METODOLOGI STUDI ISLAM - MUHLISIN … · Web viewPengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah...

45
METODOLOGI STUDI ISLAM Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam Dosen Pembimbing : Muhlisin, S.Ag DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2006

Transcript of METODOLOGI STUDI ISLAM - MUHLISIN … · Web viewPengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah...

METODOLOGI STUDI ISLAMDisusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam

Dosen Pembimbing : Muhlisin, S.Ag

 

 

 

DEPARTEMEN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2006

 

 

DAFTAR ISI 

KATA PENGANTAR................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I              PENDAHULUAN................................................................................1

BAB II             KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA...........................2

A.    Pengertian Agama............................................................................2

B.    Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama......................6

BAB II I           BERBAGAI PENDEKATAN DI DALAM MEMAHAMI

AGAMA........................................................12

A.    Pendekatan Teologis Normatif......................................................13

B.    Pendekatan Antropologis...............................................................14

C.    Pendekatan Sosiologis...................................................................14

D.    Pendekatan Filosofis......................................................................16

E.     Pendekatan Historis.......................................................................16

F.     Pendekatan Kebudayaan................................................................17

G.    Pendekatan Psikologi.....................................................................17

BAB IV           HUBUNGAN AGAMA DENGAN ILMU PENGETAHUAN

SOSIAL.......................................................................................................................19

A.    Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial..............................19

B.    Ilmu Sosial yang Bernuansa Islam................................................19

C.    Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi...........................21

BAB V PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM..........................23

A.    Pengertian Agama Islam................................................................23

B.    Sumber Ajaran Islam.....................................................................23

BAB VI           KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM..............................................27

A.    Dalam Bidang Agama...................................................................27

B.    Dalam Bidang Ibadah....................................................................28

C.    Bidang Akidah...............................................................................28

D.    Bidang Ilmu dan Kebudayaan.......................................................28

E.     Bidang Pendidikan.........................................................................29

F.     Bidang Sosial.................................................................................29

G.    Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi..............................................29

H.    Dalam Bidang Kesehatan..............................................................30

I.       Dalam Bidang Politik....................................................................30

J.      Dalam Bidang Pekerjaan...............................................................31

K.   Islam Sebagai Disiplin Ilmu..........................................................31

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat

menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.

Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana

terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung.

Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran

melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam

memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian

sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas,

egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan,

berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.

Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang

memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat

misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan,

ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA 

A.    Pengertian Agama

Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan

(etimologis) dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut istilah

kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah

karena pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas

dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul

beberapa ahli yang tidak tertarik mendefinisikan agama. James H. Leuba, misalnya,

berusaha mengumpulkan semua definisi yang pernah dibuat orang tentang agama, tidak

kurang dari 48 teori. Namun, akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha untuk membuat

defenisi agama itu tak ada gunanya karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah.

Selanjutnya Mukti Ali pernah mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit

diberi pengertian dan defenisi selain dari kata agama. Pernyataan ini didasarkan kepada

tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat

individualis sifatnya. Kedua barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan

emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan

tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit

didefinisikan. Ketiga, kosepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang

memberikan definisi tersebut.

Senada dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan bahwa salah satu

kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum adalah adanya perbedaan-

perbedaan dalam memahami arti agama dan disamping adanya perbedaan juga dalam

cara memahmi serta penerimaan setiap agama terhadap suatu usaha memahami agama.

Setiap agama memiliki interpretasi diri yang berbeda dan keluasan interpretasi diri itu

juga berbeda-beda..

Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, sehingga

W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat

mengatakan, bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat

digunakan untuk membuat definisi agama karena pengalaman agama adalah subyektif,

intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang

berbeda dari orang lain.

Pengertian agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan

Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama,

dikenan pula kata din  (Ïين ) dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa.

Menurutnya, agama berasal dari kata sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian Harun

Nasution mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi

agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun-temurun. Hal demikian

menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun-temurun dari satu

generasi ke generasi lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa

agama berarti teks atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab

suci.

