MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

86
MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2020 Jl. Tanggulangin No.3, Keputran, Kecamatan Tegalsari, Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur 60265

Transcript of MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

Page 1: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2020

Jl. Tanggulangin No.3, Keputran, Kecamatan Tegalsari, Kota Surabaya

Provinsi Jawa Timur 60265

Page 2: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

i

KATA PENGANTAR

Penyelenggaraan pemilihan umum yang berkualitas sangat diperlukan sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Maka dari itu, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) sebagai salah satu komponen penyelenggara pemilu selain mempunyai integritas, kapabilitas dan akuntabilitas juga dituntut untuk semakin profesional.

Tuntutan profesionalisme pengawasan pemilu menjadi semakin besar dihadapkan pada kompleksitas pemilu di Indonesia yang terdiri dari kompleksitas pengaturan pemilu, kompleksitas penyelenggaraan pemilu dan kompleksitas pemerintahan hasil pemilu. Ada tiga Undang – undang yang mengatur pemilu legislatif, pemilu presiden dan pemilu kepala daerah yang didalamnya terdapat pengaturan standar, tahapan, serta azas yang sama namun berbeda pada jobdesknya. Tidak jarang Undang – undang pemilu digugat di Mahkamah Konstitusi. Dalam penyelenggaraan pemilu terlihat begitu banyaknya petugas, tingginya anggaran, besarnya volume dan varian surat suara serta rumitnya penghitungan suara. Pemerintahan hasil pemilu nampak dalam banyaknya partai politik yang duduk di parlemen, koalisi yang tak terpola dan rapuh dan terbelah secara horisontal dan pemerintahan terputus secara vertikal.

Kompleksitas pemilu yang sedemikian rupa turut memberikan pengaruh besar terhadap tingkat partisipasi politik masyarakat terhadap pemilu itu sendiri dan berujung pada apatisme politik masyarakat. Apatisme politik itu dapat berupa ketidaktertarikan terhadap politik, ketidakpercayaan terhadap institusi politik dan ketidakmauan berpartisipasi dalam politik. Mengapa dapat terjadi? Dikarenakan salah satunya terjadinya kesenjangan antara elit politik dan masyarakat dan distorsi kepentingan manakala kebijakan politik tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.

Pelibatan masyarakat dalam proses politik sangat diperlukan untuk meredam adanya apatisme politik masyarakat terutama dalam pemilu. Proses politik dikatakan demokratis ketika masyarakat menjadi aktor utama dalam pembuatan keputusan politik. Untuk itu pemilu yang demokratis meniscayakan partisipasi masyarakat itu sendiri.

UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan amanat yang melakukan pengawasan pemilu adalah Bawaslu yang terdiri dari Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu Luar Negeri, dan Pengawas TPS. Undang – undang tersebut semakin menampakkan pergeseran orientasi mendasar yaitu derajat independensi dan tugas dan wewenang pengawasan pemilu yang semakin menguat. Independensi merujuk pada proses rekrutmen pengawas pemilu berasal dari kelompok masyarakat independen/ non partisan. Penguatan tugas dan wewenang terlihat bagaimana Bawaslu dapat tampil lebih powerfull dibandingkan dengan sebelumnya hanya sebagai “hakim garis”.

Pergeseran orientasi tugas dari sebelumnya pengawasan diarahkan pada penemuan pelanggaran, akan tetapi pada konteks sekarang pengawasan pemilu mengedepankan pencegahan terjadinya pelanggaran. Indikator keberhasilan pengawasan pemilu juga tidak lagi ditentukan seberapa banyak temuan pelanggaran dan tindak lanjutnya oleh lembaga pengawas pemilu, melainkan lebih pada seberapa efektif upaya pencegahan pelanggaran pemilu dapat dilakukan lembaga pengawas pemilu. Oleh karena itu diperlukan adanya sinergi pengawasan partisipatif antara Bawaslu dengan masyarakat.

Pengawasan partisipatif ini adalah bagaimana masyarakat dapat turut serta mengawasi pemilu baik dalam kampanye, masa tenang dan hari H pemilihan. Adapun aktivitas yang dapat dilakukan yaitu dengan memantau pelaksanaan pemilu, melaporkan pelanggaran pemilu, menyampaikan informasi dugaan pelanggaran pemilu, ikut mencegah terjadinya pelanggaran pemilu.

Pengawasan partisipatif ini merupakan upaya mentransformasikan kekuatan moral menjadi gerakan sosial dengan konsekuensi memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang Kepemiluan dan teknik pengawasan. Harapan besar pula mendorong pengawasan partisipatif ini dibangun atas dasar kesadaran, kerelawanan dan panggilan hati nurani untuk ikut berperan serta mewujudkan pemilu yang berkualitas.

Berangkat dari pertimbangan diatas maka Bawaslu memandang penting dan perlu adanya sebuah sistem pendidikan dan pelatihan pengawasan partisipatif untuk mempersiapkan

Page 3: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

ii

kader/pionir penggerak pengawasan partisipatif dalam masyarakat yang diharapkan mampu menduplikasi sistem pengawasan partisipatif ini dalam komunitas – komunitas masyarakat basis.

Dalam sebuah sistem pendidikan dan pelatihan pengawasan partisipatif ini akan disiapkan kurikulum pendidikan dan pelatihan yang didalamnya terdapat alur proses dan alur materi sekaligus metodologi yang akan dipergunakan selama pendidikan dan pelatihan tersebut berlangsung yang tentunya kurikulum ini disesuaikan berdasarkan analisa kebutuhan dari Bawaslu. Selain tentang pengetahuan kepemiluan dan ketrampilan teknik pengawasan juga akan diberikan materi pembangunan karakter dan bagaimana membangun komunitas basis.

Pembangunan karakter yang dimaksudkan tidak lain memberikan penguatan dan menanamkan nilai – nilai kepemimpinan yang bermoral dan beretika sehingga memunculkan kepemimpinan yang berkarakter. Selain memiliki kapabilitas dan kompetensi, integritas tetap menjadi hal penting sebagai fondasi dasar dalam sebuah kepemimpinan.

Membangun komunitas basis menjadi sebuah materi yang tidak kalah pentingnya yang nantinya dapat menjadi media sosialisasi pengawasan pemilu sekaligus menciptakan atmosfir pengawasan partisipatif. Yang dimaksudkan membangun komunitas basis ini merujuk sebagai komunitas basis pengawasan. Dimungkinkan membangun komunitas baru atau dapat juga memaksimalkan komunitas dalam masyarakat yang sudah terbentuk menjadi media pengawasan partisipatif.

Page 4: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

iii

DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

Kurikulum Pelatihan ...................................................................................... 1

Topik 1 Pengantar Pelatihan ......................................................................... 1

Topik 2 Pembangunan Karakter ................................................................... 4

Topik 3 Pengawasan Pemilu Di Indonesia ................................................... 10

Topik 4 Penegakan Huku Pemilu .................................................................. 16

Topik 5 Analisa Sosial Kepemiluan .............................................................. 29

Topik 6 Sistem Pemilu dan Pemerintahan Di Indonesi ............................... 49

Topik 7 Regulasi dan Tahapan Pemilu ......................................................... 66

Topik 8 Fungsi Penindakan dan Pengawasan Pemilu................................. 68

Topik 9 Advokasi Jurnalistik dan Media Sosial ........................................... 71

Topik 10 Penyusunan dan Publikasi Hasil Belajar ...................................... 75

Penutup .......................................................................................................... 81

Daftar Pustaka

Page 5: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

1

KURIKULUM PELATIHAN

TOPIK 1 : PENGANTAR PELATIHAN

1.1 Kontrak Psikologis dan Pembagian Kelompok 1.1.1. Kontrak Psikologis

Pada prinsipnya, kontrak psikologis merupakan sebuah kontrak yang bersifat implisit antara seorang individu dan organisasinya yang menspesifikkan pada apa yang masing-masing diharapkan satu sama lain untuk saling memberi dan menerima dalam suatu hubungan kerja.1 Dalam konteks pelatihan ini, kontrak psikologis tidak berada pada kondisi yang mengacu pada definisi yang bermuatan tentang hubungan kerja tetapi lebih pada membangun komitmen bersama antar peserta pelatihan dengan penyelenggara atau panitia kegiatan.

Inti dari kontrak psikolgis diawal peatihan ini adalah “saling memberi dan menerima” dalam suatu hubungan atau suasana kebersamaan selama pelatihan. Peserta didampingi oleh fasilitator kegiatan merumuskan kesepakatan-kesepakatan atau janji-janji yang disepakati bersama dan dilaksanakan selama kegiatan berjalan demi kelancaran kegiatan dan tercapainya tujuan kegiatan.

Kesepakatan-kesepakatan dituangkan dalam rumusan poin-poin kesepakatan yang mengikat peserta untuk ditaati bersama sebagai bentuk pengharagaan akan komitmen bersama. Kontrak psikologis ditulis dalam lembaran besar dan diletakkan di tempat yang dapat dibaca oleh semua peserta dalam ruangan kegiatan.

1.1.2. Pembagian Kelompok Pembagian kelompok pada awal pelatihan diperlukan untuk proses-proses dalam

pelaksanaan pelatihan seperti misanya; diskusi kelompok, simulasi, dan aktivitas outbond. Mekanisme pembagian kelompok dapat dilakukan dengan sederhana yaitu dengan membagi perwakilan peserta dari masing-masing daerah menjadi beberapa kelompok, artinya dalam 1 (satu) kelompok terdiri dari masing-masing perwakilan daerah. Hal ini dilakukan agar peserta lebih mengenal satu sama lain dan mendorong peserta memeperkaya pengalamannya selama pelatihan.

1.1.3. Personality Plus (Siapakah Saya? Kekuatan dan Kelemahan Berdasarkan Karakter

Kepribadian) Pesonality plus merupakan materi yang bersifat perkenalan, perkenalan melalui

personality plus tidak hanya sebatas memperkenalkan nama dan asal peserta tetapi lebih pada pengenalan kekuatan dan kelemahan diri berdasarkan kategori kepribadian masing-masing peserta. Menurut Gordon Allport dalam Sunarto, (2004:34), Ia mengatakan bahwa kepribadian adalah “organisasi dinamis pada masing-masing system psikofisik yang menentukan penyesuaian unik terhadap lingkungannya, sedangkan Menurut Kinicki (2003 : 175), Kepribadian merupakan karakteristik fisik dan mental yang stabil bertanggung jawab pada identitas diri ciri fisik dan mental yang stabil yang memberi identitas pada individu.2

Berdasarkan pemahaman tentang kepribadian, pengenalan diri dan orang lain dalam kaitannya dengan proses kaderisasi adalah bahwa penting bagi peserta untuk dapat mengenal dirinya kemudian dapat mengidentifikasi kepribadian orang lain dengan mengetahui karakter dari masing-masing kategori kepribadian. Seseorang yang terlatih dan terampil mengenal orang lain maka akan cenderung lebih mudah juga berhadapan dan menyesuaikan serta memposisikan diri dalam kelompok dan situasi yang dihadapinya. Florence Littauer, dalam bukunya berjudul Personality Plus, membagi

kepribadian menjadi 4 (empat) kategori, yaitu :3

1. Kepribadian Sanguinis Orang yang memiliki kepribadian sanguinis umumnya menyukai kesenangan, ramah, berorientasi pada hubungan, jenaka, emosional, terbuka dan optimis. Orang dengan

1 https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-1-00693-PS%20Bab2001.pdf 2 http://www.sumbarprov.go.id/details/news/6006 3 Personality Plus (Kepribadian Plus), Florence Littauer, Binarupa Aksara, 1996

Page 6: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

2

kepribadian sanguinis cenderung fleksibel, mudah bergaul dengan siapa saja dan dominan dalam percakapan.

2. Kepribadian Melankolis

Orang dengan kepribadian melankolis umumnya menginginkan kesempurnaan, introvert, berorientasi pada tugas dan tujuan, dan teratur. Pemikiran yang analitis merupakan ciri khas dari seorang melankolis. Orang melankolis sulit untuk diyakinkan, tidak mudah membuatnya percaya begitu saja tentang sesuatu, perlu adanya data data otentik atau fakta untuk mendukung argumentasi kita agar orang tersebut dapat setuju.

3. Kepribadian Koleris Orang yang memiliki kepribadian koleris pada umumnya menginginkan kekuasaan, tegas, berorientasi pada tujuan, teratur, tidak emosional, santai, terus terang dominan, dan optimis. Bakat dari orang koleris adalah memiliki sifat kepemimpinan yang kuat dan tegas. Tipe ini diyakini terlahir untuk menjadi pemimpin dan mahir dalam mengatur organisasinya.

4. Kepribadian Phlegmatis Orang dengan kepribadian phlegmatis pada umumnya menyukai kedamaian, cenderung introvert, tidak emosional , berorientasi pada hubungan yang damai, dan pesimis. Kebanyakan orang plegmatis adalah kepiawaiannya dalam bergaul dan menjadikannya orang yang paling disukai dalam kelompok manapun. Orang phlegmatis dapat menjadi pe-lobby yang baik karena komunikasi dia yang sangat mahir.

4 (empat) tipe kepribadian ini memiliki kekuatan dan kelemahan namun dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan maka seseorang dapat mengetahui bagaimana memanfaatkan kekuatannya dan mengikis kekuarangannya. Selain dari keempat kepribadian tersebut, Florence pun mengatakan bahwa dalam diri seseorang keempat kepribadian tersebut dapat bercampur dan dibedakan menjadi empat : Campuran alami = Sanguinis Koleris dan Melankolis Phlegmatis Campuran pelengkap yang berorientasi hubungan = Sanguinis Phlegmatis Campuran pelengkap yang berorientasi tujuan = Koleris Melankolis Campuran berlawanan = Sanguinis Melankolis dan Koleris Phlegmatis

Untuk mengetahui apa tipe kepribadian sesorang maka perlu dilakukan psikotes sederhana dengan langkah sebagai berikut :

1. Peserta akan diminta untuk mengisi lembaran psikotes yang memuat kumpulan pernyataan “kekuatan” dan “kelemahan”, masing-masing berjumlh 20 (dua puluh) pernyataan sehingga jika ditotal sebanyak 40 (empat puluh) pernyataan. Cara pengisian lembar psikotes adalah dengan memilih 1 (satu) dari 4 (empat) pilihan pernyataan yang ada.

2. Setelah semua pernyataan diisi, proses selanjutnya adalah skoring. Skoring “kekuatan” dan “kelemahan” dilakukan dengan menjumlahkan pernyataan pada masing-masing tipe kepribadian yang dipilih. Setelah dijumlahkan maka jumlah “kekuatan” dan “kelemahan” digabungkan, angka yang paling besar menunjukkan tipe kepribadian dominan dari peserta.

Proses : Durasi 120 menit

No Langkah-langkah Waktu

1 Fasilitator membuka sessi dengan salam dan menyampaikan ke peserta bahwa sessi ini adalah tahap awal proses pelatihan yakni perkenalan yang akan berlangsung selama 120 menit. Fasilitator menjelaskan pada tahapan ini akan dibagi menjadi 2 (dua) kegiatan, yaitu: 1. Kontrak psikologis dan pembagian kelompok 2. Perkenalan singkat yang dilanjutkan dengan personality plus (pengenalan kepribadian peserta)

5’

2 Pada tahap kontrak psikologis, fasilitator menyampaikan bahwa maksud dibangunnya kontrak psikologis adalah untuk membuat aturan main yang akan disepakati bersama demi kelancaran acara, terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh peserta selama pelatihan berlangsung,. Fasilitator hanya mendampingi, semua prsoses membangun kesepakatan dilakukan oleh peserta.

15’

Page 7: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

3

Setelah peserta berhasil merumuskan kesepakatan, butir-butir kesepakatan ditulis pada kertas flip[chart dan ditempelkan di dinding sebagai pengingat kepada semua peserta akan kesepakatan yang telah dibangun.

3 Pada sessi ini fasilitator akan membagi peserta menjadi 4 kelompok, 1 kelompok merupakan perwakilan dari masing-masing daerah peserta. Fasilitator dapat langsung membagi peserta ke dalam 4 kelompok dan mencatat keanggotaan kelompok-kelompok tersebut. Untuk selanjutnya kelompok menunjuk ketua kelompoknya masing-masing.

10’

4 Personality Test

Tahap selanjutnya adalah personality plus, pada tahapan ini fasilitator memberikan pengantar dan menjelaskan tentang tujuan dari pemberian materi ini. Setelah itu, fasilitator membagikan lembaran skala personality test kepada peserta dan meminta mengisinya dengan memilih 1 dari 4 pernyataan yang ada pada bagian kekuatan dan kelemahan. Cara memilih bisa dicontreng mapun disilang pada kolom yang disediakan. Scoring Personality Test Setelah semua pernyataan yang berjumlah 40 selesai diisi oleh peserta kemudian fasilitator meminta kepada peserta untuk menghitung jumlah pernyataan yang dipilih pada sub-tema kekuatan dan sub-tema kelemahan pada masing-masing tipe kepribadian. Setelah semua dijumlah fasilitator meminta agar peserta menggabungkan skor sub-tema kekuatan dan sub-tema kelemahan menjadi total skor. Skor keseluruhan tidak boleh melebihi angka 40 sesuai dengan jumlah pernyataan yang ada. Skor tertinggi merupakan cerminan dari kecenderungan kepribadian peserta.

60’

5 Pembahasan masing-masing kepribadian. Tahap selanjutnya setelah peserta mengetahui kepribadiannya adalah menjelaskan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing kepribadian tersebut terkait kecenderungan-sikap dan perilaku yang dimiliki oleh masing-masing tipe kepribadian tersebut.

30’

Page 8: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

4

TOPIK 2 : PEMBANGUNAN KARAKTER PENGAWAS

2.1. Etika Dan Moralitas 2.1.1. Pengertian Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” dan “ethikos”. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, sedangkan ethikos berarti susila, keadaban atau kelakukan dan perbuatan yang baik. Etika sangat berpengaruh sejak zaman Socrates (470-390 SM). 4. Etika adalah suatu sikap dan perilaku yang menunjukan kesediaan dan kesanggupan seorang secara sadar untuk mentaati ketentuan dan norma kehidupan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat atau satu organisasi.5

Berdasarkan filsafat moral, sebagai mana dikatakan Dr. Franz Magnis-Suseno dalam bukunya “Etika Dasar”, bahwa etika: ilmu yang mencari orientasi. Apabila kita untuk pertama kalinya datang ke Jakarta dengan naik bis dari arah Timur, kita akan turun di terminal Pulogadung. Syukur kalau ada yang meenjemput. Karena kalau tidak, kita betul-betul akan kebingungan. Barangkali kita memegang secarik kertas dimana alamat yang kita tuju tercatat. Tapi bagaimana cara untuk ke alamat itu? Kebingungan kita tidak luput dari perhatian sepasukan calo yang segera akan menyerbu kita dan menawarkan “jasa baik” mereka. Kecuali bingung kita menjadi takut pula. Harus mengikuti calo yang mana? Dapatkah dipercayai? Jangan-jangan kita mau dirampok? Contoh itu memperlihatkan bahwa salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah orientasi. Sebelum kita dapat melakukan sesuatu apapun kita harus mencari orientasi dulu. Kita harus harus tahu dimana kita berada dan ke arah mana kita harus bergerak untuk mencapai tujuan kita.

Filsafat manusia mengatakan bahwa manusia itu mahkluk yang tahu dan mau. Artinya, kemauannya mengandaikan pengetahuan. Ia dapat bertindak berdasarkan pengertian-pengertian tentang di mana ia berada, tentang situasinya, kemampuan-kemampuannya, jadi tentang segala faktor yang perlu diperhitungkan agar rencananya dapat terlaksana. Maka ia memerlukan orientasi. Tanpa orientasi ia tidak tahu arah dan merasa terancam. Mirip dengan orang di terminal Pulogadung ia akan merasa bingung dan ketakutan.

Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.

2.1.2. Tujuan Etika sebagai Pedoman Bersama

Etika yang menjadi pokok bahasan dapat dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Sebenarnya ada banyak pihak menjawab pertanyaan itu bagi kita: Orang tua, guru, adat istiadat dan tradisi, teman lingkungan sosial, agama, negara, pelbagai ideologi. Tapi apakah benar apa yang mereka katakan? Dan bagaimana kalau mereka masing-masing memberikan nasihat yang berlainan? Lalu siapa yang harus diikuti?

Dalam situasi ini etika mau membantu kita untuk mencari orientasi. Tujuannya agar kita tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap pelbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita mengerti sendiri mengapa kita harus bersikap begini atau begitu. Etika mau membantu, agar kita lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan hidup kita.6

4 Abdoel Fatah, Pembangunan Karakter Unggul, (Jakarta: Arga, 2008), hlm. 18 5 Sondang Siagian, Etika Bisnis, 1996, hlm. 335-337

6 Franz Magnis, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius Media, 1987), hlm. 13

Page 9: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

5

Dalam konteks tersebut diatas terkait etika juga diatur oleh Bawaslu yang menerapkan Peraturan Nomor 6 tahun 2017 (pasal 3) tentang Kode Etik Pegawai Badan Pengawas Pemilihan Umum yang bertujuan untuk: 7 a. Mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan; b. Meningkatkan disiplin baik dalam pelaksanaan tugas maupun dalam hidup

bermasyarakat, berorganisasi, berbangsa, dan bernegara; c. Menciptakan suasana dan lingkungan kerja yang harmonis dan kondusif; dan d. Meningkatkan etos kerja, kualitas kerja, dan perilaku yang profesional.

Hal diatas menjelaskan bahwa etika memiliki landasan dan tujuan yang mendasar untuk mengawali berbagai kegiatan dan praktek pemilu di seluruh Indonesia.

2.1.3. Urgensi Etika

Etika hari ini merupakan keharusan yang sangat mendesak. Selanjutnya untuk melihat hal tersebut kita perlu mengetahui dahulu nilai-nilai dasar kode etik yang harus dijunjung tinggi sebagai standarisasi pengawas diantaranya yaitu: 8 a. Mandiri, tidak terpengaruh dan bersikap netral dalam melaksanakan tugas; b. Integritas, perilaku yang bermartabat dan bertanggung jawab; c. Transparansi, keterbukaan dalam batas normatif; d. Professional, menjaga dan menjalankan keahlian profesi dan mencegah benturan

kepentingan dalam menjalankan tugas; e. Akuntabilitas, kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada pihak

yang meminta pertanggungjawaban; dan f. Kebersamaan, saling mendukung dalam menjalankan tugas dan tidak egois.

Ada sekurang-kurangnya empat alasan mengapa etika dan moral pada zaman kini semakin diperlukan, antara lain: 9

1) Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moralitas. Setiap hari kita bertemu orang-orang dari suku, daerah dan agama yang berbeda-beda. Kesatuan tatanan normatif sudah tidak ada lagi. Kita berhadapan dengan sekian pandangan moral yang sering saling bertentangan dan semua mengajukan klaim mereka pada kita. Mana yang akan kita ikuti? Yang kita peroleh dari orang tua kita dulu? Moralitas tradisional desa? Moralitas yang ditawarkan melalui media massa? Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia. Situasi itu berlaku pada zaman sekarang juga, bahkan bagi kita masing-masing. Yang dipersoalkan bukan hanya apakah yang merupakan kewajiban saya dan apa yang tidak, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa yang harus dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma moral sendiri dipersoalkan. Misalnya dalam bidang etika seksual, hubungan anak dan orang tua, kewajiban terhadap negara, etika sopan santun dan pergaulan dan penilaian terhadap harga kenapa manusia terdapat pandangan-pandangan yang sangat berbeda satu sama lain. Untuk mencapai sesuatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral ini refleksi kritis etika diperlukan.

2) Kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan itu

terjadi di bahwa hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan kita, yaitu gelombang modernisasi. Tidak perlu kita mencoba untuk mendefinisikan disini apa yang dimaksud dengan modernisasi. Jelaslah bahwa modernisasi itu telah terasa sampai ke segala penjuru tanah air, sampai kepelosok-pelosok yang paling terpencil. Tidak ada dimensi kehidupan yang tidak terkena. Kehidupan dalam kota-kota kita sekarang lebih berbeda dari dari kota-kota seratus tahun yang lalu itu dari

7 Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Tentang Kode Etik Pegawai Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 6 tahun 2017, pasal 3 8 Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Tentang Kode Etik Pegawai Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 6 tahun 2017, pasal 2 9 Franz Magnis, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius Media, 1987), hlm. 15-16

Page 10: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

6

kota-kota seribu tahun sebelumnya. Bukan hanya karena seratus tahun lalu belum ada kendaraan bermotor, plastik, alat elektronika dan media massa, melainkan cara berpikir pun berubah secara amat radikal. Rasionalisme, individualisme, nasionalisme, sekularisme, materialisme, kepercayaan akan kemajuan, konsumerisme, pluralisme religius serta sistem pendidikan modern secara hakiki mengubah lingkungan budaya dan rohani di Indonesia. Dalam transformasi ekonomis, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi ini etika mau membantu agar kita jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan.

3) Ketiga, tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial budaya dan moral

yang kita alami ini dipergunakan oleh pelbagai pihak untuk memancing dalam air keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka sebagai obat penyelamat. Etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi itu dengan kritis dan objektif dan untuk membentuk penilaian sendiri, agar kita tidak perlu mudah terpancing. Etika membantu agar kita jangan naif atau ekstrem. Kita jangan cepat-cepat memeluk segala pandangan yang baru, tetapi juga jangan menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa.

4) Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang disatu pihak menemukan dasar

kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dan lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan pihak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.

2.1.4. Pengertian Moralitas

Kata “Moral” selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikan sebagai manusia. Norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. 10

Sedangkan sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas (Franz Magnis, 1987: 58). Moralitas adalah sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah (mengingat bahwa tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya dari sikap hati). Moralitas terdapat apabila orang mengambil sikap dan perbuatan baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari untung. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral.

Menurut Jeremy Bentham dalam Buku “Dasar-dasar Moralitas” karya Henry Hazlitt menyatakan bahwa Moralitas adalah seni untuk memaksimumkan kebahagiaan: moralitas memberi kode hukum yang dengan kode tersebut perilaku yang dianjurkan akibatnya akan, dengan mempertimbangkan seluruh eksistensi manusia, memberikan kuantitas kebahagiaan yang terbesar.11

Fungsi utama yang diemban moralitas secara umum adalah mereduksi konflik sosial dan untuk mengembangkan kerjasama sosial. Dan penting untuk diperhatikan dalam moralitas ini, yaitu peranan yang dimainkan oleh kesepakatan secara diam-diam.12 Moralitas juga berperan baik untuk mereduksi contohnya dalam Penegakan

Kode Etik sebagai standarisasi para pengawas dalam konteks pegawai:13 1) Pegawai yang melakukan Pelanggaran Kode Etik dikenakan sanksi moral 2) Sanksi moral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pernyataan secara

tertutup; atau b. pernyataan secara terbuka. 3) Pemberian sanksi moral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis

dan dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.

10 Franz Magnis, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius Media, 1987), hlm. 19 11 Henry Hazlitt, Dasar-dasar Moralitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1964), hlm. 22. 12 Henry Hazlitt, Dasar-dasar Moralitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1964), hlm. 235 13 Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Tentang Kode Etik Pegawai Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 6 tahun 2017, pasal 13

Page 11: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

7

4) Dalam pemberian sanksi moral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disebutkan jenis Pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Pegawai.

2.1.5. Prinsip-prinsip Moral Dasar

Terdapat tiga prinsip-prinsip moral dasar, yaitu : 14 1) Prinsip sikap baik

Kesadaran inti utilitarisme ialah bahwa kita hendaknya jangan merugikan siapa saja, jadi bahwa sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar hubungan dengan siapa saja adalah sikap yang positif dan baik. Prinsip utilitarisme, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita bagi siapa saja yang terkena olehnya memang hanya masuk akal, kalau sudah diandaikan bahwa kita, kecuali adalah alasan khusus, harus bersikap baik terhadap orang lain. Dengan demikian prinsip moral dasar pertama dapat kita sebut prinsip sikap baik. Prinsip itu mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. baru atas dasar tuntutan ini semua tuntutan moral lain masuk akal.

2) Prinsip keadilan

Bahwa keadilan tidak sama dengan sikap baik. Prinsip kebaikan hanya mengaskan agar kita bersikap baik baik terhadap siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas. Itu tidak hanya berlaku bagi benda-benda materil yang dibutuhkan orang: uang yang telah diberikan kepada seorang pengemis tidak dapat dibelanjakan bagi anak-anaknya sendiri; melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih: kemampuan untuk memberikan hati kita juga terbatas! Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan yang merupakan barang angka itu harus dibagi. Prinsip itu prinsip keadilan.

3) Prinsip hormat terhadap diri sendiri Prinsip ini bukan hal baru, melainkan sudah kita temukan dalam pembahasan etika pengembangan diri. Meskipun kita mengatakan bahwa pengembangan diri jangan sampai menjadi prinsip dasar moral satu-satunya karena akan menggagalkan tujuannya sendiri, namun bahwa kita secara moral wajib untuk mengembangkan diri, kita terima sebagai unsur hakiki dalam suatu etika yang utuh. Prinsip ketiga ini mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahkluk berakal budi, Sebagai itu manusia tidak pernah boleh dianggap sebagai sarana semata-mata demi suatu tujuan lebih lanjut. Ia adalah tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri, jadi nilainya bukan sekedar sebagai sarana untuk mencapai suatu maksud atau tujuan lebih jauh. Hal itu juga berlaku bagi kita sendiri. Maka manusia juga wajib untuk memperlakukan dirinya sendiri dengan hormat. Kita wajib menghormati martabat kita sendiri. Secara singkat dapat dikatakan bahwa prinsip keadilan dan hormat diri sendiri merupakan syarat pelaksanaan sikap baik, sedangkan prinsip sikap baik menjadi dasar mengapa seseorang bersedia bersikap adil.

2.1.6. Peran Etika dan Moralitas dalam Pengembangan Karakter Pengawas

Etika dan Moral Sebagai Perilaku Dalam Pembangunan Karakter Pengawas Menurut Encyclopaedia Britannica (Micropaedia III:976-977) dalam buku “Pembangunan Karakter Unggul”, Etika ialah cabang filsafat yang membahas makna moral yaitu tentang baik dan buruk, benar dan salah. Etika berpusat atas dua fungsi, yaitu: 1. Nilai-nilai yang melandasi etika, menganalisis makna dan kodrat norma moral

dan tindakan manusia, pikiran, bahasa, dan cara mendukung pertimbangan moral.

2. Norma etika untuk menilai tindakan dan cara dengan mengembangkan kriteria untuk menentukan baik dan buruk, benar dan salah.

14 Franz Magnis, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius Media, 1987), hlm. 129-135

Page 12: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

8

Berbagai pengertian tersebut di atas melihat etika dari berbagai sudut pandang seperti penekanan pada sifat dan peran, fungsi dan moral, tindakan atau aktivitas yang kesemuanya mengarah kepada karakter atau watak pengawas yang baik yang diperlukan dalam hidup bermasyarakat dan berkebangsaan yang sesuai dengan kepantasan dan tuntutan yang baik. 15

Dalam Islam, etika sebagai ilmu disebut “ilmu al-akhlaq”, dan sebagai pranata perilaku dinamakan akhlak. Menurut ajaran islam, ahklak adalah sistem perilaku yang terjadi melalui konsep atau perangkat pengertian bagaimana sebaiknya akhlak disusun oleh manusia dalam sistem ideanya (pahamnya). Sistem idea etika Islam adalah hasil penjabaran dari norma-norma yang timbul dari sistem nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dengan demikian, etika Islam diresmikan melalui wahyu ilahi maupun disusun oleh manusia sebagai kesimpulan dan tuntutan, yang terdapat dalam alam semesta ciptaan Allah SWT. (Kamal Mahmud, 1986:3-4)

Menurut Abdoel Fattah dalam bukunya Pembangunan Karakter Unggul, Pembangunan karakter memiliki sasaran yang baik dan kuat. Namun, yang tampak saat ini adalah tidak seperti yang diharapkan. Banyak perilaku dalam kehidupan bangsa ini yang bertentangan dengan karakter yang baik, seperti korup, tidak disiplin suka “menarabas” (jalan pintas), malas, tidak jujur, suka berbohong, mudah tersinggung dan mudah marah bahkan “garang”, mau menang sendiri, tidak ramah, tidak santun dan sebagainya.

