Modul Biokim Bidan 11
-
Upload
geghariex-sicrewet -
Category
Documents
-
view
237 -
download
16
Transcript of Modul Biokim Bidan 11
MODUL
BIOKIMIA KLINIK
Dr. Fransiska Lanni, MS
FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
2011
MODUL
BIOKIMIA KLINIK
Edisi I
Dr. Fransiska Lanni, MS
PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Biokimia Klinik merupakan pembelajaran lanjutan setelah mahasiswa menempuh
materi Biokimia Dasar. Modul ini memuat informasi tentang berbagai kasus klinik yang
timbul akibat kesalahan metabolisme biokimiawi yang bersifat temporal, permanen
maupun bawaan (heriditer). Selain memuat dasar teori mekanisme biokimiawi penyakit-
penyakit tersebut, modul ini juga memuat berbagai contoh kasus yang dijumpai di klinik
yang berhubungan dengan praktek Ilmu Kebidanan. Pemberian contoh kasus
dimaksudkan agar mahasiswa dapat berpikir kritis dalam pemecahan masalah dan dapat
merancang mekanisme penanganan yang tepat dan benar.
Jika pada Biokimia Dasar lebih ditekankan pada proses-proses metabolisme baik pada
biomolekul (karbohidrat, lemak, protein, asam nukleat), nutrient, hormon dan cairan
tubuh, maka pada modul ini lebih ditekankan pada gangguan atau kesalahan pada proses
proses tersebut sehingga menimbulkan kelainan maupun gangguan pada fungsi tubuh
secara keseluruhan. Dengan demikian sebelum mempelajari modul Biokimia Klinik ini,
para mahasiswa sudah harus memahami materi pembelajaran Biokimia Dasar sebagai
landasan teori berbagai kasus klinik yang dipaparkan pada modul ini.
Modul ini disusun sebagai media pembelajaran Problem Based Learning (PBL) yang
berbasis pembelajaran mahasiswa aktif (student centered) dimana dosen hanya sebagai
fasilitator, motivator atau mediator. Skenario penyakit yang disusun dalam diskusi
kasus harus dipecah mahasiswa dalam diskusi kelompok yang terjadwal. Setiap
kelompok mahasiswa harus membuat makalah singkat dan bahan presentasi yang akan
disajikan dalam kelas, dan akan menjadi diskusi ilmiah antar kelompok. Dosen dapat
menilai aktiviats mahasiswa baik dari unsur manajerial dan kerja sama kelompok, cara
beragumentasi ilmiah, cara menerima pendapat orang lain maupun sistematika berpikir
para mahasiswa dalam pemecahan masalah.
Diharapkan dengan membaca modul ini, mahasiswa dapat memahami mekanisme
terjadinya berbagai penyakit yang berkaian dengan kesalahan metabolisme serta dapat
merancang dan melakukan managemen klinik yang tepat baik yang bersifat kuratif,
paliatif maupun rehabilitatif bagi para penderita. Dengan mempelajari mekanisme
terjadinya penyakit tersebut mahasiswa juga mengerti dan mampu mengkomunikasikan
tindakan preventif bagi masyarakat yang sehat untuk menghindari terjadinya gangguan
tersebut.
INTOLERANSI LAKTOSA
Fransiska Lanni
ntoleran laktosa adalah sekelompok gejala atau syndrom kram, diare, kembung,
muntah, mual atau kombinasi diatas akibat sistem pencernaan tidak mampu
mengurai laktosa yang terdapat dalam susu hewani menjadi molekul glukosa dan
galaktosa. Gangguan ini disebabkan oleh berkurangnya (defisiesi) atau tidak ada sama
sekali (nir) enzim Laktase yang diproduksi oleh sel epitel usus. Enzim Laktase
dibutuhkan untuk mengurai gula susu (laktosa) menjadi Glukosa dan Galaktosa. Tidak
adanya enzim atau defisiensi enzim ini dapat oleh faktor genetik (bawaan) maupun non
genetik (lingkungan).
I
Mutasi pada gen (DNA) yang menyandi produksi enzim Laktase dapat menyebabkan
tidak diproduksinya enzim laktase atau produksinya hanya sebagian. Kelainan ini bersifat
herediter diturunkan dari kedua orangtua dan bersifat menetap atau permanen. Penyebab
lainnya adalah faktor eksogen seperti infeksi pada saluran pencernaan, yang
mengakibatkan sel-sel epithel mukosa usus kurang mampu atau tidak mampu sama sekali
mengsekresi enzim laktase. Penyebab lainnya dapat dikarenakan gen Laktase ”mati suri
atau tidur” sementara waktu, karena seseorang tidak mengkonsumsi susu dalam jangka
waktu cukup lama, sehingga Laktase tidak diproduksi lagi. Dalam kasus ini Laktase dapat
diproduksi kembali setelah orang tersebut mengkonsumsi susu sedikit demi sedikit.
Modul ini terdiri dari 2 (dua) sub Bab masing-masing ;
1. Mekanisme regulasi metabolisme Laktosa
2. Patofisiologi Biokimiawi Intoleransi Laktosa
Modul ini juga dilengkapi dengan contoh kasus klinik yang berhubungan dengan
intoleransi laktosa. Setelah mempelajari Modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami dasar Biokimia dan patofisiologis terjadinya intoleransi laktosa
2. Mengenal dan mengidentifikasi berbagai macam intoleransi laktosa
3. Menetapkan dasar managemen klinik dan terapi diet yang tepat pada berbagai
kasus intoleransi laktosa.
BAB
I
PENDAHULUAN
I.1. Regulasi Metabolisme Laktosa
Laktosa adalah golongan karbohidrat yang terdiri dari gugus 2 monomer gula (disakarida)
yaitu glukosa dan galaktosa. Secara alamiah laktosa terdapat dalam susu hewan termasuk
di antaranya susu sapi dan susu susu ibu (ASI). Sama halnya dengan karbohidrat lainnya,
Laktosa harus diurai terlebih dahulu menjadi karbohidrat sederhana atau monosakarida
agar dapat diserap oleh sel-sel epithel usus. Peruraian ini dibantu oleh enzim Laktase ((-
galactosidase) yang dalam keadaan normal disekresikan oleh membran sel-sel epithel
usus halus.
