20 MINGGU, 18 DESEMBER 2011 Nasionalisme vs Sekolahisme fileyang kental dalam darah tidak berlalu...

1
Nasionalisme di kalangan pelajar saat ini dipertanyakan. Apalagi nasionalisme mereka diduga sudah berubah menjadi sekolahisme. DOK. TRISAKSTI Nasionalisme di kalangan pelajar saat ini dipertanyakan. Apalagi nasionalisme mereka Nasionalisme Nasionalisme vs Sekolahisme vs Sekolahisme FOTO-FOTO: DOK. DEWI SUSANTI Laboratorium Hidup Usakti MIRANDA OLGA VIOLA SMAN 82 Jakarta 20 MINGGU, 18 DESEMBER 2011 n IKMAT ke- merdekaan yang kita rasakan saat ini tidak pernah lepas dari usaha pemuda yang sekarang kita panggil kakek dan nenek. Mulai Sumpah Pemuda sampai Peristiwa Rengasdeng- klok, peran pemuda de ngan semangat cinta tanah air yang berkobar sangat lah dominan. Na- sionalisme dan patriotisme yang kental dalam darah tidak berlalu dengan sia-sia. Pada Janji Siswa yang biasa dibaca tiap upa- cara Senin pagi, ada satu butir yang mengatakan untuk belajar dan berprestasi dalam rangka mengisi ke- merdekaan. Apakah kita benar meman- faatkan kemerdekaan sebaik-baiknya? Pengertian nasional- isme itu sendiri ialah rasa kesetiaan yang menda- lam terhadap bangsa, sedangkan patriotisme bermakna sikap gagah berani, pantang menyerah, serta rela ber- korban demi bangsa dan negara. Akan tetapi, disadari atau tidak, pemahaman nasionalisme dan patriotisme tersebut kini surut dan melebur menjadi sekolahisme. “Menurut gue sih, nasionalisme itu mempertahankan kedaulatan sebuah negara. Patriotisme adanya rasa jiwa kepahlawanan,” ujar Yohanes Nobo, pelajar SMA di bilangan Jakarta Selatan. Ia juga tidak menyanggah kalau pelajar sekarang dikatakan lebih mementingkan pertahanan sekolah jika dibandingkan dengan negara mereka. Tawuran merupakan salah satu ben- tuk konkret sekolahisme. Sebagai con- tohnya, siapa yang tidak tahu tentang SMAN 70 yang berseteru dengan SMAN 6? Itu sampai berujung pada konflik antara wartawan dan pelajar, yang di- sebabkan tawuran tersebut. “Itu sudah tradisi, rata-rata sudah mendarah daging di sekolah-sekolah yang ada di Jakarta,” kata Yohanes yang mengaku pernah ikut tawuran. Tidak sedikit pelajar yang ikut serta dalam tawuran. “Namanya juga anak SMA,” begitu biasanya mereka berkilah. Tragisnya, tradisi tawuran tersebut lama-kelamaan semakin mengarah ke tindak kriminal, mengingat jatuhnya korban yang bukan sekadar kena pukul, melainkan juga kena sabet golok sampai berwajib hampir selalu kecolongan ke- tika menangkap oknum-oknum tawuran ini. Sanksi yang diberikan juga tidak membuat pelajar yang tawuran kapok dalam melaksanakan aksinya. “Memang seharusnya, pelajar mendu- kung negaranya juga...,” kata Yohanes. “...Tapi negaranya saja sudah hancur, jadi untuk apa harus didahulukan?” tambahnya. Pendapat tersebut seolah menuntut kita untuk melihat perilaku pelajar zaman sekarang dari sudut pandang lain. Belajar dan berprestasi dalam rangka mengisi kemerdekaan tampak menjadi harapan para pemuda pejuang yang telah berhasil memperoleh kemerdekaan agar generasi berikutnya tidak lapuk dimakan perkembangan zaman. Di butir tersebut, tersimpan harapan agar pelajar bisa terus mem- pertahankan semangat nasionalisme dan patriotisme. Kalau dipikir secara terbalik, sebe- narnya semangat para pelajar ini tidak terlalu berbeda dengan pemuda di masa perjuangan kemerdekaan, ya? Hanya, jalan mereka berbeda. Yang dahulu demi nasional, saat ini demi sekolah. Namun, jangan pandang pelajar yang tawuran sebelah mata, lo! Tidak sedikit di antara mer- eka yang juga cukup berprestasi, terutama di bidang olah- raga. Bahkan, jagoan-jagoan ekskul olahraga di sekolah ialah siswa yang suka ikut tawuran. Ha- sil belajar di sekolah juga tidak kalah baik- nya. “Antara belajar dan bandel itu harus seimbang dong,” ujar Giandero. “Lagi pula, sebenarnya pelajar itu kompak, kok. Ka- lau Indonesia tanding, kita pasti sama-sama jadi ‘merah’ kan?” tam- bahnya. Ya, semangat nasional- isme dan patriotisme sesungguhnya tidak akan pu- dar hanya kare- na masalah tawuran. Masih ada kesempatan untuk mengem- balikan generasi muda menjadi apa yang pemuda dahulu inginkan. Tinggal di- arahkan saja jalannya, tidak lagi terpaku pada sekolahisme. “Tawuran itu cuma kenangan di SMA, kok. Gue juga yakin kalau dalam hati, sebenarnya pelajar- pelajar itu cinta Indonesia. Anggap saja tawuran itu latihan kalau-kalau nanti ada perang, hahaha,” kata Giandero lagi sambil tertawa. Hmm, apakah