M.Z. Arifin et al - Pustaka Ilmiah Universitas...

28
M.Z. Arifin et al 1 HEAD INJURY MANAGEMENT PENGELOLAAN PENDERITA CEDERA KEPALA Muhammad Zafrullah Arifin Departemen Bedah Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung PENDAHULUAN Cedera otak traumatika masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan tertinggi pada kelompok umur dibawah 40 tahun, sehingga menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi. Cedera otak traumatika, pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian dan kecacatan terbanyak di dunia melebihi penyakit-penyakit yang lain. Meskipun insidensi cedera otak traumatika di negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia terus mengalami penurunan, namun insidensinya mengalami kenaikan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini erat hubungannya dengan meningkatnya industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor. 1-3 Di USA kejadian cedera otak traumatika setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus, dan 10% diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Delapanpuluh persen dari penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera otak traumatika ringan, 10% termasuk cedera otak traumatika sedang dan 10% sisanya adalah cedera otak traumatika berat. Lebih dari 100.000 orang, menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera otak traumatika setiap tahunnya di USA. 2-4 Di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, pada tahun 2011 terjadi peningkatan kejadian cedera otak traumatika sebanyak 14,5% jika dibandingkan dengan kejadian cedera otak traumatika tahun 2010. Pada tahun 2011, kejadian cedera otak traumatika 2.509 kasus yang terdiri atas 1.856 (74%) cedera otak traumatika ringan, 438 (17%) cedera otak traumatika sedang, dan 215 (9%) cedera otak traumatika berat. Angka kematian pasien dengan cedera otak traumatika berat juga mengalami peningkatan dari 33% pada tahun 2010 menjadi 43% pada tahun 2011. 5 Data RSHS pada tahun 2011

Transcript of M.Z. Arifin et al - Pustaka Ilmiah Universitas...

M.Z. Arifin et al

1

HEAD INJURY MANAGEMENT

PENGELOLAAN PENDERITA CEDERA KEPALA

Muhammad Zafrullah Arifin

Departemen Bedah Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN

Cedera otak traumatika masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan tertinggi

pada kelompok umur dibawah 40 tahun, sehingga menjadi masalah utama dalam bidang

kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi. Cedera otak traumatika, pada tahun 2020 akan

menjadi penyebab kematian dan kecacatan terbanyak di dunia melebihi penyakit-penyakit

yang lain. Meskipun insidensi cedera otak traumatika di negara-negara maju di Eropa,

Amerika Utara, Jepang dan Australia terus mengalami penurunan, namun insidensinya

mengalami kenaikan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini

erat hubungannya dengan meningkatnya industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan

kendaraan bermotor.1-3 Di USA kejadian cedera otak traumatika setiap tahun diperkirakan

mencapai 500.000 kasus, dan 10% diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit.

Delapanpuluh persen dari penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai

cedera otak traumatika ringan, 10% termasuk cedera otak traumatika sedang dan 10%

sisanya adalah cedera otak traumatika berat. Lebih dari 100.000 orang, menderita

berbagai tingkat kecacatan akibat cedera otak traumatika setiap tahunnya di USA.2-4

Di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, pada tahun 2011 terjadi

peningkatan kejadian cedera otak traumatika sebanyak 14,5% jika dibandingkan dengan

kejadian cedera otak traumatika tahun 2010. Pada tahun 2011, kejadian cedera otak

traumatika 2.509 kasus yang terdiri atas 1.856 (74%) cedera otak traumatika ringan, 438

(17%) cedera otak traumatika sedang, dan 215 (9%) cedera otak traumatika berat. Angka

kematian pasien dengan cedera otak traumatika berat juga mengalami peningkatan dari

33% pada tahun 2010 menjadi 43% pada tahun 2011.5 Data RSHS pada tahun 2011

M.Z. Arifin et al

2

(Gambar 1) didapatkan total pasien yang masuk IGD dalam tahun 2011 sebanyak 9608

pasien. Jumlah rata-rata pasien perbulannya sebanyak 800 pasien, rata-rata 384 pasien

diantaranya adalah kasus kecelakaan lalulintas, rata-rata 67 pasien meninggal dan 14

pasien meninggal pada saat tiba di RSHS.6

Keterangan: DOA, Death on Arival; KLL, Kecelakaan Lalulintas

Gambar 1. Data instalasi gawat darurat RSHS pada tahun 2011.

Penyebab terjadinya cedera kepala termasuk kecelakaan lalulintas, kekerasan/pemukulan,

jatuh, cedera olahraga, dan kecelakaan industri. Beragam faktor mempengaruhi terjadinya

cedera kepala serius. Sebagai contoh, intoksikasi alkohol terlibat pada setangah dari

semua kasus fatal dalam kecelakaan lalulintas. Pada sisi lain, mengurangi batas kecepatan

pada jalur bebas hambatan, menggunakan sabuk pengaman, dan menggunakan pelindung

kepala/helm untuk pengendara bermotor dan pekerja industri telah mengurangi jumlah

kecelakaan serius. Tetapi, sangat disayangkan, masyarakat menolak menggunakan

alat-alat pengaman atau menerapkan langkah-langkah keamanan.

Jika morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh cedera kepala harus dikurangi, maka

sangat penting bagi semua dokter untuk memahami aspek-aspek patofisiologi cedera

kepala dan penatalaksanaan yang tepat untuk cedera kepala, tulang tengkorak dan otak.

M.Z. Arifin et al

3

CEDERA KULIT KEPALA

Cedera kulit kepala sangat sering terjadi, dan walaupun pada umumnya minor, namun

harus diperiksa dengan sangat hati-hati dan ditangani dengan sebaik-baiknya. Luasnya

cakupan pemeriksaan dan penatalaksanaan tergantung pada kedalaman luka.

Cedera kulit kepala yang paling ringan adalah abrasi/kontusio, yang pada umumnya

membaik dengan terapi lokal (yaitu, membersihkan luka dan penggunaan antibiotik

topikal dan kompres dingin). Pukulan yang lebih kuat dapat menyebabkan perdarahan

pada rongga subgaleal (perdarahan diantara aponeurosis dan periosteum) atau

subperiosteal (perdarahan diantara periosteum dan tulang tengkorak), dengan

pembentukan sefal hematoma, yang paling sering terjadi pada neonatus. Jika cukup luas,

sefalhematoma pada anak-anak dapat mengurangi angka hematokrit dengan signifikan.

