NAKER
-
Upload
mulia-agung-pradipta -
Category
Documents
-
view
8 -
download
1
description
Transcript of NAKER
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai individu yang memiliki akal, setiap manusia memiliki pemikiran yang
sama untuk melakukan yang terbaik dan menerima hasil yang terbaik pula atas hasil
kerja kerasnya. Salah satu usaha dari setiap orang untuk meraih sesuatu atau
mengatasi kesulitan hidup adalah dengan berusaha memperbaiki garis kehidupannya,
berusaha menafkahi diri, dan berusaha melawan kerasnya alur kehidupan yang
timbul akibat biaya kehidupan yang semakin meningkat.
Pekerja/buruh merupakan golongan orang yang bekerja di bawah perintah
majikan. Dominan penduduk di negara kita ini berprofesi sebagai pekerja/buruh di
berbagai bidang apapun. Meskipun demikian, Indonesia masih menjadi salah satu
negara dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di dunia yang juga diakibatkan
oleh besarnya jumlah pengangguran tiap tahunnya.
Industrialisasi dan pembangunan ekonomi menjadi salah satu strategi dari
bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Industrialisasi
sendiri akan menghasilkan manusia-manusia warga negara yang mencoba meraih
kesejahteraannya, yaitu mereka yang tidak punya apa-apa selain tenaganya untuk
dijual guna mendapat upah untuk hidup. Mereka inilah yang disebut dengan
pekerja/buruh, dalam hal ini negara mau tidak mau harus terlibat dan bertanggung
jawab terhadap soal perburuhan/ketenagakerjaan demi menjamin agar pekerja/buruh
dapat terlindungi hak-haknya, sebagaimana yang telah dijamin dalam Undang-
1
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi
(highest law).
Suatu pekerjaan telah menjadi kebutuhan tiap orang, hal inilah yang menjadi
dasar pemikiran negara yang diamanatkan dalam konstitusi negara kita pada Pasal 27
ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan:
”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Dari amanat konstitusi tersebut, jelaslah negara berkewajiban untuk
mendukung segala hal yang berkaitan dengan pemenuhan kesejahteraan serta
melayani dan melindungi rakyatnya yang dalam hal ini adalah pekerja/buruh sebagai
penentuan berputarnya roda ekonomi satu negara dalam proses ekonomi.
Berangkat dari amanah konstitusi tersebut di atas, seorang petugas pembaca
meter listrik bernama Didik Suprijadi, mengajukan permohonan pengujian Undang-
Undang ke Mahkamah Konstitusi. Uji materiil Undang-Undang yang dimaksud
terhadap UUD NRI 1945 adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan1, yaitu Pasal 59 yang mengatur tentang perjanjian kerja waktu
tertentu (pekerja kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (outsourcing) yang memiliki
dampak langsung dan tidak langsung kepada semua pekerja/buruh kontrak dan
pekerja/buruh outsourcing yang ada di Indonesia dan sangat merugikan hak-hak
konstitusionalnya yang diatur dalam UUD NRI 1945, yaitu mengenai hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk bekerja serta
1 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279
2
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan hak
atas kesejahteraan dan kemakmuran.
Dalam kenyataannya, sistem kerja dengan cara outsourcing ini lebih banyak
merugikan kaum pekeja/buruh dengan tidak mengindahkan hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, padahal hakikat sejak awal berdirinya negara ini telah
menetapkan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak tersebut serta hak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja sebagai hak asasi manusia warga negara sesuai dengan apa yang termuat di
dalam UUD NRI 1945.
Warga negara umumnya dan pekerja/buruh khususnya harus mendapatkan hak
konstitusional berupa penghidupan yang layak yang dapat diperolehnya dari
pekerjaan serta imbalan dan perlakuan yang adil dan layak yang harus diterima
dalam hubungan kerja. Dalam relasi perburuhan/ketenagakerjaan dan dalam
hubungan kerja, pekerja/buruh senantiasa berada pada posisi yang lemah, karenanya
sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang harus dibangun di negara ini adalah
sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang melindungi setiap pekerja/buruh.
Dalam hal ini pemerintah harus dapat memainkan peran untuk menjamin
perlindungan terhadap pekerja/buruh, dengan secara aktif terlibat dalam isu
perburuhan/ketenagakerjaan dengan didukung legislasi perUndang-Undangan
perburuhan/ketenagakerjaan. Namun sayang, kenyataannya kebijakan legislasi yang
protektif terhadap pekerja/buruh tidak tercermin dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama Pasal 59 dan Pasal 64 bahkan
3
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD
NRI 1945.
Berbagai alasan muncul melatarbelakangi permohonan pengajuan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini. Sebagian di antaranya
yaitu sebagai dasar penekanan terhadap efisiensi secara berlebihan untuk semata-
mata meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui
kebijakan upah murah, akibatnya, yaitu hilangnya keamanan kerja (job security) bagi
pekerja/buruh Indonesia, karena sebagian besar pekerja/buruh tidak akan lagi
menjadi pekerja/buruh tetap, melainkan menjadi pekerja/buruh kontrak yang akan
berlangsung seumur hidupnya.
Selain itu, alasan lainnya ialah bahwa status sebagai pekerja/buruh kontrak ini
pada kenyataannya berarti juga hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja,
jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang
mempunyai status sebagai pekerja/buruh tetap, yang dengan demikian amat potensial
menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja/buruh.
Suatu pandangan yang realistis bahwa dalam hubungan kerja berdasarkan
perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 dan outsourcing sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003, pekerja/buruh dilihat semata-mata sebagai
komoditas atau barang dagangan di sebuah pasar tenaga kerja dan juga pekerja/buruh
ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila
dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi.
4
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah fokus pada kajian terhadap
perlindungan hak-hak buruh/pekerja yang bekerja dengan sistem outsourcing dengan
mencakup dua aspek utama, yaitu :
1. Bagaimana keberlakuan dan pelaksanaan sistem kerja outsourcing dalam
mengatur kesejahteraan pekerja/buruh outsourcing pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011?
2. Bagaimana idealnya perjanjian kerja dan praktik sistem outsourcing antara
perusahaan penyedia jasa dan perusahaan pemberi kerja, serta pekerja/buruh
cleaning service di Universitas Hasanuddin.
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Mengiringi latar belakang serta permasalahan sebelumnya, diharapkan tulisan
ini mampu menjawab dan mengungkap persoalan melalui pembahasan yang mudah
dimengerti dan terarah dengan baik. Untuk mewujudkan semua itu, ada beberapa
tujuan dan nilai guna yang ingin dicapai, antara lain:
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini ialah mencakup sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji keberlakuan sistem kerja outsourcing agar mampu
memperhatikan hak pekerja/buruh serta pelaksanaannya dalam mengatur
kesejahteraan pekerja/buruh outsourcing pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU-IX/2011.
5
2. Untuk mengetahui idealnya perjanjian kerja dan praktik sistem outsourcing
antara perusahaan penyedia jasa dan perusahaan pemberi kerja serta
pekerja/buruh cleaning service di Universitas Hasanuddin.
Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan dari penulisan dan pembahasan skripsi ini yaitu sebagai
berikut :
1. Hasil penelitian ini diharapkan agar bisa menjadi bahan pertimbangan oleh
Pemerintah untuk serius mengawal pengaplikasian Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 sesuai dengan apa yang diharapkan.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan agar bisa menjadi bahan referensi bagi
pihak-pihak yang ingin mengkaji hal yang sama.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang
Hukum acara di Mahkamah Konstitusi mempunyai corak dan tata beracara
yang berbeda dibandingkan dengan hukum acara di pengadilan lain. Karena pada
hakikatnya, perkara pengujian Undang-Undang ini tidaklah berkenaan dengan pihak-
pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain, tetapi menyangkut
kepentingan kolektif semua orang dalam kehidupan bersama sebagai bangsa. Begitu
pula dengan sistem pembuktian dan ragam alat buktinya, proses pemeriksaan
pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi mempunyai pengaturan dan
penerapan tersendiri yang berbeda apabila dibandingkan dengan hukum acara pidana
dan perdata.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 bahwa kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD, selain itu
kewenangan lainnya yaitu memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ini
berlaku mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.2
Selain itu, berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi3 beserta penjelasannya menyatakan bahwa Undang-
2 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3 Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.
7
Undang yang dapat diuji adalah Undang-Undang yang diundangkan setelah
perubahan pertama UUD 1945 yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999.
Fungsi pengujian Undang-Undang ini kemudian dikenal sebagai judicial
review meski secara teknis pengujian Undang-Undang terhadap UUD oleh
Mahkamah Konstitusi ini biasa juga disebut constitutional review sedangkan judicial
review lebih ke arah pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh
Mahkamah Agung, tetapi keduanya secara umum disebut judicial review dalam arti
pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial.4
Sebagai produk politik sangat mungkin isi Undang-Undang bertentangan
dengan UUD sejalan dengan pemerintahan Orde lama dan Orde Baru, banyak sekali
Undang-Undang yang dipersoalkan karena bertentangan dengan konstitusi dan lebih
mencerminkan kehendak politik sepihak pemerintah yang intervensionis, tetapi tidak
ada lembaga yang dapat mengujinya.5 Jika suatu peraturan dianggap bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi maka untuk memastikan keabsahannya dilakukan
melalui pengujian oleh lembaga yudisial.
Istilah pengujian itu sendiri mencakup uji materil dan uji formal. Uji materil
dilakukan berkenaan dengan isinya yang dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dengan kata lain materi muatan Undang-
Undang sedangkan uji formal dilakukan berkenaan dengan prosedurnya yang
dianggap melanggar atau salah atau dapat pula dikatakan sebagai pengujian atas
pembentukannya.
4 Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, cetakan ke II, 2010), hlm, 64.5 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, cetakan ke II, 2011), hlm. 99.
8
Sri Soemantri menjelaskan bahwa jenis pengujian Undang-Undang secara
formal merupakan wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif, seperti
Undang-Undang misalnya terjelma melalui cara-cara (prosedure) sebagaimana telah
ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.6
Selanjutnya pengujian materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan kemudian
menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu
(verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.7
Dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan pengujian kepada
Mahkamah Konstitusi, memungkinkan dapat dijalankanya fungsi kontrol hukum
(legal controle) terhadap undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah.
Dengan kewenangannya ini, Mahkamah Konstitusi menjadi benteng dalam menjaga
dan mempertahankan keadilan, dalam arti mengoreksi undang-undang yang dibuat
oleh Pemerintah dan DPR yang mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan
masyarakat. Hal tersebut menjadikan dan/atau menunjukkan bahwa Mahkamah
Konstitusi mempunyai peranan strategis dalam menjaga dan mempertahankan
prinsip-prinsip negara hukum.
1. Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Objek pengujian yang diuraikan disini adalah regeling8 baik yang berbentuk
legislasi berupa legislative acts ataupun yang berbentuk regulasi berupa executive
6 Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 6. 7 Ibid, hlm. 11.8 Merupakan objek pengujian sebagai hasil kegiatan pengaturan dalam Bahasa Belanda.
9
acts. Peraturan perundangan yang diajukan untuk dilakukan pengujian secara
materiil oleh Mahkamah Konstitusi karena mengandung muatan yang bertentangan
dengan UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan9 oleh Pemohon, Didik Suprijadi yang dalam hal ini bertindak atas
nama Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik
(AP2ML) Indonesia, dengan materi pokok uji materi sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59
Ayat (1): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya,
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama tiga tahun.
c. Pekerjaan yang bersifat musiman atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Ayat (2): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap”.
Ayat (3): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui”.
9 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.
10
Ayat (4): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun”.
Ayat (5): “Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja untuk
waktu tertentu tersebut, paling lama tujuh hari sebelum perjanjian kerja waktu
tetentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan”.
Ayat (6): “Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan
setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja untuk waktu
tertentu ini hanya boleh dilakukan satu kali dan paling lama dua tahun”.
Ayat (7): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5)
dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja untuk waktu tidak
tertentu”.
Ayat (8): “Hal-hal yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut
dengan keputusan menteri”.
2. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyatakan,
"Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis".
3. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
11
Ayat (1): “Penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalu perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis”.
Ayat (2): “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung”.
Ayat (3): “Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berbentuk badan hukum”.
Ayat (4): “Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya
sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Ayat (5): “Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana diatur
pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri”.
Ayat (6): “Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya”.
12
Ayat (7): “Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja
waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59”.
Ayat (8): “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan”.
Ayat (9): “Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja
pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (7)”.
4. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Ayat (1): “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak
boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi”.
Ayat (2): “Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
13
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini”.
Ayat (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki ijin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan”.
Ayat (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
5. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
14
6. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja".
7. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan".
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
Perkara Konstitusi di Mahkamah konstitusi disebut sebagai perkara
permohonan, bukan gugatan karena perkara konstitusi tersebut pada dasarnya tidak
berkenaan dengan pihak-pihak yang yang saling bertabrakan kepentingan atau
pribadi seperti perkara perdata, pidana ataupun tata usaha negara. Perkara yang
dimohonkan sebagai pengujian Undang-Undang ini mencakup kepentingan semua
orang dalam atau kolektif secara luas dalam kehidupan bersama. Maka subjek hukum
berperkara di Mahkamah Konstitusi disebut sebagai Pemohon dan bukan
Penggugat.10
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang;
10 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 45.
15
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Maka dengan itu Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD
1945 adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal
59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (pekerja kontrak) dan
Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya (outsourcing) yang memiliki dampak langsung dan tidak
langsung kepada semua buruh/pekerja kontrak dan buruh/pekerja outsourcing yang
ada di Indonesia dan sangat merugikan hak-hak konstitusionalnya yang diatur dalam
UUD 1945, yaitu mengenai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan11, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja12 dan hak atas kesejahteraan dan kemakmuran.13
Sedang menurut Pemerintah, anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut telah menimbulkan kekhawatiran,
kecemasan terhadap Pemohon dalam rangka memperoleh pekerjaan dan penghidupan
Iayak yang pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjangan sosial bagi Pemohon
dan berdampak pada pertumbuhan perekonomian yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan adalah tidak tepat dan hanya berdasarkan asumsi-asumsi semata yang
berlebihan, karena pada kenyataannya pekerja/buruh dalam melakukan hubungan
kerja didasari oleh kesepakatan bersama yang dilakukan secara sukarela berdasarkan
perjanjian keperdataan.
11 Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945.12 Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945.13 Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945.
16
3. Pokok Permohonan
Pemohon mengajukan permohonan bertanggal 21 Maret 2011, yang diterima
dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin, tanggal 4 April 2011 berdasarkan Akta
Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 127/PAN.MK/2011 dan diregistrasi pada
hari Senin tanggal 4 April 2011 dengan Nomor 27/PUU-IX/2011, yang telah
diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal tanggal 11 Mei
2011.
Dalam permohonan tersebut, pemohon mengajukan pokok perkara dengan
mendalilkan pekerja/buruh kontrak yang dipekerjakan berdasarkan ketentuan Pasal
59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 200314, pada kenyataannya
kehilangan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja dan sosial
sehingga menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia. Hal
itu, disebabkan karena hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 dan penyerahan
sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal
65, dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003, pekerja/buruh ditempatkan sebagai faktor
produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus
hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi.
Bagi perusahaan pemberi kerja komponen upah sebagai salah satu dari biaya-
biaya (cost) dapat tetap ditekan seminimal mungkin, tetapi pada sisi lain
pekerja/buruh kehilangan jaminan kerja, termasuk jaminan kesehatan, masa kerja
14 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.
17
yang dikaitkan dengan upah serta jaminan pensiun dan hari tua. Pekerja/buruh hanya
sebagai sapi perahan para pemilik modal. Menurut Pemohon hal itu menyebabkan
hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja dan sosial
yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai status sebagai buruh/pekerja
tetap, yang dengan demikian amat potensial menurunkan kualitas hidup dan
kesejahteraan pekerja/buruh Indonesia, sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon mengajukan alat bukti tertulis dengan diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-8 berupa kumpulan dokumen-dokumen resmi sebagaimana yang
dimaksud dengan alat bukti surat atau tulis adalah dokumen yang bersifat tertulis,
berisi huruf, angka, tanda baca, kata, anak kalimat, atau kalimat, termasuk gambar,
bagan, atau hal-hal yang memberikan pengertian tertentu mengenai suatu hal, yang
tertuang di atas kertas, ataupun bahan-bahan lainnya yang bukan kertas. Salah satu
bentuk bukti surat tertulis itu adalah dokumen resmi, seperti Undang-Undang yang
diuji dan peraturan perUndang-Undangan lainnya yang bersifat resmi.15
Pemohon juga pada persidangan tanggal 6 Juli 2011 telah menghadirkan saksi
Pemohon yang bernama Moh. Fadlil Alwi merupakan pekerja pembaca meteran yang
juga mantan pegawai PLN dan Moh. Yunus Budi Santoso sebagai karyawan
outsourcing pada pokoknya menerangkan bahwa pekerjaan pembaca meteran yang
dilakukan secara terus-menerus, dilakukan dalam waktu tertentu dan
berkesinambungan yang dulunya memakai sistem kontrak (outsourcing), setelah
pindah pekerjaan ke perusahaan lainnya pengalaman kerjanya tidak dihitung
sehingga gajinya menjadi turun.
15 Jimly Asshidiqie, op. cit., hlm. 151.
18
Sehubungan dengan permohonan a quo, Pemerintah maupun DPR telah
menyampaikan keterangan tertulis yang pada pokoknya bahwa hubungan kerja antara
pengusaha dan pekerja yang termuat dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan16, tetap tunduk pada perjanjian kerja yaitu kesepakatan berdasarkan
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang harus dihormati para pihak. Di samping itu
syarat-syarat PKWT adalah sudah ketat yaitu hanya mengenai:
- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
- pekerjaan yang bersifat musiman; atau
- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Menurut Pemerintah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara
pekerja/buruh dengan pengusaha, jika dalam implementasinya sesuai dengan
ketentuan tersebut di atas, semata-mata terkait dengan praktik hubungan kerja dan
bukan masalah konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 59 Undang-Undang a quo.
Oleh karena itu tidak ada persoalan konstitusionalitas pada Pasal 59 Undang-Undang
a quo yang dipersoalkan Pemohon.
Adapun mengenai pengujian Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang
a quo telah diadili oleh Mahkamah Konstitusi dengan amar putusan menolak
permohonan para Pemohon (vide Putusan Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28
Oktober 2004, atas permohonan pengujian yang diajukan oleh Saepul Tavip, dan
16 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.
19
kawan-kawan)17, sehingga menurut Pemerintah, Mahkamah tidak perlu
mempertimbangkanya lagi.
B. Outsourcing
Semakin berkembangnya ilmu teknologi yang terbilang sangat pesat, membuat
perusahaan-perusahan di dunia terus menerus mencoba terobosan baru demi
menciptakan hasil-hasil produksi yang semakin canggih dalam memenangkan
persaingan. Sejalan dengan timbulnya revolusi industri tersebut, perusahaan di dunia
kemudian dihadapkan pada persaingan global yang mengakibatkan struktur
manajemen yang bengkak dan tak terkendali sehingga berpengaruh pada risiko usaha
dalam segala hal dan risiko tenaga kerja yang meningkat.
Tahap awal pemikiran timbulnya pola hubungan kerja dengan jalan
outsourcing dimulai sejak persaingan global tersebut. Untuk meningkatkan
keluwesan dan kerativitas, banyak perusahaan besar membuat strategi baru dengan
konsentrasi pada bisnis inti, mengidentifikasi proses yang kritikal, dan memutuskan
hal-hal yang harus di-outsource. Gagasan awal berkembangnya outsourcing adalah
untuk membagi risiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk ketenagakerjaan.
Pada awalnya perusahaan semata-mata mempersiapkan diri pada bagian-bagian
tertentu yang bisa mereka kerjakan, sedangkan untuk bagian-bagian yang tidak bisa
dikerjakan secara internal, dikerjakan secara outsource. Sejak tahun 1990,
outsourcing mulai digunakan sebagai jasa pendukung. Tingginya persaingan telah
menuntut manajemen perusahaan melakukan perhitungan pengurangan biaya.
17 Perkara Nomor 12/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD NRI yang diajukan oleh Saepul Tavip.
20
Perusahaan mulai melakukan outsource terhadap fungsi-fungsi yang penting bagi
perusahaan, tetapi tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan.
Kecenderungan beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan
sistem outsourcing pada saat ini, umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan
untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Dengan
menggunakan sistem outsourcing ini, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat
pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan.18
Outsourcing merupakan istilah dalam dunia usaha yang maksudnya
menggunakan sumber daya manusia dari pihak luar demi mengefisiensi biaya
produksi. Dalam hal ini outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja
untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan,
melalui perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Ini berarti ada perusahaan yang
secara khusus melatih/mempersiapkan, menyediakan, mempekerjakan tenaga kerja
untuk kepentingan perusahaan lain. Perusahaan inilah yang mempunyai hubungan
kerja secara langsung dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan.
