NICO FIOOLE LEGENDA INDOROCK - ftp.unpad.ac.id · LEGENDA INDOROCK Tidak banyak yang ngeh saat...

1
LEGENDA INDOROCK Tidak banyak yang ngeh saat disebut nama Nico Fioole. Padahal, ia salah satu legenda di bidang musik asal Indonesia yang populer di Eropa. NICO FIOOLE DINNY MUTIAH MI/ADAM DWI 5 SELASA, 15 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA S O SOK genre musik ini. “Paul Mc Cartney pernah da- tang ke pertunjukan di sebuah klub di Jerman. Setelah itu, mereka menciptakan musik dengan sedikit dirombak dari indorock dan mereka berhasil untuk menembus pasar Ame- rika. Jadinya, mereka yang lebih terkenal daripada kami,” kenang pria ini. Jerman memang menjadi salah satu persinggahan karier bermusik Nico setelah sebe- lumnya bermukim di Belanda. Bersama band-nya, ia memilih untuk lebih banyak tampil di panggung secara langsung ke- timbang menghabiskan waktu di studio musik. Rekaman hanya dilakukan saat senggang dengan menggunakan jalur indie label. Tidak heran jika nama Nico Fioole dan band -nya lebih terkenal di kalangan penikmat musik live di Eropa. Antrean penggemar semakin lama se- makin panjang seiring dengan meningkatnya popularitas The Black Dynamites di sana. Uang pun akhirnya mengalir deras ke kantong masing-masing. “Saya memilih lebih banyak tampil di panggung daripada di studio rekaman karena ke- beradaan manajer membatasi kami untuk melakukan apa yang kami suka. Padahal, kami suka bermusik,” ujar penyanyi yang pernah tergabung dalam orkestra Suara Istana pimpinan George Fretes ini. Bukan berarti tidak ada lagu terkenal yang dihasilkan Nico dan kelompoknya. Saat menge- tikkan nama Nico Fioole dan The Black Dynamites di inter- net, Anda akan langsung me- nemukan link video berjudul Brush Those Tears from Your Eyes. Lagu itu juga banyak meng- inspirasi band rock hingga kini. Suara Nico yang melengking mengimbangi permainan gitar Fred Christoffel dan lengkingan saksofon milik Harry Koster. Ia bersama band-nya kemudian pindah ke Spanyol dan di sana mereka berkolaborasi dengan artis Irlandia Jimmy Ward. Tahun-tahun berikutnya, Nico dan band menjadi sangat produktif menciptakan album hingga mereka memutuskan pindah ke Afrika Selatan. Ke- pindahan itu tak lama karena setelah itu mereka kembali berkarya di ‘Benua Biru’. Nico sendiri memilih untuk tinggal S EORANG rekan mem- beri kabar ada reuni yang digelar beberapa musisi asal Indonesia yang sukses berkarier di luar negeri. Dan malam itu pada sebuah ruangan di Hotel Borobudur Jakarta, terlihat seorang pria yang energik menerima tamu- tamunya. Pria itu Nico Fioole yang usianya sudah berkepala tujuh. Ia pun tampil untuk pertun- jukan yang berlangsung di atas pukul 22.00 WIB dengan kualitas suara yang prima. Pe- nampilannya masih mampu memuaskan penonton. “Saya hanya menikmati se- tiap momen. Itu tips dari saya,” ujarnya kepada Media Indonesia, beberapa waktu lalu. Nico sudah bergabung de- ngan grup The Black Dynamites sejak 1959 hingga tahun 1980- an. Ia pun memilih genre indo- rock sebagai jualannya. Jenis musik yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, tetapi sebenarnya pernah terke- nal di era 1960-an. Jenis musik ini memadukan unsur rock dengan elemen keroncong yang ditunjukkan dengan banyaknya variasi alat musik senar di satu pertunjuk- an. Genre ini bahkan diklaim sebagai cikal bakal dari musik populer band The Beatles. Bahkan, ada kabar gitaris Jimmi Hendrix, sang gitaris tersohor itu, konon juga ter- inspirasi dari penampilan band MI/SUMARYANTO Nico Fioole Tempat, tanggal lahir: Jakarta; 4 Desember 1937 Pendidikan: Sekolah Menengah Ekonomi Atas di Jakarta Anak: • Silvia Fioole • Philip Palmama Mallorca Hobi: Fotografi Album: (1962) CD SAMSAM CDHL 1009; The Black Dynamites (bersama JIMMY WARD); Forty Days; Violetta; It’ll Be Me; True Love Will Come To You; Whole Lotta Shakin’ Goin’ On; Farewell My Indonesian Girl (Beyond The Reef); Susi Twist; Kansas City+Hey Ba- Be-Re-Bob; Dynamite Blues (Honky Tonk); Send Me Some Lovin’; Rocky Road Blues. Kotak Romo Mudji DOK. MI/TERESIA