Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

62
Diterbitkan dalam buku berjudul "Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah Bantahan Ilmiah Terhadap M. Arifin Ilham BID’AH ‘AMALIYAH DZIKIR TAUBAT Bantahan terhadap 'Arifin Ilham Al Banjari"

description

Andi Kurniawan

Transcript of Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Page 1: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

1

Diterbitkan dalam buku berjudul "Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah Bantahan Ilmiah Terhadap M. Arifin Ilham

Dan Para Pendukungnya" Penulis: Al Ustadz Abu Karimah 'Askari bin Jamal Al

BugisiPenerbit: Darus Salaf Darus Salaf Press

BID’AH ‘AMALIYAHDZIKIR TAUBAT

Bantahan terhadap'Arifin Ilham Al Banjari"

Page 2: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

BID’AH ‘AMALIYAH DZIKIR TAUBATala Arifin Ilham

2

Page 3: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Mukaddimah

Segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, mengharapkan petunjuk-Nya dan ampunan-Nya, serta berlindung kepada Allah dari kejahatan hawa nafsu kita dan kejahatan amalan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada satupun yang dapat menyesatkannya, sebaliknya siapapun yang disesatkan Allah, niscaya tidak satupun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi tidak ada Ilah yang haq kecuali Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya bersaksi pula bahwa Muhammad itu adalah seorang hamba dan utusan Allah.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (Ali 'Imran 102).

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memper-kembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan ber-takwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesung-guhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (An Nisa` 1).

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan kamu dana mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab 70-71)

3

Page 4: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan kamu dana mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." (Al Ahzab 70-71).

Amma ba'du: Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitab Allah. Dan sebaik-baik tuntunan (petunjuk) adalah tuntunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Dan semua yang diada-adakan adalah bid'ah. Dan bid'ah itu adalah sesat. Dan kesesatan itu di neraka.

Sesungguhnya, di antara kenikmatan yang Allah limpahkan kepada ummat ini adalah menyempurnakan agama yang dibawa oleh Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, di mana mereka mengembalikan semua permasalahan agama yang mereka hadapi ini kepada Kitab Allah (Al Quran) dan As Sunnah yang shahih.

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan: Kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan yang mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan abadi. Nikmat tersebut adalah Islam dan As Sunnah. Inilah kenikmatan yang diperintahkan oleh Allah kepada kita untuk senantiasa mengharapkannya dalam setiap shalat yang kita tegakkan, yaitu agar Dia memberi hidayah (petunjuk) kepada kita jalan orang-orang yang telah memperoleh kenikmatan hakiki tersebut, orang-orang yang Allah istimewakan dengan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang berada di derjat yang tertinggi.

Allah Ta'ala berfirman:

"Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka bersama orang-orang yang telah Allah diberi kenikmatan, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada` (mereka yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (An Nisa` 69). (Ijtima' Al Juyusy 5).

Abul 'Aliyah rahimahullah mengatakan:"Saya telah membaca ayat-ayat muhkam sepeninggal Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sekitar sepuluh tahun. Tenyata Allah telah menganugerahkan kepadaku dua kenikmatan yang saya tidak tahu mana yang lebih utama, yaitu Allah memberiku hidayah untuk menerima Islam dan tidak menjadikan aku seorang Haruri (Khawarij)." (Diriwayatkan 'Abdurrazaq, Ibnu Sa'd dan Al Lalikai dalam Syarh Ushul I'tiqad :230 dengan lafadz yang berbeda, lihat mukaddimah Madarikun Nazhar Syaikh Ar Ramadlani hal 21).

4

Page 5: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Allah Ta'ala tidak hanya menyempurnakan agama ini dari segi ilmu tapi juga pengamalan. Karena sebagaimana tidak pernah hilangnya masa di mana Allah menegakkan hujjah terhadap para hamba-Nya, maka tidak pernah hilang pula masa di mana tetap eksisnya satu kelompok orang-orang mu`min yang mengamalkan ajaran agama ini.

Humaid bin 'Abdirrahman mengatakan: "Saya pernah mendengar Mu'awiyah berkhutbah, katanya: "Saya pernah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Siapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, niscaya Allah jadikan dia fakih terhadap agamanya. Saya hanya membagi dan Allah yang memberi. Akan senantiasa dari ummat ini ada kelompok yang tegak di atas perintah Allah, tidak merugikan mereka orang-orang yang meremehkan mereka ataupun yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah, dan mereka tetap dalam keadaan demikian." (HSR. Bukhari-Muslim).

Di hari-hari belakangan ini, kaum muslimin kembali menghadapi ujian dengan merebaknya metode (manhaj) baru yang mencampuradukkan antara yang haq dengan yang batil, sunnah dengan bid'ah dan yang ma'ruf dengan yang munkar. Dan tidak jarang dibumbui dengan kesyirikan lalu menjadi ajaran agama yang digunakan dalam beribadah kepada Allah. Celakanya lagi, mereka menganggap diri mereka benar.

Keadaan mereka tidak lain seperti yang Allah terangkan dalam firman-Nya:

"Katakanlah: "Maukah kamu, kami terangkan tentang orang-orang yang paling merugi amalannya, sia-sia usaha mereka di dunia, dalam keadaan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya." (Al Kahfi 103-104).

Dan firman Allah Ta'ala:

'Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar lidah-lidah mereka membaca Al Kitab agar kamu menyangka itu adalah Al Kitab, padahal bukan Al Kitab. Mereka mengatakan ini dari sisi Allah, padahal bukan dari sisi Allah. Mereka mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu." (Ali 'Imran 78).

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al Bazzar dari 'Umar bin Al Khaththab, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya yang paling aku khawtirkan menimpa ummatku adalah setiap orang munafik yang pandai bicara." Hadits ini pada awalnya dihasankan oleh syeikhuna Muqbil rahimahullah Ta'ala dalah "Al-jami' as-shohih, namun beliau kemudian merojihkan bahwa ini adalah perkataan

5

Page 6: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Umar bin Khattab, bukan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana yang dikuatkan oleh Daruquthni, lihat: Ahadits mu'allah karangan syaikhuna Muqbil: 330-331.

Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan Ath Thabrani dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam: "Menjelang hari kiamat ada tahun-tahun yang menipu. Seorang yang amanah menjadi orang yang dicurigai, sementara orang yang dicurigai dipercaya. Pada masa itu para ruwaibidlah angkat bicara. Beliau ditanya: "Apa ruwaibidlah itu, wahai Rasulullah?" Beliau mengatakan:"Orang yang bodoh berbicara tentang permasalahan umum." (Disahihkan Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al Wadi'i rahimahullahu sebagaimana dalam Shahihul Musnad).

Akan tetapi walhamdulillah, tidak ada satu kesesatan atau penyimpangan yang muncul melainkan bangkitlah ulama Ahlus Sunnah membela agama ini, mem-beberkan kesesatan orang-orang yang membuat kerancuan dan mengotori dakwah yang haq yang telah diajarkan serta dijalankan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan para sahabatnya ini.

Termasuk mereka yang mengotori adalah kaum sufi yang banyak mengada-adakan bid'ah yang sama sekali tidak pernah Allah turunkan satu keteranganpun tentangnya. Mereka datang dengan syari'at baru dan berbagai tatacara ibadah yang bersumber dari hawa nafsu mereka dalam keadaan menyangka bahwa amalan ini akan mendekatkan mereka kepada Allah Jalla Jalaluhu. Mulailah mereka mengajak manusia hingga akhirnya sebagian besar kaum muslimin mengikuti (taklid) kepada apa yang mereka kerjakan. Dan tatkala bid'ah dan penyimpangan ini disambut dan diamalkan oleh manusia (mayoritasnya), orang yang jahil akan mengatakan,"Kalau perbuatan ini munkar, mengapa banyak yang mengerjakannya?"

Tentu saja alasan ini sangat tidak logis. Suatu kebenaran tidak dapat dinilai dari banyak sedikitnya orang yang mengamalkannya. Rujukan kita untuk mengenal al haq (kebenaran) adalah Kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (Al Baqarah 147, Ali 'Imran 60, Al Kahfi 29): "Al Haq itu datangnya dari Rabbmu (Allah).."

Alangkah tepatnya perkataan Ibnul Qayyim dalam qasidah Nuniyahnya:"Alangkah anehnya mereka yang buta bashirahnya, mereka melihat

seakan para muqallad (yang ditaqlidi) itu orang yang benar. Mereka menilai melalui taqlid itu dia lebih utama dari yang lainnya, tanpa ilmu dan burhan. Mereka buta dari dua wahyu (Al Quran dan As Sunnah), karena tidak memahaminya, mengherankan, betapa jauhnya mereka dihalangi".

Allah telah mencela dalam beberapa ayat-Nya orang-orang mengikuti kebanyakan manusia. Firman Allah Ta'ala:

6

Page 7: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

"Dan kalau kamu mengikuti kebanyakan manusia di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti dugaan-dugaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta." (Al An'am 116).

Syaikh As Sa'di rahimahullahu Ta'ala mengatakan:"Ayat ini menjelaskan kepada kita agar jangan menilai suatu kebenaran karena banyaknya pengikut. Sedikitnya jumlah orang yang menempuh suatu jalan bukan patokan bahwa jalan itu tidak benar. Bahkan realita yang ada menunjukkan hal sebaliknya. Karena sesungguhnya orang-orang yang berjalan di atas al haq (kebenaran) mereka justeru adalah golongan minoritas, namun mereka orang-orang yang mulia dan agung kedudukan atau pahalanya di sisi Allah. Dan wajib kita menilai tentang haq dan batilnya suatu perkara dengan jalan yang mengantarkan kepada keduanya."

Allah Ta'ala berfirman:

"Dan sungguh telah tersesat sebagian besar orang-orang terdahulu sebelum mereka." (Ash Shaffat 71).

"Dan sebagian besar tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya." (Yusuf 103).

"Namun kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali kekufuran." (Al Isra` 89).

"Sesungguhnya hari kiamat itu pasti terjadi, tidak diragukan lagi, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mempercayainya." (Ghafir 59).

"Dan sebagian besar mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah." (Yusuf 106).

Dan ayat-ayat lain, di mana Allah menerangkan keadaan keadaan mayoritas manusia, bahwa mereka tidak beriman, tidak bersyukur, tidak mengetahui (tidak berakal) dan sebagainya. Bahkan Allah Ta'ala menyebutkan bahwa kebaikan dan kebenaran itu pada golongan yang sedikit. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Sangat sedikit dari hamba-Ku yang bersyukur." (Saba` 13).7

Page 8: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

"Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan mereka ini sangat sedikit." (Shaad 24).

"Maka ketika diwajibkan atas mereka untuk berperang, sebagian mereka berpaling kecuali sedikit." (Al Baqarah 246).

"Kalaulah tidak karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil." (An Nisa` 83).

Bahkan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda:"Ditampakkan kepadaku ummat-ummat sebelumku, maka aku lihat ada seorang Nabi yang datang bersama segelintir pengikutnya, dan Nabi bersama satu atau dua orang pengikutnya, dan Nabi yang tidak ada seorangpun bersamanya."

Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahhab An Najdi rahimahullahu Ta'ala menganggap merasa bangga dengan jumlah banyak adalah salah satu sikap jahiliyah. Beliau mengatakan:"Termasuk pedoman (kaidah) utama mereka adalah bangga dan berhujjah (berdalil) dengan jumlah mayoritas terhadap benarnya suatu keyakinan, dan mereka berdalil batilnya (salahnya) suatu keyakinan dengan jumlah minoritas (sedikit pengikutnya)." (Syarh Masail Jahiliyah Sa'id Yusuf 1/178).

Selanjutnya, Sesungguhnya kami menulis risalah ini sebagai peringatan bagi kaum muslimin atas bid'ah yang diada-adakan Muhammad Arifin Ilham dengan nama 'Amaliyah Adzkarit Taubat. Dan dia melakukan talbis (pemalsuan) terhadap sebagian besar kaum muslimin tentang sahnya amalan ini dengan berbagai dalil mujmal (bersifat global) sehingga seolah-olah amalan ini ada sumbernya dalam syari'at Islam. Keadaannya ini tidak lain seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam: "Maka apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabihat dari Al Quran, itulah orang-orang yang disebutkan ciri-cirinya oleh Allah, maka jauhilah!" (HSR. Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah).

Demikian sajian kami ini, yang akan menjelaskan batilnya amalan ini dan menyingkap syubhat (kerancuan) orang-orang yang mengada-adakan kebohongan. Saya memohon kepada Allah Ta'ala agar tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan mereka yang menyebarkannya.

8

Page 9: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Semoga shalawat dan salam Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Hanya kepada Allah tempat kita meminta pertolongan, hanya kepada-Nya kita berserah diri. Dan tiada daya serta upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

KESEMPURNAAN SYARIAT ISLAM

Dalil-dalil Kesempurnaan Syari'at Islam

Islam adalah ajaran yang lengkap dan sempurna. Segala permasalahan demi kemaslahatan manusia untuk kehidupan mereka di dunia dan akhirat telah diuraikan secara utuh dan sempurna. Berikut ini kami paparkan sebagian dalil dari Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan kesempurnaan tersebut.

a. Al Quranul Karim

1. Allah Ta'ala berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:

"Pada hari ini, Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu, dan Aku cukupkan ni'mat-Ku kepadamu, dan Aku ridla Islam jadi agamamu.." (Al Maidah 3).

Ibnu Katsir rahimahullahu Ta'ala mengatakan: "Ini adalah ni'mat Allah Ta'ala paling besar terhadap ummat ini, di mana Allah Ta'ala telah menyempurnakan agama mereka, sehingga tidak lagi membutuhkan agama yang lain, dan tidak pula memerlukan Nabi selain Nabi mereka Muhammad shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam.

