Morfin Print 2003
-
Upload
meidalena-anggresia-bahen -
Category
Documents
-
view
43 -
download
4
description
Transcript of Morfin Print 2003
MORFIN
Pendahuluan
Dalam blok neuroscience, untuk ilmu farmakologi mahasiswa akan belajar mengenai obat-
obatan yang dipakai untuk penyakit syaraf dan jiwa, serta penyalagunaan obat (drug abuse).
Masalah drug abuse merupakan masalah besar bagi generasi usia remaja dan kematian akibat
over dosis (OD) kian bertambah tiap tahun. Untuk itulah dipilih praktikum mengenai morfin dan
metodenya telah dikenal melalui praktikum selama ini. Dalam praktikum ini digunakan kelinci
sebagai hewan coba yang memperlihatkan efek morfin paling mirip pada manusia,
memperlihatkan efek depresi nafas yang dapat timbul pada kelebihan dosis morfin (OD), serta
pemberian antidotum yang dapat segera mengatasi depresi nafas tersebut. Juga akan
diperlihatkan efek morfin yang berlainan pada berbagai spesies (spesies difference), antara lain
kucing, tikus, dan mencit.
Sasaran Belajar
1. Melihat efek morfin, terutama depresi nafas, miosis dan gejala lain yang terjadi pada over
dosis (OD) pada manusia, yang diperlihatkan pada kelinci
2. Memperlihatkan efek spacies difference akibat morfin pada berbagai hewan coba
3. Memperlihatkan efek antidotum pada keracunan/over dosis morfin
4. Melatih mahasiswa menghitung dosis yang tepat yang akan diberi pada masing-masing
hewan coba dan member suntikan yang tepat sesuai petunjuk
Persiapan
1. Hewan coba : kelinci, tikus putih, mencit dan kucing
2. Obat-obat : larutan morfin 4%, kafein benzoate 4%, dan larutan nalokson
3. Alat-alat : timbangan hewan coba, baskom plastic, penggaris, semprit, dan kandang hewan
4. Dosis larutan morfin 4% yang akan diberikan pada hewan coba :
- Kucing : 20 mg/kgBB
- Kelinci : 0,5 ml/kgBB
- Tikus : 40-60 mg/kgBB
- Mencit : 40 mg/kgBB
Nalokson : untuk kelinci 0,01 mg/kgBB (=0,2 ml)
5. Cara perhitungan dosis yang akan disuntikan :
Misalnya : bb mencit= X gram X/1000 x 40 mg = Y mg
Larutan 40% ialah 40 mg/100ml
Yang akan disuntikkan = Y/40 x 100 ml = Z ml
Tatalaksana
1. Efek overdosis morfin dan antidotumnya
Untuk memperlihatkan efek morfin pada manusia seperti sedasi, lemas, miosis dan terutama
gejala over dosis (OD) morfin dimana terjadi trias intoksikasi akut : depresi nafas, miosis
hebat dan koma, maka observasi pada kelinci paling tepat menggambarkan hal tersebut.
a. Kelinci
1. Ambillah seekor kelinci, perlakukan hewan coba dengan baik dan tidak kasar
2. Timbanglah kelinci anda dengan timbangan hewan coba dengan akurat dan catat
3. Lakukan observasi parameter dasar: sikap kelinci, refleks otot, diameter pupil kanan
dan kiri, hitung frekuensi pernafasan dan denyut jantung, kelakuan kelinci.