Oleh karena itu, hal ini yang membedakan karakter pengawas sebagai pemantau pemilihan umum dengan tujuan yang sama dengan penyelenggara pemilu yaitu menyukseskan pemilihan yang berintegritas dan demokratis.

Dimana perlu diwujudkan sasaran karakter pada masa depan pengawas yaitu terbentuk karakter yang baik, yang positif, seperti integritas yang tinggi dan kuat, jujur, disiplin, proaktif, penuh semangat, mandiri, dan percaya diri, tekun dan pantang menyerah, patriotik, berkepribadian, rama dan santun, rendah hati kritis dan lugas. Integritas dan kejujuran akan membangun kepercayaan, yang hal ini sangat penting saat dalam interaksi dalam masyarakat, bangsa, maupun antar bangsa. Dimensi ini menyangkut moral dan etik yang tegak, suatu penampilan yang sesuai dengan rancangan Tuhan yang khaliq.16

Sebenarnya Etika dan Moral adalah aspek yang sudah dipertimbangkan dan di atur. Keduanya bagai mata koin yang tidak bisa dipisahkan termasuk dalam membangunan karakter pengawas. Semisal dalam penyeleksian pengawasan pemilu terdapat tiga aspek dalam penyeleksian pengawas. Aspek pertama pada kualitas etika, kedua pada Moral dan ketiga pada aspek intelektual. Menurutnya dari tiga aspek, tersebut adalah “kriteria wajib” dalam proses penyeleksian pengawas pemilu.

Etika dan Moralitas Berperan Pengembangan Karakter Pengawas Franz Magnis membincangkan tentang sikap-sikap moral. Menurutnya, tujuh

sikap yang perlu dikembangkan bila ingin memperoleh kekuatan moral, yaitu kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya benar. Sikap-sikap kepribadian moral yang kuat tersebut adalah kejujuran, nilai-nilai otentik, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, realistis, dan kritis.17

Dari perbincangan tersebut diatas, maka pengertian moralitas ialah norma atau standar tingkah laku manusia yang ditentukan secara subjektif atau objektif yang didasarkan atas pertimbangan benar atau salah, baik atau buruk. Kesadaran moral bertumpu pada budi nurani, hati nurani dan etika.

Fakta sesuai dilapangan bahwa pengawas sudah sering diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena permasalahan etika dan moral,

15 Abdoel Fatah, Pembangunan Karakter Unggul, (Jakarta: Arga, 2008), hlm. 19-20 16 Abdoel Fatah, Pembangunan Karakter Unggul, (Jakarta: Arga, 2008), hlm. 48-49 17 Abdoel Fatah, Pembangunan Karakter Unggul, (Jakarta: Arga, 2008), hlm. 16

Page 13: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

9

dan aspek intelektual tentunya. Maka dalam rangka mencapai tujuan pemilu yang berintegritas, komitmen yang kuat pada etika dan moralitas atau pada pendidikan nilai-nilai sertanya penerapannya, mutlak diperlukan sebagai modal dasar demi terciptanya pengawas yang memiliki integritas dalam proses berdemokrasi agar dapat dikembangkan dan diasah terus-menerus.

Proses: Durasi: 120 Menit.

No Langkah-langkah Waktu

1 Fasilitator membuka sessi dengan salam dan menyampaikan ke peserta topik bahasan sessi ini adalah Etika dan Moralitas yang akan disampaikan dalam waktu 120 menit.

5’

2 Selanjutnya fasilitator menjelaskan tujuan topik bahasan ini.

3 Secara singkat, fasilitator memperkenalkan narasumber yang akan mempresentasikan makalahnya berdasarkan biodata narasumber.

5’

4 Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk mempresentasikan makalahnya.

60’

5 Fasilitator membuka termin I untuk memberikan kesempatan kepada peserta bertanya atau menyampaikan sanggahan/pendapatnya.

10’

6 Fasilitator memberikan kesempatan kepada narasumber untuk menanggapai dan sanggahan (bila ada).

10’

7 Fasilitator membuka termin II untuk untuk memberikan kesempatan kepada peserta bertanya atau menyampaikan sanggahan/pendapatnya.

10’

8 Fasilitator memberikan kesempatan kepada narasumber untuk menanggapi dan sanggahan (bila ada).

20’

Page 14: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

10

TOPIK 3 : PENGAWASAN PEMILU DI INDONESIA

3.1. Pengertian Pengawasan Pemilu Pengertian pengawasan menurut Siagian menggambarkan pengawasan sebagai

“Proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.”18 Pendapat Siagian tersebut menitik beratkan pada tindakan pengawasan pada proses yang sedang berjalan atau dilaksanakan. Pengawasan tidak dilaksanakan pada akhir suatu kegiatan, justru pengawasan dilaksanakan dalam menilai dan mewarnai hasil yang akan dicapai oleh kegiatan yang sedang dilaksanakan tersebut.

Dalam teori pengawasan lainnya, Sarwoto menguraikan arti pengawasan sebagai berikut “Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki.”19 Definisi menurut Sarwoto tersebut menyatakan bahwa pengawasan merupakan proses pengamatan pada pekerjaan-pekerjaan yang dilaksanakan berjalan sesuai rencana yang berorientasi pada hasil yang harus dicapai.

Pengertian tentang pengawasan lainnya juga dinyatakan oleh George R. Terry yang dikutip Ir. Sujamto20 menyatakan sebagai berikut; “Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measure, if needed to result in keeping with the plan.” Dalam pengertiannya pengawasan menitik beratkan pada tindakan evaluasi serta koreksi terhadap hasil yang dicapai, dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana. Dengan demikian tindakan pengawasan itu tidak dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan, akan tetapi justru pada akhir suatu kegiatan setelah kegiatan tersebut menghasilkan sesuatu.

Menurut Hendry Fayol dalam Ir. Sujamto21 menyebutkan bahwa pengawasan atau kontrol : “Control consist in veryfiying wether everything accur in comformity with the plan asopted, the instruction issued and principles established. It has for object to point out weaknesses and errors in to recttivy then and prevent recurrance” Adapun maksud dari pengertian diatas adalah realitas bahwa hakikat merupakan suatu tindakan menilai (menguji) apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Melalui pengawasan tersebut akan dapat ditemukan kesalahan-kesalahan yang akhirnya kesalahan-kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki dan yang terpenting jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali.

Sementara itu Newman seperti dikutip Ir. Sujamto 22 berpendapat bahwa “ control is assurance that the perfomance conform to plan”. Ini berarti bahwa titik berat

pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Karena itu, pengawasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan.

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka pengawasan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas atau pekerjaan yang bertujuan untuk mencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya karena pengawasan tidak terkandung kegiatan yang bersifat korektif ataupun pengarahan.

Agar menjadi pemahaman yang lengkap tentang pengawasan pemilu maka perlu gambaran tentang apa yang dimaksud dengan pemilu. Pemilihan Umum (Pemilu) berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 1 Ayat (1) merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

18 Dr. S. P. Siagian, M.P.A. Filsafat Administrasi. Gunung Agung. Jakarta. 1970. Hal. 107 19 Drs. Sarwoto. Dasar-dasar Organisasi dan Manajemen. Ghalia. Jakarta. 1981. Hal. 93. 20 Ir. Sujamto. Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Cetakan ke-2. 1986. Hal. 17 21 Ir. Sujamto. Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Cetakan ke-2. 1986. Hal. 18 22 Ir. Sujamto. Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Cetakan ke-2. 1986. Hal. 18

Page 15: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

11

pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.23 Selanjutnya undang-undang mengatur bahwa Penyelenggaraan Pemilu adalah pelaksanaan tahapan pemilu yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu.24

Mengacu definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan pemilu merupakan sebuah kegiatan untuk menilai apakah proses pelaksanaan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berkjalan sesuai dengan rencana yang ditentukan sebelumnya.

3.2. Sejarah Pengawasan Pemilu Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, istilah pengawasan pemilu

sebenarnya baru muncul pada era 1980-an. Pada pelaksanaan Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada 1955 belum dikenal istilah pengawasan Pemilu. Pada era tersebut terbangun trust di seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu yang dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai Konstituante.

Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, tetapi dapat dikatakan sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan tahapannya, kalaupun ada gesekan terjadi di luar wilayah pelaksanaan Pemilu. Gesekan yang muncul merupakan suatu konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat itu. Hingga saat ini masih muncul keyakinan bahwa Pemilu 1955 merupakan Pemilu di Indonesia yang paling ideal.

Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Karena palanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas direspon pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan 'kualitas' Pemilu 1982. Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).

Pada era reformasi, tuntutan pembentukan penyelenggara Pemilu yang bersifat mandiri dan bebas dari kooptasi penguasa semakin menguat. Untuk itulah dibentuk sebuah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat independen yang diberi nama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi campur tangan penguasa dalam pelaksanaan Pemilu mengingat penyelenggara Pemilu sebelumnya, yakni LPU, merupakan bagian dari Kementerian Dalam Negeri (sebelumnya Departemen Dalam Negeri). Di sisi lain lembaga pengawas pemilu juga berubah nomenklatur dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).

Perubahan mendasar terkait dengan kelembagaan Pengawas Pemilu baru dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Menurut UU ini dalam pelaksanaan pengawasan Pemilu dibentuk sebuah lembaga adhoc terlepas dari struktur KPU yang terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan. Selanjutnya kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Adapun aparatur Bawaslu dalam pelaksanaan pengawasan berada sampai dengan tingkat kelurahan/desa dengan urutan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi,

23 Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 1 Ayat (1) 24 Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 1 Ayat (2)

Page 16: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

12

Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di tingkat kelurahan/desa. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, sebagian kewenangan dalam pembentukan Pengawas Pemilu merupakan kewenangan dari KPU. Namun selanjutnya berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, rekrutmen pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan dari Bawaslu. Kewenangan utama dari Pengawas Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 adalah untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu, serta kode etik.

Dinamika kelembagaan pengawas Pemilu ternyata masih berjalan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan kembali dengan dibentuknya lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat provinsi dengan nama Badan Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi). Selain itu pada bagian kesekretariatan Bawaslu juga didukung oleh unit kesekretariatan eselon I dengan nomenklatur Sekretariat Jenderal Bawaslu. Selain itu pada konteks kewenangan, selain kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Bawaslu berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 juga memiliki kewenangan untuk menangani sengketa Pemilu.

3.3. Metode Pengawasan Pemilu

Pengawasan Pemiu merupakan rangkaian kegiatan untuk memastikan apakah tahapan-tahapan pemilu berjalan sesuai dengan yang ditetapkan. Kegiatan pengawasan pemilu merujuk pada fungsi dibentuknya Badan Pengawas Pemiluyang tercermin melalui tugas dan kewajiban serta wewenangnya. Dalam melakukan pengawasan pemilu, Bawaslu tidak hanya bekerja pada saat pemilu terlaksana tetapi sejak mulai dari persiapan penyelenggaran pemilu. Terkait peaksanaan pengawaan pemilu maka diperlukan metode atau strategi bagaimana kegiatan pengawasan tersebut dilakukan. Berikut adalah metode atau cara atau strategi pengawasan pemilu yang dilaksanakan oleh Bawaslu : 1. Pengawasan Pra Pemilu

a. Pemetaan potensi rawan penlanggaran pra Pemilu Pemetaan potensi rawan pelanggaran dilakukan dengan menidentifikasi dan memetakan potensi rawan pelanggaran pada setiap tahapan pemilu dan aspek-aspek penting lainnya yang tidak termasuk tahapan Pemilu. Wilayah pengawasan dilakukan dengan mempertimbangkan tinggi rendahnya tingkat kerawanan dan besarnya potensi pelanggaran di wilayah tertentu berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya.

b. Tindakan pencegahan pada wilayah potensi rawan pelanggaran

Tindak pencegahan dapat dilakukan melalui penguatan koordinasi antar lembaga seperti MoU Bawaslu dengan pihak-pihak terkait.

Peningkatan tranparansi dan akuntabilitas pelaksanaan Pemilu, melakukan sosialisasi ke tempat-tempat yang tinggi potensi terjadinya pelanggaran Pemilu

melakukan kegiatan-kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan dilakukannya hal tersebut, berarti pengawas Pemilu sudah membuat rencana untuk fokus pengawasannya

Memperkuat kordinasi dan kerjasama antar lembaga, merupakan langkah penting untuk menyatukan persepsi bersama bahwa Pemilu yang bersih bebas pelanggaran merupakan kepentingan bersama dalam rangka memperkuat demokrasi di Indonesia.

c. Pengawasan terhadap pelaksanaan tahapan pra pemilu Pada bagian ini pengawasan idakukan pada tahapan pemilu sebagai berikut :

Pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih;

Pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu;

Penetapan Peserta Pemilu;

Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;

Page 17: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

13

Masa kampanye Pemilu;25 2. Pengawasan Pelaksanaan Pemilu Pada tahapan ini, titik fokusnya pengawasan dilakukan pada daerah tahapan

Pemilu yang rawan terjadi pelanggaran saat pesta demokrasi berlangsung. Tahapan rawan dalam konteks ini, adalah saat kampanye dan pungut hitung suara. Selanjutnya, pengawasan dilakukan pada pasca Pemilu. Artinya, pengawasan dilakukan dalam bentuk evaluasi, pengembangan dan juga dapat mengawasi terjadinya sengketa perolehan suara.

3. Pengawasan Pasca Pemilu Setelah dilakukan pengawasan dengan berbagai cara mekanisme pencegahan

pelanggaran Pemilu, Bawaslu juga punya wewenang untuk menindak lanjuti temuan dan laporan dugaan pelanggaran Pemilu yang sudah diatur dalam Peraturan Bawaslu No.13 Tahun 2017 tentang fokus penindakan. Ketika temuan dan laporan dugaan pelanggaran Pemilu sudah ditindaklanjuti, maka pengawas Pemilu menyampaikan temuan atau laporan dugaan pelanggaran kepada pihak atau instansi yang berwenanng.

3.4. Pengawasan Partispatif

Pengawasan partisipatif mengacu pada pemahaman tentang partisiapasi politik. Partisipasi politik itu sendiri adalah “ bagaimana keterlibatan masyarakat atau rakyat banyak dalam kegiatan-kegiatan politik.”26 Kegiatan-kegiatan politik bisa dibagi menjadi 2 (dua) jenis; a) kegiatan-kegiatan politik yang bersifat menimbulkan gugatan/tuntutan terhadap sistem politik atau pemerintah, dan b) kegiatan-kegiatan politik yang berupa kegiatan mendukung gagasan-gagasan dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh sistem pemerintah. 27

Dalam konteks pengawasan pemilu partispatif jelas bahwa masyarakat atau kelompok masyarakat terlibat dalam kegiatan politik. Masyarakat atau kelompok yang terlibat didalamya bisa mendukung maupun kemudian menjadi pengggat proses dan hasil pemilu.

3.4.1. Urgensi Pengawasan Partisipatif Pada prinsipnya, urgensi pengawasan partisipatif yang dilakukan masyarakat

berfungsi untuk memperkuat kapasitas dan kualitas pengawasan, baik pilkada maupun pemilu sehingga mendorong perluasan wilayah pengawasan. Dengan peningkatan jumlah penduduk, daerah pemilihan, dan jumlah kursi, seharusnya juga berimbang pada peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam melakukan pengawasan.

Pada prinsip pengawasan partisipatif yang digaungkan pengawas pemilu adalah masyarakat tidak hanya berperan pada peningkatan persentase kehadiran saat pencoblosan saja, tetapi lebih mengarah pada pengawalan proses pemilihan sejak awal. Pengawas pemilu berupaya membangun sinergi dengan para stakeholder (tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, ormas, mahasiswa, dan pemilih pemula), ter-masuk mendorong kesadaran masyarakat untuk bersama mengawasi segenap proses yang ada, minimal menjadi informan awal bagi pengawas pemilu.

3.4.2. Wujud Peningkatan Pengawasan Partisipatif Salah satu tugas pencegahan pelanggaran dan sengketa Pemilu sebagaimana

amanat Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu maka Bawaslu mewujudkannya dengan membentuk sebuah wadah Pusat Partisipasi Masyarakat. Wujud Pusat Partisipasi Masyarakat tersebut adalah : a. Pengawasan Berbasis Teknologi Informasi (Gowaslu)28

Gowaslu adalah portal bersama yang dapat menghubungkan jajaran pengawas (yang mempunyai kewenangan pengawasan dan menerima informasi awal dugaan pelanggaran) dengan metode yang dapat dengan mudah dan cepat dijangkau oleh pemantau dan masyarakat pemilih.

b. Pengelolaan Media Sosial29

25 Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pelaksanaan Pemilu Tahun 2019 26 Yoyoh Rohaniah an Efriza, Sistem Politik Indonesia, (Jawa Timur : Intrans Publising), hal. 280 27 Yoyoh Rohaniah an Efriza, Sistem Politik Indonesia, (Jawa Timur : Intrans Publising), hal. 280 28 Bawaslu, Panduan Pusat Pengawasan Partisipatif

Page 18: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

14

Pengelolaan media sosial adalah pengelolaan media sebagai media sosialisasi dan transfer pengetahuan dan keterampilan pengawasan Pemilu dari pengawas Pemilu kepada masyarakat untuk mendorong pelibatan masyarakat dalam pengawasan Pemilu

c. Forum Warga Pengawasan Pemilu30 Forum Warga sebagai salah satu model dalam meningkatan pengawasan partisipasi masyarakat untuk mengawal penyelenggaraan pemilu adalah wujud pelaksanaan peraturan undang-undangan. Melalui pendidikan pengawasan Pemilu, diharapkan forum warga memiliki karakter sebagai pengawas Pemilu.

d. Gerakan Pengawas Pemilu Partisipatif31 Gerakan Pengawas Partisipatif Pemilu merupakan upaya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang kepemiluan dan meningkatkan partisipasi politik dalam semua segmen pemilih. Pengorganisasi gerakan pegawas partisipatif silakukan oleh Bawaslu dengan menyertakan semua stakeholders kepemiluan.

e. Pengabdian Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu32 Program pengabdian kepada masyarakat merupakan salah satu bagian dari kurikulum mahasiswa program pendidikan S-1. Program ini bersifat wajib dilaksanakan oleh mahasiswa, dengan berlandaskan pada prinsip prinsip: kompetensi akademik, jiwa kewirausahaan (entrepreneurship), dan profesional, sehingga dapat menghasilkan program pengabdian kepada masyarakat yang bermutu, relevan, dan sinergis dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat.

f. Pojok Pengawasan 33 Pojok Pengawasan adalah pusat pengembangan ilmu dan pengetahuan mengenai demokrasi dan pengawasan pemilu. Manfaat tersebut bukan hanya diberikan bagi publik awam saja, namun juga penggiat dan pemantau pemilu, bagi para pemangku kepentingan pemilu dan pengawasan pemilu, terlebih bagi pengawas pemilu itu sendiri.

g. Panduan Saka Adhyasta Pemilu34 Satuan Karya Pramuka Adhyasta Pemilu disingkat Saka Adhyasta Pemilu adalah satuan karya Pramuka yang merupakan wadah kegiatan keadhyastaan (pengawalan) Pemilu untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan praktis dalam bidang pencegahan dan pengawasan pemilu guna menumbuhkan kesadaran berperan serta dalam pengawasan pemilu.

3.5. Kerawanan Pemilu 3.5.1. Definisi Kerawanan Pemilu

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “rawan” mengandung arti mudah menimbulkan gangguan keamanan atau bahaya;gawat. Dalam kerawanan pemilu maka dimaknai sebagai “Segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses Pemilu yang demokratis”.35

3.5.2. Indeks Kerawanan Pemilu (IKP)36 Kebutuhan akan data, analisis dan rekomendasi sebagai bahan menyusun strategi pencegahan pelanggaran pemilu maka diperlukan penyusunan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). Yang diharapkan dari penyusunan IKP adalah dapat menjadi : a. Alat pemetaan, pengukuran potensi, prediksi, dan deteksi dini untuk menentukan

wilayah – wilayah prioritas yang diidentifikasi sebagai wilayah rawan dalam proses pemilu demokratis

b. Alat untuk mengetahui dan mengindentifikasi ciri, karakteristik, dan kategori kerawanan dari berbagai wilayah yang akan melangsungkan Pemilu.

c. Sumber data rujukan, informasi, dan pengetahuan serta rekomendasi dalam mengambil keputusan. Hal ini terutama untuk langkah – langkah antisipasi terhadap berbagai hal yang dapat menghambat dan mengganggu proses Pemilu di berbagai daerah di Indonesia.

29 Bawaslu, Panduan Pusat Pengawasan Partisipatif 30 Bawaslu, Panduan Pusat Pengawasan Partisipatif 31 Bawaslu, Panduan Gerakan Pengawas Pemilu Partisipatif 32 Bawaslu, Panduan Pusat Pengawasan Partisipatif 33 Bawaslu, Panduan Pojok Pengawasan 34 Bawaslu, Panduan Pembentukan Saka Adhyasta Pemilu 35 Bawaslu, Indeks Kerawanan Pemilu Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018, Jakarta, 2018. Hal 7 36 Ibid

Page 19: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

15

3.5.3. Operasionalisasi Kerawanan Pemilu Operasionalisasi Kerawanan Pemilu terdiri dari tiga dimensi, 10 variabel, dan 30 indikator yang masing – masing memiliki bobot kontribusi yang berbeda. a. Dimensi 1 : Penyelenggaraan

1) Integritas Penyelenggara (variabel 1) a) Netralitas Penyelenggara (indikator 1) b) Kasus hukum yang pernah dilakukan oleh penyelenggara pemilu

(indikator 2) 2) Profesionalitas Penyelenggara (variabel 2)

a) Ketegasan penyelenggara dalam pelaksanaan tahapan (indikator3) b) Penyalahgunaan wewenang penyelenggara (indikator 4) c) Penganggaran untuk penyelenggara pemilu (indikator 5) d) Kualitas daftar pemilih (indikator 6) e) Penyediaan akses di TPS bagi pemilih berkebutuhan khusus (indikator 7)

3) Kekerasan terhadap Penyelenggara (variabel 3) a) Perusakan terhadap fasilitas penyelenggara (indikator 8) b) Kekerasan fisik terhadap penyelenggara (indikator 9) c) Intimidasi terhadap penyelenggara (indikator 10)

b. Dimensi 2 : Kontestasi

1) Pencalonan (variabel 4) a) Dukungan untuk calon perseorangan (indikator 11) b) Dukungan ganda dalam pencalonan oleh partai politik (indikator 12) c) Penetapan pasangan calon (indikator 13) d) Identifikasi petahana yang mencalonkan diri (indikator 14) e) Identifikasi sengketa pencalonan (indikator 15)

2) Kampanye (variabel 5) a) Substansi materi kampanye dalam berbagai bentuk dan media (indikator

16) b) Pelaporan/peristiwa praktik politik uang (indikator 17) c) Penggunaan fasilitas negara dalam kampanye (indikator 18)

3) Kontestan (variabel 6) a) Kepengurusan ganda partai politik (indikator 19) b) Konflik antar peserta (kandidat, tim sukses, pendukung) (indikator20)

4) Kekerabatan (variabel 7) a) Identifikasi hubungan keluarga/kekerabatan calon (indikator 21)

c. Dimensi 3 : Partisipasi

1) Hak Pilih (variabel 8) a) Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (indikator 22) b) Pemilih yang menggunakan hak pilih tetapi tidak terdaftar di DPT

(indikator 23) c) Pemilih yang hendak memilih tetapi tidak dapat menggunakan hak

pilihnya (indikator 24) 2) Karakteristik Lokal (variabel 9)

a) Tantangan geografis (indikator 25) b) Pengaruh pemuka agama/adat (indikator 26)

3) Pengawasan/kontrol masyarakat (variabel 10) a) Keberadaan pemantau pemilu (CSO, NGO, Ormas) (indikator 27) b) Partisipasi kelompok disabilitas (indikator 28) c) Jumlah laporan pelanggaran dan pemantauan oleh warga negara

(indikator 29) d) Kekerasan terhadap pemilih (indikator 30)

Page 20: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

16

TOPIK 4. PENEGAKAN HUKUM PEMILU

4.1. Desain Penegakan Hukum Pemilu 4.1.1. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep -konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai - nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.37

Lanjut menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, antara lain sebagai berikut: 1. Faktor hukumnya sendiri yakni undang-undang; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan

hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukut daripada efektivitas penegakan hukum.

4.1.2. Standar Internasional Pemilu Demokratis

Terdapat sejumlah standar yang dikenal secara internasional sebagai tolok ukur demokratis tidaknya sebuah pemilu. Standar internasional ini menjadi syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin pemilu yang demokratis. 38Sumber – sumber utama dari standar internasional pemilu yang demokratis adalah berbagai deklarasi dan konvensi Internasional maupun regional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Perjanjian Internasional tentang Hak – Hak Sipil dan Politik 1960, Konvensi Eropa 1950 untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi dan juga Piagam Afrika 1981 tentang Hak Asasi Manusia dan Masyarakat.

Dari dokumen – dokumen tersebut maka terumuskan 15 aspek pemilu demokratis yaitu penyusunan kerangka hukum; pemilihan sistem pemilu; penetapan daerah pemilihan; hak untuk memilih dan dipilih; badan penyelenggara pemilu; pendaftaran pemilih dan daftar pemilih; akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat; kampanye pemilu yang demokratis; akses ke media dan kebebasan berekspresi; pembiayaan dan pengeluaran; pemungutan suara; perhitungan dan rekapitulasi suara; peranan wakil partai dan kandidat; pemantauan pemilu; kepatuhan terhadap hukum; dan penegakan peraturan pemilu39. Untuk menjamin adanya pemilu yang demokratis, ke-15 aspek tersebut harus dicantumkan dan diperjelas dalam kerangka hukum pemilu (yang merupakan aspek pertama).

4.1.3. Standar Internasional Penegakan Hukum Pemilu

Kerangka hukum harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk penegakan hak pilih karena hak memberikan suara merupakan hak asasi manusia. Karena itu, penyelesaian hukum terhadap pelanggaran hak memberikan suara juga merupakan hak asasi manusia. Kerangka hukum pemilu harus menetapkan ketentuan-ketentuan terperinci dan memadai untuk melindungi hak pilih. Kerangka

37 Soerjono Soekanto, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, 2008 hal. 5 38 Internasional IDEA, Standar-standar Internasional Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Jakarta: International IDEA, 2004. 39 Ibid

Page 21: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

17

hukum harus menetapkan bahwa setiap pemilih, kandidat, dan partai berhak mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yang berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran atas hak pilih.

Undang-undang pemilu mengharuskan lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yang berwenang untuk segera memberikan keputusan guna mencegah hilangnya hak pilih pihak korban. Undang-undang itu harus menetapkan hak untuk mengajukan banding. Keputusan dari pengadilan pada tingkat tertinggi harus diberikan sesegera mungkin. Kerangka hukum harus mengatur berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertimbangkan dan memutuskan suatu pengaduan. Waktu penyampaian keputusan tersebut kepada pihak yang mengajukan pengaduan juga harus ditetapkan. Beberapa pengaduan dapat diputuskan dengan segera, yang lainnya memerlukan waktu beberapa jam, dan yang lainnya memerlukan beberapa hari. Oleh karena itu, batas waktu harus memungkinkan adanya keleluasaan dengan mempertimbangkan tingkatan dari lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan serta seberapa berat pengaduan tersebut.

Juga patut dipertimbangkan bilamana keputusan itu sangat mendesak dalam pemilu. Penyelesaian segera seringkali dapat mencegah eskalasi masalah kecil menjadi masalah besar. Akan tetapi ada beberapa jenis perselisihan tertentu yang hanya dapat diajukan setelah selesainya proses pemilu. Untuk memastikan terjaminnya prinsip-prinsip penegakan hukum internasional ini, International IDEA mengajukan empat daftar periksa terhadap materi kerangka hukum yang akan mengatur penyelenggaraan pemilu : 1. Apakah peraturan perundangan pemilu mengatur mekanisme dan penyelesaian

hukum yang efektif untuk keperluan penegakan hukum pemilu? 2. Apakah peraturan perundang-undangan pemilu secara jelas menyatakan siapa

yang dapat mengajukan pengaduan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan pemilu? Apakah juga dijelaskan proses untuk pengajuan pengaduan tersebut?

3. Apakah peraturan perundang-undangan pemilu mengatur hak pengajuan banding atas keputusan lembaga penyelenggara pemilu ke pengadilan yang berwenang?

Apakah peraturan perundang-undangan pemilu mengatur batas waktu pengajuan, pemeriksaan, dan penentuan penyelesaian hukum atas pengaduan?40

4.1.4. Regulasi Hukum Pemilu

Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) atau biasa disebut UU Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182) ini disahkan pada pada 15 Agustus 2017 dan diundangkan pada tanggal 16 Agustus 2017.

Undang – undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah dibentuk dengan dasar menyederhanakan dan menyelaraskan serta menggabungkan pengaturan pemilu yang termuat dalam tiga Undang – undang , yaitu Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang – undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terdiri atas :

a. Batang Tubuh: 317 halaman dan berisi 573 pasal; Buku Kesatu : Ketentuan Umum Bab I : Pengertian Istilah (Pasal 1) Bab II : Asas, Prinsip dan Tujuan (Pasal 2 s/d Pasal 5) Buku Kedua : Penyelenggara Pemilu Bab I : KPU (Pasal 6 s/d Pasal 88) Bab II : Pengawas Pemilu (Pasal 89 s/d Pasal 154) Bab III : DKPP (Pasal 155 s/d Pasal 166)

40 International IDEA, Standar-standar Internasional Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Jakarta: International IDEA, 2004, hal 103.

Page 22: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

18

Buku Ketiga : Pelaksanaan Pemilu Bab I : Umum (Pasal 167 s/d Pasal 168) Bab II : Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu (Pasal 169 s/d Pasal 184) Bab III : Jumlah Kursi dan daerah Pemilihan (Pasal 185 s/d Pasal 197) Bab IV : Hak Memilih (Pasal 198 s/d Pasal 200) Bab V : Penyusunan Daftar Pemilih (Pasal 201 s/d Pasal 220) Bab VI : Pengusulan Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 221 s/d Pasal 266) Bab VII : Kampanye Pemilu (Pasal 267 s/d Pasal 339) Bab VIII : Pemungutan Suara (Pasal 340 s/d Pasal 371) Bab IX : Pemungutan Suara Ulang, Penghitungan Suara Ulang, dan Rekapitulasi Suara Ulang (Pasal 372 s/d Pasal 380) Bab X : Penghitungan Suara (Pasal 381 s/d 410) Bab XI : Penetapan Hasil Pemilu (Pasal 411 s/d Pasal 415) Bab XII : Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih dan Penetapan Pasangan Calon Terpilih (Pasal 416 s/d Pasal 426) Bab XIII : Pelantikan dan Pengucapan Sumpah/Janji (Pasal 427 s/d Pasal 430) Bab XIV : Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan (Pasal 431 s/d Pasal 433) Bab XV : Peran Pemerintah dan Pemerintah daerah (Pasal 434) Bab XVI : Pemantau Pemilu (Pasal 435 s/d Pasal 447) Bab XVII : Partisipasi Masyarakat (Pasal 448 s/d Pasal 450) Bab XVIII : Pendanaan (Pasal 451 s/d Pasal 453) Buku Keempat : Pelanggaran Pemilu, Sengketa Proses Pemilu, dan Perselisihan Hasil Pemilu Bab I : Pelanggaran Pemilu (Pasal 454 s/d Pasal 465) Bab II : Sengketa Proses Pemilu (Pasal 466 s/d Pasal 472) Bab III : Perselisihan Hasil Pemilu (Pasal 473 s/d 475) Buku Kelima : Tindak Pidana Pemilu Bab I : Penanganan Tindak Pidana Pemilu (Pasal 476 s/d 487) Bab II : Ketentuan Pidana Pemilu (Pasal 488 s/d Pasal Pasal 554) Buku Keenam : Penutup Bab I : Ketentuan Lain – Lain (Pasal 555 s/d Pasal 558) Bab II : Ketentuan Peralihan (Pasal 559 s/d Pasal 568) Bab III : Ketentuan Penutup (Pasal 569 s/d Pasal 573)

b. Lampiran I: Tentang Jumlah Anggota KPU Provinsi dan Jumlah Anggota KPU Kabupaten/Kota;

c. Lampiran II: Tentang Tentang Jumlah Anggota Bawaslu Provinsi dan Jumlah Anggota KPU Kabupaten/Kota;

d. Lampiran III: Tentang Daerah Pemilihan Anggota DPR-RI;

e. Lampiran IV: Tentang Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi; dan

f. Penjelasan.