Selanjutnya din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam

bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan

dan kebiasaan

Sementara itu Elizabeth K Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak lebih

menunjukkan pada realitas objektif, yaitu bahwa ia melihat pada dasaranya agama itu

bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana

batin yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang disalah-gunakan oleh

penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain.

Substansi agama bersifat transenden tetapi juga sekaligus imanen. Ia transenden,

karena substansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui predikat

atau bentuk formalnya yang lahiriah. Namun begitu, agama juga imanen karena

sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi tidak mungkin dipisahkan. Kalau

saja substansi agama bisa dibuat hierarki, maka substansi agama yang paling primordial

hanyalah satu. Ia bersifat parennial, tidak terbatas karena ia merupakan pancaran dari

yang mutlak. Ketika substansi agama hadir dalam bentuk yang terbatas, maka

sesungguhnya agama pada waktu yang sama bersifat universal sekaligus partikular.

Karena banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan para ahli, Harun

Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut :

1).   Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus

dipatuhi;

2).   Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia;

3).   Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu

sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan

manusia;

4).   Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu;

5).   Suatu sistem tingkah laku (code of condut) yang berasal dari kekuatan gaib;

6).   Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu

kekuatan gaib;

7).   Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut

terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia;

8).   Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul (utusan Allah).

Selanjutnya, Taib Thahir Abdul Mu’in mengemukakan definisi agama sebagai

suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk

dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai

kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.

Dari beberapa definisi di atas, kita dapat menjumpai 4 unsur yang menjadi

karakteristik agama sebagai berikut :

a).   Pertama, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib.

b).   Kedua, unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan

akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan yang

dimaksud.

c).   Ketiga, unsur respon yang bersifat emosional dari manusia

d).   Keempat, unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan

gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan,

tempat-tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara dan sebagainya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa

agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang

terkandung dalam kitab suci yang turun menurun diwariskan oleh suatu generasi ke

generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar

mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam

agama. Pertama, aspek asal-usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama

samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardli atau agama

kebudayaan. Kedua, aspek tujuannya yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar

bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga, aspek ruang lingkupnya, yaitu keyakinan akan

adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan

hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon

yang bersifat emosional, dan adanya yang dianggap suci. Keempat, aspek

pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari

generasi ke generasi lain. Kelima, aspek sumbernya, yaitu kitab suci.

 

B.    Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama

Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia

terhadap agama. Keempat alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai

berikut :

 

1.     Latar Belakang Fitrah Manusia

Dalam bukunya yang berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada

Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as.

menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang

telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya.

Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan

terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di

atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.

   (ã٣٠الرو)  جهكللدينحنيفافطرةاهللافطرالناسعليهاæفأقم 

Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetapkanlah atas fitrah Allah

yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS. Al-Rum, 30:30).

Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri

merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan

dengan petunjuk nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak

yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang

menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Bukti manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat

melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti historis dan antropologis kita

mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi

mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguh pun Tuhan yang

mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya.

Sebagian hipotesis mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut. Seperti

rasa takut manusia dari alam, dari gelegar suara guruh yang menggetarkan, dari luasnya

lautan, dan dari deburnya ombak yang menggulung serta gejala-gejala alamiah lainnya.

Sebagai akibat dari rasa takut ini, terlintaslah agama dalam benak manusia. Lucterius,

seorang filosof Yunani yang pendapatnya dikutip Murthada Muthahhari mengatakan

bahwa nenek moyang pertama para dewa adalah dewa ketakutan. Hipotesis lainnya

mengatakan bahwa agama adalah produk kebodohan. Sebagian orang percaya bahwa

faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia, sebab manusia, sebab

dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui sebab-sebab dan hukum-hukum

yang berlaku atas alam ini serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.

