Conference of The Bird (Musyawarah Burung) - Fariduddin Attar
Musyawarah Burung kaya syekh Attar
description
Transcript of Musyawarah Burung kaya syekh Attar
Musyawarah Burung (Mantiqu’t-Thair) merupakan karya sastra penyair sufi terkenal Faridu’Din Attar yang berisi
ajaran-ajaran sufistik, bahkan dalam penggunaan kata-katanya sarat akan istilah atau metafor-metafor yang biasa
digunakan oleh para sufi dalam karya sastra. Buku ini terdiri dari tiga Bab, yaitu: Madah Do’a, (yang berisi doa dan
ungkapan-ungkapan pembuka dari Faridu ‘Din Attar), Burung burung berkumpul, (menggambarkan bermacam-
macam burung yang akan turut serta dalam musyawarah), dan Musyawarah burung (tentang proses pencarian sang
Raja).
Review Danarto atas buku “Musyawarah Burung” di Majalah Tempo berikut cukup menarik untuk disimak:
Menjadi sufi karena seorang pengemis, attar kemudian sejajar dengan arabi dan rumi. hanya dengan cinta, kata
attar, perjalanan menuju penyatuan dengan allah dapat ditempuh.
MAKA, berkumpullah segala macam burung, baik yang dikenal maupun tldak, di dunia ini. Burung-burung itu –
menyelenggarakan musyawarah. Makhluk yang bisa terbang ini sadar bahwa ternyata kerajaan burung tak memiliki
raja. Pada hal, menurut keyakinan mereka, tidak ada negeri di dunia ini yang tak beraja. Dan tak ada suatu negeri
yang mampu menyelenggarakan pemerintahannya dengan baik tanpa raja.
Keadaan kerajaan burung yang demikian tak boleh dibiarkan terus. Lalu tampillah Hudhud, burung kesayangan Nabi
Sulaiman, memimpin mereka. “Aku memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan rahasia-rahasia ciptaan,” kata Hudhud
di tengah majelis. Ia bercerita bahwa sebenarnya mereka mempunyai raja sejati, Simurgh namanya, yang tinggal di
Pegunungan Kaukasus. Ia raja segala burung.
Raja burung yang perkasa ini dekat dengan mereka. Tapi mereka jauh darinya. Tempat persemayamannya tak dapat
dicapai, dan tiada lidah yang dapat mengucapkan namanya. Di muka Simurgh tergantung seratus ribu tabir cahaya
dan kegelapan. Dan dalam kedua dunia itu tak ada yang dapat menyangsikan kerajaannya. Simurh raja
berkekuasaan mutlak di sebentang semesta. Ia bermandikan kesempurnaan, keagungan, dan kesucian.
Ia tak membukakan diri sepenuhnya meski di tempat persemayamannya sendiri. Dan tentang ini tak ada
pengetahuan dan kecerdasan yang dapat meraihnya.
Uraian Hudhud memikat burung-burung itu. Dengan bersemangat, musyawarah itu membicarakan keagungan raja
mereka. Lalu mereka tak sabar lagi, ingin segera berangkat bersama-sama mencarinya.
Tapi ketika menyadari betapa jauh dan pedihnya perjalanan nanti, mereka jadi ragu-ragu. Lalu mereka keberatan
untuk berangkat dengan dalihnya masing-masing. Bulbul, misalnya, tak mungkin meninggalkan tempat karena begitu
besar hasratnya untuk menyebarkan senandung cinta. Merak enggan meninggalkan kemewahannya. Rajawali tidak
mau berpisah dengan para raja di dalam istana.
Namun, Hudhud mampu meyakinkan mereka. Perjalanan menuju Simurgh satusatunya tujuan dalam hidup,
meskipun amat sukar ditempuh. Dan hanya dengan cinta segala kesukaran dapat diatasi. Mereka pun berangkat.
Akhirnya, tinggal 30 ekor saja yang sampai di balairung Simurgh. Dan ketika mereka bertatap muka dengan Raja,
mereka tak berbeda dengan-Nya. Tiga puluh (si-murgh) burung adalah Simurgh, dan Simurgh adalah tiga puluh
burung itu sendiri.
Puisi alegoris Faridu’d-Din Attar (1110-1230), Musyaarah Burung, merupakan salah satu monumen kesusastraan sufi
di samping Masnawi karya Jalaluddin Rumi (1217-1273). Diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja dari The
Conference of the Birds terjemahan C.S. Nott dari Mantiqu’t Thair.
