratif dari pemerintah.7

Berdasarkan realitas inilah, pentingnya kajian ulang tentang nikah sirri dalam

pandangan hukum Islam dengan menggunakan maqashid syariah. Hal ini diharapkan

mampu memberikan wacana baru tentang hukum pernikahan yang logis dan dapat

diberlakukan sesuai dengan perkembangan waktu dan keadaan.

B. Realitas Nikah Sirri Masa Kini

Kata nikah sirri adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara umum telah

dipahami dan digunakan dalam bahasa Indonesia. Kata sirri dalam bahasa Arab berarti

rahasia. Menurut Faridl pengertian nikah sirri adalah nikah yang dilakukan hanya sesuai

dengan ketentuan agama, tidak dilakukan pengawasan dan pencatatan oleh KUA. Dalam

definisi lain, nikah sirri juga diartikan sebegai pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan agama dan dilakukan pencatatan oleh KUA, tetapi tidak dipublikasikan dalam

bentuk walimah.8 Kata nikah sirri secara terminologis diartikan dalam beberapa definisi,

diantaranya:

Zuhdi Muhdlor mendefinisikan nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan di

luar pengetahuan Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau Kantor Urusan Agama (KUA)

sehingga sepasang suami istri yang menikah sirri tidak memiliki akta nikah yang sah,

biasanya suami istri tersebut dinikahkan oleh para ulama atau kyai yang dipandang mengerti

dan memahami hukum Islam.9

Adapun masyarakat Indonesia mempunyai pandangan yang berbeda tentang definisi

nikah sirri. Pertama, Nikah sirri diartikan sebagai pernikahan yang dilangsungkan sesuai

7 http://news.okezone.com/read/2015/12/07/337/1262448/mensos-nikah-siri-penyumbang-

terbesar-kasus-kdrt (diakses 13 Desember 2015). 8 Effi Setiawati, Nikah Sirri Tersesat Di Jalan Yang Benar?, (Bandung : Kepustakaan Eja Insabni,

2005), hlm 5. 9 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk Menurut Hukum

Islam UU No 1/1974, Bandung : Al Bayan, 1994, hlm 22.

Page 4: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

3

dengan syariat Islam tetapi masih bersifat intern keluarga dan belum kepada petugas nikah.

Kedua, Nikah sirri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi syariat Islam dan telah

mendapatkan surat nikah resmi dari KUA akan tetapi pernikahan tersebut belum

diinformasikan kepada masyarakat sekitar. Ketiga, Nikah sirri diartikan sebagai pernikahan

yang dilangsungkan menurut kententuan syariat Islam saja karena terbentur dengan

peraturan pemerintah tentang ijin perkawinan bagi PNS.10

Secara normative, terdapat masyarakat yang menilai bahwa praktik nikah sirri adalah

sah dan dapat memberikah hikmah yang positif. Akan tetapi sebaliknya terdapat pula yang

menilai ketidakabsahan perkawinan dan dapat menimbulkan implikasi yang negative

terhadap pasangan dan pihak-pihak yang berkaitan. Masing-masing kasus nikah sirri

mempunyai beberapa corak dan motif tersendiri. Hal ini memunculkan persepsi yang

berbeda pula. Di antaranya pratek nikah sirri yang dilakukan dengan adanya unsur

kesengajaan dalam merahasiakan pernikahan dari kesaksian masyarakat, namun ada pula

yang dalam pelaksanaanya nikah sirri menjadi suatu model pernikahan yang dianggap

‘biasa’ oleh masyarakat sekitar.

Pada realitas yang ada, telah banyak terjadi perkawinan tanpa akta nikah karena akad

nikah hanya dilakukan oleh kiai atau modin pejabat desa yang menangani masalah agama,

sehingga dapat dikatakan perkawinan mereka hanya sah secara hukum agama. Fenomena

saat ini, pelaksanaan nikah sirri tidak hanya terbatas tentang tidak tercatatnya pernikahan,

namun juga tentang kerahasiaan dan tidak diketahuinya pernikahan tersebut oleh

masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa pernikahan sirri adalah alternatif pernikahan

yang dilakukan untuk menghindari ketentuan hukum perkawinan negara sebagaimana diatur

dalam UUP dan KHI serta aturan lainnya.11

Nikah sirri yang demikian rupanya banyak menimbulkan masalah bagi perempuan

yang menjalaninya. Berbagai masalah yang muncul akibat nikah sirri diantaranya adalah

poligami yang dilakukan dengan nikah sirri untuk menghindari perizinan di pengadilan

agama, kelalaian dalam pemberian nafkah, penyangkalan status anak dari hasil perkawinan

yang dilakukan secara sirri serta penyelesaian harta bersama yang absurd saat terjadi

perceraian. Menurut Konvensi Wanita, kasus yang muncul akibat nikah sirri dapat

10 Kustriyanto, Nikah Sirri di Kalangan Artis, skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Uin Sunan

Kalijaga, 2007). 11 Effi Setiawati, Nikah Sirri Tersesat Di Jalan Yang Benar?, hlm 5.

