NAKER

115
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai individu yang memiliki akal, setiap manusia memiliki pemikiran yang sama untuk melakukan yang terbaik dan menerima hasil yang terbaik pula atas hasil kerja kerasnya. Salah satu usaha dari setiap orang untuk meraih sesuatu atau mengatasi kesulitan hidup adalah dengan berusaha memperbaiki garis kehidupannya, berusaha menafkahi diri, dan berusaha melawan kerasnya alur kehidupan yang timbul akibat biaya kehidupan yang semakin meningkat. Pekerja/buruh merupakan golongan orang yang bekerja di bawah perintah majikan. Dominan penduduk di negara kita ini berprofesi sebagai pekerja/buruh di berbagai bidang apapun. Meskipun demikian, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di dunia yang juga diakibatkan oleh besarnya jumlah pengangguran tiap tahunnya. 1

description

NAKER

Transcript of NAKER

Page 1: NAKER

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai individu yang memiliki akal, setiap manusia memiliki pemikiran yang

sama untuk melakukan yang terbaik dan menerima hasil yang terbaik pula atas hasil

kerja kerasnya. Salah satu usaha dari setiap orang untuk meraih sesuatu atau

mengatasi kesulitan hidup adalah dengan berusaha memperbaiki garis kehidupannya,

berusaha menafkahi diri, dan berusaha melawan kerasnya alur kehidupan yang

timbul akibat biaya kehidupan yang semakin meningkat.

Pekerja/buruh merupakan golongan orang yang bekerja di bawah perintah

majikan. Dominan penduduk di negara kita ini berprofesi sebagai pekerja/buruh di

berbagai bidang apapun. Meskipun demikian, Indonesia masih menjadi salah satu

negara dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di dunia yang juga diakibatkan

oleh besarnya jumlah pengangguran tiap tahunnya.

Industrialisasi dan pembangunan ekonomi menjadi salah satu strategi dari

bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Industrialisasi

sendiri akan menghasilkan manusia-manusia warga negara yang mencoba meraih

kesejahteraannya, yaitu mereka yang tidak punya apa-apa selain tenaganya untuk

dijual guna mendapat upah untuk hidup. Mereka inilah yang disebut dengan

pekerja/buruh, dalam hal ini negara mau tidak mau harus terlibat dan bertanggung

jawab terhadap soal perburuhan/ketenagakerjaan demi menjamin agar pekerja/buruh

dapat terlindungi hak-haknya, sebagaimana yang telah dijamin dalam Undang-

1

Page 2: NAKER

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi

(highest law).

Suatu pekerjaan telah menjadi kebutuhan tiap orang, hal inilah yang menjadi

dasar pemikiran negara yang diamanatkan dalam konstitusi negara kita pada Pasal 27

ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan:

”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Dari amanat konstitusi tersebut, jelaslah negara berkewajiban untuk

mendukung segala hal yang berkaitan dengan pemenuhan kesejahteraan serta

melayani dan melindungi rakyatnya yang dalam hal ini adalah pekerja/buruh sebagai

penentuan berputarnya roda ekonomi satu negara dalam proses ekonomi.

Berangkat dari amanah konstitusi tersebut di atas, seorang petugas pembaca

meter listrik bernama Didik Suprijadi, mengajukan permohonan pengujian Undang-

Undang ke Mahkamah Konstitusi. Uji materiil Undang-Undang yang dimaksud

terhadap UUD NRI 1945 adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan1, yaitu Pasal 59 yang mengatur tentang perjanjian kerja waktu

tertentu (pekerja kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (outsourcing) yang memiliki

dampak langsung dan tidak langsung kepada semua pekerja/buruh kontrak dan

pekerja/buruh outsourcing yang ada di Indonesia dan sangat merugikan hak-hak

konstitusionalnya yang diatur dalam UUD NRI 1945, yaitu mengenai hak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk bekerja serta

1 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279

2

Page 3: NAKER

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan hak

atas kesejahteraan dan kemakmuran.

Dalam kenyataannya, sistem kerja dengan cara outsourcing ini lebih banyak

merugikan kaum pekeja/buruh dengan tidak mengindahkan hak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak, padahal hakikat sejak awal berdirinya negara ini telah

menetapkan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak tersebut serta hak untuk

bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan

kerja sebagai hak asasi manusia warga negara sesuai dengan apa yang termuat di

dalam UUD NRI 1945.

Warga negara umumnya dan pekerja/buruh khususnya harus mendapatkan hak

konstitusional berupa penghidupan yang layak yang dapat diperolehnya dari

pekerjaan serta imbalan dan perlakuan yang adil dan layak yang harus diterima

dalam hubungan kerja. Dalam relasi perburuhan/ketenagakerjaan dan dalam

hubungan kerja, pekerja/buruh senantiasa berada pada posisi yang lemah, karenanya

sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang harus dibangun di negara ini adalah

sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang melindungi setiap pekerja/buruh.

Dalam hal ini pemerintah harus dapat memainkan peran untuk menjamin

perlindungan terhadap pekerja/buruh, dengan secara aktif terlibat dalam isu

perburuhan/ketenagakerjaan dengan didukung legislasi perUndang-Undangan

perburuhan/ketenagakerjaan. Namun sayang, kenyataannya kebijakan legislasi yang

protektif terhadap pekerja/buruh tidak tercermin dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama Pasal 59 dan Pasal 64 bahkan

3

Page 4: NAKER

bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD

NRI 1945.

Berbagai alasan muncul melatarbelakangi permohonan pengajuan Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini. Sebagian di antaranya

yaitu sebagai dasar penekanan terhadap efisiensi secara berlebihan untuk semata-

mata meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui

kebijakan upah murah, akibatnya, yaitu hilangnya keamanan kerja (job security) bagi

pekerja/buruh Indonesia, karena sebagian besar pekerja/buruh tidak akan lagi

menjadi pekerja/buruh tetap, melainkan menjadi pekerja/buruh kontrak yang akan

berlangsung seumur hidupnya.

Selain itu, alasan lainnya ialah bahwa status sebagai pekerja/buruh kontrak ini

pada kenyataannya berarti juga hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja,

jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang

mempunyai status sebagai pekerja/buruh tetap, yang dengan demikian amat potensial

menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja/buruh.

Suatu pandangan yang realistis bahwa dalam hubungan kerja berdasarkan

perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 dan outsourcing sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003, pekerja/buruh dilihat semata-mata sebagai

komoditas atau barang dagangan di sebuah pasar tenaga kerja dan juga pekerja/buruh

ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila

dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi.

4

Page 5: NAKER

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah fokus pada kajian terhadap

perlindungan hak-hak buruh/pekerja yang bekerja dengan sistem outsourcing dengan

mencakup dua aspek utama, yaitu :

1. Bagaimana keberlakuan dan pelaksanaan sistem kerja outsourcing dalam

mengatur kesejahteraan pekerja/buruh outsourcing pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011?

2. Bagaimana idealnya perjanjian kerja dan praktik sistem outsourcing antara

perusahaan penyedia jasa dan perusahaan pemberi kerja, serta pekerja/buruh

cleaning service di Universitas Hasanuddin.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Mengiringi latar belakang serta permasalahan sebelumnya, diharapkan tulisan

ini mampu menjawab dan mengungkap persoalan melalui pembahasan yang mudah

dimengerti dan terarah dengan baik. Untuk mewujudkan semua itu, ada beberapa

tujuan dan nilai guna yang ingin dicapai, antara lain:

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini ialah mencakup sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji keberlakuan sistem kerja outsourcing agar mampu

memperhatikan hak pekerja/buruh serta pelaksanaannya dalam mengatur

kesejahteraan pekerja/buruh outsourcing pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 27/PUU-IX/2011.

5

Page 6: NAKER

2. Untuk mengetahui idealnya perjanjian kerja dan praktik sistem outsourcing

antara perusahaan penyedia jasa dan perusahaan pemberi kerja serta

pekerja/buruh cleaning service di Universitas Hasanuddin.

Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan dari penulisan dan pembahasan skripsi ini yaitu sebagai

berikut :

1. Hasil penelitian ini diharapkan agar bisa menjadi bahan pertimbangan oleh

Pemerintah untuk serius mengawal pengaplikasian Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 sesuai dengan apa yang diharapkan.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan agar bisa menjadi bahan referensi bagi

pihak-pihak yang ingin mengkaji hal yang sama.

6

Page 7: NAKER

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang

Hukum acara di Mahkamah Konstitusi mempunyai corak dan tata beracara

yang berbeda dibandingkan dengan hukum acara di pengadilan lain. Karena pada

hakikatnya, perkara pengujian Undang-Undang ini tidaklah berkenaan dengan pihak-

pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain, tetapi menyangkut

kepentingan kolektif semua orang dalam kehidupan bersama sebagai bangsa. Begitu

pula dengan sistem pembuktian dan ragam alat buktinya, proses pemeriksaan

pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi mempunyai pengaturan dan

penerapan tersendiri yang berbeda apabila dibandingkan dengan hukum acara pidana

dan perdata.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 bahwa kewenangan Mahkamah

Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD, selain itu

kewenangan lainnya yaitu memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan

memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ini

berlaku mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.2

Selain itu, berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi3 beserta penjelasannya menyatakan bahwa Undang-

2 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3 Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.

7

Page 8: NAKER

Undang yang dapat diuji adalah Undang-Undang yang diundangkan setelah

perubahan pertama UUD 1945 yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999.

Fungsi pengujian Undang-Undang ini kemudian dikenal sebagai judicial

review meski secara teknis pengujian Undang-Undang terhadap UUD oleh

Mahkamah Konstitusi ini biasa juga disebut constitutional review sedangkan judicial

review lebih ke arah pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh

Mahkamah Agung, tetapi keduanya secara umum disebut judicial review dalam arti

pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial.4

Sebagai produk politik sangat mungkin isi Undang-Undang bertentangan

dengan UUD sejalan dengan pemerintahan Orde lama dan Orde Baru, banyak sekali

Undang-Undang yang dipersoalkan karena bertentangan dengan konstitusi dan lebih

mencerminkan kehendak politik sepihak pemerintah yang intervensionis, tetapi tidak

ada lembaga yang dapat mengujinya.5 Jika suatu peraturan dianggap bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi maka untuk memastikan keabsahannya dilakukan

melalui pengujian oleh lembaga yudisial.

Istilah pengujian itu sendiri mencakup uji materil dan uji formal. Uji materil

dilakukan berkenaan dengan isinya yang dianggap bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi atau dengan kata lain materi muatan Undang-

Undang sedangkan uji formal dilakukan berkenaan dengan prosedurnya yang

dianggap melanggar atau salah atau dapat pula dikatakan sebagai pengujian atas

pembentukannya.

4 Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, cetakan ke II, 2010), hlm, 64.5 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, cetakan ke II, 2011), hlm. 99.

8

Page 9: NAKER

Sri Soemantri menjelaskan bahwa jenis pengujian Undang-Undang secara

formal merupakan wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif, seperti

Undang-Undang misalnya terjelma melalui cara-cara (prosedure) sebagaimana telah

ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.6

Selanjutnya pengujian materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan kemudian

menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu

(verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.7

Dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan pengujian kepada

Mahkamah Konstitusi, memungkinkan dapat dijalankanya fungsi kontrol hukum

(legal controle) terhadap undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah.

