Morfologi Arsitektur masjid di Kota Denpasar Bali

223
TESIS MORFOLOGI ARSITEKTUR MASJID DI KOTA DENPASAR BALI ARDIANSYAH Nim 1091 86 1002 PROGRAM MAGISTER ARSITEKTUR KAJIAN LINGKUNGAN BINAAN ETNIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Transcript of Morfologi Arsitektur masjid di Kota Denpasar Bali

0

TESIS

MORFOLOGI ARSITEKTUR MASJID DI KOTA

DENPASAR BALI

ARDIANSYAH

Nim 1091 86 1002

PROGRAM MAGISTER ARSITEKTUR

KAJIAN LINGKUNGAN BINAAN ETNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Balakang

Sebagai produk budaya, arsitektur pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor

lingkungan, budaya dan teknologi. Faktor lingkungan mencakup kondisi alamiah

lingkungan seperti faktor geografis, geologis, iklim, suhu dan sebagainya. Faktor

teknologi, meliputi aspek pengelolaan sumber daya dan keterampilan teknis

membangun. Faktor budaya meliputi aspek-aspek falsafah, kondisi lingkungan,

persepsi, norma dan religi, struktur sosial dan keluarga, ekonomi, dan lain-lain

(Altman dalam Fanani, 2009). Menurut Altman bangunan masjid sebagai

bangunan suci umat Islam keberadaanya di suatu daerah juga dipengaruhi oleh

faktor budaya, lingkungan dan teknologi sehingga setiap wilayah memiliki warna

arsitektur masjid yang berbeda, hal ini juga sejalan dengan filosofi umat Islam

dimana manusia harus menjaga hubungan secara vertikal kepada Allah dan secara

horizontal terhadap sesama manusia dan alam. Hubungan horizontal membuka

kemungkinan kepada rancangan arsitektur masjid yang berupaya menjaga dan

menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan budaya dimana masjid itu berada.

Pada awal perkembangan peradabannya, Islam lebih berkonsentrasi pada

pengaturan prilaku dan tidak terlalu mengutamakan bentuk simbol. Nabi

Muhammad ketika diangkat sebagai Rasul tidak dibekali oleh cetak biru

bangunan masjid atau gambar benda-benda perlambang dan sejenisnya. Lambang

menempati posisi sebagai atribut sekunder dalam kebudayaan Islam, akan tetapi

ketika kebudayaan Islam mulai menyusun bentuknya, seirama dengan itu

2

sejumlah lambang mulai diperkenalkan. Bentuk-bentuk Lengkung, Kubah, yang

menjadi langgam arsitektur Islam saat ini menjadi bagian dari corak Islam ketika

Islam telah menjadi pewaris sah dari budaya agung: Byzantium, Mesir, Persia dan

India. Mihrab yang berasal dari tradisi koptik, minaret, kubah yang berasal dari

persia dan byzantium, menyatu dengan lambang-lambang dekorasi floral,

geometrik, kaligrafi dan muqarnas yang orisinal, menciptakan susunan kode

kultural bagi arsitektur masjid. Sebagai atribut sekunder kebudayaan islam inilah

yang oleh momentum sejarah dalam konteks sosiokultural telah digubah secara

fisik menjadi unsur yang sangat dominan posisinya di dalam memberi kesan

kesatuan wilayah budaya Islam (Arkoun, dalam Fanani, 2009).

Pendapat Arkoun mengenai simbol melihat dari sisi geometris akan tetapi

tidak mengkaji lebih dalam makna dan sejarah perkembangan simbol tersebut,

berbeda dengan yang ditulis Akkach (2005), lahirnya simbol didalam arsitektur

Islam didasari oleh kedalaman berfikir atau pemahaman mengenai ilmu tauhid

dimana didalam kajiannya mengakar kepada kosmologi islam dan kaitanya

terhadap konsep perkembangan bentuknya, didalam tulisannya juga mencoba

mendalami pandangan sufisme terhadap bentuk bentuk yang mengandung simbol.

Sejatinya Islam merupakan agama yang tidak terlalu mementingkan simbol akan

tetapi keberadaan simbol muncul sebagai perwakilan dari rasa untuk

mengungkapkan suatu pemahaman didalam agama dan pengungkapan kecintaan

akan kebesaran Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Agama Islam tidak

melarang penggunaan simbol atau lambang sebagai bentuk pengungkapan rasa

persatuan umat dan Kebesaran Allah akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi

3

dengan mempertegas bentuk simbol atau lambang yang dilarang seperti gambar

atau patung mahluk bernyawa serta lambang yang mengurangi nilai Ke Esaan

Allah SWT .

Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul untuk seluruh umat di dunia

bukan untuk kelompok etnis tertentu, dimana setiap kelompok etnis umumnya

memiliki simbol berbeda sehingga berbicara simbol akan sulit menjelaskan

bagaimana simbol didalam arsitektur Islam. Merujuk terhadap bentuk masjid

pertama yang dibangun Rasul tidak menempelkan lambang atau simbol tertentu

karena Rasulullah lebih mementingkan fungsi masjid dan bagaimana

memakmurkan masjid. Arsitektur Islam memiliki cakupan yang luas dan

menerima bentuk simbol-simbol asalkan tidak bertentangan dengan aturan Islam,

sehingga membuka berjuta warna dan bentuk Arsitektur Masjid . Hal ini

diperkuat didalam tulisan Frisman dalam fanani dimana ditemukan terdapat tujuh

tipologi dasar masjid di dunia sebagai pencerminan dasar berfikir Islam dan

pembauran dengan budaya dan alam dimana Masjid tersebut berada.

Tujuh tipologi dasar masjid di dunia tersebut meliputi, Semenanjung Arab,

Spanyol dan Afrika Utara dengan hypostyle hall dan ruang terbuka didalam

masjid. Kedua Sub-Saharan Afrika Barat berkarakter hypostyle hall dengan

menggunakaghn batu-bata dari lumpur. Ketiga Iran dan Asia Tengah dengan

penggunaan gerbang besar dan ruang terbuka ditengah dikelilingi massa

bangunan. Keempat Indian Subcontinent dengan karakter tiga kubah yang

berdekatan dengan halaman terbuka yang luas. Tipologi yang kelima adalah

bergaya Turki dengan sentral dome yang masif dengan beberapa menara yang

4

menjulang yang dipengaruhi Arsitektur Byzantium. Ke enam adalah Bergaya

Cina dimana terdapat ruang terbuka didalam pekarangan yang berisikan taman-

taman dan beberapa massa bangunan. Bentuk yang terakhir adalah tipologi Masjid

di Asia Tenggara dengan atap yang berbentuk piramid memusat bertingkat dua,

tiga atau lebih yang menyerupai wantilan (Frishman, Khan dalam Fanani, 2009).

Dari tujuh tipologi dasar masjid tersebut terdapat ciri khas yang

mencerminkan karakter arsitektur islam, hal ini disebabkan ada simbol-simbol

islam tertentu yang melekat dan diakui menjadi elemen-elemen penting didalam

masjid seperti lambang bulan sabit dan bintang, bentuk atap kubah, menara dan

sebagainya. Elemen masjid tersebut berasal dan berkembang di timur tengah yang

menyebar sejalan dengan perluasan wilayah pengaruh islam. Sehingga kalau

ditarik dari sejarah awalnya lambang-lambang yang dikenal sebagai simbol yang

mewakili agama Islam merupakan hasil karya cipta manusia, seperti lambang

bulan sabit yang sejatinya sudah ada pada mata uang Persia dan Yunani sebelum

hadirnya ajaran Islam.

Di Indonesia, berdasarkan tulisan Frisman tergolong kedalam tipologi Masjid

di Asia Tenggara dimana memiliki ciri bentuk atap yang bertumpang. Morfologi

Arsitektur masjid di Indonesia awalnya dipengaruhi Arsitektur Tradisional akan

tetapi seiring perkembanganya secara umum mulai dipengaruhi Arsitektur Masjid

Timur Tengah dan Arsitektur Modern. Morfologi masjid- masjid tua di Indonesia

berdasarkan beberapa penelitian memiliki denah persegi empat atau bujur

sangkar, atapnya bertumpang atau bertingkat terdiri dari dua atau lebih dan

semakin keatas semakin runcing, mempunyai serambi didepan atau disamping

5

ruangan utama masjid, dibagian depan atau samping masjid biasanya terdapat

kolam yang digunakan untuk wudhu (menyucikan diri), disekitar masjid diberi

pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga gerbang. Penelitian perkembangan

kontur masjid di indonesia sudah dilakukan oleh peneliti Belanda bernama Pijper

dimana dia menggambarkan morfologi masjid pada awal masa penjajahan yang

banyak dijadikan referensi penelitian masjid di Indonesia, banyak penelitian

berikutnya yang seperti yang dilakukan Bambang Setiabudi dimana ia meneliti

keaslian morfologi masjid di Jawa. Penelitian masjid yang telah dilakukan oleh

peneliti di Indonesia hanya menekankan pada aspek bentuk tipologi ruang,

sebagai contoh di masjid tua indonesia terdapat serambi keliling akan tetapi tidak

dijelaskan apakah fungsi serambi dapat digunakan untuk sholat berjamaah karena

posisi shaf atau susunan shalat tidak boleh terputus oleh tiang atau dinding. Pada

beberapa masjid tua di Indonesia seperti Masjid Agung Palembang, Bengkulu dan

Minang tidak memiliki serambi keliling hal ini dimungkinkan agar makmum

hanya melakukan sholat didalam masjid. Penelitian morfologi masjid di Indonesia

banyak mengambil contoh masjid di jawa sehingga muncul teori bahwa masjid

dijawa mempengaruhi morfologi masjid di Indonesia khususnya dan Asia

Tenggara umumnya sedangkan indonesia memiliki keragaman arsitektur

tersendiri pada masing-masing wilayah, teori yang mengatakan ciri-ciri masjid tua

di Indonesia memiliki serambi keliling harus dibuktikan lagi karena tidak semua

masjid memiliki serambi karena apabila dibiarkan teori ini berkembang maka

akan membatasi temuan mengenai morfologi ruang masjid di Indonesia aslinya.

6

Dalam beberapa penelitian morfologi masjid di Indonesia terdapat tiga teori

dasar mengenai asal usul bentuk masjid di Indonesia pertama yaitu masjid di

Indonesia dipengaruhi arsitektur dari luar seperti Malabar kemudian pendapat

kedua arsitektur masjid di Indonesia bahkan di Asia dipengaruhi arsitektur masjid

di jawa, sedangkan teori ketiga menyatakan bahwa arsitektur masjid lahir dari

kearifan lokal setempat. Kearifan lokal mempengaruhi bentuk masjid menjadi

kecendrungan teori penelitian masjid saat ini sehingga didalam penelitian masjid

di Denpasar mencoba mengetahui apakah benar lingkungan lokal berperan

terhadap bentuk morfologi masjid.

Sebelum Islam masuk di Nusantara, setiap daerah sudah memiliki

keragaman budaya dan kelompok etnik dengan agama Hindu dan Budha sebagai

agama mayoritas mereka. Kepercayaan agama memiliki pengaruh yang kuat

terhadap budaya masyarakat pada masa itu, dimana secara tidak langsung

terciptanya simbol atau lambang terkait kebudayaan dan kepercayaan mereka.

Perubahan kepercayaan manjadi pemeluk agama Islam tidak merubah pandangan

mereka secara total terutama kebudayaan yang sudah melekat sebelumnya.

Sehingga bangunan masjid yang didirikan saat itu masih mencerminkan arsitektur

tradisional masing-masing. Pada masa globalisasi saat ini semua nilai budaya asli

indonesia mulai luntur termasuk arsitektur lokal masing-masing daerah.

Penurunan nilai budaya tersebut juga terpengaruh terhadap bangunan masjid yang

didirikan, sehingga bentuk arsitektur masjid mulai terpengaruh gaya global

dimana pengaruh globalisasi terhadap arsitektur masjid adalah bentuk kubah dan

7

lengkung yang berasal dari Timur Tengah yang seakan akan menjadi paten atau

bentuk wajib yang harus dihadirkan pada semua bangunan masjid.

Salah satu daerah di Indonesia yang masih memegang teguh nilai lokal

adalah Propinsi Bali khususnya Kota Denpasar sebagai ibukota Propinsi. Budaya

Bali merupakan salah satu budaya yang masih berusaha bertahan ditengah

pengaruh globalisasi dimana gaya hidup modern yang sudah menyeragamkan

dunia tidak sepenuhnya mempengaruhi budaya mereka termasuk arsitektur,

sehingga menjadi salah satu daya tarik para wisatawan baik lokal maupun

internasional. Kota Denpasar memiliki sejarah dan peranan penting terutama

perkembangan budaya Bali, sebagai ibukota propinsi Kota Denpasar memiliki

jumlah penduduk terpadat dimana banyak kaum pendatang yang tinggal di kota

tersebut salah satunya adalah perantau yang beragama Islam. Sebagai kelompok

minoritas, umat Islam di Bali harus bisa menjaga hubungan yang baik dengan

kelompok mayoritas, sejalan dengan filosofi umat islam didalam menjaga

hubungan secara horizontal terhadap sesama manusia dan alam sekitar sehingga

tidak menutup kemungkinan hal ini juga berpengaruh terhadap bentuk morfologi

arsitektur masjidnya.

Kota Denpasar mayoritas penduduknya beragama Hindu sehingga Arsitektur

Tradisional Bali menjadi kesatuan didalam kehidupan masyarakatnya. Didalam

Arsitektur Bali tidak lepas dari elemen relief atau patung yang berwujud dewa ,

manusia dan fauna yang terdapat pada bangunan suci, publik, maupun pribadi. Di

dalam Arsitektur Islam khususnya masjid keberadaan elemen tersebut dilarang

8

sehingga akan menjadi pertanyaan bagaimana arsitektur masjid beradaptasi

terhadap pengaruh tersebut.

Banyak penelitian yang mengaitkan pagar keliling, wantilan dan meru

yang mempengaruhi bentuk masjid di Indonesia, akan tetapi bentuk tersebut

sejatinya juga dimiliki oleh wilayah diluar Bali sebelum masuknya Islam akan

tetapi karena Bali menjaga tradisi maka menjadi referensi utama. Arsitektur Bali

juga dianggap sebagai renaissance nya arsitektur nusantara karena menyerap dan

masih menggabungkan arsitektur nusantara menjadi kesatuan dengan

perkembangan arsitektur Bali sehingga diharapkan temuan penelitian akan

mewakili bagaimana bentuk morfologi arsitektur masjid asli di Indonesia.

Penelitian ini juga akan menjadi penguji teori yang merujuk kepada bangunan

yang menjadi referensi perbandingan asal usul bentuk masjid di nusantara.

Penerapan Arsitektur Bali pada bangunan masjid terdapat dalam penelitian Salain

terhadap masjid Al Hikmah di Kertalangu Denpasar dimana terdapat penggunaan

bahan, konsep warna dan bentuk ragam hias Arsitektur Bali akan tetapi terdapat

keunikan pada masjid tersebut dimana terdapat patung dan ornamen yang dilarang

pada gerbang dan pagar masjid akan tetapi pada dinding luar masjid dan bagian

dalam nya tidak ditemukan ornamen tersebut. Begitu juga dengan konsep ruang

tidak terdapat dinding masif pemisah ruang dalam dan luar yaitu hanya berupa

ukiran tembus berbahan kayu dan beton. Konsep ruang tersebut menegaskan

kesatuan ruang dalam dan luar masjid. Sehingga kalau ditarik kesimpulan

bangunan masjid meniru bangunan wantilan dan rumah pada Arsitektur

Tradisional Bali.

9

Morfologi arsitektur masjid di Denpasar pada umumnya berbeda dengan

bangunan Masjid yang ada di Jawa dan Wilayah lain di Indonesia pada umumnya,

hal ini disebabkan perbedaan faktor yang mempengaruhi morfologi Masjid

tersebut. Pemilihan lahan untuk masjid di Bali sulit dilakukan sehingga

menyesuaikan lahan yang tersedia saja dan luasan lahan untuk terbatas, tidak

seperti didaerah yang mayoritas Muslim dimana sebelum membangun masjid

menentukan dan menganalisa lokasi yang paling strategis untuk dibangun masjid

selalu dilakukan. Bentuk denah bangunan Masjid di Denpasar memilliki

kecendrungan menyesuaikan bentuk tanah hal ini bertujuan agar pemanfaatan

lahan optimal, selain itu terbatasnya lahan masjid di Denpasar juga

mengakibatkan penambahan luas bangunan secara vertikal . Elemen masjid di

denpasar tidak sebanyak masjid di Timur Tengah atau di Jawa Hanya beberapa

masjid di denpasar yang menggunakan menara dan untuk ragam hias ada

beberapa masjid yang menggunakan ornamen dan warna bergaya Arsitektur Bali

akan tetapi terjadi sedikit modifikasi terhadap bentuk elemen ragam hias tersebut

dengan mencampurkan bentuk simbol-simbol islam berupa kubah persia dan

bulan sabit. Berbeda dengan masjid tua di Indonesia dimana didalam beberapa

penelitian menyebutkan masjid dikelilingi oleh pagar akan tetapi beberapa masjid

di Denpasar Umumnya tidak memiliki pagar melainkan dinding terluar bangunan

berbatasan langsung dengan batas tanah akan tetapi hal ini dikarenakan

terbatasnya lahan, sedangkan untuk masjid yang memiliki lahan cukup luas justru

menunjukan pengaruh yang kuat arsitektur lokalnya yaitu terdapat bangunan

masjid dengan dinding terbuka menyerupai wantilan atau bale yang dikelilingi

10

oleh pagar bentuk inilah yang menurut peneliti sebagai bentuk yang mewakili

morfologi Arsitektur masjid di Denpasar . Morfologti khas yang terdapat di

masjid Bali selain penggunaan elemen dekorasi juga untuk masjid yang memiliki

pagar keliling bangunan utama masjid dibuat terbuka tanpa dinding sehingga

terlihat menyerupai wantilan dan rumah tinggal pada bangunan tradisional Bali,

hal ini merupakan temuan yang menguatkan teori bahwa lingkungan

mempengaruhi arsitektur dan memang bentuk tipologi masjid di Indonesia

mengambil bentuk wantilan atau pendopo yang ditambah dinding disekelilingnya

akan tetapi di Bali justru tidak terdapat dinding sehingga apakah awal berdiri

masjid memang menggunakan wantilan dan perkembangan berikutnya baru

ditambahkan dinding disekelilingnya.

Penelitian masjid tradisional di Indonesia belum banyak dilakukan oleh para

arsitek dan ahli akademik. Sebagian besar penelitian datangnya dari sejarawan

dan para ahli anthropologi. Sehingga terlalu sedikit juga penemuan penulisan

akademik yang mencoba menyatukan antara fakta sejarah, keadaan sosio

masyarakat suatu kawasan dengan produk arsitektur yang dihasilkan. Kajian ini

sangat penting dalam usaha memahami aspek morfologi dan perkembangan

bentuk masjid di nusantara secara keseluruhan (Utaberta dkk, 2009). Berdasarkan

rujukan yang dikemukakan oleh Utaberta penelitian masjid di Denpasar Bali

menjadi penting dilakukan karena seolah menjadi mesin waktu kembali dimasa

awal masuknya agama Islam ditengah pengaruh budaya Hindu yang kuat,

sehingga hasil temuan penelitian bisa menjadi pedoman atau menguji penelitian

mengenai morfologi masjid tua di Indonesia, meliputi morfologi ruang, bentuk

11

bangunan dan perkembangan elemen masjid yang menyangkut penggunaan dan

perkembangan lambang atau simbol Islam di tengah kuatnya pengaruh Arsitektur

Tradisional Bali. Bentuk morfologi arsitektur masjid di Denpasar akan dikaji dan

dikaitkan dengan teori-teori arsitektur islam untuk mengetahui apakah aplikasi

atau bentuk arsitektur islami atau justru bertentangan dengan arsitektur Islam.

12

1.2 Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang terkait dengan penelitian Morfologi

Arsitektur Masjid di Kota Denpasar Bali adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk ruang dan bangunan masjid di Kota Denpasar ?

2. Faktor apa yang melatarbelakangi bentuk ruang dan bangunan Masjid Di

Denpasar Bali ?

3. Bagaimana bentuk ragam hias pada bangunan masjid di Denpasar Bali ?

1.3 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bentuk ruang dan bangunan masjid di Kota Denpasar

2. Mengetahui faktor yang melatarbelakangi bentuk ruang dan bangunan

masjid di Kota Denpasar.

3. Mengetahui bentuk elemen dan ragam hias bangunan masjid di Kota

Denpasar Bali.

1.4 Manfaat

Manfaat akademis: ”Memberikan Pengetahuan Tentang Kaitan Morfologi

Arsitektur Masjid di Kota Denpasar Terhadap Sudut Pandang Masyarakat yang

Membangun Masjid Tersebut dan Memberikan Pengetahuan Tentang

Perkembangan Bentuk Arsitektur Masjid di Kota Denpasar terkait perkembangan

elemen dan simbol didalam Arsitektur Masjid. Penelitian ini juga bermanfaat

untuk memperkaya pengetahuan tentang arsitektur Islam.”

13

Manfaat Praktis : ” Memberikan Pedoman atau Gambaran bagi Arsitek atau

masyarakat yang akan Merancang Masjid Khususnya di Kota Denpasar Bali.

Juga menjadi referensi didalam merencanakan peraturan bangunan yang terkait

dengan bangunan Masjid di Bali.”

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA. KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat

kaum Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan

patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang

mengandung kepatuhan kepada Allah semata. Karena itu Al-Quran sural Al-

Jin (72): 18, menegaskan bahwa ;

” Dan bahwasanya mesjid-mesjid itu adalah untuk Allah semata-mata; maka

janganlah kamu seru bersama Allah sesuatu jua pun." 1

Didalam Tafsir tersebut dipaparkan bahwasanya mesjid-mesjid semata-mata kita

bersujud, bertekun kita mendirikan rumah-rumah ibadat. Mesjid yang berarti

tempat bersujud, yang kita sujud disana, sampai kita merendahkan diri

memecahkan kening kita kelantai atau keatas tanah sekalipun, tidak lain hanya

Allah. Allah tidak boleh di persekutukan dengan yang lain. Mempersekutukan

dengan yang lain juga bisa dikaitkan dengan keberadaan patung atau ornamen

terlarang didalamnya.

Al-Quran juga nyebutkan fungsi masjid antara lain di dalam firman-Nya

dalam QS An-Nur [24]: 36-37) :

” Yaitu di rumah-rumah yang diberi izin oleh Allah buat ditinggikan dan

disebut namanNya, yaitu rumah-rumah yang disucikan namaNya

1 . HAMKA. 1990. Tafsir Al Azhar Jilid X.

15

didalamnya baik pagi atau petang. Yaitu orang laki-laki yang tidak dapat

dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli karena mengingat Allah dan

mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat dan mereka takut akan

hari yang gelebak-gelebur padanya segala hati dan segala pandangan .” 2

Masjid merupakan tempat yang dibuat yang ditinggikan tempat dan namanya

dan dipakai baik pagi dan petang untuk shalat dan bertasbih kepada Allah dan

ditekankan kepada laki-laki agar tidak lalai oleh kesibukan mereka sehari-hari

untuk melaksanakan shalat di dalam mesjid.

Rasul Saw. bersabda, HR Bukharidan Muslim melalui Jabir bin Abdullah ;

”Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan

sarana penyucian diri .” 3

Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan hanya sekadar tempat sujud

dan sarana penyucian. Di sini kata masjid juga tidak lagi hanya berarti bangunan

tempat shalat, atau bahkan bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudhu

tetapi kata masjid di sini berarti juga tempat melaksanakan segala aktivitas

manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah Swt. Dengan demikian,

masjid menjadi pangkal tempat Muslim bertolak, sekaligus pelabuhan

tempatnya bersauh. kutipan diatas merupakan pengertian dasar masjid menurut

Al-Quran dan Hadis, sedangkan didalam penelitian ini peneliti meninjau beberapa

penulis dan penelitian yang berkaitan dengan morfologi arsitektur masjid.

Salain (2011), didalam disertasi nya meneliti tentang Arsitektur Bali pada

Masjid Al-Hikmah di Kertalangu Denpasar dimana didalam penelitiannya

2 . HAMKA. 1990. Tafsir Al Azhar Jilid VII.

3 . Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13.Terjemahan Hadist

Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993. Daud. Cetakan ke-3 . Terjemahan Hadist

Shahih Muslim. Jakarta : penerbit Widjaya 1993

16

ditemukan bahwa arsitektur masjid tidak melarang menerapkan unsur setempat

berupa wujud, struktur, bahan, warna dan ornament. Penerapan Arsitektur Bali

dipengaruhi beberapa faktor meliputi; kekuasaan, konsensus, ideology, identitas,

hibriditas, dan Arsitektur Post Modern, faktor terkuat yang paling mempengaruhi

di dalam penelitiannya adalah kekuasaan. Keberadaan Masjid Al-Hikmah bukan

hanya berdampak pada Arsitektur tetapi juga berdampak pada politik, budaya,

kerukunan umat, juga mengandung makna mendalam pada filosofis simbolik,

estetika dan multikultur. Didalam disertasi Salain lebih menekankan pada

pembahasan komponen estetika masjid dan faktor yang mempengaruhi bentuk

masjid dan menemukan bahwa arsitektur Bali pada Masjid Al Hikmah dapat

mempererat hubungan antar umat beragama, akan tetapi didalam penelitiannya

salain tidak terlalu fokus menggali aspek keruangan dan bentuk ruang masjid

kaitanya dengan pandangan pendiri masjid mengenai Al-Quran dan Hadist.

Begitu juga Irsyad (2008), dimana ia meneliti tentang arsitektur Masjid Sultan

Abdurrahman Pontianak, Kalimantan Barat dimana penelitianya bertujuan untuk

menggambarkan bentuk arsitektur dan ragam hias yang terdapat pada masjid

sehingga dapat terlihat pengaruh-pengaruh yang ada, baik pengaruh lokal maupun

asing. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis morfologi dan analisis

gaya. Analisis morfologi dilakukan dengan cara menjelaskan bentuk arsitektur

terhadap komponen-komponen Masjid Sultan Abdurrahman, sedangkan analisis

gaya dengan cara mengklasifikasi ragam hias yang terdapat pada masjid. Dalam

penelitiannya ditemukan bahwa unsur lokal lebih mendominasi pada arsitektur

masjid pada beberapa bagian ada pengaruh arsitektur Kolonial dan seni bangunan

17

Timur Tengah. Dalam penelitianya Irsyad juga mengkaji morfologi dan gaya

didalam Arsitektur Masjid akan tetapi tidak menganalisa simbol-simbol dan tata

ruang dalam masjid terhadap susunan jemaah dan orientasi kiblat.

Peneliti selanjutnya lebih menekankan pada bentuk tata ruang dan struktur

masjid di Jawa adalah Setiabudi (2006), dalam judul “ A Study on the History and

Development of the Javanese Mosque : Typology of The Plan and Structure of

The Javanese Mosque and It‟s Distribution.” Dimana didalam tulisannya

membahas tentang perkembangan dan penyebaran arsitektur masjid di Jawa.

Peneliti mempelajari statement yang dibuat oleh beberapa peneliti bahwa masjid

di Jawa mempunyai bentuk denah persegi dengan empat pilar menjulang di

tengah ruang sholat bangunan. Hasil dari studinya mengenai 127 masjid yang

terpilih di Jawa dianggap bahwa sebuah penelitian detail tipologi dari denah dan

struktur masjid di Jawa mengandung enam tipe. Penemuan ini menunjukan bahwa

penelitian tipologikal akan memberikan data eksisting yang kompleks disamping

memberikan kelompok hasil data baru yang mungkin akan melengkapi atau

menyempurnakan pendapat. Didalam penelitian Setiabudi menekankan bahwa

tipologi masjid atap tumpang dengan soko guru ditengahnya mencerminkan

simbol masjid di Indonesia dan Asia Tenggara, akan tetapi peneliti tidak mengkaji

detail elemen dekorasi yang terkait simbol-simbol islam di dalam Arsitektur

Masjid tersebut. Untuk tata ruang setiabudi juga tidak mengkaji mengenai kaitan

hadist terhadap tata ruang dan bentuk ruang masjid yang diteliti sehingga

penelitian masih membuka ruang yang belum terjawab.

18

Sejalan dengan penelitian Irsyad Penelitian Masjid di Kalimantan juga

dilakukan oleh Aufa (2010), dimana dalam penelitiannya ditemukan perbedaan

antara masjid di Jawa dimana sebelumnya dikemukakan oleh beberapa peneliti

bahwa masjid Jawa merupakan bentuk yang mempengaruhi semua masjid di

Nusantara, akan tetapi justru masjid di Kalimantan memiliki bentuk dan makna

atap yang berbeda dengan atap tumpang. Secara tipologi ruang tidak banyak

berbeda dengan masjid di Jawa dimana terdiri dari mihrab, ruang shalat dan teras

keliling. Atap bangunan berbentuk perisai bersudut runcing (60o) dan atap landai

(20o), denah berbentuk bujur sangkar atau persegi yang semuanya mencerminkan

simbolisasi pohon hayat, serta terdapat simbol burung enggang dipuncak masjid.

Kedua simbol ini merupakan identitas dalam mitologi Suku Dayak. Didalam

penelitiannya Aufa menganalisa simbol-simbol etnik dayak yang terdapat didalam

masjid akan tetapi peneliti tidak mengaitkan bagaimana posisi simbol islam di

dalam arsitektur masjid tersebut begitu juga dengan tata ruang dan bentuk ruang

tidak diteliti lebih dalam didalam penelitian ini sehingga latar belakang bentuk

ruang tidak digali secara rinci yaitu faktor sudut pandang pendiri masjid didalam

mengatur bentuk ruang masjid tersebut.

Tinjauan Pustaka lebih luas diperoleh dari penelitian Surat (2011), dengan

judul Asas Pemikiran Seni Bina Masjid Tradisional di Alam Melayu, penelitian

didasarkan pada kajian bahwa tipologi masjid bumbung meru dari alam melayu

adalah didasarkan dari gagasan masjid timur tengah. Kajian ini menggunakan

metodologi perbandingan tipologi masjid warisan alam melayu sebelum abad ke

sembilan belas di Malaysia dan Indonesia serta masjid-masjid yang berada di

19

timur tengah khususnya yang dibangun dalam era dinasti Uthmaniah kajian ini

bertujuan untuk menyumbangkan ilmu tentang tipologi masjid dan memberi

masukan kepada arsitek yang menggunakan pendekatan ’revivalism’ atau

’regionalism’ karena memberi ruang lingkup yang luas sebagai ide dari hal

perancangan masjid. Pada penelitian ini sudah terlihat jelas perkembangan masjid

di Asia dibandingkan dengan tipologi masjid di Timur tengah dimana dipelajari

perkembangan elemen masjid antara dua benua tersebut akan tetapi pada

penelitian ini tidak dilakukan analisa mengenai perkembangan simbol Islam di

dalam Arsitektur Masjid sehingga penelitian yang dilakukan hanya bersifat

deskriptif.

Berkenaan dengan morfologi dan penelitian masjid di Indonesia merujuk

pada Iskandar (2004), dalam tulisanya yang berjudul Tradisionalitas dan

Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid meneliti tentang pengaruh dasar berfikir

islam Tradisionalis dan Modernis terhadap tipologi masjid di Jawa Tengah. Asal

usul arsitektur dan proses perkembangannya sampai saat ini, sering dilihat dalam

dua kacamata pandangan yang berbeda. Pertama, objek arsitektural dianggap

sebagai sesuatu yang unik dan orisinal, karena merupakan ekspresi yang

dipikirkan oleh pembuatnya. Dengan demikian seharusnya tidak mungkin ada dua

objek arsitektural yang persis sama, sekalipun dibuat oleh orang yang sama.

Pandangan kedua, mengatakan sebaliknya bahwa objek arsitektural dapat

memiliki nilai yang sama dengan objek yang lain yang dihasilkan dari aktivitas

yang bersifat repetitif dan bahkan sengaja dibuat agar seterusnya dapat di ulangi

lagi. Penelitian ini lebih lanjut merujuk pada pandangan kedua sebagai acuan.

20

Tindak lanjut dari konsep pengulangan ini tipologi dapat diartikan sebagai sebuah

aktivitas klasifikasi dan pengelompokan tipologi merupakan konsep untuk

mendeskripsikan kelompok objek berdasarkan atas kesamaan sifat-sifat dasar,

dengan cara memilah atau mengklasifikasikan keragaman bentuk dan kesamaan

.di dalam penelitiannya iskandar mencoba meneliti perbedaan sudut pandang

organisasi islam akan berpengaruh terhadap arsitektur masjid, akan tetapi hasil

penelitian nya tidak menjelaskan perbedaan yang tegas secara fisik melainkan

hanya konsep pembangunan nya saja. Begitu juga mengenai simbol di dalam

arsitektur masjid tidak dikaji bagaimana perbedaan penerapan simbol pada

masing-masing sudut pandang organisasi islam tersebut. Didalam penelitianya

Iskandar juga tidak mengkaji kaitan sudut pandang Organisasi terhadap morfologi

ruang dan orientasi kiblat bangunan masjid yang dipengaruhi sudut pandang

mereka.

Penelitian selanjutnya yang dirujuk penulis adalah Utaberta, dkk (2009)

dalam judul Tipologi Reka Bentuk Arsitektur Masjid Tradisional di Indonesia

menjelaskan perkembangan reka bentuk serta struktur-struktur masjid Tradisional

yang telah dibangun di indonesia dan pemahaman aspek morfologi dan tektonik

bagi perancangan masjid yang ada di nusantara.didalam penelitianya Utaberta

mengungkapkan bahwa ragam bentuk morfologi masjid di Indonesia lahir dari

pengaruh lokal dimana masjid tersebut berdiri.

Adapun penelitian Rosniza (2008), mempelajari tipologi susunan ruang dalam

masjid di Malaysia dimana di dalam studi dari 50 masjid di temukan 3 tipe

21

kelompok masjid berdasarkan tata ruang, entrance dan hubungannya dengan arah

kiblat. Tipe A adalah entrance mempunyai hubungan yang sejajar dengan kiblat

sedangkan tipe C hubungannya lemah. Tipe A adalah kelompok masjid yang

rata-rata berusia tua dimana sumbu aksis pintu dan kiblat masih sejajar sedangkan

tipe lain dibangun abad ke-19 dan ke-20. Kedua penelitian diatas membahas aspek

tipologi masjid melalui aspek keruangannya.

Fanani (2009), dalam bukunya Arsitektur Masjid membahas bagaimana

masjid pertama dibangun berikut dengan proses perkembangannya serta

menjelaskan elemen-elemen pembentuk bangunan masjid yang ada di Arab

sampai Asia. Penulis juga meninjau tulisan Tjandrasasmita (2009), yang berjudul

”Arkeologi Islam Nusantara”, dimana di dalam bukunya membahas mengenai

sejarah masuknya islam di Nusantara berikut pembentukan dan peninggalan

budaya seni dan Arsitektur masjid.

Peneliti juga meninjau tulisan Nas danVletter (2009),dalam bukunya yang

berjudul ”Masa Lalu Dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia” dimana didalam

bukunya terdapat kutipan dari peneliti Belanda mengenai morfologi awal masjid

di Nusantara terkait dengan asal usul bentuk morfologi masjid di Indonesia

termasuk keberadaan menara pada masjid.

Dari beberapa tinjauan diatas penulis akan melakukan penelitian mengenai

aspek morfologis akan tetapi penelitian akan mencoba mengkaji aspek ruang dan

perkembangan elemen-elemen arsitektur Masjid di Bali. Adapun penelitian masjid

di Bali penting dilakukan karena bagaimana pengaruh budaya Bali yang sangat

22

kental terhadap perkembangan simbol didalam elemen arsitektur Masjid. Aspek

morfologi merupakan eksplorasi dasar sebelum kita menemukan temuan lebih

lanjut berupa penemuan tipologi bangunan dan pemaknaan bangunan. Faktor

pengaruh morfologi masjid di Jawa dan wilayah lain di Indonesia akan berbeda

dengan faktor pengaruh Morfologi Arsitektur Masjid yang ada di Bali. Perbedaan

faktor pengaruh inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti morfologi

Arsitektur masjid di Kota Denpasar Bali meliputi bagaimanakah bentuk ruang

dan bentuk bangunan masjidnya, serta mempelajari pengaruh Arsitektur Bali

terhadap Morfologi Arsitektur masjid di Kota Denpasar Bali .

2.2 Konsep

Pada bab ini diuraikan beberapa definisi operasional yang terkait dengan

variabel baik itu dari judul ataupun operasional dari judul penelitian ”Morfologi

Arsitektur Masjid di Kota Denpasar Bali” sebagai berikut:

2.2.1 Masjid

Secara sederhana masjid adalah bangunan umat muslim yang berfungsi untuk

menampung keperluan beribadah terutama sholat ( Poerwadarminta,2003). Ada

tiga hal yang menjadi pedoman dasar pada setiap bangunan masjid yang juga akan

berpengaruh terhadap perkembangan morfologi masjid, pertama adalah filosofi

umat Islam yaitu menjaga hubungan vertikal antara manusia dan Allah, dan

menjaga hubungan horizontal antara sesama manusia dan alam yang

melingkupinya. Kedua adalah syarat terbentuknya bangunan masjid adalah

adanya posisi imam dan makmum terdiri dari makmum laki-laki dan perempuan,

23

makmum perempuan juga menjadi bagian yang penting dialam mengatur zona

pemisahan gender yang akan mempengaruhi ragam bentuk morfologi ruang

masjid. Dari bentuk dasar imam dan makmum inilah awal berkembanganya

berbagai macam bentuk morfologi masjid di dunia. Faktor selanjutnya yang

menjadi pertimbangan di dalam bangunan masjid adalah orientasi kiblat dan

susunan shaf shalat berjamaah. Orientasi kiblat adalah titik orientasi dimana

jemaah menghadap pada saat melaksanakan sholat yaitu Ka‟bah di Masjidil

Haram. Didalam melaksanakan sholat berjemaah susunan shaf harus rapat dan

tidak boleh terputus sehingga akan berpengaruh pada konsep ruang masjid yang

melihat aturan tersebut sehingga kalau melihat masjid nabawi pada masa awal

hanya berupa lapangan terbuka yang dikelilingi pagar tanpa terdapat tiang

ditengahnya.

Gambar 2.1. Denah Dasar Bangunan Masjid ( Fanani, 2009:69)

Dari uraian di atas masjid memiliki fungsi utama sebagai tempat untuk

melakukan shalat berjemaah dan penyampaian khutbah atau ceramah, akan tetapi

fungsi utama tadi akan selalu diikuti fungsi sosial lainnya karena apabila umat

Imam

Makmum

Imam

Makmum

Qiblat

24

Islam mengikuti Sunnah Rasul maka akan banyak kegiatan yng bisa

dikembangkan di Masjid.