Selain mengamati volume darah dan mengawasi kemungkinan terjadinya hiper

bilirubinemia, tidak ada terapi khusus lain yang dibutuhkan. Sefal hematoma tidak boleh

di aspirasi secara rutin. Sangat jarang, terjadi kalsifikasi pada hematoma subperiosteal,

yang membutuhkan operasi pengangkatan. Kadang kala setelah cedera kepala mayor,

hematoma epidural dapat terdorong keluar melalui fraktur tulang tengkorak diatasnya dan

laserasi periosteal dan menghasilkan akumulasi darah pada rongga subgaleal.

Laserasi kulit kepala menjadi alasan utama sebagian besar kunjungan ke unit gawat

darurat pada kasus terkait cedera kepala. Karena kulit kepala memiliki banyak pembuluh

darah, cedera pada dearah ini biasanya sembuh dengan baik.

Rambut disekitar laserasi harus dipangkas (dicukur) untuk penanganan luka. Penanganan

termasuk irigasi dengan saline steril yang sangat banyak dan membersikan/menggosok

kuat luka dengan larutan sterilisasi kulit standar (yaitu, povidone-iodine).

Setelah pemberian anastesi lokal, luka harus diperiksa dengan teliti dibawah lampu yang

terang. Jika laserasi tidak menembus galea, biasanya ditangani dengan penutupan satu

lapis kulit. Jika terdapat laserasi pada galea, tulang tengkorak dibawahnya harus diperiksa

untuk memastikan tidak adanya fraktur. Jika ditemukan ada tanda-tanda fraktur, foto

tulang tengkorak dan konsultasi bedah saraf dibutuhkan sebelum luka ditutup, karena

M.Z. Arifin et al

4

debridemen yang lebih luas atau terapi antibiotik yang lebih banyak/panjang mungkin

diperlukan. Jika tidak ditemukan cedera pada tulang tengkorak, luka dapat ditutup dengan

satu atau dua lapisan. Jika pada awalnya luka terkontaminasi, menutup satu lapis kulit

lebih disarankan, karena jahitan yang tertimbun bisa terinfeksi.

Toxoid tetanus diberikan berdasarkan status imunisasi pasien. Walaupun antibiotik

profilaksis rutin disarankan, tidak ada penelitian yang dapat membuktikan efektivitas

antibiotik tersebut dalam menurunkan terjadinya angka infeksi. Laserasi yang luas dapat

mengeluarkan darah yang sangat banyak dan, terutama pada anak-anak, dapat

menyebabkan anemia atau, jarang sekali, shok hipovolemik.

CEDERA INTRAKRANIAL

Konkusi

Cedera otak paling ringan adalah konkusi. Cedera ini mengakibatkan penurunan

kesadaran untuk beberapa saat dan amnesia, retrograde (sebelum kecelakaan) atau

anterograde (postraumatik) amnesia. Model eksperimen dan data neuropatologik yang

terbatas yang berhubungan dengan kematian pasien konkusi karena penyebab lain tidak

dapat memberikan bukti yang meyakinkan, pada mikroskop cahaya, adanya lesi patologik

didalam otak. Trauma yang mengakibatkan rotasi kepala seringkali menyebabkan

penurunan kesadaran.

Walaupun studi-studi awal melibatkan disfungsi fisiologis pusat batang otak pada cedera

ini, belum ditemukan kasus dengan lesi patologik batang otak yang terisolasi. Pada

kenyataannya, sebagian besar cedera kepala tampak sentripetal; yakni, bagian otak

superfisial rusak terlebih dahulu sebelum bagian yang dalam. Seperti yang sering terlihat

pada defisit amnesia postkonkusi yang dalam pada pasien-pasien dengan perubahan

kesadaran yang sangat minimal dapat menegaskan bahwa cedera bersifat sentripetal.

Walaupun mekanisme kerusakan selular yang terjadi pada konkusi tidak diketahui,

berdasarakan fakta-fakta yang disampaikan diatas, diskoneksi fisiologis antara korteks

dan batang otak menjadi dasar pemikiran utama.

M.Z. Arifin et al

5

Konkusi diklasifikasikan berdasarkan hebatnya derajat cedera primer dan hasil disfungsi

neurologis. Lesi grade I menyebabkan kebingungan (confusion) sementara, lalu segera

kembali ke kesadaran normal dan tanpa amnesia; grade II, kebingungan yang sedikit

lebih berat dan sedikit amnesia (hanya postraumatik), grade III, kebingungan yang sangat

berat pada awalnya, dengan amnesia postraumatik dan retrograde; grade IV (konkusi

klasik), kehilangan kesadaran singkat, periode kebingungan yang bervariasi, dan amnesia

postraumatik dan retrograde.

Evaluasi awal semua pasien-pasien konkusi adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik

lengkap. Banyak dokter-dokter menyarankan foto tulang tengkorak rutin, karena temuan

positif pada radiografi menambah adanya kemungkinan hematoma intrakranial secara

signifikan. Beberapa dokter juga menyarankan foto servikal rutin, tetapi foto ini harus

selalu direncanakan pada pasien dengan nyeri leher atau pada pasien dengan gangguan

kesadaran persisten. Pemeriksaan laboratorium lain disesuaikan berdasarkan keperluan

masing-masing pasien.

Jika periode kebingungan telah lewat, jika hasil dari berbagai investigasi negatif, dan jika

ada seseorang yang dapat dipercaya dapat mengawasi pasien dengan bantuan "head

sheet" (lembar instruksi cedera kepala; termasuk mengawasi timbulnya gejala dan tanda

yang memerlukan bantuan medis sesegera mungkin) selama 24 jam, pasien boleh

dipulangkan. Bahkan jika pasien sedikit kebingungan, temuan radiografi positif, tidak ada

seseorang yang dapat dipercaya untuk mengawasi pasien, atau ada masalah-masalah lain

terjadi, pasien harus dirawat untuk observasi. Tindakan pencegahan ini sangat penting,

bahkan pada cedera kepala yang tampak ringan, karena pasien-pasien demikian dapat

mengalami, kadang kala, hemorrhagik intrakranial yang mengancam nyawa dan keadaan

umumnya memburuk dengan cepat.

Sebagian kecil pasien datang kembali setelah dipulangkan dengan keluhan sakit kepala

persisten, mual, susah berkonsentrasi, memori yang buruk, insomnia dan depresi.

Gejala-gejala ini merupakan sindrom postkonkusi. Pada sebagian besar pasien-pasien ini,

hasil pemeriksaan neurologis dan radiografi (seperti CT scan) singkat/tanpa perhatian

khusus tampak normal, tetapi laporan dari studi-studi baru mengindikasikan adanya

M.Z. Arifin et al

6

abnormalitas pada tes neurofisiologik yang terperinci, bahkan pada pasien-pasien tanpa

sindrom postkonkusi. Tidak ada terapi khusus untuk keluhan-keluhan ini, tetapi dengan

konsultasi, penjelasan dan terapi simtomatik, sebagian besar pasien dalam keadaan baik.

