Nata De Coco_LISA_12.70.0115

26
FERMENTASI SUBSTRAT PADAT FERMENTASI KECAP LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun Oleh : Lisa 12.70.0115 Kelompok D2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN 1

description

praktikum fermentasi

Transcript of Nata De Coco_LISA_12.70.0115

FERMENTASI SUBSTRAT PADATFERMENTASI KECAP

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun Oleh :Lisa12.70.0115Kelompok D2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

201518

1. 0

2. HASIL PENGAMATAN

Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de CocoKel. Tinggi Awal Media (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata (%)

07140714

12-0,50,7-2535

21,2-0,50,6-41,6750

31,3-0,40,5-30,7738,46

41-0,40,5-4050

52,5-0,60,6-2424

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa pada hari ke-0 sama sekali belum terbentuk nata sehingga, lapisan natanya juga belum dapat dihitung. Pada hari ke-7, nata sudah terbentuk dan pada hari ke-14 lapisan nata semakin tebal. Namun, pada kelompok 5 tidak terjadi penebalan pada lapisan nata. Hasil ketebalan nata yang meningkat, diikuti dengan persentase lapisan nata yang juga meningkat.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de CocoKel. AromaWarnaTekstur

1++++

2++++++

3+++++++

4+++++

5++++

Keterangan:AromaWarnaTekstur+= sangat asam+= kuning+= tidak kenyal++= asam++= putih bening++= agak kenyal+++= agak asam+++= putih agak bening+++= kenyal++++= tidak asam++++= putih++++= sangat kenyalDapat dilihat pada tabel 2, dari hasil uji sensori didapatkan aroma pada kelompok 1, 2 dan 5 adalah asam; pada kelompok 3 adalah agak asam dan pada kelompok 4 sangat asam. Pada warna, didapatkan pada semua kelompok memiliki warna yang kuning, kecuali pada kelompok 3 yang berwarna putih bening dan pada tekstur, didapatkan pada kelompok 1 dan 5 yaitu tidak kenyal, pada kelompok 2 dan 4 yaitu kenyal dan pada kelompok 3 agak kenyal.3. PEMBAHASAN

Nata de coco merupakan salah satu produk pangan yang berbahan dasar air kelapa. Nata de coco dibuat dari air kelapa yang berasal dari buah yang sudah tua dengan beberapa jenis bahan yang mengandung gula, protein dan mineral. Nata de coco merupakan senyawa selulosa atau dietary fiber yang dihasilkan dari air kelapa yang telah melalui proses fermentasi dengan melibatkan jasad renik atau mikroba (Pambayun, 2002). Nata de coco tergolong sebagai makanan yang rendah kalori dan kaya akan serat. Oleh sebab itu, karena rendah kalori nata de coco dapat dikonsumsi untuk tujuan diet dan karena kaya akan serat, nata de coco baik untuk kesehatan karena dapat mencegah serangan kanker usus besar dan memperlancar pencernaan (Sentosa dkk., 2012).

Kelebihan dari bahan baku nata de coco (air kelapa) adalah harganya yang sangat murah dan mempunyai kadar kontaminasi yang lebih kecil karena termasuk produk alami dan bukan merupakan sisa dari suatu proses produksi, memiliki produk samping minimum serta terjamin kontinuitas ketersediaannya. Selain itu, air kelapa sebagai substrat cair juga mampu memberikan kondisi yang optimum serta pemakaian yang efisien dengan tidak membutuhkan tempat yang banyak (Rahman, 1992). Menurut Rahman (1992), nata de coco merupakan makanan hasil fermentasi Acetobacter xylinum. Bakteri ini ditumbuhkan pada media yang mengandung gula dimana gula tersebut akan diubah oleh bakteri menjadi selulosa. Karakteristik dari nata de coco adalah bentuknya padat, kokoh atau kuat, berwarna putih transparan, kenyal dan rasanya mirip dengan kolang kaling. Faktor yang dapat mempengaruhi pembuatan nata de coco adalah kandungan gula dalam substrat, pH dan suhu. Menurut Palungkun (1996), adanya kandungan air sebanyak 91,23%, protein sebanyak 0,229%, lemak sebanyak 0,15%, karbohidrat sebanyak 7,27 %, serta abu sebanyak 1,06 % di dalam air kelapa dapat menyebabkan Acetobacter xylinum dapat tumuh dan berkembang membentuk nata de coco. Hal ini sesuai dengan pernyataan Almeida et al. (2013) yang menyatakan bahwa bakteri selulosa strain Acetobacter akan membutuhkan media untuk produksi secara optimum. Media yang kaya akan karbohidrat, protein, vitamin dan garam organik merupakan media yang baik untuk pertumbuhannya.

