Analisa - Balai Penelitian dan Pengembangan Agama … · Persepsi Terhadap Nikah Sirri (Kasus...

158

Transcript of Analisa - Balai Penelitian dan Pengembangan Agama … · Persepsi Terhadap Nikah Sirri (Kasus...

I S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Volume XVIII, No. 01, Januari - Juli 2011

I S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Penanggung JawabDrs. H. Arifuddin Ismail, M.Pd

RedaktuR ahli/ MitRa bestaRiProf. Dr. H. Mudjahirin Thohir, M.A. (Universitas Diponegoro),

Prof. Dr. H. Muhtarom HM. (IAIN Walisongo), Dr. Iwan Junaedi (Universitas Negeri Semarang)

PeMiMPin RedaksiDrs. H. Ahmad Sodli, M. Ag.

RedaktuR PelaksanaMoh. Hasim, S.Sos.I, M.Pd.

anggota RedaksiDrs. Mulyani Mudis Taruna, M. Pd.,

Drs. R. Aris Hidayat, M. Pd.Arnis Rachmadhani, S.S., M.S.I.

Samidi, S.Ag., M.S.I.

adMinistRasiUmi Muzayanah, S.Si.

Titi Isnaini Fauzah, S.Sos.Ika Fitriani, S.Sos.

Nur Laili Noviani, S.Psi

layouteRGatot Tri Laksono

Moch. Luluil Maknun, S.S.Dedik Subroto

diteRbitkan olehBalai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

alaMat RedaksiBalai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Jl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep, Ngaliyan Semarang. Telp. (024) 7601327. Facs (024) 7611386

iv Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

vJurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Kata Pengantar — vii-viii

PeneLItIan

SAMIDI KHALIMAplikasi Kitab Al Hikam di Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah Turen Malang, Jawa Timur :: 9-25ABU ROKHMADTelaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz :: 26-37

ACHMAD SIDIQMasjid Besar Kauman Semarang : Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen :: 38-57

arnIS raCHMaDHanIPerkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara :: 58-73

ISMaIL ZUBIrPersepsi Terhadap Nikah Sirri (Kasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Mundu, Cirebon) :: 74-86

MOH. ROSYIDAhmdiyah di Kabupaten Kudus :: 87-100

WaHaBPengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama Pada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan di Palangkaraya :: 101-117

ALI KHUDRINPelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pada MTs Negeri Yogyakarta II :: 118-129

MUKHtarUDDInPengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik SMA Swasta di Kota Yogyakarta :: 130-141

PeMIKIran

MUStOLeHUDInTradisi Baca Tulis dalam Islam Kajian Terhadap Teks Al-Qur’an Surah Al ‘Alaq ayat 1-5 :: 142-151

BIOData PenULIS

Daftar Isi

vi Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

viiJurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

PENGANTAR REDAKSIAlhamdulillah, puji syukur atas limpahan rahmat dari Allah. Dengan hi-

dayah dan inayah-Nya Redaktur Jurnal Analisa dapat menyelesaikan terbitan Volume XVIII Nomor 01 tahun 2011 tanpa ada sesuatu aral yang melintang. Terbitan ini, Redaksi mencoba untuk melakukan langkah-langkah terbaik, dengan melakukan seleksi ketat terhadap naskah-naskah yang masuk dan meningkatkan ketelitian dalam tata layout guna peningkatan kualitas jurnal.

Untuk menjaga konsistensi pemuatan artikel dan menjaga keseimbangan antar bidang kajian penelitian, Jurnal Analisa tetap memuat 10 artikel yang terdiri atas 9 artikel hasil penelitian dan 1 artikel hasil kajian pemikiran. Dari sembilan artikel penelitian masing-masing terdapat tiga artikel yang disesuai-kan dengan tiga bidang kajian penelitian pada Balai Litbang Agama Semarang yaitu penelitian bidang Lektur dan Khasanah Keagamaan, bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan; dan bidang Kehidupan Keagamaan.

Kajian pokok pertama yang disajikan kali ini yaitu hasil penelitian bi-dang kajian Lektur dan Khasanah Keagamaan. Artikel saudara Samidi men-coba untuk mengawali pada halaman awal jurnal ini, dengan judul “Aplikasi Kitab Al-Hikam di Pondok Pesantren Biharul Bahri ‘Asali Fadaailir Rahmah Jawa Timur. Artikel ini mencoba untuk memotret praktek dari pengamalan ajaran tasawuf kitab Al-Hikam yang di ajarkan di Pondok Pesantren Biharul Bahri ‘Asali Fadaailir Rahmah Jawa Timur. Masih terkait dengan Kitab, den-gan kajian yang sedikit berbeda, artikel kedua meneliti dari sisi karakteristik dan metode yang digunakan dalam menyusun Kitab Tafsir Al- Ibriz. Kitab ini merupakan kitab karya ulama terkenal di Jawa yang banyak digunakan di pondok-pondok pesantren. Saudara Abu Rokhmad sebagai penulisnya mem-berikan kesimpulan bahwa metode tahlili yang digunakan dalam menyusun kitab Tafsir Al-Ibris memberikan nuansa karakter tersendiri dalam mema-hami isi kitab. Dengan bahasa Jawa tafsir ini memberikan nuansa lokal, dan kesederhanaan dalam menjelaskan kandungan ayat.

Sementara itu, untuk artikel ketiga dari Kajian Lektur dan Khasanah Ke-agamaan, lebih menonjol pada kajian Khasanah Keagamaan dengan meng-angkat nostalgia masa lalu keberadaan Masjid Besar Kauman Semarang. Dari Artikel “Masjid Besar Kauman Semarang” yang ditulis oleh Achmad Sidiq dapat ditemukan bahwa Masjid Besar Kauman Semarang kaya akan makna yang tersirat dari arsitektur dan ornamen-ornamen yang ada.

Masih dalam nuansa kelokalan, pokok kajian kedua yaitu bidang Kehi-dupan Keagamaan diawali dengan artikel Saudara Arnis Rachmadhani yang akan membawa kita kepada keorsinilan kebudayaan di wilayah Indonesia ba-gian Timur yaitu di Pulau Lombok. Perkawinan Islam Wetu Telu di Desa Ba-yan Kabupaten Lombok Utara, menjadi pokok kajian dengan keunikan adat. Tradisi nenek moyang masyarakat Bayan masih dipercaya dan di junjung

viii Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khal im

tinggi oleh generasi sekarang dalam bentuk pelaksanaan adat perkawinan. Persoalan perkawinan semacam itu juga menjadi kajian Ismail Zubir, namun kajiannya dilakukan pada masyarakat Sunda yaitu di Desa Sirancang Kabu-paten Cirebon. Penekanan kajian Ismail yaitu pada sisi Nikah Sirri yang ba-nyak menuai kontrofersi di masyarakat. Terkait dengan persoalan kehidupan keberagamaaan lain, persoalan kerukunan umat beragama menjadi perhatian Moh. Rosyid. Ahmadiyah di Kabupaten Kudus menjadi kajian menarik. Se-lama ini Ahmadiyah selalu saja menjadi persolan di masyarakat, namun Moh Rosyid menemukan fakta lain, yaitu Ahmadiyah di Kabupaten Kudus justru bisa adaptif dengan lingkungan, seperti mengikuti manaqiban atau mengikuti jamiyah yasin.

Pada bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan, masalah kurikulum nampaknya masih menjadi banyak perhatian peneliti. Sejak pemerintah me-wajibkan sekolah-sekolah melaksanakan pendidikan keagamaan sesuai den-gan agama yang di anut oleh peserta didik, nampaknya persoalan pendidikan keagamaan banyak menemui kendala pada sekolah-sekolah terutama pada sekolah-sekolah swasta yang bernaung dibawah yayasan keagamaan. Saudara Wahab mencoba untuk mengangkat kasus pengembangan dan pelaksanaan kurikulum pendidikan agama pada SMA Muhammadiyah 1 Palangkaraya. Sedangkan Saudara Ali Khudrin mengangkat pelaksanaan KTSP pada MTS Negeri II Yogyakarta. Dari pelaksanaaan kurikulum tentu diharapkan akan memberikan dampak positif bagi perkembangan pengetahuan dan mental perserta didik. Harapan-harapan itu kemudian dikaji oleh Saudara Mukhtar-uddin dengan mengambil pada sekolah swasta di Kota Yogyakarta. Mukhtar-uddin mencoba untuk membadingkan dampak antara Kurikulum PAI yang di keluarkan oleh Yayasan sendiri dengan Kurikulum PAI yang di keluarkan oleh Depdiknas.

Jurnal Analisa ini diakhiri dengan artikel pemikiran yang ditulis oleh saudara Mustholehuddin dengan judul “Tradisi Baca Tulis dalam Islam : Ka-jian Terhadap Teks Al-Qur’an Surah Al-Alaq Ayat 1-5”.

Demikian sekilas tentang isi terbitan jurnal analisa kali ini, sebagai peng-antar redaksi. Semoga terbitan kali ini bisa memberikan manfaat sebesar-be-sarnya bagi pembaca.

�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khal im

PENELITIANAPLIKASI KITAB AL HIKAM

DI PONDOK PESANTREN BI BA’A FADLRAH TUREN, MALANG,

JAWA TIMUR

Oleh SamIdI KhalIm**

* Samidi, S.Ag., M.S.I. adalah Peneliti bidang Lektur Keagamaan pada Balai Litbang Agama Semarang

AbstrAct :This is the study of al-Hikam, the book written by Ibn Athaillah, which

is taught in the Pesantren Biharu Bahri Asalai Fadhailir Rahmah in Turen, Malang, East Java. The research used content analysis and mysticism ap-proach. In the pesantren the teachings of the Hikam is not purely taught as knowledge but also applied in daily activities. Nevertheless, not all teachings of the book could be easily implemented in the real life but four major teach-ings are given a great consideration: al Muhasabah, al-Yaqin, Husnudhan, and al-Tawakkal.

Keywords: implementation, mysticism books, pondok pesantren

PendAhuluAn

Kitab al Hikam memuat ajaran tasawuf yang begitu luas dan dalam, yang dijadikan pedoman oleh para penempuh jalan sufi (salik) menuju Mahabbah Ilahiah. Ajaran al Hikam dapat dikatakan sebagai ajaran tasawuf yang me-madukan tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.

Pondok Pesantren Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah terletak di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang dirintis sejak tahun 1963, dan bangunan fisik berdiri sejak tahun 1978 dengan menetapnya beberapa santri. Pondok pesantren tersebut sering disingkat dengan Bi Ba’a Fadlrah, yang artinya lautannya laut, madunya Fadhal-nya Allah SWT.

Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah ini dirintis oleh KH. Ahmad Bahru Mafdlaludin Shaleh Al Mahbub Rahmat Alam (lahir pada 14 September 1943 di Desa Sananrejo, Turen Malang), menempati areal sekitar 5 (lima) hek-tar. Tentang kegiatan pesantren, sama seperti di pesantren pada umumnya.

10 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

Samidi Khal im

Kegiatan pengajian dilaksanakan pada setiap minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulannya, adapun waktunya adalah setelah salat Maghrib dan salat Subuh. Kitab-kitab yang diajarkan diantaranya adalah : al Hikam, Minahus Saniah, Nasha’ihul ‘Ibad, Jawahirul Bukhari, dan Tafsir Jalalain.

Pengkajian kitab kuning di pondok pesantren Bi Ba’a Fadlrah tidak ha-nya semata-mata karena memperoleh ilmu teoritis, tetapi ilmu yang didapat untuk dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Para santri dituntut untuk mengamalkan agama Islam secara utuh, baik dari aspek fikih, tauhid, maupun tasawuf. Ketiga unsur tersebut dipraktekkan secara bersamaan dalam setiap tindakan maupun kehidupan sehari-hari.

Peneliti tertarik untuk meneliti ajaran-ajaran di pondok tersebut, ter-utama sumber-sumber keilmuannya, yaitu kitab kuning. Adapun yang men-jadi sasaran penelitian ini adalah kitab tasawuf (mistik Islam), dengan ala-san bahwa “ciri mistis” pondok Bi Ba’a Fadlrah telah melekat. Kitab tasawuf yang diajarkan di Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah cukup beragam, mulai dari kitab dasar sampai dengan syarah atau penjelasan. Adapun yang dipilih dalam penelitian ini adalah kitab al Hikam karya Ibnu Athaillah (w.709 H) yang cukup populer. Kitab al Hikam termasuk kitab tasawuf yang cukup tua dan menjadi rujukan para ulama sufi dan para pengamal tasawuf.

Kitab al Hikam menjadi kitab tasawuf utama yang diajarkan di Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah bukan hanya teoritis, tapi juga praktis. Meskipun tidak semua ajaran al Hikam dapat diaplikasikan dalam kehidupan pondok, tapi ada beberapa ajaran yang sangat ditekankan. Ajaran tasawuf tersebut meliputi : al Muhasabah, al Yaqin, Husnudhan, dan al Tawakkal. Oleh se-bab itu, fokus penelitian ini adalah bagaimana aplikasi ajaran tasawuf dalam kitab al Hikam, khususnya ajaran al Muhasabah, al Yaqin, Husnudhan, dan al Tawakkal, di Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah.

Berdasarkan latarbelakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana aplikasi ajaran Kitab al Hikam di Pon-dok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah, khususnya tentang ajaran al muhasabah, al Yaqin, Husnudhan, dan al Tawakkal.

Metodologi PenelitiAn

Penelitian kitab tasawuf ini menggunakan analisis isi (content analysis) dengan pendekatan ilmu tasawuf. Analisis isi (content analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Bungin, 2008). Sedang-kan Ilmu tasawuf merupakan ilmu yang menjadi wasilah (perantara) dan membimbing seseorang untuk dapat mencapai Allah, seorang Sufi hanya cinta Allah, berpikir, bertafakur dan berdoa hanya untuk Allah semata. Satu-satunya yang diketahui hanya Allah dan apabila berpikir hanya tentang Allah, maka

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

11Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khal im

pikirannya akan tersucikan (Khalim, 2008 : 17). Tasawuf hanya mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani (Atjeh, 1996:39).

teMuAn dAn PeMbAhAsAn

Kitab al Hikam Karya Ibnu AthaillahIbnu Athaillah nama lengkapnya adalah Syekh Abû al-Fadhl Tâj al-Dîn

Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd Al-lâh ibn Ahmad ibn Isâ ibn al-Husain ‘Athâ’ Allâh al-Jizâmî. Ia lahir di Iskan-dariah (Mesir) sehingga dijuluki al-Iskandarî, tapi juga populer dengan al-Sakandarî. Dalam fikih, ia menganut dan menguasai mazhab Mâlikî, kendati beberapa pakar tarikh mengklaimnya sebagai penganut mazhab Syâfi‘î. Se-dangkan dalam tasawuf, ia terkenal sebagai pengikut sekaligus tokoh tarekat al-Syâdzilî (Glasse, 1996 : 145).

Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah) tahun 648 H/1250 M, lalu pindah ke Kairo. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Maliki di berbagai lembaga intelektual, an-tara lain Masjid al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini. Athaillah hidup semasa dengan Ibn Taimîyah dan termasuk seorang alim yang berbeda pandangan dengan Ibn Taimîyah ketika melontarkan kritik-kri-tiknya terhadap banyak pemikiran dan praktik tasawuf, termasuk pandangan tasawuf Ibn al-‘Arabî.

Semenjak kecil dan secara bertahap, ia menuntut ilmu dari para syekh-nya (guru-gurunya). Syekh yang paling banyak ia timba ilmunya adalah Abû al-‘Abbâs Ahmad ibn ‘Alî al-Anshârî al-Mursî (w. 686 H di Alexandria/Iskan-dariah), murid dari Abû al-Hasan al-Syâdzilî (pendiri tarekat al-Syâdzilîah). Kepuasannya pada tarekat Syâdzilîah dan syekhnya tersebut, mendorong Athaillah untuk mengarang Lathâ’if al-Minan fî Manâqib al-Syaikh Abû al-‘Abbâs wa Syaikhihi Abû al-Hasan.

Athaillah terbilang ulama yang produktif. Menurut catatan, tak kurang dari 20 karya yang dikarang dalam bidang tasawuf, hadis, akidah, tafsir, nahwu, dan usul fikih. Selain Lathâ’if al-Minan, Tâj al-‘Arûs, dan Miftâh al-Falâh, Al-Tanwîr fî Isqâth al-Tadbîr, ‘Unwân al-Taufîq fî dâb al-Tharîq dan Al-Qaul al-Mujarrad fî al-Ism al-Mufrad—yang memberi tanggapan terhadap Ibn Taimîyah seputar persoalan kalimat tauhid. Selain itu, ia juga menulis al-Hikam yang disebut-sebut sebagai magnum opus-nya (Glasse, 1996:145).

Kitab al-Hikam merupakan karya utama Ibn ‘Atha’illah, yang sangat pop-uler di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Buku ini juga men-jadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara (http://islam-

12 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

Samidi Khal im

klasik.serambi.co.id).Konsep tasawuf Ibnu Athaillah lebih mencerminkan pemikiran atau

pengembangan dari Tarekat Sadziliyah atas 5 (lima) pokok ajaran, yaitu : taqwa kepada Allah secara lahir dan batinmengikuti as-sunnah dalam perkataan dan perbuatanmenolak kekuasaan makhluk dalam penciptaan dan pengaturanridha kepada Allah SWT baik dalam keadaan sedikit maupun banyakselalu ingat bersama Allah SWT baik dalam keadaan senang maupun susah (http://islam-klasik.serambi.co.id).Kitab al-Hikam yang disusun oleh Ibnu Athaillah as Saukandari, meru-

pakan kitab yang sangat mantap ajaran tauhidnya sehingga oleh sebagian ulama dianggap sebagai ilmu ladunni dan rahasia quddus.Dalam muqadimah kitab al Hikam, Athaillah memberikan definisi ilmu tas-sawuf berdasarkan pendapat Imam Al Junaid :

Mengenal Allah, sehingga antaramu dengan Allah tidak ada perantara (hubungan dengan Allah tanpa perantara). Melakukan semua akhlak yang baik menurut sunnaturrasul dan mening-galkan semua akhlak yang rendah. Melepas hawa nafsu menurut sekehendak AllahMerasa tiada memiliki apapun, juga tidak dimiliki oleh siapapun kecuali Allah.Adapun cara untuk menempuhnya yaitu mengenal Asma’ Allah dengan

penuh keyakinan, sehingga menyadari sifat-sifat dan Af’al Allah di alam se-mesta ini. Adapun guru tasawuf yang petama dan utama adalah Nabi Muham-mad Saw, yang telah mengajarkan dari tuntunan wahyu dan melaksanakan-nya lahir batin sehingga diikuti oleh para sahabat-sahabatnya.

APlikAsi AjArAn tAsAwuf Al hikAM di Pondok PesAntren bi bA’A fAdlrAh

Pengkajian kitab al Hikam di Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah, menurut KH. Ahmad Hasan (40 th), disesuaikan dengan tujuan pembangunan pondok itu sendiri. Yaitu untuk membersihkan hati manusia dari kotoran-kotoran dan noda yang dapat menghalang-halangi hubungan seorang hamba dengan Khaliqnya. Meskipun demikian, tidak semua ajaran dalam kitab al Hikam dapat di terapkan kepada santri atau jamaah pondok pesantren Bi Ba’a Fadl-rah, tegas KH. Ahmad Hasan. Pengkajian kitab al Hikam di Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah didasarkan pada pemahaman dan interpretasi pengasuh, se-hingga dimungkinkan terjadi perbedaan dengan pemahaman yang disampai-kan oleh kyai lain.

Ajaran tasawuf Ibnu Athaillah terutama yang terdapat dalam kitab al Hi-kam tersebut sangat ditekankan pengamalannya kepada para santri dan ja-

1.2.3.4.5.

1.

2.

3.4.

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

13Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khal im

maah pondok pesantren Bi Ba’a Fadlrah. Tidak semua ajaran tasawuf dalam kitab al Hikam dapat diterapkan di lingkungan pondok, tetapi ada beberapa ajaran tasawuf yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan itu tidak jauh dari apa-apa yang ada dalam kitab al Hikam. Ajaran-ajaran tasawuf yang bersumber dari kitab al Hikam yang teraplikasi dalam perilaku dan ke-hidupan santri di lingkungan pondok Bi Ba’a Fadlrah, sejauh pengamatan penulis tercermin dalam sikap al Muhasabah, al Yaqin, husnudzan, dan pas-rah (al Tawakkal).

1. Al MuhasabahAl Muhasabah menurut KH. Ahmad Hasan adalah introspeksi diri. Se-

tiap santri di Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah dianjurkan untuk senantiasa al muhasabah, tidak bersandar pada amal usaha atau ibadahnya sendiri. Al muhasabah merupakan salah satu bentuk dzikir atau mengingat Allah SWT, berhati-hati dari ghaflah (lalai) karena lalai itu menyebabkan hati menjadi beku. Al muhasabah menjadikan seseorang merasa semakin dekat Allah SWT, merasakan Kemahakuasaan dan Kemahabesaran-Nya. Tidak ada tempat ber-sandar, berlindung, berharap kecuali Allah SWT, tidak ada yang menghidup-kan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Dia. Hal ini ditunjukkan dalam kitab al Hikam pada Hikmah yang ke-1 sebagai berikut :

“Setengah dari tanda bahwa seorang itu bersandar diri pada kekuatan amal usahanya, yaitu berkurangnya pengharapan terhadap rahmat karunia Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau dosa”.

Dengan al Muhasabah seseorang akan menyadari dirinya betapa kecil dan rendahnya di hadapan Allah SWT, sehingga dia akan melakukan Taubah. Taubah dalam kacamata sufi merupakan dasar untuk melakukan perjalan-an menuju Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan oleh para sufi bahwa “At Taubah asasul maqam” (taubat itu dasar atau pondasi maqam). Taubah merupakan langkah awal untuk membersihkan hati. Taubah yang dipraktek-kan oleh santri Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah sesuai dengan persoalan masing-masing, antara yang satu dengan yang lain tidak sama.

Pelaksanaan taubah didasarkan pada hasil Istikharah Romo Kyai, se-bagaimana dituturkan oleh KH. Ahmad Hasan, misalnya ada seorang santri setelah al Muhasabah kemudian ingin bertaubat, menurut istikharah Romo Kyai karena santri tersebut “main hati” (suudzan) pada orang lain, maka solusinya santri tersebut harus menyesali. Santri telah berusaha menyesali namun tidak bisa juga, maka menurut KH. Ahmad Hasan dibutuhkan orna-men lain untuk bertaubat. Ornament lain itu berupa kebajikan, karena keba-jikan itu alat untuk menghapus dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “innal hasanati yudzhibus sayyiat”, yang artinya : sesungguhnya ke-bajikan itu dapat menghapus kejelekan. Misalnya disuruh utuk ikut bekerja

14 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

Samidi Khal im

atau membantu pembangunan pondok. Ornamen kebajikan itu setiap orang tidak sama, tergantung istikharah Romo Kyai, ada yang hanya disuruh untuk berwudlu, ada yang disuruh untuk salat, ada yang disuruh berdzikir, ada juga yang disuruh berinfaq atau jawarih ikut secara fisik melakukan pembangunan pondok beberapa hari.

Usaha yang telah dilakukan dengan keras dan penuh semangat belum tentu membuahkan hasil, semua tergantung pada Kuasa dan Kehendak Allah. Oleh sebab itu, Romo Kyai sering berpesan agar jangan mengandalkan amal dan usaha, tetapi bergantunglah kepada rahmat Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam kitab al Hikam pada Hikmah yang ke 3-4, sebagai berikut :

“Kekerasan semangat/perjuangan itu, tidak dapat menembus tirai takdir, kekeramatan atau kejadian-kejadian yang luar biasa dari seorang wali itu, ti-dak dapat menembus keluar dari takdir, maka segala apa yang terjadi semata-mata dengan takdir Allah”.

“Istirahatkan dirimu/fikiranmu daripada kerisauan mengatur kebutuhan duniamu, sebab apa yang sudah dijamin/diselesaikan oleh lainmu, tidak usah kau sibuk memikirkannya”.

Pengabdian atau ikhtiar yang harus dilakukan oleh santri atau jamaah Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah lebih cenderung bersifat sirri. Misalnya seorang santri atau jamaah sedang marahan atau cekcok dengan istrinya, ternyata awal mulanya sang istri iri atau jengkel pada orang lain. Kemudian berdasarkan istikharah Romo Kyai, orang tersebut disuruh/dianjurkan untuk bekerja membantu pembangunan fisik pondok beberapa hari, untuk mewakili istrinya, maka tahu-tahu istrinya sudah baikan lagi. “Jadi, disini yang tekank-an lebih pada pada praktek, karena dengan praktek santri akan menjadi pa-ham”, jelas KH. Ahmad Hasan. Aplikasi al muhasabah : taubah, kebajikan, husnudzan, dzikir, riyadhah. Riyadhah, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para salafussalih. Riyadhah setiap santri tidak sama, tergantung pada istikharah Romo Kyai.

Istikharah yang dilakukan oleh Romo Kyai tidak seperti istikharah yang dilakukan oleh orang awam, dengan salat dan mendapat petunjuk dari Al-lah melalui tabir mimpi. Beliau sudah termasuk Arifbillah, nur warid sudah menyingkapkan tabir atau hijab antara beliau dan Allah SWT, sehingga apa-apa yang beliau kerjakan sudah bukan lagi berdasarkan nafsu atau keingin-an pribadi tapi petunjuk Allah semata. Romo Kyai sudah tidak lagi merasa sebagai subyek dalam hidup ini, tetapi beliau sudah merasa sebagai obyek, terserah yang menjalankan. Seperti wayang, tergantung dari dalang yang me-mainkannya. Orang yang sudah mencapai maqam arifbillah itu tidak punya rencana ke depan, hanya punya keinginan tetapi semua dikembalikan kepada Allah, pasrah mengikuti kehendak dan takdir Allah SWT, jelas KH. Ahmad Hasan.

Berbeda dengan orang awam, yang masih merasa bahwa hidupnya men-

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

15Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khal im

jadi subyek. Hidup itu adalah pilihan, setiap orang tidak bisa lepas dalam menentukan pilihannya setiap hari. Oleh sebab itu, perlu bagi setiap muslim untuk senantiasa mohon petunjuk kepada Allah Swt, melakukan istikharah setiap hari, agar setiap yang diputuskan atau dipilihnya berdasarkan pilihan (petunjuk) Allah SWT. Sedangkan untuk para santri dan jamaah Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah, istikharah mereka tinggal mengikuti atau napak tilas dawuh-dawuh Romo Kyai saja.

2. Al Yaqin (Yakin)Yakin yang dimaksud di sini adalah keyakinan yang bulat kepada Kuasa

dan Rahmat Allah SWT, jelas KH. Ahmad Hasan. Ajaran al Yaqin sangat ditanamkan kepada para santri dan jamaah Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah, mereka harus memiliki keyakinan yang kuat atas kuasa dan kasih sayang Allah SWT. Jika seseorang punya keyakinan yang kuat maka dia akan merasakan kedekatan dengan Allah, merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, serta suka cita. Kondisi demikian karena suasana hati diliputi oleh cinta, kelembutan, keindahan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit dilukiskan.

Al Yaqin dalam terminologi sufi merupakan perpaduan antara ‘ilm al yaqin, ‘ainul al yaqin, dan haqqul al yaqin (Muhammad, 2002:57). ‘Ilm al yaqin dalam terminologi para ulama adalah sesuatu itu dipandang ada jika ada buktinya, seperti seseorang yang memperoleh petunjuk dari kecemer-langan cahaya matahari dan merasakan kehangatannya. Sedangkan ‘ainul al yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai penjelasan, seperti orang itu melihat wujud matahari. Haqqul al yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-si-fat yang menyertai kenyataannya, laksana memancarkan cahaya mata dalam cahaya matahari. Dalam Ilm al Yaqin, ia diketahui, dibuktikan, dan tampak jelas; dalam ‘ainul al Yaqin, ia mewujud dan bisa disaksikan; dalam haqqul al Yaqin muncul dua cara sebagai akibat dari yang menyaksikan dan yang disak-sikan serta yang melihat dan yang dilihat (Suhrawardi, 1998:130).

‘Ilm al Yaqin, dibutuhkan bagi mereka yang cenderung rasional. ‘Ainul al Yaqin bagi para ilmuwan. Sedangkan Haqqul al yaqin, bagi orang-orang yang ma’rifah. Masalah yakin tersebut diungkapkan dalam kitab al Hikam pada Hikmah ke 45, yaitu :

“Sinar matahati itu dapat memperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu. Dan matahati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ke-tiadaanmu karena wujud (adanya) Allah, dan hakikat matahati itulah yang menunjukkan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan adam (ketiadaanmu) dan bukan pula wujudmu. Syu’a a’ul bashiirah yaitu cahaya akal. Ainul bashi-rah yaitu cahaya ilmu. Dan haqqul bashirah yaitu cahaya Ilahi.

Ajaran al Yaqin ini oleh KH. Ahmad Hasan menjadi titik tekan yang harus dipraktekan oleh setiap santri, sesuai dengan dawuh Romo Kyai (KH. Ah-

16 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

Samidi Khal im

mad). Bahwa setiap santri harus yakin terhadap Kekuasaan, Kehendak dan Kemurahan Allah SWT. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, termasuk segala hal yang terjadi pada diri kita harus diyakini sebagai Kuasa dan Ke-hendak Allah SWT. Demikian juga dengan dosa, pahala, surga, neraka, dan Yaumil Akhir, sebatas pengetahuan awal semata atau dikenal dengan Istilah “Ilm al Yaqin”.

Ilmu keyakinan (ilm al yaqin) adalah pengungkapan cahaya hakikat dalam keadaan ketersembunyian umat manusia dengan bukti ekstase (wajd) dan kegembiraan (dzauq), dan bukan dengan bimbingan akal (aql) dan berita (hadist). Para ulama tasawuf menyebut cahaya ini sebagai di balik hijab, yak-ni cahaya keimanan dan melalui hijab, yakni cahaya keyakinan (Suhrawardi, 1998:129).

Sangat berat bagi para santri Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah, untuk menapaki jalan para arifbillah untuk mencapai maqam haqqul al Yaqin, karena godaan duniawi sangat lekat dengan kehidupannya, nafsu dan syah-wat masih mengikatnya. Hal ini digambarkan oleh Ibnu Athaillah dalam hik-mahnya yang ke-13, yaitu :

Bagaimana akan dapat terang hati-seseorang yang gambar dunia ini ter-lukis dalam lensa/cermin hatinya. Atau bagaimana akan pergi menuju kepa-da Allah, padahal ia masih terikat (terbelenggu) oleh syahwat hawa nafsunya Atau-bagaimana akan dapat masuk kehadirat Allah, padahal ia belum bersih (suci), dari kelalaiannya yang di sini diumpamakan dengan janabatnya. Atau bagaimana mengharap akan mengerti rahasia yang halus (dalam), padahal ia belum tobat dari kekeliruan-kekeliruannya.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Romo Kyai biasanya sering membukakan tabir (hijab) kepada para santri atau jamaah untuk menyele-saikan segala persoalan, melalui istikharah beliau. Dengan bekal keyakinan yang kuat kepada hasil istikharah Romo Kyai, santri dan jamaah merasakan manfaaatnya, dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi dengan tenang karena mendapat pertolongan Allah SWT. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh KH. Ahmad Hasan, menantu sekaligus pengasuh kitab al Hikam, “Romo Kyai sudah termasuk Arif billah, nur warid sudah menyingkapkan tabir atau hijab antara beliau dan Allah SWT, sehingga apa-apa yang beliau kerjakan sudah bukan lagi berdasarkan nafsu atau keinginan pribadi tapi petunjuk Allah semata”.

Ajaran keimanan (al yaqin) dalam kitab al Hikam selaras dengan ajaran dan perilaku santri Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah, yang memiliki keya-kinan kuat terhadap Romo Kyai. Sehingga dengan bekal keyakinan tersebut para santri merasakan keyakinan dan ketenangan jiwa dalam menjalani hid-up dan kehidupan.

Tentang nur warid yang membukakan mata hati para arifbillah sampai menumbuhkan keyakinan yang kuat (haqqul al yaqin), dijelaskan dalam al

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

17Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khal im

Hikam pada hikmah yang ke 162-164 :“Tempat terbitnya berbagai nur cahaya Ilahi itu dalam hati manusia dan

rahasia-rahasianya”. “Nur cahaya yang tersimpan dalam hati itu datangnya dari nur yang

datang langsung dari pembendaharaan yang ghaib.”“Nur cahaya yang dicapai dengan panca indera menerangkan bagimu

bekas-bekas buatan Allah yang berupa benda, sebaliknya nur iman keyakinan dapat menunjukkan kamu sifat-sifat Allah”.

Jika seseorang telah merasakan haqqul al yaqin maka nurul warid akan turun kepadanya. Mata lahir dan bathin dapat terbelenggu menerima ke-nyataan inderawi, tapi dengan Ilmu dan iman, Rahmat-Nya yang Tiada Tara akan senantiasa mengalir kepada para hamba yang berjalan menuju kepada-Nya. Oleh sebab itu, para santri senantiasa bersyukur, dapat bertumpu kepa-da pengetahuan yang disandarkan pada pendengaran-penglihatan-dan rasa yang telah diperoleh oleh Romo Kyai. Sehingga tiadalah tempat sedikitpun di dalam jiwa untuk dapat mendustakan nikmat Illahi, yaitu memiliki guru yang telah mencapai maqam arifbillah.

3. HusnudhanHusnudhan arti harfiahnya adalah berbaik sangka. Husnudhan kepada

Allah SWT berarti berbaik sangka kepada Allah dalam hal apapun. Husnu-dhan merupakan akhlak mahmudah yang mencerminkan kebersihan hati se-seorang, selalu berfikir positif dalam menghadapi berbagai hal. Sikap husnu-dhan dapat dilihat dari seseorang ketika menentukan pilihan (choice), ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang harus ditentukan dalam perja-lanan hidupnya.

Ajaran husnudhan ini senantiasa ditanamkan kepada setiap santri Pon-dok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah, agar mereka berfikir dan bertindak positif kepada siapa saja. Hal ini terlihat ketika mereka menyambut semua tamu, tanpa pandang bulu, dengan sikap yang ramah, rendah hati dan selalu ter-buka. Sikap tersebut juga penulis rasakan ketika datang dan menyampaikan maksud kedatangan penulis. Saat itu penulis disambut oleh salah seorang pengurus, Alif Suwarno (36 th), yang membimbing dan menjadi guide selama penulis melakukan penelitian ini. Penulis diajak berkeliling ke semua ruang-an pondok, bahkan ditunjukkan lorong-lorong dan semua sudut ruangan. Ti-dak ketinggalan Dalem Kyai (rumah lama) yang menjadi cikal bakal pondok dan masih dipertahankan keberadaannya, juga ruang santai dan bekas kamar mandi Romo Kyai.

Tidak hanya penulis yang mendapat sambutan demikian, ternyata semua tamu disambut dengan sikap ramah dan sopan, tanpa ada perasaan curiga ke-pada siapapun. Para santri selalu bersikap husnudhan terhadap semua tamu, memberikan service apa adanya, tanpa adanya polesan sikap dan perilaku

18 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

Samidi Khal im

yang dibuat-buat. Dengan demikian sikap husnudhan ini benar-benar telah ditanamkan oleh Romo Kyai kepada para santri, dan para santri jelas terlihat telah mampu mengaktualisasikan dirinya dalam hidup dan kehidupan.

Tidak hanya itu yang terlihat, sikap husnudhan para santri Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah, mereka juga sudah kebal dengan berbagai macam cobaan dan fitnahan. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Alif Suwarno (36 th) :

“Kami disini sudah kenyang dengan berbagai fitnah, baik itu dari masyara-kat ataupun tokoh masyarakat, bahkan juga para kyai. Romo Kyai dianggap mengajarkan ajaran sesat, pondok ini dibangun oleh bangsa jin, dan masih banyak lagi fitnahan yang dilontarkan kepada kami”.

Menanggapi pernyataan tersebut, penulis bertanya : “Kemudian apa yang dilakukan oleh Romo Kyai ?”. Jawab Alif Suwarno (36 th): “Romo Kyai tidak pernah marah atau membenci orang-orang yang memusuhi, malahan beliau menyuruh kami untuk mendoakan orang-orang yang membenci atau mem-fitnah kami, agar diberikan maghfirah oleh Allah dan juga diberikan kese-lamatan”.

Sikap dan ajaran Romo Kyai Ahmad, selaku pendiri dan pengasuh pon-dok tersebut menunjukkan sikap yang mulia, tidak punya perasaan benci atau bahkan dendam dengan siapapun, sekalipun dengan orang-orang yang memusuhinya. Hal ini menunjukkan adanya kemampuan orang yang telah teraktualisasikan dirinya, mereka tetap rendah hati dan mendengarkan orang lain dengan penuh kesabaran, serta mengaku tidak mengetahui segalanya, dan orang lain akan mampu mengajarinya sesuatu (Muhammad, 2002:12).

Sikap husnudhan kepada siapa saja mampu menghantarkan seseorang untuk melepaskan segala sifat buruk dan tercela. Jika seseorang masih dise-limuti sikap suudhan (buruk sangka) maka dia tidak akan dapat menerima hakikat (kebenaran) iman dan ilmu. Apabila seorang telah dapat mengusir dan membersihkan diri dari sifat-sifat yang rendah, yang bertentangan de-ngan; kehambaan itu, maka pasta ia akan sanggup menerima-dan menyam-but tuntunan Tuhan baik yang langsung dalam ayat-ayat Qur’an atau yang berupa tuntunan dan contoh yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Dan den-gan demikian berarti ia telah mendekat ke hadirat Tuhan.

Wujud dari penerimaan hakikat iman dan ilmu adalah sifat ubudiyah (ke-hambaan), yaitu patuh taat terhadap semua perintah dan larangan, menger-jakan perintah dan meninggalkan larangan tanpa membantah dan merasa keberatan. Ajaran tersebut dapat ditemukan dalam kitab al Hikam pada Hik-mah yang ke-42, yaitu :

“Keluarlah dari sifat-sifat kemanusiaanmu (yakni yang jelek dan rendah), ialah semua sifat yang menyalahi kehambaanmu, supaya mudah bagimu un-tuk menyambut panggilan Allah dan mendekat kepadaNya”.

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

1�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khal im

Sikap suudhan yang merupakan pangkal dari menuruti hawa nafsu, dapat berbuah hasud, iri hati, dengki, sombong, mengadu domba, merampok, gila pangkat, sangat cinta dunia, rakus dan tamak. Untuk menghilangkan sikap suudhan tersebut, maka Romo Kyai mengajarkan kepada para santri untuk selalu husnudhan kepada siapa saja, baik kepada Allah SWT maupun kepada siapa saja. Sikap suudhan timbul karena ingin memuaskan hawa nafsu, pa-dahal Allah SWT melarang manusia untuk menuruti hawa nafsunya. Hawa nafsu merupakan musuh utama manusia, yang dapat menjerumuskan ma-nusia ke lembah kehinaan. Oleh sebab itulah, pondok Bi Ba’a Fadlrah diban-gun secara khusus oleh Romo Kyai untuk membersihkan manusia, khususnya santri dan jamaah, untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit rohani yang dapat menghalangi manusia dalam mengabdi kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan ajaran dalam kitab al Hikam pada Hikmah yang ke 43 :

“Pokok dari semua maksiat dan kelalaian serta syahwat itu, karena ingin memuaskan hawa nafsu. Sedang pokok dari segala ketaatan, kesadaran dan kesopanan akhlak budi, ialah karena ada pengekangan (penahanan) terhadap hawa nafsu”.

Dengan demikian, sikap husnudhan merupakan pangkal dari aktualisa-si diri. Dalam pandangan Abraham Maslow, pelopor Psikologi Humanistik, orang yang telah mencapai aktualisasi diri tidak lagi membedakan secara dikotomis antara baik dan buruk. Karena mereka menjalankan pekerjaan dan tugasnya dengan penuh kesenangan, kebahagiaan, dan tanpa pamrih. Mereka secara sadar dan konsisten memilih nilai-nilai luhur, dan dengan mudah mer-eka melakukannya. Dikotomi baik dan buruk hanyalah berlaku bagi mereka yang tidak konsisten dengan dirinya sendiri (Goble, 1999:53).

Figur Romo Kyai, sebagai orang yang telah mampu mengaktualisasikan dirinya, adalah sosok orang yang paling individualis dan sekaligus paling so-sialis, paling bersahabat, dan cinta sesama. Sikap demikian terlihat ketika beliau menghadapi berbagai cobaan dan fitnahan, namun demikian beliau tetap husnudzan kepada siapa saja, tidak pernah membenci dan bahkan tetap mencintai sesamanya. Beliau telah jauh dikendalikan oleh perintah-perintah batin, oleh fitrah basyariah, dan kebutuhan-kebutuhan alamiahnya, dari-pada dikendalikan oleh kebutuhan masyarakat atau lingkungannya. Sikap demikian oleh Abraham Maslow disebut dengan “kemerdekaan psikologis”, yaitu orang yang mampu mengambil keputusan sendiri, sekalipun melawan pendapat khalayak ramai (Muhammad, 2002:12).

4. Al tawakkal (pasrah)Tawakkal kepada Allah SWT berarti mempercayakan segala urusan ke-

pada Allah SWT. Menurut KH. Ahmad Hasan, santri dan jamaah disini dia-jarkan untuk senantiasa pasrah kepada Allah SWT dalam segala, pasrah bu-kan berarti tidak melakukan usaha dzahir. Pasrah (al Tawakkal) merupakan usaha terakhir manusia setelah melakukan ikhtiar (usaha dzahir) dan berdoa

20 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

Samidi Khal im

memohon kepada Allah SWT.Sebelum ikhtiar, santri dan jamaah dianjurkan untuk lebih dahulu me-

nyempurnakan niat. Menggunakan perencanaan sesuai dengan sunnatullah, menyiapkan untuk wujudnya suatu amal, tetapi di awal, tengah dan akhir ha-rus tahu bahwa yang akan terjadi adalah apa yang Allah kehendaki. “Jadi kita tidak usah panik, baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah SWT”, jelas KH. Ahmad Hasan.

Semua manusia punya keinginan, dorongan-dorongan untuk cepat ter-wujud apa yang diinginkan, tetapi kalau orang sudah yakin hanya Allah yang menguasai Innalloha ‘ala kulli’syaiin Qodir (sesungguhnya Allah-lah yang menguasai segala kejadian), tidak akan terjadi segala sesuatu Illa Bi’idznillah. Inilah sebetulnya yang membuat orang akan merasakan nikmat luar biasa ketika hatinya sudah meyakini bahwa setiap kejadian hanya terjadi dengan ijin Allah. Allah SWT berfirman “Wamayyatawakkal ‘alallahu fahuwa hasbu.” (dan barang siapa yang ber-al Tawakkal kepada Allah, akan dicukupi kebutu-han lahir batinnya).

“Allah Maha Tahu kebutuhan kita, lebih tahu daripada kita sendiri. Meng-andalkan Allah dari awal sampai akhir adalah adab bagi orang-orang yang beriman”, papar KH. Ahmad Hasan. Di Pondok Pesantren Biharu Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah, para santri dilatih untuk bertawakkal. Ciri khas orang yang ber-al Tawakkal adalah sedikit kecewanya terhadap segala kejadian yang menimpa kepadanya, demikian jelas KH. Ahmad Hasan. Kalau orang kecewa itu menunjukkan kualitas ketawakkalannya. Kita hanya boleh kecewa kalau tidak bisa menyempurnakan amal kita; kecewa karena sedekah masih terasa berat; kecewa karena masih menunda-nunda dalam beramal; kecewa karena sholat belum bisa khusyu; kecewa karena sudah taubat tetapi masih berbuat maksiat lagi; kecewa ketika dipuji tapi jadi ujub atau sombong.

Sikap pasrah atau al Tawakkal terlihat ketika Romo Kyai dan semua sant-ri Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah mendapat ujian dari Allah SWT. Yaitu ketika mendapat fitnah dari masyarakat atau bahkan tokoh-tokoh masyara-kat, termasuk para kyai di Malang dan sekitarnya, yang mengatakan bahwa Pondok Bi Ba’a Fadlrah di bangun oleh bangsa Jin dan mengajarkan aliran sesat. Tetapi Romo Kyai hanya pasrah kepada Allah SWT, beliau tidak pernah marah atau membenci orang-orang yang memusuhi, malahan beliau menyu-ruh para santri untuk mendoakan orang-orang yang membenci atau mem-fitnah, agar diberikan maghfirah oleh Allah dan juga diberikan keselamatan, jelas KH. Ahmad.

