New BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa 2.1.1 …eprints.umm.ac.id/40884/3/BAB II.pdf ·...

32
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa 2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa Menurut Bittner seperti yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Rakhmat, 2005:188). Perkembangan media komunikasi massa terbilang begitu cepat. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran dan televisi (media elektronik); surat kabar dan majalah (media cetak); serta media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto, 2007:3). Komunikasi massa juga dapat dijelaskan melalui beberapa karakteristik. Karakteristik tersebut antara lain: komunikator dalam komunikasi massa terlembagakan. Komunikasi massa menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik. Komunikasi massa juga melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks (Ardianto, 2007: 6). 2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa Menurut De Vito dalam Winarni (2003: 245), ada beberapa fungsi yang diemban komunikasi massa, yakni: 1. Fungsi menghibur Media massa sebagian besar melakukan fungsi sebagai media yang memberikan penghiburan bagi khalayaknya. Hal ini terlihat pada acara- acara humor, artikel humor, irama music, tarian, dan lain-lain. Dimana

Transcript of New BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa 2.1.1 …eprints.umm.ac.id/40884/3/BAB II.pdf ·...

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Komunikasi Massa

    2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa

    Menurut Bittner seperti yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, komunikasi

    massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah

    besar orang (Rakhmat, 2005:188). Perkembangan media komunikasi massa

    terbilang begitu cepat. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio

    siaran dan televisi (media elektronik); surat kabar dan majalah (media cetak); serta

    media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto,

    2007:3).

    Komunikasi massa juga dapat dijelaskan melalui beberapa karakteristik.

    Karakteristik tersebut antara lain: komunikator dalam komunikasi massa

    terlembagakan. Komunikasi massa menggunakan media massa, baik media cetak

    maupun elektronik. Komunikasi massa juga melibatkan lembaga dan

    komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks (Ardianto, 2007: 6).

    2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa

    Menurut De Vito dalam Winarni (2003: 245), ada beberapa fungsi yang

    diemban komunikasi massa, yakni:

    1. Fungsi menghibur

    Media massa sebagian besar melakukan fungsi sebagai media yang

    memberikan penghiburan bagi khalayaknya. Hal ini terlihat pada acara-

    acara humor, artikel humor, irama music, tarian, dan lain-lain. Dimana

  • 10

    pesan-pesan yang menghibur tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga

    menarik dan menghibur khalayak.

    2. Fungsi meyakinkan

    Media mempunyai fungsi untuk meyakinkan khalayaknya. Persuasi

    ini dapat dilihat dalam bentuk:

    a. Mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan, atau nilai

    seseorang

    b. Mengubah sikap, nilai, kepercayaan seseorang

    c. Menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu

    d. Menawarkan etika atau sistem nilai tertentu

    3. Menginformasikan

    Media memberikan informasi tentang peristiwa, baik yang bersifat

    lokal, regional, nas ional, dan internasional kepada khalayaknya. Kita tahu

    bahwa sebagian besar informasi, kita dapatkan dari media. Baik itu

    informasi musik, politik, film, seni, ekonomi, sejarah, dan lain-lain.

    4. Menganugerahkan status

    Menurut Lazarsfeld dan Merton dalam Winarni (2003: 46), “Jika

    anda benar - benar penting, anda akan menjadi pusat perhatian massa dan

    jika anda menjadi pusat perhatian massa, berarti anda memang penting”.

    Sebaliknya, “Jika anda tidak mendapatkan perhatian massa, maka anda

    tidak penting”. Orang - orang yang penting setidaknya di mata masyarakat

    adalah orang-orang yang sering dimuat di media.

    5. Fungsi membius

  • 11

    Fungsi membiusnya media terjadi bila media menyajikan informasi

    tentang sesuatu, penerima percaya bahwa tindakan tertentu telah diambil.

    Sebagai akibatnya penerima terbius dalam keadaan tidak aktif seakan

    berada dalam pengaruh narkotik.

    6. Menciptakan rasa kebersatuan

    Media mampu menciptakan atau membuat kita sebagai khalayak

    merasa menjadi anggota suatu kelompok.

    a. Privatisasi

    Media mampu atau memiliki kecenderungan menciptakan lawan

    dari rasa kesatuan dan hubungan yaitu membuat seseorang untuk menarik

    diri dari kelompok sosial dan menguatkan diri ke dalam dunianya sendiri.

    b. Parasosial

    Hubungan yang dikembangkan oleh pemirsa atau khalayak dengan

    tokohtokoh media atau tokoh dramatik. Biasanya dalam bentuk menulis

    surat, telepon, faksimili, e-mail, kepada tokoh-tokoh seperti dokter,

    pengacara, dai, dan lain-lain untuk mendapatkan nasihat.

    2.1.3 Efek Pesan Komunikasi Massa

    Terdapat tiga efek pesan komunikasi massa, yaitu:

    1. Efek Kognitif

    Membahas tentang bagaimana media massa dapat membantu

    khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan

    mengembangkan keterampilan kognitifnya.

    2. Efek Afektif

  • 12

    Tujuan dari komunikasi massa bukan hanya sekedar memberi

    tahu khalayak tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu. Khalayak

    diharapkan dapat turut merasakan perasaan iba, terharu, sedih,

    gembira, marah, dan sebagainya.

    3. Efek Behavioral

    Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri

    khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.

    2.2 Abdi Dalem

    Menurut Sudaryanto (2008) dalam Jurnalnya yang berjudul “Hak dan

    Kewajiban Abdi Dalem Dalam Pemerintahan Keraton Yogyakarta” menyebutkan

    bahwa, Abdi dalem merupakan kelompok sosial yang bekerja atau mengabdi pada

    seorang raja. Tugas dari para abdi dalem adalah menjaga dan merawat seluruh

    kompleks keraton baik berupa bangunan maupun budaya yang ada dan berkembang

    di keraton. Dalam bahasa Jawa abdi dalem adalah Abdining Budoyo, sedangkan

    dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Abdinya Budaya, atau seseorang yang

    bertugas untuk membantu mewartakan dan menjaga eksistensi budaya itu sendiri,

    khususnya Budaya Jawa di keraton. Jadi bisa dikatakan bahwa abdi dalem

    merupakan orang yang bekerja untuk mengabdi kepada raja dengan rasa ikhlas dan

    juga loyal ataupun setia.

