Murditia Pancolie Gagah Skripsi Heeeeee Aaaaa

download Murditia Pancolie Gagah Skripsi Heeeeee Aaaaa

of 159

Transcript of Murditia Pancolie Gagah Skripsi Heeeeee Aaaaa

SEJARAH SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT DESA JEROWARU: SEBUAH KAJIAN SEJARAH SOSIAL

SKRIPSIDitulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan

LALU MURDI NPM 06351758

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) HAMZANWADI SELONG 2010

i

SEJARAH SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT DESA JEROWARU: SEBUAH KAJIAN SEJARAH SOSIAL

SKRIPSIDitulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan

LALU MURDI NPM 06351758

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) HAMZANWADI SELONG 2010

ii

ABSTRAKLalu Murdi. Sejarah Sistem Kekerabatan Masyarakat Dese Jerowaru: Sebuah Kajian Sejarah Sosial. Skripsi : Program Studi Pendidikan Sejarah Stkip Hamzanwadi Selong, 2010. Setiap bangsa, setiap suku, setiap kelompok sosial maupun jenjang sosial tertentu dalam masyarakat memiliki identitas tersendiri yang membedakannya dengan bangsa lain, suku lain maupun tingkat sosial yang berbeda. Untuk mengetahui identitas tersebut tidak lain adalah memahami identitas social serta sejarah dari bangsa, suku, maupun golongan sosial tersebut. Karena lewat sejarahnya kita akan mengetahui identitas tersebut melalui apa yang pernah manusia lakukan, pikirkan, dan rasakan. Oleh karena itu James Harvey Robinson (Helius Sjamsuddin : 2007) mengatakan bahwa history in the broades sense of the word, is all that we know about everything that ma ever done, or thought, or felt . Adapun sejarah yang dikaji dalam penelitian ini adalah sejarah sistem kekerabatan antara dua golongan sosial yang berbeda dalam lintas sejarah dan kekinian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dan mengidentifikasi bagaimana sejarah sistem kekerabatan masyarakat desa Jerowaru. Subjek dalam penelitian ini adalah tokoh pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh adat, serta oarang-orang yang dianggap mengetahui tentang informasi yang dibutuhkan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang sejarah desa Jerowaru, sejarah bangsawan Jerowaru, adat-istiadat, serta proses pergeseran adatistiadat tersebut. Dalam penelitian ini alat yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah observasi, wawancara, serta dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di desa Jerowaru terdapat dua golongan yang berbeda idetitas sosial yang dikenal dengan golongan perwangse dan golongan jajarkarang. Adapun golongan perwangse ini, ada yang merupakan bangsawanasli dan bangsawan pendatang. Dari kedua golongan sosial yang berbeda ini memiliki ideitas yang berbeda pula baik dalam bahasa, adat-istiadat, sistem perkawinan, status sosial dan lain-lain. Golongan perwangse memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada jajarkarang, dan sudah barang tentu identitasnya juga berbeda. Namun seiring berjalannya watu karena beberapa faktor seperti pendidikan, ekonomi, maupun sosial kemasyarakatan status bangsawan yang tinggi tersebut mengalami pergesera dan terjadilah semacam erosi budaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa golongan bangsawan di desa Jerowaru pernah menjadi golongan sosial yang paling berpengaruh, namun karena beberapa faktor statusnya menurun. Atau singkatnya telah terjadi pergeseran budaya dan sistem kekerabatan pada masyarakat desa Jerowaru dari tahun 1970-an sampai sekarang. Kata Kunci : Sejarah, Sistem Kekerabatan, Sjarah Sosial

iii

HALAMAN PERSETUJUAN

SEJARAH MASYARAKAT DESA JEROWARU: SEBUAH KAJIAN SEJARAH SOSIAL

SKRIPSIDitulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Sejarah Oleh : Nama NPM Tgl. Lahir Alamat Angkatan : Lalu Murdi : 06351758 : 09 Juni 1987 : Batu Tambun : 2006/2007

Menyetujui Pembimbing I Pembimbing II

JUJUK FERDIANTO, M.Pd NIS. 330 29 11 079

Dra. SRI SETYAWATI M NIS. 330 29 11 016

Mengetahui Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah

MUHTASAR, M.Pd NIS. 330 29 11 087

viv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Tabel 4. 2 Tabel 4. 3 Tabel 4. 4 Tabel 4. 5 Indikator Perekonomian Masyarakat Desa Jerowaru Tahun 2009/2010 .........................................................................................................44 Indikator Pendidikan Masyarakat Desa Jerowaru Tahun 2009/2010 .........................................................................................................46 Nama-Nama Masyaraka Bangsawan Kadus Jerowaru Bat............ Nama-Nama Masyarakat Bangsawan Gubuk Nenek..................... Nama-Nama Masyarakat Bangsawan............................................. 57 60

v

DAFTAR LAMPIRAN 1. Daftar Informan 2. Draf Wawancara 3. Daftar Istilah 4. Photo-Photo Penelitian 5. Sketsa Peta Desa Jerowaru 6. Surat Pengantar Izin Penelitian Dari Ketua Stkip 7. Surat Rekomendasi Izin Penelitian Dari Bapeda 8. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Dari Kepala Desa Jerowaru 9. Surat Penunjukan Dosen Pembimbing Sekripsi 10. Blanko Kegiatan Konsultasi 11. Surat Pernyataan Keaslian Skripsi

vi

KATA PENGANTAR Puji dan Syukur tak lupa penulis panjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rakhmat, petunjuk dan pertolongan-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini mengungkap Sejarah Masyarakat Desa Jerowaru dalam Kajian Sejarah Sosial. Skripsi ini tersusun berkat bimbingan dan saran berbagai pihak, untuk itu penulis tak lupa penyampaian penghargaan dan terimakasih kepada :s 1.Bapak Drs. H. Muh. Suruji selaku ketua STKIP HAMZANWADI Selong 2. Bapak Pembantu Ketua 1 Drs. Edy Waluyo, Ibu Pembantu Ketua II Ir. Hj. Siti Rohmi Djalilah, dan Bapak Pembantu ketua III Muhsipuddin M.pd serta semua civitas akademika STKIP HAMZANWADI Selong yang telah memberikan kemudahan-kemudahan HAMZANWADI Selaong. 3. Bapak Muhtasar, M.pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah dan Bapak Sahrul Amar, M.pd selaku Sekertaris Program Studi Pendidikan Sejarah dan staf dosen Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah banyak memberikan selama penulis mengikuti studi di STKIP

vii

bimbingan, bantuan dan petunjuk selama penulis mengikuti studi pada Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP HAMZANWADI Selong. 4. Bapak Jujuk Ferdianto, M.pd. dan Ibu Dra. Sri Setyawati M. sebagai dosen pembimbing (I dan II) yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Rekan-rekan seprofesi yang telah banyak membantu baik tenaga dan pikiran dalam penulisan skripsi ini. 6. Ibunda, Ayahanda, Kakanda, dan adikku tercinta yang senantiasa dengan tabah dan sabar memberikan dorongan dan motivasi selama mengikuti studi hingga penyusunan skripsi ini berakhir. 7.Semua pihak yang telah membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga bantuan, bimbingan dan dorongan yang diberikan semua pihak senantiasa mendapatkan ganjaran yang setimpal dari Allah SWT. Sesungguhnya, dilihat dari isi, kajian maupun tata penulisannya skripsi ini tergolong belum sempurna, karena itu merupakan kehormatan bagi penulis jika ada saran dan kritik yang sifatnya membangun. Saran dan kritik itu akan senantiasa penulis catat sebagai penambah wawasan dan hasanah pemikiran. Akhirnya dengan mohon ridha Allah SWT penulis berharap smoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak, hususnya bagi siapa saja yang berminat dengan sejarah.

viii

Pancor, 7 Nopember 2010

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ ABSTRAK............................................................................................................ HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................. HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................. HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. DAFTAR TABEL................................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ KATA PENGANTAR.......................................................................................... DAFTAR ISI........................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................ B. Identifikasi Masalah ........................................................................ C. Focus Masalah.................................................................................. D. Rumusan Masalah............................................................................ E. Tujuan Penelitian..............................................................................

i ii iii iv v vi vii viii x

1 7 8 9 9

ix

F. Mamfaat Penelitian........................................................................... BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori................................................................................. 1. Sistem Kekerabatan..................................................................... 2. Sejarah.......................................................................................... 3. Adat-Istiadat Masyarakat............................................................. B. Kerangka Berfikir.............................................................................

10

11 11 16 23 30

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian...................................................................... B. Jenis Dan Metode Penelitian ........................................................... a. Heuristic...................................................................................... 1. Observasi.............................................................................. 2. Wawancara........................................................................... 3. Dokumentasi......................................................................... b. Kritik........................................................................................... c. Interpretasi................................................................................... d. Histriografi................................................................................... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.............................................. B. Sejarah Singkat Penduduk Awal Desa Jerowaru........................... C. Strtifikasi Sosial Masyarakat Jerowaru.......................................... D. System Kekerabatan Masyarakat Desa Jerowaru........................... E. Perubahan System Kekerabatan Desa Jerowaru............................ BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................... B. Saran................................................................................................ 88 91 43 47 55 71 82 31 31 32 32 33 35 37 40 41

x

DAFRAR PUSTAKA LAMPIRAN -LAMPIRAN

xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat merupakan bagian yang sangat kompleks untuk dibicarakan. Karena seperti yang kita ketahui bahwa suatu masyarakat mempunyai bentuk-bentuk struktur sosial seperti kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan lain sebagainya. Akan tetapi semua itu mempinyai derajat yang berbeda-beda dalam beberapa aspek sosial di atas yang menyebabkan pola prilaku, adat-istiadat maupun budaya masyarakat yang berbeda-beda tergantung dari tempat serta situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat sebagai bagian dari anak lingkungan bahkan anak zamannya. Salah satu dari struktur sosial dalam masyarakat adalah stratifikasi sosial, dimana keberadannya menjadi bagian yang tidak kalah penting dalam sejarah hidup manusia yaitu adanya golongan atas (upper class), golongan menengah (middle class) dan kelas menengah (lower class) yang secara umum mewarnai kehidupan masyarakat mulai dari zaman prasejarah, zaman HinduBudha sampai saat ini adalah adanya strata sosial dalam kehidupan masyarakat, yang sekaligus merupakan bagian yang kompleks dari perbedaan kelompok di tengah-tengah masyarakat, baik itu stratifikasi sosial yang horizontal maupun pelapisan sosial yang vertikal telah mewarnai kehidupan manusia baik dengan kita sendiri maupun tidak. Terdapat dua macam sistem pelapisan sosial yang kita kenal, yaitu sistem pelapisan sosial yang bersifat tertutup ( closed social stratification) dan

1

sistem pelapisan sosial yang bersifat terbuka (open social stratification) ( Soerjono Soekanto:1990), dimana yang disebut pertama sudah mengakar dalam sejarah kehidupan manusia dan yang terakhir secara umum baru berkembang sejak zaman modern. Stratifikasi sosial yang ada di Indonesia pada umumnya jika dilihat dari sistem pelapisan social tertutup ( closed social stratification) dalam konteks sejarah maka secara jelas dapat dikatakan bahwa kedatangan agama Hindu dari India, berdirinya kerajaan-kerajaan besar di Indonesia yang bercorak Hindu telah membawa dan memperkenalkan stratifikasi social yang jelas seperti adanya beberapa golongan atau golongan status social dalam masyarakat seperti golongan Brahmana, golongan Ksatria, golongan Waisya, dan yan terakhir adalah golongan Sudra. Dimana dari keempat macam golongan dalam strata social masyarakat di India tersebut terdapat juga di Indonesia meskipun tidak seketat di India dalam implementasi perbedaan golongan strata sosialnya. Jadi bisa dikatakan walaupun dalam hal stratifikasi sosial ini juga berpengaruh pada kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia tidak pernah menyentuh kehidupan masyarakat secara kseluruhan melainkan hanya berpengaruh di kalangan Istana saja. Sedangkan di dalam kehidupan masyarakat luas pada umumnya stratifikasi sosial ini tidak begitu berpengaruh. Adapun yang sampai saat ini stratifikasi soaial yang dibawa dari India ini berdasarkan gelarnya dapat kita lihat pada masyarakat Bali, dimana walaupun berbeda nama gelarnya namun memiliki makna dan maksud yang sama. Adapun keempat gelar strata

