merupakan seorang misionaris Belanda beserta

85
Gambar yang dijadikan sebagai sampul pada edisi kali ini adalah visualisasi rumah sakit swasta tertua di Indonesia, yakni Rumah Sakit PGI Cikini. Berdiri pada 12 Januari 1898, kini RS PGI Cikini telah genap berusia 116 tahun. Berlokasi di Jalan Raden Saleh Nomor 40, Cikini, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas 5,6 Ha, RS PGI Cikini menempati sebuah bangunan bergaya gothic-moors yang dahulu adalah milik seorang pelukis naturalis kenamaan Indonesia, yakni Raden Saleh (Huis van Raden Saleh). “Doeloe, Sachsen Coburg-Gotha, Ratu Victoria, Johannes van den Bosch, dan Herman Willem Daendels memesan lukisan emas dari pemilik istana gothic - moors ini” Cikal bakal RS PGI Cikini telah dimulai sejak 15 Maret 1895 saat Dominee Cornelis de Graaf yang merupakan seorang misionaris Belanda beserta sang isteri Adriana J. de Graaf Kooman mendirikan Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie atau perkumpulan orang sakit di Indonesia. Lalu, balai pengobatan sebagai wadah pelayanan kesehatan berbagai golongan masyarakat tanpa memandang kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, serta agama pun dibuka di Gang Pool (di dekat Istana Negara) pada 1 September 1895. Dominee dan Adriana lalu mencari dana untuk mengawali pekerjaan pelayanan kesehatan tersebut hingga pada akhirnya mereka pun memperoleh sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma yang merupakan Ratu negeri kincir angin saat itu. Dari sumbangan tersebut, maka dibelilah istana megah milik Raden Saleh (Huis van Raden Saleh) pada Juni 1897 dan kegiatan pelayanan kesehatan pun dialihkan ke gedung ini. Diketahui, Nirin Ninkeulen yang berasal dari Depok adalah pribumi pertama yang bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma tersebut. Kemudian, pada 1 Agustus 1913, nama Rumah Sakit Ratu Emma diubah menjadi Rumah Sakit Tjikini. Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan sebagai Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Lalu, pasca pendudukan Jepang (Agustus 1945-Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI ( Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees) dan selanjutnya oleh Dienst van Volksgezondheld (DVG) sebagai Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda hingga pada akhir 1948, RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dan dipimpin oleh R.F. Bozkelman. Kemudian, pada tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini pun diserahkan kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara hingga diangkatlah dr. H. Sinaga sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Seiring dengan berjalannya waktu, Yayasan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Sehubungan dengan penyempurnaan ejaan dalam Bahasa Indonesia, maka Yayasan RS DGI Tjikini diubah menjadi Yayasan Kesehatan PGI Cikini pada 31 Maret 1989. Kini, Yayasan Kesehatan PGI Cikini membawahi Rumah Sakit PGI Cikini, Akademi Perawat RS PGI Cikini (Akper Cikini), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia RS PGI Cikini (PPSDM), dan Balai Kesehatan Masyarakat di Tanjung Barat. Lambat laun, RS PGI Cikini dikenal khususnya pada bidang pelayanan medis ginjal. Adapun Unit Penyakit Dalam Ginjal dan Hipertensi (PDGH) dirintis oleh alm. Prof. R.P. Sidabutar dan tim medis tersebut merupakan penyelenggara transplantasi ginjal pertama di Indonesia. Kini, sebagian besar transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di RS Cikini oleh tim PDGH dan Urologi. Terkait dengan keunggulan tersebut, RS PGI Cikini telah menciptakan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai rumah sakit penyelenggara transplantasi ginjal dengan pasien hidup yang paling lama. Selain pelayanan medis ginjal, RS PGI Cikini juga menyediakan pelayanan neurologi, medical check up, catheterisasi laboratorium, IGD/ emergency, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, bedah/ operasi, farmasi, radiologi, laboratoratorium kesehatan, diagnostik lain, fasilitas umum, dan juga rumah duka. Berdasarkan visi “Pelayanan Kesehatan Holistik dengan Sentuhan Kasih”, RS PGI Cikini terus berupaya dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien/masyarakat dengan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan YME sebagai wujud jawaban dan kesaksian iman dalam rangka pembangunan dan peningkatan derajat kesehatan yang optimal. Sumber: Tropical Museum Amsterdam (http://www.amsterdammuseum.nl), “100 Tahun RS PGI Cikini, dengan Sentuhan Kasih” buah kary a Dr. Poltak Hutagalung, Amir L. Sirait, & Moxa Nadeak. Gambar merupakan buah karya: Charls, Van Es, & Co.NV. Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2 Februari 2017

Transcript of merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Page 1: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Gambar yang dijadikan sebagai sampul pada edisi

kali ini adalah visualisasi rumah sakit swasta tertua

di Indonesia, yakni Rumah Sakit PGI Cikini. Berdiri

pada 12 Januari 1898, kini RS PGI Cikini telah genap

berusia 116 tahun. Berlokasi di Jalan Raden Saleh

Nomor 40, Cikini, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas

5,6 Ha, RS PGI Cikini menempati sebuah bangunan

bergaya gothic-moors yang dahulu adalah milik

seorang pelukis naturalis kenamaan Indonesia,

yakni Raden Saleh (Huis van Raden Saleh).

“Doeloe, Sachsen Coburg-Gotha, Ratu Victoria,

Johannes van den Bosch, dan Herman Willem

Daendels memesan lukisan emas dari pemilik

istana gothic - moors ini”

Cikal bakal RS PGI Cikini telah dimulai sejak 15

Maret 1895 saat Dominee Cornelis de Graaf yang

merupakan seorang misionaris Belanda beserta

sang isteri Adriana J. de Graaf Kooman mendirikan

Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie atau

perkumpulan orang sakit di Indonesia. Lalu, balai

pengobatan sebagai wadah pelayanan kesehatan

berbagai golongan masyarakat tanpa memandang

kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, serta

agama pun dibuka di Gang Pool (di dekat Istana

Negara) pada 1 September 1895.

Dominee dan Adriana lalu mencari dana untuk

mengawali pekerjaan pelayanan kesehatan tersebut

hingga pada akhirnya mereka pun memperoleh

sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma yang merupakan Ratu negeri kincir angin saat itu. Dari sumbangan

tersebut, maka dibelilah istana megah milik Raden Saleh (Huis van Raden Saleh) pada Juni 1897 dan kegiatan pelayanan

kesehatan pun dialihkan ke gedung ini. Diketahui, Nirin Ninkeulen yang berasal dari Depok adalah pribumi pertama yang

bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma tersebut. Kemudian, pada 1 Agustus 1913, nama Rumah Sakit Ratu Emma

diubah menjadi Rumah Sakit Tjikini.

Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan sebagai Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Lalu, pasca

pendudukan Jepang (Agustus 1945-Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of

War and Internees) dan selanjutnya oleh Dienst van Volksgezondheld (DVG) sebagai Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda

hingga pada akhir 1948, RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dan dipimpin oleh R.F. Bozkelman.

Kemudian, pada tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini pun diserahkan

kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara hingga diangkatlah dr.

H. Sinaga sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Seiring dengan berjalannya waktu, Yayasan Stichting Medische

Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Sehubungan

dengan penyempurnaan ejaan dalam Bahasa Indonesia, maka Yayasan RS DGI Tjikini diubah menjadi Yayasan Kesehatan PGI

Cikini pada 31 Maret 1989. Kini, Yayasan Kesehatan PGI Cikini membawahi Rumah Sakit PGI Cikini, Akademi Perawat RS PGI

Cikini (Akper Cikini), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia RS PGI Cikini (PPSDM), dan Balai Kesehatan

Masyarakat di Tanjung Barat.

Lambat laun, RS PGI Cikini dikenal khususnya pada bidang pelayanan medis ginjal. Adapun Unit Penyakit Dalam Ginjal dan

Hipertensi (PDGH) dirintis oleh alm. Prof. R.P. Sidabutar dan tim medis tersebut merupakan penyelenggara transplantasi ginjal

pertama di Indonesia. Kini, sebagian besar transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di RS Cikini oleh tim PDGH dan Urologi.

Terkait dengan keunggulan tersebut, RS PGI Cikini telah menciptakan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai rumah

sakit penyelenggara transplantasi ginjal dengan pasien hidup yang paling lama. Selain pelayanan medis ginjal, RS PGI Cikini

juga menyediakan pelayanan neurologi, medical check up, catheterisasi laboratorium, IGD/emergency, rawat jalan, rawat

inap, rawat intensif, bedah/ operasi, farmasi, radiologi, laboratoratorium kesehatan, diagnostik lain, fasilitas umum, dan juga

rumah duka. Berdasarkan visi “Pelayanan Kesehatan Holistik dengan Sentuhan Kasih”, RS PGI Cikini terus berupaya dalam

rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien/masyarakat dengan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan

Ketuhanan YME sebagai wujud jawaban dan kesaksian iman dalam rangka pembangunan dan peningkatan derajat kesehatan

yang optimal.

Sumber: Tropical Museum Amsterdam (http://www.amsterdammuseum.nl), “100 Tahun RS PGI Cikini, dengan Sentuhan Kasih” buah karya

Dr. Poltak Hutagalung, Amir L. Sirait, & Moxa Nadeak. Gambar merupakan buah karya: Charls, Van Es, & Co.NV.

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2 Februari 2017

Page 2: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Penanggung Jawab Umum Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM

CHAMPS

(Center for Health Administration and Policy Studies) FKM UI

Dewan Redaksi

Ketua Dewan Redaksi

Prof. Amal Chalik Sjaaf, SKM, Dr.PH

Universitas Indonesia

Wakil Dewan Redaksi

Dr. Adib A. Yahya, MARS PERMAPKIN

(Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia)

Anggota Dewan Redaksi

Prof. Dr. dr. Adik Wibowo, MPH

Universitas Indonesia

Dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS

Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), DTM&H, MARS. DCTE

Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan

Dr. dr. Anwar Santoso, Sp.JP(K) ARSPI

Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia

Dr. Widodo J. Pudjiraharjo, MS, MPH, Dr.PH

Universitas Airlangga

Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS

Universitas Hasanuddin

Dr. Suprijanto Rijadi, MPA, Ph.D PERMAPKIN

Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia

Redaktur Pelaksana Vetty Yulianty Permanasari, S.Si, MPH

drg. Masyitoh, MARS

Puput Oktamianti, SKM, MM

Sekretaris Redaksi Anita P. Lubis, SKM

Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) merupa-

kan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinal tentang pengetahuan dan informasi riset tentang pengembangan terkini di bidang kesehatan, khususnya terkait dengan isu mengenai administrasi rumah sakit. Jurnal ini diterbitkan 3 kali (3 nomor) dalam 1 tahun (1 volume). Adapun artikel atau naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal ARSI mencakup ranah penelitian, studi kasus, atau konseptual yang masing-masing mengusung pilar corporate governance, clinical governance, atau keduanya (bridging). Penerbit: Pusat Kajian Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) FKM UI& Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (PERMAPKIN) Alamat Redaksi: Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI Depok 16424 Tlp. 021-80736060 Fax. 021-7867370 Hp. 085211003451 E-mail: [email protected]

ISSN 2406 9108

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2 Februari 2017

e-ISSN 1446008136

Page 3: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

1. Jurnal ini memuat naskah dalam bidang ilmu Administrasi Rumah Sakit.

2. Naskah yang diajukan dapat berupa artikel penelitian, artikel telaahan, dan

makalah kebijakan yang belum pernah dipublikasikan.

3. Komponen artikel penelitian, yaitu:

Judul ditulis maksimal 15 patah kata

Identitas penulis ditulis di bawah judul terdiri dari nama, alamat korespodensi,

nomor telepon, dan email

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata,

dalam satu alinea mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, disertai dengan 3-5

kata kunci.

Pendahuluan berisi latar belakang, tinjauan pustaka secara singkat dan relevan

serta tujuan penelitian

Metode meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik atau instrumen

pengumpul data, dan prsedur analisis data.

Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan tanpa pendapat.

Pembahasan menguraikan secara tepat dan juga argumentatif hasil penelitian

dengan teori dan temuan terdahulu yang relevan.

Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuao dengan penampilan dalam

teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gambar dengan judul singkat.

Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian dengan tidak melampaui

kapasitas temuan. Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan dibuat dengan

berbentuk narasi, logis, dan tepat guna.

4. Rujukan sesuai aturan Harvard dengan urut sesuai dengan pemunculan dalam

keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan dan diutamkan rujukan jurnal terkini..

5. Naskah masksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan menggunakan

program computer Microsoft Word dan PDF. Dikirm via email ke alamat

[email protected], CD/unggah melalui web www.champs.fkm.ui.ac.id/

content/manuscript.

6. Hardcopy naskah dikirim melalui pos disertai dengan surat pengantar yang

ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada permintaan secara

tertulis.

7. Naskah dikirim kepada : Redaksi Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit

Indonesia) Gedung G Lt.3 R.312 FKM UI Depok 16424, Tlp.021-80736060

Fax.021-7867370, Hp.085211003451.

8. Substansi naskah terdiri dari 5% abstrak, 10%pendahuluan, 15% tinjauan

teoritis, 10% metodologi penelitian, 35% hasil dan pembahasan, 25%

kesimpulan dan saran terhitung dari jumlah halaman naskah.

Contoh bentuk referensi:

Artikel Jurnal Penulis Individu:

Zainuddin AA. Kebijakan Pengelolaan Kualitas Udara Terkait Transportasi di Provinsi DKI

Jakarta. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 4 (6): 281-8.

Artikel Jurnal Penulis Organisasi:

Diabetes Prevention Program Reaserch Group. Hypertension, Insulin, & Proinsulin in Partici-

pants with Impaired Glucose Tolerance. Hypertension. 2002: 40 (5): 679-86

Buku yang Ditulis Individu:

Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. Medical Microbiology. 4th ed. St. Louis:

Mosby; 2002.

Buku yang Ditulis Organisasi dan Penerbit:

Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clinical Nursing. Compendium

of Nursing Research & Practice Development, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide

University; 2001.

Bab dalam Buku:

Derrida, J. (1979) “Living on Border Lines,” trans. J.Hulbert, in Deconstruction & Criticism, New

York: Continuum, pp. 75–176.

Materi Hukum atau Peraturan:

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah (Perda) (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 No. 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4844).

CD-ROM:

LeBlanc, Susan, and Cameron MacKeen. "Racism and the Landfill." The Chronicle-Herald 7

Mar. 1992: B1. CD-ROM. SIRS 1993 Ethnic Groups. Vol. 4. Art. 42.

Artikel Jurnal di Internet:

Nielsen, Laura Beth. "Subtle, Pervasive, Harmful: Racist and Sexist Remarks in Public as Hate

Speech." Journal of Social Issues 58.2 (2002): 265.

Buku di Internet:

Foley KM, Gelband H, Editors. Improving Palliative Care For Cancer [Monograph on The

internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from:

<http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/encyclopedia.html>.

Ensiklopedia di Internet:

Duiker, William J. "Ho Chi Minh." Encarta Online Encyclopedia. 2005. Microsoft.

10 Oct. 2005. <http://encarta.msn.com/encyclopedia_761558397/

Ho_Chi_Minh.html>.

Situs Internet:

Gearan, Anne. "Justice Dept: Gun Rights Protected." Washington Post. 8 May 2002.

SIRS. Iona Catholic Secondary School, Mississauga, ON. 23 Apr. 2004 <http://

www.sirs.com>.

ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2 Februari 2017

Page 4: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Artikel Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP Identifikasi

Pasien Di RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015 …………….………… Fitrirachmawati

Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017...…………………..……………………... Juliana Aritonang

Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis Di Rumah Sakit Tebet 2015 …………....…………………………………………………… Rianayanti Asmira Rasam

Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Hara-pan Kita Tahun 2016 ………………………………………………………………….……. Desy Rachma Sari Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang …….………….………. Jessihana Morgan Manurung

Percepatan Pemulangan Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra ………………………..……………….……………………………...……………… Alamsyah Perlukah Keselamatan Pasien Menjadi Indikator Kinerja RS BLU? …..……………………

Masyitoh Basabih

Jurnal arsi Jurnal arsi (Administrasi rumah sakit Indonesia)

Daftar Isi

78

88

100

114

127

139

150

ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2 Februari 2017

Page 5: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 1 Nomor 3

Jurnal ARSI/Oktober 2016 1

Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP

Identifikasi Pasien Di RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang

Tahun 2015

Relationship of Supervision Functions with Nursing Compliance Sun Identification SOP in

RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang Year 2015

Fitrirachmawati

Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Supervisi adalah suatu bentuk pengawasan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja petugas melalui proses

yang sistematis meliputi pemberian motivasi, komunikasi dan bimbingan. Penelitian ini menggunakan desain

observasional dengan pendekatan cross sectional dengan menggunakan stratified simple random sampling. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara fungsi supervisi kepala ruangan dengan kepatuhan

perawat pelaksana dalam melakukan SOP identifikasi pasien Hasil penelitian mempergunakan uji Chi Square

membuktikan ada hubungan yang bermakna antara motivasi, komunikasi dan bimbingan dengan kepatuhan

perawat pelaksana menjalankan SOP identifikasi pasien. (p value < α). Kesimpulan dari penelitian ini, adalah

fungsi supervisi kepala ruangan mempunyai peran yang cukup bermakna untuk meningkatkan kepatuhan perawat

dalam melakukan identifikasi pasien sesuai dengan SOP.

Kata kunci: fungsi supervisi, identifikasi pasien, kepatuhan perawat, SOP.

ABSTRACT

Supervision is a form supervisory that aim to improve the staf performance through a systematic process in the

provision of motivation, communication and guidance. This study used an observational design with cross

sectional approach using stratified random sampling. The purpose of this study was to determine the relationship

between the function of head room supervision with the compliance of nurses in performing SOP patient

identification. The result of this research using Chi Square test to prove there is a significant correlation between

motivation, communication and guidance to compliance of nurses in implementating SOP of patient identification

(p value < α). The conclusion of this study is that the functions of the supervision of head room had a substantial

role to improve the nurse complaince in conducting the patient identification based on the SOP.

Keywords: the function of supervision, identification of patient, nurse compliance, SOP.

PENDAHULUAN

Berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan telah membuka

akses pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat

Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

yang bernutu. Hal ini sejalan dengan Undang–Undang

Nomor 40 tahun 2004 bahwa setiap masyarakat

Indonesia mempunyai hak-hak untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan

tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar,

baik mutu maupun jenis pelayanannya. Ini juga

dipertegas UU No. 44/ 2009 pasal 32d yang

menyatakan setiap pasien mempunyai hak

memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai

dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional. Pengawasan dari pemerintah melalui

Jurnal ARSI/Februari 2017 78

Page 6: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 79

program akreditasi juga menuntut rumah sakit untuk

berbenah memperbaiki mutu layanan yang diberikan

kepada masyarakat. Selain itu pelayanan kesehatan

yang berfokus pada pasien (patient centre) dan

keselamatan pasien (patient savety) mengindikasikan

bahwa pelayanan yang bermutu menjadi hal yang

mutlak harus dilakukan.

Standar yang jelas dan kepatuhan terhadap standar

operasional prosedur dalam melakukan suatu tindakan

merupakan salah satu faktor yang dapat memutus mata

rantai terjadinya risiko cidera dalam memberikan

pelayanan kesehatan. Prosedur yang jelas dapat menjadi

panduan dalam melakukan suatu tindakan sehingga

risiko cidera dapat dicegah.

Salah satu prosedur yang sangat penting dan harus

dilakukan oleh perawat sebelum memberikan

pelayanan atau melakukan suatu tindakan adalah

melakukan identifikasi pasien. Hal ini dikarenakan

berhubungan dengan keselamatan pasien. Kesalahan

karena kelalaian atau kekeliruan dalam

mengidentifikasi pasien dapat menimbulkan hal yang

fatal karena dapat mengancam nyawa. Kesadaran akan

pentingnya melakukan identifikasi pasien pada setiap

sebelum melakukan tindakan keperawatan perlu

ditanamkan pada diri perawat bahkan dijadikan budaya

dalam bekerja.

Supervisi merupakan salah satu fungsi dari seorang

pemimpin dalam usaha untuk menjaga mutu

pelayanan dan keselamatan pasien diarea tugasnya.

Diruang rawat kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala

ruangan. Kepala ruangan sebagai orang yang diberikan

tanggung jawab untuk mengelola pelayanan disuatu

ruang rawat mempunyai andil yang cukup besar untuk

meningkatkan kepatuhan perawat dalam melakukan

identifikasi pasien melalui kegiatan motivasi,

komunikasi dan bimbingan. Ilyas, (2012),

mendefinisikan supervisi sebagai suatu proses yang

memacu anggota unit kerja untuk berkontribusi secara

positif agar tujuan organisasi tercapai.

Hasil studi pendahuluan diketahui bahwa fungsi

supervisi baru terlaksana 53%, tingkat kepatuhan

perawat dalam melakukan identifikasi pasien baru

berjalan 71% dari 100% yang menjadi standar rumah

sakit. Kejadian sentinel yang disebabkan karena

kelalaian identifikasi pasien sebelum memberikan obat

intravena sehingga menyebabkan kematian

merupakan masalah yang serius dan perlu

mendapatkan perhatian. Masih adanya budaya

meyalahkan (Blaming Cultur, menyebabkan data

kelalaian dalam mengidentifikasi pasien sulit

didapat.

Penelitian ini dilakukan diruang perawatan kelas III

dengan mempertimbangkan bahwa ruang rawat inap

kelas III mempunyai risiko yang cukup besar untuk

terjadinya risiko cidera.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara

supervisi yang dilihat dari kegiatan memotivasi,

komunikasi dan bimbingan dengan kepatuhan perawat

melaksanakan SOP Identifikasi pasien.

TINJAUAN PUSTAKA

Kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan

perilaku dari perilaku yang tidak mentaati peraturan ke

perilaku yang mentaati peraturan (Lawrence Green

dalam Notoatmodjo, 2007). Kepatuhan dapat

mempengaruhi kinerja seseorang. Ketidakpatuhan

perawat dalam melakukan identifikasi sebelum

memberikan asuhan keperawatan akan mengancam

keselamatan pasien. Adanya ancaman terhadap

keselamatan pasien menandakan mutu layanan yang

diberikan masih rendah.

Menurut Gibson (1987) yang dikutip oleh Ilyas, 2012,

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang

terbagi menjadi 3 yaitu faktor individu yang terdiri dari

kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan

demografis yang mencakup usia, etnis, jenis kelamin,

faktor organisasi yang terdiri dari sumber daya manusia,

kepemimpinan, imbalan, struktur organisasi, design

pekerjaan dan faktor psikologi terdiri dari sikap,

persepsi, kepribadian, belajar, dan motivasi. Pendapat

lainnya tentang faktor yang mempengaruhi kepatuhan

dikemukakan oleh Smet (1994) ada beberapa faktor

yang berhubungan dengan ketidaktaatan antara lain

yaitu komunikasi, pengetahuan dan fasilitas kesehatan.

Notoatmojo (2007) menyatakan bahwa pendidikan,

usia dan motivasi dapat mempengaruhi kepatuhan.

Usia merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja

seseorang. Semakin lanjut usia maka kepuasan kerja

akan meningkat hal ini dikarenakan semakin dewasa

dan matang dalam bersikap, bertindak, serta kemampuan

untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan

Page 7: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 80

lebih mudah. Seseorang yang kehilangan kepuasan

dalam bekerja akan menurunkan motivasi dalam

bekerja. Seseorang yang tidak mempunyai motivasi

dalam bekerja akan sulit untuk diajak bekerja sama

dalam mencapai tujuan organisasi

Jenis Kelamin Perempuan mempunyai rasa peka dan

kepedulian yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki,

terutama dalam memberikan pelayanan keperawatan

kepada pasien, sehingga perawat perempuan lebih

mudah untuk mentaati peraturan- peraturan yang

ditetapkan.

Masa kerja merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

motivasi seseorang dalam bekerja. Masa kerja

berhubungan dengan pengalaman kerja. Pengalaman

kerja akan mempengaruhi seseorang dalam berinteraksi

dalam pekerjaan yang dilaksanakannya. Semakin lama

masa kerja seseorang semakin banyak pula pengalaman

kerja yang diperoleh dan semakin banyak hal-hal yang

diketahui tentang apa yang seharusnya mereka kerjakan

ataupun yang tidak semestinya mereka kerjakan.

Tingkat pendidikan diasumsikan mempunyai

pengaruh dalam meningkatkan kinerja. Tingkat

pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah

termotivasi karena telah memiliki pengetahuan yang

lebih luas dibandingkan yang berpendidikan rendah.

Pendidikan dan keterampilan yang dimiliki dapat

membantu individu dalam mengambil suatu

keputusan.

Supervisi merupakan bagian dari fungsi pengarahan

dan pengawasan dalam manajemen. Supervisi

mempunyai peran yang penting dalam organisasi guna

meningkatkan kinerja. Sejalan dengan yang

dikemukakan oleh Ilyas, (2012) bahwa dinegara-

negara berkembang khususnya Indonesia masih

memerlukan supervisi untuk meningkatkan kinerja

individu. Hal ini dimungkinkan masih rendahnya

kesadaran akan fungsi dan tanggung jawab tenaga kerja

di Indonesia terhadap pekerjaannya.

Dalam manajemen keperawatan, supervisi merupakan

bagian dari fungsi kepemimpinan yang

pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemimpin.

Melalui supervisi seorang pemimpin dapat

mengetahui apakah penyelesaian tugas yang dilakukan

oleh stafnya sudah sesuai dengan tujuan dan standar.

Tanpa melakukan supervise, maka mutu asuhan

keperawatan akan sulit diketahui karena untuk

mengetahui permasalahan yang ada diruangan tidak

cukup hanya diperoleh dari informasi perawat

pelaksana tapi perlu adanya supervisi.

Dalam keperawatan supervisi mempunyai pengertian

yang sangat luas, yaitu meliputi segala bantuan dari

pemimpin/ penanggung jawab kepada perawat yang

ditujukan untuk perkembangan para perawat dan staf

lainnya dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan.

Kegiatan supervisi semacam ini merupakan dorongan,

bimbingan dan kesempatan bagi pertumbuhan dan

perkembangan keahlian dan kecakapan para perawat

(Suyanto, 2008). Marquis & Houston (2010)

mendefinisikan supervisi sebagai “suatu aktivitas

pembinaan yang direncanakan untuk membantu

tenaga keperawatan dalam melakukan pekerjaan secara

efektif.”

Pembinaan atau supervisi juga mempunyai tujuan

untuk memotivasi petugas dan mengendalikan suatu

kegiatan agar sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan sehingga kesalahan dan kelalaian dalam

bekerja dapat berkurang bahkan dihindari.

Kegiatan-kegiatan supervisi menurut Arwani, (2006)

yang dikutip oleh Etlidawati, (2012), adalah kegiatan-

kegiatan yang terencana seorang manajer melalui

aktivitas bimbingan, pengarahan, observasi, motivasi

dan evaluasi pada stafnya dalam melaksanakan

kegiatan atau tugas sehari-hari. Menurut Smet (1994)

Komunikasi merupakan salah satu fungsi pokok dalam

manajemen yang dapat mendukung pelaksanaan supervisi

dengan baik.

Motivasi adalah proses-proses psikologi meminta

mengarahkan, arahan dan juga menetapkan tindakan

sukarela yang mengarah pada tujuan (Kreitner &

Kinicki, 2005). Menurut Stoner dan Freeman, (1995),

yang dikutip oleh Nursalam, (2007) bahwa “memotivasi

adalah proses manajemen untuk mempengaruhi tingkah

laku manusia berdasarkan pengetahuan mengenai “apa

yang membuat orang bergerak”. Dalam keperawatan

kepala ruangan merupakan motivator staf keperawatan,

dimana mempunyai peranan yang cukup berarti dalam

hal membangkitkan motivasi kerja. Seorang kepala

ruangan harus mengetahui dan mempertimbangkan

karakteristik stafnya dan berusaha untuk memberikan

tugas sebagai strategi dalam memotivasi stafnya.

Fitrirachmawati, Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP Identifikasi Pasien Di RSUP Dr Mohammad

Hoesin Palembang Tahun 2015

Page 8: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 81

Komunikasi merupakan proses manusiawi yang

melibatkan hubungan interpersonal (Swanburg, 2000).

Selanjutnya swanburg menyatakan bahwa 80% dari

waktu para manajer tahap atas dipergunakan untuk

komunikasi, 16 persen membaca, 9 persen menulis, 30

% berbicara dan 45 persen mendengarkan. Dalam

keperawatan, fungsi komunikasi kepala ruangan adalah

bagaimana kemampuan kepala ruangan dalam

membina komunikasi kebawah dan komunikasi

keatas, sehingga informasi tersampaikan dengan baik.

Wibowo, (2014) menyatakan bimbingan merupakan

suatu proses interaktif yang bertujuan untuk

menyelesaikan persoalan kinerja atau

mengembangkan kemampuan staf melalui manajer

dan supervisor. Wibowo, (2014), menyatakan bahwa

manfaat dari memberikan bimbingan adalah dapat

mengatasi masalah, membangun keterampilan staf,

meningkatkan produktivitas, menyiapkan bawahan

yang dapat dipromosikan, memperbaiki ikatan,

memperkuat budaya kerja yang positif. Dalam

pelayanan keperawatan bimbingan sangat diperlukan ,

hal ini dikarenakan ilmu keperawatan berkaitan erat

dengan keselamatan pasien, dimana dalam melakukan

asuhan keperawatan bila tidak didasarkan dengan

standar yang benar maka akan menimbulkan cidera

bahkan mengancam nyawa baik bagi pasien atau bagi

dirinya sendiri.

UU Keperawatan no. 36 tahun 2014 tentang tenaga

kesehatan mendefinisikan Standar Operasional Prosedur

adalah sebagai satu perangkat instruksi atau langkah

kegiatan yang dibakukan untuk menyelesaikan

proses kerja rutin tertentu dengan memberikan langkah

yang benar dan terbaik berdasarkan konsesnsus bersama

untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi

pelayanan yang dibuat oleh fasilitas pelayanan

kesehatan berdasarkan standar profesi. Secara umum

fungsi SOP antara lain adalah untuk memperlancar

tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja, sebagai dasar

hukum bila terjadi penyimpangan, mengetahui dengan

jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak,

mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama

disiplin dalam melaksanakan setiap asuhan

keperawatan berdasarkan standar.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional

dengan desain studi crossectional. Variabel

independent yang diteliti adalah kepatuhan perawat

pelaksana menjalankan SOP identifikasi pasien dan

variabel dependent adalah supervisi melalui kegiatan

memotivasi, komunikasi dan bimbingan. Penelitian ini

dilakukan di rumah sakit dr. Mohammad Hoesin

Palembang di ruang rawat kelas III. Populasi penelitian

ini adalah seluruh perawat pelaksana di ruang rawat

kelas III dnegan jumlah sampel 105 perawat pelaksana.

Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah

Stratified simple random sampling. Tekhnik ini

digunakan dikarenakan jumlah sampel disetiap ruang

rawat tidak semuanya sama

Data yang akan diolah dalam penelitian ini berasal dari data

primer dan sekunder. Data Primer didapat dari hasil

kuesioner yang disebarkan kepada subjek penelitian

sedangkan data sekunder didapat dari Bidang Perawatan,

Instalasi SDM dan Komite Mutu..

Untuk mengukur variabel-variabel dalam penelitian ini

digunakan kuesioner, yang diukur dengan menggunakan

skala likert, dengan menggunakan empat kriteria, yang

terbagi dalam pernyataan positif dan negatif. Pernyataan

positif disimbolkan dengan angka 1 – 4, dimana 4 =

selalu, 3 = sering, 2 = jarang, 1 = tidak pernah. Pernyatan

negatif juga disimbolkan dengan angka 1 – 4, dimana 4

= tidak pernah, 3 = jarang, 2 = sering, 1 = selalu.

Sebelum kuesioner digunakan terlebih dahulu

dilakukan uji coba validitas dengan menggunakan

rumus Pearson Product Moment dan reabilitas dengan

menggunakan tekhnik Alpha-Cronbach’s.

Data selanjutnya dianalisis secara univariat dan bivariat.

Analisis univariat bertujuan untuk memberikan

gambaran deskriptif masing-masing variabel. Analisis

bivariat bertujuan dari analisis bivariat adalah untuk

melihat hubungan antara variabel-variabel independent

dan dependent yang diteliti. Untuk menganalisa

hipotesa korelasi maka uji yang digunakan adalah uji chi

square. Sebelum dilakukan uji hipotesa data terlebih

dahulu dilakukan uji normalitas data dengan

menggunakan uji kolmogorof sminorv untuk

menentukan cara perhitungan yang dapat digunakan.

Page 9: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 82

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Univariat

Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi

usia, jenis kelamin, pendidikan dan masa kerja. Hasil

analisis dapat dilihat pada tabel 1.

Dari table 1 tergambar bahwa dari 105 responden

sebagian besar berusia > 29 th sebanyak 64 orang

(61%), ,dengan usia termuda adalah 20 tahun dan yang

paling tua adalah 54 tahun. Usia rata – rata adalah 30,5

tahun, median 29 tahun dan usia terbanyak adalah usia

30 tahun. Dari hasil confidence interval (CI) dapat

disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata usia

responden adalah diantara 29,19 s/d 31,86

Berdasarkan jenis kelamin, sebagaian besar perawat

pelaksana yaitu 91 orang (86,7%) adalah perempuan.

Dilihat dari analisis pendidikan didapatkan distribusi

pendidikan, sebagain besar perawat pelaksana

(responden) yaitu 83 orang (79%) mempunyai

pendidikan terakhir D3 keperawatan (vokasi).

Berdasarkan distribusi masa kerja, tergambar bahwa

sebagian besar perawat pelaksana mempunyai masa

kerja yang lama sebanyak 58 orang (55,2%). Dengan

masa kerja terendah adalah 1 tahun dan tertinggi adalah

34 tahun. Masa kerja rata–rata adalah 7,3 tahun, median

5 tahun dengan standar deviasi 7,147. Masa kerja yang

terbanyak adalah 3 tahun.. Berdasarkan confidence

interval (CI) disimpulkan bahwa 95% responden

mempunyai masa kerja antara 5,91 s/d 8,68.

Supervisi

Variabel supervisi yang dianalisa terdiri dari motivasi,

komunikasi dan bimbingan. Hasil analisis ditampilkan

dalam tabel 2.

Berdasarkan uji statistik univariat fungsi supervisi yang

dilakukan kepala ruangan melalui kegiatan pemberian

motivasi, komunikasi dan bimbingan menurut persepsi

perawat pelaksana sebagain besar sudah dilakukan

dengan baik.

Kepatuhan Perawat Pelaksana

Gambaran kepatuhan perawat pelaksana dalam

melakukan identifikasi pasien sesuai SPO.

Berdasarkan tabel 3 sebagian besar perawat pelaksana

(65,7%) patuh dalam melakukan identifikasi pasien

sebelum melakukan tindakan keperawatan.

Analisis Bivarait

Hubungan antara variabel dependent dan independent

ditampilkan dalam tabel 4. Diketahui bahwa hanya

variabel motivasi, komunikasi dan bimbingan yang

mempunyai hubungan yang bermakna dengan

kepatuhan perawat melaksanakan SOP identifikasi

pasien, dengan p value < α 0,05.

Diskusi Hasil Penelitian

Hubungan Usia dengan Kepatuhan Perawat

Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi

Pasien

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perawat yang

patuh menjalankan SOP identifikasi pasien lebih

banyak pada usia rata- rata > 29 tahun. Uji Chi-Square

didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara usia

dengan kepatuhan menjalankan SOP Identifikasi

pasien dengan r 1,00, dimana p value > α (0.05)

Menurut Dessler (2004) dalam Parmin, (2009) bahwa

umur produktif seseorang dalam bekerja adalah usia 25

– 40 tahun, dikarenakan pada usia tersebut merupakan

awal individu berkarier. Pada awal karier biasanya

seseorang mempunyai motivasi dan idealisme yang

tinggi dibandingkan tenaga kerja yang telah berusia 40

tahun keatas. Ini juga diperkuat oleh Robbins (2006)

dalam Anugrahini, C (2010) yang mengemukakan

bahwa usia 20 – 40 tahun merupakan perkembangan

puncak kondisi fisik dalam mengaplikasikan ilmu

pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Jadi

dapat disimpulkan bahwa idealnya tingkat kepatuhan

perawat dalam menerapkan SOP sebelum melakukan

identifikasi pasien lebih tinggi diusia muda dikarenakan

pada usia tersebut perawat lebih idealis dan mempunyai

motivasi yang tinggi dalam bekerja. Seseorang yang

mempunyai motivasi yang tinggi akan lebih mudah

diajak untuk bekerja sesuai dengan aturan atau standar.

Fitrirachmawati, Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP Identifikasi Pasien Di RSUP Dr Mohammad

Hoesin Palembang Tahun 2015

Page 10: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 83

Berdasarkan uji statistik penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Virawan, Koen. M,

(2012) yang menyatakan bahwa faktor umur tidak ada

hubungannya dengan kepatuhan dalam pelaksanaan

benar dalam menurunkan kasus kejadian yang tidak

diharapkan dan kejadian nyaris cidera.

Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepatuhan Perawat

Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi

Pasien

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perawat yang

patuh menjalankan SOP identifikasi pasien sebagian

besar adalah perempuan. Hal ini dimungkinkan pada

umumnya perempuan mempunyai rasa peka dan

kepedulian yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki,

terutama dalam memberikan pelayanan keperawatan

kepada pasien, sehingga perawat perempuan lebih

mudah untuk mentaati peraturan yang ditetapkan oleh

rumah sakit. Begitu juga dalam hal mematuhi SOP

identifikasi pasien sebelum melakukan tindakan

keperawatan, perawat perempuan lebih mudah patuh

dari pada perawat laki-laki.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square

didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara jenis

kelamin dengan kepatuhan menjalankan SOP

identifikasi pasien, dimana didapatkan hasil p value (

1,00 > α (0,05).

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian

Virawan,MK. (2012) bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara jenis kelamin dengan kepatuhan

menjalankan SOP enam benar dalam pemberian obat

untuk menurunkan kejadian yang tidak diharapkan dan

kejadian nyaris cidera.

Hubungan Pendidikan dengan Kepatuhan Perawat

Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi

Pasien

Sebagain besar pendidikan responden dalam penelitian

ini adalah Vokasi (D3 Keperawatan) sebanyak 83

orang (79,0%). Tingkat pendidikan diasumsikan dapat

mempengaruhi kinerja seseorang. Seseorang yang

mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan

lebih mudah termotivasi karena telah memiliki

pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan

yang berpendidikan D3. Selain itu seseorang yang

mempunyai pendidikan tinggi tidak hanya bekerja

berdasarkan kemampuan skillnya saja tapi juga mampu

untuk menganalisa apa saja yang akan ditimbulkan bila

“suatu tindakan” dikerjakan atau tidak dikerjakan.

Hasil penelitian melalui uji Chi Square menyatakan

bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan

dengan kepatuhan, dimana p value (0,316 > α ( 0,05).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Natasia Nazvia, et al, (2014), yang

menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat

pendidikan dengan kepatuhan.

Hubungan Masa Kerja dengan Kepatuhan Perawat

Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi

Pasien

Sebagian besar responden dalam penelitian ini 31 orang

(53,4%) dari 58 perawat mempunyai masa kerja lama

lebih patuh menjalankan SOP identifikasi pasien dan 29

orang (61,7%) dari 47 perawat dengan masa kerja baru

patuh menjalankan SOP identifikasi pasien .

Masa kerja berhubungan dengan pengalaman kerja.

Pengalaman kerja akan mempengaruhi seseorang

dalam berinteraksi dalam pekerjaannya. Semakin lama

masa kerja seseorang semakin banyak pula pengalaman

kerja yang diperolehnya. Semakin banyak pengalaman

kerja semakin banyak hal-hal yang diketahui tentang

apa yang seharusnya dikerjakan dan mana yang tidak.

Dengan mengetahui dampak yang ditimbulkan dari

suatu prosedur yang tidak dilakukan idealnya akan

memberikan dorongan dan menimbulkan

kesadaran pada staf untuk menerapkan SOP identifikasi

pasien sehingga menjadi budaya kerja.

Hasil penelitian dengan menggunakan uji Chi Square

didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara masa

kerja dengan kepatuhan, hal ini di buktikan dengan p

value ( 0,515 > α (0,005). Hasil penelitian ini sejalan

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rohani.N,

2009, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan

signifikan antara lama kerja dengan kepatuhan perawat

dalam pencegahan INOK.

Hubungan Motivasi dengan Kepatuhan Perawat

Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi

Pasien

Hasil analisis diketahui bahwa dari 54 orang sebanyak

37 orang (68,5%) patuh menjalankan SPO identifikasi

Page 11: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 84

pasien sebelum melakukan tindakan keperawatan.

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square

menyatakan ada hubungan bermakna antara

pemberian motivasi kepala ruangan dengan kepatuhan

perawat dalam melakukan SOP identifikasi pasien

sebelum melakukan tindakan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Natasia, et all, 2014 didapatkan bahwa

terdapat hubungan signifikan antara motivasi dengan

tingkat kepatuhan, dengan p=0,040, α < 0,005 dan OR

0,300. Penelitian yang dilakukan oleh Widhori (2014),

memperkuat pernyataan bahwa terdapat hubungan

antara motivasi dengan kepatuhan perawat dalam

pelaksanaan protap pemasangan infus.

Motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kinerja seseorang. Motivasi dapat

memberikan dorongan atau semangat kepada staf

sehingga dapat meningkatkan kinerjanya. Seseorang

yang mempunyai motivasi tinggi akam mempunyai

kinerja yang baik, oleh karena itu motivasi kerja harus

dikembangkan dan ditanamkan dalam diri setiap staf,

sehingga akan menghasilkan kinerja yang optimal.

Membangun motivasi dalam diri staf sangatlah penting

dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan kepatuhan

perawat.

Dalam menjalankan supervisi, seorang manajer

mempunyai peranan yang cukup besar dalam

meningkatkan dan juga membangun motivasi staf.

Kemampuan seorang menajer dalam membangun

motivasi staf akan membawa staf untuk berkontribusi

lebih baik lagi dalam pekerjaannya. Bila motivasi telah

terbangun dengan baik maka akan lebih mudah

seseorang untuk diajak berubah dan menjadi patuh

dalam melaksanakan pekerjaan yang menjadi

tanggung jawabnya.

Hubungan Komunikasi dengan Kepatuhan Perawat

Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi

Pasien

Dari 105 responden sebagian besar 55 orang (52,38%)

mengatakan bahwa kepala ruangan telah melakukan

komunikasi dengan baik. Berdasarkan uji statistik

menggunakan Chi Square di dapatkan hasil ada

hubungan yang bermakna antara komunikasi dalam

pelaksanaan supervisi kepala ruangan dengan kepatuhan

menjalankan SOP identifikasi pasien, dengan p value =

0,0045 < α 0,05.

Komunikasi efektif merupakan sarana yang dapat

menjadi jembatan seorang manajer (kepala ruangan)

dalam menyampaikan informasi yang diperlukan guna

meningkatkan kinerja. Adapun seorang manajer melalui

komunikasi dapat menyampaikan informasi–informasi

yang diperlukan, sehingga pihak yang menerima

informasi mengetahui apa yang harus dilakukannya.

Robbins, Stephen P & Judge, Timothy A, (2012)

menyatakan bahwa komunikasi memperkuat

motivasi dengan menjelaskan kepada stafnya apa yang

harus dilakukan, seberapa baik mereka bekerja dan apa

yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja yang

dibawah standar. Begitu juga dalam melakukan

supervisi, komunikasi yang efektif sangat diperlukan

agar staf mengerti apa yang disampaikan oleh

supervisor, dan mampu menerapkan apa yang telah

disampaikan oleh supervisor.

Hubungan Bimbingan dengan Kepatuhan Perawat

Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi

Pasien

Dari 105 responden sebagian besar 69 orang (65,7%)

mengatakan bahwa pelaksanaan bimbingan kepala

ruangan baik, ini berarti 35,3 % masih perlu

ditingkatkan dan mendapat perhatian. Dari 69

responden yang menyatakan mendapat bimbingan

dengan baik 66,7% patuh menjalankan identifikasi

sesuai SOP. Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi

Square didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang

bermakna antara pelaksanaan bimbingan dalam

supervisi kepala ruangan dengan kepatuhan perawat

pelaksana dalam melakukan SOP identifikasi pasien,

dimana p value(0,0012) < dari α (0,05).

Bimbingan yang dilakukan oleh kepala ruangan sangat

membantu staf perawat untuk lebih mengerti dan

memahami sesuatu yang belum pernah ia lakukan atau

pun sudah sering dilakukan tetapi hanya berdasarkan

rutinitas bukan berdasarkan pada SOP yang berlaku.

Melalui bimbingan kemampuan dan keterampilan

perawat pelaksana akan meningkat. Selain itu melalui

bimbingan akan menimbulkan rasa percaya diri

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.

Fitrirachmawati, Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP Identifikasi Pasien Di RSUP Dr Mohammad

Hoesin Palembang Tahun 2015

Page 12: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 85

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang diolah dengan menggunakan

statistik maka didapatkan hasil sebagai berikut :

1. Perawat pelaksana di ruang rawat kelas III RSUP.

Dr. Mohammad Hoesin Palembang sebagian

besar berusia > 29 tahun, berjenis kelamin

perempuan, mempunyai pendidikan D3

keperawatan (vokasi), dan didominasi oleh perawat

yang mempunyai masa kerja 1 – 10 tahun.

2. Pelaksanaan fungsi supervisi melalui kegiatan

memberi motivasi, komunikasi dan bimbingan

terhadap pelaksanaan SOP identifikasi pasien telah

berjalan dengan baik, walaupun masih perlu

ditingkatkan terutama dalam hal pemberian

motivasi dan bimbingan.

3. Pemberian motivasi kepala ruangan kepada

perawat pelaksana berhubungan dengan kepatuhan

perawat pelaksana melakukan identifikasi pasien

sesuai SOP.

4. Komunikasi efektif yang dilakukan oleh kepala

ruangan berhubungan dengan kepatuhan perawat

pelaksana dalam melakukan identifikasi pasien

sesuai dengan SOP.

5. Bimbingan yang dilakukan kepala ruangan

berhubungan dengan kepatuhan perawat pelaksana

dalam melakukan identifikasi pasien sesuai SOP.

6. Karakteristik perawat pelaksana tidak berhubungan

dengan kepatuhan perawat pelaksana dalam

melakukan identifikasi pasien sesuai SOP.

Saran

Pihak Manajemen Rumah sakit

Perlu adanya monitoring mutu pelayanan yang

dilakukan komite mutu rumah sakit dengan

melakukan audit kepatuhan staf terhadap pelaksanaan

SOP, khususnya SOP identifikasi pasien yang

berkolaborasi dengan komite keperawatan, membuat

form penilaian kepatuhan menjalankan identifikasi

berdasarkan SOP.

Bidang Keperawatan dan Komite Keperawatan

1. Perlu dilakukannya audit kepatuhan perawat dalam

melaksanakan identifikasi pasien secara berkala,

mengingat identifikasi meupakan pilar pertama

dalama 6 sasaran keselamatan pasien.

2. Masih dirasakan perlu untuk meningkatkan peran

kepala ruangan dalam memonitoring kepatuhan

perawat pelaksana terhadap SOP, khususnya SOP

identifikasi pasien.

3. Perlu adanya program peningkatan kemampuan

manajemen supervisi kepala ruangan melalui

pelatihan dan bimbingan. Walaupun secara statistik

diketahui bahwa fungsi kepala ruangan dalam

melakukan supervisi telah berjalan dengan baik,

namun baru mencapai 51,4%.- 64%, sehingga

pelaksanaan supervisi perlu ditingkatkan agar tujuan

pelaksanaan supervisi untuk meningkatkan

kepatuhan perawat dalam mengidentifikasi pasien

sebelum melakukan tindakan dapat tercapai.

Kepala Ruangan

Masih perlu ditingkatkannya pengakuan dan penghargaan

terhadap staf yang berprestasi baik berupa reward dalam

bentuk pujian, kesempatan mengikuti pelatihan atau

diajukan dalam promosi jabatan.

Perawat Pelaksana

Perlu menimbulkan kesadaran terhadap kepatuhan

dalam melakukan identifikasi pasien sebagai suatu

budaya kerja bukan hanya sebagai rutinitas kerja belaka

DAFTAR PUSTAKA

Anugrahini.C, (2010). Hubungan Faktor- Faktor Individu dan Organisasi dengan kepatuhan

Perawat Dalam Menerapkan Pedoman Patient Safety di RSAB Harapan Kita

Jakarta. Tesis. FKM. UI. Depok

Etildawati, (2012). Hubungan Strategi Supervisi Kepala Ruangan dengan Motivasi Perawat

dalam Pelaksanaan Pendokumentasian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Pariaman. Tesis. Universitas Andalas Sumatera Barat.

http://repository.unand.ac.id/19875/2/TESIS%20NI%20DA.pdf

Ilyas, Y, (2012). Kinerja, Teori, Penilaian dan Penelitian. FKM.UI Depok Jakarta. Kreitner dan Kinicki, (2008). Organizational Behaviour 8th edition. McGrow Hill International

Edition

Marquist & Houston, (2010). Keperawatan dan Manajemen Keperawatan. Teori dan Aplikasi. EGC. Jakarta

Natasia Nazvia, et al, (2014), Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pelaksanaan SOP

Asuhan Keperawatan di ICU-ICCU RSUD Gambiran Kota Kediri .Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, Suplemen No. 1, 2014: Rumah Sakit Umum

Daerah Sumbawa. 23 Maret 2015 http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article

/download/513/393 Notoatmodjo, Soekidjo, (2007). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Nursalam, (2007). Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan

Profesional, Edisi 2. Salemba Medika Parmin, (2009). Hubungan Pelaksanaan Fungsi Manajemen Kepala Ruangan dengan

Motivasi Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap RSUP Undata Palu. Tesis.

FIK.UI.Depok. Jakarta. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20284809-T%20Parmin.pdf

Robbins, Stephen P & Judge, Timothy A, (2012). Organization Behavior, fifteenth Edition,

Pearson.

Page 13: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 86

Rohani, N.(2009). Faktor –Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Perawat dalam

Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap RSUD Kota

Bekasi Tahun 2009. Tesis. FKM. UI. Depok Smet, Bart. . (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta. PT Grasindo

Suyanto. (2008). Mengenal Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan di Rumah Sakit.

Jogjakarta : Mitra Cendikia Jogjakarta Swanburg. C. Russell. (2000). Pengantar Kepemimpinan Dan Manajemen Keperawatan,

Untuk Perawat Klinis. Alih Bahasa Samba. Suharyati. EGC. Jakarta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun (2004) tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Virawan Koen.M, (2012). Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Staf Perawat dan

Staf Farmasi Menggunakan Enam Benar Dalam Menurunkan Kasus Kejadian

Nyaris Cidera di Rumah Sakit Umum Surya Husadha. Tesis. FKM.UI. Depok Wibowa (2014), Manajemen Kinerja. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Widhori, (2014) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Perawat Dalam

Pelaksanaan Protap Pemasangan Infus di Ruang Rawat inap RSUD Padang Panjang Tahun 2014. http://jurnal.umsb.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/jurnal

-widhori.pdf

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi

Di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kegiatan Supervisi Kepala Ruangan

Variabel Kategori

Frekuensi %

Motivasi

Baik 54 51,4

Tidak Baik 51 48,6

Jumlah 105 100

Komunikasi

Baik 55 52,4

Tidak Baik 50 47,6

Jumlah 105 100

Bimbingan

Baik 69 65,7

Tidak Baik 36 34,3

Jumlah 105 100

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Gambaran Kepatuhan Perawat Pelaksana dalam

Melakukan identifikasi pasien

Variabel Kategori

Frekuensi %

Kepatuhan

Patuh 60 65,7

Tidak Patuh 45 34,3

Jumlah 105 100

Variabel Kategori

Frekuensi %

Min

Max

Mean

Median

Modus 95%CI

Usia

≤ 29 th 41 39,0 20

54

30,50

29 30

29,19

s/d 31,86

> 29 th 64 61,0

Jumlah 105 100

Jenis

Kelamin

Laki 14 13,3

- - -

Perempuan 91 86,7

Jumlah 105 100

Pendidikan

Profesional 22 21,0

- - -

Vokasi 83 79,0

Jumlah 105 100

Masa

Kerja

Lama 58 55,2 1

34

7.30

5 3

5,91 s/d

8,68 Baru 47 44,8

Jumlah 105 100

Fitrirachmawati, Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP Identifikasi Pasien Di RSUP Dr Mohammad

Hoesin Palembang Tahun 2015

Page 14: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 2

Tabel 4. Hubungan Karakteristik Demografi, Supervisi

dengan kepatuhan Perawat Pelaksana

Variabel

Tingkat Kepatuhan P OR

Patuh Tidak Patuh Jumlah Value (95% CI)

f % f % f %

Usia

≤ 29 th 23 56.1 18 43.9 41 100 1.000 0.932

> 29 th 37 57.8 27 42.2 64 100

Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100

Jenis

Kelamin

Laki 8 57.1 6 42.9 14 100 1.000 1.000

Perempuan 52 57.1 39 42.9 91 100

Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100

Pendidikan

Profesional 10 45.5 12 54.5 22 100 0.316 0.550

Vokasi 50 60.1 33 39.8 83 100

Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100

Masa Kerja

Lama 31 53.4 27 46.6 58 100 0.515 0.713

Baru 29 61.7 18 38.3 47 100

Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100

Motivasi

Baik 37 68.5 17 31.5 54 100 0.025 2.650

Tidak Baik 23 45.1 28 54.9 51 100

Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100

Komunikasi

Baik 37 67.3 18 32.7 55 100 0.045 2.413

Tidak Baik 23 46 27 54 50 100

Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100

Bimbingan

Baik 46 66.7 23 33.3 69 100 0.012 3.143 Tidak Baik 14 38.9 22 61.1 36 100

Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100

87 Jurnal ARSI/Februari 2017

Page 15: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 88

Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017

Hospital Formulary Analysis in Cimacan Hospital Year 2017

Juliana Aritonang

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Rumah sakit harus memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan yang dalam

penyelenggaraannya rumah sakit tidak terlepas dari pelayanan farmasi. Kebutuhan akan penyediaan dan

pemakaian obat-obatan yang berkualitas dan rasional diatur dalam sistem formularium dimana obat-obatan yang

dipakai terdapat dalam buku formularium. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa formularium RSUD

Cimacan dilihat dari penyusunan, pemeliharaan dan evaluasi obat formularium. Evaluasi obat formularium dengan

melakukan analisis ABC pemakaian, investasi, indeks kritis dan VEN sehingga didapatkan hasil berupa usulan

revisi formularium RSUD Cimacan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasilnya adalah proses

penyusunan formularium RSUD Cimacan belum optimal, prosedur pemeliharaan formularium sudah ada namun

belum lengkap, pengadaan dan peresepan belum sesuai formularium. Ditemukan 495.690 pemakaian obat non

formularium dan 201 jenis obat non formularium yang disediakan di instalasi farmasi. Ada 322 jenis obat

formularium yang dipakai (43%), ada 21 jenis obat dengan nilai investasi RP. 3.001.658.694. Hanya 31 jenis obat

yang sangat kritis dan 39 jenis obat yang Vital terhadap pelayanan pasien.

Kata kunci: formularium, Analisis ABC VEN.

ABSTRACT

Hospitals must provide comprehensive, integrated and sustainable health services which in the organization of

the hospital is inseparable from pharmaceutical services. The need for the provision and use of qualified and

rational medicines is regulated in the formulary system where the drugs used are contained in the formulary book.

The purpose of this study was to analyze the formulary of RSUD Cimacan seen from the preparation, maintenance

and evaluation of formulary drugs. Evaluation of formulary drugs by performing ABC analysis of use, investment,

critical index and VEN to obtain the result of proposed revision formulary of RSUD Cimacan. This research uses

qualitative approach. The result is the process of formulary of RSUD Cimacan not optimal, procedure of

maintenance of formulary already exist but not yet complete, procurement and prescription not according to

formulary. 495,690 non-formulary drug use and 201 kinds of non-formulary drugs were provided in

pharmaceutical installations. There are 322 kinds of formulary drugs used (43%), there are 21 types of drugs with

an investment value of RP. 3.001.658.694. Only 31 types of drugs are very critical and 39 types of drugs are Vital

to patient care.

Keywords: formulary, ABC VEN Analysis.

PENDAHULUAN

Setiap Rumah Sakit harus menetapkan obat mana

yang harus tersedia untuk diresepkan dan dipesan oleh

praktisi kesehatan. Keputusan ini didasarkan pada misi

rumah sakit, kebutuhan pasien, dan jenis pelayanan

yang disiapkan. Rumah sakit harus mengembangkan

suatu daftar (formularium) dari semua obat yang ada

di stok atau sudah tersedia, dari sumber luar ( Standar

Page 16: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 89

Akreditasi Rumah Sakit Bab 6 Manajemen dan

Penggunaan Obat Standar MPO.2).

Menurut Kementrian Kesehatan RI melalui Peraturan

Menteri Kesehatan RI Nomor 58 tahun 2014,

Formularium rumah sakit merupakan penerapan

konsep obat esensial di rumah sakit yang berisi daftar

obat dan informasi penggunaannya. Obat yang

termasuk dalam daftar formularium merupakan obat

pilihan utama (drug of choice) dan juga obat-obat

alternatifnya.

Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Kementrian Kesehatan RI (2010) Formularium

merupakan suatu dokumen yang secara terus menerus

direvisi, memuat sediaan obat dan informasi penting

lainnya yang merefleksikan keputusan klinik mutakhir

dari staf medik rumah sakit. Permenkes RI nomor 58

tahun 2014, menyatakan bahwa evaluasi terhadap

Formularium Rumah Sakit harus secara rutin dan

dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan

Rumah Sakit.

RSUD Cimacan Cianjur sudah memiliki formularium

yang disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi tahun

2011. Saat ini obat yang tercantum dalam formularium

RSUD Cimacan tahun 2011 sebanyak 747 item dari

60 perusahaan farmasi. Formularium RSUD Cimacan

belum pernah di evaluasi dan direvisi sejak tahun 2011.

RSUD Cimacan adalah rumah sakit yang terus

berkembang, semakin besar rumah sakit, semakin

banyak jumlah dokter dengan berbagai macam

keahlian menyebabkan keanekaragaman resep.

Dari tabel 1 dapat diketahui rata rata pertahun resep

obat yang keluar dari rumah sakit mencapai 2158 resep

pertahun dengan jenis obat yang tidak tersedia rata rata

204 jenis, sedangkan dokter penulis resep tersebut rata

rata per tahun adalah 16 orang dokter, yaitu 80% dari

jumlah dokter yang berpraktek di RSUD Cimacan

yang kesemuan berjumlah 20 dokter. Jika

dibandingkan dengan jenis obat yang tercantum dalam

formularium yang sekarang ada di RSUD Cimacan,

dapat diketahui bahwa jenis obat yang tidak tersedia

tersebut terdiri dari obat yang tercantum dalam

formularium dan tidak tercantum dalam formularium

(ditampilkan dalam tabel 2).

Obat yang tidak tersedia yang tidak tercantum dalam

formularium 160 jenis. Yaitu 78% dari obat yang tidak

tersedia di instalasi farmasi RSUD Cimacan tidak

tercantum dalam formularium dan 21% dari jumlah

jenis obat yang ada dalam formularium RSUD

Cimacan. Kondisi ini bisa dikarenakan

ketidakpatuhan peresepan dokter terhadap

formularium atau bisa saja dikarenakan formularium

yang ada belum memuat semua kebutuhan obat

rumah sakit. Berdasarkan data diatas muncul

permasalahan bahwa obat yang tidak tersedia pada

instalasi farmasi RSUD Cimacan lebih banyak adalah

obat obat yang tidak ada dalam formularium. Juga

masih banyak obat yang tercantum di formularium

sangat jarang diresepkan bahkan tidak pernah

diresepkan sama sekali. Hal ini juga mengakibatkan

kerugian bagi rumah sakit. Jika obat yang diresepkan

tidak sesuai dengan obat yang disediakan maka akan

mengakibatkan terjadinya obat yang tidak tersedia di

instalasi farmasi.

TINJAUAN PUSTAKA

Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada

Formularium Nasional dimana formularium ini

merupakan daftar obat yang disepakati oleh staf medis

dan disusun oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang

ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit. Definisi

Formularium (Pedoman Penyusunan Formularium

Rumah Sakit, Depkes (2010) yaitu: Formularium

merupakan suatu dokumen yang secara terus menerus

direvisi, memuat sediaan obat dan informasi penting

lainnya yang merefleksikan keputusan klinik mutakhir

dari staf medik rumah sakit.

Sistem Formularium menurut buku Pedoman

Penyusunan Formularium Rumah Sakit, Direktorat

Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Kementrian Kesehatan RI bekerjasama dengan Japan

Internasional Cooperation Agency 2010 terdiri atas

Evaluasi penggunaan obat, Penilaian dan Pemilihan

Obat. Evaluasi penggunaan obat bertujuan untuk

menjamin penggunaan obat yang aman dan cost

effective, dilakukan dengan dua cara yaitu pengkajian

dengan mengambil data dari pustaka dan pengkajian

dengan mengambil data sendiri. Penilaian, setiap obat

baru yang diusulkan untuk masuk dalam formularium

harus dilengkapi dengan informasi tentang kelas terapi,

indikasi terapi, bentuk sediaan dan kekuatan, kisaran

dosis, efek samping dan efek toksik. Pemilihan obat

dengan memperhatikan faktor kelembagaan yaitu

kebijakan rumah sakit, faktor obat dan faktor biaya.

Page 17: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 90

Isi Formularium berdasarkan buku Pedoman Penyusunan

Formularium Rumah Sakit, Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementrian

Kesehatan RI bekerjasama dengan Japan Internasional

Cooperation Agency 2010 yaitu Formularium berisi

tiga bagian utama :

a. Informasi kebijakan dan prosedur rumah sakit

tentang obat. Kebijakan mencakup antara lain:

tentang pemberlakuan formularium, tatalaksana

obat (kebijakan umum dalam penulisan resep,

kebijakan penulisan obat generik, prosedur

pengusulan obat untuk ditambahkan atau dihapus

dari formularium, SK tentang TFT, dll.

b. Daftar Obat. Bagian ini merupakan inti dari

formularium yang berisi informasi dari setiap obat

disertai satu atau lebih indeks untuk memudahkan

penggunaan formularium.

c. Informasi khusus. Informasi khusus tergantung

pada kebutuhan masing-masing rumah sakit.

Analisis ABC diperlukan untuk evaluasi obat dan

penting untuk mengidentifikasi volume produk obat

dari segi biaya, anggaran obat dan utilisasinya sehingga

melalui analisis ABC dapat membantu manajemen

dalam evaluasi formularium (Saveli 1996). Analisis

VEN merupakan analisa yang digunakan untuk

menetapkan prioritas pembelian obat serta penyesuaian

rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang

tersedia (Depkes RI,2002). Menurut Siregar (2004),

perlu dilakukan review sistem pengendalian obat

dengan analisis ABC secara periodik karena adanya

perubahan harga dan pemakaian yang dipengaruhi oleh

trend penyakit dan musim. Peninjauan analisis ABC dapat

dilakukan setiap tahunnya bersamaan dengan

dilakukannya perubahan terhadap formularium.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk

menganalisa formularium RSUD Cimacan untuk

mempelajari secara mendalam dari proses penyusunan,

pemeliharaan dan pengawasan formularium RSUD

Cimacan melalui kegiatan kuesioner dan wawancara

mendalam. Penghitungan yang berhubungan dengan

obat digunakan untuk menganalisa isi formularium

dengan analisis ABC Pemakaian, analisis ABC

Investasi, Analisis ABC Indeks kritis dan analisis

VEN. Sehingga hasil analisa ini bisa menjadi masukan

untuk revisi formularium.

Sumber data primer yaitu sumber data untuk

memperoleh daftar nilai kritis obat, daftar obat vital,

esensial dan nonesensial, serta daftar usulan kebutuhan

obat menurut dokter. Sumber untuk memperoleh nilai

kritis obat dan obat VEN adalah dokter spesialis yang

berpraktek di RSUD Cimacan dan yang menuliskan

resep obat ke pasien yaitu 11 orang dokter spesialis

(terdiri atas 3 dokter spesialis penyakit dalam, 2 dokter

spesialis kebidanan, 2 dokter spesialis anak, 1 dokter

spesialis bedah, 1 dokter spesialis kesehatan jiwa, 1

dokter spesialis rehabilitasi medik, dan 1 dokter

spesialis gigi konservatif). Sumber data primer untuk

pengambilan data usulan kebutuhan obat rumah sakit

menurut dokter adalah dokter umum dan dokter

spesialis yang berpraktek di RSUD Cimacan yaitu 20

dokter yang berhubungan langsung dengan pasien dan

menuliskan resep ( 8 dokter umum, 11 dokter spesialis

dan 1 dokter gigi).

Penentuan nilai kritis obat dan kelompok obat VEN

dilakukan dengan penyebaran formulir dan kuesioner

kepada 11 dokter spesialis. Data sekunder dikumpulkan

dengan cara telaah dokumen laporan instalasi farmasi

RSUD Cimacan. Telaah dokumen dilakukan untuk

mendapatkan data pemakaian obat di RSUD Cimacan

dan harga beli terakhir satuan sediaan terkecil obat.

daftar usulan kebutuhan obat rumah sakit menurut

dokter dilakukan dengan penyebaran formulir daftar

kebutuhan obat sesuai standar terapi atau panduan

praktek klinis kepada 8 dokter umum, 11 dokter

spesialis dan 1 dokter gigi. Wawancara mendalam

menggunakan instrumen berupa pedoman wawancara

mendalam untuk menggali lebih dalam mengenai proses

penyusunannya, pemeliharaan serta kepengawasannya

formularium Rumah Sakit Umum Daerah Cimacan.

Pengolahan data obat dengan menggunakan metode

ABC Analisis dan VEN.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil wawancara mendalam manajemen dan

dokter menganggap formularium sangat bermanfaat

baik bagi pasien maupun rumah sakit. Sistem

formularium memberi keuntungan dari sisi terapi,

ekonomi dan keilmuan.

Menurut Anief, 2005 Analisis ABC dipakai untuk

memprioritaskan jenis obat A dalam seleksi obat dan

keputusan pemesanan. Sedangkan analisis ABC

Indeks kritis dipakai untuk memprioritaskan seleksi

Juliana Aritonang., Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017

Page 18: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 91

obat dan pembelian berdasarkan dampaknya terhadap

kesehatan, yaitu obat mana yang vital dan harus ada

dalam persediaan farmasi. WHO (2004)

menambahkan bahwa jika pemilihan obat tidak

mempertimbangkan pedoman diagnosa dan terapi,

maka tidak akan meningkatkan kualitas pengobatan,

dan obat-obat esensial juga dapat dipergunakan secara

tidak tepat. Obat yang masuk dalam daftar formularium

merupakan obat pilihan utama (drug of choice) dan

obat-obat alternatifnya. Dasar-dasar pemilihan obat-obat

alternatif tetap harus mengindahkan prinsip manajemen

dan kriteria mayor yaitu berdasarkan pada: pola

penyakit yang berkembang di daerah tersebut,

efisiensi, efektivitas, keamanan, kualitas, biaya, dan

dapat dikelola oleh sumber daya dan keuangan rumah

sakit (ASHP 2008).

Dari data pemakaian persediaan obat dalam formularium

dari tahun 2014 sampai dengan 2016, ada 322 jenis

obat yang dipakai dari 747 jenis obat dengan jumlah

pemakaian 2.008.866 serta nilai pembelian oleh pasien

seluruhnya sejumlah Rp 4.261.051.226 (harga satuan

yang dipakai adalah harga jual ke pasien). Obat obat

tersebut kemudian dikelompokkan dengan metode

Pareto. Analisis ABC dilakukan berdasarkan

pemakaian, investasi dan indeks kritis.

Analisis ABC Pemakaian

Data mengenai hasil analisis ABC pemakaian ditampilkan

dalam tabel 3, 4 dan 5, di mana hasil analisis ABC

pemakaian memperlihatkan bahwa obat - obat yang

termasuk dalam formularium tidak terlalu banyak

yang digunakan dokter. Ini dapat disimpulkan karena

banyaknya jenis obat yang masuk dalam kelompok C.

Kelompok C tahun 2014 yaitu 171 jenis obat, tahun

2015 yaitu 199 jenis obat dan tahun 2016 ada 190 jenis

obat, bisa juga dikatakan bahwa obat-obat tersebut

adalah obat yang termasuk dalam kategori slow

moving. Jadi sebaiknya obat obat yang termasuk

kelompok C ini perlu dievaluasi lebih lanjut oleh TFT.

Dan ada 57% jenis obat yang ada dalam formularium

RSUD Cimacan yang sama sekali tidak dipakai oleh

dokter yang perlu dievaluasi lebih lanjut oleh TFT.

Pada analisa ABC pemakaian peneliti melihat trend

pemakaian obat formularium rumah sakit selama 3

tahun.

Dari tahun 2014 -2016 hanya ada 15 jenis obat saja

yang selalu masuk kelompok A. Akan tetapi semua

obat yang masuk kelompok A dari tahun 2014-2016

menjadi prioritas untuk dimasukkan kedalam

Formularium RSUD Cimacan. Dan ada 112 jenis obat

yang selalu masuk dalam kelompok C sejak tahun

2014 – 2016. Kelompok obat ini perlu dievaluasi

kembali oleh TFT untuk tetap dimasukkan dalam

formularium rumah sakit atau dikeluarkan.

Analisis ABC Investasi

Data-data mengani hasil Analisis ABC Investasi

ditampilkan dalam tabel 6, 7 dan 8. Kelompok A,

merupakan kelompok dengan nilai investasi tinggi

yaitu tahun 2014 ada 18 jenis obat, tahun 2015 ada 25

jenis obat, dan tahun 2016 ada 19 jenis obat. Dari tahun

2014-2016 ada 8 jenis obat yang selalu masuk dalam

kelompok A. Kelompok B merupakan kelompok

obat dengan nilai investasi sedang tahun 2014 ada 42

jenis obat, tahun 2015 ada 57 jenis obat, dan tahun 2016

ada 45 jenis obat. Kurang lebih sekitar 20% dari

seluruh investasi RSUD Cimacan. Kelompok C

merupakan kelompok obat dengan nilai investasi

rendah yaitu tahun 2014 ada 178 jenis obat, tahun

2015 ada 200 jenis obat dan tahun 2016 ada 203 jenis

obat. Selama 3 tahun dari tahun 2014-2016 ada 102

jenis obat yang selalu masuk dalam kelompok C.

Obat-obat yang masuk dalam kelompok ini menjadi

bahan untuk dinilai kembali apakah akan tetap

dimasukkan dalam formularium atau dikeluarkan.

Analisis ABC Indeks Kritis

Analisis ABC indeks kritis dibuat dengan melibatkan

pemakai obat untuk mengetahui seberapa besar nilai

kritis obat dalam Formularium bagi dokter di RSUD

Cimacan. Untuk mengetahui nilai kritis obat tersebut

dibuat kuesioner yang berisi kolom nama obat dalam

formularium dan nilai (ditampilkan dalam tabel 9).

Untuk analisis ABC Indeks kritis peneliti melakukan

pengelompokan obat selama 3 tahun dikarenakan

perlu untuk menyimpulkan obat –obat mana saja

selama 3 tahun pernah dipakai dan nilai investasinya.

Dari hasil analisis obat formularium RSUD Cimacan

didapatkan bahwa: . Kelompok A adalah obat dengan

nilai kritis tinggi terdiri dari 31 jenis obat yaitu sebesar

9,6% dari seluruh pemakaian jumlah obat dengan nilai

investasi Rp 2.565.184.814 yang merupakan 60,2%

dari seluruh investasi. Kelompok B adalah obat

dengan nilai kritis sedang sebanyak 200 jenis obat yaitu

Page 19: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 92

62,1% dari seluruh jumlah pemakaian obat dengan

nilai investasi sebesar Rp. 1.547.653.488 yang merupakan

36,3% dari total investasi. Kelompok C merupakan

obat dengan nilai kritis rendah sebanyak 91 jenis obat

yaitu 28,3 % dari seluruh jumlah obat dengan nilai

investasi Rp. 148.212924 yang merupakan 3,5% dari

seluruh investasi.

Analisis ABC VEN

Langkah-langkah dalam analisis ABC Indeks kritis

VEN (Febriawati,2013): Kelompok obat ABC Indeks

kritis digabungkan dengan kelompok obat VEN

kemudian masukkan kedalam matriks Analisis ABC

Indeks kritis dan VEN. Analisis ABC VEN dibuat

dengan melibatkan pemakai obat untuk mengetahui

seberapa vital, essensial dan non essensial obat dalam

formularium bagi dokter di RSUD Cimacan. Dari

hasil kuesioner didapatkan obat yang masuk

kelompok V ada 39 jenis obat, Kelompok E ada 245

jenis dan kelompok N ada 38. Hasil pengelompokan

VEN digabungkan dalam matriks ABC indeks kritis

VEN dan didapatkan: Kelompok VA ada 3 jenis obat,

Kelompok VB ada 24 jenis obat, Kelompok VC ada

12 jenis obat, Kelompok EA ada 21 jenis obat,

Kelompok EB ada 167 jenis obat, Kelompok EC ada

57 jenis obat, Kelompok NA ada 12 jenis obat,

Kelompok NB ada 18 jenis obat, Kelompok NC ada 8

jenis obat. Jenis obat yang bersifat vital yaitu 39 jenis

obat (VA,VB dan VC) merupakan pilihan utama

untuk tetap dimasukkan dalam formularium rumah

sakit. Sebaliknya obat yang non esensial tetapi

menyerap anggaran banyak (NA) sebanyak 12 jenis

obat dijadikan prioritas untuk dikeluarkan dari formularium.

Dari 747 jenis obat yang tercantum dalam formularium

RSUD Cimacan , ada 322 jenis obat yang dipakai

dirumah sakit berdasarkan analisa ABC Pemakaian

dari tahun 2014-2016, sisanya sebanyak 425 jenis obat

tidak dipakai. Dalam hal ini peneliti mengeluarkan 425

jenis obat yang ada dalam formularium yang tidak

pernah dipakai selama tahun 2014 -2016 dari draft

usulan revisi formularium tahun 2017. Akan tetapi

peneliti juga memperhatikan obat obat yang masuk

kelompok V (vital) yaitu obat obat yang harus tersedia

untuk melayani permintaan guna penyelamatan hidup

manusia atau untuk pengobatan karena penyakitnya

tersebut dapat menyebabkan kematian (live saving)

yang harus selalu tersedia di rumah sakit. Ada 39 jenis

obat yang masuk kelompok V (vital) dan ada 6 jenis

obat kelompok V yang juga terdapat dalam 425 jenis

obat yang akan dikeluarkan dari formularium,

Sehingga peneliti tetap memasukkan keenam jenis obat

diatas dalam draft usulan revisi formularium rumah

sakit. 6 jenis obat.

Dari 322 jenis obat hasil analisa ABC Indeks Kritis, ada

91 jenis obat yang masuk kelompok C. Dari hasil

pengelompokan analisis ABC indeks kritis terlihat

bahwa obat yang masuk dalam kelompok C (28,3%).

Bila dilihat dari jenis obat yang ada dalam kelompok C

maka dapat dibagi menjadi dua yaitu obat yang

memang indeks kekritisannya sangat kecil dan tidak.

Kelompok C dibagi dua agar tidak terjadi penumpukan

stok sehingga sebagian obat dalam kelompok C

tersebut di naikkan menjadi kelompok A. Obat

kelompok C bisa menggantikan obat kelompok A

apabila saat diresepkan obat tersebut tidak ada atau

kosong. Dan untuk obat kelompok C yang memang

penting dan harus ada dapat diatur stoknya tetapi untuk

obat kelompok C yang tidak penting setelah stok habis

menjadi bahan evaluasi apakah dapat dihilangkan dari

formularium.

Dari 91 jenis obat yang masuk kategori C, didapatkan

21 obat dengan skor terendah (empat). Berarti bisa

diambil kesimpulan bahwa 21 obat ini adalah obat

dengan kombinasi paling sedikit pemakaiannya,

paling rendah nilai investasinya dan paling rendah inilai

kritisnya. Obat kelompok C bisa juga dikatakan

bahwa obat obat tersebut adalah obat yang termasuk

dalam kategori slow moving. Dari 91 obat yang masuk

dalam kelompok C didiskusikan dengan TFT RSUD

Cimacan dan dipilih 38 obat untuk dikeluarkan dari

draft usulan revisi formularium rumah sakit.

Dikarenakan obat obat tersebut ada yang sudah tidak

diproduksi lagi, ditarik dari edaran dan sudah ada obat

mee too nya. Sehingga dari 322 obat yang diusulkan

untuk masuk dalam draft usulan revisi formularium

berkurang menjadi 284 jenis obat. Dan ditambah

dengan 6 jenis obat kelompok vital menjadi 290 jenis

obat yang masuk dalam draft usulan revisi formularium.

Ada 201 jenis obat non formularium yang disediakan

di instalasi farmasi dan dibutuhkan oleh dokter. Dari

201 jenis obat ini didiskusikan dengan TFT dan

dilakukan analisa ABC Indeks kritis, dan diperoleh

148 jenis obat saja yang dimasukkan kedalam

formularium rumah sakit dikarenakan 53 jenis obat

lainnya adalah obat yang golongan terapinya sudah

Juliana Aritonang., Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017

Page 20: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 93

ada dan mee too nya sudah ada. Ada 6 jenis obat yang

masuk katagori Vital (V) yang harus ada dirumah sakit.

Sehingga diperoleh ada 438 jenis obat yang masuk

dalam draft usulan revisi formularium RSUD

Cimacan.

Proses Penyusunan Formularium

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh diketahui

bahwa penyusunan formularium RSUD Cimacan

belum optimal, sehingga ada banyak obat dalam

formularium yang tidak dipakai. Ini terlihat dari hasil

analisis ABC Indeks kritis dari tahun 2014-2016 hanya

322 jenis obat yang dipakai yaitu 43% dari seluruh obat

yang ada dalam formularium.

Proses penyusunan formularium RSUD Cimacan

sudah melibatkan dokter. Meskipun demikian,

keterlibatan dokter dalam proses penyusunan belum

optimal. Dokter hanya diminta untuk mengisi formulir

obat yang dibutuhkan oleh dokter, dan tidak

diikutsertakan dalam pembahasan atau tidak ada

umpan balik dari dokter mengenai draft yang

diusulkan. Dokter yang terlibat dalam TFT hanya 1

orang. Memang dalam literatur tidak ada peraturan

baku yang menentukan komposisi anggota TFT,

namun agar sistem formularium berjalan lancar dan

kepatuhan peresepan formularium meningkat,

sebaiknya paling tidak dokter fulltimer bisa dilibatkan

penuh dalam panitia TFT, karena dokter adalah user

dan pelaksana di lapangan.

Dalam penyusunan formularium, kriteria seleksi obat

yang meliputi pola penyakit setempat, sarana-

prasarana yang dapat mendukung untuk pengelolaan

obat, dan kesesuaian dengan standar pengobatan di

rumah sakit belum ada. Penyesuaian dengan standar

pengobatan pada umumnya tidak dilakukan. Menurut

ketentuan KEPMENKES RI Nomor .1197/

Menkes/SK/X/2004, penyusunan formularium rumah

sakit harus mengacu pada standar pengobatan yang

berlaku. Menurut Atmaja (2012), perencanaan obat

dalam rumah sakit dapat digunakan beberapa data

sebagai pedoman, data morbiditas, sisa stock, data

pemakaian lalu, anggaran, VEN dan ABC, rencana

pengembangan dan rekomendasi komite medik.

RSUD Cimacan sudah memiliki prosedur pemilihan

obat untuk masuk kedalam formularium, prosedur

sudah memuat pemilihan obat berdasarkan data dari

medical record sebagai acuan pemilihan obat akan

tetapi belum memuat proses penyusunan formularium.

Pemeliharaan Formularium

Teknik pemeliharaan formularium mencakup (siregar

2004): Pengkajian golongan terapi obat, Proses

penambahan obat ke atau dihapus dari formularium,

Penggunaan obat nonformularium dalam situasi

penderita khas. Pengkajian golongan terapi obat untuk

mengidentifikasi obat yang dikehendaki masih

berdasarkan golongan jenis obat dan harga, belum

melihat efektifitasnya. Mekanisme penambahan dan

pengeluaran obat dari fomularium rumah sakit belum

berjalan dengan baik. Sudah ada aturan yang diterapkan,

akan tetapi dalam pelaksanaanya diserahkan kepada

instalasi farmasi. Hal ini berakibat pada tingginya daftar

obat non-formularium. Pengadaan obat baru yang

diminta oleh dokter dapat langsung dilakukan tanpa

melalui proses pertemuan TFT.

Menurut peneliti, kebijakan dan prosedur, atau

kebijakan yang ada,sudah cukup. Dalam panduan

pelayanan farmasi sudah memuat kriteria obat masuk

dan dikeluarkan dari formularium. Prosedur penambahan

dan pengeluran obat sudah ada, akan tetapi prosedur

tidak dilaksanakan karena manajemen dan dokter tidak

tahu akan adanya prosedur tersebut. Hal di atas dapat

diantisipasi dengan melakukan sosialisasi kembali

kebijakan dan prosedur mengenai penambahan atau

pemusnahan obat dari daftar formularium atau

mencantumkan kebijakan dan prosedur tersebut

dalam buku formularium sehingga diketahui oleh

semua pihak. Untuk kebijakan dan prosedur mengenai

penggunaan obat nonformularium, RSUD Cimacan

belum memilikinya. Sehingga perlu disusun kebijakan

dan prosedur mengenai penggunaan obat non

formularium termasuk kriterianya. Dua kebijakan ini

akan membuat kebijakan formularium menjadi lebih

dinamis atau lebih fleksibel, sebab rumah sakit

menghargai aspirasi dokter terhadap pilihan obat yang

akan diberikan kepada pasien.

Kriteria penghapusan daftar obat dari formularium

menurut Pedoman Penyusunan Formularium Rumah

Sakit Kemenkes (2010), yaitu obat tidak beredar lagi

dipasaran, obat tidak ada yang menggunakan lagi, sudah

ada obat baru yang lebih cost effective, obat yang

setelah dievaluasi memiliki resiko yang lebih tinggi

dibandingkan manfaatnya. Penambahan obat kedalam

Page 21: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 94

formularium dilakukan melalui proses pengusulan.