Bonus tidak Terduga Keheningan sang Romo MESKI baru saja ditinggal- kan pemain drumnya, Posan, Kotak tetap mendapatkan ke- beruntungan. Mereka baru saja berhasil meraih dua kategori bergengsi di ajang Indosat Awards 2011, yang digelar akhir pekan lalu. Mereka di- nominasikan sebagai grup pop rock terpopuler dan pemilik lagu pop rock terpopuler. Tantri (vokal), Chua (bas), dan Cella (gitar) mengaku sangat senang dan tidak menyangka bisa merebut dua penghargaan sekaligus di acara yang baru pertama kali diadakan ini. Meski menerima dua piala sekaligus, hal itu tidak dijadi- kan sebagai sebuah kesuksesan besar dan segala-galanya bagi Kotak. Bagi ketiga personel yang tersisa, penghargaan tersebut hanyalah bonus. “Dari awal kami dapat penghargaan, ini adalah bo- nus. Kita enggak pernah mikir muluk-muluk. Kalau pun da- pat penghargaan itu adalah karunia Tuhan. Penghargaan ini adalah bonus tak terdu- ga untuk album ketiga kami yang baru saja dirilis,” terang Tantri. Lalu, bagaimana tanggapan Kotak soal Posan? “Ini piala kami semua, piala kami ber- empat. Terhitung, 8 Maret Posan memang sudah tidak di Kotak, gitu aja. Jadi malam ini Posan enggak ada, tapi dia juga ikut membangun Kotak dari awal. (Jadi) kami persembah- kan piala ini buat dia juga, ” pungkas Tantri. (Eri/M-1) HIDUP adalah perbuatan yang baik antarsesama. Itulah yang selalu menemani Mudji Sutris- no dalam setiap tindakannya. Termasuk saat Romo Mudji-- begitu ia dipanggil--menuang- kan sketsanya, seni yang juga mengalir dalam sanubarinya. “Sketsa adalah tarikan garis yang keluar dari hati dan ditarik di depan objek. Untuk membuat sketsa, kita tidak hanya butuh suasana, namun juga keheningan,” ujarnya, di Jakarta, belum lama ini. Ketika kata dan bahasa tidak cukup melukiskan realitas, baginya ilustrasi titik dan tari- kan garis bisa mewakili sua- sana yang ada. Jangan heran jika nanti ekspresi suasana hati, penggambaran harmoni alam dengan manusia, hingga je- bakan formalitas ritual agama yang sering menjadi sekat pemisah manusia ini tertuang dalam paparan sketsanya. Untuk membagi perjalanan hidup itu, rencananya sekitar 40-50 sketsa yang dicukil dari buku terbitan Penerbit Obor, Jakarta, akan dipamerkan di Galeri Cemara, Jakarta, mulai 17 Maret mendatang. Proses pembuatan sketsa ini, katanya tidak secara khusus terkait dengan keprihatinan- nya terhadap ternodanya har- monisasi hubungan antarumat beragama, ia mengakui ada pesan tersirat yang ingin di- sampaikan dalam karyanya. Dalam situasi Indonesia yang kacau, penuh keke- rasan dan mudah saling curiga, hanya dalam keheningan nurani bisa kembali bicara. Untuk kem- bali mencapai keharmonisan bangsa yang sedang gerah ini, umat harus kembali ke keheningan agama. “Kita berharap se- muanya menjadi hanif, kem- bali sadar bahwa kita saudara dari satu pencipta.” (Jaz/M-1) lebih lama di Spanyol. “Persaingan musik di Eropa sangat keras. Kita tidak bisa hanya memiliki suara yang bagus atau skill yang tinggi saja. Anda harus berbeda. Itu kunci pentingnya,” ujar lelaki berke- warganegaraan Belanda ini. Rindu Indonesia Melanglang buana dengan waktu yang cukup lama mem- buat Nico merindukan kembali tanah leluhurnya, Indonesia. Dengan penuh perasaan, bapak dua anak ini menyatakan ingin kembali tinggal di Indonesia. Negeri leluhur ini, dalam kacamatanya, tak ubahnya surga dunia. Alasannya setiap orang bisa menikmati hidup dengan tenang. Tidak seperti dulu saat dia dipaksa harus me- ninggalkan Tanah Airnya ka- rena masalah politik. Nico pun dengan pendek menuturkan bahwa kepergiannya ke ‘Negeri Kincir’ karena harus mengikuti Belanda keluar dari Indonesia karena kalah perang. “Kini saya merasakan ba- yaran besar buat saya bukan uang, melainkan kepuasan. Anda lihat kami bermain ha- nya 3 jam di sini, tapi mem- buat orang senang. Itu adalah berkah. Ketika ada wanita da- tang, kemudian mengomentari permainan saya. Rasanya tak dapat dipercaya,” sahutnya menutup pembicaraan. Malam itu memang penuh emosi bagi Nico untuk merindukan tanah kelahirannya. (M-1) [email protected]