kamu setuju dengan Giandero? Mungkin Giandero termasuk yang yakin bahwa tawuran hanya bagian dari ‘seru-seruan’ masa remaja yang akan berakhir ketika beranjak dewasa. Tapi enggak dapat dimungkiri, ada juga orang-orang yang tidak bisa keluar dari zona itu, meskipun mereka bukan lagi siswa sekolah. Tawuran di kalangan mahasiswa, hingga tawuran antarkelompok pendukung calon kepala daerah, contohnya. Tawuran dikatakan sebagai tradisi. Tradisi adalah suatu kebiasaan. Kalau kita punya kebiasaan jelek, untuk apa terus dipertahankan? (M-6) samurai. Lucunya, pelajar sendiri sadar bahwa tawuran akan menimbulkan perpecahan generasi muda sebagai bangsa Indone- sia. “Akan timbul rasa benci dan den- dam seterusnya,” tutur seorang siswa sekolah negeri yang tidak mau disebut namanya, ia sendiri biasa maju paling depan ketika tawuran berlangsung. Kalau begitu, kenapa pelajar tawuran, ya? “Karena harga diri sekolah, ya, harga diri gue juga. Kalau sekolah diserang, terus ‘jebol’, kan ujungnya yang malu kita-kita juga,” kata siswa tersebut. Lain lagi dengan Giandero Savero, bagi dia tawuran dilakukan untuk menemukan jati diri. “Tapi gue enggak menemukan jati diri gue sebagai bangsa Indonesia saat tawuran,” tambah siswa kelas 12 tersebut. Maraknya tawuran memang sudah cukup sulit ditangani saat ini. Guru yang mendekati putus asa dan pihak CREATIVE MOVE Karya : Dewi Susanti Universitas Padjadjaran Alat: - Gunting - Lem - Jarum - Plastik transparan berukuran kecil Bahan: - Kain anel atau kain perca - Peniti berukuran kecil - Busa pengisi karpet - Benang - Pita Langkah kerja: 1 Siapkan alat dan bahan. 2 Buat pola sesuai dengan bentuk yang dikehendaki, semisal hati, bulat, atau elips. 3 Rekatkan kedua buah pola yang sama dengan cara menjahitnya secara manual mengikuti tepi pola secara rapi. 4 Isi bagian dalam bahan dengan busa pengisi sesuai dengan ukuran pola. 5 Tutup busa di dalamnya dengan jahitan yang rapat. 6 Hiasi dengan ornamen pola kecil-kecil di bagian depan. 7 Tempelkan peniti dengan lem di bagian belakang produk yang telah jadi. 8 Kemas dengan plastik trans- paran dan diberi ikatan pita sebagai pengikat. SIVITAS akademika Universitas Trisakti melakukan penanaman pohon di atas tanah seluas 100 hektare milik universitas itu di Banyu Asih, Pandeglang, Banten. Kegiatan yang digelar pada 4 Desember 2011 itu da- lam rangka Dies Natalis ke-66 Universitas Trisakti. Pohon yang ditanam mencapai 8.500 batang dari berbagai varian produktif. Sekitar 5.000 batang di antaranya pohon jambon, sisanya variasi antara pohon sukun, jati, trembesi, kelapa, jenjing, dan tanaman buah lokal se- perti pete. Selain rektor, sejumlah dosen dan karyawan serta sekitar 30 perwakilan mahasiswa Univer- sitas Trisakti turut berpartisipasi dalam acara tersebut. Rektor Universitas Trisakti Thoby Mutis menyampaikan salah satu misi univer- sitasnya ialah menumbuhkan semangat men- cintai tanah air dengan menjaga kekayaannya. “Apa pun yang mendorong penghijauan kem- bali Indonesia dan menumbuhkan produksi lokal akan kami dukung,” kata Thoby. Pengelolaan pohon-pohon yang sudah ditanam kelak akan diserahkan kepada masyarakat setempat. Lokasi penanaman pohon ini nantinya akan menjadi laborato- rium hidup untuk penelitian. Mahasiswa, masyarakat lokal, dan peneliti lain dapat EBET Peniti Mungil Kain Flanel Isi bagian dalam bahan dengan memetik manfaat dari laboratorium hidup ini. Thoby mengimbau alumni Trisakti mau berinvestasi pohon. Saat ini, ia juga meng- galakkan program menanam pohon ‘satu orang satu’ bagi mahasiswanya. Untuk yang merokok, dianjurkan menanam dua pohon. Bangun jiwa berdikari Masyarakat Indonesia memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda. Pun dalam kaitan- nya dengan mengelola kekayaan alam. Menurut Thoby, dengan membantu mengelola lahan produktif tersebut, jiwa kewirausahaan masyarakat diharapkan dapat terbangun dan terlatih. “Jiwa kewirausahaan mereka akan dilatih untuk setidaknya mempunyai bekal mencukupi kebutuhan hidup dari hasil tanam sendiri, bukan impor,” ujarnya. Sesuai dengan prinsip Trisakti yang berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam budaya, Thoby menyatakan ingin mendorong sektor riil pertanian agar tumbuh kembali. Indone- sia bisa bangkit kalau apresiasi masyarakat terhadap pertanian meningkat. Kearifan lokal masyarakat dipelihara karena merekalah yang berhubungan langsung dengan alam. (*/M-6)