Hematoma Epidural

Hematoma epidural tercatat sebanyak 1% sampai 3% dari semua kasus cedera kepala

mayor. Walaupun dapat terjadi pada semua umur, kasus ini paling sering dijumpai pada

dekade kedua dan ketiga kehidupan. Perbandingan rasio lelaki dan wanita sebesar 4:1.

Kecelakaan berkendara menjadi penyebab utama, tetapi kejadian kecil, seperti terpeleset

dan cedera olahraga, bisa menjadi pencetus yang fatal. Sumber permasalahan umumnya

berasal dari arterial (85%), tetapi epidural hematoma juga dapat melibatkan vena

meningeal atau sinus dural. Lokasi-lokasi epidural hematoma paling umum termasuk fosa

temporal, regio subfrontal dan area oksipital-suboksipital (gambar 2).

Hematoma epidural fosa temporal, yang menyebabkan cedera arteri meningeal media,

adalah epidural hematoma yang paling sering dijumpai. Fraktur tulang temporal menjadi

penyebab pada setidaknya 80% kasus. Tanda-tanda klinis klasik dan rangakaian kejadian

yang panjang pada hematoma tipe ini hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien saja.

Pada dasarnya, konkusi menyebabkan periode awal penurunan kesadaran, kemudian,

karena dura cukup erat dengan tulang tengkorak, akumulasi darah terhambat dan interval

lucid menyusul, pada saat fungsi neurologis pasien relatif normal. Akhirnya, ketika lesi

semakin membesar, kesadaran menurun secara drastis. Kejadian ini menggambarkan

karakteristik yang disebut "talk and die patient" (pasien berbicara lalu meninggal).

Interval lucid lebih panjang jika sumber perdarahan berasal dari vena (tekanan yang lebih

rendah).

M.Z. Arifin et al

7

Gambar 2. Lokasi Epidural (Sumber: Netter)Hematoma yang terus membesar dapat mendorong lobus temporal ke arah medial,

M.Z. Arifin et al

8

menyebabkan herniasi unkus dan girus hipokampal melalui dan melampaui lekukan

tentorial. Karakteristik sindrom herniasi unkal adalah penurunan kesadaran, dilatasi pupil

ipsilateral dini, dan hemiparesis. Hemapresis pada kasus ini umumnya kontralateral,

karena dekusasi pada traktus piramid desenden; namun, jika pedunkulus serebri

kontralateral tertekan ke tepi tentorial (Kernohan's notch), hemiparesis ipsilateral dapat

terjadi. Bukti lain menunjukkan hematoma epidural disertai dengan kontusi kulit kepala

ditempat cedera, fraktur tulang temporal, atau hematoma subgaleal temporal yang

diakibatkan oleh ekstravasasi darah epidural melalui fraktur tulang tengkorak dan laserasi

periosteum.

Hematoma epidrual frontal atau subfrontal paling sering terjadi pada anak-anak atau

orang tua, dan dikaitkan dengan pukulan langsung pada bagian frontal. Cedera ini dapat

melibatkan cabang anterior arteri meningeal media, arteri meningeal anterior, atau sinus

venosus. Gejala dan tanda yang umum termasuk sakit kepala, perubahan kepribadian dan

anisokoria. Interval lucid biasanya lebih panjang dan evolusi dari lesi lebih lambat jika

dibandingkan dengan lesi temporal. Studi-studi baru menyarankan bahwa kasus ini dapat

ditangani secara konservatif.

Hematoma epidural fosa posterior biasanya disebabkan oleh pukulan pada bagian

oksipital, dan dikaitkan dengan fraktur yang melewati sinus transversus. Presentasi klinis

bisa akut atau kronis. Gejala dan tanda yang umum termasuk sakit kepala, meningismus,

dysmetria, ataxia dan defisit nervus kranialis. Herniasi fosa posterior melalui foramen

magnum dapat menyebabkan trias Cushing─depresi pernafasan, tekanan darah yang

tinggi, dan denyut nadi yang rendah.

Hematoma epidural jarang bilateral, tetapi terkadang terkait dengan lesi subdural.

Diagnosa dapat dipastikan dengan CT scan; namun, kadang kala, tidak ada waku untuk

penundaan dan diagnosa dan terapi harus dikerjakan bersamaan, dalam bentuk

kraniektomi. Mortalitas pada kasus-kasus lampau dilaporkan mencapai 50%; namun,

studi baru, dengan diagnosis dan teknik terapi yang agresif, lebih memberikan harapan,

melaporkan mortalitas sekitar 20%.

M.Z. Arifin et al

9

Hematoma Subdural

Hematoma subdural pada umumnya merupakan hasil dari hemorrhagik vena akut yang

diakibatkan oleh ruptur bridging veins. Sumber perdarahan lain yang jarang ditemukan

dapat berasal dari arteri kortikal, aneurisma, malformasi arterivena dan tumor metastasis.

Hematoma subdural akut terjadi didalam 1 minggu setelah cedera (biasanya dalam jam).

Separuh kasus berkaitan dengan fraktur tulang tengkorak; kecelakaan bermotor

merupakan penyebab utama. Sering disertai oleh kontusi serebral atau batang otak yang

sangat berat, atau keduanya, menghasilkan mortalitas yang tinggi (50%). Tanda-tanda

umum termasuk penurunan kesadaran, dilatasi pupil ipsilateral, dan hemiparesis

kontralateral. Seperti hematoma epidural, hemiparesis pada kasus ini jarang ipsilateral.

Tanda-tanda lain yang disebut sebagai lokalisasi palsu termasuk homonimus hemianopia

akibat dari trombosis arteri serebral posterior pada herniasi unkal, tatapan/pandangan

abnormal yang disebabkan oleh cedera batang otak, dan, kadang-kadang, dilatasi pupil

kontralateral karena kompresi nervus okulomotor terhadap tentorium. Hematoma

subdural akut hampir selalu terletak pada konveksitas serebral dan ditemukan bilateral

pada 15% sampai 20% pasien. Diagnosa definitif dapat diperoleh dari CT scan atau

angiografi.

Hematoma subdural subakut biasanya terjadi di dalam 7 sampai 10 hari setelah cedera.

Gejala dan tandanya mirip dengan hematoma subdural akut, tetapi perjalanannya lebih

lambat dan mortalitasnya lebih rendah. Diagnosa definitif dapat diperoleh dari CT scan,

walaupun angiografi terkadang dibutuhkan karena isodensitas hematoma ini.