Sikap kelinci : biasanya lincah, jalan-jalan di meja laboratorium
Refleks otot : tariklah (jangan terlalu keras) tungkai kaki depannya, normal
biasannya ada tahanan
Diameter pupil diukur dalam kondisi cahaya yang konstan
Frekuensi nafas dapat dihitung dengan meraba dada kelinci atau dengan
menghitung kembang-kempisnya cuping hidungnya. Karena frekuensi nafas
kelinci cepat maka hitunglah ¼ menit, kemudian kalikan 4
Denyut jantung dihitung dengan meraba bagian dada bawah tubuh kelinci dalam
semenit
4. Setelah seluruh parameter dasar selesai, hitunglah berapa ml, larutan morfin yang
akan disuntikan pada kelinci dengan cara perhitungan diatas
5. Mintalah pada instruktur larutan morfin 4% yang akan disuntikan, dalam semprit
yang telah disediakan
6. Lakukan tindakan asepsis, dengan mengosok tempat suntikan dengan larutan alcohol
70%
7. Suntikan larutan morfin 4% yang sesuai dengan perhitungan untuk kelinci anda
secara subkutan di daerah subscapula. Pastikan seluruh cairan morfin tadi masuk ke
dalam tubuh kelinci dan tidak ada yang tercecer keluar
8. Biarkan kelinci tetap diatas meja laboratorium dan lakukan obeservasi seluruh
parameter tiap 5 menit
9. Bila frekuensi pernapasan telah 20x/menit, laporkan pada instruktur, dan mintalah
larutan kafein benzoat 0,5 ml, dan suntikan secara subkutan pada daerah subskapula
10. Bila frekuensi pernafasan tetap turun sampai kurang dari 15x/menit, laporkan pada
instruktur agar segera disuntikkan morfin 0,2 ml pada vena marginalis kelinci
11. Perhatikan pada saat terjadi over dosis pada kelinci yang ditandai dengan : depresi
pernafasan, miosis, dan sikap kelinci menjadi lemas, tonus otot sangat menurun,
maka beberapa detik setelah penyuntikan nalorfin, maka kelinci akan pulih seperti
semula; aktif, tonus otot baik, frekuensi nafas normal.
2. Efek species difference morfin
Selanjutnya untuk memperlihatkan adanya species difference pada morfin, kita menggunakan
beberapa hewan coba yang akan memperlihatkan efek yang berlawanan dari kelinci yang
mengalami depresi, beberapa jenis binatang seperti kucing, kuda, mencit dan tikus akan
mengalami efek eksitasi. Efek muntah oleh morfin yang disebabkan rangsangan pada
medulla oblongata dapat diperlihatkan pada anjing, namun sudah tidak dilakukan lagi karena
anjing tersebut akan sangat menderita.
a. Tikus
1. Ambil dan timbanglah berat badan tikus putih, dan taruh dalam baskom plastic
2. Hitunglah dosis larutan morfin 4% yang akan diberikan sesuai berat badan tikus
dengan menggunakan rumus perhitungan diatas
3. Laporkan hasil perhitungan dosis anda pada instruktur dan ambil larutan morfin 4%
dalam semprit dengan jumlah yang tepat
4. Lakukan tindakan asepsis pada tempat suntikan
5. Peganglah kuduk tikus dengan hati-hati, suntikan larutan morfin secara subkutan di
daerah interskapula. Lakukan dengan baik sehingga seluruh larutan dalam semprit
masuk ke dalam tubuh tikus dan tidak tercecer keluar
6. Biarkan tikus tetap dalam baskom plastik dan lakukan observasi sampai timbul sikap
katatonik, tikus akan tetap bertahan pada sikap yang diberikan oleh anda, misalnya
sikap duduk. Sikap katatonik disebabkan karena kekakuan otot tubuh tikus.
b. Mencit
1. Ambil dan timbang seekor mencit dengan menggunakan timbangan surat
2. Hitung dosis larutan morfin 4% seperti rumus diatas
3. Laporkan perhitungan dosis anda pada instruktor dan mintalah lautan morfin 4%
sebanyak dosis yang harus disuntikan
4. Lakukan tindakan asepsis pada daerah yang akan disuntik
5. Peganglah kuduk mencit dengan halus, suntikan larutan morfin secara subkutan pada
daerah interskapula, perhatikan jangan sampai ada larutan yang tidak masuk ke dalam
tubuh tikus
6. Letakkan mencit dalam baskom plastik dan lakukan observasi sampai timbul efek
rangsangan otot diafragma pelvis dan sfingter ani, yang terlihat sebagai efek Straub,
yaitu ekor mencit menjadi tegang dan terangkat membentuk huruf S atau lurus ke
atas.
c. Kucing
1. Hanya dilakukan dalam bentuk demonstrasi
2. Ambil dan timbang kucing
3. Hitung dosis larutan morfin yang harus diberikan
4. Lakukan tindakan asepsis pada daerah yang akan disuntik
5. Suntikan larutan morfin 4% sesuai perhitungan dosis, secara subkutan pada daerah
interskapula
6. Masukan kucing ke dalam kandang, dan lakukan observasi, sampai terjadi efek
eksitasi dimana kucing akan terlihat liar, pupilnya midriasis, keluar saliva, gelisah.
Lakukan seluruh observasi dengan teliti dan catat hasilnya dengan tepat, dan bandingkan
data anda dengan data dari kelompok lain.