Allah SWT sudah menentukan kadar atau ukuran setiap hamba-Nya, kare-na Dia tahu persis kekuatan iman seseorang, kadar pengendalian diri, emosi, dan nafsu hamba-hambaNya, makanya tidak akan dikecewakan bagi orang-orang yang selalu pasrah (tawakkal). Ciri al Tawakkal diantaranya adalah, ka-lau memilih sesuatu selalu dengan istikharah. Orang yang bertawakkal kepada

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

21Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khal im

Allah akan memperbanyak istikharah karena hal ini merupakan etika untuk meminta pertolongan Allah SWT. Orang yang bertawakkal kepada Allah, dia tidak akan tergesa-gesa walaupun dia sangat menginginkannya, karena tidak ingin terjebak oleh keinginannya sendiri. Oleh sebab itu, Romo Kyai senan-tiasa menganjurkan para santri dan jamaah untuk senantiasa istikharah, mo-hon petunjuk kepada Allah SWT, jangan bergantung pada manusia, jelas KH. Ahmad Hasan. Dawuh Romo Kyai ini selaras dengan Hikmah ke-48 dalam kitab al Hikam :

“Jangan mengadu/meminta sesuatu hajat kepada lain Allah, sebab Aku sendiri yang memberi/menurunkan hajat itu kepadamu. Maka bagaimanakah sesuatu selain Allah akan dapat menyingkirkan sesuatu yang diletakkan oleh Allah. Siapa yang tidak dapat menyingkirkan bencana yang menimpa dirinya sendiri, maka bagaimanakah akan dapat menyingkirkan bencana dari lain-nya”.

Datangnya suatu bencana atau musibah itu menyebabkan seseorang berhajat kepada bantuan dan pertolongan yang lain, maka dalam tiap hajat jangan mengharap kepada selain Allah. Sebab segala sesuatu selain Allah itu juga berhajat kepada selainnya. Siapa yang menyandarkan (menggantungkan nasib) pada sesuatu selain Allah, berarti orang tersebut telah tertipu oleh se-suatu bayangan khayal, sebab tidak ada yang tetap selain Allah yang selalu tetap karunia dan nikmat rahmat-Nya kepada manusia.

Kitab al Hikam memberikan landasan dan pedoman kepada setiap orang dalam meminta kepada Allah SWT agar jangan berputus asa dan tetap ber-sandar kepada-Nya. Dalam hikmah yang ke-33, Ibnu Athaillah menjelaskan :

“Tidak akan terhenti suatu permintaan yang semata-mata engkau minta, engkau sandarkan kepada karunia kekuasaan Rab-Mu, dan tidak mudah ter-capai permintaan, pengharapan yang engkau sandarkan kepada kekuatan dan daya upaya serta kepandaian dirimu sendiri.”

Al tawakkal bagi para santri pondok Bi Ba’a Fadlrah tidak diartikan ber-serah diri secara pasif, menyerah kepada keadaan. Demikian juga dengan soal rejeki, mereka tidak berpangku tangan mengharap belas kasihan dari orang lain. Romo Kyai sangat melarang para santri untuk toma’ terhadap bantuan orang lain, berhutang, atau bahkan meminta-minta. Hal ini terlihat dari ke-giatan para santri yang mukim di Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah dalam aktifitas sehari-hari, mereka juga tetap kasab (bekerja) dan beribadah, dima-na telah disediakan lahan untuk para santri berdagang di lingkungan pondok. Berbagai kios dan toko telah dibangun oleh Romo Kyai sebagai lahan para santri mencari nafkah. Bahkan di lantai 8 pondok pun dikhususkan sebagai ruko-ruko yang sengaja dibangun untuk berdagang, sebagai pusat perbelan-jaan pondok. Menyediakan berbagai macam souvenir dan aneka makanan ringan bagi para pengunjung.

Kesibukan duniawiah dalam mencari rejeki para santri, oleh Romo Kyai

22 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

Samidi Khal im

sangat dianjurkan, tetapi yang ditanamkan adalah harta itu jembatan bukan tujuan, karena hidup itu ujian bukan tujuan. Hidup dan harta itu jembatan untuk mencapai ridha Allah SWT, menggapai cinta-Nya semata. Ajaran-ajar-an ini terpampang di dinding batu yang sengaja dibangun oleh Romo Kyai di belakang pondok, di sepanjang jalan menuju pos petugas jaga. Setiap pengun-jung yang hendak memasuki pondok diwajibkan lapor kepada petugas jaga, sehingga mereka melewati dan dapat membaca dengan jelas slogan-slogan yang terukir di dinding batu tersebut.

Adapun slogan-slogan tersebut sebagai berikut :“Harta itu Jembatan Bukan Tujuan”“Hidup itu Ujian Bukan Tujuan”“Urip Kanggo Lumpuk-lumpuk Sangune Mbesok” (Hidup itu untuk mengumpulkan bekal untuk Hari Esok).“Dunya ditumpuk-tumpuk Gak Wurung Mbesuk yo Ora Kepethuk, Malah-malah Nuthuki Awak Dhewe Mbesok”(Dunia ditimbun-timbun akhirnya tidak juga ketemu di Hari Esok, Malah-malah Menghantam diri sendiri di Hari Esok)“Bahagialah Orang yang Mengetahui dan Dapat Mencintai Siapa yang Harus dicintai”“Kebahagiaan itu adalah yang Dapat Memenuhi Kehendak yang Di-cintai”

Slogan-slogan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai hiasan tetapi ajar-an yang harus diamalkan oleh para santri dan jamaah Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah. Berfungsi juga sebagai “Tanbih”, pengingat jika mereka lalai, bahkan juga sebagai media dakwah kepada para pengunjung. Mengingatkan kepada siapa saja bahwa tujuan dibangunnya Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadl-rah dengan dana yang tidak sedikit, dengan kemegahan dan kemewahannya yang memancar ke seluruh penjuru negeri, bahkan sampai ke mancanegara, adalah sebagai sarana meningkatkan iman, membersihkan hati, dan mem-bentuk akhal al karimah.

Meskipun tujuan pembangunan pondok sebagaimana tersebut, tetapi hasilnya terserah Allah SWT. Karena Romo Kyai membangun pondok bu-kan atas kemauan sendiri, tetapi semua atas petunjuk Allah SWT, sehingga hasilnya dikembalikan kepada Allah, jelas Pak Kisyanto (40 th) selaku panitia pembangunan.

Sikap al Tawakkal yang di praktekkan dan diajarkan oleh Romo Kyai merupakan cermin kebersihan hati beliau, yang tidak lagi terikat oleh harta dan dunia. Nur warid telah meliputi hati beliau, sehingga tersingkap segala rahasia dan mengenal betul kebesaran dan karunia rahmat Allah SWT, jelas KH. Ahmad Hasan. Romo Kyai tidak hanya mengajar, tetapi beliau lebih dari memberikan teladan kepada para santri. Ajaran-ajaran beliau dapat ditemu-kan dalam kitab al Hikam, sebagaimana dijelaskan dalam Hikmah yang 62-

••••

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

23Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khal im

65, sebagai berikut :“Sesungguhnya Tuhan memberikan kepadamu warid (yaitu ilmu penger-

tian atau perasaan dalam hati, sehingga mengenal dan merasa benar-benar akan kebesaran kurnia rahmat Allah), hanya semata-mata supaya kau mendekat dan masuk ke hadirat Allah”.

“Allah memberikan kepadamu warid itu semata-mata untuk menyelamat-kan engkau dari cengkeraman benda-benda, dan membebaskan dari perbu-dakan segala sesuatu selain Allah”.

“Allah memberikan kepadamu (warid kurnianya) supaya engkau keluar/terlepas dari kurungan bentuk kejadian dan sifat-sifatmu, ke alam luar yang berupa ma’rifat mengenal kebesaran kekuasaan dan kurnia Tuhanmu”.

“Nur (cahaya-cahaya) iman, keyakinan dan dzikir itu semua sebagai kendaraan yang dapat mengantarkan hati manusia ke hadirat Allah serta me-nerima segala menerima segala rahasia daripadaNya”.

Berdasarkan bait-bait tersebut, ada tiga tingkatan Nur warid (kurnia Tu-han) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya, yaitu :

Orang yang mendapatkan Nur warid akan merasa ringan melakukan iba-dah dan mendekat ke hadirat Allah, tetapi kemungkinan masih terdapat rasa kurang ikhlas.Nur Warid yang kedua untuk melepaskan dari tujuan kepada sesuatu se-lain Allah, yang menjadikan seseorang ikhlas dalam beribadah.Nur Warid yang ketiga untuk melepaskan diri dari sifat-sifat wujud yang sempit kepada alam melihat kebesaran Tuhan yang tidak terbatas, sehing-ga, lupa kepada diri dan hanya ingat kepada Allah semata.

PenutuP

Kitab tasawuf yang paling utama diajarkan di pondok pesantren Bi Ba’a Fadlrah adalah kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah (648-709 H), ulama sufi yang lahir di Iskandariah (Mesir) pada masa kekuasaan Dinasti Mameluk.

Ajaran al Hikam dapat dikatakan sebagai ajaran tasawuf yang memadu-kan tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Pengkajian kitab al Hikam di Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah, disesuaikan dengan tujuan pem-bangunan pondok, yaitu untuk membersihkan hati, meningkatkan iman, dan membentuk akhlak al karimah.

Tidak semua ajaran dalam kitab al Hikam dapat diaplikasikan kepada santri atau jamaah pondok pesantren Bi Ba’a Fadlrah, namun ada beberapa ajaran yang sangat ditekankan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran tersebut yaitu al muhasabah, al yaqin, husnudhan, dan pasrah (al Tawakkal). Sikap-sikap tersebut menjadi cermin kepribadian Romo Kyai Ah-mad yang diajarkan kepada para santrinya.

1.

2.

3.

24 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

Samidi Khal im

Dengan demikian, al Tawakkal menjadi ujung perjalanan ruhaniah se-seorang dalam menggapai Cinta Allah SWT yang berbuah Ridha. Orang yang sudah mampu mengaplikasikan sikap al Tawakkal dalam hidup dan kehidup-an, maka dia akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Dia senantiasa mantap dan optimis dalam bertindak. Selain itu dia juga akan mendapatkan kekuatan spiritual, serta keperkasaan luar biasa, yang dapat mengalahkan se-gala kekuatan yang bersifat material. Hal lain yang dirasakan oleh orang yang tawakkal adalah kerelaan yang penuh atas segala yang diterimanya. Selanjut-nya dia akan senantiasa memiliki harapan atas segala yang dikehendaki dan dicita-citakannya.

Aplikasi Kitab Al Hikamdi Pondok Pesantren Bi Ba‘a Fadlrah

Turen Kabupaten Malang - Jawa Timur

25Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khal im

Athaillah, Syaikh Ahmad Ibnu, t.th. Al Hikam. Mesir : KairoBahreisy, Salim, 1980. Terjemah Al Hikam (Pendekatan Abdi Pada

Khaliqnya). Surabaya : Balai Buku.Basuki. 2005. “Pesantren, Tasawuf, dan Hedonisme Kultural” (Aktualisasi

Nilai-nilai Tasawuf dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Pesantren Modern Gontor), dalam Dialog Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009. Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Keagamaan.

Bruinessen, Martin Van, 1995. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Band-ung: Mizan.

Dhofier, Zamakhsari,. 1995. Tradition and Change: In Indonesian Islamic Education. Jakarta: Ministry of Religious Affair the Republic of Indone-sia.

------------. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.

Goble, Frank G. 1999. Madzab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terj. Drs. A. Supratinya. Yogyakarta : Kanisius.

Glasse, Cyrill. 1996. Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Khalim, Samidi. 2008. Islam dan Spiritualitas Jawa. Semarang : Rasail.Muhammad, Hasyim, 2002. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogya-

karta : Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Walisongo Press.Qardhawi, Yusuf. 1996. Al Tawakkal. terj. Kathur Suhardi. Jakarta : Pustaka

al-Kautsar. Suhrawardi, Syaikh Syihabuddin Umar, 1998. Awarif al Ma’arif. terj. Ilma

Nugrahani Ismail. Bandung : Pustaka Hidayah.

Website :http://ponpesbilbaafadlrah.or.id. (diunduh pada 5 Mei 2010)http://www.pondokpesantren.net/ponpren (diunduh pada 4 February,

2010)http://islam-klasik.serambi.co.id (diunduh pada 5 Mei 2010).Informan :KH. Ahmad Hasan (40 th), menantu (Romo Kyai) dan pengasuh kitab al Hi-

kam.Kisyanto (43 th) santri asal Sidoarjo sekaligus panitia pembangunan.Alif Suwarno (36 th) pengurus pondok asal Malang.Rozaq (26 th) santri asal Jombang.

DAFTAR PUSTAKA

26 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

abu Rokhmad

27Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

abu Rokhmad

TELAAH KARAKTERISTIKTAFSIR ARAB PEGON AL-IBRIZ

OLEH ABU ROKHMAD *

� Dr. Abu Rokhmad, M.Ag. adalah dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, dan Ketua Program Studi Magister Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang.

PENELITIAN

AbstrAct :Every time, a dialogue between the Quran and its readers happens; and

the long period process of such understanding has resulted thousands and tons of interpretation books (kitab tafsir). One of them is Tafsir al-Ibriz by K.H. Bisri Mustofa and is written in Arab Pegon (Javanese language and Arabic letters). This article is discussing the characteristics of the book and its method.

Using descriptive analytic and hermeneutic interpretative, the study goes to the conclusion that the book is organized according to tahlili method, namely a method which explains Quranic verses words after words. The meaning of the words is presented in makna gandul system (the meaning is written under the words) while the interpretation and explanation (tafsir) is written out of the main body text.

In terms of characteristics, the way the Tafsir al-Ibriz explains the mean-ing of the Quran is considered as simple. The approach applied in the book doesn’t tend to a particular interpretation style because it combines some different styles according to the contextual meanings; and this book belongs to traditional and ma’tsur category.

Kata Kunci: Metode, Karakteristik, Tafsir

lAtAr belAkAng

Bagi umat Islam, Al-Qur’an adalah verbum dei (kalam Allah) yang di-wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW — secara verbal, dan bukan hanya dalam ‘makna’ dan ide-idenya saja — melalui perantaraan malaikat Jibril se-lama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kitab ini memuat ajaran-ajaran yang selalu relevan dengan kehidupan manusia. Kehadirannya bagaikan represen-tasi kehadiran Tuhan dan Rasul-Nya yang selalu menyertai umatnya.

Kitab suci ini telah digunakan kaum muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi,

28 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz abu Rokhmad

memelihara berbagai harapan dan memperkukuh identitas kolektif. Ia juga digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum muslimin serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Membacanya di-pandang sebagai tindak kesalehan dan melaksanakan ajarannya merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.

Setiap saat al-Qur’an diajak berdialog dalam menapaki jalan-jalan pe-rubahan sosial dan dalam mencari solusi berbagai macam persoalan. Proses dialog—dalam rangka memahaminya—yang berlangsung di setiap babakan sejarah umat Islam itu telah melahirkan ribuan dan berton-ton kitab tafsir. Tafsir-tafsir tersebut semakin lama semakin menumpuk dan kerap bersedi-mentasi membentuk lapisan geologis yang menutupi teks al-Qur’annya sen-diri.

Al-Qur’an adalah kumpulan ayat. Ayat pada hakekatnya adalah tanda dan simbol yang tampak. Tanda dan simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang lain yang tidak tersurat, tetapi tersirat. Ia akan diam jika tidak ada pembaca yang menyapanya (al-nashsh la yanthiq wa lakin yunthiquh al-rijal). Oleh karena itu, al-Qur’an baru bisa bermakna hanya ketika diposisi-kan secara relasional dengan masyarakat pembaca yang mengimaninya. Ini karena al-Qur’an tidak pernah berdiri secara otonom. Ia sosok yang memiliki kaitan dengan locus budaya dan penganut yang meresponnya.

Jika cermat membaca berbagai macam kitab tafsir, akan ditemukan tafsir al-Qur’an yang berjenis-jenis. Keragaman tafsir sekurang-kurangnya dise-babkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: Pertama, faktor kebahasaan. Dari sudut struktur kebahasaan, al-Qur’an sendiri telah mengundang adanya plu-ralitas tafsir tersebut. Betapa di dalam al-Qur’an kita menemukan kata-kata yang memiliki makna (lafadz) ganda, makna umum, makna khusus, makna sulit (musykil) dan sebagainya. Sejumlah model lafadz tersebut bukan saja menjemput, melainkan juga telah menjadi “picu utama” bagi tumbuhnya beragam tafsir. Tatkala satu teks dibaca oleh berbagai orang dengan latar belakang kemampuan, kelimuan dan keperluan yang berbeda, maka keber-agaman tafsir kemungkinan besar akan terjadi.

Kedua, faktor ideologi politik. Problem politik agaknya juga sangat pekat mewarnai jenis-jenis tafsir terhadap al-Qur’an. Misalnya, Mu’tazilisme yang banyak melansir tafsir-tafsir rasional tidak melulu lahir dari sebuah cerebral dan kegenitan intelektual. Ia muncul untuk mendukung perjuangan Abbasi-yah melawan Umayyah. Maka, tak ayal lagi kalau dalam perkembangan beri-kutnya seluruh tafsir yang diproduksi oleh kalangan Mu’tazilah terlihat cukup rasional, ketimbang tafsir yang dikeluarkan oleh para pendukung Umayyah.

Ketiga, faktor madzhab pemikiran. Dalam khazanah pemikiran Islam terdapat dua arus pemikiran utama yang banyak mewarnai genre pemikiran tafsir al-Qur’an. Masing-masing adalah Sunni dan Mu’tazilah. Kalau karak-ter pemikiran Sunni biasanya lebih kuat semangat ortodoksi, maka pigmen

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz

2�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

abu Rokhmad

pemikiran Mu’tazilah cenderung lebih rasional dan dekonstruktif. Kalau ka-langan Sunni berkata bahwa tidak seluruh teks-teks dalam al-Qur’an dapat dijejak dengan logika tubuh manusia, maka kaum Mu’tazilah kebalikannya.

Keempat, subjektivisme penafsir. Yakni adanya pra-anggapan, pra-asum-si, jenis, kelamin, lingkar spasial penafsir turut memberikan warna tersen-diri bagi langgam tafsir yang diedarkan. Subjektivisme ini adalah anasir yang terus-menerus menggelayut dan mengeram dalam alam bawah sadar sang penafsir. Terhadap faktor keempat ini, tak ada seorangpun yang bisa meng-ingkarinya.

Paparan di atas menegaskan bahwa tafsir merupakan dialog terus-menerus antara teks suci, penafsir dan lingkungan sosial-politik-budaya yang ada di sekitarnya. Tafsir ini tercipta pada ruang dan waktu yang berbeda-beda yang mengakibatkan munculnya pemaknaan atas satu teks berbeda dengan yang lainnya.

Menafsirkan al-Qur’an berarti upaya untuk menjelaskan dan mengung-kapkan maksud dan kandungan al-Qur’an. Karena obyek tafsir adalah al-Qur’an yang merupakan sumber pertama ajaran Islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka penafsiran merupakan keharusan.

Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa merupakan hasil pemahaman dan penafsiran atas teks suci al-Qur’an. Ia merupakan gabungan refleksi pemba-caan atas teks suci dan realitas lain yang mengitarinya. Seorang penafsir men-coba mengekspresikan pengalamannya dalam bentuk kata-kata atau tulisan yang memiliki makna objektif yang dapat dimengerti oleh pembacanya.

Seorang penafsir saat memahami dan menafsirkan sebuah teks suci, se-bagaimana seorang KH. Bisri Mustofa saat menafsirkan al-Qur’an dan kemu-dian dituliskan dalam sebuah buku yang disebut al-Ibriz, pada hakekatnya telah melakukan kegiatan hermeneutik. Kegiatan ini merupakan problem hermeneutika yang meliputi dua hal. Pertama, seorang mufassir telah me-nyampaikan kehendak Tuhan dalam ‘bahasa langit’ kepada manusia yang menggunakan ‘bahasa bumi’. Kedua, penafsir menjelaskan isi sebuah teks keagamaan kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang berbeda.

Mengingat bahasa manusia demikian banyak ragamnya, sedangkan se-tiap bahasa mencerminkan pola budaya tertentu, maka problem terjemahan dan penafsiran merupakan problem pokok dalam hermeneutika. Demikian pula tafsir al-Ibriz, ia ditulis dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab pegon. Karena tafsir ini memang hendak menyapa pembacanya dari ka-langan Muslim Jawa yang sebagian besar masih tinggal di pedesaan. Pilihan bahasa yang digunakan oleh penafsir tentu memiliki argumentasi tersendiri, bukan asal-asalan.

Artikel ini membahas karakteristik tafsir Al-Ibriz yang ditulis dalam ba-

30 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz abu Rokhmad

hasa Jawa dengan tulisan Arab (Arab pegon). Tulisan ini tidak membahas sejarah pengarangnya dan mengenyampingkan pikiran penulisnya. Sumber data utamanya adalah tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa. Metode yang digunakan desktreptif-analitis dengan pendekatan hermeneutik atau inter-pretatif.

PeMbAhAsAn

Tinjauan Teoritik Metodologi TafsirSebelum menganalisis Tafsir al-Ibriz secara lebih komprehensif, terlebih

dulu dijelaskan metode-metode penafsiran yang biasa digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Paparan ini untuk menimbang bagaimana metode yang digunakan KH. Bisri Mustofa dalam menafsirkan al-Qur’an.

Al-Farmawi memetakan metode penafsiran al-Qur’an menjadi em-pat bagian pokok: Pertama, metode tafsir tahlili adalah suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat al-Qur’an yang urutannya disesuaikan dengan tertib ayat mushaf al-Qur’an. Penjelasan makna-makna ayat tersebut dapat berupa makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbab al-nuzul-nya, serta keterangan yang dikutip dari Nabi, sa-habat maupun tabi’in.

Kedua, metode ijmali yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ayat secara global. Sistematikanya mengikuti urutan surat al-Qur’an, sehingga makna-makna saling berhubungan. Penyajiannya menggunakan ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata atau kalimat penghubung sehingga memudahkan para pembaca memahaminya. Dalam metode ini, mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbab al-nuzul ayat dengan meneliti hadits yang berhubungan dengannya, sejarah dan atsar dari salaf al-shalih. Contohnya adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi.

Ketiga, metode muqaran, yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan dalam tiga hal : perbandingan antar-ayat, perbandingan al-Qur’an dengan hadits dan perbandingan antar-mufassir. Contoh tafsir model perbandingan antar ayat, yaitu Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Ta’wil karya Al-Iskafi, sedangkan yang menggunakan perbandingan antarmufassir ialah Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi.

Keempat, metode mauwdhu’i, yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an secara tematis. Metode ini mempunyai dua bentuk, pertama membahas satu surah al-Qur’an dengan menghubungkan maksud antarayat serta pengertiannya se-cara menyeluruh. Dengan metode ini ayat tampil dalam bentuknya yang utuh. Contohnya, al-Tafsir al-Maudhu’i karya Muhammad Mahmud al-Hija’i. Ke-dua, menghimpun ayat al-Qur’an yang mempunyai kesamaan arah dan tema, kemudian dianalisis dan ditarik kesimpulan. Biasanya, model ini diletakkan

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz

31Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

abu Rokhmad

di bawah bahasan tertentu.Di samping itu masih banyak pendapat mufassir mengenai hal ini, antara

lain dikemukakan oleh M. Yunan Yusuf dan Nashiruddin Baidan. Yunan meli-hat literatur tafsir dengan ranah yang ia sebut “karakteristik tafsir”, yakni sifat khas yang ada di dalam literatur tafsir. Dalam konteks ini, ia memetakannya dari tiga arah: 1). metode (apakah tafsir itu bersumber dari al-Qur’an, hadits, kisah-kisah Israiliyyat, ataukah bersumber dari ra’yu), 2). teknik penafsiran (kata perkata atau terperinci, keseluruhan ayat atau global), 3). aliran penaf-siran (liberal atau tradisional), 4). Pendekatan tafsir (fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain).

Beda dengan Yunan, Nashruddin memetakannya dalam dua bagian. Per-tama, komponen eksternal yang terdiri dua bagian 1). jati diri al-Qur’an (se-jarah al-Qur’an, asbab al-nuzul, qira’at, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain, dan 2). kepribadian mufassir (akidah yang benar, ikhlas, netral, sadar dan lain-lain). Kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang ter-libat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur pem-bentuk: 1) metode penafsiran (global, analitis, komparatif dan tematik), 2) corak penafsiran (shufi, fiqhi, falsafi dan lain-lain) dan 3) bentuk penafsiran (ma’tsur dan ra’yu). Dalam konteks kategorisasi yang dibangun Yunan, kom-ponen internal versi Baidan menemukan relasinya, meskipun tidak sama.

Meskipun perspektif metodologis yang dipetakan dua pengamat tafsir ini mempunyai kemiripan, tetapi dari segi kategorisasi, esensi konstruksi yang mereka bangun berbeda. Tafsir riwayat yang oleh Baidan dikategorikan se-bagai bentuk tafsir, oleh Yunan dikategorikan sebagai metode tafsir. Tafsir tematik dan analitis yang oleh Baidan dikategorikan sebagai metode tafsir, oleh Yunan dimasukkan dalam kategori teknik penyajian tafsir, dan yang di-kategorikan Yunan sebagai metode tafsir oleh Baidan dikategorikan sebagai bentuk tafsir. Keduanya menemukan titik kesamaan hanya pada kategori pendekatan tafsir.

Dari ketiga peta metodologis tafsir di atas, terlihat tidak ada kesamaan persepsi tentang metode, pendekatan, corak, karakteristik, teknik atau ben-tuk suatu tafsir. Dengan argumentasinya masing-masing, pengkaji tafsir me-miliki nama-nama tersendiri untuk menyebut aspek-aspek yang melingkari sebuah kitab tafsir.

Karakteristik Tafsir Al-Ibriz a. Motif Dibalik Penyusunannya

Sebagai kitab suci, al-Qur’an menempati posisi sentral dalam kehidupan umat Islam. Ada dorongan yang sangat kuat untuk selalu menyelaraskan ke-hidupannya dengan tuntunan al-Qur’an. Dorongan ini tidak saja dimonopoli oleh umat Islam generasi pertama (para sahabat Nabi Muhammad dan sete-

32 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz abu Rokhmad

rusnya), tapi juga dialami oleh umat Islam terakhir nanti sekalipun. Terbukti selalu ada kelompok-kelompok yang mengklaim menjadikan hukum Allah sebagai satu-satunya hukum yang diterapkan di dalam hidupnya. Lebih dra-matis lagi, ekspresi itu kadang-kadang disalurkan justru menyalahi hukum Allah itu sendiri.

Motivasi utama seorang Muslim saat berusaha memahami dan menaf-sirkan al-Qur’an adalah motivasi religius, meski tak dinafikan ada motivasi lain seperti politik, ekonomi dan lain-lain. Ini juga yang melandasi KH. Bisri Mustofa saat menulis tafsir al-Ibriz. Karena ibadah dan semata-mata mencari ridho Allah, penafsir tergerak hatinya untuk membuka tabir rahasia ajaran-ajaran al-Qur’an yang terkadang tidak mudah dipahami. Adapun keuntungan ekonomi, sosial atau politik yang mengikuti penafsir setelah tafsirnya dipub-likasikan itu menjadi bagian dari berkah al-Qur’an kepadanya.

Menulis telah menjadi bagian penting dalam kehidupan KH. Bisri Mus-tofa. Selain untuk mendapatkan kepuasaan batin juga keuntungan ekonomis. Sejak nyantri di pesantren Kasingan, ketekunannya menulis sudah bisa dili-hat karena tuntutan keadaan ekonomi yang sangat minim. Menurut penu-turan Ny. Ma’rufah, pada waktu itu KH. Bisri Mustofa sering menerjemahkan kitab-kitab tertentu dan kemudian dijual kepada kawan-kawannya. Kegiatan ini tidaklah sulit karena ia dikenal sebagai santri yang memiliki kelebihan, terutama dalam bidang nahwu.

Tidak ada data akurat yang menyebutkan kapan sebenarnya tafsir al-Ibriz mulai ditulis. Tetapi tafsir ini diselesaikan pada tanggal 29 Rajab 1379, berte-patan dengan tanggal 28 Januari 1960. Menurut keterangan Ny. Ma’rufah, tafsir al-Ibriz selesai ditulis setelah kelahiran putrinya yang terakhir (Atikah) sekitar tahun 1964. Pada tahun ini pula, tafsir al-Ibriz untuk pertama kalinya dicetak oleh penerbit Menara Kudus. Penerbitan tafsir ini tidak disertai per-janjian yang jelas, apakah dengan sistem royalti atau borongan.

Boleh jadi jauh pada tahun-tahun sebelumnya, KH. Bisri Mustofa telah lama menulis dan menafsirkan al-Qur’an dan tidak seorangpun dari keluar-ganya yang tahu. Selain di rumah, KH. Bisri Mustofa memiliki kebiasan mem-bawa alat tulis dan kertas saat bepergian untuk pengajian.

Jika menilik tahun diselesaikannya tafsir al-Ibriz, tafsir ini final ditulis pada situasi di mana kehidupan ekonomi keluarganya mulai membaik. Hal ini ditunjang oleh keberhasilan karier politik penulisnya yang menjadi wakil NU di majelis Konstituante pada pemilu 1955. Indikator membaiknya kon-disi ekonomi ini misalnya dapat dilihat dari keberangkatan putra sulungnya Cholil ke Makkah selama 3 tahun pada usia 17 tahun dan Mustofa ke al-Azhar Mesir selama 6 tahun pada usia yang tidak jauh beda. Dari sisi sosial, status KH. Bisri Mustofa makin diakui dan dihormati oleh masyarakat, semata-mata karena perpaduannya yang unik antara kiai, politisi dan penulis buku.

Dari sini dapat diasumsikan, hampir keseluruhan atau setidaknya seba-

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz

33Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

abu Rokhmad

gian besar tafsir al-Ibriz ditulis dalam situasi di mana kondisi penulisnya be-rada dalam situasi yang cukup kondusif, jika dilihat dari segi sosial, ekonomi dan politik. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan keadaan KH. Bisri Mustofa pada zaman Jepang dan di awal masa kemerdekaan.

b. Aspek Teknis Penulisan Tafsir1. Bentuk Penyajian Tafsir

Tafsir al-Ibriz disajikan dalam bentuknya yang sederhana. Ayat-ayat al-Qur’an dimaknai ayat per-ayat dengan makna gandhul (makna yang ditulis dibawah kata perkata ayat al-Qur’an, lengkap dengan kedudukan dan fungsi kalimatnya, sebagai subyek, predikat atau obyek dan lain sebagainya). Bagi pembaca tafsir yang berlatar santri maupun non-santri, penyajian makna khas pesantren dan unik seperti ini sangat membantu seorang pembaca saat mengenali dan memahami makna dan fungsi kata per-kata. Hal ini sangat berbeda dengan model penyajian yang utuh, di mana satu ayat diterjemahkan seluruhnya dan pembaca yang kurang akrab dengan gramatika bahasa Arab sangat kesulitan jika diminta menguraikan kedudukan dan fungsi kata per-kata.

Setelah ayat al-Qur’an diterjemahkan dengan makna gandul, di sebelah luarnya yang dibatasi dengan garis disajikan kandungan al-Qur’an (tafsir). Kadang-kadang, penafsir mengulas ayat per-ayat atau gabungan dari beber-apa ayat, tergantung dari apakah ayat itu bersambung atau berhubungan de-ngan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya atau tidak.

Kadang-kadang, penafsir tidak memberikan keterangan tambahan apa-pun saat menafsirkan ayat tertentu, nyaris seperti terjemahan biasa. Hal ini disebabkan karena ayat-ayat tersebut cukup mudah dipahami, sehingga penafsir merasa tidak perlu berpanjang-panjang kata. Berbeda jika ayat terse-but memerlukan penjelasan cukup panjang karena kandungan maknanya ti-dak mudah dipahami. Tafsir dalam bentuk terjemahan itu sebenarnya diakui sendiri oleh penafsirnya. Dengan merendah, penafsir merasa hanya njawa-ake (menjawakan/menerjemahkan) dan mengumpulkan keterangan-kete-rangan dari beragam tempat.

Pada umumnya, panjang tafsir paralel dengan panjang ayat. Dalam arti, penafsir sebisa mungkin menghindari keterangan panjang, jika ayatnya pendek. Kesan itu dapat dibaca dari cara penafsir saat “menge-pas-kan” bera-pa ayat dalam satu lembar dan berapa panjang tafsir yang disajikan. Sehingga, tafsir sebuah ayat pada halaman sebelumnya tidak akan dimuat panjang lebar di halaman berikutnya.

Pada ayat-ayat tertentu, penafsir merasa perlu memberikan catatan tam-bahan, selain tafsirnya, dalam bentuk faedah atau tanbih (warning). Bentuk pertama mengindikasikan suatu dorongan atau hal positif yang perlu dilaku-kan. Sedang yang kedua berupa peringatan atau hal-hal yang seharusnya ti-

34 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz abu Rokhmad

dak disalahpahami atau dilakukan oleh manusia. Tanbih juga kadang berisi keterangan bahwa ayat tertentu telah dihapus (mansukh) dengan ayat yang lain.

Terkait dengan raison d’ etre (asbab al-nuzul) sebuah ayat, penafsir mem-berikan keterangan secukupnya, misalnya surat ‘Abasa. Penafsir juga kadang menjelaskan ayat-ayat tertentu yang sudah dinasakh oleh ayat lain. Ketera-ngan ini tentu sangat berharga bagi pembaca awam sehingga tidak terjebak pada pemahaman kaku ayat tertentu padahal ayat tersebut sudah dihapus oleh ayat sesudahnya.

Pada umumnya, penafsir saat menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tidak menggunakan rujukan tertentu, tidak ayat dengan ayat, ayat dengan hadits dan yang lainnya. Kadang-kadang ditemukan, penafsir menafsirkan satu ayat dengan ayat atau hadits lain, tetapi sangat jarang terjadi.

2. Sistematika TafsirApakah al-Ibriz ditulis secara kronologis dari surat al-Fatihah sampai

surat al-Nas ataukah tidak, tidak diperoleh data yang memadai. Begitu pula dengan waktunya, apakah ditulis tanpa putus selama bertahun-tahun atau-kah putus-sambung. Kebiasaan selalu membawa alat tulis dan kertas, ditam-bah banyaknya tulisan dalam bentuk terjemahan atau yang lainnya, sangat menyulitkan keluarga dekat untuk mengetahui apakah ia sedang menyusun tafsir atau menulis buku yang lain.

Lepas dari pertanyaan di atas yang belum terjawab, sistematika tafsir al-Ibriz mengikuti urutan ayat-ayatnya, dimulai dari surat al-Fatihah sampai su-rat al-Nash. Setelah satu ayat ditafsirkan selesai, diikuti ayat-ayat berikutnya sampai selesai.

Tafsir al-Ibriz dijilid dan dipublikasikan per-juz, sehingga terdapat 30 ji-lid. Tidak ditemukan keterangan, mengapa tafsir ini tidak dibukukan dalam satu jilid, sehingga mudah dibawa keseluruhannya. Apakah semata-mata pertimbangan penerbit yang menginginkan agar al-Ibriz dapat dibeli per-juz sehingga tidak terlalu mahal harganya, karena target marketnya adalah kelas pedesaan dan masyarakat pesantren, ataukah karena keinginan penafsirnya?

Sepanjang pengamatan penulis, tafsir al-Ibriz yang dijilid per-juz ini me-miliki kelebihan bagi pembacanya. Di pondok pesantren peninggalan KH. Bisri Mustofa, sampai sekarang masih diajarkan tafsir al-Ibriz setiap hari Jum’at yang diasuh oleh KH. Mustofa Bisri. Pengajian ini tidak diikuti oleh santri mukim (pondok)—yang setiap ba’da subuh mengaji tafsir Jalalain, teta-pi diikuti oleh santri lajo (berangkat pagi dan pulang siang pada hari itu juga) yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian besar naik sepeda ontel, sebagian yang lain naik sepeda motor dan angkutan (dokar atau mobil). Dengan format dijilid per-juz, tafsir ini sangat ringan dan mudah dibawa se-

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz

35Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

abu Rokhmad

hingga tidak menyulitkan bagi pembacanya.

3. Bahasa dan Gaya BahasaTafsir al-Ibriz ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa (Arab pe-

gon). Pilihan huruf dan bahasa ini tentu melalui pertimbangan matang oleh penafsirnya. Pertama, bahasa Jawa adalah bahasa ibu penafsir yang diguna-kan sehari-hari, meskipun ia juga memiliki kemampuan menulis dalam ba-hasa Indonesia atau Arab. Kedua, al-Ibriz ini tampaknya ditujukan kepada warga pedesaan dan komunitas pesantren yang juga akrab dengan tulisan Arab dan bahasa Jawa. Karena yang hendak disapa oleh penulis tafsir al-Ibriz adalah audiens dengan karakter di atas, maka penggunaan huruf dan bahasa di atas sangat tepat. Merujuk pada kelahiran Nabi Muhammad di Makkah dan berbahasa Arab, sehingga al-Qur’an-pun diturunkan dengan bahasa Arab, maka tafsir al-Ibriz yang ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa adalah bagian dari upaya penafsirnya untuk membumikan al-Qur’an yang berbahasa langit (Arab dan Makkah) ke dalam bahasa bumi (Jawa) agar mu-dah dipahami.

Memang benar, dengan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon, tafsir ini menjadi eksklusif, dibaca dan hanya dipahami oleh orang-orang yang familiar dengan bahasa Jawa dan huruf Arab (santri). Itu berarti, tidak setiap orang mampu mengakses tulisan dan bahasa dengan karakter tersebut. Tetapi dari sudut pandang hermeneutik, orang tidak akan meragukan otentisitas dan validitas gagasan yang dituangkan penulisnya, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sangat dikuasainya dan dipahami oleh masyarakat sekitarnya.

Dari sisi sosial, tafsir ini cukup bermanfaat dan memudahkan bagi ma-syarakat pesantren yang nota bene adalah warga desa yang lebih akrab den-gan bahasa Jawa dibanding bahasa lainnya. Dari sisi politik, penggunaan bahasa Jawa dapat mengurangi ketersinggungan pihak lain jika ditemukan kata-kata bahasa Indonesia misalnya, yang sulit dicari padanannya yang lebih halus. Bahasa Jawa memiliki tingkatan bahasa dari kromo inggil sampai ngo-ko kasar, yang dapat menyampaikan pesan kasar dengan ragam bahasa yang halus.

Gaya bahasa tafsir al-Ibriz sangat sederhana dan mudah dipahami. Baha-sa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko halus dengan struktur sederha-na. Tutur bahasanya populer dan tidak jlimet. Meski harus diakui, jika dibaca oleh generasi sekarang kadang mengalami kesulitan karena kendala bahasa dan kebiasaan yang dianut.

c. Aspek Metode Tafsir1. Metode Tafsir

Berdasar peta metodologi yang disampaikan oleh al-Farmawi dan yang sealiran dengannya, tafsir al-Ibriz disusun dengan metode tahlili, yakni suatu

36 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz abu Rokhmad

metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat al-Qur’an yang urutannya disesuaikan dengan tertib ayat mushaf al-Qur’an. Penjelasan mak-na-makna ayat tersebut dapat berupa makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbab al-nuzul-nya, serta keterangan yang dikutip dari Nabi, sahabat maupun tabi’in.

Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul, sedang penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Dengan cara ini, kedudukan dan fungsi kalimat dijelaskan detail, sehingga siapapun yang membacanya akan mengetahui bahwa lafadz ini kedudukan sebagai fi’il, fa’il, maf’ul dan lain sebagainya.

Dalam konteks hermeneutika, makna gandul ini paralel dengan analisis bahasa yang sangat penting dalam mengungkap struktur bahasa yang men-jebak. Kelalaian dari sisi ini mengakibatkan lahirnya tafsir yang misleading karena tidak memahami anatomi bahasa yang ditafsirkan. Padahal, di ba-lik gramatika sebuah tafsir tersimpan makna dan maksud penafsir yang di-inginkan. Di dalamnya, tersembunyi kepentingan ekonomi, sosial dan politik seorang penafsir.

Dari perspektif Yunan Yusuf, metode yang digunakan dalam tafsir al-Ibriz adalah tafsir yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya, ayat al-Qur’an ditafsirkan menurut bunyi ayat tersebut—bukan ayat dengan ayat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, al-Ibriz adalah tafsir yang sangat seder-hana. Ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya, ditafsirkan mirip dengan ter-jemahannya. Sedang ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih dalam, di-berikan keterangan secukupnya. Kadang-kadang dijumpai tafsir berdasarkan ayat al-Qur’an yang lain, hadits atau bahkan ra’yu, tetapi tidaklah dominan dan terjadi dengan makna sangat sederhana.

Sedang dari pemetaan Baidan, tafsir al-Ibriz menggunakan metode anali-tis dalam kategori komponen eksternal. Artinya, penafsiran dilakukan melalui makna kata per-kata, selanjutnya dijelaskan makna satu ayat seutuhnya.

2. Teknik PenafsiranIstilah teknik dipakai oleh Yunan Yusuf yang tampaknya memiliki kesa-

maan makna dengan metode menurut al-Farmawi maupun Baidan. Teknik tafsir ini ada dua; kata per-kata atau keseluruhan ayat. Berdasarkan pandang-an ini, teknik tafsir al-Ibriz menggunakan cara yang pertama, yaitu kata per-kata, setelah itu baru dijelaskan keseluruhan makna satu ayat, baik dengan keterangan panjang maupun pendek.

3. Aliran dan Bentuk TafsirSebagaimana istilah teknik, istilah aliran hanya dipakai oleh Yunan Yu-

suf. Yunan membagi aliran tafsir menjadi dua; liberal dan tradisional. Dari kacamata ini, tafsir al-Ibriz masuk kategori yang kedua. Dalam wacana pe-mikiran Islam, kategori tradisional merujuk sikap setia terhadap doktrin-dok-

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz

37Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

abu Rokhmad

trin Islam, normatif dan sejalan dengan pemikiran mainstream. Meskipun demikian, dalam hal teologis, KH. Bisri Mustofa cenderung kepada pemikir-an Mu’tazilah dibanding Asy’ariyah. Dalam konteks ini, pemikiran KH. Bisri Mustofa masuk kategori liberal, karena selama ini Mu’tazilah dikenal sebagai pemikir yang rasional dan liberal.

Istilah bentuk tafsir hanya dipakai oleh Baidan dalam pemetaan me-todologinya. Menurutnya, bentuk tafsir dibagi dua; ma’tsur dan ra’yu. Me-ngacu pada pendapat ini, tafsir al-Ibriz condong masuk kategori pertama dalam bentuknya yang sederhana, karena penafsir tidak secara langsung mendasarkan penafsirannya pada ayat-ayat al-Qur’an atau hadits-hadits Nabi Muhammad.

4. Pendekatan dan Corak TafsirDua istilah ini masing-masing dikemukakan oleh Yunan Yusuf dan Baid-

an. Meskipun berbeda, kedua istilah tersebut memiliki kesamaan makna, yakni ciri khas atau kecenderungan yang dimiliki oleh sebuah tafsir, misalnya bercorak fiqhi, falsafi, shufi, sosial-kemasyarakatan dan lain-lain.

Sejauh penelitian penulis, pendekatan atau corak tafsir al-Ibriz tidak me-miliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Al-Ibriz cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan shufi. Dalam arti, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial kemasyarakatan. Corak kombinasi an-tara fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan shufi ini harus diletakkan dalam artian yang sangat sederhana. Sebab jika dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang bercorak tertentu sangat kuat seperti misalnya tafsir Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshash yang bercorak fiqhi, maka tafsir al-Ibriz jauh berada di bawahnya.

PenutuP

Dari kajian di atas, ditemukan kesimpulan sebagai berikut: Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa disusun dengan metode tahlili, yakni suatu metode yang menjelaskan al-Qur’an secara kata per-kata sesuai tertib susunan ayat al-Qur’an. Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul sedang penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Makna gandul ini di-barengi dengan analisis bahasa yang berguna untuk mengungkap struktur bahasa.

Dari sisi karakteristik, tafsir al-Ibriz sangat sederhana dalam menjelas-kan kandungan ayat al-Qur’an. Pendekatan atau corak tafsirnya tidak memi-liki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Tafsir ini merupakan kombinasi berbagai corak tafsir tergantung isi tekstualnya. Dari segi aliran dan bentuk tafsir, tafsir al-Ibriz termasuk beraliran tradisional dan ma’tsur dalam artian yang sederhana.

38 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz achmad Sidiq

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Hayy al-Farmawi.1976. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiyyah Mawdluiyyah

Abd Moqsith Ghazali. 2003. Satu Qur’an, Bejibun Tafsir, Makalah yang di-sampaikan pada diskusi tanggal 20 Mei 2003 di Sawangan Depok.