Hematoma subdural kronis paling sering dijumpai pada orang tua dan pemabuk kronis,

yang pada umumnya mengalami atrofi otak ringan, yang menghasilkan rongga subdural

yang lebih besar. Pasien yang mengkonsumsi terapi antikoagulan dalam waktu yang lama

atau pasien dengan dyscrasia juga memiliki faktor risiko yang lebih tinggi. Trauma

pencetus biasanya sangat sepele sehingga terlupakan. Pada awalnya, hemorrhagik kecil

memenuhi rongga subdural, dan kira-kira setelah 2 minggu, membran vaskular terbentuk

disekeliling lesi. Semula, diperkirakan bahwa hasil darah dari dalam hematoma subdural

menarik cairan serebrospinal secara osmosis, menambah ukuran hematoma, meregangkan

M.Z. Arifin et al

10

membran, dan menyebabkan hemorrhagik lebih lanjut. Namun, telah dibuktikan bahwa

tidak ada gradien osmotik terhadap membran. Meskipun demikian, pada beberapa pasien

hematoma tampaknya terus membesar sampai menimbulkan gejala.

Gejala dan tanda hematoma subdural kronis mirip dengan penyakit serebrovaskular,

ensefalitis, ensefalopati metabolik atau psikosis, dan cenderung bervariasi. Sakit kepala

kronis dan nyeri perkusi pada bagian lesi ditemukan pada 80% pasien, dan sebagian besar

pasien menderita demensia progresif dengan rigiditas menyeluruh (paratonia). Radiografi

tulang tengkorak menunjukkan abnormalitas pada 25% pasien, elektroensefalogram

menggambarkan pernurunan voltase pada daerah lesi, dan konsentrasi protein di dalam

cairan serebrospinal sering kali menurun. Diagnosa dapat dipastikan dengan CT scan atau

angiografi.

Tatalaksana Awal dan Evaluasi

Cedera intrakranial akut seringkali berkaitan dengan kerusakan neurologis yang berat.

Seringkali, pasien dibawa ke unit gawat darurat dalam keadaan koma─yakni, "tidak dapat

membuka mata, mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengeri, atau mengikuti perintah."

Penatalaksanaan awal cedera kepala yang berat (gambar 3) adalah ABC yang menjadi inti

dari ilmu kegawatdaruratan medis moderen.

Langkah pertama pada ABC adalah Airway/saluran nafas (A) dan membebaskan jalan

nafas dari benda-benda obstruktif (seperti, gigi palsu, vomitus). Karena pasien mungkin

mengalami cedera cervikal, radiografi lateral cervikal harus diperoleh terlebih dahulu

sebelum leher dapat dimanipulasi untuk intubasi trakeal. Namun, jika pernafasan tampak

terancam, intubasi nasotrakeal atau endotrakeal dengan leher pada posisi netral harus

dilakukan dengan sangat hati-hati sesegera mungkin. Kadang kala, trauma pada wajah

mencegah pemasangan intubasi, dan krikotiroidektomi atau trakeostomi dapat menjadi

pilihan jika diperlukan.

M.Z. Arifin et al

11

Gambar 3. Penatalaksanaan cedera kepala berat (Sumber: Netter)

M.Z. Arifin et al

12

Setelah saluran nafas dibebaskan, langkah berikutnya adalah Breathing/pernafasan (B).

Rata-rata dan ritme pernafasan, juga suara nafas, harus dievaluasi. Perubahan pola

pernafasan dapat mencerminkan disfungsi sistem saraf pusat pada level tertentu. Lesi

hemisferik bilateral yang dalam dan basal ganglia dapat menyebabkan respirasi

Cheyne-Stokes (pernafasan dengan periode hiperventilasi dan apnea yang silih berganti),

dan hiperventilasi neurogenik sentral dapat diakibatkan oleh lesi pada mesensefalik atau

pontine bagian atas. Pernafasan ataksik muncul pada fase terminal, dimana hanya

medullary yang masih dapat berfungsi. Analisa gas darah harus diperiksa pada semua

pasien dengan cedera kepala, karena hipoksemia sering terjadi. Oksigen harus diberikan

untuk menjaga kadar PaO2 dalam batas normal; hiperventilasi direkomendasikan untuk

menjaga PaCO2 diantara 25 dan 30 mmHg, karena hipokarbia merupakan serebral

vasokontriktor yang kuat, mengurangai volume darah otak dan, oleh sebab itu, tekanan

intrakranial. Foto polos dada harus diperoleh untuk memastikan tidak ada cedera pada

rongga dada seperti pneumothorak, kontusi paru atau aspirasi.

Kemudian perhatian diarahkan pada status Circulatory/sirkulasi (C) pasien, yang dapat

digambarkan oleh tekanan darah. Karena shok jarang terjadi akibat cedera kepala murni,

pemeriksaan dengan teliti harus dilakukan untuk mencari penyebab lain (yaitu, ruptur lien

atau fraktur tulang panjang). Kateter vena sentral, pada subklavian atau vena jugular

interna, seringkali memiliki peran yang tak ternilai dalam mengevaluasi dan mengobati

pasien-pasien dengan cedera multipel. Bersamaan dengan nilai hematokrit, tekanan vena

sentral dapat membedakan shok hipovolemik dengan beberapa kasus shok neurogenik

yang disebabkan oleh cereda kord spinal.

Pada shok neurogenik, disfungsi saraf servikal mengganggu aliran simpatis ke jarigan,

menyebabkan pooling vena dan hipotensi. Shok tipe ini biasanya ditandai dengan

hipotensi, bradikardia, tekanan vena sentral relatif normal, dan nilai hematokrit yang

normal, sedangkan shok hipovolemik menyebabkan takikardia, tekanan vena sentral yang

sangat rendah, dan nilai hematokrit yang menurun. Shok neurogenik biasanya dapat

diatasi dengan menundukan kepala pasien dan memberikan terapi cairan yang tidak

terlalu banyak; kadang-kadang atropin atau vasopresor juga dibutuhkan. Sedangkan,

pasien dengan shok hipovolemik membutuhkan cairan intravena yang sangat banyak,

M.Z. Arifin et al

13

yang dapat menyebabkan kelebihan cairan pada sirkulasi dan menimbulkan edema paru

pada pasien dengan hipotensi neurogenik.

Pada saat dan setelah penilaian ABC, pemeriksaan fisik lengkap juga dilakukan. Evaluasi

neurologis harus difokuskan pada tingkat kesadaran pasien, reaksi pupil, gerakan

ekstraokular, dan reaksi motorik. Anggota medis dan paramedis dapat melakukan

pemeriksaan tersebut di tempat kejadian trauma, unit gawat darurat, dan ruang rawat

intesif. Dengan demikian, perubahan pada pasien dapat dikenali lebih awal dan

penatalaksanaan dapat diterapkan sesegera mungkin.