Page 5: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

4

dikategorikan sebagai tindak kekerasan dalam perempuan. Secara psikologis, perempuan

menderita terutama jika tidak diakuinya anak hasil pernikahannya dengan suami sirri. Dalam

hal ekonomi, perempuan akan dirugikan terutama dalam hak mendapatkan nafkah dan waris

untuk anaknya karena secara tertib administratif untuk mendapatkan nafkah dan waris harus

ada bukti tertulis.12

Mustofa mengemukakan bahwa masih banyaknya masyarakat yang menjalankan

nikah sirri disebabkan dua faktor. Pertama, faktor di luar kemampuan pelaku, seperti untuk

menjaga hubungan laki-laki dan perempuan agar terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh

agama; tidak ada izin dari wali; alasan poligami dan tidak ada izin dari istri pertama serta

kekhawatiran tidak mendapatkan pensiun janda. Alasan kedua, pandangan bahwa pencatatan

pernikahan bukanlah perintah agama.13 Hal serupa dikemukakan oleh Irfa’i bahwa nikah

sirri dilakukan untuk menjaga laki-laki dan perempuan agar terindar dari perbuatan yang

dilarang agama. Selain itu juga adanya sebagian masyarakat yang berpandangan bahwa

pernikahan adalah walimah, sehingga apabila walimah belaum dilaksanakan karena belum

tersedianya dana maka dilakukanlah pernikahan sirri.14

Dari sekian alasan yang muncul dalam berbagai penelitian, dapat disimpulkan bahwa

adanya stigma dalam masyarakat bahwa pencatatan pernikahan bukanlah hal yang harus

dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena adanya benturan budaya, rekayasan masyarakat

dalam mencari celah hukum yang berlaku di Indonesia juga dualisme hukum dalam

masyarakat yang sebagian meyakini pencatatan perkawinan dilakukan sepaket dengan akad

nikah atau dapat ditunda sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat dengan alasan

administratif.

C. Dasar Hukum Legalitas Perkawinan

1. Landasan Teologis Legalitas Perkawinan

Dalam menganalisis pemasalahan tentang nikah sirri dengan metode maqashid

syariah, diperlukan uraian mengena nash yang berkaitan dengan unsur yang

12 Ibid, hlm 7. 13 Wildan Suyuti Mustofa, “Nikah Sirri antara Kenyataan dan kepastian Hukum” dalam Effi

Setiawati, hlm 41. 14 Muhammad Irfa’I, Menolak Mut’ah dan Nikah Sirri: Pemberdayaan Perempuan dalam Effi

Setiawati, hlm 42.

Page 6: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

5

menunjukkan legalitas perkawinan. Nash tidak secara langsung menyebutkan tentang

bagaimana praktek nikah sirri atau ketidakbolehan tentang nikah sirri. Adapun aturan

yang ditemukan adalah tentang bagaimana pelaksanaan pernikahan yang legal dan

sesuai aturan hukum dan mengandung perintah untuk mengumumkan perkawinan.15

اخبروا النكاح واخفوالخطبة

اعلنوا النكاح ولوبالدف

اشهدوا النكاح واعلنوها

اولم ولوبشاة

فصل بين الحلال و الحرام بالصوت والدف في النكاح

Adapun dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara gamblang tentang perintah atau

anjuran legalitas perkawinan. Namun, nash al-Qur’an tentang transaksi hutang piutang

seringkali dikaitkan dalam menentukan legalitas perkawinan. Pencatatan perkawinan

oleh beberapa pemikir dianggap menjadi perlu seiring berkembangnya kadaan dan

zaman demi menjamin beberapa hak dari para pihak.

ى فاكتبوه 16 …يا أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسم

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk

waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”

2. Pembacaan Ulama Konvensional dan Kontemporer

Berbicara mengenai legalitas ataupun keabsahan perkawinan, tidak terlepas dari

terpenuhinya rukun nikah pada saat perkawinan dilangsungkan. Adapun yang

diamksudkan sebagai rukun dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri,

jadi tanpa adanya salah satu rukun maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Rukun

pernikahan meliputi sighat ijab-kabul, calon mempelai, wali nikah dan saksi.

Salah satu hal yang berperan penting tentang kebsahan pernikahan sekaligus

sebagai alat bukti terjadinya pernikahan adalah kehadiran saksi. Mengingat pernikahan

yang sah dan akan menimbulkan kewajiban dan hak maka saksi menjadi hal yang urgen

sebagai penjamin hak dari para pihak yang bersangkutan. Para ahli fiqih bersepakat

bahwa pelaksanan akad nikah harus dihadiri oleh saksi-saksi, karena kehadiran saksi

15 Lihat Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1; Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim

Kontemporer, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2005), hlm. 69-70. 16 Q.S Al-Baqarah : 282.

