MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN … · dengan vegetasi pada tebing dan bantaran sungai....
-
Upload
duonghuong -
Category
Documents
-
view
258 -
download
1
Transcript of MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN … · dengan vegetasi pada tebing dan bantaran sungai....
MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN PENDEKATAN
EKOHIDRAULIKA DI LOKASI KELURAHAN SEMPUR
KOTA BOGOR
Oleh :
SUCI NUR AINI ZAIDA
F152080021
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Model Bantaran
Sungai Ciliwung dengan Pendekatan Ekohidraulika di Lokasi Kelurahan Sempur,
Kota Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing
akademik dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari hanya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2012
Suci Nur Aini Zaida
NRP F152080021
ABSTRACT
SUCI NUR AINI ZAIDA. Model of Ciliwung Riverbank with the Ecohydraulics
Approach in Kelurahan Sempur, Bogor. Supervised by ERIZAL, M. YANUAR,
dan PRASTOWO.
The effort to control and flood prevention can be started with managing
and structuring the area of the river, as known river restoration. River restoration
is an attempt to restore the functions of the river physically, ecologically, socially
and economically so that it becomes a natural stream (nature-like river) and
resemble the initial conditions in order to reduce the danger of flooding and
damage the river. The purpose of this study are : 1) Identifyied the damage along
the riverbanks of the Ciliwung River in Kelurahan Sempur, 2) Made the river
restoration concept with ecohydraulics approach.
The result of this research was design of riverbank restoration with eco-
hydraulics approach using plants. From the research, it is found that Ciliwung
River which passing Kelurahan Sempur have a significant function for flooding
retention. Based on the research, there is some damage to the river in this section,
for example the erosion and sedimentation in the downstream. This is because the
slope of the riverbed is very small. The design of river management is by adding
vegetation on the riverbanks and flood plain areas.
Keywords: river restoration, ecohydraulics, roughness coeficient, plants
RINGKASAN
SUCI NUR AINI ZAIDA. Model Bantaran Sungai Ciliwung dengan Pendekatan
Ekohidraulika di Lokasi Kelurahan Sempur, Kota Bogor. Dibimbing oleh
ERIZAL, M. YANUAR, dan PRASTOWO.
Upaya pengendalian dan pencegahan banjir dapat dimulai dengan
pengelolaan dan penataan kawasan sungai atau yang dikenal dengan istilah
restorasi sungai. Restorasi sungai adalah upaya mengembalikan fungsi-fungsi
sungai baik secara fisik, ekologi, sosial maupun ekonomi sehingga menjadi sungai
yang alami (nature-like river) dan menyerupai kondisi awalnya dalam rangka
mengurangi bahaya banjir dan kerusakan sungai yang lebih parah. Tujuan dari
penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi kerusakan sepanjang bantaran Sungai
Ciliwung yang melintas di lokasi Kelurahan Sempur Kota Bogor, 2) Membuat
konsep perencanaan restorasi bantaran Sungai dengan pendekatan Ekohidraulika.
Pengelolaan sungai secara berkelanjutan yang berbasis konsep
ekohidraulika dapat dilaksanakan dengan memperhitungkan kondisi eksisting
sungai yaitu kondisi hidraulika dan ekologi. Kondisi hidraulika terkait dengan
profil sungai, muka air banjir dan luas genangan. Sedang kondisi ekologi terkait
dengan vegetasi pada tebing dan bantaran sungai. Konsep pengelolaan sungai
diterapkan dengan melakukan rekayasa hidraulika pada sungai yaitu dengan
memperbesar penampangnya dan memperkecil kecepatan air serta melakukan
penataan pada bantaran sungai.
Penelitian ini dilakukan di Sungai Ciliwung yang melewati Kelurahan
Sempur, Bogor sepanjang ± 1 Km. Penelitian dilakukan dengan pengukuran
langsung di lapang. Pengambilan data di lapangan antara lain untuk pengambilan
sampel tanah, pembuatan profil hidraulik sungai dan pengukuran faktor friksi
tanaman. Profil hidraulik sungai dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh
gambaran tentang luas penampang sungai pada potongan tertentu, kecepatan air
dan debit. Hasil perhitungan profil tersebut dapat dijadikan dasar dalam penentuan
luas areal banjir dan muka air banjir pada sungai. Hasil akhir dari penelitian ini
yaitu berupa konsep restorasi bantaran sungai dengan pendekatan ekohidraulika
dan penggunaan tanaman.
Untuk penentuan bantaran sungai di Kota Bogor didasarkan pada
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung. Yang dimaksud dengan bantaran atau sempadan sungai adalah
kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk pada sungai
buatan/kanal/saluran/irigasi yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Lebar bantaran sungai di lokasi
penelitian seharusnya atau sekurang-kurangnya 15 meter dihitung dari tepi sungai.
Dan untuk sungai dengan kedalaman lebih dari 3 meter maka seharusnya memiliki
bantaran atau sempadan sungai sekurang-kurangnya 20 meter. Namun kondisi di
lapangan menunjukkan bahwa sempadan sungai tidak sesuai dengan peraturan
daerah tersebut.
Dalam penelitian ini daerah penelitian yaitu Sungai Ciliwung yang
mengalir melewati Kelurahan Sempur sepanjang 1 km dibagi menjadi 4 segmen
wilayah penelitian. Pembagian ini didasarkan pada wilayah yang lebih di atas
sampai ke wilayah yang lebih di bawah dari Sungai Ciliwung yang mengalir di
Kelurahan Sempur tersebut. Adapun keempat segmen tersebut adalah Segmen 1,
yaitu wilayah antara Jembatan Jl. Jalak Harupat sampai dengan Jembatan Lebak
Kantin; Segmen 2, yaitu wilayah antara Jembatan Lebak Kantin sampai dengan
Jembatan Sempur Kidul; Segmen 3, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kidul
sampai dengan Jembatan Sempur Kaler; dan Segmen 4, yaitu wilayah antara
Jembatan Sempur Kaler sampai dengan Lebak Pilar. Selanjutnya pada bantaran
sungai yang melintas di Kelurahan Sempur dapat dibagi menjadi beberapa tipe
berdasarkan tutupan vegetasi yang berbeda yaitu Tipe A merupakan hamparan
atau bantaran yang bervegetasi riparian masih utuh; Tipe B merupakan hamparan
atau bantaran dengan vegetasi riparian yang telah terokupasi oleh penduduk 21-
54% dan Tipe C merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi riparian
yang terokupasi oleh penduduk lebih dari 70%. Bantaran Sungai Ciliwung di
Kelurahan Sempur termasuk bantaran dengan Tipe B dan Tipe C.
Analisis hidraulika dilakukan untuk memperoleh seberapa besar debit
yang dapat ditampung oleh sungai sebelum terjadi banjir. Dengan diketahui
kecepatan aliran dan luas penampang sungai pada kedua lokasi pengukuran
tersebut, dapat diketahui debit pada masing-masing titik pengamatan. Kondisi
tebing Sungai Ciliwung di lokasi penelitian dideskripsikan dengan kejadian erosi
atau tidak erosi. Gambaran kejadian erosi tebing di Segmen 3 dan Segmen 4
terjadi di sisi kiri dan kanan sungai. Kondisi morfologi sungai pada wilayah
pengukuran sepanjang 1 km terdapat 33% dari panjang sungai yang dasarnya
dibentuk oleh batuan besar dengan ukuran 5 – 20 mm. Nilai koefisien kekasaran
di sepanjang sungai bervariasi. Hal ini tergantung pada beberapa faktor
diantaranya ketidakteraturan sungai, perubahan tata guna lahan, urbanisasi, erosi
dan sedimentasi.
Kondisi Sungai Ciliwung menuntut adanya tindakan pengelolaan. Konsep
pengelolaan sungai secara ekohidraulik dapat dilakukan dengan melakukan
pengaturan tataguna lahan di bantaran sungai yang dapat memperkecil kecepatan
air.Selanjutnya berdasarkan hasil analisis hidraulika maka dibuat desain
pengelolaan sungai pada setiap lokasi. Desain pengelolaan sungai dengan konsep
ekohidraulik adalah mendesain vegetasi tanaman pada bantaran sungai. Adapun
pengaruh vegetasi pada bantaran dan dataran banjir sungai tergantung pada
tingkat kekasarannya. Desain pengelolaan sungai yang dibuat dengan
menambahkan vegetasi pada bantaran sungai dan tebing sungai untuk
menurunkan kecepatan aliran pada saat banjir. Sebagai bahan pertimbangan dalam
hal biaya dan adaptasi dengan lingkungan lokal lebih cepat, maka disarankan
menggunakan vegetasi yang ada saat ini di lokasi.
Kata Kunci : restorasi sungai, ekohidraulika, koefisien kekasaran, tanaman
©Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini
tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan
laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian
atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa
izin IPB
MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN PENDEKATAN
EKOHIDRAULIKA DI LOKASI KELURAHAN SEMPUR, KOTA BOGOR
SUCI NUR AINI ZAIDA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Model Bantaran Sungai Ciliwung Dengan Pendekatan
Ekohidraulika Di Lokasi Kelurahan Sempur,
Kota Bogor
Nama : Suci Nur Aini Zaida
NRP : F152080021
Mayor : Teknik Sipil dan Lingkungan
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Erizal, M. Agr
Ketua
Dr. Ir. Prastowo, M. Eng Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS
Anggota Anggota
Mengetahui,
Ketua Mayor Teknik Sipil dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nora H. Panjaitan, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 19 Januari 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur diucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik
dan hidayah-Nya hingga penulisan tesis: MODEL BANTARAN SUNGAI
CILIWUNG DENGAN PENDEKATAN EKOHIDRAULIKA DI LOKASI
KELURAHAN SEMPUR KOTA BOGOR dapat diselesaikan. Tesis ini disusun
guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Program
Magister di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dan tesis ini dapat terlaksana dan terwujud melalui proses
arahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Komisi
Pembimbing selalu memberikan dorongan, arahan, dan saran selama proses
penelitian dan penyusunan tesis ini berlangsung. Berbagai pihak juga telah banyak
membantu mulai dari saat proses penelitian berlangsung hingga tersusunnya tesis
ini. Dengan ketulusan hati disampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Dr. Ir. Erizal, M.Agr, selaku Ketua Komisi Pembimbing akademik atas
bimbingan, arahan, dan nasehatnya.
2. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS dan Dr. Ir. Prastowo, M.Eng sebagai
anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan arahannya.
3. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA sebagai Ketua Program Studi SIL yang
dengan penuh perhatian dan dedikasi tinggi senantiasa mendorong para
mahasiswa untuk dapat menyelesaikan studi dengan baik.
4. Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng selaku dosen penguji di luar komisi atas segala
masukan dan perbaikan yang diberikan.
5. Ir. Izhar Chaidir, MA selaku Kepala Bidang Perencanaan Ruang Kota Dinas
Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta yang senantiasa memberi perhatian dan
motivasi demi selesainya tesis ini.
6. Teman-teman SIL Angkatan 2008, Pak Tusi, Pak Taufik, Mba Donna, Titin
dan Wahid, terimakasih atas inspirasi, dan semangat yang telah diberikan.
7. Teman-teman Bidang Perencanaan Ruang Kota, Dinas Tata Ruang Provinsi
DKI Jakarta, khususnya Seksi Perencanaan Mikro Ruang Kota yang telah
membantu mengolah data dan memberikan semangat.
Kepada Ibunda (almarhumah) Sri Daryati dan ayahanda Sjamsul Hadi
dipersembahkan rasa hormat dan cinta yang mendalam. Juga kepada kakak-kakak
Susi Nur Era Badia, SE, Hadzik Muhanik Prabowo, Amd. dan Muhammad
Wahyu Hendra Maysuri, SE atas segala perhatian dan motivasinya. Suami tercinta
Alim Setiawan S, STP, M.Si dan ananda Ayesha Humaira Majid, yang merupakan
inspirator dan pendorong bagi selesainya tesis ini.
Disadari masih banyak yang harus disempurnakan dalam tesis ini. Untuk
itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaannya.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi perkembangan pengetahuan
restorasi sungai.
Bogor, Maret 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari orang tua
tercinta Bapak Sjamsul Hadi dan Almarhumah Ibu Sri Daryati. Penulis dilahirkan
pada tanggal 30 Maret 1983 di Kota Boyolali, Jawa Tengah.
Pada tahun 1994, penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri
Mojo 1 Boyolali. Pada tahun 1997 penulis menamatkan pendidikan menengah di
SMP Negeri 1 Andong dan pada tahun 2000 lulus dari SMU Batik 1 Surakarta.
Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis diterima untuk
melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000 dan
belajar di Fakultas Pertanian, jurusan Arsitektur Lanskap hingga lulus pada tahun
2005. Selanjutnya pada tahun 2008 penulis melanjutkan program master di
program studi Teknik Sipil dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Saat ini penulis bertugas di Dinas Tata Ruang Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta.
Penulis menikah dengan Alim Setiawan S, STP, MSi pada tanggal 6 Juli
2008 dan telah dikaruniai seorang putri bernama Ayesha Humaira Majid yang
lahir pada tanggal 2 April 2009.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA .................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvii
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2. Rumusan Permasalahan ........................................................ 3
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................. 4
1.4. Hipotesis ................................................................................ 5
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................ 5
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 6
2.1. Sungai Ciliwung ................................................................... 6
2.2. Longsoran Tebing ................................................................ 7
2.3. Stabilisasi Tebing ................................................................ 8
2.4. Restorasi Sungai .................................................................. 9
2.5. Vegetasi riparian dan floodplain dan pengaruhnya
terhadap hidrologi aliran .................................................... 11
2.6. Ekohidraulika Sungai ........................................................ 18
METODE PENELITIAN .......................................................................... 24
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................... 24
3.2. Metode Penelitian .............................................................. 25
3.2.1. Survey Sungai .......................................................... 25
3.2.2. Survey Tanaman ..................................................... 26
3.2.3. Studi Literatur .......................................................... 26
3.2.4. Analisis dan Strategi Restorasi ................................ 26
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ....................................... 28
4.1. Gambaran Umum DAS Ciliwung ...................................... 28
4.1.1. Bentuk dan Wilayah DAS Ciliwung ......................... 28
4.1.2. Pembagian DAS Ciliwung ....................................... 29
4.1.3. Penggunaan Lahan .................................................... 30
xiii
4.2. Sungai Ciliwung di KelurahanSempur ................................ 33
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 35
5.1. Batas Sempadan atau Bantaran Sungai .............................. 35
5.2. Penentuan Tipe Bantaran Sungai Ciliwung di
Kelurahan Sempur .............................................................. 37
5.3. AnalisisKondisi Tebing Sungai, DasarSungai Dan
Tata Guna Lahan Pada Bantaran Sungai .............................. 41
5.3.1. Kondisi Tebing Sungai ............................................. 41
5.3.2. Kondisi Dasar Sungai ............................................... 43
5.3.3. Tata Guna Lahan Pada Bantaran Sungai ................... 44
5.3.4. Vegetasi di Bantaran Sungai ..................................... 45
5.4. Analisa Hidraulika Sungai .................................................. 46
5.5. Perhitungan Koefisien Kekasaran ....................................... 55
5.6. Desain Pengelolaan Sungai Berbasis Konsep
Ekohidraulika ...................................................................... 62
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 70
6.1. Kesimpulan ........................................................................... 70
6.2. Saran ..................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 72
LAMPIRAN ............................................................................................. 76
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pengaruh jenis vegetasi di bantaran sungai terhadap run
off ............................................................................................................... 12
2. Karakteristik tanaman penguat tebing berdasarkan umur .......................... 17
3. Penentuan tipe bantaran ............................................................................ 39
4. Jenis-jenis vegetasi pada bantaran Sungai Ciliwung di
Kelurahan Sempur ..................................................................................... 45
5. Profil hidraulik Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ........................... 46
6. Kedalaman Sungai Ciliwung ..................................................................... 47
7. Kecepatan aliran sungai pada saat pengukuran ......................................... 48
8. Kecepatan Aliran di lokasi penelitian ....................................................... 49
9. Nilai koefisien kekasaran pada kondisi tidak banjir ................................. 55
10. Nilai koefisien kekasaran berdasarkan jenis kekasaran
permukaan ................................................................................................. 57
11. Nilai koefisien kekasaran kumulatif .......................................................... 57
12. Simulasi debit banjir di Segmen 1 ............................................................ 58
13. Simulasi debit banjir di Segmen 2 ............................................................ 58
14. Simulasi debit banjir di Segmen 3 ............................................................ 58
15. Simulasi debit banjir di Segmen 4 ............................................................ 59
16. Perubahan nilai koefisien kekasaran pada kondisi banjir
di Segmen 2 ............................................................................................... 62
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan perumusan masalah ........................................................................ 4
2. Desain kanal dua tingkat ........................................................................... 10
3. Bagian-bagian dari sebuah sistem akar tanaman ...................................... 16
4. Bentuk atau morfologi suatu sistem akar .................................................. 16
5. Kuat tarik dari beberapa jenis tanaman ..................................................... 17
6. Integralisasi komponen ekologi-hidraulik (profil sungai) .......................... 22
7. Peta lokasi penelitian ................................................................................. 24
8. Tahapan analisis hidraulika ....................................................................... 25
9. Opsi desain kanal sungai ........................................................................... 26
10. Penutupan lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001 ....................................... 38
11. Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 1996 ........................................ 31
12. Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001 – 2002 ............................ 31
13. Prosentase tutupan vegetasi dan bangunan ............................................... 39
14. Lokasi Segmen 1 merupakan Tipe C bantaran Sungai
Ciliwung di Kelurahan Sempur ................................................................. 40
15. Lokasi Segmen 2 yang merupakan Tipe B bantaran
Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur dan Lokasi
Segmen 3 yang merupakan Tipe C bantaran Sungai
Ciliwung di Kelurahan Sempur ................................................................. 40
16. Lokasi Segmen 4 yang termasuk dalam Tipe C
bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ...................................... 41
17. Kejadian erosi tebing di Sungai Ciliwung di Kelurahan
Sempur ...................................................................................................... 42
18. Variasi kondisi dasar sungai Ciliwung di Kelurahan
Sempur ...................................................................................................... 43
19. Distribusi tata guna lahan pada bantaran sungai ....................................... 44
20. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 1 ....................................................... 49
21. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 2 ....................................................... 50
22. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 3 ....................................................... 50
23. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 4 ....................................................... 50
24. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 1 ............................... 51
25. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 2 .............................. 52
xvi
26. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 3 ............................... 53
27. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 4 .............................. 54
28. Hubungan antara tinggi muka air dengan debit sungai ............................. 60
29. Hubungan antara koefisien kekasaran eksisting dengan
debit sungai ............................................................................................... 61
30. Desain pengelolaan sungai dengan konsep
ekohidraulika pada bantaran Sungai Ciliwung di
Kelurahan Sempur ..................................................................................... 64
31. Desain pengelolaan sungai dengan konsep
ekohidraulika di lokasi Segmen 1 ............................................................. 65
32. Desain pengelolaan sungai dengan konsep
ekohidraulika di lokasi Segmen 2 ............................................................. 66
33. Desain pengelolaan sungai dengan konsep
ekohidraulika di lokasi Segmen 3 ............................................................. 67
34. Desain pengelolaan sungai dengan konsep
ekohidraulika di lokasi Segmen 4 ............................................................. 68
35. Contoh desain pengelolaan sungai dengan konsep
ekohidraulik ............................................................................................... 69
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Debit sungai pada lokasi penelitian ............................................................ 76
2. Simulasi debit banjir di Segmen 1 .............................................................. 77
3. Simulasi debit banjir di Segmen 2 ............................................................... 79
4. Simulasi debit benjir di Segmen 3 .............................................................. 81
5. Simulasi debit banjir di Segmen 4 .............................................................. 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa
memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah.
