Modul 2 (Penurunan Berat Badan)
-
Upload
dewi-sartika -
Category
Documents
-
view
376 -
download
19
Transcript of Modul 2 (Penurunan Berat Badan)
Laporan Individu8Juli2012
LAPORAN TUTORIAL
MODUL 2
BERAT BADAN MENURUN
“GRAVES DISEASES”
BLOK ENDOKRIN METABOLIK
Disusun Oleh
Nama : Dewi Sartika Muliadi
Stambuk : 11-777-038
Kelompok : IV (Empat)
Pembimbing : 1. dr.Ahmad Makalama, Sp.PD
2. dr.Zulkarnaen Husain
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2012
BAB I
PENDAHULUAN
I. Skenario
II. Kata Kunci
1. Pria 50 tahun
2. Berat badan menurun menurun sejak 3 bulan terakhir
3. Merasa lemas,lelah dan mengantuk
III. Pertanyaan
1. Hormon yang dapat mempengaruhi penurunan berat
badan ?
2. Bagaimana mekanisme penurunan berat badan ?
3. Penyakit apa saja yang menyebabkan penurunan berat
badan ?
Skenario 1 :
Seorang laki-laki umur 50 tahun, mengunjungi dokter oleh karena berat
badan menurun yang dialami sejak 3 bulan terakhir. Penderita juga
mengeluh akhir-akhir ini selalu merasa lemas,lelah dan selalu
mengantuk.
BAB II
PEMBAHASAN
1. GRAVE’S DISEASE
I. Pendahuluan
Penyakit Grave’s adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan gejala hipertiroidisme, goiter yang difuse dan
kelainannya dapat mengenai mata dan kulit. Penyakit
Grave’s merupakan bentuk tirotoksikosis yang sering
dijumpai dan dapat terjadi pada seluruh usia, lebih sering
terjadi pada wanita dari pada pria. Sindroma ini terdiri satu
atau beberapah manifestasi berikut ini : goiter, oftalmopati
(eksotalmus) dan dermopati (edema pretibial). Robert
Grave’s pada tahun 1835 pertama mengidentifikasi gejala-
gejala goiter, palpitasi dan exopthalmus. Saat ini
diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thyroid stimulating
antibodies pada penderita Grave’s hipertiroidisme yang
berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin pada sel tiroid
yang menginduksi sintesa dan pelepasan hormon tiroid.1,2,4
II. EPIDEMIOLOGI
Insiden Grave’s disease di Amerika Serikat sekitar 100-
200 kasus per 100.000 populasi pertahun, dengan
prevalensi berkisar 0,5 – 1%. Penyakit ini lebih sering
terdapat pada wanita daripada laki-laki, dengan rasio 7-8 :
1, utamanya pada usia pertengahan atau dekade 3-5.
Khusus untuk wanita paling banyak terjadi pada umur 30
sampai 60 tahun. Prevalensi Grave’s disease didapatkan
sama antara orang kulit putih dengan orang -orang Asia
dan lebih rendah pada orang kulit hitam. Belum ada data
yang pasti tentang Grave’s disease di Indonesia, tetapi pada
beberapa rumah sakit dilaporkan angka kejadian antara
44%-48 % dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar
tiroid. Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada
tahun 1960 diperkirakan 200 juta, 12 juta di antaranya
terdapat di Indonesia. 1,2,4,10
III. Etiologi
Grave’s disease merupakan penyakit autoimun yang
ditandai oleh adanya autoantibodi dalam serum penderita.
