Model Pembelajaran Problem Based Learning.docx
-
Upload
johan-effendi -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Model Pembelajaran Problem Based Learning.docx
Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Kamdi, 2007: 77). PBL atau pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.
PBL memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan satu masalah, (2) memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasi-kan yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian di atas, tampak
jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah yang dalam hal ini dapat dimunculkan oleh siswa ataupun guru, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memcahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.
Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya pada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.
PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik
konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga siswa tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, siswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidakseimbangan kognitif pada diri siswa. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan di sekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan….”, “mengapa bisa terjadi…”, “bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri siswa maka motivasi intrinsik siswa untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan siswa tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri.
Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena dengan PBL akan terjadi pembelajaran yang bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah akan membuat mereka menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukannya. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi dimana konsep tersebut diterapkan. Selain itu melalui PBL ini siswa dapat mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan aplikasi suatu konsep atau teori yang mereka temukan selama pembelajaran berlangsung. PBL juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Ada beberapa langkah cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini dimulai dengan adanya masalah yang
harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa atau mungkin juga diberikan oleh guru. Siswa akan memusatkan perhatiannya di sekitar masalah tersebut. Dengan begitu siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukaan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa. Adapun langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL ada delapan tahapan (Pannen, 2001: 11), yaitu: (1) identifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) analisis data, (4) pemecahan masalah berdasarkan analisis data, (5) memilih cara pemecahan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan untuk pemecahan masalah. Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula ketrampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut.
Langkah mengidentifkasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang
mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi masalah bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap ini. Walaupun guru tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakannya.
Selain guru sebagai fasilitator, guru hendaknya juga menyadari arti penting suatu pertanyaan dalam PBL. Pertanyaan hendaknya berbasis “Why” bukan sekedar “How”. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, ketrampilan siswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata ketrampilan “How”, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBL.[SekolahDasar.Net | 14/10/2011]
Sumber: http://www.sekolahdasar.net/2011/10/m
odel-pembelajaran-problem-based.html#ixzz3pjPx3smP
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-based learning)
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Pembelajaran Berbasis Masalah dalam bahasa
inggrisnya diistilahkan Problem-based learning (PBL) adalah suatu pendekatan
pembelajaran dengan membuat konfrontasikepada pebelajar dengan masalah-masalah
praktis, berbentuk ill-structured, atauopenended melalui stimulus dalam belajar. PBL
memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu
permasalahan, (2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan
dengan dunia nyata pebelajar, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar
permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, (4)
memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada pebelajar dalam mengalami secara
langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6)
menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam
bentuk produk atau kinerja (performance).
Jonassen (1999) mendesain model lingkungan belajar konstruktivistik yang dapat
diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem-
based learning.Model tersebut memuat komponen-komponen esensial yang meliputi:(1)
pertanyaan-pertanyaan, kasus, masalah atau proyek, (2) kasus-kasus yang saling terkait
satu sama lain, (3) sumber-sumber informasi, (4) cognitive tools, (5) pemodelan yang
dinamis, (6) percakapan dan kolaborasi, (7) dukungan kontekstual/sosial. Masalah dalam
model tersebut mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan,
representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi ruang permasalahan.
Masalah yang diberikan kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-
defined.Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu
pada permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan
memuat objek-objek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan pebelajar dalam
memecahkan masalah. Manipulasi ruang permasalahan memungkinkan terjadinya
belajar secara aktif dan bermakna. Aktivitas menggambarkan interaksi antara pebelajar,
objek yang dipakai, dan tanda-tanda serta alat-alat yang menjadi mediasi dalam
interaksi. Kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain membantu pebelajar untuk
memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Dalam model lingkungan belajar
konstruktivistik, kasus-kasus tersebut mendukung proses belajar dengan dua cara yaitu
dengan memberikan scaffolding untuk membantu memori pebelajar dan dengan
meningkatkan fleksibilitas kognisi pebelajar. Fleksibilitas kognisi
merepresentasi content dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan
domain pengetahuan. Fleksibilitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan
kesempatan bagi pebelajar untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan
pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibilitas kognisi menumbuhkan kreativitas
berpikir divergen dalam proses representasi masalah.
Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi pebelajar dalam menyelidiki
permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis
yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Cognitive
tools merupakanscaffolding bagi pebelajar untuk meningkatkan kemampuan
menyelesaikan tugas-tugasnya.Cognitive tools membantu pebelajar untuk
merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan
aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas.
Pemodelan yang dinamis adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara
berpikir menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan
pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu pebelajar untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui?” dan “apa artinya?”
Percakapan dan kolaborasi dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah.
Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Dukungan sosial
dan kontekstual diakomodasikan oleh guru-guru sejawat dan staff teknis diakomodasi
untuk mensukseskan pelaksanaan pembelajaran. Guru-guru dan staff teknis saling
memberikan ide-ide pemecahannya yang dapat membantu pemecahan masalah. Model
desain lingkungan pembelajaran konstruktivistik didukung oleh pemodelan
(modeling), coaching, dan scaffolding. Modelling berbentuk pemodelan tingkah laku
untuk mendorong kinerja dan pemodelan kognitif untuk mendorong proses
kognisi. Modelling difokuskan pada kinerjaekspert sebagai model. Coaching dipakai
untuk mengembangkan
kinerja (performance) pebelajar yang sifatnya kompleks dan tidak jelas (unclear).
Coaching mencakup kegiatan pemberian motivasi, memonitor dan meregulasi kinerja
pebelajar dan mendorong refleksi. Scaffolding merupakan suatu pendekatan yang
sistematis dibandingkan modelling dan coaching yang difokuskan pada tugas,
lingkungan belajar, guru, dan pebelajar. Scaffolding memberikan dukungan secara
temporal yang mengikuti kapasitas kemampuan pebelajar. Scaffolding mencakup
penentuan tingkat kesulitan tugas, restrukturisasi tugas, dan memberikan penilaian
alternatif (alternative assessment)
PROSES PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING
Model lingkungan belajar konstruktivistik tersebut memberikan landasan yang
kuat dalam mendesain pendekatan problem-based learning. Proses pembelajaran
dengan pendekatan problem-based learning dijalankan dengan 8 langkah, yaitu: (1)
menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan fakta-fakta, (4)
menyusun dugaan sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan permasalahan yang
telah didefinisikan, (7) menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif,
(8) menguji solusi permasalahan (Fogarty, 1997).
Menemukan masalah. Pebelajar diberikan masalah berstruktur ill-defined yang
diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan
dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar
konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang
pada pebelajar untuk melakukan penyelidikan. Pebelajar menggunakan
kecerdasan inter dan intra-personaluntuk saling memahami dan saling berbagi
pengetahuan antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.
Berdasarkan strukturnya, masalah dalam pembelajaran dapat digolongkan
menjadi dua jenis, yaitu masalah yang terdefinisikan secara jelas (well-defined) dan
masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas (ill-defined) (Hudoyo, 2002; Jensen, 1993;
Qin et al., 1995).
Pengambilan masalah dari konteks nyata sangat bermanfaat bagi pebelajar
dalam
mengembangkan kemampuannya memecahkan masalah. Hasil-hasil penelitian tentang
pemecahan masalah yang dipraktikan dalam kelas dengan masalah berstruktur ill-
defined
memberikan dampak-dampak sebagai berikut. (1) Penemuan masalah dapat
meningkatkan kreativitas. (2) Memotivasi pebelajar yang menjadikan belajar terasa
menyenangkan. (3) Masalah dengan struktur ill-defined membutuhkan keterampilan
yang berbeda dengan masalah yang berbentuk standard-problem. (4) Mendorong
pebelajar memahami dan memperoleh hubungan-hubungan masalah dengan disiplin
ilmu tertentu. (5) Informasi yang masuk ke dalam memori jangka panjang lebih diperkuat
dengan menggunakan masalah yang berstruktur ill-defined (Krulik & Rudnick, 1996).