Salah satu masalah lingkungan di Indonesia adalah degradasi fungsi ekosistem
daerah aliran sungai. Dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air diuraikan bahwa daerah aliran sungai adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Fungsi ekosistem tersebut sangat penting terhadap ketersediaan sumber
daya air. Namun demikian, fungsi ini menurun akibat kegiatan manusia.
Peningkatan jumlah DAS kritis yaitu data pada tahun 1984 tercatat 22 DAS yang
mencapai status kritis, tahun 1992 meningkat menjadi 39, dan tahun 1998
menjadi 59 DAS. Pada 2005, jumlah DAS yang kritis di Indonesia mencapai 62
DAS dan pada tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis yaitu di Pulau Jawa
sebanyak 116 DAS dari 141 DAS, sedang di luar Pulau Jawa terdapat 175 DAS
yang rusak dari 326 DAS (Murtilaksono, 2009).
Adapun kriteria penetapan DAS kritis antara lain dipengaruhi oleh
prosentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan, besarnya rasio debit
sungai maksimum dan debit minimum, serta kandungan lumpur (sediment load)
yang berlebihan (Suripin, 2002). Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan
berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir.
Menurut Maryono (2002), terdapat limafaktor penyebab banjir. Kelimafaktor
tersebut adalah faktor tingginya curah hujan, perubahan fisik di sekitar Daerah
Aliran Sungai (DAS), kesalahan pembangunan alur sungai, pendangkalan sungai,
dan tata wilayah dan pembangunan sarana-prasarana di daerah-daerah rawan
banjir. Dari kelima faktor tersebut, terhadap keempat faktor terakhir dapat
2
dilakukan tindakan koreksi. Fenomena DAS kritis pun menuntut adanya
pengelolaan sungai yang tepat sehingga dampak kerusakan lingkungan terhadap
kehidupan manusia dapat diperkecil.
Hasil penelitian beberapa kejadian banjir menunjukkan bahwa banjir
terjadi apabila lebih dari 60 persen curah hujan tidak dapat disimpan oleh DAS
dengan kecepatan aliran permukaan lebih dari 1.2 meter/detik. Penurunan besaran
banjir secara bertahap kecepatan aliran permukaan harus diturunkan menjadi
lebih kecil dari 0.7 meter/detik agar cukup waktu bagi tanah dan vegetasi untuk
menyerap air hujan. Apabila kecepatan limpasan dapat diturunkan menjadi kurang
dari 0.1 meter/detik maka air hujan akan menjadi aliran bawah permukaan.
Bahkan jika dapat diturunkan lagi menjadi kurang dari 0.01 meter/detik dapat
menjadi penyumbang terbentuknya mata air tanah. Untuk menurunkan kecepatan
aliran permukaan dan volume limpasan harus dilakukan pemanenan aliran
permukaan (run off harvesting) baik secara sipil teknis maupun vegetatif.
Supaya penurunan kecepatan aliran permukaan pemanen dan aliran permukaan
efektif, maka lahan di zona prioritas harus bervegetasi, sehingga penanaman di
zona ini menjadi agenda utama.
Pembangunan sungai dengan konsep hidraulik murni berupa pembetonan
dinding dan pengerasan tampang sungai banyak dijumpai di sungai-sungai yang
melalui Bogor. Sebagai contoh Sungai Ciliwung yang melewati Kebun Raya
Bogor -sungai yang dianggap penyebab banjir di Jakarta- juga tidak luput dari
kanalisasi di sepanjang alur sungai. Pola penanganan banjir yang dilakukan
dengan mengusahakan air banjir secepat-cepatnya dikuras kehilir, tanpa
memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir, merupakan kesalahan
pembangunan alur sungai yang harus dilakukan koreksi.
Pendapat umum bahwa kanalisasi sungai dianggap dapat menanggulangi
banjir serta longsor, akan tetapi dengan berkembangnya keilmuan baru yaitu
ekohidrologi dan ekohidraulika, kanalisasi sungai banyak ditinggalkan, dan
restorasi sungai dilakukan untuk mengembalikan fungsi alami sungai (lihat
Maryono, 2002; Stromberg, 2001; Huang et al., 2009; Mulatsih dan Kirno,
2007). Maryono (2002) mengemukakan terjadinya banjir tahunan di banyak
negara maju dapat disebabkan oleh kesalahan perencanaan alur sungai. Pola
3
penanganan banjir dengan pendekatan Ekohidraulika untuk mengatasi longsoran
dapat diterapkan di Sungai Ciliwung, yaitu melihat permasalahan sungai sebagai
suatu sistem yang terdiri dari komponen fisik dan non fisik, biotic maupun
abiotik, dari hulu sampai hilir sungai.
Setiap kali Jakarta dilanda banjir, Kota Bogor selalu dicap sebagai
penyebabnya. Pembangungan hotel dan lapangan golf serta Rumah Potong
Hewan di bantaran sungai adalah beberapa kasus perubahan fisik DAS di Kota
Bogor. Belum lagi banyaknya perumahan di bantaran dan tebing sungai. Hal ini
menyebabkan retensi DAS tersebut berkurang secara drastis. Seluruh air hujan
akan dilepaskan DAS ke arah hilir yang pada akhirnya menyebabkan banjir di
daerah hilir (Maryono, 2002). Selain itu, kebiasaan warga perumahan di bantaran
dan tebing sungai membuang sampah ke sungai menyebabkan pendangkalan
sungai. Banjir menyebabkan kerugian materiil yang tidak sedikit sehingga perlu
dilakukan tindakan pengelolaan sungai. Sehubungan dengan upaya pengendalian
dan pencegahan banjir ini dapat dimulai dengan pengelolaan dan penataan
kawasan sungai atau yang dikenal dengan istilah restorasi sungai. Restorasi sungai
adalah upaya mengembalikan fungsi-fungsi sungai baik secara fisik, ekologi,
sosial maupun ekonomi sehingga menjadi sungai yang alami (nature-like river)
dan menyerupai kondisi awalnya dalam rangka mengurangi bahaya banjir dan
kerusakan sungai yang lebih parah.
1.2. Rumusan Permasalahan
Pengelolaan sungai secara berkelanjutan yang berbasis konsep
ekohidraulika dapat dilaksanakan dengan memperhitungkan kondisi eksisting
sungai yaitu kondisi hidraulika dan ekologi. Kondisi hidraulika terkait dengan
profil sungai, muka air banjir dan luas genangan. Sedang kondisi ekologi terkait
dengan vegetasi pada tebing dan bantaran sungai. Konsep pengelolaan sungai
diterapkan dengan melakukan rekayasa hidraulika pada sungai yaitu dengan
memperbesar penampangnya dan memperkecil kecepatan air serta melakukan
penataan pada bantaran sungai. Selain itu, konsep pengelolaan sungai secara
ekohidraulika juga dapat diterapkan dengan partisipasi masyarakat.
4
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah :
1. Bagaimana kondisi bantaran sungai yang ada?
2. Seberapa besar muka air banjir, luas genangan yang terjadi serta tata guna
lahan pada bantaran sungai?
3. Bagaimana model restorasi bantaran sungai dengan pendekatan konsep
ekohidraulika?
Gambaran tentang rumusan masalah dalam penelitian ini secara detail diuraikan
pada Gambar 1 :
Gambar 1. Bagan perumusan masalah
1.3. Tujuan Penelitian
a. Mengidentifikasi kerusakan sepanjang bantaran Sungai Ciliwung yang
melintas di lokasi Kelurahan Sempur Kota Bogor.
b. Membuat konsep pengelolaan bantaran Sungai dengan pendekatan
Ekohidraulika.
TGL pada bantaran sungai Profil hidrolik sungai
Kedalaman, lebar,
kemiringan lereng,
kemiringan sungai , lebar
genangan
Restorasi sungai dengan konsep ekohidraulika
Model restorasi sungai dengan konsep
ekohidraulika
Vegetasi lereng dan vegetasi
bantaran
5
1.4. Hipotesis
a. Pembangunan Sungai Ciliwung dengan konsep hidraulika murni menyebabkan
menurunnya fungsi retensi banjir
b. Ekohidraulika dan eko-engineering dapat diterapkan untuk mengatasi erosi
dinding sungai.
c. Kompilasi data fisik dan biologi sungai dapat digunakan untuk membuat
perencanaan restorasi Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain sebagai
berikut :
a. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan dan
pengkajian lebih lanjut terhadap model restorasi bantaran sungai yang
mengintegrasikan aspek sosial ekonomi, ekologi dan teknologi.
b. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah untuk landasan pengelolaan
sungai secara berkelanjutan.
c. Memberikan data-data yang dibutuhkan untuk melakukan restorasi Sungai
Ciliwung di lokasi KelurahanSempur, Bogor
d. Membantu masyarakat Kelurahan Sempur mengatasi erosi dinding Sungai
Ciliwung dengan dana yang terjangkau
e. Memberikan rancangan restorasi Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur,
Bogor
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai Ciliwung
Berdasarkan pemantauan terhadap kualitas air sungai di Indonesia pada
tahun 2004 oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan air sungai
telah tercampuri dengan limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, dan
limbah peternakan. Dari seluruh sungai yang dipantau, hilir Sungai Ciliwung
mendapatkan tekanan polusi terberat. Bagian hulu sungai tercemari dengan fecal
coli dan total coliform yang melebihi baku mutu yang ditetapkan. Bakteri tersebut
berpengaruh sangat besar terhadap status mutu air sungai.Bila parameter itu dapat
dikendalikan, status mutu air sungai dapat meningkat menjadi lebih baik. Berdasar
parameter biologi (fecal coli dan total coliform), DO (dissolfed oxygen), BOD
(biochemical oxygen demand), dan COD (chemical oxygen demand), tidak ada
segmen Sungai Ciliwung yang mutu airnya memenuhi kriteria kelas I, yang layak
digunakan sebagai air baku untuk air minum.
Sungai Ciliwung dibagi dalam lima segmen menurut wilayah administratif
yang dilintasi, yakni segmen 1 (Kabupaten Bogor), segmen 2 (Kota Bogor),
segmen 3 (Kabupaten Bogor), segmen 4 (Kota Depok), dan segmen 5 (DKI
Jakarta). Pada segmen 1 di titik pemantauan Cisarua (Kabupaten Bogor), air
Sungai Ciliwung masuk kriteria kelas II yaitu kualitas airnya dapat digunakan
untuk prasarana/sarana rekreasi air, perikanan, peternakan, dan pertamanan. Pada
Segmen 2 (Ciawi, Kota Bogor) dan 4 (Cimanggis, Kota Depok), kondisi kualitas
airnya termasuk kelas IV yang pemanfaatannya hanya layak untuk mengairi
pertamanan. Segmen 3 di Cibinong (Kabupaten Bogor) berkualitas kelas III, bisa
untuk perikanan, peternakan, dan pertamanan. Sedangkan segmen 5 di wilayah
DKI Jakarta, tidak termasuk dalam kelas mana pun sehingga tidak layak
dimanfaatkan untuk kegiatan apa pun. Dengan teknologi tinggi, kualitas air dapat
ditingkatkan.
Persoalan umum yang dihadapi di sepanjang aliran Sungai Ciliwung adalah
pencemaran limbah domestik, limbah industri, limbah peternakan, erosi, dan
kurangnya resapan air.Saat ini sedang dibahas upaya peningkatan kualitas sungai
7
di Indonesia yang kondisinya kritis. Proyek percontohan untuk sekitar 19 sungai
kritis itu dilakukan pada Sungai Ciliwung, dan sebanyak 12 institusi terkait telah
menyepakati sebuah program terpadu peningkatan kualitas air Sungai Ciliwung.
Fokus utamanya adalah mengatasi beban pencemaran serta memulihkan dan
meluaskan daerah konservasi.
Dalam jangka panjang, menurut rencana induk (master plan) yang
disepakati, seluruh segmen Sungai Ciliwung akan menjadi kelas I, yang artinya
dapat digunakan sebagai air baku air minum. Namun, dalam 15 tahun ke depan
diperkirakan kualitas air kelas I hanya bisa tercapai sampai pada segmen 4 (Kota
Depok), dan pada saat itu segmen 5 (DKI Jakarta) baru sampai pada kelas II, baru
layak digunakan untuk sarana rekreasi air dan perikanan.
Perlu tambahan sedikitnya lima tahun lagi untuk meningkatkan kualitas air
Sungai Ciliwung di Jakarta menjadi kelas I. Itu pun bila pemerintah daerah
berhasil membenahi tata ruang, membebaskan bantaran sungai dari permukiman,
dan yang lebih penting adalah kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke
sungai.
2.2. Longsoran tebing
Longsoran tebing dan erosi pada dinding penahan tanah merupakan
konsekuensi dari meningkatnya kecepatan air dan debit air yang melewati suatu
wilayah tertentu di sungai. Meningkatnya kecepatan aliran dengan pembangunan
fisik dengan sudetan, pelurusan kanal, pembetonan tebing merupakan usaha
campur tangan manusia untuk mempercepat pembuangan air banjir. Akan tetapi
hal tersebut berdampak pada terjadinya percepatan arus air yang menuju hilir.
Peningkatan kecepatan aliran akan berdampak pada peningkatan erosi dasar
sungai dan tanah longsor di kanan-kiri sungai (Maryono 2000a). Menurut
sebabnya, longsoran tebing dapat dibedakan menjadi: longsoran karena abrasi,
longsoran karena banjir/kenaikan kecepatan aliran dan longsoran karena berat
tanah (sliding).
8
2.3. Stabilisasi tebing
Stabilisasi tebing sungai merupakan salah satu cara untuk melihat campur
tangan manusia terhadap sungai. Meskipun erosi bersifat alami, tingkat erosi
dapat dipercepat oleh kegiatan manusia misalkan dengan menghilangkan tanaman
riparian, stabilisasi tebing, atau dengan manipulasi kanal sungai di bagian
hulu.Pengukuran untuk menstabilkan tebing dapat diklasifikasikan menjadi 3
kategori; armor, struktur kanal, dan metode vegetasi.
a. Armor
Ada dua bentuk yaitu bank armor dan levees.Bank armor adalah selimut
bahan resisten yang ditempatkan sepanjang tebing sungai.Riprap merupakan
bentuk yang umum dari bank armor. Jika air menerjang permukaan keras riprap
maka air tersebut tidak dapat membersihkan tebing sungai sehingga erosi tebing
ditekan. Levees adalah struktur yang terdiri dari batuan atau material yang
dibangun di dataran banjir.Levees mencegah dan menekan erosive force dari
aliran banjir.
b. Struktur kanal
Adalah dinding yang dibangun pada sisi aktif dari kanal sungai.Tujuannya
untuk menghindarkan sungai dari longsoran tebing. Yang termasuk struktur ini
antara lainbarbs, jetties, vanes, dan weirs. Sepintas struktur ini mirip bank armor
karena menggunakan sedikit batuan, tidak terlalu merusak fungsi alami sungai dan
habitat riparian, dan lebih banyak dataran banjir yang berfungsi menopang
sungai.Akan tetapi efek kanalisasi memberikan dampak yang lebih serius daripada
bank armor.
Dalam jangka panjang bangunan hidrolika murni (armor dan struktur
kanal) akan meningkatkan erosi di daerah hilir dan mempercepat aliran air. Dalam
pandangan hidrolika murni sungai dipandang sebagai suatu saluran hidraulik
pembuangan air kelebihan menuju ke laut (Maryono 2000a).Dengan konsep ini,
semua sungai sebaiknya diluruskan atau ditalud sehingga air secara cepat dapat
mengalir ke hilir.Selanjutnya Maryono (2000a) menggambarkan dampak buruk
dari rekayasa hidraulik murni yang terjadi di Amerika. Pelurusan Sungai
9
Kissimmee, Florida yang semula bermeander sepanjang 150Km diluruskan
menjadi 70Km menyebabkan kepunahan satwa hingga 75%. Akibat lain yaitu
menurunnya kualitas air di Danau Okeechoobee. Pelurusan Sungai Rhine di Eropa
menyebabkan hilangnya ikan Salmon.Untuk kasus Indonesia, pelurusan
Bengawan Solo di Kab.Sukoharjo telah menyebabkan hancurnya flora dan fauna
di riparian sungai, sungai yang terputus menjadi sungai mati tempat bersarangnya
nyamuk.Sehingga dalam pengelolaan DAS terpadu yang berwawasan lingkungan
hal tersebut tidak sustainable.
c. Metode vegetasi
Yaitu menggunakan batang pohon yang dipasang membentuk sudut
sehingga dapat mengalihkan arus sungai menjauh dari tebing. Metode ini juga
menstabilkan tebing yang meliputi: rootwads, tree revetments, dan live vegetation.
Meskipun rootwads dan tree revetments “lebih halus” dari riprap atau struktur
kanal, metode tersebut berprinsip sama yaitu mengganggu fungsi alami sungai
untuk mengurangi erosi tebing. Penanaman vegetasi alami riparian adalah tolak
ukur terbaik yang selaras dengan fungsi alami sungai.