Page 7: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

6

merupakan rukun akad nikah. Para ahli fiqih hanya berbeda pendapat dalam hal alasan-

alasan yang digunakan sebagai dasar hukum dari persaksian tersebut.

Abu Hanifah mengqiyaskan persaksian dalam akad perkawinan kepada persaksian

kepada persaksian di dalam muamalat. Adanya saksi-saksi dalam melakukan akad adalah

rukun akad muamalat. Karena itu adanya saksi dalam akad perkawinan tentu lebih utama

dan diperlukan daripada saksi-saksi dalam akad muamalat. Imam Abu Hanifah

melakukan qiyas tersebut karena berpendapat bahwa tidak ada nash yang sahih yang

dapat dijadikan dasar hukum bagi persaksian itu.17 Selain itu, Abu Hanifah juga

menambahkan beberapa kriteria dalam kesaksian yatiu sifat adil untuk menghindari

adanya kebohongan. Asy-Syafi’I juga mengharuskan adanya saksi dalam perkawinan.

Saksi dalam perkawinan harus dua orang pria yang adil. Saksi yang menghadiri akad

nikah haruslah dua lelaki muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti

atau faham akan maksud akad nikah tersebut.18

Adapun pandangan Imam Malik, lebih menenankan pada fungsi kehadiran saksi

yaitu pengumuman. Sebagaimana dikutip Khoiruddin bahwa al-Kasani menyatakan

bahwa saksi harus ada dalam akad nikah yang fungsinya sebagai sarana pengumuman

atau untuk menyebarluaskan informasi tentang pernikahan tersebut. Lebih lanjut

disebutkan bahwa dalam kitab Al-Mudawwanah, Imam Malik membedakan antara nikah

sirri dengan perkawinan yang disertai dengan bukti. Nikah sirri didefinisikan sebagai

pernikahan yang sengaja dirahasiakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan

tersebut. Hukum pernikahan seperti ini adalah tidak sah, sebaliknya hukum pernikahan

yang tidak ada bukti tapi diumumkan kepada khalayak (masyarakat) adalah sah.19

Bagi Imam Malik keberadaan saksi dalam pernikahan bukan sebagai syarat sah

perkawinan, bahkan jika terjadi pernikahan tanpa adanya saksi (bayyinah) akan tetapi ada

pengakuan dari salah satu atau keduanya maka hukumnya adalah sah dengan syarat

mempublikasikannya di kemudian hari. Asy-Syafi’I dan Abu Hanifah berpendapat bahwa

saksi merupakan syarat sah pernikahan. Dua orang saksi harus hadir ketika akad nikah

17 Mukhtar, Kamal , Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993),

hlm 103. 18 Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hlm 62. 19 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum

Perkawinan Di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA , 2009), hlm 327-328.

Page 8: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

7

dilangsungkan karena tujuan dihadirkannya saksi adalah menyaksikan terjadinya akad

nikah.20 Bagi asy-Syafi’I fungsi saksi adalah sebagai I’lan (publikasi) dan qabul

(diterimanya akad), berbeda dengan Abu Hanifah yang hanya mengatakan fungsi saksi

sebagai I’lan saja. Dalam konteks ini, fungsi publikasi sudah terpenuhi dengan hadirnya

dua orang saksi pada waktu akad nikah. Apabila terjadi sesuatu di kemudian hari, maka

fungsi saksi dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan perkawinan tersebut.

Melihat dari sekian pendapat yang dikemukakan oleh para Imam Mazhab, maka

tujuan persaksian adalah sebagai alat bukti adanya pernikahan. Pernikahan membutuhkan

alat bukti untuk menagkis segala tuduhan adanya perbuatan yang haram seperti zina dan

juga sebagai alat bukti ketika tejadi pengingkaran terhadap pernikahan oleh beberapa

pihak yang bersangkutan.

Pembahasan mengenai saksi menjadi lebih luas dengan adanya tujuan kehadiran

saksi yaitu pengumuman. Hal ini pula yang member nuansa baru dalam pembaruan

hukum perkawinan di negara Muslim yang membuat cara untuk mengumumkan

perkawinan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan lebih mencakup secara luas

daripada tujuan pengumuman yaitu dengan cara pemcatatan perkawinan secara

administratif.

Mahmud Shaltut menyatakan bahwa perkawinan sirri adalah salah satu bentuk

perkawinan jenis lama yang sudah lama dijelaskan definisi dan hukumnya oleh fuqaha.

Lebih lanjut Shaltut menyatakan bahwa fuqaha tradisional menyepakati perkawinan sirri

adalah akad nikah oleh dua belah pihak tanpa ada saksi, pengumuman dan tanpa

penulisan buku resmi dan pasangan tetap hidup dalam kondisi yang disembunyikan.