Alex Sobur. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: RosdakaryaAlwi Shihab. 2004. Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan Melurus-

kan Kesalahpahaman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Bisri Mustofa. t.t. al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz, juz II, Kudus:

MenaraBisri Mustofa. t.t. al-Ibriz, juz IV, ayat 92. Kudus: MenaraBisri Mustofa. t.t. al-Ibriz, juz V, ayat 33. Kudus: MenaraBisri Mustofa. t.t. al-Ibriz, juz XXX. Kudus: MenaraBisri Mustofa. t.t. al-Ibriz, juz XXX. Kudus: MenaraFazlur Rahman. 2000. Islam, terj. Ahsin Muhammad, cet. IV. Bandung:

PustakaHarun Nasution. 1996. Islam Rasional. Bandung. cet. IV. Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Analisa Perbandingan Sejarah dan

Madzhabnya. Jakarta: UI PressKomaruddin Hidayat.1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian

Hermeneutik. Jakarta: Paramadina M. Ramli HS. 1994. Corak Pemikiran Kalam KH. Bisri Mustofa: Studi Kom-

paratif dengan Teologi Tradisional Asy’ariyah. Tesis belum diterbitkan. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mohammed Arkoun. 1997. Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin, Ja-karta: INIS

Muhammad Said ‘Ashmawi. 1983. Ushul al-Syari’ah. Beirut: Dar-IqraNashruddin Baidan. 1999. “Rekonstruksi Ilmu Tafsir” dalam Pidato Pengu-

kuhan Guru Besar Madya Ilmu Tafsir. Surakarta: STAIN SurakartaNasr Hamid Abu Zayd. 2003. Menalar Firman Tuhan. Bandung: Mizan Taufik Adnan Amal. 2001. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta:

FKBAW.M. Watt. 1970. Bell’s Introduction to the Qur’an. Ediburgh: Edinburgh

University PressZainuddin Fananie dkk.2002. Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sos-

ial. Surakarta: UMS Press

Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz

3�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

achmad Sidiq

MASJID BESAR KAUMAN SEMARANG

SEBUAH KAJIAN GAYA ARSITEKTUR DAN ORNAMEN

OLEH ACHMAD SIDIQ *

� Drs. H. Achmad Sidiq, M.S.I. adalah peneliti bidang Lektur Keagamaan pada Balai Litbang Agama Semarang

PENELITIAN

AbstrAct :Masjid Besar Kauman Semarang which is simply called as Masjid Besar

Kauman is an ancient mosque in Central Java which has various character-istics: Javanese, Persian and Arabian. Considering the model of the roof, the mosque exposes its Javanese characteristics; even its triple overlapping roof with the mustaka on the top reminds us to the Masjid Agung Demak. On the other hand, looking at its gate the mosque belongs to Persian and Arabian characteristics. The mosque which was founded by Kyai Adipati Surodi-menggolo II is a series of historical development of the mosque in Semarang. In a short time, unfortunately, the mosque was on fire. In 23 April 1889 the mosque was rebuilt by G.I. Blume and Raden Tumenggung Cokrodipuro and by 23 November 1890 the rebuilding of the mosque completely finished. Such information can be seen in the inscription on the sculpture at the mosque gate.

Keywords : mosque, ancient, architecture, ornament

PendAhuluAn.Di kota Semarang terdapat tiga buah masjid yang dapat dikatagorikan se-

bagai masjid besar atau masjid agung. Pertama Masjid Besar Kauman yang berada di pusat kota letaknya tepat di sebelah barat alun-alun kota lama. Ke-dua Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di kawasan Simpang lima, dan ketiga Masjid Agung Jawa Tengah yang berada di Jalan Gajah. Ketiga masjid besar yang ada di kota Semarang tersebut, salah satu masjid yang tergolong kuno atau dibangun sejak abad 18 adalah Masjid Besar Kauman, sedangkan dua masjid berikutnya yaitu Masjid Raya Baiturrahman dan masjid Agung

40 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

achmad Sidiq

Jawa Tengah keduanya tergolong baru karena dibangun pada tahun 1990-2000 an.

Penelitian ini difokuskan pada Masjid Besar Kauman Semarang yang telah dibangun pada tahun 11 April 1885 (Inskrpsi, Masjid Masjid Besar Kauman). Masjid ini sudah pernah dipugar, akan tetapi masih terlihat mempunyai sisa-sisa komponen bangunan yang menunjukkan kekunoannya. Komponen yang paling terlihat jelas yaitu pada ruang utama masjid. Di dalamnya terdapat mihrab dan mimbar yang dihiasi oleh berbagai macam motif hias serta tulisan kaligrafi. Pada bagian jendela, khususnya pada bagian ventilasi juga dihiasi oleh motif-motif hias. Selain itu bentuk tiang-tiang masjid juga memperlihatkan bentuk-bentuk lama.

Keberadaan Masjid Besar Kauman Semarang telah memperlihatkan ad-anya beberapa kesamaan pada ciri yang dikemukakan Pijper serta ciri yang bersifat lokal tradisional tersebut. Ciri yang dimaksud meliputi; berada di se-belah barat alun-alun, denah masjid yang berbentuk persegi, berdiri di atas pondasi yang padat, atap yang bersusun, terdapat mihrab dan mimbar, serta adanya serambi.

Masjid Besar Kauman pada kenyatannya juga terlihat mempunyai ciri bentuk arsitektur kolonial yang bisa ditemukan pada bagian; tiang, dinding, pintu dan jendela. Bahkan terdapat ragam hias yang terdapat pada jendela serta dinding, maka dari itu menarik untuk dilihat bentuk arsitektur dan ra-gam hias yang terdapat pada Masjid tersebut.

Permasalahan dalam penelitian ini dapat disusun dalam pertanyaan:1. Bagaimana sejarah dan fungsi sosial masjid Besar Kauman Semarang2. Bagaimana gaya dan fungsi Arsitektur dan ragam hias yang ada.

Penelitian ini mencakup obyek bangunan Masjid Besar Kauman Sema-rang. Obyek penelitian yang dibahas secara mendalam pada bangunan masjid ini adalah obyek yang dianggap masih asli atau berbentuk lama. Bentuk terse-but meliputi; pondasi, denah, dinding pintu, jendela, tiang, serambi, mihrab, mimbar, atap dan ragam hias.

Bangunan lainnya yang merupakan bangunan tambahan seperti, menara, pos satpam, toko, tempat wudhu tidak dibahas lebih dalam mengingat pem-buatannya yang masih baru dan pembahasannya hanya sebatas deskripsi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya bangunan Masjid Besar Kauman Semarang serta melihat bentuk arsitektur dan rgam hias pada mas-jid. Diharapkan dari hasil penelitian ini akan menambah pengetahuan ten-tang pengaruh-pengaruh tradisional dan kolonial yang secara akomodatif ter-cermin dalam bentuk arsitektur dan ragam hias pada masjid tersebut.

Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian arkeo-logi yang terdiri dari tahap pengumpulan data (observasi), pengolahan data (analisis), dan penafsiran data.

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

41Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

achmad Sidiq

Tahap pertama pengumpulan data dilakukan dengan melakukan kegiatan studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data tertulis yang berhubungan de-ngan obyek dan tema penelitian. Kemudian juga dilakukan penelusuran ter-hadap jenis arsitektur tradisional Jawa. Setelah itu juga akan dikumpulkan mengenai data pemugaran Masjid Besar Kauman Semarang.

Tahap kedua adalah studi lapangan, di dalam tahap ini dilakukan kegiatan pengumpulan data, untuk memperoleh informasi tentang: denah, struktur, dan komponen-komponen masjid. Kemudian dilakukan kegiatan pemotretan terhadap obyek penelitian.

Analisis data dilakukan setelah data kepustakaan dan data lapangan ter-kumpul. Mengingat dari tujuan semula yaitu untuk mengetahui bentuk arsi-tektural dan ornamental dari masjid, maka menggunakan analisis morfologi, dan analisis gaya.a. Analisis morfologi terhadap bangunan masa Islam, adalah melakukan

pengamatan terhadap variabel yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian dasar, tubuh dan atap. Selain itu variabel ukuran, denah arah hadap, dan ragam hias juga merupakan satuan pengamatan yang harus diperhatikan (Mundardjito, 1999: 95). Analisis bentuk marfologi pada Masjid Besar Semarang meliputi analisis terhadap bagian dasar seperti; pondasi dan lantai. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap badan, yaitu: ruang utama, mihrab, mimbar, dinding, pintu, jendela, dan tiang. Bagian lainnya yaitu terhadap atap masjid. Ragam hias juga merupakan variabel yang harus diperhatikan.

b. Analisis gaya adalah melakukan pengamatan terhadap variabel-variabel yang berupa ragam hias, baik yang berupa ragam hias arsitektur maupun ragam hias dekoratif (Mundardjito, 1999: 96). Analisis gaya terhadap Mas-jid Besar Kauman Semarang adalah melakukan pengklasifikasian ragam hias arsitektur dan ornamiental. Pengklasifikasian dilakukan dengan cara pembuatan tipe-tipe dan sub tipe. Ragam hias arsitektural yang diklasifi-kasi adalah; tiang, jendela, dan pintu. Sementara itu ragam hias ornamental yang diklasifikasi berupa motif tumbuh-tumbuhan dan motif kaligrafi.

Tahap akhir dari penelitian adalah interpretasi data. Data yang sudah di-kumpulkan melalui proses pengumpulan data ditafsirkan untuk menghasil-kan suatu analisa mengenai fungsi gaya bangunan dan ornamental dengan corak tradisional dan kolonial.

sejArAh MAsjid

Berdasarkan buku catatan Pengurus Ta’mir Masjid Besar Kauman yang di cetak tahun 2004, masjid ini didirikan pada pertengahan abad 16 Masehi yaitu jauh sebelum kawasan ini jatuh ke tangan kaum penjajah. Pada saat itu masjid ini merupakan masjid yang tertua dan terbesar di kota Semarang, dan

42 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

achmad Sidiq

merupakan cikal bakal terbentuknya kota Semarang.Awal dibangunnya masjid ini adalah atas prakarsa Sunan Pandan Arang

atau yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Pandan Arang. Beliau adalah berasal dari negara Arab yang aslinya bernama Maulana Abdul Salam. Oleh Sunan Kalijaga beliau ditunjuk untuk menggantikan kedudukan Syeikh Siti Jenar yang ajarannya dianggap menyimpang. Ia ditugasi untuk menyebarkan agama Islam di kawasan sebelah barat Kasultanan Bintoro Demak, yang se-lanjutnya kawasan itu kemudian dikenal dengan nama “Semarang” yang pada saat ini telah berkembang menjadi suatu kota yang maju, bahkan menjadi ibu kota Propinsi Jawa Tengah.

Sunan Pandan Arang memulai tugasnya dengan membangun masjid yang sekaligus dijadikan sebagai padepokan untuk pusat kegiatan menyebarkan agama Islam ke masyarakat.

Foto: Masjid Besar Kauman Semarang sebelum dipugar ( th. 1760 M.)

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

43Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

achmad Sidiq

Foto: Inskripsi di gerbang Masjid Besar Kauman (diambil th.2010)

Di bagian dalam gapura masjid terdapat empat buah inskripsi yang isinya sama, masing-masing menggunakan: (1) bahasa dan huruf Arab, (2) Bahasa dan huruf Jawa, (3) Bahasa Belanda, (4) Bahasa Indonesia. Secara tekstual bunyi inkripsi bahwa:

“Peringatan” Mesjid besar Semarang terbakar hari Jum’at tanggal 11 April 1885 jam ½ 9 malam sebab dari goentoer (petir). Mulai dibikin betul tanggal 23 April 1889 dengan pertolongannya Kanjeng Tuan G.J.Blumme Asisten Residen Semarang dan Raden Tumenggung Tjok-rodipoero Bupati Semarang. Yang atur pembikinannya adalah Tuan In-sinyur G.A.Gambier pada tanggal 23 Nopember 1890 jadinya. (Sumber: inskripsi Masjid Kauman Semarang, 3 September 2010)Secara umum dapat dipahami bahwa Masjid Besar Kauman itu sudah ada

sejak abad ke-16 dan kemudian pada tanggal 11 April 1885 terbakar karena tersambar petir. Kemudian atas prakarsa dari G.J Blumme Asisten Residen Semarang dan Tumenggung Raden Tjondrodipoero sebagai Bupati Semarang masjid itu dibangun kembali. Adapun yang diserahi untuk membangun dan menjadi arsitekturnya adalah Insinyur G.A.Gambier dan diselesaikan pada 23 Nopember 1890.

Pemerintah Daerah Kota Semarang secara khusus juga menaruh per-

44 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

achmad Sidiq

hatian terhadap Masjid Besar Kauman dan menjadi salah satu kebanggaan kota Semarang. Pada tahun 1982 Pemerintah Daerah membangun sebuah menara (terbuat dari baja) berikut sound system dan sirine (pengganti bom udara) untuk tanda waktu imsyak dan berbuka puasa di bulan Ramadlan yang sepenuhnya dibiayai APBD.

Foto: Bangunan masjid dari posisi depan (Th. 2010).

Arsitektur dAn ornAMen MAsjid Masjid Besar Kauman merupakan bangunan yang mempunyai arsitektur

seperti rumah tradisional Jawa. Hal ini jika dilihat dari bentuk atapnya dan diatasnya terdapat mustoko seperti yang terdapat pada Masjid Agung Demak. Istilah rumah tradisional adalah bangunan yang telah dikenal secara turun-temurun dengan bentuk dan kegunaan yang sama. Sedangkan arsitektur tradisional adalah pernyataan bentuk sebagai hasil dari suatu hasrat untuk menciptakan lingkungan dan/atau ruang hidup (space) untuk kelangsungan hidupnya sesuai dengan kaidah yang diakui bersama, atau yang masih dianut sebagian besar masyarakat.

Analisis bentuk arsitektural meliputi analisis morfologi terhadap dasar, tubuh, atap, serta komponen-komponen pendukung yang terdapat pada Masjid Besar Kauman. Analisis terhadap bagian-bagian tersebut diperinci lagi manjadi bagian dasar (pondasi), tubuh (ruang utama, mimbar, serambi, pintu, jendela, dan tiang), atap dan komponen-komponen tambahan (bedug,

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

45Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

achmad Sidiq

tempat wudlu, dan pagar keliling).Arsitektur menurut van Romond adalah ruang tempat hidup manusia

dengan bahagia (1954; 4). Ruang disini mencakup pengertian yang sangat luas, karena arsitektur pada prinsipnya terdiri dari unsur ruang, keindahan dan kebahagiaan (Maryono 1985: 118.

Ketika agama Islam masuk ke Indonesia mereka tidak membawa kebu-dayaan yang asli, sehingga agama Islam masih melanjutkan kebudayaan yang ada sebelumnya. Tetapi tidak semua kebudayaan pra-Islam digunakan karena Islam sendiri mempunyai hukum sendiri, seperti dalam bidang pengaruh seni lukis/ pahat yang melarang menggambarkan makhluk hidup oleh Islam orto-dok.

Pada awal perkembangan agama Islam di Jawa pengaruh kebudayaan se-belumnya masih terlihat jelas walaupun ada beberapa perbedaan, seperti di masjid Mantingan (1569 M). Salah satu dindingnya terdapat hiasan berupa mendalion yang dipenuhi dengan rangkaian teratai yang terdiri dari daun dan bunganya yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuk binatang gajah (Kusen 1980: 121) yang tampak disamarkan.

Kedatangan bangsa Eropa di Indonesia mempunyai pengaruh pada ke-hidupan masyarakat. Pengaruh itu juga didapati pada arsitektur beberapa bangunan masjid seperti pada bangunan tiyamah di masjid Agung Banten dan masjid-masjid di Jakata. Arsitektur masjid yang dibangun kebanyakan masih mengikuti bentuk tradisional walaupun pengaruh asing telah masuk. Sebagian besar masjid di Jawa mempunyai ciri-ciri seperti yang diuraikan oleh Pijper (1984), seperti masjid Angke dan masjid-masjid di sepanjang pan-tura Jawa.

Ciri arsitektur masjid-masjid di pantai utara Jawa bila dilihat dari ben-tuk atapnya adalah berbentuk limasan bertingkat yang menandai kebanyakan bangunan masjid-masjid kuno. Masjid Kauman Semarang jika dilihat dari pintu gerbangnya dengan lengkung-lengkung pintunya yang berbentuk rang-kaian daun waru, maka masjid kauman juga mempunyai ciri arsitektur Persia atau Arab, serta beberapa ciri khusus pada ruang ibadah, ruang berwudlu dan serambi-serambi. Bentuk atap limasan bertingkat tiga, dan puncaknya diberi hiasan mustaka yang bentuknya mengingatkan pada mustaka Masjid Agung Demak di Kadilangu.

Pengaruh asing juga banyak mewarnai arsitektur masjid di Jawa seperti yang terlihat pada masjid Kauman pada gerbang pintu, jendela dan ventilasi berupa sulur-sulur berbentuk daun waru serta tiang-tiang penyangga yang terbuat dari tembok cor yang kokoh.

1. Fungsi Ruang Utama.Ruang utama merupakan salah satu komponen utama dalam suatu ba-

ngunan masjid yang biasanya berfungsi sebagai tempat jemaah untuk menu-

46 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

achmad Sidiq

naikan ibadah salat berjamaah. Untuk itu, ruang utama umumnya mempu-nyai ruangan yang cukup besar agar dapat menampung jumlah jamaah yang banyak.

Foto: Ruang Utama (Th.2010)

Masjid-masjid di Indonesia, pembagian ruangan tersebut agak berbeda. Hal itu terlihat pada penempatan ruang utama untuk salatdan ruang ser-ambi. Pada umumnya masjid terdiri dari beberapa ruang utama berbentuk bujur sangkar yang dibatasi dinding pada setiap sisinya dengan penonjolan pada bagian mihrab. Ruang utama umumnya digunakan sebagi tempat salat. Pada bagian lainnya dalam ruang utama dipisahkan untuk tempat salat kaum wanita dan anak-anak. Kemudian terdapat ruang serambi yang merupakan ruangan lebar terbuka berfungsi untuk pelaksanaan kegiatan keagamaan, serta tempat menyimpan beduk untuk memberi tanda waktu salat (Rochym, 1983: 63).

Masjid Kauman Semarang memiliki ruang utama yang cukup luas dengan denah persegi panjang. Di bagian dalam pada dasarnya hanya terdiri dari satu ruangan. Dibandingkan dengan bangunan masjid di Indonesia pada umum-nya hampir sama dalam organisasi ruangannya.

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

47Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

achmad Sidiq

Saat para jamaah melakukan ibadat salat dalam sebuah masjid, semuanya menghadap ke arah kiblat atau mihrab masjid dengan pandangan yang sejajar ke arah kiblat (horizontal) atau sedikit menunduk karena maksud konsen-trasi/ khusyuk (Wiyoprawiro,1986: 159). Pada ruang utama Masjid Kauman Semarang, para jamaah salat langsung menghadap ke arah kiblat (mihrab) dan merasakan suasana salat berjamaah karena ruangannya yang tidak ter-bagi-bagi, sehingga dapat melaksanakan ibadah salat dengan suasana khid-mat. Selain itu ketika sedang khotbah Jum’at, para jamaah salat dapat melihat langsung dan mendengarkan khotib yang sedang memberikan ceramah.

Dalam ruang utamanya, Masjid Kauman Semarang memang tidak dibagi dalam beberapa ruangan. Secara konseptual hal itu tidak menyalahi hukum Islam. Dalam aturan salat berjamaah, hanya ditentukan imam berada di de-pan tepat di tengah-tengah. Di belakang imam merupakan barisan makmum laki-laki dan di belakangnya lagi adalah barisan wanita (Ash-Shidiqi, 1986: 374-375). Sesuai dengan aturan tersebut, kaum wanita hanya ditentukan be-rada pada barisan belakang dari baris (makmum laki-laki), sehingga tidak ha-rus pada suatu ruangan yang khusus, yang di Jawa disebut pawestren.

2. Mihrab.Pengertian mihrab yang dikenal sekarang adalah sebuah ruangan di dalam

masjid tempat imam memimpin salat, terletak di sisi barat laut masjid sebagai tanda arah kiblat. Pada umumnya mihrab masjid di Indonesia terletak pada bidang barat masjid, tepatnya di bagian tengah dari dinding barat masjid dan berjumlah satu buah. Dasar pertimbangan dibangunnya mihrab adalah ada-nya keharusan seorang imam dalam salat berjamaah tidak boleh sejajar de-ngan makmum (Farid, 1985: 28).

Foto: Mihrab (Th. 2010).

48 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

achmad Sidiq

Mihrab masjid Kauman Semarang adalah bangunan yang menjorok ke-arah tenggara dan barat laut, dengan kemiringan 25 derajat dari barat timur. Dinding mihrab menjadi penyangga atap di depan maupun yang dibelakang. Pada dinding yang menjorok keluar pertemuan antara dinding (sudut mih-rab) dibentuk seperti sebuah tiang (tiang semu). Atap mihrab yang keluar merupakan bentuk setengah silinder karena ruang mihrab ini mempunyai atap barrel vault (Waterson, 1968: 15).

Melihat bentuk arsitektur mihrab Masjid Kauman Semarang ini kita akan melihat perpaduan arsitektur yang berasal dari Arab dan Eropa. Atap mihrab menjadi bentuk kubah seperti bentuk atap pada masjid-masjid di negara Arab. Bentuk kubah banyak di jumpai pada masjid-masjid di negara Arab dan Asia Selatan dengan berbagai variasi seperti masjid Sultan Salim (1550) Istambul Turki dan masjid Sunan Pasya, Boulak Mesir (1571) yang berkubah cembung (gambar 17b) Aboebakar, 1955: 99).

Pengaruh Eropa terlihat pada atap mihrab yang berbentuk segitiga (pedi-ment). Bentuk segi tiga ini juga dijumpai pada atap bangunan Belanda seperti bentuk depan atap Greja Blenduk, bangunan Lawang Sewu di Semarang.

3. Serambi.Pada umumnya serambi adalah salah satu unsur bangunan masjid di In-

donesia. Serambi biasanya terletak pada bagian depan masjid dan kadang terletak pada kedua sisi masjid. Bentuk serambi ada yang terbuka maupun yang tertutup. Serambi dianggap sebagai bangunan profan karena fungsinya sebagai penunjang ruang utama di dalam bangunan masjid. Ruangan utama hanya boleh dipergunakan untuk salat. Sedangkan serambi selain untuk tem-pat salat, juga sebagai tempat untuk penyelenggaraan peringatan hari-hari besar Islam. Dahulu serambi bahkan digunakan sebagai tempat pengadilan agama (Pijper, 1984: 19-20).

Serambi sebagai penunjang ruang uatama masjid dapat digunakan apabila selepas waktu salat ruang uatama ditutup, maka orang yang tidak mengikuti salat pada awal waktu dapat menyusul atau melakukannya sendiri di serambi. Atap serambi merupakan bagian yang disebut atap emper dari atap limasan. Selain itu serambi juga dapat digunakan untuk tempat bersantai sejenak.

Begitu juga dengan masjid Kauman Semarang memiliki serambi terletak di depan dan di kedua sisinya, sehingga apabila dilihat dari denahnya me-nyerupai bentuk huruf U (lihat kembali gambar 5) .Bentuk denah demikian dapat menampung jamaah yang ingin bersantai sejenak dengan tersebar dan tidak terkonsentrasi pada satu sisi. Serambi pada masjid Kauman Semarang merupakan serambi terbuka yang terletak pada sisi timur, utara dan selatan masjid. Bentuknya yang terbuka memudahkan masuknya aliran angin dan membuat serambi jadi sejuk. Selain itu, ruang serambi biasanya juga dipergu-nakan sebagai tempat anak-anak belajar mengaji.

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

4�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

achmad Sidiq

Di serambi sebelah selatan atau serambi depan setiap seminggu seka-li pada hari minggu setelah salat dhuhur dilaksanakan pengajian tafsir Al-Qur’an yang diasuh oleh seorang kyai dari Semarang diikuti oleh jamaah yang jumlahnya antara 50-100 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Demikian juga pada peringatan hari-hari besar Islam seperti maulid Nabi (hari kela-hiran nabi Muhammad saw), Nuzulul Al-Qur’an (turunnya Al-Qur’an), Isra’ mi’raj (peristiwa naiknya Nabi Muhammad ke langit untuk menerima perin-tah salat), dan acara-acara keagamaan lainnya.

4. Pondasi. Fondasi merupakan komponen bangunan yang menghubungkan bangun-

an dengan tanah. Dalam mendirikan bangunan di atas pondasi, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah kedalaman atau ketebalan lapisan tanah, terutama pada lapisan tanah yang akan menerima beban, serta kekokohan landasan dan keadaan hidrologs (Frick, 1980: 46)

Masjid-masjid besar umumnya memiliki fondasi masif dimana fondasi tersebut banyak digunakan pada bangunan masjid yang merupakan salah satu ciri masjid tua (Pijper 1984: 15). Fondasi masif pada masjid merupakan fon-dasi yang dikenal masyarakat arsitektur Indonesia. Fondasi ini secara teknik akan lebih mengokohkan bamgunan.

Masjid Besar Kauman menggunakan fondasi masif seperti bangunan tradisional yang telah ada seperti bangunan candi Badut dan candi Kalasan. Fondasi ini menopang bangunan. Secara detail belum diketahui bagaimana konstruksi dari fondasi masjid ini seperti pemasangan bata dan bahan ba-ngunan yang digunakan.

Lantai masjid Kauman Semarang berupa susunan tegel dari marmer yang berbentuk persegi empat dan menutupi seluruh ruang utama. Tegel ini se-cara berjajar dengan mempertemukan sisi-sisi ubin. Kemudian pada bagian pinggir lantai ruang utama dipasang ubin berbentuk persegi panjang dengan ukuran 10 x 20 cm.

5. Pintu. Pintu pada ruang utama masjid Kauman Semarang berjumlah 6 buah, dua

buah di depan sebagai pintu utama dan dua buah disisi kanan dan kiri dengan ukuran yang sangat besar. Dari jumlah pintu yang banyak dan keletakannya dapat dikatakan bahwa fungsi pintu itu adalah untuk keluar masuk jamaah salat dalam jumlah yang banyak pada waktu bersamaan.

50 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

achmad Sidiq

Foto pintu utama (Th.2010).

Bentuk dan ukuran pintu yang sangat besar itu berguna untuk menam-bah sirkulasi udara karena apabila jamaahnya banyak, maka diperlukan uda-ra banyak untuk menyegarkan ruangan masjid. Pintu ini mempunyai kusen yang berfungsi untuk meletakkan daun pintu sekaligus sebagai pembentuk tiang semu. Pada kusen dipasang engsel untuk mengaitkan daun pintu agar mudah dibuka dan ditutup.

Berdasarkan bentuk dan ukurannya, pintu masjid dibagi dalam dua tipe yaitu pintu tipe satu dan pintu tipe dua.

Pintu-pintu utama masjid Kauman yang memiliki ukuran besar berupa pintu berbentuk segi 4, berdaun pintu dua buah, dan berpanil empat buah. Pada bagian atasnya terdapat ventilasi dari kayu ukiran berbentuk sulur-sulur gambar daun waru. Pintu tipe 1 menggunakan 6 buah kaca mozaik berwarna-warni, terletak di tengah pada dinding-dinding masjid yang berfungsi sebagai tempat keluar masuk jamaah salat.

Berdasarkan pembagian pintu tersebut, dapt dikatakan pintu utama mas-jid memiliki ukuran yang besar karena berfungsi sebagai pintu masuk utama ke dalam ruangan masjid. Ukuran pintu yang besar membuat sejumlah se-jumlah orang dapat keluar masuk masjid secara bersaman. Kemudian pintu

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

51Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

achmad Sidiq

utama masjid terletak di tengah-tengah sebagai penanda main entrance ke dalam ruangan masjid. Selain itu, pintu utama masjid memiliki hiasan yang variatif sebagai penanda pintu utama.

Pada pintu pendukung masjid memiliki ukuran yang lebih kecil diban-ding pintu utama karena fungsinya yang mendukung pintu utama sebagai tempat keluar masuk jamaah salat. Ukuran pintu yang lebih kecil menanda-kan fungsinya sebagai pintu pendukung karena hanya dapat dilewati sedikit orang dalam waktu yang bersamaan. Letaknya yang di kanan dan kiri pintu utama dapat memudahkan jamaah keluar masuk selain melalui pintu utama. Pintu pendukung mempunyai hiasan yang kurang variatif dibanding dengan pintu utama.

Pintu-pintu masjid dibuat dengan ukuran besar seperti halnya pintu pada angunan kolonial yaitu bentuk bilah-bilah papan yang disusun secara ver-tikal. Daun pintu seperti itu terdapat juga pada gereja Belnduk (1750) dan Bangunan Lawang Sewu Kota Semarang. Pembuatan pintu yang besar dan tinggi mungkin disebabkan faktor kondisi alam dan cuaca yang panas Kota Semarang yang terletak di daerah pantura Jawa.

6. Mimbar Mimbar merupakan tempat yang digunakan untuk berkhotbah atau

memberi ceramah untuk menyampaikan suatu berita (pengumuman) pada jamaah salat. Umumnya hal ini dilakukan oleh khatib yang memberikan khotbah atau memberi ceramah sebelum acara salat jum’at. Acara berkhot-bah merupakan hal yang wajib dilakukan sebelum melaksanakan ibadah salat jum’at. Umumnya dalam khotbah dikemukakan masalah-masalah yang ber-hubungan dengan keagamaan seperti komponen amaliah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan komponen muamalah, yaitu hubungan manusia dengan sesamanya. Mimbar pada umumnya terletak di sebelah kanan mihrab, menghadap ke jamaah dan dibuat lebih tinggi dari tempat yang ada disekelilingnya agar dapat terlihat oleh jamaahyang hadir.

Kata mimbar dapat berarti tempat duduk, kursi, maupun tahta. Mim-bar telah menjadi bagian dari masjid sejak masa Rasulullah. Mimbar juga pernah digunakan oleh Rasulullah untuk mengajar, serta menyiarkan pengu-muman penting seperti mengharamkan minuman keras (Aboebakar, 1955: 299).

Mimbar yang ada di Masjid Besar Kauman Semarang terbuat dari kayu dipenuhi oleh hiasan atau ukiran. Mimbar-mimbar tua di Indonesia umumnya berbentuk kursi yang tinggi dan memiliki tangga. Begitu juga hal-nya pada mimbar masjid Kauman Semarang yang terbuat dari kayu. Mimbar dihiasi dengan motif tumbuh-tubuhan berupa sulur-suluran daun. Bentuk mimbar tidak menyerupai kursi melainkan berbentuk seperti sebuah bilik ke-cil yang pada bagian atasnya ditutupi atap kubah. Atap kubah mimbar meru-

52 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

achmad Sidiq

pakan pengaruh seni bagunan timur tengah yang berbentuk kubah semu.

Foto: Mimbar dari arah samping (Th. 2010)

Tengah waktu itu dan sampai sekarang jenis kayu ini mempunyai kwali-tas yang lebih baik dan dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama dibanding kayu lainnya. Selain itu kayu dapat mudah untu diukir dalam pem-buatan mimbar, serta dalam memberikan hiasan-hiasan didalamnya. Hiasan-hiasan pada mimbar masjid Kauman Semarang diukir sedemikian rupa untuk menggambarkan keindahan sekaligus kesakralan pada mimbar yang berfung-si sebagai tempat khotib untuk memberikan ceramah. Selain itu bentuknya yang agak tinggi dapat memudahkan jamaah untuk dapat melihat khotib yang sedang berkhotbah.

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

53Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

achmad Sidiq

7. BedugDi Indonesia penggunaan bedug dikenal sejak masa pra sejarah yang

berupa kentongan dipukul dengan irama yang telah dikenal seperti ada keba-karan. Bedug yang terdapat pada masjid Kauman Semarang ini dipukul bila saat salat tiba seperti salat dzuhur dan magrib yang biasanya dilakukan oleh marbot.

Bedug dan kentongan yang terdapat di Masjid Besar Kauman Semarang merupakan salah satu komponen yang ada sejak dulu dan sampai sekarang masih difungsikan sebagai tanda datangnya waktu salat dan datangnya awal puasa Ramadlan dan hari raya. Bedug dan Kentongan memang sesuatu yang khas di Indonesia khususnya di Jawa. Sedangkan di belahan dunia Islam yang lain tidak dijumpai elemen seperti ini. Elemen tradisional yang khas di Jawa ini difungsikan untuk memberi tanda bahwa sudah tiba waktu salat. Se-benarnya, ajaran Islam menyerukan, bila tiba waktu salat maka cukup diku-mandangkan adzan. Terhadap elemen ini Islam tidak menganjurkan apalagi memerintahkan adanya.

Foto: Bedug 2 (ukurannya lebih kecil).

Di masjid-masjid yang terdapat bedug dan kentongan seperti ini biasanya suara adzan didahului dengan pemukulan bedug dan kentongan. Selain itu memberi tanda masuk waktu salat, khususnya kentongan yang sering pula dipakai oleh masyarakat untuk memberi tanda adanya kematian, pencurian, atau mengumpulkan warga.

54 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

achmad Sidiq

Biasanya bedug berupa silinder kayu yang salah satu lubangnya atau ke-dua lubangnya ditutup oleh kulit sapi, kerbau atau kambing yang dikeringkan dan dipasang dengan kencang (direntangkan/ diregangkan). Sistem peren-tangan/ peregangan kulit penutup ini ada pula yang mempergunakan paku-paku yang berkepala besar (sistem Cina Mongol).

8. Ornamen MasjidRagam hias masjid Kauman terdapat pada dinding, mihrab, mimbar, tiang,

jendela, dan atap. Ragam hias yang ada pada masjid, kebanyakan berupa ragan hias yang bersifat ornamental dan beberapa ragam hias arsitektural. Bentuk ragam hias ada yang berbentuk arsitektural dan bersifat ornamental. Ragam hias arsitektural adalah komponen arsitektur yang menghiasi bangunan, jika ragam hias tidak digunakan akan menggangu “kesimbangan” bangunan. Sedangkan ragam hias ornamental hanya bersifat bersifat ornamental belaka dan apabila dihilangkan tidak akan mengganggu “keseimbangan bangunan” bangunan (Munandar, 1999: 50).a. Kaligrafi.

Ragam hias kaligrafi terdapat di sekitar ruang utama masjid. Khususnya pada lengkung dinding pengimaman atau mihrab masjid. Tulisan kaligrafi menunjukkan adanya penggunaan huruf khat naskhi. Tulisan naskhi adalah tulisan yang banyak dijumpai pada hampir seluruh naskah-naskah ilmiah seperti buku, majalah dan brosur-brosur. Gaya tulisan naskhi berkembang pada abad ke 10 M. Bentuk tulisan naskhi banyak menarik minat orang lain karena bentuknya tidak memiliki berbagai macam struktur yang kompleks. Untuk itu penulisnya lebih mudah dan cepat karena hurufnya yang lebih kecil dari huruf yang lain sehingga lbih praktis (Siradjuddin, 2009: 106).

Ragam hias kaligrafi pada Masjid Besar Kauman berupa tulisan Arab yang diambil dari ayat Al-Qur’an. Tulisan Arab tersebut diambil dari ayat Al-Qur’an yaitu Surat Al- Mukmin ayat 1-2. 1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu) orang-orang yang khusuk dalam salatnya.

Tulisan kaligrafi yang terdapat pada dinding barat masjid diatas mih-rab itu mengingatkan pada kaum muslimin bagaimana menjadi orang yang beruntung yaitu orang yang mendirikan salat dengan hati yang khususk. Di-sisi kanan dan sisikiri terdapa tulisan Arab, yaitu tulisan lafald “Allah” dan lafald “Muhammad SAW”, hal yang lazim ada di hampir setiap masjid, teru-tama di mihrab.

Sedangkan dibawah tulisan tersebut terdapat juga kaligrafi tulisan Arab biasa berbunyi:

“Laa ilaaha illa-llah Muhammadur Rasulullah”, Artinya: ”Tidak ada Tu-han selain Allah, Muhammad rasul Allah”.

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

55Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

achmad Sidiq

Tulisan Arab yang terdapat di mihrab berupa kalimat syahadat yang merupakan pengakuan bagi setiap orang yang beragama Islam.

Selain itu terdapat tulisa Arab yaitu 99 nama-nama Allah yang mulia, atau lazim disebut dengan istilah “al-Asmaul Husna”, jumlahnya sebanyak 99. Yai-tu nama-nama atau ifat-sifat Allah, seperti “Arrahman” yang artinya Maha Pengasih; “Arrahim”, artinya penyayang. “Al-Salam” yang menguasai alam semesta, “Al-Qudus”, yang memberi keselamatan kepada makhluknya, dan seterusnya. Bahkan berdasarkan ayat al-Qur’an maupun Hadis Nabi, bahwa barang siapa berdo’a dengan menggunakan al-Asmaul Husna yang jumlahnya 99 tersebut dijamin do’anya dikabulkan oleh Allah SWT.

Ragam hias masjid Kauman terdapat pada dinding, mihrab, mimbar, tiang, jendela, dan atap. Ragam hias yang ada pada masjid, kebanyakan berupa ra-gan hias yang bersifat ornamental dan beberapa ragam hias arsitektural.

Ragam hias flora banyak terdapat pada mimbar masjid dan fentilasi pada jendela yang bentuknya berupa sulur-suluran daun. Ragam hias tersebut ter-dapat pada dinding utara dan selatan mimbar (lihat gambar foto 14) serta pada ambang kayu mimbar yang berbentuk melengkung diantara dua tiang mimbar. Kemudian juga terdapat ragam hias lotus pada ujung-ujung tiang mimbar. Pada bagian kemuncak mimbar juga dihiasi dengan ornamen lotus. Seluruh ragam hias pada mimbar berwarna coklat tua. Selain itu juga terdapat ragam hias tumbuh-tumbuhan pada jendela satu kaca perantara atap tingkat satu dengan tingkat dua, serta pada risplang atap tingkat dua yang berwarna kuning. Ragam hias flora yang terdapat pada masjid Besar Kauman Semarang dibuat dengan cara diukir.

Bentuk ragam hias ada yang berbentuk arsitektural dan bersifat orna-mental. Ragam hias arsitektural adalah komponen arsitektur yang menghiasi bangunan, jika ragam hias tidak digunakan akan menggangu “kesimbangan” bangunan. Sedangkan ragam hias ornamental hanya bersifat bersifat orna-mental belaka dan apabila dihilangkan tidak akan mengganggu “keseimbang-an bangunan” bangunan (Munandar, 1999: 50)

PenutuP

SimpulanMasjid Besar Kauman Semarang ada sejak abad ke-16 M yang dibangun

oleh Sultan Pandan Arang, sebagai Bupati I di Semarang. Pembangunan mas-jid ini menandai mulai masuk dan berkembangnya agama Islam di wilayah Jawa Tengah khususnya Kota Semarang. Seiring dengan perjalanan waktu, masjid ini telah mengalami beberapa kali perbaikan, dan pembangunan kem-bali setelah pada tahun 1986 terbakar dikarenakan sambaran petir (lihat: In-skripsi yang tertempel di pintu gerbang masjid).

Sampai sekarang Masjid Besar Kauman ini tidak saja berfungsi sebagai

56 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

achmad Sidiq

tempat melaksanakan salat berjamaah lima waktu, tetapi juga untuk melak-sanakan kegiatan-kegiatan sosial seperti penyembelihan dan pembagian da-ging kurban, pembagian zakats dan peringatan hari-hari besar Islam.

Dilihat dari bentuk arsitekturnya masjid Besar Kauman Semarang meru-pakan perpaduan gaya Eropa dan arsitektur lokal Jawa. Hal ini terlihat dari Atapnya yang berundak dan berbentuk limasan yang mirip dengan bangunan rumah adat Jawa, dan diatasnya diberi mustoko yang sangat mirip dengan yang ada di Masjid Agung Demak.

Seperti umumnya masjid-masjid kuna di pulau Jawa Besar Kauman Semarang memiliki ruang utama untuk kegiatan salat berjamaah berbentuk persegi dengan ukuran cukup luas dengan tujuan agar ruangan tersebut dapat menampung banyak jamaah. Pengruh gaya arsitektur Eropa terlihat juga dari dinding tembok yang memiliki ketebalan sampai 30 cm. Tembok tersebut berfungsi ebagai pemisah ruangan dan sekaligus sebagai penyangga bangu-nan diatasnya selain sejumlah tiang-tiang yang berdiri kokoh. Demikian juga beberapa pintu utama dan beberapa pintu masuk untuk keluar masuknya para jamaah berukuran cukup tinggi dan lebar, ialah berukuran3 x 4,5 meter. Dengan ukuran pintu dan cendela yang cukup besar itu bisa dilewati para ja-maah yang akan keluar masuk dengan leluasa tanpa harus berdesak-desakan serta ruangan di dalamnya terasa nyaman karen udara yang cukup.

Beberapa kali perbaikan dan penambahan bangunan baru yang dilakukan pada masjid ini memang dapat memperindah dan diperlukan, akan tetapi ti-dak harus sampai merubah gaya arsitektur bangunanya yang memilki nilai sejarah dan perlu dijaga keasliannya.

Saran.Balai Litbang Agama Semarang perlu terus melakukan penelitian pada

bangunan-bangunan tempat ibadah yang memiliki nilai sejarah agar dapat dilestarikan dan dipertahankan keaslian bentuk arsitekturnya.

Kepada masyarakat terutama para pengurusnya agar dalam memperbaiki maupun menambah bangunan baru agar berkonsultasi dengan pihak atau lembaga yang berwenang dan tidak mengurangi atau merubah gaya dan ke-aslian bangunannya.

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

57Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

achmad Sidiq

DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruqi, Ismail. 1999. Seni Tauhid Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Ter-jemahan Hrtono Hadikusumo, Yogyakarta: Benteng Budaya.

Al Qurtubi, Sumanto, 2003. Arus Cina -Islam –Jawa, Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI. Yogyakarta. Diterbitkan oleh INSPEAL AHIMSAKARYA PRESS.

Ambary, Hasan Muarif. 1987 “Pengamatan Beberapa Konsepsi Estetika dan Simbolis pada Bangunan Sakral dan SekulerMasa Islam di Indonesia” dalam Diskusi Ilmiah II. Jakarta: Puslitarkenas. 1994.“Some Aspects of Islamic Architecture in Indonesia” dalam Aspek-aspek Arkeologi Indo-nesia No. 14. Jakarta : Puslitarkenas.

Budiharjo, Eko (ed). 1991. Jati Diri Arsitektur Indonesia. Bandung: AlumniDe Graaf dkk, H.J. 1998. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI Antara

Historis dan Mitos. Penerbit PT. Tiara Wacana Yogya.Djafar, & Anas Madjid. 1996. Arsitektur Tradisional Daerah Jambi. Jakarta:

DepdikbudFrishman, Martin and Hasan Udin Khan. 1994. The Mosque: History, Arch-

tectural Development and Regional Diversity. Thames & Hudson Ltd.Gazalba, Sidi. 1983. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta:

Pustaka Antara. Hari, Jumanto, 2005. Asal Mula Tanah Jawa. Editor Rahma, S.Sos.Yogya-

karta: Penerbit Gelombang Pasang.Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta :

LP3ESKoentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.Magetsari, Noerhadi. 1986. “Local Genius dalam Kehidupan Beragama”

dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Ayatrohaedi (ed). Jakarta: Pustaka Jaya.

Mulyana, Slamet, 2008. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Cetakan VI.Yogyakarta: Penerbit LKIS

Purwadi. 2000. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta : PuslitarkenasQaradhawi, Yusuf A. 2000. Tuntunan Membangun Masjid. Jakarta: Gema

Insani Press.Sudaryanto, dkk. 2007. Peninggalan Masa Kolonial Di Jawa Tengah. Yogya-

karta. Pemerintah Proinsi Jawa Tengah, Dinas Pendidikan dan Kebuda-

58 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

arnis Rachmadhani

yaan Propinsi Jawa Tengah. Semarang.Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG (Ke-

pustakaan Populer Gramedia) bekerjasama dengan Balitbang dan Diklat Departemen Agama RI, dan UIN Fakultas Adabdan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.

--------------------, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Se-napati. Jakarta. Terjemahan bahasa Indonesia Grafiti Pers dan KITLV. Percetakan PT. Temprint.

............................ 1986. “Peranan Local Genius dalam Akulturasi” dalam Ayatrohaedi (ed) Kepribadian budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.

...................1998. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologi dan Historis Is-lam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Masjid Besar Kauman Semarang :Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen

5�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

arnis Rachmadhani

PENELITIAN

PERKAWINAN ISLAM WETU TELUMASYARAKAT BAYAN

LOMBOK UTARAOleh aRNIS RaChmadhaNI*

* Arnis Rachmadhani, SS., M.Ag. adalah peneliti bidang kehidupan keagamaan pada Balai Litbang Agama Semarang

AbstrAct :This article examines the doctrine of marriage in Wetu Telu society in

Bayan, North Lombok. According to the community marriage is carried out by three steps: perondongan, mepadik lamar, and selarian which is finished with some rituals, such as menjojok, memulang, sejati, pemuput selabar, akad nikah, sorong serah, nyongkolan, and balik onos nae. The marriage ritual is led in accordance with Islamic teachings by the Head of Office of Religious Affairs.

In spite of referring to Islamic sharia, the Wetu Telu also strongly holds the teaching of their ancestors which is more identical with Siva-Buddhist teaching. After a long process of acculturation with Hinduism, the later takes a part in marriage process within the Wetu Telu. Therefore, the mar-riage concept carried out by the Wetu Telu is a combination of Siva-Budhist (as the religion of indigenous people) and Balinese Hinduism carried out by Balinese kingdom which had been mixed with Islamic teachings that later become local tradition. This local tradition then does create social stratifica-tion, marriage procedures and marriage procession. The local wisdom of marriage among the Wetu Telu has a potential role to strengthen religious harmony in multicultural society.

