Mioma Uteri Dalam Kehamilan
-
Upload
grace-noviyanthi-sinambela -
Category
Documents
-
view
46 -
download
6
description
Transcript of Mioma Uteri Dalam Kehamilan
BAB 1
PENDAHULUAN
Mioma uteri, dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid ataupun
leiomioma, merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan
ikat. Mioma uteri kebanyakan asimptomatik merupakan tumor jinak uterus yang
paling banyak. Mioma uteri asimptomatik dapat terjadi pada 40-50% wanita
dengan usia lebih dari 35 tahun.1-4
Mioma uteri dapat menyebabkan infertilitas. Mioma uteri sering muncul
bersamaan atau telah ada sebelum kehamilan. Abortus atau komplikasi lain seperti
seperti persalinan prematur, pertumbuhan janin terhambat, dan malpresentasi
dapat terjadi pada wanita dengan mioma uteri, walaupun pada beberapa pasien
tidak mengalami komplikasi dalam kehamilan dan persalinannya. Insidensi
mioma uteri pada kehamilan berkisar 4%. Kebanyakan mioma ini tidak akan
mengalami perubahan ukuran selama kehamilan, tetapi sekitar sepertiga kasus
dapat membesar pada trimester pertama. Adanya mioma berhubungan dengan
abortus spontan, persalinan prematur, solusio plasenta, malpresentasi, distosia,
seksio sesaria, dan perdarahan postpartum. 1,5,6
Mioma uteri secara umum dapat ditatalaksana dengan konservatif dan
operatif. Bila ada abortus berulang, leiomioma, dan pada keadaan kehamilan,
harus dilakukan prosedur operatif. Prosedur operatif sendiri meliputi histerektomi
dan miomektomi baik metode laparotomi, histeroskopi maupun laparoskopi.
Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Cassini ML, Rossi F, Aqostini R, dan
Unfer V menunjukkan bahwa pengangakatan massa mioma suatu hal yang
penting unntuk meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan dan
mempertahankan kehamilan. 1,3,5,7
Metode miomektomi pada kehamilan sampai sekarang masih kontroversial.
Miomektomi dapat dipertimbangkan pada wanita dengan infertilitas yang tidak
jelas, abortus berulang atau dengan keluhan nyeri yang hebat selama kehamilan
walaupun masih belum jelas bukti yang menjelaskan bahwa tindakan pembedahan
akan meningkatkan fertilitas dan luaran perinatal. Miomektomi dianggap sebagai
1
metode yang aman tetapi eksisi mioma submukosa berisiko tinggi terhadap
rupturnya membran fetus dan perdarahan. Wittich AC et all (2000) berhasil
melakukan miomektomi pada kehamilan 12 minggu dengan keluhan nyeri yang
sangat hebat. Suwandinata et al. (2008) berhasil melakukan pembuangan mioma
uteri pada kehamilan usia 18 minggu dengan teknik operasi modifikasi yaitu
jahitan simple interupted di sekitar mioma untuk hemostasis baru dilakukan
diseksi. Adeyemi et al. (2007) juga melaporkan kesuksesan pembuangan
leiomioma subserosa besar dengan laparotmi tanpa ada komplikasi pada
kehamilan. Anita et al. (2007) melakukan miomektomi pada seksio sesarea di 9
wanita yang menderita mioma uteri pada kehamilan dan meunjukkan hasil yang
cukup baik.8-10
BAB 2
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Mioma Uteri
Mioma uteri, dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid ataupun
leiomioma, merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan
ikat yang menyokongnya. Mayoritas mioma uteri terjadi antara usia 35- 50 tahun,
dalam hubungannya dengan estrogen..2,3,5
2.2 Insidensi
Mioma uteri sering terjadi pada wanita dengan usia 30-40 thun , namun juga
dapat terjadi pada semua usia sampai usia 50 tahun. Mioma uteri asimptomatik
dapat terjadi pada 40-50% wanita dengan usia lebih dari 35 tahun. Mioma uteri
lebih sering terjadi pada wanita Afrika dibandingkan dengan kulit putih dimana
70% pada wanita kulit putih dan 80% pada wanita kulit hitam. Di Indonesia
angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39% - 11,87% dari semua penderita
ginekologi yang dirawat.1-3,12
2.3 Etiologi
Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Diduga
penyebab timbulnya mioma uteri paling banyak oleh stimulasi hormon estrogen
dan progesteron. Dimana telah ditemukan banyak sekali mediator didalam mioma
uteri, seperti estrogen growth factor, insulin growth factor-1 (IGF-1). Awal
mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-sel
miometrium. Mutasi ini mencakupi rentetan perubahan pada kromosom, baik
secara parsial maupun secara keseluruhan.2,3,6
2.4 Jenis-jenis Mioma Uteri Berdasarkan Lokasi
Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan
selebihnya adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut
arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain mioma
submukosa, mioma intramural, mioma subserosa, dan mioma intraligamenter.
Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa
(48,2%), submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%).6,11
3
1. Mioma submukosa
Berada dibawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis
ini di jumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan
keluhan gangguan perdarahan. Mioma uteri jenis lain meskipun besar mungkin
belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa, walaupun
kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma submukosa
umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu
kuret. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma
submukosa pedunkulata. Mioma submukosa pedunkulata adalah jenis mioma
submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim
ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan,
yang mudah mengalami infeksi, ulserasi, dan infark. Pada beberapa kasus,
penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas.6,11
2. Mioma intramural
Terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium. Karena
pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuklah
semacam simpai yang mengelilingi tumor. Bila didalam dinding rahim dijumpai
banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol
dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus,
dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih keatas,
sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.6,11
3. Mioma subserosa
Apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan
uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh diantara kedua lapisan
ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.6,11
4. Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke
ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus. Jarang
sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada serviks
dapat menonjol ke dalam satu saluran serviks sehingga ostium uteri eksternum
berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri
4
dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan (whorl
like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang
terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini. Pada pembelahan jaringan mioma
tampak lebih putih dari jaringan sekitarnya. Pada pemeriksaan secara mikroskopik
dijumpai sel-sel otot polos panjang, yang membentuk bangunan yang khas
sebagai kumparan. Inti sel juga panjang dan bercampur dengan jaringan ikat. Pada
pemotongan tranversal, sel berbentuk polihedral dengan sitoplasma yang banyak
mengelilinginya. Pada pemotongan longitudinal inti sel memanjang, dan
ditemukan adanya mast cells diantara serabut miometrium sering diinterprestasi
sebagai sel tumor atau sel raksasa (giant cells).6,11
Gbr 1. Beberapa jenis mioma uteri berdasarkan lokasi
2.5 Gejala Klinis
5
Kebanyakan mioma uteri asimptomatik. Tanda dan gejala dari mioma uteri
hanya terjadi pada 35-50% pasien. Gejala yang disebabkan oleh mioma uteri
bergantung pada lokasi, ukuran, dan jumlah mioma. Gejala yang paling sering
adalah:
- Perdarahan uterus yang abnormal.
Perdarahan uterus yang abnormal merupakan gejala klinis yang paling
sering terjadi. Gejala ini terjadi pada 30% pasien dengan mioma uteri.
Mekanisme yang menyebabkan perdarahn uterus abnormal pada mioma
uteri adalah peningkatan ukuran permukaan endometrium, peningkatan
vaskularisasi aliran darah ke uterus, gangguan kontraktilitas uterus, dan
ulserasi endometrium pada mioma submukosum.3,5
- Nyeri
Bagaimanapun nyeri abdomen yang terlokalisir dapat terjadi pada
mioma yang mengalami perubahan menjadi “degenerasi merah”, torsi
(pada mioma subserosum pedunculated).3,5
- Penekanan
Pada mioma uteri yang besar dapat menimbulkan penekanan terhadap
organ sekitar. Penekanan mioma uteri dapat menyebabkan gangguan
berkemih, defekasi, maupun dispareunia. 3,5
- Infertilitas
Dilaporkan sebesar 27-40% wanita dengan mioma uteri mengalami
infertilitas. Mioma yang terletak di daerah kornu dapat menyebabkan
sumbatan dan gangguan transportasi ovum akibat oklusi tuba bilateral.