Lebih lanjut, Shaltut berpendapat bahwa tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk

memelihara hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perkawinan yaitu hak suami-istri

dan anak-anak sebagai keturunan seperti pemeliharaan, warisan, dan perwalian.21

Qurais Shihab mengungkakan satu pola pernikahan sirri yang tidak lebih

merupakan rekayasa perkawinan. Perkawinan ini hanyalah untuk menyiasati sebuha

perkawinan di luar perkawinan yang mempunyai status hukum (resmi). Quraish Shihan

20 Abi Bakr Ibn Mas'ud al Kasani-al-Hanafi, Kitab Badai' Al Sanai' Fi Tartib Al Sharai', (Beirut: Dar

al Fikr, 1996), hlm 398. 21 Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan

Di Dunia Muslim.

Page 9: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

8

berpendapat bahwa hukum perkawinan sebagaimana disebut di atas adalah sah, namun

dapat menimbulkan kerancuan status pasangan suami-istri serta anak yang dilahirkan.

Kerahasiaan perkawinan dapat mengurangi penghormatan, kesucian rumah tangga dan

penjagaan pasangan suami istri agar tidak terjerumus pada hal-hal negative dengan

diketahui masyarakat tentang keberadaan pasangan tersebut.22

Atho’ Mudzhar juga mengemukakan bahwa meskipun umumnya ulama Indonesia

setuju dengan pasal 2 ayat 2 UUP yang mengharuskan pencatatan pernikahan menurut

aturan yang berlaku mskipun tidak disebut dalam kitab fikih, namun dalam

pelaksanaannya masyarakat Islam Indonesia masih mendua. Kecenderungannya adalah

bahwa apabila semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab

fikih telah terpenuhi maka suatu perkawinan tetap sah. Pada realitas saat ini, praktik

seperti ini dapat mengacaukan proses hukum yang selanjutnya atau mengacaukan hak hak

hukum anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut. Seharusnya, aturan ini dipahami

sebagai bentuk bar dan resmi dari perintah Nabi SAW agar mengumumkan atau

mengiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing.23 Sehingga pencatatan

perkawinan menjadi suatu hal yang penting yang menjadi serangkaian seremonial acara

perkawinan yang dilangsungkan.

3. Aturan dalam Perundang-undangan

Sejak berlakunya UUP No. 1 Tahun 1974 sahnya perkawinan menurut hukum

agama di Indonesia sangat menentukan. Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan

menurut hukum agama masing-masing, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah.

Perkawinan yang dilakukan di Pengadilan atau di kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan

terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu, maka perkawinan tersebut tidak sah.24

Berdasarkan teks al-Qur’an dan hadist, syarat sahnya suatu perkawinan adalah adanya

calon mempelai, adanya kerelaan dua pihak, adanya wali mempelai, adanya dua orang

saksi dan adanya ijab dan kabul.

22 Wannimaq Hasbul, Perkawinan terselubung di antara berbagai pandangan, (Jakarta: Golden

Terayon Press, 1994), hlm 24. 23 Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi Dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian

Ilahi Press, 1998), hlm 180. 24 Wasman, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Perbandingan Fiqh dan Hukum Positif,

(Yogyakarta: Teras, 2011), hlm 50.

Page 10: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

9

Sejak zaman penjajahan hal-hal yang berkaitan dengan masalah pernikahan, talak

dan rujuk diharuskan dicatat menurut peraturan yang berlaku sebagaimana dalam undang-

undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.25 Adapun dalam UUP

No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dijelaskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.” KHI juga menenkankan aturan tentang

keharusan pencatatan perkawinan yang dijelaskan dalam pasal 4 dan pasal 5 dn akibat

penyimpangan pasal tersebut dijelaskan dalam pasal 6 ayat (2), yaitu “perkawinan yang

dilakukan di luar pengawasan pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.” Hal

tersebut diperkuat olah pasal 7 ayat (1) yaitu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan

akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah (2) Dalam hal perkawinan tidak

dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Akta nikah menjai alat bukti baru dalam sebuah pernikahan yang memiliki

kekautan hukum di bawah paying hukum negara. Dengan adanya akta nikah, maka suami

istri bersangkutan mempunyai alat bukti perkawinan yang sah berdasarkan UUP No. 1

tahun 1974, yang dapat digunakan apabila diperlukan baik sebagai suami istri maupun

sebagai orang tua/kepala rumah tangga dan sebagainya.26

Terdapat beberapa pandangan tentang eksistensi pencatatan perkawinan dalam

legalitas perkawinan. Sebagian pemikir berpandangan pencatatan menjadi syarat sah

perkawinan, dengan kata lain perkawinan dianggap sah setelah ada pencatatan. Sementara

pandangan lainnya yang umumnya dipegang oleh kaum muslim tradisionalis dan juga

banyak ahli hukum memandangnya hanya sebagai syarat administrasi.

Pada kelompok pertama yang berpendapat bahwa pencatatan adalah syarat sah

perkawinan secara umum, beralasakan pada beberapa hal diantaranya, pertama, ada

kecenderungan untuk tunduk dan melaksanakan perkawinan berdasarkan perdata dan

ordonansi perkawinan Kristen Indonesia, yang hanya dengan akta perkawinan dapat

25 Adapun isi pokok undang-undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954

adala sebagai berikut : (1) Nikah, Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah. (2) Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Lebih lanjut, lihat Undang-undang No. 22 tahun 1946 pasal 1 ayat (1) dan (2).