Di dalam bukunya Fanani (2009), ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke

Madinah, langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid

kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari sana beliau

membangun masjid yang besar, membangun dunia ini sehingga kota tempat

beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti

harfiahnya adalah 'tempat peradaban', atau paling tidak, dari tempat tersebut

lahir benih peradaban baru umat manusia. Masjid pertama yang dibangun oleh

Rasulullah Saw. Adalah Masjid Quba', kemudian disusul dengan Masjid

Nabawi di Madinah. Masjid Quba dan Masjid Nabawi dibangun atas dasar

ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki landasan dan fungsi seperti

itu. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah Saw meruntuhkan bangunan kaum

munafik yang juga mereka sebut masjid, dan menjadikan lokasi itu tempat

pembuangan sampah dan bangkai binatang, karena di bangunan tersebut tidak

dijalankan fungsi masjid yang sebenarnya, yakni ketakwaan. Al-Quran

melukiskan bangunan kaum munafik itu dalam QS Al-Taubah [9]: 107 sebagai

berikut,

”Dan (Begitu pula) orang-orang yang telah mengadakan suatu

masjid untuk suatu bencana dan kekufuran dan memecah belah

diantara orang-orang yang beriman dan untuk mengintip-intip bagi

orang yang memerangi Allah dan RasulNya sebelumnya. Namun

mereka akan bersumpah: ”tidak ada maksud kami, kecuali

25

kebaikan.” Dan Allah menyaksikan, sesungguhnya mereka itu

adalah orang yang berdusta. 4

Sedangkan dari segi fungsi Menurut Shihab (1996), Masjid Nabawi di

Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang

beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah

diemban oleh Masjid Nabawi, yaitu sebagai: (1) Tempat ibadah, (2) Tempat

konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya. (3)Tempat

pendidikan, (4)Tempat santunan sosial, (5)Tempat latihan militer dan persiapan

alat-alatnya, (6)Tempat pengobatan para korban perang, (7)Tempat perdamaian

dan pengadilan sengketa, (8)Aula dan tempat menerima tamu, (9)Tempat

menawan tahanan, (10)Pusat penerangan atau pembelaan agama.

Masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukan kesepuluh

peran tadi. Paling tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan

umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas. Apabila masjid

dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus tepat,

menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda,

pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan

miskin. Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara.

Segala sesuatu yang diduga mengurangi kesucian masjid atau dapat

mengesankan hal tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun

diperlakukan terhadap masjid.

4 . Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid IV. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (cetakan pertama)

1990. hal 3128-3129

26

Morfologi dasar masjid terbentuk dari imam dan makmum, hal ini menjadi

pedoman dasar bentuk ruang bangunan masjid, perkembangan denah bangunan

selanjutnya dipengaruhi perkembangan fungsi dan pembagian gender antara

jemaah laki-laki dan perempuan. Untuk ragam hias tidak ada aturan baku didalam

Arsitektur Masjid karena Islam mencintai keindahan sehingga diperbolehkan

membuat dekorasi didalam Arsitektur Masjid asalkan tidak menggunakan motif

yang dilarang seperti hewan dan manusia.

2.2.2 Kiblat dan Shaf

Kiblat merupakan pusat orientasi pada saat melaksanakan ibadah shalat

baik itu pada saat shalat sendiri ataupun berjemaah. Kiblat merupakan arah

orientasi bangunan Masjid dan Sholat bagi umat Islam tidak terpengaruh arah

orientasi jalan bangunan masjid atau orang sholat akan tetap mengarah ke kiblat di

Masjidil Haram meskipun tidak sejajar dengan bangunan disekitarnya (Akkach,

2005). Arah kiblat dijelaskan juga di dalam Al Quran Surat Al-Baqarah ayat 115

yang berbunyi:

”Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat; maka kemana juapun

kamu menghadap, disanapun ada wajah Allah; Sesungguhnya Allah

adalah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. 5

Di dalam tafsir Al Azhar dijelaskan oleh sebab itu pada dasarnya

menerangkan agama bukanlah semata-mata urusan pribadi. Agamapun adalah

kesatuan seluruh insan yang sefaham dalam iman kepada Allah dan ibadat dan

amal shalih. Terutama sekali dalam mengerjakan shalat kalau sekiranya semua

5 . Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid I. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (cetakan pertama)

27

orang menghadap kemana saja tempat yang disukainya meskipun yang disembah

hanya satu, disaat itu mulailah ada perpecahan umat tadi, maka didalam Islam

bukan saja cara menyembah Allah itu diajarkan dalam waktu-waktunya tertentu,

dengan rukun dan syaratnya tertentu, tempat mengahadapkan mukapun diatur

menjadi satu. Masalah kiblat juga dikisahkan dari Anas bin Malik, katanya

Rasulullah bersabda ;

”Barang siapa shalat seperti kita, menghadap kiblat seperti kita dan

memakan binatang sembelihan kita, maka dia adalah seorang muslim

yang berada dibawah perlindungan Allah dan RasulNya. Karena itu

janganlah anda menghianati Allah..6

Masalah kiblat merupakan masalah yang telah lama muncul terutama di

dalam menentukan arah orientasi masjid yang tepat, sulit untuk mengakuratkan

orientasi ke Kabah akan tetapi pendiri masjid dituntut untuk mendekati orientasi

ideal. Berdasarkan tulisan Soedibyo (2012), arah orientasi kiblat masjid yang

paling sentral bagi umat islam yaitu Masjid Quba dan Masjid Nabawi berdasarkan

citra satelit dan penginderaan dengan bantuan teklogi ternyata terdapat simpangan

kiblat dimanah tidak tepat kearah ka‟bah. Pemahaman ini mendatangkan

perspektif baru dalam memandang konsep kiblat. Selama ini kiblat dianggap

identik dengan Ka‟bah sehingga arah kiblat adalah arah hadap ke Ka‟bah. Namun

dengan eksistensi titik simpang Masjid Quba‟ yang sejauh 45 km dari Ka‟bah,

sementara secara hakiki Masjid Quba‟ tetap menghadap kiblat, maka konsep lama

tersebut perlu ditinjau ulang. Kiblat perlu didefinisikan ulang sebagai titik-titik

6 Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13. Terjemahan Hadist

Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993 . 202 hal 135

28

dimanapun berada sepanjang terletak di antara Ka‟bah dan titik simpang masjid

Quba‟. Dan karena arah kiblat berlaku secara universal (dari segenap penjuru

permukaan Bumi), maka titik-titik tersebut sebaiknya terhimpun dalam satu area

berbentuk lingkaran dengan jari-jari 45 km yang berpusat di Ka‟bah. Lingkaran

inilah kiblat dalam konsep yang baru.

Eksistensi lingkaran ini melingkupi seluruh bagian tanah haram Makkah,

yakni area yang menurut perspektif sejumlah cendekiawan Muslim menjadi kiblat

ijtihad (kiblat bagi segenap Umat Islam yang tinggal dan bermukim di luar batas

tanah haram Makkah).Jika kita menarik garis lurus dari sebuah titik di permukaan

Bumi ke arah tepi lingkaran berdiameter 45 km ini dan dibandingkan dengan garis

yang sama namun diarahkan ke Ka‟bah, maka terbentuk sudut tertentu di antara

dua garis tersebut. Dengan redefinisi konsep kiblat seperti di atas, maka sudut ini

merupakan sudut yang dapat ditoleransi (ihtiyathul qiblat). Ihtiyathul qiblat

sekaligus menjadi pembatas bagi akurasi perhitungan arah kiblat dengan

mempertimbangkan variabel-variabel yang belum tercakup dalam perhitungan.

Dengan kata lain, sebesar apapun akurasi perhitungan arah kiblat, akurasi tersebut

dibatasi oleh eksistensi ihtiyathul qiblat.

Konsep berikutnya adalah shaf. Shaf adalah susunan makmum di dalam

shalat berjemaah. Shalat berjemaah terdiri dari minimal dua orang jemaah yang

melaksanakan shalat bersama-sama dimana salah satu menjadi imam atau

memimpin shalat dan satunya lagi mengikuti gerakan imam yang disebut

makmum. Di dalam shalat berjemaah hanya ada satu imam dan jumlah makmum

29

tidak terbatas. Posisi Shalat Berjamaah sangat menentukan perkembangan bentuk

ruang bangunan masjid dimana didalam shalat berjemaah deretan makmun harus

lurus rapat dan tidak boleh ada penghalang antar makmum baik itu berupa dinding

atau tiang bangunan. Terdapat beberapa konfigurasi shalat berjemaah. Untuk dua

orang jemaah maka posisi imam dan makmum sejajar dengan imam disebelah

kanan7.

Gambar 2.2. Posisi Imam satu Makmum, Posisi Imam dua Makmum dan lebih dari dua makmum

Untuk jumlah makmun tiga atau lebih semua posisi makmum dibelakang

imam dengan susunan simetris terhadap posisi imam atau sumbu kiblat untuk tiga

makmum sedangkan untuk jumlah yang lebih tidak harus simetris. Shaf harus

lurus rapat tidak boleh renggang atau kosong bahu dan tumit saling menempel. 8

Shalat tidak sah atau harus diulang apabila sendirian di shaf belakang atau

terdapat tiang masjid yang menghalangi. Cara menyusun shaf shalat berjemaah

adalah bagi pria dimulai dari shaf terdepan sedangkan bagi shaf wanita dimulai

dari shaf belakang, hal ini didasari hadist riwayat Muslim yang berbunyi:

7 Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13. Terjemahan Hadist

Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993 . 415 hal 227

8 Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13. Terjemahan Hadist

Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993 . 404 hal 226

30

” Sebaik baik shaf kaum laki-laki adalah yang pertama, dan yang

paling buruk adalah yang paling akhir, sebaik baik shaf kaum wanita

adalah yang terakhir dan yang terburuk adalah yang paling depan.” 9

Pembatas antara makmum laki-laki dan wanita sangat penting dilakukan hal ini

didasari oleh QS An-Nur ayat 30-31;

” Katakanlah kepada orang-orang beriman(laki-laki) itu, supaya

mereka menekurkan sebahagian pandangan mereka dan memelihara

kemaluan mereka. Yang demikian itu adalah lebih bersih bagi mereka

sesungguhnya Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan (ayat

30). Dan katakan pula kepada orang-orang yang beriman

(perempuan) supaya merekapun menekurkan pula sebahagian

pandang mereka dan memelihara kemaluan mereka. Dan janganlah

mereka perlihatkan perhiasan mereka kecuali kepada yang zahir saja.

Dan hendaklah mereka menutup dada mereka dengan selendang dan

janganlah mereka nampakan perhiasan mereka kecuali kepada suami

mereka sendiri, atau kepada ayah mereka, atau bapak dari suami

mereka, atau anak mereka sendiri, atau anak dari suami mereka(tiri)

atau saudara laki-laki mereka, anak dari saudara laki-laki mereka,

atau anak dari saudara perempuan mereka, atau sesama mereka

perempuan atau siapa-siapa yang dimiliki oleh tangan mereka, atau

pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak

yang belum melihat aurat perempuan. Dan janganlah mereka

hentakan kaki mereka supaya diketahui orang perhiasan mereka yang

tersembunyi. Dan taubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-

orang yang beriman agar kamu mendapat kejayaan.” 10

Beberapa kutipan hadist diatas sedikit banyak akan berperan didalam

pertimbangan-pertimbangan bagi umat Islam yang akan mendirikan Masjid, sulit

bagi kita untuk mengatakan mana yang paling benar akan tetapi didalam

penelitian ini mencoba menggali kaitan pandangan mereka yang mendirikan

masjid terhadap tuntunan hadist yang mereka pegang terhadap morfologi ruang

bangunan masjid yang mereka dirikan.

9 Daud Ma‟mur. Terjemahan Hadist Shahih Muslim. I-V . Jakarta:penerbit Widjaya

10

Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid 7. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (cetakan pertama)

1992. hal 4924-4925

31

2.2.3 Morfologi

Kata morfologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu morphos, yang

berarti bentuk atau form dalam bahasa Inggris. Pengertian kata morfologi adalah

ilmu tentang bentuk atau the science of form, juga berarti sebagai studies of the

shape, form, external structure or arrangement, especially as an object of study or

classification (Gardiner, 1983). Menurut Alvares (dalam Iskandar,2002),

morfologi sebagai analisis yang mempunyai aspek diakronik dan sinkronik.

Diakronik karena terdapat perubahan ide dalam sejarah sedangkan sinkronik

karena memiliki hubungan antar bagian dalam kurun waktu tertentu yang

berhubungan dengan aspek fisik lain seperti struktur dan tipologi fisik.. Morfologi

lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometrik, sehingga untuk memberi

makna pada ungkapan ruangnya harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu.

Dengan melihat kaitan ini akan bisa dirasakan adanya kaitan yang erat antara

organisasi ruang, hubungan ruang, bentuk ruang dan nilai ruang. Menyangkut

kualitas figural dalam konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui

pola, hirarkhi dan hubungan-hubungan satu dengan lainnya. Hal ini menunjukkan

pada cara mengidentifikasi karakteristik lingkungan yang diwujudkan melalui

bentuk bangunan (Agus,1999).

Menurut Schulz (1979), terdapat perbedaan antara tipologi dengan morfologi.

Jika tipologi merupakan suatu klasifikasi untuk pengelompokkan bangunan

(berarti lebih dari satu bangunan) berdasarkan tipe-tipe tertentu, sedangkan

morfologi menyangkut perubahan bentuk pada satu bangunan. Perubahan bentuk

32

ini, menurut Schulz, menyangkut kualitas figurasi dalam konteks bentuk dari

pembatas ruang. Sistem figurasi ruang dihubungkan melalui pola hirarki ruang

maupun hubungan ruang. Oleh sebab itu, kedua terminologi itu tidak dapat

dipisahkan satu sama lain, baik secara metode maupun substansinya, sehingga

sering disebut dalam satu rangkaian: tipomorfologi. Namun demikian, Moudon

(1994), menyebutkan bahwa tipologi adalah gabungan antara studi tipologi dan

morfologi, yaitu suatu pendekatan untuk mengungkapkan struktur fisik dan

keruangan. Secara metodologi, untuk bisa merumuskan suatu tipologi arsitektur

dalam arti klasifikasi dan pengelompokkan bangunan berdasarkan tipe-tipe

tertentu, maka harus dilakukan terlebih dulu kajian morfologis pada satuan

bangunan. Untuk kedua hal itu biasanya dipakai metode yang biasa dilakukan

dalam sejarah, yang secara substansi mengikutsertakan aspek-aspek kebudayaan

manusia.

Morfologi pada penelitian ini bukan suatu pendekatan untuk mencari tipologi

akan tetapi mencoba mempelajari morfologi ruang dan bentuk masjid serta

melihat faktor yang mempengaruhi bentuk morfologi tersebut. Kajian ini bersifat

Diakronik karena tidak mendetail membahas proses perkembangan sejarah bentuk

masjid tetapi melihat kondisi masjid saat ini, hal ini dikarenakan masjid di

Denpasar pada umumnya merubah bangunan lama dengan cara membongkar

bangunan asli dan mendirikan bangunan yang baru. Penelitian ini mencoba

melihat bagaimana bentuk masjid di Denpasar serta apakah yang mempengaruhi

bentuk tersebut apakah pemahaman terhadap Al-Quran dan Hadist atau faktor

33

lainnya.. Tuntunan Al Quran dan Hadist menekankan posisi kiblat didalam

masjid , susunan Shaf sholat berjamaah ,pemisahan gender antara makmum laki-

laki dan perempuan dimana aturan atau tuntunan ini akan mempengaruhi bentuk

morfologi masjid.didalam penelitian ini juga mencoba mempelajari pengaruh

lingkungan terhadap bangunan masjid yaitu Arsitektur Bali akan tetapi peneliti

tidak mengkaji arsitektur Bali secara dalam akan tetapi mencoba menangkap

elemen tambahan di masjid yang tidak biasa digunakan pada Arsitektur Masjid di

Indonesia kemudia menganalisa elemen tersebut apakah terdapat pada Arsitektur

Bali. Penelitian ini juga mempelajari perkembangan elemen arsitektur pada

Masjid di Denpasar terkait perkembangan lambang atau simbol islam yang

umumnya dikenal pada Arsitektur Masjid dan mencari bagaimanakah penggunaan

ragam hias Bali kedalam arsitektur Masjid di Denpasar.

34

2.3 Kajian teori

2.3.1 Arsitektur Islam

Arsitektur Islam adalah hasil perancangan ruang dan sistem binaan yang

berasaskan pada corak hidup umat islam yang berlandaskan pada prinsip-prinsip

dasar Islam. Salah satu masalah dalam arsitektur Islam adalah terletak pada proses

bagaimana kerangka intelektual dalam memahami apa yang dipahami sebagai

arsitektur Islam. Masalah yang mendasar dari proses berfikir dan kerangka

intelektual tadi terletak pada pendekatan yang dipakai. Pendekatan yang

umumnya dilakukan oleh banyak orang ketika berbicara tentang arsitektur islam

adalah pendekatan yang berorientasi kepada obyek atau pendekatan yang melihat

produk dari suatu peradaban atau masyarakat Islam sebagai suatu produk yang

Islami Pendekatan yang berorientasi kepada obyek mengidentikkan Arsitektur

Islam dengan bangunan dan elemen fisik dari masjid.

Bentuk-bentuk yang melambangkan Arsitektur Islam tadi lebih merupakan

pembentuk image dan simbol-simbol yang membawa misi tersendiri. Adalah hal

yang salah bila mendefinisikan arsitektur Islam yang melihat produk dari

masyarakat ketika itu tanpa melihat hakikat dasar dari ajaran islam itu sendiri

Itulah sebabnya mereka melihat zaman ketika Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin

sebagai suatu jaman buta arsitektur karena sederhananya bangunan ketika itu .

Padahal hakikat dasar dari arsitektur adalah produk dari kondisi dan situasi ,

apapun bentuk arsitektur dari suatu masa dan tempat mencerminkan tatanan nilai

pada masyarakat saat itu (Utaberta,2004)

35

Menurut Utaberta (2011), dengan judul Rekonstruksi Pemikiran dan Filosofi

dan Perancangan Arsitektur Islam Berbasiskan Al Qur‟an dan Sunnah dimana

tulisanya menjelaskan beberapa prinsip dan nilai-nilai yang dapat menjadi dasar

bagi pembentukan kerangka pemikiran, ide-ide dan filosofi Arsitektur Islam

dimana prinsip-prinsip tersebut meliputi delapan prinsip meliputi Prinsip

Pengingatan Pada Ibadah Kepada Tuhan, Prinsip Pengingatan Pada Ibadah dan

Perjuangan, Prinsip Pengingatan Pada Kehidupan Setelah Kematian, Prinsip

Pengingatan Akan Kerendahan Hati, Prinsip Pengingatan Akan Wakaf dan

Kesejahteraan Publik, Prinsip Pengingatan Terhadap Toleransi Kultural, Prinsip

Pengingatan Akan Kehidupan Yang Berkelanjutan, Prinsip Tentang Pengingatan

Keterbukaan.

Nasr (2003), berpendapat bahwa prinsip-prinsip Arsitektur Islam ialah:

1. Unitas (Tauhid)

Hal paling mendasar dalam arsitektur Islam yang bisa kita pahami adalah

konsep Unitas (At-Tauhid) yang tidak lain adalah ideologi prinsip dalam Islam.

Dalam karya, unitas secara arsitektur tercermin dalam saling terkaitnya

berbagai jenis fungsi kegiatan (sekuler dan religi tidak tampil terpisah),

dihilangkannya istilah profan dan sakral. Prinsip unitas tercermin juga dalam

bagaimana diperlakukannya eksterior dan interior. Dapat dirasakan bahwa

antara ruang dalam dan pertamanan, keduanya menjadi satu perpaduan yang

utuh

36

2. Realisme

Realisme, dimana clarity dijunjung tinggi dalam mengartikulasikan fungsi

elemen dan bahan. Setiap material diperlakukan sebagaimana mereka apa

adanya, bukan sebagaimana mungkin mereka tampaknya. Diperlakukan dan

dijunjung tinggi sedemikian rupa supaya menampakkan karakter mereka

sebagai bagian dari kreasi Tuhan.

3. Kesatupaduan dengan tatanan alam

Kesatupaduan dengan Tataan Alami. Dalam rancangan, fitur arsitektur

buatan manusia menjadi satu kesatuan dengan fitur alami. Masjid bukan ruang

suci yang terpisah dari ruang alam, tetapi adalah keluasan ke arah lingkungan

buatan manusia yang selaras dengan alam. Terjadi perpaduan antara harmoni

dan irama.

4. Kehampaan ruang

Melebihi dari aspek-aspek di atas, yaitu sebuah tingkatan di mana ruang

dihayati dan dirasakan secara totalitas dengan penggunaan seluruh indera

manusia; atau kita kenal dengan sense of place. Bagaimana memberi peluang

dan stimulan kepada seseorang untuk memahami hakikat di luar dirinya,

seakan-akan mengajak ke alam immaterial, meninggalkan dunia menuju

spiritual. Sebuah filosofi Cina mengatakan “kosong adalah isi, isi adalah

kosong”. Dalam bahasa arsitektur, dapat kita artikan bahwa sesuatu yang berisi,

ramai, penuh ornamen, sebenarnya tidak lain ialah menyiratkan sebuah

kekosongan atau kehampaan. Sebaliknya, sesuatu yang bersih, polos, tanpa

ornamen, sebenarnya adalah menyiratkan kepenuhan, kematangan,

37

kesempurnaan. Hal ini diterapkan salah satunya pada detail mihrab ruang

sholat yang penuh ornamen menurut beliau justru menyiratkan sebuah

kekosongan pikiran agar kemudian bisa lebih khusyu‟ dalam beribadah.

Adapun Haider (2002), mengemukakan bahwa Arsitektur dapat dikatakan

islami jika melingkupi empat hal. Pertama, kosmologi arsitektur tersebut

mengandung nilai bahwa alam dan manusia mempunyai misi untuk menyembah

Allah SWT. Manusia dianggap sebagai makhluk yang berakal dan berkemauan

bebas namun bertanggung jawab kepada sesama manusia dan alam dalam rangka

beribadah kepada Allah SWT. Kedua, Arsitektur yang merepresentasi nilai-nilai

sejarah Islam yang terlihat dari dinasti-dinasti Islam, politik dan kota-kota Islam.

Ketiga, Arsitektur yang menghormati konsep halal-haram sebagaiman yang

terdapat dalam hukum islam. Keempat, arsitektur melambangkan spiritualitas

Islam seperti penggunaan hiasan kaligrafi dan arabesques.

Rehman (2002), dalam the Grand tradition of Islamic Architecture

menjelaskan bahwa arsitektur yang islam adalah arsitektur yang berlandaskan

Qur‟an dan Hadist Rasulullah SAW. Bangunan arsitektur tersebut harus sesuai

dengan nilai-nilai: Pertama adalah tauhid dan risalah. Bangunan didirikan tidak

ada didalamnya unsur syirik dalam pembuatannya, desain dan ornament di

dalamnya (termasuk didalamnya penggunaan patung). Bangunan itu tidak dibuat

dengan mengotori atau merusak alam, binatang dan tumbuhan. Oleh karena itu,

hiasan dan ornament interior dalam aristektur Islam banyak menggunakan motif

tumbuhan (arabesques), kaligrafi dan geometri. Kedua, Qur‟an memberikan

38

kesadaran akan lingkungan dan realitas lingkungan. Diantaranya adalah struktur

matematika dalam Qu‟ran yang menghubungkan intelektual dan spiritual Islam

dan Matematika sebagaimana yang terkandung dalam struktur dari Qur‟an sendiri

dan simbol-simbol numeric dari huruf dan kata. Oleh karena itu, seni arsitektur

Islam berkembang dalam konsep geometri, astronomi dan metafisik. Ketiga,

Konsep Desain berbasis geometri murni. Bangunan memiliki “badan” yang

didesain dengan konsep geometri. Adapun jiwanya dapat didesain dengan

memodifikasi pencahayaan, ventilasi, efek suara, lansekap, warna, teksture, dan

interior dan eksterior. Konsep ini bisa dilihat dari rumah-rumah, masjid, makam,

atau taman. Empat, konsep syurga di Bumi. Dalam mendeskripsikan taman-taman

Surga. Arsitektur Islam sangat dipengaruhi dengan konsep taman dan courtyard

sehingga landsekap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bangunan. Kelima,

konsep cahaya. Cahaya sebagai simbol spiritualitas dikenal dalam dunia sufi.

Arsitektur Islam mendesain pencahayaan, bayang-bayang, panas dan dingin dari

angin, air beserta efek pendinginnya, dan tanah. Tujuannya adalah agar komponen

insulating ini harmonis dengan alam. Konsep dan nilai tersebut diatas merupakan

framework dalam mendesain rumah yang memiliki nilai-nilai Islam dalam rangka

beribadah kepada Allah SWT.

39

2.3.2 Morfologi Masjid di Indonesia

Kata morfologi banyak digunakan dalam beberapa bidang keilmuan, yaitu

bagian dari ilmu yang mengacu pada pembahasan tentang bentuk, fungsi dan

makna, dengan demikian morfologi masjid menjelaskan tentang bentuk, fungsi

dan makna suatu masjid. Bentuk masjid awal sebagaimana menurut sejarah adalah

sebuah bangunan sederhana berlantaikan tanah, dinding terbuat dari tanah yang

dikeringkan, tiangnya dari batang kurma dan atapnya dari pelepah dan daunnya.

Denah masjid pada kondisi awal relatif berbentuk bujur sangkar yang kemudian

menjadi panutan bagi dibangunnya masjid-masjid sejenis. Akan tetapi tulisan

mengenai pendirian masjid atau keberadaan masjid pada awal penyebaran islam di

Indonesia banyak ditulis oleh peneliti Belanda dimana mereka menggambarkan

morfologi masjid terdahulu dan darimana gaya yang mempengaruhi masjid

tersebut.

Banyak teori yang berkembang terkait dengan morfologi masjid di

Indonesia diawali oleh Stutterheim dalam nas & vletter (1953), bahwa bangunan

masjid tidak mungkin dipengaruhi oleh arsitektur candi karena ruang-ruang kecil

dan sempit didalam candi tidak dapat dijadikan sebagai model dari perancangan

sebuah masjid dimana sebuah masjid memerlukan ruangan yang luas dan besar

oleh karena itu beliau berpendapat bangunan gelanggang menyabung ayam

(wantilan) bangunan yang sesuai. Bangunan ini merupakan bangunan sebelum

Islam yang masih ada keberadaan nya di Bali, bentuk denah persegi empat,

memiliki bumbung dan sisinya tidak memiliki dinding. Sehingga apabila sisi

40

tersebut dibuat dinding dan diberi mihrab pada sisi baratnya maka memenuhi

kriteria sebuah mesjid. Akan tetapi pendapat stutterheim ditentang oleh H.J de

Graff (1963), menururt beliau tidak mungkin orang islam memilih bangunan yang

dahulunya digunakan untuk berjudi sebagai model masjid karena kegiatan

tersebut haram didalam islam. Selain itu menurut beliau bumbung wantilan hanya

satu tingkat saja, tidak bertingkat-tingkat seperti bumbung masjid tradisional di

Indonesia, de Graaf juga berpendapat bahwa model masjid masjid tradisional di

Indonesia mengambil model dari Gujarat, Kashmir dan Malabar (India). Bukti

yang memperkuat pendapatnya berdasarkan hasil studi Jan Huygens van

Linschoten dimana didalam kajiannya bahwa masjid di malabar juga memiliki

denah persegi empat dengan atap bumbung bertingkat dimana salah satu tingkat

digunakan untuk belajar agama. Hal yang sama juga ditemukan oleh Graff pada

masjid di Sumatera Barat, berdasarkan perbandinagan inilah yang memperkuat

kesimpulannya bahwa seluruh Masjid tradisional di Indonesia mengambil model

dari Gujarat, Khasmir atau India. Bentuk masjid yang digambarkan oleh graff

yaitu bangunan berbentuk bujur sangkar sesuai dengan aturan di Jawa akan tetapi

di tempat lain di Asia Tenggara boleh menggunakan bentuk persegi panjang, atap

yang khas, beranda dan sebuah ruang tambahan dibelakang yang disebut mihrab.

Namun Begitu menurut Nas dan Vletter (2009) pendapat Graff berbeda

dengan peneliti Belanda Pijper diamana beliau menyebutkan bahwa tipe bentuk

masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa bukan dari pengaruh luar.

Menurutnya ada enam karakter umum tipe Masjid Jawa yaitu; (1) berdenah bujur

sangkar, (2). lantainya langsung berada pada fundamen yang masif atau tidak

41

memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau

tempat ibadah berukuran kecil seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan

bale(Banten), (3). memiliki atap tumpang dari dua hingga lima tumpukan yang

mengerucut ke satu titik di puncaknya, (4). mempunyai ruang tambahan pada

sebelah barat atau barat laut untuk mihrab, (5). mempunyai beranda baik pada

sebelah depan (timur) atau samping yang biasa disebut surambi atau siambi

(Jawa) atau tepas masjid (Sunda), dan (6). memiliki ruang terbuka yang mengitari

masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian

muka sebelah timur. Masjid di dalam penelitian nya juga dijelaskan berdiri di atas

tiang-tiang kayu dan ia juga yakin bahwa masjid-masjid lama memiliki dinding

rapat, sedangkan jendela merupakan penemuan lebih baru. Pernyataan Pijper

bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa tadi tampaknya

juga diikuti oleh hampir semua kalangan termasuk para ilmuwan atau akademisi

hingga sekarang. Bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa pengaruh bentuk

arsitektur Masjid Jawa ini bukan hanya pada tipe masjid di Indonesia, namun

hingga masjid-masjid di seluruh Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand

(Patani), dan Philipina (Mindanau). Akan tetapi pendapat serupa juga dijelaskan

oleh Tjandrasasmita (2009), dimana menurut beliau masjid-masjid kuno yang ada

di Indonesia mempunyai corak atau bentuk yang berbeda dengan masjid yang ada

di negeri lain. Kekhasan masjid-masjid kuno tersebut antara lain: (1) denahnya

persegi empat atau bujur sangkar, (2) atapnya bertumpang atau bertingkat terdiri

dari dua atau lebih dan semakin keatas semakin runcing, (3) mempunyai serambi

didepan atau disamping ruangan utama masjid, (4) di bagian depan atau samping

42

masjid biasanya terdapat kolam, (5) disekitar masjid diberi pagar tembok dengan

satu, dua, atau tiga gerbang.

Setiabudi (2006), juga mencoba memperkuat penelitian sebelumnya dimana

memperkuat teori bahwa masjid di Indonesia tidak terpengaruh oleh arsitektur

dari luar beliau mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Pijper dimana

Sejarah perkembangan morfologi masjid dijawa diawali dengan masa awal

berdirinya masjid meniru bentuk bangunan lokal yang tergambar di dinding candi

menyerupai bentuk meru dan pendopo atau wantilan di Bali. dimana terus

berkembang dengan memiliki karakter empat pilar ditengah ruang shalat yang

dikenal dengan soko guru dimana atribut tambahan seperti minaret sebenarnya

tidak terdapat pada masjid di Jawa. Dengan menelaah tipologi bentuk dasar dan

sifat dasar tersebut, maka dapat disimpulkan pula bahwa tradisionalitas langgam

arsitektur masjid banyak ditampilkan oleh sinkretisme, eklektisisme, dan

simbolisme bentuk. Ini melahirkan masjid-masjid tipikal tradisional di Jawa yang

memiliki ciri umum sebagai berikut: memakai material kayu, beratap tumpang,

terdapat memolo (hiasan dari puncak atap yang diadaptasikan dari tradisi Hindu),

memiliki tempat wudlu berupa kolam atau gentong, beduk atau kentongan,

serambi atau pendopo, pawestren (ruang shalat wanita), pagar dan gerbang,

makam, dan sebagian memiliki istiwa (jam matahari), dan tidak bermenara

(kecuali pada perkembangan kemudian). Akan tetapi Aufa (2010) tidak terlau

sependapat bahwa masjid di Jawa mempengaruhi masjid di luar jawa atau model

masjid di Asia Tenggara berasal dari Jawa pendapat beliau diperkuat didalam

penelitiannya terhadap masjid di kalimantan dimana bentuk denah dan atap

43

tumpang pada masjid memiliki makna yang berbeda dimana didalam kebudayaan

dayak bentuk atap masjid melambangkan pohon hayat, selain itu juga terdapat

simbol-simbol didalam ornamen masjid mewakili simbol suku dayak.

Model masjid di jawa mempengaruhi morfologi masjid diluar Jawa juga

diragukan oleh Utaberta dkk (2009), dimana didalam penelitiannya atap tumpang

menyebar diseluruh masjid di Nusantara dan apabila dilihat dari sejarah kerajaan

pertama islam yang berdiri di Sumatera yaitu Samudera Pasai sehingga

seharusnya tipologi masjid mulai berkembang pada wilayah dimana islam

awalnya berkembang, akan tetapi penelitian Utaberta tidak menekankan lebih

rinci mengenai asal bentuk morfologi masjid tua di Indonesia akan tetapi teori

utama yang dikemukakan oleh beliau adalah keberadaan bentuk arsitektur masjid

di Indonesia awalnya lebih dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan masing-

masing daerah hal ini diperkuat dengan penelitian mereka terhadap masjid-masjid

di Padang, Jambi, Bengkulu, Palembang dan Lombok dimana memiliki karakter

bentuk dan makna yang berbeda dengan masjid di Jawa. Di dalam tulisanya

Utaberta juga merinci ciri-ciri khas yang dapat dilihat pada kebanyakan masjid di

Indonesia adalah bentuk asas rata atas tanah yang digunakan. Asas rata yang biasa

digunakan berbentuk segi empat sama dan biasa digunakan pada berbagai jenis

candi di Pulau Jawa. Pada beberapa masjid yang masih terdapat di Pulau Jawa,

pengaruh asas rata candi masih boleh dilihat sehingga kini. Pada bangunan-

bangunan yang juga memiliki fungsi seperti masjid seperti langgar, tajug dan bale,

biasanya dibangun di atas tiang sebagaimana bentuk bangunan tradisional

Indonesia yang lain. Selain dari asas rata, tembok atau pagar bangunan juga

44

merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi pembangunan masjid

tradisional Indonesia. Hanya di kota-kota atau dalam bandar yang tidak

mempunyai halaman yang luas saja dasar pembinaan tembok tersebut tidak

dilakukan. Tetapi pada masjid bentuk Jawa yang asli, tembok adalah suatu yang

penting bagi memisahkan antara „kawasan suci‟ dan „kawasan kotor‟. Pada bagian

hadapan dari tembok biasanya dibangunkan gerbang yang mempunyai bermacam-

macam bentuk dan gaya. Gerbang yang tidak berbumbung biasanya disebut

Gerbang Bentar sedangkan gerbang yang berbumbung biasanya disebut Gapura

(Bahasa Jawa) atau dalam Bahasa Sanskrit disebut Gopura. Tembok yang

mengelilingi sebuah masjid ini sebenarnya bukanlah cirri khas seni bina Muslim,

tetapi merupakan salah satu bentuk seni bina peninggalan bangunan Candi desa

yang disebut Pura Desa dan masih banyak dijumpai di Bali. Biasanya Pura Desa

di Bali terdiri dari tiga halaman yang bertingkat-tingkat kesuciannya dan tiap

halamannya dikelilingi oleh tembok. Pembahagian kawasan suci ini boleh dilihat

pada bangunan-bangunan permakaman yang dibuat berdekatan dengan bangunan

masjid seperti makam suci Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya, makam

Sunan Giri di Gresik, makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten atau makam

suci keluarga Raja Demak yang terdapat di persekitaran Masjid Demak.

Berbeda lagi Morfologi Masjid menurut Iskandar (2004), morfologi masjid

dipengaruhi sudut pandang Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap

Tipologi masjid di Jawa Tengah. Pertama, masjid berbasis masyarakat NU

umumnya memiliki bentuk dasar denah “tradisional Jawa” persegi empat (dalam

arti fisik maupun simbolik); pengolahan denah masjid yang tidak berdasar

45

perhitungan rasional modular tetapi lebih berdasarkan intuisi (metode blackbox)

dan pengalaman imitatif tukang; sinkretisme dan eklektisisme dalam penataan

ruang, bentuk, dan fungsi; adanya orientasi kosmologis dan mistis; komposisi dan

konfigurasi simbolik; penggunaan material tidak diterapkan mengikuti kaidah

teknologik; gaya arsitektur masjid mengikuti langgam tradisional seperti bentuk

atap tajug atau pemakaian kubah berlanggam Timur Tengah Arabian berdasar

persepsi massa ummat Islam tentang “ciri” arsitektur masjid, dan lain-lain. Dari

segi transformasi bentuk, tampak bahwa perubahan bentuk masjid bersifat

inkremental; bentuk masjid tumbuh dan berkembang tanpa sekrenario dengan

tempelan ruang dan bentuk yang tidak selalu menyatu dengan bentuk asal; dan

lain-lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tipologi masjid berbasis

masyarakat Islam tradisionalis (Nahdlatul Ulama) umumnya dominan

menampilkan ciri tradisionalitas arsitektur.

Kedua, sebaliknya, masjid berbasis masyarakat Muhammadiyah melahirkan

tipologi masjid yang tidak terikat pada satu langgam tipikal tetapi mencari

tipologi sesuai dengan konsep dan program rancangan masjid, atau bahkan tanpa

terikat dengan suatu tipologi tertentu penggunaan material untuk konstruksi beton

bertulang misalnya, tidak berdasarkan perhitungan rasional, tetapi berdasarkan

intuisi dan pengalaman tukang; tak ada standarisasi, karena pendekatan rasional

dan ide dalam mengolah bentuk; pengolahan denah dan tapak masjid memiliki

kesetiaan kepada order berdasarkan grid rasional dan modul struktur tertentu;

orientasi rasionalitas, fungsi, dan efisiensi; komposisi dan konfigurasi bentuk atau

struktur berdasarkan pertimbangan estetik dan bukan simbolik/mistik; bentuk

46

bersifat ahistoris, noneklektik, dan non sinkretik; jika memakai idiom tradisional

bentuk tetap diolah secara rasional dan terjadi desakralisasi; penggunaan material

alam/tradisional diolah secara modern baik segi segi teknik maupun estetik, dan

demikian pula penggunaan material buatan sehingga memberi ekspresi

modernitas. Dari segi transformasi bentuk, hasilnya adalah bentuk-bentuk yang

sudah final tanpa transformasi; jika ada perubahan, bentuk mengikuti rancangan

yang terintegrasi dengan bentuk asal atau karakter tapak, dan lain-lain.

Fenomena ini diinterpretasikan lebih jauh, menjadi sebuah konsep adanya

keterkaitan antara doktrin atau faham keagamaan masyarakat pendukung masjid

dengan perwujudan tipologi arsitektur masjid secara langsung maupun tidak

langsung. Penelitian Iskandar membuka ruang kosong yang menjadi pertanyaan

para peneliti sebelumnya yang mencoba berdebat mengenai asal usul gaya

bangunan masjid di Indonesia karena melalui penilitianya ada faktor yang cukup

dominan didalam perencanaan masjid yaitu sudut pandang seseorang atau

kelompok dengan pemahaman yang berbeda akan menghasilkan konsep bentuk

bangunan Masjid yang berbeda pula.