Keywords: Marriage, Wetu Telu, Bayan, Lombok Utara, Siva-Buddhist, Hindu, Islam, Multicultural

60 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara arnis Rachmadhani

PendAhuluAn

Latar Belakang MasalahDi Pulau Lombok banyak dijumpai kearifan lokal. Pada masyarakat Sasak,

kearifan lokal merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Etnik Sasak yang mendiami pulau Lombok (bahasa Lombok: sak-sak) artinya, hanya jalan lurus satu-satunya jalan sejati yang harus dilalui demi keselamatan dunia dan akhirat. (Sarjana, 2004, Bismillah, 2009:4-5) Jumlah komunitas etnik sasak sebagai suku bangsa asli yang mendiami pulau Lombok lebih kurang 90%. Etnik sasak adalah pemeluk agama Islam dengan tradisi agama yang sangat kuat dan fanatik. (Ruhpina, 2005:231, Bismillah, 2009:5)

Fokus kajian penelitian ini adalah kearifan lokal dalam perkawinan menu-rut ajaran Wetu Telu di masyarakat Bayan Kabupaten Lombok Utara. Tradisi suku Sasak mengenal beberapa bentuk pernikahan yaitu lari bersama yang disebut pelarian, memaling, memarik, merariq atau selarian.

Masyarakat Wetu Telu masih kental melaksanakan adat budaya lokalnya dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan, pada masyarakat Wetu Telu terse-but, di dalamnya terdapat pranata sosial yang memisahkan kaum bangsawan dari orang biasa. Wetu Telu di Bayan terdiri atas dua kelompok status yang terpisah yaitu bangsawan (perwangsa) dan orang biasa (jajar karang). Gelar anak-anak Wetu Telu adalah “raden” bagi laki-laki dan “dende” bagi perem-puan. Bisa terjadi pergeseran gelar kebangsawanannya apabila para dende melangsungkan perkawinan dengan gelar di bawahnya “lalu” dan non bang-sawan (jajar karang). Dengan demikian, untuk menjaga kemurnian garis keturunan dan mempertahankan status mereka, kaum bangsawan mencegah saudara dan anak perempuan mereka kawin dengan pria dari tingkatan yang lebih rendah.

Di samping itu pula terdapat prosedur perkawinan yang dilaksanakan menurut ajaran Wetu Telu mirip dengan masyarakat Hindu Bali yaitu dengan cara merariq (kawin lari) untuk mengawali perkawinan dan bukan melamar seorang gadis melalui orang tuanya. (Budiwanti, 2000:250)

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam tulisan ini akan di-kaji mengenai kearifan lokal dalam perkawinan menurut ajaran Wetu Telu. Kearifan lokal yang berfungsi menjadi perekat dalam memperkuat kerukunan umat beragama.

Metode PenelitianPenelitian ini adalah penelitian kasus yaitu mempelajari secara intensif

mengenai unit sosial tertentu meliputi individu, kelompok, atau lembaga (Zu-riah, 2006:48), ikhwal kearifan lokal yang tercermin pada perkawinan yang ada di Desa Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lokasi penelitian ini dipilih karena di daerah tersebut masih terdapat suatu

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara

61Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

arnis Rachmadhani

kelompok masyarakat yang masih kental melaksanakan adat budaya lokal yang disebut masyarakat Wetu Telu.

Sumber data utama adalah berupa awig-awig, kata-kata dan atau tindak-an masyarakat, yang berupa adat istiadat, pepatah, kata-kata bijak, dan seba-gainya. Sementara sumber data sekunder adalah dokumen tertulis termasuk naskah-naskah yang dimiliki oleh masyarakat. Teknik pengumpulan data di-lakukan berdasarkan metode wawancara, kajian dokumen, dan pengamatan (observasi).

Kajian PustakaPada laporan penelitian “Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi Nusantara”

oleh Puslitbang Kehidupan Beragama (2005) digambarkan mengenai perja-lanan dan hasil dialog pengembangan wawasan multikultural antara pemuka-pemuka agama di berbagai daerah di Indonesia.

Ahmad (2003) yang melakukan penelitian tentang kearifan lokal “Rumah Betang” menemukan jawaban di balik dibangunnya “Rumah Betang” yaitu untuk mempersatukan penghuninya dalam satu komunitas sehingga memu-dahkan mereka untuk saling mengenal.

J.V. Baal meneliti mengenai praktik ritual Islam Wetu Telu, khususnya tentang menyelenggarakan pesta besar untuk menolak balak. Sedangkan John Bartholomew, tentang kearifan lokal dalam pola keberagamaan masyarakat Sasak di Lombok.

Berdasarkan kajian pustaka tersebut di atas, maka fokus penelitian ini adalah kearifan lokal dalam perkawinan menurut ajaran Wetu Telu, belum pernah ada yang membahasnya.

Kerangka TeoriKearifan lokal (local wisdom, local indigenous atau local knowledge)

adalah suatu daya upaya yang dilakukan oleh penduduk asli suatu daerah dalam memberlakukan lingkungan alam dan sosial sehingga memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat tanpa merusak kelestarian dan keseimbangan lingkungan tersebut. (Ruhpina, 2005, Bismillah, 2009:1).

Dalam pandangan John Haba, (dikutip oleh Abdullah, 2008:8) bahwa ke-arifan lokal setidak-tidaknya memiliki enam fungsi. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, sebagai elemen perekat (aspek kohesif) lintas agama, lintas warga, dan kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal tidak bersi-fat memaksa atau dari atas (top down), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Keempat, kearifan lokal memberi warna keber-samaan bagi sebuah komunitas. Kelima, kearifan lokal akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok, dengan meletakkan di atas common ground (kebudayaan) yang dimiliki. Keenam, kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, sekaligus

62 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara arnis Rachmadhani

sebagai sebuah mekanisme bersama menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak solidaritas komunal, yang dipercaya berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi se-hingga masyarakat dapat hidup secara rukun.

Istilah rukun mengutip menurut Mulder berarti bisa “mengatasi perbe-daan-perbedaan, bekerjasama, saling menerima, hati tenang dan hidup har-monis” (Mulder, 1984:43), karena sebagaimana dikatakan oleh Franz Magnis Suseno dapat menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi, sehingga hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik (Suseno, 1988:39) dan ini merupakan modal sosial bagi masyarakat yang bersangkutan untuk mampu belajar menerima perbedaan termasuk per-bedaan dalam beragama.

Menurut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksa-naan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Keru-kunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 menjelas-kan bahwa Kerukunan Umat Beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghor-mati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan ker-jasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Mudzhar, 2010:36).

Bagaimana kearifan lokal tersebut ditarik ke dalam ranah perkawinan ? Jawabannya, perlu dikembalikan kepada pengertian dan tujuan perkawinan itu sendiri. Menurut Sayyid Sabiq, perkawinan atau pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan karena ia menjadi sebab sahnya status suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah (Sabiq, 1987:20).

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 1, dinyatakan perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berba-hagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.

Ikatan perkawinan seperti itu, dalam bahasa Sasak disebut Merariq. Kata merariq berasal dari bahasa Sasak yaitu Berari, artinya berlari, baik dalam arti denotatif yaitu berarti lari dan makna konotatif (kultural) yaitu keselu-ruhan dari proses perkawinan menurut adat Sasak. Inilah pengertian kolektif masyarakat tentang perkawinan “merariq” dalam kaitannya dengan ajaran Wetu Telu.

Ajaran Wetu Telu merupakan ajaran kepercayaan dari suku etnis Sasak yang meyakini konsep menuju suatu kebenaran itu berawal dari suatu ung-kapan yang menyatakan Metu Saking Telu, yaitu konsep ajaran harus keluar

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara

63Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

arnis Rachmadhani

dari atau bersumber dari tiga hal yaitu al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ Ulama, artinya konsep ajaran wetu telu wajib bersumber dari ketiga sumber tersebut (Athar, 2006:76).

teMuAn PenelitiAn

Filosofis Wetu TeluDesa Bayan terletak di bagian utara Pulau Lombok yang berada di wilayah

Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Desa yang bercurah hujan 1.200 - 1.500 mm dengan suhu rata-rata 28 - 300C ini berada di ketinggian 400 - 600 mdl dengan daerah pegunungan. Desa Bayan membawahi 9 (sembilan) dusun yaitu Dusun Bayan Barat, Dusun Bayan Timur, Dusun Padamangku, Dusun Tereng Genit, Dusun Dasan Tutul, Dusun Sembulan, Dusun Mendala dan Dusun Lokok Aur. Adapun batasan-batasan wilayah Desa Bayan adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Anyar; sebelah selatan berbatasan dengan hutan; sebelah barat berbatasan dengan Desa Senaru; sebelah timur berbatasan dengan Desa Sambi` Elen. Jumlah penduduk Desa Bayan (tahun 2010) adalah 47.705 jiwa dengan 12.470 kepala keluarga.

Sejak kapan masyarakat Desa Bayan, Lombok Utara, mulai mengenal Islam ?. Islam masuk ke Lombok kira-kira pada akhir abad ke 15, dikenal-kan oleh Sunan Prapen putera Sunan Giri, dan juga merupakan murid Sunan Kalijaga, dengan cara mengislamkan raja-rajanya terlebih dahulu. Dengan masuk Islamnya para raja, maka rakyatpun mudah di-lslamkan atau mini-mal harus mengakui Islam sebagai agamanya, meskipun kemudian mereka menganut Islam sekedar hanya mengikuti perintah rajanya, mereka pada masa-masa awal beragarna Islam tetapi tidak meninggalkan keyakinan dan kebiasaan lamanya yang bersumber pada budaya Siwa-Budha sebagai agama asli orang Lombok. Para penyebar Islam tidak lantas memberantas budaya-budaya lama masyarakat Bayan saat itu, hingga terjadi proses akulturasi an-tara budaya-budaya Siwa-Budha dengan Islam. Lebih-lebih lagi ketika Hindu Bali menjajah kerajaan-kerajaan di Lombok termasuk kerajaan Bayan. Maka agar tidak mendapat tantangan dari penjajah “Hindu Bali”, penyebar Islam harus mengikuti budaya mereka, setidaknya ajaran mereka tidak ditentang sehingga dapat diterima dan lebih mudah menanamkan ajaran Islam di ma-syarakat. Mereka juga harus mengikuti simbol-simbol Hindu Bali seperti cara berpakaian, ritual-ritual dan lain sebagainya dalam proses penyebarannya. Kembali terjadi proses akulturasi antara ajaran agama Islam dengan Hindu Bali. Hingga kita temukan sampai saat ini nuansa ajaran masyarakat Bayan dengan ajaran “Wetu Telu”.

Wetu Telu sebenarnya muncul atau lahir dari Bilok Petung. Ini ditandai dengan terdapatnya beberapa bentuk peninggalan kuno khas Wetu Telu se-perti tugu, kitab, dan lain-lain. Bahkan apabila masjid kuno di Bayan terdapat

64 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara arnis Rachmadhani

kerusakan maka bahan-bahannya harus berasal dari Bilok Petung. Wetu Telu dipimpin oleh mangku, mekel, dan penghulu. Ketiga pemimpin ini masing-masing membawahi lembaga dengan bidang yang berbeda-beda. Mangku bertugas dalam pembangunan, ekonomi, dan lain-lain; Mekel bertugas di bidang pemerintahan; dan Penghulu bertugas di bidang agama. Ketiga hal inilah yang kemudian menjadi pranata adat, yaitu Wetu Telu.

Jadi segala yang terdiri dari tiga hal, itu berarti tiga dan mengandung fi-losofi sebagai ajaran Wetu Telu. Misalnya, konsepsi tentang tiga proses yang dijalani oleh makhluk hidup yaitu Lahir, Hidup, dan Mati. Tiga kemunculan hidup makhluk hidup yaitu Meranak (melahirkan), munculnya kehidupan dengan melahirkan sebagaimana yang terjadi pada manusia dan sebagian he-wan seperti sapi, kerbau, kambing, dan lain-lain. Menteluk (bertelur), seperti yang terjadi pada sebagian hewan, seperti buaya, ayam, itik, dan lain-lain; Mentiuk (tumbuh dari biji), seperti yang terjadi pada tumbun-tumbuhan. Dari fakta-fakta itu lalu berpadu filosofi hidup yang bersumber pada tiga sumber hukum yaitu Agama; Adat; dan Pemerintah.

Perkawinan Menurut Ajaran Wetu Telu di Bayan Lombok UtaraPerkawinan dalam pranata adat Wetu Telu sering disebut merariq atau

merariang yaitu suatu pekerjaan mengambil dan melarikan seorang perem-puan yang akan dijadikan sebagai istri ke rumah keluarga seorang pemuda. Perkawinan merariq sebagai salah satu dari implementasi ajaran Wetu Telu, bisa dilihat ke dalam dua perspektif yaitu perspektif agama dan perspektif adat.a. Perspektif Agama

Dari perspektif agama, dalam perkawinan, di sana juga terdapat aqad, meskipun konsepnya diubah menjadi tobat kakas. Namun setelah mengalami proses pergaulan antar sesama penganut Islam, sedikit demi sedikit telah ter-jadi penyempurnaan, sehingga semakin mengacu pada konsep syari’at Islam meskipun sedikit terjadi pergeseran karena didominasi oleh hukum adat.b. Perspektif Adat

Selain mengacu pada syari’at Islam, golongan Wetu Telu masih kuat memegang ajaran nenek moyangnya yang lebih identik dengan ajaran Siwa - Budha. Setelah terjadi proses akulturasi dengan agama Hindu, maka ajar-an agama Hindu mengambil bagian dalam prosesi perkawinan menurut ajar-an Wetu Telu. Jadi konsep perkawinan yang dilaksanakan merupakan hasil perpaduan antara agama Siwa-Budha sebagai agama asli orang Lombok dan agama yang berkombinasi dengan ajaran agama Islam yang kemudian men-jadi adat lokal. Adat lokal inilah yang kemudian menciptakan strata sosial, prosedur perkawinan dan prosesi perkawinan.

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara

65Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

arnis Rachmadhani

Pelaksanaan Perkawinan Menurut Ajaran Wetu Telu Perkawinan diselenggarakan ke dalam tiga cara yaitu (1) Perondongan

(perjodohan) yaitu pada seseorang yang memiliki ikatan, kekeluargaan atau persahabatan, menjodohkan; (2) Mepadik Lamar (kawin lamar) yaitu adat mengunjungi rumah gadis yang merupakan proses awal setelah perkenalan sebagai wujud dari adanya rasa cinta kepada si gadis pujaan hatinya. Proses ini dilakukan semasa pacaran. Dalam hal ini terjadi proses pacaran jarak jauh sehingga seorang pria yang ingin berhubungan dengan seorang gadis memer-lukan perantara yang disebut subandar; dan (3) Merariq/Selarian (kawin lari) yaitu paling umum digunakan oleh masyarakat Pulau Lombok teruta-ma di kalangan Welu Telu yang terkenal masih kuat mempertahankan bu-daya aslinya. Merariq atau Selarian selamanya melalui beberapa proses yang romantis seperti perkenalan, midang, memadu janji, merariq, lalu diikuti oleh beberapa peristiwa seperti mesejati, nyelabar, nyarakin, taubat rapah, mima wali, mengambil janji, sorong-serah, nyongkol, dan bejango (balik onos nae).

Prosesi Perkawinan Menurut Ajaran Wetu Telu Dalam melaksanakan prosesi perkawinan terutama dengan sistim kawin

lari yang lazim digunakan, maka ada beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu:1. Menjojak (berkunjung ke rumah gadis)

Menjojak adalah kunjungan untuk bertemu dengan gadis yang diidam-kanya, dengan aturan-aturan tertentu. Saat Menjojak, biasanya digunakan untuk suatu percakapan yang intim agar keduanya dapat saling mengenal dengan baik. Apabila sudah merasa cocok, maka akan tergiring untuk ber-bicara tentang rencana perkawinan. Menjojak pun dilakukan dengan aturan masing-masing.

Pemuda (teruna) dan gadis (dedare) jika sudah saling setuju untuk tetap setia bersama memutuskan untuk melangsungkan perkawinan, maka ke-duanya merencanakan untuk kawin. Pada waktu yang telah ditetapkan me-reka akan mengatur strategi bagaimana untuk bisa keluar dari rumah pada malam hari untuk dilarikan ke rumah sanak keluarga pihak laki-laki. 2. Memulang (melarikan)

Pola perkawinan perondongan dan mepadik lamar harus ditempuh de-ngan memulang yaitu melarikan si gadis lalu menyembunyikannya di salah satu rumah yang sudah ditentukan sebelumnya. Biasanya di rumah keluarga atau teman pihak calon pengantin laki-laki. Di rumah itulah kemudian si ga-dis disembunyikan sementara waktu hingga selesai proses nyelabar. Memu-lang dilaksanakan pada waktu malam hari sekitar pukul 18.30 hingga pukul 19.30 atau antara waktu maghrib dan Isya, tatkala masyarakat sedang sibuk dengan ibadah maupun makan malam. Di luar waktu yang sudah ditentukan

66 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara arnis Rachmadhani

itu, apalagi kalau dilakukan pada siang hari, maka pihak laki-laki akan dike-nakan sangsi yang besar.

Pada malam yang telah ditentukan serta strategi yang telah diatur rapi, pihak pemuda memberikan isyarat seperti siulan, tepuk tangan, atau aba-aba lain sesuai kesepakatan bahwa dia sudah siap membawa si gadis melarikan diri. Dengan aba-aba tersebut, si gadis dengan hati-hati dan tanpa mengun-dang kecurigaan, perlahan-lahan kabur dari rumahnya menemui si pemuda dan kabur bersama-sama.

Pada tempat yang telah ditentukan, si gadis bersama-sama si pemuda melakukan penyeboqan (persembunyian). Jika sehari, dua hari, atau tiga hari anak gadisnya tidak kembali, pihak orang tua atau keluarga si gadis sudah memastikan bahwa anaknya pasti telah dibawa lari oleh seorang pemuda un-tuk dikawini sambil menunggu pemberitahuan (sejati).

3. Sejati (pemberitahuan)Sejati atau pesejati adalah kegiatan pertama yang dilakukan oleh pihak

keluarga laki-laki setelah gadis dibawa lari. Selambat-lambatnya tiga hari setelah memulang, dikirim pemberitahuan kepada orang tua si gadis melalui kepala kampung (keliang) di mana si gadis dan orang tuanya berdomisili.

Dengan bahasa yang halus, utusan tersebut menyampaikan maksud ke-datangannya, sebagaimana kutipan berikut:

“Tabik tiang keliang, kiyat sani sedaya, tiang teutus isiq keliang tiang sejatine bijen epe si tau bau isi …… sinasawa halal kawiu eleq dunia rauhing akherat,”

Artinya:“Permisi... keliang, kiyai semua yang hadir di sini, saya diutus oleh keliang saya untuk memberitahukan secara benar tentang anak bapak si.......yang diambil oleh si........... untuk dijadikan istri yang halal dari dunia hingga akhirat”.Keliang yang menerima pemberitahuan tersebut dengan kalimat yang

singkat menjawab “sampun tiang terima”. Setelah pemberitahuan kedua pembayun tersebut secara resmi diterima oleh keliang, maka keliang mem-beritahukan kepada pembayun, agar kedua pembayun datang lagi tiga hari setelah hari itu. Kepala kampung setelah menerima pemberitahuan (sejati) dari ke-dua utusan tersebut pada hari itu juga memberitahukan kembali ten-tang sejati tersebut kepada kedua orang tuanya si gadis. Pada saat itu keliang bersama keluarga si gadis sudah mulai mengadakan pembicaraan kecil seki-tar adat yang berlaku untuk perkawinan yang direncanakan nantinya.

Selama proses ini dilaksanakan juga akad nikah. Ada perbedaan proses akad nikah pola lama dengan saat ini. Pada pola lama dimaksud bahwasan-nya tiga hari setelah kawin lari, seorang kyai diundang ke tempat di mana

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara

67Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

arnis Rachmadhani

pasangan bersembunyi untuk memberkati upacara perkawinan. Upacara ini disebut tobat kakas dengan mengadakan ritual bedak keramas yang secara simbolis menandakan pasangan tersebut dengan memerciki kepala mereka masing-masing dengan santan kelapa. Acara ini dimaksudkan untuk perto-batan bagi dosa-dosa masa lain dan perbuatan tercela yang pernah dilakukan oleh pasangan yang bersangkutan. Baru sesudah melakukan ritual ini, kedua pasangan boleh melakukan hubungan seksual. Tetapi proses tersebut belum dapat memberikan keleluasaan bagi kedua mempelai untuk bertemu dan ber-gaul dengan keluarga mempelai wanita hingga selesai pembayaran sajikrama melalui sorong serah dan nyongkol.

Sedangkan untuk pola sekarang, harus melewati tiga tahapan lagi yaitu: a. Tobat kakas

Tobat kakas adalah ritual yang dilaksanakan untuk memberkati perkawin-an dengan bedak keramas yang secara simbolis memandikan kedua mem-pelai dengan memerciki kepala mereka masing-masing berupa air santan kelapa. Pada tahapan ini, kedua mempelai belum dibolehkan melakukan hubungan seksual selama belum atau dibolehkan sesudah akad nikah di-langsungkan.

b. Akad NikahPelaksanaan akad nikah dilakukan sebagaimana yang berlaku dalam Islam yaitu dengan pembacaan dua kalimat syahadat, ijab kabul dan lain-lain.

c. DinobatkanIstilah “dinobatkan” adalah pertanda sahnya perkawinan dan diakuinya oleh masyarakat serta pasangan sudah bebas melakukan hubungan seksual.

4. Pemuput Selabar (membicarakan jumlah sajikrama)Pemuput selabar dilaksanakan biasanya tiga hari setelah sejati. Upaca-

ra ini dimaksudkan untuk membicarakan jumlah sajikrama sebagai upaya untuk dapat melakukan akad nikah. Acara tersebut dilaksanakan di rumah orang tua si gadis atau keluarga terdekat bertempat di berugaq sekenem yang disaksikan dan diperantarai oleh para pemuka adat seperti pemangku, toaq lokaq, dan kelian dusun, serta pada waktu tersebut, wakil-wakil dari keluarga mempelai wanita mempersiapkan daftar barang-barang sajikrama. Dalam pembicaraan itu para wakil mempelai pria berusaha menurunkan tingkat sa-jikrama, sementara dari pihak keluarga mempelai wanita berusaha rnenaik-kannya, sehingga dalam prosesi seperti itu terjadi tawar-menawar yang cukup panjang bahkan tidak selesai dengan satu atau dua kali pertemuan.

Selanjutnya, saat yang sama datanglah dua utusan (pembayun-pemba-yun) yang dulu melaksanakan sejati. Mereka langsung duduk bersila di ta-nah sekitar satu sampai dua meter dari berugaq sekenem. Apabila pembayun telah mengambil tempat di bawah berugaq sekenem, sedangkan ahli waris

68 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara arnis Rachmadhani

dan para pejabat adat telah siap duduk di atas berugaq sekenem, maka secara resmi keliang bertanya “ohy napaq epe pade ahli wais eleq mae” (“apakah semua ahli waris yang bersangkutan sudah siap?”). Jika sudah siap maka akan dijawab “napak”.

Lalu keliang mempersilahkan kedua pembayun untuk menyampaikan atau melaporkan maksud kedatangannya. Dalam pembicaraannya, pembayun tidak ada kesalahan atau kekeliruan baik susunan kata-katanya ataupun tingkah lakunya sejak datang hingga upacara dimulai, dapat diterima keliang yang menjadi pemimpin upacara tersebut. Sebagai tanda tidak ada kesalahan pembayun, keliang tidak memberi teguran dan berkata “inggih tiang terime”. Barulah keliang atas nama pemimpin kampung dan atas nama keluarga orang tua si gadis menyebutkan sejumlah kewajiban yang dibebankan kepada ke-luarga mempelai laki-laki. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah pembayaran sejumlah sajikrama. Adapun contoh kewajiban yang harus dipenuhi antara lain lima ribu kepeng bolong (lima ribu uang bolong) sebagai ulum dedosan, satak kepeng bolong (bakul kecil yang berisi dua ratus uang bolong), due lembar kereng putek (dua lembar kain putih), telu bilah tombak (tiga buah tombak) dan satu ekor kerbau. Semua barang-barang tersebut dinamakan “sajikrama” artinya sejumlah pembayaran yang telah ditentukan oleh adat. Bila ada salah satu yang kurang, upacara tidak dapat berlangsung atau pihak laki-laki membayar denda.

Jika perkawinan yang dilakukan oleh pemuda dan si gadis yang kampung-nya berjauhan, kebijaksanaan lain ditempuh dengan menukar semua saji-krama dengan uang yang telah disepakati bersama. Kebijaksanaan ini disebut “cocol”, dan hal semacam ini sering sekali dilakukan oleh warga masyarakat Desa Bayan. Setelah disetujui jumlah pembayaran sajikrama tersebut oleh pihak keluarga si pemuda --melalui pembayaran yang diutus-- maka sebagian dari tujuan pemuput selabar ini boleh dianggap sudah rampung.

5. Sorong serahSebelum melaksanakan Sorong Serah terlebih dahulu diadakan gundem

oleh para ahli waris dari pihak perempuan, guna membicarakan sajikrama sorong serah. Hasil gundem tersebut lalu disampaikan kepada pihak keluarga laki-laki. Jumlah sajikrama ditentukan sesuai dengan tingkatan menurut tra-disi adat masing-masing gubug.

Selanjutnya, upacara sorong serah dilaksanakan dengan membawa saji-krame yang telah ditentukan. Pada upacara ini terjadi serah terima antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan dan kemudian diikuti keluarga mempelai laki-laki yang datang dan diterima oleh keluarga mempelai perem-puan. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang “pembayun” atau juru bahasa. Dengan keahlian debat adat, masing-masing pihak pembayun saling menye-rang dan mempertahankan argumen mereka tentang kebenaran tindakan masing-masing pihak berdasarkan adat.

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara

6�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

arnis Rachmadhani

6. NyongkolanBersamaan waktunya dengan upacara sorong serah, dilaksanakan pula

upacara yang disebut “nyongkol” yaitu upacara mengunjungi rumah orang tua mempelai wanita oleh kedua pengantin yang diiringi oleh keluarga, saha-bat dan kerabat dalam suasana yang meriah. Nyongkolan merupakan bagian dari prosesi perkawinan Wetu Telu. Perkawinan adalah termasuk upacara hayu di tradisi ajaran Wetu Telu. Nyongkolan dilaksanakan setelah ada kese-pakatan kedua belah pihak yang biasanya dua hari hingga paling akhir yaitu hari ke-10 setelah perkawinan dilangsungkan.

Saat nyongkolan berlangsung, tak ketinggalan kehadiran bunyi-bunyian dalam bentuk kesenian serta makanan. Dengan dandanan khas Bayan kedua pengantin beriringan ke rumah orang tua mempelai wanita. Mempelai dengan memakai pakaian adat dipikul memakai usungan (Juli). Rombongan tersebut tidak langsung ke rumah orang tua calon pengantin wanita, melainkan keliling kampung dan sengaja memanjangkan perjalanan melalui jalan yang jauh dan yang sebenarnya. Nyongkolan adalah permakluman ke khalayak ramai bahwa antara fulan laki-laki dan fulan perempuan telah menikah. Maksudnya agar semua masyarakat dapat menyaksikan upacara tersebut Apabila rombongan telah mendekati rumah orang tua mempelai wanita sementara upacara sorong serah belum selesai, maka mereka menunggu di luar kampung. Kedatangan mereka disambut secara besar-besaran oleh serombongan penyambut yang terdiri atas anak-anak, gadis, pemuda, maupun orang tua. Upacara nyongkol dianggap selesai apabila anggota rombongan kesenian berupa kelentang, penabuh gamelan telah disuguhi minuman. Setelah sampai di rumah pengantin perempuan, kedua pasangan di tengah-tengah tempat jajanan dan buah-buahan (dulang), sebagai wujud kesetiaan, mereka saling menyuapi yang disebut Hamukti Ketresnan.

Setelah melakukan Hamukti Ketresnan, kedua mempelai dipersilahkan mengganti pakaiannya dengan acara “bedudus”. Pada acara bedudus kedua mempelai dimandikan dengan air rampai yang telah disediakan, agar kedua mempelai selamat dalam menempuh hidup baru. Setelah itu, kedua calon pengantin kembali pulang diantar oleh rombongan dan iringan kesenian.

Sekembalinya dari nyongkol, kedua calon pengantin memasuki upacara kecil lagi yang disebut “bedak keramas”. Upacara ini dilakukan di rumah calon pengantin laki-laki dan dipimpin oleh inak belian (tabib). Berikutnya inak belian mengeramasi kepala kedua mempelai dengan lengeh yaitu adonan ke-lapa parut dicampur kunyit serta beras kencur. Bedak lengeh yang digunakan dalam upacara tersebut, sebelumnya diberikan mantra oleh kyai kampung. Setelah keduanya dibedak-keramasi, keduanya dipersilahkan membersih-kan diri, untuk selanjutnya keduanya kembali siap untuk memasuki “akad nikah”.

Upacara akad nikah (ngawinang) dilakukan di dalam kampu. Upacara

70 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara arnis Rachmadhani

perkawinan di Desa Bayan langsung dipimpin oleh Kepala Kantor Urusan Agama dengan mengikuti tata cara Islam yang umum yakni pembacaan khut-bah nikah dan ijab kabul yang dilakukan langsung oleh wali dari mempelai wanita di hadapan calon pengantin laki-laki. Khutbah nikah dibacakan de-ngan menggunakan bahasa Arab, sedangkan ijab dan kabul digunakan bahasa Sasak setempat.

7. Balik Onos NaePada proses nyongkol, kedua mempelai belum diperkenankan nginap

di rumah orang tua mempelai perempuan. Jadi pertemuan yang dilakukan setelah disembunyikan beberapa hari bahkan beberapa bulan belum cukup untuk melepas rindu antara mempelai perempuan dan keluarganya. Oleh karena itu, keesokan harinya atau tiga hari kemudian, kedua mempelai me-merlukan datang lagi ke rumah orang tua mempelai wanita dan menginap beberapa malam. Sekembalinya ke rumah mempelai pria, diberikanlah harta benda yang menjadi hak mempelai wanita oleh orang tuanya.

Perkawinan Wetu Telu Sebagai Perekat Kerukunan Umat BeragamaPerkawinan menurut ajaran Wetu Telu juga mengandung nilai-nilai

se-bagai perekat kerukunan umat beragama. Ritual yang dilakukan seperti bedak keramas dan merariq (kawin lari) adalah bagian dari ritual yang da-hulunya dilaksanakan oleh penganut Hindu Bali. Sementara, dalam prosesi perkawinan komunitas Wetu Telu menunjukkan kekentalan budaya Hindu Bali dengan busana kebaya bagi perempuan dan sapuq-dodot kereng belo bagi laki-laki yaitu busana yang dipakai dalam setiap penyelenggaraan ritual perkawinan. Sapuq sebagai pengikat kepala yang terbuat dari kain dengan ujungnya menonjol ke atas dimaknai sebagai symbol keagungan Tuhan. Se-mentara dodot (pengikat pinggang) sebagai penahan kereng belo (kain pan-jang) yang ujungnya menunjuk ke bawah sebagai simbol sifat tawadhu nya kepada Tuhan. Sedang ajaran Islam dalam perkawinan Wetu Telu terdapat pada substansi acara-acara inti seperti pada syarat dan rukun nikahnya.

Dalam proses sejati, kerukunan umat beragama ditunjukkan dengan ada-nya masyarakat yang terlibat secara intens. Dua utusan pihak keluarga laki-laki diutus untuk melaporkan kepada pihak orang tua atau keluarga gadis melalui kepala kampung orang tua si gadis tentang hilangnya anak gadisnya. Dengan busana adat, kain batik, dodot dan sapuq serta sebilah keris yang diselipkan di antara dodot dan kain batik, utusan tersebut menyampaikan bahwa anak gadisnya yang hilang karena dilarikan oleh si fulan dengan maksud adanya perkawinan.

Upacara sorong serah, merupakan acara ishlah antara keluarga mempe-lai pria dan wanita terutama setelah anak gadisnya dilarikan, mereka saling memaafkan atas kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan dengan pem-bayaran denda dan pembayaran barang-barang lainnya. Upacara sorong se-

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara

71Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

arnis Rachmadhani

rah ini oleh para pembayun diselingi dengan tembang-tembang (syair-syair), baik dalam bahasa Kawi maupun bahasa Sasak dan merupakan bagian dari upacara yang paling tampak berkesan dari masyarakat Desa Bayan. Pada saat upacara itu, mempelai perempuan memakai kebaya dengan hiasan kepala (payas), se-dangkan mempelai laki-laki memakai kain panjang, dodot dan sapuq.

Oleh karena itu, hingga kini nasihat-nasihat yang ada di Kitab Kanzun masih dilestarikan oleh masyarakat untuk memberikan nasihat kepada calon pengantin. Adapun bagian dari nasihat kepada calon pengantin tersebut dian-taranya yang disebut dengan Puh Kasmaran yaitu:

“Partikele wong hakrame, dudu brana dudu warna, among ati pahitane, kena pisan luput pisan, yen gampang luwih gampang, yen angel angel kelangkung, tan kena tinambak harta”.

Artinya:“Kunci terjadinya sebuah perkawinan, bukan karena harta yang banyak, ataupun ketampanan atau kecantikan, itu semua munculnya dari lubuk hati yang paling dalam, bila benar kita menjalani kehidupan rumah tang-ga, maka kebahagiaanlah yang kita dapatkan, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, tetapi apabila kita keliru atau salah, dalam memelihara rumah tangga, maka kehancuranlah yang terjadi, apabila perkawinan itu kita katakan mudah atau gampang, sangat mudah sekali maka terjadilah perkawinan itu, tetapi apabila sebuah perkawinan dikatakan sulit, me-mang sangat sulit karena sebuah perkawinan, memerlukan kasih sayang dan pengertian diantara keduanya, dan perkawinan itu tidak bisa diukur dengan ukuran harta benda”.Kerukunan antarumat beragama di Desa Bayan, juga ditunjukkan melalui

keterlibatan masyarakat yang berbeda agama pada tradisi nyongkolan, adalah saat mereka bersama-sama dengan keluarga maupun masyarakat lainnya yang beragama Islam turut serta dalam melakukan tradisi pepaosan. Tradisi pepaosan yaitu tradisi membaca (memaos) naskah-naskah kuno yang ditulis di daun lontar maupun naskah-naskah kuno yang dicetak dengan teknolo-gi cetakan mesin. Pepaosan dibaca di Berugaq yang dihias oleh masyarakat sekitar. Pepaosan dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat yang mampu mem-baca naskah dalam bahasa Jawa dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Sa-sak agar masyarakat yang hadir di Berugaq tersebut mampu memahami isi dari naskah tersebut. Pembaca pepaosan disebut Juru Paos dan yang mener-jemahkan isi pepaosan disebut Juru Cerita. Tradisi pepaosan ini juga dihadiri oleh masyarakat yang beragama Hindu dan Buddha dan mereka juga turut serta ikut Memaos.

72 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara arnis Rachmadhani

PenutuP

SimpulanWetu Telu sangat kuat memegang prinsip-prinsip dalam ketentuan agama,

adat, dan pemerintah. Konsep dasar perkawinan menurut ajaran Wetu Telu mewujud pada perpaduan syari’at Islam dengan adat. Jadi, konsep perkawin-an yang dilaksanakan merupakan hasil perpaduan antara agama Siwa-Budha sebagai agama asli orang Lombok dan agama Hindu sebagai agama yang dibawa oleh kerajaan Hindu Bali saat menjajah di daerah Pulau Lombok yang berkombinasi dengan ajaran agama Islam yang kemudian menjadi adat lokal. Adat lokal inilah yang kemudian menciptakan strata sosial, prosedur perka-winan dan prosesi perkawinan.

Dalam melaksanakan perkawinan, ada dua sistem yang pernah berlaku dalam ajaran Islam Wetu Telu yaitu sistem lama dan sistem baru. Sistem lama tidak melengkapi rukun nikah sehingga tanpa akad nikahpun kedua mempe-lai sudah dapat melakukan hubungan suami isteri asalkan sudah menyele-saikan proses-proses yang lain seperti tobat kakas. Sejauh berkaitan dengan perkawinan menurut ajaran Wetu Telu sistem lama, tidak banyak mencer-minkan nilai-nilai Islam karena ritualnya lebih didominasi oleh budaya lokal. Di samping itu, sistim ini tidak menerapkan rukun nikah secara lengkap de-ngan ditiadakannya akad nikah. Ini artinya, sistem lama sudah dikenal sejak zaman pra Islam. Sedangkan perkawinan menurut ajaran Wetu Telu sistem baru, telah menerapkan syarat dan rukun perkawinan sesuai ajaran Islam. Pada sistem baru, akad nikah dijadikan sebagai proses inti dan harus dilak-sanakan sebelum melakukan hubungan suami isteri.

Upacara perkawinan di Desa Bayan langsung dipimpin oleh Kepala Kan-tor Urusan Agama dengan mengikuti tata cara Islam yakni pembacaan khut-bah nikah dan ijab kabul yang dilakukan langsung oleh wali dari mempelai wanita di hadapan calon pengantin laki-laki. Khutbah nikah dibacakan de-ngan menggunakan bahasa Arab, sedangkan ijab dan kabul digunakan bahasa Sasak setempat.

Kearifan lokal dalam tata cara perkawinan yang dilaksanakan oleh ma-syarakat Wetu Telu ditampakkan dari akulturasi ajaran Islam dengan ajaran agama Siwa-Budha sebagai agama asli orang Bayan dan Hindu Bali selaku agama kerajaan Bali yang pernah menjajah daerah Pulau Lombok termasuk Bayan. Hal itu, ditunjukkan bahwa dalam perkawinan digunakan tiga cara yaitu perondongan, mepadik lamar, dan selarian dengan diselesaikan me-lalui prosesi seperti menjojak, memulang, sejati, pemuput selabar, akad ni-kah, sorong serah, nyongkolan dan balik onos nae. Ritual yang dilakukan sep-erti bedak keramas dan merariq (kawin lari), adalah bagian dari ritual yang dilaksanakan oleh Hindu Bali. Sementara, ajaran Islam menjadi substansi acara-acara inti seperti pada syarat dan rukun nikahnya. Dengan demikian, prosesi perkawinan menurut ajaran Wetu Telu menunjukkan masuknya un-

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara

73Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

arnis Rachmadhani

sur nilai dari tiga agama yaitu Siwa-Budha sebagai agama asli masyarakat Bayan pra Islam, Hindu-Bali, dan Islam.

Saran-SaranBerdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan dan hasil kajian penelitian

tersebut di atas, maka peneliti menyarankan:1. Kepada Pemerintah Cq. Kementerian Agama Republik Indonesia diharap-

kan agar dapat menindaklanjuti penelitian ini dengan memberikan perha-tian kepada penganut ajaran Wetu Telu sebagai kekayaan budaya dengan tetap melakukan pembinaan keagamaan yang terkait dengan ritualitas aja-ran Wetu Telu.

2. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara diharapkan mem-berikan perhatian untuk melestarikan kearifan lokal tradisi perkawinan ajaran Wetu Telu.

3. Kepada penganut ajaran Wetu Telu diharapkan mewariskan tradisi Wetu Telu kepada generasi muda sehingga tradisi itu dapat terjaga dan tidak pu-nah.

74 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara Ismai l Zubir

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Glob-al. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Athar, Yamani Zaki. 2006. Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok, dalam Jurnal Ulumuna Volume IX Edisi 15 Nomor 1.

Bismillah, Herman. 2009. Pola Penyelesaian dengan Kearifan Lokal, dalam http://hermaninbismillah.blogspot.com/. Rabu, 29 Juli 2009.

Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak Waktu Lima Vs Wetu Telu. Yogyakarta: Penerbit LkiS.

Mudzhar, M. Atho’. 2010. Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia.

Mulder. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia.

Ruhpina, Said. 2005. Menuju Demokrasi Pemerintahan. Mataram: Universi-tas Mataram Press.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. Jilid III. Bandung: PT. Al-Ma’arif.Sarjana, Agus. 2004. Otokritik Islam dan Budaya Sasak yang Mandul Mence-

gah Kekerasan, dalam Diskusi Publik dengan tema “Peran Agama Dalam Mencari Solusi Kekerasan”. Praya, 16 Februari 2004.

Suseno, Frans Magnis. 1988. Etika Jawa. Jakarta: GramediaZuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Ap-

likasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara

75Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ismai l Zubir

PENELITIANPERSEPSI TERHADAP NIKAH SIRRI

(KASUS MASYARAKAT DESA SINARRANCANG, MUNDU, CIREBON)

Oleh ISmaIl ZUBIR**

* Ismail Zubir, S.Ag. adalah calon peneliti pada Balai Litbang Agama Jakarta.

AbstrAct :This study aims to find out the perception of people in Sinarrancang,

Mundu, Cirebon, West Java, on nikah sirri (“secret” marriage). Using quali-tative approach the study reveals that in their opinion nikah sirri means ni-kah “kyai”, it is a marriage by ulama and has become a long hereditary tra-dition. According to fiqih munakahat (a branch of Islamic law which studies about marriage) this kind of marriage is legitimate because it meets the con-ditions and requirements of marriage. According to positive law, however, such marriage is illegal for not being registered at KUA (a governmental institution which administers Muslim marriage). In order to change their perception on nikah sirri, it needs to socialize UU No. 1 Tahun 1974 continu-ously. KUA’s service to people has to be addressed so that its accountability and responsibility could run effectively; and more importantly the draft of Religious Courts Law Materials that would provide punishment for those conducting nikah sirri do not contradict with Islamic law.

Keywords: Perception, society, nikah sirri

PendAhuluAn

Latar Belakang MasalahRancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materil oleh Peradilan Agama

(HMPA) Bidang Perkawinan, secara tegas menyatakan bahwa pelaku nikah sirri akan ditindak tegas dengan sanksi pidana apabila sebuah perkawinan tanpa disertai dokuman resmi serta tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). RUU HMPA tersebut dapat memicu kontroversi ditengah-tengah ma-syarakat karena praktik perkawinan sirri masih sering terjadi.

Di saat muncul perdebatan mengenai Rancangan Undang-Undang Hu-kum Materil Pengadilan Agama serta ancaman pidana bagi pelaku nikah sirri,

76 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

Ismai l Zubir

di Kabupaten Cirebon Jawa Barat misalnya ada 1.200 pasang warga desa yang beragama Islam melakoni kehidupan dengan nikah sirri. Model pernikahan tersebut sudah berlangsung turun temurun. Di Desa Sinarancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, terdapat 2.000 pasang suami-istri. Dari jumlah tersebut 1.200 pasang atau sekitar 60 persen memilih nikah sirri. (Poskota, 4 Juli 2010)

Melihat kasus nikah sirri yang terjadi pada masyarakat Desa Sinarran-cang Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, merupakan kasus yang fenome-nal. Fenomena yang terjadi di Desa Sinarrancang Kecamatan Mundu Cirebon merupakan kasus yang luar biasa, karena pernikahan sirri ini sudah ber-langsung lama dan masih dilakukan sampai saat ini. Berita tersebut menyita perhatian publik terutama peneliti sendiri, karena di samping lahirnya RUU HMPA yang akan memberi sanksi pidana bagi pelakunya, juga bertentangan dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mewajibkan bagi pa-sangan yang melakukan pernikahan untuk mencatatkan peristiwa pernikah-annnya di Kantor Urusan Agama (KUA).

Metode PenelitianPenelitian ini dilakukan dalam bentuk studi kasus. Dijelaskan oleh Nisbet

dan Watt (1994), yang dimaksud dengan studi kasus ialah penyelidikan siste-matis atas suatu kejadian khusus, dengan tujuan untuk memberikan penjelas-an yang jujur dan seksama tentang suatu kasus tertentu sedemikian rupa sehingga memungkinkan pembacanya untuk menembus kedalam apa yang tampak di permukaan dan untuk memeriksa keabsahan tafsiran penulisnya dengan meninjau sejumlah data obyektif pilihan yang sesuai, yang dijadikan tumpuan untuk membangun studi kasus tersebut.

Untuk menjawab fenomena perkawinan sirri tersebut, Peneliti melaku-kan penelitian tentang persepsi perkawinan sirri pada Desa Sinarrancang Ke-camatan Mundu Kabupaten Cirebon. Pertanyaan yang patut diajukan ialah: (1) Bagaimana persepsi masyarakat Desa Sinarrancang Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon terhadap nikah sirri ?; (2) Apa penyebab banyaknya kasus nikah sirri di Desa Sinarrancang ?; dan (3) Bagaimana solusinya ? Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengetahui persepsi masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat terhadap nikah sirri; (2) Mengetahui penyebab banyaknya nikah sirri di Desa Sinarran-cang; dan (3) Untuk memberikan solusinya.

Untuk itu, data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan telaah do-kumen. Wawancara dilakukan kepada Kepala KUA, Penghulu, tokoh agama, aparat desa dan masyarakat desa setempat.