Transcript of 20 MINGGU, 18 DESEMBER 2011 Nasionalisme vs Sekolahisme fileyang kental dalam darah tidak berlalu...

Page 1: 20 MINGGU, 18 DESEMBER 2011 Nasionalisme vs Sekolahisme fileyang kental dalam darah tidak berlalu dengan sia-sia. ... sedangkan patriotisme bermakna sikap gagah berani, ... pertahankan

Nasionalisme di kalangan pelajar saat ini dipertanyakan. Apalagi nasionalisme mereka diduga sudah berubah menjadi sekolahisme.

DOK. TRISAKSTI

Nasionalisme di kalangan pelajar saat ini dipertanyakan. Apalagi nasionalisme mereka

NasionalismeNasionalismevs Sekolahismevs Sekolahisme

FOTO-FOTO: DOK. DEWI SUSANTI

Laboratorium Hidup Usakti

MIRANDA OLGA VIOLASMAN 82 Jakarta

20 MINGGU, 18 DESEMBER 2011

nIKMAT ke-merdekaan y a n g k i t a rasakan saat

ini tidak pernah lepas dari usaha pemuda yang sekarang kita panggil kakek dan nenek. Mulai Sumpah Pemuda sampai Peristiwa Rengasdeng-k lok , peran pemuda de ngan semangat cinta tanah air yang berkobar sangat lah dominan. Na-sionalisme dan patriotisme yang kental dalam darah tidak berlalu dengan sia-sia. Pada Janji Siswa yang biasa dibaca tiap upa-cara Senin pagi, ada satu butir yang mengatakan untuk belajar dan berprestasi dalam rangka mengisi ke-merdekaan. Apakah kita benar meman-faatkan kemerdekaan sebaik-baiknya?

Pengertian nasional-isme itu sendiri ialah rasa kesetiaan yang menda-lam terhadap bangsa, sedangkan patriotisme bermakna sikap gagah berani, pantang menyerah, serta rela ber-korban demi bangsa dan negara. Akan tetapi, disadari atau tidak, pemahaman nasionalisme dan patriotisme tersebut kini surut dan melebur menjadi sekolahisme.

“Menurut gue sih, nasionalisme itu mempertahankan kedaulatan sebuah negara. Patriotisme adanya rasa jiwa kepahlawanan,” ujar Yohanes Nobo, pelajar SMA di bilangan Jakarta Selatan. Ia juga tidak menyanggah kalau pelajar sekarang dikatakan lebih mementingkan pertahanan sekolah jika dibandingkan dengan negara mereka.