3.1. Cara Kerja Pembuatan Nata de CocoPada praktikum kali ini, mula-mula air kelapa disaring untuk memisahkan kotorannya. Menurut Biamenta (2011), air kelapa perlu disaring terlebih dahulu untuk dipisahkan kotorannya agar dihasilkan nata de coco yang bersih. Apabila tidak dilakukan penyaringan terlebih dahulu, nata de coco yang dihasilkan akan memiliki penampakan yang kurang baik. Setelah penyaringan, air kelapa tersebut ditambah dengan gula pasir sebanyak 10% dan diaduk hingga larut. Menurut Awang (1991), gula yang ditambahkan digunakan untuk media pertumbuhan Acetobacter xylinum serta menurut Sunarso (1982) penambahan gula dilakukan sebagai sumber karbon pada proses fermentasi nata de coco. Setelah itu, dilakukan penambahan amonium sulfat sebanyak 0,5% dan asam cuka glasial sampai pH 4-5. Penambaha amonium sulfat pada air kelapa bertujuan sebagai salah satu sumber nitrogen organik bagi Acetobacter xylinum. Sumber nitrogen juga dapat berupa protein maupun ekstrak yeast yang merupakan nitrogen organik atau amonium fosfat (ZA) maupun urea yang merupakan nitrogen anorganik. Pada umumnya, sumber nitrogen yang digunakan adalah amonium fosfat (ZA) karena dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter casei yang merupakan pesaing dari Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Selain itu, menurut Pambayun (2002), pada air kelapa juga ditambahkan asam cuka untuk membantu mencapai pH yang optimum untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum, yaitu antara 4-4,5. Setelah penambahan asam cuka, larutan dipanaskan dan disaring kembali untuk menghilangkan sisa kotoran yang masih tertinggal. Hasil dari proses pemasakan kemudian dituang pada beaker glass untuk memastikan pHnya sudah sesuai atau sudah optimal. Pengecekan pH dilakukan dengan menggunakan pH meter.

Setelah pH sesuai, 5 wadah plastik diambil adn diisi dengan 200 ml media steril dan ditutup rapat. Biang nata (starter) ditambahkan sebanyak 10% dari media ke dalam masing-masing wadah plastik tersebut secara aseptis dan digojog perlahan hingga seluruh starter tercampur. Wadah kemudian ditutup kembali dengan kertas coklat. Menurut Pato & Dwiloka (1994), starter yang ditambahkan untuk pembuatan nata yaitu antara 4-10% dimana sesuai dengan metode yang dilakukan saat praktikum. Apabila penambahan starter tidak tepat maka akan menghasilkan karakteristik nata yang tidak baik. Selain itu, perlakuan aseptis menurut Dwidjoseputro (1994) perlu dilakukan agar Acetobacter xylinum yang dibiakkan mampu berkembang sebaik mungkin dan tidak ada mikroba yang tidak diinginkan mengkontaminasi. Penutupan wadah dengan kertas coklat juga dilakukan untuk menghindari kontaminasi serta untuk menyediakan oksigen yang cukup untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum meskipun oksigen yang masuk tidak kontak langsung dengan permukaan nata (Pambayun, 2002).