Studi prospektif yang dilakukan oleh Cassini ML, et al (2006) untuk
megevaluasi apakah lokasi mioma dapat mempengaruhi fungsi
reproduksi pada wanita dan apakah pengangkatan mioma sebelum
konsepsi dapat meningkatkan kehamilan. Dari studi ini ditunjukkan
bahwa posisi mioma memiliki peranan yang penting terhadap terjadinya
infertilitas dan pengangkatan mioma sebelum konsepsi akan
meningkatkan terjadinya kehamilan dan meningkatkan keberhasilan
fertilisasi. 3,5,7
2.6 Diagnosis
6
Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan gejala seperti menoragia (menstruasi
dalam jumlah banyak), perut terasa penuh dan membesar, dan nyeri panggul
kronik (berkepanjangan). Nyeri bisa terjadi saat menstruasi, setelah
berhubungan seksual, atau ketika terjadi penekanan pada panggul. Nyeri
terjadi karena terpuntirnya mioma yang bertangkai, pelebaran leher rahim
akibat desakan mioma atau degenerasi (kematian sel) dari mioma. Gejala
lainnya adalah gejala gangguan berkemih akibat mioma yang besar dan
menekan saluran kemih menyebabkan gejala frekuensi (sering berkemih)
dan hidronefrosis (pembesaran ginjal), penekanan rektosigmoid (bagian
terbawah usus besar) yang mengakibatkan konstipasi (sulit BAB) atau
sumbatan usus, prolaps atau keluarnya mioma melalui leher rahim dengan
gejala nyeri hebat, luka, dan infeksi, dan bendungan pembuluh darah vena
daerah tungkai serta kemungkinan tromboflebitis sekunder karena
penekanan pelvis (rongga panggul). Gejala gangguan reproduksi seperti
infertilitas ataupun abortus berulang dapat terjadi sesuai lokasi dan besarnya
mioma.3,6
2. Pemeriksaan fisik
Hampir kebanyakan mioma uteri dapat didiagnosa melalui pemeriksaan
bimanual rutin maupun dari palpasi abdomen bila ukuran mioma yang
besar. Diagnosa semakin jelas bila pada pemeriksaan bimanual diraba
permukaan uterus yang berbenjol akibat pnonjolan massa maupun adanya
pembesaran uterus. Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen bagian
bawah. Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan bimanual didapatkan
tumor tersebut menyatu dengan rahim atau mengisi kavum Douglasi.
Konsistensi padat, kenyal, mobil, permukaan tumor umumnya rata.3,6
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium. Anemia merupakan akibat paling sering dari
mioma. Hal ini disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya
cadangan zat besi.
7
USG, untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium
dan keadaan adnexa dalam rongga pelvis. Histeroskopi dapat dilakukan untuk
melihat cavum uteri. Histeroskop diinsersi melalui vagina dan cervix.
Histerosalfingografi dapat digunakan untuk melihat perubahan abnormal ukuran
dan bentuk uterus dan tuba fallopi. Laparoskopi dapat digunakan untuk melihat
mioma di bagian luar dinding uters. Mioma juga dapat dideteksi dengan CT scan
ataupun MRI, tetapi kedua pemeriksaan itu lebih mahal dan tidak memvisualisasi
uterus sebaik USG. Untungnya, leiomiosarkoma sangat jarang karena USG tidak
dapat membedakannya dengan mioma dan konfirmasinya membutuhkan diagnosa
jaringan.3
Gbr2. Pada ultrasonografi tampak gambaran massa mioma yang besar (7x5,3 cm)
terhubung dengan bagian fundus uteri dengan tangkai yang tipis (pedunculated).
8
Gbr 3. Gambaran mioma uteri submukosum pada daerah korpus uteri dengan gambaran
hiperekoik berbatas tegas yang sangat berdekatan dengan kavum uteri. Power Doppler
menunjukkan (atas kanan) menunjukkan adanya vaskularitas pada daerah tepi massa. Ukuran
massa lebih dari 4 cm.
Gbr 4. Gambaran mioma subserosum pada daerah dinding anterior uterus yang
menekan vesika urinaria.
9
Gbr 5. Gambaran mioma uteri yang berkembang ke bagian lateral paada ligamentum
latum. Pada USG tampak massa solid pada daerah korpus sebelah kanan.
Gbr 6. Mioma intramural yang menunjukkan kalsifikasi seperti cincin. Kalsifikasi
mioma dapat terjadi pada daerah perifer massa.
2.7 Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan mioma tergantung umur pasien, paritas, status
kehamilan, keinginan untuk mendapatkan keturunan lagi, keadaan umum dan
gejala serta ukuran lokasi serta jenis mioma uteri itu sendiri.
10
1. Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun
medikamentosa terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan
gangguan atau keluhan. Penanganan konservatif, bila mioma yang kecil
pada pra dan post menopause tanpa gejala. Cara penanganan konservatif
dapat dilakukan dengan observasi dengan pemeriksaan pelvis secara
periodik setiap 3-6 bulan.13,14
2. Medikamentosa
Bila diperlukan terapi, maka yang dapat diberikan adalah:
a. Non hormonal : NSAID yang dapat mengurangi perdarahan pada
mioma uteri 13,14
b. Terapi hormonal :
- Kontrasepsi oral: dapat mengatasi perdarahan namun tidak
mempengaruhi ukuran mioma.
- Preparat progesteron oral atau injeksi: dapat mengatasi perdarahan
namun tidak mempengaruhi ukuran mioma.
- Agonis GnRH seperti leuprolide asetat yang dapat mempengaruhi
ukuran mioma dengan mengurangi jumlah estrogen sehingga
diperoleh keadaan seperti menopause.13-15
3. Tindakan Operatif
a. Miomektomi13,14
- Abdominal miomektomi yang dikenal dengan open myomectomy
merupakan tindakan operatif utama dalam penatalaksanaan mioma
uteri. Dengan insisi abdomen, mioma akan dipisahkan dari uterus.
Tindakan ini merupakan pilihan yang tepat bagi wanita yang masih
ingin mempertahankan fertilitas. Resiko yang utama adalah
perdarahan, pembentukan jaringan skar, dan terjadinya ruptur uter
pada kehamilan yang akan datang. Miomektomi pada mioma
interligamenter dilakukan dengan diseksi ligamentum latum
sehingga mioma tampak. Diseksi diteruskan sampai dapat dicapai
tangkai mioma. Pendarahan dirawat dengan mengikat atau
11
termokauter. Tangkai mioma dipotong, pendarahan dirawat dengan
menjahit benang halus sehingga berhenti.
- Miomektomi laparoskopi yang dikenal dengan menggunakan insisi
“keyhole” untuk melakukan tindakan miomektomi seperti abdominal
miomektomi. Namun tidak semua jenis mioma uteri dapat dilakukan
tindakan laparoskopi. Keuntungan tindakan ini adalah perdarahan
yang lebih minimal dan penyembuhan yang lebih cepat.
- Miomektomi histeroskopi dilakukan pada mioma yang menonjol ke
kavum uterus. Kamera diinsersikan melalui serviks kemudian ke
uterus dan instrumen digunakan untuk memotong bagian massa yang
tampak.
b. Histerektomi13,14
- Vaginal histerektomi, dimana pengangkatan uterus dilakukan
melalui vagina tapa melakukan insisi pada abdomen. Syarat untuk
vaginal histerektomi adalah ukuran uterus yang tidak terlalu besar.
- Abdominal Histerektomi, dimana pengangkatan uterus dilakukan
dengan insisi pada abdomen. Ada beberapa jenis histerektomi yang
dapat dilakukan adalah Total Abdominal Hysterectomy
(pengangkatan uterus beserta cervix), Subtotal atau Supracervical
Hysterectomy.
- Histerektomi Laparoskopi, merupakan prosedur histerektomi yang
baru dimana pengangkatan uterus dilakukan melalui insisi yang
sangat kecil namun prosedur ini tidak dapat dilakukan pada uterus
yang terlalu besar.
c. Embolisasi Arteri Uterina
Prosedur ini merupakan hal yang relatif baru. Embolisasi berarti
menghentikan vaskularisasi ke uterus. Dengan menghentikan
vaskularisasi ke uterus, massa mioma akan mengalami nekrosis dan
12
pengkerutan. Hal ini akan mengurangi perdarahan, gejala nyeri,
ataupun gejala penekanan.
2.8 Mioma uteri pada kehamilan
Mioma uteri sering muncul bersamaan atau telah ada sebelum kehamilan.
Abortus atau komplikasi lain seperti seperti persalinan prematur, pertumbuhan
janin terhambat, dan malpresentasi dapat terjadi pada wanita dengan mioma uteri,
walaupun pada beberapa pasien tidak mengalami komplikasi dalam kehamilan
dan persalinannya. Insidensi mioma uteri pada kehamilan berkisar 4%.
Kebanyakan mioma ini tidak akan mengalami perubahan ukuran selama
kehamilan, tetapi sekitar sepertiga kasus dapat membesar pada trimester pertama.
