merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

94
Gambar yang dijadikan sebagai sampul pada edisi kali ini adalah visualisasi rumah sakit swasta tertua di Indonesia, yakni Rumah Sakit PGI Cikini. Berdiri pada 12 Januari 1898, kini RS PGI Cikini telah genap berusia 116 tahun. Berlokasi di Jalan Raden Saleh Nomor 40, Cikini, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas 5,6 Ha, RS PGI Cikini menempati sebuah bangunan bergaya gothic-moors yang dahulu adalah milik seorang pelukis naturalis kenamaan Indonesia, yakni Raden Saleh (Huis van Raden Saleh). “Doeloe, Sachsen Coburg-Gotha, Ratu Victoria, Johannes van den Bosch, dan Herman Willem Daendels memesan lukisan emas dari pemilik istana gothic - moors ini” Cikal bakal RS PGI Cikini telah dimulai sejak 15 Maret 1895 saat Dominee Cornelis de Graaf yang merupakan seorang misionaris Belanda beserta sang isteri Adriana J. de Graaf Kooman mendirikan Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie atau perkumpulan orang sakit di Indonesia. Lalu, balai pengobatan sebagai wadah pelayanan kesehatan berbagai golongan masyarakat tanpa memandang kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, serta agama pun dibuka di Gang Pool (di dekat Istana Negara) pada 1 September 1895. Dominee dan Adriana lalu mencari dana untuk mengawali pekerjaan pelayanan kesehatan tersebut hingga pada akhirnya mereka pun memperoleh sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma yang merupakan Ratu negeri kincir angin saat itu. Dari sumbangan tersebut, maka dibelilah istana megah milik Raden Saleh (Huis van Raden Saleh) pada Juni 1897 dan kegiatan pelayanan kesehatan pun dialihkan ke gedung ini. Diketahui, Nirin Ninkeulen yang berasal dari Depok adalah pribumi pertama yang bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma tersebut. Kemudian, pada 1 Agustus 1913, nama Rumah Sakit Ratu Emma diubah menjadi Rumah Sakit Tjikini. Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan sebagai Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Lalu, pasca pendudukan Jepang (Agustus 1945-Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI ( Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees) dan selanjutnya oleh Dienst van Volksgezondheld (DVG) sebagai Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda hingga pada akhir 1948, RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dan dipimpin oleh R.F. Bozkelman. Kemudian, pada tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini pun diserahkan kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara hingga diangkatlah dr. H. Sinaga sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Seiring dengan berjalannya waktu, Yayasan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Sehubungan dengan penyempurnaan ejaan dalam Bahasa Indonesia, maka Yayasan RS DGI Tjikini diubah menjadi Yayasan Kesehatan PGI Cikini pada 31 Maret 1989. Kini, Yayasan Kesehatan PGI Cikini membawahi Rumah Sakit PGI Cikini, Akademi Perawat RS PGI Cikini (Akper Cikini), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia RS PGI Cikini (PPSDM), dan Balai Kesehatan Masyarakat di Tanjung Barat. Lambat laun, RS PGI Cikini dikenal khususnya pada bidang pelayanan medis ginjal. Adapun Unit Penyakit Dalam Ginjal dan Hipertensi (PDGH) dirintis oleh alm. Prof. R.P. Sidabutar dan tim medis tersebut merupakan penyelenggara transplantasi ginjal pertama di Indonesia. Kini, sebagian besar transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di RS Cikini oleh tim PDGH dan Urologi. Terkait dengan keunggulan tersebut, RS PGI Cikini telah menciptakan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai rumah sakit penyelenggara transplantasi ginjal dengan pasien hidup yang paling lama. Selain pelayanan medis ginjal, RS PGI Cikini juga menyediakan pelayanan neurologi, medical check up, catheterisasi laboratorium, IGD/ emergency, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, bedah/ operasi, farmasi, radiologi, laboratoratorium kesehatan, diagnostik lain, fasilitas umum, dan juga rumah duka. Berdasarkan visi “Pelayanan Kesehatan Holistik dengan Sentuhan Kasih”, RS PGI Cikini terus berupaya dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien/masyarakat dengan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan YME sebagai wujud jawaban dan kesaksian iman dalam rangka pembangunan dan peningkatan derajat kesehatan yang optimal. Sumber: Tropical Museum Amsterdam (http://www.amsterdammuseum.nl), “100 Tahun RS PGI Cikini, dengan Sentuhan Kasih” buah kary a Dr. Poltak Hutagalung, Amir L. Sirait, & Moxa Nadeak. Gambar merupakan buah karya: Charls, Van Es, & Co.NV. Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016

Transcript of merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Page 1: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Gambar yang dijadikan sebagai sampul pada edisi

kali ini adalah visualisasi rumah sakit swasta tertua

di Indonesia, yakni Rumah Sakit PGI Cikini. Berdiri

pada 12 Januari 1898, kini RS PGI Cikini telah genap

berusia 116 tahun. Berlokasi di Jalan Raden Saleh

Nomor 40, Cikini, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas

5,6 Ha, RS PGI Cikini menempati sebuah bangunan

bergaya gothic-moors yang dahulu adalah milik

seorang pelukis naturalis kenamaan Indonesia,

yakni Raden Saleh (Huis van Raden Saleh).

“Doeloe, Sachsen Coburg-Gotha, Ratu Victoria,

Johannes van den Bosch, dan Herman Willem

Daendels memesan lukisan emas dari pemilik

istana gothic - moors ini”

Cikal bakal RS PGI Cikini telah dimulai sejak 15

Maret 1895 saat Dominee Cornelis de Graaf yang

merupakan seorang misionaris Belanda beserta

sang isteri Adriana J. de Graaf Kooman mendirikan

Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie atau

perkumpulan orang sakit di Indonesia. Lalu, balai

pengobatan sebagai wadah pelayanan kesehatan

berbagai golongan masyarakat tanpa memandang

kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, serta

agama pun dibuka di Gang Pool (di dekat Istana

Negara) pada 1 September 1895.

Dominee dan Adriana lalu mencari dana untuk

mengawali pekerjaan pelayanan kesehatan tersebut

hingga pada akhirnya mereka pun memperoleh

sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma yang merupakan Ratu negeri kincir angin saat itu. Dari sumbangan

tersebut, maka dibelilah istana megah milik Raden Saleh (Huis van Raden Saleh) pada Juni 1897 dan kegiatan pelayanan

kesehatan pun dialihkan ke gedung ini. Diketahui, Nirin Ninkeulen yang berasal dari Depok adalah pribumi pertama yang

bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma tersebut. Kemudian, pada 1 Agustus 1913, nama Rumah Sakit Ratu Emma

diubah menjadi Rumah Sakit Tjikini.

Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan sebagai Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Lalu, pasca

pendudukan Jepang (Agustus 1945-Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of

War and Internees) dan selanjutnya oleh Dienst van Volksgezondheld (DVG) sebagai Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda

hingga pada akhir 1948, RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dan dipimpin oleh R.F. Bozkelman.

Kemudian, pada tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini pun diserahkan

kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara hingga diangkatlah dr.

H. Sinaga sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Seiring dengan berjalannya waktu, Yayasan Stichting Medische

Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Sehubungan

dengan penyempurnaan ejaan dalam Bahasa Indonesia, maka Yayasan RS DGI Tjikini diubah menjadi Yayasan Kesehatan PGI

Cikini pada 31 Maret 1989. Kini, Yayasan Kesehatan PGI Cikini membawahi Rumah Sakit PGI Cikini, Akademi Perawat RS PGI

Cikini (Akper Cikini), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia RS PGI Cikini (PPSDM), dan Balai Kesehatan

Masyarakat di Tanjung Barat.

Lambat laun, RS PGI Cikini dikenal khususnya pada bidang pelayanan medis ginjal. Adapun Unit Penyakit Dalam Ginjal dan

Hipertensi (PDGH) dirintis oleh alm. Prof. R.P. Sidabutar dan tim medis tersebut merupakan penyelenggara transplantasi ginjal

pertama di Indonesia. Kini, sebagian besar transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di RS Cikini oleh tim PDGH dan Urologi.

Terkait dengan keunggulan tersebut, RS PGI Cikini telah menciptakan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai rumah

sakit penyelenggara transplantasi ginjal dengan pasien hidup yang paling lama. Selain pelayanan medis ginjal, RS PGI Cikini

juga menyediakan pelayanan neurologi, medical check up, catheterisasi laboratorium, IGD/emergency, rawat jalan, rawat

inap, rawat intensif, bedah/ operasi, farmasi, radiologi, laboratoratorium kesehatan, diagnostik lain, fasilitas umum, dan juga

rumah duka. Berdasarkan visi “Pelayanan Kesehatan Holistik dengan Sentuhan Kasih”, RS PGI Cikini terus berupaya dalam

rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien/masyarakat dengan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan

Ketuhanan YME sebagai wujud jawaban dan kesaksian iman dalam rangka pembangunan dan peningkatan derajat kesehatan

yang optimal.

Sumber: Tropical Museum Amsterdam (http://www.amsterdammuseum.nl), “100 Tahun RS PGI Cikini, dengan Sentuhan Kasih” buah karya

Dr. Poltak Hutagalung, Amir L. Sirait, & Moxa Nadeak. Gambar merupakan buah karya: Charls, Van Es, & Co.NV.

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016

Page 2: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Penanggung Jawab Umum Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM

CHAMPS

(Center for Health Administration and Policy Studies) FKM UI

Dewan Redaksi

Ketua Dewan Redaksi

Prof. Amal Chalik Sjaaf, SKM, Dr.PH

Universitas Indonesia

Wakil Dewan Redaksi

Dr. Adib A. Yahya, MARS PERMAPKIN

(Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia)

Anggota Dewan Redaksi

Prof. Dr. dr. Adik Wibowo, MPH

Universitas Indonesia

Dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS

Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), DTM&H, MARS. DCTE

Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan

Dr. dr. Anwar Santoso, Sp.JP(K) ARSPI

Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia

Dr. Widodo J. Pudjiraharjo, MS, MPH, Dr.PH

Universitas Airlangga

Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS

Universitas Hasanuddin

Dr. Suprijanto Rijadi, MPA, Ph.D PERMAPKIN

Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia

Redaktur Pelaksana Vetty Yulianty Permanasari, S.Si, MPH

drg. Masyitoh, MARS

Puput Oktamianti, SKM, MM

Sekretaris Redaksi Anita P. Lubis, SKM

Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) merupa-

kan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinal tentang pengetahuan dan informasi riset tentang pengembangan terkini di bidang kesehatan, khususnya terkait dengan isu mengenai administrasi rumah sakit. Jurnal ini diterbitkan 3 kali (3 nomor) dalam 1 tahun (1 volume). Adapun artikel atau naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal ARSI mencakup ranah penelitian, studi kasus, atau konseptual yang masing-masing mengusung pilar corporate governance, clinical governance, atau keduanya (bridging). Penerbit: Pusat Kajian Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) FKM UI& Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (PERMAPKIN) Alamat Redaksi: Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI Depok 16424 Tlp. 021-80736060 Fax. 021-7867370 Hp. 085211003451 E-mail: [email protected]

ISSN 2406 9108

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016

e-ISSN 1446008136

Page 3: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

1. Jurnal ini memuat naskah dalam bidang ilmu Administrasi Rumah Sakit.

2. Naskah yang diajukan dapat berupa artikel penelitian, artikel telaahan, dan

makalah kebijakan yang belum pernah dipublikasikan.

3. Komponen artikel penelitian, yaitu:

Judul ditulis maksimal 15 patah kata

Identitas penulis ditulis di bawah judul terdiri dari nama, alamat korespodensi,

nomor telepon, dan email

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata,

dalam satu alinea mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, disertai dengan 3-5

kata kunci.

Pendahuluan berisi latar belakang, tinjauan pustaka secara singkat dan relevan

serta tujuan penelitian

Metode meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik atau instrumen

pengumpul data, dan prsedur analisis data.

Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan tanpa pendapat.

Pembahasan menguraikan secara tepat dan juga argumentatif hasil penelitian

dengan teori dan temuan terdahulu yang relevan.

Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuao dengan penampilan dalam

teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gambar dengan judul singkat.

Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian dengan tidak melampaui

kapasitas temuan. Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan dibuat dengan

berbentuk narasi, logis, dan tepat guna.

4. Rujukan sesuai aturan Harvard dengan urut sesuai dengan pemunculan dalam

keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan dan diutamkan rujukan jurnal terkini..

5. Naskah masksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan menggunakan

program computer Microsoft Word dan PDF. Dikirm via email ke alamat

[email protected], CD/unggah melalui web www.champs.fkm.ui.ac.id/

content/manuscript.

6. Hardcopy naskah dikirim melalui pos disertai dengan surat pengantar yang

ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada permintaan secara

tertulis.

7. Naskah dikirim kepada : Redaksi Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit

Indonesia) Gedung G Lt.3 R.312 FKM UI Depok 16424, Tlp.021-80736060

Fax.021-7867370, Hp.085211003451.

8. Substansi naskah terdiri dari 5% abstrak, 10%pendahuluan, 15% tinjauan

teoritis, 10% metodologi penelitian, 35% hasil dan pembahasan, 25%

kesimpulan dan saran terhitung dari jumlah halaman naskah.

Contoh bentuk referensi:

Artikel Jurnal Penulis Individu:

Zainuddin AA. Kebijakan Pengelolaan Kualitas Udara Terkait Transportasi di Provinsi DKI

Jakarta. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 4 (6): 281-8.

Artikel Jurnal Penulis Organisasi:

Diabetes Prevention Program Reaserch Group. Hypertension, Insulin, & Proinsulin in Partici-

pants with Impaired Glucose Tolerance. Hypertension. 2002: 40 (5): 679-86

Buku yang Ditulis Individu:

Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. Medical Microbiology. 4th ed. St. Louis:

Mosby; 2002.

Buku yang Ditulis Organisasi dan Penerbit:

Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clinical Nursing. Compendium

of Nursing Research & Practice Development, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide

University; 2001.

Bab dalam Buku:

Derrida, J. (1979) “Living on Border Lines,” trans. J.Hulbert, in Deconstruction & Criticism, New

York: Continuum, pp. 75–176.

Materi Hukum atau Peraturan:

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah (Perda) (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 No. 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4844).

CD-ROM:

LeBlanc, Susan, and Cameron MacKeen. "Racism and the Landfill." The Chronicle-Herald 7

Mar. 1992: B1. CD-ROM. SIRS 1993 Ethnic Groups. Vol. 4. Art. 42.

Artikel Jurnal di Internet:

Nielsen, Laura Beth. "Subtle, Pervasive, Harmful: Racist and Sexist Remarks in Public as Hate

Speech." Journal of Social Issues 58.2 (2002): 265.

Buku di Internet:

Foley KM, Gelband H, Editors. Improving Palliative Care For Cancer [Monograph on The

internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from:

<http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/encyclopedia.html>.

Ensiklopedia di Internet:

Duiker, William J. "Ho Chi Minh." Encarta Online Encyclopedia. 2005. Microsoft.

10 Oct. 2005. <http://encarta.msn.com/encyclopedia_761558397/

Ho_Chi_Minh.html>.

Situs Internet:

Gearan, Anne. "Justice Dept: Gun Rights Protected." Washington Post. 8 May 2002.

SIRS. Iona Catholic Secondary School, Mississauga, ON. 23 Apr. 2004 <http://

www.sirs.com>.

ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016

Page 4: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Artikel Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan BaratTahun 2015 ……………………………………...……

Eliyana

Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakel-ola dengan Sistem Outsourcing di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ...…………………..….

Ari Purwohandoyo

Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian

Standar Tarif INA-CBG’s Instalasi Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta ..………..

Dewi Apriyantini

Analisis Hubungan Budaya Organisasi, Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention

Perawat Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015 …………………………………………......…

Erta Rahmawati

Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepua-san Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Ko-ta Metro Tahun 2015 ……………………………………………………………….……..… Fitriyuli Mayasari

Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutane-ous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hoesin Pa-lembang Tahun 2015 ……………….………………………………………………………….. Harjito Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015 .. Mardiah

Jurnal arsi Jurnal arsi (Administrasi rumah sakit Indonesia)

Daftar Isi

172

183

194

204

214

231

245

ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016

Page 5: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 172

Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di

Ruang Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan BaratTahun 2015

Factors related to the Executive Nurse’s Burnout in patient wards at RSJ West Kalimantan

Province in 2015

Eliyana

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor demografik, faktor personal dan faktor organisasi

terhadap burnout perawat pelaksana di unit rawat inap RSJ Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian deskriptif

dengan metode kuantitatif potong lintang menggunakan instrumen MBI (Maslach Burnout Inventory). Sampel

yang diambil adalah total sampling berjumlah 122 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa burnout perawat

pelaksana dalam kategori rendah sebesar 82,8% dan kategori sedang sebesar 17,2% serta variabel yang paling

dominan dengan burnout adalah variabel beban kerja.

Kata kunci: burnout, perawat pelaksana.

ABSTRACT

The study aims to determine the relationship between demographic factors, personal factors and organizational

factors toward burnout of nurses in the inpatient unit RSJ West Kalimantan Province. It is a quantitative study

with cross-sectional approach using MBI (Maslach Burnout Inventory) instrument. Samples are the total

population amounted to 122 nurses. The results showed that 82.8% are nurses with low category of burnout while

17.2% in middle category of burnout. The most dominant variables related to burnout is the workload of nurses.

Keywords: burnout, nurse executive.

PENDAHULUAN

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan

kesehatan merupakan bagian dari sumber daya

kesehatan yang sangat diperlukan dalam rangka

mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam

penyelenggaraan pelayanan rumah sakit, maka rumah

sakit harus melakukan upaya peningkatan mutu

pelayanan umum dan pelayanan medik, baik melalui

akreditasi, sertifikasi ataupun proses peningkatan mutu

lainnya (Kemkes, 2012).

Menurunnya kualitas pelayanan bukan hanya karena

faktor mutu tenaga, tetapi dapat juga karena tingginya

beban kerja yang berakibat perawat menjadi letih secara

fisik dan mental. Hal ini bisa tampak bila terjadinya

kenaikan jumlah kunjungan pasien dan meningkatnya

Bed Occupancy Rate (BOR), sedangkan jumlah

perawat tetap dalam periode waktu yang lama (Ilyas,

2013).

Perawat yang mengalami burnout dan mempunyai

lingkungan yang kurang aman dapat memberikan

perawatan yang kurang efisien daripada perawat yang

Page 6: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 173

tidak mengalami burnout. Perawat yang mengalami

burnout juga beresiko melakukan kesalahan yang

berpotensi merugikan pasien. Burnout juga terbukti

menjadi penyebab terjadinya peningkatan turnover

sehingga membuat cost rumah sakit semakin meningkat

(Hoskins, 2013).

Istilah burnout pertama kali dikemukakan oleh Herbert

Freudenberger pada artikel “Staff Burnout” yang dimuat

Journal of Social Issues tahun 1974 (Schaufeli dan

Buunk, 1993 dalam Umar 2103). Istilah burnout dipakai

Freudenberger untuk menunjukkan adanya stres dan

kelelahan luar biasa yang dialami sukarelawan pada

klinik gratis di New York yang bekerja menangani

ketergantungan obat. Konsep dari studi job burnout pada

caregivers diteliti pertama kali oleh Maslach and Leitter

(1997). Profesi-profesi sebagai caregivers seringkali

menjadi “korban” dari job burnout sehubungan dengan

hubungan kerja mereka dengan care seekers. Tuntutan

syarat pekerjaan sebagai caregivers adalah memberikan

dukungan secara emosional, fisik dan intelektual kepada

care seekers. Timbulnya burnout pada caregivers terlihat

saat mereka tidak dapat lagi mendapat dukungan,

mengalami kelelahan dan tidak dapat melakukan

pekerjaannya secara optimal lagi (Kahn dalam Umar,

2013).

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Kalimantan Barat

adalah salah satu RSJ milik Pemerintah Provinsi

Kalimantan Barat yang berada di Jalan Raya

Singkawang-Bengkayang Km 15 Kota Singkawang

merupakan rumah sakit rujukan kesehatan jiwa di

Provinsi Kalimantan Barat dengan kapasitas 580 tempat

tidur, jumlah pasien rawat inap rata-rata 600 orang / hari

dan jumlah perawat 195 orang dengan strata pendidikan

D3, D4 dan S1 Keperawatan (Data Rawat Inap tahun

2014 RSJ Provinsi Kalimantan Barat).

BOR RSJ Provinsi Kalimantan Barat selama tiga tahun

terakhir cenderung meningkat (2011-2013) rata-rata

sekitar 133%. Dari seluruh pelayanan di RSJ Provinsi

Kalimantan Barat BOR paling tinggi adalah di Instalasi

Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan Barat. Data rinci

BOR Pasien Jiwa di Instalasi Rawat Inap RSJ Provinsi

Kalimantan Barat ditampilkan dalam gambar 1.

Dampak tingginya BOR di Instalasi Rawat Inap RSJ

Provinsi Kalimantan Barat berakibat pada terjadinya

kelelahan fisik dan emosional, pulang kerja lebih cepat,

bolos kerja, keinginan untuk pindah, merasa bosan dan

mengabaikan kebutuhan pasien. Hal ini disampaikan

oleh salah satu Kepala Ruangan di Unit Rawat Inap RSJ

Provinsi Kalimantan Barat.

Didapatkan hasil rekapitulasi absensi perawat pelaksana

dari unit rawat inap RSJ Provinsi Kalimantan Barat pada

tahun 2014 yang tidak masuk karena sakit paling rendah

1 hari dan paling tinggi 51 hari. Alasan sakit bervariasi

dari keluhan sakit kepala sampai sakit yang memerlukan

istirahat total (bedrest). Fenomena lain yang terjadi

adalah masih ada perawat yang datang terlambat dan

pulang lebih cepat. Hal ini terjadi karena mereka

mengatakan merasa bosan merawat pasien jiwa.

Keadaan ini merupakan dampak dari burnout. Menurut

Maslach (1997), mengungkapkan burnout berdampak

pada individu terlihat adanya gangguan fisik seperti sakit

kepala, rentan terhadap penyakit dan keluhan

psikosomatik serta mengabaikan kebutuhan dan

tuntutan pasien.

TINJAUAN PUSTAKA

Herbert Freudenberger, seorang psikolog klinis,

merupakan ilmuwan pertama yang mendeskripsikan

dan melabel kasus burnout, pada tahun 1973 (Buunk

dalam Umar, 2013). Hal ini bermula dari pengalamannya

ketika bekerja dalam sebuah klinik kesehatan yang

banyak menangani kasus-kasus kecanduan obat.

Freudenberger mangamati terjadinya perubahan-perubahan

sikap yang terjadi dari waktu ke waktu. Perubahan

tersebut meliputi munculnya berbagai macam symptom

atau gejala fisik maupun mental, antara lain fatigue, lelah

secara emosi sampai berkurangnya motivasi dan

komitmen. Freudenberger pun kemudian memberi

nama “burnout”, yang pada saat ini merupakan istilah

yang digunakan untuk menyebutkan efek kronis

penyalahgunaan obat-obatan. Definisi burnout yang

dikemukakan oleh Freundenberger adalah:

“a state of fatique or frustration brought about by

devotion to cause, way of life, or relationship that

failed to produce the expected reward” (Freudenberger

and Richelson, 1990).

Menurut Freundenberger (1990 dalam Hazell, 2010),

burnout merupakan suatu keadaan lelah atau frustasi

yang terjadi karena seseorang bekerja terlalu keras untuk

mencapai harapan - harapannya tanpa memperhatikan

kebutuhan - kebutuhan dirinya sendiri. Individu yang

seperti ini pada mulanya berdedikasi tinggi dan memiliki

Page 7: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 174

komitmen penuh dengan pekerjaan. Mereka juga

biasanya memiliki pandangan ideal tentang

pekerjaannya, yang menimbulkan harapan-harapan

yang ideal pula dan bahkan kurang realistis. Dalam

usahanya mencapai harapan-harapan tersebut, individu

kemudian bekerja sangat keras sampai kurang

memperhatikan dirinya sendiri. Padahal, tuntutan

pekerjaan tidak pernah berakhir. Begitu pula dengan

harapan-harapan tidak semua dapat terpenuhi, bahkan

mungkin pula bertentangan dengan kenyataan yang

dihadapi. Jika individu terus memaksakan untuk

memenuhi harapan-harapannya, maka akan muncul

gejala-gejala seperti hilangnya vitalitas, energi maupun

gangguan lainnya yang merupakan tanda-tanda

berkembangnya burnout.

Burnout merupakan sindrom yang terdiri dari tiga

dimensi, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan

rendahnya penghargaan diri (Maslach dalam Umar,

2013).

1. Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion).

Situasi kerja dalam bidang pelayanan sosial

menempatkan pekerjanya pada situasi-situasi yang

memiliki beban emosi tertentu, misalnya seorang

perawat menangani pasiennya yang kesakitan, guru

yang menangani anak-anak bermasalah dan lain

sebagainya. Maslach mengemukakan bahwa

hubungan antara pemberi dan penerima pelayanan

merupakan hubungan yang asimetris, sehingga

pemberi pelayanan seolah-olah selalu dihadapkan

pada tuntutan memberi pelayanan, perawatan dan

lain-lain, dengan sebaik-baiknya (Maslach, 1993

dalam Hazell, 2010).

Situasi yang menuntut keterlibatan emosional

secara terus menerus seperti ini dapat

mengakibatkan munculnya kelelahan emosional,

yang merupakan inti dari sindrom burnout.

Kelelahan emosional ditandai dengan perasaan

terkurasnya energi yang dimiliki, berkurangnya

sumber-sumber emosional didalam diri seperti rasa

kasih, empati dan juga perhatian yang pada akhirnya

memunculkan perasaan tidak mampu lagi

memberikan pelayanan pada orang lain (Maslach et

all, 1996 dalam Umar, 2013). Cara yang biasanya

dilakukan untuk mengatasi sindrom ini adalah

mengurangi keterlibatan secara emosional dengan

hal-hal yang dihadapi penerima pelayanan, yang

akibatnya adalah kelelahan emosional seperti yang

dijelaskan diatas. Oleh karena itulah, pemberian

layanan akan mengurangi keterlibatannya sampai

batas-batas yang diwajibkan saja.

2. Depersonalisasi (Depersonalization).

Depersonalisasi adalah sikap, perasaan maupun

pandangan negatif terhadap penerima pelayanan

(Maslach et all, 1996). Reaksi negatif ini muncul

dalam tingkah laku seperti halnya memandang

rendah dan meremehkan pasien, bersikap sinis

terhadap pasien, kasar dan tidak manusiawi dalam

berhubungan dengan pasien, serta mengabaikan

kebutuhan dan tuntutan pasien. Sindrom ini

merupakan akibat lebih lanjut dari adanya upaya

penarikan diri dari keterlibatan secara emosional

dengan orang lain. Penarikan diri di satu sisi

dirasakan dapat lebih mengurangi ketegangan

emosional yang muncul karena keterlibatan yang

terlalu mendalam dengan penerima pelayanan.

Namun efek selanjutnya adalah hilangnya perasaan

sensitif terhadap orang lain sehingga dapat

memunculkan reaksi-reaksi negatif seperti diatas.

3. Rendahnya Penghargaan Diri (Reduced Personal

Accomplishment).

Dimensi ini pun ditandai dengan kecenderungan

memberi evaluasi negatif terhadap diri sendiri,

terutama berkaitan dengan pekerjaan. Pekerja

merasa dirinya tidak kompeten, tidak efektif dan

tidak adekuat, kurang puas dengan apa yang telah

dicapai dalam pekerjaan, bahkan perasaan kegagalan

dalam bekerja (Maslach dalam Umar, 2013).

Evaluasi negatif terhadap pencapaian kerja ini

berkembang dari munculnya tindakan depersonalisasi

terhadap penerima pelayanan.

Pandangan maupun sikap negatif terhadap klien

lama-kelamaan akan menimbulkan perasaan

bersalah pada diri pemberi pelayanan. Mereka

merasa menjadi orang yang “dingin” dan tidak

berperasaan, yang sebenarnya juga sama sekali

tidak mereka inginkan. Perasaan-perasaan ini akan

berkembang menjadi suatu penilaian terhadap diri

sendiri, yaitu bahwa dirinya tidak adekuat dalam

berhubungan dengan klien. Seiring dengan itu

muncul pula perasaan gagal dalam pekerjaan.

Dalam pembahasan mengenai sumber-sumber atau

penyebab burnout, secara implisit para ahli menyatakan

pentingnya melihat berbagai sudut pandang, bukan

Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap

RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015

Page 8: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 175

hanya menekankan pentingnya salah satu faktor saja

(Cherniss dalam Umar, 2013). Menurut Patel (2014)

Burnout dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor

demografik (jenis kelamin, umur, pendidikan, lama

bekerja dan status pernikahan), faktor personal (stress

kerja, beban kerja dan tipe kepribadian) dan faktor

organisasi (kondisi kerja dan dukungan sosial).

Di antara berbagai jenis instrumen atau cara-cara

pengukuran burnout tersebut, terdapat dua buah

instrumen yang paling luas penggunaannya dalam

penelitian-penelitian burnout dan sudah banyak diuji

reliabilitas dan validitasnya. Instrument Maslach

Burnout Inventory (MBI) adalah kuesioner tentang

burnout yang paling banyak digunakan dalam

penelitian-penelitian burnout. Alat ini diciptakan oleh

Maslach dan Jackson pada tahun 1982, berdasarkan

konsep bahwa burnout merupakan sindrom yang terdiri

dari tiga dimensi, yaitu kelelahan emosional,

depersonalisasi dan rendahnya penghargaan diri. MBI

terdiri dari 22 item yang dikelompokkan menjadi 3

subskala atau dimensi seperti yang telah disebutkan

diatas.

Cherniss mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya

stress kerja adalah orientasi yang kurang (poor

orientation), beban kerja tinggi (high work load), rutinitas

(routine), kontak terhadap klien yang sempit (narrow

scope of client contact), kurangnya otonomi (lack of

autonomy), tujuan institusi yang tidak sejalan

(incongruent institutional goals), kurangnya

kepemimpinan dan supervise (poor leaderhip and

supervision practices) dan isolasi sosial (social isolation).

Peneliti mengambil beban kerja, kondisi kerja dan

dukungan sosial menjadi variabel dalam faktor yang

berhubungan burnout.

Tahap kedua adalah strain, merupakan respon

emosional sesaat terhadap adanya ketidakseimbangan

yang ditandai dengan perasaan cemas, lelah dan tegang.

Peneliti mengambil tipe kepribadian sebagai variabel

dalam faktor yang berhubungan burnout. Tahap ketiga

adalah coping, meliputi langkah mengambil keputusan

untuk pemecahan masalah secara aktif atau adanya

perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku individu

seperti kecendrungan menjauhkan diri dan klien.

METODOLOGI PENELITIAN

Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan metode

kuantitatif potong lintang (cross sectional). Berdasarkan

tujuan penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk

mengukur burnout pada perawat pelaksana serta faktor-

faktor yang berhubungan di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat. Teknik pengumpulan data untuk mengukur

burnout dan mengidentifikasi faktor-faktor yang

berhubungan melalui teknik survey dengan mendatangi

perawat pelaksana yang memenuhi kriteria inklusi.

Kemudian peneliti membagikan kuesioner kepada

responden. Peneliti terlebih dahulu membacakan lembar

informed consent, selanjutnya responden

menandatangani persetujuan keikutsertaan dalam

penelitian. Kemudian kuesioner diberikan kepada

responden untuk diisi, dan apabila ada yang kurang jelas

dapat ditanyakan kepada peneliti.

Formulir kuesioner burnout menggunakan pengukuran

MBI yang terdiri atas 22 pertanyaan, yang mencakup 9

pertanyaan untuk dimensi kelelahan emosional, 5

pertanyaan untuk dimensi depersonalisasi dan 8

pertanyaan untuk dimensi rendahnya penghargaan diri.

Kuesioner ini menggunakan skala likert untuk 5 pilihan

jawaban mulai dari (0) “tidak pernah” sampai (4) ‘tiap

hari”. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih

dahulu untuk kuesioner yang akan digunakan.

Formulir assessmen faktor-faktor yang berhubungan

dengan burnout yang diadaptasi dari National Institute

for Occupational Safety and Health (NIOSH) untuk

dimensi beban kerja, dukungan sosial dan tipe

kepribadian sedangkan dimensi stres kerja dan kondisi

kerja peneliti sesuaikan dengan keadaan rumah sakit

yang akan diteliti. Untuk pertanyaan faktor personal yang

terdiri dari stres kerja, beban kerja dan tipe kepribadian

terdiri dari 27 pertanyaan dengan menggunakan skala

likert untuk 4 pilihan jawaban mulai dari (1) “sangat tidak

setuju” sampai (4) “sangat setuju”. Faktor organisasi

yang terdiri dari kondisi kerja dan dukungan sosial berisi

8 pertanyaan dengan menggunakan skala likert untuk 4

pilihan jawaban mulai dari (1) “sangat tidak setuju”

sampai (4) “sangat setuju”.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor demografi dalam penelitian ini meliputi jenis

kelamin, umur, pendidikan, status pernikahan dan lama

bekerja. Hasil penelitian ditampilkan dalam tabel 1.

Page 9: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 176

Faktor Personal

Faktor personal dalam penelitian ini meliputi stres kerja,

beban kerja dan tipe kepribadian. Hasil penelitian

ditampilkan dalam tabel 2.

Faktor Organisasi

Faktor organisasi dalam penelitian ini meliputi kondisi

kerja dan dukungan sosial. Hasil penelitian ditampilkan

dalam tabel 3.

Hasil Multivariat

Analisis Multivariat bertujuan untuk menganalisis

hubungan beberapa variabel independen terhadap satu

variabel dependen secara bersama-sama. Analisa

multivariat yang digunakan adalah analisa regresi logistik

ganda yang bertujuan untuk mendapatkan model faktor

resiko yang paling baik (fit) dan sederhana (parsimony)

yang menggambarkan hubungan antara variabel

dependen dan variable independen dengan nilai p<0,25

dalam analisa bivariate (ditampilkan dalam tabel 4).

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa jenis kelamin

Perempuan justru menjadi faktor proteksi untuk

menghasilkan kejadian burnout sedang karena nilai OR

< 1, yaitu sebesar 0,339 (95% CI: 0.117 – 0.983) setelah

dikontrol oleh variabel lama kerja, beban kerja, dan

dukungan sosial. Dari hasil uji statistik pada lama bekerja

didapatkan bahwa responden yang bekerja dibawah 4

tahun mempunyai peluang 1,466 kali mengalami

burnout sedang dibanding yang bekerja lebih dari 4

tahun. Setelah dikontrol variabel jenis kelamin, beban

kerja dan dukungan sosial. Hasil uji statistik pada variabel

beban kerja didapatkan bahwa beban kerja ringan akan

menghasilkan burnout yang rendah sebesar 2,262 kali

dibandingkan dengan beban kerja berat setelah dikontrol

oleh variabel jenis kelamin, lama bekerja dan dukungan

sosial. Hasil uji statistik pada variabel dukungan sosial

yang kurang baik justru menjadi proteksi untuk

menghasilan kejadian burnout sedang karena nilai OR <

1. Dari hasil analisis multivariat didapatkan bahwa faktor

yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel

dependen atau terhadap kejadian burnout perawat

pelaksana di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan

Barat adalah variabel beban kerja.

Sebagian besar perawat pelaksana di Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Kalimantan Barat adalah berjenis kelamin

perempuan. Pada tabel 6.1 memberikan informasi

bahwa sebagian besar responden 57,4 % adalah

perempuan, mempunyai tingkat burnout rendah

sebanyak 87% akan tetapi lebih sedikit dibanding laki-

laki pada tingkat burnout sedang sebanyak 12,9 %. Pada

penelitian ini perempuan justru menjadi proteksi untuk

mengalami burnout sedang.

Menurut Sihotang (2004) pada dasarnya burnout dapat

terjadi pada semua orang, baik itu laki-laki dan

perempuan. Hal ini terjadi karena setiap manusia tentu

mengalami tekanan yang diperoleh dalam kehidupan,

khususnya dalam menjalani pekerjaan. Secara umum

laki-laki lebih mudah mengalami burnout daripada

wanita. Hal ini dikarenakan wanita tidak mengalami

peringkat tekanan seperti yang dihadapi oleh seorang

laki-laki, yang dapat disebabkan karena adanya

perbedaan peran, misalnya dalam hal kerja, bagi laki-laki

“bekerja” adalah suatu hal mutlak untuk menghidupi

keluarganya, namun tidaklah demikian bagi seorang

perempuan, perempuan boleh bekerja atau tidak, jadi

bukan merupakan suatu keharusan (Gibson dalam

Sitohang, 2004).

Sebaliknya dengan pendapat di atas, penelitian lain

menyimpulkan bahwa ternyata wanita memperlihatkan

frekuensi lebih besar untuk mengalami burnout daripada

laki-laki yang disebabkan karena seringnya wanita

merasakan kelelahan emosional (Schultz dalam Sitohang,

2004). Hal ini disebabkan karena laki-laki dan

perempuan berbeda bukan saja secara fisik, tetapi juga

sosial dan psikologisnya dan mempunyai cara yang

berbeda dalam menghadapi masalahnya.

Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa responden

laki-laki yang mengalami burnout sedang mempunyai

masa kerja dibawah 4 tahun dibanding responden

perempuan yang mempunyai masa kerja dibawah 4

tahun. Hal ini yang mengakibatkan responden laki-laki

di Rumah Sakit Jiwa mengalami burnout sedang. Pada

observasi peneliti juga melihat bahwa jenis kelamin laki-

laki lebih diandalkan dalam merawat pasien yang gaduh

gelisah. Sehingga tenaga perawat pelaksana laki-laki

sangat dibutuhkan oleh manajemen SDM di RSJ

Provinsi Kalimantan Barat, dan diupayakan pada proses

rekruitmen untuk lebih mengutamakan tenaga perawat

pelaksana yang berjenis kelamin laki-laki.

Pada penelitian ini antara lama bekerja dan burnout

perawat pelaksana di Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Kalimantan Barat didapatkan data bahwa lama kerja

Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015

Page 10: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 177

dibawah 4 tahun mengalami burnout sedang (28,2%).

Pada penelitian sebelumnya (Turnipsteed, 1994 dalam

Lee, 2007) mengatakan seseorang yang telah bekerja

pada satu pekerjaan untuk waktu yang lama, maka

pekerja tersebut telah memiliki pandangan yang realistik

terhadap situasi yang dihadapi. Studi lain melaporkan

bahwa pekerja yang telah bekerja lebih lama,

menunjukkan kelelahan emosi pada level rendah.

Hal ini sejalan pada penelitian ini dimana lama bekerja

pada perawat pelaksana Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Kalimantan Barat rata-rata dibawah 4 tahun. Perawat

yang mempunyai minim pengalaman mengakibatkan

mudah mengalami burnout (Lee dalam Umar, 2013).

Bekerja di rumah sakit jiwa berbeda dengan bekerja di

rumah sakit pada umumnya. Pasien yang dihadapi

adalah pasien jiwa yang mempunyai masalah kejiwaan

yang berubah-ubah.

Perawat yang belum mempunyai skil dalam menangani

pasien jiwa akan merasa kesulitan dalam memberikan

asuhan keperawatan jiwa jika belum mendapatkan

pendidikan dan pengalaman dalam menghadapi pasien

jiwa. Perawat dengan minim lama kerja belum

beradapatasi dengan tugas dan tanggung jawab tersebut

sehingga belum lebih percaya diri dalam melakukan

tugasnya (Nugroho, 2012)

Tenaga perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat yang mempunyai masa kerja dibawah 4 tahun

sangat memerlukan pelatihan dasar dalam menangani

pasien jiwa, sehingga manajemen pendidikan dan

latihan sangat perlu mengadakan on job training bagi

tenaga perawat pelaksana yang mempunyai masa kerja

dibawah 4 tahun.

Perawat pelaksana Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Kalimantan Barat yang mengalami beban kerja berat

mempunyai resiko 2,262 kali menjadi burnout sedang

dibanding perawat pelaksana yang mengalami beban

kerja ringan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara

beban kerja dengan burnout perawat pelaksana di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.

Meskipun tidak bermakna secara statistik. Beban kerja

merupakan faktor yang paling dominan diantara semua

variabel.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Pramudya, 2008 dalam (Sari 2013) yang

menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara

beban kerja dan stres kerja pada perawat. Pada penelitian

ini pengukuran beban kerja bersifat persepsi artinya

beban kerja yang dirasakan oleh responden ketika

bekerja tidak sama dengan persepsi beban kerja yang

dirasakan oleh responden lain. Peneliti tidak

menggunakan tools baku yang dapat mengukur beban

kerja secara objektif, namun peneliti menggunakan data

kuesioner yang disi langsung oleh responden dan

didukung oleh hasil observasi peneliti.

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat adalah

rumah sakit jiwa yang menangani pasien dengan

gangguan kejiwaan, yang berbeda dengan rumah sakit

pada umumnya. Sudah pasti perawatan yang dilakukan

oleh perawat di rumah sakit ini berbeda dengan rumah

sakit umumnya. Dalam hal komunikasi dengan pasien

terasa sulit, selain itu ada juga beberapa perawat yang

mengaku mendapatkan kekerasan dari pasien terutama

pasien yang masih tinggi tingkat kegelisahannya.

Hal ini membuat beban kerja pada perawat pelaksana di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan cukup berat,

sehingga dapat menimbulkan burnout. Selain itu, selama

peneliti melakukan observasi menunjukkan jumlah

pasien yang banyak di tiap ruangan sedangkan jumlah

perawat yang bekerja di shift sore dan malam hanya 1-2

perawat per satu shift menangani pasien jiwa sebanyak

60-70 orang per ruangan rawat inap. Banyaknya jumlah

pasien membuat perawat kewalahan untuk menanganinya.

Apalagi ditambah bila ada perawat yang ijin tidak masuk

kerja, sehingga menambah beban kerja bagi perawat

yang lain.

Berdasarkan ratio perhitungan tenaga keperawatan

menurut Depkes (1979) tentang perbandingan tempat

tidur dengan jumlah perawat pada RS tipe A–B

perbandingan minimal adalah 3 – 4 perawat untuk 2

tempat tidur. Berbagai macam metode untuk mengukur

beban kerja, pada penelitian ini beban kerja hanya diukur

berdasarkan kuesioner sehingga jawaban responden

berdasarkan persepsi masing-masing terhadap beban

kerja yang dialaminya.

Pada tabel 6.9 juga didapatkan data bahwa sebesar

54,1% mengatakan bahwa perawat pelaksana memiliki

banyak waktu berpikir dalam rangka menyelesaikan

tugasnya. Hal ini senada dengan observasi yang

dilakukan peneliti bahwa perawat pelaksana di RSJ

Provinsi Kalimantan Barat mempunyai banyak waktu

untuk berpikir dalam mengerjakan tugasnya dikarenakan

Page 11: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 178

perawatan jiwa lebih mengutamakan komunikasi dalam

memberikan asuhan keparawatan jiwa.

Responden juga menjawab sebesar 36,9% menyatakan

bahwa pekerjaan diberikan terlalu rutinitas dan monoton.

Hal ini diakibatkan karena variasi pekerjaan di RSJ

adalah menghadapi pasien dengan penyakit khusus yaitu

gangguan jiwa berbeda dengan bekerja di RS yang

menangani pasien umum, variasi pekerjaan sangat

bervariasi tergantung penyakit yang dialami pasien.

Beban kerja menurut Munandar (2008) dibagi menjadi

dua yaitu beban kerja kuantitas dan beban kerja kualitas.

Beban kerja kuantitas adalah suatu keadaan dimana

terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan

dibanding dengan waktu yang tersedia. Sedangkan

beban kerja kualitatif adalah suatu keadaan dimana

pekerjaan yang harus dilakukan terasa sulit untuk

dikerjakan. Beban kerja yang terlalu ringan (work

underload) juga dapat menimbulkan stres apabila

tuntutan pekerjaan dibawah kemampuan dan

keterampilan yang dimiliki pekerja. Stres yang

berkepanjangan ini pun adalah faktor yang

mengakibatkan burnout.

Pekerjaan yang rutinitas dan monoton, jumlah pasien

yang tidak sesuai dengan jumlah perawat, memiliki

banyak waktu berpikir inilah yang membuat perawat

pelaksana RSJ Provinsi Kalimantan Barat merasa bosan

yang mengakibatkan burnout. Sehingga manajemen

SDM keperawatan di RSJ perlu membuat job

description untuk perawat pelaksana.

Pada penelitian ini perawat pelaksana yang bekerja di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat

mempunyai dukungan sosial yang kurang baik sebesar

87,7% dan mengalami burnout sedang sebesar 19,6%.

Tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan

sosial dan burnout pada perawat pelaksana dalam

penelitian ini.

Hal ini sejalan dengan penelitian Labiib (2013) bahwa

dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan adalah salah

satu sumber penyebab burnout yang termasuk dalam

faktor lingkungan organisasi kerja. Individu yang

memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan merasa

nyaman, diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang

lain disekitarnya. Individu yang mendapat dukungan

sosial yang baik akan mempunyai rasa memiliki

(belonginess) dan harga diri (self esteem) yang lebih besar

daripada individu dengan dukungan sosial yang kurang baik.

Dukungan sosial yang baik juga akan menyebabkan

individu semakin mengembangkan gaya hidup yang

baik dan sehat.

Menurut Sarafino dalam Labiib (2013) menyatakan

bahwa dukungan sosial adalah dorongan yang

dirasakan, penghargaan dan kepedulian yang diberikan

oleh orang-orang yang berada disekeliling individu

sehingga dukungan yang dirasakan akan sangat penting.

Dalam hal ini adalah rekan kerja dan atasan yang berada

di sekeliling individu dalam lingkungan organisasi kerja.

Responden yang merasa mendapat dukungan sosial

yang baik dari rekan kerja dan atasan akan cenderung

untuk tidak mengalami burnout, berbeda dengan

mereka yang mendapat dukungan sosial yang kurang

baik.