Beberapa hipotesis tersebut telah banyak dibuktikan kegagalannya oleh para ahli

karena dasar hipotesis tersebut adalah pemikiran manusia yang terbatas, sedangkan

agama yang benar mesti datang dari yang Maha Tidak Terbatas, yaitu Tuhan. Hipotesis

tersebut sekedar menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama, namun

potensi tersebut jka tidak diarahkan akan keliru hasilnya sebagaimana terlihat pada

beberapa hipotesis tersebut. Namun demikian, hal ini tidak berarti akal manusia tidak ada

manfaatnya, melainkan menunjukkan bahwa dalam hal beragama akal saja tidaklah

cukup.

Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama

dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya, bahwa agama termasuk hal-hal

yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya

William James, seorang filosof dan ilmuan terkemuka dari Amerika mengatakan,

”Kendatipun benar pernyataan bahwa hal-hal fisis dan meterial merupakan sumber

tumbuhnya berbagai keinginan batin, namun banyak pula keinginan yang tumbuh dari

alam di balik alam material ini”. Buktinya, banyak perbuatan manusia tidak bersesuaian

dengan perhitungan-perhitungan material. Sementara itu, Alexis Carell, salah seorang

pemenang hadiah Nobel berpendapat bahwa doa merupakan gejala keagamaan yang

paling agung bagi manusia, karena pada keadaan itu jiwa manusia terbang melayang

kepada Tuhan. Pada bagian lain dari bukunya yang berjudul Doa, Carell mengatakan

bahwa pada batin manusia ada seberkas sinar yang menunjukkan kepada manusia

kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang kadang-kadang

dilakukannya. Sinar inilah yang mencegah manusia dari terjerumus ke dalam perbuatan

dosa dan penyimpangan.

Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas

jika kita mengkaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji paham hulul dari Al-Hallaj (858

– 933 M) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar

ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut nasut.

Demikian pula pada diri Tuhan pun terdapat sifat lahut dan nasut. Sifat lahut Tuhan

mengacu pada zat-Nya, sedangkan sifat nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Sementara

itu sifat nasut manusia mengacu pada unsur lahiriah dan fisik manusi, sedangkan sifat

lahut manusia mangacu kepada unsur batiniah dan Ilahiah. Jika manusia mampu merdam

sifat nasutnya maka akan tampak adalah sifat lahutnya. Dalam keadaan demikian

terjadilah pertemuan antara nasut Tuhan dengan lahut manusia, dan inilah yang

dinamakan hulul.

2.     Kelemahan dan Kekurangan Manusia

Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena

di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini

antara laian diungkapkan oleh kata Al-Nafs. Menurut Qurash Shihab, bahwa dalam

pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi

menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu

sisi dalam manusia inilah yang oleh Alquran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih

besar. Kita misalnya ayat yang berbunyi :

)الثمس(فالهمهافجورهاوتقوها٧ونفسوماسوها

Demi nafs serta penyempurnaa ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan

ketakutan. (QS. Al-Syams) 91 : 7 – 8).

Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia

melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk

melakukan kebaikan dan keburukan. Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata

ini menurut Alquran dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam

risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan

sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs ini sama dengan yang

terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaskan bahwa nafs

adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.

 Kaum Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan

tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang

datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung

memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.

3.     Tantangan Manusia

Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena

manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang

datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa

nafsu dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat

berupa rekayasa dan uapaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja

berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

BERBAGAI PENDEKATAN di DALAM MEMAHAMI AGAMA 

Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di

dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh

hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam

kotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling efektif

dalam memecahkan masalah.

Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman

agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan

pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional

konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.

Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu

dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat

dirasakan oleh penganutnya.

Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif,

antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis.

Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma

yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami

agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti

dengan menggunakan berbagai paradigma.

Untuk lebih jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai

berikut :

A.    Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat

diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu

Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu

keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Amin

Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti

mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan

dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa

sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada

bentuk pemikiran teologis.

Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4

prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis,

modernis, mesianis dan tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut

sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing

mempunyai ”keyakinan” teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan.

Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam

pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau

simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol

keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan lainnya

sebagai salah.

Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat

memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.