Salah satu bentuk pelaksanaan outsourcing adalah melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan. Legalitas pelaksanaan outsourcing telah diatur dalam UU
No. 13 Tahun 200319 dan dalam KUHPerdata20 Pasal 1601 huruf b. Dalam UU No.
13 Tahun 2003 istilah yang dipakai adalah perjanjian pemborongan atau penyedia
jasa pekerja/buruh. Dalam Pasal 64 disebutkan perusahaan dapat menyerahkan
18 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 217. 19 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.20 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU 9 Desember 1924, LN. 1924-556 Tahun 1925.
21
sebagian pelaksanaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam outsourcing,
yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dan
outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh perusahaan jasa pekerja.
Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan, konstruksi hukumnya yaitu ada
main contractor yang mensubkan pekerjaan pada sub contractor. Sub contractor
untuk melakukan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor yang membutuhkan
pekerja. Disitulah sub contractor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan
yang disubkan oleh main contarctor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub
contractornya dengan pekerjanya.
Berdasarkan hal tersebut jika dikaitkan dengan konstitusi jelas hal ini
memaksakan adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerjaan
dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur hubungan kerja yaitu
adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa pekerja hanya
dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum.21
Dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 200322 menyebutkan bahwa perjanjian kerja
untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
21 Baca alasan Permohonan Pengujian Undang-Undang, Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011.22 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.
22
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Hal lain mengenai keberlakuan hubungan kerja dengan sistem outsourcing ini
adalah bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan untuk di outsource adalah pekerjaan
sebagai berikut:23
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Semua persyaratan di atas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat
tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat di outsource. Perusahaan
penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak
perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi
kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya, sehingga
pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu, berbadan hukum menjadi sangat
penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab.
Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
merupakan persyaratan yang jika tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan
kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.23 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 189-190
23
Dalam melaksanakan hubungan kerja, perusahaan penyedia pekerja/buruh
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh.
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud
pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak.
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh.
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.24
Selain dalam UU No. 13 Tahun 200325, dalam KUHPerdata26 Pasal 1601 b
disebutkan perjanjian pemborongan pekerjaan, yakni sebagai perjanjian dengan mana
pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu
pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan dengan menerima satu harga
yang ditentukan.
24 Lalu Husni, Ibid, hlm. 190-191.25 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU 9 Desember 1924, LN. 1924-556 Tahun 1925.
24
Ada beberapa prinsip yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan
sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHPerdata, yakni sebagai berikut:27
a. Jika telah terjadi kesepakatan dalam pemborongan pekerjaan dan pekerjaan
telah mulai dikerjakan, pihak yang memborongkan tidak bisa menghentikan
pemborongan pekerjaan.
b. Pemborongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborong,
namun pihak yang memborongkan diwajibkan membayar kepada ahli waris
si pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan
pekerjaan yang telah dilakukan.
c. Si pemborong bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan orang-
orang yang telah dipekerjakan olehnya.
d. Buruh yang memegang suatu barang kepunyaan orang lain, untuk
mengerjakan sesuatu pada barang tersebut, berhak menahan barang itu
sampai biaya dan upah-upah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi
seluruhnya, kecuali jika pihak yang memborongkan telah memberikan
jaminan secukupnya untuk pembayaran biaya dan upah-upah tersebut.
Di atas telah disebutkan bahwa outsourcing salah satunya dilaksanakan melalui
pemborongan pekerjaan dan mengenai pemborongan pekerjaan sebelumnya sudah
dikenal dalam KUHPerdata. Ketentuan pemborongan pekerjaan dalam KUHperdata
berbeda dengan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003. Perbedaannya adalah
pada pasal-pasal yang diatur dalam KUHPerdata tidak dibatasi pekerjaan-pekerjaan
mana saja yang dapat diborongkan/outsource dan untuk pekerjaan yang sifatnya
jangka pendek, sedangkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 dibatasi, yakni hanya 27 Lalu Husni, Ibid, hlm. 188-189.
25
terhadap produk/bagian-bagian yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis
utama perusahaan .
Dalam sistem kerja outsourcing, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian, yaitu:
1. Perjanjian kerja, antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa
layanan.
2. Perjanjian penempatan pekerja/buruh, antara perusahaan penyedia jasa
layanan dengan perusahaan pemberi kerja.
Dengan adanya dua perjanjian yang terpisah tersebut, walaupun pekerja/buruh
sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi kerja, tetapi status pekerja/buruh tetap
sebagai karyawan perusahaan penyedia jasa layanan. Oleh karena itu, dalam sistem
outsourcing ini pemenuhan hak-hak pekerja/buruh (seperti perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul) tetap merupakan
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa layanan. Namun, meskipun legalisasi
sistem outsourcing ini telah diatur pada Pasal 59 dan 64 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 sama sekali tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2)
dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus dilindungi adalah
manusia yang seutuhnya. Bekerja seyogianya adalah untuk memberikan kehidupan
yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja hanya dipandang sebagai bagian produksi
terutama dengan kontrak-kontrak yang dibuat, oleh karenanya dianggap demikian
sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai pekerja/buruh
sebagai manusia menjadi lemah.
Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pekerjaan yang dituangkan dalam perjanjian kerja
26
secara tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya perjanjian kerja waktu tak
tertentu atau tetap dan bukan kontrak, tetapi dapat pula dilakukan perjanjian kerja
waktu tertentu/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun
materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 200328.
Dalam penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh
mempekerjakan pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk
melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi. Kegiatan yang dimaksud, menurut Pasal 17
Permen No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain29, yaitu :
1) Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service)
2) Usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering)
3) Usaha tenaga pengamanan (security)
4) Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan
5) Usaha penyedia angkutan pekerja/buruh.
Dengan sistem outsourcing ini, meskipun pekerja/buruh tidak menerima
perintah langsung dari majikannya atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
namun dari perusahaan pemberi pekerjaan, pekerja/buruh tersebut tetap dalam
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dalam hal perlindungan
upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial
28 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.29 Indonesia, Peraturan Menteri Nomor tentang Syarat-syarat Peneyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Permen No. 19 Tahun 2012, BN. 1138.
27
yang terjadi. Perusahaan pemberi pekerjaan sama sekali tidak bertanggung jawab
terhadap segala hal yang menyangkut keberadaan pekerja/buruh.
Oleh sebab itu, hal ini jelas tidak sesuai dengan konstitusi negara kita yang
memaksakan adanya hubungan kerja antara perusahaan perusahaan penyedia jasa
pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur kerja yaitu
adanya perintah, pekerjaan dan upah, meka menunjukkan bahwa pekerja hanya
dianggap sebagai barang saja bukan subjek hukum. Outsourcing ini merupakan suatu
perbudakan zaman modern karena di sini perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
pada dasarnya menjual manusia kepada pengguna dengan sejumlah uang akan
mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia.
C. Pihak-pihak dalam Outsourcing
1. Pekerja/Buruh
Definisi buruh/pekerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan30, yaitu:
”Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
30 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.
28
Sementara dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial31, menyebutkan bahwa:
“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”Secara khusus, pekerja/buruh outsourcing dalam Permen No. 19 Tahun 2012
tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain32, menyebutkan bahwa:
“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Istilah buruh sejak dahulu telah populer dan kini masih sering dipakai sebagai
sebutan untuk kelompok tenaga kerja yang sedang memperjuangkan program
organisasinya. Istilah pekerja dalam praktek sering dipakai untuk menunjukkan status
hubungan kerja, seperti pekerja kontrak, pekerja borongan, pekerja harian, pekerja
honorer, pekerja tetap, dan sebagainya. Sedangkan istilah karyawan atau pegawai
lebih sering dipakai untuk data administrasi.33
Dari semua pemahaman tentang pekerja/buruh di atas, hemat penulis dari
pendapat para ahli tersebut bahwa :
“Pekerja/buruh adalah orang-orang yang bekerja pada majikan/perusahaan untuk mendapat upah guna memenuhi kebutuhan hidup dan bekerja untuk waktu tertentu maupun untuk waktu yang tidak ditentukan.”
Pekerja/buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan dalam
hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,
31 Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2 Tahun 2004.32 Indonesia, Peraturan Menteri Nomor tentang Syarat-syarat Peneyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Permen No. 19 Tahun 2012, BN. 1138.
33 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm. 1
29
mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta mendirikan dan
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Pekerja/buruh memiliki hak untuk
berkumpul dan mendirikan serikat pekerja/serikat buruh.
Pada dasarnya, pekerja/buruh sifatnya lemah, baik dari segi ekonomi maupun
dari segi kedudukan dan pengaruhnya terhadap pengusaha. Karena itu, akibatnya
pekerja/buruh tersebut tidak mungkin bisa memperjuangkan hak-haknya ataupun
tujuannya secara perorangan tanpa mengorganisasi dirinya dalam suatu wadah untuk
mencapai tujuannya. Wadah yang dimaksudkan itu sekarang disebut serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 21
tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.34
Pemahaman mengenai istilah serikat pekerja ini dapat dilihat pada Pasal 1
angka 17 UU No. 13 Tahun 200335 jo. Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh36 yang menyebutkan bahwa :
“Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang berisfat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.”
Serikat pekerja berdasarkan pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa
mereka adalah orang-orang yang bebas melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai
buruh tanpa intervensi pihak manapun, terbuka maksudnya tidak membedakan hal
apapun, mandiri maksudnya tidak ada kekuatan kendali dari pihak lain, demokratis
34 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 2235 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.36 Indonesia, Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 21 Tahun 200, LN No. 131 Tahun 2000.
30
maksudnya menjunjung tinggi prinsip demokrasi, serta bertanggung jawab terhadap
anggota, masyarakat dan negara.
2. Perusahaan Pemberi Kerja
Perusahaan secara umum termuat dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial37 Pasal 1 angka 7
menjelaskan bahwa perusahaan merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum atau
tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain, selain itu disebutkan juga bahwa
perusahaan merupakan usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Pasal 1 angka 5 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan38
menyebutkan, pengertian pengusaha dijabarkan sebagai berikut :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri.
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan
di luar wilayah Indonesia.
37 Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2 Tahun 2004.38 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.
31
Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka 4 UU. No. 13 Tahun 200339 menyebutkan
bahwa :
“Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Dalam Permen Nomor 19 Tahun 201240 yang secara khusus menyebutkan
bahwa perusahaan pemberi kerja dalam hal ini outsourcing merupakan perusahaan
yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Perusahaan pemberi
kerja ini menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan penerima
pemborongan setelah memiliki bukti pelaporan dari instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota yang mengeluarkan bukti laporan
pekerjaan penunjang yang akan diborongkan.
3. Perusahaan Penyedia Jasa
Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dalam Permen No. 19 Tahun 2012
adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang
memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi
pekerjaan. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dilarang menyerahkan
pelaksanaan sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh lain.