Dengan kewenangannya ini, Mahkamah Konstitusi menjadi benteng dalam menjaga

dan mempertahankan keadilan, dalam arti mengoreksi undang-undang yang dibuat

oleh Pemerintah dan DPR yang mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan

masyarakat. Hal tersebut menjadikan dan/atau menunjukkan bahwa Mahkamah

Konstitusi mempunyai peranan strategis dalam menjaga dan mempertahankan

prinsip-prinsip negara hukum.

1. Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Objek pengujian yang diuraikan disini adalah regeling8 baik yang berbentuk

legislasi berupa legislative acts ataupun yang berbentuk regulasi berupa executive

6 Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 6. 7 Ibid, hlm. 11.8 Merupakan objek pengujian sebagai hasil kegiatan pengaturan dalam Bahasa Belanda.

9

Page 10: NAKER

acts. Peraturan perundangan yang diajukan untuk dilakukan pengujian secara

materiil oleh Mahkamah Konstitusi karena mengandung muatan yang bertentangan

dengan UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan9 oleh Pemohon, Didik Suprijadi yang dalam hal ini bertindak atas

nama Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik

(AP2ML) Indonesia, dengan materi pokok uji materi sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59

Ayat (1): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk

pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya

akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya,

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak

terlalu lama dan paling lama tiga tahun.

c. Pekerjaan yang bersifat musiman atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau

produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Ayat (2): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk

pekerjaan yang bersifat tetap”.

Ayat (3): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau

diperbaharui”.

9 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.

10

Page 11: NAKER

Ayat (4): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka

waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh

diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun”.

Ayat (5): “Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja untuk

waktu tertentu tersebut, paling lama tujuh hari sebelum perjanjian kerja waktu

tetentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada

pekerja/buruh yang bersangkutan”.

Ayat (6): “Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan

setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya perjanjian kerja

untuk waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja untuk waktu

tertentu ini hanya boleh dilakukan satu kali dan paling lama dua tahun”.

Ayat (7): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5)

dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja untuk waktu tidak

tertentu”.

Ayat (8): “Hal-hal yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut

dengan keputusan menteri”.

2. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menyatakan,

"Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau

penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis".

3. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

11

Page 12: NAKER

Ayat (1): “Penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain

dilaksanakan melalu perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara

tertulis”.

Ayat (2): “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi

pekerjaan;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung”.

Ayat (3): “Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

berbentuk badan hukum”.

Ayat (4): “Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada

perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya

sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan

pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

Ayat (5): “Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana diatur

pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri”.

Ayat (6): “Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara

perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya”.

12

Page 13: NAKER

Ayat (7): “Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat

didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja

waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 59”.

Ayat (8): “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat

(3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh

dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja

pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan”.

Ayat (9): “Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi

pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja

pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja

sebagaimana dimaksud pada ayat (7)”.

4. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

Ayat (1): “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak

boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau

kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk

kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung

dengan proses produksi”.

Ayat (2): “Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau

kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus

memenuhi syarat sebagai berikut:

a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh;

13

Page 14: NAKER

b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana

dimaksud dalam huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau

perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan

ditandatangani oleh kedua belah pihak;

c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan

yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

dan

d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan

lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat

secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang ini”.

Ayat (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan

hukum dan memiliki ijin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan”.

Ayat (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)

huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum

status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

perusahaan pemberi pekerjaan.

5. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".

14

Page 15: NAKER

6. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak untuk

bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam

hubungan kerja".

7. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Perekonomian disusun sebagai

usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan".

2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

Perkara Konstitusi di Mahkamah konstitusi disebut sebagai perkara

permohonan, bukan gugatan karena perkara konstitusi tersebut pada dasarnya tidak

berkenaan dengan pihak-pihak yang yang saling bertabrakan kepentingan atau

pribadi seperti perkara perdata, pidana ataupun tata usaha negara. Perkara yang

dimohonkan sebagai pengujian Undang-Undang ini mencakup kepentingan semua

orang dalam atau kolektif secara luas dalam kehidupan bersama. Maka subjek hukum

berperkara di Mahkamah Konstitusi disebut sebagai Pemohon dan bukan

Penggugat.10

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya

Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

diatur dalam Undang-Undang;

10 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 45.

15

Page 16: NAKER

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

Maka dengan itu Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD

1945 adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal

59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (pekerja kontrak) dan

Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lainnya (outsourcing) yang memiliki dampak langsung dan tidak

langsung kepada semua buruh/pekerja kontrak dan buruh/pekerja outsourcing yang

ada di Indonesia dan sangat merugikan hak-hak konstitusionalnya yang diatur dalam

UUD 1945, yaitu mengenai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan11, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil

dan layak dalam hubungan kerja12 dan hak atas kesejahteraan dan kemakmuran.13

Sedang menurut Pemerintah, anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa

ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut telah menimbulkan kekhawatiran,

kecemasan terhadap Pemohon dalam rangka memperoleh pekerjaan dan penghidupan

Iayak yang pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjangan sosial bagi Pemohon

dan berdampak pada pertumbuhan perekonomian yang berdasarkan atas asas

kekeluargaan adalah tidak tepat dan hanya berdasarkan asumsi-asumsi semata yang

berlebihan, karena pada kenyataannya pekerja/buruh dalam melakukan hubungan

kerja didasari oleh kesepakatan bersama yang dilakukan secara sukarela berdasarkan

perjanjian keperdataan.

11 Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945.12 Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945.13 Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945.

16

Page 17: NAKER

3. Pokok Permohonan

Pemohon mengajukan permohonan bertanggal 21 Maret 2011, yang diterima

dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut

Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin, tanggal 4 April 2011 berdasarkan Akta

Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 127/PAN.MK/2011 dan diregistrasi pada

hari Senin tanggal 4 April 2011 dengan Nomor 27/PUU-IX/2011, yang telah

diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal tanggal 11 Mei

2011.

Dalam permohonan tersebut, pemohon mengajukan pokok perkara dengan

mendalilkan pekerja/buruh kontrak yang dipekerjakan berdasarkan ketentuan Pasal

59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 200314, pada kenyataannya

kehilangan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja dan sosial

sehingga menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia. Hal

itu, disebabkan karena hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 dan penyerahan

sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal

65, dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003, pekerja/buruh ditempatkan sebagai faktor

produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus

hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi.

Bagi perusahaan pemberi kerja komponen upah sebagai salah satu dari biaya-

biaya (cost) dapat tetap ditekan seminimal mungkin, tetapi pada sisi lain

pekerja/buruh kehilangan jaminan kerja, termasuk jaminan kesehatan, masa kerja

14 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.

17

Page 18: NAKER

yang dikaitkan dengan upah serta jaminan pensiun dan hari tua. Pekerja/buruh hanya

sebagai sapi perahan para pemilik modal. Menurut Pemohon hal itu menyebabkan

hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja dan sosial

yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai status sebagai buruh/pekerja

tetap, yang dengan demikian amat potensial menurunkan kualitas hidup dan

kesejahteraan pekerja/buruh Indonesia, sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Pemohon mengajukan alat bukti tertulis dengan diberi tanda bukti P-1 sampai

dengan bukti P-8 berupa kumpulan dokumen-dokumen resmi sebagaimana yang

dimaksud dengan alat bukti surat atau tulis adalah dokumen yang bersifat tertulis,

berisi huruf, angka, tanda baca, kata, anak kalimat, atau kalimat, termasuk gambar,

bagan, atau hal-hal yang memberikan pengertian tertentu mengenai suatu hal, yang

tertuang di atas kertas, ataupun bahan-bahan lainnya yang bukan kertas. Salah satu

bentuk bukti surat tertulis itu adalah dokumen resmi, seperti Undang-Undang yang

diuji dan peraturan perUndang-Undangan lainnya yang bersifat resmi.15

Pemohon juga pada persidangan tanggal 6 Juli 2011 telah menghadirkan saksi

Pemohon yang bernama Moh. Fadlil Alwi merupakan pekerja pembaca meteran yang

juga mantan pegawai PLN dan Moh. Yunus Budi Santoso sebagai karyawan

outsourcing pada pokoknya menerangkan bahwa pekerjaan pembaca meteran yang

dilakukan secara terus-menerus, dilakukan dalam waktu tertentu dan

berkesinambungan yang dulunya memakai sistem kontrak (outsourcing), setelah

pindah pekerjaan ke perusahaan lainnya pengalaman kerjanya tidak dihitung

sehingga gajinya menjadi turun.

15 Jimly Asshidiqie, op. cit., hlm. 151.

18

Page 19: NAKER

Sehubungan dengan permohonan a quo, Pemerintah maupun DPR telah

menyampaikan keterangan tertulis yang pada pokoknya bahwa hubungan kerja antara

pengusaha dan pekerja yang termuat dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan16, tetap tunduk pada perjanjian kerja yaitu kesepakatan berdasarkan

ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang harus dihormati para pihak. Di samping itu

syarat-syarat PKWT adalah sudah ketat yaitu hanya mengenai:

- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu

lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

- pekerjaan yang bersifat musiman; atau

- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk

tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Menurut Pemerintah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara

pekerja/buruh dengan pengusaha, jika dalam implementasinya sesuai dengan

ketentuan tersebut di atas, semata-mata terkait dengan praktik hubungan kerja dan

bukan masalah konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 59 Undang-Undang a quo.

Oleh karena itu tidak ada persoalan konstitusionalitas pada Pasal 59 Undang-Undang

a quo yang dipersoalkan Pemohon.

Adapun mengenai pengujian Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang

a quo telah diadili oleh Mahkamah Konstitusi dengan amar putusan menolak

permohonan para Pemohon (vide Putusan Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28

Oktober 2004, atas permohonan pengujian yang diajukan oleh Saepul Tavip, dan

16 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.

19

Page 20: NAKER

kawan-kawan)17, sehingga menurut Pemerintah, Mahkamah tidak perlu

mempertimbangkanya lagi.

B. Outsourcing

Semakin berkembangnya ilmu teknologi yang terbilang sangat pesat, membuat

perusahaan-perusahan di dunia terus menerus mencoba terobosan baru demi

menciptakan hasil-hasil produksi yang semakin canggih dalam memenangkan

persaingan. Sejalan dengan timbulnya revolusi industri tersebut, perusahaan di dunia

kemudian dihadapkan pada persaingan global yang mengakibatkan struktur

manajemen yang bengkak dan tak terkendali sehingga berpengaruh pada risiko usaha

dalam segala hal dan risiko tenaga kerja yang meningkat.

Tahap awal pemikiran timbulnya pola hubungan kerja dengan jalan

outsourcing dimulai sejak persaingan global tersebut. Untuk meningkatkan

keluwesan dan kerativitas, banyak perusahaan besar membuat strategi baru dengan

konsentrasi pada bisnis inti, mengidentifikasi proses yang kritikal, dan memutuskan

hal-hal yang harus di-outsource. Gagasan awal berkembangnya outsourcing adalah

untuk membagi risiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk ketenagakerjaan.

Pada awalnya perusahaan semata-mata mempersiapkan diri pada bagian-bagian

tertentu yang bisa mereka kerjakan, sedangkan untuk bagian-bagian yang tidak bisa

dikerjakan secara internal, dikerjakan secara outsource. Sejak tahun 1990,

outsourcing mulai digunakan sebagai jasa pendukung. Tingginya persaingan telah

menuntut manajemen perusahaan melakukan perhitungan pengurangan biaya.