Berkenaan dengan hal di atas, saat ini muncullah apa yang disebut dengan istilah

teolgi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau

penghayatan agamanya, suatu penafsiranm atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya

dalam konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub :

teks dan situasi; masa lampau dan masa kini.

 

B.    Pendekatan Antropologis

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu

upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh

dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan

dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan

memberikan jawabannya.

 

C.    Pendekatan Sosiologis

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan

menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono

Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri

terhadap persoalan penilaian.

Dari dua definisi terlihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan

tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial

lainnya yang saling berkaitan.

Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam

memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama

yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa

bantuan dan ilmu sosiologi.

Jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan

betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial,

dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut :

1).   Pertama, dalam Alquran atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum

Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam

bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa

perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial

adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah

(masalah sosial).

2).   Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya

kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang

penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan),

melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.

3).   Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar

daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara

berjemaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian

(munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.

4).   Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna

atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tembusannya) adalah

melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.

5).   Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan

mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.

 

D.    Pendekatan Filosofis

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada

kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat

sesuatu, berusaha manutkan sebab dan akibat serta berusaha manafsirkan pengalaman-

pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahsa Indonesia, Poerwadarminta

mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai

sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta

ataupun mengenai kebenaran dan arti ”adanya” sesuatu. Pengertian filsafat yang

umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya

filsafat adalah berpikir secara mendalam, sitemik, radikal dan universal dalam rangka

mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.

Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang

bersifat lahiriah.

 

E.     Pendekatan Historis

Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa

dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari

peristiwa tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam

yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya

kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di

alam empiris dan historis.

 

F.     Pendekatan Kebudayaan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil

kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat

istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan

sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana

mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari

unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat

istiadat dan segala kacakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan

menggunakan dan mengarahkan segenap potensi batin yang dimilikinya.

 

G.    Pendekatan Psikologi

Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui

gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang

yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu

jiwa agama sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan

benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah

bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.

Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang

dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk

memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan

ilmu agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

HUBUNGAN AGAMA

DENGAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL 

Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dengan dampak negatif dan

positifnya. Di antara dampak negatif tersebut misalnya terjadi dislokasi, dehumanisasi,

sekuralisasi dan sebagainya; sedangkan dampak positifnya antara lain terbukanya

berbagai kemudahan dan kenyamanan, baik dalam lingkungan ekonomi (ekonosfer),

informasi (infosfer), teknologi (teknosfer), sosial (sisosfer) maupun psikolgi (psikosfer).

A.    Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial

Sejak kelahirannya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang

memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat; antara hubungan

manusia dengan Tuhan; antara hubungan manusia dengan manusia; dan antara urusan

ibadah dengan urusan muamalah.

Dalam keadaan demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk

mememiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai

problema tersebut. Ilmu pengetahuan sosial yang dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan

yang digali dari nilai-nilai agama. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai ilmu sosial

profetik.

 

B.    Ilmu Sosial Yang Bernuansa Islam

Menurut Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak

hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah

mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dana oleh siapa. Yaitu ilmu sosial yang

mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu; perubahan

tersebut didasarkan pada tiga hal. Pertama, cita-cita kemanusiaan, kedua, liberasi dan

ketiga, transendensi. Cita-cita profetik tersebut dapat diderivasikan dari misi historis

Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110 surat Ali Imron sebagai berikut :

 ( ١١٠العمران )

كنتمخيرامةأخرجتللناستأمرونبالمعروفوتنهونعنالمنكرKamu sekalian adalah sebaik-baiknya umat yang ditugaskan kepada manusia menyuruh

berbuat baik, mencegah berbuat munkar dan beriman kepada Allah. (QS. Al-Imron,

110).

Nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi), liberasi dan transendensi yang dapat digali

dari ayat tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

Pertama, bahwa tujuan humanisasai adalah memanusiakan manusia dari proses

dehumanisasi.

Sementara itu tujuan liberasi adalah pembebasan manusia dari lingkungan

teknologi, pemerasan kehidupan, menyatu dengan orang miskin yang tregusur oleh

kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita

buat sendiri.

