Miskonsepsi Kartika Bab 2

17
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Miskonsepsi Berg mengatakan bahwa setiap individu memiliki interpretasi berbeda terhadap sebuah konsep. Interpretasi itu merupakan sebuah konsepsi, dan konsepsi tersebut dapat sesuai dengan pendapat para ahli sains, namun dapat juga bertentangan. Jika konsepsi siswa tersebut melatarbelakangi siswa dalam memahami suatu konsep, maka konsep siswa tersebut disebut miskonsepsi (Ma’rifah,2012). Miskonsepsi (salah konsep) adalah konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para pakar dalam bidang itu. Osborne memberi beberapa nama, yaitu ada yang menyebutnya “children’s science”, “misconception”, “alternative framework”, “alternative conception”, atau “children’s idea”, namun istilah miskonsepsi seringkali lebih banyak mewakili semua istilah tersebut. Dalam pengertian lain miskonsepsi adalah kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima umum dan memang sudah terbukti sahih tentang sesuatu. Berikut merupakan definisi miskonsepsi menurut beberapa tokoh: 1) Saleem Hasan Miskonsepsi sebagai struktur kognitif (pemahaman) yang berbeda dari pemahaman yang telah ada dan diterima di lapangan, dan struktur kognitif ini

description

Miskonsepsi pertumbuhan dan perkembangan

Transcript of Miskonsepsi Kartika Bab 2

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Miskonsepsi

Berg mengatakan bahwa setiap individu memiliki interpretasi berbeda terhadap

sebuah konsep. Interpretasi itu merupakan sebuah konsepsi, dan konsepsi tersebut dapat

sesuai dengan pendapat para ahli sains, namun dapat juga bertentangan. Jika konsepsi

siswa tersebut melatarbelakangi siswa dalam memahami suatu konsep, maka konsep

siswa tersebut disebut miskonsepsi (Ma’rifah,2012).

Miskonsepsi (salah konsep) adalah konsep yang tidak sesuai dengan pengertian

ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para pakar dalam bidang itu. Osborne memberi

beberapa nama, yaitu ada yang menyebutnya “children’s science”, “misconception”,

“alternative framework”, “alternative conception”, atau “children’s idea”, namun istilah

miskonsepsi seringkali lebih banyak mewakili semua istilah tersebut. Dalam pengertian

lain miskonsepsi adalah kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima

umum dan memang sudah terbukti sahih tentang sesuatu. Berikut merupakan definisi

miskonsepsi menurut beberapa tokoh:

1) Saleem Hasan

Miskonsepsi sebagai struktur kognitif (pemahaman) yang berbeda dari

pemahaman yang telah ada dan diterima di lapangan, dan struktur kognitif ini

dapat mengganggu penerimaan ilmu pengetahuan yang baru.

2) Kustiyah

Miskonsepsi adalah kesalahan dalam memahami suatu konsep yang

ditunjukkan dengan kesalahan dalam menjelaskan dalam bahasanya sendiri.

3) Feldsine

Miskonsepsi adalah suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar

antara konsep-konsep.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah

suatu gagasan dari sebuah pengertian yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau

interpretasi hubungan konsep-konsep tidak dapat diterima.

B. Penyebab Miskonsepsi

Miskonsepsi yang dialami setiap siswa di sekolah bisa berlainan dengan

penyebab yang berbeda-beda. Pada satu kelas dapat terjadi bermacam-macam

miskonsepsi dengan penyebab miskonsepsi berbeda pula. Oleh karena itu, sangat

penting bagi guru untuk mengenali miskonsepsi dan penyebabnya yang terjadi pada

siswa. Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan siswa dikontruksi atau

dibangun oleh siswa sendiri. Proses konstruksi tersebut diperoleh melalui interaksi

dengan benda, kejadian dan lingkungan. Pada saat siswa berinteraksi dengan

lingkungan belajarnya, siswa mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan

pengalamannya. Oleh karena itu, ketika proses kontruksi pengetahuan terjadi pada

siswa, sangat besar kemungkinan terjadinya kesalahan dalam proses mengkontruksi

karena secara alami siswa belum terbiasa mengkontruksi pengetahuan sendiri secara

tepat. Apalagi jika tidak didampingi sumber informasi yang jelas dan akurat.