2.4. Restorasi sungai
Aliran air dalam sistem hidrologi fluvial berperan dalam 4 hal: longitudinal,
lateral, vertikal dan temporal. Kanalisasi sungai banyak diterapkan untuk
membuat kanal lebih dalam dan lurus untuk memaksimumkan aliran air,
mengurangi koneksi lateral antara floodplain/riparian sistem dengan sungai
(Huang et al., 2009). Dalam konsep ekohidrologi, pertukaran air antara sungai dan
riparian merupakan faktor kunci untuk menjamin fungsi sungai dan ekosistem
riparian.Sehingga restorasi yang berlangsung selama ini berusaha untuk membuka
dinamika fisik yang selama ini dibeton atau diberi penguat tebing lainya untuk
menghubungkan kembali sungai dengan riparian.
Restorasi sungai selalu menghadapi kendala: ketersediaan lahan (terkait
dengan tata ruang) dan fasilitas struktur yang ada. Terkait dengan ketersediaan
lahan, masalah yang dihadapi yaitu daerah riparian telah menjadi area pemukiman
atau daerah non-vegetasi.Sedangkan kendala struktur berhubungan dengan
10
bangunan struktur pada sungai seperti kanalisasi dengan beton, riprap dan
sejenisnya.
Huang et al. (2009) melakukan restorasi sungai di GraveCreek, Ohio State
University sepanjang 0.8 Km dengan dua tahapan yaitu restorasi kanal sungai
(stream restoration) dan restorasi riparian.
a. Restorasi kanal sungai
Tahapan restorasi yaitu;
Desain kanal dua tingkat (Gambar 2) untuk restorasi proses alluvial
alami dan menciptakan sistem yang berkelanjutan. Sistem ini dapat
memperbaiki fungsi drainase dan fungsi ekologis sekaligus.
Gambar 2.Desain kanal dua tingkat.
Opsi desain kanal yang tergantung pada dimensi sungai dan dimensi area
floodplain. Opsi desain terdiri dari self design dan desain perluasan
floodplain (floodplain expansion design). Maksud dari self design yaitu
floodplain dan kanal sungai terbentuk secara alami tanpa campur tangan
manusia. Sedangkan desain yang kedua ada peran manusia untuk
merencanakan luasan area floodplain dan kanal.
Desain pola aliran sungai yaitu pemilihan area dimana pola aliran
dirancang meandering dan straight pattern
Vegetasi yang digunakan sesuai dengan keperluan desain
11
b. Restorasi riparian
Untuk restorasi riparian diperlukan data historis penggunaan
lahan.Selanjutnya survey dilakukan untuk mengetahui tipe tanah, bulk density,
dan prosentase bahan organik tanah.
2.5. Vegetasi riparian dan floodplain dan pengaruhnya terhadap hidrologi
aliran
Pada bantaran sungai, penutupan vegetasinya spesifik “riparian”,
membentuk satuan ekologik terkecil (Swol, 1986), dipengaruhi oleh bentuk
fisiografi dan jenis batuannya (Sandy, 1976).Menurut Hough (1978) bantaran
sungai merupakan jalur koridor hijau, di samping merupakan ekoton antara
ekosistem daratan dan perairan, juga merupakan ekoton antara ekosistem riparian
dengan ekosistem daratan (Hough, 1978; dan Swol 1986).Bantaran sungai dalam
lansekap ekologi perkotaan, merupakan elemen struktur lansekap dalam bentuk
koridor hijau (vegetasi riparian), selain memberikan manfaat kesejukan dan
keindahan (Hough, 1978), juga memainkan pernanan fungsinya atas jasa bio-eko-
hidrologis di wilayah perkotaan (Hough, 1978; Forman dan Gordon, 1986).
Secara hidrologis, seperti halnya peranan fungsi vegetasi secara umum
telah banyak diungkap oleh beberapa akhli hidrologi (Forman dan Gordon, 1986;
Reis 1990), namun secara spesifik lebih mampu dalam pengaturan tata air.
Besaran laju limpasan air pada waktu musim penghujan dapat dikendalikan oleh
jajaran pepohonan yang rapat, hingga luapan air akan tercegah, namun sebaliknya
pada musim kemarau potensi air tanah tersedia dapat menjamin lajunya debit
aliran sungai yang bermanfaat bagi kepentingan hidup biota perairan. Arsyad
(1989), menyebutkan bahwa tutupan vegetasi berperan dalam siklus hidrologi,
dalam proses infiltrasi dan perkolasi melalui sistem perakaran, hingga terjaminnya
pelestarian air tanah dalam (ground water) yang sangat esensial dalam pengaturan
tata air secara alamiah. Adapun pengaruh jenis vegetasi di bantaran sungai
terhadap limpasan air (run off) adalah seperti pada Tabel 1.
12
Tabel 1. Pengaruh jenis vegetasi di bantaran sungai terhadap run off
Riparian Zone Pengurangan : 100 x (Input - Output)/Input
Lebar (m) Vegetasi Sedimen (%) Nitrogen (%) Phosphorus
(%)
4.6*a Herbs 61.0 4.0 28.5
9.2*a Herbs 74.6 22.7 24.2
19.0*b Trees 89.8 74.3 70.0
23.6*a Herbs + tress*c 96.0 75.3 78.5
28.2*a Herbs + Tress*d 97.4 80.1 77.2
Catatan : a) input : sediment 7.3mg/L, nitrogen 14.1 mg/L, phosphorus 11.3 mg/L
b) input : sediment 6.5 mg/L, nitrogen 27.6 mg/L, phosphorus 5.0 mg/L
c) lebar herbs 4.6 m dan poho/tree 19 m
d) lebar herbs 9.2 m dan pohon/tree 19 m
Sumber : Modifikasi dari Lowrance et al. 1995
Vegetasi riparian yang berada di bantaran sungai kian berkurang baik dari
jumlah maupun jenisnya akibat berbagai aktivitas manusia.Kegiatan
mengendalikan arus sungai seringkali menghilangkan vegetasi riparian ini.Upaya
memindahkan arus sungai yang berkelok-kelok hingga menjadi arus lurus telah
menyebabkan deforestasi vegetasi riparian (Johnson et al., 1995). Aktivitas lain
yang menghancurkan vegetasi riparian yaitu pertambangan, jalan, pembuangan
sampah, urbanisasi dan kehutanan (Johnson et al., 1995; Petts, 1996; Salinas et
al., 2000;). Upaya menghilangkan rawa banjir untuk mencegah banjir dan
pemanfaatan tanah di rawa banjir untuk pertanian turut menghilangkan vegetasi
riparian (Sparks, 1995).
Di Indonesia, hilangnya vegetasi riparian juga disebabkan oleh kegiatan
pemindahan aliran sungai. Selain itu disebabkan lahan yang berada di rawa banjir
dimanfaatkan untuk pertanian, pemukiman, dan irigasi.Pertambahan penduduk
akibat urbanisasi telah meningkatkan jumlah penduduk di perkotaan.Penduduk
yang tidak dapat membeli rumah memanfaatkan lahan basah di bantaran sungai
yang menyebabkan hilangnya vegetasi riparian.
13
Vegetasi riparian adalah vegetasi yang tumbuh di tepian sungai. Vegetasi
ini memiliki banyak fungsi antara lain menjaga kualitas air sungai, habitat
kehidupan liar, menjaga longsor dan mengatur pertumbuhan flora akuatik baik
tingkat tinggi maupun tingkat rendah. Fungsi vegetasi riparian dalam menjaga
kualitas air sungai telah banyak dilaporkan (Bayley, 1995; Binkley et al., 1999;
Jones et al., 1999; Loomis et al., 2000; Sparks, 1995). Air yang masuk ke sungai
yang berasal dari pertanian dan pemukiman penuh dengan bahan-bahan pencemar
misalnya pestisida, pupuk dan minyak. Pencemar tersebut sebelum memasuki
sungai akan diserap oleh vegetasi riparian dan diubah menjadi bahan-bahan yang
tidak berbahaya. Hal tersebut membantu meningkatkan kualitas air sungai. Dalam
hal ini, vegetasi riparian berperan dalam purifikasi alamiah air sungai.
Sayangnya, vegetasi riparian telah hilang sehingga fungsinya sebagai
pengendali kualitas air sungai juga turut hilang. Penurunan kualitas air sungai di
Indonesia terus terjadi seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan
industri. Peningkatan konsentrasi di sungai-sungai juga dapat disebabkan oleh
hilangnya tumbuhan yang dapat menyaring pencemar tersebut. Jika vegetasi
riparian di bantaran sungai dipertahankan maka kualitas air sungai juga dapat
dipertahankan. Kualitas air sungai akan meningkat jika vegetasi riparian juga
meningkat. Peningkatan konsentrasi N dan P akibat pupuk dari kegiatan pertanian
dan pemukiman terjadi di sungai yang tidak memiliki vegetasi riparian.
Kandungan nitrat yang terlalu banyak di air sungai akan membahayakan
kesehatan manusia yang meminumnya (Binkley et al., 1999).
Vegetasi riparian juga mengendalikan erosi tebing sungai.Akar tumbuhan
yang hidup di tepian sungai mencengkeram tanah di tepian sungai.Vegetasi
riparian juga mengendalikan air permukaan. Mekanisme tersebut dapat mencegah
longsoran tebing sungai yang sangat sering terjadi saat turun hujan (Jones et al.,
1999; Loomis et al., 2000)
Vegetasi riparian mampu menyerap padatan terlarut yang dibawa air
permukaan.Deforestasi di bagian atas sungai telah menyebabkan erosi
tanah.Butiran tanah dibawa oleh air permukaan menuju sungai.Akar-akar vegetasi
riparian dapat mengikat padatan terlarut tersebut sehingga air sungai tampak
jernih.Partikel tanah yang tertangkap oleh vegetasi riparian mencegah terjadinya
14
sedimentasi di sungai. Hal ini sangat menguntungkan hewan-hewan seperti ikan
yang menyukai dasar sungai tidak berlumpur (Jones et al., 1999; Loomis et
al.,2000).
Vegetasi riparian sangat bermanfaat dalam mengatur suhu air dan
mengendalikan masuknya cahaya matahari ke sungai (Loomis et al., 2000; Mitsch
& Gosselink, 1993). Cahaya yang masuk akan meingkatkan suhu permukaan air
sungai. Hal ini sangat membahayakan kehidupan akuatik yang telah beradaptasi
dengan suhu rendah.Jika suhu air sungai meningkat maka hanya beberapa hewan
saja yang dapat hidup. Peningkatan suhu air akan mengurangi keanekaragaman
jenis biota akuatik.
Cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh tumbuhan akuatik dan alga untuk
kegiatan fotosintesis.Kehadiran vegetasi riparian dapat mengurangi cahaya yang
masuk ke sungai.Cahaya menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan organism
fotosintetik tersebut.Jika cahaya kurang akibat kehadiran vegetasi riparian maka
pertumbuhan organisme fotosintetik dapat dikendalikan. Namun, jika cahaya
terlalu banyak maka pertumbuhan organisme tersebut akan sangat cepat (Loomis
et al., 2000). Peningkatan organisme fotosintetik yang berlebihan akan
membahayakan kehidupan hewan-hewan akuatik. Organisme fotosintetik akan
menghabiskanoksigen terlarut dalam air saat melakukan respirasi. Penurunan
oksigen akan merugikan hewan-hewan akuatik seperti ikan yang membutuhkan
oksigen dalam melakukan kegiatan metabolisme. Selain itu, oksigen terlarut
dengan jumlah sedikit akan mengurangi laju dekomposisi materi organik (Bayley,
1995). Jika hal ini terjadi maka pencemar organik akan sulit diuraikan sehingga
akan menurunkan kualitas air sungai.
Vegetasi yang tumbuh di tepian sungai bermacam-macam jenisnya baik itu
berupa pohon, semak, herba dan rumput. Vegetasi riparian di S.Gangsal, misalnya
kasai (Pometia pinnata), ketapang (Terminalia catappa), gumbahang (Colocasia
antiquorum), kumpai (Hymenachne aurita) dan teberau (Saccharum sp.) (Siahaan,
2000).Vegetasi riparian ini menjadi sumber materi organik yang penting bagi
organisme akuatik.Bagian-bagian vegetasi misalnya buah, biji, bunga dan daun
yang jatuh ke sungai menjadi sumber organik allochthonous yang sangat
diperlukan dalam produktivitas perikanan sungai (Allan, 1995; Johnson et al.,
15
1995). Vegetasi riparian juga sangat dibutuhkan hewan-hewan sebagai tempat
mencari perlindungan, kawin dan memijah (Jones et al., 1999; Loomis et al.,
2000; Mitsch & Gosselink, 1993; Salinas et al., 2000; Sparks, 1995).
Tanaman di daerah riparian berfungsi untuk: memperkaya keragaman
hayati, nutrient enrichment (akan menyaring contaminant), mengurangi kecepatan
aliran, menciptakan daur makanan dan menyediakan tempat lindung bagi biota
riparian. Akar tanaman di tebing dapat berfungsi sebagai „buttressing’ bagi tanah
sehingga partikel tanah dapat tertahan.Mulatsih dan Kirno (2007) menyatakan
struktur akar vegetasi dapat berpengaruh pada stabilitas tanah terutama dengan
meningkatkan kuat geser tanah melalui perkuatan akar. Kekuatan akar ini
tergantung dari jenis akar dan kondisi tanah.
Tanaman sebagai pelindung tebing sungai yang tahan terhadap serangan
arus aliran air tergantung salah satunya adalah dari bentuk akar tanaman. Bentuk
akar serabut yang berkembang ke dalam akan lebih kuat dari pada akar serabut
yang berkembang mengambang di lapisan tanah bagian atas. Bentuk akar tunjang
yang berkembang ke dalam akan lebih kuat dari pada akar tunjang yang
berkembang yang mengambang di lapisan tanah bagian atas. Jenis tanaman dan
bentuk akar tersebut dikriteriakan sbb (Mulatsih dan Kirno, 2007):
a) Rumput Gajah (Pennisetum purpureum), bentuk akar serabut berkembang
kedalam
b) Rumput Alang-alang, (Imperata cylindrical), bentuk akar serabut, putih kotor
berkembang dan mengambang di lapisan tanah bagian atas
c) Karangkungan (Ipomoea crassicaulis), bentuk akar tunjang berkembang
mengambang di lapisan tanah bagian atas
d) Rumput Glagah (Saccharum spontaneum), bentuk akar serabut berkembang
kedalam
e) Akar Wangi (Andropogon zizanioides), bentuk akar serabut tumbuh lebat
menancap kebawah dapat mencapai ± 3 meter
f) Pandan berduri (Pandanus furcatus), bentuk akar serabut, coklat berkembang
mengambang di lapisan tanah bagian atas
g) Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius), bentuk akar tunggang, putih
kekuningan berkembang mengambang di lapisan tanah bagian atas.
16
Beberapa istilah khusus telah diambil untuk menjelaskan bagian-bagian
dari sebuah sistim akar tanaman. Tap root (akar pokok vertikal) merupakan
bagian akar utama vertikal yang letaknya tepat dibawah batang tanaman,
lateral root (akar pokok horisontal) merupakan bagian akar utama dibawah
batang namun arahnya horisontal, sedangkan sinker root merupakan bagian
akar vertikal yang merupakan percabangan dari akar batang atau akar lateral
(Gambar 3). Secara umum akar yang kuat adalah akar yang menerobos dalam ke
arah vertikal atau sinker roots yang menembus permukaan geser adalah
meningkatkan tingkat stabilitas tanah terhadap sliding. Secara keseluruhan bentuk
atau morfologi suatu sistim akar dapat pula dikelompokkan kedalam tiga bentuk
dasar akar yaitu bentuk dasar taproot, heartroot dan plateroot (Gambar 4).
Gambar 3. Bagian-bagian dari sebuah sistem akar tanaman
(Mulatsih dan Kirno, 2007)
Gambar 4. Bentuk atau morpologi suatu sistem akar (Mulatsih dan Kirno, 2007)
Upaya penghijauan kembali bantaran sungai tidaklah mudah
dilaksanakan.Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam upaya relokasi
aktivitas manusia di tepian sungai.Faktor tersebut misalnya faktor ekonomi dan
social penduduk.Walaupun demikian, upaya mengembalikan vegetasi riparian
tetap penting untuk dilaksanakan agar manfaat sungai dan rawa banjir dapat
17
dipertahankan untuk kesejahteraan manusia.Juga untuk mempertahankan
kelestarian hidupan liar yang sangat tergantung pada vegetasi riparian.
Table 2. Karakteristik tanaman penguat tebing berdasarkan umur (Mulatsih dan
Kirno, 2007)
No Jenis Tanaman
Umur Tanaman
1 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 12 Bulan
Tunas Akar Kuat
Tarik Tunas Akar
Kuat
Tarik Tunas Akar
Kuat
Tarik Tunas Akar
Kuat
Tarik
(cm) (cm) (kg) (cm) (cm) (kg) (cm) (cm) (kg) (cm) (cm) (kg)
1 Rumput gajah 15 10 24 50 20 75 100 38 100 130 55 115
2 Alang - alang 5 3 3 15 10 7 30 15 14 50 25 21
3 Karangkungan 2 5 4 20 30 13 100 50 20 95 75 32
4 Glagah 1 3 15 35 21 54 100 20 93 115 55 107
5 Akar Wangi 4 7 5 20 30 25 50 55 37 90 76 56
6 Pandan Berduri 6 16 4 19 45 29 50 53 35 83 70 48
7 Pandan Wangi 5 14 4 11 17 12 48 38 28 76 60 42
Mulatsih dan Kirno (2007) telah mengidentifikasi jenis-jenis tanaman
penguat tebing berdasarkan kekuatan tarik tanaman.Rumput gajah dan gelagah
direkomendasikan sebagai tanaman penguat tebing.Tabel 2 menyajikan
karekteristik tanaman dimaksud dan Gambar 5 menyajikan grafik kekuatan tarik
tanaman.
Gambar 5. Kuat tarik dari beberapa jenis tanaman berdasarkan umur
(Mulatsih dan Kirno, 2007)
18
Dataran banjir sungai identik dengan vegetasi riparian. Dataran banjir
berikut vegetasi yang kompleks didalamnya berfungsi untuk:
a. Mengurangi tinggi banjir dengan mengurangi, menyimpan, dan melepas
perlahan air banjir.
b. Menurunkan kecepatan aliran sungai dan erosi tanah
c. Memperbaiki kualitas air dengan cara menyaring dan mengurangi nutrien,
pestisida, garam, sedimen, sampah organik, dan polutan lainnya yang
bergerak ke sungai.
d. Menyediakan tempat ikan dan habitat liar yang paling baik
Informasi kecepatan sungai diperlukan untuk menentukan jenis tanaman
yang akanditanam di area dataran banjir. Adanya tanaman akan mengurangi
kecepatan aliran sungai pada saat aliran tinggi (banjir) sehingga daya rusak banjir
dapat dikurangi. Vegetasi pada floodplain dapat menurunkan kecepatan aliran
pada kasus aliran tinggi dan memperbaiki pertukaran antara sungai dengan
riparian (Huang et al., 2009). Selain bermanfaat untuk memperkuat tebing,
tanaman tersebut punya nilai ekonomi antara lain: sebagai pakan ternak (rumput
gajah, alang-alang), kayu bakar (Krangkungan), kerajinan tangan (pandan berduri,
akar wangi), bahan bumbu masak (pandan wangi).