2

social yang di maksud yaitu golongan Brahmana, golongan Ksatria, golongan Waisya (triwangsa) dan golongan Sudra (Jaba) (Soerjono Soekanto, 1990:258). Walaupun gelar tersebut tidak memisahkan setiap strata social secara ketat tetapi sangat berarti dalam melihatnya secara berbeda dalam adat-istiadat yang dikembangkam sesuai dengan tingkatan sosialnya. Di samping itu hukum adat-istiadatnya juga menetapkan hak-hak bagi pemakai gelar tersebut, misalnya dalam memakai gelar, perhiasan-perhiasan, pakaian-pakaian adat sesuai dengan golongan sosialnya. Perkembangan sistem kasta di Bali umumnya terlihat jelas dalam sistem perkawinan. Seorang gadis suatu kasta tertentu umumnya dilarang bersuamikan dari kasta yang lebih rendah (Soerjono Soekanto, 1990: 258). Lain halnya dengan sistem pelapisan sosial (stratifikasi social ) yang terbuka ( open social stratification ), dimana di dalamnya pengembangan tingkat statusnya bukan atas dasar apa yang diwariskan secara turun temurun, namun prestasi seseorang, kemampuan seseorang serta kepemilikan seseorang dan lain sebagainya merupakan tolak ukur dalam tinggi rendahnya tingkat status seseorang yang pada suatu saat bisa berubah sesuai sesuai dengan kemampuan seseorang mempertahankan apa yang dimilikinya. Namun setiadaknya masyarakat yang pernah mengembangkan sistem ini karena tidak ada ukuran yang membedakan secara ketat dalam setiap golongan maka bisa dikatakan mulai sejak kedatangan Islam, masuknya imprealisme barat sampai saat ini, baik pada masyarakata umum maupun pada masyarakat bangsawan pada khususnya.

3

Adanya stratifikasi sossial ini terdapat dihampir semua lapisan masyarakat yang secara tidak sadar hal tersebut, namun keberadaannya tidak terkapling seperti pada masyarakat yang berlapiskan kasta seperti India yang begitu ketat, walaupun di Indonesia juga terdapat pelapian sosial tersebut namun keberadaannya masih ada toleransi dengan tingkatan di bawahnya. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya pernah berdiri beberapa kerajaan sebagai tolak ukur dalam status sosial, seperti kerajaan Selaparang, kerajaan Pejanggik, kerajaan Langko, kerajaan Pujut, kerajaan Pene dan lain sebagainya masih menyisakan adanya bukti sejarah tentang adanya pelapisan sosial yang ditambah lagi dengan adanya pengaruh kerajaan Karang Asem Bali. Gelar Lalu, Raden (laki-laki) ataupun Baiq, Dende, dan Lale (perempuan) adalah gelar-gelar bangsawan di NTB sekaligus dan Bape pada golongan bangsawan yang lebih rendah. Gelar-gelar yang disebut di atas ini merupakan serumpun status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan yang lain, dan khususnya di pulau Lombok ini menunjukkan adanya sertifikasi sosial dalam masyarakat, meskipun secara vertikal untuk saat ini tidak lagi menjadi pembeda dalam masyarakat, namun dalam kelompoknya menjadi kelas atau status sosial yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Adanya Perwangse dan Jajar Karang merupakan salah satu bukti bahwa di Lombok juga setelah kerajaan-kerajaan yang disebut di atas sudah tidak ada lagi golongan bangsawan ini masih eksis melaksanakan adat-istiadat sesuai dengan golongannya membedakannya dengan golongan di bawahnya.

4

Salah satunya adalah di desa Jerowaru, yang dulunya sebelum tahun 70-an masih memperlihatkan adanya stratifikasi sosial tertutup dalam masyarakatnya. Terkait dengan kedatangan bangsawan di desa Jerowaru dan asal

usulnya, seperti banyak informasi mengatakan ada yang menyebutnya sebagai bangsawan pendatang dan bangsawan asli. Adapun oleh masyarakat sering disebut bangsawan pendatang adalah bangsawan yang berasal dari beberapa tempat seperti Kopang, Kediri, Pagutan dan lain sebagainya. Sedangkan yang dikatakan sebagai bangsawan asli Jerowaru adalah bangsawan yang saat ini tinggal di gubuk Tembok, merupakan keturunan bangsawan kerajaan Pene yang satu wilayah dengan desa Jerowaru. Perpindahan bangsawan terutama yang berasal dari kawasan Mataram ini memang secara menyakinkan belum dapat kita pastikan, apakah perpindahannya ke Jerowaru setelah dikuasainya kerajaan-kerajaan Lombok pada umumnya atau sesudahnya. Namun jika setelah penguasaan kerajaan Lombok dikuasai baru mereka pindah maka bisa dikatakan sudah dimulai sejak tahun 1744 (166 saka) setelah puri Karang Asem Mataram berdiri sebagai pusat pemerintahan dengan Gusti Angluran Karang Asem sebagai rajanya (Muhsipuddin, 2004: 10). Perpindahannya ke desa Jerowaru tujuan utama sebenarnya belum dapat diketahui secara pasti apakah karena keinginan mencari tanah dan tempat tinggal yang baru atau terdesak atau seperti yang dikatakan Lalu Lukman meskipun seluruh kerajaan di Lombok berada dalam kekuasaan kerajaan Karang Asem Bali namun dalam system pemerintahannya termasuk cara

5

menjalankan pemerintahan sampai tingkat yang paling bawah diserahkan kepada orang-orang kepercayaan dan petugas Sasak yang pada umumnya merupakan bangsawan ataupun keturunan dari bangsawan-bangsawan yang dulunya menjadi penguasa atau pejabat pemerintah ( L. Lukman, 2005:28-29). Oleh karena itu karena tidak adanya bukti yang dapat dirujuk secara pasti maka dapat disimpulkan tujuan kedatangannya ke desa Jerowaru. Kehidupan para bangsawan di desa Jerowaru untuk saat ini atau setidaknya sejak tahun 70-an cukup berbeda dengan sebagian bangsawan yang masih kental memegang adat-istiadat lamanya. Namun yang jelas bisa dikatakan bahwa adat-istiadat bangsawan di desa Jerowaru yang dulunya merupakan kelas tersendiri dalam stratifikasi sosial masyarakat disana yang saat ini mulai hilang dengan sendirinya seiring dengan perkembangan zaman. Umumnya sejak awal kedatangannya sampai kira-kira generasi ketiga dihitung mundur dari sekarang para bangsawan memiliki tanah yang cukup luas sehingga hal ini menunjukkan juga status sosialnya yang cukup tinggi sekaligus ditunjang oleh statusnya sebagai bangsawan yang saat ini sangat dihormati. Namun bagaimanapun dengan proses waktu yang terus berjalan sampai saat ini status kebangsawanan di desa jerowaru yang ditunjukkan dengan adat-istiadat, bahasa, sistem perkawinan maupun kepemilikannya atas tanah sampai saat ini sudah tidak begitu menonjol atau bisa dikatakan sudah terjadi proses pergeseran. Oleh karena adanya proses pergeseran tersebut maka sangat

perlu untuk dikaji seperti adat-istiadat, bahasa, sistem perkawinan,dan lain-lain yang diterapkan pada awal kedatangannya. Proses interaksi dengan masyarakat

6

maupun saat ini dalam kedudukannya sebagai golongan bangsawan yang dahulunya merupakan stratifikasi tersendiri dalam kehidupa masyarakat. Pergeseran ini perlu dikaji bukan untuk membahas masalah pergesera itu saja namun yang penting disini juga karena adanya penghilangan yang cukup drastis dari beberapa aspek dari budaya yang dikembangkan oleh bangsawan, padahal seperti yang dikatakan Widjaya bahwa suatu bentuk proses perubahan sosial dari kebudayaan yang terwujud dalam masyarakat yang berkebudayaan primitive maupun maju, yaitu adanya proses imitasi yang

dilakukan oleh generasi muda terhadap generasi yang lebih tua, hal tersebut dilakukan dengan belajar mencari apa yag dilihat ( Widjaya, 1985: 106). Namun melhat realitas dan pergeseran dari bebrapa aspek pada golongan bangsawan tersebut maka dapat dikatakan proses imitasi tersebut tidak berjalan secara sempurna.

B. Identifikasi Masalah 1. Dari manakah asal usul bangsawan di desa Jerowaru? 2. Apakah tujuan kedatangan para bangsawan ke desa Jerowaru?

3. Bagaimanakah aplikasi adat-istiadat, bahasa, maupun system perkawinan pada golongan bangsawan di desa Jerowaru? 4. Bagaimanakah system kekerabatan dan pewarisan dari adat-istiadat

bangsawan di desa Jerowaru? 5. Seperti apakah bentuk stratifikasi sosial pada masyarakat di desa

Jerowaru?

7

6. Apakah yang menjadi perbedaan antara masyarakat biasa dengan bangsawan dalam stratifikasi sosial? 7. Faktor apa saja yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam beberapa aspek kehidupan sosial bangsawan?

C. Batasan Masalah Mengingat masalah yang teridentifikasi relatif banyak dan karena keterbatasan peneliti, maka penelitian ini dibatasi sebagai berikut: 1. Batasan Masalah Alasan peneliti mengambil judul Sejarah Sistem Kekerabatan Masyarakat Desa Jerowaru: Sebuah Kajian Sejarah Sosial ini adalah untuk mengamati dan mengetahui lebih jauh tentang stratifikasi sosial di desa Jerowaru baik dalam lintas sejarah maupun kekinian, sekaligus mengamati proses pergeseran status bangsawan di desa Jerowaru. 2. Batasan Spasial Penulis sengaja mengambil lokasi di desa Jerowaru karena secara faktual di sana masih banyak terdapat golongan bangsawan sekaligus secara emosional dan kedekatan secara geografis mudah dijangkau oleh peneliti. 3. Batasan Temporal Penulis membatasi temporal pada penelitian ini berkisar pada tahun 1970 sampai tahun 2010, karena penulis ingin mengkaji bagaimana perubahan dalam stratifikasi sosial sebelum tahun 70-an dan sesudahnya di desa Jerowaru.

8

D. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan fokus masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:1. Bagaimanakah penerapan sistem adat-istiadat bangsawan pada

golongan bangsawan di desa Jerowaru terkait dengan sistem kekerabatannya? 2. Bagaimanakah perubahan pola kekerabatan pada golongan

bangsawan di desa Jerowaru?

E. Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menggambarkan system kekerabatan pada masyarakat di desa Jerowaru.2. Untuk

mengetahui

dan

menggambarkan

bagaimana

proses

terjadinya pergeseran sistem kekerabatan di desa Jerowaru kecamatan Jerowaru.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat positif terhadap pengembangan wawasan kita, walaupun hasil tulisan ini bukan sebagai text book to thinking namun hanya sebagai guide of line dalam

9

stratifikasi sosial pada masing-masing kelompok kekerabatan di desa Jerowaru. Sekaligus dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi dan dorongan bagi peneliti lain untuk dimanfaatkan sebagai bahan acuan ataupun perbandingan dalam melakukan penelitian yang lebih mendalam dan lebih lengkap. 2. Manfaat Praktis a. Bagi masyarakat umum hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan wawasan tentang dinamika stratifikasi sosial dalam kelompok kekerabatan di desa Jerowaru serta pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari. b. Bagi golongan bangsawan pada khususnya hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan wawasan dalam kiprahnya selaku anggota masyarakat. c. Bagi institusi dan pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan sekaligus refrensi untuk mencermati beberapa pola stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori 1. Sistem Kekerabatan

10

Sistem atau yang biasa disebut metode merupakan cara yang teratur untuk melakukan sesuatu. Sedangkan kerabat adalah keluarga,sanak famili, teman sejawat (teman kerja) (Sutan Rajasa,2002: 298). Jadi dengan begitu dapat dikatakan bahwa sistem kekerabatan merupakan cara untuk mengatur atau cara dalam mengatur hubungan sesama keluarga, sanak famili, teman sejawat

maupun teman kerja berdasarkan adanya aturan yang dibuat bersama secara turun temurun maupun berkala. Untuk mengenal lebih jauh mengenai sistem kekerabatan tersebut sebelumnya kita harus terlebih dahulu memahami lahirnya sistem kekerabatan

tersebut yakni rumah tangga dan keluarga inti. Koentjaraningrat (2005) misalnya menjelaskan bahwa rumah tangga yang merupakan adalah pemegang atau inti dari sistem kekerabatan. keluarga inti

Lebih lanjut seperti

yang dikatakan Koentjaraningrat bahwa pasangan suami istri membentuk suatu kesatuan sosial yang mengurus ekonomi rumah tangganya. Rumah tangga biasanya terdiri dari satu keluarga inti, tapi mungkin juga terdiri dari dua sampai tiga keluarga inti (Koentjaraningrat, 2005: 103). Sedangkan yang

termasuk keluarga inti adalah suami, istri dan anak-anak mereka yang belum menikah, anak tiri dan anak yang secara resmi diangkat sebagai anak,

memiliki hak yang kurang lebih sama dengan hak anak kandung, dan karena itu dapat dianggap pula sebagai anggota dari suatu keluarga inti (Koentjaraningrat, 2003: 106). Jadi secara sederhana dapat dikatakan semakin meluasnya kekerabatan maka akan semakin kompleks pula sistem kekerabatannya, dalam artian kadang-kadang budaya yang dikembangkan oleh suatu kerabat yang serumpun kadang-kadang berbeda dengan kelompoknya yang satu kerabat, bisa

11

karena perpindahan tempat tinggal maupun adanya pengaruh lingkungan, sosial, ekonomi maupun pendidikan. Namun bagaimanapun sistem kekerabatan yang disusun dalam suatu masyarakat dapa kita lihat dari status maupun tingkatan strata sosialnya dalam kehidupan masyarakat. Adanya keluarga ini seperti yang djelaskan di atas walaupun di masingmasing kelompok masyarakat berbeda-beda, namun merupakan satu kesatuan yang dalam antropologi dan sosiologi seperti yang dikatakan Murdock dan dikutip oleh Koentjaranignrat (2005) disebutnya sebagai kingroup. Ada pun satu kelompok (kingroup) adalah kesatuan yang diikat oleh sekurang-kurangnya 6 unsur, yaitu: 1. System norma-norma yang mengatur tingkah laku warga kelompok. 2. Rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya. 3. Interaksi yang intensif antar warga kelompok 4. Sistem hak dan kewajiban mengatur interaksi antar warga kelompok 5. Pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan kelompok 6. System hak dan kewajiban terhadap harta produktif atau harta pusaka tertentu. Dengan demikian hubungan kekerabatan merupakan unsur pengikat 2005:109). Dari keenam elemen yang ada dalam satu kesatuan kelompok kekerabatan diatas tidaklah selalu sama ditempat dan status sosial yang lain. bagi suatu kelompok kekerabatan (Koentjarningrat,

12

Misalnya pada masyrakat bangsawan di Lombok pada umumnya atau bangsawan di Jerowaru khususnya, dari keenam unsur pengikat diatas begitu mewarnai kehidupan masyarakat baik secara vertikal maupun hierarkis. Selain adanya perbedaan bentuk tergantung kelompok sosial adanya unsur-unsur yang melebur dalam kehidupan masyarakat secara umum walaupun bukan tergolong satu rumun kekerabatan yang sesuai dengan strata sosialnya, namun adanya unsur yang melebur ini di akibatkan oleh adanya interaksi sosial yang cukup intensif antara golongan starata sosial yang berbeda, jelasnya antara golongan bangsawan Mamiq dan Amaq misalnya di Jerowaru. Ketidaksamaan setiap kelompok dalam praktik pada setiap kelompok kekerabatan dalam masyarakat terkait dengan adanya enam unsur diatas, maka Murdock (Koentjaraningrat, 2005) membedakan lagi tiga kategori kelompok kekerabatan berdasarkan fungsi-fungsi sosialnya, yaitu kelompok kekerabatan berkoprasi (corporate kingroups),kelompok kekerabatan kadangkala (occasinal kingroups) dan yang ketiga adalah kelompok kekerabatan menurut adat (circum scriptive kingroups) yang kadang kala tidak memiliki salah satu atau dua dari keenam elemen pengikat kekerabatan diatas. Kelompok-kelompok ini bentuknya sudah demikian besar, sehingga warganya sering kali tidak saling mengenal. Mereka umumnya hanya mengetahui tentang kekerabatan seseorang (sebagai warga kelompok) berdasarkan tanda-tanda yang ditentukan oleh adat. Rasa kepribadian kelompok sering kali juga ditentukan oleh tanda-tanda adat tersebut (Koentjaraningrat, 2005:110).

13

Dari ketiga kategori yang disebutkan oleh Murdock di atas, kategori ketiga dapat dimasukkan dalam melihat ataupun mengkaji jenis kategori kelompok kekerabatan dalam masyarakat golongan bangawan di desa Jerowaru. Di mana walaupun kadang-kadang sesama warga dalam satu kelompok kekerabatan seringkali tidak saling mengenal. Namun bagaimanpun setidaknya ada adat-istiadat yang sama yang mengkategorikannya menjadi satu kelompok kekerabatan masyarakat dalam status sosial yang berbeda sebagai golongan bangsawan. a. Prinsip-prinsip keturunan yang mengikat kelompok sosial Seseorang disebut berkerabat dengan seseorang apabila orang tersebut mempunyai ikatan darah atau (gen) dengan orang lain sebagai individu tadi, baik melalui ibunya maupun melalui ayahnya. Walaupun orang-orang yang masih mempunyai hubungan darah tertentu sangat besar jumlahnya, mereka masing-masing tentu hanya mengenal beberapa saja diantara kerabat terdekatnya, dan mengetahui seluk-beluk ikatan kekerabatannya dengan mereka, karena dari seluruh kerabat yang dimiliki seseorang (yaitu kerabat biologisnya). Hanya sebagian kecilnya saja yang merupakan kerabat sosiologisnya. Bagi seorang individu, kerabat sosiologisnya itu dapat dibedakan berdasarkan: 1. 2. Adanya hubungan kekerabatan; Kesadaran akan hubungan kekerabatannya: 3. Pergaulan berdasarkan hubungan kekerabatan (Koentjaraningrat, 2005:123)

14

Hubungan kekerabatan yang ditentukan oleh prinsip-prinsip keturunan yang bersifat selektif mengikat sejumlah kerabat yang bersama-sama memiliki hak dan kewajiban tertentu, misalnya hak waris atas harta peninggalan, gelar, pusaka, lambing-lambing dan lainnya. Selain itu ada juga hak atas suatu kedudukan, kewajiban untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama, serta

kewajiban unutk melakukan kegiatan-kegiatan produktif secara bersamasama (Koentjaraningrat, 2005:123) Adapun hubungan kekerabatan yang mengikat sejumlah kerabat secara bersama-sama di desa Jerowaru, khususnya pada golongan bangsawan dapat dilihat misalnya dalam hak waris atas harta, gelar, serta adat-istiadat terutama dalam hal perkawinan menjadi sebuah pengikat yang secara jelas dapat di bedakan dengan system kekerabatan dalam starata sosial yang lain.

b.

Sopan-santun Dalam Pergaulan Kekerabatan Adat sopan santun memang sangat berpengaruh pada sikap orang terhadap individu, khususnya setiap kerabat yang dihadapinya. Bagaimana adat-istiadat sopan santun pergaulan di jalankan dapat dipahami dengan mengamati pola pergaulan setiap individu maupun golongan sosial kerabatnya. Ego, sebagai pusat kelompok kerabat, diamati sikapnya terhadap anak-anaknya, terhadap istri (atau istri-

15

istrinya), terhadap ayahnya, terhadap ibunya dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 2005:137-38). Dari pengalaman pribadi kita mengetuhui bahwa sikap dan tingkah laku kita berbeda terhadap setiap kelas terhadap kerabat kita tersebut. Dalam hampir semua masyarakat suku bangsa di dunia sopan santun menentukan bagaimana orang harus bertingkah laku dan sikap terhadap setiap kelas kerabatnya (Koentjaraningrat, 2005:138). Apa yang dikatakan Koentjaraningrat di atas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Jerowaru khususnya golongan bangsawan serta masyarakat pada umumnya juga memilki adapt sopan santun tersendiri baik dalam golongannya (kelas) maupun kerabatnya misalnya dalam hal berbicara, bergaul, maupun dalam bertingkah laku dalam kegiatan dan hubungan sosial sehari-hari. 2. Sejarah a. Pengertian Sejarah Istilah sejarah berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata Syajaratun yang memiliki arti pohon kayu. Pengertian pohon kayu disini

menunjukan adanya suatu kejadian, perkembangan atau pertumbuhan tentang suatu hal atau peristiwa dalam suatu kesinambungan (kontinuitas) (Dadang Supardan, 2007: 341). Dalam bahasa lain, peristilahan sejarah disebut juga histore (Perancis), geschite (Jerman), histoire atau geschiedenis (Belanda), serta history (inggris) (Dudung Abdurrahman, 1999: 2). Semuanya sama-sama mengandung pengertian yang sama, yaitu masa

16

lampau umat manusia. Sehingga menurut pengertian yang paling umum, kata sejarah atau history berarti masa lampau umat manusia. Menurut Abromowitz (Supardan, 2007: 342) bahwahistory is a chronology of ivents. Selanjutnya Costa (Supardan, 2007: 342) mendifinisikan sejarah sebagai record of the whole human experience. Jadi menurut Costa bahwa sejarah pada hakikatnnya merupakan catatan seluruh pengalaman baik secara individu maupun secara kolektif bangsa/ nation dimasa lalu tentang kehidupan umat manusia. Selain itu dalam kamus umum bahasa Indonesia oleh W. J. S Poerwadarminta (Tamburaka, 2002: 32) disebutkan bahwa sejarah mengandung tiga pengertian, yaitu: (1). Kesustraan lama; silsilah; asal-usul. (2). Kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. (3). Ilmu pengetahuan, cerita pelajaran tentang kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Dari beberapa keterangan diatas, jelas pendapat mengenai

perhatian terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu berada dibawah ruang lingkup penulisan sejarah, yang muncul lambat laun selama berabadabad. Namun untuk lebih jelasnya perlu dikutif beberapa definisi sejarah menurut beberapa ahli diantaranya: 1. Prof. Bernheim (Rustam E. Tamburaka: 2002) mendifinisikan sejarah sebagai diegerchite ist de wisenchaft von die entwietlung der menrechen bettetiegung als soziele warssen. Artinya sejarah