26 Wasman, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Perbandingan Fiqh dan Hukum Positif, hlm

67.

Page 11: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

10

dibuktikan sahnya perkawinan. Kedua, penafsiran pasal 2 ayat UUP sebagai suatu

kesatuan yang artinya perkawinan yang telah memenuhi syarat keagamaan dan/atau

kepercayaannya disusul dengan pendaftaran atau pencatatan. Ketiga, apabila pasal 2 UUP

dikaitkan dengan Bab III (Pasal 13 s/d 21) dan Bab IV (pasal 22 s/d 28) UU No. 1 Tahun

1974, masing-masing tentang pencegahan dn batalnya perkawinan hanya bisa dilakukan

apabila menempuh prosedur pendaftaran dan pencatatan sebagaimana diatur dalam PP

No. 1975.27 Keempat, berdasarkan tafsiran analogi dari surat al-Baqarah (2): 282, bahwa

untuk muamalah saja yaitu mengenai utang-piutang dan perjanjian dalam waktu yang

lama dibutuhkan kesaksian dua orang saksi laki-laki yang adil dan dituliskan dengan

seorang penulis yang dipercayai. Demikian pula untuk perkawinan yang dianggap

sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidza) dan untuk waktu yang langgeng.28

Adapun kelompok yang lainnya yaitu yang berpendapat bahwa perkawinan

hanyalah syarat administrative saja, memiliki beberapa alasan diantaranya,

Pertama, didukung kebiasaan sejak UU No. 22 tahun 1946 yang berlaku untuk

seluruh Indonesia yaitu Undang-undang tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk

dimana pejabat agama hanya berperan sebagai pengawas nikah, talak dan rujuk bukan

undang-undang yang mengatur tata cara perkawinan seperti halnya UU No. 1 Tahun

1974. Kedua, penjelasan UUP pasal 2 jelas menunjukkan kearah pendapat bahwa

pencatatan perkawinan hanya sebagai administrative semata. Bagi kelompok ini, sahnya

perkawinan adalah apabila dilakukan sesuai dengan hukum Islam (memenuhi rukun dan

syarat perkawinan). Neng Djubaidah mencatat, bagi orang Islam sahnya perkawinan

adalah apabila dilakukan menurut hukum Islam sedangkan pencatatan perkawinan hanya

sebagai administratif semata.29 Ketiga, pencatatan kelahiran, kematian, demikian pula

perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting bukan suatu peristiwa hukum.

Bagir Manan menyatakan bahwa pencatatan perkawinan dalam UUP, bukan lagi

peristiwa hukum karena perkawinan sebagai peristiwa hukum ditentukan oleh agama

27 Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan

Di Dunia Muslim, hlm 354-355. 28 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang No.1

Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm 97. 29 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum

Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 214.

Page 12: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

11

karena itu (pencatatan perkawinan) tidak diperlukan dan tidak dapat mengesampingkan

sahnya perkawinan yang telah dilakukan menurut masing-masing agama.30

Dengan adanya penafsiran yang berbeda-beda oleh para pakar hukum dan para

pemikir, maka hal ini berimplikasi terhdap umat Islam di Indonesia. Ada kecenderungan

umat Islam tidak perlu mencatatkan perkawinannya kepada Pejabat Pencatat Nikah (PPN)

di KUA. Sehingga banyak kasus ditemukan tentang pernikahan di bawah tangan atau

yang lazim dikenal dengan sebutan nikah siri pada berbagai kalangan masyarakat.

D. Maqasid Syariah dalam menjawab permasalahan Nikah Siri

Secara leksikal, Maqashid adalah bentuk plural (shigah muntaha al-jumu’) dari kata

maqshud. Derivasi dari fi’il madhi Qa-sha-da yang berarti menuju, bertujuan, berkeinginan,

dan kesengajaan.31 Kata maqshud-maqashid dalam ilmu gramatikal bahasa Arab disebut

dengan isim maf’ul yang berarti sesuatu yang menjadi obyek, oleh karenanya kata tersebut

dapat diartikan dengan ‘tujuan’ atau ‘beberapa tujuan’. Dalam istilah syariat, maqashid

mempunyai beberapa makna seperti al-hadf (tujuan), al-gard (sasaran), al-mathlub (hal yang

diminati), ataupun al-ghayah (tujuan akhir) dari hukum Islam.

Secara praktis, al-Maqashid dapat diklasifikasikan berdasarkan dimensi keniscayaan

(dasar klasifikasi klasik), dimensi hukum yang berusaha untuk mencapai al-Maqashid,

dimensi golongan manusia yang diliputi al-Maqashid, dan dimensi universalitas al-

Maqashid.32

Para ulama klasik mengklasifikasikan al-Maqashid berdasarkan dimensi keniscayaan

menjadi 3 tingkatan, yaitu al-Dharuriyyah (primer), al-Hajiyat (sekunder), dan al-

Tahsiniyyat (tersier). Kemudian tingkatan al-Dharuriyyah mereka pecah lagi menjadi 5

tingkatan, yaitu Hifz al-Dien (pelestarian agama), Hifz al-Nafs (pelestarian diri), Hifz al-Mal

(pelestarian harta), Hifz al-‘Aql (pelestarian akal), dan Hifz al-Nasl (pelestarian keturunan).