Beberapa faktor yang memegang peranan penting pada
terjadinya Grave’s disease adalah: faktor genetik, infeksi,
kehamilan, obat-obatan terutama obat dengan kandungan
iodine (amiadaron), stres psikologis serta merokok. 1,2,3,4,5,6,10
III.1 Faktor Genetik
Adanya hubungan antara penyakit autoimun tiroid dengan
faktor genetik telah diketahui. Dikatakan bahwa alel
cytotoxic T-lymphocyte antigen 4 (CTLA-4) memegang
peranan penting sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya
Grave’s disease. Hal ini dibuktikan dari satu penelitian di
Amerika Serikat, yaitu dari 379 pasien dengan Grave’s
disease didapatkan 42 % dengan genetik CTLA-4,
sedangkan pada orang yang tidak menderita Grave’s
disease didapatkan 32 %.1,2,3,4,5,7,10
III.2 Infeksi
Beberapa infeksi akibat antigen eksogen memiliki kemiripan
struktur molekul (molecular mimicry) dengan protein tubuh
dan memicu respon tubuh dengan teraktivasinya sel T dan
menstimulasi limfosit B untuk membentuk antibodi. Infeksi
yang dapat mencetuskan terjadinya Grave’s disease adalah
infeksi dari Yersinia enterocolitica, struktur molekul
antigennya memiliki kemiripan dengan protein tubuh
khususnya protein dalam kelenjar tiroid. Infeksi virus
Rubella juga dihubungkan dengan penyakit tiroid autoimun,
hal ini kemungkinan karena virus tersebut menyerang
kelenjar tiroid itu sendiri dengan menginisiasi ekspresi dari
molekul HLA klas II, sehingga menyebabkan aktivasi sel-sel
inflamasi pada kelenjar tiroid (tiroiditis sub akut). Selain itu
juga akibat dari ekspresi molekul HLA klas II akan terbentuk
sitokin seperti IL-6, IL-13, dan IL-15 yang akan
meningkatkan pembentukan antibodi oleh sel limfosit B. 1,2,3,4,5,7,10
III.3 Kehamilan
Secara klinis mendeteksi Keadaan hipertiroidisme meningkat
pada wanita yang infertil, dan yang memiliki faktor risiko
genetik. Wanita post partum mengalami keadaan rebound
hyperactivity dari sistem imun, yang menyebabkan
terjadinya penyakit tiroid post partum, pada lebih dari 30 %
wanita muda yang menderita Grave’s disease memiliki
riwayat kehamilan 12 bulan sebelum onset timbulnya
penyakit. 1,2,3,4,5,7,10
III.4 Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat mencetuskan terjadinya Grave’s
disease adalah obat yang mengandung iodine seperti
amiadaron. Adanya iodine akan meningkatkan proses
stimulasi dari TSH receptor autoantibody (TSHR-Ab) untuk
memproduksi hormon tiroid yang berlebihan, walaupun
mekanismenya belum jelas, iodine atau amiadaron secara
langsung dapat merusak sel tiroid dan melepaskan antigen
yang menyebabkan teraktivasinya sistem imun dalam
kelenjar tiroid. 1,2,3,4,5,7,10
III.5 Stres Psikologis
Pasien dengan Grave’s disease, dikatakan lebih banyak
memiliki riwayat stres psikologis dibandingkan dengan orang
normal. Hal ini kemungkinan dihubungkan dengan adanya
fenomena rebound dari hiperaktivitas sistem imun akibat
penekanan sistem imun setelah mengalami stres psikologis,
khususnya pada orang yang secara genetik memiliki
kerentanan untuk menderita penyakit autoimun tiroid. 1,2,3,4,5,7,10
III.6 Merokok
Merokok merupakan faktor risiko yang kuat terutama pada
Graves ophthalmopathy, walaupun mekanismenya belum
jelas, kemungkinan hal ini terjadi sebagai akibat dari efek
toksik rokok yang menyebabkan respon imunologi dan
inflamasi pada jaringan orbita. 1,2,3,4,5,7,10
IV. Patogenesis
Adams dan Purves tahun 1956 di New Zealand menemukan
bahwa di dalam serum penderita Grave’s disease ditemukan
adanya suatu imunoglobulin (IgG) yang akan berikatan
dengan reseptor tirotropin (TSH-r) pada kelenjar tiroid.