Karena itulah Allah Ta'ala mengutus beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal kecuali apa yang dihalalkannya. Tidak ada perkara yang haram melainkan apa yang di-haramkannya. Dan tidak ada agama (yang benar) kecuali apa yang disyari'atkannya.

9

Page 10: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Semua berita yang disampaikannya adalah benar dan pasti. Bukan dusta dan pertentangan. (Ibnu Katsir 2/13).

2. Firman Allah Ta'ala:

"Tidaklah ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini sedikitpun...." (Al An'am 38).

3. Firman Allah Ta'ala:

"Dan telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan berita gembira bagi kaum muslimin.." (An Nahl 89).

4. Firman Allah Ta'ala:

"Dan segala sesuatu telah Kami terangkan secara terperinci.."(Al Isra` 12).

b. Sunnah An Nabawiyah

1. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1/16), Ahmad (4/126), Al Hakim (1/175), Ath Thabrani dalam Mu'jamul Kabir (18/247), disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam takhrij As Sunnah karya Ibnu Abi 'Ashim (hal 19) dari hadits 'Irbadl bin Sariyah radliyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda:"Sungguh, aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya. Tidak akan menyimpang daripadanya sepeninggalku kecuali orang yang celaka."

2. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (3/1472, 1844), An Nasai dalam Al Kubra (4/431), Ibnu Majah (2/2956), dan Al Baihaqi (8/169), dari hadits 'Abdullah bin 'Amr bin Al 'Ash radliyallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau bersabda: "Sesungguhnya tidak seorangpun dari Nabi yang datang sebelumku melainkan wajib atasnya menunjukkan ummatnya kebaikan yang diketahuinya dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya."

3. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5/152), Ath Thabrani (2/354) dari Abu Dzar radliyallahu 'anhu, katanya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam telah wafat. Dan tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di angkasa melainkan telah beliau terangkan kepada kami ilmunya." Al Haitsami mengatakan rawi-rawi Thabrani rawi yang shahih kecuali Muhammad bin 'Abdullah bin Yazid Al Muqri, dia tsiqah (terpercaya), sedangkan dalam musnad Ahmad ada rawi yang tidak disebutkan namanya. (Majma'uz Zawaid 8/264).

10

Page 11: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

4. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (1/223,262), At Tirmidzi (1/16,24), An Nasai (1/40, 72), Abu Daud (1/3,7), Ibnu Majah (1/15,115) dari Salman Al Farisi radliyallahu 'anhu, katanya: "Seorang musyrik berkata kepadanya sambil mengejek: "Sungguh, saya lihat sahabat kalian ini (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam) mengajarkan segala-galanya kepada kalian sampai urusan buang air besar?" Salman mengatakan: "Betul. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak menghadap kiblat (Ka'bah) atau memunggunginya ketika buang air besar, dan agar kami jangan istinja` (cebok) dengan tangan kanan, serta agar kami mencukupkan dengan tiga buah batu (istijmar) tidak dengan tulang dan kotoran hewan yang kering." Redaksi hadits dari Ibnu Majah.

5. Diriwayatkan oleh Al Baghawi (Syarhus Sunnah 14/303-305), dari Zaid Al Yami dan 'Abdul Malik bin 'Umair dari Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu, katanya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Wahai manusia, tidak ada satupun yang mendekatkan kalian kepada surga dan menjauhkan kalian dari neraka melainkan telah aku perintahkan kepada kalian. Dan tidak ada satupun yang mendekatkan kalian kepada neraka dan menjauhkan kalian dari surga melainkan telah aku larang kalian daripadanya.."

6. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Al Fath 6/2739), dari Masruq dari 'Aisyah radliyallahu 'anha, katanya:"Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari wahyu Allah Ta'ala, maka janganlah kamu percayai, karena sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman:

"Wahai Rasul. Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Kalau tidak kamu kerjakan, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya.."(Al Maidah 67).

7. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (1/160), dari 'Aisyah, katanya:"Seandainya Muhammad shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam menyembunyikan sesuatu yang diturunkan oleh Allah kepadanya, tentunya akan dia sembunyikan ayat ini:

"Dan ingatlah ketika kamu mengatakan kepada orang yang telah Allah melimpahkan keni'matan kepadanya dan kamu (juga) memberi ni'mat kepadanya: "Tahanlah isterimu, dan bertakwalah kepada Allah." Kamu sembunyikan dalam dirimu apa yang Allah akan menampakkannya. Kamu takut kepada (omongan) manusia, padahal Allah yang lebih berhak kamu takut kepada-Nya." (Al Ahzab 37).

11

Page 12: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

c. Penjelasan Para 'Ulama

Ibnul Majisyun mengatakan: "Saya pernah mendengar Imam Malik berkata: "Siapa yang melakukan suatu kebid'ahan dan dianggapnya baik, berarti dia menuduh Muhammad shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: "Pada hari ini, Aku sempurna-kan bagi kamu agama kamu, dan Aku cukupkan ni'mat-Ku kepadamu, dan Aku ridla Islam jadi agamamu.." (Al Maidah 3). Maka apapun yang pada saat itu bukan ajaran agama, maka pada hari ini juga bukan ajaran agama."

PENGERTIAN BID’AH

Secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya, seperti firman Allah:

“Katakanlah: aku bukanlah bid’ah dari kalangan para rasul” (Al Ahqaaf 9)

Maknanya adalah: aku bukanlah yang pertama diutus, namun telah diutus sebelumku sekian banyak rasul.

Imam Asy Syathibi rahimahullahu Ta'ala mengatakan: "Bid'ah adalah suatu metode (tatacara) yang diada-adakan dalam agama, menyerupai syari'at yang tujuan mengamalkannya berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla."

Fairuz Abadi dalam "Bashair Dzawit Tamyiiz" menyebutkan:"Bid'ah itu adalah segala sesuatu yang baru dalam agama sesudah penyempurnaan."

12

Page 13: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Ada pula yang mengatakan:"Segala sesuatu yang diada-adakan sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, baik ucapan maupun perbuatan."

Dikatakan pula:"Bid'ah adalah mengeluarkan pendapat atau perbuatan, di mana pelaku atau yang mengatakannya tidak mengambil tuntunan atau contoh dengan pembuat syari'at, atau hal-hal yang pernah ada sebelumnya yang serupa dengan pebuatan atau pendapat itu serta tidak bersandar kepada ushul yang kokoh. (Lihat pula pembahasan yang terperinci tentang makna bid’ah secara istilah dalam kitab Mauqif Ahlus Sunnah: 1/90-92)

Pembagian Bid'ah menjadi Bid'ah Haqiqah dan Idlafiyah

1. Bid'ah Haqiqiyah

Adalah bid'ah yang tidak ada dalil dari syari'at yang mendasarinya, baik dari Al Quran, As Sunnah, Ijma' atau kias dan pendalilan yang mu'tabar (diakui) di kalangan ahli ilmu, secara keseluruhan atau terperinci.

2. Bid'ah Idlafiyah

Adapun bid'ah idlafiyah adalah bid'ah yang mempunyai dua sisi terkait:a. Di mana pada satu sisi, dia mempunyai dalil yang berkaitan dengan bid'ah itu, sehingga dari arah ini tidak dikatakan bid'ahb. Tidak berkaitan dengan satu dalilpun, seperti halnya bid'ah haqiqiyahYakni, dari sisi adanya dalil sebagai dasar, dia adalah sunnah. Sementara dari sisi lain, merupakan bid'ah karena bersandar kepada syubhat (kerancuan), bukan kepada dalil atau sama sekali tidak bersandar kepada apapun. (I'tisham 1/367).

Tidak semua yang asalnya disyari'atkan, berlaku pula dalam segala hal

Dari keterangan tentang pembagian bid'ah tadi, jelaslah bagi kita bahwa tidak semua yang pada asalnya disyari'atkan maka dia masyru' dari segala sisi, sama saja apakah berkaitan dengan waktu, tempat atau yang lain, seperti yang dijelaskan oleh Imam As Suyuthi rahimahullahu Ta'ala dalam Al Amru bil Ittiba' ketika menyebutkan sebagian bid'ah yang disangka sebagian besar kaum muslimin adalah ibadah, amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, ketaatan atau sunnah.

Selanjutnya beliau berkata:"Adapun yang kedua dari hal-hal yang dianggap manusia sebagai ketaatan, dan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sesungguhnya adalah kebalikannya. Atau yang meninggalkannya justeru lebih baik daripada mengerjakannya, adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh syari'at dalam salah satu bentuk amalan, pada waktu atau tempat tertentu. Misalnya puasa (hanya) siang hari, thawaf (hanya) di Ka'bah. Atau hanya berlaku untuk satu orang

13

Page 14: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

seperti yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perkara mubah atau keringanan-keringanan. Kemudian datang si jahil mengkiaskan dirinya dengan keadaan itu dan melaksanakannya, padahal pekara itu terlarang baginya untuk mengerjakannya. Atau misalnya dia mengkiaskan bentuk-bentuk atau cara-cara pelaksanaan amalan tersebut satu dengan yang lainnya tanpa menghiraukan perbedaan waktu dan tempatnya."

Syaikh 'Amru bin 'Abdul Mun'im ketika menerangkan tentang kaidah bagaimana mengenal suatu bid'ah, mengatakan:"Semua bid'ah yang disebutkan secara mutlak oleh syari'at dan dibatasi oleh sebagian manusia menurut tempat, waktu, bentuknya ataupun jumlahnya, maka hal itu adalah bid'ah. Bisa jadi, suatu ibadah bersambung dengan ibadah lain yang disyari'atkan, hanya saja hubungan tersebut secara bersamaan termasuk bid'ah."

Beliau mengatakan pula: "Ibadah adalah amalan tauqifiyah (dikerjakan ber-dasarkan adanya perintah atau contoh–ed), bukan hanya dalam bentuk dan tata caranya tetapi juga waktu pelaksanaannya, juga tempatnya sehubungan dengan ibadah lainnya dan keberadaannya bersama kebiasaan yang lain. Maka dari sini, tidak boleh menyambung ibadah dengan ibadah lain kecuali apabila ada dalil syari'at yang membolehkannya. Kalau tidak ada dalil yang mendasarinya maka perbuatan itu adalah bid'ah."

Dan inilah contoh dalam permasalahan ini agar kaidah ini mudah dipahami.

1. Membaca Al Quran. Ini jelas ibadah. Keutamaannya banyak diungkapkan dalam Al Quran dan As Sunnah, dan di sini kami hanya cantumkan sebagiannya karena khawatir terlalu panjang.

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Umamah Shudai bin 'Ajlan Al Bahili radliyallahu 'anhu, katanya: "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Bacalah Al Quran, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa'at."

Meskipun adanya keutamaan sebesar ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam telah melarang kita membacanya pada waktu sujud, ruku' di dalam shalat sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Ketahuilah, sesungguhnya saya dilarang membaca Al Quran dalam keadaan sedang ruku' atau sujud. Maka agungkanlah Allah ketika ruku'. Adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdo'a, maka pantaslah untuk dikabulkan doa kalian."

2. Demikian pula shalat. Di mana shalat adalah kebaikan yang telah ditetapkan. Seperti diriwayatkan oleh Ath Thabrani (Mu'jamus Shaghir)

14

Page 15: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

dengan sanad hasan dari beberapa jalannya dari hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Shalat itu adalah kebaikan yang ditetapkan."

Namun demikian, kalau seseorang shalat sesudah 'ashar atau sesudah fajar (shubuh) atau ketika matahari tepat di atas (belum bergeser) tanpa alasan, maka shalat itu terlarang sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma, katanya: "Salah seorang laki-laki yang diridlai dan yang paling mulianya adalah 'Umar, dia bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam melarang shalat sesudah fajar (Shubuh) sampai terbitnya matahari dan sesudah 'ashar sampai terbenamnya matahari."

Dan Imam Muslim meriwayatkan dalam sahihnya dari hadits 'Uqbah bin 'Amir, ia berkata: "Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam melarang kami shalat padanya, dan melarang menguburkan jenazah pada waktu itu, yaitu ketika matahari terbit sampai dia naik, dan ketika tepat berada di atas sampai dia bergeser dan pada saat dia akan tenggelam."

Begitupula kalau dikhususkan shalat pada waktu yang ditentukan disertai keyakinan adanya keutamaan apabila dikerjakan pada saat itu. Sebagaimana keyakinan sebagian orang adanya keutamaan memperbanyak shalat pada bulan Rajab atau Sya'ban. Oleh karena itu pula Imam An Nawawi rahimahullahu Ta'ala menyatakan dalam fatwanya bahwa Shalat Rajab dan Sya'ban adalah dua bid'ah yang tercela."

3. Demikian pula ucapan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. Maka sesungguhnya keduanya adalah ibadah yang disyari'atkan.

Bahkan Allah Ta'ala memerintahkannya, sebagaimana dalam firman-Nya: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang beriman, bershalawatlah kamu untuknya dan ucapkanlah salam dengan sebenar-benarnya.” (Al Ahzab 56).

Dengan perintah Allah ini, maka mengkhususkannya (dikerjakan) pada satu waktu atau tempat tertentu, merupakan perbuatan bid'ah yang munkar. Sebagaimana halnya bila seseorang menyambung ucapan shalawat ini setelah dia bersin dan membaca Alhamdulillah.

Imam At Tirmidzi, Al Hakim dan yang lain meriwayatkan adari Nafi', bahwa ada seorang laki-laki bersin di sebelah Ibnu 'Umar radliyallahu 'anhuma, kemudian dia berkata: "Segala puji hanya bagi Allah, dan shalawat serta salam untuk Nabi-Nya. Ibnu 'Umar berkata: "Dan saya mengatakan: "Segala puji hanya bagi Allah, dan salam sejahtera bagi Rasulullah, bukan begini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa

15

Page 16: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

sallam mengajari kami. Beliau ajarkan kami untuk mengucapkan:" Alhamdulillah" dalam setiap keadaan."