2.6. Ekohidraulika Sungai
Ekohidraulika berasal dari kata ecological hydraulics sehingga konsep
ekohidraulika adalah konsep pengelolaan sungai yang bertujuan untuk
menanggulangi banjir secara ekologis. Herricks dan Suen (2003) menguraikan
bahwa ekohidraulika merupakan konsep yang mengintegrasikan prinsip-prinsip
ekologi dalam analisa hidrolika lingkungan yang memperhitungkan keberadaan
organisme pada saluran. Selanjutnya Dong (2009) menguraikan bahwa rekayasa
ekohidraulika adalah cabang dari ilmu rekayasa hidraulik.Prinsip-prinsip dan
metode teknik pada rekayasa hidraulik dikaitkan dengan syarat kesehatan dan
keberlanjutan ekosistem akuatik.
19
Paradigma pembangunan sungai pada saat ini belum memperhatikan
faktor-faktor lingkungan sebagai masukan yang diperlukan dalam rekayasa
strukturnya.Rekayasa pembangunan sungai dirancang hanya berdasarkan kajian-
kajian fisik hidraulik tanpa memperhatikan aspek-aspek ekosistem yang berlaku
pada sebuah sistem perairan sungai (Maryono, 2005).Kondisi yang ada
menunjukkan bahwa upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air sering
memberikan dampak berubahnya kondisi fisik sungai dari kondisi
alamiahnya.misalnya untuk tujuan pengendalian banjir, alur sungai mungkin harus
dipindah atau diluruskan atau diubah slope dasarnya dan dibuat dengan konstruksi
beton atau batu kali pada tebing atau dasar sungai.
Dengan adanya permasalahan tersebut di atas, maka dalam pengembangan
dan pemanfaatan sumber daya air yang disertai dengan pendirian bangunan-
bangunan air pada sungai, perlu dipikirkan upaya-upaya pelestarian alam guna
mendukung kelestarian populasi ikan dan organisme perairan lainnya. Dengan
laju perkembangan kesadaran lingkungan dan kesadaran berfikir holistik dunia
internasional dewasa ini serta ditemukannya berbagai dampak negatif yang sangat
besar dari rekayasa hidraulik murni.Maka pola pikir rekayasa hidraulik secara
parsial mulai ditinggalkan.Kemudian berkembang pola rekayasa interdisipliner
baru dengan memadukan antara rekayasa hidraulik dan pertimbangan
ekologi/lingkungan pada setiap penyelesaian masalah keairan. Teknologi atau
rekayasa bangunan air yang ramah lingkungan yang mendasarkan pada konsep-
konsep eko-hidraulik (eco hydraulics) perlu dikembangkan tanpa mengurangi
tujuan pengembangan atau pemanfaatan sumber daya air yang
bersangkutan.Untuk tujuan tersebut perlu diupayakan sosialisasi atau pengenalan
konsep design bangunan air yang ramah lingkungan kepada masyarakat dan
pemerintah, baik daerah maupun pusat, terutama instansi pengelola sungai dan
instansi terkait lainnya
Ekohidraulik merupakan ilmu interdisipliner yang memadukan antara
komponen ekologi dan komponen hidrolika (Maryono, 2005).Perpaduan dua
disiplin tersebut justru dalam perkembangannya dapat saling sinergis mutualisme
yang menguntungkan secara ekologis dan hidraulis.Pendekatan interdisipliner
20
eko-hidraulik ini dipandang sebagai suatu pola pendekatan yang bisa diterima dan
serta memiliki efek kelanjutan yang tinggi, karena memasukan faktor ekologi.
Dalam konsep eko-hidraulik tidak ada satu faktor apapun yang tidak
penting.Maka diperlukan banyak data pendukung seperti data social, fisik
hidraulik, ekologi.Pada konsep hidraulik murni hanya memperhatikan dua unsur
yaitu aliran air dan aliran sedimen.Sedangkan pada konsep eko-hidraulik
disamping dua itu juga memperhatikan pula komponen vegetasi.Dalam
perkembanganya eko-hidraulik, telah menghasilkan rekayasa-rekayasa baru yang
dapat digunakan dalam penyelesaian masalah keairan dengan memanfaatkan
faktor ekologi yang ada. Penerapan eko-engineering dengan konsep ekohidraulik
dapat diterapkan misalnya penanganan longsoran tebing dengan melakukan
penanaman bambu, rumput dan karangkungan atau perlindungan tebing dengan
menggunakan ikatan batang atau dengan batu tanah yang ada. Dan bisa juga
dengan menggunakan bending rendah pada dasar sungai dengan kayu mati yang
akan membuat menurunnya tingkat erosi di dasar sungai.
Dalam kaitan dengan eko-hidraulik, konservasi atau pemeliharaan sungai
didefinisikan sebagai upaya untuk menjaga keberlangsungan mekanisme
ekosistem sungai (perpaduan antara habitat dan organisme sungai) secara mikro
maupun secara makro dari hulu hingga hilir, sehingga sungai dapat bermanfaat
dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Komponen yang menjadi dasar dalam
pemeliharaan sungai terdiri dari:
1. Komponen hidraulik, meliputi berbagai hal yang berhubungan dengan aliran
air dan sedimen. Misalnya yang paling dominan adalah debit aliran, kecepatan
aliran, tinggi permukaan, tekanan air, turbulensi makro, distribusi kecepatan
mikro pada lokasi tertentu dan lain-lain. Dalam konsep eko hidraulik aliran
bukan hanya berhububungan energi potensial tetapi juga dengan flora dan
fauna di sekitar sungai dan juga mata air di sekitar sungai
2. Komponen sedimen dan morfologi sungai semua sedimen yang ada di sungai
termasuk sedimen organik dan anorganik
3. Komponen ekologi, yaitu segala komponen biotic yang hidup di sungai (flora
dan fauna )
21
4. Komponen sosial, yaitu persepsi masyarakat yang ada disekitar bantaran sungai
terhadap komponen-komponen di atas pemeliharaan sungai intergratif.
Konsep restorasi sungai dengan pendekatan ekohidraulika berbeda dengan
konsep konvensional penanganan masalah sungai yang selama ini banyak dianut
seperti pembuatan talud, dinding parapet, pembangunan tanggul, pelurusan,
sudetan, relokasi sungai, pembangunan bendung tanpa fish way, dan lain
sebagainya.Konsep integralistik antara ekologi dan hidraulik, semua faktor yang
terkait perlu mendapatkan perhatian dengan porsi yang sesuai sehingga tidak ada
komponen dalam ekosistem sungai yang hancur. Kehancuran salah satu rantai
ekosistem sungai (misalnya flora) maka akan menyebabkan kehancuran
komponen yang lain misalnya fauna, retensi hidraulik, dan erosi tebing sungai.
Gambar 6 menunjukkan komponen-komponen penyusun sungai.
22
Gambar 6. Integralisasi komponen ekohidraulika (profil sungai)
Gambaran berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa restorasi sungai
dengan pendekatan ekohidraulika dapat diterapkan dengan penanaman vegetasi
pada bantaran sungai. Hal ini akan mempengaruhi fungsi ekologi sungai,
sebagaimana diuraikan oleh Newson (2002) menguraikan bahwa hidromorfologi
ekosistem sungai merupakan unsur dinamis. Dinamika dari kondisi fisik habitat
fluktuatif mempengaruhi kawasan bantaran sungai (river bed and bank), hidrolika
saluran, aliran permukaan, aliran dasar dan angkutan sedimen. Peningkatan dan
restorasi habitat pada bantaran sungai akan meningkatkan stabilitas sungai dan
Integralistik
Ekologi dan
Hidraulik
Kimia
Fisik Hidraulik
Biologi
Sosial
1. Karakteristik fisik sungai dan perubahannya
2. Profil melintang dan memanjang
3. Topografi alur dan dasar sungai
4. Fluktuasi debit, muka air, sedimen
5. Sempadan sungai (bantaran banjir, longsor,
ekologi, dan bantaran keamanan)
6. Karakteristik hujan – aliran
1. BOD, COD, pH, CT, Fe, Mn, dll
2. Sumber limbah cair dan padat
3. Frekuensi debit limbah cair dan volume limbah
padat
1. Jenis, formasi dan jumlah flora atau vegetasi
2. Jenis dan jumlah fauna pada sempadan sungai
3. Jenis dan jumlah fauna pada badan sungai
1. Permukiman dan aktivitas terkait dengan sungai
2. Sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
3. Persepsi masyarakat
23
pola meandering. Sehingga kontribusi geomorfologis dalam pengelolaan sungai
akan mempengaruhi pola aliran dan angkutan aliran.
Sebagai bagian pengelolaan sumber daya air, maka pengelolaan sungai
yang memperhitungkan lingkungan fisik dinilai mampu mempertahankan
dinamika sungai sebagai ekosistem yang stabil. Mathuwatta dan Chemin (2002)
menguraikan bahwa perencanaan sumber daya air tergantung pada lingkungan
fisik yaitu vegetasi dan kondisi hidrologi sungai.Pertumbuhan vegetasi baik secara
alami maupun dengan campur tangan manusia berpengaruh terhadap dinamika
sungai. Zonasi pertumbuhan vegetasi lebih baik dibandingkan dengan zonasi
agroekologi eksisting dan pemetaan land use pada permukaan sungai.
24
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian terdiri dua bagian; survey lapangan dan pengukuran. Survey
lapang dilakukan di Sungai Ciliwung yang melewati Kelurahan Sempur, Bogor
sepanjang ± 1 km. Pengambilan data di lapangan antara lain untuk pengambilan
sampel tanah, pengukuran kecepatan aliran sungai, pengukuran kedalaman sungai,
pengukuran lebar sungai untuk pembuatan profil hidraulik sungai dan perhitungan
faktor friksi tanaman.
Gambar 7. Peta lokasi penelitian
25
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Survey sungai
Profil hidraulik sungai dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh
gambaran tentang luas penampang sungai pada potongan tertentu, kecepatan air
dan debit.Hasil perhitungan profil tersebut dapat dijadikan dasar dalam penentuan
luas areal banjir dan muka air banjir pada sungai.
Potongan melintang sungai diukur dengan menggunakan theodolith dan
water pass, sedang kecepatan air diukur dengan menggunakan current meter
sebanyak tiga kali pada setiap lokasi. Informasi tinggi muka air secara cepat dapat
diamati dari bekas genangan yang terjadi.
Analisis hidraulika dilakukan untuk memperoleh muka air banjir untuk
berbagai periode di setiap lokasi penelitian.Adapun tahapan yang dilakukan pada
analisis disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Tahapan analisis hidraulika
Perhitungan Luas
Penampang
Sungai
Data :
Lebar sungai
Kedalaman sungai
Sungai
Tinggi tanggul
Perhitungan
geometri
Luas
Penampang
sungai (A)
(Rumus Manning)
Nilai koefisien kekasaran
untuk setiap titik
pembacaan
Simulasi
kapasitas banjir
Perhitungan
kecepatan air (V)
Pengukuran kecepatan air aktual
menggunakan current meter
Perhitungan
kapasitas sungai
(Q) Q = V.A
26
3.2.2. Survey tanaman
Survey dilakukan untuk mendapatkan informasi jenis tumbuhan lokal yang
hidup di daerah riparian dan floodplain Sungai Ciliwung. Jenis vegetasi pelindung
tebing yang dipilih dapat memenuhi kriteria yang disebutkan oleh Mulatsih dan
Kirno (2007) yaitu: ada manfaat ekonomi, kemudahan mencari bibit, tingkat
ketahanan hidup, dan fisik tanaman termasuk bentuk akar yang terkait dengan
kuat tarik terhadap serangan arus sungai.
3.2.3. Studi literatur
Dilakukan untuk mengetahui kekuatan tarik tanaman tertentu.Mulatsih dan
Kirno (2007) merekomendasikan rumput gajah dan gelagah untuk penguat tebing
di Kali Andong Bengawan Solo. Informasi tentang flow resistance akan
dikompilasi dari publikasi ilmiah terutama untuk kasus Indonesia.
3.2.4. Analisis dan strategi restorasi
Opsi desain kanal
Gambar 9 menyajikan opsi pilihan desain kanal yang akan
direkomendasikan.
Gambar 9. Opsi desain kanal sungai
Pemilihan vegetasi
Dari data survey vegetasi dan informasi faktor friksi atau kekuatan kuat
tarik tanaman yang diperoleh melalui pengukuran dan studi literatur, maka
dilakukan pemilihan tanaman lokal dan tanaman non-lokal untuk restorasi
bantaran sungai sesuai kebutuhan setempat. Pemilihan tanaman lokal lebih
diutamakan untuk pelindung tebing karena vegetasi yang hidup di suatu tempat
sangat spesifik tergantung pada faktor tanah, dinamika aliran air, penyinaran
matahari serta temperatur dan iklim mikro lainnya. Untuk kepentingan
27
pengembangan daerah Kelurahan Sempur, tanaman non-lokal yang bernilai
ekonomi tinggi juga dapat dikembangkan dengan syarat menyesuaikan karakter
lokal seperti dinamika aliran, iklim mikro dan jenis tanah. Tanaman yang dipilih
harus dapat mengurangi kecepatan arus pada saat banjir.
Sedangkan restorasi di riparian bertujuan untuk mendapatkan kombinasi
tanaman yang cocok untuk mengatasi erosi di riparian dan mengurangi kecepatan
aliran air yang masuk ke tebing sehingga tebing sungai tetap terjaga. Jenis
tanaman harus mampu memperkuat tebing sungai. Untuk daerah riparian, tanaman
yang dipilih dapat mengurangi erosi dan kecepatan aliran permukaan. Hasil akhir
dari penelitian ini yaitu berupa desain restorasi bantaran sungai dengan
pendekatan ekohidraulika dengan menggunakan tanaman.
28
BAB IV
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum DAS Ciliwung
4.1.1. Bentuk dan Wilayah DAS Ciliwung
DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan di Teluk Jakarta
meliputi areal seluas 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. Menurut
toposekuensnya DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah
dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung
Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan
(Pawitan, 2002). Masing-masing bagian tersebut mempunyai karakteristik fisik,
penggunaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat yang sedikit banyak berbeda.
Distribusi penutupan lahan di DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar 10 yang
diperoleh berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat ETM tahun 2001 oleh
Fakultas Kehutanan IPB.
Gambar 10. Penutupan lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001
(Fakultas Kehutanan IPB, 2001)
29
Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung (dari hulu sampai hilir)
melingkupi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Propinsi DKI
Jakarta dengan deliniasi wilayah sebagai berikut :
a. Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten
Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil
Kota Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan).
b. Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor
(Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis), Kota Bogor
(Kecamatan Kota Bogor Timur, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor
Utara, dan Tanah Sareal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran
Mas, Sukmajaya dan Beji).
c. Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah
administrasi Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air
Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini
melintasi wilayah administrasi Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
4.1.2. Pembagian DAS Ciliwung
1. Bagian Hulu DAS Ciliwung
Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang
merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl.
Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo,
Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, danKatulampa. Bagian hulu dicirikan oleh
sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi,
dengan kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9km
2), dan sisanya
lebih dari 45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung
pada komposisi litografi dan kelulusan batuan.
2. Bagian Tengah DAS Ciliwung
Bagian tengah mencakup areal seluas 94 km2 merupakan daerah
bergelombang danberbukit-bukit dengan variasi elevasi antara 100 m sampai 300
m di atas permukaan laut. Di bagian tengah terdapat dua anak sungai, yaitu:
30
Cikumpay dan Ciluar, yang keduanya bermuara di sungai Ciliwung. Bagian
tengah Ciliwung didominasi area dengan kemiringan lereng 2-15%.
3. Bagian Hilir DAS Ciliwung
Bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai mencakup
areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi
antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi area dengan kemiringan
lereng 0-2 %, dengan arus sungai yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai
dicirikan oleh jaringan drainase, yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat
sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor. Dalam kondisi demikian batas
DAS menjadi tidak tegas.
4.1.3. Penggunaan Lahan
Kondisi penggunaan lahan, dalam hal ini tingkat penutupan lahan
merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini
berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran
permukaan serta pengendalian erosi saat musim penghujan dan mencegah
kekeringan saat musim kemarau.
Berdasarkan hasil kajian Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi
Tanah, Ditjen RRL, Departemen Kehutanan (1997), pola penggunaan lahan di
wilayah DAS Ciliwung bagian hulu danbagian tengah secara garis besar
dibedakan menjadi 4 (empat) jenis pemanfaatan lahan yaitu hutan, pertanian,
pemukiman (termasuk diantaranya industri, perdagangan, dll), dan lain-lain
(termasuk situ). Baik DAS bagian hulu maupun bagian tengah masih didominasi
oleh kawasan pertanian yaitu masing-masing sebesar 63,9% dan 72,2%. Akan
tetapi, DAS bagian hulu masih terdapat kawasan hutan sekitar 25 % sedangkan
DAS bagian tengah sudah tidak mempunyai kawasan hutan sama
sekali.Berdasarkan penggunaan lahan tahun 1996, ternyata daerah permukiman
(11.590 ha) merupakan penggunaan lahan terluas di DAS Ciliwung dan diikuti
secara berurutan oleh pertanian tegalan (7.770 ha), kebun campuran (5.730), hutan
(5.094 ha), sawah (1.665 ha), dan penggunaan lainnya (724 ha).
31
Gambar 11. Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 1996
Sedangkan berdasarkan penggunaan lahan tahun 2001-2002, jenis
pemanfaatan lahannya semakin bertambah yaitu antara lain sawah, tegalan,
perkebunan, kebun campuran, hutan, pemukiman, dan kawasan industri. Pada
tahun 2001, daerah pemukiman masih merupakan penggunaan lahan terluas dari
DAS Ciliwung namun prosentasenya meningkat drastis yaitu menjadi 64%,
sedangkan luasan hutan menurun secara drastis yaitu menjadi hanya 0,17%.