Penelitian selanjutnya yang sangat penting di dalam bangunan masjid yaitu

Morfologi ruang dimana ruang shalat merupakan bagian pertama yang dipikirkan

didalam membangun masjid. Penelitian mengenai ruang dalam masjid dilakukan

oleh Rosniza (2008), menyatakan bahwa masjid di Malaysia memiliki tiga elemen

dasar yaitu pintu masuk, ruang shalat dan teras atau koridor. Adapun susunan dari

ketiga komponen ini akan senantiasa berubah seiring dengan waktu. Mulai dari

awal berdirinya masjid dimalaysia tipologi ruangnya masih sangat sederhana

47

dimana pintu masuk masih membentuk sumbu aksis dengan kiblat ini berlaku

pada masjid antara abad ke-18-19 M. Untuk masjid pertengahan abad ke-19

posisi entrance bangunan melintang terhadap sumbu axis kiblat sudah jarang

ditemukan berada lurus dengan seperti masjid zaman sebelumnya akan tetapi dari

bentuk ruang masih berupa persegi dan persegi panjang. Kategori masjid abad 20

orientasi entrance mengalami perubahan yaitu ada kecendrungan memusat ke

tengah bangunan begitu pula dengan bentuk denah lebih banyak memakai bentuk

memusat seperti lingkaran dan persegi delapan. Pada penelitian Rozniza tidak

dijelaskan kaitan bentuk morfologi ruang tersebut terkait Al-Qur‟an dan Hadist

sehingga keragaman bentuk denah akan menggambarkan pandangan dan

pemahaman mereka yang mendirikan bangunan masjid tersebut.

Menurut Salain (2011), Penerapan arsitektur lokal tidak dilarang didalam

rancangan masjid ,pengaruh yang paling dominan didalam penerapan gaya

arsitektur tersebut adalah konsensus atau kekuasaan. Selain itu penerapan

arsitektur Bali pada masjid justru akan mempererat toleransi hubungan antar umat

beragama.

Didalam penelitian morfologi Arsitektur Masjid di Bali, hal pertama yang

ingin digali adalah bagaimana morfologi ruang masjid terkait dengan bentuk

ruang utama masjid. Kemudian dari bentuk yang didapatkan peneliti mencoba

menggali sudut pandang dan pemahaman jemaah didalam merencanakan sebuah

bangunan masjid. Peneliti juga akan membedah elemen-elemen di dalam

bangunan masjid dimana perkembangan elemen arsitektur masjid menurut Fanani

(2009), meliputi Mihrab yang digunakan untuk imam memimpin shalat, Zulla

48

merupakan ruangan terdepan di dalam masjid yang berbatasan dengan dinding

kiblat, bagian selanjutnya mimbar merupakan podium untuk menyampaikan

khutbah, didalam masjid juga terdapat elemen kaligrafi dan ornamen, pada

masjid juga sering terdapat gerbang yang terdapat pada pintu utama atau pada

posisi gerbang masuk kedalam masjid, elemen berikutnya adalah kolom baik itu

pada bagian beranda dan deretan kolom didalam masjid yang terkadang berbentuk

portal-portal tersusun dengan ukiran-ukiran floral atau kaligrafi, bagian

selanjutnya adalah kubah atau atap dimana merupakan elemen yang penting

didalam masjid karena selain berfungsi untuk melindungi bangunan dari hujan

panas juga memberikan karakter yang kuat terhadap bangunan masjid, tempat

wudhu juga menjadi elemen penting didalam pembahasan morfologi masjid,

bagian terakhir yang menjadi elemen pada bangunan masjid adalah menara atau

yang dikenal minaret. Tidak semua elemen diharuskan terdapat didalam masjid

karena bagian penting dari masjid hanya berupa ruangan untuk melaksanakan

shalat berjamaah yang biasanya terdiri dari ruang mihrab dan ruang shalat sudah

cukup untuk syarat sah nya shalat berjamaah. Elemen-elemen pada masjid

tersebut merupakan elemen sekunder yang selanjutnya berkembang

menyesuaikan dengan budaya dimana masjid tersebut berada sehingga sangat

menarik bagaimana perkembangan elemen masjid tersebut di dalam Arsitektur

Masjid di Denpasar Bali.

49

2.4 Model Penelitian

Gambar 2.3. Model Penelitian

Arsitektur Masjid Arsitektur Islam

Morfologi Arsitektur

Masjid Indonesia

Arsitektur Tradisional

Indonesia

Arsitektur Tradisional Bali Keterbatasan Lahan

Islam Minoritas

Bentuk Ruang dan

Bangunan masjid

Ragam Hias Masjid di Dernpasar

MORFOLOGI

ARSITEKTUR MASJID DI

DENPASAR

BALI

Tuntunan Al-Quran

dan Hadist

Lambang dan Simbol Islam

Elemen Arsitektur Bali

50

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif .

Penelitian deskriptif kualitatif menganut paham fenomenologis dan

postpositivisme yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai

kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di

masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas sebagai

suatu ciri, karakter, model, tanda atau gambaran tentang situasi atau fenomena

tertentu tanpa membahas makna secara dalam. Penelitian deskriptif pada

umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara

sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat.

Metode rasionalistik-kualitatif merupakan metode dengan peneliti bertindak

sebagai instrumen utama, penelitian dilakukan dengan proses interview secara

mendalam dan mendetail secara silang dan berulang untuk dapat mengetahui

perkembangan kawasan, lingkungan serta perubahan – perubahan yang mungkin

terjadi (Bungin, 2009).

Metode deskriptif merupakan suatu metode yang dilakukan dengan cara

mengumpulkan data dari hasil interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi,

dokumen resmi, ataupun data-data lainnya. Metode ini digunakan untuk

menggambarkan bagaimana kondisi di lapangan, proses apa-apa saja yang telah

berlangsung dengan cara diagnosa dan menerangkan hubungan yang terjadi di

lapangan dengan kajian teori, untuk kemudian dapat ditarik kesimpulan dari

51

masalah yang ada sekarang, yang kesemuanya disusun secara sistematis

berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan (Moleong 2002:7). Penelitian

Deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai

kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di

masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu

kepermukaan sebagai suatu ciri, model, karakter dan gambaran tentang kondisi

dan situasi tertentu (Bungin,2009)

Penelitian Ini Bersifat deskriptif untuk memperoleh data kualitatif dengan

cara mengobservasi artefak bangunan masjid sebagai objek kajian. bertujuan

untuk menghasilkan sebuah deskripsi tentang apa yang dialami dan terjadi yang

menyangkut ide atau keingingan masyarakat Muslim yang akan dijadikan sasaran

penelitian, sertra deskripsi pengamatan morfologi masjid dan mengenai prilaku

mereka. Untuk mengetahui morfologi ruang dan wujud masjid digunakan metode

studi kasus yang dilakukan dengan mempelajari 30 kasus dilapangan.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian ini adalah Kota Denpasar Propinsi Bali. Adapun alasan

penelitian pada lokasi tersebut adalah karena selain sebagai ibukota propinsi Kota

Denpasar memiliki penduduk yang multikultural sehingga kemungkinan

akulturasi semakin besar yang akan mempengaruhi morfologi Arsitektur

Masjidnya.

52

3.3 Jenis dan Sumber Data

a. Data primer

Sumber data Primer dalam penelitian ini adalah dokumentasi berupa foto-

foto dan pengukuran dilapangan sedangkan informasi mengenai keberadaan

masjid diperoleh dari, MUI Denpasar. Data mendalam dalam penelitian ini

diperoleh dari informan kunci yang paham dan mengerti mengenai Masjid

diantaranya, tokoh masyarakat, pengurus yayasan atau pengurus masjid dan

jemaah sekitar masjid.

b. Sumber data sekunder

Sumber data pelengkap dalam penelitian ini adalah dengan mengambil

beberapa sumber tambahan atau pelengkap, yaitu studi kepustakaan berupa

buku-buku yang menunjang penelitian

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Metode Pengumpulan data yang digunakan dengan cara kualitatif dimana

dalam penelitian ini menggunakan tiga metode pengumpulan data, Yaitu :

1. Wawancara

Metode wawancara dilakukan untuk memperoleh data yang tepat dan

obyektif dengan cara menggunakan seperangkat pertanyaan baku baik urutan,

kata-kata dan cara penyajiannya dengan menggunakan alat yang dinamakan

interview guide untuk memperoleh informasi mengenai Arsitektur Masjid di

Denpasar Bali. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan metode wawancara

mendalam merupakan proses memperoleh keterangan dengan cara tanya

jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan dengan atau

53

tanpa menggunakan pedoman, kekhasan wawancara ini adalah keterlibatannya

dalam kehidupan informan (Bungin,2009).

Wawacara mendalam didalam penelitian ini digunakan agar mendapatkan

data akurat mengenai persepsi dan informasi mengenai objek penelitian.

Adapun informan yang akan diwawancarai atau adalah tokoh-tokoh

masyarakat diantaranya, Pengurus Masjid atau ketua yayasan , dan Jemaah

yang menggunakan masjid jemaah disini adalah jemaah yang berada disekitar

bangunan masjid yang selalu beribadah di masjid tersebut. Selanjutnya

informan yang mewakili Instansi pemerintah diantaranya Departemen Agama,

dan majelis Ulama Indonesia cabang denpasar. Adapun bentuk wawancara

yang digunakan adalah individu dengan individu agar informasi yang

diperoleh bisa lebih luas. Pengumpulan data secara wawancara dilakukan

dengan memberikan jenis pertanyaan yang sama dengan sumber informan

berbeda agar diketahui sudut pandang mereka terhadap objek yang diamati.

Berdasarkan rumusan masalah dan kajian teori maka peneliti mencoba

merumuskan daftar pertanyaan wawancara.

2. Observasi

Metode Observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif meliputi

observasi partisipatif, observasi tidak berstruktur dan observasi berkelompok

(Bungin,2009). Metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode observasi

partisipatif dimana metode pengumpulan data digunakan untuk menghimpun

data penelitian melalui pengamatan terhadap objek. Adapun hal hal yang

hendak diamati didalam penelitian ini adalah mengamati aktivitas penggunaan

54

masjid baik itu pada saat shalat ataupun kegiatan lain yang dilakukan didalam

masjid sehingga dapat diamati dimana pembagian ruang berdasarkan gender.

Bagian lain yang akan diamati adalah bagaimana penggunaan ruang didalam

masjid menyesuaikan dengan apa yang dikemukakan didalam wawancara.

Observasi juga dilakukan pada saat shalat jum‟at dimana tambahan ruang yang

sering digunakan apabila ruang dalam masjid tidak bisa menampung jemaah.

3. Studi Dokumentasi

Dilakukan guna mengumpulkan sumber data yang berasal pengukuran

langsung berupa sketsa gambar dan foto-foto baik itu foto elemen bangunan

maupun peristiwa penggunaan masjid atau sumber lain yang mendukung

pengumpulan data penelitian.

Uji keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik Triangulasi

sumber. Triangulasi berarti membandingkan dan mengecek balik derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui alat dan waktu yang

berbeda dalam metode penelitian kualitatif (Moleong, 2000:178)

Triangulasi sumber yang digunakan dapat ditempuh dengan cara-cara, antara

lain sebagai berikut (Moleong, 2000:178);

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa

yang dikatakan pribadi

c. Membandingkan apa yang dikatakan seseorang pada saat diteliti sepanjang

waktu.

55

d. Membandingkan keadaan dengan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan orang yang seperti rakyat biasa, pejabat

pemerintah dan orang-orang berpendidikan.

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang bersangkutan.

Triangulasi sumber dapat di gambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1. Model triangulasi sumber

Triangulasi sumber penting dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat

dari sumber yang berbeda sehingga peneliti bisa mendiskusikan arguman atau

informasi yang diperoleh dari informan.

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam Penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu

sendiri dan memerlukan instrumen pendukung berupa buku catatan dan kertas

gambar, alat perekam, digital camera, scanner dan sebagainya Peneliti sebagai

Instrument diharapkan memiliki kepekaan teoritik, sehingga mampu unuk

memberikan arti, penafsiran, memberi hipotesa dan melakukan tes-tes terhadap

data yang didapatkan.

56

3.6 Analisis Data

Strategi analisis data adalah Analisis Morfologi

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data mengenai Elemen

pembentuk Arsitektur dan Informasi mengenai makna

a. Pengumpulan Data

rancangan. Peneliti mengumpulkan data dengan mencatat semua informasi

dari informan yang mengetahui mengenai sejarah berdirinya masjid dan

penggunaanya.

b. Reduksi Data

Menurut Sanafiah Faizal (1990:43) reduksi data diartikan sebagai

proses pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan,

pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan

lapangan.

c. Sajian Data

Sajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang

memungkinkan adanya penarikan simpulan dan pengambilan tindakan

(Moleong,1995:106). Sajian data ini bertujuan untuk menyusun informasi

yang diperoleh dari penelitian lapangan guna menarik simpulan.sajian data

berupa tabel baik tulisan atau gambar untuk mencari perbedaan dan

kesamaan untuk menguatkan argumen teori yang akan dimunculkan.

d. Kesimpulan atau Verifikasi data

Proses selanjutnya adalah penarikan simpulan yang digunakan sebagai

suatu hasil dari pengambilan data lapangan melalui informan yang

57

mengetahui seluk beluk bangunan masjid di Bali, sehingga diperoleh

kesimpulan mengenai bentuk arsitektur masjid dan elemen-elemen

pembentuknya. Kesimpulan ini dibuat sesingkat mungkin sewaktu

memikirkan kembali yang terlintas di dalam pikiran kemudian

menganalisis selama ia meneliti. Didalam penelitian ini dilaskukan dengan

dua langkah analisis data dimana langkah pertama mengumpulkan data

secara kualitatif dari lapangan kemudian mencocokan atau

membandingkan bentuk morfologi Arsitektur Masjid di Denpasar dengan

Morfologi Masjid di Timur Tengah .

3.7 Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data yaitu dengan menggunakan tabel dan gambar.

Tabel merupakan penyajian data dalam bentuk kolom dan baris, sedangkan

gambar penyajian datanya melalui bagan, grafik, peta sketsa dan foto. Cara

lainnya yaitu dengan naratif yaitu brupa penguraian-penguraian. Karena penelitian

ini merupakan penelitian morfologi sehingga dibutuhkan perkawinan antara tabel

dan gambar, yaitu gambar-gambar disusun di dalam bentuk tabel sehingga

pengelompokan akan lebih mudah di baca.

58

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Masjid di Denpasar Bali

Belum terdapat data yang akurat baik dari Majelis Ulama Indonesia maupun

dari departemen Agama mengenai jumlah bangunan Masjid di kota Denpasar. Hal

ini dikarenakan Masjid di Bali sering juga disebut dengan istilah Musholla

padahal secara fungsi memiliki kesamaan dimana salah satu syarat yang harus

dipenuhi oleh bangunan masjid adalah diselenggarakannya ibadah sholat jum‟at.

Mengkategorikan Masjid tidak bisa dari ukuran skala bangunan. Rasullullah

bersabda:

” Barang Siapa, demi keridhaan Allah, mendirikan sebuah masjid walaupun

seluas burung merpati, niscaya Allah akan membangunkannya istana di syurga” 11

Berdasarkan hadis tersebut sulit kita mengkategorikan bangunan masjid

berdasarkan ukuannya. Sehingga peneliti melakukan sensus terhadap bangunan

masjid dan musholla di Kota Denpasar dan mengkategorikan kembali bangunan

yang seharusnya berfungsi sebagai masjid. Kategori masjid juga sering dikaitkan

dengan dilaksanakan Sholat Jum‟at dan Sholat lima waktu didalamnya. dari segi

fungsi Menurut Shihab (1996), Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan

fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah

mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh Masjid

11

. Ash Shidiieqy, M.A. 1970. Koleksi Hadist-Hadist Hukum Al-Ahkamun Nabawiyah.Hadist

diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim (577) hal 345. Bandung: PT Alma‟Arif

59

Nabawi, yaitu sebagai: (1) Tempat ibadah, (2) Tempat konsultasi dan komunikasi

(masalah ekonomi-sosial budaya. (3)Tempat pendidikan, (4)Tempat santunan

sosial, (5)Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, (6)Tempat

pengobatan para korban perang, (7)Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa,

(8)Aula dan tempat menerima tamu, (9)Tempat menawan tahanan, (10)Pusat

penerangan atau pembelaan agama. Pemilihan kasus juga pertimbangan gaya

arsitektur yang digunakan meliputi masjid yang menggunakan kubah bergaya

Timur Tengah, masjid yang menggunakan atap tumpang, masjid yang

menggunakan pagar dan tanpa pagar, masjid yang memiliki gerbang masuk

bergaya Arsitektur Bali, modern dan Timur Tengah. Bentuk ruang meliputi

konsep perletakan tiang dan dinding pembatas serta arah kiblat bangunan dan

sholat juga menjadi pertimbangan penetapan kasus.

Berdasarkan pertimbangan diatas peneliti memilih 30 kasus sebagai objek

pembahasan dimana penyaringan kasus selain objek termasuk kategori masjid

juga memilih sample yang mewakili kesamaan bentuk dan rupa pada sample yang

ada seperti bentuk tata ruang, gaya arsitektur dan elemen lainnya. kasus-kasus

tersebut meliputi; Masjid An-Nur (1), Masjid Masjid Al Furqon (2), Masjid

agung Sudirman (3), Masjid Al Falaq (4), Masjid Al-Ghurabah (5), Masjid Al-

Ikhlas (6) Masjid Nurullah (7), Masjid Quba (8), Masjid Nurut Taqwa (9), Masjid

Suci (10), Masjid Raya Ukkhuwah (11), Masjid Al-Ikhlas (12), Masjid Baitul

Makmur (13), Masjid Bina Taqwa (14), Masjid Al-Muhajirin IKMS (15), Masjid

60

Baitul Muqimin (16), Masjid Ar-Rahmat (17), Masjid Al-Qomar (18), Masjid Al

Muhajirin (19), Masjid Sadar (20), Masjid Baitul Mukminin (21), Masjid Al Falah

(22), Masjid Asy Syuhada (23), Masjid Al-Ihsan (24), Masjid Ar-Rahman (25),

Masjid Al Hikmah (26), Masjid At-Taqwa (27), Masjid Baitturahman (28),

Masjid Darussalam (29),Masjid Al Furqon Gatsu (30). Berdasarkan jumlah kasus

tersebut peneliti akan mendeskripsikan beberapa kasus yang dianggap mewakili

karakteristik dari masjid di Denpasar.

Gambar 4.1. Tampak 30 kasus masjid di Denpasar

61

Gambar 4.2. Peta Lokasi 30 kasus masjid di Denpasar

62

4.1.1 Masjid An Nur

Masjid ini terletak di Jalan Diponegoro no 167. Awal berdiri masjid pada

tahun 1942 kemudian direnovasi pertama kali pada tahun 1955, dimana perletakan

batu pertama dilakukan oleh tokoh Masyumi, Muhammad Natsir. Pada saat itu

bangunan masjid tersebut bernama Masjid Sanglah. yang artinya singgah diambil

karena pada mulanya daerah pembangunan masjid tersebut adalah daerah

singgahnya orang-orang yang berasal dari daerah lain di Bali yang kebetulan

merantau. Pada tahun 1962 Masjid yang sebelumnya bernama Masjid Sanglah

berubah nama menjadi masjid An-Nur. Renovasi bangunan masjid dilakukan

kembali pada 13 Mei 1978 dan selesai pada 1 Maret 1982, dan bentuknya masih

bertahan sampai saat ini.

Bangunan Masjid An Nur memiliki luas sekitar 850 m2 berupa bangunan dua

lantai. Masjid An Nur berdiri diatas lahan berbentuk persegi panjang dengan luas

lahan sekitar 650 m2. Bangunan sejajar dengan bentuk lahan sisi lebar dan

panjangnya. Tepat diseberang bangunan masjid terdapat bangunan pengurus

yayasan yang sebagian disewakan untuk keperluan yayasan berupa petak toko dan

gedung serbaguna yang luas nya sekitar 600 m2. Fungsi tambahan pada bangunan

Masjid An-Nur adalah tempat menyelanggarakan pengajian rutin dengan

mendatangkan penceramah dari luar Bali, tempat untuk melakukan perawatan

jenazah, tempat untuk belajar mengaji dan bimbingan untuk muallaf. Bangunan

Masjid An-Nur terdiri dari dua lantai dimana lantai dasar berfungsi sebagai ruang

sholat tambahan yang digunakan pada sholat Jum‟at dan juga terdapat ruang

sholat khusus jemaah wanita yang dibatasi oleh partisi berupa tirai kain.

63

Gambar 4.3. Fasad depan masjid dan denah Masjid An Nur

Bentuk gubahan massa bangunan mengikuti bentuk tanah dan memiliki jarak

sekitar 2,5 m pada sisi kiri dan kanan, pada sisi dinding barat atau kiblat bangunan

berjarak 3 m dari pagar yang berbatasan dengan jalan dimana terdapat ruangan

pengurus masjid, wc dan ruang wudhu laki-laki pada sisi kiri, dan ruang wudhu

64

wanita pada sisi kanan. Dari ruang wudhu wanita terdapat pintu samping yang

menuju ruang sholat wanita akan tetapi pembatasan hijab belum sempurna karena

masih berpapasan antara makmum laki-laki dan wanita karena makmum laki-laki

sering sholat di lantai dasar. Pada bagian sisi timur bangunan masjid memiliki

jarak delapan meter dari pagar yang berbatasan dengan jalan utama dimana pada

sisi selatan dan utara halaman depan masjid terdapat tempat wudhu khusus laki-

laki. Sebelum memasuki halaman depan masjid terdapat sebuah gerbang yang

menyatu dengan pagar depan masjid. Masjid An-Nur memiliki sebuah menara

atau minaret pada halaman depan pojok sebelah kanan. Halaman depan masjid

dimanfaatkan untuk parkir motor dan sebagai ruang sholat pada saat sholat jum‟at.

Ruang sholat utama masjid An-Nur berada di lantai dua. Arah orientasi bangunan

pda Masjid An-Nur tidak tepat mengrah kiblat melainkan kearah barat. Begitu

juga dengan arah orientasi sholat sejajar dengan orientasi bangunan berdasarkan

informasi takmir dan pengurus masjid An-Nur hal tersebut tidak terlalu

dipermasalahkan karena ada sedikit toleransi mengenai arah kiblat.

Masjid An-Nur memiliki bentuk gubahan massa yang sederhana dimana dari

tampilan bangunan mencerminkan arsitektur modern dengan bentuk geometri

sederhana berupa kubus . Dasar bangunan masjid berupa bangunan solid tanpa

kolong dibawahnya. Tinggi pondasi lantai sekitar 20 cm dari permukaan halaman

masjid. Bagian tubuh masjid An Nur yaitu ruang utama masjid menghindari

terdapatnya tiang yang bisa memutus shaf sholat berjemaah kecuali pada ruang

sholat lantai bawah karena alasan struktur tiang bangunan tetap menjadi bagian

penting bangunan sehingga baris shaf menyesuaikan terhadap posisi tiang

65

bangunan. Ruang mihrab pada Masjid An-Nur secara arsitektural tidak memiliki

bentuk khusus melainkan hanya berupa penjorokan ruang kedepan (lihat gambar

4.4) Sedangkan mimbar hanya berupa meja kecil yang tidak memiliki tangga

seperti mimbar di Timur Tengah.

Gambar 4.4 . Foto mihrab dan mimbar Masjid An Nur

Dinding bangunan masjid membatasi seluruh bagian dalam bangunan baik itu

di lantai dasar maupun lantai atas bangunan. Jendela masjid berbahan kayu dan

memiliki bentuk yang sederhana berupa persegi panjang yang mengisi antar

kolom bangunan. Akan tetapi permainan dinding di depan jendela membentuk

karakter masjid berupa bentuk lengkung yang membingkai jendela di

belakangnya. Selain sebagai elemen estetik, bentuk lengkung juga berfungsi untuk

menahan sinar matahari dan hujan agar tidak langsung ke bangunan. Untuk kolom

tidak ada bentuk khusus melainkan hanya berbentuk persegi panjang yang

berfungsi sebagai struktur. Hanya pada kolom lantai bawah bagian depan yang

ditambah profil tiang bergaya arsitektur Bali dengan bahan batu alam dan ekspos

bata merah (Lihat gambar 4.5)

Mihrab Masjid An-Nur Mimbar Masjid An-Nur

66

Gambar 4.5 Kolom Masjid An-Nur

Bentuk atap masjid secara geometri terlihat rata tanpa bentuk atap yang

menyudut akan tetapi apabila dilihat dari atas maka atap berbentuk limas yang

dikelilingi atap beton yang berfiungsi sebagai talang air. Bentuk atap tidak tampak

karena selain ukuran atap yang kecil ditambah sudut kemiringan atap sekitar

limabelas derajat. Plafon bangunan masjid menggunakan bahan tekwood pada

lantai atas dan menggunakan gypsum pada plafon lantai dasar. Desain plafon

berbentuk polos hanya pada bagian tengah ruang sholat utama yang ada

permainan bentuk berupa susunan balok memanjang dan atap lengkung yang

memiliki pola dasar bentuk lengkung kubah, akan tetapi dibuat memanjang.

Bangunan masjid An-Nur memiliki gerbang yang menyatu dengan pagar

sebelum memasuki bangunan. Gerbang ini dibangun menyusul setelah bangunan

utama berdiri dan memiliki karakter desain yang berbeda dengan bangunan

masjid. Gerbang masuk terdiri satu akses dengan membentuk portal berbentuk

lengkung menyerupai kubah. Diantara gerbang dan bangunan masjid dihubungkan

oleh atap beton yang terdapat kubah kecil ditengahnya dengan sentuhan cat prade

emas. Untuk desain pagar dan gerbang menjadi satu kesatuan dengan

menggunakan finishing batu marmer berwarna coklat muda, dari bentuk dan gaya

67

gerbang mengadopsi bentuk portal pada bangunan Masjid Nabawi dan Masjidil

Haram di Arab Saudi.

Gambar 4.6 Gerbang dan pagar masjid An Nur

Masjid An-Nur memiliki menara yang memiliki ketinggian sekitar dua belas

meter. Ketinggian bangunan di Bali dibatasi sehingga menara berfungsi sebagai

elemen pelengkap bangunan.. Dari fungsi tersebut menara masjid yang ideal

memiliki ketinggian sekitar 16 meter keatas. Hal ini bertujuan agar terlihat dari

kejauhan yang memudahkan jemaah yang mencari masjid dan memberikan kesan

monumental pada bangunan. Ragam hias pada bangunan terdapat pada gerbang

dan dinding depan lantai dasar bangunan masjid. Ragam hias dinding masjid dan

pagar memiliki gaya yang berbeda di mana , pada gerbang mengadopsi gaya

Timur Tengah sedangkan pada bagian dinding masjid bagian depan menggunakan

corak Arsitektur Bali yang dihiasi oleh ayat-ayat al-Qur‟an pada bagian

tengahnya.

68

4.1.2 Masjid Al-Furqon

Masjid selanjutnya sebagai kasus kedua adalah Masjid Al-furqon yang

beralamat di Jalan PB Sudirman di komplek TNI Kodam Udayana memiliki luas

bangunan sekitar 400 m2 . Bangunan masjid mulai berdiri pada tahun 1982

berupa bangunan satu lantai kemudian dikembangkan lagi kebelakang akan tetapi

tetap bangunan satu lantai. Pada tahun 2002 bangungan direnovasi total sampai

dengan bentuknya saat ini berupa bangunan dua lantai. Masjid al Furqon tidak

memiliki fungsi tambahan hanya ada ruangan dilantai atas yang dimanfaatkan

untuk anak-anak belajar mengaji. Hampir sama dengan kasus pertama arah kiblat

masjid ini sejajar dengan orientasi bangunan yaitu ke barat ada toleransi orientasi

kiblat yang seharusnya sekitar 35 derajat ke arah utara. Bentuk lahan Masjid ini

melebar pada bagian bawahnya dimana bentuk bangunan masjid dibuat optimal

mengikuti bentuk lahan yang tidak simetris tersebut.

Ruang utama masjid berada di lantai dasar bagian depan berbentuk siku pada

sisi kiri bangunan sedangkan pada bagian kanan dinding jika menghadap kiblat

melebar kebelakang. Pada ruang utama masjid terdapat banyak kolom struktur di

tengah ruangan yang secara modular tidak teratur sehingga banyak shaf sholat

yang terputus. Pada bagian depan ruang sholat utama terdapat void atau bukaan

yang dapat melihat ke ruang sholat lantai atas. Ruang sholat khusus wanita berada

di pojok kiri bawah masjid atau bagian tenggara yang dibatasi oleh anyaman

dinding rotan yang tidak permanen. Ruang maihrab Masjid Al Furqon bearada di

sisi bagian depan lantai dasar masjid, dengan sebuah mimbar di sisi kanan ruang

mihrab dilihat dari arah menghadap kiblat.

69

Gambar 4.7. Fasad depan dan denah Masjid Al-Furqon

70

Dinding bangunan masjid Al Furqon tidak terlalu terdapat elemen arsitektural

yang kuat melainkan hanya berfungsi sebagai pembatas lingkungan ruang dan

dalam. Hampir bisa dikatakan bangunan masjid ini tidak memiliki jendela

melainkan hanya berupa jendela kecil dan lubang udara hal ini dikarenakan posisi

bangunan berbatasan langsung dengan jalan sehingga tidak memungkinkan untuk

membuat jendela berukuran besar. Permainan dinding yang memberikan karakter

masjid adalau permainan lisplank struktur lantai dua yang dibuat deretan

lengkungan setengah lingkaran. Bangunan masjid al Furqon tidak memiliki tiang

bangunan yang dihias secara khusus hanya berupa kolom berbentuk dasar persegi

panjang yang sebagian dilapisi dengan batu marmer.

Gambar 4.8. Foto dinding luar dan plafon atas Masjid Al-Furqon

71

Atap bangunan masjid menggunakan bentuk yang tidak umum pada masjid di

Indonesia pada umumnya dimana biasanya berbentuk menyerupai wantilan atau

atap limasan akan tetapi pada masjid Al- Furqon atap berbentuk atap perisai yang

memanjang menyerupai atap bangunan rumah tradisional Bali. Selain itu secara

konsep struktur atap tersebut dibuat tidak menyatu dengan dinding tembok

berfungsi sebagai ventilasi. Plafon masjid pada lantai atas berbahankan plywood

yang dcat putih dengan mengekspos balok berbentuk lengkung yang menopang

atap, sedangkan plafon lantai dasar menggunakan plafon gypsum. Masjid Al

Furqon tidak memiliki gerbang atau pagar keliling bangunan melainkan hanya

terdapat pagar pada bagian barat sisi bangunan (ruang mihrab). Terdapat satu

menara masjid berbahan beton bertulang berwarna putih pada bagian depan ruang

mihrab yang memiliki diameter sekitar 2x2 meter dengan 5 ruas bagian jika

ditotalkan memiliki ketinggian sekitar 12 meter.

Gambar 4.9. Foto menara masjid Al-Furqon

Terdapat dua tempat wudhu pada masjid Al Furqon yaitu disisi tenggara

bangunan dimana digunakan oleh makmum laki-laki dan di sisi utara bangunan

yang juga terdapat wc didalamnya berjarak sekitar 25 meter dari bangunan utama

dan dikhususkan untuk wudhu wanita. Ragam hias dan ornamen tidak terlalu

72

menonjol pada objek ini melainkan hanya berupa ukiran pada pintu masuk utama

dan tempelan ornamen pada bagian pagar depan masjid dan pada ujung jurai luar

atap yang bercorak arsitektur Bali.

Tempat Wudhu Tempat Wudhu

Gambar 4.10. Tempat wudhu, pagar dan pintu utama Masjid Al-Furqon

4. 1. 3 Masjid Agung Sudirman

Kasus ketiga adalah masjid Agung Sudirman beralamat di jalan PB sudirman

komplek perkantoran Kodam IX Udayana memiliki luas bangunan sekitar 1500

m2 dengan luas lahan 7500 m2. Didirikan pada tahun 1983 dan direnovasi

kembali sampai bentuk saat ini pada tahun 1995.bangunan baru membongkar

seluruh bangunan sebelumnya sehingga tidak ada bagian yang masih bertahan saat

ini. Masjid agung sudirman memiliki lahan yang paling luas dari semua masjid

yang ada di Denpasar sehingga didalam satu lahan tersebut terdapat fungsi

73

tambahan yakni berupa sekolah tingkat dasar dibawah yayasan masjid Sudirman.

Bangunan Masjid Sudirman memiliki bentuk hall terbuka yang menyerupai

bentuk wantilan dan memiliki konsep terbuka tanpa dinding.

Gambar 4.11. Fasad depan , ruang dalam dan fasilitas penunjang sekolah di Masjid

Agung Sudirman

Untuk ruangan masjid hanya terbagi dua yaitu ruang sholat makmum laki-laki

pada bagian depan dan sepertiga ruangan dimanfaatkan untuk ruang sholat wanita,

sedangkan pada ruangan mezanin digunakan untuk ruang sholat wanita pada saat

tarawih dan ruang sholat laki-laki pada saat sholat jum‟t. Pada bagiam depan

sejajar dengan ruang mihrab digunakan untuk ruang takmir dan pengurus masjid.

Sedangkan bangunan diluar masjid pada bagian depan digunakan sebagai ruang

penjaga masjid dan gudang. Pada sisi utara bangunan masjid atau sisi kanan

apabila menghadap kiblat terdapat sekolah tingkat dasar berupa bangunan

berlantai dua.

74

Orientasi bangunan Masjid Sudirman menghadap ke kiblat dengan membentuk

sudut 34,50 o dari arah barat menuju arah barat daya, sehingga orientasi kiblat dan

bangunan sejajar. Bangunan Masjid terletak ditengah lahan, karena ukuran lahan

yang cukup luas maka bangunan tidak terlalu menyesuaikan bentuk lahan

sehingga bangunan berbentuk simetris . Pondasi bangunan berupa lantai permanen

dengan ketinggian sekitar 25 cm dari lantai sekeliling masjid dengan dikelilingi

teras pada sisi utara, timur dan selatan bangunan, karena konsep bangunan tanpa

menggunakan dinding maka sehingga di sekeliling teras dibatasi oleh pot-pot

memanjang yang membentuk taman sehingga membentuk ruang pembatas semu

antara ruang dalam dan luar.

Gambar 4.12.Denah Masjid Agung Sudirman

Ruang utama masjid Agung Sudirman memiliki ukuran yang besar tetapi

masih terdapat kolom didalam ruang dengan modul sekitar 5m dan keberadaan

tiang-tiang tersebut juga memutus shaf shalat berjamaah. ruang utama berkesan

75

luas dan monumental hal ini disebabkan selain ukran ruang yang besar juga

ketinggian plafon yang mengikuti bentuk atap. Untuk ruang mihrab pada Masjid

Agung Sudirman memiliki lebar sekitar lima meter dan dilengkapi dua buah

mimbar di sisi kiri dan kanan nya. Profil dinding mihrab dihiasi oleh bentuk

kubah setengah lingkaran dengan seperempat kubah disisi kanan dan kirinya,

dengan tekstur yang rata dengan dinding depan ruang sholat. garis profil hanya

berupa perbedaan penggunaan material yaitu menggunakan granit berwarna

hitam. Di bagian atas mihrab terdapat tulisan ayat-ayat Al-Qur‟an.

Gambar 4.13. Mihrab dan kolom Masjid Agung Sudirman

Masjid Agung Sudirman tidak memiliki dinding bangunan melainkan

menyatu dengan halaman akan tetapi sekeliling masjid dibatasi oleh taman dan

pagar keliling bangunan sehingga bangunan tidak terasa begitu terbuka. Untuk

kolom dan portal masjid ini menggunakan profil pada tiang yang menyatu dengan

balok sehingga memberikan kesan dinamis pada tampilan kolom yang

membentuk portal tersebut. Pada kaki kolom atau tiang terdapat penebalan bentuk

dan diberi pelapis granit berwarna hitam dengan profil granit putih ditengahnya.

76

Bentuk atap Masjid Agung Sudirman berupa atap limas bertingkat dua yang

menurut hasil wawancara mengaplikasikan konsep arsitektur Bali yaitu wantilan,

karena dianggap cocok untuk iklim dan bentang yang lebar. Struktur atap dibuat

dari bahan beton selain berfungsi untuk menahan beban gaya juga memiliki nilai

estetika terhadap plafon bangunan yang dibuat mengikuti bentuk atap.

Gambar 4.14. Bentuk atap dan plafon Masjid Agung Sudirman

Gerbang masuk menuju Bangunan dibuat dari bahan pipa baja dan setengah

tiang dari bahan beton sehingga tidak terlalu menonjol. Bangunan masjid Agung

Sudirman tidak memiliki menara atau minaret karena tinggi atap bangunan

dianggap mencukupi ketinggiannya. Terdapat tiga tempat wudhu pada bangunan

masjid dua pada sisi kanan dan kiri bangunan masing-masing dilengkapi wc untuk

wudhu laki-laki dan pada bagian depan masjid atau sisi timur masjid yang

berfungsi sebagai tempat wudhu wanita yang langsung terhubung dengan ruang

sholat wanita. Masjid Agung Sudirman tidak terlalu menonjolkan ragam hias

maupun ornamen, elemen tersebut hanya terdapat pada jurai luar atap, dasar tiang,

dan balok struktur bangunan.

77

4.1.4 Masjid Al-Falaq

Kasus ke empat adalah masjid Al-Falaq beralamat di Jl. M.T. Haryono II No.

14, Denpasar. Masjid ini baru berdiri pada 1 April 2011 berupa bangunan dua

lantai dengan bentuk denah persegi panjang berukuran 7,5 x 12,5 m dengan total

luas bangunan sekitar 100 m2 berada dilahan seluas 140 m2. Tidak ada fungsi

tambahan pada bangunan masjid melainkan hanya sebagai tempat melaksanakan

sholat berjamaah, hal ini disebabkan terbatasnya lahan untuk fasilitas penunjang.

Ruang masjid hanya terdiri dari ruang utama untuk melaksanakan sholat, ruang

wuhu dan wc serta ruang pengurus dan takmir masjid. Ruang sholat utama berada

dilantai dasar dengan ruang mihrab didepannya, ruangan terbagi manjadi dua

dibagian depan digunkan untuk makmum laki-laki dan bagian belakang

seperempatnya digunakan untuk makmum perempuan. Pembatas hijab antara

makmum laki-laki dan perempuan menggunakan partisi berbahan rotan yang tidak

permanen.

Arah kiblat dan bentuk lahan hampir sejajar orientasinya sehingga arah kiblat

ruang sholat hanya bergeser sekitar 15o kearah Barat Daya, jadi masjid Al-Falaq

tetap konsisten terhadap arah kiblat walaupun hanya berbeda sedikit

toleransinya.lantai masjid langsung pada fundamen yang masif seperti yang

dikemukakan pijper bahwa bangunan msjid kuno di Indonesia berbeda dengan

bangunan vernacular yang bebrbentuk kolom. Pada bangunan ini memiliki

ketinggian lantai sekitar satu meter dari tanah atau permukaan jalan samping

78

masjid, hal ini bertujuan untuk menjaga kebersihan masjid dan membedakan

hirarki ruang yang tegas dengan lingkungan luar.