17

adalah pengetahuan yang mempelajari

tentang perbuatan

manusia dalam perkembangannya sebagai mahluk sosial. 2. James Hervey Robinson (Helius Sjamsuddin: 2007) mengatakan bahwa sejarah, dalam arti yang luas adalah semua yang kita ketaahui tentang setiap hal yang pernah manusia lakukan , atau pikirkan, atau rasakan. (history in the brodes sense of the world, is all that we know everything than man ever done, or thought or felt) 3. R. G.kolingwood (rustam E. tamburaka: 2007) damal bukunya yang berjudul the of history, sebagai orang dialis dia menemukan dua dalil tentang sejarah yaitu: Pertama; sejarah mempunyai arti yang kokoh untuk mempelajari alam pikiran manusia dan pengalaman-permgalamannya. Kedua: sejarah bersipat unik, langsung dan dekat. Pengertian

sejarah dapat menerobos hakikat yang mendalam dari kejadian yang sedang dipelajari serta dapat menghayati peristiwa yang sebenarnya dari alam. Mengerti sejarah berati menyelami untuk melihat dengan jelas pikiran pikiran yang didalamnya. 4 Prof. DR. Sartono Katordirdjo (Rusmen E. Tamburaka :

2007) membagi sejarah menjadi dua pengertian yaitu: sejarah dalam arti bsubjektif dan sejarah arti objektif. Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu kontrakjsi bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Sedangkan sejarah dalam

18

arti yang objektif menujukkan kepada kajian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi dan tidak dapat berulang kembali. Dari beberapa definisi sejarah menurut para hali di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sejarah adalah peristiwa masa lampau umat manusia yang hanya sekali terjadi (objektif) namun bisa dikonstuksi dalam penulisan sejarah sebagai manifestasi dari kehidupan manusia baik dalam kehidupannya sekarang maupun yang akan datang. b. Sejarah sosial Sejalan dengan perkembangan ilmu sejarah sampai saat ini telah muncul berbagai cabang ilmu sejarah menurut teman-teman yang memberikan sifat atau karaktistik tertentu pada berbagai ragam historiografi yang dihasilkan, diantara ada yang dikatagorikan sebagai sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah kebudayaan, sejarah mentalitas, sejarah intelektual, sejarah demografi dan lain sebagainya, (helius sjamsuddin, 2007: 306). Sedangkan dalam tulisan ini akan dibahas mengenai sejarah dengan mengunakan pendekatan sejarah sosial masyarakat yang sering jugak disebut sejarah sasyarakat yang terpinggirkan. Sehingga masyarakat dalam penulisan sejarah tidak sebagai manusia-manusia tanpa sejarah. Sebagai mana yang terkandung dari tema sejarah yang di usungnya yaitu sejarah sosial, maka sudah barang tentu didalamnya mengkaji sejarah tentang sejarah masyarakat (kemasyarakatan) (sjamsuddin, 2007: 307).

19

Adapun definisi sejarah sosial dan/atau sosiologi sejarah sebagai sejarah masyarakat, seringkali para sajarawan sendiri membuat definisi masing-masing yang tidak jauh berbeda, namun maksudnya sama yaitu mengkaji masyarakat. Beberapaa definisi yang di makdud tentang sejarah sosial memenurut beberapa ahli adalah sebabai berikut: 1. G. m. trevrlan (sjamsuddin: 2007) menyebut sejarah rakyat dengan

menghilangkan politiknya(the histoty of a people with the politics left out) 2 Asa brings (sjamsuddin: 2007) menyebutkan bahwa sejarah sosial mengkaji sejarah dari orang-orang mikin atau kelas bawah, gerakangerakan sosial, sebagai kegiatan manusia seperti tingkah laku, adatistiadat, kehidupan sehari-hari , sejarah sosial dalam hubungan dengan sejarah ekonomi 3. Desin smith (helius Sjamuddin:2007) mendefinisikan sejarah sosiah sebagai kajiaan tentang masa lalu untuk mengetahui bagaimana masyarakat-masyarakat bekerja dan berubah . Sehubungan dengan beberapa definisi sejarah sosial diatas, ada kalanya juga sejarah sosial juga diartikan sebagai sejarah berbagai gerakan sosial, antara lain menycakup gerakan petani, buruh, mahasiswa, proses sosial dan lain sebagainya (saartono katordirdjo, 1993: 158). Dari bebeerapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwasejarah sosial merupakan sejarah dari mayarakat bahwa pada umumnya baik itu merupakan kegiatan sehari-hari, kegiatan ekonomi, adat-istiadat, stratifikasi

20

sosial dan lain sebagainya. Sekaligus mengkaji bagaimana masyarakatmasyarakt tersebut dalam kehidupan sosialnya, pekerjaannya maupun perubahannya dalam lintas sejarah Dengan mengunakan ilmu-ilmu sosial , sejarawan mempunyai kemampuan menerangkan yang lebih jelas, sekalipun kadang-kadang harus terikat pada model teoritisnya. Dan pada akhirnya sejarah sosial dapat mengambil paktor sosial sebagai bahan kajiannya (kuntowijoyo, 2003: 41). Salah satu tema pokok dari bidang sejarah sosial sudah barang tentu yialah perubahan dalam konteks sejarahnya, dan merupakan dalam satu konsep yang sangat luas cakupannya, sesungauhnya proses sejarah dalam keseluruhannya, apa bila dikaji dari perspektif sejarah sosialnya, merupakan proses perubahan sosial dalam berbagai dimensi atau aspeknya. Dipandang sebagainya proses modernisasi, prubahan sosial, yang kadang-kadang menjadi permasalahan sosial adalah adanya proses akulturasi. Artinya proses yang menycakup usaha masyarakat menghadapi pengaruh kultur dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian komuditi berdasarkan kondisi berdasarkan nilai atau itiologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan reprensi cultural, yang kesemuanya merupakan factor-faktor cultural yang menentukan sikap terhadap pengaruh baru (Sartono Kartodirdji, 1993: 160). Sehubungan dengan pendapat di atas maka kehidupan sosial masyarakat di desa Jerowaru juga mengalami proses yang di sebut sebagai proses perubahan ini, atau lebih tepat dikatakan terjadinya proses adaptasi

21

dengan pengaruh luar akibat adanya kontak sosial dalam masyarakt dan dalam beberapa aspek kehidupan. C. mampat ilmu sejarah Sejarah selalu dikaitkan dengan peristiwa atau kejadian masa lampau umat manusia, selaku sebuah cerita, sejarah menberikan suatu keadaan yang sebelumnya terjadi, berbeda dengan dongeng yang juga berbentuk cerita, tetapi hanya pelibur lara, sedangkan cerita sejarah, sumbernya adalah kejadian masa lampau/ masa dilamberdasarkan

peningalan sejarah. Peningalan tersebut berupahasil perubahan manusia sebagai mahluk sosial (Rustam E. Tamburaka 2007: 7). Dari pengalaman manuaia tersbut kita dapat bercermin dan pemiliki perubahan-perubahan nama yang dapat dijadikan inspirasi dan perbuatan dan tindakan mana yang seharusnya dihindari. Dengan demikian, mamfaat yang dapat kita petik dengan mengetahui sejarah adalah kita dapat lebih berhati-hati agar kegagalan yang pernah perjadi tidak terulang kembali. Sehing tetaplah kata kompuse, seorang filsof cina berkata sejarah mendidik kita supaya bertindak bijaksana. Selanjutnya Cicero (seorang ahli sejarah yunani) mengatakan history its magisstra vitae artinya sejarah bermamfaat sebagai guru yang baik (bijaksana). Sehingga terciptalah sebuah cerita sejarah yang berdasar pada kenyataan, dalam bentuk peningalan atau sumber sejarah (Rustam E.Tamburaka, 2002: 7). 4. Adat-istiadat masyarakat

22

a. Idiom adat Keanekaragaman budaya Indonesia dari daerah satu dengan daerah yang lain menujukkan arti yang penting adat istiadat sebagai perujudan budaya local. Dimana adat-istiadat memiliki makna yang luas, dan dimanapun di Indonesia adat-istiadat ini mempunyai penapsiran mampu manafestasi yang berlainan (Erni Budiwanti, 2008 : 47). Adat-istiadat mendapatkan kesalihan nya dari masa lampao, yaitu ketika para nenek moyang kita menegakkan perantata yang diikuti tnpa batas waktu, kalau bukan masalah selamanya. Seperti yang dikatakan Alisyahbana bahwa adat addat merasuki hmpir segala asfek kehidupan komunitas yang mengakibatkan seluruh perilahu individu sangat dibatasi dan dikondifisikan (Budiwanti, 2000: 48). Adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat selain memiliki local jenius juga bisa dipengaruhi kebudayaan luar lainnya. Di Lombok misalnya secara umum pengaruh Islam (abad ke XVI), Bai/ Hindu-Budha (abad keXIII), serta Makasar, yang semuanya itu meninggalkan dampak dan pengaruh yang berbeda-beda pada masyarakat di Lombok (Ahmad Amin, 1978: 21). b. Perwangse dan Jajar Karang Sebelum kedatangan orang Bali di pulau Lombok hanya ada organisasi politik kecil yang melampoi batas-batas desa. Tetapi didalam desa tersebut satu golongan sudah terbentuk dengan sendirinya, yaitu: (1) Aristokrasi, yang pada mulanya adalah penduduk-penduduk desa terkemuka, (2) para petani bebas (kaula), (3)buruh tani (panjak) (Kraan, 1870: 9). Inilah yang

23

dianggap sebagi cikal bakal terbentuknya kasta di Lombok sebelum diperkenalkan adanya sistem kasta yang dibawa dan diadopsi dari pengaruh Bali. Erni Budiwanti (2000) menulis bahwa di Lombok secara umum dan Lombok Timur pada hususnya terdapat dua kelompok sosial yang berbeda dalam strata sosia, yaitu golongan Bangsawan (perwangse) dan orang biasa (jajar karang), dimana status seseorang sebagai perwangse atau jajarkarang dapat diidentifikasi dari gelar yang disandangnya. Gelar mengawali nama diri dan digunakan dalam komunkasi sehari-hari, seperti Rahadiah atau Raden (Budiwanti, 2002: 249). Pada golongan bangsawan di Jerowaru kedudukan bangsawan yang paling tinggi kita kenal adalah gelar Mamik, Lalu ataupun Baiq, sedangkan gelar Raden dan Dende salama sekali tidak ada. Hal ini sangat cocok dengan apa yang dikatakan Erni Budiwanti terjadi akibat adanya percamouran perkawinan dengan masyarakat biasa (Budiwanti, 2002: 249). Untuk lebih jelasnya terdapat perbedaan dan persamaan adat-istiadat yang sudah menjadi bagian yang mendasar dalam golongan perwange dengan golongan jajarkarang diantaranya, ayitu: 1. Sistem Perkawinan Perbedaan status yang membedakan golongan perwangse dengan golongan jajarkarang salah satunya adalah dalam masalah perkawinan atau sistem perkawinan. Untuk mempertahankan kekerabatan mereka, dan