Pada penelitian Purba (2007) menunjukkan dukungan

sosial berpengaruh negatif terhadap burnout artinya

semakin besar dukungan sosial yang diperoleh akan

mengurangi level burnout yang dialami individu. Dukungan

sosial dari berbagai sumber membuat individu merasa yakin

bahwa dirinya dicintai dan disayangi, dihargai bernilai dan

menjadi bagian dari jaringan sosial.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Burnout perawat pelaksana Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan instrumen

MBI (Maslach Burnout Inventory) dalam kategori

rendah sebesar 82,8% dan kategori sedang sebesar

17,2%

2. Faktor demografik:

a. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat yang berjenis kelamin laki-laki mengalami

burnout sedang dikarenakan lebih diandalkan

dalam merawat pasien gaduh gelisah.

b. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat yang mempunyai umur di atas 27 tahun

mengalami burnout sedang dikarenakan oleh

pengalaman yang lebih banyak.

c. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat yang mempunyai latar pendidikan D3

Keperawatan mengalami burnout, sedangkan

dikarenakan minimnya skill dan keterampilan

dalam menangani pasien khususnya perawatan

jiwa.

Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap

RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015

Page 12: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 179

d. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat yang sudah menikah mengalami burnout

sedang dikarenakan adanya peran ganda di dalam

keluarga.

e. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat yang mempunyai masa kerja di bawah 4

(empat) tahun mengalami burnout dikarenakan

minimnya skill dan keterampilan dalam

menangani pasien khususnya perawatan jiwa.

3. Faktor personal:

a. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat yang mengalami stres ringan mengalami

burnout sedang dikarenakan minimnya skill

dan keterampilan dalam menangani pasien

khususnya perawatan jiwa.

b. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat yang mengalami beban kerja berat

mengalami burnout sedang dikarenakan belum

ada job description untuk perawat pelaksana.

c. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat yang mempunyai tipe kepribadian tipe B

mengalami burnout sedang dikarenakan mereka

memiliki tingkat kejenuhan yang tinggi dalam

bekerja.

4. Faktor organisasi:

a. Perawat-perawat pelaksana di RSJ Provinsi

Kalimantan Barat dengan kondisi kerja yang

menyenangkan mangalami burnout sedang

karena pekerjaan dianggap penuh tantangan

dan menyenangkan.

b. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan

Barat yang mendapatkan dukungan kurang

baik mengalami burnout sedang dikarenakan

atasan langsung tidak dapat bertindak diluar

kebiasaan untuk mempermudah perawat pelaksana

dalam bekerja.

Saran

1. Untuk Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan

Barat

a. Rumah Sakit mengadakan pelatihan on job

training tentang asuhan keperawatan jiwa

secara berkala yang dilakukan oleh perawat

senior yang telah berpengalaman khususnya

dalam perawatan jiwa kepada perawat

pelaksana khususnya yang mempunyai masa

kerja dibawah 4 tahun.

b. Mengadakan gathering atau kegiatan yang

bersifat refreshing secara bersama-sama untuk

mengurangi kejenuhan kerja dan membina

interaksi sosial yang baik antara sesama

perawat maupun atasan (misalnya satu tahun

sekali).

c. Membuat job description untuk perawat-perawat

pelaksana, sehingga pekerjaan yang dilakukan

sesuai tugas dan tanggung jawabnya.

d. Cenderung lebih mengutamakan para perawat

pelaksana berjenis kelamin laki-laki dalam

proses penerimaan pegawai

e. Memperhatikan sarana dan prasarana

khususnya penerangan pada malam hari.

2. Atasan langsung (Katim atau Kepala Ruangan)

a. Mempermudah para perawat pelaksana dalam

melaksanakan tugas, khususnya apabila para

perawat pelaksana mengalami kendala dalam

melaksanakan asuhan keperawatan jiwa.

b. Mengadakan rapat internal di tiap ruangan rawat

inap (satu bulan sekali) oleh kepala ruangan yang

dihadiri satu tim diruangan tersebut yang berguna

untuk menyalurkan aspirasi dan keluhan perawat

pelaksana dalam bekerja.

3. Untuk Perawat Pelaksana Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Kalimantan Barat.

a. Meningkatkan keterampilan perawat pelaksana

khususnya keterampilan psikologis dalam

pengendalian diri dan mempertahankan sikap

positif

b. Menanamkan nilai budaya yang dianut rumah

sakit sehingga dapat tercipta lingkungan kerja

yang baik, sejalan dan selaras dengan visi, misi

dan tujuan dari rumah sakit yang dapat

meningkatkan kinerja dan mutu rumah sakit

serta memberikan dukungan kerja kepada

sesama perawat.

c. Mempertahankan kebugaran dengan olahraga

yang teratur, makan yang sehat dan bergizi,

tidur yang cukup dan menikmati hobi yang

digemari.

d. Meningkatkan kecerdasan emosional serta

mengintensifkan hubungan sosial dengan

lingkungannya agar terbentuk dukungan sosial

yang baik dan kondusif

e. Meningkatkan kemampuan dan juga

kompetensi diri, baik melalui diklat yang diadakan

pihak rumah sakit maupun pelatihan di luar rumah

sakit.

Page 13: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 180

DAFTAR PUSTAKA

Ayala, Elizabeth & Carnero, A.M. 2013. Determinants of Burnout in Acute and Critical Care

Military Nursing Personnel: A Cross – Sectional Study from Peru. Open Access Freely. Volume 8 Issue 1.

Azwar, A. 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan. Ed. 3; Binarupa Aksara. Jakarta

Baron, R. A. & Grennberg, J. 2003. Behavior in organizations: Understanding and managing the human side of work (8th ed.). Upper Saddle River: Pearson Education.

Brennan, Gail M. 1989. A study of Type A and Type B Personality and Burnout in Nurses. Thesis

The Faculty of the Department of Nursing San Jose State University. Buhler, K.E & Land. 2004. Burnout and personality in extreme nursing: An empirical study.

Schweizer archiev fur neurologie und psychiatrie, 155, 35-42.

Buunk, B.P. & Schaufelli, W.B. 1993. Burnout: A Perspective from Social Comparison Theory. Cherniss, C. (1980). Staff Burnout Job Stress in the Human Services. Beverly Hills. CA: Sage

Davis, Keith dan Newstrom. 2001. Perilaku Dalam Organisasi, Edisi Ketujuh. Penerbit Erlangga,

Jakarta.

Enzman, D. & Schaufeli, W. 1999. The burnout companion to study and practice: A critical

analysis. London: Taylor & Francir Ltd.

Freundenberger, H.J & Richelson, G. 1990. Burnout: How to Beat The High Cost of Success. New York.

Gusnita, Rezky. Herawati. Rifa, Dandes. 2012. Pengaruh Stressor dan Tipe Kepribadian terhadap

Kejenuhan (Burnout) pada Kantor Akuntan Publik di Padang dan Pekan Baru. E-Journal Universitas Bung Hatta. Sumatera Barat. Padang

Haryanti. Aini, Faridah. Purwaningsih, Puji. 2013. Hubungan antara Beban Kerja dengan Stres

Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kabupaten Semarang. Jurnal Managemen Keperawatan. Vol 1, No. 1, Mei 2013, 48-56.

Hastono, Sutanto Priyo. 2006. Modul Pertama: Pengolahan Data Uji Instrumen. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok

Hastono, Sutanto Priyo. 2007. Analisa Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia. Depok Hazell. Kenneth. W. 2010. Job Stress, Burnout, Job Satisfaction, and Intention to Leave Among

Registered Nurses Employed in Hospital Settings in the State of Florida.

Disertasi. Lynn University Hoskins, Kelley. N. 2013. The Possible Role of Burnout in Nursing Errors. Thesis. College of

Nursing and The Burnett Honors College at the University of Central Florida.

Orlando Huruswati, Indah. 2008. Dilema Paradigma Baru Pelayanan Kesehatan: Suatu Kajian Kasus

Tenaga Keperawatan di Pusat Kesehatan Masyarakat, Kota Depok. Tesis.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Ilyas. Yaslis. 2013. Perencanaan SDM Rumah Sakit; teori, metoda dan formula. Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok

Imanoviani, Tera & Djuniarto, Eko. 2008. Difference in Burnout Tendencies Level on Married and Single Career Woman. Undergraduate Program, Faculty of Psychology.

Gunadarma University.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Jakarta 2012

Labiib, Akhmad, 2013. Analisis Hubungan Dukungan Sosial dari Rekan Kerja dan Atasan

dengan Tingkat Burn Out pada Perawat Rumah Sakit Jiwa. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 2 No. 1, Januari 2013

Lailani, Fereshti, 2012. Burn Out pada Perawat Ditinjau dari Efikasi Diri dan Dukungan Sosial.

Jurnal Talenta Psikologi Vol. 1 No. 1, Februari 2012 (66-86) Lamria, Evi & Sandrayanti, Monalisa. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

burnout pada perawat pelaksana di RS PGI Cikini Jakarta. Naskah Publikasi.

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Lee, S. Y & Syed Akhtar. Job Burnout among Nurses in Hongkong: Implication for Human

Resources. 2007: Hongkong.

Madathil, Renee Lisa. 2010. Burnout in Psychiatric Nursing: Possible Protective Factor. Professional Paper. Clinical Psychology. The University of Montana. Missoula,

MT

Malliarou, M.M, Moustaka, E.C & Konstantinidis, T.C. 2008. Burnout of Nursing Personnel in A Regional University Hospital. HSJ – Health Science Journal. Volume 2, Issue

3.

Maslach, C & Leitter, M.P. 1997. The Truth about Burnout: How Organizations cause Personal

Stress and What to do about it. San Fransisco, CA: Jossey-Bass Maslach, C & Leitter, M.P. 2005. Banishing Burnout Six Strategies for Improving Your

Relationship with Work. Jossey Bass A Wiley Imprint. San Fransisco.

Maslach, C & Schaufeli, W.B 1993. Historical and Conceptual Development of Burnout. In Professional Burnout: Recent Developments in Theory and Research.

Washington DC: Taylor & Francis

Maslach, C and Jackson, S.E. 1981. The measurement of Experienced Burnout, dalam Journal of Organization Behavior. Vol 2. Hal 99-113 US: John Wiley & Sons, Ltd

Maslach, C. Jackson, S.E, & Leitter, M.P. 1996. Maslach Burnout Inventory, manual (3rd ed).

Palo Alto. CA: Consulting of Psychologists Press Maslach, C. Leiter, M.P & Schaufeli, W. 2008. Chapter 5 Measuring Burnout. Journal Typeset

by SPi, Delhi: May 24. 2008

McShane, Steven, L & Glinow Von Mary Ann. 2005. Organizational Behaviour. Boston: Mc Graw Hill.

Munandar, A.S. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Depok: Universitas Indonesia Press.

Ningdyah, Anrilia. 1999. Peranan Dimensi-Dimensi Birokrasi terhadap Burnout pada Perawat

Rumah Sakit di Jakarta. Tesis. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Nugroho, A. Susiani, Adrian, Marselius. 2012. Studi Deskriptif Burnout dan Coping Stres pada

Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 1 No. 1 (2012)

Pangastiti, N.K. 2011. Analisis Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Burnout pada

Perawat Kesehatan di Rumah Sakit Jiwa (Studi pada RSJ Prof dr. Soerojo Magelang). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang

Papalia, D. E., Olds, S. W & Feldman, R.D. 2007. Human development (10th edition). New York:

Mc Graw Hill. Patel. Bhavesh. 2014. The Organisational Factors That Affect Burnout in Nurses. RCN

Education Conference. West Middlesex University Hospital. Prawasti, Cicilia Yeti. 1999. Burnout dan Faktor Psikososial di Kalangan Perawat Rumah Sakit

“X”. Tesis. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Purba, Johana. Yulianto Aries & Widyanti Ervy. 2007. Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Burnout pada Guru. Jurnal Psikologi Vol. 5 No. 1, Juni 2007

Ridyawati, Iis Maryati. 2014. Burnout (Kelelahan) Kerja pada Perawat IGD dan Perawat ICU

Rumah Sakit Cito Karawang Tahun 2014. Tesis. Program Magister Administrasi Rumah Sakit Universitas Respati Indonesia. Jakarta

Sarafino, E. P. 2008. Health biopsychosocial interactions (6th ed.). New York: John Willey&

Sons, Inc. Sari, Indah Permata. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Stres Kerja pada Perawat

Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Herdjan Tahun 2013. Skripsi. Fakultas

Kesehatan Masyarakat Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Depok

Suarli, S. & Bahtiar. 2009. Manajemen Keperawatan dengan Pendekatan Praktik. Erlangga.

Jakarta Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta. Bandung

Sumijatun. 2010. Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. CV. Trans Info Media.

Jakarta Timur. Sumijatun. 2014. Manajemen Keperawatan: Materi Burnout Perawat. Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia, Depok

Supardi. 2007. Analisa Stres Kerja pada Kondisi dan Beban Kerja Perawat dalam Klasifikasi Pasien di Ruang Rawat Inap Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan.

Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan

Sitohang, Imelda Novelina, 2004. Burnout pada Karyawan ditinjau dari Persepsi terhadap Lingkungan Kerja Psikologis dan Jenis Kelamin. Jurnal Psyche. Vol. 1 No. 1, Juli

2004. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang.

Umar. Bie Novirenallia. 2013. Analisis Kejadian Burnout Syndrome pada Perawat di Unit Rawat Inap dan Unit Rawat Jalan Rumah Sakit “X” Bandar Lampung Tahun

2013. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Wang, S.S, Liu Y.H & Wang, L.L. 2013. Nurse burnout: Personal and environmental factors as predictors. International Journal of Nursing Practice 2015; 21: 78-86.

Weiten, W.2013. Psychology: Themes and variations (9th edition). California: Wadsworth.

Wibowo, Adik. 2014. Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap

RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015

Page 14: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 181

Gambar 1. Diagram BOR Pasien Jiwa di Instalasi Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan

Barat Tahun 2011-2013 Sumber: Rekam Medik RSJ Provinsi Kalimantan Barat (2014)

Tabel 1. Distribusi Faktor Demografi

VARIABEL JUMLAH PERSENTASI

JENIS KELAMIN

Laki-laki

Perempuan

52

70

42,6

57,4

UMUR (tahun)

>27

≤ 27

51

71

41,8

58,2

PENDIDIKAN D3 Keperawatan

S1 Keperawatan

119

3

97,5

2,5

STATUS PERNIKAHAN Menikah

Belum Menikah

75

47

61,5

38,5

LAMA KERJA (tahun)

≤ 4 > 4

39 83

32,0 68,0

Tabel 2. Distribusi Faktor Personal

VARIABEL JUMLAH PERSENTASI

STRES KERJA Ringan

Berat

68

54

55,7

44,3

BEBAN KERJA Ringan

Berat

62

60

50,8

49,2

TIPE KEPRIBADIAN

Tipe B Tipe A

88 34

72,1 27,9

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

140%

160%

2011 2012 2013

BOR

BOR

1

1

11

Page 15: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 182

Tabel 3. Faktor Organisasi

VARIABEL JUMLAH PERSENTASI

KONDISI KERJA Menyenangkan

Kurang Menyenangkan

67

55

54,9

45,1

DUKUNGAN SOSIAL

Baik Kurang Baik

15 107

12,3 87,7

Tabel 4. Distribusi Burnout Perawat Pelaksana RSJ Provinsi Kalimantan Barat

Tabel 5. Variabel Model Akhir Burnout Perawat Pelaksana RSJ Provinsi Kalimantan

Barat

Burnout F %

Rendah 101 82,8

Sedang 21 17,2

Total 122 100,0

Variabel B S.E Wald Sig. Exp(B)

Jenis Kelamin -1,081 0,543 3,964 0,046 0,339

Lama Bekerja 0.382 0.147 6.797 0.009 1.466

Beban Kerja 0.816 0.549 2.214 0.137 2.262

Dukungan Sosial 19.873 9.90E+03 0 0.998 4.27E+08

Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap

RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015

Page 16: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 183

Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara

Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di Rumah Sakit Kanker

“Dharmais”

The Comparative Cost Analyses of Solid Medical Waste Management in Dharmais Cancer

Hospital between Self-Managed System with Outsourcing System

Ari Purwohandoyo

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehaan

Fakutas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: aripurwohandoyo@gmailcom

ABSTRAK

Berdasarkan prinsip “pembuat polusi yang membayar”, setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus bertanggung

jawab secara finansial atas pengelolaan limbahnya secara aman. Biaya tersebut harus didanai dengan alokasi

khusus dari anggaran rumah sakit. Total biaya umumnya terdiri atas investasi modal awal, penyusutan peralatan

dan bangunan, biaya pengoperasian elemen-elemen tersebut seperti petugas dan barang habis pakai, biaya

operasional sarana, biaya pengelolaan pihak ketiga, biaya perizinan, dan biaya-biaya lain yang semuanya harus

dipertimbangkan secara hati-hati jika akan memilih opsi yang paling rendah biayanya. Penelitian ini membahas

perbandingan biaya pengelolaan limbah medis padat di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” antara sistem swakelola

dengan sistem outsourcing. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dan dilakukan dengan cara

pengamatan, telaah dokumen langsung, dan perhitungan biaya menggunakan metode Activity Based Costing

(ABC). Dari hasil penelitian diketahui bahwa alur proses pengelolaan limbah medis sudah berjalan baik dan

pengelolaan limbah medis padat secara outsourcing lebih murah dibanding swakelola. Untuk mengurangi limbah

medis padat, masih dapat dilakukan upaya minimisasi limbah.

Kata kunci: biaya; pengelolaan limbah medis padat; swakelola; outsourcing.

ABSTRACT

Based on the principle of "the polluter pays", every health care need to be financially responsible for the

management of their waste safely. Such costs should be funded by a special allocation of hospital budgets. Total

expenses generally consist of an initial capital investment, depreciation of equipment and buildings, the cost of

operation of these elements such as personnel and consumables, vehicle operating costs, third-party management

fees, license fees, and other expenses that everything must be carefully fastidiously if it will choose the lowest cost

option.This study discusses The comparative cost analyse of solid medical waste management in the "Dharmais"

Cancer Hospital between self-managed system with outsourcing system. This research is a quantitative and

descriptive study was done by observation, document review, and the calculation of the cost of using Activity

Based Costing (ABC). The survey results revealed that the flow of medical waste management process has been

running good and solid medical waste management outsourcing system is cheaper than self-managed. To reduce

solid medical waste, they can do waste minimization efforts.

Keywords: costs, solid medical waste management self-managed, outsourcing.

Page 17: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 184

PENDAHULUAN

Sebagaimana yang juga tercantum dalam Undang-

Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat

inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan

Kesehatan Paripurna dimaksud adalah pelayanan

kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif, yang dalam melaksanakan kegiatannya

perlu diatur dengan salah satu tujuannya adalah untuk

memberikan perlindungan terhadap keselamatan

pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan

sumber daya manusia di rumah sakit.

Penyehatan lingkungan rumah sakit merupakan salah satu

program yang harus dilaksanakan oleh rumah sakit.

Mengingat rumah sakit merupakan salah satu tempat yang

banyak dikunjungi, maka program ini dilaksanakan agar

dalam kegiatan operasional rumah sakit tidak mengganggu

pengunjung dan masyarakat yang ada di dalam dan diluar

rumah sakit. Gangguan tersebut dapat berbentuk infeksi

nosokomial maupun pencemaran lingkungan. Guna

mengurangi dampak dan risiko tersebut maka pemerintah

dalam hal ini Departemen Kesehatan mengeluarkan

Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/ 2004 tentang

persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan tersebut tersebut,

pengelolaan limbah termasuk di dalam salah satu

persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit karena

rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan dari

berbagai kegiatannya menghasilkan limbah yang dapat

mencemari lingkungan dan menimbulkan gangguan

kesehatan bagi masyarakat, sehingga rumah sakit

memiliki kewajiban mengelola limbah tersebut.

Limbah medis adalah semua limbah yang dihasilkan

dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan

gas. Limbah medis padat adalah limbah padat yang

terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah

benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah

kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan,

yang dihasilkan oleh Fasilitas Pelayanan dan limbah

dengan kandungan logam berat yang tinggi.

Menurut WHO (2013) 75%-90% limbah yang

Kesehatan berupa limbah domestik, sedangkan 10% -

25% limbah yang dihasilkan merupakan limbah yang

berbahaya yang dapat merusak lingkungan dan berisiko

terhadap kesehatan. Dari 2,1 – 3,2 kg/tempat tidur/hari

limbah padat yang dihasilkan rumah sakit, 10-20

persennya (di Indonesia 23%) adalah berupa limbah

medis padat (Adisasmito, 2012) yang pengelolaannya

harus diperlakukan secara khusus karena bahayanya

sangat besar bagi lingkungan dan masyarakat.

Pengelolaan limbah medis padat di Rumah Sakit

Kanker “Dharmais” dalam pelaksanaannya menjadi

tanggung jawab dari Instalasi Kesehatan Lingkungan

dan K3 bekerjasama dengan perusahaan pengelola

limbah bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berizin

sejak bulan April 2013 hingga saat ini, yang setiap

tahunnya ditunjuk melalui proses lelang terbuka dengan

nilai kontrak Rp. 7000,-/kg limbah dan seluruh fasilitas

pengelolaan seperti tempat sampah, wheel bin, sharp

container, yellow bag dan lain-lain disediakan penyedia.

Adapun nilai kontrak kerjasama pengelolaan limbah

medis padat tahun 2015, dikarenakan mengikuti

kenaikan harga investasi, operasional, pemeliharaan,

dan fasilitas pendukung telah disepakati dengan nilai

Rp. 8300,-/Kg dengan prediksi berat limbah 160.000

Kg, sehingga total nilai kontrak Rp. 1.460.800.000,-.

Mengingat RS. Kanker “Dharmais” memiliki Incinerator

yang memadai dan terpelihara, serta terjadinya peningkatan

nilai kontrak pengelolaan limbah medis padat tahun 2015,

yang sampai saat ini belum pernah dilakukan perhitungan

yang mendalam, apakah biaya yang dikeluarkan RS.

Kanker “Dharmais” melalui kontrak kerjasama dengan

penyedia (outsourcing) yang lebih menguntungkan dibandingkan

dengan dikelola sendiri (swakelola).

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana alur proses

dan menghitung biaya pengelolaan limbah medis padat

secara swakelola dan secara outsourcing. Kemudian

dilakukan perbandingan diantara kedua sistem tersebut

sebagai dasar penilaian apakah Rumah Sakit Kanker

“Dharmais” sudah tepat memilih system pengelolaan

limbahnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut World Health Organization (1999) dalam

Pruss (2005), rumah sakit dan instalasi kesehatan

lainnya memiliki “kewajiban untuk memelihara”

lingkungan dan kesehatan masyarakat, serta memiliki

Page 18: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 185

tanggung jawab khusus yang berkaitan dengan limbah

yang dihasilkan instalasi tersebut. Kewajiban yang

dipikul instalasi tersebut diantaranya adalah kewajiban

untuk memastikan bahwa penanganan, pengolahan,

serta pembuangan limbah yang mereka lakukan tidak

akan menimbulkan dampak yang merugikan

kesehatan dan lingkungan.

Limbah rumah sakit (Depkes, 2004) adalah semua

limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam

bentuk padat, cair, pasta (gel) maupun gas yang dapat

mengandung mikroorganisme patogen, bersifat

infeksius, bahan kimia beracun dan sebagian bersifat

radioaktif. Limbah padat rumah sakit adalah semua

limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai

akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah

medis padat dan non-medis. Limbah medis padat

adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius,

limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi,

limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif,

limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan

kandungan logam berat yang tinggi.

Upaya pengelolaan limbah rumah sakit dapat dilaksanakan

dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa

peraturan, pedoman, dan kebijakan yang mengatur

pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan

rumah sakit (Hapsari, 2010). Adisasmito (2007)

menguraikan bahwa sebagian besar rumah sakit

melakukan pengelolaan limbah padat dengan memisahkan

antara limbah medik dan nonmedik (80,7%), tetapi

dalam masalah pewadahan sekitar 20,5% yang

menggunakan pewadahan khusus dengan warna dan

lambang yang berbeda. Sementara itu, teknologi

pemusnahan dan pembuangan akhir yang dipakai, untuk

limbah infeksius 62,5% dibakar dengan insenerator,

14,8% dengan cara landfill, dan 22,7% dengan cara lain;

untuk limbah toksik 51,1% dibakar dengan insenerator,

15,9% dengan cara landfill dan 33,0% dengan cara lain.

Rumah sakit merupakan penghasil limbah klinis

terbesar. Limbah klinis ini bisa membahayakan dan

menimbulkan gangguan kesehatan bagi pengunjung

dan terutama kepada petugas yang menangani limbah

tersebut serta masyarakat sekitar rumah sakit. Limbah

klinis adalah limbah yang berasal dari pelayanan medik,

perawatan gigi, farmasi, atau yang sejenis; penelitian,

pengobatan, perawatan, atau pendidikan yang

menggunakan bahan-bahan yang beracun, infeksius,

berbahaya atau bisa membahayakan, kecuali jika

dilakukan pengamanan tertentu. Adapun tahapan

penanganan limbah medis terdiri dari pemilahan,

pewadahan, pengumpulan, pengangkutan,

penampungan, dan pengolahan.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2005) outsourcing

berasal dari dua suku kata, yaitu out dan source, yang

menurut kamus Oxford mempunyai arti sebagai

contract out, yang dengan terjemahan bebas bermakna

kerja sama operasional (KSO). Adapun definisi

outsourcing menurut Soewondo (2003), outsourcing

adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian

dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan

penyedia jasa outsourcing).

Tidak semua unit di rumah sakit dapat di outsourcing,

untuk fungsi yang strategik dan merupakan unggulan

rumah sakit sebaiknya tidak di outsourcing, beberapa

yang dapat di outsourcing antara lain adalah catering,

penyediaan linen rumah sakit, jasa perbankan, cleaning

service, maintenance dan repair peralatan canggih.

Evaluasi ekonomi adalah suatu bentuk analisis ekonomi

yang membandingkan dua atau lebih program alternatif

dilihat dari segi biaya dan konsekuensi atau outcome

(Drummon, 2005). Dengan kata lain evaluasi ekonomi

mengidentifikasi serta mengukur biaya dan konsekuensi

dari beberapa alternatif kebijakan atau program yang akan

dilaksanakan. Biaya (cost) adalah semua pengorbanan

(sacrifice) yang dikeluarkan untuk memproduksi atau

mengkonsumsi suatu barang atau jasa tertentu. Dengan

demikian pengertian biaya meliputi semua jenis

pengorbanan, biasanya diukur dalam bentuk uang,

barang, gedung, waktu, atau kesempatan yang hilang

(opportunity cost) dan bahkan kenyamanan yang

terganggu.

Metode Activity Based Costing merupakan metode

terbaik dari berbagai metode analisis biaya yang ada,

meskipun pelaksanaannya tidak semudah metode yang

lain karena belum semua rumah sakit memiliki sistem

akuntansi dan keuangan yang terkomputerisasi. Pada

metode ini biaya dikelompokkan berdasarkan masing-

masing aktifitas yang dilakukan, kemudian diidentifikasi

dan dihitung masing-masing biaya investasi, biaya

operasional, biaya pemeliharaan, dan biaya tidak

langsung masing-masing aktifitas yang dilakukan.

Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”

Page 19: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 186

Pengelolaan limbah medis madat merupakan suatu

serangkaian proses kegiatan yang pada pelaksanaannya

menimbulkan biaya investasi, biaya operasional, biaya

pemeliharaan, dan biaya tidak langsung, sehingga dapat

dinilai total biaya dan biaya satuan yang dibutuhkan

dalam pengelolaan limbah medis padat tersebut.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis Penelitian adalah penelitian kualitatif menggunakan

rancangan crossectional dengan melakukan studi

perbandingan biaya (comparative study) antara dua

alternatif yang ada, pengelolaan limbah medis padat di

RS Kanker “Dharmais” pada bulan Januari sampai

April tahun 2015 antara sistem swakelola dengan

outsourcing. Selanjutnya perhitungan biaya dilakukan

dengan menggunakan metode Activity Based Costing

(ABC).

Berbagai kegiatan yang dilakukan untuk melakukan

pengumpulan data dimulai dengan melihat dan

mencatat alur kegiatan pengelolaan limbah medis padat

di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. Di dalam alur

kegiatannya termasuk menghitung biaya investasi,

biaya operasional, dan biaya pemeliharaan serta biaya

yang menunjang semua kegiatan pengelolaan untuk

mendapatkan biaya total dari tiap alternatif pengobatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam perhitungan total biaya pengelolaan limbah

medis padat di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”

diawali dengan mengidentifikasi masing-masing aktifitas

dalam suatu alur proses (current stage), kemudian dari

masing-masing aktifitas sumber daya yang digunakan

dikelompokkan menjadi biaya investasi, biaya

operasional, biaya pemeliharaan, dan biaya tidak

langsung (ditampilkan dalam gambar 1).

Dari alur proses tersebut didapatkan aktifitas-aktifitas

pengelolaan limbah medis padat yaitu pemilahan,

pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, dan

penyimpanan. Aktifitas yang dilaksanakan sudah sesuai

dengan Pedoman Pengelolaan Limbah Medis Padat

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

(P2 dan PL) Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia tahun 2013.

Aktifitas pemilahan adalah merupakan kumpulan

kegiatan dimana petugas kebersihan mempersiapkan

sarana pembuangan limbah medis padat dalam kondisi

siap pakai. Pada aktifitas ini, staf pemberi pelayanan

kesehatan di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” membuang

sampah medis hasil dalam melaksanakan tugasnya ke

dalam tempat sampah dan kantong plastik berwarna

kuning dan berlogo “biohazards”. Sedangkan untuk

limbah jarum suntik dan benda tajam dibuang ke dalam

safety box yang juga berlogo “biohazards”. Petugas

kebersihan secara rutin akan memantau volume limbah

yang berada di tempat sampah.

Pada aktifitas ini, menurut petugas kebersihan dan

sanitarian, masih sering ditemukan sampah domestik,

botol infus, dan limbah lain yang tidak termasuk limbah

medis dan limbah B3 dibuang di tempat sampah medis,

sehingga menambah berat limbah medis yang

dihasilkan.

Kemudian pada aktifitas pewadahan, petugas kebersihan

mengambil limbah medis padat yang sudah 2/3 penuh

dan atau sesuai jadwal pembuangan untuk di simpan

sementara dalam wheel bin. Sebelum plastik dan safety

box dimasukkan ke dalam wheel bin, petugas kebersihan

harus mengisi pada label yang telah disediakan menggunakan

spidol permanen. Adapun yang dituliskan pada label adalah

lokasi asal limbah dan nama petugas. Kemudian petugas

kebersihan membersihkan tempat sampah medis dan

mengisinya dengan plastik baru.

Plastik kuning dan safety box yang berisi sampah di

simpan ke dalam wheel bin untuk disimpan sementara

di lokasi yang aman sampai pada jadwal pengangkutan.

Jadwal pengangkutan limbah yang ditetapkan pada jam

06.00, jam 13.30, dan jam 20.00 setiap harinya. Namun

bila wheel bin sudah 2/3 penuh, harus segera didorong

ke tempat pembuangan sampah sementara (TPS)

untuk menghindari penyebaran infeksi.

Pada aktifitas pengangkutan, di jadwal yang telah

ditentukan, wheel bin didorong menuju TPS di

belakang rumah Sakit yang berjarak sekitar 30 meter

dari Gedung Utama Rumah Sakit Kanker “Dharmais”

yang merupakan pusat pelayanan pasien.

Pada aktifitas penyimpanan sementara di TPS, dibagi

menjadi dua kegiatan, yaitu sebelum dan sesudah

pembakaran. Pada saat sebelum pembakaran, sebelum

Page 20: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 187

serah terima limbah kepada petugas kebersihan TPS,

petugas kebersihan menimbang seluruh limbah beserta

wheel bin dan safety box-nya. Hal ini dimaksudkan

meminimalisir petugas kebersihan kontak dengan

limbah. Sebelumnya masing-masing wheel bin dan

safety box telah ditimbang berat kosongnya, sehingga

hasil penimbangan dikurangi berat kosong tersebut.

Pada saat serah terima limbah, petugas kebersihan

mencatat pada formulir lokasi asal limbah, berat

limbah, dan nama petugas yang membuangnya.

Setelah meletakkan wheel bin dan safety box yang telah

ditimbang, petugas kebersihan ruangan kembali ke

tempat tugasnya membawa wheel bin dan safety box

kosong.

Pada kegiatan setelah pembakaran, petugas kebersihan

mengangkut sisa pembakaran yang sudah dimasukkan

ke dalam karung-karung ke dalam TPS untuk

menunggu waktu pembuangan sisa pembakaran

(maksimal selama 3 bulan). Petugas kebersihan

membersihkan lokasi sebelum jam kerja selesai. Pada

kegiatan ini, semua petugas bekerja non shift sejak hari

senin-sabtu.

Pada aktifitas pengolahan, terdapat dua kegiatan yang

dilaksanakan, yaitu kegiatan pembakaran dan

pembuangan sisa pembakaran. Pada kegiatan

pembakaran, operator incinerator memindahkan sisa

pembakaran yang dilakukan sehari sebelumnya ke

dalam karung-karung untuk disimpan sementara ke

dalam TPS, berat sisa pembakaran sekitar 50 Kg setiap

harinya. Kemudian operator mengangkut limbah

dalam plastik dan safety box yang belum dibakar yang

berat rata-rata limbahnya lebih dari 400 Kg setiap

harinya ke lubang pengumpan yang terletak di bagian

atas incinerator melalui tangga yang telah disediakan.

Kemudian petugas menyalakan incinerator selama 30

menit, yang pada chamber pertama untuk membakar

limbah, sedangkan pada chamber kedua untuk

membakar asap dan debu hasil pembakaran, agar asap

yag dibuang aman bagi lingkungan.Setelah incinerator

dimatikan, incinerator beserta sisa pembakaran

didiamkan selama minimal 12 jam untuk mendinginkan

incinerator dan sisa pembakaran tersebut.

Pada kegiatan pembuangan sisa pembakaran, setelah

disepakati waktu dan biaya kerjasama dengan penyedia

penampung sisa pembakaran, operator melaksanakan

tugas lembur untuk membuang sisa pembakaran.

Tugas lembur dilakukan karena di jalan protokol depan

Rumah Sakit Kanker “Dharmais” tidak boleh dilalui

truk dari jam 22.00-05.00. Dikarenakan berat sisa

pembakaran dapat mencapai 5 ton setiap pembuangan,

maka diperlukan staf tambahan untuk mengangkut sisa

pembakaran.

Sebelum diangkut ke dalam drum-drum dalam truk,

sisa pembakaran ditimbang terlebih dahulu, sebagai

bahan laporan kepada instansi pengelola lingkungan

DKI Jakarta dan sebagai dasar pembayaran kepada

perusahaan pengangkut. Lokasi TPS dan jalur

pengangkutan kemudian dibersihkan.

Setelah digambarkan dalam suatu flowchart, alur proses

pengelolaan limbah medis padat secara outsourcing,

hanya berbeda pada aktifitas penyimpanan sementara

dan pengolahan saja. Perbedaan tersebut adalah dikarenakan

pada swakelola terdapat kegiatan pembakaran dan juga

pembuangan sisa pembakaran, sebaliknya tidak dilakukan

pada sistem outsourcing (ditampilkan dalam gambar 2).

Pada aktifitas penyimpanan sementara, hanya terdapat

satu kegiatan saja, yaitu sama pada pengelolaan limbah

medis padat secara swakelola di kegiatan sebelum

pembakaran. Setelah wheel bin sampai ke TPS, petugas

kebersihan menimbang seluruh limbah beserta wheel

bin dan safety boxnya. Pada saat serah terima limbah,

petugas kebersihan mencatat pada formulir lokasi asal

limbah, berat limbah, dan juga nama petugas yang

membuangnya. Setelah meletakkan wheel bin dan

safety box yang telah ditimbang, petugas kebersihan

ruangan kembali ke tempat tugasnya membawa wheel

bin dan safety box kosong.

Pada aktifitas pengolahan, setelah petugas pengangkut

datang, maka bersama petugas kebersihan dilakukan

penimbangan dan pencatatan pada lembar manifes

yang dibawa petugas pengangkut.

Dalam melakukan perhitungan activity based costing

(ABC) pada sistem swakelola dan outsourcing, harga

sumber daya yang digunakan berdasarkan harga pasar

atau harga dan perhitungan yang berlaku pada Bulan

April tahun 2015, angka inflasi menggunakan rata-rata

inflasi Bank Indonesia di Bulan Januari-April tahun

2015. Untuk harga solar, diambil harga rata-rata dari

bulan Januari-April 2015.

Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di

Rumah Sakit Kanker “Dharmais”

Page 21: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 188

Adapun prediksi limbah medis padat yang diolah,

tempat sampah medis, safety box, dan wheel bin

berdasarkan berat limbah yang telah dihasilkan pada

Bulan Januari-April 2015, tempat sampah medis

sebanyak 250 buah, safety box ukuran 5 liter sebanyak

10.800 buah, wheel bin ukuran 240 liter sebanyak 50

buah, dan wheel bin 120 liter sebanyak 30 buah yang

nilainya diperhitungkan dalam periode 4 bulan.

Adapun penggunaan barang habis pakai (BHP) seperti

sarung tangan, masker, plastik sampah, ballpoint,

karung, dan air dihitung pemakaian rata-rata per bulan

dari bulan Januari-April 2015, sedangkan konsumsi

solar dan listrik disesuaikan dengan spesifikasi

kebutuhan energi dari incinerator.

Setelah dilakukan penelusuran biaya pengelolaan limbah

medis padat secara swakelola berdasarkan aktifitas

menurut metode ABC didapatkan hasil perhitungan

berupa biaya langsung yang terdiri dari biaya investasi,

biaya operasional, dan biaya pemeliharaan, serta biaya

tidak langsung yang berfungsi sebagai penunjang namun

tidak langsung mempengaruhi proses pengelolaan limbah,

sebagaimana ditampilkan dalam tabel 1.

Adapun setelah dilakukan penelusuran biaya pengelolaan

limbah medis padat secara outsourcing berdasarkan

aktifitas menurut metode ABC didapatkan pula hasil

perhitungan berupa biaya langsung yang terdiri dari

biaya investasi, biaya operasional, dan biaya pemeliharaan,

serta biaya tidak langsung yang berfungsi sebagai

penunjang namun tidak langsung mempengaruhi proses

pengelolaan limbah, sebagaimana ditampilkan dalam tabel

2.

Dalam proses pengumpulan dan pengolahan data yang

dilakukan pada penelitian ini, terdapat keterbatasan

antara lain

1. Dikarenakan pengelolaan limbah medis padat yang

berjalan saat ini adalah pengelolaan secara outsourcing,

maka dengan ini tidak dapat dilakukan pengamatan

alur proses pengelolaan limbah secara swakelola,

khususnya pada aktifitas pengolahan. Sebagai jalan

keluar, peneliti membuat alur proses berdasarkan

pengalaman yang pernah melaksanakan tugas di

Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3, telaah

dokumen, serta wawancara kepada Kepala Unit

Kesehatan Lingkungan di Instalasi Kesehatan

Lingkungan dan K3;

2. Penelitian dilakukan pada Bulan April dan Mei 2015

berdasarkan data pelaksanaan pengelolaan limbah

yang sudah berjalan pada tahun 2015 yaitu data di

Bulan Januari hingga April 2015. Pengambilan data

dilakukan untuk membandingkan pengelolaan limbah

secara swakelola dan secara outsourcing dalam tahun

2015, berdasarkan kontrak kerjasama dengan penyedia;

3. Sumber daya berupa peralatan, hampir semua tidak

dapat langsung diketahui harga pengadaannya, sehingga

peneliti harus mencari harga pasar saat ini baik secara

langsung maupun melalui internet;

4. Tarif solar industri yang berubah-ubah, sehingga tidak

dapat ditentukan harga tetapnya. Untuk itu para peneliti

menggunakan harga solar rata-rata sebagai dasar

perhitungan harganya dan melakukan penelitian pada

waktu yang sudah berjalan, yaitu Bulan Januari-April

2015;

5. Data perhitungan biaya investasi berupa harga

ruangan/bangunan tidak ada, karena saat pengadaannya

merupakan satu paket pengadaan incinerator, sehingga

peneliti meminta bantuan konsultan yang sedang

melaksanakan pekerjaan di Rumah Sakit Kanker

“Dharmais” menilai taksiran harga dan masa pakainya;

6. Tidak dimasukkannya biaya administrasi dan

perkantoran ke dalam Instalasi Kesehatan Lingkungan

dan K3, biaya kemungkinan apabila terjadinya keadaan

darurat dan kecelakaan kerja, biaya pembuatan laporan

ketaatan lingkungan, dan biaya risiko dan dampak

hukum apabila Rumah Sakit Kanker “Dharmais”

tidak memenuhi persyaratan dalam pengolahan

limbah medis padatnya;

7. Terdapatnya incinerator yang tidak dipakai, namun

masa pakainya masih tersisa 3 tahun lagi, maka yang

tetap dihitung beban depresiasinya sehingga meningkatkan

beban biaya pengelolaan limbah medis padat secara

outsourcing.

Dari kedua alur proses pengelolaan limbah medis padat

menunjukkan bahwa kedua sistem sudah dilaksanakan

sesuai dengan Pedoman Pengelolaan Limbah Medis Padat

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2 dan PL)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013.

Dalam pelaksanaannya, kedua alur proses tersebut

mempunyai perbedaan pada beberapa aktifitas dan

sumber daya yang digunakan pada masing-masing

aktifitas. Aktifitas-aktifitas tersebut adalah aktifitas

penyimpanan sementara dan pengolahan. Hal tersebut

Page 22: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 189

merupakan dampak adanya proses pembakaran limbah

medis padat yang dilakukan apabila pengelolaan

limbah secara swakelola. Terkait dengan hal tersebut,

maka terdapat juga perbedaan sumber daya yang

digunakan.

Selain waktu pengelolaan yang lebih lama, pada

pengelolaan limbah secara swakelola membutuhkan

SDM yang kompeten dalam melakukan pembakaran.

Dibutuhkan setiap 200 tempat tidur perawatan sebanyak 1

orang operator limbah (Kemenkes, 2013). Untuk itu

dikarenakan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” melayani

lebih dari 300 tempat tidur, maka dibutuhkan 2 orang

operator. Sumber daya penting lain adalah dibutuhkan

bahan bakar solar dan alokasi dana pembuangan sisa

pembakaran.

Dari data pengelolaan limbah medis padat secara

swakelola pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa

total biaya langsung sebesar 82,57% dari pengelolaan

limbah medis padat secara swakelola lebih besar dari

total biaya tidak langsung sebesar 17,43% dari nilai total

pengelolaan limbah medis padat secara swakelola,

dengan biaya terbesar pada aktifitas pengolahan struktur

biaya langsung yang merupakan 56% dari total biaya.

Sedangkan dari data pengelolaan limbah medis padat

secara outsourcing menunjukkan bahwa total biaya

langsung sebesar 90,38% dari pengelolaan limbah

medis padat secara outsourcing lebih besar dari total

biaya tidak langsung sebesar 9,62% dari pengelolaan

limbah medis padat secara outsourcing, dengan biaya

terbesar pada aktifitas pengolahan struktur biaya

langsung yang merupakan 80,09% dari total biaya.

Penjumlahan total biaya langsung dengan total biaya

tidak langsung adalah total biaya (total cost).

Perbandingan total biaya pengelolaan limbah medis

padat sistem swakelola sebesar Rp. 625.332.440,-

dibandingkan dengan total biaya sistem outsourcing

sebesar Rp. 591.022.692,- terdapat selisih Rp.

34.309.747,- lebih besar secara swakelola. Sehingga

apabila dibagi dengan output berupa limbah yang

dihasilkan pada periode bulan Januari-April 2015

sebanyak 50.374,85 Kg, didapatkan biaya yang harus

dikeluarkan untuk pengelolaan per-Kg berat limbah

adalah Rp. 12.414 per-Kg untuk sistem swakelola dan

Rp. 11.732 per-Kg untuk sistem outsourcing. Dari

kedua sistem tersebut terdapat selisih Rp. 681,- per-Kg

berat limbah medis padat.

Pada aktifitas pemilahan, pewadahan, dan pengumpulan

pada sistem swakelola memerlukan biaya yang lebih tinggi

dibandingkan sistem outsourcing, hal ini dikarenakan

beberapa sumber daya seperti wheel bin, timbangan lantai

digital dan tempat sampah medis, yang pada sistem

swakelola harus dibeli Rumah Sakit, ditanggung

pengadaannya oleh penyedia jasa outsourcing pengolah

limbah. Begitu pula penyediaan plastik sampah medis

berlogo, dimana penyedia jasa pengolahan limbah

menyediakan perbulan 2.000 lembar (125 kg) plastik

ukuran 50X75 cm dan 2.000 lembar (83 kg) plastik

ukuran 60X100 cm. sehingga mengurangi beban rumah

sakit dalam penyediaan plastik sampah medis berlogo.

Dari perhitungan biaya di atas, menunjukkan pengelolaan

limbah medis padat secara swakelola di Rumah Sakit

Kanker “Dharmais” membutuhkan alokasi dana yang

lebih sedikit, terdapat selisih sebesar Rp. 34.309.747,-.

Berdasarkan hal tersebut, Rumah Sakit Kanker “Dharmais”

artinya sudah tepat memutuskan pengelolaan limbahnya

secara outsourcing.

Ini sesuai dengan perkembangan tumbuhnya fasyankes

di tanah air yang harus mengelola limbahnya dengan

biaya investasi, operasional, dan pemeliharaan yang

sangat mahal, yang untuk beberapa fasilitas layanan

kesehatan sangat memberatkan dan tidak sesuai dengan

jumlah limbah yang dihasilkan (sedikit).

