ni made dina pranidya ari

136
1 TESIS KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA NI MADE DINA PRANIDYA ARI NIM 1114088202 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016

Transcript of ni made dina pranidya ari

Page 1: ni made dina pranidya ari

1

TESIS

KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF

DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA

NI MADE DINA PRANIDYA ARI

NIM 1114088202

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

Page 2: ni made dina pranidya ari

2

TESIS

KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF

DENGAN

INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI MADE DINA PRANIDYA ARI

NIM 1114088202

Page 3: ni made dina pranidya ari

3

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 20 JULI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK (K), FINSDV

NIP. 195903301985112001 NIP. 195308111981021001

Mengetahui,

Page 4: ni made dina pranidya ari

4

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc,SpGK Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 20 Juli 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana No 3278/UN 14.4/HK/2016, Tanggal 18 Juli 2016

Page 5: ni made dina pranidya ari

5

Ketua : Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV

Sekretaris : Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV

Anggota :

1. Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

2. Dr.dr. AAGP. Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

3. Dr. dr. IGAA. Praharsini, Sp.KK, FINSDV

Page 6: ni made dina pranidya ari

6

Page 7: ni made dina pranidya ari

7

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida

Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya

sehingga tesis yang berjudul “Kadar Malondialdehyde Plasma Berkorelasi Positif dengan

Indeks Bakteri pada Penderita Kusta” dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Luh

Made Mas Rusyati, SpKK, FINSDV dan Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV sebagai

pembimbing yang telah dengan sabar memberikan saran, masukan, dorongan dan

semangat dalam penyusunan karya akhir ini. Penulis menyadari tanpa adanya

bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, semangat serta bantuan lainnya yang

sangat berharga dari semua pihak, tugas akhir ini tidak akan terselesaikan dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, FICS, yang telah memberikan

kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program

pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana. Direktur Program Pasca Sarjana

Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program

Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik ( Combine Degree), Dr. dr. Gde Ngurah

Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk menjadi mahasiswa Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree).

Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Sudana, M.Kes, Kepala Bagian/SMF Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. dr. Made

Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan Ketua Program Studi Pendidikan Dokter

Page 8: ni made dina pranidya ari

8

Spesialis I (PPDS I) Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV atas kesempatan dan fasilitas yang

telah diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.

Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para penguji

karya akhir ini, yaitu Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV, Dr. dr.

AAGP Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV serta Dr.dr. I.G.A.A. Praharsini, SpKK yang

telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga karya akhir ini dapat

terwujud.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Laboratorium Teknis

Analitik Universitas Udayana Denpasar, atas sarana dan prasarana untuk kelancaran

penelitian ini. Kepada teman-teman seperjuangan dr. Ida Ayu Komang Utami Dewi,

dr.Herjuni Oematan, dr. Ary Wulandari, M.BioMed SpKK, , dr. Nieke Andina Wijaya,

dr.Tjokorda Istri DH, dr. Azhar Ramadan Nonci, dr Desak Made Putri Pidari dan dr. Dulce

Madalena da Costa Alberto atas kebersamaan dan kerjasamanya dalam suka dan duka

selama menempuh pendidikan serta selama penelitian. Kepada teman-teman residen

subdivisi Morbus Hansen yang telah membantu selama penelitian serta teman-teman

residen lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,. Terima kasih juga penulis

sampaikan kepada seluruh tenaga paramedis dan non medis di unit rawat jalan dan

rawat inap yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga memungkinkan

penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ayah dr. I

Wayan Budiana, M.Kes dan ibu dr. Desak Putu Mataram, selaku orang tua yang telah

memberikan kasih sayang yang tulus serta memberikan dukungan moril dan materiil

Page 9: ni made dina pranidya ari

9

yang tiada henti dan tanpa pamrih kepada penulis hingga pendidikan ini dapat

diselesaikan. Kepada kedua saudara dr. Ni Putu Dita R. Priyanti, SpM dan drg. Nyoman

Dima F. Prawesti serta I Made Dony Aryadhi Putra terima kasih atas dukungan,

pengertian, pengorbanan dan motivasi selama penulis menyelesaikan pendidikan dan

penelitian ini.

Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi

perkembangan pelayanan kesehatan Kulit dan Kelamin serta bagi pendidikan IImu

Kesehatan Kulit dan Kelamin. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang

Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

.

Denpasar, Juli 2016

Ni Made Dina Pranidya Ari

ABSTRAK

KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF

DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium

leprae, hingga saat ini masih menimbulkan masalah kesehatan di seluruh dunia. Stres

oksidatif dikatakan memiliki peranan pada penyakit kusta dengan ditemukannya

peningkatan reactive oxygen species dan penurunan enzim antioksidan sesuai dengan

spektrum klinis penyakit. Malondialdehyde merupakan produk akhir peroksidasi lipid

berperan sebagai biomarker adanya stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui korelasi kadar malondialdehyde dengan indeks bakteri pada kusta.

Page 10: ni made dina pranidya ari

10

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional analitik. Pengambilan sampel

dilakukan dengan teknik consecutive sampling melibatkan 48 subjek yang terdiri dari 12

kusta tipe pausibasilar (PB) dan 36 kusta tipe multibasilar (MB) yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Sampel diambil dari plasma darah vena subjek, kemudian diperiksa

kadar malondialdehyde dengan metode Thiobarbituric Acid Reactive Substances

(TBARS). Pada subjek juga dilakukan pemeriksaan hapusan sayatan kulit untuk

mengetahui nilai indeks bakteri.

Pada penelitian ini didapatkan kadar malondialdehyde plasma pada subjek kusta

tipe MB lebih tinggi secara signifikan dibandingkan subjek kuta tipe PB (p<0,001).

Ditemukan pula adanya korelasi positif yang sangat kuat antara kadar malondialdehyde

plasma dengan nilai indeks bakteri (r = 0,935, p < 0,001).

Simpulan pada penelitian ini adalah semakin tinggi indeks bakteri maka kadar

malondialdehyde akan semakin tinggi yang dibuktikan dengan kadar malondialdehyde

plasma pada subjek kusta tipe MB lebih tinggi dibandingkan kusta tipe PB serta terdapat

korelasi positif yang sangat kuat antara kadar malondialdehyde plasma dengan nilai

indeks bakteri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar untuk

penelitian selanjutnya yaitu untuk membuktikan malondialdehyde sebagai faktor risiko

progresifitas penyakit kusta.

Kata kunci: kusta, indeks bakteri, malondialdehyde

ABSTRACT

Page 11: ni made dina pranidya ari

11

PLASMA MALONDIALDEHYDE LEVELS ARE POSITIVELY CORRELATED WITH THE

BACTERIAL INDEX IN LEPROSY PATIENT

Leprosy is a chronic granulomatous disease caused by Mycobacterium leprae

and it still continuous to be significant health problem in the world. Oxidative stress is

thought to have an important role in leprosy marked by increase in reactive oxygen

species and decrease in antioxidant enzyme along with disease spectrum.

Malondialdehyde is the end product formed during lipid peroxidation and has a role as

biomarker in oxidative stress. The aim of this study was to investigate the correlation

between plasma levels of malondialdehyde with bacterial index in leprosy patients.

This study was a cross sectional analytic study. Subjects was taken using

consecutive sampling technique consisted of 48 subjects, 12 paucibacillary leprosy and

36 multibacillary leprosy that had met inclusion and exclusion criteria. Samples was

taken from venous blood and malondialdehyde level was measured using Thiobarbituric

Acid Reactive Substances (TBARS). The slit skin smear was done to asses bacterial index

in subjects .

This study found that the mean of malondialdehyde plasma was significantly

higher in MB leprosy compare to PB leprosy (p<0,001). The result also showed that there

was a very strong positive correlation between plasma levels of malondialdehyde and

bacterial index (r = 0,935, p < 0,001).

This study conclude that higher levels of plasma malondialdehyde will increases

the bacterial index with evidence plasma malondialdehyde in the subject with MB

leprosy were higher than the subject with PB leprosy and there was a very strong

positive correlation between plasma levels of malondialdehyde and bacterial index in

leprosy patients. The results of this study could be use as a preliminary data for further

study to perceive the role of malondialdehyde as a risk factor for progressivity of

leprosy.

Keywords: leprosy, malondialdehyde, bacterial index

Page 12: ni made dina pranidya ari

12

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ......................................................................................................... i

PRASYARAT GELAR................................................................. .................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................................... v vi

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................................. vii

ABSTRAK ..................................................................................................................... x

ABSTRACT ................................................................................................................... xi

DAFTAR ISI………………………………………………………………

DAFTAR TABEL…………………………………………………………

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...

DAFTAR LAMPIRAN...………………………………………………….

DAFTAR SINGKATAN………………………………………………….

i

ii

iii

iv

v

vi

ix

x

xi

xv

xvi

xvii

xviii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1

Page 13: ni made dina pranidya ari

13

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… 7

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….

1.3.1 Tujuan Umum……………………………………………….

1.3.2 Tujuan Khusus………………………………………………

7

7

7

1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...… 8

1.4.1 Manfaat Teoritis ..………………………………………...... 8

1.4.2 Manfaat Praktis…………………………………….....…….. 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kusta……………...……………...........……………….... 9

2.2 Epidemiologi....................................................................................

2.3 Etiologi…………………………………………………………….

2.4 Patogenesis………………………………………………………...

2.5 Cara Penularan…………………………………………………….

2.6 Diagnosis…………………………………………………………..

2.7 Klasifikasi…………………………………………………………

2.8 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit……………………………...

2.9 Terapi Kusta……………………………………………………….

2.10 Reaksi Kusta…………………………………………………….

9

11

12

17

18

20

22

24

25

2.11 Stres Oksidatif................................................................................ 26

2.11.1 Definisi ……………………………………………………. 26

2.11.2 Radikal bebas, Reactive Oxygen Species dan Antioksidan... 27

2.11.3 Kerusakan akibat Stres Oksidatif.......................................... 31

2.11.4 Malondialdehyde sebagai Biomarker Stres Oksidatif……... 35

Page 14: ni made dina pranidya ari

14

2.12 Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta……………………………..

2.12.1 Patogenesis Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta……….......

2.12.2 Tingkat Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta……………….

36

67

40

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir .………………………………………………. 43

3.2 Konsep Penelitian…………...........………………………………. 45

3.3 Hipotesis Penelitian ………….………………………………...... 46

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………... 47

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………... 47

4.3 Penentuan Sumber Data…..……........………………………......... 48

4.3.1 Populasi Penelitian........…………………………………….. 48

4.3.2 Sampel Penelitian ……………………………………......... 48

4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian .............................. 48

4.3.4 Besar Sampel...…………………………………....………… 50

4.4 Variabel Penelitian………………………………………………... 50

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel……………………....... 50

4.4.2 Definisi Operasional Variabel………………………………. 51

4.5 Bahan dan Instrumen penelitian……………………………………

4.5.1 Bahan Sampel……………………………………………….

4.5.2 Instrumen Penelitian………………………………………...

57

57

57

4.6 Prosedur Penelitian........................................................................... 58

4.7 Alur Penelitian ................................................................................. 62

Page 15: ni made dina pranidya ari

15

4.8 Analisis Data .......………………………………………….……....

4.9 Etika Penelitian…………………………………………………….

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian……………………………………

5.2 Uji Normalitas Data………………………………………………..

5.3 Kadar Malondialdehyde Plasma pada Subjek Kusta tipe

Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar……………………...

5.4 Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri

Pada Subjek dengan Kusta………………………………………...

5.5 Analisis Regresi Linear Hubungan Kadar Malondialdehyde

Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta………………..

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian……………………………………

6.2 Kadar Malondialdehyde Plasma pada Subjek Kusta Tipe

Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar………………………

6.3 Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri

pada Subjek Kusta…………………………………………………

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan …………………………………………………………..

7.2 Saran………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….….

LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………...

64

65

66

68

68

71

72

74

79

81

85

85

86

94

Page 16: ni made dina pranidya ari

16

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1

5.1

5.2

5.3

5.4

5.5

5.6

5.7

Karakteristik Klasifikasi Kusta Ridley dan Jopling...............................

Karakteristik Subjek Penelitian……………………………………….

Hasil Uji Normalitas Data………………………..………………… ...

Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara Subjek Kusta Tipe

Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar……………………

Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara Subjek Kusta yang

Belum Mendapatkan Terapi dengan yang Sudah Mendapatkan Terapi

…………………………………………………………………

Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara masing-masing

Kelompok Umur……………………………………………………….

Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri pada

Subjek Kusta………………………………………………………….

Hasil Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar Malondialdehyde

Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta……………….......

21

67

68

69

70

71

72

73

Page 17: ni made dina pranidya ari

17

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1

2.2

2.3

Spektrum Klinis Penyakit Kusta………………………………………

Peran Makrofag pada Sistem Imunitas………………………………..

Mekanisme Pertahanan Antioksidan Enzimatik dan Non Enzimatik…

13

15

31

2.4 Mekanisme Kerusakan Sel Akibat Stres Oksidatif ..........……………. 32

2.5

2.6

2.7

3.1

4.1

4.2

4.3

5.1

5.2

Tahapan Peroksidasi Lipid……………………………….....................

Mekanisme Respiratory Burst selama Proses Fagositosis…………….

Peroksidasi Lipid pada Penyakit Kusta………………………………..

Bagan Kerangka Konsep Penelitian…………………………………...

Rancangan Cross Sectional……………………………………………

Bagan Hubungan Antar Variabel……………………………………...

Bagan Alur Penelitian…………………………………………………

Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara Subjek

Kusta tipe Pausibasilar dengan Kusta tipe Multibasilar……………….

Kadar Malondialdehyde Plasma Berdasarkan Indeks Bakteri pada Subjek

Kusta………………………………………………………….

34

38

39

45

47

51

63

69

72

Page 18: ni made dina pranidya ari

18

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Ethical Clearance……………………...………………..…

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian……………………………………....... Lampiran 3

Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian …………...…

94

95

96

Lampiran 4 Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian ………………..… 98

Lampiran 5 Kuesioner Penelitian ……………………………………....

Lampiran 6 Data Sampel Penelitian………..…………………………...

Lampiran 7 Karakteristik Subjek Penelitian……………..……………..

Lampiran 8 Uji Normalitas Data..…………………………………........

Lampiran 9 Uji Mann-Whitney Kadar MDA antara Kelompok Kusta Tipe PB

dengan Kusta Tipe MB………...………………….

Lampiran 10 Uji Korelasi Spearman’s rho antara Kadar MDA dengan Indeks

Bakteri pada Subjek Kusta………….…………….

Lampiran 11 Analisis Regresi Linear Kadar MDA dengan Indeks Bakteri pada

Subjek Kusta……………………….……….

Lampiran 12 Foto Prosedur Penelitian…………………………………...

99

104

106

108

109

111

112

113

Page 19: ni made dina pranidya ari

19

Lampiran 13 Foto Subjek Penelitian……………………………………. 114

DAFTAR SINGKATAN

APC : Antigen Presenting Cell

AraLAM : Arabinose-capped Lipoarabinomannan

ATP : Adenosine Triphosphate

BB : Borderline Borderline

BHT : Buthylated hydroxytoluene

BL : Borderline Lepromatosa

BT : Borderline Tuberkuloid

BTA : Basil Tahan Asam

CAT : Catalase

CMI : Cell Mediated Immunity

dkk : dan kawan kawan

DNA : Deoxyribonucleic Acid

ENL : Eritema Nodosum Leprosum

GPx : Glutathione Peroxidase

GSH : Glutathione

HIV : Human Immunodeficiency Virus

Page 20: ni made dina pranidya ari

20

HNE : Hidroksinonenal

IB : Indeks Bakteri

IFNγ : Interferon γ

IgM : Imunoglobulin M

IL : Interleukin

IM : Indeks Morfologi

LBP-21 : Laminin Binding Protein-21

LL : Lepromatosa Lepromatosa

LM : Lipomannan

ManLAM : Manosa-capped Lipoarabinomannan

MAP-kinase : Mitogen Activated Protein-Kinase

MB : Multibasiler

MDA : Malondialdehyde

MDT : Multi Drug Therapy

MH : Morbus Hansen

MHC : Major Histocompatibility Complex

NADPH : Nicotine Adenine Dinucleotide Phosphate

NF-κB : Nuclear Factor Kappa B

NO : Nitric Oxide

PB : Pausibasiler

PCR : Polymerase Chain Reaction

PGL-1 : Phenolic Glycolipid

PUFA : Polyunsaturated Fatty Acid

RFT : Release from Treatment

Page 21: ni made dina pranidya ari

21

ROM : Rifampisin Ofloksasin Minoksiklin

ROS : Reactive Oxygen Species

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SOD : Superoxide Dismutase

SPSS : Statistical Package for Social Science

TBARS : Thiobarbituric Acid Reactive Substances

Th : T Helper

TLR : Toll-Like Receptor

TNFα : Tumor Necrosis Factor-α

TT : Tuberkuloid Tuberkuloid

WHO : World Health Organization

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit infeksi kronis yang

hingga saat ini masih menimbulkan permasalahan yang bersifat kompleks baik

bagi penderita maupun masyarakat. Permasalahan yang dihadapi penderita bukan

hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat

penyakit kusta dapat menimbulkan masalah sosial, ekonomi dan budaya. Masalah

penyakit kusta ini diperberat dengan kompleksnya epidemiologi dan kurangnya

pengetahuan atau kepercayaan yang keliru pada keluarga, masyarakat dan petugas

Page 22: ni made dina pranidya ari

22

kesehatan mengenai penyakit kusta, sehingga banyak penderita kusta baru

mendapat pengobatan ketika sudah dalam keadaan cacat.

Penyakit kusta atau lepra atau dikenal pula dengan sebutan Morbus

Hansen (MH) merupakan penyakit yang menyerang saraf perifer serta dapat pula

menyerang kulit dan jaringan lain seperti mata, mukosa saluran pernafasan bagian

atas, otot, tulang, dan testis (Bryceson dan Pfaltzgraff, 1990). Hingga saat ini

penyakit kusta masih ditemukan tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian

terbanyak ditemukan di Asia Tenggara (WHO, 2015). Sejak diperkenalkannya

pengobatan multi drug therapy (MDT) oleh World Health Organization (WHO)

pada tahun 1981, telah terjadi penurunan jumlah kasus maupun angka prevalensi

penyakit kusta secara global, namun hingga saat ini masih ditemukan lebih dari

200.000 kasus baru penyakit kusta yang tercatat di seluruh dunia setiap tahunnya

(Polycarpou dkk., 2013; Lee dkk., 2012). Indonesia sendiri masih menempati

peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak dan peringkat pertama jumlah kasus

kusta tipe multibasilar terbanyak (WHO, 2015). Jumlah kasus baru terbanyak di

Indonesia berasal dari Jawa Timur, sementara dibandingkan provinsi lain, Bali

termasuk memiliki jumlah kasus kusta yang cukup rendah yaitu pada tahun 2014

tercatat sejumlah 89 kasus dengan angka prevalensi sebesar 0,21 per 10.000

penduduk, namun data ini belum mencerminkan jumlah kasus yang sesungguhnya

karena penyakit kusta di Indonesia merupakan fenomena gunung es sehingga

kemungkinan banyak kasus yang tidak tercatat (Yudianto dkk., 2015).

Penegakan diagnosis penyakit kusta didasarkan atas penemuan tanda

kardinal (utama) yaitu adanya lesi kulit disertai anestesi atau mati rasa, penebalan

Page 23: ni made dina pranidya ari

23

saraf tepi yang dapat disertai gangguan fungsi saraf dan ditemukannya basil tahan

asam (BTA) pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit. Diagnosis kusta dapat

ditegakkan jika terdapat 1 dari 3 tanda kardinal kusta (Eichelmann dkk., 2013;

Kumar dan Dogra, 2010). Dari pemeriksaan hapusan sayatan kulit akan

didapatkan nilai indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM). Nilai IB selain

berperan dalam penentuan klasifikasi, juga berperan untuk menilai respon

pengobatan serta penentuan relaps (Bhat dan Prakash, 2012; Kumar dan Dogra,

2009; Desikan dkk., 2005). Indeks bakteri umumnya mengalami penurunan

setelah terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun atau +1 per tahun dan berlanjut

meskipun MDT telah dihentikan, sedangkan IM umumnya akan mengalami

penurunan menjadi nol setelah 4-6 bulan terapi MDT (Mahajan, 2013).

Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang berbeda-beda pada

setiap individu. Berdasarkan pengelompokan Ridley dan Jopling penyakit kusta

dibagi menjadi 5 tipe berdasarkan klinis, histopatologis dan imunologis yaitu

kusta tipe tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid borderline

(BB), tipe borderline lepromatosa (BL) dan tipe lepromatosa (LL), sedangkan

WHO membagi kusta menjadi kusta tipe pausibasilar (PB) serta kusta tipe

multibasilar (MB) (Mishra dan Kumar, 2010; Bhushan dkk., 2008). Variasi atau

perbedaan manifestasi klinis penyakit kusta pada masing-masing individu

disebabkan oleh variasi respon imunitas seluler atau cell mediated immunity

(CMI). Penderita yang memiliki imunitas seluler yang cukup tinggi akan

menderita kusta yang cenderung ke arah kutub tuberkuloid yang ditandai dengan

hilangnya sensasi dan pembesaran saraf yang lebih jelas namun jumlah lesi sedikit

Page 24: ni made dina pranidya ari

24

dan kuman umumnya tidak terdeteksi, sedangkan semakin rendah imunitas seluler

maka tipe yang akan diderita semakin ke arah kutub lepromatosa dengan jumlah

lesi dan kuman yang lebih banyak, serta keterlibatan saraf dan disabilitas yang

lebih berat pada tahap lanjut (Lee dkk., 2012; Polycarpou dkk., 2013).

Manifestasi klinis penyakit kusta juga dapat dipengaruhi oleh inflamasi

pada jaringan yang dimediasi oleh respon imun. Produk seperti tumor necrosis

factor-α (TNFα), nitric oxide (NO) dan adanya reactive oxygen species (ROS),

berperan penting pada respon imunitas terhadap infeksi namun di sisi lain juga

dapat menimbulkan kerusakan jaringan (Vasques dkk., 2014). Reactive oxygen

species diproduksi oleh organisme sebagai hasil dari metabolisme selular normal.