Kontruksi pengetahuan siswa tidak hanya dilakukan sendiri tetapi juga dibantu oleh

konteks dan lingkungan siswa, diantaranya teman-teman di sekitar siswa, buku teks,

guru dan lainnya. Jika aspek-aspek tersebut memberikan informasi dan pengalaman

yang berbeda dengan pengertian ilmiah maka sangat besar kemungkinan terjadinya

miskonsepsi pada siswa tersebut. Oleh karena itu, aspek-aspek tersebut merupakan

penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa. Aspek-aspek yang dapat menyebabkan

terjadinya miskonsepsi adalah siswa itu sendiri, guru, dan metode pembelajaran yang

digunakan guru di kelas (Hammer, 2006).

a. Siswa

Banyak siswa yang memiliki konsep awal atau prakonsepsi tentang suatu

konsep sebelum siswa tersebut mengikuti pembelajaran di sekolah. Konsep awal

tersebut diperoleh siswa dari pengalaman sehari-hari dan informasi dari lingkungan

sekitar siswa. Konsep awal tersebut kadang-kadang mengandung miskonsepsi.

b. Guru

Miskonsepsi dapat terjadi karena miskonsepsi yang terjadi pada guru. Guru

yang tidak menguasai bahan ajar atau memiliki pemahaman yang tidak benar tentang

suatu konsep akan menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi. Masih banyak guru

di sekolah, baik di SD, SMP, maupun SMA, yang mengalami miskonsepsi.

c. Metode Pembelajaran

Masih banyaknya guru melaksanakan pembelajaran IPA hanya dengan

berbicara dan menulis saja atau dengan kata lain guru melaksanakan pembelajaran

dengan metode ceramah. Namun, walaupun guru melaksanakan pembelajaran IPA

dengan metode eksperimen atau demonstrasi, hal tersebut belum menjamin tidak akan

terjadi miskonsepsi pada siswa karena pemilihan guru terhadap metode pembelajaran

dan pelaksanaannya di kelas sangat berpengaruh terhadap terjadinya miskonsepsi

pada siswa. Oleh karena itu, guru perlu memahami dan memiliki keterampilan dalam

memilih metode pembelajaran yang akan dilaksanakannya.

C. Kiat Mengatasi Miskonsepsi

Ada banyak cara untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi. Secara

umum kiat yang tepat untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi adalah mencari

bentuk kesalahan yang dimiliki siswa itu, mencari sebab-sebabnya, dan menemukan

cara yang sesuai untuk mengatasi miskonsepsi tersebut. Hal pertama yang harus

dilakukan guru adalah memahami kerangka berpikir siswa. Dengan memahami apa

yang dipikirkan siswa dan apa gagasan siswa diharapkan guru dapat mengetahui

penyebab miskonsepsi dan menemukan cara mengatasi miskonsepsi tersebut

(Hammer.2006).

Hal yang dapat dilakukan guru adalah :

a) memberi kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan gagasan dan

pemikirannya mengenai bahan yang sedang dibicarakan secara lisan atau

tertulis;

b) memberi pertanyaan kepada siswa tentang konsep yang biasanya membuat siswa

bingung dan siswa diminta menjawab secara jujur; dan

c) mengajak siswa untuk berdiskusi tentang bahan tertentu yang biasanya

mengandung miskonsepsi, dan guru membiarkan siswa berdiskusi dengan bebas.

Selanjutnya, guru menemukan cara mengatasi miskonsepsi berdasarkan

penyebabnya seperti yang diuraikan pada bagian sebelumnya.

a. Kiat Mengatasi Miskonsepsi yang Disebabkan oleh Siswa

Kemampuan siswa dalam bidang studi tidak sama. Sebagian siswa memiliki

kelemahan dalam bidang biologi. Siswa tidak dapat menangkap konsep biologi yang

diajarkan guru secara lengkap dan tepat. Konsep yang tidak lengkap itu dipercayai

siswa sebagai konsep sudah lengkap dan benar, padahal sebenarnya konsep tersebut

belum lengkap dikuasai siswa. Dalam menghadapi hal ini, guru perlu mengerti sejauh