Selanjutnya, tujuan dari transendensi adalah menumbuhkan dimensi transendental

dalam kebudayaan.

Dalam ilmu sosial profetik, kita ingin melakukan reorientasi terhadap epistemologi,

orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquirity, yaitu suatu pandangan bahwa

sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empiri sebagaimana yang dianut dalam

masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu.

C.    Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi

Dengan ilmu sosial profetik yang kita bangun dari ajaran Islam sebagaimana

tersebut di atas, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains Barat dan

arus globalisasi yang terjadi saat ini. Islam perlu membuka diri terhadap seluruh warisan

peradaban. Islam adalah sebuah paradigma terbuka.

Sejak beberapa abad yang lalu Islam mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan

peradaban manusia. Kita tidak membangun dari ruang yang hampa. Hal demikian dapat

dipahami dari kandungan Surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya : Pada hari ini telah aku

sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan

telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Kata telah Ku-sempurnakan agama-Ku

mengandung arti bukan membuat yang baru atau membangun dari ruang yang hampa

melainkan dari bahan-bahan yang sudah ada.

Islam mewarisi peradaban Yunani dan Romawi di Barat, peradaban Persia, India

dan cina di Timur. Ketika abad VIII – XV peradaban Barat dan Timur tenggelam dan

menjalani kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian

diambil-alih oleh Barat sekarang melalui renaissans.

Alquran sebagai sumber utama ajaran Islam diturunkan bukan dalam ruang hampa,

melainkan dalam setting sosial aktual.

Bukti sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa dari segi sejak

kelahirannya lima belas abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama terbuka,

akomodatif serta berdampingan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lainnya.

Tetapi dalam waktu bersamaan Islam juga tampil memberikan kritik, perbaikan, bahkan

penolakan dengan cara-cara yang amat simpatik dan tidak menimbulkan gejolak sosial

yang membawa korban yang tidak diharapkan.

Dengan mengikuti uraian di atas, kiranya menjadi jelas bahwa Islam memiliki

perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Karena itu,

kehadiran ilmu sosial yang banyak membicarakan tentang manusia tersebut dapat diakui

oleh Islam. Namun Islam memiliki pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang harus

dikembangkan, yaitu ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran Islam dan diarahkan

untuk humanisasi, liberasi dan transendensi. Ilmu pengetahuan sosial demikian yang

dibutuhkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya pada era globalisasi di abad

XXI mendatang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM 

Sebagai agama terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas

dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya.

A.    Pengertian Agama Islam

Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam,

yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini dapat

dijelaskan sebagai berikut :

Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang

mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dan kata salima selanjutnya diubah

menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.

Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari bahasa

Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk

kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula

menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.

Dari pengertian itu, kata Islam dekat arti kata agama yang berarti menguasai,

menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.

 

B.    Sumber Ajaran Islam

Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama

adalah Alquran dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk

memahami Alquran dan Al-Sunnah .

1.     Alquran

Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian

Alquran baik dari segi bahasa maupun istilah. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa

Alquran bukan berasal dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan memakai

kata hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman

Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu Al-Farra

berpendapat bahwa lafal Alquran berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang

berarti kaitan; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Alquran itu

satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya, Al-Asy’ari dan para pengikutnya

mengatakan bahwa lafal Alquran diambil dari akar kata qarn yang berarti

menggabungkan suatu atas yang lain; karena surat-surat dan ayat-ayat Alquran satu dan

lainnya saling bergabung dan berkaitan.

Manna’ al-Qathhthan, secara ringkas mengutip pendapat para ulama pada

umumnya yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad Saw, dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian yang

demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani.

2.     Al-Sunnah

Kedudukan Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada

keterangan ayat-ayat Alquran dan hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan

para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti

hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.

Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan

tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan

dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah

(kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi

orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka

dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang

mengerjakannya.

Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan

Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang

disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan

maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah

sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan

persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.

Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Al-Sunnah memiliki fungsi

yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan

dari adanya sebagian ayat Alquran :

1).   Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;

2).   Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;

3).   Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula

4).   Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki

penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu

yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya

diserahkan kepada hadis nabi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB VI

KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM 

Selama ini kita sudah mengenal Islam, tetapi Islam dalam potret yang

bagaimanakah yang kita kenal itu, tampaknya masih merupakan suatu persoalan yang

perlu didiskusikan lebih lanjut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan

Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam yang ditampilkan Fazlur Rahman

bernuansa historis dan filosofis. Demikian juga, Islam yang ditampilkan pemikir-pemikir

dari iran seperti Ali Syari’ati, Sayyed Hussein Nasr, Murthada Munthahhari.

Pemikiran para ilmuan Muslim dengan mempergunakan berbagai pendekatan

tersebut di atas kiranya dapat digunakan sebagai bahan untuk mengenal karakteristik

ajaran Islam, tidak mencoba memperdebatkannya antara satu dan lainnya, melainkan

lebih mencari sisi-sisi persamaannya untuk kemaslahatan umat umumnya dan untuk

keperluan studi Islam pada khususnya.

A.    Dalam Bidang Agama

Melalui karyanya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholis Madjid banyak

berbicara karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama. Menurutnya, bahwa dalam

bidang agama Islam mengakui adanya pluralisme. Pluralisme menurut Nurcholis Madjid

adalah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak

mungkin dilawan atau diingkari.

Karakteristik agama Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak

memaksakan dan saling menghargai karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat

unsur kesamaan yaitu pengabdian pada Tuhan.

B.    Dalam Bidang Ibadah

Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dikenal melalui konsepsinya dalam

bidang ibadah. Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah Swt, karena

didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.

Visi Islam tentang ibadah merupakan sifat, jiwa, dan misi ajaran Islam itu sendiri

yang sejalan dengan tugas penciptaan manusia, sebagai makhluk yang hanya

diperintahkan agar beribadah kepada-Nya.

 

C.    Bidang Akidah

Dalam Kitab Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa

adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh.

Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi

ikatan yang mudah dibuka, karena akan mengandung unsur yang membahayakan.

Karakteristik Islam yang dapat diketahui melalui bidang akidah ini adalah bahwa

akidah Islam bersifat murni baik dalam isinya maupun prosesnya.

 

D.    Bidang Ilmu dan Kebudayaan

Karakteristik Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka,

akomodatif, tetapi juga selektif. Islam adalah paradigma terbuka. Ia merupakan mata

rantai peradaban duni. Dalam sejarah kita melihat Islam mewarisi peradaban Yunani-

Romawi di Barat dan peradaban-peradaban Persia, Indi dan Cina di Timur.

Karakteristik Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dapat dilihat

dari 5 ayat pertama surat Al-Alaq yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw.

Pada ayat tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak dua kali. Kata tersebut

menurut A.Baiquni, selain berarti membaca dalam arti biasa, juga berarti menelaah,

mengobservasi, membandingkan, mengukur, mendiskripsikan, menganalisis dan

penyimpulan secara induktif.

 

E.     Bidang Pendidikan

Islam memaandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for

all), laki-laki atau perempuan dan berlangsung sepanjang hayat (long life education).

 

F.     Bidang Sosial

Ajaran Islam dalam bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh

bidang ajaran Islam sebagaimana telah disebutkan di atas pada akhirnya ditujukan untuk

kesejahteraan manusia.

Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang

menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata banyak

memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual.

 

G.    Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi

Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dipahami dari konsepsinya dalam

bidang kehidupan. Islam memandang bahwa kehidupan yang harus dilakukan manusia

adalah hidup yang seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat.

Urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat dan kehidupan akhirat

dicapai dengan dunia. Kita membaca hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Mubarak

yang artinya : Bukanlah termasuk orang yang baik di antara kamu adalah orang yang

meninggalkan dunia karena mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang meninggalkan

akhirat karena mengejar kehidupan dunia. Orang yang baik adalah orang yang meraih

keduanya secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju akhirat, dan jangan dibalik

yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.