Kerangka TeoriAffifi (1989) mengungkapkan pengertian persepsi menurut Ibnu ‘Arabi

yaitu indera-indera menerima melalui keagenan cahaya yang membentuk esensi dasar mereka dan esensi dari objek-objek yang dipersepsikan. Kesan-kesan yang dikumpulkan oleh indera-indera ini dari dunia luar masuk

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

77Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ismai l Zubir

langsung kedalam hati (heart), yang mengarahkan mereka kepada akal. Akal (yang berkedudukan dalam otak) mengindentifikasikan kesan-kesan ini sebagai persepsi- persepsi indera dan mengirimkan mereka kepada imajinasi, yang lalu mengirimkannya kepemahaman (Mufakkira), yang tugasnya adalah untuk menganalisa dan memisahkan persepsi-persepsi seperti itu. Ketika proses asimilasi dan diskriminasi itu telah selesai, beberapa persepsi yang teryata menarik bagi mind ditahan oleh ingatan (memory), Indera terdekat kepada hati dibanding semua indera-indera lainnya. Hati (cahaya) bekerja sepenuhnya, walaupun energinya berjalan melalui saluran yang berbeda-beda.

Secara etimologis, persepsi berasal dari bahasa Latin percipere, yang arti-nya menerima; perception, pengumpulan, penerimaan, pandangan penger-tian. Sedangkan menurut Komaruddin (2006), dijelaskan juga beberapa pengertian sebagai berikut: a) kesadaran intuitif (berdasarkan firasat) terhadap kebenaran atau keperca-

yaan langsung terhadap sesuatu.b) proses dalam mengetahui objek-objek dan peristiwa-peristiwa obyektif

melalui pencerapan (sensum). c) sesuatu proses psikologis yang memproduksi bayangan sehingga dapat

mengenal obyek melalui berfikir asosiatif dengan cara inderawi sehingga kehadiran bayangan itu dapat disadari. Disebut juga wawasan.

Dijelaskan oleh Mar’at (1991) yang mengutip pendapat Alport, bahwa proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pen-galaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses be-lajar akan memberikan bentuk dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terha-dap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada.

Pada hakekatnya sikap adalah merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen, dimana komponen-komponen tersebut menurut Alport, ada tiga yaitu:1) Komponen Kognitif, yaitu komponen yang tersusun atas dasar pengeta-

huan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu ten-tang obyek sikap tersebut.

2) Komponen Afektif, yaitu berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai yang dimilikinya.

3) Komponen Konatif, yaitu merupakan kesiapan seseorang untuk berting-kah laku yang berhubungan dengan obyek sikapnya.Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas terdapat per-

78 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

Ismai l Zubir

bedaan namun dapat disimpulkan bahwa pengertian atau pendapat satu sama lain saling menguatkan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses yang muncul lewat panca indera, baik indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium, kemudian terus-menerus berproses sehingga mencapai sebuah kesimpulan yang berhubungan erat dengan infor-masi yang diterima dan belum sampai kepada kenyataan yang sebenarnya, proses ini yang dimaksud dengan persepsi.

Perkawinan menurut Syarifuddin (2007), bahwa pengaturan pelaksa-naan perkawinan dalam Islam, telah diatur sedemikian rupa dalam fikih mu-nakahat. Di dalam fikih munakahat diperinci secara detail unsur-unsur yang menjadi sahnya suatu perkawinan. Lahirnya UU Perkawinan melegitimasi materi-materi yang terdapat dalam fikih munakahat, seperti syarat-syarat perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan dan lain-lain. Na-mun ada beberapa hal yang membedakan aturan-aturan yang ada dalam fikih munakahat dengan UU Perkawinan, perbedaan itu bersifat administra-tif bukan substantif, seperti dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peris-tiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal (1) di-nyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-pada Ketuhanan Yang Maha Esa. UU Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 2 (2) memuat perihal pencatatan, dinyatakan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia, yang sebagian besar adalah beragama Islam. Dengan keluarnya UU Perkawinan itu, maka berdasarkan Pasal 66, materi fikih munakahat se-jauh yang telah diatur dalam UU Perkawinan itu dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, semenjak itu, fikih munakahat tidak berlaku lagi se-bagai hukum positif. Namun Pasal 66 itu juga mengandung arti bahwa materi fikih munakahat yang belum diatur oleh UU Perkawinan dinyatakan masih berlaku.

Sedangkan nikah sirri mempunyai arti yaitu pernikahan yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan dengan akad yang sah sesuai dengan syarat dan rukun nikah yang digariskan oleh syariat Islam, namun secara ad-ministratif dan hukum negara belum dianggap sah karena pernikahan terse-but tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai institusi pemerin-tah yang salah satunya mempunyai tugas dan fungsi mencatat setiap peristiwa pernikahan masyarakat secara agama Islam.

Ghozali (2008) menjelaskan, mayoritas ulama berpendapat bahwa nikah

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

7�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ismai l Zubir

sirri hukumnya sah, karena telah terpenuhinya rukun dan syarat nikah, wa-laupun beberapa ulama berbeda pendapat tentang jumlah rukun nikah. Na-mun kalau dilihat dari sudut pandang peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang berkaitan dengan perkawinan, nikah sirri menjadi tidak sah karena tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama.

Pengertian tentang masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata “masyarakat” sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.

Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat di-katakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manu-sia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan. (Wiki-pedia, 30 Juli 2010)

Untuk mengetahui dan menganalisis jawaban-jawaban dari pertanyaan penelitian ini, setidaknya ada tiga kerangka pemikiran yang dapat memandu penelitian ini:

Pertama, sebagaimana dijelaskan oleh Merton Robert K (1955), bahwa dalam sosiologi pengetahuan yang merupakan salah satu cabang termuda dalam sosiologi, bahwa pengetahuan (dalam hal ini: pemahaman dan prilaku manusia dan masyarakat berkaitan dengan nikah sirri) adalah sebuah feno-mena yang dikonstruksi secara sosial. Pemahaman dan prilaku, dalam pan-dangan Marx, dipengaruhi oleh struktur kelas. Kelas --yang terkait dengan relasi produksi-- merupakan faktor penentu dalam penciptaan atau dasar eksistensial bagi suatu pemahaman.

Dari sudut pandang ini, Arif Budiman (1991) mengungkapkan pendapat-nya, bahwa pemahaman dan perilaku tidak hanya merupakan produk yang berakar secara historis dan sosial, namun juga merupakan proses sosial yang terus menerus. Realitas dengan berbagai versinya merupakan tafsiran-tafsir-an kolektif terhadap dunia oleh orang-orang yang membenuk komunitas itu. Selanjutnya, ia mengutip pendapat Karl Mennheim, yang berkesimpulan bah-wa ada hubungan antara pemahaman dengan psikologi dan sosial dari manu-sia yang memproduksi pemahaman dimaksud.

Selanjutnya, Gregory Baum (1999) berpendapat, bahwa semua pemaha-man dan pemikiran, walaupun berbeda tingkatannya, pasti dibatasi oleh lokasi sosial dan proses historis suatu masyarakat. Pemahaman manusia tidak bisa lepas dari subyektivitas dan kondisi psikologis individu yang mengetahuinya. Semua pemahaman atau kepercayaan adalah produk proses sosio politik dan

80 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

Ismai l Zubir

selalu berkaitan dengan keseluruhan struktur sosial yang melingkupinya. Se-bagaimana gambar di bawah ini yakni sebagai berikut:

Kedua, terkait dengan dimungkinkannya adanya patologi birokrasi di KUA Kecamatan Mundu, sebagaimana menjadi salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002 bahwa pelayanan pub-lik di Indonesia secara umum masih rendah (Agus Dwiyanto dan Bevaola Ku-sumasari “Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang Harus Dilakukan?” dalam Policy Brief, No. II/PB/2003), maka apa yang digagas oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya Reinventing Government barangkali dapat dipinjam untuk dijadikan sebagai solusi alternatif dalam melakukan optimal-isasi pelayanan publik Teori ini sudah terbukti mampu menjadi solusi atas buruknya pelayanan publik yang terjadi di pemerintahan Amerika sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap pemerintah di penghujung tahun 1980-an.

Ketiga, terkait dengan adanya peraturan yang memidanakan nikah sir-ri, perlu digunakan kerangka berpikirnya Lawrence M. Friedman yang me-ngatakan bahwa sesungguhnya ada tiga unsur sistem hukum (legal system) yang mendasari RUU itu sehingga pelaksanaannya menjadi efektif, yaitu: structure, substance, dan culture. Struktur hukum berkaitan dengan instituti dan kelembagaan hukum; Substansi hukum berbicara tentang bagaimana isi peraturan, apakah memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif dan responsif; dan Kultur Hukum berbicara tentang sikap masyarakat terhadap peraturan atau sistem peraturan, kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapannya. Yang terakhir ini juga berbicara tentang suasana pikir sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum ditaati dan dilanggar.

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

81Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ismai l Zubir

Untuk memperkuat kerangka di atas, penelitian ini menggunakan Teori Hukum Responsif Philippe Nonet dan Philip Selsznik yang mengatakan bah-wa hukum yang berlaku hendaknya merespon kepentingan masyarakat atau sesuai dengan kondisi masyarakat. Mengikuti teori ini, maka jika masyarakat miskin masih kesulitan biaya mencatatkan pernikahannya maka hukum ha-rus menurunkan biaya atau memfasilitasi pernikahan gratis terlebih dahulu, baru kemudian memberikan sanksi jika masyarakat tidak mencatatkan per-nikahannya.

teMuAn PenelitiAn

Gambaran Lokasi PenelitianDesa Sinarrancang adalah salah satu desa dari dua belas desa yang berada

di bawah struktur Kecamatan Mundu. Kecamatan Mundu itu sendiri, semula merupakan bagian dari Kecamatan Beber. Tahun 2010, jumlah penduduk desa ini 2.759 orang, dengan perbandingan 1.423 laki-laki dan 1.336 perem-puan. Sedangkan Kepala Keluarganya berjumlah 770 KK, dengan mayoritas tingkat pendidikan sekolah dasar (SD). Mata pencarian penduduk adalah petani, buruh, atau pengrajin batu cobek. Agama yang dianut oleh penduduk adalah Islam. Mayoritas etnis di desa tersebut adalah Jawa-Sunda.

Persepsi Masyarakat Terhadap Nikah Sirri Nikah sirri telah berjalan secara turun temurun di Desa Sinarrancang,

karena pernikahan tersebut diperantarai oleh ulama (Kyai). Namun isti-lah nikah sirri itu sendiri baru dimengerti saat pemberitaan di media massa marak dibicarakan. Bagi Asrif, salah satu informan yang melakukan nikah

82 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

Ismai l Zubir

sirri mengatakan bahwa ketika dia menikah 21 tahun yang lalu, petugas pen-catat perkawinan (lebei) adalah orang yang bertugas untuk mencatat admin-istrasi bagi mereka yang melakukan pernikahan dan prosesnya tidak sampai pada penerbitan buku nikah. Walaupun sampai saat sekarang beliau tidak menerima buku nikah, Asrif menganggap pernikahannya telah sah, karena dilaksanakan menurut tuntunan agama dan diperantarai oleh Kyai.

Ustadz Ujang Bustomi (seorang ulama di Desa Sinarrancang), membenar-kan penyataan bahwa di dalam Islam tidak dikenal nikah sirri. Dalam fikih Babun Nikah (Bab Nikah), tidak satu pasal pun yang membicarakan tentang nikah sirri. Islam memberikan syarat dan rukun nikah yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melakukan pernikahan Dengan demikian, menge-luarkan peraturan yang mengatur tentang sesuatu yang tidak diatur dalam agama, merupakan hal yang mengada-ada. Sebaliknya, secara hukum negara, jika pernikahan tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, maka per-nikahan tersebut belum sah, terlepas dari langgeng atau tidaknya pasangan rumah tangga.

Masyarakat Desa Sinarrancang, menurut pengakuan Ustadz Ujang Busto-mi, telah terbiasa nikah di rumah dengan mendatangkan Kyai, karena untuk melakukannya di KUA, disamping jaraknyanya jauh, nikah dengan perantara Kyai lebih afdhol, sehingga mereka lebih mengenal istilah “Nikah Kyai”.

Penyebab Nikah Sirri di Desa SinarrancangAda banyak hal yang menjadikan warga masyarakat desa ini menikah

sirri, diantaranya yang menonjol adalah pengetahuan ikhwal peraturan per-nikahan menurut undang-undang yang belum banyak diketahui dalam satu sisi, dan kepatuhan pada kyai dalam hubungannya dengan syarat sahnya perkawinan menurut agama. Pada saat yang sama, mereka secara ekonomi juga umumnya miskin. Yang pertama, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala KUA Kecamatan Mundu, KUA tidak mempunyai anggaran untuk mensosia-lisasikan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, yaitu perkawinan diang-gap sah jika dicatatkan di Kantor Urusan Agama.

Yang kedua sebagaimana dikatakan oleh Kepala Wuku (Desa) Caca Efendi, sebagian besar masyarakat lebih memilih pernikahannya dengan perantara Kyai, di samping secara agama dianggap sudah sah juga karena dari segi biaya relatif murah, di banding pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama. Untuk melaksanakan perkawinan di KUA, harus melengkapi admi-nistrasi sejak dari RT/RW, sampai pemeriksaan kesehatan. Biaya yang harus mereka keluarkan kurang lebih Rp. 500.000,00 (Lima Ratus Ribu Rupiah), sedangkan “Nikah Kyai”, cukup dengan memberi Rp. 100.000,00 (Seratus Ribu Rupiah).

Namun demikian, ada juga yang tetap memilih kawin lewat KUA. Pilihan seperti ini, didasari oleh pertimbangan ke depan seperti arti pentingnya buku nikah dan pengurusan akte kelahiran untuk anak-anaknya kelak. Suranti dan Susilawati misalnya, mereka menyatakan bahwa nikah di KUA dengan Nikah

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

83Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ismai l Zubir

Kyai, pada akhirnya sama saja dalam hal pengeluaran biaya. Nikah resmi di KUA, berakibat dengan besarnya biaya yang harus mereka keluarkan. Mu-lai dari pengurusan surat-surat di RT/RW, surat keterangan sehat dan lain-lain, yang mencapai angka Rp.500.000,00 (Lima Ratus Ribu Rupiah), tetapi mendapat buku nikah, sementara nikah melalui perantara Kyai, kelak jika anaknya akan melanjutkan pendidikan ke SMP/SMA, harus menunjukkan akte kelahiran, sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus surat keterangan lahir sang anak mengeluarkan biaya yang juga tidak sedikit.

Untuk mengatasi banyaknya pelaku nikah sirri di desa Sinarrancang, maka Kepala Desa (Kuwu) Sinarrancang mengadakan acara nikah massal. Acara nikah massal tersebut mendapat dukungan Bupati Cirebon, sehingga pada bulan Februari 2010, masyarakat Desa Sinarrancang yang dahulunya ni-kah sirri, telah dinikahkan ulang secara resmi dalam acara ”Mapag Sri” (Pesta Panen).

Persepsi masyarakat Desa Sinarrancang tentang nikah sirri adalah “Ni-kah Kyai” yaitu pernikahan yang diperantarai oleh seorang ulama sebagai wali nikah. Persepsi demikian terbentuk, menurut Alport sebagaimana dikutip Mar’at (1991), bahwa:

“Persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pe-ngalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu, kemudian terus-menerus berproses sehingga mencapai sebuah kesimpulan”.

Masyarakat Desa Sinarrancang pada umumnya tidak mengetahui termi-nologi nikah sirri, karena mereka menganggap pernikahan yang telah me-menuhi syarat dan rukun nikah telah sah secara agama. Persepsi tentang nikah sirri harus diubah caranya ialah dengan sosialisasi UU Perkawinan No 1 tahun 1974 secara terus menerus. Setiap peristiwa perkawinan harus di-catatkan di KUA walaupun perkawianan mereka diwalikan oleh Kyai (Ulama). Proses perubahan persepsi atau pemahaman mereka tentang Nikah Kyai ha-rus disinergikan oleh himbauan-himbauan umara (aparat pemerintahan) dan tausiyah alim ulama, sehingga proses kognitif yang mempengaruhi individu dapat berubah dengan sendirinya.

Peranan KUA akan berpengaruh kepada berhasil atau tidaknya sosialisa-si UU Perkawinan Tahun 1974 di Desa Sinarrancang. Untuk itu, KUA perlu meningkatkan pelayanan kepada publik secara lebih baik (profesional) yak-ni efektif (sederhana, jelas, transparan) dan efisien, termasuk responsif dan adaptif.

Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang diciri-kan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Dengan ciri-ciri sebagai berikut :1. Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan

dan sasaran;2. Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggara-

84 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

Ismai l Zubir

kan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan;

3. Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya ke-jelasan dan kepastian mengenai :a. Prosedur/tata cara pelayanan;b. Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan

administratif;c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab

dalam memberikan pelayanan;d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

4. Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pela-yanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta;

5. Efisiensi, mengandung arti :a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan lang-

sung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperha-tikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan;

b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal pro-ses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan ada-nya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

6. Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan;

7. Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dila-yani;

8. Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.Kinerja KUA Kecamatan Mundu perlu mengacu pada asas-asas Pelayan-

an Publik secara profesional, sehingga diharapkan dapat berhasil mengubah persepsi masyarakat Desa Sinarrancang yang menyatakan bahwa pernikahan yang dilakukan di KUA membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang relatif mahal. Teori David Osborne dalam mencari solusi atas buruknya pela-yan publik dapat menjadi solusi alternatif.

Terkait dengan adanya peraturan yang memidanakan nikah sirri, perlu digunakan kerangka berpikirnya Lawrence M. Friedman yang mengatakan bahwa ada tiga unsur sistem hukum (legal system) yang mendasari RUU itu sehingga pelaksanaannya menjadi efektif, yaitu: structure, substance, dan

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

85Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ismai l Zubir

culture. Struktur hukum berkaitan dengan institusi dan kelembagaan hukum; substansi hukum berbicara tentang bagaimana isi peraturan; dan kultur hu-kum berbicara tentang sikap masyarakat terhadap peraturan atau sistem per-aturan, kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapannya, apakah memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif dan responsif.

Negara harus menjadi pembuat kebijakan yang adil, karena persoalan nikah sirri adalah persoalan yang sensitif ketika dikaitkan dengan rencana tindak pidana bagi pelakunya. Subtansi dari persoalan nikah sirri itu adalah mengenai pencatatan administratif bukan pada sah atau tidaknya perkawinan itu sendiri. RUU HMPA juga harus memperhatikan kultur masyarakat setem-pat, karena nikah sirri merupakan akad yang sah secara agama dan secara sosiologis banyak dilakukan oleh umat Islam, tidak saja masyarakat awam juga para umara dan ulama. RUU HMPA bisa efektif jika tiga unsur yang di-nyatakan oleh teori Lawrence M. Friedman dapat diterapkan.

Teori Hukum Responsif Philippe Nonet dan Philip Selsznik yang me-ngatakan bahwa hukum yang berlaku hendaknya merespon kepentingan masyarakat atau sesuai dengan kondisi masyarakat perlu dijadikan pertim-bangan. Mengikuti teori Hukum Responsif ini, maka masyarakat Desa Sinar-rancang yang sebagian besar mata pencariannya adalah bertani dan pengra-jin cobek, harus dipermudah dalam pengurusan pernikahan, yaitu pelayanan publik harus mengacu padaya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Ini artinya pemerintah menurunkan biaya atau memfasilitasi pernikahan gratis terlebih dahulu, baru kemudian mem-berikan sanksi jika masyarakat tidak mencatatkan pernikahannya.

PenutuP

SimpulanDari hasil penelitian tentang nikah sirri di Desa Sinarrancang Kecamatan

Mundu Cirebon, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :1. Persepsi nikah sirri masyarakat di Desa Sinarrancang adalah “Nikah Kyai”

(Ulama). Menurut pandangan dan pemahaman mereka, pernikahan terse-but sah karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah dan di perantarai/wali oleh seorang ulama atau kyai.

2. Banyaknya pelaku nikah sirri di Desa Sinarrancang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang UU Perkawinan Tahun 1974 sangat rendah. Pelayan publik, dalam hal ini KUA, belum melakukan sosialisasi secara massif, sehingga berimbas pada berbagai macam persoalan.

3. Biaya pengurusan pernikahan yang relatif mahal, waktu yang panjang dalam pengurusan, aparat yang jumlahnya sangat sedikit dan sebagainya, menjadi penyebab banyaknya kasus nikah sirri di Desa Sinarrancang.

4. Upaya yang harus dilakukan oleh KUA adalah memaksimalkan sosialisasi UU Perkawinan Tahun 1974, sehingga jumlah nikah sirri di Desa Sinarran-cang dapat ditekan jumlahnya, memberikan pelayan publik yang maksi-

86 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

Ismai l Zubir

mal, dan perlu bekerjasama dengan umara dan ulama setempat dalam mengatasi banyaknya kasus nikah sirri tersebut.

Rekomendasi 1. Kantor Urusan Agama (KUA) berperan aktif untuk mengubah persepsi

masyarakat Desa Sinarrancang terhadap nikah sirri. Oleh sebab itu, KUA berkewajiban memberikan pemahaman tentang nikah sirri dan dampak negatif yang ditimbulkannya.

2. Pelayanan terhadap pasangan yang akan melakukan pernikahan di Kantor Urusan Agama, agar dipermudah dan dengan pelayanan prima serta biaya terjangkau.

3. Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cirebon melalui bidang Urusan Agama Islam (Urais), perlu memaksimalkan peran KUA terutama wilayah yang banyak pelaku nikah sirri, bersama aparat desa dan ulama setempat dalam rangka peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mem-bangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah dengan melaksanakan penikahan sesuai dengan ajaran agama dan UU Perkawinan Nomor 1 Ta-hun 1974.

Persepsi Terhadap Nikah SirriKasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

87Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ismai l Zubir

DAFTAR PUSTAKA

Affifi, A.E. 1989. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. Jakarta: Gaya Media Pratama.Baum, Gregory. 1999. Agama dalam Bayang-bayang Relativisme: Sebuah

Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Mennheim tentang Sintesa Ke-benaran Historis Normatif. (Terj. Achmad Murtajib Chaeri dan Masy-huri Arow). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Budiman, Arif. 1991. Dari Patriotisme Ayam dan Itik sampai ke Sosiologi Pengetahuan. Pengantar dalam Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius.

DPR RI. 1974. Undang-Undang RI No.1 tentang Perkawinan.Ghozali, Abd. Rohman. 2008. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.J. Nisbet, dan J. Watt. 1994. Studi Kasus, Sebuah Panduan Praktis, (disadur,

L. Wilardjo). Jakarta: Gramedia Widyasarana.Komaruddin, (Dkk). 2006. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Bumi

Aksara.Mar’at. 1991. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta:

Ghalia Indonesia.Poskota Media Independen Online. 2010. Di Cirebon : 1.200 Pasang warga

Pilih Nikah Sirri. (http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/02/23/di-cirebon-1-200-pasang-warga-pilih-nikah-sirri diakses 4 Juli 2010)

Robert K, Merton. 1955. A Paradigm for the Study of the Sociology of Know-ledge, dalam Toward of Philosophy of Social Sciences. USA: The Free Press.

Syarifuddin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kecana.

Wikipedia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat diakses 30 juli 2010).

88 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

moh. Rosyid, m.Pd.

8�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

moh. Rosyid, m.Pd.

AHMADIYAH DI KABUPATEN KUDUS

Oleh mOh. ROSyId, m.Pd.* *

* Moh. Rosyid, M.Pd. adalah dosen STAIN Kudus

PENELITIAN

AbstrActThis research was picturing the society of Ahmadiyah (which consists

of only ten families) in Kudus, Central Java. On one hand this communi-ty can be so adaptive to outers (non-Ahmadiyah people) such as joining their yasiinan or manaqiban groups and attending neighborhood meet-ings and can be so exclusive on the other hand. By exclusive here means that the Ahmadiyah people in Kudus will recite the quran and perform daily prayers together with themselves in their own mosque (Ahmadi mosque).The acceptance of Ahmadiyah in Kudus began when in 1989 some people in Kudus looked for physical and spiritual tranquility to Ah-madi people in Gabus, Pati, Central Java. The Ahmadi people of Ga-bus then taught them sesorah (Ahmadi teachings) which was suit-able with them so that the Ahmadi teaching then well received.

Kinship and patron client (employer-employee) relationship are two significant factors for the Ahmadiyah recruitment. The Ahmadiyah in Kudus could exist for the “center” (Bogor) sends them religious teachers who teach and lead their daily prayers in their own masjid. This masjid is built on a piece of land given by Ahmadi people. In order for their existence among lo-cal people not to be regarded such as creating “water and oil” relationship, Ahmadi people perform some social events which more outers are involved in, such as inviting them to halal bihalal forum and blood donor.

Keywords: Ahmadiyah, Kudus, Gabus, recruitment style

PendAhuluAn

Latar Belakang MasalahHingga kini, Indonesia tak lepas dari konflik antarumat beragama dan in-

tern umat beragama. Agama yang semestinya bersemangat pembebasan dan menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan, bahkan mengusik keutuhan berbangsa yang majemuk. Pola pikir dalam beragama yang sempit menimbulkan sikap sempit pula dalam praktik keberagamaan. Jika tak terkendali akan muncul wabah pengkafiran

�0 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus moh. Rosyid, m.Pd.

(takfir), pemusyrikan (tasyrik), pembid’ahan (tabdik), bahkan penanaman keraguan (tasykik). Hal ini diperagakan sebagian umat Islam Indonesia ke-tika dihadapkan dengan aliran lain yang dianggap berseberangan dengan kai-dah agamanya, sebagaimana dialami pengikut aliran Ahmadiyah. Ahmadiyah dijadikan sasaran empuk karena dinyatakan sesat oleh MUI sebagaimana bu-nyi fatwa No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980 tgl 1 Juni 1980/17 Rajab 1400 H. Pernyataan sesat tersebut dipertegas kembali pada Munas MUI ke-7 tgl 27-29 Juli 2005. Sesatnya Ahmadiyah menurut MUI, karena keyakinannya bahwa Nabi SAW bukanlah nabi terakhir, tetapi kenabiannya ‘diteruskan’ oleh Ghu-lam Ahmad, di samping Ahmadiyah pun memiliki Kitab Suci yakni Tadzkirah dan anggapannya jika salat dengan imam orang non-Ahmadiyah, salatnya ti-dak sah karena tak mengakui kenabian Ghulam Ahmad.

Menteri Agama Republik Indonesia, Suryadharma Ali, menegaskan bah-wa Ahmadiyah lebih baik dibubarkan daripada dibiarkan tetap menjalankan syariat Islam.Selanjutnya, ada dua pilihan, membiarkan atau membubarkan sama-sama berrisiko. Berdasarkan SKB 3 Menteri dan UU No.1/PNPS/1965, membubarkan lebih baik daripada membiarkan, karena membubarkan dapat menghentikan kesesatan yang berkelanjutan. Jika tetap bersikukuh dengan keyakinannya, Menteri Agama meminta Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) membuat agama baru di luar Islam dan tak boleh menggunakan simbol Is-lam seperti al-Quran, masjid, dan ritual-ritual yang merupakan tuntunan Is-lam yang benar. Bukan atas dalih kebebasan agama lalu menginterpretasikan agama Islam dengan salah. Mukri Ajie (Ketua MUI Kabupaten Bogor) melihat masalah Ahmadiyah ini bukan lagi masalah fikih, tetapi sudah menjadi ma-salah teologi. Berdasarkan laporan Bupati Kuningan, Kejaksaan Kuningan, dan MUI Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, MUI Pusat mendesak Menteri Agama, Mendagri, dan Jaksa Agung agar mengusulkan kepada Presiden un-tuk membubarkan atau mendorong Ahmadiyah menjadi organisasi non-Is-lam karena Ahmadiyah tak dapat diluruskan dan tak mematuhi SKB 3 Men-teri yang ditetapkan 9/6/2008.

Menanggapi polemik tersebut, Juru Bicara JAI, Jafrullah Ahmad Pontoh, menegaskan bahwa agama milik Tuhan, tak ada yang bisa menyuruh orang membubarkan atau membuat agama. Ahmadiyah pun merasa masih tetap bagian dari Islam karena rukun iman dan Islam yang diajarkan adalah seba-gaimana ajaran Nabi Muhammad SAW. Kitab sucinya, menurut pengakuan Jafrullah bukan Tadzkirah. Tadzkirah hanyalah kumpulan dari berbagai tu-lisan JAI yang dikumpulkan dalam kompilasi yang menjadi satu buku. JAI merasa bagian dari Islam karena rukun iman dan Islamnya sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Perihal pembubaran, JAI berpandang-an bahwa pembubaran di negara hukum tentunya berkaitan dengan tindak kriminal, JAI tak melakukan tindak kriminal (Republika, 15/10/2010).

Rumusan MasalahPenelitian ini memotret Ahmadiyah di Kudus, Jateng. Ahmadiyah se-

bagai kelompok minoritas yang dapat hidup secara adaptif terhadap komu-

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus

�1Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

moh. Rosyid, m.Pd.

nitas muslim di Kota Kudus. Pertanyaannya adalah faktor apakah yang mela-tarbelakangi “diterimanya” Ahmadiyah di wilayah Kota Kudus dan mengapa Ahmadiyah eksis dan nirkonflik di Kota Kudus.

Telaah PustakaDalam buku Koreksi Total terhadap Ahmadiyah, karangan Hamka Haq

Al-Badri, (1981), dikatakan bahwa penganut Ahmadiyah berkeyakinan kena-bian dapat dicapai dengan kesucian rohani yang sempurna, setiap orang yang mencapainya dapat menjadi nabi. Kenabian berjalan terus-menerus karena manusia membutuhkan pimpinan dan tuntunan rohani dan wahyu (sebagai sumber nilai rohani) tetap berlangsung. Wahyu tidak hanya dapat diterima oleh para Nabi, tetapi para wali dan pembaharu. Kelangsungan kenabian dan kewahyuan tak mengurangi arti kedudukan Nabi SAW sebagai khatam al-Nabiyyin yang berarti bahwa Nabi menduduki puncak keagungan kenabian dan pembawa syariat terakhir ditandai datangnya nabi sesudahnya sebagai pengiring, pelanjut, dan penjaga kemurnian syariat Islam.

Kemudian Iskandar Zulkarnain, dalam bukunya yang berjudul Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (2005) menyimpulkan bahwa Ahmadiyah sebagai gerakan dakwah, menitikberatkan aspek spiritual Islam yang bersifat mah-diistis dimana Mirza Ghulam disebut sebagai al-mahdi atau juru selamat yang mengemban misi melenyapkan kegelapan dan terciptanya perdamaian dunia berdasarkan Qur’an dan hadis.

Tetapi hasil penelitian Ahmad Sidiq dan Umi Masfiah (2006) Organisasi Ahmadiyah Qadian di Surakarta sejak tahun 1990-an, ditemukan informasi bahwa para penganut Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza sebagai nabi sesudah Nabi SAW. Kumpulan wahyu yang dibukukan menjadi kitab suci (tadzkirah) berisi pengalaman dan komunikasi rohani antara Allah SWT dengan Ghulam. Disebutkan juga dalam buku tersebut yaitu sejak 1995, setelah meninggalnya seorang tokoh Ahmadiyah Solo, Hanafi, (pemilik rumah yang digunakan se-bagai pusat kegiatan di Jalan Pakuningratan No.46 Surakarta), Ahmadiyah mengalami kemerosotan jumlah pengikut. Tahun 1990-1995 tercatat 1.500 orang, tetapi pada tahun 2006 hanya tinggal 15-20 orang.

Penelitian Amin Mudzakkir di Dusun Ciparay, Desa Selagedang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jabar, (2006), berjudul Menjadi Minoritas di Tengah Perubahan: Dinamika Komunitas Ahmadiyah di Ciparay dikatakan bahwa munculnya Ahmadiyah di desa tersebut adalah karena ketiadaan institusi tradisional Islam, seperti pesantren dan organisasi sosial keagamaan semisal NU dan Muhammadiyah. Hal itu membuka peluang Ahmadiyah dikenalkan dan dikembangkan di desa yang topografinya berada di wilayah pegunungan, sejak akhir 1930-an, oleh Haji Sanusi, seorang pedagang dari Garut. Dia dibantu seorang mandor perkebunan, Tjetje Suriaatmadja, membawa ajaran Ahmadiyah ke daerah Cianjur Selatan. Untuk menyebarkan aliran Ahmadiyah di desa tersebut, pertama kali yang dilakukan adalah pembaiatan terhadap enam warga yakni Anda, Rukman, Didi, Uki,

�2 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus moh. Rosyid, m.Pd.

Rosadi, dan Sudira. Kemudian pada masa penjajahan Jepang, keenamnya masuk dinas militer Jepang (Heiho Kempetei). Aktivitas keahmadiyahan di Ciparay eksis kembali pada tahun 1949. Muncullah tokoh Ahmadiyah yang lain yang bergabung yakni Ustadz Djakfar Shiddiq. Dia mendirikan madrasah di Ciparay. Sejak tahun 1955, Ustadz Djakfar aktif sebagai tenaga penyuluh pertanian, selanjutnya digantikan Adang Rahmat. Keberadaan Ahmadiyah di Ciparay tak lekang dari goncangan eksternal berupa pemberitaan media massa yang menampilkan kegarangan publik terhadap Ahmadiyah di Nusantara, membuat masyarakat yang tak simpati terhadap Ahmadiyah terpicu. Pada tanggal 29 September 2005, Bupati Cianjur, Wasidi, mengeluarkan kebijakan pelarangan terhadap aktivitas Ahmadiyah.

Penelitian Moh. Sulhan (2006) berjudul Akar Diskriminasi Minoritas dan Pluralisme Agama Studi Kasus Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadi-yah di Kuningan, diuraikan bahwa setelah adanya SKB antarinstansi agama dan ormas Islam tanggal 3 November 2002, tentang Pelarangan Jamaah Ah-madiyah di Kabupaten Kuningan, dan adanya Surat Edaran MUI Kabupaten Kuningan No.13/MUI/Kab/11/2003 yang berisi tentang JAI sebagai aliran menyimpang, maka berimplikasi kepada munculnya tindak kekerasan. Data yang diperoleh Sulhan, pada tahun 2002, tidak kurang 38 rumah pengikut JAI dibakar dan masjid pun dibakar. Tahun 2004, dua musalla (at-Taqwa dan al-Hidayah) dibakar di saat salat tarwih dan tadarus. Tanggal 23/12/2002, PAKEM memerintahkan Polres, Departemen Agama, dan Camat Jalaksana untuk menyelidiki Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari Ahmadiyah, melarang membuat KTP, dan melarang menikahkan orang Ahmadiyah. Tahun 2002, terdapat 150 orang Ahmadiyah yang menikah di luar Kuningan. Ahmadiyah posisi minoritas di Kab. Kuningan, tetapi mayoritas di Desa Manis Lor. Menu-rut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kuningan tahun 2004, bahwa jumlah penduduk Desa Manis Lor sebanyak 4.393, lebih dari 3000 penduduk berhaluan Ahmadiyah. Meskipun demikian, akar pemicu konflik di Kuningan menurut analisis Sulhan, karena (1) perbedaan interpretasi tafsir agama, (2) bias kepentingan politik, (3) rebutan pengaruh dan aset ekonomi, (4) tak ada ruang dialog, (5) bias dari ketakutan the others, (6) bias ketakutan budaya, (7) hegemoni dan kuasa mayoritas terhadap minoritas, dan (8) hi-langnya solidaritas masyarakat.

Dari temuan-temuan di atas, menjadi penting untuk dilakukannya kajian Ahmadiyah di Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah.

Kerangka TeoriKonflik biasanya muncul karena adanya perbedaan kepentingan atau ke-

tika terjadi pertemuan (crash) yang bertentangan antara dua belah pihak/ke-lompok karena persaingan atau kepentingan yang berbeda. Kepentingan Uni-versal (meliputi rasa aman, kebahagiaan, harkat kemanusiaan yang bersifat fisik, dan sebagainya), Kepentingan Spesifik, berupa kemerdekaan, dan Ke-pentingan Prioritas, berupa kemauan. (Pruitt dan Rubin, 2004:21)

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus

�3Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

moh. Rosyid, m.Pd.

Kepentingan Universal dalam penelitian ini memiliki arti tidak timbul rasa aman dalam beragama jika ajaran agama yang dipeganginya dileceh-kan oleh pihak lain yang seagama, apalagi beda agama. Penelitian ini lebih terfokus pada perasaan beragama yang dirugikan oleh kelompok lain yang dipicu oleh penafsiran ajaran agama yang melenceng.

Agar tidak terjadi konflik menurut Pruitt dan Rubin (2004:4), perlu ada lima strategi yakni (i) contending, solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain, (ii) yielding, menurunkan aspirasi diri dan bersedia menerima harapan yang diinginkan, (iii) problem solving, mencari alterna-tif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak, (iv) with drawing (menarik diri), memilih meninggalkan situasi konflik secara fisik maupun psikis, dan (v) inaction, tidak melakukan apa pun. Komunitas Ahmadiyah di Kota Ku-dus dalam berinteraksi sosial jika menghadapi problem dengan pihak lain yang mengarah konflik, langkah yang dilakukan hemat peneliti dalam deteksi dini, adalah menggunakan strategi (i) contending dan yielding (lebih bersi-fat mengalah), (ii) problem solving yakni mencari alternatif yang memuaskan bagi pihak lain dalam bentuk pendirian tempat ibadah menyendiri agar tak berinteraksi langsung dengan komunitas ‘di luarnya’, dan (iii) with drawing adalah meninggalkan situasi konflik secara fisik dan psikis dengan cara tidak melakukan kegiatan yang bersifat kolosal.

Dengan pilihan strategi itu, Ahmadiyah Kudus bisa “terhindar” dari pra-sangka negatif dari kelompok mayoritas.

Prasangka menurut Jhonson dan Zastrow (dalam Liliweri, 2005:203), disebabkan oleh adanya (1) gambaran perbedaan antarkelompok, (2) nilai bu-daya yang dimiliki kelompok mayoritas sangat menguasai kelompok minori-tas, (3) stereotip antaretnik, (4) kelompok etnik atau ras yang merasa superior sehingga menjadikan etnik lain inferior. Dalam penelitian ini munculnya pra-sangka berdasarkan deteksi dini peneliti karena nilai beragama (ajaran) dari kelompok mayoritas menguasai kelompok minoritas dan perasaan kelompok mayoritas merasa superior di hadapan kelompok minoritas karena dominasi jumlah. Menurut Zastrow (dalam Liliweri, 2005:204), prasangka seperti itu bersumber dari (1) proyeksi (upaya mempertahankan ciri kelompok etnik/ras secara berlebihan), (2) frustasi, agresi, kekecewaan yang mengarah pada sikap menentang, (3) ketidaksamaan dan kerendahdirian, (4) kesewenang-wenangan, (5) alasan historis, (6) persaingan yang tidak sehat dan menjurus ke eksploitasi, (7) cara sosialisasi berlebihan, (8) cara memandang kelompok lain dengan pandangan sinis.

Sumber prasangka dalam penelitian ini, hemat peneliti karena (i) keke-cewaan yang mengarah pada sikap menentang oleh kelompok mayoritas ter-hadap minoritas (Ahmadiyah) karena ajaran yang menyimpang dari frame ajaran Islam, hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya SKB, (ii) ketidaksa-maan; ketidaksamaan dalam hal prinsip ajaran (Islam) yang dipegang oleh Ahmadiyah, dan (iii) cara memandang kelompok lain dengan pandangan si-nis, seperti tuduhan sebagai kelompok sesat.

�4 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus moh. Rosyid, m.Pd.

Istilah sesat atau sempalan (sekte/sektarian) merupakan sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap aneh, menyimpang dari akidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat, sekaligus menyim-pan penafsiran negatif berupa protes, pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Gerakan sempalan diidentikkan dengan gerakan yang mengancam stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya. (Bruinessen, 1999:242) Batasan sesat menurut versi MUI hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) tang-gal 4 s.d 6 November 2006 di Jakarta terdapat sepuluh poin (1) mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam, (2) meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syarak, (3) meyakini turunnya wahyu sesudah al-Qur’an, (4) mengingkari autentisitas dan kebenaran al-Qur’an, (5) menaf-sirkan al-Qur’an yang tidak berdasar kaidah tafsir, (6) mengingkari kedudu-kan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam, (7) menghina, melecehkan, dan/atau merendahkan nabi dan rasul, (8) mengingkari nabi SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, (9) mengubah, menambah, dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat, dan (10) mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i.

Faktor munculnya aliran sesat menurut Mahally disebabkan oleh tiga hal yakni kurangnya perhatian tokoh agama, penggagas aliran sesat mencari popularitas dan keuntungan pribadi, dan boleh jadi muncul sebagai grand design pihak asing untuk menghancurkan akidah umat Islam. Pernyataan yang ketiga ini direspon oleh Pradana bahwa pernyataan tersebut tidak per-nah terbukti secara kongkrit dan otentik tentang sinyalemen tersebut. (Ma-hally, 2007:4)

Analisis Pradana, munculnya aliran sesat menurut Peter Clarke (dalam Mahally, 2007:4) diakibatkan oleh gerakan protes yang dilakukan oleh ge-rakan sempalan terhadap hegemoni kelompok agama mainstream yang berkolaborasi dengan kekuatan politik yang berusaha memonopoli kehidup-an agama suatu masyarakat dalam memberlakukan sistem kepercayaan dan praktik keagamaan mereka. Jika analisis itu benar, hendaknya Islam main-stream sepatutnya melakukan instropeksi atas doktrin, kepercayaan, praktik keberagamaan, dan dakwah yang selama ini tidak lagi mampu menarik audi-ens. Apakah kelahiran Ahmadiyah karena adanya ketegangan seperti itu ?

Dari sejarah kelahirannya, Ahmadiyah tidak dapat dipisahkan dengan gerakan orientalisme dan kolonialisme di Asia Selatan. Tokoh orientalis, Say-yid Ahmad Khan, akhir abad ke-19 memprakondisikan kehidupan masyarakat India dihadapkan gagasan yang menyimpang Islam. Didukung oleh kolonial Inggris yang mengeksiskan dirinya sebagai kolonial dengan mengadu domba masyarakat, sehingga 23 Maret 1889 mendirikan gerakan keagamaan baru yang dinamakan Ahmadiyah. Agar gerakan mendapat wibawa dari masyara-katnya, ditunjuklah keluarga bangsawan India keturunan Kerajaan Moghul, putra pasangan Mirza Ghulam Murtadha dengan Ciraagh Bibi, dialah Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908). Nenek moyangnya mempunyai hubungan ke-

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus

�5Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

moh. Rosyid, m.Pd.

luarga dengan Zahiruddin Muhammad Babur, pendiri Dinasti Mogul (1526-1530). Ayahnya seorang hakim pemerintah kolonial Inggris di India. Ghulam dilahirkan pada 13 Februari 1839 M/1255 H di Desa Qadian, Punjab, India dan wafat di Qadian 26 Mei 1908 M/1326 H.

Dalam Ensiklopedi Islam, Ghulam sejak kecil mendapatkan pendidikan agama secara tradisional dari keluarganya dan menyukai meditasi sejak ke-cil, sehingga ia mengaku sering mendapat petunjuk langsung dari Allah SWT, seperti mendapat makrifat dalam dunia sufi, meskipun ia tidak pernah dike-nal sebagai sufi atau murid dari seorang guru sufi. Ketika berusia 40 tahun (1880), ia menulis buku Barahini Ahmadiyah (argumentasi Ahmadiyah) yang berisi antara lain pengakuan dirinya sebagai seorang al-Mahdi. Pada masa mudanya, ia pernah bertempat tinggal di Sialkot (India) mengikuti ayahnya yang sedang menyelesaikan perkara tanah. Di sinilah ia berkenalan dengan rang-orang Kristen mempelajari kitab sucinya, Injil dan menyaksikan lang-sung betapa gencarnya misi kristenisasi. Di tempat ini pula, ia membaca ko-mentar-komentar Sir Sayid Ahmad Khan antara lain mengenai genesis dan tafsir al-Quran.