Adanya mioma berhubungan dengan abortus spontan, persalinan prematur,
solusio plasenta, malpresentasi, distosia, seksio sesaria, dan perdarahan
postpartum.1,5,6 Pada penelitian prospektif Aharoni et al. 32 kasus mioma uteri
pada wanita hamil dengan usia kehamilan 3-8 minggu didapati bahwa 25 kasus
mioma (78%) tidak mengalami pembesaran massa tumor, hanya 7 kasus (22%)
yang mengalami peningkatan massa tumor naun tidak melebihi 25% dari ukuran
awal. Penelitian yang dilakukan oleh De Vivo A, et al (2011) yang mengevaluasi
perubahan volume mioma selama kehamilan. Penelitian dilakukan pada 38 wanita
hamil didapati bahwa rerata volume massa mioma meningkat selama kehamilan
dimana 71,4% ukuran mioma uteri meningkat pada trimester pertama dan kedua
sedangkan 66,6% pada trimester kedua dan ketiga.16
Mayoritas mioma pada kehamilan bersifat asimpomatik. Bila terjadi
degenerasi merah dan torsi, mioma akan menimbulkan nyeri terutama pada
trimester kedua kehamilan. Mioma yang torsi akan kekurangan aliran darah
sehingga akan mengalami nekrosis. Selain itu akan terjadi inflamasi yang
mensekresikan prostalglandin sebagai perangsang efektor nyeri. Pada sebuah
penelitian pada 113 pasien hamil dengan mioma, 9% mioma menunjukkan hasil
heterogen ekogenik pada ultrasonografi.5
13
Gbr. 11 Gambaran ultrasonografi menunjukkan kantong gestasi (dengan embrio
viabel) dengan pembesaran mioma pada daerah fundus uterus. Massa (FBR=
fibroid) menunjukkan tidak adanya perubahan atau degeneratif atau kalsifikasi.
Power Doppler menunjukkan adanya gambaran pembuluh darah sekitar massa
mioma. Kehamilan trimester awal dengan massa yang besar memiliki faktor
resiko terjadinya abortus.
14
Gbr 12. Gambaran ultrasonografi kehamilan 19 minggu dengan fetus terlihat pada
bagian kiri gambar. Tampak gambaran massa mioma yang besar pada segmen
bawah rahim dan cervix dengan ukuran massa 6x7 cm (FBR = fibroid,; fet = fetus,
BL= bladder)
Gbr 13. Gambaran mioma uteri pada kehamilan trimester kedua.
2.9 Efek Mioma Uteri Pada Kehamilan
Sekitar 10-30% wanita dengan mioma uteri akan berkomplikasi terhadap
kehamilan. Komplikasi yang terjadi tergantung lokasi, besar massa, dan usia
15
kehamilan. Beberapa komplikasi mioma uteri dalam kehamilan adalah sebagai
berikut.
a. Kehamilan trimester awal
- Abortus
Tingkat abortus spontan meningkat pada kehamilan dengan mioma
uteri dibandingkan dengan wanita tanpa mioma uteri (14% vs 7,6%
secara berurutan). Beberapa penelitian menunjukkan ukuran mioma
yang semakin besar tidak akan meningkatkan resiko terjadinya
abortus, namun mioma uteri multipel dapat meningkatkan resiko
abortus dibandingkan dengan mioma tunggal (23,6% vs 8%). Lokasi
mioma juga penting. Abortus lebih sering terjadi pada mioma yang
berada pada korpus uterus dibandingkan dengan mioma pada
segmen bawah rahim dan mioma uteri intramural atau submukosum.
Mekanisme mioma uteri menyebabkan abortus masih belum jelas.
Peningkatan iritabilitas uterus dan kontraktilitas, efek kompresi
mioma, dan gangguan aliran darah uteroplasenta akibat massa
mioma.
- Perdarahan
Perdarahan pada kehamilan trimester awal terjadi apabila plasenta
berimplantasi dekat dengan massa mioma bila dibandingkan dengan
implantasi plasenta yang tidak kontak dengan mioma uteri (60% vs
90%).
b. Kehamilan Trimester Akhir
- Persalinan Prematur dan Ketuban Pecah Dini
Persalinan preterm ditemukan lebih tinggi insidensinya (16,1% vs
8,7%) pada wanita hamil dengan mioma uteri dibandingkan yang
normal. Pada suatu meta analisis juga ditunjukkan mioma uteri
dalam kehamilan berkaitan dengan peningkatan risiko ketuban pecah
dini.
- Solusio Plasenta
Pada wanita hamil dengan mioma uteri akan meningkatkan resiok
terjadinya solusio plasenta hingga tiga kali lipat. Mioma
16
submukosum, mioma retroplasenta, dan volume mioma melebihi 200
cm3 merupakan faktor resiko terjadinya solusio plasenta.
- Plasenta Previa
Hubungan antara mioma uteri dan plasenta previa sudah diteliti pada
dua studi dimana adanya mioma uteri berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya plasenta previa sebanyak dua kali
lipat.
- Pertumbuhan Janin Terhambat dan Anomali Fetus
Jarang mioma uteri menyebabkan pertumbuhan janin terhambat.
Namun pada beberapa kasus mioma dapat menekan dan
menyebabkan distorsi pada kavum uterus sehingga menyebabkan
deformitas pada fetus.
c. Persalinan5
- Malpresentasi, distosia, dan seksio sesaria
Resiko malpresentasi meningkat pada wanita dengan mioma uteri
dibandingkan dengan kontrol (13% vs 4,5%). Mioma uteri yag besar,
multipel mioma dan mioma pada segmen bawah rahim. Beberapa studi
menunjukkan bahwa mioma uteri meningkatkan resiko seksio sesaria.
Pada studi sistematik wanita dengan mioma uterii meningkatkan resiko
seksio sesaria 3,7 kali lipat (48,8% vs 13,3%). Hal ini disebabkan
karena terjadinya distosia pada persalinan.
- Perdarahan Postpartum
Beberapa studi menunjukkan bahwa adanya peningkatan resiko
perdarahan postpartum dibandingkan dengan kontrol (2,5% vs 1,4%).
- Retensio Plasenta
Suatu studi menunjukkan peningkatan resiko retensio plasenta pada
wanita hamil dengan mioma uteri terutama bila mioma uteri berada
pada segmen bawah rahim.
- Ruptur Uterus Setelah Miomektomi
Ruptur uterus setelah miomektomi jarang terjadi. Pada studi
restrospektif yang dilakukan terhadap 120 wanita yangg dilakukan
miomektomi pada kehamilan aterm menunjukkan bahwa tidak ada
17
terjadinya ruptur uteri. Pada studi yang lain menunjukkan adanya
peningkatan resiko ruptur uteri setelah miomektomi sebesar 0,5%-1%.
Tabel 1. Beberapa Komplikasi Mioma Uteri Pada Kehamilan
2.10 Pengaruh Mioma Uteri Terhadap Fertilitas
Mioma uteri sering terjadi pada wanita dengan riwayat infertilitas. Mioma
uteri menyebabkan infertilitas pada 5-10% kasus. Belum diketahui dengan pasti
bagaimana mekanisme mioma uteri menyebabkan infertilitas. Ada beberapa
dugaan efek mioma uteri terhadap infertilitas. Keadaan hiperestrogenisme,
perubahan endometrium yang patologis seperti atrofi endometrium, distorsi
kelenjar endometrium, ulserasi endometrium merupakan penyebab terjadinya
kegagalan implantasi. Disfungsi kontraktilitas uterus berkontribusi terhadap
transpor sperma, ovum, dan embrio serta dapat menyebabkan kegagalan nidasi.
Selain itu, lokasi mioma uteri merupakan penyebab penting terjadinya infertilitas.