Permohonan harus diajukan secara resmi kepada

PFT, permohonan yang diajukan setidaknya memuat

informasi mekanisme farmakologi obat dan indikasi

yang diajukan, alasan mengapa obat yang diajukan

lebih baik dari pada yang sudah ada dalam formularium,

bukti ilmiah dari pustaka yang mendukung perlunya

obat dimasukkan dalam formularium (Dirjen BinFar

Kemenkes RI,2010

Pengawasan Formularium

Pengawasan meliputi kepatuhan pengadaan dan

peresepan sesuai dengan formularium rumah sakit.

Hingga kini perencanaan persediaan obat di RS hanya

berdasarkan pola peresepan yang sering dikonsumsi

dan permintaan dokter. Jika dokter membutuhkan obat

tertentu tinggal mengajukan ke instalasi farmasi dan

disediakan oleh farmasi tanpa mempertimbangkan

formularium Rumah sakit. Hal - hal seperti ini

menyebabkan terjadi persediaan yang berlebihan,

kurang atau tidak terpakai sama sekali. Menurut

manajemen hal ini disebabkan dokter tidak konsisten

meresepkan salah satu jenis obat, tergantung dari

detailer obat mana yang pada saat itu datang dan

memberi informasi dokter tentang produknya.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti,

mutu dan kelengkapan obat yang tercantum dalam

formularium dapat disimpulkan kurang baik karena

masih ada obat formularium yang tidak ada di rumah

sakit. Kebijakan pengadaan obat RSUD Cimacan

sudah ada, dan sudah memuat pengadaan obat harus

berdasarkan formularium. Termasuk untuk obat baru

harus telah disetujui masuk formularium baru

kemudian dilakukan pengadaan. Akan tetapi

pelaksanaannya tidak sesuai dengan kebijakan.

Berdasarkan data yang diperoleh, instalasi farmasi

RSUD Cimacan menyediakan 573 jenis obat. Obat

yang ada dalam formularium RSUD Cimacan ada

747 jenis. Dari 747 jenis obat yang ada dalam

formularium, instalasi farmasi RSUD Cimacan hanya

menyediakan 372 jenis yaitu 65% dari obat yang

disediakan sisanya 201 jenis obat yaitu 35% adalah

obat diluar formularium RSUD Cimacan. Dan hanya

50% saja jenis obat yang ada dalam formularium yang

disediakan oleh instalasi faramasi.Menurut data diatas

ada penyimpangan atau ketidaksesuaian antara obat

yang disediakan oleh instalasi farmasi dengan obat

formularium rumah sakit. Sehingga perlu disosialisasikan

kembali kebijakan pengadaan kepada instalasi farmasi

dan dokter, dan perlu adanya teguran khusus jika

instalasi farmasi mengadakan obat diluar formularium

rumah sakit.

Berdasarkan data pemakaian obat di RSUD Cimacan

tahun 2014-2016 ada sejumlah 2.008.866 pemakaian

obat formularium, 495.690 pemakaian obat dari 201

jenis obat non formularium. Walaupun pemakaian

obat non formularium hanya 19,7% dari total seluruh

pemakaian obat namun jenis obat yang digunakan ada

201 jenis yaitu 35% dari seluruh jenis obat yang

disediakan di rumah sakit. Dari 201 jenis tersebut bisa

dievaluasi kembali apakah memang golongan obat

tersebut memang benar-benar tidak tersedia dalam

formularium RSUD Cimacan atau sebaliknya banyak

obat me too yang sebenarmya sudah ada.

Menurut manajemen, kesulitan dalam penerapan

formularium di RSUD Cimacan ini adalah karena

kurangnya komitmen dokter, dokter masih belum

mematuhi komitmen awal dan pelaksana di bawah masih

belum tegas. Sedangkan menurut dokter, alasan mereka

menggunakan obat non formularium karena obat tersebut

tidak ada padanannya dalam daftar obat formularium. Atau

bila ada padanannya namun berdasarkan pengalaman

pribadi memang obat dengan merek dagang tersebut lebih

baik khasiatmya. Bentuk dan format formularium dapat

digunakan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan

suatu kepatuhan dalam penggunaannya (Quick, 1997).

Ukuran buku formularium RSUD Cimacan cukup besar

sehingga kurang praktis dan tidak mudah dimasukan

kedalam saku. Format formularium seharusnya mudah

digunakan dan mempunyai bentuk yang atraktif. Informasi

yang relevan dari dokter berkaitan dengan suatu produk

sebaiknya dapat dimuat dalam bentuk tabel atau teks.

Bahkan selama ini buku formularium hanya diberikan

kepada tiap ruangan dan tidak semua dokter memilikinya.

Ini mempersulit dokter untuk mengetahui dan mengingat

apakah obat yang diresepkannya ada dalam daftar, apalagi

jika dokter tersebut praktek di beberapa rumah sakit yang

berbeda.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

A. Penyusunan Formularium

1. Analisis ABC

Juliana Aritonang., Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017

Page 22: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 95

a. Analisa ABC Indeks Kritis bisa digunakan

dalam mengevaluasi isi formularium. Data

yang digunakan 3 tahun untuk melihat

trend obat di RSUD Cimacan. ABC

Pemakaian untuk melihat trend pemakaian

terbanyak dan obat yang termasuk slow

moving, ABC Investasi digunakan untuk

melihat obat obat mana saja yang investasinya

besar, Nilai Kritis untuk menilai tingkat

kekritisan suatu obat. ABC Indeks kritis

didapat dengan menggabungkan ketiganya

sehingga didapat kelompok obat A adalah

obat-obat dengan pemakaian dan investasi

besar serta kritis, Kelompok obat B adalah

obat obat dengan pemakaian dan investasi

sedang serta kurang kritis dibandingkan

kelompok A, Kelompok C adalah obat

dengan pemakaian dan investasi rendah

serta tidak kritis.

b. Obat yang masuk Kelompok A dan B

menjadi prioritas untuk tetap masuk kedalam

Formularium Rumah Sakit, sedangkan obat

kelompok C dievaluasi kembali obat mana

saja yang akan dimasukkan atau dikeluarkan

dari formularium.

c. Hasil analisa ABC Pemakaian, obat obat

yang tidak digunakan lagi selama 3 tahun

dikeluarkan dari Formularium Rumah

Sakit. Ada 322 jenis obat formularium yang

dipakai di rumah sakit dari 747 jenis obat

yang ada dalam daftar formularium RSUD

Cimacan. Sehingga ada 425 jenis obat

(57%) yang dikeluarkan dari formularium

RSUD Cimacan. Dari tahun 2014 -2016

hanya ada 15 jenis obat saja yang selalu

masuk kelompok A. Akan tetapi semua

obat yang masuk kelompok A dari tahun

2014-2016 menjadi prioritas untuk tetap

dimasukkan dalam Formularium

RSUD Cimacan. Obat yang termasuk

dalam formularium tidak terlalu banyak

dipakai, hal ini dapat dilihat dari banyaknya

jenis obat yang masuk dalam kelompok C.

Kelompok C tahun 2014 yaitu 171 jenis

obat, tahun 2015 yaitu 199 jenis obat dan

tahun 2016 ada 190 jenis obat, bisa juga

dikatakan bahwa obat-obat tersebut adalah

obat yang termasuk dalam kategori slow

moving.

d. Hasil analisis ABC investasi, dari tahun 2014 –

2016 ada 8 jenis obat yang selalu masuk

kelompok A. Dan Jenis obat yang masuk

dalam kelompok ini perlu diperhatikan karena

investasinya sangat besar dan menjadi prioritas

untuk tetap masuk dalam formularium rumah

sakit. Untuk obat-obat kelompok ini perlu

dilakukan pengawasan dalam pembelian dan

penggunaan agar tidak terlalu banyak investasi

dan dilakukan kontrol pencatatan dan juga

pelaporan yang ketat untuk menghindari

penumpukan stock. Ada 102 jenis obat yang

selalu masuk dalam kelompok C selama 3

tahun dari tahun 2014 – 2016. Obat-obat yang

masuk dalam kelompok ini menjadi bahan

untuk dinilai kembali apakah akan tetap

dimasukkan dalam formularium rumah sakit

atau dikeluarkan.

e. Hasil analisis indeks kritis tahun 2014 -2016

hanya 31 jenis obat formularium yang

masuk kelompok A yang sangat kritis

terhadap pelayanan pasien, dan 200 jenis

obat yang masuk kelompok B yaitu obat

yang sangat diperlukan. Dan ada 91 jenis

obat lainnya yang masuk kelompok C yang

dinilai kembali apakah akan dimasukkan

atau dikeluarkan dari formularium RSUD

Cimacan.

2. Analisis VEN

a. Hasil analisis VEN bisa digunakan untuk

mengevaluasi isi formularium. Analisis VEN

merupakan pengelompokan obat berdasarkan

kepada dampak tiap jenis obat terhadap

kesehatan.

b. Obat yang masuk ke dalam kategori V (Vital)

harus masuk dalam formularium walaupun

pemakaiannya sangat jarang. Obat yang

masuk kategori E dan N dianalisa kembali

dengan cara menggabungkannya dengan hasil

analisa ABC Indeks Kritis, sehingga pada

akhirnya didapatkan obat-obat mana saja yang

tetap ada di dalam formularium atau bisa

dikeluarkan.

c. Ada 39 jenis obat yang kategori V (vital), 245

jenis obat masuk kategori V (Esensial) dan 38

jenis obat yang termasuk dalam kategori N

(Non Essensial).

Page 23: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 96

3. Analisis ABC VEN

a. Hasil analisis ABC VEN adalah pengabungan

analisa ABC Indeks kritis dan Analisa VEN

sehingga diperoleh kelompok obat yang

termasuk kategori A (dalam analisis ABC)

adalah benar benar yang diperlukan untuk

menanggulangi penyakit terbanyak dan obat

tersebut statusnya harus E dan sebagian V (dari

analisa VEN), sebaliknya jenis obat dengan

status N harusnya masuk kategori C.

b. Kelompok obat yang bersifat vital yaitu ada 39

jenis obat (VA,VB dan VC) menjadi prioritas

untuk tetap masuk ke dalam Formularium

RSUD Cimacan. Sebaliknya obat-obat yang

masuk kelompok NC ada 8 jenis obat menjadi

prioritas untuk dikeluarkan dari formularium

RSUD Cimacan.

c. Metode gabungan ini dapat juga digunakan

untuk menetapkan prioritas pengadaan obat

dimana anggaran yang ada tidak sesuai

kebutuhan. Metode ini digunakan untuk

melakukan pengurangan obat.

d. Obat yang masuk kategori NC menjadi

prioritas pertama untuk dihilangkan, kemudian

obat kategori NB menjadi prioritas selanjutnya

dan obat yang masuk kategori NA menjadi

prioritas berikutnya.

4. Situasi Analisis Proses Penyusunan Formularium

a. Sudah ada Tim Farmasi dan Terapi yang

dibentuk sebagai tim penyusun

formularium rumah sakit namun belum

mewakili semua spesialisasi yang ada

dirumah sakit. Beban kerja dan tanggung

jawab dalam penyusunan formularium

belum terbagi dengan baik masih menjadi

beban sedikit orang saja.

b. Proses penyusunan sudah melibatkan

dokter di rumah sakit namun masih belum

optimal. Usulan kebutuhan obat berasal dari

dokter namun dokter tidak diminta kembali

masukannya/feedback setelah draft terusun.

Dikarenakan belum ada kebijakan dan

prosedur penyusunan formularium.

c. Pemilihan jenis obat yang dipakai hanya

berdasarkan pemakaian sebelumnya,

usulan obat dari dokter dan tidak pernah

melihat data morbiditas penyakit di rumah

sakit. Karena belum ada sistem pembuatan

atau perumusan pemilihan obat yang

disepakati. Sehingga masih banyak

ditemukan obat mee too dalam formularium

RSUD Cimacan.

B. Pemeliharaan Formularium

a. Mekanisme pemeliharaan formularium RSUD

Cimacan belum berjalan dengan baik, prosedur

sudah ada namun belum dijalankan.

b. Pengkajian golongan terapi obat belum optimal

baru berdasarkan golongan yang sama dan

harga.

c. Pengajuan obat baru ditujukan ke instalasi farmasi

bukan ke TFT padahal sudah ada prosedur yang

mengatur penambahan obat ke formularium

namun tidak dilaksanakan.

d. Belum ada kebijakan dan prosedur yang memuat

kriteria pemberian obat non formularium yang

disetujui.

C. Pengawasan Formularium

a. Pengadaan obat tidak sesuai dengan

formularium, peresepan tidak sesuai dengan

formularium, kebijakan yang mengatur sudah

ada, namun belum dilaksankan.

b. Ada 2.008.866 pemakaian obat formularium,

495.690 pemakaian obat dari 201 jenis obat

non formularium.

c. Komitmen dokter masih kurang dan pelaksana

di instalasi farmasi juga tidak sesuai prosedur.

d. Rumah sakit belum menemukan sistem kontrol

yang sesuai untuk mengawasi jalannya sistem

formularium.

D. Usulan Formularium RSUD Cimacan

Dari 322 obat yang diusulkan untuk masuk dalam

draft usulan revisi formularium berkurang menjadi

284 jenis obat. Dan ditambah dengan 6 jenis obat

kelompok vital menjadi 290 jenis obat yang masuk

dalam draft usulan revisi formularium. Ada 201

jenis obat non formularium yang disediakan di

instalasi farmasi dan dibutuhkan oleh dokter. Dari

201 jenis obat ini didiskusikan dengan TFT dan

dilakukan analisa ABC Indeks kritis, dan diperoleh

148 jenis obat saja yang dimasukkan kedalam

formularium rumah sakit dikarenakan 53 jenis obat

lainnya adalah obat yang golongan terapinya sudah

ada dan mee too nya sudah ada. Sehingga diperoleh

ada 438 jenis obat yang masuk dalam draft usulan

revisi formularium RSUD Cimacan.

Juliana Aritonang., Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017

Page 24: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 97

Saran

1. Jangka Pendek (0-3 Bulan)

a. TFT yang dibentuk tahun 2011 sudah tidak lagi

aktif oleh karena sebagian anggotanya sudah tidak

lagi bekerja di RSUD Cimacan. Sehingga perlu

dibentuk TFT yang baru. Pengorganisasian TFT

sebaiknya seperti organisasi TFT yang telah

direkomendasikan dalam Permenkes no 58 tahun

2014. Yang anggotanya terdiri dari dokter yang

mewakili semua spesialisasi yang ada di rumah

sakit, apoteker instalasi farmasi serta tenaga

kesehatan lainnya.

b. Membuat kebijakan dan prosedur terkait dengan

proses penyusunan formularium serta pedoman

pelaksanaannya secara sistematis dan tertulis.

c. Menyusun kebijakan dan prosedur mengenai

penggunaan obat non-formularium yang disetujui

serta kriteria obat non formularium yang disetujui

pemakaiannya.

d. Melakukan sosialisasi kembali semua kebijakan

dan prosedur yang berkaitan dengan formularium

yang sudah ada.

e. Meningkatkan peran aktif dokter mulai dari

penyusunan, pelaksanaan, pemeliharaan dan

pengawasan formularium. TFT dalam menyusun

formularium meminta feed back dari dokter

sehingga formularium yang tersusun benar benar

disepakati oleh semua pihak.

f. Memperbaiki sistem pelaporan data sehingga

memudahkan dalam evaluasi. Terutama dengan

memanfaatkan sistem IT yang ada sehingga lebih

efisien. Memasukkan daftar obat obat formularium

Rumah Sakit kedalam IT di instalasi farmasi.

g. Disarankan agar Instalasi Farmasi menjamin

ketersediaan obat-obat di dalam buku formularium

rumah sakit.

h. Disarankan instalasi farmasi turut mengingatkan

dokter jika ada dokter yang meresepkan diluar

formularium.

i. Melakukan training kepada Tim Farmasi dan

Terapi RSUD Cimacan bagaimana melakukan

evaluasi obat.

2. Jangka Panjang (3 Bulan -1 Tahun)

a. Perlu dilakukan revisi Formularium RSUD

Cimacan dengan menggunakan metode ABC

Indeks kritis dan VEN setiap satu tahun sekali.

Karena metode ini dapat digunakan dipakai untuk

mengevaluasi obat obat mana saja yang perlu

dipertahankan atau dikeluarkan dari formularium

dengan melihat pemakaian, investasi, nilai kritis dan

dampak obat terhadap kesehatan.

b. Mencantumkan semua kebijakan dan prosedur

mengenai formularium kedalam buku Formularium

RSUD Cimacan.

c. Mencetak buku formularium dalam ukuran saku,

dengan format yang menarik dan mudah dibaca.

d. Mengefektifkan sistem sosialisasi secara terus

menerus mengenai keberadaan formularium

rumah sakit. Misalnya dengan memberikan buku

formularium ukuran saku kepada masing- masing

dokter, selalu mengupdate dan mengirim list obat

formularium ke email dokter, mensosialisasikan

formularium pada rapat komite medik, dan lain -

lain.

e. Melakukan evaluasi kepatuhan pengadaan dan

peresepan formularium RSUD Cimacan setiap 3

bulan sekali dan memanfaatkan forum forum

pertemuan dokter dokter untuk menyampaikan

hasilnya sehingga hasil evaluasi diketahui oleh

dokter untuk perbaikan selanjutnya.

f. Menerapkan sistem reward dan punishment yang

jelas bagi dokter terkait penggunaan formularium.

g. Disarankan agar instalasi farmasi mengevaluasi

obat slow moving dalam persediaan, menperhatikan

persediaan obat yang investasinya besar, dan obat

yang sangat kritis terhadap pelayanan pasien

dengan mengunakan metode ABC Indeks Kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 2005, Manajemen Farmasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press ASHP Statement on the Pharmacy and Therapeutics Communitte and the Formulary

System, 27 Maret 2017, http:/www.ashp.org 2008

Atmaja Karuna, 2012, Penggunaan Analisis ABC Indeks Kritis Untuk Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di Rumah Sakit M.H. Thamrin Salemba, Tesis UI,

Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Obat.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2002.

Depkes RI Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pedoman Penyusunan Formularium Rumah Sakit. Jakarta, 2010

Febriawati Henni, 2013, Manajemen Logistik Farmasi Rumah Sakit, Goysen Publishing.

Yogyakarta Kementerian Kesehatan RI dengan KARS. Standar Akreditasi Rumah Sakit Jakarta 2011

Kementrian Kesehatan RI, keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit

Kementrian Kesehatan RI Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58

tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit Quick,J. The Selection, P, Distribution and Use of Pharmaceuticals. In Managing Drug

Supply. Second Edition. Kumarian Press Book on International Development.

1997. Savelli, Anthony,et al, 1996, Manual for the development and maintenance of hospital drug

formularies, 28 Maret 2017, http://pdf.usaid.gov/

Siregar,. Ch. J.P., Amalia, L.2004, Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan, 25-49, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

WHO, 2004, How to develop a national formulary based on the WHO model formulary, 19

Maret 2017, http://apps.who.int/medicinedocs/pdf/s6171e/

Page 25: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 98

Tabel 1. Jumlah Resep Obat yang Keluar Dari RS, Jenis Obat yang Tidak Tersedia, Dokter

Penulis Resep Obat yang Tidak Tersedia pada Instalasi Farmasi RSUD Cimacan Tahun 2014 –

2016

Sumber: Arsip pada Instalasi Farmasi RSUD Cimacan

Tabel 2. Jenis Obat yang Tidak Tersedia, Jenis Obat yang Tidak Tersedia yang Tercantum

dalam Formularium, Jenis Obat yang Tidak Tersedia yang Tidak Tercantum dalam

Formularium pada Instalasi Farmasi RSUD Cimacan Tahun 2014 – 2016

Tahun Jenis Obat yang

Tidak Tersedia

Jenis Obat yang Tidak Tersedia

yang Tercantum dalam

Formularium

Jenis Obat yang Tidak Tersedia

yang Tidak Tercantum dalam

Formularium

2014 247 46 201

2015 176 30 146

2016 189 56 133

Sumber : Arsip pada instalasi farmasi RSUD Cimacan

Tabel 3.Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Pemakaian 2014

Tabel 4. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Pemakaian 2015

Tahun Resep obat yang keluar

dari RS

Jenis obat yang tidak

tersedia

Dokter penulis

resep tersebut

2014 1607 247 16

2015 1446 176 15

2016 3422 189 16

Kelompok Jumlah Item

Obat %

Jumlah Pemakaian

Obat %

A 28 11,7 362.009 70,3

B 39 16,3 106.278 20,6

C 171 71,8 46.952 9,1

Total 238 515.239

Kelompok Jumlah Item

Obat %

Jumlah Pemakaian

Obat %

A 36 12,7 407.418 70,6

B 47 16,7 116.116 20,2

C 199 70,6 53.182 9,2

Total 282 576.710

Juliana Aritonang., Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017

Page 26: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 99

Tabel 5. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Pemakaian 2016

Tabel 6. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Investasi 2014

Kelompok Jumlah Jenis Obat % Nilai Investasi Obat %

A 18 7,6 Rp. 579.851.180 70,1

B 42 17,6 Rp. 171.759.291 20,7

C 178 74,8 Rp. 76.102.376 9,2

Total 238 Rp. 827.712.847

Tabel 7. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Investasi 2015

Tabel 8. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Investasi 2016

Kelompok Jumlah Jenis Obat % Nilai Investasi Obat %

A 19 7,1 Rp. 1.634.412.660 70,5

B 45 16,9 Rp. 471.352.435 20,3

C 203 76 Rp. 212.107.746 9,2

Total 267 Rp. 2.317.872.841

Tabel 9. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Indeks Kritis Tahun

2014-2016

Kelompok Jumlah Jenis

Obat % Nilai Investasi Obat %

A 31 9,6 Rp. 2.565.184.814 60,2

B 200 62,1 Rp. 1.547.653.488 36,3

C 91 28,3 Rp. 148.212924 3,5

322 Rp. 4.261.051.226

Kelompok Jumlah Item

Obat %

Jumlah Pemakaian

Obat %

A 32 12 649.567 70,8

B 45 16,8 182.926 19,9

C 190 71,2 84.424 9,3

Total 267 916.917

Kelompok Jumlah Jenis Obat % Nilai Investasi Obat %

A 25 8,9 Rp. 787.394.854 70,6

B 57 20,2 Rp. 226.166.467 20,3

C 200 70,9 Rp. 101.904.217 9,1

Total 282 Rp. 1.115.465.538

Page 27: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 3

Jurnal ARSI/Februari 2017 100

Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur Pelayanan

Penyakit Sepsis Di Rumah Sakit Tebet 2015

Governance Analysis on Patient Safety Goals Pathway in Sepsis Disease’s at Tebet

Hospital 2015

Rianayanti Asmira Rasam

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Dalam konteks pengobatan modern, kompleksitas sistem perumahsakitan dianggap sebagai faktor utama penyebab

insiden kesalahan medis. Dengan paradigma ”pelayanan berfokus pasien”, hak pasien mendapatkan pelayanan

kesehatan yang aman telah menjadi indikator dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 (SARS 2012) di

Indonesia, melalui penerapan 6 Sasaran Keselamatan Pasien (SKP). Adapun salah-satu jenis penyakit dengan

mortalitas dan morbiditas yang tinggi adalah Sepsis. Pengunaan modifikasi klinis Internasional Classification of

Desease (ICD) berbasis revisi ke-9, telah menimbulkan kerancuan terminologi dan meningkatkan mortalitas

sepsis. Secara global, mortalitas sepsis mencapai 8 juta/tahun, dengan pertumbuhan di negara berkembang berkisar

8 – 13% per-tahun. Untuk memastikan efektifitas Keselamatan Pasien pada alur pelayanan penyakit sepsis,

dilakukan penelitian terhadap imlementasi Tatakelola 6 Sasaran Keselatanan Pasien. Melalui kerangka studi kasus,

dengan pendekatan kualitatif diskriptik-analitik, dilaksanakan penelitian di Rumah Sakit Tebet Jakarta pada bulan

April-Mei 2015. Hasil penelitian menunjukkan, efektifitas Tatakelola 6 SKP mencapai 96,283%, dengan tingkat

kesalahan dibawah 5%. Penelitian ini berhasil membuktikan implementasi Tatakelola 6 SKP pada alur pelayanan

penyakit sepsis. Disimpulkan bahwa Tatakelola 6 Sasaran Keselamatan Pasien sangat efektif mengurangi resiko

KP.

Kata kunci: akreditasi, rumah sakit, ICD, keselamatan pasien, sepsis.

ABSTRACT

In the context of modern medicine, complexity hospital’s management is regarded as the primary cause of medical

error (ME). The new healthcare paradigm of “Patient-Focused Care”, patient’s right to receive safe healthcare

treatment is considered as main indicator in Standar Akreditasi Rumah Sakit of 2012 (SARS 2012) in Indonesia,

through the implementation of 6 Patient Safety (KP) standards. In the category of emergency medical treatment,

Sepsis is considered as a disease with high mortality and morbidity rate. The use of The International

Classification of Diseases, based on Ninth Revision (ICD-9), have caused terminological confusion and contribute

to the increase of sepsis mortality rate. Globally, sepsis’ mortality rate reaches 8 million/year or 24.000/day, with

growth rate of 8-13% per-year. To ensure the effectiveness of KP standard implementation in sepsis medical

treatment, a research on the implementation of 6 Targets of KP in RS Tebet is conducted. Using case study,

qualitative and descriptive analysis, this research is performed in the course of April-May 2015. The research

shows that effectiveness 6 Targets of KP implementation reaches 96,283%, with 5% margin of error. This research

proves that implementation of 6 Targets of KP in healthcare treatment procedure for sepsis cases can reduce the

risk of ME.

Keywords: accreditation, hospital, ICD, patient safety, sepsis.

Page 28: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 101

PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 1999, melalui publikasi “To Err Is

Human: Building A Safer Health System” IOM

melaporkan 44.000 – 99.000/tahun pasien meninggal

akibat medical error (ME), dan lebih 1 juta pasien cidera

setiap tahun. Laporan IOM (1999) telah menempatkan

insiden ME sebagai 8 besar penyebab kematian di

Amerika Serikat (AS), melebihi kecelakaan lalu-lintas,

kanker payudara, dan penyakit AIDS.

Publikasi “To Err Is Human: Building A Safer Health

System” telah mendorong pengungkapan ME diberbagai

negara. Insiden terkait ME dilaporkan terjadi dimana-

mana (Weingert et al, 2000) secara konsisten (WHO

Eropa, 2010), bukan ciri khas AS (Aiken, 2001). ME

adalah fenomena gunung (Battles et al,1998) yang

dipandang sebagai epidemi oleh banyak peneliti

(Weingart et al, 2000; James, 2013), tidak sebatas kasus

tuntutan malpraktik tetapi epidemi malpraktis medis

(Baker, 2005 dalam Alsaadi, 2013).

Dengan maraknya pengungkapan insiden ME, WHO

(2005) kemudian membentuk World Alliance for Patient

Safety (WAPS) untuk mendorong KP menjadi prioritas

utama dalam pelayanan kesehatan. Meskipun tidak ada

pengobatan yang bebas risiko (Vincent, 2010), karena

risiko tidak dapat ditekan menjadi nol (Nolan, 2000),

namun KP harus dikenali sebagai dimensi yang pertama

dari mutu (WHO, 2005).

Hal tersebut tercermin dalam mukadimah Collaborating

Centre for Patient Safety Solutions (CCPSS) (WHO &

JCI, 2007), bahwa seluruh pasien ber-Hak mendapatkan

pelayanan kesehatan yang aman dan efektif pada setiap

waktu, sebagai pernyataan yang selaras dengan maksud

pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia (UN,

1948) bahwa setiap orang ber-Hak atas pelayanan

kesehatan yang layak dan aman.

Kompleksitas sistem perumahsakitan ditengarai merupakan

penyebab utama ME. Sistem perumahsakitan yang

diterapkan dinilai telah gagal menyediakan standarisasi

KP yang tepat. Diperlukan penataan ulang yang lebih baik

(IOM, 1999) dengan meningkatkan KP di seluruh

tingkatan sistem dan regulasi pelayanan kesehatan

(Vincent, 2010). Keberhasilan suatu intervensi mutu

pelayanan dan KP tidak terlepas dari regulasi yang

responsif (Berwick, 2002, dalam Utarini, 2011).

Penguatan aspek transparansi dan akuntabilitas dalam

pelayanan kesehatan perlu segera dikedepankan (IOM,

1999; Wachter, 2004; James, 2013).

Di Indonesia, isu KP mendapat perhatian melalui

kehadiran Komite Keselamatan Pasien RS (KKP-RS)

tahun 2005, diikuti pencanangan Gerakan Keselamatan

Pasien dan diterbitkannya Panduan Nasional Keselamatan

Pasien RS (Depkes, 2006, 2008). Pentingnya KP juga

termuat dalam Undang Undang Rumah Sakit No. 40

tahun 2009 (UURS 2009), disertai adanya Sistem

Pelaporan Sukarela Insiden KTD di RS melalui Peraturan

Menteri Kesehatan No. 1691 Tahun 2011 tentang

Keselamatan Pasien Rumah Sakit (PMK 1691/2011).

Namun, praktek KP masih berlangsung sporadis, dengan

protokol bervariasi (Utarini, 2011).

Menurut penelitian Utarini (2000) dalam Utarini (2011)

pada 15 RS dengan data 4.500 Rekam Medik, angka

Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) pada kategori

diagnostic error berkisar 8,0% – 98,2 %, dan medication

error antara 4,1% – 91,6%. Sedangkan terhadap laporan

145 insiden KP yang disebutkan Komite Keselamatan

Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) (2007) dalam Mulyana

(2013) terdiri dari 46% KTD, 48% KNC dan 6% lain-

lain. Wilayah DKI Jakarta memiliki proporsi KTD

tertinggi.

Sementara itu, perkembangan rumah sakit di Indonesia

mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun

2009 terdapat 1.523 RS, dengan 653 RS terakreditasi

(42,88%) (DIRJEN BUK, 2012). Untuk tahun 2014, per-

29 Januari 2015, data situs Sistem Informasi Rumah Sakit

(SIRS online) Depkes RI mencatat 2.419 RS, dan 1.309

RS terakreditasi (54%). Sedangkan target RS terakreditasi

yang ditetapkan Depkes RI tahun 2014 adalah 90%

(KARS, TT).

Akreditasi adalah komponen penting dari KP (Wachter,

2004; Hinchcliff et.al, 2012), sebagai mekanisme eksternal

yang paling umum untuk mengukur peningkatan kualitas

pelayanan kesehatan (Greenfield & Braithwaite, 2009). Permodelan pada sistem akreditasi RS sering diadopsi

berbagai organisasi kesehatan untuk tujuan perbaikan

layanan atau reformasi kesehatan (Shaw et.al 2013).

Demikian pula di Indonesia. Pada tahun 2012, Depkes RI

mengadopsi Internasional Patient Safety Goals (IPSGs)

dari lembaga akreditasi internasional Joint Commission

Internasional (JCI), yang diterjemahkan menjadi 6

Sasaran KP (SKP) dalam Standar Akreditasi RS versi

2012 (SARS 2012). Sebelum ditetapkannya SARS

Page 29: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 102

2012, standar mutu pelayanan RS di Indonesia dapat

berbeda-beda, sesuai standar yang diakreditasi. Mulai

dari standar 5 pelayanan, 12 pelayanan, dan 16

pelayanan. Menurut DIRJEN BUK (2012), melalui

SARS 2012, Indonesia memasuki paradigma baru

”Patient-Focused Care” dengan menjadikan KP

sebagai indikator utama pelayanan kesehatan.

RS Tebet adalah RS swasta di wilayah Jakarta Selatan

yang saat ini sedang dalam proses persiapan mengikuti

SARS 2012. Adapun jenis penyakit dengan angka

kematian yang cukup banyak ditemui dalam

pelayananan kegawatdaruratan RS Tebet adalah Sepsis.

Pada saat ini penyakit sepsis merupakan salah-satu

penyebab utama mortalitas dan morbiditas dalam

pengobatan modern (Angus & van der Poll, 2013).

Sejak tahun 2000, Sepsis berkembang menjadi epidemi,

serupa Polytrauma, AMI dan Stroke (Dellinger et al,

2012). Perbandingan konsensus internasional penyakit,

populasi Sepsis 300 per-100.000, Stroke 223 per-

100.000, dan AMI 208 per-100.000 (Ricard, 2013).

Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan Sepsis

meningkat 2x lipat, menjadi 20 – 30 juta/tahun (WSD,

2014). Secara global, mortalitas Sepsis mencapai 8 juta

per-tahun (Reinhart et al, 2013). Di negara berkembang,

berkisar 8 – 13% per-tahun (Hall et al, 2011, dalam

Reinhart et al, 2013).

Tahun 2008, Sepsis ditetapkan WHO sebagai Global

Burden of Diseases (GBD), untuk wanita dan anak-

anak, hasil deklarasi bersama dengan PBB dalam World

Health Assembly 61.16 (WHA 61.16). Pada tahun 2012,

bersamaan dibentuknya Global Sepsis Alliance (GSA),

WHO menyetujui kampanye tahunan Word Sepsis Day

(WSD) setiap tanggal 13 September. WSD bertujuan

memperkuat aktifitas Surviving Sepsis Campaign (SSC)

dalam kampanye edukasi pengenalan penyakit sepsis dan

mengurangi mortalitas. Untuk mendukung SSC, WHO–

WAPS merekomendasikan penggunaan ICD-10 WHO.

Faktor utama mortalitas sepsis adalah kerancuan

terminologi (Angus & van der Poll, 2013, WSD, 2014),

akibat keterterbatasan pengetahuan awam dan

komunitas medis non-spesialis (Lever & Mackenzie,

2007), serta politisi tingkat nasional (WSD, 2014). Sepsis

dapat rancu dengan penyakit lain, dan seringkali

terlambat terdiagnosa (Reinhart et al, 2013). Peluang

kesalahan diagnosa Sepsis mencapai 85% (Poeze et al,

2004).

Sepsis dan Septikemia sering disamakan (Kemenkes RI,

2012), meskipun keduanya berbeda (Pinson, 2011).

Sepsis berbasis International Classification of Desease

(ICD) revisi ke-10 (ICD-10) namun sering dipertukarkan

dengan Septikemia yang berbasis ICD-9 (Every, 2009),

seperti modifikasi klinis ICD-9 (ICD-9-CM). Modifikasi

pengkodean septikemia terhadap Sepsis pada ICD-

9CM tidak akurat sesuai tabulasi ICD-10 (Weber,

Stefanie & Steven, 2009). Penggunaan ICD – 9 - CM

meningkatkan 2X mortalitas sepsis (Gaieski, et.al, 2013).

Dalam topik Why ICD-10 Matters, situs resmi American

Health Information Management Association (AHIMA),

menjelaskan terdapat perbedaan signifikan antara

prosedur ICD-10 dan ICD-9-CM. Sistem klasifikasi dan

terminologi penyakit ICD-9-CM tidak sesuai kemajuan

teknologi dan praktik medis terkini. ICD-9-CM yang

digunakan sejak tahun 1979 diyakini telah ketinggalan

jaman. Banyak kategori kedokteran modern tidak

terpenuhi. Situs resmi Centre for Disease Control and

Prevention (CDC) dan American Medical Assosiastion

(AMA) menjelaskan bahwa ICD-9-CM akan

digantikan ICD-10 mulai 1 Oktober 2015 di AS.

Di Indonesia terdapat 2 regulasi penggunaan ICD-10,

yaitu Surat Keputusan (SK) Direktorat Jenderal

Pelayanan Medik No. HK.00.05.1.4.00744 Tentang

Penggunaan ICD-10 di RS, tertanggal 19 Februari 1996,

dan SK Menteri Kesehatan RI No. 50/ MENKES

/SK/I/1998 Tentang Pemberlakuan Klasifikasi Statistik

Internasional mengenai Penyakit Revisi Ke-10,

tertanggal 13 Januari 1998. Namun, selain itu, terdapat

regulasi penggunaan ICD-9-CM yaitu Peraturan

Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014 Tentang

Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups

(INA-CBGs) (PMK 27/2014).

Regulasi PMK 27/2014 tersebut merupakan langkah

mundur yang berkontribusi pada praktik pelayanan

medis secara nasional, termasuk penyakit Sepsis. Hal

tersebut merupakan masalah yang perlu dikaji sesuai

dengan paradigma KP SARS 2012 sebagai dimensi

utama dalam pelayanan kesehatan RS di Indonesia.

Karenanya, dilakukan penelitian ilmiah berbasis bukti

(evident based practice) berdasarkan literatur terkini,

untuk memperoleh kepastian tindakan pada alur

pelayanan medis penyakit Sepsis dan hasil keluaran

(outcome) yang lebih baik, aman, serta mengedepankan

KP.

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di

Rumah Sakit Tebel 2015

Page 30: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 103

TINJAUAN PUSTAKA

“First Do No Harm” sebagai prinsip dasar praktik

medis (WHO Europe, 2010) telah mengisyaratkan

potensi “error” dalam pelayanan kesehatan yang dapat

merugikan pasien. Menurut Nightingale (1863) dalam

Vincent (2010), dalam melakukan tindakan terhadap

suatu penyakit yang diderita pasien, pelayanan RS

“semestinya” tidak merugikan pasien.

Namun demikian, selama ini sistem pelayanan kesehatan

lebih terfokus pada manajemen RS daripada masalah

KP (Dirjen BUK, 2012). Demikian pula fenomena

epidemi ME. Walaupun teori cukup banyak ditemukan

pada literatur medis, namun sedikit yang dipergunakan

untuk memperbaiki fenomena “error” (Michie &

Abraham, 2004, dalam Grol et al, 2007). Banyak hasil

penelitian sulit untuk digeneralisasikan pada komunitas

RS, akibat perbedaan metode (Weingart et al, 2000;

Runciman et.al, 2010). Sedangkan kompleksitas pada

sistem RS sangat disadari senantiasa menghadirkan

potensi error (Leape at al, 1998, Depkes RI 2006).

Salah-satu penyebab utama ME adalah Diagnostik

Error (DE) (Alsaadi, 2013). DE meliputi luput

terdiagnosa (missed), terlambat/penundaan diagnosa

(delayed), dan salah diagnosa (wrong) (Singh, 2013).

Dalam Singh (2013), DE sebagai salah-satu faktor

penting insiden ME disepakati bersama oleh Gandi et al

(2006), Singh et al (2011), Lorincz et al (2013), dan

Schiff et al (2013), sehingga perlu mendapat apresiasi

lebih luas dalam gerakan KP.

Menurut Runciman et al (2010), dari 48 naskah difinisi

KP yang dikaji Methods & Measures Working Group of

the World Health Organization World Alliance for

Patient Safety, KP telah didifinisikan sebagai

“pengurangan resiko kerugian yang tidak seharusnya

terjadi, terkait pelayanan kesehatan minimum yang

dapat diterima”. Sedangkan difinisi yang diajukan (IOM,

1999) “Freedom from injury” (or No Harm), atau bebas

cedera/merugikan pasien menjadi alternatif sederhana

difinisi KP. Dengan adanya kepastian difinisi KP, maka

hal ini sangat membantu dalam proses standarisasi

pelayanan kesehatan.

Pasca laporan IOM (1999) yang menjadi momentum

KP modern, standarisasi sistem yang aman dalam

regulasi pelayanan kesehatan menjadi sangat penting,

termasuk akreditasi RS, mengingat para dokter

umumnya sangat individualistik dan resisten terhadap

standarisasi (Watcher, 2004). Standar pada dasarnya

dipahami sebagai harapan terhadap kinerja, struktur, dan

proses di RS dalam memberikan suatu pelayanan

kesehatan yang bermutu dan aman.

JCI adalah lembaga ekternal akreditasi RS yang menjadi

standar global (Shaw, 2013) dan mengedepankan KP

sebagai fokus utama dari kualitas pelayanan (JCI, 2014).

JCI adalah cabang internasional dari The Joint

Commision (TJC) yang merupakan lembaga akreditasi

di AS. Sejak tahun 2006, JCI menerapkan IPSG sebagai

konsep global standar akreditasi RS (ditampilkan pada tabel

1).

IPSGs yang diadopsi Indonesia menjadi 6 SKP dalam

SARS 2012 merupakan implementasi gagasan

pelayanan berfokus pasien (patient-focused care),

bertujuan mendorong peningkatan pelayanan pada area-

area berpotensi tinggi insiden KP di RS. SARS 2012

adalah regulasi akreditasi yang wajib diikuti (mandatory)

minimal 3 tahun sekali. Demikian halnya dengan RS

Tebet, sebagai RS swasta di DKI Jakarta. Setelah

terakreditasi 16 jenis pelayanan, saat ini RS Tebet sedang

dalam persiapan mengikuti SARS 2012. Dalam

pelayanan kesehatan RS Tebet tahun 2014, penyakit

Sepsis menempati posisi ke-3 dalam hal mortalitas

kegawatdaruratan.

Sepsis adalah salah-satu penyakit tertua yang paling sulit

dipahami dalam sindrom kedokteran (Angus & van der

Poll, 2013), namun sangat sedikit diketahui (Lever &

Mackenzie, 2007; Reinhart, 2013). Pada abad 20, Sepsis

merupakan penyebab mortalitas dalam pengobatan

modern penyakit kritis (Angus et.al, 2001, dalam

Pierrakos & Vincent, 2010), sehingga disebut “bencana

publik tersembunyi” (Angus et.al, 2010, dalam Reinhart

et al, 2013).