Pada konsentrasi rendah atau sedang ROS berfungsi dalam proses fisiologis,

namun pada konsentrasi yang tinggi ROS dapat mengakibatkan efek samping

pada komponen selular seperti lipid, protein dan asam nukleat. Tubuh manusia

sendiri dilengkapi oleh sistem antioksidan yang terdiri dari antioksidan enzimatik

dan non-enzimatik yang berperan mengimbangi efek ROS atau oksidan serta

mencegah kerusakan akibat ROS. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan

ROS dikenal dengan sebutan stres oksidatif (Birben dkk., 2012; Vijayaraghavan

dan Paneerselvam, 2011). Berdasarkan penelitian dikatakan stres oksidatif

memiliki peranan penting pada penyakit kusta. Patogenesis terjadinya stres

oksidatif pada penyakit kusta masih belum diketahui secara pasti, diduga

disebabkan karena infeksi oleh M.leprae dan respon imunitas pada penyakit kusta

(Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011).

Page 25: ni made dina pranidya ari

25

Sistem pertahanan utama pada infeksi oleh M. leprae adalah sistem

imunitas yang diperantarai oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Makrofag akan

mengenali M. leprae melalui Toll like receptor (TLR) yang akan menginduksi

pelapasan sitokin seperti TNF-α, interferon (IFN) γ, interleukin (IL)-1, IL-6 dan

IL-12 yang akan menginduksi inflamasi, mengaktivasi respon imunitas adaptif

dan aktivasi enzim fagosit oksidase yang selanjutnya akan menginduksi pelepasan

radikal bebas atau ROS. Radikal bebas atau ROS ini selain berperan pada

pertahanan tubuh terhadap infeksi juga dapat menimbulkan kerusakan lipid,

protein dan asam nukleat pada sel pejamu. Kerusakan yang berat akan

menimbulkan kematian sel (Trimbake dkk., 2013; Abbas dkk., 2015). Pada kusta

tipe lepromatosa sumber utama ROS juga diduga berasal dari subpopulasi sel

fagosit lain seperti neutrofil dan makrofag yang terstimulasi secara imunologis.

Pada penyakit kusta ditemukan pula penurunan enzim antioksidan terutama

superoksid dismutase (SOD) yang diduga disebabkan karena hambatan gen SOD

oleh komponen M. leprae dan penggunaan biometal dari sel pejamu untuk

pertahanan hidup M. leprae, sehingga mempengaruhi metaloenzim seperti SOD

(Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade, 2000). Adanya stres oksidatif

pada kusta dikatakan dapat mempengaruhi episode inflamasi, menyebabkan

kerusakan jaringan pada penderita kusta (Vijayaraghavan dan Pneerselvam,

2011).

Reactive oxygen species dan radikal bebas bersifat tidak stabil dan sulit

diukur secara langsung, namun ROS dapat menimbulkan kerusakan pada lipid

(peroksidasi lipid) terutama mengenai polyunsaturated fatty acid (PUFA)

Page 26: ni made dina pranidya ari

26

membran lipid. Polyunsaturated fatty acid kemudian didegradasi menjadi

malondialdehyde (MDA). Malondialdehyde pada plasma atau serum dapat

digunakan sebagai penanda kerusakan seluler akibat radikal bebas (Ayala dkk.,

2014; Garad dkk., 2014). Berdasarkan penelitian, adanya MDA juga dapat

menstimulasi diferensiasi sel Th menuju kearah fenotip Th2 sehingga

menginduksi hiporesponsif sel limfosit T (Bennet dan Griffiths, 2013).

Penelitian mengenai stres oksidatif sudah dilakukan pada berbagai

penyakit kulit termasuk penyakit kusta. Berdasarkan beberapa penelitian

ditemukan peningkatan ROS dan penurunan sistem antioksidan pada penyakit

kusta. Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan dkk (2011) menunjukkan

penurunan secara signifikan enzim antioksidan seperti SOD, katalase, glutation

peroksidase, glutation reduktase dan glutation-s-transferase pada penderita kusta

dibanding kontrol yang sehat. Penelitian mengenai peroksidasi lipid sebagai

penanda adanya stres oksidatif pada penyakit kusta masih memberikan hasil yang

berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Emerson dkk. (2007) menemukan

peningkatan kadar MDA pada penderita kusta dibandingkan dengan kontrol yang

sehat, peningkatan bersifat gradual dimana peningkatan MDA ditemukan paling

besar pada kusta tipe lepromatosa. Hasil yang serupa juga ditemukan pada

penelitian yang dilakukan oleh Trimbake dkk. (2013) yaitu terdapat peningkatan

kadar MDA secara signifikan pada penderita penyakit kusta, terutama pada

penderita kusta tipe MB dibandingkan PB. Penelitian oleh Prasad dkk. (2007)

yang membandingkan stres oksidatif dengan IB menemukan adanya hubungan

yang positif antara peningkatan kadar MDA dan peningkatan IB pada penderita

Page 27: ni made dina pranidya ari

27

kusta. Penelitian yang dilakukan oleh Meneses dkk. (2014) yang meneliti kadar

MDA pada urin juga menemukan hubungan yang positif kadar MDA urin dengan

peningkatan IB pada penderita kusta. Penelitian oleh Prabhakar dkk. (2013) yang

meneliti mengenai stres oksidatif pada penderita kusta yang telah mendapatkan

pengobatan menemukan peningkatan kadar MDA secara signifikan dibanding

kontrol. Hal ini menunjukkan adanya stres oksidatif pada penderita kusta

meskipun telah mendapatkan terapi MDT. Hasil yang berbeda ditemukan pada

penelitian yang dilakukan oleh Schalcher dkk. (2013), dimana tidak ditemukan

perbedaan yang signifikan pada kadar MDA penderita kusta dibanding kontrol.

Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher dkk. (2014) yang meneliti

adanya stres oksidatif selama terapi MDT juga tidak menemukan perbedaan yang

signifikan pada kadar MDA penderita kusta baik yang telah diobati dengan yang

belum diobati dengan kontrol.

Berdasarkan permasalahan tersebut, didapatkan peranan penting MDA

sebagai biomarker stres oksidatif dan hubungannya dengan IB pada penyakit

kusta. Beberapa penelitian masih didapatkan hasil yang kontroversi mengenai

hubungan antara kadar MDA dengan IB pada kusta sehingga peneliti ingin

meneliti lebih lanjut korelasi antara kadar MDA dengan IB pada penderita kusta

yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat perbedaan kadar MDA plasma antara penderita kusta tipe

PB dengan kusta tipe MB di RSUP Sanglah Denpasar?

Page 28: ni made dina pranidya ari

28

2. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar MDA plasma dengan nilai

indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk membuktikan adanya hubungan antara MDA dengan penyakit kusta

di RSUP Sanglah Denpasar.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk membuktikan adanya perbedaan kadar MDA plasma antara

penderita kusta tipe PB dengan kusta tipe MB di RSUP Sanglah

Denpasar.

2. Untuk membuktikan adanya korelasi positif antara kadar MDA plasma

dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah

Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Memberi sumbangan ilmu pengetahuan mengenai peranan MDA

sebagai penanda stres oksidatif pada patogenesis penyakit kusta serta

hubungan antara MDA dengan indeks bakteri pada penderita kusta.

1.4.2 Manfaat praktis

1.4.2.1 Manfaat untuk klinisi

Page 29: ni made dina pranidya ari

29

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan

untuk penelitian selanjutnya mengenai MDA sebagai faktor risiko

progresivitas penyakit kusta.

1.4.2.2 Manfaat untuk penderita

Dengan mengetahui korelasi kadar MDA plasma dengan indeks

bakteri pada penyakit kusta, maka kadar MDA plasma dapat

dipertimbangkan sebagai pemeriksaan tambahan dalam menilai kondisi

stres oksidatif pada penderita penyakit kusta.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kusta

Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang

disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit

dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ

lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki

manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis besar terdapat tiga

pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang lebih ringan),

lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ lain)

Page 30: ni made dina pranidya ari

30

dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa) (Sandle, 2013;

Thorat dan Sharma, 2010).

2.2 Epidemiologi

Hingga saat ini MDT masih merupakan faktor utama dalam

pengendalian penyakit kusta selama 3 dekade setelah diperkenalkannya obat ini

untuk pertama kali. Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya MDT

prevalensi penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga WHO

kemudian mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai permasalahan

kesehatan masyarakat secara global pada tahun 2000. Eliminasi penyakit kusta

didefinisikan sebagai penurunan prevalensi penyakit hingga mencapai <1 kasus

per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan pada negara-negara dimana

penyakit kusta bersifat endemik. Sebagai hasilnya target eliminasi penyakit kusta

secara global dapat dicapai pada tahun 2000 dengan perkecualian pada beberapa

negara dimana target eliminasi secara nasional baru dicapai pada tahun 2005

(WHO, 2014).

Berdasarkan data yang diperoleh dari 121 negara pada tahun 2014,

WHO melaporkan jumlah kasus baru yang terdeteksi adalah sebesar 213.899

jumlah ini menurun dibanding jumlah kasus baru pada tahun 2013 yaitu sebesar

215.656. Jumlah kasus baru terbanyak dilaporkan berasal dari Asia yaitu sebesar

154.834 (72%), kemudian Amerika 33.789, Afrika 18.597, Pasifik Barat 4337 dan

terakhir Meditarian Timur 2342. Berdasarkan data WHO Indonesia masih

menempati peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak setelah India dan Brasil

Page 31: ni made dina pranidya ari

31

yaitu sebesar 17.025. Jumlah kasus baru ini mengalami peningkatan dibanding

tahun 2013 yaitu sebesar 16.856. Diantara negara di Asia, Indonesia juga

menempati jumlah kasus kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara

kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang

terbanyak yaitu sebesar 11,1%, sedangkan untuk jumlah kasus yang teregistrasi

selama trimester pertama 2015 berdasarkan data WHO adalah sebesar 175.554

(WHO, 2015). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik pada tahun

2013 jumlah kasus baru yang tecatat di provinsi Bali adalah sebesar 88 kasus

dengan 81 kasus MB dan 7 kasus PB, sedangkan pada tahun 2014 tercatat 81

kasus baru dengan 68 kasus MB dan 13 kasus PB. Angka prevalensi kusta di

Provinsi Bali pada tahun 2014 adalah 0,21 per 10.000 penduduk (Yudianto dkk.,

2014; Sitohang dkk., 2015).

Penyakit kusta dapat mengenai semua usia namun yang terbanyak

adalah pada usia muda dan produktif. Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta

dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama. Penyakit

kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang

ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Kemenkes RI, 2012).

2.3 Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang

merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur

pada media buatan, aerob dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini pertama kali

Page 32: ni made dina pranidya ari

32

ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873 sehingga penyakit ini

dikenal pula sebagai Morbus Hansen (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010).

Mycobacterium leprae bersifat non motil berukuran panjang 1-8

mikron dan diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat.

Tropisme dari bakteri ini adalah sistem retikuloendotelial dan sistem saraf perifer

(sel Schwann). Replikasi memerlukan waktu 11 hingga 13 hari, tumbuh maksimal

pada suhu 270 C hingga 30

0 C (Eichelmann dkk., 2013; Sekar, 2010). Dinding sel

bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan arabinogalaktan dan

mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan respon imunitas

selular maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian luar hingga ke

membran sel. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu

pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 (PGL-1) yang merupakan

glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis. Phenolic

glycolipid-1 sangat imunogenik,dapat memicu imunoglobulin kelas

Imunoglobulin (Ig ) M yang ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta

tipe LL. (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010; Polycarpou dkk., 2013).

2.4 Patogenesis

Penyakit kusta ditandai dengan adanya spektrum klinis yang luas

didasari oleh respon imunitas pejamu (Gambar 2.1). Penderita kusta tipe

tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th

(T Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada kulit dan saraf, yang

menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M.

Page 33: ni made dina pranidya ari

33

leprae. Kusta tipe tuberkuloid ditandai dengan adanya pembentukan granuloma

dengan predominan sel T CD4+ dan gambaran klinis adanya gangguan saraf tepi

yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe

lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 (IL-4

dan IL-10) yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T

CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe

borderline yang menunjukan pola imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia

dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).

Gambar 2.1

Spektrum Klinis Penyakit Kusta (Nath dan Chaduvula, 2010)

Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas

alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor 2 membentuk

heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti

Page 34: ni made dina pranidya ari

34

protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk., 2010). Lipoglikan lipomanan

(LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan

AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium,

berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag

dan imunomodulasi respon pejamu. Molekul ini berperan pada pelepasan ROS

oleh sel fagosit melalui mekanisme respiratory burst (Hart dan Tapping, 2012).

Beberapa reseptor signaling lainnya yang juga dianggap berperan antara lain TLR

4,6,8 dan 9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle (Misch dkk., 2010).

Determinan utama diferensiasi sel limfosit T yang naïf menjadi sel Th1

dimediasi oleh antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui

pelepasan IL-12. Pada kusta tipe tuberkuloid ekspresi IL-12 ditemukan 10 kali

lipat lebih tinggi dibanding kusta tipe lepromatosa. Pelepasan IL12 juga dimediasi

oleh TLR 1 dan 2 dan CD40 dimana ekspresi TLR maupun CD40 ini ditemukan

lebih banyak pada lesi tuberkuloid dibanding lepromatosa. Hal ini menjelaskan

mengapa pada kusta tipe lepromatosa terjadi kegagalan pembentukan Th1 dan

IFN γ yang berespon terhadap antigen M. leprae (Renault dan Ernst, 2015)

Makrofag merupakan sel pejamu yang paling banyak berinteraksi

dengan M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC melalui

molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan klas II yang

dipresentasikan kepada sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai fagositosis bakteri

patogen melalui mekanisme efektor nonspesifik. Makrofag pada jaringan spesifik

dan lokasi infeksi berperan dalam melepaskan sitokin termasuk TNF-α sebagai

hasil dari stimulasi M. leprae utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi

Page 35: ni made dina pranidya ari

35

makrofag oleh PGL-1 juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α (Bath dan

Prakash, 2012; Venkatesan dan Deo, 2012). Produk utama reaktivasi makrofag

adalah ROS dan nitric oxide (NO). Produksi ROS diperantarai oleh fagosit

oksidase suatu enzim multisubunit yang diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal

dari TLR. Fagosit oksidase berfungsi mereduksi molekul oksigen menjadi ROS

dengan kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Radikal

superoksid yang terbentuk dari proses ini kemudian akan mengalami dismutasi

secara enzimatik menjadi hidrogen peroksida, yang selanjutnya digunakan oleh

enzim myeloperoksidase untuk mengubah ion halida menjadi asam hipoklorat

yang bersifat reaktif. Proses ini dikenal dengan sebutan respiratory burst (Abbas

dkk., 2015).

Selain ROS, makrofag juga memproduksi reactive nitrogen species

terutama NO. Nitric oxide dibentuk dari aktivasi enzim inducible nitric oxide

synthase (iNOS). Enzim ini merupakan enzim sitosolik yang terinduksi sebagai

respon terhadap produk mikrobial yang mengaktivasi TLR, terutama apabila

dikombinasi dengan IFN-γ. Enzim iNOS mengkatalisasi konversi arginin menjadi

sitrulin dan melepaskan NO yang berdifusi aktif. Di dalam fagolisosom NO dapat

membentuk radikal peroksinitrit yang sangat reaktif, sebagai hasil penggabungan

dengan hidrogen peroksida atau radikal superoksid yang dapat membunuh bakteri

(Abbas dkk., 2015).

Page 36: ni made dina pranidya ari

36

Gambar 2.2

Peran Makrofag pada Sistem Imunitas (Abbas dkk., 2015)

Sel schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M.

leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae

maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel

schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang

terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21)

berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel Schwann,

selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demyelinisasi saraf perifer

diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin,

aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase

(Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk., 2010; Renault dan

Ernst, 2015). Demyelinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut

karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak bermyelin. Mekanisme

Page 37: ni made dina pranidya ari

37

kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasilar

(Renault dan Ernst, 2015).

Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga

disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16,

IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang

dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan apoptosis

sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron

yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide (NO) yang

merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf

disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf

sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst,

2015).

2.5 Cara Penularan

Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah M.leprae dan

sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak diobati. Kusta

tipe MB merupakan sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah

bakteri pada kusta tipe lepromatosa dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram

jaringan, sedangkan jumlah basil pada kusta tipe yang lain dikatakan lebih rendah,

namun semua kasus kusta yang aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber

infeksi yang potensial (Eichelmann, 2013; Rao, 2012; Thorat, 2010).

Mekanisme transmisi M.leprae hingga saat ini masih belum diketahui

secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan tempat masuk utama

Page 38: ni made dina pranidya ari

38

M. leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan metode transmisi utama

(Eichelmann, 2013; Rao, 2012). Berjuta basil dikeluarkan dari mukosa nasal

individu dengan pemeriksaan bakteriologis positif pada saat bersin, namun hanya

sedikit (kurang dari 3%) dari bakteri yang berhasil keluar bersifat viabel bahkan

pada kasus yang belum mendapat pengobatan. Sehingga kemampuan transmisi M.

leprae bersifat rendah dan kontak yang lama serta penduduk yang padat

merupakan salah satu faktor risiko (Eichelmann, 2013; Thorat, 2010). Metode

transmisi lainnya meliputi kontak kulit secara langsung, melalui fomit dan

inokulasi lewat trauma meskipun masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.

Metode transmisi lain yang juga masih belum terbukti adalah transmisi in utero

dan melalui air susu ibu (Rao, 2012; Thorat, 2010).

2.6 Diagnosis

Berdasarkan pertemuan komite ahli WHO pada tahun 1997, penyakit

kusta didiagnosis berdasarkan atas 3 tanda kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila

individu yang belum menyelesaikan pengobatan memiliki satu atau lebih tanda

kardinal berikut (Kumar dan Dogra, 2010) :

1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan hilangnya

atau gangguan sensasi

Makula atau plak dapat berwarna hipopigmentasi, hiperpigmentasi,

eritematosa atau berwarna seperti tembaga. Permukaan dapat kering atau

kasar karena hilangnya fungsi kelenjar keringat atau berkilap atau dapat

pula dengan permukaan lembut. Dapat ditemukan hilangnya folikel

Page 39: ni made dina pranidya ari

39

rambut dan lesi dapat berupa infiltasi, edema atau eritema. Adanya

anestesi merupakan hal yang spesifik untuk penyakit kusta. Pemeriksaan

adanya gangguan sensorik dilakukan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu.

(Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010).

2. Keterlibatan saraf tepi yang ditunjukkan dengan adanya penebalan saraf

Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit.

Saraf yang paling sering terkena adalah nervus ulnaris dan peroneus

komunis. Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih

sering ditemukan pada kusta tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan

pemeriksaan palpasi. Evaluasi meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau

dengan palpasi), konsistensi (lunak, keras atau iregular) dan ukuran

(membesar, normal atau kecil). Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan

nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus

radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus peroneus, dan

nervus tibialis posterior (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder,

2010).

3. Pemeriksaan hapusan sayatan kulit ditemukan basil tahan asam

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus

telinga dan lesi kulit. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen.

Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit kemudian dapat ditentukan indeks

bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam

menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi (Eichelmann, 2013; Job dan

Ponnaiya, 2010).

Page 40: ni made dina pranidya ari

40

Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis.

Pemeriksaan histopatologis pada kusta akan menunjukkan gambaran granuloma

yang khas disertai keterlibatan saraf. Pada kusta tipe tuberkuloid umumnya akan

ditemukan gambaran granuloma epiteloid disertai infiltrat limfosit, sedangkan

pada kusta tipe lepromatosa akan ditemukan gambaran granuloma makrofag. Pada

kusta tipe borderline akan ditemukan gambaran granuloma dengan proporsi sel

epiteloid dan makrofag yang berbeda-beda (Porichha dan Natrajan; 2010).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologis yaitu

pemeriksaan titer antibodi PGL-1 dan polymerase chain reaction (PCR)

(Eichelmann; 2013).

2.7 Klasifikasi

Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen

pengobatan, prognosis dan komplikasi serta perencanaan operasional misalnya

menemukan pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologi tinggi

sebagai target utama pengobatan. Selain itu klasifikasi kusta juga sangat penting

untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.

Klasifikasi kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley

dan Jopling 1962) yang membagi kusta menjadi 5 yaitu kusta tipe Tuberculoid

Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline

Lepromatosa (BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL). Pembagian ini

didasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis (Lee,

dkk., 2012; Mishra dan Kumar 2010). Klasifikasi kusta yang lain adalah

Page 41: ni made dina pranidya ari

41

klasifikasi Madrid yang didasarkan pada Kongres Internasional Kusta di Madrid

pada tahun 1953. Klasifikasi ini terdiri dari kusta tipe Indeterminate (I),

Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B) dan Lepromatous (L).

Untuk kepentingan program kusta WHO mengeluarkan klasifikasi

kusta pada tahun 1988 yang terdiri dari kusta tipe pausibasilar (PB) meliputi kusta

dengan pemeriksaan BTA negatif yaitu tipe I, TT dan BT berdasarkan klasifikasi

Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid dan kusta tipe

MB yang meliputi kusta tipe LL, BL, BB menurut Ridley dan Jopling atau tipe B

dan L menurut klasifikasi Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.

Keterbatasan pemeriksaan hapusan kulit yang tidak bisa diterapkan secara global

menyebabkan WHO kembali mengeluarkan klasifikasi pada tahun 1998 yang

membagi kusta menjadi 3 berdasarkan atas jumlah lesi yaitu kusta tipe PB dengan

lesi tunggal, kusta tipe PB dengan jumlah lesi 2-5 dan kusta tipe MB dengan

jumlah lesi lebih dari 5 atau semua kusta dengan BTA positif (Mishra dan Kumar

2010).

Tabel 2.1

Karakteristik Klasifikasi Kusta Ridley dan Jopling (Kumar dan Dogra, 2010)

Lesi TT BT BB BL LL

Jumlah Biasanya

tunggal (s/d

3)

Sedikit (s/d

10)

Beberapa

(10-30)

Banyak

asimetris

(>30)

Tidak

terhitung,

simetris

Ukuran Bervariasi,

umumnya

besar

Bervariasi,

beberapa

besar

Bervariasi Kecil,

beberapa

dapat besar

Kecil

Permukaan Kering,

dengan

skuama

Kering,

dengan

skuama,

terlihat

cerah,

terdapat

Kusam atau

sedikti

mengkilap

Mengkilap Mengkilap

Page 42: ni made dina pranidya ari

42

infiltrat

Sensasi Hilang Menurun

dengan jelas

Menurun

sedang

Sedikit

menurun

Normal atau

menurun

minimal

Pertumbuhan

rambut

Tidak ada Menurun

dengan jelas

Menurun

sedang

Sedikit

menurun

Normal

pada tahap

awal

BTA Negatif Negatif atau

sedikit

Jumlah

sedang

Banyak Banyak

sekali

termasuk

globi

Reaktivitas

lepromin

Positif kuat

(+++)

Positif

lemah (+

atau ++)

Negatif atau

positif

lemah

Negatif Negatif

2.8 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau slit skin smear merupakan

pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan atau kerokan kecil pada kulit

yang kemudian diberikan pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Dari

keseluruhan pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk penyakit kusta,

pemeriksaan hapusan kulit merupakan pemeriksaan yang paling sederhana.