Sebagian ulama menambahkan Hifz al-‘Ird (Pelestarian kehormatan).33

30 Ibid, hlm 217. 31 Muhammad Fauzinudin Faiz, Kamus Kontemporer Mhasantri 3 Bahasa, (Surabaya: Penerbit

Imtiyaz, 2012), hlm. 105. 32 Yunal Isra’, Langkah Awal Memahami Maqashid Syari’ah: Resuman buku Maqashid al-

Syari’ah; Dalilun li al-Mubtadi’ karya Jaser Audah, pdf. 33 Ibid.

Page 13: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

12

Maqashid al-syari’ah adalah prinsip dasar dan pintu utama untuk memahami hukum

yang telah diturunkan oleh Tuhan kepada Muhammad SAW yaitu al-Qur’an dan Sunnah.

Menurut Jasser Auda, maqashid al-syari’ah (sekumpulan tujuan ketuhanan dan nilai-nilai

moral) itu dapat dijadikan sebagai jembatan antara syariah Islam dengan berbagai isu-isu

dan tantangan kekinian, bahkan menjadi kunci utama. Ia menjadi pintu dasar untuk

melakukan ijtihad terhadap pembaharuan. Bahkan maqashid al-syari’ah merupakan bagian

terdalam dari inti agama Islam itu sendiri.

Jasser Audah berkeinginan untuk mengkontruksi konsep maqashid lama menuju

konsep yang lebih baru yang lebih terbuka, elastis, dan damai dalam menjujung nilai

kemanusiaan.34 Berikut adalah pernyataan Jasser ‘Audah yang berkaitan dengan

penelitiannya:

Current Applications (Or rather, mis applications) of Islamic law are redutionist

rather than holistic, literal rather than moral, one-dimensional rather than

multidimensional, binary rather than multi-valued, deconstructionist rather

than reconstructionist, and causal rather than teleological.113

Adapun patokan dari terciptanya maqashid syari‘ah adalah terjaganya usul al-

khamsah, yaitu penjagaan terhadap agama, Penjagaan terhadap jiwa, penjagaan

terhadap akal, penjagaan terhadap keturunan dan penjagaan terhadap harta. Patokan

maqashid di atas mengalami pergeseran teori dengan mempertimbangkan perkembangan

kontemporer dalam rangka merespon kebutuhan zaman.

Perubahan paradigma dan teori Maqasid lama ke teori Maqasid baru terletak pada

titik tekan keduanya. Titik tekan Maqasid lama lebih pada protection (perlindungan) dan

preservation (penjagaan; pelestarian) sedang teori Maqasid baru lebih menekankan pada

development (pembangunan; pengembangan) dan right (hak-hak).

Tabel Pergeseran Paradigma Teori Maqasid Klasik Menuju Kontemporer35

No. Teori Maqasid Klasik Teori Maqasid Kontemporer

34 Inna Fauziatul Azizah, Tinjauan Maqashid Syariah terhadap poligami masyarakat miskin : (Studi

Empat Keluarga di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali), thesis tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga, 2015), hlm 61-62

35 Book Review Maqashid Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A System Approach, Maksum, mahasiswa Magister Studi Islam, Kons. Ekonomi Islam, Universitas Islam Indonesia, 2014.

Page 14: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

13

1. Menjaga Keturunan (al-Nasl) Teori yang berorientasi kepada perlindungan

keluarga; kepedulian yang lebih terhadap

institusi Keluarga

2. Menjaga Akal (al-Aql) Melipatgandakan pola pikir dan research

ilmiah; mengutamakan perjalanan untuk

mencari ilmu pengetahuan; menekan pola

pikir yang mendahulukan kriminalitas

kerumunan gerombolan; menghindari upaya-

upaya untuk meremehkan kerja otak.

3. jaga kehormatan; menjaga

jiwa (al-nafs/al-‘Irdh)

Menjaga dan melindungi martabat

kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-

hak asasi mMenanusia.

4. Menjaga agama (al-Diin) Menjaga, melindungi dan menghormati

kebebasan beragama atau berkepercayaan.

5. Menjaga harta (al-Maal) Mengutamakan kepedulian sosial; menaruh

perhatian pada pembangunan dan

pengembangan ekonomi; mendorong

kesejahteraan manusia; menghilangkan jurang

antara miskin dan kaya.

Dari sekian penjelasan megenai maqashid oleh beberapa tokoh, maka solusi dari

permasalahan tentang nikah sirri dapat dijawab dengan menggunakan konsep ini.

Sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelumnya, terdapat beberapa nash yang

mengacu pada legalitas perkawinan. Dari kesekian dalil yang berhubungan, dapat

disimpulkan bahwa terdapat beberapa yang menjadi syarat sahnya sebuah perkawinan.

Hal yang dituntut untuk dissuaikan dengan kebutuhan zaman saat ini adalah mengenai

kehadiran saksi dalam akad nikah.

Fungsi –ataupun dapat dikatakan tujuan pensyariatan saksi- adalah untuk

mengumumkan atau memberitahukan telah terjadi pernikahan. Pernikahan bukan lagi

perbuatan hukum yang bersifat privat namun sudah menjadi urusan publik yang siapapun

sepantasnya mengetahui pernikahan yang dilangsungkan. Dengan demikian yang

memilik hak untuk mengetahui adalah pihak yang terkait langsung dengan pernikahan

Page 15: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

14

yaitu suami-istri, wali dan saksi juga pihak yang tidak terkait secara langsung yaitu

masyarakat. Fungsi dari pengetahuan masyarakat adalah untuk menjamin hak dari pihak

yang terlibat perkawinan dan hak masyarakat untuk terjamin dari perbuatan fitnah.

Pengakuan dan penjaminan dari masyarakat ini muncul karena adanya pemberitahuan

tentang prosesi pernikahan yaitu dengan adanya walinah, saksi ataupun pencatatan secara

tertulis.36

Hal ini juga akan sejalan dengan tujuan pencapaian perkawinan yaitu sakinah.

Cita-cita pasangan yang melangsungkan perkawinan dalam mewujudkan sakinah atau

ketenangan akan tercapai apabila status perkawinan diketahui oleh masyarakat. Dengan

adanya pengakuan masyarakat tentang perkawinan yang telah terjadi, anggota keluarga

yaitu suami, istri, anak ataupun krabat yang lain akan merasa lebih tenang dari segala

kekhawatiran, prasangka juga fitnah yang muncul dari pihak terkait ataupun masyarakat.

Adapun hak yang timbul dari adanya pengumuman pernikahan kepada publik

dapat dikategorikan sebagai penjagaan keturunan (hifz an-nasl) yang lebih berkembang

pada orientasi perlindungan keluarga dan kepedulian yang lebih terhadap institusi

keluarga. Selain itu juga mengandung unsure penjagaan jiwa dan kehormatan (hifz al-

nafs) menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-hak

asasi manusia. Lebih jelas akan diuraikan dalam table berikut.

Kategori maqashid Aplikasi

Penjagaan keturunan Dengan adanya pengumuman pernikahan dan

ketiadaan pernikahan sirri (dirahasiakan), maka

seluaruh anggota keluarga dapat terhindar dari

prasangka ataupun kekhawatiran tentang keabsahan

pernikahan.

Hak-hak dari para pihak dapat terjamin mengingat

perkawinan melaihrkan beberapa hak dan kewajiban

seperti nafkah, waris, pemeliharaan dan perwalian.

Problematika komtemporer yang muncul saat ini

36 Menelusuri Makna Perkawinan Dalam Al-Qur’an; Kajian Sosio-Linguistic Qur’ani, (Bandung :

Mizan, 2015), hlm. 52.

Page 16: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

15

adalah adanya KDRT, dengan adanya status

pernikahan yang sah dapat menjamin hak-hak hukum

ataupun perlindungan dari pihak yang berwenang

Penjagaan jiwa dan

kehormatan

Pada kategori maqashid ini diperuntukkan kepada

masyarakat yang menyaksikan pengumuman

pernikahan. Dengan adanya pengumuman pernikahan

atau bukti autentik pernikahan, maka masyarakat akan

terhindar dari segala prasangka ataupun kekhawatiran

dari pasangan yang bersama namun tidak terikat dalam

perkawinan (baik melalui pernikahan sirri ataupun

tidak melalui penikahan)

Cakupan masyarakat yang lebih luas, membutuhkan

suatu jaminan hak untuk lebih mudah mengetahui

keberadaan status pernikahan sebuah pasangan ketika

dibutuhkan pembuktian pernikahan.

Dalam konteks saat ini, pengumuman pernikahan tidak lagi dapat menjamin

keabsahan pernikahan secara maksimal. Peradaban yang terus berkembang seiring

dengan globalisasi dan kemajuan teknologi memaksa keadaan untuk memudahkan upaya

pembuktian dengan cara yang resmi dan diakui oleh setiap pihak. Upaya yang dilakuakn

beberapa negara muslim termasuk Indonesia dalam mengeluarkan kutipan akta nikah

sebagai bukti pencatatan perkawinan menjadi salah satu cara terbaru dalam menjamin

dan membutian keabsahan pernikahan dengan mudah. Hal ini dikarenakan pengetahuan

masyarakat tidak dapat lagi menjadi sebuah alat bukti untuk membuktukan adanya

pernikahan.