Setelah itu, inkubasi dilakukan selama 2 minggu. Menurut pernyataan Pambayun (2002), Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada suhu ruang. Di Indonesia, suhu ruang rata-ratanya adalah 28oC. Apabila bakteri tersebut diinkubasi pada suhu yang tidak sesuai maka pertumbuhannya akan terhambat dan apabila melebihi 40oC bakteri tersebut akan mati. Selama proses inkubasi, wadah tidak boleh digoyangkan agar lapisan yang terbentuk dipermukaan tidak terpisah-pisah. Menurut Rahayu et al. (1993), apabila selama proses inkubasi terjadi gangguan seperti adanya guncangan, nata tidak akan terbentuk. Setelah lapisan terbentuk, pengamatan nata de coco dilakukan yang meliputi mulai terbentuknya lapisan di permukaan cairan, ketebalan lapisan nata de coco pada hari ke 7 dan ke 14 dan dihitung persentase knaikan ketebalan dengan rumus:

Menurut Palungkun (1992), terbentuknya lapisan nata pada permukaan medium terjadi karena proses fermentasinya menghasilkan gas CO2 yang cenderung melekat pada selulosa dan menyebabkan jaringan tersebut terangkat ke atas. Nata yang telah jadi kemudian dicuci dengan air mengalir dan dimasak dengan menggunakan air gula lalu dilakukan uji sensori terhadap rasa, aroma, tekstur dan warna dari nata tersebut. Menurut Rahman (1992), untuk menghilangkan rasa asam, tidak hanya dengan perendaman dan pencucian nata, tetapi juga dengan perebusan. Berikut merupakan gambar dari proses pembuatan nata de coco:Air kelapa disaringDitambah gula pasir sebanyak 10%

4.

Diaduk hingga larutDitambah amonium sulfat sebanyak 0,5%Ditambah asam cuka glasial sampai pH 4-5Diukur pH-nya dengan pH meter

Dipanaskan Disaring Media steril ditaruh pada wadah plastikBiang nata ditambahkan secara steril

Diinkubasi selama 2 mingguWadah ditutup dengan kertas coklatDilakukan pengamatanKetebalan lapisan nata de cocoMulai dari terbentuknya lapisan dipermukaan cairanNata dicuci dengan air mengalir Dimasak dengan air gulaDilakukan uji sensori

4.1. HasilLapisan nata yang terbentuk diawali dengan pengambilan glukosa dari larutan gula atau dalam gula yang terdapat pada bahan baku air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylinum. Glukosa yang diambil kemudian digabungkan dengan asam lemak sehingga akan membentuk prekursor atau penciri nata pada membran sel (Rahman, 1992). Namun, menurut Rahayu et al. (1993), bakteri Acetobacter xylinum akan mengubah gula yang terkandung pada media menjadi selulosa dan diakumulasi secara ekstraseluler dalam bentuk folikel liat selama proses fermentasi berlangsung. Menurut Kamarudin et al. (2013), selulosa yang terbentuk dari bakteri Acetobacter xylinum disebut dengan bacterial cellulose (BC).

Dari hasil, didapatkan bahwa tinggi media awal setiap kelompok berbeda-beda, yaitu pada kelompok 1 sebesar 2 cm; pada kelompok 2 sebesar 1,2 cm; pada kelompok 3 sebesar 1,3 cm; pada kelompok 4 sebesar 1 cm dan pada kelompok 5 sebesar 2,5 cm. Hal ini dapat disebabkan karena ukuran wadah plastik yang digunakan pada setiap kelompok juga berbeda-beda. Pada hari ke-0, lapisan nata belum terbentuk oleh karena itu, persentase lapisan nata juga belum dapat dihitung. Menurut Lapuz et al. (1967), waktu inkubasi yang lama akan mempengaruhi ketebalan dari nata. Oleh sebab itu, pada hari ke-0, belum ada nata yang terbentuk.