Mendefinisikan masalah. Pebelajar mendefinisikan masalah menggunakan
kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Pebelajar
membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah
6
ini, pebelajar melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki
dalam memahami dan mendefinisikan masalah.
Mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar membuka kembali pengalaman yang
sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar
melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang
berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, pebelajar mengorganisasikan
informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa yang diketahui (know)”, “apa
yang dibutuhkan (need toknow)”, dan “apa yang dilakukan (need to do)” untuk
menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan.
Menyusun dugaan sementara. Pebelajar menyusun jawaban-jawaban
sementara
terhadap permasalahan dengan melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Pebelajar
juga
melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang
dipikirkannya, membuat hubungan-hubungan, jawaban dugaannya, dan penalaran
mereka
dengan langkah-langkah yang logis.
Menyelidiki. Pebelajar melakukan penyelidikan terhadap data-data dan
informasi
yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Pebelajar melibatkan kecerdasan
majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan fakta-fakta
yang ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan pebelajar
dapat menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of
knowing
and understanding) dunia mereka.
Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. Pebelajar
menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui
gambaran nyata yang mereka pahami. Pebelajar melibatkan kecerdasan verbal-
linguistic memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan
kata yang lebih tepat. Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan,
dan menunjukkan secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta
memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data.
Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif.
Pebelajar
berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan permasalahan.
Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan
permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah
7 berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan
dengan
berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah alternatif
pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih baik ketimbang dilakukan
secara individual.
Menguji solusi permasalahan. Pebelajar menguji alternatif pemecahan yang
sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota
kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Pebelajar menggunakan
kecerdasan majemuk untuk menguji alternatif pemecahan masalah dengan membuat
sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya
dalam menguji alternatif pemecahan. Pendekatan problem-based learning yang bertolak
dari pembelajaran konstruktivistik memuat urutan prosedural yang non-linear.
Pembelajaran cenderung tidak berawal dan berakhir (Willis & Wright, 2000).
Pembelajaran berjalan dalam suatu siklus dengan tahapan-tahapan berulang (recursive)
(Wilson & Cole, 1996). Pembelajaran dengan pendekatan problem based-learning juga
memberikan peluang bagi pebelajar untuk melibatkan kecerdasan majemuk (multiple
intelligences) yang dimiliki pebelajar (Fogarty, 1997; Gardner, 1999b). Keterlibatan
kecerdasan majemuk dalam pemecahan masalah dengan pendekatan problem based
learning dapat menjadi wahana bagi pebelajar yang memiliki kecerdasan majemuk
beragam untuk melibatkan kemampuannya secara optimal dalam memecahkan
masalah.
Guru membentuk kelompok-kelompok pebelajar yang jumlah anggotanya 4-5
orang (Boud & Felleti, 1997). Masing-masing kelompok mengumpulkan fakta-fakta dari
permasalahan, merepresentasi masalah, merumuskan model-model matematis untuk
penyelesaiannya, dan melakukan pengujian dengan perhitungan, dan menyajikan
hasilnya
di depan kelas. Guru berperan sebagai pembimbing dan menstimulasi pebelajar berpikir
untuk memecahkan masalah. Sebagai fasilitator, guru melatih kemampuan pebelajar
berpikir secara metakognisi. Ketika pebelajar menghadapi tantangan permasalahan dan
diminta untuk mencari pemecahannya, ia berada dalam situasi kesenjangan antar skema
berpikir yang dimilikinya dengan informasi-informasi baru yang dihadapinya. Pada saat
ini, pebelajar membutuhkan bantuan-bantuan untuk mencari pemecahan masalah agar
kesenjangan dapat dihilangkan. De Porter et al (2001) menyatakan, dalam situasi ini
pebelajar mengambil resiko yang dapat menjadi pembangkit minat belajar. Ketika
pebelajar dihadapkan dengan permasalahan, mereka keluar dari zona nyaman kemudian
bertualang untuk masuk ke dalam situasi baru yang penuh resiko.