Prosentase penggunaan lahan pada tahun 2001-2002 dapat dilihat dalam Gambar
12 berikut.
Gambar 12. Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001 – 2002
32
Karena setiap tipe penggunaan lahan mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam menginfiltrasikan (meresapkan) air hujan ke dalam tanah, maka
jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah dan yang mengalir di atas
permukaan tanah akan berbeda pada setiap tipe penggunaan lahan. Proporsi air
hujan yang mengalir di atas permukaan tanah pada setiap penggunaan lahan
dikenal dengan istilah koefisien aliran permukaan atau koefisien
limpasan.Besarnya koefisien aliran permukaan itu memang masih dipengaruhi
oleh tipe tanah dan pengelolaan (manajemen) lahan. Perbedaan manajemen lahan
dan permukaan lahan, menyebabkan nilai koefisien limpasan di daerah
permukiman berkisar dari 25-40 % di pinggiran kota dan pedesaan, 35-70 % di
perkotaan, 50-90 % di daerah industri, 50-95 % di daerah perkotaan dan
perdagangan. Di daerah pertanian besarnya koefisien limpasan berkisar 21-65 %,
daerah penggembalaan 17-23 %, dan di daerah hutan adalah 2-15 %.Berdasarkan
luas dan nilai koefisien limpasan daerah permukiman adalah yang terbesar, maka
kontribusi daerah permukiman adalah yang terbesar mengakibatkan banjir
Ciliwung, disusul oleh daerah pertanian (tegalan dan kebun campuran).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh mahasiswa PS DAS IPB
melalui simulasi model, dengan data penggunaan lahan tahun 1996 dan curah
hujan 88 mm pada 11 Februari 1996, maka debit Stasiun Katulampa hanya 205
m3 debit di Stasiun Ratujaya 320 m3dan debit diStasiunManggarai383m3.Data
tersebut menunjukkan bahwa kontribusi bagian hulu sekitar 33 %, tengah 35 %,
dan hilir 32 %.
Proyeksi penggunaan lahan sampai tahun 2012 yang didasarkan pada
kecenderungan perubahan 1990-1996 menunjukkan bahwa daerah permukiman
akan meningkat menjadi 48 %, tetapi kebun campuran dan tegalan menurun
menjadi hanya 12 % dan 17 %. Hal ini akan meningkatkan koefisien limpasan
meningkat menjadi 48 % di bagian hulu, 60 % di bagian tengah, dan 65 % di
bagian hilir.
Perubahan penggunaan lahan dari pertanian (tegalan dan kebun campuran)
menjadi permukiman di bagian tengah dan hilir DAS Ciliwung tampaknya lebih
cepat daripada proyeksi tahun 2012 karena besarnya tekanan penduduk. Hal ini
33
akan mengakibatkan kontribusi bagian tengah DAS terhadap banjir Jakarta
semakin besar. Apabila tidak ada inisiatif mengatasi perubahan itu, maka aliran
Ciliwung akan menjadi lebih tidak terkendali. Jakarta dapat terhindar dari amukan
banjir yang lebih dahsyat dengan cara Sungai Ciliwung harus diatur dengan debit
aliran di Stasiun Ratujaya Depok tidak melebihi 350 m3.
4.2. Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
Kelurahan Sempur merupakan salah satu wilayah yang yang dilalui oleh
Sungai Ciliwung.Pada beberapa kejadian banjir Sungai Ciliwung, Kelurahan
Sempur termasuk wilayah yang memiliki dampak yang paling parah karena
melintasi perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman-pemukiman
kumuh.Sepanjang kanan kiri Sungai Ciliwung yang melintas di Sempur sebagian
besar adalah pemukiman padat penduduk.Dari masa ke masa, jumlah penduduk
yang bermukim dan berusaha di sepanjang tepian Ciliwung tersebut terus tumbuh
dan berkembang.Kini, daya dukung Ciliwung bagi kehidupan manusia yang hidup
di sepanjang tepiannya tampaknya sudah melampaui ambang batas.Okupasi lahan
bahkan sampai ke badan sungai yang dipastikan bakal dibanjiri air kala sungai
meluap pada musim hujan.
Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan Sempur sudah tidak
memiliki bantaran sungai yang ideal.Bantaran sungai di sebelah sisi timur Sungai
Ciliwung ini telah penuh dengan perumahan padat penduduk. Sedangkan bantaran
sebelah barat Sungai Ciliwung hanya sekitar 1 meter. Hasil survey yang dilakukan
menunjukkan sungai Ciliwung ini pun telah mengalami banyak yang mengalami
penyempitan dan pendangkalan yang mengakibatkan Sungai Ciliwung memiliki
potensi terbesar penyebab banjir.Dinding atau tebing sungaipun banyak yang telah
mengalami penggerusan dikarenakan aliran yang deras. Dari sisi kualitas air, air
sungai itu bahkan tak layak lagi dipakai untuk konsumsi sehari-hari (mandi, cuci
dan sanitasi) .
Pada Bulan Januari 2010, banjir bandang melanda sebagian wilayah Bogor
yang disebabkan oleh meluapnya Sungai Ciliwung. Akibat luapan air Sungai
Ciliwung tersebut menyebabkan longsor tebing sungai yang mengakibatkan
beberapa rumah masyarakat yang dibangun dipinggir aliran sungai Ciliwung
34
hanyut bersama aliran air. Longsor terjadi di sepanjang aliran sungai Ciliwung
diantaranya kawasan Lebak Kantin.Ketinggian air Sungai Ciliwung pada saat itu
adalah 3 meter. Banjir yang terjadi tersebut diperkirakan menjadi banjir terbesar
selama kurun waktu 10 tahun terakhir.
35
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Batas Sempadan atau Bantaran Sungai
Dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dinyatakan
bahwa sungai merupakan salah satu bentuk alur air permukaan yang harus
dikelola secara menyeluruh, terpadu berwawasan lingkungan hidup dengan
mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian sungai harus dilindungi dan
dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya, dan dikendalikan
dampak negatif terhadap lingkungannya. Dalam rangka mewujudkan kemanfaatan
sungai serta mengendalikan kerusakan sungai, perlu ditetapkan garis sempadan
sungai, yaitu garis batas perlindungan sungai. Garis sempadan sungai ini
selanjutnya akan menjadi acuan pokok dalam kegiatan pemanfaatan dan
perlindungan sungai serta sebagai batas permukiman di wilayah sepanjang sungai.
Lebar sempadan sungai, dapat ditentukan berdasarkan hitungan banjir
rencana dan berdasarkan kajian fisik ekologi, hidraulik dan morphologi sungai
langsung di lapangan. Penentuan lebar sempadan sungai dengan metode banjir
rencana pada umumnya mengalami kesulitan implementasi di masyarakat, karena
masyarakat kesulitan dalam memahami arti hitungan banjir rencana. Sementara di
era otonomi, pihak yang berwenang tidak dapat mengimplementasikan segala
sesuatu tanpa persetujuan masyarakat. Penentuan berdasarkan data ekologi,
morphologi dan hidraulik, dapat lebih mudah dimengerti oleh masyarakat, karena
batasan morphologi, ekologi dan hidraulik dapat dilihat secara langsung di
lapangan.
Untuk penentuan sempadan sungai di Kota Bogor didasarkan pada
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung. Yang dimaksud dengan Sempadan Sungai adalah Sempadan
Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk pada sungai
buatan/kanal/saluran/irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Penetapan sempadan sungai ini
dimaksudkan untuk pengamanan prasarana fisik sungai/saluran serta penataan dan
36
penertiban terutama akibat keberadaan pengembangan bangunan-bangunan yang
dapat berakibat terganggunya daerah aliran air dalam saluran. Perlindungan
terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi fungsi sungai darikegiatan
manusia yang dapat mengganggu dan merusak kondisi sungai serta mengamankan
aliran sungai.
Dalam peraturan tersebut, pada Bagian Kedua tentang Kawasan
Perlindungan Setempat Paragraf 2 tentang Sepadan Sungai Pasal 14 menyatakan
bahwa kriteria sempadan sungai untuk wilayah Provinsi Jawa Barat adalah
sebagai berikut :
1. Sekurang-kurangnya 5 meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul
pada sungai bertanggul di kawasan perdesaan dan sekurang-kurangnya 3
meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul pada sungai bertanggul
di kawasan perkotaan;
2. Sekurang-kurangnya 10 meter dihitung dari tepi sungai untuk sungai tidak
bertanggul di dalam kawasan perkotaan yang mempunyai kedalaman tidak
lebih besar dari 3 meter;
3. Sekurang-kurangnya 15 meter dihitung dari tepi sungai untuk sungai tidak
bertanggul di dalam kawasan perkotaan yang mempunyai kedalaman lebih
besar dari 3 meter sampai dengan 20 meter;
4. Sekurang-kurangnya 30 meter dihitung dari tepi sungai untuk sungai tidak
bertanggul di dalam kawasan perkotaan yang mempunyai kedalaman
maksimum lebih dari 20 meter;
5. Sekurang-kurangnya 100 meter dari tepi sungai untuk sungai yang
terpengaruh pasang surut air laut;
6. Garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan, adalah
tepi bahu jalan yang bersangkutan.
Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat No 2 Tahun 2006 tersebut, Sungai
Ciliwung yang melewati Kelurahan Sempur seharusnya memiliki sempadan atau
bantaran sungai ssekurang-kurangnya 15 meter di hitung dari tepi sungai. Namun
berdasarkan pengamatan di lapangan, daerah penelitian yaitu Sungai Ciliwung
yang melintas di Kelurahan Sempur tidak memenuhi peraturan tersebut. Pada
37
sempadan sebelah kiri sungai, pada daerah ini sudah tidak memiliki sempadan
sungai karena bangunan berdiri secara langsung di tepi sungai. Sedangkan
sempadan di sebelah kanan meskipun masih memiliki sempadan sungai sekitar 2
meter sampai dengan 3 meter, namun tetap tidak memenuhi kriteria sempadan
menurut peraturan tersebut.
5.2. Penentuan Tipe Bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
Sempadan sungai atau bantaran sungai merupakan kawasan (buffer)
penyangga daerah pengelolaan air berfungsi sebagai tanggul sungai, berada pada
kanan dan kiri badan sungai. Penutupan vegetasinya spesifik riparian, membentuk
satuan ekologik terkecil (Swol, 1986), dipengaruhi oleh bentuk fisiografi dan jenis
batuannya. Bantaran sungai merupakan jalur koridor hijau, di samping merupakan
ekoton antara ekosistem daratan dan perairan, juga merupakan ekoton antara
ekosistem riparian dengan ekosistem daratan (Swol 1986).
Terganggunya ekositem bantaran sungai menyebabkan peranan fungsinya
terganggu, pada hal seperti halnya hutan, komunitas vegetasi riparian secara
teoritis berfungsi sebagai pusat terjadinya keanekaragaman genetik, dan tempat
berlangsungnya evolusi secara alamiah. Lebih jauh bahwa dampak penting
pengembangan wilayah terhadap kondisi fisik bantaran sungai menyebabkan
perubahan-perubahan terhadap habitat dan proses-proses yang terjadi di
dalamnya. Perubahan yang terjadi dicirikan oleh bentuk-bentuk degradasi habitat,
akibat okupasi penduduk seperti yang terjadi di bantaran sungai.
Dalam penelitian ini, daerah penelitian yaitu Sungai Ciliwung yang
mengalir melewati Kelurahan Sempur sepanjang 1 km dibagi menjadi 4 segmen
wilayah penelitian. Pembagian ini didasarkan pada wilayah yang lebih hulu
sampai ke hilir dari Sungai Ciliwung yang mengalir di Kelurahan Sempur.
Adapaun keempat segmen tersebut adalah :
1. Segmen 1, yaitu wilayah antara Jembatan Jl. Jalak Harupat sampai dengan
Jembatan Lebak Kantin;
2. Segmen 2, yaitu wilayah antara Jembatan Lebak Kantin sampai dengan
Jembatan Sempur Kidul;
38
3. Segmen 3, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kidul sampai dengan
Jembatan Sempur Kaler;
4. Segmen 4, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kaler sampai dengan Lebak
Pilar.
Selanjutnya pada bantaran Sungai Cilliwung yang melintas di Kelurahan
Sempur dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penutupan vegetasi yang
berbeda. Hal ini didasarkan pada pendapat yang menyebutkan bahwa
terkendalinya neraca keseimbangan air sangat ditentukan oleh penutupan vegetasi
dan ketersediaan serasah di lapisan tanah teratas, karena berpengaruh langsung
terhadap premabilitas dan porositas tanahnya. Adapun ketiga tipe tersebut yaitu :
1. Tipe A merupakan hamparan atau bantaran yang bervegetasi riparianmasih
utuh.
2. Tipe B merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi riparian yang
telahterokupasi oleh penduduk 21-54%.
3. Tipe C merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi riparian yang
terokupasi oleh penduduk lebih dari 70%.
Tipe A merupakan tipe bantaran dengan tutupan vegetasi yang masih utuh,
sedangkan pada Tipe B dan Tipe C cenderung dipengaruhi oleh okupasi
pemukiman penduduk yang berpengaruh langsung terhadap luasan bantaran
hingga terganggunya peluang infiltrasi air kedalam tanah.
Sehubungan dalam penentuan tipe bantaran ini yang didasarkan pada
prosentase tutupan vegetasi dan tutupan bangunan yang ada di sepanjang kanan
dan kiri sungai, maka berdasarkan data yang ada dapat dibuat perbandingan
tutupan vegetasi dan bangunan pada masing-masing segmen area penelitian
seperti disajikan pada Gambar 13 berikut.
39
Gambar 13. Prosentase tutupan vegetasi dan bangunan
Dari gambar di atas maka dapat dibuat kesimpulan mengenai tipe bantaran
Sungai Ciliwung yang melintas Kelurahan. Dimana bantaran sungai di sepanjang
lokasi tersebut adalah termasuk dengan Tipe B dan Tipe C. Yang termasuk dalam
Tipe B yaitu lokasi di Segmen 3, sedangkan yang termasuk dalam Tipe C adalah
lokasi Srgmen 1, Segmen 2 dan Segmen 4. Adapun pembagian tipe bantaran
Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Penentuan tipe bantaran
No. Lokasi Tipe Bantaran
Tipe A Tipe B Tipe C
1. Segmen 1 - - √
2. Segmen 2 - - √
3. Segmen 3 - √ -
4. Segmen 4 - - √
Untuk lebih jelas mengetahui kondisi di lapangan mengenai perbandingan
tutupan vegetasi dan banguan yang ada di bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan
Sempur dapat dilihat pada Gambar 14 sampai dengan Gambar 16 berikut.
40
Gambar 14. Lokasi Segmen 1 merupakan Tipe C bantaran Sungai Ciliwung di
Kelurahan Sempur
Gambar 15. Lokasi Segmen 2 yang merupakan Tipe C Bantaran Sungai Ciliwung
di Kelurahan Sempur dan Lokasi Segmen 3 yang merupakan Tipe B Bantaran
Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
Lapangan Sempur
41
Gambar 16. Lokasi Segmen 4 yang termasuk dalam Tipe C bantaran Sungai
Ciliwung di Kelurahan Sempur
5.3. Analisis Kondisi Tebing Sungai, Dasar Sungai Dan Tata Guna Lahan
Pada Bantaran Sungai
5.3.1. Kondisi Tebing Sungai
Bentang alam yang menghubungkan antara dasar sungai dengan tanggul
sungai disebut dengan tebing sungai. Tebing sungai umumnya membentuk lereng
atau sudut lereng. Semakin terjal akan semakin besar sudut lereng yang terbentuk.
Tebing sungai merupakan habitat dari komunitas vegetasi riparian, kadangkala
sangat rawan longsor karena batuan dasarnya sering berbentuk cadas.
Kondisi tebing dalam pengelolaan sungai merupakan salah satu indikator
penting. Newson (2002) menguraikan bahwa dalam kegiatan pengelolaan sungai
(river engineering project) terdapat empat hal yang dipertimbangkan yaitu disain
saluran, penampang melintang sungai, perlindungan erosi tebing dan perlindungan
aliran sungai. Stabilitas tebing (bank stability) disebutkan mempengaruhi dua
aspek yaitu penampang melintang dan erosi tebing.
Terjadinya erosi tebing dipengaruhi akibat kondisi tanah yang jenuh
pada musim hujan dan menyebabkan meningkatnya massa tanah. Akibatnya
beban pada tanah meningkat dan akan terjadi kelongsoran. Erosi tebing sungai
juga dipengaruhi oleh kecepatan air, vegetasi di sepanjang tebing sungai, kegiatan
GOR Pajajaran
42
bercocok tanam di pinggir sungai, kedalaman dan lebar sungai, bentuk alur sungai
dan tekstur tanah. (Asdak, 2004).
Kondisi tebing Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan Sempur
dideskripsikan dengan kejadian erosi dan tidak erosi. Kejadian erosi tebing dapat
diamati dua cara yaitu berdasarkan adanya akar pohon yang nampak pada tebing
sungai (Walker, et al, 1992) serta kondisi tidak adanya vegetasi pada tebing.
Berdasarkan hasil pengamatan pada beberapa titik pembacaan, diperoleh
gambaran bahwa pada sisi kanan sungai erosi tebing yang terjadi lebih besar
dibandingkan pada sisi kiri sungai. Hal ini diantaranya karena pada sisi sebelah
kiri sungai telah dilakukan perlindungan tebing. Secara detail kejadian erosi
tebing disepanjang sungai dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Kejadian erosi tebing Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
Gambaran kejadian erosi tebing di Segmen 2 dan Segmen 4 terjadi di sisi
kiri dan kanan sungai. Kondisi morfologi sungai pada lokasi ini terdapat belokan
dimana merupakan faktor utama penyebab erosi tebing. Kondisi morfologi sungai
yang memiliki belokan inimengakibatkan aliran air yang terjadi mengarah ke
daerah tertentu di sisi luar belokan. Pada kondisi ini, aliran air akan berusaha
bergerak keluar, sehingga kecepatan air di sisi luar belokan akan lebih besar
dibanding di sisi dalam belokan. Akibatnya, pada sungai yang memiliki tebing
43
dengan kondisi tanah yang tidak stabil akan cenderung terjadi kelongsoran pada
tebing di bagian luar belokan sungai. Proses kelongsoran tebing ini terjadi akibat
adanya proses gerusan yang terus menerus di dasar tebing sebagai reaksi
perubahan dasar terhadap kondisi pola aliran di belokan.