Gambar 1.1. Peruraian molekul laktosa menjadi molekul glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim laktase yang disekresikan oleh membran sel-sel epithel usus halus.
Aktivitas enzim laktase ditentukan oleh beberapa faktor antara lain; genetik, pola diet,
umur serta kesehatan saluran pencernaan seseorang. Dalam keadaan normal, aktivitas
enzim laktase sangat tinggi pada bayi baru lahir, dan akan semakin menurun sejalan
dengan bertambahnya umur dan berkurangnya konsumsi susu.
Pada orang-orang tertentu yang tidak mengkonsumsi susu sama sekali dalam jangka
panjang, aktivitas Laktase sangat rendah atau dapat diabaikan. Gen penyandi enzim
tersebut di ”switch off” untuk sementara, dan akan aktif kembali atau di ”switch on” jika
orang tersebut
mengkonsumsi
susu kembali.
Pada
masyarakat
tertentu seperti
masyarakat
Kaukasian
khususnya
Eropa Timur,
aktivitas
laktase tetap
tinggi pada
individu
dewasa
sebagai adaptasi genetik terhadap pola diet yang biasa mengkonsumsi susu dan produk
susu Penurunan aktivitas Laktase dapat terjadi jika terjadi mutasi pada gen penyandi
produksi enzim tersebut sehingga produksinya tidak ada sama sekali atau kurang
jumlahnya. Kelainan ini bersifat permanen dan herediter (diturunkan).
Penurunan aktivitas Laktase juga dapat terjadi secara temporal jika terjadi infeksi viral
enteral, di mana membran epithelial usus yang terinfeksi dan berubah sifat sehingga
sekresi Laktase terganggu. Namun demikian setelah infeksi dapat diatasi dan membran
usus kembali normal, aktivitas Laktase juga kembali normal.
I.2 Dasar Biokimiawi dan Pathofisiologi Intoleransi Laktosa
Intoleran Laktosa diartikan sebagai sekelompok gejala kram, diare, kembung, muntah
mual atau kombinasi diantaranya yang disebabkan oleh ketidakmampuan sistem
pencernaan untuk mencerna gula susu (Laktosa) menjadi glukosa dan galaktosa.
Kelainan ini dapat diderita oleh berbagai kelompok umur dari bayi baru lahir, anak-anak,
dewasa maupun orang tua dan tersebar di seluruh dunia.
Jika terdapat laktosa dalam diet baik yang berasal dari susu maupun produk susu, tetapi
tidak dicerna oleh laktase, maka Laktosa tersebut akan dimetabolisme oleh bakteri usus
(colon)
menjadi asam
dan gas
sehingga
menimbulkan
gejala
intoleransi
laktosa di atas.
Secara
biokimiawi,
intoleransi
laktosa dibagi
2 :
Intorelansi
Laktosa
Primer
- Merupa
kan
kelaina
n
genetik
yang
bersifat
heredit
er sejak
lahir
dan
bersifat
meneta
p
seumur
hidup.
Tubuh
tidak mampu menghasilkan Laktase sama sekali (nir-laktose) atau jumlahnya tidak
mencukupi (defisiensi). Ekspresi gen Laktase jauh lebih tinggi pada masyarakat
kulit putih (Caucasoid) yang biasa mengkonsumsi susu dalam dietnya
dibandingkan masyarakat pedalaman Asia dan Afrika yang jarang
mengkonsumsi susu.
Intorelansi Laktosa Skunder
- Pada individu normal, Gen laktose dapat bersifat “diam” atau “mati suri” jika
tidak terpapar dengan substrat (laktosa) dalam waktu lama. Gen tersebut akan
muncul kembali ekspresinya secara perlahan jika terpapar dengan substrat.Pada
individu normal, Gen laktose dapat bersifat “diam” atau “mati suri” jika tidak
Rangkuman
terpapa
r
dengan
substrat
(laktosa
) dalam
waktu
lama.
Gen
tersebut akan muncul kembali ekspresinya secara perlahan jika terpapar dengan
substrat.
- Disebabkan oleh infeksi atau gangguan saluran gastrointestinal lainnya, sehingga
kemampuan sel epitel usus memproduksi laktase menurun. Defisiensi ini bersifat
temporal dan setelah sel usus pulih kembali maka produksi enzim kembali normal
Laktosa yang tidak tercerna dapat mempengaruhi keseimbangan osmotik usus, di mana
air jaringan ditarik keluar rongga usus dan keadaan ini semakin meningkat pada usus
besar sehingga mengakibatkan diare. Bakteri colon kemudian akan mengurai Laktosa
menjadi asam-asam karboksilat rantai pendek antara lain asam propionat, asetat, format
dan laktat. Asam format kemudian dipecah oleh enzim format lyase menjadi hydrogen
dan CO2. Selanjutnya bakteri colon akan membentuk gas methan dari CO2 dan hydrogen
yang mengakibatkan perut kembung.
Managemen klinik utama pada kasus intoleran laktosa adalah meniadakan laktosa dalam
diet atau mengurangi kadarnya. Pada bayi atau anak-anak dapat diberikan susu rendah
laktosa. Produk-produk cream non-diary juga dapat digunakan. Yogurt juga dapat
dikonsumsi karena walaupun terbuat dari susu, bakteri dalam yogurt secara alami dapat
memproduksi Laktase yang dapat mengurai laktosa.
1. Laktosa merupakan disakarida yang terdapat pada susu hewani yang perlu diurai
dengan bantuan enzim Laktase menjadi glukosa dan galaktosa untuk dapat diserap
oleh usus.
2. Jika aktivitas Laktase berkurang atau tidak ada sama sekali maka laktosa dalam usus
akan diubah oleh bakteri usus menjadi asam-asam karboksilat rantai pendek antara
lain asam propionat, asetat, format dan laktat.
3. Penyebab intoleransi laktosa antara lain ;
- faktor genetik
- infeksi usus
- Frekuensi paparan terhadap susu
4. Keberadaan asam. yang diproduksi oleh bakteri usus akan mengubah fungsi fiologis
usus secara keseluruhan sehingga menyebabkan kram, diare, kembung, muntah, mual
atau kombinasi
Seorang ibu membawa bayinya ke RSUD setempat, dengan keluhan bayi laki-laki yang
berusia 2 bulan tersebut menderita muntah-muntah dan diare berkepanjangan. Bayi
tersebut masih mengkonsumsi ASI eksklusif. Pemeriksaan fisik menunjukkan berat badan
bayi kurang dari normal, turgor kulit buruk dan mengalami dehydrasi sedang.