24

mempertahankan status serta privelase mereka, golongan bangsawan pada awalnya mencegah anak atau saudara perempuan mereka kawin dengan orang yang golongan sosialnya berbeda atau status sosialnya lebih rendah. Kaum wanita mereka lebih banyak yang kawin secara endogami, sehaingga perkawinan antara misan, sepupu, baik paralel (dengan anak saudara lakilaki ayah atau saudara perempuan ibu) maupun sepupu silang (dengan anak saudara laki-laki ibu atau saudara perempuan ayah), merupakan perkawinan yang lebih dianjurkan di kalangan kaum bangsawan (Budiwanti, 2002: 250). Namun jika terjadi perkawinan kaum bangsawan wanita dengan pria dari masyarakat biasa, maka dari pihak laki-laki itu harus membayar sajikrame tergantung tingkatan kebengsawanan wanita tersebut (Erni Budiwanti, 2002: 251). Begitu juga pada masyarakat desa Jerowaru ketika terjadi pernikahan untuk saat ini dan sudah dimulai sejak kuarang lebih tahun 1970-an, dan terjadi pernikahan seperti yang disebutkan di atas maka diharuskan membayar sajikrame tersebut. Perbedaan sistem perkawinan pada masyarakat desa Jerowaru baik pada bangsawan maupun masyarakat biasa pada saat ini sebenarnya dalam prosesinya tidak ada perbedaan sama sekali, hanya saja yang berbeda adalah isi daripada setiap prosesianya tersebut. Misalnya ketika anak dari golongan bangsawan kawin dengan anak masyarakat biasa, maka adanya keharusan membayar sajikrame padapihak laki-laki tersebut

25

Salah satu tradisi lain dalam adat-istiadat perkawinan masyarakat Lombok adalah kwin lari. Kawin lari atau nikah lari ini dalam bahasaa sasak disebut melaian, dan hal ini kadang-kadang menurut kebanyakan dari adat-istiadat yang berlaku pada kebanyakan masyarakat merupakan cara dalam pengambilan perempuan yang lebih ideal ketimbang meminta pada orang ruanya. Rencana pernikahan memang atas dasar persetujuan keluarga kedua belah pihak namun yang lebih dominan masyarakat menggunakan tradisi melaian ini. Dalam hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Solichin salam (1992) dipengaruhi oleh adat-istiadat Bali yang memperkenalkan adanya sistem kasta secara lebih jelas. Namn di Desa Jerowaru melaian adalah shal yang biasa dalam sistem perkawinan, baik pada golongan bangsawan maupun pada masyarakat biasa. Meskipun hususnya pada kaum bangsawan banyak yang menggunakan lamaran dengan persetujuan dari keluarga kedua belah pihak 2. Bahasa Sehari-Hari Penggunaan bahasa di Lombok umumnya dikenal adanya bahasa halus dan bahasa kasar. Bahasa kasar adalah bahasa sehari-hari yang dipergunakan oleh kasta yang lebih tinggi (perwangse) terhadap kasta yang lebih rendah (jajarkarang). Sedangkan bahasa halus dipergunakan oleh kasta-kasta lebih rendah terhadap kasta yang lebih tinggi. Selain adanya kedua bahasa diatas ada juga yang dikenal dengan sebutan bahasa antara/ pertengahan yang juga dipergunakan dalam bahasa pergaulan kekeluargaan. Misalnya seorang anak yang menyuruh anaknya makan mengatakan ngelor

26

atau medahar bukan mangan atau bekakenan untuk kata makan (Ahmad Amin dkk, 1978: 24). Dan jika aturan tersebut dilanggar, Ahmad Amin (1978) melanjutkan maka orang tersebut dinamakan kasoan atao noak, dalam hal ini bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat dari kedua golongan inilebih banyak untuk saat ini menggunakan bahasa pertengahan sekaligus bahasa kasar sebagai bahasa yang lebih dominan menjadi bahasa pergaulan sehari-hari, meskipun bahasa halus masih dipergunakan oleh golongan minoritas dan tempat yang tepat. 3. Pergaulan Sehari-Hari Abdurrahman (1989) telah mengidentifikasi beberapa tata kelakuan pada lingkungan masyarakat di pulau Lombok, seperti tata kelakuan di lingkungan pergaulan antara suami dan istri, tata kelakuan di lingkungan pergaulan antara ayah dan anak, dengan masyarakat sekitar dan lainnya.

Dicontohkan oleh Abdurahman (1989) misalnya dalam tatacara berpakaian, disini akan tampak jelas bahwa sang suami pantang akan menggunakan pakaian istrinya terutama kain batiknya (sasak : bendang ). Tidak terkecuali pada masyarakat Desa Jerowaru yang mana banyak dari masyarakatnya yang masih mempertahankan adapt istiadat lama yang baik (sasak : rit ) dalam beberapa segi kehidupan,seperti sopan santun dalam berbicara, sopan santun dalm bertingkahlaku maupun cara bergaul sesama orang tua, sebaya dan anak-anak. Terutama pada golongan bangsawan tata krama ini sangat di perioritaskan, meskipun dari beberapa

27

aspek adat-istiadat yang pernah dikembangkannya saat ini sebagian sudah luntur ataupun berkurang.

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian Dalam penelitian ini akan mengkaji tentang sistem kekerabatan masyarakat di Desa Jerowaru, maka dengan demikian data-data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berbentuk keterangan-keterangan, kalimat-kalaimat, foto-foto, serta informasi yang berkaitan dengan bagaimana wujud kekerabatan pada masyarakat. Mengingat bahwa datadata yang dikumpulkan tersebut berupa dokumen-dokumen tertulis, informasi, kejadian-kejadian, dan foto-foto yang akan dianalisis dalam tinjauan sejarah, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

28

Danzin dan Lincoln sebagaimana dikutip oleh Moleong menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan penelitian latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Lebih lanjut, Moleong menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengetahui fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lainlain (Moleong, 2007: 6). Penelitian kualitatif dari sisi definisi lainnya dikemukakan bahwa hal ini merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu atau sekelompok orang (Moleong, 2007: 6). Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti secara rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit. Definisi ini lebih melihat perspektif emik dalam penelitian yaitu memandang atau upaya membangun pandangan subjek penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit (Moleong, 2007: 6). Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Adapun metode sejarah dalam pengertian yang lebih umum adalah penelitian suatu atas masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahannya dari perspektif historis (Abdurrahman, 1999: 43). Pengertian

29

yang lebih khusus, sebagaimana dikemukakan oleh Gibert J. Graham dalam bukunya Abdrrahman (1999), bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumbersumber sejarah secara epektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis. Sedangkan Abdurrahman sendiri menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya. Serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya (Abdurrahman, 1999: 4). Alasan peneliti menggunakan metode sejarah dalam penelitian ini karena dalam penelitian ini mengkaji perkembangan serta perubahan yang terjadi pada masyarakat desa Jreowaru terutama dalam latar sosialnya seperti perkembangan adat-istiadatnya, perubahan sistem perkawinan pada golongan bangsawan, perubahan dalam bahasa sehari-hari yang digunakan telah menarik peneliti untuk meneliti mengapa hal itu terjadi yang pada akhirnya menari peneliti untuk mengetahui perubahan serta

perkembangannya, karena jika berbicra mengenai perkembangan maupun perubahan berarti kita berbicara dalam litas sejarah.

B. Metode Penelitian

30

Karena dalam penelitan menggunakan metode penelitian sejarah maka jalan kerja penelitian ini juga menggunakan metode sejarah seperti tersebut diatas yaitu heuristik, kritik, interpretasi data, serta historiografi. a. Heuristik Heuristik yaitu berasal dari kata yunani heurishein, artinya

memperoleh. Menurut G. J. Reiner seperti yang ditulis Dudung Abdurrahman (1900), heuristik adalah suatu tehnik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu. Heuristik seringkali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, mengenali dan memperinci bibliografi atau mengklasifikasi dan merawat catatan-catatan. Lebih jelasnya seperti apa yang dikatakan Carrad bahwa heuristik adalah merupakan langkah awal sebagai sebuah kegiatan mencari sumber-sumber, mendapatkan data, atau materi sejarah atau evidensi sejarah (Sjamsuddin, 2007: 86). Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa heuristik merupakan langkah pertama dalam penulisan sejarah yaitu dengan pengumpulan data sebanyak mungkin untuk dijadikan sumber penelitian sejarah. Adapun macam-macam fakta yang dikumpulkan dalam heuristik ini seperti adat-istiadat bangsawan, pegaulan sehari-hari, setratifikasi sosial, perubahan adat istiadat serta bahasa yang digunakan oleh golongan bangsawan di desa Jerowaru serta beberapa fakta yang sesuai dengan rumusan masalah seperti diajukan pada bagian sebelumnya.

31

Karena heuristik merupakan kegiatan pengumpulan data-data sejarah, maka ada beberapa tehnik dalam pengumpulan data tersebut yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Observasi Observasi atau pengamatan adalah kegiatan manusia dengan menggunakan pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. Karena itu, observasi adalah kemampuan seorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pencarian mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya (Burhan Bungin, 2008: 115). Sedangkan Sutrisno Hadi mengatakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang komplek, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantaranya yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan (Sugiono, 2008: 145). Dalam penelitian ini proses pelaksanaan pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu observasi nonpartisipan (non participant observasion). Dalam hal ini tidak terlibat secara langsung terlibat sebagai anggota dari masyarakat tersebut, namun hanya sebagai pengamat independen. Dengan cara ini walaupun secara tidak langsung terlibat seperti masyarakat biasanya, namun dengan cara ini peneliti juga dapat mengamati bagaimana prilaku masyarakat, pergaulan masyarakat dengan masyarakat lain, serta bagaimana interaksi sosial pada masyarakat di desa Jerowaru.

32

Adapun

fakta-fakta

yang

didapatkan

peneliti

selama

melakukan observasi berkisar pada bagaima proses interaksi antara dua kelompok sosial yang berbeda, mengamati beberapa perbedaan yang menonjol antara golongan bangsawan dengan masyarakat biasa dalam hal bangunan terutama lumbung padi, memperhatikan tata krama pada golongan bangsawan, serta beberapa aspek dari segi lahiriah yang dapat peneliti dapatkan selama melakukan observasi. 1. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan dilakukan oleh dua pihak orang, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan terwawancara

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2007: 186). Jadi disini terdapat elemen yang penting yaitu interviewer dan interviewee. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur dan dapat dilakukan melalui tatap muka (face to face) maupun dengan menggunakan telepon). Dan dalam penelitian ini menggunakan wawancara terstruktur sebagai tehnik pengumpulan data. Oleh karena itu seperti apa yang dikatakan Sugiyono, seorang peneliti dalam melakukan wawancara, pengumpulan data setelah penyiapan instrumen penelitian berupa pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Dengan terstruktur ini setiap responden diberi peranyaan yang sama, dan pengumpul data

33

mencatatnya (Sugiyono, 141: 2008). Sedangkan metode wawancara yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara bertahap, karena karakter utama dari wawancara ini adalah dilakukan secara bertahap dan pewawancara tadak harus terlibat dalam kehidupan sosial formal. Sistem datang dan pergi dalam wawancara ini mempunyai kelebihan dalam mengembangkan objek-objek baru dalam wawancara berikutnya karena pewawancara memperoleh waktu yang panjang diluar informan untuk menganalisis hasil wawancara yang telah dilakukan serta dapat mengoreksinya (Burhan Bungin, 2008: 110). Untuk mendapatkan data dari informan melelui wawancara ini meliputi, menemukan informan di lapangan dilakukan dengan menentukan orang-orangnya dengan alasan orang yang dipilih sebagai informan benar-benar tahu tentang sejarah mengenai asal-usul, proses interaksi, status sosial dan lain sebagainya. Adapun beberapa informasi dan dan fakta yang ingin peneliti dapatkan dalam wawancara ini berupa asal-usul bangsawan Jerowaru, bagaimana

perkembangannnya,

pelaksanaan

adat-istiadatnya,

implementasi adat-istiadat yang dikembangkan, bgaimana sistem perkawinan, bahasa yang digunakan dengan menggunakan

pengumpulan data melelui wawancara ini. Serta beberapa informasi lainnya yang sesuai dengan tema dalam penelitian ini.