Hubungan kerja yang timbul antara perusahaan penyedia jasa dengan
pekerja/buruh harus dimuat dalam bentuk tertulis dan memuat segala ketentuan yang
39 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.40 Indonesia, Peraturan Menteri Nomor tentang Syarat-syarat Peneyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Permen No. 19 Tahun 2012, BN. 1138.
32
menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja. Persyaratan
yang harus terpenuhi sebagai perusahaan penyedia jasa menurut Pasal 24 Permen
Nomor 19 Tahun 201241 adalah sebagai berikut.
a) Berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b) Memiliki tanda daftar perusahaan;
c) Memiliki izin usaha;
d) Memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;
e) Memiliki izin operasional;
f) Mempunyai kantor dan alamat tetap; dan
g) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.
D. Perjanjian Kerja
Perjanjian pada dasarnya merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat
dua pihak untuk melaksanakan sesuatu yang telah disepakati agar dapat dilaksanakan
sesuai kesepakatan tersebut. Dalam KUHPerdata Pasal 1313 telah dijelaskan bahwa:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu manusia atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang
menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian
ini seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan
diri tentang suatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu pihak mengikatkan
diri kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah yang dimaksud hanyalah perjanjian
41 Indonesia, Peraturan Menteri Nomor tentang Syarat-syarat Peneyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Permen No. 19 Tahun 2012, BN. 1138.
33
sepihak, tetapi kalau disebutkan juga tentang adanya dua pihak yang saling
mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi baik perjanjian sepihak
maupun perjanjian dua pihak.42
Berangkat dari makna perjanjian menurut KUHPerdata di atas, bentuk suatu
perjanjian kerja adalah sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu suatu perjanjian
yang menimbulkan perikatan antara para pihak dimana dalam hal ini para pihak yang
dimaksud merupakan pekerja/buruh dengan pengusaha.
Suatu perjanjian sebelum disepakati seharusnya mengandung syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata43
berikut ini:
“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat:a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;c) Suatu hal tertentu;d) Suatu sebab yang halal.”
Pasal ini menjadi tolok ukur untuk sah atau tidak suatu perjanjian. Ketika suatu
perjanjian menyalahi salah satu syarat di atas maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan ataupun batal demi hukum. Di samping itu UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan juga mengatur mengenai syarat-syarat perjanjian tersebut
tepatnya pada Pasal 52.44
Menurut Pasal 1601 huruf a KUHPerdata, pengertian perjanjian kerja yaitu:
42 Ahmadi Miru, dkk, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW) (Jakarta:Rajawali Pers, 2008), hlm. 64.43 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU 9 Desember 1924, LN. 1924-556 Tahun 1925.
44 Dalam Pasal 52 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada poin d lebih dijelaskan bahwa “suatu sebab yang halal” itu dimaksudkan “tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
34
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak ke satu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah yang lain, si majikan untuk suatu waktu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”
Sementara UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan45 pada Pasal 1
angka 14 memberikan pengertian yakni :
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.”
Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut di
atas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak lain.”
Di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha
adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang
lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh
yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk
melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan
antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya.
Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada
hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat
pekerja, sedangkan hak & kewajiban para pihak salah satunya adalah upah disamping
hak & kewajiban lain yang akan dibicarakan secara tersendiri.46
45 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.
46 Lalu Husni, op. cit., hlm. 64
35
Adapun unsur-unsur perjanjian kerja menurut Djumialdji berdasarkan
pengertian perjanjian kerja Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mencakup tiga unsur penting, yaitu :
a) Ada orang di bawah pimpinan orang lain, maksudnya unsur perintah
menimbulkan adanya pimpinan orang lain.
b) Penuaian kerja, maksudnya melakukan pekerjaan atau berarti persewaan
tenaga kerja.
c) Adanya upah, maksudnya adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha.47
Dalam melaksanakan isi perjanjian, para pihak telah menyepakati segala hal
yang telah diperjanjikan oleh sebab itu jika kesepakatan telah lahir maka timbul hak
dan kewajiban bagi para pihak.
Lalu Husni memaparkan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha
sebagaimana telah diatur dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut:
Kewajiban pekerja/buruh:
a) Pekerja/buruh wajib melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan adalah
tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun
demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan.
b) Pekerja/buruh wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/pengusaha.
Dalam melakukan pekerjaan pekerja/buruh wajib menaati petunjuk yang
diberikan oleh pengusaha.
47 F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 7
36
c) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda. Jika pekerja/buruh melakukan
perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau
kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar
ganti rugi dan denda.
Kewajiban pengusaha adalah:
a) Kewajiban membayar upah. Dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi
pengusaha adalah membayar upah pada pekerjanya secara tepat waktu.
b) Kewajiban memberikan istirahat/cuti. Pihak majikan/pengusaha
diwajibkan untuk memberikan istirahat tahunan kepada pekerja secara
teratur.
c) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan. Majikan/pengusaha
wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat
tinggal di rumah majikan (Pasal 1602x KUHPerdata).
d) Kewajiban memberikan surat keterangan. Kewajiban ini didasarkan pada
ketentuan Pasal 1602 a KUHPerdata yang menentukan bahwa
majikan/pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi
tanggal dan dibubuhi tanda tangan.
Kewajiban pekerja/buruh yang telah dipaparkan di atas merupakan hak
pengusaha atau pemberi kerja, sebaliknya kewajiban pengusaha merupakan hak
pekerja.48
48 Lalu Husni, op. cit., hlm. 74.
37
Lain halnya pemahaman mengenai perjanjian kerja bersama. Perjanjian
Perburuhan/Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau istilah yang dipergunakan
dalam UU No. 13 Tahun 200349 adalah Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Dalam Pasal 1601 n disebutkan bahwa Perjanjian Perburuhan adalah peraturan
yang dibuat oleh seseorang atau beberapa orang perkumpulan majikan yang berbadan
hukum dan atau beberapa serikat buruh yang berbadan hukum mengenai syarat-
syarat kerja yang harus diindahkan pada waktu membuat perjanjian kerja.
Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara
Serikat Buruh dengan Majikan50 disebutkan Perjanjian Perburuhan adalah perjanjian
yang diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang terdaftar pada
Kementerian Perburuhan dengan majikan, majikan-majikan, perkumpulan majikan
yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat
kerja yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja.51
Secara sederhana, perjanjian kerja bersama dapat diartikan sebagai perjanjian
yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha,
atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
kedua belah pihak.52
Perjanjian kerja pada dasarnya dibuat secara tertulis dan dalam perjanjian
tersebut haruslah memuat hal-hal berikut :
49 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.50 Indonesia, Undang-Undang tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Majikan, UU No. 21 Tahun 1954.
51 Kementerian Perburuhan yang disebutkan pada penjelasan ini sekarang adalah Departemen Tenaga Kerja.
52 Zaeni Asyhadie, op. cit., hlm. 54.
38
a) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c) Jabatan atau jenis pekerjaan;
d) Tempat pekerjaan;
e) Besarnya upah dan cara pembayaran;
f) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.53
Perjanjian kerja harus dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua, yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-
masing mendapat satu perjanjian kerja. Di samping perjanjian kerja dalam
perusahaan, juga harus ada perjanjian kerja bersama dalam perusahaan tersebut telah
ada serikat pekerja/serikat buruh, dan serikat pekerja/serikat buruh tersebut telah
mengusulkan untuk membuat perjanjian kerja bersama.
Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a) Hak dan kewajiban perusahaan;
b) Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c) Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d) Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama54
53 Lihat Pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.54 Lihat Pasal 124 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
39
Perjanjian kerja bersama mempunyai kedudukan tertinggi dalam perusahaan.
Oleh karena itu, ini berarti bahwa perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. Demikian pula perjanjian kerja
bersama tidak boleh diganti dengan peraturan perusahaan. Perjanjian kerja bersama
dapat dibuat dengan jangka waktu berlakunya paling lama dua tahun, dan dapat
diperpanjang lagi masa berlakunya paling lama satu tahun berdasarkan kesepakatan
tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuatnya.
Selain itu, sesuai dengan sifat serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, maka
dalam perjanjian kerja bersama tidak diperbolehkan untuk :
a) Memuat aturan yang mewajibkan seorang pengusaha hanya boleh
menerima atau menolak pekerja/buruh dari suatu golongan, baik berkenaan
dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun karena
keyakinan politik atau anggota dari suatu perkumpulan.
b) Memuat aturan yang mewajibkan seorang pekerja/buruh hanya bekerja
atau tidak boleh bekerja pada pengusaha dari suatu golongan, baik
berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun
karena keyakinan politik atau anggota dari suatu perkumpulan.
c) Memuat aturan yang bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan.
Hubungan perjanjian kerja dengan perjanjian kerja bersama dapat dilihat pada
penjelasan sebelumnya bahwa dalam pembuatan perjanjian kerja harus mengacu atau
berpedoman pada perjanjian kerja bersama, dengan kata lain perjanjian kerja harus
menjabarkan isi dari perjanjian kerja bersama. Ketentuan perjanjian kerja yang tidak
40
sesuai atau menjabarkan isi perjanjian kerja bersama menjadi tidak sah dan yang
berlaku adalah perjanjian kerja bersama. Dalam kedudukan seperti itu perjanjian
kerja bersama merupakan alat kontrol daripada perjanjian kerja, perjanjian kerja
bersama merupakan induk dari perjanjian kerja. Dengan demikian perjanjian kerja
tidak dapat mengenyampingkan isi perjanjian kerja bersama tapi sebaliknya,
perjanjian kerja bersama dapat mengenyampingkan isi perjanjian kerja.55
Dalam perjanjian kerja, jangka waktu berlangsungnya suatu perjanjian kerja
juga adalah hal utama sebelum disepakatinya perjanjian kerja tersebut. Sebelumnya
para pihak terlebih dahulu menentukan jangka waktu pelaksanaan kerja yang akan
disepakati. Dalam hukum perburuhan dikenal dua jangka waktu pelaksanaan
perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja untuk
waktu tidak tertentu.
1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
Sebagaimana perjanjian kerja pada umumnya. Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu harus memenuhi syarat-syarat pembuatan. Adapun syarat-syarat pembuatan
perjanjian kerja untuk waktu tertentu terbagi dua macam, yaitu syarat materil dan
syarat formil. Syarat materil diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun
200356, yaitu sebagai berikut :
a) Kesepakatan kedua belah pihak;
b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
55 Lalu Husni, op. cit., hlm. 8856 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.
41
d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, diatur pula bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak
dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (Pasal 58 ayat (1)). Jadi, jika ada
perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang mensyaratkan masa percobaan, maka
perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut batal demi hukum. Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (Pasal 59 ayat
(1)).