mana konsep siswa ini tidak lengkap dan pelan-pelan membantu kesulitan siswa

dengan menambahkan bagian konsep yang kurang atau belum lengkap. Oleh karena

pemahaman konsep sendiri memerlukan proses yang terus-menerus dan waktu yang

lama bagi siswa, maka siswa yang kurang mampu ini perlu dibantu dengan sabar

sesuai dengan daya tangkapnya. Untuk beberapa siswa, guru perlu memberikan waktu

tambahan atau khusus untuk membantu siswa yang kemampuannya kurang sesuai

dengan keadaan mereka. Minat siswa mempelajari biologi mempengaruhi

pemahaman konsep siswa. Siswa yang tidak berminat belajar biologi akan

mengalami kesulitan dalam belajar biologi dan juga cenderung mengalami

miskonsepsi. Siswa yang tidak berminat cenderung tidak mendengarkan dan

memperhatikan secara penuh, mereka cenderung mengabaikan apa yang diajarkan

guru. Dalam mempelajari buku teks pun cenderung tidak teliti dan kadang-kadang

hanya membaca dengan sambil lalu saja. Akibatnya, konsep biologi yang dipelajari

menjadi sulit dan siswa tersebut cenderung mengalami miskonsepsi. Untuk mengatasi

hal ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan guru yaitu membantu siswa untuk

meningkatkan motivasi dan minatnya belajar biologi. Beberapa cara yang dapat

dilakukan guru untuk meningkatkan minat belajar siswa, antara lain a) guru mengajar

dengan menggunakan variasi metode pembelajaran sehingga siswa tidak bosan dan

senang dengan pembelajaran IPA; b) guru menjelaskan kegunaan IPA dalam

kehidupan seharihari, terutama pada kebutuhan hidup siswa; c) guru berinteraksi

secara akrab dengan siswa untuk menjadikan siswa menyenangi biologi; d) guru

menunjukkan pada siswa bahwa sesungguhnya siswa dapat belajar biologi; dan e)

guru lebih bersabar dalam menghadapi siswa terutama yang memiliki kemampuan

yang kurang dalam biologi.

b. Kiat Mengatasi Miskonsepsi yang Disebabkan oleh Guru

Miskonsepsi dapat terjadi tidak hanya disebabkan siswa itu sendiri tetapi juga

dapat disebabkan oleh guru yang memberikan pembelajaran di kelas siswa tersebut.

Miskonsepsi yang disebabkan oleh guru dapat terjadi karena guru tidak menguasai

konsep yang benar dari bahan ajar yang akan diberikan sehingga guru keliru

menjelaskan konsep tersebut ke siswa. Guru yang tidak menguasai konsep secara

benar perlu belajar lagi, baik belajar secara mandiri maupun belajar bersama dengan

guru lainnya melalui forum KKG atau forum lainnya. Guru juga perlu menyadari

bahwa ilmu yang dimilikinya harus selalu ditingkatkan dan diperbaharui.

c. Kiat Mengatasi Miskonsepsi yang Disebabkan oleh Metode Pembelajaran yang

Digunakan Guru

Miskonsepsi pada siswa juga dapat disebabkan proses pembelajaran yang

dialami tidak utuh. Siswa yang menerima pembelajaran dengan metode ceramah saja

tanpa pernah melakukan kegiatan berdasarkan konteksnya cenderung akan mengalami

miskonsepsi. Hal sama juga terjadi jika siswa menerima pembelajaran dengan satu

metode pembelajaran selama belajar di kelas juga cenderung mengalami miskonsepsi.

Oleh karena itu, untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa, guru perlu melakukan

variasi metode pembelajaran agar siswa tidak bosan dan terus termotivasi belajar

biologi.

D. Certainty of Response Index (CRI)

Metode Certainty of Response Index ini merupakan metode yang

diperkenalkan oleh Saleem Hasan, Diola Bagayoko, dan Ella L. Kelley untuk

mengukur suatu miskonsepsi yang tengah terjadi. Dengan metode CRI, responden

diminta untuk memberikan tingkat kepastian dari kemampuan mereka sendiri dengan

mengasosiasikan tingkat keyakinan tersebut dengan pengetahuan, konsep, atau

hukum.