    Abdi dalem dibagi menjadi dua, yaitu abdi dalem punokawan dan abdi

    dalem keprajan. Abdi dalem punokawan bertugas di wilayah kutogoro/kutonegoro,

    sementara abdi dalem keprajan bertugas di wilayah negaragung (negari) dan

    mancanegara. Baik abdi dalem punokawan maupun keprajan sama-sama

  • 13

    melaksanakan pekerjaan Keraton Yogyakarta. Jika abdi dalem punokawan

    melaksanakan pekerjaan di dalam Keraton Yogyakarta (semacam departemen

    dalam negeri) sementara abdi dalem keprajan melaksanakan pekerjaan di luar

    Kraton Yogyakarta (semacam departemen yang bertugas menjembatani Keraton

    dengan wilayah-wilayah di luar kraton) (Satriani, 2017: 49-50).

    Menurut Satriani (2017) Abdi dalem punokawan adalah seseorang yang

    mendaftarkan diri secara langsung ke Keraton Yogyakarta untuk menjadi abdi

    dalem melalui jalur umum sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan

    oleh Keraton Yogyakarta yaitu memiliki kepandaian tertentu seperti menari,

    mendalang, memainkan gamelan dan sebagainya. Abdi dalem ini memiliki tugas

    pokok dan gaji sesuai dengan pangkat dan kedudukan (kalenggahan) dalam tata

    rakit pemerintahan Keraton Yogyakarta. Sedangkan abdi dalem keprajan adalah

    abdi dalem yang berasal dari pegawai pemerintah. Berdasarkan keterangan salah

    satu abdi dalem, keberadaan abdi dalem keprajan dipandang sebagai jalan tengah

    yang memungkinkan dalam menghadapi perubahan jaman. Para abdi dalem

    keprajan ini kemudian diharapkan mampu menyokong administrasi Keraton karena

    keahlian yang mereka miliki. Mereka dapat mengajukan gelar kepangkatan yang

    berlaku dalam sistem pemerintahan kerajaan.

    Selain harus tunduk dan patuh kepada raja, abdi dalem juga mempunyai

    kewajiban. Kewajiban tersebut disesuaikan dengan kelompok, tugas dan pangkat

    yang mempunyai dasar berbeda – berbeda. Akan tetapi secara umum kewajiban

    abdi dalem menurut Sudaryanto (2008) adalah sebagai berikut:

  • 14

    a. Caos, maksudnya mereka datang dan melaksanakan tugas sesuai dengan

    pangkatnya.

    b. Presensi, presensi ini dimaksudkan untuk mengecek apakah abdi dalem

    tersebut datang, hal ini merupakan pembuktian tentang ketaatan dan

    kedispinan seorang abdi dalem, selain itu presensi merupakan bukti yang

    salah satunya dapat membantu kelancaran kenaikan pangkat.

    c. Mengikuti upacara adat, karena salah satu tugas abdi dalem adalah

    melestarikan budaya keraton maka abdi dalem memiliki kewajiban untuk

    ikut serta dalam kegiatan upacara yang dilakukan oleh keraton, seperti;

    mauludan, panjang jimat atau pembersihan pusaka dan upacara – upacara

    lain yang dilakukan oleh keraton.

    d. Merawat dan menjaga keraton baik bangunan dan budaya yang ada di

    keraton, sebagai contohnya membersihkan keraton, menjadi pemandu

    wisata keraton, menjalankan tugas administrasi keraton dan yang lain sesuai

    dengan pangkatnya.

    Selain itu, dalam tugas dan kewajibannya abdi dalem juga mendapatkan

    upah dari raja. Upah abdi dalem biasanya disesuaikan dengan pangkat yang

    disandangnya menurut Sudaryanto (2008) gaji abdi dalem keraton Jogyakarta

    antara Rp 2.000,- sampai Rp 20.000,- perbulan.

    2.3 Pengertian Budaya

    Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama

    oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya

    terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat

  • 15

    istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah kumpulan

    praktik sosial yang melalui makna diproduksi, disirkulasikan, dan dipertukarkan

    (Thwaites et al, 2011: 1).

    Koentjaraningrat berpendapat bahwa budaya atau kebudayaan berasal dari

    bahasa Sansekerta yaitu “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari

    “buddhi” (budi atau akal). Jadi kebudayaan itu dapat diartikan ‘hal – hal yang

    bersangkutan dengan budi dan akal’. (Herusatoto, 2000: 6)

    Budaya materil berupa materi yang mempunyai bentuk dan wujud tertentu

    sepert alat musik, rumah adat, kerajinan dan lain-lain. Sedangkan budaya non

    materiil berupa ideologi yang berisikan tentang kepercayaan ataupun mitologi serta

    kosmologi. Pengertian tentang kebudayaan mengenal banyak definisi yang

    berubah-ubah menurut kurun waktu yang sangat panjang. Perubahan budaya

    tersebut tidaklah dapat diprediksi sepenuhnya benar oleh manusia, tergantung dari

    perspektif mana manusia tersebut menginterpretasikannya.

    2.4 Budaya Jawa

    Secara antropologi budaya, masyarakat jawa merupakan masyarakat yang

    dalam hidup kesehariaannya menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa yang

    dipergunakan secara turun – menurun. Sedangkan secara geografis, suku bangsa

    jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Yogyakarta,

    Surakarta, Kediri, Malang dan Madiun. Sedangkan di luar wilayah tersebut

    dinamakan pesisir dan ujung timur. Sedangkan Surakarta dan Yogyakarta

    merupakan bekas kerajaan Mataram pada sekitar abad XVI dan merupakan pusat

    dari kebudayan Jawa. Keduanya adalah tempat kerajaan terkahir dari pemerintahan

    raja – raja Jawa (Zaairul Haq, 2011: 3).

  • 16

    Dalam perkembangaannya, budaya Jawa tak terlepas dari kepribadan orang

    Jawa itu sendiri yang meliputi kemauan, kepercayaan, pandangan hidup, moral dan

    etika. Dalam pemikiran masyarakat Jawa, seringkali sebuah ide ataupun cita-cita

    dipertentangkan dengan rasio, nalar atau akal sehat karena ilmu pengetahuan yang

    sebenarnya dalam pandangan Kejawen adalah bersifat gaib dan subjektif sekaligus.

    Hal tersebut dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat Jawa juga merupakan

    wawasan pribadi yang tidak dapat dirumuskan secara obyektif. Dalam pada itu,

    ajaran-ajaran Jawa sebenarnya penuh dengan simbolisme dan ilmu rahasia (ngelmu)

    yang memacu angan-angan dan renungan manusia (Mulder, 1984 : 23-24).