Penutup
Dengan praktikum diatas anda telah melakukan sendiri cara penyuntikan yang tepat, observasi
dan pencatatan hasil yang baik. Jangan lupa juga untuk membaca teori yang berkaitan dengan
obat yang akan di berikan dalam praktikum, kali ini adalah morfin, sehingga pemahaman tentang
obat tersebut menjadi lebih intens. Biasanya dengan belajar learning by doing maka lebih banyak
yang anda ingat dan berkesan sehingga subjek ini menjadi hal yang menarik dan membangkitkan
gairah anda untuk belajar lebih baik.
HASIL PENGAMATAN
Perhitungan dosis morfin yang disuntikan :
1. Kelinci : BB = 1,8 kg
Dosis : 1,8 kg x 0,5 ml/kgBB = 0,9 ml
2. Tikus : BB = 200 gram
Dosis : (200/1000) x 60 mg = 12 mg
Larutan morfin 4 % = 4 g/100 ml = 40 mg/ml
(12 mg/40 mg) x 1 ml = 0,3 ml
3. Mencit : BB = 30 gram
Dosis : ( 30/1000) x 40 mg = 1,2 mg
(1,2 mg/ 40 mg) x 1 ml = 0,03 ml
A. Pengamatan terhadap hewan coba kelinci :
Sebelum disuntikan larutan morfin
- Sikap : lincah (aktif)
- Refleks otot : normal
- Diameter pupil : 0,8 mm
- RR : (26+30+25) x 6 = 486 = 162 kali/menit
3
- Denyut jantung : 128 kali/menit
Sesudah disuntikan larutan morfin
Pengamatan ke-
(tiap 5 menit)
Sikap Kelinci Refleks Otot pupil RR
I Sedikit pasif lemah 0,8 mm 138 kali/menit
II Pasif lemah 0,6 mm 66 kali/ menit
III Pasif lemah 0,6 mm 64 kali/menit
IV Pasif lemah 0,6 mm 60 kali/menit
V Pasif Lemah 0,4 mm 32 kali/menit
VI Pasif lemah 0,4 mm 22 kali/menit
Pada percobaan terhadap kelinci : Setelah disuntikan larutan morfin dapat dilihat efek
depresi napas, miosis, serta penurunan aktivitas motorik kelinci.
B. Pengamatan terhadap hewan coba tikus : Beberapa saat setelah disuntikan larutan morfin
pada tikus terlihat adanya sikap katatonik yang disebabkan karena kekakuan otot tubuh tikus.
C. Pengamatan terhadap hewan coba mencit : Setelah disuntikan larutan morfin, terjadi efek
straub yaitu ekor mencit menjadi tegang dan terangkat ke atas.
D. Pengamatan terhadap hewan coba kucing : terjadi efek eksitasi dimana terlihat kucing
lebih liar, gelisah, midriasis.
PEMBAHASAN
A. MORFIN
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah dikeringkan. Alkaloid
asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan : (1) golongan fenantren, misalnya
morfin dan kodein dan (2) golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin.
Farmakodinamik. Morfin merupakan agonis reseptor opioid. Efek morfin pada susunan
saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada
reseptor µ. Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ
dan κ. Efek morfin pada susunan saraf pusat (SSP) berupa analgesia dan narkosis. Efek
analgetik itu timbul karena opioid ini terutama bekerja pada reseptor µ. Ketiga jenis reseptor
µ, κ,dan δ banyak didapatkan pada kornu dorsalis medula spinalis. Reseptor didapatkan baik
pada saraf yang mentransmisi nyeri di medula spinalis. Efek analgetik morfin dan opioid lain
sangat selektif dan tidak disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa
getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahkan presepsi stimulasi nyeri pun tidak
selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Selain analgesik, aktivasi reseptor µ ini
dapat menyebabkan euforia, depresi napas, miosis dan motilitas saluran cerna menurun.
Morfin juga bekerja pada resptor κ yang dapat menimbulkan efek miosis dan analgesia.
Morfin juga mengaktivasi pada reseptor δ yang menimbulkan depresi napas yang mana efek
langsung morfin terhadap pusat napas di batang otak.
Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan
konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah eksitasi morfin ialah idiosinkrasi
dan tingkat eksitasi refleks (reflex excitatory level) SSP. Terutama pada wanita dapat
mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului depresi, namun
delirium dan konvulsi jarang timbul. Idiosinkrasi adalah suatu reaktivitas abnormal terhadap
zat kimia yang ganjil/ aneh yang ditimbulkan dari seorang individu. Respon idiosinkrasi
mungkin berasal dari bentuk sensitifitas yang ekstreme terhadap dosis rendah atau
insensitifitas ekstreme terhadap dosis tinggi dari suatu zat kimia. Idiosinkrasi dapat
dihasilkan dari genetik polimorfisme yang menyebabkan individual differences dalam
farmakokinetik obat. Polimorfisme juga dapat menyebabkan farmakodinamik obat berbeda
ke individu seperti interaksi obat-reseptor. Efek emetic pada pemberian morfin seperti mual
dan muntah terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic receptor trigger zone (CTZ)
di area postrema medula oblongata, bukan oleh pusat emetic sendiri.
