MGI Bulletin Edisi Desember 2015

26
MATAGARUDA INSTITUTE melahirkan buah pikiran menumbuhkan gagasan membawa perubahan | | Edisi 5 Desember 2015 | Pengantar Redaksi T.A. Octaviani Dading Produser Editorial MGIB Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Om Swastiastu. Suatu hari, saya membaca brosur BKPM di dalam pesawat yang menyebutkan beberapa “nilai tambah” Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri. Salah satunya adalah grafik mengenai betapa rendahnya harga buruh atau tenaga kerja di Indonesia dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Mengapa murahnya harga tenaga manusia disebut sebagai sebuah nilai tambah? Dan mengapa kita bangga atas hal tersebut? Selain itu, yang sering kita dengar adalah pada tahun 2020-2040 kita akan memiliki “bonus” demografi sebesar 70% usia produktif yang akan dapat menanggung 30% orang di usia tidak produktif. Di sisi lain, apakah kita menyebutnya sebagai “bonus” karena ini berarti semakin banyak orang yang dapat dipekerjakan? Buletin MGI kali ini mengulas pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia dalam kaitannya dengan lapangan pekerjaan. Namun, MGI berharap kita bisa tetap kritis dalam melihat kaitan antara pendidikan dan lapangan pekerjaan sebagai sebuah mata rantai. Sekolah sebagai alat pendidikan diciptakan pada sekitar abad ke-17 untuk memasok buruh dan pekerja yang taat ke pabrik-pabrik dalam revolusi industri. Namun kemudian, kritik Foucauldian ini-pun melihat perkembangan positif pendidikan pada abad ke-19 di mana cara berpikir kritis bahkan terhadap pendidikan itu sendiri makin berkembang. Kembali ke tanah air kita sendiri, kita telah melihat peningkatan pos subsidi pendidikan pada APBN negara untuk memberikan dukungan pada sektor pendidikan yang berarti “sekolah”. Namun, tujuan menyekolahkan seseorang seharusnya bukan semata untuk menjadi pekerja yang cocok Isi: 1. Menghindari Talent Brain Drain (1) 2. Melihat & Belajar dari INDIA (3) 3. Mengapa Singapura dak kehilangan talent? (6) 4. Sinergi BUMN & Lulusan Beasiswa Negara (7) 5. Dinamika Ketenagakerjaan Pertanian (9) 6. ASN & Dilema Meritokrasi (12) 7. Pemanfaatan Bonus Demografi (14) 8. Cerdas Saja Tidak Cukup (16) 9. Ekspektasi Dunia Kerja Indonesia (17) 10. Sinergi LPDP & Alumninya dengan Instusi Pemerintahan (20) 11. Sistem Longlife Learning (22) 12. Kaleidoscope (24) Registered Bulletin ISSN: 2443-0072 | | www.thinktank.matagaruda.co.id [email protected] Ketenagakerjaan Roadmap dan Talent Management Indonesia 1. Menghindari Indonesia's Talent Brain Drain: Mari, Eksplorasi Potensi Diri Menuju Sukses! Agustina Kusuma Dewi, S.Sos. BPI LPDP, PK-37 Magister Desain, ITB Dosen di DKV Unpas dan FSRD ITENAS Bandung Keka berbagai bencana alam sedang mendera Indonesia dan membuat seluruh masyarakat berduka, apakah pengembangan diri masih tetap diperlukan? Ternyata pengembangan diri justru bisa menjadi salah satu jendela yang membuka cakrawala baru menuju perbaikan Indonesia. Bagaimana mungkin? Analogikan begini, jika seseorang bertanya kepada Anda, “Apakah yang ingin Anda raih dalam kehidupan ini?” Mungkin berbagai macam jawaban akan diperoleh. Untuk sebagian orang, meraih hidup yang tenang dan bahagia sudah lebih dari cukup – mereka lebih suka menerima apa yang harus diterima tanpa berusaha meningkatkan derajat kehidupan mereka menjadi lebih nggi lagi. Namun untuk beberapa orang – yang sampai saat ini masih termasuk golongan orang- orang minoritas – hanya sekedar menerima saja apa yang harus diterima daklah cukup. Orang-orang minoritas ini percaya bahwa seap manusia dilahirkan dengan kelebihan dan kemuliaan diri (disamping juga kelemahan-kelemahan dan kekurangan- kekurangan diri yang sesungguhnya bisa diopmalkan dan dijadikan kelebihan untuk konteks tertentu), yang disebut dengan akal dan kesadaran, yang membedakan derajatnya dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Dengan akal dan kesadaran ini, kaum minoritas tersebut berusaha menggali potensi diri yang dimiliki dengan semaksimal mungkin, kemudian mengasah kemampuan diri mereka untuk dapat mencerma dan meraih segala macam momentum yang terkandung dalam seap peluang yang ada dalam kehidupan, serta menciptakan peluang-peluang tersebut menjadi kesempatan yang diciptakan sendiri menjadi 'ada' dan berprospek potensial. Jika golongan minoritas ini mampu, mengapa kita – Anda – dak? Kaum Minoritas vs Kaum Mayoritas. Mungkin apa yang disampaikan di atas hanya sebuah analogi sepihak yang sangat tendensius. Tapi kenyataan tersebut nampak begitu jelas terjadi – terutama saat persaingan terbuka mbul dan semakin ketat keka dunia menuju era globalisasi. (Illustration: aussiemigrationlaw.com.au) ...bersambung ke hal 25

description

Ketenagakerjaan dan Roadmap Talent Management Indonesia

Transcript of MGI Bulletin Edisi Desember 2015

MATAGARUDA INSTITUTE

BULLETINmelahirkan buah pikiran menumbuhkan gagasan membawa perubahan| |

Edisi 5 Desember 2015|

Pengantar RedaksiT.A. Octaviani DadingProduser Editorial MGIB

Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Om Swastiastu.

Suatu hari, saya membaca brosur BKPM di dalam pesawat yang menyebutkan beberapa “nilai tambah” Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri. Salah satunya adalah grafik mengenai betapa rendahnya harga buruh atau tenaga kerja di Indonesia dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Mengapa murahnya harga tenaga manusia disebut sebagai sebuah nilai tambah? Dan mengapa kita bangga atas hal tersebut?

Selain itu, yang sering kita dengar adalah pada tahun 2020-2040 kita akan memiliki “bonus” demografi sebesar 70% usia produktif yang akan dapat menanggung 30% orang di usia tidak produktif. Di sisi lain, apakah kita menyebutnya sebagai “bonus” karena ini berarti semakin banyak orang yang dapat dipekerjakan? Buletin MGI kali ini mengulas pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia dalam kaitannya dengan lapangan pekerjaan. Namun, MGI berharap kita bisa tetap kritis dalam melihat kaitan antara pendidikan dan lapangan pekerjaan sebagai sebuah mata rantai.

Sekolah sebagai alat pendidikan diciptakan pada sekitar abad ke-17 untuk memasok buruh dan pekerja yang taat ke pabrik-pabrik dalam revolusi industri. Namun kemudian, kritik Foucauldian ini-pun melihat perkembangan positif pendidikan pada abad ke-19 di mana cara berpikir kritis bahkan terhadap pendidikan itu sendiri makin berkembang. Kembali ke tanah air kita sendiri, kita telah melihat peningkatan pos subsidi pendidikan pada APBN negara untuk memberikan dukungan pada sektor pendidikan yang berarti “sekolah”.

Namun, tujuan menyekolahkan seseorang seharusnya bukan semata untuk menjadi pekerja yang cocok

Isi:1. Menghindari Talent Brain Drain (1)2. Melihat & Belajar dari INDIA (3)3. Mengapa Singapura �dak kehilangan

talent? (6)4. Sinergi BUMN & Lulusan Beasiswa

Negara (7)5. Dinamika Ketenagakerjaan Pertanian (9)6. ASN & Dilema Meritokrasi (12)7. Pemanfaatan Bonus Demografi (14)8. Cerdas Saja Tidak Cukup (16)9. Ekspektasi Dunia Kerja Indonesia (17)10. Sinergi LPDP & Alumninya dengan

Ins�tusi Pemerintahan (20)11. Sistem Longlife Learning (22)12. Kaleidoscope (24)

Registered Bulletin ISSN: 2443-0072 | | www.thinktank.matagaruda.co.id [email protected]

Ketenagakerjaan Roadmapdan

Talent Management Indonesia

1. Menghindari Indonesia's

Talent Brain Drain:

Mari, Eksplorasi Potensi

Diri Menuju Sukses!

Agustina Kusuma Dewi, S.Sos.

BPI LPDP, PK-37

Magister Desain, ITB

Dosen di DKV Unpas dan FSRD ITENAS Bandung

Ke�ka berbagai bencana alam sedang mendera Indonesia dan membuat seluruh m a s y a r a k a t b e r d u k a , a p a k a h pengembangan diri masih tetap diperlukan? Ternyata pengembangan diri justru bisa menjadi salah satu jendela yang membuka ca k rawa l a b a r u m e n u j u p e r b a i ka n Indonesia. Bagaimana mungkin? Analogikan begini, jika seseorang bertanya kepada Anda, “Apakah yang ingin Anda raih dalam kehidupan ini?” Mungkin berbagai macam jawaban akan diperoleh. Untuk sebagian orang, meraih hidup yang tenang dan bahagia sudah lebih dari cukup – mereka lebih suka menerima apa yang harus diterima tanpa berusaha meningkatkan derajat kehidupan mereka menjadi lebih �nggi lagi.

Namun untuk beberapa orang – yang sampai

saat ini masih termasuk golongan orang-

orang minoritas – hanya sekedar menerima

saja apa yang harus diterima �daklah cukup.

Orang-orang minoritas ini percaya bahwa

se�ap manusia dilahirkan dengan kelebihan

dan kemuliaan dir i (disamping juga

kelemahan-kelemahan dan kekurangan-

kekurangan diri yang sesungguhnya bisa

diop�malkan dan dijadikan kelebihan untuk

konteks tertentu), yang disebut dengan akal

dan kesadaran , yang membedakan

derajatnya dengan makhluk ciptaan Tuhan

yang lain. Dengan akal dan kesadaran ini,

kaum minoritas tersebut berusaha menggali

potensi diri yang dimiliki dengan semaksimal

mungkin, kemudian mengasah kemampuan

diri mereka untuk dapat mencerma� dan

meraih segala macam momentum yang

terkandung dalam se�ap peluang yang ada

dalam kehidupan, serta menciptakan

pe luang-pe luang tersebut menjad i

kesempatan yang diciptakan sendiri menjadi

'ada' dan berprospek potensial. Jika

golongan minoritas ini mampu, mengapa

kita – Anda – �dak?

Kaum Minoritas vs Kaum Mayoritas.

Mungkin apa yang disampaikan di atas hanya

sebuah analogi sepihak yang sangat

tendensius. Tapi kenyataan tersebut nampak

begitu jelas terjadi – terutama saat

persaingan terbuka �mbul dan semakin

ketat ke�ka dunia menuju era globalisasi.

(Illustration: aussiemigrationlaw.com.au)

...bersambung ke hal 25

2

Pasar bebas dengan segala kemungkinan

d a n c e l a h u n t u k s u k s e s b u k a n

m e n j a d i k a n ' k a u m ' m i n o r i t a s

melebarkan sayapnya dan menjadi

' k a u m ' m a y o r i t a s , m e l a i n k a n

m e ny u r u t ka n o ra n g - o ra n g ya n g

tergabung di dalamnya. Kebanyakan dari

mereka takut gagal. Ada juga yang

merasa �dak percaya pada kemampuan

dan potensi diri sendiri dan memilih

menjadi penonton di luar arena saja.

Lalu muncul pertanyaan, siapakah

sesungguhnya kaum minoritas ini?

Dari berjuta-juta rakyat Indonesia,

mungkin anda dapat menyebutkan

bahwa hanya sekitar 5%-10 % dari

mereka yang mampu untuk melihat

peluang (bisnis) sebagai celah sekaligus

juga kesempatan. Golongan 5%-10%

inilah yang saya sebut sebagai kaum

minoritas – yaitu mereka yang mampu

untuk memo�vasi diri dalam menggali

potensi yang dimiliki semaksimal

mungkin, untuk mencapai kesuksesan

yang juga maksimal. Sementara sisanya

– yang diis�lahkan oleh saya sebagai

kaum mayoritas – adalah mereka yang

belum – bukan �dak, karena saya yakin

suatu saat mereka akan menjadi –

mampu menggali potensi diri mereka

untuk meraih segala peluang yang ada

dalam kehidupan. Kaum mayoritas ini

lebih suka bekerja dan menjalani

kehidupan melalui cara-cara aman –

dalam ar�an asal sudah bekerja sudah

cukup, asal memperoleh pendapatan

sudah cukup, asal �dak gagal berar�

semua sudah terkendali dan sukses –

tapi �dak ada keinginan untuk mencapai

kesuksesan yang lebih �nggi lagi. Alasan

dan per�mbangan semacam i tu

m e m a ng � d a k s e p e n u h nya b i s a

disa lahkan, namun j ika memang

demikian, jika kita memilih untuk

menjadi mayoritas, maka kita hanya akan

menjadi orang kebanyakan yang biasa-

biasa saja tanpa mengembangkan

potensi diri untuk menjadi is�mewa

yang sejak lahir sesungguhnya telah

d i s e m at ka n d a l a m s e� a p j i wa

manusia. Untuk beberapa orang,

kesuksesan dianggap sebagai sesuatu

yang tergantung pada keberuntungan.

Namun �dak begitu menurut Thomas

A l v a E d i s o n ; m e n u r u t n y a ,

keberhasilan seseorang adalah 1%

keberuntungan dan 99% usaha. Lalu

u s a h a y a n g b a g a i m a n a y a n g

memungkinkan seseorang untuk

berhasil dan sukses?

Self-Actualiza�on: Potensi Diri Alamiah

vs Materi.

Abraham Maslow, sos io log yang

terkenal, menyatakan bahwa dari

beberapa kebutuhan dasar manusia,

salah satu kebutuhan yang berkaitan

dengan harga diri dan kebanggaan

seseorang ditunjukkan dalam self-

actualiza�on atau kebutuhan akan

pemenuhan diri. Kita bukan saja ingin

mempertahankan kehidupan, tetapi juga

ingin meningkatkan kualitas kehidupan

dan juga ingin memaksimalkan potensi-

potensi diri. Dengan ucapan Maslow

sendiri – what a man can be, he must be

– kebutuhan akan pemenuhan diri dapat

dilakukan melalui berbagai bentuk,

antara lain: (1) mengembangkan dan

menggunakan potensi-potensi diri

dengan cara yang krea�f konstruk�f,

misalnya: melalui seni, musik, sains, atau

hal-hal yang mendorong pengungkapan

diri yang krea�f; (2) memperkaya

kua l i tas kehidupan dengan cara

memperluas rentangan dan kualitas

pengalaman serta pemuasan, misalnya

dengan jalan darmawisata ke tempat-

tempat yang memiliki nilai historis atau

budaya (di satu sisi kita memperoleh

re laksas i dan pada s is i la in k i ta

mendapatkan pengetahuan); (3)

membentuk hubungan yang hangat dan

berar� dengan orang-orang lain di

sekitar kita (yang lebih jauh lagi dapat

mendukung kemungkinan kita untuk

m e n c i p t a k a n d a n m e m p e r l u a s

hubungan dan jar ingan ker ja d i

k e m u d i a n h a r i ) ; ( 4 ) b e r u s a h a

'memanusia', menjadi persona – diri –

yang kita dambakan (yang berkaitan erat

dengan konsep diri – bagaimana kita

memandang diri kita sendiri) (Coleman,

1976:105).