Ikatan antara IgG dengan TSH-r akan menstimulasi kelenjar
tiroid dalam periode yang lama dibandingkan dengan thyroid
stimulating hormon (TSH), sehingga disebut juga sebagai
Long Acting Thyroid Stimulator (LATS). Belakangan LATS
disebut juga sebagai Thyroid Stimulating Antibody (TSAb),
Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), TSH Receptor
Autoantibodies (TSHR-Abs), Thyroid Stimulating
Immunoglobulin ( TSI ). American Thyroid Association (ATA)
selanjutnya merekomendasikan secara umum dengan istilah
thyroid reseptor antibody (TRAb).Antibodi ini akan berikatan
dengan reseptor tirotropin pada kelenjar tiroid, dan
menstimulasi kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon
tiroid secara berlebihan. Mekanisme kerja dari TSAb adalah
agonis dengan TSH untuk menstimulasi kelenjar tiroid
dengan meningkatkan aktivitas ensim adenylate cyclase
(cAMP) dalam kelenjar tiroid, sehingga terjadi peningkatan
produksi hormon tiroid dan hipertrofi atau hiperplasia
kelenjar tiroid/goiter (Gambar 1). Selain itu, TSHR-Abs
menstimulasi pembentukan sodium-iodide symporter ( SIS )
untuk meningkatkan ambilan iodide pada permukaan sel
folikel kelenjar tiroid, sehingga produksi hormon tiroid juga
akan meningkat. 1,2,3,4,5,6,7,8,10
Secara histologi, kelenjar tiroid pada pasien Grave’s disease
ditandai dengan adanya hiperplasia folikel, infiltrasi limfositik,
dan pusat germinativum. Sebagian besar limfosit intratiroidal
adalah sel limfosit T dan pusat germinativum adalah sel
limfosit B. Adanya autoantigen yang spesifik dalam kelenjar
tiroid, menyebabkan teraktivasinya sel limfosit T, sehingga
meningkatkan autoreaktivitas dari sel limfosit T helper dan
hal ini akan meningkatkan sekresi autoantibodi oleh sel
limfosit B (Gambar 2). 1,2,3,4,5,6,7,8,10
Gambar 1. Mekanisme Kerja Thyroid Receptor Antibodies (TRAb) Pada Patogenesis Grave’s Disease
Kelenjar tiroid penderita Grave’s disease, di dalamnya
dapat dijumpai semua jenis dari sel limfosit T yang
teraktivasi, yaitu ; Sel CD4 + Th-l mensekresikan IL-2,
interferon gamma (IFN-γ) dan tumor nekrosis faktor alfa
(TNF-α) yang akan meningkatkan adhesi dan aktivasi sel-sel
inflamasi melalui ekspresi CD40 dan CD54 pada permukaan
epitel sel folikuler tiroid dan juga akan meningkatkan
pembentukan antibodi oleh sel limfosit B, melalui ekspresi
dari molekul HLA klas II. Sel CD4 + Th2 akan
mensekresikan IL-4 dan IL-5 yang dapat meningkatkan
aktivasi limfosit B untuk memproduksi antibodi.
Terbentuknya TSHR-Ab pada Grave’s disease dihubungkan
dengan adanya aktivasi dari sel T helper terutama CD4 + Th
2. 1,2,3,4,5,6,7,8,10
Gambar 2: Patogenesis Graves' disease
Peranan sel limfost T suppresor (CD8) pada penyakit tiroid
masih belum jelas, dikatakan bahwa pada pasien dengan
Grave’s disease didapatkan penurunan jumlah sel limfosit T
suppressor, CD8 dalam sirkulasi, dan hal ini sesuai dengan
hipotesis bahwa adanya defek pada sel limfosit T
suppressor (Ts), akan mengakibatkan persistensi produksi
TSHR-Ab. Menurunnya fungsi Ts ini akan menyebabkan
penurunan hambatan terhadap autoreaktivitas dari limfosit T
helper (Th), sehingga terjadi peningkatan aktivitas Th, yang
secara spesifik dapat menginduksi monosit untuk
menghasilkan IFN-γ, dan menginduksi limfosit B untuk
menghasilkan antibodi yaitu thyroid stimulating antibody
(TSAb), di mana TSAb akan berikatan dengan reseptor
tirotropin (TSH-r) untuk menstimulasi kelenjar tiroid
memproduksi hormon tiroid. Selain itu TSAb akan
meningkatkan ekspresi dari tiroid antigen (HLA molekul klas
II) pada permukaan sel tiroid. Interferon gamma akan
meningkatkan ekspresi dari HLA-DR pada permukaan sel
tiroid dan akibatnya terjadi peningkatan afinitas TSHr
dengan TSAb, dibandingkan TSHr dengan TSH.
