Multiple Sklerosis
description
Transcript of Multiple Sklerosis
Multiple Sklerosis Blok 17
BAB I
PENDAHULUAN
Multiple Sklerosis (MS) adalah suatu penyakit yang dipicu oleh berbagai kausa, salah
satunya adalah virus serta genetis yang akan menyebabkan perubahan mekanisme system
imun di dalam susunan saraf pusat. MS ini terjadi pada onset masa aktif manusia, yakni pada
usia 20-50 tahun. Reaksi yang timbul pada multiple sklerosis dapat bermanifestasi menjadi
peradangan tipe akut maupun tipe kronik. Penyakit ini ditandai dengan adanya proses
kerusakan pada myelin yang kemudain meluas ke daerah substansia alba sususan system saraf
pusat (SSP).
Penyakit ini bermanifestasi pada beberapa gangguan yakni gangguan sensorik,
gangguan penglihatan, disfungsi kandung kemih, sampai dengan gangguan suasana hati.
Penyakit ini dapat diketahui dengan melakukan proyeksi mengunakan MRI untuk hasil yang
paling akurat, dan dapat diterapi dengan menggunakan berbagai regimen pengobatan, yang
nantinya akan dipilih sesuai yang efikasi dan safety-nya paling bagus bagi pasien, serta
tersedia dengan memadai. Berikut akan dipaparkan mengenai penyakit Multiple Sklerosis
secara lebih mendalam mulai dari definisi penyakit, epidemiologi, etiologi dan pathogenesis
terjadinya penyakit, manifestasi klinis yang berdampak pada pasien, pemeriksaan penunjang,
tatalaksana, serta komplikasi dan prognosis pasien apabila mengidap penyakit ini di kemudian
hari.
1 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
BAB II
ISI
A. Definisi
Multiple Sclerosis adalah penyakit idiopatik, autoimun dan inflamasi kronik yang
menimbulkan gejala neurodegeneratif akibat degradasi mielin pada serabut saraf di sistem
saraf pusat. Kerusakan ini mengganggu transmisi normal sinyal sepanjnag akson sehingga
menimbulkan berbagai gejala neurologis (Wajda, Sosnoff, 2015;Wingerchuk, Carter, 2014).
B. Epidemologi
Hampir 400.000 individu di Amerika Serikat dan 2,4 juta orang diseluruh dunia
menderita MS. Wanita memiliki resiko 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada laki-laki untuk
terdiagnosis MS dan kebanyakan kasus MS terjadi pada usia antara 20 sampai 50 tahun,
dengan puncaknya pada usia 29 tahun. Merupakan penyebab kecacatan yang paling sering
kedua di usia muda dan penyakit ini merupakan penyakit kronik dengan beban ekonomi yang
tinggi, dengan anggaran total pertahunnya per individu melebihi US$ 50.000, sama dengan
penyakit gagal jantung (Wajda, Sosnoff, 2015;Wingerchuk, Carter, 2014).
C. Etiologi
Penyebab MS belum diketahui. Hal ini diyakini bahwa respon imun yang abnormal
terhadap lingkungan pada orang yang sebelumnya mempunyai bakat genetik (NICE, 2014).
Akan tetapi hal ini melibatkan kombinasi antara faktor genetic dan factor non- genetik seperti
infeksi virus, factor metabolisme atau lingkungan. Kemudian, ini akan menyebabkan
gangguan autoimun dan akan menyerang SSP secara berulang (Marvin M. 2012).