Tujuan pemeriksaan ini antara lain untuk konfirmasi diagnosis kusta, klasifikasi

penyakit, untuk mengetahui derajat infeksius penderita, progresivitas penyakit dan

pemantauan pengobatan. Pengambilan lokasi yang banyak mengandung bakteri

yaitu kedua telinga, siku kiri, dorsum jari kiri, dan ibu jari kanan (Mahajan, 2013).

Atau dapat pula diambil pada 2 atau 3 lokasi yaitu cuping telinga kanan dan kiri

serta lesi kulit yang aktif (Kemenkes RI, 2012). Pemeriksaan hapusan sayatan

kulit memiliki spesifitas sebesar 100% karena secara langsung menunjukkan

gambaran BTA, namun sensitivitasnya rendah yaitu berkisar antara 10%-50%.

Sensitivitas yang rendah ini disebabkan karena pemeriksaan hapusan sayatan kulit

Page 43: ni made dina pranidya ari

43

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain keterampilan petugas, teknik

pengambilan seperti kedalaman insisi dan ketebalan film serta kelengkapan alat

dan bahan seperti reagan dan mikroskop yang berfungsi dengan baik (Desikan

dkk., 2006; Bhushan dkk., 2008).

Setelah pengambilan spesimen, kemudian dilakukan pewarnaan dengan

metode Ziehl Neelsen dan diperiksa dibawah mikroskop. Jumlah BTA dalam

setiap lapangan pandang dihitung serta morfologi masing-masing basil

diperhatikan dengan seksama. Basil yang solid umumnya merupakan basil yang

masih hidup dan viabel sedangkan basil dengan morfologi granular, atau

terfragmentasi merupakan basil yang sudah mati dan tidak viabel. Berdasarkan

jumlah dan kepadatan bakteri serta morfologi bakteri dilakukan penghitungan IB

dan IM (Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).

Indeks bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA

dalam sediaan apus. Pada IB, penghitungan dilakukan baik pada basil yang masih

hidup (solid) maupun yang telah mati (fragmentasi dan granular). Penghitungan

dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut:

a. +6 terdapat lebih dari 1000 BTA atau lebih dari 5 gumpalan pada satu

lapangan pandang.

b. +5 terdapat 100 sampai 1000 BTA pada satu lapangan pandang.

c. +4 terdapat 10 sampai 100 BTA pada satu lapangan pandang.

d. +3 terdapat 1 sampai 10 BTA pada satu lapangan pandang.

e. +2 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 10 lapangan pandang.

f. +1 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 100 lapangan pandang

Page 44: ni made dina pranidya ari

44

g. 0 terdapat 0 BTA pada 100 lapangan pandang (Bryceson, 1990; Job dan

Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).

Pada pasien yang tidak diobati, pemeriksaan pada cuping telinga

menghasilkan jumlah basil yang terbesar. Pada pasien yang diobati, permukaan

dorsal dari jari sering merupakan tempat terakhir yang memberikan hasil negatif.

Indeks morfologi merupakan persentase basil kusta berbentuk utuh atau solid

terhadap keseluruhan BTA. Indeks morfologi berguna untuk mengetahui

kemampuan penularan kuman dan menilai hasil pengobatan (Job dan Ponnaiya,

2010; Noto dan Schreuder, 2010).

Indeks bakteri umumnya mulai turun setelah setahun mendapatkan

terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun atau +1 per tahun dan berlanjut

meskipun MDT telah dihentikan. Penurunan umumnya ditemukan lebih lambat

pada kasus MB dibanding PB (Mahajan, 2013). Pada penelitian yang dilakukan

oleh Maghanoy dkk (2011) di Filipina, ditemukan 98% pasien kusta dengan IB

yang tinggi (≥+4) masih tetap positif setelah 1 tahun pengobatan sedangkan pada

pasien kusta dengan IB yang rendah (<+4), 74% masih ditemukan dengan IB

positif setelah 1 tahun pengobatan.

2.9 Terapi Kusta

World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan

penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari rifampisin, dapson dan

klofasimin untuk pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk

menurunkan insiden relaps pasca pengobatan, menurunkan efek samping serta

Page 45: ni made dina pranidya ari

45

menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya (Pai dkk., 2010).

Regimen PB terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah dapson 100

mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg

sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin 300 mg/sebulan dengan

lama pengobatan 12 bulan. Pengobatan baru yang juga efektif terhadap M. leprae

meliputi minoksiklin, ofloksasin, klaritromisin, rifabutin, rifapentin, bromidoprim

dan antibiotika golongan beta laktam (Pai dkk., 2010; Yawalkar, 2009).

2.10 Reaksi Kusta

Salah satu komplikasi pada penyakit kusta yaitu adanya reaksi kusta

yang dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta

merupakan episode inflamasi akut atau subakut yang dimediasi oleh proses

imunologis pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat kronis, yang dapat

mengenai kulit, saraf, membran mukosa dan lokasi lain. (Kar dan Sharma, 2010;

Yawalkar, 2009). Terdapat 3 jenis reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1, reaksi tipe 2

atau reaksi eritema nodosum leprosum (ENL) dan fenomena lucio (Kar dan

Sharma, 2010).

Reaksi tipe 1 umumnya ditemukan pada kusta tipe borderline. Reaksi

tipe 1 dapat bersifat upgrading (reaksi reversal) apabila terjadi peningkatan

imunitas seluler sehingga terjadi pergeseran spektrum ke arah tuberkuloid atau

downgrading apabila terjadi pergeseran spektrum ke arah lepromatosa. Pada

reaksi reversal, lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematosa dan dapat

disertai timbulnya lesi baru. Lesi kulit dapat disertai dengan neuritis ringan hingga

berat (Lee dkk., 2012).

Page 46: ni made dina pranidya ari

46

Reaksi kusta tipe 2 atau ENL merupakan reaksi kusta yang

dihubungkan dengan pembentukan kompleks imun antigen-antibodi pada jaringan

sehingga menyebabkan terjadinya fokus inflamasi akut. Reaksi tipe 2 ini terutama

sering ditemukan pada kusta tipe LL serta BL. Lesi dapat berupa papul kecil

ataupun nodul berwarna kemerahan dan nyeri pada penekanan. Pada ENL yang

berat berat dapat disertai dengan gangguan saraf, gejala sistemik dan gangguan

pada organ lain (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010; Lee dkk., 2012).

Fenomena lusio merupakan reaksi yang ditemukan pada penderita kusta lusio

diawali dengan terbentuknya plak merah kebiruan dengan halo eritematosa yang

selanjutnya berkembang menjadi infark hemoragik pada bagian tengah tanpa atau

disertai pembentukan bula (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010).

2.11 Stres Oksidatif

2.11.1 Definisi

Stres oksidatif merupakan suatu kondisi yang disebabkan karena

ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Hal ini dapat disebabkan oleh

pembentukan radikal bebas atau ROS yang berlebihan atau karena defisiensi

antioksidan enzimatik dan nonezimatik atau keduanya (Dalle-Donne, 2006; Rahal

dkk., 2014). Setiap sel pada tubuh manusia mempertahankan kondisi homeostasis

antara oksidan dan antioksidan. Sekitar 1-3% oksigen yang dikonsumsi manusia

diubah menjadi ROS. Pada kondisi metabolisme normal pembentukan ROS secara

terus menerus dan radikal bebas lainnya diperlukan untuk fungsi fisiologis normal

seperti pembentukan Adenosine Triphosphate (ATP), berbagai macam proses

Page 47: ni made dina pranidya ari

47

anabolik dan katabolik dan siklus reduksi-oksidasi seluler. Pembentukan ROS dan

radikal bebas lainnya yang berlebihan dapat disebabkan karena proses biologikal

endogen dan faktor eksogen yang berasal dari lingkungan seperti paparan kimia,

polusi atau radiasi (Rahal dkk., 2014). Adanya ROS berlebihan dapat

menyebabkan kerusakan pada komponen sel seperti lipid, protein dan

Deoxyribonucleic acid (DNA) sehingga selanjutnya dapat mempengaruhi

viabilitas sel dan menginduksi berbagai respon seluler yang dapat menimbulkan

kematian sel dan kerusakan jaringan (Dalle-Donne, 2006; Birben dkk., 2012).

2.11.2 Radikal bebas, reactive oxygen species, antioksidan

Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu atau lebih

elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Radikal bebas bersifat tidak

stabil dan sangat reaktif karena elektron yang tidak berpasangan ini cenderung

akan mencari pasangan elektron dari molekul lain dengan tujuan untuk

menetralisasi dirinya sendiri. Pada saat reaksi antara radikal bebas dengan

molekul lain dapat terbentuk molekul nonradikal yang kurang reaktif atau akan

terbentuk radikal bebas lainnya yang lebih reaktif sehingga terjadi reaksi berantai.

Tanpa adanya suatu mekanisme untuk menonaktifkan radikal bebas ini maka

sejumlah besar radikal bebas akan terbentuk dalam waktu beberapa detik setelah

reaksi awal. Radikal bebas dapat berasal dari oksigen, sulfur, atau karbon, namun

yang paling signifikan secara fisiologis adalah radikal bebas yang berasal dari

oksigen (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).

Reactive oxygen species merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan sejumlah molekul reaktif dan radikal bebas yang berasal dari

Page 48: ni made dina pranidya ari

48

molekul oksigen (Held, 2015). Terdapat dua kelompok ROS yaitu yang bersifat

radikal bebas dan bersifat non radikal. Anion superoksid (O2•-) dan radikal

hidroksil merupakan contoh ROS yang bersifat radikal bebas sedangkan hidrogen

peroksida (H2O2), singlet oksigen dan asam hipoklorat (HOCl) merupakan contoh

ROS yang bersifat non radikal (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001). Reactive

oxygen species dihasilkan oleh sel melalui berbagai mekanisme antara lain

sebagai konsekuensi metabolisme aerob normal oleh mitokondria, oksidatif atau

respiratory burst sel fagosit serta berasal dari metabolisme xenobiotik untuk

detoksifikasi substansi toksik. Pada umumnya ROS pada konsentrasi rendah

penting untuk fungsi fisiologis normal seperti ekspresi gen, pertumbuhan sel,

pertahanan terhadap infeksi, biosintesis molekul seperti tiroksin, prostaglandin,

serta memicu proliferasi sel T. Beberapa penelitian terakhir juga menemukan

peranan ROS sebagai molekul signaling yang penting untuk efek biologis.

Persentase ROS meningkat pada kondisi inflamasi kronik, infeksi, olahraga yang

berlebihan, paparan terhadap alergen, obat dan toksin (Krishnamurthy dan

Wadhwani, 2012; Bennett dan Griffiths, 2013).

Terdapat berbagai macam ROS, namun yang paling berperan adalah

anion superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (OH

•.).

Anion superoksid terbentuk dari penambahan 1 elektron pada molekul oksigen.

Proses ini dimediasi oleh enzim nicotinamide adenine dinucleotide phosphate

(NADPH) oksidase atau xantine oksidase atau oleh sistem transport elektron

mitokondria. Mitokondria merupakan lokasi utama pembentukan anion

superoksid namun enzim NADPH juga ditemukan pada leukosit, neutrofil,

Page 49: ni made dina pranidya ari

49

monosit dan makrofag. Selama proses fagositosis terjadi respiratory burst yang

memproduksi superoksid. Superoksid kemudian diubah menjadi hidrogen

peroksida oleh superoksid dismutase (SOD) (Birben dkk., 2012; Kunwar dan

Priyadarshini, 2011; Valko dkk., 2006).

Hidrogen peroksida dapat diproduksi oleh xanthine oxidase, asam

amino oksidase dan NADPH oksidase. Struktur H2O2 menyerupai air dan dapat

berdifusi didalam maupun diantara sel. Hidrogen peroksida memiliki sifat yang

kurang reaktif namun dapat bergabung dengan besi serta tembaga membentuk

radikal hidroksil yang sangat reaktif. Anion superoksid juga dapat bereaksi

dengan H2O2 dan menghasilkan radikal hidroksil (OH-). Radikal hidroksil

merupakan ROS yang sangat berbahaya karena reaktivitas yang tinggi dan

memiliki waktu paruh yang sangat singkat sehingga umumnya menimbulkan

kerusakan terutama pada lokasi disekitarnya (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001;

Kunwar dan Priyadarshini, 2011).

Untuk mengimbangi efek merugikan yang ditimbulkan oleh adanya

stres oksidatif pada sel, sistem tubuh telah melengkapi dirinya dengan beberapa

strategi seperti mekanisme pencegahan dengan cara mempertahankan

pembentukan ROS seminimal mungkin, mekanisme perbaikan untuk mengurangi

kerusakan sel, mekanisme proteksi fisik serta yang terpenting adalah mekanisme

pertahanan antioksidan. Antioksidan merupakan suatu substansi dengan

konsentrasi rendah yang dapat berfungsi sebagai senyawa pemberi elektron

sehingga mencegah oksidasi substrat yang rentan teroksidasi (Kunwar dan

Priyadarshini, 2011; Rahal dkk., 2014). Sistem pertahanan antioksidan endogen

Page 50: ni made dina pranidya ari

50

meliputi jaringan molekul antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang

umumnya terdistribusi pada sitoplasma dan organel sel. Antioksidan juga dapat

berasal dari eksogen seperti yang berasal dari makanan. Antioksidan eksogen dan

endogen berfungsi secara interaktif dan sinergis untuk menetralisir radikal bebas

(Winarsi, 2007). Antioksidan enzimatik meliputi superoksid dismutase (SOD),

glutation peroksidase (GPx), dan katalase (CAT), sedangkan antioksidan

nonenzimatik meliputi asam askorbat (vitamin C), α-tocopherol (vitamin E),

glutathione (GSH), karatenoid, flavonoid dan antioksidan lainnya (Valko dkk.,

2006).

Superoksid dismutase merupakan protein yang mengandung metal

berfungsi untuk mengkatalisasi superoksid membentuk hidrogen peroksida.

Terdapat tiga isozim SOD, yaitu SOD1 mengandung Cu dan Zn sebagai kofaktor

logamnya ditemukan di sitosol, SOD2 yang mengandung logam Mn ditemukan

pada mitokondria dan SOD3 yang juga mengandung kofaktor logam Cu dan Zn,

ditemukan di ekstrasel (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007; Valko dkk., 2006).

Hidrogen peroksida yang berasal dari aktivitas SOD atau oksidase lainnya akan

digunakan untuk mengoksidasi glutation tereduksi (GSH) menjadi glutation

teroksidasi (GSSG) oleh GPx. Enzim katalase juga dapat mereduksi H2O2 menjadi

air (Birben dkk., 2012).

Vitamin C, vitamin E, glutation dan beta karoten merupakan

antioksidan nonenzimatik yang paling banyak diteliti. Antioksidan non enzimatik

disebut juga antioksidan pemecah rantai yang dapat berupa senyawa nutrisi

maupun non nutrisi. Vitamin C dianggap sebagai antioksidan larut air yang

Page 51: ni made dina pranidya ari

51

penting pada cairan ekstraseluler. Vitamin C mampu menetralisir ROS pada fase

aqueous sebelum dimulainya peroksidasi lipid. Vitamin E merupakan antioksidan

larut lemak dan antioksidan pemecah rantai utama yang melindungi membran

asam lemak dari peroksidasi lipid. Glutation banyak ditemukan pada semua

kompartemen sel dan merupakan antioksidan larut dengan efek antioksidan

glutation melalui kerja sama dengan GPx. Glutation juga berfungsi mengubah

vitamin C dan E menjadi bentuk aktifnya. Beta karoten dan karotenoid lainnya

juga dipercaya memiliki perlindungan antioksidan terhadap jaringan kaya lemak

yang bekerja secara sinergis dengan vitamin E (Birben dkk., 2012; Winarsi,

2007). Mekanisme pertahanan antioksidan enzimatik dan non enzimatik secara

lebih jelas digambarkan pada Gambar 2.3 dibawah ini.

Gambar 2.3

Mekanisme Pertahanan Antioksidan Enzimatik dan Non Enzimatik

(Atukeren dan Yigitoglu, 2013)

2.11.3 Kerusakan akibat stres oksidatif

Page 52: ni made dina pranidya ari

52

Konsekuensi utama adanya stres oksidatif adalah kerusakan yang dapat

ditimbulkan pada DNA, lipid dan protein yang pada akhirnya akan dapat

menyebabkan kematian sel (Birben dkk., 2012).

Gambar 2.4

Mekanisme Kerusakan Sel Akibat Stres Oksidatif (Dawane dan Pandit, 2012)

1. Efek pada DNA

Reactive oxygen species dapat menyebabkan modifikasi DNA melalui beberapa

mekanisme yang melibatkan degradasi basa, pemecahan DNA rantai tunggal atau

ganda, modifikasi purin, pirimidin atau ikatan gula, delesi dan translokasi dan

ikatan silang dengan protein. Terdegradasinya basa DNA akan menghasilkan

produk seperti 8-hidroksiguanin, hidroksimetil urea, timin, glikol dan produk

lainnya. Penanda stres oksidatif tingkat DNA yang dapat diukur adalah 8-

hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).

2. Efek pada Protein

Page 53: ni made dina pranidya ari

53

Reactive oxygen species dapat menyebabkan fragmentasi rantai peptida, gangguan

pada tenaga elektrik protein, menyebabkan ikatan silang dan oksidasi asam amino

spesifik. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap proteolisis

karena degradasi protease tertentu. Produk-produk oksidasi protein yang dapat

diukur adalah gugus thiol tereduksi dalam protein plasma, protein karbonil dalam

plasma dan orto-tirosin dalam protein plasma. Biomarker yang umum digunakan

untuk pengukuran protein teroksidasi adalah protein karbonil melalui kalorimeter

(Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).

3. Efek pada Lipid

Membran sel merupakan struktur yang sangat rentan terhadap oksidasi yang

disebabkan oleh ROS karena adanya asam lemak dalam konsentrasi yang tinggi

pada komponen lipid. Reaksi ROS dengan membran lipid menyebabkan

terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid didefinisikan sebagai proses dimana

oksidan seperti radikal bebas dan spesies nonradikal bereaksi dengan lipid yang

mengandung ikatan karbon-karbon ganda, terutama asam lemak tak jenuh ganda

(PUFA). Reaksi ini menimbulkan pemisahan hidrogen dari karbon dan

penambahan oksigen yang menghasilkan radikal peroksil lipid (LOO•) dan

hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada kondisi fisiologis atau derajat lipid

peroksidase yang rendah (kondisi subtoksik), sel mempertahankan diri melalui

sistem pertahanan antioksidan atau aktivasi jalur sinyal yang mengatur protein

antioksidan sehingga terjadi respon adaptif terhadap stres. Sebaliknya pada derajat

peroksidasi lipid yang berat kerusakan oksidatif melebihi kapasitas perbaikan

sehingga terjadi induksi program kematian sel apoptosis atau nekrosis. Kedua

Page 54: ni made dina pranidya ari

54

proses ini pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan molekular sel dengan

berbagai kondisi patologis (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006).

Proses peroksidasi lipid secara keseluruhan terdiri atas 3 tahap yaitu

inisiasi, propagasi dan terminasi (Gambar 2.4). Pada tahap inisiasi ROS seperti

radikal hidroksil memisahkan hidrogen dan membentuk radikal lipid dengan

karbon pada bagian tengah (L•). Pada fase propagasi radikal lipid (L

•) secara cepat

bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksi lipid (LOO•) yang

menarik hidrogen dari molekul lipid lainnya membentuk L• yang baru (reaksi

berantai) dan hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada tahap terminasi antioksidan

akan mendonasikan atom hidrogennya pada LOO• menghasilkan produk

nonradikal. Sekali peroksidasi lipid diinisiasi, reaksi berantai akan terus terjadi

hingga produk terminasi terbentuk (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006).

Gambar 2.5

Tahapan Proses Peroksidasi Lipid (Boots dkk., 2012)

Salah satu akibat penting peroksidasi lipid adalah pembentukan

senyawa-senyawa aldehida. Hidroksiperoksida lipid bersifat tak stabil dan dapat

di dekomposisi atau terurai menjadi aldehid seperti malondialdehyde (MDA),

propanal, heksanal, 4-hidroksinonenal (HNE). Selain itu produk sekunder

Page 55: ni made dina pranidya ari

55

peroksidasi lipid juga dapat berupa siklik endoperoksidase seperti isoprostan dan

hidrokarbon. Diantara produk sekunder tersebut MDA merupakan produk yang

paling bersifat mutagenik. Malondialdehyde mampu meninaktivasi protein selular

dengan cara membentuk ikatan silang protein, sedangkan HNE menyebabkan

deplesi GSH intrasel dan induksi pembentukan produksi peroksida. Terjadinya

peroksidasi lipid juga dapat menimbulkan inaktivasi ikatan reseptor dan enzim

pada membran sehingga mengganggu fungsi sel (Ayala dkk., 2014; Birben dkk,

2012; Dalle-Donne dkk., 2006).

2.11.4 Malondialdehyde sebagai biomarker stres oksidatif

Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang dapat diukur

dan dievaluasi secara objektif sebagai indikator proses biologis normal, proses

patogenik, atau respon farmakologik terhadap intervensi terapi. Biomarker stres

oksidatif yang ideal harus bersifat stabil, dapat berakumulasi pada konsentrasi

yang dapat dideteksi, menggambarkan jalur oksidasi spesifik dan berhubungan

dengan keparahan penyakit sehingga bisa digunakan sebagai alat diagnostik.

Pengukuran ROS secara langsung cukup sulit karena ROS sangat reaktif dan

memiliki waktu paruh yang singkat. Pengukuran stres oksidatif umumnya

dilakukan dengan cara menilai metabolit yang bersifat stabil atau produk

oksidasinya seperti produk akhir dari peroksidasi lipid. Biomarker peroksidasi

lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling

mudah pengukurannya karena itulah reaksi ini paling sering dilakukan untuk

mempelajari stres oksidatif (Patil, 2006; Winarsi, 2007).