Selama beberapa tahun terakhir, privatisasi semakin

banyak diterapkan di sejumlah negara sebagai metode

pendanaan alternatif untuk berbagai lapangan pekerjaan,

termasuk pengelolaan limbah layanan kesehatan. Melalui

pengaturan semacam itu, sektor swasta secara keseluruhan

akan mendanai, mendesain, mendirikan, memiliki, dan

menjalankan sarana pengolahan serta menjual jasanya

dalam hal pengumpulan dan pembuangan limbah pada

instansi kesehatan pemerintah maupun swasta (Chartier,

2014).

Pertimbangan lain dengan pengelolaan secara outsourcing

dapat mengurangi belanja pegawai selain berupa gaji,

insentif, dan THR adalah biaya kesehatan dan keselamatan

pekerja. Untuk memastikan bahwa prosedur penanganan,

pengolahan, penampungan dan pembuangan limbah yang

benar telah dijalankan, maka harus dipersiapkan program

Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di

Rumah Sakit Kanker “Dharmais”

Page 23: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 190

dan anggaran pelatihan yang tepat, penyediaan peralatan

dan pakaian untuk perlindungan pekerja, serta program

kesehatan kerja yang efektif yang mencakup imunisasi,

pengobatan profilaktik pasca pajanan, dan surveilans

kesehatan. Biaya tenaga kerja adalah biaya yang

dikeluarkan sebagai akibat pemanfaatan tenaga kerja

dalam melakukan produksi (Blocher, 2010).

Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan

Konradus (2012) bahwa keselamatan dan kesehatan

kerja yang berstandar Safety, Health and Loss Control

mengharuskan setiap tempat kerja untuk menempatkan

K3 sebagai program yang tidak terpisahkan dari

rencana produksi tahunan, peningkatan kualitas SDM,

ketersediaan alat-alat keselamatan kerja dan pelayanan

kesehatan pekerja. Mereka juga dilatih untuk terampil

menggunakan alat dan merupakan pola hidup sehat

untuk menghindari terjadinya kecelakaan kerja dan

penyakit akibat kerja.

Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat

menyebabkan kerugian, baik bagi tempat kerja maupun

bagi pekerja. Selain itu kecelakaan kerja dan penyakit

kerja dapat menyebabkan loss time injury (kehilangan

jam kerja produktif) dan property damage (kerusakan

alat) yang berdampak pada menurunnya tingkat

produktivitas.

Biaya investasi berupa pembelian peralatan seperti

incinerator, tempat sampah, wheel bin, dan timbangan

dapat dihindari. Karena barang investasi bagi instansi

pemerintah memerlukan proses yang panjang dalam

pengadaannya. Barang yang sudah dibeli harus

dimasukkan dalam aset rumah sakit, diperlukan biaya

operasional dan pemeliharaan yang mahal, diperlukan

perizinan dalam penggunaannya, dan sulit dalam

penghapusan asetnya, sehingga masih akan tercatat

sebagai barang investasi walau sudah tidak produktif

lagi.

Sebelum pembelian incinerator perlu dipertimbangkan

ukuran, lokasi, serta sarana gedung yang akan digunakan

untuk melindungi incinerator dari bahaya kebakaran dan

pencemaran udara (Chandra, 2006). Dibutuhkan total

anggaran investasi pembelian incinerator di Indonesia

berkisar $ 68.400,- (Rp. 911.908.800 dengan $1 = Rp.

13.332,-) (Chartier, 2014), belum termasuk biaya-biaya lain.

Hal tersebut sesuai dengan Pedoman Pengelolaan

Limbah Medis Padat Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan (P2 dan PL) Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, prinsip

penanganan limbah medis padat di Fasyankes adalah

sebagai berikut:

a. The “polluter pays” principle atau prinsip “pencemar

yang membayar” bahwa semua penghasil limbah

secara hukum dan finansial bertanggung jawab untuk

menggunakan metode yang aman dan ramah

lingkungan dalam pengelolaan limbah.

b. The “precautionary” principle atau prinsip “pencegahan”

merupakan prinsip kunci yang mengatur perlindungan

kesehatan dan keselamatan melalui upaya penanganan

yang secepat mungkin dengan asumsi risikonya

dapat terjadi cukup signifikan.

c. The “duty of care” principle atau prinsip “kewajiban

untuk waspada” bagi yang menangani atau mengelola

limbah berbahaya karena secara etik bertanggung

jawab untuk menerapkan kewaspadaan tinggi.

d. The “proximity” principle atau prinsip “kedekatan”

dalam penanganan limbah-limbah berbahaya untuk

meminimalkan risiko dalam pemindahan.

Di sisi lain, RS Kanker “Dharmais” ini dapat berkurang

kesibukannya, dan dapat terpenuhi kewajibannya untuk

mengelola lingkungan sesuai peraturan, dan dapat lebih

fokus pada bisnis utamanya, yaitu memberikan

pelayanan pada pasien kanker, berkurang dari risiko

timbulnya penyakit dan cedera akibat pencemaran pada

lingkungan dan masyarakat sekitar Rumah Sakit, yang

sudah tentu biaya perbaikannya dan sangsi hukum yang

diterima akan lebih mahal.

Dikarenakan pada umumnya lokasi rumah sakit -

rumah sakit di Indonesia berdampingan dengan

pemukiman dan sarana umum lain, maka setiap

kegiatan pengelolaan limbahnya berisiko mencemarkan

lingkungan dan masyarakat di sekitarnya, untuk itu

rumah sakit perlu menyediakan suatu biaya lingkungan

(environment cost) sebagai bagian dari tanggung jawab

sosial dalam anggaran tahunannya sebagai langkah

preventif dan antisipatif terhadap risiko yang mungkin

terjadi. Pertanggungjawaban sosial ini tidak hanya

bertujuan untuk menunjukkan bahwa perusahaan telah

melakukan kegiatan sosial dan telah ikut berperan serta

dalam masalah sosial, tetapi juga untuk mengevaluasi

social performance perusahaan (Kotler, 2007), karena

dengan social performance tersebut, masyarakat dapat

Page 24: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 191

membentuk image positif atau negatif terhadap rumah

sakit.

Namun, mengingat tidak terlalu besar selisih harga

pengelolaan limbah kedua alternatif tersebut, apabila

jumlah limbah yang dikelola semakin banyak, lebih dari

yang diprediksi, maka akan berdampak pada

peningkatan kebutuhan dana pengelolaan limbah

secara outsourcing. Dari hasil simulasi apabila berat

limbah meningkat dengan rata-rata 32,4 Kg per-hari

atau 963,9 Kg per-bulan dari jumlah sebelumnya rata-

rata 423,32 Kg per-hari atau 12.593,71 Kg per-bulan,

maka biaya pengelolaan limbah secara outsourcing

akan menjadi lebih mahal.

Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut dalam upaya

mengurangi limbah medis padat yang dihasilkan

Rumah Sakit Kanker “Dharmais” yang dimulai dari

proses pemilahan limbah di sumber penghasil limbah.

Karena pembatasan limbah secara efektif dan tindakan

penanganan yang aman selain dapat memberikan

perlindungan kesehatan yang signifikan bagi masyarakat

umum, pasien, tenaga kesehatan, dan pengelola limbah,

serta dapat mengurangi biaya yang dibutuhkan.

Pengurangan (minimisasi) limbah medis padat pada

tahap pemilahan dapat dilakukan dengan cara

(Kemenkes, 2013) :

a. Pembelian bahan sesuai dengan kebutuhan, efisien

dalam pemakaian.

b. Pembelian bahan dari produsen/distributor yang

bersedia untuk mengambil limbah sesuai dengan

produk yang digunakan (extended producer

reponsibility).

c. Penerapan sistem FIFO (First In First Out) dan

FEFO (First Expired First Out) dalam pendistribusian

bahan.

d. Pemilahan limbah yang cermat pada sumber

menjadi beberapa kategori dapat membantu

meminimalkan kuantitas limbah berbahaya.

e. Limbah medis yang bernilai ekonomis dapat

dimanfaatkan kembali (reuse) dan/atau daur ulang

(recycle) melalui proses sterilisasi.

f. Limbah yang akan didaur ulang melalui proses

sterilisasi harus dipisahkan dari limbah yang tidak

dimanfaatkan kembali.

g. Limbah medis padat yang akan dimanfaatkan

kembali harus melalui proses sterilisasi.

h. Limbah yang telah melalui proses sterilisasi harus

dibuat berita acaranya agar tidak terjadi kesalahan

data.

Berkaitan dengan terdapatnya incinerator yang tidak

terpakai dan sudah habis perizinannya, namun

kondisinya masih layak digunakan dan masa pakainya

masih tersisa 3 tahun lagi, sampai saat ini Rumah Sakit

Kanker “Dharmais” belum mendapatkan jalan keluar

terkait hal tersebut, selain difungsikan stand by apabila

terjadi permasalahan proses pengolahan dengan

penyedia jasa pengolah limbah, sehingga incinerator

tersebut hanya menjadi beban biaya namun tidak

produktif.

Penyedia jasa pengolah limbah yang saat ini bekerjasama

dengan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” merupakan

perusahaan yang berpusat di Kota Bandung dengan lahan

pengolahan di daerah Dawuan Cikampek. Hal tersebut

dapat menjadi permasalahan tersendiri, karena dapat

menjadi penambah nilai kontrak dan berpotensi

mengganggu kontinuitas pengambilan limbah karena

risiko gangguan dalam transportasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Alur proses pengelolaan limbah medis padat di Rumah

Sakit Kanker “Dharmais” sudah sesuai persyaratan

kesehatan lingkungan dan sudah berjalan dengan baik,

sesuai prosedur, dan memperhatikan prinsip-prinsip

patient safety serta keselamatan dan kesehatan kerja

karyawan. Khusus pengelolaan secara outsourcing

dilakukan melalui alur proses yang lebih pendek,

sederhana, dan risikonya lebih rendah bagi lingkungan

rumah sakit.

Setelah melakukan perhitungan activity based costing

(ABC), dengan membandingkan total kebutuhan biaya

pengelolaan limbah medis padat di Rumah Sakit

Kanker “Dharmais” dari seluruh aktifitas pengelolaan

limbah pada periode Bulan Januari-April 2015

menunjukkan pengelolaan limbah medis padat secara

outsourcing sedikit lebih murah dengan perbedaan Rp.

34.309.747.

Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di

Rumah Sakit Kanker “Dharmais”

Page 25: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 192

Saran

Rumah Sakit Kanker “Dharmais” dapat

mempertahankan kerjasama pengelolaan limbah medis

padatnya secara outsourcing, mengingat biaya yang

dibutuhkan dan risiko pengelolaannya lebih kecil.

Rumah Sakit Kanker “Dharmais” dapat mengusulkan

kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta agar didirikan

suatu Badan Usaha Daerah yang khusus mengelola

limbah medis padat. Sehingga pengelolaan limbah

medis padat di DKI Jakarta dapat berjalan dengan baik,

selalu dapat diawasi pelaksanaanya, dan dapat menjadi

sumber pemasukan bagi kas daerah.

Rumah Sakit Kanker “Dharmais” agar melakukan

penelitian yang lebih mendalam terkait upaya-upaya

minimisasi limbah medis padat dan penggunaan

sumber daya yang dibutuhkan pada pengelolaan

limbah medis padat, dalam upaya meningkatkan

efisiensi penggunaan anggaran pengelolaan limbah di

Rumah Sakit Kanker “Dharmais” seperti efisiensi

dalam penggunaan bahan infeksius, penerapan sistem

FIFO dan FEFO, usulan klausul dalam kontrak

pembelian bahan agar produsen/distributor mengambil

limbah yang dihasilkan akibat menggunakan produk-

nya (re-eksport) dan pemilahan limbah yang cukup

cermat.

DAFTAR PUSTAKA

Adhikari, S. R., Supakankunit, S. (2013). Benefit and Costs of Alternative Healthcare Waste

management: An Example of The Largest Hospital of Nepal. Diambil 27 Januari

2015 dari www.searo.who.int/publications//jounals/seajph.

Adisasmito, W. (2010). Diktat Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia.

Anonymus. (2006). Activity Based Costing Chapter five. Diambil 13 April 2015 dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ve

d=0CCAQFjAA&url=http%3A%2F%2Fhighered.mheducation.com%2Fsit

es%2Fdl%2Ffree%2F0073128155%2F394466%2Fblo28155_ch05.pdf&ei=XJ2RVfXfJovauQTN74PgDw&usg=AFQjCNGjBRr2AxTEWfqgp9Kqj

U9TK9l3fA.

Andrianti, E. (2008). Tesis: Cost Effective Analysis Penyelenggaraan Sistem Swakelola dan Outsourcing di Kelas Paviliun RSU. Jend. A. Yani Metro Lampung tahun 2008.

Depok: Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia. Bagian Program dan SIM RS Kanker Dharmais. (2014). Laporan Kinerja RS Kanker Dharmais Tahun 2013. Jakarta:

RS Kanker Dharmais.

__________. (2015). Laporan Kinerja RS Kanker Dharmais Tahun 2014. Jakarta: RS Kanker Dharmais.

Blocher, E., Stout, D., Cokins, G. (2009). Cost management: A Strategic Emphasis. USA:

McGraw-Hill. Chandra, Budiman. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran

EGC.

CIWM. (2013). An Introductory Guide to Healthcare Waste Management in England and Wales. Diambil 13 April 2015 dari http://www.ciwmjournal.

co.uk/downloads/Healthcare-Waste-WEB.pdf.

Chartier, Y., Emmanuel, J., Pieper, U., et al. (2014). Safe Management of Wastes From Health-

Care Activities 2nd Edition. Geneva: WHO Press. Direksi RSKD. (2009). Keputusan Direksi RS Kanker Dharmais Nomor:

HK.00.06/1/3352/2011 tentang Struktur Organisasi & Uraian Tugas Instalasi

Kesehatan Lingkungan dan K3 RS Kanker Dharmais. Jakarta: RS Kanker Dharmais.

Direktorat Jenderal PPM & Penyehatan Lingkungan. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan

Kesehatan RI Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan. (2013). Pedoman

Pengelolaan Limbah Medis Padat Fasyankes. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Drummond, M. F. (2005). Methods for Economic Evaluation of Health Care Programs.

Oxford: Oxford University Press. Hapsari, R. (2010). Tesis: Analisis Pengelolaan Sampah Dengan Pendekatan Sistem di RSUD

Dr. Moewardi Surakarta. Semarang: Program Pasca Sarjana Univesitas

Diponegoro.

Hansen, D. R., Mowen, M. M. (2007). Managerial Accounting 8th Edition. USA: Thomson

South-Western.

Health Care Without Harm. (2011). Medical Waste and Human Rights. Diambil 21 Juni 2015 dari

http://noharm.org/lib/downloads/waste/MedWaste_Human_Rights_Report.pdf.

Horngren, C. T., Stratton, & Sundern. (2000). Cost Accounting: A Managerial Approach 10th Edition. USA: Prentice-Hall Publishing Company.

International Comitee of the Red Cross. (2011). Medical Waste Management. Geneva: ICRC.

Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Kanker Dharmais. (2014). Program Kerja Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3 RSKD tahun 2015-2019. Jakarta: IKL

RSKD. Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Kanker Dharmais. (2014). Kumpulan Standar

Prosedur Operasional Instalasi Kesehatan Lingkungan RSKD. Jakarta: IKL

RSKD. __________. (2014). Program Penyehatan Lingkungan RS Kanker Dharmais Tahun 2010.

Jakarta: IKL RS Kanker Dharmais.

__________. (2014). Uraian Tugas Instalasi Kesehatan Lingkungan RSKD. Jakarta: IKL RSKD.

__________. (2014). Key Performance Indicator Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Kanker

Dharmais. Jakarta: IKL RSKD. Konradus, D. (2012). Keselamatan Kesehatan Kerja: Membangun SDM Pekerja Yang

Sehat, Produktif, dan Kompetitif. Jakarta: Bangka Adinatha Mulia.

Kotler, P., Lee, N. (2004). Corporate Social Responsibility: Doing The Most Good for Your Company and Your Cause. USA: Wiley.

Leontina, B., (2007). Environmental Cost Accounting. Diambil 21 Juni 2015 dari

Lubis, A. I., Dharmanegara, I. B. A. (2014). Akuntansi dan Manajemen Keuangan Rumah Sakit. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor: 1684/MENKES/PER/XII/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja RS Kanker Dharmais. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Mubarak, W.I. dan Chayatin, N. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi.

Jakarta: Salemba Medika. Notoatmojo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: PT

Asdi Mahasatya.

__________. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni (Ed. Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.

Pruss, A., Giroult, E., & Rushbrook, P. (2005). Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan (Penerjemah: Munaya Fauziah, Mulia Sugiarti, & Ela Laelasari).

Jakarta: EGC.

Raco, J. R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Shareefdeen, Z. M., (2012). Medical Waste Management and Control. Diambil 13 April 2015

dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ve

d=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.scirp.org%2Fjournal%2FPap

erDownload.aspx%3FpaperID%3D25649&ei=55-RVfCWFZePuATs84GwBA&usg=AFQjCNGJvtRmQLfMcswEkf_FG

N2nq54xQA.

Suwondo, C. (2004). Outsourcing Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media Computindo.

Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Page 26: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 193

Tabel 1. Alokasi ABC Pengelolaan Limbah Medis Padat Rumah Sakit Kanker

“Dharmais” Secara Swakelola

No Aktifitas Biaya Langsung (Rp) Biaya Tidak

Langsung (Rp) Total (Rp)

Investasi Operasional Pemeliharaan Jumlah

1 Pemilahan 0 68.666.667 0 68.666.667 0 68.666.667

2 Pewadahan 0 61.017.000 0 61.017.000 122.200 61.139.200

3 Pengumpulan 21.323.333 0 0 21.323.333 236.000 21.559.333

4 Pengangkutan 0 0 0 0 0 0

5 Penyimpanan Sementara

7.656.399 1.360.000 6.131.783 15.148.183 1.097.939 16.246.121

6 Pengolahan 45.817.922 288.359.645 15.985.117 350.162.684 107.558.434 457.721.118

Total Jumlah 74.797.655 419.403.312 22.116.900 516.317.867 109.014.573 625.332.440

Tabel 2. Alokasi ABC Pengelolaan Limbah Medis Padat Rumah Sakit Kanker

“Dharmais” Secara Outsourcing

No Aktifitas

Biaya Langsung (Rp) Biaya Tidak

Langsung

(Rp)

Total (Rp) Investasi Operasional Pemeliharaan Jumlah

1 Pemilahan 0 0 0 0 0 0

2 Pewadahan 0 46.660.000 0 46.660.000 122.200 46.782.200

3 Pengumpulan 0 0 0 0 118.000 118.000

4 Pengangkutan 0 0 0 0 0 0

5 Penyimpanan

Sementara 7.389.733 680.000 6.065.117 14.134.849 1.082.183 15.217.032

6 Pengolahan 7.370.17 459.922.381 6.065.117 473.357.514

55.547.946 528.905.460

Total Jumlah 14.759.750 507.262.381 12.130.233 534.152.364 56.870.329 591.022.692

Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di

Rumah Sakit Kanker “Dharmais”

Page 27: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 194

Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap

Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s Instalasi Rawat Inap Teratai RSUP

Fatmawati Jakarta

Analysis of Correlation of Medical Record Fulfilling and INA-CBG’S costing at Teratai

Inpatient Instalation RSUP Fatmawati Jakarta

Dewi Apriyantini

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

FakultasKesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Tesis ini membahas tentang kelengkapan pengisian resume medis (diagnosis utama, diagnosis sekunder, prosedur

utama) terhadap kesesuaian standar Tarif INA-CBGs di Instalasi rawat inap Teratai Rumah Sakit Umum Pusat

Fatmawati. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan desain studi cross sectional.

Hasil penelitian masih ditemukannya ketidaklengkapan pengisian resume medis terkait variabel diagnosis utama,

diagnosis sekunder, dan prosedur utama, sehingga menyebabkan potensi ketidaksesuaian standar tarif INA-CBGs.

Ketidaklengkapan pengisian resume medis disebabkan banyak faktor dan hasil peneltian ini menyarankan agar

dilakukan evaluasi dan sosialisasi Standar Prosedur Operasional (SPO), diberlakukannya system reward dan

punishment, Monitoring dan Evaluasi tentang formulir rekam medik, ditambahkan buku atau daftar kode

diagnosis dan pemutakhiran software INA-CBGs.

Kata kunci: INA-CBGs, resume medis, kelengkapan.

ABSTRACT

This research discussed on the completeness of medical resume (primary diagnostic, secondary diagnostic and

major procedure) in consistency with INA-CBGs costing at Teratai Inpatient Instalation Central General

Hospital (RSUP). This research used mix methods approach with cross sectional design. This research found that

there is still incompleteness in filling medical records especially for primary diagnostic, secondary diagnostic

and major procedure that potentially may cause inconsistency with INA-CBSs costing. The incompleteness were

caused by many factors, and this research suggest to conduct evaluation and socialization of the Standard

Procedure Operational (SPO), the implementation of reward and punishment system, monitoring and evaluation

on medical record forms, addition of book or list of diagnostic code, upgrading of INA-CBGs software.

Keywords: INA-CBGs, medical record, fulfilling.

.

PENDAHULUAN

Gelombang globalisasi telah menciptakan tantangan bagi

rumah sakit yang semakin besar, yaitu kompetisi yang

ketat dan pelanggan yang semakin selektif dan

berpengetahuan. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan

kesehatan dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan

yang akan diberikan kepada pelanggan sejalan dengan

meningkatnya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang

lebih baik, dan sesuai perkembangan teknologi. Hal ini

menjadi tolak ukur oleh masyarakat untuk mendapatkan

Page 28: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 195

rasa aman, nyaman, bermutu dan efektif yang diberikan

oleh pihak pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2012).

Upaya dalam peningkatan mutu dan pelayanan di rumah

sakit, perlu adanya dukungan dari berbagai faktor yang

terkait. Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan

tersebut yaitu terselenggaranya pelaksanaan rekam

medis, Proses kegiatan rekam medis mulai dari

pendaftaran pasien sampai dengan pengolahan rekam

medis dalam bentuk laporan merupakan satu kesatuan

yang tidak dapat dipisahkan dan dilaksanakan secara

tertib, sehingga menghasilkan informasi yang akurat dan

akuntabel (Yuniati, 2012). Rekam medis yang lengkap,

akurat dan dapat di pertanggung jawabkan menjadi

landasan yang efektif dalam mengurangi tingkat resiko

kesalahan, hal ini disebabkan karena rekam medis

merupakan sumber informasi bagi pasien, karena rekam

medis dapat menunjukan pelayanan yang diberikan

apakah sudah sesuai dengan pelayanan kesehatan

(Sarwanti, 2014).

Dalam era BPJS saat ini pengisian rekam medik yang

lengkap menjadi hal yang sangat penting. Terutama

penulisan resume pasien pulang. Karena didalam resume

pulang terdapat diagnosis penyakit pasien yang merupakan

dasar bagi petugas koding untuk menetapkan kode

diagnosis penyakit yang pada akhirnya mempengaruhi tarif

INA CBG’s. Menurut Permenkes No 27 Tahun 2014

Tentang Petunjuk Teknis INA-CBGs, Tarif INA-CBG s

(Case Based Groups ) merupakan besaran pembayaran

klaim oleh BPJS kesehatan (Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial Kesehatan) kepada Fasilitas Kesehatan

Rujukan Tingkat atas paket pelayanan yang sudah

didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit

dan prosedur (Kementerian Kesehatan, 2014). Penulisan

diagnosis seorang pasien adalah tanggung jawab dokter

yang merawat dan tidak boleh diwakilkan. Di RSUP

Fatmawati setelah pasien pulang seorang dokter yang

merawat pasien tersebut akan melengkapi data medik

dilembar resume dokter secara manual (Sarwanti, 2014).

Formulir resume medik merupakan salah satu formulir

yang sangat penting dalam menilai mutu suatu rekam

medik. Resume medik digunakan oleh tim koder rumah

sakit untuk mengkoding diagnosis penyakit yang pada

akhirnya berujung pada pembayaran klaim.

TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan No.

269/MenKes/Per/III/2008 rekam medik adalah berkas

yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas

pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan juga

pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa rekam medik adalah berkas penyimpanan data

dan informasi mengenai catatan dan dokumen tentang

identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan

pelayanan lain yang diberikan kepada pasien.

Tujuan dan kegunaan dari rekam medik banyak sekali,

adapun tujuan dan keguaan dari rekam medik adalah

menurut Hatta (2011) tujuan rekam medik adalah untuk:

1. Pasien, rekam medik merupakan alat bukti utama

yang mampu membenarkan adanya pasien dengan

identitas yang jelas dan telah mendapatkan berbagai

pemeriksaan dan pengobatan di sarana pelayanan

kesehatan dengan segala hasil serta konsekuensi

biayanya.

2. Pelayanan pasien, pada rekam medik ini mencakup

pendokumentasian pelayanan yang diberikan oleh

tenaga kesehatan, penunjang medik dan tenaga lain

yang bekerja dalam berbagai fasilitas pelayanan

kesehatan. Dengan demikian rekaman itu membantu

pengambilan keputusan tentang terapi, tindakan, dan

penentuan diagnosis pasien. Rekam medik juga

sebagai sarana komunikasi antar tenaga lain yang

sama-sama terlibat dalam menangani dan merawat

pasien. Selain itu rekam medik setiap pasien juga

berfungsi sebagai tanda bukti yang sangat sah yang

dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Oleh

karena itu rekam medik yang lengkap harus setiap

saat tersedia dan berisi data atau informasi tentang

pemberian pelayanan kesehatan secara jelas.

3. Manajemen pelayanan, rekam medik yang lengkap

memuat segala aktivitas yang terjadi didalam proses

manajemen pelayanan sehingga digunakan dalam

menganalisis berbagai penyakit, menyusun pedoman

praktik, serta untuk mengevaluasi mutu pelayanan

yang diberikan.

4. Menunjang pelayanan, rekam medik yang rinci akan

mampu menjelaskan aktivitas yang berkaitan dengan

adanya penanganan sumber-sumber yang ada pada

organisasi pelayanan di rumah sakit, menganalisis

kecenderungan yang terjadi.

5. Pembiayaan, rekam medik yang akurat akan mencatat

segala pemberian pelayanan kesehatan yang diterima

pasien. Informasi ini menentukan besarnya pembayaran

yang harus dibayar.

Page 29: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 196

Sedangkan tujuan sekunder dari rekam medik adalah

berkaitan dengan lingkungan seputar pelayanan pasien

yaitu untuk kepentingan edukasi, riset, peraturan dan

pembuatan kebijakan.

Berikut beberapa kegunaan rekam medik diantaranya:

1. Aspek Administrasi. Suatu berkas rekam medis

yang mempunyai suatu nilai administrasi, karena

isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang

dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan

paramedic dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.

2. Aspek Medis. Suatu berkas rekam medis

mempunyai nilai medik, karena catatan tersebut

dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan

pengobatan atau perawatan yang harus diberikan

kepada seorang pasien.

3. Aspek Hukum. Suatu berkas rekam medis

mempunyai nilai hokum, karena isinya menyangkut

masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar

keadilan, dalam suatu rangka usaha menegakkan

hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk

menegakkan keadilan.

4. Aspek Keuangan. Suatu berkas rekam medis

mempunyai nilai keuangan, karena isinya dapat

dijadikan sebagai bahan untuk menetapkan biaya

pembayaran pelayanan dirumah sakit. Tanpa

adanya bukti catatan tindakan atau pelayanan, maka

pembayaran pelayanan di rumah sakit. Tanpa

adanya bukti catatan tindakan/pelayanan, maka

pembayaran tidak dapat dipertanggung jawabkan.

5. Aspek Penelitian. Suatu berkas rekam medis

mempunyai nilai penelitian, karena isinya yang

mengandung data atau informasi yang dapat

dipergunakan sebagai aspek penelitian dan pengembangan

ilmu pengetahuan di bidang kesehatan.

6. Aspek Pendidikan. Suatu berkas rekam medis

mempunyai nilai pendidikan, karena isinya yang

menyangkut data atau informasi tentang perkembangan

kronologis dari kegiatan pelayanan medic yang

diberikan kepada pasien. Informasi tersebut dapat

digunakan sebagai bahan/referensi pengajaran

dibidang profesi si pemakai.

7. Aspek Dokumentasi. Suatu berkas rekam medis

yang mempunyai nilai dokumentasi, karena isinya

nanti akan menjadi sumber ingatan yang harus

didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan

pertanggung jawaban dan laporan rumah sakit.

Jika dilihat dari aspek hukum, yang bertanggung jawab

terhadap kelengkapan rekam medic dan resume medik

adalah:

1. Tanggung jawab dokter yang merawat

Tanggung jawab utama dalam kelengkapan rekam

medik yaitu dokter yang merawat pasien hingga

pasien pulang. Walaupun untuk melengkapi rekam

medik khususnya resume medik dapat didelegasikan

ke stafnya, namun tetap tanggung jawab dari isi

rekam khususnya resume medik adalah dokter yang

merawat. Dokter mengemban tanggung jawab

terakhir akan kelengkapan dan kebenaran isi rekam

medik dan khususnya resume medik.

2. Tanggung jawab petugas rekam medik

Petugas rekam medik yaitu membantu dokter yang

merawat dalam mempelajari kembali rekam

medik.Analisa dari kelengkapan isi dimaksudkan

untuk mencari hal-hal yang kurang dan masih

diragukan, dan menjamin bahwa rekam medik telah

dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan peraturan

yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, yaitu rekam

medik yang lengkap dan akurat.

3. Tanggung jawab pimpinan rumah sakit

Pimpinan rumah sakit bertanggung yang jawab

menyediakan fasilitas unit rekam medik yang meliputi:

ruangan rekam medik, peralatan dan tenaga yang

memadai. Sehingga tenaga rekam medik dapat bekerja

secara efektif dan efisien dengan memeriksa kembali,

membuat indeks, penyimpanan dari semua sistem

medik dalam waktu singkat.

4. Tanggung jawab staf medik

Staf medik terdiri dari dokter, perawat, dan tenaga

kesehatan professional lainnya.Mempunyai peranan

penting di rumah sakit dan pengorganisasian staf

medik tersebut secara langsung menentukan kualitas

pelayanan kepada pasien.

5. Tanggung jawab komite rekam medik

Komite rekam medik bertanggung jawab untuk

meninjau ulang rekam medik dalam hal penyelesaian

tepat waktu, ketepatan klinis, ketepatan dan kecukupan

pelayanan pasien, pengajaran, evaluasi, penelitian,

dan berdiskusi secara legal.Komite rekam medik

juga menentukan format kelengkapan rekam medik,

formulir yang digunakan dan setiap masalah yang

berhubungan dengan penyimpanan dan pengembalian.

Menurut pada ketetapan Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 269/MenKes/Per/III/2008 pada pasal 4

menyebutkan bahwa ringkasan pulang harus dibuat oleh

dokter dan dokter gigi yang melakukan perawatan pasien.

Dewi Apriyantini., Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s

Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta

Page 30: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 197

Isi ringkasan pulang atau resume medik menurut buku

pedoman rekam medik RSUP Fatmawati sekurang-

kurangnya memuat :

a. Identitas pasien (minimal berisi :nama, nomor rekam

medik, tanggal lahir)

b. Tanggal masuk

c. Tanggal keluar

d. Lama dirawat

e. Ruang rawat

f. Dokter penanggung jawab pasien

g. Rawat tim dokter

h. Indikasi / alasan dirawat

i. Diagnosis masuk

j. Diagnosis keluar

k. Komplikasi / diagnosis penyerta

l. Penyebab kematian ( secara klinis )

m. Pemeriksaan fisik

n. Laboratorium

o. Radiologi

p. Penunjang lain

q. Kolom ICD

r. Prosedur / operasi

s. Pengobatan selama dirawat

t. Obat untuk pulang

u. Kondisi pulang

v. Instruksi pulang

w. Nama dokter, tanda tangan, tanggal dan jam

Kemudian setelah rekam medik selesai digunakan dari

ruang rawat, maka dalam waktu 2x24 jam rekam medik

tersebut harus dikembalikan ke bagian rekam medik.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada periodeMaret - April

2015 ini merupakan penelitian dengan mix method yang

menggunakan penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan

desain studi cross sectional. Metode pengambilan data

secara primer diperoleh melalui observasi dengan telaah

dokumen rekam medik sebanyak 100 sampel berkas

rekam medik, penghitungan sampel dengan menggunakan

rumus slovin dan data sekunder dilakukan dengan

wawancara mendalam untuk menemukan rincian

penjelasan tentang alasan ketidaklengkapan dokumen

rekam medis. Lima orang informan ikut disertakan dalam

penelitian ini adalah seorang dokter penanggung jawab

pasien, petugas rekam medis, petugas BPJS dan dua

orang manajemen.Teknik analisis data dilakukan dengan

analisis univariat untuk mendapatkan gambaran distribusi

responden atau variasi dari variabel yang diteliti dan

analisis bivariat untuk menentukan hubungan variabel

independen (kelengkapan resume medis) dengan

variabel dependen (Tarif INA-CBGs).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Kelengkapan Pengisian Resume

Medis dan Tarif INA-CBGs

Kelengkapan pengisian resume medis yang

diperoleh dari 100 dokumen didapat sebanyak 98%

pengisian diagnosa utama yang lengkap, 39%

pengisian diagnosa sekunder tidak lengkap, 95%

pengisian prosedur utama lengkap serta 94%

pengisian resume medis yang lengkap (grafik 1).

Penelusuran dengan wawancara mendalam terhadap

informan-informan dan hasilnya bahwa masih ada

dokter yang terkadang tidak menuliskan diagnosa

utama. Berikut petikan hasil wawancara terkait data

hubungan kelengkapan pengisian resume medis

diagnosa utama terhadap standar tarif INA-CBGs :

“Kadang dokter tidak menuliskan diagnosa

utamanya”.(4)

Pernyataan mengenai diagnosa sekunder setelah

dilakukan wawancara mendalam informan menjelaskan

bahwa diagnosa sekunder harus ada dalam resume

medis tetapi pada kenyataannya jarang ditulis oleh

dokter, pernyataan informan tentang kelengkapan

resume medis sebagai berikut:

“Hanya diagnosa penyertanya yang dia tulis

atau kalau pasien meninggal itu hanya

menuliskan diagnosa kematian”. (4)

Pada prosedur utama hasilwawancara beberapa

informan ada yang tidak lengkap dan tidak sesuai

dengan tindakan yang dilakukan,adapun pernyataan

informan tentang kelengkapan resume medis

tentang prosedur utama sebagai berikut:

“Ada juga dilakukan tindakan tapi tindakan itu

tidak sesuai dengan penyakitnya”. (4)

Pada tabel 2 diketahui bahwa tarif INA-CBGs di

Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati tarif

Minimum berdasarkan Tarif Nominal Rp. 0 dan

Page 31: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 198

Tarif Maksimal Rp 82.165.400. Dengan standar

devitation Rp 12.377.964. Tarif Rp 0 yang

ditemukan berasal dari 2 data pasien yang tidak ada

diagnosa utamanya, sehingga jika penulisan resume

medis pada diagnosa utama tidak dicatat maka pada

proses CBG Grouper tarif akan keluar tapi akan

menghasilkan tarif INA-CBGs 0 rupiah. Dan tarif

tertinggi yaitu Rp 82.165.400 yaitu pada kasus-kasus

yang banyak dilakukan tindakan.

Hasil wawancara dikatakan bahwa tarif INA-CBGs

akan dikeluarkan setelah pengisian resume medis

yang lengkap meliputi diganosa primer, sekunder

dan prosedur utama, jika tidak disi dengan lengkap

atau tidak sesuai maka resume medis tersebut akan

dikembalikan ke IRMIK untuk diperbaiki, berikut

pernyataan informan terkait hal tesebut:

“Kita menempatkan verifikator internal jadi

untuk meminimalisir koding-koding yang salah

atau diagnosa yang salah atau seandainya ada

yang kurang tidak sesuai kita kembalikan ke

IRMIK harus diperbaiki baru nanti kita

finalin”.(2) (ditampilkan dalam gambar 1 dan

tabel 1)

1. Diagnosa Utama

Diagnosa utama merupakan bagian dari resume

medis yang wajib diisi dan dilengkapi. Hasil

penelitian kuantitatif mengenai hubungan antara

kelengkapan pengisian diagnosa utama terhadap

tarif INA-CBGsDari Hasil Ujistatistik, diperolehnilai

P = 0.042. Dimana angka ini lebih kecil dari P = 0.05

(0.000 < 0.05. Sehingga dapat disimpulkan ada

hubungan yang signifikan antara variabel diagnosa

utama terhadap tarif INA-CBGs di Rumah Sakit

Umum Pusat Fatmawati Jakarta..Diagnosa utama

tidak lengkap mengakibatkan standar tarif INA-

CBGs tidak akan sesuai, karena tarif INA-CBGs

akan 0 artinya tidak ada tarif. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa pengisian diagnosa utama akan

berhubungan dengan standar tarif INA-CBGs.

Kelengkapan resume medis menentukan penetapan

tarif INA-CBGs sehingga wajib diisi oleh para

dokter. Sesuai dengan kutipan wawancara yang

dikatakan oleh informan bahwa resume medis harus

lengkap karena dapat mempengaruhi tarif. Berikut

kutipan wawancara terkait informasi tersebut:

“Jika resume medis tidak lengkap, jelas akan

mempengaruhi tarif sehingga kami harus

mengisi selengkap-lengkapnya agar tarif yang

keluar sesuai dengan apa yang telah kami

kerjakan”. (3)

2. Diagnosa Sekunder

Penentu kelengkapan resume medis selanjutnya

adalah diagnosa sekunder, untuk mengetahui

bagaimana hubungan antara kelengkapan pengisian

resume medis variabel diagnose sekunder terhadap

tarif INA-CBGs di Rumah Sakit Umum Pusat

Fatmawati Jakarta pada Bulan Maret 2015. Dari

Hasil Uji statistik, diperoleh nilai P = 0.000. Dimana

angka ini lebih kecil dari P = 0.05 (0.000 < 0.05) .

Sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang

signifikan antara variabel diagnosa Sekunder

terhadap tarif INA-CBGs di Rumah Sakit Umum

Pusat Fatmawati Jakarta. Diagnosa Sekunder tidak

lengkap sebanyak 39 resume medis terdiri dari 24

resume medis tidak lengkap dan tarif INA-CBGs

tidak sesuai standar dan menyebabkan ketidaksesuaian

tarif sebesarRp 136.937.200,- dan resume medis

tidaklengkap sebesar 15 resume medis yang

mempunyai tarif INA-CBGs sesuai standar.

Sehingga dapat kita simpulkan bahwa diagnosa

sekunder tidak selalu menyebabkan standar tarif

INA-CBGs tidak sesuai hal ini dipengaruhi oleh

penyakit komplikasi yang dideritanya seberapa besar

tingkat keparahannya. Jika penyakitnya semakin

membahayakan nyawanya atau tingkat keparahannya

makin besar maka diagnosa sekunder akan berpengaruh

pada standar tarif INA-CBGs. Sehingga kelengkapan

pengisian diagnosa sekunder yang tepat sangat

mempengaruhi standar tarif INA-CBGs.

Kelengkapan diagnosa sekunder akan berpengaruh

pada tarif sesuai Permenkes no. 27 tahun 2014, yang

mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi

besarnya tarif diantaranya diagnosa sekunder.

Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan dari

informan yang mengatakan bahwa kelengkapan

resume medis sangat penting karena akan berpengaruh

terhadap tarif. Berikut kutipan wawancaranya:

“dari diagnosa sekunder akan keluarlah tarifnya.

Kelengkapan resume medis sangat penting. Dari

resume medis keluarlah tarif” (5)

Dewi Apriyantini., Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s

Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta

Page 32: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 199

3. Prosedur Utama

Uji Hipotesis Menggunakan Uji Chisquare, Yaitu

untuk mengetahui bagaimana hubungan diantara

kelengkapan pengisian resume medis variable

Prosedur Utama terhadap tarif INA-CBGs di

Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta pada

Bulan Maret 2015. Dari Hasil Ujistatistik, diperoleh

nilai P = 0.282. Dimana angka ini lebih besar dari P

= 0.05 sehingga dapat disimpulkan Tidak ada

hubungan yang signifikan antara variabel Prosedur

Utama terhadap tarif INA-CBGs di Rumah Sakit

Umum Pusat Fatmawati Jakarta.

Prosedur utama yang pengisiannya tidaklengkap tapi

tarif sesuai standar sebanyak 3 resume medis, dan

pengisian prosedur utama tidaklengkap dan tarif

tidak sesuai standar sebanyak 2 berkas resume medis

hal ini terkait dengan diagnosa utama yang tidak

tercatat sehingga prosedur utama/tindakanpun tidak

keluar yang mengakibatkan ketidaksesuaian standar

tarif INA-CBGs sebesar Rp 5.093.700,00. Pencatatan

prosedur utama/tindakan di RSUP Fatmawati

menggunakan sistem software yaitu sistem medysis

untuk menginfut semua tindakan medis yang

dilakukan di ruangan.

Data ini kemudian dilakukan telusur dengan

wawancara untuk mengetahui kebenaran dari hasil

tersebut dan informan menyatakan terdapat

kesalahan pada pengisian resume medis yang akan

berakibat pada coding, sehingga kesalahan tersebut

akan berakibat pada tarif yang keluar dari software

INA-CBGs. Sesuai dengan kutipan hasil

wawancara sebagai berikut:

“Hasil pemeriksaan lab seharusnya ditulis hasil

lab yang abnormal tapi disini ditulis hasil lab

yang normal, hal ini tentu saja bisa berakibat

pada codingnya”. (1)

4. Alasan Ketidaklengkapan Resume Medis

Potensi ketidaksesuaian besaran tarif INA-CBGs

karena disebabkan diagnosa utama, diagnosa

sekunder dan prosedur utama yang tidak lengkap di

Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati sangat

mungkin terjadi, hal ini sesuai dengan pernyataan

informan sebagai berikut:

“Tentunya, misalnya resume yang nggak

lengkap ini rugi sekian”. (1)

“Ada, untuk potensi kerugian ada karena masih

ada resume medik yang tidak lengkap, ada

laporannya mengenai itu. tapi efeknya tidak begitu

tinggi”. Kurang lebih 10% masih selisih”. (2)

Dari uraian tersebut ada ketidaksesuaian tarif tersebut

dan selisihnya masih cukup tinggi yaitu 10%. Hal ini

disebabkan karena resume medik yang tidak

lengkap. Dengan diberlakukannya tarif paket INA-

CBGs merupakan dokumen yang sangat berpengaruh

terhadap tarif yang akan dibayarkan karena resume

medik merupakan dasar dari perhitungan tarif

tersebut. Resume medis yang tidak lengkap akan

dikembalikan kepada pihak rumah sakit untuk

dilengkapi dan diverifikasi oleh pihak BPJS untuk

dibayarkan.

Berbeda hal dengan resume medis yang tidak layak,

tidak akan dibayarkan oleh BPJS seperti kosmetik

yang tidak dijamin. Pernyataan yang berbeda

disebutkan bahwa ketidaklengkapan itu akan

dikonfirmasi ulang yang kemudian akan diverifikasi

kembali, berikut kutipannya:

“Kita bayar sesuai paket mba, kalau ndak

lengkap paling kan mereka lengkapi, nanti kita

verifikasi. Paling yang ndak kita bayar itu

benar-benar tidak layak”. (5)

Dari uraian informan tersebut bahwa klaim akan

dibayarkan sesuai paket yang telah dikoding oleh

rumah sakit. Jika ada ketidaksesuaian paket karena

kesalahan pengkodingan maka akan dilakukan

verifikasi ulang dengan cara melengkapi kekurangan

tersebut dan yang benar-benar tidak dibayarkan

adalah yang tidak layak diklaimkan kepihak

pembayar. Sehingga diharapkan rumah sakit tidak

mengalami ketidak sesuaian tarif dalam hal ini selisih

klaim yang besar, karena masih ada selisih klaim

sebesar 10%.

Secara umum alasan ketidak lengkapan pengisian

resume medis dan potensi ketidak sesuaian besaran

tarif INA-CBGs di Rumah Sakit Umum Pusat

Fatmawati disebabkan beberapa alasan. Sedangkan

mengenai potensi ketidak sesuaian tarif yang

Page 33: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 200

disebabkan oleh ketidak lengkapan resume medis

selama ini RS Fatmawati masih ada potensi ketidak

sesuaian tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya

laporan tentang Data Rekapitulasi Hasil Verifikasi

Internal Klaim JKN Bulan Januari-Maret 2015 yang

diajukan kepada pihak BPJS.

Rekam medik dikatakan baik jika rekam medis tersebut

diisi secara lengkap sesuai dengan pengertian rekam

medis itu sendiri yang mengatakan bahwa rekam medis

adalah keterangan baik yang tertulis maupun yang

terekam tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan fisik,

laboratorium, diagnose segala pelayanan dan tindakan

medis yang diberikan kepada pasien dan pegobatan yang

ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan mutu

pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2007).

Hasil penelitian dari 3 variabel (diagnose utama dan

sekunder serta prosedur utama) dapat disimpulkan bahwa

dokumen resume medis yang lengkap sebanyak

94%.Dari hasil wawancara mendalam didapatkan 3

Informan mengatakan bahwa resume medis belum diisi

dengan lengkap, kalaupun diisi , isinya tidak sesuai

dengan apa yang ada di dalam rekam medik itu sendiri.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa 98% resume

medis untuk variable diagnose utama lengkap dan

sisanya tidak lengkap. Dan hasil wawancara menyatakan

bahwa masih ada dokter yang hanya mencatat diagnosa

utamnya saja. Kelengkapan diagnosa utama masih

belum 100% hal ini didukung oleh hasil wawancara

dalam hal ini informan 4 mengatakan bahwa diagnosa

utama merupakan bagian dari resume medik yang sering

tidak dilengkapi.Sehingga pengisian diagnosa utama

yang tidak terisi dengan lengkap akibatnya besaran klaim

tarif INA-CBGs tidak sesuai. Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya

diantaranya menurut Sari (2011) komponen yang tidak

lengkap adalah sebesar 40% dokter tidak mengisi

diagnosis. Menurut Permenkes No. 27 tahun 2014

tentang INA-CBGs, faktor-faktor yang mempengaruhi

besar kecilnya tarif salah satunya adalah pengisian

diagnosa utama (Kementerian Kesehatan, 2014).