Dari sini nampaklah bagi kita perbedaan antara bid’ah secara lughawi dan bid’ah secara istilahi, di mana pengertian bid’ah secara lughawi lebih umum, sebab secara istilahi dikhususkan dengan apa yang baru di dalam agama yang tidak ada penunjukannya dalam nash-nash dan kaidah syariah.

Maka terkadang suatu perbuatan tersebut termasuk bid’ah dalam bahasa namun tidak termasuk bid’ah dalam syari’at. Seperti apabila ada nash yang menganjurkan suatu amalan namun belum sempat diamalkan melainkan setelah terputusnya syari’at, dan meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Apakah karena belum diberikan kemudahan untuk mengumpul-kannya atau karena adanya penghalang yang mencegah untuk melakukannya di zaman turunnya syari’at.

Maka bagi orang yang pertama melakukannya dikatakan bid’ah secara bahasa sebab merupakan perbuatan yang tidak ada contohnya terdahulu, namun bukan bid’ah dalam syari’at karena adanya dalil yang menunjukkan disyari’atkannya.

Diantara contoh hal ini banyak dari perbuatan para Shahabat, seperti pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, shalat Tarawih di zaman ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dan yang lainnya.( Mauqif Ahlus Sunnah: 1/ 93)

APAKAH MAJELIS DZIKIR ITU?

Muhammad Arifin Ilham telah melakukan talbis (pemutarbalikan, red) terhadap kaum muslimin untuk mendukung kebid'ahan yang mereka

16

Page 17: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

kerjakan dengan dalil-dalil yang menyebutkan keutamaan majelis dzikir, dalam keadaan tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang majelis dzikir yang difahami oleh salafus shaleh. Karena majelis dzikir yang dipahami oleh salafus shaleh ini adalah majelis ilmu dan mempelajari Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam atau yang sejenisnya.

Abu Hazzan 'Atha` pernah ditanya: "Apakah Majelis Dzikir itu?" Beliau menjawab: "Yaitu majelis tentang halal dan haram. Majelis yang mengajari bagaimana kamu shalat, puasa, menikah, talak, dan bagaimana kamu berjual-beli." (Al Hilyah 3/313).

Sa'id bin Jubair mengatakan: "Semua yang melakukan ketaatan kepada Allah karena Allah, maka dia adalah orang yang berdzikir kepada Allah." (Al Adzkar 7).

Syaikh Al Imam Abu 'Amr Ibnu Shalah pernah ditanya ukuran seseorang dikatakan sebagai orang yang banyak berdzikir kepada Allah?" Beliau mengatakan:"Yaitu orang yang tekun melakukan dzikir-dzikir ma'tsur (diriwayatkan) yang sahih setiap pagi dan petang dalam keadaan yang berbeda, siang malam." (Al Adzkar 7).

Imam Al Qurthubi mengatakan: "Majelis dzikir adalah majelis ilmu dan nasehat (peringatan). Yaitu majelis yang diuraikan padanya firman-firman Allah, Sunnah Rasul-Nya dan keterangan para salafus shaleh serta imam-imam ahli zuhud yang terdahulu, jauh dari kepalsuan dan kebid'ahan yang penuh dengan tujuan-tujuan yang rendah dan ketamakan." (Fikih Sunnah 2/87).

Al Manawi mengatakan: "Hujjatul Islam (Al Ghazali –ed) mengatakan:"Yang dimaksud dengan majelis dzikir adalah, tadabbur Al Quran, mempelajari agama, dan menghitung-hitung ni'mat yang telah Allah berikan kepada kita." (Faidlul Qadir 5/519).

Dari penukilan perkataan ‘Ulama salaf ini jelas bagi kalian bahwa yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang di dalamnya disebutkan padanya “majalis adz-dzikr” atau “hilaqudz dzikr” adalah majelis ilmu yang di dalamnya dipelajari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, jauh dari berbagai macam campuran bid’ah-bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Lalu bagaimana mungkin dzikir bid’ah model Arifin Ilham bisa dikatakan sebagai majelis dzikir yang disebutkan di dalam nash-nash tersebut? Sungguh ini suatu keanehan !!!

Diantara yang menguatkan hal ini adalah beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:

17

Page 18: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

“Maka tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahuinya.” (An-Nahl: 43) Para ahli tafsir menafsirkan “ahli dzikir” dengan makna “Para ‘Ulama”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/571-572)

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at kemudian berang-kat di waktu pertama, maka seakan-akan dia berkurban seekor onta, dan barangsiapa yang berangkat di saat kedua maka seakan-akan dia berkurban seekor kerbau, dan barangsiapa yang berangkat di waktu ketiga maka seakan- akan dia berkurban seekor domba bertanduk, dan barangsiapa yang berangkat pada waktu keempat maka seakan-akan dia berkurban seekor ayam, dan barangsiapa yang datang pada waktu kelima maka seakan-akan dia berkurban seekor telor. Maka apabila imam telah keluar maka hadirlah para malaikat mendengarkan dzikir.” Yang dimaksudkan dengan dzikir di dalam hadits ini adalah khutbah dan nasehat. (Lihat kitab Al-I’lam bifawaid Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin: 4/173)

Ini semua menunjukkan bahwa makna “majalis adz dzikr” lebih lebih luas dari makna dzikir secara lisan, namun mencakup berbagai macam jenis amalan ketaatan seperti menuntut ilmu, belajar dan mengajar, memberi nasehat, yang jauh dari berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan. Sedangkan “majalis adz dzikir” yang dinisbahkan kepada model dan cara berdzikirnya Arifin Ilham, lebih pantas dinamakan sebagai “majelis makr (yang menipu daya kaum muslimin)” dan bukan majelis dzikr. Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari kesesatan.

18

Page 19: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

BIDA’AH ‘AMALIYAH DZIKIR TAUBAT

Kami paparkan sebagian contoh-contoh bid'ah dan hal-hal yang diharamkan dari perkara-perkara yang asalnya sebetulnya disyari'atkan, agar jangan ada orang yang tidak memahami kaidah ushul yang menjadi landasan syari'at Islam menyangka bahwa kami melarang manusia berdzikir kepada Allah, melakukan istighfar (minta ampunan), mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi dan sebagainya. Bukan demikian, karena asal dari semua amalan ini adalah ibadah yang disyari'atkan, bahkan termasuk amalan yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Maka ingatlah Aku, niscaya Aku mengingat kalian." (Al Baqarah 152).

"Dan mengingat Allah adalah lebih besar." (Al 'Ankabut 45).

"Dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kalian beruntung." (Al Jumu'ah 10).

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Dua kalimat yang ringan diucapkan, berat dalam timbangan, sangat dicintai oleh Allah Yang Maha Pengasih, yaitu: "Subhanallahi wa bihamdihi. Subhanallahil 'Azhim."(HSR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).

Dan: "Maukah kamu saya terangkan satu kalimat yang sangat dicintai Allah? Sesungguhnya kalimat (ucapan) yang sangat dicintai Allah adalah:" Subhanallahi wa bihamdihi."

Dan: "Maukah kalian saya sampaikan sebaik-baik amalan kalian dan yang paling sucinya di sisi Raja kalian (Allah), menaikkan derajat kalian dan lebih baik bagi kalian daripada infaq emas dan perak dan lebih baik daripada kalian bertemu dengan musuh lalu kamu menebas leher mereka atau mereka menebas leher kamu? Mereka berkata:"Tentu (ya Rasulullah)." Kata beliau:"Berdzikir (mengingat) Allah Ta'ala."

Syaikhul Islam Ibnu Qayyim rahimahullahu Ta'ala mengatakan bahwa di dalam dzikir ini terdapat lebih dari 100 faedah, beliau menyebutkan 78 di antara faedah-faedah tersebut. (Lihat Shahih Wabilus Shayyib 82-164).

Maka dengan berbagai dalil ini kita ketahui betapa besar keutamaan dzikir ini dan terangkatnya derajat orang yang mengamalkannya.

19

Page 20: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Namun yang kita ingkari di sini adalah menempatkan dzikir-dzikir ini dengan tata cara aturan tertentu yang dikhususkan dan diberinama dengan nama yang khusus pula, dalam hal ini adalah apa yang dinamakan oleh 'Arifin Ilham dengan "Adzkar 'Amaliyah At Taubah". Di mana amalan (bid'ah) ini dikerjakan dengan suara keras dan bersamaan, disertai tangisan serta ikhtilath (campur baur) laki-laki dan perempuan atau hal-hal lain yang sama sekali tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan para sahabatnya ataupun orang-orang sesudah mereka yang dikenal mengikuti Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, dan jauh dari bid'ah dari kalangan imam-imam pembawa petunjuk seperti Imam Asy Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan Ats Tsauri, 'Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahawaih dan salafus shaleh lainnya.

Dan bahkan belum pernah kita kenal selama ini tatacara dzikir dengan nama ini kecuali setelah datangnya laki-laki Banjar ini, seorang sufi ahli bid'ah, Muhammad 'Arifin Ilham.

Bahkan sesungguhnya yang kita dapatkan adalah pengingkaran dari salafus shaleh terhadap orang yang membuat aturan atau tatacara dzikir berjama'ah dengan suara keras.

Atsar 'Ulama Salaf dan Para Imam

1. Diriwayatkan oleh Ad Darimi (1/79), Al Bazzar (Tarikh Wasith 1/198) dari 'Amru bin Salamah Al Hamdani, katanya: "Kami pernah duduk di pintu 'Abdullah bin Mas'ud radliyallahu 'anhu sebelum shalat zhuhur. Kalau dia keluar, kami berangkat bersamanya menuju Masjid. Tiba-tiba datanglah Abu Musa Al Asy'ari radliyallahu 'anhu sambil berkata: "Apakah sudah keluar bersama kalian Abu 'Abdirrahman? Kami katakan: "Belum." Tatkala beliau keluar, kami berdiri, dan Abu Musa berkata: "Ya Abu 'Abdirrahman, sungguh aku baru saja melihat sesuatu yang pasti kau ingkari di Masjid itu. Dan saya tidak melihat –alhamdulillah- kecuali kebaikan."

Ibnu Mas'ud berkata:"Apa itu?" Katanya pula:"Kalau kau panjang umur akan kau lihat pula sendiri. Saya lihat di masjid itu sekelompok orang dalam beberapa halaqah sedang menunggu shalat, dan masing-masing halaqah dipimpin satu orang, di tangan mereka tergenggam kerikil, dia berkata:"Bertakbirlah seratus kali!" Maka yang lainpun bertakbir seratus kali. Pemimpinnya mengatakan:"Bertahlil seratus kali!" Merekapun bertahlil (mengucapkan laa ilaaha illallaahu). Pemimpinnya mengatakan: "Bertasbihlah seratus kali!" Merekapun bertasbih seratus kali.

Ibnu Mas'ud bertanya: "Lalu apa yang kau katakan kepada mereka?"Abu Musa berkata:"Saya tidak mengatakan sesuatu karena menunggu pendapatmu."Ibnu Mas'ud berucap:"Mengapa tidak kau perintahkan mereka

20

Page 21: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

menghitung dosa-dosa mereka, dan kau jamin tidak akan hilang sia-sia kebaikan mereka sedikitpun?"

Kemudian dia berjalan, dan kamipun mengikutinya sampai tiba di tempat halaqah-halaqah itu. Beliau berhenti dan berkata:"Apa yang sedang kalian kerjakan ini?" Mereka berkata:"Ya Abu 'Abdirrahman, kerikil yang kami gunakan untuk bertakbir, bertahlil dan bertasbih."

Beliau berkata: "Coba kalian hitung dosa-dosa kalian, saya jamin tidak akan hilang sia-sia kebaikan kalian sedikitpun. Celaka kalian, wahai ummat Muhamamd! Alangkah cepatnya kalian binasa. Ini, mereka para sahabat Nabi kalian shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, masih banyak di sekitar kalian. Pakaian beliau belum lagi rusak, mangkok-mangkok beliau belum lagi pecah. Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya. Sesungguhnya kalian ini berada di atas millah (ajaran) yang lebih lurus daripada ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, ataukah sedang membuka pintu kesesatan?"

Mereka berkata:"Demi Allah, wahai Abu 'Abdirrahman, kami tidak menginginkan apa-apa kecuali kebaikan."

Beliau berkata:"Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak pernah mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam telah menyampaikan kepada kami satu hadits, kata beliau: "Sesungguhnya ada satu kaum mereka membaca Al Quran tapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka lepas dari Islam seperti lepasnya anak panah dari sasarannya."Demi Allah, saya tidak tahu, barangkali sebagian besarnya adalah dari kalian." Kemudian beliau berpaling meninggalkan mereka.

'Amru bin Salamah mengatakan:"Sesudah itu kami lihat sebagian besar mereka ikut memerangi kami di Nahrawand bersama Khawarij."(Ash Shahihah no 2005).

Dalam riwayat Ibnu Wadldlah, dia mengatakan: "Sungguh kalian betul-betul berpegang dengan kesesatan ataukah kalian merasa lebih terbimbing daripada sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam?" (Al Bid'ah wan Nahyu 'anha 27).

Silakan pembaca perhatikan kisah ini –semoga Allah membimbing anda untuk mentaatinya-. Bagaimana sikap sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas'ud radliyallahu 'anhu yang mengingkari halaqah (majelis dzikir) tersebut di masjid. Apakah anda mengira bahwa beliau mengingkari amalan dzikrullah dan mengingkari majelis dzikir ini, atau apakah anda menyangka bahwa beliau mengingkari tahlil, tasbih dan takbir? Apakah pantas kita katakan bahwa sahabat yang mulia ini mengingkari orang-orang yang ingin beribadah dan berlomba-lomba kepada kebaikan?

Tentunya, sekali-kali tidak demikian. Hal itu tidaklah diingkari oleh 'Abdullah bin Mas'ud radliyallahu 'anhu. Dan bagaimana mungkin beliau mengingkarinya, sementara beliau termasuk rawi yang banyak menyampaikan hadits-hadits tentang keutamaan (fadlilah) tasbih, tahlil

21

Page 22: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

dan takbir. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu Ta'ala.

Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda:"Saya bertemu dengan Nabi Ibrahim pada malam ketika saya diIsra`-kan. Dia bekata: "Ya Muhammad, sampaikan salamku kepada ummatmu, sampaikan bahwa surga itu harum tanahnya, airnya manis qa'ian dan tanaman-tanamannya adalah Subhanallahi, walhamdulillah, walaa ilaaha illallahu wallahu akbar."

Dan bagaimana mungkin Abu Musa Al Asy'ari mengingkarinya, padahal beliau juga termasuk sahabat yang meriwayatkan tentang keutamaan dzikir ini. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim: "Katanya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berkata kepadaku:"Maukah kamu saya tunjukkan salah satu simpanan dari simpanan-simpanan surga?" Saya menjawab: "Tentu, ya Rasulullah." Kata beliau:"(Yaitu ucapan): بالله إال قوة وال Tidak ada daya dan) الحولkekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)."

Dan riwayat Bukhari dalam shahihnya dari Abu Musa radliyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Perumpamaan orang yang berdzikir kepda Allah dengan orang yang tidak berdzikir kepada-Nya adalah seperti orang hidup dan orang yang mati."

Hadits-hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa keduanya sama mengetahui keutamaan dzikir ini dan keutamaan orang yang mengamalkannya dan melaksanakan tuntutan (konsekuensi) dari (kalimat) dzikir tersebut. Adapun yang ditentang oleh Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu adalah tatacaranya yang dilakukan bersamaan dengan suara keras bersama seorang amir (pemimpin, pengatur) yang memerintahkan mereka demikian. Kemudian ditambah lagi mereka menggunakan kerikil-kerikil untuk menghitung jumlah dzikir yang telah ditentukan, di mana tidak pernah dikerjakan seperti itu oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.

Dan tidak cukup dengan alasan mereka bahwa niat mereka baik. Beliau membantah dengan ungkapan yang sangat tepat yang selaras dengan prinsip pokok dan kaidah (pedoman) yang ditetapkan oleh syari'at yang mudah ini, kata beliau: "Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya."

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Katakanlah:"Maukah kamu, kami terangkan tentang orang-orang yang paling merugi amalannya, sia-sia usaha mereka di dunia, dalam keadaan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya." (Al Kahfi 103-104).

22

Page 23: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Syaikh Abdurrazzaq bin 'Abdul Muhsin Al 'Abbad hafizhahullah Ta'ala setelah menyebutkan hadits Ibnu Mas'ud ini mengatakan:"Perhatikan bagaimana 'Abdullah bin Mas'ud radliyallahu 'anhu mengingkari peserta halaqah itu, padahal mereka dalam majelis dzikir dan ibadah, hanya karena mereka berdzikir dan beribadah kepada Allah tidak dengan tuntunan syari'at. Di dalam hadits ini kita dapatkan dalil bahwasanya yang jadi ukuran atau standar suatu ibadah itu bukanlah jumlahnya, tetapi sesuai atau tidak dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud juga:"Sederhana dalam Sunnah lebih baik daripada berlebih-lebihan dalam kebid'ahan."

Saya paparkan hal ini lebih dahulu dari dalil yang lain karena kemiripannya dengan perbuatan 'Arifin Ilham dan para pendukungnya ini –semoga Allah memberi taufik kepada kita dan mereka untuk mengikuti al haq-.

2. Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari-Muslim dari Barra` bin 'Azib radliyallahu 'anhu, katanya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berkata kepadaku: "Kalau kamu hendak tidur, berwudlu`lah seperti wudlu` untuk shalat, kemudian berbaringlah ke arah kanan, dan ucapkanlah:"Ya Allah, aku pasrahkan wajahku (diriku) kepada-Mu, dan saya serahkan kepada-Mu urusanku dan aku sandarkan kepada-Mu punggungku dalam keadaan berharap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari-Mu kecuali kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada para Nabi-Mu yang telah Engkau utus. Maka kalau kamu mati, engkau mati di atas fithrah (Islam) dan jadikanlah dia sebagai akhir dari perkataanmu. Saya pun mengulanginya, saya katakan: "Dan dengan Rasul-Mu yang Engkau utus. Beliau berkata: "Bukan, (tapi) dengan Nabi-Mu yang Engkau utus."

Perhatikanlah –semoga Allah merahmati anda- bagaimana pengingkaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam terhadap Al Barra` bin 'Azib radliyallahu 'anhu ketika dia mengganti kalimat Nabi dengan Rasul karena lupa bukan sengaja.

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan:"Yang lebih utama untuk dikatakan tentang hikmah bantahan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam terhadap orang yang mengatakan Rasul sebagai ganti kata "Nabi" menunjukkan kepada kita bahwa lafaz kalimat yang diucapkan dalam dizikir adalah amalan yang sifatnya tauqifiyah (sesuai dengan contoh, aturan syari'at (Al Quran dan As Sunnah)–ed), dan kalimat-kalimat tersebut mengandung berbagai keistimewaan dan rahasia yang tidak tersentuh oleh kias (analogi), sehingga harus dihafal sebagaimana adanya." ('Aunul Ma'bud 13/265).

23

Page 24: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Al Mubarakfuri mengomentari penjelasan Al Hafizh ini, ia mengatakan:"Ini juga pilihan Imam Al Maziri, katanya:"Maka dzikir-dzikir ini dibatasi pada ketentuan harus sesuai dengan lafazh (teks) yang ada (yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam), dan biasanya pahalanya juga berkaitan dengan huruf-huruf dzikir itu. Atau boleh jadi kalimat-kalimat ini merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau sehingga wajib pula untuk ditunaikan sesuai dengan bagaimana datangnya." (Tuhfatul Ahwadzi 10/20). Imam An Nawawi mengatakan bahwa pendapat ini sangat baik. (Syarh Shahih Muslim 13/33).

Maka, bagaimana penilaian anda dengan orang yang mengajarkan tata cara dan lafaz-lafaz tertentu dengan tambahan dan perubahan lafaz-lafaz dzikir yang tidak diajarkan oleh Allah, Rasul-Nya dan para sahabat ataupun salafus shaleh dari ummat ini? Dan caranya atau lafaz-lafaznya justeru baru diajarkan oleh laki-laki sufi ini (Muhammad 'Arifin Ilham -ed)?

Alangkah tepat ucapan Imam Asy Syafi'i rahimahullahu yang mengatakan:"Barangsiapa yang menganggap baik (istihsan) suatu perbuatan, berarti telah menetapkan satu syari'at."

3. Sa'id bin Al Musayyab rahimahullahu melihat seorang laki-laki shalat sunnah setelah terbit fajar (sunnah sebelum Shubuh) lebih dari dua raka'at, dan dia memperbanyak ruku' dan sujudnya dalam shalat itu, beliaupun melarangnya, tetapi orang itu berkata:"Wahai Abu Muhammad apakah Allah akan menyiksaku karena shalatku ini?" Beliau menjawab: "Tidak. Tetapi Dia akan menyiksamu karena kamu menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam."

Syaikh Al 'Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullahu (dalam Irwa`ul Ghalil 2/236) setelah menguraikan atsar ini, mengatakan: "Ini adalah jawaban yang tepat dari Sa'id bin Al Musayyab rahimahullahu, sekaligus senjata ampuh terhadap ahli bid'ah yang menganggap baik berbagai kebid'ahan dengan istilah bahwa ini adalah dzikir dan shalat (atau ibadah dan lain-lain -ed). Kemudian mereka mengingkari sikap Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang menyalahkan mereka, bahkan menuduh Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengingkari shalat dan dzikir. Padahal yang diingkari pada diri mereka adalah penyelisihan mereka terhadap As Sunnah dalam masalah shalat dan dzikir atau ibadah lainnya."

4. Sufyan bin 'Uyainah mengatakan: "Saya mendengar Malik bin Anas rahimahullahu didatangi seseorang yang bertanya: "Wahai Abu 'Abdillah, dari mana saya harus melakukan ihram (untuk haji atau 'umrah)?" Imam Malik mengatakan: "Dari Dzul Hulaifah. Dari tempat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berihram." Orang itu berkata: "Saya ingin berihram dari Masjid (Masjid Nabi) dekat kuburan beliau."

24

Page 25: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Imam Malik mengatakan:"Jangan. Saya khawatir kamu tertimpa fitnah."Orang itu berkata pula: "Fitnah apa? Bukankah saya hanya sekedar menambah beberapa mil saja?"

Imam Malik menegaskan: "Fitnah apalagi yang lebih hebat dari sikapmu yang menganggap engkau telah mengungguli Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam mendapatkan keutamaan di mana beliau telah menetapkan demikian sementara kau menambahnya? Dan saya mendengar firman Allah Ta'ala: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An Nuur 63).

Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim (Al Hilyah 6/326) dan Al Baihaqi (Al Madkhal 236).

Maka perhatikanlah bagaimana sikap Imam Darul Hijrah (Madinah) Malik bin Anas rahimahullahu terhadap laki-laki yang ingin melebihkan jarak ihramnya dari tempat yang biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berihram. Dia mencoba mengedepankan ra`yunya; dengan memulai ihram dari Masjid yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sebagai tempat paling baik di muka bumi ini.

Namun demikian, Imam Malik mengingkari perbuatannya walaupun jarak Masjid itu dengan Dzul Hulaifah kurang lebih satu mil. Beliau tidak menerima alasan orang itu karena tindakannya adalah penyelisihan terhadap Sunnah Rasulullah. Lalu, bagaimana dengan orang yang menambah dzikir-dzikir bid'ah dan tata cara yang dibuat-buat yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan para pendahulu ummat ini?

Pernyataan Para 'Ulama

5. Imam Ath Thabrani rahimahullahu dalam kitab Ad Du'a (2/785) mengatakan: "Kitab yang saya tulis ini menghimpun berbagai do'a Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. Hal ini karena saya melihat sebagian besar kaum muslimin selalu mengucapkan do'a-do'a sajak. Juga do'a-do'a yang dibuat oleh beberapa penulis yang tidak ada dasar riwayatnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan salah seorang sahabatnya, atau tabi'in yang mengikuti mereka dengan baik. padahal diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam tidak menyukai sajak dalam do'a dan berlebih-lebihan padanya. Maka saya susun kitab ini dengan sanad-sanadnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam."

6. Imam Al Qurthubi (At Tafsir 4/231) ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala:

25

Page 26: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

"Tidak ada do`a mereka selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (Ali 'Imran 147).

"Adalah wajib bagi setiap muslim untuk mengamalkan apa yang ada dalam Kitab Allah (Al Quran) dan Sunnah yang sahih, dari berbagai do'a dan meninggalkan yang lainnya (do'a yang tidak ada dalam Al Quran atau Sunnah yang sahih). Bahkan, jangan pula dia mengatakan:"Saya memilih yang ini, karena Allah telah memilihkan untuk Nabi dan para wali-Nya serta mengajari mereka bagaimana mereka berdo'a."

7. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu pernah ditanya tentang orang yang mengatakan: "Saya yakin bahwa seseorang yang mengada-adakan perkara baru dalam melakukan dzikir-dzikir yang tidak disyari'atkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, dia telah berbuat kesalahan. Karena kalau memang betul dia ridla Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sebagai Imam, panutan dan pembimbingnya, niscaya dia akan merasa cukup mengamalkan apa yang dituntunkan oleh beliau. Maka ketika dia beralih kepada ra`yu (pendapatnya sendiri) dan perbuatan yang diada-adakannya, adalah suatu kebodohan dan tipuan syaithan yang menjadikan indah perbuatan dosa yang dilakukannya. Dan di samping itu, tindakannya itu adalah bentuk penyelisihan terhadap As Sunnah. Sebab, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam tidak meninggalkan suatu kebaikan melainkan telah mengajarkannya kepada kita. Sementara Allah juga tidak menyembunyikan satu kebaikan pun dari beliau. Buktinya, Allah 'Azza wa Jalla telah memberikan kepada beliau seluruh perbendaharaan dunia dan akhirat kepada beliau karena beliau adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah Ta'ala. Bukankah jelas demikian kenyataannya?"

Beliau menjawab: "Alhamdulillah. Tidak disangsikan lagi bahwa dzikir dan do'a-do'a merupakan ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah itu pada prinsipnya dibangun di atas tauqifiyah, dan ittiba', bukan berdasarkan hawa nafsu, dan bid'ah. Dengan demikian, dzikir-dzikir dan do'a-do'a yang bersumber dari Sunnah Nabawiyah adalah lebih utama untuk dilakukan oleh mereka yang ingin beramal. Orang yang menempuhnya berarti telah melalui jalan yang aman dan selamat, dan akan mendapatkan berbagai faedah yang tidak mungkin dinilai dengan kata-kata dan bahkan tidak mungkin diselami oleh manusia. Adapun dzikir yang lain dari itu bisa jadi suatu hal yang haram, makruh, dan bahkan mungkin berisi kesyirikan yang kebanyakan manusia tidak memahami hal ini.

26

Page 27: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Sehingga, tidak ada hak bagi siapapun untuk menetapkan sunnah (aturan) baru dalam dzikir dan do'a yang tidak dituntunkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu menjadikannya sebagai satu tatacara ibadah ritual yang dilaksanakan manusia seperti mereka mengerjakan shalat lima waktu. Sesungguhnya, inilah bid'ah dalam agama itu, yang tidak pernah Allah meridlainya. Berbeda dengan do'a yang kadang-kadang diucapkan seseorang tanpa maksud dia menjadikannya sunnah (aturan) bagi orang lain. Kalau dia tidak tahu bahwa d'a itu mengandung makna yang haram, maka tidak boleh dipastikan keharamannya.