17 Perkara Nomor 12/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD NRI yang diajukan oleh Saepul Tavip.

20

Page 21: NAKER

Perusahaan mulai melakukan outsource terhadap fungsi-fungsi yang penting bagi

perusahaan, tetapi tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan.

Kecenderungan beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan

sistem outsourcing pada saat ini, umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan

untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Dengan

menggunakan sistem outsourcing ini, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat

pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di

perusahaan yang bersangkutan.18

Outsourcing merupakan istilah dalam dunia usaha yang maksudnya

menggunakan sumber daya manusia dari pihak luar demi mengefisiensi biaya

produksi. Dalam hal ini outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja

untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan,

melalui perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Ini berarti ada perusahaan yang

secara khusus melatih/mempersiapkan, menyediakan, mempekerjakan tenaga kerja

untuk kepentingan perusahaan lain. Perusahaan inilah yang mempunyai hubungan

kerja secara langsung dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan.

Salah satu bentuk pelaksanaan outsourcing adalah melalui perjanjian

pemborongan pekerjaan. Legalitas pelaksanaan outsourcing telah diatur dalam UU

No. 13 Tahun 200319 dan dalam KUHPerdata20 Pasal 1601 huruf b. Dalam UU No.

13 Tahun 2003 istilah yang dipakai adalah perjanjian pemborongan atau penyedia

jasa pekerja/buruh. Dalam Pasal 64 disebutkan perusahaan dapat menyerahkan

18 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 217. 19 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.20 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU 9 Desember 1924, LN. 1924-556 Tahun 1925.

21

Page 22: NAKER

sebagian pelaksanaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan

pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam outsourcing,

yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dan

outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh perusahaan jasa pekerja.

Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan, konstruksi hukumnya yaitu ada

main contractor yang mensubkan pekerjaan pada sub contractor. Sub contractor

untuk melakukan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor yang membutuhkan

pekerja. Disitulah sub contractor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan

yang disubkan oleh main contarctor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub

contractornya dengan pekerjanya.

Berdasarkan hal tersebut jika dikaitkan dengan konstitusi jelas hal ini

memaksakan adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerjaan

dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur hubungan kerja yaitu

adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa pekerja hanya

dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum.21

Dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 200322 menyebutkan bahwa perjanjian kerja

untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis

dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni :

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak

terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

21 Baca alasan Permohonan Pengujian Undang-Undang, Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011.22 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.

22

Page 23: NAKER

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau

produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Hal lain mengenai keberlakuan hubungan kerja dengan sistem outsourcing ini

adalah bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan untuk di outsource adalah pekerjaan

sebagai berikut:23

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi

pekerjaan;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Semua persyaratan di atas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat

tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat di outsource. Perusahaan

penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak

perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi

kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya, sehingga

pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu, berbadan hukum menjadi sangat

penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab.

Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum dan

memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

merupakan persyaratan yang jika tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja

pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan

kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.23 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 189-190

23

Page 24: NAKER

Dalam melaksanakan hubungan kerja, perusahaan penyedia pekerja/buruh

harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh.

b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud

pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi

persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja

waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh

kedua belah pihak.

c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan

yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh.

d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan

lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat

secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.24

Selain dalam UU No. 13 Tahun 200325, dalam KUHPerdata26 Pasal 1601 b

disebutkan perjanjian pemborongan pekerjaan, yakni sebagai perjanjian dengan mana

pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu

pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan dengan menerima satu harga

yang ditentukan.

24 Lalu Husni, Ibid, hlm. 190-191.25 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU 9 Desember 1924, LN. 1924-556 Tahun 1925.

24

Page 25: NAKER

Ada beberapa prinsip yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan

sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHPerdata, yakni sebagai berikut:27

a. Jika telah terjadi kesepakatan dalam pemborongan pekerjaan dan pekerjaan

telah mulai dikerjakan, pihak yang memborongkan tidak bisa menghentikan

pemborongan pekerjaan.

b. Pemborongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborong,

namun pihak yang memborongkan diwajibkan membayar kepada ahli waris

si pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan

pekerjaan yang telah dilakukan.

c. Si pemborong bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan orang-

orang yang telah dipekerjakan olehnya.

d. Buruh yang memegang suatu barang kepunyaan orang lain, untuk

mengerjakan sesuatu pada barang tersebut, berhak menahan barang itu

sampai biaya dan upah-upah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi

seluruhnya, kecuali jika pihak yang memborongkan telah memberikan

jaminan secukupnya untuk pembayaran biaya dan upah-upah tersebut.

Di atas telah disebutkan bahwa outsourcing salah satunya dilaksanakan melalui

pemborongan pekerjaan dan mengenai pemborongan pekerjaan sebelumnya sudah

dikenal dalam KUHPerdata. Ketentuan pemborongan pekerjaan dalam KUHperdata

berbeda dengan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003. Perbedaannya adalah

pada pasal-pasal yang diatur dalam KUHPerdata tidak dibatasi pekerjaan-pekerjaan

mana saja yang dapat diborongkan/outsource dan untuk pekerjaan yang sifatnya

jangka pendek, sedangkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 dibatasi, yakni hanya 27 Lalu Husni, Ibid, hlm. 188-189.

25

Page 26: NAKER

terhadap produk/bagian-bagian yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis

utama perusahaan .

Dalam sistem kerja outsourcing, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian, yaitu:

1. Perjanjian kerja, antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa

layanan.

2. Perjanjian penempatan pekerja/buruh, antara perusahaan penyedia jasa

layanan dengan perusahaan pemberi kerja.

Dengan adanya dua perjanjian yang terpisah tersebut, walaupun pekerja/buruh

sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi kerja, tetapi status pekerja/buruh tetap

sebagai karyawan perusahaan penyedia jasa layanan. Oleh karena itu, dalam sistem

outsourcing ini pemenuhan hak-hak pekerja/buruh (seperti perlindungan upah dan

kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul) tetap merupakan

tanggung jawab perusahaan penyedia jasa layanan. Namun, meskipun legalisasi

sistem outsourcing ini telah diatur pada Pasal 59 dan 64 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 sama sekali tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2)

dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus dilindungi adalah

manusia yang seutuhnya. Bekerja seyogianya adalah untuk memberikan kehidupan

yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja hanya dipandang sebagai bagian produksi

terutama dengan kontrak-kontrak yang dibuat, oleh karenanya dianggap demikian

sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai pekerja/buruh

sebagai manusia menjadi lemah.

Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja/buruh

dengan perusahaan penerima pekerjaan yang dituangkan dalam perjanjian kerja

26

Page 27: NAKER

secara tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya perjanjian kerja waktu tak

tertentu atau tetap dan bukan kontrak, tetapi dapat pula dilakukan perjanjian kerja

waktu tertentu/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun

materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 200328.

Dalam penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh

mempekerjakan pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan

yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk

melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan

langsung dengan proses produksi. Kegiatan yang dimaksud, menurut Pasal 17

Permen No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan

Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain29, yaitu :

1) Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service)

2) Usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering)

3) Usaha tenaga pengamanan (security)

4) Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan

5) Usaha penyedia angkutan pekerja/buruh.

Dengan sistem outsourcing ini, meskipun pekerja/buruh tidak menerima

perintah langsung dari majikannya atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

namun dari perusahaan pemberi pekerjaan, pekerja/buruh tersebut tetap dalam

tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dalam hal perlindungan

upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial

28 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.29 Indonesia, Peraturan Menteri Nomor tentang Syarat-syarat Peneyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Permen No. 19 Tahun 2012, BN. 1138.

27

Page 28: NAKER

yang terjadi. Perusahaan pemberi pekerjaan sama sekali tidak bertanggung jawab

terhadap segala hal yang menyangkut keberadaan pekerja/buruh.

Oleh sebab itu, hal ini jelas tidak sesuai dengan konstitusi negara kita yang

memaksakan adanya hubungan kerja antara perusahaan perusahaan penyedia jasa

pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur kerja yaitu

adanya perintah, pekerjaan dan upah, meka menunjukkan bahwa pekerja hanya

dianggap sebagai barang saja bukan subjek hukum. Outsourcing ini merupakan suatu

perbudakan zaman modern karena di sini perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

pada dasarnya menjual manusia kepada pengguna dengan sejumlah uang akan

mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia.

C. Pihak-pihak dalam Outsourcing

1. Pekerja/Buruh

Definisi buruh/pekerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan30, yaitu:

”Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

30 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.

28

Page 29: NAKER

Sementara dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial31, menyebutkan bahwa:

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”Secara khusus, pekerja/buruh outsourcing dalam Permen No. 19 Tahun 2012

tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada

Perusahaan Lain32, menyebutkan bahwa:

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Istilah buruh sejak dahulu telah populer dan kini masih sering dipakai sebagai

sebutan untuk kelompok tenaga kerja yang sedang memperjuangkan program

organisasinya. Istilah pekerja dalam praktek sering dipakai untuk menunjukkan status

hubungan kerja, seperti pekerja kontrak, pekerja borongan, pekerja harian, pekerja

honorer, pekerja tetap, dan sebagainya. Sedangkan istilah karyawan atau pegawai

lebih sering dipakai untuk data administrasi.33

Dari semua pemahaman tentang pekerja/buruh di atas, hemat penulis dari

pendapat para ahli tersebut bahwa :

“Pekerja/buruh adalah orang-orang yang bekerja pada majikan/perusahaan untuk mendapat upah guna memenuhi kebutuhan hidup dan bekerja untuk waktu tertentu maupun untuk waktu yang tidak ditentukan.”

Pekerja/buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan dalam

hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,

31 Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2 Tahun 2004.32 Indonesia, Peraturan Menteri Nomor tentang Syarat-syarat Peneyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Permen No. 19 Tahun 2012, BN. 1138.

33 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm. 1

29

Page 30: NAKER

mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta mendirikan dan

menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Pekerja/buruh memiliki hak untuk

berkumpul dan mendirikan serikat pekerja/serikat buruh.

Pada dasarnya, pekerja/buruh sifatnya lemah, baik dari segi ekonomi maupun

dari segi kedudukan dan pengaruhnya terhadap pengusaha. Karena itu, akibatnya

pekerja/buruh tersebut tidak mungkin bisa memperjuangkan hak-haknya ataupun

tujuannya secara perorangan tanpa mengorganisasi dirinya dalam suatu wadah untuk

mencapai tujuannya. Wadah yang dimaksudkan itu sekarang disebut serikat

pekerja/serikat buruh sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 21

tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.34

Pemahaman mengenai istilah serikat pekerja ini dapat dilihat pada Pasal 1

angka 17 UU No. 13 Tahun 200335 jo. Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2000

tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh36 yang menyebutkan bahwa :

“Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang berisfat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.”

Serikat pekerja berdasarkan pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa

mereka adalah orang-orang yang bebas melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai

buruh tanpa intervensi pihak manapun, terbuka maksudnya tidak membedakan hal

apapun, mandiri maksudnya tidak ada kekuatan kendali dari pihak lain, demokratis

34 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 2235 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.36 Indonesia, Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 21 Tahun 200, LN No. 131 Tahun 2000.

30

Page 31: NAKER

maksudnya menjunjung tinggi prinsip demokrasi, serta bertanggung jawab terhadap

anggota, masyarakat dan negara.