Bermacam-macam isitilah, seperti koma, semikoma, stupor dan obtundation, digunakan

untuk menggambarkan tingkat kesadaran pasien, tetapi istilah-istilah berikut tidak dapat

diterapkan secara seragam di senter-senter dan bahkan di antara pemeriksa. Oleh karena

itu, penilaian yang dikembangkan oleh Jennett dan Teasdale's, pada tahun 1974, yang

dikenal sebagai Glasgow Coms Scale (GCS) menjadi kemajuan yang berarti. Pada skala

ini, kemampuan pasien melakukan tiga tes fungsi neurologis─membuka mata, reaksi

motorik dan reaksi verbal─menentukan skor total, seperti yang diilustrasikan pada

gambar 4. Definisi standar koma─"tidak dapat membuka mata, mengeluarkan kata-kata

yang dapat dimengerti, atau mengikuti perintah"─sesuai dengan nilai maksimum 8 pada

GCS. Glasgow Coma Scale sangat mudah diterapkan dan dapat dilakukan berulang-ulang,

memberikan gambaran perjalanan keadaan pasien dan dapat digunakan untuk melakukan

perbandingan pada institusi yang sama atau institusi-institusi lain. GCS telah menjadi

bagian yang tak terpisahkan dari diagnosa dan terapi moderen cedera kepala. Berbagai

macam abnormalitas pupil dapat ditemukan pada kasus cedera kepala. Yang paling

dikenal adalah kelumpuhan unilateral nervus ketiga karena herniasi unkal, yang

menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral dan respons yang buruk terhadap cahaya

(Hutchinson's pupil). Kemudian, fungsi otot ekstraokular juga terganggu, menghasilkan

dilatasi maksimal pupil dan menempatkan bola mata ke arah inferolateral. Pada keadaan

lain, anisokoria dapat mencerminkan sindrom Horner's. Sindrom Horner's traumatik pada

umumnya berhubungan dengan cedera pada serviko-thorakal kord spinal, pleksus

brakhialis atau arteri karotis. Cedera ini menyebabkan denervasi simpatis mata ipsilateral,

yang menimbulkan trias klasik: miosis, ptosis dan anhidrosis.

M.Z. Arifin et al

14

Gambar 4. Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (Sumber: Netter)

M.Z. Arifin et al

15

Miosis pupil bilateral, pada umumnya mengindikasikan intoksikasi obat, dapat juga

diakibatkan oleh cedera pontin. Cedera pada retina atau nervus optikus dapat

menyebabkan defek pupil aferen Marcus Gunn. Pada situasi ini, respons cahaya indirek

lebih kuat dibandingkan respons cahaya direk pada mata yang cedera. Mengayunkan

cahaya dari mata yang normal ke mata yang cedera memperlihatkan dilatasi pupil yang

berlawanan? Respons pupil lain, seperti pupil tektal dan hippus, kadang kala dapat

dijumpai setelah cedera kepala.

Saat menilai motilitas ekstraokuler, akan sangat membantu jika pemeriksa mengigat

bahwa terdapat dua area besar yang mengendalikan gerakan horizontal bola mata.

Didalam formasi retikular pontin terdapat pusat tatapan horizontal. Pusat ini terhubung,

melalui median longitudinal fasikulus, ke servikal kord spinal dan vestibular dan kranial

ekstraokular nuclei. Kerusakan pada pusat ini menyebabkan deviasi kedua bola mata ke

arah berlawanan. Pusat yang lain terletak didalam lobus frontal (area mata frontal,

Brodmann's area 8). Kerusakan pada pusat ini menyebabkan deviasi kedua bola mata dan

kepala ke arah lesi. Jika lokasi cedera berada di lobus frontal, kedua bola mata berdeviasi

menjauh dari sisi hemiparetik (traktus motorik menyebrang pada medulla); pada cedera

batang otak, kedua mata berdeviasi ke arah sisi hemiparetik.

Ditemukannya deviasi atau tidak, motilitas okular harus dinilai dengan lengkap. Jika

servikal tidak terlibat, fenomena doll's-head dapat digunakan. Menggerakan kepala dari

satu sisi ke sisi lain dapat menstimulasi akar-akar saraf dan vestibular nuclei dan, ketika

batang otak tidak terlibat, menyebabkan pergerakan bola mata ke arah berlawanan, agar

dapat mempertahan posisi relatifnya didalam ruang. Jika batang otak mengalami cedera,

gerak bola mata tidak terpengaruh oleh gerakan kepala (tanda prognosis yang buruk).

Sebagai alternatif, test kalorik dengan air-es dapat digunakan. Kepala diangkat 30 derajat

dari posisi supine, agar kanal semisirkular horizontal berada dalam posisi vertikal. Jika

kanal bebas dan membran timpani utuh, air-es dapat dimasukkan. Pada pasien sadar,

air-es menstimulasi vestibular nuclei, menghasilkan nistagmus dengan fase cepat ke sisi

kontralateral (COWS: Cold Opposite, Warm Same. Dingin berlawanan, hangat sama).

Pada pasien koma, namun, fase cepat tidak dapat dilihat sehingga kedua mata sebenarnya

M.Z. Arifin et al

16

berdeviasi ke arah irigasi air-es. Hasil negatif tes kalorik juga merupakan prognosa yang

buruk.

Beberapa kategori respons motorik termuat dalam Glasgow Coma Scale pada gambar 4.

Walaupun sederhana, skema ini sangat membantu menilai beratnya kasus cedera kepala.

Jika pasien dapat mematuhi perintah, melokalisasi nyeri, menghindari nyeri, berarti

semua traktus motorik desenden utuh. Traktus rubrospinalis mengatur respons fleksi

tetapi hanya mempersarafi ekstrimitas bagian atas pada manusia. Dekortikasi (fleksi

tangan dan ekstensi kaki), oleh sebab itu, mencerminkan cedera fisiologis pada level

diantara korteks dan red nuclei. Traktus vestibulospinal mengatur ekstensi pada keempat

ekstrimitas. Deserebrasi (ekstensi keempat ekstrimitas), oleh sebab itu, mencerminkan

cedera pada level diantara red nuclei dan vestibular nuclei. Respons motorik yang nihil

menandakan cedera pada level dibawah vestibular nuclei. Respons motorik lain (seperti

monoplegia, paraplegia atau quadriplegia) mencerminkan cedera pada berbagai area

sistem saraf.

Lengkapnya pemeriksaan lanjutan tergantung pada beratnya cedera dan dilakukan setalah

evaluasi awal. Radiografi tulang tengkorak diperoleh pada saat bersamaan. Tes

laboratorium standar harus diajukan untuk semua pasien trauma.

