Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin,...

24
BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan munculnya obat-obat baru dalam upaya diagnosis dan tata laksana penyakit, maka akan terjadi juga peningkatan angka kejadian reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat adalah respons yang tidak diinginkan atau diharapkan pada pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, atau profilaksis. Sebagian besar reaksi simpang obat tidak memiliki komponen alergi. Reaksi alergi obat adala reaksi simpang obat melalui mekanisme reaksi imunologi. Diperkirakan sekitar 6-10% dari reaksi simpang obat merupakan reaksi alergi obat.

Transcript of Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin,...

Page 1: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

BAB I

PENDAHULUAN

Seiring dengan munculnya obat-obat baru dalam upaya diagnosis dan tata laksana

penyakit, maka akan terjadi juga peningkatan angka kejadian reaksi simpang obat.

Reaksi simpang obat adalah respons yang tidak diinginkan atau diharapkan pada

pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, atau profilaksis. Sebagian besar reaksi

simpang obat tidak memiliki komponen alergi. Reaksi alergi obat adala reaksi

simpang obat melalui mekanisme reaksi imunologi. Diperkirakan sekitar 6-10% dari

reaksi simpang obat merupakan reaksi alergi obat.

Page 2: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi

Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau

metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi

hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat

masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction),

yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi

obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis

obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul

karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi

adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi

obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang

tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat

farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat

adalah respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi

imunologi.

2. Patofisiologi

Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan

menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui

mekanisme ke-4 tipe tersebut . Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah

IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I

(anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian

diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi

hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons

imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV

merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui

pembentukan IgE (non IgE-mediated).Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi

Page 3: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat

secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I

dan IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III

umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit

autoimun.

Mekanisme reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs

Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan

Coomb, yaitu :

Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya

berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel

mast di jaringan atau sel basofil di sirkulasi. Reaksi tipe I merupakan

hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi

seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema

laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius. Penyebab umum adalah

molekul biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan insulin.

Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang

mengenali antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum,

maka sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem

monosit-makrofag. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi

oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi

ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah membran permukaan

Page 4: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh

metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh

kuinidin. Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain

sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.

Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat

atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Pada reaksi tipe III terdapat

periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode yang

dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi

komplemen. Reaksi terkadang baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi

tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal sebagai reaksi Arthus.

Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat antigen berada,

misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena penderita

telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada

tempat masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah

pemberian. Manifestasi utama berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati

dan artralgia. Contoh obat tersebut antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida,

klorpromazin, tiourasil, globulin antilimfositik dan fenitoin.

Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe

IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat. Pada

reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen,

misalnya pada dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik biasanya

berbentuk hapten, bila berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat

sebagai karier dapat merangsang sel limfosit T yang akan tersensitisasi dan

berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan

teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat

antigen berada sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering

menimbulkan reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri,

neomisin, nikel, antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi

lokal, serta beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti

parabens atau lanolin.

Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu

obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi

sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang

dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi

Page 5: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu

asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun

demikian yang paling sering dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan

sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi

imunologik memerlukan paparan awal dan tenggang waktu beberapa lama

(masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.

Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul

yang kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung

dengan bahan lain untuk bersifat sebagai allergen,disebut sebagaai hapten.

Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat

stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses didalam makrofag dan

dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat

molekul besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ bersifat sangat

imunogenik dapat langsung merangsang sistem imun tubuh.

Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung

dengan protein lain. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini

membentuk polimer rantai panjang. Setelah paparan awal maka obat akan

merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam masa induksi

(laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.

Ikatan obat dengan protein jaringan dapat mengubah struktur dan sifat jaringan

sebagai antigen diri menjadi antigen yang tidak dikenal oleh sistem imun

tubuh, sehingga dapat terjadi reaksi autoimun. Contoh obatnya antara lain

klorpromazin, isoniazid, penisilamin, fenitoin dan sulfasalazin. Bila sel

sasaran ini adalah endotel pembuluh darah, maka dapat terjadi vaskulitis

akibat aktivasi komplemen oleh kompleks imun pada permukaan sel endotel

(misalnya pada serum sickness). Aktivasi komplemen ini mengakibatkan

akumulasi sel polimorfonuklear dan pelepasan lisozim sehingga terjadi reaksi

inflamasi dan kerusakan dinding pembuluh darah. Obat yang dapat

menimbulkan reaksi seperti ini antara lain penisilin, sulfonamid, eritromisin,

salisilat, isoniazid, dan lain-lain.