Gambar 4.15. Fasad dan denah Masjid Al-Falaq

Ruang utama masjid Al Falaq berukuran 7,5 m x 10 m, tidak ada tiang di

tengah ruangan sehingga shaf jemaah tidak terputus tinggi plafon sekitar empat

meter sehingga memberikan kesan yang luas terhadap ruang sholat utama akses

masuk keruang utama terdapat pada sisi kiri dan kanan bangunan masjid dan pada

79

bagian sisi samping kiri belakang yang langsung terhubung dengan ruang wudhu ,

dari ruang wudhu terdapat akses tegak lurus terhadap ruang mihrab menuju ruang

sholat . Ruang mihrab memiliki ketinggian lantai yang sejajar dengan ruang sholat

utama dimana bentuk gerbang mihrab merupakan atap kubah yang dibuat

bertingkat dua dengan penegasan bentuk menggunakan perbedaan warna dengan

menggunakan granit berwarna hitam yang kontrs dengan dinding pada bagian

kiblat yang berwarna cream atau cokelat muda. Masjid Al Falaq memiliki dinding

bangunan yang masif dengan menggunakan jendela yang berukuran besar dengan

bentuk lengkung setengah lingkaran pada puncak yang letaknya simetris terhadap

modul truktur kolom atau tiang bangunan. pada bagian dalam dinding bengunan

dilapisi keramik berwarna cokelat muda sedangkan pada bagian luar dinding

ebagian dilapisi oleh batu alam dan sebagian lagi hanya dicat warna cream dan

coklat. kolom atau tiang bangunan masjid ini polos tanpa ragam hias

disekelilingnya penampangnya hanya berbentuk persegi panjang yang difinishing

cat dan keramik. Bangunan masjid hanya memiliki dua teras kecil disisi kanan

dan kiri bangunan tidak emiliki serambi keliling. Bangunan Masjid Al-Falaq tidak

menggunakan atap tumpang melainkan hanya berupa atap datar berbahan beton

bertulang yang ditambahi bentuk kubah yang kecil yang tidak mendominasi pada

bagian tengah atapnya untuk plafon bangunan menggunakan bahan gypsum

dengan motif bentuk pada bagian tengah plafon menggunakan motif bintang

delapan. Bangunan juga memiliki satu menara yang berdiri pada bagian puncah

tepatnya pojok kanan dinding kiblat masjid yang menemani dominasi atap kubah.

Bangunan masjid tidak memiliki gerbang dan pagar keliling. Pagar hanya terdapat

80

pada teras samping dan pada bagian depan bangunan yang berbatasan dengan

jalan umum. Ragam hias pada bangunan masjid terdapat pada jendela dan pintu

yang menggunakan kaca patri berlafaskan ayat-ayat suci Al-Quran.

4.1.5 Masjid Al-Ghurabah

Masjid selanjutnya yang menjadi kasus kelima adalah Masjid Al-Ghurabah,

masjid ini terletak di jalan tengku umar denpasar masjid ini dahulunya adalah

rumah tinggal yang kenudian diubah funginya menjadi masjid dan didirikan pada

tahun 1998 dengan luasan bangunan sekitar 341 m2 diatas lahan 350 m2,

berbentuk bangunan satu lantai dengan tambahan lantai dua di bagian belakang

bangunan yang digunakan untuk pengurus dan takmir masjid. Masjid ini tidak

memiliki fungsi penunjang . fungsi ruang meliputi ruang utama yang digunkan

untuk sholat berjamaah bagi makmum laki-laki memiliki luas sekitar 160 m2

kemudian ruang sholat wanita pada bagian belakang sebelah kiri membentuk

ruang tersendiri dan dibatasi oleh tirai kain. Pada bagian belakang sebelah kanan

terdapat ruangan yang igunakan untuk anak-anak mengaji. Ruang sholat dan

mengaji digunkan oleh makmum laki-laki pada saat melaksanakan sholat jum‟at.

Ruang wudhu laki-laki terdapat pada bagian depan bangunan yang dapat diakses

langsung sebelum memasuki masjid sedangkan ruang wudhu wanita berada

didalam bangunan disebelah ruang mengaji yang juga dilengkapi dengan kamar

kecil. Orientasi bangunan kearah barat sejajar dengan bentuk lahan akan tetapi

untuk arah sholat tidak mengikuti bangunan melainkan di belokan 34,5o derajat

kearah Barat Daya. Bentuk ruang disisi utara bangunan mengikuti bentuk lahan

yang tidak siku.

81

Gambar 4.16. Foto Fasad luar dan gambar denah Masjid Al Ghurabah

82

Bangunan berdiri diatas fundamen masif dengan ketinggian sekitar tiga puluh

sentimeter dari permukaan jalan. Ruang utama masjid memiliki bentang lebar

tanpa kolom atau tiang ditengahnya sehingga shaf tidak terputus, akan tetapi pada

ruang tambahan di sisi utara terdapat tiang sehingga memutus sebagian kecil garis

shaf, berdasarkan hasil wawancara pengurus dan takmir masjid memahami aturan

mengenai susunan shaf sholat berjemaah sehingga susuan shaf diatur agar tidak

banyak yang terputus oleh tiang atau dinding. Akses masuk menuju ruang utama

terdapat dua pintu besar disebelah sisi kiri kalau menghadap kiblat atau disisi

selatan bangunan yang langsung berbatasan dengan jalan umum.. Mihrab

bangununan berukuran 2x2 m dengan benrtuk gerbang menggunakan bentuk

proyeksi lengkungan kubah dimana penegasan bentuk tidak menggunakan

perbedaan warna akan tetapi dengan menonjolkan bagian sehingga berbentuk

profil yang membingkai gerbang ruang mihrab. Bahan profil mihrab sama dengan

dinding pada sisi kiblat yaitu menggunakan batu marmer berwarna cream. Pada

mihrab terdapat satu buah mimbar yang berbentuk meja kecil berukuran

80x90x90 cm dengan ukiran polos terletak pada sisi kanan menuju kiblat. Dinding

bangunan Masjid berbentuk masif dengan bentuk jendela dan pintu yang cukup

besar dan dinding dibagian dalm ruang sholat utama dilapisi dengan batu marmer

berwarna cokelat muda. Bentuk jendela dan pintu memiliki karakter yang berbeda

dengan bentuk gerbang mihrab yaitu menggunakan bentuk segitiga pada bagian

atasnya.Bentuk kolom bangunan sangat sederhana yaitu berupa balok tegak polos

yang difinishing batu marmer, masjid ini tidak memiliki serambi keliling

83

melainkan berupa satu teras pada akses masuk bangunan masjid yang langsung

terhubung dengan ruang utama masjid.

Gambar 4.17. Foto mihrab, pintu dan jendela Masjid Al-Ghurabah

Bentuk atap bangunan Masjid Al Ghurabah menggunakan atap tumpang yang

sekilas berbentuk tumpang tiga akan tetapi pada bagian puncaknya tidak terdpat

kubah atau lambang bulan sabit dan bintang sehingga kalau dilihat dari luar maka

bangunan ini tidak mencerminkan sebuah Masjid. Bentuk plafon pada ruang

utama masjid mengikuti bentuk atap dengan menonjolkan struktur kuda-kuda atap

dengan struktur susunan usuk atau kasau menyerupai struktur atap pada bangunan

tradisional Bali. Bangunan masjid Al Ghurabah tidak memiliki gerbang masuk,

menara dan ragam hias arsitektural termasuk kaligrafi atau penggalan ayat Al-

Qur‟an. Melainkan hanya berupa dinding polos yang dilapisi oleh batu marmer

hampir pada seluruh permukaan dinding dan kolom bangunannya.

Gambar 4.18. Foto atap dan plafon Masjid Al-Ghurabah

84

4.1.6 Masjid Al-Ikhlas

Masjid Al Ikhlas merupakan kasus keenam dimana beralamat di Jl Pulau

Misol, masjid ini berada di tengah permukiman yang padat dengan kondisi jalan

menuju bangunan hanya bisa dicapai kendaraan bermotor. Masjid Al-Ikhlas

didirikan pada tahun 1985 sebelumyna berupa bangunan satu lantai baru pada

tahun 2011 ditambah lantai mezanin tanpa membongkar bangunan melainkan

menambahkan konstruksi baja diatas ruang utama masjid. Tidak terdapat fungsi

penunjang pada masjid. Orientasi masjid sejajar dengan bentuk lahan terutama

pada sisi kiri bangunan yang menempel pada batas lahan sehingga bangunan

hanya menyisakan satu teras samping di sebelah kanan atau sisi utara masjid.

Sebelumnya orientasi kiblat sholat sejajar dengan orientasi masjid ke Barat akan

tetapi terjadi penyesuaian orientasi kiblat sehingga susunan sejadah membentuk

sudut 34,5o kearah barat daya.

Gambar 4.19. Foto ruang luar dan dalam Masjid Al Ikhlas

Ruang utama masjid sebelumnya bebas kolom sehingga shaf tidak terputus

dikarenakan bangunan tidak mampu lagi menampung jemaah maka dibuat lantai

mezannin diatasnya berbahan baja sehingga tidak menggangu struktur bangunan

lama, sehingga terdapat tambahan tiang ditengah ruang utama dan menyisakan

ketinggian plafon sekitar 2,80 m. Lantai mezanin menyisakan void pada sisi

85

bagian depan agar ruang bawah dan atas masih terhubung. Akses menuju ruang

utama hanya dari sisi utara bangunan yang dilengkapi dengan dua akses pintu.

Gambar 4.20. Denah Masjid Al- Ikhlas

Mihrab pada bangunan Masjid Al Ikhlas berukuran 1,5 x 2,5 m dengan

membentuk gerbang dari dua pillr berbentuk bulat dengan mahkota berbentuk

proyeksi atap kubah dengan tulisan kalimat Allah pada bagian puncaknya, bagian

gerbang berwarna hijau tua sehingga kontras dengan dinding yang berwarna

putih. Sebenarnya terdapat tiang di tengah ruang mihrab akan tetapi tidak

ditonjolkan dengan tetap diberi warna putih. Bangunan masjid berkonsep tertutup

dengan dikelilingi dinding masif, sedangkan bukaan jendela dan ventilasi hanya

terdapat pada sisi utara masjid hal ini disebabkan bangunan masjid menempel

pada sisi yang lainnya. Bentuk jendela menyatu dengan lubang ventilasi dengan

bentuk jendela kayu dan pintu bergaya bangunan tahun 80 an. Bentuk atap

86

bangunan berupa atau limas bertingkat dua dengan bentuk pelafon mengikuti

bentuk atap tersebut dengan menggunakan penutup plafon gypsum. Bangunan ini

tidak memiliki menara, gerbang masuk dan ragam hias arsitektural melainkan

hany bentuk profil pada mihrab dan sebauh gambar besar disamping mihrab

bergambarkan Masjidil Harram di Mekah Al Mukaromah.

4.1.7 Masjid Nurullah

Kasus ketujuh yang dipilih oleh peneliti adalah Masjid Nurullah beralamat di

PB sudirman IV gang Karya Bhakti III. Bangunan ini berada di Komplek TNI

Kodam Udayana, didirikan pada tahun 1983 dan kemudian direnovasi pada

tahun1990. Bangunan ini memiliki luas total sekitar 90 m2 dengan luas lahan

sekitar 1300 m2. Sehingga masih memungkinkan bangunan masjid untuk

melakukan pengembangan. Tidak ada fungsi tambahan pada bangunan masjid

akan tetapi masjid menyediakan ruangan untuk musafir yang hendak berteduh

atau menginap sementara di Masjid .

Gambar 4.21.Denah Masjid Nurullah

Orientasi bangunan masjid mengarah ke kiblat sehingga sejajar dengan

orientasi sholat. ruang utama masjid hanya memiliki luas sekitar 36m2

sedangkan

87

sisanya berupa serambi dan bangunan penunjang seperti ruang wudhu, takmir dan

pengurus masjid. Tidak terdapat kolom ditengah ruang sholat utama akan tetapi

shaf diserambi terputus oleh dinding sehingga kalau merujuk pada hadis maka

shalat diruang serambi tidak sah, akan tetapi takmir masjid memiliki pandangan

yang berbeda. Ruang mihrab memiliki ukuran yang cukup besar yaitu 2,5x2 m

dimana terdapat sebuah mimbar disisi kanannya yang digunakan untuk khotib

menyampaikan khutbah. Gerbang pada ruang mihrab menggunakan bahan batu

granit berwarna hitam yang membentuk pilar kemudian untuk bagian mahkotanya

menggunakan kaligrafi yang membentuk bingkai berbentuk lengkung. Dinding

bangunan hanya pada ruang utama yang dibatasi dinding masif akan tetapi untuk

akses masuk tidak menggunakan daun pintu melainkan dibiarkan terbuka dengan

dibatasi bidang dining di depan akses masuk kedalam masjid, ruang utama

memiliki tiga akses yaitu dari sisi utara yaitu ruang wudhu yang langsung

terhubung, sebelah selatan dimana berhadapan dengan pintu pagar masuk menuju

masjid dan pada bagian timur yang terhubung langsung denga ruang serambi.

Atap bangunan Masjid Nurullah berbentuk atap tumpang dua dengan sudut

kemiringan berbeda yaitu 30o dan 45

o dan dikelilingi atap serambi dengan

kemiringan sekitar 15o, terdapat dua kubah kecil pada atap bangunan yaitu diatas

atap ruang utama dan ruang mihrab. Bentuk plafon pada ruang utama tidak

mengikuti kemiringan atap melainkan berbentuk lengkung kubah bawang yang

dirotasikan. Masjid Nurullah tidak memiliki gerbang dan menara sedangkan

ragam hias arsitektural berupa ukiran atau ornamen berupa kaligrafi dan

penggalan ayat Al-Quran pada dinding mihrabnya.

88

4.1.8 Masjid Quba

Masjid selanjutnya yang menjadi objek penelitian dan sekaligus menjadi

kasus kedelapan adalah Masjid Quba. Masjid ini beralamat di Lingkungan Kartika

Gang I No 54 dan hanya berjarak sekitar 200 m dari masjid Nurullah yang sama-

sama berada di komplek TNI Kodam Udayana Sudirman. Masjid ini didirikan

pada tahun 1980 dimana memiliki luas bangunan 160m2 dengan luas lahan sekitar

260m2. Bangunan berupa bangunan satu lantai dengan luas ruang utama sekitar

120 m2 dan teras belakang 40 m2. Tidak ada fungsi penunjang pada masjid Quba

melainkan hanya tempat untuk belajar mengaji bagi anak-anak pada serambi

belakang.

Gambar 4.22. Denah Masjid Quba

Ruang utama berada di bagian utara bangunan yang digunakan untuk ruang

sholat laki-laki sedangkan ruang sholat wanita berada disamping kiri ruang sholat

laki-laki. Dimana seharusnya ruang sholat wanita berada di bagian belakang

89

makmum laki-laki. Didepan ruang mihrab terdapat ruang pengurus yayasan.

Ruang wudhu terdapat di depan sebelum memasuki masjid dan pada sisi selatan

atau samping paling kiri bangunan yang juga terdapat wc. Orientasi bangunan

tidak mengikuti bentuk tapak melainkan menyesuaikan orientasi arah kiblat

sehingga terdapat ruangan yang bentuknya menyesuaikan bentuk tapak yang

menyudut seperti ruang serambi belakang dan ruang samping kiri masjid. Ruang

utama Masjid berbentuk persegi panjang yang memanjang terhadap dinding kiblat

dimana terdapat satu tiang bangunan yang memotong shaf sholat berjamaah.

akses masuk keruang utama berada di sisi utara berhadapan dengan pintu pagar

masuk kedalam masjid. Penerangan dimasjid pada siang hari cukup efektif

dimana ukuran dan jumlah jendela sesuai dengan ukuran ruang nya. Ruang

mihrab berukuran 2,5 x 2,25m , tidak terdapat bentuk gerbang pada mihrab

melainkan hanya dinding ruangan yang menjorok keluar berbentuk portal polos.

Gambar 4.23. Foto fasad luar, mihrab dan ruang shalat

Dinding bangunan tidak memiliki bentuk lengkung baik itu bentuk setengah

lingkaran atau kubah. Sedangkan bentuk jendela sangat sederhana dengan

menggunakan jendela berbentuk persegi dengan menggunakan kaca nako. Kolom

bangunan pada Masjid Quba terdiri dari kolom beton berukuran 20x20cm dan

kolom pipa baja berdiameter 50cm yang menopang atap serambi bagian belakang

90

dan ruang sebelah kiri bangunan yang sebelumnya adalah serambi. Atap Masjid

Quba berbentuk tumpang bertingkat dua sama dngan konsep atap Masjid

Nurullah. Plafon pada Masjid Quba tiak memiliki motif khusu hanya berupa lafon

berbahan plywood dengan ketinggian dari lantai hanya sekitar 2,80m. Masjid

Quba tidak memiliki gerbang, akan tetapi memiliki menara kecil yang terbuat dari

besi menyerupai antena televisi. Tidak terdapat ragam hias maupun ornamen pada

Masjid Quba.

4.1.9 Masjid Nurut Taqwa

Kasus kesembilan adalah Masjid Nurut Taqwa yang juga berada di Komplek

perumahan TNI tepatnya beralamat di Jl. Kapten Japa Asrama Yang batu.

Didirikan pada tahun 1983, kemudian dilakukan penambahan pada sisi samping

dan belakang pada tahun 1993 saat ini memiliki luas bangunan sekitar 300 m2

dengan luas lahan 400 m2. Dimana bangunan optimal menggunakan lahan. Tidak

ada fungsi tambahan pada masjid melainkan hanya untuk anak belajar mengaji.

Masjid Nutur Taqwa berorientasi kearah kiblat sedangkan dinding bangunan

mengikuti bentuk lahan masjid. Ruang sholat pada masjid ini terdiri dari 3 ruang

yang tesekat oleh dinding. Ruang sholat utama berada pada bagian paling depan

didekat ruang mihrab memiliki persegi panjang dengan ukuran 4,5x 11,5 m

sedangkan ruang sebelah kanannya dibatasi dinding berjendela. Pada ruang utama

tidak ada tiang ditengahnya akan tetapi untuk ruang sholat tambahan pada bagian

samping kanan dan belakang dibatasi oleh dinding dan jendela sehingga shaf

benar-benar terputus. Akses menuju ruang dalam masjid terdapat pada sisi kiri

91

dan belakang masjid sedangkan pada sisi kanan bangunan dibangun menempel

dinding pagar.

Gambar 4.24. Fasad luar dan denah Masjid Nurut Taqwa

Mihrab Masjid Nurut Taqwa memiliki ukuran 2x1.5 m dengan elemen

pembentuk portal atau gerbang mihrab menggunakan bahan keramik berwarna

hijau tua dengan mahkota berupa penggalan ayat Al-Quran yang membentuk garis

lengkung setengah lingkaran. Keramik berwarna hijau kontras terhadap dinding

92

yang berwarna hijau muda. Terdapat sebuah mimbar pada sisi kanan ruang mihrab

dan sebuah jam besar di sebelah pojok kiri atas ruang mimbar. Mihrab pada

Masjid Nurut Taqwa berbeda dengan masjid lainnya dimana umumnya tidak dicat

melainkan menggunakan pelitur berwarna kuning atau cokelat tua. Dinding

bangunan pada ruang utama menggunakan bentuk jendela berbentuk persegi

sederhana berukuran sekitar 1x1 m dibagi dua lubang jendela sedangkan untuk

aksen dinding dibuat polos pada bagian luar, sedangkan pada bagian dalam

bangunan pada bagian bawah dinding dilapisi keramik. Untuk pintu menggunakan

dua daun pintu dengan bentuk standar berukuran sekitar 1,20x2,20 m

berbahanjkan kayu kelapa. Dinding pada bangunan tambahan pada bagian

belakang dinding dibuat terbuka dengan membentuk lubang besar dengan bentuk

lengkung pada bagian atasnya. Sedangkan pada lubang dinding diisi dengan

teralis besi berwarna cat hijau tua. kolom pada masjid berbentuk penampang

persegi panjang dan persegi dengan dilapisi keramik. Sedangkan portal yang

memiliki bentuk lengkung kubah bertingkat bergaya bizantium terdapat pada

bangunan belakang.

Bentuk atap Masjid Nurut Taqwa terdiri dari dua massa atap dimana massa

pertama berada pada ruang utama dimana berbentuk atap perisai dengan tambahan

kubah ditengahnya, memiliki konsep yang sama dengan masjid Al-Furqon di

Jalan Sudirman sedangkan atap pada bangunan tambahan di belakang memiliki

bentuk tumpang bertingkat tiga. Untuk plafon terdapat tiga jenis yaitu pada ruang

utama menggunakan plafon ber trap biasa dengan bahan tekwoood berwarna

putih, sedangkan ruangan samping ruang utama yang digunakan untuk ruang

93

belajar mengaji menggunakan plafon anyaman bambu sedangkan plafon pada

bangunan tambahan dibelakang menggunakan plafon berbahan anyaman bambu

akan tetapi menempel pada gording struktur atap sehingga bntuknya

menyesuaikan bentuk atap dan mengekspos deretan kasau, selain itu bentuk

tersebut memungkinkan untuk sirkulai udara yang optimal.

Gambar 4.25. Foto mihrab, ruang shalat dan plafon Masjid Nurut Taqwa

Bangunan Masjid Nurut Taqwa tidak memiliki gerbang masuk dan pagar

keliling bangunan akan tetapi memiliki menara yang terbuat dari struktur pipa

baja yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakan kubah stainless sebagai titik

tangkap pandangan dan tempat meletakan pengeras suara. Tidak terdapat ragam

hias pada masjid melainkan kaligrafi dan ayat Al-Qur,an.

4.1.10 Masjid Suci

Masjid besar yang memiliki luas bangunan sekitar 1700 m2 adalah Masjid

Suci sebagai kasus ke sepuluh berdiri pada tahun 1991 dan dilakukan

pengembangan pada lantai atasnya yang rampung sekitar tahun 1999 . bangunan

Masjid Suci terdiri dari tiga lantai dimana sampai saat ini masjid masih

melakukan renovasi pda bagian dalam lantai 2 dan 3 bangunan. Masjid Suci

memiliki fungsi penunjang yaitu berupa sekolah setingkat taman kanak-kanan dan

sekolah dasar pada bagian lantai paling atasnya dimana berfungsi sebagai tempat

94

belajar agama Islam untuk anak-anak. Di lantai tiga juga terdapat kantor pengurus

yayasan yang menangani masalah sekolah tersebut. Lantai dasar bangunan

memiliki fungsi sebagai ruang utama, ruang pengurus yayasan, ruang wudhu laki-

laki pada sisi kanan dan ruang wudhu wanita pada sisim kiri bangunan, ruang

holat wanita berada di pojok kiri bawah ruang utama dengan dibatasi tirai kain.

Lantai dua bangunan memiliki fungsi sebagai ruang sholat tambahan yang

digunakan makmum wanita pada saat sholat tarawih sedangkan pada hari jum‟at

digunakan oleh makmum laki-laki. Bangunan ini berorientasi ke Barat sedangkan

orientasi sejadah atau kiblat sejajar terhadap bangunan sehingga terdapat toleransi

terhadap arah kiblat yang hanya sekitar sepuluh derajat ke arah Barat Daya.

Gambar 4.26. Foto fasad luar dan denah Masjid Suci Denpasar

95

Ruang utama dimana ruang mihrab berada terdapat di lantai dasar bangunan

dimana didalam ruangan terdapat deretan kolom berukuran 30x55 cm dengan

modul 7,2 horizontal dan 3,6m vertikal , ruang mihrab terdapat pada modul

horizontal bagian tengah dimana ruang sholat dibelakangnya memiliki void yang

bisa melihat ke lantai dua bangunan. tinggi perlantai bangunan sekitar 4,2 m

sehingga memberikan kesan monumental terutama pada mihrab bangunan dimana

membentuk gerbang berupa portal setinggi bangunan dua lantai. Mihrab pada

bangunanmasjid Suci berukuran 4x2m dengan tinggi sekitar delapan meter,

gerbang pembentuk mihrab terdiri dari dua pilar berbentuk bulat dengan diameter

40 cm berwarna biru tua dilapisi coating sedangkan bagian mahkot gerbang

menyatu dengan bentuk proyeksi kubah bergaya persia. Pada ruang mihrab

terdapat sebuah mimbar yang berukuran cukup besar sekitar 1x1,4m dengan

tinggi 2,5 m mimbar ini memiliki corak yang sama dengan mimbar di timur

tengah dimana memiliki anak tangga dan atap berbentuk kubah pada bagian

atasnya. Untuk finishing mimbar ini dilapisi dengan prade emas dan pelitur kayu

berwarna merah manggis. Selain mimbar apada ruang mihrab dibuat mimbar

khusus untuk imam meminpin sholat yaitu berupa perabot kayu yang menyerupai

dampar kayu berukuran 1,2x2m dengan dilengkapi dinding berhias kaligrafi dan

mahkota. Pada sisi kiri dan kanan ruang mihrab terdapat dua buah ruangan yang

juga memiliki gerbang yang menggunakan bentuk lengkung yang berfungsi

sebagai pengimbang ruang mihrab dan menghilangkan kesan dinding masif pada

sisi dinding bagian barat bangunan. Bukaan dan permainan fasad bangunan hanya

terdapat pada sisi selatan dan timur bangunan.

96

Gambar 4.27. Foto mihrab, mimbar dan portal lengkung Masjid Suci

Dinding lantai dasar menggunakan dinding tambahan yang berbentuk kubah

dengan tipe lengkung dengan ditopang profil kolom berwarna putih kecoklatan

sedangkan pada dinding bagian dalam menggunakan keramik berwarna hitam

dengan ukiran kayu ditengahnya. Sedangkan pada bagian akses masuk ruang

utama menggunakan pengulangan bentuk lengkung. Pada dinding lantai dua

dinding bangunan dikelilingi teras sedangkan pada bagian dinding terdapat

permainan penebelan dinding yang menonjol dengan menggunakan bentuk

lengkung. Dimana pada bagian dalam lengkung tersebut berupa dinding dengan

finihing keramik berwarna hitam atau jendela. Pada dinding lantai ketiga juga

97

memiliki corak yaang sama dengan lantai dua akan tetapi pada bagian tengahnya

menggunakan skala yang lebih sempit dan tinggi, begitujuga dengan pagar

pembatas teras juga menggunakan besi tempa berbentuk kubah. Pintu dan jendela

masjid menggunakan kayu difinishing pelitur hitam dengan beragam ukiran

didalamnya.

Bangunan masjid menggunakan bentuk kolom persegi panjang pada bagian

dalam sedangkan pada bagian yang memusat digunakan kolom bulat seperti pilar

pada ruang mihrab dan pilar bangunan teras utama bagian depan dimana

menopang sampai bagian lantai ketiga bangunan dan mengapit tangga yang

langsung terhubung ke lantai atas bangunan. bagian atap bangunan menggunakan

bentuk datar dan dilengkapi dua buah kubah pada bagian atap depan dan samping

kiri bangunan. bangunan ini tidak terlalu menonjolkan bagian plafon bangunan

dimana didominasi plafon datar dengan beberapa profil gypsum yang umum

digunakan di bangunan lainnya.

Masjid Suci Denpasar memiliki gerbang masuk yang menyatu dengan pagar

dengan menggunakan tiga buah portal dengan bentuk lengkung menyerupai garis

lengkung atap kubah bawang dimana pada bagian tengah mempunyai ukuran

yang dominan dibanding dua bentuk lengkung dibagian kanan dan kirinya. Masjid

suci memiliki dua menara yang berdiri diatas lantai atap pada pojok kiri dan

kanan bagian depan bangunan dimana konsepnya meniru bangunan tajmahal india

dimana mengurangi dominasi kubah bagian tengah masjid. Menara juga berfungsi

sebagai titik tangkap dan identitas bangunan masjid. Ragam hias pada bangunan

98

Masjid Suci berupa permainan bentuk profil dan lengkung juga berupa bentuk

pagar bangunan baik itu kolom, balok maupun portal sedangkan untuk ornamen

pada bangunanberupa bentuk kaligrafi dan ukiran kayu berbentuk penggalan ayat

Al-Quran.

Gambar 4.28. Detail ragam hias dan ornamen Masjid Suci

4.1.11. Masjid Ukkhuwah

Kasus Ke Sebelas adalah Masjid Raya Ukkhuwah, masjid ini beralamat di Jl

Kalimantan No.19 masjid ukkhuwah didirikan pertamakali pada tahun 1927 akan

tetapi direnovasi kembali sampai bentuknya saat ini pada tahun 1977. Masjid ini

memiliki luas bangunan sekitar 1570 m2 diatas lahan seluas 1150 m2. Terdapat

beberapa fungsi tambahan atau penunjang masjid ini yaitu dilengkapi dengan

perpustakaan, gedung Aula pada lantai dasar dan toko yang disewakan, masjid

Ukkhuwah juga melayani fungsi tambahan melayani ibadah haji dan umroh baik

pelatihan maupun keberangkatan. Bangunan Masjid Ukhuwanh terdiri dari dua

lantai . lantai dasar terdiri dari ruang Aula yang juga dimanfaatkan untuk sholat,

99

ruang pengurus yayasan, ruang wudhu pria dan wanita, kamar mandi dan toilet

dan toko yang disewakan. Sedangkan untuk lantai dua bangunan terdiri dari ruang

utama yaitu ruang sholat makmum laki-laki, ruang mihrab, ruang sholat khusus

wanita yang terhubung dengan tangga khusus keruang wudhu di lantai dasar.

Kemudian dilantai dua terdapat ruang perpustakaan dan ruang pengurus manasik

haji. Bangunan Masjid Ukkhuwah berorientasi kearah kiblat, sehingga peosisi

bangunan tidak lagi mengikuti lahan melainkan kiblat sehingga posisi sejadah

sejajar dengan bangunan, bentuk ruang utama walaupun denahnya tidak sejajar

lahan tetap persegi empat hanya ruangan dibagian batas dinding yang mengikuti

bentuk lahan.

Bagian dasar bangunan memiliki ketinggian sekitar satu meter dari jalan raya

sehingga memberikan nilai yang tinggi dan menjaga kesucian bangunan dari

kotoran yang diterbangkan debu. Ruang utama Masjid berada di lantai dua dimana

ruang sholat laki-laki tidak terdapat tiang pada bagian tengahnya karena

menggunakan atap berbentang lebar dengan bentangan ruang 16x16 m yang bebas

kolom akan tetapi pada bagian pinggir terdapat kolom dengan modul sekitar

empat meter. Meskipun terdapat kolom didalam ruang sholat susunan sejadah

disesuaikan agar tidak memutus susunan shaf shalat berjamaah. Ruang utama

terlihat sangat luas dan lapang hal ini selain ruang bebas kolom juga memiliki

plafon yang cukup tinggi dan pencahayaan yang mencukupi karena dikelilingi

jendela, ruang sholat untuk wanita berada di bagian belakang ruang sholat laki-

laki dan dibatasi dinding permanen berupa dinding kaca berbingkai alumunium

berwarna cokelat dan dilapisi kaca film sehingga makmum wanita bisa melihat

100

kearah makmum laki-laki akan tetapi makmum laki-laki tidak bisa melihat kearah

makmum perempuan. Lantai sholat ruang utama dan dinding bagian dalam

dilapisi oleh batu marmer berwarna putih sehingga dapat menahan panas dari luar

dan lebih kedap suara.

Gambar 4.29. Fasad luar dan denah Masjid Ukkhuwah

Ruang mihrab pada bangunan ini tidak terlalu ditonjolkan hanya berbentuk

dinding yang menjorok kedalam tanpa gerbang penegas hanya terdapat tulisan

petikan ayat Al-Quran pada bagian atas sebelum memasuki ruangan. Mihrab

101

berukuran besar sekitar 4x2,5 m dengan sebuah mimbar dan jam berdiri di sebelah

kiri dan kanan nya. Mihrab terbuat dari bahan kayu dan plywood dengan

difinishing pelitur dan berukuran kecil tanpa tangga dan atap.

Gambar 4.30. Mihrab Masjid Ukkhuwah

Dinding bangunan pada dasarnya didominasi oleh jendela kaca berbingkai

alumunium terutama dinding pada lantai dasar, akan tetapi karakter dinding

bangunan lebih kuat pada dinding bagian lantai atas dimana dibuat modul bidang

vertikal yang membatasi antar jendela dan menjorok keluar kemudian pada bagian

atasnya membentuk portal segitiga sehingga jendela berada didalam menciptakan

kesan dinding lebih tebal. Fungsi dinding tersebut juga bertujuan agar jendela

lebih terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung.

Gambar 4.31. Foto jendela Masjid Ukkhuwah

Kolom atau tiang bangunan berbentuk penampang persegi panjang dan

dilapisi dengan batu marmer. Bangunan masjid tidak memiliki serambi karena

102

pengurus yayasan berpandangan apabila terdapat serambi maka dikhawatirkan

orang akan melaksanakan sholat disana padahal kalau terputus shafnya sholat

harus dilulang. Atap Masjid Raya Ukkhuwah berbentuk atap Tumpang bertingkat

dua dimana menurut informasi dari pengurus masjid alasan mengapa atap dibuat

bertumpang dua karena menjaga hubungan beragama karena bangunan

bertumpang tiga adalah bangunan suci bagi umat hindu, oleh karena itu bangunan

Masjid lebih banyak menggunakan atap bertumpang dua. Bentuk plafon masjid

pada ruang utama mengikuti bntuk atap dan menonjolkan garis kayu yang

menyerupai konstruksi atap pada bangunan tradisional Bali.

Gambar 4.32. Bentuk atap dan plafon Masjid Ukkhuwah

Bangunan Masjid Ukkhuwah memiliki dua gerbang dan satu menara.

Gerbang masjid memiliki satu pintu utama dan berukuran dinding yang sangat

tebal. Gebang masjid menyatu dengan pagar masjid pada sisi selatan dan utara

karena pada sisi barat berfungsi sebagai toko yang disewakan sedangkan pada sisi

timur bangunan menempel pada lahan. Maotif pagar dan gerbang menggunakan

bentuk dasar segitiga pada bagian atasnya sedangkan lapisan dindingnya

menggunakan perpaduan batu alam berwarna hitam dan putih. Menara masjid

terdiri dari tujuh ruas dengan bagian kepala menara lebih besar daripada bagian

badan menara. Bentuk menara tidak menggunakan bentuk kubah akan tetapi

103

menggunakan motif segitiga seperti bagian inding dan pagar bangunan utama.

Tinggi menara masjid sekitar 15 meter.

Ragam hias arsitektural bangunanMasjid tidak terlalu banyak hanya beberapa

komponen saja yang seperti profil balok pada ruang utama, profil pada gerbang

dan pagar sedangkan untuk ornamen tidak ditemukan pada masjid ini melainkan

sebuah petikan ayat Al-Qur‟an pada bagian atas ruang mihrab.

4.1.12 Masjid Al Ikhlas

Kasus kedua belas adalah Masjid Al Ikhlas yang berlokasi di Jl. Gunung

Batukaru 92. Bangunan ini didirikan pada tahun 1981 berupa tanah wakaf.

Bangunan asal berukuran 10x10 Kemudian direnovasi kembali dan rampung pada

tahun 2006. Fungsi tambahan masjid adalah terdapat Taman Pendidikan Qur‟an

(TPQ). Bangunan baru hasil renovasi tahun 2006 berorientasi kearah kiblat

sehingga bentuk bangunan tidak sejajar dengan lahan dan menciptakan beberapa

ruang yang menyudut. Ruang utama Masjid terdapat pada lantai dasar berbentuk

persegi dimana konsep bangunan bersifat terbuka tanpa dinding kecuali pada

bagian depan ruang sholat yang sejajar dengan ruang mihrab. Terdapat deretan

tiang struktur pada ruang sholat utama masjid sehingga shaf sholat terputus oleh

tiang tersebut.

Ruang mihrab masjid berukuran 3.6 x 2.7m dengan tinggi 7 meter menembus

ke void lantai dua. Mihrab dibentuk oleh profil kolom yang dilapisi granit

berwarna hitam dengan bagian puncak dihiasi bentuk lengkung. Pada bagian

paling atas gerbang mihrab terdapat kalimat Allah SWT. Terdapat mimbar pada

104

sisi kiri ruang mihrab, mimbar pada masjid ini memiliki ukuran yang besar dan

memiliki atap mimbar .bentuk mimbar ini perpaduan antara mimbar bertangga

dan mimbar berbentuk meja pada umumnya dan difinishing dengan pelitur

berwarna kuning. Dinding dasar bangunan seperti yang dikemukakan sebelumnya

memiliki konsep terbuka dan dikelilingi pagar dan bangunan disekitarnya. Ruang

terbuka ini berfungsi agar sholat berjemaah bisa menggunakan ruang diluar

masjid dan untuk melancarkan sirkulasi udara deretan kolom pada dinding lantai

dasar berupa bentuk kolom yang dihubungkan oleh lengkung semi-

circular.sedangkan dinding bagian lantai atas lebih mencirikan karakter bangunan

masjid menggunakan konsep yang sama dengan masjid Ukkhuwah dimana

membuat bidang-bidang pembatas antar jendela dan pada bagian atas dibuat lebih

maju sehingga melindungi jendela dari cuaca yang membedakan masjid ini

menggunakan susunan lengkung semi-circular pada bagian atas jendela bagian

atas. Selain jendela dinding bagian atas juga dihiasi oleh profil yang berbentuk

lengkung yang sama akan tetapi pada bagian tengahnya diisi oleh batu alam.

105

Gambar 4.33. Denah Masjid Al-Ikhlas

Bagian atap bangunan menggunakan kubah setengah bola bertingkat dengan

ukuran kubah pada bagian atas jauh lebih kecil dibanding kubah dibawahnya.

Untuk ragam hias masjid menggunakan bentuk deretan lengkung semi circular

pada lisplank bagian atas , pada bagian pagar menggunakan motif bintang

delapan.

Gambar 4.34. Foto kubah, fasad bangunan, mimbar , profil dan detail Railing

4.1.13 Masjid Baitul Makmur

Kasus ke tigabelas adalah Masjid Baitul Makmur mulai berdiri tanggal 31

oktober 1983 merupakan hasil sumbangan amal bhakti Muslim Pancasila

bangunan ini dibawah yayasan baitul makmur. Masjid kemudian direnovasi

menjadi dua lantai pada tahun 1987 dan terjadi lagi pengembangan kebelakang

yang telah dimulai pada 17 november 2008 sampai saat ini masih dilakukan

pengembangan kebelakang. Fungsi penunjang bangunan Masjid Baitul Makmur

menyewakan ruang serba guna pada bagian lantai dasar bangunan yang juga

106

dimanfaatkan sehari-hari untuk ruang kelas TPQ. Masjid Baitul Makmur juga

menerima pengurusan jenazah. Bentuk denah bangunan berorientasi kearah kiblat

sehingga susunan shaf sejajar dengan dinding arah kiblat, akan tetapi sisi dinding

lainnya tidak sejajar dengan barisan shaf. Bangunan menyisakan halaman pada

bagian utara dan barat dimana pada bagian utara terdapat gerbang masuk

bangunan yang membentuk yang dimanfaatkan sebagai parkir motor.

Gambar 4.35. Fasad bangunan dan denah bangunan Masjid Baitul Makmur

Ruang utama Masjid berada di lantai atas bangunan, dengan bentuk atap

bentang lebar tanpa tiang ditengahnya. Dinding bangunan tidak ada yang

bersudut siku karena masjid menyesuaikan bentuk tanah, terdapat void pada

bagian belakang dibelakang shaf sholt wanita. Ruang sholat wanita pada masjid

dibatasi oleh panel kayu setinggi 1,20 m yang bisa dipindahkan. Jendela untuk

cahaya masuk terdapat pada bagian utara bangunan dan bagian sekeliling plafon

batas antara dag dan atap dan yang paling besar berada diatas void belakang.

Ruang mihrab pada Masjid Baitul Makmur berukuran 4 x 2m dengan bentuk yang

sangat sederhana tanpa hiasan khusus seperti mahkota diatasnya.bangunan baitul

makmur memiliki deretan kolom pada fasad muka bangunan berjumlah lima pillar

107

berbentuk penampang bulat berdiameter 30 cm. yang membentuk dinding semu

membatasi tangga naik keruang utama dan teras atas. Bangunan ini tidak memiliki

serambi keliling. Bentuk atap bangunan masjid beratap tumpang dua dengan

ekspos balok-balok stainless pada puncak atap sekaligus symbol bulan sabit

diletakan. Bentuk atap masih menggunakan konsep bentuk masjid sebelumnya

akan tetapi masjid sebelumnya memiliki tumpang tiga.