Akan tetapi bisa jadi hal itu demikian, namun dia tidak menyadarinya, misalnya ketika seseorang berdo'a dalam keadaan darurat, dengan do'a-do'a yang terbuka baginya seketika itu juga. Dan contoh seperti ini banyak.

Adapun wirid-wirid yang tidak disyari'atkan dan menjadikannya sunnah, maka inilah di antara hal-hal yang dilarang. Sedangkan di dalam do'a-do'a dan dzikir yang dituntunkan oleh syari'at terdapat berbagai tujuan dan harapan yang baik dan mulia, dan tidaklah akan meninggalkannya lalu mengamalkan dzikir dan do'a-do'a bid'ah kecuali orang yang jahil, atau melampaui batas. (Majmu' Fatawa 22/510-511).

8. Imam Asy Syathibi, Ibrahim bin Musa Al Gharnathi rahimahullahu mengatakan (I'tisham 1/318-319): Apabila syari'at menganjurkan untuk berdzikir kepada Allah. Kemudian berkumpullah beberapa orang melakukannya dengan suara yang satu. Atau pada waktu yang telah dikhususkan, tidak mesti dalam anjuran tersebut sesuatu ...bahkan justeru sebaliknya. Sebab, melaksanakan suatu amalan terus-menerus yang tidak ditetapkan oleh syari'at, ini akan memberikan pemahaman sebagai suatu penetapan syari'at baru. Apalagi dilakukan dengan seorang yang jadi panutan di tempat tertentu, seperti masjid. Kalau ini dimunculkan dan dilakukan di masjid seperti syi'ar-syi'ar yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dilaksanakan di masjid atau yang lainnya seperti azan, shalat 'iedul fithri dan 'iedul adlha, shalat gerhana dan istisqa` (minta hujan), akan dipahami bahwa ini adalah sunnah, kalau tidak dipahami sebagai suatu kewajiban. Maka tentunya tidak mungkin tercakup oleh dalil yang digunakan, sehingga dia dikatakan bid'ah dari sisi ini.

Karena itulah salafus shaleh meninggalkan hal-hal ini atau tidak mengamalkannya, padahal mereka adalah orang yang memang pantas mengerjakannya dan ahlinya, kalau memang hal itu disyari'atkan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Dan syari'at telah memberikan anjuran dalam berbagai permasalahan. Bahkan tidak dituntut mengerjakan ibadah sebanyak mungkin seperti yang dituntut dalam masalah dzikir ini.

27

Page 28: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Misalnya firman Allah Ta'ala:"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya."(Al Ahzab 41).

"..Dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."(Al Jumu'ah 10).

Berbeda dengan waktu-waktu yang lainnya.

Seperti ini pula halnya do'a, karena dia adalah dzikrullah. Meskipun demikian, tidak harus dikerjakan menurut tatacara tertentu. Atau dibatasi dengan waktu tertentu, di mana seolah-olah waktu tersebut khusus untuk do'a itu. Terkecuali, adanya dalil yang menerangkan demikian, pagi atau petang. Dan mereka tidak menampakkan amalan-amalan itu kecuali yang dituntunkan oleh syari'at. Misalnya dzikir ketika hari raya 'Iedul Fithri atau 'Iedul Adha dan yang sejenisnya. Adapun yang selain itu mereka berupaya menyembunyikan dan merahasiakannya. Oleh sebab itu pula Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berkata ketika mereka mengangkat suara dalam suatu dzikir: "Kasihani diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru sesuatu yang tuli dan ghaib." Mereka tidak melakukannya terang-terangan ketika berjama'ah.

Maka, semua yang menyimpang dari prinsip ini, pada awalnya dia menyelisihi kemutalakan dalil, karena dia membatasinya dengan ra`yunya. Kemudian dia menyelisihi orang-orang yang lebih tahu tentang syari'at ini –yaitu salafus shaleh radliyallahu 'anhum-. Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam juga meninggalkan suatu amalan yang beliau sukai, hanya karena khawatir akan diikuti oleh ummatnya yang nantinya akan menjadi suatu kewajiban."

9. Al 'Allamah Al Mu'allimi rahimahullahu mengatakan: "Alangkah ruginya orang-orang yang meninggalkan do'a-do'a yang telah tsabit (pasti) di dalam Kitabullah 'Azza wa Jalla dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, bahkan hampir tidak pernah berdo'a dengan do'a-do'a ini. Kemudian dia mengambil do'a-do'a yang lain dan tekun mengerjakannya. Bukankah ini merupakan sikap yang zalim dan menunjukkan permusuhan?" (Fiqhil Ad'iyah lil 'Ibad 47).

10. Lajnah Daimah (Majelis Fatwa Sa'udi 'Arabia) pernah ditanya: "Apakah hukumnya do'a dengan berjama'ah langsung setelah membaca Al Quran. Di mana seseorang berdo'a dan yang lain mengaminkannya, dan ini terus dilakukan setelah pelajaran. Dan ketika ditanya apa dasar mereka melakukan-nya, dijawab dengan firman Allah Ta'ala:

"Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu."(Ghafir 60).

Jawaban Lajnah:28

Page 29: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

"Pada prinsipnya, dzikir dan ibadah lainnya bersifat tauqifi. Artinya juga adalah bahwa tidak diibadahi kecuali dengan hal-hal yang telah disyari'atkan. Demikian pula dengan kemutlakannya atau penentuan waktunya serta tatacaranya ataupun batasan bilangan dalam masalah do'a, dzikir atau ibadah yang disyari'atkan oleh Allah 'Azza wa Jalla dan disebutkan secara mutlak tanpa pembatasan dengan tempat, waktu atau jumlah atau tatacaranya. Maka tidak boleh kita mengerjakannya dengan tatacara atau batasan waktu atau jumlah tertentu. Tetapi kita beribadah kepada-Nya sebagaimana disebutkan secara mutlak.

Apapun amalan yang terdapat pembatasannya dengan dalil qauli, atau 'amali, baik tatacara, tempat, waktu atau jumlahnya maka kita hendaknya beribadah kepada Allah dengan dalil tersebut.

Sedangkan do'a bersama-sama setelah shalat jama'ah atau setelah selesai membaca Al Quran atau setelah pelajaran, tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam baik ucapan, perbuatan maupun taqrir. Sama saja apakah do'a itu dibacakan seorang imam dan diaminkan oleh ma`mum atau ma`mum berdo'a bersama-sama dari mereka sendiri. Hal ini juga tidak pernah dikerjakan sama sekali oleh Khulafaur Rasyidin dan para sahabat lainnya radliyallahu 'anhum.

Maka siapa yang melaksanakan hal ini, berdo'a secara bersama-sama (jama'i) setelah shalat, membaca Al Quran atau selesai pelajaran, berarti dia telah melakukan perbuatan bid'ah dan mengada-adakan sesuatu yang bukan berasal dari tuntunan ajaran Islam, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam telah menyatakan: "Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak." Dan: "Barangsiapa yang mengada-adakan suatu dalam urusan kami yang bukan daripadanya, maka dia tertolak."

Adapun dalil yang mereka kemukakan tadi (Ghafir 60), tidaklah menjadi hujjah (alasan, argumentasi) bagi mereka, karena dalil ini mutlak dan tidak ada penentuan tatacara yang harus dikerjakan oleh mereka. Dan dalil mutlak ini harus diamalkan menurut kemutlakannya tanpa memperhatikan keadaan khusus.

Seandainya hal itu disyari'atkan tentulah akan diperhatikan dan dijaga oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan para khalifah sepeninggal beliau. Dan telah kita terangkan bahwa hal ini tidak pernah dikerjakan oleh beliau dan para sahabatnya. Padahal yang namanya kebaikan yang sesungguhnya adalah dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan jalan yang ditempuh para Khulafaur Rasyidin radliyallahu 'anhum.

Sedangkan keburukan yang sesungguhnya adalah menyelisihi tuntunan mereka dan mengikuti perkara yang diada-adakan yang telah

29

Page 30: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam kepada agar kita menjauhinya, sebagaimana sabda beliau:"Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap bid'ah itu adalah sesat."

Semoga shalawat dan salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya. Lajnah Daimah.

Ada sebuah pertanyaan lain yang diajukan kepada Lajnah ini, yang mengatakan : "Bolehkah mengerjakan dzikrullah secara bersama-sama (jama'i) dengan satu suara seperti yang dikerjakan para penganut tarekat, kemudian mengakhirnya dengan hadlrat (pertemuan para sufi untuk menari, bernyanyi -ed) sambil membaca Al Quran secara bersama-sama dengan satu suara di masjid, rumah-rumah atau tempat-tempat perayaan?"

Jawaban Lajnah:"Dzikrullah dengan bersama-sama satu suara yang diakhiri dengan

hadlrat dan membaca Al Quran bersama-sama satu suara, di masjid, di rumah atau di tempat-tempat perayaan, tidak ada dasarnya menurut syari'at sama sekali. Para sahabat radliyallahu 'anhum adalah orang-orang yang paling pertama mengikuti syari'at ini, dan tidak ada keterangan sedikitpun mereka melaksanakannya. Demikian pula generasi berikutnya yang dikatakan sebagai qurun terbaik dalam ummat ini. Sebagaimana yang sudah kita jelaskan bahwa kebaikan itu sesungguhnya ada pada sikap ittiba' (meneladani) tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam telah bersabda:"Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak." Dan:"Barangsiapa yang mengada-adakan suatu dalam urusan kami yang bukan daripadanya, maka dia tertolak."

Dan karena bukan merupakan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam maka tidak ada seorangpun sahabat yang mengerjakannya –sejauh yang kami ketahui-. Maka perbuatan ini adalah bid'ah, dan tercakup dalam dalil ini, sehingga dia tertolak. Begitu pula mengambil upah atas perbuatan ini. Wabillahi Taufiq. (Fatwa Lajnah 2/520-521).

Pertanyaan lain: "Apakah hukumnya bershalawat untuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam setelah shalat berjama'ah dengan suara keras? Juga berdo'a setelah shalat berjama'ah dan membaca Al Quran secara bersama-sama, dan bernyanyi dengan semua bentuknya, serta shalat di belakan imam yang buta dan kadang-kadang salah?

Jawaban Lajnah:

30

Page 31: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

"Yang pertama, bershalawat untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam pahalanya besar. Allah Ta'ala telah memerintahkannya di dalam Al Quranul Karim. Dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam mendorong untuk mencintainya. Bahkan beliau jelaskan betapa besar pahalanya, Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Siapa yang bershalawat untukku satu kali, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali." (HSR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, An Nasai, At Tirmidzi, Ad Darimi dan Ibnu Khuzaimah).

Dan disyari'atkan shalawat ini ketika nama beliau disebut, sesudah tasyahhud dalam shalat, dalam khuthbah jum'at, khuthbah nikah dan lain-lain. Dan tidak ada dalil sama sekali menyebutkan Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, para sahabat, imam-imam salaf seperti Malik, Abu Hanifah, Al Laits bin Sa'd, Asy Syafi'i, Al Auza'i dan Ahmad dan yang lainnya rahimahumullahu mengucapkan shalawat ini dengan suara keras setelah selesai shalat berjama'ah.

Kebaikan itu hanyalah pada sikap itttiba' terhadap tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin serta para sahabat radliyallahu 'anhum. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sendiri telah menegaskan: "Barangsiapa yang mengada-adakan suatu dalam urusan kami yang bukan daripadanya, maka dia tertolak."

Yang kedua, do'a itu adalah ibadah. Namun tidak ada satu keteranganpun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan para sahabat radliyallahu 'anhum berdo'a bersama-sama setelah selesai shalat. Maka berkumpulnya para jama'ah setelah selesai salam, untuk berdo'a bersama-sama adalah bid'ah yang diada-adakan, dan Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam telah menegaskan: "Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak." Dan:"Barangsiapa yang mengada-adakan suatu dalam urusan kami yang bukan daripadanya, maka dia tertolak."

Yang ketiga, kalau mereka maksudkan membaca Al Quran berjam'ah itu adalah dengan satu suara, maka ini tidak disyari'atkan karena tidak ada riwayat amalan seperti ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan para sahabatnya radliyallahu 'anhum. Adapun kalau mereka berkumpul, yang satu membaca dan yang lain mendengarkan, atau masing-masing membaca sendiri-sendiri, dengan tidak bertemu (beradu) suara mereka satu sama lain, baik dalam kalimat yang berharakat maupun sukun, washal (bersambung) maupun wakafnya (berhenti), maka hal ini disyari'atkan. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Tidaklah berkumpul satu kaum di salah satu rumah Allah (masjid) membaca Kitab Allah (Al Quran) dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan turun kepada mereka sakinah (ketenteraman), dan para malaikat menyelubungi mereka dan mereka diliputi oleh rahmat dan Allah menyebu-nyebut mereka di hadapan semua yang ada di sisi-Nya." (HSR. Muslim).

31

Page 32: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Dan dari Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berkata kepada saya: "Bacakanlah untukku Al Quran!"Saya bertanya: "Bagaimana saya membacakannya kepada engkau, padahal dia diturunkan kepadamu, wahai Rasulullah?" Kata beliau: "Saya suka mendengarnya dari orang lain." Maka saya bacakan untuk beliau surat An Nisa`, sehingga ketika sampai pada ayat (41): Bagaimana kalau kami datangkan dari setiap ummat seorang saksi, dan kami hadirkan engkau sebagai saksi terhadap orang-orang ini?. Beliau berkata: "Cukup!" Ternyata mata beliau berkaca-kaca." (HSR. Bukhari-Muslim).

