Mushaf Maroko) (Perbandingan antara Mushaf Standar Indonesia...
Transcript of Mushaf Maroko) (Perbandingan antara Mushaf Standar Indonesia...
KAJIAN RASM AL-QUR’AN
(Perbandingan antara Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Maroko)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Hajar Nur Rohmah
NIM. 53020150014
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2020
ii
iii
iv
v
MOTTO
لحفظون إنا نحن نزلنا ٱلذكر وإنا له
“Sesunggunya Kami yang menurunkan al-Qur’an dan Kami akan menjaganya (al-
Qur’an)”.
PERSEMBAHAN
Penulis mempersembahkan skripsi ini teruntuk:
1. Kedua oranga tuaku Ayahanda dan Ibunda yang selalu menyayangi dan
mendoakan untuk kebahagiaan dan kesuksesanku, semoga selalu sehat dan
dalam lindungan-Nya.
2. Seluruh keluargaku yang selalu memberikan dukungan, semangat, kasih
sayang yang luar biasa.
3. Kepada sahabatku yang selalu menemani dalam suka maupun duka dan
mengingatkan tugas-tugas yang harus dikerjakan, semoga diberi kesehatan
serta selalu dalam lindungan Allah Swt.
4. Kepada teman-teman seperjuangan IAT angkatan 2015 yang selalu
memberikan semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan tugas akhir
ini, semoga selalu sehat dan diberi kelancaran dalam segala urusan.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, taufik serta hidayah kepada setiap ciptaan-Nya. Sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Solawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW. beserta keluraga, sahabat, dan pengikut-
pengikutnya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan
dorongan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Banyak
orang yang berada di sekitar penulis, baik secara langsung maupun tidak, telah
memberi dorongan yang berharga bagi penulis. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyyudin Baidhawy, M.Ag. Selaku Rektor IAIN Salatiga,
beserta segenap jajaranya.
2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan
Humaniora IAIN Salatiga, beserta jajaranya
3. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag. Selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir IAIN Salatiga, yang telah memberikan izin untuk penelitian dan
penyusunan skripsi sekaligus sebagai pembimbing skripsi yang telah
membimbing, memberi nasihat, arahan serta masukan-masukan yang sangat
membantu penyusunan tugas akhir ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Salatiga, terlebih
dosen Ilmu Tafsir untuk ilmu-ilmu dan warisan-warisan intelektual beliau
curahkan sehingga mengantarkan penulis untuk berproses menjadi lebih baik lagi.
vii
5. Abi Hariyanto dan Umi Kasinah tercinta, beserta keluarga yang tak pernah lelah
mendo’akan penulis untuk tetap semangat dalam menuntut ilmu serta dukungan
selama proses pembuatan skripsi.
6. Teman-teman program studi ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2015 yang terus
memberikan dukungan serta selalu meluangkan waktu untuk mendengarkan
ocehan penulis di tengah-tengah perjalanan luar biasa dalam menulis dan
menyelesaikan skripsi.
7. Terakhir, untuk semua pihak dan elemen yang secara langsung maupun tidak
langsung dalam membantu menyelesaikan tulisan ini dari awal hingga proses
penelitian hingga skripsi ini terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dipergunakan sebagaimana mesti.
Salatiga, 20 Maret 2020
Penulis
viii
ABSTRAK
Nur Rohmah, Hajar. 2020. KAJIAN RASM AL-QUR’AN (Perbandingan antara
Mushaf Maroko dan Mushaf Standar Indonesia).
Tri Wahyu Hidayati, M.Ag
Mushaf al-Qur’an telah mengalami perjalanan panjang sehingga saat inisangat mudah ditemukan percetakan atau penerbit yang menerbitkan mushaf al-Qur’an dengan berbagai kreasi dan inovasi sesuai kebutuhan masyarakat. Modelmushaf antarnegara memiliki ciri dan penulisan masing-masing, disesuaikan denganbudaya dan ilmu yang sampai kepada mereka, yang mana semua tetap sesuai denganriwayat shahih dan berpedoman kepada Nabi Muhammad SAW. Mengingat peristiwayang pernah terjadi pada oktober 2018 mengenai ditemukannya mushaf al-Qur’anyang dianggap salah atau diubah, yang ternyata mushaf tersebut adalah terbitandaerah Maghribi/ Maroko. Penulis tertarik untuk mengkaji rasm yang ada padaMushaf Maroko dan Mushaf Standar Indonesia, yang keduanya sama-sama RasmUsmani.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Langkah pertama yang penulislakukan yaitu penelitian kepustakaan (library research), untuk mencari bahan-bahanyang sulit didapatkan. Adapun metode yang penulis gunakan yaitu metodedokumentasi. Dokumentasi ini mencakup sumber-sumber tertulis mengenai MushafStandar Indonesia dan Mushaf Maroko. Kemudian dokumen yang telah didapatkandianalisis, dibandingkan, dan dipadukan (sintesis) membentuk hasil kajian yangsistematis dan utuh.
Berdasarkan analisa data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwaMushaf Standar Indonesia menggunakan Khat Naskhi, rasm condong kepada riwayatal-Dani, dan berqira’at Hafs dari Imam Ashim. Sedangkan Mushaf Marokomenggunakan Khat Maghribi, rasm condong kepada riwayat Abu Dawud, danberqira’at Warasy dari Imam Nafi’. Penelitian rasm yang terfokus dalam surah al-Fatihah dan al-Baqarah juz 1 ini menemukan beberapa perbedaan yang dicantumkanpada tabel. Walau berbeda namun secara substansial tetap sama.
Kata Kunci: Rasm Usmani, Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Maroko.
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi huruf (pengalihan huruf) dari huruf Arab ke huruf Latin
yang digunakan adalah hasil Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 Tahun 1987 atau Nomor 0543 b/u 1987,
tanggal 22 Januari 1988, dengan melakukan sedikit modifikasi untuk membedakan
adanya kemiripan dalam penulisan.
A. Penulisan huruf
No Huruf Arab Nama Huruf Latin
1. ا Alif Tidak dilambangkan
2. ب Ba’ B
3. ت Ta T
4. ث ṡa ṡ
5. ج Jim J
6. ح Ḥa ḥ
7. خ Kha Kh
8. د Dal D
9. ذ ẑal ẑ
10. ر Ra R
11. ز Za Z
12. س Sin S
13. ش Syin Sy
x
14. ص Ṣad ṣ
15. ض Ḍad ḍ
16. ط Ṭa’ ṭ
17. ظ Ẓa ẓ
18. ع ‘ain ‘ (koma terbalik di atas)
19 غ Gain G
20. ف Fa’ F
21. ق Qaf Q
22. ك Kaf K
23. ل Lam L
24. م Mim M
25. ن Nun N
26. و Wawu W
27. ه Ha’ H
28. ء Hamzah ‘ (apostrof)
29. ي Ya’ Y
B. Vokal
◌ Fathah Ditulis “ a ”
◌ Kasroh Ditulis “ i ”
◌ Dhammah Ditulis “ u ”
xi
C. Vokal Panjang
+ا ◌ Fathah + alif Ditulis “ã “ جل هليه Jãhiliyah
+ى ◌ Fathah + alif
layin
Ditulis “ã “ تنسى Tansã
+ي ◌ Kasrah + ya’
mati
Ditulis “ ỉ “ حكيم Hakỉm
◌+و Dhammah +
wawau mati
Ditulis “ủ “ فروض Furủd
D. Vokal rangkap
◌+ا Fathah + ya’
mati
Ditulis “ ai ” بينكم Bainakum
◌+و Fathah + wawu
mati
Ditulis “ au “ قول Qaul
E. Huruf rangkap karena tasydid ( ◌)ditulis rangkap
د Ditulis “ dd ” عدة ‘Iddah
ن Ditulis “ nn ” منا Minna
F. Ta’ Marbuthah
1. Bila dimatikan ditulis h:
حكمة Hikmah
جزية Jizah
xii
(ketentuan ini tidak berlaku untuk kata-katabahasa arab yang sudah
diserap ke dalam bahasa Indonesia)
2. Bila Ta’ Marbuthah hidup atau berharakat maka ditulis t:
زكاةالفطر Zakãt al-fiṭr
حياةالانسان Ḥayãt al-insãn
G. Vokal pendek berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof (‘)
أأنتم A’antum
أعدد U’iddat
لئن شكرتم La’insyakartum
H. Kata sandang alif + lam
al-qamariyah القران al-Qur’ãn
Al-syamsiyah السماء al-samã’
I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat:
Ditulis menurut bunyi atau pengucapan
ذوي الفروض Ẑawi al-furủd
أهل السنة Ahl al-sunnah
xiii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.............................................................................................................. i
Pernyataan Keaslian Tulisan........................................................................................ ii
Persetujuan Pembimbing ............................................................................................. iii
Pengesahan Kelulusan.................................................................................................. iv
Motto dan Persembahan............................................................................................... v
Kata Pengantar..............................................................................................................vi
Abstrak .........................................................................................................................viii
Pedoman Transliterasi.................................................................................................. ix
Daftar Isi....................................................................................................................... xiii
BAB I: PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian....................................................................................... 5
E. Kajian Pustaka .............................................................................................6
G. Metodologi Penelitian .................................................................................10
H. Sistematika Pembahasan .............................................................................12
BAB II: KONSEP RASM AL-QUR’AN..................................................................... 14
A. Sejarah dan Perkembangan Mushaf al-Qur’an............................................ 14
1....Tradisi Tulis Menulis di Arabia............................................................14
2....Pemeliharaan dan Pengumpulan al-Qur’an.......................................... 17
xiv
B. Pengertian Mushaf Usmani ........................................................................... 37
1....Pengertian Rasm al-Qur’an.....................................................................37
2....Sejarah dan Perkembangan Mushaf Usmani.......................................... 39
C. Status Hukum Mushaf Usmani...................................................................... 49
D. Macam-macam Rasm dalam Penulisan al-Qur’an.........................................50
E. Kaidah-kaidah Rasm Usmani......................................................................... 53
F. Ciri Mushaf Usmani....................................................................................... 60
BAB III: MENGENAL MUSHAF STANDAR INDONESIA DAN MUSHAF
MAROKO.......................................................................................................................63
A. Mushaf Standar Indonesia.............................................................................. 64
1....Definisi Mushaf al-Qur’an Standar Usmani (MASU) Indoneisa............64
2....Latar Belakang Penulisan MASU Indonesia...........................................66
3....Lahirnya Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an LPMQ........................ 69
4....Karakteristik MASU Indonesia...............................................................82
5....Prinsip-prinsip Penulisan MASU Indonesia........................................... 85
6....Landasan Penulisan MASU Indonesia....................................................91
7....Ciri-ciri Syaamil Qur’an Tikrar Hafalan.................................................92
B. Mushaf Maroko.............................................................................................. 96
BAB IV: PERBANDINGAN ANTARA MUSHAF STANDAR INDONESIA DENGAN
MUSHAF MAROKO..................................................................................................... 102
BAB V PENUTUP......................................................................................................... 116
A. Kesimpulan ................................................................................................... 116
B. Saran...............................................................................................................117
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 119
1
1Dibaca dan dihafal ini adalah terjadi ketika awal-awal wahyu turun, yang mana malaikatjibril meminta Muhammad untuk membaca wahyu kemudian menghafal dan menyampaikannyakepada para sahabat dan seluruh umat.
2Berkembang dalam bentuk tulisan berawal dari kekhawatiran khalifah umar bin khattabkarena semakin banyak penghafal al-Qur’an (para hafidz) wafat dalam medan perang, sehinggakumpulan wahyu atau ayat-ayat itu harus disatukan dalam satu kitab.
3 Berkembang dengan hasil cetakan pastinya terjadi di abad ke 20 an saat teknologi semakinberkembang alat-alat canggih pun dimaksimalkan agar al-Qur’an semakin mudah dibaca dan semakincepat disebar luaskan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diwahyukan Allah kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai mukjizat terbesar sekaligus penyempurna kitab-kitab
sebelumnya. Al-Qur’an yang awalnya adalah wahyu yang disampaikan untuk dibaca
dan dihafal1 seiring bertambahnya zaman, berkembang menjadi tulisan2 bahkan
dicetak3 dengan alat-alat canggih di berbagai penerbit di dunia.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain seperti Mesir Kuno, Babilonia dan Cina,
yang seluk-beluk sistem penulisannya bermula ribuan tahun sebelumnya, bangsa
Arab dalam hal ini merupakan pendatang yang benar-benar terlambat, walaupun
huruf arab menempati urutan kedua sesudah huruf latin dalam luas daerah
pemakaiannya sampai dewasa ini, namun sebenarnya huruf Arab baru berkembang
jauh di kemudian hari. Keterlambatan perkembangan ini karena bangsa Arab pada
umumnya adalah masyarakat pengembara yang tidak begitu memperhatikan bahasa
tulis. Mereka bertumpu pada tradisi lisan untuk kepentingan komunikasi dan
penyebaran berita.
2
4 Islah Gusmian, “Kaligrafi Islam: dari nalar seni hingga spiritual”, dalam al-Jāmi’ah, Vol.41, no. 1 (2003/1424 H), 115.
Sekalipun demikian, sekali bangsa arab menyadari perlunya menyalin bahasa
mereka dalam tulisan, maka segera mereka mengungguli bangsa lain di dunia dalam
seni menulis indah kaligrafi. Dalam waktu yang singkat mereka menghasilkan seni
kaligrafi yang mengagumkan, yaitu seni mengalihkan bentuk huruf Arab ke dalam
medium seni yang mencerminkan kegeniusan bakat seni mereka yang menakjubkan.
Perkembangan ini sangat terkait dengan peran al-Qur’an. Seperti dapat dilihat bahwa
wahyu pertama yang menyinggung perintah "membaca" dan "menulis" (QS. al-'Alaq
[96]: 1-5), sebagai ajaran yang mendominasi tempat tempat ajaran-ajaran Islam
lainnya. Dapat dipastikan bahwa qalam atau pena dalam konteks ayat tersebut
memiliki kaitan erat dengan seni menulis. Kekuatan magis dari ayat al-Qur’an yang
lain dapat ditemukan dalam ayat pertama surat al-Qalam.
Selain daripada itu, al-Qur‟an sendiri memaparkan secara utuh seperangkat
alat tulis. Tinta digambarkan dalam kata midād (QS. Al-Kahfi [18]: 109) dan nūn.
Pena dengan qalam, alas untuk menulis dengan lauḥ atau papan (QS. Al-Burūj [85]:
21-22; al-A’rāf [7: 145], raqq atau kulit halus (QS. Al-Thūr [52]: 1-3), ṣuhuf atau
lembar an (QS. Abasa [80]: 13-14; al-A‟lā [87: 18-19] dan qirṭās atau kertas (QS. al-
An’ām [6]: 6). Ini hanyalah istilah-istilah yang digunakan sesuai dengan masa dan
kebutuhannya. Meskipun sekarang telah banyak peralatan yang lebih modern dan
mudah didapatkan, namun pesan dari ayat di atas tetap tertuju pada objek yang sama,
yakni peralatan tulis dan media komunikasi.4
3
5 Makmur Haji Harun, dkk, “Sejarah Penulisan Mushaf aL-Qur’an Nusantara: Satu KajianPerbandingan Antara Mushaf Istiqlal Indonesia dengan Mushaf Tab’an Ain al- Taqwa Malaysia”,Conference Paper (Malaysia: Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris(UPSI), 2016), 1.
6 Mushaf al-Quran menurut sebahagian sejarawan di antaranya Ibnu Kasir, tujuh salinan al-Quran di zaman Uthman bin Affan adalah satu disimpan di Madinah yang dikenal dengan Mushaf al-Imām, enam salinan lainnya disebar ke beberapa daerah wilayah Islam pada masa itu, iaitu Mekah,Kufah, Basrah, Syam, Yaman dan Bahraen.
7 Ibid, 2.
Sejarah penulisan al-Qur’an memainkan peranan penting dalam menceritakan
semua kisah-kisah lama perjalanan panjang proses penulisan kitab suci ini yang
dimaksudkan agar memudahkan pembacanya dalam mentilawah ayat demi ayatnya.
Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia bagaimana seorang khattat yang menulis mushaf
al-Qur’an dalam memilih jenis khat yang akan digunakan agar jelas dan terang
bacaannya. Selain itu, keperluan kaum muslim akan mushaf al-Qur’an sangat tinggi,
sehingga penulisnya juga perlu cekap dan tepat ketika menentukan mushaf al-Qur’an
tersebut.5
Istilah "Mushaf”6 merupakan perkataan bahasa Arab yang secara harfiah
bermaksud "kulit", yaitu kulit buku, tetapi digunakan dalam konteks ini untuk
merujuk kepada senaskah kitab al-Qur’an. Sebuah mushaf jika memiliki tulisan khat
yang cantik dan menarik, memiliki hiasan corak dan hiasan motif serta iluminasi yang
berbagai dan beragam sangat membantu ketertarikan pembaca untuk lebih banyak
membaca mushaf al-Qur’an tersebut.7
Mengingat peristiwa yang pernah terjadi pada bulan Oktober 2018 perihal
viral di media sosial terkait video mushaf al-Qur’an yang dianggap salah dan
menyesatkan umat. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kemenag Muchlis
Hanafi menyampaikan bahwa mushaf al-Qur’an dalam video tersebut adalah mushaf
4
8 Dikutip dari kemenag.go.id berita pada 11 Oktober 2018
al-Qur’an yang ditulis berdasarkan riwayat Warasy dari Imam Nafi’ (salah satu
riwayat dalam qira’ah sab’ah yang mutawatir) yang diterbitkan oleh penerbit Darul
Ma’rifah Beirut. Mushaf tersebut menggunakan khat Maghribi yang berbeda dengan
mushaf al-Qur’an Standar Indonesia.8
Dari peristiwa tersebut dan keberagaman mushaf yang ada di dunia ini. Ada
dua mushaf yang menarik perhatian penulis, yakni Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Maroko. Secara sekilas kedua mushaf tersebut memiliki kesamaan, namun
ketika kita perdalam maka ada beberapa hal yang berbeda namun tidak sedikit pun
merubah substansi dari al-Qur’an tersebut. Perbedaan itu antara lain, bentuk khot atau
kaligrafi yang digunakan, tanda waqof, tanda baca, dan beberapa yang lain.
Dalam Mushaf Maroko ada hal lain yang menarik, yaitu dalam hal penomoran
dan penghitungan ayat, seperti kata Alif Lam Mim dalam surat al-Baqoroh, bukanlah
ayat pertama sebagaimana yang terdapat pada Mushaf Standar Indonesia. Kira-kira
apakah alasannya? Tidak hanya itu, dalam penulisan rasm, ada hal yang sangat
mencolok, yaitu penulisan huruf qaf, menyerupai bentuk huruf fa’ pada rasm dalam
al-Qur’an yang beredar di Indonesia. Namun, penulis mengkhusukan pembahasan
pada rasm al-Qur’an dari kedua mushaf tersebut. Penulis akan berusaha untuk
meneliti dan menjelaskan ke dalam tulisan ini, kemudian penulis memberikan batasan
penelitian yang dirumuskan dalam masalah tersebut.
5
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penulisan rasm dalam Mushaf Maroko?
2. Bagaimana penulisan rasm dalam Mushaf Standar Indonesia?
3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan rasm al-Qur’an pada Mushaf
Standar Indonesia dan Mushaf Maroko?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penulisan rasm dalam Mushaf Maroko.
2. Untuk mengetahui penulisan rasm dalam Mushaf Standar Indonesia.
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan rasm al-Qur’an pada
Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Maroko.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini secara garis besar, sebagai berikut:
1. Dari aspek teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi
kontribusi dalam khazanah studi al-Qur’an dan ilmu qira’at sehingga
diharapkan bisa berguna terutama bagi yang memfokuskan pada
kajian rasm usmani.
2. Secara praktis, penelitian ini juga dimaksudkan untuk membantu
memperkenalkan Mushaf Maroko kepada khalayak umum, agar tidak
dengan mudah menilai suatu mushaf itu salah, sehingga masyarakat
lebih moderat dalam bersikap.
6
9Ahmad Nashih yang dimuat dalam Jurnal NUN: Jurnal Studi al-Qur’an dan Tafsir diNusantara Vol. 3, No. 1, tahun 2017, penelitiannya berjudul Studi Mushaf Pojok Menara Kudus:Sejarah dan Karakteristik.21-22.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka digunakan sebagai bahan perbandingan terhadap
penelitian atau karya ilmiah yang telah ada, baik itu kekurangan maupun
kelebihan yang ada sebelumnya. Selain itu, kajian pustaka juga
mempunyai andil besar untuk mendapatkan informasi sebelumnya tentang
teori yang berkaitan dengan judul sehingga diperoleh landasan teori
ilmiah. Penelitian serupa yang pernah dilakukan sebagai acuan peneliti,
antara lain:
Pertama, Penelitian oleh Ahmad Nashih yang dimuat dalam Jurnal
NUN: Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol. 3, No. 1, tahun
2017, penelitiannya berjudul Studi Mushaf Pojok Menara Kudus: Sejarah
dan Karakteristik.9 Dalam tulisan ini Ahmad Nashih mengkaji Mushaf
Pojok Menara Kudus yang mana adalah salah satu mushaf yang dicetak
oleh salah satu penerbit mushaf tertua di Jawa Tengah. Mengkaji dari
aspek sejarah penulisan dan karakteristik yang mencakup tanda baca,
harakat, penentuan nama dan status surah, tanda waqaf dan lain-lain. Pada
akhir tulisannya, Ahmad Nashih menyatakan bahwa dalam mushaf ini
memiliki beberapa perbedaan dengan Mushaf Standar Indonesia maupun
Mushaf Madinah dalam hal penggunaan tanda baca dan harakat yang
terkesan inkonsisten, perbedaan dengan mushaf madinah dalam penentuan
7
10Mustopa, “Mushaf Kuno Lombok: Telaah Aspek Penulisan dan Teks”, Suhuf JurnalPengkajian Al-Qur’an dan Budaya, vol.10 No. 1 Juni 2017, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama Repubik Indonesia. 22.
status makkiy/madaniy sebuah surah pada surah al-ra’d, al-rahman, dan
al–nas .
Kedua, Penelitian oleh Mustopa yang dimuat dalam Suhuf Jurnal
Pengkajian Al-Qur’an dan Budaya volume 10 Nomor 1 Juni 2017 terbitan
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat,
Kementrian Agama Repubik Indonesia yang berjudul “ Mushaf Kuno
Lombok: Telaah Aspek Penulisan dan Teks.10 Dalam penelitian tersebut
Mustopa hanya membahas 6 mushaf yang dianggap mampu untuk
mewakili dan memberikan penjelasan tentang karakter tulisan mushaf
kuno koleksi museum negri NTB.
Mustopa menuliskan bahwa beberapa aspek teks yang menarik untuk
dicermati dalam mushaf tersebut adalah model penulisan khat yang
menggunakan khat naskhi dalam bentuk sederhana. Penulisan teks al-
Qur’an terlihat kurang memperhatikan kaidah, sehingga ada pemenggalan
kata yang tidak lazim, untuk tidak mengatakan suatu penyimpangan.
Selanjutnya untuk aspek tanda waqaf, tidak semua menggunakan tanda
waqaf, hanya mushaf 2,3 dan 4 saja yang menggunakan tanda tajwid
cukup lengkap, meskipun dalam penerapannya kurang konsisten. Mushaf
lainnya mencantumkan tanda tajwid, tetapi hanya terbatas mad wajib dan
mad ja’iz.
8
11 Abdul Hakim, Suhuf Jurnal Pengkajian Al-Qur’an dan Budaya, vol. 10 no.2 Desember2017 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RepubikIndonesia, “ Perbandingan Rasm Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Pakistan, dan Mushaf Madinah:Analisis Rasm Kata Berkaidah Hazf al-Huruf”. 385
Meski terdapat ketidaklaziman, baik dalam penulisan maupun
penerapan beberapa tanda baca seperti waqaf dan tajwid, namun mushaf-
mushaf tersebut warisan para pendahulu yang sekaligus menjadi saksi
penyebaran islam di pulau Lombok. Oleh karena itu, Mustopa berharap
upaya pelestarian mushaf kuno dapat terus didukung, terjaga dan lestari
sebagai warisan yang menyimpan sejumlah informasi, baik yang berkaitan
dengan penulisan mushaf al-Qur’an maupun keislaman secara umum.