Page 6: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

3. Manifestasi Klinik

Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat

tertentu. Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala, dan pada

seseorang dapat berbeda dengan orang lain. Gejala klinis tersebut kita sebut

sebagai alergi obat bila terdapat antibodi atau sel limfosit T tersensitisasi yang

spesifik terhadap obat atau metabolitnya, serta konsisten dengan gambaran

reaksi inflamasi imunologik yang sudah dikenal.

Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan sampai berat . Erupsi kulit

merupakan gejala klinis yang paling sering, dapat berupa pruritus, urtikaria,

purpura, dermatitis kontak, eritema multiform, eritema nodosum, erupsi obat

fikstum, reaksi fotosensitivitas, atau reaksi yang lebih berat dermatitis

eksfoliatif dan erupsi vesikobulosa seperti pada sindrom Stevens-Johnson dan

sindrom Lyell.

Gejala klinis yang memerlukan pertolongan adekuat segera adalah reaksi

anafilaksis karena dapat terjadi renjatan. Gejala klinis dapat berupa hipotensi,

spasme bronkus, edema laring, angioedema, atau urtikaria generalisata.

Klasifikasi alergi obat menurut gejala klinis

Anafilaksis  edema laring, hipotensi, bronkospasme

  

Erupsi kulit

 urtikaria/angioedema, pruritus, ruam makulopapular

morbiliform, erupsi obat fikstum, dermatitis kontak,

vaskulitis, eritema nodusum, eritema multiform, sindrom

Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, dermatitis

eksfoliatif, reaksi fotosensitivitas

  

Kelaianan hematologik

 anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia

  

Kelainan pulmonal

 pneumonitis interstisialis/alveolar, edema paru, fibrosis paru

    reaksi kolestasis, destruksi hepatoseluler

Page 7: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

Kelainan hepatic

  

Kelainan renal

 nefritis interstisialis, glomerulonefritis, sindrom nefrotik

  

Penyakit serum

  

  

Demam obat

  

  

Vaskulitis sistemik

  

  

Limfadenopati

  

Demam dapat merupakan gejala tunggal alergi obat, atau bersama gejala klinis

lain, yang timbul beberapa jam setelah pemberian obat (tetapi biasanya pada

hari ke 7-10), dan menghilang dalam waktu 48 jam setelah penghentian obat

atau sampai beberapa hari kemudian. Diduga demam terjadi akibat pelepasan

mediator sitokin. Beberapa jenis obat diduga dapat bersifat pirogen langsung,

misalnya amfoterisin B, simetidin, dekstran besi, kalsium, dan dimerkaprol.

Mekanismenya sampai saat ini belum jelas. Pada anak, epinefrin dapat

menimbulkan demam karena bersifat vasokonstriktor yang menghambat

pengeluaran panas tubuh. Demikian juga pemberian atropin (termasuk tetes

mata) serta fenotiazin dapat menimbulkan demam dengan menghambat

pembentukan keringat. Beberapa jenis obat seperti alopurinol, azatioprin,

barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida, metildopa,

penisilinamin, penisilin, fenitoin, prokainamid, dan kuinidin, sering

menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi lain.

Gejala lain adalah sindrom klinis yang tersebut penyakit serum (serum

sickness) berupa demam, artralgia, mialgia, neuritis, efusi sendi, urtikaria,

Page 8: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

erupsi makulopapular, dan edema yang biasanya timbul 1-3 minggu setelah

terpajan. Gejala tersebut menghilang dalam beberapa hari atau minggu.

Gejala sistemik yang sering adalah demam, lupus eritematosus

medikamentosa, vaskulitis, dan dapat menjadi lebih berat disertai

limfadenopati, sesak nafas, edema angioneurotik, serta terkadang nefritis dan

karditis. Komplikasi paling berat dapat berupa sindrom Guillain-Barre. Obat

penyebab biasanya sulit diketahui karena masa laten yang cukup panjang.

Selain itu dapat ditemukan pula gejala kelainan hematologik, kelainan pada

organ setempat (hati, paru, ginjal, jantung), atau kelainan sistemik seperti

lupus eritematosus sistemi

4. Diagnosis

Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat.

Dasar diagnosis obat yang terpenting adalah anamnesis rinci tentang berbagai

hal penting. Gejala klinis umumnya tidak khas, kecuali beberapa bentuk erupsi

kulit seperti pruritus generalisata, urtikaria, erupsi fikstum, atau reaksi

anafilaksis yang memenuhi kriteria anamnesis di atas. Beberapa pemeriksaan

penunjang dapat dilakukan untuk kelengkapan diagnosis, berupa uji in vivo

dan in vitro terdapat obat atau metabolitnya. Uji in vivo berupa uji kulit dan

uji provokasi. Uji in vitro terbata sebagai sarana penelitian dan bukan

merupakan prosedur rutin.

Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk mengetahui

apakah benar ada hubungan antara manifestasi klinis dengan pemberian obat

dan apakah gejala klinis tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan

penyakitnya sendiri yang sedang diobati. Diagnosis alergi obat berdasarkan

klinis dan uji laboratoris. Secara klinis yang terpenting adalah anamnesa rinci

tentang berbagai hal penting yaitu bahwa reaksi yang timbul bukan merupakan

efek farmakologi obat, biasanya terjadi beberapa hari setelah pemberian obat

(kecuali jika telah terpapar sebelumnya). Gejala klinis akan menghilang

beberapa waktu setelah penggantian obat dan gejala yang sama akan timbul

dengan pemberian ulang obat yang sama atau dengan struktur obat yang sama

Uji Laboratorium :

Uji invivo

Page 9: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu

determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat

non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas

karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan

tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi

terhadap makro molekul: insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk

mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin

saja.

Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan

prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu

terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang

memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi

merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis,

sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology, eritema

vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya

tergantung dari masa paruh setiap obat.

Uji in vitro

Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.

Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi

dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin,uji sensitisasi jaringan

(basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan

rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coombs, uji komplemen dan lain-lain

bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.

5. Penatalaksanaan dan Pengobatan

Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang

dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul.

Penghentian obat

Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu

dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan

obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan,

dapat terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan dengan cara desensitisasi.

Pengobatan

Page 10: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus.

Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin

misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup

luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis

maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5

mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-

4 kali/24 jam.

Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1

kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1

kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30

mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari,

4kali/hari. Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif,

ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru,

kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif

dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis

dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan

dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven

Johnson.

Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal

pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai

0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang

digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10

mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan

prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa

5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah

rumatan dan dehidrasi yang ada.

Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau

kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat

secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar

reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan.

Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip

umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim

Page 11: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah tetapi kurang

melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi kehilangan

kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan

semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada

umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2

kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah

kulit yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan.

6. Evaluasi dan Pencegahan

Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting untuk selalu

dilakukan walaupun harus dinilai dengan kritis untuk menghindari tindakan

berlebihan. Misalnya ruam kulit setelah pemberian ampisilin pada seorang

anak belum tentu karena alergi obat. Bila dokter telah mengetahui atau sangat

curiga bahwa pasiennya alergi terhadap obat tertentu maka hendaknya ia

membuatkan surat keterangan tentang hal tersebut yang akan sangat berguna

untuk upaya pencegahan pada semua keadaan.

Semakin sering seseorang memakai obat maka akan semakin besar pula

kemungkinan untuk timbulnya alergi obat. Jadi pemakaian obat hendaknya

dengan indikasi kuat dan bila mungkin hindari obat yang dikenal sering

memberikan sensitisasi pada kondisi tertentu (misalnya aspirin pada asma

bronkial).

Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan menghilangkan

bahan yang potensial dapat menjadi penyebab alergi, atau bahan yang dapat

menyebabkan reaksi silang imunogenik. Contohnya adalah pembuatan vaksin

bebas protein hewani, atau antibodi dari darah manusia.

Uji kulit dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya alergi obat, tetapi

prosedur ini hanya bermanfaat untuk alergen makromolekul, sedangkan untuk

obat dengan berat molekul rendah sejauh ini hanya terhadap penisilin (dengan

uji alergen benzilpenisiloil polilisin).

Page 12: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

Bila seseorang telah diketahui atau diduga alergi terhadap obat tertentu maka

harus dipertimbangkan pemberian obat lain. Obat alternatif tersebut

hendaknya bukan obat yang telah dikenal mempunyai reaksi silang dengan

obat yang dicurigai. Misalnya memberikan aminoglikosida sebagai alternatif

untuk penisilin. Bila obat tersebut sangat dibutuhkan sedangkan obat alternatif

tidak ada, dapat dilakukan desensitisasi secara oral maupun parenteral.

Misalnya desensitisasi penisilin untuk penderita penyakit jantung reumatik

atau desensitisasi serum antidifteri. Desensitisasi merupakan prosedur yang

berisiko sehingga harus dipersiapkan perlengkapan penanganan kedaruratan

terutama untuk reaksi anafilaksis.