Peningkatan ekspresi dari HLA-DR atau tiroid antigen secara
langsung mengaktivasi serta menstimulasi Th, dan secara
spesifik kembali menginduksi monosit untuk menghasilkan
antibodi, dan siklus berulang lagi secara terus menerus,
sehingga pada akhirnya terbentuk hormon tiroid secara
berlebihan. 1,2,3,4,5,6,7,8,10
TSHR-Abs terdiri dari tiga jenis yaitu yang bersifat sebagai
stimulator, bloking atau menghambat dan yang bersifat
netral terhadap ikatan atau aktivitas stimulasi TSH dengan
reseptornya pada kelenjar tiroid. Serum pasien dengan
tiroiditis autoimun kronik (penyakit Hashimoto), di dalamnya
dijumpai TSHR-Ab yang justru memblok atau menghambat
ikatan atau aktivitas stimulasi TSH dengan reseptornya
sehingga akan menyebabkan keadaan hipotiroid. TSHR-Ab
yang bersifat netral, merupakan bentuk yang tidak
mempengaruhi ikatan TSH dengan reseptornya, pada
pasien dengan Grave’s disease bisa dijumpai TSHR-Abs
campuran yaitu yang bersifat sebagai merangsang atau
menghambat. Manifestasi klinis tergantung dari
keseimbangan dari kedua bentuk TSHR-Abs ini. 1,2,3,4,5,6,7,8,10
Patogenesis dari oftalmopati pada Grave’s disease dikatakan
masih belum jelas. Beberapa studi mengatakan bahwa
beberapa faktor yang sangat kompleks memberikan
kontribusi untuk terjadinya oftalmopati. Faktor-faktor tersebut
terdiri dari proses mekanis, proses imunologis dan proses
seluler. Faktor mekanis yang mendasari terjadinya
oftalmopati adalah terjadinya peningkatan volume jaringan
ikat intraorbital, yaitu peningkatan volume massa otot ekstra
okuler dan jaringan adiposa orbital. Proptosis terjadi karena
peningkatan volume jaringan orbital dalam rongga orbital,
sehingga bola mata akan terdorong ke depan (Gambar 2)
Patogenesis terjadinya dermopati pada Grave’s disease
hampir sama dengan patogenesis dari oftalmopati. Tiga
persen pasien Grave’s disease disertai dermopati pada
kulit, dengan predileksi terutama pada daerah pretibial. Hal
ini sebagai akumulasi glycosaminoglycan (GAG) yang
berasal dari jaringan fibroblast daerah pretibial.
glycosaminoglycan bersifat hidrofilik sehingga terjadi edema
pretibial. Selain itu edema terjadi karena penurunan aliran
limfatik dan vena akibat penekanan dan proses inflamasi
kronis pada otot ekstremitas bawah. Secara imunologis
terjadinya infiltrasi sel limfosit di daerah kulit pretibial akan
menyebabkan terjadinya eritematous dengan penebalan kulit
dan perubahan tekstur kulit. 1,2,3,4,5,6,7,8,10
V. Diagnosi
V.1 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis Grave’s disease umumnya terdiri dari
tirotoksikosis, struma difusa, dan oftalmopati terutama
eksoftalmus yang dikenal dengan istilah “Merseburger
Triad”. Selain hal tersebut, dermopati juga merupakan salah
satu tanda dan gejala Grave’s disease terutama berupa
myxoedema di daerah pretibial , tetapi dengan jumlah yang
lebih sedikit (Gambar 3). 1,2,3,4,5,7,10
Gambar 3. Manifestasi Klinis Grave’s Disease
Manifestasi kardiovaskular pada Grave’s disease merupakan
gejala menonjol dan merupakan karakteristik gejala dan
tanda tirotoksikosis. Bersama keluhan lain seperti cemas,
mudah lelah, tidak tahan udara panas dan berat badan turun,
keluhan-keluhan di atas muncul lebih dari 50% pasien
Grave’s disease. 1,2,3,4,5,7,10
Pada pasien dengan usia yang lebih tua, seringkali tanda
dan gejala khas tersebut tidak muncul sebagai akibat respon
tubuh terhadap peningkatan hormon tiroid menurun. Gejala
yang dominan pada usia tua adalah penurunan berat badan,