Transcript of NICO FIOOLE LEGENDA INDOROCK - ftp.unpad.ac.id · LEGENDA INDOROCK Tidak banyak yang ngeh saat...

Page 1: NICO FIOOLE LEGENDA INDOROCK - ftp.unpad.ac.id · LEGENDA INDOROCK Tidak banyak yang ngeh saat disebut nama Nico Fioole. Padahal, ia salah satu legenda di bidang musik asal Indonesia

LEGENDA INDOROCK Tidak banyak yang ngeh saat disebut nama Nico Fioole. Padahal, ia salah satu legenda di bidang musik asal Indonesia yang populer di Eropa.

N I C O F I O O L E

DINNY MUTIAH

MI/ADAM DWI

5 SELASA, 15 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA SOSOK

genre musik ini.“Paul Mc Cartney pernah da-

tang ke pertunjukan di sebuah klub di Jerman. Setelah itu, mereka menciptakan musik dengan sedikit dirombak dari indorock dan mereka berhasil untuk menembus pasar Ame-rika. Jadinya, mereka yang le bih terkenal daripada kami,” kenang pria ini.

Jerman memang menjadi salah satu persinggahan karier bermusik Nico setelah sebe-lumnya bermukim di Belanda. Bersama band-nya, ia memilih untuk lebih banyak tampil di panggung secara langsung ke-timbang menghabiskan waktu di studio musik. Rekaman hanya dilakukan saat senggang dengan menggunakan jalur indie label.

Tidak heran jika nama Nico

Fioole dan band-nya lebih terkenal di kalangan penikmat musik live di Eropa. Antrean penggemar semakin lama se-makin panjang seiring dengan meningkatnya popularitas The Black Dynamites di sana. Uang pun akhirnya me ngalir deras ke kantong masing-masing.

“Saya memilih lebih ba nyak tampil di panggung daripada di studio rekaman karena ke-beradaan manajer membatasi kami untuk melakukan apa yang kami suka. Padahal, kami suka bermusik,” ujar penyanyi yang pernah tergabung dalam orkestra Suara Istana pimpinan George Fretes ini.