5.3.2. Kondisi Dasar Sungai
Dasar sungai tersusun oleh material yang terangkut secara alamiah oleh
aliran air dan mengendap pada daerah tertentu. Forman dan Gordon (1983)
menyebutkan bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering mencerminkan
batuan dasar yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata, kadangkala
bentuknya bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya; sering terendapkan
material yang terbawa oleh aliran sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar
sungai sangat dipengaruhi oleh batuan dasarnya.
Kondisi dasar sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur bervariasi. Pada
wilayah pengukuran sepanjang 1 kilometer terdapat 33% panjang sungai yang
dasarnya terbentuk oleh batuan besar dengan ukuran 5 mm – 20 mm. Hal ini
sesuai dengan Gambar 18.
Gambar 18. Variasi kondisi dasar Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
44
Adapun perbedaan sedimen dasar dapat diuraikan bahwa semakin ke
hilir, maka sedimen sungai semakin halus. Dasar sungai pada lokasi Segmen 1
yang terletak di hulu sungai didominasi oleh batuan dengan diameter yang lebih
besar 20 mm. Dasar sungai pada lokasi Segmen 2 didominasi dengan batuan
kerikil diameter 5 mm hingga 20 mm.
5.3.3. Tata Guna Lahan Pada Bantaran Sungai
Bantaran sungai merupakan daerah yang rawan banjir namun dengan
letaknya yang strategis dan terdekat dengan sumber air, maka bantaran
dimanfaatkan oleh masyarakat. Kondisi tata guna lahan pada bantaran sungai di
sepanjang Sungai Ciliwung yang melintas Kelurahan Sempur terbagi atas empat
jenis yaitu tanah kosong/semak, kebun dan pemukiman, dan tidak ditemukan
adanya hutan di bantaran sungai. Adapun distribusi pemanfaatan lahan pada
bantaran sungai di sisi kiri dan kanan sungai disajikan pada Gambar 19.
Gambar 19. Distribusi tata guna lahan pada bantaran sungai
Pada gambar 19 nampak bahwa bantaran sungai Ciliwung di Kelurahan
Sempur sebagian besar lahan digunakan untuk pemukiman. Pada sisi kanan
sungai, lahan pemukiman sebesar 82%, sedang pada sisi kiri lahan pemukiman
sebanyak 91%. Kebun atau tanah kosong juga masih dapat ditemukan pada sisi
kanan kiri bantaran. Pada sisi kiri bantaran, kebun atau tanah kosong sebagian
45
berada di lokasi Segmen 3 dan Segmen 4. Sedangkan di sisi sebelah kanan
bantaran sungai, tanah kosong masih dapat ditemukan di lokasi Segmen 4.
Tanah kosong merupakan lahan yang tidak dikelola secara intensif oleh
masyarakat. Pada bantaran sungai Ciliwung di sepanjang Kelurahan Sempur tanah
kosong pada umumnya ditumbuhi oleh semak belukar atau tanaman bambu.
Sedangkan kebun dikelola oleh masyarakat di bantaran sungai yang pada
umumnya menanam tanaman jagung dan pisang.
5.3.4. Vegetasi di Bantaran Sungai
Vegetasi di sepanjang bantaran sungai dan dataran banjir terdapat
beberapa jenis vegetasi. Beberapa jenis vegetasi yang ada di bantaran dan daratan
banjir seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Jenis-jenis vegetasi pada bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
No. Jenis Suku Nama Lokal Kegunaan
1. Agathis damara Araucariaceae Damar TP & TK
2. Areca cathecu L. Arecaceae Pinang TB
3. Artocarpus heterophyllus Moraceae Nangka TB & TK
4. Calliandra calothyrsus Fabaceae Kaliandra TP
5. Casuarina sumatrana Casuarinaceae Cemara TP
6. Cocos nucifera Arecaceae Kelapa TB & TK
7. Erythryna fusca Fabaceae Dadap TP
8. Ficus benjamina Moraceae Beringin TP
9. Gigantochloa apus Poaceae Bambu tali
10. Hevea brassiliensis Euphorbiaceae Karet TG
11. Lagerstroemia flos-reginae Lythraceae Bungur TP
12. Mangifera caesia Anacardiaceae Kemang TB
13. Mangifera indica Anacardiaceae Mangga TB
14. Muntingia calabura Elaeocarpaceae Ceri TP
15. Nephelium lappaceum Sapindaceae Rambutan TB & TK
16. Pterocarpus indicus Fabaceae Angsana TP
17. Swietenia mahagoni Meliaceae Mahoni TB & TK
46
18. Tamarindus indica Fabaceae Asam Jawa TB
19. Tectona grandis Verbenaceae Jati TB
Keterangan :
TB : Tanaman Buah
TK : Tanaman Kayu
TP : Tanaman Peneduh
5.4. Analisis Hidraulika Sungai
Analisis hidraulika dilakukan untuk memperoleh seberapa besar debit
yang dapat ditampung oleh sungai sebelum terjadi banjir. Sebagai saluran terbuka,
maka sungai yang memiliki penampang alami diidealisasikan dengan bentuk
trapesium. Pengukuran lebar saluran dilakukan di empat titik pengamatan. Hasil
pengukuran lapangan menujukkan variasi karakteristik penampang sungai pada
daerah hulu, tengah dan daerah hilir sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Profil hidraulik Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
Lokasi Tipe
Bantaran
Lebar Sungai (meter) Kemiringan
(%)
Luas
Penampang
(m2)
Lebar
Dasar
Lebar
Atas
Segmen 1 Tipe C 29,4 35,8 2,9 14,50
Segmen 2 Tipe C 11,7 35,7 1,2 12,61
Segmen 3 Tipe B 20 27,8 0,9 36,16
Segmen 4 Tipe C 12 40,5 1,6 5.44
Tabel 5 menunjukkan bahwa lebar sungai pada lokasi Segmen 1 yang
berada pada daerah hulu lebih besar dibandingkan dengan lebar sungai pada lokasi
Segmen 2. Hal ini disebabkan karena pada daerah Segmen 1 nampak terjadi erosi
tebing yang tinggi sedang pada daerah Segmen 2 terjadi banyak tumpukan
sediman batuan sehingga lebar sungai menyempit. Pada daerah Segmen 4 terjadi
pengikisan akibat erosi tebing tanpa adanya tindakan perkuatan sehingga terjadi
pelebaran sungai.
47
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa lokasi Segmen 1 dan Segmen 2
memiliki luas penampang sungai yang relatif sama, sedangkan pada lokasi
Segmen 3 luas penampang mengalami peningkatan, dan di lokasi Segmen 4
memiliki luas penampang yang lebih rendah dibandingkan di lokasi lainnya.
Karakteristik hidraulika lain adalah kemiringan sungai. Dasar sungai dari
hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan tinggi (elevasi), dan pada jarak tertentu
atau keseluruhan sering disebut dengan istilah “gradien sungai” yang memberikan
gambaran berapa persen rataan kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir.
Besaran nilai gradien berpengaruh besar terhadap laju aliran air. Daerah dengan
kemiringan memanjang yang tinggi akan menyebabkan terjadinya kecepatan yang
tinggi dan memungkinkan terjadinya erosi tebing. Sedangkan pada daerah dengan
kemiringan kecil akan menyebabkan terjadinya sedimentasi. Dari Tabel 5
Sepanjang lokasi Segmen 2 menuju ke Segmen 3 memang tidak ditemukan
tumpukan sedimentasi. Kecepatan air di sepanjang lokasi ini terhitung cepat
sehingga di beberapa titik terdapat erosi dinding akibat tergerus air.
Kondisi hidraulika lain yang juga mempengaruhi kapasitas sungai adalah
kedalaman sungai. Hasil pengukuran di lapangan dapat dilihat pada Tabel 6
berikut yang menunjukkan bahwa kedalaman sungai bervariasi. Data tersebut juga
menunjukkan bahwa lokasi yang lebih di bawah yaitu di Segmen 2 dan Segmen 3
lebih dalam dibandingkan dengan kedalaman sungai di lokasi Segmen 1, dan pada
lokasi Segmen 4 sungai kembali mengalami pendangkalan.
Tabel 6. Kedalaman Sungai Ciliwung
No Titik
Pengamatan
Kedalaman (m)
Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3 Segmen 4
1 1 1.25 1.40 2,205 0.27
2 2 0.73 1.45 2.545 0.53
3 3 0.35 1.11 2.555 0.53
4 4 0.64 0.80 1.775 -
5 5 0.29 0.50 0.895 -
6 6 0.19 - - -
7 7 0.27 - - -
48
Kemiringan sungai akan berpengaruh terhadap kecepatan aliran.
Kecepatan aliran diseluruh penampang melintang sungai dalam satu sungai
tidaklah seragam. Semakin tidak teratur tampang saluran maka semakin tidak
seragam distribusi kecepatan alirannya. Sehingga kecepatan rata-rata yang
diperoleh dapat memiliki derajat penyimpangan besar dengan kecepatan real yang
ada. Besarnya kecepatan rata-rata secara kasar dapat ditentukan dengan mengukur
kecepatan di permukaan air. Pengukuran kecepatan aliran dalam penelitian ini
dilakukan menggunakan current meter. Hasil pengukuran kecepatan aliran pada
kedua penampang melintang sungai disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Kecepatan aliran sungai pada saat pengukuran
Bagian Kecepatan Air (V) m/det
Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3 Segmen 4
1 0,731 1,286 0,52 1,87
2 0,860 0,943 0,49 2,56
3 1,089 1,473 0,48 1,623
4 1,370 1,226 0,3 -
5 1,348 - 0,11 -
6 2,161 - - -
Berdasarkan tabel di atas, diketahui kecepatan aliran dan luas penampang
sungai pada kedua lokasi pengukuran tersebut, maka dengan menggunakan
hitungan hidraulis sungai dapat ditentukan debit pada masing-masing titik
pengamatan.
(5.1)
Dimana Q adalah debit air (m3/det), V adalah kecepatan aliran sungai (m/det) dan
A adalah luas penampang sungai (m2). Adapun hasil perhitungan dapat dilihat
pada Lampiran.
Berdasarkan nilai debit sungai yang telah diperoleh, dengan menggunakan
persamaan (5.1) dapat diperoleh kecepatan (Vm) yaitu sebagai berikut :
49
(5.2)
(5.3)
Tabel 8. Kecepatan aliran pada lokasi penelitian
No. Lokasi Luas Penampang
(m2)
Debit
(m3/det)
Kecepatan
Rata-rata
(m/det)
1 Segmen 1 14,50 15,61 1,08
2 Segmen 2 12,61 15,34 1,22
3 Segmen 3 36,16 15,97 0,42
4 Segmen 4 5,44 11,21 2,06
Adapun gambaran kondisi sungai Ciliwung yang melintas Kelurahan
Senpur seperti pada Gambar 20 – 23 sebagai berikut :
Gambar 20.Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 1
50
Gambar 21. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 2
Gambar 22. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 3
Gambar 23. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 4
Sedangkan Gambar 24 – 27 berikut merupakan penampang melintang
sungai yang menggambarkan kondisi sungai di masing- masing segmen.
51
Gambar 24. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 1
51
52
Gambar 25. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 2
52
53
Gambar 26. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 3
53
54
Gambar 27. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 4
54
55
5.5. Perhitungan Koefisien Kekasaran
Sungai sebagai saluran alamiah memiliki kondisi kekasaran dinding yang
tidak seragam, sedang variabel ini mempengaruhi kecepatan air di sungai. Nilai
koefisien kekasaran di sepanjang sungai bervariasi. Hal ini tergantung pada
beberapa faktor diantaranya ketidakteraturan sungai, perubahan tata guna lahan,
urbanisasi, erosi dan sedimentasi.
Sungai alamiah umumnya memiliki angka kekasaran dinding yang tinggi.
Jika dibandingkan dengan sungai yang telah diluruskan.Sungai alamiah memiliki
kemampuan mengalirkan debit lebih kecil pada tinggi muka air yang sama.
Pada penelitian ini, angka kekasaran dinding ditentukan dengan
menggunakan rumus Manning-Strickler (Maryono, 2005), yaitu sebagai berikut :
(5.4)
(5.5)
Dimana, n adalah koefisien kekasaran, V adalah kecepatan aliran (m/det), R
adalah jari-jari hidraulis (m) dan i adalah kemiringan saluran.
Berdasarkan persamaan 5.5, diperoleh koefisien kekasaran seperti pada Tabel 9
berikut.
Tabel 9. Nilai koefisien kekasaran pada kondisi tidak banjir
No Lokasi Koefisien Kekasaran (n)
1. Segmen 1 0,437
2. Segmen 2 0,173
3. Segmen 3 1,992
4. Segmen 4 0,096
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa tingkat kekasaran pada Sungai
Ciliwung yang melintas di Kelurahan Sempur berada diantara 0,096 hingga 1,992.
Pada kondisi tidak banjir di lokasi Segmen 3 memiliki koefisien kekasaran paling
tinggi yaitu 1,992. Hal ini memungkinkan bahwa di lokasi tersebut memiliki
56
hambatan yang lebih besar di bandingkan dengan lokasi lainnya. Sedangkan di
lokasi Segmen 4 memiliki koefisien paling kecil. Koefisien kekasaran yang besar
menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut memiliki hambatan yang besar.
Selanjutnya pada kejadian banjir, berdasarkan pengamatan bekas
genangan di lapangan dan hasil wawancara dengan masyarakat yang tinggal di
sekitar bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur bahwa kejadian banjir,
muka air banjir adalah 4,20 – 6,29 meter dan berdasarkan hasil data pengamatan
di stasiun Katulampa, pada kejadian banjir debit sungai adalah sebesar 740 m3/det.
Dengan data yang diperoleh maka dapat dibuat simulasi mengenai debit banjir
yang terjadi di lokasi penelitian. Simulasi dilakukan berdasarkan rumus Manning
dan Stickler (persamaan 5.5).
Nilai koefisien kekasaran yang digunakan dalam perhitungan ini adalah
nilai koefisien kekasaran eksisting pada saat pengukuran di lapangan dan nilai
koefisien kekasaran kumulatif berdasarkan referensi dari berbagai sumber.
Penentuan koefisien kekasaran kumulatif ini pada dasarnya tidak ada cara yang
tertentu. Pada tingkat pengetahuan saat ini, memilih suatu nilai koefisien
kekasaran berarti meperkirakan hambatan aliran pada saluran tertentu yang benar-
benar tidak dapat diperhitungkan sehingga memerlukan sedikit latihan penentuan
teknis serta pengalaman dan setiap orang akan memiliki hasil yang berbeda.
Adapun dalam penelitian ini nilai koefisien kekasaran kumulatif ditentukan
berdasarkan jenis kekasaran permukaan dengan ketinggian muka air yang berbeda
pada masing-masing segmen. Jika dalam satu segmen dengan ketinggian muka air
yang berbeda memiliki nilai koefisien kekasaran yang sama maka nilai koefisien
kekasaran kumulatif dapat lamgsung menggunakan nilai koefisien kekasaran yang
telah diketahui tersebut. Namun jika dalam suatu segmen dengan ketinggian muka
air yang berbeda memiliki nilai koefisien kekasaran yang berbeda-beda maka
penentuan nilai koefisien kekasaran kumulatif adalah nilai koefisien kekasaran
rata-rata yaitu dengan menjumlahkan seluruh nilai koefisien kekasaran pada
masing-masing ketinggian dibagi dengan jumlah bagian ketinggian. Selanjutnya
untuk mempermudah dalam penentuan nilai koefisien keksaran kumulatif yang
akan digunakan, Tabel 10 berikut menyajikan nilai koefisien kekasaran
berdasarkan jenis kekasaran permukaan.
57
Tabel 10. Nilai koefisien kekasaran berdasarkan jenis kekasaran permukaan
No Jenis kekasaran permukaan Nilai koefisien
kekasaran (n)
1 Bersih lurus, terisi penuh, tanpa rekahan atau
ceruk dalam 0,030
2 Seperti di atas, banyak batu-batu, tanaman
pengganggu 0,035
3 Bersih, berkelok-kelok, berceruk, bertebing 0,040
4 Seperti di atas, dengan tanaman pengganggu,
batu-batu 0,045
5 Seperti di atas, tidak terisi penuh, banyak
kemiringan dan penampang yang kurang efektif 0,048
6 Seperti nomor 4, berbatu lebih banyak 0,050
7 Tenang pada bagian lurus, tanaman pengganggu,
ceruk dalam 0,070
8 Banyak tanaman pengganggu, ceruk dalam atau
jalan air penuh kayu dan ranting 0,100
Sumber : Ven Te Chow (1985)
Berdasarkan nilai koefisien kekasaran pada tabel di atas, maka dibuat
perhitungan nilai koefisien kekasaran kumulatif yang didasarkan pada perbedaan
ketinggian muka air.
Tabel 11. Nilai koefisien kekasaran kumulatif
No Tinggi Muka
Air (cm)
Nilai koefisien kekasaran kumulatif
Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3 Segmen 4
1 0 – 100 0,269 0,173 1,992 0,066
2 100 – 200 0,100 0,173 1,992 0,035
3 200 – 300 0,079 0,109 1,800 0,035
4 300 – 400 0,035 0,050 0,070 0,035
5 400 – 500 0,032 0,041 0,049 0,035
6 500 – 600 0,030 0,030 0,030 0,030
58
Adapun hasil simulasi debit banjir pada masing-masing segmen dapat
dilihat pada tabel berikut dan selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 2.