Pathophysiology penyakit Sepsis sangat kompleks,

ditandai jumlah penelitian biomarker yang mencapai

3.370 studi, melebihi penyakit lainnya (Pierrakos

&Vincent, 2010). Tidak terdapat faktor kunci sebagai

mediator penyebab Sepsis untuk menjadi acuan

perawatan (Rittirsch, Flierl, Ward, 2008). Karenanya,

tidak ada “golden standar” atau “golden rule” yang

dapat dikalibrasi dalam diagnosis sepsis (Levy et al,

2003; Pierrakos &Vincent, 2010). Namun demikian,

sejumlah penelitian terkini memperlihatkan bahwa

terapi awal pengenalan dini sejak 1 jam pertama, dalam

Page 31: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 104

fase 3 – 6 jam pertama, dapat mengurangi mortalitas

pasien sepsis (Dellinger et. al, 2008, dalam Reinhart,

2013; Ferrer et al, 2014). Hal tersebut dibuktikan dalam

pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) (Nguyen &

Smith, 2007) maupun Intensive Care Unit (ICU)

(Vincent et al, 2006 dalam Vincent, 2009).

Pengenalan yang benar dan sedini mungkin terhadap

sepsis sangat penting karena sepsis merupakan jenis

penyakit bersifat rangkaian (part of a continuum)

(Dellinger et al, 2012), sesuai International Sepsis

Definitions Conference 2001, dengan difinisi (Levy et al,

2003);

Infeksi, yaitu proses patologis yang biasanya

disebabkan invasi jaringan steril atau cairan, atau

rongga tubuh, dengan patogen atau potensi

patogenik mikroorganisme.

Sepsis, yaitu sindrom klinis akibat infeksi dan

respon inflamasi sistemik (SIRS).

Severe sepsis, yaitu komplikasi pada sepsis akibat

disfungsi organ.

Septic shock, yaitu severe sepsis disertai kegagalan

respirasi akut, tidak jelas sebabnya.

Pasca International Sepsis Definitions Conference 2001,

dibentuk Surviving Sepsis Campaign (SSC) untuk

memperbaiki pengenalan dini Sepsis (Levy, 2003),

melalui panduan tatakelola sepsis (management guidline

budled) sebagai rekomendasi praktik terbaik

meningkatkan efisiensi dan efektifitas terapi medis

Sepsis (Dellinger et al, 2012). Konsep Early Goal Direct

Theraphy (EGDT) dari River at al (2001) (Nguyen &

Smith, 2007) kemudian diadopsi menjadi Sepsis

Screening Tools (SST) untuk membantu terapi dini

Sepsis (Daniels, 2010) (ditampilkan pada tabel 2).

Mortalitas sepsis meningkat akibat kerancuan terminologi.

Sepsis yang diklasifikasikan sebagai penyakit pada ICD-

10, sering dipertukarkan dengan Septikemia yang

berbasis ICD-9. Pada ICD-9-CM, Sepsis diklasifikasi

sebagai Syndrom (AHA, 2012), namun tidak terdapat

diskripsi kode diagnostik Sepsis (Gaieski, et.al, 2013).

Diagnosis Sepsis dalam ICD-9-CM adalah hasil

kombinasi kode beberapa penyakit, dan mengacu pada

Septikemia dengan kode numeric 038.9. Unspecified

septicemia. Sedangkan dalam ICD-10 (WHO, 2010,

2015), Sepsis adalah penyakit dengan pengkodean

alphabetik-numerik tersendiri sebagai primary or

principal or main diagnosis, yaitu A.41.9 Sepsis,

unspecified, yang dapat termasuk Septikemia.

Septikemia identik dengan istilah “keracunan darah”

yang dapat menyebabkan Sepsis (WSD, 2014). Istilah Septikemia telah dihindari dalam praktek medis modern,

karena kultur darah – meskipun dibutuhkan – bukan

kriteria diagnostik sepsis (Pinson, 2011). Berbagai

temuan laboratorium, bakteri dalam aliran darah lebih

positif pada septikemia (Every, 2009). Uji faktor nuklir

juga sulit membuktikan pengaruh septikemia pada

sepsis (Bernuth et.al, 2005).

ICD adalah panduan internasional proses diagnosis dan

prosedur tindakan dari klasifikasi penyakit, yang direvisi

secara periodik oleh WHO. Untuk mendukung data

statistik kesehatan, relasi permasalahan penyakit dan

kesehatan (Diseases and other related health problems)

mulai diklasifikasi dalam ICD-10 sebagai International

Family Classification (IFC) (data ditampilkan pada tabel

3).

ICD-9 dipublikasi WHO tahun 1978 (WHO, 2010).

Kemudian modifikasi klinis (Clinical Modification)

sistem pengkodean ICD-9 mulai diperkenalkan AS

pada tahun 1999, disebut ICD-9-CM, dengan

pengembangan prosedur pengkodean dan ekspansi

kode diagnosis (AHA, 2012), yang direvisi setiap tahun

untuk menyesuaikan dengan ICD-10. Namun demikan,

revisi periodik ICD-9-CM tidak memadai sebagai

landasan utama klasifikasi penyakit, akibat rendahnya

akurasi data kondisi medis pasien dan prosedur

perawatan pelayanan (Brook, Brook, TT, h.8), dan

menyebabkan AS kesulitan melakukan perbandingan data

internasional mortalitas penyakit yang telah berbasis

pada ICD-10 (CDC). ICD-10 memudahkan kepastian

diagnosis dan prosedur tindakan, dengan akurasi tinggi

dan fleksibel (Brook, TT, h.8). Perbedaan sistem

pengkodean ICD-9-CM dan ICD-10 ditampilkan pada

tabel 3.

Clinical Patway (CP) atau alur klinis adalah konsep

perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap

langkah pelayanan medik, asuhan keperawatan, dan

pelayanan kesehatan lain berbasis bukti, dengan hasil

yang dapat diukur selama waktu tertentu di RS (Rosch et

al, 2005; Feyner et al, 2005; Gardner et al, 1997; dalam

Rivany, 2009). Namun menurut Currie & Harvey

(1997) dalam De Blesser et al. (2006), konsep global CP

di AS digunakan sebagai kerangka kerja menyeimbangkan

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di

Rumah Sakit Tebel 2015

Page 32: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 105

biaya dan kualitas (cost of quality), dan di Inggris sebagai

kesinambungan seluruh pengaturan perawatan. Dalam

penerapan CP, menurut Rivany (2009) penggunaan

ICD-10 tidak dapat “ditawar” terkait dengan klasifikasi

penyakit.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan

diskriptik-analitik kualitatif, memakai data primer dan data

sekunder, untuk mendapatkan gambaran penerapan 6

SKP pada alur pelayanan penyakit sepsis di RS Tebet.

yang dilaksanakan bulan April sampai Mei 2015.

Data primer diperoleh dari kuisioner tertutup, sebagai

indikator utama penerapan 6 SKP di RS Tebet, dan hal-

hal yang dianggap belum terjawab atau sebagai

penjelasan tambahan dari data sekunder. Pengambilan

data kuisioner dari 18 jumlah informan berbentuk

purposive sampling. Mulai pimpinan manajemen

tingkat direksi, manajer, kepala unit, dokter, perawat, staf

pendaftaran, sehingga terdapat keseimbangan

representasi antara manajemen selaku penentu kebijakan

dan pelaksana klinis di lapangan. Masa kerja ditetapkan

minimal 2 tahun sebagai indikasi bahwa informan telah

berdaptasi secara baik dengan lingkungan kerja di RS

Tebet.

Untuk data sekunder, digunakan Rekam Medis (RM)

seluruh pasien Sepsis selama penelitian dilakukan.

Karenanya tidak dilakukan perhitungan sampel. Jenis-

jenis tindakan pelayanan dalam RM, dianalisa dan

disesuaikan dengan pengelompokan setiap variable 6

SKP. Selain itu, dilakukan observasi untuk mendapatkan

gambaran aktifitas pelayanan secara langsung.

Pada pengolahan data, pendapat-pendapat kuisioner

dikelompokkan dalam klasifikasi setiap variabel 6 SKP,

dan dilakukan koding berbentuk tabel frekuensi berupa

angka persentase (%);

1. Efektif (E), untuk jawaban Ya (Y)

2. Kurang Efektif (KE), untuk jawaban Netral atau

Ragu (N)

3. Tidak Efektif (TE), untuk jawaban Tidak (T)

4. Tidak Menjawab (TM), untuk tanpa jawaban atau

kolom jawaban tidak terisi.

Alat ukur yang digunakan adalah Skor Elemen Penilaian

(EP) Survei Akreditasi RS (KARS, 2014), sebagai

pendekatan jika hasilnya berubah-ubah akan tidak cukup

berarti,yaitu:

Tercapai Penuh (TP) = 10 ( 80% – 100% )

Tercapai Sebagian (TS) = 5 ( 20% – 79% )

Tidak Tercapai (TT) = 0 ( < 19% )

Tidak Dapat Diterapkan (TDD) (tidak digunakan,

dan ditiadakan dalam penelitian ini).

Prinsip Skor EP Survei Akreditasi RS (KARS, 2014)

yang diadopsi dari JCI, adalah konsisten dan relevansi

kondisi dengan pelayanan pasien, baik ditingkat

pimpinan manajemen maupun staf operasional.

Selanjutnya dilakukan uji hipotesis sederhana untuk

memastikan korelasi parsial antara persepsi informan

dan jumlah realisasi utilisasi 6 SKP. Derajat kesalahan

ditetapkan 5% atau tingkat kepercayaan 95%. Jika

diperoleh derajad signifikan lebih besar dari 95%, maka

dipastikan terdapat hubungan yang kuat antara hasil

kuisioner dengan jumlah utilisasi dari 6 SKP yang

diterapkan pada alur pelayanan penyakit Sepsis di RS

Tebet.

Untuk memenuhi etika penelitian, peneliti mengajukan

surat permohonan pengambilan data kepada Direktur

Utama RS. Tebet, dilengkapi dengan informed consent

untuk memberikan jaminan bahwa seluruh data

kuisioner tidak terkait dengan penilaian kerja, serta

disimpan secara rahasia dan hanya bisa diakses oleh

peneliti untuk kepentingan ilmiah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil penelitian ditampilkan pada tabel 5 sampai

dengan 7 serta gambar grafik 1 sampai dengan 3.

Berdasarkan data rekam medis pasien, LOS pelayanan

atau perawatan pasien Sepsis adalah 10 hari. Proses

diagnosis telah berbasis kode ICD-10, dengan diagnosis

klasifikasi Sepsis. Pemeriksaan MO kultur dilakukan

sebagai prosedur rutin penegakkan diagnosis sepsis.

Penegakan diagnosis Sepsis belum menggunakan

Screening Tool, sehingga kurang efisiensi dan efektifitas,

serta dapat meningkatkan potensi keterlambatan

diagnosis dan peluang insiden KP.

Dalam hal tingkat transformasi KP, hasil masih relatif

sangat rendah (1:1,5713). Kontribusi dari jumlah 38%

yang mengikuti pelatihan KP terhadap tingkat pemahaman

KP seluruh informan hanya mencapai 61.11%. Jika

dikonversi, maka pemahaman KP dari 3 orang diperoleh

Page 33: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 106

atas usaha 2 orang lainnya. Rerata, efektifitas pemahaman

SKP adalah 69.015%, tidak signifikan mengubah hasil

total skor 6 SKP yaitu 5 (TS) dalam penelitian ini.

Nilai Skor 10 (TP) dicapai pada penerapan SKP 4 (Tepat

lokasi-prosedur-operasi) dan SKP 6 (Mengurangi resiko

pasien jatuh). Sedangkan SKP 1 (Ketepatan Identifikasi

Pasien), SKP 2 (Meningkatkan efektifitas komunikasi),

SKP 3 (Meningkatkan kewaspadaan obat yang perlu

diwaspadai), dan SKP 5 (Mengurangi risiko infeksi),

keempatnya memperoleh skor 5 (TS).

Penelitian ini berhasil mendapatkan derajat signifikan

96,283%, lebih tinggi dari tingkat kepercayaan 95%

yang ditetapkan, atau dengan tingkat kesalahan 5%,

terhadap korelasi perapanan 6 SKP dengan persepsi

kuisioner mengenai 6 SKP. Secara keseluruhan,

penerapan tatakelola dari ke-6 SKP memperoleh skor

5(TS). Total jumlah penerapanan utilisasi 6 SKP yang

dicapai adalah 307 aktifitas (66,45%) dari total utilisasi

tatakelola 6 SKP yang berjumlah 462 aktifitas (100%).

Jika standar minimal Skor EP Survey dikonversi, yaitu

370 aktifitas, maka selisih antara capaian 6 SKP dengan

EP Survey adalah 63 aktifitas (17,02%).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam

persiapan mengikuti SARS 2012, RS Tebet belum

berdaptasi dengan konsep 6 SKP yang menjadi bagian

penilaian SARS 2012. Pola pelayanan masih lebih

berorientasi manajemen, dan cenderung bersifat atas-

bawah, sehingga mengurangi tingkat partisipasi aktif staf

operasional atau medis dalam penerapan SKP,

khususnya pada SKP 1, SKP 2, SKP 3, dan SKP 5.

Prosedur identifikasi pasien masih beragam, dan belum

menjadikan gelang identitas pasien sebagai standar

identifikasi. Konfirmasi instruksi lisan dan telephone dalam

kaitannya dengan perawatan medis, kurang optimal,

ditandai dengan minimnya tanda-tangan pemberi atau

penerima pesan/instruksi pada lembaran instruksi.

Tindakan pencegahan risiko infeksi lebih terfokus pada

mekanisme “cuci-tangan” tetapi tidak konsisten.

Penggunaan alat-alat disposal belum dimaksimalkan, dan

kebijakan pengendalian risiko infeksi tidak tersosialisasi

baik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penelitian berhasil memastikan tatakelola SKP pada

alur pelayanan penyakit sepsis di RS Tebet, dengan

derajat signifikan 96,283%, lebih tinggi dari tingkat

kepercayaan 95%.

2. Penelitian ini berhasil membuktikan 6 SKP sebagai

tatakelola pelayanan penyakit sepsis.

1) transformasi KP lebih praktis dan terukur

2) terapi medis penyakit Sepsis lebih efektif

3) utilisasi 6 SKP memiliki nilai investasi

3. Utilisasi 6 SKP dapat mendiskripsikan jumlah

aktifitas alur pelayanan penyakit sepsis.

4. Diagnosa dan prosedur tindakan penyakit sepsis

dengan ICD-10 lebih akurat dan aman.

5. Belum diterapkannya ST pada penyakit Sepsis,

menjadikan pelayanan kurang efektif dan efisien,

yang berpotensi menyebabkan keterlambatan terapi

dan meningkatkan risiko KP.

6. Pelayanan RS Tebet masih berfokus manajemen,

dan belum berorientasi pada SKP.

Saran

1. Kebijakan

1) Menjadikan 6 SKP sebagai tatakelola sepsis,

dan atau diterapkan pada penyakit lain.

2) RS Tebet perlu menerapkan SOP SKP di area-

area pelayanan yang berpotensi risiko tinggi

insiden KP, seperti IGD, IRNA, OK, ICU,

Farmasi, Laboratorium, Radiologi.

3) Penelitian ini dapat dijadikan dasar acuan

dalam pembuatan COT (Cost Of Treatment).

4) Nilai investasi SKP belum diperhitungkan

sebagai insentif pelayanan kesehatan.

2. Operasional

1) Mengoptimalisasikan fungsi-tugas KKP-RS

sebagai instrumen KP RS Tebet.

Membentuk keorganisasian KKP-RS yang

efektif, efisien, independen atau mandiri, yang

mengedepankan azas transparansi dan juga

akuntabilitas

Memperjelas kewenangan KKP-

RS menerima laporan insiden, menganalisa,

dan memberikan solusi sebagai kebijakan RS

berdasarkan konsep “Error Tolerance”.

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di Rumah Sakit Tebel 2015

Page 34: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 107

Mempertegas kewenangan KKP-

RS untuk melakukan obversasi dan penilaian.

Menyelenggarakan pelatihan dan

workshop KP secara periodik

2) Dalam persiapan SARS 2012, RS Tebet perlu

melakukan upaya-upaya untuk memberdayakan

penerapan 6 SKP

SKP1

Menjadikan GIP atau GPP sebagai standar

identifikasi pasien

SKP2

Meningkatkan akuntabilitas serta

transparansi atas komunikasi atau informasi

melalui sebuah protab konfirmasi instruksi

dan tanda-tangan sebagai prosedur atau

mekanisme kontrol

SKP 3

Integrasi dan pemberdayaan tatalaksana

obat High Alert NORUM atau LASA

pada unit-unit pelayanan strategis, seperti

IGD, ICU, IRN, OK, dengan turut

melibatkan peran aktif unit Farmasi

dalam pembuatan daftar dan pemberian

lebel High Alert pada obat-obat

NORUM/LASA. Tatalaksana obat High

Alert NORUM/LASA perlu untuk

dilengkapi fasilitas penyimpanan, disertai

kewenangan Hak Akses

SKP 4

Keterlibatan pasien dan keluarga pasien

perlu lebih ditingkatkan

SKP 5

Meningkatkan peran-aktif staf medis atau

operasional sebagai gugus depan kendali

bahaya infeksi

SKP 6

Mengedukasi para pasien serta keluarga

pasien sebagai solusi mengurangi

insiden resiko pasien jatuh.

3) Untuk hal-hal yang masih membutuhkan

waktu dan kajian manajemen, maka dapat

diterapkan Standar Pelayanan Minimum

(SPM) yang bersifat sementara waktu.

DAFTAR PUSTAKA American Hospital Association, 2012, Coding Clinic Alphabetical Index,

Instructions for use of the Coding Clinic for ICD-9-CM, [diakses 10 Februari

2015]

A_ New,_Evidence_based_Estimate _of_Patient_Harms.2.pdf

http://www.ahacentraloffice.org/PDFS/2013PDFs/2012CodingClinicAlphaInde

x.pdf. Brook (TT), dalam ICD-10_Overview_Presentation, Center for Medicare and

Medicaid Services (CMS), [diakses 23 Maret 2015], https://www.

cms.gov/Medicare/Medicare-Contracting/ ContractorLearningResources/downloads/ICD-

10_Overview_Presentation.pdf.

Daniels R., 2010, Defining the Spectrum of Disease, dalam Daniels R, Nutbeam T (eds), ABC of Sepsis. Chichester: Wiley Blackwell.

De Bleser, et al, 2006, Difining Pathway, Journal of Nursing Management, 14:

553–563, Blackwell Publishing [diakses, 9 April, 2015] http://ppr. cs.dal.ca/sraza/files/CP-1.pdf

Depkes RI –PERSI, 2006, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Depkes RI –PERSI, 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien, Edisi 2. Grol, RTPM., et al, 2007, Planning and Studying Improvement in Patient Care:

The Use of Theoretical Perspectives, The Milbank Quarterly, Vol. 85, No.

1, pp. 93–138, [diakses, 9 April, 2015] James, 2013, A New Evidence-based Estimate of Patient Harms Associated with

Hospital Care, Journal Patient Safety, 9: 122-128, [diakses 10 Februari,

2015], http://pdfs.journals.lww.com/journal patientsafety/2013/09000/ Joint Commission International, 2011, Accreditation Standards For Hospitals, 4th

Edition, [diakses 3 Maret, 2015] http://www.mintie.com/pdf/edu cation

/JSI_4th_edition_standards.pdf. Joint Commission International, 2014, Transforming patient safety and quality of

care. [diakses 10 Februari, 2015], http://www.jointcommissioninternational

.org Juknis_Sistem_INA_CBGs_.pdf

Junadi, P. 2008, Aplikasi Studi Kasus Dalam Manajemen, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, [diakses 9 April, 2015] https://staff.

blog.ui.ac.id/purnawan/files/2008/06/studi-kasus.pdf

Kementrian Kesehatan RI, 2012, Standar Akreditasi Rumah Sakit, KARS, DITJEN BUK.

Kementerian Kesehatan RI, 2012, Modul Tatalaksana Standar Pneumonia,

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2014, Pedoman Tata Laksana Survei Akreditasi

Rumah Sakit, Edisi 3.

Leape LL, et al, 1998, Promoting Patient Safety by Preventing Medical Error, Editorial, JAMA,Vol 280, No. 16 October 28, [diakses 29 Januari, 2015],

ftp://72.167.42.190/solutionleaders/pdf/

PromotingPatientSafetybyPreventingMedicalError_ JAMA102898.pdf Lever A & Mackenzie I, 2007, Sepsis: definition, epidemiology, and diagnosis,

British Medical Journal, Vol. 335 (879-8327), October, [diakses 23 Maret

2013] http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles/PMC2043413/pdf/bmj-335-7625-cr-00879.pdf

Levy MM et al, 2003, 2001 SCCM/ESICM /ACCP/ATS/SIS International Sepsis

Definitions Conference, Critical Care Medicine, Vol. 31, No. 4, Lippincott Williams & Wilkins, [diakses 10 Februari 2015] http://www.

esicm.org/upload/ file4.pdf

Nolan TW, 2010, System changes to improve patient safety, BMJ, Vol. 320, 18

March, [diakses 3 Maret 2015] http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles

/PMC1117771/pdf/771.pdf

Pierrakos C., Vincent JL, 2010, Sepsis biomarkers: a review, Crit Care. 2010;14(1):R15, BioMed Central Ltd, [diakses 23 Maret 2015], http://

www.ccforum.com/content/pdf/cc8872.pdf

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups, [diakses 23 Maret 2015]

http://sinforeg.litbang.depkes.go.id/upload /reg ulasi/PMK_No._27 _ttg_.

Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 4, Departemen Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Reinhart, K, 2013, The burden of sepsis – a call to action in support of World Sepsis

Day 2013, [diakses 23 Maret 2013] http://www.jccjournal. org/article/S0883-9441%2813%2900121-4/pdf

Rivani R., 2009, Clinical Pathway & Cost of Treatment Dalam Mendukung

Indonesia Diagnosis Related Groups (INA-DRGs), Workshop, PERSI, Jakarta.

Shadily, H., Echols, JM., 2014, Kamus Inggris-Indonesia, Ed. 3, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta. Singh, H. et al, 2013, Types and Origins of Diagnostic Errors in Primary Care

Settings, JAMA INTERN MED, Vol 173, No. 6, March 2, [diakses, 9

April, 2015], http://www. ajustnhs.com/wp-content/uplo ads/2012/10/diag-errors-JAMA-2013.pdf

Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, [diakses 29

Januari 2015], http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downlo ads/2012/07/UU-No.-44-Th-2009-ttg-Rumah-Sakit.pdf.

Page 35: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 108

United Nation, 1948, General Assembly of the United Nation, The Universal

Declaration of Human Rights. Palais de Chaillot, Paris; Dec 10, [diakses 20 Februari, 2015] http://www.un.org/en/docu ments/udhr/ .

Utarini, A., 2011, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada, [diakses 23 Maret, 2015] http://kebijakankesehatanindonesia.net.

Vincent JL, 2009, Definition of Sepsis and Non-infectious SIRS,[diakses 10

Februari 2015] http://www.wiley-vch.de/books/sample/3527319352_c01. pdf.

Vincent, C., 2010, Patient Safety, 2nd edition, John Wiley & Sons, Ltd, Chichester,

UK.. Wachter, 2004, The End Of The Beginning: Patient Safety Five Years After ‘To Err

Is Human’, Health Affair, W4.534. November 30 [diakses, 29 Januari,

2015] http://content.healthaffairs.org/content/early/2004/11/30/hlthaff.w4. 534.full.pdf

Weber, Stefanie & Steven, 2009, Sepsis on the death certificate – Is a change to

rule 3 necessary? [diakses 3 Maret, 2015] http://www.who.int/c lassifications/network/D030_MRG.pdf.

Weingart et.al, 2000, Epidemiology of medical error, British Medical Journal, 320,

March. [diakses, 3 Maret 2015] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/PMC1117772/pdf/774.pdf

WHO, 2005, World Alliance for Patient Safety, Final Brochure, forward

programme, [diakses 29 Januari, 2015] http://www.who.int/patientsafet y/en/brochure_final.pdf.

WHO, 2010, International Statistical Classification of Diseases and Related

Health Problems ICD-10. Vol.2. [diakses 29 Januari 2015] http://www.who.int/classifications/icd/ICD10Volume

2_en_2010.pdf

WHO, 2015, ICD-10 Online Version:, [diakses 10 dan 20 Februari 2015] http://apps.who.int /classifi cations/icd10/browse/2015/en

WHO & JCI, 2007, Preamble and Patient Safety Solutions, Collaborating Centre

for Patient Safety Solution. [diakses 20 Februari 2015] http://www. jointcommissioninternational.org

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2690312/pdf/milq0085-0093.pdf

Wibowo, A, 2014, Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Tabel 1. 6 SKP Berbasis IPSG

Sumber: SARS 2012 dan JCI (2011)

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di Rumah Sakit Tebel 2015

Page 36: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 109

Tabel 2. Sepsis atau Severe Sepsis Screening Tool

Sumber: Diaopsi dari Daniel, 2010

Tabel 3. Tahun Revisi dan Pemakaian ICD Revisi Tahun Pemakaian

Ke-1 1900-09

Ke-2 1910-20

Ke-3 1921-29

Ke-4 1930-38

Ke-5 1939-48

Ke-6 1949-57

Ke-7 1958-67

Ke-8 1968-78

Ke-9 1979-98

Ke-10 1999-sekarang

Tabel 4. Perbedaan sistem pengkodean ICD-9-CM dan ICD-10

Sumber: Centre for Desease Control and Prevention (CDC)

Page 37: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 110

Tabel 5. Perbandingan Clinical Pathway dan Tatakelola 6 SKP

No

Aktifitas Pelayanan U

Clinical Pathway Tatakelola SKP IGD ICU OK IRN

Identifikasi Pasien (SKP1)

a. Admission/Pendaftaran x

1. Pendaftaran pasien/data komputer x

1 Admission 2. Anamnesa, Pemeriksaan Fisik, Diagnosa kerja x

b. Pemasangan Gelang Pasien

1. Gelang indentitas (LK/P) x

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x

Identifikasi Pasien (SKP 1)

b. 1. Gelang Indentitas (LK/P) x x x x

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x

c. Pada saat pemberian obat x x

d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x

e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x

d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x

f. Sebelum memberikan tindakan x x x x

2 Diagnostic Komunikasi (SKP 2)

a. Lembar perintah lisan x x x x

b. Lembar perintah melalui telephone/handphone x x x x

c. Lembar laporan pemeriksaan klinis kritis atau x x x x

rekam medis dari dokter jaga kepada konsulen

Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)

a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x

b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x

c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x

Identifikasi Pasien (SKP 1)

b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x

Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)

a. Kewaspadaan NORUM/LASA x x x x

b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x x x x

c. Pemberian label "High Alert" x x x x

Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)

3 Pra-Therapy a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x

b. Penggunaan alat sekali pakai

1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x

2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x

c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x

Tepat lokasi, tepat prosedur, tepat operasi (SKP 4)

a. Penandaan lokasi operasi pada tubuh pasien x

b. Verifikasi lokasi, prosedur, dan tepat pasien x

c. Pemeriksaan ulang kelengkapan dokumen & terpampang di R.Operasi x

d. Pemeriksaan ulang peralatan operasi x

f. Time-out sesaat sebelum operasi akan dimulai x

Identifikasi Pasien (SKP 1)

b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x

c. Pada saat pemberian obat x x x x

d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x x x

e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x x

d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x

f. Sebelum memberikan tindakan x x x x

Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)

4 Therapy a. Kewaspadaan NORUM/LASA x x x x

b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x x x x

c. Pemberian label "High Alert" x x x x

Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)

a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di

Rumah Sakit Tebel 2015

Page 38: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 111

No

Aktifitas Pelayanan U

Clinical Pathway Tatakelola SKP IGD ICU OK IRN

b. Penggunaan alat sekali pakai

1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x

2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x

c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x

Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)

a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x

b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x

c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x

Identifikasi Pasien (SKP 1)

b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x

c. Pada saat pemberian obat x x x x

d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x x x

e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x x

d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x

f. Sebelum memberikan tindakan x x x x

Komunikasi (SKP 2)

a. Lembar perintah lisan x x x x

b. Lembar perintah melalui telephone/handphone x x x x

c. Lembar laporan pemeriksaan klinis kritis atau RM (dokter jaga-konsulen) x x x x

5 Follow-up Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)

a. Kewaspadaan NORUM/LASA x

b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x

c. Pemberian label "High Alert" x

Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)

a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x

b. Penggunaan alat sekali pakai x x x x

1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x

2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x

c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x

Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)

a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x

b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x

c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x

Identifikasi Pasien (SKP 1) x x x x

6 Discharge a. Admission/Pendaftaran

b. 1 Gelang Indentitas (LK/P)

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi)

Tabel 6. Hasil Kuisioner

Page 39: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 112

Gambar 1. Grafik Hasil Nilai Efektif Hasil Kuisioner 6 SKP ( % )

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di

Rumah Sakit Tebel 2015

Page 40: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 113

Tabel 7. Total Utilisasi Tatakelola 6 SKP

Gambar 2. Grafik Perbandingan Jumlah Utilisasi 6 SKP dan Capaian RST

Gambar 3. Grafik Perbandingan Selisih Utilisasi Tatakelola 6 SKP

Page 41: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 115

Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan

Bunda Harapan Kita Tahun 2016

Audit of Clinical Pathway Implementation in Acute Diarrhea at Women and Children

Harapan Kita Hospital in 2016

Desy Rachma Sari

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi clinical pathway pada kasus diare akut dengan proses

audit. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dan kualitatif dengan menggunaan konsep operational research dengan

metode telaah dokumen, telaah data dan wawancara mendalam. Hasil penelitian didapatkan topik audit adalah

implementasi clinical pathway diare akut dengan tujuan menilai kelengkapan pengisian clinical pathway,

kepatuhan DPJP, PPJP, Gizi dan Farmasi serta menilai kesesuaian lama hari rawat dengan clinical pathway.

Standar penilaian yang digunakan adalah standar nasional yaitu KARS. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa

kelengkapan pengisian clinical pathway 25%, tidak ditemukan variasi pada pemeriksaan laboratorium, asuhan

nutrisi dan asuhan keperawatan, namun pada tata lakasana diare akut masih ditemukan variasi pada obat tambahan

sebesar 41%, dan lama hari rawat sudah sesuai yaitu 3,3 hari. Beberapa hal yang perlu rumah sakit lakukan adalah

mengembangkan kebijakan terkait clinical pathway, memperbaiki formulir clinical pathway dan sistem sosialisasi,

membuat petunjuk teknis clinical pathway, sistem monitoring dan evaluasi, serta menurukan standar lama hari

rawat dan diskusi terkait variasi terapi.

Kata kunci: clinical pathway, acute diarrhea; audit.

ABSTRACT

This study aims to determine the implementation of clinical pathway of acute diarrhea with the audit process. This

type of research is quantitative and qualitative by using operational research concept with document review

method, data analysis and in-depth interview. The result of the research shows that the audit topic is the

implementation of clinical pathway of acute diarrhea with the aim to assessing completeness of clinical pathway,

compliance of primary responsible physician, primary responsible nurse, nutrition and pharmacy and assessing

the length of stay with clinical pathway. Assessment standard used is the national standard that is KARS. The

result of measurement showed that completeness of filling clinical pathway 25%, no variation on laboratory

examination, nutrition and nursing care, but still found variation on additional drug 41%, and length of stay was

3.3 day. Some things that hospital need to do is developed policies related to clinical pathway, improve clinical

pathway forms and socialization systems, make clinical pathway technical guidance, monitoring and evaluation

systems, and reduce standards length of stay and discussion of variations in therapy.

Keywords: Clinical pathway; acute diarrhea; audit.

PENDAHULUAN

Mutu merupakan gambaran dari sifat suatu jasa pelayanan

atau kinerja yang merupakan bagian dari strategi perusahaan

dalam rangka mendapatkan keunggulan-keunggulan

yang berkesinambungan. Rumah sakit dituntut untuk

senantiasa melakukan peningkatan mutu pelayanan secara

terus menerus. Berdasarkan undang-undang nomor 44

Page 42: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 116

tahun 2009 tentang rumah sakit menjelaskan bahwa

untuk meningkatkan mutu pelayanan, rumah sakit harus

memiliki peraturan internal rumah sakit (hospital by laws)

dan peraturan staf medis rumah sakit (medical staff by

law). Peraturan tersebut disusun dalam rangka

menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik

(good corporate governance) dan tata kelola klinis yang

baik (good clinical governance).

Clinical governance merupakan pendekatan secara

sistematis untuk pengelolaan jaminan dan pengendalian

mutu pelayanan klinis. Clinical governance memiliki 4

komponen penting yaitu clinical effectiveness, patient

safety, patient focus dan continuing professional

development (Connell L, 2014). Bentuk pelaksanaan

clinical effectiveness adalah clinical pathway. Clinical

pathway berfungsi untuk standarisasi proses perawatan

sehingga mengurangi variasi pelayanan dan efisiensi

sumber daya. Clinical pathway juga merupakan salah

satu elemen yang dinilai pada akreditasi rumah sakit.

RSAB Harapan Kita sudah menerapkan komponen

dalam clinical governance, yaitu clinical effectiveness.

Adapun clinical effectiveness mencakup evidence-

infomed practice, clinical guideline, dan clinical audit.

RSAB Harapan Kita sudah memiliki tujuh Clinical

pathway, salah satunya yaitu Diare Akut.

Indonesia merupakan negara berkembang yang

memiliki iklim tropis dan endemik dengan beberapa

penyakit infeksi menular seperti DHF dan diare. IR

penyakit Diare pada tahun 2000 sebesar 301/ 1000 penduduk,

tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006

naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi

411/1000 penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Pada tahun 2007 tercatat 16,7% dari jumlah populasi

anak yang berusia <5 tahun (1-4 tahun) menderita diare

di Indonesia. Di Indonesia, diare menjadi penyebab

utama kematian pada balita, yaitu 25,2%, lebih tinggi

dibanding pneumonia, 15,5% (Riskesdas, 2007).

Berdasarkan data Informasi Rekam Medik dan

Informasi Kesehatan jumlah kasus diare akut di RSAB

Harapan Kita termasuk dalam 10 penyakit terbesar di

Instalasi Rawat Inap dari tahun 2014 sampai 2016

(IRMIK RSAB Harapan Kita, 2014-2016).

WHO dan UNICEF meluncurkan Rencana Aksi Global

untuk Pneumonia dan Diare (GAPPD), yang mengusulkan

pendekatan multi sektoral dan terpadu untuk mengurangi

kejadian pneumonia berat dan diare, mengurangi jumlah

anak balita yang kerdil, dan mencegah kematian anak

akibat pneumonia dan diare (WHO/UNICEF, 2013).

Maka dari itu, dibutuhkan standar tata laksana yang

dijadikan panduan di rumah sakit seperti clinical pathway

yang selalu dimonitoring dan dievaluasi berdasarkan acuan

standar yang ditetapkan agar pelayanan yang diberikan

oleh petugas kesehatan dapat terintegrasi dengan baik.

TINJAUAN PUSTAKA

Clinical governance merupakan pendekatan secara

sistematis untuk pengelolaan jaminan dan pengendalian

mutu pelayanan klinis. Clinical governance menjamin

keberlangsungan jaminan mutu dan menyempurnakan

mutu dalam pelayanan klinis (Koentjoro, 2011). Konsep

clinical governance yang dikembangkan oleh National

Health System (NHS), Inggris yang didefinisikan sebagai

kerangka kerja yang digunakan organisasi NHS untuk

bertanggung jawab secara terus menerus meningkatkan

kualitas layanan mereka dan menjaga standar tinggi

perawatan yang diberikan dengan menciptakan suatu

keunggulan dalam perawatan klinis dan terus berkembang

(Zahir, 2001) (Australian Council on Healthcare Standards,

2004).

Empat Komponen/Pilar Utama Clinical Governance

adalah Clinical Effectiveness, Patient Safety, Patient Focus

dan Continuing professional development. Komponen kunci

dalam clinical effectiveness adalah Evidence-informed

practice, Clinical guidelines dan Clinical audit (Connell

L, 2014; Koentjoro, 2011).Audit klinik adalah proses

siklus yang dapat diuraikan dalam beberapa tahap.

Menurut NHS, proses audit terdiri dari 7 (ditampilkan

pada gambar 1).

Hughes (2012) menjelaskan bahwa proses audit itu terdiri

dari 4 langkah (ditampilkan pada gambar 2). Mengacu

kepada teori Hughes (2012) dan NHS (2010), kerangka

konsep dikembangkan untuk mendapatkan proses audit

yang akan digunakan dalam penelitian ini (ditampilkan

pada gambar 3). Pada teori Hughes, peneliti menggunakan

proses audit kliniknya sebagai kegiatan utama yang

dilakukan yaitu perencanaan, pengukuran, analisis hasil

temuan, rekomendasi perbaikan dan melakukan perbaikan.

Rincian kegiatan berdasarkan variabel yang akan diteliti

adalah pada tahap perencanaan peneliti memilih topik

yang akan diaudit, menetapkan tujuan, menetukan

standar. Tahap pengukuran dilakukan penelitian mengenai

kelengkapan pengisian clinical pathway, Kepatuhan

Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP), Perawat

Penanggung Jawab Pasien, Gizi dan Farmasi terhadap

Page 43: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 117

clinical pathway dan lama hari rawat. Hasil dari variabel

tersebut selanjutnya akan dilakukan analisis dan memberikan

rekomendasi sesuai dengan masalah yang ditemukan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif

dengan telaah dokumen dan dilanjutkan dengan kualitatif

dengan menggunakan metode wawancara mendalam.

Jenis Penelitian ini adalah penelitian operasional.

Penelitian operasional adalah metode ilmiah yang

digunakan untuk pemecahan masalah, dimulai dengan

merumuskan masalah sampai kesimpulan untuk

memberikan solusi terhadap masalah tersebut (Kulej,

2011). Penelitian dilakukan di RSAB Harapan Kita yang

dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2017.

Populasi penelitian adalah semua formulir clinical

pathway kasus diare akut yang terintegrasi dengan rekam

medis di RSAB Harapan Kita pada bulan Januari sampai

Desember 2016 yaitu 163 kasus. Berdasarkan

perhitungan sampel di atas didapatkan jumlah sampel

maksimum adalah 61 kasus.

Sampel diambil berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria

eksklusi. Kriteria inklusi yaitu diare akut viral dan

tidak/disertai muntah dan/atau diare bukan karena

penyakit kronik dengan maupun tanpa demam, mual,

nyeri perut, semua derajat dehidrasi. Kriteria eksklusi

yaitu Diare > 7 hari, Diare berdarah dan Komorbiditas

(penyakit kompleks, gagal ginjal, penyakit jantung, gizi

buruk, pneumonia). Teknik pengambilan sampel adalah

rekam medis diambil secara acak berdasarkan urutan

mulai tanggal 1 Januari s/d 31 Desember 2016 dengan

metode simple random sampling menggunakan

program software Microsoft Excel.

Informan dalam penelitian ini adalah individu – individu

yang terkait dengan proses implementasi clinical

pathway kasus Diare Akut anak RSAB Harapan Kita

dan dipilih berdasarkan kesesuaian dan kecukupan.

Informan akan dipilih secara purposive sampling dengan

menentukan informan kunci kemudian menggunakan

metode snowballing sampling untuk memilih narasumber

selanjutnya. Informan penelitian ini adalah Dokter

Penanggung Jawab Pasien (DPJP) Diare Akut Anak,

Perawat Penanggung Jawab Pasien, Farmasi dan Ahli

gizi serta Komite Medik.

Setelah pengumpulan data kuantitatif, dilakukan proses

manajemen data yaitu editing, coding, entry dan cleaning

data sedangkan data kualitatif akan dilakukan proses

reduksi dalam bentuk matriks, penyajian dan verifikasi

data. Penelitin ini menggunakan validasi data dengan cara

triangulasi sumber dan triangulasi metode.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perencanaan

Perencanaan dalam audit implementasi clinical pathway

terdiri dari menentukan topik, menetapkan tujuan dan

menetapkan standar. Penentuan topik diambil berdasarkan

kasus penyakit terbanyak dalam implementasi clinical

pathway yaitu diare akut. Penentuan topik audit ini

berdasarkan kondisi atau praktik tertentu yang menjadi

prioritas dan memiliki jumlah kasus terbanyak (high

volume) (NHS, 2010) (Connell L, 2014). Setelah

ditetapkan topik kemudian tahap selanjutnya adalah

menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam proses audit

ini. Tujuan dibentuk agar proses audit sukses dan tetap

fokus (Hughes, 2012). Berdasarkan hasil wawancara

dengan komite medik didapatkan bahwa tujuan yang

ingin dicapai yaitu menilai kelengkapan pengisian

clinical pathway, menilai kepatuhan DPJP, PPJP, Gizi

dan Farmasi terhadap clinical pathway dan menilai

kesesuaian lama hari rawat pasien terhadap clinical

pathway

Tahap selanjutnya dalah menetapkan kriteria dan stadar

penilaian. Kriteria penilaian disesuaikan berdasarkan

pada tujuan. Kriteria dibuat dalam bentuk pernyataan dan

standar dalam bentuk target atau persentase (NHS, 2010).