Sedangkan syarat pembuatan secara formil perjanjian kerja untuk waktu
tertentu menurut Pasal 54 ayat (1), harus memuat sebagai berikut:
a) Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;
b) Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;
c) Jabatan atau jenis pekerjaan;
d) Tempat pekerjaan;
e) Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g) Jangka waktu mulai berlakunya perjanjian kerja;
h) Tempat dan lokasi perjanjian kerja dibuat; dan
i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu
tidak boleh lebih rendah dari syarat-syarat kerja yang termuat dalam peraturan
42
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Bila ternyata kualitas isinya lebih rendah,
maka syarat-syarat kerja yang berlaku adalah yang termuat dalam peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
dibuat dalam rangkap 3 (tiga), masing-masing rangkap untuk pekerja, pengusaha dan
dinas/instansi yang membidangi ketenagakerjaan setempat. Seluruh biaya yang
timbul atas pembuatan perjanjian kerja untuk waktu tertentu menjadi tanggungan
pengusaha.
2. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu disini adalah suatu jenis perjanjian
kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang tidak memiliki jangka
waktu berlakunya. Dengan demikian, perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
berlaku terus sampai :
a) Para pihak pekerja/buruh memasuki usia pensiun (55 tahun);
b) Pihak pekerja/buruh diputuskan hubungan kerjanya karena melakukan
kesalahan;
c) Pekerja/buruh meninggal dunia; dan
d) Adanya putusan pengadilan yang menyatakan pekerja/buruh telah
melakukan tindak pidana sehingga perjanjian kerja tidak bisa dilanjutkan.
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu tidak akan berakhir karena
meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan oleh
penjualan, pewarisan, atau hibah.
Dalam hal terjadinya peralihan hak atas perusahaan sebagai tersebut di atas,
segala hal pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan
43
lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
Namun demikian, jika pengusaha, orang perorangan meninggal dunia, ahli waris
pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkannya dengan
pekerja/buruh.
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat dibuat secara tertulis dan
lisan. Dalam hal perjanjian jenis ini dibuat secara lisan, pengusaha wajib membuat
surat pengangkatan bagi pekerja/buruh. Surat pengangkatan dimaksud sekurang-
kurangnya memuat tentang :
a) Nama dan alamat pekerja/buruh;
b) Tanggal mulai bekerja;
c) Jenis pekerjaan; dan
d) Besarnya upah.
E. Hubungan Industrial
Sesuai ketentuan pada Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan57 menyebutkan bahwa yang dimaksud hubungan industrial
adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu sebagai wujud pelaksanaan
hubungan kerja antara pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah harus sesuai dengan
jiwa yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, artinya segala bentuk perilaku semua
57 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.
44
subjek yang terkait dalam proses produksi harus mendasarkan pada nila-nilai luhur
Pancasila.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 bahwa
dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan
melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.58
Hubungan industrial pada dasarnya adalah proses terbinanya komunikasi,
konsultasi musyawarah serta berunding dan ditopang oleh kemampuan dan
komitmen yang tinggi dari semua elemen yang ada di dalam perusahaan. Undang-
undang ketenagakerjaan telah mengatur prinsip-prinsip dasar yang perlu kita
kembangkan dalam bidang hubungan industrial. Arahnya adalah untuk menciptakan
sistem kelembagaan yang ideal, sehingga tercipta kondisi kerja yang produktif,
harmonis, dinamis, dan berkeadilan.59
Pada dasarnya, tujuan hubungan industrial Pancasila adalah mengemban cita-
cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di dalam pembangunan
nasional, ikut mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Tujuan tersebut dicapai melalui penciptaan ketenangan,
ketentraman, ketertiban, kegairahan kerja serta produktivitas dan meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh serta derajatnya sesuai dengan martabat Indonesia.
58 Lihat juga Pasal 102 ayat (1).59 Adrian Sutedi, op. cit., hlm. 23.
45
Hubungan yang harmonis dan seimbang akan menyingkirkan konsep
pertimbangan kekuatan apalagi pertentangan. Selanjutnya yang akan
ditumbuhkembangkan adalah hubungan industrial yang dapat mewujudkan
peningkatan produktivitas sikap kebersamaan, kepatutan, dan rasa keadilan. Dengan
demikian, antara pekerja/buruh dan pengusaha tidak akan ada rasa saling bermusuhan
dalam proses produksi, tetapi saling menghormati, saling mengerti hak dan
kewajiban dalam proses, dan saling membantu untuk meningkatkan nilai tambah
perusahaan dalam menghadapi persaingan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Kasiyanto mengemukakan pendapat
yang membedakan antara hubungan industrial di Indonesia dengan negara lain.
Menurutnya, di Indonesia, hubungan pekerja/buruh dan pengusaha yang awalnya
seperti hubungan pekerja dan pembeli dimana penjual ingin menjual dengan harga
yang setinggi-tingginya sedangkan pembeli ingin membeli dengan harga yang
semurah mungkin, namun posisi pekerja/buruh sebagai penjual jasa posisinya sangat
lemah. Sementara di negara-negara barat hubungan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha bisa berbentuk kemitraan dan kompak dalam menjalankan usaha, bukan
karena di barat ada semacam Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Hal itu bisa
terjadi karena adanya peran pemerintah yang kuat dan berwibawa, yang mampu
mengawasi tawar-menawar antara pekerja/buruh dan pengusaha.60
60 Adrian Sutedi, Ibid, hlm. 24.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Suatu karya ilmiah dapat tersusun dari adanya penelitian baik itu secara
langsung turun ke lapangan maupun dengan mengolah data dari berbagai sumber
yang faktual. Penelitian untuk sebuah karya ilmiah terdiri dari dua macam cara
pendekatan, yaitu:
1. Penelitian secara empirik, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap masalah-
masalah hukum dalam tataran yang biasa disebut juga Law In Action (realitas
yang berkembang atau bekerjanya hukum).
2. Penelitian secara normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap substansi
atau kaidah-kaidah hukum yang biasa disebut Law In Book yang dimaksudkan
untuk mengetahui sejauh mana kelengkapan perangkat atau kaidah-kaidah
hukum sehingga mampu diimplikasikan kepada realitas.
Skripsi ini disusun atas rampungan data-data dan berbagai sumber dari karya
ilmiah hukum, literatur-literatur ilmiah serta media tulis dan media elektronik
lainnya, oleh sebab itu penulis tertarik dan lebih fokus kepada penelitian yang
bersifat empirik dan normatif.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan
dan PT. Dinar Mutiara Sakti yang beralamat di Jl. Sungai Pareman No. 46 dengan
47
bentuk penelitian wawancara dan kuisioner untuk penelitian yang penulis lakukan di
Universitas Hasanuddin dan wawancara serta pengumpulan data untuk penelitian
yang penulis lakukan di PT. Dinar Mutiara Sakti.
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis data terbagi atas dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang dikumpul oleh penulis atau dari wawancara langsung dan kuisioner.
Disebut data primer karena sebelumnya data ini belum ada tetapi diadakan oleh
penulis/peneliti dimana sumber data ini berasal dari responden. Sedangkan data
sekunder adalah data yang berupa dokumen-dokumen, bahan-bahan hukum yang ada
pada daerah penelitian. Data ini sudah ada dari instansi yang terkait dengan
penelitian penulis.
D. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah lokasi Universitas Hasanuddin
mencakup wilayah fakultas hukum, fakultas ekonomi, fakultas ilmu sosial dan
politik, baruga A. P. Pettarani, MKU, perpustakaan, fakultas teknik, fakultas MIPA,
fakultas pertanian, fakultas peternakan, fakultas kedokteran, rektorat, dan ramsis.
Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang cleaning service di Unhas.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian kali ini, penulis memilih melakukan teknik pengumpulan data
dengan cara sebagai berikut.
1. Wawancara langsung (interview) yang dilakukan pada narasumber.
48
2. Kuisioner dengan menggunakan teknik convinience sampling yang merupakan
teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan saja, anggota populasi yang
ditemui peneliti dan bersedia dan bersedia menjadi responden dijadikan
sampel.
F. Analisis Data
Analisis data adalah tahapan akhir dari pengolahan data. Penulis/peneliti
sendiri memilih menganalisis data secara kualitatif, yaitu menggunakan deskriptif
dan narasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
49
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 atas
Keberlakuan dan Pelaksanaan Sistem Kerja Outsourcing
Pertimbangan Mahkamah dalam pengujian materiil Undang-Undang ini
berdasarkan permohonan pemohon menitikberatkan pada permasalahan apakah
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan yang melaksanakan
pemborongan pekerjaan berdasarkan PKWT yang memperoleh pekerjaan dari suatu
perusahaan lain bertentangan dengan UUD 1945 serta apakah hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan yang menyediakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT
bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam kenyataannya praktik sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih
banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak
tetap/kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu), upah lebih rendah, jaminan sosial
kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya
jaminan pengembangan karier, dan lain-lain. Dengan demikian memang benar kalau
dalam keadaan seperti itu dikatakan praktik outsourcing akan menyengsarakan
pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial.
Fakta hukum dalam putusan menyebutkan bahwa dalam relasi
ketenagakerjaan/perburuhan dan dalam hubungan kerja, pekerja/buruh senantiasa
berada posisi yang lemah, karenanya sistem hukum ketenagakerjaan/perburuhan
50
yang harus dibangun di negara ini adalah sistem hukum ketenagakerjaan/perburuhan
yang melindungi (protektif) terhadap buruh/pekerja.
Pemohon merasa dirugikan dengan kebijakan legislasi yang tidak protektif
terhadap pekerja/buruh dalam Pasal 59 dan 64 UU No. 13 Tahun 2003 karena
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33
ayat (1).
Jika bercermin dengan realitas yang terjadi di masyarakat, kenyataan lainnya
menyatakan bahwa ribuan aktivitas pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh,
organisasi non pemerintah perburuhan dan aliansi-aliansi perburuhan di berbagai
tempat di Indonesia melakukan aksi menolak adanya perjanjian kerja untuk waktu
tertentu pekerja kontrak (pekerja kontrak) sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 59 dan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) sebagaimana
diatur dalam Pasal 64.
Pada dasarnya sistem kerja outsourcing tidak memungkinkan jika harus dalam
bentuk perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu karena hal tersebut akan
menyalahi sistematika bentuk kerja outsourcing yang implementasinya memanglah
harus dalam bentuk kerja waktu tertentu (kontrak) karena pekerjaan yang termasuk
outsourcing pada dasarnya adalah kerja-kerja yang tidak terjadi secara terus menerus
tapi hanya merupakan kerja penunjang atau bukan kerja utama sesuai dengan syarat-
syarat PKWT.