Mioma dapat mendistorsi kavum uteri atau menyumbat ostium tuba yang akan
mengganggu transport sperma dan embrio. Mioma uteri juga dapat menyebabkan
infertilitas karena kerusakan aliran darah endometrium dimana akan mengganggu
proses nidasi. Inflammasi lokal yang disebabkan oleh ulserasi mioma uteri
submukosa berperan pada perubahan lingkungan biokimiawi yang normal.30
18
Walaupun dampak mioma uteri masih dalam perdebatan, banyak studi
yang menunjukkan bahwa mioma submukosa dan intramural yang menyebabkan
distorsi endometrium berhubungan dengan penurunan implantasi dan tingkat
kehamilan. Hal ini terjadi pada massa yang kecil (<4 cm) dan massa yang besar
(>4 cm) mioma intramural. Beberapa studi juga menunjukkan kegagalan IVF
pada mioma uteri subserosum. Pada beberpa penelitian menunjukkan bahwa
penurunan tingkat implantasi dan kehamilan dilaporkan pada mioma intramural
dan submukosum karena berhubungan dengan distorsi endometrium. Suatu meta-
analisis studi IVF oleh Prits menyimpulkan bahwa mioma uteri submukosum
secara signifikan menghambat keberhasilan IVF sementara mioma uteri
subserosum ataupun intramural tidak memiliki dampak terhadap fertilitas.30
Pada penelitian di Italia, membandingkan tingat kehamilan dan abortus
pada wanita infertil dengan mioma uteri submukosum yang dilakukan
miomektomi dan tidak. Setelah pembedahn diinstruksikan untuk melakukan
hubungan seksual dan tidak mendapat pengobatan apapun. Tingkat kehamilan
meningkat menjadi 43% setelah pembedahan, tingkat abortus menurun menjadi
38%. Di Australia, dilakukan studi dengan membandingkan tingkat kehamilan
pada wanita dengan mioma uteri submukosum, intramural, subserosum ataupun
tanpa mioma uteri pada suatu program IVF. Hanya 1% wanita dengam mioma
uteri submukosum yang memperoleh kehamilan, 16% pada wanita dengan mioma
uteri intramural, 34% pada mioma uteri subserosum dan 30% pada wanita tanpa
mioma uteri. Pada penelitian di Israel melaporkan bahwa tingkat kehamilan yang
lebih rendah dan tingginya abortus pada program IVF pada wanita dengan mioma
uteri submukosum. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa wanita dengan mioma
uteri submukosum memiliki tingkat kehamilan 10% dan tingkat abortus sebesar
40% bila dibandingkan dengan wanita tanpa mioma uteri, dimana tingkat
kehamilan sebesar 25% dan tingkat abortus sebesar 25%. 30
Penelitian yang dilakukan untuk membandingkan keberhasilan IVF pada
112 wanita dengan mioma uteri intramural yang kecil (≤ 5 cm) dan wanita tanpa
mioma uteri dengan usia rerata 36,4 tahun pada kelompok wanita dengan mioma
uteri dan 34,6 tahun pada wanita tanpa mioma. Dari penelitian ini didapatkan
19
bahwa tingkat kehamilan dua kali lebih tinggi (28%) bila dibandingkan dengan
wanita dengan mioma (15%). 30
Mioma subserosum hanya memiliki dampak kecil terhadap fungsi
reproduksi wanita. Pada beberapa penelitian, tingkat keberhasilan IVF pada
wanita dengan mioma uteri subserosum sama dengan wanita tanpa mioma uteri.30
2.11 Abortus Pada Mioma Uteri
Mioma uteri dapat menjadi penyebab terjadinya masalah dalam kehamilan,
termasuk abortus. Jumlah terjadinya abortus spontan pada beberapa penelitian
pada trimester satu dan dua lebih tinggi pada wanita dengan mioma uteri.
Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkat terjadinya abortus lebih tinggi jika
implantasi terjadi pada uterus sumbukosum. Hal ini menunjukkan bahwa massa
mioma yang dekat dengan plasenta lebih sering menyebabkan perdarahan pada
awal kehamilan dan terjadinya abortus. Benson et al menunjukkan tingkat abortus
spontan sebesar dua kali lipat pada wanita dengan mioma uteri. Selain itu, tingkat
abortus juga lebih tinggi pada multipel mioma dibandingkan mioma tunggal dan
tidak ada hubungan antara ukuran atau lokasi mioma. Tingkat terjadinya abortus
pada mioma uteri sekitar 40% pada trimester pertama dan 17% pada trimester
kedua dan dengan adanya mioma submukosum dan intramural.
2.12 Patogenesis Terjadinya Abortus Pada Mioma Uteri
Mekanisme pasti bagaimana mioma uteri menyebabkan abortus masih
belum diketahui. Richard et al menemukan struktur miosit pada mioma uteri
abnormal bila dibandingkan dengan miometrium normal. Hal ini disimpulkan
bahwa abnormalitas spesifik ini dapat mempengaruhi metabolisme kalsium pada
jaringan mioma dimana dapat menyebabkan kontraktilitas uterus yang kemudian
menyebabkan abortus. Pertumbuhan dan degenerasi mioma juga dapat
menyebabkan terjadinya abortus.30
2.13 Tatalaksana mioma uteri dalam kehamilan
Nyeri mioma saat kehamilan biasanya diterapi dengan tirah baring, hidrasi,
dan analgesik. Penggunaan NSAIDs harus mempertimbangkan segala risiko pada
trimester ketiga bila digunakan >48 jam dengan efek penutupan duktus arteriosus
20
prematur, hipertensi pulmonal, perdarahan intrakranial, enterokolitis nekrotikan,
dan oligohidramnion.5,19
Miomektomi jarang dipilih sebagai pilihan terapi pada kehamilan trimester
awal. Bila diperlukan, bagaimanapun, beberapa penelitian telah melaporkan
bahwa miomektomi antepartum dapat dilakukan secara aman pada trimester
pertama dan kedua kehamilan. Miomektomi pada trimester awal dilakukan
dengan indikasi meliputi nyeri dari fibroid, ukuran fibroid >5 cm pada segmen
bawah uterus, dan gagal dilakukan tindakan konservatif. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah risiko perdarahan sampai nantinya diperlukan tindakan seperti
histerektomi purepural. Miomektomi yang dilakukan pada saat SC hanya dengan
indikasi fasilitasi kelahiran aman. 20
Beberapa kasus pernah dilaporkan tindakan miomektomi pada trimester
awal kehamilan. Wittch AC, et (2000 pernah melaporkan tindakan miomektomi
pada pasien primigravida, 31 tahun, dengan usia kehamilan 12 minggu yang
mengalami nyeri perut bawah yang hebat dimana pada pemeriksaan ultrasonografi
didapati massa yang besar pada daerah fundus uteri. Laparotomi ekplorasi dan
miomektomi dilakukan dan berhasil. Kehamilan juga berjalan tanpa ada masalah
sampai kehamilan aterm. Pda usia 37 minggu dilakukan seksio sesaria elektif. 8
Leach K, et (2011) melaporkan pasien primigravida, 30 tahun yang datang
pertama kali pada usia kehamilan 8 minggu dengan keluhan nyeri panggul dan
konstipasi. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan mioma uteri dengan
ukuran 11,5 x 11 cm pada posterior kanan uterus. Dua mnggu kemudian
dilakukan ultrasonografi ulang dan didapati ukuran massa yang bertambah besar
yaitu 14 cm. Pada ultrasonografi tampak 2 cm miometrium berada pada massa
mioma dan kavum uteri. Pasien juga mengalami perburukan klinis dan diberikan
analgetik narkotik oral dan NSAID namu tidak mengalami perbaikan klinis.
Kemudian dilakukan pemeriksaan MRI dan menunjukkan bahwa massa menekan
kolon, vesika urinaria, dan uretra proksimal. Pada pasien diputuskan untuk
dilakukan miomektomi. Miomektomi dilakukan pada usia kehamilan 11 minggu
dengan insisi vertikal. Pada ekplorasi kavum pelvis didapati mioma subserosum
pada daerah cul-de-sac posterior. Vasopressin diinjeksikan ke bagian kapsul
mioma (13x6x9 cm) untuk menurunkan kehilangan darah, dan massa diangkat
21
dengan diseksi tumpul dan kauter Bovie. Setelah pengangkatan mioma yang
besar, dilakukan pengangkatan mioma yang lebih lecil (7x5x2,5 cm) pada daerah
ostium uteri internum. Selama prosedur miomektomi dilakukan pemantauan
denyut jantung janin. Pada postoperatif keadaan pasien stabil. Kehamilan berjalan
dengan baik tanpa ada komplikasi yang terjadi.20
Tabel 2. Beberapa studi dan laporan kasus yang pernah dilakukan miomektomi
pada kehamilan trimester awal.20
Miomektomi konservatif dianggap sebagai metode yang aman tetapi eksisi
mioma submukosa berisiko tinggi terhadap rupturnya membran fetus dan
perdarahan. Intervensi operasi yang aman dianggap pada usia gestasi 16-30
minggu. Bonito et al. (2007) pada 5 pasien nya menunjukkan tidak ada komplikasi
kehamilan di mana 2 dari pasien tersebut mengalami persalinan secara seksio
sesarea pada cukup bulan. Adeyemi et al. (2007) melaporkan kesuksesan
pembuangan leiomioma subserosa besar dengan laparotmi tanpa ada komplikasi
pada kehamilan. Bartosova et al. (2008) berhasil membuang mioma dari pasien
wanita 18 minggu kehamilan dengan indikasi nyeri abdomen. Suwandinata et al.