2. Perusahaan Pemberi Kerja

Perusahaan secara umum termuat dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial37 Pasal 1 angka 7

menjelaskan bahwa perusahaan merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum atau

tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik

milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan

membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain, selain itu disebutkan juga bahwa

perusahaan merupakan usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai

pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.

Pasal 1 angka 5 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan38

menyebutkan, pengertian pengusaha dijabarkan sebagai berikut :

1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan

milik sendiri.

2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan

perusahaan bukan miliknya.

3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili

perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan

di luar wilayah Indonesia.

37 Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2 Tahun 2004.38 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.

31

Page 32: NAKER

Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka 4 UU. No. 13 Tahun 200339 menyebutkan

bahwa :

“Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Dalam Permen Nomor 19 Tahun 201240 yang secara khusus menyebutkan

bahwa perusahaan pemberi kerja dalam hal ini outsourcing merupakan perusahaan

yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima

pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Perusahaan pemberi

kerja ini menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan penerima

pemborongan setelah memiliki bukti pelaporan dari instansi yang bertanggung jawab

di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota yang mengeluarkan bukti laporan

pekerjaan penunjang yang akan diborongkan.

3. Perusahaan Penyedia Jasa

Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dalam Permen No. 19 Tahun 2012

adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang

memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi

pekerjaan. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dilarang menyerahkan

pelaksanaan sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikan kepada perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh lain.

Hubungan kerja yang timbul antara perusahaan penyedia jasa dengan

pekerja/buruh harus dimuat dalam bentuk tertulis dan memuat segala ketentuan yang

39 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.40 Indonesia, Peraturan Menteri Nomor tentang Syarat-syarat Peneyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Permen No. 19 Tahun 2012, BN. 1138.

32

Page 33: NAKER

menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja. Persyaratan

yang harus terpenuhi sebagai perusahaan penyedia jasa menurut Pasal 24 Permen

Nomor 19 Tahun 201241 adalah sebagai berikut.

a) Berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan

berdasarkan peraturan perundang-undangan;

b) Memiliki tanda daftar perusahaan;

c) Memiliki izin usaha;

d) Memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;

e) Memiliki izin operasional;

f) Mempunyai kantor dan alamat tetap; dan

g) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.

D. Perjanjian Kerja

Perjanjian pada dasarnya merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat

dua pihak untuk melaksanakan sesuatu yang telah disepakati agar dapat dilaksanakan

sesuai kesepakatan tersebut. Dalam KUHPerdata Pasal 1313 telah dijelaskan bahwa:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu manusia atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang

menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian

ini seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan

diri tentang suatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu pihak mengikatkan

diri kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah yang dimaksud hanyalah perjanjian

41 Indonesia, Peraturan Menteri Nomor tentang Syarat-syarat Peneyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Permen No. 19 Tahun 2012, BN. 1138.

33

Page 34: NAKER

sepihak, tetapi kalau disebutkan juga tentang adanya dua pihak yang saling

mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi baik perjanjian sepihak

maupun perjanjian dua pihak.42

Berangkat dari makna perjanjian menurut KUHPerdata di atas, bentuk suatu

perjanjian kerja adalah sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu suatu perjanjian

yang menimbulkan perikatan antara para pihak dimana dalam hal ini para pihak yang

dimaksud merupakan pekerja/buruh dengan pengusaha.

Suatu perjanjian sebelum disepakati seharusnya mengandung syarat-syarat

sahnya suatu perjanjian seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata43

berikut ini:

“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat:a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;c) Suatu hal tertentu;d) Suatu sebab yang halal.”

Pasal ini menjadi tolok ukur untuk sah atau tidak suatu perjanjian. Ketika suatu

perjanjian menyalahi salah satu syarat di atas maka perjanjian tersebut dapat

dibatalkan ataupun batal demi hukum. Di samping itu UU No. 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan juga mengatur mengenai syarat-syarat perjanjian tersebut

tepatnya pada Pasal 52.44

Menurut Pasal 1601 huruf a KUHPerdata, pengertian perjanjian kerja yaitu:

42 Ahmadi Miru, dkk, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW) (Jakarta:Rajawali Pers, 2008), hlm. 64.43 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU 9 Desember 1924, LN. 1924-556 Tahun 1925.

44 Dalam Pasal 52 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada poin d lebih dijelaskan bahwa “suatu sebab yang halal” itu dimaksudkan “tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

34

Page 35: NAKER

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak ke satu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah yang lain, si majikan untuk suatu waktu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”

Sementara UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan45 pada Pasal 1

angka 14 memberikan pengertian yakni :

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.”

Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut di

atas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak lain.”

Di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha

adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang

lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh

yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk

melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan

antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya.

Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada

hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan

kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat

pekerja, sedangkan hak & kewajiban para pihak salah satunya adalah upah disamping

hak & kewajiban lain yang akan dibicarakan secara tersendiri.46

45 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.

46 Lalu Husni, op. cit., hlm. 64

35

Page 36: NAKER

Adapun unsur-unsur perjanjian kerja menurut Djumialdji berdasarkan

pengertian perjanjian kerja Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan mencakup tiga unsur penting, yaitu :

a) Ada orang di bawah pimpinan orang lain, maksudnya unsur perintah

menimbulkan adanya pimpinan orang lain.

b) Penuaian kerja, maksudnya melakukan pekerjaan atau berarti persewaan

tenaga kerja.

c) Adanya upah, maksudnya adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan

dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha.47

Dalam melaksanakan isi perjanjian, para pihak telah menyepakati segala hal

yang telah diperjanjikan oleh sebab itu jika kesepakatan telah lahir maka timbul hak

dan kewajiban bagi para pihak.

Lalu Husni memaparkan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha

sebagaimana telah diatur dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut:

Kewajiban pekerja/buruh:

a) Pekerja/buruh wajib melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan adalah

tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun

demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan.

b) Pekerja/buruh wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/pengusaha.

Dalam melakukan pekerjaan pekerja/buruh wajib menaati petunjuk yang

diberikan oleh pengusaha.

47 F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 7

36

Page 37: NAKER

c) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda. Jika pekerja/buruh melakukan

perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau

kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar

ganti rugi dan denda.

Kewajiban pengusaha adalah:

a) Kewajiban membayar upah. Dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi

pengusaha adalah membayar upah pada pekerjanya secara tepat waktu.

b) Kewajiban memberikan istirahat/cuti. Pihak majikan/pengusaha

diwajibkan untuk memberikan istirahat tahunan kepada pekerja secara

teratur.

c) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan. Majikan/pengusaha

wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat

tinggal di rumah majikan (Pasal 1602x KUHPerdata).

d) Kewajiban memberikan surat keterangan. Kewajiban ini didasarkan pada

ketentuan Pasal 1602 a KUHPerdata yang menentukan bahwa

majikan/pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi

tanggal dan dibubuhi tanda tangan.

Kewajiban pekerja/buruh yang telah dipaparkan di atas merupakan hak

pengusaha atau pemberi kerja, sebaliknya kewajiban pengusaha merupakan hak

pekerja.48

48 Lalu Husni, op. cit., hlm. 74.

37

Page 38: NAKER

Lain halnya pemahaman mengenai perjanjian kerja bersama. Perjanjian

Perburuhan/Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau istilah yang dipergunakan

dalam UU No. 13 Tahun 200349 adalah Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

Dalam Pasal 1601 n disebutkan bahwa Perjanjian Perburuhan adalah peraturan

yang dibuat oleh seseorang atau beberapa orang perkumpulan majikan yang berbadan

hukum dan atau beberapa serikat buruh yang berbadan hukum mengenai syarat-

syarat kerja yang harus diindahkan pada waktu membuat perjanjian kerja.

Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara

Serikat Buruh dengan Majikan50 disebutkan Perjanjian Perburuhan adalah perjanjian

yang diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang terdaftar pada

Kementerian Perburuhan dengan majikan, majikan-majikan, perkumpulan majikan

yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat

kerja yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja.51

Secara sederhana, perjanjian kerja bersama dapat diartikan sebagai perjanjian

yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat

pada instansi yang bertanggung jawab dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha,

atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban

kedua belah pihak.52

Perjanjian kerja pada dasarnya dibuat secara tertulis dan dalam perjanjian

tersebut haruslah memuat hal-hal berikut :

49 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.50 Indonesia, Undang-Undang tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Majikan, UU No. 21 Tahun 1954.

51 Kementerian Perburuhan yang disebutkan pada penjelasan ini sekarang adalah Departemen Tenaga Kerja.

52 Zaeni Asyhadie, op. cit., hlm. 54.

38

Page 39: NAKER

a) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

c) Jabatan atau jenis pekerjaan;

d) Tempat pekerjaan;

e) Besarnya upah dan cara pembayaran;

f) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh;

g) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;

i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.53

Perjanjian kerja harus dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua, yang

mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-

masing mendapat satu perjanjian kerja. Di samping perjanjian kerja dalam

perusahaan, juga harus ada perjanjian kerja bersama dalam perusahaan tersebut telah

ada serikat pekerja/serikat buruh, dan serikat pekerja/serikat buruh tersebut telah

mengusulkan untuk membuat perjanjian kerja bersama.

Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :

a) Hak dan kewajiban perusahaan;

b) Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;

c) Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan

d) Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama54

53 Lihat Pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.54 Lihat Pasal 124 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

39

Page 40: NAKER

Perjanjian kerja bersama mempunyai kedudukan tertinggi dalam perusahaan.

Oleh karena itu, ini berarti bahwa perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh

bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. Demikian pula perjanjian kerja

bersama tidak boleh diganti dengan peraturan perusahaan. Perjanjian kerja bersama

dapat dibuat dengan jangka waktu berlakunya paling lama dua tahun, dan dapat

diperpanjang lagi masa berlakunya paling lama satu tahun berdasarkan kesepakatan

tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuatnya.

Selain itu, sesuai dengan sifat serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, maka

dalam perjanjian kerja bersama tidak diperbolehkan untuk :

a) Memuat aturan yang mewajibkan seorang pengusaha hanya boleh

menerima atau menolak pekerja/buruh dari suatu golongan, baik berkenaan

dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun karena

keyakinan politik atau anggota dari suatu perkumpulan.

b) Memuat aturan yang mewajibkan seorang pekerja/buruh hanya bekerja

atau tidak boleh bekerja pada pengusaha dari suatu golongan, baik

berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun

karena keyakinan politik atau anggota dari suatu perkumpulan.

c) Memuat aturan yang bertentangan dengan ketertiban umum dan

kesusilaan.

Hubungan perjanjian kerja dengan perjanjian kerja bersama dapat dilihat pada

penjelasan sebelumnya bahwa dalam pembuatan perjanjian kerja harus mengacu atau

berpedoman pada perjanjian kerja bersama, dengan kata lain perjanjian kerja harus

menjabarkan isi dari perjanjian kerja bersama. Ketentuan perjanjian kerja yang tidak

40

Page 41: NAKER

sesuai atau menjabarkan isi perjanjian kerja bersama menjadi tidak sah dan yang

berlaku adalah perjanjian kerja bersama. Dalam kedudukan seperti itu perjanjian

kerja bersama merupakan alat kontrol daripada perjanjian kerja, perjanjian kerja

bersama merupakan induk dari perjanjian kerja. Dengan demikian perjanjian kerja

tidak dapat mengenyampingkan isi perjanjian kerja bersama tapi sebaliknya,

perjanjian kerja bersama dapat mengenyampingkan isi perjanjian kerja.55

Dalam perjanjian kerja, jangka waktu berlangsungnya suatu perjanjian kerja

juga adalah hal utama sebelum disepakatinya perjanjian kerja tersebut. Sebelumnya

para pihak terlebih dahulu menentukan jangka waktu pelaksanaan kerja yang akan

disepakati. Dalam hukum perburuhan dikenal dua jangka waktu pelaksanaan

perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja untuk

waktu tidak tertentu.