Asas, prinsip dan tujuan dari Undang – undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sebagai berikut : a. Bahwa Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia,

Jujur dan Adil. b. Bahwa dalam menyelenggarakan Pemilu, Penyelenggara Pemilu harus

melaksanakan Pemilu berdasarkan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip Mandiri, Jujur, Adil, Berkepastian Hukum, Tertib, Terbuka, Proporsional, Profesional, Akuntabel, Efektif dan Efisien.

c. Bahwa pengaturan penyelenggaraan Pemilu bertujuan untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu, memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan Pemilu; serta mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.

Page 23: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

19

Terdapat 4 jenis masalah hukum Pemilu yang diatur dalam Undang – undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yaitu : a. Pelanggaran Pemilu diantaranya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu,

pelanggaran administratif Pemilu dan pelanggaran terhadap peraturan perundang – undangan lainnya yang bukan pelanggaran pemilu, bukan sengketa Pemilu dan bukan Tindak Pidana Pemilu

b. Sengketa Proses Pemilu dengan penyelesaian di Bawaslu dan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

c. Perselisihan Hasil Pemilu; dan d. Tindak Pidana Pemilu

4.1.5. Kedudukan Bawaslu dalam Penegakan Hukum Pemilu

Dalam Undang – undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Bawaslu merupakan lembaga yang diberikan mandat sebagai Pengawas Pemilu. Bawaslu terdiri dari Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN dan Pengawas TPS yang bersifat hirarkis. 1. Tugas – tugas Bawaslu sebagai berikut :

a. Menyusun standar tata laksana pengawasan Penyelenggaraan Pemilu untuk pengawas Pemilu di setiap tingkatan;

b. Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu;

c. Mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas : 1. Perencanaan dan penetapan jadwal tahapan Pemilu 2. Perencanaan pengadaan logistik oleh KPU 3. Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu; dan 4. Pelaksanaan persiapan lainnya dalam Penyelenggaraan Pemilu sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang - undangan d. Mengawasi pelaksanaan tahapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas :

1. Pemutakhiran data pemilih dan penetapan daftar pemilih sementara serta daftar pemilih tetap;

2. Penataan dan penetapan daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota; 3. Penetapan Peserta Pemilu; 4. Pencalonan sampai dengan penetapan Pasangan Calon, calon anggota

DPR, calon anggota DPD, dan calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

5. Pelaksanaan kampanye dan dana kampanye; 6. Pengadaan logistik Pemilu dan pendistribusiannya; 7. Pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu di

TPS; 8. Pergerakan surat suara, berita acara penghitungan suara, dan sertifikat hasil

penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke PPK; 9. Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK, KPU

Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU; 10. Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan,

dan Pemilu susulan; dan 11. Penetapan Hasil Pemilu

e. Mencegah terjadinya praktik politik uang; f. Mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara nasional

Indonesia, dan netralitas Anggota Kepolisian Republik Indonesia; g. Mengawasi pelaksanaan putusan /keputusan, yang terdiri atas :

1. Putusan DKPP 2. Putusan Pengadilan mengenai pelanggaran dan sengketa pemilu; 3. Putusan/Keputusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu

Kabupaten/Kota 4. Keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota; dan 5. Keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas aparatur

sipil negara, netralitas anggota Tentara nasional Indonesia, dan netralitas Anggota Kepolisian Republik Indonesia

h. Menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu kepada DKPP;

i. Menyampaikan dugaan tindak pidana pemilu kepada Gakkumdu;

Page 24: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

20

j. Mengelola, memelihara dan merawat arsip serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan;

k. Mengevaluasi pelaksanaan Pemilu; l. Mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU; dan m. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -

undangan a) Dalam hal pencegahan pelanggaran pemilu dan pencegahan sengketa

proses Pemilu, Bawaslu bertugas : a. Mengidentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran

Pemilu; b. Mengoordinasikan, menyupervisi, membimbing, memantau, dan

mengevaluasi Penyelenggaraan Pemilu; c. Berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan d. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu.

b) Dalam melakukan penindakan pelanggaran Pemilu, Bawaslu bertugas : a. Menerima, memeriksa dan mengkaji dugaan pelanggaran Pemilu; b. Menginvestigasi dugaan pelanggaran Pemilu; c. Menentukan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu, dugaan

pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, dan/atau dugaan tindak pidana Pemilu; dan

d. Memutus pelanggaran administrasi Pemilu. c) Dalam melakukan penindakan sengketa proses Pemilu, Bawaslu bertugas :

a. Menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu; b. Memverifikasi secara formal dan materiel permohonan penyelesaian

sengketa proses Pemilu; c. Melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa; d. Melakukan proses adjudikasi sengketa proses Pemilu; dan e. Memutus penyelesaian sengketa proses pemilu.

d) Kewenangan Bawaslu sebagai berikut : a. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan

adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pemilu;

b. Memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu; c. Memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang; d. Menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus

penyelesaian sengketa proses Pemilu; e. Merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan mengenai hasil

pengawasan terhadap netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara nasional Indonesia, dan netralitas Anggota Kepolisian Republik Indonesia;

f. Mengambil alih sementara tugas, wewenang, dan kewajiban Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota secara berjenjang jika Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota berhalangan sementara akibat dikenai sanksi atau akibat lainnya sesuai dengan ketentuan perundang – undangan;

g. Meminta bahan keterangan yang dibutuhkan kepada pihak terkait dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dugaan tindak pidana Pemilu, dan sengketa proses Pemilu;

h. Mengoreksi putusan dan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota apabila terdapat hal yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang - undangan;

i. Membentuk Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu LN;

j. Mengangkat, membina, dan memberhentikan anggota Bawaslu Provinsi, anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, dan anggota Panwaslu LN; dan

k. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

e) Kewajiban Bawaslu sebagai berikut : a. Bersikap adil dalam menjalankan tugas dan wewenang.

Page 25: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

21

b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pengawas Pemilu pada semua tingkatan;

c. Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden dan DPR sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan

d. Mengawasi pemutakhiran dan pemeliharaan data pemilih secara berkelanjutan yang dilakukan oleh KPU dengan memperhatikan data kependudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan; dan

e. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

4.2. Jenis Dan Bentuk Pelanggaran Pemilu 4.2.1. Jenis Pelanggaran Pemilu

Dalam Undang – undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terdapat tiga jenis pelanggaran pemilu yaitu : 1. Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu

Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu merupakan pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu dan diselesaikan oleh DKPP.

2. Pelanggaran administratif pemilu Pelanggaran Administratif Pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.

3. Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam Undang – undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

4.2.2. Asal Pelanggaran Pemilu Pelanggaran Pemilu berasal dari temuan pelanggaran pemilu dan laporan pelanggaran pemilu dimana temuan pelanggaran pemilu merupakan hasil pengawasan aktif Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS pada setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu sedangkan Laporan pelanggaran Pemilu merupakan Laporan langsung Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, Peserta Pemilu, dan pemantau Pemilu kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan/atau Pengawas TPS pada setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu.

4.2.3. Bentuk Pelanggaran Pemilu

1. Bentuk Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu41 a. Tidak melaksanakan prinsip Mandiri

a) Tidak netral atau memihak terhadap partai politik, calon, pasangan calon, dan/atau peserta Pemilu;

b) Menerima segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas dan mau diintervensi pihak lain;

c) Mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses Pemilu;

d) Mempengaruhi atau melakukan komunikasi yang bersifat partisan dengan peserta Pemilu, tim kampanye dan pemilih;

e) Memakai, membawa, atau mengenakan simbol, lambang atau atribut yang secara jelas menunjukkan sikap partisan pada partai politik atau peserta Pemilu tertentu;

f) Memberitahukan pilihan politiknya secara terbuka dan menanyakan pilihan politik kepada orang lain;

g) Menerima pemberian dalam bentuk apapun dari peserta Pemilu, calon peserta Pemilu, perusahaan atau individu yang dapat menimbulkan keuntungan dari keputusan lembaga Penyelenggara Pemilu;

41 Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 8 – Pasal 20

Page 26: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

22

h) Menerima uang, barang, dan/atau jasa, janji atau pemberian lainnya dalam kegiatan tertentu secara langsung maupun tidak langsung dari peserta Pemilu, calon anggota DPR, DPD, DPRD, dan tim kampanye

i) Menerima uang, barang, dan/atau jasa atau pemberian lainnya secara langsung maupun tidak langsung dari perseorangan atau lembaga yang bukan peserta Pemilu dan tim kampanye yang bertentangan dengan asas kepatutan dan melebihi batas maksimum yang diperbolehkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;

j) Menggunakan pengaruh atau kewenangan bersangkutan untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, penghargaan, dan pinjaman atau bantuan apapun dari pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan Pemilu;

k) Tidak menyatakan secara terbuka dalam rapat apabila memiliki hubungan keluarga atau sanak saudara dengan calon, peserta Pemilu, dan tim kampanye;

l) Melakukan pertemuan yang dapat menimbulkan kesan publik adanya pemihakan dengan peserta Pemilu tertentu.

b. Tidak melaksanakan Prinsip Jujur a) Tidak menyampaikan seluruh informasi yang disampaikan kepada publik

dengan benar berdasarkan data dan/atau fakta; dan b) Tidak memberitahu kepada publik mengenai bagian tertentu dari informasi

yang belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan berupa informasi sementara.

c. Tidak melaksanakan Prinsip Adil a) Tidak memperlakukan secara sama setiap calon, peserta Pemilu, calon

pemilih, dan pihak lain yang terlibat dalam proses Pemilu; b) Tidak memberitahukan kepada seseorang atau peserta Pemilu selengkap

dan secermat mungkin akan dugaan yang diajukan atau keputusan yang dikenakannya;

c) Tidak menjamin kesempatan yang sama bagi pelapor atau terlapor dalam rangka penyelesaian pelanggaran atau sengketa yang dihadapinya sebelum diterbitkan putusan atau keputusan; dan

d) Tidak mendengarkan semua pihak yang berkepentingan dengan kasus yang terjadi dan mempertimbangkan semua alasan yang diajukan secara adil.

d. Tidak melaksanakan Prinsip Berkepastian Hukum a) Tidak melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang

secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan; b) Tidak melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang

sesuai dengan yurisdiksinya; c) Tidak melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu, dan

tidak menaati prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; dan d.

d) Tidak menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pemilu sepenuhnya diterapkan secara adil dan tidak berpihak.

e. Tidak melaksanakan Prinsip Tertib a) Tidak menjaga dan memelihara tertib sosial dalam penyelenggaraan

Pemilu; b) Tidak mengindahkan norma dalam penyelenggaraan Pemilu; c) Tidak menghormati kebhinnekaan masyarakat Indonesia; d) Tidak memastikan informasi yang dikumpulkan, disusun, dan

disebarluaskan dengan cara sistematis, jelas, dan akurat; dan e) Tidak memberikan informasi mengenai Pemilu kepada publik secara

lengkap, periodik dan dapat dipertanggungjawabkan. f. Tidak melaksanakan Prinsip Terbuka

a) Tidak memberikan akses dan pelayanan yang mudah kepada publik untuk mendapatkan informasi dan data yang berkaitan dengan keputusan yang telah diambil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b) Tidak menata data dan dokumen untuk memberi pelayanan informasi publik secara efektif;

Page 27: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

23

c) Tidak memberikan respon secara arif dan bijaksana terhadap kritik dan pertanyaan publik.

g. Tidak melaksanakan Prinsip Proporsional a) Tidak mengumumkan adanya hubungan atau keterkaitan pribadi yang

dapat menimbulkan situasi konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas Penyelenggara Pemilu;

b) Tidak menjamin tidak adanya penyelenggara Pemilu yang menjadi penentu keputusan yang menyangkut kepentingan sendiri secara langsung maupun tidak langsung;

c) Terlibat dalam setiap bentuk kegiatan resmi maupun tidak resmi yang dapat menimbulkan konflik kepentingan; dan

d) Tidak menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil rapat yang dinyatakan sebagai rahasia sampai batas waktu yang telah ditentukan atau sampai masalah tersebut sudah dinyatakan untuk umum sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

h. Tidak melaksanakan Prinsip Profesional a) Tidak memelihara dan tidak menjaga kehormatan lembaga Penyelenggara

Pemilu; b) Tidak menjalankan tugas sesuai visi, misi, tujuan, dan program lembaga

Penyelenggara Pemilu; c) Tidak melaksanakan tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang

didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang, peraturan perundang-undangan, dan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu;

d) Tidak mencegah segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas, wewenang, dan jabatan, baik langsung maupun tidak langsung;

e) Tidak menjamin kualitas pelayanan kepada pemilih dan peserta sesuai dengan standar profesional administrasi penyelenggaraan Pemilu;

f) Tidak bertindak berdasarkan standar operasional prosedur dan substansi profesi administrasi Pemilu;

g) Tidak melaksanakan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu dengan komitmen tinggi; dan

h) Melalaikan pelaksanaan tugas yang diatur dalam organisasi Penyelenggara Pemilu.

i. Tidak melaksanakan Prinsip Akuntabel a) Tidak menjelaskan keputusan yang diambil berdasarkan peraturan

perundang- undangan, tata tertib, dan prosedur yang ditetapkan; b) Tidak menjelaskan kepada publik apabila terjadi penyimpangan dalam

proses kerja lembaga Penyelenggara Pemilu serta upaya perbaikannya; c) Tidak menjelaskan alasan setiap penggunaan kewenangan publik; d) Tidak memberikan penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan

mengenai keputusan yang telah diambil terkait proses Pemilu; e) Tidak bekerja dengan tanggung jawab dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan. j. Tidak melaksanakan Prinsip Efektif

a) Tidak menggunakan waktu secara efektif sesuai dengan tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilu yang telah ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan; dan

b) Tidak melakukan segala upaya yang dibenarkan menurut etika dan peraturan perundang-undangan untuk menjamin pelaksanaan hak konstitusional setiap penduduk untuk memilih dan/atau dipilih.

k. Tidak melaksanakan Prinsip Efisien a) Tidak melakukan kehati-hatian dalam melakukan perencanaan dan

penggunaan anggaran yang berakibat pemborosan dan penyimpangan; dan

b) Menggunakan keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang diselenggarakan atas tanggungjawab Pemerintah dalam melaksanakan seluruh kegiatan penyelenggaraan Pemilu tidak sesuai dengan prosedur dan tidak tepat sasaran.

l. Tidak melaksanakan Prinsip Kepentingan Umum

Page 28: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

24

a) Tidak menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan;

b) Tidak menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c) Tidak menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan seluruh lembaga dan aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d) Tidak menjaga dan memelihara nama baik Negara Kesatuan Republik Indonesia.

e) Tidak menghargai dan tidak menghormati sesama lembaga Penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan Pemilu;

f) Mengikut sertakan atau melibatkan kepentingan pribadi maupun keluarga dalam seluruh pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajibannya;

g) Tidak memberikan informasi dan pendidikan pemilih yang mencerahkan pikiran dan kesadaran pemilih;

h) Tidak memastikan pemilih memahami secara tepat mengenai proses Pemilu; tidak membuka akses yang luas bagi pemilih dan media untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu;

i) Tidak menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya atau memberikan suaranya; dan

j) Tidak memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi pemilih yang membutuhkan perlakuan khusus dalam menggunakan dan menyampaikan hak pilihnya.

m. Tidak Melaksanakan Prinsip Aksesibilitas a) Tidak menyampaikan informasi Pemilu kepada penyandang disabilitas

sesuai kebutuhan; b) Tidak memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi

penyandang disabilitas untuk menggunakan hak pilihnya; c) Tidak memastikan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat

mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD,dan sebagai Penyelenggara Pemilu.

2. Bentuk Pelanggaran Administratif Pemilu

Pelanggaran ini terkait dengan tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Tahapan Pemilu adalah sebagai berikut : a. Sosialisasi; b. Perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan

penyelenggaraan Pemilu; c. Pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih; d. Pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu; e. Penetapan Peserta Pemilu; f. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; g. Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD

Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; h. Masa kampanye Pemilu; i. Masa tenang; Pemungutan dan penghitungan suara; j. Penetapan hasil Pemilu; dan k. Pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR,

DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

3. Bentuk Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu Ketentuan pidana pemilu dalam Undang – undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diatur dalam Pasal 488 hingga Pasal 553. Pihak yang dapat disangkakan terhadap tindak pidana pemilu adalah : a. Penyelenggara Pemilu

1) KPU (Tingkat Pusat hingga TPS) 2) Pengawas Pemilu (Tingkat Pusat hingga desa/Kelurahan) 3) Pemerintah (Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Daerah)

Page 29: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

25

b. Peserta Pemilihan Umum 1) Partai Politik 2) Calon Peserta Pemilu 3) Calon Presiden dan Calon wakil Presiden 4) Calon Perorangan 5) Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota 6) Masyarakat baik pemilih atau sebagai tim kampanye

4.3. Mekanisme Penanganan Pelanggaran Pemilu 4.3.1. Proses penanganan pelanggaran Pemilu meliputi :42

1. Temuan/penerimaan Laporan; 2. Pengumpulan alat bukti; 3. Klarifikasi; 4. Serta penerusan hasil kajian atas Temuan/Laporan kepada instansi yang berwenang; 5. Pengkajian; dan/atau 6. Pemberian rekomendasi.

4.3.2. Alur Penanganan Pelanggaran Pemilu 1. Laporan pelanggaran Pemilu yang telah dikaji dan terbukti kebenarannya wajib

ditindaklanjuti oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/ Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS paling lama 7 (tujuh) hari setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi.

2. Dalam hal Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/ Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS memerlukan keterangan tambahan mengenai tindak lanjut, keterangan tambahan dan kajian dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi.

3. Temuan dan laporan pelanggaran Pemilu yang merupakan :

a. Pelanggaran Kode Etik KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota, diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/ atau Bawaslu Kabupaten/ Kota kepada DKPP;

b. Pelanggaran administratif Pemilu diproses oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS sesuai dengan kewenangan masing – masing. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota wajib memutus penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi.

c. Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang bukan pelanggaran Pemilu, bukan sengketa Pemilu, dan bukan tindak pidana Pemilu : 1) diproses oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota,

Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS sesuai dengan kewenangan masing-masing; dan/atau

2) diteruskan kepada instansi atau pihak yang berwenang.

d. Pelanggaran berupa dugaan Tindak Pidana Pemilu diteruskan oleh Pengawas Pemilu kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Gakkumdu, sesuai dengan tingkatannya paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak diputuskan dalam rapat pleno berdasarkan kajian Pengawas Pemilu. Penerusan Laporan dugaan Tindak Pidana Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari dan dilampiri dengan berkas Temuan/Laporan dan dokumen hasil penanganan pelanggaran.

4.4. Mekanisme Pelaporan Pelanggaran Pemilu 4.4.1. Definisi Laporan Pelanggaran Pemilu

Laporan pelanggaran Pemilu merupakan Laporan langsung Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, Peserta Pemilu, dan pemantau Pemilu kepada

42 Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum Pasal 3 ayat 2

Page 30: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

26

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan/atau Pengawas TPS pada setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu.

4.4.2. Syarat Formil Laporan Dugaan Pelanggaran Pemilu a. Pihak yang berhak melaporkan (WNI yang mempunyai hak pilih; Peserta pemilu dan

Pemantau pemilu); b. Waktu pelaporan tidak melebihi ketentuan batas waktu; dan c. Keabsahan Laporan Dugaan Pelanggaran yang meliputi:

1. Kesesuaian tanda tangan dalam formulir Laporan Dugaan Pelanggaran dengan kartu identitas; dan

2. Tanggal dan waktu.

4.4.3. Syarat Materiil Laporan Dugaan Pelanggaran Pemilu a. Identitas pelapor; b. Nama dan alamat terlapor; c. Peristiwa dan uraian kejadian; d. Waktu dan tempat peristiwa terjadi; e. Saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut; dan f. Barang bukti yang mungkin diperoleh atau diketahui.

4.4.4. Isi Laporan Dugaan Pelanggaran Pemilu

Laporan dugaan pelanggaran Pemilu disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat: a. nama dan alamat pelapor; b. pihak terlapor; c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan d. uraian kejadian.

4.4.5. Batas waktu Pelaporan Dugaan Pelanggaran Pemilu Batas waktu pelaporan maksimal 7 hari sejak diketahui dan/atau diketemukannya dugaan pelanggaran Pemilu.

4.4.6. Yang berwenang menerima Laporan Dugaan Pelanggaran Pemilu Yang berwenang menerima laporan dugaan pelanggaran pemilu adalah Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan/atau Pengawas TPS pada setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu.

4.5. MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 4.5.1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

Sengketa proses pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dan sengketa peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, Keputusan KPU Provinsi, dan Keputusan KPU Kabupaten/Kota.

Penanganan Permohonan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu sebagai berikut : a. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota menerima permohonan

penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.

b. Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh calon Peserta Pemilu dan/atau Peserta Pemilu.

c. Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat: a) nama dan alamat pemohon; b) pihak termohon; dan c) keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan/atau keputusan KPU

Kabupaten/Kota yang menjadi sebab sengketa d. Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) disampaikan paling lama 3 (figa) hari kerja sejak tanggal penetapan keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan/atau keputusan KPU Kabupaten/Kota yang menjadi sebab sengketa

Page 31: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

27

Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu di Bawaslu sebagai berikut : a. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan

sengketa proses Pemilu. b. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus

sengketa proses Pemilu paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya perrnohonan.

c. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota melakukan penyelesaian sengketa proses Pemilu melalui tahapan: a) menerima dan mengkaji permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu;

dan b) mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan

melalui mediasi atau musyawarah dan mufakat. d. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa Bawaslu,

Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui adjudikasi.

Sifat Putusan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa pemilu adalah sebagai berikut : a. Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan

putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan: a) verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu; b) penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota; dan c) penetapan Pasangan Calon

b. Dalam hal penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha negara.

c. Seluruh proses pengambilan putusan Bawaslu wajib dilakukan melalui proses yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa proses Pemilu diatur dalam Peraturan Bawaslu.

Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut : a. Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa

yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.

b. Sengketa proses Pemilu merupakan sengketa yang timbul antara: a) KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai

akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu;

b) KPU dan Pasangan Calon yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Pasangan Calon; dan

c) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Daftar Calon Tetap.

Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut :

a. Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu ke pengadilan tata usaha negara, dilakukan setelah upaya administratif di Bawaslu telah digunakan.

b. Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah dibacakan putusan Bawaslu.

Page 32: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

28

c. Dalam hal pengajuan gugatan kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya gugatan oleh pengadilan tata usaha negara.

d. Apabila dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya gugatan oleh pengadilan tata usaha Negara, penggugat belum menyempurnakan gugatan, hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.

e. Terhadap putusan gugatan tidak dapat diterima tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum.

f. Pengadilan tata usaha negara memeriksa dan memutus gugatan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap.

g. Putusan pengadilan tata usaha negarabersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

KPU wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 3 (tiga) hari kerja.

4.5.2. Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Perselisihan hasil Pemilu yang dimaksudkan dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 meliputi : a. Perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara

hasil Pemilu secara nasional. b. Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD

secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.

c. Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasionat meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Tata cara penyelesaian perselisihan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional adalah sebagai berikut : a. Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota

DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, Peserta Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi.

b. Peserta Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional oleh KPU.

c. Dalam hal pengajuan permohonan kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.

Tata cara penyelesaian perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai berikut :

a. Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan Calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.

b. Keberatan hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

c. Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi. KPU wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil penghitungan suara kepada: a) Majelis Permusyawaratan Ralryat; b) Presiden; c) KPU; d) Pasangan Calon; dan e) Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengajukan calon.

Page 33: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

29

TOPIK 5. ANALISIS SOSIAL KEPEMILUAN

5.1. Pengantar Analisis Sosial Kepemiluan 5.1.1 Pengertian Analisis Sosial

Analisa Sosial menurut Joe Holland dan Peter Henriot SJ dapat didefinisikan sebagai usaha memperoleh gambaran lengkap tentang situasi sosial dengan menggali hubungan-hubungan historis dan strukturalnya. Analisis sosial tersebut berperan sebagai perangkat yang memungkinkan kita menangkap dan memahami realitas yang sedang kita hadapi, atau yang dalam terminology Amerika Latin ditunjukan dengan istilah “larelalidad”.

Analisis sosial menggali realita dari berbagai dimensi. Kadang memusatkan diri pada masalah-masalah khusus seperti masalah pengangguran, inflasi, atau kelaparan. Analisis sosial memungkinkan seseorang menyelidiki lebih jauh struktur dari lembaga-lembaga ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan, karena dari struktur lembaga-lembaga itulah muncul masalah-masalah dan kesana pula berbagai kebijakan tertuju.

Akhirnya, dalam analisis kita dapat membedakan antara dimensi-dimensi objektif dan subjektif realitas sosial. Dimensi objektif mencakup berbagai organisasi, pola-pola perilaku, dan lembaga/institusi-institusi yang memuat ungkapan-ungkapan struktural secara eksternal. Sedangkan, dimensi subjektif menyangkut kesadaran, nilai-nilai dan ideologi-ideologi. Unsur-unsur diatas harus dianalisis untuk memahami berbagai asumsi yang aktif berkerja dalam situasi sosial yang ada. Pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan oleh analisis sosial menelanjangi nilai-nilai dasar yang mmbentuk pandangan dan keputusan para pelaku alam situasi tersebut.43

5.1.2. Ruang Lingkup Analisis Sosial

Dalam analisis sosial kita perlu menyadari batas-batas analisis sosial agar persoalan semakin jelas maka dirumuskan batasan-batasan : 1. Pertama, analisis sosial tidak di rancang untuk menyediakan sebuah jawaban

langsung atas pertanyaan “apa yang kita perbuat?” Jawaban atas pertanyaan itu merupakan tugas strategi atau perencanaan. Analisis sosial membukan konteks di mana sebuah program bagi perubahan sosial dapat diperlihatkan, tapi menyajikan “blueprint” bagi tindakan.

Bagi strategi sosial, analisis sosial adalah seperti diagnosa bagi perawatan. Baik analisis maupun diagnose merupakan prasyarat penting untuk penyembuhan penyakit-penyakit sosial dan fisik. Meski demikian, tidak dengan sendirinya keduanya memberikan penyembuhan. Analisis sosial menjanjikan parameter yang luas di mana strategi-strategi dan taktik-taktik dapat diajukan, tetapi tidak merumuskannya.

2. Analisis sosial bukanlah kegiatan esoteris monopoli kaum intelektual. Setiap hari

kita semua menggunakan perangkat itu dalam berbagai cara. Kita menggunakan kalau kita mengaitkan sebuah masalah atau peristia pada yang lain. Atau juga kalau kita memiih sebuah langkah tindakan ketimbang langkah yang lain. kerangka kerja yang memuat hubungan yang pilihan-pilihan itu mungkin mengandung analisis sosial tersembunyi. Analisis sosial yang lebih mendetail membuat analisis implisit itu mnjadi eksplisit dan tepat.

3. Analisis sosial bukanlah perangkat yang “bebas nilai”. Pokok ini sangat penting diperhatikan. Analisa sosial bukan sebuah pendekatan yang netral, atau sudut pandang yang semata-mata ilmiah dan objektif terhadap realitas. Memang kita harus berusaha bersih, tepat, logis dan beralasan. Meskipun demikian, dalam pemilihan masalah, cara pendekatan, pertanyaan-pertanyaan dan dalam keterbukaan pada hasil analisis, kita mengungkapkan nilai-nilai dan prasangka-prasangka kita. Kita tak pernah memasuki analisis tanpa sebuah komitmen yang mendahului, baik implisit maupun eksplisit. Komitmen tersebut mewarnai baik tindakan kita maupun tindakan orang-orang lain yang melibatkan diri dalam proses tersebut.44

43 Joe Holland dan Peter Henriot SJ, Analisis Sosial & Refleksi Teologis. (Yogyakarta: Kanisius, 1985) hlm. 30-31 44 Joe Holland dan Peter Henriot SJ, Analisis Sosial & Refleksi Teologis. (Yogyakarta: Kanisius, 1985) hlm. 32-34

Page 34: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

30

5.1.3. Unsur-Unsur Analisis Sosial Dalam analisis realitas sosial, kita menyelidiki sejumlah unsur masyarakat,

diantaranya: 45 1. Dimensi historis

Memandang masalah sejarah secara seriu adalah langkah yang membebaskan karena berarti menempatkan kejadian yang sedang berlangsung dan berbabagai tantangan dalam sebuah perspektif. Sejarah merelatifkan apa yang dekat da menempatkan kita pada konteks yang lebih luas dengan memperjelas masa lalu serta menawarkan wawasan bagi masa depan. Pada dasarnya pendekatan nonhistoris berorientasi pada kemapanan (status quo) karena mengangkat apa yang kini lepas dari konteks, dan memperlakukannya sebagai satu-satunya yang mutlak dalam kekosongan.

Jika masalah sejarah dipandang secara serius, kita memperkembangkan suatu bentuk kesadaran historis. Keadaran hitoris itu memandang gerak waktu tidak melulu menurut prose ilmiah seperti halnya musim-musim atau peredaran biologis pertumbuhan dan kerusakan. Lebih dari itu, dalam hal ini waktu menunjukan deretan berbagai kejadian khas di mana kita terlibat secara sadar dan dapat kita pengaruhi dengan sengaja. Dan melaksanakan kesadaran itu akan membebaskan manusia dari tirani “kekuatan-kekuatan sejarah yang tak tampak”. Paulo-Freire, seorang arsitek pendidikan dari Brazilia bicara tentang urgensi bagi kesadaran kritis semacam ini karena kesadaran demikian membebaskan manusia dalam posisinya sebagai objek sejarahh, memberikan daya bagi mereka untuk menjadi subjek, yaitu subjek perubahan. Kita dapat membedakan dua momentum alam setiap kesadaran historis: a. Momen ilmiah yang menganalisis dengan cermat masa lalu. b. Memoen intuitif yang mencoba membentuk masa depan.