Pada hari ke-7, lapisan nata yang terbentuk pada kelompok 1 dan 2 sebesar 0,5 cm; pada kelompok 3 dan 4 sebesar 0,4 cm dan pada kelompok 5 sebesar 0,6 cm sehingga persentase lapisan nata yang terbentuk pada kelompok 1 adalah 25%, pada kelompok 2 adalah 41,67%, pada kelompok 3 adalah 30,77%, pada kelompok 4 adalah 40% dan pada kelompok 5 adalah 24%. Pada hari ke 14 terjadi peningkatan ketebalan lapisan nata pada kelompok 1-4, yaitu pada kelompok 1 sebesar 0,7 cm; pada kelompok 2 sebesar 0,6 cm dan pada kelompok 3 dan 4 sebesar 0,5 cm. Sedangkan, pada kelompok 5 tidak terjadi peningkatan ketebalan lapisan nata, yaitu sebesar 0,6 cm. Sehingga persentase pada kelompok 1-4 juga mengalami kenaikan dimana pada kelompok 1 sebesar 35%, pada kelompok 2 sebesar 50%, pada kelompok 3 sebesar 38,46% dan pada kelompok 4 sebesar 50%. Sedangkan pada kelompok 5 persentasenya tetap, yaitu sebesar 24%. Menurut Lapuz et al. (1967), semakin lama waktu inkubasi, maka lapisan nata yang terbentuk juga akan semakin tebal. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Dina (2009), yaitu waktu fermentasi akan mempengaruhi lapisan nata. Semakin lama waktu, nata yang terbentuk akan semakin tebal sedangkan waktu fermentasi yang terlalu cepat menyebabkan lapisan nata yang terbentuk menjadi tipis karena serat yang dihasilkan sedikit. Namun, hasil yang didapatkan pada kelompok 5 tidak sesuai dengan teori. Hal ini dapat disebabkan karena terjadinya kontaminasi pada saat proses fermentasi. Penambahan starter yang tidak aseptis serta gula yang tidak tercampur dengan rata menyebabkan pembentukan nata yang kurang maksimal (Pambayun, 2002). Selain itu, dihasilkannya kesamaan ketebalan nata padahal tinggi awal berbeda-beda dapat disebabkan karena adanya aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Aktivitas dari Acetobacter xylinum akan dipengaruhi oleh kehadiran mikroorganisme perusak atau kontaminan. Apabila mikroorganisme perusak dapat dihindari maka aktivitas Acetobacter xylinum akan menjadi optimum. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme perusak dapat mengurangi konsentrasi glukosa yang mengakibatkan nata yang dihasilkan menjadi tidak maksimal bahkan tidak terbentuk (Tranggono & Sutardi, 1990). Menurut Rachman (1989), faktor yang mempengaruhi pembentukan nata yaitu tingkat keasaman, temperatur, sumber karbon dan sumber nitrogen yang tidak mendukung. Menurut Pato & Dwiloted (1994), umur kelapa juga dapat mempengaruhi pembentukan nata. Jagannath et al. (2008) menambahkan bahwa adanya mikroorganisme perusak menyebabkan air kelapa mengalami proses pembusukan sehingga menyebabkan nata tidak dapat terbentuk. Kontaminasi dapat terjadi karena penambahan starter yang dilakukan secara tidak aseptis. Perlakuan secara aseptis perlu dilakukan karena adanya penggunaan sukrosa (gula pasir) yang mudah terkontaminasi oleh yeast.

4.2. Hasil Uji SensoriDari hasil uji sensori, didapatkan aroma pada kelompok 1, 2 dan 5 adalah asam; pada kelompok 3 adalah agak asam dan pada kelompok 4 sangat asam. Pada warna, didapatkan pada semua kelompok memiliki warna yang kuning, kecuali pada kelompok 3 yang berwarna putih bening dan pada tekstur, didapatkan pada kelompok 1 dan 5 yaitu tidak kenyal, pada kelompok 2 dan 4 yaitu kenyal dan pada kelompok 3 agak kenyal. Menurut jurnal dari Halib et al (2012), aroma asam yang didapatkan pada hasil pembuatan nata de coco dapat berasal dari hasil oksidasi gula oleh Acetobacter xylinum menjadi asam asetat. Selain itu, Acetobacter xylinum juga dapat memecah alkohol menjadi asam asetat yang menyebabkan aroma yang asam.