Tawuran merupakan salah satu ben-tuk konkret sekolahisme. Sebagai con-tohnya, siapa yang tidak tahu tentang SMAN 70 yang berseteru dengan SMAN 6? Itu sampai berujung pada konflik antara wartawan dan pelajar, yang di-sebabkan tawuran tersebut. “Itu sudah tradisi, rata-rata sudah mendarah daging di sekolah-sekolah yang ada di Jakarta,” kata Yohanes yang mengaku pernah ikut tawuran.

Tidak sedikit pelajar yang ikut serta dalam tawuran. “Namanya juga anak SMA,” begitu biasanya mereka berkilah. Tragisnya, tradisi tawuran tersebut lama-kelamaan semakin mengarah ke tindak kriminal, mengingat jatuhnya korban yang bukan sekadar kena pukul, melainkan juga kena sabet golok sampai

berwajib hampir selalu kecolongan ke-tika menangkap oknum-oknum tawuran ini. Sanksi yang diberikan juga tidak membuat pelajar yang tawuran kapok dalam melaksanakan aksinya.

“Memang seharusnya, pelajar mendu-kung negaranya juga...,” kata Yohanes. “...Tapi negaranya saja sudah hancur, jadi untuk apa harus didahulukan?” tambahnya. Pendapat tersebut seolah menuntut kita untuk melihat perilaku pelajar zaman sekarang dari sudut pandang lain. Belajar dan berprestasi dalam rangka mengisi kemerdekaan tampak menjadi harapan para pemuda pejuang yang telah berhasil memperoleh kemerdekaan agar generasi berikutnya tidak lapuk dimakan perkembangan zaman. Di butir tersebut, tersimpan harapan agar pelajar bisa terus mem-pertahankan semangat nasionalisme dan patriotisme.

Kalau dipikir secara terbalik, sebe-narnya semangat para pelajar ini tidak terlalu berbeda dengan pemuda di masa perjuangan kemerdekaan, ya? Hanya,

jalan mereka berbeda. Yang dahulu demi nasional, saat ini

demi sekolah.Namun, jangan pandang pelajar

yang tawuran sebelah mata,

l o ! T i d a k sedikit di antara mer-eka yang juga cukup

berprestasi, terutama di bidang olah-raga. Bahkan,

jagoan-jagoan ekskul olahraga di

sekolah ialah siswa yang suka ikut tawuran. Ha-

sil belajar di sekolah juga tidak kalah baik-nya. “Antara belajar

dan bandel itu harus seimbang dong,” ujar Giandero. “Lagi pula, sebenarnya pelajar itu kompak, kok. Ka-lau Indonesia tanding, kita pasti sama-sama

jadi ‘merah’ kan?” tam-bahnya.

Ya, semangat nasional-isme dan patriotisme

sesungguhnya tidak akan pu-

dar hanya kare-na masalah tawuran.

Masih ada kesempatan untuk mengem-balikan generasi muda menjadi apa yang pemuda dahulu inginkan. Tinggal di-arahkan saja jalannya, tidak lagi terpaku pada sekolahisme. “Tawuran itu cuma kenangan di SMA, kok. Gue juga yakin kalau dalam hati, sebenarnya pelajar-pelajar itu cinta Indonesia. Anggap saja tawuran itu latihan kalau-kalau nanti ada perang, hahaha,” kata Giandero lagi sambil tertawa.Hmm, apakah kamu setuju dengan

Giandero? Mungkin Giandero termasuk yang yakin bahwa tawuran hanya bagian dari ‘seru-seruan’ masa remaja yang akan berakhir ketika beranjak dewasa. Tapi enggak dapat dimungkiri, ada juga orang-orang yang tidak bisa keluar dari zona itu, meskipun mereka bukan lagi siswa sekolah. Tawuran di kalangan mahasiswa, hingga tawuran antarkelompok pendukung calon kepala daerah, contohnya.

Tawuran dikatakan sebagai tradisi. Tradisi adalah suatu kebiasaan. Kalau kita punya kebiasaan jelek, untuk apa terus dipertahankan? (M-6)

samurai.Lucunya, pelajar sendiri sadar bahwa

tawuran akan menimbulkan perpecahan generasi muda sebagai bangsa Indone-sia. “Akan timbul rasa benci dan den-dam seterusnya,” tutur seorang siswa sekolah negeri yang tidak mau disebut namanya, ia sendiri biasa maju paling depan ketika tawuran berlangsung.