Menurut Ika dan Sugiarsi (2013), ketepatan pengodean

diagnosa utama akan mempengaruhi ketepatan tarif INA-

CBGs yang muncul. Sedangkan ketepatan pengodean

diagnosis sangat dipengaruhi oleh ketepatan dan kelengkapan

penulisan diagnosis oleh dokter pada berkas klaim.

Hasil penelitian ini mengenai ketidak lengkapan diagnosa

utama sesuai dengan penelitian yang dilakukan peneliti

sebelumnya diantaranya penelitian yang dilakukan oleh

Sarwanti (2014) menyebutkan sebesar 71% resume

medis diisi lengkap, Indikator kelengkapan pengisian

resume medik oleh Dokter Spesialis Surgical diketahui

bahwa responden mengisi lengkap 100% pada lima (5)

indikator, yaitu Indikasi, Diagnosa, Pemeriksaan

Laboratorium.

Prosedur tindakan dan pengobatan. Sedangkan indikator

yang tidak lengkap yaitu 70% pada indikator kondisi

pulang, instruksi pulang dan kolom tanggal sampai

dengan tanda-tangan dokter (Sarwanti, 2014). Dan

menurut Vania (2009) menyatakan ketidak lengkapan

Rekam Medik terutama pada resume medis sebesar

40%. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya dokter yang

belum melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga hal

ini dapat mempengaruhi dari mutu suatu rekam medik.

Penelitian lain di RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

menunjukkan bahwa ketidak lengkapan pencatatan

resume medis masih tinggi yaitu 55%. Bahkan, untuk

kasus section caesaria seluruhnya tidak memiliki

kelengkapan resume medis (Hasanah U, Mahawati E,

Ernawati D, 2013).

Hal serupa banyak terjadi di Negara lain. Salah satu contoh

di Irlandia, Komite Ombudsman menemukan bahwa ada

indikasi para dokter dan konsultan di beberapa rumah sakit

menulis data rekam medis setelah beberapa lama setelah

kejadian. Bahkan para investigator mempersangkakan

dalam kasus-kasus yang sedang diinvestigasi, data belum

ditulis saat investigasi dilakukan (Karen., 2001).

Bagian kelengkapan resume medis yang penting

selanjutnya dalam menentukan besaran tarif INA-CBGs

adalah diagnosa sekunder. Walaupun bukan penyebab

utama pasien masuk ke rumah sakit tetapi tidak bisa

diabaikan kepentingan pengisian diagnosa sekunder pada

resume medis.Pada diagnosa sekunder tidak ada

informan yang mengatakan diagnosa sekunder tidak

terisi, tapi ada informan yang mengatakan bahwa

penulisan antara diagnosa utama dan diagnosa sekunder

sering ada kesalahan penempatan. Sebaiknya petugas

yang bertanggung jawab dibidang itu diberikan arahan

untuk mengisi dengan lengkap diagnosa sekunder

tersebut.

Dewi Apriyantini., Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s

Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta

Page 34: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 201

Dari pemeriksaan kelengkapan dokumen masih banyak

penulisan diagnosa sekunder yang tidak lengkap,

sehingga hal ini dapat menyebabkan tarif yang akan

diklaimkan tidak sesuai dengan apa yang telah dilakukan

terhadap pasien tersebut. Karena sesuai dengan

Permenkes No. 27 tahun 2014 tentang INA-CBGs,

faktor-faktor yang mempengaruhi tarif salah satunya

adalah pengisian diagnosa sekunder, disamping faktor

yang lainnya yaitu faktor diagnosa utama yang telah

diulas sebelumnya (Kementerian Kesehatan, 2014).

Data dari Instalasi Rawat Inap tahun 2014 menunjukkan

bahwa 46,38% resume medis pasien pulang tidak

lengkap, hal ini salah satunya penulisan diagnosa yang

tidak lengkap. Dan data bulan Januari-Februari 2015

masih terdapat sebesar 30%-40% resume medis pasien

pulang tidak ditulis lengkap oleh dokter. Penelitian

Indriwanto (2014) untuk diagnosis sekunder 82% terisi

sebagian, dokter dalam menentukan diagnosis sekunder

belum jelas kriterianya sehingga tidak dimasukkan dalam

diagnosis sekunder, menurut Sukawan (2014) diagnosa

sekunder yang diisi lengkap sebesar 59,7% dan sisanya

diisi tidak lengkap.Komponen pengisian resume medis

selanjutnya prosedur utama, walaupun ketidaklengkapan

pengisian prosedur utama tidak sebanyak diagnosa

sekunder tetapi ini merupakan salah satu kelengkapan

data resume medis yang sangat penting. Seiring dengan

peningkatan mutu rumah sakit diharapkan pengisian

kelengkapan resume medis dapat ditingkatkan oleh pihak

rumah sakit.

Hasil wawancara menyebutkan bahwa prosedur

tindakan masih banyak yang belum masuk dan kadang

tidak sesuai, hal ini sangat berpengaruh terhadap tarif yang

akan diklaimkan karena salah satu faktor yang

mempengaruhi tarif yaitu penulisan prosedur utama

(Kementeri Kesehatan, 2014). Penelitian Indriwanto

(2014) untuk prosedur utama 89,3% terisi sebagian.

Menurut Sukawan (2014) prosedur utama diisi lengkap

sebesar 51,6%. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara

yang mengatakan bahwa prosedur utama termasuk

bagian dari resume medik yang ditulis tidak lengkap.Data

yang diperoleh peneliti ketidaklengkapan prosedur utama

tidak menyebabkan ketidaksesuaian standar tarif INA-

CBGs dikarenakan peneliti mengambil data di ruangan

yang pada dasarnya tidak banyak menggunakan sumber

daya dan menyebabkan hari rawat lama yaitu gedung

rawat inap Teratai yang klasifikasi perawatan terdiri dari

perawatan anak, bayi, Obstetri Ginekologi, Saraf, Jantung

dan Penyakit Dalam. Perawatan pasien yang tidak

memerlukan prosedur yang tingkat kesulitannya tinggi,

dari data yang diperoleh peneliti tindakan-tindakan yang

sering dilakukan seperti Pemeriksaan fisik, laboratorium,

radiologi, USG, dan tindakan penunjang lainnya dan

menimbulkan biaya yang besar, kecuali pada kasus-kasus

Obgyn yang memerlukan tindakan operatif. Hasil ini

sama dengan Sukawan (2014), yang mengatakan bahwa

tidak ada hubungan antara kelengkapan prosedur utama

terhadap tarif INA-CBGs. Hasil penelitian ini tidak sesuai

dengan Permenkes No. 27 tahun 2014, dijelaskan bahwa

Faktor – faktor yang mempengaruhi tarif INA-CBG

diantaranya Kelengkapan data resume medis yaitu salah

satunya Prosedur Utama.

Prosedur utama merupakan prosedur yang paling banyak

menghabiskan sumber daya atau yang menyebabkan

lama rawatan paling lama dan biasanya berhubungan erat

dengan diagnosis utama. Mungkin lain halnya jika

peneliti mengambil sampel penelitian di ruangan yang

banyak menggunakan prosedur tingkat tinggi misal

ruangan bedah, ruangan yang tindakannya paling besar

dilakukan tindakan operatif maka hasilnya akan berbeda,

karena tindakan operatif, tindakan yang menghabiskan

sumber daya yang banyak dan menyebabkan hari

rawatan paling lama.

Walaupun tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara kelengkapan resume medis variabel prosedur

utama terhadap kesesuaian tarif INA-CBGs. Prosedur

utama masih menjadi permasalahan resume medis,

karena masih terdapat ketidaklengkapan pengisian data.

Masalah ini dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan

di rumah sakit. Dalam mempelancar administrasi resume

medis sebaiknya prosedur utama diisi dengan lengkap

agar tidak terhambat dalam proses klaim BPJS. Peneliti

melakukan telusur tentang data yang telah diperoleh

melalui wawancara terhadap informan-informan yang

dapat memberikan informasi yang akurat dan dapat

menjawab penelitian yang peneliti lakukan sehingga

diketahui alasan ketidaklengkapan resume medis.

Pengisian rekam medik dilaksanakan dimulai sejak

diterimanya seorang pasien rumah sakit di bagian

pendaftaran selanjutnya dilakukan pencatatan data

selama pasien mendapakan pelayanan atau tindakan

medis dan proses pengobatan. Ketidaklengkapan pengisian

resume medis akan berakibat pada coding dan besaran

tarif INA-CBGs itu sendiri. Berikut ialah data-data

Page 35: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 202

kualitatif yang berhasil dikumpulkan setelah dilakukan

wawancara mendalam mengenai ketidak lengkapan

resume medis. Beberapa informan mengatakan masih

banyak resume medis yang tidak lengkap disebabkan

oleh banyak hal (ditampilkan dalam tabel 2).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kelengkapan diagnosa utama dan prosedur utama cukup

tinggi dapat disimpulkan bahwa resume medis untuk

variable diagnose utama dan prosedur utama

pengisiannya sudah cukup lengkap. Untuk variabel

diagnose sekunder ketidak lengkapan pengisiannya

masih cukup tinggi yaitu sebesar 39 %, dikarenakan

sering terjadinya salah penempatan dan belum jelasnya

kriteria yang masuk kedalam diagnosa sekunder. Dari

hasil penelitian ini tidak ada hubungan antara kesesuaian

tarif INA-CBGs dengan prosedur utama, hal ini

disebabkan prosedur/ tindakan telah tercatat dengan baik,

diantaranya tindakan penunjang (laboratoriu, radiologi

dan lain-lain), tindakan keperawatan (Infus, Injeksi dan

lain-lain), Pemeriksaan dokter telah otomatis tercoding,

karena pada dasarnya tindakan-tindakan tersebut

biasanya dientri oleh perawat kedalam aplikasi komputer

yang ada diruangan sehingga untuk prosedur standar

akan muncul pada saat pengkodingan di Instalasi

rekam medik. Ketidaklengkapan pengisian rekam

medis disebabkan pengisi resume medis bukan dokter

yang bertanggung jawab melakukan hal itu, Standar

Prosedur Operasional belum dijalankan dengan optimal,

belum adanya reward dan punisment secara langsung,

belum adanya sistem sosialisasi yang berkesinambungan.

Berikutnya tentang potensi ketidaksesuaian besaran tarif

INA-CBGs dikarenakan ketidaklengkapan resume

medis. Oleh karena itu kelengkapan sebuah resume

medis sangat berpengaruh terhadap pendapatan rumah

sakit.

Saran

Berdasarkan analisis hasil penelitian, maka perlu

dilakukan kembali evaluasi dan sosialisasi Standar

Prosedur Operasional (SPO) terkait pengisian rekam

medik yang benar agar bisa dilaksanakan secara optimal,

monitoring dan evaluasi tentang formulir rekam medik

secara berkala, yang diberlakukannya system reward dan

punishment dalam hal kinerja pegawai. Sebelumnya

perlu dilakukan assessment persepsi dan kebutuhan

petugas kesehatan, karyawan, dan manajemen tentang

system reward dan punishment serta menjamin

komitmen mutu pimpinan dan melakukan pemutakhiran

software INA-CBGs yang terbaru sesuai dengan standar

nasional dan penambahan buku atau daftar kode

diagnosis yang disesuaikan dengan kode yang ada di

software INA-CBGs sehingga dapat meminimalkan

ketidaksesuaian koding dengan diagnosa.

DAFTAR PUSTAKA

Birchard, Karen. Irish Ombudsman finds medical records "atrocious"The Lancet;Jul 7, 2001; 358,

9275; ProQuestpg. 48. Diunduh pada tgl 3 Maret 2015. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes.2012. Pedoman penyelenggaraan

pelayanan rumah sakit. Jakarta.

Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik.2007. Petunjuk teknis penyelenggaraan rekam medis / medical record rumah sakit. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia . Jakarta.

Hasanah U, Mahawati E, Ernawati D. Analisis perbedaan klaim INA-CBGs berdasarkan

kelengkapan data rekam medis pada kasus emergency sectio cesaria trimester I tahun 2013 di RSUD KRT Serjonegoro Kabupaten Wonosobo. Jurnal Manajemen

Informasi Kesehatan Indonesia. 2013; 1 (2): 53-9.

Hatta. G.R. 2011. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan Di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ika AW, Sugiarsi S.2013. Analisis perbedaan tarif riil dengan tarif paket INA-CBG pada

pembayaran klaim jamkesmas pasien rawat inap di RSUD Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia.

Indriwanto. 2014. Analisis kelengkapan catatan rekam medis pada implementasi INACBG’s :

Studi kasus tentang Tetralogi of Fallot di unit pediatrik kardiologi dan penyakit jantung bawaan RS Jantung Harapan Kita tahun 2014. Fakultas Kesehatan

Masyarakat.Depok: Universitas Indonesia.

Kementeri Kesehatan. 2014.Workshop nasional manajemen rumah sakit dan dewan pertimbangan medik tentang jaminan kesehatan nasional. Bandung.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan menteri kesehatan republik indonesia no.27 tahun

2014 tentang petunjuk teknis system Indonesia case base groups. Jakarta. Sari DP. 2011. Analisis Karakteristik individu dan motivasi ekstrinsik terhadap kinerja dokter dalam

kelengkapan pengisian rekam medik pasien rawat jalan di rumah sakit Hermina Depok. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.

Sarwanti, 2014. Analisis hubungan perilaku dokter spesialis surgical dalam pengisian kelengkapan

resume medik pasien rawat inap di RSUP Fatmawati tahun 2014. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.

Sukawan A. 2014. Hubungan kelengkapan pengisian resume medis terhadap tarif INA-CBGs di

rumah sakit umum pusat Fatmawati. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Jakarta:

Universitas Esa Unggul. Vania, RS. 2009. Analisis kelengkapan rekam medis di instalasi rawat inap RS Family Medical

Center tahun 2009. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.

Yuniati. 2012. Analisis hasil koding yang dihasilkan oleh coder di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.

Dewi Apriyantini., Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s

Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta

Page 36: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 203

Gambar 1. Distribusi Kelengkapan Pengisian Resume Medis, Diagnosa Utama,

Diagnosa Sekunder dan Prosedur Utamadi RSUP Fatmawati Jakarta Bulan Maret

Tahun 2015

Tabel 1. Gambaran Tarif INA-CBGs RSUP Fatmawati Jakarta Bulan Maret 2015

Tarif

INA-CBGs Mean SD

Minimal –

Maksimal Mode Range Median

Tarif

INA-CBG 1,17 ,428 0 – 2 1 2 1,00

Tarif

INA-CBG

Nominal

Rp.8.639.493 Rp.12.377.964 Rp.0.-

Rp.82.165.400 Rp.2.165.900 Rp.82.165.400 Rp.5.237.900

Tabel 2. Alasan Ketidaklengkapan Pengisian Resume Medis

Masalah Hasil Solusi

Mengapa pengisian resume medis tidak

lengkap?

Masih banyak DPJP yang tidak menulis

resume medis yang sesuai kaidahnya,

Standar Prosedur Operasional (SPO) yang belum dilaksanakan secara optimal, belum

adanya sosialisasi StandarProsedur

Operasional (SPO) yang

berkesinambungan, belum adanya reward

dan punishment., sarana dan prasarana dan

kepatuhan Dokter.

Solusi dari permasalahan tersebut meliputi

melakukan kembali evaluasi dan

sosialisasiStandar Prosedur Operasional(SPO) terkait pengisian rekam

medik yang benar agar bisa dilaksanakan

secara optimal, monitoring dan evaluasi

tentang formulir rekam medik secara

berkala, memberlakukan system reward

dan punishment dalam hal kinerja pegawai dan melakukan pemutakhiran software

INA-CBGs yang terbaru sesuai dengan

standar nasional dan penambahan buku atau daftar kode diagnosis yang

disesuaikan dengan kode yang ada di

software INA-CBGs sehingga dapat meminimalkan ketidaksesuaian koding

dengan diagnosa.

94 98

61

95

6 2

39

50

20

40

60

80

100

120

Resume medis Diagnosa utama Diagnosa

sekunder

Prosedur utama

lengkap

tidak lengkap

Page 37: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 204

Analisis Hubungan Budaya Organisasi, Komitmen Organisasi dengan

Turnover Intention Perawat Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015

Analysis of Organization Culture Relationships, Organizational Commitment

With Turnover Intention of Nurses in Prikasih Hospital Year 2015

Erta Rahmawati

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Tingginya angka perputaran perawat di RS Prikasih > dari 10% menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya,

meningkatnya biaya operasional, terganggunya kegiatan operasional dan menimbulkan permasalahan moral

perawat yang tinggal. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kuantitatif yang bertujuan untuk

mengetahui gambaran tipe budaya organisasi (klan, adhrokrasi, pasar, hierarki) dan komitmen organisasi (afektif,

normatif, berkelanjutan). Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara berbagai tipe

budaya organisasi, komitmen organisasi tersebut dengan turnover intention (keinginan pindah kerja) di Rumah

Sakit Prikasih, serta mengidentifikasi jenis hubungan yang paling dominan. Penelitian ini menggunakan metode

cross-sectional (potong lintang) dengan responden sebanyak 102 perawat, dengan instrumen penelitian berupa

kuesioner. Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan bermakna antara budaya organisasi (klan, pasar,

hirarki), komitmen organisasi (afektif, normatif) dengan turnover intention. Hubungan yang paling dominan

adalah antara komitmen afektif dengan turnover intention.

Kata kunci: perawat, budaya organisasi, komitmen organisasi, turnover intention.

ABSTRACT

The high rate of nurse turnover > 10% at Prikasih hospital causes a variety of problems, increased operating

cost, disruption operations and raising moral issues in nurse who stay, This research is a quantitative analytical

research aiming to describe the types of organizational culture (clan, adhocracy, market, hierarchy) and

organizational commitment (affective, normative, continuance). The research also aims to illustrate the relations

between the different types of organizational culture and organizational commitment, and the association with

turnover intention at Prikasih hospital as well as to identify the most dominant factor of relations. The research

uses cross-sectional method with 102 nurses as respondents, using questionnaires. The result correlation and

regresion analysis shows that there is correlation between organizational culture (clan, market, hierarchy),

organizational commitment (affective, normative, continuance) with turnover intention. Affective commitment

exhibits as the most dominant variable in relation to turnover intention.

Key words: nurse, organizational culture, organizational commitment, turnover intention.

PENDAHULUAN

Rumah sakit merupakan institusi yang padat modal,

padat karya, padat teknologi dan padat sumber daya

manusia. Seiring dengan pertumbuhan rumah sakit di

Indonesia untuk dapat bersaing dalam industri kesehatan

ini maka setiap rumah sakit berlomba-lomba

meningkatkan kualitas atau mutu pelayanannya sehingga

Page 38: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 205

pasien akan merasakan kepuasan dengan pelayanan

kesehatan yang diterimanya. Dalam rangka menghadapi

persaingan di masa depan, sebuah rumah sakit harus

memiliki nilai jual atau produk unggulan agar mampu

bersaing dengan rumah sakit lain. Salah satu yang

memegang peranan penting demi terwujudnya produk

unggulan rumah sakit adalah sumber daya manusia yang

ada di rumah sakit (Andini, 2006). Sumberdaya manusia

adalah salah satu bentuk asset internal yang paling

berharga yang dimiliki suatu organisasi artinya, dengan

kebijakan dan usaha yang kuat untuk selalu menjaga dan

mempertahankan sumber daya manusia maka

diharapkan akan mampu menghindari faktor-faktor

yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan organisasi

(Fahmi, 2013).

Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumber

daya manusia di rumah sakit adalah mengenai karyawan

yang keluar masuk terus menerus atau terjadi

perpindahan (turnover) karyawan sebelum waktunya.

Hal ini juga dikatakan oleh Simamora, 2006 dalam

Nandini, 2013 masalah sumberdaya manusia yang

sering menjadi indikator efektifitas suatu organisasi

adalah turnover apabila angka turnover meningkat,

maka perlu dilakukan evaluasi pada organisasi untuk

menentukan apakah kenaikan angka tersebut

disebabkan kondisi kerja yang memburuk atau karena

sebab lain. Tentunya hal ini menjadi permasalahan

tersendiri bagi unit SDM, salah satu yang dampak

terberat adalah dengan terus terjadinya turnover yang

tinggi menyebabkan biaya operasional menjadi tidak

efektif, olehkarena rumah sakit terus menerus

melakukan perekruitan karyawan kemudian melakukan

orientasi karyawan baru dan pelatihan-pelatihan

karyawan.

Selain berkaitan dengan kerugian biaya, kerugian waktu

juga dirasakan oleh pihak rumah sakit, sehingga

menggangu kegiatan operasional. Permasalahan lain

dirasakan dengan hadirnya pergantian karyawan yang

terus menerus membuat karyawan yang awalnya

berkomitmen untuk tinggal dalam rumah sakit akhirnya

mengikuti karyawan yang pindah tersebut.

Beberapa peneliti menyatakan penyebab kejadian

turnover karyawan dipengaruhi oleh faktor organisasi

dan faktor komitmen organisasi Gregory et al (2007)

dalam Hyun (2009). Penelitian lain mengatakan bahwa

budaya organisasi suatu perusahaan dapat

mempengaruhi retensi karyawan, untuk itu perusahaan

harus memberi perhatian khusus terhadap budaya

organisasi dan lingkungan kerja Chatterjee (2009) dalam

Yasin (2014). Budaya perusahaan merupakan pondasi

bagi organisasi dan pijakan bagi pelaku yang ada di

dalamnya, pembentukan budaya perusahaan ini

merupakan salah satu lingkup dalam manajemen

sumber daya manusia. (Satrianegara, 2014). Selain

berkaitan dengan budaya organisasi, menurut salah satu

penelitian ternyata komitmen organisasi juga memberikan

peran lain dengan turnover intention menurut Allen dan

Meyer (2004), dengan adanya komitmen yang dimiliki

karyawan maka akan tercipta stabilitas di perusahaan dan

mengurangi karyawan yang pindah kerja (turnover).

Permasalahan dalam lingkup organisasi sering

mengkaitkan antara keberadaan komitmen organisasi

dengan turnover intention, sehingga hubungan ini terkait

bagaimana mempertahankan keberadaan dan menekan

turnover (Hana, 2009).

Perawat merupakan sumber daya manusia yang

terbanyak di rumah sakit dibandingkan dengan profesi

lainnya. Perawat merupakan ujung tombak pelayanan

kesehatan di rumah sakit. Menurut data yang diambil

dari unit sumber daya manusia di RS Prikasih ternyata

permasalahan turnover karyawan terbanyak adalah

perawat yang angkanya > dari 10%, sejak tahun 2011-

2014. Tingginya angka turnover ini menimbulkan

berbagai permasalahan sehingga perlu dicarikan

langkah-langkah untuk menurunkan angka turnover

tersebut dengan cara melihat dari turnover intention

(keinginan tidak pindah) perawat kemudian

menghubungkan dengan budaya prganisasi dan

komitmen organisasi.

Penelitian ini ingin melihat gambaran budaya organisasi

dan komitmen organisasi serta hubungan antara budaya

organisasi (klan, adhrokrasi, pasar, hirarki), komitmen

organisasi (afektif, normative, berkelanjutan) dengan

turnover intention (keinginan tidak pindah) di RS

Prikasih tahun 2015.

TINJAUAN PUSTAKA

Budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai perangkat

sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs),

asumsi-asumsi (assumption), atau norma-norma yang

telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para

anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan

pemecahan masalah-masalah organisasinya. Budaya

organisasi juga disebut budaya perusahaan, yaitu

Page 39: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 206

seperangkat nilai-nilai atau norma-norma yang telah

cukup lama berlakunya, dianut bersama oleh para

anggota organisasi (karyawan) sebagai norma perilaku

dalam menyelesaikan masalah-masalah organisasi

(Sutrisno, 2010).

Tipe budaya organisasi menurut Quinn and Cameron

(2006), tipe budaya organisasi yang mereka kembangkan

dari Kerangka Persaingan Nilai (Competing Value Frame

Work) yaitu:

a. Tipe Budaya Klan (clan)

Adalah tipe budaya dengan tempat kerja yang

nyaman, orang-orang dalam organisasi tersebut

berbagi banyak informasi pribadi. Pimpinan dan

kepala organisasi dipandang sebagai mentor dan

bahkan seperti sosok orang tua. Organisasi

disatukan berdasarkan rasa kesetiaan atau tradisi.

Memiliki komitmen yang tinggi. Sukses dalam

organisasi ini di definisikan sebagai sensitifitas

terhadap pelanggan dan kepedulian kepada orang

lain.

b. Tipe budaya Pasar (Market)

Adalah tipe dengan berorinetasi pada hasil untuk

menyelesaikan tugas. Pemimpin dipandang sebagai

orang yang kompetitif dan memiliki kemauan

keras. Orang-orang dalam organisasi sangat teguh

dan penuh tuntutan. Perekat yang menyatukan

organisasi adalah keinginan untuk menang dalam

kompetisi dan memenuhi target. Kesuksesan dalam

organisasi ini adalah pemberian layanan /produk

yang berpenetrasi ke pasar. Kepemimpinan dalam

pasar dianggap penting, pemimpin sosok yang

agresif dalam mencapai tujuan organisasi. Gaya

organisasi yang kompetitif dan penuh tuntutan.

c. Tipe Budaya Adhokrasi (Adhrocracy)

Adalah tipe budaya dengan orang-orang dalam

organisasi berani bertanggung jawab dan

mengambil risiko. Pimpinan dipandang sebagai

orang yang visioner,berani mengambil risiko,

memiliki inovasi. Kesiapan untuk berubah dan

mendapat tantangan baru. Organisasi yang terus

berkembang dan bereksperimen. Sukses dalam

organisasi ini didefinisikan dapat memproduksi

produk yang baru dan unik.

d. Tipe budaya Hirarki (Hierarchy)

Adalah tipe budaya dengan tempat kerja yang

formal dan terstruktur. Standar prosedur menentukan

apa yang dikerjakan. Pemimpin dianggap sebagai

koordinator dan ahli organisasi. Menjaga kelancaran

jalannya organisasi adalah prioritas utama. Perekat

organisasi dengan kebijakan dan aturan-aturan

formal. Kesuksesan dalam organisasi ini

didefinisikan dapat memberikan layanan atau

produk yang dapat diandalakan, rutinitas yang

lancar dan biaya rendah.

Komitmen organisasi telah banyak dijelaskan oleh

berbagai konsep, salah satu konsep terdahulu

menurut Meyer dan Allen tahun 1997, komitmen

organisasi artinya bersedia menetap di organisasi,

melakukan pekerjaan rutin di dalam organisasi,

melindungi asset perusahaan, berbagi tujuan

perusahaan.

Komitmen organisasi dikelompokan kedalam tiga

komponen oleh Allen dan Meyer tahun 1990,

ketiga komponen tersebut yaitu Afektif komitmen,

normatif dan komitmen berkelanjutan:

Affective Organizational Commitment (AOC)

Affective Organizational commitment adalah

suatu pendekatan emosional dari individu

dalam keterlibatannya dengan organisasi,

sehingga individu akan merasa dihubungkan

dengan organisasi secara emosional. Tingkat

ketertarikan disini dihubungkan secara psikologis

dengan organisasi berdasarkan seberapa baik

perasaan mengenai organisasi (Meyer dan Allen,

1990) Continuance Organizational Commitment

(COC)

Continuance Organizational commitment

adalah hasrat yang dimiliki oleh individu untuk

bertahan dalam organisasi karena merasa

individu merasa sudah memberikan investasi

pada organisasi itu dan menyadari tidak

mungkin mencari gantinya. (Lufthans, 2005

dalam Burhanudin, 2013).

Normatif Organizational Commitment (NOC)

Normatif Organizational komitmen adalah

perasaan wajib bagi individu untuk bertahan

dalam organisasi. Keterikatan anggota secara

psikologis dengan organisasi karena kewajiban

moral untuk memelihara hubungan dengan

organisasi.

Menurut Brough dan Frame (2004) turnover intention

didefinisikan sebagai perkiraan probabilitas karyawan

yang akan meninggalkan organisasi dalam waktu dekat

atau niat langsung individu untuk meninggalkan

Erta Rahmawati., Analisis Hubungan Budaya Organisasi Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention Perawat

Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015

Page 40: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 207

pekerjaannya. (Meyer, 1993 dalam Hyun, 2009).

Sedangkan menurut Abelson dalam Andini (2006)

turnover intention adalah keinginan berpindah

mencerminkan keinginan inidvidu untuk meninggalkan

organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain.

Turnover lebih mengarah pada kenyataan akhir yang

dihadapi organisasi berupa jumlah karyawan yang

meninggalkan organisasi. Keinginan berpindah mengacu

pada hasil evaluasi individu mengenai kelanjutan

hubungannya dengan organisasi dan belum ditunjukan

tindakan pasti meninggalkan organisasi Lekatompessy

(2003) dalam Andini (2006).

Niat karyawan untuk meninggalkan organisasi termasuk

dengan hanya berfikir untuk berhenti dan pernyataan

bahwa karyawan ingin meninggalkan organisasi (niat

untuk meninggalkan). Perilaku aktual dari perawat

mungkin akan berbeda dari niat awal. Namun meskipun

hanya niat saja menurut beberapa penelitian terdahulu

niat berhenti merupakan prediktor kuat untuk benar-

benar meniggalkan indstri, secara teoritis pendapat ini

diyakini menjadi faktor permulaan untuk terjadinya

perpindahan pegawai (turnover). George et al (2007)

dalam Hyun (2009).

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan desain

potong lintang (cross sectional) dengan pendekatan

kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk

melihat hubungan antara variabel bebas yaitu tipe

budaya organisasi (tipe klan, tipe adhokrasi, tipe pasar,

tipe Hirarki). Komitmen Organisasi (Afektif, Normatif,

Berkelanjutan) yang dihubungan dengan variable terikat

yaitu turnover intention. Penelitian ini dilakukan di

RS.Prikasih, Pondok Labu Jakarta pada bulan April

sampai dengan bulan Mei 2015. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di

rumah sakit Prikasih sampai dengan perawat yang ada

pada jajaran struktural dan perawat kontrol yang

berjumlah 185 perawat. Setelah dikurangi dengan

kriteria inklusi dan eksklusi sehingga berjumlah 105

perawat. Sampel penelitian disini menggunakan

keseluruhan populasi atau total sampling, pengambilan

total sampling agar peneliti mengetahui persepsi seluruh

perawat.

Perawat yang bersedia mengisi kuesioner hanya 102

perawat, Instrumen pada penelitian ini berupa kuesioner,

kuesioner tentang tipe budaya organisasi (klan,

adhokrasi, pasar, dan hirarki) yang pengukurannya

menggunakan modifikasi kuesioner butir pernyataan

berasal dari Competing Value framework oleh Cameron

and Quin (2006) dan teknik pengukuran menggunakan

skala likert dari penelitian Hyun et al. (2009) berasal dari

teori budaya organisasi Cameron and Mcgrath (1985).

Penggunaan kuesioner modifikasi ini karena pengukuran

budaya organisasi menggunkan teori Cameron and Quin

(2006) dirasakan cukup sulit sehingga penyederhanaan

kuesioner menggunakan skala likert mengacu pada

penelitian Hyun (2009) untuk mengukur tipe budaya

organisasi dan mengetahui hubungan dengan keinginan

tidak pindah. Kuesioner tentang komitmen organisasi

(Afektif, normatif, berkelanjutan) diadaptasi dari Organization

Commitment Scale (OCS) oleh Allen dan Meyer (1990)

dalam tesis Nydia (2012).Kuesioner keinginan pindah

kerja (turnover intention) diadaptasi dari tesis Indriyani

(2014). Seluruh kuesioner pertanyaan skala respon

menggunakan skala likert (1-4) untuk penilaiannya.

Kuesioner budaya organisasi, komitmen organisasi diuji

validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu, Pernyataan

dikatakan valid apabila niali r hitung lebih besar dari r

tabel, dengan tingkat kemaknaan 5% dan jumlah

responden uji coba sebanyak 30 responden maka df = n-

2 yaitu 30-2 = 28, nilai r tabel untuk tingkat kemaknaan

5% dengan uji 2 arah, untuk df = 28 adalah 0,361.

Kesimpulan pertanyaan tersebut valid apabila r hitung >

dari 0,361. Uji reliabilitas dilakukan satu kali setelah

seluruh pertanyaan dinyatakan valid. Hasil uji kemudian

dibandingkan dengan nilai 0,6 dengan ketentuan apabila

nilai masing-masing cronbsch alpha > dari 0,6 maka

variabel tersebut dinyatakan valid.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Bivariat

Pada tabel 1 di atas terlihat hasil uji korelasi dan regresi

linier seluruh variabel menunjukan korelasi positif

terhadap keinginan tidak pindah. Artinya semakin tinggi

skor persepsi perawat terhadap eksistensi budaya klan di

RS. Prikasih maka semakin besar pula keinginan tidak

pindah. Sedangkan berdasarkan p value maka hanya

budaya adhrokrasi yang menunjukan tidak berhubungan

dengan keinginan tidak pindah perawat. Kekuatan

hubungan seluruh variabel menunjukan hubungan

sedang, sedangkan untuk komitmen afektif menunjukan

hubungan kuat denga keinginan tidak pindah.

Page 41: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 208

Analisis Multivariat (Regresi Linier Berganda)

Analisis multivariat ingin mengetahui model regresi

yang paling sesuai menggambarkan faktor-faktor yang

berhubungan dengan turnover intention (keinginan tidak

pindah). Pemodelan ini harus memenuhi kaidah-kaidah

syarat regresi linier. Adapun asumsi yang yang

digunakan dalam regresi linier ganda adalah asumsi

eksistensi, asumsi independen, asumsi linieritas, asumsi

homoscedascity. Semua asumsi terpenuhi (tabel 10),

maka uji regresi linier memenuhi syarat (ditampilkan

dalam tabel 2 & 3 serta gambar 1& 2).

Setelah dilakukan analisis ternyata variabel independen

yang masuk dalam model regresi adalah komitmen

afektif dan komitmen normatif sementara budaya klan,

budaya adhrokrasi dan budaya pasar merupakan

variabel konfounding. Terlihat koefisien determinasi

sebesar 0,430 artinya model regresi dapat menjelaskan

43% variasi variabel dependen keinginan tidak pindah.

Dari asumsi Anova terlihat hasil uji F menunjukkan nilai

p-value <0,05 maka pada alpha 5% model regresi cocok

(fit) dengan data yang ada atau kedua variabel

independen dapat memprediksi variabel keinginan tidak

pindah.

Adapun persamaan regresi yang diperoleh adalah:

Keinginan tidak pindah = 9,4 + 0,3*budaya klan –

0,3*budaya adhrokrasi + 0,4*budaya pasar + 0,7*komitmen

afektif + 0,6*komitmen normatif

Artinya:

- Setiap kenaikan 1 poin komitmen afektif perawat

terhadap Rs. Prakasih maka skor keinginan tidak

pindah akan naik sebesar 0,7 setelah dikontrol oleh

budaya klan, budaya adhrokrasi, budaya pasar dan

komitmen normatif.

- Setiap kenaikan 1 poin komitmen normatif perawat

terhadap Rs. Prakasih maka skor keinginan tidak

pindah akan naik sebesar 0,6 setelah dikontrol oleh

budaya klan, budaya adhrokrasi, budaya pasar dan

komitmen afektif.

Berdasarkan nilai Beta, maka variabel yang paling besar

pengaruhnya terhadap penentuan keinginan tidak pindah

adalah variabel komitmen afektif.

Pada penelitian univariat didapatkan masing-masing

skor tiap-tiap tipe budaya, dengan demikian rata-rata skor

paling tinggi didapatkan dari tipe budaya klan. Menelaah

dari pernyataan yang ada pada tabel 1 (distribusi jawaban

responden), ternyata cukup banyak responden merasa

RS ini merupakan tempat yang nyaman seperti keluarga

besar olehkarena orang-orang dalam organisasi saling

berbagi satu sama lain hal ini menurut peneliti dikatakan

baik dan harus mendapat dukungan dari atasan dan

manajemen.

Sejauh pengamatan peneliti dan persepsi peneliti selama

berada di RS Prikasih, peneliti merasa budaya klan

memang sangat terasa di RS Prikasih dengan orang-

orang yang hubunganya begitu dekat satu sama lain,

antar unit dan antara atasan dengan bawahan seperti tidak

ada batasan.

Budaya pasar, jika menelaah dari pertanyaan yang ada pada

tabel 2 (distribusi jawaban responden), ternyata cukup banyak

responden yang merasa RS Prikasih merupakan RS yang

berfokus kepada hasil dan tujuan untuk pencapain target RS,

hal ini menurut peneliti dikatakan baik dan harus mendapat

dukungan dari manajemen. Menurut peneliti pencapaian

target RS juga harus disertai dengan pemberian penghargaan

berupa reward kepada individu atau unit yang terkait.

Menurut Sastrohadiwiryo (2005) dalam Indriani (2014),

penghargaan/pengakuan atas suatu kinerja merupakan

motivasi kuat. Penghargaan berupa pengakuan atas kinerja

memberikan rasa kepuasan batin yang lebih tinggi di

bandingkan dengan penghargaan berupa pemberian

materi/hadiah.

Budaya adhrokrasi merupakan tipe budaya yang

bercirikan orang-orang dalam organisasi, pemimpin

beserta gaya manajamen yang terus berinovasi mencari

ide-ide baru, peneliti merasa budaya ini baik

dikembangkan untuk perkembangan RS menghadapi

persaingan global, menelaah hasil distribusi responden

pada tabel 3, tingginya budaya adhrokrasi ini dinyatakan

dalam pernyataan responden yaitu, “responden merasa

orang-orang yang bekerja di RS adalah orang-orang

yang dinamis artinya berani dan mau mengambil risiko

dalam pekerjannya

Budaya hirarki adalah budaya yang orang-orang dalam

organisasinya sangat terstruktur, terdapat prosedur

formal untuk setiap tindakan dan perlakuan. Budaya

hirarki menuntut orang-orang dalam organisasi untuk

mematuhi peraturan-peraturan dan kebijakan yang ada.

Menurut peneliti budaya hirarki ini baik dipertahankan

agar orang-orang dalam organisasi selalu berjalan dalam

koridornya. Menelaah hasil univariat sebanyak 53,9%

budaya hirarki tinggi, artinya cukup banyak perawat

Erta Rahmawati., Analisis Hubungan Budaya Organisasi Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention Perawat

Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015

Page 42: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 209

merasa berbudaya hirarki. Berdasarkan pernyataan yang

mengenai keamanan kerja yang ada pada tabel 4 tabel

distribusi jawaban responden yaitu “Saya merasa rumah

sakit ini merupakan tempat yang sangat terstruktur

dimana terdapat prosedur formal dalam setiap tindakan,”

ternyata sebanyak 72,5% responden merasa setuju

dengan pernyataan tersebut sedangkan pernyataan

mengenai sosok atasan “Saya merasa atasan saya

merupakan orang yang berperilaku sebagai koordinator

yang selalu mengatur,” sebagian besar responden

mengatakan setuju akan pernyataan tersebut. Sehingga

menurut peneliti budaya hirarki cukup berkembang di

RS ini oleh karena persentase budaya hirarki cukup

tinggi meskipun tidak setinggi budaya tipe lain, bahkan

budaya hirarki persentasenya paling rendah.

Hasil analisis bivariat budaya klan nilai r 0,337 nilai r

yang paling besar diantara tipe budaya organisasi lainnya

dengan kekuatan hubungan sedang, hal ini menunjukan

perawat memiliki persepsi budaya klan tinggi

berhubngan dengan keinginan tidak pindah. Menurut

peneliti kenyamanan dalam bekerja merupakan aspek

penting untuk bertahannya karyawan/perawat dalam

organisasi.

Berdasarkan temuan bivariat ternyata ada hubungan

antara budaya organisasi tipe pasar dengan turnover

intention (keinginan tidak pindah) p value sebesar 0,006.

Pada penelitian Kessler (2013) dinyatakan adanya

hubungan korelasi positif dalam arti apabila budaya

pasar tinggi di dalam organisasi akan menyebabkan

turnover intention (keinginan tidak pindah) semakin

tinggi. Meskipun arah hubungan kedua penelitian ini

tidak sejalan, peneliti mengangap pentingnya memiliki

budaya pasar dalam organisasi oleh karena dengan

terpenuhinya target-target RS akan menjadikan RS

berprestasi dalam arti reputasi rumah sakit menjadi baik,

sehingga orang-orang yang tinggal dalam organisasi

akan semakin bangga dan bersedia berlama-lama

bekerja di RS. Hasil analisis biavariat budaya organisasi

tipe adhrokrasi ternyata menunjukan tidak ada hubungan

dengan turnover intention hal ini terlihat dari nilai p value

> dari 0,05 sehingga nilai r untuk budaya adhrokasi tidak

dibahas. Tidak adanya hubungan antara budaya

adhrokrasi dengan turnover intention sebenarnya cukup

sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh

(Kessler, 2013) yang menyatakan memang tidak ada

hubungan antara budaya adhrokrasi dengan turnover

intention.

Tipe budaya selanjutnya adalah tipe budaya hirarki, tipe

budaya ini merupakan tipe budaya organisasi dengan

suasana kerja yang terstruktur pada peraturan dan

kebijakan-kebijakan dengan gaya manajemen yang

aman dalam artian seluruh kegiatan mengarah pada

prosedur dan aturan-aturan yang ada, dengan menelaah

hasil univariat dinyatakan perawat yang berpersepsi

budaya hirarki hampir sama jumlahnya dengan yang

tidak. Hasil penelitian mengatakan terdapat hubungan

bermakna hal ini sejalan dengan penelitian Hyun (2009)

yang menyatakan terdapat hubungan bermakna antara

budaya hirarki dengan turnover intention. Dadgar

(2013) mengatakan dengan semakin tingginya budaya

hirarki di suatu perusahaan maka keinginan untuk tinggal

akan semakin tinggi. Menurut pandangan peneliti

budaya organisasi hirarki ada hubungan dengan

turnover intention, oleh karena dengan adanya keamaan

kerja (prosedur kerja yang jelas) maka keinginan untuk

tinggal dalam organisasi semakin tinggi.

Persepsi komitmen afektif di RS Prikasih merupakan

komitmen dengan nilai rata-rata skor paling besar 13,3

poin. Menelaah distribusi pertanyaan responden perawat

pada tabel 5 ternyata sebanyak 52,9% responden merasa

tidak terlalu senang bekerja di RS Prikasih dan tidak

merasakan bahwa permasalahan yang terjadi di RS

merupakan permasalahan mereka kemudian sebanyak

47,1% kebanyakan tidak suka membicarakan RS

Prikasih dengan orang diluar RS (tabel 5). Menanggapi

hal ini peneliti mengambil kesimpulan perawat di RS

Prikasih memang seperti keluarga, akan tetapi ikatan

tersebut tidak terlalu kuat melibatkan perasaan emosional

perawat, sehingga perawat belum bisa merasakan

bagian dari RS dan belum merasa bangga bahwa dirinya

menjadi bagian dari RS.

Komitmen normatif merupakan komitmen dengan

perasaan wajib untuk tinggal di organisasi, berdasarkan

hasil distribusi jawaban responden pada tabel 6 sebanyak

70,6% merasa sikap loyal terhadap suatu organisasi itu

penting, akan tetapi jika responden mendapat tawaran

pekerjaan lain maka sebanyak 66,6% responden

bersedia meniggalkan RS Prikasih (tabel 6) Menurut

peneliti sulitnya membentuk komitmen normatif juga

terpengaruh dari lingkungan luar sekitar RS, melihat dari

karakteristik RS.

Page 43: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 210

Komitmen berkelanjutan dalam penelitian ini dirasakan

tinggi oleh sebagian responden yaitu sebanyak 51%,

dalam telaah distribusi jawaban responden pada tabel 7

banyak responden merasa sangat sulit meninggalkan RS

padahal sebenarnya mereka ingin meninggalkan RS

(92%). Menurut Sopiah (2008) komitmen berkelanjutan

merupakan komitmen yang mana orang-orang dalam

organisasi tetap tinggal oleh karena membutuhkan gaji

atau karyawan tersebut tidak diterima kerja ditempat lain

atau bertahannya karyawan dalam suatu organisasi

disebabkan karena organisasi tersebut memberikan

banyak keuntungan-keuntungan yang tidak didapatkan

di organisasi lain.

Komitmen afektif dinyatakan memiliki hubungan

signifikan dengan turnover intention dengan p value

0,000 dengan nilai r 0,58 dengan kekuatan hubungan

adalah hubungan kuat (r > dari 0,51-0,75). Sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Vandenbergh

(2008) dalam penelitiannya menyatakan hubungan

signifikan negatif, artinya semakin tinggi komitmen

afektif seseorang maka akan semakin rendah turnover

intention. Penelitian lain oleh Benjamin (2012)

mengatakan ada hubungan signifikan antara komitmen

afektif dengan turnover intention. Tingginya persepsi

komitmen afektif di suatu organisasi akan menurunkan

keinginan pindah (Vandenberg, 2003 dalam Benjamin,

2012). Peneliti merasa setuju, dengan merasa nyaman

berada dalam suatu organisasi maka orang tersebut akan

semakin bertahan dalam organisasi.

Komitmen normatif dalam penelitian ini juga dikatakan

signifikan berhubungan dengan turnover intention

dengan nilai r 0,51 keeratan hubungan kuat. Penelitian

oleh Kuean dkk. (2010) yang mengatakan ketiga

komponen komitmen organisasi (afektif, normatif,

berkelanjutan) berhubungan dengan turnover intention

dengan hubungan signifikan negatif. Dadgar et al. (2013)

hasil penelitiannya sejalan dengan penelitian ini memang

ada hubungan signifikan antara komitmen normatif

dengan turnover intention.