    Secara garis besar, dalam mengenal kebudayaan masyarakat jawa adalah

    sebagai berikut:

    2.4.1 Mengenal masyarakat Jawa

    Menurut Magnis Suseno dalam (Zaairul Haq, 2011: 1) adalah orang

    yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk

    asli bagian tengah dan timur pulau Jawa. Lebih lanjut, Magnis Suseno

    menuturkan bahwa berdasarkan golongan sosial, orang Jawa dibedakan

    menjadi tiga, yaitu :

    a. Wong cilik (orang kecil) yaitu masyarakat yang terdiri dari para

    petani dan mereka yang berpedapatan rendah.

    b. Kaum Priayi yang terdiri dari pegawai dan orang – orang intelektual

    c. Kaum Ningrat yang gaya hidupnya tidak jauh dari kaum Priayi.

    2.4.2 Kepribadian manusia Jawa

    Manusia jawa bisa dikatakan sebagai manusia yang mempunyai tipe

    kepribadian unuk. Dikatakan unik karena tingkah laku mereka yang dengan sengaja

  • 17

    dilakukan dalam kombinasi berulang – ulang yang jarang dijumpai pada

    kepribadian manusia lainnya. Misalnya, manusia Jawa melarang seseorang menaiki

    sepeda motor atau kendaraan lainnya di halaman rumah seseorang. Hal tersebut

    dilarang karena tidak sopan. Selain itu jika kita berbicara kepada orang yang lebih

    tua harus menggunakan bahasa jawa halus atau boso.

    Kepribadian manusia jawa yang unik ini didasari oleh semangat menunjung

    tinggi nilai kearifan lokal Jawa yaitu ngunduh wohing pakarti. Maksudnya,

    manusia Jawa memahami, menyadari, dan mempercayai bahwasannya sing nandur

    becik bakal becik undhu – undhuane, sing nandur ala bakal ala undhu – undhuane

    (yang menanam kebaikan pasti akan berbuah kebaikan, dan yang menanam

    keburukan juga akan berbuah keburukan). Dasar ini mempunyai aura yang cukup

    kuat dan memberikan energi yang hebat dalam membentuk kepribadian mereka.

    Karena itu selalu kita dapati bahwa gaya kepribadian manusia Jawa mampu

    memberikan pengaruh kepada lingkungan sekitarnya (Zaairul Haq, 2011: 9).

    Sistem peralatan dan perlengkapan Hidup Orang Jawa cukup beragam.

    Akan tetapi, belum ada salah satu buku yang membahas lebih mendalam tentang

    sistem ini. Secara garis besar, yang tergolong dalam sistem peralatan dan

    perlengkapan hidup orang Jawa adalah alat transformasi (andong), alat untuk

    menaruh (gentong) dan pakaian adat Jawa (kebaya, blangkon, dan motif batik Jawa

    seperti parang kusuma, grompol, tambal dan lain sebagainya).

    Dalam bertutur kata, suku Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa

    dalam bertutur kata sehari-hari. Meskipun dalam kenyataannya ada yang

    menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa mengenal adanya suatu tingkatan,

  • 18

    yaitu bahasa ngoko, bahasa krama madya, dan bahasa krama inggil (Achmad, 2018:

    117).

    Dalam prakteknya, bahasa Jawa merupakan bahasa yang sangat sopan

    dalam menghargai orang yang sedang diajak berbicara, khususnya ketika seseorang

    yang lebih muda berbicara dengan orang yang lebih tua. Selain itu, pengaplikasian

    bahasa Jawa yang krama seringkali dipraktekkan oleh bawahan (pembantu) kepada

    seorang majikan. Dengan kata lain, kaum jelata ataupun rakyat biasa harus sopan

    dalam penyampaian bahasanya kepada kaum priyayi atau bangsawan, yang

    seringkali posisi mereka sebagai majikan. Bahasa jawa yang digunakan sehari –

    hari ialah Ngoko dan Krama. Bahasa Jawa Ngoko dipakai untuk orang yang sudah

    dikenal akrab terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat

    atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah bahasa Jawa Ngoko Lugu dan Ngoko

    Andap. Sebaliknya, Bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk bicara dengan yang

    belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga

    terhadap oaring yang lebih tinggi umur serta status sosialnya (Koentjaraningrat,

    1976: 322-323).

    Orang Jawa sangat terkenal dengan budaya keseniannya, terutama karena

    pengaruh agama Hindu-Budha. Dalam perkembangannya, kesenian tradisi Jawa

    bukan hanya berada di dalam lingkungan istana, namun juga mengalami

    perkembangan di lingkungan kehidupan rakyat. Meskipun sama – sama dikenal

    sebagai kesenian tradisi Jawa, terdapat beberapa perebedaan antara kesenia keraton

    dengan kesenian rakyat. Kesenian keraton bukan hanya sebagai media tontonan,

    namun juga sebagai media tuntutan yang sarat dengan tatanan. Sementara itu,

    kesenian rakyat cenderung sebagai tontonan dan tidak memiliki tatanan sehingga

  • 19

    terlihat dinamis. Kesenian tradisi Jawa yang masih dilestarikan di dalam keraton

    senantiasa mengandung ajaran – ajaran filosofis yang sangat berguna di dalam

    membangun etika Jawa bagi masyarakat Jawa sendiri. Beberapa genre kesenian

    keraton yang sekarang masih ada antara lain seni tari, seni wayang, dan seni

    karawitan (Achmad, 2018: 176)

    2.4.3 Pandangan hidup manusia jawa

    Pandangan hidup manusia jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu

    pandangan hidup dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap tuhan dan

    alam semesta ciptaannya beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya.

    Pandangan hidup manusia jawa tidaklah identik dengan aliran kepercayaan

    terhadap tuhan yang maha esa atau Islam abangan atau Mistik Jawa dan lebih –

    lebih dengan ilmu – ilmu klenik. Pandangan hidup manusia jawa bukanlah

    singkretisme tetapi suatu semangat yang seringkali diberi nama Tantularisme.

    Dinamakan demikian karena semangat ini bertumpu pada ajaran Empu Tantular

    lewat kalimat Kakawin Sutasoma : Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma

    Mangwa. Bermacam – macam sebutannya, tetapi tuhan itu satu – tidak ada

    kebenaran yang mendua (Zaairul, 2011: 10-11).

    Semangat Tantularisme merupakan sumber kekuatan Jawa. Karena

    Tantularisme memancarkan cinta kasih sayang kepada sesama, yang juga diajarkan

    oleh semua agama islam, Kristen, budha, hindu, dan lain lain, semua mengajarkan

    cinta kasih kepada sesama. Berikut beberapa sistem kepercayaan Masyarakat Jawa

    :

  • 20

    a. Sistem Religi dan Ilmu Gaib

    Terdapat banyak sekali masalah dan alasan mengapa manusia melakukan

    berbagai ritual untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi

    darinya. Salah satunya adalah lebih seringnya kekuatan tersebut di luar logika

    manusia itu sendiri dan bersifat gaib. Praktek mistik sebagai sebuah bentuk

    manifestasi yang berisi kepenuhan hidup dari moralitas dan pandangan hidup orang

    Jawa. Misalnya, sakralisasi tempat dapat kita temukan pada kepercayaan tentang

    manjurnya doa di makam-makam keramat, tentang gunung, dan tentang sendang.