Page 56: ni made dina pranidya ari

56

Malondialdehyde merupakan ketoaldehid yang diproduksi oleh

dekomposisi peroksidatif lemak tidak jenuh dan sebagai hasil antara metabolisme

asam arakidonat. Malondialdehyde ditemukan hampir di seluruh cairan biologis

termasuk plasma, urin, cairan aqueous, cairan persendian, cairan bronkoalveolar,

cairan empedu, cairan getah bening, cairan amnion, perikardial dan seminal,

namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan, karena

paling mudah didapat dan tidak invasif. Malondialdehyde sangat sesuai sebagai

biomarker untuk stres oksidatif karena beberapa alasan, yaitu pembentukannya

meningkat sesuai dengan stres oksidatif, kadarnya dapat diukur secara akurat

dengan berbagai metode, bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi,

pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi

kandungan lemak dalam diet, merupakan produk spesifik dari peroksidasi lipid

dan terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan

cairan biologis sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi interval

(Palmiere dan Sblendorio, 2006; Patil dkk., 2006; Winarsi, 2007).

Sejak bertahun-tahun MDA telah digunakan sebagai biomarker

peroksidasi lipid karena reaksinya dengan thiobarbituric acid (TBA).

Pemeriksaan dengan TBA berdasarkan atas reaktivitas TBA terhadap MDA yang

menghasilkan kromogen dengan fluoresensi berwarna merah (Dalle-Donne dkk.,

2006). Berdasarkan penelitian, interval nilai normal MDA pada laki-laki

diperkirakan sebesar 1,14-1,53 μmol/L sedangkan pada perempuan adalah 1,08-

1,41 μmol/L (Nielsen dkk., 1997).

Page 57: ni made dina pranidya ari

57

2.12 Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta

2.12.1 Patogenesis stres oksidatif pada penyakit kusta

Patogenesis terjadinya stres oksidatif pada penyakit kusta hingga saat

ini masih belum diketahui secara pasti. Diduga stres oksidatif pada penyakit kusta

dihubungkan dengan infeksi oleh M. leprae itu sendiri, respon imunitas pejamu

terhadap infeksi serta adanya defek pada imunitas seluler yang akan

mengakibatkan peningkatan produksi ROS pada penderita kusta (Prabhakar dkk.,

2012; Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011).

Seperti diketahui, pada penyakit kusta berkembangnya infeksi pada

pejamu dihubungkan dengan kualitas respon imunitas. Mekanisme pertahanan

utama pada infeksi M. leprae melibatkan sel-sel imunitas terutama makrofag,

limfosit dan sitokin-sitokin yang mengatur produksi, pelepasan dan modulasi

reaksi imunitas seluler (Lima dkk., 2007; Prabhakar dkk., 2012). Makrofag

merupakan sistem pertahanan utama melawan infeksi M. leprae. Sel-sel fagosit

seperti makrofag, neutrofil, eosinofil serta limfosit T dan B memiliki enzim

NADPH oksidase yang bertanggung jawab pada produksi ROS saat terjadinya

stimulasi respon imun. Makrofag akan mengenali M. leprae atau komponen

dinding selnya melalui TLR, ikatan ini akan mengaktivasi jalur nuclear factor

kappa B (NF-κB) yang akan menginduksi pelepasan sitokin seperti TNF-α, IL-1,

IL-6 dan IL-12. Sitokin-sitokin ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi dan

menstimulasi imunitas adaptif. Interleukin-12 akan mengaktivasi sel T dan

menginduksi pelepasan IFN γ yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim fagosit

oksidase (NADPH oksidase) sehingga terjadi pelepasan ROS seperti superoksid,

Page 58: ni made dina pranidya ari

58

radikal hidroksil dan hidrogen peroksida. (Prasad dkk, 2007; Rahal dkk., 2014;

Hart dan Tapping, 2012; Abbas dkk., 2015).

Reactive oxygen species yang terbentuk dapat berdifusi dari tempat

terbentuknya dan menyebabkan kerusakan pada DNA, protein dan lipid sehingga

terjadi kerusakan pada fungsi dan integritas sel serta kerusakan jaringan. Adanya

kerusakan jaringan akan ditandai oleh peningkatan biomarker stres oksidatif

termasuk MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid. Reactive oxygen species

yang terbentuk ini juga dapat menyebabkan kerusakan saraf pada penyakit kusta

sehingga berhubungan dengan manifestasi klinis penyakit (Prasad dkk., 2007).

Beberapa penelitian terakhir menghubungkan peran ROS dalam

memediasi proses inflamasi dan kaskade sinyal sistem imunitas, dimana

peningkatan ROS juga ternyata dapat mengaktivasi sinyal NF-κB, menunjukkan

peranan ROS sebagai secondary messenger untuk tranksripsi gen proinflamasi

dan respon sinyal sitokin selama proses infeksi (Spooner dan Yilmaz, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh King dkk. yang menstimulasi sel mononuklear

perifer dengan ROS, menemukan adanya MDA dan HNE sebagai hasil dari

peroksidasi lipid ternyata dapat menstimulasi diferensiasi sel Th menuju fenotip

kearah Th2 sehingga menginduksi hiporesponsif sel limfosit T (Bennet dan

Griffiths, 2013).

Page 59: ni made dina pranidya ari

59

Gambar 2.6

Mekanisme Pembentukan ROS Selama Proses Fagositosis

(Abbas dkk., 2015)

Mekanisme penurunan sistem antioksidan pada penyakit kusta juga

masih belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga disebabkan karena inhibisi

enzim atau rendahnya konsentrasi protein enzim yang disebabkan karena regresi

gen SOD pada tingkat DNA. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa

lipopolisakarida bakteri diduga dapat mempengaruhi gen SOD. Selain itu PGL-1

yang dimiliki M. leprae juga dikatakan dapat berikatan dengan enzim SOD

sehingga menghambat aktivitas SOD dan mengakibatkan down-regulasi ekspresi

gen SOD pada sel darah merah dan makrofag (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat

dan Borade, 2000; Schalcher dkk, 2012).

Page 60: ni made dina pranidya ari

60

Gambar 2.7

Peroksidasi Lipid pada Penyakit Kusta (Vazques dkk., 2014)

Penelitian yang ada juga menghubungkan antara stres oksidatif pada

kusta dengan indeks bakteri yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena

utilisasi biometal seperti zinc, besi, dan kalsium dari sel pejamu untuk pertahanan

hidup M. leprae, sehingga dapat mempengaruhi metaloenzim seperti SOD

(Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade; 2000).

2.11.2 Tingkat stres oksidatif pada penyakit kusta

Berbagai macam penelitian mengenai tingkat stres oksidatif pada

penyakit kusta telah dilakukan. Tingkat stres oksidatif dinilai melalui pengukuran

kadar oksidan seperti pengukuran nitrat atau nitrit yang merupakan produk stabil

NO, pengukuran kadar antioksidan enzimatik seperti SOD, katalase atau GSH,

atau kadar antioksidan nonenzimatik seperti vitamin A, vitamin C, dan vitamin E,

serta melalui pengukuran biomarker kerusakan akibat stres oksidatif seperti MDA

(Dalle –Donne, 2006).

MDA

Page 61: ni made dina pranidya ari

61

Penelitian yang dilakukan oleh Prasad dkk. pada tahun 2007 pada 100

pasien baru yang terdiagnosis kusta menemukan penurunan kadar SOD, katalase

serta peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta dibanding kontrol

sehat. Penurunan kadar SOD, katalase dan peningkatan kadar MDA ditemukan

lebih besar pada kusta tipe lepromatosa serta pada penderita kusta dengan IB yang

lebih tinggi. Sehingga disimpulkan adanya hubungan antara stres oksidatif dengan

tipe kusta dan indeks bakteri.

Penelitian lain pada tahun 2007 oleh Jyothi dkk. menemukan hal yang

serupa dimana terdapat penurunan kadar SOD serta peningkatan kadar MDA pada

pasien kusta. Hal ini juga ditemukan lebih signifikan pada penderita kusta tipe

MB. Pada penelitian ini juga dihitung rasio MDA/SOD yang ditemukan

mengalami peningkatan signifikan pada kusta tipe MB. Penelitian yang dilakukan

oleh Lima dkk. (2007) untuk mengetahui peroksidasi lipid dan kadar antioksidan

non enzimatik pada kusta menemukan peningkatan kadar MDA dibanding

kontrol, dengan peningkatan sesuai dengan spektrum penyakit dimana kadar

tertinggi ditemukan pada kusta tipe lepromatosa. Pada penelitian ini juga

ditemukan penurunan kadar vitamin A dibanding kontrol dengan penurunan yang

lebih besar pada kusta tipe lepromatosa. Penelitian serupa yang dilakukan oleh

Trimbake dkk. juga menemukan peningkatan kadar MDA serum dan penurunan

kadar vitamin E secara signifikan pada kusta tipe PB dan MB. Penelitian ini

menunjukkan adanya stres oksidatif pada penderita kusta juga disebabkan karena

adanya penurunan antioksidan nonenzimatik.

Page 62: ni made dina pranidya ari

62

Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan dkk. di India pada

tahun 2011 menemukan penurunan secara signifikan kadar antioksidan enzimatik

seperti SOD, katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase dan glutation-s-

transferase pada penderita kusta tipe MB dibandingkan kontrol yang sehat.

Penelitian lain oleh Garad (2014) dkk. mengenai peroksidasi lipid juga

menemukan adanya peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta

dibanding kontrol serta lebih tinggi pada kusta tipe MB dibanding PB. Pada

penelitian ini juga ditemukan penurunan kadar antioksidan thiol pada penderita

kusta terutama tipe MB dibanding kontrol sehat. Penelitian oleh Meneses dkk.

(2014) yang menggunakan sampel urin menemukan peningkatan MDA urin pada

penderita kusta dibanding kontrol.

Penelitian mengenai stres oksidatif pada penyakit kusta tidak hanya

dilakukan pada pasien yang baru terdiagnosis namun juga pada pasien yang sudah

mendapatkan terapi maupun yang sudah selesai pengobatan (Release from

treatment/RFT). Penelitian oleh Prabhakar dkk. tahun 2012 pada penderita kusta

tipe MB yang telah mendapat terapi menemukan penurunan kadar SOD,

glutathione, total antioksidan status serta peningkatan kadar MDA secara

signifikan pada pasien kusta tipe MB dibanding kontrol. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Ozan dkk. (2010) pada pasien kusta yang sudah selesai pengobatan

mendapatkan peningkatan signifikan kadar MDA dan aktivitas GSH dan katalase

dibanding kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian stres oksidatif

tidak hanya dapat terjadi pada kasus baru kusta namun juga pada kusta yang yang

telah selesai mendapatkan pengobatan.

Page 63: ni made dina pranidya ari

63

Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan bukti adanya tingkat

stres oksidatif terutama melalui peningkatan kadar MDA namun beberapa

penelitian menemukan hasil yang bertentangan. Penelitian oleh Schalcer pada

tahun 2013 yang dilakukan pada 23 pasien penderita kusta sebelum mendapat

terapi. Pada penelitian ini didapatkan kadar MDA yang tidak berbeda antara

penderita kusta dan kontrol sehat, namun kadar SOD ditemukan mengalami

penurunan secara signifikan dibanding kontrol sehat.

Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher dkk. pada tahun

2014 yang bertujuan untuk mengetahui stres oksidatif pada pasien yang sudah

mendapatkan terapi MDT, menemukan kadar MDA yang tidak berbeda secara

signifikan antara penderita kusta dibanding kontrol sebelum maupun setelah

mendapat terapi sedangkan kadar SOD ditemukan menurun pada pasien kusta dan

penurunan ini ditemukan menetap setelah mendapatkan terapi MDT.

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa yang

disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit

dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ

Page 64: ni made dina pranidya ari

64

lainnya. Berkembangnya infeksi pada pejamu serta manifestasi klinis penyakit

kusta dihubungkan dengan kualitas respon imunitas pejamu. Mekanisme

pertahanan utama pada infeksi M. leprae melibatkan sel-sel imunitas terutama

makrofag, limfosit dan sitokin-sitokinnya. Stimulasi makrofag oleh M. leprae

maupun komponen dinding sel (protein 19-kDa lipopeptida, lipoglikan lipomanan

ManLAM dan AraLAM) akan menginduksi pelepasan sitokin seperti TNF-α,

interferon (IFN) γ, IL-1, IL-6 dan IL-12 yang akan menyebabkan proses

inflamasi, mengaktivasi respon imunitas adaptif dan aktivasi enzim fagosit

oksidase. Sel fagosit akan meningkatkan ambilan oksigennya 10-20 kali lipat

(respiratory burst) kemudian dengan bantuan enzim fagosit oksidase yang telah

teraktivasi akan membentuk ROS seperti superoksid, radikal hidroksil dan

hidrogen peroksida yang berperan dalam proses fagositosis. Tubuh kita memiliki

sistem pertahanan terhadap terbentuknya ROS yang dikenal dengan antioksidan.

Pada penyakit kusta terjadi penurunan sistem antioksidan yang diduga disebabkan

karena regresi gen SOD oleh komponen M. leprae pada tingkat DNA.

Penggunaan biometal dari sel pejamu untuk pertahanan hidup M. leprae, juga

dapat mempengaruhi metaloenzim seperti SOD. Peningkatan ROS dan penurunan

sistem antioksidan akan menyebabkan stres oksidatif dimana ROS akan berdifusi

dari tempat terbentuknya dan menimbulkan kerusakan pada protein, DNA dan

peroksidasi lipid sel pejamu dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

Malondialdehyde (MDA) merupakan produk akhir peroksidasi lipid yang

berfungsi sebagai biomarker stres oksidatif. Beberapa penelitian terakhir

Page 65: ni made dina pranidya ari

65

menghubungkan peranan MDA dalam menginduksi hiporesponsifitas sel T

dengan menginduksi perubahan fenotip sel T ke arah Th2.

Penelitian mengenai peroksidasi lipid sebagai penanda adanya stres

oksidatif pada penyakit kusta masih memberikan hasil yang berbeda-beda.

Sebagian besar penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar MDA pada

serum, plasma maupun urin pada penderita kusta dibanding kontrol sehat.

Peningkatan ini juga ditemukan lebih signifikan pada penderita kusta tipe MB

dibanding PB dan pada IB yang lebih tinggi. Beberapa penelitian lain menemukan

hasil yang berbeda, dimana peningkatan kadar MDA tidak berbeda secara

signifikan dengan kontrol. Penyakit kusta dipengaruhi oleh faktor genetik dan

lingkungan, IB dipengaruhi oleh terapi MDT, sedangkan kadar MDA dipengaruhi

oleh usia, merokok, kehamilan, penyakit sistemik kronis seperti gagal ginjal

kronik, penyakit jantung koroner, artritis reumatoid, sistemik lupus eritematosus,

diabetes melitus, asma bronkial, keganasan, sirosis hepatis, infeksi HIV, penyakit

peradangan kronis pada kulit seperti psoriasis dan dermatitis atopi, penggunaan

obat antiinflamasi non steroid (AINS) dan vitamin antioksidan.

3.2. Konsep Penelitian

Konsep penelitian untuk mengetahui korelasi antara indeks bakteri

dengan kadar MDA plasma pada penderita kusta ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Pembentukan ROS oleh sel fagosit

Penurunan enzim antioksidan

Genetik

Lingkungan

Terapi MDT

Kusta

Tipe PB dan MB

IB

Page 66: ni made dina pranidya ari

66

Gambar 3.1

Bagan Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: diteliti dan dianalisis MDA : malondialdehyde

: tidak diteliti ROS : reactive oxygen species

IB : indeks bakteri

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Kadar MDA plasma pada penderita kusta tipe MB lebih tinggi

dibandingkan penderita kusta tipe PB di RSUP Sanglah Denpasar.

2. Kadar MDA plasma memiliki korelasi positif dengan IB pada penderita

kusta di RSUP Sanglah Denpasar.

Page 67: ni made dina pranidya ari

67

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Page 68: ni made dina pranidya ari

68

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross-

sectional analitik yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA

plasma dengan IB pada penderita kusta. Secara skematis rancangan penelitian

dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini:

Gambar 4.1

Rancangan Cross-Sectional

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di poliklinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Morbus

Hansen Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar yang dilaksanakan

mulai pertengahan bulan Mei 2016 – Juni 2016. Pemeriksaan hapusan sayatan

kulit untuk mencari nilai IB dilakukan di laboratorium poliklinik Kulit dan

Kelamin RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan kadar MDA plasma dilakukan di

Unit Pelayanan Teknis Laboratorium Analitik Universitas Udayana.

4.3. Penentuan Sumber Data

Populasi

Sampel

Subjek kusta

tipe PB

IB

Kadar MDA

plasma

Subjek kusta

tipe MB

IB

Kadar MDA

plasma

Page 69: ni made dina pranidya ari

69

4.3.1 Populasi penelitian

1. Populasi target adalah semua pasien kusta berusia lebih dari 5 tahun.

2. Populasi terjangkau adalah semua pasien kusta, berusia lebih dari 5 tahun

yang berkunjung di Poliklinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Morbus Hansen

RSUP Sanglah Denpasar dalam periode pertengahan bulan Mei 2016 – Juni

2016.

4.3.2 Sampel penelitian

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari penderita kusta yang diambil

dengan teknik consecutive sampling, yaitu mengambil setiap penderita yang

memenuhi kriteria penerimaan sampel selama periode waktu penelitian dari

pertengahan bulan Mei 2016-Juni 2016 sampai memenuhi jumlah sampel yang

dibutuhkan.

4.3.3 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian

4.3.3.1 Kriteria inklusi untuk subjek kusta

a. Pasien kusta yang datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin

RSUP Sanglah Denpasar.

b. Pasien kusta berusia lebih dari 5 tahun dengan jenis kelamin laki-laki

ataupun perempuan.

c. Bersedia untuk mengikuti penelitian dan menandatangani lembar

informed consent.

4.3.3.2 Kriteria eksklusi

a. Subjek adalah pasien kusta yang sedang mengalami reaksi kusta.

Page 70: ni made dina pranidya ari

70

b. Subjek adalah pasien kusta yang telah menyelesaikan pengobatan

MDT (release from treatment/RFT).

c. Subjek adalah pasien kusta yang mengalami relaps

d. Subjek adalah seorang perokok.

e. Subjek adalah seorang peminum alkohol.

f. Subjek adalah seorang wanita hamil.

g. Subjek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis antara lain

penyakit gagal ginjal kronik, penyakit jantung kroroner, artritis

reumatoid, sistemik lupus eritematosus, diabetes melitus, asma

bronkial, sirosis hepatis dan infeksi HIV.

h. Subjek sedang menderita penyakit peradangan kronis pada kulit seperti

psoriasis dan dermatitis atopik.

i. Subjek sedang mendapat pengobatan anti-inflamasi sistemik dalam 4

minggu terakhir.

j. Subjek sedang mengkonsumsi antioksidan antara lain vitamin A, C, E,

selenium dan zinc dalam 4 minggu terakhir.

4.3.4 Besar sampel

Untuk menentukan besar sampel penelitian analitik korelatif, maka

digunakan rumus Ronald Fisher’s classic z transformation sebagai berikut

(Thabane, 2004; Dahlan, 2008; Madiyono dkk., 2010; Hulley, dkk., 2013).

Page 71: ni made dina pranidya ari

71

( Zα + Zβ ) 2

n = + 3

0,5 ln [ (1+ r) / ( 1- r) ]

Penelitian ini menggunakan koefisien korelasi (r = 0,4), interval

kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% (α = 0,05; Zα = 1,96), dan power

penelitian sebesar 80% (β = 0,20; Zβ = 0,842). Berdasarkan perhitungan dengan

menggunakan rumus di atas, maka jumlah sampel yang digunakan untuk

rancangan ini adalah 48 orang.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel

Variabel penelitian merupakan karakteristik sampel penelitian yang

diukur, baik secara numerik maupun kategorikal. Adapun variabel pada penelitian

ini adalah :

1. Variabel bebas yaitu indeks bakteri yang dikategorikan sebagai variabel

numerik

2. Variabel tergantung adalah kadar MDA plasma, digolongkan sebagai variabel

numerik.

3. Variabel kendali adalah usia, reaksi kusta, perokok, peminum alkohol,

kehamilan, terapi MDT, penyakit gagal ginjal kronik, penyakit jantung

koroner, artritis reumatoid, sistemik lupus eritematosus, diabetes melitus,

asma bronkial, sirosis hepatis, infeksi HIV, psoriasis dan dermatitis atopik

Page 72: ni made dina pranidya ari

72

serta tidak sedang mengkonsumsi obat anti-inflamasi dan antioksidan seperti

vitamin A, C, E, selenium, zinc minimal 4 minggu sebelum penelitian.

4.4.2 Definisi operasional variabel

1. Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh M. leprae.

Diagnosis kusta ditegakkan bila memenuhi satu dari 3 tanda kardinal, ( lesi

kulit disertai hilangnya atau gangguan sensasi, adanya pembesaran saraf

serta ditemukan BTA pada pemeriksaan slit skin smear). Kusta tipe PB

didiagnosis apabila ditemukan 1-5 lesi hipopigmentasi atau eritema,

distribusi tidak simetris, disertai gangguan sensasi yang jelas, ditemukan

pembesaran saraf dan hasil pemeriksaan BTA negatif atau +1 (termasuk

kusta tipe TT dan BT berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling). Kusta

tipe MB didiagnosis apabila ditemukan lebih dari 5 lesi, distribusi lesi lebih

simetris, gangguan sensasi kurang jelas, ditemukan pembesaran saraf dan

Gambar 4.2

Bagan hubungan antar variabel

Variabel Bebas

Indeks bakteri

Variabel Tergantung

Kadar MDA plasma

Variabel Kendali

Usia, reaksi kusta, perokok, peminum alkohol, kehamilan, terapi

MDT, gagal ginjal kronik, penyakit jantung koroner, artritis

reumatoid, sistemik lupus eritematosus, diabetes melitus, asma

bronkial, keganasan, sirosis hepatis, infeksi HIV, psoriasis,

dermatitis atopik, penggunaan obat anti-inflamasi dan antioksidan

Page 73: ni made dina pranidya ari

73

pemeriksaan BTA didapatkan +1 hingga +6 (termasuk kusta tipe BB, BL

dan LL berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling).