Standar penilaian yang digunakan adalah target nasional

yaitu standar KARS. Kriteria dan standar penilaian dalam

audit ini ditampilkan pada tabel 1).

Pengukuran

Persentase kelengkapan pengisian clinical pathway diare

akut pada bulan Januari sampai Desember tahun 2016 di

RSAB Harapan Kita ditampilkan pada tabel 2. Adapun

persentase kelengkapan yang dihitung berdasarkan vaeriabel

clinical pathway ditampilkan pada tabel 3. Di mana

didapatkan hasil telaah formulir clinical pathway diare

akut bukan dari dokumen rekam medis. Telaah formulir

clinical pathway yang dilakukan adalah dengan melakukan

perhitungan pada setiap kolom yang terisi.

Desy Rachma S., Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2016

Page 44: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 118

Penggunaan obat atau tata laksana pada pasien diare akut

anak pada formulir clinical pathway adalah cairan rehidrasi

oral, cairan intravena, zinc, probiotik, dan antiemetik. Berikut

ini merupakan persentase kesesuaian penggunaan obat

pada pasien diare akut anak dengan clinical pathway

(ditampilkan pada tabel 4).

Terdapat obat tambahan yang diberikan pada tata laksana

pasien diare akut anak pada bulan Januari – Desember

2016 sebesar 41%. Berikut ini persentase obat tambahan

yang diberikan pada tata laksana pasien diare akut anak

pada bulan Januari – Desember 2016 (ditampilkan pada

tabel 5).

Persentase pemeriksaan laboratorium pasien diare akut

anak pada formulir clinical pathway ditampilkan pada

tabel 6.

Asuhan keperawatan, asuhan nutrisi dan lama hari rawat

sudah sesuai dengan clinical pathway hal ini

menunjukkan nilai kepatuhan 100% terhadap asuhan

dan lama hari rawat. Lama hari rawat pada pasien diare

akut anak berdasarkan clinical pathway adalah ≤ 5 hari.

Berdasarkan hasil dalam penelitian ini didapatkan bahwa

rata-rata lama hari rawat adalah 3,3 hari. Berikut ini

merupakan persentase kesesuaian asuhan keperawatan,

asuhan nutrisi dan lama hari rawat dengan clinical

pathway (ditampilkan pada tabel 7).

Analisis Temuan

Hasil pengukuran menunjukan kelengkapan pengisian

clinical pathway sebanyak 25%. Berdasarkan hasil

wawancara diketahui bahwa rendahnya kelengkapan

dalam pengisian ini disebabkan oleh dokter yang merasa

terbebani dengan adanya formulir clinical pathway yang

mengharuskan dokter menulis lebih banyak pada rekam

medis. Selain beban dokter ketidaklengkapan pengisian

disebabkan karena kurangnya sosialisasi sehingga

beberapa tenaga kesehatan masih bingung dan tidak

betul-betul mengetahui adanya formulir clinical pathway.

Selain kendala dalam sosialisasi, berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Widyanita, dkk (2016) diketahui

bahwa responden belum terbiasa sehingga sering lupa,

hal ini karena pelaksanaan penggunaan clinical pathway

barus berjalan selama satu tahun (Widyanita, et al., 2016).

Hal ini juga sejalan dengan hasil wawancara bahwa

clinical pathway disusun pada tahun 2014-2015 dengan

proses uji coba selama 3 bulan kemudian disosialisasi dan

diimplementasikan pada pertengahan tahun 2015.

Penyusunan clinical pathway harus berfokus pada

outcome. Standar ini harus ditetapkan untuk kemajuan

pasien dari hasil perawatan mereka dan mencapai hasil

yang diharapkan. Hal ini memungkinkan adanya variasi

dalam pelayanan. Oleh karena itu, sangat perlu

dilakukannya monitoring dan evaluasi. Berdasarkan hasil

wawancara, didapatkan bahwa monitoring dari pihak

manajemen tidak ada dan evaluasi belum dilakukan

secara optimal. Hal ini dikarenakan belum adanya orang

yang khusus melakukan evaluasi implementasi clinical

pathway yaitu case manager. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan Widyanita, dkk. (2016) fasilitator

merupakan kunci kebeberhasilan penerapan clinical

pathway (Widyanita, et al., 2016).

Pemberian obat tambahan juga digunakan pada pasien

diare akut anak yaitu antibiotik, antijamur, antiparasit,

analgesik dan obat lainnya. Pemberian antibiotik,

antijamur, dan antiparasit ini diberikan kepada pasien

diare akut yang disebabkan karena adanya infeksi bakteri

atau jamur atau parasit pada saat pemeriksaan

laboratorium. Pemberian analgetik seperti parasetamol

diberikan kepada pasien diare akut anak yang disertai

dengan demam. Obat lainnya ini jenis obat untuk pasien

dengan penyakit penyerta tambahan seperti ISPA.

Rekomendasi Perbaikan

Rekomendasi perbaikan berdasarkan pada hasil temuan

dalam audit implementasi clinical pathway diare akut

anak RSAB Harapan Kita ditampilkan pada tabel 8.

Pembahasan

Clinical governance merupakan kerangka kerja yang

digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan

menjaga standar perawatan yang diberikan kepada

pasien secara terus menerus dikembangkan sehingga

menciptakan suatu keunggulan dalam perawatan klinis

(Zahir, 2001; Australian Council on Healthcare Standars,

2004). Clinical governance bukan merupakan pendekatan

yang instan, tetapi perlu diawali dengan perubahan

budaya dan tentunya akan membutuhkan waktu dalam

penerapannya (Koentjoro, 2011). Komponen penting dari

clinical governance adalah clinical effectiveness. Komponen

kunci dalam clinical effectiveness adalah audit klinis dan

clinical guidelines (clinical pathway) (Koentjoro, 2011).

Page 45: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 119

Clinical pathway adalah alat yang digunakan sebagai

panduan perawatan kesehatan berbasis bukti (Kinsman,

dkk, 2010). Clinical pathway disusun dengan tujuan

untuk standarisasi perawatan, mengurangi variasi dalam

pelayanan, menggurangi biaya, meningkatkan komunikasi

multidisiplin, meningkatkan efisiensi dan meningkatkan

kualitas pelayanan (Campbell, et al., 1998; Kinsman,

dkk., 2010; Kusuma, 2013).

Berdasarkan hasil audit ditemukan bahwa dalam

implementasi clinical pathway diare akut anak di RSAB

Harapan Kita bulan Januari – Desember 2016, masih

terdapat variasi dalam pemberian terapi/tata laksana

sebesar 41% yaitu adanya obat tambahan di luar standar

clinical pathway. Variasi ini terjadi karena kondisi pasien

yang diharuskan menggunakan obat tambahan tersebut.

Berdasarkan pedoman penyusunan standar pelayanan

kedokteran dijelaskan bahwa apabila dalam perjalanan

klinis ditemukan hal-hal yang menyimpang, ini harus

dicatat sebagai varian yang harus dinilai lebih lanjut.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rohmah (2016)

didapatkan bahwa pemberian obat tambahan pada pasien

DHF anak paling banyak diberikan pada pasien dengan

lama hari rawat lebih dari 5 hari (Rohmah, 2016). Hal ini

meningkatkan kemungkinan risiko pasien mengalami

infeksi nosokomial. Menurut Ristiawan & Hartinah

(2013) dalam penelitiannya didapatkan bahwa lama hari

perawatan dan penyakit penyerta ini berhubungan

dengan kejadian infeksi nosokomial (Ristiawan &

Hartinah, 2013). Hal tersebut dapat menyebabkan biaya

perawatan yang dibebankan kepada pasien menjadi lebih

besar dan menunjukan bahwa kualitas pelayanan yang

diberikan kurang baik. Kualitas pelayanan yang kurang

baik akan mempengaruhi tingkat kepuasan pasien

(Yuliani, 2015).

Penerapan clinical pathway diharapkan dapat menurunkan

lama hari rawat sehigga kualitas pelayanan semakin

membaik. Berdasarkan penelitian Reid, et al (2016)

menjelaskan bahwa penerapan clinical pathway di

rumah sakit selain dapat menurunkan lama hari rawat,

clinical pathway juga dapat menurunkan angka kematian

sampai 8,8% (Reid, Dinesen, Jones, & Mirrison, 2016).

Variasi yang terjadi sebaiknya dilakukan analisis setiap 3

bulan sekali (NHS, 2010). Berdasarkan hasil analisis

variasi rumah sakit dapat memperbaiki dan meningkatkan

kualitas pelayanan. Oleh karena itu, variasi penting

dilakukan monitoring dan evaluasi. Berdasarkan hasil

wawancara didapatkan bahwa evaluasi terhadap clinical

pathway dilakukan dalam bentuk audit kepatuhan. Audit

kepatuhan ini dilakukan untuk menilai kesesuaian

tindakan dengan clinical pathway yang dilihat berdasarkan

dokumentasi dan lama hari rawat.

Berdasarkan telaah dokumen proses evaluasi dalam

clinical pathway belum optimal karena audit kepatuhan

belum tercantum dalam kebijakan yang dimiliki oleh

RSAB Harapan Kita yaitu SK Direktur Utama Nomor

HK.00.06 tentang Panduan Pembuatan Jenis-Jenis

Standar dalam Praktik Kedokteran dan belum adanya

laporan evaluasi serta petunjuk teknis terkait implementasi

clinical pathway tersebut. Hal ini juga dikarenakan

sumber daya yang kurang memadai untuk melakukan

evaluasi varian dalam clinical pathway.

Audit kepatuhan sebaiknya disertai dengan feedback.

Audit dan feedback merupakan mekanisme yang

dilakukan untuk meningkatkan kinerja profesional

sehingga meningkatkan kualitas perawatan kesehatan

dan keselamatan pasien. Audit dan feedback sering

digunakan dalam akreditasi atau penilaian organisasi

Berdasarkan penelitian dijelaskan bahwa adanya

feedback dapat mempengaruhi kinerja pegawai (Ngatno,

2006).

Hambatan lain juga ditemukan dari hasil wawancara

bahwa sebagian besar informan menjawab petugas yang

mengisi clinical pathway adalah dokter dan perawat. Hal

ini dapat menyebabkan komunikasi multidisiplin tidak

berjalan dengan baik. Menurut Kemenkes (2014),

dijelaskan bahwa pengisian clinical pathway sebaiknya

diisi oleh seluruh tenaga kesehatan profesional yang

memberikan perawatan pada pasien. Salah satu

penyebabnya adalah belum adanya penjelasan tupoksi

untuk setiap profesional pemberi asuhan dalam pengisian

clinical pathway yang tercantum dalam kebijakan.

Berikut kebijakan terkait clinical pathway di RSAB

Harapan Kita (ditampilkan pada tabel 9).

Penyebab lainnya dikarenakan pelaksanaan sosialisasi

terkait clinical pathway belum optimal dan menyebabkan

ketidaktahuan akan adanya sistem clinical pathway dan

pendokumentasian clinical pathway tersebut. Terbukti

dari hasil pengukuran kelengkapan pengisian clinical

pathway sebesar 25%. Hambatan terkait komunikasi

juga disampaikan oleh Sultoni (2014), Rohmah (2016)

dan Widyanita (2016).

Desy Rachma S., Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2016

Page 46: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 120

Menurut NHS (2010) menyatakan bahwa berhasilnya

proses implementasi clinical pathway tidak cukup hanya

dengan sosialisasi secara lisan, sebaiknya diadakan sesi

pelatihan sederhana yang menjelaskan tentang konsep

dan bagaimana clinical pathway harus digunakan dalam

asuhan yang diberikan dan adanya feedback dari manajemen

rumah sakit (NHS, 2010). Menurut penelitian Dewi (2005)

dijelaskan juga bahwa ada hubungan signifikan pelatihan

dengan meningkatkan kualitas dan komitmen karyawan

(Dewi, 2005).

Menurut Aisyah (2016), kepatuhan dapat ditingkatkan

dalam mengisi rekam medis salah satunya adalah dengan

memberikan kompensasi (Aisyah, 2016). Berdasarkan

penelitian Novriansyah (2014) dijelaskan bahwa

kompensasi langsung (upah dan gaji atau pay for

performance) merupakan faktor yang paling besar

pengaruhnya terhadap kinerja pegawai. (Novriansyah,

2014). Saat ini, kepatuhan clinical pathway di RSAB

Harapan Kita termasuk dalam Indikator Kinerja Individu

Direktur Utama dan Indikator Kinerja Unit Komite

Medik, tetapi belum masuk dalam Indikator Kinerja

Individu dokter.

Penyebab ketidaklengkapan ini juga dapat dilihat dari sisi

kemudahan dalam pengisian formulir (Aisyah, 2016).

Format clinical pathway dapat rumit dan rinci. Sebagian

kolom yang harus diisi dapat merupakan check-list,

namun tetap harus diberikan ruang untuk menuliskan

hal-hal yang perlu dicatat. Ruang yang tersedia untuk

mencatat hal-hal yang diperlukan juga dapat terbatas,

terutama format yang sama diisi oleh semua profesi yang

terlibat dalam perawatan, karena sifat multidisiplin

clinical pathway (Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan hasil telaah dokumen didapatkan bahwa

format clinical pathway diare akut anak RSAB Harapan

Kita ditemukan masih belum ringkas. Oleh karena itu,

sesuai dengan tahapan pengembangan formulir clinical

pathway pada proses diskusi untuk memperbaharui

dokumen clinical pathway selain membahas varian,

pembahasan format clinical pathway juga perlu

dipertimbangkan untuk mengurangi variabel yang tidak

perlu. Kesesuaian format clinical pathway diare akut di

RSAB Harapan Kita ditampilkan pada tabel 10.

Perubahan pada clinical pathway ini juga disarankan oleh

NHS (2010) bahwa perubahan pada clinical pathway

perlu dilakukan tinjauan dan revisi dalam skala besar

setiap empat tahun sekali. Beberapa clinical pathway

mungkin memerlukan revisi pada pembaharuan yang

lebih sering, terutama jika pada bidang kedokteran ada

bukti baru dan ada perkembangan pada pelayanan pasien

(NHS, 2010). Berdasarkan rencana perkembangan

sistem informasi RSAB Harapan Kita dalam bentuk IT,

untuk dapat meminimalkan kesalahan penulisan,

ketidaklengkapan pengisian dan persentase variasi

disarankan agar clinical pathway dapat diintergrasikan

dalam sistem IT. Penelitian yang dilakukan oleh

Rusmiasih (2000), dengan adanya sistem informasi

seluruh data terintegrasi dari semua unit dan dapat diakses

secara transparan. Hal ini dapat meningkatkan mutu

layanan medis bagi pasien dan mendukung mekanisme

monitoring operasional rumah sakit (Rusmiasih, 2000).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perencanaan dalam audit implementasi clinical pathway

terdiri dari menentukan topik, menetapkan tujuan dan

menetapkan standar. Topik audit ditentukan berdasarkan

high volume. yaitu audit implementasi clinical pathway

diare akut. Setelah menentukan topik, selanjutnya

dilanjutkan dengan menetapkan tujuan. Tujuan pada

audit ini adalah menilai kelengkapan pengisian clinical

pathway, menilai kepatuhan DPJP, PPJP, Gizi dan

Farmasi terhadap clinical pathway dan menilai

kesesuaian lama hari rawat terhadap clinical pathway

serta penentuan kriteria ditentukan berdasarkan tujuan

dan standar penilaian yang digunakan dalam audit

implementasi clinical pathway adalah standar KARS.

Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan bahwa persentase

kelengkapan pengisian clinical pathway adalah 25%,

terapi/tata laksana diare akut yang sesuai dengan clinical

pathway adalah 100% pasien diberikan cairan rehidrasi

secara parenteral, pemberian zinc sebesar 85%,

pemberian probiotik sebesar 92% dan pemberian anti

emetik sebesar 48% dan terdapat variasi pengobatan

sebesar 41%. Persentase pemeriksaan laboratorium

sesuai dengan clinical pathway adalah pemeriksaan Hb,

Ht, Leukosit, Hitung jenis, trombosit sebesar 95%,

pemeriksaan Feses Lengkap sebesar 62%, pemeriksaan

urin lengkap sebesar 28% dan pemeriksaan elektrolit

sebesar 23%. Persentase asuhan keperawatan yang

sesuai dengan clinical pathway sebesar 90%, asuhan gizi

yang sesuai dengan clinical pathway sebesar 89% dan

kesesuaian lama hari rawat dengan clinical pathway

sebesar 100% dengan lama rata-rata hari rawat 3,3 hari.

Page 47: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 121

Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan bahwa

hambatan yang dihadapi dalam implementasi clinical

pathway adalah beban penulisan bertambah, kebijakan

belum mencakup evaluasi dan pedoman atau petunjuk

pengisian, kurangnya sosialisasi, belum adanya monitoring,

evaluasi, dan feedback, kepatuhan clinical pathway belum

dimasukkan ke dalam IKI dokter dan formulir clinical

pathway belum ringkas.

Upaya perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengatasi

permasalahan yang terjadi adalah memperkuat clinical

pathway dengan melakukan perbaikan kebijakan dengan

menambah poin-poin yang kurang, membuat pedoman

yang berisi tentang tata cara mengisi clinical pathway,

monitoring dan evaluasi clinical pathway, melakukan

sosialisasi secara menyeluruh dan disertakan dengan

pelatihan khusus clinical pathway minimal 1 bulan sekali,

melakukan monitoring dan evaluasi rutin setiap 3 bulan

sekali dan dilakukan feedback, melakukan diskusi

dengan SMF terkait untuk membahas variasi obat, dan

melakukan perbaikan terhadap format clinical pathway.

Saran

Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh rumah sakit

adalah memperkuat clinical pathway dengan melakukan

perbaikan kebijakan dengan menambah poin-poin yang

kurang, membuat pedoman yang berisi tentang tata cara

mengisi clinical pathway, monitoring dan evaluasi clinical

pathway, melakukan sosialisasi secara menyeluruh dan

disertakan dengan pelatihan khusus clinical pathway,

melakukan monitoring dan evaluasi rutin setiap 3 bulan sekali

dan dilakukan feedback, melakukan diskusi dengan SMF

terkait untuk menyepakati variasi obat, melakukan

pembaharuan terhadap format clinical pathway dan

mengurangi standar lama hari rawat menjadi 4 hari.

DAFTAR PUSTAKA Aisyah, N. (2016). Analisis Kelengkapan Resume Medis Rawat Inap di Rumah Sakit

Umum Hermina Depok. Universitas Indonesia.

Australian Council on Healthcare Standards. (2004). ACHS news in brief: Clinical governance defined. ACHS NEWS(12), 4.

Campbell, H., Hotchkiss, R., Bradshaw, N., & Porteous, M. (1998). Integrated care

pathways. BMJ, 316, 133-137. Connell L. (2014). A clinical governance handbook for District Clinical Specialist Teams.

Durban: Health Systems Trust.

Cran. (2002). Clinical Effectiveness and Evidence-based Practice. Nursing Standard, 16(24), 39-43.

Dewi, S. (2005). Pengaruh Komitmen Manajemen atas Kualitas Layanan Terhadap

Afeksi dan Kinerja Karyawan. Tesis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1-140.

Flottorp, S. A., Jamtvedt, G., Gibis, B., & McKee, M. (2010). Using Audit and Feedback

to Health Professionals to Improve the quality and Safety of Health Care. European Observatory on Health Systems and Polices, 1-54.

Hughes, M. (2012). A Manual for Lay Members of the Clinical Audit Team. Healthcare

Quality Improvement Partnership. IRMIK RSAB Harapan Kita. (2014-2016). Data 10 Besar Penyakit . Jakarta: RSAB

Harapan Kita.

Kementerian Kesehatan RI. (2011). Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Data dan

Informasi Kementerian Kesehatan RI.

Koentjoro, T. (2011). Regulasi Kesehatan di Indonesia (2nd ed.). Yogyakarta: ANDI

Yogyakarta. Kulej, M. (2011). Operations Research. Poland: PRINTPAP Łódz.

Martha, E., & Kresno, S. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Bidang

Kesehatan (1 ed.). Depok: Grafindo. Ngatno. (2006). Analisis Pengaruh Umpan Balik Supervisi Terhadap Kinerja Salesman.

Jurnal Ilmu Sosial, 5(2), 55-66.

NHS. (2010, August). How to Produce and Evaluate an Integrated Care Pathway (ICP): Information For Staff. pp. 1-22.

NHS. (2010). Improving Patient Care through Clinical Audit. NHS. NHS. (2015). Clinical Effectiveness & Audit Strategy. US: NHS.

Novriansyah, D. (2014). Studi Pengaruh Kepemimpinan dan Kompensasi Terhadap

Kinerja Pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Lebing Provinsi Bengkulu Tahun 2014. Tesis Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1-158.

Reid, L. E., Dinesen, L. C., Jones, M. C., & Mirrison, Z. J. (2016). The Effectiveness and

Variation of Acute Medical Units: a systematic review. International Journal for Quality in Health Care, 28(4), 433 - 446.

Riskesdas. (2007). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Ristiawan, D., & Hartinah, D. (2013). Hubungan Lama Perawatan dan Penyakit Penyerta

dengan Terjadinya Infeksi Nosokomial di RSI Sultan Hadlirin Jepara. JIKK, 4(1),

10-15. Rohmah, N. (2016). Evaluasi Implementasi Clinical Pathway Pada Penyakit Dengue

Hemorrhagic Fever Anak di RSUP Fatmawati Tahun 2016. Depok: Universitas

Indonesia. Rusmiasih, D. (2000). Perencanaan Strategis Sistem Informasi Untuk Rumah Sakit

Kanker Dharmais. Tesis Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 1-90.

Shelly, T. N. (2012). Evaluasi Sistem Informasi Manajemen di Bagian Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Bhakti Yudha, Depok Tahun 2012. Tesis Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1-182.

WHO. (2008). Guide to Operational Research in Programs Supported by the Global Fund. WHO.

WHO/UNICEF. (2013). Ending Preventable Child Deaths from Pneumonia and

Diarrhoea by 2025: The integrated Global Action Plan for Pneumonia and Diarrhoea (GAPPD). WHO.

Widyanita, A., Arini, M., & Dewi, A. (2016). Evaluasi Implementasi Clinical Pathway

Appendicitis Akut pada Unit Rawat Inap Bedah di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Wright, J., & Hill, P. (2003). Clinical Governance. Churchill Livingstone.

Yuliani, U. (2015). Hubungan Kualitas Pelayanan dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap di RSUD Dr. Sayidiman Magetan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Zahir, K. (2001). Clinical governance in the UK NHS. UK NHS Briefing Papers.

Desy Rachma S., Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2016

Page 48: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 122

Gambar 1. Audit Cycle (NHS, 2010)

Gambar 2. Audit Cycle (Hughes, 2012)

Gambar 3. Kerangka Konsep Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di RSAB

Harapan Kita

Page 49: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 123

Tabel 1. Kriteria dan Standar Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut

No Kriteria Standar Keterangan

1

Kelengkapan Pengisian 80-100%

Dikatakan patuh jika persentase pengisian form

clinical pathway terisi lengkap 80-100%. Persentase dihitung berdasarkan jumlah kolom

terisi dalam clinical pathway dibagi total kolom

yang sudah disesuaikan dengan jumlah lama hari rawat pasien.

2 Kepatuhan DPJP, PPJP, Gizi dan Farmasi

a. Terapi/Tata laksana (Cairan

IV, Zinc, Probiotik, Antiemetik)

80-100% Sesuai dengan clinical pathway dan Panduan Praktik Klinik

b. Pemeriksaan Penunjang (Hb,

HT, Leukosit, dan Hitung

jenis, trombosit, Feses Lengkap, Urin Lengkap,

Elektrolit)

80-100% Sesuai dengan clinical pathway dan Panduan

Praktik Klinik

c. Asuhan Keperawatan 80-100% Sesuai dengan clinical pathway

d. Asuhan Gizi 80-100% Sesuai dengan clinical pathway

3 Lama Hari Rawat 80-100% Sesuai dengan clinical pathway

Tabel 2. Persentase Kelengkapan Pengisian Clinical Pathway Diare Akut

Bulan Januari – Desember 2016

Pengisian Clinical Pathway Jumlah Persentase (%)

Clinical Pathway Terisi <

80% 46 75

Clinical Pathway Terisi

≥80% 15 25

Total 61 100

Tabel 3. Persentase Kelengkapan Pengisian Berdasarkan Variabel Clinical Pathway Variabel dalam Formulir Clinical Pathway Jumlah Persentase (%)

Triase 42 69

Anamnesis

BAB 59 97

Penyakit penyerta 14 23

Komplikasi 29 48

Penilaian Klinis

Pemeriksaan dokter 52 85

Penilaian derajat dehidrasi 43 70

Kesimpulan derajat dehidrasi 55 90

Asuhan Keperawatan

Pemeriksaan awal 40 66

Asuhan harian 30 49

Tindakan keperawatan 30 49

Pemeriksaan penunjang 58 95

Tata laksana rehidrasi

Cairan Rehidrasi Oral 3 5

Pasang Infus 24 39

Jenis Cairan 56 92

Jumlah Cairan 55 90

Tata laksana lanjutan

Cairan IV 8 13

Cairan Rehidrasi Oral 1 2

Obat – obatan 29 48

Asuhan Nutrisi 4 7

Hasil Outcome

Dehidrasi 23 38

Syok 20 33

Mobilisasi pasien 17 28

Resume medis 20 33

Proses Administrasi 20 33

Pulang 20 33

Jumlah CP 61

Desy Rachma S., Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2016

Page 50: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 124

Tabel 4. Persentase Kesesuaian Terapi atau Tata laksana Pasien Diare Akut Anak

dengan Clinical Pathway Bulan Januari – Desember 2016

Obat-Obatan Jumlah Persentase (%)

Cairan rehidrasi oral 2 3

Cairan intravena 61 100

Zinc 52 85

Probiotik 56 92

Antiemetik 29 48

Jumlah clinical pathway 61

Tabel 5. Obat Tambahan pada Pasien Diare Akut Anak Bulan Januari – Desember 2016

No Obat Tambahan Jumlah Persentase (%) Keterangan

Antibiotik

1 Amikasin 1 2 Diberikan kepada pasien anak jika ditemukan adanya infeksi. Pada hasil

laboratorium ditemukan peningkatan

angka leukosit melebihhi batas normal, ditemukan darah pada hasil feses

lengkap.

2 Cefixime 1 2

3 Cefotaxime 1 2

4 Ceftriaxone 5 12

5 Claneksi 1 2

6 Bioxam 1 2

7 Mikasin 2 5

Antijamur

8 Mycostatin 5 12 Diberikan untuk anak dengan jamur yang terdapat pada lidah (berwarna

putih)

Antiparasit

9 Metronidazol 2 5 Amoeba positif pada hasil laboratorium feses lengkap 10 Flagyl 2 5

Analgesik

10 Parasetamol 13 30

Adanya Demam pada gejala penyerta 11 Naprek 1 2

12 Ottopan 1 2

Lainya

13 Mucos 1 2 Adanya diagnosis penyerta yaitu ISPA

14 Puyer Batuk 1 2

15 Vostrin 1 2 Vitamin untuk daya tahan tubuh

16 Imunos 1 2

Jumlah Total CP 61 41

Tabel 6. Persentase Pemeriksaan Laboratorium Pasien Diare Akut Anak Berdasarkan

Clinical Pathway Bulan Januari – Desember 2016

Jenis Pemeriksaan Penunjang Jumlah Persentase (%)

Hb, HT, Leukosit, dan Hitung jenis,

trombosit

58 95

Feses Lengkap 38 62

Urin Lengkap 17 28

Elektrolit 14 23

Tabel 7. Persentase Kesesuaian Asuhan Keperawatan, Nutrisi dan Lama Hari Rawat

Pasien Diare Akut dengan Clinical Pathway Bulan Januari – Desember 2016

Variabel Sesuai Clinical Pathway Tidak Sesuai Clinical Pathway

Jumlah (%) Jumlah (%)

Asuhan Keperawatan 55 90 6 10

Asuhan Nutrisi 54 89 7 11

Lama Hari Rawat 61 100 0 0

Page 51: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 125

Tabel 8. Rekomendasi Perbaikan

No Masalah Analisa Rekomendasi

1 Ketidak lengkapan pengisian clinical pathway

- Kebijakan

Belum adanya petunjuk

teknis pengisian clinical

pathway dan evaluasi

Tupoksi setiap profesional

pemberi asuhan

- Memperkuat clinical pathway dengan memperbaharui kebijakan

yang ada

- Pembuatan paduan implentasi clinical pathway yang berisi

panduan pengisian, panduan

pengawasan dan panduan evaluasi - Memperkaya pedoman audit medik

terkait clinical pathway

Kurangnya sosialisasi Melakukan sosialisasi dan pelatihan

kepada tenaga kesehatan terkait pengisian clinical pathway minimal 3 bulan sekali

Belum adanya monitoring dan

evaluasi

Melakukan monitoring dan evaluasi rutin

setiap 1 bulan sekali

Belum masuk dalam penilaian IKI

dokter

Memasukan indikator kepatuhan clinical

pathway dalam IKI dokter

Formulir clinical pathway belum

ringkas dan masih adanya variabel yang tidak termasuk rencana

perawatan

Melakukan pembaharuan formulir clinical

pathway

2 Pemberian obat tambahan sebesar 41%

Melakukan evaluasi dan diskusi dengan SMF terkait varian dalam obat-obatan

yang digunakan

3 Lama hari rawat Menurukan standar lama hari rawat dalam

clinical pathway

Tabel 9. Kebijakan Terkait Clinical Pathway di RSAB Harapan Kita

Kebijakan Isi Poin yang perlu ditambahkan

SK Direktur Utama Nomor HK.00.06

tentang Panduan Pembuatan Jenis-

Jenis Standar dalam Praktik Kedokteran

1. Jenis – jenis standar dalam praktik

kedokteran di RSAB Harapan Kita

yaitu panduan praktik klinis, clinical pathway, algoritme, protocol dan

standing orders

2. Tujuan dari panduan pembuatan jenis-jenis standar

Tidak Ada

SPO Penyusunan Clinical Pathway

1. Pengertian

2. Tujuan 3. Kebijakan

4. Prosedur

5. Unit terkait

Tidak Ada

Panduan Clinical Pathway

1. Definisi 2. Peran dan Manfaat

3. Clinical pathway sebagai kendali

mutu

1. Tupoksi Profesional Pemberi

Asuhan

2. Petunjuk Teknis Pengisian Clinical Pathway

3. Prosedur Monitoring dan

Evaluasi

4. Tahap Pengembangan

Clinical Pathway

SK Direktur Utama Rumah Sakit

Anak dan Bunda Harapan Kita Nomor: HK.00.06.176 tentang Audit

Medik

1. Penentuan topik oleh subkomite mutu

profesi komite medik 2. Kriteria ditetapkan oleh tim ad-hoc

3. Asisten audit mengumpulkan data

4. Tim ad-hoc melakukan analisa data 5. Diklit melakukan perubahan

6. Tim ad-hoc melakukan re audit

SPO Audit Medik 1. Prosedur penentuan tim audit

1. Menambahkan waktu pelaksanaan audit dalam satu

tahun

2. Feedback hasil audit

Pedoman audit klinis 2016

1. Pengertian audit klinis 2. Siklus audit dan pengorganisasian

3. Penjelasan setiap proses dalam siklus 4. Menyusun laporan

5. Template laporan audit klinis

1. Prosedur audit kepatuhan clinical pathway

2. Kriteria standar penilaian yang digunakan

Desy Rachma S., Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2016

Page 52: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 126

Tabel 10. Kesesuaian Format Clinical Pathway Diare Akut RSAB Harapan Kita

Campbell, et al., 1998 Kemenkes, 2014 RSAB Harapan Kita Pembahasan

Berurutan berdasarkan skala waktu

1. Bentuk format dapat berbentuk

check-list, namun tetap harus diberikan ruang untuk

menuliskan hal-hal yang perlu

dicatat.

Format dalam bentuk checklist dan terdapat ruang

untuk mencatat

Sudah sesuai

2. Tabel yang kolomnya

merupakan waktu (hari, jam)

Kolom merupakan hari

dimana pasien di rawat Sudah sesuai

Berisi rencana perawatan

pasien

3. Barisnya merupakan

observasi/pemeriksaan/tindakan/intervensi

Terdapat baris yang berisi

proses triase, tindakan IGD, proses admisi, anamnesis,

penilaian klinis, asuhan

keperawatan, pemeriksaan peunjang, tata laksana

rehidrasi, tata laksana

lanjutan (obat-obatan), asuhan nutrisi, hasil

(outcome), resume medis,

proses administrasi, pulang

Kesesuaian baris berisi

perawatan pasien sudah sesuai, namun

dari segi keringkasan

terlihat bahwa masih terdapat proses

administrasi dan tidak

termasuk dalam proses perawatan/tindakan.

Pada proses asuhan keperawatan tidak

dirinci

tindakan/asuhan yag harus diberikan, hanya

menampilkan kegiatan pemeriksaan awal,

asuhan harian,

tindakan keperawatan

Terdapat rincian tugas

dan daftar tindakan yang

akan dilakukan

4. Harus lengkap, rinci dan

ringkas sehingga mudah diisi

Variasi dari rencana

perawatan dicatat

5. Diisi oleh seluruh tenaga

kesehatan profesional yang memberikan perawatan

Terdapat kolom varian

Hanya terdapat kolom tanda

tangan PPJP, DPJP,

Verifikator

Page 53: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 127

Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan

TQM Melalui Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas

Palembang

Quality Implementation Study with Six Sigma and TQM Integration Approach through

Assessment of Malcolm Baldridge in Hospital Charitas Palembang

Jessihana Morgan Manurung

Program Pasca Sarjana Kajian Administratsi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Rumah sakit sebagai suatu organisasi yang bergerak dibidang layanan kesehatan public makin dituntut untuk

memberikan layanan kesehatan yang lebih baik (Muchtar, 2011). Pelayanan prima dan berkualitas akan

berdampak pada kepuasan pasien dan berdampak pada peningkatan loyalitas pelanggan terhadap pelayanan yang

ditawarkan. Salah satu ukuran pencapaian kualitas dari sebuah pelayanan ialah loyalitas dari konsumen. Di Rumah

Sakit Charitas, terjadi penurunan loyalitas pelanggan dari tahun 2013 hingga tahun 2015 sebesar 80%. Hal ini

terbukti pula dengan penurunan indikator mutu di Rumah Sakit Charitas yaitu BOR, LOS, TOI, GDR, NDR yang

turun tiga tahun terakhir ini (Data RS. Charitas, 2016). Diketahui bahwa manajemen mutu TQM dan Six Sigma

masing-masing telah terbukti secara konsep dan empiris sebagai metode perbaikan mutu berkelanjutan yang dapat

membantu meningkatkan kinerja organisasi termasuk rumah sakit. Bagaimana mutu pelayanan di Rumah Sakti

Charitas dilihat dari Kriteria Malcolm Baldrige dalam bidang pelayanan kesehatan dengan integrasi pendekatan

TQM dan Six Sigma?

Kata kunci: mutu rumah sakit, TQM, Six Sigma, Malcolm Baldridge

ABSTRACT

Hospitals increasingly are expected to provide better health services (Muchtar, 2011). Excellent service and

quality have an impact on customer satisfaction and loyalty. One measure of quality achievement is customer

loyalty. Charitas Hospital had a decline in customer loyalty from 2013 to 2015 by 80%. It was determined by a

decrease in the quality indicators that BOR, LOS, TOI, GDR, NDR which dropped on the last three years (Data

RS-Caritas, 2016). Quality management TQM and Six Sigma respectively conceptually and empirically proven

as a quality improvement method to improve organizational performance. How is the quality of service at the

Charitas Hospital observed from the criteria Malcolm Baldrige Criteria with the integration of TQM and Six

Sigma approach?

Keywords: hospital quality, TQM, Six SIGMA, Malcolm Baldridge.

PENDAHULUAN

Dasar Rumah Sakit dibangunnya adalah untuk

memberikan pelayanan kepada pasien. Namun dengan

adanya perubahan paradigma perumahsakitan, dimana

Rumah Sakit merupakan institusi yang padat modal,

padat teknologi dan tenaga, Rumah Sakit juga mudah

dan rawan terjadi konflik dalam proses memberi

pelayanan kesehatan pada masyarakat. Dalam

perkembangan waktu, sebagaimana juga dengan

industri jasa lainnya, salah satu syarat utama agar

rumah sakit dapat survive adalah bila mampu

memberi pelayanan prima pada pelanggannya

(Kalaesaran, 2011). Pelayanan prima dan berkualitas

akan berdampak pada kepuasan pasien dan berdampak

pada peningkatan loyalitas pelanggan terhadap pelayanan

Page 54: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 128

yang ditawarkan oleh industri jasa tersebut. Salah satu

ukuran pencapaian kualitas dari sebuah pelayanan

ialah loyalitas dari konsumen. Di Rumah Sakit

Charitas, terjadi penurunan nilai indikator pelayanan

BOR, LOS, BTO, TOI, GDR, NDR, jumlah

kunjungan pasien rawat jalan dan rawat inap, serta

loyalitas pasien, mulai dari tahun 2013 hingga tahun

2015 (Data RS.Charitas, 2016).

Loyalitas pelanggan sangat menentukan apakah

seorang pelanggan akan kembali atau tidak dan

apakah mereka akan merekomendasikan pelayanan

diterima kepada orang lain. Menurut Tjiptoni (2000)

dalam Laksono (2008), loyalitas adalah pembelian

ulang suatu merek secara konsisten oleh pelanggan.

Pelanggan loyal akan menjadi spiritual advocates yang

akan terus membela produk atau perusahaan dalam

keadaan apapun dan terus merekomendasikannya

kepada orang lain (Supranto, 2001 dalam Laksono,

2008). Menurut LeBoeuf (1992) dalam Laksono

(2008), pengaruh loyalitas sangat penting terhadap

kelangsungan suatu organisasi. Untuk itu diperlukan

strategi dalam memberikan pelayanan sesuai dengan

kebutuhan pasien secara bermutu. Tuntutan pelanggan

terhadap perbagai aspek pelayanan di Rumah Sakit

dirasakan semakin meningkat. Meningkatnya

pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat menuntut

perubahan pelayanan kesehatan yang lebih baikdan

bermutu.

Masyarakat saat ini juga telah menyadari bahwa

kesehatan merupakan salah satu kebutuhan mereka,

bukan lagi barang mewah seperti yang diperlakukan

selama ini (Thabrany, 2011). Masyarakat

menginginkan agar ketika mereka membutuhkan

pelayanan kesehatan, mereka mendapatkan pelayanan

kesehatan sesuai dengan kebutuhannya tersebut.

Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat

akan mutu pelayanan, maka fungsi pelayanan

kesehatan harus ditingkatkan. Pengelolaan rumah sakit

dituntut untuk dikelola dengan manajemen modern

dan bersifat sosio-ekonomi agar menjadi lebih efektif

dan efisien. Sebuah rumah sakit harus mampu tanggap

akan perubahan-perubahan yang terjadi dan segera

mengantisipasinya dengan berfokus pada pelanggan

dan pasar serta mengedepankan keselamatan pasien.

Untuk itu perlu adanya strategi yang tepat dalam

menghadapi tantangan masyarakat yang kritis dan

persaingan antara fasilitas kesehatan dalam rangka

memberikan pelayanan yang terbaik dan menjadi

pilihan bagi masyarakat (Ahmad, 2011).

Salah satu solusinya adalah dengan melakukan

tindakan nyata dalam meningkatkan pelayanan di

rumah sakit baik yang bersifat medik maupun non

medik, terutama yang bersifat Customer Oriented,

yang salah satunya adalah bagaimana petugas

kesehatan memberikan pelayanan prima kepada

pasien dan keluarga sehingga dengan adanya

pelayanan prima ini pasien maupun keluarga akan

merasa puas dan nyaman dengan pelayanan yang

diberikan, sehingga mereka akan menjadi sumber

”voice of mouth” yang positif (Kalaesaran, 2011).

Seringkali terdapat perbedaan antara apa yang

diharapkan dengan kenyataan yang dirasakan pasien

terhadap kualitas pelayanan yang diterima. Persepsi

mempunyai peran yang sangat penting, karena

berdasarkan persepsi yang baik dari pasien terhadap

mutu pelayanan di rumah sakit akan dapat menimbulkan

kepuasan pasien dan berpengaruh terhadapimage

yang positif kepada rumah sakit tersebut. Hal ini sejalan

dengan visi rumah sakit RK. Charitas menjadi rumah

sakit unggulan di Sumatera yang dipercaya dan dipilih

masyarakat sebagai mitra pelayanan kesehatan serta

misi rumah sakit yang antara lain adalah memberikan

pelayanan kesehatan prima secara menyeluruh (Profil

RS Charitas, 2016).

Organisasi yang berhasil menjaga agar pelanggannya

selalu puas hampir tak terkalahkan. Para pelanggannya

menjadi lebih setia sehingga mereka lebih sering

membeli, rela membayar lebih banyak dan tetap mau

menjadi pelanggan meskipun organisasi sedang

mengalami kesulitan (Yazid, 1999 dalam Laksono,

2008). Begitupun sebaliknya, apabila suatu organisasi

kehilangan pelanggan yang sebelumnya loyal atau

tidak mampu menciptakan keloyalan pada pelanggan

maka biaya pemasaran organisasi akan meningkat

dikarenakan harus menarik pelanggan baru untuk

ketahanan suatu organisasi, serta keberlangsungan

suatu organisasi dipertaruhkan (Griffin, 2013 dalam

Yunida, 2016).