Attar – yang waktu mudanya suka mengembara ke Mesir, Syria, Arab Saudi, India, dan Asia Tengah lahir di Nishapur
(di Iran sekarang), sekota dengan Pujangga Omar Khayyam. Ditilik dari namanya, Attar, mistikus besar ini dianggap
turun-temurun bergerak dalam usaha apotek, kedokteran, dan wangi-wangian.
Awal kesufian Attar, menurut cerita, yaitu ketika pada suatu hari di depan kedai parfumnya ia mengusir seseorang
yang disangkanya pengemis. Ternyata, pengemls itu seorang sufi. Ia menjawab bahwa tak ada kesukaran baginya
untuk pergi. Sebaliknya bagi Attar. Apakah ia sanggup pergi begitu saja sambil meninggalkan kekayaannya yang
berbau wangi itu? Sindiran sufi ini mengena di hati Attar. Ia serta-merta meninggalkan kekayaannya.
Faridu’d-Din Attar, yang tewas dipenggal prajurit Jenghis Khan ketika berusia 110 tahun, mendapat julukan Sauthus
Salikin – cemeti orang yang mengerjakan suluk.
Musyawiarah Burung, yang ditulis Attar selama tiga tahun (1184-1187), didahului puji-pujian kepada Allah Yang
Maha suci dan utusan-Nya, Nabi Muhammad, serta ucapan selamat kepada burung-burung. Buku yang mirip
dongeng ini menggambarkan pemikiran Attar – pelajaran sufisme dengan tujuh jenjang (maqam) Lembah Pencarian,
Lembah Cinta Lembah Keinsafan, Lembah Kebebasan dan Kelepasan, Lembah Keesaan, Lembah Keheranan dan
Kebingungan, serta Lembah Keterampasan dan Kematian. Sedangkan Seyyed Hossein Nasr, dalam Sufi Essays,
mencatat adanya 40 tingkatan berdasarkan ajaran sufisme Abu Sa’id ibn Abi’l-Khayr.
Kekatan Musyawarah Burung sebagai karya adalah kemampuan menghadirkan lambang secara sempurna. Burung
sebagai lambang manusia sangat lentur bagi penggambaran roh yang setiap saat siap melesat dari dalam tubuh.
Diselang-selingnya kisah para nabi dan para sufi, menghadirkan Musyawarah Burung sebagai karya yang “modern”,
sejauh struktur dan bentuk penyuguhan menjadi bagian penting pengucapan seorang sastrawan.
Bagi seorang sufi, nomor satu adalah Allah. Nomor dua adalah Allah. Dan nomor tiga adalah Allah. Setiap jengkal
perjalanan mistik seorang sufi adalah ujian. Dan ujian itu dapat berupa apa saja, termasuk keluarga dan harta.
Karena tujuan hidup adalah untuk kembali menyatu dengan Allah, dengan sendirinya semuanya dikesampingkan.
Ibnu Arabi (1102-1240), yang mempunyai paham wihdatul wujud (kesatuan wujud), meyakini bahwa Wujud (Yang
Ada) itu hanya Satu. Dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Jika ada
perbedaan antara yang tampak dan tidak, maka perbedaan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat Yang Esa.
Arabi menulis puisi: Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba Demi syu’urku, siapakah yang mukallaf? Kalau
engkau katakan Hamba, padahal ia Tuhan Atau engkau kata Tuhan, yang mana yang diperintahkan? (terjemahan
Hamka dalam Tasauf, Perkembangan, dan Pemurniannya)
Jalaluddin Rumi juga menulis puisi Orang Tuhan yang menerangkan pandangannya yang Serba-dalam-Illahi.
Bahwa “beragam jenis burung yang terlihat di dunia ini hanyalah bayang-bayang Simurgh” (Musyawarah Burung,
halaman 60), mendudukkan Attar, Arabi, dan Rumi sebagai mata rantai yang berurutan. Dan sebagaimana para sufi
lainnya, bagi Attar hanya cinta yang dapat menghantarkan kita ke haribaan Allah. Lalu penyatuan pun berlangsung:
Hamba tak tahu apakah Engkau hamba atau hamba Engkau, hamba telah menjadi tiada dalam Engkau dan keduaan
pun lenyaplah.