    Teori-teori terpenting perihal asal mula dan inti sebuah religi (ilmu gaib)

    telah dirumuskan oleh (Koentjaraningrat, 1984: 221) adalah sebagai berikut:

    1. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena

    manusia mulai sadar akan adanya paham jiwa.

    2. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena

    manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat

    diterangkan dengan akalnya.

    3. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan

    maksud menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu

    hidup manusia.

    4. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena

    kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam

    sekelilingnya.

    5. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena suatu

    getaran atau emosi yang ditimbulkan dari dalam jiwa manusia

    sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai masyarakatnya.

  • 21

    6. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena

    manusia mendapat suatu firman dari Allah.

    Berbicara mengenai dunia gaib sebenarnya tidak akan ada habisnya, karena

    dunia gaib telah diyakini manusia meskipun keberadaan alam tersebut tak tampak

    oleh mata, artinya alam tersebut di luar batas panca indera dan batas akal manusia.

    Akan tetapi, tidak ada salahnya kita mengkaji sedikit lebih dalam tentang dunia gaib

    orang Jawa. Ketika dilihat dari segi kandungannya, dunia gaib sendiri diduduki atas

    makluk yang berkekuatan gaib atau supranatural. Makluk yang meduduki alam gaib

    itu adalah: dewa-dewa yang baik maupun jahat, mahluk-mahluk halus lainnya

    seperti ruh-ruh leluhur, ruh-ruh yang lainnya yang baik maupun yang jahat, hantu

    dan sebagainya serta kekuatan sakti yang bisa berguna maupun yang bisa

    menyebabkan bencana.

    Bersama-sama dengan itu, orang Jawa percaya pada sesuatu kekuatan yang

    melebihi segala kekuatan di mana saja, yang sering kali dikenal dengan istilah

    kesakten. Dalam alam kesakten itu sendiri, diduduki oleh arwah leluhur dan

    mahkluk-mahkluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, hingga Jin. Menurut

    kepercayaan orang Jawa dari sekian ruh halus itu, dapat mendatangkan

    keselamatan, kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman dan sebaliknya, ruh tersebut

    juga dapat menimbulkan gangguan pikiran dan kesehatan hingga kematian. Untuk

    itu, orang Jawa seringkali memberikan sesajen kepada mahkluk-makluk halus

    tersebut.

    Sesajen merupakan hasil ramuan dari tiga macam bunga (kembang telon),

    kemenyan, uang recehan dan kue apem yang diletakkan dalam besek kecil atau

  • 22

    bungkusan daun pisang. Pembuatannya biasanya di malam selasa kliwon dan jumat

    kliwon. Sesajen tersebut seringkali di letakkan di bawah tempat-tempat yang

    dianggap keramat. Pemberian sesajen tersebut, dalam rangka melestarikan

    kepercayaan terhadap roh halus. Selain itu, agar tidak mengganggu keselamatan

    dan ketentraman orang-orang seisi rumah.

    b. Ajaran Kejawen

    Ajaran kejawen yang dikenal dengan ajaran tentang “sangkan paraning

    dumadi”, atau yang juga dikenal dengan nama ajaran tentang “Manunggaling

    Kawula Gusti” adalah suatu ajaran yang berupaya menunjukkan ulah daya hidup

    yang dinamakan sukma, yang bergerak menuju dan bersatu dalam daya hidup yang

    diberi nama kasampurnan (Setyodarmodjo et al, 2007 : 14).

    Kejawen bukanlah sebuah agama melainkan cara berpikir masyarakat Jawa

    yang didasarkan pada Javanisme. Banyak sekali pandangan pakar antropologi

    budaya mengenai pengertian kejawen itu sendiri. Sebenarnya, pengertian kejawen

    atau kejawaan menurut kamus bahasa Inggris yang dikemukakan oleh Echols dalam

    (Mulder, 1984: 16) adalah Javanesenes, Javanism yang merupakan deskriptif bagi

    unsur-unsur kebudayaan Jawa yang mendefinisikannya sebagai kategori khas yang

    tergabung dalam filsafat, yaitu suatu sifat dasar berperilaku dalam kehidupan

    sehari-hari masyarakat Jawa. Hal tersebut sebagai suatu sistem Javanisme yang

    lengkap pada dirinya, secara langsung akan berisikan kosmologi, mitologi dan

    seperangkat konsepsi yang pada akhirnya bersifat mistik sebagai sebuah sistem

    gagasan yang pada gilirannya akan menerangkan etika Jawa, tradisi Jawa dan gaya

    Jawa.

  • 23

    c. Dunia Mistik Orang Jawa

    Kata mistik menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah hal-hal gaib yang

    tidak terjangkau akal manusia, tetapi ada dan nyata. Para antropolog dan sosiolog

    mengartikan mistik sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi,

    dalam rangka memenuhi hasrat manusia untuk mengalami dan merasakan

    kebersatuan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, mistik merupakan keyakinan yang

    hidup dalam alam pikiran kolektif masyarakat. Alam kolektif akan kekal dan abadi,

    meskipun masyarakat telah berganti generasi, kecuali jika masyarakat itu telah

    lenyap.

    Dunia mistik memang identik dengan orang Jawa. Tidak heran, kalau

    banyak film yang berbau sihir, ilmu hitam, ataupun berbagai kejadian aneh,

    tayangan semacam itu langsung mendapat sambutan yang meriah dari khalayak.

    Mistik seakan sudah begitu kental, menyatu dengan masyarakat kita dan sulit untuk

    dipisahkan sama sekali. Berbagai keyakinan tentang adanya hantu, tempat keramat,

    azimat, dan santet yang masih dekat dengan mereka.

    d. Kepercayaan Orang Jawa

    Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Akan

    tetapi, yang menganut agama selain Islam juga banyak, seperti agama Kristen,

    Budha dan Hindu dan aliran kejawen. Kepercayaan kejawen adalah kepercayaan

    orang Jawa warisan nenek moyang, berkembang ketika zaman kerajaan-kerajaan di

    Jawa. Acuan kepercayaan tersebut adalah berdasarkan kepercayaan animisme dan

    dinamisme dengan pengaruh kerajaan Hindu-Buddha yang sangat kuat. Kaum

    Kejawen selalu membahas hingga mencapai suatu pemahaman tentang substansi

    untuk hubungan ideal antara manusia dengan Tuhan. Diantaranya ialah sangkan

  • 24

    paraning dumadi, manunggaling kawula gusti, dan kasampurnaning dumadi

    (Achmad, 2018: 203).