Peningkatan kualitas secara system terpadu merupakan

strategi yang tepat untuk dijalankan, yang dikenal

dengan Total Quality Management (TQM) (Ahmad,

2011). Meningkatkan kinerja Rumah Sakit dapat

dilakukan dengan cara menerapkan Total Quality

Management yang merupakan salah satu bentuk

Page 55: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 129

praktek manajemen terbaik dalam organisasi atau

perusahaan yang menekankan paradigm kualitas

secara menyeluruh dalam perusahaan atau organisasi

(Munizu, 2010). Total Quality Management

merupakan suatu konsep manajemen modern yang

berusaha untuk merespon secara tepat terhadap setiap

perubahan yang ada, baik yang didorong oleh

kekuatan eksternal maupun internal dengan lebih

berfokus pada layanan kebutuhan pelanggan dengan

menghasilkan produk layanan yang memiliki kualitas

sebaik mungkin dan berdampak terhadap kepuasan

pelanggan (Elqorni, 2008). Saat ini, penerapan TQM

semakin berkembang dengan menggunakan

kerangka kerja yang lebih terstruktur dan

komprehensif, salah satunya adalah kerangka kerja

Malcolm Baldrige National Quality Award

(MBNQA) sebagai praktek manajemen mutu terbaik

untuk meningkatkan kinerja organisasi (Fening, 2012

dalam Guspianto, 2015).

Revere & Black (2003) dalam Guspianto (2015)

mengungkapkan bahwa meskipun implementasi

TQM telah sukses dan mampu meningkatkan kualitas

pelayanan dan kepuasan pelanggan pada organisasi

secara luas, namun program TQM sering mengalami

kegagalan karena tidak diimplementasikan pada

tingkat produksi atau layanan di lini bawah (bottom

line) untuk memahami variasi dari proses, sehingga

upaya pengembangan rencana perbaikan yang

berkelanjutan menjadi sulit. Alhasil, pada beberapa

rumah sakit yang menerapkan TQM, kualitas masih

tetap menjadi masalah penting dalam sistem

pelayanan kesehatan yang perlu mendapat

penanganan serius (Woodard, 2005; IOM, 2001

dalam Guspianto, 2015). Beberapa faktor penting

dalam keberhasilan penerapan TQM yaitu

termasuk dukungan dari manajemen puncak,

kepemimpinan visioner, manajemen yang efektif dari

sumber daya manusia, keterlibatan karyawan, dan

budaya terhadap komitmen dalam peningkatan

kualitas serta kepuasan pelanggan (Yang, 2011).

Saat ini, metode penjagaan kualitas yang sedang

berkembang adalah Six Sigma. Metode Six Sigma

mengintegrasikan pengetahuan yang mendalam

tentang sistem, proses, teknik, statistik, dan manajemen

proyek, untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan,

mengurangi limbah dan biaya, mengembangkan

produk dan proses yang kuat, untuk meningkatkan dan

mempertahankan keunggulan kompetitif organisasi

melalui sistem perbaikan terus-menerus dalam

organisasi (Latief dan Retyaning, 2009). Menurut

Sehwail & DeYong (2003) dalam Guspianto (2015),

implementasi Six Sigma di rumah sakit meliputi

berbagai aspek seperti pemberian pelayanan atau

perawatan langsung, administrasi dan keuangan, serta

operasional rumah sakit. Penerapan Six Sigma di

Rumah Sakit berperan positif dalam mengurangi

siklus waktu di unit emergensi, pengelolaan kapasitas

tempat tidur, pengurangan kesalahan dalam

pengobatan sertaberdampak positif dalam

meningkatkan kepuasan pasien (Antony J, Downey,

Antony F, & Seow, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa

manajemen mutu TQM dan Six Sigma masing-

masing telah terbukti secara konsep dan empiris

sebagai metode perbaikan mutu berkelanjutan yang

dapat membantu meningkatkan kinerja organisasi

termasuk rumah sakit. Oleh karena itu, penulis

merasakan perlu untuk mempelajari implementasi

manajemen mutu yang terintegrasi dari metode TQM

dan Six Sigma di rumah sakit untuk memenuhi

tuntutan dan kebutuhan pelanggan/pasien dalam

rangka mencapai keunggulan kinerja dalam jangka

panjang melalui pengkajian mutu di Rumah Sakit

Charitas dilihat dari metode TQM dan Six Sigma

dengan metode penilaian dengan kriteria Malcolm

Baldridge.

Pengelolaan sarana kesehatan seperti rumah sakit

diruntut untuk dikelola dengan manajemen modern

dan bersifat sosio-ekonomi. Sebuah rumah sakit harus

selalu tanggap akan perubahan-perubahan yang terjadi

cukup cepat dan kemudian segera mengantisipasinya

sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat

dengan selalu mengacu pada kepuasan konsumen

(Customer satisfaction). Tuntutan masyarakat saat ini

adalah pelayanan kesehatan yang mudah, cepat dan

nyaman, yang pada akhirnya dapat memberikan

kepuasan dalam hasil perawatan sesuai dengan

penyakit yang dideritanya, sehingga rumah sakit

sebagai suatu organisasi yang bergerak dibidang

layanan kesehatan public makin dituntut untuk

memberikan layanan kesehatan yang lebih baik

(Ahmad, 2011). Integrasi TQM dan Six Sigma dinilai

sangat penting dan strategis karena dapat memberikan

sinergitas yang diperlukan untuk membantu upaya

operasional dan kinerja ekselen pada organisasi

khususnya di rumah sakit (Yang, 2011). Untuk itu,

Jessihana Morgan Manurung, Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui

Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang

Page 56: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 130

penulis akan mengkaji mutu pelayanan di Rumah

Sakit Charitas dengan pendekatan integrasi TQM dan

Six Sigma, melalui penilaian metode Malcolm

Baldridge.

Berdasarkan uraian di atas, dilakukan penelitian

dengan tujuan, yakni untuk mengetahui persepsi mutu

pelayanan Rumah Sakit RK Charitas ditinjau dari

Kriteria Malcolm Baldrige bidang Pelayanan

Kesehatan dengan integrasi pendekatan TQM dan Six

Sigma.

TINJAUAN PUSTAKA

TQM merupakan filosofi management yang bersifat

holistic yang bertujuan perbaikan berkelanjutan di

seluruh fungsi organisasi, yang dicapai melalui

pemanfaatan utilitas dari akusisi sumber daya untuk

pelayanan pelanggan. Sementara Six Sigma

merupakan komitmen dan filosofi dari manajemen

total yang bersifat unggul, focus terhadap pelanggan,

focus terhadap peningkatan kualitas, dan pengambilan

keputusan berdasarkan pada data, serta Six Sigma

memampukan organisasi terhadap perubahan dari

kebutuhan pelanggan, market, dan teknologi sehingga

menguntungkan karyawan, pelanggan serta

organisasi. Ada kesesuaian antara prinsip-prinsip

kualitas, teknik, dan budaya aspek TQM dan Six

Sigma dan hanya sedikit perbedaan prinsip. Akibatnya,

integrasi TQM dan Six Sigma tidak sesulit yang

terlihat. Poin penting adalah untuk menggabungkan

aspek terbaik dari perbaikan terus-menerus TQM

dengan Six Sigma re-engineering (Yang, 2011).

Pengintegrasian Six Sigma dalam program TQM yang

ada memfasilitasi peningkatan proses melalui analisis

data yang detail dan didapatkan metode pendekatan yg

seksama untuk menganalisis akar permasalahan serta

meningkatkan pendekatan TQM yang ada. Konsep

Six Sigma dapat diaplikasikan oleh seluruh karyawan

sebagai kunci proses yang terkait dengan kebutuhan

pelanggan dan menentukan layanan kinerja produk

dan jasa. Dengan Six Sigma, tujuan-tujuan agresif

dapat ditetapkan dalam hubungannya dengan waktu

penyelesaian rancangan yang cepat. Sehingga target

kinerja dapat disesuaikan dengan kriteria kritis kualitas,

dimana ditentukan berdasarkan suara konsumen. Hal

ini sejalan dengan TQM, di mana peningkatan

berdasarkan pada survey kepuasan pelanggan dan

kebutuhan pelanggan. Dengan cara ini, dua jalan untuk

mengerti kebutuhan dan harapan konsumen

dikombinasikan. Gambar 1 mengambarkan model

intergrasi tersebut (Yang, 2011):

Berdasarkan model terintegrasi TQM dan Six Sigma,

dan merujuk konstruksi MBNQA dan EQA, sebuah

model bisnis holistic seperti pada gambar di atas yang

sempurna dapat dikembangkan (Yang, 2011). Salah

satu Model TQM adalah kerangka kerja MBNQA

yang diperkenalkan pada tahun 1988 untuk memberi

pengakuan dan penghargaan bagi organisasi

organisasi yang telah mengimplementasikan praktek

manajemen mutu terbaik di Amerika Serikat. MBNQA

memberikan pedoman manajemen mutu secara

komprehensif sebagai self-assessment dan perbaikan

berkelanjutan dalam memperkuat kemampuan

saing organisasi (Flynn & Saladin, 2001). Kriteria

MBNQA terdiri dari beberapa kategori, meliputi:

kepemimpinan, perencanaan strategis, fokus pelanggan,

pengukuran, analisis, dan manajemen pengetahuan,

fokus tenaga kerja, fokus operasi, dan hasil (NIST,

2011). Melalui pendekatan system, maka kerangka

penilaian Malcolm Baldridge diatas dapat dijabarkan

(ditampilkan dalam gambar 2).

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, dengan tipe

penelitian kombinasi Sequential Explenatory Desain

(Sugiyono, 2012). yaitu pengumpulan dan analisis data

terdiri dari 2 tahap yaitu: pengumpulan dan analisis

data kuantitatif, diikuti dengan pengumpulan dan

analisis data kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di

Rumah Sakit RK Charitas pada bulan November

Tahun 2016.

Terdapat sampel sebanyak 30% dari seluruh populasi

sebagai sampel penelitian dengan teknik cluster

sampling yaitu teknik pengambilan sampel

berdasarkan kelompok yang telah ditentukan dari

anggota populasi. Pengelompokan kelompok pada

penelitian dilakukan melalui tahapan, yakni:

1. Pengelompokkan didasarkan pada kriteria

narasumber medis dan non medis.

2. Pada masing-masing kelompok narasumber

diambil dari berbagai jabatan dan tempat unit kerja.

Page 57: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 131

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah anggota

populasi yang sedang cuti, tugas belajar, serta pegawai

magang, serta kontrak.

Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti

meliputi:

1. Dokumentasi

Merupakan teknik pengumpulan data sekunder

dengan mempelajari dokumen yang terkait dan

relevan dengan bahasan penelitian.

2. Kuisioner

Merupakan teknik pengumpulan data primer

dengan memberikan pertanyaan dan pernyataan

untuk dijawab oleh responden melalui pengisian

lembar kuisioner.

3. Wawancara

Jenis wawancara yang dilakukan dalam penelitian

ini ialah jenis wawancara semi terstruktur dengan

sifat informal.Termasuk dalam katagori in-depth

interview.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh oleh peneliti,

perhitungan total nilai rata-rata dari 7 variabel yang

menggambarkan mutu pelayanan kesehatan

berdasarkan Kriteria Baldrige.

Dari table 1 dapat dilihat bahwa terdapat 3 (tiga)

variabel yang memiliki total nilai rata-rata lebih tinggi

dari jumlah total nilai rata-rataseluruh variabel yang

nilainya 3. Variabel tersebut adalah:

1. Fokus Pada Pelanggan/Pasien dengan nilai rata-

rata 3,156;

2. Kinerja Rumah Sakit dengan nilai rata-rata 3,110;

dan

3. Fokus Pada Proses dengan nilai rata-rata 3,020.

Variabel lain yang tersisa, memiliki nilai rata-rata lebih

rendah dari jumlah total nilai rata-rata, yaitu sebanyak 4

variabel, yaitu:

1. Kepemimpinan dengan nilai rata-rata 2,846;

2. Perencanaan Strategi dengan nilai rata-rata 2,919;

3. Pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan

dengan nilai rata-rata 2,969;

4. Manajemen Sumber Daya Manusia dengan nilai

rata-rata 2,989.

Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen. Analisis bivariat dengan

menggunakan uji Chi Square dapat dilihat pada tabel

2. Hubungan antara variabel kepemimpinan,

perencanaan strategis, fokus pelanggan, fokus sdm,

pengukuran-analisa-dan manajemen pengetahuan,

focus pada proses terhadap kinerja Rumah Sakit

(N=359)

Dari hasil tabel 2 maka berdasarkan hasil perhitungan

dengan Chi Square Test, maka diperoleh Nilai p <

0,05. Sehingga Ho ditolak, Ha diterima. Yang

menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara

variable independen (Kepemimpinan, Perencanaan

Strategi, Fokus Pada Proses, Fokus Pada pelanggan,

Fokus pada SDM, Fokus pada Pengukuran, Analisa

dan Manajemen Pegetahuan) terhadap variabel

Dependen Yaitu Hasil Kinerja Organisasi.

Hal ini sesuai dengan teori Malcolm Badridge yang

memberikan perspektif sistem yang terdiri dari integrasi

antara kriteria Malcolm Baldridge sebagai proses

kunci untuk mencapai keunggulan kinerja.

Analisa Multivariat

Analisa Multivariat menggunakan analisa Regresi

Logistik untuk mendapatkan hubungan yang paling

bermakna antara variabel independen dengan dependen.

Dari data yang ditampilkan pada tabel 3, dapat dilihat

bahwa yang memiliki kontribusi terhadap kinerja

adalah fokus pada proses kemudian focus pada

pelanggan. Fokus pada proses memiliki nilai ratio odd

0,036 yaitu yang apabila focus pada proses baik

akan menyebabkan kemungkinan 0,036 kali

kinerja buruk atau 27,7 kali kemungkinan berkinerja

baik.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan seluruh variabel

bebas memiliki hubungan yang signifikan terhadap

variabel terikat. Penelitian juga menunjukkan bahwa

variabel berturut-turut yang memiliki kontribusi

terbesar terhadap kinerja adalah focus pada proses

kemudian focus pada pelanggan. Hal ini sesuai dengan

teori Malcolm Baldridge (ditampilkan dalam gambar

3).

Jessihana Morgan Manurung, Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui

Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang

Page 58: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 132

Malcolm Baldridge memberikan suatu perspektif

sistem untuk mengelola organisasi dan proses-proses

kunci suatu organisasi untuk mencapai kinerja yang

optimal. Tujuh kategori Malcolm Baldridge merupakan

mekanisme untuk membangun dan mengintegrasikan

kriteria-kriteria dalam upaya mengembangkan sistem

organisasi yang unggul. Adapun perspektif sistem berarti

memandang dan mengelola organisasi secara keseluruhan,

dengan mengintegrasikan komponen-komponen

menuju kinerja yang optimal. Gambar 3 menunjukkan

sistem Malcolm Baldridge disusun oleh tujuh kategori

yang saling berikatan (Gaspersz, 2007), yakni:

a. Kepemimpinan, Perencanaan Strategi dan Fokus

Pelanggan mempresentasikan atau mewakili

tritunggal. Kategori ini ditempatkan bersama untuk

menekankan dan menjadi landasan tentang

pentingnya suatu kepemimpinan berfokus pada

strategi dan pelanggan

b. Fokus sumber daya manusia, Fokus pada Proses

dan hasil mewakili tritunggal Hasil. Karyawan

organisasi dan proses-proses kunci menyelesaikan

pekerjaan dari organisasi yang menghasilkan

keunggulan kinerja hasil-hasil.

c. Garis anak panah horizontal dalam bagan inti

Malcolm Baldridge mengaitkan tritunggal

kepemimpinan ke tritunggal hasil, yang

merupakan keterkaitan penting untuk keunggulan

organisasi.

d. Anak panah dua arah menunjukkan perlunya

umpan balik dalam suatu sistem manajemen

kinerja yang efektif.

e. Pengukuran, Analisa dan Manajemen Pengetahuan

adalah penting terhadap efektifitas manajemen

organisasi dan juga terhadap sistem (manajemen

pengetahuan) berdasarkan fakta (pengukuran dan

analisis) untuk peningkatan kinerja dan daya saing.

Dari hasil penelitian didapatkan variabel kepemimpinan

merupakan variabel yang memiliki nilai rata-rata terendah

dibandingkan dengan variabel lainnya. Pada variabel

kepemimpinan, dinilai bahwa peran kepemimpinan

dalam transparasi, supevisi, kaderisasi di masa yang

akan datang, serta proses perancanagan dan juga

proses pengelolaan perencanaan strategi masih kurang

optimal. Adapun Gaspersz (2007), dalam bukunya

menyatakan bahwa untuk mencapai kepemimpinan

yang optimal dalam mencapai kinerja organisasi yang

optimal maka perlu memperhatikan pendekatan

ADLI (Approach, Deployment, Learning, Integration)

yaitu:

Efektif, pendekatan sistematis, responsif secara

penuh terhadap semua persyaratan dari Item

Kepemimpinan Senior

Pendekatan disebarluaskan secara penuh tanpa ada

kesenjangan dalam setiap area atau unit-unit kerja

Evaluasi sistematis dan peningkatan kinerja

berdasarkan fakta, pembelajaran organisasi

merupakan alat kunci manajemen lingkup

organisasi; perbaikan dan invoasi yang didukung

oleh keunggulan analisis dan saling berbagi ke

seluruh organisasi

Pendekatan terintegrasi secara baik dengan

kebutuhan organisasi yang teridentifikasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dibuat oleh peneliti,

maka dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan

Rumah Sakit Charitas dikaji berdasarkan integrasi

TQM dan Six Sigma melalui pendekatan Malcolm

Baldridge, perlu ditingkatkan. Dimana terdapat 4

(empat) variabel yang memiliki nilai rata-rata lebih

rendah dari total nila rata-rata 7 (tujuh) variabel dalam

Kriteria Malcolm Baldridge. Empat kriteria tersebut

ialah kepemimpinan, perencanaan strategi,

manajemen sumber daya manusia, serta pengukuran,

analisis dan manajemen.Variabel yang perlu

mendapatkan perhatian besar karena memiliki nilai

yang paling rendah ialah variabel kepemimpinan dan

perencanaan strategi. Selain itu, berdasarkan hasil

wawancara mendalam, peran yang paling besar dalam

peningkatan kinerja ialah peran kepemimpinan.

Dilihat dari hasil pencapaian indikator kinerja RS.

Charitas yang mengalami penurunan tiga tahun

terakhir, tidak sejalan dengan hasil kuantitatif yang

dicapai pada kriteria variabel kinerja rumah sakit,

dimana menghasilkan nilai yang baik. Salah satu

penyebabnya ialah ketidakselarasan antara program

kerja dan target unit dengan rencana strategi yang telah

ditetapkan. Hal ini dipertegas melalui wawancara

mendalam, rencana strategi yang telah ditetapkan tidak

secara menyeluruh disosialisasikan ke unit-unit.

Sehingga tujuan dari program kerja seringkali

ditemukan tidak sejalan dengan rencana strategi yang

Page 59: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 133

telah ditetapkan, yang berpengaruh pada perbedaan

persepsi pencapaian kinerja unit dengan kinerja rumah

sakit secara keseluruhan. Selain itu ditemukan tidak

adanya pedoman penilaian kinerja unit.

Saran

Berdasarkan tujuan, manfaat, dan hasil penelitian

maka dapat disampaikan beberapa saran sebagai

berikut:

1. Bagi manajemen rumah sakit

a. Diharapkan dapat menerapkan integrasi

TQM dan Six Sigma dengan pendekatan

Malcolm Baldridge untuk mencapai kinerja

rumah sakit melalui:

o Meningkatkan peran kepemimpinan di

rumah sakit khususnya dalam transparasi,

supevisi, kaderisasi di masa yang akan

datang, serta proses perancanagan dan

pengelolaan perencanaan strategi;

o Mengembangkan serta melaksanakan

rencana strategis yang optimal khususnya

dalam melakukan analisa SWOT secara

optimal, mensosialisasikan ke seluruh

rumah sakit, serta memonitor dan juga

mengevaluasi program unit sehingga

selaras dengan rencana strategi yang

ditetapkan;

o Meningkatkan kemampuan untuk fokus

terhadap pasien atau pelanggan;

o Memberikan perhatian tinggi terhadap

pengelolaan dan pemberdayaan karyawan

yang khususnya dalam meningkatkan aspek

keterlibatan karyawan, yakni peningkatan

kompetensi karyawan, sistem reward and

recognition, serta mutasi dan rotasi yang

dapat meningkatkan motivasi dan juga

kapabilitas karyawan dalam meningkatkan

kinerja;

o Berfokus pada peningkatan mutu dengan

meningkatkan upaya monitoring dan

evaluasi, serta komitmen dalam

penindaklanjutan terhadap informasi dan

data yang didapat.

o Mengembangkan sistem informasi yang

akurat dan terintegrasi sehingga menjadi

landasan dalam penerapan manajemen

berdasarkan fakta.

b. Diharapkan dapat lebih meningkatkan manajemen

mutu untuk mendukung penerapan integrasi TQM

dan Six Sigma dengan pendekatan Malcolm

Baldridge di rumah sakit, khususnya pada variabel-

variabel yang didapatkan belum optimal.

c. Diharapkan dapat memanfatkan penerapan integrasi

TQM dan Six Sigma dengan menggunakan

pendekatan Malcolm Baldridge sebagai evaluasi

diri (self assessment) atas pelaksanaan manajemen

mutu di rumah sakit untuk membangun budaya

mutu di rumah sakit dan meningkatkan kembali

kualitas rumah sakit.

Bagi pemilik rumah sakit (owner):

a. Diharapkan dapat melakukan re-evaluasi terhadap

program manajemenmutu yang selama ini dijalankan

oleh rumah sakit sebagai dasar pertimbangan untuk

mengadopsi dan menerapkan Integrasi TQM dan

Six Sigma melalui pendekatan Malcolm Baldridge

b. Diharapkan dapat membuat kebijakan untuk

mengembangkan program manajemen mutu

rumah sakit dengan cara memanfaatkan kriteria

menerapkan Integrasi TQM dan Six Sigma

melalui pendekatan Malcolm Baldridge termasuk

menyediakan infrastruktur dan sumber daya

pendukung, pelatihan teknis manajemen mutu,

dan alokasi anggaran yang dibutuhkan rumah sakit

dalam implementasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Fatoni. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Ahmad, Muchtar. 2011. Analisis Manajemen Mutu Terpadu (TQM) dalam Pelayanan

Rumah Sakit. Diakses melalui .

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwickIDB_9LPAhUBRI8KHQy_BAAQFggeMAA&url=http%3A%

2F%2Fserver2.docfoc.us%2Fuploads%2FZ2015%2F11%2F26%2FeBV3

SHLzHC%2F77e09636b57051420fc6236a919d2087.pdf&usg=AFQjCNFed7pKnI-Dv35djL_POV3zBzpzOw&cad=rja. Diunduh pada tanggal 30

Agustus 2016.

Aized, Tauseef. 2012. Total Quality Management and Six Sigma. Diakses melalui

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&

cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwj52MCXv7TRAhWIp48KHVoCD1c

QFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.intechopen.com%2Fbooks%2Ftotal-quality-management-and-six-sigma&usg=AFQjCNFKdfe-1SfirSc

2wCnm1OCgGPiH4g&sig2=jt671yh1mzdAbIFYqOmkyQ. Diunduh di

tanggal 30 Agustus 2016. Antony, J., Downey-Ennis, K., Antony, F., & Seow, C., 2007. Can Six Sigma be the “Cure”

for or Ailing NHS? Leadership in Health Services, Vol. 20 No. 4, pp. 242-253.

Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta: Rineka Cipta

ASQ. 2009. Lean and Six Sigma Deployments in Hospitals. Diakses melalui

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwjxmdWJj9jPAhXLvY8KHa3uClgQFggeMAA&url=http

%3A%2F%2Fasq.org%2Fconferences%2Fsix-

sigma%2F2009%2Fpdf%2Fproceedings%2Fh3.pdf&usg=AFQjCNFuq1sA82kD4m6CPXg00XgI7wyyWQ&cad=rja diunduh tanggal 10 September

2016.

Ayuningtyas, D. 2013. Perencanaan Strategis untuk Organisasi Pelayanan Kesehatan. Jakarta

Azwar, A, 1996.Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan :aplikasi prinsip lingkaran pemecahan

masalah,Sinar Harapan, Jakarta..

Jessihana Morgan Manurung, Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui

Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang

Page 60: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 134

Bandyopadhyay, Jayanta and Karen Coppens. 2005. Six Sigma Approach to Healthcare

Quality and Productivity Management. International Journal of Quality and Productivity Management.Vol. 5, No. 1. Diunduh tanggal 9 Oktober 2016.

Berander et all, 2005. Software quality attributes and trade-offs. Diakses melalui

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwiL1OGl6dbPAhWIqo8KHecsCtMQFggjMAA&url=http

%3A%2F%2Fwww.ewh.ieee.org%2Fr2%2Fsouthern_nj%2FBarbacciOct

03.pdf&usg=AFQjCNFGmlRRMBfE3HsMO5tIXxy6fPXVhA&sig2=Ynbx4bePs79j5SIQ8jywFA. Diunduh tanggal 2 September 2016.

Cahyono, Uud. 2012. Kajian Mutu Pelayanan Rumah Sakit Bhineka Bakti Husada yang

Telah Lulus Akreditasi Ditinjau dari Kriteria Malcolm Baldridge. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Thesis.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan,

dan Penyajian Data Rumah Sakit. Jakarta : Depkes RI.. Dewantara, et al. 2005. Evaluasi Kinerja Inisiatif Manajemen Pemeliharaan Menggunakan

Kriteria Malcolm Baldridge. Jurnal. Universitas Hasanudin. Diakses melalui

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjUltmfjuvPAhVMP48KHUEoCmMQ

FggwMAI&url=http%3A%2F%2Fpasca.unhas.ac.id%2Fjurnal%2Ffiles%

2F858917be80dd3ff372f943f9fce9fbf8.pdf&usg=AFQjCNFPDuOUYCHtSh3GKgWTpUImd13sMA&sig2=jjLSfY0nUkTwuPFDWcwEpg.

Elqorni, Achmad. 2008. Implementasi TQM di Perusahaan. Diakses melalui

https://elqorni.wordpress.com/category/manajemen-kualitas/total-quality-management/. Diunduh tanggal 3 September 2016.

Flynn, B.B. & Saladin, B., 2001. Further Evidence on the Validity of the Theoretical Models

Underlying the Baldrige Criteria. Journal of Operations Management, Vol. 19, pp. 617–652. Diakses melalui https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&

q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi61p6IyLbRAhVGNY8KHZwaCkcQFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fcites

eerx.ist.psu.edu%2Fviewdoc%2Fdownload%3Fdoi%3D10.1.1.523.5377%

26rep%3Drep1%26type%3Dpdf&usg=AFQjCNG3ERY1T8aajFxVme_B4XtWoax5TQ. Diunduh tanggal 4 September 2016.

Gabor and Munteanu, 2010. A Short Overview on Six Sigma. Bulletin of the Transilvania

University of Brasov.Vol. 3 (52). Diunduh tanggal 9 Oktober 2016. Gaspersz, Vincent. 2007. Ge way and Malcolm baldridge criteria for performance excellence.

Jakarta: Gramedia.

Guspianto. 2015. Pengembangan Model Integrasi TQM dan Six Sigma dalam Manajemen Mutu Rumah Sakit. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas

Indonesia.Disertasi.

Harry, Mikel. 2000. A New Definition AimsTo Connect QualityWith Financial Performance.Quality Progress. Diakses melalui http://asq.org/quality-

progress/2000/01/frontiers-of-quality/a-new-definition-aims-to-connect-quality-

with-financial-performance.html?ct=35a49a2394c3a04b2156d71c8bdf3c0 d7 35173caa99bb894f147f25c0929a78b094ff517efc7309036a5bccb442996f84

1bd9d788f92ac293c837af1d8e7402. Diunduh tanggal 6 September 2016.

Hendrawaty, Ernie. 2006. Pengembangan Konsep Manajemen Mutu Terpadu bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Jasa Keuangan Cabang Bandarlampung.Jurnal

Bisnis dan Manajemen.Vol. 2, No. 3. Diakses melalui https://www.google.

com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rjauact=8& ved=0ahUKEwiQ0vq3k9fPAhVGqY8KHVLZBHQQFggeMAA&url=

http%3A%2F%2Fejournal.narotama.ac.id%2Ffiles%2FPengembangan%25

20Konsep%2520Manajemen%2520Mutu%2520Terpadu%2520Bagi%2520Badan.doc&usg=AFQjCNHZan6Ls3kd754nG5pQrv01DhKHmQ&si

g2=kQwhV--TKdeBYudHpgon0A. Diunduh tanggal 7 Oktober 2016.

Indonesian Quality Award Foundation. 2011. Kriteria Kinerja Berbasis Malcolm Baldrige 2011 - 2012: Organisasi Profit. Indonesian Indonesian Quality Award

Foundation, Jakarta.

Institute of Medicine. 2001. Crossing The Quality Chasm. A New Health System for the 21st Century. Diakses melalui https://www.nap.edu/read/10027/chapter/1. Diunduh

tanggal 2 Oktober 2016.

Isniati. 2007. Mutu Pelayanan Medik Peserta ASKES. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. Vol. 2, No. 1. Diakses melalui http://download.portalgaruda.o

rg/article.php?article=261607&val=7056&title=MUTU%20PELAYANA

N%20MEDIK%20PADA%20PESERTA%20ASKES. Diunduh tanggal 3 September 2016.

Kalesaran, Jimmy. 2011. Pelayanan Prima (Service Excellent) di Rumah Sakit.Diakses

melalui http://dokumen.tips/documents/pelayanan-prima-rumah-sakit.html. Diunduh tanggal 2 September 2016.

Kementrian Kesehatan, 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-201.

Diakses melalui http://114.6.22.246/154/1/Rencana%20Strategis%20Keme nterian%20Kesehatan%20Tahun%202015-2019%20KepMenKes%20RI

%20Nomor%20HK%2002%2002%20MENKES%2052%202015.pdf.

Diunduh tanggal 24 Agustus 2016. Kumar, et all. 2013. Six Sigma Approach: Application, Benefits and Scope. International

Journl of Mechanical Engineering and Robotics Research.Vol. 2, No. 3. Diakses

melalui https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web

&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi0wZaJxdTPAhUDq48KHeHxCEIQFgg1MAM&url=http%3A%2F%2Fwww.ijmerr.com%2Fuploadfi

le%2F2015%2F0409%2F20150409052855793.pdf&usg=AFQjCNF4xyq

Byju7YB0FQXQQ6FAIjIWkuw&sig2=AFv4hGOQlA7FpBzySXMggQ. Diunduh tanggal 20 Agustus 2016.

Kwak, Y.H., & Anbari, F.T., 2006. Benefits, Obstacles, and Future of Six Sigma

Approach. Technovation, Vol. 26, pp. 708-715. Diakses melalui https://www.resea rchgate.net/profile/Young_Kwak2/publication/222518320_Benefits_obstacles

_and_future_of_Six_Sigma_approach/links/569d323b08aed27a702f951b.pdf

?origin=publication_detail Diunduh tanggal 8 September 2016. Lagrosen, Y., Backstrom, I., & Lagrosen, S., 2007. Quality Management andHealth: A

Double Connection. International Journal of Quality & ReliablityManagement,

Vol. 24 No. 1, pp. 49-61. Lakhal, L., Pasin, F., & Limam, M., 2006.Quality Management Practices andTheir Impact on

Performance. International Journal of Quality & ReliabilityManagement, Vol. 23

No. 6, pp. 625-646. Laksono, 2008. Analisis Kepuasan dan Hubungannya dengan Loyalitas Pasien di Rawat

Inap di Rumah Sakit Dedi Jaya Kabupaten Brebes. Program Studi Magister

Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro. Thesis. Latief, Yusuf dan Retyaning Puji Utami. 2009. Penerapan Pendekatan Metode Six Sigma

dalam Penjagaan Kualitas pada Proyek Konstruksi. Jurnal Makara, Teknologi.

Vol. 13, No. 2: pp. 67-72. Diakses melalui https://www.google.com/url?sa=t& rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEw

jy182NttTPAhUJtI8KHYOXBOUQFggeMAA&url=http%3A%2F%2F

journal.ui.ac.id%2Ftechnology%2Findex.php%2Fjournal%2Farticle%2Fdownload%2F471%2F253&usg=AFQjCNF9HlJGY8OVALrk-81F85za-

fHZ7w&sig2=ouWb-GUij7E1AoyrLM3Bsw. Diunduh pada tanggal 4 September 2016.

Moleong, Lexy J. (2002) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT RemajaRosdakarya

Munizu, Musran. 2010. Praktik Total Quality Management (TQM) Dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Karyawan.Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol. 12,

No. 2: pp. 185-194. Diakses melalui https://www.google.com/url?sa=

t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjlj_rGndTPAhUHNY8KHWyvCN8QFggxMAI&url=http%3A%2F

%2Fjurnalmanajemen.petra.ac.id%2Findex.php%2Fman%2Farticle%2Fvie

wFile%2F18176%2F18062&usg=AFQjCNEOZQ64Lz3Q9sobyzDcyoniTYU9mw&sig2=e-0qOs7e3Nlc879ZagTh8g. Diunduh tanggal 1 September

2016.

NIST, 2011. Baldrige National Quality Programs: Health Care Criteria for Performance Excellence:, National Institute of Standards and Technology, U.S. Department of

Commerce. Diakses dari http://www.nist.gov.baldrige pada tanggal 5 September

2016. Nurmayanti, Ida. 2015. Peran Pendidikan dan Pelatihan dalam Meningkatkan Kinerja

Pegawai. Diaskes melalui http://bp2sdm.menlhk.go.id/emagazine/index.php

/umum/64-peran-pendidikan-dan-pelatihan-diklat-dalam-meningkatkan-kine rja-pegawai.html. Diunduh tanggal 6 Desember 2016.

Pande, Pete and Larry Holpp. 2002. What is Six Sigma?. A Division of The McGraw Hill.

United States of America.. Radu, Catalina. 2010. Need and potential risks of strategic alliances for competing successfully.

Economia.Seria Management. Vol.13, No 1: pp 165-169. Diakses melalui

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiv5NiC5vLQAhUMrI8KHaOzDkcQF

ggeMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.management.ase.ro%2Frevecono

mia%2F2010-1%2F15.pdf&usg=AFQjCNFc6_9P_HP0HpfECKtg0HZ 8DpccJg&sig2=1gtv1S3dRJWEpxdEeAxtGw. DIunduh tanggal 14

Desember 2016.

Revere, Lee. 2003.Integrating Six Sigma with Total Quality Management: A Case Example for Measuring Medication Errors. Journal of Healthcare Management.

48(6):377-91.

Sailendra, Annie. 2015. Langkah-Langkah Praktis Membuat SOP.Trans Idea Publishing, Yogyakarta.

Sekaran, U. 2006. Research Methods for Business Buku2. Edisi 4. Salemba Empat. Jakarta.

Solehati, Lilis. 2011. Manajemen Mutu dan ISO. Diakses melalui https://www. google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uac

t=8&ved=0ahUKEwjg9vTk99bPAhVJqI8KHeJLDXYQFggvMAI&url

=http%3A%2F%2Fslideplayer.info%2Fslide%2F1889330%2F&usg=AFQjCNEjCocr9BD6dXpAuZLPJO9ggLDegg&sig2=yUgxXlGHU_n5CJ

EZ--fhNw. Diunduh tanggal 5 September 2016.

Stamatis, D.H., 2000. Who Needs Six Sigma, Anyway? Quality Digest. Diakses melalui http://www.qualitydigest.com/may00/html/sixsigmacon.html.

Sscx.2012. Infrastruktur Peran dalam Lean Six Sigma: Mengenal Green Belt, Black Belt dan

Master Black Belt. Diakses melalui http://shiftindonesia.com/infrastruktur-peran-dalam-lean-six-sigma-mengenal-green-belt-black-belt-dan-master-black-belt/.

Tanggal 8 September 2016.

Page 61: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 135

Suhanura, Agustina. 2008. Analisis Loyalitas Pelanggan Poli Kebidanan dan Kandungan

Rumah Sakit Asri Tahun 2008. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Tesis.

Sutopo, H.B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar teori dan terapannya dalam

penelitian. Edisi-2. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Tasie, George. 2016. An Exploratory Review of Total Quality Management and

Organizational Performance. International Journal of Business and Law

Research. Vol. 4, No. 1: pp 39-45. Diakses melalui https://www.google.com /url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&ved=

0ahUKEwiRqrfzjNfPAhUiT48KHewqDK0QFggvMAQ&url=http%3A

%2F%2Fseahipaj.org%2Fjournals-ci%2Fmar-2016%2FIJBLR%2Ffull%2 FIJBLR-M-5-2016.pdf&usg=AFQjCNFx_UoFEfKu-N4lHrFE4R2GroC

HnA&sig2=WNVB7vcA8c9ynKuZUWbDRw. Diunduh tanggal 7

September 2016. Thabrany, Hasbullah. Reformasi Pelayanan Kesehatan Harus Lebih Memihak Kepada

Masyarakat. Diakses melalui https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q

=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjdgO3vjdPPAhUaTY8KHSemAUgQFggvMAI&url=http%3A%2F%2Fstaff.ui.a

c.id%2Fsystem%2Ffiles%2Fusers%2Fhasbulah%2Fmaterial%2Fsistempen

danaankesehatanpropublik.pdf&usg=AFQjCNF9lQXq6mKTljYjSTuLAY

GEIRdAMA. Diunduh tanggal 2 September 2016. Tjiptono, F. & Diana, A., 2004.Total Quality Management. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Wibisono, Dermawan. 2006. Manajemen Kinerja, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Wicaksono, Setiawan. 2006. Pengaruh Implementasi Total Quality Management terhadap Budaya Kualitas. Program Studi Manajemen Minat Manajemen Sumber Daya

Manusia. Universitas Brawijaya, Tesis.

Wiyono, D., 2003. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Airlangga University Press Yang, Ching-Chow, 2011. Development of an Integrated model of a business excellence

system. Total Quality Management and Business Excellence 2011; 22(1-2) 22.

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiN3NausNTPAhUHvY8KHX3ZCBIQ

FghIMAY&url=http%3A%2F%2Fcdn.intechweb.org%2Fpdfs%2F11581.

pdf&usg=AFQjCNF8DDIIpVABUcOO1X8Dw466c7RQqQ&sig2=0jXnsz0T_LKw9f8J-tt5lw. Diunduh tanggal 30 Agustus 2016

Yunida, Margita. 2016. Pengaruh Citra Rumah Sakit dan Kualitas Pelayanan terhaap

Loyalitas Pelanggan melalui Kepuasan Pelanggan. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta: Skripsi.

Jessihana Morgan Manurung, Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui

Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang

Page 62: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 136

Gambar 1. Model Terintegrasi TQM dan Six Sigma

Gambar 2. Baldridge Criteria for Performance Excellence Framework

Page 63: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 137

Tabel 1. Total Nilai Rata-Rata Seluruh Variabel

Tabel 2. Hubungan Antara Variabel

Variabel Kinerja Rumah Sakit

OR Baik Tidak Baik Total

Kepemimpinan

Baik 103 (58,2%) 74 (41,8%) 177

3,052 (1,980 – 4,706) Tidak Baik 57 (31,3%) 125 (68,7%) 182

Total 160 199 359

Perencanaan Strategi

Baik 119 (58,3%) 85 (41,7%) 204

3,893 (2,476 – 6,121) Tidak Baik 41 (26,5%) 114 (73,5%) 155

Total 160 199 359

Fokus Pada Pelanggan

Baik 123 (72,8%) 46 (27,2%) 169

11,057 (6,749 – 18,114) Tidak Baik 37 (19,5%) 153 (80,5%) 190

Total 160 199 359

Fokus SDM

Baik 118 (64,5%) 65 (35,5%) 183

5,792 (3,656 – 9,177) Tidak Baik 42 (23,9%) 134 (76,1%) 176

Total 160 199 359

Pengukuran, Analisa & Manajemen Pengetahuan

Baik 129 (63,9%) 73 (36,1%) 202

7,183 (4,415 – 11,685) Tidak Baik 31 (19,7%) 126 (80,3%) 157

Total 160 199 359

Fokus Pada Proses

Baik 137 (85,6%) 23 (14,4%) 160

45,6 (24,5 – 84,7) Tidak Baik 23 (11,6%) 176 (88,4%) 199

Total 160 199 359

Tabel 3. Analisa Multivariat

B S

.E. Wald

D

f Sig. Exp(B)

Step 1a

Kepemimpinan(1) ,743 ,

458 2,636 1 ,104 2,103

Renstra(1) -,195 ,

420 ,217 1 ,642 ,823

Fokuspelanggan(1) -1,354 ,

348 15,179 1 ,000 ,258

FokusSDM(1) -,457 ,

399 1,310 1 ,252 ,633

Pengukuran(1) -,332 ,

449 ,545 1 ,460 ,718

FokusProses(1) -3,158 ,

388 66,108 1 ,000 ,043

Constant 2,576 ,

321 64,502 1 ,000 13,146

No Variabel Nilai Rata-rata

1 Kepemimpinan 2,846

2 Perencanaan Strategi 2,910

3 Fokus Pelanggan/ Pasien 3,156

4 Manajemen Sumber Daya Manusia 2,989

5 Pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan 2,969

6 Fokus pada Proses 3,020

7 Kinerja Rumah Sakit 3,110

Rata-Rata 3

Jessihana Morgan Manurung, Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui

Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang

Page 64: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 138

B S

.E. Wald

D

f Sig. Exp(B)

Step 2a

Kepemimpinan(1) ,659 ,

418 2,478 1 ,115 1,932

Fokuspelanggan(1) -1,377 ,

344 16,043 1 ,000 ,252

FokusSDM(1) -,465 ,

399 1,357 1 ,244 ,628

Pengukuran(1) -,360 ,

445 ,654 1 ,419 ,698

FokusProses(1) -3,163 ,

388 66,347 1 ,000 ,042

Constant 2,538 ,

309 67,645 1 ,000 12,659

Step 3a

Kepemimpinan(1) ,555 ,

396 1,967 1 ,161 1,742

Fokuspelanggan(1) -1,351 ,

343 15,534 1 ,000 ,259

FokusSDM(1) -,550 ,

383 2,055 1 ,152 ,577

FokusProses(1) -3,288 ,

362 82,386 1 ,000 ,037

Constant 2,469 ,

292 71,315 1 ,000 11,817

Step 4a

Kepemimpinan(1) ,347 ,

363 ,911 1 ,340 1,415

Fokuspelanggan(1) -1,387 ,

341 16,534 1 ,000 ,250

FokusProses(1) -3,424 ,

354 93,517 1 ,000 ,033

Constant 2,364 ,

277 72,582 1 ,000 10,629

Step 5a

Fokuspelanggan(1) -1,311 ,

330 15,735 1 ,000 ,270

FokusProses(1) -3,320 ,

330 101,004 1 ,000 ,036

Constant 2,449 ,

265 85,230 1 ,000 11,576

a. Variable(s) entered on step 1: Kepemimpinan, Renstra, Fokuspelanggan, FokusSDM, Pengukuran, FokusProses.