Dalam putusan ini disebutkan bahwa sistem kerja outsourcing yang dilakukan
dengan cara penyerahan sebagian pekerja kepada perusahaan lain sebagaimana diatur
51
dalam Pasal 64, pekerja/buruh ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan
begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika
tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian komponen upah sebagai salah satu dari
biaya-biaya (cost) bisa tetap ditekan seminimal mungkin. Perjanjian kerja waktu
tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, tidak adanya kelangsungan
pekerjaan karena seorang pekerja dengan Pekerjaan Waktu Tertentu pasti tahu bahwa
pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu,
akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain.
Memahami isi lain dari putusan tersebut, Pemohon berpendapat bahwa
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya menyebabkan para pekerja
kontrak/outsourcing akan kehilangan jaminan atas kelangsungan kerja bagi
pekerja/buruh (kontinuitas pekerjaan), kehilangan hak-hak dan jaminan kerja yang
dinikmati oleh para pekerja tetap, serta kehilangan hak-hak yang seharusnya diterima
pekerja sesuai dengan masa kerja pegawai karena ketidakjelasan penghitungan masa
kerja.
Jika dikaitkan dengan konstitusi, jelas bahwa outsourcing ini memaksakan
adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya,
yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah,
pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa pekerja hanya dianggap sebagai
barang saja bukan sebagai subjek hukum. Perbudakan terhadap outsourcing ini
mutlak, karena disini perusahaan penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual
manusia kepada user dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan
menjual manusia.
52
Pertimbangan pemerintah dalam hal ini bahwa pemohon menjelaskan dan
membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar pemohon sebagai pihak yang
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat
bahwa tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
dirugikan atas berlakunya Undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Karena itu
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan perjanjian ini tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasl 51 UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi terdahulu.
Pemerintah juga berpendapat bahwa ketentuan yang dimohonkan untuk diuji
adalah merupakan rangkaian aturan yang mendasari mekanisme penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (dikenal dengan istilah
outsourcing), sehingga jika ketentuan yang dimohon untuk diuji tersebut dikabulkan,
maka justru akan menimbulkan kerugian konstitusionalitas terhadap seluruh
pekerja/buruh termasuk Pemohon itu sendiri.
Telaah lebih jauh implementasi sistem kerja outsourcing pasca putusan ini
bahwa tidak menampik kemungkinan hal-hal yang lebih merugikan terhadap
pekerja/buruh akan bermunculan. Kemungkinan terbesar yang akan terjadi yaitu
pengurangan pekerja/buruh dalam suatu perusahaan secara besar-besaran. Seperti
halnya yang dikhawatirkan Haryadi Sukamdani, Ketua Bidang Pengupahan dan
Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan bahwa
perusahaan outsourcing harus melakukan karyawannya menjadi karyawan tetap yang
mengakibatkan biaya naik yang juga akan berpengaruh kepada perusahaan pengguna,
53
akibatnya bisa jadi kedepannya para pengusaha akan memilih untuk melakukan
impor produk dari negara-negara yang lebih murah dari pada mereka harus membuat
sendiri dengan risiko tenaga kerja yang makin mahal.61
Dampak pengaplikasian putusan ini dinilai juga akan memberi pengaruh
negatif seperti yang telah kita bayangkan jika misalnya biaya atau pengeluaran
perusahaan akan terus meningkat seiring pengalihaan tenaga kerja outsourcing
otomatis yang terjadi kemudian adalah tindakan pengurangan tenaga kerja oleh
perusahaan-perusahaan yang menggunakan tenaga kerja outsourcing ini dan akan
berakibat pada semakin bertambahnya jumlah pengangguran karena adanya
pemberhentian hubungan kerja secara besar-besaran.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi setelah mendengar kedua belah pihak
antar Pemohon Didik Suprijadi dan Pemerintah dalam Putusan Nomor
27/PUU-IX/2011, Mahkamah berpendapat bahwa norma yang mengatur perjanjian
kerja waktu tertentu dalam Pasal 59 UU No. 13 tahun 2003 tidak memberikan
jaminan kelanjutan kerja bagi pekerja/buruh, serta tidak memberikan jaminan atas
hak-hak pekerja/buruh yang lainnya. Menurut Mahkamah, PKWT sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 adalah jenis perjanjian kerja yang
dirancang untuk pekerjaan yang dimaksudkan hanya untuk waktu tertentu saja dan
tidak berlangsung untuk selamanya, sehingga hubungan kerja antara buruh dan
majikan akan berakhir begitu jangka waktu berakhir atau ketika pekerjaan telah
selesai dikerjakan.
61 Dalam jumpa pers di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Jumat (20/1/2012). Alamat website:[http://finance.detik.com/read/2012/01/20/175234/1821426/4/putusan-mk-soal-outsourcing-picu-pengurangan-tenaga-kerja. Diakses pada 27 Oktober 2012.
54
Menurut Mahkamah, sehubungan dengan jenis pekerjaan yang demikian, wajar
bagi pengusaha untuk membuat PKWT dengan pekerja/buruh, karena tidak mungkin
bagi pengusaha untuk terus mepekerjakan pekerja/buruh tersebut dengan tetap
membayar gajinya padahal pekerjaan sudah selesai dilaksanakan. Dalam kondisi
demikian pekerja/buruh tentu sudah harus memahami jenis pekerjaan yang akan
dikerjakannya dan akan menandatangani PKWT yang mengikat para pihak.
Perjanjian yang demikian tunduk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yang
mewajibkan para pihak yang menyetujui dan menandatangani perjanjian untuk
menaati isi perjanjian dalam hal ini PKWT.
Untuk melindungi kepentingan pekerja/buruh yang dalam keadaan lemah
karena banyaknya pencari kerja di Indonesia, peran Pemerintah menjadi sangat
penting untuk mengawasi terjadinya penyalahgunaan Pasal 59 Undang-Undang a
quo, misalnya melakukan PKWT dengan pekerja/buruh padahal jenis dan sifat
pekerjaannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan Undang-Undang. Lagipula jika
terjadi pelanggaran terhadap Pasal 59 Undang-Undang a quo hal itu merupakan
persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma yang dapat
diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain. Dengan demikian menurut
Mahkamah Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, menurut Mahkamah berdasarkan ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003, suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau melalui penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis
dengan syarat-syarat tertentu.
55
Pasal 65 Undang-Undang a quo mengatur syarat-syarat penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing dan Pasal 66 Undang-Undang
a quo mengatur outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh. Dengan begitu
Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut berdasarkan norma yang terkandung
dalam Pasal 65 dan pasal 66 Undang-Undang a quo adakah ketentuan-ketentuan
tersebut mengakibatkan terancamnya hak setiap orang dan hak-hak pekerja yang
dijamin oleh konstitusi dalam hal ini pekerja outsourcing dilanggar sehingga
bertentangan dengan UUD NRI 1945, yaitu hak yang diberikan oleh UUD NRI 1945
kepada setiap orang untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang
layak dalam hubungan kerja Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 dan hak setiap warga
negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Pasal 27 ayat
(2) UUD NRI 1945.
Mahkamah juga berpendapat bahwa sebelumnya outsourcing pernah
dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dengan Putusan
Nomor 12/PUU-I/200362 tanggal 28 Oktober 2004 menyebutkan bahwa berdasarkan
ketentuan tersebut, maka dalam hal buruh dimaksud ternyata dipekerjakan untuk
melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja dengan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh bukan merupakan bentuk usaha berbadan hukum, maka
demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia
jasa beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan
pemberi pekerjaan. Oleh karena itu, dengan memperhatikan keseimbangan yang 62 Perkara Nomor 12/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD NRI yang diajukan oleh Saepul Tavip. Dalam perkara pengujian Undang-Undang tersebut, amar putusan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dengan menyatakan bahwa UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 158, 159, 160 (1), 170 (kecuali 158 (1)), 171 (158 (1)), 186 (137 & 138(1)) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menolak permohonan pemohon untuk selebihnya.
56
perlu dalam perlindungan terhadap pengusaha, pekerja/buruh dengan masyarakat
secara selaras, dalil dari Pemohon tidak cukup beralasan,
Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa yang
melaksanakan pekerjaan pada perusahaan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 64
sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan
syarat-syarat yang sama perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat
perjanjian kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia maka perlindungan hak-
hak pekerja/buruh sesuai dengan aturan hukum dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu menyebabkan sistem outsourcing
merupakan modern slavery atau perbudakan zaman modern.
Selanjutnya Mahkamah sependapat dengan permohonan Pemohon bahwa pada
kenyataannya tidak ada jaminan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja
dilaksanakan sebagaimana telah disebutkan pada Pasal 65 ayat (4) a quo. Dengan
demikian, ketidakpastian nasib pekerja/buruh sehubungan dengan pekerjaan
outsourcing tersebut, terjadi karena Undang-Undang a quo tidak memberi jaminan
kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan
serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi
pekerja/buruh untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan to protect the
workers/laborers terabaikan.
57
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari
suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Namun, tidak terlepas dari hal
tersebut tetap harus mengutamakan aspek konstitusionalitas hak-hak pekerja yang
dilindungi oleh konstitusi dalam hubungan kerja antara perusahaan outsourcing
dengan pekerja/buruh.
Mahkamah harus memastikan bahwa hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan pekerjaan outsourcing
dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh, dan
penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan oleh perusahaan hanya untuk
kepentingan dan keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan, bahkan
mengorbankan hak-hak pekerja/buruh. Untuk itu Mahkamah menawarkan dua bentuk
outsourcing, pertama outsourcing tidak lagi berbentuk PKWT tapi “perjanjian kerja
waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan
bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing.
Mahkamah juga menekankan bahwa apabila pekerja outsourcing tersebut
diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan pemberi jasa pekerja, maka para
pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu
kepada pengadilan hubungan industrial sebagai sengketa hak. Melalui prinsip
pengalihan perlindungan tersebut, kehilangan atau terabaikannya hak-hak
konstitusional pekerja outsourcing dapat dihindari.
58
Putusan yang menyebutkan telah mengabulkan sebagian permohonan
Pemohon. Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat berarti bahwa telah tertutup lagi bagi segala kemungkinan untuk
menempuh upaya hukum setelahnya. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam
sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat secara hukum (binding).63
Pertimbangan putusan tersebut bahwa Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat (9) serta Pasal 66 ayat (1),
ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf d, ayat (3), serta ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat
(2) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945
(conditionally unconstitutional). Adapun amar putusan sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Frasa“…perjanjian kerja waktu tertentu dalam Pasal 65 ayat (7)” dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau penyedia jasa pekerja/buruh.