fibrilasi atrial dan gagal jantung kongestif. 1,2,3,4,5,7,10
Tabel I. Tanda dan gejala dari Grave’s disease
Sistem Tanda & Gejala
Gejala Umum Intoleransi terhadap suhu, hiperkinetik,
berat badan menurun, gangguan
pertumbuhan, pembesaran kelenjar tiroid
secara difus (goiter)
CNS Iritabilitas, cemas, psikosis, tremor, periodik
paralisis
Jantung/paru Hipertensi, sesak, palpitasi, aritmia, gagal
jantung
Gastrointestinal Rasa lapar, hiperdefekasi, mual muntah,
peningkatan nafsu makan
Saluran limfe dan darah Limfositosis, splenomegali, anemia
Genitourinari Oligomenorrhea, amenorrhea, penurunan
libido
Kulit dan otot Rambut rontok dan tipis, berkeringat, osteoporosis, nyeri tulang, kulit basah
Gejala spesifik dari Grave’s disease
Oftalmopati (5%), Dermopati (0,5-4%), Akropasi (1%)
Diagnosis Grave’s disease ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium standar
TSHs dan fT4 (free T4). Bila dari manifestasi klinis dan
hasil laboratorium belum dapat ditegakkan diagnosis
Grave’s disease, maka dapat diperiksa TR-Ab dan bila perlu
dilakukan tes supresi tiroksin untuk memastikannya. 1,2,3,4,5,7,10
V.2 Pemeriksaan laboratorium
V.2.1. Tes Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
TSH merupakan hormon glikoprotein, disekresi oleh
hipotalamus TSH diperiksa dengan metode EIA (Enzyme
Imunooassay) fase padat satu tahap dengan prinsip
sandwich. 1,2,3,4,5,7,9,10
Kadar TSH didapatkan rendah, kadang-kadang tidak
terdeteksi kecuali dengan menggunakan TSH sensitive
(TSHs). Tes TSHs adalah tes TSH generasi ketiga yang
dapat mendeteksi TSH pada kadar yang sangat rendah
sehingga dapat digunakan sebagai pemeriksaan tunggal
dalam menentukan status tiroid dan dilanjutkan dengan tes
FT4 bila dijumpai TSHs yang abnormal. Kadar normal
TSH : 0,4 – 5,5 mIU/l. 1,2,3,4,5,7,9,10
V.2.2. Tes Free-tiroksin / tiroksin (FT4/ T4 )
a. Tes FT4/T4 digunakan untuk menyingkirkan suatu
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, menentukan dosis
pemeliharaan tiroid pada hipotiroidisme dan memonitor
hasil pengobatan antitiroid pada hipertiroidisme.
b. Tes FT4 lebih sensitif daripada T3 dan lebih banyak
digunakan untuk konfirmasi hipotiroidisme setelah
dilakukan tes TSHs.
c. Tes FT4 dilakukan dengan prinsip EIA fase padat dua
tahap dengan prinsip titrasi balik. Tes FT4 dilakukan
dengan prinsip EIA fase padat satu tahap, mengukur
kadar tiroksin bebas maupun yang terikat protein dengan
prinsip kompetitif. Nilai rujukan tes FT4 : 10-27 pmol/L.
d. Kadar serum tiroksin meningkat pada semua pasien
kecuali pada pasien dengan T3 tirotoksikosis. 1,2,3,4,5,7,9,10
V.2.3. Triiodothyronine ( T3)
a. Tes T3 digunakan untuk mendiagnosis hipertiroidisme
dengan kadar FT4 normal.
b. Tes T3 dilakukan dengan prinsip enzym immune assay
fase padat satu tahap dengan prinsip kompetitif. Nilai
rujukan tes T3 : 0,8-2,0 ng/ml.
c. Kadar T3 meningkat pada semua pasien dengan
tirotoksikosis kecuali kalau pasien menderita penyakit
akut dan kronis, malnutrisi dan sedang dalam
pengobatan seperti propilthiourasil. 1,2,3,4,5,7,9,10
V.2.4.Tes yang berhubungan dengan autoimun.
a. Thyroid peroxidase antibodies (TPOAb)
Thyroid peroxidase antibodies (TPOAb) merupakan
marker yang baik untuk autoimmune thyroid disease
(AITD) seperti Graves’ disease atau Hashimoto’s
thyroiditis. Kadar TPOAb menunjukkan aktivitas enzim
thyroid peroxidase yang dijumpai pada lebih separuh
pasien AITD. Studi terbaru membuktikan TPOAb
ditemukan pada 93% pasien Hashimoto dan lebih 73%
pasien Grave’ Disease.