Gambar 3. Baldrige Criteria for Performance Excellent Framework

Page 65: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 139

Percepatan Pemulangan Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di

Rumah Sakit Masmitra

Acceleration Discharge of Patients Hospitalized with Lean Concepts in Masmitra Hospital

Alamsyah

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Proses pemulangan pasien di Rumah Sakit Masmitra saat ini masih belum optimal, oleh karena belum ada alur

yang menggambarkan proses pemulangan pasien secara menyeluruh. Dengan mengaplikasikan konsep lean,

dilakukan pemetaan aliran nilai kondisi sekarang (value stream map) yang menunjukkan bahwa pada proses

pemulangan pasien terdapat 41 kegiatan dan hanya 51 % bersifat value added, dan tentu saja mempunyai implikasi

adanya pemborosan. Dari hasil analisis akar masalah diperoleh ide-ide perbaikan, kemudian dilakukan desain

ulang kedalam alur proses baru yang dianggap ideal menghasilkan total hanya 17 kegiatan, 83 % diantaranya

bersifat value added. Dengan diterapkannya konsep lean di RS Masmitra, diharapkan efisiensi juga akan terjadi

bila pekerjaan dilakukan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pasien, tepat waktu, tepat ukuran dan tepat

sasaran.

Kata kunci: konsep lean, percepatan, pemulangan pasien.

ABSTRACT

The process discharge of patients in hospital Masmitra is still not optimal, because there is no groove that

describes the process of returning the patient as a whole. By applying the concept of Lean, value stream mapping

current conditions which shows that the process of returning patients there were 41 activities and only 51% are

value added, and of course has implications for wastage. From the analysis of the root causes of acquired ideas

repair, and then carried into the re-design of the new process flow is considered ideal to produce a total of only

17 activities, 83% of which is value added. With the implementation of Lean Concept in RS Masmitra, expected

efficiency will also occur when the work is done in accordance with what is required by the patient, right time, the

right size and right on target.

Keywords: lean concepts, acceleration, patient discharge.

PENDAHULUAN

Rumah sakit bukan hanya sebuah tempat, tetapi juga

sebuah fasilitas, sebuah institusi dan sebuah organisasi.

Oleh karena itu, rumah sakit merupakan lembaga yang

padat modal, padat karya, padat teknologi dan padat

masalah yang dihadapinya. Di pihak lain, Rowland

dalam buku Hospital Administration Handbook

menyampaikan bahwa rumah sakit adalah salah satu

sistem kesehatan yang paling kompleks dan paling

efektif di dunia (Aditama, 2007).

Pada era globalisasi, persaingan pelayanan kesehatan

semakin tinggi, untuk itu semua organisasi harus

mempunyai strategi agar tetap bisa bertahan dan maju

dalam melaksanakan kepentingan bisnisnya. Begitu

pula dengan rumah sakit, terutama rumah sakit swasta

yang dananya tidak disubsidi oleh pemerintah dituntut

Page 66: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 140

untuk harus kreatif mencari solusi agar rumah sakit tetap

eksis (Kusumo, 2012).

Pelayanan keehatan yang bermutu dibentuk berdasarkan

lima prinsip Service Quality, yaitu Reliability,

Responsiveness, Assurance, Emphaty dan Tangibles

(Pasuraman et al, 1998). Suatu pelayanan dikatakan baik

oleh pasien, jika jasa yang diberikan dapat memenuhi

kebutuhan pasien, dengan menggunakan persepsi tentang

pelayanan yang diterima. Kepuasan dimulai dari

pelayanan terhadap pasien sejak pasien pertama kali

datang sampai pasien meninggalkan rumah sakit

(Anjaryani, 2009).

Penundaan (delay) akan mempengaruhi kondisi pasien

(outcome) selanjutnya, 1158 pasien yang mengalami

penundaan dalam proses masuk unit ranap 12,4%

diantaranya mengalami waktu pemanjangan masa

perawatan (Length of Stay) sehingga biaya perawatan

juga meningkat (Jurnal BMC Emergency Medicine,

2010). Penundaan proses pemulangan (discharge)

pasien juga mengakibatkan resiko infeksi nosokomial

meningkat, Forster (2010) menemukan 1,5 kasus infeksi

nosokomial per 1000 pasien ranap yang mengalami

pemanjangan LOS.

Rumah Sakit Masmitra adalah rumah sakit umum

swasta tipe D yang menyediakan pelayanan medik,

pelayanan penunjang medik, pelayanan dan asuhan

keperawatan serta pelayanan rujukan, Proses

pemulangan pasien di Rumah Sakit Masmitra hingga

saat ini mengacu pada Standar Prosedur Operasional,

belum ada alur proses yang menggambarkan proses

pemulangan pasien rawat inap secara menyeluruh,

sehingga seluruh unit yang terkait belum menyadari

bahwa hal ini harus dirancang seefisien mungkin untuk

mewujudkan pelayanan yang lebih berkualitas

KepMenkes RI Nomor 129 tahun 2008 tentang Standar

Pelayanan Minimal Rumah Sakit menyebutkan bahwa

standar waktu pemberian informasi tagihan pasien rawat

inap adalah ≤2 jam. Proses pemberian informasi tagihan

adalah bagian dari proses pemulangan pasien, dimulai

dari saat Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP)

memberikan instruksi pemulangan untuk pasien rawat

inap hingga pasien keluar dari ruang rawat inap.

Bertitik tolak dari hal diatas, diperlukan analisis yang

mendalam mengenai proses pemulangan pasien rawat

inap di Rumah Sakit Masmitra saat ini dan perlu

dilakukan penelitian yang berfokus pada efisiensi proses

dengan menghilangkan hal-hal atau langkah yang tidak

perlu.

Untuk mencapai pelayanan yang berkualitas, telah

banyak metode atau prinsip manajemen yang

diaplikasikan ke rumah sakit atau pusat layanan

kesehatan. Beberapa diantaranya adalah Total Quality

Management (TQM), Six Sigma dan yang terbaru adalah

Konsep Lean (Graban, 2009). Konsep Lean menitik

beratkan pada alur proses atau flow dari suatu industri

atau perusahaan, dimana aplikasinya membutuhkan

observasi yang ketat dan mendetail mengenai setiap

langkah pada suatu proses usaha dan mengacu pada

value atau nilai yang ingin dicapai oleh proses tersebut,

misalnya nilai kepuasan pasien (Womack & Jones,

1996)

TINJAUAN PUSTAKA

Dengan keberhasilan aplikasi metode Lean di berbagai

industri, bidang pelayanan kesehatan pun ikut tergerak

untuk mengadopsinya ke dalam praktik manajemen

rumah sakit. Setiap organisasi, termasuk rumah sakit,

pada umumnya selalu memikirkan masalah arus kas,

kepuasan pelanggan, dan kualitas. Hal-hal ini dapat

ditingkatkan dengan mengaplikasikan Lean pada alur

proses bisnis yang terjadi pada organisasi tersebut.

Rumah sakit dan proses-proses yang terjadi didalamnya

kebanyakan masih terlihat penuh dengan waste atau

inefisiensi. Dari berbagai studi yang dilakukan di seluruh

dunia, prinsip dan metode Lean merupakan hal efektif

yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal ini dan

menciptakan kualitas serta produktivitas pelayanan

kesehatan secara optimal (Graban, 2009).

Konsep Lean merupakan strategi perbaikan yang efektif

untuk diaplikasikan pada rumah sakit, karena konsep

yang digunakan menekankan dan memperhatikan

proses dari ujung ke ujung, menciptakan arus proses

yang mulus, value dari waktu pasien dan keahlian

pegawai, serta mengenali kegiatan mana yang tidak

menambah value bagi pasien sebagai waste (Ben-

Tovim et al, 2008).

Lean Healthcare merupakan strategi yang berfokus

menghilangkan tidak efisien sehingga memberikan

waktu yang lebih untuk aktivitas pelayanan pasien

(Lestie, 2006). Graban dalam “Lean Hospital”

Page 67: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 141

mendefinisikan Lean menjadi dua bagian yang sangat

sederhana, yaitu:

1) Total elimination of waste

Pemborosan, muda, atau waste merupakan segala

aktivitas yang tidak mencerminkan bantuan dalam

proses penyembuhan terhadap pasien. Semua

pemborosan harus dihilangkan atau minimal

dikurangi agar dapat menekan biaya rumah sakit,

meningkatkan kepuasan pasien serta meningkatkan

keselamatan pasien dan pegawai. Contoh pemborosan

di rumah sakit ialah:

a. Waktu tungggu pasien untuk diperiksa dokter;

b. Waktu tunggu untuk proses berikutnya;

c. Adanya suatu kesalahan yang sangat

membahayakan pasien; dan

d. Pergerakan yang tidak perlu, misal letak apotik

dan kasir yang berjauhan.

2) Respect of people

Respect dalam koridor konteks Lean memiliki

makna sejumlah cara untuk mendorong karyawan

agar termotivasi dan melakukan pekerjaan lebih

baik dengan cara yang konstruktif. Hal ini bukan

berarti meninggalkan segala hal untuk menyelesaikan

masalah dan beban kerja mereka masing-masing.

Akan tetapi, respect for people memiliki makna

respect kepada pasien, karyawan, dokter, komunitas,

dan semua stakeholders rumah sakit beserta

lingkungannya, sehingga dapat dikatakan jika

melakukan hal yang buruk kepada salah satunya saja

merupakan suatu tindakan yang sangat tidak dapat

diterima. Spear (2010) menggambarkan rasa hormat

terhadap orang lain adalah ikut melibatkan orang

terebut dan menghargai ide yang diberikan, bukan

hanya mengandalkan segelintir orang saja.Ketika

konsep Lean digunakan dalam industri kesehatan,

elimination of waste dan respect of people adalah

respek kepada pasien, karyawan, dokter, komunitas

dan stakeholder rumah sakit serta lingkungannya,

sehingga segala tindakan yang diambil harus dapat

diterima oleh semua yang terlibat. Cindy Jimmerson

(2005) merumuskan komponen dari situasi ideal

berdasarkan prinsip Toyota Production System yang

di adaptasikan untuk pelayanan kesehatan, yaitu

terdiri dari:

a. Memberikan pelayanan yang tepat dan sesuai

kebutuhan pasien, bebas dari kesalahan (defect

free);

b. Satu per satu dirancang khusus untuk setiap

pasien secara individu;

c. On demand, persis seperti yang diminta;

d. Respon langsung terhadap masalah atau

perubahan;

e. No waste; dan

f. Aman untuk pasien, staf, klinisi: secara fisik,

emosional, dan professional.

Metode Lean memiliki aturan yang spesifik untuk

menentukan kegiatan yang menambah value (value

added) dan yang tidak bisa menambah value (non

value added). Adapun aturan atau kriteria dari value

added activity adalah sebagai berikut:

a. Pelanggan harus mau membayar untuk semua

aktivitas tersebut;

b. Aktivitas tersebut haruslah dapat mentransformasi

sebuah produk atau layanan dalam suatu

bentuk; dan

c. Aktivitas tersebut haruslah dilakukan dengan

benar sejak pertama kali dilakukan.

Apabila kegiatan tidak memenuhi ketiga kriteria

diatas, maka kegiatan tersebut termasuk non value

added activity.

METODOLOGI PENELITIAN

Desain penelitian ini adalah observasional dengan

pendekatan kualitatif yaitu melalui telaah data dari rumah

sakit dan observasi proses pemulangan pasien rawat inap

Rumah Sakit Masmitra serta wawancara dengan

petugas dari unit terkait dan perwaklian dari manajemen

rumah sakit.

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap

yang telah diizinkan pulang oleh Dokter Penanggung

Jawab Pelayanan (DPJP) pada saat visit dokter. Cara

peneliti mengetahui pasien yang akan pulang adalah

melalui informasi dari perawat ruangan, dimana pada

sebagian pasien satu hari sebelumnya sudah ada rencana

pemulangan dari DPJP. Sampel yang diambil sebanyak

10 pasien, tanpa membedakan jenis penyakit dan umur

pasien.

Informan dipilih secara purposive yaitu pengambilan

sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu dan

dilakukan untuk menghindari bias. Informan yang

diambil sebanyak 7 orang, terdiri dari Direktur RS,

Kepala Runag Rawat Inap, Perawat Pelaksana, Petugas

Penata Rekening, Petugas Instalasi Farmasi, Petugas

Kasir dan Staf IT.

Alamsyah., Percepatan Pemulanga Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra

Page 68: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 142

HASIL DAN PEMBAHASAN

Unit yang terlibat dalam proses pemulangan pasien

adalah Dokter Penganggung Jawab Pasien (DPJP),

Perawat, Penata Rekening, Farmasi, Kasir, Laboratorium

dan Radiologi. Unit Radiologi dan Laboratorium sudah

online ke penata rekening, tagihan secara otomatis sudah

online. Seluruh unit yang terlibat dalam proses pelayanan

di unit rawat inap terbagi menjadi tiga shift yaitu pagi,

siang dan sore. Pagi dari jam 08.00-14.00. siang dari jam

14.00-21.00 dan malam 21.00-08.00, kecuali Penata

Rekening hanya ada satu shift yaitu dari jam 08.00-

17.00. Gambaran proses pemulangan pasien di Rumah

Sakit Masmitra dapat dilihat pada Cross Functioal

Flowchart (ditampilkan dalam gambar 1).

Proses pemulangan pasien rawat inap dimulai dengan

instruksi pemulangan dari DPJP dan berakhir pada saat

pasien meninggalkan ruang rawat inap. Setelah DPJP

visit dan memberikan instruksi pulang, perawat

menyiapkan resep obat yang akan dibawa pulang oleh

pasien, obat-obat dan alat-alat kesehatan yang akan di

retur serta berkas-berkas tagihan pasien. Resep obat

pulang pasien dan returan obat/alkes diantarkan oleh

perawat ke instalasi farmasi, sedangkan berkas-berkas

tagihan pasien diantarkan ke bagian penata rekening.

Petugas penata rekening melakukan input semua berkas

tagihan pasien berupa jasa visit dan tindakan dokter

kemudian akan menginformasikan melalui telfon

kepada petugas kasir bila semua berkas tagihan telah

selesai di input.

Petugas farmasi menyiapkan obat yang akan dibawa

pulang oleh pasien, menghitung obat/alkes yang di retur

serta melakukan input seluruh berkas tagihan pemakaian

obat pasien selama dirawat. Setelah selesai semua proses,

kemudian petugas farmasi akan menginformasikan ke

Unit Rawat Inap agar obat pulang pasien diambil oleh

perawat ke Instalasi Farmasi dan menyerahkan seluruh

berkas tagihan pemakaian obat ke petugas Kasir. Petugas

Kasir akan melakukan cross chek seluruh berkas yang

diserahkan oleh Petugas Instalasi Farmasi, walaupun

secara on line data yang di input oleh petugas farmasi dan

petugas penata rekening juga bisa dilihat di komputer

kasir. Petugas Kasir akan menginformasikan Unit

Rawat Inap bila semua proses telah selesai dilakukan,

agar keluarga turun ke Kasir untuk menyelesaikan

administrasi. Perawat akan menjelaskan perihal obat-

obat pulang, diet dan aktivitas yang bisa dilakukan di

rumah serta waktu kontrol setelah keluarga menyerahkan

tanda bukti lunas, yang dilanjutkan dengan melepas infus

dan membawa pasien keluar dari ruang rawat inap.

SPO pemulangan pasien hanya ada di ruang rawat inap

saja, pada unit lain yang terkait dengan proses

pemulangan pasien seperti Penata Rekening, Instalasi

Farmasi dan Kasir tidak ditemukan adanya SPO

tersebut. Pada waktu peneliti menanyakan kepada

petugas terkait, mereka menyatakan tidak pernah melihat

dan mengetahui isi SPO tersebut.

Dari 10 pasien rawat inap yang pulang didapat waktu

rata - rata keluarga menerima informasi tagihan dan

waktu rata – rata pasien keluar dari kamar rawat inap.

Dari tabel 11 dapat dilihat waktu rata – rata keluarga

pasien menerima informasi tagihan adalah 160 menit,

waktu ini masih tergolong cukup lama, karena

KepMenkes RI Nomor 129 Tahun 2008 tentang

Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang

menyebutkan bahwa standar pada waktu pemberian

informasi tagihan pasien rawat inap adalah < 2jam.

Sedangkan waktu rata - rata pasien keluar dari kamar

rawat inap adalah 182 menit dimulai sejak DPJP

menyatakan pasien boleh pulang.

Dalam penelitian ini seluruh kegiatan proses pemulangan

pasien yang dilakukan oleh DPJP, Perawat, Penata

Rekening, Instalasi Farmasi dan Kasir disusun kemudian

ditentukan jenis mana yang value added dan non value

added (ditampilkan dalam tabel 2).

Dari tabel diatas dapat dilihat total kegiatan pada proses

pemulangan pasien rawat inap saat ini di Rumah Sakit

Masmitra ada 41 kegiatan, 21 kegiatan ( 51 %) bersifat

value added dan 20 kegiatan (49 %) bersifat non value

added.

Setelah mengumpulkan data-data mengenai proses

pemulangan pasien melalui observasi dan wawancara

mendalam serta menyusun Tabel Value Assessment,

maka langkah selanjutnya adalah memetakan Current

State Value Stream Mapping Value Stream Map

merupakan tehnik Lean yang dianggap efektif untuk

mengidentifikasi dan menghilangkan waste dalam rantai

pasokan. Gambaran Value Stream Map proses

pemulangan pasien rawat inap tersebut ditampilkan

dalam gambar 2.

Page 69: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 143

Pada Current State Value Stream map, maka

digambarkanlah bentuk untuk menyelesaikan administrasi

pemulangan pasien harus melalui 5 proses yaitu di DPJP,

Perawat, Penata Rekening, Instalasi Farmasi dan Kasir.

Proses di DPJP ada 6 kegiatan, Unit Rawat Inap 15

kegiatan, Penata Rekening 8 kegiatan, Instalasi Farmasi

6 kegiatan dan Kasir 6 kegiatan.

Dalam Current State Value Stream proses pemulangan

pasien, dapat dilihat juga mobilitas dari perawat yang

diberi simbol gambar orang harus berjalan dari ruang

rawat inap ke Penata Rekening dan Instalasi Farmasi

yang memerlukan jarak tempuh 140 meter untuk

mengantarkan berkas tagihan rawap inap, resep obat

pulang, returan obat dan mengambil obat pulang.

Aliran informasi yang terjadi digambarkan dengan

simbol tanda panah, dimana petugas Penata Rekening

ini harus melakukan rekapitulasi seluruh tagihan baik

yang berasal dari ruang rawat inap maupun dari Instalasi

Farmasi. Petugas Instalasi Farmasi setelah melakukan

input data tagihan kemudian menyerahkan berkas

tagihan ke petugas kasir untuk dilakukan pengecekan

berkas tagihan, setelah selesai kemudian petugas kasir

akan menginformasikan ke perawat agar keluarga

pasien menyelesaikan pembayaran dan meyerahkan

bukti lunas ke perawat.

Gambar yang paling bawah menunjukkan waktu yang

value added dan non value added dari masing-masing

proses. Juga ditunjukkan jumlah total kegiatan itu untuk

proses pemulangan pasien saat ini ada sebanyak 41

kegiatan, 21 kegiatan value added dan 20 kegiatan non

value added.

Pada alur proses pemulangan pasien rawat inap yang

sebenarnya ditemukan ketidak sesuaian terhadap SPO

pemulangan pasien rawat inap Rumah Sakit Masmitra

yang telah ada. Menurut Perry dan Potter (2005), SPO

adalah suatu standar atau pedoman tertulis yang

dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan

suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.

Standar Prosedur Operasional merupakan tata cara atau

tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk

menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Keberadaan

SPO pemulangan pasien tidak pada semua unit yang

terkait, hanya ada di ruang rawat inap, serta berdasarkan

wawancara mendalam sebagian besar tidak mengetahui

isi SPO tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa SPO

pemulangan pasien tersebutpun belum terdistribusikan

dan tersosialisai dengan baik. Menurut Notoatmodjo

(1992), melakukan pekerjaan secara efisien tidak hanya

bergantung kepada kemampuan atau ketrampilan

pekerja semata, tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa

hal, satu diantaranya adalah prosedur kerja yang

berisikan uraian tugas yang jelas.

Kegiatan DPJP setelah menyatakan pasien boleh

pulang, kemudian melanjutkan visite ke pasien lain serta

memberikan penjelasan pada keluarga pasien yang lain

adalah waste, tapi disisi lain kedua kegiatan tersebut tidak

bisa dihilangkan karena sudah menjadi kewajiban DPJP.

Namun, hal itu bisa dilaksanakan setelah DPJP

menyelesaikan dokumen yang diperlukan untuk proses

pemulangan pasien, sehingga tidak ada kewajiban DPJP

yang diabaikan dan tidak menambah waktu tunggu

proses pemulangan pasien selanjutnya. Menurut Graban

(2009), segala aktivitas yang tidak memberikan nilai

terhadap pasien adalah suatu waste, yang harus

dihilangkan atau di minimalisir. Waste itu sendiri dalam

Konsep Lean ada 2 Type yaitu Waste/Muda tipe 1 dan

Waste/Muda tipe 2, dimana Waste tipe 1 adalah aktivitas

yang menghasilkan pemborosan namun tidak dapat

dihilangkan , tapi dapat di minimalisir, sedangkan Waste

tipe 2 adalah kegiatan yang benar-benar memboroskan

dan seharusnya dihilangkan. Di Rumah Sakit Masmitra

belum ada kebijakan dan SPO yang bisa mengatur

langkah diatas, oleh karena itu pendekatan yang baik

kepada DPJP oleh jajaran manajemen, diharapkan bisa

menjadi dasar untuk membuat kebijakan dan SPO yang

mengatur proses ini agar menjadi lebih Lean.

Masalah yang terjadi di Unit Rawat Inap adalah ketika

dalam waktu yang bersamaan ada DPJP lain yang

melakukan visite, bila hal ini terjadi dan kebetulan juga

pasien banyak pulang, maka proses pemulangan pasien

menjadi lebih lama. Hal tersebut dikarenakan jumlah

SDM yang ada di Unit Rawat Inap belum mencukupi

dan tidak adanya pembagian tugas yang jelas pada tiap

shift nya. Menurut Ilyas (2011) bahwa salah satu

indikator keberhasilan rumah sakit yang efektif dan

efisien adalah tersedianya SDM yang cukup dengan

kualitas yang tinggi, profesional yang sesuai dengan

fungsi dan tugas personil. Jumlah SDM yang cukup

diiringi dengan komitmen profesional. Disamping

masalah kurangnya jumlah SDM dan tidak adanya

pembagian tugas yang jelas, peneliti juga melihat belum

adanya perencanaan pemulangan (discharge planning)

yang baik. Menurut The Royal Marsden Hospital

(2004), discharge planning sangat dibutuhkan, karena

Alamsyah., Percepatan Pemulanga Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra

Page 70: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 144

mempersiapkan pasien dan keluarga secara fisik dan

psikologis sebelum pulang ke rumah serta mempersiapkan

segala sesuatunya pada hari sebelumnya, agar pada hari

pemulangannya semua proses berjalan tanpa hambatan.

Sebagai solusi menurut peneliti dengan menambah

Pembantu Perawat ruangan pada tiap shift serta adanya

pembagian tugas yaitu pada tiap shift ada seorang

perawat yang bertanggung jawab dalam pemulangan

pasien, maka aliran informasi dari Unit Rawat Inap tidak

memerlukan banyak waktu tunggu. Didukung

Discharge Planning yang baik, perawat yang

bertanggung jawab dalam pemulangan pasien, sudah

memperkirakan pasien mana yang akan dipulangkan,

segera menerima instruksi pemulangan pasien dari

DPJP dan melanjutkan proses selanjutnya.

Proses di Penata Rekening merupakan ujung tombak

dalam proses pemulangan pasien, waktu rata-rata yang

diperlukan untuk menyelesaikan semua rincian adalah

38 menit. Lama waktu proses di bagian ini dipengaruhi

oleh lama waktu proses di bagian lain, jika proses

dibagian lain cepat dan tidak bermasalah, maka proses di

penata rekening juga lebih cepat. Penyerahan berkas

tagihan dari Unit Rawat Inap menemui kendala jika ada

pasien banyak pulang dan waktunya berdekatan maka

ada kecenderungan untuk menunggu satu sama lain. Hal

ini terjadi karena selama ini tidak ada standar waktu

berapa lama yang dianggap berdekatan, serta standar

jumlah pasien yang harus segera diantarkan berkas

tagihannya, sehingga saat ini perawat hanya menggunakan

persepsinya masing-masing. Lokasi antara ruang rawat

inap terhadap Penata Rekening dan Instalasi Farmasi

yang tidak berada dalam se lantai satu sama lainnya juga

menjadi alasan untuk efisiensi, sehingga perawat

mengumpulkan beberapa pasien pulang untuk diantar ke

Penata Rekening dan Instalasi Farmasi. Namun apapun

alasannya harus ada standar waktu yang ditetapkan oleh

rumah sakit. Standar adalah suatu pedoman atau model

yang disusun dan disepakati bersama serta dapat diterima

pada suatu tingkat tertentu untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan (Reyers, 1983). Sebagai solusi untuk

mengatasi lamanya proses di Penata Rekening adalah

menghilangkan waste di Unit Rawat Inap dan Instalasi

Farmasi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,

karena sebagian besar akar masalahnya berasal dari

kedua unit tersebut. Disamping itu perlu dilakukan

relokasi ruangan Penata Rekening ke ruang Kasir yang

bersebelahan dengan Instalasi Farmasi, sehingga bisa

mengurangi jarak tempuh dari Pembantu Perawat ketika

menyerahkan berkas tagihan dan retur obat/alkes.

Penambahan jumlah SDM di Penata Rekening juga

perlu dipertimbangkan agar jam kerja Penata Rekening

dibagi menjadi 2 shift, guna menunjang beban kerja di

Kasir.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapat rata-rata

waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses di

Instalasi Farmasi adalah 48 menit. Lamanya waktu

proses tersebut disebabkan oleh belum adanya

pemisahan tugas antara petugas yang menangani pasien

rawat jalan dan rawat inap, sehingga apabila pasien rawat

jalan banyak, maka pelayanan pasien rawat inap yang

pulang menjadi terkendala, karena pelayanan terhadap

pasien rawat jalan didahulukan. Dampaknya adalah

input data tagihan pemakaian obat dan alkes selama

perawatan serta penyerahan berkas tagihan ke petugas

kasir menjadi tertunda. Standar pelayanan farmasi di

rumah sakit menyebutkan bahwa Instalasi Farmasi

Rumah Sakit di dalam melaksanakan pelayanan farmasi

dibagi menjadi 3 shift pelayanan dalam waktu 24 jam.

Distribusi tenaga farmasi ditempatkan pada 2 depo

pelayanan yaitu depo farmasi IGD/rawat jalan dan depo

farmasi rawat inap. Masing-masing depo pelayanan

dipimpin oleh apoteker. Solusi permasalahan di Instalasi

Farmasi adalah adanya pemisahan tugas, dengan adanya

hal tersebut memberi pengaruh waktu tunggu dan

kegiatan di unit lain.

Proses di Kasir merupakan akhir dari proses administarsi

pemulangan pasien rawat inap. Pada bagian inilah

keluarga pasien dapat mengetahui seluruh perincian

biaya selama pasien di rawat inap di rumah sakit. Proses

di kasir dipengaruhi oleh lama nya proses di bagian lain,

dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata lamanya

keluarga pasien menerima informasi tagihan dari kasir

adalah 160 menit (> 2 jam). Penyebab dari waktu tunggu

yang lama dalam pemberian informasi tagihan adalah

petugas kasir harus melakukan pengecekan berkas

tagihan dari Instalasi Farmasi. Kegiatan ini bisa tertunda,

ketika Petugas Kasir harus melayani pembayaran dari

pasien rawat jalan, apotek serta penunjang lain, terlebih di

waktu kunjungan poliklinik sedang ramai. Menurut

peneliti dengan keberadaan Penata Rekening di ruang

Kasir, pengecekan berkas tagihan dari Instalasi Farmasi

yang selama ini dilakukan oleh Petugas Kasir dialihkan

ke Petugas Penata Rekening, dengan demikian kegiatan

pengecekan ini tidak terhambat oleh kegiatan lain.

Dalam Konsep Lean Hospital, ada 8 jenis waste yang

ada dalam lingkungan rumah sakit, namun dalam

Page 71: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 145

penelitian ini hanya ditemukan 6 jenis waste yang terkait

dengan proses pemulangan pasien rawat inap di Rumah

Sakit Masmitra, yaitu: Over Production, Over

Transportation, Over Processing, Defect, Waiting dan

Motion. Setelah melakukan penggolongan waste yang

terjadi pada proses pemulangan, langkah selanjutnya

adalah mencari akar masalah yang menyebabkan

terjadinya waste dengan Metode Caused and Effect

(Fishbone Diagram). Dari hasil analisis dengan Metode

Cause & Efect didapatkan faktor yang menjadi sebab

waste pada sistem alur proses pemulangan pasien.

Peneliti mengusulkan langkah-langkah perbaikan untuk

dapat meminimalisir waste yang ada, pertimbangan-

pertimbangan lain yang disadari oleh peneliti bahwa

untuk mengubah dan merencanakan suatu usulan/ide di

Rumah Sakit Masmitra harus melalui proses yang

panjang dan rumit, karena menyangkut berbagai

kebijakan dari pihak manajemen serta anggaran rumah

sakit. Peneliti dalam memberikan usulan perbaikan

menggunakan kriteria jangka pendek, menengah dan

jangka panjang. Adapun uraian dari usulan - usulan

perbaikan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Usulan perbaikan jangka pendek

Revisi, Distribusi dan Sosialisasi SPO Pemulangan

pasien Rawat Inap.

Menciptakan komitmen antar unit: menetapkan

standar waktu proses dari masing- masing unit

terkait proses pemulangan pasien.

Meningkatkan koordinasi antar unit

2) Usulan perbaikan jangka menengah

Pendekatan kepada DPJP dalam hal pemulangan

pasien.

Pembagian tugas di Instalasi Farmasi.

Relokasi Penata Rekening ke Ruang Kasir.

3) Usulan perbaikan jangka panjang

Penambahan SDM di Ruang Rawat Inap.

Penambahan SDM di Penata Rekening.

Apabila semua usulan perbaikan dilaksanakan maka

akan didapat proses pemulangan pasien yang ideal,

dimana total proses pemulangan pasien rawat inap dapat

diringkas menjadi 17 kegiatan, 14 kegiatan bersifat value

added dan 3 kegiatan bersifat non value added

(ditampilkan dalam gambar 3).

Dapat dilihat disini setelah dilakukan usaha-usaha

perbaikan, terjadi perubahan pada masing-masing unit,

yaitu: Proses di DPJP ada 1 kegiatan, Unit Rawat Inap

ada 7 kegiatan, Proses di Penata Rekening ada 3

kegiatan, Proses di Instalasi Farmasi ada 5 kegiatan dan

Proses di Kasir ada 1 kegiatan.

Jarak tempuh perawat setelah Ruang Penata Rekening

pindah ke Ruang Kasir yang bersebelahan dengan

Instalasi Farmasi berkurang menjadi 40 meter. Petugas

Kasir tidak lagi melakukan pengecekan berkas tagihan

dari Instalasi Farmasi, karena dengan keberadaan

Petugas Penata Rekening di ruang Kasir, kegiatan

tersebut bisa dilakukan oleh Petugas Penata Rekening.

Tentunya apabila semua usulan perbaikan dilaksanakan,

maka Rumah Sakit Masmitra membutuhkan biaya yang

sangat besar, kerena terkahit dengan penambahan SDM,

oleh karena itu peneliti juga melakukan analisis apabila

perbaikan dilakukan tanpa harus menambah SDM,

hasilnya.

Data pada tabel 3 menunjukkan bila hanya dengan

melakukan usulan perbaikan tanpa menambah SDM,

hasilnya jauh lebih baik dari kondisi sekarang, walaupun

tidak sebaik bila melakukan usulan perbaikan dengan

penambahan SDM, karena masih ada waste di unit

rawat inap dan bottle neck di kasir bila ada pasien rawat

inap yang pulang diatas jam 17.00 dimana Petugas Penata

Rekening sudah tidak ada dan kunjungan pasien Poliklinik

sedang ramai.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1) Proses pemulangan pasien rawat inap di Rumah

Sakit Masmitra saat ini masih memerlukan waktu

yang cukup lama. Penyebab lamanya proses

pemulangan pasien tersebut disebabkan oleh;

DPJP setelah menyatakan pasien boleh pulang

tidak segera membuat instruksi pulang dan

membuat resep obat pulang, melainkan

melanjutkan visit ke pasien-pasien yang lainnya.

Belum ada perawat yang bertanggung jawab

untuk menyelesaikan proses pemulangan pasien di

unit rawat inap,

Belum ada pembagian tugas yang jelas di

Instalasi Farmasi, sehingga bila pasien rawat

jalan ramai, proses yang berkaitan dengan

pasien pulang menjadi tertunda.

2) Current State Value Stream Map menunjukkan

bahwa ada 6 jenis waste yang ditemukan pada

Alamsyah., Percepatan Pemulanga Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra

Page 72: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 146

proses pemulangan pasien rawat inap saat ini di

Rumah Sakit Masmitra, yaitu: Over Production,

Over Transportation, Over Processing, Defect,

Waiting dan Motion.

3) Apabila seluruh usulan perbaikan dilaksanakan

akan didapat proses pemulangan pasien rawat inap

yang dianggap ideal, yaitu total kegiatan dapat

diringkas menjadi 17 kegiatan, 14 kegiatan bersifat

value added (94,4 %) dan 3 kegiatan bersifat non

value added (5,6 %).

4) Apabila semua usulan perbaikan dilaksanakan,

tentunya Rumah Sakit Masmitra membutuhkan

biaya yang cukup besar, karena terkait dengan

penambahan SDM. Namun apabila perbaikan

dilakukan tanpa adanya penambahan SDM,

ternyata hasilnya masih jauh lebih baik bila

dibandingkan dengan kondisi saat ini walaupun

tidak seoptimal dengan dengan yang ideal.

Saran

1) Proses pemulangan pasien rawat inap saat ini yang

telah dituangkan ke dalam Current State Value

Stream Map pada penelitian ini sebaiknya disosialisasikan

kepada seluruh petugas yang terkait pada proses

pemulangan pasien.

2) Usulan-usulan perbaikan yang telah disusun dalam

penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan

bagi jajaran manajemen Rumah Sakit Masmitra

untuk dilaksanakan, terutama usulan perbaikan jangka

pendek, karena tidak membutuhkan banyak biaya.

Pada implementasinya, manajemen Rumah Sakit

Masmitra dapat segera memperbaiki SPO Pemulangan

pasien kemudian mendistribusikan dan mensosialisasikan

kepada seluruh petugas terkait.

3) Melakukan relokasi ruang penata rekening yang

sekarang ke ruang kasir juga sudah bisa mulai

difikirkan, mengingat ruang kasir yang baru

dibangun ini masih ada ruang kosong yang masih

memungkinkan untuk ditempati oleh Petugas

Penata Rekening disitu. Dengan dilakukannya

relokasi tersebut, Perawat/Pembantu Perawat tidak

harus naik turun dalam mengantar berkas tagihan dan

resep obat pulang serta returan, karena lokasi antara

Ruang Kasir dan Instalasi Farmasi sekarang adalah

bersebelahan.

4) Di Instalasi Farmasi perlu segera dilakukan pembagian

tugas antara yang menangani pasien rawat jalan dan

rawat inap, dengan demikian walaupun banyak pasien

rawat jalan yang dilayani, kegiatan yang menyangkut

proses pasien pulang tidak tertunda.

5) Perlu dibuat SPO pemulangan pasien bagi DPJP yang

intinya menegaskan bahwa setelah menyatakan pasien

boleh pulang, DPJP segera menyelesaikan instruksi

pulang dan resep obat pulang, sehingga aliran informasi

ke tahap selanjutnya menjadi lancar. Namun untuk

merealisasikan hal ini, pihak manajemen tidak bisa

berjalan sendiri tetapi harus meminta bantuan pihak lain

yang mengkomunikasikan dan memediasikan yaitu

Komite Medis.

6) Masalah perubahan jam kerja Penata Rekening

menjadi dua shift, bisa disiasati dengan melemburkan

petugas yang dianggap mampu untuk melaksanakan

kegiatan Penata Rekening pada waktu diatas jam 17.00,

sehingga bila ada pasien rawat inap yang pulang

diwaktu tersebut, kegiatan input seluruh data tagihan

tidak dilakukan oleh Petugas Kasir, seperti yang

dilaksanakan pada saat ini. Langkah ini tentunya bisa

jauh lebih menghemat biaya bila dibandingkan rumah

sakit harus merekrut lagi karyawan baru untuk

menambah shift Petugas Penata Rekening.

DAFTAR PUSTAKA

Parasuraman, A, Zeithaml V.A. and A. Berry L.L. 1998. SERVEQUAL: A Multiple-item Scale

for Measuring Consumer Perseption of Service Quality, Journal of Retailing, Vol. 64

(January), p. 12-35.

Anjaryani, WD., 2009 Kepuasan Pasien Rawat Inap Terhadap Pelayanan Perawat di RSUD Tugurejo Semarang. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Diunduh 20 Februari 2015.

Discharge Planning Assotiation. 2008. Discharge Planning di http:www discharge Planning.org.au/index.htm. Diunduh pada tanggal 2 maret 2015

Departemen Kesehatan RI. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:

129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik.

Graban M. 2009 Lean Hospitals: Improving Quality, Patient Safety, and Employee Satisfaction.

New York: Taylor & Francis Group; 2009. Jimmerson, Cindy, Dorothy Weber, dan Durward K. Sobek. 2005. Reducing waste and errors:

Piloting Lean Principles at Intermountain Healthcare. J Quality patient Safety. Notoatmodjo, Soekidjo. 2009. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Potter, Patricia A. & Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,

Proses, Dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC. Ben-Tovim, David I., et al.2008. Patient journeys: the process of clinical redesign. Med J

Australia 2008; 188(6); S14-17.

Womack, James P. dan Daniel T. Jones. 1996 Lean Thinking: Banish Waste and Create Wealth in Your Corporation. New York: Simon & Schuter.

Wibowo, A. 2014. Metodologi Penelitian Praktis Bidang kesehatan. Jakarta: Rajawali Press.

Rother, M. dan Shook, J. 2003. Learning to See: Value stream mapping to add value and

eliminate muda. Cambride, MA: Lean Enterprise Institute.

Page 73: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 147

Gambar 1. Proses Pemulangan Pasien Rawat Inap di RS Masmitra

Tabel 1. Rangkuman Waktu Pasien Menerima Informasi Tagihan dan Keluar Ranap

No.

Pasien Mulai

Informasi Tagihan Keluar Kamar Ranap

Selesai Total waktu (menit) Selesai Total Waktu (menit)

1. 10.15 13.11 176 menit 13.28 193 menit

2. 08.20 12.04 224 menit 12.26 246 menit

3. 12.35 16.29 236 menit 16.54 259 menit

4. 08.35 10.36 121 menit 10.59 144 menit

Tabel 1.1 Rangkuman Waktu Pasien Menerima Informasi Tagihan dan Keluar Ranap

(sambungan)

No.