Riwayat penyakit.
Bayi mengalami panas tinggi dan muntah kira-kira 2 minggu yang lalu. Sang ibu
membawa bayi tersebut ke puskesmas setempat dan dokter mendiagnosis terjadi
gastroenteritis viral. Setelah diberi obat-obatan, 3 hari kemudian demam sang anak mulai
turun tetapi diare encer masih terjadi, muntah serta buang gas terus berlanjut sampai saat
di bawah ke RS. Sebelumnya bayi tersebut mengkonsumsi ASI dan tidak bermasalah.
Pemeriksaan Laboratorium :
- terdapat gula reduksi di urin
- glukosa urin negatif
Tindakan :
- bayi diinfus dengan larutan glukosa 5% dan ASI dihentikan, pada hari pertama diare
dan muntah berkurang. Kemudian bayi diberi susu rendah laktosa (SRL) dari kedelai
dan pada hari ke 3 setelah dirawat. Bayi kembali sehat dengan mengkonsumsi SRL.
Pertanyaan :
1. Mengapa dokter menghentikan ASI?
2. Mengapa sebelum panas tinggi 10 hari sebelumnya bayi belum pernah mengalami
muntah dan diare ?.
3. Mengapa kepada bayi tersebut diberikan SRL ?
4. Apakah bayi tersebut dapat mengkonsumsi ASI kembali?
Diskusi Kasus
Kasus 1
Seorang ibu baru melahirkan bayi perempuan dengan berat badan 3,1 kg melalui operasi
caecar atas indikasi medis. ASI ibu tersebut belum keluar pada hari pertama, sehingga
Bidan memberi susu buatan kepada sang bayi, bayi muntah dan hari kedua mulai
menderita kembung dan diare. Bidan menggantikan susu tersebut dengan merek lainnya,
tetapi tidak memperbaiki keadaan, kembung, muntah dan diare tetap berlanjut sehingga
bayi tersebut perlu diberikan cairan dan nutrient lewat infus. Kesimpulan dokter anak,
sang bayi alergi susu buatan. Setelah 5 hari kemudian, sang ibu mulai dapat memberikan
ASI nya kepada sang bayi, diare dan muntah terus berlanjut. Akhirnya ASI dihentikan
dan sang bayi diberikan SRL, keadaan berangsur baik.
Pertanyaan :
1. Apa yang terjadi pada bayi tersebut?
2. Mengapa baru lahir dapat terjadi diare dan muntah?
3. Mengapa ASI juga dihentikan dan diganti dengan SRL ?
4. Apakah bayi tersebut dapat mengkonsumsi ASI kembali ?
Seorang wanita paruh baya berusia 50 tahun, baru pindah ke kota untuk tinggal bersama
anaknya karena mengalami gejala osteoporosis Dalam keseharian sebelumnya sang
nenek hampir tidak pernah mengkonsumsi susu. Ketika di rumah anaknya, sang ibu
mendapat perbaikan gizi dengan mengkonsumsi susu berkalsium Merek X, pada pagi hari
dan malam sebelum tidur untuk mengurangi efek pengosongan kalsium tulang yang dapat
memperparah osteoporosisnya. Malam hari pertama sang ibu merasa perutnya kembung
dan tidak nyaman dan keesokan harinya tambah parah. Wanita itu mulai muntah dan daire
dan muntah pada pagi hari ke tiga.
Dugaan pertama bahwa sang ibu mengkonsumsi bahan makanan yang kurang higienes,
pedas dan bersantan sehingga menjadi diare. Kemudian dokter memberikan antibiotik dan
antidiare, tetapi diare tetap berlanjut sampai hari ke 10, sang ibu mengkonsumsi lebih
banyak susu lagi untuk mendapatkan nutrient yang lebih banyak akibat diare. Diare
semakin parah dan pada akhir minggu ke 2, tanpa sengaja ibu tersebut tidak
Kasus 2
Kasus 3
mengkonsumsi susu selama 2 hari karena persediaan susu habis dan diare serta muntah
berkurang. Kemudian susu dihentikan sama sekali, diare dan muntah hilang seketika.
Kesimpulan sementara ibu tersebut alergi dengan susu merek X tersebut.
mengkonsumsi susu selama 2 hari karena persediaan susu habis dan diare serta muntah
berkurang. Kemudian susu dihentikan sama sekali, diare dan muntah hilang seketika.
Kesimpulan sementara ibu tersebut alergi dengan susu merek X tersebut.
Sang anak membeli susu berkalsium tinggi merek Y untuk menggantikan merek X, dan
sang ibu mulai mengkonsumsi susu tersebut, diare dan muntah mulai terjadi walaupun
frekuensi dan kuantitasnya tidak sebanyak sewaktu diberi susu merek X. Kemudian
pemberian susu dihentikan kembali dan berpindah ke merk Z, reaksi muntah dan diare
kembali terjadi intensitasnya rendah. Anehnya setelah 3 bulan kemudian sang ibu kembali
mengkonsumsi susu merek X, dan tidak terjadi apa-apa dengan saluran pencernaan.
Pertanyaan :
1. Apa yang dialami oleh sang ibu ?
2. Mengapa ketika diberi susu merek Y dan Z, muntah dan diare tetap berlanjut?
3. Mengapa setelah 3 bulan kemudian sang ibu diberi susu X kembali, tetapi tidak
menunjukan gejalah klinis?
4. Apakah sang ibu dapat mengkonsumsi susu tersebut kembali dan mengapa
demikian?