Ahmad kemudian mengkritik tafsir al-Quran karena ia memandang tafsir itu menggunakan pendekatan netralistik (hukum alam, misalnya, ma-laikat ditafsirkan dengan fungsi hukum alam). Menurutnya, tulisan Ahmad Khan terlalu apologetik dan membanggakan kejayaan masa lampau, padahal yang harus dihadapi adalah keadaan obyektif masa kini. Ketika ayahnya wa-fat (1876), Ahmad kembali ke Qadian mengurus tanah milik keluarganya dan meneruskan kebiasaan lamanya yaitu meditasi. Tahun 1877, di Punjab, India, ia menyaksikan kebangkitan Arya Samaj dan Brahma Samaj, yaitu gerakan kesadaran umat Hindu. Akibat dari peristiwa di Sialkot dan Punjab tersebut, menimbulkan semangat Ahmad untuk membangkitkan suatu gerakan dalam Islam. Pada 4 Maret 1889, Ahmad mengumumkan dirinya menerima wahyu langsung dari Allah SWT yang menunjuk dirinya sebagai Al-Mahdi dan mem-beri petunjuk agar manusia melakukan baiat kepadanya. Baiat pertama di-lakukan kepada 20 orang pengikutnya di Ludiana, dekat Qadian, India. Salah seorang di antara mereka adalah Maulwi (gelar kehormatan paduka/yang mulia) Nuruddin, yang kelak menjadi khalifah pertama sepeninggal Ahmad. (Republika, 18/1/2008)

Keberadaan Ghulam sebagai seorang da’i menjadi tenar di tengah ma-syarakatnya, sehingga memproklamirkan diri sebagai pembaru (mujaddid) dan bergulir menjadi mahdi al-muntazhar dan al-masih al-mau’ud. Tahun 1876, ia mengaku dirinya sebagai nabi yang kenabiannya lebih tinggi daripada Nabi Muhammad SAW dan mengaku menerima wahyu dari Tuhan dalam ba-hasa Inggris, Wahyu tersebut dikumpulkan dalam sebuah kitab yang disebut tadzkiroh. (Zara, 2007:57)

Dalam perjalanannya, Ahmadiyah terpilah mejadi dua pilahan yakni Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qadian berpusat di Qadian, India, berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad

�6 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus moh. Rosyid, m.Pd.

adalah nabi. Se-dangkan Ahmadiyah Lahore yang berpusat di Lahore, berpendapat Mirza Ghulam adalah mujadid (pembaru), bukan nabi. Pada awalnya, Mirza mengaku sebagai mujadid. Pada tanggal 4 Maret 1889, Mirza mengaku dan mengumumkan dirinya menerima wahyu langsung dari Tuhan yang menunjuknya sebagi al-Mahdi al Ma’huud (Imam Mahdi yang dijanjikan) agar umat Islam berbai’at kepadanya. Tanggal 23 Maret 1889 Mirza menerima bai’at dari 20 warga Kota Ludhiana, di antara yang membai’at adalah Hadrat Nurudin yang kelak menjadi Khalifah al-Masih I, pimpinan tertinggi Ahmadiyah. Tahun 1890, Mirza mengaku dirinya sebagai al-Mahdi, mendapat wahyu dari Allah. Ia menyatakan bahwa Nabi Isa AS (yang dipercaya umat Islam dan umat Kristen bersemayam di langit) telah wafat, janji Allah untuk mengutus Nabi Isa kedua kalinya ke dunia dengan cara menunjuk Mirza sebagai al-Masih al-Mau’ud (al-Masih yang dijanjikan). Menurut pengakuan pengikut Ahmadiyah, Nabi Isa AS setelah dipaku di palang salib oleh kaum Yahudi, tidaklah mati tetapi hanya pingsan. Sesudah sembuh, beliau menyingkir dari Palestina ke daerah timur bersama sepuluh suku Israel lainnya. Selanjutnya, Nabi Isa sampai di Kashmir dan wafat, ia dikuburkan di Khan Yar Street Srinagar, dan sampai kini, kuburan itu masih ada. Dengan pengakuan ini, maka menurut Ahmadiyah dalam diri Mirza Ghulam Ahmad terdapat dua personifikasi yaitu al-Masih (yang dijanjikan) dan al-Mahdi (yang dinantikan). Tahun 1901, Mirza mengaku dirinya diangkat Allah sebagai nabi dan rasul (Republika, 15/10/2010).

Kedatangan Aliran Ahmadiyah di IndonesiaKehadiran aliran Ahmadiyah di Indonesia adalah atas prakarsa tiga

pemuda yang baru berusia 16 s.d 20 tahun (Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nu-ruddin, dan Zaini Dahlan) asal Minangkabau, Padang, yang tergabung dalam Sumatera Thawalib. Atas saran gurunya yaitu Zaenuddin Labai El-Junusi dan Syekh Ibrahim Musa Paraek, ketiga pemuda tersebut yang semula ingin be-lajar ke Universitas Al-Azhar, Mesir, diarahkan untuk pergi dan belajar ke Hindustan, India, dengan pertimbangan, Hindustan adalah pusat reformasi dan modernisasi Islam dan banyaknya perguruan tinggi dan tokoh Islam yang berkualitas. Setelah di Hindustan, mereka bertiga melanjutkan perjalanan ke Kota Lahore, selanjutnya hijrah ke Qadian. Tahun 1923, ketiga santri dibaiat oleh khalifah pertama Ahmadiyah India, Hadhrat Hafiz H.Hakim.

Selanjutnya, bertiga pulang ke tanah air sekaligus mensyiarkan Ahmadi-yah di kota kelahirannya. Agar masyarakat yakin atas keberadaan Ahmadiyah di muka bumi ini, ketiga santri tersebut menghadirkan mubaligh dari India, Maulana Rahmat Ali, untuk tabligh di Padang. Tahun 1924, muballigh Ah-madiyah asal Lahore bernama Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad datang ke Kota Yogyakarta. Bahkan, sekretaris Muhammadiyah Yogyakarta, Minhadjurrahman Djojosoegito, mengundang Mirza dan Maulana untuk ber-pidato dalam muktamar ke-13 Muhammadiyah.

Akan tetapi, dalam perjalanannya, pada tahun 1929, ketika diadakan muktamar Muhammadiyah ke-18 di Kota Solo, disepakati oleh forum mukh-

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus

�7Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

moh. Rosyid, m.Pd.

tamar Muhammadiyah bahwa orang yang percaya adanya nabi sesudah Nabi SAW adalah kafir. Dengan fatwa itulah, Djojosoegito meninggalkan Ahmadi-yah dan membentuk gerakan Ahmadiyah Indonesia tanggal 4 April 1930. Ta-hun 1953, Presiden Soekarno menyetujui aliran Ahmadiyah berbadan hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.JA.5/23/13 13 Maret 1953. (Zara, 2007:61)

Metode PenelitianLokus penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kudus, di sebuah Dukuh X.

Anggota komunitasnya berjumlah 40 pengikut (Suara Merdeka, 11/6/2008). Data MUI Kabupaten Kudus tahun 2011, jumlah pengikut Ahmadiyah di Kudus sebanyak 10 KK (Suara Merdeka, 2/3/2011) sebagaimana pendataan penulis.

Pengumpulan data dilakukan dalam bentuk wawancara/pencatatan, pengamatan terlibat, dan analisis antarkomponen. Objek yang dijadikan sumber data ialah ketua dan anggota komunitas Ahmadiyah Kota Kudus, tokoh agama masyarakat Kudus (non-Ahmadiyah), tokoh masyarakat (non-Ahmadiyah) di sekitar pengikut Ahmadiyah Kudus. Setelah data terkumpul, berikutnya dilakukan analisis kualitatif deskriptif.

teMuAn PenelitiAn

Kehadiran Aliran Ahmadiyah di Kota KudusAda dua versi mengenai kehadiran aliran Ahmadiyah di Kota Kudus di

balik tokoh Surosamsuri, seorang ‘ahli pengobatan tradisional’ (orang pinter) dari Desa Gabus, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Te-ngah. Versi pertama, diawali dari seorang penduduk yang bernama Sukardi (warga Kudus) mencari ’jalan hidup’ lahir dan batin. Pertemuan dengan Surosamsuri diberi ’jalan hidup’ dan cocok dalam hati. Jalan hidup itu, diawali ketika Sukardi bertemu dengan Suparmin (warga Pati), pedagang makanan (kerupuk) keliling di Kudus. Semula Sukardi tidak tahu bahwa Suparmin dan Surosamsuri pemeluk Ahmadiyah. Setelah ada kecocokan, interaksi dan pendalaman keahmadiyahan dijalankan dengan dalih (1) segala sesuatunya menuju kebaikan, (2) tetap berbuat baik dengan sesama, (3) nabi Muhamad adalah nabi terakhir, (4) berpedoman pada al-Quran dan hadis, (5) sadar adanya nubuwah, Allah menurunkan nabi selalu dipermasalahkan/dimusuhi umatnya, (6) Ahmadiyah akan loyal terhadap pemerintah, dan (7) adanya larangan berpolitik. Prinsip Sukardi sendiri dalam mengembangkan pada pihak lain, tidak mempengaruhi untuk mengikuti Ahmadiyah termasuk dengan isteri dan anak-anaknya karena pendirian tidak harus sama.

Versi kedua, dari Wakijan yang menerima ajaran Ahmadiyah dari Suro-samsuri tahun 1999 ketika mencari ’jalan hidup’ ketika menjadi tukang pijat di area wisata Kudus, bertemu Suparmin. Di tengah interaksinya, ia mencari sosok pencerah hidup. Oleh Suparmin diajak menemui Surosamsuri. Ketika

�8 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus moh. Rosyid, m.Pd.

berinteraksi dengannya, didapatkan informasi bahwa dewasa ini menapaki zaman akhir dengan bukti hamil di luar nikah menjadi tradisi, banyaknya bencana, orang lain menjadi saudara sedangkan saudara sendiri menjadi orang lain. Wakijan selain menjadi santri yang mengkaji al-Qur’an kepada ustadz ’Ahmadiyah’ di masjid Ahmadiyah Kudus setelah salat jamaah mahrib, juga menjadi anggota yasinan setiap malam Jum’at secara rutin yang berang-gotakan warga non-Ahmadiyah dengan jumlah anggota 27 orang dan jamiyah manaqiban setiap tanggal 11 (sebulan sekali) di tempat warga jamiyah non-Ahmadiyah secara bergantian.

Hingga awal tahun 2011, pengikut aliran Ahmadiyah di Kudus sebanyak 10 kepala keluarga. Dalam perjalanannya, aliran Ahmadiyah dapat mengem-bangkan eksistensinya karena mendapat respon dari lingkungannya. Hal itu terbukti diwakafkannya sebidang tanah berukuran 9x12 m dari warga (Bpk.Hendro) dijadikan masjid Ahmadiyah di Kudus. Untuk mengaktifkan pelak-sanaan peribadatan di masjid, mereka menunjuk seorang petugas masjid (menangani adzan dan bersih-bersih masjid) dari warga asli desa yang direk-rut menjadi anggota alirannya. Selain itu, agar pelaksanaan peribadatan lebih optimal, mereka menugaskan petugas (imam salat rawatib).

Dari 10 pengikut aliran Ahmadiyah di Kudus, memegangi aliran Ahmadi-yah karena imbas kekalahan pemilihan kepala desa (pilkades) 1996. Dengan mengandalkan dua faktor (kekalahan pilkades dan Islam abangan), membuat berseminya Ahmadiyah di Kudus. Siapakah mereka ? Mayoritas penduduk lokasi di mana Ahmadiyah eksis adalah petani, pedagang, dan wiraswasta, dengan kondisi perekonomian yang tak menduduki level kaya.

Aliran Ahmadiyah di Kota Kudus Pada dasarnya bahwa klaim aliran sesat pada Ahmadiyah bukan didasar-

kan pada kebenaran substantif, melainkan klaim kebenaran hegemonik. Artinya, klaim seperti itu tidak akan lahir dari kalangan minoritas terhadap mayoritas. Konsep sesat atau tidak sesat lebih banyak diukur dari kuantitas pendukung. Pernyataan tersebut, pada tataran realitas sepertinya ‘diugemi’ oleh pemeluk aliran Ahmadiyah di Kudus. Mereka memiliki strategi untuk ‘mengamankan diri’ kelompoknya, dengan memberikan pemahaman kepada warga non-Ahmadiyah bahwa alirannya tak sesat. Sebagai contoh, ketika ter-jadi ontran-ontran bahwa aliran Ahmadiyah dinyatakan sesat oleh MUI dan pada tataran arus bawah terjadi gejolak secara periodik, pascareformasi (ta-hun 1998), pengikut aliran Ahmadiyah di Kudus mensiasati untuk keamanan kelompoknya dengan cara (1) membuat selebaran tahun 2006 yang dibagikan kepada warga Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah bertuliskan: tuhannya sama, nabinya sama, (2) masjid yang mereka bangun pun diberi tempelan kalimat: laailaha illallah muhammdurrosulullah. Lafal jalalah tersebut baru dimuncul-kan di masjid setelah 10 tahun berdiri semenjak gejolak keahmadiyahan di Indonesia menjadi booming, (3) anggota Ahmadiyah menyatu dalam aktivitas kemasyarakatan dengan warga non-Ahmadiyah, seperti menjadi pedagang sebagai media bergabung bersama, berorganisasi keagamaan, dan bersosiali-

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus

��Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

moh. Rosyid, m.Pd.

sasi, (4) warga Ahmadiyah proaktif terhadap semua kebijakan pemerintah dan taat terhadap norma sosial yang berlaku di lingkungannya, (5) secara struktur geografis, pemeluk aliran Ahmadiyah bertempat tinggal menyatu di tengah kerumunan rukun tetangga (RT) masyarakat desa, dan (6) warga Ah-madiyah tidak pemicu pelanggaran norma hukum, norma sosial, dan norma lain dalam bermasyarakat.

Selain strategi yang dilakukan oleh pemeluk aliran Ahmadiyah, adem-ayemnya aliran Ahmadiyah di Kudus karena (a) jumlah pemeluknya hanya 10 kepala keluarga (KK) dari 4 ribu jumlah penduduk Desa (data diperoleh bulan Maret 2011). Mereka hanya mengandalkan sebuah masjid sebagai tempat beribadah dan petugas yang aktif mengelola masjid, sehingga perkembangan aspek kuantitas pemeluknya belum maksimal. (b) Dalam aktifitas beragama, mereka tak menampakkan ‘gebyar’ (show of force), sehingga tidak mengundang kecurigaan. Ketika mereka menjalankan salat lima waktu misalnya, tak memanfaatkan pengeras suara, dan lagi tidak pernah mengadakan ritual yang bersifat kolosal. (d) Di sisi lain, sikap keagamaan masyarakat umum kurang peduli terhadap fatwa MUI bahwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Kurang pedulinya masyarakat terhadap fatwa MUI dikarenakan oleh faktor diri pemeluk aliran Ahmadiyah yang tak kontraproduktif terhadap norma yang berlaku. Faktor lainnya karena keberagamaan masyarakat mensikapi aliran Ahmadiyah tak fanatis. Ketidakfanatisan itu bisa karena keberagamaan yang kurang mendalam atau sebaliknya, disamping karena kesibukan sehari-hari ‘ditelan’ aktivitas ekonomi (pedagang, petani, pengojek, dan sebagainya). Jadi, bukan karena tingginya rasa toleransi terhadap aliran yang (dianggap) sesat. (e) Di luar itu, adalah karena faktor struktur sosial masyarakat pedesaan wilayah wisata (lokasi berseminya Ahmadiyah di Kudus) tersebut mengalami pergeseran. Semula, pedesaan yang diselimuti ‘kabut’ pegunungan, sekarang telah menjadi areal wisata nasional dengan keberadaan makam wali. Hal ini berimbas pada gaya hidup dan pola pikir masyarakat yang terbuka dan tidak tradisional an sich lagi.

Tidak terjadinya konflik terbuka antara Ahmadiyah Kudus dengan warga muslim mayoritas (non-Ahmadiyah) bukan berarti adem-ayem dalam ber-interaksi, tetapi bisa jadi menyimpan api dalam sekam. Mengapa ? Karena pertama, komunitas Ahmadiyah menyendiri dalam melaksanakan ibadah keagamaan, hal ini berpeluang menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat di luar komunitas Ahmadiyah. Dalam beribadah, mereka tanpa menyertakan pengeras suara jika melaksanakan adzan dalam salat harian(bukan karena ti-dak memiliki, tetapi karena sikap menutup diri). Begitu pula pengajian rutin yang mereka laksanakan pun tanpa menggunakan pengeras suara, tidak seba-gaimana umat Islam Kota Kudus lazimnya. Kedua, tokoh Ahmadiyah setem-pat merupakan tokoh tim sukses pilkades tahun 1990-an yang terkalahkan. Karena posisi itu, bisa jadi masih menyimpan ‘masalah politik’ dengan tokoh pemenang pilkades. Ketiga, masyarakat di luar komunitas Ahmadiyah, meng-anggap tokoh Ahmadiyah menyendiri dalam kehidupan, hal ini imbas dari

100 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus moh. Rosyid, m.Pd.

kesenjangan interaksi. Keempat, tokoh Ahmadiyah yang juga menjadi PNS Dinas Pariwisata Kab. Kudus menjadi juru retribusi kawasan wisata. Job terse-but berpeluang menjadi ajang konflik berbasis ekonomi. Kelima, pada umum-nya adalah sensitif dan fanatis terhadap aliran yang memiliki ’warna’ baru, sebagaimana reaksi masyarakat Kota Kudus tahun 2006 berupa munculnya konflik kaitannnya dengan sentimen agama-kepercayaan yakni ketegangan antara warga Desa Getas Pejaten, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus dengan umat Kristiani. Konflik tersebut dilatarbelakangi oleh pemanfaatan rumah toko (ruko) di gedung IPIEMS di Jl. Agus Salim yang dijadikan tempat ibadah (gereja) pimpinan pendeta F. Iskandar Wibawa karena dianggap menyalahi fungsi. Bupati menerbitkan surat No.450/7777/11/2006 tgal 23/11/2006 agar menghentikan penggunaan ruko sebagai tempat ibadah. Untuk mengurangi tensi ketegangan, aparat Polres Kudus pun disiagakan (JP, Radar Kudus, 27/11/2006). Begitu pula munculnya jamaah dzikrussholikhin pimpinan Nur Rokhim di wilayah Rt. 06 Rw. 01 Desa Golantepus, Kec.Mejobo, Kudus, 2007. Karena sang tokoh mengakui bertemu dengan malaikat karena ketaatannya melakukan dzikir setiap malam. Konon menurut penuturannya, suatu malam dia ditemui cahaya mengajak ruh Nur Rokhim bersinggah pada rumah me-wah. Oleh Rokhim, cahaya dianggap sebagai bentuk malaikat. Pengalaman spiritual tersebut dipublikasikan melalui selebaran, sehingga (sebagian) ma-syarakat Kudus menganggap aliran sesat dan membuat tegangnya suasana desa. Agar permasalahan tak meruncing menjadi konflik, aparat desa dan ke-polisian mendamaikan kedua belah pihak di balai desa setempat (JP, Radar Kudus, 4 dan 8/9/2007).

PenutuP

SimpulanHadirnya ajaran Ahmadiyah di Kudus karena ”petualangan” seorang

warga yang sejak tahun 1989, mencari sandaran kehidupan lahir dan batin yang nyaman di balik kegundahan batin akibat tidak kokohnya memegangi syariat Islam. Semula orang tersebut beragama Islam, lalu berpindah menjadi Hindu, kemudian menjadi Islam Ahmadiyah. Adapun pemeluk Ahmadiyah lainnya, umumnya karena himpitan sumber ekonomi, lalu mencari petunjuk kepada ’orang pintar’. Ternyata, ‘orang pintar’ tadi adalah seorang dari Desa Gabus, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah yang berhaluan Ahmadiyah. Ajaran yang diterimakan padanya dipahami dan diyakini sehingga menjadi warga Ahamadiyah, meskipun bersosialisasi dan berinteraksi sosial dan ke-agamaan berkolaborasi bersama warga non-Ahmadiyah.

Pengikut aliran Ahmadiyah di Kudus belum terjadi konflik terbuka de-ngan masyarakat sekitarnya (non-Ahmadiyah) disebabkan, pertama, pengikut Ahmadiyah responsif dan dapat bercengkerama dengan baik bersama warga yang non-Ahmadiyah. Kedua, dengan jumlah yang minim (10 KK), mereka tak mempunyai aktifitas ‘besar’ penyulut kecurigaan. Ketiga, kondisi masyarakat

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus

101Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

moh. Rosyid, m.Pd.

setempat tak fanatis terhadap pemeluk ajaran lain. Meskipun demikian, tidak berarti masyarakat di daerah tersebut sudah terbebas dari konflik.

102 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus Wahab

DAFTAR PUSTAKA

Al-Badri, Hamka Haq. 1981. Koreksi Total terhadap Ahmadiyah. Jakarta: Yayasan Nurul Islam.

Harian Jawa Pos, Radar Kudus, tangga 8 September 2007.Harian Jawa Pos, Radar Kudus, tanggal 27 Nopember 2006).Harian Jawa Pos, Radar Kudus, tanggal 4 September 2007.Harian Republika, tanggal 15 Oktober 2010.Harian Republika, tanggal 18 Januari 2008.Harian Suara Merdeka, tanggal 2 Maret 2011.Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Ma-

syarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS.Mahally, AH. Pemicu Munculnya Aliran Sesat. Harian Republika, tanggal 9

November 2007.Mudzakkir, Amin. 2007. Menjadi Minoritas di Tengah Perubahan: Dinami-

ka Komunitas Ahmadiyah di Ciparay dalam Hak Minoritas Multikul-turalisme dan Dilema Negara Bangsa. Jakarta: Tifa.

Pruit, Dean G dan J.Z. Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sidiq, Ahamad dan Umi Masfiah. Organisasi Ahmadiyah Qadian di Sura-karta, dalam Analisa, Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Agama N0.21 Th XI April 2006.

Sulhan, Moh. Akar Diskriminasi Minoritas dan Pluralisme Agama Studi Ka-sus Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Kuningan. dalam Holis-tik, Journal for Islamic Social Sciences. Vol. 07, No.1, 1427/2006 STAIN Cirebon.

Van Bruinessen, Martin. 1999. Rakyat Kecil, Islam dan Politik. (Terj. Farid Wajidi). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Zara, M. Yuanda, dkk. 2007. Aliran-Aliran Sesat di Indonesia. Yogyakarta: Banyu Media.

Zulkarnain, Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.

Ahmadiyah di Kabupaten Kudus

103Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Wahab

PENGEMBANGAN DAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA

PADA SMA SWASTA DI PALANGKARAYA

Oleh WahaB**

* Drs. H. Wahab adalah peneliti bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Balai Litbang Agama Semarang

PENELITIAN

AbstrAct

The purpose of this study is to investigate the development and the imple-mentation of religious education curriculum developed by senior high schools (SMA) under religious foundations. This is a case study of SMA Muhammad-iyah I Palangkaraya. Research design applied in this study is Stufflebeam’s CIPP (Context, Input, Process, Product). The results how: 1) SMA Muham-madiyah I Palangkaraya develops not only curriculum designed by Ministry of National Education but also local religious education one (curriculum de-veloped by the foundation of Muhammadiyah); the way the school develops the curriculum can also be considered as especial because it provides its non-muslims students facilities for learning their religious teachings, 2) some supporting factors are the participation of the foundation, the principal, and the school committee in the curriculum implementation, and 3) the obstacle of the curriculum implementation is the absence of a particular place such as laboratory for religious education.Keywords: the development and the implementation of curriculum, reli-gious education

PendAhuluAn

Pendidikan agama di sekolah merupakan cara terkuat untuk memperta-hankan fitrah manusia memiliki hati sebagai sumber energi yang dapat meng-gabungkan dua kepentingan antara dunia dan akhirat. Menurut Schandel (dalam Agustian, 2005), menyatakan bahwa bahaya terbesar yang dihadapi oleh manusia adalah perubahan fitrah yang jalannya tidak sesuai dengan ke-hendak Tuhan. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu faktor yang sangat

104 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan Wahab

berpengaruh terhadap pelestarian fitrah manusia adalah melalui pelaksanaan pendidikan agama, baik yang diselenggarakan di rumah, masyarakat maupun sekolah.

Karena pentingnya pendidikan agama ini, pemerintah dalam strategi pembangunan nasionalnya meletakkan pendidikan agama pada urutan per-tama, yaitu pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia. Dalam pelak-sanaan pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia (UU Sisdiknas, 2003).

Sebagaimana dimuat dalam UU Sisdiknas pasal 37, kurikulum pendi-dikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama. Pembelajaran pendidikan agama dua jam adalah batas minimal yang harus dilakukan oleh setiap lembaga pendidikan formal dan UU Sisdiknas masih memberi ruang untuk menambah jam pelajaran agama sesuai dengan yang dibutuhkan dan memungkinkan untuk memerankannya antara teori dan praktek secara kom-prehensif.

Saridjo (Kompas, 2002) menyatakan bahwa yang menjadi prinsip utama bagi lembaga pendidikan formal adalah mengajarkan pendidikan agama. Ia menegaskan bahwa pasal 31 UUD 1945 ayat 3 mengikat semua lembaga pen-didikan untuk mengajarkan pendidikan agama. Hal ini disinyalir masih ter-dapat lembaga pendidikan swasta yang tidak mau mengajarkan pendidikan agama. Apabila pendidikan agama tidak diajarkan pada sekolah formal maka akan menambah kegamangan masyarakat tentang keberhasilan lembaga pen-didikan untuk mencetak generasi yang utuh, yaitu cakap dalam ilmu pengeta-huan dan memiliki nilai-nilai spiritualitas yang dapat dibanggakan.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sekolah-sekolah swasta yang be-rada di bawah yayasan keagamaan memiliki visi dan misi yang terkait dengan kesadaran akan pentingnya pendidikan agama. Artinya sekolah yang berada di bawah yayasan keagamaan memiliki visi sesuai dengan keyakinan yang dianutnya, meskipun sekolah tersebut sekolah umum. Visi dan misi ini men-jadikan masalah tersendiri bagi peserta didik yang memiliki keyakinan atau agama yang berbeda dengan visi dan misi sekolah. Padahal sekolah tersebut merupakan sekolah umum, bukan sekolah agama atau bukan sekolah dengan program keagamaan dan membuka secara luas bagi calon peserta didik tanpa syarat yang terkait dengan keyakinan. Sementara undang-undang mewajib-kan suatu lembaga pendidikan untuk memfasilitasi peserta didiknya sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Berdasar pada undang-undang dan fakta di lapangan, peneliti tertarik untuk mengkaji pengembangan dan pelaksa-naan kurikulum Pendidikan Agama pada SMA di bawah yayasan keagamaan. Peneliti melakukan riset dengan studi kasus pada SMA Muhammadiyah 1 Palangka Raya karena di SMA tersebut terdapat peserta didik dengan agama yang berbeda-beda

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimana pengem-bangan kurikulum pendidikan agama di SMA Muhammadiyah I Palangka

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan

105Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Wahab

Raya, (2) bagaimana pelaksanaan kurikulum pendidikan agama di SMA Mu-hammdiyah I Palangka Raya, (3) apa saja faktor pendukung dan penghambat pengembangan dan pelaksanaan kurikulum agama di SMA Muhammadiyah I Palangka Raya?

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui pengembangan kurikulum pendidikan agama di SMA Muhammadiyah I Palangka Raya, (2) mengetahui bagaimana pelaksanaan kurikulum pendidikan agama di SMA Muhammdiyah I Palangka Raya, (3) mengatahui apa saja faktor pendukung dan penghambat pengembangan dan pelaksanaan kurikulum agama di SMA Muhammadiyah I Palangka Raya.

kAjiAn teoritis

Pendidikan agama tidak hanya untuk membentuk peserta didik memi-liki pemahaman tentang ajaran agama yang luas dan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, tetapi pendidikan agama membentuk akhlak mulia sekaligus peningkatan spiritual. Dengan demikian peserta didik tidak hanya cerdas otaknya tetapi juga cerdas hatinya.

Menurut John Sealy yang dikutip oleh Ibnu Hadjar (dalam Thoha,2004), bahwa Pendidikan Agama dapat diarahkan untuk mengemban salah satu atau gabungan dari beberapa fungsi, yaitu: (1) Fungsi Konfensional, (2) Fungsi Neo Konfensional, (3) Fungsi Konfensional Tersembunyi, (4) Fungsi Implisit, (5) Fungsi Non Konfesional dan (6) Kesadaran.

Fungsi Konfensional di mana Pendidikan Agama dimaksudkan untuk meningkatkan komitmen dan perilaku keberagamaan peserta didik atau de-ngan kata lain Pendidikan Agama dimaksudkan untuk mengagamakan orang yang beragama sesuai dengan keyakinannya.

Fungsi Neo Konfensional di mana Pendidikan Agama dimaksudkan un-tuk meningkatkan keberagamaan peserta didik sesuai dngan keyakinannya. Namun demikian, Pendidikan Agama juga memberikan kemungkinan keter-bukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan ajaran agama lain. Pe-ngenalan ajaran agama lain adalah dalam rangka memperkokoh agama sen-diri atau meningkatkan toleransi beragama.

Fungsi konfensional tersembunyi di mana Pendidikan Agama menawar-kan sejumlah pilihan ajaran agama dengan harapan peserta didik nantinya akan memilih salah satunya yang dianggap paling benar atau sesuai dengan dirinya tanpa adanya arahan di antara salah satu di antaranya.

Fungsi implisit di mana pendidikan agama dimaksudkan untuk menge-nalkan kepada peserta didik ajaran agama secara terpadu dengan seluruh as-pek kehidupan melalui berbagai subjek pelajaran. Fungsi ini lebih menekan-kan pada nilai-nilai universal dari ajaran agama yang berguna bagi kehidupan manusia dalam berbagai aspek kehidupan

Fungsi non konfensional di mana pendidikan agama dimaksudkan se-

106 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan Wahab

bagai alat untuk memahami keyakinan atau pandangan hidup yang dianut oleh orang lain. Fungsi ini lebih menekankan bahwa Pendidikan Agama tidak memiliki peran “agamis” tetapi semat-mata untuk mengembangkan sikap to-leransi dalam rangka mengembangkan kerukunan antar umat manusia.

Kesadaran pendidikan agama merupakan bagian terpenting dalam ke-giatan proses pembelajaran di sekolah sehingga internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan. Pendidikan Agama bukan lagi tanggungjawab keluarga maupun masyarakat, melain-kan sekolah memiliki tanggungjawab yang penting dalam mengembangkan ajaran agama sekaligus mengemban visi untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Esa dan berakhlak mulia. Dengan demikian, Pendidikan Agama akan menghasilkan manusia yang jujur, ama-nah, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis, tidak terjadi perselingkuhan, dan produktif, baik dalam kehidupan personal mau-pun social.

Menurut Depdiknas (2006), pendidikan agama masuk dalam kelompok mata pelajaran dan akhlak mulia. Tuntutan visi ini mendorong dikembang-kannya standar kompetensi sesuai jenjang sekolah dengan ciri-ciri antara lain; 1) lebih menitikberatkan pada kompetensi secara utuh selain terfokus pada materi, 2) mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pen-didikan yang tersedia, dan 3) memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembela-jaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya pendidikan.

Metode PenelitiAn 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih dengan pertimbangan bahwa melalui pendekatan ini, peneliti mam-pu mengungkap hakikat yang sebenarnya tentang pengembangan dan pelak-sanaan pendidikan agama pada SMA swasta di bawah yayasan keagamaan.

2. Subjek Penelitian Subjek dari penelitian ini adalah pengurus yayasan, kepala sekolah,

komite sekolah, guru agama, dan peserta didik di SMA Muhammadiyah I Palangka Raya. Dipilihnya SMA Muhammadiyah I Palangka Raya, karena di SMA tersebut terdapat peserta didik yang memiliki keyakinan yang tidak sama dengan visi dan misi yayasan.

3. Desain PenelitianPenelitian ini menggunakan desain model CIPP (Context, Input, Process,

Product). Model analisis evaluasi ini untuk memeriksa persesuaian antara tu-juan pendidikan yang diinginkan dan hasil yang dicapai (Daryanto,1999).

Analisis context merupakan need assessment (kebutuhan) pengembang-

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan

107Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Wahab

an kurikulum dan implementasinya di wilayah target program. Sasaran evalu-asi mencakup: (1) persepsi yayasan, kepala sekolah, komite sekolah, dan guru agama terhadap visi dan misi sekolah, (2) persepsi yayasan, kepala sekolah, komite sekolah, dan guru agama terhadap keterlibatan pengembangan kuri-kulum agama di sekolah, dan (3) persepsi yayasan, kepala sekolah, komite sekolah, dan guru agama terhadap perangkat pembelajaran.

Analisis input ditekankan pada objek yang melaksanakan kebijakan pen-didikan agama, seperti pembuat kebijakan, pengelola sekolah, penyampai materi, dan penerima materi atau peserta didik.

Analisis process ditekankan pada bagaimana pelaksanaan atau imple-mentasi dari pengembangan kurikulum pendidikan agama di kelas maupun di luar kelas.

Analisis product ditekankan pada implikasi atau hasil yang dicapai dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama.

4. Teknik Pengumpulan Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara, observasi, telah dokumen, dan angket.

5. Teknik Analisis DataSesuai dengan karakteristik penelitian yang dilakukan, data yang dihasil-

kan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif model in-teraktif yang secara simultan terdiri atas tahapan: (1) pengumpulan data, (2) pengklasifikasian data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan simpulan/veri-fikasi.

6. Kriteria Hasil Analisis Adapun kriteria hasil analisis adalah sebagai berikut. a. Pernyataan yang dimaknai dengan kriteria istimewa dikelompokkan

sebagai kekuatan pengembangan kurikulum dan pelaksanaan Pendidikan Agama pada subjek penelitian.

b. Pernyataan yang dimaknai dengan kriteria semenjana dan terbatas dikelompokkan sebagai kelemahan pengembangan kurikulum dan pelaksa-naan Pendidikan Agama pada subjek penelitian.

c. Pernyataan yang dimaknai dengan kriteria unggul menunjukkan ak-tivitas pengembangan kurikulum dan pelaksanaan Pendidikan Agama dilak-sanakan (wajar) sehingga tidak dianggap kekuatan atau pun kelemahan.

teMuA PenelitiAn dAn PeMbAhAsAn

1. Kondisi Peserta DidikSMA Muhammadiyah I Palangka Raya adalah sekolah yang terbuka dan

toleran. Toleransi ini ditunjukkan dengan keterbukaan sekolah menerima

108 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan Wahab

peserta didik dengan latar belakang agama yang berbeda atau tidak sesuai dengan visi dan misi yayasan. Pada bulan Februari 2010, ada dua orang yang tidak beragama Islam. Pada bulan Juli 2010, tinggal satu orang karena yang satu orang peserta didik pada saat penelitian ini dilakukan telah masuk Islam dengan tanpa paksaan.

2. Temuan dan Pembahasan Terkait dengan Analisis Konteksa. Visi dan Misi SMA Muhammadiyah 1 Palangka Raya

Karena visi dan misi merupakan fondamen dalam menentukan arah sekolah maka visi dan misi menjadi bagian penting dalam temuan penelitian ini. Visi SMA Muhammadiyah 1 Palangka Raya adalah: “Peningkatan dan Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang Berorientasi pada Iman dan Takwa Kepada Allah SWT”.

Sejalan dengan visi yang cita-citakan, misi dari SMA Muhammadiyah 1 Palangka Raya adalah sebagai berikut.1) Mencerdaskan siswa dengan berlandaskan iman dan takwa kepada Allah

SWT.2) Menyelenggarakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif untuk me-

ningkatkan prestasi.3) Mendorong dan mengembangkan potensi secara optimal.4) Menumbuhkan semangat pengamalan ajaran agama dan budaya bangsa

yang dapat dijadikan sebagai dasar kearifan untuk bertindak.5) Menyelenggarakan pembelajaran berbasis Imtak dan perkembangan

teknologi informasi untuk membuka wawasan ilmu pengetahuan dunia global.

Visi dan misi ini menjadi slogan pada SMA Muhammadiyah I Palangka Raya dan tertulis pada beberapa tempat di sekolah. Ini merupakan temuan penting karena visi dan misi ini menjadi terbuka dan diketahui oleh siapa saja seperti peserta didik, guru/pendidik, tenaga kependidikan, dan stakeholder sekolah.

Meskipun SMA Muhammadiyah I Palangka Raya berada di bawah yayas-an keagamaan dengan akidah Islam tetapi sekolah ini terbuka untuk semua agama. Berikut persepsi yayasan, kepala sekolah, komite sekolah, dan guru agama terhadap visi dan misi sekolah di SMA Muhammadiyah I Palangka Raya.

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan

10�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Wahab

Tabel 1. Persepsi Pengelola Sekolah dan Peserta Didik Terhadap Visi dan Misi Sekolah

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa persepsi pengurus yayasan, kepala sekolah, komite sekolah, guru agama, dan peserta didik terhadap visi dan misi adalah istimewa. Artinya persepsi tersebut dapat dikelompokkan sebagai kekuatan pengembangan kurikulum dan pelaksanaan pendidikan agama atau dengan kata lain pengurus yayasan, kepala sekolah, komite sekolah, dan guru agama memiliki persepsi yang sama tehadap visi dan misi. Persepsi tersebut misalnya “sekolah memberikan peluang bagi pendaftaran siswa dari semua latar keagamaan” untuk statemen no. 6 pada Tabel 1. Di lain pihak visi dan misi yayasan mengacu pada pengembangan kehidupan beragama yang di-yakini yayasan. Tetapi sekolah memberikan peluang bagi pendaftaran siswa dari semua latar keagamaan. Hal ini ditunjukkan dengan peserta didik yang memiliki keyakinan dalam agama yang berbeda meskiun dalam jumlah yang relative kecil.

No. PernyataanSkor Persepsi Jumlah/

Keterangan1 2 3 41. Visi dan misi yayasan men-

gacu pada pengembangan kehidupan beragama yang diyakini yayasan

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

2. Perumusan visi dan misi yayasan telah melihatkan stakeholder

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

3. Visi dan misi sekolah diarah-kan pada pengembangan kehidupan beragama yang diyakini yayasan

1/ 1 0/ 0

0/ 0

3/ 12

13/istimewa

4. Perumusan visi dan misi seklah telah melibatkan stakeholder

1/ 1 0/ 0

0/ 0

3/ 12

13/istimewa

5. Sekolah memberi peluang pendaftaran siswa yang ber-asal dari agama yang sesuai misi sekolah

0/ 0

0 /0

3/ 12

1/

6. Sekolah memberikan peluang bagi pendaftaran siswa dari semua latar keagamaan

0/ 0

1/ 2

0/ 0

4/ 12

14/istimewa

Rata-rata 14,5/istimewa

110 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan Wahab

b. Persepsi Yayasan, Kepala Sekolah, Komite Sekolah, dan Guru Agama Ter-hadap Keterlibatan Pengembangan Kurikulum Agama di Sekolah

Temuan yang terkait dengan pengembangan kurikulum disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2. Persepsi Yayasan, Kepala Sekolah, Komite Sekolah, dan Guru Agama

Terhadap Keterlibatan Pengembangan Kurikulum Agama di Sekolah

Data pada Tabel 2 diketahui bahwa persepsi pengelola sekolah terhadap konteks pengembangan kurikulum terkait dengan keterlibatan yayasan dalam penyusunan kurikulum termasuk kategori istimewa. Ini berarti bahwa persep-si tersebut dapat dikelompokkan sebagai kekuatan pengembangan kurikulum dan pelaksanaan pendidikan agama atau dengan kata lain pengurus yayasan,

No. PernyataanSkor Persepsi Jumlah/

Keterangan1 2 3 41. Kurikulum pendidikan agama

disusun dengan melibatkan pengelola yayasan, pengguna lulusan, pimpinan sekolah, dan tim guru

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

2. Kurikulum pendidikan agama disusun sesuai dengan visi dan misi sekolah

0/ 0

1/ 2

1/ 3

2/ 8

13/ istimewa

3. Sekolah menyediakan menu kurikulum pendidikan agama sesuai dengan kondisi ke-agamaan siswa

0/ 0

0/ 0

2/ 6

2/ 8

14/ istimewa

4. Kurikulum pendidikan agama yang tidak sesuai dengan visi dan misi sekolah, penyusuna-nnya diserahkan kepada guru pengampu

0/ 0

0/ 0

2/ 6

2/ 8

14/ istimewa

5. Kurikulum seluruh mata pelajaran dijiwai oleh nafas agama yang menjadi visi dan misi yayasan/sekolah

0/ 0

0 /0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

6. Kurikulum pendidikan agama disusun dengan berdasar-kan pada kondisi pluralitas kehidupan beragama warga sekolah

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/istimewa

Rata-rata 14,5/istimewa

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan

111Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Wahab

kepala sekolah, komite sekolah, dan guru agama memiliki persepsi yang sama tehadap pengembangan kurikulum sekolah. Persepsi tersebut misalnya “Kuri-kulum pendidikan agama disusun dengan berdasarkan pada kondisi plurali-tas kehidupan beragama warga sekolah” untuk statemen no. 6 pada Tabel 2. Persepsi ini sejalan dengan sekolah memberikan peluang bagi pendaftaran siswa dari semua latar keagamaan sebagaimana telah dikaji pada Tabel 1 no.6. Meskipun sekolah berada di bawah yayasan Islam, tetapi persepsi dari subjek penelitian berpendapat bahwa sekolah harus memfasilitasi peserta didik yang berbeda keyakinan, untuk belajar agama sesuai dengan keyakinannya.

c. Persepsi Yayasan, Kepala Sekolah, Komite Sekolah, dan Guru Agama Ter-hadap Perangkat Pembelajaran

Pengembangan kurikulum sekolah terkait dengan pengembangan per-angkat pembelajaran yang mendukung terlaksanakan kurikulum. Karena itu pengembangan perangkat menjadi penting sebagai pendukung terlak-sanakannya kurikulum. Berikut ini persepsi yayasan, kepala sekolah, komite sekolah, dan guru terhadap pengembangan perangkat pembelajaran.

Tabel 3. Persepsi Yayasan, Kepala Sekolah, Komite Sekolah, dan Guru AgamaTerhadap Perangkat Pembelajaran

No. PernyataanSkor Persepsi Jumlah/

Keterangan1 2 3 41. Penyusunan perangkat pen-

dukung kurikulum pendidi-kan agama (Silabus, RPP, dan buku ajar) dilaksanakan oleh tim guru di dalam sekolah

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

2. Sekolah memfasilitasi guru untuk menyusun bahan ajar pendidikan agama sesuai dengan konteks sekolah

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

3. Bahan ajar pendidikan agama menggunakan bahan ajar yang diperoleh dari penerbit

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

Rata-rata 14,5/istimewa

Tabel 3 di atas mendeskripsikan bahwa persepsi pengelola sekolah terhadap konteks pengembanganan bahan ajar, sarana dan/atau perangkat pendukung kurikulum pendidikan agama termasuk kategori istimewa. Ter-bukti dari ketiga item pertanyaan yang diajukan responden memberikan ja-waban ke dalam skor kategori isrimewa semuanya.

112 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan Wahab

3. Temuan dan Pembahasan Terkait Analisis InputTemuan yang terkait dengan analisis input ditekankan pada objek yang

melaksanakan kebijakan pendidikan agama, seperti pembuat kebijakan, pe-ngelola sekolah, penyampai materi, dan penerima materi atau peserta didik. Tabel 4 berikut adalah temuan yang terkait dengan pelaksanaan kurikulum pendidikan agama di SMA muhammadiyah I Palangka Raya.

Tabel 4. Persepsi Pengelola Sekolah Terhadap Terkait dengan Input

No. PernyataanSkor Persepsi Jumlah/

Keterangan1 2 3 41. Keterlibatan unsur pimpi-

nan sekolah dan memantau pelaksanaan pembelajaran agama

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

2. Keterlibatan pimpinan sekolah dalam pelaksanaan peribadatan keagamaan yang menjadi visi dan misi sekolah

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

3. Komite sekolah dalam me-nyediakn sarana dan prasa-rana peribadatan keagamaan

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

4. Keterlibatan guru dalam pelaksanaan keagamaan yang menjadi visi dan misi sekolah

0/ 0

0/ 0

2/ 6

2/ 8

14/ istimewa

5. Keterlibatan guru dalam memelihara sarana dan prasarana peribadatan ke-agamaan

0/ 0

0 /0

2/ 6

2/ 8

14/ istimewa

6. Ketersediaan jadwal untuk menjamin rutinitas periba-datan hari-hari raya ke-agamaan di sekolah

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/istimewa

7. Ketersediaan sarana dan prasana yang mendukung pendidikan agama dan peribadatan

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/istimewa

Rata-rata 15,14/istimewa

Pada Tabel 4, diketahui bahwa persepsi pengelola sekolah terkait dengan pelaksanaan kurikulum pendidikan agama termasuk dalam kategori istime-wa. Ini berarti bahwa persepsi tersebut dapat dikelompokkan sebagai input

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan

113Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Wahab

kekuatan pengembangan kurikulum dan pelaksanaan pendidikan agama atau dengan kata lain pengurus yayasan, kepala sekolah, komite sekolah, dan guru agama memiliki persepsi yang sama tehadap visi dan misi, adanya keterli-batan unsur pimpinan sekolah dalam memantau pelaksanaan pembelajaran agama, keterlibatan pimpinan sekolah dalam pelaksanaan peribadatan ke-agamaan yang menjadi visi dan misi sekolah, dan ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung pendidikan agama dan peribadatan merupakan bukti bahwa sekolah meiliki kekuatan pengembangan kurikulum dan pelak-sanaan pendidikan agama.