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.64
63 Ahsan Yunus, Skripsi: Analisis Yuridis Sifat Final dan Mengikat (Binding) Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar, 19 September 2011, hlm. 68.
64 Baca Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.
59
Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka dua pasal yang ada di
UU No. 13 Tahun 2003 itupun berubah dengan dihilangkannya kalimat, ‘perjanjian
kerja waktu tertentu’ dan ‘perjanjian kerja untuk waktu tertentu.’ Bunyi dua pasal itu
menjadi:
Pasal 65 ayat (7):
Hubungan kerja sebagaimana dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
Pasal 66 ayat (2) huruf b
Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Dalam dua pasal itu terkandung kalimat perjanjian kerja waktu tertentu dan
perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Dua frasa itu yang bermakna outsourcing
sebelumnya disandingkan dengan kalimat perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Inti
putusan MK ini artinya tak lagi memberi kesempatan pada sebuah perusahaan untuk
memberikan pekerjaan yang sifat objeknya tidak tetap meskipun itu bersifat seperti
pengamanan, kurir dan lainnya. Alhasil bank-bank yang saat ini banyak
mempekerjakan teller atau costumer service dengan menggunakan sistem
outsourcing tidak dibenarkan lagi.65
Dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tersebut, upaya
perlindungan hukum bagi pekerja/buruh outsourcing kembali menjadi perhatian
akankah terealisasi dengan maksimal atau tidak. Sebagaimana kita ketahui bahwa
65 Dikutip pada laman website: http://www.tribunnews.com/2012/01/21/inilah-isi-lengkap-putusan-mk-soal-penghapusan-outsourcing. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2012.
60
akibat hukum yang timbul menurut ketentuan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi66 yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa wajar jika suatu perusahaan
berusaha menekan biaya, namun hal tersebut haruslah juga memperhatikan hak-hak
konstitusional pekerja/buruh outsourcing yang mereka kelola. Untuk itulah
Mahkamah Konstitusi menawarkan dua model outsourcing:
1) Dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan
yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja
waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak
tertentu (“PKWTT”).
2) Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja
yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan
perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan
PKWTT secara tertulis. Sehubungan dengan penawaran model outsourcing tersebut
hemat penulis bahwa hal tersebut malah akan bertentangan dengan sistem kerja
outsourcing dimana mencakup syarat-syarat kerja PKWT bahwa outsourcing
merupakan kerja penunjang yang bukan pekerjaan utama pada sebuah perusahaan.
Sementara model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan
perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan
66 Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN 4316.
61
perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan.67 Pada kenyataannya prinsip pengalihan tindakan yang berlangsung
saat ini bahwa masih banyak perusahaan yang hanya menggunakan tenaga kerja
outsourcing atas nama saja, perusahaan penyedia dan pemberi kerja tidak mengatur
lebih lanjut mengenai hal-hal perlindungan serta berbagai jaminan atau tunjangan
untuk para pekerja/buruh outsourcing. Hal ini jelaslah membuat kaum pekerja/buruh
outsourcing lemah kedudukannya di hadapan hukum sehingga jika terjadi hal-hal
yang dapat mengancam jiwa atau merugikan pekerja/buruh outsourcing, mereka
lemah bahkan tidak mampu untuk menuntut hak-haknya.
B. Study Kasus Perjanjian Kerja dan Praktik Sistem Outsourcing di
Universitas Hasanuddin
1. Perjanjian kerja antara pihak-pihak outsourcing
Hukum perjanjian merupakan hal paling utama dalam sistem kerja outsourcing
karena dari perjanjian atau kontrak antara para pihak inilah yang menentukan segala
jaminan dan hak-hak pekerja/buruh seperti yang telah dijelaskan Mahkamah dalam
pendapatnya melalui berbagai pertimbangan hukum yang menekankan pentingnya
hak-hak konstitusional para pekerja/buruh itu terjamin dan tidak disalahgunakan oleh
perusahaan yang hanya akan mengambil keuntungan semata dengan modus efisiensi
biaya.
Dari hasil penelitian, kenyataannya implementasi dari putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tersebut dikesampingkan oleh pihak penyedia
67 Dikutip pada laman website: http://www.hukumonline.com/klinik/detail /lt4f2186f3b9d1b/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-outsourcing-pasca-putusan-mk. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013.
62
jasa PT. Dinar Mutiara Sakti (PT. DMS red). Diakuinya oleh pihak PT. DMS sendiri
yang diwakili oleh Doniella S selaku Manajer Operasional PT. DMS menuturkan
bahwa dulunya memang ada tapi sekarang tidak ada kontrak secara tertulis yang
mereka buat untuk mengikat perusahaan mereka dengan pihak pekerjanya yaitu
cleaning service di Unhas. Alasannya bahwa pertimbangan biaya yang harus
dikeluarkan untuk pembuatan berulang-ulang kontrak perjanjian tersebut dikarenakan
tidak konsistennya pekerja/buruh cleaning service yang kadangkala hengkang dan
tidak lagi melanjutkan pekerjaannya dan hanya datang bekerja untuk waktu
seminggu atau waktu-waktu tertentu.68
Kontrak perjanjian hanya dilakukan antara pihak pemberi kerja Unhas dengan
pihak penyedia jasa PT. DMS dengan durasi waktu kontrak selama 1 (satu) tahun.
Selama setahun tersebut pihak pemenang tender untuk selanjutnya bertindak sebagai
pihak penyedia jasa akan bertanggung jawab penuh atas kinerja cleaning service di
Unhas selama setahun waktu kontrak tersebut. Pertanggung jawaban pihak penyedia
jasa PT. DMS mencakup pendapatan dan hal lainnya yang berkaitan dengan kinerja
pekerja cleaning service. Tapi berdasarkan hasil wawancara, tidak ada jaminan sosial
ataupun tunjangan-tunjangan lain yang bisa diperoleh cleaning service ini. Menurut
Doniella, secara rasional kerja-kerja outsourcing bukan kerja-kerja yang berbahaya
kecuali jika seandainya harus membersihkan kaca jendela sebuah gedung pencakar
langit maka hal demikian pasti ada asuransi dan jaminan tersendirinya, jadi tidak ada
jaminan sosial yang diberikan. Untuk itulah pentingnya sosialisasi awal saat
68 Wawancara Doniella S, Manajer Operasional PT. Dinar Mutiara Sakti. Jumat, 8 Februari 2013.
63
perekrutan, PT. DMS telah terbuka kepada pekerjanya melakukan pemberitahuan
demikian.69
Sistem kontrak yang dilakukan oleh Unhas untuk mendapatkan mitra kerja
dalam hal menangani urusan cleaning service juga dapat dikatakan sebagai
perbudakan modern. Menggunakan sistem lelang dengan membuka penawaran
kepada perusahaan luar dengan cleaning service sebagai objek lelangnya, kemudian
satu per satu perusahaan-perusahaan yang tertarik mengajukan penawaran termasuk
harga pembayaran yang nantinya juga akan disalurkan sebagai gaji pekerja cleaning
service dengan melalui berbagai tahap pemotongan gaji baik itu pajak, pakaian untuk
cleaning service, peralatan yang akan mereka gunakan, serta alasan tunjangan
lainnya.
Untuk pembukaan tender di tahun ini yang dilakukan pada tanggal 21
Desember 2012 lalu, Unhas membuka penawaran dengan nilai pagu sebesar
4.650.000.000,00 dan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) sebesar 4.639.080.138,00.
Sebanyak 17 (tujuh belas) perusahaan mengajukan penawaran tetapi hanya 5 (lima)
perusahaan yang lulus berkas dan sampai pada tahap akhir pemilihan pemenang.
Berikut adalah daftar nama perusahaan penawar dengan jumlah penawaran
berdasarkan evaluasi kewajaran harga berita acara hasil pelelangan :
Tabel 1. Evaluasi Kewajaran Harga
69 Tambahan wawancara Doniella S, Manajer Operasional PT. Dinar Mutiara Sakti. Jumat, 8 Februari 2013.
64
No Nama PenyediaHarga
Penawaran(Rp)
HargaPenawaranTerkoreksi
(Rp)
Ket.
1 PT Riztechindo 4.451.601.000 4.451.601.000 Lulus
2PT Dinar Mutiara
Sakti3.874.332.000 3.874.332.000 Lulus
3PT Triwana Graha
Utama3.762.936.000 3.762.936.000 Lulus
4CV Mitra Usaha
Sukses4.577.727.000 4.577.727.000 Lulus
5CV Swasembada Utama Mandiri
3.900.204.000 3.900.204.000 Lulus
Sumber : Data dan Perlengkapan Rektorat Unhas Tahun 2012
Pada akhirnya pihak PT. Dinar Mutiara Sakti keluar sebagai pemenang tender
dengan berbagai pertimbangan oleh pihak panitia pelelangan penyedia jasa cleaning
service Unhas. Menurut Morexs Rein, Kabag Tata Usaha dan Rumah Tangga
Rektorat Unhas saat ditemui di ruangannya, menuturkan bahwa pertimbangan kenapa
memilih PT. DMS sebagai mitra kerja penyedia jasa cleaning service ini karena
alasan kinerja perusahaan tahun kemarin yang kurang memuaskan. Perusahaan yang
dimaksud tersebut adalah PT. Riztechindo, tetapi secara nyata anggapan beberapa
cleaning service mengenai perusahaan tersebut memberi mereka harapan lebih,
terutama gaji yang lebih tinggi daripada perusahaan yang menaungi mereka
sekarang. Namun, Morexs Rein membantah hal tersebut, diakuinya bahwa cleaning
service kadangkala selalu mengatakan hal demikian jika perusahaan tahun
sebelumnya sudah terganti dengan yang baru.70
70 Wawancara Morexs Rein, Kabag Tata Usaha dan Rumah Tangga Rektorat Unhas, Kamis, 7 Februari 2013.
65
Jelaslah bagaimana penerapan hukum perjanjian antara para pihak outsourcing
di Universitas Hasanuddin ini masih saja terdapat celah mengesampingkan hak-hak
konstitusional pekerja/buruh sebagaimana yang dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi
dalam putusan outsourcing. Hal tersebut kenyatannya tak luput dari pertentangan
antara das Sein dan dan Sollen, sebagaimana disebutkan kini71 dalam Pasal 66 ayat
(2) huruf b yang menyebutkan:
“Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.”