Tabel 12. Simulasi debit banjir di Segmen 1
h (cm) A
(m2)
i R Q
(m3/det)
n
kumulatif
V
(m/det)
100 28,684 0,029 0,898 0,417 0,269 0,015
200 43,884 0,029 1,334 8,462 0,100 0,144
300 58,584 0,029 1,729 32,353 0,079 0,368
400 73,284 0,029 2,100 155,589 0,035 1,325
500 87,984 0,029 2,452 300,211 0,032 2,045
600 102,684 0,029 2,784 502,140 0,030 2,850
Tabel 13. Simulasi debit banjir di Segmen 2
h (cm) A
(m2)
i R Q
(m3/det)
n
kumulatif
V
(m/det)
100 9,170 0,012 0,63 0,042 0,173 0,005
200 18,352 0,012 1,26 0,337 0,173 0,018
300 30,032 0,012 1,68 1,555 0,109 0,052
400 41,712 0,012 1,93 6,215 0,050 0,149
500 172,710 0,012 6,31 605,555 0,041 1,942
600 344,500 0,012 10,43 2498,427 0,030 7,252
Tabel 14. Simulasi debit banjir di Segmen 3
h (cm) A
(m2)
i R Q
(m3/det)
n
kumulatif V (m/det)
100 14,464 0,009 0,63 0,004 1,992 < 0,001
200 28,928 0,009 1,26 0,034 1,992 0,001
300 47,368 0,009 1,51 2,314 1,800 0,049
400 68,096 0,009 2,04 6,073 0,070 0,089
500 105,803 0,009 2,99 47,294 0,049 0,536
600 164,295 0,009 4,40 159,038 0,030 0,968
59
Tabel 15. Simulasi debit banjir di Segmen 4
h (cm) A
(m2)
i R Q
(m3/det)
n eksisting V (m/det)
100 31,356 0,016 0,77 0,751 0,066 0,024
200 70,856 0,016 1,66 14,876 0,035 0,210
300 110,356 0,016 2,47 51,297 0,035 0,465
400 149,856 0,016 3,21 117,648 0,035 0,785
500 189,356 0,016 3,89 218,313 0,035 1,153
600 228,856 0,016 4,51 413,774 0,030 1,808
Dari Tabel 13 menunjukkan bahwa di lokasi Segmen 2 debit banjir terjadi
pada ketinggian di atas 500 cm dengan debit sebesar 781,156 m3/det dan
kecepatan 2,271 m/det (Lampiran 2). Pada Tabel 12, Tabel 14 dan Tabel 15
sampai pada 600 cm belum mencapai debit banjir. Hal ini dikarenakan pada
Segmen 1, Segmen 3 dan Segmen 4 terjadi pelebaran sungai dan kedalaman yang
lebih tinggi sehingga debit banjir banjir masih dapat tertampung.
Keempat tabel diatas juga menggambarkan bahwa semakin tinggi muka air
sungai maka nilai koefisien kekasaran nya semakin kecil. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin ke atas, permukaan sungai semakin halus atau tanpa hambatan.
Selain itu juga bahwa semakin tinggi muka air maka semakin besar kecepatan dan
debit air (Gambar 28). Sehingga bisa dikatakan bahwa pada saat sungai dalam
keadaan banjir, maka kecepatan air yang terjadi sangat besar.
60
(a)
(b)
Gambar 28. Hubungan antara tinggi muka air dengan debit sungai untuk lokasi
(a) Segmen 1, Segmen 3 dan Segmen 4; (b) Segmen 2
Selanjutnya dapat dibuat gambaran mengenai hubungan antara nilai
koefisien kekasaran dan debit sungai seperti terlihat pada Gambar 29 berikut.
61
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 29. Hubungan antara koefisien kekasaran eksisting dan debit sungai
untuk lokasi (a) Segmen 1; (b) Segmen 2; (c) Segmen 3 dan (d) Segmen 4
Untuk megurangi besaran kecepatan aliran dan debit pada saat sungai
dalam keadaan banjir maka pada lokasi Segmen 2 maka dapat dilakukan dengan
memperbesar nilai koefisien kekasaran. Dengan memperbesar nilai koefisien
kekasaran tersebut, maka kecepatan air pada saat banjir akan berkurang sehingga
air bisa lebih lama tertahan dan memungkinkan untuk berinfiltrasi ke dalam tanah,
sehingga bisa mengurangi debit banjir dan dapat mengurangi atau mencegah
kerusakan yang lebih besar (Tabel 16).
62
Tabel 16. Perubahan nilai koefisien kekasaran pada kondisi banjir di Segmen 2
h
(cm)
A
(m2)
i R Q
(m3/det)
n
kumulatif
V
(m/det)
n
design
V
design
(m/det)
Q
design
(m3/det)
100 9,170 0,012 0,63 0,042 0,173 0,005 - - -
200 18,352 0,012 1,26 0,337 0,173 0,018 - - -
300 30,032 0,012 1,68 1,555 0,109 0,052 - - -
400 41,712 0,012 1,93 6,215 0,050 0,149 - - -
500 172,710 0,012 6,31 605,555 0,041 1,942 - - -
600 344,500 0,012 10,43 2498,427 0,030 7,252 0,120 1,813 624,607
Pada Tabel 16, banjir terjadi pada ketinggian diatas 500 cm. Pada
ketinggian muka air 600 cm, debit air banjir mencapai 2498,427 m3/det dengan
kecepatan 7,252 m/det dan nilai koefisien kekasaran 0,030. Untuk dapat
mengurangi kecepatan air dan debit air maka nilai koefisien kekasaran harus
diperbesar. Nilai koefisien kekasaran yang baru diperbesar menjadi 0,120
sehingga kecepatan aliran berkurang menjadi 1,831 m/det dan debit banjir
berkurang menjadi 624,607 m3/det. Nilai koefisien kekasaran tersebut dapat
diperbesar dengan memperbesar hambatan yang ada di sungai yaitu dengan
menambahkan tanaman
5.6. Desain Pengelolaan Sungai Berbasis Konsep Ekohidraulika
Kondisi Sungai Ciliwung menuntut adanya tindakan pengelolaan. Konsep
pengelolaan sungai secara ekohidraulik dapat dilakukan dengan melakukan
pengaturan tataguna lahan di bantaran sungai yang dapat memperkecil kecepatan
air.Selanjutnya berdasarkan hasil analisis hidraulika maka dibuat desain
pengelolaan sungai pada setiap lokasi. Desain pengelolaan sungai dengan konsep
ekohidraulik adalah mendesain vegetasi tanaman pada bantaran sungai dan area
dataran banjir, dan menjadikannya sebagai areal banjir. Adapun pengaruh vegetasi
pada bantaran dan dataran banjir sungai tergantung pada tingkat kekasarannya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin besar diameter pohon,
maka kekasaran daerah bantaran semakin tinggi pula. Akibatnya kecepatan air
63
juga dapat direduksi. Hal ini sesuai dengan uraian Maryono (2005) bahwa pada
sungai alamiah berbentuk mendekati trapesium, dimana bagian bantarannya
bervegetasi lebat, akan terjadi interaksi yang lebar dan proses kehilangan energi
akibat gesekan kecepatan dari antar tampang. Aliran yang relatif cepat pada
sungai utama mendesak ke daerah bantaran dan keluar lagi dengan kecepatan
yang lebih rendah. Adanya daerah interaksi ini maka akan terjadi reduksi
kecepatan secara keseluruhan.
Tingkat kekasaran daerah bantaran dipengaruhi oleh diameter vegetasi,
jarak tanaman dan lebar bantaran sungai. Pada penelitian ini, pelebaran bantaran
sungai akan sangat sulit dilakukan karena sepanjang kanan kiri sungai sudah
merupakan kawasan permukiman padat penduduk. Oleh karena itu, desain
pengelolaan sungai berbasis ekohidraulika, dilakukan dengan menafaatkan area
dataran banjir (floodplain) dengan semaksimal mungkin.
Salah satu hal yang dapat dilakukan di lokasi penelitian ini, dengan
kondisi yang sama (luas penampang dan debit banjir yang sama) tetapi dapat
menahan air selama mungkin di hulu sehingga bisa terserap atau infiltrasi ke
dalam tanah maka harus menurunkan kecepatan air. Hal ini dapat dilakukan
dengan memperbesar koefisien kekasaran yang telah ada dengan cara
menambahkan hambatan pada tebing sungai maupun pada bantaran sungai
terutama pada lokasi Segmen 1 dan Segmen 2.
Desain pengelolaan sungai yang dibuat dengan menambahkan vegetasi
pada area dataran banjir untuk menurunkan kecepatan aliran pada saat banjir.
Sebagai bahan pertimbangan dalam hal biaya dan adaptasi cepat dan sukses dari
lingkungan lokal, disarankan menggunakan vegetasi yang saat ini dilokasi.
64
LEGENDA
Gambar 30. Desain pengelolaan sungai
dengan konsep ekohidraulika pada
bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan
Sempur
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
64
65
Gambar 31. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 1
65
Penambahan tanaman di
area dataran banjir
Penambahan tanaman di
bantaran sungai Badan sungai
66
Gambar 32. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 2
66 62
Penambahan tanaman di
bantaran sungai
Penambahan tanaman di
area dataran banjir
Badan sungai
Penambahan balok-balok
kayu untuk mengurangi
kecepatan aliran air
67
Gambar 43. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 3
Penambahan tanaman di
bantaran sungai
Penambahan tanaman di
area dataran banjir
Badan sungai
67
68
Gambar 34. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 4
68
Penambahan tanaman di
bantaran sungai Penambahan tanaman di
area dataran banjir Badan sungai
Pemasangan batu-batu
besar untuk mengurangi
kecepatan aliran air
69
Gambar 35.Contoh desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika
69
70
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat dibuat
beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1. Bantaran atau sempadan Sungai Ciliwung di sepanjang Kelurahan Sempur
telah mengalami kerusakan. Hal ini ditandai dengan kondisi sempadan atau
bantaran sungai yang telah mengalami perubahan. Pada sisi sebelah kiri sungai
sudah tidak memiliki sempadan sungai. Hal ini melanggar Peraturan Daerah
Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung,
dimana di lokasi tersebut seharusnya memiliki sempadan atau bantaran sungai
sekurang-kurangnya 15 meter dihitung dari tepi sungai. Dan untuk sungai
dengan kedalaman lebih dari 3 meter maka seharusnya memiliki senpadan atau
bantaran sungai sekurang-kurangnya 20 meter. Kerusakan bantaran Sungai
Ciliwung juga terlihat dari kondisitebing Sungai Ciliwung yang melintas di
Kelurahan Sempur juga telah mengalami kejadian erosi. Erosi tebing sungai
mencapai 84% di sisi kanan sungai dan mencapai 45% di sisi kiri sungai.
Sedangkan berdasarkan tata guna lahan, bantaran sungai Ciliwung di
Kelurahan Sempur sebagian besar lahan digunakan untuk pemukiman. Pada
sisi kanan sungai, lahan pemukiman sebesar 82%, sedang pada sisi kiri lahan
pemukiman sebanyak 91%.
2. Tingkat kekasaran daerah bantaran dipengaruhi oleh diameter vegetasi, jarak
tanaman dan lebar bantaran sungai. Pada penelitian ini, pelebaran bantaran
sungai akan sangat sulit dilakukan karena sepanjang kanan kiri sungai sudah
merupakan kawasan permukiman padat penduduk. Oleh karena itu, desain
pengelolaan sungai berbasis ekohidraulika, dilakukan dengan memanfaatkan
area dataran banjir (floodplain) dengan semaksimal mungkin. Salah satu hal
yang dapat dilakukan di lokasi penelitian ini, dengan kondisi yang sama (luas
penampang dan debit banjir yang sama) tetapi dapat menahan air selama
mungkin di hulu sehingga bisa terserap atau infiltrasi ke dalam tanah maka
harus menurunkan kecepatan air. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbesar
71
koefisien kekasaran yang telah ada dengan cara menambahkan hambatan pada
tebing sungai maupun pada bantaran sungai. Desain pengelolaan sungai
dengan konsep ekohidraulika menggunakan area dataran banjir dengan
optimal. Hal ini dilakukan karena di sepanjang kanan kiri sungai Ciliwung
yang melintas Kelurahan Sempur, tidak memiliki bantaran sungai. Desain
pengelolaan sungai ini dilakukan dengan menambahkan vegetasi di area
dataran banjir.
6.2. Saran
Sesuai dengan konsep integralistik antara ekologi dan hidraulik dimana
terdapat empat faktor yang harus diperhatikan yaitu fisik hidraulika, kimia,
biologi dan sosial, maka dalam penelitian ini hanya memasukkan satu faktor saja
yaitu fisik hidraulika. Selain itu, hasil dari penelitian hanya sampai pada seberapa
besar nilai koefisien kekasaran yang dapat dibuat untuk mengurangi kecepatan
sungai pada keadaan banjir, sehingga air dapat tertahan lebih lama dan debit air
terkurangi untuk mencegah kerusakan yang lebih besar.
Untuk lebih menyempurnakannya perlu ada penelitian lanjutan yang
mengintegrasikan seluruh faktor yang ada dan penelitian lanjutan sehingga dapat
diketahui berapa banyak tanaman dan seberapa rapat jarak tanam yang diperlukan
untuk memperbesar nilai koefisien kekasaran bahkan sampai kepada jenis
tanaman yang digunakan.
72
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
Asdak. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Asdak, Chay. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Cetakan
ke-4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Backer, C.A. 1907. Flora van Batavia. Mededeelingen uitgaande van het
Departement van Landbouw No.4 Dicotyledones Diapetalae (Thalamiflorae
en Disciflorae). G. Kolff & Co., Batavia.
Backer, C.A. & R.C. Bakhuizen van den Brink. 1968. Flora of Java
(Spermatophytes only). Vol. III. Angiospermae, Families 191-238 Addenda
et corrigenda, General index to volume I-III. Wolters-Noordhoff N.V.,
Groningen.
Bailey, P.B. 1995. Understanding Large River-Floodplain Ecosystems:
Significant Economic Advantages and Increased Biodiversity and Stability
would Result from Restoration an Impaired Systems. BioScience. 45
(3):153-167.
Balcom, B.J. & R.H. Yahner. 1996. Microhabitat and landscape characteristics
associated with the threatened allegheny woodrat. Conservation Biology
10(2): 515-525.
Binkley, D.,H. Burnham & H.L.Allen. 1999. Water Quality Impacts of Forest
Fertilization with Nitrogen and Phosphorous. 121:191-213.
Briggs, M.K. 1996. Riparian ecosystem recovery in arid lands: Strategies and
references. The University of Arizona Press, Tucson.
Chow, V. T. 1959. Open Channel Hydraulics. McGraw-Hill Book Company.
Departemen Pekerjaan Umum RI. 1993. Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993
tentang garis sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan
sungai dan bekas sungai. Departemen PU. Jakarta.
Dong, Z. 2009. Ecological Compensation for Dammed Rivers.
http.www.hydro_dong_englishppt. (diakses: 5 Desember 2009).
Goeltenboth, F. 1996. Environmental destruction and overpopulation as triggers
of migration the example of Indonesia. Applied Geography and
Development 47: 7-15.
Grime, J.P. 1979. Plant strategies and vegetation processes. John Wiley & Sons,
Chichester.
Heinrich, D., Hergt, M., 1998: dtv-Atlas Okologie (Atlas Ekologi), Deutscher
Taschenbuch Verlag, Munchen.
73
Helmiö T. 2004. Flow resistance due to lateral momentum transfer in partially
vegetated rivers. Water Resources Research, VOL. 40, XXXXXX,
doi:10.1029/2004WR003058.
Huang JC, WJ Mitsch, and Li Zhang. 2009. Ecological restoration design of a
stream on a college campus in Central Ohio. Ecological engineering 3 5:
329–340.
Irianto, 2006. Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air, Agro Inovasi, Jakarta.
Jaji Abdurrosyid dan Kirno, 2002. Banjir Bandang, Penyebab dan Solusinya di
Situbondo Jawa Timur. Jurnal Teknik Gelagar, Fakultas Teknik Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Vol.13 No.03 Desember 2002, Surakarta.
Järvelä J. 2003. Influence of vegetation on flow structure in floodplains and
wetlands. In: Sánchez-Arcilla, A. And Bateman, A. (eds.). RCEM 2003.
IAHR, Madrid. P. 845–856.ISBN 9080564966.
Järvelä J. 2004. Determination of flow resistance caused by non-submerged
woody vegetation. Intl. J. River Basin Management Vol. 2, No. 1 (2004),
pp. 61-70.
Johnson, B.L., W.B.Richardson & T.J.Naimo. 1995. Past, Present, and Future
Concepts in Large River Ecology: How Rivers Function and How Human
Activities Influence River Processes. BioScience. 45 (3): 134-141.
Jones, E.B.D., G.S.Helfman, J.O.Harper & P.V.Bolstad. 1999. Effects of Riparian
Forest Removal on Fish Assemblages in Southern Appalachian Streams.
Conservation Biology. 13 (6):1454-1465.
Kodoatie, Robert J. dan Sugiyanto, 2002. Banjir, Beberapa penyebab dan metode
pengendaliannya dalam perspektif Lingkungan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Loomis, J., P.Kent, L.Strange, K.Fausch & A.Covich. 2000. Measuring The Total
Economic Value of Restoring Ecosystem Services in an Impaired River
Basin: Results from Contingent Valuation Survey. Ecological Economics.
33:103-117.
Luthfi, 2007. Metode Inventaris Sumber Daya Lahan, Andi OffSet. Yogyakarta.
Maryono, A., 2000 : Pembangunan Sungai, Dampak dan Restorasi Sungai (Studi
Kasus di Jerman), Makalah pada Workshop Perencanaan dan
Pengendalian Banjir, BAPPEDA Provinsi DIY, 12 – 13 September 2000,
Yogyakarta.
Maryono, Agus. 2002a. Eko-Hidraulik Pembangunan Sungai (Ecological
Hydraulics of River Development): Menanggulangi banjir dan kerusakan
lingkungan wilayah sungai. Program Magister Sistem Teknik, Fakultas
Teknik UGM, Indonesia.
Maryono, Agus. 2002b. Banjir yang Berlangsung Terus-Menerus di Indonesia.
Artikel pada Harian Kompas, dimuat tanggal 20 Januari 2002. Jakarta,
Indonesia.
74
Maryono, A., 2005 : Eko Hidraulik Pembangunan Sungai: Menanggulangi Banjir
Dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Sungai (edisi 2), Program Magister
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Maryono A., 2007 : Restorasi Sungai, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Mathuwatta, Lal, dan Chemin, Yan, 2002, Vegetation Growth Zonation of Sri
Lanka for Improved Water Resources Planning, Agricultural Water
Management. www.elsevier.com.
Mulatsih US dan Kirno. 2007. Penelitian jenis tanaman bio-engineering yang
efektif sebagai pelindung tebing sungai. PIT HATHI XXIV. Makasar, 31
Agustus – 2 September, 2007.
Mulyanto, 2007. Sungai, Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Murtilaksono, Kukuh, 2009, Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan di Daerah Alirab Sungai, Makalah dibawakan pada Lokakarya
RPJMN 2010 – 2014, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI.
Newson, D. Malcom, 2002, Geomorphological Concepts and Tools For
Sustainable River Ecosystem Management. Aquatic Conservation. Marine
and Freshwater Ecosystem Wiley Interscience
(www.interscience.wiley.com).
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 26 Tahun 2006 tentang Penglolaan
Kawasan Lindung.