1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu

Sebagaimana perjanjian kerja pada umumnya. Perjanjian kerja untuk waktu

tertentu harus memenuhi syarat-syarat pembuatan. Adapun syarat-syarat pembuatan

perjanjian kerja untuk waktu tertentu terbagi dua macam, yaitu syarat materil dan

syarat formil. Syarat materil diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun

200356, yaitu sebagai berikut :

a) Kesepakatan kedua belah pihak;

b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

55 Lalu Husni, op. cit., hlm. 8856 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.

41

Page 42: NAKER

d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, diatur pula bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak

dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (Pasal 58 ayat (1)). Jadi, jika ada

perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang mensyaratkan masa percobaan, maka

perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut batal demi hukum. Perjanjian kerja

untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis

dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (Pasal 59 ayat

(1)).

Sedangkan syarat pembuatan secara formil perjanjian kerja untuk waktu

tertentu menurut Pasal 54 ayat (1), harus memuat sebagai berikut:

a) Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;

b) Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;

c) Jabatan atau jenis pekerjaan;

d) Tempat pekerjaan;

e) Besarnya upah dan cara pembayarannya;

f) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh;

g) Jangka waktu mulai berlakunya perjanjian kerja;

h) Tempat dan lokasi perjanjian kerja dibuat; dan

i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu

tidak boleh lebih rendah dari syarat-syarat kerja yang termuat dalam peraturan

42

Page 43: NAKER

perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Bila ternyata kualitas isinya lebih rendah,

maka syarat-syarat kerja yang berlaku adalah yang termuat dalam peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu

dibuat dalam rangkap 3 (tiga), masing-masing rangkap untuk pekerja, pengusaha dan

dinas/instansi yang membidangi ketenagakerjaan setempat. Seluruh biaya yang

timbul atas pembuatan perjanjian kerja untuk waktu tertentu menjadi tanggungan

pengusaha.

2. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu

Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu disini adalah suatu jenis perjanjian

kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang tidak memiliki jangka

waktu berlakunya. Dengan demikian, perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu

berlaku terus sampai :

a) Para pihak pekerja/buruh memasuki usia pensiun (55 tahun);

b) Pihak pekerja/buruh diputuskan hubungan kerjanya karena melakukan

kesalahan;

c) Pekerja/buruh meninggal dunia; dan

d) Adanya putusan pengadilan yang menyatakan pekerja/buruh telah

melakukan tindak pidana sehingga perjanjian kerja tidak bisa dilanjutkan.

Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu tidak akan berakhir karena

meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan oleh

penjualan, pewarisan, atau hibah.

Dalam hal terjadinya peralihan hak atas perusahaan sebagai tersebut di atas,

segala hal pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan

43

Page 44: NAKER

lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.

Namun demikian, jika pengusaha, orang perorangan meninggal dunia, ahli waris

pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkannya dengan

pekerja/buruh.

Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat dibuat secara tertulis dan

lisan. Dalam hal perjanjian jenis ini dibuat secara lisan, pengusaha wajib membuat

surat pengangkatan bagi pekerja/buruh. Surat pengangkatan dimaksud sekurang-

kurangnya memuat tentang :

a) Nama dan alamat pekerja/buruh;

b) Tanggal mulai bekerja;

c) Jenis pekerjaan; dan

d) Besarnya upah.

E. Hubungan Industrial

Sesuai ketentuan pada Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan57 menyebutkan bahwa yang dimaksud hubungan industrial

adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses

produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan

pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu sebagai wujud pelaksanaan

hubungan kerja antara pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah harus sesuai dengan

jiwa yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, artinya segala bentuk perilaku semua

57 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279.

44

Page 45: NAKER

subjek yang terkait dalam proses produksi harus mendasarkan pada nila-nilai luhur

Pancasila.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 bahwa

dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi

menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan

melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan

ketenagakerjaan.58

Hubungan industrial pada dasarnya adalah proses terbinanya komunikasi,

konsultasi musyawarah serta berunding dan ditopang oleh kemampuan dan

komitmen yang tinggi dari semua elemen yang ada di dalam perusahaan. Undang-

undang ketenagakerjaan telah mengatur prinsip-prinsip dasar yang perlu kita

kembangkan dalam bidang hubungan industrial. Arahnya adalah untuk menciptakan

sistem kelembagaan yang ideal, sehingga tercipta kondisi kerja yang produktif,

harmonis, dinamis, dan berkeadilan.59

Pada dasarnya, tujuan hubungan industrial Pancasila adalah mengemban cita-

cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di dalam pembangunan

nasional, ikut mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,

dan keadilan sosial. Tujuan tersebut dicapai melalui penciptaan ketenangan,

ketentraman, ketertiban, kegairahan kerja serta produktivitas dan meningkatkan

kesejahteraan pekerja/buruh serta derajatnya sesuai dengan martabat Indonesia.

58 Lihat juga Pasal 102 ayat (1).59 Adrian Sutedi, op. cit., hlm. 23.

45

Page 46: NAKER

Hubungan yang harmonis dan seimbang akan menyingkirkan konsep

pertimbangan kekuatan apalagi pertentangan. Selanjutnya yang akan

ditumbuhkembangkan adalah hubungan industrial yang dapat mewujudkan

peningkatan produktivitas sikap kebersamaan, kepatutan, dan rasa keadilan. Dengan

demikian, antara pekerja/buruh dan pengusaha tidak akan ada rasa saling bermusuhan

dalam proses produksi, tetapi saling menghormati, saling mengerti hak dan

kewajiban dalam proses, dan saling membantu untuk meningkatkan nilai tambah

perusahaan dalam menghadapi persaingan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Kasiyanto mengemukakan pendapat

yang membedakan antara hubungan industrial di Indonesia dengan negara lain.

Menurutnya, di Indonesia, hubungan pekerja/buruh dan pengusaha yang awalnya

seperti hubungan pekerja dan pembeli dimana penjual ingin menjual dengan harga

yang setinggi-tingginya sedangkan pembeli ingin membeli dengan harga yang

semurah mungkin, namun posisi pekerja/buruh sebagai penjual jasa posisinya sangat

lemah. Sementara di negara-negara barat hubungan antara pekerja/buruh dengan

pengusaha bisa berbentuk kemitraan dan kompak dalam menjalankan usaha, bukan

karena di barat ada semacam Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Hal itu bisa

terjadi karena adanya peran pemerintah yang kuat dan berwibawa, yang mampu

mengawasi tawar-menawar antara pekerja/buruh dan pengusaha.60

60 Adrian Sutedi, Ibid, hlm. 24.

46

Page 47: NAKER

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Suatu karya ilmiah dapat tersusun dari adanya penelitian baik itu secara

langsung turun ke lapangan maupun dengan mengolah data dari berbagai sumber

yang faktual. Penelitian untuk sebuah karya ilmiah terdiri dari dua macam cara

pendekatan, yaitu:

1. Penelitian secara empirik, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap masalah-

masalah hukum dalam tataran yang biasa disebut juga Law In Action (realitas

yang berkembang atau bekerjanya hukum).

2. Penelitian secara normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap substansi

atau kaidah-kaidah hukum yang biasa disebut Law In Book yang dimaksudkan

untuk mengetahui sejauh mana kelengkapan perangkat atau kaidah-kaidah

hukum sehingga mampu diimplikasikan kepada realitas.

Skripsi ini disusun atas rampungan data-data dan berbagai sumber dari karya

ilmiah hukum, literatur-literatur ilmiah serta media tulis dan media elektronik

lainnya, oleh sebab itu penulis tertarik dan lebih fokus kepada penelitian yang

bersifat empirik dan normatif.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan

dan PT. Dinar Mutiara Sakti yang beralamat di Jl. Sungai Pareman No. 46 dengan

47

Page 48: NAKER

bentuk penelitian wawancara dan kuisioner untuk penelitian yang penulis lakukan di

Universitas Hasanuddin dan wawancara serta pengumpulan data untuk penelitian

yang penulis lakukan di PT. Dinar Mutiara Sakti.

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data terbagi atas dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer

adalah data yang dikumpul oleh penulis atau dari wawancara langsung dan kuisioner.

Disebut data primer karena sebelumnya data ini belum ada tetapi diadakan oleh

penulis/peneliti dimana sumber data ini berasal dari responden. Sedangkan data

sekunder adalah data yang berupa dokumen-dokumen, bahan-bahan hukum yang ada

pada daerah penelitian. Data ini sudah ada dari instansi yang terkait dengan

penelitian penulis.

D. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah lokasi Universitas Hasanuddin

mencakup wilayah fakultas hukum, fakultas ekonomi, fakultas ilmu sosial dan

politik, baruga A. P. Pettarani, MKU, perpustakaan, fakultas teknik, fakultas MIPA,

fakultas pertanian, fakultas peternakan, fakultas kedokteran, rektorat, dan ramsis.

Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang cleaning service di Unhas.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian kali ini, penulis memilih melakukan teknik pengumpulan data

dengan cara sebagai berikut.

1. Wawancara langsung (interview) yang dilakukan pada narasumber.

48

Page 49: NAKER

2. Kuisioner dengan menggunakan teknik convinience sampling yang merupakan

teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan saja, anggota populasi yang

ditemui peneliti dan bersedia dan bersedia menjadi responden dijadikan

sampel.

F. Analisis Data

Analisis data adalah tahapan akhir dari pengolahan data. Penulis/peneliti

sendiri memilih menganalisis data secara kualitatif, yaitu menggunakan deskriptif

dan narasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

49

Page 50: NAKER

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 atas

Keberlakuan dan Pelaksanaan Sistem Kerja Outsourcing

Pertimbangan Mahkamah dalam pengujian materiil Undang-Undang ini

berdasarkan permohonan pemohon menitikberatkan pada permasalahan apakah

hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan yang melaksanakan

pemborongan pekerjaan berdasarkan PKWT yang memperoleh pekerjaan dari suatu

perusahaan lain bertentangan dengan UUD 1945 serta apakah hubungan kerja antara

pekerja/buruh dan perusahaan yang menyediakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT

bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam kenyataannya praktik sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih

banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak

tetap/kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu), upah lebih rendah, jaminan sosial

kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya

jaminan pengembangan karier, dan lain-lain. Dengan demikian memang benar kalau

dalam keadaan seperti itu dikatakan praktik outsourcing akan menyengsarakan

pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial.

Fakta hukum dalam putusan menyebutkan bahwa dalam relasi

ketenagakerjaan/perburuhan dan dalam hubungan kerja, pekerja/buruh senantiasa

berada posisi yang lemah, karenanya sistem hukum ketenagakerjaan/perburuhan

50

Page 51: NAKER

yang harus dibangun di negara ini adalah sistem hukum ketenagakerjaan/perburuhan

yang melindungi (protektif) terhadap buruh/pekerja.