Komitmen berkelanjutan dalam penelitian ini dikatakan

berhubungan dengan turnover intention dengan nilai p

value 0,037 dengan nilai r 0,21 keeratan hubungan

sedang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Vanderbergh (2008), Pitt (2009

yang mengatakan ada hubungan signifikan antara

komitmen berkelanjutan dengan turnover intention.

Menurut peneliti adanya hubungan ini dikatakan baik

oleh peneliti karena dengan adanya keuntungan-

keuntungan yang membuat seseorang bertahan di suatu

organisasi akan menjadikan orang tersebut betah untuk

terus tinggal dalam organisasi.

Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui variabel

independen mana yang paling dominan berhubungan

dengan turnover intention, maka didapatkan hasil bahwa,

komitmen afektif dan komitmen normatif merupakan

variabel yang berhubungan bermakna dengan turnover

intention. Sedangkan komitmen afektif merupakan variabel

dominan yang berhubungan bermakna

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil univariat, rata-rata skor tertinggi yaitu pada budaya

klan sedangkan untuk komitmen organisasi rata-rata

skor tertinggi pada komitmen afektif. Hasil analisis

bivariat hubungan antara budaya organisasi (klan,

adhrokrasi, pasar, hirarki) dengan turnover intention, dari

empat tipe budaya tersebut hanya tipe budaya adhrokrasi

yang tidak berhubungan dengan turnover intention.

Hasil analisis bivariat komitmen organisasi (afektif,

normatif, berkelanjutan) dengan turnover intention,

seluruh komponen komitmen organisasi berhubungan

dengan turnover intention. Dari hasil multivariat variabel

dominan yang berhubungan dengan turnover intention

yaitu, variabel komitmen afektif.

Saran

Untuk Direktur RS

Mengaktifkan komite keperawatan, untuk menjaga

mutu perawat dan memberikan kepastian jenjang

karir kepada perawat

Untuk Manajemen RS

Membentuk komitmen awal perawat (Memperkenalkan

perawat yang baru masuk ke rapat koordinasi, secara

rutin manajemen secara aktif melakukan sosialisasi

budaya RS dan mendiskusikan visi-misi RS dalam

rapat koordinasi)

Menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan

(Melakukan survey kepuasan perawat secara rutin,

untuk mendapatkan respon umpan balik)

Membangun rasa memiliki RS (Merayakan momen

special/memberi ucapan selamat kepada perawat

Erta Rahmawati., Analisis Hubungan Budaya Organisasi Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention Perawat Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015

Page 44: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 211

tersebut. Memberikan informasi secara berkala

mengenai pencapaian target RS )

Membangun komunikasi dengan cara memfasilitasi

wadah komunikasi rutin antara manajemen dengan

para perawat dengan tujuan perawat dapat mengeluarkan

ide-ide atau inovasi nya

Memberi dukungan akan pencapaian target (Manajemen

mendorong pencapaian target RS dengan cara

memberikan kompensasi rutin kepada perawat

apabila target tercapai.

Memberi kepastian dan rasa aman, (Manajemen

memberi kepastian kerja dengan gaji yang kompetitif,

memberikan kepastian jenjang karir kepada perawat,

memberikan pelatihan-pelatihan (diklat) rutin untuk

meningkatkan kompetensi perawat).

Memperjelas aturan dan kebijakan terkait masalah

kompensasi perawat (Manajemen memperbaharui

kebijakan secara berkala dan juga mensosialisasikan

kebijakan kompensasi secara jelas mengenai peraturan,

bonus tahunan, tunjangan perawat dengan masa kerja

tertentu).

Peningkatan Komunikasi atau dialog antar perawat

(mengadakan rapat-rapat koordinasi antara kepala

keperawatan dengan para perawat pelaksana masing-

masing unit secara rutin

Melakukan sosialisasi informasi mengenai kebijakan

baru, penyampaian informasi mengenai keadaan

RS, pencapaian target RS setiap bulan

Untuk Kepala Ruangan

Mengadakan acara bersama untuk menyambut

kedatangan perawat baru dengan unit yang bersangkutan

dilakukan setiap 3 bulan sekali.

Meningkatkan komunikasi dengan perawat dengan

cara membuka kesempatan dan memfasilitasi perawat

untuk mengeluarkan pendapat pada saat rapat

koordinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Andini, Rita. 2006. Analisis Pengaruh Kepuasan Gaji, Kepuasan Kerja, Komitmen

Organisasional Terhadap Turnover Intention (Studi Kasus Pada Rumah Sakit

Roemani Muahmmadiyah Semarang), Tesis Universitas Diponogoro

Semarang.

Allen, N, J . Meyer, J.P. 1990. The Measurement and Antecedents of Affectuve, Continuance, and Normatif Commitment to the Organization. Journal of Occupational

Psychology. Vol.63. No.1. 1-18. Canada.

Allen, N. J.Meyer. J. P. 2004. TCM Employee Commitment Survey Academic Users Guide. London: University of Western Ontario.

Brough, P. Frame, R. 2004. Predicting Police Job Satisfaction and Turnover Intention: The role

of Social Support and Police Organizational Variabels. New Zealand Journal of Psychology, 33(1), 8-17.

Cameron. K S. Quinn. R.E. 2006. Diagnosing and Changing Organizational Culture: Based on

The Competing Values Framework (Revised ed). San Francisco. CA: Jossey-Bass.

Cameron, KS. Freeman, Sarah. 1991. Cultural Congruence, Strenght, and Type: Relationship to

Effectiveness. http://webuser.bus.umich.edu/cameronk/PDFs/Organizational%20Culture/C

ultural%20Congruence.pdf, diakses 12 Juni 2015.

Fahmi, Irham. 2013. Perilaku Organisasi Teori Aplikasi dan Kasus. ALFABETA Bandung. Gillies. 2000. Manajemen Keperawatan sebagai pendekatan System. W.B Saunders

Company.Philadelphia.USA.

Guntur, Ria, Mardiana, Yusuf. Haerani, Siti. Hasan, Muhlis. 2012. The Influence of Affective, Continuance and Normatif Commitments on The Turnover Intentions Of Nurses

at Makassar’s Private Hospitals In Indonesia. African Journal of Business

Management Vol. 6. http://www.academicjournals.org/AJBM. Diakses 9 Juni 2015.

Hyun Tae, Jae San Park, Kim. 2009. Do types of organizational culture matter in nurse job

satisfaction and turnover intention? Leadership in health services. http://search.proquest.com, diakses 10 Maret 2015.

Indriyani, Susila.2014. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Keinginan Pindah Kerja

(Turnover Intention) Perawat di Rumah Sakit X di Balikpapan. Kessler, Ladelsky.2013. The Effect of Organizational Culture On it Employees Turnover in Israel.

Departement of Marketing. Faculty of Economics and Business Administration.

Bolyai University. Cluj-Napoca. Romania. Pitt, S.Jennele. 2009. Relationship Between Person – Organization Fit. Job Satisfaction.

Organizational Commitemnt and Turnover Intent Among State Vocational

Rehabilitation Counselors. Disertasi. Michigan State University. United State. Mahardika, Guntur. 2006. Pengaruh Person Organization Fit terhadap Kepuasan Kerja.

Komitmen Organisasional dan Kinerja Karyawan. Tesis.Studi pada RSI PKU

Muhammadiyah Pekalongan. Magister Manajemen Universitas diponogoro. Robbins, Stephen.P.1998.Organizational Behavior. 8th edition. New Jersey

Satrianegara, Fais. M. 2014. Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.Salemba Medika Jakarta.

Susila, Indriyani. 2014. Nalisis Faktor – Faktor yang berhubungan dengan Keinginan Pindah

Kerja (turnover Intention) Perawat RS.X di Balikpapan tahun 2014. Tesis.Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.

Sutrisno, Edi.2010. Budaya Organisasi. Kencana Prenada Media Group

Sugiyono.2013. Metode Penelitian Kuantitatif .Kualitatif dan R&D. Alfaabeta.Bandung. Sudrajat, Agus.Diwa. 2009. Aspek Hukum Praktik Keperawatan. Jurnal Kesehatan Stikesyani.

Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi. Andi.Yogyakarta.

Sumijatun. 2012. Membudayakan Etika dan Praktik Keperawatan. Salemba medika. Sumijatun. 2009. Manajemen Keperawatan.Trans Info Media. Jakarta

Undang – Undang RI Nomor 36. Tentang Tenaga Kesehatan.2014.

Undang – Undang RI Nomor 38. Tentang Keperawatan.2014. Vandenberghe, Christian.1999. Organizational Culture. Person-Culture Fit and Turnover: A

Replication in the Health Care. Journal of Organizational Behavior.Canada.

Vandenberghe, Cristian. Tremblay.Michael. 2008. The Role of Pay Satisfaction and Organizational Commitment in Turnover Intentions: A Two-Sample Study.Canada.

Widyastuti, Chrysanti Hana. 2009 .Hubungan Budaya Organisasi Dengan Komitmen

Organisasi Pada Perawat Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum. Skripsi. www.Eprints.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 12 Februari 2015.

Yasin, Mahmuddin. 2014. Organisasi Manajemen Leadership. Expose (PT Mizan Publika).

Jakarta.

Page 45: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 212

Tabel 1. Analisis Korelasi dan Regresi Budaya Organisasi dan komitmen Organisasi

dengan Turnover Intention (Keinginan Tidak Pindah)

Tabel 2. Uji Asumsi Analisis Regresi Linier Ganda Hubungan antara Budaya

organisasi, Komitmen Organisasi dengan Keinginan Tidak Pindah

No. Uji Asumi Hasil Standar Keterangan

1

Eksistensi Mean :

Standar Deviasi

0,000 2,952

0,00000

Terpenuhi

2

Independensi/Goodness of Fit

Durbin Watson

1,882

-2 s.d +2

Terpenuhi

3 Linieritas : Anova

0,0000 < 0,05 Terpenuhi

4

Multicolleniarity

VIF :

a. Tipe Klan

b. Tipe Adhrokrasi

c. Tipe Pasar d. Komitmen Afektif

e. Komitmen Normatif

1,230 1,285

1,194

1,441 1,504

< 10

Terpenuhi

5

Homoscedascity (lihat gambar 1) Titik 1,tebaran tidak berpola

tertentu dan nilai standar

residual -1,764 s.d 1,875

Titik tebaran tidak berpola

tertentu atau nilai standar

residual -2 s.d. +2

Terpenuhi

Variabel r R2 Persamaan Garis P Value

Budaya klan 0,337 0,114

Keinginan tidak pindah = 19,9 + 0,71* skor budaya

klan

0,001

Budaya adhrokrasi 0,151 0,023

Keinginan tidak pindah = 24,3 + 0,4* skor budaya

adhrokrasi

0,130

Budaya pasar 0,27 0,072

Keinginan tidak pindah = 19,2 + 0,9* skor budaya

pasar

0,006

Budaya hierarki 0,32 0,103

Keinginan tidak pindah = 18,8 + 0,9* skor budaya

hierarki

0,001

Komitmen afektif 0,58 0,335

Keinginan tidak pindah = 15,3+ 1* skor komitmen

afektif

0,000

Komitmen normatif 0,51 0,258

Keinginan tidak pindah = 18,05+ 1,1* skor komitmen

normatif

0,000

Komitmen berkelanjutan 0,21

0,043 Keinginan tidak pindah = 23,1+ 0,6* skor

komitmen berkelanjutan

0,037

Gambar 1 Gambar 2

Erta Rahmawati., Analisis Hubungan Budaya Organisasi Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention Perawat

Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015

Page 46: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 213

No. Uji Asumi Hasil Standar Keterangan

6

Normalitas (lihat gambar 2) Data menyebar disekitar garis diagonal dan

mengikuti arah garis

diagonal

Data menyebar disekitar garis diagonal dan

mengikuti arah garis

diagonal

Terpenuhi

Tabel 3. Model Akhir Analisis Multivariat

Model

Unstandardized Coefficients Standardized

Coefficients Sig. r R

square B Std. Error Beta

(Constant) 9.427 3.325 .006 0,655 0,430

Budaya klan .304 .180 .144 .095

Budaya adhrokrasi -.331 .219 -.133 .133

Budaya pasar .414 .269 .130 .127

Komitmen afektif .679 .159 .395 .000

Komitmen normatif .583 .204 .271 .005

Page 47: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 214

Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service

Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA

Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015

Analysis of Relations Time Services and Total Quality Service Factor To Patient

Satisfaction in Obstetrics and Gynecology Clinic of RSIA Anugerah Medical Centre Metro

City 2015

Fitriyuli Mayasari

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Pelayanan rawat jalan merupakan salah satu Unit kerja di rumah sakit yang melayani pasien dengan berobat jalan

termasuk seluruh prosedur diagnostik serta terapeutik. Waktu tunggu merupakan salah satu hal penting yang akan

menentukan citra awal pelayanan rumah sakit. Salah satu alat untuk mengidentifikasi kebutuhan konsumen rumah

sakit adalah dengan Total Quality Service (TQS). Kepuasan pasien merupakan faktor utama dan tolak ukur

keberhasilan rumah sakit yang diberikan kepada pelanggan yang berdampak jumlah kunjungan meningkat dan

pasien yang puas cenderung akan kembali. Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitatif dengan desain potong

lintang (cross sectional) dengan melakukan analisis korelasi yang menganalisa hubungan variabel dependen dan

variabel independen. Penelitian dilakukan dengan menghitung waktu tunggu poliklinik dan waktu pemeriksaan

dokter, kemudian dilakukan survey kuesioner TQS terhadap 135 responden. Hasil penelitian menyatakan bahwa

waktu tunggu poliklinik, waktu pemeriksaan dokter tidak mempengaruhi kepuasan pasien. Kualitas personil,

pelayanan administrasi, pengalaman perawatan medis, dan tanggung jawab sosial memiliki hubungan yang

signifikan dengan kepuasan pasien. Dan faktor tanggung jawab sosial merupakan variabel yang paling dominan

dan berpengaruh terhadap kepuasan pasien di RSIA AMC Metro.

Kata kunci: waktu tunggu, faktor Total Quality Service, kepuasan pasien.

ABSTRACT

Outpatient services is one of unit working in hospitals that serve patients with outpatient including all diagnostic

and therapeutic procedures. The waiting time is one important thing that will determine the initial image of

hospital services. One of the tools for identifying customer needs hospital is the Total Quality Service (TQS).

Patient satisfaction is a major factor and a measure of the success of the hospital which is given to customers who

impact the number of visits increased and patients are satisfied tend to be returned. This research is a quantitative

research with cross sectional design (cross-sectional) with correlation analysis to analyze the relationship the

dependent variable and independent variables. The study was conducted by calculating the waiting time and time

clinic doctor examination, then conducted a TQS questionnaire survey on 135 respondents. The study states that

the waiting time and the doctor’s examination time did not affect patient satisfaction. The quality of personnel,

administrative services, medical care experiences, and social responsibility has a significant relationship with

patient satisfaction. And the social responsibility factor is the most dominant variable and the effect on patient

satisfaction.

Keywords: waiting time, Total Quality Service factor, patient satisfaction.

Page 48: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 215

PENDAHULUAN

Rumah sakit dihadapkan pada tantangan besar untuk

meningkatkan kualitas pelayanan. Serta kemampuan

untuk menyediakan pelayanan berkualitas dan tidak

mengabaikan efisiensi biaya operasional adalah

merupakan tantangan internal bagi rumah sakit. Hal

tersebut juga berkaitan dengan kompleksitas dalam

pengelolaan tenaga-tenaga medis yang mempunyai

otoritas tinggi dalam bekerja. Sedangkan tantangan

eksternal berhubungan dengan terjadinya perubahan

lingkungan bisnis rumah sakit yang cepat dan dinamis

sebagai akibat dari adanya globalisasi, dan perubahan

regulasi yang mempengaruhi standar mutu pelayanan

rumah sakit. Agar rumah sakit mampu melaksanakan

fungsi yang sedemikian kompleks, rumah sakit harus

memiliki sumber daya yang profesional. Rumah sakit

mempunyai tanggung jawab terhadap mutu pelayanan

diantaranya adalah rekruitmen terhadap sumber daya

manusia yang mempunyai kompetensi dan jumlah yang

cukup untuk memenuhi kriteria pelayanan kesehatan

rumah sakit. Kepuasan muncul dari kesan pertama

pasien saat mendapatkan pelayanan rumah sakit dan

pencapaian yang besar dapat terletak pada tindakan-

tindakan kecil yang konsisten dilakukan rumah sakit.

Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan

tingkat sosial-ekonomi masyarakat, maka tuntutan

terhadap pelayanan kesehatan juga semakin meningkat.

Jumlah sarana pelayanan kesehatan telah memperketat

persaingan antara sarana pelayanan kesehatan baik milik

pemerintah maupun swasta. Persaingan yang terjadi

tidak hanya dari sisi teknologi pemeriksaan, akan tetapi

persaingan yang lebih berat yaitu persaingan dalam

pelayanan kesehatan yang berkualitas (Ahmed, 2011).

Pelayanan rawat jalan merupakan salah satu unit kerja di

rumah sakit yang melayani pasien dengan berobat jalan

dan tidak lebih dari 24 jam pelayanan, termasuk seluruh

prosedur diagnostik serta terapeutik. Pelayanan rawat

jalan adalah pelayanan kedokteran yang disediakan

untuk pasien tidak dalam bentuk rawat inap. Rawat jalan

adalah cerminan dari suatu pelayanan yang diterima

pelanggan dari rumah sakit (Donovan, 1994).

Salah satu alat untuk mengidentifikasi kebutuhan

konsumen rumah sakit adalah dengan Total Quality

Service (TQS). Untuk menjawab masalah kepercayaan

masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan dalam

pengelolaan rumah sakit di Indonesia agar dapat memperbaiki

kinerja serta meningkatkan dan mempertahankan kualitas

pelayanan kesehatan adalah dengan menerapkan konsep

Total Quality Service (TQS). Konsep TQS

dikembangkan untuk menjamin bahwa produk atau jasa

yang dihasilkan dapat memuaskan kebutuhan konsumen.

TQS memfokuskan pada pelanggan yang ikut dilibatkan

pada pengembangan proses pelayanan jasa sedini mungkin.

Menurut Heizer dan Render (2005), TQS merupakan

suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang

mencoba memaksimumkan daya saing organisasi

melalui perbaikan terus-menerus atau produk jasa,

manusia, proses dan lingkungannya. TQS menekankan

pada komitmen manajemen untuk memiliki keinginan

yang berkesinambungan bagi perusahaan untuk

mencapai kesempurnaan di segala aspek barang dan jasa

yang penting bagi konsumen. Para peneliti terdahulu

belum ada yang menyodorkan konsep dan alat yang bisa

digunakan untuk menilai kendala-kendala potensial

penerapan TQS. Pada penelitan Andaleeb (1998) yang

telah melakukan penelitian terhadap para manajer di

Hongkong untuk mengetahui kendala-kendala potensial

penerapan TQS. Langkah awal yang dilakukan adalah

membuat daftar kendala potensial yang bersumber dari

literatur dan dipadu dengan wawancara terhadap para

konsultan dan para praktisi bisnis berkualitas. Daftar

tersebut kemudian didiskusikan untuk menemukan

kendala-kendala potensial penerapan TQS. Lalu

melakukan pengembangan alat untuk mengukur dan

memperkirakan keberadaan kendala-kendala potensial

penerapan TQS yang ada di rumah sakit.

Kepuasan pasien merupakan faktor utama dan merupakan

tolak ukur keberhasilan sebagai hasil pelayanan yang

diberikan kepada pelanggan yang berdampak jumlah

kunjungan pasien meningkat, dan pasien yang puas akan

pelayanan cenderung akan kembali. Pemahaman yang

baik dari setiap petugas rumah sakit tentang kepuasan

pasien sehingga petugas akan memberikan layanan yang

sebaik-baiknya dan memberikan keputusan terhadap pasien

(Rowland, et al, 1992).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan yang dibuat

Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar

Pelayanan Minimal Rumah Sakit, standar minimal

rawat jalan adalah sebagai berikut:

1. Dokter yang melayani pada Poliklinik Spesialis

harus 100 % dokter spesialis.

Page 49: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 216

2. Rumah sakit setidaknya harus menyediakan pelayanan

klinik anak, klinik penyakit dalam, klinik kebidanan,

dan klinik bedah.

3. Jam buka pelayanan adalah pukul 08.00 – 13.00

setiap hari kerja, kecuali hari jumat pukul 08.00 –

11.00

4. Waktu tunggu untuk rawat jalan tidak lebih dari 60

menit

5. Kepuasan pelanggan lebih dari 90 %.

Rumah Sakit Ibu Anak Anugerah Medical Centre (RSIA

AMC) Kota Metro sesuai dengan Surat Keputusan

Kementerian Kesehatan dengan Nomor Penetapan Kelas

HK.03.05/I/1313/2011 termasuk dalam rumah sakit khusus

tipe C yang berlokasi di Jalan Kunang 15 Kota Metro

Propinsi Lampung. Tahun 2012 terdapat 11.932 pasien

rawat jalan, pada 2013 menjadi 10.928 pasien, dan

meningkat pada 2014 menjadi 16.096 pasien. Semula RSIA

AMC hanya melayani pasien umum, namun sejak Januari

2014 RSIA melayani pasien BPJS. Pasien Rawat jalan tahun

2014 terdiri atas pasien BPJS dan pasien umum dimana

jumlah pasien BPJS sebanyak 5.633 (35%). (Rekam Medik

RSIA AMC Kota Metro, 2012-2014). Masyarakat yang

menggunakan layanan kesehatan di Rumah Sakit Ibu dan

Anak Anugerah Medical Centre (RSIA AMC) Metro,

Lampung, tidak hanya berasal dari kota Metro dan sekitarnya

saja, tapi juga berasal dari kabupaten lain, mengingat RSIA

AMC merupakan rumah sakit khusus Ibu dan Anak satu-

satu nya yang ada di kota Metro.

Berdasarkan pengamatan peneliti dan wawancara tidak

terstruktur dengan pasien sebelum melakukan penelitian di

poliklinik Kebidanan dan Kandungan diketahui bahwa

pasien mengalami waktu tunggu yang memanjang lebih dari

ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, rata-rata pasien

menunggu lebih dari 60 menit.

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 44 Tahun 2009 pasal 1 tentang rumah sakit,

dikatakan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Pelayanan Rawat Jalan

Pelayanan rawat jalan menurut Keputusan Menteri

Kesehatan pada Nomor 560/SK/Menkes/SK/IV/2003

adalah tentang pelayanan pasien untuk observasi,

diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik dan pelayanan

kesehatan lainnya tanpa menginap di rumah sakit.

Pelayanan Rawat Jalan Ditinjau dari SPM

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan

Minimal Rumah Sakit, standar minimal rawat jalan

adalah sebagai berikut:

1. Dokter yang melayani pada Poliklinik Spesialis harus

100 % dokter spesialis.

2. Rumah sakit setidaknya harus menyediakan pelayanan

klinik anak, klinik penyakit dalam, klinik kebidanan, dan

klinik bedah.

3. Jam buka pelayanan adalah pukul 08.00 – 13.00 setiap

hari kerja, kecuai hari jumat pukul 08.00 – 11.00.

4. Waktu tunggu untuk rawat jalan tidak lebih dari 60

menit.

5. Kepuasan pelanggan lebih dari 90 %.

Waktu Tunggu

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesi

Nomor 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan

Minimal Rumah Sakit, dikatakan bahwa waktu tunggu

adalah waktu yang diperlukan mulai pasien mendaftar

sampai dilayani oleh dokter spesialis. Disebutkan pula

bahwa standar waktu tunggu pasien rawat jalan adalah

kurang dari atau sama dengan 60 menit.

Waktu Pelayanan

Waktu pelayanan menurut Aditya (2002), waktu

pelayanan adalah waktu minimal yang digunakan untuk

melayani pasien dari awal masuk tempat pendaftaran

sampai dengan pulang. Minimal sama dengan batas

waktu standar waktu yaitu 90 menit. Dengan pembagian

waktu: waktu tunggu pelayanan ≤ 60 menit, waktu

pemeriksaan dokter ≥15 menit, dan minimal 15 menit

untuk administrasi dan pengambilan obat. Menurut

Depkes RI (2007) yang dikutip oleh Sudarsono (2010),

standar waktu pelayanan dalam memeriksa pasien di ruang

periksa yaitu minimal 15 menit. Faktor pelayanan dibagi dua,

yaitu waktu tunggu dan waktu pemeriksaan, dalam waktu

pemeriksaan aspek dokter sangat mempengaruhi kepuasan

pasien.

Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik

Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015

Page 50: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 217

Penerapan Konsep Total Quality Service (TQS)

TQS adalah suatu proses dimana etos komitmen pelayanan

yang ditanamkan dalam perusahaan dimana hal tersebut

dengan sendirinya akan menggerakkan usaha para

karyawannya untuk mengembangkan serta menjaga

kualitas pelayanan mereka. Tujuan dari TQS adalah

membangun rasa memiliki dalam memberikan pelayanan

yang prima. Pihak perusahaan tidak hanya memperhatikan

kualitas pelayanannya, tetapi juga pihak manajemen harus

menentukan level dari kualitas tersebut (Zeithaml at, al, 2000

dalam Kosim 2004). TQS berfokus pada lima aspek

utama:

1. Fokus pada pelanggan (customer focus)

2. Keterlibatan total (total involvement)

3. Sistem pengukuran (measurement)

4. Dukungan sistematis (systematic support)

5. Perbaikan berkesinambungan

Karakteristik Pasien

Menurut Kotler dan Keller (2009), keputusan pembeli

dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Faktor karakteristik

pribadi tersebut meliputi usia, pekerjaan dan keadaan

ekonomi, kepribadian dan konsep diri, serta gaya hidup

dan nilai.

Kepuasan Pasien

Mengetahui kepuasan pasien atau pelanggan merupakan hal

yang penting bagi sebuah institusi pelayanan jasa khususnya

rumah sakit. Pelanggan yang puas akan memakai kembali

jasa layanan tersebut dan juga akan memberitahukan atau

mengajak orang lain.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik

dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif

untuk mendapatkan gambaran mengenai waktu tunggu

pasien dan faktor-fakto dari TQS yang mempengaruhi

kepuasan pasien. Desain penelitian yang digunakan

adalah desain cross sectional (potong lintang) dimana

pengumpulan data untuk variabel independen dan

variabel dependen dilakukan pada waktu yang sama.

Analisis yang digunakan adalah analisis korelasi dengan

menganalisa hubungan variabel independen dengan

variabel dependen. Penelitian dilakukan pada poliklinik

spesialis Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit Ibu

dan Anak Anugerah Medical Centre (RSIA AMC)

Kota Metro, mulai dari pasien datang ke ruang tunggu

poliklinik, kemudian diperiksa oleh dokter, dan sampai

selesai diperiksa oleh dokter. Pengumpulan data

dilakukan selama 1 minggu pada tanggal 3 Juni 2015

sampai dengan tanggal 9 Juni 201, mulai pukul 08.00

WIB hingga pukul 20.00 WIB. Populasi responden

adalah pasien yang berkunjung ke poliklinik spesialis

Kebidanan dan Kandungan RSIA AMC untuk dilakukan

pemeriksaan. Sehingga sampel pada penelitian ini adalah

berjumlah 135 orang. Jenis data yang dikumpulkan pada

penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunankan

form isian waktu tunggu pasien yang dibagi menjadi:

a. Waktu tunggu poliklinik

b. Waktu pemeriksaan dokter

Kemudian menggunakan form kuesioner TQS yang di

isi oleh responden setelah responden selesai dan keluar

dari ruang pemeriksan dokter. Teknik pengumpulan

data dilakukan dengan menghitung waktu tunggu pasien

di poliklinik dimulai sejak pasien datang di ruang tunggu

poliklinik sampai pasien dipanggil masuk ke ruang

pemeriksaan dokter. Kemudian dihitung juga waktu

pemeriksaan oleh dokter, dihitung mulai pasien masuk

kedalam ruang pemeriksaan dokter sampai pasien

keluar dari ruang pemeriksaan dokter. Waktu tunggu

poliklinik dan waktu pemeriksan dihitung secara menit

dengan menggunakan jam digital yang dipakai oleh

peneliti. Setelah keluar dari ruang pemeriksaan, pasien

akan mendapat lembar form kuesioner yang selanjutnya

akan di isi oleh responden tersebut. Pengolahan data

dilakukan dengan tahapan (1) editing data, (2) coding

(pemberian kode data), (3) processing (memasukkan

data), (4) cleaning (pembersihan data). Teknik yang

digunakan untuk menganilis data (Sugiyono,2007): (1)

analisis univariat, (2) analisis bivariat (3) analisis multivariat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Analisis Univariat

Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi

umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.

Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa responden dalam

kelompok usia yang lebih dari 25 tahun lebih banyak

dari pada responden dalam kelompok usia kurang dari

sama dengan 25 tahun. Responden yang berpendidikan

SMA ke bawah lebih banyak dari pada yang

berpendidikan setelah SMA. Responden yang tidak

Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik

Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015

Page 51: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 218

bekerja/IRT lebih banyak dari pada responden yang

bekerja. Distribusi responden berdasarkan pembiayaan

kesehatan tidak merata. Jumlah responden paling

banyak melakukan pembiayaan kesehatan sendiri

sebanyak 72 orang (53,3%). Sedangkan jumlah

responden yang pembiayaan kesehatannya melalui

BPJS/Askes ada 63 orang (46,7%).

a. Variabel Dependen

Berdasarkan tabel 2 didapatkan rata-rata kepuasan

pasien terhadap perawatan medis dan pengobatan

dokter sebesar 3,14. Hal tersebut menunjukkan

sebagian besar responden berpendapat bahwa

perawatan medis dan pengobatan dokter di RSIA

AMC baik dan paling berpengaruh terhadap

kepuasan pasien secara keseluruhan dibandingkan

dengan dimensi kepuasan lain. Sedangkan

kepuasan pasien yang paling rendah terdapat pada

dimensi perawatan medis oleh perawat yaitu

sebesar 2,98.

Indikator hasil ukur kepuasan pada penelitian

ini dibagi menjadi kategorik puas dan tidak

puas. Pembagian berdasarkan cut-off point nilai

median hasil penelitian. Dari tabel 3 menunjukkan

sebagian besar responden merasa puas. Jumlah

responden yang merasa puas sebanyak 110

orang (81,5%). Sedangkan jumlah responden

yang merasa tidak puas ada 25 orang (18,5%).

b. Variabel Independen

Berikut ini hasil ukur variabel independen yang

terdiri dari waktu tunggu pelayanan dan faktor-

faktor TQS yang mempengaruhi kepuasan

pasien yang dibagi menjadi dua kategori

berdasarkan cut off nilai median hasil penelitan,

yaitu kategori baik dan kategori buruk.

Hasil penelitian pada tabel 4 menunjukkan bahwa

lebih banyak responden yang menunggu lebih dari

60 menit. Jumlah responden yang menunggu

lebih dari 60 menit sebanyak 79 orang (58,5%).

Sedangkan jumlah responden yang menunggu

kurang dari sama dengan 60 menit ada 56 orang

(41,5%).

Sebagian besar responden diperiksa dokter

kurang dari 15 menit. Jumlah 130 orang

(96,3%). responden yang diperiksa dokter

kurang dari 15 menit sebanyak Sedangkan

jumlah responden yang diperiksa dokter lebih

dari sama dengan 15 menit hanya 5 orang

(3,7%).

Diketahui dari tabel 5 bahwa rata-rata waktu

tunggu poliklinik di RSIA AMC adalah 88,39

menit, dan rata-rata waktu pemeriksaan dokter

adalah 6,69 menit.

Sebagian besar responden merasa infrastruktur

rumah sakit baik. Jumlah responden yang merasa

infrastruktur rumah sakit baik sebanyak 101 orang

(74,8%). Sedangkan jumlah responden yang

merasa infrastruktur rumah sakit buruk ada 34

orang (25,2%).

Responden merasa proses pelayanan Berdasarkan

penelitian pada tabel 7 tampak sebagian besar

responden merasa kualitas personil rumah sakit

baik. Jumlah responden yang merasa kualitas

personil rumah sakit baik sebanyak 85 orang

(63%). Sedangkan jumlah responden yang

merasa kualitas personil rumah sakit buruk ada 50

orang (37%).

Pada tabel 8, hasil penelitian tampak hampir

semua klinis rumah sakit baik. Jumlah

responden yang merasa proses pelayanan

klinis rumah sakit baik sebanyak 129 orang

(95,6%). Sedangkan jumlah responden yang

merasa proses pelayanan klinis rumah sakit

buruk hanya 6 orang (4,4%).

Pada tabel 9, sebagian besar responden merasa

pelayanan administrasi rumah sakit baik.

Jumlah responden yang merasa pelayanan

administrasi rumah sakit baik sebanyak 101

orang (74,8%). Sedangkan jumlah responden

yang merasa pelayanan administrasi rumah

sakit buruk ada 34 orang (25,2%).

Hasil penelitian pada tabel 10 sebagian besar

responden merasa indikator keselamatan

rumah sakit baik. Jumlah responden yang

merasa indikator keselamatan rumah sakit baik

sebanyak 109 orang (80,7%). Sedangkan

jumlah responden yang merasa indikator

keselamatan rumah sakit buruk ada 26 orang

(19,3%).

Page 52: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 219

Dari hasi penelitian pada tabel 11, sebagian

besar responden merasa keseluruhan pengalaman

perawatan medis rumah sakit baik. Jumlah

responden yang merasa pengalaman perawatan

medis rumah sakit baik sebanyak 116 orang

(85,9%). Sedangkan jumlah responden yang

merasa pengalaman perawatan medis rumah

sakit buruk ada 19 orang (14,1%).

Tampak bahwa hampir semua responden

merasa tanggung jawab sosial rumah sakit

baik. Jumlah responden yang merasa tanggung

jawab sosial rumah sakit baik sebanyak 123

orang (91,1%). Sedangkan jumlah responden

yang merasa tanggung jawab sosial rumah

sakit buruk ada 12 orang (8,9%) (ditampilkan

dalam tabel 12).

2. Analisis Bivariat ( Uji Chi Square)

1. Hubungan Waktu Tunggu Poliklinik

dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC

Metro

Ada 64 orang (91%) yang merasa puas pada

mereka yang menunggu lebih dari 60 menit.

Sedangkan pada responden yang menunggu

kurang dari sama dengan 60 menit ada 46

orang (82,1%) yang merasa puas. Hasil uji

diperoleh niali OR (odds rasio) 1,08 artinya

waktu tunggu poliklinik yang baik memiliki

peluang untuk memberikan kepuasan pasien

sebesar 1,08 kali lebih besar dibandingkan

dengna waktu tunggu polilinik yang buruk.

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1 artinya

p.value ≤ alpha (0,05) maka dapat disimpulkan

hipotesis nol (Ho) diterima, dan Hipotesis

alternatif (Ha) ditolak atau tidak ada hubungan

yang signifikan antara waktu tunggu poliklinik

dengan kepuasan pasien (ditampilkan dalam

tabel 13).

2. Hubungan Waktu Pemeriksaan Dokter

dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC

Metro

Hasil analisis hubungan antara waktu pemeriksaan

dokter dengan kepuasan pasien diperoleh

bahwa ada 105 orang (80,8%) yang merasa

puas pada mereka yang diperiksa kurang dari

15 menit. Sedangkan pada responden yang

diperiksa lebih dari sama dengan 15 menit ada

5 orang (100%) yang merasa puas. Hasil uji

statistik diperoleh nilai p=0,584 artinya p value

> alpha (0,05) maka dapat disimpulkan

hipotesis nol (Ho) diterima, dan hipotesis

alternatif (Ha) ditolak atau tidak ada hubungan

yang signifikan antara waktu pemeriksaan

dokter dengan kepuasan pasien (ditampilkan

dalam tabel 14).

3. Hubungan Infrastruktur dengan Kepuasan

Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara infrastruktur

dengan kepuasan pasien diperoleh bahwa ada

25 orang (73,5%) yang merasa puas pada

mereka yang merasa infrastruktur rumah sakit

buruk. Sedangkan pada responden yang

merasa infrastruktur rumah sakit baik ada 85

orang (84,2%) yang merasa puas. Hasil uji

diperoleh nilai OR = 1,91 artinya infrastruktur

yang baik memiliki peluang untuk memberikan

kepuasan pasien sebesar 1,91 kali lebih besar

dibandingkan dengan infrastruktur yang buruk

di RSIA AMC Metro. Hasil uji statistik

diperoleh nilai p=0,261 artinya p value > alpha

(0,05) maka dapat disimpulkan tidak ada

perbedaan proporsi kepuasan pelanggan antar

infrastruktur, yang artinya hipotesis nol (Ho)

diterima, dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak

atau tidak ada hubungan yang signifikan antara

infrastruktur dengan kepuasan pasien

(ditampilkan dalam tabel 15).

4. Hubungan Kualitas Personil dengan

Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara kualitas personil

dengan kepuasan pasien diperoleh bahwa ada

32 orang (64%) yang merasa puas pada

mereka yang merasa kualitas personil rumah

sakit buruk. Sedangkan pada responden yang

merasa kualitas personil rumah sakit baik ada

78 orang (91,8%) yang merasa puas. nilai

OR=6,268, artinya responden yang merasa

kualitas personil rumah sakit baik memiliki

peluang 6,268 kali untuk merasa puas

dibanding responden yang merasa kualitas

personil rumah sakit buruk. Hasil uji statistik

diperoleh nilai p=0,0001 artinya p value ≤

Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik

Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015

Page 53: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 220

alpha (0,05) maka dapat disimpulkan Ho

ditolak, dan Ha diterima atau ada hubungan

yang signifikan antara kualitas personil dengan

kepuasan pasien (ditampilkan dalam tabel 16).

5. Hubungan Pelayanan Klinis dengan

Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara proses pelayanan

klinis dengan kepuasan pasien diperoleh

bahwa ada 4 orang (66,7%) yang merasa puas

pada mereka yang merasa proses pelayanan

klinis rumah sakit buruk. Sedangkan pada

responden yang merasa proses pelayanan

klinis rumah sakit baik ada 106 orang (82,2%)

yang merasa puas. Hasil uji diperoleh nilai OR

= 2,30 artinya pelayanan klinis yang baik

memiliki peluang untuk memberikan kepuasan

pasien sebesar 2,30 kali lebih besar dibandingkan

dengan pelayanan klinis yang buruk di RSIA

AMC Metro. Hasil uji statistik diperoleh nilai

p=0,308 artinya p value > alpha (0,05) maka

dapat disimpulkan Ho diterima, dan Ha ditolak

atau tidak ada hubungan yang signifikan antara

pelayanan klinis dengan kepuasan pasien

(ditampilkan dalam tabel 17).

6. Hubungan Antara Pelayanan Administrasi

dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC

Metro

Hasil analisis hubungan pada tabel 18 antara

pelayanan administrasi dengan kepuasan

pelanggan diperoleh bahwa ada 22 orang

(64,7%) yang merasa puas pada mereka yang

merasa pelayanan administrasi rumah sakit

buruk. Sedangkan pada responden yang

merasa pelayanan administrasi rumah sakit

baik ada 88 orang (87,1%) yang merasa puas.

Hasil uji nilai OR=3,70, artinya responden

yang merasa pelayanan administrasi rumah

sakit baik memiliki peluang 3,70 kali untuk

merasa puas dibanding responden yang

merasa pelayanan administrasi rumah sakit

buruk. Uji statistik diperoleh nilai p=0,008

artinya p value ≤ alpha (0,05) maka dapat

disimpulkan Ho ditolak, dan Ha diterima atau

ada hubungan yang signifikan antara

pelayanan administrasi dengan kepuasan

pasien di RSIA AMC Metro.

7. Hubungan Indikator Keselamatan dengan

Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara indikator

keselamatan dengan kepuasan pelanggan

diperoleh bahwa ada 19 orang (73,1%) yang

merasa puas pada mereka yang merasa

indikator keselamatan rumah sakit buruk.

Sedangkan pada responden yang merasa

indikator keselamatan rumah sakit baik ada 91

orang (83,5%) yang merasa puas. Hasil uji nilai

OR=1,86, artinya responden yang merasa

indikator keselamatan rumah sakit baik

memiliki peluang 1,86 kali untuk merasa puas

dibanding responden yang merasa indikator

keselamatan rumah sakit buruk. Hasil uji

statistik diperoleh nilai p=0,261 artinya p value

> alpha (0,05), maka dapat disimpulkan Ho

diterima, dan Ha ditolak atau tidak ada

hubungan yang signifikan antara indikator

keselamatan dengan kepuasan pasien

(ditampilkan dalam tabel 19).

8. Hubungan Pengalaman Perawatan Medis

dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC

Metro

Hasil analisis hubungan antara pengalaman

perawatan medis dengan kepuasan pelanggan

diperoleh bahwa ada 10 orang (52,6%) yang

merasa puas pada mereka yang merasa

pengalaman perawatan medis rumah sakit

buruk. Sedangkan pada responden yang

merasa pengalaman perawatan medis rumah

sakit baik ada 100 orang (86,2%) yang merasa

puas (ditampilkan dalam tabel 20).

9. Hubungan Tanggung Jawab Sosial dengan

Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro

Dari tabel 21 hasil analisis hubungan antara

tanggung jawab sosial dengan kepuasan

pelanggan diperoleh bahwa ada 3 orang (25%)

yang merasa puas pada mereka yang merasa

tanggung jawab sosial rumah sakit buruk.

Sedangkan pada responden yang merasa

tanggung jawab sosial rumah sakit baik ada

107 orang (87%) yang merasa puas. Dari hasil

analisis diperoleh nilai OR=20,06, artinya

responden yang merasa tanggung jawab sosial

Page 54: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 221

rumah sakit baik memiliki peluang 20,06 kali

untuk merasa puas dibanding responden yang

merasa tanggung jawab sosial rumah sakit

buruk. Hasil uji statistik diperoleh nilai

p=0,0001 artinya p valeu ≤ alpha (o,05) maka

dapat disimpulkan Ho ditolak, dan Ha diterima

atau ada hubungan antara tanggung jawab

sosial dengan kepuasan pasien di RSIA AMC

Metro.

3. Analisis Multivariat

Variabel yang dominan dan paling berpengaruh

terhadap kepuasan pasien dapat dilihat pada ada

tabel 21 dengan menilai interpretasi dari nilai OR.

Sehingga dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Responden yang merasa tanggung jawab

sosial rumah sakit baik memiliki peluang 57,34

kali untuk merasa puas dibanding responden

yang merasa tanggung jawab sosial rumah

sakit buruk.

2. Responden yang merasa kualitas personil

rumah sakit baik memiliki peluang 14,98 kali

untuk merasa puas dibanding responden yang

merasa kualitas personil rumah sakit buruk.

3. Responden yang merasa pengalaman

perawatan medis rumah sakit baik memiliki

peluang 2,90 kali untuk merasa puas dibanding

responden yang merasa pengalaman perawatan

medis rumah sakit buruk.

Karakteristik Responden

Umur penting dalam suatu penelitian kepuasan. Seiring

bertambahnya usia maka pengalaman juga bertambah.

Usia lebih dari 25 tahun merupakan suatu periode

kehidupan seseorang yang telah berkembang matang.

Pasien yang muda biasanya memberikan kerjasama

yang baik, karena mereka memang dalam suatu masa

yang sedang berkembang dan menyesuaikan terhadap

berbagai macam hubungan dan perkembangan tanggung

jawab. Dari hasil penelitian ini responden dalam

kelompok usia lebih dari 25 tahun lebih banyak dari pada

responden dalam kelompok usia kurang dari sama

dengan 25 tahun. Melihat usia yang dimiliki responden

tersebut menunjukkan bahwa responden telah mampu

untuk menilai mana pelayanan yang memuaskan dan

mana pelayanan yang tidak memuaskan di RSIA

AMC.

Pendidikan dan pengetahuan yang tinggi menuntut

pelayanan yang lebih baik. Pendidikan pasien dapat

mempengaruhi kepuasan akan pelayanan sesuai dengan

nilai-nilai dan harapan pasien (Handayani, 2003).

Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin pasien

kurang menunjukkan penyesuaian diri dengan

informasi yang diperoleh dan kebiasaan rutin di rumah

sakit. Sebaliknya, semakin rendah pendidikan maka

pasien akan semakin patuh (Kosim, 2015). Responden

dalam penelitian ini lebih banyak yang berpendidikan

SMA kebawah daripada berpendidikan setelah SMA.

Jumlah yang berpendidikan SMA kebawah ada 74

orang, sedangkan jumlah responden yang berpendidikan

setelah SMA ada 61 orang.

Dari hasil penelitian, dilihat dari pekerjaan responden,

lebih banyak yang tidak berkerja atau ibu rumah tangga.

Jumlah responden yang tidak bekerja ada 91 orang, dan

responden yang bekerja ada 44 orang. Hal ini tentu

mempengaruhi pola pikir responden dalam memberikan

penilaian berdasarkan perbandingan antara persepsi

dengan informasi yang diperoleh (Kosim, 2015).

Dari hasil penelitian, dilihat dari pembiayaan kesehatan,

ada 63 responden yang melakukan pembayaran dengan

BPJS/Askes, dan ada 72 responden dengan biaya

sendiri. Penghasilan dapat mempengaruhi kepuasan

pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Bagi

pasien yang berpenghasilan tinggi dan merasa mampu

membayar maka tidak akan mudah merasa puas bila

pelayanan sesuai dengan harapannya, terkadang mereka

lebih banyak menuntut. Sedangkan pasien dengan

pembiayaan kesehatan murah cenderung tidak banyak

keluhan (Handayani, 2003).

Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah

Sakit Secara Keseluruhan di RSIA AMC Metro

Dari hasil penelitian, sebagian besar responden di

poliklinik kebidanan dan kandungan RSIA AMC

merasa puas terhadap pelayanan rumah sakit secara

keseluruhan. Ada 81,5% responden yang merasa puas,

dan 18,5% responden yang merasa tidak puas. Sebagian

besar pasien merasa puas terhadap pelayanan rumah

sakit secara keseluruhan, hal ini bisa saja dipengaruhi

oleh kondisi psikologis pasien atau ibu yang sedang

hamil saat memeriksakan kandungannya di poliklinik

RSIA AMC. Kehamilan merupakan dambaan sebagian

besar pasangan yang menikah “Happy babies begin

with happy pregnancy”, menyangkut hal itu terdapat

Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015

Page 55: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 222

penelitian yang membuktikan bahwa kondisi psikologi

dan emosi seorang ibu hamil sangat berpengaruh

terhadap pertumbuhan janin dalam kandungannya.

Kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit secara

keseluruhan pada penelitian ini adalah menilai indikator-

indikator sebagai berikut :

1. Kepuasan terhadap perawatan medis dan juga

pengobatan yang diberikan oleh dokter menempati

urutan tertinggi dalam rata-rata penilaian kepuasan

pasien, yaitu 3,14. Menurut Umar (1999), kepuasan

pelanggan adalah tingkat perasaan pelanggan setelah

membandingkan dengan harapannya. Seorang yang

merasa puas terhadap nilai yang diberikan oleh

produk atau jasa kemungkinan besar akan menjadi

pelanggan dalam waktu lama. Dari hasil penelitian, di

RSIA AMC ada tiga dokter spesialis obgyn yang

praktek, dan masing-masing dokter telah mendapat

hati dari tiap-tiap pasien. Responden sudah merasa

nyaman berobat dengan dokter spesialis obgyn

tersebut, karena menurut pandangan pasien dokter

tersebut berkompeten, melayani pasien dengan baik,

mampu berkomunikasi yang efektif dan mudah

dipahami oleh pasien.

2. Indikator yang kedua pasien menilai kepuasan

dalam hal kenyamanan yang dihubungkan dengan

lingkungan rumah sakit. Penilaian rata-rata pasien

adalah 3,06. Menurut Jacobalis (2009) kenyamanan

dan kemudahan fasilitas dan lingkungan dapat

mempengaruhi kepuasan pasien. Dari hasil

penelitian RSIA AMC Metro menurut pasien

sudah cukup bersih dan rapih, lokasi RS yang tidak

dipinggir jalan utama membuat suasana yang

nyaman dan tidak bising. Akses yang mudah

dicapai juga merupakan salah satu nilai jual bagi

RSIA AMC.

3. Yang ketiga yaitu kepuasan yang melibatkan proses

di rumah sakit (misalnya pendaftaran, perawatan,

waktu tunggu, pengobatan, pemulangan). Rata-rata

responden menilai proses administrasi yaitu 2,99.

Pelayanan administrasi merupakan salah satu

indikator penting dalam mempengaruhi kepuasan

pasien. Dari hasil penelitian, pelayanan yang

melibatkan administrasi pasien ditangani dengan

segera, dan tidak berbelit-belit. Pasien pun mudah

dalam membutuhkan informasi melalui telefon.

Menurut Kotler dan Keller 2009 dalam Kosim

2015, apabila responden menilai pelayanan

administrasi yang diberikan baik, maka kualitas

pelayanan akan dipersepsikan baik dan memuaskan.

4. Indikator yang paling rendah menurut penilaian

responden adalah kepuasan terhadap perawatan

medis yang diberikan oleh perawat. Rata- rata

penilaian responden adalah 2,98. Dari hasil

penelitian, responden mengungkapkan bahwa ada

perawat yang kurang ramah, kurang telaten, dan

kurang dalam memberikan perhatian kepada

pasien. Adapun kepuasan pasien dapat dipengaruhi

oleh kepuasan yang berorientasi pada penerapan

kode etik dan standar pelayanan, salah satunya

meliputi hubungan antara perawat dan pasien

(Azwar, 1994). Kepuasan dan ketidakpuasan

layanan rumah sakit juga erat kaitannya dengan

perawat dan petugas lain di rumah sakit (Jacobalis,

2009).

Hubungan Waktu Tunggu Poliklinik dengan

Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara waktu tunggu poliklinik

dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada 64

orang (91%) yang merasa puas pada mereka yang

menunggu lebih dari 60 menit. Sedangkan pada

responden yang menunggu kurang dari sama dengan 60

menit ada 46 orang (82,1%) yang merasa puas. Hasil uji

statistik diperoleh nilai p=1 maka dapat disimpulkan

tidak ada hubungan yang signifikan antara waktu

tungggu poliklinik dengan kepuasan pelanggan. Dalam

penelitian ini meskipun waktu tunggu lama, namun

didapatkan pasien yang tetap merasa puas, hal ini

disebabkan karena pasien sudah ada pengalaman

sebelumnya, pasien sudah pernah berobat atau dirawat

sehingga sudah dapat merasakan pelayanan yang

diberikan oleh rumah sakit baik itu dari perawat maupun

dokter dan sudah merasa cocok dengan dokter spesialis

yang memeriksa. Kepuasan pada aspek komunikasi

pada konsultasi sangat mempengaruhi aspek lain dari

interaksi antara tenaga kesehatan dengan pasien. Namun

demikian pihak manajemen rumah sakit juga perlu

melakukan perbaikan waktu tunggu yang lama ini

dengan membuat kebijakan dan teguran lisan kepada

dokter spesialis supaya memperbaiki jadwal praktek

dengan lebih disiplin dan tepat waktu, supaya pasien

tidak lama menunggu dan juga untuk meningkatkan

mutu pelayanan rumah sakit. Dalam hal waktu tunggu,

dari penelitian petugas atau perawat kurang berinteraksi

dengan pasien yang sedang dalam masa tunggu, dengan

kondisi seperti itu maka akan menyebabkan lama

pelayanan kesehatan dianggap kurang bermutu

(Syafruddin, 2011).

Page 56: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 223

Hubungan Waktu Pemeriksaan Dokter Dengan

Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara waktu pemeriksaan

dokter dengan kepuasan pasien diperoleh bahwa ada

105 orang (80,8%) yang merasa puas pada mereka yang

diperiksa kurang dari 15 menit. Sedangkan pada

responden yang diperiksa lebih dari sama dengan 15

menit ada 5 orang (100%) yang merasa puas. Hasil uji

statistik diperoleh nilai p=0,584 artinya p value > alpha

(0,05) maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan

yang signifikan antara waktu pemeriksaan dokter

dengan kepuasan pasien di RSIA AMC Metro. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pasien yang merasa

puas pada waktu pemeriksaan dokter buruk (<15 menit)

menganggap dokter spesialis yang memeriksa mereka

telah memberikan pelayanan dan penjelasan dengan

ramah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Kurniawan (2012) yang meneliti

tentang lama waktu pemeriksaan di poliklinik spesialis,

bahwa tidak ada hubungan antara lama waktu

pemeriksaan dokter dengan kepuasan pasien. Hasil yang

tidak signifikan antara waktu pelayanan dengan kepuasan

pasien dapat dijelaskan sebagai berikut, dimana kepuasan

adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang

muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya

terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-

harapannya (Kotler, 1997), jadi dapat dikatakan pasien

yang merasakan waktu pemeriksaan dokter kurang

lama namun tetap merasa puas karena perasaan puas

seseorang itu berbeda-beda dan dipengaruhi oleh persepsi

dan kesan mereka setelah medapatkan pelayanan. Dalam

hal ini pasien sudah merasa nyaman dan cocok dengan

dokter yang memeriksa, dan hal tersebut sesuai dengan hasil

penelitian ini tentang dimensi kepuasan pasien yang paling

tinggi di RSIA AMC adalah pada dimensi perawatan medis

dan pengobatan oleh dokter. Kemudian dapat juga

dihubungkan dengan karakteristik pasien, dimana

karakteristik individu merupakan determinan dan indikator

kualitas pelayanan kesehatan dan mempengaruhi

kepuasan pasien. Dari penelitian ini pendidikan responden

lebih banyak yang berpendidikan ≤ SMA, pendidikan juga

akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap

pelayanan kesehatan, semakin rendah pendidikan maka

pasien akan semakin patuh (Kosim, 2015)

Hubungan antara Infrastruktur dengan Kepuasan

Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara infrastruktur dengan

kepuasan pasien diperoleh bahwa ada 25 orang (73,5%)

yang merasa puas pada mereka yang merasa infrastruktur

rumah sakit buruk. Sedangkan pada responden yang

merasa infrastruktur rumah sakit baik ada 85 orang

(84,2%) yang merasa puas. Hasil uji statistik diperoleh

nilai p=0,261 artinya p value > alpha (0,05) maka dapat

disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara

infrastruktur dengan kepuasan pasien.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang

mengaku tidak puas pada infrastruktur buruk, mereka

beranggapan bahwa infrastruktur mengenai tempat

pendaftaran terletak jauh dari poliklinik dan sarana

lainnya, serta menyebrangi jalan yang dilalui oleh

kendaraan umum.

Hubungan Kualitas Personil dengan Kepuasan

Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara kualitas personil dengan

kepuasan pasien diperoleh bahwa ada 32 orang (64%)

yang merasa puas pada mereka yang merasa kualitas

personil rumah sakit buruk. Sedangkan pada responden

yang merasa kualitas personil rumah sakit baik ada 78

orang (91,8%) yang merasa puas. Hasil uji statistik

diperoleh nilai p=0,0001 maka dapat disimpulkan ada

hubungan yang signifikan antara kualitas personil

dengan kepuasan pasien. Dari hasil penelitian,

berdasarkan 14 pertanyaan yang diberikan, responden

yang menilai kualitas personil kurang baik paling banyak

pada dimensi pertanyaan waktu konsultasi dan periksa

oleh dokter cukup lama. Hal ini juga sesuai dengan hasil

penelitian ini yang menunjukkan bahwa waktu

pemeriksaan dokter memberi hasil paling banyak pada

waktu pemeriksaan < 15 menit. Pasien yang mengaku

puas pada kualitas personil buruk menganggap waktu

konsultasi dan pemeriksaan dokter yang kurang lama,

namun pasien tetap datang ke RSIA AMC karena

menganggap dokter yang memeriksa mereka adalah

dokter yang kompeten dan terampil, serta menjelaskan

diagnosa dengan jelas.

Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik

Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015

Page 57: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 224

Hubungan Proses Pelayanan Klinis dengan Kepuasan

Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara proses pelayanan klinis

dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa 66,7%

responden yang merasa puas pada mereka yang merasa

proses pelayanan klinis rumah sakit buruk. Dan 82,2%

responden merasa puas pada proses pelayanan klinis

rumah sakit baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai

p=0,308 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan

yang signifikan antara proses pelayanan klinis dengan

kepuasan pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa pasien yang mengaku puas pada pelayanan klinis

buruk menganggap bahwa informasi penyakit tidak

diberikan secara detail namun mereka tetap merasa puas

karena sudah nyaman dengan dokter yang memeriksa.

Sehingga mereka tetap kembali berobat ke RSIA AMC

dengan memilih dokter yang sesuai dengan kenyamanan

pasien. Meskipun demikian tentunya hal yang membuat

ketidakpuasan pasien dalam hal proses pelayanan klinis

harus tetap di evaluasi oleh rumah sakit, dokter perlu

memberikan waktu untuk memberikan penjelasan

penyakit atau kondisi pasien dengan detail supaya pasien

jelas akan kondisinya, peran perawat pun sangat penting

dalam membantu dokter yaitu dengan selalu

mendampingi dokter pada saat pemeriksaan pasien serta

bersikap sabar dan perhatian terhadap pasien, sehingga

pasien merasa diperhatikan dan dilayani dengan baik.

Hubungan Pelayanan Administrasi dengan

Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara pelayanan administrasi

dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada

64,7% yang merasa puas pada mereka yang merasa

pelayanan administrasi rumah sakit buruk. Dan 87,1%

responden yang merasa pelayanan administrasi rumah

sakit baik yang merasa puas. Hasil uji statistik diperoleh

nilai p=0,008 maka dapat disimpulkan ada hubungan

antara pelayanan administrasi dengan kepuasan

pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien

yang mengaku puas pada pelayanan administrasi yang

buruk menjawab tentang tidak mudah untuk melakukan

perjanjian dengan dokter spesialis, namun mereka tetap

merasa puas karena mendapatkan pelayanan proses

administrasi yang cepat.

Proses administrasi adalah persiapan baik untuk masuk,

selama dalam perawatan, maupun pemulangan pasien.

tanggapan responden terhadap pelayanan administrasi

pada penelitian ini yaitu prosedur pendaftaran dan

pemulangan relatif cepat. Proses pelayanan administrasi

tidak berbelit-belit.

Bagian penerimaan pasien di rumah sakit mempunyai

pengaruh dan nilai penting walaupun belum ada

tindakan-tindakan pelayanan medis khusus kepada

pasien. Kesan pertama akan memberikan arti tersendiri

bagi pasien untuk melalui proses selanjutnya. Dalam hal

kemudahan membuat perjanjian dengan dokter, pihak

manajemen mungkin perlu menyediakan kemudahan

layanan berupa sistem pendaftaran dengan appointment.

Sehingga pasien dapat memilih waktu dan dokter yang

sesuai dengan keinginan mereka. Tentunya dokter

spesialis pun harus mendukung dan berkomitmen pada

jadwal yang telah ditentukan.

Hubungan Indikator Keselamatan dengan Kepuasan

Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara indikator keselamatan

dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada

73,1% yang merasa puas pada mereka yang merasa

indikator keselamatan rumah sakit buruk. Sedangkan

pada responden yang merasa indikator keselamatan

rumah sakit baik ada 83,5% yang merasa puas. Hasil uji

statistik diperoleh nilai p=0,261 artinya p value > alpha

(0,05), maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan

yang signifikan antara indikator keselamatan dengan

kepuasan pasien di RSIA AMC. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara indikator keselamatan dengan kepuasan pasien,

namun rumah sakit tetap harus selalu mengutamakan

keselamatan pasien dalam segala hal. Rumah sakit perlu

memperhatikan keamanan pasien dengan menyediakan

pegangan tangan di lorong/koridor rumah sakit dan di kamar

mandi, menyediakan tempat cuci tangan pada ruang tunggu

poliklinik, di setiap pintu ruang rawat inap, sebagai

pencegahan dan hygiene serta langkah awal mengajarkan

perilaku hidup sehat kepada pasien dan keluarga pasien serta

tenaga medis di RSIA AMC khususnya.

Hubungan Pengalaman Perawatan Medis dengan

Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro

Hasil analisis hubungan antara pengalaman perawatan

medis dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada

52,6% yang merasa puas pada mereka yang merasa

pengalaman perawatan medis rumah sakit buruk.

Sedangkan pada responden yang merasa pengalaman

Page 58: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 225

perawatan medis rumah sakit baik ada 86,2% yang

merasa puas. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,002

artinya p value ≤ alpha (0,05) maka dapat disimpulkan

ada hubungan yang signifikan antara pengalaman

perawatan medis dengan kepuasan pasien di RSIA

AMC Metro.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden

akan merekomendasikan rumah sakit ini kepada

anggota keluarga lain atau teman. Menurut Kotler

(1997) konsumen yang terpuaskan akan menjadi

pelanggan mereka dan akan melakukan pembelian

ulang, mengatakan hal-hal yang baik tentang perusahaan

kepada orang lain, kurang memperhatikan merek

ataupun iklan produk pesaing, membeli produk yang

lain dari perusahaan yang sama. Kepuasan pasien yang

berhubungan dengan kenyamanan, keramahan dan

kecepatan pelayanan dapat berpengaruh langsung

maupun tidak langsung terhadap kualitas pelayanan

(Jacobalis,2009).

KESIMPULAN AN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Karakteristik responden di instalasi rawat jalan

poliklinik kebidanan dan kandungan adalah,

sebagian besar berusia > 25 tahun, yaitu sebanyak

77,8%. Pendidikan responden lebih banyak ≤

SMA, yaitu 54,8%. Pekerjaan responden sebagian

besar ibu rumah tangga atau tidak bekerja, yaitu

67,4%. Pembiayaan kesehatan yang lebih banyak

digunakan oleh responden adalah biaya sendiri,

yaitu 53,3 %. Karakteristik individu merupakan

determinan dan indikator kualitas pelayanan

kesehatan dan mempengaruhi kepuasan pasien.

2. Waktu tunggu poliklinik tidak mempengaruhi

kepusan pasien. Diketahui ada 91% responden

yang menunggu lebih dari 60 menit yang merasa

puas.

Kepuasan seseorang muncul setelah membandingkan

antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja yang

telah di dapat. Kepuasan pasien juga dapat

dipengaruhi oleh pendidikan seseorang, dimana

semakin rendah pendidikan maka pasien akan

semakin patuh.

3. Waktu pemeriksaan dokter tidak mempengaruhi

kepuasan pasien. Diketahui ada 80,8% responden

yang diperiksa kurang dari 15 menit yang merasa

puas. Komunikasi dan diskusi secara terbuka

memungkinkan pasien memperoleh penjelasan

yang jelas dan lengkap dapat berpengaruh terhadap

mutu pelayanan yang berhubungan dengan

kepuasan. Pasien juga akan merasa puas jika

memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai

dengan yang diharapkan.

4. Kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit di

RSIA AMC Metro secara keseluruhan yang paling

mempengaruhi adalah dimensi kepuasan terhadap

perawatan dokter.

5. Kualitas personil, pelayanan administrasi, pengalaman

perawatan medis dan tanggung jawab sosial di

RSIA AMC Metro termasuk dalam kategori baik

dan paling berpengaruh terhadap kepuasan pasien.

6. Kualitas personil, pelayanan administrasi,

pengalaman perawatan medis, dan tanggung jawab

sosial memiliki hubungan yang signifikan dengan

kepuasan pasien di RSIA AMC Metro.

7. Faktor tanggung jawab sosial merupakan variabel

yang paling dominan dan berpengaruh terhadap

kepuasan pasien di RSIA AMC Metro.

Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan di RSIA AMC,

maka dapat diberikan saran sebagai berikut:

1. Manajemen rumah sakit sebaiknya segera melakukan

perbaikan waktu tunggu, yaitu dengan teguran

kepada dokter supaya memperbaiki jadwal praktek

dengan datang tepat waktu sesuai dengan jam yang

telah ditentukan dan disepakati. Dapat juga

melakukan diskusi terlebih dahulu dengan dokter

tentang hal-hal apa yang membuat dokter tersebut

tidak datang tepat waktu sehingga membuat waktu

tunggu poliklinik menjadi lama, dan juga apa yang

menyebabkan waktu pemeriksaan dokter kurang

lama.

2. Perbaikan dan penjadwalan ulang jam praktek

dokter. Peneliti memberi masukan supaya di

evaluasi kembali jadwal dokter, dengan membagi

jadwal bagi dokter jaga di poliklinik dan dokter jaga

di ruangan. Apabila penjadwalan tidak dibagi,

dikhawatirkan jika ada pasien yang membutuhkan

tindakan di ruang perawatan atau ruang operasi,

maka dokter yang sedang praktek di poliklinik akan

lebih mengutamakan pasien di ruangan tindakan,

Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik

Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015

Page 59: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 226

sehingga pasien di poliklinik semakin menunggu

lama untuk diperiksa, padahal mereka juga

memiliki hak sama dalam pemberian pelayanan.

Kemudian untuk jadwal dokter yang praktek paruh

waktu, lebih baik dibuat penjadwalan ulang sesuai

dengan rata-rata waktu yang selama ini bisa

dijalankan oleh dokter tersebut.

3. Dalam ruang tunggu poliklinik pihak manajemen

juga dapat membuat inovasi supaya pasien tidak

bosan menunggu, mengingat pasien juga biasanya

datang lebih awal dari jadwal praktek dokter, yaitu

dengan menyediakan layanan wifi gratis, memberikan

penyuluhan atau konseling tentang kesehatan

misalnya kesehatan ibu dan anak, tentang kehamilan,

tentang ASI dan menyusui, tentang gizi dan lain-

lain, kemudian menyediakan bacaan-bacaan seperti

majalah kesehatan atau jurnal-jurnal kesehatan.

4. Evaluasi kembali lokasi dari tempat pendaftaran.

Peneliti menyarankan kepada manajemen rumah

sakit untuk memindahkan ruang pendaftaran ke

ruang konsultasi gizi yang lokasinya lebih dekat

dengan poliklinik dan mudah dijangkau, serta tidak

jauh dari tempat parkir, dan mudah dicari. Ruang

konsultasi gizi sendiri selama ini penggunaannya

sangat jarang. Kalaupun akan ada konsultasi gizi,

bisa di lakukan di poliklinik anak.

5. Untuk meningkatkan kompetensi dan pelayanan

bagi perawat, rumah sakit sebaiknya memberikan

pelatihan-pelatihan asuhan keperawatan baik diluar

rumah sakit maupun di dalam rumah sakit.

Memberikan edukasi kepada tenaga medis dan non

medis supaya selalu berpenampilan rapi, ramah,

sopan dan perhatian kepada pasien tanpa

membeda-bedakan pelayanan.

DAFTAR PUSTAKA

Adib A. Yahya. (2006). Konsep dan Program Patient Safety dalam Konvensi Nasional Mutu Rumah Sakit ke IV.

Azwar, Azrul. (1994). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan (Aplikasi Prinsip Lingkaran

Pemecahan Masalah). Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Arlym., L. (2010). Analisis Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Instalasi Rawat Jalan Rumah

Sakit Ketergantungan Obat Jakarta Tahun 2010. Depok. Fakultas Kesehatan

Masyarakat, Universitas Indonesia. Brewster, C., Farndale, E., Ommeren, J.V. (2000). HR competencies and professional standards,

HR Competencies and Professional Standards Project, Cranfield School of Management, Cranfield University, UK

Chen BL, Li ED, Yamawuchi K, Kato K, Naganawa S, Miao WJ. (2010). Impact of

Adjustment Measures on Reducing Outpatient Waiting Time in a Community Hospital. Application of a Computer Simulation. Chin. Med. Pubmed.

Chilgren, A.A. (2008). Manager and The New Definition of Quality. Journal of Healthcare

Management, 53 (4):221

Dahlan, M. Sopiyudin. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika.

Dansky, K.H., (1997). Patient Satisfaction with Ambulatory Healthcare Services: Waiting Time

and Filling Time. Hospital and Health Services Administration. ProQuest. David (2014). Hubungan Keterlambatan Kedatangan Dokter Terhadap Kepuasan Pasien di

Instalasi Rawat Jalan. Magister Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya, Malang. Donovan, M, & Theodore A. Matson. (1994). Outpatient Case Management : Strategies for A

New Reality by American Hospital Publishing, inc. an American Hospital Asssociation

Company. Harper PR, Gamlin HM. (2003). Reduced Oupatient Waiting Times with Improved

Appointment Scheduling : a Simulation Modelling Approach or Spectrum, 25 : 207-

222 Handayani, Sri, E., (2003). Analisis Pengaruh Karakteristik Pasien Terhadap Kepuasan Pasien

Dalam Hal Mutu Pelayanan Kesehatan di Unit Rawat Inap Puskesmas Maos

Kabupaten Cilacap. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro Semarang.

Irmayanti, Meliono, dkk., (2007). MPKT Modul 1. Lembaga Penerbitan FEUI, Jakarta.

J.B. Suharjo B. Cahyono (2008). Membangun Budaya Keselamatan Pasien Dalam Praktik Kedokteran, Yogyakarta; Kanisius; 2008. L

Kaltz, G. et al. (1982). Ambulatory Care and Regionalization in Multi-institutional health Sysytem.

An Aspen Publication. Karassavidou, E., Glaveli, (2009). Quality in Nhs Hospitals: No one Knows Better Than Patients.

Measuring Business Excellence J, 13 (1): 34-46

Khairani, L., (2010). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien Rawat Jalan RSUD Pasaman Barat. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan

Minimal Rumah Sakit. Jakarta. Kurniawan, Fransiscus, N.H., (2012). Kecepatan Waktu Pelayanan Rumah Sakit Berpengaruh

Terhadap Kepuasan Pasien. Stikes RS Baptis Kediri.

Kosim, Dania., (2015). Analisis Faktor Total Quality Service Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien di Ruang Perawatan Ibu RSIA Buah Hati Ciputat tahun 2014.

Kotler,P. (1997). Manajemen Pemasaran. Jakarta. PT. Prenhallindo

Mardiah, F, Poni., (2013). The Analysis of Appointment System to reduce Outpatient Waiting Time at Indonesia’s Public Hospital. Human Resources Management, ITB, Bandung.

McGahon, H. (2013). Service Improvement: Reducing Physiotherapy Outpatient Waiting

Times. Cumbria partnership Journal of Research Pravtice and Learning. Munawaroh, Siti (2011). Analisis Hubunan Karakteristik dan Kepuasan Pasien dengan

Loyalitas Pasien di RSUA Dr.Sutomo Ponorogo. Fakultas Ilmu Kesehatan,

Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Mursyida, F. Rikhly. (2011). Kepuasan Ibu Hamil dan Persepsi Kualitas Pelayanan Antenatal

Care di Puskesmas Tanjung Kabupaten Sampang Madura. FKM UNDIP.

Najmuddin AF., Ibrahim IM, Imail SR (2010). Simulation Modeling and Analysis of Multiphase Patient Flow in Obstetrics and Gynecology Department in Specialist Centre. ASM’10

Proceedings of the 4th International Conference on Applied Mathematics, Simulation,

Modeling, 125 – 130. Pubmed. Nosek, R, Antony, J.P.W., (2001). Queuing Theory and Customer Satisfaction : A Review of

Therminology, Trends, and Applications to Pharmacy Practice. Hospital Pharmacy,

36.4 Ratnamiasih, Ina. (2012). Kompetensi SDM dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit. Fakultas

Ekonomi Universitas Pasundan. Bandung. Vol.11, No 1. Hal.49-57.

Rustiyanto, E., (2010). Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit yang Teritegrasi. ( l ed ) : Gosyen Publishing

Shi, L., and Lindstrom, S.(2007). Managing Human Resources in Health Care Organizations – Human Resources in the Health Care Sector. USA: Jones and Bartlett Publishers, Inc.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sulistyaningsih, (2012). Metodologi Penelitian Kebidanan Kuantitatif-Kualitatif. Edisi pertama, cetakan kedua. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Syafruddin (2011). Gambaran Lama Pelayanan Pada Unit Rawat Jalan Berdasarkan Ketepatan

Waktu, Keterampilan Petugas, Serta Kelengkapan Sarana di Unit Rawat Jalan RS Tidore Selatan

Tjiptono (1999). Prinsip-Prinsip Total Quality Service. Yogyakarta.

Toh, L. Shuet (2011). Patient Waiting Time As a Key Performance Indicator at Orthodontic Specialist Clinics In Selangor. Malaysian Journal of Public Health Medicine.

Umar I., Oceh M.O., and Umar A.S., (2011). Patient Waiting Time in a Tertiary Health

Institution in Northern Nigeria. Journal of Public Health and Epidemiology Utama, S. (2005). Memahami fenomena kepuasan pasien rumah sakit. Jurnal Manajemen

Kesehatan. 09 (1), 1-7

Wijewickrama AK., Takakuwa S., (2006). Simulation Analysis of an Outpatient Department of Internal Medicine in a University Hospital. Proceedings of the 2006 Winter Simulation

Conference, 425 – 432

Wijono, H, Djoko (1999) manajemen mutu pelayanan kesehatan. Airlangga University Press. Vol.1

Yu Q, Yang K (2008). Hospital Registration Waiting Time Reduction Through Process

Redesign. International Journal of Six Sigma ad Cempetitive advantage.

Page 60: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 227

Zhu Zc, Heng BH, Teow KL (2010). Analysis of Factors Causing Long patient Waiting Time and Clinic Overtime in Outpatient Clinics. J Med Syst, in Press.

Zhu et al., (2010). Analysis of Factors Causing Long Patient Waiting Time and Clinic Overtime in Outpatient Clinics. Publised Online. Springer Science Business Media.

Tabel 1. Karakteristik Responden

Tabel 2. Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah Sakit Secara

Keseluruhan

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Kepuasan Pasien

Kepuasan Pasien Jumlah Persentase (%)

Tidak Puas 25 18.5

Puas 110 81.5

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tunggu Pelayanan

No. Variabel Waktu Tunggu Pelayanan Jumlah Persentase%

1

Waktu Tunggu Poliklinik

1. Buruk (>60 menit) 2. Baik (≤60 menit)

79 56

58,5 41,5

2

Waktu Pemeriksaan Dokter

1. Buruk (<15 menit) 2. Baik (≥15 menit)

130 5

96,3 3,7

Tabel 5. Mean Waktu Tunggu Pelayanan RSIA AMC

No. Waktu Tunggu Pelayanan Mean (menit)

1 Waktu Tunggu Poliklinik 88,39

2 Waktu Pemeriksaan Dokter 6,69

Karakteristik Jumlah Persentase %

USIA :

≤ 25 tahun

>25 tahun

30

105

22,2

77.8

TINGKAT PENIDIKAN :

≤ SMA

>SMA

74

61

54,8

45,2

PEKERJAAN : Tidak Bekerja/IRT

Bekerja

91

44

67,4

32,6

PEMBIAYAAN KESEHATAN :

BPJS/ASKES

Biaya Sendiri

63

72

46,7

53,3

No. Dimensi Kepuasan Rata-rata

1 Yang melibatkan proses di RS (Administrasi) 2,99

2 Perawatan medis dan pengobatan oleh dokter 3.14

3 Perawatan medis oleh perawat 2,98

4 Kenyamanan lingkungan rumah sakit 3,06

Jurnal ARSI/Juni 2016 1

Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik

Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015

Page 61: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 228

Tabel 6. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Infrastuktur

Infrastuktur Jumlah Persentase (%)

Buruk 34 25.2

Baik 101 74.8

Tabel 7. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Kualitas Personil

Tabel 8. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Proses Pelayanan Klinis

Tabel 9. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Pelayanan Administrasi

Tabel 10. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Indikator Keselamatan

Indikator Keselamatan Jumlah Persentase (%)

Buruk 26 19.3

Baik 109 80.7

Tabel 11. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Keseluruhan Pengalaman

Perawatan Medis

Pengalaman Perawatan Medis Jumlah Persentase (%)

Buruk 19 14.1

Baik 116 85.9

Tabel 12. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Tanggung Jawab Sosial

Tanggung Jawab Sosial Jumlah Persentase (%)

Buruk 12 8.9

Baik 123 91.1

Kualitas Personil Jumlah Persentase (%)

Buruk 50 37

Baik 85 63

Proses Pelayanan Klinis Jumlah Persentase (%)

Buruk 6 4.4

Baik 129 95.6

Pelayanan Administrasi Jumlah Persentase (%)

Buruk 34 25.2

Baik 101 74.8

Page 62: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 229

Tabel 13. Hubungan Waktu Tunggu Poliklinik dengan Kepuasan Pasien

Waktu Tunggu

Poliklinik

Kepuasan Pasien

Total OR

(95% CI) P value Tidak Puas Puas

n % n % n %

Buruk

(>60 menit) 15 19 64 91 79 100

1 Baik

(≤60 menit) 10 17,9 46 82,1 56 100

1,08

(0,45-2,61)

Total 25 18,5 110 81,5 135 100

Tabel 14. Hubungan Waktu Pemeriksaan Dokter dengan Kepuasan Pasien

Waktu Pemeriksaan

Dokter

Kepuasan Pelanggan

Total OR

(95% CI) P value Tidak Puas Puas

n % n % n %

Buruk

(<15 menit) 25 19,2 105 80,8 130 100

0,584 Baik

(≥15 menit) 0 0 5 100 5 100

Total 25 18,5 110 81,5 135 100

Tabel 15. Hubungan Infrastruktur dengan Kepuasan Pasien

Infrastruktur

Kepuasan Pelanggan

Total OR

(95% CI) P value Tidak Puas Puas

n % n % n %

Buruk 9 26,5 25 73,5 34 100

0,261 Baik

16 15,8 85 84,2 101 100 1,91

(0,75-4,85)

Total 25 18,5 110 81,5 135 100

Tabel 16. Hubungan Kualitas Personil dengan Kepuasan Pasien

Tabel 17. Hubungan Pelayanan Klinis dengan Kepuasan Pasien

Proses Pelayanan

Klinis

Kepuasan Pasien

Total OR

(95% CI) P value Tidak Puas Puas

n % n % n %

Buruk 2 33,3 4 66,7 6 100

0,308 Baik

23 17,8 106 82,2 129 100 2,30

(0,39-13,34)

Total 25 18,5 110 81,5 135 100

Kualitas

Personil

Kepuasan Pelanggan

Total OR

(95% CI) P value Tidak Puas Puas

n % n % n %

Buruk 18 36 32 64 50 100

<0,0001 Baik

7 8,2 78 91,8 85 100 6,27

(2,389-16,45)

Total 25 18,5 110 81,5 135 100

Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015

Page 63: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 230

Tabel 18. Hubungan Pelayanan Administrasi dengan Kepuasan Pasien

Pelayanan

Administrasi

Kepuasan Pasien

Total OR

(95% CI) P value Tidak Puas Puas

n % n % n %

Buruk 12 35,3 22 64,7 34 100

0,008 Baik

13 12,9 88 87,1 101 100 3,70

(1,48-9,20)

Total 25 18,5 110 81,5 135 100

Tabel 19. Hubungan Indikator Keselamatan dengan Kepuasan Pasien

Tabel 20. Hubungan Pengalaman Perawatan Medis dengan Kepuasan Pasien

Pengalaman

Perawatan Medis

Kepuasan Pelanggan

Total OR

(95% CI) P value Tidak Puas Puas

n % n % n %

Buruk 9 47,4 10 52,6 19 100

0,002 Baik

16 13,8 100 86,2 116 100 5,63

(1,98-15,97)

Total 25 18,5 110 81,5 135 100

Tabel 21. Hasil Seleksi Variabel Independen dengan Uji Regresi Logistik

No. Variabel P-Value OR

1 Kualitas Personil 0,001 15,01

2 Pelayanan Administrasi 0,987 0,99

3 Pengalaman Perawatan Medis 0,102 2,91

4 Tanggung Jawab Sosial 0,000 57,56

Indikator

Keselamatan

Kepuasan Pelanggan

Total OR

(95% CI) P value Tidak Puas Puas

n % n % n %

Buruk 7 26,9 19 73,1 26 100

0,261 Baik

18 16,5 91 83,5 109 100 1,86

(0,68-5,08)

Total 25 18,5 110 81,5 135 100

Page 64: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 231

Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD)

Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart

Centre RS Dr. Moh. Hoesin Palembang Tahun 2015

Analysis of Patient Safety of Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous

Coronary Intervention (PCI) in Dr. Moh. Hoesin Palembang Hospital, Year 2015

Harjito

Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang penyusunan patient safety phatway Coronary artery Disease (CAD ) pro

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS dr. Moh. Hoesin

Palembang.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan observasi melalui pendekatan Cross

Sectional dengan wawancara mendalam terhadap tenaga admisi, perawat dan dokter .Hasil penelitian menyarankan

khusunya Komite mutu dan keselamatan pasien Rumah sakit perlu lebih meningkatkan dan mengembangkan

program patient safety dengan membuat Patient safety Pathway khususnya penyakit yang terbanyak, memiliki

resiko yang tinggi dan memiliki biaya yang mahal.dan membentuk kelompok kerja untuk mengevaluasi

pelaksanaan penerapan patient Safety di Rumah Sakit.

Kata kunci: patient safety pathway.

ABSTRACT

This studydiscusses the preparation of patient safety phatway Coronary artery disease (CAD) pro Percutaneous

Coronary Intervention (PCI) in the Installation Brain And Heart Centre dr. Moh. Hoesin Palembang.Research a

descriptive analytic with cross sectional observation through depth interviews with admissions personnel, nurses

and doctors The results of research suggest especially the Committee on quality and patient safety Hospitals need

to further improve and develop a patient safety program to make safety Patient Pathway most particularly

diseases, have a high risk and has cost expensive.and established a working group to evaluate the implementation

of the application of patient safety in hospitals

Keywords: patient safety pathway.

PENDAHULUAN

Pelayanan kesehatan merupakan hak bagi setiap orang

yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang harus

dapat diwujudkan dalam upaya meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, untuk

dapat mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya

pemerintah ikut bertanggungjawab atas ketersediaan

lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik

maupun sosial serta penyelenggaraan kesehatan seperti

yang tertuang dalam undang – undang kesehatan no.

36 tahun 2009.

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan

secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta

merata dan juga nondiskriminatif, pelayanan kesehatan

pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan pasien

sesuai dengan yang diucapkan Hipocrates kira-kira

2400 tahun yang lalu yaitu primum, non nocere (first,

Page 65: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 232

do no harm) dengan semakin berkembangnya ilmu

dan teknologi pelayanan kesehatan - khususnya di

rumah sakit - menjadi semakin kompleks dan berpotensi

terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/ adverse

event) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati

,pelayanan kesehatan yang aman bagi masyarakat

Sejak bulan November 1999 American Hospital

asosiation (AHA) telah mengidentifikasikan bahwa

penerapan keselamatan pasien merupakan suatu

prioritas yang strategik . Pada tahun 2000 Institute of

Medicine, Amerika Serikat melaporkan bahwa terdapat

sekitar 3-16% kejadian yang tidak diharapkan dalam

pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit .Pada tahun

2004 WHO menindaklanjuti dari penemuan ini

dengan mencanangkan World Alliance for Patient

Safety, program bersama dengan berbagai negara

untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah

sakit.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Mustikawati

(2011) menyebutkan laporan insiden keselamatan

pasien di berbagai provinsi 2007 ditemukan di DKI

Jakarta 37,9 %, Jawa Tengah 15,9 %, DIY 13,8 %,

Jawa Timur 11,7 %, Sumatera Selatan 6,9 %, Jawa

Barat 2,8 %, Bali 1,4 %, Aceh 10,7 %, Sulawesi

Selatan (0,7 %). Walaupun data ini telah ada secara

umum di Indonesia, catatan pelaporan insiden

keselamatan pasien di rumah sakit belum dikembangkan

secara menyeluruh oleh semua rumah sakit sehingga

catatan pelaporan insiden keselamatan pasien masih

sangat terbatas

Keselamatan pasien rumah sakit menurut Permenkes

no. 1691 tahun 2011 adalah suatu sistem dimana

rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang

meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan

hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan

dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden

dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk

meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah

terjadinya cedera yang disebabkan oleh berbagai

kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau

tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Petugas kesehatan baik dokter maupun yang lain

merasa enggan atau menutup-nutupinya dalam

membicarakan kesalahan atau cedera medis karena

takut akan tuntutan hukum bila diketahui oleh orang

lain, sehingga akan menutup rapat bila terjadi suatu

kesalahan atau cedera medis yang terjadi.

Adanya kebiasaan menyalahkan terhadap individu

yang berbuat salah dan ketakutan akan tuntutan hukum

mengakibatkan para petugas kesehatan tidak pernah

belajar dari kesalahan yang telah terjadi.hal ini

mengakibatkan juga suatu kejadian tidak diharapkan

(KTD) tidak pernah dilaporkan dan dibahas bersama,

bila pun ada hanya mencari kesalahan bukan mencari

pemecahan mengapa dan bagaimana kesalahan

tersebut terjadi ( Cahyono,2012 )

Penerapan keselamatan pasien di Rumah Sakit

ditegaskan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri

Kesehatan no.1691 tahun 2011 tentang keselamatan

pasien Rumah Sakit dan sebelumnya telah di buat

Kepmenterikes Nomor 496/Menkes/SK/IV/2005

tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang

tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan

medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical

error dan memberikan keselamatan bagi pasien di

Rumah sakit.

Proses keselamatan pasien di Rumah Sakit telah

dimulai sejak pasien masuk rumah sakit sampai pasien

pulang , hal ini menunjukkan bahwa setiap langkah

dan tindakan, perawatan, pengobatan yang diberikan

mengacu pada sistem dan prosedur yang diawasi

secara ketat dan terpadu, oleh sebab itu sistem yang

terpadu dan profesional dalam penerapan keselamatan

pasien ini akan mengurangi terjadinya kejadian yang

tidak diinginkan. Hal ini diperlukan suatu alat

mekanisme evaluasi penilaian risiko untuk dapat

mendeteksi terjadinya kesalahan aktif (active errors)

dan laten (latent/system errors) dalam menjaga serta

meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien

berupa suatu prosedur tindakan atau protokol tindakan

sesuai dengan sasaran keselamatan pasien Rumah

Sakit sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan no.

1691/menkes/Per/VIII/2011 yang mewajibkan bahwa

setap Rumah Sakit untuk mengupayakan pemenuhan

sasaran keselamatan pasien yang meliputi tercapainya

6 (enam) hal sebagai berikut :Identifikasi pasien

dengan tepat, tingkatkan komunikasi yang efektif,

tingkatkan keamanan obat yang perlu diwaspadai

(high-alert ), pastikan tepat lokasi, tepat prosedur, tepat

pasien operasi, mengurangi resiko infeksi terkait

pelayanan kesehatan dan pengurangan resiko pasien

jatuh.

Page 66: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 233

Penyakit jantung koroner merupakan jenis penyakit

jantung terbanyak di Instalasi Brain And heart Centre

dengan jumlah pada tahun 2014 sebesar 6.962 terdiri

dari 247 dengan ST-Elevasi Miocard Infark (STEMI ),

1890 dengan Non ST-Elevasi Miocard Infark

(NSTEMI ) dan 4825 dengan stabil angina. Data

penyakit terbanyak yang menimbulkan kematian di

Ruang rawat inap Instalasi Brain And Heart Centre

adalah acut NSTEMI dengan jumlah 23 pada tahun

2014 mengalami kenaikan sebesar 0,26% yang

sebelumnya berjumlah 17 pada tahun 2013 (Medical

record RSMH .2014 ).

Coronary Artery Disease (CAD) merupakan Sindroma

koroner akut yang ditandai dengan nyeri dada khas

infark tanpa disertai dengan peningkatan segmen ST

pada temuan Elektrokardiografi (EKG), hal inilah

yang memerlukan penegakkan diagnosa dan

penanganan yang tepat serta sesuai dengan standar

keselamatan pasien.

Rumah Sakit sebagai instansi pelayanan kesehatan

yang harus memberikan rasa aman terhadap pasien

terhadap suatu kejadian yang tidak diharapkan yang

kejadiannya sendiri terjadi di lingkungan rumah sakit,

oleh karena itu Rumah Sakit harus selalu meningkatkan

mutu pelayanan dan memastikan keamanan pasien .

untuk memastikan kemanan pasien tersebut maka

perlu dibuat suatu konsep pelayanan yang mencakup

seluruh kegiatan pecapaian 6 sasaran keselamatan

pasien di Rumah Sakit yang dijalani pasien sejak awal

masuk sampai keluar Rumah Sakit. Konsep pelayanan

tersebut dibuat dalam bentuk pathway yang dengan

rinci dan mendetail menggambarkan kegiatan penerapan

keselamatan pasien.

Belum adanya pathway untuk patient safety khususnya

untuk penyakit CAD tersebut terutama yang dilakukan

Percutaneous Coronary Intervention ( PCI ) maka

penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam

menegenai penyusunan pathway terhadap patient

safety penyakit CAD pro PCI di Instalasi Brain And

Heart Centre yang sebagai Instalasi unggulan RS dr.

Mohammad Hoesin dibidang pelayanan penyakit

jantung.

TINJAUAN PUSTAKA

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan no 1691 tahun

2011 pasal 8 menjelaskan bahwa setiap rumah sakit

wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan

pasien, mengacu kepada Nine Life-Saving Patient

Safety Solutions dari WHO mengenai patient Safety

(2007) yang digunakan oleh Komite Keselamatan

Pasien Rumah Sakit PERSI ( KKPRS PERSI ) dan

dari Joint Commission International (JCI). Sasaran

keselamatan pasien merupakan syarat untuk diterapkan di

semua Rumah Sakit , diantaranya adalah:

Sasaran I: Identifikasi pasien dengan tepat

Sasaran II: Tingkatkan komunikasi yang efektif

Sasaran III: Tingkatkan keamanan obat yang perlu

diwaspadai (high-alert)

Sasaran lV: Pastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur,

tepat-pasien operasi

Sasaran V: Kurangi risiko infeksi terkait pelayanan

kesehatan

Sasaran VI: Kurangi risiko pasien jatuh

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik

dengan melakukan observasi. Adapun pendekatan

yang digunakan adalah kualitatif observasi disertai

wawancara mendalam untuk mendapatkan kejelasan

suatu aktifitas pelayanan yang dilakukan dalam

penerapan keselamatan pasien Coronary artery

Disease (CAD) pro Percutaneous Coronary

Intervention (PCI) berdasarkan Standar keselamatan

pasien, dan divalidasi dengan hasil dokumentasi di

dalam rekam medis. Pada penelitian ini diawali dengan

melakukan pengamatan terhadap petugas medis, non

medis dan administrasi dalam menerima pasien mulai

dari pasien masuk melalui rawat jalan, pasien dirawat

hingga pasien pulang sembuh .penelitian ini melibatkan

juga tenaga kesehatan (perawat atau dokter) untuk

membantu dalam penelitian namun tidak diketahui

oleh informan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi

bias dalam hasil penelitian.

Setelah data dari hasil observasi dan wawancara secara

langsung telah terkumpul, maka tahap berikutnya

adalah melihat dokumen/ catatan dalam rekam medis

mengenai tindakan yang telah dilakukan, data dari hasil

pengamatan langsung , wawancara dan rekam medis

dicatat dalam formulir isian tindakan penerapan

Patient Safety. data formulir isian tindakan penerapan

patient safety dimasukkan dalam ceklist kegiatan

utilisasi.,data dari pengamatan langsung yang telah

dilakukan checklist dianalisa sesuai 6 sasaran keselamatan

pasien di setiap ruangan yang kemudian dimasukkan

Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015

Page 67: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 234

dalam format Patient safety Phatway. melakukan

penyusunan Patient safety Phatway.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan masuknya

pasien dengan Coronary arteri Disease ( CAD ) yang

akan dilakukan tindakan Percutaneous Coronary

Intervention ( PCI ) di ruang Chateterizatio Laboratory

Intervention Instalasi Brain And Heart Centre RS

Mohammad Hoesin Palembang. Data yang diperoleh

berdasarkan dari observasi langsung, wawancara dan

data sekunder dari buku registrasi di ruang poliklinik

rawat jalan ,perawatan kelas, CVCU, ruang Chatlab di

Instalasi Brain And Heart Centre.