(2008) berhasil melakukan pembuangan mioma uteri pada kehamilan usia 18
22
minggu dengan teknik operasi modifikasi yaitu jahitan simple interupted di sekitar
mioma untuk hemostasis baru dilakukan diseksi. Bhatla et al. (2009) secara sukses
membuang mioma subserosa 3900 gram pada trimester kedua kehamilan dengan
indikasi kompresi janin dan obstruksi usus subakut. Fanfani et al. (2010)
menunjukkan prosedur miomektomi laparoskopi sukses dilakukan pada usia
kehamilan 25 minggu pada mioma uteri subserosum dengan perdarahan terkontrol
tanpa komplikasi kehamilan. Hassiakos et al. (2006) pada 47 kasus mioma uteri
pada kehamilan tidak menunjukkan adanya perbedaan hasil dan komplikasi antara
operasi miomektomi konservatif dan miomektomi pada seksio sesarea. Merke
menyebutkan bahwa bila ukuran mioma lebih dari 6 cm, diperlukan ligasi arteri
uterina bilateral untuk mengurangi perdarahan. Satu pasien yang menerima hal ini
berhasil dialkukan persalinan normal tanpa komplikasi.21
Karimov et al. (2011) melakukan penelitian pada 28 wanita hamil dengan
mioma uteri pada kehamilan. Indikasi dilakukan pembedahan meliputi riwayat
miomektomi konservatif, mioma yang tumbuh dengan sangat cepat, trophopati,
nekrosis mioma, dan risiko tinggi aborsi. Dilakukan operasi dengan insisi
Pfannenstiel. Miomektomi dilakukan dengan cross seksi miometrium dengan
elektrokauter pada proyeksi konveks terbesar. Setelah itu, dilaukan juga insisi
pada bagian superfisial tumor. Secara hati-hati, kemudian dialkukan enukleasi
intrakapsular KGB mioma dengan koagulator bipolar hemostasis. Rongga yang
terbentuk dijahit dengan simple suture bahan absorbablet polomer. Diberikan
spasmolitik dan infus magnesium sulfat postoperatif. Hasil penelitian
menunjukkan 4 dari 28 pasien mengalami aborsi 12-22 hari setelah dilakukan
mioma konservatif. Pada 24 pasien lain, gejala mioma menghilang dan dapat
dilakukan persalinan normal.22
Embolisasi arteri uterina bilateral sejak lama dilakukan oleh radiologis
intervensional untuk mengontrol perdarahan postpartum. Lebih lanjut lagi, ligasi
arteri uterina telah digunakan sebagai prosedur terapi mioma dengan ukuran besar
pada wanita yang tidak hamil dan lebih penting lagi tidak menginginkan fertilitas
kembali. Studi prospektif mengenai ligasi arteri uterina bilateral yang dilakukan
setelah SC efektif menurunkan perdarahan postpartum dan meminimalisir risiko
miomektomi atau histerektomi dengan memicu penyusutan fibroid. Walaupun
23
tidak direkomendasikan, ada beberapa laporan dari ketidaksuksesan kehamilan
dengan terapi ini. Penelitian yang dilakukan oleh Liu WM, et al (2006) pada 48
orang wanita dengan mioma uteri yang direncanakan untuk seksio sesaria yang
dilakukan ligasi arteri uterina setelah penjahitan insisi uterus. Pada 26 orang
(54%) dari 48 pasien dilakukan ligasi arteri uterina selama seksio sesaria (grup I)
dan 22 pasien (46%) hanya dilakukan seksio sesaria saja (grup II). Kehilangan
darah rata-rata selama operasi sekitar 245 ± 92,3 ml pada grup I dan 278 ± 160,5
ml pada grup II. Kadar hemoglobin rata-rata postoperatif 11,2 ± 0,9 gr/dl pada
grup I dan 10,4 ± 1,1 g/dl pada grup II. Satu pasien pada grup II membutuhkan
transfusi darah karena perdarahan.23
Anita et al. (2007) melakukan miomektomi pada seksio sesarea di 9 wanita
yang menderita mioma uteri pada kehamilan. Konfirmasi mioma uteri dilakukan
dengan USG. Pada pasien ini, satu orang dengan mioma uteri submukosum dan 8
orang dengan mioma intramural. Mioma dienukleasi dan insisi uterus ditutup 2
lapis dengan bentuk huruf O. Perdarahan dikontrol tanpa kesulitan yang berarti.
Tidak ada komplikasi postoperatif yang terjadi. Stelah 6 minggu uterus
berinvolusi normal yang dinilai dengan ultrasonografi. Michalas et al. (1999)
melaporkan 8 kasus mioma uteri yang ditatalaksana dengan miomektomi saat
seksio sesarea menunjukkan keberhasilan tanpa komplikasi. Ehigieba et al. (2001)
pada 25 kasus miomektomi pada seksio sesarea hanya menunjukkan komplikasi
anemia. Roma et al. (2004) pada 111 wanita yang menajalni miomektomi saat
seksio sesarea menunjukkan tidak ada perbedaan perdarahan intraoperatif, demam
pospartum, waktu operasi, dan lamanya masa rawatan dibandingkan dengan
kelompok kontrol 257 pasien seksio sesarea normal.24
Akhtar et al. (2010) melaporkan kasus seorang wanita 27 tahun pada usia
kehamilan 35 minggu dengan keluhan gerakan janin yang berkurang dan adanya
mioma uteri. Pada usia kehamilan 21 minggu, dijumpai massa hipoekoik dengan
ukuran 14,72x13,47 cmm yang terlihat pada dinding anterior segmen bawah
rahim. Pada usia kehamilan 31 minggu pasien merasakan perut bawah yang lebih
berat, rasa berkemih yang tidak puas, dan beberapa keluhan bernafas. Pada usia
kehamilan 35 minggu pasien datang dengan keluhan gerakan janin yang
berkurang dan anemis sehingga pasien dirawat. Dua hari selama rawatan
24
dilakukan KTG dan terjadi gawat janin sehingga diputuskan untuk dilakukan
seksio sesaria. Setelah dievaluasi tampak massa tumor menutupi seluruh SBR
sehingga dilakukan insisi pada korpus uteri di atas massa tumor dan bayi
dilahirkan dengan ekstraksi bokong. Plasenta juga dilahirkan lengkap namun
terjadi perdarahan hebat sehingga diputuskan untuk dilakukan histerektomi.25
Miomektomi laparokopik adalah suatu teknik yang digunakan agar moima
intramural dan subserosa <9 cm dapat dilakukan dengan prosedur mnimal invasif.
Dibandingkan dengan miomektomi laparotomi, laparoskopik menjanjikan nyeri
postoperati, lama rawatan, dan kualitas hidup yang lebih baik. Pada teknik ini,
mioma dieksisi via garis histerotominya sendiri. Diseksi harus dilakukan pada
setiap daerah mioma yang berlekatan pada miometirum berupa pseudo kapsul
yang intak dengan serabut otot dan pembuluh darah uterina yang ada. Hemostasis
dilakukan dengan elektrokauter seminimal mungkin untuk meminimalisir risiko
ruptur uteri. Untuk mioma intramural dan subserosa, dilakukan inisisi serosa
vertikal pada permukaan konceks dengan hook monopolar. Sampai pada
pseudokapsul, forsep diposisikan untuk traksi mioma dan enukleasi dilakukan
dengan traksi mioma dan pembelahan mioma dengan hook unipolar atau
pembelahan mekanik. Dilakukan penjahitan satu atau dua lapis bergantung pada
kedalaman insisi.
Paul et al. (2006) melakukan miomektomi laparoskopi pada 141 pasien
wanita hamil dengan mioma uteri. Sebanyak 87 persalinan dilakukan dengan
seksio sesarea dan 19 normal. Ada 29 abortus dan 6 kehamilan ektopik. Tidak
ditemukan ruptur uterina. Soriano et al. (2003) pada 106 wanita infertil dengan
mioma uteri menunjukkan tidak ada perbedaaan antara prosedur miomektomi
laparoskopik dan laparokonversi. Dubuisson et al. (2000) menganjutkan
penggunaan elektrokauter yang berlebihan harus dihindari begitu juga dengan
penjahitan lapisan yang terlalui banyak, cukup satu atau dua lapis. Goldberg et al.