Ada kecenderungan yang tampak

dewasa ini; yaitu, pengembangan

mo�vasi menjadi sesuatu yang mahal

harganya dan harus selalu didukung oleh

a d a n y a k e m a m p u a n m a t e r i .

Sesungguhnya, materi hanya menjadi

faktor kedua setelah potensi diri yang

dimiliki sendiri. Mengapa demikian?

Seseorang yang kaya raya, namun �dak

memiliki kemauan untuk menggali –

mengeksplorasi – potensi diri yang

dimilikinya semaksimal mungkin sama

saja seper� nyala api yang kecil dan

lemah, yang �dak mungkin sanggup

bertahan bila ter�up oleh angin. Namun

seseorang yang tahu bagaimana

mengeksplorasi potensi dirinya hingga

kemudian menumbuhkan mo�vasi

untuk maju dan lebih maju lagi –

d i d u k u n g d e n g a n a t a u t a n p a

kemampuan materi – akan sanggup

bertahan seka l ipun ang in besar

menghempas dirinya. Bukankah ilmu

pengetahuan dan akal menjadi senjata

dan harta yang abadi dan potensial

dalam diri se�ap manusia? Dengan kata

lain, untuk maju, seseorang harus

percaya pada kemampuan dirinya

sendiri. Tentu saja, kemampuan harus

didukung oleh faktor la in, ya itu

kemauan.

Kemauan: dari sesuatu yang abstrak menjadi nyata.

Kemauan jarang dibicarakan secara

khusus dalam buku-buku pengantar

psikologi; walaupun orang sering

menggunakan is�lah 'kuat kemauan'

atau 'kurang kemauan'. Kemauanlah

yang membuat orang besar atau kecil.

Kemauan erat ka itannya dengan

� n d a k a n , b a h k a n a d a y a n g

mendefinisikan kemauan sebagai

�ndakan yang merupakan usaha

seseorang untuk mencapai tujuan.

Dalam kemauan, bila dirangkum dari

pernyataan Richard Dewey dan W.J.

Humber, terkandung keinginan untuk

mencapai suatu tujuan, pengetahuan

tentang cara-cara yang diperlukan untuk

mencapai tujuan, kecerdasan dan energi

y a n g m e m p e n g a r u h i u s a h a ,

pengeluaran energi yang efek�f dan

efisien untuk mencapai tujuan, serta

kejelian.

Seseorang yang jeli adalah seseorang

yang – setelah mampu mengeksplorasi

(Illustration: ceo.com)

3

(© penulis) (© penulis) (© penulis)

potensi dalam dirinya – tanggap terhadap segala peluang

yang muncul dalam berbagai bidang dan menjadikannya

sebagai kesempatan yang seolah-olah memang diciptakan

hanya bagi dirinya sendiri. Kejelian terhadap peluang

tersebut harus didukung pula oleh adanya kemampuan untuk

menganalisis kekuatan dan kebutuhan pasar bisnis – sektor

laba maupun sektor nirlaba. Seseorang yang tahu peluang

dalam bisnis yang berorientasi laba, dapat meramalkan apa

yang akan dibutuhkan oleh masyarakat dan apa yang harus

diciptakan untuk menumbuhkan adanya rasa butuh dalam

diri masyarakat. Mereka tahu dan kenal aroma persaingan –

namun mereka �dak takut gagal karena mereka yakin setelah

satu kesempatan gagal, akan selalu ada kesempatan yang lain.

Seseorang yang jeli akan peluang dalam bisnis yang bergerak

dalam sektor nirlaba – sekalipun orientasinya bukan

di��kberatkan pada perolehan omzet/pendapatan – namun

karena ia tahu peluang, maka ia dapat membalikkan peluang

yang ada menjadi kesempatan untuk dirinya menciptakan

sektor-sektor bisnis berorientasi laba. Karena itu dibutuhkan

adanya perhitungan-perhitungan yang tepat dan rasional,

didukung adanya ins�ng yang kuat yang semakin terasah

hanya dengan cara dilakukan dan digunakan.

Kegagalan adalah Keberhasilan yang Tertunda.

Pada akhirnya, setelah seluruh uraian diatas, kita akan

mencapai satu kesimpulan bahwa kesuksesan hanya dapat

diperoleh bila kita mampu mengeksplorasi potensi diri yang

dimiliki dengan semaksimal mungkin dan menggunakannya

secara tepat – efek�f dan efisien. Dalam proses penggalian

potensi diri dibutuhkan adanya kemauan untuk belajar,

kecerdasan dan keikhlasan untuk mengeluarkan energi; baik

energi yang sifatnya materi dan atau nonmateri, serta

pengembangan mo�vasi yang didukung adanya kepercayaan

terhadap konsep diri. Setelah hal itu sanggup dilakukan, maka

dalam diri kita secara sadar ataupun �dak akan muncul satu

naluri yang terasah dan peka terhadap berbagai peluang yang

�mbul dalam dunia bisnis, baik yang berorientasi pada sektor

laba maupun sektor nirlaba. Dengan kejelian sekalipun

kemampuan yang ada dalam diri, kita akan sanggup untuk

mengejar dan meraih momentum yang ada dalam se�ap

peluang, menjadikannya kesempatan yang seolah-olah

tercipta memang hanya untuk kita – dan meraih kesuksesan

ya n g m e m b awa k i ta m e n ca p a i ke b u t u h a n a ka n

pengaktualisasian diri yang lebih �nggi lagi. Jangan pernah

takut untuk gagal, karena kegagalan adalah proses kita

menuju pencapaian yang lebih besar lagi. Jangan pernah

takut untuk mengubah perspek�f kita selama ini, karena

memandang segala hal secara lateral memungkinkan kita

untuk menemukan solusi terbaik pada perbaikan bukan

hanya sekedar alterna�f solusi. Jika demikian, tunggu apa lagi,

mari eksplorasi diri menuju sukses yang abadi, bukan hanya

sekedar dalam benak, ide dan gagasan belaka! (-)

2. Melihat & Belajar dari India

Naufal Rospriandana, S.T.

BPI LPDP, PK-10

Graduate School of Environmental Science

Hokkaido University, Japan

Dikri�k karena pemerintah terus menerus membiarkan banyak warga India pergi ke luar negeri dan menjadi aset hebat bagi negara tujuannya, Rajiv Gandhi, mantan PM India, dulu berkata: be�er brain drain, than brain in the drain (lebih baik menjadi penyalur otak moncer, daripada membiarkan mereka dalam saluran). Tidak sia-sia, meskipun secara makro, India masih bangsa berkembang, namun kebijakan tersebut justru mengantarkan India menjadi salah satu bangsa yang paling banyak menelurkan diaspora sukses di dunia, India kini bahkan diyakini beranjak menjadi penyeimbang kekuatan dari Asia. Memang the talent's brain drain adalah salah satu tantangan bangsa berkembang pada umumnya. Merasakan hidup yang teramat keras di negara asal, merasa �dak dihargai kapabilitasnya sebagai ahli, tak jarang membuat orang dari negara berkembang memilih pergi merantau ke negara maju. Di saat yang sama, negara

maju pun memiliki demand yang �nggi terhadap sumber daya manusia berkualitas mengingat mereka dihadapkan pada situasi penuaan populasi (ageing popula�on).

Namun memang benar, investasi sumber daya manusia itu kadang �dak bisa terukur jelas keuntungannya. Oleh karena sulitnya melakukan valuasi, tak jarang sulit pula berjudi menanamkan modal membangun kapasitas manusia: melalui investasi pendidikan dan memberikan pengalaman hidup. Akan tetapi, sejenak melihat dan

(Illustration © http://collegian.csufresno.edu/)

4

belajar dari nenek moyang negeri Anak Benua, India, hal menarik justru terjadi. Di awal, sempat dibahas mengenai Rajiv Gandhi, mantan PM India, siapakah dia sesungguhnya? Sungguh �dak ada relasinya dengan tokoh pendiri India, Mahatma Gandhi, Rajiv adalah cucu dari Jawaharlal Nehru, m a n t a n P M I n d i a p a d a e r a kemerdekaan negara tersebut. Namun, beruntungnya Rajiv yang merupakan putra bangsawan, ia adalah satu dari sekian warga India yang berkesempatan mengenyam pendidikan di Trinity College, Cambridge, sama dengan sang kakek, Jawaharlal Nehru. Hanya saja, sedikit berbeda dengan sang ibu, Indira Gandhi yang merupakan cetakan Oxford. Memang, di tahun-tahun tersebut, banyak warga India pergi merantau ke luar negeri.

Lantas, apakah hanya dari kalangan bangsawan saja? Tidak, sejarah dan fakta secara jelas menunjukkan bahwa budaya India konserva�f sesungguhnya masih kental dengan sistem kasta, yang mana mereka yang berasal dari kasta biasa bahkan

k a s t a b a w a h d a n t e r b u a n g mendapatkan perlakuan yang �dak adil dalam memperoleh hak hidup seper� pendidikan. Terlebih lagi, faktor SARA juga menjadi ganjalan di India. Dari situlah akhirnya para kaum �dak terpandang tersebut bertekad untuk maju dan nekad pergi merantau ke negeri asing untuk mencari kehidupan yang lebih b a i k . D a r i ka u m te rs e b u t d i a n t a r a n y a a d a l a h B h i m r a o Ambedkar, doktor lulusan London School of Economics (LSE) (Menteri Perburuhan India), Sambasvian Swaminathan (lulusan Wisconsin M a d i s o n , p e n c e t u s G r e e n Revolu�on India), Amarthya Sen (Profesor ekonomi Harvard), J.P. Abdul Kalam (ahli rudal dan sistem pertahanan, presiden India), Anant Mashelkar (direktur CSIR India), e k o n o m N a r e n d h r a J a d h a v (pimpinan Reserve Bank of India, lulusan University of Indiana), dan banyak lagi.

Selain itu, tak terelakkan juga bahwa generasi muda India saat ini banyak memegang peranan pen�ng di berbaga i perusahaan g lobal .

Tercatat se�daknya 14 CEO atau pejabat teras se�ngkat direktur dari berbagai macam perusahaan global berasal dari India. Indra Nooyi memimpin Pepsi Co., Satya Nadella mengepalai Microso�, Anjay Banga di Master Card. Begitu pun halnya Direktur Pemasaran Facebook, Kirthiga Reddy merupakan orang India. Sebagai seorang mahasiswa di Jepang, terdapat kasus menarik ke�ka di pertengahan 2015 lalu sempat terjadi kecaman dari para pengamat dan pekerja berbagai ka l a n ga n ya n g m e n u n j u k ka n ke�daksetujuannya kala So�bank, salah satu provider telepon seluler asal Jepang, melakukan keputusan dras�s dengan merekrut seorang India bernama Nikesh Arora sebagai direkturnya. Siapa Nikesh Arora? Sebelumnya, ia adalah Senior Vice President Google.inc dan untuk mendapatkan tanda tangannya, So�bank sampai harus mengganjar 16 miliar Yen (setara 1.6 triliun Rupiah), suatu hal yang secara keras diprotes oleh golongan pekerja Jepang sebagai suatu bentuk p e n g h a m b u r a n u a n g d a n pelanggaran tradisi kerja berjenjang.

Lalu, sekarang pertanyaan untuk kita semua adalah, apakah ada post-doc atau bahkan professor asal India di tempat kita saat ini menempuh pendidikan? Jikalau �dak banyak, tapi seper�nya pas� ada, dan dalam pemikiran sederhana saya, bila s e s e o r a n g m e n d a p a t k a n kesempatan post-doc, sudah barang t e n t u I a b u k a n l a h o r a n g sembarangan.

The era of gaining (back) the brain

D a l a m b u k u n y a , N e w A s i a n Hemisphere: The Irresis�ble Shi� of Global Power to the East, professor kebijakan publik asal Singapura berdarah India, Kishore Mahbubani, d a r i N a � o n a l U n i v e r s i t y o f Singapore, menjelaskan bahwa kenda� India di�nggalkan para otak moncernya dalam wujud brain drain, namun India juga terus berjuang membangun. Hebatnya adalah konek�vitas antara para tokoh India

Searah jarum jam dari kiri atas: Bhimrao Ambedkar, Swaminathan, Anant Mashelkar, Narendhra Jadhav, dan Abdul Kalam (photos © nationalarchives.nic.in)

5

di luar dan dalam negeri yang masih terhubung erat dan saling mendukung, bahkan saat ini, meskipun secara mikro �dak serta merta seragam, India diyakini akan segera memasuki the era of gaining (back) the brain. Sebagai control riil, dalam helatan PPI Dunia 2014 di Tokyo, seorang rekan Indonesia yang kini bersekolah di India, mengatakan bagaimana kampus-kampus di India kini dikawal oleh profesor-profesor lulusan barat, sebutlah Harvard, Cambridge, dan lain sebagainya, dan menemui mereka �daklah sulit karena hampir seluruh waktunya ada di kampus dan memang difokuskan untuk membangun dan mendidik mahasiswa-mahasiswa India. Secara terpisah, seorang teman asal India juga menjelaskan bagaimana baru-baru ini pemerintah menggulirkan skema beasiswa besar-besaran untuk menempuh pendidikan pascasarjana di kampus-kampus India tersebut.

Dalam bukunya lagi, Mahbubani menjelaskan, bukan MIT atau Harvard, kampus dengan peluang masuk terkompe��f di dunia, melainkan IIT (Indian Ins�tute of Technology) yang terdiri dari 5 kampus tersebar di India. Apa pasal? Di tahun 2002, ke�ka Harvard dan MIT meloloskan 10.5% dan 16.2% dari keseluruhan pelamarnya, hanya 2.3% pelamar yang berhasil dan diijinkan masuk ke IIT. Tak pelak, merekalah juga yang diyakini nan�nya akan dibajak oleh perusahaan kelas dunia, namun kenda� demikian setengah kaki mereka berdiri di tanah kelahirannya, India.

Studi kasus dari India tersebut selayaknya menjadi bahan evaluasi bagaimana investasi manusia memang �dak mudah, �dak murah, dan �dak sebentar, namun jika berhasil pas� memiliki dampak yang besar dan berkali-

kali lipat. Fakta dari India ini pun menunjukkan pada kita, bahwa pada dasarnya �dak bisa suatu negara lepas landas hanya dengan investasi tunggal mendidik manusia ke luar negeri tanpa pembangunan sendiri dan penguatan konek�vitas dengan pembangunan dalam negeri.