Pada hasil warna, menurut pernyataan Tranggono & Sutardi (1990), warna kuning yang dihasilkan pada nata de coco dapat berasal dari mikroorganisme perusak. Mikroorganisme perusak yang terdapat pada hasil dapat disebabkan karena proses yang kurang aseptis. Hal yang berbeda dinyatakan oleh Rahman (1992) dimana nata de coco seharusnya berwarna putih transparan. Pernyataan ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh kelompok 3. Pada hasil tekstur nata, menurut Herman (1979), kekenyalan dari nata akan dipengaruhi oleh jumlah serat atau selulosa yang terkandung pada nata tersebut. Semakin tingginya konsentrasi atau semakin murninya suatu kultur maka nata yang dihasilkan akan lebih padat. Pada hasil, didapatkan pada kelompok 2 dan 4 telah sesuai dengan teori.

5. 6. KESIMPULAN

Nata de coco dibuat dari air kelapa yang berasal dari buah yang sudah tua dengan beberapa jenis bahan yang mengandung gula, protein dan mineral. Nata de coco merupakan makanan hasil fermentasi Acetobacter xylinum. Air kelapa perlu disaring untuk dipisahkan kotorannya agar dihasilkan nata de coco yang bersih. Gula yang ditambahkan digunakan untuk media pertumbuhan Acetobacter xylinum. Amonium sulfat yang ditambahkan bertujuan sebagai salah satu sumber nitrogen organik bagi Acetobacter xylinum. Asam cuka yang ditambahkan bertujuan untuk membantu mencapai pH yang optimum untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum, yaitu antara 4-4,5. Starter yang ditambahkan untuk pembuatan nata yaitu antara 4-10% Apabila penambahan starter tidak tepat maka akan menghasilkan karakteristik nata yang tidak baik. Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada suhu ruang. Apabila selama proses inkubasi terjadi gangguan seperti adanya guncangan, nata tidak akan terbentuk. Terbentuknya lapisan nata pada permukaan medium terjadi karena proses fermentasinya menghasilkan gas CO2 yang cenderung melekat pada selulosa dan menyebabkan jaringan tersebut terangkat ke atas. Ukuran wadah plastik yang digunakan pada setiap kelompok berbeda-beda sehingga menyebabkan tingi awal media yang dihasilkan juga berbeda-beda. Waktu inkubasi yang lama akan mempengaruhi ketebalan dari nata. Penambahan starter yang tidak aseptis serta gula yang tidak tercampur dengan rata menyebabkan pembentukan nata yang kurang maksimal. Faktor yang mempengaruhi pembentukan nata yaitu tingkat keasaman, temperatur, sumber karbon, sumber nitrogen yang tidak mendukung, umur kelapa dan keberadaan mikroorganisme perusak. Warna kuning yang dihasilkan pada nata de coco dapat berasal dari mikroorganisme perusak. Aroma asam yang didapatkan pada hasil pembuatan nata de coco dapat berasal dari hasil oksidasi gula oleh Acetobacter xylinum menjadi asam asetat. Kekenyalan dari nata akan dipengaruhi oleh jumlah serat atau selulosa yang terkandung pada nata tersebut.

Praktikan,Asisten Dosen Wulan Apriliana Nies Mayangsari (Lisa)

7. 8. DAFTAR PUSTAKA

Almeida, D. M.; Prestes, R.A.; Adriel F. F.; Adenise L. W. and Gilvan W. (2013). Minerals consumption by Acetobacter xylinum on cultivation medium on coconut water. Brazilian Journal of Microbiology. Vol 44(1) : 197-206.

Awang, S.A. (1991). Kelapa : kajian sosial-ekonomi. Aditya media. Yogyakarta.

Biamenta, E. (2010). Karakterisasi dan Analisa Kadar Nutrisi Edible Film dari Nata De Coco dengan Penambahan Pati, Gliserin dan Kitosan Sebagai Bahan Pengemas Makanan. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Dina, R. (2009). Pemanfaatan Buah Tomat sebagai Bahan Baku Pembuatan Nata de Tomato. Seminar Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Semarang.

Dwidjoseputro, D. (1994). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan.

Halib, N.; M. C. I. M. Amin & I. Ahmad. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana 41(2): 205211.

Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju & A. S. Bawa. (2008). The Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:25932599.