2 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
D. Patofisiologi
Awal terjadinya multiple sklerosis terjadinya kerusakan yang menyebabkan
peradangan di sistem saraf pusat. Masih belum diketahui penyebab pastinya, tetapi penelitian
yang lain menunjukkan adanya faktor dari agen genetik, lingkungan dan infeksi yang
mungkin mempengaruhi perkembangan multiple sklerosis. Terdapat respon imunologi yang
mempengaruhi terjadinya multiple sklerosis yang dapat berupa bawaan dan bisa dengan imun
adaptif. Dimana pada respon imun bawaan terjadi pengaktifan reseptor mikroba tertentu yaitu
antigen TLRs yang diikat dengan sitokin yang memodulasi respon imun adaptif. Pada sistem
imun bawaan memainkan peran dalam melakukan inisiasi dan mempengaruhi sel T dan sel B
dalam multiple sklerosis, misalnya ketika sel dendrit menjadi semi matang dan menginduksi
sel T untuk menghasilkan sitokin lalu menghambat IL – 10 atau TGF. Sel T berdiferensiasi
Th 1, Th 2, dan Th 17. Dimana ketika sel T berdiferensiasi ke Th 1 peradangan sudah dimulai
dan sudah mulai menjalar dan reseptor Th 17 mulai memperlihatkan tanda klinis dari multiple
sklerosis baik itu yang akut ataupun kronis ( Loma, R 2011 ).
Multiple Sclerosis ditandai dengan inflamasi kronis, demyelinasi dan gliokis (bekas
luka). Keadaan neuropatologis yang utama adalah reaksi inflamatori, mediasi imune, proses
demyelinasi. Yang beberapa percaya bahwa inilah yang mungkin mendorong virus secara
genetik mudah diterima individu. Diaktifkannya sel T merespon pada lingkungan, (ex:
infeksi). T sel ini dalan hubungannya dengan astrosit, merusak barier darah otak, karena itu
memudahkan masuknya mediator imun ( Jose Sa, M 2012 ).
Faktor ini dikombinasikan dengan hancurnya digodendrosit (sel yang membuat
mielin) hasil dari penurunan pembentukan mielin. Makrofage yang dipilih dan penyebab lain
yang menghancurkan sel. Proses penyakit terdiri dari hilangnya mielin, menghilangnya dari
oligodendrosit, dan poliferasi astrosit. Perubahan ini menghasilkan plak , atau sklerosis
dengan plak yang tersebar. Bermula pada sarung mielin pada neuron diotak dan spinal cord
yang terserang. Cepatnya penyakit ini menghancurkan mielin tetapi serat saraf tidak
dipengaruhi dan impulsif saraf akan tetap terhubung. Pada poin ini klien dapat komplain
(melaporkan) adanya fungsi yang merugikan (ex : kelemahan) ( Jose Sa, M 2012 ).
3 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
Bagaimanapaun mielin dapat beregenerasi dan hilangnya gejala menghasilkan
pengurangan. Sebagai peningkatan penyakit, mielin secara total robek/rusak dan akson
menjadi ruwet. Mielin ditempatkan kembali oleh jaringan pada bekas luka, dengan bentuk
yang sulit, plak sklerotik, tanpa mielin impuls saraf menjadi lambat, dan dengan adanya
kehancuranpada saraf, axone, impuls secara total tertutup, sebagai hasil dari hilangnya fungsi
secara permanen. Pada banyak luka kronik, demylination dilanjutkan dengan penurunan
fungsisaraf secara progresif ( Jose Sa, M 2012 ).
E. Manifestasi Klinis: (Wilson LM, Price SA, 2012)
1. Gangguan sensorik
Parestesia (baal, perasaan geli, perasaan mati, tertusuk-tusuk jarum dan peniti)
mungkin berbeda-beda tingkatannya dari hari ke hari. Jika lesi terdapat pada
kolumna posterior medulla spinalis servikalis, fleksi leher menyebabkan sensasi
seperti syok yang berjalan ke bawah medulla spinalis (tanda Lhermitte)
2. Gangguan penglihatan
Sejumlah besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai gejala-gejala
awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang yang abnormal dengan
bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada kedua mata. Salah satu mata
mungkin mengalami kebutaan total selama beberapa jam sampai beberapa hari.
Gangguan-gangguan visual ini mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus.