Belajar dengan problem-based learning dapat mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah. Keterampilan-keterampilan pemecahan masalah sangat
bermanfaat dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Belajar dengan
pendekatan problembased-learning berangkat dari permasalahan dalam konteks nyata
yang dikaitkan dengan pemecahan masalah secara matematis.
STARTEGI PEMECAHAN MASALAH DENGAN PENDEKATAN PROBLEM BASED
LEARNING
Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning memuat langkah-
langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Polya (1981) mengajukan
empat tahap strategi pemecahan masalah yaitu: (1) memahami masalah, (2) menyusun
rencana pemecahan, (3) menjalankan rencana pemecahan, (4) menguji kembali
penyelesaian yang
diperoleh. Dwiyogo (2000) menemukan bahwa proses pemecahan masalah yang
dilakukan oleh pebelajar mencakup tahap-tahap memahami masalah, merepresentasi
masalah, menentukan model, melakukan kalkulasi, dan menyimpulkan jawaban.
Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning. Penilaian
pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik merupakan bagian yang utuh dengan
pembelajaran itu sendiri. Bertolak dari pandangan ini, maka penilaian pembelajaran
pemecahan masalah dengan pendekatan problem-based learning dilaksanakan secara
terintegrasi dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, penilaian pembelajaran
dilaksanakn secara nyata danautentik.
PENILAIAN PADA PEMBELAJARAN PROBLEM-BASED LEARNING
Penilaian pembelajaran dengan problem-based learning dilakukan
dengan authenticassesment. O’Malley dan Pierce (1996) mendefinisikan authentic
assesment sebagai bentuk penilaian di kelas yang mencerminkan proses belajar, hasil
belajar, motivasi, dan sikap terhadap kegiatan pembelajaran yang relevan. Penilaian
dapat dilakukan dengan portfolioyang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-
pekerjaan pebelajar yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu
tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan pembelajaran. Marzano et al (1993)
mengemukakan bahwa penilaian denganportfolio dapat dipakai untuk penilaian
pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif. Menurut Oliver (2000) penilaian
kolaboratif dalam pendekatan problem based learningdilakukan dengan cara evaluasi diri
(self-assessment) dan peer-assessment. Self-assessmentadalah penilaian yang dilakukan
oleh pebelajar itu sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan
merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard) oleh pebelajar itu sendiri dalam
belajar (Griffin dan Nix, 1991). Peer-assessment adalah penilaian di mana pebelajar
berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian tugas-
tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya (Griffin
dan Nix, 1991). Proses penilaian pembelajaran pemecahan masalah mencakup penilaian
proses dan produk, bertolak dari langkah-langkah pembelajaran dengan
pendekatan problem-based learning oleh Fogarty (1997), koheren dengan langkah-
langkah penilaian autentik pembelajaran kontekstual menurut Johnson (2002); dan
Marzano et al(1993), serta tahaptahap pemecahan masalah menurut Polya (1981) dan
Dwiyogo (2000).
CIRI UTAMA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), ciri utama pembelajaran
berbasis masalah meliputi mengorientasikan siswa kepada masalah atau pertanyaan
yang autentik. multidisiplin, menuntut kerjasama dalam penyelidikan, dan menghasilkan
karya. Dalam pembelajaran berbasis masalah situasi atau masalah menjadi titik tolak
pembelajaran untuk memahami konsep, prinsip dan mengembangkan keterampilan
memecahkan masalah.