Kamarudin, S.; M. Sahaid, K.; M. Sobri, T.; W. Mohtar, W. Y.; D. Radiah, A. B. & Norhasliza, H. (2013). Different Media Formulation on Biocellulose Production by Acetobacter xylinum (0416). Pertanika J. Sci. & Technol. 21 (1): 29 - 36 (2013).

Lapuz, M.M.; Gallardo, E.G. and Palo, M.A. (1967). The Nata Organism Cultural. Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science Vol 96.

Palungkun, R . ( 1992 ) . Aneka Produk Olahan Kelapa . Penebar Swadaya . Jakarta.

Palungkun, R. ( 1996 ). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. ( 2002 ). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. & Dwiloted, B. (1994). Proses & Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A) : 70 77.

Rachman, A. (1989). Pengantar Teknologi Fermentasi. PAU IPB. Bogor.

Rahayu, E.S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M.N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A (1992). Teknologi Fermentasi I, Penerbit Arcan, Jakarta.

Santosa, B.; K. Ahmadi & D. Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1 No. 1, Mar 2012,6-11. ISSN : 2252-5297.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.

Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

9. 10. 11. LAMPIRAN

11.1. PerhitunganRumus :

KELOMPOK 1 Hari ke-7% Lapisan Nata = = 25% Hari ke-14% Lapisan Nata = = 35%KELOMPOK 2 Hari ke-7% Lapisan Nata = = 41,67% Hari ke-14% Lapisan Nata = = 50%KELOMPOK 3 Hari ke-7% Lapisan Nata = = 30,77% Hari ke-14% Lapisan Nata = = 38,46%KELOMPOK 4 Hari ke-7% Lapisan Nata = = 40% Hari ke-14% Lapisan Nata = = 50%

KELOMPOK 5 Hari ke-7% Lapisan Nata = = 24% Hari ke-14% Lapisan Nata = = 24%

11.2. Abstrak Jurnal 11.2.1. Abstrak Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of CelluloseNata de coco merupakan hidangan pencuci mulut tempatan yang berasal dari Filipina. Ia dihasilkan melalui proses fermentasi air kelapa bersama kultur bakteria Acetobacter xylinum yang merupakan bakteria Gram negatif. Acetobacter xylinum memetabolismekan glukosa dalam air kelapa kepada selulosa bakteria yang mempunyai ciri-ciri unik seperti ketulenan yang tinggi, kehabluran dan kekuatan mekanikal yang tinggi. Memandangkan kandungan utama nata de coco adalah selulosa bakteria, ia ditulenkan, diekstrak dan seterusnya dilakukan pencirian untuk memastikan kandungan selulosanya. Hasil analisis FTIR nata de coco menunjukkan kehadiran puncak-puncak pada 3440 cm-1, 2926 cm-1, 1300 cm-1, 1440 cm-1, 1163 cm-1 dan 1040 cm-1 yang masing-masing merujuk kepada regangan O-H, regangan C-H, bengkokan C-H, bengkokan CH2, regangan C-O-C dan regangan C-O yang merupakan cap jari bagi sebatian selulosa tulen. Selain itu corak lengkukan spektra FTIR nata de coco juga menepati corak lengkukan spektra selulosa bakteria yang telah dilaporkan oleh penyelidik terdahulu. Kajian termal pula mendapati puncak pada graf DTG adalah 342C, menepati julat suhu penguraian termal selulosa (330C - 370C) sebagaimana yang dilaporkan sebelum ini. Graf TGA pula menunjukkan nata de coco hanya mempunyai satu langkah penguraian dan membuktikan ianya terdiri daripada satu sebatian tulen. Serbuk nata de coco yang dihasilkan juga didapati hanya larut dalam kuprum (II) etilenadiamina, iaitu pelarut bagi selulosa seterusnya membuktikan bahawa nata de coco adalah sumber selulosa bakteria yang baik. Ketulenan selulosa bakteria yang dihasilkan menjadikan ia bahan yang sesuai di dalam penyelidikan yang menggunakan selulosa tulen