Awalnya TPOAb dikenal sebagai Anti Microsomal
Antibody (AMA) karena bereaksi dengan sediaan
membran sel tiroid. Saat ini sudah ditemukan metode
immunoassay TPOAb kompetitif dan non-kompetitif yang
lebih sensitif.
b. Thyroglobulin Antibodies (TgAb)
Thyroglobulin Antibodies (TgAb) akan meningkat pada
sekitar 80% pasien tiroiditis Hashimoto dan 30% pada
pasien Graves’ disease. Tes ini dipercaya bermanfaat
untuk mendeteksi penyakit tiroid autoimun utamanya
pasien dengan noduler goiter.
c. Thyroid Stimulating Hormone receptor antibodies (TSH
receptor antibodies;TRAb)
Tes TRAb banyak dikembangkan untuk menyingkirkan
etiologi Graves’ disease. Ada tiga kategori TRAb yaitu
Thyroid Stimulating Antibody (TSAb), Thyroid Blocking
Antibody (TBAb) dan TSH Binding Inhibitory
Immunoglobulin (TBII). 1,2,3,4,5,7,9,10
V.2.5. Pemeriksaan radioactive iodine uptake (RAIU)
a. Digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid
dalam menangkap dan mengubah iodida.
b. Normalnya jumlah radioaktif yang diambil sekitar
10-35% dari dosis pemberian. Pada hipertiroidisme
didapatkan peningkatan RAIU 30 sampai 90% dalam 24
jam. 1,2,3,4,5,7,9,10
c.Prosedur singkat tes RAIU:
1) Pasien diminta tidak makan selama 2 jam sebelum tes
2) Pasien diminta tidak mengkonsumsi obat antitiroid 5
sampai 7 hari sebelum tes.
3) Pasien diminta menelan satu dosis iodine radioaktif
(bisa berupa kapsul atau cairan) empat sampai dua
puluh empat jam sebelum tes.
4) Sesaat sebelum tes, pasien diminta melepaskan gigi
palsu (jika ada) dan seluruh perhiasan maupun logam
yang digunakan disekitar leher dan upper body. 1,2,3,4,5,7,9,10
VI. TERAPI
Terapi ideal penyakit ini ialah mengoreksi kelainan respon
imun yang terjadi di tiroid dan orbita sehingga
mengembalikan fungsi tiroid dan memperbaiki tampilan
oftalmopati. Terapi imunosupresi pada Grave’s disease lebih
banyak efek samping dibanding manfaatnya, kecuali Grave’s
disease dengan oftalmopati aktif sehingga tidak digunakan
sebagai terapi utama. Oleh karena itu, pengobatan Grave’s
disease terdiri dari obat antitiroid dan β-bloker, operasi dan
terapi iodium radioaktif (131I). 1,2,3,4,5,7,9,10
VI.1 Obat-obatan
a) Obat golongan tionamid: tiourasil (PTU) dan imidazol (
metimazol, karbimazol) mempunyai efek intra dan
ekstratiroid. Mekanisme intratiroid yang utama adalah
mencegah atau mengurangi biosintesa hormon tiroid
T3 dan T4 dengan cara menghambat oksidasi dan
organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesa tiroglobulin, sedangkan
mekanisme ekstratiroid adalah menghambat konversi
T4 menjadi T3 di jaringan perifer. Besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, dosis PTU
dimulai dengan 3 x 100-200 mg/hari dan dosis
metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari
terbagi untuk 3 -6 minggu pertama. Setelah periode
ini dosis dapat dinaikkan atau diturunkan sesuai
respon klinis dan biokimia.
b) Obat golongan β-bloker seperti propanolol
hidroklorida sangat bermanfaat untuk mengendalikan
manifestasi klinis tirotoksikosis seperti palpitasi,
tremor, cemas dan intoleransi panas melalui blokade
pada reseptor adrenergik. Dosis awal propanolol
umumnya berkisar 80 mg/hari. Disamping propanolol,
obat β-bloker lainnya yang biasa digunakan adalah
atenolol, metoprolol dan nadolol. 1,2,3,4,5,7,9,10
VI.2 Operasi
Operasi jenis tiroidektomi subtotal pada Grave’s disease
diindikasikan bila:
a. Struma besar atau dengan struma retrosternal
b. Respons terhadap obat antitiroid kurang memadai
atau terdapat efek samping obat. Angka
kekambuhan hipertiroidisme dilaporkan sebanyak
5-15%, sebagian besar dialami kelompok pasien
dengan kadar TR-Ab tinggi sebelum operasi
dan dengan keterlibatan mata yang serius. Pada
kelompok seperti ini sebaiknya dilakukan
tiroidektomi total, bukan tiroidektomi subtotal.