Masjid Baitul Makmur memiliki gerbang masuk menuju halaman depan

dengan bentuk portal segitiga akan tetapi lurus pada bagian atasnya. Mahkota

gerbang ditopang oleh dua pillar dimana masing-masing pillar dibagi menjadi dua

dan tergabung didalam satu fundamen. Permukaan gerbang dilapisi dengan

dinding granit berwarna hijau muda dan putih kehijauan. Masjid Baitul Makmur

tidak memiliki menara akan tetapi ada rencana membuat menara pada sisi kanan

arah kiblat bangunan. Tempat wudhu masjid terbagi menjadi dua yaitu bagian

lantai dasar bangunan tepatnya dibawah tangga yang dilengkapi toilet yang

digunakan oleh makmum laki-laki sedangkan tempat wudhu untuk wanita berada

di lantai dua bangunan.

Gambar 4.36. Bentuk plafon, railing pagar, mimbar , dan entrance utama Masjid Baitul

Makmur

Masjid baitul makmur memiliki konsep desain modern sehingga tidak

memiliki ragam hias dan ornament pada bangunan akan tetapi ragam hias

108

bangunan justru terdapat pada kolom dan balok lantai dasar bangunan yang

memiliki motif seperti ragam hias pada bangunan kolom dan balok Arsitektur

Bali.

Gambar 4.37. Bentuk kolom dan motif balok Masjid Baitul Makmur

4.1.14 Masjid Bina Taqwa

Masjid selanjutnya sebagai kasus keempat belas adalah Masjid Bina Taqwa.

beralamat di Jl Gunung mas I , Berdiri pada 17 september 1995 . Masjid ini

dibatasi sungai pada sisi barat dan jalan umum pada sisi selatan dan timur.

Bangunan berbentuk bangunan satu lantai dengan luas sekitar 160 m2 yang

melebar kesamping sepanjang jalan didepanya. Masjid ini tidak memiliki fungsi

penunjang melainkan hanya untuk belajar mengaji bagi anak-anak. Bangunan ini

berorientasi ke Barat dan arah kiblat pun mengikuti orientasi ke barat karena

dianggap ada toleransi mengenai arah kiblat menurut pengurus masjid. Karena

bangunan menghadap arah Barat sehingga bentuk bangunan menyesuaikan bentuk

lahan sehingga dinding masjid sejajar dengan bentuk tanah. Ruang utama masjid

berbentuk persegi panjang yang menyamping, tidak ada tiang ditengah ruang akan

109

tetapi bangunan memiliki serambi di depan dan samping kiri yang terputus oleh

dinding masjid. Mihrab pada masjid terdapat portal dengan kolom dilapisi marmer

warna abu-abu dan mahkota berbentuk lengkung tipe ogee yang dilapisi bahan

yang sama, sedangkan dinding pada bagian sisi kiblat dilapisi marmer berwarna

merah muda sehingga bagian mihrab menonjol.

Gambar 4.38. Fasad muka, bentuk plafon dan mihrab Masjid Bina Taqwa

Gambar 4.39. Denah Masjid Bina Taqwa

Masjid Bina Taqwa memiliki bentuk atap perisai dan terdapat bentuk atap

limas yang berbentuk tumpang pada bagian tengahnya yang menjadi pusat

bangunan. Sedangkan plafon bangunan dibuat polos bertrap berbahan gypsum.

110

Terdapat gerbang massuk kedalam bangunan yang menggunakan gaya gerbang

Arsitektur Bali akan tetapi berukuran kecil dan menyatu dengan pagar

masjid.ragam hias msjid terdapat pada bagian pagar, lubang ventilasi,juri luar

sedangkan ornament bangunan berupa tulisan kalimat Allah pada bagian puncak

ruang mihrab.

Gambar 4.40. Gerbang masuk, simbol Kalimat Allah, dan jurai atap Masjid Bina Taqwa

4.1.15 Masjid Al –Muhajirin

Kasus kelimabelas memiliki gaya Arsitektur yang khas dimana merupakan

akulturasi Arsitektur Bali dan Minang, masjid ini merupakan masjid yang

dibangunan oleh persatuan orang minang yang merantau di Bali sehingga mereka

mencoba membawa Arsitektur Minang kedalam bangunan Masjid nya. Masjid ini

bernama Masjid Al Muhajirin IKMS (Ikatan Keluarga Minang Saiyo). Masjid ini

didirikan pada 5 desember 1999 memiliki luas sekitar 1500m2. Fungsi penunjang

masjid minang saiyo adalah sekolah tingkat taman kanak-kanak berupa TPQ dan

TPA, Gedung serba guna pada lantai dasar masjid, lapangan olahraga pada

halaman belakang masjid. Masjid Al Muhajirin juga berfungsi sebgai kantaor

Yayasan Ikatan Keluarga Minang di Denpasar. Lantai dasar bangunan terdiri dari

ruang serbaguna yang sering dimanfaatkan untuk tabligh, belajar mangaji dan

111

disewakan untuk acara resepsi. Sedangkan pada lantai atas bangunan terdiri dari

ruang pengurus Ikatan Keluarga Minang yang berada pada bagian paling depan

masjid yang berbentuk pavilion. Lantai atas masjid juga terdapat ruang sholat dan

ruang takmir masjid. Bangunan sekolah memiliki massa bangunan yang terpisah

dari bangunan masjid berupa bangunan dua lantai, dimana bagian lantai dasar

dimanfaatkan untuk ruang wudhu dan wc, ruang kantor yayasan. Sedangkan pada

lantai atas bangunan difungsikan sebagai ruang kelas. Orientasi bangunan kearah

barat sedangkan orientasi kiblat tetap ke kabah sehingga sejadah membentuk

sudut 34,5o kearah Barat Daya.

Gambar 4.41. Fasad luar dan denah Masjid Al Muhajirin IKMS

112

Ruang utama masjid terdapat pada lantai dua bangunan. Ruang sholat

memiliki bentang lebar tanpa tiang ditengahnya sehingga tidak memutus shaf

sholat. penerangan pada ruang sholat cukup memadai karana bangunan dikelilingi

oleh jendela kecuali pada dinding arah kiblat. Mihrab Masjid Saiyo tidak memiliki

bentuk yang khusus dimana hanya berupa ruang berukuran 2,5 x2 m tanpa

memiliki portal atau gerbang masuk, akan tetapi penegasan ruang mihrab adalah

penurunan plafon didepan ruang mihrab. Terdapat satu mimbar berupa podium

kecil disebelah sisi kanan ruang mihrab. Bangunan masjid Saiyo dikelilingi

serambi pada lantai dasar dan atas bangunan yang juga membentuk dinding

masjid. Dinding keliling masjid berupa pasangan dinding setengah bata dengan

menggunakan jendela dan pintu kayu.

Gambar 4.42. Pintu dan jendela Masjid Al-Muhajirin IKMS

Sedangkan pada serambi kelliling terutama pada lantai atas elemen pagar juga

menjadi pembentuk wajah bangunan dan pada sisi luar serambi dibuat dinding

yang menutupi serambi yang berbentuk portal dan dinding yang mengisi pojok

teras masjid. Elemen dinding pagar menggunakan bahan batu alam berwarna

kuning dan berwarna hitam khas bangunan Arsitektur Bali.

113

Bentuk kolom bangunan depan Msjid terutama dibawah ruang sekretariat

IKMS menggunakan pilar berbentuk persegi berukuran 80x80 cm dengan bentuk

profil dan penggunaan batu alam khas Arsitektur Bali. Bentuk kolom bangunan

Masjid lainnya berbentuk penampang bulat berada di bagian luar dan bagian

dalam ruang di lantai dasar sedangkan bentuk kolom pada dinding dan teras

keliling masjid menggunakan kolom persegi.

Gambar 4.43. Ragam hias kolom dan balok Masjid Al Muhajirin IKMS

Atap bangunan Masjid Al Muhajirin terdiri dari dua massa atap. Atap

pertama berbentuk atap tumpang dua dengan kubah kecil dipuncaknya dengan

114

jurai melengkung keatas pada bagian bawah atap melingkupi bangunan ruang

sholat utama. Sedangkan massa kedua atap berbentuk bagonjong khas minang

yang berorientasi ke empat arah dimana menaungi ruang secretariat IKMS.

Diantara ruang secretariat dan ruang sholat utama dihubungkan oleh selasar.

Plafon masjid pada ruang utama masjid mengikuti bentuk kemiringan atap

sehingga terkesan monumental. Plafon masjid menggunakan batangan kayu list

yang disusun seperti rangka atap pada Arsitektur Bali, diantara pelafon tumopang

pertama dan kedua terdapat bukaan jendela mati dengan menggunakan penutup

kaca patri. Plafon pada ruang mihrab terdapat bentuk dua kubah. sedangkan pada

lantai dasar bangunan menggunakan plafon tidak bertrap dengan profil

ditengahnya.

Gambar 4.44. Plafon Masjid Al Muhajirin IKMS

Bangunan msjid tidak memiliki gerbang masuk akan tetapi bangunan

dikelilingi pagar dan pagar depan bangunan menggunakan bentuk dan corak pagar

arsitektur Bali dengan menggunakan dinding tebal yang dilapisi batu alam

berwarna hitam Yang menyatu dengan batu alam pada dinding bangunan. Masjid

Al Muhajirin IKMS tidak memiliki menara yng berdiri terpisah dengan bangunan

masjid akan tetapi memiliki empat menara yang menempel pada keempat sudut

bangunan masjid dengan karakter badan menara menyerupai bangunan angkul-

angkul sedangkan bagian atap atau puncaknya menggunakan empat atap lengkung

115

khas minang. Menara pada masjid ini berfungsi sebagai titik tangkap dan

penyeimbang bentuk atap pada bangunan utama.

Gambar 4.45. Menara pojok masjid Al -Muhajirin IKMS

Ragam hias dan ornament bangunan Masjid Al Muhajirin terdapat pada

Portal bangunan, Dinding teras, Kolom bangunan, dinding bangunan meliputi

jendela dan pintu, pelafon bangunan, menara dan talang air keliling atap Masjid.

Pada portal bangunan yaitu dinding yang menutup sebagian teras atas dan bawah

memiliki bntuk yang monumental dilapisi batu alam berwrna hitam khas Bali

dimana terdapat profil dan ornament yang menempel pada dinding tersebut.

Sedangkan pada dinding teras dibuat massif dengan dilapisi batu alam berwarna

kuning dan hitam juga terdapat profil dan ornament yang menempel. Kolom

bangunan memiliki kaki dan capital kolom untuk bagian depan mencerminkan

kolom atau tiang khas Bali dengan fundamen yang masif. Detail ragam hias pada

masjid Al Muhajirin juga terdapat pada bagian plafon bangunan dimana motif

ukran ditempelkan pada plafon dengan dilapisi prade emas dan perak dengan

warna dasar berwarna hijau. Untuk jendela dan pintu ornament terapat pada

ventilasi, hanya pada pintu masuk utama ruang sholat menggunakan dua daun

116

pintu yang berukir. Bagian menara masjid menggunakan profil batu alam yang

dipahat dan dipadukan dengan bata merah yang biasanya digunakan pada dinding

bangunan Bali.

Gambar 4.46. Ragam hias dan ornamen Masjid Al Muhajirin IKMS

117

4.1.16. Masjid Baitul Muqimin

Kasus ke enambelas adalah Masjid Baitul Muqimin beralamat di Jl Buana

raya Gg Buana Mertha Pd. Sambian. Masjid ini merupakan hasil bantuan dari

pemerintah Uni Emirat Arab yang diresmikan pada tanggal 14 september 1997.

Masjid berupa banguna satu lantai dengan luas badan bangunan 130 m2 diatas

lahan seluas 220 m2. Bangunan masjid tidak memiliki fungsi penunjang selain

posisi bangunan ditengah permukiman yang padat juga lahan masjid tidak

memungkinkan untuk penambahan fungsi. Masjid Baitul Muqimin terdiri dari

ruang sholat ruang pengurus, teras atau serambi, ruang wudhu dan wc. Orientasi

bangunan Masjid pada saat pembangunan adalah kearah Kiblat akan tetapi setelah

diperiksa kembali ternyata masih kurang tepat maka orientasi sholat masih

disesuaikan kembali. Sisi kanan dan kiri bangunan menyesuaikan bentuk lahan

sedangkan ruang utama tetap berbentuk persegi.

Gambar 4.47. Fasad muka dan denah Masjid Baitul Muqimin

Ruang utama masjid merupakan ruang sholat yang digunakan untuk sholat

berjamaah didalam ruang sholat tidak ada ruang khusus untuk makmum wanita

118

dan konsep ruangan bebas kolom karena bentangan atap yang tidak begitu besar

luas ruang utama ini sekitar 52 m2. Terdpat ruang sholat disisi kanan ruang utama

akan tetapi terputus oleh dinding bangunan akan tetapi pada sholat jum‟at ruangan

tersebut dan serambi di depan digunakan untuk sholat. Mihrab bangunan

berukuran 2,5x1,5 m dengan tinggi plafon sekitar 2,40 m. portal pembentuk ruang

mihrab berupa profil yang ditonjolkan berwarna cokelat dilatari dengan dinding

berwarna putih.terdapat sebuah mihrab kecil yang terbuat dari bahan kayu

dipelitur.Dinding bangunan masjid di dominasi oleh jendela-jendel besar dengan

jendela pada bagian tengah memiliki tambahan berbentuk segitiga pada bagian

atasnya dengan menggunakan kaca warna, sedangkan penutup jendela

menggunakan kaca nako agar sirkulsi udara lebih lancar.

Bentuk Atap Masjid Baitul muqimin menggunakan atap tumpang dua dengan

menggunakan mahkota atap bergaya Arsitektur Bali, dimana biasanya terdapat

kubah kecil dengan profil bulan bintang. Ruang antara atap tumpang pertama dan

kedua digunakan untuk meletakan pengeras suara. Plafon bangunan mengikuti

bentuk atap dengan mengekspos struktur rangka atap dan memberikan bukaan

atas sehingga tembus keruang atap tumpang bagian atas yang berfungsi sebagai

akses cahaya dan sirkulasi udara. Masjid Baitul Muqimin tidak memiliki gerbang,

menara dan ragam hias atau ornament.

119

4.1.17 Masjid Ar Rahmat

Dari Kasus ke enam belas kasus berikutnya adalah Masjid Ar Rahmat

beralamat di Jalan Buana Raya Perumahan Buana Mas Indah masjid ini memiliki

luas hanya sekitar 120 m2 masjid ini memiliki konsep bangunan dua lantai akan

tetapi hanya pada bagian atas yang dimanfaatkan untuk masjid sedangkan ruangan

bawah berfungsi sebagai toko yang disewakan bangunan ini didirikan sekitar

tahun 1995. Untuk orientasi kiblat bangunan ini tegak lurus terhadap lahan dan

menghadap ke Barat sehingga ada toleransi terhadap arah kiblat. Ruang sholat

masjid berukuran 10x10m tidak ada tiang ditengah ruangan dan tidak terdapat

perbedaan ruang dengan ruang sholat wanita.

Gambar 4.48. Fasad muka dan denah Masjid Ar Rahmat

120

Dinding masjid memiliki lima jendela besar dengan membentuk segitiga

meruncing dibagian atas nya. Begitu juga dengan bentuk atap merupakan

penggunaan atap sederhana brupa penggabungan atap pelana dan perisai sehingga

apabila orang yang belum pernah sholat dimasjid ini akan sulit untuk mengetahui

kalau bangunan ini berfungsi sebagai bangunan masjid.

4.1.18 Masjid Al Qomar

Kasus ke delapan belas adalah Masjid Al-Qomar . Masjid ini beralamat di

jalan tengku umar (marlboro) didirikan pada tahun 1985 dan direnovasi kembali

pada tahun 1997 dan selesai pada tahun 2007 berberntuk bangunan dua lantai

dengan lantai mezanin pada bagian belakang diantara lantai dasar dan atas .

Fungsi penunjang masjid adalah sekolah tingkat taman kanak-kanak di sisi kiri

bangunan dengan massa bangunan yang berbeda. Bangunan masjid Al-Qomar

memiliki luas bangunan sektar 800 m2 diatas lahan seluas 650 m2, orientasi

bangunan mengarah ke kiblat sehingga sejajar dengan susunan shaf sholat. bagian

dasar bangunan memiliki ketinggian sekitar 60 cm dari tanah sehingga pada

bagian dinding pondasi lantai terdapat ornament dan dasar kolom bergaya

arsitektur Bali.

Ruang utama masjid berfungsi sebagai ruang sholat laki-laki terdapat di lantai

atas bangunan sedangkan ruang mezanian dimana perluasan bordes tangga

digunakan untuk makmum wanita. Ruang sholat utama bebas kolom hanya

terdapat bagian keliling dinding bangunan. Untuk ruang sholat lantai dasar

terdapat kolom ditengah nya yang memiliki bentuk penampang persegi panjang.

121

Sedangkan ruangan bagian belakang dibawah ruang mezanin digunakan untuk

ruang belajar mengaji dan ruang penyimpanan perlengkapan sholat. pada bagian

pojok ruang dibawah mezanin digunakan untuk kantor sekolah Taman Kanak-

Kanak akan tetapi memiliki akses dari depan bangunan

Gambar 4.49. Fasad luar dan denah Masjid Al Qomar

Bangunan Masjid Al Qomar memiliki dua buah ruang Mihrab yaitu dilantai

dasar dan lantai atas bangunan akan tetapi yang dipakai hanya pada mihrab lantai

atas, dinding mihrab menggunakan material yang sama dengan dinding disisi

kiblat akan tetapi dibuat profil yang lebih menonjol dengan menggunakan lapisan

122

yang sama berbentuk lengkung tipe ogee atau kubah berbentuk bawang. . Dinding

bangunan masjid menggunakan pasangan dua bata sehingga sangat tebal dan

kokoh. Seluruh permukaan dinding bagian dalam masjid dilapisi batu marmer

berwarna kuning muda kecoklatan. Untuk tampilan fasad menggunakan langgam

Arsitektur bali pada bagian tampak muka bangunan dengan mengekspos dinding

bata merah dan batu alam abu-abu kehitaman, sedangkan pada bagian samping

bangunan menggunakan jendela berbentuk lengkung berbahan alumunium.

Untuk dinding samping dibuat lagi massa tambahan yang menempel pada

bangunan dengan memiliki bentuk atap sendiri sehingga member irama pada

bangunan, ruang tersebut pada lantai dasar membentuk atap bagi teras samping

bangunan. Akses masuk masjid berada disamping dan sisi depan sebelah kiri

berdekatan dengan ruang wudhu.

Gambar 4.50. Ragam hias, mihrab, dan ruang sholat utama Masjid Al Qomar

123

Bangunan ini memiliki konsep bentuk kolom persegi dan persegi panjang

dengan penutup menggunakan dua macam bahan yaitu berlapis marmer dan batu

alam berwarna hitam. Untuk kolom pada bagian luar pada sisi barat bangunan

menggunakan bentuk yang besar dengan dibagi menjadi tiga bagian kolom kaki,

badan dan kepala atau kapital yang menggunakan bentuk Arsitektur Bali

sedangkan pada kolom samping bgian luar denganh penampang persegi panjnag

dilapisi bahan marmer dengan membentuk portal. Sedangkan kolom bagian dalam

bangunan semuanya dilapisi bahan batu marmer dengan bentuk penampang

persegi panjang.

Gambar 4.51.Detail ragam hias kolom Masjid Al Qomar

Bangunan Masjid Al Qomar juga terdapat portal-portal lengkung yang

menjadi ciri khas arsitektur Islam di Timur tengah terutama terdapat pada pintu

masuk samping dan pintu masuk bagian depan. Bangunan masjid tidak memiliki

serambi keliling hanya terdapat teras pada sisi utara bangunan yang berbatasan

dengan jalan. Portal bagian samping menggunakan pelapis marmer sedangkan

pada bagian depan menggunakan pelapis batu alam.

Atap bangunan Masjid Al Qomar memiliki bentuk atap tumpang dua, terdapat

tiga massa atap pada masjid yang pertama atap ruang utama, kedua atap ruang

124

samping kanan masjid dan ketiga ruang pengurus yayasan bagian depan sehingga

dari ketiga atap tersebut melahirkan komposisi yang dinamis, atap ruang utama

memiliki ukuran dominan. Ketiga atap memiliki kubah berbahan stainless dengan

profil bulan bintang dipuncaknya. Plafon ruang dalam menggunakan plafon

gypsum sedangkan plafon bagian luar menggunakan plafon papan dengan lebar

10 cm yang tersusun rapat dan dilapisi pelitur, plafon masjid pada ruang utama

berbentuk dasar lingkaran bertingkat dengan profil plafon menggunakan motif

kubah. Masjid Al-Qomar memiliki Gerbang bangunan pada bagian depan

bangunan bergaya Arsitektur bali, menyatu dengan pagar depan dan ruang wudhu

berupa bangunan dua lantai dimana lantai atas berfungsi sebagai ruang pengurus

yayasan. Gerbang utama menggunakan bahan batu alam dan ekspos bata merah

akan tetapi tidak terdapat motif hewan atau patung pada sisi pagar seperti gerbang

pada Arsitektur Bali. Pada gerbang masjid juga dilakukan sedikit perubahan

seperti menambahkan bentuk kubah kecil di permukaan atas gerbang dan pagar.

Gambar 4.52. Bentuk atap dan plafon Masjid Al Qomar

125

Gambar 4.53. Pagar dan gerbang masjid Al Qomar

Masjid Al Qomar tidak memiliki menara bangunan akan tetapi memiliki

banyak ragam hias dimana perpaduan ragam hias arsitektur Bali dan Islam, seperti

bagian pagar menggunakan bentuk kubah, begitu juga dengan pagar ruang

pengurus menggunakan bahan bata merah dan batu alam akan tetapi membentuk

kubah. Begitu juga dengan pintu pagar menggunakan motif bintang yang sering

dipakai sebagai simbol islam, ornament bali juga digunakan pada dinding depan

dan profil kaki dan kepala kolom masjid.

Gambar 4.54. Detail ornamen masjid Al -Qomar

126

4.1.19 Masjid Al -Muhajirin

Kasus kedua puluh adalah masjid Al Muhajirin. Berdasarkan catatan sejarah,

masjid ini didirikan pada tahun 1326 Hijriyah atau sekitar tahun 1905 . Pada

waktu pertama kali didirikan, Masjid Al-Muhajirin masih berukuran 12×12 meter.

Awal pertama kali dibangun, masjid ini bernama Hamsul Mursalin. Kehadiran

kaum pendatang asal Madura, Bugis, Melayu, serta Bali yang mendiami kampung

Kepaon setelah itu menuntut adanya peralihan nama masjid sebagai pusat sarana

ibadah yang diembel-embeli dengan Muhajirin. Kehadiran seorang tokoh Islam

yang berasal dari Gujarat bernama Haji Abdurrahman menjadikan masjid ini

sebagai tempat peribadatan tersebut dengan nama Masjid Jamik al-Muhajirin.

Pada tahun 1976 terjadi gempa bumi sehingga masjid harus direnovasi, akan

tetapi renovasi baru selesai pada tahun 1991 berupa bangunan dua lantai.

Fungsi tambahan pada masjid adalah didirikan sekolah Taman Pendidikan

Qur‟an sedangkan fungsi lainnya untuk menyelenggarakan sholat lima waktu.

Bangunan ini berorientasi ke barat dimana terdapat toleransi ke arah kiblat untuk

shaf beberpa terputus oleh kolom bangunan. Bentuk bangunan sejajar dengan

bentuk tanah sehingga bangunan dibangun penuh untuk sisi kiri dan kanan dengan

dinding yang sejajar dengan jalan, sedangkan pada bagian depan atau timur

bangunan terdapat halaman yang terdiri dari bangunan ruang wudhu dan sekolah

Tingkat Taman kanak-kanak dan halaman parkir motor.

127

Gambar 4.55. Denah Masjid Al Muhajirin Kepaon

Pondasi lantai dasar bangunan sekitar satu meter dari jalan karena daerah ini

dahulunya sering terendam air pada saat hujan. Ruang utama masjid berada di

lantai dasar dengan ruang mihrab yang tembus kelantai dua yang disatukan

dengan void karena mimbar memiliki atap yang tinggi maka konsep mimbar

menggunakan bentuk yang tinggi dengan beberapa anak tangga menuju tempat

duduknya dengan dilengkapi atap kubah diatasnya. Dinding bangunan bagian luar

sederhana tanpa pemakaian lapisan batu alam atau marmer akan tetapi dari dalam

bangunan dinding bagian lantai dasar diberi profil lengkung dengan jendela

didalamnya. Bangunan muhajirin memiliki portal dengan dretan kolom

disepanjang sisi kiri dan kanan ruang sholat utama. Bangunan masjid Muhajirin

tidak memiliki menara dan serambi keliling dikarenakan keterbatasan lahan.

128

Gambar 4.56. Mihrab dan void Masjid Al Muhajirin

Atap bangunan menggunakan atap tumpang tiga akan tetapi tumpang ketiga

digantikan dngan atap berbentuk kubah berbahan beton dengan kalimat Allah

dipuncaknya . bentuk plafon masjid muhajirin mengikuti bentuk atap sehingga

kubah dapat dilihat dari dalam. Bangunan Masjid tidak memiliki menara dan

gerbang dan sedikit ragam hias atau ornament.

Gambar 4.57 Portal dan Plafon Masjid Al Muhajirin

4.1.20 Masjid Sadar

Kasus kedua puluh adalah Masjid Sadar. Masjid ini beralamat di Jalan

Kenangan 15 Sesetan memiliki luas bangunan sekitar 600 m2 diatas lahan seluas

500 m2. Fungsi tambahan masjid ini adalah sekolah tingkat Taman kanak-kanak

pada bagian belakang masjid. Bangunan masjid ini sangat konsisten terhadap

orientasi kiblat sehingga bangunan dan arah sholat berorientasi ke kiblat meskipun

129

bentuk lahan sangat sulit untuk mengikuti orientasi tersebut. Pondasi bangunan

sekitar 1,20 m dari jalan dengan beberapa anak tangga sebelum masuk ke masjid.

Masjid sadar juga sangat menunjang konsep susunan shaf tanpa kolom sehingga

hampir semua ruang sholat tidak memiliki tiang dibagian tengahnya, hampir sama

dengan masjid ukkhuwah Masjid Sadar memisahkan ruang sholat laki-laki dan

perempuan dengan pembatas pintu dan jendela kaca. Ruang sholat utama masjid

berada di lantai dasar membentuk void dengan ruangan dibelakangnya, ruang

masjid terdiri dari tiga modul ruang yang semakin kebelakang bergeser kekanan.

Ruang mihrab masjid memiliki plafon yang tinggi dengan portal atau gerbang

berbentuk kubah lengkung, karena mihrab memiliki atap yang tinggi maka

mimbar digunakan ukuran yang besar yang memiliki anak tangga dan atap kubah

diatasnya, mimbar tersebut berbahan kayu yang dilapisi pelitur kayu. Masjid

Sadar tidak memiliki kolom atu tiang yang dijadikan elemen estetika baik bagian

dalam maupun luar bangunan, permainan fasad bangunan adalah penambahan

bidang dinding antara jendela yang menjorok keluar sejauh satu meter sehingga

memberikan ruangan bayangan yang memberikan kesan dinding tebal dan kokoh.

Bentuk seperti ini juga memberikan perlindungan ruang dalam dari panas

matahari dan hujan. Atap bangunan menggunakan atap bertumpang dua, karena

bentuk denah yang tidak simetri maka bangunan terdiri dari tiga masa atap

masing-masing bertumpang dua. Sedangkan untuk plafon bagian atas bangunan

mengikuti bentuk atap dan mengekspos struktur rangka atap dimana memiliki

konsep struktur atap Arsitektur Bali.

130

Gambar 4.58. Fasad luar dan denah Masjid Sadar

Gambar 4.59. Bentuk Atap dan Plafon Masjid Sadar

131

4.1.21 Masjid Baitul Mukminin

Kasus ke duapuluh dua adalah masjid Baitul Mukminin. Beralamat di Jl

Tukad Pakerisan Gg. XV A Panjer. Memiliki luas bangunan 960 m2 diatas lahan

seluas 650 m2. Masjid berupa bangunan dua lantai. Fungsi penunjang bangunan

adalah sekolah TPQ . ruang lantai dasar terdiri dari ruang parkir motor, ruang

kelas, ruang pengurus masjid, tempat wudhu dan wc. Sedangkan ruang utama

Masjid berada di lantai atas. Bangunan Masjid berorientasi ke Barat sedangkan

orientasi sholat tetap kearah kiblat tidak sejajar dengan masjid. Lantai dasar

bangunan tidak dibatasi dinding atau terbuka kecuali ruang wudhu, pengurus dan

kelas. Ruang utama masjid terdapat kolom yang memutus garis shaf makmum.

Dibagian belakang ruang sholat laki-laki sebelah kanan terdpat ruang sholat

khusus wanita yang dibatasi tirai kain. Mihrab bangunan memiliki bentuk ruang

melengkung pada bagian depan dan portal sebelum masuk ruang mihrab

menggunakan lekuk dinding berbentuk kubah bawang . diatas lubang dinding

tersebut terdapat kaligrafi yang membentuk puncak pilar dan bagian atas mihrab

berbentuk petikan ayat Al Qur‟an dengan bingkai membentuk segitiga. Dinding

bangunan masjid tidak menggunakan banyak jendela melainkan jendela kecil

yang tersembunyi dibalik kolom dan diantara atap dan dinding bangunan sehingga

dari luar dinding masjid terlihat sangat polos. Atap bangunan masjid

menggunakan atap tumpang dua tanpa kubah pada puncak atapnya.

132

Gambar 4.60. Fasad Luar dan Denah Masjid Baitul Mukminin

Gambar 4.61. Plafon, Mihrab dan Ventilasi Masjid Baitul Mukminin

Ragam hias dan ornamen masjid Baitul mukminin berupa kaligrafi dan

tulisan arab pada dinding masjid dan lubang ventilasi diantara dinding dan atap

ruang sholat utama. Kaligrafi menggunakan bahan semen yang dicetak sesuai

bentuk yang diinginkan kemudian dilapisi cat berwarna emas.

133

Gambar 4.62. Detail Ornamen Kaligrafi

4.1.22 Masjid Al-Falah

Kasus ke duapuluh 22 adalah masjid Al Falah beralamat di Komplek

Perumahan Kerta Rahayu Sidakarya. Masjid ini berukuran sekitar 130 m2 dengan

luas lahan sekitar 220 m2. Fungsi tambahan masjid adalah tempat belajar mengaji

pada ruangan belakang yang berfungsi sebagai serambi. Konsep bangunan masjid

ini terbuka tanpa dinding yang menggantikan posisi dinding adalah pagar samping

dan depan bangunan. Ruang utama masjid bebas kolom dan orientasi bangunan

kea arah Barat sedangkan orientasi sholat kearah kiblat ruang mihrab masjid

membentuk tiga sisi sudut sedangkan bagian depan mihrab dibatasi dengan replica

bentuk kolom dengan mnggunakan keramik hijau tua dengan bagian puncak

berbentuk datar, pilar ruang mihrab menyambung pada bagian kiri dan kanan

dinding mihrab membentuk garis lengkung setengah lingkaran . Bentuk atap

masjid menggunakan atap tumpang dua dengan bentuk pelafon mengikuti bentuk

atap pada tingkat bawah sedangkan struktur atap hanya diekspos sebagian.

134

Gambar 4.63. Fasad Luar, Mihrab, dan Ruang terbuka Masjid Al Fallah

Gambar 4.72. Denah Masjid Al Fallah

4.1.23 Masjid Assyuhada

Kasus ke duapuluh lima adalah Masjid tua bernama Assyuhada dibangun

akhir Abad XVII itu menyimpan bukti-bukti peninggalan bersejarah Islam. Salah

satunya mimbar yang dibuat oleh para ulama-ulama pendahulu perintis Kampung

Islam Pulau Serangan. Masjid yang awalnya hanya dibangun di atas tanah seluas

8 meter x 7 meter tersebut sangat sederhana. Terbuat dari bahan kayu menyerupai

135

rumah panggung (bangunan khas Bugis). Akibat kondisi Masjid tua sudah

termakan usia, pembangungan serta renovasi pun dilakukan. Masjid Assyuhada

kini berdiri cukup megah ditengah perkampungan kampung Bugis Pulau Serangan

Bali. Masjid Assyuhada memiliki fungsi sebagai tempat pertemuan warga dan

tempat anak-anak belajar mengaji. Salah satu keunikan masjid ini tidak ada

bangunan yang menghalangi arah kiblat masjid dan bangunan di bagian selatan

masjid orientasinya tidak kearah barat sehingga membentuk ruang disepanjang

halaman masjid, akan tetapi dibangun belakangan sebuah rumah panggung yang

dipindahkan dari lokasi yang sebelumnya berbeda sebagai langkah pelestarian

yang dilakukan warga Kampung Bugis Pulau Serangan. Bangunan masjid

berorientasi ke kiblat sehingga dianggap sejajar dengan arah orientasi sholat.

bentuk denah sejajar dengan bentuk lahan dan jalan didepan masjid sehingga

secara tidak langsung jalan dan posisi kavling permukiman juga sejajar dengan

arah kiblat.

Gambar 4.65. Denah dan fasad luar Masjid Assyuhada

Bangunan memiliki fundamen yang massif tanpa kolong dengan ketinggian

pondasi sekitar satu meter dari tanah. Lantai masjid dilapisi bahan marmer

136

berwarna abu-abu tua dengan ukuran 60x60 cm pada bangunan lama sedangkan

bangunan tambahan menggunakan keramik putih polos. Ruang utama masjid

terdapat empat tiang ditengahnya berupa soko guru yang berfungsi menopang

struktur atap akan tetapi posisi kolom tidak memutus shaf sholat.

Masjid Asyuhada memiliki mihrab yang sederhana hanya cukup untuk satu

imam dengan ukuran sekitar 1x2m dengan bentuk lengkung pada bagian atap dan

dinding depan mihrab. Pada bagian atas gerbang mihrab terdapat mahkota

lengkung berbentuk profil tanpa profil tiang disisi kanan dan kirinya. Meskipun

ukran masjid sangat kecil akan tetapi masjid ini memiliki mimbar yang besar

dilengkapi dengan tangga dan atap berbentuk kubah dengan ukiran berprade emas

dengan warna dasar berwarna hijau, akan tetapi posisi mimbar berada di depan

ruang mihrab dimana pada umumnya masjid di denpasar mimbar berada di dalam

mihrab. Dari ukuranya mimbar tidak pas didalam ruang mihrab yang memiliki

ukuran sangat kecil. Dinding bangunan Masjid Assyuhada berupa dinding massif

dengan ketebalan dinding sekitar 30 cm dengan dilengkapi beberapa jendela kayu.

Pintu masuk utama kedalam masjid berada tegak lurus terhadap kiblat, dimana

menjadi ciri masjid tua di Indonesia. Bangunan Masjid tidak memiliki serambi

keliling akan tetapi memiliki teras depan yang cukup besar. Pada bagian sisi

kanan bangunan lama terdapat bangunan baru yang memiliki ukuran yang sama

dengan bangunan lama akan tetapi dari sisi arsitektur tidak memiliki karakter

yang sama dengan bangunan lama. Bentuk atap masjid berupa atap tumpang dua

akan tetapi bentuk atap saat ini sudah dipugar dan diganti penutup atap yang baru,

atap sebelumnya memiliki tritisan yang pendek berbeda dengan bentuk sekarang

137

atap diperpanjang dan bercorak Arsitektur Bali. Bagian plafon masjid

menggunakan bahan teakwood berwarna putih pada bagian dalam dan teras

bangunan dengan bentuk datar kecuali pada bagian tengah yang membentuk

persegi delapan.

Gambar 4.66. Serambi, Ruang Sholat dan Mihrab Masjid Assyuhada

Masjid Assyuhada tidak memiliki gerbang dan menara masjid akan tetapi

memiliki pagar yang dibuat belakangan karena masjid sebelumnya terbuka.

Ragam hias Masjid menggunakan profil baik itu bagian dinding , jendela, pintu

dan kolom bangunan yang dilapisi dengan cat berwarna putih. Bangunan Masjid

Asyuhada banyak dipengaruhi Arsitektur Portugis pada profil dan ketebalan

dindingnya.

Gambar 4.67. Detail Profil Beton Masjid Assyuhada

138

Bangunan tambahan masjid termasuk bangunan samping sudah berbaur

dengan arsitektur Bali baik itu berupa konsep bentuk atap dengan menggunakan

atap perisai juga warna dan bentuk pagar bangunan.

4.1.24 Masjid Al-Ikhsan

Dari Masjid Assyuhada kasus selanjutnya adalah Masjid Al Ikhsan Sanur.

Masjid ini berupa bangunan satu lantai konsep terbuka dengan luas bangunan

sekitar 900 m2 diatas lahan sekitar 2000 m2. Masjid al Ikhsan tidak memiliki

fungsi tambahan seperti sekolah atau gedung sewa akan tetapi terdapat Sekretariat

MUI Kota Denpasar. Ruang masjid Al Ikhsan didominasi oleh ruang sholat

dengan sedikit ruang penunjang. pada bagian depan berupa ruang sholat laki-laki

dimana terdapat deretan kolom bangunan yang membentuk tiga ruangan bebas

kolom ditengahnya dan sekaligus membentuk tiga massa atap. Massa atap bagian

belakang digunakan untuk ruang sholat wanita dan dibatasi oleh partisi dari kayu

lapis. Orientasi bangunan kearah kiblat sejajar dengan orientasi sholat akan tetapi

terdapat beberapa shaf jemaah yang terputus oleh kolom atau tiang bangunan.

bentuk denah bangunan tidak mengikuti bentuk tanah disebabkan bangunan tegak

lurus terhadap arah kiblat bukan kearah Barat atau menyesuaikan bentuk kavling

bangunan. Masjid Al-Ikhsan memiliki mihrab bangunan yang memiliki bentuk

gerbang segitiga dan dilengkapi oleh mimbar berukuran besar dengan tangga dan

atap berbentuk kubah.

139

Gambar 4.68. Denah Masjid Al Ikhsan

Bangunan Masjid Al Ikhsan hanya memiliki dinding pada dinding sisi barat

bangunan dan ruang wudhu dan pengurus yayasan. Sebelumnya masjid tidak

memiliki pagar, karena alasan keamanan dan kesucian masjid maka dibangun

pagar keliling masjid. Pengganti dinding bangunan adalah deretan kolom yang

membentuk portal segitiga yang membentuk batas ruang dalam dan luar. Masjid

Al Ikhsan memiliki serambi keliling karena tidak memiliki dinding maka serambi

terkesan menyatu dengan ruang dalam bangunan.

Gambar 4.69. Konsep Ruang tanpa dinding dan Mihrab Masjid Al Ikhsan

140

Atap bangunan Masjid terdiri dari tiga massa atap yang berbentuk tumpang

dua akan tetapi tumpang bagian atas tidak meruncing melainkan membentuk

sudut yang datar. Bentuk plafon ketiga atap mengikuti kemiringan atap, trap

pertama tanpa mengekspos struktur rangka sedangkan trap kedua plafon terlihat

menonjolkan struktur rangka atap terutama kasau bangunan.