Sebagai salah satu contoh adalah ketika pasangan suami istri hendak bepergian ke

luar kota dan mengharuskan keduanya untuk menginap dalam sebuh hotel, maka hal yang

dapat menjadi alat bukti seketika itu untuk menjamin hak mereka sebagai pasangan suami

istri adalah akta nikah. Sehingga eksistensi akta nikah yang merupakan implikasi dari

adanya pencatatan nikah dapat menjadi solusi ataupun skala besar dari fungsi saksi

sebagaiman perintah syariat.

Page 17: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

16

Dapat disimpulkan bahwa demi mecapai tujuan pensyariatan saksi yang

dijelaskan dalam dalil syariat, keberadaan saksi diperluas dengan adanya pencatatan

pernikahan oleh pihak berwenang yang melahirkan kutipan akat nikah yang dapat dibawa

ke mana saja sebagai alat bukti telah terjadinya perkawinan yang sah diantara pasangan.

Meskipun tidak ada dalil khusus yang menunjukkan adanya perintah untuk mencatatkan

perkawinan, namun hal ini perlu dilakukan untuk menjamin kebutuhan manusia dalam

menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah.

E. Kesimpulan

Pada dasarnya, fungsi saksi dalam perkawinan adalah sebagai bukti bahwa seseorang

benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Saksi beralih menjadi skala

yang lebih luas yaitu pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar

seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) sekaligus jaminan kebebasan untuk melakukan

perbuatan yang menjadi hak yang ada dalam perkawinan. Hal ini dikarenakan salah satu

bukti yang dianggap sah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi

yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil,

tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat

bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan

pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak,

perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.

Meskipun saksi telah beralih pada pencatatan, bukan berarti eksistensi saksi dalam

perkawinanhilang begitu saja. Perkawinan yang dilakukan mengandung unsur ibadah yang

mana terdapat beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Sehingga hemat penyusun,

perkawinan dapat dikatakan sempurna apabila perkawinan tersebut telah memenuhi

keabsahan pada beberapa aspek yaitu agama melalui rukun dan syarat yang ada, negara

melalui pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang, serta masyarakat melalui

walimah atau resepsi.

Page 18: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

17

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi, Perkawinan dan perceraian keluarga muslim, Bandung: Pustaka setia, 2013.

Anshori, A. Ghofur, “Praktik Perkawinan di Bawah Tangan dan Peluang Legalisasinya di

Daerah Istimewa Yogyakarta”, Yogyakarta: Penelitian Fakultas Hukum UGM dengan

DEPAG, 2003Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab

Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali, Jakarta: PT. Hida karya Agung 1991.

Azizah, Inna Fauziatul, Tinjauan Maqashid Syariah terhadap poligami masyarakat miskin :

(Studi Empat Keluarga di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali), thesis tidak

diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015.

al Kasani-al-Hanafi, Abi Bakr Ibn Mas'ud Kitab Badai' Al Sanai' Fi Tartib Al Sharai', Beirut:

Dar al Fikr, 1996.

Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum

Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Faiz, Muhammad Fauzinudin, Kamus Kontemporer Mahasantri 3 Bahasa, Surabaya: Penerbit

Imtiyaz, 2012.

............................, Dekonstruksi Fiqh Talak: Konsep dan Pembacaan Ulang Dalam Studi Hukum

Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2019.

............................, Menelusuri Makna Perkawinan Dalam Al-Qur’an; Kajian Sosio-Linguistic

Qur’ani, Bandung : Mizan, 2015.

Hasbul, Wannimaq Perkawinan terselubung di antara berbagai pandangan, Jakarta: Golden

Terayon Press, 1994.

Isra’, Yunal, Langkah Awal Memahami Maqashid Syari’ah: Resuman buku Maqashid al-

Syari’ah; Dalilun li al-Mubtadi’ karya Jaser Audah, pdf.

Kustriyanto, Nikah Sirri di Kalangan Artis, skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga, 2007.

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum

Perkawinan Di Dunia Muslim, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009.

Maksum, Book Review Maqashid Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A System

Approach, Magister Studi Islam, Kons. Ekonomi Islam, Universitas Islam Indonesia,

2014.

Page 19: NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN TEORI MAQASHIDI

18

Muhdlor, Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk Menurut

Hukum Islam UU No 1/1974, Bandung : Al Bayan, 1994.

Mukhtar, Kamal , Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1993.

Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat,(Semarang: Dina Utama Semarang, 1993.

Mudzhar, Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi Dan Liberasi, Yogyakarta: Titian

Ilahi Press, 1998.

Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang No.1

Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Setiawati, Effi, Nikah Sirri Tersesat Di Jalan Yang Benar?, Bandung : Kepustakaan Eja Insabni,

2005.

Wasman, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Perbandingan Fiqh dan Hukum Positif,

Yogyakarta: Teras, 2011.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Undang-undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Kompilasi Hukum Islam.

http://news.okezone.com/read/2015/12/07/337/1262448/mensos-nikah-siri-penyumbang-

terbesar-kasus-kdrt (diakses 13 Desember 2015).