(2006) menganjurkan kontrol perdarahan dengan ligasi arteri uterina bilateral
setelah momektomi karena menunjukkan kualitas fertilitas selanjutnya yang lebih
baik.26
Santos L, et al (2006) melakukan tindakan miomektomi histeroskopi pada
pasien 37 tahun dengan usia kehamilan 6 minggu dengan mioma uteri
25
pedunculated. Pda pemeriksaan ultrasonografi didapatkan mioma pedunculated
dengan ukuran 4,1x4,7 cm. Pada pasien ini berhasil dilakukan tindakan
miomektomi histeroskopi sampai dan kehamilan mencapai usia aterm dan
persalinan berlangsung secara pervaginam tanpa adanya komplikasi.
Tabel 3. Tindakan miomektomi pada beberapa pasien pada trimester awal
kehamilan.
2.11 Perdarahan Saluran Cerna
a. Perdarahan Saluran Cerna Atas27,28
Perdarahan saluran cerna bagian atas (didefinisikan sebagai perdarahan yang
terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal (mencakup
esofagus, gaster, dan duodenum). Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian
atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum atau penggunaan obat-obat
anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol). Penyebab lain perdarahan
saluran cerna atas adalah ulkus duodenal, varises esofagus, Mallory-Weiss tear,
esofagistis erosiva, angioma, dan tumor gastrointestinal.
26
Perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75 % hingga
80% dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Banyak kemungkinan
penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas seperti ulkus duodenal (20–30 %),
varises esofagus (15 – 20 %), ulkus gaster (10 – 20 %), Mallory–Weiss tear (5–10
%), erosive esophagitis (5–10%), dan obat-obatan NSAID.
Gejala klinis perdarahan saluran cerna adalah:
1. Hematemesis
Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna atas, yang
berwarna coklat merah atau “coffee ground”
2. Hematokhezia
Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran cerna hagian
bawah, tetapi dapat juga dikarenakan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang
sudah berat.
3. Melena
Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran dan darah
bercampur asam lambung; biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna
bagian atas,atau perdarahan dari usus-usus ataupun kolon.
4. Disertai gejala anemia, pusing, syncope, angina atau dyspnea.
Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam
seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan saluran cerna bagian
atas atau proksimal ligamentum Treitz. Perdarahan saluran cerna bagian atas,
terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk melena.
Hematokezia (darah segar keluar per anum) biasanya berasal dari perdarahan
saluran cerna bagian bawah (kolon). Maroon stools (feses berwarna merah hati)
dapat berasal dari perdarahan kolon bagian proksimal (ileo-caecal).
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau pemasangan
selang nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi darah yang jelas terlihat;
cairan bercampur darah. Namun, aspirat perdarahan yang telah berhenti,
intermiten, atau tidak dapat dideteksi akibat spasme pilorik. Angiography dapat
digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana perdarahan berat, khususnya
27
ketika penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan dengan menggunakan
endoskopi atas maupun bawah. CT Scan dapat mengidentifikasi adanya lesi
massa, seperti tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang
mungkin dapat menjadi sumber perdarahan.
Perdarahan saluran cerna akut merupakan keadaan yang mengacam jiwa dimana
pasien harus segera dirawat. Mempertahankan saluran nafas dan volume
intravaskular merupakan tata laksana awal. Dapat diberikan infus kristaloid dan
transfusi darah jika diperlukan. Pasien dengan perdarahan aktif memerlukan
konsultasi emergensi untuk esofagogastroduodenoskopi (EGD). Pasien tanpa
perdarahan aktif dapatt dipantau dan diobservasi. Intervensi selama EGD meliputi
injeksi epinefrin submukosa, skleroterapi, dan ligasi. Jika tindakan ini gagal,
menghentikan perdarahan, angiografi dengan embolisasi atau pembedahan
mungkin diperlukan.
b. Perdarahan Saluran Cerna Bawah29
Perdarahan saluran cerna bawah merupakan perdarahan yang berasal dari
saluran cerna yang lebih distal seperti usus besar, rektum, dan anus. Beberapa
penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering adalah peyakit
divertikulitis, karsinoma gastrointestinal, Inflammatory bowel disease, diare
infeksius, polip, hemoroid dan fissura anus. Sumber perdarahan saluran cerna
bawah dapat diketahui melalui tindakan koloskopi. Kolonoskopi merupakan
diagnosis inisial yang dapat dipilih pada pasien dengan hemodinamik stabil.
Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bawah meliputi resusitasi, hemostasis
pada lokasi perdarahan, tindakan terapeutik untuk menghentikan perdarahan. Jik
lokasi perdarahan sudah diketahui, maka dapat dilakukan tindakan yang lebih
invasif. Pada perdarahan divertikular dapat dilakukan kolonoskopi dengan bipolar
probe koagulasi, injeksi epinefrin. Perdarahan yang berulang dapat dilakukan
reseksi segmen usus yang terlibat. Pada pasien dengan lokasi perdarahan yang
belum dapat ditentukan, maka dapat diberikan vasokonstriktor seperti
vassopressin. Jika vasopressin tidak berhasil maka embolisasi dapat dilakukan.
Indikasi tindakan operatif adalah perdarahan aktif dengan hemodiamik tidak stabil
yang persisten dan perdarahan berulang.
28
BAB 3
KESIMPULAN
Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan
jaringan ikat yang menyokongnya. Mioma uteri sering terjadi pada wanita dengan
usia 30-40 thun , namun juga dapat terjadi pada semua usia samapi usia 50 tahun.
Mioma uteri asimptomatik dapat terjadi pada 40-50% wanita dengan usia lebih
dari 35 tahun. Beberapa jenis mioma berdasarkan lokasinya adalah mioma
submukosa, intramural, subserosa, dan intraligamenter. Kebanyakan mioma uteri
asimptomatik. Tanda dan gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35-50%
pasien seperti perdarahan uterus abnormal, nyeri, gejala penekanan, dan
infertilitas.
Mioma uteri sering muncul bersamaan atau telah ada sebelum kehamilan.
Mayoritas mioma pada kehamilan bersifat asimpomatik. Beberapa komplikasi
mioma uteri dalam kehamilan berupa abortus, perdarahan, ketuban pecah dini,
persalinan prematur, solusio plasenta, plasenta previa, pertumbuhan janin
terhambat, malpresentasi, perdarahan postpartum, retensio plasenta dan ruptur
uterus setelah miomektomi.
Nyeri mioma saat kehamilan biasnaya diterapi dengan tirah baring, hidrasi, dan
analgesik. Miomektomi jarang dipilih sebagai pilihan terapi pada kehamilan
trimester awal. Bila diperlukan, bagaimanapun, beberapa penleitian telah
melaporkan bahwa miomektomi antepartum dapat dilakukan secara amaan pada
trimester pertama dan kedua kehamilan. Miomektomi konservatif dianggap
sebagai metode yang aman tetapi eksisi mioma submukosa berisiko tinggi
terhadap rupturnya membran fetus dan perdarahan. Miomektomi laparokopik
adalah suatu teknik yang digunakan agar moima intramural dan subserosa <9 cm
dapat dilakukan dengan prosedur mnimal invasif. Dibandingkan dengan
miomektomi laparotomi, laparoskopik menjanjikan nyeri postoperatif yang lebih
ringan, lama rawatan, dan kualitas hidup yang lebih baik.
29
Mioma uteri dapat menjadi penyebab terjadinya masalah dalam kehamilan,
termasuk abortus. Jumlah terjadinya abortus spontan pada beberapa penelitian pda
trimester satu dan dua lebih tinggi pada wanita dengan mioma uteri. Beberapa
studi menunjukkan bahwa tingkat terjadinya abortus lebih tinggi jika implantasi
terjadi pada uterus sumbukosum. Hal ini menunjukkan bahwa massa mioma yang
dekat dengan plasenta lebih sering menyebabkan perdarahan pada awal kehamilan
dan terjadinya abortus
Perdarahan slauran cerna dibagi menjad dua yaitu perdarahan saluran cerna atas
dan bawah. Perdarahan saluran cerna bagian atas (didefinisikan sebagai
perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum
distal (mencakup esofagus, gaster, dan duodenum). Sebagian besar perdarahan
saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum atau
penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol).
Penyebab lain perdarahan saluran cerna atas adalah ulkus duodenal, varises
esofagus, Mallory-Weiss tear, esofagistis erosiva, angioma, dan tumor
gastrointestinal. Perdarahan saluran cerna bawah merupakan perdarahan yang
berasal dari saluran cerna yang lebih distal seperti usus besar, rektum, dan anus.