5. Terapi diet apa yang anda anjurkan pada ibu di atas?
DIABETES MELLITUS
Fransiska Lanni
iabetes mellitus (DM) adalah sekelompok kelainan metabolik yang ditandai
dengan meningkatkannya kadar glukosa darah (hyperglisemia). DM
disebabkan oleh kelainan pada hormon anabolik insulin yang diproduksi oleh
sel beta pankreas. Hormon ini berfungsi dalam regulasi kadar gula darah dalam kisaran
normal dengan jalan memacu terjadinya perubahan glukosa menjadi glikogen yang dapat
disimpan sementara dalam sel hati dan otot. Dalam keadaan normal kadar gula berkisar
antara 80 – 120 mg/dl dan jika lebih dari 126 mg/dl atau 7 mmol dinyatakan
hyperglycemia yang merupakan manifestasi klinik utama dari DM.
D
Akibat gula darah yang tinggi (hyperglysemia) maka dapat menimbulkan berbagai
gangguan pada fungsi fiologis tubuh seperti hypertensi, kemunduran sistem syaraf, stroke,
jantung koroner dan gagal ginjal. Jumlah penderita DM di dunia maupun Indonesia
semakin meningkat sejalan dengan berubahnya pola dan gaya hidup. Konsumsi makanan
berlemak tinggi dan karbohidrat berlebihan serta kurang gerak merupakan pencetus
utama diabetes pada orang dewasa.
Modul ini terdiri dari 2 (dua) sub Bab masing-masing ; 1. Mekanisme regulasi metabolisme glukosa
2. Patofisiologi Biokimiawi Diabetes Mellitus
Setelah mempelajari Modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1. memahami dasar biokimia dan patofisiologis terjadinya diabetes mellitus
2. mengenal, mengidentifikasi dan membedakan diabetes melitus Type I dan
diabetes mellitus Type II.
3. menetapkan dasar managemen klinik dan terapi diet yang tepat pada kedua type
diabetes mellitus.
14
BAB
II
PENDAHULUAN
2.1. Mekanisme Regulasi Metabolisme Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energy utama bagi tubuh manusia yang didapat dari
asupan makanan baik berupa karbohidrat kompleks (polysakarida) maupun disakarida.
Diet yang baik mengandung banyak karbohidrat kompleks seperti amilum dan selulosa.
Selulosa terdapat pada serat tanaman dan tidak dapat dicerna maupun diserap tetapi
penting dalam komponen diet sebagai penambah volume bolus, menghambat penyerapan
lemak, dan membantu membersihkan toxin dalam saluran pencernaan serta memperbesar
volume dan menjaga konsistensi feces.
Sumber gula bagi manusia dapat berasal dari sederhana maupun gula kompleks. Gula
sederhana (disakarida dan monosakarida) yang terdapat dari gula pasir (sukrosa), gula
susu, buah-buahan atau bahan olahan makanan seperti sirup, kue, manisan, coklat dll.
Gula kompleks yang paling umum adalah Amilum yaitu polysarida yang terdapat pada
serial (beras, gandum, jagung dll), umbi (kentang, ubi, gadung dll, batang (sagu rumbiah)
maupun buah-buahan (sukun, pisang kepok mentah, labu kuning/pumpkin dll).
Pencernaan gula terutama amilum telah dimulai di dalam mulut, dengan bantuan enzim
amilase saliva dan di usus kecil dengan bantuan amilase pankreas. Pada tahap tersebut
amilum diubah menjadi maltosa dan kemudian enzim maltase usus mengubah maltosa
menjadi glukosa untuk selanjutnya diserap ke dalam darah. Laktosa akan dipecah
menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim Laktase usus. Sukrosa akan diurai menjadi
Glukosa dan Fruktosa oleh enzim Sukrase Usus.
Gula yang diserap dalam epitel usus berupa monosakarida yaitu Glukosa, Fruktosa dan
Galaktosa. Ketiga monosakarida tersebut dibawah ke hati, dan selanjutnya hati akan
mengubah Galaktosa dan Fruktosa menjadi Glukosa. Dengan demikian gula yang
beredar dalam sirkulasi adalah dalam bentuk Glukosa yang dapat dipergunakan oleh sel
dalam tubuh untuk membentuk energy selulernya.
Kadar gula darah diatur sedemikian rupa pada kisaran normal antara 80 – 120 mg/dl oleh
hormon insulin dan glukagon yang disekresikan oleh pankreas. Jika setelah makan dan
terjadi lonjakan kadar glukosa darah di atas 120 mg/dl maka sel beta pankreas akan
mensekresikan hormon insulin untuk membantu sel-sel hati dan otot mengubah
kelebihan glukosa menjadi glikogen sebagai bentuk simpanan sementara. Dengan
demikian kadar gula
15
darah menjadi normal kembali. Sebaliknya jika di antara 2 waktu makan atau berpuasa
gula darah menjadi turun dan jika dibawah 80 mg/dl, maka pankreas akan mensekresikan
hormon glukagon untuk memacu peruraian glikogen menjadi glukosa dalam hati dan otot.
Insulin merupakan hormon penting dalam regulasi metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein. Insulin mengatur laju glukosa masuk ke sel otot dan hati untuk diubah menjadi
glikogen (glycogenesis) sebagai cadangan karbohidrat sementara. Insulin menghambat
pelepasan glycogen (glycogenolysis) dan memperlambat pemecahan lemak menjadi
triglyserida, asam lemak bebas dan juga memperlambat perubahan Asam amino (protein)
menjadi glukosa (glukoneogenesis).
Gambar 2.1. Mekanisme regulasi kadar glukosa darah dalam tubuh manusia
2.2. Dasar Biokimiawi dan Patofisiologi Diabetes Mellitus
1. Hyperglysemia diartikan sebagai meningkatnya kadar gula darah >126mg/dl atau >
7 mmol/L pada gula puasa atau > 200 mg/dl atau > 11 mmol/L pada gula darah
random. Defisiensi insulin memacu gluconeogenesis dan menghambat penggunaan
glukosa darah. Peningkatan pemecahan lemak (-oksidasi) mengakibatkan
produksi benda keton yang berlebihan dan kehilangan berat badan. Benda keton
bersifat asam dan dapat mengakibatkan penurunan pH darah yang disebut
Ketoacidosis yang merupakan komplikasi utama pada pasien diabetes tidak
16
terkontrol. Ginjal tidak mampu re-absorsi kelebihan gula darah mengakibatkan
glykosuria dan osmotic diuresis.