Ketiga, Penelitian Abdul Hakim yang dimuat dalam Suhuf Jurnal
Pengkajian Al-Qur’an dan Budaya, volume 10 Nomor 2 Desember 2017
terbitan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan
Diklat, Kementrian Agama Repubik Indonesia yang berjudul
“Perbandingan Rasm Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Pakistan, dan
Mushaf Madinah: Analisis Rasm Kata Berkaidah Hazf al-Huruf”.11 Dalam
penelitian tersebut Abdul Hakim menuliskan bahwa dalam kajian hadzf al-
huruf pada tiga mushaf yang diambil dari tiga juz (juz 7, 14 dan 24)
Mushaf Standar memiliki kedekatan dengan Mushaf Pakistan 90% dan
dengan Mushaf Madinah 70%. Jika dilihat dari madzhab penulisan rasm,
Mushaf Standar lebih dekat kepada riwayat ad-Dani dibandingkan Abu
Dawud. Meskipun belum bisa dikatakan mengikuti ad-Dani sepenuhnya,
karena beberapa kata ditulis berbeda dari riwayat ad-Dani.
9
12 Miga Mutiara, “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan MushafMadinah”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah: 2019)
13 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018)
Keempat, skripsi dari Miga Mutiara, Mahasiswi UIN Syarif
Hidayatullah tahun 2019 yang berjudul “Kajian Ilmu Rasm Usmani
Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah”.12 Penulis memberikan
gambaran perbedaan rasm usmani Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah khususnya dalam surah al-Baqarah, dengan memperhatikan
enam kaidah rasm usmani, yaitu hazf (membuang huruf), ziyadah
(penambahan huruf), hamzah (penulisan hamzah), al-badal (penggantian
huruf), al-wasl wal fasl (menyambung dan memisah kata).
Dalam penelitiannya Miga menjelaskan bahwa memiliki persamaan
dengan disertasi Zainal Arifin yaitu, Perbedaan Rasm Usmani: Mushaf
al-Qur’an Standar Indonesiadan Mushaf Madinah Saudi Arabia dalam
Perspekrif al-Dani dan Abu Dawud. Sama-sama memiliki perbedaan rasm
usmani pada kaidah al-hazf al-huruf. Namun, perbedaannya adalah Zainal
Arifin hanya menemukan dalam surah al-Baqarah ada 114 kata,
sedangkan Miga menemukan 134 kata.
Kelima, skripsi dari Atifah Thoharoh, Mahasiswi IAIN Tulungagung,
tahun 2018 yang berjudul “Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia
dan Mushaf Madinah (Kajian atas Ilmu Rasm)”.13 Dalam skripsi ini
penulis membandingkan antara Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah dengan mengacu pada Mushaf Standar Usmani terbitan Turki.
10
Yang mana menurut penulis dari data yang didapatkan, mushaf Turki ini
kurang lebih 99% berasal dari teks al-Qur’an Usmani. Fokus kajian
penulis membahas rasm usmani yaitu dalam surah al Qiyamah. Adapun
dalam kesimpulannya, penulis mengatakan bahwa Mushaf Madinah lebih
mendekati dalam penulisan rasm usmani dengan mushaf acuan,
dikarenakan posisi rasm Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indonesia
mengacu pada Mushaf Standar Usmani Turki memiliki perbedaan pada
enam lafadz, yakni ,هسفن ةمايقلا, ابني, نيردق, ناسنالا, هنارق. Adapun mushaf
Madinah memiliki dua lafaz yang berbeda, yakni القيامة, . ينبا
Dari beberapa penelitian diatas, Penelitian tentang perbandingan
antara Mushaf Maroko dan Mushaf Standar Indonesia belum ada, oleh
karena itu penulis tertarik untuk membandingankan kedua mushaf tersebut
guna untuk menambah khazanah keragaman mushaf di dunia ini. Namun,
perlu ditekankan bahwa pada pembahasan Mushaf Maroko, penulis hanya
membahas informasi yang ada pada Mushaf Maroko saja, tidak membahas
sejarahnya ataupun asal usul adanya Mushaf Maroko tersebut.
F. Metode Penelitian
Sebagai langkah awal dalam memperoleh, mengolah, memvalidasi atau
menguji penelitian tentang Kajian Rasm Usmani ini, dibutuhkan penelitian
yang komprehensif sehingga nantinya akan menghasilkan sebuah penelitian
yang maksimal. Untuk mencapai hal tersebut dapat dilakukan beberapa
metode berikut ini:
11
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Ditinjau dari objeknya, penelitian ini merupakan penelitian pustaka
(library research), yaitu penelitian yang berbasis pada data-data
kepustakaan, dalam hal ini terutama adalah Mushaf Standar Indonesia
dan Mushaf Maroko.
2. Sumber Data.
Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua,
yaitu sumber data primer yakni data utama (asli) yang menjadi rujukan
dalam penelitian dan data sekunder adalah data pendukung yang
sifatnya komplementer. Sumber data primer adalah dari Mushaf
Maroko terbitan Librairie Es-Salam Al-Jadida (ةديدجلا مالسلا ةبتكم) yang
beralamatkan di 31/34 Place My Youssef-Habouss-Casablanca-Maroc
Dan juga, Mushaf Standar .(ءاضيبلا-بيرغملا فسوي-سابحألا-ردلا يالوم ةحاس)
Indonesia yang penulis teliti adalah Mushaf Syaamil Tikrar Hafalan.
Yang diterbitkan oleh PT Sygma Examedia Arkanleema yang
beralamatkan di Jalan babakan Sari I No. 71 Kiaracondong Bandung
Jawa Barat. Sumber sekunder adalah dari buku-buku, jurnal-jurnal,
skripsi-skripsi terdahulu dan penelitian langsung yang dilakukan oleh
penulis.
3. Teknik Pengumpulan Data
Langkah selanjutnya, agar mendapatkan data-data yang valid dan
berkualiatas, peneliti menggunakan beberapa teknik dalam
pengumpulan data dengan berbagai macam cara, yaitu:
12
a. Pengamatan (Observation)
Adapun pengamatan yang dilakukan peneliti adalah terjun
langsung ke perpustakaan kemudian memperhatikan dan
mengamati penulisan dan rasm dari masing-masing.
b. Dokumentasi
Dengan mengambil gambar-gambar dari masing-masing
mushaf, agar terlihat jelas, perbedaan khot, rasm, ornamen, dan
yang lainnya.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan yang digunakan dalam penyusunan laporan
penelitian di ini adalah:
Bab i pendahuluan. Berisi tentang latar belakang permasalahan,
rumusan masalah, tujuan Rumusan Masalah, tujuan Penelitian, kerangka
teori, metode penelitian, kajian pustaka, sistematika penulisan.
Bab ii konsep rasm al-qur’an. Berisi tentang penjelasan mengenai
konsep-konsep rasm al-quran menurut ahli. Yang terdiri dari lima sub bab:
sejarah dan perkembangan mushaf al-Qur’an, mengenal mushaf usmani
(rasm al-Qur’an), status hukum mushaf usmani, macam-macam rasm
dalam penulisan al-Qur’an, dan kaidah-kaidah rasm usmani.
Bab iii mengenal mushaf standar Indonesia dan mushaf maroko. Berisi
tentang identitas-identitas penting dan sakral yang ada pada kedua mushaf.
Terdiri dari dua sub bab: pertama, Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia
13
yang mencakup pembahasan definisi Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia,
latar belakang penulisan Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia, lahirnya
Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an (LPMQ) Indonesia, ciri-ciri Mushaf
al-Qur’an Standar Indonesia, prinsip-prinsip penulisan Mushaf al-Qur’an
Standar Indonesia, dan landasan penulisan Mushaf al-Qur’an Standar
Indonesia, serta ciri-ciri spesifik al-Qur’an Syaamil Tikrar. Kedua,
Identifikasi Mushaf Maroko.
Bab iv mengkomparasikan mushaf standar Indonesia dengan mushaf
maroko. Berisi tentang persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam dua
mushaf ini, dalam Q.S al-Fatihah dan Q.S al-Baqarah Juz 1.
Bab v penutup. Berisi tentang kesimpulan yang menjelaskan tentang
hasil penelitian, Saran-saran dan rekomendasi akhir dari penelitian. Daftar
Pustaka dan data dari hasil observasi maupun wawancara.
14
14 Nur Faizah, Sejarah aL-Qur’an, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, 2008), 154-156
BAB II
KONSEP RASM USMANI
A. Sejarah dan Perkembangan Mushaf al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, mukjizat terbesar yang Allah
wahyukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman dan petunjuk bagi
umat manusia dalam mengarungi kehidupan yang fana ini. Sebagai kitab suci
dan firman Tuhan sudah sepantasnya kitab tersebut terjaga sampai akhir
zaman, sebagaimana dalam Q.S Hijr ayat 9:
لحفظون إنا نحن نزلنا ٱلذكر وإنا له
yang artinya “sesunggunya Kami yang menurunkan al-Qur’an dan Kami akan
menjaganya (al-Qur’an)”. Dalam ayat tersebut Allah berjanji, Allah benar-
benar berjanji dan Allah pasti menepati janji untuk menjaga al-Qur’an hingga
akhir zaman.
1. Tradisi Tulis Menulis di Arabia14
Sebuah teori klasik yang mengatakan bahwa mayoritas masyarakat
bangsa Arab buta aksara ternyata tidak disokong oleh al-Qur’an. Asumsi Nabi
Muhammad sebagai penerima al-Qur’an yang disebut ummi dimana telah
diartikan sebagai buta aksara justru menyesatkan. Nabi Muhammad bukan
berarti tidak bisa membaca-menulis, hanya saja tradisi hafalan pada waktu itu
sangat mendominasi realitas kehidupan masyarakat.
15
Melansir statemen Amal (2003), suatu bentuk tulisan telah dikenal oleh
masyarakat Arab berabad-abad lamanya sebelum kedatangan Nabi
Muhammad. Di sejumlah kawasan Arabia ditemukan prasasti-prasasti dalam
abjad Nabatean, Lihyanik, dan Tsamudik. Di tembok kuil Syria terdapat
pahatan naskah bahasa Arab klasik yang berasal dari abad ke-3. Bahkan di
Mekah sendiri, tradisi tulis menulis sebenarnya sudah menggejala. Fakta
menunjukkan bahwa masyarakat Mekah yang gemar berdagang telah
memanfaatkan berbagai jenis bahan untuk menulis. Kelak, tradisi tulis
menulis dalam konteks perdagangan ini diakomodasi al-Qur’an (misalnya,
Q.S. al-Baqarah [2]: 282-283) berupa seruan untuk mencatat setiap transaksi
utang-piutang. Hal ini mengindikasikan bahwa tradisi tulis-menulis waktu itu
sudah berkembang.
Di dalam suatu hadis yang disitir Ibnu Sa’ad dalam, at-Tabaqat al-Kubra
bahkan dikabarkan bahwa orang-orang Mekah yang tertawan dalam Perang
Badar diperkenankan menebus kebebasan diri mereka dengan mengajarkan
tulis-menulis kepada kaum muslimdi Madinah. Bahan tulis-menulis juga
disebutkan dalam al-Qur’an. Kata raqq dalam Surah at-Tur [52] ayat 3 bisa
jadi mengacu pada sejenis kertas kulit atau perkamen yang terbuat dari kulit
binatang. Kata qirtas yang muncul dalam Surah al-Anam [6] ayat 7 dan 91
barangkali bermakna lontar, sebab kata ini terambil dari bahasa Yunani,
cartes, yang bermakna selembar atau sehelai lontar.
Kendati demikian, pengetahuan tulis-menulis yang tersebar cukup luas di
kalangan masyarakat Mekah dan Madinah sama sekali tidak menegasikan
16
kuatnya tradisi hafalan. Aksara Arab yang digunakan ketika itu tanpa syakal
dan i’jam lebih memperlihatkan eksistensi tulisan sebagai alat untuk
mempermudah hafalan.
Di kalangan sejarawan Arab, pandangan yang paling populer adalah
bahwa tulisan Arab berasal dari Hirah (sebuah kota di dekat Babilonia) dan
Anbar (sebuah kota di Eufrat sebelah barat laut kota Bagdad). Dikisahkan
bahwa tulisan Arab sampai ke Mekah melalui Harb bin Umaiyah bin Abd asy-
Syam yang mempelajari dari sejumlah orang yang ditemui di perjalanan.
Salah satu diantaranya adalah Bisyr bin Abd al-Malik yang datang ke Mekah
bersama Harb bin Umaiyah. Bisyr lantas mengawini Shahbah, putri Harb bin
Umaiyah, dan tinggal di Mekah sembari mengajarkan tulis-menulis kepada
sejumlah orang Mekah.
Ketika itu, terdapat dua jenis tulisan Arab yang berkembang. Pertama,
khat kufi. Bentuk tulisan ini mirip dengan tulisan orang-orang Hirah (Hiri)
yang bersumber dari tulisan Suryani (Syriak). Khat kufi antara lain digunakan
untuk menyalin al-Qur’an. Kedua, khat naskhi yang bersumber dari bentuk
tulisan Nabthi (Nabatean). Khat ini lazim digunakan untuk surat menyurat.
Akan tetapi dalam aksara Arab ketika itu lambang sejumlah konsonan
aksara tidak dapat dibedakan antara satu dengan lainnya, sehingga pada
perkembangan berikutnya diciptakan titik-titik diakritis yang mengikuti model
tulisan Suryani.
17
15 Nur Faizah, Sejarah aL-Qur’an, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, 2008), 156
2. Pemeliharaan dan pengumpulan al-Qur’an
Terma “penulisan” (kitabah), “pengumpulan” (jam’) dan
“penghafalan” (hifz) mengandung maksud dan tujuan yang sama yakni
pemeliharaan kitab suci al-Qur’an. Kata jam’ (pengumpulan) dalam hal ini,
sebagaimana diungkap diungkap al-Qattan dalam Mabahis fi ‘Ulum Al-
Qur’an, memiliki dua pengertian, yaitu:15
Pertama, pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafal dalam hati);
jumma’u Al-Qur’an berarti huffazuhu (penghafal-penghafal dalam hati).
Pengertian ini sebagaimana yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada
Nabi yang senantiasaa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk
membaca al-Qur’an ketika al-Qur’an itu turun kepadanya sebelum jibril
selesai membacanya karena ingin menghafalnya: “Janganlah engkau gerakkan
lidahmu untuk membaca al-Qur’an lantaran hendak cepat-cepat
menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya
(di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah
selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian atas
tanggungan Kamilah penjelasannya.” (Q.S. al-Qiyamah: 16-19)
Kedua, pengumpulan berarti kitabatuhu kullahu (penulisan al-Qur’an
secara keseluruhan) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-
suratnya atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam
suatu lembaran secara terpisah; maupun menertibkan ayat-ayat dan surah-
18
surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua
surah.
Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah Ta’ala yaitu Lauh Mahfudz ke
Baitul Izzah di langit dunia secara sekaligus, kemudian diturunkan dari langit
dunia ke bumi secara berangsur-angsur merupakan salah satu kemukjizatan
yang ada padanya (al-Qur’an). Hal ini merupakan proses turunnya al-Qur’an
sebagai wahyu kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
sebagai utusan yang mulia.
Adapun hikmah dibalik rahasia diturunkannya al-Qur’an secara
sekaligus ke langit dunia ialah untuk memuliakan al-Qur’an dan memuliakan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai utusan yang menerima
wahyu tersebut, yaitu dengan memberitahukan kepada penghuni tujuh langit
bahwa al-Qur’an merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada Rasul
terakhir dan umat yang paling mulia.
Selain itu pula, al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dari
langit dunia ke bumi selama dua puluh tiga tahun memiliki hikmah tersendiri
bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu untuk memantapkan dan
memperteguh hati beliau karena setiap peristiwa yang terjadi selalu disusul
dengan turunnya ayat-ayat baru yang dirasa oleh beliau sebagai hal yang dapat
meringankan penderitaan yang beliau hadapi dan sebagai hiburan serta
motivasi beliau untuk terus mendakwahkan Islam serta agar al-Qur’an mudah
19
16 https://www.academia.edu/9316951/Review_Studi_Ilmu_Al-Quran oleh Lola Nurhidayaty
dihafal.16
Proses sejarah al-Qur’an hingga menjadi satu rangkaian mushaf utuh
tidak akan luput dari tahapan panjang yang mengiringi, yakni terkait
pemeliharaan wahyu al-Qur’an. Pemeliharaan ini dapat dilakukan dengan dua
metode, yakni dengan cara menghafal dan menulisakannya. Dua metode ini
dalam literatur klasik ulum al-Qur’an dikenal dengan istilah jam’u al-Qur’an,
yang berarti pengumpulan. Pengumpulan al-Qur’an dalam arti menghafal
sudah berlangsung pada masa Nabi Muhammad SAW, tepatnya ketika Allah
menyemayamkannya ke dalam lubuk hati Nabi secara mantap sebelum orang
lain menghafalnya terlebih dahulu. Hingga kemudian, Nabi membacakannya
kepada sejumlah sahabat agar terjaga didalam hati mereka.
Berikut adalah sejarah panjang mushaf al-Qur’an dari masa ke masa
1. Periode Nabi Muhammad SAW
Periode ini adalah periode awal, periode wahyu turun secara
berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. (proses turunnya al-
Qur’an 2 kali).
Upaya pemeliharaan al-Qur’an pada masa Rasulullah mulai dilakukan
baik secara hafalan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah sendiri beserta
sahabat, maupun secara penulisan yang dilakukan oleh para sahabat
pilihan atas perintah Rasulullah. Pada awalnya al-Qur’an masa Rasulullah
masih berbentuk hafalan, bahkan selama kurun waktu 23 tahun masa
20
pewahyuan tersebut, Rasulullah mengajarkan dan memperdengarkan ayat
yang diterima kepada para sahabat secara lisan.
Meskipun demikian, bukan berarti dengan kuatnya hafalan para
sahabat dan masyarakat Arab masa itu, lantas menjadikan Rasulullah
luput akan pentingnya baca-tulis. Hal ini terbukti pada saat wahyu turun,
Rasulullah secara rutin memanggil para penulis untuk menuliskan wahyu
tersebut, termasuk didalamnya Zaid bin Tsabit. Bahkan terdeteksi tidak
kurang dari enam puluh lima orang sahabat yang bertindak sebagai
penulis wahyu. Berdasarkan kebiasaan Rasulullah tersebut, dapat
dikatakan bahwa pada masa ini budaya penulisan al-Qur’an sudah
dilakukan bahkan al-Qur’an telah sempurna penulisannya di zaman ini,
meskipun penulisannya masih tercecer dalam berbagai bentuk seperti di
kulit binatang, pelepah kurma, kepingan-kepingan tulang, kayu yang
diletakkan dipunggung onta dan bebatuan.
Pada masa ini apabila wahyu turun, sahabat menyegerakan untuk
menghafalkannya dan langsung ditulis oleh para penulis wahyu. Adapun
az-Zarqani berkata: “Rasulullah memberi petunjuk kepada mereka letak
ayat atau surat yang harus di tulis. Sehingga mereka menuliskannya pada
apa saja yang dapat digunakan untuk menulis seperti pelepah daun kurma,
batu-batu, daun, kulit binatang, dan tulang-tulang. Kemudian semua yang
sudah ditulis dikumpulkan di rumah Rasulullah, Sehingga ketika
Rasulullah wafat al-Qur’an telah terkumpul seperti itu adanya.”
21
Namun, pada masa ini belum ada upaya untuk mengkodifikasikan al-
Qur’an dalam satu mushaf secara utuh, meskipun secara keseluruhan
wahyu tersebut telah tertulis. Hal ini karena:
a) Wahyu masih proses turun berangsur-angsur dan terkadang ayat
yang turun berikut menghapus ayat sebelumnya.
b) Belum ada kebutuhan mendesak untuk melakukan upaya tersebut.
Sebab penghafal al-Qur’an masih banyak, tidak adanya fitnah
perselisihan tentang perdebatan perbedaan bahasa, dan sarana tulis
menulis masih sangat sulit hingga kodifikasi al-Qur’an dengan
cara menghafal menjadi kunci utama masa itu.
c) Adapun pada masa ini antara ayat dan surat masih berada dalam
lembaran secara terpisah dalam tujuh huruf, belum dikumpulkan
secara tertib dalam satu mushaf . Bahkan susunan atau tertib
penulisan ayat dan surat al-Qur’an tidak menurut tertib nuzulnya,
tetapi dituliskan sesuai dengan petunjuk Nabi. Sebab, wahyu-
wahyu diturunkan sesuai dengan munculnya masalah yang
melatarbelakangi turunnya wahyu.
Setelah berakhir proses turunnya wahyu dengan wafatnya Nabi,
maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada
Khulafa ar-Rasyidin sesuai dengan janji Allah yang benar kepada
umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Hal ini terjadi kali
pertama pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar bin
22
Khattab. Adapun pengumpulan al-Qur’an di masa Nabi ini dinamakan
penghafalan (hifdzan) dan pembukuan (kitabatan) pertama.
Di antara faktor yang mendorong penulisan al-Qur’an pada masa Nabi
adalah:
a. Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para
sahabat,
b. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna,
karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup, karena
adakalanya luput dari hafalannya atau sebagian dari mereka sudah wafat.
Sehingga dengan adanya pindahan berupa tulisan, akan tetap terpelihara
walaupun pada masa Nabi wahyu al-Qur’an masih ditulis ditempat-
tempat tertentu yang masih tercecer.
Pada masa kenabian Muhammad proses penulisan dan pengumpulan
al-Qur’an belum dilakukan secara massal. Kegiatan yang mengemuka
ketika itu adalah menghafal al-Qur’an. Setiap kali menerima wahyu al-
Qur’an, Nabi Muhammad bergegas mengingat dan menghafalnya. Setelah
itu, beliau membacakan kepada para sahabat sekaligus menyeru mereka
agar mengingat dan menghafal pula.
Mengenai hafalan Nabi Muhammad, seperti ditulis as-Sabuni dalam
at-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jibril setiap tahun sekali mendatangi Nabi
Muhammad untuk mengecek hafalannya pada bulan Ramadhan. Bahkan
23
17 Nur Faizah, Sejarah aL-Qur’an, (Jakarta Barat: CV. Artha Rivera, 2008), 161
pada bulan Ramadhan yang terakhir menjelang wafatnya Nabi, Jibril
turun dua kali untuk membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepadanya.
Sebegitu massalnya upaya menghafal al-Qur’an di masa kenabian
Nabi Muhammad ini, sampai-sampai mayoritas sahabat hafal al-Qur’an.
Ali as-Sabuni dalam at-Tibyan, berdasar atas suatu riwayat,
memperkirakan para sahabat yang hafal al-Qur’an berjumlah 140 orang.
2. Periode Abu Bakar Ash-Shidiq
Seluruh ayat al-Qur’an telah selesai tertulis saat Rasulullah masih hidup,
namun ayat-ayat dan surah-surahnya masih terpisah-pisah. Tuntutan untuk
mengumpulkan dalam satu mushaf belum mendesak, bahkan mungkin sekali
belum terpikirkan lantaran banyaknya penghafal al-Qur’an yang masih hidup.
17
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, estafet kepemimpinan Islam
diteruskan oleh Abu Bakar as-Shidiq yang terpilih melalui musyawarah para
sahabat senior. Pada awal-awal kepemimpinanya muncul gejolak sosial yang
dilakukan oleh sejumlah orang islam yang murtad dengan dipimpin oleh
Musailamah al-Kazzab. Gejolak ini berujung pada pecahnya Perang
Yamamah pada tahun 12 H antara kaum mulim dan kelompok Musailamah al-
Kazzab.
Peperangan itu memakan korban cukup banyak di kalangan kaum
muslim. Para sahabat penghafal al-Qur’an pun banyak yang gugur. Az-
Zarqani menyatakan bahwa jumlah mereka yang gugur mencapai sekitar 70
24
18 Ibid.162
orang. Ahmad Adil Kamal malah memperkirakan 500 sahabat penghafal al-
Qur’an gugur dari total 1200 pasukan Islam yang gugur dalam peperangan ini.
Peristiwa inilah yang memantik keprihatinan beberapa sahabat senior,
terutama Umar bin Khattab. Umar lantas mengusulkan kepada Abu Bakar
agar mengeluarkan kebijakan pengumpulan dan penulisan al-Qur’an dalam
satu mushaf. Usulan Umar didasari atas kekhawatiran bahwa al-Qur’an akan
berangsur-angsur hilang jika hanya dihafal saja lantaran para penghafalnya
yang semakin berkurang.18
Diriwayatkan oleh Al Bukhary dalam shahihnya, dari Zaid ibn Tsabit
ujarnya: “Abu Bakar memberi tahu kepadaku tentang orang-orang syahid
dalam peperangan Yamamah, lalu akupun datang kepada Abu Bakar.