Bukan berarti tidak ada lagu terkenal yang dihasilkan Nico dan kelompoknya. Saat menge-tikkan nama Nico Fioole dan The Black Dynamites di inter-net, Anda akan langsung me-nemukan link video berjudul Brush Those Tears from Your Eyes. Lagu itu juga banyak meng-inspirasi band rock hingga kini.

Suara Nico yang melengking mengimbangi permainan gitar Fred Christoffel dan lengkingan saksofon milik Harry Koster. Ia bersama band-nya kemudian pindah ke Spanyol dan di sana mereka berkolaborasi dengan artis Irlandia Jimmy Ward.

Tahun-tahun berikutnya, Nico dan band menjadi sangat produktif menciptakan album hingga mereka memutuskan pindah ke Afrika Selatan. Ke-pindahan itu tak lama karena setelah itu mereka kembali berkarya di ‘Benua Biru’. Nico sendiri memilih untuk tinggal

SEORANG rekan mem-beri kabar ada reuni yang digelar beberapa musisi asal Indonesia

yang sukses berkarier di luar negeri.

Dan malam itu pada sebuah ruangan di Hotel Boro budur Jakarta, terlihat seorang pria yang energik menerima tamu-tamunya. Pria itu Nico Fioole yang usia nya sudah berkepala tujuh.

Ia pun tampil untuk pertun-jukan yang berlangsung di atas pukul 22.00 WIB dengan kualitas suara yang prima. Pe-nampilannya masih mampu memuaskan penonton.

“Saya hanya menikmati se-tiap momen. Itu tips dari saya,” ujarnya kepada Media Indonesia, beberapa waktu lalu.

Nico sudah bergabung de-ngan grup The Black Dynamites sejak 1959 hingga tahun 1980-an. Ia pun memilih genre indo-rock sebagai jualannya. Jenis musik yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, tetapi sebenarnya pernah terke-nal di era 1960-an.

Jenis musik ini memadukan unsur rock dengan elemen ke roncong yang ditunjukkan dengan banyaknya variasi alat musik senar di satu pertunjuk-an. Genre ini bahkan diklaim sebagai cikal bakal dari musik populer band The Beatles.

Bahkan, ada kabar gitaris Jimmi Hendrix, sang gitaris tersohor itu, konon juga ter-inspirasi dari penampilan band

MI/SUMARYANTO

Nico FiooleTempat, tanggal lahir: Jakarta; 4 Desember 1937

Pendidikan: Sekolah Menengah Ekonomi Atas di Jakarta

Anak: • Silvia Fioole• Philip Palmama Mallorca

Hobi: Fotografi

Album: (1962) CD SAMSAM CDHL 1009; The Black Dynamites(bersama JIMMY WARD);Forty Days; Violetta; It’ll Be Me; True Love Will Come To You; Whole Lotta Shakin’ Goin’ On; Farewell My Indonesian Girl (Beyond The Reef); Susi Twist; Kansas City+Hey Ba-Be-Re-Bob; Dynamite Blues (Honky Tonk); Send Me Some Lovin’; Rocky Road Blues.

Kotak

Romo Mudji

DOK. MI/TERESIA

Bonus tidak Terduga

Keheningan sang Romo

MESKI baru saja ditinggal-kan pemain drumnya, Posan, Kotak tetap mendapatkan ke-beruntungan. Mereka baru saja berhasil meraih dua kategori bergengsi di ajang Indosat Awards 2011, yang digelar akhir pekan lalu. Mereka di-nominasikan sebagai grup pop rock terpopuler dan pemilik lagu pop rock terpopuler.

Tantri (vokal), Chua (bas), dan Cella (gitar) mengaku sangat senang dan tidak menyangka bisa merebut dua penghargaan

sekaligus di acara yang baru pertama kali diadakan ini.

Meski menerima dua piala sekaligus, hal itu tidak dijadi-kan sebagai sebuah kesuksesan besar dan segala-galanya bagi Kotak. Bagi ketiga personel yang tersisa, penghargaan tersebut hanyalah bonus.