Fokus kemudian diarahkan pada radiografi definitif atau langkah-langkah terapi, atau

keduanya. Radiografi yang dimaksudkan termasuk CT scan otak, yang pada beberapa

tahun terakhir merevolusi diagnosa lesi intrakranial. Pada CT scan, kepala pasien

diletakkan didalam alat scan sirkular yang tersusun oleh tabung-tabung roengten. Karena

kepala tidak boleh bergerak selama pemeriksaan, anastesi pada umumnya dibutuhkan

untuk pasien dengan agitasi, pasien muda atau pasien yang tidak kooperatif. Pada saat

scan berrotasi, sinar x melintasi intrakranial dari berbagai sudut tetapi pada satu bidang

horizontal yang sama. Dengan menganalisa derajat struktur intrakranial yang

menipiskan/melemahkan sinar x, komputer memproduksi video atau gambar yang

menunjukkan radiodensitas pada bagian yang di scan. CT scan masa kini dapat

menghasilkan potongan-potongan dengan resolusi tinggi kurang dari 1 menit. Gambar 5

menunjukkan CT scan otak normal dan beberapa kasus hematoma intrakranial.

M.Z. Arifin et al

17

CT Scan pada Cedera Kepala

A. Normal brain. Transaksial CT scan kepalamenunjukan struktur normal otak dengan sulkus,giris dan sisterna yang masih terbuka

B. Epidural Hematom. CT scan kepala menunjukangambaran hiperdens berbentuk lentikular (bikonkaf)di area temporal kiri (panah).

Gambar 5. CT scan pasien trauma kepala(Sumber: Departemen Bedah Saraf FK Unpad-RSHS)

CT scan memperlihatkan perbedaan densitas antara struktur-struktur intrakranial.

Densitas serebrum pada CT adalah isodens. Struktur-struktur hiperdens termasuk tulang

tengkorak, kelenjar pineal dan darah segar; struktur-struktur hipodens termasuk cairan

serebrospinal, lemak dan air. Struktur-struktur yang berdampingan memiliki densitas

yang berbeda agar dapat dengan mudah diidentifikasi pada CT scan. Pergeseran struktur

normal, seperti kelenjar pineal atau sistem ventrikular, dapat menunjukkan adanya lesi.

Hematoma epidural dan subdural keduanya hiperdens tetapi seringkali memilik bentuk

yang berbeda. Hematoma epidural berbentuk lentikular karena kerekatan dura mater

dengan tabula dalam tulang tengkorak pada kedua tepi/ujung lesi. Hematoma epidural

dapat menggeser sistem ventrikuler dan kelenjar pineal.

Hematoma subdural akut biasanya berbentuk bulan sabit (cekung). Hematoma subdural

pada umumnya terletak disekeliling konveksitas serebral, dan biasanya menggeser sedikit

bagian dari sistem ventrikuler. Hematoma subdural subakut, jika isodens, sulit dilihat

pada CT scan. Kasus subakut biasanya dapat terdeteksi karena adanya pergeseran struktur

M.Z. Arifin et al

18

normal dalam otak, tetapi pergeseran ini tidak dapat ditemukan jika hematoma terjadi

pada kedua sisi (bilateral), dijumpai pada 15% sampai 20% kasus. Pada kasus-kasus

tersebut, CT scan dengan kontras dapat menggambarkan batas/tepi korteks. Jika tidak,

angiografi karotis, biasanya melalui kateter transfemoral, dapat berperan penting untuk

menunjukkan pembuluh darah kortikal yang lepas/geser dari tabula dalam tulang

tengkorak pada lokasi hematoma. Hematoma subdural kronik pada umumnya hipodens

dan, oleh sebab itu, mudah dilihat pada CT scan. Hematoma subdural kronis kadang kala

berbentuk lentikular, karena terbungkus/terisolasi didalam membran subdural.

Hematoma intraserebral terlihat hiperdens pada CT dan biasanya ditemukan pada lobus

temporal dan frontal setelah trauma. Struktur-struktur normal dapat tergeser. Terkadang

hemorrhagik intraserebral lobus temporal terlihat berangkaian dengan hematoma subdural

diatasnya─yang dinamakan lobus temporal burst (gambar 6), dan memiliki prognosis

yang cukup buruk. Tidak jarang, CT scan pada kasus cedera kepala mayor gagal

menunjukkan adanya lesi. Dengan cara lain, area dengan hipodensitas relatif dapat dilihat

didalam struktur white matter, mencerminkan adanya edema serebral postraumatik.

PERTUKARAN RESPIRASI PADA CEDERA KEPALA

Sangat penting dalam penatalaksanaan medis pasien cedera kepala adalah memahami

pertukaran respirasi yang kacau/tidak teratur. Otak sangat bergantung pada metabolisme

aerobik pada situasi fisiologis dan sebagian besar patologis. Metabolisme otak normal

untuk oksigen adalah 3,5 ml/100 g • menit, yang mewakili 20% dari total oksigen yang

dibutuhkan oleh tubuh. Aliran darah otak dan, oleh sebab itu, tekanan intrakranial

bergantung pada PaCO2 dan pH darah. Sebagai contoh, inhalasi 5% karbondioksida

meningkatkan aliran darah otak sebanyak 50%, dimana hipokapnia yang dihasilkan dari

hiperventilasi dapat menurunkan aliran darah otak sebanyak 60%. Setelah cedera serebral,

oleh sebab itu, hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis yang berhubungan dengan

abnormalitas pernafasan dapat menyebabkan perburukan metabolisme neuronal dan

hipertensi intrakranial. Keadaan ini kembali mempengaruhi respirasi, menciptakan siklus

perburukan yang fatal.

M.Z. Arifin et al

19

Gambar 6. Perdarahan kompleks intracranial (Sumber: Netter)

M.Z. Arifin et al

20

Pernafasan dikontrol secara volunter dan otomatis. Pusat volunter tertinggi belum

ditemukan, namun tiga pusat otomatis telah diidentifikasi didalam batang otak: pusat

pneumotasik, yang terletak di pons rostral dan menyempurnakan pusat lain; pusat

apneustik, yang terletak di formasi retikuler midpontine dan mungkin berfungsi sebagai

terminal dari stimulus yang mengakhiri inspirasi; dan pusat medular, yang

mempertahankan ritme intrinsik pernafasan. Stimulus aferen dari perifer (karotis dan

badan aorta dan paru-paru) dan reseptor sentral memberikan input pada pusat-pusat ini.