Morfin berefek langsung pada saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SSP. Efek
morfin ini menurunkan motilitas saluran cerna seperti pada lambung, usus halus, dan usus
besar, akibat dari peninggian tonus otot pada saluran cerna. Morfin tidak mempengaruhi
tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung jika diberikan pada dosis terapi.
Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor
yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir
intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular
untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Pasien mungkin mengalami hipotensi ortostatik
dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek
langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan histamin yang
merupakan factor dalam timbulnya hipotensi.
Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi
perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh
morfin. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju
filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan pengelepasan ADH. Hipotiroidisme dan insufisiensi
adrenokortikal meningkatkan kepekaan orang terhadap morfin. Selain itu, Morfin
memperlambat berlangsungnya partus. Dalam dosis terapi, morfin juga dapat menyebabkan
pelebaran pembuluh darah kulit, kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area
(muka, leher, dan dada bagian atas). Keadaan ini disebabkan karena pelepasan histamine oleh
morfin.
Farmakokinetik. Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui
kulit luka dan mukosa, namun pemberian cara ini absorpsinya kecil sekali. Morfin dapat
diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik pemberian oral jauh lebih rendah daripada pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin
mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk
bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar uri dan
mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam empedu.
Indikasi. Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin
sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai : (1) infark miokard; (2) neoplasma; (3) kolik
renal atau kolik empedu; (4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner; (5)
perikarditis akut dan pneumotoraks spontan; dan (6) nyeri akibat trauma misalnya luka bakar,
fraktur dan nyeri pascabedah. Morfin intravena dapat dengan jelas mengurangi/
menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek langsung terhadap otot
polos usus. Pada pengobatan diare akibat intoksikasi akut obat atau makanan, bukan karena
infeksi oleh bakteri. Pemberian morfin harus didahului oleh pemberian garam katarik untuk
mengeluarkan penyebab. Morfin juga menekan refleks batuk.
Efek Samping. Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi dengan tremor,
namun jarang terjadi konvulsi, delirium, dan insomnia. Dapat pula terjadi reaksi alergik
seperti urtikaria, eksantem,dermatitis kontak, pruritus dan bersin. Intoksikasi akut morfin
dapat berupa koma, pin point pupils, kemudian midriasis jika terjadi anoksia, depresi napas.
Selain itu dapat pula terjadi penurunan tekanan darah, pengelepasan ADH sehingga
prmbentukan urin sangat berkurang, suhu badan rendah, tonus otot rangka rendah, kulit
terasa dingin, mandibula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas.
Interaksi Obat. Penggunaan bersama hipnotik-sedatif dapat meningkatkan depresi SSP
terutama depresi napas. Interaksi juga terjadi pada penggunaan bersamaan dengan obat
antipsikotik dan tranquilizer dapat meningkatkan sedasi dan depresi napas serta hipotensi.
Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek analgetik dan euforia morfin dan dapat
mengurangi efek sedasinya.
Kontraindikasi. Obat ini tidak boleh digunakan pada penggunaan agonis dengan antagonis,
kehamilan, kehamilan, trauma pada kepala, gangguan fungsi paru kecuali edema paru,
gangguan fungsi hati dan ginjal, gangguan endokrin seperti penyakit Addison, hipotiroid.
Sediaan dan Posologi. Didalam praktek klinik, morfin digunakan sebagai premedikasi,
komponen dari balanced anesthesia, dosis tinggi opioid anestesi dan untuk analgesik post
operatif. Pasien mengalami pemanjangan analgesik dan efek samping seperti depresi
pernapasan ketika konsentrasi plasma morfin rendah. Dosis anjuran untuk menghilangkan
atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2
mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan. Pada pasien yang pernah mendapat
opioid, pemberian dosisnya berkisar 5-10 mg parenteral morfin/4 jam. Morfin 10 mg intra
muscular setara dengan 20 – 30 mg oral, sehingga pemberian intra vena berbanding oral
adalah 1 : 2,5-3. Minimal interval untuk obat oral 1,5-2 jam. Sedangkan minimal interval
pemberian intra vena 10-15 menit.