Berkaca pada Indonesia, di era sekarang ini, Indonesia pun sedang gencar-gencarnya melepas putra-putrinya untuk mengenyam pendidikan di luar negeri guna menanamkan investasi menghadapi potensi bonus demografi. Kenda� �dak sedikit pandangan nega�f mengemuka, mulai dari yang mengkri�si kebijakan terlambat, hambur anggaran, hingga menyangsikan seberapa ampuh kebijakan investasi manusia ini, namun sekali lagi harus bijak kita menyikapi hal ini. Telah disebutkan sebelumnya, pen�ng menghapus keraguan atas suatu investasi yang sulit dinilai ini, namun sebagaimana India, investasi manusia tersebut �dak lantas cukup tanpa menggiatkan pembangunan sendiri dan menghidupkan konek�vitas. Celoteh seorang kawan mahasiswa Indonesia di Jepang (yang memang saya salut atas prestasinya) pernah membuat saya mengernyitkan kening, “Jika Indonesia mampu membiayai pengiriman manusia berotak moncer ke luar negeri tapi �dak mampu membiayai fasilitas peneli�an dan pendidikan �nggi dalam negeri, berar� mungkin memang benar orang pintar di Indonesia �dak dihargai”. Entahlah bagaimana cara yang tepat untuk menanggapi dan menyikapi hal tersebut, akan tetapi, jika tantangan tersebut dapat dipecahkan, jika semua elemen negeri ini memang ingin maju demi bangsanya, maka the talent's brain drain itu cepat atau lambat akan segera menjadi �ang-�ang pancang masa depan Indonesia. (-)

Suasana saat Softbank mengumumkan penunjukan Nikesh Arora sebagai direkturnya (photo © indiatoday.intoday.in)

6

3. Mengapa Singapura tidak

kehilangan talent mereka?Ing. Muhammad Gibran, S.T., M.Sc.

BPI LPDP, PK-02,

Msc in Engineering in Coastal Environment, University of Southampton

Offshore and Marine Engineering Specialist

Sewaktu kuliah di Southampton dua tahun lalu, saya sempat

berkunjung ke St. John College Cambridge; �dak sekedar untuk

perhelatan makan malam bersama, tetapi juga ingin menjalin

network; sayang rasanya jika kesempatan emas ini �dak

digunakan untuk menambah kawan dan bertukar pikiran.

Cambridge, sebuah kota klasik dengan beberapa college favorit

dimana banyak banyak para elit negara dari seluruh dunia

memilih tempat ini untuk mengenyam pendidikan.

Salah satu kawan baru saya berasal dari Singapore. Saya

bertanya mengapa �dak banyak pelajar Singapura di kampus-

kampus lain di Inggris; komunitasnya kecil dibandingkan

dengan pelajar dari India, China, Indonesia, Malaysia,

Philippina, Brunei, Thailand, dan Vietnam yang sangat banyak

dijumpai di Inggris, Eropa, dan juga Skandinavia. Dia bercerita

bahwa, pertama, universitas di Singapura sendiri untuk saat ini

sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahkan secara

rangking lebih baik dari Universitas di Inggris, Amerika dan

Eropa; yang kedua, Singapura hanya memberi beasiswa ke

beberapa universitas top di dunia, yang mana Universitas yang

bersangkutan sudah ada kerjasama dengan parlemen

Singapura.

Terkait dengan finansial, ia menambahkan bahwa kuliahnya

dibiayai oleh Kementerian Pertahanan Negara Singapura.

Mungkin seper� LPDP, sama-sama dibiayai negara, namun

beasiswa Singapura sangat terintegrasi dengan parlemen atau

pemerintahannya; selain program studinya tepat sasaran

dengan kebutuhan dalam negeri, juga rasanya tak sia-sia

negara tersebut berinvestasi pendidikan untuk masa depan

generasi mudanya.

Lalu bagaimana rencana kerja setelah lulus dengan beasiswa

negara? Ia menjelaskan, tentu akan kembali ke Singapura

karena negara telah membuat kesepakatan yang sudah barang

tentu orang akan merasa bodoh jika menolaknya; berbagai

kebutuhan sudah terpenuhi baik itu posisi di pemerintahan,

gaji yang sebanding, jaminan akomodasi, dan berbagai

tunjangan lainnya. Oleh karena itu sangat jarang dijumpai

seorang warga negara Singapura yang bekerja sebagai

employee di negara lain.

Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana negara dapat mengenal

Anda? Kawan tersebut menjelaskan, well, se�ap laki-laki yang

telah mencapai usia 18 tahun atau telah lulus dari pendidikan

menengah ke atas wajib hukumnya mengiku� Perkhidmatan

Negara (Na�onal Service) selama dua tahun sebelum

melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya atau bekerja.

Bagi orang yang telah mengiku� perkhidmatan, pada

umumnya gaji yang diterima bisa mencapai dua kali lipat

dibandingkan dengan mereka yang �dak mengiku� agenda ini.

Dalam perkhidmatan, para pelajar berla�h bersama militer dan

polisi di pulau tertentu tentang bela negara, pertahanan, dan

lain sebagainya. Disitu pula mereka dinilai oleh negara; pemuda

yang memiliki talent layak mendapat posisi di pemerintahan

dan juga beasiswa.

Setelah selesai masa perkhidmatan, negara memberi

penawaran kontrak kerja di pemerintahan kepada mereka yang

mempunyai talent. Selain itu mereka juga disegerakan untuk

melanjutkan studi, mereka dapat memilih pendidikan S1, S2,

dan S3 di top 10 world universi�es baik itu di dalam maupun di

luar negeri dengan beasiswa negara. Selama masa studi pula

(katakanlah 5-7 tahun) gaji mereka tetap dibayarkan oleh

negara, namun akumulasi gaji mereka hanya bisa diambil

setelah selesai studi dan telah bekerja selama 5 tahun di posisi

yang disepaka�. Bayangkan saja, jika gaji fresh graduate di

lembaga pemerintahan adalah SGD5.000, - per bulan

sedangkan mereka menempuh studi selama 7 tahun, ke�ka

pulang mereka telah mempunyai deposit senilai lebih dari

SGD420.000,- plus tunjangan rumah dan lain sebagainya. Siapa

yang �dak akan loyal dengan sistem yang seper� ini? Semangat

kerja pun �mbul, op�misme akan masa depan yang cerah pun

semakin terasa, disusul dengan rasa nasionalisme yang

semakin tebal.

Hampir dipas�kan, dengan cara investasi yang seper� ini

sebuah negara �dak akan kehilangan talent-talent terbaik

Kawasan pusat bisnis Singapore yang terus berkembang. (photo © lavishbucks.com)

7

mereka (brain drain) karena

iming-iming gaji besar di negara

lain. Jika rasa nasionalisme

sudah terpupuk, para pejabat

sudah tentu akan memikirkan

masa depan rakyatnya, �dak

akan ada lagi korupsi, dan

semua kebijakan-kebijakan yang

d i b u a t a d a l a h u n t u k

kesejahteraan rakyat.

Kesimpulan

Demikian cara negara tetangga

kita memanen talenta dari

generasi mudanya; siapa yang

melakukan investasi lebih besar

ia akan menuai lebih banyak

hasil (tentu jika caranya tepat

sasaran dan sesuai dengan

zamannya). Pada mulanya, saya

� d a k b e r fi k i r b a h w a

nasional isme dapat dibel i

dengan uang atau tunjangan,

namun itulah yang terjadi

hampir di se�ap negara pada era

ini. Definisi nasionalisme akan

terus berubah dari zaman ke

zaman, dan menurut saya,

nasionalisme harus dijalin dari

dua arah; yakni, rakyat memberi

sumbangsih kepada negara dan

negara juga menanamkan

investasi masa depan kepada

rakyatnya. Dengan demikian

n a s i o n a l i s m e a ka n t e r u s

tumbuh karena �mbal balik

yang posi�f dan terus-menerus,

bak bola sal ju yang terus

m e m b e s a r k a r e n a

menggelinding.

Ar�kel ini adalah sebuah wacana

untuk dikaji lebih lanjut oleh

pemerintah Indonesia yang

a k a n m e n g h a d a p i b o n u s

demografi pada tahun 2040

ke l a k d i m a n a m a y o r i t a s

penduduk adalah usia produk�f.

Pemuda yang penuh telenta

merupakan aset berharga bagi

sebuah negara. Saya yakin,

apabila lembaga pemerintahan

kita – ekseku�f, legesla�f, dan

yudika�f – telah satu suara dan

juga “bersih”, negara kita akan

mampu mengelola generasi

muda dengan baik. (-)

APA penyebab KPU di sejumlah daerah

sempat bingung lantaran �dak ada calon

kepala daerah penantang incumbent? Apa

penyebab wacana calon presiden �ap lima

tahun sosoknya itu-itu saja? Ya, �dak

adanya sistem regenerasi poli�k yang baik

(Setya, 2015).

Tidak hanya soal poli�k dan ranah jabatan

kekuasaan. Problem regenerasi melingkupi

banyak aspek di beragam lingkup. Tak

terkecuali, sektor sosial, budaya, poli�k,

ekonomi , iptek , hukum, prananta

pemerintahan, dan lain sebagainya.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN),

sebagai simbol penggerak ekonomi

nasional, mulai yang paling mikro hingga

yang super makro, wajib melek terhadap

isu regenerasi. Negeri sebesar Indonesia

tentu �dak mau terbawa arus globalisasi.

Bangsa ini tentu tak mau hanya jadi

follower yang kebakaran jenggot saat

kondisi poli�k beberapa negara memanas

dan menyebabkan mata uang luluh lantak.

Regenerasi dalam BUMN �dak sekadar

berkutat pada mekanisme pegawai

pensiun dan perekrutan tenaga baru. Lebih

dari itu, regenerasi juga menyentuh

tentang bagaimana wawasan dan pola pikir

BUMN dapat selalu update dan peka

terhadap tantangan global.

Ar�kel ini mencetuskan sekelumit gagasan

soal pen�ngnya regenerasi wawasan yang

dapat disadap dari para bibit unggul

bangsa. Regenerasi berupa penyun�kkan

"darah segar" di nadi sekitar 119 BUMN

lintas bidang usaha.

Butuh Kerjasama Konkret

Sejumlah BUMN besar memiliki semacam

lembaga pendidikan khusus; atau paling

�dak, memiliki beasiswa khusus yang

diperuntukkan bagi mereka yang ingin

langsung bekerja di perusahaan tersebut.

Tujuannya, menyamakan persepsi dan

teknis pekerjaan agar pendidikan dan

jobdesc di kemudian hari linier. Lebih dari

itu, rekrutmen tenaga muda yang otaknya

masih fresh juga akan menyumbang

percepatan di tubuh perusahaan.

Tapi, �dak semua BUMN punya mekanisme

seper� itu. Tidak semua BUMN mapan dari

sisi keuangan maupun sistem untuk

menjalankan pola serupa. Sementara itu,

semua BUMN butuh akselerasi dan

sun�kan darah segar bibit-bibit unggul.

Seja�nya, anak-anak bangsa berkualitas itu

dapat dilacak keberadaannya. Salah

s a t u n y a d e n g a n m e l a k u k a n

pengiden�fikasian di database penerima

beasiswa negara. Beasiswa negara ini

banyak model dan bentuknya. Misalnya,

Bidikmisi, LPDP, Dik� (dengan ragam

jalurnya), Dik�s, Kementerian tertentu, dan

lain sebagainya.

Pertanyaannya, apakah penyelenggara

beasiswa itu sudah memiliki rantai

hubungan yang ri i l dengan BUMN?

Pertanyaan bisa dibalik dengan esensi yang

sama, apakah BUMN sudah pernah secara

konkret membangun kerjasama dengan

penyelenggara beasiswa dalam aspek

perekrutan tenaga kerja?

Ini bukan kerja satu BUMN saja. Untuk

memperoleh efek dan struktur kerjasama

maksimal, dibutuhkan intervensi langsung

dari kementerian BUMN. Harus ada hitam

di atas pu�h antara penyelenggara

beasiswa negara, dengan kementerian

BUMN sebagai penggerak ekonomi bangsa

yang memiliki banyak lini dan ruang aplikasi

bagi para terdidik.

Pada satu ��k, mekanisme ini juga �dak

boleh menutup pintu bagi BUMN besar

yang sudah mapan untuk tersinergi. Sebab,

logika pemikiran holding kementerian

BUMN berasas kekeluargaan dan keadilan

adalah: j ika satu perusahaan terus

bertambah besar, dia wajib menggiring

perusahaan lain untuk menjadi lebih besar

pula (Buwono, 2015).

Kompleksitas Tenaga Terdidik

Regenerasi wawasan melalui bibit unggul

4. Wacana Sinergi BUMN dan Lulusan Beasiswa Negara

Rio F. Rachman S.S., M.Med.Kom.

BPI LPDP, PK-9

Media dan Komunikasi, Universitas Airlangga Surabaya

Tim Kreatif MakNews.id

8

bangsa diperlukan oleh BUMN agar

semakin maju dan modern. Salah satu

langkahnya, dengan membuat skema

k e r j a s a m a r i i l y a n g p a s a n t a r

kementerian BUMN dengan instansi plat

m e ra h ( t e r m a s u k ke m e n t e r i a n )

penyelenggara beasiswa.

D i s at u s i s i , n e ga ra � d a k p e r l u

mewaj ibkan pener ima beas i swa

mengabdi pada BUMN. Namun di sisi

lain, pada waktu bersamaan, BUMN

sudah menyiapkan ruang bagi mereka

untuk berkreasi . Biarkan mereka

memilih, asal �dak terjerumus pada

sikap pragma�s.

Para tenaga terdidik, khususnya para

lulusan beasiswa negara, adalah

golongan dengan kompleksitas �nggi.

Baik dalam ar� posi�f, maupun dalam

ar� nega�f.

Posi�fnya, mereka memiliki gagasan dan

pola pikir yang komplet. Orang-orang ini

�dak hanya berpikir tentang ilmu

pengetahuan yang digelu�nya. Namun

juga, soal marke�ng, komunikasi, dan

perluasan jaringan. Sebab, mereka

adalah orang-orang yang terpilih dalam

seleksi ketat. Umumnya, �dak hanya

hard skill yang dijadikan tolok ukur,

namun juga so� skill.

Terlebih lagi bagi mereka yang memang

kuliah di luar negeri. Logikanya, orang-

orang dengan gairah berkompetensi

�nggi ini bisa diajak untuk memikirkan

kemajuan dan modernisasi BUMN

dengan pola out of the box.

Nega�fnya, jika mereka memutuskan

untuk berdiri di seberang BUMN.

Bayangkan betapa sayangnya jika aset

tersebut ternyata dijadikan “alat” oleh

pihak asing untuk meraih keuntungan di

bumi Indonesia.

B e b e r a p a t a h u n b e l a k a n g a n ,

berkembang rumor bahwa para WNI

lulusan luar negeri �dak mau bekerja di

dalam negeri (atau akhirnya memilih

perusahaan asing) karena gaji yang

minim. Namun, isu itu kini sudah

bergeser, khususnya bagi lulusan

beasiswa negara yang pada proses

seleksinya sudah “ditatar” tentang

nasionalisme dan cinta tanah air.

Bergeser ke mana? Bahwa mereka

memilih berkarya di luar negeri atau di

perusahaan as ing bukan karena

persoalan gaji. Namun, karena �dak ada

perusahaan dalam negeri dengan

lowongan yang benar-benar cocok, dan

tertarik dengan isi kepala mereka.

M e re ka ya n g m e m i l i k i m o � va s i

persaingan �nggi, justru dengan senang

ha� mencari formula khusus untuk

membawa kemajuan di perusahaannya.

Mereka siap melangkah dari “��k nol”

untuk meraih kemajuan bersama.

Untuk hal seper� ini negara �dak boleh

abai terhadap skema yang pas dan

menguntungkan kedua belah pihak.

Demi mempercepat gerakan roda

ekonomi di bawah naungan

kementerian BUMN. Demi menjaga

pemuda unggulan bangsa agar �dak

menari di panggung milik negara lain.(-)

ReferensiSetya, Ashari. 2015. Pilwali Mbingungi dan Gak Masuk Akal. [online] Available at: h�p://maknews.id/pilwali-mbingungi-dan-gak-masuk-akal/. [Accessed on 26 August 2015].