34

Berbagai pihak yang peneliti minta keterangannya dalam penelitian ini diantaranya, pejabat pemerintah yang ada di desa Jerowaru, tokoh adat, tokoh masyarakat, para bangsawan serta masyarakat biasa pada umumnya yang tahu tentang informasi yang penulis cari. 2. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian ilmu sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. Dengan demikian, pada penelitian sejarah, data dokmenter memang berperan sangat penting (Burhan Bungin, 2008: 121). Metode penelitian ini merupakan salah satu yang harus digali oleh seorang peneliti sejarah, karena sebenarnya sejumlah besar fakta tentang sejarah tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi guna dijadikan kata-kata dan fakta historis. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-sura, catatan-catatan harian, cendramata, surat harian, laporan dan sebagainya. Sifat utama dari data ini tidak terbatas dari ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi pada masa silam.kumpulan data dalam bentuk tulisan ini disebut dokumen dalam arti luas. Adapun barang-

35

barang yang termasuk dokumen diantaranya adalah artepak, caset tape, mikrofilm, dise, CD, flashdisk dan sebagainya (Burhan Bungin, 2008: 122). Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam yaitu: a. otobiografi b. surat pribadi, buku-buku atau catatan harian, memorial c. kliping d. dokumen pemerintah maupun suasta e. cerita roman dan cerita rakyatf.

data server dan flashdisk

g. data tersimpan di web site dan lain-lain.

Selain macam-macam bahan dokumenter diatas, bahan dokumenter ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu dokumen pribadi dan dokumen resmi. a. Dokumen Pribadi Dokumen pribadi adalah catatan atau karangan seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman, da kepercayaannya. Maksud mengumpulkan dokumentasi pribadi ialah untuk

memperoleh kejadian nyata tentang situasi sosial dan berbagai faktor dis ekitar subjek penelitian (Sugiyono, 2008: 217). Dokumen pribadi ini bisa berupa buku harian, otobiografi dan sebagainya.

36

b. Dokumen Resmi Dokumen resmi terbagi terbagi atas dokumen intern dan dokumen intern. Dokumen intern dapat berupa memo,

pengumuman instruksi, ataupun dari lembaga untuk kalangan sendiri seperti risalah atau laporan rapat,keputusa pemimpin kantor, konvensi yaitu kebiasaab-kebiasaan yang berlangsung di suatu lembaga dan sebagainya. Sedangkan dokumen ekstern berupa bahan-bahan informasi yang dikeluarkan suatu

pemerintahan (Burhan Bungin, 2008: 123). Dalam penelitian ini dokumen yang akan dikaji sebagai bahan penulisan sejarah yang terkait dengan kebutuhan peneliti tidak begitu banyak maka peneliti dalam hal ini hanya menggunakan kitab kuno yang disebut sebagai Takepan untuk menelusuri sejarah tersebut, lebih dari itu ada juga monografi desa serta salinan daftar pemilih tetap pemilihan umum kabupaten Lombok timur tahun 2009/2019. Adapun dari takepan itu untuk mengetahui tentang sejarah awal masyarakat desa Jerowaru, kemudian dari monografi desa yaitu untuk memperoleh data yang jelas mengenai desa Jerowaru secara umum dari beberapa aspek dalam kekiniannya. Dan yang terakhir adalah daftar pemilih tetap tadi, yaitu digunakan untuk memastikan mengenai konsentrasi tempat tinggal bangsawan yang cendrung tinggal di satu tempat dengan sesama golongannya. Selain bahan dokumen yang berupa

37

buku-buku diatas tadi, peneliti juga menggunakan foto-foto sebagai bahan kajian dokumenter ini. b. Kritik Setelah sumber sejarah dalam berbagai katagorinya itu terkumpul, tahap yang berikutnya adalah verifikasi atau lazim disebut juga dengan kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini yang harus jug adiuji adalah keabsahan tentang keaslian sumber (otensitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern. Berikut ini kedua teknik verifikasi tersebut akan dijelaskan satu-persatu:1. Keaslian Sumber (otensitas)

Otensitas dari sumber ini minimal dapat diuji berdasarkan lima pertanyaan pokok sebagai berikut: 1. Kapan sumber itu dibuat ? 2. Dimana sumber itu dibuat ? 3. Siapa yang membuat ? 4. Dari bahan apa sumber itu dubuat ? 5. Apakah sumber itu dalam bentuk yang asli? Kelima pertanyaan ini masih minimal untuk mengajukan pertanyaan dalam menentukan keabsahan dari dokumen sejarah

38

yang

diteliti

untuk

dijadikan

sumber

penulisan

sejarah

(Abdurrahman, 1999: 26). Lebih dari itu jika yang kita teliti tersebut adalah informasi dari informan dan bukan dokumen maka dalam hal ini Lucet sebagaimana dikutif Helius Sjamsudin (2007) mengatakan bahwa sebelum smber-sumber sejarah dapat

digunakan dengan aman, paling tidak ada lima pertanyaan yang harus dijawab dengan memuaskan: 1. Siapa yang mengatakan itu? 2. Apakan satu atau dengan cara lain kesaksian itu telah diubah? 3. Apa sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya itu?4.

Apakan orang yang memberikan keterangan itu seorang saksi

mata (witnes) yang kompeten, apakah dia mengetahui faktor itu? Oleh karena itu pada dasarnya kritik eksternal harus menegakkan fakta dari kesaksia bahwa :a.

Kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang ini atau pada waktu ini (authenticity)

b.

Kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada

perunahan (uncorupted), tanpa ada suatu tambahan-tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial (itegriti) (Helius Sjamsudin, 2007: 134). Karena fakta yang peneliti cari berkisar pada tahun 1970-an, maka tergolong sejarah yang kontemporek, sebab orang-orang yang

39

terlibat langsung pada saat itu masih hidup jadi bisa dikatakan kesaksiannya karena merupakan sumber primer sangat bisa dipercaya, sekaligus dengan jalan memadukan diantara beberapa partanyaan yang sama dan diajukan pada informan yang berbeda, kemudian jika ada dari sebagian kecil dari informan yang pendapatnya berbeda serta penulis kurang meyakini pendapatnya karena sebagian besar bersaksi sama maka pendapat satu orang atau dua orang diantara sepuluh orang tersebut gugur dengan sendirinya.2. Kesahihan Sumber (kredibilitas)

Kritik internal sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya menekankan aspek kedalaman yaitu isi dari sumber, kesaksian (testimoni). Oleh karenanya seperti yang ditulis Helius Sjamsudin (2007) dalam kritik intern ini seorang peneliti harus memutuskan apakah kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau tidak. Keputusan ini didasarkan atas penemuan dua penyidikan (inquiry), yaitu: a. Arti sebenarnya dari kesaksian itu harus dipahami? b. Setelah fakta kesaksian dibuktikan dan setelah arti sebenarnya dari isinya telah dibuat sejelas mungkin, selanjutnya kredibelitas saksi harus ditegakkan. Adapun berkenaan dengan sumber lisan, bila ingin teruji kredibilitasnya sebagai fakta sejarah, maka harus memenuhi

40

sebagaimana syarat-syarat yang diajukan Garraghan sebagaimana dikutif Dudung Abdurrahman (1999) sebagai berikut: a. Syarat-syarat umum: sumber lisan (tradisi) harus didukung olek saksi berantai dan disampaikan oleh pelopor pertama yang terdekat. Sejumlah saksi itu harus sejajar dan bebas, serta mampu mengungkapkan fakta yang teruji kebenarannya. b. Syarat-syarat khusus: sumber lisan mengandung kejadian penting yang diketahui umum; telah menjadi kepercayaan umum pada masa tertentu; selama masa tertentu itu tradisi dapat berlanjut tanpa protes atau penolakan perseorangan; lamanya tradisi relatif terbatas; merupakan aflikasi dari penelitian yang kritis; dan tradisi tidak pernah ditola oleh pemikiran kritis. Dalam hal kredibilitas sumber ini peneliti sebagaimana penjelasan diatas dalam sumber lisan menggunakan saksi yang berantai, bahkan saksi tersebut merupakan sumber primer yang secara langsung mengalami dan merasakan mengenai fakta yang peneliti tanyakan terkait dengan sejarah masyarakat desa jerowaru tersebut. Dan dari beberapa saksi yang berantai itu jika seperti yang sudah dijelaskan diatas menyimpang dari pendapat umum maka kesaksiaanya tersebut ditolak untuk dijadikan sumber sejarah, yang sudah barang tentu dalam hal ini ke kredibelan informan tersebut juga peneliti ketahui.

41

c. Interpretasi Interpretasi atau penafsiran data sejarah seringkali disebut juga dengan analisis sejarah. Kata analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Namun keduanya seperti yang dikatakan Kuntowijoyo dalam bukunya Dudung Abdurrahman (1999) bahwa analisis dan sintesis dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Lebih jelasnya bahwa interpretasi data atau analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangtan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan dalam katagori,menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2008: 244). Dengan begitu analisis sejarah itu sendiri, seperti yang dikatakan Berkhofer (Abdurrahan:1999) bertujuan melakukan sintesis atas

sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersamasama dengan teori-teori disusunlah fakta itu kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Karena didalam penulisan sejarah sering juga terjadi interpretasi tidak sesuai atau bahkan terlalu meluas maka soerang peneliti dianjurkan

42

memusatkan perhatiannya pada pos-pos tertentu yang membicarakan suatu maslah, misalnya: dengan mempelajari tokoh-tokoh, longkungan kejadian yang melingkupinya dan sebagainya. Selanjutnya perhatian diarahkan kepada analisis mengenai apa yang dipikirkan orang, diucapkan dan diperbuat orang yang menimbulkan perubahan melalui dimensi waku (abdurrahman, 1999: 61-62). Adapun yang dilakukan peneliti dalam tahap iterpretasi data ini adalah mensintesiskan beberapa fakta agar sesuai dengan teori yang digunakan. Misalnya ada teori yang mengatakan bahwa kekerabatan ditentukan oleh keturunan yang selektif, dimana dalam kekerabatannya memiliki hak atas gelar, lambing, kepemilikan dan lain-lain, begitu juga fakta yang didapatkan mencari titik temu antara teori tersebut dengan hasil penelitian yang akan dijelaskan. d. Historiografi Sebagai fase terakhir dalam penulisan sejarah, historiografi ini merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Layaknya laporan ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah itu hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak awal (fase perencanaan) sampai dengan tahap terakhir (penarikan kesimpulan). Jadi dengan penulisan sejarah itu akan ditentukan mutu penelitian sejarah itu sendiri (Abdurrahman,1999: 67).

43

Diantara syarat umum yang harus diperhatikan peneliti didalam pemaparan sejarah, seperti yang dikatakan Hasan Usman dalam bukunya Dudung Abdurrahman (1999), adalah: 1. Peneliti harus memiliki kemampuan mengungkapkan bahasa secara baik. 2. Terpenuhinya kesatuan sejarah, yakni suatu penulisan sejarah itu sendiri sebagai bagian dari sejarah yang lebih umum, karena ia didahului oleh masa dan diikuti oleh masa pula. Dengan perkataan lain, penulisan itu ditempatkannya sesuai dengan perjalanan sejarah. 3. Menjelaskan apa yang ditemukan oleh peneliti dengan menyajikan bukti-buktinya dan membuat garis-garis umum yang akan diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca. 4. Keseluruhan pemaparan sejarah haruslah argumentatf, artinya usaha menyerahkan ide-idenya dalam merekonstruksi masa lampau itu didasarkan atas bukti-bukti tersendiri, buktri yang cukup lengkap, dan fakta-fakta akuarat. Penyajian penelitian secara garis besar terdiri atas tiga bagian: (1) pengantar, (2) hasil penelitian, (3) kesimpulan. Setiap bagian biasanya terjabarkan dalam bab-bab atau sub bab yang jumlahnya tidak ditantukan swecara singkat. Asalkan antara satu bab dengan bab yang lain harus ada pertalian yang jelas (Abdurrahman, 1999: 69).

44

Jenis historiografi yang digunakan oleh

peneliti

adalah

histiiriografi kritis, karena selain menggunakan pendekatan sosial yang merupakan bagian dari tema sejarah kritis yang multi disipliner (multy approach), sekaligus dalam melihat hubungan status sosial di jerowaru menggunakan dua pendekatan baik dari golongan bangsawan maupun masyarakat biasa tentang sejarahnya sehingga dalam penulisannya pada tahap historiografi tidak terjadi bias atau melihat dengan satu kacamata saja. Sekaligus dalam penulisan ini selain mampu menghadirkan nuansa sejarahnya sekaligus nuansa sosial, budaya, ekonomi dan pendididak tercakup di dalamnya. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penalitian Desa Jerowaru merupakan salah satu dari 4 (empat) Desa yang ada di kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur. Dengan luas 35,22 km dengan perincian untuk persawahan 2,320 Ha, perkebunan 532 Ha,perumahan atau pekarangan 406 Ha, perkuburan 41 Ha, dan lain-lain 282 Ha. Desa Jerowaru terdiri dari 6 dusun definnitif dan 3 dusun perwakilan yaitu kadus Jerowaru daye (utara), kadus Jerowaru lauk (selatan), kadus Jerowaru timuk (timur), kadus Montong Wasi, dan kadus Sepapan. Sedangkan yang termasuk kadus perwakilan adalah kadus Jor, kadus Muhajirin, dan kadus Telong-Elong.

45

Adapun batas-batas desa Jerowaru adalah sebagai berikut: (a). sebelah utara berbatasan dengan desa Sepit, (b) sebelah timur berbatasan dengan desa Tanjung Luar, (c). sebelah selatan berbatasan dengan desa Pemongkong dan (d). sebelah barat berbsatasan dengan desa Sukaraja. Total jumalah penduduk dari semua dusun yang ada di desa Jerowaru adalah 18.307 jiwa, dengan 5.372 kepala keluarga (KK), sedangkan perinciannya adalah sebagai berikut: (a) laki-laki dengan jumlah 8.579 jiwa, (b) perempuan 9.728 jiwa. Perkebunan dan pertanian merupakan sektor pendapatan terbesar di desa Jerowaru, selain peternakan, perkebunan, perikanan dan perdagangan. Dilihat dari ukuran perkembangannya terutama dalam bidang pertanian memang ada kemajuan dari tahun ketahun bila dibandingkan dengan kebelum keadaan sebelumnya, namun dalam sektor ini yang menjadai kendala utama adalah sarana dan prasarana di bidang irigasi atau pengairan dan ketidak sesuaiannya harga kebutuhan petani denagan harga hasil produksi. Adapun hasil pertanian yang sangat menopang kehidupan petani di desa Jerowaru adalah hasil tanaman tembakau, selain padi dan semangka. Indikator perekonomian masyarakat di desa Jerowaru dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.1 indikator perekonomian masyarakat Desa Jerowaru 2009/ 2010No 1 Indikator Pendapatan Sub. Indikator Sumber pendapatan 1. Pertanian 2. Kehutanan Thn. 2009 Rp. 35.201.125.000 Rp. 400.000.000 Thn. 2010 Rp. 41.878.550.000 Rp. 600.000.000

46

3. Perkebunan 4. Peternakan 5. Perikanan 6. Perdagangan 7. Jasa 8. Industri rumah tangga

Rp. 61.325.600.000 Rp.11.324.057.000 Rp. 4.180.866.000 Rp. 6.098.100.000 Rp. 3.441.800.000

Rp. 72.246.600.000 Rp. 12.146.183.500 Rp. 4.952.197.000 Rp. 8.105.400.000 RP. 4.855.000.000

Rp. 526.000.000

Rp. 794.000.000

(Sumber : monografi desa Jerowaru tahun 2009/ 20010) Sedangkat tingkat pendidikan di desa Jerowaru masih bisa dibilang rendah, sehingga peningkatannya masih sangat diperlukan dukungan dari pemerintah, pihak swsata maupun dukungan dari masyarakat. Untuk itu pendidikan masyarakat desa Jerowaru perlu ditingkatkan lagi, karena keberhasilan dari suatu pembngunan sangat tergantung dari pendidikan penduduknya. Peningkatan pedidikan penduduk merupakan salah satu indikator penting dalam penentuan pencapaian angka indeks pembangunan manusia (IPM) yang tinggi. Permasalahan dalam bidang pendidikan ini disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia yang masih rendah karena tingkat pendidikan yang belum memadai. Namun dalam melaksanakan sistem pendidikan nasional dan pendidikan dasar sembilan tahun, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia (SDM) baik melalui pendidikan formal maupun melalui pendidikan informa. Pemerintah desa Jerowaru selalu mendukung kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat, tokoh agama, melalui organisasi sosial

47

masyarakat atau pun pendidikan swasta, sehingga tercermin dengan tersedianya sarana dan prasarana pendidikan sebagai berikut: a. Sekolah Dasar b. Madrasah Ibtidayah c. SMPN Negeri d. Madrasah Tsanawiyah e. Madrasah Aliyah : 14 buah : 2 buah : 1 buah : 5 buah : 2 buah

f. PKBM (Paket A, B dan C) : 2 buah g. TK h. PAUD : 2 buah : 4 buah

(sumber: monografi desa Jerowaru tahun 2009/ 2010). Untuk lebih jelasnya, data tingkat perkembangan pendidikan antara tahun 2009/ 2010 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.2 indikator perkembangan pedidikan masyarakat desa Jerowaru. No Indikator 1. Tingkat pendidikan Sub. Indikator 1. Buta Hurup 2. Tidak Tamat SD Thn. 2009 3187 orang 721 orang 1562 orang 2644 orang Thn. 2010 2337 orang 600 orang 1487 orang 2608 orang

penduduk usia 3. Tamat SD 15 tahun 4. Tamat SLTP

48

5. Tamat SLTA 6. Tamat D-1 7. Tamat D-2 8. Tamat D-3

3485 orang 481 orang 841 orang 1682 orang

3782 orang 522 orang 783 orang 2087 orang 1174 orang

9. Tamat S1 601 orang (Sumber: monografi desa Jerowaru tahun 2009/ 2010)

Selain dalam bidang ekonomi maupun pendidikan diatas masih sangat banyak dari gejala-gejala sosial pada masyarakat Jerowaru yang bisa di identifikasi, namun gejala sosial yang masih menjadi penomena sosial pada masyarakat Jerowaru adalah masalah kawin cerai yang cukup tinggi, dan hal ini sudah merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat sampai saat ini yang secara tidak sadar akan berpengaruh terhadap anak keturnannya. Dampak yang cukup dirasakan dalam hal ini adalah banyaknya anak dari hasil broken home yang kawin pada usia dini. B. Sejarah Singkat Penduduk Awal Desa Jerowaru Bale Belek yang ada di Jerowaru Daye (utara) menurut Takepan yang ada di Bale Belek merupakan rumah yang dihuni pertama kali di desa Jerowaru. Pembuatannya menurut takepan yang selalu dibaca setiap tahun tersebut dibuat pada abad ke- XIII yaitu kurang lebih pada tahun 1257 yang lalu, atau sekitar 753 tahun silam. Pembuatan Bale Belek ini menurut Babad tersebut menunjukkan bahwa pembuatannya berlangsung satu hari saja yang dimulai dari jam enam pagi dan berahir pada jam enam sore hari yang bersamaan juga dengan dibangunnya Bale Belek yang ada di Senyiur. Pemimpin pembuatan Bale Belek

49

ini adalah Datu Dewe Maspanji atau yang dikenal juga dengan nama Dewe Maspanji Raeng Jagat Manujae Lemper Subur Makmur Datu Tunggal Lek Dunie ie Sak Laek ie Sak nani ie Sak Lemak. Kedatangan Datu Dewe Mas Panji dengan rombongannya berasal dari arah selatan Jerowaru tepatnya di pantai Serewe, Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru sekarang. Sesampainya di painggir pantai, Raden Mas Panji istirahat bersama pengikutnya sebelum melanjutkan perjalanannya. Sebelum berangkat terlebih dahulu Datu Maspanji melepas dua busur panahnya sebagai petunjuk tempat mereka akan membangun tempat tinggal, kedua anak panahnya kemudian jatuh pada tempat yang tidak terlalu jauh, yang satunya jatuh di Jerowaru dan yang satunya lagi jatuh di Senyiur. Arah dan tempat jatuhnya busur panah inilah yang nantinya akan dijadikan patokan untuk membuat tempat tinggal. Sedangkan mengenai jumlah orang yang menyertai Datu Maspanji tdak diketahui secara pasti, namun secara logika jika benar karena dari buku sumber ini banyak sekali hal-hal yang tidak masuk akal, seperti bisa memanah dari Serewe sampai Jerowaru bahkan sampai Senyiur, namun kita abaikan hal itu dulu, maka bisa dikatakan jumlah pengikutnya banyak sekali sekaligus dengan ahli pertukangan yang cukup berpengalaman sehingga pembangunannya bisa diselesaikan dalam satu hari (wawancara Marjun, kamis 8 juli 2010). Lebih lanjut dari kisah Datu Dewe Maspanji ini tidak terlalu jauh diketahui karena menurut babadnya kemudian dia menghilang. Selanjutnya yang menghuni Bale Belek setelah penghuninya tidak ada lagi adalah Pe Belek,

50

sedangkan yang di Senyiur dihuni oleh kakak dari Pe Belek, yang mana keduaduanya berasal dari Islam Pena. Sebelum membahas lebih lanjut Pe Belek dan Pe Balak terlebih dahulu akan dibahas mengenai kerajaan Pena yang merupakan asal usul Pe Belek dan Pe Balak. Sebuah fakta sejarah di daerah tandus Lombok Timur bagian selatan berdiri sebuah kerajaan yaitu kerajaan Pena. Kerajaan tersebut awalnya berpusat di bukit Pena, desa Batu Nampar Jerowaru. Penyebaran agama Islam dan perpaduannya dengan adat istiadat di daerah kering itu tidak terlepas dari peranan kerajaan kecil tersebut. Lebih lanjut Mastam dalam karangannya yang berjudul Peranan Kalangan Istana dalam Perjuangan Adat Agama di Lombok Timur mengatakan bahwa secara konkrit Pena lebih tepat di sebut sebagai keulamaan dari pada sebagai kerajaan Islam. Bahkan para budayawan lebih suka menyebutnya sebagai basis penyebaran agama Islam dari pada pusat politik. Hal tersebut didukung dengan peninggalan yang berupa situs Pena yang di dalamnya tidak terdapat benda-benda yang menunjukkan bekas bangunan istana. Pena seperti yang dikatakan Mastam diperintah oleh seorang Pemban ( raja kecil, datu ) yang sekaligus menjadi ulama agama Islam. Datu yang terkenal adalah Raden Suryajaya Supeno. Dia digantikan oleh pangeran Mimjimak yang bergelar Pemban Tanggal Peras atau Baru Tanggan. Berbeda