Beberapa penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering adalah peyakit
divertikulitis, karsinoma gastrointestinal, Inflammatory bowel disease, diare
infeksius, polip, hemoroid dan fissura anus. Prinsip penatalaksanaan perdarahan
saluran cerna adalah memastikan patensi jalan nafas, kontrol cairan intravaskular,
menentukan lokasi perdarahan, dan menghentikan perdarahan.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Berek JS. Uterine masses, In: Gynecology. 14th edition. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia: 2007; 469-70
2. Bulun SE. Uterine fibroids. Mechanism of disease. N Engl J Med 2013;
369:1344-55.
3. The American College of Obstetricians and Gynaecologist. Uterine
fibroids. Available from:
https://www.acog.org/-/media/For-patients/faq074.pdf?
dmc=1&ts=20141116T1355069401 [Accesed November 10, 2014]
4. Horner KL. Leiomyoma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1057733-overview [Accesed
November 10, 2014]
5. Lee HJ, Norwitz ER, Shaw J. Contemporary management of fibroids in
pregnancy. Rev Obstet Gynecol 2010;3(1):20-7.
6. Joedosaputro MS. Tumor jinak alat genital. Dalam: Sarwono
Prawiroharjo, edisi kedua. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka.
Jakarta: 1994; 338-45
7. Cassini ML, Rossi F, Agostini R, Unfer V. Effects of the position of
fibroids on fertility. Gynecol Endocrinol 2006 Feb;22(2):106-9.
8. Wittich AC, Salminen ER, Yancey MK, Markenson GR. Myomectomy
during early pregnancy. Mil Med 2000 Feb;165(2):162-4.
9. Adeyemi A, Akinola S, Isawumi, AI. Antepartum myomectomy with a
live term delivery-a case report, Niger J. Clin. Pract., 2007;10(4):346-48
10. Suwandinata F, Gruessner S, Omwandho C, Pregnancy-preserving
myomectomy: preliminary report on a new surgical technique. Eur. J.
Contracept. Reprod. Health Care.2008;13(3):323-26
11. Bradley J, Voorhis V. Management options for uterine fibroids, In : Marie
Chesmy, Heather Whary eds. Clinical obstetric and Gynecology.
Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins: 2001; 314 –15.
31
12. Schwartz MS. Epidemiology of uterine leiomiomata. In : Chesmy M,
Heather, Whary eds. Clinical Obstetric and Ginecology. Philadelphia :
Lippincott Williams and Willkins: 2001; 316 –18
13. Scheib S. Uterine fiboid. Available from:
http://www.hopkinsmedicine.org/gynecology_obstetrics/specialty_areas/
gynecological_services/conditions/fibroids.html [Accesed November 10,
2014]
14. UCSF Comprehensive Fibroid Center. Fibroid treatment. Available from:
http://coe.ucsf.edu/coe/fibroid/treatments.html. [Accesed November 10,
2014]
15. Speroff L, Fritz MA. Abnormal uterine bleeding In Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility 8th ed. USA: Lippincott Williams &
Wilkins; 2011.p 611-12
16. De Vivoa A, et al. Uterine myoma during pregnancy: a longitudinal
sonographic study. Ultrasound Obstet Gynecol. 2011 Mar; 37(3):361-5.
17. Norton ME, Merril J, Cooper BA, et al. Neonatal complications after
administration of indomethacin for preterm labor. N Engl J Med.
1993;329:1602-7
18. Seki H, Takizawa Y, Sodemoto T. Epidural analgesia for painful myomas
refractory to medical therapy during pregnancy. Int J Gynaecol Obstet.
2003;83:303-4.
19. Dubuisson JB, Chavet X, Chapron C, et al. Uterine rupture during
pregnancy after laparoscopic myomectomy. Hum Reprod.
1995;10(6):1475-77.
20. Leach K, Khatain L, Tocce K. First trimester myomectomy as an
alternative to termination of pregnancy in a woman with a symptomatic
uterine leiomyoma : a case report. Journal of Medical Case Report 2011;
571(5):1-4
21. Fanfani F, Rossitto C, Fagotti A, Rosati P, Gallotta V, Scambia G.
“Laparoscopic myomectomy at 25 weeks of pregnancy: case report. J
Minim Invasive Gynecol. 2010;17 (1): 91-3.
32
22. Karimov Z, Khusankhodjaeva M, Abdikulov B. Myomectomy in the
pregnant. Med Health Sci J 2011; 9: 38-46.
23. Liu WM, Wang PH, Wang IT, Tzeng CR. Uterine artery ligation for
treatment of pregnant women with uterine leiomyomas who are
undergoing cesarean section. Fertil Steril. 2006 January 3;86:423-28.
24. Anita K, Seema M & Richa P. Cesarean myomectomy. Obs Gyn 2007; 2;
128-30.
25. Akhtar N, Sultana S, Zabin F. Large fibroid-a case report. Bangladesh J
Obstet Gynecol 2010; 25(2): 87-9.
26. Paul PG, Koshy AK, Thomas T. Pregnancy outcomes following
laparoscopic myomectomy and single-layer myometrial closure. Human
Reprod 2006; 21(12): 3278-3281.
27. Emedicine health. Gastrointestinal bleeding. Available from
http://www.emedicinehealth.com/gastrointestinal_bleeding/page5_em.htm
#gastrointestinal_bleeding_diagnosis [Acessed November 20 2014].
28. Cerulli MA. Upper gastrointestinal bleeding treatment & management.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/187857-treatment
[Acessed November 20 2014].
29. Cagir B. Lower gastrointestinal bleeding. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/188478-overview [Acessed
November 20 2014].
30. Khaud A, Lumsden MA. Impact of fibroids on reproductive function. Best
Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaaecology 2008; 22(4):
749-60.
33
BAB 4
LAPORAN KASUS
Ny. E, 44 tahun, G2P1A0, APK 15 tahun, menikah 1x usia 20 tahun, Minang,
Islam, SD, Petani, i/d Tn. B, 50 tahun, Batak, Islam, SD, Petani, datang ke RSPM
pada tanggal 4 Oktober 2014 dengan
KU: Riwayat keluar darah dari kemaluan
T : Hal dialami os 1 bulan ini, darah berwarna merah segar, volume 1x ganti
doek/hari. Riwayat keluar jaringan (-), riwayat keluar jaringan seperti mata ikan
(-). Riwayat haid lama dan banyak (+). Nyeri perut (+) dialami os sejak 3 minggu
yang lalu, nyeri bersifat hilang timbul. Riwayat trauma (-), riwayat perut dikusuk
(-), riwayat minum jamu-jamuan (-). Riwayat campur berdarah (-). Penurunan BB
(-), penurunan nafsu makan (-), riwayat demam (-). BAK (+) N, riwayat BAB
hitam seperti aspal (+) 4 hari sebelum masuk RS, mual (+), muntah (-), nyeri ulu
hati (+). Os merupakan pasien rujukan RS Penyabungan dengan diagnosa Abortus
iminens + Mioma + PSMBA
RPT : Mioma uteri, PSMBA
RPO : Transfusi PRC 5 bag
Riwayat haid : menarche usia 12 tahun, siklus teratur lama 6-7 hari, volume 2-3x
ganti doek/hari, dismenorhea (+), HT :30-8-2014
Riwayat KB : (-)
Riwayat operasi: (-)
Riwayat persalinan:
1. ♀, 2800 gr, aterm, PSP, bidan, klinik, 15 tahun, sehat.
2. Hamil ini
Status Present
Kesadaran : CM Anemis : (+)
Tekanan Darah: 120/90 mmHg Ikterik : (-)
Nadi : 78 x/i Cyanosis : (-)
Pernafasan : 24 x/i Dispnoe : (-)
34
Suhu : 36,8˚c Oedem : (-)
Tes Kehamilan : (+)
Status Lokalisata :
Kepala : Mata : Conj.palp.inf pucat (+), sklera ikterik (-)/(-)
T/H/M : dalam batas normal
Leher : TVJ R-2 cmH2O
Thorax : Paru : SP : Vesikuler pada kedua lapangan paru
ST : -
Jantung: S1, S2 dbn, HR: 78x/i reguler, gallop(-),
murmur (-)
Abdomen : soepel, Peristaltik (+) N
TFU : pertengahan pusat-simfisis
Hepar/Lien/Renal : tidak teraba
P/v : (-)
Ekstremitas : Oedema pretibial (-)
BAK : (+) via kateter, UOP : 500 cc, warna jernih
Status ginekologis :
Inspekulo : Porsio licin, erosi (-), F/A (-), darah (-), lividae (+)
VT : Cx tertutup
UT AF > BB, dengan pole atas pertengahan pusat-simfisis, permukaan rata,
mobile, nyeri tekan (-).
Adneksa kanan-kiri tidak teraba massa
Parametrium kanan-kiri lemas ttb massa
CD tidak menonjol
Nyeri goyang servik (-).