Buwono, Akbar. 2015. PGN : Sinergi BUMN Kunci Maksimalkan Peran Membangun Bangsa. [online] Available at: h�p://beritadaerah.co.id/2015/08/19/pgn-sinergi-bumn-kunci-maksimalkan-peran-membangun-bangsa/. [Accessed on 28 August 2015]

9

5. Dinamika Ketenagakerjaan

Pertanian Indonesia : Regulasi

Pengembangan Kedaulatan Pangan

Sumiyati Tuhuteru, S.P.

BPI LPDP, PK-25

Master Of Agriculture Gadjah Mada University

(photo © metronews.com)

Gambaran umum pertanian di Indonesia

(photo © korankabar.com)

(photo © cahyoprayogo.lecture.ub.ac.id)

(photo © mitraandalanta.com)

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, baik pertambangan maupun dari sektor pertanian dan perikanan. Harga komoditas global yang �nggi membuat sektor sumber daya alam mampu memberi kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi, ekspor dan investasi selama satu dasawarsa terakhir ini. Untuk itu, tujuan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani menjadi salah satu tujuan utama pembangunan Indonesia, dengan mengacu pada keberlanjutan p e r t a n i a n I n d o n e s i a d a n kesejahteraan petani.

Pertanian sangat berperan dalam pembangunan dan perekonomian di suatu daerah, hal ini sudah dibuk�kan dengan mayoritas mata pencaharian masyarakat Indonesia adalah bertani; terutama untuk daerah pedesaan. Untuk itu, dengan pertanian harapannya mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk, sebagai sumber pendapatan, sebagai sarana untuk berusaha, serta sebagai sarana untuk dapat merubah nasib ke arah yang lebih baik lagi. Bukan hanya sebagai sebuah pekerjaan kasar yang hanya digelu� oleh masyarakat pedesaan atau pelosok. Oleh sebab itu, p e r a n a n p e r t a n i a n d a p a t diwujudkan dengan meningkatkan

ekonomi petani dengan cara p e m b e r d a y a a n e k o n o m i kerakyatan. Selain itu, besar harapan fokus pemerintah dan kelembagaan daerah �dak hanya berpusat pada perkotaan, tetapi merata hingga pelosok daerah.

Terkait mengahadapi MEA 2016, Indonesia for Global Jus�ce (IGJ) menilai strategi dan persiapan Indonesia berpeluang gagal. Pasalnya, �dak adanya perubahan kebijakan guna memaksimalkan perlindungan bagi nelayan dan petani Indonesia. “Faktanya, pertumbuhan penduduk Indonesia masih �nggi, konsumsi pangan dan perikanan terus meningkat, serta 80-90% kebutuhan konsumsi pangan domes�k Indones ia bersumber dari produksi petani dan nelayan kecil. Maka, kegagalan melindungi petani dan nelayan akan menggeser MEA 2016 dari peluang menjadi ancaman serius bangsa," kata direktur ekseku�f IGJ.

Menurut Riza Damanik, MEA 2016 akan mendorong l iberal isasi pangan melalui pengintegrasian sektor pertanian dan perikanan negara-negara ASEAN. Sebagai informasi, Indonesia merupakan produsen terbesar ikan di dunia dengan total produksi sebesar 19,56 juta ton pada 2013, dan

Tabel 1. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Tahun 2011 -2014 (Sumber: BPS)

(photo © bola.kompas.com)

(photo © antaranews.com)

10

produsen terbesar beras di dunia sebesar 36,55 juta ton. Namun, hingga saat ini evaluasi terhadap kebijakan subsidi belum terjawab dengan solusi yang tepat. Diharapkan adanya penambahan alokasi subsidi benih dan pupuk bagi petani dan pemberian subsidi BBM yang tepat sasaran kepada nelayan dapat dikembangkan.

“Untuk itu, diperlukan strategi baru perlindungan petani dan nelayan Indonesia, terlebih dalam menghadapi MEA 2016. Strategi yang dimaksud melipu� intervensi negara dalam mereduksi hegemoni industri dalam kegiatan hulu-hilir pertanian maupun perikanan rakyat,” pungkas Riza.

Investasi Sektor Pertanian

Sektor pertanian mempunyai peranan yang pen�ng juga strategis dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain: meningkatkan penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta op�malisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domes�k Bruto (anonim, 2015). Dalam lima tahun terakhir, kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional semakin nyata. Selama periode 2010-2014, rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB mencapai 10,26% dengan pertumbuhan sekitar 3,90%. Sub-sektor perkebunan merupakan kontributor terbesar terhadap PDB sektor pertanian (Tabel 1). Pada periode yang sama, sektor pertanian menyerap angkatan kerja terbesar walaupun ada kecenderungan menurun (Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019).

Fakta di lapangan berbicara lain

“Orang bilang tanah Indonesia adalah tanah surga yang memiliki banyak lahan subur dan makmur.” Bisa dikatakan berbagai macam tanaman bisa tumbuh subur di tanah air kita. Tapi, yang jadi pertanyaan adalah kenapa hal tersebut �dak berbanding lurus dengan nasib para petani? Menurut Doddy Rosadi (2015), justru baru-baru ini Kementerian Pertanian menyatakan se�ap tahun ada sebanyak 500 ribu rumah tangga petani yang beralih profesi ke bidang pekerjaan lain karena selalu mengalami kerugian.

Kendala Pembangunan Pertanian

Salah satu kendala di sektor p e r ta n i a n ya n g p e r l u mendapatkan perha�an a d a l a h s t a t u s ketenagakerjaan. Saat ini rendahnya minat generasi m u d a u n t u k m e n j a d i p e t a n i s u d a h s a n g a t

Tenaga Kerja Pertumbuhan

(Orang) (%) (Orang) (%) (Orang) (%)

2010 23,781,233 0.36 14,917,810 0.02 38,699,043 0.23

2011 22,482,257 -5.46 14,059,715 -5.75 36,541,972 -5.57

2012 22,339,140 -0.64 14,090,110 0.22 36,429,250 -0.31

2013 22,095,252 -1.09 13,952,948 -0.97 36,048,200 -1.05

2014 21,903,063 -0.87 13,866,085 -0.62 35,769,148 -0.77

Rerata 22,520,189 -1.54 14,177,334 -1.42 36,697,523 -1.49

Tahun

TotalPertumbuhan PerempuanPertumbuhan Laki-laki

rendah. Selain itu, keturunan dari petani pun diharapkan untuk �dak melanjutkan pekerjaan mereka sebagai petani karena tak ada imbalan yang diperoleh sesuai tenaga yang sudah tersalurkan. “Hanya untuk makan sehari-hari sudah bisa untuk hidup dan sebagai modal untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih �nggi, bukan dengan kembali menjadi petani seper� mereka,” ujar petani. Dikarenakan adanya momok yang mengatakan bahwa pendapatan petani seringkali sangat rendah (hasil penjualan pasca panen mereka bahkan di bawah harga pasaran) dibandingkan status seorang sebagai pegawai negeri sipil, hal ini menyebabkan terjadinya pengalihan minat petani menjadi seorang pegawai negeri yang mampu menghasilkan upah lebih tanpa harus berpanas-panasan dalam suatu lahan. Padahal, menurut Antonie Clianto (2015), diketahui bahwa pertanian merupakan tonggak bangsa dalam pembangunan bangsa ini, yang sangat berpengaruh terhadap dinamika perekonomian bangsa.

Selain itu, salah satu penyebab pergeseran minat dari s e k t o r p e r t a n i a n ke n o n - p e r t a n i a n a d a l a h perkembangan teknologi-teknologi yang dapat menggan�kan tenaga kerja. Hasil riset yang dilakukan oleh Tri Yulianingsih (2014), menyebutkan bahwa semakin sempitnya kesempatan kerja di sektor pertanian kini mulai menyadari tentang pen�ngnya sektor non-pertanian sebagai salah satu alterna�f untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sekelompok besar masyarakat pedesaan, khususnya kelompok buruh tani dan petani sempit.

Peran Tenaga Kerja Dalam Meningkatkan Kedaulatan Pangan

Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2010 sekitar 38,69 juta tenaga kerja atau sekitar 35,76% dari total penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2014 penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan menjadi 35,76 juta tenaga kerja atau 30,27% (Tabel 2). Data penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tersebut hanya berasal dari kegiatan sektor pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier dari sistem dan usaha agrobisnis. Bila tenaga kerja dihitung dengan yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya, maka kemampuan sektor pertanian tentu akan lebih besar.

Tabel 2. Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2010 - 2014 (Sumber: BPS)

11

Tingginya jumlah penduduk yang sebagian besar berada di pedesaan dan memiliki budaya kerja keras merupakan potensi tenaga kerja di sektor pertanian. Sampai saat ini, lebih dari 35 juta tenaga kerja nasional atau 26,14 juta rumah tangga masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Besarnya jumlah tenaga kerja tersebut belum tersebar secara proporsional sesuai dengan sebaran luas potensi lahan serta belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk pengembangan pertanian yang berdaya saing. Apabila keberadaan penduduk yang besar di suatu wilayah dapat di�ngkatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk dapat bekerja dan berusaha di sektor produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, maka dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksi aneka komoditas pertanian bagi pemenuhan kebutuhan pasar nasional dan dunia. Peningkatan kapasitas penduduk dalam hal pengetahuan dan keterampilan pertanian dapat juga dilakukan melalui penempatan tenaga kerja pertanian terla�h di daerah yang masih kurang penduduknya dan penyediaan fasilitas pertanian dalam bentuk faktor produksi, bimbingan teknologi serta pemberian jaminan pasar yang baik (Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019).

Di samping itu kegiatan-kegiatan yang berorientasi pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan terutama petani terus menjadi prioritas, mengingat masih rendahnya kualitas SDM pertanian. Secara kuan�ta�f tenaga kerja untuk sub-sektor tanaman pangan tersedia di pedesaan, namun ada kecenderungan terus menurun dengan indikasi semakin berkurangnya minat generasi muda di pedesaan untuk bekerja di sub-sektor pertanian.

Dari sisi sumber daya manusia, masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia pertanian merupakan kendala yang serius dalam pembangunan pertanian, karena mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya adalah petani yang �nggal di daerah pedesaan. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pendampingan penyuluhan pertanian.

Arah Kebijakan & Langkah Operasional

Salah satu regulasi pengembangan yang dapat dilaksanakan demi terwujudnya kedaulatan pangan maupun untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah mengembangkan sektor pertanian yang berpatokan pada berbagai macam regulasi terkait dengan lingkungan. Selain itu, untuk mencapai sasaran yang diharapkan perlu adanya regulasi dan kelembagaan untuk mensinergikan upaya tersebut. Oleh karena itu, regulasi dan kelembagaan dalam pembangunan pertanian mutlak diperlukan, sehingga �dak ada tumpang �ndih kewenangan dan peraturan perundangan dari masing-masing kementerian/lembaga. Regulasi juga diperlukan untuk melindungi pengembangan komoditas usaha di bidang pertanian. Pengembangan pertanian memerlukan dukungan agar tercipta iklim yang kondusif

melalui formulasi kebijakan dan pengamanan kebijakan fiskal dan moneter (Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019).

Langkah strategis yang harus dilakukan saat ini dan ke depan adalah dengan menggerakkan seluruh elemen di daerah melalui peran strategis pimpinan daerah (gubernur, bupa�/walikota, sampai ke �ngkat kepala desa), sehingga program peningkatan produksi beras nasional yang telah didukung dengan fasilitas teknologi, sarana dan prasarana produksi, dan dukungan pembiayaan manajemen, dapat menjadi suatu gerakan nasional dengan satu komando kebijakan untuk dapat mencapai dan mengawal peningkatan produksi beras nasional secara berkelanjutan, yakni menempatkan pangan sebagai bagian menempatkan kepen�ngan rakyat, bangsa dan negara serta rasa nasionalisme.

Pendekatan kelembagaan telah menjadi strategi pen�ng dalam pembangunan pertanian. Pengembangan kelembagaan pertanian baik formal maupun informal belum memberikan peran berar� di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh peran antar lembaga pendidikan dan pela�han, Balai Peneli�an dan Penyuluhan (BPP) belum terkoordinasi dengan baik. Fungsi dan keberadaan lembaga penyuluhan cenderung terabaikan. Koordinasi dan kinerja lembaga keuangan perbankan perdesaan masih rendah. Koperasi perdesaan yang bergerak di sektor pertanian masih belum berjalan op�mum. Keberadaan lembaga-lembaga tradisional di perdesaan belum dimanfaatkan secara op�mal.

Tantangan ke depan adalah bagaimana mengubah pola pikir generasi muda kita terhadap pertanian, bahwa masih banyak potensi pertanian yang masih belum dimanfaatkan secara op�mal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tarik generasi muda pada sektor pertanian adalah membangun pertanian lebih maju dan modern berbasis inovasi dan teknologi yang mampu menghasilkan produk yang bernilai ekonomi �nggi yang dibutuhkan pasar.

Membangun pertanian dalam konteks industri yang sarat dengan inovasi dan teknologi yang menangani hulu hingga hilir akan memberikan peluang yang besar dalam menghasilkan aneka produk pertanian yang bernilai ekonomi �nggi. Pendekatan bioindustri pertanian menjadi sangat pen�ng dan strategis untuk mewujudkan upaya tersebut. Jika kondisi tersebut dibangun di p e rd e s a a n , te nt u a ka n m e n c i pta ka n ko n d i s i perekonomian yang meningkat dan sangat menarik bagi generasi muda untuk �dak lagi pergi ke kota, bahkan generasi muda yang telah bekerja di perkotaan akan kembali ke perdesaan. Untuk itu beberapa hal pen�ng harus dipersiapkan di perdesaan, yaitu :

1. Membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian di perdesaan,

2. Meningkatkan kapasitas SDM generasi muda pertanian yang lebih baik, dan

12

6. ASN & Dilema MeritokrasiM. Rizki Pratama, S. IAN.

BPI LPDP, PK-19

Mahasiswa Magister Administrasi Publik

Universitas Gadjah Mada

Reformasi birokrasi hanyalah means (metode/alat/cara d a l a m m e n c a p a i s e s u a t u ) d i b a n d i n g e n d s (hasil/tujuan/akhir dari penggunaan means). Birokrasi harus menjadi sehat dan �dak terus menerus merugikan kita, seper� red-tape (salah satu penyakit dalam birokrasi yang dianalogikan sebagai pita merah yang berbelit-belit dan rumit), patologi bahkan rent-seeking (perburuan rente, adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para pengusaha atau aktor lain yang memiliki kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan tertentu dari sebuah kebijakan publik, misalkan kolusi dan monopoli terselubung). Melihat aktualitas dari semangat reformasi birokrasi tentu ideologi yang sering berada di pucuk sistem adalah penegakan meritokrasi untuk para aparatur sipil negara (ASN) yang terlebih dahulu didasari oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satu amanat dari UU ASN sebagai acuan utama civil service reform adalah terlembaganya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Komisi tersebut menurut Prof. Mi�ah Thoha (2014) salah satu tujuannya ialah menjamin terwujudnya merit system dalam kebijakan dan manajemen ASN.