    Seiring dengan itu, pandangan alam pikiran partisipatif orang Jawa

    seringkali percaya pada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan dimana saja

    yang pernah diketahuinya maupun dikenalnya sebagai kesakten. Dalam ilmu

    kesakten seringkali melibatkan campur tangan arwah leluhur dan mahluk-mahkluk

    halus, misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit, serta Jin yang lainnya yang

    menempati alam gaib sekitar tempat tinggal mereka. Bersamaan dengan itu,

    menurut kepercayaan masyarakat Jawa masing-masing mahkluk halus tersebut

    mampu mendatangkan berbagai kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, ataupun

    keselamatan. Sebaliknya, roh halus tersebut juga dapat menimbulkan

    gangguanpikiran, kesehatan, bahkan kematian. Untuk menghindari tiga hal diatas

    yaitu gangguan pikiran, kesehatan dan kematian, maka yang seringkali dilakukan

    oleh orang Jawa bahkan hal tersebut merupakan keharusan adalah melakukan

    ruwatan (selamatan) dan seringkali dalam proses ritual tersebut terlihat seperangkat

    sesaji (Koentjaraningrat, 1984: 347).

    3 Moral dan etika masyarakat Jawa

    Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang sangat setia dan

    menjunjung tinggi noerma, etika, estetika, adat istiadat dan budaya yang diwariskan

    secara turun menurun. Persoalan penting bagi masyarakat Jawa dalam kehidupan

    adalah moral dan etika. Pendidikan moral dan etika menjadi pendidikan yang wajib

    diajarkan kepada anak – anak/ keturunan mereka dengan maksud agar keturunan

    mereka kelak menjadi manusia yang sadar dan waspada terhadap kehidupan dan

  • 25

    perkembangan zaman, dan pada akhirnya menjadi seorang yang jalma sulaksana

    atau wicaksana (Zaairul, 2011: 13).

    Menurut Magnis Suseno dalam (Achmad, 2018: 16) mengatakan bahwa

    etika Jawa merupakan pandangan hidup yang berlandaskan moral, hati nurani, dan

    olah rasa. Etika Jawa lebih menekankan dimensi keselarasan antar manusia. Dalam

    masyarakat Jawa terdapat banyak sekali etika, misalnya mengenai etika berbicara,

    berjalan di depan orang tua, bertamu dan sebagainya. Dalam interaksi sehari – hari

    di masyarakat Jawa, orang lebih muda akan selalu membungkukkan badannya

    ketika sedang berjalan di depan orang yang lebih tua. Etika ini bila dilihat sepintas

    akan terlihat sangat sepele, namun sebenarnya etika ini menggambarkan sikap

    tunduk atau hormat antara orang muda terhadap orang yang lebih tua.

    Manusia pada umumnya mempunyai kesadaran moral. Mereka di beri

    kelebihan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Persoalan

    moral dalam masyarakat Jawa pun tidak bisa dianggap enteng. Masyarakat Jawa

    sering kali menyebut ajaran moral dengan istilah pepali, inggah – ungguh, budi

    pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutut, wejangan, wulungan, wursita,

    wedharan, duga prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil

    hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empat papan, kalau dapat menempatkan

    diri dalam hal unggah – ungguhing basa, kasar alusi rasa dan jugar genturing tapa.

    Dalam Filsafat Jawa sangat menekankan pada kesempurnaan hidup dan

    keselarasan hidup serta kerukunan hidup. Upaya tersebut semata-mata untuk

    memenuhi tujuan yang sama yaitu mempererat suatu hubungan. Bambang

    Kusbandrijo dalam (Setyodarmodjo et al, 2007 : 13-14) berpendapat, bahwa

    manusia berpikir dan merenungi dirinya dalam rangka menemukan integritas

  • 26

    dirinya dalam kaitannya dengan Tuhan. Jadi, sebagian besar orang Jawa seperti itu,

    mereka sangat meyakini sesuatu yang dominan dan melekat dalam dirinya adalah

    sebuah intuisi. Dengan demikian, berfilsafat dalam artian luas di dalam kebudayaan

    Jawa adalah menuju kesempurnaan “ngudi kasampurnaan”. Hal tersebut akan

    bermuara pada satu titik akhir, yaitu pengakuan atas Tuhan yang seringkali disebut

    “sangkan paraning dumadi”. Dalam pada itu, seringkali manusia itu mencurahkan

    seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani, untuk mencapai tujuan.

    Menurut filsafat Jawa, manusia itu selalu berada dalam hubungan dengan

    lingkungannya yaitu Tuhan serta alam semesta, dan menyadari kesatuannya. Untuk

    itu, filsafat Jawa memandang manusia sebagai “manusia dalam hubungannya”,

    ketika mengusahakan kesatuan cipta, rasa dan karsa. Berkat cipta-rasa-karsa

    tersebut manusia dapat menentukan pola hidupnya.

    Selain itu, Orang Jawa terkenal sebagai budaya yang sopan dan halus. Akan

    tetapi, mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak terus

    terang pada manusia yang lain. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga harmoni atau

    keselarasan agar tidak terjadi konflik. Konflik dalam kehidupan orang Jawa berarti

    mala petaka tersendiri bagi dirinya, karena untuk mewujudkan masyarakat Jawa

    yang sopan seperti di atas, maka konsep tepo sliro harus tetap terjaga dalam satu

    kesatuan eksistensi manusia (Zaairul Haq, 2011: 20).

    2.4 Keluarga Jawa dan Relasi Gender Pasangan Suami Istri

    Menurut Stoller dalam (Nugroho, 2008:2) pertama kali memperkenalkan

    istilah gender untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada sosial

    budaya dengan pendefinisian yang didasarkan dari ciri fisik biologis. Gender lebih

    banyak berbicara tentang behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-

  • 27

    laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial yaitu perbedaan yang bukan

    ketentuan dari Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan

    kultural. Dengan demikian gender dapat berubah dari tempat ke tempat, dari waktu

    ke waktu, bahkan dari kelas ke kelas. Sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap

    tidak berubah.