Berdasarkan patofisiologi Biokimiawi terjadinya Diabetes Mellitus maka dapat dibagi 2
jenis yaitu :
1. Type I Diabetes (IDDM = Insulin Dependent Diabetes Mellitus atau Juvinele
diabetes) ditandai oleh berkurangnya yang atau tidak ada sama sekali sel beta
pancreas akibat proses destruktif autoimmun sehingga insulin yang dihasilkan
berkurang atau tidak ada sama sekali. Biasanya banyak diderita oleh anak-anak dan
pasien membutuhkan tambahan insulin exogenous.
Kelainan ini umumnya bersifat akut, dengan durasi beberapa hari hingga minggu.
Lebih dari 95% penderita Type I DM berusia di bawah 25 tahun, dan tidak
berpengaruh pada jenis kelamin. Sebagian besar karena ”Immune Mediated Form”
seperti penyakit Hashimoto’s thyroiditis, Addison’s disease, vitiligo atau percicious
anemia. Selain autoimun dapat juga disebabkan oleh infeksi dan keganasan pada
pankreas sehingga mengubah sifat dan fisiologis sel tersebut. Beberapa penderita
Type I belum diketahui penyebabnya disebut Idiopatic Diabetes.
2. Type II diabetes (NIDDM = Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus) ditandai oleh
resistensi insulin terhadap jaringan perifer. Insulin yang disekresikan oleh sel
pankreas mengalami perubahan sehingga tidak dikenali oleh reseptor insulin pada
membran sel target. DM Type II paling sering dijumpai dan berhubungan erat
dengan faktor keturunan, usia tua, obesitas dan kurang gerak. DM Type II lebih
sering dijumpai pada wanita terutama pada wanita yang pernah mengalami
gestational diabetic (diabetic pada kehamilan). Etiologi DM type II multifaktorial,
selain genetik juga dipengaruhi oleh gaya hidup dan jarang dijumpai pada anak-
anak. Dalam managemen klinisnya hanya kira-kira 20% dari total penderita yang
harus mendapatkan insulin exogenous, lainnya lebih ditekankan pada management
diet, memperbaiki gaya hidup dengan banyak berolah raga, konsumsi obat-obatan
antidiabetik di bawah pengawasan dokter.
.
17
- Diabetes Mellitus dibagi 2 jenis :
* Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau DM Type 1 dimana pankreas
tidak dapat memproduksi insulin, sehingga insulin harus didapat dari luar.
Biasanya disebabkan oleh penyakit autoimun atau infeksi pankreas dan terjadi
pada usia dini
* Non-Insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM Type II, dimana
insulin tetap diproduksi, tetapi berubah, sehingga tidak dapat bekerja karena
tidak dikenali lagi oleh reseptor sel target. Penderita tidak perlu/jarang mendapat
insulin exogenous dan biasanya terjadi pada usia dewasa.
- Hyperglysemia tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi berbagai penyakit,
seperti hypertensi, jantung, kemunduran system syaraf, infeksi dan gagal ginjal
- Managemen klinik diabetes harus dikuti dengan managemen dan pengaturan pola
makan dan olah raga.
Bapak X, berusia 65 tahun dibawah anaknya ke RSUD dalam keadaan tidak berdaya.
Menurut sang anak, selama 5 tahun belakangan sang bapak tidak bekerja lagi karena
mudah lelah dan lesuh, mengantuk, cepat merasa lapar dan haus serta mudah terinfeksi
dan luka sukar sembuh. Karena keterbatasan ekonomi sang bapak belum pernah ke dokter
dan hanya mengkonsumsi jamu-jamuan. Sebulan terakhir berat badan sang bapak
semakin menurun, jari-jari tangan kebas (mati rasa) di pagi hari, penglihatan berkurang
dan napas tersengal-sengal.
Hasil pemeriksaan klinis,
- Suhu tubuh : 38oC
- tensi 210/140 mmHg, tachicardi (104/min)
18
Rangkuman
Diskusi Kasus
Kasus 1
- turgor kulit buruk
- jari-jari kaki luka tidak terawat, sebagian telah mengalami nekrosis
- menderita katarak
Pemeriksaan laboratorium
- pH darah 7,25 (normal 7,35-7.45)
- LDL 210 mg/dl, trigriserid total 350 mg/dl
- gula darah random 679 mg/dl
Diagnosis :
Dokter jaga yang memeriksa langsung mendiagnosis bapak X mengalami Diabetes type II
dengan ketoacidosis. Pemberian infus dengan ion kalium dilakukan memperbaiki sistem
pernapasan. Pemberian agent antidiabetik (hypoglycemia) serta antihypertensi secara oral
segera memperbaiki keadaan, tekanan darah turun menjadi 140/90, kadar gula darah
menjadi 260 mg/dl. Setelah gula darah terkendali dilakukan amputasi bagian nekrosis
jari-jari kaki. Setelah itu keadaan sang bapak perlahan membaik dengan berobat jalan
serta management diet. Ahli gizi rumah sakit memberikan ramburambu diet sebagai
berikut :
Kadar karbohidrat = 50 – 60%
Lemak < 30%
Protein 20-30%
Pertanyaan :
1. Atas dasar apa dokter mengdiagnosis sang bapak sebagai DM type II?
2. Apa tanda-tanda ketoacidosis ?
3. Mengapa pasien mudah lapar dan haus?
4. Mengapa terus penderita sering berkemih di malam hari?
5. Mengapa terjadi tachikardi?
6. Mengapa luka sang bapak sukar sembuh?
7. Mengapa pH darah di bawah normal?
8. Mengapa tekanan darahnya meningkat?
9. Mengapa pada anjuran diet, proporsi karbohidrat tinggi ?
10. Mengapa asupan lemak harus dibatasi ?
11. Apa resiko hyperlipidimia pada hyperglycemia (DM) ?
19
12. Apakah penderita dapat diberi diet karbohidrat ? mengapa
Seorang anak perempuan berusia 14 tahun dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma.
Ibunya mengatakan bahwa kira-kira 2 minggu sebelumnya, anak tersebut masih berada
dalam keadaan sehat dan kemudian mengalami sakit leher serta demam sedang.
Selanjutnya, anak ini kehilangan selera makan dan merasakan badannya kurang sehat.