2. Struktur Analisa sosial secara tajam berusaha mengenali struktur-struktur masyarakat

kita, institusi-institusi di mana kita melaksanakan kehidupan sosial. Struktur-struktur sosial tersebut (seperti pemerintahan, hukum, pendidikan, perdagangan, tenaga kerja, gereja, keluarga dll.) merupakan kenyataan yang harus dipahami jika kita menghendaki efektivitas tindakan kita bagi keadilan. Dengan bantuan analisis sosial, kita dapat mengenali struktur-struktur utama yang sedang berlangsung dalam situasi tertentu dan maju mengatasi pertimbangan-pertimbangan pribadi menuju perubahan struktural tertentu. Dalam menganalisis terdapat tiga struktur yang dapat kita amati, yaitu : a. Struktur ekonomi b. Struktur politik masyarakat c. Struktur budaya

3. Pembagian Masyarakat Analisis sosial memungkinkan kita untuk melihat lebih jelas pembagian-

pembagian mayarakat menurut ras, sex, umur, kelas, etnis, agama, geografis dsb. Pembagian semacam itu nampak berlangsung lebih jelas dan lebih langsung. Bagaimanapun juga unsur ini selalu hadir dan menjadi unsur kunci dalam analisa sosial. Mengesampingkan fakta itu sama artinya dengan menghindari gambaran seluruh realitas. Pentingnya mengenali pembagian-pembagian tersebut didasarkan pada dua alasan, yaitu: a. Akibat-akibat peristiwa tertentu dalam situasi sosial (krisis ekonomi atau resesi)

mempengaruhi seluruh masyrakat dengan cara yang tidak sama. b. Jika saling bertentangan, beberapa pembagian dalam suatu masyarakat

majemuk dapat menjadi kekuatan yang mengacaukan prose perubahan sosial. Analisis sosial seharusnya membuat kita sadar akan pembagian-pembagian

ini sehingga dimensi realitas yang ruwet itu tak akan terabaikan tatkala kita merancang jawaban-jawaban.

4. Tingkat dan derajat permasalahan Harus dicatat bahwa masalah-masalah terjadi dalam berbagai tingkat: lokal,

regional, nasional dan internasional. Kerangka kerja yang dipilih analisis sosial akan

45 Joe Holland dan Peter Henriot SJ, Analisis Sosial & Refleksi Teologis. (Yogyakarta: Kanisius, 1985) hlm. 39-49

Page 35: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

31

menunjukan tingkat permasalahan tersebut. Bahkan lebih lagi, kerangka itu akan mengungkapkan hubungan antara berbagai tingkat masalah.

5.1.4. Realita Sosial Dalam Pengawasan Pemilu Partisipatif

Refleksi relawan pemantau atas proses pemantauan menemukan fakta sosial yang mengejutkan. Bisa dibayangkan, di tingkat desa/kelurahan saja, kebutuhan kelompok politik (partai politik, calon legislatif, dan tim sukses) dari berbagai peserta pemilu atas sumber daya manusia (SDM) untuk kerja-kerja politik berlangsung sangat terbuka dan masif.

Untuk menjadi pemenang pemilu perlu dukungan basis material yang cukup dan diperlukan orang-orang yang terlatih sebagai tim sukses lapangan. Di tingkat penyelenggara pemilu, diperlukan penempatan orang-orang untuk PPK, PPS, dan KPPS. Sementara kelompok aparatur pengawas membutuhkan personalia yang menempati posisi jabatan Panwascam dan PPL (Pengawas Pemilu Lapangan). Semuanya tentu membutuhkan dukungan finansial atau anggaran dana yang tidak sedikit. Sangat logis jika kalangan relawan pemantau memberikan penilaian kritis terhadap kinerja lembaga pengawasan yang tugas utamanya adalah mengawasi kinerja penyelenggara pemilu. Hal itu mengingat peran dan fungsi mereka paralel dengan kedudukan lembaga pengawas hingga di tingkat desa/kelurahan. Pelembagaan pengawasan pada konteks ini telah menjadi catatan krusial.

Harus diakui selama ini problem pengawasan belum bisa beranjak jauh dari problem internal pengawas. Misalnya adalah belum terlihat kerja-kerja strategis yang perlu dilakukan untuk merangkul kelompok kritis pemantau yang sebenarnya memiliki domain serupa, yaitu mengawal penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Harus diakui bahwa keberadaan lembaga pengawas pemilu sangat dibutuhkan, namun lembaga yang ada sekarang ini masih memiliki banyak keterbatasan, misalnya jumlah anggota Bawaslu dan Panwas yang sangat terbatas untuk menangani kerja-kerja pengawasan.

Selain jumlah pekerjaan yang harus ditangani cukup banyak, juga jangkauannya amat luas. Sebagai contoh perbandingan, pada Pemilu 2004 Panwas hanya sampai ke tingkat kecamatan, tetapi pada Pemilu 2009 Panwas sampai ke tingkat desa. Di setiap desa terdapat satu orang pengawas lapangan. Masalahnya bagaimana kalau dalam satu desa terdapat 15 TPS. Tentu saja kerja Panwas juga kurang efektif, artinya lembaga pengawasan ini sebatas didesain untuk mendemokratisasi pemilu yang sedang berlangsung. Berangkat dari argumen di atas, kemunculan gerakan pemantauan pemilu oleh masyarakat adalah keniscayaan. Pilihan ini merupakan upaya kreatif guna mendorong tingkat partisipasi dan kualitas demokrasi di Indonesia.

Dengan alasan inilah maka eksistensi lembaga pemantau dengan sumber daya relawan yang cukup, sudah seharusnya tidak hanya melakukan kegiatan pemantauan, tetapi menjadi ujung tombak dari manifestasi gerakan civil society dalam melakukan kegiatan pendidikan pemilih dan pendidikan politik sekaligus. Di samping itu, adanya sinergisitas gerakan di antara berbagai lembaga pemantau sudah barang tentu sangat diperlukan sehingga tidak muncul persaingan yang tidak produktif ketika terjun di lapangan, akan tetapi justru yang terjadi adalah sebuah kerjasama pemantauan yang dinamis dan efektif.46

5.1.5. Analisis Steakholder Pemilu

1. Pengertian Stakeholder Pemilu Stakeholder Pemilu ialah suatu masyarakat, kelompok, Institusi/lembaga, komunitas ataupun individu manusia yang memiliki hubungan dan kepentingan dalam pelaksanaan pemilu. Suatu masyarakat, kelompok, komunitas ataupun individu tersebut dapat dikatakan sebagai stakeholder jika mereka memiliki karekteristik seperti memiliki kekuasaan dan kepentingan terhadap dalam penyelenggaraan pemilu.

46 Bawaslu Mendengar. Diakses dari www.bawaslu.go.id/sites/default/files/publikasi/Layout%20BAWASLU%20Mendengar_REV3.pdf, pada 2 Mei 2018, pukul 08.00, hlm. 8-10

Page 36: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

32

2. Tugas Dan Fungsi Stakeholder Pemilu Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum terdapat berbagai Stakeholder yang berkaitan dengan

Penyelenggara Pemilu diantaranya ialah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu diantaranya yaitu: 47 1. Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga

Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan Pemilu. KPU terdiri atas: a. KPU RI, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia; b. KPU Provinsi, Komisi Pemilihan Umum Provinsi yang selanjutnya disingkat

KPU Provinsi adalah Penyelenggara Pemilu di provinsi c. KPU Kabupaten /Kota, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang

selanjutnya disingkat KPU Kabupaten/Kota adalah Penyelenggara Pemilu di kabupaten/kota

d. PPK, Panitia Pemilihan Kecamatan yang selanjutnya disingkat PPK adalah

panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan Pemilu di tingkat kecamatan atau nama lain

e. PPS, Panitia Pemungutan Suara yang selanjutnya disingkat PPS adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan Pemilu di tingkat kelurahan/desa atau nama lain

f. PPLN, Panitia Pemilihan Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PPLN adalah panitia yang dibentuk oleh KPU untuk melaksanakan Pemilu di luar negeri.

g. KPPS, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang selanjutnya disingkat KPPS adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara dan

h. KPPSLN, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri yang

selanjutnya disingkat KPPSLN adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara luar negeri

KPU bertugas:

a. merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal; b. menyusun tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS,

KPPS, PPLN, dan KPPSLN; c. menyusun Peraturan KPU untuk setiap tahapan Pemilu; d. mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau

semua tahapan Pemilu; e. menerima daftar Pemilih dari KPU Provinsi; f. memutakhirkan data Pemilih berdasarkan data Pemilu terakhir dengan

memperhatikan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar Pemilih;

g. membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu;

h. mengumumkan calon anggota DPR, calon anggota DPD, dan Pasangan Calon terpilih serta membuat berita acaranya;

i. menindaklanjuti dengan segera putusan Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran atau sengketa Pemilu;

j. menyosialisasikan Penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat;\melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu; dan

k. melaksanakan tugas lain dalam Penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Petugas Pemutakhiran Data Pemilih yang selanjutnya disebut Pantarlih adalah petugas yang dibentuk oleh PPS atau PPLN untuk melakukan pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih.

3. Badan Pengawas Pemilu yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bawaslu terdiri atas:

47 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 1

Page 37: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

33

a. Bawaslu RI, Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia; b. Bawaslu Provinsi, Badan Pengawas Pemilu Provinsi yang selanjutnya

disebut Bawaslu Provinsi adalah badan yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi.

c. Bawaslu Kabupaten/Kota, Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Bawaslu Kabupaten/Kota adalah badan untuk mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di wilayah kabupaten /kota

d. Panwaslu Kecamatan, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan yang selanjutnya disebut Panwaslu Kecamatan adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Kabupaten/Kota untuk mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan atau nama lain.

e. Panwaslu Kelurahan/Desa, Panitia Pengawas Pemilu Kelurahan/Desa yang selanjutnya disebut Panwaslu Kelurahan/Desa adalah petugas untuk mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di kelurahan/desa atau nama lain.

f. Panwaslu LN, Panitia Pengawas Pemilu Luar Negeri yang selanjutnya

disebut Panwaslu LN adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di luar negeri

g. Pengawas TPS, Pengawas Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut Pengawas TPS adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan untuk membantu Panwaslu Kelurahan/Desa.

Bawaslu bertugas:

a. menyusun standar tata laksana pengawasan Penyelenggaraan Pemilu untuk pengawas Pemilu di setiap tingkatan;

b. melakukan pencegahan dan penindakan terhadap: 1. pelanggaran Pemilu; dan 2. sengketa proses Pemilu;

c. mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas: 1. perencanaan dan penetapan jadwal tahapan Pemilu; 2. perencanaan pengadaan logistik oleh KPU; 3. sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu; dan 4. pelaksanaan persiapan lainnya dalam Penyelenggaraan Pemilu sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. mengawasi pelaksanaan tahapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri

atas: 1. pemutakhiran data pemilih dan penetapan daftar pemilih sementara serta

daftar pemilih tetap; 2. penataan dan penetapan daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota; 3. penetapan Peserta Pemilu; 4. pencalonan sampai dengan penetapan Pasangan Calon, calon anggota

DPR, calon anggota DPD, dan calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

5. pelaksanaan kampanye dan dana. kampanye; 6. pengadaan logistik Pemilu dan pendistribusiannya; 7. pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu di

TPS; 8. pergerakan surat suara, berita acara penghitungan suara, dan sertifikat

hasil penghitungan suara dan tingkat TPS sampai ke PPK; 9. rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK, KPU

Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU; 10. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu

lanjutan, dan Pemilu susulan; dan 11. penetapan hasil Pemilu;

e. mencegah terjadinya praktik politik uang; f. mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara

Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia; g. mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan, yang terdiri atas:

1. putusan DKPP; 2. putusan pengadilan mengenai pelanggaran dan sengketa Pemilu; 3. putusan/keputusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu

Kabupaten/Kota; 4. keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota; dan

Page 38: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

34

5. keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia.

h. menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu kepada DKPP;

i. menyampaikan dugaan tindak pidana Pemilu kepada Gakkumdu; j. mengelola, memelihara, dan merawat arsip serta melaksanakan

penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

k. mengevaluasi pengawasan Pemilu; l. mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU; dan m. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Dalam Pasal 94 tertulis:48 (1) Dalam melakukan pencegahan pelanggaran Pemilu dan pencegahan

sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf b, Bawaslu bertugas: a. mengidentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran

Pemilu; b. mengoordinasikan, menyupervisi, membimbing, memantau, dan

mengevaluasi Penyelenggaraan Pemilu; c. berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan d. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu.

(2) Dalam melakukan penindakan pelanggaran Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf b, Bawaslu bertugas: a. menerima, memeriksa dan mengkaji dugaan pelanggaran Pemilu; b. menginvestigasi dugaan pelanggaran Pemilu; c. menentukan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu, dugaan

pelanggaran kode etik Penyelenggara dan/atau dugaan tindak pidana Pemilu; dan

d. memutus pelanggaran administrasi Pemilu. (3) Dalam melakukan penindakan sengketa proses Pemilu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 93 huruf b, Bawaslu bertugas: a. menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu; b. memverifikasi secara formal dan material permohonan penyelesaian

sengketa proses Pemilu; c. melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa; d. melakukan proses adjudikasi sengketa proses Pemilu; dan e. memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu.

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu. DKPP bertugas: a. menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik

yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu; dan b. melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan

dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Berikut lembaga atau kelompok yang berkaitan dengan kepemiluan : 1. Partai Politik, Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah

ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU. 2. DPD, DPRD Kabupaten, DPR Provinsi, dan DPR RI, lembaga yang

mengawasi penyelenggaraan pemilu. 3. TNI dan POLRI, merupakan instansi yang menjaga keamanan dan menindak

dalam pelanggaran dan terjadinya konflik pemilu. 4. Kejaksaan, Penegak hukum dalam penyelenggaraan pemilu. 5. Masyarakat.

48 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 94

Page 39: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

35

3. Peran Strategis Stakeholder Pemilu Stakeholder ini mempunyai 3 komponen Subsystem, yakni Subsistem

pengambil kebijakan, Pemberi Pelayanan serta Penerima Dampak. Dalam hal ini yang berkaitan dengan Pemilu diantaranya :49 1. Peran Pemerintah, TNI, dan POLRI

Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib tertera dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 menjelaskan bahwa memberikan bantuan dan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bantuan dan fasilitas sebagaimana di maksud pada ayat (1) berupa : (a). penugasan personel pada sekretariat Panwaslu Kab / Kota, PPK, Panwaslu Kecamatan dan PPS; (b). penyediaan sarana ruangan sekretariat Panwaslu Kab/Kota, PPK, Panwaslu Kecamatan dan PPS; (c). pelaksanaan sosialisasi; (d). kelancaran transportasi pengiriman logistik; (e). monitoring kelancaran penyelenggara pemilu; dan (f). kegiatan lain sesuai kebutuhan pelaksanaan Pemilu. Sehubungan dengan peran wajib dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah tersebut diharapkan agar Pemerintah Daerah segera mengambil langkah-langkah dengan menyusun kegiatan, program dan anggaran untuk persiapan penyelenggaraan Pemilu.50

Selanjutnya, dijelaskan dalam pasal 306, Peranan Pemerintah, Tentara

Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Kampanye. (1) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan/desa memberikan kesempatan yang sama kepada Peserta Pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye dalam penggunaan fasilitas umum untuk penyampaian materi Kampanye Pemilu. (2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye.

2. Peran Penyelenggara Pemilu

Lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota secara demokratis.51

DKPP merupakan lembaga baru dalam praktek demokrasi modern di

Indonesia. salah satu kewenangan DKPP yakni memeriksa, memutus perkara pengaduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPLSN, dan anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri.

3. Peran Partai Politik

Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai Politik. Undang-Undang Partai Politik yang menjadi dasar untuk mengatur partai politik diharapkan mampu menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional. Dengan kondisi Partai Politik yang sehat, selektif dan fungsional, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Dengan Partai Politik pula, konflik dan konsensus dapat tercapai guna mendewasakan masyarakat. Konflik yang tercipta tidak lantas dijadikan alasan

49 Peran Strategis Stakeholder Dalam Pemilu, diakses dari http://kpud-banyuwangikab.go.id/berita/194-peran-strategis-stakeholder-dalam-pemilu.html, pada 2 Mei 2018 pukul 13:00 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 434 51 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 1

Page 40: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

36

untuk memecah belah partai, tapi konflik yang timbul dicarikan konsensus guna menciptakan partai yang sehat dan fungsional.

4. Peran Masyarakat

Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara. Rakyat diposisikan sebagai aktor penting dalam tatanan demokrasi, karena pada hakekatnya demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Keterlibatan masyarakat menjadi unsur dasar dalam demokrasi. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat.

4. Sinergitas Penyelenggara Dan Stakeholder Pemilu Dalam Pengawasan Pemilu

Partisipatif Maka dalam penyelenggaran Pemilu dan seluruh stakeholder yang memiliki

peran masing-masing harus melihat kembali tujuan utama Pengaturan Penyelenggaraan Pemilu yaitu untuk:52 a. memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis; b. mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas; c. menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu; d. memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan

Pemilu; dan e. mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.

Untuk menjawab potensi permasalahan yang muncul di Pemilu, maka jawaban kuncinya adalah mutlak dilakukan sinergi dan sinergitas antara semua komponen yang terlibat dalam Pilkada. Sinergi sering diartikan sebagai upaya membangun dan memastikan hubungan kerjasama yang produktif dan kemitraan yang harmonis untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan berkualitas. Sedangkan sinergitas diartikan sebagai proses memadukan beberapa aktivitas dalam rangka mencapai suatu hasil yang baik dan maksimal.

Jika sinergitas dikaitkan dengan Pemilu, maka tentu dimaksudkan sebagai proses memadukan beberapa aktivitas dalam upaya mencapai hasil Pilkada yang berkualitas dan berintegritas. Kunci tercapai sinergitas tersebut adalah koordinasi dan kerjasama. Dalam konteks Pemilu maka sinergitas harus diwujudkan oleh para pemangku kepentingan atau stakeholder. Pemahaman tentang stakeholder juga sudah meluas dan mencakup seluruh dimensi. Khusus yang terkait dengan Pemilu, maka stakeholder atau pemangku kepentingan sering diartikan sebagai individu atau kelompok yang memiliki kepentingan mempengaruhi atau dipengaruhi, dan memberikan dampak atau terkena dampak dari aktivitas pencapaian tujuan Pemilu. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun relasi antara lain : 1. Dengan penyelenggara adhoc (PPK/PPS/KPPS), langkah yang dilakukan

adalah; (a) membangun forum konsultasi secara rutin; (b) memberikan bimbingan teknis terkait peraturan KPU, sosialisasi, dan mekanisme monitoring dan evaluasi; (c) memastikan proses dan hasil kerja penyelenggaran adhoc adalah transparan, aluntabel, bersih dan menutup peluang sekecil apapun untuk kecurangan atau manipulasi, dan (d) membuat mekanisme pengaduan dan tanggapan masyarakat.

2. Dengan peserta Pemilu, memperlakukan peserta Pemilu (Paslon) secara adil dan setara

3. Dengan pemilih, tersosialisasikannya berbagai informasi Pemilu agar masyarakat paham dan aktif terlibat dalam tahapan Pemilu. Agar pemilih dapat menggunakan hak pilihnya secara tepat waktu, tepat prosedur dan informatif.

52 Sinergitas Penyelenggara Dan Stakeholder Pada Pilkada Serentak, diakses dari https://sulselprov.go.id/post/sinergitas-penyelenggara-dan-stakeholder-pada-pilkada-serentak, pada 2 Mei 2018 Pukul 10:00

Page 41: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

37

4. Dengan organisasi masyarakat sipil, penting dibangun jejaring terutama dalam hal keterlibatan publik dalam kegiatan tahapan Pemilu. Melalui mengawasi proses tahapan, memberi masukan, dan keterlibatan dalam sosialisasi Pemilu.

5. Dengan media massa, langkah yang dilakukan adalah mengidentifikasi media massa yang berada di kabupaten, mengadakan pertemuan dengan pimpinan media di semua tingkatan, membentuk tim media center, mengadakan jumpa pers secara rutin terkait dengan issu dan kebijakan terbaru, dan sosialisasi yang melibatkan media massa.

6. Dengan Pemerintah Daerah (Prov/Kab/kota), prinsip utama dalam mengelola relasi dengan Pemda adalah menciptakan ruang komunikasi yang efektif dan setara dalam lingkup kewenangan masing-masing institusi. Mengelola hubungan dengan Pemda harus ditangani secara profesional, berjarak, tetapi juga selalu dalam ruang koordinasi yang terjaga. Relasi penyelenggara Pemilu dengan Pemerintah terkait dengan data kependudukan/data pemilih, anggaran, dan lokasi kampanye dan pemasangan alat peraga kampanye.

7. Dengan Kepolisian (POLRI), relasi yang paling utama adalah koordinasi dalam keamanan penyelenggaraan tahapan Pemilu. Karena semua tahapan memiliki potensi kerawanan dan gangguan keamanan, maka relasi dengan aparat keamanan harus dibangun dengan prinsip profesional dan koordinatif.

8. Dengan kejaksaan dan Pengadilan (termasuk PTUN), hubungan yang perlu dikembangkan adalah koordinasi dan sinergi berkenaan dengan masalah-masalah hukum dalam Pilkada baik yang bersifat administratif maupun pidana dll. Mengelola hubungan dengan kejaksaan dan pengadilan, melalui pengembangan komunikasi yang efektif dalam lingkup kewenangan masing-masing institusi.

Proses: Durasi: 60 Menit.

No Langkah-langkah Waktu

1 Fasilitator membuka sessi dengan salam dan menyampaikan ke peserta topik bahasan sessi ini adalah Pengantar Analisis Sosial yang akan disampaikan dalam waktu 60 menit.

5’

2 Selanjutnya fasilitator menjelaskan tujuan topik bahasan ini.

3 Secara singkat, fasilitator memperkenalkan narasumber yang akan mempresentasikan makalahnya berdasarkan biodata narasumber.

5’

4 Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk mempresentasikan makalahnya.

30’

5 Fasilitator membuka kesempatan kepada peserta bertanya atau menyampaikan sanggahan/pendapatnya.

10’

6 Fasilitator memberikan kesempatan kepada narasumber untuk menanggapai dan sanggahan (bila ada).

10’

5.2. Identifikasi Dan Masalah Sosial Pemilih 5.2.1. Rumusan Masalah Sosial Pemilih

1) Pengertian Terdapat istilah-istilah yang hampir sama dengan istilah masalah sosial, antara lain Masyarakat Disorganiser, patologi sosial (istilah yang dipakai oleh Vembriarto dan Kartini Kartono), disorder society, masyarakat anomi. Meskipun bisa didefinisikan

dengan bahasa yang berbeda, namun pada dasarnya istilah-istilah tersebut mempunyai konsep yang sama, yaitu adanya masyarakat atau komunitas yang menyimpang dari norma-norma kewajaran masyarakat. Masalah sosial dapat didefinisikan menurut beberapa perspektif, yaitu:53 a) Masalah Sosial Secara Kuantitatif (Umum)

Secara umum orang mendefinisikan masalah sosial sebagai suatu kondisi yang merugikan/mengganggu atau terlihat mengganggu bagi pandangan orang yang membuat kondisi tersebut menjadi penting untuk diselesaikan. Menurut pandangan umum dalam buku Jerome G. Manis “Social Problem is any undesirabel condition or situation that is judged by any influential number or

53 Joe Holland dan Peter Henriot SJ, Analisis Sosial & Refleksi Teologis. (Yogyakarta: Kanisius, 1985) hlm. 7-20

Page 42: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

38

persons within communityto to be intolerable and to require group action to word constructive reform”. Contoh dari masalah sosial antara lain, Pekerja Seks Komersial (PSK), pergaulan bebas, kekerasan, tawuran, budaya kemiskinan dsb. Prilaku-prilaku tersebut dianggap sebagai masalah sosial karena dianggap mengganggu dan merugikan yang mengakibatkan minimnya partisipasi masyarakat.

b) Masalah Sosial Secara Kualitatif

Mendefinisikan problem sosial dengan cara melihat bagaimana reaksi masyarakat (banyak orang) terhadap satu fenomena mempunyai kelemahan. Memang terdapat kecenderungan umum, bahwa pendapat, penglihatan orang banyak punya peluang lebih tepat-benar daripada pendapat satu orang. Namun pendapat ini tidak mutlak. Ada kalanya pendapat sebagian besar masyarakat salah. Kesalahan-kesalahan berjama’ah biasanya terjadi karena kebiasaan dari masyarakat yang bersangkutan atau dapat uga karena tindakan yang tidak dipikirkan secara panjang terlebih dahulu. Contohnya memberi sembako kepada pemilih agar mendapat dukungan. Secara pandangan umum tindakan ini terpuji. Akan tetapi jika dicermati dengan teori analisis punish and reward dapat mengatakan memberi uang kepada pemilih

sebagai akar masalah sosial yang muncul. Hal ini karena menyebabkan (1) Kandidat dan calon kepala daerah tidak kuat dalam paparan program, visi, misinya. (2) Menimbulkan budaya politik transaksional, yaitu dalam perhelatan pemilu sembako dapat diperoleh dengan mudah dari para kandidat. (3) Menyebabkan makin banyak orang yang terlibat dalam politik transaksional.

c) Masalah Sosial Secara Ideologi. Mengidentifikasi satu fenomena sebagai masalah sosial atau bukan, merupakan suatu hal yang debatebel, paradigmatis, dan sangat prinsipil. Karena

mendefinisikan masalah sosial tergantung kacamata apa yang dipakai. Kaca mata ini sering disebut paradigma yang merupakan cara pandang/kaca mata untuk melihat suatu hal. Maka paradigma dapat dijadikan sebagai ukuran untuk melihat fenomena. Fenomena yang dapat diambil sebagai contoh adalah kasus masalah saksi partai, Halmahera Utara (Dapil 2, 2014). Terjadi perebutan sebagai saksi partai. KPPS cenderung berpihak kepada saksi partai yang tidak terdaftar atau tidak memiliki tugas. Namun demikian jika menggunakan paradigma Demokrasi sebagai kaca mata, maka ini dapat dimasukkan sebagai masalah sosial, apapun penjelasannya.54 Maka dari pengertian diatas perlunya “identifikasi”, bertujuan agar masalah dapat dipecahkan dengan mudah dan penanganan masalah tidak menimbulkan efek samping (masalah baru) dengan memahami persoalan tersebut.

5.2.2. Langkah-Langkah Identifikasi Masalah Sosial

Berikut beberapa langkah awal dalam mengidentifikasi masalah sosial, yaitu:55 1. Pertama, tahap persiapan sebelum ke lapangan. Persiapan meliputi persiapan 2. Mental, mencari tahu budaya wilayah, mencari Key Person, mencari dan

menafsirkan monografi desa/wilayah. Tahap mengenal situasi dan diakhiri dengan masuk dalam tahap analisis masalah dan analisis potensi untuk selanjutnya masuk tahap rancangan perubahan sosial. Selanjutnya terdapat 5 model analisis masalah berserta langkah-langkah dalam mengidentifikasi masalah sosial, yaitu:56

1. Model Analisis Statistika Sosial/Analisis Aktor

Analisis aktor menarik konsep Marx tentang penindasan majikan terhadap buruh menjadi generalisasi bahwa: kelas atas selalu memanfaatkan, mengambil keuntungan, mengekploitasi actor yang berada dibawahnya. Aktor yang masuk golongan kelas bawah adalah korban (victim). Dari dalil Karl Marx terdapat satu dalil lagi yang dianggap menjadi rumus atau prinsip analisis statika: Basis/infra struktur

54 Gunawan Suswantoro, Pengawasan Pemilu Partisipatif (Jakarta: Erlangga, 2015), hlm. 133 55 Pajar Hatma Indra Jaya, Analisis Masalah Sosial. (Yogyakarta: Senter, 2008) hlm. 28 56 Pajar Hatma Indra Jaya, Analisis Masalah Sosial. (Yogyakarta: Senter, 2008) hlm. 53, 71, 91, 107, 131

Page 43: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

39

menentukan tatanan supra struktur. Basis dimaknai sebagai modal, modal identik dengan uang. Supra struktur dapat berupa agama, politik, seni, agama.

Namun perlu diberi catatan bahwa analisis struktur sosial harus dipahami secara hati-hati, karena analisisnya bersifat generalisir terhadap struktur paling atas. Struktur paling atas dianggap selalu jahat dan menindas. Padahal dunia merupakan warna-warni, dimana ada juga orang kaya yang baik dan penuh kebijakan an ada juga orang miskin yang jahat. Selanjutnya terdapat beberapa tahapan atau langkah dalam analisis struktural, yaitu: a. Buat ringkasan mengenai persoalan yang dihadapi b. Buat tujuan apa yang akan diperoleh setelah melakukan analisis aktor c. Identifikasi siapa saja/aktor yang terlibat dalam masalah tersebut. d. Tentukan posisi aktor dalam struktur masalah sosial. e. Deskripsikan peran masing-masing aktor. f. Buatlah alur tentang hubungan antar actor dalam masalah sosial yang telah

dikaji. g. Perencanaan/memberikan model penyelesaian.

2. Model Analisis Dinamika Sosial/Analisis Proses/Analisis Historis

Model ini mengajak untuk melakukan refleksi atas situasi yang terjadi saat ini. Analisis dinamika sosial ini tidak terlepas dari melihat aspek kesejarahan (histori). Metode yang dipakai dalam analisis dinamika adalah mendeskripsikan sejarah. Berikut langkah-langkah mengidentifikasi masalah dengan analisis dinamika sosial, yaitu: a. Menentukan persoalan/problem yang akan dilihat. b. Diskusi dan mengkomunikasikan persoalan kepada masyarakat. c. Melihat perkembangan antar waktu. d. Menyimpulkan perbedaannya. e. Mengatasi persoalan dengan jalan mempertanyakan:

1) Legal konstitusional, yaitu mengatasi persoalan dengan langkah memperkarakan masalah lewat jalur hukum positif.

2) Discourcem (pewacanaan), adalah penyelesaian persoalan dengan alan

memberikan informasi baru/berdialog agar komunitas yang bersangkutan mendapat pencerahan bahwa perilaku yang sedang dikerjakan merupakan penyimpangan (proses andragogi).

3. Model Analisis Jalur/Analisis Pohon Model ini merupakan satu bntuk analisis yang menggunakan perumpamaan

pohon sebagai cara melihat masalah. Dalam analisis pohon hanya dikenal dengan tiga komponen/konsep, yaitu komponen daun, komponen batang, dan komponen akar.

Analisis pohon mempunyai asumsi dasar bahwa setiap masalah mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, bahkan dapat dikatakan mengalami ketergantungan (Interdependence) satu dengan yang lain. Berikut langkah-langkah

analisis pohon yang bersifat partisipatori: a. Menentukan tema persoalan, missal kemiskinan, narkoba, perjudian. b. Berkumpul bersama, mengundang masyarakat dalam satu forum untuk

memberikan informasi masalah yang ada. c. Menentukan masalah utama, Gambarlah pohon memuat akar, batang dan daun.

Dengan media kertas mintalah mereka menulis persoalan dan meminta mereka meletakan kertas pada bagian pohon. Ditutup dengan mereka menentukan masalah utama (akar)

d. Buatah Diagram jalur/Pohon Persoalan. e. Meminta masyarakat untuk membacakan hasil pohon persoalan. f. Evaluasi dengan jalan minta tanggapan. g. Membalik variable negative dalam jalur menjadi positif, ini menguji jika persoalan

tersebut dapat diatasi akan mampu membuat perubahan. h. Perencanaan Bersama Masyarakat, bertujuan menyelesaikan persoalan untuk

mengatasi akar masalah.

4. Model Analisis SWOT

SWOT analisis adalah melakukan analisis terhadap diri yang meliputi :

Page 44: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

40

a. Strength diartikan sebagai kekuatan, kemampuan, atau potensi b. Weakness merupakan titik kelemahan diri dalam sendiri. c. Opportunity merupakan peluang atau kesempatan yang dapat dipakai atau

dimanfaatkan oleh komunitas. d. Threat berarti melihat ancaman yang mungkin muncul. e. Berikut langkah-langkah dalam analisis SWOT:

f. Mengumpulkan bahan-bahan/data. g. Mengumpulkan komunitas dalam pertemuan/kumpulan/FGD (Partisipatif

SWOT) h. Merumuskan Visi atau Tujuan Bersama. i. Membuat matrix atau table yang muat empat komponen j. Membaca situasi dengan S.W.O.T k. Mengolah lebih jauh Analisis SWOT untuk mendapatkan strategi mengatasi

persoalan. l. Merumuskan strategi untuk aksi/merumuskan strategi untuk mengatasi

persoalan.