USG TAS
- KK terisi baik
- GS (+) intrauterin 22,5 mm, fetal pole (+)
35
- Tampak massa hiperechoic, kesan berasal dari uterus dengan ukuran I : 76,5 x
77,8 mm ; II: 53,2 x 52,0 mm
- Kedua adneksa dalam batas normal
K: IUP (5-6) mgg + Mioma uteri submukosum
Hasil Laboratorium:
- Hb : 7,8 g/dl (12-14 g/dl)
- WBC : 10.200 uL (4000-10000 uL)
- PLT : 385.000 uL (150.000-440.000 uL)
- Ht : 24.9% (36-42%)
- KGD ad R : 87 mg/dl (<140 mg/dl)
- SGOT : 22 U/I (0-40 U/I)
- SGPT : 16 U/I (0-40 U/I)
- Alkaline Phospatase : 65 U/I (30-142 U/I)
- Total Bilirubin : 2,07 mg/dl (0,00-1,2 mg/dl)
- Direct bilirubin : 0,64 mg/dl (0,05-0,3 mg/dl)
- Ureum : 10 mg/dl (10-50 mg/dl)
- Creatinin : 0,5 mg/dl (0,6-1,2 mg/dl)
- Albumin : 3,1 g/dl (3,6-5,0 g/dl)
- Na : 149 mmol/dl (136-155 mmol/dl)
- K : 3,1 mmol/dl (3,5-5,5 mmol/dl)
- Cl : 101 mmol/L (95-103 mmol/dl)
Diagnosa:
Abortus Iminens + Mioma uteri+ Anemia + Post PSMBA
Terapi:
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Transamin 500 mg/12 jam
Rencana:
- Rawat
36
- Transfusi PRC = (10-7,8) x 47 x 3 = 310 cc 2 bag PRC
- Konsul Penyakit Dalam rawat bersama.
Hasil Konsul Penyakit Dalam
Dx: Post PSMBA + Abortus Iminens + Mioma uteri+ Anemia
Terapi:
- Bed Rest
- Inj. Ozid 40 mg/12 jam
- Inj. Transamin 500 mg/12 jam
- Terapi lain sesuai TS
- ACC rawat bersama di bagian TS
Follow up tgl 5 Oktober 2014
S : (-)
O : Status Present
Kesadaran : CM Anemis : (+)
Tekanan Darah : 110/70 mmHg Ikterik : (-)
Nadi : 80 x/i Cyanosis : (-)
Pernafasan : 20 x/i Dispnoe : (-)
Suhu : 36,5˚c Oedem : (-)
Status Lokalisata:
Abdomen : soepel, Peristaltik (+) N
TFU : pertengahan pusat-simfisis
P/v : (-)
BAK : (+) via kateter, UOP : 50 cc/jam
A : Mioma uteri + SG + KDR (5-6) mgg + Anemia + Post PSMBA
P :
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Transamin 500 mg/12 jam
37
- Omperazole tab 2x1
- Transfusi PRC 2 bag cek darah rutin post transfusi
Follow up tgl 6 Oktober 2014
S : (-)
O : Status Present
Kesadaran : CM Anemis : (-)
Tekanan Darah : 110/80 mmHg Ikterik : (-)
Nadi : 80 x/i Cyanosis : (-)
Pernafasan : 20 x/i Dispnoe : (-)
Suhu : 36,5˚c Oedem : (-)
Status Lokalisata:
Abdomen : soepel, Peristaltik (+) N
TFU : pertengahan pusat-simfisis
P/v : (-)
BAK : (+) via kateter, UOP : 50 cc/jam aff
A : Mioma uteri + SG + KDR (5-6) mgg + Post PSMBA
P :
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Transamin 500 mg/12 jam
- Omperazole tab 2x1
Hasil Laboratorium:
- Hb : 9,5 g%
- WBC : 21.000 /mm3
- PLT : 298.000 uL
- Ht : 29.30%
Rencana:
- PBJ kontrol Poli ginekologi dan PIH.
38
ANALISA KASUS
Dilaporkan kasus Ny. E, 44 tahun, G2P1A0 dengan keluhan riwayat keluar darah
dari kemaluan dialami sejak 1 bulan ini tidak ada riwayat keluar jaringan seperti
mata ikan dan mual dan muntah berlebihan. Dijumpai riwayat haid lama dan
banyak. Pada pasien juga riwayat BAB hitam, mual, dan nyeri ulu hati. Pasien
merupakan rujukan dari RS Penyabungan dengan diagnosa abortus iminens +
mioma + PSMBA
Pada status presens dalam batas normal. Pada pemeriksaan lokalisata dan
ginekologis dijumpai tinggi fundus uteri lebih besar dari usia kehamilan. Hal ini
dikonfirmasi dengan pemeriksaan ultrasonografi didapati kehamilan intrauterin
dan mioma uteri submukosum. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai anemia
sehingga pasien dirawat untuk direncanakan perbaikan KU. Pasien juga
dikonsulkan ke bagian penyakit dalam dengan diagnosa post PSMBA dan
mendapatkan terapi untuk mengatasi PSMBA pada pasien. Dengan adanya
riwayat BAB hitam, mual, dan nyeri ulu hati serta pada pemeriksaan fisik tidak
dijumpai pembesaran limpa dan fungsi hati dalam batas normal, maka dapat
disimpulkan bahwa PSMBA pada pasien ini disebabkan karena ulkus gaster.
Dalam masa rawatan, keadaan pasien baik dan akhirnya pasien dianjurkan untuk
kontrol poli. Pada pasien ini didapati adanya mioma uteri submukosum dan hal ini
merupakan faktor yang berperan terjadinya abortus dimana pada pasien ini sangat
kecil kemungkinan kehamilannya berlangsung dengan baik sampai aterm karena
berdasarkan literatur bahwa resiko terjadinya abortus pada mioma uteri
submukosum dengan kehamilan trimester pertama meningkat menjadi 40%. Pada
pasien ini seharusnya dilakukan evaluasi keadaan kehamilan sebelum pasien
dipulangkan yaitu dengan pemeriksaan ultrasonografi.
39
Permasalahan
No. Permasalahan Pembahasan
1. Berapa persen probabilitas
terjadinya kehamilan pada mioma
uteri submukosum?
Ada beberapa penelitian yang melaporkan
bahwa mioma uteri submukosum memiliki
probabilitas kehamilan yang paling rendah
dibandingkan dengan mioma uteri
intramural dan subserosum. Dari beberapa
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
terjadinya kehamilan pada mioma
submukosum sekitar 1-10%
2. Bagaimana kemungkinan
kelangsungan kehamilan pada
pasien ini?
Pada pasien ini didapati adanya mioma
uteri submukosum dan hal ini merupakan
faktor yang berperan terjadinya abortus
dimana pada pasien ini sangat kecil
kemungkinan kehamilannya berlangsung
dengan baik sampai aterm karena
berdasarkan literatur bahwa resiko
terjadinya abortus pada mioma uteri
submukosum dengan kehamilan trimester
pertama meningkat menjadi 40%.
3. Apakah ada indikasi dilakukan
abortus terapeutik pada pasien
ini?
Apabila pada pemeriksaan ultrasonografi
ditemukan kantong gestasi yang irreguler
atau keadaan missed abortion, dapat
dilakukan abortus terapeutik pada pasien
ini dan mengingat pada pasien ini dengan
mioma uteri submukosum sangat kecil
kemungkinan kelangsungan kehamilan
hingga aterm.
4. Apakah ada indikasi pemberian
terapi hormonal dan tindakan
operatif pada pasien ini?
Menurut literatur, mioma uteri dapat
berikan terapi hormonal seperti kontrasepsi
oral, preparat progesteron, dan agonis
40
GnRH. Namun pada pasien ini mengingat
pasien dalam keadaan hamil trimester
pertama, dimana dalam masa
organogenesis terapi kontrasepsi oral dan
agonis GnRH tidak dapat diberikan karena
bersifat teratogenik. Ada beberapa literatur
yang menyebutkan bahwa preparat
progesteron (gestagen) dapat diberikan
pada pasien mioma uteri submukosum
dengan kehamilan karena preparrat
progesteron dapat mempertahankan korpus
luteum dan mengurangi ukuran mioma
hingga 40% selama kehamilan.
Pada pasien ini belum ada indikasi untuk
dilakukan tindakan operatif karena
menurut literatur sebaiknya dilakukan
tindakn konservatif terlebih dahulu, namun
apabila gagal dalam tindakan konservatif
maka dapt dilakukan tindakan operatif.
41