Pasien Mulai

Informasi Tagihan Keluar Kamar Ranap

Selesai Total waktu (menit) Selesai Total Waktu

(menit)

5. 10.05 12.26 141 menit 12.48 163 menit

6. 08.10 10.47 157 menit 11.09 179 menit

7. 10.10 12.38 148 menit 11.30 170 menit

8. 08.40 11.08 137 menit 10.30 160 menit

9. 08.10 10.27 137 menit 10.50 160 menit

10. 11.40 13.48 128 menit 14.11 151 menit

Rata - rata 160 menit 182 menit

Tabel 2. Value Assesment

Unit Jumlah kegiatan Jenis Kegiatan

Value Added Non Value Added

DPJP 6 Kegiatan 4 Kegiatan 2 Kegiatan

Perawat 15 Kegiatan 8 Kegiatan 7 Kegiatan

Penata Rekening 6 Kegiatan 4 Kegiatan 2 Kegiatan

Farmasi 8 Kegiatan 3 Kegiatan 5 Kegiatan

Kasir 6 Kegiatan 2 Kegiatan 4 Kegiatan

Total 41 Kegiatan 21 Kegiatan 20 Kegiatan

Alamsyah., Percepatan Pemulanga Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra

Page 74: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 148

Gambar 2. Current State VSM Proses Pemulangan Pasien Rawat Inap RS Masmitra

Gambar 3. Future State VSM Proses Pemulangan Pasien Rawat Inap RS Masmitra

Page 75: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 149

Tabel 3. Perbedaan antara Current State dan Usulan perbaikan Tanpa Penambahan

SDM dan Future State

No. Perubahan Current State Usulan Perbaikan Tanpa Penambahann

SDM Future State

1. Jumlah kegiatan 41 17 17

2. Presentase kegiatan VA 51% 76,5% 94,4%

3. Presentase kegiatan Non VA 49% 23,5 % 5,6 %

4. Prosentase VA time 30,5% 75 % 92,3 %

5. Prosentase NVA time 69,5% 25 % 7,7 %

6. Total jarak tempuh 140 meter 44 meter 44 meter

7. Total waktu keluarga pasien menerima informasi tagihan

160 menit 76 menit 65 menit

8. Total waktu proses pemulangan

pasien rawat inap 182 menit 88 menit 78 menit

Alamsyah., Percepatan Pemulanga Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra

Page 76: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

141

ABSTRAK

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan melalui peraturannya mengamanahkan pentingnya keselamatan

pasien. Hal ini dapat dilihat dari disebutkannnya keselamatan pasien dalam empat pasal di Undang-Undang Nomor

44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan secara khusus dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Pentingnya isu kesela-

matan pasien di rumah sakit tidak berbanding lurus dengan indikator kinerja Rumah Sakit BLU yang tertulis dalam

Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Badan

Layanan Umum Bidang Layanan Kesehatan. Dalam Perdirjen ini, dapat dilihat bahwa penilaian kinerja RS BLU

terdiri dari aspek keuangan dan aspek pelayanan. Keselamatan pasien dapat dilihat pada aspek pelayanan lebih khu-

susnya dapat dilihat pada kelompok indikator mutu klinik yang memiliki skor maksimal 12 dari 100. Mutu klinik di

ukur dengan lima indikator yang empat di antaranya adalah angka kematian. Jika merujuk kepada besarnya

penekanan terhadap keselamatan pasien dan definisi keselamatan pasien, maka pertanyaannya adalah apakah indi-

kator berupa angka kematian cukup merepresentasikan pentingnya keselamatan pasien dirumah sakit? Penulisan ini

bertujuan untuk memberikan gambaran peranan keselamatan pasien dalam tatanan indikator kinerja Rumah Sakit

BLU. Penulisan ini menggunakan metode literatur review. Hasil dari telaah ini menunjukkan bahwa upaya kesela-

matan pasien belum sepenuhnya menjadi tolak ukur kinerja Rumah Sakit BLU.

Kata kunci: keselamatan pasien, rumah sakit, indikator kiner ja RS BLU.

ABSTRACT

The government which is the Ministry of Health through its regulations mandates the importance of patient safety.

This can be seen from the mention of patient safety in the four articles in Undang-Undang Number 44 Year 2009

about Hospital and specifically in the Minister of Health Regulation. The importance of patient safety issues in hos-

pitals is not directly proportional to the performance indicators of the BLU Hospital written inPeraturan Direktur

Jenderal Pembendaharaan Number 34 Year 2014 about the Guidelines for Performance Appraisal of Public Ser-

vice Bodies for Health Services. In this regulation, it can be seen that the performance assessment of BLU Hospital

consists of financial aspect and service aspect. Patient safety can be seen in service aspect more specially can be

seen in group of clinical quality indicator which have maximum score 12 from 100. Clinic quality is measured with

five indicator which four of them is death rate. If it refers to the magnitude of the emphasis on patient safety and the

definition of patient safety, then the question is whether the indicator of mortality adequately represents the im-

portance of patient safety in the hospital? This article aimed to provide an overview of the role of patient safety in

the performance indicators of hospital performance BLU. This study was conducted by using the literature review

method. The results of this study indicate that the patient's safety efforts have not fully become the benchmark of

BLU Hospital performance.

Keywords: patient safety, hospital, performance indicators of BLU Hospital.

Perlukah Keselamatan Pasien Menjadi Indikator Kinerja RS BLU?

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Kampus Baru Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat, 16424, Telp. (021) 7864974

*Email: [email protected]

PENDAHULUAN

To Err is Human adalah sebuah laporan yang disam-

paikan oleh US Institute of Medicine pada tahun 1999.

Dalam hasilnya disampaikan bahwa setiap negara di-

harapkan menyusun National Goal for Patient safety.

Kegiatan ini diikuti oleh WHO pada tahun 2002 dan

Joint commission mulai mempromosikan pada tahun

2003. Indonesia juga mulai menyusun standar dan sasa-

ran terhadap keselamatan pasien yang tertulis jelas pada

Peraturan Menteri Kesehatan no 1691 tentang Kesela-

matan Pasien.

Keselamatan Pasien adalah paradigma yang menjadi

sangat penting untuk dijadikan dasar dalam memberikan

pelayanan. Pentingnya paradigm ini dapat dilihat dalam

empat pasal yang disampaikan dalam Undang-Undang

Rumah Sakit. Dalam perjalananya, keselamatan pasien

belum secara maksimal mendasari pelayanan yang

diberikan oleh rumah sakit. Berbeda dengan prinsip

efisiensi yang menjadi sorotan penting dalam mem-

berikan pelayanan. Banyak sekali media yang menyam-

Masyitoh Basabih

Should Patient Safety Be a Performance Indicator of RS BLU?

Jurnal ARSI/Februari 2017 150

Page 77: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

141

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2

paikan bahwa tanpa jaminan maka pelayanan tidak dapat

diberikan dan kenyataannya hal tersebut menjadi ke-

bijakan dirumah sakit yang mutlak sifatnya. Hal ini

menunjukkan pentingnya peranan perspektif keuangan,

lantas bagaimana dengan keselamatan pasien? Seberapa

besar keselamatan pasien menjadi dasar dalam membuat

kebijakan di rumah sakit?

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat in-

ap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dalam undang-undang

yang sama disampikan juga bahwa rumah sakit milik

pemerintah harus berbentuk Badan Layanan Umum atau

Badan Layanan Umum Daerah (Kementerian Kesehatan,

2009).

Dalam Peraturan Pemerintah No 23 Tentang Badan

Layanan Umum, BLU didefinisikan sebagai instansi di

lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan

pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang

dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari

keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasar-

kan pada prinsip efisiensi dan produktivitas, sementara

pola pengelolaan keuangannya memberikan fleksibilitas

dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyara-

kat. Tujuan dari BLU adalah meningkatkan pelayanan

kepada masyarakat (PP, 2005).

Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyara-

kat, Rumah Sakit BLU memiliki sejumlah indikator

kinerja yang terbagi menjadi aspek keuangan dengan skor

maksimal 30 dan aspek pelayanan dengan skor maksimal

70 yang kemudian diatur dalam Perdirjen No 43 Tahun

2014 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Badan Layanan

Umum Bidang Layanan Kesehatan. Aspek pelayanan

meliputi subaspek Layanan dan Subaspek Mutu dan

Manfaat kepada masyarakat.

Dalam memberikan pelayanannya Rumah sakit sebagai

sebuah institusi diatur dalam Undang-Undang Rumah

Sakit, dimana terdapat empat pasal dalam undang-undang

tersebut yang mengamanahkan keselamatan pasien. Ama-

nah keselamatan pasien dalam Undang-Undang Rumah

Sakit telah dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Men-

teri Kesehatan No 1691 Tahun 2011 Tentang Kesela-

matan pasien. Yang menjadi pertanyaan dalam makalah

ini adalah apakah penekanan keselamatan pasien dalam

Undang-Undang Rumah Sakit menjadi komponen

penilaian kinerja?

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Sakit

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat in-

ap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit mempu-

nyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna untuk itu Rumah Sakit memiliki fungsi

(Kemkes, 2009):

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan

kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sa-

kit;

2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan

melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat

kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis

3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber

daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan

dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan

4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta

penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka

peningkatan pelayanan kesehatan dengan memper-

hatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Keselamatan Pasien dalam Undang-Undang Rumah Sakit

Dalam undang-undang ini jelas diamanahkan mengenai

keselamatan pasien, berikut dibawah ini adalah rinciann-

ya dalam pasal:

1. Pada pasal 2 disebutkan bahwa penyelenggaraan Ru-

mah Sakit didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika

dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak

dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan

keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

2. Pasal 3 ayat dua yang menyebebutkan bahwa penga-

turan penyelenggaran Rumah Sakit bertujuan untuk

memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasi-

en.

3. Pasal 13 yang mengatakan bahwa setiap tenaga yang

bekerja dirumah sakit harus mengutamakan kesela-

matan pasien.

4. Pasal 43 secara khusus menjelaskan mengenai kewa-

jiban penerapan keselamatan pasien di Rumah Sakit

(Kemkes, 2009).

Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien di definisikan sebagai suatu sistem

dimana Rumah Sakit membuat asuhan pasien lebih aman

yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengel-

olaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,

pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari

insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi

untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah

terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tinda-

kan yang seharusnya diambil (Kemkes, 2011).

Terdapat tujuh standar keselamatan pasien yang di atur

melalui Peraturan Menterian Kesehatan, yaitu:

1. Hak Pasien

Pasien dan keluarganya berhak memperoleh informa-

si terkait rencana tindakan, hasil pelayanan dan ke-

mungkinan terjadinya insiden. Untuk memuhi stan-

dar 1 ini maka terdapat sejumlah kriteria yang harus

dipenuhi:

a. Harus ada dokter penanggungjawab pelayanan;

Jurnal ARSI/Februari 2017 151

Page 78: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

141

b. Dokter penanggungjawab elayanan wajib mem-

buat rencana pelayanan; serta

c. Dokter penanggung jawab wajib memberikan

penjelasan yang komprehensif tentang rencana,

prosedur, pengobatan dan hasil pelayanan.

2. Mendidik pasien dan keluarga

Rumah sakit bertugas untuk mendidika pasien dan

keluarganya tentang kewajiban dan tanggungjawab

pasien dalam asuhan pasien. Rumah sakit diharap-

kan memiliki mekanisme dalam hal ini, output dari

standar ini adalah pasien dan keluarga diharapkan

dapat:

a. Memberikan informasi yang benar, jelas, leng-

kap dan jujur;

b. Mengetahui kewajiban dan tanggungjawab pa-

sien dan keluarga;

c. Dapat mengajukan pertanyaan apabila ada hal

yang tidak dimengerti;

d. Memahami dan menerima konsekuensi dari pela-

yanan ;

e. Mematuhi aturan dan instruksi yang diberikan;

f. Memiliki sikap menghormati dan tenggang rasa;

serta

g. Memnuhi kewajiban finansial

3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pela-

yanan

Dalam hal ini rumah sakit menjamin keselamatan

pasien dengan memastikan koordinasi antar tenaga

kesehatan dan antar unit dalam rangka kesinambun-

gan pelayanan. Hal ini dapat dilihat dari :

a. Adanya koordinasi pelayanan secara komprehen-

sif mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan,

diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pen-

gobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari ru-

mah sakit.

b. Adanya koordinasi pelayanan yang disesuaikan

dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber

daya secara berkesinambungan sehingga pada

seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pela-

yanan dapat berjalan baik dan lancar.

c. Adanya koordinasi pelayanan termasuk dida-

lamnya peningkatan komunikasi dalam rangka

memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan

keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan

rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak

lanjut lainnya.

d. Antar profesi kesehatan terjalin komunikasi dan

transfer informasi.

4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk

melakukan evaluasi dan program peningkatan ke-

selamatan pasien

Pada standar ini rumah sakit diharapkan mampu

mendesain proses baru atau memperbaiki proses

yang ada dalam rangka meningkatkan kinerja dan

keselamatan pasien. Hal ini dapat dilihat dari:

a. Rumah Sakit melakukan proses perancangan

yang baik yang mengacu kepada kebutuhan

pasien, kaidah klinis, dan faktor-faktor lain yang

berpotensi menimbulkan risiko.

b. Rumah Sakit harus melakukan pengumpulan da-

ta kinerja yang terdiri dari pelaporan insiden,

akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu

pelayanan dan keuangan.

c. Rumah sakit harus melakukan evaluasi terhadap

insiden.

d. Rumah sakit menentukan perubahan sistem

dengan berbasis kepada data dan indormasi hasil

analisis.

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatankan kese-

lamatan pasien

a. Pemimpin mendorong dan menjamin implemen-

tasi program keselamatan pasien.

b. Pemimpin menjamin berlangsungnya kediatan

identifikasi resiko terhadap keselamatan pasien.

c. Pemimpin mengalokasikan sumberdaya yang

adekuat.

d. Pemimpin mengukur dan mengkaji efektifitas

kontribusinya

6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

a. Memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orien-

tasi untk setiap jabatan; dan

b. Menyelenggarakan pendidikan dan juga pelati-

han yang berkelanjutan.

7. Komunikasi sebagai kunci efektif; serta

a. Merencanakan dan mendesain proses mana-

jemen informasi terkait keselamatan pasien; dan

b. Transmisi data dan informasi akurat dan tepat

waktu.

Untuk itu terdapat enam sasaran keselamatan pasien,

yang terdiri dari:

1. Ketepatan identifikasi pasien

2. Peningkatan komunikasi efektif

3. Peningkatan keamanan obat

4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat

pasien operasi

5. Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kese-

hatan

6. Pengurangan resiko pasien jatuh

Menurut National Patient Safety Foundation terdapat

sejumlah cara untuk mendapatkan sistem manajemen

keselamatan pasien yang baik (Murphy et al., 2009):

1. Mendorong semua staf untuk bertanggung jawab

atas keselamatan diri sendiri, rekan kerja, pasien

serta pengunjung;

2. Memprioritaskan keselamatan diatas keuangan dan

tujuan operasional;

3. Memberikan penghargaan terhadap identifikasi,

pelaporan, dan resolusi masalah keselamatan;

Jurnal ARSI/Februari 2017

Masyitoh Basabih, Perlukah Keselamatan Pasien Menjadi Indikator Kinerja RS BLU?

152

Page 79: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

141

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia

4. Menyediakan organisasi pembelajaran dari sebuah ke-

celakaan;

5. Mengalokasikan sumber daya yang tepat, struktur, dan

akuntabilitas untuk menjaga sistem keamanan yang

efektif; sertaMenghindari perilaku sembarangan

Menilik ke negara tetangga, kita dapat melihat bahwa da-

lam menetapkan safety goal Taiwan memaksukkan juga

kegiatan seperti pelaporan yang menjadi goal. Berikut

dibawah ini adalah Patient safety annual goal Taiwan

yang terdiri dari (Wung et al., 2011):

1. Meningkatkan keselamatan dalam penggunaan obat;

2. Pengurangan infeksi tenaga kesehatan;

3. Mengurangi salah lokasi, salah pasien dan salah

prosedur;

4. Meningkatkan ketepatan identifikasi pasien;

5. Pencegahan pasien jatuh;

6. Pelaporan insiden ;

7. Meningkatkan komunikasi dan keselamatan dalam

transfer dan handoff pasien; serta

8. Meningkatkan keterlibatan pasien.

Dari data diatas yang berbeda dengan di Indonesia adalah

pengurangan infeksi terhadap tenaga kesehatan dan pela-

poran insiden.

Key Performance indicator diartikan sebagai perhitungan

yang digunakan sebuah organisasi untuk mengukur

kesuksesan dalam upaya memenuhi tujuannya. KPI ber-

fokus kepada pemenuhan tujuan jangka panjang sementara

indikator kinerja tidak. KPI menjadi perhatian penting bagi

pembuat kebijakan, sementara indikator kinerja menjadi

penting bagi para manajer sektor publik.

KPI yang baik seharusnya dapat membantu para pengam-

bil kebijakan untuk (Rozner, 2013):

1. Menggambarkan data baseline:

2. Menyusun standard an target; serta

3. Melakukan perhitungan dan pelaporan.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan sebagai basis dalam

penulisan artikel ini adalah literature review dari beberapa

peraturan kebijakan kesehatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Standar pelayanan minimal adalah ketentuan tentang jenis

dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib

daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal

juga merupakan spesifikasi teknis tentang tolak ukur pela-

yanan minimum yang diberikan oleh Badan Layanan

Umum Kepada Masyarakat. Dalam Permenkes tentang

Keselamatan Pasien disebutkan mengenai standar, kriteria

dan sasaran dalam keselamatan pasien. Jika mengacu kepa-

da kamus besar Bahasa Indonesia, standar diartikan se-

bagai ukuran tertentu yang dijadikan patokan, sementara

kriteria adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau

penetapan sesuatu. Sasaran adalah sesuatu yang menjadi

tujuan. Dalam penilaian kinerja rumah sakit yang

digunakan adalah indikator, indikator adalah sesuatu yang

dapat memberikan pentunjuk (KBBI, 2016). Jadi secara

singkat dapat disimpulkan bahwa dalam memberikan pela-

yanan yang mengacu kepada keselamatan pasien, rumah

sakit mengacu pada standar yang detailnya dapat dilihat

pada kriteria, dan standar ini memiliki sasaran yang harus

dituju. Pada tabel dibawah ini coba dipadankan antara

standar, kriteria dan sasaran dalam keselamatan pasien.

Tabel 1. Matriks Padanan Standar, Kriteria, dan Sasaran Keselamatan Pasien

No Standar Kriteria Sasaran

1

Hak Pasien Standar Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk menda

-patkan informasi tentang rencana dan hasil pelaya-nan termasuk kemungkinan terjadinya insiden.

Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang membuat rencana pelayanan dan

menjelaskannya ke pasien

a. Ketepatan identifikasi

pasien b. Peningkatan komu-

nikasi efektif c. Peningkatan keamanan

obat d. Kepastian tepat lokasi,

tepat prosedur dan

tepat pasien operasi e. Pengurangan resiko

infeksi terkait pela-yanan kesehatan

f. Pengurangan risiko

pasien jatuh

2

Mendidik pasien dan keluarga Standar: Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya

tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien

Rumah sakit memiliki mekanisme untuk meng-edukasi pasien dan keluarganya tentang kewajiban

dan tanggungjawab. Diharapkan dengan mekanis-

me ini pasien dapat memberikan informasi yang benar.

3

Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan Standar: Rumah Sakit menjamin keselamatan pasien dalam

kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.

Rumah sakit memiliki sistem koordinasi pelayanan yang komprehensif (perjalanan pasien, pelayanan

sesuai kebutuhan pasien, komunikasi dan transfer

informasi antar profesi kesehatan)

4

Metode peningkatan kinerja untuk melakukan evalua-si dan program peningkatan keselamatan pasien Standar: Rumah sakit harus mendesain proses baru atau mem-perbaiki proses yang ada, memonitor dan mengeval-

uasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta kesela-

matan pasien

Rumah sakit memiliki desain pelayanan yang yang mengacu kepada visi, misi, dan tujuan rumah sakit,

kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan,

kaidah klinis dan keselamatan pasien. 1. Setiap rumah sakit harus melakukan pengum-

pulan data kinerja dan evaluasi yang antara lain terkait dengan: pelaporan insiden, akreditasi,

manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan,

keuangan. 2. Menggunakan data untuk meningkatkan kinerja

keselamatan pasien.

Jurnal ARSI/Februari 2017

Volume 3 Nomor 2

153

Page 80: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

141

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua standar

keselamatan pasien bertujuan untuk tercapainya sasaran.

Pertanyaan yang paling mendasar yang ingin disampaikan

penulis adalah peranan keselamatan pasien dalam kinerja

rumah sakit. Dalam peraturan Dirjen Perbendaharaan No.

34 tertulis bahwa kinerja Rumh Sakit BLU dinilai dari

aspek keuangan dan aspek pelayanan. Aspek keuangan

memiliki bobot 30 % dan aspek pelayanan 70%. Dalam

tabel di bawah ini diperlihatkan indikator kinerja dalam

aspek pelayanan RS BLU.

Lanjutan Tabel 1. Matriks Padanan Standar, Kriteria, dan Sasaran Keselamatan Pasien

No Standar Kriteria Sasaran

5

Peran kepemimpinan dalam meningkatkan kesela-matan pasien

Standar:

1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien.

2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program

proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi

insiden.

3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komu-nikasi dan koordinasi antar unit dan individu.

4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang

adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan mening-katkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan

keselamatan pasien.

5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah

sakit dan keselamatan pasien.

1) Terdapat tim keselamatan pasien. 2) Tersedia program proaktif untuk identifikasi

risiko keselamatan dan program meminimalkan

insiden. 3) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin

bahwa semua komponen dari rumah sakit terin-

tegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.

4) Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap

insiden. 5) Tersedia mekanisme pelaporan internal dan

eksternal (termasuk Analisis Akar Masalah

“Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan “Kejadian Sentinel”.

6) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai

jenis insiden. 7) Tersedia sumber daya dan sistem informasi

yang dibutuhkan.

8) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi.

a. Ketepatan identifikasi

pasien

b. Peningkatan komu-nikasi efektif

c. Peningkatan keamanan

obat d. Kepastian tepat lokasi,

tepat prosedur dan

tepat pasien operasi e. Pengurangan resiko

infeksi terkait pela-

yanan kesehatan f. Pengurangan risiko

pasien jatuh

6

Mendidik staf tentang keselamatan pasien Standar:

1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelati-

han dan orientasi yang mencakup keselamatan pasien.

2. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan

pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung

pendekatan interdisipliner dalam pelayanan

pasien.

Paradigm keselamatan pasien masuk dalam pro-

gram pendidikan, pelatihan dan sosialisasi staf.

7

Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk men-capai keselamatan pasien.

Standar:

1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk

memenuhi kebutuhan informasi internal dan ek-

sternal. 2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu

dan akurat.

Pengelolaan manajemen informasi terkait kesela-

matan pasien.

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan No. 1691 Tahun 2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Tabel 2. Indikator Kinerja Aspek Pelayanan Rumah Sakit BLU

No. Subaspek/Kelompok Indikator Skor a Pertumbuhan Produktifitas 18

1

1 Pertumbuhan Rata-Rata Kunjungan Rawat Jalan 2 Pertumbuhan Rata-Rata Kunjungan Rawat Darurat 3 Pertumbuhan hari perawatan rawat inap 4 Pertumbuhan Pemeriksaan radiologi 5 Pertumbuhan pemeriksaan laboratorium 6 Pertumbuhan Operasi 7 Pertumbuhan Rehab Medik 8 Pertumbuhan Perserta didik Pendidikan Kedokteran 9 Pertumbuhan Penelitian yang dipublikasikan b Efektifitas Pelayanan 14 1 Kelengkapan Rekam Medik 24 Jam selesai pelayanan 2 Pengembalian Rekam Medik 3 Angka pembatalan operasi 4 Angka kegagalan hasil Radiologi 5 Penulisan Resep sesuai formularium 6 Angka pengulangan pemeriksaan laboratorium

Jurnal ARSI/Februari 2017 154

Masyitoh Basabih, Perlukah Keselamatan Pasien Menjadi Indikator Kinerja RS BLU?

Page 81: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

141

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Jika merujuk kepada definisi dari keselamatan pasien,

maka Keselamatan pasien di definisikan sebagai suatu sis-

tem di mana Rumah Sakit membuat asuhan pasien lebih

aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan

pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

dan upaya meminimalkan resiko (Kemkes, 2011) maka

indikator dalam tabel diatas menurut penulis belum me-

wakili dari definisi keselamatan pasien. Dapat kita cermati

bahwa definisi tersebut memiliki penekanan pada upaya

pencegahan agar membuat asuhan pasien menjadi lebih

aman, sementara indikator diatas lebih menekankan pada

perhitungan kuantitatif terhadap output yang seharusnya

dapat ditekan dengan adanya implementasi program

keselamatan pasien.

Dalam tabel dibawah ini akan diperlihatkan padanan antara

indikator kinerja BLU dengan sasaran keselamatan pasien

yang dilihat dari berbagai aturan.

Lanjutan Tabel 2. Indikator Kinerja Aspek Pelayanan Rumah Sakit BLU

Sumber: Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. 34 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Badan layanan Umum Bidang Kesehatan (Kemkeu, 2014)

Tabel 3. Matriks Padanan Sasaran, Indikator, dan Keselamatan Pasien

No. Subaspek/Kelompok Indikator Skor

1

7 Bed Occupacy rate (BOR) c Pertumbuhan Pembelajaran 3 1 Rata-rata jam pelatihan karyawan 2 Persentase dokter pendidik klinis yang mendapat TOT 3 Program reward dan punishment

2

a Mutu dan Manfaat Kepada Masyarakat 35 1 Mutu Pelayanan 14 2 Emergency Respon Time Rate 3 Waktu tunggu rawat jalan 4 Length of stay 5 Kecepatan pelayanan resep obat jadi 6 Waktu tunggu sebelum operasi 7 Waktu tunggu hasil laboratorium 8 Waktu tunggu hasil radiologi b Mutu Klinik 12 1 Angka kematian digawat darurat 2 Angka kematian/ kebutaan > 48 jam 3 Post operatif death rate 4 Angka infeksi nosocomial 5 Angka kematian ibu di Rumah Sakit c Kepedulian terhadap masyarakat 1 Pembinaan kepada pusat kesehatan masyarakat dan sarana kesehatan lain 2 Penyuluhan kesehatan 3 Rasio tempat tidur kelas III d Kepuasan Pelanggan 2 1 Penanganan pengaduan 2 Kepuasan Pelanggan e Kepedulian terhadap lingkungan 3 1 Kebersihan Lingkungan (program Rumah Sakit Berseri) 2 Propor Lingkungan

Total Skor 70

NO SASARAN SPM (Indikator)

KINERJA RS BLU (indikator)

AKREDITASI KARS (Sasaran)

1 Ketepatan identifikasi pasien - - Ketepatan Identifikasi Pasien 2 Peningkatan komunikasi efektif - - Peningkatan Komunikasi Efektif

3 Peningkatan keamanan obat Tidak adanya kejadian kesalahan pemberian obat - Peningkatan Keamanan Obat

yang perlu diwaspadai

4 Kepastian tepat lokasi, tepat prose-

dur dan tepat pasien operasi

1. Tidak adanya kejadian operasi salah sisi

2. Tidak adanya kejadian operasi

salah orang 3. Tidak adanya kejadian operasi

salah orang

- Kepastian tepat lokasi, tepat-

prosedur, tepat pasien operasi

5 Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

Kejadian infeksi pasca operasi Kejadian Infeksi Nosokomial

Angka Infeksi Nosokomial

Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

6 Pengurangan risiko pasien jatuh Tidak adanya kejadian pasien jatuh yang berakibat kecatatan/

kematian - Pengurangan risiko pasien jatuh

Sumber: (1) Keputusan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit; (2) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1691 Tahun 2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit; (3) Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. 34 Tahun 2014 Tentang

Pedoman Penilaian Kinerja Badan Layanan Umum Bidang Layanan Kesehatan; dan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi

Jurnal ARSI/Februari 2017

Volume 3 Nomor 2

155

Page 82: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

141

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sasaran dalam

akreditasi KARS (KARS, 2012) sama persis dengan sasa-

ran keselamatan pasien dalam Permenkes 1691 Tahun

2011 Tentang Keselamatan pasien. Hal ini dikarenakan

sasaran keselamatan pasien dalam instrument akreditasi

merujuk kepada Permenkes 1691. Terdapat dua sasaran

keselamatan pasien yang tidak terdapat dalam standar pela-

yanan minimal rumah sakit (Kemkes, 2008), yaitu sasaran

mengenai ketepatan identifikasi pasien dan komunikasi

efektif. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat bahwa

standar pelayanan minimal merupakan peraturan yang

dikeluarkan pada tahun 2008 sementara Peraturan

mengenai keselamatan pasien keluar pada tahun 2011.

Empat dari enam sasaran keselamatan pasien merupakan

indikator dalam standar pelayanan minimal, hal ini dikare-

nakan Keputusan Menteri Kesehatan Tentang Standar Pe-

layanan minimal masuk dalam peraturan yang diingat un-

tuk menyusun Peraturan tentang keselamatan pasien dan

hanya satu dari enam sasaran keselamatan pasien yang

masuk dalam indikator kinerja RS BLU.

Dari tabel 2 dan 3 dapat dilihat bahwa indikator terkait

keselamatan pasien diwakili oleh kelompok mutu klinik

dimana hanya satu dari enam sasaran keselamatan pasien

yang masuk dalam indikator kinerja rumah sakit BLU.

Mutu klinik sendiri hanya memiliki skor 12 dari total 100

skor pada kedua aspek, sehingga dapat dikatakan hanya 14

% dari skor total kinerja Rumah Sakit BLU. Hal ini men-

jadi kurang representasi jika kita melihat kepada empat

pasal dalam Undang-Undang Rumah Sakit yang mengama-

nahkan keselamatan pasien.

Empat dari lima indikator mutu klinik adalah angka ke-

matian. Pertanyaannya adalah dapatkah kematian dicegah

atau dikurangi dengan menerapkan prinsip keselamatan

pasien? Jawabannya tentu bisa, keselamatan pasien yang

diterapkan dengan baik tentu akan mampu mendeteksi

kejadian yang tidak diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris

Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera (KTC) dan kejadi-

an potensi cedera. Hasil penelitian terbaru mengatakan

bahwa medical error adalah menyebab kematian nomer

tiga di Amerika (Makary and Daniel, 2016). Menurut IOM

Medical Error dapat diartikan sebagai kegagalan untuk

menyelesaikan sebuah rencana tindakan seperti yang telah

direncanakan atau penggunaan rencana yang salah dalam

mencapai tujuan (Murphy et al., 2009b). Jika budaya

keselamatan pasien diterapkan maka medical error dapat

dideteksi salah satunya dengan pelaporan. Menurut hasil

penelitian yang dilakukan di Norwegia terbukti bahwa

pelaporan memiliki hubungan dengan keselamatan pasien

(Bjertnaes et al., 2014).

Dalam Undang-Undang Rumah Sakit jelas mengama-

nahkan untuk menerapkan budaya keselamatan pasien.

Dari keempat pasal dalam Undang-Undang Rumah Sakit

kita dapat menyimpulkan bahwa penyelenggaraan rumah

sakit didasarkan pada keselamatan pasien, peraturan yang

dikeluarkan juga bertujuan untuk memberikan perlin-

dungan terhadap keselamatan pasien dan rumah sakit

memiliki kewajiban untuk menerapkan keselamatan pa-

sien. Menjadi sebuah dasar penyelenggaraan pelayanan

tentu merupakan hal yang penting untuk dinilai dalam

kinerja rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta baik

BLU maupun Non BLU.

Keselamatan pasien bertumpu pada upaya pencegahan

untuk itu menurut hemat penulis ada baiknya jika indikator

kinerja rumah sakit lebih menekankan kepada upaya yang

dapat dilakukan untuk mengurangi angka kematian dan

kejadian infeksi nosokomial. Kematian yang terjadi di ru-

mah sakit dapat disebabkan oleh banyak hal yang bisa saja

tidak menggambarkan kinerja rumah sakit. Ambil saja

contoh, sebuah rumah sakit tipe B milik pemerintah, maka

besar kemungkinan pasien yang datang adalah pasien ru-

jukan yang tentunya dengan level severity yang lebih ting-

gi. Apabila terjadi sebuah kondisi dimana pasien dirujuk

dalam keadaan tidak baik, setelah dilayani beberapa saat

lalu pasien meninggal apakah bisa kondisi tersebut terhi-

tung sebagai kinerja RS yang menerima rujukan? Tentunya

kondisi ini memerlukan audit medik lebih lanjut. Akan

berbeda bila kinerja rumah sakit dinilai dari upaya yang

sudah dilakukan rumah sakit untuk memberikan pelayanan

yang terbaik seperti misalnya Australia yang menempatkan

adverse event dan pasien jatuh sebagai salah satu indi-

kator dalam kinerja sistem kesehatan (AIHW, 2013).

Memang tidaklah mudah menilai kinerja sebuah rumah

sakit melalui indikator. Kinerja rumah sakit haruslah di-

wakilkan oleh indikator yang menggambarkan faktor

sukses kunci rumah sakit yang dapat diukur. Proses untuk

menyusun indikator kinerja adalah proses yang kompleks

karena adanya kepentingan stakeholder yang harus diper-

timbangkan dan perlunya perhitungan secara kuantitatif

(Doucette and Millin, 2011). Indikator kinerja rumah sakit

diartikan sebagai indikator yang definisikan secara statistik

atau bentuk informasi lain baik secara langsung ataupun

tidak langsung yang merefleksikan pencapaian terhadap

outcome yang diharapkan atau kualitas dari proses pen-

capaian hasil (AIHW, 2013).

Kinerja adalah sebuah proses yang dilaksanakan dalam

rangka mendapatkan hasil. Lantas pertanyaan berikutnya

adalah bagaimana kinerja disusun? Jika keselamatan

pasien menjadi dasar sebuah penyelenggaraan dan rumah

sakit memiliki kewajiban atasnya bukankah sepantasnya

mendapat perhatian dalam bentuk indikator kinerja rumah

sakit?

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil telaah didapatkan bahwa Indikator kinerja ru-

mah sakit BLU belum sepenuhnya menjalankan amanah

Undang-Undang Rumah Sakit terkait keselamatan pasien.

Indikator yang digunakan untuk merepresentasikan kesela-

matan pasien belum sepenuhnya merujuk kepada peraturan

mengenai keselamatan pasien.

Mengingat pentingnya keselamatan pasien maka, penulis

menyarankan:

Jurnal ARSI/Februari 2017 156

Masyitoh Basabih, Perlukah Keselamatan Pasien Menjadi Indikator Kinerja RS BLU?

Page 83: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

141

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia

1. Keselamatan pasien perlu mendapatkan perhatian lebih

besar dalam bentuk indikator kinerja rumah sakit yang

terukur.

2. Indikator yang dipergunakan sebaiknya disusun dalam

rangka menciptakan budaya keselamatan pasien diru-

mah sakit.

3. Standar Pelayanan Minimal rumah sakit perlu untuk

direvieu kembali seiring dengan keluarnya Undang-

Undang Rumah Sakit dan Permenkes tentang Kesela-

matan Pasien.

4. Indikator kinerja rumah sakit BLU perlu untuk di-

revieu, sehingga data yang dilaporkan dapat menjadi

dasar yang akan kemudian digunakan dalam membuat

kebijakan.

DAFTAR RUJUKAN

Aihw 2013. Australian Hospital Statistic 2012 - 2013. Australian Institute

Of Health And Welfare.

Bjertnaes, O., Deilkås, E. T., Skudal, K. E., Iversen, H. H. & Bjerkan, A. M. 2014. The Association Between Patient-Reported Incidents

In Hospitals And Estimated Rates Of Patient Harm. Interna-

tional Journal For Quality In Health Care 26-30. Doucette, D. & Millin, B. 2011. Should Key Performance Indicators For

Clinical Services Be Mandatory? The Canadian Journal Of

Hospital Pharmacy, 64.

Kars 2012. Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012. Jakarta: Komite Akreditasi Rumah Sakit.

Kbbi. 2016. Kemdikbud. Available: Http://Kbbi.Web.Id/Standar-2

[Accessed 11 Oktober 2016 2016]. Kemkes 2008. Keputusan Menteri Kesehatan No 129 Tahun 2008 Ten-

tang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. In: Kesehatan,

K. (Ed.). Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kemkes 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009 Tentang Rumah Sakit. In: Kesehatan, K. (Ed.). Jakarta:

Kementerian Kesehatan. Kemkes 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1691/Menkes/Per/Viii/2011 Tentang Keselamatan Pasien

Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kemkeu 2014. Peraturan Jenderal Perbendaharaan Nomer Per-34/

Pb/2014 Tentang Pedoman Pebilaian Kinerja Bdan Layanan

Umum Bidang Layanan Kesehatan. In: Keuangan, K. (Ed.). Jakarta: Kementerian Keuangan.

Makary, M. A. & Daniel, M. 2016. Medical Error—The Third Leading

Cause Of Death In The Us. Bmj 353. Murphy, D. M., Shannon, K. & Pugliese, G. 2009. Risk Management

Handbook For Health Care Organizations. In: Carroll, R. L.

(Ed.) Patient Safety And The Risk Management Professional New Challenges And Opportunities. San Francisco: Jossey

Bass.

Pp. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.

Jakarta. Rozner, S. 2013. Developing And Using Key Performance Indicators A

Toolkit For Health Sector Managers.

Wung, C. H.-Y., Yu, T.-H., Shih, C.-L., Lin, C.-C., Liao1, H.-H. & Chung, K.-P. 2011. Is It Enough To Set National Patient Safe-

ty Goals? An Empirical Evaluation In Taiwan. International

Jurnal ARSI/Februari 2017

Volume 3 Nomor 2

157

Page 84: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

ormulir F

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Alamat :

Telepon :

Email :

Bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) sejumlah biaya cetak dan biaya kirim dengan rincian sebagai

sebagai berikut:

Volume : ………………………………………………………………………………………………………………………………………

…...…………………………, …………

(……………………………………….)

Untuk besaran biaya dan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Sekretariat Jurnal ARSI di nomor telepon 021-786 7370,

HP. 08568246932, e-mail: [email protected], atau kunjungi website: http://journal.fkm.ui.ac.id/arsi

Page 85: merupakan seorang misionaris Belanda beserta

Kami Menyediakan Forum

Pelatihan Untuk Anda

1. Developing Hospital Business Strategy to Improve

Hospital Service & Quality

2. Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit

Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis

3. Strategic Leadership and Systems Thinking

C HAMPS Informasi Lebih Lanjut:

Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI

HP. 085284722766, Fax. 021-7867370,

E-mail: [email protected], [email protected]

Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis

TUJUAN

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan rumah

sakit dalam membuat clinical pathway dan panduan praktik klinis.

PESERTA

Peserta terdiri dari tim praktisi perumahsakitan baik pemerintah maupun

swasta yang tergabung dalam tim, yang terdiri dari:

1. Klinisi dan penunjang (dokter); 2. Perawat; 3. Tenaga farmasi; 4. Tenaga gizi;

5. Tenaga rekam medik; dan

6. Peserta maksimal 10 tim.

TEMPAT DAN TANGGAL

Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.

BIAYA

Biaya dalam pelatihan ini sebesar untuk satu tim rumah sakit (terdiri dari 5 orang) adalah Rp. 15.000.000/Rumah Sakit (belum termasuk biaya

akomodasi dan tiket narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).

Strategic Leadership and Systems Thinking

TUJUAN

Tujuan Umum:

Meningkatkan pemahaman para peserta mengenai

kepemimpinan strategis dan berfikir sistem.

Tujuan Khusus

1. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai berfikir sistem dan kepemimpinan

strategis;

2. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai mental model sebagai landasan

dalam berfikir sistem;

3. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai personal mastery sebagai modal

dasar dalam kepemimpinan;

4. Meningkatkan pemahaman peserta dan mampu mengaplikasikan theory of

constraint dan root cause analysis; dan

5. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai learning organization dan team

learning.

PESERTA

Peserta pelatihan ini dibatasi 30 orang.

TEMPAT DAN TANGGAL

Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.

BIAYA

Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (besaran

biaya belum termasuk biaya akomodasi, tiket narasumber dan outbond

bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).

“Bersama kami, mari beraktualisasi!”

- CHAMPS FKM UI

Developing Hospital Business Strategy to Improve Hospital Service & Quality

TUJUAN

Peserta akan memperoleh wawasan, pengetahuan, & keterampilan tentang:

1. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang peta kebijakan strategis pelayanan kesehatan;

2. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang konsep strategi bisnis untuk peningkatan mutu layanan RS;

3. Peningkatan motivasi seluruh peserta yang dilandasi core value dan core belief untuk mengadopsi konsep

manajemen strategi dalam meningkatkan mutu layanan di rumah sakit;

4. Tersusunnya rencana strategis bisnis RS; dan

5. Peningkatan kemampuan RS dalam melakukan praktik bisnis yang sehat yaitu mempunyai manajemen yang

baik, bermutu dan berkesinambungan yang semua itu berdampak pada meningkatnya kepuasan

pelanggan.

PESERTA

Peserta pelatihan ini adalah praktisi perumahsakitan dan pengambil keputusan strategis rumah sakit baik

pemerintah maupun swasta. Peserta dibatasi 30 orang.

TEMPAT DAN TANGGAL

Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.

BIAYA

Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (belum termasuk biaya akomodasi dan tiket

narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).

Hospital Management

Program (HMP)

Hospital Administration

Conference (HAC)

Program Kerja

Unggulan