Yang keempat, shalat jama'ah di belakang imam yang buta, boleh. Bahkan bisa jadi lebih utama karena lebih banyak dan fasih bacaan Al Qurannya dibandingkan mereka yang shalat di belakangnya. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam: "Yang mengimami kalian hendaknya yang paling hafal Kitab Allah (Al Quran..." Adapun kalau dia salah, dan dari segi lahn (bacaan) tidak merubah ma'na, maka shalat di belakangnya tidak apa-apa kalau memungkinkan. Tetapi kalau kesalahannya berupa lahn dalam Al Fatihah misalnya, dan itu merubah ma'na maka shalat di belakangnya batal. Dan ini bukan karena kebutaannya tetapi karena lahn tersebut.

Misalnya, membaca Iyyaka na'budu, tapi 'ka' dibaca 'ki'. Atau bacaan An'amta 'alaihim dibacanya an'amtu atau an'amti. Sedangkan kalau kesalahannya itu karena kelemahan hafalannya, maka yang lebih hafal daripadanya lebih utama menjadi imam.

Wabillahi taufiq. Semoga shalawat dan salam tercurah untuk junjungan kita Nabi Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Para ulama lajnah juga menyatakan bahwa bacaan shalawat sesudah shalat fardlu atau sunnah atau di setiap dua rakaat tarawih adalah perbuatan bid'ah yang diada-adakan." (Fatwa Lajnah 2/529).

Ada pertanyaan lain:"Ada sebagian orang di Pakistan, mengaku dirinya salafi, tapi selalu mengadakan majelis dzikir setiap hari kamis, sesudah shalat 'ashar. Mereka anggap ini adalah waktu yang sesuai, bahkan paling tepat untuk berdzikir. Adapun caranya, salah seorang dari mereka duduk di depan memulai dengan suara keras mengucapkan lafaz Allah. Kemudian orang-orang di sekitarnya mengulang-ulang lafaz ini dengan suara perlahan. Setelah itu, orang yang di depan mengucapkan Subhanallah, dan diulang-ulang oleh mereka yang di sekitarnya, setelah mengucap-kan Alhamdulillah, dan begitu seterusnya.

Mereka menganggap bahwa hal ini adalah usaha melakukan tazkiyatun nufus (pensucian jiwa), dan menjadikan dasar tindakan mereka ini beberapa hadits yang menyebutkan tentang dzikir dan halaqah dzikir. Bagaimana hukum tentang mereka ini?

32

Page 33: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Jawab:"Kalau kenyataan tentang ihwal mereka seperti yang disebutkan,

dengan selalu mengadakan majelis dzikir pada hari kamis. Kemudian salah seorang memimpin dan mengucapkan lafaz Allah dengan suara keras, dan diikuti oleh yang lain, setelah itu mengucapkan Subhanallah, dan seterusnya dalam keadaan tetap diikuti oleh yang lainnya, maka mereka bukanlah salafiyun. Bukan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan amalan ini. Mereka adalah ahli bid'ah. Sebab, amalan dengan cara seperti ini, sama sekali tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan para sahabatnya radliyallahu 'anhum.

Kemudian ulama Lajnah mengatakan:"Adapun hadits-hadits tentang halaqah (majelis) dzikir itu, yang dimaksud adalah majelis ilmu. (Fatawa Lajnah 2/530-531).Jawaban terhadap pertanyaan kaum muslimin dari Perancis, para ulama Lajnah menjawab:"Amalan yang kalian kerjakan, yaitu membaca Al Fatihah dan shalawat Ibrahimiyah kemudian menutupnya dengan ucapan:

والحمد المرسلين على وسالم يصفون عما ة العز رب ك رب سبحانالعالمين رب لله

Tidak boleh dikerjakan, ini adalah bid'ah karena tidak ada tuntunannya dari Al Mushthafa shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. (Fatawa Lajnah 2/537, Fatawa Islamiyah 4/178-179).

Syaikh Ibnu Baaz rahimahullahu pernah ditanya tentang sebagian orang yang berkumpul di sekitar sedekah yang akan dibagikan kepada mereka, mereka meletakkan tangannya dan salah seorang berdo'a untuk orang yang bersedekah sementara yang lain mengaminkan, bagaimana hukumnya?

Beliau menjawab:"Tidak sepantasnya hal ini dilakukan karena dia adalah bid'ah. Adapun mendo'akan kebaikan untuk orang yang bersedekah tanpa meletakkan tangan di atas harta yang disedekahkan dan tanpa berkumpul serta mengeraskan suara seperti yang diterangkan itu, maka itu adalah amalan yang disyari'atkan. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam: "Siapa yang berbuat kebaikan kepadamu maka balaslah. Kalau kamu tidak dapatkan sesuatu untuk membalasnya, maka do'akanlah kebaikan untuknya sehingga kamu melihat bahwa kamu telah membalasnya." (HSR. Abu Daud dan An Nasai). (Lihat Fatawa Islamiyah 4/176-177).

33

Page 34: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

HUKUM DZIKIR BERJAMA’AH

Hukum Dzikir Dan Do'a Setelah Shalat Fardlu dengan Suara keras berjama'ah

Kami uraikan masalah ini dan beberapa pendapat ulama tentang tidak disyari'atkannya dzikir jama'i sesudah shalat fardlu. Padahal asalnya, dzikir setelah shalat itu dituntunkan oleh syari'at, dan ini diingkari karena tatacaranya yang bid'ah. Maka bagaimana dengan dzikir dan tatacaranya yang kedua-duanya adalah bid'ah?

Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hal ini:"Di negeri kami ada dua jama'ah. Masing-masing mengaku bahwa dialah yang benar. Selesai shalat, kami lihat salah satu jama'ah itu mengangkat tangan dan berdo'a secara berjama'ah dengan lafaz seperti berikut ini: Ya Allah limpahkan shalawat dan salam sebanyak-banyaknya kepada Muhammad, hamba dan Rasul-Mu, Nabi yang Ummi (tidak dapat membaca dan menulis). Juga kepada keluarga dan para sahabatnya."

Ada do'a lain yang mereka namakan Al Fatih. Sementara jama'ah lain, ketika Imam mengucapkan salam, mengatakan: "Kami tidak akan melakukan seperti perbuatan jama'ah pertama. Dan ketika jama'ah yang pertama ditanya, mereka katakan bahwa do'a ini adalah pelengkap atau penyempurna shalat, dan tidak lain hanyalah kebaikan. Adapun jama'ah kedua, mereka mengatakan bahwa do'a ini adalah bid'ah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam: "Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak."

Ada beberapa hadits lain yang mereka jadikan hujjah, dan kami hanyalah orang-orang yang masih muda belum tahu mana yang benar. Mohon agar dijelaskan kepada kami mana yang benar."

Jawab: "Do'a jama'i setelah Imam mengucapkan salam dengan serempak, tidak ada asalnya yang menunjukkan bahwa amalan ini disyari'atkan. Dan Dewan Riset dan Fatwa memberikan jawaban sebegai berikut: "Do'a sesudah shalat fardlu dengan mengangkat kedua tangan baik oleh Imam maupun ma`mum, sendirian atau bersama-sama, bukanlah sunnah. Amalan ini adalah bid'ah yang tidak ada keterangannya sedikitpun dari

34

Page 35: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan para sahabatnya radliyallahu 'anhum. Adapun do'a tanpa hal-hal demikian, boleh dilakukan karena memang ada keterangannya dalam beberapa hadits. Wabillahi taufiq. Semoga shalawat tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan oara sahabatnya. (Lajnah Daimah).

Pada bagian lain, Lajnah menjawab:"Do'a dengan suara keras setelah shalat lima waktu, ataupun sunnah rawatib. Atau do'a-do'a sesudahnya dengan cara berjama'ah dan terus-menerus dikerjakan merupakan perbuatan bid'ah yang munkar. Tidak ada keterangan sedikitpun dari Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam tentang hal ini, juga para sahabatnya radliyallahu 'anhum. Barangsiapa yang berdo'a setelah selesai shalat fardlu atau sunnah rawatibnya dengan cara berjama'ah, maka ini adalah menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dan apabila mereka menganggap orang yang mengingkari hal ini atau tidak berbuat sebagaimana yang mereka lakukan sebagai orang kafir atau bukan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, maka ini adalah kebodohan dan kesesatan serta memutarbalikkan kenyataan yang ada. (Lajnah Daimah, lihat Fatwa Islamiyah 1/318-319).

Jangan terkecoh dengan banyaknya yang menangis

Orang-orang yang membela dan mendukung amalan ini beralasan dengan mengatakan: "Sesungguhnya dzikir ini mendekatkan mereka kepada Allah Ta'ala. Membuat hati mereka khusyuk mengingat Allah 'Azza wa Jalla sampai sebagian mereka menangis mendengarnya."

Perkataan mereka bahwa banyak yang menangis bukanlah dalil benar atau sahnya amalan mereka ini. Betapa banyak orang yang menangis ketika mendengar nyanyian, atau menonton film dan sandiwara. Bahkan betapa banyak manusia yang menangis tetapi dirinya masih berenang dalam kemaksiatan dan kedurhakaan. Semua ini menunjukkan bahwa menangis dalam suatu perbuatan belum tentu menjadi dalil sahnya amalan itu.

Imam Al Qurthubi rahimahullahu mengatakan (dalam tafsirnya 9/145) tentang firman Allah Ta'ala: (Merekapun menemui ayah mereka pada malam hari dalam keadaan menangis), kata para ulama: "Ayat ini menunjukkan bahwa tangis seseorang bukanlah dalil benar atau jujurnya perkataannya. Sebab, kemungkinan tangis itu dibuat-buat, dan memang ada orang yang mampu melakukannya ada pula yang tidak. Dan dikatakan pula bahwa air mata yang palsu (dibuat-buat) tidaklah tersembunyi seperti dikatakan: Ketika air mata mengalir di pipi jelaslah siapa yang memang menangis dan siapa yang berpura-pura".

Ibnul Jauzi mengatakan: "Iblis telah membuat suatu tipuan terhadap kebanyakan orang awam. Mereka hadir dalam majelis dzikir, menangis dan cukup dengan itu. Dalam keadaan menyangka bahwa hadir dan menangis itulah tujuan mereka. Hal ini karena mereka tahu keutamaan

35

Page 36: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

hadir di majelis dzikir. Seandainya mereka tahu bahwa tujuan sesungguhnya adalah amalan dan apabila mereka tidak mengamalkan apa yang mereka dengar akan semakin kuat hujjah (alasan) terhadap mereka (untuk menghukum mereka).

Dan saya sebetulnya tahu orang-orang yang hadir di majelis sejak beberapa tahun, menangis dan tampak khusyuk. Namun tidak pernah berubah dari kebiasaan mereka memakan riba, menipu dalam jual beli, tidak mengerti rukun shalat, selalu berbuat ghibah dan mendurhakai kedua orang tua.

Mereka telah ditipu oleh iblis yang memperlihatkan kepada mereka bahwa hadir di majelis dzikir dan menangis, akan menghapus dosa-dosa mereka. Sebagian mereka menganggap duduk bersama ulama dan orang shaleh juga akan menjauhkan mereka dari dosa. Sementara yang lain disibukkannya dengan menunda-nunda taubat. Sehingga waktu terus berjalan dan semakin lama. Kemudian dia mendorong yang lain untuk terlihat dalam apa yang mereka dengar dan meninggalkan beramal. (Muntaqa Nafis 542).

Tamayul (bergoyang-goyang) ketika berdzikir

Lajnah (Lajnah Daimah - Dewan Riset dan Fatwa Saudi Arabia, red) ditanya: "Apakah dzikir yang dilakukan sebagian orang Mesir merupakan bagian dari agama? Misalnya mereka berdiri dan bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan sambil menyebut-nyebut lafadz Allah?

Jawab:Perbuatan ini, kami tidak tahu dasarnya dalam ajaran agama Allah ini. Dia adalah bid'ah, menyelisihi syari'at Allah, wajib diingkari apalagi kalau mampu melakukan-nya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam: "Barangsiapa yang mengada-adakan suatu dalam urusan kami yang bukan daripadanya, maka dia tertolak."(HSR. Imam Bukhari-Muslim dari 'Aisyah radliyallahu 'anha). Dan banyak hadits yang shahih dalam masalah ini. (Fatawa Lajnah Daimah 2/521-522).

36

Page 37: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

TATACARA SHALAWAT NABI

Cara Bershalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Tokoh Sufi ini (Arifin Ilham) dalam dzikir-dzikirnya menyebutkan pula cara-cara bid'ah dalam mengucapkan shalawat untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, antara lain:

وبركاته الله ورحمة النبي أيها عليك اللهم"Ya Allah, kepadamulah wahai Nabi, rahmat Allah dan berkah-Nya."

وسلم عليه الله صلى الله رسول على وسلم صل اللهم"Ya Allah limpahkanlah shalawat dan salam atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam."

الله نبي يا عليك السالم"Kesejahteraan atasmu, wahai Nabi Allah."

الله رسول يا عليك السالم"Kesejahteraan atasmu, wahai Rasulullah."

الله حبيب يا عليك السالم"Kesejahteraan atasmu, wahai Kekasih Allah."

عليك سالم نبي يا"Wahai Nabi, kesejahteraan atasmu."

عليك سالم رسول يا"Wahai Rasul, kesejahteraan atasmu."

عليك سالم حبيب يا"Wahai kekasih, kesejahteraan atasmu."

عليك الله صلوات"Shalawatullah semoga tercurah kepadamu."

37

Page 38: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari bacaan-bacaan shalawat ini, yaitu:

Yang pertama, tidak demikian cara atau bacaan shalawat yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam kepada ummatnya. Dan bukan hak kita untuk membuat-buat cara baru yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan para sahabatnya, karena hal ini merupakan perbuatan bid'ah dalam masalah agama.