Metode CRI ini meminta responden untuk menjawab pertanyaan disertai

dengan pemberian derajat atau skala (tingkat) keyakinan responden dalam menjawab

pertanyaan tersebut. Sehingga metode ini dapat menggambarkan keyakinan siswa

terhadap kebenaran dari jawaban alternatif yang direspon (Hasan, 1999). Setiap

pilihan respon memiliki nilai skala, yaitu:

Tabel 1. Skala Certainty of Response Index (CRI)

Berdasarkan tabel tersebut, skala CRI ada 6 (0-5) dimana 0 berarti tidak

paham konsep dan 5 adalah yakin benar akan konsep yang responden jawab. Jika

derajat keyakinan rendah (nilai CRI 0-2) menyatakan bahwa responden menjawabnya

dengan cara menebak, terlepas dari jawabannya benar atau salah. Hal ini

menunjukkan bahwa responden tidak paham konsep. Jika nilai CRI tinggi, dan

jawaban benar maka menunjukkan bahwa responden paham konsep (jawabannya

beralasan) Jika nilai CRI tinggi, jawaban salah maka menunjukkan miskonsepsi. Jadi,

seorang siswa mengalami miskonsepsi atau tidak paham konsep dapat dibedakan

dengan cara sederhana yaitu dengan membandingkan benar atau tidaknya jawaban

suatu soal dengan tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban (CRI) yang diberikan

untuk soal tersebut. Pada halaman selanjutnya merupakan tabel ketentuan untuk

membedakan antara siswa yang tahu konsep, miskonsepsi, dan tidak paham konsep

untuk responden secara individu dan kelompok.

Tabel 2. Tabulasi siswa yang tahu konsep, miskonsepsi dan tidak tahu konsep

berdasarkan kombinasi kriteria jawaban dengan tinggi-rendahnya nilai CRI

Kriteria

jawaban

CRI rendah (1-2) (Tidak

Yakin-Tidak Tahu)CRI tinggi (3-4) (Ragu-Yakin)

Jawaban

benar

Jawaban benar tapi CRI

rendah berarti tidak tahu

konsep (lucky guess)

Jawaban benar dan CRI Tinggi

berarti menguasai konsep dengan

baik (tahu konsep)

Jawaban

salah

Jawaban salah dan CRI rendah

berarti tidak tahu konsep

Jawaban salah tapi CRI tinggi berarti

terjadi

Miskonsepsi

Sumber: Sarintan & Jusman (2007) dalam Pruba & Depari (2008)

Dari hasil tabulasi data setiap siswa dengan berpedoman kombinasi jawaban

yang benar dan salah serta berdasarkan tinggi rendahnya nilai CRI, kemudian data

diagnosis dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu siswa yang paham akan

materi, miskonsepsi, dan sama sekali tidak paham.

Adapun fungsi metode CRI berdasarkan penelitian Saleem et.al., yaitu:

1. Alat menilai kepantasan/sesuai tidaknya penekanan suatu konsep di beberapa sesi.

2. Alat diagnostik yang memungkinkan guru memodifikasi cara pengajarannya.

3. Alat penilai suatukemajuan/sejauh mana suatu pengajaran efektif.

4. Alat membandingkan keefektifan suatu metode pembelajaran termasuk teknologi,

strategi. pendekatan yang diintegrasikan di dalamnya. Apakah mampu meningkatkan

pemahaman dan menambah kecakapan siswa dalam memecahkan masalah.

E. Wawancara Diagnosis

Wawancara disebut juga interview atau kuesioner lisan yang dilakukan

pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara

(interviewee). Ketika digunakan untuk keperluan diagnosa maka wawancara sebagai

alat diagnosa, wawancara ini juga memiliki tujuan untuk membantu siswa dalam

menyadari kesalahannya, dan sangat membantu dalam rangka mengurangi

miskonsepsi siswa, hal ini dapat disebut juga dengan wawancara klinis. Pertanyaan

wawancara dapat tidak terstruktur (bebas) dan terstruktur. Dalam wawancara bebas,

guru atau peneliti bertanya kepada siswa dan siswa dapat menjawab secara bebas.

Urutan atau apa yang hendak dipertanyakan dalam wawancara itu tidak perlu

dipersiapkan. Wawancara terstruktur sebaliknya, yaitu urutan pertanyaan

wawancaranya pun secara garis besar sudah disusun dan direncanakan, sehingga

memudahkan interviewer dalam praktiknya. Sedangkan bentuk pertanyaan

wawancara campuran merupakan pertanyaan yang menuntut jawaban campuran.