Selain itu, juga ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang menyerang
nukleus atau serabut-serabut traktus dari otot-otot ekstraokular dan nistagmus
3. Kelemahan spastik anggota gerak
Keluhan yang sering didapatkan adalah kelemahan satu anggota gerak pada
satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota gerak. Pasien
mungkin mengeluh merasa lelah dan berat pada satu tungkai, dan pada waktu
berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah terseret maju, dan pengontrolannya kurang
sekali. Pasien dapat mengeluh tungkainya kadang-kadang seakan–akan meloncat
secara spontan terutama apabila ia sedang berada di tempat tidur. Keadaan spatis
yang lebih berat disertai dengan spame otot yang nyeri. Refleks tendon mungkin
hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada. Respons plantar berupa
4 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
ekstensor (tanda Babinski). Tanda-tanda ini merupakan indikasi terserangnya
lintasan kortikospinal
4. Tanda-tanda serebelum
Gejala-gejala lain yang juga sering ditemukan adalah nistagmus (gerakan
osilasi bola mata yang cepat dalam arah horisontal atau vertikal) dan ataksia
serebelar dimanifestasikan oleh gerakan-gerakan volunter, intention tremor,
gangguan keseimbangan dan disartria (bicara dengan kata terputus-putus menjadi
suku-suku kata dan tersendat-sendat
5. Disfungsi kandung kemih
Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menimbulkan gangguan pengaturan
sfingter sehingga timbul keraguan, frekuensi dan urgensi yang menunjukkan
berkurangnya kapasitas kandung kemih yang spastis. Kecuali itu juga timbul
retensi akut dan inkontinensia
6. Gangguan suasana hati
Banyak mengalami suatu perasaan senang yang tidak realistic atau disebu
teuforia. Hal ini diduga disebabkan terserangnya substansia alba lobus frontalis.
Tanda lain gangguan serebral dapat berupa hilangnya daya ingat dan demensia.
F. Penegakkan Diagnosis
Mielin adalah zat lemak yang melapisi akson pada SSP dan memiliki efek isolator
memungkinkan impuls listrik untuk bergerak lebih cepat. Kerusakan myelin menyebabkan
perpindahan informasi terganggu sepanjang akson. Di MS, bercak peradangan dapat terjadi di
mielin, hal ini dapat mengakibatkan myelin itu sendiri menjadi rusak. Jika peradangan luas,
dapat meninggalkan bekas luka atau lesi. Lesi ini dapat muncul di banyak lokasi di seluruh
SSP. Demielinasi terjadi ketika mielin di sekitar akson memburuk dan hilang. Ada juga yang
menunjukkan bahwa akson itu sendiri menjadi rusak dimana hilangnya akson merupakan
penyebab gangguan. Setelah hilang, akson tidak pernah bisa regenerasi dan ini dianggap
untuk memperhitungkan ketidakmampuan progresif yang sering menjadi bagian dari kondisi
tersebut. Kerugian aksonal sekarang diyakini terjadi lebih awal pada penyakit itu. MS dapat
mempengaruhi setiap bagian dari system saraf pusat, sehingga menimbulkan berbagai gejala
5 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
fisik dan kadang-kadang gejala kognitif. Onset MS jarang terjadi sebelum pubertas dan
biasanya dalam kehidupan dewasa awal. Insiden onset naik selama 20-an, mencapai
puncaknya pada akhir20-an dan awal 30-an. Gejala awal adalah kebanyakan umum, gangguan
penglihatan, termasuk nyeri sekitar mata, kabur atau penglihatan ganda, masalah sensorik,
kelemahan, mati rasa, gangguan keseimbangan dan kelelahan. (Bloch et al, 2011)
Pada 85% dari orang mengalami onset gejala awal yang dikenal sebagai sindrom
klinis terisolasi (CIS). Peristiwa ini didefinisikan sebagai episode pertama individu dari gejala
neurologis yang berlangsung setidaknya 24 jam. Kerusakan mungkin mengakibatkan gejala
tunggal (misalnya optik neuritis) atau multifocal ketika beberapa gejala mungkin dialami
(misalnya masalah ketiadaan koordinasi dan kandung kemih). Tidak semua orang yang
mengalami CIS akan menjadi MS. Namun, jika temuan MRI menunjukkan lesi otak yang
menunjukkan MS maka kemungkinan memiliki gejala lanjut dan diagnosis pasti dari MS
cukup tinggi. (Bloch et al, 2011)
Diagnosis pasti MS didasarkan pada bukti obyektif lesi, yaitu kambuh dan remisi
gejala yang mempengaruhi setidaknya dua wilayah yang terpisah dari otak atau sumsum
tulang belakang. MS bisa sulit untuk didiagnosa karena tidak ada tes tunggal, atau fitur klinis
yang eksklusif untuk kondisi, dan penyebab lain yang mungkin harus dihilangkan. Ada
kriteria yang telah ditetapkan yang harus dipenuhi untuk secara positif mengidentifikasi MS.