Pada kelompok yang mengalami kekambuhan
pasca tiroidektomi subtotal, pilihan selanjutnya
ialah terapi iodium radioaktif. 1,2,3,4,5,7,9,10
VI.3 Pemberian Iodium Radioaktif (131I )
Terapi iodium radioaktif diindikasikan pada:
a. Pasien yang mengalami kekambuhan setelah
terapi obat antitiroid jangka panjang dan disertai
dengan gangguan jantung.
b. Grave’s disease yang berat karena kelompok
tersebut diperkirakan akan sulit mencapai remisi
dengan obat antitiroid.
c. Pasien yang menderita efek samping serius
terhadap obat antitiroid.
d. Pasien yang mengalami kekambuhan pasca
tiroidektomi subtotal. 1,2,3,4,5,7,9,10
VII. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada usia dan keparahan penyakit
sebelum pengobatan. Penyakit ini biasanya dimulai secara
bertahap dan progresif jika tidak diobati. Lebih serius
komplikasi bisa mengakibatkan fraktur atau patah tulang,
cacat lahir pada kehamilan dan meningkatkan risiko
keguguran. Grave’s disease sering disertai dengan palpitasi
yang dapat mengakibatkan kardiovaskular kerusakan dan
komplikasi jantung lebih lanjut termasuk kehilangan irama
jantung normal (atrial fibrilasi). Jika eksoftalmus sangat
parah dan tidak menutup sepenuhnya pada malam hari,
kekeringan mata akan terjadi dengan risiko tinggi terjadinya
infeksi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Pada
tirotoksikosis berat, suatu kondisi yang sering disebut
sebagai badai tiroid, presentasi neurologik lebih fulminan,
terus berkembang dari keadaan gelisah, mengigau, delirium
dan akhirnya koma. 1,2,4,10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan : Grave’s Disease adalah suatu penyakit autoimun yang
menyebabkan hipertiroidisme. Dari skenario, Grave’s disease
menunjukkan adanya kesamaan manifestasi klinis sehingga Grave’s
Disease termasuk dalam salah satu penyakit yang menyebabkan
penurunan berat badan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Widaningsih Yuyun, Bahrun Uleng.Grave’s Disease.Makassar:
Bagian Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin,2011.Halaman 1-18.
2. Tjokroprawiro Askandar,Hendramartono,Sutjahjo,etc.Kapita Selekta
Tiroidologi Endokrin-Metabolik Seri 1.Surabaya: Airlangga
University Press,2006.Halaman 1-9.
3. Saputra Lyndon.Kapita Selekta KEDOKTERAN Klinik.Tangerang:
Bina Rupa Aksara,2009.Bab 3.Halaman 80-83.
4. Subadoyo AW,Setiyohadi B,Alwi I,Simadibrata MK,Setiati S.Buku
Ajar Ilmu penyakit dalam Ed 5.Jakarta: Depertemen Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2006.Vol.II.Bab
311.Halaman 1993-2008
5. Mansjoer Arif,Triyanti Kuspuji,Savitri Rakhmi,Wardhani Ika
Wahyu,Setiowulan Wiwiek.Kapita selekta kedokteran ED
3.Jakarta:Media Aesculapius,2000.Vol.I.Bab VII.Sub Bab
53.Halaman 594-592.
6. Price,Sylvia,dkk.2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit jilid 1. Jakarta: EGC.Bab X.Sub Bab 60.Halaman 1225-
1236
7. Kumar,Cotran,Robbins.Buku Ajar Patologi Ed.7Jakarta:EGC,
2007.Vol.II.Bab 20.Halaman 811-8-15
8. Arthur C, Guyton, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11.
Jakarta: EGC; 2007.Unit XIV Endokrinologi dan Reproduksi.Bab
74.Halaman 978-982
9. Suci.Tes Tiroid.Makassar : Bagian Ilmu Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin,2011.Halaman 1-24
10.Yeung Jim Ching Sai.Penyakit Grave’s.[Serial Online]. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/120619-overview