Pierce dan Jones (Ratnaningsih, 2003) mengemukakan bahwa kejadian-kejadian
yang harus muncul pada waktu pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah adalah
sebagai berikut:
a. Keterlibatan (engagement) meliputi mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai
pemecah masalah yang bisa bekerja sama dengan pihak lain, menghadapkan siswa pada
situasi yang mendorong untuk mempu menemukan masalah dan meneliti permasalahan
sambil mengajukkan dugaan dan rencana penyelesaian.
b. Inkuiri dan investigasi (inquiry dan investigation) yang mencakup kegiatan
mengeksplorasi dan mendistribuskan informasi.
c. Performansi (performnace) yaitu menyajikan temuan.
d. Tanya jawab (debriefing) yaitu menguji keakuratan dari solusi dan melakukan refleksi
terhadap proses pemecahan masalah.
Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar yang mandiri,
artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar yang sesuai,
terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu mengontrol proses
belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu (Depdiknas, 2003).
Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa memahami konsep suatu materi dimulai
dari belajar dan bekerja pada situasi masalah (tidak terdefinisi dengan baik) atau open
ended yang disajikan pada awal pembelajaran, sehingga siswa diberi kebebasan berpikir
dalam mencari solusi dari situasi masalah yang diberikan.
Menurut Ismail (Ratnaningsih 2003) pembelajaran berbasis masalah biasanya
terdiri dari lima tahapan utama, yaitu:
a. Orientasi siswa pada masalah dengan cara guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas
pemecahan masalah.
b. Mengorganisasikan siswa untuk belajar dengan cara guru membantu siswa dalam
mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah tersebut.
c. Membimbing penyelidikan individual dan kelompok dengan cara guru mendorong
siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya dengan cara guru membantu siswa
dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan.
e. Manganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah dengan cara guru
membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan siswa
dan proses yang digunakan. Pada intinya pembelajaran berbasis masalah merupakan
suatu pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata disajikan di awal
pembelajaran. Kemudian masalah tersebut diselidiki untuk diketahui solusi dari
pemecahan masalah tersebut. Menurut Torrance (1976) model pembelajaran yang
berorientasi pada pemecahan masalah seperti pada pembelajaran berbasis masalah
merupakan suatu pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan potensi yang dimiliki
oleh siswa, salah satunya adalah kreativitas siswa. Situasi masalah yang disajikan dalam
pembelajaran tersebut merupakan suatu stimulus yang dapat mendorong potensi
kreativitas dari siswa terutama dalam hal pemecahan masalah yang dimunculkan.
Kreativitas yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran berbasis masalah ini bukan
hanya aspek kognitifnya saja (kemampuan berfikir kreatif) tetapi juga diharapkan melalui
pembelajaran berbasis masalah tersebut dapat mengembangkan aspek non-kognitif dari
kreatifitas yakni kepribadian kreatif dan sikap kreatif siswa.
Model Pembelajaran Project Based Learning dan Kurikulum 2013
Labels: Model pembelajaran
Model Pembelajaran Project Based Learning dan Kurikulum 2013
Apa kabar pembaca setia blog penelitian tindakan kelas? Semoga kita semua selalu dalam
lindunganNya untuk mengemban tugas mulia memajukan pendidikan anak bangsa untuk
menyongsong era generasi emas di masa datang. Kali ini, kami ingin berbagi mengenai model
pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) dalam kaitannya dengan pendekatan
saintifik (scientific approach) dan implementasi Kurikulum 2013. Yuk disimak.
Project Based Learning (Model Pembelajaran Berbasis Proyek)
Apakah model pembelajaran berbasis proyek itu? Model pembelajaran berbasis proyek (project
based learning) adalah sebuah model pembelajaran yang menggunakan proyek (kegiatan)
sebagai inti pembelajaran. Dalam kegiatan ini, siswa melakukan eksplorasi, penilaian,
interpretasi, dan sintesis informasi untuk memperoleh berbagai hasil belajar (pengetahuan,
keterampilan, dan sikap).