Pemohon merasa dirugikan dengan kebijakan legislasi yang tidak protektif

terhadap pekerja/buruh dalam Pasal 59 dan 64 UU No. 13 Tahun 2003 karena

bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33

ayat (1).

Jika bercermin dengan realitas yang terjadi di masyarakat, kenyataan lainnya

menyatakan bahwa ribuan aktivitas pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh,

organisasi non pemerintah perburuhan dan aliansi-aliansi perburuhan di berbagai

tempat di Indonesia melakukan aksi menolak adanya perjanjian kerja untuk waktu

tertentu pekerja kontrak (pekerja kontrak) sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 59 dan

penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) sebagaimana

diatur dalam Pasal 64.

Pada dasarnya sistem kerja outsourcing tidak memungkinkan jika harus dalam

bentuk perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu karena hal tersebut akan

menyalahi sistematika bentuk kerja outsourcing yang implementasinya memanglah

harus dalam bentuk kerja waktu tertentu (kontrak) karena pekerjaan yang termasuk

outsourcing pada dasarnya adalah kerja-kerja yang tidak terjadi secara terus menerus

tapi hanya merupakan kerja penunjang atau bukan kerja utama sesuai dengan syarat-

syarat PKWT.

Dalam putusan ini disebutkan bahwa sistem kerja outsourcing yang dilakukan

dengan cara penyerahan sebagian pekerja kepada perusahaan lain sebagaimana diatur

51

Page 52: NAKER

dalam Pasal 64, pekerja/buruh ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan

begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika

tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian komponen upah sebagai salah satu dari

biaya-biaya (cost) bisa tetap ditekan seminimal mungkin. Perjanjian kerja waktu

tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, tidak adanya kelangsungan

pekerjaan karena seorang pekerja dengan Pekerjaan Waktu Tertentu pasti tahu bahwa

pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu,

akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain.

Memahami isi lain dari putusan tersebut, Pemohon berpendapat bahwa

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya menyebabkan para pekerja

kontrak/outsourcing akan kehilangan jaminan atas kelangsungan kerja bagi

pekerja/buruh (kontinuitas pekerjaan), kehilangan hak-hak dan jaminan kerja yang

dinikmati oleh para pekerja tetap, serta kehilangan hak-hak yang seharusnya diterima

pekerja sesuai dengan masa kerja pegawai karena ketidakjelasan penghitungan masa

kerja.

Jika dikaitkan dengan konstitusi, jelas bahwa outsourcing ini memaksakan

adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya,

yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah,

pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa pekerja hanya dianggap sebagai

barang saja bukan sebagai subjek hukum. Perbudakan terhadap outsourcing ini

mutlak, karena disini perusahaan penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual

manusia kepada user dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan

menjual manusia.

52

Page 53: NAKER

Pertimbangan pemerintah dalam hal ini bahwa pemohon menjelaskan dan

membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar pemohon sebagai pihak yang

hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat

bahwa tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang

dirugikan atas berlakunya Undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Karena itu

kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan perjanjian ini tidak

memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasl 51 UU No. 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan

Mahkamah Konstitusi terdahulu.

Pemerintah juga berpendapat bahwa ketentuan yang dimohonkan untuk diuji

adalah merupakan rangkaian aturan yang mendasari mekanisme penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (dikenal dengan istilah

outsourcing), sehingga jika ketentuan yang dimohon untuk diuji tersebut dikabulkan,

maka justru akan menimbulkan kerugian konstitusionalitas terhadap seluruh

pekerja/buruh termasuk Pemohon itu sendiri.

Telaah lebih jauh implementasi sistem kerja outsourcing pasca putusan ini

bahwa tidak menampik kemungkinan hal-hal yang lebih merugikan terhadap

pekerja/buruh akan bermunculan. Kemungkinan terbesar yang akan terjadi yaitu

pengurangan pekerja/buruh dalam suatu perusahaan secara besar-besaran. Seperti

halnya yang dikhawatirkan Haryadi Sukamdani, Ketua Bidang Pengupahan dan

Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan bahwa

perusahaan outsourcing harus melakukan karyawannya menjadi karyawan tetap yang

mengakibatkan biaya naik yang juga akan berpengaruh kepada perusahaan pengguna,

53

Page 54: NAKER

akibatnya bisa jadi kedepannya para pengusaha akan memilih untuk melakukan

impor produk dari negara-negara yang lebih murah dari pada mereka harus membuat

sendiri dengan risiko tenaga kerja yang makin mahal.61

Dampak pengaplikasian putusan ini dinilai juga akan memberi pengaruh

negatif seperti yang telah kita bayangkan jika misalnya biaya atau pengeluaran

perusahaan akan terus meningkat seiring pengalihaan tenaga kerja outsourcing

otomatis yang terjadi kemudian adalah tindakan pengurangan tenaga kerja oleh

perusahaan-perusahaan yang menggunakan tenaga kerja outsourcing ini dan akan

berakibat pada semakin bertambahnya jumlah pengangguran karena adanya

pemberhentian hubungan kerja secara besar-besaran.

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi setelah mendengar kedua belah pihak

antar Pemohon Didik Suprijadi dan Pemerintah dalam Putusan Nomor

27/PUU-IX/2011, Mahkamah berpendapat bahwa norma yang mengatur perjanjian

kerja waktu tertentu dalam Pasal 59 UU No. 13 tahun 2003 tidak memberikan

jaminan kelanjutan kerja bagi pekerja/buruh, serta tidak memberikan jaminan atas

hak-hak pekerja/buruh yang lainnya. Menurut Mahkamah, PKWT sebagaimana

diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 adalah jenis perjanjian kerja yang

dirancang untuk pekerjaan yang dimaksudkan hanya untuk waktu tertentu saja dan

tidak berlangsung untuk selamanya, sehingga hubungan kerja antara buruh dan

majikan akan berakhir begitu jangka waktu berakhir atau ketika pekerjaan telah

selesai dikerjakan.

61 Dalam jumpa pers di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Jumat (20/1/2012). Alamat website:[http://finance.detik.com/read/2012/01/20/175234/1821426/4/putusan-mk-soal-outsourcing-picu-pengurangan-tenaga-kerja. Diakses pada 27 Oktober 2012.

54

Page 55: NAKER

Menurut Mahkamah, sehubungan dengan jenis pekerjaan yang demikian, wajar

bagi pengusaha untuk membuat PKWT dengan pekerja/buruh, karena tidak mungkin

bagi pengusaha untuk terus mepekerjakan pekerja/buruh tersebut dengan tetap

membayar gajinya padahal pekerjaan sudah selesai dilaksanakan. Dalam kondisi

demikian pekerja/buruh tentu sudah harus memahami jenis pekerjaan yang akan

dikerjakannya dan akan menandatangani PKWT yang mengikat para pihak.

Perjanjian yang demikian tunduk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yang

mewajibkan para pihak yang menyetujui dan menandatangani perjanjian untuk

menaati isi perjanjian dalam hal ini PKWT.

Untuk melindungi kepentingan pekerja/buruh yang dalam keadaan lemah

karena banyaknya pencari kerja di Indonesia, peran Pemerintah menjadi sangat

penting untuk mengawasi terjadinya penyalahgunaan Pasal 59 Undang-Undang a

quo, misalnya melakukan PKWT dengan pekerja/buruh padahal jenis dan sifat

pekerjaannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan Undang-Undang. Lagipula jika

terjadi pelanggaran terhadap Pasal 59 Undang-Undang a quo hal itu merupakan

persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma yang dapat

diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain. Dengan demikian menurut

Mahkamah Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Selain itu, menurut Mahkamah berdasarkan ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan

Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003, suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan

pekerjaan atau melalui penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis

dengan syarat-syarat tertentu.

55

Page 56: NAKER

Pasal 65 Undang-Undang a quo mengatur syarat-syarat penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing dan Pasal 66 Undang-Undang

a quo mengatur outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh. Dengan begitu

Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut berdasarkan norma yang terkandung

dalam Pasal 65 dan pasal 66 Undang-Undang a quo adakah ketentuan-ketentuan

tersebut mengakibatkan terancamnya hak setiap orang dan hak-hak pekerja yang

dijamin oleh konstitusi dalam hal ini pekerja outsourcing dilanggar sehingga

bertentangan dengan UUD NRI 1945, yaitu hak yang diberikan oleh UUD NRI 1945

kepada setiap orang untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang

layak dalam hubungan kerja Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 dan hak setiap warga

negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Pasal 27 ayat

(2) UUD NRI 1945.

Mahkamah juga berpendapat bahwa sebelumnya outsourcing pernah

dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dengan Putusan

Nomor 12/PUU-I/200362 tanggal 28 Oktober 2004 menyebutkan bahwa berdasarkan

ketentuan tersebut, maka dalam hal buruh dimaksud ternyata dipekerjakan untuk

melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja dengan perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh bukan merupakan bentuk usaha berbadan hukum, maka

demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia

jasa beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan

pemberi pekerjaan. Oleh karena itu, dengan memperhatikan keseimbangan yang 62 Perkara Nomor 12/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD NRI yang diajukan oleh Saepul Tavip. Dalam perkara pengujian Undang-Undang tersebut, amar putusan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dengan menyatakan bahwa UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 158, 159, 160 (1), 170 (kecuali 158 (1)), 171 (158 (1)), 186 (137 & 138(1)) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menolak permohonan pemohon untuk selebihnya.

56

Page 57: NAKER

perlu dalam perlindungan terhadap pengusaha, pekerja/buruh dengan masyarakat

secara selaras, dalil dari Pemohon tidak cukup beralasan,

Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa yang

melaksanakan pekerjaan pada perusahaan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 64

sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan

syarat-syarat yang sama perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan

pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat

perjanjian kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia maka perlindungan hak-

hak pekerja/buruh sesuai dengan aturan hukum dalam Undang-Undang

Ketenagakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu menyebabkan sistem outsourcing

merupakan modern slavery atau perbudakan zaman modern.

Selanjutnya Mahkamah sependapat dengan permohonan Pemohon bahwa pada

kenyataannya tidak ada jaminan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja

dilaksanakan sebagaimana telah disebutkan pada Pasal 65 ayat (4) a quo. Dengan

demikian, ketidakpastian nasib pekerja/buruh sehubungan dengan pekerjaan

outsourcing tersebut, terjadi karena Undang-Undang a quo tidak memberi jaminan

kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan

serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi

pekerja/buruh untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan to protect the

workers/laborers terabaikan.

57

Page 58: NAKER

Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui

perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari

suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Namun, tidak terlepas dari hal

tersebut tetap harus mengutamakan aspek konstitusionalitas hak-hak pekerja yang

dilindungi oleh konstitusi dalam hubungan kerja antara perusahaan outsourcing

dengan pekerja/buruh.

Mahkamah harus memastikan bahwa hubungan kerja antara pekerja/buruh

dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan pekerjaan outsourcing

dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh, dan

penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan oleh perusahaan hanya untuk

kepentingan dan keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan, bahkan

mengorbankan hak-hak pekerja/buruh. Untuk itu Mahkamah menawarkan dua bentuk

outsourcing, pertama outsourcing tidak lagi berbentuk PKWT tapi “perjanjian kerja

waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan

bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan

outsourcing.