5. Model Analisis Kesadaran Analisis Kesadaran merupakan analisis yang berusaha mengkritisi cara

berfikir dan prilaku keseharian masyarakat, terkait gaya hidup masyarakat. Bagaimana cara melakukan analisis kesadaran. Berikut adalah langkah-langkahnya: a. Menentukan tema ketertarikan, membaca situasi sosial dengan membaca

buku menambah wawasan. b. Deskripsi situasi, kegiatan terhadap penangkapan terhadap ide-ide yang

menghegemoni masyarakat sehingga masyarakat tidak berkembang. c. Mengkritisi situasi, usaha melakukan counter hegemoni. d. Mewacanakan, melemparkan ide kemasyarakat.

5.2.3. Strategi Identifikasi Masalah Sosial

Berikut terdapat gambar mengenai posisi menganalisis masalah sosial dalam kerja pengembangan masyarakat :

Gambar 3.1. Analisis masalah sosial

Bagan diatas merupakan bangunan kecil dari proses pengembangan masyarakat. Usai rancangan aksi/rancangan harus dilanjutkan pada tahap.57

57 Pajar Hatma Indra Jaya, Analisis Masalah Sosial. (Yogyakarta: Senter, 2008) hlm. 28-29

Page 45: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

41

1. Aksi, pengorganisiran masyarakat 2. Evaluasi 3. Refleksi Alur tersebut akan terus berlangsung dan membentuk lingkaran secara berulang tanpa ada akhirnya.

5.2.4. Identifikasi & Masalah Sosial Pemilih

Dalam pemilihan umum (pemilu) diakui adanya hak pilih secara universal (universal suffrage). Hak pilih ini merupakan salah satu prasyarat fundamental bagi negara yang menganut demokrasi konstitusional modern. Pemilu merupakan institusionalisasi partisipasi dalam menggunakan hak pilih. Hak pilih ini memiliki karakter demokratis bila memenuhi empat prinsip, yaitu umum (universal), setara (equal), rahasia (secret) dan langsung (direct).

Hak pilih bersifat umum bila dapat menjamin setiap warga negara (tanpa memandang jenis kelamin, ras, bahasa, pendapatan, kepemilikan lahan, profesi, kelas, pendidikan, agama dan keyakinan politik) memiliki hak untuk memilih dan hak untuk dipilih dalam pemilu. Kesetaraan dalam hak pilih mensyaratkan adanya kesamaan nilai suara dalam pemilu bagi semua pemilih. Prinsip kerahasiaan dalam hak pilih adalah adanya jaminan bahwa tidak ada pihak lain yang mengetahui pilihan pemilih, yang dalam praktek diimplementasikan dalam bentuk keharusan tersedianya kotak suara dan bilik suara yang menjamin kerahasiaan pilihan. Prinsip langsung dalam hak pilih adalah adanya jaminan bahwa pemilih dapat memilih secara langsung para calon tanpa perantara. Dengan demikian pada dasarnya hak pilih merupakan bentuk dasar demokrasi partisipatoris.58 Dalam konteks mengidentifikasi masalah sosial pemilih terdapat beragam persoalan yang dihadapi pemilih, diantaranya seperti:

Latar Belakang Pemilih, Keragaman latar belakang pemilih menjadi salah satu

faktor yang mempengaruhi seseorang menggunakan hak pilihnya di pemilu. Jika ditelusuri kembali, variabel yang mempengaruhi partisipasi politik pemilih adalah faktor sosial dan ekonomi. Kedua faktor ini terkait tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga. Sementara itu faktor politik, lebih bertumpu pada peran serta politik masyarakat yang didasarkan pada politik untuk menentukan suatu produk akhir.

Faktor politik misalnya kinerja yang ditunjukkan oleh partai politik, lembaga legislatif,

pejabat publik, jalannya pemerintahan, dampak kebijakan, yang semuanya dapat dirasakan, direspons, dan diamati oleh masyarakat/pemilih. Dalam hal ini pemilu dilihat sebagai sebuah siklus dari periode pemilihan, keterpilihan, berjalannya pemerintahan, lalu kembali lagi pada periode pemilihan dan seterusnya dimana pemilih melakukan asesmen secara terus menerus terhadap proses politik yang ada. Sehingga periode pemilihan (tahapan yang memfasilitasi pemilih dalam memberikan suara) akan sangat tergantung dari periode lainnya dalam siklus kepemiluan tersebut.59 Faktor politik sendiri meliputi komunikasi politik, yakni suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik, umumnya berhubungan dengan relasi antara pemerintah dan rakyat. Selain itu juga terkait kesadaran politik. Hal ini menyangkut pengetahuan, minat, dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan.

Faktor lainnya yang turut menentukan tingkat partisipasi adalah pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan. Proses politik dari pengambil kebijakan, terutama terkait dinamika eksekutif dan legislatif, menjadi ukuran sejauhmana publik mengikutinya. Berbekal pengetahuan publik, kepemilikan akses informasi dan media, publik melakukan kontrol terhadap kebijakan untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik.

58 Hasyim Asy’ari’, Arah Sistem Pendaftaran Pemilih Indonesia: Belajar Dari Pengalaman Menuju Perbaikan (2012), diakses dari http://perludem.org/2012/03/20/jurnal-2-memperkuat-sistem-pemutakhiran-daftar-pemilih/ pada 1 Mei 2018 pukul 09.00, hlm: 2-3 59 Perludem, Mendorong Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu (Jakarta: 2014), diakses dari http://perludem.org/2014/02/20/mendorong-partisipasi-masyarakat-dalam-pemilu-2014/, pada 1 Mei 2018 pukul 12.00, hlm. 3

Page 46: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

42

Faktor lainnya adalah nilai budaya atau civic culture yang menjadi basis

terbentuknya demokrasi. Faktor nilai budaya ini menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik. Faktor-faktor di atas turut mempengaruhi tingkat partisipasi politik seorang individu untuk memutuskan apakah menggunakan hak pilih atau tidak di pemilihan umum. Tentu saja, faktor di atas turut menjadi pertimbangan sekaligus alasan mengapa tingkat partisipasi politik bisa turun maupun naik. Keragaman latar belakang sosial maupun politik juga menjadi pertimbangan seseorang dalam menentukan pilihannya. Secara sosial, pemilih cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Pilihannya dalam pemilu dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama.60

Pemutakhiran Daftar Pemilih61 Dalam partisipasi pemilih ada beragam persoalan termasuk faktor teknis yang kesemuanya terkait dengan terakomodir atau tidaknya kepentingan pemilih. Salah satu permasalahan utama yang seringkali muncul dalam penyelenggaraan Pemilu adalah terkait dengan penyusunan daftar pemilih yang masih mengalami kendala dalam hal akurasi, komprehensifitas, dan kemutakhiran data. Sebagai tahapan dengan periodisasi waktu yang paling lama, akurasi pemutakhiran daftar pemilih menjadi krusial karena sangat menentukan tingkat partisipasi politik yang selama ini dianggap menjadi ranah inti dari demokrasi. Daftar Pemilih tidak akurat;

a. Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan b. Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat c. Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS d. Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal e. Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah

ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari pemungutan suara

f. Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.

Dalam rangka meningkatkan akurasi daftar pemilih, KPU telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 176/KPU/IV/2016 perihal Pemutakhiran Daftar Pemilih Berkelanjutan tanggal 6 April 2016 yang pada pokoknya mengatur mengenai tujuan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan, data yang menjadi dasar pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan, teknis pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan melalui aplikasi sidalih, dan supervisi KPU Provinsi terkait pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan di KPU Kabupaten/Kota.

Proses: Durasi: 60 Menit.

No Langkah-langkah Waktu

1 Fasilitator membuka sessi dengan salam dan menyampaikan ke peserta topik bahasan sessi ini adalah tentang identifikasi dan masalah sosial yang akan disampaikan dalam waktu 60 menit.

5’

2 Selanjutnya fasilitator menjelaskan tujuan topik bahasan ini.

3 Secara singkat, fasilitator memperkenalkan narasumber yang akan mempresentasikan makalahnya berdasarkan biodata narasumber.

5’

4 Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk mempresentasikan makalahnya. 30’

5 Fasilitator membuka termin I untuk memberikan kesempatan kepada peserta bertanya atau menyampaikan sanggahan/pendapatnya.

10’

6 Fasilitator memberikan kesempatan kepada narasumber untuk menanggapai dan sanggahan (bila ada).

10’

60 Perludem. Desain Patisipasi Masyakarat Dalam Pemantauan Pemilu (2017), diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/45223-ID-desain-partisipasi-masyarakat-dalam-pemantauan-pemilu.pdf, pada 2 Mei 2018 Pukul 19.00 61 Hanisyah Haesb, Permasalahan dan Solusi Pilkada, diakses dari academia.edu/9435830/permasalahan_dan_solusi_pilkada, pada 2 Mei 2018 Pukul 19.30

Page 47: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

43

5.3. Manajemen Konflik 5.3.1. Pengertian Manajemen Konflik

1. Konflik

Konflik dapat diartikan dengan perbedaan; pertentangan dan perselisihan. Konflik dalam terminology Al-Quran sepadan kata “ikhtilaf” yang berarti berselisih/berlainan (to be at variance); menemukan sebab perbedaan (to find couse of disagreement); berbeda (to differ); mencari sebab perselisihan (to seek cause if dispute), dan sebagainya.

Konflik juga dapat dikatakan merupakan suasana batin yang berisi kegelisahan karena pertentangan dua motif atau lebih, yang mendorong seseorang berbuat dua motif atau lebih kegiatan yang saling bertentangan pada waktu yang bersamaan. Konflik pada hakikatnya adalah segala sesuatu interaksi pertentangan atau antagonistik (berlawanan) antara dua pihak atau lebih.62

2. Manajemen konflik

Merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Dalam garis besar yaitu melakukan suatu daya upaya untuk mengelola konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik.

Menurut Ross (1993), manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.

5.3.2. Hal-Hal Terkait Manajemen Konflik

1. Aspek-Aspek Konflik

Selanjutnya pengertian konflik dapat dilihat dari beberapa aspek-aspek sudut pandang, yaitu: 1. Pandangan tradisional, pandangan ini beranggapan bahwa semua konflik adalah

buruk dan negative, disinonimkan dengan istilah kekerasan (violence), yang

merugikan, tetapi harus dihindari dan diatasi. 2. Pandangan hubungan manusia, pandangan ini berkeyakinan bahwa konflik

merupakan hasil wajar dan tidak terelakkan dalam setiap kelompok. 3. Pandangan interaksional, pandangan iniberkeyakinan bahwa konflik tidak hanya

suatu kekuatan positif dalam suatu kelompok melainkan juga mutlak perlu agar dapat berkinerja efektif.

2. Ciri-Ciri Konflik

Bouling mengemukan ada empat unsur yang menjadi ciri dalam konflik: 1. The parties, konflik pada umumnya terdapat dua pihak yang berlawanan. 2. The field of conflict (bidang konflik), semua kemungkinan arah perkembangan

konflik seperti knflik tertutup, konflik terbuka atau konfrontasi konflik. 3. The dinamics of situation, yaitu suatu situasi dimana masing-masing kelompok

berusaha mendekati pihak ketiga yang dianggap mempunyai kedudukan setingkat atau lebih tinggi dari pihak yang menjadi lawannya.

4. Manajemen, control, or resolutionof conflict, konflik bukanah sesuatu yang dapat berdiri dan tidak dapat secara jelas kapan mulainya dan kapan pula berakhir.

Suatu konflik terjadi apabila dalam kenyataan menunjukan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Paling tidak ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok terlibat

dalam suatu interaksi yang berlawanan. 2. Adanya saling pertentangan dalam mencapai tujuan dan/atau adanya suatu

norma atau nilai-nilai yang aling berlawanan.

62 Veithzal Rivai Zainal dkk, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, (Jakarta:Rajawali Pers: 2017), hlm. 274-279

Page 48: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

44

3. Adanya interaksi yang ditandai dengan perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, megurangi, dan menekan terhadap pihak lain untuk memperoleh kemenangan seperti status, tanggung jawab, pemenuhan kebutuhan, dsb.

4. Adanya tidakkan yang saling berhadap-hadapan akibat pertentangan. 5. Adanya ketidakseimbangan akibat usaha masing-masing pihak yang berkaitan

dengan kedudukan atau kewibawaan, harga diri, prestise, dsb. 3. Sumber/Penyebab Konflik

Sumber-sumber konflik dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu: 1. Biososial, para pakar manajemen menempatkan frustasi-agresi sebagi sumber

konflik. 2. Kepribadian dan interaksi, seperti kepribadian yang abrasive (suka menghasut),

gangguan psikologi, kemiskinan, keterampilan interpersonal, rivalitas,perbedaan gaya interaksi, ketidaksederajatan hubungan.

3. Struktural, Banyak konflik yang melekat pada struktur organisasi dan masyarakat.

4. Budaya dan ideologi, sumber-sumber konflik sering dihasilkan ari perbedaan politik, sosial, agama dan budaya karena perbedaan sistem nilai.

5. Konvergensi (gabungan), dalam keadaan tertentu sumber-sumber konflik itu menjadi satu, sehingga menimbulkan kompleksitas konflik itu sendiri.

4. Dampak Konflik

Hasil kajian ini setidak tidaknya mencatat beberapa dampak negatif mencontoh dari penyelenggaraan pilkada langsung yang berujung pada konflik dalam beragam bentuk. Pertama, adanya intervensi lembaga lembaga penyelenggara dan institusi lainnya seperti MA dan pemerintah pusat dalam menentukan hasil pilihan masyarakat. Dari kasus yang dikaji persoalan hasil akhir penghitungan tidak dipercayai sebagai hasil yang akurat Padahal perbedaan tipis bukanlah alasan untuk mementahkan hasil pemilu di mana pemenangnya ditentukan oleh rakyat yang meiniliki kedaulatan.

Kedua, intervensi dan penyelesaian hasil pilkada langsung justu menciptakan bentuk bentuk ketidakpastian suatu pemilihan Hal ini menunjukkan ketidaksiapan para calon untuk mematuhi rule of the game Budaya tidak siap kalah menjadi salah satu efek negatifdan dampak dari penyelenggaraan pilkada yang memang sejak awal telah menyimpan sejumlah embrio untuk dipertentangkan. Elite yang tidak siap kalah menggunakan massa sebagai instrumen untuk memengaruhi perubahan hasil pilihan rakyat Hal ini tentu merupakan efek negatif dari penyelenggaran pilkada secara langsung. Distorsi dalam pilkada seakan akan terjadi dari tahapan demi tahapan yang penuh ketidakpastian.

Ketiga, pilkada menampakkan wajah democrazy suatu lelucon demokrasi lokal. Kenapa disebut lelucon karena mirip dengan dagelan dan acap kali hasil pilihan rakyat dipelintir oleh kepentingan penyelenggara pemilu dan atau institusi yang lebih tinggi. Sikap massa yang pokoknya menjadi salah satu hambatan bagi demokrasi lokal. Demokrasi sebetulnya bertujuan mengembangkan dialog yang intinya tidak mengharapkan cara-cara yang anarkis. Selain itu demokrasi juga harus diletakkan pada adanya kepercayaan semua pihak atas aturan main yang telah ditentukan. 63

5.3.3. Manajemen Konflik Dalam Pengawasan Pemilu Partisipatif

Dalam pemantauan pemilu merupakan kegiatan mencocokan apakah yang direncanakan sesuai dengan rencana. Maka Bawaslu dalam rangka mengawasi tahapan pemilu harus memastikan seluruh proses pemilu sesuai dengan jadwal.

Jika dalam pengawasan terjadi atau timbul konflik atau persoalan disini peran manajemen konflik dalam menganalisis solusi yang akan diberikan terhadap konflik tersebut sampai pada tingkatan dampak konflik tersebut. Selanjutnya, seorang

63 Dampak Konflik Pilkada Langsung, diakses dari http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/viewFile/499/308, pada 2 Mei 2018 pukul 12:00, hlm. 111

Page 49: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

45

pemantau harus memiliki kecakapan dalam mengelola konflik yang ada. Untuk meminimalisir konflik perlu juga mengetahui alur pelaporan pelanggaran pemilu:

Gambar 4.1. Alur Pelaporan Dugaan Pelanggaran Pemilu64

Proses: Durasi: 180 Menit.

No Langkah-langkah Waktu

1 Fasilitator membuka sessi dengan salam dan menyampaikan ke peserta topik bahasan sessi ini adalah manajemen konflik yang akan disampaikan dalam waktu 180 menit.

5’

2 Selanjutnya fasilitator menjelaskan tujuan topik bahasan ini.

3 Secara singkat, fasilitator memperkenalkan narasumber yang akan mempresentasikan makalahnya berdasarkan biodata narasumber.

5’

4 Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk mempresentasikan makalahnya.

30’

5 Fasilitator membuka termin I untuk memberikan kesempatan kepada peserta bertanya atau menyampaikan sanggahan/pendapatnya.

10’

6 Fasilitator memberikan kesempatan kepada narasumber untuk menanggapai dan sanggahan (bila ada).

5’

7 Fasilitator mengarahkan peserta untuk mengikuti Outbound 5’

8 Peserta mengikuti Outbond 120’

5.4. Membangun Komunitas Basis 5.4.1. Pengertian Komunitas Basis

Menurut Yanuarius Seran (selanjutnya disebut Yanuarius) bahwa ada banyak istilah tentang komunitas basis, antara lain: comunidades de Base=Basic Communities (Komunitas Basis); Grassroots Communities (Komunitas Masyarakat Akar Rumput). Kelompok kecil ini memiliki nama yang berbeda bahkan menghidupi aspek-aspek hidup yang berbeda pula. Menurut C. Boff adalah yang berasal dari lapisan masyarakat yang paling rendah, petani dan buruh. ini merupakan fakta sosial yang ada bukan fakta religius.

Kelompok ini berkembang di wilayah-wilayah orang miskin yakni, di daerah-daerah pedalaman dan daerah-daerah di kota-kota besar. Kepada merekalah informasi pengawasan dan kepemiluan diwartakan. Pada umumnya mereka adalah aktivis-aktivis daerah disetiap lapisan masyarakat yang bertanggungjawab atas tugas-tugas tertentu dalam komunitas. Ringkasnya mereka ini adalah umat awam yang mengabdikan diri kepada masyarakat demi kemajuan yang membebaskan.

64 Tata Cara Melapor Dugaan Pelanggaran Pemilu, diakses dari http://panwaslulsm.blogspot.com/2018/01/tata-cara-melapor-dugaan-pelanggaran.html, pada 2 Mei 2018 pukul 13.00

Page 50: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

46

5.4.2. Pengorganisasian Komunitas Basis Pengorganisasian komunitas basis adalah merupakan fungsi kedua dalam

manajemen dan pengorganisasian didefinisikan sebagai proses kegiatan penyusunan struktur organisasi komunitas sesuai dengan tujuan-tujuan, sumber-sumber, dan lingkungannya. Dengan demikian hasil pengorganisasian adalah struktur organisasi.65

Faktor-faktor yang menentukan perancangan struktur organisasi66 yaitu : 1. Strategi organisasi pencapaian tujuan. 2. Perbedaan teknologi yang digunakan untuk memproduksi output akan membedakan bentuk struktur komunitas. 3. Kemampuan dan cara berfikir para anggota serta kebutuhan mereka juga lingkungan sekitarnya perlu dipertimbangkan dalam penyusunan struktur komunitas. 4. Besarnya organisasi dan satuan kerjanya mempengaruhi struktur organisasi. Unsur-unsur struktur organisasi terdiri dari :

1. Spesialisasi kegiatan 2. Koordinasi kegiatan 3. Standarisasi kegiatan 4. Sentralisasi dan desentralisasi pembuatan keputusan

5. Ukuran satuan kerja

Bagan organisasi memperlihatkan tentang susunan fungsi-fungsi dan departementasi yang menunjukkan hubungan kerja sama. Bagan ini menggambarkan lima aspek utama struktur organisasi, yaitu :

1. Pembagian kerja 2. Rantai perintah 3. Tipe pekerjaan yang dilaksanakan 4. Pengelompokkan segmen-segmen pekerjaan 5. Tingkatan manajemen.

5.4.3. Komunitas Basis Dalam Pengawasan Pemilu Partisipatif

Menyimak dinamika konteks pemilu saat ini, yang diwarnai oleh arus globalisasi, maka pentingnya menjadikan komunitas basis sebagai gambaran ideal dan cermin bagi hidup bersosial dewasa ini. Partisipasi aktif masyarakat menjadi tanda keterlibatan kita bagi perkembangan sosial bangsa Indonesia. Dengan partisipasi dimaksudkan di sini bahwa semua orang melibatkan diri dalam membangun sebuah kepercayaan kepada pemimpin bangsa, oleh karena itu selain ditanggapi secara pribadi perlu diungkapkan secara bersama dengan membentuk komunitas-komunitas kecil di berbagai lapisan masyarakat.

Dan melalui keterlibatan bersama dalam aneka kegiatan kepemiluan seperti berpartisipasi dalam pemilu di TPS-TPS dan penyelenggaraan kampanye. Dengan demikian, semua orang pada akhirnya tanpa kecuali mengambil bagian yang sama dalam membangun bangsa dan negara. Jadi dalam poin ini, seluruh masyarkat dipanggil untuk berpartisipasi dalam bernegara untuk membangun pemilihan umum yang berintegritas, berperan serta dalam konstelasi politik Indonesia khusus dalam memilih pemimpin bangsa dan untuk tampil sebagai contoh masyarakat yang turut berperan dalam bernegara.

Proses: Durasi: 60 Menit.

No Langkah-langkah Waktu

1 Fasilitator membuka sessi dengan salam dan menyampaikan ke peserta topik bahasan sessi ini adalah membangun komunitas basis yang akan disampaikan dalam waktu 60 menit.

5’

2 Selanjutnya fasilitator menjelaskan tujuan topik bahasan ini.

3 Secara singkat, fasilitator memperkenalkan narasumber yang akan mempresentasikan makalahnya berdasarkan biodata narasumber.

5’

4 Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk mempresentasikan 25’

65 Pengertian Pengorganisasian (Organizing) dan Prinsip Pengorganisasian, diakses https://ilmumanajemenindustri.com/pengertian-pengorganisasian-organizing-prinsip-pengorganisasian/, pada 3 Mei 2018 Pukul 08:00 66 Veithzal Rivai Zainal dkk, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, (Jakarta:Rajawali Pers: 2017), hlm. 360

Page 51: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

47

makalahnya.

5 Fasilitator membuka termin I untuk memberikan kesempatan kepada peserta bertanya atau menyampaikan sanggahan/pendapatnya.

5’

6 Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk sharing pengalaman terkait membangun komunitas basis

20’

5.5. Komunikasi Sosial 5.5.1. Definisi Dan Konsep Komunikasi Sosial

1. Definisi Komunikasi Sosial Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya,

baik itu individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Maka Komunikasi yang terjadi dalam proses interaksi sosial, memungkinkan terjadinya pertukaran pesan antarindividu atau kelompok dalam masyarakat yang pada akhirnya terjalin hubungan dan kaitan antar anggota masyarakat semakin membesar jumlahnya terbentuklah beberapa subsistem yang terkait dengan sistem lain dengan adanya interaksi dan komunikasi sosial.67

Komunikasi sosial merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu keadaan sosial yang padu, sehingga komunikasi sosial merupakan kegiatan intensif sering kali terdiri dari berbagai tindak komunikasi, misalnya komunikasi massa, interpersonal, kelompok dan lainnya.

2. Konsep Komunikasi Sosial

Komunikasi sosial memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai, umumnya tujuan ini berupa sosialisasi, penyebaran informasi, penyebaran ide serta suatu cara tertentu dalam melakukan sesuatu yang dipandang penting.

5.5.2. Unsur Dan Bentuk Komunikasi Sosial

1. Unsur-unsur komunikasi sosial: a) Sender (pengirim pesan), melakukan pemilihan bahan-bahan (informasi) yang

akan dikomunikasikan. b) Idea, proses seleksi informasi yang berbuah menjadi ide bisa berupa symbol

atau kode dengan aturan tertentu yang dipahami bersama (misalnya bahasa). c) Massage, Suatu susunan kode atau symbol yang siap disampaikan bisa

disalurkan melalui komunikasi massa atau tatap muka. d) Receiver, penerima pesan lalu melakukan penguraian kode untuk mendapat

makna. e) Idea Understood, dalam proses ini disebut proses pemaknaan sehingga pesan

bisa dipahami. f) Feedback, Penerima bisa memberikan umpan balik dalam bentuk pertanyaan

atau sanggahan bila dirasa informasi kurang tepat. 2. Bentuk-bentuk komunikasi sosial:

a) Komunikasi langsung adalah komunikasi yang dilakukan secara tatap muka. b) Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan menggunakan media

massa sebagai penyampai informasi kepada audiens (khalayak). 5.5.3. Membangun Komunikasi Sosial Yang Efektif

Dalam membangun komunikasi sosial yang efektif dapat dilakukan dengan langkah-langkah perencanaan yang dilalui sehingga tersusun rencana yang komperhensif dan realistis. Berikut langkah-langkahnya: 1. Pengumpulan Data, menentukan dan mengumpulkan data terkait dengan

masyarakat sasaran. 2. Analisis Kebutuhan, menganalisis kebutuhan sesuai dengan kebutuhan yang sudah

ditetapkan. 3. Penentuan Tujuan, perencanaan harus menetapkan tujuan dari kegiatan

komunikasi sosial ini. 4. Inventarisasi Sumber Daya, melakukan perhitungan kebutuhan sumber daya yang

dibutuhkan untuk mencapai semua tujuan di masing-masing tahap dan tujuan program.

67 Djoko Setyabudi, Komunikasi Sosial,(Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2014), hlm. 1.34

Page 52: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

48

5. Penyusunan Rencana Strategis, menyusun berbagai strategi yang dipakai dalam komunikasi sosial. Dalam langkah ini terdapat beberapa unsur strategi yang perlu ditentukan, yaitu: 1. Strategi audiens, 2. Strategi pesan, 3. Strategi Media, dan 4. Strategi Komunikator.

6. Menentukan Taktik, suatu langkah nyata dalam mengoperasionalkan strategi, sehingga taktik tertulis secara jelas dan sifatnya operasional.

7. Menyusun Rencana Aksi, dalam langkah ini disusun rencana aksi yang terdiri dari daftar semua unit kegiatan yang menyertakan waktu pelaksanaan dan dana yang dibutuhkan.

8. Penentuan Metode Evaluasi.

5.5.4. Komunikasi Sosial Dalam Pengawasan Pemilu Partisipatif Terdapat kelompok sosial yang dengan mudah bisa diamati dan memiliki struktur

yang jelas. Kelompok itu misalnya wilayah (RT, RW, desa, kecamatan, kota atau negara), kepentingan, derajat interaksi (kuat atau lemahnya hubungan).

Pentingnya komunikasi dalam memperkuat proses sosial dalam penyelenggaraan pemilu dapat mendorong khalayak dengan sukarela dan sadar bahwa masyakakat merupakan bagian atau bahkan membentuk sistem-sistem sosial dan pranata sosial yang baru. Selanjutnya, komunikasi sosial juga berguna dalam menyampaikan berbagai informasi yang tepat kepada khalayak banyak sehingga dapat meminimalisir konflik dalam penyelenggaraan pemilu. Maka dalam tatanan komunikasi sosial harus saling bersinergi antara kelompok masyarakat itu sendiri dan penyelenggara pemilu sehingga terjadi keselarasan dalam melaksanakan pemilu.

Proses: Durasi: 60 Menit.

No Langkah-langkah Waktu

1 Fasilitator membuka sessi dengan salam dan menyampaikan ke peserta topik bahasan sessi ini adalah komunikasi sosial yang akan disampaikan dalam waktu 60 menit.

5’

2 Selanjutnya fasilitator menjelaskan tujuan topik bahasan ini.

3 Secara singkat, fasilitator memperkenalkan narasumber yang akan mempresentasikan makalahnya berdasarkan biodata narasumber.

5’

4 Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk mempresentasikan makalahnya.

30’

5 Fasilitator membuka termin I untuk memberikan kesempatan kepada peserta bertanya atau menyampaikan sanggahan/pendapatnya.

10’

6 Fasilitator memberikan kesempatan kepada narasumber untuk menanggapai dan sanggahan (bila ada).

10’

Page 53: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

49

TOPIK 6 : SISTEM PEMILU DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA 6.1. Konstitusi Politik 6.1.1. Pengertian Konstitusi

Konstitusi pada umumnya menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara berisi tentang sekumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara. Peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang dan ada yang tidak tertulis yang berupa kebiasaan dalam praktik penyelenggaraan negara. Dengan demikian, pengertian konstitusi ini dapat menunjuk pada peraturan ketatanegaraan baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Istilah konstitusi pada mulanya berasal dari perkataan bahasa Latin yaitu Constitutio yang berkaitan dengan kata jus atau ius yang berarti hukum atau prinsip.68 Pada perkembangannya di masa modern, bahasa yang menjadi sumber rujukan mengenai istilah ini diantaranya berasal dari kata constituer (Prancis) diartikan sebagai membentuk. Maksud dari membentuk dapat dimaknai sebagai menata, dan menyusun suatu negara. Demikian pula dalam bahasa Inggris kata constituion dapat berarti mengangkat, mendirikan atau menyusun. Dalam bahasa Belanda, istilah konstitusi dikenal dengan sebutan gronwet yang berarti undang-undang dasar.

Secara sederhana Brian Thompson menyatakan bahwa konstitusi adalah “a constitution is a document which contains the rules of operation of organization,” 69 (konstitusi adalah dokumen atau naskah yang mengandung aturan-aturan suatu organisasi beroperasi atau berjalan). Organisasi dimaksud beragam bentuk dengan kompleksitas strukturnya.

Dalam konteks hukum tata negara(Inggris), Sedangkan Philip Hood and Jackson menyatakan bahwa konstitusi adalah : “ a body of laws, customs and conventions that define the composition and powers of the organs of the State and that the regulate the relations of the various State organs to one another and the private citizen,”70 (suatu

bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan dan kekuasaan organ-organ negara dan yang mengatur hubungan-hubungan diantara berbagai organ negara itu satu sama lain, serta hubungan organ-organ negara itu dengan warga negara).

Dari pendapat Brian Thompson dan Philip Hood and Jackson maka dapat disimpulkan bahwa konstitusi dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis; 1) Konstitusi tertulis, merupakan naskah yang menjabarkan dan menjelaskan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan serta menentukan cara kerja dari badan-badan pemerintahan tersebut. Konstitusi tertulis ini dapat dikenal dengan sebutan undang-undang dasar, dan 2) Konstitusi tidak tertulis, merupakan suatu aturan yang tidak tertulis yang ada dan dipelihara dalam praktik penyelenggaraan negara di suatu negara. Konstitusi tidak tertulis ini dikenal dengan sebutan konvensi..

Konstitusi yang dimaknai sebagai keseluruhan aturan dan ketentuan dasar yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang bersifat prinsip memiliki kedudukan sangat penting karena menjadi tolok ukur kehidupan dalam berbangsa dan bernegara untuk mengetahui aturan-aturan pokok yang ditujukan baik kepada penyelenggara negara maupun masyarakat dalam ketatanegaraan. Konstitusi pada makna ini memiliki kedudukan sebagai : - Sebagai hukum dasar

Dalam hal ini, konstitusi memuat aturan-aturan pokok mengenai penyelengara negara, yaitu badan-badan/lembaga-lembaga pemerintahan dan memberikan kekuasaan serta prosedur penggunaan kekuasaan tersebut kepada badan-badan pemerintahan.

- Sebagai hukum tertinggi

68 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Konpress, 2005), hal.1. 69 Brian Thompson, Textbook a Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London : Blackstone PressLtd., 1977) hal.3. 70 Philips, Op. Cit., hal. 5.