    Menurut Widyatama (2006 :155) bahwa di tengah masyarakat, kaum laki-

    laki dianggap sebagai pelindung, sementara perempuan sebagai pihak yang yang

    menerima perlindungan. Berkaitan dengan pelindung maka laki-laki diumpamakan

    sebagai sosok yang kuat secara fisik. Hal tersebut terbalik dengan perempuan yang

    dikaitkan dengan sosok yang lemah. Ini membuktikan bahwa gender mengandung

    konotasi secara sosial dan kultural bahkan psikologis yang membedakan peran yang

    dijalankan antara perempuan dan laki-laki.

    Kedudukan dan peran yang berbeda secara sosial memunculkan tuntutan

    yang lebih besar terutama dari perempuan (Widayatama, 2006 : 31). Misalnya,

    melahirkan dan menyusui adalah peran feminin, namun membesarkan anak adalah

    peran dari gender yang dilakukan oleh keduanya. Kemudian bekerja dikaitkan

    dengan peran laki-laki, mengurus rumah tangga adalah peran perempuan. Bekerja

    dan mengurus rumah tangga adalah peran gender yang bisa saja diubah dan dituntut

    oleh perempuan. Bekerja untuk mencari uang bisa dilakukan oleh siapa saja,

    termasuk perempuan. Begitu pula dengan mengurus rumah tangga, seperti

    memasak, mencuci, juga bisa dilakukan oleh laki-laki.

    Sementara itu, bagi masyarakat Jawa, perempuan yang sejati dipandang

    sebagai perempuan yang lembut, dan mampu berperan dengan baik dalam urusan

    dapur, rumah tangga, dan mampu merawat anak-anak serta berperilaku baik di

  • 28

    tempat tidur. Dalam istilah perkawinan “konco wingking” yang artinya teman di

    dapur serta masih adanya prinsip di sebagian masyarakat tradisional jawa bahwa

    swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka juga ikut) menggambarkan

    posisi lemah kaum perempuan Jawa Widyastuti dalam (Handayani dan Novianto

    2005 : 51)

    Selain itu dalam posisi kehormatan dalam mata pencaharian, sebisa

    mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif

    perempuan tidak boleh melebihi suami (Handayani dan Novianto, 2005 : 208).

    Dalam konteks ini, istri harus selalu menghargai dan menghormati suami dan

    memenuhi segala kebutuhan dalam bentuk apapun termasuk kebutuhan birahi.

    Berkaitan dengan hal tersebut, perempuan Jawa sebenarnya memiliki sumbangsih

    yang sangat besar baik bagi suami, anak maupun keluarga. Posisi istri bisa

    dikatakan sebagai manajer kontrol yang membuatnya lebih kuat dari pada laki-laki.

    2.5 Konsep Kekuasaan Jawa

    Pengertian kekuasaan dalam paham Jawa menekankan upaya untuk

    menyatukan hal – hal yang bertolak belakang, penggambaran klasiknya adalah

    kombinasi laki – laki dan perempuan. Dalam kaitannya konsep kuasa dan sejarah,

    kultur Jawa tidak menempatkan diri pada satu posisi ekstrim. Jika dalam perspektif

    barat sejarah dilihat sebagai gerak linier melintas waktu maka dalam tradisi Jawa

    cenderung memahaminya sebagai serangkaian daur yang berulang.

    Menurut konsep Jawa, kekuasaan pada hakikatnya bersifat homogen,

    bersifat satu dan sama saja sepanjang waktu. Konsep kekuasaan Jawa tidak

    membutuhkan legitimasi formal. Legitimiasi kekuasaan justru didapatkan dari apa

    yang sering orang sebut sebagai wahyu. Untuk menjadi legitimasi, raja menjadi

  • 29

    objek kehormatan keagamaan dimana ia memiliki prioritas untuk mendapatkan

    supranatural. Raja dipandang sebagai sesuatu yang dalam pengertian tertentu

    bersifat kedewaan sehingga sebagai figur religius ia berhak memerintahkan

    penyembahan dan pelayanan dari penduduk kerajaannya. Dalam pencitraan

    semacam ini, raja berada di pusat sekaligus puncak kehidupan sosial. Sebagai figur

    yang mengandung kesaktian, orang harus memberkan hormat dan tunduk

    kepadanya (Handayani dan Novianto, 2004: 104).

    2.6 Video klip

    Video klip merupakan gabungan dari musik dan lagu sebagai unsur audio

    (dapat didengar) serta gerakan atau gambar sebagai unsur visual (dapat dilihat).

    Penggabungan ini berfungsi untuk lebih menjelaskan suatu makna. Video klip juga

    bisa dijadikan sebagai media promosi para pelaku musik. Banyak produser dari

    berbagai macam industri musik yang memasarkan band melalui video klip kepada

    masyarakat di media televisi, internet dan kepingian CD di toko – toko musik.

    Selain itu, video klip juga merupakan ruang ekspresi dari budaya yang ada

    sekarang. Fiturnya yang pendek dapat langsung menarik perhatian penikmat musik

    itu sendiri. Apalagi jika band favortinya yang tampil, mereka akan merasa terhibur

    karena adanya gambar dan alur cerita dalam video klip tersebut.

    Dalam video klip terbagi dari beberapa tipe yang berbeda. Banyak teknik

    dan gaya bercerita serta visualisasi yang dapat digunakan untuk membuat video

    klip. Seperti sinkronisasi ritem musik dan visual. Para pemerhati dan pakar video

    klip membagi video klip ke dalam beberapa tipe, diantaranya cinematic video,

    performance clips, photography video dan conceptual clips. Cinematic video yaitu

    video klip yang menitikberatkan pada narasi dan jalan cerita yang jelas. Sedangkan

  • 30

    Photographic video yang kebalikan dari cinematic video tidak menitikberatkan

    pada jalan cerita atau narasi. Bahkan cenderung untuk mengabaikan cara tutur film

    pada umumnya. Sedangkan conceptual clip merupakan video yang memiliki plot

    dan jalan cerita dengan beberapa sub bagian. Mulai dari naratif music video yang

    gaya visualisasinya sesuai dengan apa yang ingin diceritakan oleh lirik musiknya

    hingga non-naratif musik video yang mengabaikan jalan cerita dengan

    mementingkan penggabungan antara musik dan visual untuk membangkitkan

    emosi kepada audiens.

    Masing-masing teknik punya kelebihannya masing-masing, dan setiap

    sutradara memliki kecenderungan dan ciri khasnya masing-masing. Kecenderungan

    untuk memilih teknik dan gaya visualisasi ini bisa disebabkan karena faktor dari

    musik atau band itu sendiri Setiap band atau musik telah memiliki ruh nya

    tersendiri, misalnya genre musiknya ataupun konsep yang diusung oleh band

    tersebut. Hal ini kemudian menjadi pertimbangan tersendiri dalam memvisualkan

    karya music tersebut kedalam bentuk video.