Mahkamah juga menekankan bahwa apabila pekerja outsourcing tersebut

diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan pemberi jasa pekerja, maka para

pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu

kepada pengadilan hubungan industrial sebagai sengketa hak. Melalui prinsip

pengalihan perlindungan tersebut, kehilangan atau terabaikannya hak-hak

konstitusional pekerja outsourcing dapat dihindari.

58

Page 59: NAKER

Putusan yang menyebutkan telah mengabulkan sebagian permohonan

Pemohon. Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan

mengikat berarti bahwa telah tertutup lagi bagi segala kemungkinan untuk

menempuh upaya hukum setelahnya. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam

sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat secara hukum (binding).63

Pertimbangan putusan tersebut bahwa Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 ayat (1),

ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat (9) serta Pasal 66 ayat (1),

ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf d, ayat (3), serta ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003

tidak bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat

(2) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945

(conditionally unconstitutional). Adapun amar putusan sebagai berikut:

Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

Frasa“…perjanjian kerja waktu tertentu dalam Pasal 65 ayat (7)” dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau penyedia jasa pekerja/buruh.

Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.64

63 Ahsan Yunus, Skripsi: Analisis Yuridis Sifat Final dan Mengikat (Binding) Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar, 19 September 2011, hlm. 68.

64 Baca Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.

59

Page 60: NAKER

Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka dua pasal yang ada di

UU No. 13 Tahun 2003 itupun berubah dengan dihilangkannya kalimat, ‘perjanjian

kerja waktu tertentu’ dan ‘perjanjian kerja untuk waktu tertentu.’ Bunyi dua pasal itu

menjadi:

Pasal 65 ayat (7):

Hubungan kerja sebagaimana dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

Pasal 66 ayat (2) huruf b

Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Dalam dua pasal itu terkandung kalimat perjanjian kerja waktu tertentu dan

perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Dua frasa itu yang bermakna outsourcing

sebelumnya disandingkan dengan kalimat perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Inti

putusan MK ini artinya tak lagi memberi kesempatan pada sebuah perusahaan untuk

memberikan pekerjaan yang sifat objeknya tidak tetap meskipun itu bersifat seperti

pengamanan, kurir dan lainnya. Alhasil bank-bank yang saat ini banyak

mempekerjakan teller atau costumer service dengan menggunakan sistem

outsourcing tidak dibenarkan lagi.65

Dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tersebut, upaya

perlindungan hukum bagi pekerja/buruh outsourcing kembali menjadi perhatian

akankah terealisasi dengan maksimal atau tidak. Sebagaimana kita ketahui bahwa

65 Dikutip pada laman website: http://www.tribunnews.com/2012/01/21/inilah-isi-lengkap-putusan-mk-soal-penghapusan-outsourcing. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2012.

60

Page 61: NAKER

akibat hukum yang timbul menurut ketentuan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi66 yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh

kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk

umum.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa wajar jika suatu perusahaan

berusaha menekan biaya, namun hal tersebut haruslah juga memperhatikan hak-hak

konstitusional pekerja/buruh outsourcing yang mereka kelola. Untuk itulah

Mahkamah Konstitusi menawarkan dua model outsourcing:

1) Dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan

yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja

waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak

tertentu (“PKWTT”).

2) Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja

yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. 

Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan

perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan

PKWTT secara tertulis. Sehubungan dengan penawaran model outsourcing tersebut

hemat penulis bahwa hal tersebut malah akan bertentangan dengan sistem kerja

outsourcing dimana mencakup syarat-syarat kerja PKWT bahwa outsourcing

merupakan kerja penunjang yang bukan pekerjaan utama pada sebuah perusahaan.

Sementara model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan

perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan

66 Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN 4316.

61

Page 62: NAKER

perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan

perlindungan.67 Pada kenyataannya prinsip pengalihan tindakan yang berlangsung

saat ini bahwa masih banyak perusahaan yang hanya menggunakan tenaga kerja

outsourcing atas nama saja, perusahaan penyedia dan pemberi kerja tidak mengatur

lebih lanjut mengenai hal-hal perlindungan serta berbagai jaminan atau tunjangan

untuk para pekerja/buruh outsourcing. Hal ini jelaslah membuat kaum pekerja/buruh

outsourcing lemah kedudukannya di hadapan hukum sehingga jika terjadi hal-hal

yang dapat mengancam jiwa atau merugikan pekerja/buruh outsourcing, mereka

lemah bahkan tidak mampu untuk menuntut hak-haknya.

B. Study Kasus Perjanjian Kerja dan Praktik Sistem Outsourcing di

Universitas Hasanuddin

1. Perjanjian kerja antara pihak-pihak outsourcing

Hukum perjanjian merupakan hal paling utama dalam sistem kerja outsourcing

karena dari perjanjian atau kontrak antara para pihak inilah yang menentukan segala

jaminan dan hak-hak pekerja/buruh seperti yang telah dijelaskan Mahkamah dalam

pendapatnya melalui berbagai pertimbangan hukum yang menekankan pentingnya

hak-hak konstitusional para pekerja/buruh itu terjamin dan tidak disalahgunakan oleh

perusahaan yang hanya akan mengambil keuntungan semata dengan modus efisiensi

biaya.

Dari hasil penelitian, kenyataannya implementasi dari putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tersebut dikesampingkan oleh pihak penyedia

67 Dikutip pada laman website: http://www.hukumonline.com/klinik/detail /lt4f2186f3b9d1b/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-outsourcing-pasca-putusan-mk. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013.

62

Page 63: NAKER

jasa PT. Dinar Mutiara Sakti (PT. DMS red). Diakuinya oleh pihak PT. DMS sendiri

yang diwakili oleh Doniella S selaku Manajer Operasional PT. DMS menuturkan

bahwa dulunya memang ada tapi sekarang tidak ada kontrak secara tertulis yang

mereka buat untuk mengikat perusahaan mereka dengan pihak pekerjanya yaitu

cleaning service di Unhas. Alasannya bahwa pertimbangan biaya yang harus

dikeluarkan untuk pembuatan berulang-ulang kontrak perjanjian tersebut dikarenakan

tidak konsistennya pekerja/buruh cleaning service yang kadangkala hengkang dan

tidak lagi melanjutkan pekerjaannya dan hanya datang bekerja untuk waktu

seminggu atau waktu-waktu tertentu.68

Kontrak perjanjian hanya dilakukan antara pihak pemberi kerja Unhas dengan

pihak penyedia jasa PT. DMS dengan durasi waktu kontrak selama 1 (satu) tahun.

Selama setahun tersebut pihak pemenang tender untuk selanjutnya bertindak sebagai

pihak penyedia jasa akan bertanggung jawab penuh atas kinerja cleaning service di

Unhas selama setahun waktu kontrak tersebut. Pertanggung jawaban pihak penyedia

jasa PT. DMS mencakup pendapatan dan hal lainnya yang berkaitan dengan kinerja

pekerja cleaning service. Tapi berdasarkan hasil wawancara, tidak ada jaminan sosial

ataupun tunjangan-tunjangan lain yang bisa diperoleh cleaning service ini. Menurut

Doniella, secara rasional kerja-kerja outsourcing bukan kerja-kerja yang berbahaya

kecuali jika seandainya harus membersihkan kaca jendela sebuah gedung pencakar

langit maka hal demikian pasti ada asuransi dan jaminan tersendirinya, jadi tidak ada

jaminan sosial yang diberikan. Untuk itulah pentingnya sosialisasi awal saat

68 Wawancara Doniella S, Manajer Operasional PT. Dinar Mutiara Sakti. Jumat, 8 Februari 2013.

63

Page 64: NAKER

perekrutan, PT. DMS telah terbuka kepada pekerjanya melakukan pemberitahuan

demikian.69

Sistem kontrak yang dilakukan oleh Unhas untuk mendapatkan mitra kerja

dalam hal menangani urusan cleaning service juga dapat dikatakan sebagai

perbudakan modern. Menggunakan sistem lelang dengan membuka penawaran

kepada perusahaan luar dengan cleaning service sebagai objek lelangnya, kemudian

satu per satu perusahaan-perusahaan yang tertarik mengajukan penawaran termasuk

harga pembayaran yang nantinya juga akan disalurkan sebagai gaji pekerja cleaning

service dengan melalui berbagai tahap pemotongan gaji baik itu pajak, pakaian untuk

cleaning service, peralatan yang akan mereka gunakan, serta alasan tunjangan

lainnya.

Untuk pembukaan tender di tahun ini yang dilakukan pada tanggal 21

Desember 2012 lalu, Unhas membuka penawaran dengan nilai pagu sebesar

4.650.000.000,00 dan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) sebesar 4.639.080.138,00.

Sebanyak 17 (tujuh belas) perusahaan mengajukan penawaran tetapi hanya 5 (lima)

perusahaan yang lulus berkas dan sampai pada tahap akhir pemilihan pemenang.

Berikut adalah daftar nama perusahaan penawar dengan jumlah penawaran

berdasarkan evaluasi kewajaran harga berita acara hasil pelelangan :

Tabel 1. Evaluasi Kewajaran Harga

69 Tambahan wawancara Doniella S, Manajer Operasional PT. Dinar Mutiara Sakti. Jumat, 8 Februari 2013.

64

Page 65: NAKER

No Nama PenyediaHarga

Penawaran(Rp)

HargaPenawaranTerkoreksi

(Rp)

Ket.

1 PT Riztechindo 4.451.601.000 4.451.601.000 Lulus

2PT Dinar Mutiara

Sakti3.874.332.000 3.874.332.000 Lulus

3PT Triwana Graha

Utama3.762.936.000 3.762.936.000 Lulus

4CV Mitra Usaha

Sukses4.577.727.000 4.577.727.000 Lulus

5CV Swasembada Utama Mandiri

3.900.204.000 3.900.204.000 Lulus

Sumber : Data dan Perlengkapan Rektorat Unhas Tahun 2012

Pada akhirnya pihak PT. Dinar Mutiara Sakti keluar sebagai pemenang tender

dengan berbagai pertimbangan oleh pihak panitia pelelangan penyedia jasa cleaning

service Unhas. Menurut Morexs Rein, Kabag Tata Usaha dan Rumah Tangga

Rektorat Unhas saat ditemui di ruangannya, menuturkan bahwa pertimbangan kenapa

memilih PT. DMS sebagai mitra kerja penyedia jasa cleaning service ini karena

alasan kinerja perusahaan tahun kemarin yang kurang memuaskan. Perusahaan yang

dimaksud tersebut adalah PT. Riztechindo, tetapi secara nyata anggapan beberapa

cleaning service mengenai perusahaan tersebut memberi mereka harapan lebih,

terutama gaji yang lebih tinggi daripada perusahaan yang menaungi mereka

sekarang. Namun, Morexs Rein membantah hal tersebut, diakuinya bahwa cleaning

service kadangkala selalu mengatakan hal demikian jika perusahaan tahun

sebelumnya sudah terganti dengan yang baru.70

70 Wawancara Morexs Rein, Kabag Tata Usaha dan Rumah Tangga Rektorat Unhas, Kamis, 7 Februari 2013.

65

Page 66: NAKER

Jelaslah bagaimana penerapan hukum perjanjian antara para pihak outsourcing

di Universitas Hasanuddin ini masih saja terdapat celah mengesampingkan hak-hak

konstitusional pekerja/buruh sebagaimana yang dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi

dalam putusan outsourcing. Hal tersebut kenyatannya tak luput dari pertentangan

antara das Sein dan dan Sollen, sebagaimana disebutkan kini71 dalam Pasal 66 ayat

(2) huruf b yang menyebutkan:

“Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.”