Imam Bukhari (no 3370) dan Muslim (no 406) meriwayatkan dari Ka'b bin 'Ujrah radliyallahu 'anhu, katanya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam keluar menemui kami, lalu kamipun berkata: "Kami sudah tahu bagaimana mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana mengucapkan shalawat untukmu?' Beliau berkata:

حميد : إنك إبراهيم آل على صليت محمدكما على صل اللهم قولواحميد إنك إبراهيم آل على باركت كما محمد على بارك اللهم مجيد

مجيد"Ucapkanlah: "Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau memberi shalawat kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad, sebagaimana Engkau memberi berkah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia."

Dalam riwayat Muslim (no 405) dari hadits Abu Mas'ud Al Badri radliyallahu 'anhu, katanya:"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam datang kepada kami, ketika sedang berkumpul di tempat Sa'd bin 'Ubadah. Maka Basyir bin Sa'd berkata:"Allah telah memerintahkan kami untuk bershalawat kepadamu, wahai Rasulullah, maka bagaimana caranya?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dia sehingga kami berharap seandainya dia tidak bertanya kepada beliau. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berkata:

آل : على صليت كما محمد آل وعلى محمد على صل اللهم قولواآل على باركت كما محمد آل وعلى محمد على وبارك إبراهيم

علمتم قد كما واسالم مجيد حميد إنك العالمين في إبراهيم"Ucapkanlah:"Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberi shalawat kepada keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberi berkah kepada keluarga Ibrahim. Di seluruh alam ini, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan ucapan salam sebagaimana yang telah kalian ketahui."

Dan tidak ada satu dalil yang tsabit sama sekali bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam mengajarkan para sahabatnya seperti bid'ah yang diada-adakan oleh sufi ini.

38

Page 39: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Seandainya hal itu memang baik, niscaya mereka pasti telah mendahului kita mengerjakannya, maka hendaklah diperhatikan hal ini!

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan:"Bershalawat untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sesuai dengan lafaz hadits itu lebih utama (afdlal) dari lafaz yang manapun dan tidak boleh ditambah seperti dalam azan, maupun tasyahhud. Demikian yang ditegaskan Imam yang empat (Malik, Abu hanifah, Syafi'i dan Ahmad –ed). (Muhktashar Ftawa Mishriyah 92).

Diantara bacaan-bacaan shalawat bid'ah yang diada-adakan oleh sebagian kaum sufi adalah seperti yang dipaparkan oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu dalam kitabnya "Minhajul Firqatun Najiyah". Dan di sini akan saya nukil apa yang ditulis oleh beliau hafizhahullah untuka menambah kejelasan masalah ini:

Bacaan-bacaan shalawat bid'ah

Kami mendengar beberapa bentuk bacaan shalawat untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam yang bid'ah. Sama sekali tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, para sahabatnya, tabi'in dan imam-imam mujtahid. Bacaan-bacaan ini hanyalah buatan beberapa syaikh yang belakangan. Dan setelah itu tersebar di kalangan orang-orang awam dan ahli ilmu. Akhirnya mereka membacanya lebih banyak dibandingkan bacaan yang diajarkan oleh Rasulullah. Bahkan sering pula mereka tinggalkan sama sekali shalawat yang benar (yang diajarkan Rasulullah) dan menyebarkan shalawat yang mereka terima dari para syaikh tersebut. Padahal kalau kita perhatikan dengan seksama bacaan-bacaan shalawat ini terlihat penyimpangannya dari shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah.

Diantara bacaan-bacaan shalawat itu adalah: , وشفاءها األبدان وعافية ودواءها القلوب طب محمد على صل اللهم

وسلم آله وعلى وضياءها األبصار ونور"Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan kesejahteraan kepada Muhammad, penyenang hati dan obatnya. Penyehat tubuh dan penyembuh, cahaya dan penerang mata, beserta keluarganya."

Sesungguhnya Asy Syafi (Yang Menyembuhkan) dan Al Mu'afi (Yang Menyehatkan) penyakit pada tubuh, hati dan mata hanyalah Allah satu-satunya. Adapun Rasulullah tidak memiliki kekuasaan terhadap dirinya apalagi orang lain. Susunan kalimat seperti do'a ini bertentangan dengan firman Allah Ta'ala:"Katakanlah (wahai Muhammad):"Aku tidak memiliki kekuasaan emberi manfaat untuk diriku dan tidak pula mudlarat kecuali apa yang dikehendaki Allah." (Al A'raf 188).

39

Page 40: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Bertentangan pula dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam:"Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku seperti orang-orang Nashara yang memuji Ibnu Maryam (Nabi 'Isa). Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya." (HSR. Bukhari).

Saya lihat sebuah kitab tentang keutamaan shalawat yang ditulis oleh seorang syaikh dari Lebanon, tokoh besar kaum sufi dengan susunan sebagai berikut:

القيومية األحدية منه تجعل حتى محمد على صل اللهم"Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muhammad sehingga Kau jadikan daripadanya Al Ahadiyah Al Qayyumiyah."

Al Ahadiyah Al Qayyumiyah adalah sebagian dari sifat Allah yang disebutkan dalam Al Quran. Di sini dia sandangkan sifat ini kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam.

Dalam kitab Ad'iyah Ash Shabah wal Masa` yang ditulis oleh seorang syaikh besar dari Suria, katanya:

شيء كل نوره من خلقت الذي محمد على صل اللهم"Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhammad yang Engkau ciptakan dari nur-nya (cahayanya) segala sesuatu."

Sesuatu di sini termasuk Adam, iblis, anjing, babi dan sebagainya. Apakah mungkin seorang yang berakal mengatakan bahwa dia diciptakan dari cahaya Muhammad? Padahal syaithan sendiri mengetahui dari apa dia dan Adam diciptakan, Allah Ta'ala menerangkan perkataan iblis ini dalam Al Quran: "Saya lebih baik dari dia (Adam). Kau ciptakan aku dari api dan Kau ciptakan dia dari tanah."(Shaad 76).

Ayat ini dengan tegas membantah perkataan syaikh tersebut. Dan Allah Ta'ala nyatakan pula bahwa Bani Adam ini diciptakan-Nya dari setetes air yang hina. Sebagaimana dalam surat Alif laam As Sajdah ayat 8.

Termasuk bacaan shalawat bid'ah juga:حبيب , يا فأدركني حيلتي ضاقت الله رسول يا عليك والسالم الصالة

الله"Shalawat dan salam atasmu, wahai Rasulullah. Sempit rasanya keadaanku, selamatkanlah aku, wahai kekasih Allah."

Bagian pertama dari shalawat ini dapat diterima, namun pada bagian kedua terdapat bahaya kesyirikan. Yaitu ucapannya الله حبيب يا أدركنيselamatkanlah aku wahai kekasih Allah. Ini bertentangan dengan firman Allah Ta'ala: "Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang kesulitan ketika dia berdo'a kepada-Nya dan melenyapkan kesusahan..." (An Naml 62). Dan: "Jika Allah menimpakan kemudaratan kepadamu,

40

Page 41: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

maka tidak ada yang menghilangkannya kecuali Dia sendiri.." (Al An'am 17).

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sendiri apabila ditimpa keresahan dan rasa gelisah, selalu berdo'a:

أستغيث برحمتك قيوم يا حي يا"Ya Hayyu (Allah Yang Maha Hidup), Ya Qayyum (Allah Yang Maha Berdiri sendiri), dengan rahmat-Mu aku mohon bantuan-Mu." (HR. At Tirmidzi, hadits hasan).

Bagaimana mungkin boleh bagi kita mengatakan demikian kepada beliau, selamatkanlah kami dan tolonglah kami?! Kalimat dalam do'a ini bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam: "Kalau kalian meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika kalian memohon pertolongan, maka minta tolonglah kepada Allah." (HR. At Tirmidzi, katanya hasan shahih).

Shalawat Fatih, isinya:أغلق لما الفاتح محمد على صل اللهم

"Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, yang membuka semua yang terkunci."

Orang yang mengucapkannya mengira membaca do'a ini lebih utama (afdlal) daripada membaca Al Quran 6000 kali. Dan ini dinukil dari ucapan Ahmad At Tijani, pemimpin tarekat (sesat) At Tijaniyah.

Sungguh, ini benar-benar suatu kebodohan kalau ada orang yang berakal apalagi muslim untuk mengatakan bahwa membaca do'a seperti ini lebih utama daripada membaca Kalamullah walau satu kali. Apalagi lebih dari 6000 kali. Ini tidak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.

الله بمشيئة تقييده دون إطالقه على أغلق لما بالفاتح الرسول وصف وأما , , قلب فتح يستطع ولم الله بمشيئة إال مكة يفتح لم الرسول ألن خطأ فهو

قائال , الرسول يخاطب والقرآن الشرك على مات بل بالله لإليمان عمهAdapun mensifatkan Rasulullah sebagai Al Fatih terhadap segala

sesuatu yang terkunci secara mutlak, tidak dibatasi dengan masyiatillah (kehendak Allah), ini suatu kesalahan besar. Karena Rasulullah tidak membuka (membebaskan) kota Makkah melainkan dengan kehendak Allah. Nyatanya Beliau tidak mampu membuka hati pamannya (Abu Thalib) untuk beriman kepada Allah. Dan dia mati dalam kesyirikan. Al Quran dengan tegas menyebutkan tentang keadaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam ini: "Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) tidak dapat memberi hidayah orang yang kau cintai. Tapi Allah-lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki." (Al Qashash 56).

Dan firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya Kami telah membukakan kepadamu (pintu) kemenangan yang nyata." (Al Fath 1).

41

Page 42: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Penulis Dalailul Khairat dalam Hizb ke tujuh, mengatakan: , التمائم ونفعت الحمائم سجعت ما محمد على صل اللهم

"Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, sepanjang kicauan burung-burung merpati dan bermanfaatnya jimat-jimat."

Tamimah (jamaknya tamaim) adalah jimat, yang dipasang pada anak-anak dan yang lainnya untuk melindungi dari 'ain (penyakit akibat pandangan mata). Al 'Ain pandangan dari seseorang yang dengki dan jiwanya keji. Jimat ini tidak akan memberi manfaat bagi yang memasang atau yang dipasangkan kepadanya. Bahkan sebetulnya, ini termasuk perbuatan orang-orang musyrik.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda:أحمد : . رواه صحيح أشرك فقد تميمة علق من قال

"Barangsiapa yang menggantungkan jimat berarti telah berbuat syirik." (HSR. Ahmad).

Susunan kalimat dalam shalawat itu bertentangan dengan hadits ini. Dan mengira bahwa kesyirikan dan jimat ini merupakan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Juga ada bacaan lain, yaitu: , محمدا وارحم شيء الصالة من يبقى ال حتى محمد على صل اللهم

شيء الرحمة من يبقى ال حتى"Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhammad sehingga tidak ada tersisa sedikitpun shalawat yang ada, dan rahmatilah Muhammad sehingga tidak ada tersisa dari rahmat itu sedikitpun."

Kalimat ini mengungkapkan bahwa shalawat itu adalah rahmat. Padahal rahmat itu merupakan salah satu sifat fi'liyah (perbuatan) Allah, seakan-akan dia meng-anggap bahwa rahmat ini bisa dibatasi dan berakhir. Dan Allah membantah dengan firman-Nya: "Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat rabbku, niscaya habislah lautan itu sebelum habis kalimat Rabbku itu ditulis-kan meskipun Kami datangkan tambahan tinta sebanyak itu pula."(Al Kahfi 109).

Shalawat Basyisyah, dia mengatakan:, , الوحدة بحر عين في وأغرقني التوحيد أوحال من انشلني اللهم

بها إال أحس وال أسمع وال أرى ال حتى األحدية في بي وزج"Ya Allah keluarkan aku dari lumpur tauhid dan tenggelamkan aku dalam lautan wihdah (wihdatul wujud). Sandingkan aku dalam keesaan sehingga aku tidak melihat, mendengar dan merasa kecuali dengannya."

Ini adalah madzhab orang-orang yang meyakini bersatunya Khaliq (Allah) dengan makhluk. Dan tauhid itu di dalamnya ada lumpur dan kotoran, sehingga dia berdo'a agar dikeluarkan dari tauhid dan ditenggelamkan dalam lautan wihdatul wujud agar dapat melihat ilahnya ada pada segala sesuatu. Bahkan tokohnya mengatakan: "Tidaklah anjing

42

Page 43: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

dan babi melainkan ilah kita dan Allah tidak lain adalah rahib-rahib yang ada di gereja-gereja." (Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan). Ibnul Mubarak rahimahullahu mengatakan: "Kami sanggup mengutarakan kembali ucapan orang-orang Yahudi dan Nashara tetapi kami tidak sanggup mengungkapkan pendapat orang-orang Jahmiyah yang mengatakan Allah ada di mana-mana."

Orang-orang nashara terjatuh ke dalam jurang kesyirikan ketika mereka menyekutukan Allah dengan menyatakan 'Isa putera Allah. Sementara mereka (wihdatul wujud) menjadikan semua makhluk itu sekutu Allah. Maha Suci Allah dari apa yang dikatakan oleh kaum musyrikin ini

Berhati-hatilah wahai saudara sesama muslim, dari bentuk shalawat bid'ah ini. Karena dia akan menjerumuskan engkau ke dalam jurang kesyirikan. Di samping itu juga telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam yang tidak berbicara dari hawa nafsunya. Janganlah kamu menyimpang dari tuntunan beliau: "Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak."