    Seperti zaman sekarang, video klip tak hanya dijadikan sebagai ajang

    promosi semata, melainkan juga digunakan sebagai sarana untuk memperkuat

    pesan yang ingin disampaikan oleh musisi. Seperti dalam video klipnya Rise

    Againts yang berjudul Hero Of war, disana menampilkan tentara amerika yang

    depresi akibat krisis perang di timur tengah. Musuh mereka juga menjadi teman

    mereka sendiri ketika bertugas. Menjadikan tingkat dilema dan depresi yang sangat

    mendalam. Apalagi banyak kasus tentara amerika yang depresi sesuai pulang dari

    timur tengah. Dalam hal ini video klip telah menjadi media berekspresi anatara

  • 31

    pelaku musik dan sineas untuk menyampaikan pesan yang dituliskan lewat lagu,

    dan ditampilkan secara visual.

    2.7 Musik dan Visual

    Semua genre musik yang akan digunakan dalam pembuatan video klip

    nantinya akan tetap sama memperhitungkan satu hal dasar yang mampu

    menghubungkan antara musik dan visual. Hubungan antara musik dan visual seperti

    suatu fenomena di alam bawah sadar, dimana untuk menjabarkannnya harus melalu

    respon secara emosional yang di dapat dari suatu musik tersebut.

    Dalam mencoba memvisualisasikan musik harus ada respon yang berbeda

    pada tiap bagian musik. Misalnya saja pada suatu bagian dari musiknya terdengar

    seperti bunyi tong yang sedang di jatuhkan, sedangkan pada bagian lain terdengar

    seperti bunyi angin dengan jalanan yang sepi. Perubahan – perubahan yang ada di

    tiap bagian harus di pertimbangakan dengan baik agar dapat menciptakan hubungan

    antara musik dan visualnya. Banyak video klip yang berusaha untuk dapat

    menampilkan hubungan musik dengan visual. Untuk menjadi video yang benar –

    benar berhasil maka harus bisa menggabungkan dan mencocokkan musik dan

    visual tersebut dengan baik pula, dan itu bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.

    Hubungan antara musik dan visual dapat tercipta karena adanya konsep.

    Misalkan suatu musik yang terdengar seperti alunan nada syahdu, maka visualnya

    akan berupa sesuatu yang syahdu juga.

    2.8 Video Klip Sebagai Komunikasi Massa

    Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak

    dan elektronik). Sebab, di awal perkembanganya saja, komunikasi massa berasal

    dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa)

  • 32

    (Nurudin, 2007: 4). Jadi Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan

    oleh komunikator melalui media massa pada komunikan dengan jumlah yang

    begitu besar.

    Pesan bisa berupa lisan ataupun tulisan melalui beberapa saluran seperti

    cetak dan elektronik. Melalui ragam bentuk pesan dan saluran komunikan dapat

    leluasa menentukan melalui media apa pesan tersebut akan dipilih, demikian

    dengan musisi sebagai komunikator yang menyampaikan pesan dalam bentuk lagu

    melalui media vinyl atau piringan hitam, kaset, maupun Compact Disc (CD) yang

    kemudian diperkuat dengan video klip yang menerjemahkanya ke dalam bahasa

    visual. Video klip juga merupakan bentuk dari komunikasi massa, dimana di

    dalamnya terdapat komunikasi satu arah dari media internet/ televisi kepada

    khalayak. Proses pembuatan dari video klip juga melibatkan orang banyak. Setelah

    video klip tersebut sudah jadi, maka akan di distribusikan kepada khalayak dalam

    hal ini adalah komunikan. Video klip sendiri juga bisa dijadikan sebagai media

    untuk penyampaian pesan.

    2.9 Video Klip Sebagai Semiotika Komunikasi Visual

    Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah

    sebuah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan

    sintaks (syntagm) yang khas, yang berbeda misalnya dari sistem semiotika seni. Di

    dalam sistem semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’, yaitu

    fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengirim pesan

    (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan aturan atau kode-kode

    tertentu. Fungsi komunikasi mengharuskan ada relasi (satu atau dua arah) antara

    pengirim dan penerima pesan, yang dimediasi oleh media tertentu.

  • 33

    Meskipun fungsi utamanya adalah komunikasi, tetapi bentuk-bentuk

    komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikansi, yaitu fungsi dalam

    menyampaikan sebuah konsep, isi, atau makna. Ini berbeda dengan bidang lain,

    seperti seni rupa (khususnya seni rupa modern) yang tidak mempunyai fungsi

    khusus komunikasi seperti itu, akan tetapi ia memiliki fungsi signifikansi. Fungsi

    signifikasi adalah fungsi dimana penanda (signifier) yang bersifat kongkret dimuati

    dengan konsep-konsep abstrak, atau makna, yang secara umum disebut petanda

    (signified). Dapat dikatakan disini, bahwa meskipun semua muatan komunikasi dari

    bentuk-bentuk komunikasi visual ditiadakan, ia sebenernya masih mempunyai

    muatan signifikasi, yaitu muatan makna.

    Efektivitas pesan menjadi yang utama dari desain komunikasi visual.

    Berbagai desain bentuk komunikasi visual: iklan, fotografi, poster, film, karikatur,

    acara televise, video klip adalah diantara bentuk-bentuk komunikasi visual, yang

    melaluinya pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer,

    produser, copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa).

    Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang lebih luas,

    yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal, media, pesan,

    kode (bahkan juga noise). Semiotika Komunikasi menekankan aspek produksi

    tanda (sign production) di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan media

    ketimbang sistem tanda (sign system). Di dalam semiotika komunikasi, tanda

    ditempatkan pada rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting

    dalam menyampaikan pesan (Tinarbuko, 2008: 23).

  • 34

    2.10 Makna

    Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan

    istilah yang membingungkan (Sobur, 2006: 255). Orang-orang sering

    menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah

    benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan bahwa pesan itu tidak sama

    dengan makna pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa

    memiliki satu makna. Secara semiotika, pesan adalah penanda dan maknanya

    adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber

    ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa

    ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya

    dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi dan

    pemahaman

    2.11 Semiotika

    Semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda” atau seme

    yang berarti “penafsiran”. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk

    mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya

    berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama

    manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak

    mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

    Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal

    mana objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek

    itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda

    (Sobur, 2006: 63).