Lembaga non-struktural tersebut je las untuk menegakkan meritokrasi. Akan tetapi meritokrasi yang dilakukan di Indonesia tentu harus berbeda, sebab meritokrasi tak selamanya relevan dengan situasi sosial negara. Pengalaman negara lain dapat dijadikan rujukan. Pengalaman Perancis yang memang dikenal sebagai color-blind state menjadi refleksi bersama ke�ka ideologi mengharuskan �dak adanya perbedaan perlakuan terhadap warga negara (non-diskriminasi) justru membuat etnis dan ras tertentu menjadi terdominasi oleh kelas lainnya (diskriminasi), bahkan dalam kerja sehari-hari birokrasi terjadi tensi �nggi antara para street level bureaucrat dengan kelas warga lainnya seper� para migran yang seringkali meletupkan aksi-aksi brutal di jalanan, birokrasi yang �dak representa�f di Perancis membuat segelin�r kelompok saja yang mampu membawa kepen�ngannya di atas kepen�ngan orang lain, menimbulkan ke�mpangan yang membuat banyak warga negara yang �dak terakomodir kepen�ngannya. Studi dari Meier & Hawes (2009) juga menunjukkan sistem rekrutmen dan seleksi yang ketat telah menghasilkan kelompok homogen di sektor publik yaitu kelompok kelas menengah atas akibatnya �dak responsif pada kelas lain apalagi jika ditambah dengan posisi pres�se pekerjaan di sektor publik yang lebih �nggi di Perancis. Meritokrasi menghadirkan pisau bermata dua, menghadirkan dilema.

3. Mendorong kebijakan dan regulasi yang tepat terutama dalam kaitannya dengan kepas�an mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan para generasi muda.

Langkah konkret untuk ini antara lain menjaring sebanyak-banyaknya siswa baru di sekolah-sekolah �nggi p e r t a n i a n d a l a m l i n g k u p Kementerian Pertanian, yang diiku� dengan perbaikan kurikulum dan revitalisasi sarana prasarana belajar mengajar termasuk SDM pengajar.

Dalam rangka penguatan dan p e n i n g k a t a n k a p a s i t a s S D M pertanian tersebut, maka dapat dilakukan upaya-upaya diantaranya sebagai berikut:

Ÿ Pengembangan dan penguatan kapasitas penyuluh pertanian polivalen di �ngkat lapangan dan penyuluh pertanian spesialis di �ngkat kabupaten/kota, propinsi dan pusat.

Ÿ Pela�han bagi aparatur sesuai dengan kebutuhan jenjang karir PNS.

Ÿ Pela�han bagi pengelola P4S dan pengurus gabungan kelompok tani (gapoktan) serta pelaku agrobisnis lainnya dilaksanakan oleh UPT Pela�han, sedangkan pela�han b a g i p e t a n i p e l a k u u t a m a agrobisnis dilaksanakan oleh P4S.

Ÿ Pendidikan Tinggi bidang Rumpun Ilmu Haya� Pertanian (RIHP) diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga fungsional Penyuluh Pertanian, Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), Paramedik Veteriner, Pengawas Bibit Ternak (PBT), Pengawas Mutu Pakan Ternak, Pengawas Mutu Hasil Pertanian, fungsional informasi pasar dan karan�na.

Ÿ Pendidikan menengah kejuruan di bidang pertanian diarahkan untuk m e m e n u h i t e n a g a t e k n i s i menengah dan menyiapkan

wirausahawan muda di bidang pertanian.

Harapannya semoga menjadi acuan pembangunan perekonomian bangsa serta mencapai kedaulatan pangan bahkan sebagai pasar impor d e n g a n m e n g e d e p a n k a n kesejahteraan petani. (-)

REFERENSIRiza Damanik, 2015.Hadapi MEA, Sektor Ketenagakerjaan Perlu Terobosan. [online] Available at: h�p://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5364440aef459/hadapi-mea-sektor-ketenagakerjaan-perlu-terobosan [diakses pada 11/11/2015]

Anonim, 2015. Mengapa Pertanian Itu Begitu Pen�ng. [online] Available at: h�ps://adventuspratama.wordpress.com/mengapa-pertanian-itu-begitu-pen�ng-di-perekonomian-indonesia/ [diakses pada 11/11/2015]

Doddy Rosadi, 2015. Se�ap Tahun Setengah Juta Petani Beralih Profesi. [online] Available at: h�p://www.suara.com/bisnis/2015/03/12/112428/se�ap-tahun-setengah-juta-petani-beralih-profesi [diakses pada 11/11/2015]

Antonie Clianto, 2015. Kondisi Pertanian Indonesia. [online] Available at: h�p://antoniclianto.kinja.com/kondisi-pertanian-indonesia-tahun-2015-1701689134 [diakses pada 11/11/2015]

Tri Yulianingsih, Malang, 2014. Faktor Beralihnya Tenaga Kerja di Sektor Pertanian. [online] Available at: h�p://www.researchgate.net/publica�on/50515514 [diakses pada 11/11/2015].

Renstra Pertanian, 2015. RENSTRA. [online] Available at: h�p://www.pertanian.go.id/file/RENSTRA_2015-2019.pdf [diakses pada 11/11/2015]

13

Fakta tersebut patut menjadi per�mbangan bagi para pembuat keputusan di KASN, ke�ka berharap banyak pada sistem merit yang mampu menghasilkan aparatur birokrasi yang kompeten dan netral. Akan tetapi sejauh ini �dak ada buk� yang benar-benar oten�k untuk mengatakan bahwa b i rokras i merupakan organisasi yang dapat 100% netral. Akibatnya sudah sering kali aparat terseret oleh kepen�ngan golongan tertentu yang berakibat munculnya pola-pola predatorian alias perburuan rente.

Harus diingat bahwa republik ini bukan berdir i d i tanah Jawa, pengalaman kehancuran komunitas lokal akibat penyeragaman nama desa dapat menjadi pemahaman bahwa masing-masing daerah yang begitu kaya dan luas memiliki kultural sendiri yang tak dapat dipaksakan perubahan secara fundamental karena memakan wa k t u ya n g te l a l u l a m a d a n cenderung berbiaya besar sebab menyangkut konflik yang tak dapat d i p re d i k s i s e c a ra p a s � n i l a i kerugiannya. Hal ini juga disepaka� oleh Hughes (1994) bahwa harus ada cultural milieu (lingkungan budaya) dalam administrasi publik sebagai kerangka reformasi birokrasi.

Seleksi jabatan pimpinan �nggi yang terbuka berbasis kompetensi tentu sangatlah baik. Akan tetapi patut untuk dicatat apakah calon-calon yang tersedia hanya mewakil i golongan tertentu seper� etnik dan ras tertentu yang cenderung sudah mapan dari masa lalu, jika seper� itu maka otoma�s pembangunan yang akan dieksekusi oleh birokrasi nan�nya akan cenderung eksklusif membiarkan para kaum inklusif untuk mendapatkan getah pahitnya saja. Daerah Timur Republik ini masih ada fenomena “palang” yaitu bentuk protes masyarakat lokal pada kinerja birokrasi dengan menutup kantor birokrasi secara sepihak karena dianggap �dak mampu m e ngakom odas i ke pe n�ngan m e r e k a . B i r o k r a s i h a r u s representa�f jika nilai berbeda antar k e l o m p o k m a k a b i r o k r a t melaksanakan diskresi (Meier & Hawes, 2009).

Kebijakan Afirma�f

Sangat perlu untuk menelurkan kebijakan afirma�f yang bervariasi untuk menghargai diversitas di Indonesia, meskipun tetap dalam koridor berbasis merit akan tetapi juga memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh calon ASN untuk m e n d a p a t k a n j a b a t a n y a n g

diinginkan. Karena pada dasarnya adil bukan penyamarataan, tetapi juga mendorong golongan yang berada di bawah untuk tetap mendaptkan akses yang digunakan untuk mengakomodasi kepen�ngan bersama. Republik ini jelas harus diatur dengan cara-cara yang dis�nc�ve. Pola-pola khusus sudah terjadi ke�ka para pakar banyak berbicara tentang hubungan relasi pusat dengan daerah melalui konsep desentralisasi yang asimetris, bukan penyeragaman kebijakan struktural yang tentu sulit untuk dipaksakan menjadi satu kesuksesan yang nyata. Pengalaman banyak negara �dak ada kebijakan yang fits at all.

Tulisan ini hanya sebuah ide filosofis bukan teknis agar para pengambil kebijakan �dak berharap terlalu �nggi pada konsep meritokrasi sebab Republik ini sudah jelas memiliki n i l a i - n i l a i y a n g a k a n s a l i n g bertabrakan dengan konsep merit, m e n i m b u l k a n k o n fl i k berkepanjangan yang tentu menjadi kontraproduk�f dengan semangat reformasi birokrasi sendiri. Masalah aksesibilitas sumber daya di Republik ini masih menjadi masalah tanpa adanya kebijakan afirma�f dalam b i r o k r a s i s e h i n g g a a k a n menimbulkan dominasi kelompok t e r t e n t u y a n g m e m a n g mendapatkan kemudahan dalam penguasaan akses. Jangan sampai kebijakan reformasi birokrasi dangan asas meritokrasi justru membuat kelompok kecil lain tenggelam dalam �ndasan ke lompok dominan. Ingatlah birokrasi diciptakan untuk m e m u d a h k a n m a s y a r a k a t bersamaan dengan menciptakan keadilan dan perlindungan bukan sebaliknya. (-)

“Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree,it will live its whole life believing that it is stupid.” - Albert Einstein-Sebuah potret tentang sistem pendidikan dan sistem dunia kerja dewasa ini

(illustration © thecompanion.in)

(illustration © gilad.co.uk)

14

7. Pemanfaatan Bonus Demografi melalui Pemberdayaan

Masyarakat Usia ProduktifRizki Ananda, S.Pd.

BPI LPDP, PK-42

Master of Applied Linguistics, University of New South Wales, Australia

Independent Researcher and Writer dan Freelance English Teacher

Indonesia sebenarnya merupakan sebuah negara yang memiliki keuntungan sangat banyak. Selain dianugerahi belasan ribu pulau, Indonesia dilengkapi dengan keberagaman budaya, agama, dan sumber daya alam, Indonesia juga diproyeksikan akan mendapatkan bonus demografi. Sebuah negara akan memperoleh bonus ini ke�ka angka penduduk dengan usia produk�f (15-64 tahun) melebihi angka penduduk yang �dak produk�f. Antara tahun 2020 dan 2030, penduduk dengan usia produk�f di Indonesia mencapai 70% dari total keseluruhan penduduk Indonesia. Data kuan�ta�f ini diperkuat oleh peneli�an yang dilakukan oleh Badan Pusat Sta�s�cs (BPS) dengan menggunakan parameter Depedency Ra�o (angka beban ketergantungan). Peneli�an ini menemukan bahwa dependency ra�o mengalami fluktuasi dari 50.5% pada tahun 2010 menjadi 48.6% pada tahun 2015 dan akan terus mengecil pada tahun 2020 hingga 2030. Hal tersebut berar� apabila dikelola dengan baik, maka mayoritas masyarakat Indonesia di tahun 2020-2030 akan mampu menanggung kehidupan minoritas masyarakat Indonesia. Seandainya ini terjadi, sudah barang tentu masyarakat Indonesia akan menikma� kesejahteraan seper� yang diharapkan oleh bapak pendiri bangsa ini yang diterakan dalam pembukaan UUD 1945, pada alenia keempat (4).

Namun apa yang diinginkan oleh pendiri bangsa ini untuk masyarakat Indonesia masih jauh dari harapan. Salah satu buk�nya adalah meningkatnya lulusan Sarjana di Indonesia tanpa diseimbangi dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Maka outcome dari fenomena ini adalah meningkatnya jumlah pengangguran yang hampir semua dari mereka adalah lulusan sarjana yang merupakan golongan masyarakat dengan usia produk�f. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan bahwa jumlah pengangguran sarjana pada Bulan Agustus 2014 (495.143 orang), lebih �nggi dari bulan Agustus 2013 (434.185 orang), dan Agustus 2012 (445.836 orang). Peningkatan pengangguran sarjana ini merupakan kecemasan bagi masyarakat Indonesia dan ini harus segera ditanggulangi sebelum tahun 2020.

Agar permasalahan ini bisa teratasi, kita perlu memahami faktor-faktor yang menyebabkan fenomena pengangguran “intelektual/terdidik” terjadi. Pertama, masih banyak lulusan perguruan �nggi menyelesaikan studi tanpa dibekali kompetensi yang sesuai dengan permintaan pasar kerja. Menurut mantan Menteri

Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, permasalahan terbesar yang menyebabkan peningkatan tren pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun adalah kurangnya kompetensi yang diharapkan oleh pasar. Sebagai contoh konkret beliau juga menambahkan bahwa pada tahun 2010 sendiri terda�ar sebanyak 4,12 juta pencari kerja, namun lowongan kerja yang tersedia 2,38 juta, akan tetapi yang terisi hanya sekitar 1,62 juta orang, atau 70% dari angka total. Merujuk kepada sta�s�k ini, kita juga �dak bisa menafikan bahwa jumlah lapangan pekerjaan hanya mencapai setengah dari jumlah total pencari kerja. Akan tetapi, ironisnya lagi, dari 2,38 juta lowongan kerja yang tersedia, hanya 1,62 juta orang yang memenuhi kualifikasi. Ar�nya, kompetensi lulusan perguruan �nggi yang diharapkan oleh pasar memang belum memadai.

Akar permasalahan lain yang menyebabkan tren pengangguran di Indonesia semakin meningkat adalah pola pikir (mindset). Berdasarkan diskusi dengan kolega d a n p e n ga m a ta n d i l a p a n ga n , p e n u l i s b i s a menyimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat di Indonesia, khususnya mahasiswa, masih menganggap bahwa mereka hanya memiliki dua pilihan dalam hidup: menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk makmur atau menganggur. Ternyata hipotesis ini dibuk�kan oleh data ilmiah yang membuk�kan bahwa terjadi peningkatan pelamar PNS dari 1.612.854 pelamar di tahun 2013, menjadi 2.603.780 orang pada tahun 2014, kata kepala

Suasana antrian pendaftaran dan ujian CPNS

(photo © cirebontrust.com)

(photo © kemlu.go.id)

15

Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik (HKIP) KemenPAN-RB Herman Suryatman. Peningkatan jumlah pelamar PNS yang hampir satu juta orang dalam dua tahun terakhir menjadi buk� bahwa pembenahan pola pikir merupakan keharusan yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi pengangguran di Indonesia.

Faktor terakhir adalah kurikulum perguruan �nggi yang berorientasi kepada akademik yang berlebihan (Excessive Academic-Oriented Curriculum). Pernyataan ini seraya dengan ungkapan Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur Daniel Rosyid yang berargumentasi bahwa, “Kurikulum S1 terlalu menekankan pada pengajaran akademik, hasil akhirnya membuat mental sarjana hanya mencari kerja saja, mereka �dak memikirkan cara untuk menciptakan lapangan kerja sendiri.” Kalau kita lihat di lapangan, pernyataan Daniel Rosyid ada benarnya. Contohnya, jurusan pendidikan Bahasa Inggris di salah satu Universitas di Aceh cenderung mengajarkan bagaimana lulusannya bisa menjadi guru PNS yang baik. Sebenarnya tujuan ini sudah sangat benar, akan tetapi lulusan perlu juga dibekali kompetensi untuk mampu membuka lapangan kerja setelah lulus, seper� membuka kursus-kursus, pusat pendidikan, dan konsultan pendidikan, sehingga lapangan pekerjaan akan menjadi lebih luas.