Beberapa hari sebelum masuk ke rumah sakit, ia mulai mengeluhkan rasa haus terus
menerus dan setiap malam terbangun beberapa kali untuk buang air kecil. Dokter
keluarga mereka sedang cuti keluar kota dan sang ibu enggan menghubungi dokter yang
lain.
Pada hari anak tersebut koma diawali dengan muntah-muntah, mengantuk dan sulit
dibangunkan dan karenanya dibawah ke bagian gawat darurat. Pada pemeriksaan anak
tersebut mengalami dehidrasi, kulit terasa dingin pernapasan pelan dan dalam, napas
tercium seperti aroma buah matang (ranum). Tekanan darah 90/60 dengan denyut nadi
115/menit. Ia tidak dapat dibangunkan dan didiagnosis oleh dokter jaga sebagai penderita
Diabetes melitus Type I, insulin dependen dengan komplikasi ketoasidosis dan koma.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis pada saat masuk rumah sakit dikonfirmasikan dengan hasil pemeriksaan darah
di laboratorium.
Kadar dalam plasma/serum darah (nilai dalam kurung adalah kisaran normal)
Glukosa : 35 mmol/L ( 3,6- 6,1 /L)
-hidroksibutirat : 13,0 mmol/L (<0,25 mmol/L)
Asetoasetat : 2,8 mmol/L (<0,2 mmol/L)
Bikarbonat : 5 mmol/L (24 – 28 mmol/L)
Nitrogen urea : 12 mmol/L (2,9-8,9 mmol/L)
Ion H+ darah arteri : 89 nmol/L pH 7,05 (44,7-45,5 nmol –pH 7,35-7,45)
Kreatinin : 160 mol/L (60-132 mol/L)
Kadar dalam urin
20
Kasus 2
Glukosa
: ++++
Benda keton : ++++
Terapi:
Tindakan paling penting dalam pengobatan ketoasidosis diabetik adalah pemberian
insulin dan larutan garam fisiologis (salin 0,85%) intravena. Insulin diberikan kepada
pasien intravena (10 U/jam) yang ditambahkan dalam cairan infus. KCl diberikan
perlahan diikuti dengan pemantauan kadar ion K+ dalam plasma secara periodik (1 jam
sekali). Pemantauan kadar ion K+ dalam plasma sangat penting dalam penatalaksanaan
ketoacidosis, dan jika tidak seimbang dapat merupakan penyebab utama kematian.
Bikarbonat tidak diperlukan secara rutin pada pengobatan ketoasidosis diabetik, tetapi
mungkin diperlukan jika terjadi asidosis berat.
Pertanyaan
1. Apa yang dimaksud dengan diabetes type I (dependen insulin)?
2. Mengapa dapat terjadi pada anak yang berusia 14 tahun ?
3. Apa kira-kira kemungkinan penyebab terjadinya diabetes pada anak tersebut jika
membaca dari riwayat penyakit diatas?
4. Mengapa pasien sering berkemih di malam hari ?
5. Mengapa pasien merasa lemas dan mengantuk?
6. Mengapa pasien menderita dehydrasi?
7. Mengapa kadar asam hidroksibutirat dan asetosasetat darah meningkat ?
8. Mengapa pH darah menurun?
9. Mengapa napas pasien pelan dan dalam serta bau harum buah matang ?
10. Mengapa kadar ureum dan kreatinin meningkat?
11. Mengapa terdapat glukosa dalam urin?
12. Mengapa terdapat banyak benda keton dalam urin
13. Mengapa perlu diberikan KCl?
14. Mengapa pasien diberi insulin intravena ?
21
KWASHIORKOR
Fransiska Lanni
washiorkor merupakan istilah yang digunakan oleh penduduk asli Ghana
(Afrika) untuk menggambarkan ”penyakit yang diderita anak yang lebih tua
setelah adiknya lahir”. Fenomena penyakit ini timbul setelah anak yang lebih
tua karena tidak mendapatkan ASI lagi setelah adik berikutnya lahir. Karena keadaan
ekonomi masyarakat tersebut tergolong rendah, maka sang anak biasanya mendapat
makanan rendah protein tetapi tinggi karbohidrat. Anak itu sebenarnya cukup energi
tetapi kurang asupan protein. Gejalah umum Kwashiorkor adalah hipoalbuminemia,
anoreksia, edema, kondisi kulit dan rambut buruk serta perlemakan hati.
K
Kwashiorkor biasanya dijumpai pada negara-negara miskin dan berkembang seperti
Afrika termasuk Indonesia. Diperkirakan ada kira-kira 1 milyar orang di seluruh dunia
menderita Kwashiorkor dengan berbagai derajat keparahan. Fenomena ”asal kenyang”
tanpa memperhatikan komposisi asupan makanan merupakan faktor utama terjadinya
Kwashiorkor yang sering disebut dengan busung lapar. Kwashiorkor dibedakan dengan
Marasmus, karena pada Kwashiorkor hanya terjadi defisiensi protein dengan asupan
energy yang cukup, sedangkan Marasmus merupakan kasus defisiensi protein diikuti
dengan defisiensi unsur diet yang lain. Bentuk intermedia antara Kwashiorkor dan
Marasmus sering dijumpai dan disebut dengan Marasmus-Kwashiorkor.
Modul ini terdiri dari 2 (dua) sub Bab masing-masing ;
1. Kecukupan asupan protein dalam diet
2. Patofisiologi Biokimiawi Kwashiorkor
Modul ini dilengkapi dengan kasus klinik Kwarshiorkor dengan pertanyaan-pertanyaan
berkaitan dengan penyakit tersebut. Setelah mempelajari Modul ini, diharapkan
mahasiswa mampu :
1. Memahami dasar kecukupan asupan protein untuk menunjang fungsi fisiologis
tubuh
22
BAB
III
PENDAHULUAN
2. memahami patofisiologi biokimiawi terjadinya Kwashiorkor
3. mengenal, mengidentifikasi dan membedakan Kwarshiorkor dari kasus malnutrisi
lainnya
4. menetapkan dasar manajemen klinik dan terapi diet yang tepat pada penderita
Kwashiorkor
4.1. Kecukupan Protein
Untuk mempertahankan fungsi fisiologis dan biologis tubuh agar tetap sehat maka perlu
nutrisi yang baik. Secara umum nutrisi manusia harus terdiri dari 5 unsur utama yaitu :
Karbohidrat, Lemak, Protein, Vitamin dan Mineral. Semua nutrien tersebut harus terus
diasup untuk digunakan sebagai sumber tenaga, regulasi suhu, integritas sel, hormonal,
pertumbuhan, sistem imun, struktural dan lainnya.