Gambar 4.70. Bentuk Atap dan Plafon Masjid Al Ikhsan

Bangunan Masjid Al Ikhsan memiliki gerbang yang menyatu dengan pagar

keliling bangunan gerbang berbentuk dua pillar tanpa membentuk portal dengan

bentuk bagian puncak setengah segitiga yang mengarah ke sisi dalam gerbang,

dilapisi batu alam dan profil berwarna hijau, sedangkan pagar keliling bangunan

berwarna kuning serupa dengan batu alam pada gerbang dengan diberi profil pada

bagian dasar dan tiang pagar. Masjid Al Ikhsan tidak memiliki menara masjid.

Sedangkan tempat wudhu berada disisi kanan untuk laki-laki dan sisi kiri untuk

makmum perempuan. Ragam hias masjid Al Ikhsan terdapat pada bagian pagar,

141

plafon dan mihrab. Ragam hias pada plafon meliputi profil kayu yang dibentuk

untuk membibgkai laigrafi yang terbuar dari kaca yang dilukis dengan cat minyak.

Sedangkan ragam hias pada pagar berupa profil yang dibuat dari bahan beton.

Untuk mihrab profil bangunan dibuat dari batu granit yang diasah dan ditempel.

Gambar 4.71. Gerbang, Pagar dan Ragam Hias Masjid Al Ikhsan

142

4.1.25 Masjid Ar-Rahman

Masjid ke Dua puluh Lima adalah masjid Ar-Rahman masjid ini beralamat di

Jalan Tukad Balian Gg I No 9 denpasar, masjid ini berdiri pada tahun 1986 berupa

bangunan dua lantai dengan luas sekitar 450 m2 diatas lahan seluas 290 m2.

Bangunan ini tidak memiliki fungsi penunjang karena memiliki keterbatasan

lahan. Ruang bagian bawah berfungsi sebagai ruang wudhu, wc, parkir motor dan

ruang pengurus yayasan. Masjid Ar Rahman berorientasi ke kiblat sehingga arah

sholat sejajar dengan bangunan sedangkan bentuk denah bangunan hampir sama

dengan masjid Sadar dimana tidak sejajar dengan bentuk lahan.

Mihrab bangunan masjid berukuran 2x2,4 m berbatsan langsung dengan

ruang takmir masjid. Semua dinding ruang utama dilapisi marmer berwarna

kuning, hanya pilar pembatas mihrab yang terdapat dua pilar dilapisi marmer

berwarna abu-abu. Konsep dinding bangunan tertutup pada bagian lantai atas

dengan bentuk jendela yang di lingkupi bidang dinding yang membentuk deretan

dinding setengah kubah dengan jendela didalamnya. Dinding tersebut selain

sebagai elemen pembentuk wajah bangunan juga berfungsi sebagai pelindung dari

cuaca. Dinding Masjid di lantai dasar berkonsep terbuka tanpa dinding pada sisi

kiri bangunan sedangkan pada sisi lain bangunan menempel dengan pagar

pembatas. Masjid Ar Rahman terdiri dari tiga massa atap dimana bentuk yang

paling besar di ruang utama bagian tengah dan bentuk atap lebih kecil pada ruang

sholat utama bagian depan dan diatas tangga. Ketiga atap dihubungkan oleh atap

dag beton masing-masing atap berbentuk atap bertumpang dua. Plafon bangunan

143

polos hanya pada bagian ketiga atap plafon mengikuti bentuk atap dan

mengekspos struktur sehingga cahaya dan udara bisa masuk kedalam ruangan.

Gambar 4.72. Fasad Luar dan Denah Masjid Ar Rahman

144

Gambar 4.73. Mihrab dan Ruang Sholat Masjid Ar Rahman

Gambar 4.74. Lantai Dasar Masjid Ar Rahman

Gambar 4.75. Bentuk Plafon Masjid Ar Rahman

Bangunan tidak memiliki gerbang masuk maupun menara masjid. Sedangkan

untuk ragam hias terdapat pada profil memanjang, profil jendela serta pada tiang

145

bangunan lantai dasar dan bagian luar. Tiang bagian lantai dasar beberntuk bulat

dengan kapital dan dasar tiang menggunakan pelapis berwarna emas berbentuk

melingkari kolom, sedangkan pada dinding luar lantai atas kolom berada pada

sudut bangunan dengan kepala tiang mengikuti bentuk tiang persegi.

4.1.26 Masjid Al-Hikmah

Kasus ke 28 adalah Masjid Al Hikmah masjid ini memiliki Gaya Arsitektur

Bali yang paling kental dibanding masjid di Denpasar lainnya. Masjid ini

beralamat di Jalan Soka 18 Denpasar Timur. Masjid ini berdiri pada tahun 1978

kemudian direnovasi kembali pada tahun 1998 dengan menyerap Arsitektur Bali.

Masjid Al Hikmah berupa bangunan satu lantai dengan luas bangunan sekitar 220

m2. Masjid ini memiliki fungsi penunjang yaitu sekolah tingkat taman kanak-

kanak berupa bangunan dua lantai disisi kiri bangunan masjid. Orientasi Masjid

Al Hikmah ke Arah kiblat sehingga posisi denah bangunan tidak sejajar dengan

bentuk lahan bangunan. Bentuk bangunan tetap berbentuk persegi panjang,

penyesuaian bentuk tapak hanya pada desain halaman dan tempat berwudhu.

Ruang Utama masjid berada di ruang paling depan dengan dibatasi dinding

massif yang membentuk beberapa gerbang masuk kedalam ruangan. Ruangan

utama tidak terdapat kolom dibagian tengahnya sehingga tidak memutus shaf

sholat berjamaah, begitu juga dengan ruang dibelakang ruang utama yang sekilas

menyerupai serambi yang diperpanjang kebelakang karena konsep dindingnya

semi terbuka. Mihrab pada ruang utama masjid memiliki bentuk dasar gerbang

kubah bawang dibentuk dengan menggunakan bahan dan warna material yang

146

berbeda dengan dinding.serta ditunjang dengan dua pillar dengan kaki dan kepala

kolom menggunakan profil berwarna hitam. Didalam ruang mihrab terdapat

mimbar yang memiliki bentuk yang sederhana dan menggunakan bahan yang

tidak umum digunakan yaitu kaca dan alumunium.

Gambar 4.76. Fasad Luar dan Denah Masjid Al Hikmah

Pada bagian kiri dan kanan ruang mihrab terdapat bentuk portal yang

mengimbangi ruang mihrab akan tetapi memiliki skala yang lebih kecil. Pada pilar

pembentuk portalnya bagian sebelah kiri dilapisi oleh ukiran yang terbuat dari plat

147

metal. Sebelum memasuki ruang utama masjid dari arah depan terdapat tiga portal

yang membentuk gerbang masuk ke ruang utama, gerbang tersebut memiliki

bentuk atas lengkung dengan dominasi gerbang bagian tengah, diantara gerbang

kiri dan kanan terdapat pilar yang membatasinya.

Gambar 4.77. Mihrab Masjid Al Hikmah

Dinding bangunan Masjid Al Hikmah bersifat semi terbuka karena tidak ada

pintu permanen yang memisahkan ruang luar dan dalam sedangkan bagian

dinding bangunan dipenuhi ukiran yang tembus sehingga cahaya dan udara dapat

masuk kedalam bangunan, sehingga didalam ruangan terasa menyatu dengan

lingkungan luar masjid. Terdapat dua dinding di dalam masjid Al Hikmah,

dinding pertama adalah dinding yang membatasi ruang sholat pertama dimana

dibatasi oleh dinding tanpa pintu sedangkan jendela samping dan bagian atas

dipenuhi oleh ukiran kayu tembus. Dinding lapis kedua masjid adalah dinding

yang sebenarnya membatasi serambi dengan lingkugan luar masjid finfishing

dinding menggunakan ekspos bata merah khas bangunan Bali. Pada dinding

terluar dibatasi oleh beberpa titik dinding massif diantara pintu geser yang berukir

148

tembus sedangkan sisa penutup masjid berupa ukiran ventilasi yang terbuat dari

bahan beton dengan ukiran tembus cahaya.

Gambar 4.78. Ragam Hias Masjid Al Hikmah

Masjid Al Hikmah menggunakan bentuk kolom dengan penampang persegi

dilengkapi dengan kaki dan kepala kolom dengan menggunakan warna gelap.

Diantara kolom bangunan membentuk beberapa portal dengan bentuk setengah

lingkaran dan ellips. Pada ruangan belakang ruang utama kolom membentuk

portal yang besar dengan garis lengkung dimana kolom pembatas keruang utama

mengikuti pola lengkung tersebut. Sedangkan portal yang terbentuk antara tiang

berbentang pendek membentuk deretan tiga garis lengkung setengah lingkaran.

Bangunan ini sebenarnya memiliki serambi akan tetapi ditutupi oleh dinding

pembatas sehingga berfungsi sebagai ruang dalam masjid.

Gambar 4.79. Bentuk Ruang dan Plafon Masjid Al Hikmah

149

Atap bangunan Masjid Al Hikmah menggunakan atap tumpang tiga dimana

pada kasus lainnya masjid tidak ada yang menggunakan atap tumpang tiga karena

mereka menghindari meniru bangunan suci hindu yang biasanya bertumpang tiga

atau ber angka ganjil pada bagian puncak atap terdapat tiga trap balok persegi

kemudian diatasnya terdapat kubah bertingkat tiga dan pada bagian puncaknya

diakhiri dengan lambing bertuliskan kalimat Allah SWT. Bentuk plafon pada

ruang utama mengikuti bentuk atap dengan menyisakan void dibagian puncak

berbentuk lingkaran dengan bingkai bermotif persegi empat yang sudutnya

dilengkungkan. Pada ruang dibelakang ruang utama bentuk plafon mengikuti

bentuk lengkung pada portal yang menghubungkan antara kolom bangunan.

Gerbang Pada Masjid Al Hikmah merupakan elemen bangunan yang paling

kuat karakter Arsitektur Bali mulai dari penggunaan bahan, ukiran dan bentuk

gerbang akan tetapi yang membedakanya adalah hiasan pada bagian puncak

gerbang berupa kubah dengan lambing bulan sabit pada bagian puncaknya.

Bangunan Masjid Al Hikmah tidak memiliki bentuk ukiran atau ornament yang

bermotif hewan dan manusia kecuali pada bagian gerbang depan. Banyak

kontroversi yang disebutkan dari beberapa pengurus masjid lain di Denpasar

mereka menganggap akulturasi pada masjid Al Hikmah melewati jalurnya. Akan

tetapi kalau melihat posisi gerbang berada di ring terluar bangunan masjid dan

dibatasi lagi dinding sebelum masukke pekarangan dengan dihiasi kubah kecil

belafaskan Allah dan Muhammad.

150

Gambar 4.80. Gerbang Masjid Al Hikmah

Masjid Al Hikmah tidak memiliki menara. Akan tetapi masjid ini memiliki

banyak ragam hias dan ornamen didalamnya, hampir pada semua komponen

bangunan meliputi dinding bangunan, pagar, kolom, plafond an atap bangunan.

Mulai dari gerbang bangunan memiliki bentuk ukiran yang bermotif tumbuh-

tumbuhan, manusia dan hewan dimana elemen tersebut dilarang didalam Islam.

Pada kolombangunan ragam hias terdapt pada kepala dan kaki kolom, sedangkan

pada dinding bangunan meliputi ornament yang ditempel sampai beragam ukiran

baik itu berbahan kayu ataupun batu.

4.1.27 Masjid At-Taqwa

Kasus ke 27 adalah masjid At Taqwa Masjid ini berada di dalam Komplek

Polisi Daerah Bali. Masjid ini pertama berdiri pada tahun 1971 dan direnovasi

total pada tahun 1995 dan selesai pada tahun 1997. Masjid At Taqwa didirikan

untuk memenuhi kebutuhan jemaah pegawai Polda dan masyarakat umum yang

hendak menggunakan Masjid tersebut. Tidak terdapat fasilitas penunjang khusus

di Masjid At-Taqwa akan tetapi pada bagian belakang masjid terdapat beberapa

kamar yang digunakan untuk tamu dan pengurus masjid tinggal. Bangunan Masjid

151

At-Taqwa berorientasi kearah kiblat sehingga sejajar dengan shaf jemaah. Masjid

ini terdiri dari dua lantai bangunan dimana ruang shalat utama terdapat dilantai

bawah sekaligus tempat ruang mihrab berada dan ruang shalat khusus wanita

terdapat pada sisi kanan belakang dari arah kiblat masjid dengan pembatas berupa

panel kayu berbahan plywood berwarna putih. Lantai atas bangunan masjid

digunakan untuk ruang shalat tambahan pada bagian depan bangunan dibuat void

yang tembus ke ruang depan pada ruang shalat lantai dasar. Mihrab pada masjid

ini memiliki portal berbentuk kubah bawang bertingkat dua dengan bahan berlapis

batu granit, pada bagian atas dinding mihrab terdapat kaligrafi berbahan kayu

berdiameter sekitar dua meter. Terdapat sebuah mimbar kecil berbentuk kubus

berbahan kayu dan bertuliskan Polda Bali dan nama Masjid yang menandakan

bahwa masjid tersebut dibawah naungan Polda Bali. Dinding masjid dibuat

tertutup permanen dengan marmer sebagai pelapis pada interior bangunan

sedangkan pada bangian muka bangunan hanya berupa lapisan cat. Permainan

fasad dinding berada pada sekeliling serambi lantai atas dimana terdapat bentuk

lengkung setengah lingkaran yang membentuk portal dan dibuat dinding penutup

permanen setelah portal secara bergantian dengan finishing menggunakan

keramik berukuran seperti batu-bata berwarna merah tua. Kolom dan balok pada

bangunan masjid At-Taqwa menggunakan bentuk yang mewakilkan detail

sambungan dan ukiran kayu yang umumnya digunakan pada Arsitektur Bali

terutama pada bagian lantai atas dan teras pintu masuk utama Masjid. Satu

keunikan yang dimiliki masjid ini adalah satu-satunya masjid yang memiliki

beduk dari sekian kasus yang ditemukan pada Masjid di Denpasar.

152

Gambar 4.81. Fasad Luar dan Denah Masjid At Taqwa

Atap bangunan Masjid At-Taqwa berbentuk atap tumpang dua dengan bentuk

sudut atap semakin mengecil pada ujungnya. Sedangkan untuk plafon masjid

mengikuti bentuk atap yaitu dengan menonjolkan struktur atap sebagai elemen

estetika bangunan dan untuk mengatur sirkulasi udara agar lebih lancar. Masjid ini

tidak memiliki gerbang akan tetapi memiliki pagar keliling dimana sedikit

mengadopsi gaya pagar Arsitektur Bali. Untuk tempat wudu‟ berada pada bagian

luar bangunan dan bagian selasar belakang masjid. Ragam hias pada masjid ini

terdapat pada bentuk balok dan kolom yang menganalogikan ukiran kayu dan juga

153

profil pada fasad luar bangunan. Bagian dalam bangunan terdapat ukiran-ukiran

kayu berbentuk kaligrafi yang disusun didepan dinding mihrab dan sebagai

ventilasi pada bagian atas bangunan dengan memanfaatkan ukiran tembus.

Gambar 4.82. Bentuk mihrab dan plafon Masjid At Taqwa

4.1.28 Masjid Baitturahman

Kasus dua puluhdelapan adalah masjid baitturahman. Masjid Baiturahman

sendiri berada pada bagian tengah Dusun Wanasari dimana dahulu lokasi tersebut

adalah sebuah bangunan Pura. Posisi bangunan masjid bearada dipersimpangn

jalan sehingga memiliki posisi paling strategis di lingkungan tersebut. Akan tetapi

bangunan masjid sebelumnya tidak berada di pinggir jalan utama sebelum lahan

rumah didepannya dibebaskan untuk dilakukan perluasan masjid. Berdasarkan

sejarah nya daerah dusun wanasari dahulunya merupakan kelompok penduduk

menengah kebawah dengan matapencaharian utama berupa buruh dan pedagang

154

kecil. Sampai saat ini dapat terlihat lingkungan sekitar bangunan Masjid terlihat

sangat padat dan tidak begitu teratur, begitupula dengan estetika bangunan rumah

penduduk tidaklah terlalu menjadi prioritas.

Gambar 4.83. Denah Masjid Baitturahman

Pada tahun 1904 M, diatas tanah yang kini bernama Dusun Wanasari telah

berdiri sebuah Loji (Tangsi Belanda). Disekitar loji hanya tumbuh alang-alang.

155

Penghuni loji memanfaatkan mata air disekitar jembatan untuk tempat mandi.

Pada saat sebelum itu penduduk pendatang sebagian besar menempati tanah

disekitar pasar payuk (priuk) Pasar Badung Sekarang. Masjid Baiturrahman yang

ada di Kampung Jawa, berdiri sejak 1920-an, hampir bersamaan dengan adanya

kuburan Muslim di dekat kampung itu. Di Denpasar ada beberapa pemakaman

Muslim, salah satu yang terbesar adalah pemakaman Kampung Jawa. Salah satu

keranda milik pemakaman itu terbuat dari bahan kayu jati dan di sisi kepalanya

tertulis dengan ukiran tahun 1926, yang menandakan keranda itu dibuat. "Artinya

pemakaman sudah ada sejak atau sebelum 1926 dan masjid Baiturrahman pastilah

berdiri lebih dahulu ketimbang pemakamannya," kata takmir Masjid

Baiturrahman, H Muchtar Basyir. Pembangunan Masjid Kampung jawa pertama

kali pada saat kepala dusun dipegang oleh Bapak Suwati (1920-1932) dimana

pada masa ini sebenarnya bukan membangun dari awal melainkan memindahkan

bangunan masjid dari pertigaan Kampung Jawa ke Lokasi Masjid Baiturrahman

sekarang. Dimana pada awalnya adalah bangunan sebuah Pura Sari, yang oleh

penyungsungnya pura itu dibongkar dan tanahnya diperuntukan mendirikan

Masjid. Perluasan bangunan Masjid Baiturrahman sampai pada kondisi sekarang

dibangun pada saat dusun Wanasari dipimpin oleh H Moch Rifai pada tahun 1967

sampai dengan 1995.

Posisi Mihrab pada Kampung Jawa berada pada lantai 2 bangunan, dimana

Mihrab merupakan ruangan terdepan dimana berfungsi sebagai posisi imam

memimpin shalat berjamaah dan tempat khatib menyampaikan khutbah. Pada

ruangan lantai 3 digunakan untuk ruang shalat sebagai ruang tambahan pada saat

156

shalat berjamaah. Di kota lain di Indonesia apabila bangunan Masjid terdiri dari

dua Lantai atau lebih posisi Mihrab berada pada ruang lantai dasar.

Gambar 4.84. Tangga dan fasilitas penunjang Masjid Baitturahman

4.1.29. Masjid Darussalam

Kasus ke 29 adalah Masjid Darussalam beralamat di Jalan HOS.

Cokroaminoto No. 155 Ubung - Denpasar. Masjid ini awalnya berupa bangunan

satu lantai akan tetapi mengalami perubahan pada tahun 90 an hingga menjadi tiga

lantai masjid ini selain tempat mengerjakan ibadah shalat juga sering digunakan

oleh orang-orang yang hendak beristirahat sejenak karena posisi masjid

merupakan pintu gerbang dari dan menuju kota denpasar. Bangunan masjid

berupa bangunan tiga lantai dimana lantai dasar berfungsi sebagai ruang sholat

dan juga tempat beristirahat bagi mereka yang singgah. Lantai dua bangunan

berfungsi sebagai ruang shalat utama dimana terdapat ruang mihrab pada sisi

bagian barat.Untuk jemaah wanita juga terdapat di sisi belakang sebelah kiri ruang

sholat dengan dibatasi tirai. Orientasi bangunan kearah barat dimana terlihat

bangunan berupaya untuk berorientasi ke kiblat walaupun bentuk lahan masjid

yang kurang beraturan. Meskipun orientasi bangunan berusaha berorientasi ke

157

kiblat akan tetapi susunan shaf masih tetap tidak sejajar. Bentuk arsitektur

bangunan Masjid Darussalam secara umum bergaya hipostyle atau timur tengah

terlihat pada pada dinding luar bangunan yang menggunakan bentuk lengkung .

Pada bagian atap terjadi penggabungan bentuk atap tumpang dan kubah.

Penggabungan kedua bentuk tersebut juga terlihat pada bentuk plafon bangunan

dimana terlihat penonjolan struktur atap limasan dan lengkungan kubah yang

memusat pada titik tengah bangunan.

Gambar 4.85. Fasad luar dan denah Masjid Darussalam

158

Ruang utama bangunan masjid terdapat di lantai dua terdapat kolom ditengah

ruang sholat yang memutus barisan shaf sholat berjemaah. Ruang mihrab yang

juga berada di lantai dua memiliki posisi simetris terhadap ruang memiliki ruang

yang menjorok kebagian luar sebelah barat berukuran 2,5 x 2 m, dengan dibatasi

portal lengkung berbahan granit berwarna hitam.

Gambar 4.86. Mihrab dan ruang sholat Masjid Darussalam

Pada lantai dasar bangunan Masjid Darussalam tidak memiliki dinding

keliling kecuali hanya dibatasi oleh pagar bangunan, sedangkan untuk lantai dua

dan tiga bangunan menggunakan dinding bata diplester dengan menggunakan

jendela berbahan kayu. Bangunan masjid tidak terlau mengekspos ragam hias

ataupun simbol tertentu didalamnya akan tetapi bagian yang paling menonjol

adalah tiang bangunan yang dibuat berukuran besar dengan profil pada kaki dan

kepala kolom. Masjid ini tidak terdapat gerbang dan menara masjid sedangkan

tempat wudhu berada di bagian luar bangunan pada lantai satu dan bagian dalam

sejajar mihrab pada lantai dua bangunan.

4.1.30. Masjid Al Furqon Gatsu

Masjid terakhir yang diangkat kedalam kasus yaitu Al Furqon Gatsu. Masjid

ini berada pada sisi jalan berada pada ketinggian kontur sekitar lima meter

terhadap jalan. Masjid memiliki ukuran denah hanya sekitar 8 x 12 m, berbentuk

159

bangunan tiga lantai. Orientasi bangunan masjid ini tidak sejajar dengan orientasi

shaf shalat berjemaah dimana posisi bangunan sejajar dengan bentuk lahan yang

sejajar dengan jalan. Bagian dasar bangunan bersifat semi terbuka tidak memiliki

pintu tetapi dibatasi oleh dinding masif berlapiskan batu marmer pada permukaan

dalam dan luar bangunan, akses masuk masjid setelah melewati pagar depan

berupa portal yang ditopang beberpa deret kolom. Sedangkan untuk menuju lantai

atas bangunan tangga berada pada sisi kanan diluar ruang lantai dasar. Posisi

mihrab bangunan ini berada pada pojok kanan bagian barat dengan posisi mihrab

tegak lurus terhadap arah kiblat.

Gambar 4.87. Fasad Luar,Ruang Sholat dan Denah Masjid Al Furqon Gatsu

160

Kolom dan lengkung portal pada bangunan masjid meniru bentuk detail pada

Arsitektur Masjidil Haram di Mekah sehingga hampir tidak ditemukan ragam hias

atau elemen bernuansa arsitektur Bali. Begitupula dengan lambang atau ornamen

Islam tidak dijumpai pada bangunan ini melainkan hanya detail pada mihrab dan

pintu masuk dengan menggunakan bentuk lengkung dan profil khas Timur

Tengah. Masjid Al Furqon ini tidak memiliki bentuk atap baik itu kubah ataupun

atap tumpang karena pada bagian atasnya dibuat datar dengan menggunakan plat

beton bertulang sehingga bangunan menyerupai bangunan gedung atau ruko.

Bangunan Masjid Al Furqon tidak memiliki gerbang dan menara.

Gambar 4.88. Bentuk Portal pada Pintu Masuk dan Mihrab Masjid Al Furqon Gatsu

161

4.2 Bentuk Ruang Masjid di Denpasar

Fungsi ruang utama bangunan masjid adalah ruang sholat, sehingga setiap

bangunan masjid selalu berupaya untuk mengoptimalkan luasan ruang utamanya

baru kemudian diikuti ruang penunjang. Ruang utama masjid juga sering

digunakan untuk mendengar khotbah dan ceramah agama sehingga secara fisik

dituntut menampung luasan yang optimal.

Pengurus atau pendiri masjid umumnya memiliki pandangan berbeda

terhadap bentuk ruang sholat yang ideal, Secara fisik mereka memiliki pandangan

yang sama yaitu memiliki ruangan yang luas, penerangan alami yang cukup dan

ventilasi udara yang baik, tetapi berdasarkan pemahaman pengurus atau pendiri

masjid terhadap tuntunan Al Quran dan hadist mereka memiliki pandangan yang

berbeda. pandangan mereka yang memegang tuntunan Al-Quran dan Hadist

Rancangan ruang sholat yang baik adalah tidak terdapat penghalang ditengah

ruangan baik itu berupa dinding ataupun tiang karena sholat berjamaah makmun

harus merapatkan shaf sehingga apabila terdapat sesuatu yang menghalangi maka

harus mengulang kembali shalatnya, hal ini salah satunya sesuai dengan hadist

riwayat Abu Daud no: 682 , Tirmidzi 230-231:

”Shalat tidak sah atau harus diulang apabila sendirian di shaf

belakang atau terdapat tiang masjid yang menghalangi”

Rancangan masjid yang berpegang teguh pada hadist tersebut umumnya

tidak memiliki tiang yang akan memotong susunan shaf serta tidak memiliki

serambi keliling yang dibatasi oleh dinding, karena dikhawatirkan akan digunakan

untuk sholat. Yayasan atau pengurus masjid yang memegang teguh aturan ini

162

biasanya menempelkan poster atau tulisan di depan pintu masuk masjid mengenai

aturan shalat berjemaah yang benar berdasarkan Al-Quran dan Hadist.

Adapun pandangan kelompok yang kurang memahami atau memiliki

pandangan lain merasa keberadaan tiang atau dinding tidak merupakan suatu

permasalahan walaupun mereka mengakui ruang sholat ideal tanpa ada

penghalang tiang ataupun dinding, sehingga pada pintu masuk masjid tidak

dipasang poster atau tulisan mengenai tuntunan sholat tersebut.

Gambar 4.89. Fungsi Serambi yang dijadikan Ruang Sholat

163

Dapat disimpulkan terdapat dua macam bentuk ruang masjid di Denpasar

yang pertama susunan shaf makmum tidak ada yang menghalangi baik itu berupa

dinding atau tiang kemudian bentuk yang kedua shaf terputus oleh tiang atau

dinding. Bentuk ruang pertama dibagi lagi menjadi dua yaitu ruangan yang bebas

tiang dan ruangan bertiang tetapi jarak baris shaf jemaah diatur agar tidak sejajar

dengan tiang (lihat tabel 4.1). Bentuk ruang utama masjid didenpasar umumnya

berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang adapun permainan bentuk lainnya

hanya pada ruang penunjang atau dinding diluar ruang sholat saja. Bentuk bujur

sangkar atau persegi panjang yang simetris selain memudahkan struktur atapnya

juga penggunaan ruang lebih optimal.

Tabel 4.1

Bentuk Susunan Sholat Masjid di Denpasar

No Ragam Susunan Sholat Keterangan Gambar

1.

Susunan shaft berjemaah ini

merupakan susunan sholat yang

paling dianggap ideal karena shaft

lurus dan rapat tanpa ada

penghalang.

164

2.

Susunan shaft berjemaah ini

merupakan susunan sholat yang

masih mempertahankan susunan

shaft meskipun terdapat tiang

ditengah ruang karena shaf

makmum disesuaikan posisinya.

3.

Susunan shaft berjemaah ini

merupakan susunan sholat dimana

posisi tiang bangunan memutus

shaf makmum berbeda dengan

kasus sebelumnya dimana posisi

shaf disesuaikan.

4.

Bentuk susunan terakhir adalah

shaft benar-benar terputus oleh

dinding permanen, dimana

umumnya peralihan ruang sholat

utama terhadap selasar atau

serambi masjid.

Morfologi ruang sholat pada masjid di Denpasar Bali umumnya terdapat

tiang ditengah ruang utama akan tetapi dalam perkembangannya morfologi ruang

masjid mengarah pada bentuk susunan ruang tanpa pembatas kolom maupun

165

dinding yang memutus shaf sholat berjamaah. Selain susunan shaf pemisahan

gender menjadi kajian penting didalam bangunan masjid di Denpasar.

Ruang sholat pada bangunan masjid terbagi menjadi dua yakni ruang

sholat untuk makmum laki-laki dan ruang sholat untuk wanita, data yang

diperoleh dari 30 kasus hampir dari semua kasus memiliki pandangan yang sama

mengenai aturan ini akan tetapi ada yang sangat fanatik (memegang kuat aturan)

dan ada yang tidak terlalu kuat didalam pelaksanaanya. Aturan dasar menyusun

jemaah sholat adalah bagi pria dimulai dari shaf terdepan sedangkan bagi shaf

wanita dimulai dari shaf belakang yang menjadi dasar pegangan bagi pengurus,

jemaah dan pendiri masjid adalah hadist riwayat Muslim no:440, Abu daud

no:678, Nasa‟i no:819 yang berbunyi:

” Sebaik baik shaf kaum laki-laki adalah yang pertama, dan yang paling

buruk adalah yang paling akhir, sebaik baik shaf kaum wanita adalah

yang terakhir dan yang terburuk adalah yang paling depan.”

Pada ruang utama masjid di denpasar ruang sholat wanita terletak pada bagian

belakang makmum laki-laki baik itu sebelah kiri atau sebelah kanan, akan tetapi

yang membedakan pandangan mereka adalah mengenai pembatas atau hijab

antara makmum laki-laki dan wanita sehingga dapat dilihat sejauh mana

keyakinan atau pemahaman mereka mengenai hal tersebut dapat dilihat dari

pembatas yang mereka buat antara makmum laki-laki dan perempuan. Semakin

permanen atau semakin tertutup hijab jemaah laki-laki dan perempuan berarti

menggambarkan pengurus semakin paham atau memegang teguh aturan tersebut .

Pembatas antara makmum laki-laki dan wanita sangat penting dilakukan hal ini

166

didasari oleh QS An-Nuur ayat 30-31(tafsir Ibnu Katsir) & Riyadhus Shalihin

2/171-224:

” Sutra atau tirai sebagai alat atau sarana hijab untuk mencegah

timbulnya fitnah dan dosa akibat pandangan dan lirikan pada saat

sebelum dan sesudah shalat serta mencegah pria dari dosa akibat lewat

didepan wanita yang sedang shalat”

Terdapat empat jenis pembatas ruang sholat laki-laki dan wanita pada bangunan

masjid di denpasar yaitu; berupa tirai , partisi kayu atau rotan, dinding

pembataspermanen dan perbedaan lantai bangunan. Partisi berupa tirai merupakan

pembatas yang digunakan dengan menggunakan kain dimana pembatas ini bisa

dipindahkan dan dibuka pada kondisi tertentu misalnya pada saat sholat jum‟at

dimana kaum wanita tidak diwajibkan mengerjakannya maka ruangan sholat

wanita digunakan untuk keperluan makmum laki-laki sehingga pembatas tirai bisa

digeser atau dipindahkan.

Tabel 4.2

Penggunaan Pembatas Ruang Sholat

Jemaah Laki-laki dan Perempuan Masjid di Denpasar

No

No

Kasus

Nama Masjid

Jenis Partisi

Tirai/

Kain

Dinding

Kayu/Anya

man tidak

permanen

Partisi kaca/

dinding

permanen

Perb

Lantai

1 Kasus 1 AN-NUR - x - -

2 Kasus 2 AL-FURQON - x - -

3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN - x - -

4 Kasus 4 AL-FALAQ - x - -

5 Kasus 5 AL-GHURABAH - - x -

6 Kasus 6 AL IKHLAS - - x

7 Kasus 7 NURULLAH - - - -

8 Kasus 8 QUBA x - - -

9 Kasus 9 NURUT TAQWA - - x -

10 Kasus 10 SUCI x - - -

11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH - - x -

12 Kasus 12 AL-IKHLAS - - - x

13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR - x - -

167

14 Kasus 14 BINA TAQWA - x - -

15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) x - - -

16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN - - - -

17 Kasus 17 AR-RAHMAT - - - -

18 Kasus 18 AL-QOMAR - - - x

19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN - - - x

20 Kasus 20 SADAR - - x -

21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ x - - -

22 Kasus 22 AL-FALAH - - - x

23 Kasus 23 ASY-SYUHADA - - - -

24 Kasus 24 AL-IHSAN - x - -

25 Kasus 25 AR-RAHMAN - - x -

26 Kasus 26 AL-HIKMAH - - - -

27 Kasus 27 AT-TAQWA x - - -

28 Kasus 28 BAITTURAHMAN - - - x

29 Kasus 29 DARUSSALAM x - - -

30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) - x - -

x = ditemukan, - =tidak ditemukan

Partisi berupa tirai merupakan pembatas yang digunakan dengan

menggunakan kain dimana pembatas ini bisa dipindahkan dan dibuka pada

kondisi tertentu misalnya pada saat sholat jum‟at dimana kaum wanita tidak

diwajibkan mengerjakannya maka ruangan sholat wanita digunakan untuk

keperluan makmum laki-laki sehingga pembatas tirai bisa digeser atau

dipindahkan. Pembatas hijab yang menggunakan tirai dan partisi bergerak

memiliki keuntungan dapat disesuaikan sesuai kebutuhan jemaah karena pada saat

sholat fardu memang tidak terlalu besar akan tetapi pada saat tarawih jumlahnya

bisa berimbang sehingga tirai bisa digeser posisinya membelah jemaah laki-laki

dan wanita. Untuk masjid berukuran cukup besar maka pembatas ruang makmun

laki-laki dan wanita dipisahkan secara tegas akan tetapi pembatasnya dibuat

transparan atau memanfaatkan bangunan lantai atas untuk jemaah wanita sehingga

kontak langsung dapat dihindarkan.

168

Gambar 4.90 Pembatas Hijab Ruang Sholat Wanita

Pembahasan selanjutnya adalah ruang penunjang masjid di Denpasar

meliputi; ruang aula, ruang belajar mengaji, ruang takmir, ruang pengurus masjid,

ruang penyimpanan perlengkapan, ruang wudhu, retail atau toko dan ruang kelas

untuk TPQ atau TPA. Ruang aula adalah ruang di dalam masjid yang digunakan

untuk pertemuan-pertemuan yang membutuhkan kapasitas yang cukup besar

biasanya dimanfaatkan untuk menyelenggarakan acara syukuran, akad nikah dan

resepsi. Terdapat beberapa pandangan yang berbeda dari berbagai pengurus

masjid ada yang menganggap ruang yang digunakan sebagai ruang sholat dapat

169

juga berfungsi sebagai ruang sholat akan tetapi pendapat lain yang muncul bahwa

dengan menyatukan kedua fungsi tersebut dikhawatirkan kebersihan ruang sholat

akan terganggu sehingga ruang aula sebaiknya terpisah dengan ruang sholat.

Ruang berikutnya adalah ruang belajar mengaji dimana mayoritas tidak

menggunakan ruang khusus melainkan memanfaatkan ruang pojok diruang sholat

atau ruang sholat tambahan baik itu dilantai bawah atau lantai atas ruang sholat

utama, ruang belajar mengaji juga sering memanfaatkan serambi bangunan

sehingga kesucian ruang sholat utama tetap terjaga. Ruang lainnya adalah ruang

takmir yang berfungsi untuk pengurus masjid yang bertindak sebagai

penyelenggara sholat fardu baik itu sebagai imam atau yang menyiapkan peralatan

untuk kegiatan ibadah masjid, adapun posisi ruang takmir umumnya terletak

dibagian depan sejajar dengan mihrab dan tergabung dengan ruang audio dan

penyimpanan untuk keperluan ruang utama. Ruang selanjutnya adalah ruang

pengurus masjid yang dimanfaatkan untuk keperluan administrasi, perawatan dan

pemanfaatan masjid jumlah dan besaran ruang pengurus beragam tergantung

fasilitas penunjang yang diberikan masjid misalnya, mengadakan bimbingan

ibadah haji, zakat, sekolah , dan ruang serba guna maka membutuhkan ruang

pengurus yang cukup besar. Posisi dan bentuk ruang pengurus menyesuaikan dan

memanfaatkan ruang-ruang yang tidak bisa digunakan untuk ruang sholat.

Ruang penting pada bangunan masjid selanjutnya adalah ruang wudhu.

Ruang wudhu merupakan ruangan yang digunakan sebagai ritual pertama sebelum

melaksanakan sholat dimana sarana yang digunkan untuk berwudhu adalah air

170

sehingga ruangan ini bersifat basah, pada dasarnya ruang wudhu tidak

memerlukan dinding partisi permanen sehingga posisinya bisa diluar bangunan

atau dilapangan terbuka, akan tetapi ruang wudhu khusus wanita memiliki

persyaratan tersendiri hal ini dikarenakan adanya hijab antara laki-laki dan wanita

sehingga diperlukan ruang wudhu tertutup untuk jemaah wanita.

Tempat wudhu pada masjid di Denpasar umumnya menggunakan kran air

untuk berwudhu sehingga kalau melihat ciri-ciri masjid tua yang dikemukakan

oleh Pijper dan Tjandra sasmita bahwa terdapat kolam pada bangunan masjid tua

di Indonesia dimana kolam tersebut berfungsi sebagai tempat untuk mengambil

wudhu, di Denpasar tidak ditemukan masjid yang menggunakan kolam. Untuk

ruang wudhu masjid di Denpasar terbagi menjadi dua yaitu ada yang

menggunakan ruangan khusus dan menggunakan pojok halaman masjid dengan

menempel dipagar masjid. Karena berwudhu merupakan urutan pertama didalam

melaksanakan ibadah sholat maka pergerakan jemaah wanita dan laki-laki harus

diperhatikan akan tetapi hanya sedikit bangunan masjid yang membuat jalur dan

susunan ruang khusus sehingga ruang sholat wanita dan tempat wudhunya

memiliki jalur khusus. Hanya beberapa kasus yang memiliki tempat wudu‟ khusus

wanita sekaligus memperhatikan pergerakan sesudah wudu‟ tanpa bersinggungan

langsung dengan jemaah laki-laki, sedangkan pada kasus lain ruang sholat atau

menuju ruang sholat masih belum sepenuhnya tertutup sehingga makmum laki-

laki dan wanita masih bisa saling terlihat.(lihat tabel 4.3)

171

Tabel 4..3

Konsep Pemisah Wudu‟ Laki-Laki dan Perempuan

No

Nomor

Kasus

Nama Masjid

Konsep Pembatas

Tempat

Wudu

Terpisah

Jalur

Khusus

Menuju rg

sholat

Tempat

Wudhu

Bergabung

1 Kasus 1 AN-NUR x - -

2 Kasus 2 AL-FURQON - - x

3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN x x -

4 Kasus 4 AL-FALAQ - - x

5 Kasus 5 AL-GHURABAH x - -

6 Kasus 6 AL IKHLAS - - x

7 Kasus 7 NURULLAH - - x

8 Kasus 8 QUBA - x x

9 Kasus 9 NURUT TAQWA x - -

10 Kasus 10 SUCI - - x

11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH x x -

12 Kasus 12 AL-IKHLAS - - x

13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR - - x

14 Kasus 14 BINA TAQWA - - x

15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) x - -

16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN - - x

17 Kasus 17 AR-RAHMAT - - x

18 Kasus 18 AL-QOMAR x - -

19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN - - x

20 Kasus 20 SADAR x x -

21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ x - -

22 Kasus 22 AL-FALAH x - -

23 Kasus 23 ASY-SYUHADA - - x

24 Kasus 24 AL-IHSAN x - -

25 Kasus 25 AR-RAHMAN x - -

26 Kasus 26 AL-HIKMAH x - -

27 Kasus 27 AT-TAQWA x x -

28 Kasus 28 BAITTURAHMAN x - -

29 Kasus 29 DARUSSALAM x - -

30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) - - x

X = ditemukan, - = tidak ditemukan

4.3 Pengaruh Arah Kiblat dan Bentuk lahan terhadap Ruang Masjid

Arah kiblat mempengaruhi bentuk ruang dan susunan ruang Masjid di

Denpasar, pada dasarnya yang menjadi pedoman didalam merencanakan ruang

masjid adalah menghadap kiblat dan mampu menampung banyak jemaah dan

tidak memutus shaf sholat. Di kota denpasar didalam menentukan kiblat maka

sebelum membangun masjid panitia pembangunan masjid menghubungi BMG

172

(Badan Metereologi Geofisika untuk menentukan kordinat arah kiblat dimana

berdasarkan data yang didapatkan dilapangan masjid di denpasar memiliki arah

kiblat 34,50o

dari arah barat menuju utara, setelah ditemukan kordinat tersebut

maka diajukan ke pengadilan agama untuk mendapatkan keabsahan data.