Kebetulan ‘Umar ada di majlis Abu Bakar. Abu Bakar berkata: ‘Umar datang
kepadaku menerangkan bahwa peperangan Yamamah telah memusnahkan
para Qurra dan ia takut akan terus-menerus dimusnahkan para Qurra oleh
peperangan-peperangan yang menyebabkan hilangnya Al-Qur’an. ‘Umar
meminta supaya aku mengumpulkan al-Qur’an. Saya menjawab: bagaimana
kita lakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul? ‘Umar berkata: ini
demi Allah, sesuatu perbuatan yang baik. ‘Umar terus menerus (berulang kali)
mendesak aku menulis al-Qur’an, sehingga Allah melapangkan hatiku
untuknya dan mengakui kebenaran pendapat ‘Umar.” Kata Zaid seterusnya:
“Abu Bakar berkata kepadaku: Engkau wahai Zaid, seorang pemuda yang
berakal. Kami percaya keagamaanmu. Kamu seorang penulis wahyu di masa
25
19 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, cet. 8, (Jakarta: BulanBintang, 1980), 99-100
Rasul, maka periksalah al-Qur’an, atau carilah shuhuf-shuhuf al-Qur’an
(kepingan-kepingan yang tertulis padanya al-Qur’an) dan periksalah satu
persatunya kemudian kumpulkanlah.” Kata Zaid: “Demi Allah sekiranya
mereka membebankan daku membawa gunung, tiadalah yang demikian itu
lebih berat dari mengumpulkan al-Qur’an.” Karenanya aku berkata: “Betapa
anda kerjakan sesuatu sesuatu yang tidak diajarkan Nabi. Menjawab Abu
Bakar: “Demi Allah, ini suatu perbuatan yang sangat baik. Maka sesudah
berulang kali Abu Bakar menyuruh mengerjakan, baharulah hatiku di
lapangkan Allah sebagaimana telah dilapangkan hati Abu Bakar dan ‘Umar.
Maka akupun memeriksa al-Qur’an dan mengumpulkan kepingan-
kepingan yang telah ditulis padanya al-Qur’an dan mendatangi orang-orang
yang menghafalnya. Sesudah aku lakukan usaha itu dan aku kumpulkan
segala kepingan tersebut, nyatalah bahwa ada suatu ayat yang aku dengar dari
Rasul yang tidak ada tertulis dalam kepingan. Karena itu aku lanjutkan
pembahasan, maka aku dapati ia pada seorang Anshar, Abu Khuzaimah ibn
Aus Al Anshary.19 Ayat itu ialah:
“Di anatara para mu’min ada orang-orang yang menepati perkataan
yang mereka telah janjikan dengan Allah maka di antara mereka ada yang
mati syahid dan di antara mereka ada yang masih menanti dan mereka tiada
menggantikan sesuatu”. (Q.S. Al-Ahzab: 23)
Sesudah ayat ini kudapati, aku letakkan ia di suratnya.
26
20 Nur Faizah, Sejarah aL-Qur’an, (Jakarta Barat: CV. Artha Rivera, 2008), 164. Jugaterdapat di Al-A’zami, Sejarah Teks aL-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani,2014), 78
Sesudah itu kedapatan pula suatu ayat lagi yang tidak terdapat dalam
kepingan-kepingan tersebut. Maka setelah aku bertanya kepada para
Muhajirin dan para Anshar, akupun mendapatinya pada Khuzaimah bin
Tsabit, Yaitu:
“ Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang pesuruh (seorang danmenderita kesukaran, lagi sangat berkehendak untuk kebaikanmu. “Dia itusangat pengasih dan sangat penyayang terhadap para mu’min. Maka jikamereka berpaling, maka katakanlah (ya Muhammad); Tuhan mencukupi bagidiriku. Tak ada Tuhan melainkan Dia, kepadanyalah aku menyerahkan diridan Dia-lah Tuhan yang mempunyai ‘arasy yang besar”. (Q.S. At-Taubah:128-129).
Thahir al-Jazair dalam kitab at-Tibyan mencatat sejumlah alasan Abu
Bakar terhadap kualifikasi diri Zaid bin Tsabit:20
1. Masa muda Zaid menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya.
2. Akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakar memberi
pengakuan secara khusus dengan kata-kata, “Kami tak pernah
memiliki prasangka negatif kepadamu, wahai Zaid.”
3. Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran.
4. Pengalamannya di masa Nabi Muhammad masih hidup sebagai
penulis wahyu.
5. Zaid adalah salah seorang yang bernasib mujur di antara beberapa
orang sahabt yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an dari Jibril
bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadan.
27
21 Menurut Ibn Hajar, yang dimaksud dengan pengertian dua saksi (syahidain), tidak haruskeduanya dalam bentuk hafalan atau keduanya dalam bentuk tulisan. Seorang sahabat yang membawaayat tertentu dapat diterima bila ayat yang dibawanya didukung oleh dua hafalan atau tulisan sahabatlainnya. Demikian juga, suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh seorang sahabat akan dapatditerima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya. Adapun pemahaman iniberbeda dengan yang diusulkan as-Sakhawi (w.643 H), yang memenadang bahwa syahidain di siniartinya adalah catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat tertentu yang disodorkan sahabatsudah dapat diterima jika memiliki dua saksi yang menegaskan bahwa catatan tersebut memang ditulisdihadapan Nabi. Lihat al-Suyut}i, al-Itqan, jilid 1, 60
Pengumpulan al-Qur’an pada masa ini bertujuan untuk menjaga
kesempurnaan dan ontensitas al-Qur’an agar tidak ada bagian sedikitpun yang
hilang. Hal ini sangat beralasan karena dalam penulisan al-Qur’an Zaid bin
Tsabit berpegang pada ayat yang ditulisnya dihadapan Rasulullah dan ayat-
ayat itu dihafal oleh banyak orang. Ia juga sangat teliti dan selektif, sehingga
ia tak menerima ayat al-Qur’an yang ditulis itu melainkan disaksikan oleh dua
orang saksi.21
Zaid ibn Tsabit dalam menyelenggarakan tugasnya dibantu oleh beberapa
angggota lain, semuanya penghafal al-Qur’an, yaitu Ubay bin Ka’ab, ‘Ali bin
Abi Thalib dan ‘Utsman ibn Affan. Mereka berulang kali mengadakan
pertemuan dan mereka mengumpulkan tulisan-tulisan yang mereka tuliskan di
masa Nabi.
Tugas menghimpun al-Qur’an itu diselesaikan Zaid dalam rentang waktu
sekitar 1 tahun, antara sesudah terjadinya Perang Yamamah hingga menjelang
Khalifah Abu Bakar wafat. Hasil kerja Zaid yang sangat teliti memiliki
akurasi yang sangat tinggi. Hal ini tampak dari identifikasi Muhammad bin
Muhammad Abu Syahbah dalam al-Madkhal Dirasat Al-Qur’an al-Karim,
sebagai berikut:22
28
22 Ibid, 164-16523 Ibid, 100
1. Dia hanya menulis ayat al-Qur’an yang telah disepakati mutawatir
riwayatnya.
2. Mencakup semua ayat al-Qur’an yang tidak mansukh at-tilawah.
3. Membuang segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari ayat al-
Qur’an.
4. Tulisannya mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana al-Qur’an itu
diturunkan.
5. Susunan ayatnya seperti yang dapat kita baca pada ayat-ayat yang
tersusun dalam al-Qur’an sekarang ini.
Maka dengan usaha badan ini terkumpullah al-Qur’an di dalam shuhuf
dari lembaran-lembaran kertas. Dalam masa itu, ada juga riwayat yang
menerangkan, bahwa badan tersebut al-Qur’andalam shuhuf-shuhuf yang
terdiri dari kulit dan pelepah korma. Inilah pengumpulan pertama.23
Setelah tugas terselesaikan, kompilasial-Qur’an disimpan dalam arsip
kenegaraan dibawah pengawasan Abu Bakar. Kontribusinya seperti yang kita
dapat simpulkan adalah penyatuan fragmentasi al-Qur’an dan sumber
pertama, kemudian ia menjelajah ke seluruh kota Madinah dan menyusunnya
untuk transkripsi penulisan ke dalam satu jilid besar (master volume).
Kompilasi ini disebut dengan istilah suhuf. Ia merupakan kata jamak suhuf
secara literal artinya, kepingan atau kertas dan saya percaya ini (فحص)
29
mempunyai arti yang berbeda dengan kata tunggal Mushaf: (فحصم) yang
sekarang menunjukkan sebuah naskah tulisan al-Qur’an.
Sebagai kesimpulan, segala upaya Zaid adalah penyusunan semua surah
dan ayat secara tepat, dan kemungkinan besar sebagai seorang putra Madinah
dia menggunakan script dan ejaan Madinah yang umum atau konvensional
يندملا طخلا مسر) ). Tetapitampaknya ukuran kepingan-kepingan kertas yang
digunakan untuk menulis al-Qur’an tidak sama sehingga menjadikan
tumpukan kertas itu tidak tersusun rapi. Oleh karena itu, dinamakan shuhuf.
Hanya lima belas tahun kemudian, saat Khalifah Utsman berupaya mengirim
naskah-naskah al-Qur’an ke berbagai wilayah kekuasaan umat islam dari hasil
kemenangan militer telah memperkuat tersedianya kertas kulit bermutu tinggi
dan ia mampu memproduksi kitab al-Qur’an dalam ukuran kertas yang sama
yang kemudian lebih dikenal sebagai Mushaf.
3. Periode Umar bin Khattab
Dengan menunjuk sebagai penerus khalifah, setelah Abu Bakar wafat
diatas tempat tidur, sebelum dia telah memberi kepercayaan terhadap
penerusnya tentang mushaf-mushaf yang ada. Disamping adanya berbagai
kemenangan dalam pertempuran yang menentukan, kekuasaan Umar
diwarnai pengembangan al-Qur’an secara pesat melintasi Semenanjung
Arab. Beliau mengutus sekurang-kurangnya sepuluh sahabat ke Basrah
guna mengajarkan al-Qur’an, demikian pula ia mengutus Ibnu Mas’ud ke
Kuffah. Ketika Umar diberitahukan tentang adanya orang lain di Kufah
yang mendiktekan al-Qur’an pada masyarakat melalui hafalan, Umar naik
30
24 Al-A’zami, Sejarah Teks aL-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani, 2014), 85
pitam seperti kegilaan. Saat menemukan orang tersebut yang tidak lain
adalah Ibnu Mas’ud, beliau ingat akan kemampuannya, kemudian merasa
tenang dan dapat meredam kembali sikap emosinya.24
Berita penting lainnya adalah mengenai pengenalan ajaran al-Qur’an
di Suriah. Yazid bin Abu Sufyan, penguasa Suriah, mengadukan masalah
pada Umar tentang orang-orang Muslim yang memerlukan pendidikan al-
Qur’an dan juga keislaman. Ia mendesak agar Umar dapat mengutus para
dosen, kemudian Umar memilih tiga oranh sahabat melakukan tugas
tersebut yang masing-masing terdiri dari dari Mu’adz, Ubadah, dan Abu
Darda. Umar meminta mereka untuk terus menuju Hims yang setelah
mencapai tujuan, salah satu dari mereka agar pergi ke Damaskus dan
tempat lain di Palestina. Saat penduduk setempat merasa puas dengan
tugasnya di Hims, Abu Darda meneruskan perjalanan ke Damaskus,
sedangkan Mu’adz ke Palestina dengan meninggalkan Ubada dibelakang.
Mu’adz meninggal dunia setelah itu dan Abu Darda tinggal di Damaskus
beberapa waktu lamanya dan dapat membuat halaqoh yang sangat
masyhur dengan mahasiswa asuhannya melebihi 1600 orang. Dengan
membagi murid-murid ke dalam 10 kelompok, ia menugaskan seorang
instruktur secara terpisah pada tiap kelompok dan melakukan inspeksi
keliling dalam memantau kemajuan mereka. Bagi mereka yang telah lulus
tingkat dasar, dapat mengikuti bimbingan lansung beliau agar murid yang
31
25 Al-A’zami, Sejarah Teks aL-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani, 2014), 85-86
lebih tinggi tingkatnya merasa lebih terhormat belajar bersama Abu
Darda dan berfungsi sebagai guru tingkat menengah.25
Metode yang sama dipraktikkan ditempat lain, Abu Raja’ al-Ataradi
menyatakan bahwa Abu Musa al-Ash’ari membagikan murid-murid ke
beberapa kelompok di dalam Masjid Bashrah, dalam bimbingannya yang
hampir mencapai 300 orang.
Di ibu kota, Umar mengutus Yazid bin Abdullah bin Qusait untuk
mengajar al-Qur’an dikalangan orang Badui, dan melantik Abu Sufyan
sebagai inspektur untuk suku mereka agar mengetahui sejauh mana
mereka sudah belajar. Dia juga menunjuk tiga sahabat yang lainnya di
Madinah untuk mengajar anak-anak dengan setiap orangnya digaji lima
belas dirham per bulan, dan setiap murid (termasuk orang dewasa)
dinasehati untuk diajarkan lima ayat yang mudah.
Setelah ditikam oleh Abu Lu’lua (seorang hamba sahaya Kristen dari
Persia) di akhir tahun 23 hijrah, Umar menolak menunjuk seorang
khalifah, dan membiarkannya kepada masyarakat untuk memilihnya dan
pada waktu itu shuhuf diamanahkan kepada Hafshah.
Adapun sebabnya disimpan oleh Hafshah adalah karena Hafshah itu
isteri Rasulullah dan anak Khalifah; Hafshah itu seorang yang pandai
menulis dan panai membaca. Adapun sebabnya Abu Bakar dan
‘Umartidak menyuruh menyalin banyak adalah karena shuhuf-shuhuf
32
26 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an Tafsir, cet. 8, (Jakarta: BulanBintang, 1980), 100
27 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah
(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 40-41.
28 Nur Faizah, Sejarah aL-Qur’an, (Jakarta Barat: CV. Artha Rivera, 2008), 167.
yang telah di surat itu dimaksudkan menjadi originil saja, bukan untuk
dipergunakan oleh orang-orang yang hendak menghafalnya. Para sahabat
yang telah belajar al-Qur’an pada masa Nabi, masih hidup dan para
pelajar al-Qur’an yang mengajar secara hafalanpun masih banyak.26
4. Periode Usman bin Affan
Sepeninggal Umar bin Khattab, jabatan kekhalifahan dipegang oleh
Usman bin ‘Affan sebagai khalifah ketiga. Pada masa ini dunia Islam
mengalami banyak perkembangan, apa yang terjadi pada masa Abu Bakar
juga tidak lagi ditemui pada masa ini. Banyak penghafal al-Qur’an
ditugaskan ke berbagai wilayah untuk menjadi imam sekaligus
mengajarkan al-Qur’an sesuai daerahnya masing-masing. Dalam proses
penyebarannya, masing-masing sahabat memiliki versi qira’at yang
beragam, berlainan satu sama lain.27 Penduduk Syam, misalnya, berguru
dan menerima bacaan al-Qur’an dengan qira’at Ubay bin Ka’ab.
Penduduk Kufah berguru dan menerima bacaan al-Qur’an dengan qira’at
Abdullah bin Mas’ud. Penduduk Basrah berguru dan menerima bacaan al-
Qur’an dengan qira’at Abu Musa al-Asy’ari.28
Bahkan Hudzaifah Ibn al-Yaman yang ikut dalam pembukaan
Armenia dan Azerbaijan, ketika itu ia mendengar bacaan al-Qur’an
penduduk setempat yang berbeda satu sama lain, bahkan saling
33
membenarkan versi qira’at masing-masing, sehingga menimbulkan
pertikaian sesama umat. Melihat hal ini Huzaifah berkata kepada Usman,
“Wahai amirul mu’minin! Satukanlah umat ini sebelum mereka berselisih
dalam al-Qur’an seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani”.
Dari peristiwa inilah kemudian Usman berinisiatif untuk menyalin
kembali al-Qur’an, tepatnya akhir tahun ke-24 H dan awal ke-25 H29
dengan menunjuk 12 orang termasuk Zaid bin Tsabit (sebagai ketua),
Abdullah bin Zubair, Said ibn al-Ash, dan Abdurrahman ibn al-Harits ibn
Hisyam30. Kodifikasi ini dilakukan sebagaimana pada masa Abu Bakar.
Akan tetapi kodifikasi al-Qur’an pada masa Usman bukan karena
keberadaan al-Qur’an yang masih tercecer, melainkan menyalin mushaf
dalam rangka untuk menyeragamkan bacaan. Upaya ini diawali dengan
menyalin mushaf Abu Bakar yang dijaga oleh Hafshah ke dalam beberapa
mushaf.
Sebelum tim kodifikasi bekerja sesuai tugasnya masing-masing,
Usman memberikan pengarahan kepada tim agar:
a) Berpedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an dengan
baik dan benar.
b) Bila ada perbedaan pendapat tentang bacaan yang digunakan,
maka haruslah dituliskan menurut dialek Quraisy, sebab al-Qur’an
diturunkan menurut dialek mereka.
34
29 Lihat al-Suyuti, Al-Itqan..., jilid 1, hlm. 132. Banyak perbedaan pendapat mengenai jumlahmushaf yang dikirimkan Usman ke berbagai daerah. Manna‟ Khalil al-Qaththan dalam bukunyaMabahis fi Ulumil Qur’an, hlm. 199, menuliskan: ada yang mengatakan 1) berjumlah 4 buah (masing-masing dikirimkan ke Kuffah, Basrah, Syam, dan mushaf Imam), 2) 5 buah (masing-masing adalahyang disebutkan pada poin pertama ditambah Mekkah). as-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yangmasyhur, 3) 7 buah (masing-masing adalah kota yang disebutkan sebelumnya ditambahkan Yaman danBahrain). Sementara al-Ya’qubi, seorang sejarawan Syi‟ah mengatakan bahwa mushaf Usman adasembilan eksemplar, yang tersebar ke tujuh tempat sebelumnya ditambah wilayah Mesir dan al-Jazirah, al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an.., 105
Setelah penyalinan al-Qur’an selesai dikerjakan, maka lembaran-
lembaran al-Qur’an yang dipinjam dari Hafshah dikembalikan kepadanya.
Adapun al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai “al-Mushaf ”. Dari
penggandaan tersebut, mushaf di gandakan sebanyak 5 buah29, 4 buah
diantaranya dikirim ke berbagai wilayah yakni Mekkah, Syam (Syiria),
Basrah dan kuffah, agar ditempat-tempat tersebut disalin pula dengan
mushaf yang sama. Sementara satu buah mushaf, ditinggalkan di
Madinah untuk Usman sendiri dan yang terakhir inilah yang disebut
“Mushaf al-Imam”. Setelah itu, Usman memerintahkan untuk
mengumpulkan semua lembaran-lembaran al-Qur’an yang ditulis sebelum
pembakuan dan mushaf- mushaf lain yang tidak sesuai untuk dibakar. Hal
ini dilakukan untuk mencegah pertikaian dikalangan umat.
Kodifikasi periode Usman ini dilakukan dengan sangat cermat dan
teliti. Hal ini terlihat pada pengambilan lafadz-lafadz yang diriwayatkan
secara mutawatir dan mengesampingkan riwayat secara ahad.
Menyingkirkan lafal yang di nasakh (dihapus) dan lafadz yang diragukan.
Penyusunan al-Qur’an dilakukan dengan sistematika al-Qur’an sesuai
dengan susunan surah dan ayat sebagaimana terlihat saat ini. Sebelum
35
menetapkan dan menuliskan lafadz yang disepakati, tim kodifikasi
menghimpun dan merundingkan semua gaya bacaan (qira’at) yang
dikenal oleh para sahabat, dan jika tetap terjadi perselisihan maka
dipilihlah qira’ah Quraish. Selain itu, tim juga menyisihkan segala
sesuatu yang bukan al-Qur’an, misalnya catatan-catatan kaki yang yang
ditulis oleh para sahabat sebagai penjelasan atas suatu bagian al-Qur’an,
penjelasan tentang nasikh dan mansukh.
Semenjak saat itu sejarah mencatat, hasil kodifikasi Usman bin ‘Affan
cukup efektif untuk dapat mengikat persatuan umat Islam dalam ranah
standarisasi teks al-Qur’an. Setidaknya masa Usman ini menjadi
kodifikasi terakhir umat Islam dalam penyatuan bacaan. Artinya setelah
fase ini tidak ada lagi pembukuan atau standarisasi berikutnya.
Pengumpulan al-Qur’an masa Usman ini disebut dengan
pengumpulan/ pembukuan ketiga setelah masa Abu Bakar. Adapun masa
pemberlakuan mushaf Usmani di kalangan umat Islam terjeda rentang
waktu yang cukup lama, yakni hingga masa kekhalifahan Abdul Malik
bin Marwan.
Dari penyalinan mushaf masa Usman ini, maka kaum muslimin
diseluruh pelosok menyalinnya dengan bentuk yang sama. Sementara
model dan metode tulisan yang digunakan didalam mushaf Usman ini
kemudian dikenal dengan sebutan “Rasm Usmani”. Dengan demikian,
36
maka penulisan al-Qur’an di masa Usman memiliki manfaat besar,
diantaranya:
a) Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang
seragam ejaan tulisannya.
b) Menyatukan bacaan, walaupun masih ada kelainan bacaan, tetapi
setidaknya bacaan itu tidak berlawnan dengan ejaan mushaf-
mushaf Usman. Sedangkan ejaan yang tidak sesuai dengan ejaan
mushaf Usman, tidak diperbolehkan penggunaannya.
c) Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut urutan seperti
yang terlihat pada mushaf- mushaf sekarang.
Sehubungan dengan kodifikasi al-Qur’an yang berlangsung pada masa
Abu Bakar dan masa Usman, setidaknya terlihat beberapa perbedaan,
sebagai berikut:
Tabel 2.1: Perbedaan Kodifikasi al-Qur’an Masa Abu Bakar dan Masa Usman
No Masa Abu Bakar ash-Shidiq Masa Usman bin Affan
1.
Motivasi penulisannya karenaadanya kekhawatiran sirnanya al-Qur’an dengan wafatnya beberapasahabat penghafal al-Qur‟an padaperang Yamamah
Motivasi penulisannya karenaterjadinya perselisihan caramembaca al-Qur’an (qira’at).Sehingga menyebabkan timbulnyasikap saling menyalahkan.
2.
Abu Bakar melakukannya denganmengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an yang masih tercecer padapelepah kurma, kulit, tulang dandaun.
Usman mengumpulkan al-Qur’andengan menyederhanakan tulisanmushaf pada satu dialek, yaknidialek Quraish, dengan tujuan muliayakni mempersatukan kaummuslimin dalam satu.
37
30 Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani; Sejarah, Kaidah, dan Hukum Penulisan aL-Qur’andengan Rasm Usmani”, Lajnah Pentashihan Mushaf aL-Qur’an, Jakarta, Shuhuf Vol. 5, No. 1, 2012: 1– 18, 3
31 Ibid. 3
B. Pengertian Mushaf Usmani (Rasm Al-Qur’an)
1. Pengertian Rasm Al-Qur’an
Kata rasm berasal dari akar kata rasama-yarsumu-rasmun. Secara
bahasa berarti menggambar, atau melukis. Rasm berarti gambar, bentuk, rupa.
Rasm al-kitabah berarti ragam tulisan. Dalam pengertian istilah yang
digunakan dalam pembahasan ini ialah pola atau bentuk tulisan yang
digunakan dalam penulisan mushaf ‘Utsmani. Pola penulisan itu dijadikan
standar dalam setiap kali menggandakan al-Qur’an, oleh karena itu rasm itu
populer dengan nama rasm ‘Utsmani.
Secara etimologi,30 rasm berarti رثالا (al-Atsar) yang bermakna bekas,
peninggalan. Dalam perbendaharaan bahasa Arab rasm memiliki beberapa
sinonim, seperti طخلا روبزلا, مسرلا , dan رطسلا yang semuanya memiliki arti
sama, yaitu ‘tulisan’. Usmani, dengan ya’ nisbah dalam disiplin gramatikal
bahasa Arab adalah penisbatan terhadap nama khalifah ketiga, ‘Utsman bin
‘Affan. Dengan demikian, menurut bahasa, Rasm Usmani dapat dimaknai
sebagai bekas penulisan al-Qur’an yang polanya pernah dibakukan pada masa
Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Secara terminologi31 terdapat beberapa interpretasi, di antaranya
diartikan sebagai cara penulisan al-Qur’an yang telah disetujui oleh ‘Utsman
38
32 Miga Mutiara, “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan MushafMadinah”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah: 2019), 52.
33 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 47.
bin ‘Affan pada waktu penulisan mushaf. Definisi senada juga dikemukakan
Manna‘ al-Qattan, bahwa Rasm Usmani merupakan pola penulisan al-Qur’an
yang lebih menitikberatkan pada metode (Tariqah) tertentu yang digunakan
pada waktu kodifikasi mushaf pada zaman Khalifah ‘Utsman yang
dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy yang
disetujui ‘Utsman.