Output sistem volunter berada di dalam traktus kortikospinal, sedangkan sistem otomatis

terletak di dalam kuadran ventrolateral. Lesi yang dibuat pada traktus spinotalamikus

untuk menghilangkan rasa sakit (kordotomi) dapat mempengaruhi traktus ini. Kadang

kala, tindakan ini dapat mengakibatkan "Ondine's curse," kondisi dimana pasien berhenti

bernafas saat tidur.

Kelainan yang spesifik pada rata-rata dan pola pernafasan dapat mencerminkan disfungsi

fisiologis atau anatomis sistem saraf pusat. Lesi hemifer bilateral yang dalam atau ganglia

basal, atau keduanya, dapat menyebabkan pernafasan Cheyne-Stoke, yang dihubungkan

dengan ensefalopati atau herniasi unkal yang tertunda. Mesensefalik atau lesi pontine

bagian atas dapat menyebabkan hiperventilasi neurogenik sentral, yang juga dapat

diakibatkan oleh hipoksia dan asisdosis. Respirasi apneustik, ditandai dengan inspirasi

yang memanjang, disebabkan oleh lesi pada pusat respirasi apneustik; terjadi pada pasien

dengan infark pontine, hipoglisemia atau anoxia. Pola pernafasan ataksik dapat terjadi

akibat lesi masa yang mempengaruhi pusat pernafasan medulari.

Pengawasan gas darah arterial sangat penting dalam mendiagnosa dan menangani

kelainan pernafasan pada pasien-pasien koma. Hipoksemia sering terjadi pada

pasien-pasien ini, dan perubahan pada gas darah arterial hampir selalu mendahului

perubahan radiografis (lebih cepat 12 jam atau lebih). Pengawasan gas darah arterial juga

bisa menjadi sangat berarti dalam menentukan penyebab koma. Asidosis metabolik dapat

mensinyalir adanya uremia, ketoasidosis diabetik, asidosis laktat atau keracunan.

Alkalosis metabolik dapat disebabkan oleh konsumsi alkali, emesis yang lama atau

hipokalemi. Asidosis respiratori dapat diakibatkan oleh depresi sistem saraf pusat (pada

trauma atau obat-obatan) atau gagal nafas. Alkalosis respiratori merumitkan keracunan

M.Z. Arifin et al

21

aspirin (salisilisme), esefalopati hepatikum dan sepsis. Edema paru akut terkadang

dijumpai bersama dengan cedera kepala, mungkin karena cedera hipotalamik

menyebabkan discharge simpatetik masal, dengan konsekuensi vasokonstriksi dan

shunting volume darah yang banyak ke dalam area vaskular dengan resistensi yang relatif

rendah, termasuk paru-paru.

Banyak faktor lain yang menyebabkan kesulitan bernafas pada pasien yang mengalami

trauma multipel (gambar 7). Terapi medis dan pernafasan yang agresif dapat meringankan

semua abnormalitas tersebut, memperbaiki hasil akhir pasien dengan cedera pada sistem

saraf pusat.

METABOLISME AIR DAN GARAM PADA CEDERA KEPALA

Otak, melalui hipotalamus dan neurohipofisis, berperan penting dalam mengatur

metabolisme air dan garam di dalam tubuh. Kelainan/kekacauan pada sistem yang peka

ini dapat menghasilkan hipertoni atau hipotoni yang berat pada darah, keadaan ini dapat

memperburuk kondisi neurologis yang sudah terlebih dahulu terancam (gambar 8).

Metabolisme normal sodium bergantung pada tiga faktor. Pertama, manusia dan mamalia

lebih menyukai makanan asin dalam jumlah yang melebihi kebutuhan hemostatiknya.

Kedua, aldosterone, mineralokortikoid yang disekresi oleh kelenjar adrenal─terutama

dalam merespons sistem renin-angiotensin tetapi juga memberikan respons terhadap

hormon adrenokortikoid (ACTH)─mempertahankan sodium dengan cara meningkatkan

absorpsi ginjal. Ahli mempercayai adanya faktor natriuretik sentral: hormon antidiuretik

(ADH, vasopresin), oksitosin, melanocyte-stimulating hormone atau neurofisin. Banyak

faktor dapat mempengaruhi pertukaran air dan garam pada penyakit sistem saraf pusat.

Pemberian solusi hipertonik (seperti, manitol) atau restriksi cairan yang berlebihan untuk

mengurangi edema serebral dapat menyebabkan dehidrasi yang berat. Sebaliknya,

pemberian cairan hipotonik melalui intravena yang berlebihan dapat mengakibatkan

hiposmolaritas dan meningkatkan edema serebral. Hipertermi, masalah paru-paru, shok,

dan lain-lain, dapat mempengaruhi kebutuhan cairan, dan keadaan ini harus ditangani

dengan tepat. Pengawasan serum elektrolit dan urin menjadi sangat amat penting.

M.Z. Arifin et al

22

Gambar 7. Multipel injury pada pasien cedera kepala (Sumber: Netter)

M.Z. Arifin et al

23

Gambar 8. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit (Sumber: Netter)

M.Z. Arifin et al

24

Masalah metabolisme air dan garam yang paling umum pada kelainan sistem saraf pusat

(seperti cedera kepala, ensefalitis atau tumor) terkait dengan gangguan pada mekanisme

kerja ADH. Tiadanya ADH, menyebabkan ekskresi dilute urin (berat jenis <1,005) dalam

jumlah yang besar (8 sampai 10 L/hari)─kondisi yang dikenal sebagai diabetes insipidus.

Jika sadar, pasien merasakan kehausan yang hebat dan meminum sejumlah cairan untuk

menggantikan cairan yang keluar. Namun, jika kesadaran pasien atau mekanisme haus

terganggu, atau keduanya, seperti yang sering terjadi pada kasus cedera kepala, pasien

akan mengalami dehidrasi yang berat. Kasus ringan dapat ditangani dengan obat yang

meningkatkan aktifitas ADH yang bersikulasi dalam darah, seperti klorpropamid dan

klofibrat.

Terapi lini pertama untuk dehidrasi berat akut adalah administrasi cairan. Jika pemberian

cairan tidak mencukupi atau kondisi ini berlangsung selama lebih dari 24 sampai 48 jam,

terapi hormone vasopresin encer (aqueous vasopresin) atau vasopresin tannate di dalam

oli dapat diberikan; vasopresin tannate memiliki efek yang lebih lama. Diabetes insipidus

kronik yang berat sekarang ditangani dengan sintesis analog vasopresin melalui nasal

insuflasi, desmoprsin asetat (DDAVP).