Page 54: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

50

Dalam hal ini, konstitusi memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap peraturan-peraturan yang lain dalam tata hukum pada suatu negara. Dengan demikian, aturan-aturan di bawah konstitusi tidak bertentangan dan harus sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat pada konstitusi.

Konstitusi dalam hal ini memiliki tujuan dan fungsi, pada umumnya konstitusi

mempunyai tujuan untuk membatasi kekuasaan penyelenggara negara agar tidak menggunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang serta dapat menjamin hak-hak warga negara. Tujuan konstitusi ini merupakan suatu gagasan yang disebut dengan konstitusionalisme. Maksud dari konstitusionalisme adalah suatu gagasan yang memandang pemerintah (penyelenggara pemerintahan) sebagai suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat yang kekuasaannya harus dibatasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Ivo. D Duchacek terkait konstitusi : “identify the sources, purpuses, uses and restraints of public power,”71 (mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-penggunaan, dan pembatasan kekuasaan umum). Oleh sebab itu maka konstitusi bagi suatu penyelenggaraan negara dapat berfungsi sebagai : - Membatasi atau mengendalikan kekuasaan penguasa agar bijak dalam

menjalankan kekuasaannya dan tidak melakukan praktik sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

- Memberi suatu kerangka dan dasar hukum untuk melakukan perubahan pada masyarakat yang dicita-citakan pada tahap-tahap selanjutnya.

- Sebagai landasan penyelenggaraan negara yang dijunjung tinggi oleh semua warga negaranya, baik penguasa maupun rakyat (sebagai landasan struktural).

6.1.2. Pengertian Politik

Pengertian politik dari bahasa Yunani yaitu politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara, adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik merupakan seni dan ilmu untuk mendapatkan kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Seecara umum politik dapat diartikan sebagai sebuah tahapan untuk membangun

posisi-posisi kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat. negara. Pengambilan keputusan (decisions making) menjadi tujuan dari sistem politik menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih.

Jika ditinjau berdasarkan kepentingan penggunanya maka terdapat 2 (dua)

pengertian politik, yaitu pengertian politik dalam arti kepentingan umum dan pengertian politik dalam arti kebijaksanaan. Pengertian politik dalam artian kepentingan umum berarti adalah segala usaha yang dilakukan terfokus pada kepentingan umum baik itu yang ada dibawah kekuasaan negara maupun pada daerah. Sedangkan pengertian politik secara sederhana adalah sebuah teori, metode atau teknik dalam memengaruhi orang, baik sipil maupun individu.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian politik adalah perilaku atau

aktivitas yang dilakukan untuk mewujudkan segala macam kebijakan dalam tatanan Negara untuk dapat merealisasikan cita-cita dan tujuan Negara sesungguhnya.

Jika membicarakan politik, maka erat kaitannya dengan negara, kekuasaan,

pengambilan keputusan, kebijakan umum, hingga distribusi kemakmuran. Untuk menambah refrensi terkait pengertian tentang politik, secara spesifik dalam modul ini akan dijabarkan pengertian politik melalui 3 (tiga) pendekatan; 1) pengertian politik secara etimologi, 2) pengertian politik menutut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan 3) pengertian politik menurut pendapat ahli. Sebagai berikut :

71 Ivo D. Dukhacek, “Constitution and Contitutionalism” dalam Bognador Venon (ed) , Blackwell’s Encyclopedia of Political Sciene, (Oxford Blackwell, 1987) hal 142

Page 55: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

51

a) Pengertian Politik Secara Etimologi

Politik sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu politiek dan bahasa Inggris yaitu politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya adalah polites – warga negara dan polis – negara kota.

Jadi, secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan kebijakan. Sedangkan kata “politis” berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Adapun kata “politisi” berarti orang-orang yang bergelut di bidang politik.

Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota atau negara kota. Turunan dari kata tersebut yaitu: polites berarti warga negara. politikos berarti kewarganegaraan. politike tehne berarti kemahiran politik. politike episteme berarti ilmu politik.

Kata ini berpengaruh ke wilayah Romawi sehingga bangsa Romawi memiliki

istilah ars politica yang berarti kemahiran tentang masalah kenegaraan. Politik pun dikenal dalam bahasa Arab dengan kata siyasah yang berarti mengurus

kepentingan seseorang. Sedangkan politik secara terminologis dapat diartikan sebagai berikut : Menunjuk kepada satu segi kehidupan manusia bersama dengan

masyarakat. Lebih mengarah pada politik sebaga usahai untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar atau memperluas serta mempertahankan kekuasaan (politics). Misal: kejahatan politik, kegiatan politik, hak-hak politik.

Menujuk kepada “satu rangkaian tujuan yang hendak dicapai” atau “cara-cara atau arah kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu”. Lebih mengarah pada kebijakan (policy). Misal: politik luar negeri, politik dalam negeri, politik keuangan.

Menunjuk pada pengaturan urusan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Pemerintah mengatur urusan masyarakat, masyarakat melakukan koreksi terhadap pemerintah dalam melaksanakan tugasnya (siyasah).

Jika dicermati diantara ketiga definisi tersebut definisi pertama lebih

cenderung memiliki konotasi negatif dibandingkan definisi kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan fokus atau orientasi yang definisi pertama mengarah pada politik kekuasaan, bahwa untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dalam jalan apapun entah baik entah buruk, kekuasaan dapat diraih dengan menghalalkan segala cara dan lebih berorientasi pada kepentingan pemimpin atau elit yang berkuasa.

Sedangkan definisi politik yang kedua dan ketiga lebih berorientasi pada politik pelayanan (politics-service) terhadap masyarakat, dimana pemimpin mengambil posisi sebagai pelayan masyarakat bukan dan bukan sebagai penguasa aset-aset strategis.

b) Pengertian Politik Menurut KBBI72

Pengertian politik menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah, (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang

sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai

pemerintahan negara atau terhadap negara lain Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah);

kebijaksanaan

1) Pengertian Politik Menurut Para Ahli Selain pengertian politik berdasarkan etimologi dan KBBI diatas, para ahli atau pakar memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda-beda dalam mendefinisikan apa itu

72 Kamus Besar Bahasa Indonesia Tentang Pengertian Politik

Page 56: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

52

politik. Berikut adalah beberapa pengertian politik menurut para ahli atau pakar tentang politik :

Aristoteles

Bahwa arti pengertian politik adalah upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki.

Joice Mitchel

Pengertian politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum masyarakat seluruhnya.

Prof. Miriam Budhiarjo

Pengertian politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan dari tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, dapat dikatakan bahwa politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan negara maupun proses pengambilan keputusan ketatanegaraan.

Johan Kaspar Blunchli Politik adalah ilmu yang memerhatikan masalah kenegaraan, dengan memperjuangkan pengertian dan pemahaman tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya dalam berbagai bentuk atau manifestasi pembangunannya. Menurutnya, politik juga membuat konsep-konsep pokok tentang negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision marking), kebijaksanaan (policy of beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).

Roger F. Soltau

Definisi politik adalah ilmu yang mempelajari negara, tujuan-tujuan negara, dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu.

W.A Robson

Politik adalah ilmu yang mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil.

Robert

Politik adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia.

Hans Kelsen

Ia menjelaskan bahwa politik mempunyai dua arti, yaitu sebagai berikut. 1. Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar

tetap hidup secara sempurna. 2. Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik) manusia atau

individu untuk mencapai tujuan.

Franz Magnis Suseno

Pengertian politik segala kegiatan manusia yang berorientasi kepada masyarakat secara keseluruhan, atau yang berorientasi kepada negara. Sebuah keputusan disebut keputusan politik apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Suatu tindakan harus disebut politis apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan.

Sri Sumantri

Pengertian politik menurut Sri Sumantri adalah pelembagaan dari hubungan antar manusia yang dilembagakan dalam berbagai badan politik, baik suprastruktur politik dan infrastruktur politik.

Harold Laswell

Arti politik adalah ilmu yang mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.

Ramlan Surbakti

Politik adalah proses interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk menentukan kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Maurice Duverger

Definisi politik menurut Maurice Duverger adalah kekuasaan, kekuatan seluruh jaringan lembaga-lembaga (institusi) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal ini suasana didominasi beberapa orang atas orang lain.

Rod Hague

Definisi politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya.

Page 57: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

53

Max Weber

Pengertian politik menurut Max Weber adalah sarana perjuangan untuk sama-sama melaksanakan politik atau perjuangan untuk mempengaruhi pendistribusian kekuasaan baik di antara Negara-negara maupun diantara hukum dalam suatu Negara.

Cheppy H.Cahyono

Politik adalah macam-macam kegiatan dalam system politik atau Negara yang menyangkut proses menentukan dan sekaligus melaksanakan tujuan-tujuan sistem tersebut

Gabriel A. Almond

Bahwa politik adalah kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa). Politik mengacu pada penggunaan instrumn otoritatif dan koersif ini-siapa yang berhak menggunakannya dan dengan tujuan apa.

Kartini Kartolo

Pengertian politik menurut Kartini Kartolo adalah aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat.73

Dari paparan tentang konstitusi dan politik diatas maka dapat disimpulkan bahwa

pemahaman konstitusi politik adalah dasar hukum yang berisi tentang aturan-aturan baik tertulis maupun tidak tertulis dalam hal pembuatan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan publik.

6.2. Sistem Pemilu Di Indonesia

Pemilu merupakan sarana bagi kekuatan politik untuk meraih kekuasaan politik dengan cara yang konstitusional. Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu menyatakan bahwa Pemilu merupakan sarana kedaulatan ratkyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasra, jdur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasiladan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.74 Karena Pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat maka kekuatan politik sesungguhnya terletak pada rakyat itu sendiri untuk menentukan keterwakilan dan sekaligus pemimpinnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Djohermasyah Djohan, dkk yang menyatakan bahwa : “ rakyatlah yang menjalankan pemerintahan melalui wakil-wakil yang mereka pilih sendiri.”75

Selama hampir 6 (enam) dekade Indonesia sebagai negara telah menyelenggarakan Pemilu sebayak 11 (sebelas) kali sejak Pemilu pertama yang diselelengarakan pada Tahun 1955. Sistem Pemilu yang telah dilaksankan sepanjang sejarah pelaksanan Pemilu di Inonsia adalah sietem pemilu proporsional, baik proporsional tertutup maupun terbuka. Berdasarkan teori, setidaknya terdapat 3 (tiga) sistem Pemilu; 1) sistem pemilu proporsional, 2) sistem pemilu distrik, dan 3) sistem pemilu campuran. 76

6.2.1. Sistem Pemilu Proporsional (Perwakilan Berimbang/ Propotional Representation)

Sistem Pemilu Proporsional merupakan sistem pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi disuatu daerah pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi lebih banyak disuatu daerah pemilihan, begitupun sebaliknya. Sistem ini juga mengatur tentang proporsi antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai politik untuk kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh suatu parta politik tersebut. Dasar pemikiran Proporsional adalah kesadaran

73 Diolah dari beberapa sumber 74 Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 1 75 Djohermasyah Djohan, dkk, Cet. 20; ED. 1, Sitem Kepartaian dan Pemilu, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 20016), hal. 7.2 76 Djohermasyah Djohan, dkk, Cet. 20; ED. 1, Sitem Kepartaian dan Pemilu, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 20016), hal. 7.14 s.d 7.14

Page 58: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

54

untuk menerjemahkan penyebaran suara pemilih bagi setiap partai menurut proporsi kursi yang ada di legislatif. Varian Sistem Pemilu Proporsional

Sistem Proporsional Terbuka Sejak Pemilu 1955 hingga 1999, pemilu di Indonesia digelar di bawah sistem proporsional tertutup (closed lists). Dengan sistem ini, pemilih hanya memilih tanda gambar partai. Suara itu jatuh untuk partai, yang kemudian didistribusikan ke daftar calon anggota legislatif (caleg) yang disusun pimpinan partai yang secara implisit berada di balik tanda gambar yang dipilih pemilih.77

Sistem Proporsional Tertutup Pada Pemilu 2004 lalu, terjadi perubahan. Pemilih tidak lagi hanya memilih tanda gambar partai, tapi juga sudah boleh memilih langsung nama caleg. Daftar caleg sudah eksplisit dimuat di surat suara, agar bisa dicontreng. Undang-Undang No 12/2003 tentang Pemilu Legislatif yang menyatakan “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.78

6.2.2. Sistem Pemilu Distrik

Dalam sistem Distrik, jumlah penduduk di suatu wilayah akan sangat berpengaruh terhadap wakilnya. Karena di sistem Distrik, daerah pemilihannya berbasis pada jumlah penduduk. Lalu dalam sistem ini pula daerah pemilihannya cenderung kecil karena hanya berupa distrik. Sehingga, jumlah daerah pemilihan akan sangat banyak, terutama jika diterapkan di negara yang wilayahnya sangat luas. Lalu, seorang caleg yang akan mewakili daerahnya haruslah berasal dan berdomisili di daerah pemilihan tersebut. Jika ada caleg yang berasal dari luar daerah akan cukup sulit untuk mendapatkan suara, karena masyarakat kurang mengenalnya. Jadi, seorang caleg haruslah memiliki kualitas dan tingkat kepopuleran yang cukup tinggi. Dalam sistem ini cenderung mengarah pada sistem disentralisasi karena wakilnya sangat loyal kepada partai maupun pemilihnya. Varian Sistem Pemilu Distrik.

First Past The Post Sistem ini ditujukan demi mendekatkan hubungan antara calon legislatif dengan

pemilih. Kedekatan ini akibat daerah pemilihan yang relatif kecil (distrik). Sebab itu, First Past The Post kerap disebut sistem pemilu distrik. Wilayah distrik kira-kira sama dengan satu kota (misalnya: Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bogor, dan sejenisnya). Kecilnya wilayah yang diwakili, membuat warga kota mengenal siapa calon legislatifnya. Jika sang calon legislatif menang pemilu, maka warga kota mudah melihat kinerjanya.

Block Vote Sistem ini adalah penerapan pluralitas suara dalam distrik dengan lebih dari 1 wakil. Pemilih punya banyak suara sebanding dengan kursi yang harus dipenuhi di distriknya, juga mereka bebas memilih calon terlepas dari afiliasi partai politiknya. Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih sendiri. Block Vote biasa digunakan di negara dengan partai politik yang lemah atau tidak ada. .

Two Round System Two Round System (TRS) adalah sistem mayoritas/pluralitas di mana proses pemilu tahap 2 akan diadakan jika pemilu tahap 1 tidak ada yang memperoleh suara mayoritas yang ditentukan sebelumnya (50% + 1). TRS menggunakan sistem yang sama dengan FPTP (satu distrik satu wakil) atau seperti BV/PBV (satu distrik banyak wakil). Dalam TRS, calon atau partai yang menerima proporsi suara tertentu memenangkan pemilu, tanpa harus diadakan putaran ke-2. Putaran ke-2 hanya diadakan jika suara yang diperoleh pemenang tidak mayoritas. Jika diadakan putaran kedua, maka sistem TRS ini bervariasi. Sistem yang umum adalah, mereka yang ikut serta adalah calon-calon dengan suara terbanyak pertama dan kedua putaran pertama. Ini disebut majority run-off, dan akan menghasilkan suara mayoritas bulat (50%+1).

Alternative Vote Alternate Vote (AV) Sama dengan First Past The Post (FPTP) sebab dari setiap distrik dipilih satu orang wakil saja. Bedanya, dalam Alternate Vote pemilih melakukan ranking terhadap

77 https://lovenadewi.wordpress.com/mata-kuliah-an/ilmu-politik/sistem-pemilu/ 78 Undang-Undang No 12/2003 tentang Pemilu Legislatif, pada Pasal 6 Ayat (1)

Page 59: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

55

calon-calon yang ada di surat suara (ballot). Misalnya rangkin 1 bagi favoritnya, rangking 2 bagi pilihan keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketiga, dan seterusnya. Alternate Vote sebab itu memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di antara kandidat yang ada, ketimbang Cuma memilih 1 saja seperti di FPTP. Alternate Vote juga berbeda dengan FPTP dalam hal perhitungan suara. Jika FPTP ada 1 calon yang memperoleh 50% suara plus 1, maka otomatis dia memenangkan pemilu distrik. Dalam Alternate Vote, calon dengan jumlah pilihan rangking 1 yang terendah, tersingkir dari perhitungan suara. Lalu, ia kembali diuji untuk pilihan rangking 2-nya, yang jika kemudian terendah menjadi tersingkir. Setiap surat suara kemudian diperiksa hingga tinggal calon tersisa yang punya rankin tinggi dalam surat (ballot) suara. Proses ini terus diulangi hingga tinggal 1 calon yang punya suara mayoritas absolut, dan ia pun menjadi wakil distrik. Alternate Vote, sebab itu, merupakan sistem pemilu mayoritas. Sistem pemilu Alternate Vote digunakan di Fiji dan Papua Nugini.

Party Block Vote. Esensi Party Block Vote sama dengan FPTP, bedanya setiap distrik partai punya lebih dari 1 calon. Partai mencantumkan beberapa calon legislatif dalam surat suara. Pemilih Cuma punya 1 suara. Partai yang punya suara terbanyak di distrik tersebut, memenangkan pemilihan. Caleg yang tercantum di surat suara otomatis terpilih pula. Sistem ini digunakan di Kamerun, Chad, Jibouti, dan Singapura. Varian Sistem Pemilu Distrik

6.2.3. Sistem Pemilu Campuran

Menggabungkan dua sistem sekaligus antara sistem distrik dan sistem proporsional. Setengah dari anggota parlemen di pilih melalui sistem distrik dan setengah lainnya lagi di pilih melalui proporsional. Ada keterwakilan sekaligus ada kesatuan geografis.

Varian Sistem Pemilu Campuran

Mixed Member Proportional Di bawah sistem Mixed Member Proportional, kursi sistem Proporsional dianugrahkan bagi setiap hasil yang dianggap tidak proporsional. Contohnya, jika satu partai memenangkan 10% suara secara nasional, tetapi tidak memperoleh kursi di distrik/daerah, lalu partai itu akan dianugrahkan kursi yang cukup dari daftar Proporsional guna membuat partai tersebut punya 10% kursi di legislatif. Pemilih mungkin punya 2 pilihan terpisah, sebagaimana di Jerman dan Selandia Baru. Alternatifnya, pemilih mungkin membuat hanya 1 pilihan, dengan total partai diturunkan dari total calon tiap distrik. Mixed Member Proportional digunakan di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru, dan Venezuela. Di negara-negara ini, kursi distrik dipilih menggunakan FPTP. Hungaria menggunakan TRS dan metode Italia lebih rumit lagi: seperempat kursi di majelis rendah dicadangkan untuk mengkompensasikan suara terbuang di distrik-distrik dengan satu wakil. Meskipun Mixed Member Proportional didesain untuk hasil yang lebih proporsional, adalah mungkin terjadi ketidakproporsionalan begitu besar di distrik dengan satu wakil, sehingga kursi yang terdaftar tidak cukup untuk mengkompensasikannya.

Paralel Sistem Paralel secara berbarengan memakai sistem Proporsional dan Mayoritas/Puluralitas, tetapi tidak seperti MMP, komponen Proporsional tidak mengkompensasikan sisa suara bagi distrik yang menggunakan Mayoritas/Pluralitas. Pada sistem Paralel, seperti juga pada MMP, setiap pemilih mungkin menerima hanya satu surat suara yang digunakan untuk memilih calon ataupun partai (Korea Selatan) atau surat suara terpisah, satu untuk kursi Mayoritas/Pluralitas dan satunya untuk kursi Proporsional (Jepang, Lithuania, dan Thailand). Sistem paralel kini dipakai 21 negara. Armenia, Conakry, Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Russia, Eychelles, Thailand, Timor Leste dan Ukraina menggunakan FPTP satu distrik satu wakil bersama dengan komponen Proporsional Daftar, sementara Azerbaijan, Georgia, Kazakhstan, Lithuania, dan Tajikista menggunakan Two Round System untuk distrik satu wakil untuk sistemnya.

6.3. Kelebihan dan Kekurangan Masing-masing Sistem Pemilu 6.3.1. Kelebihan dan Kekurangan Sitem Pemilu Proporsional

a. Kelebihannya :

Page 60: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

56

1. Secara konsisten mengubah setiap suara menjadi kursi yang dimenangkan, dan sebab itu menghilangkan “ketidakadilan” seperti sistem Mayoritas/Pluralitas yang “membuang” suara kalah.

2. Mewujudkan formasi calon dari partai-partai politik atau yang kelompok yang “satu ide” untuk dicantumkan di daftar calon, dan ini mengurangi perbedaan kebijakan, ideologi, atau kepemimpinan dalam masyarakat.

3. Mampu mengangkat suara yang kalah (bergantung Threshold). 4. Memfasilitasi partai-partai minoritas untuk punya wakil di parlemen. 5. Membuat partai-partai politik berkampanye di luar “basis wilayahnya.” 6. Memungkinkan tumbuh dan stabilnya kebijakan, oleh sebab Proporsional

menuntun pada kesinambungan pemerintahan, partisipasi pemilih, dan penampilan ekonomi.

7. Memungkinkan partai-partai politik dan kelompok kepentingan saling berbagi kekuasaan.

b. Kekurangan : 1. Menyebabkan munculnya pemerintahan berdasarkan koalisi, sehingga kadang

kebijakan-kebijakan menjadi tidak koheren. 2. Mampu menyebabkan fragmentasi partai-partai politik, di mana partai minoritas

mampu memainkan peran besar dalam tiap koalisi yang dibuat. 3. Mampu memunculkan partai-partai ekstrim (kiri maupun kanan) 4. Sistem ini cukup rumit (terutama dalam penanggulangan “suara sisa”)

6.3.2. Kelebihan dan Kekurangan Sitem Pemilu Distrik

a. First Past The Post kelebihannya antara lain : o Dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai o Cenderung menghasilkan pemerintahan kuat dari satu partai o Mendorong munculnya oposisi o Memungkinkan hadirnya kandidat independen o Sistem ini cukup sederhana serta mudah dimengeri pemilih.

Kelemahan : o Banyak suara terbuang o Menghalangi perkembangan multipartai yang plural o Mendorong tumbuhnya partai etnis/kesukuan.

b. Block Vote, kelebihan sistem ini : o Memberikan keleluasaan bagi pemilih untuk menentukan pilihannya o Sistem ini juga menguntungkan partai-partai yang punya basis koherensi

anggota dan organisasi yang kuat. Kekurangannya adalah,: o Sistem ini bisa menunjukkan hasil yang sulit diprediksi. Misalnya, saat pemilih

memberikan semua suara kepada semua calon dari satu partai yang sama, maka ini membuat kelemahan FPTP tampak: Partai atau kepentingan selain partai tersebut menjadi terabaikan.

o Selain itu, oleh sebab setiap partai boleh mencalonkan lebih dari 1 calon, maka terdapat kompetisi internal partai dari masing-masing calon untuk memperoleh dukungan pemilih.

Party Block Vote, kelebihannya adalah :

o Mudah digunakan o Menghendaki partai yang kuat o Memungkinkan partai-partai memilih caleg yang merepresentasikan kalangan

minoritas. Kelemahan dari Party Block Vote adalah: o Banyak suara yang terbuang o Kemungkinan adanya sejumlah kelompok minoritas yang sama sekali tidak

punyak wakil di parlemen.

Alternative Vote (AV), kelebihannya adalah :

o Memungkinkan pilihan atas sejumlah calon berakumulasi, hingga kepentingan yang berbeda tapi berhubungan dapat dikombinasi guna memperoleh perwakilan.

o Alternative Vote juga memungkinkan pendukung tiap calon yang tipis harapan menangnya untuk tetap punya pengaruh lewat ranking ke-2 dan seterusnya. Sebab itu, AV menghendaki tiap kandidat harus bisa menarik simpati pemilih dari

Page 61: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

57

luar partainya. Pemilih dari luar partainya adalahpemilih potensial, yang akan menaruh si calon di ranking ke-2 dan seterusnya. Kelemahan AV adalah,:

o Menghendaki tingkat baca-tulis huruf dan angka yang tinggi di kalangan pemilih, di samping kemampuan pemilih untuk menganalisis para calon.

Two Round System (TRS), kelebihannya :

o Memungkinkan pemilih punya kesempatan kedua bagi calon yang dijagokannya sekaligus mengubah pikirannya

o Memungkinkan kepentingan yang beragam berkumpul di kandidat yang masuk ke putaran kedua pemilu.

Kekurangannya adalah : o Membuat penyelenggara Pemilu (panitia) bekerja ekstra keras jika ada putaran

kedua, o Membuat dana pemilu membengkak o TRS juga dicurigai membuat fragmentasi antar partai-partai politik.

6.3.3. Kelebihan dan Kekurangan Sitem Pemilu Campuran

a. Kelebihannya sistem Pemilu Campuran adalah : 1. Dalam hal ketidakproporsionalan, sistem ini memberikan hasil antara

Mayoritas/Pluralitas murni dan Proporsional murni. Satu keuntungannya adalah, tatkala cukup kursi Proporsional, partai kecil minoritas yang kurang sukses di pemilihan Mayoritas/Pluralitas tetap dianugerahi kursi melalui sistem Proporsional atas setiap suara yang diperoleh.

2. Sebagai tambahan, sistem Paralel secara teoretis, kurang menciptakan fragmentasi partai ketimbang sistem pemilihan murni Proporsional.

b. Kelemahannya adalah: 1. Sebagaimana terjadi dengan Mixed Member Proportional, akan menciptakan dua

kategori wakil rakyat. 2. Sistem ini tidak menjamin keproporsionalan 3. Sejumlah partai kemungkinan akan tetap kehilangan representasi kendatipun

memenangkan jumlah suara secara substansial. Sistem Paralel juga relatif rumit dan membuat pemilih bingung sebagaimanan ini juga menimpa para panitianya

6.4. Sistem Kepartaian Dan Sistem Pemerintahan Di Indonesia 6.4.1. Sistem Kepartaian

Sistem kepartaian adalah suatu mekanisme interaksi antar partai politik dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Dengan kata lain karena tujuan utama dari partai politik ialah mencari dan mermpertahankan kekuasaan untuk mewujudkan program-program yang disusun berdasar ideologi tertentu, maka untuk merealisasikan program-program tersebut partai-partai politik yang ada berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu sistem kepartaian secara klasik. 79

Sistem kepartaian di Indonesia menganut sistem multi partai. Aturan ini tersirat dalam pasal 6A(2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakio presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Ini artinya sistem kepartaian di Indonesia harus diikuti oleh minimal 3 partai politik atau lebih.

Sistem kepartaian merupakan pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, sistem kepartaian juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada. Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling mudah dan paling

79 Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta: Graham Ilmu,t.t., hal 112-114

Page 62: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

58

banyak dilakukan peneliti adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik. 80

Konstitusi kita ( UUD 1945 ) tidak mengamanatkan secara jelas sistem kepartaian apa yang harus diimplementasikan. Meskipun demikian konstitusi yang mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multipartai, yaitu pasal 6 A ( 2 ) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”pasangan Presiden dan Wakil Presiden di usulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multi partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden, adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata gabungan partai politik artinya paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk calon presiden untuk bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik lain.81 Dengan demikian pasal tersebut di dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden paling sedikit ada tiga partai politik. Kenyataanya, Indonesia telah menjalankan sistem multi partai sejak Indonesia mencapai kemerdekaan.

6.4.2. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan diartikan sekelompok organ ( alat ) Pemerintah baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit yang bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan dari Pemerintah / Negara yang telah ditentukan sebelumnya.

Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu dikategorikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan Pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berarti kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan Yudikatif yang berati kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga Eksekutif, Legislatif Dan Yudikatif. Jadi sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan saling berkaitan. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu sistem Pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara

Keberadaan sistem kepartaian multipartai merupakan penyedia atau agen kebutuhan individu untuk megisi sistem pemerintahan. Namun disisi lain, Indonesia dengan sistem kepartaian multipartai dan sistem pemerintahan presidensial pada kenyataannya belum tentu saling mendukung terciptanya pemerintahan yang stabil dan efektif.

6.5. Penyelenggara Pemilu 6.5.1. Kedudukan Lembaga Penyelenggara Pemilu Dalam UUD 1945

Organisasi kelembagaan Pemilu di Indonesia menurut UU No.7 Tahun 2017 adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum), BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu), DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). 82 Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah amanat dari Konstitusi UUD 1945 Pasal 22E Ayat 5 yang menyebutkan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, teta, dan mandiri.

6.5.2. Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KpU adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan pemilu. 83KPU pusat beranggotakan 7 (tujuh) komisioner yang dipilih oleh panitia seleksi (pansel) kemudian diseleksi oleh DPR melalui proses fit and proper test setelah itu ditetapkan dan dilantik oleh Presiden. Sedangkan KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang dan KPU Kabupaten/ Kota beranggotakan 3 (tiga) atau 5 (5) orang. KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu dibantu oleh kesekretariatan, di tingkat pusat

80 http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/sistem-kepartaian-dan-partai-politik.html 81 Undang-undang Dasar Tahun 1945 Pasal 6A 82 Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 5 83 Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 1 Ayat (8)

Page 63: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

59

dipimpin oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen). Kesekretariatan diisi oleh tenaga-tenaga baik melalui jalur PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan non PNS.

KPU memiliki perangkat Organisasi (Kelembagaan) dari tingkat nasional sampai tingkat yang paling bawah, yakni Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pada tingkat nasional disebut KPU, dan berturut-turut ke bawahnya adalah KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)/Panitia Pemilihan Distrik (PPD), Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat Desa/Kelurahan, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS. Sedangkan untuk penyelenggaraan Pemilu di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN)dan Kelompok Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).

Untuk Aceh, nomenklaturnya adalah Komisi Independen Pemilihan (KIP). Berturut-turut dari tingkat provinsi sampai tingkat TPS adalah KIP Aceh, KIP Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS.

Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPU Tugas KPU

KPU sebagai penyelenggara pemilu memiliki tugas, wewenang, dan kewajiban yang diatur oleh Undang-undang. Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, tugas KPU dalam penyelenggaraan pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilihan Kepala Daerah adalah sebagai berikut : a. merencanakan program dan anggaran sertamenetapkan jadwal; b. menyusun tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS,

PPLN, dan KPPSLN; c. menyusun Peraturan KPU untuk setiap tahapan Pemilu; d. mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau semua

tahapan Pemilu; e. menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi; f. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data Pemilu terakhir dengan

memperhatikan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;

g. membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi penghitungan hasil suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi Peserta pemilu dan Bawalu

h. mengumumkan calon anggota DPR, calon anggota DPD, dan Pasangan Calon terpilih serta membuat berita acaranya;

i. menindaklanjuti dengan segera puhrsan Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran atau sengketa Pemilu;

j. menyosialisasikan penyelenggaraan pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat;

k. melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan Penyelenggaraan pemilu; dan

l. melaksanakan tugas lain dalam penyelenggaraan pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.84

Wewenang KPU

Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut KPU dibekali wewenang yang tertuang dalam UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 13, yaitu : a. menetapkan tata cara KPU, KPU provinsi, KpU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS,

PPLN, dan KPPSLN; b. menetapkan Peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu; c. menetapkan peserta pemilu; d. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi perghitungan suara tingkat

nasional berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU provinsi untuk Pemilu Presiden dan Wakil presiden dan untuk pemilu anggota DPR serta hasil rekapitulasi penghitungan suara di setiap KPU provinsi untuk pemilu anggota DPD dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;

84 Undang-undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 13

Page 64: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

60

e. menerbitkan keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya;

f. menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/ Kota untuk setiap partai politik peserta pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten / Kota;

g. menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan,;

h. membentuk KPU Provinsi, KPU Kabupaten/ Kota, dan PPLN; i. mengangkat, membina, dan memberhentikan anggota KPU Provinsi, anggota KPU

Kabupaten/Kota, dan anggota PPLN; j. menjatuhkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU

provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPLN, anggota KPPSLN, dan sekretaris Jenderal KPU yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan yang sedang berlangsung berdasarkan putusan Bawaslu dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;

k. menetapkan kantor aliuntan publik unhrk mengaudit dana kamparrye Pemilu dan mengumumkan laporan sumbangan dana Kampanye Pemilu; dan

l. melaksanakan wewenErng lain dalam penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewajiban KPU Sedangkan kewajiban KPU dalam kaitan penyelenggaraan pemilu adalah sebagai berikut: 85

a. melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan pemilu secara tepat waktu; :

b. memperlakukan Peserta pemilu secara adil dan setara;

c. menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat;

d. melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh KpU dan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan arsip nasional atau yang dis;buI dengan nama Arsip Nasional Republik Indonesia;

f. mengelola barang inventaris KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

g. menyampaikan laporan periodik mengenai Penyelenggaraan Pemilu kepada presiden dan DPR tembusan kepada Bawaslu;

h. membuat berita acara pada setiap rapat pleno ditandatangani oleh ketua dan anggota KPU;

i. menyampaikan laporan Penyelenggaraan pemilu kepada Presiden dan DPR dengan tembusan kepada Bawaslu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengucapan sumpah/janji pejabat;

j. melaksanakan putusan Bawaslu mengenai sanksi atas pelanggaran administratif dan sengketa proses pemilu;

k. menyediakan data hasil Pemilu secara nasional;

l. melakukan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;

m. melaksanakan putusan DKPP; dan

n. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.5.3. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

BadanPengawas Pemilu (Bawaslu) adalah lembaga Penyelenggara pemilu yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.86 Bawaslu pada tingkat pusat atau nasional disebut sebagai Bawaslu RI. Di tingkat Provinsi ada Bawaslu Provinsi menurut UU No. 15 Tahun 2011 menjadi badan permanen yang ada di tiap provinsi, sebelum adanya UU ini bersifat ad hoc bernama

85 Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 14 86 Undang-undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 1 Ayat (17)

Page 65: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

61

Panwas Provinsi. Berdasarkan undang-undang pemilu, perangkat Bawaslu terdiri atas; a) Bawaslu Pusat, b) Bawaslu Provinsi, c) Bawaslu Kabupaten/kota, d) Panwaslu Kecamatan, e) Panwaslu Kelurahan/ Desa, f) Panwaslu LN, dan g) Pengawas TPS. 87

Sesuai dengan tingkatannya, maka Bawaslu berkedudukan : - Bawaslu berkedudukan di ibu kota negara. - Bawaslu Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. - Bawaslu Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten - Panwaslu Kecamatan berkedudukan di kecamatan. - Panwaslu Kelurahan/Desa berkedudukan di kelurahan/desa. - Panwaslu LN berkedudukan di kantor perwakilan Republik Indonesia. - Pengawas TPS berkedudukan di setiap TPS. Keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota terdiri atas individu yang memiliki tugas pengawasan Penyelenggaraan Pemilu.88 Terkait jumlah keanggotaan, masing-masing jenjang Bawaslu memiliki jumlah anggota yang berbeda-beda:

Bawaslu pusat sebanyak 5 (lima) orang;

Bawaslu Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang;

Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tga) atau 5 (lima) orang; dan

Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang Terkait keanggotaan Bawaslu untuk tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota bersifat tetap89 dengan masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan pada tingkatan yang sama. 90 Sementara itu untuk Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu Luar Negeri (LN), dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS) bersifat ad hoc. Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu Luar Negeri (LN) dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaran Pemilu selesai. Pengawas TPS dibentuk paling lambat 23 (dua puluh tiga) hari sebelum hari pemungutan suara dan dibubarkan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah hari pemungutan suara.

Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Baswaslu Tugas Bawaslu

Bawaslu sebagai bagian dari penyelenggara pemilu memiliki fokus kerja mengawasi proses pemilu mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pasca pelaksanaan pemilu. Undang-undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 93 menguraikan tugas Bawaslu sebagai berikut : a. menyusun standar tata laksana pengawasan Penyelenggaraan Pemilu untuk

pengawas Pemilu di setiap tingkatan; b. melakukan pencegahan dan penindakan terhadap:

1. pelanggaran Pemilu; dan 2. sengketa proses Pemilu;

c. mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas: 1. perencanaan dan penetapan jadwal tahapan Pemilu; 2. perencanaan pengadaan logistik oleh KPU; 3. sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu; dan 4. pelaksanaan persiapan tainnya dalam Penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan

ketentuan perahrran perundangundangan; d. pelaksanaan tahapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas:

1. pemutakhiran data pemilih dan penetapan daftar pemilih sementara serta daftar pemilih tetap;

2. penataan dan penetapan daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota; 3. penetapan Peserta Pemilu;

87 Undang-undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 89 Ayat (2) 88 Undang-undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 92 Ayat (1) 89 Undang-undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 89 Ayat (4) 90 Undang-undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 92 Ayat (13)

Page 66: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

62

4. pencalonan sampai dengan penetapan Pasangan Calon, calon anggota DPR, calon anggota DPD, dan calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

5. pelaksanaan dan dana kampanye; 6. pengadaan logistik Pemilu dan pendistribusiannya; 7. pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu di TPS; 8. pergerakan surat suara, berita acara penghitungan suara, dan sertifrkat hasil

penghitungan suara dari tingkatTPS sampai ke PPK; 9. rekapihrlasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK, KPU

Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU; 10. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan,

dan Pemilu susulan; dan 11. penetapan hasil Pemilu;

e. mencegah terjadinya praktik politik uang; f. mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas Tentara Nasional Indonesia,

dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia; g. mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan, yang terdiri atas :

1. putusan DKPP; 2. putusan pengadilan mengenai pelanggaran dan sengketa Pemilu; 3. putusan/keputusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu kabupaten/ Kota; 4. keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/Kota; dan 5. keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas aparatur sipil

negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia;

h. menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu kepada DKPP;

i. menyampaikan dugaan tindak pidana Pemilu kepada Gakkumdu; j. mengelola, memelihara, dan merawat arsip serta melaksanakan penyusutannya

berdasarkan jadwal retensi arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

k. mengevaluasi pengawasan Pemilu; l. mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU; dan m. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan

Wewenang Bawaslu91

Dalam melaksanakan sejumlah tugas yang harus diemban oleh Bawaslu, Undang-undang membekali Bawaslu dengan dengan sejumlah wewenang sebagai berikut :

a. menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pemilu;

b. memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran, administrasi Pemilu;

c. memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang;

d. menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu;

e. merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan mengenai hasil pengawasan terhadap netralitas aparatur sipil-negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota fepoiisian Republik Indonesia; '

f. mengambil alih sementara tugas, wewenang, dan kewajiban Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota secara berjenjang jika Bawaslu Provinsi dan Bawaslu kabupaten/ kota berhalangan sementara akibat dikenai sanksi atau akibat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undarrgan ;

g. meminta bahan keterangan yang dibutuhkan kepada pihak terkait dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dugaan tindak pidana Pemilu, dan sengketa proses Pemilu;

h. mengoreksi putusan dan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota apabila terdapat hal yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

i. membentuk Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu LN;

91 Undang-undang No. 17 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 95

Page 67: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

63

j. mengangkat, membina, dan memberhentikan anggota Bawaslu Provinsi, anggota Bawaslu kabupaten/Kota, dan anggota Panwaslu LN; dan

k. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.

Kewajiban Bawaslu92 Kewajiban memiliki makna keharusan artinya dalam kaitan pelaksanaan pengawasan Bawaslu wajib melaksanakan perintah undang-undang yang mengatur tentang kewajiban Bawaslu. Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu merupakan bagian penting untuk mendorong produk pemilu yang berkualitas. Dalam undang-undang, kewajiban Bawaslu diaturnsebagai berikut: a. bersikap adil dalam menjalankan tugas dan wewenang ; b. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pengawas

Pemilu pada semua tingkatan; c. menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden dan DPR sesuai

dengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan; d. mengawasi pemutakhiran dan pemeliharaan data pemilih secara berkelanjutan

yang dilakukan oleh KPU dengan memperhatikan data kependudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.5.4. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang selanjutnya disingkat DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu.93 DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara, itu artinya hanya berada di tingkat nasional atau pusat saja. DKPP resmi dibentuk pada 12 Juni 2012 walaupun historis terbentuknya ada dari tahun 2008 dengan nama Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU).94 DKPP diatur secara khusus pada UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 155. DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU provinsi, anggota, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Bawaslu kabupaten/Kota. Komposisi keanggotaan DKPP adalah sebagai berikut :

a. 1 (satu) orang ex offtcio dari unsur KPU; i

b. 1 (satu) orang ex officio dari unsur Bawaslu; dan

c. 5 (lima) Anggota DKPP yang berasal dari tokoh masyarakat yang mrupakan usulan dari Presiden sebanyak 2 (dua) orang dan 3 (tiga) orang merupakan usulan dari DPR

Seperti diatur dalam UU NO. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 155 Ayat (6) bahwa semua keanggotaan DKPP dari setiap unsur diajukan kepada Presiden. Tugas , Wewenang dan Kewajiban DKPP Tugas DKPP

Secara lebih spesifik, pada Pasal 160 ayat (1) DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik memiliki tugas sebagai berikut : a. menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang

dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu; dan b. melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan dan/atau

laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

92 Undang-undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 96 93 Undang-undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 1 Ayat (23) 94 Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Penyelenggara Pemilu Di Dunia “Sejarah, Kelembagaan, dan Praktik

Pemilu di Negara Penganut Sistem Pemerintahan Presidensial, Semipresidensial, dan Parlementer”, (Jakarta : CV. Net Communication) hal. 157

Page 68: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

64

Wewenang DKPP Untuk menjalankan tugas, DKPP diberikan beberapa kewenangan yang juga diatur dalam Undang-undang. Kewenangan DKPP dalam kaitan pelaksanaan tugas-tugasnya tersebut adalah sebagai berikut :: a. memanggil penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik

untuk memberikan penjelasan dan pembelaan; b. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai

keterangan termasuk dokumen atau bukti lain; c. memberikan sanksi kepada penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode

etik; d. memutus pelanggaran kode etik.

Kewajiban DKPP

Sebagai bagian dari penyelenggara Pemilu, DKPP sangatlah penting sebab DKPP memiliki peran sebagai penjaga kehormatan dan martabat para penyelenggara pemilu. Jika para penyelenggara pemilu tunduk pada Undang-undang dan peraturan yang ada maka kepercayaan masyarakat pada hasil pemilu semakin kuta. Oleh sebab itu undang-undang tentang pemilu mengatur kewajiban DKPP sebagai berikut : a. menerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi; b. menegakkan kaidah atau norrna etika yang berlaku bagi penyelenggara pemilu; c. bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaat}an kasus. yang timbul untuk popularitas

pribadi; dan d. menyampaikan puhrsan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

6.6. Tata Kelola Pemilu

Sejak penyelenggaraan awal pemilu di Indonesia pada tahun 1955, upaya mewujudkan pemilu berkualitas dan berintegritas telah dimulai. Secara prinsip penyelenggaraan pemilu yang berlandaskan pada kejujuran, kerahasian, ketenangan dan langsung telah dijamin. Hal tersebut menunjukkan bahwa Negara sejak awal telah memiliki keinginan yang kuat untuk memfasilitasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dapat menggunakan hak politiknya dalam suasana yang kondusif.

Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia telah menetapkan enam ukuran pemilu yang demokratis yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Hal itu termuat dalam pasal 22E ayat 1 Undang Undang Dasar 1945. Undang Undang Pemilu dan Pemilu yang menjadi turunannya kemudian menambah beberapa keriteria lagi seperti transparan, akuntabel, tertib dan profesional. Dalam mengimplementasikan enam asas penyelenggaraan pemilu tersebut, Indonesia pada masa pasca reformasi telah melakukan sejumlah upaya perbaikan mulai dari perbaikan sistem pemilu (electoral system), tata kelola pemilu (electoral process) dan penegakan hukum pemilu (electoral law).

Untuk perbaikan dalam aspek tata kelola atau manajemen pemilu dilakukan dengan menyasar dua hal yakni penyelenggara pemilu (electoral actor) dan penyelenggaraan pemilu (electoral process). Upaya perbaikan pada penyelenggara

pemilu tercermin pada tugas dan wewenang yang diatur dalam undang-undang dan sejumlah regulasi lainnya. Terkait hal ini, maka upaya perbaikan tata kelola penyelenggara pemilu sangat tergantung pada undang-undang yang mengatur tentang penyelenggara dan pelaksanaan pemilu yang dihasilkan oleh legislator.

Sedangkan terkait penyelenggaraan pemilu sangatlah bergantung pada komitmen dan kompetensi (profesionalitas) para penyelenggara pemilu untuk dapat meng-implemetasikan penyelenggaraan pemilu sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Hal ini menjadi penting mengingat pemilu merupakan hajatan besar berbiaya mahal. Sebagai gambaran biaya pemilu pada tahun 2014, Gunawan Suswantoro dalam Pengawasan Pemilu Partasipatif mengungkapkan bahwa total biaya pemilu pada tahun 2014 adalah + 17 trilyun untuk KPU dan 3 milyar untuk Bawaslu. Dana tersebut diluar dana operasional DKPP. Dana sebesar + 17.3 trilyun tersebut untuk membiayai pemilu di + 600.000 TPS yang tersebar di 33 provinsi dan 512 kabupaten dengan komposisi 77 dapil untuk pemilihan DPR RI, 259 dapil DPRD

Page 69: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

65

Provinsi, dan 2.117 dapil pemilihan DPRD kabupaten/kota dan melibatkan jumlah data agregat kependudukan per kecamatan (DAK) sebanyak + 251.857.940 jiwa. 95

Dengan skala pemilu yang besar maka diperlukan tata kelola dan pengelolaan administrasi yang baik agar pelaksanaan pemilu dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan kredibel. Untuk mendorong pemilu yang berkualitas maka tata kelola pemilu harus didasarkan pada prinsip-prinsip : 1. Independensi : bebas dari pengaruh atau tekana politik dari pihak manapun. 2. Imparsial : mengandung kata “part” (Inggris: impartial) atau bagian, artinya dapat

bertindak adil dan tidak memihal atau tidak menjadi bagian dari kepentingan manapun.

3. Integritas: kemampuan untuk mejaga keutuhan dalam sikap maupun tindakan yang bebas dari intervensi pihak manapun.

4. Transparansi : adanya akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemilu, sehingga kepercayaan publi dapat terbangun dengan baik.

5. Efisiensi : berkenaan dengan penggunaan biaya pemilu yang sangat mahal dan karenanya pengelolaan dana tersebut harus efisiensehingga dapat dipertanggungjawabkan kewajarannya.

6. Orientasi pada kewajaran : manajemen pemilu hrus mengedepankan pelayanan yang jujur dan adil, baik kepada kontestan peserta pemilu maupun masyarakat pemilih.96

95 Gunawan Suswantoro, Pengawasan Pemilu Partisipatif, (Jakarta : Penerbit Erlangga), hal. 20-21 96 96 Gunawan Suswantoro, Pengawasan Pemilu Partisipatif, (Jakarta : Penerbit Erlangga), hal. 21-22

Page 70: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

66

7. TOPIK KE 7- REGULASI DAN TAHAPAN PEMILU Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) atau

biasa disebut UU Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182) ini disahkan pada pada 15 Agustus 2017 dan diundangkan pada tanggal 16 Agustus 2017. Undang – undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah dibentuk dengan dasar menyederhanakan dan menyelaraskan serta menggabungkan pengaturan pemilu yang termuat dalam tiga Undang – undang , yaitu Undang–Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang–Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang – undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terdiri atas :a. Batang Tubuh: 317 halaman dan berisi 573 pasal; Buku Kesatu : Ketentuan Umum Bab I:Pengertian Istilah (Pasal 1) Bab II : Asas, Prinsip dan Tujuan (Pasal 2 s/d Pasal 5) Buku Kedua : Penyelenggara Pemilu Bab I : KPU (Pasal 6 s/d Pasal 88) Bab II : Pengawas Pemilu (Pasal 89 s/d Pasal 154) Bab III : DKPP (Pasal 155 s/d Pasal 166) Buku Ketiga : Pelaksanaan Pemilu Bab I : Umum (Pasal 167 s/d Pasal 168) Bab II : Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu (Pasal 169 s/d Pasal 184) Bab III : Jumlah Kursi dan daerah Pemilihan (Pasal 185 s/d Pasal 197) Bab IV : Hak Memilih (Pasal 198 s/d Pasal 200) Bab V : Penyusunan Daftar Pemilih (Pasal 201 s/d Pasal 220) Bab VI : Pengusulan Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 221 s/d Pasal 266) Bab VII : Kampanye Pemilu (Pasal 267 s/d Pasal 339) Bab VIII : Pemungutan Suara (Pasal 340 s/d Pasal 371) Bab IX : Pemungutan Suara Ulang, Penghitungan Suara Ulang, dan Rekapitulasi Suara Ulang (Pasal 372 s/d Pasal 380) Bab X : Penghitungan Suara (Pasal 381 s/d 410) Bab XI : Penetapan Hasil Pemilu (Pasal 411 s/d Pasal 415) Bab XII : Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih dan Penetapan Pasangan Calon Terpilih (Pasal 416 s/d Pasal 426) Bab XIII : Pelantikan dan Pengucapan Sumpah/Janji (Pasal 427 s/d Pasal 430) Bab XIV : Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan (Pasal 431 s/d Pasal 433) Bab XV : Peran Pemerintah dan Pemerintah daerah (Pasal 434) Bab XVI : Pemantau Pemilu (Pasal 435 s/d Pasal 447) Bab XVII : Partisipasi Masyarakat (Pasal 448 s/d Pasal 450) Bab XVIII : Pendanaan (Pasal 451 s/d Pasal 453) Buku Keempat : Pelanggaran Pemilu, Sengketa Proses Pemilu, dan Perselisihan Hasil Pemilu Bab I : Pelanggaran Pemilu (Pasal 454 s/d Pasal 465) Bab II : Sengketa Proses Pemilu (Pasal 466 s/d Pasal 472) Bab III : Perselisihan Hasil Pemilu (Pasal 473 s/d 475) Buku Kelima : Tindak Pidana Pemilu Bab I : Penanganan Tindak Pidana Pemilu (Pasal 476 s/d487) Bab II : Ketentuan Pidana Pemilu (Pasal 488 s/d Pasal Pasal 554) Buku Keenam : Penutup Bab I : Ketentuan Lain – Lain (Pasal 555 s/d Pasal 558) Bab II : Ketentuan Peralihan (Pasal 559 s/d Pasal 568) Bab III : Ketentuan Penutup (Pasal 569 s/d Pasal 573) b. Lampiran I: Tentang Jumlah Anggota KPU Provinsi dan Jumlah Anggota KPU Kabupaten/Kota; c. Lampiran II: Tentang Tentang Jumlah Anggota Bawaslu.

Provinsi dan Jumlah Anggota KPU Kabupaten/Kota; d. Lampiran III: Tentang Daerah Pemilihan Anggota DPR-RI; e. Lampiran IV: Tentang Daerah Pemilihan Anggota DPRD.

Provinsi; dan f. Penjelasan. Asas, prinsip dan tuuan dari Undang – undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sebagai berikut : a. Bahwa Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. b. Bahwa dalam menyelenggarakan Pemilu, Penyelenggara Pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip Mandiri, Jujur, Adil, Berkepastian Hukum, Tertib, Terbuka, Proporsional, Profesional, Akuntabel, Efektif dan Efisien. c. Bahwa pengaturan penyelenggaraan Pemilu bertujuan untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu, memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan Pemilu; serta mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.

Terdapat 4 jenis masalah hukum Pemilu yang diatur dalam Undang – undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yaitu : a. Pelanggaran Pemilu

Page 71: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

67

diantaranya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administratif Pemilu dan pelanggaran terhadap peraturan perundang – undangan lainnya yang bukan pelanggaran pemilu, bukan sengketa Pemilu dan bukan Tindak Pidana Pemilu b. Sengketa Proses Pemilu dengan penyelesaian di Bawaslu dan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) c. Perselisihan Hasil Pemilu; dan d. Tindak Pidana Pemilu Sub

Tahapan Pemilu Tahapan Pemilu adalah rangkaian aktivitas untuk mendesain, merencanakan, membantu, juga mengontrol semua kegiatan yang bekerja di setiap bagian untuk memudahkan petugas pemilu dalam menjalankan tugasnya berdasarkan International IDEA, tahapan pemilu dibagi menjadi tiga, yaitu: a.Tahap Persiapan, pembentukan peraturan perundangundangan, perencanaan kegiatan dan anggaran, serta pendidikan pemilih; b. Tahapan Pelaksanaan, meliputi pencalonan, kampanye, pemungutan suara, dan perhitungan serta rekapitulasi suara; c.Tahapan Akhir, yaitu meninjau ulang dan mendesain kembali pelaksanaan pemilu. Namun, berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017, maka tahapan Pemilu adalah sebagai berikut : a. Sosialisasi; b. Perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan

penyelenggaraan Pemilu; c. Pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih; d. Pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu; e. Penetapan Peserta Pemilu; f. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; g. Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,

dan DPRD Kabupaten/Kota; h. Masa kampanye Pemilu; i. Masa tenang; Pemungutan dan penghitungan suara; j. Penetapan hasil Pemilu; dan k. Pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Preside serta anggota DPR, DPD,

DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Page 72: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

68

8. TOPIK KE-8 FUNGSI PENINDAKAN PENGAWASAN PEMILU

Page 73: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

69

Page 74: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

70

Proses Penanganan Pelanggaran Pemilu, meliputi 1. Temuan/penerimaan Laporan; 2. Pengumpulan alat bukti; 3. Klarifikasi; 4. Serta penerusan hasil kajian atas Temuan/Laporan kepada instansi yang berwenang; 5. Pengkajian; dan/atau 6. Pemberian rekomendasi.

Alur Penanganan Pelanggaran Pemilu 1. Laporan pelanggaran Pemilu yang telah dikaji dan terbukti kebenarannya wajib

ditindaklanjuti oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/ Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS paling lama 7 (tujuh) hari setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi.

2. Dalam hal Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/ Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS memerlukan keterangan tambahan mengenai tindak lanjut, keterangan tambahan dan kajian dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi.

3. Temuan dan laporan pelanggaran Pemilu yang merupakan : a. Pelanggaran Kode Etik KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu,

Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota, diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/ atau Bawaslu Kabupaten/ Kota kepada DKPP; 12 Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum Pasal 3 ayat 2.

b. Pelanggaran administratif Pemilu diproses oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS sesuai dengan kewenangan masing-masing. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota wajib memutus penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi.

c. Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang bukan pelanggaran Pemilu, bukan sengketa Pemilu, dan bukan tindak pidana Pemilu: diproses oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS sesuai dengan kewenangan masing-masing; dan/ atau 2) diteruskan kepada instansi atau pihak yang berwenang.

d. Pelanggaran berupa dugaan Tindak Pidana Pemilu diteruskan oleh Pengawas Pemilu kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Gakkumdu, sesuai dengan tingkatannya paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak diputuskan dalam rapat pleno berdasarkan kajian Pengawas Pemilu. Penerusan Laporan dugaan Tindak Pidana Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari dan dilampiri dengan berkas Temuan/Laporan dan dokumen hasil penanganan pelanggaran.

Page 75: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

71

9. TOPIK KE-9 ADVOKASI JURNALISTIK DAN MEDIA SOSIAL Pengertian Advokasi, Advokasi merupakan salah satu bentuk komunikasi

persuasif, yang bertujuan untuk mempengaruhi pemangku kepentingan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. Advokasi adalah sejumlah tindakan yang dirancang untuk menarik perhatian masyarakat pada suatu isu, dan mengontrol para pengambil kebijakan untuk mencari solusinya. Advokasi itu juga berisi aktifitas-aktifitas legal dan politis yang dapat mempengaruhi bentukdan praktik penerapan hukum. Inisiatif untuk melakukan advokasi perlu diorganisir, digagas secara strategis, didukung informasi,komunikasi, pendekatan, serta mobilisasi (MargaretSchuler, Human Rights Manual). Berdasarkan dalam kamus hukum, kata advokasi adalah kata kerja darikata benda advocaat (belanda) yang berarti penasehat hukum, pembelaperkara atau pengacara. Advokasi sendiri bisa diartikan sebagai proses pembelaan suatu perkara dalam koridor hukum yang berlaku.

Advokasi ketika dikaitkan dengan skala masalah yang dihadapi dikategorikan kepada tiga jenis (Satrio Aris Munandar 2007: adalah: 1. Advokasi diri, yaitu advokasi yang dilakukan pada skala lokal dan bagkan sangat

pribadi misalnya saja ketika seoarang mahasiswa tiba-tiba diskorsing oleh pihak universitas tanpa ada kejelasan maka advokasi yang dilakukan adalah dengan cara mencari kejelasan atau klarifikasi pada pihak universitas.

2. Advokasi kasus, yaitu advokasi yang dilakukan sebagai proses pendampingan terhadap orang atau kelompok tertentu yang belum memiliki kemempuan membela diri dan kelompoknya.

3. Advokasi hukum, adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh ahli hukum dan atau lembaga bantuan hukum dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, serta pendampingan baik di dalam dan di luar pengadilan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang berdimensi hukum.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa advokasi lebih

merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan perubahan dengan memberikan sokongan dan pembelaan terhadap kaum lemah. Advokasi sendiri meletakkan korban kebijakan sebagai subjeknya, boleh menjadi alat siapa saja yang ingin memperjuangkan perubahan kebijakan untuk tegaknya keadilan sosial, bermain dalam arena politik tanpa harus menjadi politisi,membutuhkan daya cipta dan imajinasi yang tinggi. Sehingga advokasi juga merupakan suatu proses komunikasi yang terencana untuk mendapat dukungan dan keputusan sehingga masalah bisa dipecahkan.

Proses advokasi ini sangat penting bagi para peneliti dalam mengkomunikasikan

hasil kajian dan isu-isu penting, dilakukan dengan perencanaan strategis dengan target utama adalah pengambil kebijakan dan korporasi. Advokasi bukan revolusi, namun lebih merupakan suatu usaha perubahan sosial melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku. Keberhasilannya diperoleh bila proses dilakukan secara sistematis, terstruktur, terencana dan bertahap dengan tujuan yang jelas, untuk mempengaruhi perubahan kebijakan agar menjadi lebih baik. Keterampilan advokasi merupakan sebuah ilmu dan seni, yang tentunya sangat dipengaruhi oleh kemampuan berkomunikasi tim peneliti. Peningkatan keterampilan komunikasi dapat membantu tim untuk meningkatkan kinerja, khususnya dalam melakukan advokasi. Dalam modul ini dibahas penyelenggaraan advokasi yang direncanakan dan dilakukan dengan strategi yang tepat antara lain dengan menetapkan tujuan, fungsi dan monitoring, menentukan siapa yang akan melaksanakan, serta perlunya melakukan mengembangkan jaringan untuk melakukan advokasi.

Setelah mempelajari modul ini, peserta diharapkan dapat lebih memahami

keterampilan advokasi yang diperlukan dalam penyampaian hasil penelitian kepada pemangku kepentingan dan pengambil keputusan. Yang kedua, peserta nantinya dapat memahami keuntungan dari jaringan (networking) dalam kegiatan advokasi, serta mampu mengidentifikasi jenis kebijakan dan keterampilan advokasi yang mendukung.

Page 76: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

72

Kerangka Kerja Advokasi 1. Perencanaan Bagian terpenting dari advokasi adalah aspek perencanaannya.

Sebuah perencanaan lengkap yang kita sebut sebagai kerangka kerja (framework) advokasi yang mancakup hasil analisis kasus sesuai isu, aktivitas, dan situasi yang mempunyai peran dalam suatu advokasi. Kerangka kerja ini sangat diperlukan mengingat advokasi merupakan jalinan interaksi dari berbagai pihak, aktivitas dan situasi. Kerangka kerja advokasi terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu: Identifikasi dan memahami masalah, yang akan diangkat menjadi isu strategis.

Kriteria penentuan isu strategis meliputi: - Masalah yang paling prioritas dirasakan oleh stakeholder lokal dan mendapat

perhatian publik dikaitkan dengan hasil penelitian, - Masalahnya mendesak (aktual) dan sangat penting untuk diberi perhatian

segera, jika tidak diatasi akan segera berakibat fatal di masa depan,

- Relevan dengan masalah-masalah nyata dan aktual yang dihadapi oleh masyarakat (sedang hangat atau sedang menjadi perhatian masyarakat).

Daftar tolok ukur analisis isu strategis:

Aktual : apakah isu ini sedang jadi pusat perhatian?

Urgensi : apakah isu ini mendesak?

Relevansi : apakah isu ini sesuai kebutuhan?

Dampak positif : apakah isu ini sesuai dengan visi & misi kita?

Kesesuaian: dapatkah konstituen kita berpartisipasi dalam isu ini? Sensitivitas: apakah isu ini aman dari dampak sampingan?

2. Pemanfaatan data sebagai bahan advokasi Dalam tahap ini dilakukan pula pengumpulan dan analisis data untuk dapat mengidentifikasi dan memilih masalah serta dikembangkan dalam tujuan advokasi, membuat pesan, memperluas basis dukungan dan mempengaruhi pembuat kebijakan. Data hasil riset akademik yang dilakukan mendukung pelaksanaan kegiatan advokasi, terutama untuk memperoleh gambaran umum tentang situasi problematik, keadaan sarana prasarana, dan kebijakan yang berlaku termasuk kebijakan anggaran. Kegiatan advokasi juga ditunjang oleh pakar secara akademis sehingga menghasilkan daya dorong kuat karena akan bersifat mendesak kepada stakeholder (isunya terbukti merupakan kepentingan publik) sekaligus shahih secara ilmiah.

3. Tentukan tujuan advokasi Penentuan tujuan diharapkan fokus pada satu tujuan

kunci, yang merupakan pernyataan apa saja harapan yang ingin dicapai dengan melakukan advokasi, baik dalam hal kebutuhan-kebutuhan kepada pembuat kebijakan maupun hasil-hasil jangka menengah. Tujuan merupakan penyataan umum tentang apa yang diharapkan dan akan dicapai dalam jangka panjang (tiga sampai lima tahun), disusun dengan prinsip SMART: Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound

4. Identifikasi target audiens Penentuan ini juga berkaitan dengan permasalahan yang

ingin diatasi oleh komunikator melalui advokasi. Target audiens atau komunikan bisa merupakan kelompok-kelompok yang mewakili masyarakat umum ataupun yang mewakili pemuka masyarakat atau pengambil kebijakan. Siapa aktor kunci potensial, kita perlu melakukan analisis kepentingan mereka dan tingkat pengaruhnya. Sehingga menghasilkan matriks siapa-siapa yang mendukung, dapat diyakinkan, mungkin akan menentang, dan harus dinetralkan.

5. Analisis SWOT Metode perencanaan strategi menggunakan analisis SWOT:

Strength, Weakness, Opportunities, Threats, yakni analisis yang dirancang untuk membantu mengidentifikasi kekuatan internal, kelemahan organisasi atau kelompok dalam hubungannya dengan peluang dan ancaman yang ditemui dalam pelaksanaan kerja.

6. Identifikasi peluang kerjasama : Organisasi / grup yang dapat menjadi patner:

Institusi/organisasi atau individu yang memiliki komitmen terhadap tujuan yang sama

Pengalaman dalam hal komunikasi (communication specialist) Peluang kerjasama ini dimaksudkan untuk membangun konstituen dalam hal mendukung keberhasilan advokasi. Semakin besar basis dukungan, semakin

Page 77: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

73

besar peluang keberhasilan. Kita perlu membangun aliansi dengan berbagai kelompok dan memanfaatkan berbagai media, antara lain membangun jejaring dengan organisasi melalui kegiatan-kegiatan bersama, pertemuan publik, media-media sosial, serta menggunakan jaringan berbasis internet.