Dalam kenyatannya, antara pihak penyedia jasa PT. DMS tidak membuat
perjanjian kerja secara tertulis dengan pihak pekerjanya yaitu cleaning service Unhas
sehingga hal tersebut telah menyalahi perUndang-Undangan sebagaimana hasil
putusan Mahkamah Konstitusi yang melegalkan hal tersebut agar sejalan dengan
prinsip membangun kesejahteraan umum atau pekerja/buruh pada khususnya dan
keadilan sosial seperti yang digariskan di dalam pembukaan UUD 1945.
2. Praktik sistem outsourcing pada buruh cleaning service
Dari hasil penelitian penulis dengan mengadakan kuisioner dengan teknik
penelitian convinience sampling, penulis menemukan beberapa permasalahan penting
dalam praktik sistem outsourcing pada buruh cleaning service Unhas yang dalam
kenyataannya sebagian besar dari mereka, bahkan masih sangat asing dengan sebutan
71 Perubahan Pasal 66 ayat (2) huruf b tersebut berdasarkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 dengan maksud bahwa hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak tertentu” secara tertulis.
66
pekerja/buruh outsourcing yang selama ini mereka tekuni sebagai pekerjaan harian
mereka.
Hasil yang telah diperoleh ketika dimintai tanggapan mereka tentang sistem
kerja outsourcing ini bisa kita lihat dalam diagram presentase jawaban berikut :
Diagram 1 Diagram 2
Ket. Sampel (X) = 50 Ket. Sampel (X) = 50
Dari diagram 1 seperti yang kita lihat di atas menunjukkan bahwa berdasarkan
data responden cleaning service Unhas sebagian besar yaitu sebanyak 46%
menjawab kurang puas dengan sistem kerja outsourcing, tapi pada pokok
permasalahan yang sama, beberapa di antaranya juga menjawab puas sekali dengan
tanpa komentar apapun.
Hal yang mereka anggap kurang memuaskan ini berimplikasi pada keluhan-
keluhan responden saat dimintai tanggapan kendala-kendala apa saja yang mereka
dapatkan dengan sistem kerja seperti ini. Kendala gaji seperti yang dapat kita lihat
pada diagram 2 adalah keluhan terbanyak selama penelitian berlangsung. Selain itu
keluhan lain seperti fasilitas yang kurang memadai, jam kerja yang berlebihan,
fasilitas yang kurang, dan tidak adanya jaminan kerja menjadi kendala responden
berikutnya yang banyak dikeluhkan.
67
Puas Sekali10%
Puas22%
Kurang Puas46%
Tidak Puas22%
BAGAIMANA Tanggapan ANDA terhadap sistem KERJA outsourcing?
T i d a k J a w a b
T i d a k A d a J a m i n a n K e r j a
T i d a k P r o f e s i o n a l
J a m K e r j a B e r l e b i h a n
F a s i l i t a s T i d a k M e m a d a i
G a j i
20%
2%
4%
6%
10%
58%
Apa k e nda l a y a ng s e l a m a i ni di ha da pi da l a m s i s t e m k e r j a
out s ourc i ng ?
Jumlah pendapatan yang selalu menjadi keluhan cleaning service tersebut
dapat kita lihat dalam diagram 3 pendapatan berikut ini :
Diagram 3
Ket. Sampel (X) = 50
Keluhan pendapatan terbanyak adalah berada di kisaran Rp.600.000–
Rp.1.000.000, namun secara pasti pendapatan terbanyak mereka berada di kisaran
Rp.600.000–Rp.700.000. Selain itu, mereka juga menegaskan bahwa pendapatan
tersebut tidak termasuk uang makan selama jam kerja mereka dan akan ada beberapa
potongan gaji jika tidak masuk kerja meskipun itu karena alasan sakit atau alasan
lainnya.
Sementara untuk tunjangan lain yang mereka peroleh, responden lebih banyak
menjawab ’tidak ada’ daripada yang menjawab ’ada’. Berdasarkan data hasil pada
diagram 4 di bawah ini, sebanyak 90% menjawab tidak mendapat tunjangan sama
sekali dari pihak manapun baik itu pihak Unhas, pihak fakultas, ataupun pihak bagian
lainnya.
Diagram 4
68
R p . 1 . 0 0 0 . 0 0 0 - R p . 1 . 5 0 0 . 0 0 0
R p . 6 0 0 . 0 0 0 - R p . 1 . 0 0 0 . 0 0 0
R p . 1 0 0 . 0 0 0 - R p . 5 0 0 . 0 0 0
2%
82%
16%
B e ra pa k a h J um l a h Pe nda pa ta n A nda ?
T i d a k J a w a b
A d a
T i d a k A d a
2%
8%
90%
A pakah Anda Me ndapat Tunjangan lainnya?
Ket. Sampel (X) = 50
Berdasarkan data hasil convinience pleming, penulis juga mendapati bahwa
sistem kerja outsourcing di Unhas sendiri masih menggunakan sistem kontrak atau
dengan kata lain perjanjian kerja waktu tertentu padahal hal tersebut telah di putus
oleh Mahkamah berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-IX/2011 dalam Pasal 66 ayat (2) UU 13 Tahun 2003 bahwa suatu hubungan
kerja outsourcing dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak
berbentuk kerja waktu tertentu melainkan kerja untuk waktu tidak tertentu, hal ini
dapat kita buktikan dalam diagram 5 di bawah ini :
Diagram 5
Ket. Sampel (X) = 50
Diagram di atas menyebutkan bahwa durasi kontrak terbanyak antara pihak
penyedia jasa yaitu PT. DMS dan cleaning service di Unhas adalah selama 1 (satu)
69
T i d a k J a w a b
A d a
T i d a k A d a
2%
8%
90%
A pakah Anda Me ndapat Tunjangan lainnya?
T i d a k M e n e n t u
5 T a h u n
6 B u l a n
1 T a h u n
18%
2%
6%
74%
Be r apa lam a dur asi kont r ak yang dibe r ikan?
tahun, akan tetapi durasi kontrak tersebut bukanlah untuk pihak PT. DMS dan
cleaning service sebagaimana yang disebutkan tadi melainkan durasi kontrak antara
PT. DMS dan pihak pemberi kerja Universitas Hasanuddin. Dari pembahasan
sebelumnya pada penerapan hukum perjanjian telah dijelaskan bahwa antara pihak
PT. DMS dan cleaning service sama sekali tidak terikat kontrak secara tertulis karena
beberapa alasan yang tertera.72
Kembali pada pokok masalah dalam penyusunan skripsi ini bahwasanya
kedudukan pekerja/buruh outsourcing selalu lemah dan dikesampingkan hak
konstitusionalnya untuk berhak bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan
yang layak dalam hubungan kerja seperti yang disebutkan dalam Konstitusi Pasal
28D ayat (2) dan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan seperti yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Maka
berangkat dari dasar konstitusi inilah responden menaruh berbagai harapan mengenai
sistem kerja outsourcing, sebagaimana dapat kita lihat dalam diagram 6 di bawah.
Diagram 6
Ket. sampel (X) = 50
Secara garis besar, permasalahan peningkatan gaji masih menjadi suara
terbanyak oleh para responden, sedangkan suara agar outsourcing dihapuskan juga
banyak terpikirkan oleh pekerja/buruh outsourcing ini dengan alasan yang beragam
dan salah satunya berpendapat bahwa mereka dirugikan karena adanya sistem 72 Lihat hlm. 64-65.
70
T i d a k J a w a b
J a n g a n A d a P e m o t o n g a n G a j i
D i h a p u s k a n
T i n g k a t k a n G a j i
18%
2%
22%
58%
A pa Har apan A nda Te r hadap Sist e m Ke r ja Out sour cing?
outsourcing yang kadangkala digunakan penguasa untuk menekan orang kecil seperti
mereka.
Meskipun demikian, jika banyak pertimbangan yang membuat outsourcing
tidak dapat dihapuskan maka sebaiknya pemerintah bisa tegas dalam mengawal
bentuk pengaplikasian sistem kerja outsourcing. Jangan sampai hanya digunakan
sebagai modus efisiensi pengeluaran oleh perusahaan yang hanya fokus pada manfaat
bagi perusahaannya saja tanpa mengindahkan hak-hak sosial pekerja/buruh.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
71
Berdasarkan pembahasan rumusan masalah dan hasil dari penelitian, ada
beberapa pokok penting yang dapat ditarik sebagai kesimpulan skripsi ini, yaitu
sebagai berikut :
1. Hasil putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 mengenai
perubahan atas Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b tentang
outsourcing secara garis besar menawarkan sistem kerja outsourcing yang
dianggap konstitusional sepanjang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja waktu
tidak tertentu yang dibuat secara tertulis serta menerapkan prinsip pengalihan
tindakan agar pekerja/buruh tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya.
2. Lemahnya penerapan hukum perjanjian sistem kerja outsourcing yang
seyogianya berada dalam lingkup terpelajar Universitas Hasanuddin. PT. DMS
sebagai perusahaan penyedia jasa tidak mengadakan perjanjian kontrak secara
tertulis antara perusahaan mereka dengan pekerja cleaning service dengan
beberapa pertimbangan. Hanya ada satu perjanjian antara PT. DMS dengan
Unhas sebagai pihak pemberi kerja, namun isi perjanjian itupun sama sekali
tidak mengatur mengenai jaminan hak-hak sosial pekerja.
B. Saran
Adapun saran yang penulis ajukan pada skripsi ini dengan merujuk pada
beberapa subjek hukum, yaitu :
72
1. Kepada Pemerintah agar kiranya tegas mengawal pengaplikasian hukum secara
maksimal terkhusus untuk pengaplikasian sistem kerja dengan cara
outsourcing berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-IX/2011 tentang outsourcing ini.
2. Kepada pihak-pihak outsourcing terutama pihak penyedia jasa yang dalam hal
ini PT. Dinar Mutiara Sakti agar lebih memperhatikan hak-hak konstitusi
pekerja/buruh cleaning service di Unhas dengan membuat perjanjian kontrak
yang secara tertulis agar posisi pekerja cleaning service tidak lagi lemah di
hadapan hukum.
3. Kepada pihak pemberi kerja Universitas Hasanuddin agar lebih rasional lagi
dalam melaksanakan sistem kerja outsourcing. Jangan mengenyampingkan
jaminan kerja dan hak-hak pekerja cleaning service ataupun pekerja/buruh
outsourcing lainnya di kampus ini hanya demi melakukan efisiensi biaya
pengeluaran.
4. Kepada pihak cleaning service sendiri ataupun seluruh pekerja/buruh
outsourcing utamanya di kampus Universitas Hasanuddin agar jangan takut
untuk menyuarakan pendapat jika dalam kenyataannya hal tersebut adalah hak-
hak yang seharusnya anda dapatkan. Diam bukan berarti emas, maka dari itu
anda sendiri yang bisa mengubah keberadaan dan kedudukan anda sebagai
pekerja.
73