Permasalahan arah kiblat sering menjadi perdebatan didalam kelompok

pengurus maupun jemaah masjid, sebagian ada yang sangat meyakini bahwa

kiblat sholat adalah Kabah di Masjidil Harram Mekah sehingga arahnya harus

benar sedangkan ada yang berpendapat masih terdapat toleransi beberapa derajat

karena jauhnya jarak antara Indonesia dan Mekah sehingga sulit untuk

mendapatkan arah tersebut, simpangan arah kiblat juga ditemukan pada orientasi

kiblat masjid Nabawi ternyata juga tidak terlalu tepat ke Kabah. Akan tetapi

peneliti tidak mendalami pandangan apa yang benar dari kedua tersebut akan

tetapi hal ini perlu dikaji karena akan berpengaruh terhadap morfologi ruang

masjid. Pada kasus 01 orientasi masjid ke arah Barat sehingga diamati banyak

jemaah yang tidak sejajar orientasinya sehingga terdapat jemaah yang mengulang

kembali sholatnya, pada kasus 01 juga terdapat tempelan poster yang berisikan

mengenai aturan arah kiblat berdasarkan hadist yang tidak terlalu menguatkan

keakuratan arah kiblat, hal ini bertujuan agar tidak terjadi perselisihan paham

diantara jemaah. Analisa arah kiblat merupakan bagian penting sebelum memulai

pendirian masjid. Dimana sejatinya setiap masjid berusaha mendapatkan orientasi

yang tepat ke Kabah sehingga berdasarkan hasil pengamatan teknologi memiliki

pengaruh yang kuat terhadap penentuan arah kiblat. Temuan teknologi kompas

dan GPS sedikit banyak mempengaruhi dan membantu didalam menentukan arah

173

yang benar sehingga kecendrungan masjid tua yang didirikan sebelum mengenal

teknologi tersebut memiliki orientasi yang kurang tepat sedangkan untuk masjid

yang baru didirikan sudah mengorientasikan bangunannya kearah kiblat.

Kemajuan teknologi membuat pemerintah melalui Departemen Agama

mengadakan penyesuaian arah kiblat yang benar bagi masjid-masjid yang sudah

berdiri sehingga banyak masjid di Denpasar yang arah sholatnya tidak sejajar

dengan arah bangunan, akan tetapi untuk beberapa kasus tetap mempertahankan

orientasi nya sejajar bangunan karena selain menganggap ada toleransi arah juga

pemanfaatan kapasitas jemaah lebih optimal apabila kiblat sejajar dengan dinding

bangunan. tahun pendirian masjid juga berpengaruh terhadap orientasi ini

terutama untuk masjid yang didirikan diatas tahun 1980 memiliki arah orientasi

yang sejajar, kecuali untuk bangunan masjid yang berada di lahan yang sangat

sempit. (lihat gambar 4.91)

Tabel 4. 4

Orientasi Bangunan dan Arah Kiblat Masjid di Denpasar

No

Nomor

Kasus

Nama Masjid

Konsep Pembatas

Arah

Kiblat

Tidak

Sejajar

TIPE A

Bangunan

Mengikuti

Arah Kiblat

TIPE B

Arah Kiblat

Mengikuti

Bangunan

TIPE C

1 Kasus 1 AN-NUR - - x

2 Kasus 2 AL-FURQON - - x

3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN - x -

4 Kasus 4 AL-FALAQ - - x

5 Kasus 5 AL-GHURABAH x - -

6 Kasus 6 AL IKHLAS x - -

7 Kasus 7 NURULLAH - x -

8 Kasus 8 QUBA - x -

9 Kasus 9 NURUT TAQWA x - -

10 Kasus 10 SUCI - - x

11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH - x -

12 Kasus 12 AL-IKHLAS - x -

13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR - x -

14 Kasus 14 BINA TAQWA x - -

174

15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) x - -

16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN - x -

17 Kasus 17 AR-RAHMAT - - x

18 Kasus 18 AL-QOMAR - x -

19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN - - x

20 Kasus 20 SADAR - x -

21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ x - -

22 Kasus 22 AL-FALAH - - x

23 Kasus 23 ASY-SYUHADA - - x

24 Kasus 24 AL-IHSAN - x -

25 Kasus 25 AR-RAHMAN - x -

26 Kasus 26 AL-HIKMAH - x -

27 Kasus 27 AT-TAQWA - x -

28 Kasus 28 BAITTURAHMAN - x -

29 Kasus 29 DARUSSALAM x - -

30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) x - -

X = ditemukan , - = tidak ditemukan

Dari analisa tabel diatas dari 30 kasus terdapat tiga bentuk orientasi arah

kiblat pada masjid di denpasar yaitu; pertama, bangunan masjid tetap menghadap

arah barat akan tetapi arah shaf tetap mengarah ke kiblat, kedua orientasi ruang

sholat utama atau masjid keduanya menghadap arah kiblat kemudian bentuk yang

ketiga arah bangunan berbeda tipis terhadap arah kiblat sehingga shaf tetap sejajar

dengan dinding depan bangunan. Berdasarkan analisa data dilapangan

kecendrungan orientasi masjid dengan melihat melihat arah perkembangan bentuk

masjid, bangunan masjid berupaya untuk mensejajarkan antara orientasi

bangunan dan orientasi sholat. Penentuan konsep arah kiblat adalah dasar didalam

membentuk morfologi ruang masjid di Denpasar sehingga setelah melihat bentuk

tapak orientasi dan bentuk ruang saling mengisi dan menyesuaikan agar

penggunaan lahan optimal.

175

Gambar 4.91. Orientasi Kiblat Masjid di Denpasar

Ruangan sholat idealnya antara orientasi bangunan dan arah kiblat sejajar

sehingga selain ruang terkesan terencana juga memberikan nilai yang lebih

terhadap bentuk ruang dalam yang justru lebih optimal penggunaannya. Masjid

didenpasar umumnya memiliki orientasi kiblat Tipe B.

4.4 Analisis Bentuk Arsitektural

Analisis arsitektural meliputi analisis morfologi terhadap bagian dasar, tubuh,

atap, serta komponen-komponen pendukung yang terdapat pada masjid di

Denpasar Bali. Analisa terhadap bagian tersebut diperinci lagi menjadi bagian

dasar (pondasi), tubuh (ruang utama, mihrab, mimbar, dinding bangunan, kolom

176

atau portal, serambi), atap dan komponen-komponen tambahan (gerbang,menara

dan tempat wudhu‟).

4.4.1 Analisis Bagian Dasar Bangunan

Pondasi merupakan komponen yang menghubungkan bangunan dengan

tanah. Didalam mendirikan bangunan diatas pondasi beberapa hal yang harus

dipertimbangkan yaitu kedalam dan kondisi tanah. Selain faktor struktur pondasi

bangunan juga menentukan pencitraan bangunan sehingga ketebalan pondasi atau

dasar bangunan memberikan nilai ruang tersendiri. Apabila melihat kondisi

lingkungan sekitar maka pondasi bangunan umumnya di Denpasar menggunakan

bahan batu kali. Ketebalan pondasi berperan menentukan ketinggian lantai dasar

dari tanah dimana menjadi ciri bangunan di Bali baik itu Bale maupun rumah

tinggal. Konsep penebalan ini juga diterapkan bangunan masjid di Denpasar.

Perbedaan ketinggian lantai yang jauh dari tanah digunakan karena dapat menjaga

kesucian masjid dan membentuk ruang pembatas semu antara ruang dalam dan

luar masjid. Pada dasarnya tidak ada filosofi dari arsitektur Islam yang mengatur

mengenai ketinggian pondasi sehingga beberapa masjid memiliki pondasi yang

tinggi yang menyerupai bangunan pada rumah tradisional Bali. Bagian dasar

bangunan yaitu berupa kaki bangunan pada arsitektur bali terdapat ragam hias

yang melengkapinya, hal ini juga terdapat pada beberapa kasus bangunan masjid

di Denpasar.

177

Gambar 4.92 Fundamen Lantai dasar Masjid di Denpasar

4.4.2 Analisis Bagian Tubuh Masjid

Analisis pada bagian tubuh masjid meliputi analisis terhadap bagian-bagian

komponen yang berada pada tubuh masjid seperti; ruang utama, mihrab, mimbar,

dinding bangunan, kolom atau portal, dan serambi, berikut ini merupakan

pembahasan dari komponen-komponen dari bagian tubuh masjid tersebut.

4.4.2.1 Ruang Utama

Ruang utama merupakan satu komponen utama pada suatu bangunan masjid

yang berfungsi untuk tempat jemaah melakukan ibadah sholat. Pada masjid-

masjid di Indonesia pembagian ruang pada umumnya terdiri dari beberapa

ruangan, yaitu ruang utama berbentuk bujur sangkar yang dibatasi dinding pada

setiap sisinya dengan penonjolan pada bagian mihrab.pada bagian lainnya didalam

ruang utama dipisahkan untuk tempat sholat kaum wanita dan anak-anak.

Kemudian terdapat ruang serambi yang berupa ruang terbuka lebar berfungsi

untuk melaksanakan kegiatan keagamaan serta tempat menyimpan beduk untuk

memberi tanda waktu sholat (Rochim dalam Agus, 1999:88)

Masjid di Denpasar Bali memeiliki bentuk denah bujur sangkar dan persegi

panjang dibagian dalam masjid biasanya terdiri dari beberapa ruangan sehingga

memiliki perbedaan dengan ruang sholat pada masjid di Indonesia pada umumnya

178

dimana ruangan tidak terbagi-bagi. Ruangan Utama pada bangunan masjid di Bali

memiliki pendekatan bagaimana untuk menampung jemaah semaksimal mungkin

dan mengatur sirkulasi udara yang optimal sehingga rancangan masjid banyak

yang menyesuaikan bangunan arsitektur bali dimana bangunan di dalam tapak

dibuat tanpa dinding. Karena tidak ada aturan konsep dinding didalam Islam maka

bentuk tersebut di pakai pada beberapa bangunan Masjid di Denpasar, sehingga

bangunan masjid dibuat pagar keliling kemudian ruangan utamanya dibuat

terbuka. Konsep tanpa dinding pembatas membuat kapasitas sholat lebih optimal

sehingga jemaah bisa memanfaatkan ruang serambi atau selasar karena tidak ada

dinding yang bisa memutus shaf sholat.

Gambar 4.93 Konsep Dinding terbuka Masjid di Denpasar

179

Bentuk masjid dengan konsep terbuka ini merupakan salah satu indikasi

arsitektur Bali mempengaruhi arsitektur masjid, karena konsep ini biasanya

terdapat pada bangunan bale pada bangunan suci maupun rumah tinggal.

4.4.2.2 Mihrab

Pengertian mihrab yang dikenal sekarang adalah sebuah ruangan didalam

masjid tempat imam memimpin sholat, terletak disisi barat laut masjid sebagai

arah tanda kiblat. Pada umumnya mihrab masjid di Indonesia terletak pada

dinding barat masjid tepatnya dibagian tengah dibagian barat masjid dan

berjumlah satu buah. Di negara-negara Islam, jumlah mihrab didalam sebuah

masjid terkadang lebih dari satu dan mihrab tersebut tempat para imam dari

masing-masing mazhab yang terdapat disana (Aboebakar dalam Fanani,2009)

Berdasarkan kasus masjid Di Kota Denpasar tidak ditemukan masjid yang

memiliki dua buah mihrab dan memiliki bentuk ruang mihrab yang relatif sama

yaitu berupa bujur sangkar dan persegi panjang yang melintang terhadap arah

kiblat yang menjorok keluar. Bentuk tampak mihrab pada majid di Denpasar

umumnya terdiri dari lima tipe bentuk dasar pertama bentuk portal melengkung

dengan kubah bawang tidak bertingkat dan bertingkat yang kedua bentuk

lengkung berupa setengah lingkaran tidak bertingkat dan bertingkat.bentuk ketiga

gabungan kubah bawang dan setengah lingkaran, bentuk keempat bentuk segitiga

dan yang kelima berbentuk datar.

Bentuk dasar tipe pertama merupakan bentuk portal mihrab yang

menggunakan bentuk lengkung yang dikenal dengan kubah bawang dimana terdiri

dari dua jenis yaitu bentuk kubah satu tingkat dan bentuk kubah yang bertingkat

180

dua atau lebih. Bentuk dasar mihrab tipe kedua merupakan bentuk portal yang

berupa lengkungan setengah lingkaran dimana terbagi menjadi dua bentuk

lengkung yaitu tidak bertingkat dan bertingkat. Bentuk dasar tipe tiga merupakan

bentuk mihrab dengan memiliki bentuk dasar gabungan dari tipe satu dan dua,

dimana. Bentuk tipe keempat adalah mihrab yang berbentuk segitiga. Sedangkan

bentuk terakhir adalah berbentuk datar berupa persegi panjang.

Tabel 4.5

Bentuk Ambang Mihrab Masjid di Denpasar

No

Nomor

Kasus

Nama Masjid

Konsep Bentuk Portal Mihrab

1.

Kubah

Bawang

2.

Setengah

Lingkaran

3.

Kombinasi

1&2

4.

Segitiga

5.

Datar

1 Kasus 1 AN-NUR - - - - x

2 Kasus 2 AL-FURQON x - - - -

3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN - - x - -

4 Kasus 4 AL-FALAQ x - - - -

5 Kasus 5 AL-GHURABAH x - - - -

6 Kasus 6 AL IKHLAS - - x - -

7 Kasus 7 NURULLAH - - x - -

8 Kasus 8 QUBA - - - - x

9 Kasus 9 NURUT TAQWA - x - - -

10 Kasus 10 SUCI x - - - -

11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH - - - - x

12 Kasus 12 AL-IKHLAS - - x - -

13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR - - - - x

14 Kasus 14 BINA TAQWA x - - - -

15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) - x - - -

16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN - - - x -

17 Kasus 17 AR-RAHMAT x - - - -

18 Kasus 18 AL-QOMAR x - - - x

19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN - x - - -

20 Kasus 20 SADAR - - x - -

21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ - x - x -

22 Kasus 22 AL-FALAH - - - - x

23 Kasus 23 ASY-SYUHADA - x - - -

24 Kasus 24 AL-IHSAN - - - x -

25 Kasus 25 AR-RAHMAN - x - - -

26 Kasus 26 AL-HIKMAH - - x - -

27 Kasus 27 AT-TAQWA x - - - -

28 Kasus 28 BAITTURAHMAN - - - - x

29 Kasus 29 DARUSSALAM x - - - -

30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) - x - - -

X = ditemukan , - = Tidak ditemukan

181

Dari ketiga puluh kasus bentuk mihrab masih kental nuansa arsitektur Timur

Tengah tidak ditemukan mihrab yang menggunakan ragam hias arsitektur Bali

sehingga pada bagian paling inti memberikan makna resistensi yang kuat

terhadap pengaruh lingkungan.

Gambar 4.94 Foto Mihrab Masjid di Denpasar

4.4.2.3 Mimbar

Mimbar merupakan tempat yang digunakan untuk berkhotbah atau

memberikan ceramah untuk menyampaikan suatu berita (pengumuman) pada

jemaah sholat. Umumnya hal ini diberikan khotib yang menyampaikan khotbah

sebelum menyelenggarakan sholat Jum‟at. Umumnya didalam khotbah

dikemukakan masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan.

Kata mimbar berarti tempat duduk, kursi maupun tahta. Mimbar telah

menjadi bagian dari masjid sejak zaman Rasulullah. Mimbar juga telah digunakan

182

rasulullah untuk mengajar, serta menyiarkan pengumuman penting seperti

mengharamkan minuman keras (Aboebakar,1955).

Pada umumnya mimbar terbuat dari bahan kayu yang dipenuhi dengan hiasan

dan ukiran. Mimbar dinegara-negara Islam atau mimbar tua di Indonesia

umumnya berbentuk kursi yang tinggi dan memiliki tangga. Akan tetapi tidak

seperti mimbar pada Mssjid di Denpasar Bali dimana pada umumnya mimbar

hanya berupa kotak yang terdapat tempat duduk dibaliknya yang tidak memiliki

anak tangga untuk mencapai keatas mimbar dan tidak memiliki atap penutup

mimbar yang biasanya berbentuk setengan kubah pengaruh dari seni timur tengah

dan biasanya terdapat pada masjid tua di Indonesia.

Gambar 4.95 Mimbar Masjid di Denpasar

4.4.2.4 Pola Dinding Luar Masjid di Denpasar

Dinding bangunan merupakan komponen penting yang membentuk wajah

bangunan. dinding bangunan bisa berupa jendela, pintu dan tiang yang

membentuk kesatuan satu sama lainnya. Pada pembahasan mengenai dinding pada

bangunan masjid peneliti tidak menggambarkan bagian per unit melainkan

mencari modulasi pengulangan fasad dinding bangunan tersebut. Jendela pada

bangunan masjid di Denpasar tidak memiliki bentuk yang khusus justru

permainan bidang dinding dan kolom nya menjadi satu kesatuan dengan jendela.

183

Berdasarkan beberapa kasus elemen pembentuk dinding masjid di Denpasar

menggunakan bentuk dasar setengah kubah lingkaran. Sedangkan hanya pada satu

dua kasus yang menggunakan bentuk segitiga atau kubah bawang.

Gambar 4.96. Ragam Fasad Masjid di Denpasar

Bentuk fasad bangunan masjid di Denpasar umumnya tidak terlepas dari

bentuk lengkung berupa tembereng lingkaran maupun kubah bawang, hal ini

mencitrakan masih kuatnya pengaruh Arsitektur Timur Tengah terhadap

bangunan masjid di Denpasar Bali, walaupun pada bagian fasad masjid

menggunakan bahan dan tekstur Arsitektur Bali keberadaan bentuk ini.

184

4.4.2.5 Kolom dan Portal

Salah satu yang menjadi elemen penting didalam komponen masjid adalah

kolom dan portal. Kolom atau tiang merupakan komponen yang berfungsi sebagai

struktur yang menopang dinding dan atap bangunan akan tetapi keberadaannya

juga dimanfaatkan untuk menempatkan elemen dekorasi dan nilai tambah estetika

bangunan. Sedangkan portal adalah balok penghubung diantara dua kolom atau

tiang dimana didalam arsitektur masjid bentuk lengkung antar tiang menjadi ciri

khas rancangan masjid. Adapun keberadaan kolom maupun portal didalam masjid

justru secara fungsi mengganggu pemanfaatan ruang yang efektif karena

umumnya rancangan masjid membutuhkan ruangan yang lebar tanpa kolom

ditengah ruang. Akan tetapi menurut Setiabudi (2006), yang menjadi ciri khas

masjid di Jawa yang mempengaruhi arsitektur masjid di Asia Tenggara adalah

keberadaan kolom atau tiang di tengah ruangan yang berjumlah empat buah yang

dikenal dengan istilah soko guru. Apabila melihat dari segi fungsi keberadaan

tiang tersebut semata-mata sebagai struktur penopang atap tumpang akan tetapi

soko guru didalam masjid Demak memiliki makna simbolik Merupakan tiang

utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga yang berjumlah 4.

Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat

soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada di barat

laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian

tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan

Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai

Soko Tatal. keberadaan soko guru juga ditemukan pada masjid tua di Nusantara

185

dan Asia Tenggara seperti Malaysia. Prinsip kesetiaan kepada agama dan

adaptasi kepada budaya lokal memungkinkan Arsitektur Islam menerima warisan

budaya agung arsitektur peninggalan Yunani, Romawi, maupun Kristiani kolom

dan portal merupakan sebagian elemen yang diwarisi akan tetapi ciri khas portal

pada masjid di Timur Tengah menggambarkan lengkungan pada dahan pohon

kurma dimana sering digunakan oleh orang untuk duduk bersandar (Fanani, 2009

hal 56-60).

4.4.2.6 Serambi

Serambi merupakan teras yang memanjang di sekeliling dinding luar masjid

atau pada bagian sisi tertentu. Banyak penelitian sebelumnya yang mengatakan

bahwa salah satu ciri masjid tua di Indonesia dilengkapi dengan serambi keliling

seperti yang dikemukakan oleh de graff dalam Nas dan Vletter (2009), bahwa

salah satu ciri dari masjid di Jawa memiliki serambi keliling, hal serupa juga

dikemukakan oleh Pijper dalam Nas dan Vletter bahwa masjid di Jawa memiliki

beranda baik di sebelah depan (timur) atau samping yang disebut Surambi atau

Siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh

Tjandrasasmita (2009) ,dimana menurut beliau masjid-masjid kuno di Indonesia

mempunyai serambi di depan atau disamping ruangan utama masjid. Sedangkan

Setiabudi (2006), menyebutkan masjid di Jawa dilengkapi dengan Serambi atau

pendopo, serambi pada masjid di Jawa umumnya berupa bangunan dengan massa

terpisah dengan bangunan masjid yaitu menyerupai pendopo seperti pada Masjid

Demak. Penelitian yang manjadi petunjuk tranformasi bentuk masjid dari masjid

kuno sampai saat ini dikemukakan oleh Rosniza (2008), dimana dalam penelitian

186

nya terhadap masjid di Malaysia ditemukan serambi keliling umumnya ditemukan

didalam masjid tua sedangkan untuk masjid yang baru cenderung tidak memiliki

serambi keliling. Berdasarkan beberapa teori diatas dapat kita pastikan bahwa

serambi merupakan elemen yang tidak terlepas dari keberadaan ruang masjid akan

tetapi penelitian yang dilakukan sebelumnya terlalu umum menyimpulkan bahwa

ciri masjid tua di Jawa dan di Nusantara umumnya memiliki serambi keliling,

padahal banyak masjid tua yang tidak memiliki serambi keliling seperti masjid

Agung di Palembang dan masjid tua lainnya di Sumatera. Akan tetapi hal yang

paling penting untuk dijawab adalah mengapa nasjid tersebut memiliki serambi

atau mengapa masjid tersebut tidak memiliki serambi. Apabila melihat dari fungsi

secara umum serambi berfungsi sebagai ruang peralihan antara ruang luar dan

ruang utama didalam masjid yang seharusnya digunakan untuk sirkulasi pengguna

masjid, pelindung ruang dalam dari cuaca dan sebagai tempat bersantai atau

tempat jemaah bersosialisasi. Serambi pada masjid tua di Indonesia lebih

digambarkan sebagai tempat untuk bersantai dan duduk duduk bagi para jemaah

sebelum atau sesudah melaksanakan sholat bahkan pada kondisi jemaah yang

banyak serambi dimanfaatkan sebagai tempat sholat. Meskipun demikian

keberadaan serambi bukan hal wajib didalam masjid , berdasarkan hasil penelitian

masjid di Denpasar dari ketiga puluh kasus hanya ditemukan enam kasus masjid

yang memiliki serambi sedangkan masjid lainnya tidak memiliki serambi

melainkan hanya teras depan yang tidak dibatasi kolom dan hanya berfungsi

sebagai sirkulasi karena kurang nyaman atau tidak bisa digunakan untuk duduk

duduk oleh jemaah , sedangkan ada beberapa kasus dimana serambi dan ruang

187

dalam menjadi satu kesatuan karena bangunan tidak memiliki dinding pembatas

melainkan terbuka.

Tabel 4.6

Bentuk Serambi Masjid di Denpasar

No Nomor

Kasus

Nama Masjid Bentuk Atap

Berserambi Teras

Depan

Tidak

Berserambi

1 Kasus 1 AN-NUR x

2 Kasus 2 AL-FURQON x

3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN x

4 Kasus 4 AL-FALAQ x

5 Kasus 5 AL-GHURABAH x

6 Kasus 6 AL IKHLAS x

7 Kasus 7 NURULLAH x

8 Kasus 8 QUBA x

9 Kasus 9 NURUT TAQWA x x

10 Kasus 10 SUCI x

11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH x

12 Kasus 12 AL-IKHLAS x

13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR x

14 Kasus 14 BINA TAQWA x

15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) x

16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN x

17 Kasus 17 AR-RAHMAT x

18 Kasus 18 AL-QOMAR x

19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN x x

20 Kasus 20 SADAR x

21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ x

22 Kasus 22 AL-FALAH x

23 Kasus 23 ASY-SYUHADA x

24 Kasus 24 AL-IHSAN x

25 Kasus 25 AR-RAHMAN x

26 Kasus 26 AL-HIKMAH x

27 Kasus 27 AT-TAQWA x

28 Kasus 28 BAITTURAHMAN x

29 Kasus 29 DARUSSALAM x

30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) x X = ditemukan , - = Tidak ditemukan

Temuan pada penelitian masjid di Denpasar keberadaan serambi dipengaruhi

oleh dua faktor yaitu keterbatasan lahan dan pemahaman pengurus maupun

pendiri masjid terhadap Al-Quran dan Hadist. Faktor keterbatasan lahan cukup

188

kuat didalam keberadaan serambi pada bangunan masjid di Denpasar, keberadaan

serambi pada lahan yang terbatas dianggap tidak diperlukan karena ruang utama

masjid kekurangan menampung jumlah jemaah sehingga bangunan diperlebar

mengoptimalkan lahan dengan menggunakan ruangan ysng seharusnya bisa

berfungsi sebagai serambi tersebut. Meskipun bangunan masjid tidak memiliki

serambi bangunan masjid memiliki teras depan terutama di pintu utama masjid.

Faktor kedua yang mempengaruhi keberadaan serambi pada masjid di Denpasar

adalah pemahaman pengurus maupun pendiri masjid terhadap Al-Quran dan

Hadist dimana aturan sholat berjemaah menghendaki shaf sholat tidak boleh

terputus baik oleh tiang ataupun dinding, sedangkan serambi memiliki posisi

diluar bangunan yang dibatasi dinding. Masjid yang memiliki serambi umumnya

sering digunakan makmum untuk melaksanakan sholat berjemaah pada saat ruang

dalam tidak menampung padahal dari aturan Al-Quran dan Hadist mereka harus

mengulang sholat mereka karena dianggap tidak sah, untuk itulah pendiri masjid

tidak membuat serambi di sekililing masjid karena di khawatirkan akan digunakan

oleh jemaah untuk sholat.

4.4.3 Analisis Bagian Atap Bangunan

Atap merupakan komponen penting didalam memberikan karakter gaya suatu

Arsitektur. Frishman, Khan dalam Fanani, (2009), membagi tujuh tipologi

Arsitektur masjid di dunia dimana salah satunya tipologi Masjid di Asia Tenggara

dengan atap yang berbentuk piramid memusat bertingkat dua, tiga atau lebih yang

menyerupai wantilan. Dari teori yang dibangun salah satu faktor pertimbangan

adalah bentuk atap dimana atap tumpang menjadi karakter masjid di Asia

189

Tenggara. Banyak teori yang di bangun mengenai asal usul morfologi masjid di

Nusantara dengan menitik beratkan pada analisis bentuk atap bangunan.

Stutterheim (1953), menyatakan bahwa bangunan masjid tidak mungkin

dipengaruhi oleh arsitektur candi karena ruang-ruang kecil dan sempit didalam

candi tidak dapat dijadikan sebagai model dari perancangan sebuah masjid dimana

sebuah masjid memerlukan ruangan yang luas dan besar oleh karena itu beliau

berpendapat bangunan gelanggang menyabung ayam (wantilan) bangunan yang

sesuai. Bangunan ini merupakan bangunan sebelum Islam yang masih ada

keberadaan nya di Bali, bentuk denah persegi empat, memiliki bumbung dan

sisinya tidak memiliki dinding. Akan tetapi pendapat stutterheim ditentang oleh

H.J de Graff (1963), menururt beliau tidak mungkin orang islam memilih

bangunan yang dahulunya digunakan untuk berjudi sebagai model masjid karena

kegiatan tersebut haram didalam islam. Selain itu menurut beliau bumbung

wantilan hanya satu tingkat saja, tidak bertingkat-tingkat seperti bumbung masjid

tradisional di Indonesia, de Graaf juga berpendapat bahwa model masjid masjid

tradisional di Indonesia mengambil model dari Gujarat, Kashmir dan Malabar

(India). Bukti yang memperkuat pendapatnya berdasarkan hasil studi Jan Huygens

van Linschoten dimana didalam kajiannya bahwa masjid di malabar juga memiliki

atap bumbung bertingkat dimana salah satu tingkat digunakan untuk belajar

agama. Nas dan Vletter (2009) dan Setiabudi (2006) juga memberikan keterangan

bahwa ciri dari masjid tua di Jawa memiliki bentuk atap tumpang sedangkan

secara lebih luas Tjandrasasmita (2009), mengatakan bahwa salah satu cirri

masjid tua di Nusantara memiliki bentuk atap tumpang, pendapat beliau dirasakan

190

membuka peluang penelitian bahwa atap tumpang belum tentu berasal dari Jawa

hal ini diperkuat dengan penelitian Rosniza (2008), dimana didalam penelitiannya

menyimpulkan bentuk atap masjid tua di Nusantara lahir dari kearifan lokal

budaya masing-masing daerah dimana penelitiannya terhadap masjid minang dan

daerah lainnya memiliki bentuk atap tumpang yang berbeda dengan masjid di

Jawa. Kearifan lokal berperan penting didalam bentuk arsitektur masjid di setiap

daerah diperkuat oleh penelitian Aufa (2010), dimana didalam temuan

penelitiannya bentuk atap tumpang Masjid Sultan di Kalimantan selain memiliki

bentuk dan sudut kemiringan yang berbeda dengan masjid di Jawa juga memiliki

makna bentuk yang berbeda pula termasuk symbol-simbol yang terdapat pada

atap masjid. Di dalam buku yang sama Nas dan Vletter (2009), menyatakan

bahwa kehadirn bentuk atap kubah di Nusantara disebabkan pengaruh dari luar

seperti Timur Tengah dan India hal ini dipengaruhi faktor politik dan keinginan

para ulama atau petinggi umat muslim membangun masjid di Nusantara dengan

gaya arsitektur masjid di Timur Tengah karena mereka sering mengunjungi

tempat tersebut baik dalam kunjungan dagang, politik maupun saat menunaikan

ibadah Haji. Kehadiran bentuk atap masjid kubah di Nusantara diawali oleh

masjid Agung di Aceh yang menggunakan atap kubah yang kemudian menyebar

sampai saat ini sehingga bangunan masjid yang didirikan saat ini cenderung

menggunakan bentuk atap kubah. Berdasarkan beberapa kutipan teori diatas

memang sulit untuk membenung atau mengatur gaya masjid yang akan didirikan

khususnya bentuk atap karena tidak ada aturan yang melarang penggunaan bentuk

atap tertentu di dalam bangunan masjid. Walaupun umat islam berkiblat dari segi

191

akidah kepada negeri Arab bukan berarti juga berlaku pada bentuk arsitekturnya

hal ini sesuai dengan penelitian Surat (2011), dimana ia menganggap asas

pemikiran bentuk atap bumbung meru yang terdapat di alam Melayu

sesungguhnya didasari oleh gagasan masjid di Timur Tengah. Dari penelitian ini

didapatkan kesimpulan bahwa bentuk memiliki posisi tidak terlalu penting

asalkan tidak bertentangan dengan filosofi dasar aturan Agama Islam. Dari

banyak penelitian belum banyak yang bisa menyimpulkan makna bentuk atap

tumpang atau mengapa mesjid menggunakan atap tumpang tersebut dari

penelitian yang sudah dilakukan kebanyakan alasan mengapa menggunakan

bentuk atap tersebut dikarenakan bentuknya menunjang untuk ruang yang

memerlukan bentang lebar akan tetapi didalam merumuskan teori yang tepat kita

harus melihat kembali bangunan yang memiliki bentuk menyerupai atap tumpang

sebelum masuknya agama Islam di Nusantara. Terdapat dua jenis bangunan yang

pada masa sebelum masuknya agama Islam yang memiliki bentuk atap tumpang

yaitu wantilan (Bali) atau pendopo(Jawa) dan Meru(bangunan suci Hindu) atau

Pagoda (bangunan suci umat Budha). Beberapa peneliti sebelumnya kurang

sepakat kalau masjid mengadopsi bentuk wantilan karena bangunan ini sering

digunakan sebagai sarana judi, sedangkan bentuk atap meru atau pagoda tidak

memiliki ruang yang cukup besar didalamnya akan tetapi hal yang paling

mendasar dimiliki oleh nenek moyang di Nusantara sebelum masuknya Islam

bahwa bentuk atap bangunan memiliki nilai dan makna yang tinggi sebagai

contoh hampir semua rumah adat yang ada menganggap bagian atap merupakan

area paling suci sehingga bagian atap diletakan simbol atau tempat penyimpanan

192

barang pusaka. Atap bertingkat pada bangunan tradisional juga memiliki makna

yang berbeda makin banyak tingkatannya maka semakin tinggi nilai bangunan

tersebut. Seperti di bugis rumah yang memiliki atap tingkat makin banyak

menunjukan tingkat sosial pemiliknya. Kepercayaan Hindu juga mengatakan

jumlah tingkatan atap lebih dari dua merupakan bentuk yang hanya boleh

digunakan untuk bangunan suci bagi para dewa. Dari pandangan nenek moyang

Nusantara bentuk atap bertingkat pada meru dan pagoda memiliki nilai yang

sakral sehingga bentuk atap tumpang pada masjid tua di Indonesia bukan karena

kebutuhan akan struktur atap semata melainkan setelah masuk Islam mereka tetap

memandang bahwa atap tumpang memiliki nilai sakral yang cocok untuk

diterapkan pada atap masjid, akan tetapi mereka juga menggunakan konsep

wantilan atau pendopo di dalam bentuk atap karena wantilan atau pendopo

memiliki fungsi yang sama dengan ruang sholat dimana sama-sama perlu

menampung jumlah orang banyak didalamnya sehingga bentuk atap tumpang

masjid di Nusantara mengadopsi bentuk yang sering digunakan sebelumnya,

bentang lebar yang dibutuhkan ruang sholat dirasakan sesuai dengan wantilan atau

pendopo sedangkan nilai sakral bangunan masjid meminjam bentuk meru. Dari

dugaan mengenai bentuk atap masjid yang dikemukakan oleh beberapa peneliti

sebelumnya penelitian masjid di Denpasar bali dianggap peneliti sebagai

perwakilan dari proses terbentuknya arsitektur masjid di Nusantara hal ini karena

di Bali penganut agama Hindu masih mendominasi dan pengaruh budaya luar

baik Islam maupun Modern cukup kuat ditengah masyarakat lokal yang berusaha

teguh mempertahankan Budaya dan Kepercayaannya.

193

Tabel 4.7

Penggunaan Bentuk Atap Masjid di Denpasar Bali

No Nomor

Kasus

Nama Masjid Bentuk Atap

Atap

Tumpang

Atap

Kubah

Atap

Datar

Atap

Perisai

1 Kasus 1 AN-NUR x

2 Kasus 2 AL-FURQON x

3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN x

4 Kasus 4 AL-FALAQ x

5 Kasus 5 AL-GHURABAH x

6 Kasus 6 AL IKHLAS x

7 Kasus 7 NURULLAH x

8 Kasus 8 QUBA x

9 Kasus 9 NURUT TAQWA x x

10 Kasus 10 SUCI x

11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH x

12 Kasus 12 AL-IKHLAS x

13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR x

14 Kasus 14 BINA TAQWA x

15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) x

16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN x

17 Kasus 17 AR-RAHMAT x

18 Kasus 18 AL-QOMAR x

19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN x x

20 Kasus 20 SADAR x

21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ x

22 Kasus 22 AL-FALAH x

23 Kasus 23 ASY-SYUHADA x

24 Kasus 24 AL-IHSAN x

25 Kasus 25 AR-RAHMAN x

26 Kasus 26 AL-HIKMAH x

27 Kasus 27 AT-TAQWA x

28 Kasus 28 BAITTURAHMAN x

29 Kasus 29 DARUSSALAM x

30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) x

Penggunaan atap tumpang pada masjid di Kota Denpasar Bali masih banyak

digunakan berdasarkan penelitian dilapangan setiap pendiri masjid berusaha untuk

membaur dengan budaya lokal sehingga bentuk atap tumpang dinilai memiliki

bentuk yang sesuai dengan bentuk atap bangunan lokal . uniknya dari kasus yang

ditemui atap tumpang Masjid di Denpasar rata-rata bertumpang dua, hanya pada

kasus 5 dan kasus 9 yang menggunakan atap tumpang tiga, berdasarkan hasil

194

wawancara mendalam para pendiri masjid berusaha menjaga hubungan baik

dengan etnis lokal yaitu penganut agama Hindu dimana atap tumpang tiga hanya

boleh digunakan pada bangunan suci mereka sehingga para pendiri bangunan

masjid menghindari menggunakan atap bertumpang tiga. Hal ini justru

memperkuat pendapat peneliti bahwa bentuk atap tumpang masjid di Nusantara

mungkin mengadopsi bentuk bangunan meru. Karena para nara sumber banyak

mengaitkan atap Masjid dengan bangunan meru dibandingkan dengan wantilan.

Adapun karakter bentuk atap tumpang pada Masjid di Denpasar Bali terbagi

menjadi dua tipe yang pertama atap tumpang satu dan dua memiliki sudut

kemiringan yang sama dan jarak antar atap bervariasi berkisar 25 cm sampai

dengan 80 cm. sedangkan yang kedua terdapat perbedaan kemiringan sudut atap

antara tumpang pertama dan kedua dengan jarak antar atap yang juga bervariasi.

Pada beberapa kasus atap tumpang tidak terlihat dari fasad luar karena jarak

pandang fasad yang sempit, akan tetapi terlihat jelas dari bentuk plafon bangunan

di bawah atap tumpang yang mengikuti bentuk kemiringan atap diatasnya bahkan

ada beberapa yang mengekspos struktur atap seperti gaya plafon pada bangunan

Arsitektur Tradisional Bali. Terdapat empat kasus masjid di Denpasar yang

menggunakan atap kubah, sedangkan masjid yang menggunakan kombinasi atap

kubah dan tumpang terdapat pada kasus 19 dan 29, dimana atap kubah

menggantikan posisi atap tumpang kedua. Selain atap tumpang Terdapat empat

kasus masjid yang menggunakan atap perisai seperti atap bangunan Bale pada

Arsitektur Tradisional Bali. bentuk atap seperti ini jarang ditemukan pada atap

195

masjid lain di Nusantara sehingga bentuk ini merupakan gambaran bahwa

lingkungan memiliki pengaruh terhadap arsitektur Masjid di Denpasar.