Setelah proses pengumpulan data kemudian dilakukan

pencatatan identitas dan kegiatan petugas kesehatan

dalam menerapkan enam sasaran keselamatan pasien

menurut JCI Acreditation standars for hospital 4th

edition tahun 2010 yang kemudian dimasukkan dalam

formulir isian tindakan penerapan patient safety dan

ceklist utilisasi sejak pasien masuk ke Rumah Sakit

hingga pasien pulang, sehingga diperoleh gambaran

penggunaan layanan untuk patient safety sebagai

syarat dalam penyusunan suatu patient safety pathway.

Karakteristik Pasien

Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa pasien

CAD yang dilakukan tindakan Percutaneous

Coronary Intervention ( PCI ) terbanyak pada

kelompok umur kurang dari 60 tahun sebesar 13 ( 54,2

% ) dan jenis kelamin laki–laki sebesar 15 ( 62,5 % )

lebih dominan menderita CAD dibanding jenis

kelamin perempuan 9 ( 37,5 % ).hal ini sesuai yang

dinyatakan oleh Gray,Huon etc. 2012 dalam Lecture

note cardiologist bahwa penyakit CAD jarang terjadi

pada perempuan merupakan konsep yang salah

walaupun memang jumlah perempuan peenderita

CAD lebih sedikit dari laki-laki.

Lama Hari Rawat

Rata- rata lama rawat pasien CAD yang tidak memiliki

komplikasi di Instalasi Brain And Heart Centre adalah

4,8 hari hal ini sesuai dengan clinical pathway CAD

yang memiliki lama rawat 5-8 hari .bila dilihat

berdasarkan diagnosis utama dengan CAD maka akan

lebih cepat lama perawatan 2 hari hal ini dapat

didasarkan pada penerapan patient safety terutama

pada mengurangi resiko infeksi dan pengawasan

terhadap penggunaan obat, hal ini sesuai dengan

pernyataan yang diungkapkan oleh Soetoto, tahun

2013 bahwa bila keselamatan pasien diterapkan

dengan baik maka angka kejadian yang tidak

diharapkan akan semakin berkurang dan mutiu

pelayanan akan semakin baik yang menjadikan long

of stay akan dapat menjadi lebih pendek dan terkendali.

Diagnosa Penyakit Penyerta

Dari penelitian ini diperoleh adanya penyakit penyerta

yaitu Hipertensi Heart Disease (HHD) , Congestive

Heart Failure (CHF) dan AV Block yang dapat

mengakibatkan waktu lama rawat lebih panjang,

namun untuk pelaksanaan tindakan Percutaneous

coronary intervention tidak dipengaruhi oleh penyakit

penyerta hal ini karena sesuai dengan clinical pathway

CAD di RS yang bila harus segera dilakukan tindakan

intervensi maka tidak dapat ditunda.

Rincian Aktifitas Penerapan 6 Sasaran Patient

Safety CAD Pro PCI Sesuai Patient Safety Pathway

Identifikasi Pasien

a. Kegiatan identifikasi pasien dibagian admisi, sesuai

dengan standar akreditasi Rumah Sakit (KARS

2011) bahwa pasien diidentifikasi menggunakan

dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan

nomor kamar atau lokasi pasien dan diperkuat juga

menurut darmawan, 2013 yang menyatakan

penggunaan tiga sistem identitas pasien yaitu nama

dengan 2 suku kata, tanggal,bulan dan tahun

kelahiran serta nomor rekam medis sehingga akan

sangat mengurangi kesalahan identifikasi bila

memiliki nama pasien yang sama. petugas dalam

mengisi umur pasien tidak melakukan penulisan

sesuai panduan atau standar akreditasi yaitu dengan

menuliskan tanggal, bulan dan tahun kelahiran.

Dari 24 pasien hanya 20 pasien atau sekitar 83 %

saja yang menuliskannya sesuai standar hal ini

menunjukkan masih kurangnya pengetahuan

petugas dalam penulisan tanggal, bulan dan tahun

kelahiran, dan masih kurangnya sosialisasi

mengenai panduan keselamatan pasien terhadap

petugas admisi mengingat telah ada buku panduan

mengenai identifikasi pasien, hasil wawancara juga

diperoleh bahwa petugas belum mengetahui

Page 68: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 235

bilamana pasien juga tidak mengetahui tanggal

,bulan dan tahun kelahiran sehingga petugas hanya

menurut seperti apa yang disebutkan oleh pasien.

Penulisan umur menurut penulis dikhawatirkan

dapat menimbulkan kesalahan identitas bilaman

terdapat nama dan umur yang sama namun dapat

mengurangi kesalahan bila nama sama dapat

melihat tanggal, bulan dan tahun kelahiran yang

memiliki kemungkinan yang sama dan bila mana

sama dapat dilihat juga nomer rekam medis.

b. Proses identifikasi pasien, menurut Cahyono, 2012

bahwa kesalahan identifikasi pasien sangat

mungkin terjadi khusunya pelayanan di rumah

sakit karena kompleksitasnya pelayanan dan

keterbatasan petugas , demikian juga identifikasi

yang dilakukan sebelum pemeriksaan penunjang

tidak semua pasien dilakukan identifikasi seperti

yang dikatakan oleh dr. Daniel Foley dalam

Darmawan, 2013 bahwa meskipun anda telah

benar 99,99 %, anda tidak ingin mengalami

kesalahan 0,01 % yang mengakibatkan cedera,

diharapkan dapat tercapai identifikasi 100 %.di

ruang poli rawat jalan BHC sebagian tenaga medis

melakukan identifikasi terhadap 18 (75 %) pasien

dan sisanya 6 (25 %) pasien tidak dilakukan

identifikasi dengan menanyakan nama pasien

sebelum dilakukan pemeriksaan atau tindakan dari

hasil wawancara juga dinyatakan bahwa

identifikasi sudah dilakukan oleh perawat sehingga

pada waktu pemeriksaan tidak perlu diulang

kembali, hal ini menunjukkan masih kurangnya

pemahaman tenaga medis didalam identifikasi

pasien karena hal ini juga dapat menimbulkan

kesalahan dalam pemeriksaan terhadap pasien

yang seharusnya.

c. Kegiatan identifikasi sesuai dengan standar

akreditasi Rumah Sakit ,KARS 2011 menyatakan

bahwa maksud dari identifikasi dengan cara yang

dapat dipercaya/reliable mengidentifikasi pasien

sebagai individu yang dimaksudkan untuk

mendapatkan pelayanan atau pengobatan, diruang

perawatan jantung baik di ruang CVCU maupun

di ruang kelas sebagian tenaga medis dan tenaga

perawat tidak melakukan identifikasi pasien

sebelum pemeriksaan hal ini dikhawatirkan terjadi

kesalahan dalam mengidentifikasi, petugas kesehatan

tidak meminta pasien untuk menyebutkan namanya

namun melakukan justifikasi, tindakan ini sangat

rentan terjadi kesalahan terutama bagi pasien yang

terdapat gangguan pendengaran maupun pasien

yang belum begitu sadar maka dikhawatirkan

terjadi kesalahan identifikasi apalagi bila tidak

mencocokan dengan identitas di gelang pasien

hingga akan dapat terjadi kesalahan dalam

pelayanan atau pengobatan.

d. Sesuai dengan standar akreditasi Rumah Sakit

(KARS, 2011 ) yang menyatakan bahwa keadaan

yang dapat mengarahkan terjadinya kesalahan-

kesalahan dalam mengidentifikasi pasien adalah

salah satunya mungkin bertukar tempat tidur,

kamar, lokasi dalam rumah sakit oleh karena itu

harus selalu dilakukan identifikasi, proses

identifikasi sebelum dilakukan tindakan PCI di

ruang perawatan petugas kesehatan sebagian

masih belum sepenuhnya melakukan identifikasi

hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman

atau kepatuhan perawat terhadap panduan yang

telah dibuat, kehawatiran terjadinya kesalahan

masih dapat terjadi karena belum identifikasi,

petugas masih merasa hal tersebut biasa karena

hanya sedikit pasien yang akan dilakukan tindakan

PCI namun hal ini sangatlah memiliki resiko

kesalahan yang besar.

e. Sesuai Standar akreditasi rumah sakit ( KARS

2011 ) bahwa tahap sebelum dilakukannya insisi

atau tindakan invasif atau pelaksanaan time out

memungkinkan setap pertanyaan yang belum

terjawab atau kesimpangsiuran dibereskan, time

out melibatkan seluruh anggota tim sehingga

permasalahan dapat diselesaikan sebelum dilakukan

tindakan invasif Identifikasi, di ruang chateterisasi

belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik,

pelaksanaan sign in, time Out dan sign out masih

tidak sesuai dengan panduan keselamatan

pembedahan hal ini menunjukkan bahwa petugas

masih belum memahami tujuan dari sign in, time

Out dan sign out itu sendiri, petugas merasa bahwa

pelaksanaan di ruang chateterisasi sangat berbeda

dengan diruang operasi yang dilakukan pembedahan

namun diruang cahateterisasi ini juga merupakan

tindakan invasif yang perlu pengawasan ketat,

namun pada dokumentasi berupa check list

pelaksanaan sign in, time Out dan sign out terisi

lengkap hal ini tidak sesuai dengan yang

dilaksanakan, semua ini menunjukan bahwa

pelaksanaan ini hanya sebagai dokumen untuk

Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di

Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015

Page 69: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 236

akreditasi saja, namun pada kenyatannya tidak

dilaksanakan.

f. Proses identifikasi setelah dilakukan tindakan PCI

di ruang perawatan petugas kesehatan sebagian

masih belum sepenuhnya melakukan identifikasi

hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman

atau kepatuhan terhadap panduan yang telah

dibuat, kesalahan masih dapat terjadi karena belum

dilakukan identifikasi, petugas merasa pasien yang

melakukan tindakan PCI sedikit namun ini tidak

sesuai dengan standar akreditasi Rumah Sakit

(KARS, 2011) yang menyatakan bahwa pasien

harus selalu dilakukan identifikasi sebelum

dialkukan pemeriksaan atau tindakan

Komunikasi Efektif

a. Pada proses komunikasi efektif menurut Darmawan,

2013 bahwa komunikasi itu penting untuk semua

aspek kehidupan, komunikasi efektif adalah dasar

saling pengertian dan kepercayaan, salah komunikasi

menyebabkan salah pengertian, salah prosedur

tindakan dan berdampak terhadap pasien,

komunikasi buruk menyebabkan ketidakpuasan

pasien dan keluarga sehingga dapat timbul

tuntutan, medikolegal dan etika.yang dilakukan

diruang perawatan oleh tenaga medis dan tenaga

perawat yang dilakukan lewat telepon atau ketika

overan pasien tidak sesuai dengan tahapan SBAR ,

hal ini dikhawatirkan akan dapat menyebabkan

sistem komunikasi kurang efektif sehingga dapat

menyebabkan salah pengertian, salah langkah,

salah prosedur tindakan dokter atau perawat

terhadap pasien.

b. Pada pelaksanaan komunikasi efektif seperti yang

dijelaskan oleh Cahyono, 2013 bahwa petugas

kesehatan tidak dapat bekerja dengan baik bila

tidak berkomunikasi dengan baik. Komunikasi

efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan

yang dipahami oleh penerima pesan akan

mengurangi kesalahan, dan menghasilkan

peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi

dapat berbentuk elektronik (telepon, sms), lisan,

atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi

kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah

diberikan secara lisan atau melalui telepondi ruang

perawatan sebelum tindakan PCI masih sebagian

tidak melaksanakan komunikasi sesuai tahapan

SBAR tidak dilakukan hal ini dikhawatirkan terjadi

kesalahpahaman atau kekeliruan terhadap apa

yang akan dilakukan terhadap pasien sehingga

dapat terjadi kesalahan pasien yang akan dilakukan

tindakan invasif.

c. Sesuai Standar akreditasi rumah sakit ( KARS

2011 ) bahwa tahap sebelum dilakukannya insisi

atau tindakan invasif atau pelaksanaan time out

memungkinkan setap pertanyaan yang belum

terjawab atau kesimpangsiuran dibereskan, time

out melibatkan seluruh anggota tim sehingga

permasalahan dapt diselesaikan sebelum dilakukan

tindakan invasif .Komunikasi efektif di ruang

Cahteterisasi belum sepenuhnya dilaksanakan

dengan baik, pelaksanaan sign in, time Out dan

sign out masih tidak sesuai dengan panduan

keselamatan pembedahan hal ini menunjukkan

bahwa petugas masih belum memahami tujuan

dari sign in, time out dan sign out itu sendiri, petugas

merasa bahwa pelaksanaan di ruang chateterisasi

sangat berbeda dengan diruang operasi yang

dilakukan pembedahan namun di ruang cahateterisasi

ini juga merupakan tindakan invasif yang perlu

pengawasan ketat, namun pada dokumentasi

berupa check list pelaksanaan sign in, time Out dan

sign out terisi lengkap hal ini tidak sesuai dengan

yang dilaksanakan,semua ini menunjukan bahwa

pelaksanaan ini hanya sebagai dokumen untuk

akreditasi saja namun kenyatannya tidak dilaksanakan.

d. Pada pelaksanaan komunikasi efektif seperti yang

dijelaskan oleh Cahyono, 2013 bahwa petugas

kesehatan tidak dapat bekerja dengan baik bila

tidak berkomunikasi dengan baik. Komunikasi

efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan

yang dipahami oleh penerima pesan akan

mengurangi kesalahan, dan menghasilkan

peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi

dapat berbentuk elektronik (telepon, sms), lisan,

atau tertulisdi ruang perawatan setelah tindakan

PCI masih sebagian tidak melaksanakan

komunikasi sesuai tahapan SBAR, tidak dilakukan

ini dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman atau

kekeliruan terhadap apa yang akan dilakukan

terhadap pasien sehingga dapat terjadi kesalahan

pasien terhadap tindakan atau pengobatan terhadap

pasien yang telah dilakukan tindakan PCI ini,

demikian juga saat overan pasien ( hand over )

Page 70: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 237

harus dapat dilaksanakan sesuai tahapan SBAR

agar kemungkinan kesalahan dapat dihilangkan.

Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai

a. Kegiatan untuk keamanan obat yang perlu

diwaspadai menurut standar akreditasi Rumah

Sakit KARS 2011 dan juga Cahyono, 2014 bahwa

untuk mengurangi kesalahan Instalasi Farmasi

Rumah Sakit ( IFRS ) harus membuat daftar obat

High alert yang dapat diinformasikan keseluruh

belum ada daftar obat-obatan High alert dan LASA

di ruang perawatan hal ini dapat mengakibatkan

ketidaktahuan tenaga medis khususnya perawat

terhadap obat-obatan yang termasuk dalam High

alert atau LASA. Dengan ketidaktahuan obat-obat

tersebut maka dikhawatirkan dapat terjadi KTD

apalagi bila tulisan dari tenaga medis tidak dapat

dibaca, masih adanya penulisan tenaga medis

pada pemberian obat yang tidak dapat atau sulit

dibaca .kemungkinan ini terjadi karena merasa

obat-obatan itulah yang sering diberikan jadi

perawat akan tahu obat apa yang diberikan hal ini

sesuai dengan hasil wawancara dengan tenaga

medis bahwa obat-obat itulah yang biasa diberikan,

namun hal ini tidak sesuai dengan standar dan

panduan untuk keamanan obat.

b. Proses keamanan obat yang perlu diwaspadai

sebelum tindakan PCI ruangan menurut KARS

2012 bahwa permasalahan yang berhubungan

dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible

handwritting) dan pemakaian singkatan adalah

faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi yang

menimbulkan kesalahan, masih ditemukan tulisan

yang tidak dapat terbaca pada rekam medis pasien

hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman

petugas medis dalam memberikan order bila

tulisan tidak terbaca akan sangat potensial terjadi

kekeliruan dalam membaca sehingga dikawatirkan

terjadi kejadian yang tidak diinginkan, apalagi tidak

adanya daftar nama obat-obatan yang termasuk

memerlukan pengawasan ketat baik high alert

maupun LASA.

c. Kewaspadaan obat high alert, Sesuai Standar

akreditasi rumah sakit ( KARS 2011 ) bahwa tahap

sebelum dilakukannya insisi atau tindakan invasif

atau pelaksanaan time out memungkinkan setap

pertanyaan yang belum terjawab atau

kesimpangsiuran dibereskan, time out melibatkan

seluruh anggota tim sehingga permasalahan dapt

diselesaikan sebelum dilakukan tindakan invasif di

ruang Cahteterisasi belum sepenuhnya

dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan sign in,

time Out dan sign out masih tidak sesuai dengan

panduan keselamatan pembedahan hal ini

menunjukkan bahwa petugas masih belum

memahami tujuan dari sign in, time Out dan sign

out itu sendiri, petugas merasa bahwa pelaksanaan

di ruang chateterisasi sangat berbeda dengan

diruang operasi yang dilakukan pembedahan

namun diruang cahateterisasi ini juga merupakan

tindakan invasif yang perlu pengawasan ketat,

namun pada dokumentasi berupa check list

pelaksanaan sign in, time Out dan sign out terisi

lengkap hal ini tidak sesuai dengan yang dilaksanakan,

semua ini menunjukan bahwa pelaksanaan ini

hanya sebagai dokumen untuk akreditasi saja namun

kenyatannya tidak dilaksanakan.

d. Proses keamanan obat yang perlu diwaspadai post

tindakan PCI menurut standar akreditasi Rumah

Sakit KARS 2011 dan juga Cahyono, 2014 bahwa

untuk mengurangi kesalahan Instalasi Farmasi

Rumah Sakit ( IFRS ) harus membuat daftar obat

High alert yang dapat diinformasikan keseluruh

ruangan masih ditemukan tulisan yang tidak dapat

terbaca pada rekam medis pasien yang telah

dialakukan tindakan PCI,hal ini dapt juga

terjadinya kesalahan ataupun KTD penulisan

dalam perencanaan tindakan dan pengobatan yang

tidak terbaca menunjukkan masih kurangnya

pemahaman petugas medis dalam memberikan

order bila tulisan tidak terbaca akan snagat potensial

terjadi kekeliruan dalam membaca sehingga

dikawatirkan terjadi kejadian yang tidak diinginkan,

apalagi tidak adanya daftar nama obat-obatan yang

termasuk memerlukan pengawasan ketat baik high

alert maupun LASA.

Ketepatan Lokasi, Prosedur dan Pasien Operasi

Ketepatan operasi, prosedur dan pasien Sesuai Standar

akreditasi rumah sakit ( KARS 2011 ) bahwa tahap

sebelum dilakukannya insisi atau tindakan invasif atau

pelaksanaan time out memungkinkan setap pertanyaan

yang belum terjawab atau kesimpangsiuran dibereskan,

time out melibatkan seluruh anggota tim sehingga

permasalahan dapat diselesaikan sebelum dilakukan

Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015

Page 71: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 238

tindakan invasif di ruang Chatetrisasi Laboratory

Intervention.

Di Ruang Chateterisasi ini belum sepenuhnya

dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan sign in, time

Out dan sign out masih tidak sesuai dengan Standar

keselamatan pasien khususnya diruang operasi, ruang

chatlab walaupun bukan ruang operasi namun ini

merupakan ruangan tindakan invasif sehingga segala

pelaksanannya harus mengacu kepada standar

keselamatan diruang operasi, hanya saja pada ruang

chatlab tidak diperlukan site marking karena

merupakan organ tunggal yaitu jantung yang akan

dilakukan intervensi, namun tindakan lain harus

dilakukan seperti Sign in, Time Out dan Sign Out hanya

pelaksanannya berbeda seperti pada kasus tindakan

pembedahan.

Tidak dilakukannya prosedur Sign in, Time Out dan

Sign Out menunjukkan bahwa petugas masih belum

memahami tujuan dari sign in, time Out dan sign out

itu sendiri, dan walaupun dilaksanakan seperti hanya

kewajiban saja melaksanakan namun tidak sesuai

dengan panduan keselamatan pembedahan yang telah

dibuat oleh rumah sakit, petugas masih merasa bahwa

pelaksanaan di ruang chateterisasi sangat berbeda

dengan diruang operasi yang dilakukan pembedahan

namun diruang cahateterisasi ini juga merupakan

tindakan invasif yang perlu pengawasan ketat, namun

pada dokumentasi berupa check list pelaksanaan sign

in, time Out dan sign out terisi lengkap hal ini tidak

sesuai dengan yang dilaksanakan,semua ini

menunjukan bahwa pelaksanaan ini hanya sebagai

dokumen untuk akreditasi saja namun kenyatannya

tidak dilaksanakan..

Mengurangi Resiko Infeksi

a. Kegiatan dalam mengurangi resiko infeksi di ruang

poli rawat jalan masih sebagian tenaga medis tidak

melakukan cuci tangan sesuai tahapan cuci tangan,

hasil wawancara dikatakan bahwa yang terpenting

menurutnya adalah telah meratanya cairan desinfektan,

tidak perlu tahapannya hal ini menunjukkan masih

kurangnya pemahaman tahapan cuci tangan dan

masih kurangnya kepatuhan untuk melakukan cuci

tangan, menurut WHO sesuai dengan standar

akreditasi Rumah sakit tahun 2012 bahwa tahapan

cusi tangan harus sesuai pedoman hand hygiene

yang baru-baru ini diterbitkan dan sudah diterima

secara umum ( a.l. dari WHO patient safety).

b. Pada tindakan mengurangi infeksi di ruang

perawatan telah dilakukan cuci tangan sebagai

pencegahan penularan atau infeksi namun masih

ada sebagian tenaga medis dan tenaga perawat

tidak melakukan cuci tangan sebelum melakukan

pemeriksaan terhadap pasien hal ini menyebabkan

akan terkontaminasi oleh kuman yang berasal dari

pasien tersebut dan dapat menularkannya kepada

pasien lain yang ditangani kemudian. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Cahyono, 2012 bahwa Cuci

tangan merupakan komponen pencegahan infeksi

yang paling penting, bisa menggunakan sabun di

bawah air mengalir, atau dengan menggunakan

antiseptik/handrub.Bila tangan tampak kotor dan

mengandung bahan berprotein menggunakan air

mengalir dan sabun.Bila tidak tampak kotor,

dekontaminasi dengan alkohol handsrub.

c. Dalam kegiatan untuk mengurangi resiko infeksi

sebelum tindakan PCI terutama pelaksanaan cuci

tangan sudah sesuai dengan standar baik tahapan

maupun momen untuk melakukan cuci tangan hal

ini menunjukkan bahwa pemahaman dan juga

kesadaran akan pencegahan infeksi dan penularan

penyakit sudah baik karena menurut WHO bahwa

Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-

infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang

tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca

kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi

nasional dan internasional.

d. Proses tindakan untuk mencegah resiko infeksi di

ruang Chatlab telah dilakukan sepenuhnya dengan

benar terutama pelaksanaan cuci tangan sudah

sesuai standar baik dalam tahapan maupun

momen pelaksanaan cuci tangan. Dalam hal

pencegahan infeksi selama tindakan juga telah

sesuai prosedur, hal ini menunjukan bahwa

pelaksanaan pencegahan infeksi telah dipahami

oleh seluruh petugas di alam ruangan chateterisasi

yang memang membutuhkan kesterilan dan

pengawasan yang ketat.

e. Dalam kegiatan untuk mengurangi resiko infeksi

post tindakan PCI terutama pelaksanaan cuci

tangan sebagian masih belum sesuai dengan

standar baik tahapan maupun momen untuk

Page 72: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 239

melakukan cuci tangan hal ini menunjukkan

bahwa pemahaman dan kesadaran akan

pencegahan infeksi dan penularan penyakit belum

baik karena menurut WHO bahwa Pusat dari

eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain

adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat.

Pedoman hand hygiene bisa dibaca kepustakaan

WHO, dan berbagai organisasi nasional dan

internasional.

Mengurangi Risiko Jatuh

a. Kegiatan dalam mengurangi resiko jatuh menurut

KARS 2012 dan Darmawan, 2013 bahwa

Rumah sakit menerapkan asesmen awal resiko

pasien jatuh dan juga bahwa Rumah sakit

sebaiknya mengambil langkah yang tepat untuk

menangani dan mencegah KTD jatuh ,langkah

yang dapat dilakukan meliputi penilaian awal

resiko jatuh, asesmen awal resiko pasien jatuh,

penataan lingkungan dan sarana, peningkatan

pelayanan kepada pasien dan memperbaiki kondisi

intrinsik pasien itu sendiri pada pasien yang berada

diruang admisi juga telah dilakukan oleh petugas

admisi dengan melakukan skrening awal

identifikasi pasien jatuh yaitu dengan melihat

selintas pasien yang akan melakukan pendaftaran

mengenai cara berjalan, atau dibantu dalam

berjalan ataupun menggunakan alat bantu dalam

berjalan. Sebagian petugas admisi melakukan

skering awal pasien jatuh pada pasien yang

melakukan pendaftaran namun masih ada pasien

yang tidak dilakukan skrening awal jatuh, hal ini

dikhawatirkan dapat terjadi resiko pasien jatuh bila

petugas tidak mengetahui keadaan pasien yang

akan mendaftar dalam keadaan lemah. Namun

rumah sakit di bagian admisi telah menyediakan

kursi roda dan brankar yang memiliki pagar

pengaman sesuai standar.( 100 % ) sesuai dengan

standar akreditasi Rumah sakit.

b. Kegiatan di rawat jalan dalam mengurangi resiko

jatuh seluruh petugas sudah melakukan

pencegahan resiko jatuh hal ini sesuai dari hasil

observasi telah dilakukannya assesmen awal resiko

jatuh dan juga telah terdokumentasi di assesmen

awal pasien. hal ini menunjukkan bahwa

pemahaman perawat sudah cukup baik dalam

melakukan pengkajian awal resiko jatuh sehingga

dapat mencegah terjadinya KTD dilingkungan

Rumah sakit, hal ini sesuai dengan pernyataan

Darmawan, 2013 bahwa penilaian resiko jatuh

adalah upaya untuk mengenali apakah sorang

pasien memiliki resiko jatuh sehingga tinadakan

pencegahan dapat dilakukan.

c. Tindakan pencegahan cedera akibat jatuh menurut

Darmawan, 2013 bahwa penilaian resiko jatuh

adalah upaya untuk mengenali apakah sorang

pasien memiliki resiko jatuh sehingga tinadakan

pencegahan dapat dilakukan di ruang perawatan

telah dilakukan perawat telah melakukan

assesment resiko jatuh sesuai panduan keselamatan

pasien Rumah Sakit pada setiap pasien yang baru

masuk, dalam rekam medis juga terlampir

asesment pengkajian awal resiko jatuh hal ini

menunjukkan bahwa tenaga kesehatan telah

mengetahui pelaksanan pengkajian resiko jatuh

agar pasien dapat dikenali apakah mempunyai

resiko jatuh sehingga petugas dapat mengambil

langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi

cedera karena jatuh.

d. Pencegahan resiko jatuh sebelum pelaksanaan

tindakan PCI belum sepenuhnya petugas kesehatan

melaksanakan assesment resiko jatuh dengan baik,

masih adanya petugas tidak melaksanakan assesmen

menunjukkan bahwa kepatuhan dan pemahaman

terhadap kemungkinan cedera akibat jatuh masih

rendah , petugas hanya melihat secara fisik saja

namun tidak dikaji secara mendalam tentang

kelemahan pasien yang berpotensi jatuh, sesuai

dengan standar akreditasi Rumah Sakit bahwa

langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi

risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen

dianggap berisiko jatuh. Langkah-langkah dimonitor

hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera

akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak

diharapkan.

e. Dalam pelaksanaan mengurangi resiko jatuh

diruang chatlab ini juga sudah sepenuhnya

melaksanakan sesuai standar yang meliputi

pengkajian resiko jatuh setelah dilakukan tindakan

PCI, pemasangan pagar pengaman selama

dilakukan observasi, hal ini menunjukkan adanya

pemahaman didalam pelaksanaan untuk mencegah

cedera yang diakibatkan oleh jatuh.

Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di

Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015

Page 73: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 240

f. Panduan nasional keselamatan pasien Rumah sakit

oleh Depkes ( 2006 ) bahwa pelaksanaan evaluasi

untuk resiko pasien jatuh dilakukan secara terus

menerus melihat keadaan pasien dan dilakukan

pengkajian skala Jatuh dapat dilakukan :pada saat

pasien masuk RS ,setiap hari pada shift pagi, saat

kondisi pasien berubah atau ada suatu perubahan

dalam terapi medik yang dapat menimbulkan

resiko jatuh pada pasien, saat pasien dipindahkan

ke unit lain dan setelah kejadian jatuhPencegahan

resiko jatuh setelah pelaksanaan tindakan PCI

sudah sesuai standar petugas kesehatan

melaksanakan assesment resiko jatuh dengan baik,

masih hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan dan

pemahaman terhadap kemungkinan cedera akibat

jatuh sudah baik.

Patient Safety Pathway pada CAD Pro PCI

Dari penelitian ini dapat tersusun suatu draf Patient

Safety Pathway yang berdasarkan atas semua kegiatan

penerapan enam sasaran keselamatan pasien yang

dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (

CAD ) yang dilakukan tindakan invasif berupa

Percutaneous Coronary Intervention ( PCI ) dan

rekapan utilisasi segala kegiatan yang dilakukan oleh

petugas kesehatan baik dokter, perawat dan tenaga

administrasi dalam menerapkan enam sasaran

keselamatan Rumah Sakit sesuai JCI Acreditation

standars for hospital 4th edition,2010 yang dilakukan

sejak pasien datang sampai pasien diperbolehkan

pulang dan kembali untuk melakukan kontrol

dipoliklinik jantung. Dengan tersusunnya patient safety

pathways ini maka dapat memberikan arah atau alur

dalam melaksanakan penerapan keselamatan pasien

Bila alur tatakelola ini dilakukan maka mutu pelayanan

dan keselamatan pasien akan terjaga. Berdasarkan hal

tersebut maka tidak menutup kemungkinan Patient

safety Pathway ini dapat diterapkan pada penyakit lain

dan juga dapat digunakan sebagai pedoman dalam

pelaksanaan standar keselamatan pasien di Rumah

Sakit.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hingga saat ini Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin

Palembang belum memiliki Patient Safety Pathway.

dengan penelitian ini telah tersusun Patient Safety

pathway pada penyakit CAD pro PCI di RSMH

Palembang, Penyusunan Patient Safety Pathway CAD

Pro Percutaneous coronary intervention di Instalasi

Brain And Heart Centre RS dr Mohammad Hoesin

Palembang dapat dilaksanakan.,Aktifitas enam

sasaran Patient Safety CAD Pro Percutaneous

coronary intervention di Instalasi Brain And Heart

Centre RS dr Mohammad Hoesin Palembang pada

setiap ruangan telah mencapai penuh ( 80 – 100 % )

kecuali ketepatan prosedur operasi, lokasi dan pasien

(66,7 % ) Penyusunan Patient Safety Pathway ini dapat

menjaga mutu layanan yang aman di Rumah Sakit,

khusunya pada pasien CAD yang dilakukan penelitian

namun tidak menutup kemungkinan penyakit lain

dapat juga diterapkan penggunaan Patient Safety

Pathway ini. Hal ini menunjukkan bahwa Patient

Safety Pathway dapat diterapkan di RS dr. Mohammad

Hoesin Palembang.

Saran

Rumah Sakit khusunya Komite mutu dan keselamatan

pasien Rumah sakit perlu lebih meningkatkan dan

mengembangkan program patient safety dengan

membuat Patient safety Pathway khususnya penyakit

yang terbanyak, memiliki resiko yang tinggi dan

memiliki biaya yang mahal, membentuk kelompok

kerja untuk mengevaluasi pelaksanaan penerapan

patient Safety di Rumah Sakit, meninjau kembali

kebijakan mengenai pedoman dan SPO yang

berkaitan dengan pelaksanaan patient safety di Rumah

Sakit yang masih belum diatur.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Azrul. 2010 Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, PT Binarupa Aksara,

Jakarta.

Bidang Pelayanan Medik, Laporan Tahunan 2014 RSMH Palembang. Burges JF Jr, 2012, Innovation and efficiency in health care: does anyone really know what

they mean?, Health Systems.

Darmawan Hardi,dkk, 2013 ; Menuju pelayanan kesehatan yang aman, cetakan ke 5, kanisius, Yogyakarta.

Cahyono,suharjo.JB 2012; Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktek

kedokteran, edisi 5, Kanisius, Yogyakarta. Canadian Patient Safety Institute, 2009 ; The safety Competencies, first edition, enhancing

patient Safety Across the health Professions.

Departemen kesehatan Republik Indonesia , 2006 ; Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( Patient Safety );Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI , 2012 ;Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, Jakarta.

Depkes RI. Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta. Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indoneia Nomor. 129 Tahun 2009

Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta.

Djuhaeni, H. 2009. Manajemen Pelayanan Medik Di Rumah Sakit. Jakarta. Gray,Huon, et all 2012 ; Lecture notes cardiologi ,Erlangga Medical series, Jakarta.

Hana Permana, Indikator Kinerja Rumah Sakit, http://www.kebijakankesehatani

ndonesia.net/sites/default/files/file/2011/INDIKATOR%20KINERJA%20RS.pdf , diunduh 18 Januari 2015.

Page 74: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 241

Handayani, Sri. 2014; Patient Safety , http;//srihandayani.com/2010/10/pasien-safety.html diakses pada 4 agustus 2014. Jam 20.30 WIB.

Hughes, Ronda. G.2008.Patient Safety and Quality an Evidence Based Handbook of Nurses.

Rockville MD : Agency for Healthcare Research and Quality Publications, diakses 20 Oktober 2014, http://www.ahrg.gov/QUAL/nursehdbk.

KARS, 2011; Standar Akreditasi Rumah Sakit , Direktorat jendral Bina Pelayanan medik,

Jakarta. Kementerian Kesehatan RI, 2013. Indikator Kinerja Rumah Sakit Badan Layanan Umum,

Bagian Program dan Informasi Setditjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2013 Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta.

Laporan Bulanan Bid yanmed RSUP dr. Moh Hoesin Palembang. Laporan bulan

September 2014. Laporan Semesteran Instalasi Brain And Heart Centre RSUP dr. Mohammad Hoesin

Palembang,2014.

Laporan Tahunan RSUP dr. Moh Hoesin Palembang Tahun 2014. Mardiyoko,Ibnu, 2014; identifikasi pasien, Artikel , center for health information managemen

development.

Moertjahjo, AAK,2012 ; Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Jakarta . Moleong, 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi revisi, Penerbit Rosdakarya, Bandung.

Notoatmodjo, S. 2010, Etika & Hukum Kesehatan. Penerbit PT Asdi Mahasatya. Jakarta.

Richardson DB, The access-block effect: relationship between delay to reaching an inpatient bed and inpatient length of stay, MJA 2002, 177:492-495.

Rivany R. ; 2006 Hubungan Clinical Pathway dengan DRG’s Casemix. INA-version.

Rivany, R , 2010 ; Quo Vadis Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial nasional, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol 13.

Rivany, R, 2009 ; Indonesia Diagnosis Related Groups, Jurnal Kesehatan Masyarakat

Nasional Vol.4.

Rosko MD, Mutter RL, 2010, Inefficiency Differences between Critical Access Hospitals and Prospectively Paid Rural Hospitals, Journal of Health Politics, Policy and Law

Ruiz M, Bottle A, Aylin P, A,2013; retrospective study on the impact of the doctors’ strike in

England on 21 June 2012, J R Soc Med, 0:1-8. Sabarguna, B.S. 2008; Manajemen Kinerja Pelayanan Rumah Sakit. Penerbit CV Sagung

Seto. Jakarta.

Scott, Vaughan L, Bell D, 2009; Effectiveness of acute medical units in hospitals: a systematic review, International Journal for Quality in Health Care, 21:397-407.

Singer AJ, MD, ED 2006;Crowding: Challenges And Solutions.The Stony Brook

Experience, Stony Brook Medicine, New York. Stowell A, et al, 2013; Hospital out-lying through lack of beds and its impact on care and

patient outcome, Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency

Medicine. Sutoto, 2013 ; Clinical Pathways sebagai kendali mutu dan biaya dalam sistem pembiayaan

BPJS. Makalah dalam bimbingan akreditasi RS.

The Australian Council for Safety and Quality in Health Care , 2005.; National Patient Safety Education, Safety Quality Council.

Wibowo, 2014; Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Penerbit RajaGrafindo,

Jakarta. Wise MP, Frost PJ, 2010 Hospital mortality and junior doctors’ handover: the role of medical

schools and consultants, Q J Med 2010, 103:895-896.

Wong J,Beglaryan H , 2004 ; Strategies for Hospitals to Improve Patient Safety : Areview of the Research; The Change Foundation.

World Health Organization ( WHO ) 2009; Conceptual Framework for the International

Classification for Patient Safety, versi 1.1.final technical report January. Yolanda, EP. 2008. Tesis : Evaluasi Implementasi Kebijakan Kewajiban Menuliskan Resep

Obat Generik Di RSU Cilegon Tahun 2007. Program KARS Fakultas Kesehatan

Masyarakat. Universitas Indonesia.

Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015

Page 75: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 242

Tabel. 1. Distribusi Kelompok Umur dan Jenis Kelamin pada Pasien CAD Pro PCI di

Instalasi Brain and Heart Centre RSMH Palembang Bulan Maret- April 2015

No Karakteristik pasien N ( kasus ) Persentase ( % )

1. Umur < 60 tahun 13 54,2

60 tahun 11 45,8

2. Jenis kelamin Laki – laki 15 62,5

Perempuan 9 37,5

Tabel 2. Distribusi Lama Hari Rawat Pasien CAD pro PCI di Instalasi Brain and Heart

Centre RSMH Palembang Bulan Maret- April 2015

No Lama hari rawat N ( kasus ) Persentase ( % )

1 2 hari 10 41,6

2 3 hari 8 33,3

3 4 hari 3 12,5

4 6 hari 2 8,3

5 9 hari 1 4,2

Tabel 3. Distribusi Penyakit Penyerta CAD di Instalasi Brain And Heart Centre

RSMH Palembang Bulan Maret- April 2015

No Penyakit penyerta N ( kasus ) Persentase ( % )

1. CHF 1 20

2. AV Blok 1 20

3. HHD 3 60

Tabel 4. Total Penilaian Identifikasi Pasien

Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max

Sebelum pemberian obat, darah atau produk darah

- 10 5 10 10 35 40

Sebelum pengambilan darah dan spesimen

lain utk pemeriksaan - 5 10 - 10 25 30

Sebelum pemberian pengobatan - 5 10 5 10 30 40

Sebelum memberikan tindakan - 5 10 10 10 35 40

Menyiapkan gelang 10 - - - - 10 10

Memasang gelang - - 10 - 10 20 20

TOTAL 155 180

Tabel 5. Total Penilaian Komunikasi Efektif

Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max

Melakukan serah terima pasien - - 5 - 10 10 20

Melaporkan hasil pemeriksaan darah - 5 10 - 10 25 30

Melaporkan hasil EKG - 5 5 - 5 15 30

Melaporkan pasien baru - 5 10 10 10 35 40

Melaporkan kondisi pasien - 5 5 10 10 30 40

TOTAL 115 130

Tabel 6. Total Penilaian Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai

Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max

Menyimpan obat - - 10 10 10 30 30

Menuliskan jenis obat / peresepan - 5 5 - 5 15 30

Memberikan obat - 5 10 10 10 35 40

Melakukan pencatatan obat yang telah

diberikan

- 10 10 10 10 40 40

TOTAL 120 140

Page 76: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 243

Tabel 7. Total Penilaian Tepat Lokasi, Prosedur dan Pasien

Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max

Melakukan Sign In - - - 10 - 10 10

Melakukan Time Out - - - 5 - 10 10

Melakukan Sign Out - - - 10 - 10 10

TOTAL 25 30

Tabel 8. Total Penilaian Mengurangi Risiko Infeksi

Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max

Mencuci tangan sebelum kontak dgn

pasien

- 10 10 10 10 40 40

Mencuci tangan sebelum tindakan aseptik - 10 10 10 10 40 40

Mencuci tangan setelah beresiko kontak

dgn cairan tubuh

- 10 10 10 10 40 40

Mencuci tangan setelah kontak dgn

pasien

- 5 5 10 10 30 40

Mencuci tangan setelah kontak dgn lingkungan pasien

- 0 0 10 10 20 40

Menjaga kesterilan slang kateter - - 10 10 10 30 30

Menjaga kebersihan / kesterilan slang

IVFD

- 10 10 10 10 40 40

Memakai spuit sekali pakai - 10 10 10 10 40 40

TOTAL 280 310

Tabel 9. Total Penilaian dalam Mengurangi Resiko Jatuh

Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max

Melakukan asesmen resiko jatuh 5 5 10 10 10 40 50

Memasang pagar tempat tidur - - 10 10 10 30 30

Menyediakan bel didekat pasien dan mudah dijangkau - - 10 - 10 20 20

Memberikan pencahayaan yg terang namun tdk menyilaukan - - 10 10 10 30 30

Mengurangi penghalang seperti keset, noda basah dilantai, kain

kusut di TT

- - 5 - 10 15 20

Menyediakan kursi roda / brankar yg bereling 10 10 10 10 10 50 50

TOTAL 185 200

Tabel 10. Patient Safety Pathway CAD

NO SASARAN KEGIATAN UTILITY / RUANGAN TOTAL U

1 Identifikasi Pasien

Sebelum pemberian obat, darah atau produk darah

Sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klini

Sebelum memberian pengobatan

Sebelum memberikan tindakan

Menyiapkan gelang

Memasang gelang

2 Komunikasi efektif

Melakukan serah terima pasien ( hand off )

Melaporkan hasil pemeriksaan darah

melaporkan hasil EKG

Melaporkan pasien baru

Melaporkan kondisi pasien

3 Keamanan obat

yang perlu

diwaspadai

Menyimpan obat

menuliskan jenis obat / peresepan

Memberikan obat

Melakukan pencatatan obat yang telah diberikan

4 Pastikan tepat

operasi, prosedur

dan pasien

Melaksanakan Sign in

Melaksanakan Time out

Melaksanakan Sign out

5 Kurangi Resiko

Infeksi

Mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien

Mencuci tangan sebelum tindakan aseptik

Mencuci tangan setelah berisiko kontak dg cairan tubuh

Mencuci tangan setelah kontak dengan pasien

Mencuci tangan setelah kontak dengan lingkungan pasien

Menjaga kebersihan / kesterilan slang kateter

Menjaga kebersihan / kesterilan pemasangan IFVD

Memakai spuit sekali pakai

6 Melakukan asesment resiko jatuh

Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015

Page 77: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 244

NO SASARAN KEGIATAN UTILITY / RUANGAN TOTAL U

Kurangi Resiko

jatuh

Memasang pagar tempat tidur

Menyediakan bel didekat pasien dan mudah dijangkau

Memberikan pencahayaan yang terang namun tidak menyilaukan

terutama pada gang, kamar mandi dan jalan masuk

Mengurangi penghalang seperti keset, noda basah dilantai, kain yang kusut disamping tempat tidur

Menyediakan kursi roda atau brankar yg bereling

TOTAL UTILITY

Page 78: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 245

Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan

Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad

Hoesin Palembang Tahun 2015

Cost Recovery Rate of Hospital and INA CBGs’ Tariffs on Clinical Pathway on Coronary

Artery Disease in Mohammad Hoesin Palembang General Hospital, Year 2015

Mardiah

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian bertujuan melihat perbedaan cost recovery rate (CRR) tarif INA CBG’s dan tarif rumah sakit kasus

CAD dengan PCI di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan cost

of treatment berbasis clinical pathways pada severity level I nilai CRR RS berada diatas CRR tarif INA CBGs,

sedangkan pada severity level II nilai CRR RS lebih rendah dari CRR tarif INA CBGs. Pada severity level III

CRR tarif INA CBGs dengan utilisasi stent 1 dan 2 lebih tinggi dari CRR RS. Tarif INA CBGs tidak

memperhitungkan jumlah stent dalam setiap tindakan PCI. Perlu evaluasi metode penghitungan tarif INA CBGs

dari hospital base rate ke metode perhitungan cost of treatment berdasarkan clinical pathway, sehingga biaya

operasional RS dapat dipenuhi dan tetap mampu berikan pelayanan yang bermutu.

Kata kunci: cost recovery rate, cost of treatment, clinical pathway, CAD ,PCI, INA-CBGs.

ABSTRACT

This study aims to see how the difference between the cost recovery rate (CRR) hospital rates and INA CBG's

rates in case of CAD with PCI at Hospital Dr. Mohammad Hoesin Palembang. The results showed the cost of

treatment based on clinical pathways are at the severity level I value of CRR Hospital rates above the CRR

CBGs INA rates, whereas the severity level II of CRR Hospital rate more lower than CRR INA CBGs rates for

the utility stent is less than 2. At severity level III CRR INA CBGs with utilization rates of stent 1 and 2 higher

than the CRR INA CBGs rate. This is due to CBGs INA rate do not take into account the magnitude of the stent

in every act of PCI performed in patients with CAD. Based on the research necessary to evaluate the methode of

calculating INA CBGs rates from hospital base rate methode to Cost of treatment based on clinical pathway in

order to create a balance so that the operational cost of service rates hospitals can be met and still be able to

provide good quality services.

Keywords: cost recovery rate, cost of treatment, clinical pathway, CAD, PCI.