Dalam kenyatannya, antara pihak penyedia jasa PT. DMS tidak membuat

perjanjian kerja secara tertulis dengan pihak pekerjanya yaitu cleaning service Unhas

sehingga hal tersebut telah menyalahi perUndang-Undangan sebagaimana hasil

putusan Mahkamah Konstitusi yang melegalkan hal tersebut agar sejalan dengan

prinsip membangun kesejahteraan umum atau pekerja/buruh pada khususnya dan

keadilan sosial seperti yang digariskan di dalam pembukaan UUD 1945.

2. Praktik sistem outsourcing pada buruh cleaning service

Dari hasil penelitian penulis dengan mengadakan kuisioner dengan teknik

penelitian convinience sampling, penulis menemukan beberapa permasalahan penting

dalam praktik sistem outsourcing pada buruh cleaning service Unhas yang dalam

kenyataannya sebagian besar dari mereka, bahkan masih sangat asing dengan sebutan

71 Perubahan Pasal 66 ayat (2) huruf b tersebut berdasarkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 dengan maksud bahwa hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak tertentu” secara tertulis.

66

Page 67: NAKER

pekerja/buruh outsourcing yang selama ini mereka tekuni sebagai pekerjaan harian

mereka.

Hasil yang telah diperoleh ketika dimintai tanggapan mereka tentang sistem

kerja outsourcing ini bisa kita lihat dalam diagram presentase jawaban berikut :

Diagram 1 Diagram 2

Ket. Sampel (X) = 50 Ket. Sampel (X) = 50

Dari diagram 1 seperti yang kita lihat di atas menunjukkan bahwa berdasarkan

data responden cleaning service Unhas sebagian besar yaitu sebanyak 46%

menjawab kurang puas dengan sistem kerja outsourcing, tapi pada pokok

permasalahan yang sama, beberapa di antaranya juga menjawab puas sekali dengan

tanpa komentar apapun.

Hal yang mereka anggap kurang memuaskan ini berimplikasi pada keluhan-

keluhan responden saat dimintai tanggapan kendala-kendala apa saja yang mereka

dapatkan dengan sistem kerja seperti ini. Kendala gaji seperti yang dapat kita lihat

pada diagram 2 adalah keluhan terbanyak selama penelitian berlangsung. Selain itu

keluhan lain seperti fasilitas yang kurang memadai, jam kerja yang berlebihan,

fasilitas yang kurang, dan tidak adanya jaminan kerja menjadi kendala responden

berikutnya yang banyak dikeluhkan.

67

Puas Sekali10%

Puas22%

Kurang Puas46%

Tidak Puas22%

BAGAIMANA Tanggapan ANDA terhadap sistem KERJA outsourcing?

T i d a k J a w a b

T i d a k A d a J a m i n a n K e r j a

T i d a k P r o f e s i o n a l

J a m K e r j a B e r l e b i h a n

F a s i l i t a s T i d a k M e m a d a i

G a j i

20%

2%

4%

6%

10%

58%

Apa k e nda l a y a ng s e l a m a i ni di ha da pi da l a m s i s t e m k e r j a

out s ourc i ng ?

Page 68: NAKER

Jumlah pendapatan yang selalu menjadi keluhan cleaning service tersebut

dapat kita lihat dalam diagram 3 pendapatan berikut ini :

Diagram 3

Ket. Sampel (X) = 50

Keluhan pendapatan terbanyak adalah berada di kisaran Rp.600.000–

Rp.1.000.000, namun secara pasti pendapatan terbanyak mereka berada di kisaran

Rp.600.000–Rp.700.000. Selain itu, mereka juga menegaskan bahwa pendapatan

tersebut tidak termasuk uang makan selama jam kerja mereka dan akan ada beberapa

potongan gaji jika tidak masuk kerja meskipun itu karena alasan sakit atau alasan

lainnya.

Sementara untuk tunjangan lain yang mereka peroleh, responden lebih banyak

menjawab ’tidak ada’ daripada yang menjawab ’ada’. Berdasarkan data hasil pada

diagram 4 di bawah ini, sebanyak 90% menjawab tidak mendapat tunjangan sama

sekali dari pihak manapun baik itu pihak Unhas, pihak fakultas, ataupun pihak bagian

lainnya.

Diagram 4

68

R p . 1 . 0 0 0 . 0 0 0 - R p . 1 . 5 0 0 . 0 0 0

R p . 6 0 0 . 0 0 0 - R p . 1 . 0 0 0 . 0 0 0

R p . 1 0 0 . 0 0 0 - R p . 5 0 0 . 0 0 0

2%

82%

16%

B e ra pa k a h J um l a h Pe nda pa ta n A nda ?

T i d a k J a w a b

A d a

T i d a k A d a

2%

8%

90%

A pakah Anda Me ndapat Tunjangan lainnya?

Page 69: NAKER

Ket. Sampel (X) = 50

Berdasarkan data hasil convinience pleming, penulis juga mendapati bahwa

sistem kerja outsourcing di Unhas sendiri masih menggunakan sistem kontrak atau

dengan kata lain perjanjian kerja waktu tertentu padahal hal tersebut telah di putus

oleh Mahkamah berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

27/PUU-IX/2011 dalam Pasal 66 ayat (2) UU 13 Tahun 2003 bahwa suatu hubungan

kerja outsourcing dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak

berbentuk kerja waktu tertentu melainkan kerja untuk waktu tidak tertentu, hal ini

dapat kita buktikan dalam diagram 5 di bawah ini :

Diagram 5

Ket. Sampel (X) = 50

Diagram di atas menyebutkan bahwa durasi kontrak terbanyak antara pihak

penyedia jasa yaitu PT. DMS dan cleaning service di Unhas adalah selama 1 (satu)

69

T i d a k J a w a b

A d a

T i d a k A d a

2%

8%

90%

A pakah Anda Me ndapat Tunjangan lainnya?

T i d a k M e n e n t u

5 T a h u n

6 B u l a n

1 T a h u n

18%

2%

6%

74%

Be r apa lam a dur asi kont r ak yang dibe r ikan?

Page 70: NAKER

tahun, akan tetapi durasi kontrak tersebut bukanlah untuk pihak PT. DMS dan

cleaning service sebagaimana yang disebutkan tadi melainkan durasi kontrak antara

PT. DMS dan pihak pemberi kerja Universitas Hasanuddin. Dari pembahasan

sebelumnya pada penerapan hukum perjanjian telah dijelaskan bahwa antara pihak

PT. DMS dan cleaning service sama sekali tidak terikat kontrak secara tertulis karena

beberapa alasan yang tertera.72

Kembali pada pokok masalah dalam penyusunan skripsi ini bahwasanya

kedudukan pekerja/buruh outsourcing selalu lemah dan dikesampingkan hak

konstitusionalnya untuk berhak bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan

yang layak dalam hubungan kerja seperti yang disebutkan dalam Konstitusi Pasal

28D ayat (2) dan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan seperti yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Maka

berangkat dari dasar konstitusi inilah responden menaruh berbagai harapan mengenai

sistem kerja outsourcing, sebagaimana dapat kita lihat dalam diagram 6 di bawah.

Diagram 6

Ket. sampel (X) = 50

Secara garis besar, permasalahan peningkatan gaji masih menjadi suara

terbanyak oleh para responden, sedangkan suara agar outsourcing dihapuskan juga

banyak terpikirkan oleh pekerja/buruh outsourcing ini dengan alasan yang beragam

dan salah satunya berpendapat bahwa mereka dirugikan karena adanya sistem 72 Lihat hlm. 64-65.

70

T i d a k J a w a b

J a n g a n A d a P e m o t o n g a n G a j i

D i h a p u s k a n

T i n g k a t k a n G a j i

18%

2%

22%

58%

A pa Har apan A nda Te r hadap Sist e m Ke r ja Out sour cing?

Page 71: NAKER

outsourcing yang kadangkala digunakan penguasa untuk menekan orang kecil seperti

mereka.

Meskipun demikian, jika banyak pertimbangan yang membuat outsourcing

tidak dapat dihapuskan maka sebaiknya pemerintah bisa tegas dalam mengawal

bentuk pengaplikasian sistem kerja outsourcing. Jangan sampai hanya digunakan

sebagai modus efisiensi pengeluaran oleh perusahaan yang hanya fokus pada manfaat

bagi perusahaannya saja tanpa mengindahkan hak-hak sosial pekerja/buruh.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

71

Page 72: NAKER

Berdasarkan pembahasan rumusan masalah dan hasil dari penelitian, ada

beberapa pokok penting yang dapat ditarik sebagai kesimpulan skripsi ini, yaitu

sebagai berikut :

1. Hasil putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 mengenai

perubahan atas Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b tentang

outsourcing secara garis besar menawarkan sistem kerja outsourcing yang

dianggap konstitusional sepanjang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja waktu

tidak tertentu yang dibuat secara tertulis serta menerapkan prinsip pengalihan

tindakan agar pekerja/buruh tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya.

2. Lemahnya penerapan hukum perjanjian sistem kerja outsourcing yang

seyogianya berada dalam lingkup terpelajar Universitas Hasanuddin. PT. DMS

sebagai perusahaan penyedia jasa tidak mengadakan perjanjian kontrak secara

tertulis antara perusahaan mereka dengan pekerja cleaning service dengan

beberapa pertimbangan. Hanya ada satu perjanjian antara PT. DMS dengan

Unhas sebagai pihak pemberi kerja, namun isi perjanjian itupun sama sekali

tidak mengatur mengenai jaminan hak-hak sosial pekerja.

B. Saran

Adapun saran yang penulis ajukan pada skripsi ini dengan merujuk pada

beberapa subjek hukum, yaitu :

72

Page 73: NAKER

1. Kepada Pemerintah agar kiranya tegas mengawal pengaplikasian hukum secara

maksimal terkhusus untuk pengaplikasian sistem kerja dengan cara

outsourcing berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

27/PUU-IX/2011 tentang outsourcing ini.

2. Kepada pihak-pihak outsourcing terutama pihak penyedia jasa yang dalam hal

ini PT. Dinar Mutiara Sakti agar lebih memperhatikan hak-hak konstitusi

pekerja/buruh cleaning service di Unhas dengan membuat perjanjian kontrak

yang secara tertulis agar posisi pekerja cleaning service tidak lagi lemah di

hadapan hukum.

3. Kepada pihak pemberi kerja Universitas Hasanuddin agar lebih rasional lagi

dalam melaksanakan sistem kerja outsourcing. Jangan mengenyampingkan

jaminan kerja dan hak-hak pekerja cleaning service ataupun pekerja/buruh

outsourcing lainnya di kampus ini hanya demi melakukan efisiensi biaya

pengeluaran.

4. Kepada pihak cleaning service sendiri ataupun seluruh pekerja/buruh

outsourcing utamanya di kampus Universitas Hasanuddin agar jangan takut

untuk menyuarakan pendapat jika dalam kenyataannya hal tersebut adalah hak-

hak yang seharusnya anda dapatkan. Diam bukan berarti emas, maka dari itu

anda sendiri yang bisa mengubah keberadaan dan kedudukan anda sebagai

pekerja.

73