7. Agenda/aktivitas advokasi dan mengumpulkan/ menyusun dokumen rencana strategi Penyusunan agenda kegiatan secara detail, terdiri:

Rencana implementasi : tujuan yang akan dicapai per kegiatan, waktu pelaksanakan, melakukan apa oleh siapa, serta informasi yang mendukung

Mengembangkan pesan dan memilih saluran komunikasi

Anggaran kegiatan, sumber daya diperlukan untuk pengembangan dan penyebaran materi, perjalanan anggota tim peneliti untuk bertemu dengan pembuat keputusan dan menghasilkan dukungan, biaya komunikasi, dan keperluan logistik lainnya.

A. Pelaksanaan

Pelaksanaan advokasi mencakup banyak kegiatan, baik berurutan maupun serempak. Satu tujuan yang dapat diraih dengan melakukan beberapa hal secara serentak dan saling mendukung. Dalam pelaksanaannya setelah disusun kerangka kerja lengkap, kegiatan advokasi yang dapat dilakukan antara lain: 1. ISU STRATEGIS 2. MENGEMAS ISU DALAM PESAN 3. YANG MENARIK 4. MEMPENGARUHI 5. PENDAPAT UMUM

B. Kampanye, memanfaatkan dan menggunakan media massa siaran pers, televisi,

C. Jajak pendapat

D. Selebaran, baliho, iklan masyarakat lainnya 1. MEMPENGARUHI 2. PEMBUAT & 3. PELAKSANA 4. KEBIJAKSANAAN 5. Lobi, negoisasi, mediasi, kolaborasi 6. AJUKAN KONSEP 7. Policy brief

E. Legal drafting

Berbagai pendekatan model komunikasi untuk mendefinisikan advokasi dalam mempengaruhi kebijakan publik dan masing-masing memiliki proses berbeda-beda, sebagai berikut: a. Legislasi, upaya yang dilakukan adalah di level legislatif dengan membangun

payung hukum, misalnya legal drafting dan judicial review.

Page 78: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

74

b. Birokrasi, dilakukan untuk mengusulkan dan memperbaiki tata laksana suatu peraturan/payung hukum di level eksekutif pemerintah (melalui lobby, mediasi, audiensi, kapasitasi, dll) sehingga terjadi peningkatan pelayanan.

c. Sosialisasi dan Mobilisasi, dilakukan untuk membangun suatu budaya (terutama budaya hukum) di masyarakat sebagai stakeholder utama (melalui pengembangan program komunikasi partisipatif, kampanye, penggalangan dukungan basis masa/ networking, tekanan sosial, dll).

Gb 1.Proses advokasi melalui legislasi, birokrasi, sosialisasi dan Mobilisasi

Legislasi & Birokrasi Pembuat Kebijakan Kepedulian, Tindakan Sosialisasi & Mobilisasi Organisasi, tokoh masyarakat, dan masyarakat umum Pemahaman, tindakan dan kebersamaan Dukungan Keterlibatan, gerakan masyarakat Kegiatan Advokasi Target Output

Evaluasi dan monitoring Kegiatan evaluasi dan monitoring terjadi selama proses advokasi dilakukan,

sebelum melaksanakan advokasi perlu ditentukan bagaimana akan memantau rencana pelaksanaannya. Dalam hal ini indikator sebagai ukuran kemajuan dan hasil yang dicapai, perlu dipersiapkan. Dapatkah kita secara realistis mengharapkan untuk membawa perubahan dalam kebijakan, program, atau dana sebagai hasil dari upaya? Secara spesifik, apa yang akan berbeda setelah selesainya kampanye advokasi? Bagaimana kita tahu bahwa situasi telah berubah? Kegiatan advokasi yang sering kali dilakukan di lingkungan yang bergejolak. Seringkali, kita tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti setiap langkah dalam proses advokasi sesuai dengan model yang disajikan di sini. Namun demikian, pemahaman yang sistematis dari proses advokasi akan membantu advokat merencanakan dengan bijaksana, menggunakan sumber daya secara efisien, dan tetap fokus pada tujuan advokasi.

Page 79: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

75

10. TOPIK KE-10 PENYUSUNAN DAN PUBLIKASI HASIL BELAJAR Tahapan Penyusunan Karya Ilmiah Persiapan Dalam tahap persiapan ada 3 (tiga) hal yang harus dipersiapkann yakni: 1. Pemilihan Topik/Masalah Keraf dalam Arifin (2008) menyatakan penulis lebih baik

menulis sesuatu yang menarik perhatian dengan pokok persoalan yang benar-benar diketahui daripada menulis pokok-pokok yang tidak menarik atau tidak diketahui sama sekali. Karenanya perlu memerhatikan beberapa hal berikut ini: a) Topik yang dipilih harus yang berada di sekitar Anda (pengalaman dan

pengetahuan). b) Topik yang dipilih harus topik yang paling menarik menurut Anda. c) Topiknya terpusat pada suatu segi lingkup yang sempit dan terbatas. Hindari

pokok masalah yang bisa menyeret Anda kepada pengumpulan informasi yang beragam.

d) Topik yang dipilih memiliki data dan yang objektif. e) Topik yang dipilih harus diketahui prinsip-prinsip ilmiahnya – walaupun sedikit. f) Topik yang dipilih mempunyai sumber acuan, memiliki bahasa kepustakaan yang

akan memberikan informasi yang cukup bagi karya ilmiah. Sumber kepustakaan bisa berupa buku, jurnal, majalah, koran, brosur, surat keputusan, situ website dan Undang-undang.

2. Penentuan Judul

Jika topik sudah ditentukan, tinggal menguji sekali lagi: apakah topik tersebut benar-benar sudah sempit dan terbatas atau masih terlalu umum dan mengambang? Misalnya Anda akan meneliti tentang “Pendidikan”, karena Pendidikan masih terlalu umum, maka bisa ditarik lagi ke bawah untuk topik yang lebih khusus, misalnya “Mutu Pendidikan di Indonesia”, agar judul itu tidak terlalu luas, makah bisa diubah lagi agar lebih kusus, misalnya “Mutu Pendidikan SMP di Jakarta Tahun 2017”.

3. Pembuatan Kerangka

Moeliono pada Arifin (2008) menyatakan pada prinsipnya proses pembuatan kerangka adalah proses penggolongan dan penataan berbgai fakta, yang kadang-kadang berbeda jenis dan sifatnya, menjadi satu kesatuan yang berpautan. Pembuatan kerangka boleh memuat hanya pokok-pokok gagasan sebagai pecahan dari topik yang sudah dibatasi atau dapat juga membuat kerangka kerja, kerangka yang sudah merupakan perluasan atau penjabaran dari pokokpokok tadi. Contoh kerangka karangan (Arifin, 2008): Pembuatan dan Penggunaan Papan Partikel 1. Pengenalan papan partikel 1.1 Jenis-jenis papan partikel 1.2 Sifat-sifat papan partikel 2. Pembuatan papan partikel 1.1 Bahan baku 1.2 Proses pembuatan 1.3 Teknik pembuatan 3. Penggunaan papan partikel 3.1 Tempat penggunaan papan partikel 3.2 Keuntungan penggunaan papan partikel

4. Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, langkah pertama yang harus ditempuh adalah mencari referensi sebanyak-banyaknya (buku, majalah, koran, jurnal) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan judul yang sudah kita putuskan. Selain itu, pengumpulan data juga bisa dilakukan dengan secara langsung terjun ke lapangan seperti pada studi lapangan, pengamatan, wawancara ataupun dokumentasi. Sebelum terjun ke lapangan ada baiknya permisi kepada pemerintah setempat dengan membawa surat permohonan izin penelitian jika ada.

5. Pengorganisasian

Jika data sudah didapatkan (pustaka dan atau lapangan), penyusun menyeleksi dan mengorganisasi data tersebut. Data harus digolongkan berdasarkan jenis, sifat atau bentuknya. Penyusun kemudian menetukan data mana yang akan dibicarakan.

Page 80: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

76

Data yang diolah dan dianlaisis dengan Teknik-teknik yang ditentukan. Kalau penelitiannya bersifat kuantitatif, data diolah dan dianalisis dengan teknik statistik. Setelahnya, penyusun dapat memulai mengonsep karya ilmiah itu sesuai dengna uruatan dalam ragam yang ditetapkan.

6. Penyuntingan

Sebelum mengetik konsep, penyusun memeriksa dahulu konsep itu. Bisa saja ada bagian yang tumpang tindih atau ada penjelasan yang berulang-ulang. Eliminasi penjelasan yang tidak perlu dan tambahkan penjelasan yang dirasa sangat menunjang pembahasan.

7. Penyajian

Dalam pengetikan naskah, penyusun harus memerhatikan segi kerpian dan kebersihan. Penyusunan memerhatikan tata letak unsur-unsur dalam karya ilmiah. Misalnya, penyusun menata unsur-unsur yang tercantup pada sampul, unsur-unsur dalam halaman judul, unsur-unsur dalam daftar isi, dan usnur-unsur dalam daftar pustaka.

8. Sistematika Penulisan

Walaupun tiap instansi memiliki standar masing-masing tentang prosedur pembuatan karya ilmiah, pada dasarnya sistem penulisannya sama. Sistematika penulisan karya ilmiah meliputi: 1. Bagian Pembuka

Bagian pembuka terdiri dari: (1) Halaman judul, (2) Halaman pengesahan, (3) Abstraksi, (4) Kata pengantar, (5) Daftar isi, (6) Ringkasan isi.

2. Bagian Isi Bagian isi terdiri dari: Pembahasan (Pembahasan teori, Kerangka pemikiran dan argumentasi keilmuan, Pengajuan hipotesis), Metodologi penelitian (Metode dan rancangan penelitian, Populasi dan sampel, Instrumen penelitian, Pengumpulan dan analisis data, Hasil penelitian (Jabaran variabel penelitian, Hasil penelitian, Pengajuan hipotesis, Diskusi penelitian, mengungkapkan pandangan teoritis tentang hasil yang didapatnya), Penutup (Kesimpulan dan Saran).

3. Bagian Penunjang Bagian penunjang terdiri dari: Daftar pustaka, Lampiranlampiran antara lain instrumen penelitian, Daftar Tabel.

9. Bahan dan Jumlah Halaman

Kertas yang digunakan pada setiap instansi juga berbedabeda. Namun pada umumnya kertas yang digunakan adalah HVS dengan ukuran A4 (21.5 x 29.7 cm). Untuk sampul menggunakan kertas yang agak tebal. Sedangkan untuk warna tulisan, semua instansi lebih menyarankan menggunakan warna hitam. Untuk jumlah halaman juga tergantung pada tiap instansi. Karena sekarang sudah zamannya menggunakan komputer, pengetikan dapat dilakukan menggunakan komputer atau laptop dengan huruf sandar (misalnya, Arial atau Times New Roman) dengna ukuran huruf 12 point, kecuali pada judul sampul luar dan dalam adalah 14-16 point. Jumlah halaman makalah biasanya 5-15 halaman, sedangakan skripsi adalah 30-60 (atau lebih) halaman, thesis antara 150- 200, sedangkan disertasi 300 halaman atau lebih.

10. Bahasa dalam Karya Ilmiah Dalam karya ilmiah bahasa yang digunakan haruslah bahasa yang efisien dan

efektif. Bahasa yang efisien ialah bahasa yang mengikuti kaidah tata bahasa yang dibakukan atau yang dianggap baku sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), dengan mempertimbangkan kehematan kata dan ungkapan. Kata baku di sini berarti bahasa yang digunakan merupakan bahasa yang benar dan patut jadi teladan untuk diikuti. Bahasa yang efektif ialah bahasa yang mampu mencapai sasaran yang dimaksudkan. Tiap kata, kalimat, dan paragraf harus dibuat secara teratur agar tampak hubungan logis yang meliputi relasi sebab dan akibat, lantaran dan tujuan, hubungan kesejajaran serta kemungkinan (Buono, et al., 2001).

Page 81: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

77

1. Penerapan PUEBI Karena PUEBI sudah diterbitkan pada tahun 2015, maka kiranya perlu setiap

penulis untuk memedomani PUEBI yang sudah terbit itu. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia pasal 1: “PUEBI dipergunakan bagi instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar”. Maka sudah seharunya semua penulis karya ilmiah menggunakan pedoman dimaksud. 2. Penghurufan

Bahasa Indonesia ditulis dengan huruf Latin. Abjad yang dipakai dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas 26 huruf. 1. Huruf Kapital

Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama awal kalimat. Misalnya: Apa maksudnya? Dia membaca buku. Kita harus bekerja keras. Pekerjaan itu akan selesai dalam satu jam.

Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama orang, termasuk julukan. Misalnya: Amir Hamzah Dewi Sartika Halim Perdanakusumah Wage Rudolf Supratman.

2. Huruf Miring Huruf Miring 1. Huruf miring dipakai untuk menuliskan judul buku, nama majalah, atau nama surat kabar yang dikutip dalam tulisan, termasuk dalam daftar pustaka. Misalnya: Saya sudah membaca buku Salah Asuhan karangan Abdoel Moeis. Majalah Poedjangga Baroe menggelorakan semangat kebangsaan. Berita itu muncul dalam surat kabar Cakrawala. Pusat Bahasa. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat (Cetakan Kedua). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Huruf miring dipakai untuk menuliskan kata atau ungkapan dalam bahasa daerah atau bahasa asing. Misalnya: Upacara peusijuek (tepung tawar) menarik perhatian wisatawan asing yang berkunjung ke Aceh.

3. Huruf Tebal

Huruf tebal dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring. Misalnya: Huruf dh, seperti pada kata Ramadhan, tidak terdapat dalam Ejaan Bahasa Indonesia. Kata et dalam ungkapan ora et labora berarti ‘dan’.

Huruf tebal dapat dipakai untuk menegaskan bagianbagian karangan, seperti judul buku, bab, atau subbab. Misalnya:

1.1 Latar Belakang dan Masalah Kondisi kebahasaan di Indonesia yang diwarnai oleh bahasa standar dan nonstandar, ratusan bahasa daerah, dan ditambah beberapa bahasa asing, membutuhkanpenanganan yang tepat dalam perencanaan bahasa.

3. Penulisan Kata 1. Kata Dasar

Kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan. Misalnya: Kantor pajak penuh sesak. 2. Kata Berimbuhan

Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran, serta gabungan awalan dan akhiran) ditulis serangkai dengan bentuk dasarnya. Misalnya: berjalan, berkelanjutan. (Lihat PUEBI)

4. Pemilihan Diksi Untuk memberikan kekuatan pada sebuah tulisan, sangat penting bagi penulis

untuk memilih kata (diksi) yang tepat yang menyusun tulisannya menjadi tulisan yang berdaya. Pemilihan kata yang tepat dalam kalimat akan memberikan pengertian yang jelas dan nalar bahasa yang benar. Pemakaian kosakata dan peristilahan terpilih juga menentukan corak dan mutu keteknisan tulisannya, karena makin tinggi jumlah kosakata yang dipakai makin ilmiah sifat tulisannya. Kata memiliki kekuatan (word power) yang setara dengan warna dalam lukisan, nada dalam musik, atau bentuk dalam ukiran, salah, kurang tepat, tidak benar, atau keliru semuanya memiliki makna yang serupa tetapi pengaruh pemakaiannya amat berlainan (Buono, et al., 2001). Dalam buku Buono, et al., beberapa frase baku dalam kalimat bahasa Indonesia masih belum dipahami oleh banyak penulis, seperti di bawah ini: Salah Seharusnya Terdiri dari Terdiri atas Tergantung pada Bergantung pada Bertujuan untuk X Bertujuan X

Page 82: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

78

Berdasarkan kepada Berdasarkan pada Membicarakan tentang x Berbicara tentang atau membicarakan x

5. Kalimat Efektif

Menulis kalimat efektif dalam sebuah karya ilmiah sangatlah penting. Keefektifan kalimat akan meningkat jika kita mampu memilih kata dan meragamkan konstruksinya. Menempatkan kata pada posisi yang tepat (Kartodirjo, pakar yang berpengalaman merajai diskusi dalam Saresehan Pencerdasan Petani), melakukan pengulangan (alat berkembang biak, alat infeksi, alat pemencaran) dan pertentangan (tidak jatuh ke air, tetapi ke tanah) akan menghidupkan kalimat. Kalimat adakalanya dapat lebih diefektifkan bila beberapa kalimat pendek digabung dan bagian-bagian yang setara disejajarkan atau dipertentangkan, atau disusun dengan menekankan hubungan sebab-akibat. Akan tetapi, penggabungannya harus dilakukan secara berhati-hati agar tidak berlebihan sehingga kalimat menjadi berkepanjangan, rancu, dan maksudnya tidak langsung dapat ditangkap. Untuk itu tanda baca yang tersedia hendaklah dimanfaatkan sepenuhnya. Ini akan memberi peluang untuk membuat kalimat-kalimat suatu tulisan itu segar dan menarik serta berseni sehingga enak dibaca. Harus diakui bahwa penyajian tulisan ilmiah tidaklah dimaksudkan untuk menghasilkan karya sastra. Akan tetapi, tidak alasan untuk membuat suatu tulisan kering dan membosankan untuk dibaca. Adapun kalimat bahasa Indonesia yang baku mempunyai ciriciri sebagai berikut: 1) Fungsi tata bahasa selalu dipakai taat asas dan tegas maka subjek dan predikat

selalu ada (“Para peneliti pergi ke lapangan percobaan” bukan “Para peneliti ke lapangan “percobaan”);

2) Pemakaian ejaan dan istilah resmi secara bertaat asas; 3) Bersih dari unsur dialek daerah, variasi bahasa Indonesia, dan bahasa asing yang

belum dianggap sebagai unsur bahasa Indonesia, kecuali untuk istilah bidang ilmu tertentu.

Dalam penulisan ilmiah, gaya penulisan yang beremosi harus dihindari. Oleh karena itu ungkapan seperti “kesimpulan amat berarti”, “temuan mahapenting”, atau “hasil sangat menarik” harus dihindari. Jadi, kalau akan menyatakan bahwa yang akan diceritakan itu menarik, buatlah hal itu betul-betul menarik dengan cara menyampaikan hasil pemikiran secara rasional.

6. Penyusunan Paragraf Paragraf merupakan bagian dari sebuah tulisan yang berisi beberapa kalimat. Paragraf juga dapat didefinisikan sebagai satu unit informasi yang memiliki pikiran utama sebagai dasarnya dan disatukan oleh ide pengontrol. Kalimat-kalimat dalam satu paragraf harus saling berkait secara utuh untuk membentuk satu kesatuan pikiran. Suatu paragraf yang baik ialah paragraf yang mampu mengarahkan dan membawa pembaca memahami dengan baik kesatuan informasi yang diberikan penulis melalui ide-ide pengontrolnya. 1) Ide Pengontrol

Ide pengontrol atau pengendali ide merupakan pusat ide yang dibentuk dalam suatu kalimat. Dengan demikian, ide pengontrol merupakan ringkasan dari semua informasi yang terkandung dalam paragraf tersebut. Jadi, ide pengontrol akan membatasi ide-ide yang dapat masuk ke dalam suatu paragraf. Ide pengontrol yang disusun dalam suatu kalimat disebut sebagai kalimat topik.

2) Kalimat topik Kalimat topik mempakan sebuah kalimat yang mengandung pikiran utama dan ide yang akan dibentuk dan diterangkan oleh kalimat-kalimat yang ada dalam paragraf. Kalimat topik dapat diletakkan di awal, di tengah, atau di akhir paragraf. Akan tetapi, kalimat topik pada umumnya diletakkan di awal karena penulis akan lebih mudah menentukan informasi apa saja yang akan atau tidak akan dimasukkan ke dalam paragraf. Di samping itu, pembaca juga akan segera mengetahui apa yang diceritakan oleh paragraf tersebut dengan mudah dan cepat. Jadi, kalimat topik merupakan suatu kalimat yang lengkap, bersifat umum dan menyatakan topik masalah yang akan dibahas serta ide pengontrol yang akan menentukan kalimat-kalimat berikutnya untuk membentuk suatu paragraf. Kalimat-

Page 83: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

79

kalimat yang mendukung kalimat topik dalam satu paragraf sesuai dengan ide pengontrolnya disebut kalimat pendukung.

Publikasi Hasil Publikasi merupakan salah satu jalan bagi penulis untuk menunjukan hasil kerjanya

berupa karya ilmiah yang diterbitkan. Jenis-jenis publikasi yang dapat diterima sebagai kontribusi pada bidang ilmu pengetahuan dan penelitian sangat beraneka, diantara berbagai bidang dan umumnya diterbitkan adalah buku referensi, monograf, buku teks, makalah seminar dan artikel jurnal. Bagi seorang dosen atau tenaga pendidik, publikasi karya ilmiah merupakan salah satu indikator kinerja dosen dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

1. Konsep Publikasi Hasil Karya Tulis Ilmiah Proses terakhir dalam kegiatan penelitian adalah publikasi hasil penelitian atau publikasi karya ilmiah. Seorang pendidik atau pengajar memiliki kewajiban untuk melakukan penelitian dan menyebarluaskan hasil penelitiannya agar apa yang diteliti dapat dipertanggungjawabkan dan berguna bagi masyarakat. Yati Alfiyanti (2015: 3) menjelaskan, “Publikasi ilmiah merupakan suatu cara yang dilakukan para peneliti, termasuk para dosen peneliti di perguruan tinggi dalam mengkomunikasikan ide dan hasil penelitian atau penemuan barunya kepada khalayak umum, para mahasiswa, dan kalangan akademisi lainnya.” Pengertian lain tentang publikasi disampaikan oleh Barnawi dan Arifin (2015: 123), yaitu karya tulis ilmiah yang disebarluaskan dengan tujuan agar hasil penelitiannya bermanfaat bagi orang lain. Sedangkan menurut Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) nomor 5 tahun 2014 tentang kode etika publikasi ilmiah, publikasi ilmiah adalah hasil karya pemikiran seseorang atau sekelompok orang, setelah melalui penelaahan ilmiah, disebarluaskan dalam bentuk karya tulis ilmiah, antara lain berupa jurnal, buku, prosiding, laporan penelitian, makalah, dan poster ilmiah. Sehingga dapat disimpulkan, “Publikasi Ilmiah yaitu hasil karya pemikiran seseorang atau sekelompok orang, setelah melalui penelaahan ilmiah untuk kemudian disebarluaskan dengan tujuan mengkomunikasikan ide dan hasil penelitian atau penemuan barunya kepada masyarakat dalam bentuk karya tulis ilmiah antara lain berupa buku, prosiding, jurnal, laporan penelitian, makalah, dan poster ilmiah.”

2. Manfaat Publikasi Manfaat mempublikasikan hasil penelitiannya karena banyak manfaat yang diperoleh antara lain :

a) Mengembangkan diri penulis sehingga menjadi seorang yang ahli pada suatu bidang yang ditekuni.

b) Mengukur ilmu pengetahuan yang dimiliki serta mengeksplorasi bidang ilmu pengetahuan tertentu yang menjadi kelebihannya, sehingga orang tersebut dapat fokus dalam mengembangkan kemampuannya.

c) Sarana untuk menyebarluaskan ide, pemikiran, dan keilmuan yang dimiliki seseorang agar dapat dibaca, dipahami, dimengerti, dan diakui banyak orang.

d) Mengembangkan dan/ atau memperbaiki penelitian yang sudah dilakukan jika karya tulis ilmiah yang sudah dibuat dianggap tidak layak oleh reviewer untuk dipublikasi.

e) Mempengaruhi orang lain untuk menemukan ide atau gagasan baru sehingga dapat mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan (Wisnu Jatmiko, 2015: 29). Manfaat-manfaat publikasi karya ilmiah juga disampaikan oleh Yati Alfiyanti (2015: 4), yaitu: Bukti bahwa penulis telah melakukan serangkaian kegiatan penelitian yang

dilakukan secara sistematik dengan metode yang benar sehingga dapat menghasilkan temuan yang dapat dibaca dan dipelajari oleh para pembacanya

Menyebarkan dan mendesiminasikan hasil penelitian sebagai pembuktian ilmiah kepada masyarakat ilmiah

Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan dapat dipandang sebagai ajang mempromosikan diri sebagai seorang ilmuan.

Mencegah fabrikasi, falsifikasi, plagiarisme hasil penelitian, membangun komunikasi dan kerja sama ilmiah di kalangan para ilmuan

3. Cara Mempublikasikan Hasil Karya Ilmiah Mempublikasikan hasil karya tulis ilmiah atau hasil penelitian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (Yati Aliyanti, 2015: 3)

Page 84: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

80

a) Publikasi ilmiah yang dilakukan dengan mempresentasikan hasil penelitian dalam bentuk oral presentation atau poster presentation pada acara konferensi internasional.

b) Publikasi ilmiah dilakukan dengan bentuk tulisan yaitu artikel atau makalah ilmiah pada suatu jurnal ilmiah. Sedangkan menurut Basnawi dan Arifin (2015: 124, 134), publikasi karya ilmiah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) Publikasi Media Massa.

Publikasi melalui media massa dapat dilakukan dengan cara mengirim naskah ke penerbit jurnal ilmiah, penerbit buku, dan penerbit surat kabar. Untuk mengirim karya di jurnal maka harus sudah dalam bentuk artikel yang disesuaikan dengan aturan jurnal sasaran. Apabila karya ilmiah berisi tulisan yang lebih dari seratus lembar maka karya tersebut dapat dikirimkan ke penerbit buku. Selain itu juga, karya ilmiah dapat dipublikasikan ke media massa atau surat kabar yang harus disesuaikan bahasanya, yaitu diubah dari bahasa ilmiah ke bahasa ilmiah populer, sebab pembaca pada media surat kabar adalah masyarakat umum.

2) Publikasi Tatap Muka. Publikasi tatap muka dapat melalui kegiatan seminar, simposium, dan bedah buku. Pertama, seminar yaitu pertemuan untuk membahas suatu masalah secara ilmiah di bawah pimpinan seorang ahli yang mumpuni dalam bidang yang tengah dibahas. Tujuan dari seminar ialah untuk pemecahan masalah sehingga kadang diakhiri dengan kesimpulan dan rekomendasi. Pokok pembahasan biasanya diminta panitia beberapa hari sebelum acara diselenggarakan. Seminar dipandu oleh seorang moderator yang mengatur jalannya seminar. Seminar dapat diselenggarakan dalam tingkat kabupaten, provinsi, nasional, bahkan internasional. Seminar dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup. Kegiatan seminar ini dapat menjadi wadah untuk mempublikasikan karya tulis ilmiah. Kedua, simposium yaitu kegiatan yang berisi pidato pendek di depan audiens dengan seorang pemimpin. Dalam simposium ditampilkan beberapa pembicara ahli dari beberapa bidang untuk membahas topik yang sama. Boleh jadi satu topik dibagi menjadi beberapa aspek dan tiap aspek dibahas oleh orang yang berbeda. Pembicara terdiri dari pembicara utama, penyanggah, dan moderator. Audiens memiliki kesempatan untuk bertanya atau mengemukakan pendapat setelah pembicara utama dan penyanggah selesai berbicara. Peran moderator ialah sebagai koordinator jalannya kegiatan. Ketiga, bedah buku yaitu kegiatan untuk membicarakan isi yang ada pada sebuah buku. Pada kegiatan ini akan diungkapkan kekurangan dan kelebihan sebuah buku. Buku yang ditulis dijelaskan oleh penulisnya dan kemudian dikomentari oleh pembedah.

Page 85: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

81

PENUTUP

Demikian modul kurikulum Pendidikan dan pelatihan Kader Penggerak Pengawasan Partisipatif ini disusun sebagai suplemen bacaan yang sekiranya membantu para peserta untuk memahami kepentingan besar pengawasan partisipatif dimana nantinya keberhasilan Bawaslu dalam melakukan pencegahan pelanggaran pemilu sangat ditentukan dari peran serta masyarakat dalam mengawasi pemilu dan tidak menutup kemungkinan ke depan modul kurikulum ini untuk dapat disempurnakan kembali.

Pengawasan partisipatif tentu tidak semata dipahami sekedar mengawasi proses pemilu akan tetapi juga merupakan bagian kerja yang bersifat ideologis dan menekankan pengabdian dan kerelawanan. Melawan Politik uang, Menolak Politisasi SARA, Melawan Hoaks dan ujaran kebencian hanya dapat dilakukan apabila ada sinergisitas antara pengawas pemilu dengan masyarakat. Memenangkan pemilu yang berkualitas menjadi tuntutan dan tanggung jawab bersama.

Kader Penggerak Pengawasan Partisipatif yang nantinya telah menjalani proses pendidikan dan pelatihan diharapkan mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi pemilu. Setiap kader pun tentunya mampu meneruskan kaderisasi pengawasan partisipatif dalam setiap komunitas basis masyarakat. Membangun kesadaran masyarakat dan membangun kepercayaan bahwa Pemilu berkualitas akan memunculkan pemimpin – pemimpin yang berintegritas.

Semoga ikhtiar kita bersama ini menjadi kenyataan dan selalu menjaga semangat Bersama Rakyat Awasi Pemilu.

SIMPULAN

Menulis, apalagi menulis karya ilmiah adalah pekerjaan kemanusiaan karena menulis karya ilmiah seyogianya adalah mengungkapkan fakta-fakta baru yang akan berguna bagi kehidupan. Karya ilmiah, karena manfaatnya itu haruslah ditulis dengan baik. Terkait penulisan yang baik, tentu sebuah karya ilmiah harus memenuhi kaidah penulisan Bahasa yang benar, selain itu, tidak kalah pentingnya bahwa karya ilmiah harus ditulis secara jujur, objektif dan akurat tanpa mengingat akibatnya, harus sesuai fakta yang ada di lapangan dan bukan merupakan kebenaran yang dibuat-buat.

Semoga dengan diadakannya pelatihan karya ilmiah, semua peserta akhirnya boleh menulis karya ilmiah dengan baik.

TINDAK LANJUT

Untuk membantu pengawas dalam memantau penyelenggaraan pemilu maka dibutuhkan sejumlah intervensi berupa kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan terkait pengawasan pemilu. Pendidikan dan pelatihan dengan topik menulis, terutama menulis karya ilmiah akan sangat membantu kerja-kerja para pengawas untuk melaporkan kejadian-kejadian yang diamatinya selama (sebelum, saat, sesudah) pemilu berlangsung. Kegiatan menulis fakta yang diamatainya akan dengan mudah dilakukan jika keterampilan dasar menulis karya ilmiah dimiliki setiap pengawas.

Page 86: MODUL SEKOLAH KADER PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF …

82

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. (2008). Dasar-dasar penulisan karya ilmiah. Jakarta: Grasindo.

Buono, A., Hartana, A., Turyani, A., Sinaga, M., Arianti, L., Rachmaniah , M., . . . Koesmaryono , Y. (2001). Pedoman dan Penyajian Karya Ilmiah. Bogor: IPB Press.

Ibrahim, A. (2018, 6 5). Pengertian dan Definisi. Retrieved from http://pengertiandefinisi.com/: http://pengertiandefinisi.com/pengertian-karya-ilmiah-dan-jenis-jenis-karya-ilmiah/

Kane, T. S. (2000). The Oxford Essential Guide to Writing. New York: Oxford University Press.

Lebrun, J. L. (2007). A Scientific Writing - A reader and writer's guide. Singapore: World Scientific Publishing .

Sunendar, D. (2016). Pedoman Umum Pengejaan Bahasa Indonesia. Jakarta.

Warsito, A. (2018, 2 1). DosenBahasa.Com. Retrieved 6 5, 2018, from DosenBahasa.Com:

https://dosenbahasa.com/perbedaan-karangan-ilmiah-dan-non-ilmiah

wikipedia. (2018, 5 18). Retrieved 6 5, 2018, from id.wikipedia.org: https://id.wikipedia.org/wiki/Karya_ilmiah