11.2.2. Abstrak The Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinumThe effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of nata-de-coco, a form of bacterial cellulose, by Acetobacter xylinum was studied. Comparisons for physical properties like thickness, wet weight, water-holding capacity (WHC), moisture content and hardness, a textural parameter were done on nata-de-coco grown in tender coconut water medium supplemented with varying concentrations of sucrose and ammonium sulphate at different pH values. The results were analysed by fitting a second-order polynomial regression equation. Response surface methodology was used to study the effect of the three variables. The study showed that A. xylinum could effectively use sucrose as the sole carbon source in coconut water medium and that cellulose production was more dependent on pH than either sucrose or ammonium sulphate concentrations. Maximum thickness of nata was obtained at pH 4.0 with 10% sucrose and 0.5% ammonium sulphate concentrations. These conditions also produced good quality nata-de-coco with a smooth surface and soft chewy texture. The study will enable efficient utilization of coconut water, a hitherto wasted byproduct of coconut industry and will also provide a new product dimension to the aggrieved coconut farmers who are not getting the right price for their product.

11.2.3. Abstrak Different Media Formulation on Biocellulose Production by Acetobacter xylinumBiocellulose (BC), produced by Acetobacter xylinum (0416), was carried out using three types of medium composition under static surface culture. The media used in this experiment included CWHSM (Coconut water in Hestrin-Schramm medium), CM (Complex medium) and HSM (Hestrin-Schramm medium). CWHSM and CM used coconut water from agro-waste as the main source of sugar. The fermentation was conducted for 12 days and the results of BC dry weight, cell entrapped, pH medium and productivity were evaluated and compared. The results show that CWHSM is the most suitable medium for BC production with a productivity of up to 0.044 g 1-1 day-1.

11.2.4. Abstrak Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de CocoNata de coco is a type of beverage component is a cellulose compound produced from coconut water through a process that involves microbial fermentation known as Acetobacter xylinum. To increase the economic value, shelf life, and the benefits of diversification do nata product of nata de coco wet a fiber-rich instant drink of nata de coco. This research used Completely Randomized Design (CRD) are compiled factorial, the factors studied were: Factor I Concentration Dextrin consisting of 3 level: D1 = 10% = 12.5% D2, D3 = 15%. CMC concentration Factor II consists of 5 level: C1 = 0.5%, C2 = 1%, C3 = 1.5%, C4 = 2%, C5 = 2.5% each treatment combination was repeated 3 times. Parameters observed in this study are: solubility, crude fiber levels, water levels, and organoleptic tests include: colour, odor and appearance. This study shows that the CMC and dextrin were added to instant beverages rich in fiber from nata de coco significant effect on solubility, crude fiber content, water content, color, flavor and appearance. The best treatment is D3C5 Dextrin concentration of 15% and 2.5% CMC.

11.2.5. Abstrak Minerals consumption by Acetobacter xylinum on cultivation medium on coconut waterThe objective of this work is to verifying the consume of the minerals K, Na, Fe, Mg, P, S-SO42, B, N Total Kjedahl (NTK), NO3-N, and NH4+-N in the production of bacterial cellulose byAcetobacter xylinum, according to the medium and the manner of cultivation. The fermentative process was in ripe and green coconut water. K and Na were determined by flame emission photometry, Mg and Fe by atomic absorption spectrophotometry, P by molecular absorption spectrophotometry, S-SO42by barium sulphate turbidimetry, B by Azomethin-H method, NTK by Kjeldahl method, N-NO3and N-NH4+by vapor distillation with magnesium oxide and Devardas alloy, respectively. In Fermentation of ripe coconut water there were higher consumption of K (69%), Fe (84,3%), P (97,4%), S-SO22(64,9%), B (56,1%), N-NO3(94,7%) and N-NH4+(95,2%), whereas coconut water of green fruit the most consumed ions were Na (94,5%), Mg (67,7%) and NTK (56,6%). The cultivation under agitation showed higher mineral consumption. The higher bacterial cellulose production, 6 g.L1, was verified in the coconut water fermentative in ripe fruit, added KH2PO4,FeSO4and NaH2PO4kept under agitation. 11.3. Laporan Sementara11.4. Hasil Viper