Rasm tersebut dinisbatkan kepada Khalifah ‘Utsman karena ‘Utsman-
lah yang menetapkan pola penulisan al-Qur’an yang dilakukan Zaid bin
Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Sa‘ad bin al-‘As dan ‘Abdullah bin
‘Abdurrahman bin al-Haris bin Hisyam. Adapun yang dijadikan rujukan oleh
‘Utsman adalah suhuf Abu Bakar, yang merupakan hasil pengumpulan dari
naskah-naskah para penulis wahyu Rasulullah SAW.32
Dengan demikian, maka pada dasarnya model dan pola penulisan
dalam Mushaf Usman ini bersumber pada satu tulisan yang dilakukan para
`penulis wahyu masa Rasulullah yang berdasarkan bimbingannya. Jadi
mushaf Usmani bukan berdasarkan rekayasa atau ijtihad para sahabat di masa
Usman sebagaimana tuduhan kaum orientalis.33
Beralih dari definisi dasar kata rasm, dalam diskursus ulumul Qur’an
rasm dibahas lebih luas dalam ilmu rasm. Ilmu rasm ini muncul dari sejarah
panjang mushaf Usmani yang mengakomodir seluruh pola tulisan dalam al-
39
34 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 47.
Qur’an. Secara teoritis ilmu rasm merupakan ilmu yang mempelajari tentang
penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam
penulisan lafadz-lafadznya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan.
Adapun seperti yang dikemukakan Badan Litbang, ilmu rasm Usmani ini
didefinisikan sebagai ilmu untuk mengetahui segi-segi perbedaan antara rasm
Usmani dan kaidah-kaidah rasm Qiyasi atau Imla’i (rasm biasa yang selalu
memperhatikan kecocokan antara tulisan dan ucapan).34
2. Sejarah dan Perkembangan Rasm Usmani
Tulisan merupakan simbol dan bagian tidak terpisahkan dari bahasa.
Keberadaan tulisan dapat mengikat seluruh lapisan masyarakat yang
berperan didalamnya. Karena hampir dapat dipastikan keterlibatan
‘bahasa’ saja tanpa adanya tulisan dunia ini bagaikan ruangan yang tidak
bersejarah. Adanya tulisan akan mampu mengilhami segala ruang dan
dimensi yang tercakup didalamnya dari lapisan masa ke masa. Begitupun
perkembangan penulisan al-Qur’an, keberadaan kokoh tulisan al-Qur’an
mencapai puncak kejayaannya pada masa pasca khalifah Usman, yang
dapat dipastikan memiliki tanda baca yang mampu mengakomodir seluruh
lapisan.
Tulisan Arab sendiri dalam perkembangannya hingga diadopsi
menjadi penulisan al-Qur’an memiliki sejarah yang panjang. Bahkan
40
35 Ibid,50.36 Miga Mutiara, “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah: 2019), 52-53.
eksistensi al-Qur’an seabagai karya monumental umat Islam, hingga
terbaca dengan jelas seperti sekarang terbagi dalam beberapa tahap.
Tahapan ini meliputi sejarah tulisan arab sendiri, rasm mushaf, hingga
pemberian syakl (harakat) dan I’jam (tanda titik).35
Teori dari kalangan sarjana Barat menyebutkan bahwa, tulisan arab
berasal dari tulisan Nabthi (Nabatean) yang ditransformasikan ke dalam
karakter tulisan Arab pada abad ke-4 atau ke-5. Menurut Taufik Adnan
Amal, proses transformasi ini kemungkinanya berlangsung di Madyan
atau kerajaan Gassanid (Gasaniyah). Faktor utama yang mempengaruhi
perkembangan awal tulisan ini adalah pengaruh perniagaan, hingga
akhirnya menyebar ke wilayah Arab Utara dan Selatan. Bahkan pada
permulaan abad ke-6, tulisan tersebut telah mencapai daerah Siria Utara
dan sebagian wilayah yang menggunakan bahasa Arab, khususnya
Makkah dan Madinah.36
Berbeda dengan sarjana Barat, sejarawan Arab berpendapat bahwa
tulisan ini berasal dari Hirah (sebuah kota dekat Babilonia) dan Anbar
(sebuah kota di Efrat). Hal ini sesuai kisah bahwa tulisan Arab sampai ke
Makkah melalui Harb Ibn Umayyah ibn ‘Abd al-Syams yang
dipelajarinya dari orang-orang yang dijumpainya dalam perjalanan.
Sedangkan pendapat dari Ibn al-Nadhim mengemukakan suatu riwayat
Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa orang pertama yang menulis
41
37 Ibid, 53. Juga terdapat di Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesiadan Mushaf Madinah (Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 51. Penjelasanlebih lanjut ada di Adnan amal, Rekonstruksi Sejarah,... hlm. 148. Bandingkan dengan riwayat yangdinukil oleh Ibn Faris dalam kitab Fiqhul Lughah, hlm. 7 yang dipaparkan as-Suyuthi,bahwa yang kalipertama menulis bahasa Arab, Suryani dan semua kitab-kitab adalah Adam sebelum meninggalnyasekitar tiga ratus tahun. Dia menuliskan pada suatu tanah yang dibakarnya. Maka, ketika terjadi banjirbesar setiap kaum menemukan tulisan itu kemudia mereka menulinya kembali. Adapun yangmengatakan bahwa yang menemukan tulisan Arab adalah Ismail. Bahkan dia yang membuat setiapkata dengan lafadz dan maknanya, dan menjadikannya sebagai satu buah tulisan, seperti sesuatu yangsaling menyambung tanpa dipisah pada masing-masing hurufnya. Kemudian dipisahkan oleh anak-anaknya. Jalaluddin al-Suyut}i, al-Itqan fi „Ulum al-Qur‟an (Beirut, Libanon: Dar al-Fikr, 2010),hlm. 535-536
38 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 51.
39 Ibid, 52.
aksara Arab berasal dari suku Bawlan yang mendiami Anbar.37 Bahkan
masih dari riwayat yang sama, dikutip dari Taufik Adnan Amal
mengatakan bahwa mereka adalah Abu Jad, Hawwas, Hutti, Kalamun,
Sa’fad dan Qurusa’at (nama raja-raja Madyan pada masa Nabi Syu’aib).38
Dalam perkembangan tulisan Arab, terdapat dua jenis tulisan Arab -
lazimnya disebut khat Hijazi yang berkembangan masa itu. Pertama
adalah khat Kufi, dinisbahkan mengikuti Kota Kufah, yakni tempat
berkembang dan disempurnakannya kaidah-kaidah penulisan aksara
tersebut. Adapun bentuk tulisan ini disinyalir paling mirip dengan tulisan
orang-orang Hirah (Hiri) yang bersumber dari tulisan Suryani (Siriak).
Penggunaan khat Kufi ketika itu untuk menyalin tulisan al-Qur’an. Bentuk
tulisan kedua adalah Khat Naskhi, yang bersumber dari tulisan Nabthi
(Nabathean). Khat ini biasanya digunakan dalam surat-menyurat.39
Pada abad ke-7 Masehi, yakni pada masa Rasulullah, tulisan yang
digunakan hanya terdiri atas simbol dasar yang hanya melukiskan struktur
konsonan dari sebuah kata dan bahkan sering mengandung kekaburan.
42
40 Ibid, 53.41 Miga Mutiara, “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah: 2019), 54-55.
Bahkan masa permulaan Islam, seluruh huruf biasanya dituliskan dengan
cara yang amat sederhana yakni dalam bentuk garis lurus tanpa titik dan
baris. Keadaan semacam ini masih berlanjut sampai pasca Nabi wafat dan
masa khalifah, penulisan al-Qur’an masih dalam bentuk yang sama belum
ada penambahan apapun.40
Bahkan pada masa Usman pun mushaf masih diseragamkan kedalam
satu bacaan, yang belum menggunakan tanda baca seperti titik dan simbol-
simbol bacaan lainnya. Hal ini semata-mata didasarkan pada watak
pembawaan orang-orang Arab yang masih murni mengandalkan hafalan.
Sehingga mereka tidak membutuhkan pemberian titik dan harakat. Namun
Bagi orang awam, ketiadaan tanda baca tersebut akan menyebabkan
adanya peluang terjadinya kekeliruan dalam membaca al-Qur’an.
Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf al-Qur’an
belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Usmani tidak
seperti yang dikenal saat ini yang dilengkapi dengan tanda-tanda baca,
sehingga sulit membedakan antara huruf ya’(ي ) dan ba’ (ب ). Demikian
pula antara sin (س ) dan syin (ش ), antara ta’ (ط ) dan za’ (ظ), antara jim
dan seterusnya. Meski demikian, para sahabat ,( خ) ’dan kha ,( ح) ha ,( ج)
belum menemukan kesulitan membacanya, karena mereka masih
mengandalkan hafalan.41
43
42 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 54.
43 Miga Mutiara, “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan MushafMadinah”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah: 2019), 55.
44 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 54. Banyak perbedaan pendapattentang usaha pertama ini, mayoritas ulama berpendapat, termasuk al-Suyuti mengatakan bahwa AbuAswad ad-Du’ali adalah orang pertama yang melakukan usaha tersebut. Ad-Du’ali merupakan peletakdasar-dasar kaidah bahasa Arab pertama atas permintaan Ali bin Abi Thalib. Bandingkan dalampemaparan Muhammad Quraish Shihab, at. all, dalam buku Sejarah dan ‘Ulum al-Quran, bahwakhalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan ulama besar al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untukyang kemudian distandarkan penggunaanya atas bantuan Nashr ibn I‟Ashim dan Yahya ibn Ma‟mur.Muhammad Quraish Shihab, at. all, Sejarah & „Ulum al-Quran,... hlm. 32 ; Hal senada jugadiungkapkan oleh Zainal Arifin yang memaparkan bahwa tanda diakritik diawali dengan harakatberbentuk titik (naqt al-i’rab) atas jasa Abu al-Aswad al-Duali atas perintah Gubernur Basrah Ziyad(berkuasa pada tahun 45-53 H/666-673 M) pada masa kekhalifahan Mu’awwiyah, disusul kemudiantitik huruf (naqqt al-I’jam) atas jasa Nasr bin ‘Asim (w. 90 H/709 M) dan Yahya bin Ya’mar (w.Sebelum 90 H) pada masa ;Abd al-Malik bin Marwan (w. 86 H/705 M), karena membingungkan,sebab keduanya sama-sama dengan tanda titik kemudian disempurnakan oleh Khalilbin Ahmad (w.170 H/786 M) titik harakat yang dikeal sekarang. Lihat Zainal Arifin Madzkur, Perbedan RasmUsmani, 49.
Kesulitan pembacaan tulisan Arab khususnya al-Qur’an mulai muncul
ketika dunia Islam meluas ke wilayah-wilayah non-Arab, seperti Persia
disebelah timur, Afrika disebelah selatan, dan beberapa wilayah non Arab
sebelah Barat. Sehingga menjadikan bahasa Arab mengalami kerusakan
karena banyaknya pencampuran (dengan bahasa non-Arab).42
Masalah ini mulai disadari oleh pemimpin dunia Islam ketika Ziyad
bin Samiyyah menjabat Gubernur Bashrah pada masa Mu’awwiyah bin
Abi Sufyan (661-680 M). Ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duali
membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan
dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang tidak hafal al-Qur’an.43
Adapun as-Suyuthi dalam al-Itqan menyebutkan bahwa yang
memerintahkan ad-Du’ali bukanlah Ziyad, melainkan Abdul Malik bin
Marwan pada masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan.44
44
45 Miga Mutiara, “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan MushafMadinah”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah: 2019), 56; Al-Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, 117-118.
Seketika Ad-Duwali tidak langsung memenuhi permintaan tersebut.
Karena sebagaimana hal ini bertentangan dengan zaman Nabi,
dikategorikan bid’ah. Terlebih dalam hal ini adalah penambahan simbol
bacaan al-Qur’an yang tidak dilakukan pada masa sebelumnya. Akan
tetapi setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan yang fatal,
yakni pada QS. At-Taubah ayat 3, yang berbunyi:
بريء من المشركين ◌ ورسوله ◌ أن
“Bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-
orang musyrikin”.
Pada potongan akhir ayat tersebut dibaca dengan هلوسر. Padahal
seharusnya هلوسر. Kesalahan pengucapan ini secara tidak langsung juga
akan mengakibatkan perubahan makna secara substansial, sebagaimana
makna yang seharusnya adalah “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
berlepas diri dari orang-orang musyrik”. Tetapi ketika kata itu
dibelokkan, maka maknanya akan berubah menjadi “sesungguhnya Allah
berlepas diri dari orang-orsng musyrik dan Rasul-Nya”. Setelah adanya
kejadian tersebut, Abu Aswad segera menemui Ziyad dan menyetujui
untuk meletakkan tanda baca pada rasm al-Qur’an.45
Abu al-Aswad al-Duali memberi tanda fathah atau tanda bunyi (a)
dengan membubuhkan tanda titik satu di atas huruf, tanda kasrah atau
45
46 Nur Faizah, Sejarah aL-Qur’an, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, 2008), 194.47 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah
(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 55-56.48 Nur Faizah, Sejarah aL-Qur’an, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, 2008), 194.
tanda bunyi (i) dengan membubuhkan tanda titik satu dibawah huruf,
tanda dammah atau tanda bunyi (u) dengan membubuhkan tanda titik satu
terletak di antara bagian-bagian huruf, sementarra tanda sukun atau tanda
bunyi konsonan (huruf mati) ditulis dengan cara tidak membubuhkan
tanda apa-apa pada huruf yang bersangkutan (al-Qattan, 1978).46
Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, tanda-tanda vokal (nuqt al-I’rab)
yang diciptakan oleh ad-Du’ali kemudian disempurnakan lebih jauh oleh
al-Khalil ibn Ahmad. Penyempurnaan tersebut meliputi membubuhkan
huruf alif ( ) kecil diatas huruf untuk tanda vokal ‘a’, huruf ya’ (ی) kecil
dibawah untuk vokal ‘i’, huruf waw (و) kecil didepan huruf untuk tanda
vokal ‘u’, menggandakan tanda-tanda vokal ini untuk melambangkan
vokal rangkap (tanwin), membubuhkan kepala huruf ‘ha’’ diatas huruf
untuk tanda sukun. Sementara untuk tanda konsonan rangkap (syiddah)
dibubuhkan kepala huruf ‘sin’ diatasnya.47 Ia juga memberi tanda pada
tempat alif yang dibuang dengan warna merah, pada tempat hamzah yang
dibuang dengan hamzah warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin
yang berhadapan dengan huruf ba’ diberi tanda iqlab dengan warna
merah. Nun dan tanwin berhadapan dengan huruf halqiyah diberi tanda
sukun dengan warna merah.48
46
Tatkala Islam semakin meluas ke berbagai daerah, dan telah banyak
pula masyarakat non-Arab yang masuk Islam, maka timbul upaya untuk
menciptakan tanda-tanda pada huruf al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan agar
tidak terjadi kesulitan bahkan kekeliruan dalam membaca al-Qur’an
terutama dikalangan muslim non-Arab.
Selanjutnya rasm mengalami perkembangan, tepatnya ketika Malik
bin Marwan memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untuk
menciptakan tanda-tanda huruf al-Qur’an (nuqt al-Qur’an). Ia
mendelegasikan tugas tersebut kepada Nashr ibn’Ashim dan Yahya bin
Ma’mur, keduanya adalah murid ad-Du’ali. Kedua orang inilah yang
membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan
antara satu dengan yang lainnya misalnya penambahan titik diatas huruf د
maka menjadi huruf ذ. Penambahan titik yang bervariasi pada sejumlah
huruf dasar ب maka menjadi huruf ث ,ت,huruf dasar ح menjadi س , خ ,ج
dibedakan dengan ش , dst. Pada ن dan tanwin sebelum huruf ب diberi
tanda iqlab dengan huruf م berwarna merah. Sedangkan nun dan tanwin
sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah.
Adapun huruf nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgham
dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun
dan huruf yang di-idghamkan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf yang
sesudahnya diberi tanda syiddah; kecuali huruf ط , sebelum ت maka sukun
47
49 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 56-57.
tetap dituliskan dengan sukun diatasnya, misalnya 49. فرطت
Pada abad ke-3 H (akhir abad IX M) terjadi perbaikan dan
penyempurnaan rasm mushaf. Disinilah ditemukan bentuk tulisan yang
baik dan tanda-tanda yang khas. Seperti untuk huruf yang di syiddah
diberikan sebuah tanda seperti busur. Sedangkan untuk alif washal diberi
lekuk diatasnya, dibawahnya atau ditengahnya sesuai dengan harakat
sebelumnya; fathah, kasrah atau zammah. Dari pola penulisan tersebut,
berkembanglah berbagai pola penulisan al-Qur’an dalam berbagai bentuk
seperti pola kufi, maghribi, nasqh, dll. Bahkan secara bertahap mulai
diletakkan nama-nama surat dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang
menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf.
Adapun pada abad belakangan, juga terjadi pengelompokan ayat-ayat
menjadi beberapa bagian, yakni sekumpulan ayat dalam pengelompokan
terkecil disebut rub’u (seperempat ayat) yaitu sekumpulan ayat yang
terdiri sekitar dua atau tiga lembar. Menyusul kemudian, pembentukan
hizb (satu hizb terdiri atas empat rub’u), dan juz (satu jus terdiri atas
delapan rub’u). Atas dasar pengelompokan tersebut, maka mushaf al-
Qur’an terdiri atas 240 rub’u, atau 60 hizb, atau 30 juz. Selain
penambahan tanda diakritik seperti yang dijabarkan sebelumnya, dalam
mushaf juga ditambahkan pula tanda sajadah pada ayat-ayat tertentu.
Adapun mushaf cetakan Pakistan dan negara disekitarnya, ditambahkan
48
50 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 59.
51 Ibid, 59.; Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an,... 325.52 Nur Faizah, Sejarah aL-Qur’an, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, 2008), 195.
tanda pembagian surat dengan jumlah ruku’ dan tilawah. Tanda dari
bagian-bagian ini disimbolkan dengan huruf ‘ain di akhir ruku’ dan
sekaligus tanda awal ruku’ untuk ayat-ayat selanjutnya.50
Dengan demikian dapat disimpulkan secara pasti bahwa mushaf al-
Qur’an edisi baru yang dibubuhi tanda simbol bacaan tidak muncul secara
seketika. Akan tetapi diperkenalkan secara bertahap melalui serangkaian
perubahan yang bersifat eksperimental. Adapun tahap final
penyempurnaan ragam tulis ini diperkirakan mencapai puncak akhir pada
penghujung abad ke-3 H.51
Jadi, tampak bahwa perbaikan Rasm al-Usmani terjadi melalui tiga
proses, yaitu:52
1. Pemberian syakal yang dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Duali.
2. Pemberian a’jam, titik, yang dilakukan oleh Abdul Malik bin
Marwan dan al Hajjaj.
3. Perubahan syakal pemberian Abu al-Aswad al-Duali menjadi
seperti sekarang ini oleh al-Khalil.
C. Status Hukum Mushaf Usmani
Rasm Usmani adalah rasm (bentuk tulisan) yang telah diakui dan diwarisi
umat Islam sejak kekhalifahan Usman bin Affan (wafat 644 M). Namun
kemudian mereka bersilang pendapat mengenai status hukumnya, yaitu:53
49
53 Ibid, 191-193.
1. Rasm al-Usmani adalah tauqifi dan wajib mengikutinya.
Menurut Abdul Aziz, sebagaimana dikutip Ibnu al-Mubarak, penulisan al-
Qur’an itu tauqifi, sebab tak seujung rambut pun para sahabat dan orang
lain melakukan campur tangan. Dalam Rasm al-Usmani itu terdapat
rahasia tersembunyi, misalnya penambahan huruf dalam kata ayd (tangan)
yang terdapat dalam ayat “wa as-sama’a banaynaha bi-aydin...” (Q.S.
Az-Zariyat:47) sehingga ditulis bi-ayid. Penulisan ini menurut az-Zarqani
dalam Manahil al-Irfan merupakan isyarat bagi kehebatan kekuasaan
Allah yang kekuasaanya tak dapat ditandingi: “Bertambahnya struktur
kata menunjukkan pertambahan makna.”
2. Rasm al-Usmani bukan tauqifi, namun wajib mengikutinya.
Banyak ulama yang mengatakan bahwa Rasm al-Usmani itu bukan tauqifi,
bukan ketetapan Nabi, melainkan suatu cara penulisan yang disetujui oleh
Khalifah Usman dan diterima umat islam dengan baik. Karena itu,
menjadi keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh
dilanggar.
3. Rasm al-Usmani bukan tauqifi dan tidak wajib diikuti.
Segologan ulama berpendapat bahwa Rasm al-Usmani hanyalah sebuah
istilah dan tata cara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah
mempergunakan suatu rasm untuk imla’ dan rasm itu telah dikenal umum
ditengah-tengah mereka. Abu Bakar al-Baqillani dalam kitabnya, al-
Intisar, mengatakan bahwa tidak ada yang diwajibkan oleh Allah
50
54 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah (Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 62.
mengenai penulisan mushaf. Karena itu para penulis al-Qur’an tidak
diharuskan menggunakan rasm tertentu.
D. Macam-macam Rasm dalam Penulisan al-Qur’an
Berdasarkan pemaparan istilah rasm yang secara umum digunakan dalam
penulisan kalimat-kalimat Arab (pembahasan sebelumnya), tidak semuanya
digunakan dalam penyeragaman penulisan al-Qur’an. Secara umum mayoritas
ulama menggunakan dua istilah rasm dalam penulisan al-Qur’an, yakni rasm
Usmani dan rasm Imla’i/Qiyasi/Istilahi. Nampaknya dari kedua kategori rasm
ini memiliki daya tarik tersendiri dikalangan ulama al-Qur’an, khususnya
dalam penulisan al-Qur’an. Adapun pembahasan lebih lanjut akan penulis
paparkan sebagai berikut.
1. Rasm Usmani 54
Yaitu cara penulisan al-Qur’an yang disepakati khalifah Usman bin ‘Affan
pada waktu penulisan mushaf al-Qur’an. Rasm Usmani ini memiliki
kaidah-kaidah dalam penulisannya, misalnya al-Suyuti yang membagi
kaidah tersebut ke dalam 6 kategori yaitu membuang huruf (al-Hazf),
menambah huruf (al-Ziyadah), penulisan hamzah (al-Hamz), penggantian
huruf (al-Badl), menyambung dan memisahkan tulisan (al-Fasl wa al-
Wasl), dan menulis salah satu kalimat yang memiliki bacaan lebih dari
satu bacaan (fi ma fihi Qira’atani Fakitabati ‘ala Ihdahuma).
51
Pada dasarnya, pola penulisan bahasa Arab yang tertulis adalah sesuai
dengan apa yang diucapkan (imla’), tanpa terjadi pengurangan (nuqs) dan
penambahan (ziyadah), begitupun penggantian (badl) dan perubahan
(taghyir). Akan tetapi pola penulisan al-Qur’an dalam mushaf- mushaf
Usmani terdapat beberapa penyimpangan (ihmal) dari pola penulisan
bahasa Arab konvensional. Sehingga banyak didapati huruf-huruf yang
pada dasarnya tidak sesuai dengan kaidah pengucapannya, dan itu semua
dilakukan Usman bin ‘Affan dan para sahabat lainnya untuk tujuan yang
mulia. Artinya perbedaan penulisan yang tidak sesuai dengan pengucapan
tersebut memiliki makna dan maksud tersendiri dibalik rasm Usmani
tersebut.
2. Rasm Qiyasi
Yaitu cara menuliskan kalimat sesuai dengan ucapannya dengan
memperhatikan waktu memulai dan berhenti pada kalimat tersebut.
Kecuali nama huruf hija’iyyah, seperti huruf (ق) tidak ditulis ( ف اق) tapi
dengan (ق) saja. Contoh dari rasm qiyasi adalah lafadz انا ) ditulis dengan (
.(انا نذير ) walaupun jika dilanjutkan alifnya hilang seperti (انا
Begitu juga dengan hamzah washal seperti ( قحلا ءاج). Hamzah pada
lafadz (قحلا) tetap harus ditulis, walaupun tidak diucapkan pada waktu ia
berada di tengah kalimat. Hal ini dikarenakan, jika dimulai dari awal
52
55 Miga Mutiara, “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan MushafMadinah”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah: 2019), 56; Al-Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, 58-59.
56 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 63.