 

H.    Dalam Bidang Kesehatan

Ajaran Islam tentang kesehatan berpedoman pada prinsip pencegahan lebih

diutamakan daripada penyembuhan. Berkenaan dengan konteks kesehatan ini ditemukan

banyak petunjuk kitab suci dan sunnah Nabi Muhammad Saw. yang pada dasarnya

mengerah pada upaya pencegahan diantaranya. Surat Al-Baqarah , 2:222) yang artinya :

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan senang kepada orang-

orang yang membersihkan diri. Selain itu Surat Al-Mudatsir 74:4-5) yang artinya : Dan

bersihkanlah pakaianmu dan tinggalkanlah segala macam kekotoran.

 

I.       Dalam Bidang Politik

Dalam Alquran Surat An-Nisa’ ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang

terjemahannya termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara. Islam

menghendaki suatu ketaatan kritis yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak ukur

kebenaran dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntutan Allah dan

rasul-Nya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bertentangan dengan

kehendak Allah dan rasul-Nya, boleh dikritik atau diberi saran agar kembali ke jalan yang

benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh

pemimpin tersebut, boleh saja untuk tidak dipatuhi.

 

J.      Dalam Bidang Pekerjaan

Islam memandang bahwa kerja sebagai ibadah kepada Allah Swt. Atas dasar ini

maka kerja yang dikehendaki Islam adalah kerja yang bermutu, terarah pada pengabdian

terhadap Allah Swt, dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain.

Untuk menghasilkan produk pekerjaan yang bermutu, Islam memandang kerja yang

dilakukan adalah kerja profesional, yaitu kerja yang didukung ilmu pengetahuan,

keahlian, pengalaman, kesungguhan dan sebagainya.

 

K.    Islam Sebagai Disiplin Ilmu

Islam juga telah tampil sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman. Menurut

peratutan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1985, bahwa yang termasuk disiplin

ilmu keislaman adalah Alquran/Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf,

Hukum Islam (Fiqih), Sejarah dan Kebudayaan Islam serat Pendidikan Islam.

Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek

mistisisme, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan sebagainya.

 

METODOLOGI STUDI ISLAMDisusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam

Dosen Pembimbing : Muhlisin, S.Ag

 

Disusun Oleh :

NURUL ANISYANIM : D31206018

 

 

DEPARTEMEN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2006

 

DAFTAR ISI 

KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB I              PENDAHULUAN................................................................................1

BAB II             KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA...........................2

C.    Pengertian Agama............................................................................2

D.    Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama......................6

BAB II I           BERBAGAI PENDEKATAN DI DALAM MEMAHAMI

AGAMA.....................................................................................................................12

H.    Pendekatan Teologis Normatif......................................................13

I.       Pendekatan Antropologis...............................................................14

J.      Pendekatan Sosiologis...................................................................14

K.   Pendekatan Filosofis......................................................................16

L.     Pendekatan Historis.......................................................................16

M.  Pendekatan Kebudayaan................................................................17

N.   Pendekatan Psikologi.....................................................................17

BAB IV           HUBUNGAN AGAMA DENGAN ILMU PENGETAHUAN

SOSIAL.......................................................................................................................19

D.    Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial..............................19

E.     Ilmu Sosial yang Bernuansa Islam................................................19

F.     Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi...........................21

BAB V PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM..........................23

C.    Pengertian Agama Islam................................................................23

D.    Sumber Ajaran Islam.....................................................................23

BAB VI           KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM..............................................27

L.     Dalam Bidang Agama...................................................................27

M.  Dalam Bidang Ibadah....................................................................28

N.   Bidang Akidah...............................................................................28

O.   Bidang Ilmu dan Kebudayaan.......................................................28

P.     Bidang Pendidikan.........................................................................29

Q.   Bidang Sosial.................................................................................29

R.    Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi..............................................29

S.     Dalam Bidang Kesehatan..............................................................30

T.     Dalam Bidang Politik....................................................................30

U.    Dalam Bidang Pekerjaan...............................................................31

V.    Islam Sebagai Disiplin Ilmu..........................................................31