Quinby, P.A., S. Willot & T. Lee. 2000. Determining the average width of the
riparian zone in theCassels-Rabbit lakes area of Temagami, Ontario using
Understory Indicator Species. Ancient Forest Exploration & Research,
Toronto.
Salinas, M.J., G.Blanca & A.T.Romero. 2000. Environmental Conservation. 27
(1): 24-35.
Seta, AK. 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia, Jakarta.
Sparks, R.E.1995. Need for Ecosystem Management of Large Rivers and Their
Floodplans: These Phenomenally Productive Ecosystems Produce Fish and
Wildlife and Preserve Species. BioScience. 45 (3):168-182.
Stromberg JC. 2001. Restoration of riparian vegetation in the south-western
United States: importance of flow regimes and fluvial dynamism. Journal of
Arid Environments (49): 17-34. doi:10.1006/jare.2001.0833, available
online at http://www.idealibrary.com
Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi Offset.
Swol, J.H. 1986. Restoration of riparian wetlands along channelized river: Oxbow
Lakes and theMiddle Missouri. Dalam: Berger, J.J. (ed.). Environmental
restoration: Science andstrategies for restoring the earth. Island Press,
Washington D.C.: 294-305.
75
Swol, J.H. 1990. Restoration of riparian wetlands along channelized river: Oxbow
Lakes and the Middle Missouri. Dalam: Berger, J.J. (ed.). 1990.
Environmental restoration: Science and strategies for restoring the earth.
Island Press, Washington D.C.: 294-305.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber daya Air.
Walker, B., Carpenter, S., Anderies, J., Abel, N., Cumming, G., Janssen, M.,
Lebel, L., Norberg, J., Peterson, G.D., Pritchard, R., 2002. Resilience
management in social-ecological systems: a working hypothesis for a
participatory approach. Conserv. Ecol.6, 14.
76
Lampiran 1. Debit sungai pada lokasi penelitian
No Lokasi LuasPenampang
A (m2)
Kecepatan
V (m/dtk)
Q
(m3/dtk)
1 Segmen 1
4,85 0,73 3,55
2,65 0,86 2,27
2,43 1,09 2,64
2,28 1,37 3,12
1,18 1,35 1,58
1,13 2,16 2,43
Total 14,50
15,60
2 Segmen 2
4,17 1,29 5,36
3,74 0,94 3,53
2,79 1,47 4,11
1,90 1,23 2,33
Total 12,61
15,34
3 Segmen 3
9,50 0,52 4,940
10,20 0,49 4,998
8,66 0,48 4,157
5,34 0,3 1,602
2,46 0,11 0,271
Total 36,16 15,967
4 Segmen 4
1,60 1,87 2,992
2,12 2,56 5,427
1,72 1,623 2,792
Total 5,44 11,211
77
Lampiran 2. Simulasi debit banjir di Segmen 1
h A i R Q n kumulatif V
10 2,901 0,029 1,970 0,125 0,269 0,043
20 5,617 0,029 3,940 0,964 0,269 0,172
30 8,703 0,029 5,910 3,362 0,269 0,386
40 11,804 0,029 7,880 8,107 0,269 0,687
50 14,504 0,029 9,860 15,596 0,269 1,075
60 17,805 0,029 2,350 1,358 0,269 0,076
70 20,176 0,029 1,480 0,610 0,269 0,030
80 23,012 0,029 1,170 0,435 0,269 0,019
90 25,848 0,029 1,000 0,357 0,269 0,014
100 28,684 0,029 0,898 0,320 0,269 0,011
110 31,524 0,029 0,981 0,419 0,100 0,013
120 34,764 0,029 1,076 0,556 0,100 0,016
130 37,804 0,029 1,163 0,706 0,100 0,019
140 40,644 0,029 1,243 0,867 0,100 0,021
150 43,884 0,029 1,334 1,079 0,100 0,025
160 46,824 0,029 1,414 1,293 0,100 0,028
170 49,764 0,029 1,494 1,535 0,100 0,031
180 52,704 0,029 1,574 1,804 0,100 0,034
190 55,644 0,029 1,654 2,103 0,100 0,038
200 58,584 0,029 1,729 2,418 0,100 0,041
210 61,524 0,029 1,803 2,761 0,079 0,045
220 64,464 0,029 1,877 3,135 0,079 0,049
230 67,404 0,029 1,951 3,542 0,079 0,053
240 70,344 0,029 2,025 3,982 0,079 0,057
250 73,284 0,029 2,100 31,256 0,079 0,427
260 76,224 0,029 2,170 34,713 0,079 0,455
270 79,164 0,029 2,240 38,414 0,079 0,485
280 82,104 0,029 2,310 42,369 0,079 0,516
290 85,044 0,029 2,380 46,586 0,079 0,548
300 87,984 0,029 2,452 36,512 0,079 0,415
78
Lampiran 2. Lanjutan
310 90,924 0,029 2,516 39,742 0,035 0,437
320 93,864 0,029 2,582 43,208 0,035 0,460
330 96,804 0,029 2,648 46,868 0,035 0,484
340 99,744 0,029 2,714 50,729 0,035 0,509
350 102,684 0,029 2,784 54,937 0,035 0,535
360 105,624 0,029 2,848 59,138 0,035 0,560
370 108,564 0,029 2,912 63,547 0,035 0,585
380 111,504 0,029 2,976 68,169 0,035 0,611
390 114,444 0,029 3,040 73,009 0,035 0,638
400 117,384 0,029 3,098 77,795 0,035 0,663
410 120,324 0,029 3,160 82,961 0,032 0,689
420 123,264 0,029 3,220 88,246 0,032 0,716
430 126,204 0,029 3,280 93,750 0,032 0,743
440 129,144 0,029 3,340 99,475 0,032 0,770
450 132,084 0,029 3,396 210,415 0,032 1,593
460 135,024 0,029 3,456 222,709 0,032 1,649
470 137,964 0,029 3,512 234,992 0,032 1,703
480 140,904 0,029 3,568 247,715 0,032 1,758
490 143,844 0,029 3,624 260,884 0,032 1,814
500 146,784 0,029 3,680 384,270 0,032 2,618
510 149,724 0,029 3,734 403,596 0,030 2,696
520 152,664 0,029 3,788 423,510 0,030 2,774
530 155,604 0,029 3,842 444,061 0,030 2,854
540 158,544 0,029 3,896 465,259 0,030 2,935
550 161,484 0,029 3,949 486,948 0,030 3,015
560 164,424 0,029 4,002 509,127 0,030 3,096
570 167,364 0,029 4,054 531,785 0,030 3,177
580 170,304 0,029 4,106 555,098 0,030 3,259
590 173,244 0,029 4,158 579,074 0,030 3,343
600 176,184 0,029 4,206 753,210 0,030 4,275
79
Lampiran 3. Simulasi debit banjir di Segmen 2
h A i R Q n kumulatif V
10 0,917 0,012 0,06 0,000042 0,173 0,000046
20 1,834 0,012 0,13 0,000337 0,173 0,000184
30 2,751 0,012 0,19 0,001136 0,173 0,000413
40 3,668 0,012 0,25 0,002693 0,173 0,000734
50 4,585 0,012 0,32 0,005259 0,173 0,001147
60 5,502 0,012 0,38 0,009088 0,173 0,001652
70 6,419 0,012 0,44 0,014432 0,173 0,002248
80 7,336 0,012 0,50 0,021543 0,173 0,002937
90 8,253 0,012 0,57 0,030673 0,173 0,003717
100 9,170 0,012 0,63 0,042076 0,173 0,004588
110 10,087 0,012 0,69 0,056003 0,173 0,005552
120 11,004 0,012 0,76 0,072707 0,173 0,006607
130 11,921 0,012 0,82 0,092441 0,173 0,007754
140 12,838 0,012 0,88 0,115457 0,173 0,008993
150 13,755 0,012 0,95 0,142 0,173 0,010
160 14,672 0,012 1,01 0,172 0,173 0,012
170 15,589 0,012 1,07 0,207 0,173 0,013
180 16,506 0,012 1,13 0,245 0,173 0,015
190 17,423 0,012 1,20 0,289 0,173 0,017
200 18,352 0,012 1,26 0,337 0,173 0,018
210 19,520 0,012 1,30 0,380 0,109 0,019
220 20,688 0,012 1,34 0,427 0,109 0,021
230 21,856 0,012 1,37 0,477 0,109 0,022
240 23,024 0,012 1,41 0,531 0,109 0,023
250 24,192 0,012 1,45 2,035 0,109 0,084
260 25,360 0,012 1,50 2,270 0,109 0,090
270 26,528 0,012 1,54 2,523 0,109 0,095
280 27,696 0,012 1,59 2,794 0,109 0,101
290 28,864 0,012 1,63 3,083 0,109 0,107
300 30,032 0,012 1,68 2,422 0,109 0,081
80
Lampiran 3. Lanjutan
310 31,200 0,012 1,71 2,607 0,050 0,084
320 32,368 0,012 1,74 2,800 0,050 0,087
330 33,536 0,012 1,77 3,002 0,050 0,090
340 34,704 0,012 1,80 3,213 0,050 0,093
350 35,872 0,012 1,83 3,432 0,050 0,096
360 37,040 0,012 1,85 3,622 0,050 0,098
370 38,208 0,012 1,87 3,817 0,050 0,100
380 39,376 0,012 1,89 4,019 0,050 0,102
390 40,544 0,012 1,91 4,226 0,050 0,104
400 41,712 0,012 1,93 4,439 0,050 0,106
410 48,032 0,012 2,18 6,546 0,041 0,136
420 54,352 0,012 2,44 9,230 0,041 0,170
430 60,672 0,012 2,69 12,562 0,041 0,207
440 66,992 0,012 2,95 16,612 0,041 0,248
450 73,315 0,012 3,20 42,900 0,041 0,585
460 93,191 0,012 3,82 77,789 0,041 0,835
470 113,070 0,012 4,44 127,602 0,041 1,129
480 132,949 0,012 5,07 194,974 0,041 1,467
490 152,828 0,012 5,69 282,543 0,041 1,849
500 172,710 0,012 6,31 550,131 0,041 3,185
510 190,786 0,012 6,90 726,666 0,030 3,809
520 208,865 0,012 7,49 937,388 0,030 4,488
530 226,944 0,012 8,08 1185,309 0,030 5,223
540 245,023 0,012 8,67 1473,449 0,030 6,014
550 263,105 0,012 9,26 1804,850 0,030 6,860
560 279,381 0,012 9,49 2014,584 0,030 7,211
570 295,660 0,012 9,73 2238,359 0,030 7,571
580 311,939 0,012 9,96 2476,582 0,030 7,939
590 328,218 0,012 10,20 2729,682 0,030 8,317
600 344,500 0,012 10,43 3747,640 0,030 10,878
81
Lampiran 4. Simulasi debit banjir di Segmen 3
h A i R Q n kumulatif V
10 1,446 0,009 0,06 0,0000043 1,992 0,000003
20 2,893 0,009 0,13 0,00003 1,992 0,00001
30 4,339 0,009 0,19 0,00012 1,992 0,00003
40 5,786 0,009 0,25 0,00027 1,992 0,00005
50 7,232 0,009 0,31 0,00054 1,992 0,00007
60 8,678 0,009 0,38 0,00093 1,992 0,00011
70 10,125 0,009 0,44 0,00147 1,992 0,00015
80 11,571 0,009 0,50 0,00220 1,992 0,00019
90 13,018 0,009 0,57 0,00313 1,992 0,00024
100 14,464 0,009 0,63 0,00430 1,992 0,00030
110 15,910 0,009 0,69 0,00572 1,992 0,00036
120 17,357 0,009 0,75 0,00742 1,992 0,00043
130 18,803 0,009 0,82 0,00944 1,992 0,00050
140 20,250 0,009 0,88 0,01179 1,992 0,00058
150 21,696 0,009 0,94 0,01450 1,992 0,00067
160 23,142 0,009 1,00 0,01759 1,992 0,00076
170 24,589 0,009 1,07 0,02110 1,992 0,00086
180 26,035 0,009 1,13 0,02505 1,992 0,00096
190 27,482 0,009 1,19 0,02946 1,992 0,00107
200 28,928 0,009 1,26 0,03436 1,992 0,00119
210 30,374 0,009 1,32 0,03978 1,800 0,00131
220 31,821 0,009 1,38 0,04574 1,800 0,00144
230 33,267 0,009 1,44 0,05226 1,800 0,00157
240 34,714 0,009 1,51 0,05938 1,800 0,00171
250 36,160 0,009 1,57 0,067 1,800 0,002
260 38,402 0,009 1,58 0,072 1,800 0,002
270 40,643 0,009 1,59 0,078 1,800 0,002
280 42,884 0,009 1,61 0,083 1,800 0,002
290 45,125 0,009 1,62 0,089 1,800 0,002
300 47,368 0,009 1,51 2,314 1,800 0,049
82
Lampiran 4. Lanjutan
310 49,366 0,009 1,56 2,581 0,070 0,052
320 51,366 0,009 1,61 2,867 0,070 0,056
330 53,366 0,009 1,67 3,174 0,070 0,059
340 55,366 0,009 1,72 3,502 0,070 0,063
350 57,368 0,009 1,77 3,851 0,070 0,067
360 59,512 0,009 1,82 4,243 0,070 0,071
370 61,658 0,009 1,88 4,660 0,070 0,076
380 63,804 0,009 1,93 5,103 0,070 0,080
390 65,950 0,009 1,99 5,574 0,070 0,085
400 68,096 0,009 2,04 6,073 0,070 0,089
410 71,408 0,009 2,12 6,903 0,049 0,097
420 74,720 0,009 2,21 7,806 0,049 0,104
430 78,032 0,009 2,29 8,784 0,049 0,113
440 81,344 0,009 2,38 9,840 0,049 0,121
450 84,657 0,009 2,46 21,956 0,049 0,259
460 88,885 0,009 2,57 25,082 0,049 0,282
470 93,114 0,009 2,67 28,491 0,049 0,306
480 97,343 0,009 2,78 32,195 0,049 0,331
490 101,572 0,009 2,88 36,207 0,049 0,356
500 105,803 0,009 2,99 56,753 0,049 0,536
510 111,670 0,009 3,14 65,893 0,030 0,590
520 117,539 0,009 3,28 75,964 0,030 0,646
530 123,408 0,009 3,43 87,011 0,030 0,705
540 129,277 0,009 3,57 99,079 0,030 0,766
550 135,149 0,009 3,72 112,215 0,030 0,830
560 140,975 0,009 3,86 125,767 0,030 0,892
570 146,804 0,009 3,99 140,369 0,030 0,956
580 152,633 0,009 4,13 156,055 0,030 1,022
590 158,462 0,009 4,26 172,866 0,030 1,091
600 164,295 0,009 4,40 238,556 0,030 1,452
83
Lampiran 5. Simulasi debit banjir di Segmen 4
h A i R Q n kumulatif V
10 1,079 0,016 0,09 0,00024 0,066 0,00023
20 2,158 0,016 0,18 0,002 0,066 0,001
30 3,237 0,016 0,27 0,007 0,066 0,002
40 4,317 0,016 0,36 0,016 0,066 0,004
50 5,396 0,016 0,45 0,030 0,066 0,006
60 10,588 0,016 0,51 0,213 0,066 0,020
70 15,780 0,016 0,58 0,402 0,066 0,025
80 20,972 0,016 0,64 0,659 0,066 0,031
90 26,164 0,016 0,71 0,994 0,066 0,038
100 31,356 0,016 0,77 1,416 0,066 0,045
110 35,306 0,016 0,86 1,999 0,035 0,057
120 39,256 0,016 0,95 2,722 0,035 0,069
130 43,206 0,016 1,05 3,602 0,035 0,083
140 47,156 0,016 1,14 4,653 0,035 0,099
150 51,106 0,016 1,23 5,891 0,035 0,115
160 55,056 0,016 1,32 7,265 0,035 0,132
170 59,006 0,016 1,40 8,837 0,035 0,150
180 62,956 0,016 1,49 10,620 0,035 0,169
190 66,906 0,016 1,57 12,629 0,035 0,189
200 70,856 0,016 1,66 14,876 0,035 0,210
210 74,806 0,016 1,74 17,296 0,035 0,231
220 78,756 0,016 1,82 19,963 0,035 0,253
230 82,706 0,016 1,91 22,892 0,035 0,277
240 86,656 0,016 1,99 26,093 0,035 0,301
250 90,606 0,016 2,07 20,706 0,035 0,229
260 94,556 0,016 2,15 23,311 0,035 0,247
270 98,506 0,016 2,23 26,126 0,035 0,265
280 102,456 0,016 2,31 29,158 0,035 0,285
290 106,406 0,016 2,39 32,416 0,035 0,305
300 110,356 0,016 2,47 25,648 0,035 0,232
84
Lampiran 5. Lanjutan
310 114,306 0,016 2,55 28,226 0,035 0,247
320 118,256 0,016 2,62 30,971 0,035 0,262
330 122,206 0,016 2,70 33,888 0,035 0,277
340 126,156 0,016 2,77 36,982 0,035 0,293
350 130,106 0,016 2,85 40,259 0,035 0,309
360 134,056 0,016 2,92 43,603 0,035 0,325
370 138,006 0,016 2,99 47,127 0,035 0,341
380 141,956 0,016 3,07 50,836 0,035 0,358
390 145,906 0,016 3,14 54,733 0,035 0,375
400 149,856 0,016 3,21 58,824 0,035 0,393
410 153,806 0,016 3,28 63,036 0,035 0,410
420 157,756 0,016 3,35 67,444 0,035 0,428
430 161,706 0,016 3,42 72,052 0,035 0,446
440 165,656 0,016 3,49 76,865 0,035 0,464
450 169,606 0,016 3,56 163,773 0,035 0,966
460 173,556 0,016 3,63 173,858 0,035 1,002P
470 177,506 0,016 3,69 184,347 0,035 1,039
480 181,456 0,016 3,76 195,248 0,035 1,076
490 185,406 0,016 3,82 206,567 0,035 1,114
500 189,356 0,016 3,89 305,638 0,035 1,614
510 193,306 0,016 3,95 322,365 0,030 1,668
520 197,256 0,016 4,02 339,687 0,030 1,722
530 201,206 0,016 4,08 357,615 0,030 1,777
540 205,156 0,016 4,15 376,159 0,030 1,834
550 209,106 0,016 4,21 395,330 0,030 1,891
600 228,856 0,016 4,51 620,661 0,030 2,712