  • 35

    Semiotika menurut Berger memiliki 2 tokoh, yakni Ferdinand de Saussure

    dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika

    secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di

    Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce

    filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkanya semiologi. Semiologi

    menurut Saussure seperti dikutip (Hidayat, 1998: 26), didasarkan pada anggapan

    bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama

    berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya system pembedaandan konvensi

    yang mementingkan makna itu. Dimana ada tanda disana ada sistem (Tinarbuko,

    2008: 11-12).

    Dalam tanda terungkap citra bunyi atau konsep sebagai dua komponen yang

    tak terpisahkan. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat bebas (arbiter), baik

    secara kebetulan maupun ditetapkan. Arbiter dalam pengertian penanda tidak

    memiliki hubungan alamiah dengan petanda. Menurut Saussure prinsip kearbiteran

    bahasa atau tanda tidak dapat diberlakukan secara mutlak atau sepenuhnya.

    Terdapat tanda-tanda yang benar-benar arbiter, tetapi juga ada yang relatif.

    Kearbiteran bahasa sifatnya bergradasi. (Budiman, 1999, dalam Sobur , 2006: 54).

    Proses pemberian makna (signifikasi) tanda terdiri dari dua elemen tanda.

    Menurut Saussure, tanda terdiri dari dua elemen tanda (signifier, dan signified).

    Signifier adalah elemen fisik dari tanda, kata, image atau suara. Sedangkan

    signified adalah meunjukkan konsep mutlak yang mendekat pada tanda fisik yang

    ada. Sementara proses signifikasi menunjukkan antara tanda dengan realitas

    aksternal yang disebut referent.

  • 36

    Signifier dan Signified adalah produksi kultural hubungan antara kedua

    (arbiter) memasukkan dan hanya berdasar konvensi, kesepakatan, atau peraturan

    dari kultur pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signified dan signifier tidak

    bisa dijelaskan dengan nalar apapun, baik pilih bunyi-bunyian atau pilihan yang

    mengaitkan rangkaian bunyi tersebut dengan benda atau konsep yang dimaksud.

    Karena hubungan yang terjadi antara signified dan signifier harus dipelajari yang

    berasal ada struktur yang pasti atau kode yang membantu menafsirkan.

    Semiotika sebagai sebuah disiplin “ilmu tentang tanda” (the science of sign)

    pastinya memiliki prinsip, sistem, aturan dan prosedur-prosedur yang khusus. Akan

    tetapi, ilmu semiotika tidak dapat disamakan oleh ilmu-ilmu alam yang pasti, yang

    menuntut ukuran-ukuran matematis untuk menghasilkan sebuah pengetahuan

    objektif sebagai sebuah kebenaran tunggal. Semiotika bukanlah ilmu yang memiliki

    kebenaran tunggal dan pasti macam itu, melainkan sebuah ilmu yang dibangun oleh

    pengetahuan yang lebih luas dan terbuka untuk aneka interprestasi.

    Semiotika adalah sebuah ilmu yang lebih dinamis dan terbuka bagi berbagai

    bentuk pembacaan dan interprestasi yang tidak dapat menentukan pernyataan

    tersebut benar atau tidak. Logika semiotika adalah logika dimana interpretasi

    bukanlah logika matematika yang hanya menjawab seperti itu, melainkan logika

    yang diukur derajat kelogisanya yaitu interpretasi yang satu lebih masuk akal dari

    yang lainya.

    2.12 Semiotika Roland Barthes

    Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di

    Cherbourgh dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah

    barat daya Perancis. Semiotika dalam pandangan Barthes pada dasarnya hendak

  • 37

    mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

    Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan

    mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu

    hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda

    (Sobur, 2006: 63).

    Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada

    cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk bentuk kalimat menentukan

    makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja

    menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland

    Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara

    konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diaharapkan oleh

    penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan Order of Significations.

    Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang

    tanda adalah peranan pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat

    asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes

    menjelaskan apa yang disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang

    dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh

    Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mitologinya secara tegas ia

    bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2006: 68-

    69).

    Roland Barthes mengembangkan 2 sistem pertandaan bertingkat, yang

    disebutnya sistem denotasi dan konotasi. Barthes menggunakan istilah Order of

    Significations. First Order of Signification adalah denotasi. Sedangkan konotasi

    adalah Second Order of Significations. Tatanan yang pertama mencakup penanda

  • 38

    dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi.

    Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain

    yang melekat pada tanda (yang kemudian dianggap sebagai penanda). Pemaknaan

    baru inilah yang kemudian menjadi konotasi (Piliang, 2012: 12).

    Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari

    rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda dan konsep

    abstrak yang ada di baliknya. Pada sistem konotasi atau system penandaan tingkat

    kedua-rantai penanda atau petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan

    seterusnya berkaitan dengan penanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi

    (Piliang, 2012: 13).

    Denotasi merujuk pada apa yang diyakini akal sehat/orang banyak

    (common-sense), makna yang teramati dari sebuah tanda. Makna denotasi adalah

    tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau

    antara tanda dan rujukanya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit,

    langsung dan pasti. Konotasi dibentuk oleh tanda-tanda (kesatuan antara penanda

    dan petanda) dari system denotasi. Petanda konotasi bersifat umum, global, dan

    tersebar, disebut juga sebagai fragmen dari ideologi (Sobur, 2006: 13).

    Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna

    tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

    keberadaanya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi

    penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran

    denotatif (Sobur, 2006 : 69).

    Pada dasarnya, ada perubahan antara denotasi dan konotasi dalam

    pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes.

  • 39

    Dalam penegertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah,

    makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan

    referensi atau acuan. Proses signifikansi tingkat pertama, sementara konotasi

    merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan

    ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai

    reaksi yang paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini.

    Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah

    konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap

    berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harifah”

    merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1992: 22).

    Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

    disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

    pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam satu periode tertentu. Di

    dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun

    sebagai suatu yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah

    ada sebellumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan

    tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa

    petanda (Sobur, 2006: 72).

    Mitos adalah sebuah cerita dimana suatu kebudayaan menjelaskan atau

    memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Mitos primitive adalah mengenai

    hidup dan mati, manusia dan Tuhan, baik dan buruk. Sementara mitos terkini adalah

    soal maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang kesuksesan, tentang

    politisi Inggris, tentang ilmu pengetahuan. Mitos bagi Barthes, sebuah budaya cara

    berfikir tentang sesuatu, cara mengonseptualisasi atau memahami hal tersebut.

  • 40

    Barthes melihat mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep yang berelasi.

    Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun

    ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara

    termotivasi. Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang

    membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas

    hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan

    ada, dan itulah sebabnya Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi

    budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan, dengan demikian

    ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke

    dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut

    pandang dan lain sebagainya (Sobur, 2006 : 71).