57 Miga Mutiara, “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan MushafMadinah”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah: 2019), 56; Al-Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, 59.
kalimat, maka ucapannya menjadi الحق 55.()جاء
Beberapa perbedaan diantara keduanya, misalnya dalam rasm
Usmani lafadz ditulisنووتسيال .نوتسيال Lafadz ةالصلا ةكزلا, jika berupa isim
ma’rifat atau isim nakirah atau diidhafahkan kepada isim zahir, maka
ditulis ,ةويحلا ةولصلا ,ةوكزلا . Ini hanya merupakan contoh kecil dari
perbedaan yang ada.56
3. Rasm ‘Arudi57
Ialah cara menuliskan kalimat-kalimat Arab disesuaikan dengan wazan
(timbangan) dalam sya’ir-sya’ir Arab. Hal itu dilakukan untuk mengetahui
“Bahr” (nama macam sya’ir) dari sya’ir tersebut.
Contohnya potongan sepotong Sya’ir Imri’il Qais yang seharusnya
berbunyi: هلودس ىخرا رحبلا جومك ليل و karena harus menyesuaikan dengan
wazan bahr tawil yang berbunyi: نيليع افم نولوعف نيليع افم نولوعف kemudian
berubah menjadi:و ليلن كموج البحر ارخى سدولهو
E. Kaidah-kaidah Rasm Usmani
53
Menurut ‘Ali Muhammad ad-Dabba‘ (w. 1376 H/1956 M) dalam
pengantar bukunya Samirut-Talibin fi Rasm wa Dabtil-Kitabil-Mubin,
menerangkan bahwa motivasinya menulis buku adalah untuk menjembatani
pembahasan tentang rasm (Usmani) yang cenderung rumit dan complicated,
sehingga banyak rumusan kaidah dari para pakar yang berbeda antara satu
dengan lainnya dan berpotensi membingungkan serta memicu perdebatan.
Sebagai bentuk “kerumitan” pola pembahasan Rasm Usmani dapat
dilihat dalam karya monumental Abμ Amr Sa‘id ad-Dani (w. 444 H/1052 M)
al-Muqni‘ fi Rasm Masahif al-Amsar. Karya ad-Dani ini dalam beberapa
literatur dikenal sebagai karya puncak dalam disiplin ilmu Rasm Usmani.
Dalam al-Muqni‘, ad-Dani mempergunakan pola penjelasan per bab, yakni
dengan menggunakan model bab dan fasl. Klasifikasi bab untuk pembahasan
yang tidak memiliki detail permasalahan yang rumit. Namun bila dalam
cakupan satu bab masih belum selesai, biasanya akan diperjelas dengan
subbab berupa fasl.
Upaya merumuskan kerumitan kaidah Rasm Usmani sebenarnya
sudah dimulai sejak masa sebelum ad-Dani, tepatnya pada era Abil-‘Abbas
Ahmad bin ‘Ammar al-Mahdawi (w. 440H) dalam kitab Hija' Masahif al-
Amsar. Dalam perkembangan literatur ilmu Rasm Usmani, usaha ini
kemudian berlanjut pada masa Ibnu Wasiq al-Andalusi (w. 654 H) dalam
kitab al-Jami‘ lima Yuhtaju ilaihi minar-Rasmil-Mushaf. Lalu upaya rumusan
belakangan yang rupanya lebih banyak diterima dan diikuti oleh para
54
pemerhati ilmu Rasm Usmani adalah formulasi yang disusun oleh Jalaluddin
as-Suyuti (w. 911 H) dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulumial-Qur’an.
Berikut adalah komparasi dari ketiga rumusan perkembangan kaidah
ilmu rasm usmani:
Tabel 2.2: Komparasi Rumusan Kaidah Ilmu Rasm Usmani
Abil-‘Abbas Ahmad bin‘Ammar al-Mahdawi. (w.440H) dalam kitab Hija'Masahif al-Amsar.
Ibnu Wasiq al-Andalusi (w.654 H) dalam kitab al-Jami‘lima Yuhtaju ilaihi minar-Rasmil-Mushaf.
Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H) dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an.
1. Pembahasanpenulisan ha' dan ta'terkait bentuknyasebagai ta' ta'nis,
2. Pembahasan tentangalmaqtu‘ dan mausul,
3. Pembahasan tentangzawatul-ya' dan waw,
4. Pembahasan tentanghamzah,
5. Pembahasan tentanghazf dan ziyadah,
6. Pembahasan tentangbertemunya duahamzah,
7. Pembahasan tentangalif wasal,
8. Pembahasan tentanghuruf-huruf yangdiperselisihkan dalammushaf pendudukHijaz, Irak, dan Syam
1. Membuang huruf (mawaqa‘a minal-hazf)
2. Menambah huruf (mawaqa‘a min azziyadah)
3. Mengganti huruf(ma waqa‘a min qalbiharfin ila harf)
4. Memutus danmenyambung kata (mawaqa‘a min alqat‘ wal-wasl),
5. Penulisan hamzah(ahkamul-hamazat)
1. Membuang huruf (al-hazf)
2. Menambah huruf (az-ziyadah)
3. Penulisan hamzah (al-hamz)
4. Penggantian huruf (al-badl)
5. Menyambung danmemisah tulisan (al-faslwal wasl),
6. Menulis salah satukalimat yang bacaannyalebih dari satu (ma fihiqira'atani wakutiba ‘alaihdahuma).
Terdapat beberapa kaidah dalam penulisan mushaf al-Qur’an terutama
dalam mushaf Usmani. Menurut mayoritas ulama’ termasuk Al-Suyuti ada
55
enam kaidah-kaidah yang digunakan dalam penulisan al-Qur’an. Secara
detailnya sebagai berikut:
a. Al- Hazf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf)
Hazf adalah kaidah pertama dari enam kaidah utama rasm Usmani. Al-
Hazf dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar hazf yang berarti membuang
atau menghilangkan (sesuatu). Adapun dalam ilmu rasm, istilah hazf berarti
menggugurkan salah satu dari lima huruf hijaiyyah yaitu alif, waw, ya’, lam,
dan nun. Adapun pada pembahasan ini peneliti mengacu pada kaidah al-
Suyuti dalam al-Itqan, bahwa hazf ada empat huruf, yakni alif, waw, ya’, dan
lam. Pembagian istilah hazf huruf sendiri terbagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Hazf Isyarah, adalah membuang huruf dengan tujuan mengisyaratkan
adanya bacaan lain. Contoh: ( مهودفت ىرسأ ). Lafadz (ىرسأ ) ditulis
demikian, karena ada bacaan lain yaitu bacaannya Imam Hamzah
yang membaca: (ىرسأ ). Begitu juga dengan lafadz (مهودفت ) ditulis
demikian karena karena ada bacaan lain (مهودفت ) yaitu bacaan Ibn
Katsir dan Abu Amr. Ada pembuangan huruf alif pada dua kalimat
diatas agar dua bacaan tersebut dapat dicakup oleh satu tulisan saja.
2. Hazf Ikhtisar, adalah membuang huruf dengan tujuan untuk
meringkas tulisan, sebab seringnya kata tersebut terulang dalam al-
Qur’an. Contoh: membuang alif dari setiap jama’ mudzakar salim atau
semisalnya, dengan catatan setelah alifnya bukan hamzah atau
tasydid. Contohnya: العالمين
56
3. Hazf Iqtisar, adalah membuang huruf pada kalimat tertentu saja.
Contohnya seperti membuang alif pada lafaz yang terletak pada) داعيملا
surat al-Anfal: 42) ditulis menjadi دعيملا. Perlu untuk diketahui bahwa
hukum penulisan seperti ini hanya berlaku pada surat ini saja,
sedangkan yang lain dikecualikan.
Adapun huruf-huruf yang di buang dalam penulisan rasm usmani adalah
alif, wawu, ya, lam, dan nun. Selengkapnya sebagai berikut:
Tabel 2.3:
No Huruf yang dibuang Rasm Imla’i Rasm Usmani
1. Huruf Alif
a) Hazf huruf alif pada ya’
nida’ (panggilan)يا عبادى يعبادى
b) Hazf huruf alif padaha’ tanbih (untukperingatan)
هاؤلاء هؤلاء
c) Hazf huruf alif padadhamir na
أنجيناكم أنجينكم
d) Hazf huruf alif setelahhuruf lam
خلاف خلف
e) Membuang salah satudari dua huruf lam
الضلالة الضللة
f) Huruf alif pada namayang lebih dari tigahuruf
ابراهيم ابرهيم
2. Huruf ya’
a) Membuang huruf ya’
apabila terletak padaisim manqush yangdibaca tanwin, baikyang dibaca rafa’ ataujar
باغلى باغ
57
b) Membuang huruf ya’dari mutakalliminWahdah
يربي يرب
3. Huruf Wawu
Membuang huruf wawuapabila bergandengan فان فاووا فان فاوا
4. Huruf Lam
Membuang huruf lamyang dibaca idghambersama dengan lam yanglain, kecuali pada ,مهللا, هللا-dan cabang ةنعللاcabangnya ,فيطللا, ةماوللا,اللهو ,اللغو ,اللات ,اللمم اللهب
الليل اليل
b. al-Ziyadah (tambahan huruf)
adalah memberi tambahan huruf dalam suatu kata, namun tidak
mempengaruhi bacaannya baik ketika wasal maupun waqaf. Adapun
penambahan huruf-huruf dalam disiplin ilmu rasm ada tiga, yaitu: huruf alif,
ya’ dan waw. Contohnya pada Tabel 2.3:
No Rasm Imla’i Rasm Usmani Keterangan
1. ملاقوربهم ملاقواربهمMenambahkan alif setelah
huruf waw
2. نباء نبائMenambahkan ya’ setelah
huruf hamzah
3. ساريكم ساوريكمMenambahkan waw setelah
huruf hamzah
c. al-Hamz (Penulisan Hamzah)
58
Penulisan hamzah dalam rasm usmani ada empat pola, yaitu a) terkadang
ditulis dalam bentuk alif, b) terkadang ditulis dalam bentuk waw, c)
terkadang ditulis dalam bentuk huruf ya’, dan d) terkadang tanpa bentuk
(hazf surah). Contohnya pada Tabel 2.4:
No Rasm Imla’i Rasm Usmani Keterangan
1. شطاه شطئهPenulisan hamzah dalam
bentuk ya’
2. الرءيا الرؤياPenulisan hamzah dengan
bentuk waw.
d. al-Badl (Penggantian Huruf dengan Huruf Lain)
Pada kaidah ini berlaku aturan: mengganti huruf alif dengan huruf waw
untuk tujuan mengagungkan alif. Contohnya pada Tabel 2.5:
No Rasm Imla’i Rasm Usmani Keterangan
1. الصلاة الصلوة Alif diganti huruf waw2. الحياة الحيوة
e. al-Fasl wa al-Wasl
Yaitu menggabungkan suatu lafadz dengan lafadz lain yang semestinya
dipisahkan, dan sebaliknya yang semestinya digabung, justru dipisahkan.
Contohnyapada Tabel 2.6:
1. Kata yang disambung
No Rasm Imla’i Rasm Usmani Keterangan
59
1. أن لا الا
Penulisan an disambung dengan la. Kecuali: QS. Al-
A’raf: 105 dan 109, QS. Hud: 26, QS. Yasin: 60, QS.
Ad-Dukhan: 19, QS. Al-Mumtahanah: 12, QS. Al-
Qalam: 24.
2. من ما مما
Penulisan min disambung dengan ma. Kecuali: QS. Al-
Nisa:5, QS. Al-Munafiqun:10, QS. Al-
Rum:28
3. عن ما عما
Penulisan ‘an disambung dengan ma. Kecuali:
عن ما نهوا
2. Kata yang dipisah
No Rasm Imla’i Rasm Usmani Keterangan
1. أينما أين ماPenulisan aina dipisah
dengan ma.
2. فا لم فان لم
Dalam keseluruhan al-Qur’an penyalinan kata ini disalin dengan terpisah ( فان kecuali pada surat Hud (لم
ayat 14.
3. بئسما بئس ما
Dalam keseluruhan al-Qur’an penyalinan kata ( بئس.kecuali pada tempat: QS ,(ما
al-Baqarah: 90, QS. Al-Baqarah: 93, QS. Al-A’raf:
150.
f. Menulis salah satu qira’at yang memiliki bacaan lebih dari satu
60
58 Lukman Saksono dan Anharudin, Pengantar Psikologi aL-Qur’an (Jakarta: PT GrafikatamaJaya, 1992), 56-58.
Adapun penggunaan qira’ah yang dimaksudkan al-Suyuti adalah selain
qira’ah syazzah. Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi maka
disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf Usmani,
penulisan kata semacam ini ditulis dengan menghilangkan alif, misalnya
seperti dalam QS. al-Fatihah: 4, kata كلم pada ayat tersebut huruf mim bisa
dibaca panjang juga bisa pendek.
Perlu ditekankan bahwasanya pola seperti diatas tidak berlaku untuk semua
penulisan rasm Usmani, karena ada yang tidak sepenuhnya memberlakukan
kaidah tersebut. Oleh karena itu, hakikat rasm Usmani tidak tunduk pada
kaidah tertentu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Thahir
Abdul Qadir;
“Tidak mungkin kita mengkuti rasm usmani pada penulisan kita secara
umum, karena lukisannya (tulisannya) tidak mengikuti kaidah tertentu. Para
sahabat kadang-kadang menulis kata dalam satu bentuk, dan kadang-kadang
mereka menulisnya ditempat lain menggunakan bentuk yang lain. Oleh
karena itu, mereka mengatakan bahwa tulisan mushaf tidak memiliki aturan
yang baku”.
F. Ciri Mushaf Usmani
Ciri spesifik Mushaf Usmani yang diasumsikan masih memiliki kadar
orisinalitas, dapat dijelaskan sebagai berikut:58
61
1. Dalam al-Qur’an Mushaf Utsmani, setiap fenomena simbolik
menampakkan keteraturan dan konsistensi. Tetapi setiap konsistensi dan
keteraturan, di dalamnya selalu diikuti oleh ketidakkonsistenan.
Meskipun, fenomena ketidakkonsistenan tersebut hanya menjadi bagian
sangat kecil, semacam deviasi yang tingkat signifikasinya sangat rendah.
Sebagai misal, pada butir berikut dijelaskan.
2. Setiap halaman al-Qur’an berisi 18 baris, tetapi pada halaman 2 dan 3,
masing-masing hanya berisi 6 baris. Inilah deviasi yang terjadi dalam
susunan baris setiap halaman. Di kanan atau kiri halaman al-Qur’an
terdapat tanda ‘ain (alfabetik arab ke 18), yang disertai angka, baik di atas,
di tengah, maupun di bawah. Tanda ‘ain inilah yang oleh umat islam biasa
dikenal sebagai ruku’, atau tanda berhenti membaca. Posisi tanda ‘ain
bersifat baku, berada pada posisi tertentu yang tak dapat dirubah.
3. Pembagian ayat ke dalam unit-unit juz, tampak begitu konsisiten dan
ketat, dengan kepastian jumlah ayat pada setiap halaman. Pengaturan
format juz juga begitu konsisten ke dalam 16 halaman. Tetapi ketidak-
konsistenan terletak pada juz 1 dan 30 di mana masing-masing terdiri 15
dan 21 halaman.
4. Masing-masing halaman dalam Mushaf Usmani diisi oleh ayat utuh,
sehingga awal halaman menjadi awal ayat dan akhir halaman menjadi
akhir ayat. Dalam keteraturan ini juga terdapat deviasi atau fenomena
ketiak-teraturan, yaitu terdapat satu halaman al-Qur’an dimana ada satu
ayat yang terpotong oleh pergantian halaman, yaitu pada halaman 484
62
tetapi secara umum, keteraturan setiap halaman terdiri ayat utuh
menunjukkan adanya hubungan antara jumlah ayat dengan halaman al-
Qur’an.
5. Di atas setiap surat terdapat tulisan Basmalah sebagai kop surat, terkecuali
surat ke 9 (at-Taubah). Surat inilah yang menjadi deviasi konsistensi
pencantuman basmalah. Setiap kop surat ditulis dalam dua baris, tapi
terdapat dua surat yang kop-nya hanya ditulis dalam satu baris, yaitu pada
surat al-Hijr dan an-Naml. Kop surat dalam al-Qur’an Mushaf Utsmani,
baris yang berisi keterangan surat dan potongan ayat “basmalah”.
6. Setiap awal juz dimulai pada halaman seblah kiri, kecuali juz 1. Setiap
awal juz ditandai oleh cetak tebal pada beberapa huruf di ayat awal juz,
kecuali juz 1 dimana cetak tebalnya surat al-Fatihah (7 ayat) dab surat al-
baqarah (4 ayat). Fenomena cetak tebal dalam permulaan juz berbeda satu
sama lain. Ada yang terdiri hanya duhuruf seperti (ha mim) dalam juz 26,
dan (‘amma) pada juz 30.
63
BAB III
MENGENAL MUSHAF STANDAR INDONESIA DAN MUSHAF MAROKO
Kajian tentang mushaf al-Qur’an, muncul dipermukaan dengan berbagai riwayat
sesuai dengan Imam qira’at dari masing-masing pembawa. Misalnya qira’ah Hafs
dari Imam ‘Asim (beredar di sebagian besar negara Islam), Warsy dari Nafi’ (banyak
beredar di wilayah Afrika Utara), ada pula ad-Dauri dari Abd ‘Amr (beredar di
negara Sudan). Adapun pada penelitian ini, penulis melakukan kajian pada mushaf al-
Qur’an qira’ah Hafs dari Imam ‘Asim yaitu Mushaf Standar Indonesia dan pada
mushaf al-Qur’an qira’ah Warsy dari Nafi’ yaitu Mushaf Asy-Syarif Maroko.
Peredaran mushaf al-Qur’an di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Hal ini terbukti dari adanya lembaga percetakan al-Qur’an dibawah naungan
LPMQ Museum Bayt al-Qur’an, Jakarta. Adapun mushaf yang beredar di Indonesia
tidak hanya golongan mushaf terbitan dalam negeri saja, melainkan beberapa mushaf
terbitan luar Negeri juga beredar bebas di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah
peran jamaah haji yang membawa al-Qur’an ini dari tanah suci, yang dalam
peredarannya pun di gadang-gadang tidak melalui tanda tashih Lajnah Indonesia.
Dalam peredarannya, sekilas rasm yang digunakan pada masing-masing mushaf
tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok, bahkan terkesan tidak ada bedanya
(sebelum dibaca). Namun, apabila diperhatikan dengan seksama dan mulai
membacanya, maka akan tampak perbedaan penulisan yang digunakan. Bahkan bagi
orang awam yang telah terbiasa menggunakan Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
64
59 Yang selanjutnya akan penulis singkat dengan MASU60 Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, 1375. 61 Zainal Arifin, “Mengenal Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indonesia; studi Komparatif
atas Mushaf Standar Usmani 1983 dan 2002,” Jurnal Suhuf, vol. 4, no. 1 (2011), 3. Lihat juga MigaMutiara, “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah”, Skripsi, UINSyarif Hidayatullah: 2019, hlm. 56; Al-Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, 23.
62 Puslitbang Lektur Agama, “Hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Al-Qur‟an IX”,Jakarta: Departemen Agama, 1982-1983, hlm, 96 dan 104. Lihat juga, Atifah Thoharoh, Mushaf l-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah (Kajian atas Ilmu Rasm), Skripsi, (IAINTulungagung, 2018), 93.
Indonesia59, akan merasa kebingungan saat membaca mushaf tersebut. Adanya
keberagaman Mushaf al-Qur’an Standar Usmani yang tersebar di Indonesia inilah
yang menggerakkan penulis untuk mengkaji lebih dalam tentang keberadannya.
Adapun mushaf yang dimaksud penulis adalah mushaf al-Qur‟an riwayat Hafs dari
Imam Ashim, yaitu Mushaf Syaamil Qur’an Tikrar dengan mushaf al-Qur’an riwayat
Warsy dari Imam Nafi’, yaitu Mushaf Asy-Syarif Maroko.
A. Mushaf Standar Indonesia
1. Definisi Mushaf al-Qur’an Standar Usmani (MASU) Indonesia
Secara etimologi, istilah “Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani” dapat
dipahami dari kata “standar”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti patokan atau standar baku.60 Hal ini juga dikuatkan dengan
dokumen terjemahan Arab-Inggris pada Muker Ulama ke-IX yang
mengistilahkan sebagai Mushaf al-Miyari al-Indunisi atau The Indonesian
Standarized al-Qur’an.61 Secara garis besar Mushaf al-Qur’an Standar
Usmani Indonesia (meminjam istilah yang digunakan Zainal Arifin
Madzkur, selanjutnya istilah ini disebut MASU Indonesia) adalah mushaf
resmi/ standar yang beredar dan berlaku di Indonesia.62
65
63 Zainal Arifin, “Mengenal Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indonesia; studi Komparatif atas Mushaf Standar Usmani 1983 dan 2002,” Jurnal Suhuf, vol. 4, no. 1 (2011), 3
Secara terminologi, MASU Indonesia didefinisikan sebagai mushaf al-
Qur’an yang dibakukan cara penulisannya, tanda baca (harakatnya), dan
tanda waqaf-nya, sesuai dengan hasil yang disepakati dalam Musyawarah
Kerja (Muker) Ulama Ahli al-Qur’an yang berlangsung sampai 9 kali,
semenjak tahun 1974-1983 dan dijadikan pedoman bagi al-Qur’an yang
diterbitkan di Indonesia.63
Berdasarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA) 25 Tahun 1984,
Mushaf Standar memiliki tiga jenis mushaf, diantaranya: Mushaf Standar
Usmani (untuk orang awas), Mushaf Braille (bagi para tunanetra), dan
Mushaf Bahriah (untuk para penghafal al-Qur’an). Merujuk beberapa
dokumen hasil Muker I - IX, mushaf standar ini disebut dengan beberapa
nama, yaitu Mushaf Standar Usmani, al-Qur’an Mushaf Standar Usmani,
Mushaf al-Qur’an Standar, Al-Qur’an Standar, dan juga Mushaf Standar.
Adapaun dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pengkajian pada
salah satu dari ketiga mushaf standar Indonesia tersebut. Yakni mushaf al-
Qur’an Standar Usmani.
66
64 E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, vol. 3, no.2 (2005), 280-282. Dan Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan MushafMadinah (Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 95-98.
2. Latar Belakang Penulisan MASU Indonesia
Secara umum, latar belakang penulisan MASU Indonesia menurut E.
Badri Yunardi terbagi menjadi enam alasn, yang akan melahirkan mushaf
standar, antara lain:64
a. Pedoman Pentashihan bagi Lajnah
Awal adanya penulisan MASU Indonesia adalah sebagai pedoman
pentashihan bagi Lajnah. Dalam dokumentasi MUKER 1 tahun 1974,
dinyatakan bahwa sejauh itu belum ada pedoman yang dijadikan
landasan bagi Lajnah setiap kali melakukan pentashihan al-Qur’an.
Hal ini dirasa sangat perlu memiliki pedoman kerja yang sifatnya
tertulis. Karena selama kurun waktu semenjak berdirinya, proses
pentashihan dilakukan secara manual dan tidak dapat dipungkiri
struktur keanggotaan Lajnah selalu berganti. Sementara dokumentasi
yang dihasilkan oleh anggota Lajnah sebelumnya saat menemukan
kesalahan, tidak terdokumentasi dengan baik. Sehingga terjadi
pengulangan mencari rujukan, yang sebenarnya dalam koreksi Lajnah
sebelumnya telah terselesaikan. Adapun pedoman (praktis) tersebut
memuat aturan dan tata cara penulisan al-Qur’an sesuai dengan
kaidah-kaidah penulisan al-Qur’an rasm Usmani.
67
b. Adanya Berbagai Ragam Tanda Baca dalam al-Qur’an
Pada tahun berikutnya terjadilah persebaran ragam mushaf al-Qur’an
yang memiliki tanda baca masing-masing. Pada tahun 1970-an ragam
mushaf al-Qur’an yang berkembang di Indonesia dapat dikatakan
masih minim. Menurut Badan Litbang Agama, pada waktu itu masih
didominasi oleh penerbit CV Afif Cirebon dn CV Salim Nabhan
Surabaya, itupun tulisannya mayoritas menggunakan model Bombay,
Pakistan dan al-Qur’an Bahriyah cetakan Istanbul Turki. Kemudian,
muncullah beberapa penerbit lain semisal PT al-Ma’arif Bandung dan
Tintamas Jakarta. Namun demikian, bila dicermati segi tanda-tanda
bacanya akan dijumpai berbagai ragam tanda baca yang berbeda satu
dengan lainnya. Fenomena ini tentu akan mempengaruhi pembacaan
al-Qur’an amsing-masing individu. Sebab tidak semua memahami
bacaan yang beragam tersebut. Untuk yang sudah terbiasa membaca
al-Qur’an, tanda baca tersebut tidak menjadi masalah. Artinya
sekalipun tanda baca itu kurang tepat, ayat-ayatnya tetap akan dibaca
dengan benar.
c. Kecenderungan Masyarakat Menggunakan Satu Model al-Qur’an.