Saat ini pembelajaran di sekolah-sekolah kita masih lebih terfokus pada hasil belajar berupa
pengetahuan (knowledge) semata. Itupun sangat dangkal, hanya sampai pada tingkatan ingatan
(C1) dan pemahaman (C2) dan belum banyak menyentuh aspek aplikasi (C3), analisis (C4),
sintesis (C5), dan evaluasi (C6). Ini berarti pada umumnya, pembelajaran di sekolah belum
mengajak siswa untuk menerapkan, mengolah setiap unsur-unsur konsep yang dipelajariuntuk
membuat (sintesis) generaliasi, dan belum mengajak siswa mengevaluasi (berpikir kritis)
terhadap konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang telah dipelajarinya. Sementara itu, aspek
keterampilan (psikomotor) dan sikap (attitude) juga banyak terabaikan.
Langkah-Langkah Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Di dalam pelaksanaannya, model pembelajaran berbasis proyek memiliki langkah-langkah
(sintaks) yang menjadi ciri khasnya dan membedakannya dari model pembelajaran lain seperti
model pembelajaran penemuan (discovery learning model) dan model pembelajaran
berdasarkan masalah (problem based learning model). Adapun langkah-langkah itu adalah; (1)
menentukan pertanyaan dasar; (2) membuat desain proyek; (3) menyusun penjadwalan; (4)
memonitor kemajuan proyek; (5) penilaian hasil; (6) evaluasi pengalaman.
Model pembelajaran berbasis proyek selalu dimulai dengan menemukan apa sebenarnya
pertanyaan mendasar, yang nantinya akan menjadi dasar untuk memberikan tugas proyek bagi
siswa (melakukan aktivitas). Tentu saja topik yang dipakai harus pula berhubungan dengan
dunia nyata. Selanjutnya dengan dibantu guru, kelompok-kelompok siswa akan merancang
aktivitas yang akan dilakukan pada proyek mereka masing-masing. Semakin besar keterlibatan
dan ide-ide siswa (kelompok siswa) yang digunakan dalam proyek itu, akan semakin besar pula
rasa memiliki mereka terhadap proyek tersebut. Selanjutnya, guru dan siswa menentukan
batasan waktu yang diberikan dalam penyelesaian tugas (aktivitas) proyek mereka.
Dalam berjalannya waktu, siswa melaksanakan seluruh aktivitas mulai dari persiapan
pelaksanaan proyek mereka hingga melaporkannya sementara guru memonitor dan memantau
perkembangan proyek kelompok-kelompok siswa dan memberikan pembimbingan yang
dibutuhkan. Pada tahap berikutnya, setelah siswa melaporkan hasil proyek yang mereka
lakukan, guru menilai pencapaian yang siswa peroleh baik dari segi pengetahuan (knowledge
terkait konsep yang relevan dengan topik), hingga keterampilan dan sikap yang mengiringinya.
Terkahir, guru kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk merefleksi semua
kegiatan (aktivitas) dalam pembelajaran berbasis proyek yang telah mereka lakukan agar di lain
kesempatan pembelajaran dan aktivitas penyelesaian proyek menjadi lebih baik lagi.
ManfaatYang Dapat Diraih
Banyak sekali manfaat yang dapat diraih melalui penerapan model pembelajaran berbasis
proyek (Project Based Learning) ini, misalnya: (1) siswa menjadi pebelajar aktif; (2)
pembelajaran menjadi lebih interaktif atau multiarah; (3) pembelajaran menjadi student centred);
(4) guru berperan sebagai fasilitator; (5) mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa; (6) memberikan kesempatan siswa memanajemen sendiri kegiatan atau aktivitas
penyelesaian tugas sehingga melatih mereka menjadi mandiri; (7) dapat memberikan
pemahaman konsep atau pengetahuan secara lebih mendalam kepada siswa; dsb.
Penilaian Dalam Model Pembelajaran Project Based Learning
Karena pembelajaran berbasis proyek dapat memberikan hasil belajar dalam bentuk
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill atau psikomotor), dan sikap (attitude atau afektif),
maka penilaiannyapun dilakukan untuk ketiga ranah ini. Bentuk penilaian dapat berupa tes atau
nontes. Sebaiknya penilaian yang dilakukan untuk model pembelajaran berbasis proyek ini lebih
mengutamakan aspek kemampuan siswa dalam mengelola aktivitas-aktivitas mereka dalam
penyelesaian proyek yang dipilih dan dirancangnya, relevansi atau kesesuaian proyek dengan
topik pembelajaran yang sedang dipelajari hingga keaslian (orisinalitas) proyek yang mereka
garap.
Model Pembelajaran Berbasis Proyek dan Kurikulum 2013
Dalam rasional perubahan kurikulum sebelumnya (KTSP/Kurikulum 2006)
keKurikulum2013 disebutkan bahwa perkembangan pengetahuan dan pedagogi dalam hal ini
neurologi, psikologi, observation based (discovery) learning dan collaborative learningadalah
salah satu alasan pentingnya perubahan kurikulum. Hal ini tentu berimplikasi pada model-model
pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan mengajar di sekolah. Salah satu model
pembelajaran yang dianjurkan untuk digunakan adalah model pembelajaran berbasis proyek
(project based learning). Hal ini tentunya bukan tanpa alasan, karena mengingat karakteristik-
karakteristik unggul dari model pembelajaran ini yang mampu mengakomodasi alasan tersebut
di atas.
Selain itu pembelajaran tentunya harus diubah dari kecenderungan lama (satu arah) agar
menjadi lebih interaktif (multiarah). Melalui model pembelajaran ini, siswa juga akan dapat
diharapkan menjadi aktif menyelidiki (belajar) dengan menyajikan dunia nyata (bukan abstrak)
kepada mereka. Di dalam model pembelajaran ini, siswa akan bekerja secara tim (berkelompok)
kooperatif dan mengubah pemikiran faktual semata menjadi pemikiran yang lebih kritis dan
analitis.
Salah Satu Model Pembelajaran dalam Pendekatan Saintifik
Model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) merupakan salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru sehingga secara otomatis guru berarti juga
menggunakan pendekatan saintifik (scientific approach) dalam pembelajarannya. Pendekatan
saintifik adalah pendekatan pembelajaran di mana siswa memperoleh pengetahuan berdasarkan
cara kerja ilmiah. Melalui pendekatan saintifik ini siswa akan diajak meniti jembatan emas
sehingga ia tidak hanya mendapatkan ilmu pengetahuan (knowledge) semata tetapi juga akan
mendapatkan keterampilan dan sikap-sikap yang dibutuhkan dalam kehidupannya kelak. Saat
belajar menggunakan model pembelajaran berbasis proyek ini, siswa dapat berlatih menalar
secara induktif (inductive reasoning). Sebagai salah satu model pembelajaran dalam pendekatan
saintifik, project based learning (model pembelajaran berbasis proyek) sangat sesuai dengan
Permendikbud Nomor 81 A Tahun 2013 Lampiran IV mengenai proses pembelajaranyang harus
memuat 5M, yaitu: (1) mengamati; (2) menanya; (3) mengumpulkan informasi; (4) mengasosiasi;
dan (5) mengkomunikasikan.
Kurikulum 2013 dan Pembelajaran Aktif Termaktub Dalam Project Based Learning
Dalam model pembelajaran berbasis proyek ini, siswa melakukan pembelajaran aktif. Mereka
benar-benar akan dibuat aktif baik secara hands on (melalui kegiatan-kegiatan fisik), maupun
secara minds on (melalui kegiatan-kegiatan berpikir/secara mental). Karena itulah, ruh dari
pelaksanaaan model pembelajaran berbasis proyek ini sesuai sekali dengan amanat Kurikulum
2013. Siswa, melalui pembelajaran aktif akan melakukan aktifitas 5M (mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan).
Demikian tulisan mengenai Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
dalam kaitannya dengan Kurikulum 2013 dari blog kesayangan kita Penelitian