Solusi untuk Diper�mbangkan

Setelah memaparkan permasalahan diatas, penulis mengajukan beberapa solusi yang hendaknya diper�mbangkan oleh pemerintah dan semua pihak terkait . Solusi pertama adalah meningkatkan kompetensi lulusan S1. Sebelum merumuskan kurikulum, pemerintah sebaiknya merancang pemetaan kebutuhan sesuai yang diharapkan pasar. Contohnya, pada akhir tahun 2015, Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Tentu salah satu kebutuhan yang dibutuhkan oleh semua lulusan adalah kecakapan komunikasi dalam bahasa Inggris dan kecakapan inilah yang harus dimiliki oleh semua lulusan S1 di Indonesia. Kompetensi selanjutnya yang harus di�ngkatkan adalah kemampuan dalam menghasilkan barang-barang yang berkualitas �nggi dan kemampuan dalam memberikan pelayanan yang maksimal (excellent service) bagi yang b e r p r o f e s i s e b a g a i pemberi jasa, seper� dokter dan guru.

S o l u s i y a n g kedua adalah menanamkan m o � v a s i w i r a u s a h a kepada se�ap l u l u s a n S 1 ,

dengan memasukkan mata kuliah yang berorientasikan bisnis, seper� “English for Business” pada jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Ke�ka usaha-usaha mulai menjamur, maka akan terbukanya peluang kerja yang luas bagi lulusan S1 dan situasi kehidupan masyarakat di Indonesia akan stabil. Berdasarkan Kementrian Keuangan, untuk mencapai situasi ideal di Indonesia, maka maka 2% dari total penduduk harus menjalankan usaha yang mampu membuka lapangan kerja. Ini s e h a r u s nya m e n j a d i p r i o r i ta s u ta m a d a l a m pemerintahan Joko Widodo yang menggembar-gemborkan Revolusi Mental. Jadi, sudah seharusnya pemerintah merumuskan kurikulum pada �ngkat perguruan �nggi yang mampu merubah mental mahasiswa dari mental pencari kerja kepada mental mendirikan usaha sendiri.

Solusi yang ke�ga adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi karena diperkirakan bahwa 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lebih dari 350.000 kesempatan kerja. Beberapa cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ada lah memberdayakan lulusan sarjana (university graduate empowerment) dengan memberikan pela�han-pela�han dalam mengolah sumber daya alam yang terdapat pada tempat mereka �nggal, seper� bagaimana untuk mendiversifikasi produk, dan pela�han dalam meningkatkan kemampuan pemasaran (marke�ng skill). Langkah lain adalah memberikan dukungan kepada lulusan sarjana yang menggelu� usaha usaha mikro, seper� memudahkan proses dalam mengambil kredit usaha sehingga usaha yang dijalani masyarakat akan mudah untuk berkembang dan pada akhirnya mampu berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara Indonesia yang tercinta ini.

Meskipun masih banyak solusi yang bisa diambil oleh pemerintah, akan tetapi ke�ga solusi di atas sebaiknya d i p e r � m b a n g k a n o l e h p e m e r i n t a h u n t u k diimplementasikan. Sehingga diharapkan bonus demografi yang akan dinikma� oleh Indonesia akan benar-benar menjadi sebuah anugrah yang bisa membawa kesejahtraan dan kemakmuran bagi bangsa Indonesia. (-)

(illustration © consulthingz.com)

16

8. Cerdas Saja Tidak Cukup

Abdul Aziz Luthfi, S.Pd.I.

BPI LPDP, PK-25

Magister Manajemen, Universitas Indonesia

Supervisor Recruitment and Training Development

Is�lah manajemen talenta sudah semakin umum dan populer dalam pengembangan sebuah organisasi. Menurut Smilasnky dalam bukunya Developing Execu�ve Talent, manajemen talenta itu pen�ng karena berkaitan dengan memosisikan orang yang tepat di pekerjaan yang tepat. Kesesuaian tersebut berhubungan dengan beberapa faktor yang harus diperha�kan, yaitu mulai dari bagaimana merekrut, menempatkan, mengembangkan, dan menjaga kinerja karyawan yang berkompetensi dan berpotensi �nggi.

Faktor pertama tersebut merupakan pintu pertama karyawan memasuki organisasi. Perekrutan juga langkah yang paling kecil cost-nya bila dibandingkan faktor yang lain. Menurut Douglas Bray, seorang filsuf di bidang industri, lebih fokus pada perekrutan adalah lebih baik dari pada fokus pada pengembangan. Ini karena pengembangan bukanlah tugas yang mudah akibat beberapa atribut kepribadian yang �dak dapat dikembangkan. Oleh karena itu merekrut mereka dengan keterampilan yang tepat lebih e fi s i e n b a g i o r g a n i s a s i d a r i p a d a mengembangkan keterampilan mereka.

Sebuah survei yang diselenggarakan Chartered Ins�tute of Personal and Development di London pada tahun 2006 menunjukkan respon posi�f terhadap manajemen talenta. Dari survei

tersebut didapat tujuan utama manajemen talenta paling banyak adalah sebagai berikut:

Ÿ Mengembangkan karyawan yang berpotensial �nggi,

Ÿ Mengembangkan calon senior manajer di masa depan,

Ÿ Memungkinkan tercapainya tujuan strategis perusahaan,

Ÿ Mempersiapkan kebutuhan keterampilan di masa depan,

Ÿ Menjadi daya tarik dalam merekrut key person,

Ÿ Mempertahankan karyawan kunci (key staff).

Hasil survei Chartered Institute of Personal

and Development di London, 2006

(illustration © jobcircle.pk)

m e n u n j a n g

rencana jangka

p a n j a n g

tersebut. Hal ini

diperparah pula

d e n g a n

k e n y a t a a n

bahwa rata-rata

k e p u t u s a n

seseorang untuk

m e l a n j u t k a n

pendidikannya ke jenjang master maupun doktoral

didasarkan pada personal intererst, yang dapat dirangkum

menjadi �ga paradigma umum, yaitu:

1. Keinginan untuk menekuni dunia akademik baik

sebagai peneli� maupun dosen pengajar,

2. Terbukanya kesempatan untuk melanjutkan

pendidikan setelah menyelesaikan �ngkat sarjana

ke�ka proses seleksi pekerjaan belum selesai ataupun

belum mendapat panggilan kerja, dan

3. Keinginan untuk menaikkan daya saing personal (bagi

yang sudah bekerja) dalam menghadapi kompe�si

kenaikan jabatan di dunia kerja dimana jenjang

p e n d i d i ka n m e r u p a ka n s a l a h s a t u fa k t o r

per�mbangan yang pen�ng.

Ke�ga paradigma di atas memiliki nilai posi�f dan nega�fnya

masing-masing. Poin pertama memiliki �ngkat linearitas

keilmuan yang paling �nggi dibandingkan poin lainnya.

Namun perlu diingat jika kebutuhan posisi dosen pengajar,

peneli�, ataupun jumlah universitas yang ada lebih sedikit

dibandingkan penambahan jumlah lulusan S2 maupun S3,

maka akan terjadi kondisi oversupply yang dapat berakibat

17

Tantangan-tantangan

Mempunyai orang-orang yang berkompetensi dan berpotensial merupakan salah satu konsep ideal bagi sebuah organisasi. Seringkali, kualifikasi kompetensi didasarkan p a d a � n g kat p e n d i d i ka n d a n prestasinya. Menurut Guarino (2007), kecerdasan saja �dak cukup s e ka ra n g , ke c e r d a s a n h a ny a merupakan salah satu bagian. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi sebuah organisasi dalam mengisi tubuhnya sesuai prinsip the right person for the right job.

Tantangan ber ikutnya ada lah mengingat bahwa sebenarnya potensi , k inerja dan kesiapan b u k a n l a h h a l y a n g s a m a . Mendapatkan karyawan dengan kompetensi dan potensi �nggi akan membawa kesenjangan ke�ka �dak

d i i k u � d e n g a n b a g a i m a n a mempersiapkan mereka. Terkait hal tersebut, Bussi dan McMurrer mengatakan mereka yang berpotensi membutuhkan mentoring, tugas tambahan, dan pengembangan p e r s o n a l u n t u k m e m b a n g u n keterampilan in� mereka.

Selanjutnya, mendapatkan dan mengembangkan para berpotensial saja masih belum cukup. Organisasi m a s i h m e m p u nya i ta nta n ga n membangun komunikasi untuk menarik para super talent dan mempertahankan yang sudah ada. S m i l a n s k y d a l a m b u k u n y a D e v e l o p i n g E xe c u � v e Ta l e n t b e r p e n d a p a t b a h w a d e n g a n p e n g e l o l a a n k a r i r d a n pengembangan potensi bisa menarik dan mempertahankan the best talent di tengah persaingan yang �nggi

masa sekarang. Ini salah satunya bisa berupa bentuk penghargaan atas kinerja mereka.

Kesimpulan

Untuk mencapai sebuah organisasi dengan kinerja �nggi perlu didukung k a r y a w a n - k a r y a w a n y a n g berkompetensi, dan berpotensi �nggi. Kecerdasan dan prestasi saja � d a k c u ku p u nt u k m e n g u ku r kesiapan mereka terjun di dunia kerja. Karyawan yang menjadi kunci organisasi tersebut harus terus didukung perkembangannya baik dari kompetensi maupun jenjang karir mereka. Selain itu, keberadaan para key people ini perlu dijaga komitmen dan mo�vasi mereka dengan komunikasi yang baik dari organisasi melalui penghargaan dan pengakuan. (-)

9. Ekspektasi Dunia Kerja

Indonesia Terhadap Lulusan

Pendidikan Tinggi (S2 & S3)Handika Prasetya Dwiyasni, S.T., M.Sc.

BPI LPDP, PK-09

Sustainable Process Engineer, University of Twente

bersama Tim Divisi Talent Hub & Strategic Partnership, MATAGARUDA

Sejak pengelolaan beasiswa oleh Lembaga Pengelola Dana

Pendidikan (LPDP) berjalan, kesempatan untuk mendapatkan

beasiswa master maupun doktoral terbuka untuk semua

kalangan. Hingga kuartal I 2015, total penerima beasiswa

LPDP sudah mencapai 6.800 orang. Salah satu poin yang unik

dari beasiswa ini adalah �dak adanya ikatan kerja setelah

kelulusan penerima beasiswa dan hanya diikat oleh klausul

“kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi” pada

kontrak. Kondisi yang cukup “fleksibel” ini menjadi daya tarik

tersendiri, terbuk� dari jumlah pelamar dan penerima

beasiswa yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini

pun sejalan dengan target awal LPDP untuk meningkatkan

rasio lulusan pendidikan master dan doktoral terhadap

jumlah penduduk, dimana Indonesia sendiri masih ter�nggal

dengan negara tetangga di kawasan ASEAN, seper� Singapura

dan Malaysia.

Jika target kuan�tas telah terpenuhi, maka tantangan

selanjutnya adalah bagaimana memaksimalkan potensi

sumber daya manusia tersebut sesuai dengan kapasitas dan

keahlian mereka, sesuai dengan roadmap jangka panjang

pembangunan negara. Namun tujuan di atas bukanlah hal

yang mudah, mengingat belum adanya arahan khusus dari

pemerintah mengenai keahlian apa yang dibutuhkan untuk

18

a

nega�f terhadap career path di dunia akademik dan lembaga

peneli�an. Poin kedua berada pada posisi yang cukup riskan,

mengingat penerima beasiswa seper� ini dapat “terjerumus”

untuk terjun ke dunia akademik tanpa direncanakan maupun

mencoba untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dengan

lulusan sarjana karena sama-sama belum memiliki

pengalaman kerja. Poin nomor �ga memiliki risiko yang

tergolong paling rendah mengingat mereka sudah memiliki

pengalaman kerja dan sudah lebih mengetahui kondisi pasar

yang ada.

Berdasarkan paparan di atas, sudah siapkah pasar kerja di

Indonesia menyerap seluruh potensi-potensi di atas?

Mampukah kita keluar dari paradigma di atas dan mulai

merambah pemanfaatan exper�se yang sesuai dengan studi

yang diambil para penerima beasiswa? Tulisan ini akan

memberikan ulasan singkat terkait ekspektasi pasar kerja

terhadap lulusan S2 dan S3 (di luar dunia akademik dan

lembaga peneli�an) dari beberapa pe�nggi instansi-instansi

yang berpengaruh di Indonesia, seputar apakah mereka

tertarik untuk merekrut lulusan minimal S2 dan posisi apakah

yang cocok dengan kualifikasi pendidikan tersebut.

Pengalaman Kerja Lebih Diutamakan Dibandingkan Level

Pendidikan

“Tertarik sekali jika ada S2, apalagi nya sudah talent pool link

terbentuk tanpa harus jalur yang resmi (publikasi di linkedin /

jobstreet dsb - red). Sudah berpengalamankah? Dapat

diu�lisasi untuk keperluan tenaga ahli dan merancang grand

design jangka panjang,” Andi Wibisono - Direktur SDM &

Umum PTPN IV.

“Lulusan S2 sebaiknya sudah berpengalaman kerja, karena

dengan begitu mereka tahu jurusan yang mereka ambil untuk

keperluan apa berdasarkan apa yang mereka alami selama di

dunia kerja, bukan hanya sekedar ikut-ikutan saja atau

meneruskan apa yang mereka ambil di S1,” Iman Nugroho

Soeko- .Direktur Treasuri BTN

“Untuk Oil and Gas, yang lebih ditekankan adalah pengalaman

kerja. Lulusan S2 memang memiliki added value, tetapi secara

jalur masuk akan sama saja berdasarkan lamanya bekerja. Dan

yang disebut berpengalaman kerja minimal 5 tahun untuk oil

and gas,” Tia Nas�� Ardianto - Senior Manager Talent

Management Division Medco Energy.

“Boleh saja rekrut kualifikasi S2, tapi bukan di bidang teknis.

Tidak ada profesor sekalipun di Indonesia yang lebih tahu

masalah perkeretaapian daripada orang kereta api itu sendiri.

Jadi level S2 yang dicari lebih ke orang dengan kualifikasi dan

pengalaman di bidang business development mengingat aset

kereta api yang magnificent,” .Vice President PT KAI

“AECOM tertarik untuk merekrut lulusan S2, terutama ke�ka

sang pelamar telah memiliki pengalaman kerja. Posisi atau

jabatan sesuai dengan jurusan dan pengalaman kerja kandidat.

Kami memiliki beberapa business lines (building & places,

transporta�on, building engineering, environment, energy,

water & urban development) dan masing-masing jabatan dari

business lines tersebut memiliki persyaratannya,” Heryan�

Aulia Dewi – .Human Resources AECOM Indonesia

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan

lebih memilih untuk merekrut karyawan yang

berpengalaman karena sudah terbuk� hasil kerjanya di

dunia profesional, terlepas dari seberapa �nggi latar

belakang pendidikannya. Sisi lainnya yang dapat dipe�k

adalah pola dan etos kerja karyawan yang berpengalaman

sudah terbentuk, sehingga meminimalkan biaya yang harus

dikeluarkan perusahaan dalam hal pengembangan SDM

perusahaan.