2. Indeks bakteri adalah kepadatan basil M. Leprae berdasarkan hasil

pemeriksaan hapusan sayatan kulit. Kepadatan basil M.leprae dihitung di

bawah mikroskop cahaya dengan mencari BTA pada 100 lapangan

pandang. Indeks bakteri dinyatakan dalam 0 sampai +6.

3. Kadar MDA plasma adalah produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh

yang diperiksa dengan spektrofotometer menggunakan metode The

Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS) dan malondialdehyde

assay kit melalui pengambilan darah vena sebanyak 3ml. Satuan MDA

dinyatakan dalam µmol/L.

4. Multi drug therapy (MDT) adalah pengobatan standar kusta menurut WHO

terdiri dari kombinasi obat rifampisin, dapson, dan klofazimin. Regimen

PB terdiri atas rifampisin 600mg sebulan sekali ditambah dapson

100mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB terdiri atas kombinasi rifampisin

600mg sebulan sekali, dapson 100mg/hari ditambah klofazimin

300mg/sebulan dengan lama pengobatan 12 bulan.

5. Reaksi kusta adalah episode inflamasi akut atau subakut yang dimediasi

oleh proses imunologis pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat kronis.

Reaksi tipe satu ditandai dengan lesi kulit yang telah ada menjadi lebih

eritematosa, dapat disertai, munculnya lesi baru dan adanya pembesaran

saraf dengan atau tanpa rasa nyeri. Reaksi tipe dua ditandai oleh adanya

Page 74: ni made dina pranidya ari

74

nodul kemerahan pada kulit yang terasa nyeri serta pembesaran saraf

dengan atau tanpa rasa nyeri.

6. Perokok adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi

rokok 5 batang per hari dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan

empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.

7. Peminum alkohol adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah

mengkonsumsi alkohol sebanyak lebih atau sama dengan 1 gelas per hari

dalam kurun waktu lebih atau sama dengan tiga minggu sebelumnya, yang

diperoleh melalui teknik wawancara.

8. Kehamilan adalah wanita yang menunjukkan tanda – tanda kehamilan dan

didukung oleh hasil pemeriksaan kehamilan baik kehamilan normal

maupun abnormal.

9. Gagal ginjal kronis adalah proses kerusakan pada ginjal dengan rentang

waktu lebih dari 3 bulan. Umumnya ditandai dengan laju filtrasi

gromerolus di atas 60 mL/min/1,73 m2, atau di bawah nilai tersebut namun

disertai kelainan sedimen urin. Gejalanya antara lain hipertensi, anemia,

uremia, piting edema, edema periorbita, anoreksia, mual, muntah,

konstipasi, dan perdarahan saluran pencernaan. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

10. Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit yang disebabkan karena

adanya penyempitan atau penyumbatan pembuluh arteri koroner, dengan

gejala adanya rasa tidak nyaman atau sesak di dada terutama pada dada

Page 75: ni made dina pranidya ari

75

tengah dan menyebar ke leher, dagu dan tangan. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

11. Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun kronis yang ditandai dengan

adanya peradangan pada sendi dengan gejala nyeri, kekakuan, bengkak dan

keterbatasan pergerakan sendi terutama pada pagi hari. Umumnya

menyerang sendi kecil pada tangan dan kaki Informasi diperoleh melalui

anamnesis atau pemeriksaan fisik.

12. Lupus eritematosus sistemik merupakan penyakit autoimun sistemik yang

menyerang banyak organ antara lain kulit, sendi, ginjal, jantung dan paru.

Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan kriteria American College of

Rheumatology (ARA) yaitu adanya malar rash, fotosensitivitas, ulkus

mukosa oral, lesi kulit diskoid, artritis, kejang, kelainan hematologi,

kelainan ginja dan tes antinuclear antibody positif. Diagnosis ditegakkan

bila dijumpai 4 dari 11 kriteria ARA.

13. Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh

gangguan sekresi insulin atau resistensi insulin yang menyebabkan

terjadinya kondisi hiperglikemia dengan gejala polidipsi, poliuria dan

polifagi. Komplikasi lanjut meliputi penyakit vaskular, neuropati perifer,

nefropati dan predisposisi terhadap infeksi. Informasi diperoleh dari

anmnesis atau pemeriksaan fisik.

14. Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik pada saluran pernafasan

yang ditandai dengan serangan periodik batuk, wheezing dan sesak nafas.

Informasi diperoleh dari anmnesis atau pemeriksaan fisik.

Page 76: ni made dina pranidya ari

76

15. Keganasan atau neoplasia adalah suatu kondisi patologis yang ditandai

dengan pertumbuhan sel yang abnormal atau tidak terkontrol dapat

memburuk secara progresif dan menimbulkan kematian. Keganasan

ditandai dengan adanya anaplasia, invasif, dan metastasis. Informasi

diperoleh dari anmnesis atau pemeriksaan fisik.

16. Sirosis hepatis adalah penyakit kronik degeneratif hepar, jaringan hepar

normal mengalami kerusakan dan diganti dengan jaringan ikat sehingga

terjadi gangguan fungsi hati. Penyakit ini ditandai dengan adanya ikterus,

asites, pembesaran hati, spider angioma, eritema palmaris, pembesaran lien,

varises esofagus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik.

17. Infeksi HIV merupakan infeksi yang disebabkan oleh Human

Immunodeficiency Virus. Infeksi ini menyebabkan penurunan imunitas

sehingga individu rentan terhadap infeksi oportunistik yang dapat

menyebabkan kematian. Gejala dapat berupa limfadenopati generalisata,

penurunan berat badan, infeksi saluran nafas berulang, diare kronik, demam

persisten, oral kandidiasis, tuberkulosis paru, herpes zoster, pneumocystic

pneumonia, kaposi sarkoma. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan

antibodi HIV yang positif dan penurunan sel TCD4. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium.

18. Psoriasis merupakan suatu penyakit inflamasi kronik residif, terutama

mengenai kulit, ditandai dengan adanya plak kemerahan, berbatas tegas

yang ditutupi oleh sisik tebal berwarna putih keperakan. Penyakit ini

Page 77: ni made dina pranidya ari

77

umumnya terdistribusi secara simetris, mengenai daerah ekstensor

ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan

genitalia. Informasi diperoleh berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

19. Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan pada kulit yang bersifat

kronik dan residif dengan disertai rasa gatal yang umumnya telah terjadi

sejak saat bayi atau anak-anak. Diagnosis ditegakkan apabila memenuhi

kriteria diagnosis dari Haniffin & Rajka dengan anamnesis dan

pemeriksaan fisik.

20. Pengguna anti-inflamasi adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah

mengkonsumsi kortikosteroid maupun anti inflamasi non steroid (AINS)

sistemik, dalam kurun waktu kurang dari atau sama dengan empat minggu

sebelumnya, diperoleh melalui teknik wawancara.

21. Pengguna antioksidan adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah

mengkonsumsi antioksidan seperti vitamin A, C, E, selenium, zinc dalam

kurun waktu kurang dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya,

diperoleh melalui teknik wawancara.

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian

4.5.1 Bahan sampel

Page 78: ni made dina pranidya ari

78

Bahan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena

dari subjek penelitian. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis MDA antara

lain 2-thiobarbituric acid (TBA), reagen buthylated hydroxytoluene (BHT) in

ethanol, assay buffer (phosphate buffer), reagen asam (asam fosfat), kalibrator

(tetramethoxypropane in a stabilizing buffer).

4.5.2 Instrumen penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik,

dan pengambilan sampel darah. Wawancara dilakukan dengan menggunakan

kuisioner sedangkan untuk menegakkan diagnosis kusta, digunakan lembaran

pemeriksaan status dermatologi, seperti tampak pada lampiran. Untuk menghitung

IB dilakukan pemeriksaan hapusan sayatan kulit, menggunakan alat-alat yaitu

gelas obyek, lampu spiritus (bunsen), skalpel, kapas alkohol, selotip, botol yang

berisi: larutan carbol fuchsin 0,3%, asam alkohol 3%, larutan methylene blue

0,3%, jam dengan alarm, wastafel dengan air mengalir, pipet, besi penyangga, rak

gelas obyek, kertas tisu, sarung tangan.

Peralatan yang digunakan dalam pengukuran kadar MDA adalah sarung

tangan, tourniket, spuit, tabung yang telah berisi koagulan, tabung entrifuge,

polypropylene microcentriguge tubes (vial), dan spektrofotometer.

4.6 Prosedur Penelitian

Page 79: ni made dina pranidya ari

79

1. Sampel penelitian dipilih dari pasien kusta yang berkunjung ke poliklinik

Kulit dan Kelamin yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Diagnosis

kusta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

hapusan sayatan kulit.

2. Penderita yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, diminta untuk

menandatangani informed consent sebagai persetujuan keikutsertaan dalam

penelitian.

3. Pemeriksaan IB dilakukan pada sampel dengan melakukan pemeriksaan

hapusan sayatan kulit, dengan cara sebagai berikut:

a. Menentukan lokasi pengambilan spesimen (5 lokasi : cuping telinga kiri

dan kanan, lesi kulit yang paling aktif, ruas kedua dorsum jari tengah dan

dorsum ibu jari kaki).

b. Mencuci tangan, kemudian mengenakan sarung tangan.

c. Mengambil kaca obyek yang baru, bersih dan tidak tergores, kemudian

dituliskan identitas pasien pada kaca obyek.

d. Membersihkan tepi lobus telinga dan lesi kulit dengan kapas alkohol 70%

biarkan hingga mengering.

e. Menjepit lobus telinga atau lesi kulit dengan kuat menggunakan ibu jari

dan telunjuk sampai kulit menjadi pucat.

f. Melakukan sayatan menggunakan skalpel no. 15 dengan panjang sayatan ±

5 mm dan kedalaman 2-3 mm. Pisau skalpel kemudian diputar 90°, arah

sayatan dari atas ke bawah sampai didapatkan bubur jaringan. Kulit tetap

dijepit supaya tidak ada darah yang keluar. Tidak boleh ada darah pada

Page 80: ni made dina pranidya ari

80

saat pengambilan spesimen karena dapat mengganggu pewarnaan. Bila

berdarah bersihkan dengan kapas alkohol.

g. Membuat hapusan serum atau bubur jaringan pada gelas obyek dalam

bentuk lingkaran dengan diameter 8 mm, pada sisi yang sama dengan letak

identitas (Satu gelas obyek bisa untuk 2-3 apusan).

h. Skalpel dihapus dengan kapas alkohol dan lewatkan di atas nyala api

bunsen selama 3-4 detik dan biarkan dingin.

i. Ulangi prosedur tersebut di atas untuk lokasi hapusan lain. Buat hapusan

di sisi dekat dengan hapusan sebelumnya namun jangan sampai

bersentuhan.

j. Luka hapusan ditutup.

k. Gelas obyek dibiarkan mengering dengan temperatur ruangan.

l. Hapusan difiksasi dengan cara melewatkan bagian bawah gelas obyek

sebanyak 3 kali diatas api bunsen sebelum pewarnaan.

m. Melakukan pewarnaan dengan metode ziehl-neelsen.

1. Seluruh permukaan gelas obyek ditutup dengan larutan carbol

fuchsin (dibiarkan selama 10 menit).

2. Gelas obyek dipanaskan dengan hati-hati diatas lampu spiritus

sampai uap carbol fuchsin keluar tetapi tidak sampai mendidih.

3. Gelas obyek dibasuh dengan hati-hati di bawah air mengalir dan

dikeringkan.

4. Asam alkohol 3% diteteskan pada permukaan object glass selama 10

detik kemudian dibilas perlahan dengan air.

Page 81: ni made dina pranidya ari

81

5. Sediaan ditetesi dengan methylene blue 0,3% selama 1 menit.

6. Gelas obyek dibilas air dan dibiarkan mengering di rak pengeringan.

n. Pembacaan hapusan sayatan kulit:

1. Gelas obyek diletakkan di bawah mikroskop dengan hapusan

menghadap ke atas.

2. Gambar difokuskan menggunakan obyektif 10 kali kemudian ditetesi

dengan setetes minyak emersi.

3. Obyektif dirubah menjadi pembesaran 100 kali.

4. Basil tahan asam akan tampak sebagai batang merah dengan latar

belakang biru. Bentuknya dapat lurus atau melengkung, dengan

warna merah merata dengan panjang kuman 4 kali lebar (solid) atau

dinding sel terputus sebagian atau seluruhnya (fragmentasi), atau

terlihat seperti titik-titik tersusun garis lurus (granuler).

5. Setelah melakukan pemeriksaan lapangan pandang pertama,

dipindahkan ke lapangan pandang berikutnya. Pemeriksaan

dilakukan sekitar 100 lapangan pandang tiap hapusan.

6. Jika BTA terlihat, maka dijumlahkan dan dilakukan penghitungan IB

menurut skala berikut:

a) 0 : 0 BTA dalam 100 LP

b) +1 : 1-10 BTA dalam 100 LP

c) +2 : 1-10 BTA dalam 10 LP

d) +3 : 1-10 BTA dalam rata-rata 1 LP

e) +4 : 10-100 BTA dalam rata-rata 1 LP

Page 82: ni made dina pranidya ari

82

f) +5 : 100-1000 BTA dalam rata-rata 1 LP

g) +6 : >1000 BTA dalam rata-rata 1 LP

Kemudian dilakukan penghitungan rata-rata IB dari beberapa

lokasi.

4. Pengambilan darah vena pada sampel penelitian sebanyak 3cc dan

ditampung dalam tabung yang telah diisi koagulan.

5. Pemeriksaan MDA dilakukan di laboratorium Unit Pelayanan Teknis

Laboratorium Analitik Universitas Udayana. Prinsip pemeriksaan kadar

MDA adalah berdasarkan The Thiobarbituric Acid Reactive Substances

(TBARS) yaitu reaksi asam tiobarbiturat dengan MDA, ditandai dengan

timbulnya warna yang serapannya diukur menggunakan spektrofotometer

a. Persiapan sampel

Sampel darah vena yang diambil ditampung dalam masing – masing

tabung yang telah diisi koagulan.

b. Persiapan reagen

Siapkan reagen – reagen berikut dan biarkan pada temperatur kamar

sampai digunakan. Reagen dan bahan yang digunakan adalah reagen

2-thiobarbituric acid (TBA), reagen buthylated hydroxytoluene

(BHT) in ethanol, assay buffer (phosphate buffer), reagen asam (asam

fosfat), kalibrator (tetramethoxypropane in a stabilizing buffer). Pada

analisis MDA reagen yang dipersiapkan hanya TBA yang dilarutkan

dengan 10,5 mL akuades, reagen lainnya langsung digunakan.

c. Prosedur analisis MDA

Page 83: ni made dina pranidya ari

83

Tindakan analisis diawali dengan memasukkan sebanyak 10 μL

reagen BHT pada vial yang telah disiapkan. Siapkan juga 5 vial untuk

standar (calibrator), selanjutnya masukkan 250 μL kalibrator atau

sampel ke dalam vial dan masukkan 250 μL reagen asam dan reagen

TBA ke dalam vial. Lakukan divortek dalam hitungan 5 kali. Langkah

berikutnya adalah semua vial diinkubasi selama 1 jam pada suhu

60oC, dan selanjutnya disentrifus pada 10.000 putaran per menit

selama 3 menit. Langkah terakhir adalah semua vial dipindahkan ke

dalam kuvet untuk dibaca absorbansinya.

4.7 Alur Penelitian

Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian, maka dibuat

alur penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.2.

Populasi Terjangkau

Semua pasien kusta berusia lebih dari 5 tahun yang berkunjung ke

Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar

periode Mei 2016-Juni 2016

Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi

Populasi Target

Semua pasien kusta berusia lebih dari 5 tahun

Page 84: ni made dina pranidya ari

84

4.8 Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis data untuk penelitian cross

sectional analitik. Data yang dikumpulkan diperiksa, dikode, diolah dan dianalisis

Gambar 4.3

Bagan Alur Penelitian

Page 85: ni made dina pranidya ari

85

menggunakan perangkat lunak komputer. Uji statistik dilakukan dengan program

Statistical Package for Social Sciences (SPSS), versi 17.0. Analisis data statistik

terdiri dari:

1. Analisis statistik deskriptif

Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik umum subjek

dengan kusta yaitu: jenis kelamin, umur, tipe kusta, indeks bakteri, terapi

MDT, riwayat kontak dan kadar rata-rata MDA plasma pada masing-

masing nilai indeks bakteri.

2. Uji normalitas data

Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan uji normalitas

Shapiro-Wilk karena sampel kurang dari 50. Data berdistribusi nomal bila

nilai p > 0,05 pada uji normalitas.

3. Uji Komparasi

Untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA plasma antara subjek

kusta tipe PB dengan kusta tipe MB dilakukan uji komparasi uji Mann-

Whitney karena data memiliki distribusi yang tidak normal.

4. Analisis korelasi

Untuk mengetahui korelasi antara IB dengan kadar MDA plasma

dilakukan analisis korelasi Spearman’s Rho karena distribusi data tidak

normal.

4.9 Etika Penelitian

Protokol penelitian untuk Ethical Clearance dari Komisi Etik

Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar

Page 86: ni made dina pranidya ari

86

telah diberikan sebelum penelitian dilaksanakan. Subjek yang memenuhi kriteria

penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian serta diminta untuk

mengisi informed consent secara tertulis. Subjek penelitian memiliki hak

sepenuhnya untuk menolak ikut serta dalam penelitian. Seluruh biaya penelitian

dan biaya lainnya yang dibutuhkan akibat penelitian ini ditanggung oleh peneliti.

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Page 87: ni made dina pranidya ari

87

Penelitian ini dilaksanakan selama periode bulan Mei 2016 sampai dengan

Juni 2016 diperoleh 48 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Sampel terdiri dari 36 (75%) sampel kusta tipe MB dan 12 (25%) sampel kusta

tipe PB. Data karakteristik subjek dengan kusta yang meliputi jenis kelamin,

umur, tipe kusta, indeks bakteri, riwayat terapi dan kontak disajikan pada Tabel

5.1.

Pada penelitian ini, berdasarkan distribusi jenis kelamin didapatkan

sebanyak 27 orang (56,2%) subjek kusta berjenis kelamin laki-laki dan 21 orang

(43,8%) berjenis kelamin perempuan. Kelompok umur terbanyak pada subjek

kusta adalah 26-35 tahun (31,3%). Rerata umur subjek adalah 40,63 ± 14,91

tahun.

Tipe kusta yang paling banyak ditemukan adalah kusta tipe BL sebanyak

21 orang (43,8%), diikuti oleh tipe BT sebanyak 11 orang (22,9%), tipe BB

sebanyak 11 orang (22,9%), tipe LL sebanyak 5 orang (10,4%) dan yang paling

sedikit adalah tipe TT sebanyak 1 orang (2,1%). Nilai IB terbanyak yang

ditemukan adalah +3 sebanyak 13 orang (27,1%). Subjek yang sudah mendapat

terapi MDT pada penelitian ini didapatkan lebih banyak dibandingkan yang belum

mendapat terapi yaitu 32 (68,7%) orang dibanding 16 (31,3 %).

Subjek kusta dengan riwayat kontak ditemukan lebih besar dibanding tanpa

kontak yaitu sebanyak 58,4% dibanding 41,7%. Riwayat kontak terbanyak adalah

kontak dengan keluarga atau kontak serumah yaitu sebanyak 15 orang (31,3%).

Tabel 5.1

Karakteristik Subjek Penelitian

Page 88: ni made dina pranidya ari

88

No Karakteristik Jumlah (n) (%)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Jenis Kelamin

- Laki-laki

- Perempuan

Umur

- 6-15 tahun

- 16-25 tahun

- 26-35 tahun

- 36-45 tahun

- 46-55 tahun

- 56-65 tahun

- 66-75 tahun

Tipe kusta

- TT

- BT

- BB

- BL

- LL

Indeks Bakteri

- 0

- +1

- +2

- +3

- +4

Terapi MDT

- Belum mendapat terapi

- Sudah mendapat terapi

Riwayat Kontak

- Tidak ada kontak

- Kontak keluarga (serumah)

- Kontak dengan tetangga

- Kontak dengan teman sekerja

27

21

1

6

15

9

7

8

2

1

11

10

21

5

9

12

7

13

7

16

32

20

15

9

4

56,2

43,8

2,1

12,5

31,3

18.8

14,6

16,7

4,2

4,2

27,1

22,9

35,4

10,4

18,8

25

14,6

27,1

14,6

33,3

66,7

41,7

31,3

18,8

8,3

5.2 Uji Normalitas Data

Pada data penelitian kadar MDA plasma dan nilai IB pada subjek dengan

kusta dilakukan uji normalitas menggunakan Shapiro-Wilk karena jumlah sampel

kurang dari 50. Hasil uji normalitas disajikan pada tabel 5.2.

Tabel 5.2

Page 89: ni made dina pranidya ari

89

Hasil Uji Normalitas Data

No Variabel p

1.

2.

3.

Kadar MDA plasma

Nilai indeks bakteri

Kelompok Umur

<0,001

<0,001

0,007

Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa data kadar MDA plasma

berdistribusi tidak normal karena nilai p <0,001 (p < 0,05). Data indeks bakteri

penelitian ini berdistribusi tidak normal dengan nilai p < 0,001. Data kelompok

umur pada penelitian ini juga berdistribusi tidak normal dengan p =0,007 (p <

0,05).

5.3 Kadar Malondialdehyde Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar

dengan Kusta Tipe Multibasilar

Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar MDA plasma pada kusta tipe

PB adalah 3,31 nM/mL dengan nilai median 3,19 nM/mL, sedangkan pada kusta

tipe MB adalah 4,82 nM/mL dengan nilai median 5,19 nM/mL. Perbedaan rerata

pada kedua kelompok didapatkan sebesar 1,51 nM/mL. Selanjutnya untuk

mengetahui perbedaan kadar MDA pada kedua kelompok, dilakukan uji non

parametrik yaitu Mann-Whitney, didapatkan bahwa kadar MDA plasma pada

subjek kusta tipe PB berbeda secara bermakna dengan subjek kusta tipe MB, nilai

p<0,001 (Tabel 5.3).

Tabel 5.3

Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara Subjek Kusta Tipe

Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar

Page 90: ni made dina pranidya ari

90

n Rerata ± SD

(nM/mL)

Median (nM/mL)

(minimum-maksimum)

p

Kusta tipe PB

Kusta tipe MB

12

36

3,31±0,28

4,82±1,11

3,19

(2,99-3,82)

5,19

(2,64-6,28)

< 0,001

Gambar 5.1 menunjukkan gambaran box plot nilai rerata kadar MDA pada

subjek kusta tipe PB dengan kusta tipe MB. Rerata kadar MDA pada subjek kusta

tipe MB lebih tinggi dibandingkan dengan subjek kusta tipe PB.