Ini dikenal sebagai 'Kriteria McDonald' dan relevan dalam diagnosis MS. Revisi kriteria ini
pada tahun 2010 memungkinkan untuk diagnosis awal dari MS. (Bloch et al, 2011)
Ada tiga pemeriksaan utama, semua atau sebagian dari yang dapat dilakukan saat MS
diduga meskipun tidak ada yang 100% meyakinkan tanpa mendukung bukti klinis dan riwayat
klinis yang kuat. Pemeriksaan itu adalah (Bloch et al, 2011) :
• Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah investigasi yang paling sensitive dengan kemampuan untuk menyoroti
area demielinisasi aktif dan non-aktif. MRI menciptakan gambar dengan menggunakan medan
magnet dan gelombang radio untuk memantau atom hydrogen dalam tubuh. Senyawa kimia
terbentuk dari bekas luka yang disebabkan oleh MS artinya bahwa itu terlihat sebagai bercak
6 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
putih pada gambar MRI, memberikan gambaran yang sangat jelas tentang efek MS pada otak
dan sumsum tulang belakang
• Tes neurofisiologis
Tes yang paling umum adalah membangkitkan potensi visual (VEP). Tes Visual
melibatkan menonton layar televisi yang mempunyai kotak hitam dan putih. Elektroda
ditempatkan di atas korteks visual dan computer menganalisis sinyal visual diterima dari
televisi. Lamanya waktu yang dibutuhkan sinyal untuk meninggalkan televise dan mencapai
korteks visual diketahui dan dengan demikian penundaan dalam transmisi sinyal dapat
diidentifikasi. Keterlambatan tersebut mungkin menjadi indikasi kerusakan akibat lesi MS.
• Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF)
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF) yang digunakan untuk menjadi bantuan
diagnostic penting tetapi peningkatan penggunaan MRI telah mengurangi kebutuhan untuk
prosedur invasive ini. Cairan diambil dari sumsum tulang belakang dengan cara pungsi
lumbal. Sampel CSF dianalisis dengan elektroforesis untuk tingkat protein dan jumlah
leukosit. Sekitar 80% dari penderita MS memiliki indeks IgG tinggi indeks ataui
munoglobulin oligoclonal band yang ada dalam cairan tulang belakang tetapi tidak dalam
serum, menunjukkan peradangan dan gangguan imunologi.
G. Tatalaksana
- Fingolimod
Terapi multiple sklerosis telah mengalami pergeseran, terapi first line MS sebelum
fingolimod diresmikan adalah IFN beta. Setelah dibandingkan, data-data mengindikasikan
bahwa pada 12 bulan, rerata jumlah lesi T1 yang diperkuat gadolinium secara bermakna lebih
rendah pada pasien yang diterapi dengan fingolimod (0,5 mg) dibandingkan dengan pasien
yang menggunakan interferon β-1a secara intramuskular, yaitu 0,2 berbanding 0,5 (p<0,001).
Efek fingolimod (0,5 mg) dibandingkan dengan plasebo pada pemberian selama 24 bulan juga
berbeda bermakna, yaitu sebesar 0,2 berbanding 1,1 (p<0,001) (Groves et al, 2013).