Karbohidrat merupakan sumber energy utama dalam metabolisme selular dan aktivitas
tubuh. Lemak terutama dibutuhkan untuk membentuk membran sel, sistem syaraf,
insulasi suhu, endokrin dan sebagai cadangan energy. Protein dibutuhkan terutama
memelihara integritas selular, struktural, enzimatis dan sistem imun tubuh. Vitamin dan
mineral diperlukan untuk membantu metabolisme dalam tubuh, sebagai kofaktor,
antioksidan dan regulator beberapa fungsi fisiologi tubuh. Kekurangan atau kelebihan
unsur-unsur nutrisi di atas mengakibatkan mal-nutrisi (nutrisi yang salah) yang dapat
berakibat patologis.
Protein merupakan unsur penting bagi tubuh terutama pada balita dan masa pertumbuhan
untuk membentuk jaringan otot dan organ lainnya. Selain itu Protein juga
bertanggungjawab pada sistem imun dan regenerasi sel-sel yang rusak. Sumber utama
protein pada bayi adalah Air Susu Ibu (ASI), susu buatan dan unsur makanan bayi
lainnya. Sumber protein makanan pada anak-anak dan orang dewasa dapat diperoleh dari
sumber hewani seperti telor, susu, daging unggas, daging merah dan ikan serta protein
nabati yang berasal dari kacang-kacangan.
Protein dari bahan makanan dalam sistem pencernaan akan diurai menjadi asam amino
yang dimulai dari denaturasi protein di dalam lambung dan digesti oleh pepsin, kemudian
dilanjutkan dengan digesti protease di dalam usus halus menjadi asam amino. Selanjutnya
23
asam amino tersebut diserap oleh sel epitel usus ke damlah darah untuk diedarkan ke
seluruh tubuh. Di dalam sel asam amino tersebut akan digunakan sebagai bahan dasar
pembentukan protein struktural maupun fungsional. Protein fungsional penting dalam
tubuh misalnya; albumin merupakan komponen osmoregulator plasma darah; globulin
merupakan protein fungsional sistem imun; transferin protein yang bertanggungjawab
atas transportasi beberapa unsur mineral dalam tubuh.
4.2. Patofisiologi Biokimiawi Kwashiorkor
Jika asupan protein rendah maka akan terjadi menurunnya sintesis albumin
(hypoalbuminemia), globulin maupun transferin plasma darah oleh hati. Dampak dari
hypoalbuminemia adalah menurunkan tekanan osmotik dalam darah sehingga air dalam
vaskular tertarik kembali ke jaringan, akibatnya terjadi oedema. Selain itu albumin juga
berfungsi sebagai pengangkut lemak (lipoprotein) di dalam darah. Jika albumin kurang,
maka akan mengganggu transportasi trigliserida dan lipid lainnya keluar dari hati dapat
mengakibatkan terjadinya perlemakan hati. Defisiensi mineral dan vitamin juga dapat
terjadi pada kasus kekurangan asupan protein, karena beberapa vitamin (Vitamin A, K,
dll) dan mineral (Cu, Fe dll) membutuhkan protein pengangkut di dalam plasma sebagai
carrier.
Asupan karbohidrat yang tinggi memacu pelepasan hormon insulin yang berlebihan dan
menghambat sekresi hormon epinefrin dan kortisol. Kadar hormon epinefrin yang rendah
akan menghambat mobilisasi lemak hasil oksidasi dalam hati dan diperparah oleh tidak
adanya albumin sebagai carrier, akibatnya lemak tetap tertinggal di dalam hati da
terjadinya perlemakan hati (fatty liver) yang selanjutnya dapat merusak jaringan hati.
Komponen sistem imun humoral seperti imunoglobulin (Ig), interferon, cytokin atau
protein C adalah protein fugsional Akibatnya pada penderita Kwashiorkor juga terjadi
penurunan sistem imun sehingga penderita sangat rentan terhadap penyakit infeksi.
Regenerasi sel yang rusak baik pada luka atau turn-over sel dapat terhambat karena
membutuhkan protein untuk komponen strukturalnya. Pembentukan darah merah juga
terhambat baik karena kekurangan besi (Fe) yang membutuhkan protein carrier transferin
sebagai pengangkut setelah diserap dari diet maupun protein globin sehingga penderita
kerap
24
mengalami anemia berat. Demikian pula halnya dengan pembentukan neurotramsimiter,
hormon peptida dan enzim-enzim akan terganggu.Kekurangan asupan protein secara
biokimiawi dapat dibagi menjadi 2 golongan:
1. Kwashiorkor jika yang kurang asupannya adalah protein sedangkan asupan
nutrient lainnya terutama karbohidrat cukup tinggi.
2. Marasmus jika selain asupan proteinnya kurang, asupan nutrien lainnya juga
kurang termasuk karbohidrat maupun lemak.
Dari tabel dibawah ini kasus Kwashiorkor dapat dibedakan dari Marasmus
berdasarkan ciri-ciri manifestasi kliniknya.
Perbedaan antara Kwarshiorkor dengan Marasmus
Gejalah Klinis Kwashiorkor Marasmus
Edema Ada Tidak ada
Hipoalbuminemia Ada, mungkin berat Ringan
Perlemakan hati Ada Tidak ada
Kadar insulin Dipertahankan normal Rendah
Kadar cortisol Normal Tinggi
Penyusutan masa otot Tidak ada / ringan Dapat sangat berat
Lemak tubuh berkurang Tidak ada
25
Patofisiologi terjadinya
Gambar 3.1. Kwashiorkor yang terjadi akibat asupan protein yang rendah dan asupan
karbohidrat yang tinggi
- Protein merupakan komponen diet yang penting yang berfungsi untuk pembentukan
protein struktural dan fungsional.
- Kekurangan asupan protein dapat mengakibatkan berbagai gangguan fisiologis
dalam tubuh karena sintesis protein struktural maupun fungsional tubuh terhambat.