Lajnah sering mengalami kesulitan mentashih, ketika menemukan
beberapa kesalahan yang disebabkan oleh teknik pencetakan yang sulit
diperbaiki oleh penerbitnya. Kesulitan ini disebabkan karena model
tulisannya yang terlalu rapat, huruf-hurufnya yang bertumpuk, dan
beberapa penempatan tanda baca yang tidak tepat. Namun, mushaf
68
model Bombay tersebut justru disukai oleh masyarakat, karena bentuk
hurufnya yang tebal (gemuk) dan jelas. Sehingga mudah dibaca oleh
semua kalangan, termasuk orang yang lanjut usia sekalipun.
d. Beredarnya al-Qur’an Terbitan Luar Negeri di Indonesia
Al-Qur’an terbitan luar negeri memiliki variasi tersendiri dalam hal
penggunaan harakat dan tanda waqaf. Bagi Lajnah fenomena ini tidak
menjadi problem besar, karena keberagaman ini adalah variasi. Akan
tetapi jika hal ini diterapkan dalam penulisan al-Qur’an di Indonesia,
tentu akan menyulitkan dan memningungkan para pembaca awam.
Untuk itu diperlukan model penetapan yang konsisten terkait harakat,
tanda baca, tanda waqaf.
e. Variasi Tanda Baca al-Qur’an
Beberapa penerbit dalam menerbitkan al-Qur’an memiliki tanda baca
yang beragam dan bervariatif, baik itu terbitan Timur Tengah maupun
Indonesia. Sehingga dalam rangka untuk menyeragamkan tanda baca
tersebut, dibentuklah suatu kaidah standar yang mampu menaungi
penulisan a-Qur’an di Indonesia.
f. Tanda-tanda Waqaf al-Qur’an
Hampir diseluruh mushaf baik luar negeri maupun dalam negeri
memiliki pola waqaf yang serupa, dalam hal ini kaidah standarisi
dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman.
Dari beberapa poin yang telah disebutkan, penulis memaknai latar
belakang terkonsepnya standarisasi Mushaf Standar Indonesia ini adalah
69
untuk membantu dan memudahkan masyarakat dalam membaca al-Qur’an
mengingat mayoritas masyarakat awam kesulitan jika mengikuti variasi
tanda baca, harakat dan tanda waqaf versi mushaf luar Negeri, termasuk
Arab. Akan tetapi penting juga adanya penelitian atau pengenalan mengenai
mushaf al-Qur’an Usmani yang sebenarnya distandarkan pada masa
Khalifah Usman bin Affan hingga mengalami sejarah panjang sampai ke
Indonesia agar masyarakat tidak tabu dan mau melek sejarah.
3. Lahirnya Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an (LPMQ) Indonesia
Beraneka ragamnya penulisan, harakat, tanda baca dan tanda waqaf
dalam mushaf al-Qur’an yang tersebar di Indonesia, termasuk mushaf luar
negeri yang ada di Indonesia, membuat masyarakat terbagi menjadi dua
kalangan yaitu, kalangan masyarakat awam dan kalangan masyarakat yang
paham. Bagi masyarakat awam tentulah menjadi resah dan bingung dalam
pembacaan al-Qur’an, adapun kalangan masyarakat yang paham akan kaidah
tidak terlalu memusingkan hal ini. Akan tetapi kondisi masyarakat dan letak
geografis Indonesia yang beragam latar belakang, tidak secara keseluruhan
mampu mengakomodir ilmu tersebut. Sehingga membutuhkan alternatif
yang mampu merangkul semua kalangan masyarakat.
Dalam rangka memenuhi keinginan masyarakat serta memelihara
kesucian dan kemurnian al-Qur’an, di Indonesia terbentuklah sebuah
lembaga resmi yang secara fungsional bertugas untuk menjaga kemurnian
mushaf al-Qur’an, yaitu Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an (LPMQ).
70
65 Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Sejarah Penulisan Mushaf al-Qur’an StandarIndonesia, 2-4.
Lembaga ini berdiri dibawah naungan Departemen Agama RI, secara
kelembagaan dibentuk pada 1 Oktober 1959 berdasarkan Peraturan Menteri
Muda Agama No. 11 Tahun 1959, lembaga ini ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Agama No. B. III/ 2-0/ 7413, pada tanggal 1 Desember
1971, Pada perkembangan selanjutnya Lajnah berada pada Unit Puslitbang
Lektur Agama, Badan Litbang Agama, yang dibentuk berdasarkan Kepres
RI No. 44 yang dijabarkan melalui Keputusan Menteri agama No. 18 Tahun
1975. Pada masa ini Lajnah merupakan lembaga ad hoc (organisasi) dan
dikepalai secara ex officio (jabatan) oleh Kepala Puslitbang Lektur Agama
kemudian berubah menjadi Puslitbang Lektur Keagamaan pada tahun 1982
dan sejak tahun 2007 bernama Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, yang
memiliki andil besar dalam mengkaji, meneliti, mentashih dan menerbitkan
mushaf al-Qur’an berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Kepala
Badan Litbang dan Diklat.65
Selama berjalannya lembaga ini, Lajnah belum memiliki pedoman yang
dijadikan landasan setiap kali melakukan pentashihan al-Qur’an. Hal ini
dirasa sangat perlu memiliki pedoman kerja yang sifatnya tertulis. Karena
selama kurun waktu semenjak berdirinya proses pentashihan dilakukan
secara manual dan struktur keanggotan Lajnah selalu berganti. Sementara
dokumentasi yang dihasilkan oleh anggota Lajnah sebelumnya saat
menemukan kesalahan, tidak terdokumentasi dengan baik. Sehingga terjadi
71
66 E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, vol. 3, np.2 (2005): 280
pengulangan mencari rujukan, yang sebenarnya dalam koreksi Lajnah
sebelumnya tellah terselesaikan. Adapun pedoman (praktis) tersebut memuat
aturan dan tata cara penulisan al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah
penulisan al-Qur’an rasm usmani.
Dalam mencapai tujuan tersebut Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an
mengumpulkan data-data, mengkaji, membahas, dan mendiskusikannya
untuk kemudian mengambil keputusan. Proses tersebut dilakukan melalui
kegiatan Musyawarah Kerja Ulama al-Qur’an yang diselenggarakan selama
9 kali sejak 1974/1975 hingga 1982/1983 untuk membahas pembakuan
rasm, harakat, tanda-tanda baca dan tanda waqaf. Sementara itu, 6 kali
Muker lainnya (Muker X pada 1984/1985 s.d Muker XV pada 1988/1989)
diselenggarakan untuk membahas hal lain yang melengkapi penyusunan
pedoman tersebut, seperti terjemahan, transeliterasi Arab-Latin, tajwid dan
lainnya.
Keberadaan Lajnah untuk melaksnakan tugas-tugas tersebut diperkuat
lagi dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. I Tahun 1982.
Berdasarkan KMA tersebut, tugas-tugas Lajnah yaitu:66
1. Meneliti dan menjaga kemurnian Mushaf al-Qur’an, rekaman, bacaan,
terjemahan dan tafsir al-Qur’an secara preventif dan represif,
2. Mempelajari dan menyelidiki untuk mengetahui Mushaf al-Qur’an
bagi orang biasa (awam) dan bagi tunanetra (al-Qur’an Braille),
72
67 E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, vol. 3, np.2 (2005): 283
rekaman bacaan al-Qur’an dalam kaset/piringan hitam dan penemuan
elektronik lainnya yang beredar di Indonesia
3. Menyetop pengedaran Mushaf yang belum ditashih oleh Lajnah
Secara singkat dapat diuraikan di sini tahap demi tahap kelima
belas Musyawarah Kerja Ulama dan hasil yang dicapai untuk tujuan
tersebut. Butir-butir pada setiap muker merupakan kesepakatan para
ulama peserta musyawarah yang dijadikan pedoman dasar dan rambu-
rambu dalam penulisan Mushaf Usmani Standar Indonesia.
1. Muker Ulama AhIi aI-Qur'an I, Ciawi: 5-9 Februari 197467
Butir-butir yang disepakati :
a) Al-Qur’an menurut bacaan Imam Hafs yang rasmnya sesuai dengan
Rasm Al-Qur’an yang terkenal dengan nama Bahriyah cetakan
Istambul, dijadikan pedoman penulisan Mushaf al-Qur’an di
Indonesia, dengan catatan apabila ternyata masih terdapat
kalimarkalimat yang sukar dibaca perlu dijelaskan dalam lampiran
tersendiri.
b) Mushaf al-Qur’an tidak boleh ditulis selain dengan Rasm Usmani
kecuali dalam keadaan darurat.
c) Naskah Pedoman Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-Qur’an yang
disusun oleh Lembaga Lektur Keagamaan Departemen Agama
73
68 Ibid, 284
menurut Rasm Usmani dijadikan pedoman dalam Penulisan dan
Pentashihan al-Qur’an di Indonesia
2. Muker Ulama Ahli al-Quran II, Cipayung,2l-24 Februari 197668
a) Mushaf al-Qur’an terbitan Departemen Agama tahun1960, sebagai
pedoman untuk penulisan tanda-tanda baca dalam menulis Mushaf
Usmani Standar Indonesia.
b) Menambah tanda-tanda baca yang tidak ada pada Mushaf tersebut
tetapi dipandang perlu untuk memudahkan para pembaca sebagaimana
tertulis pada daftar terlampir.
c) Mushaf bagi orang khawas, untuk menghafal al-Qur’an pedoman ini
tidak mengikat, asal saja tidak merubah bacaannya dari ketentuan-
ketentuan yang berlaku.
d) Menyadari bahwa methode penulisan Arab Brailledari Unesco setelah
dilengkapi dengan tanda-tanda baca untuk al-Qur’an oleh 3 negara
Islam Yordania, Mesir dan Pakistan, dianggap cukup baik untuk
penulisan al-Qur’an Arab Braille.
e) Menyadari perlunya keseragaman penempatan tandatanda baca itu,
karena masih adanya sedikit perbedaan dalam penempatannya.
f) Dalam mengusahakan penyempurnaan tanda-tanda baca al-Qur’an
Arab Braille, dirintis jalan menuju al-Qur’an Arab Braille yang mirip
dengan tulisan al-Qur’an Awas yang telah ditashih oleh Lajnah
74
69 E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, vol. 3, np.2 (2005): 285
Pentashih Mushaf al-Qur’an, baik tulisan maupun tanda-tanda
bacanya.
g) Kepada Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam yogyakarta dan
Badan Pembina Wyata Guna Bandung agar dipersiapkan hal-hal yang
diperlukan untuk penyeragaman penulisan al-Qur’an Braille.
h) Guna melaksanakan Pentashihan al-Qur’an Arab Braille Lajnah
Pentashih Mushaf al-Qur’an diharapkan mempunyai anggota yang
menguasai tulisan Arab Braille.
i) Pedoman Dasar dalam bacaan adalah rekaman bacaan Syeikh
Muhammad Khalil Al-Hushary
3. Muker Ulama Ahli al-Qur’an III, Jakarta, 7-9 Februari 197769
a) Penulisan al-Qur’an Arab Braille secara rasm Usmani dapat disetujui.
Yang menyulitkan bagi kaum Tunanetra dipermudah dengan penulisan
Imlaiyah, seperti kata As-shalat.
b) Harakat Fathatain diletakkan pada hauruf yang memilikinya.
c) Tanda Mad Jaiz, Mad Wajib, dan Mad Lazim Mustaqqal Kalimy/Harfr
digunakan seperti pada al-Qur’an Awas.
d) Penulisan Lafdul Jalalah, ditulis seperti pada al-Qur’an Awas.
e) Penempatan huruf-huruf yang tidak berfungsi mengikuti al-Qur’an
awas dengan memberikan harakat pada huruf sebelumnya.
f) Ta'anuqul Waqf menggunakan titik 3-6 dan2-3-4-5.
75
70Ibid, 28571E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, vol. 3, np.
2 (2005): 286
g) Tanwin Wasal disesuaikan dengan penulisan al-Qur’an Bahriyah tanpa
menuliskan Nun kecil
h) Tanda Tasydid pada huruf pertama untuk idgam tidak diperlukan.
i) Merumusakan Rencana Pedoman Pentashihan al-Qur’an Braille
j) Merumuskan Bahan al-Qur’an Braille Induk.
4. Muker Ulama Ahli al-Qur’an IV, Ciawi, 15-17 Maret 197870
a) Menerima (hasil) rumusan Team Penulisan al-Qur’anBraille yang telah
dilaksanakan sampai dengan Juz X sebagai Standar al-Qur’an Braille
di lndonesia dengan catatan penyempurnaan dalam rumusan yang lebih
representative serta dilengkapi dengan pembuatan index.
b) Perlu dilanjutkan penulisan al-Qur’an Braille (standar) untuk juz
berikutnya ( XI-XXX)
c) Membentuk team Penyusun al-Qur’an Braialle dari unsur Lajnah,
Yaketunis, dan Lembaga Pendidikan dan Rehabilitasi Tunanetra
Wyata Guna.
d) Team menyempumakan Pedoman Penulisan al-Qur’an Braille dan
Penyusunan Sejarah dan Perkembangan al-Qur’an Braille di Indonesia.
5. Muker Ulama Ahti al-Qur’an V, Jakarta,5-6 Mret 197971
a) Rumusan Penulisan al-Qur’an Braille dan Pedoman Penulisannya
merupakan pegangan/acuan.
76
72 Ibid, 286
b) Hal-hal baru dari hasil penulisan juz XI -XXX perlu dihimpun unhrk
diteliti.
c) Team memperbaiki al-Qur’an Braille 30 Juz berdasarkan rumusan-
rumusan tersebut pada angka 1.
d) Tanda-tanda waqaf yang telah disepakati untuk penulisan al-Qur’an
(standar) perlu diteliti oleh Lajnah dalam konsistensi penempatannya.
e) Dengan semakin banyaknya upaya penerjemahan al-Qur’an, Lajnah
perlu menginventarisir terjemahan ayat-ayat yang belum' tepat untuk
disesuaikan berdasarkan kitab-kitab maraj i/rujukan yang mu'tamad.
6. Muker Ulama Ahli al-Qur’an VI, Ciawi,5-7 Januari 198072
a) Menyeragamkan dan menyederhanakan penggunaan 12 macam Tanda
Waqaf pada al-Qur’an Depag terbitan tahun 1960 menjadi 7 macan
Tanda Waqaf untuk al-Qur’an Standar. (terlampir)
b) Tanda-tanda waqaf pada diktum I dipergunakan untuk penulisan al-
Qur’an Usmani dan Bahry serta al-Qur’an Braille. Untuk al-Qur’an
Braille dikecualikan penggunaan tanda waqf (rt- dan u) diganti dengan
cr dan I
c) Menyetujui pedoman penulisan dan pentashihan al-Qur’an Braille
yang disusun oleh Team dan Lajnah.
7. Muker Ulama ahli Al-Qur’an VII, Ciawi, 12-14 Januari 1981
77
a) Menugaskan kepada Lajnah untuk memperbaiki model penulisan kata-
kata yang berhimpitan dan penempatan harakat yang tidak pada
tempatnya.
b) Penulisan nun wasal yang ada di tengah+engah ayat dan sebelumnya
berharkat tanwin, tanwin tersebut ditulis dengan dhammah, kasrah atau
fathah, dan nun wasalnya diberi harakat kasrah.
c) Tanda sifir lonjong digunakan pada kata (ul) kecuali bila berhadapan
dengan hamzah wasal.
d) Tanda Isymam, Imalah, dan Tashil menggunakan (lafal) kata dimaksud
yang diletakkan di bawah kata tersebut,
e) Penulisan hamzah sakinah menggunakan hamzah kecil di atas alif,
sedangakan sukun berbentuk separoh bulatan, agar berbeda dengan
sifir bundar (sifir mustadir)
f) Kata yang ada huruf ya dan alif zaidah, dalam al-Qur’an Braille ditulis
dengan menggunakaan khat Imlaiy
g) Penulisan tasydid idgham pada kalimat di awal ayat tidak
menggunakan tasydid, sedang di tengah ayat tetap diperlukan.
8. Muker Ulama Ahli al-Qur’an VIII, Tugu Bogor, 22'24 Fabruari 1982
a) Menyetujui draft Pedoman Penulisan al-Qur’an Braille sebagai
Pedoman Penulisan al-Qur’an Braille Standar.
b) Menyempurnakan tanda-tanda baca dan cara penulisan Juz 1-30 al-
Qur’an Braille, sebagai dasar Penulisan al-Qur’an Braille Standar.
9. Muker Ulama Ahli al-Qur’an IX, Jakarta, 18 - 20 Februari 1983
78
a) Menyetujui Hasil penulisan al-Qur’an Standar Usmani sebagai Al-
Qur’an Standar Indonesia.
b) Menugaskan kepada Lajnah untuk meneliti dan mentashih secara
cermat draf al-Qur’an Standar Usmani untuk diterbitkan dan
diluncurkan pada Muker X tahun 1984.
c) Melanjutkan Penulisan al-Qur’an Bahriyah sebagai al-Qur’an Standar
untuk para Huffaz.
10. Muker Ulama Ahli al-Qur'an X, Masjid Istiqlal, 28-30 Maret, 1984
a) Menetapkan al-Qur’an standar Usmani, Bahraiyah dan al-Qur’an
Braille hasil Muker Ulama al-Qur’an I-IX sebagai al-Qur’an standar
Indonesia.
b) Menyambut baik dikeluarkannya KMA No. 25 Tahun 1984, tentang
Penetapan al-Qur’an Standar, dan menetapkannya sebagai pedoman
dalam mentashih al-Qur’an.
c) Memasyarakatkan al-Qur’an Standar di kalangan para penerbit al-
Qur’an dan umat Islam di seluruh Indonesia.
d) Mengusahakan agar rujukan al-Qur’an Standar yang terdiri dari, Index
tanda waqaf, lndex perbedaan penulisan Usmani dan Bahri, Pedoman
pentashihan Mushaf al-Qur’an dicetak dan disebarluaskan kepada
masyarakat serta diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Inggris
guna kepentingan negara tetangga.
11. Muker Ulama Ahli al-Qur’an XI, Masjid Istiqlal, 19 - 2l Maret 1985
79
a) Al-Qur’an standar yang disahkan berdasarkan KMA N0. 2511984
merupakan usaha memelihara kesucian dan kemurnian al-Qur’an.
b) Untuk lebih meningkatkan usaha tersebut Lajnah dapat menerima
saran-saran berdasarkan sumber-sumber/referensi seperti kitab Al-
itqan fi ulum al-Qur’an dan lainnya.
c) Menyambut ide penyusunan cara mengajarkan al-Qur’an dan Tajwid
yang mendukung al-Qur’an Standar dengan menggunakan alat-alat
elektronik.
d) Buku tentang cara mengajarkan al-Qur’an Braille Standar yang
disusun oleh Yaketunis dan Badan Pembina Wyata Guna supaya
diperbanyak dan disebarluaskan pada masyarakat.
e) Al-Qur’an Braille Standar 30 Juz dalam bentuk gambar dapat
digunakan untuk memasyarakatkan al-Qur’an Braillemelalui yayasan-
yayasan.
f) Meningkatkan penyebarluasan al-Qur’an Braille Standar oleh Proyek
Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Dep.Agama.
12. Muker Ulama Ahli al-Qur’an XII, Masjid Istiqlal, 26-27 Maret 1986
a) Mengusahakan agar Mushaf al-Qur’an Standar Bahriyah dapat
dimasyarakatkan sebelum Muker Ulama al-Qur’an XIII Tahun 1987.
b) Mendorong agar semua Penerbit al-Qur’an melaksanakan Instruksi
Menteri Agama No. 7 Tahun 1984, tentang Penggunaan Mushaf al-
Qur’an Standar.
80
c) Mengusahakan tewujudnya cita-cita mendirikan Museum Nasional al-
Qur’an di Indonesia.
d) Mengusahakan agar Eksperimen Penggunaan alat-alat elektronik
menjadi paket untuk membantu proses belajar mengajar al-Qur’an.
13. Muker Ulama Ahli aI-Qur'an XIII, Tugu Bogor, 12-14 Maret 1987
a) Menyetujui ide tentang paket tajwid dan pengajaran al-Qur’an dengan
bantuan elektronik agar direalisasikan dan disempurnakan.
b) Mendukung langkah-langkah pemasyarakatan al-Qur’an Standar yang
dinrnjang dengan mesin cetak offset, pemberian tanda tashih untuk
satu kali terbit,.dan kesediaan penerbit menggganti mushaf karena
kesalahan teknis percetakan.
c) Keharusan Penerbit melaksanakan KMA No.25 tahun 1984.
d) Mengusatrakan pembuatan anak master Mushaf al-Qur’an standar
untuk disebarluaskan ke seluruh kantor Departemen Agama hingga
tingkat kecamatan.
14. Muker Ulama Ahli al-Qur’an XIV, Ciawi Bogor, 25-27 Februari 1988
a) Merumuskan progmm penyimpanan/pelestarian Naskah al-Qur’an
standard dan kelengkapannya.
b) Menerima Pedoman Transliterasi arab Latin, berdasarkan SKB Menag
dan Mendikbud No. 158/1987 dan 0543bN/1987.
c) Pedoman Transliterasi Arab Latin perlu dilengkapi dengan beberapa
Tanda Tajwid untuk membaca al-Qur’an dengan benar. Pedoman
tersebut digunakan dalam keadaan darurat.
81
15. Muker Ulama Ahli al-Qur’an XV, Jakarta, 23-25 Maret 1989
a) Menerima baik hasil penulisan Mushaf al-Qur’an lil Huffazh (Mushaf
Al-Qur’an Bahriyah/Sudut) untuk segera dimasyarakatkan
penulisannya.
b) Komputerisasi al-Qur’an dipandang perlu untuk mulai dirintis
pelaksanaannya, karena computer sebagai alat bantu audio visual
cangih dalam mempelajari al-Qur'an.
c) Perlu segera melaksanakan pentashihan casset/rekaman al-Qur’an yang
beredar dan yang akan diedarkan untuk mendapat Tanda Tashih.
d) Untuk kepentingan Bacaan Murattal diperlukan adanya master
rekaman bacaan 30 Juz.
e) Menyusun Pedoman Tajwid al-Qur'an Transliterasi yang praktis bagi
pemula sebagai kelengakapan pedoman Transliterasi Arab-Latin.
Setiap mushaf al-Qur’an yang akan diterbitkan di Indonesia harus
melalui lembaga ini untuk melakukan uji kelayakan mushaf. Jika
setelah diperiksa ternyata ditemukan kesalahan, maka mushaf tersebut
akan di tunda penerbitannya sampai semua kesalahan yang ada dapat
dibenahi. Adapun di samping melakukan pentashihan, LPMQ juga
bertugas mengawasi peredaran mushaf al-Qur’an yang ada. Baik itu
berupa produk al-Qur’an cetak maupun elektronik. Di Indonesia tidak
kurang dari 114 penerbit mushaf yang saling berkompetisi setiap
tahunnya. Itupun menurut perkiraan APQI (Asosiasi Penerbit al-
Qur’an di Indonesia) belum memenuhi kebutuhan mushaf masyarakat
82
73 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah (Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 105-106.
74E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, vol. 3, np.2 (2005): 293-295.
75 Miga Mutiara, “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan MushafMadinah”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah: 2019), 107. Dan terdapat pada Proyek PenelitianKeagamaan, Mengenal al-Qur’an Standar Indonesia, (Jakarta: Badan Penelitian dan PengembanganAgama, 1984-1985), 43.
Indonesia. Dalam perkembangannya, proyek penerbitan mushaf ini
berhasil menyatukan seluruh umat (di Indonesia) dengan adanya
beberapa kali cetak ulang yang sukses di pasaran.73
4. Karakteritik Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia74
a. Bersumber pada al-Qur’an Usmani
b. Pembakuan dalam Tanda-tanda Baca (Hasil-hasil Muker Ulama I-IX
dan X-XIV.
c. Penggunaan Harakat.
Dari segi harakat, dalam keterangan Puslitbang telah mantap didukung
oleh muqaddimah yang telah ratusan tahun digunakan Indonesia, yaitu
kaidah Baghdadiyah.75
d. Letak nisf al-Qur’an (Wal Yatalattaf) berada di tengah halaman
sebelah kiri.
Mayarakat Indonesia umumnya sangat teliti kalau hendak membeli
Mushaf al-Qur’an. Begitu teliti sehingga sewaktu hendak membeli,
diperhatikan di mana letak nisf al-Qur’an kata وليتلطف itu.