Fingolimod adalah preparat oral yang berfungsi untuk memodulasi reseptor
sphingosine 1-posphate (S1P) dan telah disetujui sebagai pengobatan Multiple Sklerosis oleh
7 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
Amerika Utara pada tahun 2010 dan Eropa pada tahun 2011. Fingolimod ini akan
terfosforilasi oleh spingosin kinase menjadi bentuk aktifnya, yang nantinya bentuk aktifnya
ini akan berikatan dengan S1PR (reseptor S1P) (Groves et al, 2013). S1P yang terkandung
dalam fingolimod nantinya akan menempati reseptor yang berada pada oligodendrosit,
astrosit, neurin dan microglia. Namun, pada pasien dengan MS, mereka hanya memiliki
sedikit spingomyelin dimana spingomyelin ini merupakan derivate dari spingosin endogen
dan S1P pada substansia alba. Ikatan antara S1PR yang diinduksi oleh fingolimode dengan
S1P akan menyebabkan jumlah reseptor akan berkurang pada permukaan sel. Hal ini
menyebabkan kadar limfosit dalam serum dan CSF akan menurun dan menurunkan resiko
kejadian inflamasi yang diketahui sebagai pathogenesis utama terjadinya MS. Fingolimod
juga dapat menurunkan progresifitas terjadinya EAE atau experimental autoimmune
encephalomyelitis pada hewan coba (Fox EJ, Rhoades R, 2012).
- Alemtuzumab
Alemtuzumab adalah antibodi monoklonal manusia yang antagonis terhadap CD52,
sebuah glikoprotein yang ditemukan pada permukaan limfosit dan monosit. Pada hewan coba,
pemberian alemtuzumab menurunkan limfosit darah perifer mencit, tanpa disertai kerusakan
organ limfoid. Kelebihan penggunaan obat ini dibandingkan interferon beta 1A adalah
alemtuzumab secara signifikan dapat menurunkan angka kejadian remiten-relaps MS
dibandingkan IFB B1A. Namun, alemtuzumab juga memiliki kelemahan berupa kejadian
infeksi yang lebih sering terjadi pada penggunaan alemtuzumab dibandingkan IFNB1A
(interferon beta 1A), hal lini diduga karena potensiasi alemtuzumab untuk mereduksi jumlah
limfosit lebih kuat dibandingkan IFNB1A (Fox EJ, Rhoades R, 2012).
- BG 12 (dimethyl fumarate)
BG 12 adalah suatu ester asam fumarat dengan fungsi imunomodulator. BG-12
terutama NF E2 related factor 2 yang dihasilkannya dapat menurunkan jumlah leukosit yang
melewati sawar darah otak dan bersifat neuroprotektif dengan mengandalkan mekanisme
antioksidan. Monomotil fumarat, suatu senyawa aktif BG-12 diteliti dapat memproteksi
neuron dan astrosit dari proses kematian sel yang diinduksi oleh hydrogen peroksida (Groves
et al, 2013).
8 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
- Terifluonamid
Terifluonamid adalah dihidroorat dehidrogenase inhibitor, sebuah protein esensial yang
berasal dari membrane mitokrondria yang berfungsi memblok sistesis pirimidin agar tidak
terbentuk sel T dan sel B yang autoreaktif. Dosis pemberian obat yang sudah dicoba ke
manusia adalah 7-14 mg/hari, dengan efikasi dalam menurunkan jumkah T2 pada dosis 7 mg
sebesar 39,4 % dan dosis 14 mg sebesar 67,4 % (Groves et al, 2013).
H. Prognosis dan Komplikasi
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien MS antara lain (Ajami, 2014):
1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Membutuhkan kateter
6. Osteoporosis
7. Infeksi saluran kemih
Prognosis
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang
signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki
fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi
meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru
yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa
tingkat kerusakan kognitif (Schreiber, 2015).
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan
respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan kecacatan.
Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang belakang di MS progresif primer juga
merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan (Dong, 2014; Ajami 2014).