Sekresi ADH yang berlebihan merupakan kelanjutan dari cedera kepala, tumor otak,

infeksi sistem saraf pusat, dan hidrosefalus, diantara banyak kondisi. Telah diperkirakan

bahwa kondisi ini, syndrome of inappropriate ADH secretion (SIADH atau sindrom

Schwartz-Bartter), ditemukan pada 30% pasien bedah saraf pada masa perawatan di

rumah sakit. Jika berat, dapat menyebabkan intoksikasi air, diindikasikan dengan mual,

lemah, letargi, bingung, koma dan kejang. Kriteria laboratorium untuk diagnosa SIADH

termasuk konsentrasi serum sodium dibawah 135 mEq/L, konsentrasi sodium urin

melebihi 25 mEq/L, serum hiposmolalitas, dan konsentrasi urin yang abnormal. Kriteria

ini menyingkirkan penyebab serum hiponatremia lain, seperti dehidrasi, gagal jantung

kongestif, sirhosis, penyakit ginjal atau adrenal, dan pemberian diuretik.

Pada pasien asimtomatis, restriksi cairan (600 sampai 800 ml/hari) menurunkan filtrasi

glomerular dan meningkatkan absorpsi sodium di ginjal. Jika pasien simptomatis,

pemberian intravena solusi saline hipertonik memperbaiki kadar serum sodium. Sebagai

M.Z. Arifin et al

25

alternatif, furosemide dapat diberikan, disertai dengan penggantian serum elektrolit yang

hilang melalui kemih. SIADH kronik memberikan reaksi yang baik terhadap

demeklosiklin, tetrasiklin yang bereaksi pada tabula renal distal, menyebabkan diabetes

insipidus "nefrogenik".

PROGNOSIS PADA CEDERA KEPALA

Glasgow Outcome Scale sering digunakan untuk menilai hasil terapi pada kasus cedera

kepala berat. Kategori-kategeri hasil akhir termasuk kematian, status vegetatif persistent,

disabilitas berat (memerlukan bantuan untuk menjalani aktifitas hidup sehari-hari),

disabilitas sedang (tidak memerlukan bantuan dalam aktifitas hidup sehari-hari), dan

sembuh (dapat menjalani pekerjaan sebelumnya). Pada seri Becker, yang

merepresentasikan operasi dan terapi agresif, hasilnya adalah sebagai berikut: mortalitas,

32%; disabilitas berat/status vegetatif, 11%; disabilitas sedang/sembuh, 57%. Semua

pasien pada seri ini berada dalam keadaan koma saat penerimaan.

Bermacam-macam faktor pretrauma mempengaruhi prognosis cedera kepala berat

(gambar 9). Umur adalah faktor yang paling penting, karena mortalitas cedera kepala

meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Tren ini disebabkan oleh insidens

komplikasi medis yang tinggi pada pasien tua dengan cedera kepala berat; terlebih lagi,

lesi masa intrakranial lebih sering terjadi pada pasien tua. Adanya cedera atau penyakit

terdahulu (sebelum trauma) pada otak juga memperburuk prognosis. Contohnya adalah

sindrom "punch-drunk" pada petinju, dimana cedera kepala minor yang berulang

menghasilkan kumulatif prognosis yang buruk. Berbagai macam aspek koma sangat

berhubungan erat dengan hasil akhir. Nilai Glasgow Coma Scale berhubungan dengan

hasil akhir. Kematian atau status vegetatif adalah hasil akhir pada 80% pasien dengan

nilai 3 sampai 4, pada 54% pasien dengan nilai 5 sampai 7, pada 27% pasien dengan nilai

8 sampai 10, dan pada 6% pasien dengan nilai 11 sampai 15. Tanda-tanda disfungsi

batang otak merupakan faktor prognosis yang buruk. Jika respons pupil terhadap cahaya

negatif pada kedua mata, mortalitasnya mencapai 65% pada pasien dengan lesi masa dan

82% pada pasien dengna cedera otak difus. Jika respons okulovestibular nihil, mortalitas

mendekati 60%. Postur deserebrasi terkait dengan 50% mortalitas.

M.Z. Arifin et al

26

Gambar 9. Prognosis cedera kepala berat (Sumber: Netter)

M.Z. Arifin et al

27

Gangguan otonomik, seperti pola pernafasan yang abnormal dan hipertensi, juga

memberikan prognosis yang buruk, dan jenis/asal cedera juga menjadi faktor penentu.

Contohnya, adanya lesi masa meningkatkan mortalitas secara signifikan; oleh karena itu,

CT scan sangatlah penting dalam prognosis. Hasil akhir yang paling baik berhubungan

dengan scan normal atau scan dengan lesi densitas rendah (edema). Prognosis semakin

bertambah buruk pada lesi densitas tinggi berikut: hematoma epidural, hematoma

subdural akut, hematoma intraserebral akut (atau kontusi hemorrhagik), urutan diatas

dimulai dari prognosis yang terburuk.

Pada seri dimana pengawasan tekanan intrakranial diterapkan sejak awal, tekanan

intrakranial meningkat pada semua pasien cedera kepala paska operasi. Pada dua per tiga

pasien nonoperatif dengan cedera otak difus, tekanan intrakranial melebihi 10 mmHg.

Terjadinya tekanan intrakranial yang sulit dikontrol (>40 mmHg) selalu menurunkan

tekanan perfusi serebral dan membawa hasil akhir yang buruk. Rangkaian kejadian ini

bertanggung jawab atas separuh kematian pada cedera kepala berat. Pada pasien dengan

cedera kepala difus, hipertensi intrakranial yang tidak terlalu tinggi meningkatkan

morbiditas dan mortalitas.

PENUTUP

Kesimpulannya, cedera kepala adalah masalah kesehatan umum. Namun, pengetahuan

tentang patofisiologi telah meningkat pesat, dan penggunaan terapi-terapi agresif,

termasuk pengawasan tekanan intrakranial, telah menurunkan morbiditas dan mortalitas

yang masih sangat tinggi. Ada banyak alasan untuk berharap agar masa depan

memberikan kemajuan lebih lanjut.

M.Z. Arifin et al

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Bullock MR, Hovda DA. Introduction to Traumatic Brain Injury. In : Youman’s (ed)

Neurological Surgery 6th.ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2011 : 3267-69.

2. Schouton JW, Maas AIR. Epidemiology of Traumatic Brain Injury. In : Youman’s (ed)

Neurological Surgery 6th.ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2011 : 3267-69.

3. Fearnside MR, Simpson DA. Epidemiology. In : Head Injury Pathophysiology and

Management. London : Hodder Arnold. 2005 : 3-25.

4. Fane RA, Nassar T, Mazuz A, Waked O, Heyman SN, dkk. Neuroprotection by

glucagon: role of gluconeogenesis. J Neurosurg 114:85-91, 2011.

5. Imron A. Pola pasien cedera otak traumatika di RSHS. 2012.

6. Data Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2011.