Menurut Tayubi (2002)., dilihat dari pelaksanaanya wawancara terdiri dari tiga

macam:

a) Wawancara bebas (inguided interview)

interviewer bebas menanyakan pertanyaan apa saja namun juga

mengingat akan data apa saja yang harus dikumpulkan. Dalam

pelaksanaannya pewawancara tidak membawa pedoman wawancara

sehingga interviewee tidak menyadari sepenuhnya bahwa ia sedang

diwawancarai.

b) Wawancara terpimpin (guided interview)

dalam melakukan wawancara interviewer membawa sederetan

pertanyaan lengkap dan terperinci seperti bentuk pertanyaan wawancara

terstruktur.

c) Wawancara bebas terpimpin

kombinasi antara wawancara bebas dan wawancara terpimpin. Dalam

pelaksanaannya, interviewer membawa pedoman yang hanya merupakan

garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 28 April 2015, di SMA Negeri 21

Surabaya.

B. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah 34 siswa kelas XI IPA 2 SMA Negeri 21

Surabaya.

C. Rancangan penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Pengumpulan data

dilakukan dengan teknik tes diagnostik menggunakan instrumen berupa soal pilihan

ganda dan esai. Pada setiap pertanyaan, siswa diminta melengkapi soal dengan

jawaban yang tepat. Siswa juga harus menuliskan tingkat keyakinan terhadap

jawabannya (CRI) yaitu angka yakin (4), ragu-ragu (3), tidak yakin (2), atau tidak

tahu (1)

Selanjutnya dilakukan analisis CRI (Certainty of Response Index) untuk

membedakan siswa yang tahu konsep, tidak tahu konsep, dan mengalami miskonsepsi

yang didasarkan pada kombinasi dari jawaban benar atau salah dan tinggi rendahnya

CRI jawaban siswa (Tabel 1)

Tabel 3.1. Tabulasi siswa yang tahu konsep, miskonsepsi dan tidak tahu konsep berdasarkan

kombinasi kriteria jawaban dengan tinggi-rendahnya nilai CRI

Kriteria

jawaban

CRI rendah (1-2) (Tidak Yakin-

Tidak Tahu)CRI tinggi (3-4) (Ragu-Yakin)

Jawaban

benar

Jawaban benar tapi CRI

rendah berarti tidak tahu

konsep (lucky guess)

Jawaban benarn dan CRI Tinggi

berarti menguasai konsep dengan baik

(tahu konsep)

Jawaban

salah

Jawaban salah dan CRI rendah

berarti tidak tahu konsep

Jawaban salah tapi CRI tinggi berarti

terjadi miskonsepsi

Sumber: Sarintan & Jusman (2007) dalam Pruba & Depari (2008)

Setelah itu dihitung persentase masing-masing kriterianya dengan rumus yang

digunakan oleh Cahyaningsih (2006: 40) dalam Murni 2013 seperti di bawah ini:

Keterangan:

TK = Jumlah siswa yang tahu konsep

TTK = Jumlah siswa yang tidak tahu konsep

MK = Jumlah siswa yang miskonsepsi

N = Jumlah total siswa

Selanjutnya dilakukan analisis pemahaman siswa pada masing-masing

subkonsep dengan cara menjumlahkan persentase siswa yang tahu konsep,

tidak tahu konsep pada masing-masing subkonsep berdasarkan keyakinan

jawaban siswa pada masing-masing soal tes. Selain itu juga membuat peta

konsep sebagai acuan untuk pemahaman konsep siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Hammer, D., (1996), More Than Misconceptions : Multiple Perspectives on Student

Knowledge and Reasoning, and an Appropriate Role for Education Research, Am. J.

Phys., 64(10), pp. 1316 - 1325.

Hasan, S., D. Bagayoko, D., and Kelley, E. L., (1999), Misconseptions and the Certainty of

Response Index (CRI), Phys. Educ. 34(5), pp. 294 - 299.

Ma’rifah,M., Sumarni W., dan Kusoro S. 2012. Keefektifan Pereduksian Miskonsepsi

Melalui Strategi Konflik Kognitif Pada Pemahaman Konseptual dan Algoritmik.

Chemistry In Education: Volume 1. Nomor 2. Hal. 43.

Tayubi, Y. R., (2002), Identifikasi miskonsepsi pada konsep-konsep fisika dengan

menggunakan CRI (certainty of response indeks), Laporan akhir penelitian hibah

Due-Like UPI tahun 2002, UPI, Bandung