4. Temuan dan pembahasan Terkait Analisis ProsesBerikut ini disajikan temuan yang terkait dengan pelaksanaan kurikulum

pendidikan agama di SMA Muhammdiyah I Palangkaraya.Tabel 5. Persepsi Pengelola Sekolah dan Peserta Didik terhadap Proses

Pelaksanaan Kurikulum

No. PernyataanSkor Persepsi Jumlah/

Keterangan1 2 3 41 2 3 4 5 6 7

1. Toleransi warga sekolahyang memiliki keyakinan agama berbeda

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

2. Ketersediaan dana dan kesempatan untuk mengem-bangkan potensi pengajar pendidikan agama

0/ 0

0/ 0

2/ 6

2/ 8

14/ istimewa

3. Pengiriman siswa mengikuti lomba keagamaan yang sesuai dengan visi dan misi sekolah

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

4. Pengiriman siswa yang ber-keyakinan lain dalam mengi-kuti lomba keagamaan di luar sekolah

1/ 1 2/ 4

1/ 3

0/ 0

8/ terbatas

5. Pelaksanaan peribadatan ke-agamaan yang dilaksanakan harian

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

6. Pelaksanaan peribadatan ke-agamaan yang dilaksanakan mingguan

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/istimewa

114 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan Wahab

Berdasarkan data yang tertera dalam Tabel 5, menunjukkan bahwa per-sepsi pengelola sekolah SMA Muhammadiyah 1 Palangka Raya terhadap proses pelaksanaan kurikulum pendidikan agama termasuk dalam kategori istimewa. Ini berarti bahwa sekolah memiliki kekuatan untuk melaksanakan kurikulum yang ditunjukkan dengan adanya (1) pelaksanaan peribadatan yang diikuti oleh warga sekolah, (2) pengiriman siswa yang berkeyakinan yang berbeda (non Islam) untuk mengikuti lomba keagamaan di luar sekolah (non Islam), dan .

5. Temuan dan Pembahasan Terkait Analisis Produk Berikut disajikan temuan yang terkait dengan analisis produk. Secara

lengkap disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Persepsi Terhadap Produk Pelaksanaan Kurikulum

1 2 3 4 5 6 77. Pelaksanaan peribadatan ke-

agamaan yang dilaksanakan bulanan/tahunan

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/istimewa

8. Pelaksanaan peribadatan han-ya diikuti oleh warga sekolah yang seagama

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

Rata-rata 14,37/istimewa

Tabel lanjutan ....

No. PernyataanSkor Persepsi Jumlah/

Keterangan1 2 3 41 2 3 4 5 6 7

1. Pelaksanaan pendidikan agama yang berorientasi teoretis

0/ 0

1/ 2

1/ 3

2/ 8

13/ istimewa

2. Pelaksanaan pendidikan agama yang berorientasi pengembangan kecerdasan emosional

0/ 0

0/ 0

2/ 6

2/ 8

14/ istimewa

3. Pelaksanaan pendidikan agama yang berorientasi pengembangan kecerdasan sosial

0/ 0

0/ 0

2/ 6

2/ 8

14/ istimewa

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan

115Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Wahab

Berdasarkan data dalam tabel di atas memberikan deskripsi bahwa per-sepsi pengelola sekolah terhadap produk pelaksanaan kurikulum SMA Mu-hammadiyah 1 Palangka Raya termasuk istimewa. Artinya pelaksanaannya memiliki kekuatan untuk berkembang.

1 2 3 4 5 6 74. Pelaksanaan pendidikan

agama yang berorientasi pengembangan kecerdasan spiritual

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

5. Pelaksanaan pendidikan agama yang berorientasi pengembangan akhlak mulia

0/ 0

0 /0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

6. Pelaksanaan evaluasi pendi-dikan agama memperhati-kan perbedaan agama yang dianut siswa

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

15/istimewa

7. Pemberian kesempatan mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama yang dipeluk siswa bagi siswa yang beragama lain dari visi dan misi sekolah

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/istimewa

8. Pelaksanaan pendidikan agama yang diperuntukkan bagi seluruh siswa tanpa memperhatikan agama yang dianut siswa

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/istimewa

Rata-rata 14,87/istimewa

Tabel lanjutan ....

116 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan Wahab

Tabel 6. Persepsi Yayasan, Kepala Sekolah, Komite sekolah, Guru dan Peserta Didik terhadap Dampak Pelaksanaan Pendidikan Agama

No. PernyataanSkor Persepsi Jumlah/

Keterangan1 2 3 41. Peningkatan atmosfir kehidu-

pan beragama di kalangan siswa

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

2. Peningkatan atmosfir keidu-pan beragama di kalangan guru

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

3. Perbaikan kurikulum pendi-dikan agama

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

4. Peningkatan kualitas proses pembelajaran pendidikan agama

0/ 0

0/ 0

2/ 6

2/ 8

14/ istimewa

5. Peningkatan layanan kualitas kehidupan beragama pada siswa

0/ 0

0 /0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

6. Peningkatan kualitas layanan kehidupan beragama pada guru

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/istimewa

7. Peningkatan kecintaan dan kebanggaan siswa pada seko-lah

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/istimewa

8. Peningkatan animo pendaft-aran siswa baru

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

9. Peningkatan penerimaan lu-lusan oleh pengguna lulusan

0/ 0

0/ 0

0/ 0

4/ 16

16/ istimewa

10. Peningkatan kecerdasan emosi siswa

0/ 0

0/ 0

2/ 6

2/ 8

14/ istimewa

11. Peningkatan kecerdasan sosial siswa

0/ 0

0/ 0

2/ 6

2/ 8

14/ istimewa

12. Peningkatan kecerdasan spiritual siswa

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

13. eningkatan akhlak mulia siswa

0/ 0

0/ 0

1/ 3

3/ 12

15/ istimewa

Rata-rata 14,92/istimewa

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan

117Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Wahab

Berdasarkan data sebagaimana tertera dalam Tabel 6, menunjukkan bahwa persepsi pengelola yayasan terhadap dampak pelaksanaan pendidikan agama pada SMA Muhammadiyah 1 Palangka Raya termasuk dalam kategori istimewa. Ini berarti bahwa semua stakeholder merupakan kekuatan untuk memproduk dari pengembangan kurikulum agama di sekolah. Adanya (1) perbaikan kurikulum pendidikan agama, (2) peningkatan akhlak mulia, (3) peningkatan layanan dalam beragama, dan (4) pengembangan nuansa ke-agamaan, menunjukan bahwa produk kurikulum telah. berdamak pada stake-holder, khususnya terhadap peserta didik.

6. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Kurikulum Pen-didikan Agama

Faktor-faktor pendukung dalam pengembangan kurikulum adalah ad-anya kesepahaman yang sama di antara para pengelola sekolah termasuk stakeholdernya. Keteladanan dalam kehidupan beragama secara benar dalam melaksanakan ajaran Islam secara utuh, sehingga dalam kegiatan pembela-jaran antara teori dan praktek seimbang dan sesuai dengan ajaran maupun yang dilakssanakannya. Jumlah pelajaran pendidikan agama masih perlu di-tambah lagi.

Terdapat bebarapa hal yang menjadi hambatan pelaksanaan pendidikan agama pada SMA Muhammadiyah 1 Palangka Raya, yaitu: (1) sarana pendidi-kan agama, seperti belum terdapat laboratorium yang terkait dengan pendidi-kan agama, (2) Guru pendidikan agama belum beragama, dan (3) implemen-tatasi pendidikan agama ketika hendak menerapkan pendidikan agama non Islam, belum seutuhnya dapat diterapkan.

siMPulAn dAn rekoMendAsi

SimpulanBerdasarkan uraian tentang hasil penelitian dimuka dapat ditarik simpu-

lan sebagai berikut.a. Kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan oleh SMA Muham-

madiyah 1 Palangka Raya dikembangkan dengan mengacu pada kuriku-lum yang disusun olek Depdiknas ditambah dengan muatan keagamaan versi yayasan (Muhammadiyah). Pengembangan kurikulum agama disu-sun berdasarkan keyakinan peserta didik. Artinya sekolah memfasilitasi peserta didik yang berbeda keyakinan, untuk belajar agama sesuai dengan keyakinannya. Pelaksanaan kurikulum pendidikan agama yang dikem-bangkan oleh SMA Muhammadiyah 1 Palangka Raya menurut persepsi pengelola maupun peserta didik termasuk kategori istimewa dalam arti memiliki kekuatan pengembangan kurikulum dan pelaksanaan Pendidik-an Agama oleh SMA Muhammadiyah 1.

b. Faktor pendukung dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan oleh SMA Muhammadiyah 1 Palangka Raya adalah semua stakeholder mendorong pengembangan kurikulum dan pelaksanaan pen-

118 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan Wahab

didikan agama di sekolah dan memiliki persepsi yang sama terhadap pengembangan kurikulum agama di sekolah, dan member fasilitas pada peserta didik yang bebrbeda agama/akidah. Semantara faktor yang meng-hambat pelaksanaan kurikulum pendidikan agama adalah sarana pendi-dikan agama yang masih relatif terbatas.

RekomendasiBertolak dari hasil penelitian dimuka, kiranya perlu dikemukakan reko-

mendasi sebagai berikut.a. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama pada sekolah di

bawah yayasan keagamaan hendaknya menyediakan guru agama yang me-madai dan berperan serta dalam pengembangan kurikulum agama yang sesuai dengann keyakinan masing-masing peserta didik meskipun berbe-da dengan visi dan misi yayasan/seklolah.

b. Pemerintah perlu memantau sekolah-sekolah swasta umum yang ber-ori-entasi pada visi dan misi agama tertentu terhadap layanan peserta didik sesuai dengan keyakinannya yang mungkin berbeda dengan visi dan misi yayasan agar tidak melanggar hak asai manusia.

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan AgamaPada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan

11�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Wahab

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A. G. 2005, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Jakarta: Penerbit Arga

Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka CiptaDepartemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Kompetensi Mata Pelaja-

ran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah: Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas

----------------------, Permendiknas 2006 tentang SKI dan SKL 2006. Jakarta: Sinar Grafika.

-----------------------, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55, Tahun 2006 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.

Purwanto, N. 2000. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Thoha, C. 1996. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Pustaka Pelajar.

120 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

al i Khudr in

121Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

al i Khudr in

PELAKSANAAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

PADA MTs NEGERI YOGYAKARTA II

Oleh alI KhUdRIN**

*Drs. Ali Khudrin adalah peneliti bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balai Lit-bang Agama Semarang

PENELITIAN

AbstrAct

The purpose of this research is to investigate the implementation of Kuri-kulum Tingkat Satuan Pendidikan (School-Based Curriculum) in MTsN Yo-gyakarta II. Using descriptive qualitative method, the research successfully reveals that the MTsN II Yogyakrta provides some steps for implementing the School-Based Curriculum: preparation, implementation, and evaluation. The first step, preparation, is started from making rules, regulations, technical guidelines and socialization, continued with organizing documents I and II of the curriculum. The second stage is the implementation of the School-Based Curriculum itself. The result of the research shows that MTsN II Yogyakarta performs the curriculum according to the document I and document II. The last step is evaluation. Some supporting factors for the implementation of the curriculum are facilities and infrastructures, instructional media, teach-ing materials, learning resources, and qualified human resources. While the only inhibiting factor is the fact that some teachers find difficulties in applying multi learning media.

Keywords: School-Based Curriculum, curriculum, learning

lAtAr belAkAng MAsAlAh

Usaha peningkatan pendidikan di Indonesia terus dilakukan, salah sa-tunya adalah adanya perubahan kurikulum pada setiap dekade. Kurikulum disempurnakan sesuai dengan perkembangan jaman. Kurikulum sebagai sesuatu yang substansial dan tidak lagi dalam pengertian yang sempit yaitu hanya sebatas bahan atau materi pelajaran yang telah tersusun dalam sebuah buku paket, melainkan kurikulum adalah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pembelajaran di sekolah (Tafsir,1994).

Penyempurnaan kurikulum dilakukan dalam rangka peningkatan kuali-

122 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanPada MTs Negeri Yogyakarta II

al i Khudr in

tas pendidikan. Kurikulum yang saat ini sedang diterapkan pada satuan pendidikan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan program pembaharuan kurikulum yang memberi “ruang” lebih luas bagi otonomi pada tingkat satuan pendidikan dan tidak tergantung pada birokrasi. Penegasan itu tertuang dalam SNP (Standar Nasional Pendidikan) pasal 1 ayat 15 bahwa KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan, namun demikian tetap mengacu pada standar isi yang disusun oleh Badan Standar Nasional atau BSNP (Suparman,2006).

KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi pada satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing-masing. Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi satuan pendidikan untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, khususnya kurikulum. Meskipun satuan pendidikan memiliki otonomi dalam mengembangkan kurikulum (KTSP), namun pengembangan KTSP tidak boleh lepas dari Standar Nasional Pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah yang mencakup standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, dan standar penilaian pendidikan.

Salah satu satuan pendidikan yang harus menerapkan KTSP adalah ma-drasah. Kusumo (2006), mengkhawatirkan apabila KTSP diterapkan pada satuan pendidikan seperti madrasah, diduga akan muncul persoalan, misal-nya pada penetapan standar penilaian dan penerapan KTSP secara umum. Kekhawatiran ini wajar, karena sebagain besar madrasah, khususnya ma-drasah swasta yang jumlahnya cukup besar belum memiliki sumber daya yang memadai. Madrasah yang belum memiliki sumber daya yang memadai dalam mengembangkan KTSP biasanya mengikuti madrasah-madrasah yang telah dapat melaksanakan KTSP. Karena itu madrasah-madrasah yang bagus harus dipastikan dapat melaksanakan KTSP dengan baik dan benar. Untuk itu diperlukan kajian untuk mengetahui pelaksanaan KTSP di madrasah yang memiliki kategori baik (akreditasi A). Peneliti tertarik untuk mengkaji pelak-sanaan KTSP pada MTsN Yogjakarta II sebagai studi kasus dalam penelitian ini, Pengambilan MTsN Yogjakarta II didasarkan pada kenyataan bahwa MTsN Yogjakarta II telah mengimplementasikan KTSP.

Berangkat dari latar belakang permaslahan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (a) bagaimana pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada MTsN Yogjakarta II, dan (2) faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pelaksanaan KTSP di MTsN Yogjakarta II?

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) untuk mengetahui pelak-sanaan KTSP pada MTs Negeri Yogyakarta II, dan (2) untuk mengetahui fak-

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanPada MTs Negeri Yogyakarta II

123Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

al i Khudr in

tor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan KTSP pada MTs Negeri Yogyakarta II.

kAjiAn teoretis

1. Landasan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanUndang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanat-kan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang pendidik-an dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta berpedo-man pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). KTSP tersebut merupakan pedoman penyelanggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa se-tiap satuan pendidikan harus menyusun KTSP dalam penyelenggaraan pen-didikan.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dirancang untuk mengem-bangkan khasanah nasional yang berupa kharakteristik masing-masing satuan pendidikan dapat dipelihara dan ditumbuh-kembangkan, kurikulum disesuai-kan dengan memafaatkan seluas-luasnya potensi daerah, dan variasi tingkat kemampuan peserta didik memperoleh perhatian penuh. Untuk menjamin mutu minimal dari layanan pendidikan dengan KTSP yang bervariasi, Peme-rintah menetapkan delapan standar nasional pendidikan yang digunakan se-bagai acuan pengembangan kurikulum, yaitu Standar Isi,standar kompetensi lululsan,standar proses,tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasa-rana, pengelolaan, pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006, Men-teri Pendidikan Nasional telah menetapkan dua dari delapan standar yang direncanakan, yaitu: standar isi dan standar kompetensi lulusan (SKL), yang dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya. Standar isi untuk satuan pen-didikan dasar dan menengah ini mengatur tentang: (a) kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam penyusunan KTSP, (b) beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah, (c) komponen KTSP yang akan dikembangkan oleh satuan pendidikan ber-dasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak terpisahkan dari Standar Isi, dan (d) kalender pendidikan untuk penyelenggaraan pendi-dikan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Me-lengkapi peraturan-peraturan tersebut, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menerbitkan Buku Panduan Umum Penyusunan KTSP untuk jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kebijakan Pemerintah untuk tidak menyusun kurikulum pendidikan secara nasional dan lebih menyerahkan penyusunannya di tingkat satuan pendidikan merupakan pewujudan dari reformasi di bidang pendidikan yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

124 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanPada MTs Negeri Yogyakarta II

al i Khudr in

Pendidikan Nasional . Ini merupakan upaya untuk mewujudkan setidak-ti-daknya tiga strategi dari tiga belas strategi pembaharuan yang diamanatkan, yaitu: (a) pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, (b) pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; dan (c) pemberdayaan pe-ran serta masyarakat.

2. Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanDalam proses pendidikan, kurikulum merupakan alat untuk mencapai

tujuan pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan. Sebagai alat yang penting untuk mencapai tujuan, kurikulum hendaknya adaptif terhadap pe-rubahan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan serta canggihnya teknologi.

Penyusunan kurikulum merupakan kegiatan yang dinamis dan ber-kesinambungan yang dilakukan secara berkala. Saat ini tiap-tiap satuan pen-didikan dasar dan meneggah, termasuk madrasah diberi keleluasan untuk mengembangkan kurikulum satuan pendidikan. Kurikulum tersebut dikenal dengan KTSP, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Pembahasan tentang konsep KTSP dimulai dari pengertian KTSP. Menu-rut Depdiknas (2006), KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP memberi ruang yang luas bagi satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum-nya sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Setiap satuan pendidikan diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sendiri-sendiri, sehingga kurikulum antara satuan pendidikan yang satu dengan yang lain tidak harus sama, artinya boleh berbeda.

KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.

Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompe-tensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi po-kok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompe-tensi untuk penilaian.

KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite seko-lah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanPada MTs Negeri Yogyakarta II

125Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

al i Khudr in

serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP . KTSP inilah merupakan kurikulum yang lengkap yang disusun oleh satu-

an pendidikan (madrasah). KTSP ini kemudian dipergunakan sebagai pedo-man dalam penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi pada setiap tingkat dan/atau semester didasarkan pada standar isi dan standar kompetensi lulusan yang ditetapkan secara nasional dan telah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan.

Diakui, bahwa melalui KTSP ini lembaga pendidikan diberi keluasan un-tuk menyusun program pembelajaran sebagai karakteristik sekolah dan men-jadikan adanya tuntutan sumber daya guru dan pengelolaan yang baik. Namun demikian, paling tidak terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu, kurikulum, manajemen, administrasi pengelolaan, metode pengembangan pembelajaran, Fasilitas pembelajaran dan Evaluasi sistem pembelajaran.

Pada tataran praktis, kurikulum menjadi sesuatu yang sangat penting sehingga konsep yang dikembangkan harus operasional dan mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, paling tidak ada alasan mengapa kurikulum yang dikembangkan sekarang ini adalah Kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan atau lebih dikenal dengan KTSP. Salah satu alasanya adalah kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik, meskipun tetap memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Meskipun pada tingkatan satuan pendidikan masih banyak sekolah yang masih kesulitan menerjemahkan standar isi versi BNSP (Kompas, 2006).

Acuan dalam KTSP yang ditetapkan sesuai dengan BSNP adalah harus memperhatikan peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik, keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntu-tan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, agama, dinamika perkembangan global dan persatuan nasional dan nilai-nilai ke-bangsaan. Adapun mata pelajaran yang wajib ada adalah pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA, IPS, Seni dan buda-ya, Penjaskes, keterampilan / kejujuran dan muatan lokal (Muslih, 2007).

3. Manajemen KTSPManajemen adalah ilmu atau seni mengatur proses pemenfaatan sumber

daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efesien untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Hasibuan, 2005). Dalam konteks pendidikan beberapa dasar yang perlu diperhatikan, yaitu adanya kerjasama diantara ke-lompok orang dalam ikatan formal, adanya tujuan bersama serta kepentingan yang sama yang akan dicapai, adanya pembagian kerja, tugas dan tanggung-jawab yang teratur, adanya hubungan formal dan ikatan tata tertib yang baik,

126 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanPada MTs Negeri Yogyakarta II

al i Khudr in

adanya sekelompok orang dan pekerjaan yang akan dikerjakan dan adanya human organization.

Dalam manajemen pelaksanaan KTSP, dilakukan dalam proses pem-belajaran yang dimulai dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, peng-gerakan dan pengawasan atau kontroling. Perencanaan ini dilakukan untuk memproyeksikan tindakan apa yang harus dilakukan dalam proses pembela-jaran dengan KTSP.

Salah satu komponen dalam pelaksanaan KTSP selain manajemen adalah administrasi. Menurut Sudjana(2004) dengan mengambil pendapat Siagian, administrasi adalah suatu keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas alasan-alasan tertentu dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Administrasi pengelo-laan dalam pelaksanaan pendidikan adalah menyangkut arah, pengawasan dan pelaksanaan dari semua urusan yang bersangkutan dengan penyeleng-garaan sekolah, karena semua urusan sekolah adalah untuk penyelenggaraan pendidikan (Poerbakawatja, 1981). Dalam pengertian yang lebih luas, admin-istrasi pendidikan adalah keseluruhan proses yang menggunakan dan mengi-kutsertakan semua potensi yang terdapat pada unsur-unsur manusia, alat, keuangan dan sebagainya secara efektif dan efesien untuk mencapai tujuan pendidikan (Rifa’i,1982).

Langkah operasional dalam administrasi pendidikan dapat dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu diawali dengan merencanakan, mengorgani-sasikan, memerintah/mengarahkan, mengkoordinasikan dan memeriksa/-mengkontrol (Rifa’i:1982). Namun demikian, menurut Engkoswara yang dikutip oleh Sufyarma, bahwa adminsitrasi yang disejajarkan pengertiannya dengan manajemen ini memiliki fungsi dan ruang lingkup pada perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Perencanaan berkaitan dengan perumusan ke-bijakan awal sebagai pedoman dalam pelaksanaan. Pelaksanaan memerlukan pengawasan karena pengawasan atau penilaian untuk mengetahui kekurang-an atau kesenjangan (gap) (Sufyarma, 2003).

Metode PenelitiAn

1. Sasaran dan Pendekatan PenelitianSasaran penelitian ini adalah Madrasah Tsanawiyyah Negeri (MTsN) Yog-

yakarta II. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif dalam bentuk studi kasus. Pendekatan ini digunakan untuk mem-peroleh data yang lebih mendalam dan menyeluruh berkaitan dengan pelak-sanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

2. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara,

pengamatan dan telaah dokumen. Untuk memperoleh data yang lebih akurat digunakan teknik triangulasi data dengan melihat situasi sosial yang terdiri

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanPada MTs Negeri Yogyakarta II

127Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

al i Khudr in

atas tempat (place) pelaku (actors) dan aktivitas (activit) (Sugiyono,2008). Adapun data yang dikumpulkan, yaitu dokumen I dan dokumen 2 KTSP, bahan ajar, sumber dan media belajar, sarana-dan prasarana pembelajaran, dan data lain yang berkaitan kegiatan belajar mengajar (KBM).

3. Analsisi DataAnalisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan dua

tahap, yaitu pada saat penelitian berlangsung dengan mencoba mengumpul-kan data sekaligus mencoba mengaitkan antara temuan satu dengan temuan yang lain dan dilanjutkan dengan mempersempit fokus/kajian, mengem-bangkan pertanyaan analitik, dan menyusun komentar. Analisis tahap kedua setelah selesai dari lapangan. Hal ini merupakan akhir dari penelitian sekali-gus untuk menarik kesimpulan secara komprehensif. Adapun langkah-lang-kah yang dilakukan adalah dengan membuat kategori-kategori masalah mau-pun temuan-temuan dan menata sekuensi atau urutan penelaahannya

hAsil teMuAn 1. Tahap Persiapan KTSP

Tahap persiapan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada MTsN Yogyakarta II diawali dengan menyiapkan peraturan, pedoman dan juga petunjuk teknis pelaksanaan KTSP yang didasarkan pada peraturan yang diterbitkan oleh BSNP. Madrasah selanjutnya melakukan so-sialisasi KTSP kepada semua pendidik dan tenaga kependidikan. Penekanan pada sosialisasi adalah berusaha maksimal untuk memahami, dan melak-sanakan peraturan tersebut untuk kemudian dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang ada di madrasah.

Setelah soisalisasi, tahap berikutnya adalah penyiapan pelaksanaan di-lanjutkan dengan membentuk tim penyusun dokumen 1 KTSP. Penanggung jawab dari seluruh pelaksanaan KTSP adalah Kepala Madrasah dibantu de-ngan wakil kepala dalam mengelola persiapan penyusunan KTSP. Hal-hal yang disusun dalam dokumen I KTSP meliputi: (a) menyusun bagian penda-huluan KTSP (BAB I), yang terdiri dari latar belakang (dasar pemikiran pe-nyusunan KTSP), tujuan pengembangan dan prinsip pengembangan KTSP, (b) meyusun bagian Tujuan KTSP (KTSP), yang meliputi: tujuan pendidikan, Visi dan misi Madrasah, dan tujuan sekola, (c) menyusun Struktur dan Mua-tan KTSP, dan (d) menyusun kalender pendidikan.

Madrasah juga menyiapkan sumber daya secara individual atau secara kelompok kecil (sesuai rumpun pelajaran) untuk menyiapkan dokumen 2 KTSP, yang meliputi silabus, RPP, dan perangkat lainnya seperti LKS yang disesuaikan dengan kondisi local madrasah. Selain itu madrasah juga menyi-apkan sarana-prasarana untuk pelaksanaan KTSP. Sarparas ini disediakan guna lebih memperlancar pelaksanaan KTSP.

Persiapan dan pengelolaan terkait dengan persiapan pelaksanaan KTSP di MTsN Yogyakarta II telah diupayakan secara semaksimal, baik yang berkait-

128 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanPada MTs Negeri Yogyakarta II

al i Khudr in

an dengan peningkatan pada bidang akademik maupun non akademik untuk jangka panjang, menengah dan juga jangka pendek.

Dalam merancang persiapan KTSP disusun organisasi madrasah yang terdiri dari, Kepala Madrasah sebagai penanggung jawab umum, struktur berikutnya adalah TU, Wakaur Kurikulum, Kesiswaan, Sarpras, Humas dan Usbang. Dibantu juga dengan wali kelas, kepala unit perpustakaan, BK, ke-agamaan, dewan guru, siswa, dan juga karyawan madrasah. Madrasah juga melibatkan komite madrasah.

Dalam melakukan persipan KTSP, pihak madrasah berusaha semaksimal mungkin dalam melibatkan seluruh komponen dan stakeholder madrasah. Berkaitan dengan ketenagaan atau SDM, persipan KTSP didukung oleh ke-tersediaan SDM yang secara kuantitatif mencukupi. Sebagai contoh keadaan guru di MTsN Yogyakarta yang berjumlah 45 yang hampir 95 %. Secara kuali-tas akademik para pendidik di madrasah tersebut telah memiliki kamampuan dan kualitas yang relatif baik. Sedangkan untuk tenaga kependidikan keba-nyakan adalah masih tingkat SMA.

Secara singkat dalam tahap persipan pelaksanaan KTSP di MTs Yogja-karta II telah dihasilkan dokumen I dan dokumen II KTSP, meskipun ma-sih perlu dilakukan penyempurnaan secara terus menerus. Dalam dikumen I KTSP Dari struktur kurikulum yang disusun oleh MTsN terlihat PAI, Ba-hasa, Matematika, IPA Terpadu dan IPS Terpadu pada MTs tersebut di atas diperoleh gambaran bahwa alokasi waktu yang tersedia untuk pembelajaran kelima rumpun pelajaran tersebut. Kelimanya mempunyai alokasi rata-rata perminggunya.

PAI dalam satu minggu tatap muka rata-rata adalah dua jam pelajaran. Hal tersebut sesuai dengan setandar isi yang terdapat pada permendiknas No 22 tahun 2006 tentang setandar isi. Untuk mapel Bahasa—dalam hal ini ba-hasa Arab tidak termasuk dalam Rumpun Bahasa karena dimasukan dalam rumpun PAI—setiap minggu rata-rata pertemuan untuk rumpun bahasa di MTs ini adalah 4,5 jam. 5 jam untuk pelajaran bahasa Indonesia dan 4 jam untuk bahasa Inggris. Jika dibandingkan dengan kebijakan jam pelajaran yang terdapat dalam permendiknas No 22 tahun 2006 tentang setandar isi yang rata-rata 4 jam perminggunya, maka jumlah jam pelajaran rumpun Ba-hasa di MTs ini lebih 0,5 jam.

2. Tahap Pelaksanaan KTSP Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan pembelajaran di MTsN

Yogyakarta II tergolong baik, sesuai dengan dokumen KTSP yang telah disiap-kan. Hasil pengamatan di lapangan menujukkan bahwa guru telah menggu-nakan perangkat pembelajaran dengan baik. Guru juga melakukan berbagai variasi pembelajaran seperti diskusi, demonstrasi, unjuk kerja, tanya jawab, dan sebagainya. Begitu juga dalam penggunaan media pembelajaran seperti OHP dan LCD.

Dalam hal penilaian MTsN Yogyakarta juga telah melaksanakan keten-

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanPada MTs Negeri Yogyakarta II

12�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

al i Khudr in

tuan dari pemerintah yaitu adanya ulangan harian (UH), ulangan tengah se-mester (UTS), ulangan akhir semester (UAS) dan juga ulangan kenaikan kelas (UKK) sesuai dengan KTSP Dokumen I, termasuk juga pelaksanaan ujian na-sional (UN) dan ujian sekolah.

Selain pembelajaran regular di MTsN Yogyakarta II juga dilakukan remi-di bagi yang belum memenuhi ketecapaian maksimal dalam belajar dan juga pengayaan bagi mereka yang telah memenuhi ketercapaian belajar. Program-program tersebut telah sesuai dengan dokemen I dan II KTSP yang telah di-rancang.

3. Tahap EvaluasiEvaluasi KTSP dilakukan melalui supervise administrasi dan akademik,

pembinaan secara personal dan juga pemberian reward dan sanksi kepada yang bersangkutan. Semua itu dilaksanakan oleh pihak madrasah dalam rangka meningkatkan kualitas SDM sebagai pelaksanaan KTSP.

Untuk mensukseskan berbagai program yang telah dirancang, diorga-nisasi dan dilaksanakan, pihak madrasah melalui kepala madrasah dan juga komite sekolah melakukan kontrol terhadap pelaksanaan KTSP.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pelaksanaan KTSP telah berjalan sesuai dengan rencana. Meskipun demikian beberapa pelaksanaan KTSP ma-sih memerlukan penyempurnaan. Misalnya masih ada pendidik yang belum menguasai multimedia pembelajaran.

Hasil evaluasi program diukur secara akademik mauoun non akademik. Adanya pelaksanaan KTSP di MTsN Yogyakarta II jelas memiliki pengaruh bagi prestasi baik itu prestasi akademik maupun non akademik. Setelah penggunaan KTSP pencapaian KKM di MTsN Yogyakarta II meningkat. Hal tersebut jelas merupakan satu prestasi positif perlu dipertahankan. Selain itu, prestasi akademik siswa tergolong naik secara signifikan jika ukurannya adalah banyaknya siswa yang lulus dalam ujian nasional (UN).

Dalam bidang non akademik prestasi yang telah dicapai setelah pelaksa-naan KTSP belum optimal. Beberapa prestasi yang diraih baik dalam tingkat kota/kabupaten maupun provinsi menunjukkan adanya potensi kualitas yang cukup baik yang ada dalam diri siswa/siswi MTsN Yogyakarta II yang semua itu masih membutuhkan bimbingan dan arahan agar mencapai hasil yang lebih maksimal.

Sedangkan prestasi akademik dan non akademik bagi guru setelah pelak-sanaan KTSP terbilang cukup minim. Oleh sebab itulah diperlukan pening-katkan prestasi bagi guru-guru di MTsN Yogyakarta II baik dari sisi akademik maupun non akademik. Begitu juga prestasi sekolah/madrasah secara umum belum menunjukkan hasil yang maksimal. Diperlukan usaha yang lebih baik lagi dari semua komponen dan stakeholder di MTsN Yogyakarta II setelah pelaksanaan KTSP ini, agar ke depan mampu meraih prestasi akademik mau-pun non akademik yang lebih baik lagi, baik itu prestasi siswa, guru, maupun prestasi madrasah secara umum.

130 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanPada MTs Negeri Yogyakarta II

al i Khudr in

4. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelasksanaan KTSPTerdapat beberapa faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan

KTSP di MTsN Yogyakarta II. Faktor-faktor tersebut misalnya SDM (siswa, guru, karyawan, pengurus madrasah), sarana-prasarana, dan faktor eksternal (misalnya komite sekolah).

Di antara faktor pendukung pelaksanaan KTSP, misalnya dukungan dari pendidik dan tenaga kependidikan yang siap melaksanakan KTSP, stakehold-er madrasah yang siap mendukung kebijakan madrasah, dan dukungan dari pemerintah, dalam hal ini Kantor Departemen Agama Kota Yogyakarta. Fak-tor pendukung yang lain adalah tersedianya sarana dan prasarana yang me-madai, karena MTs merupakan MTs negeri yang telah terakreditasi A.

Beberapa faktor penghambat pelaksanaan KTSP, misalnya belum semua guru mampu menggunakan multi media pembelajaran, khsusunya guru-guru senior. Faktor penghambat yang lain adalah inovasi guru dalam mengem-bangkan pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum, seperti pendekatan pemcahan masalah dan pendekatan kontekstual belum sepenuhnya dapat diterapkan.

siMPulAn

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.1. Pelaksanaan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Mad-

rasah Tsanawiyyah Negeri (MTsN) Yogyakarta II berjalan dengan baik. Hasil penelitian diketahui bahwa dalam melaksanakan KTSP, MTsN Yog-yakarta II dilakukan melalui tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan evaluasi. Tahap persiapan diawali dengan menyiapkan peraturan, pedo-man, petunjuk teknis pelaksanaan, dan sosialisasi KTSP, dilanjutkan den-gan penyusunan Dokumen I dan Dokumen II KTSP. Tahap pelaksanaan merupakan tahap implementasi KTSP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa madrasah telah melaksankan KTSP sesuai dengan Dokumen I dan Dokumen II KTSP yang telah dirancang, dan tahap evaluasi KTSP.

2. Faktor yang mendukung keberhasilan pelaksanaan KTSP adalah dukung-an dari pendidik dan tenaga kependidikan yang siap melaksanakan KTSP, stakeholder madrasah yang siap mendukung kebijakan madrasah, dan du-kungan dari pemerintah (Kantor Departemen Agama Kota Yogyakarta). Faktor pendukung yang lain adalah tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Beberapa faktor penghambat pelaksanaan KTSP, misal-nya belum semua guru mampu menggunakan multi media pembelajaran, khsusunya guru-guru senior. Faktor penghambat yang lain adalah inovasi guru dalam mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan kuriku-lum, seperti pendekatan pemcahan masalah dan pendekatan kontekstual belum sepenuhnya dapat diterapkan.

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanPada MTs Negeri Yogyakarta II

131Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

al i Khudr in

DAFTAR PUSTAKA

Al Abrasy, Muhammad Atiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Terj. Bustami A Gani & Johar Bahry) Bulan Bintang. Jakarta. 1974.

Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, 2009. Perangkat Akreditasi SMP/MTs.

Djamaroh, B. Syaiful, 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta.

Hajar, Ibnu. dkk, 2007. Panduan Pendidikan dan Latihan Profesi Tenaga Pe-ngajar (PLPG). Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. 2007

Intani, N. Omi, 2006. (penyunting), Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Koesoemo, D. Kurikulum Berubah Lagi?, Kompas 29 September 2006.Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingakt Satuan Pendidikan, PT Remaja Rosda

Karya. Bandung.Muslich, Mansur. 2007. KTSP; Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Bumi

Aksara, Jakarta.Poerbakawaja, Soegarda. 1981. Ensiklopedi Pendidikan, Gunung Agung. Ja-

karta. Rifai’i, Moh. 1982. Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Jemmars. Ban-

dung.Sadirman, AM, 2001. Interkasi dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali Pers,

Jakarta. Setiawan, B. 2006. Manifesto Pendidikan di Indonesia, Ar Ruzz, Yogyakarta.Sudjana, 2004. Manajemen Program Pendidika, Falah Production. Bandung.Sudjana, Nana, 1989. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, CV. Sinar Baru.

Bandung. Sufyarma. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sugiyono, 2008. Metode Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif , dan

R&D, Afabeta. Bandung. Suparman, Kurikulum Satuan Pendidikan, Kompas, September 2006.Syah, M. 2000. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja RosdakaryaTafsir, A. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja

Rosda KaryaUno, B. Hamzah, 2003. Perencanaan Pmebelajaran, PT Bumi Aksara, Jakar-

ta.Usman, U, Moh, 2000. Menjadi Guru {rofesional, Bandung: Remaja Rosda-

karya.

132 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mukhtaruddin

133Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mukhtaruddin

PENELITIANPENGARUH PENDIDIKAN AGAMA

TERHADAP PERILAKU KEAGAMAAN PESERTA DIDIK SMA SWASTA

DI KOTA YOGYAKARTA

Oleh mUKhtaRUddIN**

* Drs. Mukhtaruddin adalah peneliti bidang pendidikan agama di Balai Litbang Agama Semarang

AbstrAct

The curriculum of Islamic education applied in private senior high schools is not the same from one to another because they are permitted to implement the curriculum legalized by the Ministry of National Education on one hand, and local curriculum (the curriculum issued by their own foundations) on the other; and the curriculum of each school has its own characteristics. The main purpose of this study is to determine whether there are significant differences, in terms of religious behaviours, of students who obtained a teaching curric-ulum designed by the foundations and the students who acquired learning with curriculum legalized by the Ministry of National Education. By taking a sample of 240 students from various private schools, the result of the study shows that, in terms of religious behaviours, those who obtained a teaching with curriculum of the foundations are better than that of students who ob-tained learning with the curriculum of the Ministry of National Education.

Keywords: the implementation of Islamic education curriculum, private se-nior high schools, religious behaviours.

PendAhuluAn

Pelaksanaan pendidikan agama merupakan kurikulum wajib yang harus dilaksanakan pada setiap satuan pendidikan sebagaimana termuat dalam UU Sisdiknas tahun 2007 pasal 37. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa kuri-kulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidik-an agama. Beban kurikulum yang ditegaskan dalam pendidikan agama tidak hanya ber-orientasi pada materi pelajaran dalam pengertian teoretis secara verbal, me-lainkan juga dalam pengertian praktis, yaitu peserta didik meng-alami proses

134 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik mukhtaruddin

perubahan terhadap perilaku sehingga pendidikan agama yang diberikan pada peserta didik dapat meningkatkan potensi spiritual.

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) diharapkan menghasil-kan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, bertakwa, dan berakhlak mulia, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan ke-hidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional, maupun global.

Karena pentingnya pembelajaran PAI pada jenjang pendidikan di SMA, maka SMA-SMA swasta yang di kelola oleh yayasan, biasanya merancang kuri-kulum PAI sesuai dengan visi dan misi yayasan. Meskipun demikian beberapa SMA yang bernaung pada yayasan non keagamaan menggunakan kurikulum PAI dari Depdiknas. Kurikulum PAI yang dirancang yayasan bia-sanya memi-liki jumlah jam pelajaran yang lebih banyak dan mata pelajaran PAI biasanya dipecah-pecah menjadi mata pelajaran Aqidah, Akhlaq, Quran/Hadist, Fiq-ih, dan Tarikh/SKI. Sementara pada kurikulum Depdiknas Aqidah, Akhlaq, Quran/Hadist, Fiqih, dan Tarikh/SKI termauat dalam satu kesa-tuan mata pelajaran PAI.

Implementasi kurikulum PAI di sekolah akan memberikan dampak ter-hadap perilaku keagamaan peserta didik. Perilaku keagamaan tersebut dapat berupa perilaku yang berkaitan dengan Aqidah, Akhlaq, Quran/Hadist, Fiqih, dan Tarikh/SKI. Namun demikian, implementasi kurikulum di sekolah yang dirancang oleh yayasan dan Depdiknas belum secara jelas dikaji seberapa jauh perbedaanya. Sementara implementasi kurikulum PAI keberhasilannya sulit diukur hanya dengan menggunakan angka atau skor. Di lain pihak hasil pembelajaran PAI terhadap perilaku keagamaan masih dipertanyakan.

Menurut Rahim (2001), di antara aspek yang menjadikan implementasi pendidikan agama masih dipertanyakan adalah karena adanya kenyataan peserta didik setelah belajar 12 tahun (SD, SMP, dan SMA) umumnya tidak mampu membaca Alquran dengan baik, tidak melakukan salat dengan tertib, tidak melakukan puasa di bulan Ramadhan dan memiliki akhlak yang kurang baik. Di samping itu, masih sering terjadi tawuran antar peserta didik yang tidak jarang menelan korban jiwa, dan masih banyaknya pelanggaran susila serta tingginya persentase pengguna obat terlarang dan minuman keras di kalangan anak sekolah. Kejaian tersebut terjadi khususnya di kota-kota be-sar, termasuk di Kota Yagyakarta. Padahal di Kota Yogyakarta terdapat SMA swasta seperti SMA Muhammadiyah, SMA PIRI, dan juga SMA swasta lain-nya yang menggunakan kurikulum PAI yang disusun oleh yayasan maupun kurikulum PAI yang dikembangkan Depdiknas.

Perilaku keagamaan sebagai dampak dari implementasi kurikulum PAI SMA, khususnya kurikulum PAI SMA swasta yang berbeda-beda di Yogyakar-ta perlu dilakukan kajian atau riset. Karena itu peneliti ingin mengkaji “Studi

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik

135Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mukhtaruddin

Komparasi Perilaku Keagamaan sebagai Dampak Pendidikan Agama pada SMA Swasta di Kota Yagyakarta” sebagai kajian dari Pengaruh Pendidikan Agama terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik.

Perilaku keagamaan peserta didik terkait dengan sejumlah pengetahuan yang telah diterima peserta didik. Peserta didik di kelas XII telah memperoleh pembelajaran PAI yang lebih banyak dibanding kelas XI dan kelas X. Namun demikian belum banyak riset yang mengukur perbedaan perilaku peserta didik ditinjau dari jenjang kelas sebagai bukti telah banyak menerima pem-beajaran PAI.

Dengan mengambil sampel penelitian di SMA Muhammadiyah dan SMA PIRI Yogyakarta, rumusan masalah dalam penlitian ini adalah (1) adakah perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik yang memperolah pembelajaran dengan kurikulum PAI yang dikembangkan oleh Yayasan Muhammadiyah dan kurikulum PAI yang dikembangkan oleh Yaya-san PIRI?, (2) adakah perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan anta-ra peserta didik kelas X, kelas XI, dan kelas XII pada SMA swasta di bawah yayasan berbasis keagamaan?, (3) adakah interaksi antara faktor jenjang ke-las dengan faktor pembelajaran PAI?

Tujuan penelitian ini adalah: (1) diketahuinya perbedaan perilaku ke-agamaan antara peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan kuri-kulum PAI Muhammadiyah dan kurikulum PAI dari yayasan PIRI, (2) diketa-huinya perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik kelas X, kelas XI, dan kelas XII pada SMA swasta di bawah yayasan berbasis keagamaan, dan (3) diketahuinya ada tidaknya interaksi antara faktor jenjang kelas dengan faktor pembelajaran PAI.

kAjiAn teoritis

1. Pentingnya Pendidikan Agama di SekolahSalah satu kekhasan dari kurikulum sekolah di Indonesia adalah terdapat

kurikulum agama pada semua jenjang satuan pendidikan. Hal ini diberikan karena agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat ma-nusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan, maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan pribadi menjadi sebuah keniscayaan yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat (Depdiknas, 2006).

Pendidikan Agama Islam (PAI) diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah Swt dan berakhlak mulia, serta ber-tujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis, dan produktif, baik personal maupun

136 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik mukhtaruddin

sosial (Depdiknas 2006). Pembelajaran PAI tidak lepas dari konsep belajar yang membawa perubahan perilaku (change of behavior) peserta didik. PAI di SMA/MA diberikan dengan tujuan untuk: (1) menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik ten-tang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt, dan (2) mewujudkan manu-sia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, disiplin, toleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.

Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi aspek-aspek: (1) Al Qur’an dan Hadits, (2) Aqidah, (3) Akhlak, (4) Fiqih, dan (5) Tarikh/Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Ruang lingkup PAI ini pada setiap satuan pendi-dikan dibelajarkan berbeda-beda. Bagi sekolah yang menggunakan kuriku-lum PAI Depdiknas ruang lingkup: (1) Al Qur’an dan Hadits, (2) Aqidah, (3) Akhlak, (4) Fiqih, dan (5) Tarikh/Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) ini dike-mas dalam satu kesatuan mata pelajaran yang dikenal dengan PAI (pendidkan Agama Islam. Sementara pada sekolah tertentu, khususnya sekolah yang ber-ada pada naungan yayasan keagamaan rinag lingup (1) Al Qur’an dan Hadits, (2) Aqidah, (3) Akhlak, (4) Fiqih, dan (5) Tarikh/Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di kemas sebagai mata pelajaran. Dengan demikian pada SMA tertentu menggunakan mata pelajaran Al Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, dan Tarikh/Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).

2. Perilaku KeagamaanImplementasi kurikulum PAI di sekolah akan memberikan dampak

perilaku keagamaan. Sebagai contoh sesorang ketika membaca ayat suci Alquran akan memberikan sikap dan perilaku seperti mencintai Alquran, ber-sih dan suci, menutup aurat, sopan, beradab, dan mendengarkan Alquran ke-tika dibaca, dan mentataburi Alquran (Cholis, 2004). Aspek perilaku ini tidak hanya sebatas ucapan, berbuatan, tetapi juga keyakinan. Karena itu, setiap ayat maupun setiap huruf dari Alquran membawa dampak terhadap perilaku orang yang mau mengamalkan.