Lebih baik menyekolahkan pendidikan �nggi ke karyawan

internal sesuai dengan kebutuhan perusahaan

“Kebutuhan lulusan S2 di Kementerian Keuangan (khususnya

di Sekretariat Jenderal) diperlukan hanya untuk lulusan S2

yang merupakan S2 profesi, misalkan psikolog. Untuk lulusan

S2 yang bukan profesi, �dak terlalu dibutuhkan. Hal ini

dikarenakan pimpinan merasa lulusan S2 �dak dapat bekerja

sesuai dengan harapan pimpinan. Oleh karena itu, pimpinan

lebih memilih melakukan rekrutmen lulusan S1 untuk dididik,

kemudian disekolahkan sesuai dengan bidang kerjanya, dan

kemudian akan kembali ke kantor untuk bekerja lebih baik,”

Dini Kusumawa� – Tenaga Pengkaji Bidang Perencanaan

Strategik Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Ulasan yang lebih menarik dikemukakan oleh salah satu

psikolog yang memiliki spesialisasi di bidang talent

management. Ada empat poin pen�ng yang beliau sampaikan,

yaitu:

a. “Basic company itu kan bo�om line-nya selalu

mengenai profit, jadi cost selalu ditekan. S2 umumnya

meminta gaji lebih �nggi dari S1. Perusahaan berpikir

jika bisa mendapatkan S1 yang dapat bekerja dengan

bagus, kenapa harus hire S2 dengan cost yang lebih

besar? Ini mungkin terkait juga dengan lulusan S2 yang

belum dapat memberi perbedaan yang signifikan di

dunia nyata pekerjaan.”

b. “Efek competency-based talent management

membuat perusahaan lebih fokus ke kualitas

kompetensi, bukan level edukasi.”

c. “Perusahaan yang berbasis management trainee

program untuk entry level merasa lebih bisa

membentuk lewat program mereka sendiri daripada

(illustration © bannerenergy.net)

19

merekrut S2. Program tersebut terbuka untuk lulusan

S1 maupun S2 tanpa ada perbedaan treatment

tertentu.”

d. “Belum maksimalnya peran organisasi profesi. Ini

berlaku pada profesi-profesi tertentu yang seharusnya

diatur oleh organisasi profesi. Contoh yang baik adalah

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi

dokter yang betul-betul berfungsi mengontrol peran

dokter. Namun untuk profesi lain seper� psikolog

ataupun akuntan belum maksimal.”

Hal yang sama pun terjadi pula pada sebagian besar

perusahaan minyak dan gas (migas) yang menjadikan

pengalaman kerja di lapangan sebagai prioritas. Sebagai

contoh, Pertamina telah memiliki program beasiswa khusus

untuk pegawainya, namun yang terpilih adalah mereka yang

telah memiliki pengalaman kerja. Di Chevron pun pekerja yang

dapat beasiswa juga telah bekerja selama 7 tahun, sehingga

ke�ka sekolah sudah diketahui orientasi kebutuhan studinya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan

lebih memilih untuk membuat program jangka panjang

tersendiri di internal perusahaan dalam hal pela�han dan

pengembangan karyawannya. Dengan mekanisme seper� ini,

mereka yakin bahwa kemampuan karyawan mereka adalah

kemampuan yang dibutuhkan perusahaan. Sisi lainnya yang

dapat dipe�k dari kondisi ini adalah adanya potensi

ke�dakcocokan antara pengetahuan dan kemampuan yang

diajarkan di dunia akademik (dalam hal ini pendidikan sarjana

dan/atau politeknik) dengan pengetahuan dan kemampuan

yang dibutuhkan perusahaan, sehingga perusahaan merasa

perlu membuat sebuah pola pela�han yang sesuai.

Perusahaan kami siap merekrut profesional untuk kualifikasi

minimal S2

“Ya kami tertarik untuk merekrut lulusan S2 namun untuk S3

akan kami lihat dulu apakah sesuai dengan ekspektasi kedua

belah pihak (kandidat dan perusahaan). Posisi yang cocok yaitu

managerial level,” Indriarni Pramaningrum - Recruitment

Specialist Unilever Indonesia.

“Ya, sebagai perusahan mul�na�onal company global, kami

pas� sangat tertarik merekrut lulusan S2 bahkan S3 untuk

posisi tertentu. Perusahaan kami sudah sangat siap menerima

lulusan S2 maupun S3 tersebut karena saat ini pun sudah

banyak yang bekerja di perusahaan. Posisinya bervariasi,

namun untuk lulusan S2 biasanya minimal di level manajer ke

atas,” Ade Gus�an Yuwono - .Head of OTC Novar�s Indonesia

Perusahaan swasta seper� CIMB Niaga bahkan memiliki

graduates program tersendiri dengan kualifikasi minimal S2.

Perbedaan yang dimiliki program mereka dengan jalur

management trainee pada umumnya adalah jalur fast track

dan assignment yang lebih berbobot, sehingga kenaikan karir

karyawan akan lebih cepat. Mereka pun menganggap

persaingan dalam memperebutkan talent terbaik (talent war)

sudah semakin sengit di Indonesia.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

perusahaan swasta, terutama mul�na�onal company lebih

siap terhadap pasar kerja dengan kualifikasi minimum S2.

Mereka memiliki segregasi yang jelas dari segi assignment

yang diberikan walaupun belum sepenuhnya menjamin

perbedaan yang signifikan dari segi gaji dan benefit lainnya

dari perusahaan. Sisi lainnya yang dapat dipe�k dari kondisi

ini adalah mul�na�onal company berpotensi memenangkan

(lagi) talent war yang terjadi di Indonesia. Lalu, kemanakah

BUMN dan perusahaan lokal lainnya dalam persaingan

tersebut? Mampukah mereka beradaptasi dan

mengumpulkan talenta-talenta terbaik bangsa untuk

berkontribusi langsung terhadap pembangunan negeri?

Sudah saatnya para pemangku kebijakan untuk mulai

mengarahkan prioritas pengelolaan beasiswa dari kuan�tas

menjadi kualitas. Mereka sebaiknya duduk bersama dengan

para pe�nggi perusahaan, akademisi, LPDP berserta

alumninya untuk melakukan brainstorming dalam hal

pemetaan grand design SDM Indonesia. Beberapa isu yang

layak untuk dijadikan bahan diskusi karena menyangkut

kebutuhan lintas sektoral adalah:

Ÿ Apakah terjadi mismatch keahlian dan skill antara dunia

pendidikan dan dunia kerja?

Ÿ Apakah program studi mahasiswa saat proses seleksi

beasiswa sudah sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan

untuk pembangunan jangka panjang di Indonesia?

Ÿ Apakah memungkinkan adanya penambahan persyaratan

pelamar beasiswa master dan doktoral dari segi

pengalaman kerja?

Ÿ Apakah ada segregasi level pendidikan untuk berbagai

posisi/jabatan di se�ap ins�tusi (universitas, BUMN,

perusahaan swasta, lembaga peneli�an, dsb)?

Ÿ Apakah perusahaan tertarik untuk membuka divisi

Research and Development (R&D) internal?

Ÿ Apakah para lulusan sarjana telah berpikir matang terkait

career path yang ingin ditempuh sebelum memutuskan

untuk mengambil pendidikan master dan doktoral? (-)

(illustration © cranfield.ac.uk) (illustration © profacts.be)

Sejak terminologi kata Desain Komunikas i V isual diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 90an, pro dan kontra pun merebak, dan hal itu kerap kali diperdebatkan sampai sekarang. Siapa yang merambah pada siapa – apakah desain pada komunikasi atau komunikasi pada desain, di tengah pujian dan pengharapan yang berkumandang yang diiku� pula oleh protes yang dimaknai dengan berbagai pemahaman – kredibilitas dan kompetensi profesi ini banyak dipertanyakan baik oleh para prak�si maupun akademisi. Unsur komunikasi yang dilibatkan mendapat sorotan, karena terminologi kata Desain Komunikasi Visual bisa menimbulkan ambiguitas makna – padahal di negeri luar profesi ini masih tetap disebut sebagai Graphic Design, atau seper� yang dinyatakan oleh Richard Saul Wurman sejak tahun 1976 – architect informa�on.

Ke�ka David Ogilvy menyatakan bahwa what to say lebih

pen�ng daripada how to say, dari sisi ilmu komunikasi Harold

Lasswell mengemukakan formula Who Says What in Which

Channel to Whom With What Effect sambil memberi

penekanan bahwa per�mbangan dan pemilihan how to say

menentukan efek�vitas penyampaian what to say pada

audiens. How to Say diar�kan sebagai saluran komunikasi yang

digunakan, dan bentuk media yang dijadikan kendaraan untuk

memperkuat struktur isi pesan atau content.

Ke�ka Max Bruinsma menyatakan bahwa seniman dan

desainer bisa dikatakan sebagai informa�on agents – ar�nya

mereka memperdagangkan makna, mengedarkan gagasan,

konsep dan pemikiran – diwujudkan menjadi susunan-susunan

visual dan diimbuhkan konteks – singkatnya, mereka

mengentalkan informasi menjadi kebudayaan (Bruinsma, Max.

Design Interac�ve Educa�on. 1997), Wibur Schamm

mengungkapkan bahwa secara garis besar dalam proses

komunikasi, pesan adalah pernyataan yang didukung oleh

lambang, merupakan paduan pikiran dan perasaan (ide,

informasi, himbauan, perintah, larangan, keluhan, dsb),

dimana lambang dapat berupa verbal/bahasa (lisan mau pun

tulisan), atau pun non-verbal (visual, isyarat, gerak tubuh,

mimik). Dalam hal ini, ide atau gagasan yang disampaikan bisa

dikomunikasikan dalam bentuk gambar atau simbol atau

lambang dan tanda yang bermakna. Karena adanya unsur seni

yang didominasi oleh perasaan sekaligus unsur komunikasi

yang dilandasi kesadaran, maka gambar, simbol, lambang atau

tanda yang bermakna ini memerlukan jembatan untuk dapat

dimaknai dengan terarah sesuai dengan tujuan yang ingin

dicapai.

Salah satu jembatan yang digunakan adalah komunikasi dan

berbagai konsep yang menyertainya (mulai dari konsep

10. Sinergi LPDP & Alumninya dengan Institusi

Pemerintahan; Saat Kata Menerjemahkan SketsaAgustina Kusuma Dewi, S.Sos.

BPI LPDP, PK-37.

Magister Desain, ITB

Dosen di DKV Unpas dan FSRD ITENAS Bandung

(illustration © personalbrandingblog.com)

20

komunikasi sebagai proses siklis untuk menyamakan makna

sampai pada konsep media dan karakteris�knya) yang

memberikan wacana sebagai landasan yang menyertai studi

akademik lain dalam kajian ilmu desain. Dalam informasi yang

dibangun dan dikembangkan melalui sistem jejaring

komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, manakala

te r j a d i s i t u a s i m a k n a d i p e rd a ga n g ka n d a n /ata u

diinformasikan dalam

bentuk v isual , s i fat

p e rs u a s i f s e ka l i g u s

informa�f terjadi secara

bersamaan pada proses

di dalamnya. Ke�ka

informasi menjadi rumit

dengan banyak konsep

dan kata-kata struktural,

v i s u a l i s a s i b i s a

m e m b a n t u

menguraikan kerumitan

d a n m e n g u r a i k a n

kekusutan makna yang

m u n g k i n t e r j a d i .

Sebaliknya, informasi yang dituangkan dalam bentuk desain

gambar saja kadang �dak cukup untuk menyamakan kerangka

berpikir antara komunikator dengan komunikan atau klien si

desainer sebagai produsen produk/jasa dengan konsumen. Di

sanalah term (ilmu) komunikasi berperan—sebagai kata yang

menerjemahkan sketsa. Menerjemahkan dalam ar�an

menguraikan grafis menjadi huruf-huruf yang bisa dimaknai

sama karena sifat konsumsinya yang ditujukan pada

p u b l i k — a t a u s e c a r a

komunikasi lisan sekaligus

j u g a u n t u k m e n c e g a h

terjadinya double meaning

yang keluar dari konteks.

Sekarang yang menjadi

p e r t a n y a a n a d a l a h

bagaimana selanjutnya para

desainer dengan profesi

m e r e k a m a m p u

menggunakan komunikasi

sebagai salah satu senjata

andalan untuk mendukung

kerja dan karya mereka di

dunia nyata—sehingga pada

akhirnya, dunia desain menjadi lebih kuat dan sarat nuansa

ilmu tanpa harus kehilangan akarnya sebagai seni dan budaya

yang tentunya bukan hanya emosional, namun juga

terstruktur dan rasional?

LPDP melalui beasiswa Magister telah memberikan ruang

kemungkinan untuk menemukan ragam kontribusi terkait

pertanyaan di atas. Dengan beasiswa yang diberikan untuk

mahasiswa yang melanjutkan studi pada bidang keilmuan

Teknik dengan salah satu konsentrasinya adalah Desain, maka

sangat mungkin adanya sinergi untuk pengembangan aplikasi

desain yang berlandaskan pada teori dan konsep dasar

bagaimana terjadinya sebuah proses komunikasi (pada

khalayak) – sehingga, ada ��k temu pemahaman antara

Desain + Komunikasi + Visual = Desain Komunikasi Visual yang

kemudian bisa diimplementasikan secara aplika�f untuk

mendukung efek�vitas informasi dari pemerintah – misalkan

saja pada Divisi Humas di Instansi Pemerintah dan/atau

Depkominfo RI – salah satunya misalnya melalui Infografis

(penyajian data/informasi dalam bentuk grafis).

Saat ini, era ”pictorial

t u r n ” y a n g t e n g a h

m e n g g e j a l a s a n ga t

mungkin menggiring

m a s y a r a k a t p a d a

budaya visual. Namun

r e a l i t a n y a , a d a n y a

berbagai dimensi dalam

k o m u n i k a s i y a n g

m u n g k i n d a l a m

p r o s e s n y a b i s a

berbentuk intrapersona,

a n t a r p e r s o n a ,

k e l o m p o k , m a s s a ,

sampai pada komunikasi

antarbudaya yang bersifat mul�kultur dan mul�dimensi;

dengan pesan visual yang �dak efek�f, mereka dapat

mengakhiri sebuah hubungan komunikasi yang sudah terjalin

sebelumnya. Pada akhirnya, ke�ka kemajuan teknologi serta

percepatan perkembangan peradaban manusia sering

menimbulkan gap komunikasi secara verbal, pesan visual

menjadi komponen pen�ng terciptanya kesamaan makna

sebagai hakikat dari proses komunikasi. Ke�ka pesan visual

sebagai bentukan komunikasi

nonverbal saja pun kemudian

m e n i m b u l ka n b e r b a ga i

persepsi dan menciptakan

mul�-tafsir, maka tetap saja

d iper lukan adanya kata

sebagai penerjemah sketsa.

Dengan adanya sinergitas

yang selaras antara alumni

LPDP yang mengambil studi

Desain khususnya Desain

Komunikasi Visual dengan

pemerintah, maka bukan tak

mungkin alumni LPDP dalam

b i d a n g D e s a i n y a n g

memahami konsep disiplin dalam komunikasi (communica�on

is irreversible) dan di ”yakini” tahu apa yang dibutuhkan untuk

mencapai sebuah pesan komunikasi yang efek�f, dan

diharapkan dapat membangun saluran terjalinnya sebuah

sinergi antara teori komunikasi dan aplikasi desain yang krea�f

sehingga menciptakan terobosan karya desain komunikasi

visual yang mampu menciptakan komunikasi efek�f sebagai

tuntutan dunia informasi dalam tatanan komunikasi massa –

bahkan �ngkat tertentu komunikasi poli�k – yang semakin

berkembang dan memerlukan pembentukan citra khalayak

yang posi�f berkaitan dengan persepsi ide dan/atau gagasan

yang akan dikomunikasikan pada masyarakat. (-)

(illustration © cnafinance.com)

21

Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk meningkatkan �ngkat par�sipasi sekolah dan kualitas pendidikan melalui program ser�fikasi guru, perbaikan kurikulum, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), anggaran pendidikan 20%, serta program lainnya. Namun sayangnya, hal ini �dak cukup untuk memas�kan adanya mobilitas sosial (upward social mobility) pada masyarakat. Pada saat ini, orang-orang yang bekerja pada level keahlian rendah, seper� seorang office boy, cleaning service, pelayan toko, satpam, dan lain-lain, cenderung untuk terhen� (stuck) pada level pekerjaan keahlian rendah tersebut. Sekali mereka masuk pada profesi itu, sangat besar kemungkinan bahwa mereka akan b e ra d a p a d a p ro fe s i i t u u n t u k seterusnya. Untuk i tu perlu ada p e r u b a h a n m i n d s e t d i t a t a r a n pengambilan kebijakan bahwa belajar �dak terhen� pada lembaga formal saja. Selain itu, diperlukan sistem yang memas�kan orang yang pada awalnya m e r u p a ka n o ra n g y a n g k u ra n g beruntung, baik karena ekonomi keluarganya maupun karena sebab lainnya, mendapat kesempatan untuk meningkatkan skill mereka pada saat mereka sudah berada di dunia kerja.