4.4.4 Analisis Komponen Tambahan Masjid

4.4.4.1 Gerbang Bangunan

Gerbang merupakan pintu masuk sebelum kehalaman dalam masjid atau

ruang dalam masjid. Menurut Pijper dalam Nas dan Vletter (2009), bangunan

masjid di Nusantara memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang

dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya (gerbang) di bagian muka

sebelah timur. Tjandrasasmita (2009) juga mengungkapkan disekitar masjid diberi

pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga gerbang. Hal yang sama juga ditemukan

olehUtaberta dkk (2009), dimana mereka mengungkapkan bahwa Gerbang yang

tidak berbumbung biasanya disebut Gerbang Bentar sedangkan gerbang yang

berbumbung biasanya disebut Gapura (Bahasa Jawa) atau dalam Bahasa Sanskrit

disebut Gopura. Fanani (2009), didalam tulisanya juga mengatakan selain didalam

masjid terdapat elemen kaligrafi dan ornamen, pada masjid juga sering terdapat

gerbang yang terdapat pada pintu utama atau pada posisi gerbang masuk kedalam

masjid.

Kota Denpasar sebagai kota Budaya masih memegang teguh keberdaan

gerbang, dimana hampir semua bangunan baik itu bangunan suci, publik sampai

bangunan tempat tinggal tidak lepas dari keberadaan gerbang. Keadaan

lingkungan di sekitar secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan gerbang

pada masjid di Denpasar Bali. Sejatinya keberadaan gerbang merupakan bagian

yang yang terpisahkan dari masjid hal ini dapat ditemukan pada masjid di Timur

196

Tengah dan Asia. Akan tetapi gerbang pada bangunan mereka cenderung menyatu

dengan badan bangunan sehingga gerbang berfungsi sebagai pintu masuk utama

bukan bagian yang menyatu dengan pagar keliling. Walaupun Kota Denpasar

didominasi penggunaan gerbang didalam bangunan tidak semuanya

mempengaruhi keberadaan gerbang pada masjidnya. Hal ini dapat dilihat dari 30

kasus yang diambil hanya delapan kasus yang memiliki gerbang. Dari delapan

kasus , tiga kasus memiliki gerbang yang bergaya Arsitektur Bali meliputi kasus

no 14,18 dan 26. sedangkan yang lainnya bergaya Timur Tengah dan Modern.

Gerbang Masjid Al Hikmah Gerbang Masjid Al Qomar

Gerbang Masjid Nurut Taqwa Gerbang Masjid An Nur

197

Gerbang Masjid Baitul Makmur Gerbang Masjid Ukkhuwah

Gerbang Masjid Al Ikhsan

Gambar 4.97 Bentuk Gerbang Masjid di Denpasar

Keberadaan gerbang pada Arsitektur Bali selain sebagai batas peralihan juga

berfungsi sebagai pembatas area profan dan sakral. Sedangkan menurut Nasr

(2003), Arsitektur Islam tidak mengenal istilah profan dan sakral melainkan

semua ruang memiliki nilai yang sama. Hal ini juga sejalan dengan data dan

analisa yang diperoleh dari lapangan bahwa keberadaan gerbang hanya

merupakan pembatas dan kreasi seni di dalam menciptakan keindahan Arsitektur

Masjid.

198

4.4.4.2 Pagar Keliling Masjid

Pagar keliling masjid merupakan tembok yang mengelilingi bangunan masjid

dimana merupakan salah satu yang disebutkan sebagai ciri masjid tua di

Indonesia. Menurut Utaberta (2009), Tembok yang mengelilingi sebuah masjid ini

sebenarnya bukanlah ciri khas seni bina Muslim, tetapi merupakan salah satu

bentuk seni bina peninggalan bangunan Candi desa yang disebut Pura Desa dan

masih banyak dijumpai di Bali. Biasanya Pura Desa di Bali terdiri dari tiga

halaman yang bertingkat-tingkat kesuciannya dan tiap halamannya dikelilingi oleh

tembok. Pembahagian kawasan suci ini boleh dilihat pada bangunan-bangunan

permakaman yang dibuat berdekatan dengan bangunan masjid seperti makam suci

Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya, makam Sunan Giri di Gresik, makam

suci Tembayat atau Bayat di Klaten atau makam suci keluarga Raja Demak yang

terdapat di persekitaran Masjid Demak. Dari beberapa teori yang mengatakan

bahwa salah satu ciri masjid tua di Indonesia adalah memiliki pagar keliling yang

merupakan pengaruh bangunan pura dapat diperkut dengan temuan pada

penelitian ini, dari 30 kasus tidak semua kasus memiliki pagar keliling bahkan ada

yang sama sekali tidak memiliki pagar, hal ini salah satunya disebabkan oleh

keterbatasan lahan sehingga keberadaan pagar terkadang hanya pada beberapa sisi

bangunan karena sisi lainya suah menempel dengan bangunan sebelahnya.

Ketinggian pagar pada masjid bervariasi sekitar satu meter sampai dengan dua

meter. Adapun finishing pagar umumnya di plester dan menggunakan profil dan

batu alam serta menggunakan vriasi rangka terali besi. Dari 30 kasus hanya lima

199

kasus yang tidak menggunakan pagar hal ini karena bangunan berada dilahan

sempit sehingga bangunan menempel pada daerah milik jalan.

Gambar 4.98 Konsep Tanpa Pagar dan Konsep Menggunakan Pagar pada Masjid di

Kota Denpasar

4.4.4.3 Bentuk Menara Masjid

Menara merupakan elemen tambahan pada masjid , keberadaan menara

merupakan elemen yang diadopsi dari kebudayaan agung Persia dan Romawi,

adapun fungsi dari menara adalah elemen vertikal yang berfungsi memberikan

nilai keagungan kepada suatu bangunan. pada ciri-ciri masjid tua di Indonesia tiak

ada yang menyebutkan salah satunya memiliki menara sehingga menara bukanlah

bagian dari masjid di Indonesia. Akan tetapi keberadaan mulai muncul setelah

beberapa lama bangunan masjid tersebut berdiri hal ini sesuai tulisan schouten

dalam Nas dan Vletter (2009), menyebutkan bahwa masjid di Banten, Ternate,

Makasar, dan Jepara telah dilengkapi menara, saya menduga dari ketiga masjid

sebelumnya yang ia maksud adalah atap tumpang susun tiga atau lima. Ia

200

menyebutkan bahwa menara itu digunakan untuk mengumandangkan azan.

Keberadaan menara pada masjid di Denpasar Bali juga hampir sama dengan

masjid yang disebutkan Schouten yaitu dibangun menyusul setelah bangunan

masjid tersebut berdiri. Untuk gaya arsitektur menara masjid umumnya selalu

menyesuaikan gaya arsitektur masjid itu sendiri akan tetapi melihat pada teori

yang diungkapkan Iskandar (2004), perancangan masjid terkadang tidak ada

skenario atau terencana dengan baik melainkan mengalir apa adanya, ditambah

kemunculan menara beberapa tahun setelah masjid tersebut berdiri. Dari beberapa

kutipan diatas sangatlah jelas keberadaan menara benar-benar merupakan elemen

tambahan dimana keberadaanya bukanlah suatu keharusan. Dari 30 kasus Masjid

di kota Denpasar terdapat dua jenis menara pada masjid, pertama menara yang

berdiri terpisah dari bangunan yang biasanya berada disisi bangunan dan menara

yang menyatu pada badan bangunan. keberadaan menara pada Masjid di Denpasar

salah satunya dikarenakan peraturan yang membatasi ketinggian bangunan

sehingga ketinggian menara kurang optimal sehingga pemilihan menara yang

menyatu dengan badan bangunan lebih menjadi pilihan. Menara yang terpisah

dari bangunan terdapat pada kasus 01, 02, dan 03 sedangkan yang menyatu

dengan badan bangunan terdapat pada kasus 04, 10, 15, dan 28. Dari semua kasus

umumnya menara masjid bergaya timur tengah hanya pada kasus 15 yang

menggunakan gaya akulturasi Minang dan Bali .

201

\ Gambar 4.99 Bentuk Menara Tunggal Pada Masjid di Denpasar

Gambar 4.100 Bentuk Menara Sudut Pada Masjid di Denpasar

Keberadaan menara pada masjid di Indonesia sebelumnya berfungsi untuk

mengumandangkan azan fungsi ini sebenarnya tidak berubah hal ini dapat dilihat

202

fungsi menara masjid di Denpasar saat ini digunakan untuk meletakan pengeras

suara pada bagian puncak menara. Begitupula pada bentuk menara sudut atau

menara yang menyatu dengan badan bangunan. Dari hasil wawancara keberadaan

menara dimanfaatkan sebagai penanda keberadaan masjid agar dapat dilihat dari

jarak yang cukup jauh dan juga berperan untuk memberikan kesan keagungan

4.5 Analisis Ragam Hias

Analisis ragam hias pada masjid di kota Denpasar bertujuan untuk melihat

bagaimanakah perkembangan lambang atau simbol Islam di dalam Arsitektur

masjid terhadap pengaruh Arsitektur Bali dan melihat bagaimanakah Arsitektur

masjid beradaptasi atau mentransformasikan elemen-elemen tersebut kedalam

Arsitektur Islam. Adapun didalam kajian ini akan dibagi menjadi empat bagian

bahasan yaitu meliputi ragam hias yang bergaya timur tengah, modern, ragam

hias bergaya Arsitektur Bali dan Perpaduan dan modifikasi Arsitektur Bali.

Ragam hias bergaya arsitektur Timur Tengah banyak ditemukan pada masjid

di Denpasar baik itu penggunaan bentuk atap kubah sampai detail yang meniru

fasad Masjidil Harram hal ini ditemukan pada kasus 01 dan 30 dimana dari bentuk

dan pemakaian material marmer mencerminkan gaya arsitektur tersebut.

Penggunaan atap kubah merupakan salah satu perkembangan yang lahir pada abad

ke-20 dimana arsitektur Post Modern turut menyumbang penyebaran dan

penggunaan bentuk tersebut. Dimana kelompok Islam di seluruh penjuru dunia

ingin mengungkapkan kesatuan didalam keimanan melalui arsitektur dimana salah

satunya memanfaatkan bentuk kubah tersebut. Penyebaran dan penggunaan gaya

Timur Tengah ini juga disebabkan kekaguman dan kecintaan para pendiri masjid

203

akan tanah Arab sehingga mereka mencoba memberikan nuansa Arsitektur di

Timur Tengah kedalam Arsitektur Masjid di Indonesia.

Gambar 4.101 Ragam Hias Bergaya Timur Tengah

Penggunaan Ragam Hias bergaya timur tengah umumnya pada bagian Mihrab

masjid dimana secara hirarki memiliki nilai ruang yang paling tinggi karena

tempat imam memimpin sholat, bahkan pada masjid yang menggunakan

Arsitektur Bali masih mempertahankan bentuk mihrab bergaya timur tengah

tersebut. selain pada mihrab aplikasi ragam Hias ini umumnya terdapat pada

Pagar, gerbang dan dinding masuk kedalam masjid. Hal lainya yang menunjukan

keagungan nilai Arsitektur Timur Tegah adalah pada menara masjid meskipun

penggunaan bentuk atap mencirikan Arsitektur Masjid di Indonesia dengan

menggunakan atap tumpang pada puncak menara tetap menggunakan atap kubah.

Ciri arsitektur Timur Tengah yang juga melekat pada bangunan masjid di

Denpasar adalah keberadaan kaligrafi dan bentuk portal pada interior bangunan

masjid.

204

Selain penggunan ragam hias bergaya Timur Tengah masjid di Denpasar Bali

juga banyak ditemukan mengguanakan gaya arsitektur modern hal ini

mempertegas bahwa sebenarnya Islam tidak diharuskan fanatik didalam

membangun Arsitektur Masjid sehingga berkreasi diperbolehkan asal tidak

bertentangan dan menimbulkan keresahan didalam jemah masjid. Ragam hias

modern yang dimaksud adalah penggunaan bentuk yang sangat sederhana baik itu

penggunaan profil geometris sederhana sampai detail yang tidak umum digunakan

baik itu pada arsitektur Timur Tengah maupun Arsitektur Bali.

Gambar 4.102. Penggunaan Ragam Hias dan Bentuk Modern Pada Masjid di Denpasar

Tidak hanya ragam hias konsep pemikiran modern juga mempengaruhi

Masjid di Denpasar hal ini ditemukan pada beberapa kasus yang tidak

menggunakan profil atau ornamen didalam Arsitektur Masjinya baik itu bagian

luar ataupun bagian dalam bangunannya.

205

Lingkunagn sekitar sangat berperan untuk mempengaruhi gaya arsitektur

masjid di Denpasar hal ini terbukti dari banyak penggunaan ragam hias bergaya

Bali pada komponen bangunan masjid baik itu gerbang, pagar, kolom, dinding,

plafón, sampai bagian atap bangunan. Gerbang dan pagar merupakan elemen

paling terdepan dari bangunan masjid dan umumnya menjadi titik tangkap mata

sebelum memasuki masjid, sehingga baik gerbang maupun pagar pada Masjid di

Denpasar Bali banyak yang menggunakan bentuk Arsitektur Bali. Selain pada

pagar penggunaan elemen tersebut juga banyak terdapat pada ornamen yang

melekat pada dinding , kolom dan balok

Gambar 4.103. Penggunaan Ragam Hias Arsitektur Bali Pada Masjid di Denpasar

Pengaruh arsitektur Bali yang hampir terdapat pada semua kasus yang

digunakan adalah pengguaan bentuk plafón yang menonjolkan kasau yang sering

ditemukan pada bangunan Bale pada Arsitektur Tradisional Bali. Meskipun dari

segi tampilan bangunan tersebut menggunakan konsep modern maupun Timur

206

Tengah. Bagian atap juga sedikitnya terpengaruh karena terdapat penggunaan

ragam hias pada jurai luar atap yang umumnya terdapat pada bangunan

Tradisional Bali.

Gambar 4.104. Bentuk Plafon Bergaya Arsitektur Bali Pada Masjid di Denpasar

Perpaduan dan Modifikasi Ragam Hias Arsitektur Bali dengan gaya arsitektur

Timur tengah dan etnik lain merupakan temuan unik didalam penelitian ini

karena hal ini merupakan tolak ukur dari beberapa teori yang dikaji karena selain

lingkungan berpengaruh terhadap gaya Arsitektur lingkungan juga bisa

melahirkan perpaduan gaya arsitektur yang unik seperti aplikasi ragam hias

arsitektur Bali yang dikawinkan dengan Arsitektur Minang yang terdapat pada

kasus 15 dimana kelompok etnik minang berupaya mempertahankan budaya

mereka didalam penggunaan ragam hias arsitektur Bali. Kemudian hal ini juga

ditemukan pada kasus 18 dan 26 dimana terjadi modifikasi elemen ragam hias

Arsitektur Bali dan ragam hias yang dikenal pada Arsitektur Islam pada umumnya

seperti bentuk kubah. Seperti pada gerbang masjid Al Hikmah pada bagian

puncak gerbang diganti bentuk kubah dan lambang bulan sabit dan bintang.

Begitu juga pada gerbang dan pagar masjid Al-Qomar juga terdapat bentuk kubah

pada elemen pagar. Sedangkan pada kasus 15 atau masjid Al Muhajirin IKMS

207

bentuk menara merupakan perpaduan bentuk Arsitektur Bali dan Minang

sehingga hal ini mencerminkan terjadi adaptasi Arsitektur Masjid di Denpasar.

Gambar 4.105 Adaptasi Ragam Hias Arsitektur Bali

Dari semua kasus yang dijumpai termasuk bangunan masjid yang di dominasi

Arsitektur Tradisional Bali uniknya tetap mempertahankan Arsitektur Timur

Tengah atau tampilan Arsitektur Modern yang sederhana pada bagian interior

masjid sehingga apabila dibuat hirarki penggunaan Arsitektur Bali pada bangunan

masjid terdapat tiga tingkatan dimana yaitu ruang dalam bangunan, kulit luar

bangunan, dan pagar atau gerbang bangunan. Penggunaan ragam hias Bali hanya

terjadi di Kulit Luar dan Pagar bangunan.

208

Gambar 4.106 Hirarki Pengaruh Elemen Ragam Hias Bali

Berdasarkan gambar diatas angka 1 menunjukan bagian inti masjid yaitu

ruang mihrab dan ruang sholat inti pada bagian ini elemen ragam hias cenderung

bergaya arsitektur timur tengah atau bahkan sangat polos elemen dekorasinya,

sedangkan pada nomor 2 yaitu bagian interior bangunan seperti pada bagian

serambi dalam atau ruang peralihan mulai terdapat elemen ragam hias bernuansa

Bali akan tetapi jumlahnya sedikit. Pada hirarki nomor 3 meliputi dinding luar

atau fasad bangunan pada bagian ini elemen arsitektur Bali banyak diterapkan

baik itu berupa ukiran, relief, atau pemakaian bahan bangunan mencerminkan

arsitektur lokal akan tetapi pada kulit ketiga ini umumnya bentuk elemen

arsitektur Bali masih diadaptasikan dengan arsitektur Islam baik itu kaligrafi atau

tidak menggunakan elemen yang dilarang seperti motif hewan dan manusia.

Sedangkan pada hirarki no 4 yaitu bagian pagar keliling. elemen arsitektur Bali

sangat kuat pengaruhnya hal ini dapat terlihat dari kasus masjid Al Hikmah

dimana terdapat motif hewan dan manusia yang dilarang keberadaanya di Masjid.

209

4.6 Morfologi Arsitektur Masjid di Denpasar Bali

Kajian teori terhadap morfologi masjid pada penelitian masjid di denpasar

akan dibahas berdasarkan masing-masing teori yang dirujuk pada tinjauan teori.

Meliputi Utaberta, Nasr, dan Haider. Menururt Utaberta arsitektur Islam adalah

bertujuan mengingatkan kepada Allah hal ini tercermin pada penggunaan

lambang tulisan Allah dan petikan ayat Al-Quran pada setiap masjid yang ada di

Denpasar baik itu dipuncak menara, ambang mihrab atau dinding bagian Barat

ruang sholat. Arsitektur masjid juga harus mengutamakan tawadu’ atau

kerendahan hati hal ini tercermin dari beberapa kasus yang memiliki bentuk yang

sederhana tanpa diklengkapi banyak ragam hias akan tetapi bukan berarti

bangunan yang mewah mengabaikan konsep ini karena kemungkinan memiliki

tujuan yang lain akan tetapi konsep Islam yang baik adalah kesederhanaan.

Arsitektur Islam juga mengutamakan kesejahteraan publik hal ini juga merujuk

pada fungsi masjid sebagai bangunan yang berfungsi sebagai wadah sosial yang

menjadi pusat kegiatan atau kehidupan masyarakat hal ini tercermin dari

keberadan fungsi penunjang pada masjid di Denpasar seperti badan amil zakat,

sekolah dan fasilitas sosial lainnya. Menururt Utaberta toleransi merupakan

bagian yang penting hal ini mencerminkan bahwa toleransi sudah tercipta melalui

arsitektur masjid seperti penggunaan gaya arsitektur Bali pada bangunan masjid

meskipun tidak semua kasus mengadaptasinya bukan berarti tidak ada toleransi

didalamnya karena ditemukan beberapa konsep yang diterapkan.

Teori Arsitektur Islam yang dikemuakan oleh Nasr juga menguatkan bahwa

Masjid di Denpasar mencerminkan Arsitektur Islam hal ini dengan ditemukannya

210

bahwa didalam Islam tidak dikenal istilah profan dan sakral melainkan menjadi

kesatuan yang utuh di dalam bangunan masjid karena pada kondisi tertentu

halaman masjid juga bisa digunakan untuk melaksanakan sholat dan posisi mihrab

pun bisa digantikan keposisi lainnya. Kemudian kejujuran aplikasui material

disini masjid tampil apa adanya dan terlihat jelas bahan yang digunakan tanpa ada

usaha untuk mengaburkan atau menutupinya. Kemudian temuan yang

menguatkan teori Nasr adalah kesatupaduan dengan tatanan Alami dimana pada

masjid di Denpasar terdapat kasus yang tidak memiliki dinding sehingga

bangunan menyatu dengan halaman sekitar akan tetapi untuk menjaga

kesuciannya masjid dikelilingi oleh pagar sehingga konsep terbuka ini jelas

memberikan gambaran bahwa bangunan masjid menjadi kesatuan dengan tatanan

alam. Kemudian teori yang dikemukakan Nasr tentang kehampaan ruang

tercermin pada dekorasi ruang dalam masjid yang umumnya kososng terhadap

ukiran dan ragam hias mencerminkan bahwa memiliki banyak makna atau justru

penuh isi.

Teori yang dibangun Haider mengenai Arsitektur Islam yaitu Alam dan

manusia sembah Allah dapat diartikan kebebasan menggunakan gaya arsitektur

pada bangunan masjid berarti seluruh alam tidak ada syarat atau perlakuan khusus

sama halnya didalam menyembah Allah, kemudian hampir sama dengan Utaberta

manusia juga harus menjaga toleransi antar umt beragama. Arsitektur Islam

mempresentasikan nilai sejarah Islam pada teori ini merupakan gambaran masih

banyaknya penggunaan gaya arsitektur Timur Tengah dan India pada masjid

seperti penggunaan kubah dan ragam hiasnya hal ini mencerminkan kemajuan

211

arsitektur Islam di Timur Tengah pada masa kemajuan dinasti Islam dan

perkembangan kota Islam . Arsitektur menghormati halal dan haram juga

berusaha diterapkan pada arsitektur masjid walaupun tingkat kualitasnya

berdasarkan tingkat keimanan dan pemahaman seperti pemisahan gender jemaah

laki-laki dan perempuan dan yang banyak menjadi perdebatan adalah keberadaan

elemen yang diharamkan pada masjid Al-Hikmah pada kasus 26 dimana terdapat

elemen patung pada gerbang yang sangat diharamkan keberadanya didalam

arsitektur Islam. Keberadaan kaligrafi dan petikan ayat uci Al Quran pada masjid

di Denpasar melambangkan spiritualitas Islam.

Rehman didalam teorinya memiliki pandangan yang sama dengan haider

dimana melarang keras ada syirik di dalam Arsitektur Islam seperti keberadaan

patung dan elemen yang bermotif mahluk bernyawa selain tumbuhan. Rehman

juga mengemukakan pendapat yang sama dengan Nasr dimana bangunan Islam

adalah Arsitektur yang menjadi kesatuan dengan tatanan alami dan tidak merusak

alam, alam disini selain bersifat fisik juga lingkungan budaya sekitar seperti

toleransi didalam penggunaan gaya arsitektur setempat kedalam rancangan

Arsitektur Masjid. Dalam kasus masjid Al Hikmah penggunaan patung pada

elemen pagar sangat bertentangan dengan arsitektur Islam, akan tetapi keberadaan

elemen tersebut hanya pada bagian pagar dan tidak ditemukan pada dinding luar

maupun dalam bangunan sehingga konsep ini jarang ditemukan pada arsitektur

masjid lain di nusantara, sama halnya masjid demak dimana elemen naga dan

relief masih ditemukan pada bangunan. Keberadaan elemen tersebut sangat erat

kaitanya dengan pandangan dan kedalaman fiqih karena tidaklah mudah pendiri

212

masjid meletakan eleman tersebut didalam masjid tanpa pertimbangan yang

mendasar yaitu meningkatkan harmonisasi dan toleransi beragama.

Berdasarkan teori perkembangan kontur masjid di Indonesia dimana terdapat

tiga kelompok teori dasar yang membahas mengenai asal usul bentuk morfologi

masjid di nusantara. Pendapat pertama yang menerangkan bahwa masjid di

nusantara dipengaruhi oleh arsitektur di luar nusantara seperti malabar, sedangkan

teori kedua mengatakan morfologi masjid nusantara berasal dari kearifan lokal

dimana masjid tersebut berdiri. Pendapat ketiga mengenai asal bentuk masjid di

nusantara adalah dari Jawa yang dianggap oleh beberapa peneliti mewakili

karakter masjid di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian masjid di denpasar Bali

peneliti memiliki dugaan bahwa asal usul bentuk masjid di nusantara adalah

kearifan lokal dimana masjid tersebut berdiri, sebagai contoh bentuk masjid tua di

minang memiliki karakter yang berbeda dengan jawa dimana meskipun atap

bertumpang tiga atau lebih akan tetapi memiliki bentuk bagonjong seperti rumah

gadang, begitu juga masjid di Kalimantan dalam penelitian aufa bentuk atap dan

kemiringan sudut atap berbeda dengan atap tumpang masjid di Jawa. Hal yang

sama juga ditemui pada masjid di Denpasar bentuk masjid umumnya memiliki

dinding terbuka menyerupai wantilan atap bangunan bale yang dikelilingi oleh

pagar, bentuk morfologi ini bisa dikatakan tidak dijumpai pada masjid lainnya di

Nusantara kecuali pada masjid tua di Jawa seperti masjid Demak akan tetapi

bagian yang terbuka bukan bangunan inti melainkan fungsi tambahan yang juga

bisa digunakan untuk sholat. Peneliti juga memperkuat teori yang dikemukakan

oleh Stutterheim dalam nas & vletter (1953) bahwa bangunan wantilan memang

213

paling memungkinkan untuk selanjutnya berkembang menjadi dasar bentuk

masjid di Nusantara karena memiliki bentang yang luas dan mampu menampung

banyak jemaah. Akan tetapi tampilan bangunan wantilan memiliki bentuk yang

sederhana sedangkan pada masa sebelum masuknya Islam masyarakat di

Nusantara memiliki kepercayaan Hindu Budha yang membaur dengan

kepercayaan animisme dan dinamisme sehingga masing-masing lokal memiliki

kepercayaan terhadap makna sebuah bangunan seperi bentuk yang sakral atau

yang memiliki nilai tinggi, sebagai contoh yang sangat umum bangunan suci

ataupun para pembesar atau Raja memiliki bentuk atap bertingkat, sebagai contoh

rumah di bugis semakin seseorang memiliki posisi yang tinggi maka jumlah

tingkat atapnya semakin banyak. Kaitan pemahaman terhadap bentuk arsitektur

tradisi inilah yang digunakan untuk bangunan masjid, dimana bangunan wantilan

mewakili fungsi dengan bentangnya sedangkan untuk atap dibuat bertumpang

sebagai simbolisasi keagungan. Pendapat stutterheim ini ditentang oleh H.J de

Graff (1963), dimana teorinya mengatakan tidak mungkin orang muslim

menggunakan bangunan yang juga sering digunakan untuk sabung ayam menjadi

bangunan suci. Disini de graff lupa akan filosofi dasar umat islam dimana didalam

agama islam tidak melihat masa lalu seseorang apakah dia bekas pelacur atau

penjahat sekalipun apabila mereka bertobat maka mereka akan diterima dan

diampuni dosa yang telah lalu ,sehingga ada kaitannya dengan bangunan masjid

meskipun bangunan itu sebelumnya digunakan sebagai tempat maksiat tidak

menjadi masalah dirubah menjadi sebuah masjid asalkan fungsi lama tidak

dipakai lagi sebagai tempat untuk maksiat.

214

BAB V

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 SIMPULAN

Lingkungan berpengaruh terhadap arsitektur masjid di Denpasar. Walaupun

masjid di Indonesia saat ini umumnya dipengaruhi arsitektur masjid bergaya

Timur Tengah dan India, masih ada masjid di Denpasar yang mengambil konsep

lokal dan diterapkan didalam bangunan masjid. Konsep lokal tersebut ditemukan

pada konsep bangunan tanpa dinding seperti bale atau wantilan dan dikelilingi

oleh pagar, keberadaan dinding hanya pada bagian sebelah barat. Keunikan

morfologi arsitektur masjid di Denpasar adalah penerapan elemen ragam hias bali

banyak ditemukan pada bagian terluar bangunan yaitu pagar dan dinding luar

bangunan masjid akan tetapi semakin mendekati bangunan inti yaitu ruang sholat

utama dan mihrab elemen arsitektur Bali tidak ditemukan, sehingga terlihat jelas

walaupun arsitektur masjid terpengaruh oleh Arsitektur Bali terdapat resistensi

budaya didalam nya. Bentuk ruang sholat utama pada masjid di Denpasar

umumnya memiliki bentuk dasar persegi dan setiap ruang berupaya menghindari

keberadaan tiang di tengah ruang sholat. Selain itu orientasi ruang sholat seiring

waktu berupaya agar tegak lurus dengan arah kiblat. Bentuk lainnya adalah atap

tumpang, dari beberapa kasus umumnya masjid di Denpasar menggunakan atap

tumpang akan tetapi umumnya memiliki tumpang dua, berdasarkan hasil

wawancara atap tumpang dua ini digunakan untuk menjaga toleransi terhadap

kepercayaan Hindu dimana jumlah atap tumpang tiga sering digunakan pada

215

bangunan suci umat hindu. Berdasarkan pengamatan dilapangan terdapat dua

kecendrungan dasar arah perkembangan bentuk arsitektur masjid di Denpasar

yang pertama adalah berusaha untuk mengadopsi dan memodifikasi Arsitektur

Bali pada rancangan masjidnya dan kedua bangunan masjid mengarah kepada

bentuk arsitektur masjid bergaya Timur Tengah dan India hal ini dapat dilihat dari

beberapa kasus seperti masjid yang menambahkan elemen tambahan yang

menyerupai masjid di Timur Tengah walaupin hanya pada bagian tertentu masjid.

Berkaitan dengan perkembangan teori morfologi masjid di nusantara pada

penelitian ini ditemukan bahwa lingkungan lokal berpengaruh terhadap

pembentuan morfologi masjidnya, sehingga pendapat yang dikemukakan oleh De

Graaf bahwa masjid tua di Indonesia dipengaruhi bentuk masjid Malabar

kuranglah kuat. Begitu juga pendapat Pijper yang mengatakan bahwa morfologi

masjid di Jawa mempengaruhi masjid di nusantara juga sulit untuk diterima. Dari

hasil pengamatan peneliti sependapat dengan Stutterheim dalam nas & vletter

(1953), dimana secara fungsi masjid memerlukan ruangan yang lebar dimana

wantilan atau pendopo merupakan bangunan yang memiliki ukuran yang sesuai

untuk dijadikan masjid dan untuk menambahkan nilai sakralnya para pendiri

masjid mengambil bentukan meru sehingga tidak heran masjid di nusantara

beratap tumpang. Selain atap didalam perkembangannya wantilan tersebut dibuat

dinding keliling sehingga terciptalah bentuk dasar masjid-masjid di Nusantara.

Pada arsitektur masjid di Bali ditemukan lagi masjid yang menyerupai bentuk

wantilan tanpa ada dinding akan tetapi memiliki pagar keliling dan ini

memberikan makna bahwa pengaruh lokal sanga kuat pada pembentukan karakter

216

masjid. Masjid di Denpasar umumnya sesuai dengan Arsitektur Islam berdasarkan

teori yang direferensi dimana umumnya arsitektur islam menjaga hubungan yang

baik dengan alam dan sesama manusia sehingga penggunaan elemen arsitektur

Bali tidak dipermasalahkan asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

5.2 REKOMENDASI

Penelitian masjid di Indonesia masih perlu dikaji lebih dalam, berdasarkan

data arkeologi islam di Nusantara sangat sulit untuk mengetahui kapan islam

masuk dan berkembang, data yang diperoleh umumnya dari peninggalan makam

tua, catatan perjalanan seperti Laksamana Cheng Ho dan keberadaan kerajaan

Islam. Kaitan kapan dan dimana islam pertama kali berkembang di Nusantara

adalah sangat penting terhadap pembentukan dasar morfologi masjid tua yang ada

di Nusantara. Penelitian majid di Denpasar merupakan salah satu penelitian

masjid yang memperkuat bahwa lingkungan berpengaruh besar terhadap bentuk

morfologi masjid, karena muncul teori yang menyatakan bentuk masjid di

Indonesia dipengaruhi arsitektur India khususnya malabar bahkan tidak sedikit

teori yang menyatakan masjid Jawa mempengaruhi bentuk masjid di Nusantara.

Penelitian masjid di Denpasar merupakan pintu gerbang untuk penelitian

masjid selanjutnya karena untuk memperkuat teori yang ada harus mempelajari

lokus yang lebih luas yaitu diseluruh Bali dan mempelajari kaitan kaum

pendatang yang berasal dari luar Bali seperti NTB, Jawa, dan Sulawesi karena di

Denpasar ditemukan beberapa perkampungan etnis . Pandangan pendiri masjid

terhadap Al-Quran dan Hadist berpengaruh kuat terhadap bentuk morfologi

217

masjid di Denpasar, sehingga perlu dikaji apakah konsep bentuk masjid-masjid

tua di Nusantara sudah mempertimbangkan hal tersebut, dan bagaimana budaya

lokal bersinergi mempengaruhi morfologi masjid tersebut.

218

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Elfida .1999. Diktat kuliah Tipologi dan Morfologi Arsitektur, Jurusan

Arsitektur Fakultas Teknik Sipil danPerencanaan, Universitas Bung Hatta.

A. Hasymi. Prof. 1981. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia.

Bandung: PT. Alma‟arif,

Akkach, S. 2005. Cosmology And Architecture in Premodern Islam, New York :

State University Of Newyork Press, Albany. p. 13-25

AV. Moudon. 1994. Getting to Know The Built Landscape Typomorphology

dalam Ordering space Type in Architecture and Design. New York: Van

Nostrand Reinhold.

Bungin, H.M Burhan. 2009. Penelitian Kulitatif. Jakarta: Kencana

Cataldi, G, Maffei, G.L. & Vaccaro, P, 2002, “Severio Muratori and the Italian

School of Planning Typology”, Urban Morphology, Vol.5.

CH, Schulz. 1979. Genius Loci. New York: Rizzoli International Publication

Fanani, A. 2009. Arsitektur Masjid. Yogyakarta: Bentang Pustaka

Gardiner, Stephen.1983. Introduction to architecture. Oxford: Equinox Ltd.

Haider, S. G. (2002) On What Makes Architecture Islamic : Some Reflections and

Proposal, RoutledgeCurzon, London.

Iskandar, S. B. 2004. Tradisionlitas dan Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid.

Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol.32, No. 2. Universitas Kristen Petra.

Loekito, J. 1994. Studi Tentang Tipologi Tampak Rumah Tinggal di Kampung

Surabaya pada Periode Sebelum Tahun 1942. Laporan Penelitian. Tidak

dipublikasikan. Surabaya: Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Kristen

Petra,

219

Lexy J. Moleong. 1995a. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya

:Bandung.

Mann, A.T. 1993.Sacred Architecture, Great Britain, Element book Ltd.

Muhammad Irsyad. 2008. Tinjauan Arsitektur Masjid Sultan Andurrahman

Pontianak Kalimantan Barat. Skripsi . Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia

Nasr, S.H. 2003.” Islam Religion, History and Civilization.”, Harper San

Francisco, USA

Naimatul Aufa .2010.” Tipologi Ruang dan Wujud Arsitektur Masjid Tradisional

Kalimantan Selatan” Journal of Islamic Architecture Vol I, 2010:Bandung.

Rehman, A. (2002) The Grand Tradition of Islamic Architecture,

RoutledgeCurzon, London.

Rosniza Binti Othman & Inangda, N & Ahmad, Y, 2008, “ A Typological Study

Of Mosque Internal spatial Arrangement : A Case Study on Malaysian

Mosque 1700-2007.” Journal Of Design and the Built Environment:

University of Malaya Kuala Lumpur.

Salain, R. 2011.”Arsitektur Tradisional Bali pada Masjid Al Hikmah di

Kertalangu Denpasar”(disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.

Schultz, C, N.1988. Architecture: Meaning and Place.Rizzoli, New York.

Shihab, Q. 1997. Wawasan Al-Quran; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan

Umat. Bandung: Penerbit Mizan.

Nas, P.J.M & Vletter,M.D. 2009. Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur

Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Poerwadarminta. 2003. “Kamus Umum Bahasa Indonesia”. Jakarta: Balai

Pustaka.

220

Setiabudi, B. 2006. A Study on the History and development of the

Javanese Mosque : typology of The Plan and Structure of The Javanese

Mosque and It’s Distribution Journal of Asian Architecture and Building

engineering. Vol.5, No 2 pp 229-236.

Sudibyo, 2012. Sang Nabi pun Berputar, Arah Kiblat dan Tata Cara

Pengukurannya, cetakan pertama. Surakarta : Tinta Medina.

Tjandrasasmita. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Cetakan pertama. Kepustakaan

Populer Gramedia : Jakarta.

Utaberta, N & Kosman, K,A & Tazilan A, S, M , 2009 :229-245, “Tipologi reka

Bentuk Arsitektur Tradisional di Indonesia.” International Journal of the

malay world and Civilization .

Utaberta, nangkula. 2004. Konsep Arsitektur Islam dan perumahan islam dari

Perspektif Sunnah. Simposium Nasional Arsitektur Islam 2004 Universitas

Muhammadiyah Surakarta

221

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR INFORMAN

Penelitian Masjid di Denpasar

No Nama Umur No Telp/hp

1 Dennyanto 37 081999589441

2 Sumarno 42 08155786143

3 Lilik 38 08164719069

4 Irawan 43 081933035433

5 Abdul Hamid 52 03617928641

6 Dwi Santoso 35 03617905441

7 Wahyudi 37 08188350241

8 H. Sulaiman 55 08179787664

9 M. Shodiq 51 081338488011

10 Mursyid 51 08123683378

11 Ferri Hendri 52 081558132355

12 Imam Sultoni 36 08124693533

13 Andi Maryono 39 081558320973

14 H. Achmad Rosyid 60 08123012859

15 Sutomo Awibowo 48 081238113841

16 Sumarto 46 08124645598

17 Sutoyo.Sag 47 03618448022

18 Suherman 44 081338080040

19 Joko Iswono 38 08886209920

20 Samto Adam 34 081558872325

21 M. Salim 49 081236012955

22 Djaffar Sidiq 33 081916604957

23 Mahyuddin 43 081338755431

24 H. Nurzainuddin 56 08179752391

25 Iskandar 44 087861081333

222

26 Teguh Wiryono 46 7435747

27 H.Moh.Jupri 54 081337937475

28 Herman 55 081338755111

29 Suwadi 43 08563812208

30 Suwarso 48 7416484

31 Edy Sutikno 51 7808028

32 H. Loekito 54 08123659033

33 Adi Kusno 38 03618013075

34 Abdurrachman Alwi 38 081933004118

35 H.M Bustomi 53 0817566885

36 H. Jayus 47 081337303365

37 Muh. Nuruddin 42 08179716595

38 Suraji 46 0817388810

39 Lahmuddin 44 457525

40 Suriyanto 38 087861191423

41 H.Hariyanto 49 081353299320

42 Noer Hasan 43 081337986117

43 Pepen 32 03618447732

44 Wahyono 35 7950417

45 Ahmadi. SH 43 08164710601

46 Halim 41 08123609883

47 Joko Irianto 36 081805518400

48 Suyono 62 081558090880