Wal Yatalattof adalah pertengahan al-Qur’an yang dalam Mushaf
cetakan lama atau cetakan baru, diletakan di tengah-tengah halaman
sebelah kiri. Sehingga kalau di tempat itu tidak tampak kalimat
83
tersebut dengan tulisan yang berwarna merah dianggapnya masih
kurang memenuhi seleranya. Sehingga jutaan Mushaf al-Qur’an
dicetak dengan gaya baru seperti itu. Ada pula al-Qur’an yang
meletakkan kata wal yatalattof di halaman tengah sebelah kanan yang
dipelopori oleh Penerbit Sulaiman Mar'i Singapura yang kemudian
dicontoh oleh Penerbit Salim Nabhan Surabaya. Perbedaan tersebut
terletak pada bentuk tulisan pada juz 15.
e. Bentuk Khat untuk menulis Mushaf al-Qur’an standar Indonesia
Mushaf Standar Indonesia memilih bentuk Khat Nasakh. Dalam hal ini
terdapat perbedaan gaya tulisan, seperti model khat Nasakh pada al-
Qur’an terbitan India atau Pakistan yang terkenal dengan nama Mushaf
al-Qur’an Bombay denga bentuk tulisannya tebal-tebal, sedangakan
tulisan Nasakh pada al-Qur’an dari Negara-negara Arab umumnya
tipis-tipis. Untuk orang awam bentuk yang disenagi adalah bentuk
Khat Nasakh ala Bombay yang tebal-tebal itu, karena cukup jelas
untuk dibaca. Sedangkan bentuk yang tipis-tipis tampak kabur.
f. "Nun kecil (ن)" tanda "lzhar" tidak digunakan.
Dalam bebrapa jenis al-Qur’an terdapat tanda izhar berupa nun kecil.
Selain banyak jumlahnya, tanda tersebut dikhawatirkan dianggap
sebagai tanda waqaf. Karena itu tanda tersebut tidak dibubuhkan pada
al-Qur’an Standar.
g. Harakat atau tanda baca ditempatkan pada tempat yang sebagaimana
mestinya.
84
Kekeliruan membaca al-Qur’an dapat terjadi karena tanda baca atau
harkatnya tidak menempati tempat yang semestinya. Hal semacam itu
selain mengganggu dalam arti bisa membuat orang salah sewaktu
membaca al-Qur’an juga bisa berakibat salah arti.
h. Tidak terdapat kata-kata yang ditulis bertumpuk-tumpuk atau
berhimpitan.
Hal semacam itu selain menyulitkan bagi pembaca, juga bisa berakibat
menjadi salah arti. Untuk menghindari salah baca dan salah arti maka
penulisan yang bertumpuk sudah dibenahi dalam Mushaf al-Qur’an
Standar Indonesia.
i. Potongan kalimat (kata) yang tidak semestinya sudah dibetulkan.
Ada terdapat beberapa kata didalam al-Qur’an yang dipisahkan cara
penulisannya yang menyalahi kaedah penulisan bahasa Arab. Bagi yang
tidak memahami suku kata dalam bahasa Arab, hal itu tidak kentara
kalau itu salah memotong kata. Contoh: هيف ذقا نا seharusnya ditulis نا
Memang dibaca tidak akan salah, tetapi bagi yang mengerti bahasa .هيفذقا
Arab akan tampak ganjil pemotongan yang demikian itu. Oleh karena
itu dalam Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia hal serupa itu telah
dibenahi sebaik mungkin.
j. Sambungan yang kurang mengena di awal baris atau akhir baris sudah
diteliti dan diperbaiki.
k. Konsistensi antara waqaf dengan harakat/tanda baca
85
76 Mazmur Sya‟roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalam al-Qur‟an Standar Indonesia”, dalamJurnal Lektur Keagamaan, Vol. 5, No.1, 2007, 129-130.
Seperti telah diketahui bahwa diantara perbedaan yang timbul dalam al-
Qur’an Standar adalah penyederhanaan penggunaan tanda wakaf dari 12
macam menjadi 7 macam.
5. Prinsip-prinsip Penulisan Al-Qur’an Standar Indonesia
a. Penulisan Rasm76
Pada dasarnya penulisan Rasm al-Qur’an Standar Indonesia mengacu
pada al-Qur’an terbitan Departemen Agama tahun 1960, dan sebagai
pedoman untuk tanda-tanda baca. Pembahasan tentang penulisan Rasm
al-Qur’an dalam Muker muker ulama tersebut berpatokan pada al-
Qur’an tersebut. Artinya, selama tulisan rasm yang ada dalam al-Qur’an
tersebut mempunyai rujukan yang dapat dipertanggungiawabkan, maka
tulisan yang ada itu dibakukan saja. Apakah tulisan itu berdasarkan pada
sistem yang ditulis oleh Ad-Dani atau oleh Abu Daud. Akan tetapi, bila
tidak sesuai dengan salah satu dari dua buku pokok tersebut, maka
dilakukanlah penyesuaian sesuai dengan kaidah yang ada pada salah
satu rujukan yang ada itu. Dengan demikian sistem penulisan al-Qur’an
standarrIndonesia tidak berkiblat kepada salah satu imam rasm tersebut.
Oleh karena itu, di dalam al-Qur’an Standar Indonesia sistem
penulisannya ada kalanya ada yang mengacu kepada Ad-Dani dan ada
kalanya ada yang mengacu kepada Abu Daud.
86
77Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 99-101
Sebagai contoh dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3.1: Penulisan Rasm dalam al-Qur’an Standar Indonesia
No Ayat Abu Daud Ad-Dani Standar Indonesia
1. Q.S.40:60 داخرين دخرين Abu Daud
2. Q.S.3 :79 ربنين ربانين Ad-Dani
3. Q.S.5: 111 الحوارين الحورين Abu Daud
Catatan : Mushaf Saudi secara konsisten mengacu kepada Abu Daud
b. Penulisan Harakat77
Dalam MASU Indonesia, penulisan harakat dilakukan secara penuh.
Artinya setiap huruf yang berbunyi diberi harakat, termasuk kategori
yang berposisi sebagai huruf yang disukun untuk mad tabi’i. Adapun
harakat-harakat yang digunakan adalah fathah, kasrah, zammah,
fathahtain, kasratain, zammahtain. Penggunaan harakat fathah, kasrah,
dan zammah ditulis sebagaimana mestinya tanpa ada perubahan.
Sedangkan penulisan harakat tanwin menggunakan lambang yang sama
(di tulis ganda dengan posisi sejajar) untuk semua huruf tanpa melihat
hukum tajwid yang akan mempengaruhinya. Artinya dalam penulisan
MASU Indonesia harakat tanwin tidak mengalami perubahan bentuk
dalam keadaan bagaimanapun. Hal ini berbeda dengan mushaf al-
Qur’an cetakan Suadi Arabia umpamanya, harakat tanwin mengalami
perubahan bentuk dalam keadaan bagaimanapun menyesuaikan pada
hukum-hukum tajwid yang mempengaruhinya.
87
78 Mazmur Sya’roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalam al-Qur’an, “Jurnal-Lektur, vol. 5 , no.1 (2007) 133.
Selain harakat-harakat tersebut diatas, terdapat dua harakat lagi
yang lazim ditemui pada mushaf Indonesia, yaitu harakat zammah
terbalik dan fathah berdiri. Hukum penempatan zammah terbalik
terdapat pada “ha damir” atau pada kata-kata tertentu pada mad tabi’i
yang tidak menggunakan wawu sukun. Contohnya هنا Adapun harakat
fathah/ kasrah berdiri, selain terdapat pada “ha damir” juga terdapat
pada huruf-huruf yang dibaca panjang (mad tabi’i) yang tidak
menggunakan alif atau ya’ sukun. Contohnya ,هب بتكلاKhusus mengenai
“ha damir” dibaca panjang baik ketika berharakat zammah maupun
kasrah (menggunakan harakat zammah terbalik dan kasrah berdiri). Hal
ini berlaku apabila: a) sebelumnya tidak berharakat sukun, b)
sebelumnya tidak dibaca panjang (mad), dan, c) sesudahnya tidak
berharakat sukun. Contohnya, ورحمته (lihat QS. al-Baqarah: 26,37,64)
c. Penulisan Tanda-tanda Tajwid78
Terdapat beberapa rumusan dalam menggunakan lambang- lambang
atau petunjuk-petunjuk membaca untuk kaidah-kaidah (hukum-hukum)
tajwid yang terdapat pada al-Qur’an Standar Indonesia. Kaidah-kaidah
tajwid yang memerlukan lambang-lambang atau petunjuk-petunjuk
membaca tersebut adalah: idgam, iqlab, mad wajib, mad jaiz, dan mad-
mad selain mad tabi'i, saktah, imalah, isymam, dan tashil.
d. Penulisan Alif Qata’ dan Alif Wasl
88
Dalam MASU Indonesia alif qata’ tidak dibedakan dengan alif was}al.
Hukum penulisan keduanya adalah dengan menuliskan huruf alif saja
tanpa ada tambahan-tambahan lain, seperti penambahan hamzah di atas
atau di bawah alif, untuk alif qata’ atau penambahan huruf sad diatas
alif untuk alif wasl. Adapun untuk membedakan keduanya adalah
dengan memberinya harakat atau sebaliknya. Alif qata’ selalu berharakat
sesuai dengan bacaannya, sedangkan alif wa}l hanya dibubuhi harakat
ketika berada di awal ayat dan waqaf tam atau di tengah ayat setelah
waqaf tam.
e. Penulisan Hamzah
Penulisan hamzah pada dasarnya ditempatkan pada tempat atau huruf
yang sesuai dengan bunyinya, kecuali pada tempat-tempat tertentu yang
menurut kaidah rasm tidak menuruti kaidah tersebut, apabila:
1) Hamzah berharakat fathah atau sukun dan sebelumnya berharakat
fathah, maka hamzah tersebut diletakkan di atas alif.
2) Hamzah berharakat kasrah, sukun, dan huruf-huruf sebelumnya
berrharakat kasrah, maka hamzah tersebut diletakkan di atas nabrah
ya tanpa titik.
3) Hamzah berharakat dzammah, sukun, dan huruf sebelumnya
berharakat dzammah, maka hamzah tersebut diletakkan di atas
wawu.
89
f. Nun silah (nun wasl)
Nun silah adalah nun kecil yang diletakkan di bawah alif wasl, yang
berfungsi untuk menyambungkan bunyi nun sukun pada harakat tanwin
dengan harakat sukun pada kata sesudahnya.
g. Sifr (bulatan)
Sifr adalah tanda berbentuk bulatan yang diletakkan di atas alif za’idah.
Bentuk alif sifir ada dua amcam, yaitu sifr mustadir (sifr bulat) dan sifr
mustatir (sifr lonjong). Sifr mustadir diletakkan di atas alif za’idah yang
tidak berpengaruh terhadap bacaan, baik ketika wasl maupun ketika
waqaf. Sedangkan Sifr mustatir diletakkan di atas alif za’idah yang
berpengaruh terhadap bacaan ketika waqaf.
h. Tanda-tanda Waqaf
Dalam MASU Indonesia waqaf yang ditetapkan berperan dalam
penulisan mushaf ada enam, yaitu م, ,ج ,قلى,صلى لا
Keseluruhan tanda waqaf tersebut berpengaruh pada pemberian harakat
dan tanda-tanda tajwid pad huruf-huruf yang sebelum atau sesudahnya.
Adapun ke enam tersebut antara lain dapat dikelompokkan ke dalam
tiga bagian, antara lain:
1. tanda-tanda ini berpengaruh pada pemberian harakat atau م ج, ىلق,
tanda-tanda tajwid berikut ini:
a) Alif Wasl
90
Setiap alif wasl setelah tanda-tanda waqaf tam (berhenti dengan
sempurna) tersebut di atas, diberi harakat fathah. Karena setiap
pembaca yang berhenti pada tanda waqaf tersebut, boleh
melanjutkan bacaannya dengan ayat selanjutnya tanpa harus
mengulang lagi kebelakang. Maka, untuk membantu
memudahkan pembaca, alif yang terdapat setelah tanda
waqaftersebut dibubuhi tanda fathah.
b) Tanda-tanda Tajwid
Huruf-huruf yang mengandung hukum tajwid, yang berada
setelah atau sebelum tanda waqat tersebut, maka tidak
dicantumkan tanda-tanda tajwidnya.
2. لا,صلى
a) Alif Wasl
Alif wasl yang terletak setelah tanda waqaf ال,ىلص (ghairu tam),
maka tidak diberi harakat. Karena pada hakikatnya pembaca
tidak diperkenankan untuk berhenti pada tanda waqaf tersebut.
Alif wasl yang terletak setelah tanda waqaf tersebut tidak
dibubuhi harakat untuk mendorong pembaca agar tidak
berhenti di tempat tersebut.
b) Tanda-tanda Tajwid
91
79 Atifah Thoharoh, “Mushaf aL-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm)”, Skripsi, (IAIN Tulungagung: 2018), 101-104. Lebih jelasnya lihat MazmurSya’roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalam al-Qur’an, “Jurnal-Lektur, vol. 5 , no. 1 (2007) 136-145
80E. Badri Yunardi, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” Jurnal-Lektur, vol. 3, no.2 (2005): 295.
Huruf-huruf yang mengandung hukum-hukum tajwid, yang
berada setelah atau sebelum tanda waqaf tersebut, maka
dicantumkan tanda-tanda tajwidnya.
3. Tanda Waqaf Mu’annaqah
Adalah suatu tanda waqaf dimana pembaca hanya dibolehkan
berhenti pada salah satu dari kedua tanda tersebut. Selain itu,
pembaca juga boleh tidak berhenti sama sekali pada kedua tanda
tersebut. Hukum pada tanda waqaf ini berbeda dari dua tanda waqaf
sebelumnya. Pada tanda waqaf ini, alif wasal tidak diberi harakat,
dan semua semua bacaan yang mengandung hukum-hukum tajwid
tidak dicantumkan tanda-tanda tajwidnya.79
6. Landasan Penulisan Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani
Indonesia80
Dalam penulisan al-Qur’an standar digunakan berbagai kitab rujukan,
diantaranya:
a. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jalaluddin as-Suyuthi, Beirut, Rar al-
Fikr, tahun 1977.
92
b. Lata’if al-Bayan fi Rasm al-Qur’an, Muhammad Ahmad Abu
Zitihar, Mesir, Muhammad Ali Subaih wa Auladih, tanpa tahun.
c. Manahil al-‘Irfan, Muhammad Abdul ‘Azim az-Zarqani, Mesir, Isa
al-Babi al-Halabi, Juz 1 tanpa tahun.
d. Jami’ al Bayan fi Ma’rifat Rasm al-Qur’an, Sayyid Ali Ismail
Handawi, Riyadh, Dar al-Furqan, tahun 1410 H.
e. Mushaf al-Qur’an terbitan tahun 1960.
f. Mushaf al-Qur’an (ayat-ayat pojok), terbitan Menara Kudus.
g. Mushaf al-Qur’an terbitan Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, dan
Bombay.
7. Ciri-Ciri Al-Qur’an Standar, Syamil Qur’an Tikrar Hafalan
Sebelum mengidentifikasi mushaf ini, penulis ingin menyampakan bahwa
alasan penulis memilih al-Qur’an Tikrar ini bukan untuk membahas tentang
metode hafalan atau ke-tikrarannya, melainkan penulis hanya membahas
mengenai pola penulisan atau rasmnya, yang terpenting adalah mushaf ini
adalah salah satu dari beberapa Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia.
Mushaf Standar Indonesia yang penulis teliti adalah Mushaf Syamil Tikrar
Hafalan. Yang diterbitkan oleh PT Stgma Examedia Arkanleema yang
beralamatkan di Jalan babakan Sari I No. 71 Kiaracondong Bandung Jawa
Barat. Mushaf ini telah ditashih oleh LPMQ pada tanggal 17 april 2014 masehi
atau 17 jumadis saniyah 1435 hijriyah dan ditanda tangani oleh H. Shohib
93
Tohari (sebagai ketua) serta Dr. H. Ahsin Sakho’ Muhammad (sebagai
sekretaris).
Ciri-ciri fisik Syamil Qur’an Tikrar Hafalan adalah berukuran 14,8 x 21 cm
dan tebal 3,5 cm. Memiliki cover (sampul) berwarna hijau tua, bertuliskan Al-
Qur’anul Karim dengan Khat Tsulusi beserta ornamennya ditengah-tengah
cover, dibagian atas tertuliskan Syaamil quran, bagian bawah tertuliskan Tikrar
Qur’an Hafalan , dan dibagian samping bawah tertulis Sygma Creative Media
Corp.
Mushaf ini bervolume 30 juz, 114 surat dan 6.236 ayat. Satu juz berisi 10
lembar atau sama dengan 20 halaman bolak-balik. Al-Qur’an ini merupakan al-
Qur’an pojok, artinya pada setiap ayat tidak ada yang terpotong ke halaman
lain. Pojok awal kanan atas sebagai awal ayat,dan pojok akhir kiri bawah
sebagai akhir ayat. Hal ini salah satu cara untuk memudahkan bagi para
pembaca dan penghafal al-Qur’an. Dan memiliki 15 baris. Ini termasuk Al-
Qur’an Standar Indonesia Bahriyah.
Gambar 3.1
Gambaran cover (sampul) Syaamil Qur’an Tikrar
94
Gambar 3.2
Gambaran tulisan Asmaul Husna
Gambar 3.3
Gambaran Lembar Pentashihah
95
Gambar 3.4
Gambaran lembar penerbit dan struktur
Gambar 3.5
Gambaran Mushaf dari samping
96
81 Karena keterbatasan penulis dalam mencari data, penulis hanya menyampaikan sedikitmengenai maroko. Kemudian mengenai kebijakan pemerintah mesir mengenai mushaf maroko jugatidak dapat penulis temukan. Jadi penulis fokus untuk mengidentifikasi mushaf sesuai dengan mushafyang sekarang penulis jadikan bahan penelitian.
B. Mushaf Maroko
Maroko adalah Negara Monarki di Afrika Utara, yang mana memiliki
garis pantai yang sangat panjang di Samudra Atlantik. Secara geografis,
memiliki wilayah yang sebagaian besar terdiri dari gurun dan pegunungan
yang terjal. Ia merupakan salah satu dari hanya tiga negara (dengan Spanyol
dan Perancis) yang memiliki garis pantai di Samudra Atlantik dan juga di Laut
Mediterania.81
Nama Arab al-Mamlakah al-Maghribiyah (ةيبرغملا ةكلمملا, yang berarti
“Kerajaan Barat”) dan Al-Maghrib (برغملا, yang berarti “Barat”) sering
digunakan sebagai nama alternatif. Maroko memiliki populasi lebih dari
33.800.000 dan luas 446.550 km² (172.410 sq mi). Ibu kotanya adalah Rabat,
kota terbesar adalah Casablanca. Kota-kota besar lainnya adalah Marrakesh,
Tangier, Tetouan, Sale, Fes, Agadir, Menkes, Oujda, Kenitra, dan Nador.82
Mushaf Maroko (kadang juga disebut Mushaf Maghribi) adalah
mushaf yang berkembang dikawasan Afrika Utara, yaitu Mesir, Libya,
Tunisia, al-Jazair, Mauritania, dan Maroko. Mushaf ini memiliki karakter
yang berbeda dalam aspek teknik penulisan (khat) dengan mushaf-mushaf
Masraqiyah yang pada umumnya berkembang di timur Jazirah Arab,
termasuk Indonesia. Nama Magrib yang biasanya identik dengan Kerajaan
Maroko, dalam studi penulisan mushaf cakupannya tidak terbatas pada satu
97
negara, tetapi seluruh negara yang berada di Afrika Utara, sebelah barat
Mesir.
Mushaf Maroko memiliki ciri khas yang sangat mencolok
dibandingkan mushaf-mushaf Masraqiyah. Walaupun mushaf ini secara
urutan (tartib mushafi) tidak ada perbedaan dengan mushaf-mushaf al-Qur’an
yang lain, namun dalam teknik penulisan rasm dan tanda baca sangat
mencolok perbedaannya. Para sejarawan Barat biasanya menyebut khat Kufi
gaya Maghrib dengan sebutan western Kufic (Kufi barat).
Dari segi qira’at, mushaf Maghribi biasanya mengacu pada dua perawi
Imam Nafi; (w. 169 H/ 785-6 M) yaitu Qalun (w. 220 H/835-6 M) dan
Warasy (w. 197 H/ 813-4 M). Dalam hal rasm secara umum mengacu pada al-
Muqni karya Abu ‘Amr ad-Dani, salah seorang tokoh besar dalam ilmu qira’at
dan rasm usmani, yang lahir di Kordoba pada tahun 371 H/981-2 M dan wafat
di daniyah 444 H/ 1052 M. Ketokohannya dalam lintas disiplin ilmu al-
Qur’an juga mengukuhkannya menjadi pakar dalam ilmu tanda diakritik al-
Qur’an (al-Dabt/ Syakl). Kitab al-Naqat dan al-Muhkan merupakan dua karya
induk yang sering dirujuk oleh para ahli setelahnya. Tidak satu pun ulama Al-
Qur’an yang bisa lepas dari karya besar al-Dani.
Salah satu contoh kekhasan mushaf Maghribi adalah menuliskan fa’
dengan tanda titik satu di bawah, sementara qaf titik satu di atas. Sebaliknya
mushaf Masraqiyah, menuliskan fa’ dengan titik satu diatas dan qaf dua titik
di atas. Kedua model tersebut tidak ada perbedaan dalam pembacaan. Terlebih
98
83 Zainal Arifin Madzkur, Mengenal Mushaf Maghribi”, Lajnah Pentashihan Mushaf aL-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kemenag, 9 oktober 2018
tanda titik merupakan ilmu dhabt dan bukan ilmu rasm.83
Mushaf Maroko yang penulis teliti adalah Mushaf Asy-Syarif dengan
riwayat Warasy dari an-Nafi’. Yang diterbitkan oleh Librairie Es-Salam Al-
Jadida (ةديدجلا مالسلا ةبتكم) yang beralamatkan di 31/34 Place My Youssef
Habouss Casablanca Maroc (ءاضيبلا-بيرغملا فسوي-سابحألا-ردلا يالوم ةحاس). Pada
lembar-lembar terakhir yaitu di halaman 748 dituliskan beberapa keterangan
mengenai mushaf ini, antara lain adalah jumlah halaman mushaf ini 752,
Penulis (طاطخلا) mushaf adalah Abdul Aziz Mujib dengan menggunakan khat
maroko (طوسبملا ىبرغملا), supervisi teknis adalah Ismal Nafrasiy dan Abdus
Somad Fara, mesin cetak dari Fadas-Mesir, dan kertasnya berwarna putih 60
gram.
Pada halaman 747 adalah lembar izin dagang (فحصملا لوادتب حيرصت) dari
Al-Azhar Islamic Research Academy General Department, Ror Research,
Writting & Translation. Dan pada halaman 745 juga ada lembar izin dagang
dari pihak pemerintah Maroko, yang ditanda tangani (فحصملا لوادتب حيرصت)
oleh Bapak Hamdi Hamani. Pada halaman 744 ada lembar pengesahan dari
Lembaga Lajnah Pengawasan dan Peninjauan,yang resmi ditanda tangani oleh
ketua dan wakil. Dari halaman 732-743 ada lembar lampiran yang
menjelaskan panjang lebar mengenai mushaf ini.
Ciri-ciri fisik Mushaf Maroko ini adalah berukuran 16 x 12 cm dan tebal 3
cm. Memiliki cover (sampul) berwarna hijau muda, pada bagian tengah
99
sampul bertuliskan al-Mushaf Asy-Syarif bi riwayati Warsy an-Nafi’ (فحصملا
dengan Khat Tsulusi beserta ornamen khas maroko (عفان نع شرو ةياورب فيرشلا
yang berwarna-warni menyerupai bentuk kubah masjid. Mushaf Maroko
bervolume 60 hizb (yang tersusun atas tsumun, rubu’ dan nisf), 114 surat dan
6.214 ayat.
Al-Qur’an Maroko ini bukanlah al-Qur’an pojok, artinya pada setiap ayat
ada yang terpotong ke halaman lain. Tidak menentu pojok awal kanan atas
sebagai awal ayat, dan pojok akhir kiri bawah sebagai akhir ayat. Bagi orang
Indonesia, bentuk huruf yang digunakan pada Mushaf Maroko ini cukup
membuat kesulitan membaca, karena bentuknya yang unik dan ada beberapa
huruf yang sangat berbeda dengan Mushaf Indonesia (yang mana perbedaanya
akan dijelaskan pada bab empat).
Perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini penulis memfokuskan dan
memberi batasan penelitian pada mushaf dan rasmnya. Jadi, penulis tidak
mencantumkan sejarah mushaf maroko, ataupun proses perjalanan pencetakan
mushaf maroko, ataupun perkembangan. Hal ini dikarenakan keterbatasan
penulis dalam referensi ataupun proses penelitian, sehingga penjelasan tentang
identitas mushaf ini hanya penulis ambil dari apa yang tertulis dan
dicantumkan pada lembar-lembar mushaf.
100
Gambar 3.6
Gambaran cover (sampul) Mushaf Maroko
Gambar 3.7
Gambaran Lembar Penerbit
101
Gambar 3.8
Keterangan Isi Mushaf
Gambar 3.9
Lembar Ijin Dagang dari Al-Azhar Mesir dan Pemerintah Maroko
102
BAB IV
PERBANDINGAN ANTARA MUSHAF STANDAR INDONESIA DENGAN
MUSHAF MAROKO
Dalam perkembangan disiplin ilmu rasm usmani, dikenal dengan adanya
istilah tarjih al-riwayat, yakni upaya memilih salah satu pendapat ulama yang
dipandang lebih kuat diantara beberapa pendapat yang ada. Sebagaimana dalam
disiplin hadis terdapat terminologi al-shaikhani (dua guru besar) yaitu Imam al-
Bukhari dan Imam Muslim. Maka dalam ilmu rasm usmani yang dimaksudkan adalah
Abu ‘Amar Sa’id bin ‘Usman al-Dani (w. 444H/ 1052 M) dalam kitab Al-Muqni Ahl
al-Amsar dan Abu Dawud Sulaiman bin Najah (w. 496 H/ 1102 M) dalam Mukhtasar
at-Tibyan li Hija’ at-Tanzil.
Al-Suyuti telah menyebutkan bahwa kaidah-kaidah penulisan rasm usmani
terbagi 6 kaidah: membuang huruf (hazf), penambahan huruf (ziyadah), penulisan
hamzah (hamz), pergantian huruf (al-Badal), menyambung dan memisah kata (al-
wasl wal fasl) terdapat dua qiro’ah lalu dtulis dengan salah satunya. Dalam satu
mushaf, tidak mungkin hanya ditulis atau disalin dengan riwayat satu imam saja,
tanpa menyertakan imam lainnya. Bahkan antara al-syaikhani dari keduanya pun
sering terjadi perbedaan pendapat.
Dalam bab ini penulis akan menganalisis perbedaan dan persamaan Mushaf
al-Qur’an Standar Usmani Indonesia (MASU) dan Mushaf Maroko (MM), dimulai
dari karakteristiknya hingga peninjauan penulisan rasm dan riwayat khususnya pada
QS. Al-Fatihah dan QS. Al-Baqarah 1-141 (Juz 1).
103
84 satu jus terdiri atas delapan rub’u85 satu hizb terdiri atas empat rub’u86 rub’u (seperempat ayat) yaitu sekumpulan ayat yang terdiri sekitar dua atau tiga lembar.88 Seperdelapan88 Setengah89 Termasuk dalam al-Kufi disandarkan dari Abu Amr ad-Dani dengan jalur Hamzah bin
Hubaib bin Ziyat dari Ibnu Abu Laila dari Abu Abdirrahman bin Habib as-Sulami dari Ali bin AbiThalib.
90 Termasuk dalam Madani Akhir disandarkan pada riwayat Abu Amr ad-Dani dengan jalurImam Nafi dari riwayat Ismail bin Ja’far dari Sulaiman bin Jammaz dari Abu Ja’far dan Syaibah binNashah secara marfu dari keduanya.
Tabel 4.1: Persamaan dan Perbedaan Karakteristik
Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indonesia (MASU)
dan Mushaf Maroko (MM),
No Karakteristik MASU MM
1. SumberBersumber dari al-Qur’an
UsmaniBersumber dari al-Qur’an
Usmani
2. PenerbitPT. Stgma Examedia
Arkanleema
Librairie Es-Salam Al-Jadida
(مكتبة السلام الجديدة)
3. Alamat penerbitJalan babakan Sari I No.
71 Kiaracondong BandungJawa Barat.
31/34 Place My Youssef-Habouss-Casablanca-
Maroc (-ساحة مولاي يوسف.(الأحباس-الدر البيضاء-المغريب
4.Keterangan
bagianMengenal istilah 30 juz84 Menggunakan istilah 60
hizb85
5.Keterangan
bagianAda istilah hizb
Ada istilah rubu’86, tsumun88, nisf88
6. Jumlah surat 114 surat 114 surat
7. Jumlah ayat 6.236 ayat89 6.214 ayat90
8. Ukuran fisikBerukuran 14,8 x 21 cm
dan tebal 3,5 cmBerukuran 16 x 12 cm dan
tebal 3 cm.
9. Jenis Mushaf Mushaf Pojok Bukan Mushaf Pojok
104
91 Dinamakan khat nasakh karena tulisannya digunakan untuk menasakhkan ataumembukukan al-Qur’an serta berbagai naskah ilmiah sejak kurun pertama hijarah lagi. Khat ini jugajenis khat yang paling mudah dibaca. Khat naskhi kemudian menghasilkan jenis-jenis khat masriq(model timur) yaitu tsuluts, farisi, diwani dan riq’ah.
92 Dinamakan khat maghribi karena termasuk salah satu tulisan yang digunakan untukpenulisan mushaf al-Qur’an di negeri-negeri Islam sebelah barat (Maroko, Tunisia, Aljazair dan lain-lain). Bentuknya mungkin kurang familiar bagi kebanyakan orang dan memang unik.
10. Jenis Khat Khat Naskhi91 Khat Maghribi92
11. Qira’at Hafs dari Imam Ashim Warasy dari Imam Nafi’
12. Jumlah halaman 604 halaman 752 halaman
13. Asma’ul husnaTerdapat lafadz-lafadz Asma’ul Husna pada
lembar terakhir.
Tidak ada lembar Asma’ulHusna
Dari tabel diatas, MASU dan MM memiliki cukup banyak perbedaan dari segi
karakteristik yang melekat pada fisik mushaf tersebut. Walaupun begitu masing-
masing mushaf memiliki ciri khas dan pedoman atau acuan yang kuat disesuaikan
dengan daerah masing-masing MASU adalah masriq atau daerah bagian timur,
sementara MM adalah maghrib atau daerah bagian barat.
105
Tabel 4.2: Persamaan dan Perbedaan
Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indonesia (MASU)
dan Mushaf Maroko (MM),
pada QS. Al-Fatihah dan QS. Al-Baqarah.
No Surah MASU MM Keterangan/ Kaidah
1. Al-FatihahPerbedaannya terletak padalafadz ar-Rahman.
2. Al-Fatihah
Perbedaanya terletak padakata al-‘alamina, yang manaMASU hazf alif, sedangkanMM masih menulis fathahdan alif. Harakat dhammahpada MM menyerupaiharakat sukun pada MASU.
3. Al-Fatihah
Pada MASU hazf alif, padaMM masih menulis fathahdan alif. Huruf nun padaMM tidak diberi tanda titik.
4. Al-Fatihah
Sekilas sama, namunternyata di huruf ya’ tidakterdapat harakat sukun.
5. Al-Fatihah
Huruf mim pada MASUhazf alif, sementara padaMM huruf mim tidakberharakat panjang. Hurufkaf pada MM menyerupaihuruf kaf pada MASUketika berada ditengah kata.Tanda waqaf wasal MASUqaf lam, MM seperti harakatdhammah pada MASU.
6. Al-Fatihah
Huruf kaf pada MMmenyerupai huruf kaf padaMASU ketika beradaditengah kata. Harakatdhammah pada MM adalahtanda sukun pada MASU.
106
Nun MM tidak ada titik.
7. Al-FatihahSekilas sama, namun huruftha’ pada MM menyerupaihuruf ha’ di MASU.
8. Al-Fatihah Huruf qaf pada MM adalahhuruf fa’ pada MASU.
Sekilas sama,namun jikadicermati huruf tha’ dandzal pada MM adalah unik,(salah satu ciri khas MM).
10. Al-Fatihah
Sekilas sama, yang bedahanya harakat dhammahpada MM adalah harakatsukun pada MASU.
11. Al-Fatihah
Sekilas sama, yang bedahanya nun di MM tdk adatitik dan layar (harakatpanjang) pada dha’ beradatepat diatas alif.
12. Al-Baqarah
Harakat pada MM cukuprumit artinya ada lebih darisatu harakat, sementara diMASU simpel. Huruf alifpada MM terdapat hamzahdiatasnya.
13. Al-BaqarahMASU hazf alif, MM tidak.
14. Al-BaqarahMASU dan MM hazf alif.
107
15. Al-Baqarah
Waqaf wasal pada keduamushaf berbeda. Harakatsukun pada MM adalahlingkaran, dan harakatdhammah pada MMmenyerupai harakat sukunpada MASU
16. Al-BaqarahHuruf qaf pada MM adalahhuruf fa’ pada MASU.Huruf nun pada MM tidakbertitik.
17. Al-Baqarah
Huruf lam pada MM tidakada tanda tasydid.
18. Al-Baqarah
Huruf waw awal pada MMtidak ada hamzah danharakat sukun.
19. Al-Baqarah
Lafadz as-shalah pada MMdan MASU disalin denganwaw (al-badl), dan bentukta’ marbuthah MM unik,(ciri khas).
20. Al-Baqarah
Pada lafadz mimma, keduamushaf sama-samadisambung (al-fasl wa al-wasl). Huruf nun awal padaMM masih menulis fathahdan alif, huruf fa pada MMtitik berada dibawah,sementara huruf qaf padaMM menyerupai huruf fa’
108
pada MASU.
21. Al-Baqarah
Pada lafadz yu’minunahuruf waw pada MM tidakdiberi hamzah. Lafadzunzila pada MM masihmenulis alif dan hamzahberdampingan, sementarapada MASU cukup alif saja.Pada lafadz ilaika, MMmenambahkan hamzahdibawah alif, MASU tidakmenambahakan hamzah.
22. Al-Baqarah
Lafadz unzila pada MMmasih menulis alif danhamzah berdampingan,sementara pada MASUcukup alif saja, pada lafadzal-akhirah, huruf alif padaMASU panjang mad thabi’i,sedangkan MM tidak.
23. Al-Baqarah
Huruf waw pada MM tidakdiberi harakat.
24. Al-Baqarah
Pada MM masih menuliskanalif dan hamzahberdampingan, setelah huruflam ada huruf alif, dandisamping hamzah terdapatdua titik.
25. Al-Baqarah
Pada MM masih menuliskanfathah dan alifberdampingan, pada MASUhazf alif.
26. Al-Baqarah Sekilas sama, tapi huruf nunpada MM tidak ada titik,
109
harakat fathatain padalafadz hudan berada diatasya’, waqaf wasal yangberbeda dengan MASU.
27. Al-Baqarah
Bentuk huruf fa’ yangberbeda, pada MM titikdibawah, dan pada MASUtitik diatas. (ada jugaperbedaan pada penomoranayat).
Dari tabel tersebut, penulis membandingkan antara MASU dan MM dalam
surah al-Fatihah dan al-Baqarah ayat 1-5 saja, dengan memberikan keterangan
mengenai perbedaan bentuk huruf, kaidah rasm usmani yang dipakai, dan perbedaan
dalam penomoran ayat.
110
Tabel 4.3: Perbedaan Rasm Usmani dalam Mushaf al-Qur’an Standar Usmani
Indonesia (MASU) dan Mushaf Maroko (MM)
No Surah MASU Mazhab MM Mazhab Kaidah
1. 2: 7 Ad-DaniAbu
DawudHazf
2. 2: 7 Ad-DaniAbu
DawudHazf
3. 2: 15 Ad-DaniAbu
DawudHazf
4. 2: 16 Ad-DaniAbu
DawudHazf
5. 2: 19 Ad-DaniAbu
DawudHazf
6. 2: 19 Ad-DaniAbu
DawudHazf
7. 2: 20 Ad-DaniAbu
DawudHazf
8. 2: 22 Ad-Dani Ad-Dani Hazf
9. 2: 22Abu
DawudAd-Dani Hazf
111
10. 2: 25 Ad-DaniAbu
DawudHazf
11. 2: 25 Ad-Dani Ad-Dani Hazf
12. 2: 27 Ad-DaniAbu
DawudHazf
13. 2: 28 Ad-Dani Ad-Dani Hazf
14. 2: 28 Ad-Dani Ad-Dani Hazf
15. 2: 36 Ad-DaniAbu
DawudHazf
16. 2: 40 Ad-DaniAbu
DawudHazf
17. 2: 40 Ad-Dani Ad-Dani Hazf
18. 2: 42 Ad-DaniAbu
DawudHazf
19. 2: 43 Ad-DaniAbu
DawudHazf
20. 2: 48 Ad-DaniAbu
DawudHazf
21. 2: 62 Ad-DaniAbu
DawudHazf
22. 2: 62 Ad-DaniAbu
DawudHazf
112
23. 2: 63 Ad-DaniAbu
DawudHazf
24. 2: 65 Ad-Dani
Abu Dawud dan Ad-
Dani
Hazf
25. 2: 66 Ad-DaniAbu
DawudHazf
26. 2: 69Abu
DawudAbu
DawudHazf
27. 2: 72 Ad-DaniAbu
Dawud Hazf
28. 2: 75 Ad-DaniAbu
DawudHazf
29 2: 81 Ad-DaniAbu
DawudHazf
30. 2: 83 Ad-DaniAbu
DawudHazf
31. 2: 83 Ad-Dani Ad-Dani Hazf
32. 2: 84 Ad-DaniAbu
DawudHazf
33. 2: 85 Ad-DaniAbu
DawudHazf
34. 2: 85 Ad-DaniAbu
DawudHazf
35. 2: 102 Ad-Dani Ad-Dani Hazf
113
36. 2: 102 Ad-Dani Ad-Dani Hazf
37. 2: 102 Ad-DaniAbu
DawudHazf
38. 2: 102 Ad-Dani Ad-Dani Hazf
39 2: 108 Ad-DaniAbu
DawudHazf
40. 2: 111 Ad-DaniAbu
DawudHazf
41 2: 115 Ad-Dani Ad-Dani Hazf
42 2: 116 Ad-Dani
Abu Dawud dan Ad-
Dani
Hazf
43. 2: 118 Ad-DaniAbu
DawudHazf
44. 2: 123 Ad-DaniAbu
DawudHazf
45. 2: 139 Ad-Dani
Abu Dawud Hazf
46. 2: 139 Ad-DaniAbu
DawudHazf
47. 2: 140 Ad-DaniAbu
DawudHazf
114
Dari tabel tersebut, penulis membandingkan MASU dan MM dalam surah al-
Baqarah ayat 7 sampai ayat 140 (Juz 1). Dengan memberikan kolom madzhab yang
digunakan yaitu antara ad-Dani dan Abu Dawud, serta kaidah yang diambil adalah
kaidah hazf.
Pada pemaparan tabel perbandingan kedua mushaf diatas, dapat ditemukan
perbedaan yang nampak dominan dari segi rasm pada tiap-tiap hurufnya, seperti
huruf qaf, fa’, tha’, dzal, nun, pada Mushaf Maroko sangat berbeda dengan apa yang
tertuliskan pada Mushaf al-Qur’an Standar Indonesia, apabila orang awam membaca
Mushaf Maroko maka akan mengalami kebingungan dan bahkan akan mengira itu
mushaf yang salah atau sesat. Namun, sejak awal membuka kedua mushaf tersebut
memang sudah nampak perbedaannya, yaitu dari qiraat yang digunakan Mushaf
Maroko menggunakan Qiraat Warasy dari Imam Nafi’, sementara MASU
menggunakan Qiraat Hafs dari Imam Ashim.
Perbedaan tersebut adalah hal yang sangat unik, walaupun Indonesia adalah
negara timur (masraqiyah), namun perlu bagi kita untuk setidaknya mengetahui
belahan dunia bagian barat seperti Maroko (maghribiyah) yang mana memiliki
mushaf yang unik, yang menambah khazanah keilmuan, serta menjadikan
bertambahnya wawasan, serta membuat semakin memahami bahwa perbedaan itu
bukan sebuah kesalahan, kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT.
115
Gambar 4.1
Lembar Al-Fatihah dan Al-Baqarah 1-5
116
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-
bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan:
Pertama, Mushaf al-Qur’an Standar Usmani (MASU) Indonesia
adalah mushaf al-Qur’an hasil dari Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Ahli
al-Qur’an yang berlangsung sampai 9 kali, dari tahun 1974-1983 dan
dijadikan pedoman bagi al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia, yang terdiri
dari tiga jenis yaitu Mushaf al-Qur’an Standar Usmani biasa untuk khalayak
umum, Mushaf Standar Bahriyah untuk penghafal al-Qur’an, Mushaf Standar
Braille untuk tunanetra. Mushaf Standar tersebut ditulis berdasarkan qira’at
Hafs dari Imam Ashim.
Kedua, Mushaf Maroko yang penulis teliti adalah Mushaf Asy-Syarif.
Yang diterbitkan oleh Librairie Es-Salam Al-Jadida (ةديدجلا مالسلا ةبتكم) yang
beralamatkan di 31/34 Place My Youssef Habouss Casablanca Maroc. Mushaf
ini sudah ditashih dan mendapaat ijin dagang dari pemerintah Maroko dan Al-
Azhar, Kairo, Mesir. Kekhasan mushaf Maroko adalah menuliskan fa’ dengan
tanda titik satu di bawah, sementara qaf titik satu di atas. Mushaf Standar
tersebut ditulis berdasarkan qira’at Warasy dari Imam Nafi’.
Ketiga, analisis perbedaan dari kedua mushaf tersebut adalah nampak
jelas dari segi qira’at dan sistematika penulisan rasm, MASU menggunakan
117
sistem masraqiyah (timur) dan Mushaf Maroko menggunakan sistem
maghribiyah (barat). Salah satu contohnya adalah (penulisan
maghribiyah) huruf qaf ditulis dengan titik 1, padahal dalam mushaf
masraqiyah yang tersebar di Indonesia huruf qaf titik dua dan huruf fa’ titik 1.
Apabila orang membaca mushaf ini tanpa mengetahui qira’at dan sistematika
penulisan rasmnya maka akan mengalami kebingungan bahkan klaim bahwa
mushaf tersebut salah ataupun sesat. Namun, perlu diketahui bahwa mushaf
tersebut secara substansial sama benarnya.
Keempat, MASU lebih akrab dengan mushaf riwayat ad-Dani, karena
secara sosiologis riwayat ini sudah lama dan banyak digunakan di Indoneisa,
dan penulisannya yang tidak banyak membuang huruf, memudahkan kaum
muslim awam untuk membaca al-Qur’an. Sementara itu Mushaf Maroko
akrab dengan riwayat Abu Dawud, karena merujuk ke Mushaf Mesir dan
memakai khat maghribi.
B. Saran
Dari penelitian ini, Penulis menyadari masih banyak pembahasan yang
perlu dikaji kembali dari pemaparan yang penulis sajikan. Sehingga kajian ini
tidak cukup hanya berhenti sampai disini, tetapi mengharapkan
pengembangan lebih lanjut terkhusus dalam perkembangan ilmu rasm, dalam
berbagai produk yang mampu mencerahkan wawasan masyarakat pada
umumnya. Dan kemungkinan masih terdapat perbedaan atau persamaan rasm
usmani dalam surat al-Baqarah juz 1 ini yang terlewatkan dari pengamatan
118
penulis. Oleh karenanya, penulis berharap untuk peneliti yang selanjutnya
dapat menggali lebih dalam untuk khazanah keilmuan di Indonesia.
Kepada masyarakat, diharapkan kajian ini dapat memberikan manfaat
dan wawasan untuk memperkaya pengetahuan perihal rasm mushaf al-Qur’an,
yang kurang mendapat perhatian dimata masyarakat. Adapun dari adanya
pemaparan perbedaan penulisan rasm pada dua mushaf tersebut, dapat
menjadi pertimbangan dan pedoman dalam menyikapi dan memilih mushaf
yang berstandar Usmani khususnya.
119
DAFTAR PUSTAKA
Al-A’zami, Sejarah Teks aL-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, .Jakarta: GemaInsani, 2014.
Al-Suyuti, Jalaluddin. 2010. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr.
Anharudin, dan Lukman Saksono. Pengantar Psikologi aL-Qur’an. Jakarta: PTGrafikatama Jaya, 1992.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. cet. 8,Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Faizah, Nur. Sejarah aL-Qur’an. Jakarta Barat: CV Artha Rivera. 2008.
Gusmian, Islah. Kaligrafi Islam: dari nalar seni hingga spiritual. al-Jāmi’ah, Vol. 41,no. 1. 2003.
Hakim, Abdul. “ Perbandingan Rasm Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Pakistan,dan Mushaf Madinah: Analisis Rasm Kata Berkaidah Hazf al-Huruf”. SuhufJurnal Pengkajian Al-Qur’an dan Budaya. vol. 10 no.2 Desember 2017. LajnahPentashihan Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat, Kementrian AgamaRepubik Indonesia
Madzkur, Zaenal Arifin. 2011. “Urgensi Rasm Usmani; Potret Sejarah dan HukumPenulisan al-Qur‟an dengan Rasm Usmani”. dalam Jurnal Khatulistiwa;Journal of Islamic Studies. Vol. 1, No. 1 Maret 2011.
Madzkur, Zainal Arifin, “Mengenal Rasm Usmani; Sejarah, Kaidah, dan HukumPenulisan aL-Qur’an dengan Rasm Usmani”, Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Jakarta, Shuhuf Vol. 5, No. 1, 2012.
Madzkur, Zainal Arifin. “Mengenal Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indonesia;studi Komparatif atas Mushaf Standar Usmani 1983 dan 2002,” Jurnal Suhuf,vol. 4, no. 1. 2011.
Madzkur, Zainal Arifin. 2018. “Mengenal Mushaf Maghribi”, Lajnah PentashihanMushaf AL-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kemenag, 9 oktober 2018.
Makmur Haji Harun, dkk, “Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur’an Nusantara: SatuKajian Perbandingan Antara Mushaf Istiqlal Indonesia dengan Mushaf Tab’anAin al- Taqwa Malaysia”, Conference Paper (Malaysia: Fakulti Bahasa danKomunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI), 2016.
Muchammad Hidayatulloh, “Rasm Usmani dalam Mushaf Pojok Menara KudusKajian Farsyul Kalimat Pada Kaidah Hazf Alif”. Skripsi. Yogyakarta: JurusanIlmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga, 2003.
Mushaf Maroko Asy-Syarif. Librairie Es-Salam Al-Jadida (ةديدجلا مالسلا ةبتكم).31/34Place My Youssef-Habouss-Casablanca-Maroc (فسوي-سابحألا-ردلا يالوم ةحاس.(البيضاء-المغريب
120
Mustopa, “Mushaf Kuno Lombok: Telaah Aspek Penulisan dan Teks”Suhuf JurnalPengkajian Al-Qur’an dan Budaya vol.10 No. 1 Juni 2017, Lajnah PentashihanMushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RepubikIndonesia.
Mutiara, Miga. “Kajian Ilmu Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan MushafMadinah”. Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah,2019.
Nashih, Ahmad. “Studi Mushaf Pojok Menara Kudus: Sejarah dan Karakteristik”Jurnal NUN: Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara Vol. 3. No. 1. 2017.
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa DepartemenPendidikan Nasional, 2008,
Puslitbang Lektur Agama, “Hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Al-Qur‟an IX”,Jakarta: Departemen Agama, 1982-1983.
Sya’roni, Mazmur. 2007. “Prinsip-Prinsip Penulisan dalam al-Qur’an StandarIndonesia”. dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 5 No. 1, 2007.
Syaamil Quran Tikrar Hafalan. PT Stgma Examedia Arkanleema. 2014.
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an Kata Pengantar: Prof.Dr. M.Quraish shihab, (Ciputat Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet, 2013).
Thoharoh, Atifah. Mushaf al-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Mushaf Madinah(Kajian atas Ilmu Rasm”. Skripsi S1 Fakultas Adab dan Dakwah,InstitutAgama Islam Negeri Tulungagung, 2018.
Yunardi, E. Badri. 2005. “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia”, dalam JurnalLektur, Vol. 3, No. 2, 2005.
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Maroko
https://kemenag.go.id/berita/read/509028/viral-video-mushaf-quran-dianggap-salah-
ini-penjelasan-lpmq-kemenag
https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/386-dua-perbedaan-penulisan-rasm-dalam-al-quran-cetak
https://www.academia.edu/9316951/Review_Studi_Ilmu_Al-Quran oleh LolaNurhidayaty