51

dengan Selaparang seri kedua Pena tidak banyak mendapat perhatian secara langsung dari para ulama di tanah Jawa. Maka kalangan bangsawan banyak yang berguru ke Jawa untuk belajar pada para wali. Mereka mempelajari cara menyebarkan agama Islam yang disesuaikan dengan adat Sasak. Maka peradaban masyarakat Lombok bagian selatan pun lebih bernuansa mengenal budaya leluhur dibandingkan dengan wilayah timur. Misalnya kesesnian wayang, tari-tarian, pakaian dan tata krama. Untuk kepentingan itu, pangeran Tata Samin atau Sangupati sempat belajar ke Solo dan Demak sebagai pusat penyebaran agama Islam yang berbasis budaya Jawa. Kemudian dengan pola yang sama Ia menyebarkan agama Islam di sekitar Sakra. Sebelum akhirnya meninggal dan dimakamkan di Mengkuru, ia mampu mengembangkan tradisi kesenian Sasak. Konon, ia pun berhasil memberantas tradisi main judi dan minum tuak masyarakat sekitar. Meskipun tak sekaliber Selaparang dan Pejanggik, namun kemajuan yang dicapai Pena cukup meresahkan pihak musuh. Pena mengalami kemunduran karena sumber-sumber air di bawah bukit yang dikuasai pasukan Langko. Ketika itu menantu Banjar Getas telah menjadi penguasa di negeri dengan gelar Prabu Anom Langko. Upaya pengisolasian Pena itu terkenal dengan sebutan Politik Rerepik Aik. Akibat langsung dari pemblokadean ini adalah kesulitan mendapatkan air minum bagi para bangsawan yang tinggal di atas bukit. Dalam

52

perkembangannya, terjadi perpindahan pusat kegiatan dari bukit Pena ke Wangkek di desa yang sama maupun ke tempat-tempat lain yang memungkinkan keamanan bagi para bangsawan maupun rakyatnya. Tidak terkecuali desa Jerowaru sekarang merupakan tujuann isolasi dari akibat blokade yang dilakukan oleh kerajaan Langko tersebut. Pe Belek yang merupakan bangsawan Pena beserta rekan-rekannya tinggal di sekitar Bale Belek yang sudah ada. Adapun pengikut-pengikutnya yang lain memisahkan dirinya di tempat khusus yang nantinya dikenal denagn nama gubuk Tembok. Inilah keturunan asli Jerowaru. Adapun Pe Belek yang diperkirakan sebagai pemimpin para bangsawan ke desa Jerowaru menurunkan dua orang keturunan yaitu Dewi Ringgit dan Raden Panji. Raden Panji setelah memiliki keluarga kemudian pindah ke rumah Pelambik sekarang yang merupakan bagian dari kadus Jerowaru timuk (timur). Adapun peninggalan yang menjadi bukti adalah adanya Bale Belek di Pelambik, sedangkan Dewi Ringgit sendiri tetap tinggal di Bale Belek lama di Jerowaru pusat. Sebagai bukti dari pihak laki-laki maupun perempuan tinggal di mana, sampai saat ini oleh masyarakat serta buku Takepan di Bale Belek, adanya rambut-rambut

perempuan yang cukup banyak di sana. Sedangkan di Bale Belek Pelambik ditemukan sebilah keris yang mana menandakan bahwa anak Pe Belek yaitu Raden Panji yang tinggal di sana. Dewi Ringgit yang tinggal di Bale Belek pusat menurunkan empat orang anak, keempat anaknya tersebut memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Keempat anaknya itu adalah Datuk Masjid, Datuk Labang, Datuk Kebon dan

53

Datuk Sabo. Lebih jelasnya perbedaan kepribadian dari anak-anak Dewi Ringgit adalah sebagai berikut, yaitu : a. Datuk Masjid Sematan nama yang diberikan kebiasaan dari apa yang dikerjakan setiap hari dan menjadi kepribadian orang yang memiliki nama tersebut. Menurut keterangan, dia merupakan seorang ahli ibadah, bahkan lebih banyak menghabiskan hidupnya untuk beribadah di Masjid. Sampai-sampai hanya pulang ke rumahnya sekedar untuk makan, kemudian pergi lagi untuk beribadah ke Masjid. Keturunan dari Datuk Masjid ini menurut Sineraf (kadus Jerowaro Daye) dan Marjun (mangku Bale Belek), namun belum diketahui secara pasti termasuk keturunannya yang ke berapa. Beliau adalah TGH. Jahye yang merupakan bapak dari TGH Mutawalli pendiri pondok pesantren Darul Aitam Jerowaru. Sedangkan TGH Mutawalli memiliki an banyak putra maupun putri, salah satunya adalah TGH.M. Sibawaihi dan Lalu Abdul Mukib serta keluarganya yang lain. b. Datuk Labang Kebiasaan dan kepribadian Datuk Labang sangat berbeda dengan kepribadian dan kebiasaan sehari-hari saudaranya yang lain. Aktifitas yang sering dilakukannya adalah ikut berperang. Namun tidak diketahui sescara pasti dengan siapa dan pihak mana dia berperang. Namun ada kemungkinan karena keluarganya pernah bermusuhan dengan kerajaan yang berada di

54

utara Pane yaitu kerajaan Langko. Jadi tidak menutup kemungkinan untuk membalas atau sekedar untuk membantu keluarganya yang masih terisolasi di sekitar kawasan kerajaan Pene. Konon, biasanya ketika pulang ke rumahnya selalu berlumuran dengan darah-darah musuhnya. Karena tidak ada sumber kapan bangsawan Pene ini sudah bebas dari isolasi yang diakibatkan blokade kerajaan Langko maka jelasnya dengan siapa dan pihak mana Datuk Labang ini berperang belum bisa dibuktikan secara jelas. Adapun yang diperkirakan keturunan dari Datuk Labang seperti seperti yang dikatakan Mamik Tanom ( keturunan Datuk Labang ) dan Marjun diantaranya adalah Mamik Keran, Mamik Tanom, dan Mamik Sungkal serta saudara-saudara lainnya, yang saat ini tinggal di sekitar gubuk Tembok bersama keturunan keluarga bangsawan lainnya.

c. Datuk Kebon Kemungkinan besar sematan nama yang diberikan kepada Datuk Kebon tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi dengan Datuk Masjid. Jika kegiatan sehari-hari Datuk Masjid selalu beribadah ke masjid, sementara itu Datuk Labang disibukkan dengan ikut berperang, Datuk Kebon disibukkan oleh kegiatan rutinitas hariannya adalah bertani ( berkebon). Setiap tanah yang diperkirakan bisa ditanami tanaman kebutuhan sehari-hari selalu diusahakan oleh Datuk Kebon untuk ditanami. Bahkan

55

bukan hanya berkisar di kawasan desa Jerowaru saja melainkan Keruak, Sepit, Mendane, Senyiur ada juga tanah garapannya. Menurut Marjun ada juga keturunan dari Datuk Kebon yang sampai saat ini tinggal di kawasan yang di sebut di atas. d. Datuk Sabo Dengan gubuk Bawak Sabo yang oleh masyarakat sana diperkirakan di tempat tersebut banyak sekali ditanam pohon Sabo oleh tokoh yang dikenal sesuai kebiasaaannya ini yaitu menanam Sabo. Meskipun saat ini sudah tidak banyak lagi,namun di sekitar gubuk Bawak Sabo bukti tersebut masih ada berupa adanya pohon Sabo dan sisa-sisanya. Uraian sejarah singkat di atas memberikan gambaran mengenai asal usul para bangsawan ini,khususnya yang berada di Jerowaru bat ( barat ) terutama di gubuk Tembok dan Pelambik. Walaupun di tempat yang

disebut terakhir terdapat perbedaan dalam implementasi adat-istiadat nenek moyangnya. Adapun persebaran bangsawan ini ke Pelambik bertepatan dengan berpindahnya Raden Panji.sebelah satu yang menjadi

permasPedalemalahan sekarang adalah asal usul dari bangsawan yang ada di gubuk pedaleman ( gubuk Nenek ) (wawancara Sinerap dan Marjun, sabtu 10 juli 2010). Mamik Karniati yang merupakan salah satu dari komunitas bangsawan yang tinggal di gubuk Nenek mengatakan bahwa sampai saat ini masih ada hubungan kekerabatan antara bangsawan yang ada di Jerowaru

56

khususnya di gubuk Nenek dengan bangsawan yang ada di Gerung, Kediri, Pagutan, dan Kopang masih ada. Begitu juga dengan apa yang dikatakan Mamik Jamudin (80) bahwa asal usul dari bangsawan yang ada di gubuk Pedaleman ini bukan berasal dari satu tempat saja melainkan seperti yang dikatakan mamik Karniati di atas. Dari uraian di atas dapat diambil dua kemungkinan, yaitu : (1) Bangsawan yang ada di gubuk Nenek berasal dari berbagai tempat seperti Gerung, Kediri, Pagutan, Kopang dan lain-lain. (2) Bisa saja walaupun saat ini masih ada hubungan kekerabatan dengan tempat-tempat yang disebut tadi namun berasal dari satu tempat kemudian menyebar ke tempat lain. Misalnya asal muasal pertamanya yaitu dari Kopang kemudian menyebar ke Kediri, Pagutan dan lain-lain maka otomatis walaupun berpisah tempat tinggal namun masih memiliki hubungan kekerabatan. Namun yang lebih jelas kesimpulan yang pertama akan lebih kuat yang kemungkinan walaupun berasal dari daerah yang berbeda namun memiliki tingkatan sosial yang sama pada akhirnya membentuk komunitas tersendiri di tempat yang disebut gubuk Pedaleman (wawancara Mamik Jamudin dan Mamik Karniati, C. Stratifikasi Sosial Masyarakat Desa Jerowaru Stratifikasi social pada masyarakat desa Jerowaru selain berbentuk stratifikasi social terututup ( closed social setratification ) dari sejarahnya, sekaligus juga terdapat stratifikasi social terbuka ( open social setratificaation ) untuk saat ini, bahkan menurut sebagian besar narasumber sudah mulai terasa sejak tahun 1970-1980-an. Stratifikasi sosial tertutup

57

pernah mewarnai kehidupan masyarakat desa Jerowaru pada saaat masih sangat dihormatinya status kebangsawanan, dimana sangat banyak sekali perbedaan antara golongan masyarakat bangsawan dengan golongan biasa baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun budaya. Dalam bidang ekonomi misalnya sebelum tahun 1970-1980-an golongan bangsawan rata-rata memiliki sawah yang cukup luas bila dibandingkan dengan masyarakat biasa pada umumnya, dalam bidang sosial sudah barang tentu sangat dihormati, bahkan dalam bidang adat-istiadat terdapat juga perbedaan yang dapat dikatakan menonjol, semua ini kata mantan kepala desa Jerowaru yang pernah menjabat selama lima periode, berlaku kurang lebih dari tahun 70-80-an ke bawah. Sementara dari tahun 70-80-an sudah dirasakannya kelonggaran-kelonggaran dalam adat istiadat bangsawan oleh masyarakat biasa yang mana ditunjukkan dengan beberapa sebab seperti berkurangnya kepemilikan atas tanah ynag sangat luas, berkurangnya pendidikan dari golongan bangsawan serta mulai berkembangnya masyarakat biasa baik dalam bidang pendid