- Kwarshiorkor merupakan keadaan di mana asupan karbohidrat dalam diet sebagai
sumber energy cukup, tetapi asupan proteinnya kurang.
- Protein merupakan komponen diet yang penting yang berfungsi untuk pembentukan
protein struktural dan fungsional.
- Kwarshiorkor biasanya terjadi pada keluarga miskin atau orangtua yang kurang
pengetahuan tentang gizi dan biasanya diderita oleh masyarakat pegunungan yang
sukar mendapat sumber protein.
26
Kasus 1
Rangkuman
- Akiba
t
asupa
n
protei
n
kuran
g
maka
sintesi
s
album
nin
tubuh
kurang terjadilah hypoalbuminemia dan oedema akibat cairan Akibat asupan
protein kurang maka sintesis albumnin tubuh kurang terjadilah
hypoalbuminemia dan oedema akibat cairan dalam plasma merembes keluar
sehingga perut dapat membuncit atau dikenal dengan busung lapar
Seorang anak perempuan berusia 2 tahun, yang merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara
tinggal dipegunungan dibawa ibunya ke bagian rawat jalan RSUD. Adik bungsu anak
tersebut masih berusia 3 bulan dan masih mendapat ASI dari ibunya. Ayahnya menderita
patah tungkai bawah pada suatu kecelakaan dan tidak mampu bekerja lagi untuk mencari
nafkah. Dengan demikian, penghasilan keluarga tersebut sangat rendah dan
mengandalkan hasil panen dari ladang. Dengan kondisi demikian orangtua mereka tidak
mampu membeli susu, daging maupun telur maupun tahu atau tempe untuk makanan
anak-anaknya.
Makanan utama mereka adalah umbi-umbian yang kaya akan karbohidrat tetapi rendah
protein. Menurut sang ibu nafsu makan sang anak menurun sebulan terakhir, dan sering
mengalami diare, batuk, mudah tersinggung serta apatis. Pada pemeriksaan fisik, ukuran
dan perbandingan berat badan terhadap tinggi badan pasien adalah rendah untuk standar
anak seusianya. Anak tersebut juga kelihatan pucat, sangat lemah dan mengantuk. Suhu
tubuh 40,5oC. Lingkar lengan atas berada di bawah ukuran normal, kulit tampak bersisik
(deskuamasi), rambut kering dan rapuh. Abdomen membusung dan hepar agak membesar
dan edema tubuh tampak menyeluruh.. Ronki terdengar pada lobus bawah paru kiri.
Dokter yang memeriksa anak tersebut membuat diagnosis Kwashiorkor, diare, pneumonia
dan kemungkinan bakterimia.
Hasil pemeriksaan Laboratorium
Sampel darah diambil untuk analisis laboratorium. Hasilnya menunjukkan kadar
Hemoglobin (Hb) adalah 6,0 g/dl (nilai normal bagi anak usia 2 tahun = 11 - 14 g/dl).
Total protein serum 4,4 g/dl (normal 6-8 g/dl) dan albumin 2,0 g/dl (normal 3,5 - 5,5g/dl.
Sampel darah serta feces diambil untuk pemeriksaan kultur, kuman anaerob gram negatif,
belakangan dilaporkan hitung leukosit adalah 18.000/µl. Foto thoraks memperlihatkan
27
infiltrat dengan bercak-bercak opasitas yang tidak merata (mottled opacities) pada lobus
inferior paru kiri, yang konsisten dengan bronkopneumonia akut.
Terapi
Pada banyak kasus, penderita Kwarshiorkor infiltrat dengan bercak-bercak opasitas yang
tidak merata (mottled opacities) pada lobus inferior paru kiri, yang konsisten dengan
bronkopneumonia akut..ringan hingga sedang tidak dianjurkan dirawat di rumah sakit,
untuk memperkecil kemungkinan terkena infeksi skunder di ruang perawatan. Namun
demikian, karena demam dan kondisi anak tersebut sangat lemah serta terjadi edema
berat maka asang anak di rawat di rumah sakit.
Anak tersebut segera diberi antibiotik spektrum tinggi dan infus dextrosa-salin. Tragisnya
keadaan anak tersebut semakin memburuk dan meninggal kurang dari 12 jam setelah
masuk ke ruang perawatan inap. Hasil otopsi memperlihatkan adanya perlemakan hati
yang berat dan bronkopneumonia.
28
Pertanyaan :
1. Apa yang terjadi dengan anak tersebut ?
2. Mengapa hal tersebut dapat terjadi?
3. Apa yang dimaksud Kwarshiorkor
4. Apa perbedaan antara Kwarshiorkor dengan marasmus
5. Mengapa kadar Hb, total albumin serum dan albumin kurang dari normal ?
6. Mengapa terjadi peningkatan jumlah leukosit ?
7. Mengapa terjadi pneumonia?
8. Mengapa terjadi edema?
9. Mengapa terjadi demam?
10. Mengapa terjadi deskuamasi pada kulit?
11. Mengapa rambut mudah rapuh dan patah?
12. Apa alasan dokter memberi antibiotik?
13. Mengapa dapat terjadi terjadi perlemakan hati?
14. Mengapa pada kwashiorkor dapat terjadi defisiensi mineral dan vitamin ?
15. Terapi diet yang bagaimana anda anjurkan pada kasus kwarshiokor di atas?
29
Daftar Pustaka
1. Audesirk T and Audesirk G (2002). Life on Earth, Princeton Hall, Upper Saddle River, Ner Jersey.
2. Coon EE, Stumpf PK, Bruening G and Doi RH (1991). Outlines of Biochemistry 5st Edition. John Wiley & Son, Inc. New York.
3. Devlin T M (2002) Text Book of Biochemistry with Clinical Correlation 4th edition, Wiley Medical Publ. New York.4. Martin DW, Mayes PA and Rodwell VW ( 2003) Harper Review of Biochemistry 29st edition. Lange Medical Publications California.5. Sheeler P and Bianchi DE (1983). Cell Biology Structure, Biochemistry, and Function, John wiley and sons, New York.6. Talwar GP (2001 Textbook of Biochemistry and Human Biology. Prentice Hall of India- New Delhi.
30