Gambar 5.1

Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara

Subjek Kusta tipe Pausibasilar dengan Kusta tipe Multibasilar

Pada penelitian ini terapi MDT dapat menjadi variabel pengganggu karena

dapat mempengaruhi indeks bakteri, dimana didapatkan sebagian besar subjek

penelitian sudah mendapatkan terapi MDT (66,7%). Maka dari itu dilakukan

analisis perbedaan kadar MDA plasma berdasarkan riwayat terapi. Pada tabel 5.4

Page 91: ni made dina pranidya ari

91

disajikan perbedaan rerata dan median kadar MDA plasma berdasarkan riwayat

terapi.

Tabel 5.4

Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara Subjek Kusta yang Belum

Mendapatkan Terapi dengan yang Sudah Mendapatkan Terapi

n Rerata ± SD

(nM/mL)

Median (nM/mL)

(minimum-maksimum)

p

Riwayat terapi (-)

Riwayat terapi (+)

12

36

4,56±1,24

4,38±1,15

4,15

(3,01-6,28)

4,26

(2,64-6,07)

0,512

Berdasarkan uji normalitas data didapatkan distribusi kadar MDA tidak

normal, sehingga dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney didapatkan nilai

p=0,512 (p > 0,05) artinya perbedaan kadar MDA berdasarkan riwayat terapi

didapatkan tidak signifikan

Pada penelitian ini, umur merupakan salah satu faktor pengganggu yang

tidak dieksklusi pada saat penelitian dilakukan. Pada tabel 5.5 disajikan data

rerata kadar MDA plasma pada masing-masing kelompok umur.

Tabel 5.5

Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma

antara masing-masing Kelompok Umur

Kelompok umur Rerata kadar MDA ±

SD (nM/mL)

p

Page 92: ni made dina pranidya ari

92

6-15 tahun

16-25 tahun

26-35 tahun

36-45 tahun

46-55 tahun

66-65 tahun

66-75 tahun

3,33

4,37±1,18

4,53±1,23

4,54±1,25

4,36±1,00

4,42±1,32

4,53±2,06

0,979

Berdasarkan uji normalitas data didapatkan distribusi data kelompok umur

tidak normal sehingga dilakukan uji Kruskal-Wallis didapatkan nilai p=0,979 (p >

0,05) artinya perbedaan rerata kadar MDA antara masing-masing kelompok umur

didapatkan tidak signifikan

5.4 Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri pada

Subjek dengan Kusta

Untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA dengan indeks bakteri pada

penelitian ini dilakukan uji korelasi Spearman’s rho karena kadar MDA maupun

indeks bakteri pada subjek kusta tidak berdistribusi normal. Pada penelitian ini

didapatkan adanya korelasi yang kuat antara kadar MDA dengan indeks bakteri

pada subjek kusta (r=0,935; p < 0,001), artinya semakin tinggi nilai indeks bakteri

maka kadar MDA juga semakin meningkat (Tabel 5.6 dan Gambar 5.2).

Tabel 5.6

Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri

pada Subjek Kusta

Variabel n Kekuatan Korelasi

(r)

p

Page 93: ni made dina pranidya ari

93

Malondialdehyde-

Indeks Bakteri

48

0,935

<0,001

5.5 Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar Malondialdehyde Plasma

dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta

Pada uji regresi linier (tabel 5.7) didapatkan koefisien beta (β= 0,81),

menunjukkan adanya pengaruh bermakna antara nilai indeks bakteri dengan kadar

MDA plasma pada kusta. Setiap peningkatan indeks bakteri sebesar +1, akan

diikuti oleh peningkatan kadar MDA sebesar 0,81 nM/mL. Berdasarkan koefisien

determinasi (R2 = 90,3 %), artinya sebesar 90,3 % kadar MDA plasma pada kusta

dipengaruhi oleh nilai indeks bakteri, sisanya sebesar 9,7% dipengaruhi oleh

faktor lain.

Gambar 5.2

Kadar Malondialdehyde Plasma Berdasarkan

Indeks Bakteri pada Subjek Kusta

Page 94: ni made dina pranidya ari

94

Tabel 5.7

Hasil Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar Malondialdehyde

Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta

Variabel β p R2

Indeks Bakteri

0,81

<0,001

90,3%

β : Koefisien Beta; p:Signifikansi; R2: Koefisien determinasi

BAB VI

PEMBAHASAN

Page 95: ni made dina pranidya ari

95

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling, dimana

didapatkan 48 subjek kusta yang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,

tidak ada subjek kusta yang hilang dalam penelitian. Pada subjek dilakukan

pengambilan darah vena untuk pengukuran kadar MDA serta pemeriksaan slit

skin smear untuk memperoleh nilai IB pada subjek kusta.

Pada penelitian ini berdasarkan jenis kelamin didapatkan, subjek kusta

berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan yaitu 27 orang

(56,2%) berjenis kelamin laki-laki dan 21 (43,8%) berjenis kelamin perempuan,

dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 1,3:1. Secara umum

berdasarkan data WHO, kusta dapat mengenai kedua jenis kelamin dengan

proporsi yang sama, namun di beberapa negara di Asia maupun Amerika Latin

angka kejadian pada laki-laki ditemukan lebih banyak dibanding perempuan

(WHO, 2014). Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia antara lain oleh

Widodo dkk. (2012) di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus kusta pada laki-

laki ditemukan lebih besar (61,7%) dibanding perempuan (38,3%). Demikian pula

dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Tosepu dkk. di Sulawesi pada tahun

2015, juga menemukan laki-laki lebih banyak menderita kusta yaitu 55,9%

dibanding perempuan 44,1%. Penelitian multisenter oleh Varkevisser dkk. pada

tahun 2009 yang dilakukan di Indonesia, Nepal dan Brazil menemukan hal yang

serupa dimana angka kejadian pada laki-laki lebih besar dibanding perempuan

dengan rasio yang berbeda-beda. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan rasio

laki-laki dan perempuan di Indonesia sebesar 1,45:1, di Nepal 2:1 dan di Brasil

Page 96: ni made dina pranidya ari

96

didapatkan rasio laki-laki dan perempuan 1,14:1. Penelitian di beberapa negara di

Afrika, Thailand serta Jepang menemukan angka kejadian kusta yang sama antara

kedua jenis kelamin bahkan di beberapa kasus ditemukan lebih tinggi pada

perempuan (WHO, 2014). Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan

dalam adat istiadat dan kebiasaan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan

pengobatan, sedangkan angka kejadian yang lebih tinggi pada laki-laki diduga

dipengaruhi oleh tingkat mobilitas yang lebih tinggi sehingga risiko paparan lebih

besar serta tingkat pengetahuan dan kesadaran mencari pengobatan yang lebih

besar pada laki-laki (Varkevisser dkk., 2009).

Pada penelitian ini, berdasarkan kategori umur didapatkan kejadian kusta

lebih banyak pada kelompok rentang umur 26-35 tahun sebesar 31,3%. Rerata

umur subjek kusta pada penelitian ini adalah 40,63 ± 17,91 tahun, dengan median

37 tahun, umur minimum adalah 9 tahun dan umur maksimum 71 tahun.

Penelitian oleh Widodo dkk. (2012) menemukan hal yang serupa dimana kasus

kusta terbanyak ditemukan pada kelompok usia produktif yaitu 25-44 tahun

(44,6%). Pada penelitian lain oleh Bhat dkk. (2013) di India, distribusi umur

terbanyak juga ditemukan pada kelompok usia produktif 16-50 tahun. Penelitian

yang juga dilakukan di India oleh Kumar dkk. (2014) menemukan distribusi kusta

berdasarkan kelompok umur terbanyak pada usia 30-39 tahun. Jumlah kasus yang

banyak ditemukan pada kelompok usia produktif akan dapat memberikan dampak

negatif pada kondisi ekonomi, karena penyakit kusta sendiri serta deformitas yang

ditimbulkannya dapat mempengaruhi produktivitas individu.

Page 97: ni made dina pranidya ari

97

Penyakit kusta pada dasarnya dapat menyerang semua usia, namun karena

masa inkubasi yang panjang penyakit ini umumnya jarang ditemukan pada anak-

anak dan sangat jarang terjadi pada bayi. Pada penelitian Moet dkk. (2006)

didapatkan umur merupakan faktor risiko terjadinya kusta dengan usia lebih tua

mempunyai risiko yang lebih tinggi, berkaitan dengan masa inkubasi yang

panjang. Kasus kusta pada anak umumnya lebih banyak ditemukan pada daerah

endemik kusta. Secara global kasus kusta pada anak diperkirakan mencapai 9%

dari keseluruhan kasus baru (Butlin dan Saunderson; 2014). Penelitian multisenter

di India oleh Palit dkk. menemukan kejadian kusta pada anak usia 0-15 tahun

berkisar antara 5,1-35,5%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Bhat dkk. (2012)

menemukan kejadian kusta pada usia di bawah 15 tahun sebesar 15,22%.

Penelitian yang dilakukan oleh Widodo dkk. di RSCM menemukan kasus kusta

berusia 5-14 tahun sebesar 5,9%. Menurut Amador dkk. (2012) kasus kusta pada

anak di bawah usia 5 tahun berisiko lebih besar terjadinya deformitas. Jumlah

kasus pada anak yang lebih tinggi pada populasi dikatakan mmemiliki arti penting

secara epidemiologis karena menunjukkan adanya transmisi yang aktif pada

komunitas (Thorat dan Sharma, 2010). Pada penelitian ini ditemukan kasus kusta

pada anak yang lebih rendah yaitu sebanyak 1 kasus (2,1%) mengenai anak usia 9

tahun.

Berdasarkan tipe kusta WHO, pada penelitian ini ditemukan kusta tipe MB

(75%) lebih banyak dibanding PB (25%). Hasil pada penelitian ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Bhat dkk. (2012), dimana didapatkan kasus MB

lebih banyak yaitu 54,35% dibanding PB sebesar 45,65%. Penelitian yang

Page 98: ni made dina pranidya ari

98

dilakukan di RSCM oleh Widodo dkk. menemukan kasus MB sebanyak 80% dan

kasus PB sebanyak 20%. Hasil pada penelitian ini juga sesuai dengan laporan

epidemiologi WHO dimana kasus MB ditemukan sebesar 83,4%. Hal ini diduga

berhubungan dengan kemampuan transmisi kusta tipe MB yang lebih besar

dibanding PB. Angka ini juga menggambarkan besarnya risiko transmisi kusta

pada populasi.

Berdasarkan tipe kusta Ridley dan Jopling, kusta tipe BL ditemukan paling

banyak yaitu sebesar 35,4%, diikuti oleh tipe BT sebanyak 27,1%, tipe BB

sebanyak 22,9%, tipe LL sebanyak 10,4% dan yang paling sedikit adalah tipe TT

sebanyak 2,1%. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Prasad

dkk. (2007) di India, yang mendapatkan jumlah kasus terbanyak adalah tipe BT.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Bhat di India juga menemukan tipe BT

merupakan kasus terbanyak yaitu sebesar 34,78%. Penelitian lain yang dilakukan

di Brasil selama 20 tahun menemukan kasus terbanyak adalah tipe LL sebesar

42,9%. Berdasarkan penelitian ini dikatakan bahwa perbedaan tipe kusta

terbanyak disebabkan karena lokasi penelitian yang berbeda dimana penelitian

yang dilakukan di rumah sakit rujukan umumnya lebih banyak mendapatkan

kasus atipikal dan disertai komplikasi (Penna, dkk., 2008).

Berdasarkan indeks bakteri, pada penelitian ini didapatkan indeks bakteri

terbanyak adalah +3 (27,1%). Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan

oleh Prasad dkk. (2007) di India, dimana indeks bakteri negatif ditemukan paling

banyak. Hal yang berbeda juga ditemukan pada penelitian di Brasil oleh Penna

dkk. tahun 2008 dimana indeks bakteri terbanyak adalah IB <1. Pemeriksaan

Page 99: ni made dina pranidya ari

99

hapusan sayatan kulit untuk mengetahui indeks bakteri dipengaruhi oleh berbagai

faktor antara lain keterampilan petugas, teknik pengambilan serta kelengkapan

alat dan bahan. Selain itu hasil yang berbeda juga dipengaruhi oleh jumlah kasus

terbanyak yang ditemukan pada saat itu (Desikan dkk., 2006; Bhushan dkk.,

2008).

Pada penelitian ini riwayat kontak yang positif ditemukan lebih banyak

dibanding riwayat kontak negatif, 58,4% dibanding 41,7%. Riwayat kontak

terbanyak adalah kontak dengan keluarga atau kontak serumah yaitu sebanyak

31,3%. Hal ini sesuai dengan mekanisme penularan pada penyakit kusta yang

memerlukan kontak erat dan lama. Penelitian yang dilakukan oleh Moet dkk. pada

tahun 2006 menemukan bahwa kontak keluarga merupakan faktor risiko paling

besar terjadinya kusta dibanding kontak tetangga. Penelitian kohort oleh Bakker

dkk. (2006) di Indonesia juga menemukan kontak serumah terutama dengan

pasien kusta tipe MB atau dengan IB positif memiliki risiko 4,6 kali lebih tinggi

menderita kusta dibanding tanpa kontak. Hal ini berbeda dengan hasil yang

ditemukan pada penelitian oleh Bhat dan Prakash di India dimana tidak adanya

riwayat kontak ditemukan lebih banyak dibanding adanya riwayat kontak.

6.2 Kadar Malondialdehyde Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar

dengan Kusta Tipe Multibasilar.

Page 100: ni made dina pranidya ari

100

Pada penelitian ini didapatkan adanya perbedaan bermakna rerata kadar

MDA plasma pada kusta tipe PB dibandingkan dengan kusta tipe MB, dengan

nilai p<0,001. Rerata kadar MDA plasma pada penderita kusta tipe MB

didapatkan sebesar MB 4,81±1,12 nM/mL lebih tinggi secara signifikan

dibandingkan dengan subjek kusta tipe PB yaitu 3,33±0,28 nM/mL.

Hasil pada penelitian ini didukung oleh penelitian lain yang mendapatkan

kadar MDA lebih tinggi pada kusta tipe MB dibandingkan kusta tipe PB.

Penelitian yang dilakukan oleh Trimbake dkk. (2013) menemukan perbedaan

yang signifikan antara rerata kadar MDA pada kusta tipe MB dibanding kusta tipe

PB. Rerata kadar MB ditemukan sebesar 5,90±0,76 nM/mL lebih tinggi dibanding

pada kusta tipe PB yaitu 4,11±0,43 nM/mL, dengan p<0,001. Penelitian lain yang

dilakukan Garad dkk. (2014) juga menemukan perbedaan yang signifikan antara

rerata kadar MDA pada kusta tipe MB dibanding kusta tipe PB, dimana

didapatkan rerata kadar MDA pada kusta tipe MB sebesar 8,27±1,60 nM/mL,

sedangkan pada kusta tipe PB didapatkan sebesar 6,20±1,36 nM/mL. Penelitian

lain yang dilakukan oleh Prasad dkk. (2007) juga menemukan perbedaan kadar

MDA yang lebih tinggi secara signifikan pada kusta tipe LL dan BL dibanding

kusta tipe TT dan BT. Selain pada plasma atau serum peningkatan kadar MDA

juga ditemukan pada jaringan. Penelitian yang dilakukan oleh Hafez dkk. (2010)

menemukan peningkatan yang signifikan kadar MDA pada jaringan subjek

dengan kusta dibanding orang normal, peningkatan ini juga ditemukan signifikan

pada kusta tipe MB dibanding tipe PB (Hufez, dkk., 2010).

Page 101: ni made dina pranidya ari

101

Perbedaan kadar MDA antara kusta tipe PB dengan MB menunjukkan

adanya peroksidasi lipid yang lebih tinggi pada kusta tipe MB dibanding PB.

Sistem pertahanan utama pejamu terhadap infeksi M. leprae adalah sistem

makrofag, melalui mekanisme respiratory burst. Pada saat proses respiratory

burst akan terjadi produksi ROS yang berlebihan. Sistem antioksidan yang

berperan dalam mengimbangi adanya produksi ROS yang berlebihan juga

mengalami penurunan pada kusta. Beberapa penelitian menemukan penurunan

sistem antioksidan seperti SOD, katalase, glutation peroksidase yang lebih besar

pada kusta tipe MB dibanding tipe PB (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan

Borade, 2000). Kondisi ini akan menyebabkan tingkat stres oksidatif yang lebih

tinggi pada kusta tipe MB. Produksi ROS yang berlebihan selanjutnya akan

menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid yang ditandai dengan peningkatan

kadar MDA.

Pada kusta tipe LL terdapat defek pada imunitas seluler dimana makrofag

memiliki fungsi fagositosis normal, namun produksi ROS terutama superoksid

dikatakan tidak adekuat, sehingga diduga ROS pada tipe kusta ini juga bersumber

dari sub populasi sel fagosit lain yang masih berfungsi normal seperti neutrofil

dan makrofag yang teraktivasi secara imunologis (Trimbake, dkk., 2013; Garad,

dkk., 2014).

Pada penelitian ini terapi MDT dapat mempengaruhi nilai indeks bakteri

sehingga dapat menjadi variabel pengganggu. Maka dari itu dilakukan analisis

perbedaan kadar MDA plasma berdasarkan riwayat terapi. Berdasarkan analisis

data, tidak ditemukan perbedaan kadar MDA plasma sebelum maupun sesudah

Page 102: ni made dina pranidya ari

102

terapi. Beberapa penelitian yang meneliti stres oksidatif pada pasien kusta yang

telah diobati menemukan penurunan kadar SOD, glutathione, total antioksidan

status serta peningkatan kadar MDA secara signifikan pada pasien kusta tipe MB

yang telah diobati dibanding kontrol sehat (Prabhakar dkk., 2012). Penelitian lain

yang dilakukan oleh Ozan dkk. (2010) pada pasien kusta yang sudah selesai

pengobatan juga mendapatkan peningkatan signifikan kadar MDA dan aktivitas

GSH dan katalase dibanding kontrol. Hasil dari penelitian ini maupun penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa kejadian stres oksidatif tidak hanya terjadi pada

kasus baru namun juga pada kusta yang telah mendapatkan pengobatan.

Usia merupakan salah satu faktor yang diduga dapat mempengaruhi kadar

MDA, sehingga pada penelitian ini dilakukan analisis data perbedaan kadar MDA

berdasarkan kelompok umur. Berdasarkan hasil analisis tidak didapatkan adanya

perbedaan yang signifikan rerata kadar MDA pada masing-masing kelompok

umur. Pada penelitian sebelumnya, didapatkan kadar MDA yang rendah pada usia

prepubertas dan meningkat secara signifikan setelah usia 60 tahun, namun

terdapat pula pula penelitian lain yang tidak menemukan adanya peningkatan

kadar MDA berdasarkan usia (Nunez, dkk., 2007; Navero, dkk., 2009). Hasil

penelitian yang berbeda ini diduga disebabkan karena banyaknya faktor yang

mempengaruhi stres oksidatif. Pada penelitian ini adanya infeksi oleh M. leprae

akan menimbulkan stres oksidatif yang tidak hanya menyebabkan kerusakan pada

bakteri namun juga pada sel pejamu sehingga kemungkinan lebih berpengaruh

terhadap peningkatan kadar MDA.

Page 103: ni made dina pranidya ari

103

6.3 Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri pada

Subjek Kusta

Pada penelitian ini terdapat korelasi positif yang kuat antara kadar MDA

plasma dengan nilai indeks bakteri pada kusta, seperti disajikan pada Tabel 5.5.

Terdapat korelasi yang kuat dengan nilai r=0,935 dan nilai p<0,001. Tingkat

korelasi pada hasil penelitian ini lebih kuat dibandingkan hipotesisnya (r = 0,4).

Gambar 5.2 menunjukkan gambar box plot kadar MDA plasma dengan nilai

indeks bakteri pada kusta. Gambar box plot tersebut menunjukkan semakin tinggi

kadar MDA plasma maka nilai indeks bakteri semakin tinggi.

Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Prasad dkk. (2007) yang menunjukkan adanya korelasi positif

yang bermakna antara peroksidasi lipid yang ditunjukkan dengan peningkatan

kadar MDA dengan nilai indeks bakteri pada subjek dengan kusta. Penelitian lain

yang dilakukan oleh Lima dkk. (2007) juga menemukan peningkatan kadar MDA

secara gradual sesuai dengan spektrum penyakit dimana kadar paling tinggi

ditemukan pada kusta tipe lepromatosa. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Bhadwat dan Borade (2000), menemukan rerata kadar MDA yang meningkat

sesuai spektrum klinis penyakit, dimana kadar terendah ditemukan pada kusta tipe

TT (3,225±0,24) dan paling tinggi pada kusta tipe LL (4,516±0,54).

Malondialdehyde merupakan produk akhir proses peroksidasi lipid. Kadar

MDA pada serum maupun plasma merupakan biomarker adanya peroksidasi lipid

(Bhadwat dan Borade, 2000). Hasil pada penelitian ini menunjukkan korelasi

positif kadar MDA dengan nilai indeks bakteri, dimana ditemukan adanya

Page 104: ni made dina pranidya ari

104

peningkatan kadar MDA sesuai dengan peningkatan nilai indeks bakteri. Indeks

bakteri sendiri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan,

sehingga korelasi positif ini menandakan adanya peroksidasi lipid yang tinggi

sesuai dengan peningkatan jumlah bakteri pada subjek kusta.

Peroksidasi lipid terjadi apabila produksi ROS yang berlebihan tidak

diimbangi oleh sistem antioksidan yang adekuat. Infeksi oleh M. leprae akan

menginduksi respon sel fagosit terutama makrofag, yang menyebabkan pelepasan

sitokin seperti TNF-α, interferon (IFN) γ, IL-1, IL-6 dan IL-12. Pelepasan sitokin

ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi, mengaktivasi respon imunitas adaptif

dan aktivasi enzim fagosit oksidase. Aktivasi enzim fagosit oksidase akan

menyebabkan pembentukan ROS seperti superoksid, radikal hidroksil dan

hidrogen peroksida. Jumlah bakteri yang lebih tinggi maka menandakan produksi

ROS yang lebih tinggi. Selain itu, beberapa penelitian juga menunjukkan

penurunan kadar antioksidan enzimatik sesuai dengan peningkatan indeks bakteri

(Vijayaraghavan, dkk., 2011; Prabhakar, dkk., 2007; Prasad, dkk., 2007).