“Dari awal kami dapat penghargaan, ini adalah bo-nus. Kita enggak pernah mikir muluk-muluk. Kalau pun da-pat penghargaan itu adalah karunia Tuhan. Penghargaan

ini adalah bonus tak terdu-ga untuk album ketiga kami yang baru saja dirilis,” terang Tantri.

Lalu, bagaimana tanggapan Kotak soal Posan? “Ini piala kami semua, piala kami ber-empat. Terhitung, 8 Maret Posan memang sudah tidak di Kotak, gitu aja. Jadi malam ini Posan enggak ada, tapi dia juga ikut membangun Kotak dari awal. (Jadi) kami persembah-kan piala ini buat dia juga, ” pungkas Tantri. (Eri/M-1)

HIDUP adalah perbuatan yang baik antarsesama. Itulah yang selalu menemani Mudji Sutris-no dalam setiap tin dakannya. Termasuk saat Romo Mudji--begitu ia dipanggil--menuang-kan sketsanya, seni yang juga mengalir dalam sanubarinya.

“Sketsa adalah tarikan garis yang keluar dari hati dan ditarik di depan objek. Untuk membuat sketsa, kita tidak hanya butuh suasana, namun juga keheningan,” ujarnya, di Jakarta, belum lama ini.

Ketika kata dan bahasa tidak cukup melukiskan realitas, baginya ilustrasi titik dan tari-kan garis bisa mewakili sua-sana yang ada. Jangan heran jika nanti ekspresi suasana hati, penggambaran harmoni alam dengan manusia, hingga je-bakan formalitas ritual agama yang sering menjadi sekat pemisah manusia ini tertuang dalam paparan sketsanya.

Untuk membagi perjalanan hidup itu, rencananya sekitar 40-50 sketsa yang dicukil dari buku terbitan Penerbit Obor, Jakarta, akan dipamerkan di Galeri Cemara, Jakarta, mulai 17 Maret mendatang.

Proses pembuatan sketsa ini, katanya tidak secara khusus terkait dengan keprihatinan-nya terhadap ternodanya har-monisasi hubungan antarumat beragama, ia mengakui ada pesan tersirat yang ingin di-sampaikan dalam karyanya.

Dalam situasi Indonesia yang kacau, penuh keke-rasan dan mudah sa l ing cur iga , hanya dalam k e h e n i n g a n n u r a n i b i s a kembali bicara.

U n t u k k e m -b a l i m e n c a p a i keharmonis an bangsa yang sedang gerah ini, umat

harus kembali ke keheningan agama. “Kita berharap se-muanya menjadi hanif, kem-bali sadar bahwa kita saudara dari satu pencipta.” (Jaz/M-1)

lebih lama di Spanyol.“Persaingan musik di Eropa

sangat keras. Kita tidak bisa hanya memiliki suara yang bagus atau skill yang tinggi saja. Anda harus berbeda. Itu kunci pentingnya,” ujar lelaki berke-warganegaraan Belanda ini.

Rindu IndonesiaMelanglang buana dengan

waktu yang cukup lama mem-buat Nico merindukan kembali tanah leluhurnya, Indonesia. Dengan penuh perasaan, bapak dua anak ini menyatakan ingin kembali tinggal di Indonesia.

Negeri leluhur ini, dalam kacamatanya, tak ubahnya surga dunia. Alasannya setiap orang bisa menikmati hidup dengan tenang. Tidak seperti dulu saat dia dipaksa harus me-ninggalkan Tanah Airnya ka-rena masalah politik. Nico pun dengan pendek menuturkan bahwa kepergiannya ke ‘Negeri Kincir’ karena harus mengikuti Belanda keluar dari Indonesia karena kalah perang.

“Kini saya merasakan ba-yaran besar buat saya bukan uang, melainkan kepuasan. Anda lihat kami bermain ha-nya 3 jam di sini, tapi mem-buat orang senang. Itu adalah berkah. Ketika ada wanita da-tang, kemudian me ngomentari permainan saya. Rasanya tak dapat dipercaya,” sahutnya menutup pembica ra an. Malam itu memang penuh emosi bagi Nico untuk merin dukan tanah kelahirannya. (M-1)

[email protected]