Implementasi kurikulum PAI tidak hanya kurikulum tertulis, tetapi juga terdapat kurikulum yang tidak tertulis (hidden curriculum). Menurut Zamro-ni (2001), hidden curriculum adalah proses penanaman nilai-nilai dan sifat-sifat pada diri peserta didik. Perilaku keagamaan tidak cukup hanya diajarkan dan diteorikan, melainkan membutuhkan contoh perilaku sebagai bagian dari hidden curriculum.

Perilaku keagamaan peserta didik terkait dengan sejumlah pengeta-huan yang telah diterima peserta didik. Peserta didik di kelas XII telah mem-peroleh pengetahuan yang lebih banyak dibanding kelas XI dan kelas X. Den-gan demikian jika dikaitkan dengan kognitif peserta didik, apa yang diingat,

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik

137Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mukhtaruddin

dimengerti, diaplikasikan, dianalisis, dievaluasi, dan dikreasi secara umum berbeda. Jika perilaku terkait dengan jumlah atau banyaknya materi yang di-berikan, maka terdapat peningkatan spiritualitas peserta didik dari kelas X, XI, dan kelas XII.

Peningkatan potensi spiritual yang dimaksud dalam kurikulum PAI adalah mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai ke-agamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.

Jika dikaitkan dengan kurikulum PAI, perilaku keagamaan dapat dikat-egorikan ke dalam perilaku yang berkiatan dengan aqidah, akhlaq, Qur’an Hadits, dan SKI. Perilaku yang berkaitan dengan aqidah, antara lain perilaku tidak melakukan atau mendukung perbuatan syirik, perilaku sebagai cermin keyakinan akan sifat-sifat Allah Swt, mengamalkan isi kandungan Asmaul Husna, menampilkan perilaku sebagai cerminan beriman kepada malaikat, menampilkan sikap mencintai Alquran sebagai kitab Allah, menampilkan perilaku yang mencerminkan keimanan kepada Rasul-rasul Allah, mene-rapkan hikmah beriman kepada Qadha’ dan Qadhar. Perilaku yang berkai-tan dengan akhlaq meliputi: membiasakan husnuzhan, menampilkan adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu atau menerima tamu; mem-biasakan bertaubat dan raja’, menghargai karya orang lain, mengedepankan persatuan dan kerukunan; menghindari Isyrof, Tabzir, Ghibah, Fitnah, dosa besar, hasad, riya, aniaya dan diskriminasi. Perilaku ini diperoleh dalam pem-belajaran aspek Aqidah Akhak.

Untuk aspek fikih atau mata pelajaran Fikih berbeda dengan Aqidah Akhlak. Perilaku tersebut adalah perilaku yang terkait dengan penerapan hu-kum taklifi, penerapan ketentuan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat, haji, dan wakaf; penerapan transaksi ekonomi Islam; memperagakan tatacara pengurusan jenazah, khutbah, tabliqh, dan dakwah.

Menampilkan perilaku sebagai khalifah di bumi, ikhlas dalam beribadah, hidup demokrasi, berkompetisi dalam kebaikan, menyantuni kaum Dhu’afa, menjaga kelestarian lingkungan hidup, bertoleransi, dan melakukan pengem-bangan Iptek merupakan perilaku yang harus ditimbulkan dari pembelajaran aspek atau mata peljaran Qur’an/Hadist.

Perilaku keagaman yang lain adalah perilaku yang terkait dengan SKI. Perilaku yang berkaitan dengan SKI antara lain meliputi: mengambil contoh dan hikmah dari perkembangan Islam di Indonesia dan dunia. Sejarah ke-budayaan Islam bukanlah sejarah biasa, tetapi perkaitan dengan perjuangan Islam. Dengan mempelajari SKI peserta didik SMA akan memahami da’wah Islam sehingga Islam dapat berkembang.

138 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik mukhtaruddin

Metode PenelitiAn

1. Jenis dan Variabel PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Metode penelitian yang

digunakan adalah metode perbandingan kausal (causal-comparative). Varia-bel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas, variabel antara/variable kontrol dan variabel terikat (tergantung). Variabel bebasnya adalah imple-mentasi Kurikulum PAI. Variabel kontrolnya adalah jenjang kelas, dan varia-bel terikatnya adalah perilaku keagamaan peserta didik. 2. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik SMA swasta di bawah pengelolaan Yayasan Berbasis Agama Islam tahun pelajaran 2009/2010 di Kota Yogyakarta. Pemilihan sampel penelitian ditetapkan dengan teknik strata. Alasan pemilihan sampel dengan teknik strata ini dilakukan karena peneliti menghendaki setiap sampel dapat terambil secara acak dari masing-masing kategori, yaitu kategori kelas X, kelas XI, dan kelas XII.

Pengambilan sampel dengan cara menetapkan SMA sebagai subjek pene-litian, selanjutnya ditetapkan jumlah peserta didik yang diambil secara ran-dom di kelas X, kelas XI, dan kelas XII. Setiap kelompok kategori ditetapkan jumlah sampel sebanyak 40 peserta didik yang didasarkan pada pendapat bahwa jumlah tersebut telah memenuhi sampel yang representatif (lebih dari 30) (Ruseffendi, 2001). Adapun sampel dipilih secara random dari tiap-tiap kelas, sebanyak 6 kelompok sampel. Sampel peserta didik dipilih secara ran-dom dari SMA swasta yang menggunakan kurikulum dari yayasan Muham-madiyah dan peserta didik dari SMA yang dari yang menggunakan kurikulum PAI Depdiknas yang dimodifikasi, yakni SMA PIRI. Total sampel sebanyak 240 sampel.

Disain penelitian yang digunakan adalah Desain Faktorial (Factorial De-sign) 3 x 2. Desain tersebut tergambar alam tabel berikut.

Tabel 1. Hubungan Antar Variabel Studi Komparatif Perilaku Keagamaan Peserta Didik sebagai Dampak dari Pelaksanaan PAI

Implementasi Kurikulum PAI

Muhammadiyah 2 PIRI 1

Kategori kelas

X A1 A2XI B1 B2XII C1 C2

3. Validitas InstrumenValidasi instrumen dalam penelitian ini menggunakan validitas logis,

yaitu validitas isi dan validitas muka. Validasi ini dilakukan dengan meminta pertimbangan pada 3 orang penimbang yang kompeten dibidangnya, yakni

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik

13�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mukhtaruddin

2 orang akademisi dan 1 orang peneliti. Semua penimbang diminta menga-nalisis seluruh instrumen tes yang digunakan dalam penelitian ini. Validitas isi didasarkan pada: (a) kesesuaian antara pernyataan dalam angket dengan kurikulum; (b) kesesuaian antara butir statemen dengan tingkat perkem-bangan mental peserta didik, dan (c) kebenaran materi atau konsep dari per-nyataan yang disusun.

Untuk mengukur validitas muka para penimbang diminta menganalisis instrumen berdasarkan (a) kejelasan instrumen dari aspek bahasa, kejelasan sajian; dan tata tulis. Hasil dari uji validitas menunjukkan bahwa validitas isi maupun validitas muka dari setiap butir instrumen adalah seragam.

4. Teknik Pengolahan Data dan Analisis DataUji normalitas digunakan untuk menguji normalitas dan homogenitas

data. Dalam penelitian ini uji normalitas menggunakan SPSS Versi 15. Anali-sis data yang digunakan adalah ANOVA dua jalur dengan pertimbangan bah-wa peneliti dapat memperluas analisis dengan variabel kontrol, yakni variabel perbedaan kelas.

hAsil dAn AnAlisis PenelitiAn

1. Hasil Penelitiana. Perbandingan Perilaku Keagamaan Ditinjau dari Kurikulum PAI

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan perilaku keagamaaan pada peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum PAI Muhammadiyah dan Kurikulum PAI dari Yayasan PIRI digunakan uji statis-tik ANOVA Dua Jalur. Uji ANOVA ini dilakukan setelah diketahui data homo-gen dan normal.

Hipotesis statistik untuk menguji perbedaan perilaku keagamaan peserta didik adalah sebagai berikut.

Ho : Tidak ada perbedaaan perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI dengan Kurikulum PAI Muhammadiyah dan perserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI dengan kurikulum PAI dari yayasan PIRI.

H1 : Ada perbedaaan perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI dengan Kurikulum PAI Muhammadiyah dan perserta di-dik yang memperoleh pembelajaran PAI dengan kurikulum PAI dari yayasan PIRI.

Untuk menguji hipotesis, dilakukan analisis dengan ANOVA Dua Jalur dengan data disajikan pada Tabel 2 berikut.

140 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik mukhtaruddin

Tabel 2. Uji Hipotesis Perilaku Keagamaan Peserta Didik

Dari Tabel 2 diketahui bahwa nilai signifikasi pada baris kelas dan kuri-kulum sebesar 0.000. Nilai tersebut kurang dari taraf signifikasi 0.05. Ha-sil tersebut berarti Ho ditolak. Ini berarti terdapat perbedaaan perilaku ke-agamaan peserta didik SMA yang memperoleh pembelajaran PAI dengan Kurikulum Muhammadiyah dengan perserta didik yang memperoleh pembe-lajaran dengan kurikulum PIRI.

Dari data diketahui bahwa nilai rata-rata angket perilaku keagamaan un-tuk peserta didik yang memperoleh pembejaran dengan kurikulum PAI Mu-hammadiyah sebesar 125.05 sedangkan untuk peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum PAI PIRI sebesar 115.66. Karena hasil uji ANOVA menyatakan adanya perbedaan secara signifikan, maka perilaku ke-agamaan peserta didik SMA yang memperoleh pembelajaran kurikulum Mu-hammadiyah lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh kurikulum PIRI.

Perilaku keagamaan peserta didik yang lebih baik dari peserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI dari kurikulum PAI Muhammadiyah bukan berarti perilaku keagamaan peserta didik SMA PIRI lebih buruk dari perilaku keagamaan peserta didik SMA Muhammadiyah. Hal ini ditunjukkan dengan kategori hasil belajar yang baik untuk kedua sampel riset.

b. Perbandingan Perilaku Keagamaan Peserta Didik Ditinjau dari Tingkat Ke-las

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan perilaku keagamaaan pada peserta didik ditinjau dari jenjang kelas atau tingkat kelas hipotesis statistik yang digunakan sebagai berikut.

Ho : Tidak ada perbedaaan perilaku keagamaan peserta didik kelas X, ke-las XI dan kelas XII yang memperoleh pembelajaran dengan Kurikulum PAI Muhammadiyah maupun PAI PIRI.

H1: Ada perbedaaan perilaku keagamaan peserta didik kelas X, kelas XI dan kelas XII yang memperoleh pembelajaran dengan Kurikulum PAI Mu-hammadiyah maupun PAIPIRI.

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik

141Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mukhtaruddin

Hasil uji ANOVA Dua Jalur untuk baris kelas seperti yang disajikan pada Tabel 2 diperoleh nilai siginifikansi sebesar 0.403. Nilai tersebut lebih besar dari taraf signifikasi 0.05. Hal tersebut berarti Ho diterima. Ini berarti tidak ada perbedaaan perilaku keagamaan peserta didik kelas X, kelas XI dan ke-las XII dalam perilaku keagamaan. Dari hasil tersebut ternyata perilaku ke-agamaan tidak ditentukan oleh tingkat kelas.

c. Interaksi antara Implementasi Kurikulum PAI dengan Kategori Kelas.Bila ditinjau dari interaksi antara faktor kurikulum dan faktor kelas pada

Tabel 2 diketahui memiliki nilai signifikasi sebesar 0.003. Nilai signifikansi 0.003 tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan taraf signifikasi 0.05. Hal tersebut berarti bahwa H0 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan ter-dapat interaksi antara faktor kurikulum dengan faktor kategori kelas. Adanya interaksi tersebut berarti antara factor kelas dan factor kurikulum tidak saling independen.

2. PembahasanPembahasan hasil studi ini meliputi: (1) analisis penerapan kurikulum

terhadap perilaku keagaman ditinjau dari jenis kurikulum, (2) analisis pener-apan kurikulum terhadap perilaku keagaamaan di tinjau dari jenjang kelas, dan (3) analisis interaksi penerapan kurikulum terhadap perilaku keagamaan ditinjau dari jenjang kelas dan jenis kurikulum.

a. Analisis Penerapan Kurikulum PAI terhadap Perilaku Keagamaan Ditinjau dari Jenis Kurikulum

Adanya perbedaan penerapan kurikulum PAI terhadap perilaku ke-agamaan peserta didik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, hal ini dikarenakan proses pembelajaran PAI secara teori akan berpengaruh ter-hadap perubahan perilaku keagamaan peserta didik. Hasil penelitian menun-jukkan bahwa perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pem-belajaran dari kurikulum PAI Muhmmadiyah lebih baik daripada perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran PAI dari kurikulum PAI yang digunakan SMA PIRI dengan kurikulum PAI Depdiknas. Namun demikian perbedaan yang signifikan ini tidak berarti perilaku keagamaan peserta didik dari SMA PIRI kurang baik. Hal ini dikarenakan dari rekap ha-sil angket menunjukkan rata-rata skor peserta didik dari SMA PIRI sebesar 115.66 atau dalam kategori baik dan peserta didik dari SMA Muhammadiyah sebesar 125.05 juga berada pada taraf kategori baik.

Adanya perbedaan ini diduga didukung dengan fakta bahwa sampel dari peserta didik yang berasal dari SMA Muhammadiyah sebagian besar berasal input-nya dari peserta didik dari SMP Muhammadiyah, sementara peserta didik SMA PIRI, input siswanya berasal dari SMP umum dan tidak banyak mendapat pelajaran agama. Dari hasil wawancara dengan guru diperoleh fakta bahwa guru telah melakukan persiapan sebelum mengajar dengan baik karena PAI diajar oleh guru PAI.

142 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik mukhtaruddin

Di dalam memberikan keteladanan, peserta didik yang berasal dari SMA Muhammadiyah telah diwujudkan, misalnya dengan diwajibkan salat berja-maah di sekolah secara ketat, demikian juga di rumah. Dalam membaca Al Quran di SMA Muhammadiyah secara umum dapat melakukan dengan benar, namun di SMA PIRI masih ditemui beberapa peserta didik yang belum benar dalam membaca Al Qur’an.

Selain fakta di atas, hasil catatan penelitian adalah bahwa peserta didik yang berasal dari SMA Muhammadiyah 2sebagian besar memiliki background pendidikan agama dari orang tua lebih baik. Hal ini hasil wawancara den-gan peserta didik menunjukkan bahwa orang tua selalu mengingatkan dalam menjalankan salat wajib di rumah.

Fakta-fakta tersebut merupakan dukungan terhadap hasil uji hipotesis. Artinya kurikulum Muhammadiyah berdampak terhadap seluruh aktivitas peserta didik, baik yang menyangkut hubungan akademik maupun periba-datan.

b. Analisis Penerapan Kurikulum PAI terhadap Perilaku Keagamaan Ditinjau dari Jenjang Kelas

Penerapan kurikulum PAI ternyata tidak memberikan perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan pada peserta didik dilihat dari tingkatan kelas. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan kurikulum PAI tidak berpengaruh terhadap tingkatan kelas, yakni kelas X, kelas XI, maupun kelas XII. Artinya pengetahuan prasyarat sebagai konteks kurikulum tidak mutlak. Hal ini wajar karena dari hasil pengamatan terdapat peserta didik kelas X yang fasih dalam membaca Alquran dibanding peserta didik kelas XII.

c. Analisis Interaksi Penerapan Kurikulum terhadap Perilaku Keagamaan Implementasi pelaksanaan kurikulum PAI terhadap perilaku keagamaan

berinteraksi yang signifikan antara pelaksanaan kurikulum PAI dengan tingkatan kelas. Hal ini diduga terjadi perubahan perilaku keagamaan pada peserta didik kelas X bisa lebih baik daripada kelas XII.

Dengan demikian, sekolah dapat memperkuat karakteristik peserta didik di kelas awal sehingga menghasilkan karakter yang sesuai dengan kompetensi yang dituntut dalam kurikulum. Pada kelas-kelas atas, khususnya kelas XI perilaku keagamaan dapat menurun karena sejalan dengan perkembangan psikologi peserta didik kelas XI yang cenderung ingin menunjukkan ego atau jati dirinya dan lebih berani dalam mengambil keputusan (meskipun keliru) dibanding peserta didik kelas X.

d. Pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah SampelDari hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan kurikulum PAI di

sekolah sampel adalah sebagai berikut. a) implementasi kurikulum PAI pada SMA Muhammadiyah maupun SMA PIRI sebagai dasar berpedoman pada kurikulum PAI yang dibuat oleh Depdiknas, b) namun demikian, PAI yang berasal dari Diknas. tersebut disempurnakan oleh Dikdasmen Pengurus

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik

143Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mukhtaruddin

Wilayah (PW) Muhammadiyah Yogyakarta.. Jadi, kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran adalah kurikulum yang dibuat oleh PW Muhammadiyah Yogyakarta dan PIRI. Dalam pelaksanaannya, guru PAI melaksanakan semua tugasnya, yakni dari persiapan dalam pembelajaran, proses pelaksanakan sampai evaluasi. Guru membuat program pembelajaran dari silabus, RPP, dan evaluasi. Jumlah jam pelajaran pada SMA ini sebanyak 6 jam pelajaran atau lebih banyak dari jam pelajaran yang ditentukan oleh Depdiknas, yakni 2 jam pelajaran. Di samping itu, guru juga melakukan pengawasan secara ketat dalam pelaksanaan salat dluhur yang dilaksanakan di sekolah dan menyeleng-garakan jam tambahan berupa ekstrakurikuler agama.

siMPulAn

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bagian sebelumnya, hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta

didik yang memperoleh pembelajaran agama dengan kurikulum PAI Mu-hammadiyah dengan kurikulum PAI PIRI. Dari hasil uji ANOVA Dua Jalur diperoleh bahwa perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum Muhammadiyah lebih baik daripada perilaku keagamaan peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan kurikulum PIRI. Meskipun demikian, mayoritas kedua kelompok tersebut termasuk kategori baik dan sangat baik dalam perilaku keagamaannya.

2. Tidak terdapat perbedaan perilaku keagamaan yang signifikan antara peserta didik kelas X, kelas XI, dan kelas XII. Hal ini dikarenakan dalam hal implentasi keagamaan tidak dipengaruhi oleh faktor tingkatan kelas.

3. Pelaksanaan pembelajaran agama di sekolah atau PAI telah sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dimana guru menyusun silabus, menyusun RPP, melakukan pembelajaran, dan melakukan pe-nilaian.

144 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik mustolehudin

DAFTAR PUSTAKA

Al Baghdadi, A. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam. Bangil: Al Izzah.

Atherton, JS. 2009. SOLO Taxonomy. http://www. learningandteaching.info/ learning/solo.htm (Maret 2009).

Bloom, Anderson, W. L, dan Krathwohl, R. D (Ed). 2001. A Taxonomy for Learning, and Assesing. A Revision of Bloom’s Taxonomy of Education-al Objectives. New York: Addision Wesley Longman, Inc.

Chairul Akmal, dkk, 2009, Panduan Pelaksanaan Pengembangan Kapasi-tas Guru melalui Program Pertukaran Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) dari Daerah dan Kota tahun 2009. Direktorat Jenderal Pendidi-kan Islam, Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , Departe-men Agama, Jakarta.

Cholis, dkk. 2004. Pendidikan Agama Islam Mata Diklat SMK Tingkat 1. Semarang: CV. Mutiara Persada.

Zamroni. 2001. Paradigma Pendidakan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing.

Zayadi, Ahmad dan Majid, A. 2004. Tadzkirah: Pembelajaan PAI Berdasar-kan Pendekatan Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafaindo Persada.

Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik

145Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mustolehudin

TRADISI BACA TULIS DALAM ISLAMKAJIAN TERHADAP TEKSI AL-QUR’AN

SURAH AL ‘ALAQ AYAT 1 - 5

Oleh. mUStOlehUdIN**

* Mustolehudin, S.Ag. adalah Staf Urusan Umum di Balai Litbang Agama Semarang

AbstrAct The first verse revealed from Allah to Prophet Muhammad was an instruc-tion to read and to write. Reading is an urgent and important thing for peo-ple. Knowledge and information can be acquired by reading. Instruction to read can be seen in many verses of Qur’an, it is stated twelve times; three times in the form of fi’il amar, two times in the form of fi’il mudari’ (verb; present tense), four times in the form of fi’il mādi (verb; past tense).Reading in the broad meaning is a person who has capability to examine, to study, to know the characteristic of thing and to collect knowledge and information. Reading materials which are read by people are all the things which can be gotten whether in a holy text (holy book/kitab), written verses or unwritten verses. Capability of reading and writing can be achieved by education whether formal education or non formal education.

Key words: reading, writing, qur’an, verse al-‘alaq

PendAhuluAn

Membaca dalam ajaran Islam merupakan perintah Allah swt. Ayat per-tama yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca. Menurut Muhammad Abduh, perintah membaca bukan perintah taklifi melainkan perintah takwini, yaitu hendaklah engkau menjadi seorang pembaca yang mahir dengan qudrat dan iradat-Ku.

Perintah membaca dan menulis dalam surat Al ’Alaq mempunyai mak-na bahwa dengan membaca manusia akan memperoleh ilmu pengetahuan.

PEMIKIRAN

146 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Tradisi Baca Tulis Dalam IslamKajian Terhadap Teks AlQur’an Surat Al ‘Alaq Ayat 1 - 5

mustolehudin

Membaca mempunyai arti yang sangat luas yaitu, membaca dalam arti mem-baca teks Al Quran atau tulisan dan membaca yang mencakup menelaah alam seisinya.

Menurut Quraish Shihab kata iqra’ mempunyai arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya. Karena objeknya bersifat umum, maka ob-jek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Perintah membaca dan menulis dalam surat Al ’Alaq mempunyai maksud agar umat Islam khususnya, dan umat manusia pada umumnya memiliki pengetahuan atau melek huruf dan melek informasi. Dengan memiliki pengetahuan dan melek informasi manusia mampu menggenggam dunia. Ada sebuah pepatah “Bacalah! maka dunia ada ditanganmu”.

Perintah membaca pada surat Al ’Alaq ini diulang hingga dua kali. Hal ini mempunyai arti bahwa membaca adalah hal mutlak bagi manusia untuk mem-peroleh ilmu pengetahuan dan informasi. Dalam surat ini, perintah membaca harus dilandasi dengan selalu mengingat akan kebesaran Allah swt.

Pada ayat keempat dan kelima yang artinya “Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yang belum diketahuinya”. Ayat ini mempunyai arti bahwa kata qalam adalah hasil dari penggunaan alat tersebut, yaitu tulisan. Qalam atau pena yaitu alat atau sarana yang digunakan untuk menulis, dan tulisan yang dihasilkan oleh pena tersebut oleh Allah akan dijadikan pengeta-huan bagi manusia.

Ketrampilan membaca dan menulis di zaman teknologi informasi dan komunikasi saat ini merupakan hal yang urgen dan mendasar, karena dengan memiliki kemampuan ini manusia akan mendapat pengetahuan dan informa-si, baik berupa teks, alam semesta seisinya, maupun informasi yang diperoleh dari dunia maya. Maka membaca teks dan informasi pada saat ini mempunyai arti yang penting dalam kehidupan manusia.

definisi bAcA tulis 1. Membaca

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati), mengeja atau melafalkan apa yang tertulis, mengucapkan, me-ngetahui, meramalkan, menduga, dan memperhitungkan.

Menurut (Quraish Shihab) , kata iqra’ (membaca) memiliki arti menyam-paikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, dan sebagainya. Membaca menurut Ensiklopedia Al Qur’ān, adalah perintah membaca yang ditujukan kepada Nabi Muhammad dengan disertai menyebut nama Allah atau meminta pertolonganNya.

Ensiklopedia Nasional Indonesia membaca memiliki arti mengalihkan

Tradisi Baca Tulis Dalam IslamKajian Terhadap Teks AlQur’an Surat Al ‘Alaq Ayat 1 - 5

147Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mustolehudin

data atau berkas (file) atau peralatan masukan ke dalam memori. Berkas bia-sanya tersimpan di dalam tempat penyimpanan sekunder. Peralatan masukan dapat berupa papan ketik atau alat lainnya.

Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa mem-baca adalah mengeja atau melafalkan apa yang tertulis di dalam kertas (buku), Al-Qur’ān atau alat lainnya (mesin ketik, komputer, hand phone, lap top) dengan mengetahui makna yang terkandung dalam tulisan tersebut, serta di dalam membaca senantiasa didasarkan kepada kebesaran Allah SWT, karena sesungguhnya kemampuan manusia adalah terbatas.

Dalam arti yang lebih luas membaca menurut ajaran Al-Qur’ān adalah membaca ayat-ayat Allah SWT baik yang tersirat maupun yang tersurat de-ngan mengetahui makna dan artinya serta mampu mengamalkan ajaran-ajar-an yang terkandung di dalamnya.

2. MenulisKata “tulis” berarti batu atau papan batu tempat menulis (dahulu banyak

dipakai oleh murid-murid sekolah), kemudian kata “tulis’ ditambah akhiran “an” maka menjadi kata “tulisan” maka tulisan berarti hasil menulis.

Kata “tulis” ditambah akhiran “an” menurut (Ensiklopedi Nasional In-donesia) , adalah tanda baca buku berupa simbol-simbol tertentu, termasuk obyek, yang dipergunakan oleh sekelompok masyarakat sebagai alat berkomu-nikasi untuk menyatakan pikiran atau gagasan kepada orang lain.

Dari definisi membaca dan menulis di atas dapat ditarik suatu penger-tian bahwa membaca dan menulis adalah mengeja atau melafalkan apa yang tertulis untuk menyampaikan gagasan atau pikiran kepada orang lain melalui media kertas (buku), Al-Qur’ān atau alat lainnya (mesin ketik, komputer, hand phone, lap top) dengan tujuan untuk mengetahui makna yang terkan-dung dalam tulisan tersebut.

Dalam arti yang lebih luas membaca menurut ajaran Al-Qur’ān adalah membaca ayat-ayat Allah swt. baik tersirat maupun tersurat dengan menge-tahui makna dan artinya serta mampu mengamalkan ajaran-ajaran yang ter-kandung di dalamnya dalam kehidupan nyata.

Sejarah Singkat Baca tuliS al-Qur’ān

Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah satu bangsa yang buta huruf, amat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca. Kedatang-an Islam pada waktu itu memberikan cahaya keilmuan pada masyarakat yang dicap sebagai masyarakat Jahiliyah (zaman kebodohan).

Pesan pertama yang dibawa oleh Al-Qur’ān adalah perintah membaca. Secara singkat sebelum Al-Qur’ān dibukukan pada masa khalifah Utsman bin Affān, ayat-ayat Al-Qur’ān masih terserak atau ditulis pada pelepah kurma, kulit binatang, tulang binatang, batu dan sebagainya.

148 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Tradisi Baca Tulis Dalam IslamKajian Terhadap Teks AlQur’an Surat Al ‘Alaq Ayat 1 - 5

mustolehudin

Khalifah Abu Bakar suatu saat khawatir dengan banyaknya sahabat yang gugur dalam peperangan sehingga timbul gagasan untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’ān. Maka khalifah Abu Bakar berdialog dengan khalifah Umar bin Khaththab dan memutuskan untuk memanggil Zaid bin Tsabit. Awal mulanya Zaid Bin Tsabit menolak, karena beliau merasa ini adalah suatu pekerjaan yang sangat berat, akan tetapi atasan bujukan Abu Bakar dan Umar akhirnya dia bersedia. Maka mulai saat itu ia mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’ān yang ditulis di atas daun, pelepah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kam-bing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’ān.

Pada waktu pemerintahan khalifah Utsman bin Affān dibentuklah satu panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam.

Pada waktu pengumpulan dan penyalinan lembaran-lembaran Al-Qur’ān, khalifah Utsman bin Affān memberikan nasehat yaitu (1) dalam pengumpulan dan penyalinan Al-Qur’ān agar mengambil pedoman kepada bacaan sahabat yang hafal Al-Qur’ān, (3) apabila terjadi perselisihan diantara mereka ten-tang bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Qurasy, sebab Al-Qur’ān itu diturunkan menurut dialek mereka. Akhirnya Al-Qur’ān yang telah dibukukan dinamai dengan nama “Al Mushaf”, maka dari mushaf yang ditulis dizaman Utsman itulah kaum muslim di seluruh pelosok bangsa Arab menyalin Al-Qur’ān itu.

Waktu itu ditulis lima buah mushaf Al-Qur’ān dan dikirimkan ke Kuffah, Bashrah, Damaskus, dan Madinah. Sebuah naskah yang asli disimpan oleh khalifah Utsman bin Affān hingga beliau wafat.

Perintah Baca tuliS Dalam al Qur’ān

Membaca telah ditegaskan dalam kitab suci Al Qur’ān. Perintah mem-baca di dalam Al-Qur’ān disebutkan 3 kali dalam bentuk Fi’il Amar yaitu dua kali dalam Surah Al ‘Alaq ayat 1 dan ayat 3.

Penegasan Allah sebagaimana firman di bawah ini:

Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.

Tradisi Baca Tulis Dalam IslamKajian Terhadap Teks AlQur’an Surat Al ‘Alaq Ayat 1 - 5

14�Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mustolehudin

Pengulangan kata iqra’ di dalam Surah ini menunjukkan bahwa perin-tah membaca merupakan hal yang begitu penting bagi kehidupan manusia. Muhammad Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa membaca berarti seseorang melakukan aktivitas menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan menghimpun ilmu pengetahuan dan infor-masi yang diperoleh oleh seseorang.

Aktivitas membaca, menelaah, meneliti, mendalami, menghimpun me-mungkinkan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi. Pengetahuan yang diperoleh dari membaca dapat berupa berbagai ilmu pe-ngetahuan baik pengetahuan umum (alam semesta dan isinya) manupun pengetahuan ilmu agama. Hal ini menunjukkan bahwa obyek dari sebuah bacaan adalah mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Dalam Surah ini, kalimat iqra’ bismi Rabbik, tidak sekedar memerintah-kan untuk membaca, akan tetapi “membaca” adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan “bacalah” demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, dan bekerjalah demi Tuhanmu.

Dalam ayat ke-4 dan ke-5 dari Surah ini adalah sebagaimana firman Allah di bawah ini;

Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam,

Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Perintah baca tulis sebagaimana ayat ke-4 dan ke-5 dalam Surah ini mempunyai tujuan agar manusia memiliki pengetahuan dan melek informa-si. Secara umum perintah membaca adalah agar manusia terbebas dari buta huruf dan buta informasi.

Sebagaimana ayat di atas Allah memberikan pengetahuan melalui peran-tara qalam. Ada dua isyarat yang dapat ditangkap untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu yaitu ; Allah mengajar dengan pena yang telah diketa-hui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang be-lum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha ma-nusia.

Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa Allah memberikan penga-jaran (tarbiyah) melalui perantara qalam (pena) kepada manusia. Dalam hal ini untuk memperoleh pengetahuan dan informasi, manusia harus berusaha mencapai dengan pendidikan. Pendidikan dapat ditempuh melalui pendidik-

150 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Tradisi Baca Tulis Dalam IslamKajian Terhadap Teks AlQur’an Surat Al ‘Alaq Ayat 1 - 5

mustolehudin

an formal dan pendidikan non formal.Upaya yang dilakukan oleh umat Islam untuk membina dan memberan-

tas buta huruf adalah melalui pendidikan sejak dini. Pendidikan yang dilaku-kan berupa pendidikan baca tulis Al-Qur’ān sejak usia dini. Hal ini dilakukan dengan menyelenggarakan Taman Pendidikan Al-Qur’ān untuk anak usia TK dan SD. Diharapkan dari pendidikan yang dilakukan sejak usia dini ini akan menumbuhkan kemampuan baca tulis Al-Qur’ān khususnya pada generasi Is-lam pada masa-masa yang akan datang.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Pengem-bangan Lektur Keagamaan yang dilakukan pada limabelas Provinsi di Indo-nesia tentang baca tulis huruf Al-Qur’ān pada siswa SMA diperoleh temuan bahwa; rata-rata siswa SMA yang sebelumnya telah belajar baca-tulis Al-Qur’ān sejak usia dini (memperoleh pendidikan sejak di TPA/TPQ) kemam-puan baca tulis Al Qur’ānnya termasuk dalam kategori baik.

Dari hasil penelitian ini, dapat menjadi acuan bahwa pembinaan baca tulis Al-Qur’ān harus dilakukan sejak usia dini (Taman Kanak-kanak/Sekolah Dasar) agar pada generasi berikutnya, umat Islam melek huruf Al-Qur’ān dan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Perintah membaca selain dijelaskan dalam Surah Al Alaq 1 sampai 5, ter-dapat pula dalam Surah-Surah lain yaitu sebagaimana penjelasan dibawah ini.

Dalam Surah yang ke 17 surat Al Isro’ kata iqro’ disebutkan 1 (Audah, 1991 : 287) kali yaitu dalam ayat yang ke 14 yang berbunyi :

“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai peng-hisab terhadapmu.”

Dalam bentuk jamak iqra’u perintah membaca disebutkan 3 kali dalam Al Qur ān; pertama pada Surah yang ke 69 Surah Al-Hāqqah ayat ke 19 yang berbunyi :

Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya[1508] dari sebe-lah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini).

Kemudian dalam Surah lain yaitu Surah yang ke 73 Surah Al- Muzzammil ayat 20 disebutkan 2 kali yang berbunyi :

Tradisi Baca Tulis Dalam IslamKajian Terhadap Teks AlQur’an Surat Al ‘Alaq Ayat 1 - 5

151Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

mustolehudin

20. Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang ber-sama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah menge-tahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengam-pun lagi Maha Penyayang.

Perintah membaca dalam bentuk Fi’il Mudlore’ yaqra’ūna disebutkan 2 kali yaitu pada Surah ke sepuluh Surah Yunus ayat 94 dan Surah ke 17 Surah Al Israa’ ayat ke 71. Dalam bentuk Fi’il Mādi ( qara’ahu, qara’nahu, qara’ta) disebutkan 4 kali yaitu pada Surah ke 26 Surah Asy Syu’arā’ ayat 119, Surah ke 75 Surah Al-Qiyāmah ayat 18, Surah ke 16 Surah An-Nahl ayat 98 dan Surah ke 17 Al-Isrā’ ayat 45.

152 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Membaca dan menulis merupakan satu aktivitas yang tidak dapat dipi-sahkan satu sama lain. Hal ini dapat diketahui dari hubungan ayat dari Surah Al-Alaq dan Surah Al-Qalam. Disini disebutkan bahwa kata “qalam” dalam Al-Qur’ān disebut dua kali yaitu pada Surah ke-68 ayat 1 dan Surah Al- Alaq ayat yang ke-4.

Surah-surah di atas semuanya adalah merupakan perintah untuk mem-baca dan menulis. Demikian pula penegasan Allah dalam Surah Al-Alaq ayat 1 - 5. Perintah membaca yang tersurat dalam Surah Al-Alaq diturunkan di Mekah sebelum Nabi Muhammad Saw berhijrah, jumhur ulama berpendapat bahwa wahyu Al-Qur’ān pertama yang diterima Nabi Muhammad adalah lima ayat pertama Surah ini.

Dalam wahyu pertama yang difirmankan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw ditegaskan bahwa perintah Allah pertama kepada manusia adalah membaca. Perintah tersebut memberikan pengertian bahwa membaca adalah kunci untuk mengetahui segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Membaca merupakan kewajiban individu, karena dengan membaca dapat terhindar dari kesalahan, dengan membaca akan senantiasa terbimbing un-tuk berbuat yang benar, berarti membaca dapat diartikan sebagai suatu lang-kah untuk menganalisa sesuatu yang lebih jauh ke depan. Membaca adalah metode yang tepat untuk terhindar dari kesalahan, sebab dengan membaca terlebih dahulu maka akan memahami sesuatu mengenai apa, kapan, menga-pa, di mana, dan bagaimana sesuatu.

Tema besar pada Surah ini adalah memberikan pengajaran/pembelajar-an (membaca/menulis) kepada Nabi Muhammad Saw, pengajaran tentang Allah dalam sifat dan perbuatan-Nya, dan bahwa Allah swt. adalah sumber ilmu pengetahuan.

Pengajaran atau pembelajaran yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. hendaknya dijadikan teladan bagi umatnya agar memiliki ketrampilan mem-baca sehingga manusia (umat Islam) akan mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta membawa perubahan dan peradaban umat Islam.

Ketrampilan dan kemampuan membaca harus diupayakan melalui pen-didikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Menurut Brougthan dalam Tarigan ketrampilan membaca mencakup tiga komponen yaitu : pertama; pengenalan terhadap aksara dan tanda-tanda baca, kedua; korelasi aksara beserta tanda-tanda baca dengan unsur-unsur linguistik for-mal, dan ketiga; membaca pada hakekatnya merupakan ketrampilan intelek-tual.

kesiMPulAn

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Membaca adalah merupakan perintah Allah. Hal ini sebagaimana pene-

gasan Allah SWT dalam Al-Qur’ān Surah Al ‘Alaq ayat satu dan tiga.

153Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

2. Perintah membaca ini mengandung maksud agar manusia memiliki penge-tahuan dan informasi serta di dalam melakukan aktivitas membaca, me-mahami, menelaah, mendalami, meneliti, menghimpun senantiasa meng-ingat akan kebesaran Allah swt. agar memperoleh keselamatan di dunia dan di akherat.

3. Ketrampilan dan kemampuan untuk dapat membaca dan menulis perlu dibina dan ditradisikan sejak dini kepada generasi penerus muslim. Hal ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal.

154 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

DAFTAR PUSTAKA

Asy Shiddieqy. Teungku Muhammad Hasbi, 2002. Al Bayan : Tafsir Penjelas Al Qur’ānul Karim. Semarang : Pustaka Rizki Putra

Atjeh, Abubakar. 1986. Sejarah Al Qur’ān. Solo : CV. RamadhaniAudah, Ali, 1991. Konkordansi Qur’ān : Panduan Kata Dalam Mencari

Ayat Qur’ān. Jakarta : PT. Pustaka Litera AntarnusaDepartemen Agama Republik Indonesia. 1991. Al-Qur’ān Dan Ter-

jemahnya. Bandung : Gema Risalah Press Harun, Maidir dan Dazrizal, 2008. Kemampuan Membaca dan Menulis

Huruf Al-Qur’ān Pada Siswa SMA : Studi Kausal Komparatif di Lima Be-sal Propinsi. (Jakarta) : Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Http: //www.alquran-digital.com. 2004. Al-Qur’ān DigitalMeier, Bernhard & Franz, Kurt, 1986. Membina Minat Baca Anak. Ban-

dung : CV Remaja RosdakaryaPudjaatmaja, A Hadyana dkk, 1989. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Ja-

karta : PT. Cipta Adi Pustaka Shihab, Muhammad Quraish, 1993. Membumikan Al-Qur’ān : Fungsi

dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan---------------------------------, 1999. Wawasan Al-Qur’ān : Tafsir Mudhu’i

Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan---------------------------------, 2002. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan

Keserasian Al Qur’ān. Jakarta : Lentera HatiSuharso dan Ana Retnoningsih, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Semarang : CV. Widya KaryaTarigan, Henry Guntur, 1979. Membaca Sebagai Suatu Ketrampilan

Berbahasa. Bandung : AngkasaZuhaili, Wahbah dkk, 2007. Ensiklopedia Al Qur’ān: Al Qur’ān, Tafsīrul

Wajīz, Asbābun Nuzūl, Hukum-hukum Tajwid, Indeks Makna, Indeks Kata, Pengantar Ilmu Al Qur’ān. Jakarta : Gema Insani Press

155Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

156 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Samidi Khalim, S.Ag., , M.S.I. lahir di Semarang, 22 Agustus 1974. Ia me-namatkan pendidikan S1 di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Sema-rang tahun 1999 dan S2 di Program Pascasarjana kampus yang sama, lu-lus tahun 2008. Selain pendidikan formal ia juga pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Padang Ati Tugu Semarang. Diklat yang pernh dii-kuti diantaranya Diklat Peneliti LIPI tahun 2007 dan Diklat Penelitian Naskah Keagamaan di Jakarta tahun 2008. Sekarang ia bekerja di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Buku yang berjudul Is-lam dan Spiritual Jawa diterbitkan oleh Penerbit Rasail tahun 2008.

Dr. H. Abu Rokhmad, M.Ag. lahir di Jepara, 7 April 1976. Ia bekerja seba-gai dosen di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, Ia juga menja-bat sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Falak di IAIN Walisongo Semarang. Pendidikan Doktoralnya ditempuh di Universitas Diponegoro Semarang Jurusan Ilmu Hukum dan lulus pada tahun 2010. Ia juga telah beberapa kali terlihat dalam penelitian-penelitian dengan berbagai lem-baga penelitian di Jawa Tengah.

Drs. H. Achmad Sidiq, M.S.I., lahir di Tuban, 3 Juli 1957. Ia menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang tahun 1982. Studi S2-nya juga ditempun di IAIN Walisongo Semarang dengan mengambil konsenterasi pada Ilmu akwah/Komunikasi Islam. Gelar M.S.I. diperoleh setelah lulus pada tahun 2011. Sekarang menjadi peneliti madya di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Arnis Rachmadhani, S.S., M.S.I., lahir di Jepara, 17 Oktober 1972. Lu-lus pendidikan S1 pada tahun 2002 dari STIBA AKI Semarang dengan mengambil program studi Bahasa dan Sastra Inggris. Pendidikan S2-nya ditempuh di Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dengan mengambil konsetrasi pada Etika Islam/Tasawuf dan lulus pada tahun 2007. Seka-rang menjadi peneliti muda bidang kehidupan beragama di Balai Peneli-tian dan Pengembangan Agama Semarang.

Ismail Zubir,S.Ag. Lahir di Jakarta, 24 November 1976. Menyelesaikan sarjana (S1) Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2000. Aktif di NGO Youth Ending Hun-ger Indonesia dari tahun 2001 sampai sekarang. Saat ini sebagai calon pene-liti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.

Moh. Rosyid, M.Pd., lahir di Kudus, 14 Juni 1972. Setelah menyelesaikan pendidkan S1 di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, ia melanjutkan pendi-dikan S2 di UNNES Semarang. Saat ini ia bekerja sebagai dosen di STAIN Kudus. Alamat tempat tinggal berada di Desa Kayuapu Wetan, Desa Gon-dang Manis RT 02 RW III, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus.

Drs. H. Wahab, lahir di Semarang, 13 Oktober 1958. ia meraih gelar sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tahun 1985. Sekarang menjabat sebagai peneliti bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Ba-lai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang.

BIODATA PENULIS

157Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Drs. Ali Khudrin, lahir di Jepara, 15 Desember 1952. Gelar sarjana S1 di-peroleh dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini ia sedang menyelesaikan studi S2-nya di IAIN Walisongo Semarang. Saat ini dia menjabat sebagai peneliti madya di bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang.

Drs. Mukhtaruddin., lahir di Brebes, 6 Oktober 1954. Ia menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tahun 1981. Ia pernah menimba ilmu di Pesantren Mabakan Tegal dari tahun 1970 - 1974. Sekarang menjadi peneliti madya di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang.

Mustolehudin, S.Ag., S.IPI., dilahirkan di Kebumen 25 Mei 1974. Pendi-dikan yang pernah ditempuh adalah SDN Balingasal lulus tahun 1987, MTs GUPPI At-Taqwa Pituruh Purworejo lulus tahun 1989, MA Tersobo Kebumen lulus tahun 1992, selanjutnya meneruskan pendidikan S1 di IAIN Walisongo Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat lulus tahun 1998. Mulai bekerja di balai Litbang Agama Semarang pada tahun 2003 dan mendapat kesempatan tugas belajar S1 Ganda Ilmu Perpustakaan di Universitas Yarsi Jakarta dari Badan Litbang Agama dan lulus pada ta-hun 2007. Saat ini mendapat tugas sebagai pengelola perpustakaan Balai Litbang Agama Semarang.

158 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011

Jurnal Analisa terbit enam bulan sekali. Redaksi menerima artikel dari hasil penelitian

dan pemikiran mengenai kehidupan keagamaan, pendidikan agama dan keagamaan, serta lektur

keagamaan. Panjang tulisan untuk artikel hasil penelitian antara 15 – 20 halaman ( 30.000 – 40.000

karakter) dan artikel pemikiran antara 10 – 15 halaman (20.000 – 30.000 karakter). Diketik dengan

kertas ukuran kuarto (A4), 1,5 spasi dan font huruf Times New Roman ukuran 12 pt. Artikel dilengkapi

dengan abstrak maksimal 200 kata dan kata kunci dan Biodata Penulis. Transliterasi bahasa Arab

menggunakan pedoman yang ditetapkan oleh Departemen Agama dan Departemen P dan K. Naskah

diserahkan dalam bentuk print out dan softcopy kepada redaksi Jurnal Analisa Balai Penelitian

dan Pengembangan Agama Semarang. Redaksi berhak menyunting naskah artikel tanpa mengubah

maksud isi artikel. Isi artikel menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.