B. KAFEIN BENZOAT
Kafein benzoat yang merupakan suatu obat yang menstimulasi SSP untuk mengurangi
depresi pernapasan.
C. NALOKSON
Nalokson merupakan prototip antagonis opioid murni yang dapat diberikan per oral. Obat-
obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan banyak efek kecuali bila
sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada
keadaan stres atau syok. Semua efek agonis opioid pada reseptor µ diantagonis oleh nalokson
dosis kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Nalokson digunakan untuk memperbaiki
intoksikasi akibat morfin “ trias” yang berupa koma, pin point pupils dan depresi napas. Pada
dosis besar, nalokson juga menyebabkan kebalikan efek dari efek psikotomimetik dan
disforia akibat agonis-antagonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung selama 1-4 jam,
tergantung dari dosisnya. Pemberian nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya
segera terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral dapat juga diserap, namun hampir
seluruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan parenteral. Obat ini
dimetabolisme di hati,terutama glukoronidasi.
D. Analisis obat pada hewan coba kelinci : Pada percobaan, pemberian morfin menyebabkan
efek intoksikasi akut morfin “trias”. Kita ketahui bahwa mekanisme morfin tersebut yakni
mengaktivasi reseptor opioid terutama pada reseptor µ, yang dapat menimbulkan efek pada
SSP seperti terlihat terjadinya trias/intoksikasi akut. Kemudian pada saat timbul depresi
napas, hewan coba disuntikan kafein benzoat yang fungsinya untuk memperbaiki kondisi
tersebut. Namun, bila tidak terjadi peningkatan pernapasan, hewan coba harus segera
disuntikan nalokson secara IV agar memperbaiki kondisi intoksikasi serta menghindari dari
kematian. Mekanisme kerja pada nalokson sebagai antagonis kompetitif pada reseptor µ,δ,
dan κ, tetapi afinitasnya terhadap resptor µ jauh lebih tinggi.
E. Analisis obat pada hewan coba tikus : Pada tikus terjadi efek katatonik yaitu efek yang
terlihat pada saat tikus tetap dalam posisi yang diberikan dalam waktu yang cukup lama. Hal
ini terjadi karena peningkatan tonus otot.
F. Analisis obat pada hewan coba mencit : Pemberian morfin menimbulkan efek straub yaitu
ekor mencit menjadi tegang dan terangkat membentuk huruf S atau lurus ke atas. Reaksi ini
menunjukan bahwa adanya rangsangan pada SSP (khususnya sumsum tulang belakang) atau
pembebasan adrenalin pada otot diafragma pelvis dan sfingter ani.
Kesimpulan
Pemberian morfin pada kelinci menimbulkan efek berupa depresi napas, miosis, dan
penurunan aktivitas motorik yang mana efek ini juga dapat terlihat pada manusia yang dikenal
dengan trias atau intoksikasi akut. Pada manusia morfin dapat menimbulkan efek idiosinkrasi
yakni efek yang terjadi pada individu tertentu tetapi berlainan dengan efek yang terjadi pada
umumnya, yang disebabkan karena kelainan genetik. Misalnya: morfin pada kebanyakan orang
dapat menyebabkan depresi namun khususnya wanita, dapat mengalami eksitasi misalnya mual
dan muntah yang mendahului depresi. Suatu peristiwa pada manusia yang menyerupai spesies
difference adalah peristiwa idiosinkrasi.
Sementara itu, pemberian morfin pada hewan coba/spesies yang berbeda menghasilkan
efek yang berbeda juga (species difference) seperti pada hewan tikus dan mencit. Pada tikus
terjadi efek katatonik dan mencit efek straub.
Daftar Pustaka
1. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2007.
2. Membedah Mitos Penggunaan Morfin Oral. Edisi April 2006 ,Vol.5 No.9, hal 26. Diunduh
dari : http://www.majalah-farmacia.com.
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
BLOK 22
Kelompok D4Anggota Kelompok :
1. Juanita Liusiani (102009055)2. Elsa Marliska (102009061)3. Hensky Stalone Sitepu (102009063)4. Ivan Agusta Dwi Kristiawan (102009075)5. Berliana Natalia (102009076)6. Yohanna (102009083)7. Jimmy Nyomin (102009084)8. Yuliana (102009089)9. Fitrianti Massau (102009095)
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
FAKULTAS KEDOKTERAN
2012