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat
kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi
9 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh
komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg
varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan
koma atau kematian dalam beberapa hari (Ajami, 2014).
10 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
BAB III
PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa multiple sklerosis adalah penyakit yang menyerang
lapisan myelin aksonal yang diakibatkan oleh multifaktorial, meliputi infeksi, genetic,
maupun idiopatik. Penyakit ini menyerang usia produktif 20-50 tahun, dengan prognosis
dubia et malam jika tidak diobati secara langsung, yang akan berakibat pada kecacatan
pada 30% kasus. Terapi Multiple Sklerosis pun telah mengalami perkembangan dari
awalnya memakai IFN beta menjadi fingolimod yang efikasinya lebih tinggi dan lebih
efektif. Kompliaksi tersering dari penyakit ini adalah depresi, maka dari itu, selain
pengobatak farmakologi, juga penting dilakukan penerapan terapi non farmakologi seperti
dukungan keluarga yang dapat menimbulkan kondisi yang kondusif bagi penyembuhan
pasien.
11 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
DAFTAR PUSTAKA
Ajami, S., Ahmadi, G., & Etemadifar, M. (2014). The role of information system in multiple
sclerosis management. Journal of Research in Medical Sciences : The Official Journal
of Isfahan University of Medical Sciences, 19(12), 1175–1184
Bloch S, et al. 2011. Multiple Sclerosis Information for Health and Social Care Professionals.
http://www.mstrust.org.uk/downloads/ms-info-health-professionals.pdf.
Dong, G., Zhang, N., Wu, Z., Liu, Y., & Wang, L. (2015). Multiple Sclerosis Increases
Fracture Risk: A Meta-Analysis. BioMed Research International, 2015, 650138.
doi:10.1155/2015/650138
Fox J.R., Rhoades R.W.2012. New Treatments and Treatment Goals for Patients with
Relapsing-Remitting Multiple Sclerosis. Journal of Current Opinion Neurology.
Accessed at April, 8ty 2015. Available on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22398660
Groves, A., Kihara, Y., Chun, Y.2013. Fingolimod: Direct CNS effects of sphingosine 1-
phosphate (S1P) receptor modulation and implications in multiple sclerosis therapy.
Journal of Neurological Sciences 328: 9–18. at April, 8ty 2015. Available on
http://www.ebi.ac.uk/chebi/searchId.do?chebiId=CHEBI:63115Upasana Ranga &
Senthil Kumar Aiyappan. 2014. Brown-Séquard syndrome. http://www.ijmr.org.in
Marvin M. Goldenberg, 2012. Multiple Sclerosis Review. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3351877/
Maria José Sá. 2012. Physiopathology of symptoms and signs in multiple sclerosis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22990733
NICE. 2014. Multiple sclerosis management of multiple sclerosis in primary and secondary care. http://www.nice.org.uk/guidance/cg186/resources/guidance-multiple-sclerosis-pdf
Ropper AH, Samuels MA, 2009, Adams and Victor’s Principles of Neurology. New York:
McGraw-Hill
12 | P a g e
Multiple Sklerosis Blok 17
Schreiber, H., Lang, M., Kiltz, K., & Lang, C. (2015). Is Personality Profile a Relevant
Determinant of Fatigue in Multiple Sclerosis? Frontiers in Neurology, 6, 2.
doi:10.3389/fneur.2015.00002
Wajda DA, Sosnoff JJ, 2015. Cognitive-Motor Interference in Multiple Sclerosis: A
Systematic Review of Evidance, Correlates, and Consequences. Hindawi Publishing
Corporation BioMEd REsearch International. 2015 : 1-8
Wilson LM, Price SA, 2012. PatofisiologiKonsepKlinis Proses-proses Penyakied 6, Jakarta :
EGC
Wingerchuk DM, Carter JL, 2014. Multiple Sclerosis : Current and Emerging Disease-
Modifying Therapies and Treatment Strategies. Mayo Clin Proc. 2014 : 225-240
13 | P a g e