Hal – hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi alergi

terhadap obat dibagi atas tiga tahap yaitu sebelum pemberian obat, selama

pemberian obat, dan setelah pemeberian obat.

a. Sebelum pemberian obat

a) Nilai kembali apakah obat tersebut memang dibutuhkan, semua

obat yang akan diberikan harus dipertimbangakan secara

bijaksana. Jangan berikan obat yang memiliki resiko berbahaya

jika tidak dibutuhka.

b) Tanyakan riwayat Alergi obat pada pasien terutama terhadap

obat yang akan diberikan. Riwayat alargi terhadap obat harus

selalu diketahui pada setiap pasien. Jika pasien menyatakan

riwayat alergi terhadap obat maka hindari penggunaan obat

tersebut dan obat sejenis yang bersifat reaksi alergi silang harus

dihindari. Bila membutuhkan penggunaan obat tersebut, maka

obat sejenis dari turunan kimia yang berbeda atau obat

pengganti yang tidak bereaksi silang secara imunologi dan

biokimia dapat diberikan.

c) Tentukan apakah pasien termasuk kelompok resiko tinggi

alergi obat. Hindari pemberian obat – obat kepada pasien

dengan riwayat alergi lain (asma, hay fever, rinhitis, dermatitis)

jika tidak diperlukan.

d) Pertimbangkan tes diagnostic yang tersedia untuk mendeteksi

atau memperkirakan kemungkinan alergi obat. Tes kulit dapat

Page 13: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

digunakan untuk membantu meneggakan diagnose. Rujuk

pasien kepada ahli alergi bila ingin melakukan tes.

e) Berikan obat pencegah untuk mengurangi kemungkinan reaksi

pemberian antihistamin untuk pasien tertentu dapat mengurangi

frekuensi dan keparahan reaksi anafilaktik.

b. Selama pemberian obat

a) Metode pemberian obat

i. Bila mungkin berikan secara oral

ii. Berikan obat penekan alergi secara stimulant

iii. Hindari pemberian obat secara intermiten

iv. Observasi pasien setelah pemberian obat (sampai 30

menit)

v. Beri label pada semua obat yang akan diberikan

vi. Informasikan kemungkinan terjadinya reaksi alergi pada

pasien beresiko tinggi atau keluarga terdekatnya

b) Peralatan emergensi dan obat yang diperlukan untuk mengatasi

alergi obat harus tersedia dan siap pakai

c) Lakukan tes dosis provokatif atau desensitisasi jika tesedia

c. Setelah pemberian obat

a) Kenali tanda-tanda awal reaksi alergi

b) Atasi segera symptom yang timbul akibat alergi obat

c) Penderita alergi obat harus diberi surat keterangan agar tak

terulang lagi pemberian obat yang sama. Ketika pasien

menunjukan reaksi alergi terhadap obat yang spesifik, penting

memberitahukan pasien apa nama obatnya. Informasi ini

menjadi bantuan yang tidak ternilai bagi praktikan yang harus

menerima tanggung jawab atas perawatan pasien pada masa

yang akan dating.

d) Catat Alergi obat dalam rekam medic penderita. Reaksi alergi

ini harus dicatat dengan jelas pada rekam medis penderita

( lebih baik dengan tanda bintang/ garis berwarna untuk

menarik perhatian) dan tentu saja obat yang menyebabkan hal

ini harus dihindari sama sekali.

Page 14: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

e) Pertimbangkan menggunakan sebentuk gelang atau kalung (A

medic alert bracelet or necklace). Sehingga siapa saja yang

menemukan pasien ada tidak sadar atau tidak sanggup

berbicara dapat dengan cepat merawat pasien anda.

Page 15: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

BAB III

KESIMPULAN

Reaksi alergi tidak akan terjadi pada saat pertama kali menelan obat tapi harus

didahului oleh adanya sensitasi. Frekuensi reaksi alergi tergantung dari sifat kimia

obat, jumlah obat, lama pemakaian, cara pemberian, predeisposisi genetik penderita

dan pernah tidaknya seseorang menelan obat tersebutatau sejenisnya. Tidak semua

orang alergi terhadap obat. Faktor genetik dan lingkungan dapat berperan untuk

terjadinya reaksi alergi pada seseorang.

Page 16: Web viewsel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009.Alergi dan Hipersensitifitas obat Clinic for children, Yudhasmara

Foundation : Jakarta

Harsono Ariyanto, Anang E, 2006. Alergi Obat.Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak,

Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya : Surabaya

Judarwanto Widodo 2009,Manifestasi klinik alergi obat. children’s ALLERGY

CLINIC : Jakarta

Kusniar Y 2003: . Skripsi Manifestasi Reaksi Alergi Terhadap Obat - obatan pada

tindakan bedah mulut : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara