Model Menghidupkan Kota Lama -...

1
MINGGU, 24 JUNI 2018 P enelitian dengan melakukan studi preseden pada bebe- rapa kota di luar negeri yang memiliki kawasan kota bersejarah, dan berhasil memecahkan permasalahannya, tentu- nya memberikan ide-ide segar, sehingga dapat membantu menciptakan model bagi desain pengembangan dan per- kembangan kawasan kota lama. Pengembangan desain yang dihasilkan melalui penelitian, sangat penting tidak hanya bagi pihak pengambil kebijakan kota, tetapi juga bagi para mahasiswa yang menjadi generasi penerus bangsa. Kawasan kota lama Semarang ada- lah tatanan segmen kota yang diwariskan oleh arsitek Belanda. Disebut “tatanan” karena objek arsitektur yang dibahas terdiri dari sekelompok bangun- an dengan penataannya. Dengan demikian, bentuk warisan arsitektur yang ada tidak hanya berupa bangunan tunggal yang biasa menjadi landmark seperti bangunan Gedung Sate di Bandung, namun dapat berupa kompleks bangunan atau suatu daerah tertentu yang mempunyai nilai tersendiri seperti: kawasan kota lama Semarang, lingkung- an permukiman Menteng di Jakarta atau perumahan yang cantik di sepanjang jalan Ijen di kota Malang. Fenomena gerakan pelestarian bangunan berseja- rah (Historic Preser- vation) di Indonesia baru tampak dan terdengar gaungnya sekitar 25 tahun ter- akhir ini. Sedangkan orang Amerika cen- derung memikirkan gerakan preservasi sebagai fenomena pada 68 tahun yang lalu atau lebih; pada- hal intervensi yang dilakukan dengan sadar dalam mem- pertahankan warisan sejarah telah dimulai sejak tahun 1859. Namun yang terjadi di Indonesia, gerakan pelestarian warisan sejarah dalam hal bangun- an kuno bersejarah tidak dilaksanakan dengan konsisten, banyak sikap men- dua dan pertim- bangan-pertim- bangan yang cen- derung merusak atau justru meng- hancurkan karya- karya arsitektur kota tersebut. Menurut Van Peursen, dulu kebu- dayaan dipandang sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan sekelompok kecil ahli-ahli saja, sedangkan oleh rakyat banyak kebu- dayaan itu dialami sebagai semacam takdir yang tak terelakkan. Tetapi kini setiap orang ingin mencoba mencampuri atau menangani kekuatan-kekuatan yang turut membentuk kebudayaan; dengan demiki- an dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang- orang, yang tidak hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Jadi, dulu kata ”kebu- dayaan” diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih seba- gai sebuah kata kerja. Warisan Kebudayaan Dengan demiki- an, apakah menjaga kelestarian kawasan dan bangunan tua/kuno ini tak ada gunanya? Seharusnya kita perlu menyadari bahwa kota lama adalah sebagai warisan kebudayaan yang harus dipelihara, dilestarikan, bahkan dikembangkan dengan pemikir- an yang terpadu, yang tak dapat dipikirkan secara sempit sudut pandan- gnya. Namun dalam langkah menuju ke sana, kita diingatkan oleh satu hal yaitu: para preservasionis di manapun tak akan lupa pada ucapan arkeolog Perancis, AN DIDRON, tahun 1839 yang mengatakan: ”Lebih baik memulihkan (preservasi) daripada memperbaiki, lebih baik memperbaiki daripada merestorasi, dan lebih baik merestorasi daripada merekonstruksi”. Menurut Martokusumo, berkaitan dengan karakter sebuah tempat, citra kawasan merupakan atribut estetik pen- ting sebuah kota. Jadi, dalam konteks karakter suatu tempat, bila diperlukan, identitas visual dan kontinuitas karakter kawasan yang diekspresikan oleh bangunan maupu artefak kota lain- nya perlu dipertahankan melalui mekanisme preservasi (pelestari- an). Di sisi lain kegiatan revitalisasi selain secara sensitif harus men- gacu kepada konteks lingkungan, juga harus mengakomodasi kebu- tuhan investasi masa kini (rehabili- tasi). Malaka dalam hal ini telah melakukan kegiatan revitalisasi kawasan kota lamanya sesuai dengan pendapat ini. Penataan kawasan heritage Malaka dilakukan dengan pemikiran terpadu yang melihat kawasan heritage dalam konteks urban design yang utuh dan tidak sepotong- sepotong. Berdasarkan pengamatan penulis, kawasan kota lama Semarang memiliki potensi warisan cagar budaya yang jauh lebih banyak daripada Malaka, tentunya mempunyai ”pekerjaan rumah” yang sangat banyak. Perlu kerjasama pemikiran dari semua pihak terkait. Ada pepatah yang berkata demikian: ”Orang-orang sukses berpikir dulu baru bertindak, ia berpikir jernih dan melihat cahaya dalam kegela- pan serta percaya bahwa dia dapat merubah dan memperbaiki sesuatu.” Kalau demikian, kita harus semakin sadar bahwa ada pekerjaan rumah yang besar di hadapan kita untuk kita pikirkan bersama, untuk menuju pada suatu hasil yang baik bagi masyarakat. Pemkot Semarang tidak bisa hanya bekerja sendiri, haruslah dilibatkan banyak pihak seperti investor/pengusa- ha, pemilik gedung, kalangan perguruan tinggi dll. Kalau di Malaka diperlukan 20 tahun lebih untuk merubah semua para- digma berpikir dalam melestarikan dan merevitalisasi kawasan kota bersejarah- nya, akankah kota Semarang juga memerlukan waktu yang sama untuk melestarikan dan menghidupkan kota lamanya? Atau bahkan lebih lama! Memang bisa saja, yang menikmati hasil yang ideal ini adalah generasi men- datang; ini tidak menjadi masalah, yang penting segera bertindak untuk menyela- matkan kota lama Semarang.(53) Ir. Albertus Sidharta Muljadinata, MT, IAI | Staf Pengajar Progdi Arsitektur Fakultas Arsitektur dan Desain Unika Soegijapranata Model Menghidupkan Kota Lama Oleh Albertus Sidharta Muljadinata Banyak penelitian yang telah dilakukan di luar negeri mengenai pelestarian kawasan kota bersejarah, menghasilkan berbagai cara untuk menemukan solusi di dalam menata kawasan kuno suatu kota. Penerapan masing-masing solusi, membutuhkan banyak perubahan, tidak hanya fisik kota, yang lebih penting ada- lah sikap para stakeholder kota tersebut. S ejak berbenah pada akhir tahun 1990-an, Kawasan Kota Lama Semarang yang sering kali disebut sebagai Little Netherland atau Belanda Kecil perlahan tapi pasti mulai memperoleh perhatian dari publik dan pemerintah. Masih sangat terpatri di ingatan penulis ketika Kawasan Kota Lama sempat menjadi seperti anak tiri, mengalami kondisi stagnan, bahkan cenderung menurun kualitas lingkungannya, di periode tahun 1980 hingga 1990-an. Jangankan di malam hari, bahkan di siang hari pun, kawasan ini seperti kawasan kota mati, dengan dominasi aktifitas pergu- dangan dan bangunan-bangunan yang dibiarkan kosong dan mangkrak. Di beberapa bagian kawasannya, sanitasi lingkungannya sangat buruk. Saluran-saluran yang mampet dan banjir rob menggenangi sebagian kawasan hampir sepanjang tahun. Bangunan-bangunan yang ada meng- alami proses pelapukan karena tidak dirawat. Sebagian di antaranya bahkan rubuh (atau dirubuhkan) dan menyisakan puing-puing. Gang-gang dan kori- dor jalan terlihat suram dan menyeramkan. Faktor keamanan, (setidaknya dalam persepsi pelintas), juga menjadi isu utama yang turut berperan mem- buat kawasan Kota Lama menjadi semakin sepi dan kurang diminati untuk sekedar dikunjungi. Sejak dikeluarkannya SK Wali Kota Semarang Nomor 646/50/1992 tentang Konservasi Bangunan- Bangunan Kuno/Bersejarah di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, yang sejatinya merupakan peraturan turunan dari UU. No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Semarang memulai langkah strategisnya untuk melestarikan bangunan bersejarah dengan disusunnya daftar Bangunan Cagar Budaya. Dalam perkembangannya, undang- undang mengenai Benda Cagar Budaya disempurnakan lagi menjadi UU. No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Awalnya, hanya segelintir pemer- hati dan pecinta cagar budaya yang menyadari potensi Kota lama Semarang. Komunitas fotografi dan budaya, jauh hari sebelum Little Netherland ini menjadi terkenal, sudah melirik banyak spot cantik, di sekitar kawasan Kota Lama. Sineas Nasional Hanung Bramantyo, misalnya, juga pernah menjadikan beberapa titik di kawasan Kota Lama Semarang sebagai lokasi pengambilan gambar dalam film Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2004. Perkembangan dari teknologi informasi dan merebaknya media sosial pada sekitar tahun 2010-an rupanya mempunyai peran yang signifikan dalam mengabarkan keberadaan permata yang belum sepenuhnya terpoles dan masih terpendam di dalam lumpur masa lalu itu. Kekuatan sosial media harus diakui berperan besar dalam mempromosikan dan memvi- ralkan potensi destinasi wisata di berbagai pelosok wilayah di selu- ruh Indonesia, termasuk di Kota Lama Semarang. Kekayaan dan keragaman arsitektur di kawasan Kota Lama Semarang ini menjadikan sejum- lah posting di media sosial menjadi viral dan mengundang rasa penasaran para wisatawan lokal maupun mancanegara. Akibatnya mudah ditebak, kunjungan wisa- tawan ke kawasan ini meningkat tajam dari tahun ke tahun, seiring dengan terus dilakukannya penataan di Little Netherland, berikut munculnya titik-titik pen- dukung pariwisata lainnya, baik dari pihak swasta maupun karena campur tangan pemerintah dae- rah dan pusat. Berulang kali terbersit dalam imajinasi penulis, bahwa suatu saat nanti, Kota Lama Semarang akan men- jadi kawasan yang hidup, baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya, jauh melebihi Kawasan Malioboro di Jogjakarta, misalnya, mengingat segala potensi dan modal dasar yang dimilikinya. Dengan kafe-kafe, kantor, pusat perbelanjaan souvenir, serta pertunjukan budaya, dengan wisatawan dan pecinta budaya yang berlalu-lalang di sekitar kawasan yang nyaman, aman, tidak dilalui kendaraan bermotor, dan tersedia kantong-kantong parkir dan fasilitas umum/sosial yang baik, artistik, dan memadai. Meminjam istilah dari Prof. Eko Budihardjo (alm), kepompongnya sudah ada, tinggal fokus untuk memaksimalkan ulatnya menjadi kupu-kupu yang cantik. Mendata Saat ini, Kota Lama Semarang sedang menapaki jalannya untuk dapat diakui sebagai salah satu Pusaka Dunia, dengan mengajukan diri kepada komite World Heritage, suatu lembaga di bawah UNESCO, yang bertugas mendata dan memastikan kelestarian Pusaka Dunia. Targetnya cukup ambi- sius, pada tahun 2020, Kota Lama semarang akan resmi masuk ke dalam daftar World Heritage. Bahkan sekelas Kota Tua Jakarta (Oud Batavia) dengan perhatian dan pendanaan yang begitu besar, sudah berkali-kali diajukan untuk masuk ke dalam daftar World Heritage dan berkali-kali pula gagal atau ditolak, karena berbagai alasan, hingga detik tulisan ini dibuat. Sosialisasi program promosi Kota Lama semarang untuk masuk menjadi salah satu daftar World Heritage Site, nampaknya baru dipahami sebagai wacana oleh lingkungan elit, akademisi, birokrat terkait, dan stake holder langsung. Dari hasil penelusuran penulis, tidak banyak masyarakat awam yang memahami apa itu World Heritage/ Pusaka Dunia, apalagi manfaatnya. Seyogyanya, sejak dini, infor- masi mengenai upaya menuju status World Heritage ini hendaknya diperke- nalkan kepada masyarakat, khususnya warga Kota Semarang yang nanti- nya (bila perjalanannya mulus) akan mempunyai suatu kawasan yang diakui dunia sebagai obyek bersejarah. George Town dan Melaka pernah mengalami kondisi yang hampir sama dengan Kota Lama Semarang, yang hampir saja punah dan menurun kuali- tas fisik dan lingkungannya. Setelah ditetapkan menjadi Pusaka Dunia oleh WHC UNESCO, kini kedua obyek wisata kawasan bersejarah di Malaysia tersebut dikunjungi oleh jutaan turis dalam dan luar negeri setiap tahunnya, terlepas dari dinamika sosial yang terjadi terkait kejutan-budaya akibat perubahan mendadak kawasan yang awalnya begitu sepi dan kemudian menjadi pusat destinasi wisata sejarah di Malaysia. (53) Bintang Noor Prabowo, ST, MT, IAI | Pemerhati Fenomena Perkotaan, dan Dosen di Universitas Diponegoro; Anggota IAI Daerah Jawa Tengah Oleh Bintang Noor Prabowo Apa Itu Status World Heritage?

Transcript of Model Menghidupkan Kota Lama -...

MINGGU, 24 JUNI 2018

Penelitian dengan melakukanstudi preseden pada bebe-rapa kota di luar negeri yangmemiliki kawasan kotabersejarah, dan berhasil

memecahkan permasalahannya, tentu-nya memberikan ide-ide segar, sehinggadapat membantu menciptakan modelbagi desain pengembangan dan per-kembangan kawasan kota lama.Pengembangan desain yang dihasilkanmelalui penelitian, sangat penting tidakhanya bagi pihak pengambil kebijakankota, tetapi juga bagi para mahasiswayang menjadi generasi penerus bangsa.

Kawasan kota lama Semarang ada-lah tatanan segmen kota yangdiwariskan oleh arsitek Belanda. Disebut“tatanan” karena objek arsitektur yangdibahas terdiri dari sekelompok bangun-an dengan penataannya.

Dengan demikian, bentuk warisanarsitektur yang ada tidak hanya berupabangunan tunggal yang biasa menjadilandmark seperti bangunanGedung Sate diBandung, namundapat berupakompleks

bangunan atau suatu daerah tertentuyang mempunyai nilai tersendiri seperti:kawasan kota lama Semarang, lingkung-an permukiman Menteng di Jakarta atauperumahan yang cantik di sepanjangjalan Ijen di kota Malang.

Fenomena gerakan pelestarianbangunan berseja-rah (Historic Preser-vation) di Indonesiabaru tampak danterdengar gaungnyasekitar 25 tahun ter-akhir ini. Sedangkanorang Amerika cen-derung memikirkangerakan preservasisebagai fenomenapada 68 tahun yanglalu atau lebih; pada-hal intervensi yangdilakukan dengansadar dalam mem-pertahankanwarisan sejarahtelah dimulai sejaktahun 1859.

Namun yangterjadi di Indonesia,gerakan pelestarianwarisan sejarahdalam hal bangun-an kuno bersejarahtidak dilaksanakandengan konsisten,banyak sikap men-dua dan pertim-bangan-pertim-bangan yang cen-derung merusakatau justru meng-hancurkan karya-karya arsitekturkota tersebut.

Menurut VanPeursen, dulu kebu-dayaan dipandangsebagai sesuatu yang bersangkutandengan sekelompok kecil ahli-ahli saja,sedangkan oleh rakyat banyak kebu-dayaan itu dialami sebagai semacamtakdir yang tak terelakkan. Tetapi kini setiaporang ingin mencoba mencampuri ataumenangani kekuatan-kekuatan yang turutmembentuk kebudayaan; dengan demiki-

an dewasa ini kebudayaan diartikansebagai manifestasi kehidupan

setiap orang dan setiapkelompok orang-orang, yang tidakhidup begitu saja ditengah-tengah alam,melainkan selalumengubah alam itu.Jadi, dulu kata ”kebu-dayaan” diartikansebagai sebuah katabenda, kini lebih seba-gai sebuah kata kerja.WarisanKebudayaan

Dengan demiki-an, apakah menjagakelestarian kawasan

dan bangunantua/kuno ini tak ada

gunanya? Seharusnya kitaperlu menyadari bahwa kota lama

adalah sebagai warisan kebudayaanyang harus dipelihara, dilestarikan,bahkan dikembangkan dengan pemikir-an yang terpadu, yang tak dapat

dipikirkan secara sempit sudut pandan-gnya. Namun dalam langkah menuju kesana, kita diingatkan oleh satu hal yaitu:para preservasionis di manapun takakan lupa pada ucapan arkeologPerancis, AN DIDRON, tahun 1839yang mengatakan: ”Lebih baikmemulihkan (preservasi) daripadamemperbaiki, lebih baik memperbaikidaripada merestorasi, dan lebih baikmerestorasi daripada merekonstruksi”.

Menurut Martokusumo, berkaitandengan karakter sebuah tempat, citrakawasan merupakan atribut estetik pen-ting sebuah kota. Jadi, dalam kontekskarakter suatu tempat, bila diperlukan,identitas visual dan kontinuitas karakterkawasan yang diekspresikan olehbangunan maupu artefak kota lain-nya perlu dipertahankan melaluimekanisme preservasi (pelestari-an). Di sisi lain kegiatan revitalisasiselain secara sensitif harus men-gacu kepada konteks lingkungan,juga harus mengakomodasi kebu-tuhan investasi masa kini (rehabili-tasi).

Malaka dalam hal ini telahmelakukan kegiatan revitalisasikawasan kota lamanya sesuaidengan pendapat ini. Penataan

kawasan heritage Malaka dilakukandengan pemikiran terpadu yang melihatkawasan heritage dalam konteks urbandesign yang utuh dan tidak sepotong-

sepotong.Berdasarkan pengamatan penulis,

kawasan kota lama Semarang memilikipotensi warisan cagar budaya yang jauhlebih banyak daripada Malaka, tentunyamempunyai ”pekerjaan rumah” yangsangat banyak.

Perlu kerjasama pemikiran darisemua pihak terkait. Ada pepatah yangberkata demikian: ”Orang-orang suksesberpikir dulu baru bertindak, ia berpikirjernih dan melihat cahaya dalam kegela-pan serta percaya bahwa dia dapatmerubah dan memperbaiki sesuatu.”Kalau demikian, kita harus semakinsadar bahwa ada pekerjaan rumah yangbesar di hadapan kita untuk kita pikirkan

bersama, untuk menuju pada suatu hasilyang baik bagi masyarakat.

Pemkot Semarang tidak bisa hanyabekerja sendiri, haruslah dilibatkanbanyak pihak seperti investor/pengusa-ha, pemilik gedung, kalangan perguruantinggi dll. Kalau di Malaka diperlukan 20

tahun lebih untuk merubah semua para-digma berpikir dalam melestarikan danmerevitalisasi kawasan kota bersejarah-nya, akankah kota Semarang jugamemerlukan waktu yang sama untukmelestarikan dan menghidupkan kotalamanya? Atau bahkan lebih lama!Memang bisa saja, yang menikmati hasilyang ideal ini adalah generasi men-datang; ini tidak menjadi masalah, yangpenting segera bertindak untuk menyela-matkan kota lama Semarang.(53)

— Ir. Albertus Sidharta Muljadinata,MT, IAI | Staf Pengajar Progdi Arsitektur

Fakultas Arsitektur dan Desain UnikaSoegijapranata

Model Menghidupkan Kota Lama Oleh Albertus Sidharta MuljadinataBanyak penelitian yang telah

dilakukan di luar negeri mengenai pelestariankawasan kota bersejarah,menghasilkan berbagai carauntuk menemukan solusi di dalam menata kawasankuno suatu kota. Penerapanmasing-masing solusi, membutuhkan banyak perubahan, tidak hanya fisikkota, yang lebih penting ada-lah sikap para stakeholder kota tersebut.

Sejak berbenah pada akhir tahun 1990-an, Kawasan Kota LamaSemarang yang sering kali disebut sebagai Little Netherland atauBelanda Kecil perlahan tapi pasti mulai memperoleh perhatian dari

publik dan pemerintah. Masih sangat terpatri di ingatan penulis ketikaKawasan Kota Lama sempat menjadi seperti anak tiri, mengalami kondisistagnan, bahkan cenderung menurun kualitas lingkungannya, di periodetahun 1980 hingga 1990-an. Jangankan di malam hari, bahkan di siang haripun, kawasan ini seperti kawasan kota mati, dengan dominasi aktifitas pergu-dangan dan bangunan-bangunan yang dibiarkan kosong dan mangkrak.

Di beberapa bagian kawasannya, sanitasi lingkungannya sangat buruk.Saluran-saluran yang mampet dan banjir rob menggenangi sebagiankawasan hampir sepanjang tahun. Bangunan-bangunan yang ada meng-alami proses pelapukan karena tidak dirawat. Sebagian di antaranya bahkanrubuh (atau dirubuhkan) dan menyisakan puing-puing. Gang-gang dan kori-dor jalan terlihat suram dan menyeramkan. Faktor keamanan, (setidaknyadalam persepsi pelintas), juga menjadi isu utama yang turut berperan mem-

buat kawasan Kota Lama menjadi semakin sepi dankurang diminati untuk sekedar dikunjungi.

Sejak dikeluarkannya SK Wali Kota SemarangNomor 646/50/1992 tentang Konservasi Bangunan-Bangunan Kuno/Bersejarah di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat IISemarang, yang sejatinya merupakan peraturan turunan dari UU. No 5tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Semarang memulai langkahstrategisnya untuk melestarikan bangunan bersejarah dengan disusunnyadaftar Bangunan Cagar Budaya. Dalam perkembangannya, undang-undang mengenai Benda Cagar Budaya disempurnakan lagi menjadi UU.No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Awalnya, hanya segelintir pemer-hati dan pecinta cagar budaya yang menyadari potensi Kota lamaSemarang. Komunitas fotografi dan budaya, jauh hari sebelum LittleNetherland ini menjadi terkenal, sudah melirik banyak spot cantik, di sekitarkawasan Kota Lama. Sineas Nasional Hanung Bramantyo, misalnya, jugapernah menjadikan beberapa titik di kawasan Kota Lama Semarang sebagailokasi pengambilan gambar dalam film Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2004.

Perkembangan dari teknologi informasi dan merebaknya media sosialpada sekitar tahun 2010-an rupanya mempunyai peran yang signifikan

dalam mengabarkan keberadaanpermata yang belum sepenuhnyaterpoles dan masih terpendam didalam lumpur masa lalu itu.

Kekuatan sosial media harusdiakui berperan besar dalammempromosikan dan memvi-ralkan potensi destinasi wisata diberbagai pelosok wilayah di selu-ruh Indonesia, termasuk di KotaLama Semarang.

Kekayaan dan keragamanarsitektur di kawasan Kota LamaSemarang ini menjadikan sejum-lah posting di media sosial menjadiviral dan mengundang rasapenasaran para wisatawan lokalmaupun mancanegara. Akibatnyamudah ditebak, kunjungan wisa-tawan ke kawasan ini meningkattajam dari tahun ke tahun, seiringdengan terus dilakukannyapenataan di Little Netherland,berikut munculnya titik-titik pen-dukung pariwisata lainnya, baikdari pihak swasta maupun karenacampur tangan pemerintah dae-rah dan pusat.

Berulang kali terbersit dalam

imajinasi penulis, bahwa suatu saat nanti, Kota Lama Semarang akan men-jadi kawasan yang hidup, baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya, jauhmelebihi Kawasan Malioboro di Jogjakarta, misalnya, mengingat segalapotensi dan modal dasar yang dimilikinya. Dengan kafe-kafe, kantor, pusatperbelanjaan souvenir, serta pertunjukan budaya, dengan wisatawan danpecinta budaya yang berlalu-lalang di sekitar kawasan yang nyaman, aman,tidak dilalui kendaraan bermotor, dan tersedia kantong-kantong parkir danfasilitas umum/sosial yang baik, artistik, dan memadai.

Meminjam istilah dari Prof. Eko Budihardjo (alm), kepompongnya sudahada, tinggal fokus untuk memaksimalkan ulatnya menjadi kupu-kupu yangcantik.Mendata

Saat ini, Kota Lama Semarang sedang menapaki jalannya untuk dapatdiakui sebagai salah satu Pusaka Dunia, dengan mengajukan diri kepadakomite World Heritage, suatu lembaga di bawah UNESCO, yang bertugasmendata dan memastikan kelestarian Pusaka Dunia. Targetnya cukup ambi-sius, pada tahun 2020, Kota Lama semarang akan resmi masuk ke dalamdaftar World Heritage.

Bahkan sekelas Kota Tua Jakarta (Oud Batavia) dengan perhatian danpendanaan yang begitu besar, sudah berkali-kali diajukan untuk masuk kedalam daftar World Heritage dan berkali-kali pula gagal atau ditolak, karenaberbagai alasan, hingga detik tulisan ini dibuat. Sosialisasi program promosiKota Lama semarang untuk masuk menjadi salah satu daftar World HeritageSite, nampaknya baru dipahami sebagai wacana oleh lingkungan elit,akademisi, birokrat terkait, dan stake holder langsung. Dari hasil penelusuranpenulis, tidak banyak masyarakat awam yang memahami apa itu WorldHeritage/ Pusaka Dunia, apalagi manfaatnya. Seyogyanya, sejak dini, infor-masi mengenai upaya menuju status World Heritage ini hendaknya diperke-nalkan kepada masyarakat, khususnya warga Kota Semarang yang nanti-nya (bila perjalanannya mulus) akan mempunyai suatu kawasan yang diakuidunia sebagai obyek bersejarah.

George Town dan Melaka pernah mengalami kondisi yang hampir samadengan Kota Lama Semarang, yang hampir saja punah dan menurun kuali-tas fisik dan lingkungannya.

Setelah ditetapkan menjadi Pusaka Dunia oleh WHC UNESCO, kinikedua obyek wisata kawasan bersejarah di Malaysia tersebut dikunjungi olehjutaan turis dalam dan luar negeri setiap tahunnya, terlepas dari dinamikasosial yang terjadi terkait kejutan-budaya akibat perubahan mendadakkawasan yang awalnya begitu sepi dan kemudian menjadi pusat destinasiwisata sejarah di Malaysia. (53)

— Bintang Noor Prabowo, ST, MT, IAI | Pemerhati FenomenaPerkotaan, dan Dosen di Universitas Diponegoro; Anggota IAI

Daerah Jawa Tengah

Oleh Bintang Noor Prabowo

Apa Itu Status World Heritage?