Di era yang penuh kompe�si, cepat

berubah, dan terintegrasi dengan

perekonomian global ini, seorang

p e ke r j a j u ga p e r l u u nt u k te r u s

m e n d a p a t k a n p e l a � h a n a g a r

keahliannya bertambah dan dapat

beradaptas i dengan perubahan.

B e r b a g a i i n i s i a � f i n t e g r a s i

perekonomian seper� ASEAN Economic

Community, Trans-Pacific Partnership,

dan inisia�f lainnya memberi tantangan

bagi para pekerja untuk meningkatkan

kompetensi dan produk�vitas mereka.

Sistem di Singapura yang bernama

lifelong learning concept dapat menjadi

ru jukan. Konsep in i menjadikan

perusahaan sebagai learning center bagi

para pekerja. Berdasarkan konsep ini,

para pekerja akan terus mendapatkan

pela�han sehingga keahlian mereka

pada suatu bidang semakin meningkat

atau mereka dapat mempelajar i

keahlian baru agar mereka dapat pindah

pada pekerjaan yang lebih produk�f.

Sebagai contoh, seseorang yang saat ini

bekerja sebagai office boy, jika ia

memiliki minat untuk menjadi seorang

koki atau pengusaha restoran, maka ia

dapat mengiku� pela�han sebagai koki

dan pengusaha restoran. Oleh karena

itu, seseorang yang pada awal karirnya

'terpaksa' menjadi seorang office boy

memiliki kesempatan untuk move on.

Berikut adalah gagasan prak�s dari

model lifelong learning Singapura

tersebut (Lim, 2015).

P E R TA M A , a d a n y a C o n � n u i n g

Educa�on and Training (CET) Master

Plan. Indonesia membutuhkan sebuah

m a s t e r p l a n y a n g m e m a s � k a n

tersedianya infrastruktur CET serta

adanya keterkaitan antara pendidikan

pada masa sebelum bekerja (pre-

employment) dengan ins�tusi CET.

Selain itu, ins�tut pendidikan bagi orang

usia dewasa (Ins�tute of Adult Learning)

juga dapat disiapkan sehingga tersedia

supply pendidik bagi orang usia dewasa.

Di lingkungan eksternal yang terus

berubah , master p lan i n i per lu

berprinsip flexible, result-oriented, dan

integrated.

KEDUA, penciptaan Industry-Based

training. Perusahaan mul�nasional atau

perusahaan besar cenderung memiliki

sistem in-house training center yang

c u k u p b a i k . P e m e r i n t a h d a p a t

melakukan akreditasi terhadap training

center perusahaan ini sehingga ia

menjadi sebuah Approved Traning

22

11. Sistem Lifelong Learning

untuk Mobilitas Sosial and

Industrial Upgrading

Rully Prassetya, SE, MPP, MSc.

BPI LPDP, PK-01

University College London

Macroeconomics, Development Policy, and Governance

(illustration © assignmentpoint.com)

23

O r g a n i za � o n ( ATO ) ya n g d a p a t

memberikan training bagi perusahaan

lainnya yang lebih kecil atau bagi

pemasok bahan baku pada perusahaan

tersebut. Perusahaan yang in-house

training center nya mendapatkan

akreditasi dari pemerintah dapat

diberikan grant atau insen�f lainnya.

KETIGA, pembuatan Skills Development

Fund (SDF) . Pemberi kerja perlu

berkontribusi melalui iuran Skil ls

Development untuk semua pegawainya.

Jumlah yang diterapkan di Singapura

adalah 0.25% dari total gaji pegawai,

dengan jumlah maksimum $11.25

(sekitar Rp100ribu) per pegawai se�ap

bulannya. Uang ini akan dikelola oleh

Skills Development Fund (SDF) yang

kemudian dapat memberikan hibah

( g r a n t ) p a d a p e r u s a h a a n y a n g

meng i r imkan pegawainya untuk

pela�han.

KEEMPAT, . Pelaku training bagi UMKM

UMKM cenderung �dak mengetahui apa

saja pela�han-pela�han yang dapat

mereka iku�. Selain itu, biaya pela�han

yang cukup �nggi dan cara berpikir

jangka pendek (yaitu bagaimana agar

bisa survive dari hari ke hari) membuat

UMKM kurang berinvestasi pada

pela�han. Untuk mengatasi hal ini,

sebuah jejaring (network) dan kelompok

belajar & pela�han (cluster of learning

and training) dapat dibuat sehingga ada

ekosistem yang cukup besar yang

memungkinkan adanya training dan

sharing of learning experience antar

UMKM dengan biaya yang rela�f lebih

rendah. Pengelompokan in i b isa

berdasarkan daerah operasi atau

kebutuhan usaha yang sama, misalnya

produk yang sama, kebutuhan fasilitas

yang sama, atau kebutuhan pela�han

yang sama. Pemerintah juga dapat

menyediakan dana hibah (grant) bagi

UMKM, seper� Enterprise Training

S u p p o r t ( E T S ) d a n C a p a b i l i t y

Development Grant (CDG) yang ada di

Singapura.

KELIMA , pembuatan community

l i b r a r y . B u d a y a m e m b a c a d a n

kesempatan untuk terus belajar perlu

ditanamkan sejak dini dan di lingkungan

terkecil masyarakat. Konsep community

library yang ada di Singapura dapat

diadopsi. Singapura memiliki 26 public

library yang berfungsi memajukan

b u d ay a m e m b a c a , b e l a j a r, d a n

i n f o r m a � o n l i t e r a c y d i t e n g a h

masyarakatnya. Community library ini

juga menjadikan buku dan informasi

mudah diakses bagi anak-anak kecil dan

orang usia dewasa. Community library

juga dapat menjadi community center

yang menguatkan social bonding

masyarakat suatu daerah.

Sebagai penutup, di era penuh kompe�si

dan integrasi perekonomian dunia pada

saat ini, seorang pekerja perlu untuk

terus bela jar dan meningkatkan

kompetensi dirinya. Sesorang yang pada

awal kar i rnya kurang beruntung

sehingga memiliki �ngkat keahlian yang

rendah, perlu mendapatkan kesempatan

untuk meningkatkan keahliannya. Untuk

mewujudkan ini, perlu ada kerja sama

y a n g e r a t a n t a r a p e m e r i n t a h ,

perusahaan, dan pekerja. Pemerintah

s a j a � d a k d a p at m e nye l e s a i ka n

persoalan ini tanpa ada par�sipasi ak�f,

komitmen, dan kontribusi dari pekerja

dan perusahaan. Program khusus bagi

UMKM perlu diciptakan agar hal-hal

yang menghalangi mereka dari pela�han

dapat teratasi. Budaya membaca dan

belajar juga perlu ditanamkan semenjak

dini. Singapura sebagai sebuah negara

m a j u t e l a h d e n g a n s e r i u s

mengembangkan s istem l i fe long

learning-nya. Tentu Indonesia sebagai

negara berkembang lebih layak untuk

m e m i l i k i s e m a n gat l e b i h d a l a m

meningkatkan kompetensi diri. (-)

REFERENSI:

Lim, Hank. 2015. Inves�ng in Workers

and Firms as Learning Centres for

Industrial Upgrading.

Suasana training pegawai dan pelajar di sebuah perusahaan di Singapura (photo © todayonline.com)

12. MATAGARUDA Kaleidoscope Connect Collaborate Contribute for Na�on| |

Panitia Welcoming Alumni

Pada akhir tahun 2015, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan

(LPDP) akan memiliki tambahan alumni sebanyak 751 orang

dengan distribusi lulusan dalam negeri sebanyak 193 orang

dan lulusan luar negeri sebanyak 558 orang. Melihat semakin

bertambah besarnya jumlah alumni beasiswa LPDP dan

besarnya harapan terhadap alumni beasiswa LPDP sebagai

generasi pemimpin masa depan bangsa Indonesia, ikatan

alumni Mata Garuda bersama dengan LPDP berinisia�f

merangkai sebuah kegiatan penyambutan yang bertajuk

“ ” LPDP pada tanggal 31 Januari dan 1 Welcoming Alumni

Februari 2016 di Hotel Borobudur, Jakarta. Welcoming Alumni

sendiri bertujuan menjadi sebuah pintu gerbang bagi para

alumni beasiswa LPDP dalam mempersiapkan potensi dan

karya yang dimiliki untuk dapat dipertemukan, dikolaborasikan

dan dikontribusikan kepada bangsa Indonesia. Untuk

merealisasikan tujuan tersebut, rangkaian kegiatan Welcoming

Alumni dibagi menjadi 4 rangkaian acara:

1. Inspira�ve Talks

Inspira�ve talks adalah talkshow berbagi pengalaman dan ide

dari tokoh nasional dan para pemuda inspira�f kepada alumni

sebagai inspirasi dan bekal mereka dalam melanjutkan langkah

hingga kelak dapat ikut ambil bagian menjadi solusi untuk

bangsa Indonesia.

Di talkshow ini akan menghadirkan: Prof. Dr. B.J. Habibie

(Presiden RI ke-3) (Founder Gojek), Nadiem Makarim , Gamal

Albinsaid , dan Ainun Najib (Founder Indonesia Medika)

(Founder COde4Na�on)*

2. Leadership Forum

Leadership forum adalah sebuah kolaborasi antara alumni

beasiswa LPDP, prak�si, akademisi dan Pemerintah Daerah di

Indonesia dalam memecahkan permasalahan daerah dengan

menggunakan konsep roundtable discussion. Diskusi akan

dibagi ke dalam beberapa meja yang merepresentasikan tema

prioritas LDPD dan berbagai bidang strategis di daerah. Pada

Leadership Forum nan�nya, alumni beasiswa LPDP akan

memandu diskusi dalam se�ap meja hingga dapat

menghasilkan sebuah rekomendasi pemecahan permasalahan

daerah dari berbagai sudut pandang keilmuan serta dapat

melahirkan sebuah nota kesepahaman antara alumni beasiswa

LPDP dengan Kepala Daerah dalam mengimplementasikan

rekomendasi tersebut.

3. Idea Exhibi�on

Idea exhibi�on adalah wadah kontribusi alumni LPDP yang

dikemas dalam bentuk pameran poster ide atau karya alumni

beasiswa LPDP. Selain itu, beberapa ide poster terbaik akan

diberikan kesempatan untuk melakukan idea pitching

langsung di depan para pengunjung acara yaitu investor,

inkubator bisnis, pemerintahan, perusahaan swasta, ins�tusi

pendidikan dan juga public.

4. Gala Dinner

Gala dinner adalah acara penutup rangkaian Welcoming

Alumni LPDP. Acara Gala dinner tersebut dikhususkan kepada

alumni beasiswa LPDP untuk mendapatkan kesempatan

berjejaring dengan para pe�nggi dan pemegang kebijakan di

pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, BUMN,

perusahaan swasta, dan juga ins�tusi pendidikan. Adapun

rangkaian acara utama Gala Dinner adalah penyerahan buku

rekomendasi dan peresmian nota kesepahaman hasil

leadership forum bersama Kepala Daerah serta pemberian

penghargaan kepada beberapa idea exhibi�on terbaik

Sebagai penutup, hadir sebagai sebuah Welcoming Alumni

ajakan bagi para alumni LPDP yang sedang menentukan

langkah ke depan agar kelak dapat menjadi generasi yang �dak

berjalan sendiri - sendiri atau bahkan hanya menjadi generasi

yang berdiam diri. (-) *). dalam tahap konfirmasi.

(photo © matagaruda)

24

PELINDUNG

EkoPrasetyo

DIREKTURINSTITUTE

RullyPrassetya

PIMPINANREDAKSI

MuhammadGibran

AnnisaRahmaniQastarin

PENGARAHEDITORIAL:

MuhammadGibranVidyaSpay

KolomRedaksi:

PRODUSEREDITORIAL:

DeaFitriAmeliaAnnisaRahmaniQastarinT.A.OctavianiDading

LAY-OUTdanILUSTRASI:

MuhammadGibranVidyaSpay

KONTRIBUTOREDITORIAL:

AkbarNikmatullahDachlanArdittoTrianggadaAlmagFiraPradana

MATAGARUDA INSTITUTE

BULLETIN Edisi 5 Dec 2015| ISSN: 2443-0072

Program Proyek STRATEGIS

&PEMBANGU

NAN DESA

MATAGARUDA INSTITUTE

COMING SOON!Buku kumpulan program dan proyek strategis pembangunan desa.

MGI membuka kerjasama dengan berbagai pihak untuk merealisasikan gagasan pada buku program ini.

[email protected] hubungi:

dengan permintaan pemilik modal karena pemilik modal pasti akan mencari cara terbaik untuk mendapatkan keuntungan tertinggi. Otomatisasi pekerjaan bukanlah permasalahan di Indonesia semata. Sebuah esai oleh Frey dan Osborne (Oxford 2013) mengatakan, pekerjaan yang memiliki kemungkinan otomatisasi adalah sebesar 47% kategori termasuk akuntansi, pekerjaan bidang hukum, penulisan teknis, dan banyak pekerjaan kerah putih lainnya.

Selain itu, dalam hubungan antara pekerja dan pemilik modal, Swedia yang terkenal dengan

perbedaan upah yang tidak timpang pun mengalami makin tingginya kesenjangan antara kelas. Di mana, banyak orang melakukan “bullshit jobs” yang dimaknai oleh David Graeber, seorang antropolog London School of Economics sebagai “low- and mid-level screen-sitting that serves simply to occupy workers for whom the economy no longer has much use.”

Pengembangan sumber daya manusia seharusnya bukan seluruhnya demi kepentingan pemilik modal. Dalam era post-industrialisasi,

banyak komunitas mencoba menjadi self-sufficient dan makin banyak gerakan ethical consumerism yang makin membuat orang semakin tidak ingin tergantung pada pemilik modal. Indonesia tidak perlu mencapai era industrialisasi seratus persen karena pembangunan tidaklah linear. Kita bisa mulai ikut memikirkan cara lain membuat kehidupan yang lebih baik tanpa harus melalui cara memasok manusia sebagai tenaga kerja. (-)

25

Pengantar Redaksi... (dari hal 1)

KONTRIBUTORARTIKEL:

AgustinaKusumaDewi,

NaufalRospriandana

MuhammadGibran

RioF.Rachman

SumiyatiTuhuteru

M.RizkiPratama

RizkiAnanda

AbdulAzizLuth�i

HandikaPrasetyaDwiyasni