Shalawat Nariyah. Shalawat ini dikenal oleh mayoritas kaum muslimin. Dikatakan bahwa siapa yang membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat melepaskan diri dari kesulitan, atau menunaikan suatu kebutuhan, pasti akan terlaksana. Ini adalah sangkaan yang sesat dan salah besar. Tidak ada dalilnya sama sekali. Apalagi kalau anda mengetahui isi bacaannya, niscaya anda akan melihat kesyirikan yang nyata, inilah bacaannya:

, , الذي محمد سيدنا على تاما سالما وسلم كاملة صالة صل اللهم , , , به وتنال الحوائج به وتقضى الكرب به وتنفرج العقد به تنحل , وعلى, الكريم بوجهه الغمام ويستسقى الخواتيم وحسن الرغائب

لك معلوم كل عدد وصحبه آله"Ya Allah limpahkanlah shalawat yang sempurna, kesejahteraan yang lengkap kepada junjungan kami Muhammad yang dengannya belenggu terlepas, kesulitan berakhir, segala kebutuhan terpenuhi, harapan tercapai, akhir kehidupan yang baik (husnul khatimah), awan menurunkan hujannya dengan wajahnya yang mulia. Begitupula keluarga dan para shabatnya sebanyak yang Engkau ketahui."

Sesungguhnya di antara prinsip ajaran 'aqidah tauhid yang diserukan oleh Al Quran dan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan wajib diketahui oleh setiap muslim adalah meyakini bahwa hanya Allah satu-satunya yang melepaskan belenggu, melenyapkan kesulitan, memenuhi segala kebutuhan dan memberikan semua yang diharapkan oleh manusia ketika dia berdo'a kepada Allah.

43

Page 44: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

Tidak boleh bagi seorang muslim berdo'a kepada selain Allah agar menghilang-kan kegelisahannya atau menyembuhkan sakitnya, walaupun dia berdo'a kepada malaikat yang didekatkan atau Nabi yang diutus.

Al Quran dengan tegas mengingkari berdo'a kepada selain Allah, walaupun yang diseru dalam do'a itu adalah Rasul ataupun wali:

"Katakanlah:"Panggillah mereka yang kamu anggap (sesembahan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula dapat memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabbnya, siapa di antara mereka yang lebih dekat dan mengharapkan rahmat-Nya serta takut kepada azab-Nya. sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti." (Al Isra` 56-57).

Para ulama ahli tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan satu golongan manusia yang berdo'a kepada Al Masih (Nabi 'Isa), atau malaikat atau orang-orang shalih dari kalangan jin.

Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam rela dikatakan mampu melepaskan belenggu, menghilangkan kesulitan. Padahal Allah berfirman dalam Al Quran memerintahkan: "Katakanlah (wahai Muhammad):"Aku tidak memiliki kekuasaan emberi manfaat untuk diriku dan tidak pula mudlarat kecuali apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku mengetahui yang ghaib sungguh aku akan memperbanyak kebaikan dan tentulah aku tidak akan ditimpa kejelekan."(Al A'raf 188).

Dan pernah datang seseorang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu berkata kepada beliau : وشئت الله شاء Yang) ماdikehendaki Allah dan engkau)." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:

وحده الله شاء ما قل ندا؟ لله Apakah kau mau menjadikan saya" أجعلتنيtandingan bagi Allah? Tapi Katakanlah: وحده الله شاء Apa) ما yang dikehendaki Allah satu-satunya)." (HR. An Nasai dengan sanad hasan).

Dan di akhir bacaan shalawat itu sendiri terdapat pembatasan terhadap ma'lumat (yang diketahui) Allah. Ini kesalahan yang fatal.

Seandainya kita ganti bihi (kembalinya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam) dengan biha (kembalinya kepada shalawat) tentulah pengertiannya lebih baik. Tanpa harus mengiltizamkan jumlah yang tidak disyari'atkan. Sehingga menjadi seperti berikut ini: "Ya Allah

44

Page 45: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

limpahkanlah shalawat yang sempurna, kesejahteraan yang lengkap kepada junjungan kami Muhammad yang dengannya itu belenggu terlepas."

Yakni dengan shalawat itu. Karena membaca shalawat untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam adalah ibadah yang boleh kita bertawassul (menjadikan perantara) untuk lepas dan selamat dari kesulitan dan kesempitan. Mengapa kita mengamalkan shalawat bid'ah yang diajarkan oleh orang yang tidak ma'shum dan kita tinggalkan shalawat Ibrahimiyah yang justeru diajarkan oleh orang yang ma'shum (Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam)?

Yang kedua, lafaz habibullah tidak tsabit dinisbahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. Yang tsabit adalah justeru khalilullah.

Ibnu Abil 'Izzi Ad Dimasyqi dalam Syarah Ath Thahawiyah mengatakan: "Dipastikan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memiliki derajat mahabbah yang paling tinggi, yaitu khullah (khalil). Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sahih dari beliau: "Sesungguhnya Allah telah menjadikan saya sebagai khalil-Nya sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil."(HSR. Muslim). Dan: "Dan seandainya aku mengambil khalil dari penduduk bumi ini, maka sungguh aku akan mengambil Abu Bakr sebagai Khalil. Tetapi sahabat kalian ini (beliau sendiri) adalah Khalilur Rahman." (HSR. Ibnu Abi Syaibah dan semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim).

Kedua hadits ini sebagaimana disebutkan ada dalam shahihain dan cukup untuk membantah ucapan mereka yang mengatakan: "Khullah untuk Ibrahim, Mahabbah (habib) untuk Muhammad. Maka Ibrahim adalah Khalilullah sedangkan Muhammad adalah habibullah. Di dalam sahih Muslim dari 'Abdullah bin Mas'ud Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Saya berlepas diri kepada setiap khalil dari khullahnya." Adapun mahabbah maka ini berlaku dan ada pada selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. Allah Ta'ala berfirman:"Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan."(Ali 'Imran 134)."Maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa."(Ali 'Imran 76)."Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang banyak bertaubat dan selalu bersuci."(Al Baqarah 222).

Dengan demikian jelaslah batilnya ucapan mereka yang mengatakan khullah untuk Nabi Ibrahim, sedangkan mahabbah untuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihima wa sallam. Adapun hadits Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi yang di dalamnya disebutkan:

, فخر وال الله حبيب وأنا أال الله خليل إبراهيم إن

45

Page 46: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

"Sesungguhnya Ibrahim Khalilullah, dan saya Habibullah, bukan sombong."Tetapi hadits ini bukanlah hadits yang sahih. (Syarh 'Aqidah Thahawiyah 1/164-165, tahqiq Al Arnauth).

ASMA’UL HUSNA

Telah disebutkan dalam kitab Arifin Ilham "Hikmah dzikir berjama'ah", hal lampiran bacaan dzikir bahwa termasuk yang dibaca dalam dzikir berjama'ah adalah Asma'ul husna. Lalu disebutkan oleh Ahmad Dimyathi dalam kitabnya, "Amaliah dzikir taubah", penyebutan rincian dari 99 Asma'ul husna tersebut yang diambil dari beberapa riwayat Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan yang lainnya. (Amaliah Dzikir Taubah, hal:55-60).

Memang telah diriwayatkan dalam shohih Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama seratus kecuali satu, barangsiapa yang meng-ihsho'-nya maka dia masuk kedalam syurga". (Muttafaq alaihi ).

Makna "Ihsho'" adalah menghafalnya dan memahami maknanya dan disempurnakan dengan beribadah kepada Allah Azza Wajalla berdasarkan konsekwensinya, yaitu disaat kita hendak meminta ampun maka kita menyebut,"Ya Ghoffar (wahai yang maha Pengampun), dan jika hendak meminta rezki maka kita mengatakan "Ya Rozzaq a (wahai maha pemberi rezki)".

Namun riwayat yang menyebutkan perincian tentang 99 nama tersebut tidak satupun diriwayatkan dari jalan yang shohih, namun seluruh riwayat tersebut tidak terlepas dari berbagai macam penyakit hadits, sehingga para ulama pun melemahkan riwayat tersebut.

Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta'ala:"Sesungguhnya 99 nama tidak ada hadits yang shohih dalam penentuan (nama-namanya) dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Yang masyhur yang beredar di kalangan manusia adalah hadits riwayat Tirmidzi yang diriwayatkan oleh Walid bin Muslim dari Syu'aib bin Abi Hamzah. Dan para hafidz dari ahli hadits mengatakan: Tambahan ini adalah yang dikumpulkan oleh Walid bin Muslim dari para gurunya dari ahli hadits. Dan juga terdapat hadits kedua yang lebih lemah dari yang tadi, yang diriwayatkan Ibnu Majah. Dan telah diriwayatkan tentang jumlahnya selain dua jenis (riwayat tersebut) dari pengumpulan sebagian (Ulama) salaf. (lihat: Majmu' Fatawa Syeikhul Islam: 22/ 482).

Beliau juga berkata: "Menentukan (perincian nama tersebut) bukan dari perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam, berdasarkan kesepakatan yang ahli dalam mengenal haditsnya". (Majmu' Fatawa: 6/ 382)

Berkata Umar Sulaiman Al-Asyqor: "Tidak ada hadits yang shohih penyebutan nama-nama tersebut secara rinci yang tidak meninggalkan

46

Page 47: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

bagian dalam perselisihan dalam menentukannya, bahkan disebutkan (nama-nama tersebut) secara terpisah dalam kitab Allah dan dalam sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, satu ayat menyebut satu nama, atau dua, atau lebih atau suatu ayat menutupnya dengan satu atau lebih dan terkadang beberapa ayat menyebutkan sejumlah nama-nama tersebut.". (Lihat kitab: al-Aqidatu fillah, karangan Al-Asyqor, hal: 187. Lihat pula kitab Al Qowa'id al-Mutsla: 38-48).

HUKUM FOTOGRAFI

Hukum Gambar [Termasuk di dalamnya gambar yang dibuat fotografer, pelukis, kameramen, pemahat, pengukir, dengan tangan atau dengan alat. Wallahu A'lam]

Muhammad 'Arifin dan para pengikutnya menyebarkan buku yang berjudul "Hikmah Dzikir Jama'i" dan tampil di dalamnya beberapa gambar fotografi. Ini menunjukkan betapa bodohnya dia atau pura-pura bodoh terhadap hukum-hukum syari'at Islam.

Berikut ini adalah dalil-dalil yang menyatakan haramnya gambar-gambar bernyawa. Saya ringkas dari kitab Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al Wadi'i rahimahullahu (Gharatul Fishal hal 123 -142).

1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam melaknat tukang gambar.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dalam sahihnya dari 'Aun bin Abi Juhaifah dari ayahnya, bahwa dia membeli seorang budak yang mahir membekam, katanya:"Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam melarang mengambil harga (upah) darah (bekam), anjing, usaha pelacuran. Dan beliau melaknat orang yang memakan riba, wakilnya (pengurusnya, pencatatnya), melaknat tukang tatto, yang minta ditatto dan tukang gambar."

2. Perintah menghapus gambar

Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam sahihnya dari Abil Hayyaj Al Asadi, katanya: "'Ali bin Abi Thalib berkata kepada saya: "Maukah kamu saya utus melakukan sesuatu sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam pernah mengutusku?" Janganlah kamu biarkan patung melainkan harus kamu hapuskan (lenyapkan), dan tidak ada satu kuburanpun yang menonjol melainkan harus kamu ratakan." Dalam riwayat lain, tidak ada satu gambarpun melainkan harus kamu hapus."

3. Gambar itu ada yang diibadahi di samping Allah

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha, katanya: "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam merasakan sakitnya, sebagian isterinya ada yang bercerita tentang

47

Page 48: Buku Bidah Dzikir Arifin Ilham

gereja yang mereka lihat di negeri Habsyah yang bernama Maria, waktu itu Ummu Salamah dan Ummu Habibah berada di Habsyah dan melihatnya lalu menyebut-nyebut keindahannya serta gambar-gambar yang ada padanya, maka beliau berkata: "Mereka itu, apabila meninggal seorang tokoh yang shaleh di kalangan mereka, maka mereka dirikan masjid (tempat ibadah) di atas kuburannya, kemudian mereka buat gambar-gambar di dalamnya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk di sisi Allah."

4. Malaikat tidak masuk ke rumah yang ada gambarnya

Hal ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu 'Abbas dari Abi Thalhah radliyallahu 'anhum, katanya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda: "Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar."

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu 'Umar radliyallahu 'anhuma, katanya: "Jibril pernah berjanji untuk menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, namun tidak juga datang. Beliau sedih dan semakin bertambah. Kemudian beliau keluar dan bertemu dengan Jibril lalu mengatakan apa yang dirasakannya, kata Jibril: "Sesungguhnya kami tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat gambar dan juga anjing."

Imam Muslim meriwayatkan dari hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha, katanya: "Rasulullah pernah mengadakan janji dengan Jibril bahwa dia akan datang suatu saat yang ditetapkan, tapi ternyata tiba waktunya Jibril tidak datang. Sementara di tangan beliau ada sebatang tongkat, dan beliau lemparkan seraya berkata: "Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya, begitu juga para Rasul-Nya." Kemudian beliau menoleh ternyata melihat seekor anak anjing di bawah tempat tidurnya, beliau berkata: "Ya 'Aisyah, kapan anjing ini masuk ke mari?" 'Aisyah berkata: "Demi Allah saya tidak tahu." Lalu beliau perintahkan supaya dikeluarkan, kemudian setelah dikeluarkan, Jibril datang, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berkata: "Engkau sudah berjanji, dan saya sudah duduk menunggumu, namun kamu tidak datang."

(Disalin dari "Bid'ah 'Amaliyah Dzikir Taubat, Bantahan terhadap 'Arifin Ilham Al Banjari", Penulis: Al Ustadz Abu Karimah 'Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'i, Yaman. Diterbitkan dalam buku berjudul "Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah Bantahan Ilmiah Terhadap M. Arifin Ilham Dan Para Pendukungnya" oleh penerbit Darus Salaf Darus Salaf Press, Wisma Harapan Blok A5 No. 5 Gembor, Kodya Tangerang HP. 081316093831 Email: [email protected])

48