Penurunan enzim antioksidan ini diduga disebabkan karena inhibisi enzim karena

adanya regresi gen SOD pada tingkat DNA. Beberapa penelitian juga

menunjukkan bahwa lipopolisakarida bakteri diduga dapat mempengaruhi gen

SOD. Komponen M. leprae seperti PGL-1 dan lipopolisakarida dikatakan dapat

berikatan dengan enzim SOD sehingga menghambat aktivitas SOD dan

mengakibatkan down-regulasi ekspresi gen SOD pada sel darah merah dan

makrofag. (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade, 2000; Schalcher dkk,

2012). Jumlah bakteri yang tinggi juga dihubungkan dengan utilisasi biometal

Page 105: ni made dina pranidya ari

105

seperti zinc, besi, dan kalsium dari sel pejamu untuk pertahanan hidup M. leprae,

sehingga dapat mempengaruh metaloenzim yang berperan pada sistem

antioksidan (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade; 2000).

Beberapa penelitian terakhir juga menghubungkan peran ROS dalam

memediasi proses inflamasi dan kaskade sinyal sistem imunitas, dimana

peningkatan ROS juga ternyata dapat mengaktivasi sinyal NF-κB, menunjukkan

peranan ROS sebagai secondary messenger untuk tranksripsi gen proinflamasi

dan respon sinyal sitokin selama proses infeksi (Spooner dan Yilmaz, 2010;

Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst, 2015). Selain itu, berdasarkan penelitian,

MDA ternyata dapat menstimulasi diferensiasi sel Th menuju fenotip kearah Th2

sehingga menginduksi hiporesponsif sel limfosit T, sesuai dengan respon imun

pada kusta tipe lepromatosa didominasi oleh sel Th2 (Bennet dan Griffiths, 2013).

Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa

MDA dapat berperan sebagai penanda stres oksidatif pada penderita kusta. hasil

penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya untuk mengetahui

peranan malondialdehyde sebagai faktor risiko progresivitas peyakit kusta.

Penelitian ini menggunakan metode cross sectional yang memiliki kelemahan

dalam menentukan hubungan sebab akibat, oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian lanjutan dengan rancangan case control untuk mengetahui hubungan

tersebut.

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

Page 106: ni made dina pranidya ari

106

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut, maka dapat diambil

simpulan bahwa semakin tinggi kadar indeks bakteri maka kadar

malondialdehyde plasma akan semakin tinggi yang dibuktikan dengan:

1. Kadar malondialdehyde plasma lebih tinggi pada subjek kusta tipe

multibasilar dibanding dengan subjek kusta tipe pausibasilar.

2. Kadar malondialdehyde plasma memiliki korelasi positif yang sangat kuat

dengan nilai indeks bakteri pada subjek kusta.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disarankan

sebagai berikut:

1. Perlu dipertimbangkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan peran

malondialdehyde sebagai faktor risiko progresivitas penyakit kusta.

2. Perlu dipertimbangkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas

pemberian antioksidan vitamin E dan C pada penderita kusta dengan

peningkatan kadar malondialdehyde.

3. Perlu dipertimbangkan pemeriksaan kadar malondialdehyde plasma

sebagai pemeriksaan tambahan dalam menilai kondisi stres oksidatif pada

penderita penyakit kusta.

DAFTAR PUSTAKA

Page 107: ni made dina pranidya ari

107

Abbas, A.K., Lichtman, A.H., and Pillai, S. 2015. Innate Immunity. In : Abbas,

A.K., Lichtman, A.H., and Pillai, S., editors. Cellular and Molecular

Immunology. 8th

ed. Philadelpia: Elsevier Saunders. p.51-83.

Ayala, A., Munoz, M.F., and Arguelles, S. 2014. Lipid Peroxidation: Production,

Metabolism, and Signaling Mechansims of Malondialdehyde and 4-

Hydroxy-2-Neonal. Oxid Med Cell Long:1-32.

Atukeren, P., and Yigitoglu, M.R. 2013. The Stance of Antioxidants in Brain

Tumors. Intech. p.523-551.

Bakker, M.I., Hatta, M., Kwenang, A., Van Mosseveld, P., Faber, W.R., and

Klatser, P.R. 2006. Risk Factor for Developing Leprosy-A Population-

Based Cohort Study in Indonesia. Lepr Rev; 77: 48-61.

Bennett, S.J., and Griffiths, H.R. Regulation of T-Cell Functions by Oxidative

Stress. In: Alcaraz, M.J., editors. Studies on Arthritis and Joint Disorders.

1st ed. London: Springer. p. 33-48.

Bhadwat, V.R., and Borade, V.B. 2000. Increased Lipid Peroxidation in

Lepromatous Leprosy. IJVDL; 66(3): 121-25.

Bhat, R.M., and Prakash, C. 2012. Leprosy: An Overview of Pathophysiology.

Interdiscip Perspect Infect Dis; 10: 1-7.

Bhat, R.M., and Prakash, C. 2013. Profile of New Leprosy Casesttending a South

Indian Referral Hospital in 2011-2012. ISRN Trop Med; 1-4.

Bhushan, P., Sardana, K., Koranne, R.V., Choudhary, M., and Manjul, P. 2008.

Diagnosing Multibacillary Leprosy: A Comparative Evaluatian of

Diagnostic Accuracy of Slit-Skin Smear, Bacterial Index of Granuloma and

WHO Operational Classification. IJDVL; 74(4): 322-26.

Birben, E., Sahiner, U.M., Sackesen, C., Erzurum, S., Kalayci, O. 2012. Oxidative

Stress and Antioxidant Defense. WAO Journal; 5: 9-19.

Boga, P.,Shetty, V.P., and Khan, Y. 2010. Nitric Oxide Metabolites in Sera of

Patients Across the Spectrum of Leprosy. Indian J Lepr; 82: 123-129.

Boots, A.W., van Berkel, J.J.B.N., Dallinga, J.W., Smolinska, A., Wouters, E.F.,

and van Schoote, F.J. 2012. The Versatile Use of Exhaled Volatile Organic

Compounds in Human Health and Disease. J Breath Res; 6: 1-21.

Bryceson, A., and Pfaltzgraff, R.E. 1990. Immunological Complications:

Reactions. In: Bryceson, A., Pfaltzgraff, R.E., editors. Leprosy. 3rd

ed.

London: Churcill Livingstone. p. 115-126.

Page 108: ni made dina pranidya ari

108

Bryceson, A., and Pfaltzgraff, R.E. 1990. Introduction. In: Bryceson, A.,

Pfaltzgraff, R.E., editors. Leprosy. 3rd

ed. London: Churcill Livingstone. p.

1-4.

Bryceson, A., and Pfaltzgraff, R.E. 1990. Symptoms and Sign. In: Bryceson, A.,

Pfaltzgraff, R.E., editors. Leprosy. 3rd

ed. London: Churcill Livingstone. p.

25-57.

Butlin, C.R., and Saunderson, P. 2014. Children with Leprosy. Lepr Rev; 85: 69-

73.

Dahlan, M.S. 2008. Menentukan Rumus besar sampel. In: besar sampel dan cara

pengambilan sampel dalam penelitian Kedokteran dan Kesehatan. 2nd

ed.

Salemba Medika. p.17-19.

Dalle-Donne, I., Rossi, R., Colombo, R., Giustarini, D., and Milzani, A. 2006.

Biomarkers of Oxidative Damage in Human Disease. Clin Chem; 52(4):

601-624.

Dawane, J.S., and Pandit, V.A. 2012. Understanding Redox Homeostasis and Its

Role in Cancer. JCDR; 6(10):1796-1802.

Desikan, K.V., Rao, K.V.S.M., Bharambe, M.S., and Rao, P.V.R. 2006. Appraisal

of Skin Smear Reports of Field Laboratories. Lepr Rev; 77: 311-6.

Eichelmann, K., Gonzalez, S.E.G., Alanis, J.C.S., Candiani, J.O. 2013. Leprosy

An Update: Definition, Pathogenesis, Classification, Diagnosis and

Treatment. Actas Dermosifiliogr; 104(7): 554-563.

Garad, A.S., Suryakar, A.N., and Shinde, C.B. 2014. Oxidative Stress and Role of

Thiol in Leprosy. IJPBCS; 3(2): 22-26.

Gulia, A., Fried, I., and Massone, C. 2010. New insights in the pathogenesis and

genetics of leprosy. Med Reports; 2(30): 1-5.

Hafez, H.Z., Mohamed, E.M., Elghany, A.A. 2010. Tissue and blood superoxide

dismutase activity and malondialdehyde level in leprosy. JEADV, 24: 704–

708.

Halliwell, B. 2001. Free Radicals and Other Reactive Species in Disease. Encycl

Life Sc: 1-7.

Hart, B.E., and Tapping, R.I. 2012. Genetic Diversity of Toll-Like Receptors and

Immunity to M. leprae Infection. J Trop Med: 1-12.

Page 109: ni made dina pranidya ari

109

Hulley, S.B., Cummings, S.R., Browner, W.S., Grady, D., Newman, T.B. 2013.

Designing clinical research: an epidemiologic approach. 4th

ed.

Philadelphia: Wolters Kluwer.

Job, C.K., Ponnaiya, J. 2010. Laboratory Diagnosis. In: Kumar Kar, H., Kumar,

B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publishers. p. 176-188.

Jyothi, P., Riyaz, N., Nandakumar, G., and Binitha, P.2008. A Study of Oxidative

Stress in Paucibacillary and Multibacillary Leprosy. IJDV; 24(1):80-85.

Kar, H.K., and Sharma, P. 2010. Leprosy Reactions. In: Kumar Kar, H., Kumar,

B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publishers. p. 269-292.

Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan. 2012. Pemeriksaan Bakteriologis. In: Pedoman

Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. p.89-98

Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan. 2012. Sejarah Pengendalian Penyakit Kusta. In:

Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. p.1-4.

Krishnamurthy,R P., and Wadhwani, A. 2012. Antioxidant Enzymes and Human

Health. In: El-Missiry, M.A., editors. Antioxidant Enzymes. 1st ed. Kroasia:

Intech.p. 3-18.

Kumar, B., and Dogra, S. 2010. Case Definition and Clinical Types. In: Kumar

Kar, H., Kumar, B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi:

Jaypee Brothers Medical Publishers. p. 152-166.

Kumar, A., and Husain, S. 2013. The Burden of New Leprosy Cases in India: A

Pupulation-Based Survey in Two States. ISRN Trop Med: 1-8.

Kumar, B., and Dogra, S. 2009. Leprosy: A Disease with Diagnostic and

Management Challengest. Indian J Dermatol Venereol Leprol; 75(2): 111-

5.

Kunwar, A., and Priyadarsini, K.I. 2011. Free Radicals, Oxidative Stress and

Importance of Antoxidants in Human Health. JMAS; 1(2): 53-60.

Lee, D.J., Rea, T.H., and Modlin, R.L. 2012. Leprosy. In: Goldsmith, L.A., Katz,

S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K., editors.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th

ed. New York: Mc

Graw Hill.p. 2253-2262.

Page 110: ni made dina pranidya ari

110

Lima, E.S., Roland, I.A., Maroja, M.F., and Marcon, J.L. 2007. Vitamin A and

Lipid Peroxidation in Patients with Different Forms of Leprosy. Rev Inst

Med Trop; 49(4): 211-214.

Luong, K.V.Q, and Nguyen, L.T.H. 2012. Role of Vitamin D in Leprosy. Am J

Med Sci; 343(6): 471-82.

Madiyono, B., Moeslichan S., Sudigdo, S., Budiman, I., Purwanto, S.H. 2010.

Perkiraan besar sampel. In: Sudigdo, S. Sofyan I., editors. Dasar-Dasar

Metologi Penelitian Klinis. 3rd

ed. Jakarta : Sagung Seto. p.323-326.

Maghanoy, A., Mallari, I., Balagon, M., and Saunderson, P. 2011. Relapse Study

in Smear Positive Multibacillary (MB) Leprosy after 1 year WHO Multi

Drug Therapy (MDT) in Cebu, Philippines. Lepr Rev; 82: 65-9.

Mahajan, V.K. 2013. Slit Skin Smear in Leprosy: lest we forget it. Indian J Lepr;

85: 177-83.

Meneses, G.C., Liborio, A.B., de Daher, E.F., da Silva Jr, G.B., da Costa, M.F.P.,

Pontes, M.A.A., Martins , A.M.C. 2014. Urinary Monocyte Chemotactic

Protein-1 (MCP-1) in Leprosy Patients: Increased Risk for Kidney

Damage. BMC Inf Dis; 14: 1-5.

Misch, A., Berrington, W.R., Vary, J.C., and Haw, T.R. 2010. Leprosy and The

Human Genome. Microbiol Mol Biol Rev; 74(4): 589-620.

Mishra, R.S., Kumar, J. 2010. Classification. In: Kumar Kar, H., Kumar, B.,

editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publishers. p.144-151.

Moet, J.F., Pahan, D., Schuring, R.P., Oskam, L., and Richardus, J.H. 2006.

Physical Distance, Genetic Relationship, Age and Leprosy Classification

are IndependentRisk Factor for Leprosy in Contact of Patients with

Leprosy. JID;193: 346-53.

Nath, I., and Chaduvula, M. 2010. Immunological Aspect. In: Kumar Kar, H.,

Kumar, B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee

Brothers Medical Publishers. p. 60-73.

Navero, J.L., Benitez-Sillero, J.D., Gil-Campos, M., Castillo, M., Taset, I., and

Tunez, J. 2009. Changes in Oxidative Stress Biomarkers induce by Puberty.

An Pediatr; 70(5): 424-8.

Nielsen, F., Mikkelsen, B.B., Bo Nielsen, J., Andersen, H.R., and Grandjean, P.

1997. Plasma Malondialdehyde as Biomarker for Oxidative Stress:

Page 111: ni made dina pranidya ari

111

Reference Interval and Effects of Life-Style Factors. Clin Chem; 43(7):

1209-14.

Noto, S., and Schreuder, P.A.M. 2010. Diagnosis of Leprosy. Leprosy Mailling

List: 1-25.

Nunez, V.M., Ruiz-Ramos, M., Sanchez-Rodriguez, M.A., Retana-Ugalde, R.,

and Munos-Sanchez, J.L. 2007. Aging-Related Oxidative Stress in Healthy

Humans. Tohoku J Exp Med; 213(3): 261-8.

Osadolor, H.B., and Ihongbe, J.C. 2008. Effect of Leprosy on Non-Enzymatic

Antioxidants (Vitamin C, Vitamin E, and Uric Acid) in (Edo State)

Nigerian Leprosy Patients. Cont J. Biomed Sc; 2: 1-5.

Ozan, G., Yilmaz, S., Erisir, M., Erden, I., and Temizer, S. Oxidative Stress,

Reduced Glutathione Levels and Catalase Activities in Leprosy Patients.

IJPBCS: 152

Pai, W., Ganapati, R., and Rao, R. 2010. Development and Evolution of WHO

MDT and Newer Treatment Regimens. In: Kumar Kar, H., Kumar, B.,

editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publishers. p. 353-367.

Palit, A., and Inamadar, A.C. Childhood Leprosy in India Over The Past Two

Decades. Lepr Rev; 85: 93-99.

Palmiere B. and Sblendorio V. 2006. Oxidative Stress Detection: What For?.

European Review for Medical and Pharmacological Sciences; 10: 291-317

Patil, S. B., Kodliwadmath, M. V., and Sheela, M. K. 2006. Lipid peroxidation

and Nonenzymatic Antioxidants in Normal Pregnancy. J Obstet Gynecol

India, 56 (5): p. 399-401.

Penna, O.G., Pinheiro, A.M., Nogueira, L.S., de Carvalho, L.R., de Oliviera,

M.B.B., Carreiro, V.P. 2008. Clinical and Epidemiological Study of

Leprosy Cases in the University of Brasilia: 20 years-1985 to 2005. Revist

Soc Brasil Med Trop; 41(6): 575-80.

Polycarpou, A., Walker, S.L., and Lockwood D.N. 2013. New Findings in the

Pathogenesis of Leprosy and Implications for the Management of Leprosy.

Trop and Trav Ascc Dis; 26(5): 413-420.

Poricha, D., and Natrajan, M. 2010. Pathological Aspects. In: Kumar Kar, H.,

Kumar, B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee

Brothers Medical Publishers. p. 100-120.

Page 112: ni made dina pranidya ari

112

Prabhakar, M.C., Santhikrupa, D., Manasa, N., and Rao, U. 2012. Status of Free

Radicals and Antioxidants in Leprosy Patients. Indian J Lepr; 85: 5-9.

Prasad, B.C.V., Kodliwadmath, M.V., and Kodliwadmath, G.B. 2007. Erythrocyte

Superoxide Dismutase, Catalase Activities and Hydrogen Peroxide Induced

Lipis Peroxidation in Leprosy. Lepr Rev; 78: 391-397.

Rahal, A., Kumar, A., Singh, V., Yadav, B., Tiwart, R., Chakraborty, S., and

Dhama, K. 2014. Oxidative Stress, Prooxidants, and Antioxidants: The

Interplay. Biomed Res Int: 1-20.

Rao, L., M.C., Shanti Krupa, D., and Manasa, N. 2012. Leprosy: Disease

Prevailing from Past to Present. IJRPC; 2(3):770-779.

Renault, C.A., and Ernst, J.D. 2015. Mycobacterium leprae (Leprosy). In: Bennet,

J.E., Dolin, R., Blaser, M.J., editors. Mendell, Douglas, and Bennetts

Principles and Practice of Infectious Diseases. 8th

ed. New York:

Elsevier.p. 2819-30.

Sandle, T. 2013. Global Strategies for Elimination of Leprosy: A Review of

Current Progress. J Anc Dis Prev Rem; 1(4):1-2.

Saonere, J.A. 2011. Leprosy: An Overview. J Infect Dis Immun; 3(4): 233-43.

Schalcher, T.S., Borges, R.S., Coleman, M.D., Junior, J.B., Salgado, C.G., Viera,

J.L.F., Romao, P.R.T., Oliveira, F.R., and Monteiro, M.C. 2014. Clinical

Oxidative Stress during Leprosy Multidrug Therapy: Impact of Dapsone

Oxidation. PLOS; 9(1): 1-9.

Schalcher, T.S., Vieira, J.L.F., Salgado, C.G., Borges, R.S., and Monteiro, M.C.

2013. Antioxidant Factors, Nitric Oxide Levels, and Cellular Damage in

Leprosy Patients. Rev Soc Bras Med Trop; 46(5): 645-649.

Sekar, B. Bacteriological Aspects. 2010. In: Kumar Kar, H., Kumar, B., editors.

IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical

Publishers. p. 74-86.

Sitohang, V., Budijanto, D., Hardhana, B., and Soenardi, T.A. 2014. Pengendalian

Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. In: Sitohang, V., Budijanto, D.,

Hardhana, B., Soenardi, T.A., editors. Profil Kesehatan Indonesia 2013.

Jakarta: Kemenkes RI. p. 128-80.

Spooner, R., and Yilmaz, O. 2010. The Role of Reactive-Oxygen-Species in

Microbial Persistance and Inflammation. Int J Mol Sci; 12: 334-52.

Page 113: ni made dina pranidya ari

113

Swathi, M., Tagore, R. 2015. Study of Oxidative Stress in Different Forms of

Leprosy. Indian J Dermatol; 60 (3): 321.

Thabane, L. 2004. Sample size determination in clinical trials. [Denpasar 2015

Sep.6]. Available from: URL: https://

fammedmcmaster.ca/research/files/sample-size-calculations.

Thorat, D.M., and Sharma, P. 2010. Epidemiolog. In: Kumar Kar, H., Kumar, B.,

editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publishers. p. 24-31.

Tosepu, R., Effendy, D.V., Imran, L.O.A., and Asfian P. 2015. Epidemiology

Study of Leprosy Patients in The District of Bombana Southeast Sulawesi

Province Indonesia. Int J Res Med Sci; 3(5): 1262-5.

Trimbake, S.B., Sontakke, A.N., and Dhat, V.V. 2013. Oxidative Stress and

Antioxidant Vitamins in Leprosy. Int J Res Med Sci; 1(3): 226-229.

Valko, M., Leibfritz, D., Moncol, J., Cronin, M.T.D., Mazur, M., and Telser, J.

2006. Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and

human disease. Int J Biochem & Cell Bio; 39: 44–84. Varkevisser, C.M.,

Lever, P., Alubo, O., Burathoki, K., Idawani, C., and Moreira, T.M.A.

2009. Gender and Leprosy: Case Studies in Indonesia, Nigeria, Nepal and

Brazil. Lepr Rev; 80: 65-76.

Vazques, C.M.P., Netto, R.S.M., Barbosa, K.B.F., de Moura, T.R., de Almeida,

R.P., Duthie, M.S., and de Jesus, A.R. 2014. Micronutrient Influencing the

Immune Response in Leprosy. Nutr Hosp; 29(1): 26-36.

Venkatesan, K., and Deo, N. 2010.Biochemical Aspect. In: Kumar Kar, H.,

Kumar, B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee

Brothers Medical Publishers. p. 87-96.

Vijayaraghavan, R., and Paneerselvam, C. 2011. Erythrocyte Antioxidant

Enzymes in Multibacillary Leprosy Patients. IJABPT; 2(2): 1-4.

Widodo, A.A., and Menaldi, S.L. 2012. Characteristics of Leprosy Patients in

Jakarta. J Indon Med Assoc; 62(11): 423-27.

Winarsi H. 2007. Antioksidan alami dan radikal bebas. Cetakan ke 2 , Kanisnus

Yogyakarta. p. 50-5

World Health Organization (WHO). 2014. Global Leprosy Update, 2013. Weekly

Epidemiological Record;89 (36). 389-400.

Page 114: ni made dina pranidya ari

114

Yawalkar, S.J. 2009. Reactions in Leprosy. In: Yawalkar, S.J., editors. Leprosy

for Medical Practitioner and Paramedical Workers. 8th

ed. Switzerland:

Novartis. p. 78-85.

Yawalkar, S.J. 2009. Treatment. In: Yawalkar, S.J., editors. Leprosy for Medical

Practitioner and Paramedical Workers. 8th

ed. Switzerland: Novartis. p.

65-77.

Yudianto, Budijanto, S.D., Hardhana, B., and Soenardi, T.A. 2015. Pengendalian

Penyakit. In: Yudianto, Budijanto, S.D., Hardhana, B., Soenardi, T.A,

editors. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Kemenkes RI. p. 134-65.