Kalau begitu, kenapa pelajar tawuran, ya?

“Karena harga diri sekolah, ya, harga diri gue juga. Kalau sekolah diserang, terus ‘jebol’, kan ujungnya yang malu kita-kita juga,” kata siswa tersebut. Lain lagi dengan Giandero Savero, bagi dia tawuran dilakukan untuk menemukan jati diri. “Tapi gue enggak menemukan jati diri gue sebagai bangsa Indonesia saat tawuran,” tambah siswa kelas 12 tersebut.

Maraknya tawuran memang sudah cukup sulit ditangani saat ini. Guru yang mendekati putus asa dan pihak

CREATIVE MOVE

Karya : Dewi SusantiUniversitas Padjadjaran

Alat:- Gunting- Lem- Jarum- Plastik transparan berukuran kecil

Bahan:- Kain fl anel atau kain perca- Peniti berukuran kecil- Busa pengisi karpet- Benang- Pita

Langkah kerja:

1Siapkan alat dan bahan.

2Buat pola sesuai dengan bentuk yang dikehendaki, semisal hati,

bulat, atau elips.

3Rekatkan kedua buah pola yang sama dengan cara menjahitnya

secara manual mengikuti tepi pola secara rapi.

4Isi bagian dalam bahan dengan busa pengisi sesuai dengan

ukuran pola.

5Tutup busa di dalamnya dengan jahitan yang rapat.

6Hiasi dengan ornamen pola kecil-kecil di bagian depan.

7Tempelkan peniti dengan lem di bagian belakang produk yang

telah jadi.

8Kemas dengan plastik trans-paran dan diberi ikatan pita

sebagai pengikat.

SIVITAS akademika Universitas Trisakti melakukan penanaman pohon di atas tanah seluas 100 hektare milik universitas itu di Banyu Asih, Pandeglang, Banten. Kegiatan yang digelar pada 4 Desember 2011 itu da-lam rangka Dies Natalis ke-66 Universitas Trisakti.

Pohon yang ditanam mencapai 8.500 batang dari berbagai varian produktif. Sekitar 5.000 batang di antaranya pohon jambon, sisanya variasi antara pohon sukun, jati, trembesi, kelapa, jenjing, dan tanaman buah lokal se-perti pete.

Selain rektor, sejumlah dosen dan karyawan serta sekitar 30 perwakilan mahasiswa Univer-sitas Trisakti turut berpartisipasi dalam acara tersebut. Rektor Universitas Trisakti Thoby Mutis menyampaikan salah satu misi univer-sitasnya ialah menumbuhkan semangat men-cintai tanah air dengan menjaga kekayaannya. “Apa pun yang mendorong penghijauan kem-bali Indonesia dan menumbuhkan produksi lokal akan kami dukung,” kata Thoby.

Pengelolaan pohon-pohon yang sudah ditanam kelak akan diserahkan kepada masyarakat setempat. Lokasi penanaman pohon ini nantinya akan menjadi laborato-rium hidup untuk penelitian. Mahasiswa, masyarakat lokal, dan peneliti lain dapat

EBET

Peniti Mungil Kain Flanel

Isi bagian dalam bahan dengan

memetik manfaat dari laboratorium hidup ini.

Thoby mengimbau alumni Trisakti mau berinvestasi pohon. Saat ini, ia juga meng-galakkan program menanam pohon ‘satu orang satu’ bagi mahasiswanya. Untuk yang merokok, dianjurkan menanam dua pohon.

Bangun jiwa berdikariMasyarakat Indonesia memiliki kearifan

lokal yang berbeda-beda. Pun dalam kaitan-nya dengan mengelola kekayaan alam. Menurut Thoby, dengan membantu mengelola lahan produktif tersebut, jiwa kewirausahaan masyarakat diharapkan dapat terbangun dan terlatih. “Jiwa kewirausahaan mereka akan dilatih untuk setidaknya mempunyai bekal mencukupi kebutuhan hidup dari hasil tanam sendiri, bukan impor,” ujarnya.

Sesuai dengan prinsip Trisakti yang berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam budaya, Thoby menyatakan ingin mendorong sektor riil pertanian agar tumbuh kembali. Indone-sia bisa bangkit kalau apresiasi masyarakat terhadap pertanian meningkat. Kearifan lokal masyarakat dipelihara karena merekalah yang berhubungan langsung dengan alam. (*/M-6)