Lampiran 1

Ethical Clearance

Page 115: ni made dina pranidya ari

115

Lampiran 2

Surat Ijin Penelitian

Page 116: ni made dina pranidya ari

116

Lampiran 3 : PENJELASAN DAN FORM PERSETUJUAN PENELITIAN

Page 117: ni made dina pranidya ari

117

Judul : Kadar Malondialdehyde Plasma Berkorelasi Positif dengan Indeks

Bakteri pada Penderita Kusta

Peneliti Utama : dr. Ni Made Dina Pranidya Ari

Peneliti Lain : Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK, FINSDV

Dr. dr. Made Wardhana, SpKK, FINSDV

Latar Belakang Penelitian :

Penyakit kusta atau lepra merupakan penyakit infeksi yang disebabkan

oleh kuman Mycobacterium leprae yang dapat menyerang saraf, kulit atau

jaringan lain. Hingga saat ini penyakit kusta masih menimbulkan permasalahan

kesehatan yang kompleks baik bagi penderita maupun masyarakat. Perjalanan

penyakit kusta yang berlangsung lama dan menyerupai penyakit kulit lain

seringkali menimbulkan keterlambatan diagnosis sehingga banyak penderita baru

mendapat pengobatan ketika sudah dalam keadaan cacat.

Stres oksidatif adalah keadaan dimana jumlah radikal bebas melebihi

kapasitas antioksidan dalam tubuh untuk menetralkannya. Malondialdehyde

(MDA) merupakan salah satu penanda kerusakan sel akibat stres oksidatif.

Berdasarkan penelitian pada penyakit kusta sebelumnya, ditemukan adanya stres

oksidatif yang ditandai dengan peningkatan kadar MDA pada penyakit kusta.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara kadar MDA

dengan nilai indeks bakteri pada penyakit kusta sebagai salah satu pertimbangan

apakah pengobatan dengan antioksidan diperlukan pada penyakit kusta atau tidak.

Penelitian ini akan melibatkan 48 orang peserta sukarelawan yang

didiagnosis kusta. Setiap pasien akan dilakukan pemeriksaan hapusan sayatan

Page 118: ni made dina pranidya ari

118

kulit pada lokasi kedua cuping telinga dan kelainan kulit yang aktif serta akan

diambil sampel darah vena sebanyak 3 cc oleh dokter atau tenaga medis yang

terlatih. Pengambilan dilakukan di rumah sakit pada saat Bapak/Ibu/Saudara

diperiksa oleh dokter yang merawat. Risiko yang mungkin terjadi selama

pemeriksaan hapusan sayatan kulit dan pengambilan sampel darah adalah rasa

nyeri ringan, luka suntikan dan memar pada lokasi pengambilan darah, atau tidak

sadar karena faktor psikologis. Untuk kemungkinan tersebut, telah disiapkan

penanganan medis oleh tim dokter dan paramedis. Peserta penelitian tidak

dibebani biaya apapun dalam penelitian ini.

Kami sangat berterima kasih apabila Bapak/ Ibu/ Saudara berkenan

berpartisipasi dalam penelitian ini. Bapak/Ibu/Saudara tidak dipaksa untuk ikut

berpartisipasi serta dapat mengundurkan diri dari penelitian ini kapan saja tanpa

syarat atau sanksi apapun. Kami menjamin bahwa bahan dan data yang kami

peroleh tidak akan digunakan untuk kepentingan lain dan terjaga kerahasiaannya.

Data ini mungkin dipublikasikan tanpa mencantumkan identitas

Bapak/Ibu/Saudara.

Bila masih ada hal-hal yang perlu ditanyakan, Bapak/Ibu/Saudara dapat

menghubungi dr. Ni Made Dina Pranidya Ari di bagian Ilmu Kesehatan Penyakit

Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, Jalan Pulau Bali, Denpasar. Hp.

082145014887.Bersama ini kami sertakan formulir persetujuan mengikuti

penelitian.

Lampiran 4

PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN

Page 119: ni made dina pranidya ari

119

Setelah mendapatkan penjelasan, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Laki-laki / perempuan*

Alamat :

Selaku orang tua/ keluarga dari*:

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Laki-laki / perempuan*

Alamat :

Telefon :

Dengan ini menyatakan SETUJU untuk ikut serta dalam penelitian dan

mengikuti berbagai prosedur pemeriksaan seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya. Saya tidak keberatan bila kemudian bahan-bahan tersebut beserta

hasilnya menjadi bagian dari Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Penyakit Kulit

dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, guna kepentingan ilmu pengetahuan.

Denpasar, 2016

Yang membuat pernyataan Saksi Peneliti

( ) ( ) (dr. Ni Made Dina P. Ari)

*coret yang tidak perlu.

Lampiran 5

KUISIONER PENELITIAN

Page 120: ni made dina pranidya ari

120

I. IDENTITAS PASIEN

1. Nama : ..............................................................................

2. Nomor RM : .............................................................................

3. Jenis Kelamin : ..............................................................................

4. Umur : ..............................................................................

5. Suku Bangsa : ..............................................................................

6. Alamat : ..............................................................................

7. Nomor Telepon : ..............................................................................

8. Pendidikan : ..............................................................................

9. Pekerjaan : ...............................................................................

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama

1. Muncul bercak ( ) putih, ( ) merah, ( ) hitam) atau ( ) nodul

Pertama kali sejak : ......./....../.......

Jumlah: ( ) 1 buah lesi, ( ) 1-5 buah lesi, ( ) >5 buah lesi

2. Lokasi timbulnya bercak_______________________________________

3. Apakah terdapat keluhan lain

a. mati rasa: ada/tidak ada

b. rasa baal: ada/tidak ada

c. kesemutan : ada/tidak ada

4. Riwayat pengobatan

a. Multi Drug Therapy (MDT): sudah/ belum

b. Bila sudah sejak kapan:...../....../......., paket MB ( ), PB ( )

yang ke:____________

5. Apakah sudah pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya?

(Ya/tidak) Apabila pernah apakah sudah pernah diobati? (Ya/tidak)

Jelaskan____________________________________________________

6. Reaksi tipe 1

Page 121: ni made dina pranidya ari

121

a. Saat ini terdapat keluhan bercak kulit semakin merah dan menebal:

ada/tidak ada

b. apabila ada, apakah disertai nyeri: ada/tidak ada

c. demam: ada/tidak ada

d. nyeri sendi: ada/tidak ada

7. Reaksi kusta tipe 2 (ENL):

a. Saat ini terdapat keluhan benjolan (nodul) merah : ada /tidak ada

b. apabila ada apakah disertai nyeri: ada/tidak ada

c. demam: ada/tidak ada

d. nyeri sendi: ada/tidak ada

8. Riwayat Penyakit Dahulu:

a. Gagal ginjal kronis? (ada/tidak ada) Jika tidak, apakah pernah

mengalami gejala kenaikan tekanan darah disertai anemia, lemas,

mual-muntah, bengkak pada tungkai atau mata? (ada/tidak ada)

b. Penyakit jantung koroner? (ada/tidak ada) Jika tidak, apakah pernah

mengalami rasa tidak nyaman atau sesak di dada yang menyebar ke

leher, dagu dan tangan? (ada/tidak ada)

c. Artritis reumatoid? (ada/tidak ada) Jika tidak, apakah pernah

mengalami peradangan pada sendi disertai nyeri dan kaku terutama

pada pagi hari? (ada/tidak ada)

d. Lupus eritematosus sistemik? (ada/tidak ada) Jika tidak, apakah pernah

mengalami bercak merah pada pipi seperti bentuk kupu-kupu?

(ada/tidak ada), apabila terkena sinar matahari apakah bercak merah

pada pipi bertambah merah dan perih? (ada/tidak ada), luka di mulut,

nyeri sendi, kejang? (ada/tidak ada)

e. Kencing manis? (ada/tidak ada) Jika tidak apakah pernah mengalami

kondisi sering kencing, sering haus, selalu merasa lapar tetapi berat

badan menurun? (ada/tidak ada)

f. Riwayat asma atau atopik? Jika tidak apakah pernah mengalami

kondisi berikut: Sejak kecil pernah sesak disertai mengi? (ada/tidak

ada) Bersin pagi hari? (ada/tidak ada) Mudah alergi terhadap debu atau

Page 122: ni made dina pranidya ari

122

dingin? (ada/tidak ada) Riwayat gatal pada lipat siku dan lutut yang

simetris?

g. Riwayat penyakit keganasan/kanker? (ya/tidak) Jika ada,

jelaskan__________________________________________________

h. Penyakit hati? (ada/tidak ada) Jika tidak apakah pernah mengalami

sakit kuning disertai perut membesar, pembesaran hati ? (ada/tidak

ada)

i. Riwayat terinfeksi HIV/AIDS? (ada/tidak ada) Jika tidak apakah

terdapat keluhan diare yang tidak sembuh? Demam terus menerus?

Penurunan berat badan >10%? Batuk lama? (ada/tidak ada)

j. Psoriasis (ada/tidak ada) Bercak merah menebal pada lutut, siku atau

punggung yang hilang timbul? (ada/tidak ada)

9. Apakah terdapat riwayat kontak dengan pasien yang memiliki keluhan

yang sama? (Ada/tidak ada) Apabila ada, jelaskan asal kontak

a. Kontak serumah

b. Kontak tetangga

c. Kontak teman sekerja

10. Apabila pasien perempuan : apakah saat ini sedang hamil? Ya/tidak

11. Apakah memiliki riwayat merokok? Ya/tidak, Jika ya,

jelaskan____________________ (jumlah:______/hari)

12. Apakah terdapat riwayat konsumsi alkohol? Ya/tidak, Jika ya, berapa

jumlah konsumsi per hari____________ berapa lama______________

13. Apakah dalam 4 minggu terakhir terdapat riwayat konsumsi obat:

a. Suplemen antioksidan : __________________________(jenis, dosis)

b. Obat anti-inflamasi non steroid:_____________________(jenis, dosis)

c. Kortikosteroid___________________________________(jenis,dosis)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : ( ) baik, ( ) sedang, ( ) lemah

Status present

Kesadaran (GCS) :

Page 123: ni made dina pranidya ari

123

Tekanan darah : / mmHg

Nadi : x/menit,

Respirasi : x/menit

Temp. aksila : oC

Status generalis

Mata :

THT :

Thorax :

Abdomen : pembesaran hepar dan lien: ada/tidak ada

Ekstremitas : edema: ada/tidak ada

Berat badan : ......kg, tinggi badan :.......cm, IMT :.......

IV. PEMERIKSAAN DERMATOLOGIS

Lokasi :

Effloresensi :

Pemeriksaan sensibilitas :

Rasa raba :

Rasa nyeri :

Suhu :

Pemeriksaan rambut :

Pemeriksaan kuku :

Pemeriksaan fungsi kelenjar keringat :

Pemeriksaan saraf :

Penebalan saraf : ada/tidak

Lokasi :

Page 124: ni made dina pranidya ari

124

Gangguan fungsi motorik : ada/tidak

Lokasi :

Derajat :

Deformitas : ada/tidak

Jelaskan___________________________________________

V.PEMERIKSAAN BASIL TAHAN ASAM (BTA)

BTA pada cuping telinga: ( ) negatif, ( ) positif, pada lesi: ( ) negatif, ( ) positif.

indeks bakteri (IB):........., indeks morfologi (IM): .........

VI. PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI:

VII. DIAGNOSIS MH TIPE:

VII. PEMERIKSAAN PLASMA

Tanggal pengambilan : / / 2016

No plasma :.........

Hasil Kadar MDA plasma :.........

Lampiran 6

Page 125: ni made dina pranidya ari

125

Data Sampel Penelitian

No Inisial

Jenis

Kelamin Umur Riw. Kontak

Riw.

Terapi

Tipe

Kusta

(WHO)

Tipe

Kusta IB

Kadar

MDA

(nM/mL)

1. WM perempuan 52

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe MB BL +3 5.36

2. HR laki-laki 35

kontak

serumah

sudah

diterapi tipe MB BB +2 4.25

3. WL perempuan 54

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe MB BB +2 4.27

4. SJ laki-laki 40

kontak teman

kerja/lain-lain

belum

diterapi tipe PB BT +0 3.62

5. YN perempuan 35

kontak

serumah

sudah

diterapi tipe MB BL +3 5.15

6. KK laki-laki 71

kontak

serumah

belum

diterapi tipe MB BL +4 5.99

7. KA laki-laki 33

kontak

tetangga

sudah

diterapi tipe MB BL +3 5.33

8. AT laki-laki 25

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe PB BT +1 3.82

9. KS laki-laki 65

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe MB BL +3 5.83

10. NM perempuan 60

kontak

tetangga

belum

diterapi tipe PB BT +0 3.14

11. LA perempuan 42

kontak

serumah

belum

diterapi tipe PB BT +1 3.46

12. NK perempuan 58

tidak ada

kontak

belum

diterapi tipe PB BT +0 3.01

13. GM laki-laki 59

kontak teman

kerja/lain-lain

sudah

diterapi tipe MB BL +2 4.26

14. KS perempuan 28

kontak

tetangga

sudah

diterapi tipe PB TT +0 2.99

15. KK perempuan 50

tidak ada

kontak

belum

diterapi tipe MB BL +2 4.08

16. HB laki-laki 26

kontak

serumah

belum

diterapi tipe MB BB +1 3.51

17. WP perempuan 46

kontak

serumah

belum

diterapi tipe MB LL +3 5.68

18. GP laki-laki 29

kontak

serumah

sudah

diterapi tipe MB BL +3 5.71

19. NR perempuan 60

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe MB BL +1 3.62

20. WT perempuan 24

tidak ada

kontak

belum

diterapi tipe MB BL +4 5.97

21. NS laki-laki 37

tidak ada

kontak

belum

diterapi tipe MB BL +3 5.22

NR laki-laki 58 tidak ada sudah tipe MB LL +1 3.46

Page 126: ni made dina pranidya ari

126

22. kontak diterapi

23. FQ laki-laki 33

kontak

tetangga

belum

diterapi tipe MB BL +4 6.28

24. WT perempuan 58

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe MB BL +3 5.93

25. PY perempuan 37

kontak

serumah

sudah

diterapi tipe MB BB +0 2.64

26. IR perempuan 41

kontak

tetangga

sudah

diterapi tipe MB LL +3 5.03

27. KA laki-laki 29

kontak

serumah

sudah

diterapi tipe PB BT +0 3.25

28. MD laki-laki 54

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe MB BB +2 4.82

29. SM laki-laki 29

kontak

serumah

sudah

diterapi tipe PB BT +0 3.14

30. MS perempuan 55

kontak

tetangga

sudah

diterapi tipe PB BT +0 3.02

31. SF perempuan 45

kontak

serumah

sudah

diterapi tipe MB BL +3 5.84

32. MT laki-laki 24

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe PB BT +1 3.52

33. WR laki-laki 71

kontak

tetangga

sudah

diterapi tipe MB BL +2 3.07

34. MM laki-laki 37

kontak

tetangga

belum

diterapi tipe MB BL +4 6.06

35. MS laki-laki 26

kontak

serumah

sudah

diterapi tipe MB BL +4 5.97

36. DN perempuan 22

kontak

serumah

belum

diterapi tipe MB BL +4 5.82

37. SW laki-laki 23

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe MB BL +1 3.52

38. JS perempuan 39

tidak ada

kontak

belum

diterapi tipe MB BB +1 3.48

39. NS laki-laki 28

kontak teman

kerja/lain-lain

sudah

diterapi tipe MB BL +3 5.92

40. LU laki-laki 27

kontak teman

kerja/lain-lain

sudah

diterapi tipe PB BT +0 3.11

41. ST laki-laki 30

kontak

tetangga

sudah

diterapi tipe MB BB +3 5.62

42. KK laki-laki 34

tidak ada

kontak

belum

diterapi tipe MB BB +1 3.44

43. NA laki-laki 22

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe PB BT +1 3.59

44. YF perempuan 35

kontak

serumah

belum

diterapi tipe MB LL +2 4.21

45. NS laki-laki 50

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe MB BB +1 3.26

46.

FA perempuan 9

kontak

serumah

sudah

diterapi tipe MB BB +1 3.33

Page 127: ni made dina pranidya ari

127

47. LA perempuan 41

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe MB BL +3 5.54

48. KP laki-laki 64

tidak ada

kontak

sudah

diterapi tipe MB LL +4 6.07

Lampiran 7

Karakteristik Subjek Penelitian

Umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 6-15 tahun 1 2.1 2.1 2.1

16-25 tahun 6 12.5 12.5 14.6

26-35 tahun 15 31.3 31.3 45.8

36-45 tahun 9 18.8 18.8 64.6

46-55 tahun 7 14.6 14.6 79.2

56-65 tahun 8 16.7 16.7 95.8

66-75 tahun 2 4.2 4.2 100.0

Total 48 100.0 100.0

Statistics

Kadar MDA Umur

N Valid 48 48

Missing 0 0

Mean 4.4419 40.63

Median 4.2300 37.00

Mode 3.14a 29

a

Std. Deviation 1.17198 14.911

Jenis Kelamin

Page 128: ni made dina pranidya ari

128

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid laki-laki 27 56.3 56.3 56.3

perempuan 21 43.8 43.8 100.0

Total 48 100.0 100.0

Tipe Kusta WHO

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tipe PB 12 25.0 25.0 25.0

tipe MB 36 75.0 75.0 100.0

Total 48 100.0 100.0

Tipe Kusta Ridley Jopling

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid TT 1 2.1 2.1 2.1

BT 11 22.9 22.9 25.0

BB 10 20.8 20.8 45.8

BL 21 43.8 43.8 89.6

LL 5 10.4 10.4 100.0

Total 48 100.0 100.0

Indeks Bakteri

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 0 9 18.8 18.8 18.8

1 12 25.0 25.0 43.8

2 7 14.6 14.6 58.3

3 13 27.1 27.1 85.4

4 7 14.6 14.6 100.0

Total 48 100.0 100.0

Terapi MDT

Page 129: ni made dina pranidya ari

129

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid belum diterapi 16 33.3 33.3 33.3

sudah diterapi 32 66.7 66.7 100.0

Total 48 100.0 100.0

Riwayat Kontak

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid tidak ada kontak 20 41.7 41.7 41.7

kontak serumah 15 31.3 31.3 72.9

kontak tetangga 9 18.8 18.8 91.7

kontak teman

kerja/lain-lain

4 8.3 8.3 100.0

Total 48 100.0 100.0

Lampiran 8

Uji Normalitas Data

Uji Normalitas Kadar MDA

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kadar MDA .196 48 .000 .877 48 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Uji Normalitas Indeks Bakteri

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

indeks bakteri .197 48 .000 .889 48 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Uji Normalitas Kelompok Umur

Page 130: ni made dina pranidya ari

130

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

umur .202 48 .000 .930 48 .007

a. Lilliefors Significance Correction

Lampiran 9

Uji Mann-Whitney Kadar MDA antara Kelompok Kusta tipe PB

dengan Kusta tipe MB

Perbedaan Kadar MDA Berdasarkan Tipe Kusta

Tipe Kusta Statistic Std. Error

Kadar MDA tipe PB Mean 3.3058 .08160

95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound 3.1262

Upper Bound 3.4854

5% Trimmed Mean 3.2948

Median 3.1950

Variance .080

Std. Deviation .28266

Minimum 2.99

Maximum 3.82

Range .83

Interquartile Range .53

Skewness .511 .637

Kurtosis -1.168 1.232

tipe MB Mean 4.8206 .18480

95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound 4.4454

Upper Bound 5.1957

5% Trimmed Mean 4.8552

Median 5.1850

Variance 1.229

Std. Deviation 1.10877

Minimum 2.64

Maximum 6.28

Range 3.64

Interquartile Range 2.29

Page 131: ni made dina pranidya ari

131

Skewness -.394 .393

Kurtosis -1.377 .768

Uji Mann-Whitney Perbedaan Kadar MDA Berdasarkan Tipe Kusta

Kadar MDA

Mann-Whitney U 53.500

Wilcoxon W 131.500

Z -3.870

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Grouping Variable: Tipe Kusta

Perbedaan Kadar MDA Berdasarkan Riwayat Terapi

terapi MDT Statistic

Std.

Error

Kadar MDA belum diterapi Mean 4.5606 .30895

95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound 3.9021

Upper Bound 5.2191

5% Trimmed Mean 4.5513

Median 4.1450

Variance 1.527

Std. Deviation 1.23579

Minimum 3.01

Maximum 6.28

Range 3.27

Interquartile Range 2.47

Skewness .207 .564

Kurtosis -1.892 1.091

sudah diterapi Mean 4.3825 .20407

95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound 3.9663

Upper Bound 4.7987

5% Trimmed Mean 4.3803

Median 4.2550

Page 132: ni made dina pranidya ari

132

Variance 1.333

Std. Deviation 1.15438

Minimum 2.64

Maximum 6.07

Range 3.43

Interquartile Range 2.32

Skewness .149 .414

Kurtosis -1.644 .809

Uji Mann-Whitney Perbedaan Kadar MDA Berdasarkan Riwayat Terapi

Kadar MDA

Mann-Whitney U 226.000

Wilcoxon W 754.000

Z -.656

Asymp. Sig. (2-tailed) .512

a. Grouping Variable: terapi MDT

Lampiran 10

Uji Korelasi Spearman’s rho antara Kadar MDA dengan

Indeks Bakteri pada Kusta

kadar_mda indeks bakteri

Spearman's rho kadar_mda Correlation Coefficient 1.000 .935**

Sig. (2-tailed) . .000

N 48 48

indeks bakteri Correlation Coefficient .935**

1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 48 48

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Lampiran 11

Page 133: ni made dina pranidya ari

133

Analisis Regresi Linier Kadar MDA dengan

Indeks Bakteri pada Subjek Kusta

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate

1 .950a .903 .901 .36884

a. Predictors: (Constant), indeks bakteri

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 2.872 .093 30.999 .000

indeks bakteri .810 .039 .950 20.701 .000

Lampiran 12

Page 134: ni made dina pranidya ari

134

Foto Prosedur Penelitian

Lampiran 13

Pengambilan darah Tabung EDTA 10%

Sentrifuse

Spektrofotometer dan kuvet

TBARS Assay Kit

Page 135: ni made dina pranidya ari

135

Foto Subjek Penelitian

Data Sampel Penelitian no 8, Kusta Tipe TT

Page 136: ni made dina pranidya ari

136

Data Sampel Penelitian no 27, Kusta Tipe LL