PENDAHULUAN

Program JKN membawa dampak besar dalam

pelayanan kesehatan di Indonesia, dimana masyarakat

yang sebelumnya sulit untuk mengakses pelayanan

kesehatan kini sangat dipermudah dengan tersedianya

layananan kesehatan yang terjangkau dengan bantuan

pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional tersebut. Di

samping itu dengan diberlakukannya JKN telah menjadi

era baru dalam metoda pembayaran bagi banyak rumah

sakit di Indonesia dimana sebagian besar rumah sakit

selama ini menggunakan mekanisme pembayaran Fee

for Service (FFS) mulai beralih ke mekanisme

pembayaran dengan klaim berdasarkan Indonesia Case

Base Groups (INA CBGs).

Page 79: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 246

Perubahan pembiayaan dari FFS ke INA CBGs

membawa RS menghadapi kondisi yang bisa menjadi

ancaman atau peluang. Peluang jika RS dapat

memanfaatkan program JKN dengan baik sehingga

selisih klaim bernilai positif karena mampu menyesuaikan

dengan tarif INA-CBGs dan ada yang negatif karena

belum mampu memberikan pelayanan yang efektif dan

efisien sehingga menjadi ancaman terhadap pengelolaan

keuangan RS. (Hardiman, 2013).

Banyak keluhan dari rumah sakit bahwa Tarif INA

CBGs jauh dibawah biaya yang dikeluarkan rumah

sakit, padahal anggaran BPJS pada 2014 disediakan

nyaris 20T, jauh lebih besar dari Jamkesmas, hal tersebut

harusnya menyenangkan rumah sakit. (Purnawan,

2014). Pada kenyataannya sebagian besar rumah sakit

masih mengalami selisih negatif antara klaim berdasarkan

tarif rumah sakit dibandingkan dengan tarif INA

CBG’s, sebagaimana yang tergambar dalam tabel

selisih tarif pelayanan di beberapa rumah sakit di

Sumatera Selatan.

Klaim pembiayaan pasien peserta JKN pada 2014

menunjukkan adanya selisih positif dan negatif atas

biaya klaim RSUP Dr. Mohammad Hoesin dengan

Tarif INA CBGs untuk rawat inap selama Tahun 2014

adalah sebesar Rp232.263.700,-. Sedangkan untuk

Kasus CAD pada pasien rawat inap terdapat selisih

negatif sebesar Rp598.025.075,- Bahkan untuk kasus

CAD dengan tindakan PCI (Percutaneous Coronary

Intervention) selisih negatif yang terjadi jauh lebih besar

yaitu sebesar Rp876.512.398,-.

Tingginya selisih biaya negatif pada kasus CAD pada

tindakan PCI, mengindikasikan pembiayaan kesehatan

masih terdapat kesenjangan antara tarif rumah sakit

dengan tarif INA CBGs di rumah sakit pada tahun 2014,

sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai perhitungan

Cost Recovery Rate (CRR), dengan membandingkan

Cost of Treatment dengan tarif INA CBG’s dan tarif

rumah sakit pada kasus CAD dengan tindakan PCI.

TINJAUAN PUSTAKA

Evaluasi ekonomi merupakan suatu analisis secara

kualitatif dari apa yang diharapkan atau diinginkan oleh

masyarakat dalam melakukan intervensi pada beberapa

proyek atau program, dimana harapan dan keinginan

tadi didasarkan pada efiensi dari cost dan konsekuensi

dari opportunity cost. Evaluasi ekonomi dapat dilakukan

dari berbagai perspektif, dan yang paling umum

digunakan adalah perspektif rumah sakit, perspektif

kesehatan, perspektif pembayar pihak ketiga dan

perspektif masyarakat. Dari perspektif rumah sakit,

hanya biaya rumah sakit yang sebenarnya termasuk

dalam analisis. Perspektif kesehatan meliputi dokter

umum atau biaya perawatan kebidanan. Dari perspektif

pembayar pihak ketiga, biaya pelayanan kesehatan

untuk manajemen pasien yang tercermin dari

pembayaran yang dilakukan (tarif), terlepas dari biaya

yang sebenarnya. Perspektif sosial mencakup semua

biaya pelayanan kesehatan aktual dan biaya pelayanan

kesehatan di luar, seperti out-of-pocket dan biaya yang

terkait dengan kerugian produktivitas karena ketidakmampuan

untuk bekerja. (Fiddelers et al, 2006).

Pengertian Biaya bagi rumah sakit yang sudah

berbentuk Badan Layanan Umum mengacu kepada

Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang

pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU) yang

kemudian dilakukan perubahan dengan Perpres nomor

74 tahun 2012 dan Permendagri nomor 61 tahun 2007

bahwa biaya BLU merupakan biaya operasional dan

biaya non operasional. Biaya operasional BLU mencakup

semua biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan tugas

dan fungsinya. Dalam hal ini rumah sakit BLU

mempunyai tugas dan untuk penyediaan pelayanan

kesehatan. Biaya non operasional BLU adalah semua

biaya yang menjadi beban BLU dalam rangka

menunjang tugas dan fungsinya.

Biaya satuan adalah biaya yang perlu dikeluarkan untuk

menghasilkan suatu produk (barang atau jasa) atau biaya

yang dihitung untuk setiap produk (layanan atau barang)

dan disebut juga dengan biaya rata-rata atau average

cost. (Horngren, 2006; Wonderling, 2005) Sehingga

untuk melakukan perhitungan biaya satuan pelayanan di

RS perlu diketahui besaran (cakupan) atau jenis produk

layanan yang dihasilkan.

Cost of Treatment adalah perhitungan biaya yang terkait

dengan biaya langsung dan tak langsung yang dibutuhkan

untuk melakukan perawatan/tindakan layanan kesehatan per

penyakit terhadap pasien yang sesuai dengan Clinical

Pathway-nya. Secara teknis perhitungan biaya tersebut

akan mempergunakan activity based costing untuk

biaya langsungnya yang dimodifikasi dengan simple

distribution method untuk biaya tak langsungnya

(Rivany, 2010).

Page 80: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 247

Dengan perhitungan analisis biaya berbasis metode

activity based costing dan metode simple distribution,

maka akan dapat dihitung biaya total dan biaya satuan

yang dibutuhkan untuk setiap tindakan/aktivitas yang

terjadi mulai dari pasien datang sampai pulang dengan

sembuh yang sesuai dengan clinical pathway-nya

masing-masing. Dengan mengacu pada clinical

pathway maka akan dapat diketahui berbagai macam

jenis tindakan dan jumlah utilisasinya (U), di samping itu

dapat dihitung pula Direct Cost (DC), Indirect Cost

(IDC), Total Cost (TC) serta Unit Cost (UC)-nya

sehingga secara subtotal akan dapat diperoleh biaya per

aktivitas dari clinical pathway (utilisasi x unit cost) dan

biaya total dari cost of treatment yang merupakan

penjumlahan biaya per aktivitas yang telah dihitung

terlebih dahulu sebelumnya (cost/DRG) (Rivany,

2010).

Salah satu tujuan menentukan tarif adalah untuk

memperoleh peningkatan Cost Recovery Rate, yaitu

nilai dalam persen yang menunjukkan seberapa besar

kemampuan rumah sakit menutup pengeluaran atau

biayanya (cost) dibandingkan dengan penerimaan dari

retribusi pasien (revenue) (Djuhaeni, 2009; Gani, 1997).

Cost index merupakan perhitungan prosentase

komponen biaya pada tahapan clinical pathway untuk

menganalisa bobot komponen biaya ada pada setiap

tahapan. Dengan cost of treatment yang telah dihitung

berbasis clinical pathway, diharapkan dapat melakukan

pengendalian biaya dengan lebih baik. Perhitungannya

adalah dengan membagi total cost pada tiap tahapan

dengan seluruh total cost of treatment.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 59 tahun 2014

menyebutkan bahwa Tarif INA CBGs adalah besaran

pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada

Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas

paket layanan yang didasaran kepada pengelompokkan

diagnosis penyakit dan prosedur.Dalam Peraturan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

(Permenkes RI) Nomor 27 Tahun 2014 Tentang

Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups

(INA-CBGs) disebutkan bahwa Indonesian Case Base

Groups (INA CBGs) adalah sistem pembayaran dengan

dengan sistem paket berdasarkan pengelompokan penyakit

dan diagnosis yang mengacu pada ciri klinis yang sama

dengan menggunakan United Nation University Grouper.

Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan

sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan atau

prosedur yang menjadi output pelayanan, dengan acuan

ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk

tindakan/prosedur. Clinical Pathways (CP) adalah suatu

konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum

setiap langkah yang diberikan kepada para pasien

berdasarkanstandar pelayanan medis dan asuhan

keperawatan yangberbasis bukti dengan hasil yang

terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di

rumah sakit.

Coronary Artery Disease (CAD) atau dikenal juga

dengan Coronary Heart Disease (CHD) /Penyakit

Jantung Koroner (PJK) didefinisikan sebagai penyakit

jantung dan pembuluh darah yang disebabkan karena

penyempitan arteri koroner. Penyempitan tersebut dapat

disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis

arteritis, embolikoronaria, dan spasme.Tujuan utama

pengobatan adalah mencegah kematian dan terjadinya

serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya

adalah mengontrol serangan angina, sehingga memperbaiki

kualitas hidup. Pengobatan terdiri dari farmakologis dan

non-farmakologis untuk mengontrol angina dan juga

memperbaiki kualitas hidup. Tindakan lain adalah terapi

reperfusimiokardium dengan cara intervensi koroner

dengan balon (PCI/PTCA) dan pemakaian stent sampai

operasi CABG (bypass).

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan

kualitatif. Desain penelitian kuantitatif dengan pedekatan

cross sectional untuk analisis biaya. Penelitian diawali

dengan menentukan Clinical Pathway yang kemudian

dilakukan penyusunan Cost of Treatment dari tindakan

CAD dengan tindakan PCI. Kemudian membandingkan

cost of treatment yang telah tersusun dengan TarifINA-

CBG’s dan cost of treatment dengan Tarif Rumah Sakit.

Sedangkan penelitian kualitatif dengan dilakukannya

Focus Discussion Group dan wawancara. Penelitian

dilakukan di bagian rekam medis, bagian keuangan,

ruang SIMRS RSUP Dr. Mohammad Hoesin

Palembang.Waktu pelaksanaan penelitian bulan Januari

sampai Maret 2015. Pengambilan data primer dilakukan

dengan pengamatan langsung dari ruang Admisi sampai

ke ruang rawat inap Instalasi Brain and Heart Center,

ruang Catheter Jantung serta melaksanakan wawancara

dengan kelompok Staf Medis Penyakit Dalam Divisi

Kardiovaskuler (Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Konsultan Kardio Vaskuler) dan Kelompok Staf Medik

Kardiologi (Dokter Spesialis Jantung dan Paru).

Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015

Page 81: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 248

Pengumpulan data sekunder dilakukan pengisian

formulir daftar isian untuk mengetahui pemakaian

fasilitas dalam tindakan PCI pada pasien Penyakit

Jantung Koroner selama bulan Januari sampai Maret

tahun 2015 yang tertera dalam arsip catatan Rekam

Medis Pasien. Selain itu dikumpulkan juga informasi

dari bagian keuangan untuk mengetahui biaya masing-

masing variabel dan total yang dibayarkan selama masa

perawatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Data mengenai karakteristik responden dalam penilitian

ditampilkan dalam tabel 1, 2, 3 dan 4. Dari karakteristik

dan lama hari rawat pasien serta penyakit penyerta dan

penyulit kemudian dilakukan pengelompokan berdasarkan

clinical pathway yang disepakati. Kemudian data yang

didapat diolah dan dihitung sesuai dengan tindakan

berdasarkan metode penelitian sehingga diperoleh unit cost

masing-masing pelayanan dan kemudian dirangkum

sebagai Cost of Treatment CAD.

Penyakit penyerta yang diperhitungkan adalah jenis

penyakit yang jumlahnya paling banyak ditemukan

dalam rentang waktu pengambilan kasus penelitian,

antara lain:

1. Dislipidemia (E. 789)

2. Hipertensive Heart Disease /HHD (I.119)

3. Hipertensi (I.10)

4. Diabetes Melitus (E119)

Sedangkan jenis penyakit penyulit yang ditemui

bersama penyerta yang ditemukan dalam rentang waktu

pengambilan kasus penelitian, antara lain:

1. Congestive Heart Failure (I.110)

2. Infark Miokard (I.21.0)

Unit cost yang diperlukan dalam kegiatan ini adalah

yang terkait dengan kegiatan selama perawatan pasien

CAD dengan PCI sesuai clinical pathway. Beberapa

kegiatan langsung dirangkum menjadi satu unit cost

kegiatan seperti kegiatan Tindakan PCI dan asuhan

keperawatan.

Unit cost untuk obat dan alat kesehatan diperoleh dari

daftar harga yang diberikan Instalasi Farmasi RSMH.

Dalam kegiatan PCI utisisasi alat kesehatan yang

berpengaruh dalam tindakan PCI adalah stent baik

jumlah dan jenis yang dipasang.

Cost of Treatment adalah perhitungan biaya yang terkait

dengan biaya langsung dan biaya tak langsung yang

dibutuhkan untuk melakukan perawatan/tindakan PCI

sesuai dengan Clinical Pathway pada pasien CAD yang

telah disepakati. Penghitungan biaya dilakukan berdasarkan

3 (tiga) clinical pathway yang ada di atas. Selain itu

pengitungan juga dibedakan berdasarkan akomodasi yang

ada dan jumlah stent yang dipergunakan pada tindakan PCI

yang dilakukan (ditampilkan dalam tabel 5).

Cost Index merupakan persentase perhitungan dari total

cost pada tiap tahapan dalam clinical pathway pasien

CAD yang dibagi dengancost of treatment. Secara

keseluruhan dalam kasus pasien CAD yang dilakukan

tindakan PCI maka cost index terbesar berada dalam

tahapan tindakan operasi (Percutaneus Coronary

Intervention) (ditampilkan dalam tabel 6).

Cost Recovery Rate merupakan hasil perhitungan dari

perbandingan hasil penerimaan dari pasien dengan total

pembiayaan yang dikeluarkan rumah sakit. Perhitungan

tarif INA CBG’s yang digunakan sesuai dengan PMK

No. 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem

Indonesian Case Base Groups(INA-CBGs)dan PMK

No. 59 tahun 2014 tentang 2014 standar tarif pelayanan

kesehatan dalam penyelenggaraan Program Jaminan

Kesehatanyang telah diaplikasikan dalam software INA

CBGs versi 4,1.

Dalam INA CBG’s terdapat Special CMG atau special

group pada tarif INA-CBGs saat ini dibuat agar

mengurangi resiko keuangan rumah sakit. Saat ini

hanya diberikan untuk beberapa obat, alat,prosedur,

pemeriksaan penunjang serta beberapa kasus kasus

penyakit sub akut dan kronis yang selisih tarif INA

CBGs dengan tarif rumah sakit masih cukup besar.

Sedangkan saat ini kode special CMGYY03 tarifnya

sesuai grouper versi 4,1 hanya bernilai Rp. 18.600.200,00.

Nilai tarif Prosedur PCI dalam tarif INA CBG’s sesuai

kelas rawat dan penambahan special CMG ditampilkan

dalam tabel 7, 8, dan 9.

Dari Hasil perbandingan tarif tersebut penulis kemudian

mencoba menempatkan pengelompokan tarif RS dan

INA CBGs terhadap COT yang dianggap setara. Hasil

perbandingan tarif tersebut dapat dilihat pada tabel 4.10.

Page 82: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 249

Dari tarif INA-CBGs yang bisa kita hitung nilai CRR

nya hanya untuk Pasien CAD dengan tindakan PCI

Murni diasumsikan setara dengan tindakan perkutaneus

ringan. Sedangkan dengan penyerta dianggap setara

dengan tindakan PCI sedang dan yang tertinggi CAD

dengan penyerta penyulit dianggap setara dengan

tindakan PCI berat. Sedangkan perbedaan harga stent

tidak dapat diukur.Hal ini dikarenakan tidak adanya

kejelasan pengelompokkan kriteria ringan, sedang dan

berat pada pola tarif INA-CBGs (ditampilkan dalam

tabel 10, 11, dan 12).

Jika melihat dari prinsip AR DRG maka pengelompokan

pasien hanya dikelompokkan 2 kelompok yaitu kelompok

murni tanpa komorbiditi dan tanpa komplikasi. Sedangkan

dalam penulisan diagnosis yang tertera didalam rekam

medis biasa dilakukan oleh dokter tidak selalu sama dan

sesuai dengan diagnosa yang dipilih coder atau petugas

rekam medis. Penetapan diagnosis utama sangat

ditentukan oleh dokter yang merawat pasien, namun

pada kenyataannya penulisan diagnosa kadang dilakukan

oleh dokter residen/ruangan yang mungkin memiliki

persepsi yang berbeda dengan dokter penanggung

Jawab Pasien (DPJP).

Dari data yang diperoleh selama penelitian diagnosa

Coronary artery Disease termasuk dalam pengkodean

ICD X yaitu I.25.1 Atherosclerotic heart disease masuk

dalam MDC 5 disease and dissorder of the circulatory

system. Berdasarkan wawancara dengan petugas rekam

medis, dokter penanggung jawab pasien dan perawat

ruangan, pada umumnya dokter tidak pernah menulis

diagnosa berdasarkan pengkodean ICD X. Pengkodean

ICD dilakukan oleh petugas rekam Medis. Beberapa

penelitian terdahulu menyebutkan bahwa rekam medis

di rumah sakit masih belum baik, baik dari segi

kelengkapan maupun pemahaman tentang ICD-X

(Suryati, 1998, Muchlis, 2014).

Lama hari rawat sangat ditentukan oleh diagnose

penyakit, komplikasi serta adanya penyakit penyerta dan

adanya tindakan medis tambahan yang dilakukan.

Sulastomo (1997) menyatakan rata-rata lama hari rawat

berkaitan dengan adanya tindakan operasi, penyakit

pemberat dan penyakit penyerta yang dialami pasien

serta sistem pembayaran. Namun pada tabel 4.2

menunjukkan bahwa kelomppok penyakit CAD

dengan diagnosa murni dan CAD dengan penyerta

memiliki lama hari rawat yang hampir sama hal ini

disebabkan karena penyakit penyerta pada pasien CAD

dengan penyerta pada prinsipnya merupakan faktor

resiko dari kejadian CAD sendiri seperti Dislipidemia,

Hipertensi, Coagulasi dan diabetes Melitus, sehingga

penatalaksanaan perawatan dan pengobatan lebih

kurang sama. Namun pada penderita CAD dengan

Penyerta dan penyulit memiliki lama hari perawatan

yang lebih panjang, disebabkan adanya penatalaksanaan

terhadap penyulit yang muncul. Walaupun tindakan

CAD harus segera dilakukan walaupun dengan penyulit

yang ada. Perbedaan penatalaksanaan biasanya adalah

pada lama hari rawat setelah tindakan PCI untuk

mengatasi faktor penyulit yang ada.

Clinical pathway tersebut disusun dari data rekam medis

yang dikumpulkan sehingga menjadi suatu draft dengan

mempedomani clinical pathway terdiri dari pendaftaran,

penegakkan diagnose, pra terapi (pra operasi), terapi

(operasi), tindak lanjut, dan pulang. Diskusi dilakukan

sampai menjadi suatu clinical pathway yang disepakati

dan dapat digunakan untuk kasus CAD dengan

Tindakan PCI di RSUP Dr Mohammad Hoesin

Palembang melalui kesepakatan peer group.

Kesepakatan penetapan LOS 3 hari merupakan hasil

wawancara dengan dokter SPPD KKV dan data dari

jumlah rata-rata LOS pasien CAD yang dirawat pro

PCI. Pada pasien CAD pro PCI yang murni dan dengan

penyerta LOS disepakati sama karena tidak terdapat

perbedaan yang terlalu bermakna dalam penangan

kedua kelompok pasien tsb, mengingat penyakit

penyerta yang ditunjukkan adalah merupakan faktor

risiko terjadinya CAD, sehingga pemeriksaan penunjang

yang dibutuhkan kurang lebih sama.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan

pasien kasus CAD dengan tindakan PCI dapat

dilakukan selama 3 hari untuk pasien CAD murni dan

CAD dengan penyerta, secara umum telah dilakukan

para dokter, tetapi sebagian masih melebihi LOS 3 hari

yang telah ditetapkan tersebut. Dari rata-rata 3 hari

tersebut dapat dilihat seberapa besar biaya pelayanan

yang ditimbulkan jika melebihi masa rawat tersebut

semakin besar biaya yang dikeluarkan dan menunjukkan

bagaimana efisiensi layanan yang diberikan.

Hal ini sesuai dengan tujuan clinical pathway yaitu

sebagai alat ukur efisiensi dalam pelayanan kesehatan.

Sesuai dengan penelitian Dewi Indah (2015) yang

menunjukkan bahwa dengan adanya penatalaksanaan

pasien melalui clinical pathway beserta utilisasinya

Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di

RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015

Page 83: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 250

maka biaya dapat dihitung sesuai dengan kondisi dan

kelompok diagnose suatu penyakit.

Disamping itu dapat dilihat melalui clinical pathway

yang sudah disepakati dapat dilakukan pengendalian

terhadap pemeriksaan penunjang yang perlu, sebagaimana

manfaat dari clinical pathway yaitu (Fryer, Rosch &

Amrizal, 2005): menurukan variasi pelayanan dan

meningkatkan hasil klinis, mendukung penggunaan

clinical guidelines dan pengobatan berbasis evidence,

menurunkan biaya perawatan, efisiensi penggunaan

sumber daya tanpa mengurangi mutu, sebagai alat

kendali mutu dan kendali biaya dalam pemberian

pelayanan kesehatan.

Dalam penelitian ini unit cost yang mendukung kegiatan

pelayanan kasus CAD dengan tindakan PCI diperoleh

melalui unit cost rumah sakit yang disusun pada tahun

2012. Idealnya penyusunan unit cost ini menggunakan

unit cost yang sudah disesuaikan dengan data tahun

terakhir.

Dari unit cost yang menyusun biaya pelayanan tindakan

PCI pada pasien CAD ternyata unit cost tertinggi adalah

unit cost layanan tindakan PCI, yaitu sebesar

Rp29.284.773,00. sedangkan dalam tiap tindakan PCI

terdapat utilitasi stent yang bernilai rata-rata

Rp.18.496.175,00 per satuannya. Dimana jenis stent

yang digunakan pada seluruh sample penelitian adalah

DES (drug eluting stent). Berdasarkan penelitian David

D.Ariwibowo et al, 2008, jenis DES terbukti mengurangi

kebutuhan revaskularisasi dibandingkan bare metal

stent. Namun stent dengan jenis DES mempunyai

harga cukup tinggi dibanding non DES.

Hal ini sesuai dengan penelitian Wita,Virna (2012),

Hamka (2010) yang menyebutkan bahwa biaya

operasional dengan persentase terbesar (>70%) dari total

biaya satuan tindakan bedah, dimana komponen obat

termasuk didalamnya. Hal ini juga sesai dengan

penelitian Putra (2011) yang menyatakan bahwa

komponen biaya yang terbesar dalam variabel cost

adalah biaya bahan habis pakai medis, hal ini disebabkan

karena tindakan medis memerlukan bahan dan alat

kesehatan habis pakai yang banyak dan mahal. Jenis dan

lamanya waktu pemberian tindakan merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan macamnya

alat kesehatan yang digunakan. Dengan demikian biaya

yang ditanggung pasien juga berbeda tergantung utilitas

alat.

Dari kesepakatan 3 clinical pathway untuk tindakan PCI

pada pasien CAD di RSMH, selanjutnya dilakukan

perhitungan cost of treatment masing-masing clinical

pathway tersebut.

Perhitungan cost of treatment dalam penelitian ini

menggunakan metode Activity Based Costing + Double

Distribution Methode. Methode double distribution

dipergunakan untuk menghitung biaya satuan per unit

pelayanan. Setelah didapat unit cost masing-masing unit

produksi maka dikalikan dengan utilisasinya berdasarkan

activity based costing dengan penambahan biaya obat

dan jasa medis juga asuhan keperawatan.-

Dalam penelitian ini cost of treatment dari pasien CAD

dengan tindakan PCI bervariasi sesuai 3 clinical

pathway yang telah disepakati, semakin berat derajat

keparahan penyakit semakin besar COT yang terjadi.

Pada pasien CAD yang dilakukan PCI tanpa penyerta

dan penyulit COT hanya Rp.31.518.054,00, sedangkan

dengan penyerta bernilai Rp.34.052.935,00 dan CAD

dengan penyerta dan penyulit nilai COT meningkat

menjadi Rp.36.234.104,00. Hal ini disebabkan adanya

perbedaan dalam pemeriksaan penunjang yang dilakukan,

obat-obatanyang digunakan serta lamanya hari rawat.Hal ini

ditambah lagi dari setiap clinical pathway yang ada terdapat

perbedaan utilitas stent, sehingga setiap peningkatan jumlah

stent yang ada akan meningkatkan jumlah cost of treatment.

Hasil penelitian menunjukkan kesesuaian dengan

penelitian Dewi (2013) dan Muchlis (2014). Dimana

dalam penelitian mereka menunjukkan adanya penyakit

penyerta dan penyakit penyulit dan komplikasi

menunjukkan peningkatan jumlah cost of treatment

penangan pasien (herniotomi dan appendiktomi) karena

perbedaan utilisasi alat medis dan pemeriksaan penunjang

yang dilakukan pada masing-masing kelompok clinical

pathway.

Selain itu semakin tingginya kelas rawat akan meningkatkan

COT. Akomodasi kelas ikut memperbesar nilai COT,

seperti pada pasien dengan akomodasi kelas I akan

mengalami pengingkatan nilai pada tahapan discharge

sehingga kan mempengaruhi nilai COT secara

keseluruhan. Dalam penelitian COT tertinggi ada pada

kelas rawat yang paling tinggi dan paa CAD dengan

penyulit dan juga penyerta dimana akomodasi yang

ditambahkan menjadi 6 kali akomodasi kelas I ditambah

utilisasi stent sebanyak 4 buah sehingga nilai COT

mencapai Rp. 112,874,436,00. Sedangkan CAD murni

Page 84: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 251

dengan tindakan PCI pada ruang perawatan kelas III

dengan utilisasi stent hanya 1 buah nilai COT hanya

mencapai Rp 51,342,045,00

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian

Muchlis (2014) yang menunjukkan adanya perbedaan

cost of treatment pada pasien dengan akomodasi kelas

I,II dan III. Dimana semakin tinggi kelas perawatan nilai

COT semakin besar.

Pada hasil penelitian, tahapan terapi atau operasi mempunyai

indeks terbesar baik pada kelompok penyakit murni,

penyerta, maupun kelompok komplikasi (penyulit) dan

penyerta.Satuan indeks standar merupakan hasil

persentasi dimana perhitungannya adalah tahapan

clinical pathway dibagi dengan cost of treatment. Index

ini kemudian bisa menjadi standar acuan perbandingan

antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Jika

dibandingkan dengan penelitian–penelitian sebelumnya

untuk tindakan operasi memang tahapan yang

membutuhkan biaya paling besar (ditampilkan dalam

tabel 12).

Melihat cost indeks dalam tabel diatas memperlihat

bahwa dalam tahapan penegakkan diagnosa sampai

dengan tahapan pulang relatif sebanding dengan nilai

yang terdapat pada di rumah sakit lain untuk tindakan

operasi yang lain. Namun dalam tahapan operasi cost

indeks RSMH sangat tinggi dibanding RS lain. Hal ini

disebabkan dalam tindakan operasi lain peralatan dan

biaya operasi sudah mempertimbangkan biaya yang

dikeluarkan relatif sama sedangkan dalam kegiatan

tindakan PCI unit cost yang terdapat di RSMH untuk

timdakan PCI cukup tinggi, hal ini dihubungkan dengan

pada saat penetapan unit cost peralatan yang digunakan

masih baru sehingga nilai penyusutan alat bernilai kecil.

Disamping itu penggunaan stent yang mahal dalam

tindakan PCI juga sangat mempengaruhi besaran cost of

treatment. Semakin banyak stent yang digunakan maka

akan semakin besar nilai cost of treatment yang muncul

maka akan mempengaruhi persentase cost index

tahapan tersebut.

Ketentuan tarif yang berlaku di RSMH Palembang

adalah berdasarkan sesuai PMK Nomor: 100/PMK.05/

2014 dan berdasarkan SK Direktur yang besarannya

ditetapkan dengan mempertimbangkan pembiayaan

total dan distribusi biaya serta adanya target margin.

Untuk tindakan PCI besaran tarif dibedakan berdasarkan

jenis tindakan termasuk dalam tarif tindakan elektromedik

berdasarkan jumlah stent yang digunakan.

Dari tabel 13 terlihat bahwa semakin banyak jumlah

stent yang digunakan maka semakin besar nilai cost of

treatment yang terjadi. Pemakaian stent dengan DES

memang dianjurkan dimana stent dengan DES akan

mengurangi kemungkinan perulangan kejadi sklerosis

pembuluh darah koroner.

Jika melihat tarif yang ada maka selisih tarif untuk setiap

penambahan stent hanya berkisar Rp.10.000.000,- s/d

Rp.16.000.000,- Jumlah ini tidak menutupi jumlah unit

cost untuk tiap penambahan stent jenis DES yang

bernilai Rp.18.496.175,00 per satuannya. Penetapan tarif

stent d RS telah melalui persetujuan dari kementerian

kesehatan dan Kementerian keuangan, yang dapat

dipengaruhi oleh daya beli masyarakat. Pada umumnya tarif

rumah sakit di Indonesia rendah, bahkan lebih rendah dari

pada biaya satuan sehingga membutuhkan subsidi dari

pemerintah untuk pengembalian biaya satuan tersebut

(Thabrany, 1998).

Dalam penelitian Setiaji (2008) disampaikan bahwa,

rumah sakit pemerintah cenderung mempunyai over

head cost yang tinggi, hal ini terutama karena biaya gaji

yang tinggi akibat besarnya jumlah pegawai tetap, akan

tetapi tidak disertai dengan produktivitas yang tinggi,

sehingga berakibat proses penetapan tarif dalam rumah

sakit pemerintah harus memperhatikan berbagai isu

yaituisu sosial dan amanat rakyat, isu ekonomi dan isu

politik.

Namun demikian seharusnya sebagai rumah sakit yang

sudah berbentuk Badan Layanan Umum, penetapan

tarif layanan seharusnya tetap mempertimbangkan

kemampuan rumah sakit menutupi biaya operasionalnya

dari pendapatan layanan yang diberikan.Peraturan

Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan

Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Presiden Nomor 111 Tahun 2013, mengamanatkan

tarif ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun.

Upaya peninjauan tarif dimaksudkan untuk mendorong

agar tarif makin merefleksikan actual cost dari

pelayanan yang telah diberikan rumah sakit. Selain itu

untuk meningkatkan keberlangsungansistem pentarifan

yang berlaku, mampu mendukung kebutuhan medis

yang diperlukan dan dapat memberikan reward

terhadap rumah sakit yang memberikan pelayanan

dengan outcome yang baik

Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015

Page 85: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 252

Tarif INA CBG’s yang digunakan dalam pengklaiman

pasien JKN? BPJS di RSUP dr. Mohammad Hoesin

Palembang adalah Tarif INA CBGs versi 4,1 untuk tarif

Rumah Sakit Kelas A di Regional 2. Dalam pembayaran

menggunakan CBG's, baik Rumah Sakit maupun pihak

pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian

pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan

menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG.

Pada kode INA-CBGs tindakan PCI pada pasien CAD

termasuk dalam pengelompokkan kode INA-CBGs

terbagi menjadi 3 kategori, yaitu: I-1.40-I (Prosedur

Kardiovaskular Perkutan Ringan, tingkat keparahan 1

(tanpa komplikasi maupun komorbiditi), I-1.40- II

(Prosedur Kardiovaskular Perkutan Sedang, tingkat

keparahan 2 dengan mild komplikasi dan komorbiditi),

I-1.40-III (Prosedur Kardiovaskular Perkutan Berat,

tingkat keparahan 3 dengan major komplikasi dan

komorbiditi).

Istilah ringan, sedang dan berat dalam deskripsi dari

Kode INA-CBGs bukan menggambarkan kondisi

klinis pasien maupun diagnosis atau prosedur namun

menggambarkan tingkat keparahan (severity level)

yang dipengaruhi oleh diagnosis sekunder (komplikasi

dan ko-morbiditi). Dalam aplikasi terakhir INA CBG

yaitu sistem INA CBGs versi 4,1 terjadi peningkatan

dan penurunan nilai tarif. Top up tersebut pada PCI

bernilai sama pada semua severity level dan pada semua

kelas, untuk Regional 2 RS tipe A bernilai

Rp.18.600.200,00 (PMK 59 th.2014). Nilai spesial

prosedur PCI termasuk yang mengalami penurunan

nilai tarif, dimana dari sebelumnya bernilai Rp.

19.476.681.

Tarif INA CBGs tidak melihat besaran jumlah alat

medis ataupun alat habis pakai yang digunakan dalam

tindakan PCI, ini ditunjukkan dari seragamnya nilai top

up tindakan PCI pada semua severity level dan pada

semua kelas. Hal ini juga disebutkan secara jelas pada

PMK 27.thn 2014 bahwa besaran nilai pada tarif special

CMG tidak dimaksudkan untuk menganti biaya yang

keluar dari alat, bahan atau kegiatan yang diberikan

kepada pasien, namun merupakan tambahan terhadap

tarif dasarnya.

Disamping itu perbedaan metode penghitungan biaya

dalam menentukan tariff rumah sakit adalah berdasarkan

hospital base rate. Dimana tarif RS yang dijadikan

sebagai data dasar pengambilan sample adalah rumah

sakit pemerintah, yang dalam penetapan tarifnya banyak

dipengaruhi oleh pertimbangan daya beli masyarakat

dan subsidi pemerintah. Sehingga tarif yang dikeluarkan

rumah sakit tersebut cenderung lebih rendah dari unit

cost sebenarnya. Padahal rumah sakit harus mengeluarkan

biaya yang berbeda pada setiap perbedaan utilitas alat, karena

mempertimbangkan penggantian atas biaya yang sudah

dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewi

(2013) dan Muchlis (2014) yang menyebutkan betapa

sulitnya menerapkan pengelompokkan tarif berdasarkan

INA CBGs karena adanya perbedaan cara pengelompokkan

dengan tarif RS.

Dalam pengelolaan suatu rumah sakit baik pemerintah

maupun swasta, nilai CRR diatas 100% merupakan

tujuan yang ingin dicapai. Hal ini artinya total biaya yang

dikeluarkan dapat ditutupi seluruhnya dengan biaya

penerimaan rumah sakit. Nilai CRR akan memperlihatkan

seberapa besar subsidi yang harus diberikan pada suatu

rumah sakit. Hasil penelitian memperlihatkan untuk

kategori pasien BPJS dengan tarif INA-CBGs, pada tiap

diagnosa yang berbeda dengan utilisasi yang berbeda

maka akan muncul nilai CRR yang berbeda. Semakin

banyak jumlah stent yang digunakan maka semakin

kecil nilai CRR yang dihasilkan.

Nilai CRR tarif INA CBG yang ada untuk kasus CAD

murni pada pasien kelas I sampai kelas III secara umum

berada di bawah angka 90% untuk 1 stent dan

kecenderungannya semakin kecil jika stent yang

dipergunakan meningkat sampai 4 stent. Sedangkan

untuk kasus CAD dengan Penyerta yang dilakukan

tindakan PCI secara umum jika pemakaian stent

mencapai 2 stent maka CRR masih berada diatas nilai

100%, namun jika stent yang digunakan sudah

mencapai 3 stent maka nilai CRR rata-rata berada pada

kisaran 90%. Jika stent yang digunakan 4 buah maka

CRR hanya mencapai 50% bahkan kurang .atau lebih.

Pada kasus CAD dengan Penyerta, dan Penyulit untuk

tindakan PCI yang menggunakan 1dan 2 stent baik pada

kelas I sampai kelas III rata-rata nilai CRR berada diatas

100%. Hal ini disebabkan utilisasi stent menghabiskan

biaya yang cukup besar, sedangkan top up pada spesial

prosedur PCI hanya diperkenankan satu kali dengan nilai

yang sama di setiap kelas yaitu sebesar Rp.18.600.200.

padahal unit cost yang dikeluarkan oleh rumah sakit

untuk setiap stent adalahRp.18.496.175,00 per satuannya.

Page 86: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 253

Adapun Nilai CRR yang dapat diperbandingkan adalah

tindakan PCI pada CAD murni di kelas rawat I dan kelas

III dengan utilisasi stent sebanyak 3 buah, tarif RS

menunjukkan CRR mendekati 100% sedangkan tarif

INA CBG hanya mencapai 50%. Untuk perbandingan

CRR pada pasien CAD dengan Penyulit dan Penyerta

dikelas II dengan utilisasi stent 3 CRR Tarif RS

mencapai 92% sedangkan tarif INA CBGs mencapai

100%. Pada pasien kelas III dengan utilisasi stent 1 buah

CRR tarif RS mencapai 119,01% sedangkan dari tarif

INA CBG mencapai 149 %.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Budiarto dan

Sugiarto (2012) yang menyatakan untuk RSUP kelas A,

kelas B maupun RS khusus biaya penggantianklaim

menurut INA CBGs lebih besar dibandingkandengan

biaya menurut tarif riil rumah sakit, sehingga rumah

sakit ‘tidak rugi’ kalau penggantian perawatan dan

tindakan pasien Jamkesmas menggunakan INA CBGs.

Namun penelitian lain menyebutkan bahwa rerata CRR

tafif INA CBGs lebih rendah dari CRR tarif RS,

sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Dewi

(2014) yang menyebutkan bahwa CRR terhadap tarif

INA CBGs berkisar antara 90.85% hingga 65,98%.

Sedangkan CRR tarif RS berada diatas 100%. Hal yang

hampir serupa ditunjukkan dalam penelitian Muchlis

(2014) CRR tarif Rumah sakit secara keseluruhan

disemua kelas mencapai angka lebih dari 131% namun

jika dibandingkan dengan CRR tarif INA CBGS dari

semua kelas maka nilai tertinggi hanya mencapai 57%.

Dalam penelitian ini dilakukan analisis sensitivitas yang

dimaksudkan untuk mencari nilai maksimal dari

perubahan komponen penyusun unit cost sehingga

dapat memberikan penilaian yang berbeda dari tarif

yang diperbandingkan.

Sebagai Rumah sakit pemerintah, biaya investasi berupa

bangunan dan peralatan serta gaji PNS mendapatkan

bantuan biaya dari APBN, sehingga untuk melihat

sensitivitas dalam penelitian ini dalam perhitungan unit

cost biaya investasi dikeluarkan untuk melihat besaran

CRR tanpa investasi dan CRR tanpa investasi dan tanpa

gaji PNS dengan mengeluarkan biaya investasi dan gaji

PNS dalam perhitungan unit cost.

Dari tabel 7.3 Tabel Perbandingan CRR Tarif INA

CBGs dan Tarif Rumah Sakit terhadap COT dengan

Investasi dan Gaji PNS, COT Tanpa Investasi serta

COT Tanpa Investasi dan gaji PNS pada halaman 107,

ditunjukkan bahwa jika biaya investasi dikeluarkan

maka CRR tarif INA CBGs dan CRR tarif rumah sakit

menunjukkan nilai yang lebih baik, kecenderungan

mencapai nilai 100 % lebih Kecuali utilisasi stent 3 pada

kelompok penyakit CAD dengan PCI Murni maka

CRR tarif INA CBGs masih berkisar diangka 47%-

56%.

Hal ini menunjukkan nilai stent masih tetap memegang

peranan penting dalam menentukan besarnya cost of

treatment baik tanpa mempehitungkan nilai investasi

maupun dengan memperhitungkan nilai investasi. Di

samping itu nilai investasi dan gaji pegawai memegang

peranan yang cukup besar melihat adanya penurunan

nilai cost of treatment pada tiap kelompok CAD

berdasarkan clinical pathway (ditampilkan dalam tabel

14).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ada perbedaan cost recovery rate (CRR) tarif INA

CBG’s dan tariff rumah sakit pada kasus CAD dengan

PCI dimana CRR tariff rumah sakit pada severity level I

dan II dengan utilisasi stent 1-4 lebih baik dari CRR INA

CBGs karena tariff RS memperhitungkan penambahan

jumlah stent pada setiap tindakan PCI sedangkan tariff

INA CBGs tidak memperhitungkan penambahan stent

tersebut. Tetapi pada severity level IIIdengan utilisasi

stent sampai dengan 2 nilai CRR INA CBGs lebih baik

dari CRR RS karena tariff INA CBGs terhadap

tindakan PCI di severity level III cukup tinggi melebihi

COT, namun jika utility stent lebih dari 2 maka CRR

sudah turun dibawah angka 100%. Ini berarti nilai stent

sangat berpengaruh dalam menetukan nilai COT pada

tindakan PCI bagi pasien CAD.

Saran

Perlu dilakukan evaluasi metode penghitungan tarif

INA CBGs yang berdasarkan metode case base rate,

agar menggunakan pendekatan cost of treatment

berdasarkan clinical pathway. Sehingga besaran biaya

yang dikeluarkan untuk penyakit tersebut sudah

dipertimbangkan sepenuhnya. Diharapkan terdapat

perbedaan pengkodingan dan tarif terhadap tindakan

kardiovaskuler perkutan berdasarkan utilisasi stent pada

masing-masing severity level dan kelas rawat

Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di

RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015

Page 87: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 254

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito. 2008. Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group,

Kelayakan Penerapannya di Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia. Budiarto, Wasis dan Sugiharto, Mugeni. Biaya Klaim INA CBGs dan Biaya Riil Penyakit

Katastropik Rawat Inap Peserta Jamkesmas di Rumah Sakit Studi di 10

Rumah Sakit Milik Kementerian Kesehatan Januari–Maret 2012, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 58–65.

Casto & Clayman. 2006. Principles of Healthcare Reimbursement, American Health

Information Management Association, 5-10. Darmawan A. 2010. Penyakit Jantung Koroner. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah.

Dewi, I. Maulina. 2014. Price Analysis Tarif Rumah Sakit Dan Tarif Ina CBG’s Pada Tindakan Herniotomy Kelas III dengan Perhitungan Cost Of Treatment Berbasis

Clinical Pathway Di Rumah Sakit PMI Bogor Tahun 2014. Depok: Tesis,

FKM UI. Djuhaeni, Henni. 2009. Jasa Pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah (Teori dan Praktis.

Pustaka UNPAD.

Djunadi, Purnawan. 2014. Jaminan Kesehatan Nasional, Jalan Masih Panjang, Jurnal Kedokteran Indonesia. Jakarta: Medika, No.2 Tahun ke XI.

Dody Firmanda, Clinical Pathways Kesehatan Anak, Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3, Desember

2006: 195 – 208. Djasri, Hanevi. 2014. Langkah Penyusunan Clinical Pathway, Workshop Penyusunan Clinical

Pathway dan Perhitungan Cost of Care di RSUD Sampit, 2014.

Evolution of Drugs (Updated). Journal of AHIMA (American Health Information Management Association) Updated April 2010, Bielby, (2010).

http://library.ahima.org/xpedio/groups/public/documents/ahima tanggal 21

Februari 2015. Harun S, Alwi I. 2006. Infak Miokard Akut Tanpa Elevasi St. In Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam. P: 1626. Hospital Payment Systems Based on Dignosis Related Groups; Experiences in Low and

Middle-Income Countries; Inke Mathauera & Friendrich Wittenbecherb;

Bulletin World Health Organization. Majid, Abdul. 2007. Penyakit Jantung Korner Patofisiologi, Pencegahan dan Pengobatan

Terkini Pidato Pengukuhan Guru Besar. Sumatera Utara: Universitas

Sumatera Utara. Muchlis, Achmad. 2014. Cost Shifting bedah Appendiktomi di Rumah Sakit Umum

Tangerang.

McPhee et al. 2007. Current Medical Diagnosis and Treatment 2007, Forty Sixth Edition,

McGraw-Hill Companies.

Mulyadi. 2007. Activity Based Costing – System, edisi 6 cetakan ke 2. UPP STIM YKPN Yogyakarta.

Nelwan, Ester Karakteristik Individu Penderita Penyakit Jantung Koroner di Sulawesi Utara

Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.

Paruntu, Svetlana. 2012. Tesis Analisis Cost Arewness dan Cost Monitoring Untuk Efisiensi

Biaya Pelayanan di Sub Departemen Radiologi Rumkital dr. Mintohardjo (Studi Kasus: Pelayanan Thoraks Ap/Pa Foto). FKM UI Program KARS.

Putra, Ryryn, et al. 2011. Analisis Biaya Satuan (Unit Cost) Perjenis Tindakan Berdasarkan

Relative Value Unit (RVU) Pada Bagian Persalinan RSUD Ajjapange Kabupaten Soppeng Tahun 2011. Jurnal AKK, Vol 2 No 1, Januari 2013,

hal 35-41.

Rivany, Ronnie, Quo Vadis. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional? Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, vol. 13, no. 3 September 2010.

Setiaji, Hendadi. 2006. Analisis Biaya Pelayanan Rawat Inap Di Ruang VIP Cendrawasih

RSUD Dr. Soeselo Kabupaten Tegal Tahun 2006. Semarang: UNDIP. Sugiyarti et al. 2013. Analisis Biaya Satuan Dengan Metode Activity Baed Costing Studi Kasus

di Poli Mata RSD Balung Kabupaten Jember, Jurnal Pustaka Kesehatan

Volume 1, 2013. Suryawati, C. 2008. Bahan Kuliah Inflasi Biaya Kesehatan- Fkm - MIKM Universitas

Diponegoro, Semarang. www.eprints.undip.ac.id tanggal 11 Februari

2015. Global Media. 2010. Textbook of Financial Cost and Management Accounting, Periasamy.

India: Himalaya Publishing House.

Thabrany, Hasbullah, (2014). Jaminan Kesehatan Nasional, PT. Raja Grafindo Persada. Tribowo, Anang. 2014. Perbandingan Tarif Ina-CBGs dengan Tarif RS. Disampaikan pada

Seminar Pencegahan Fraud dan Peningkatan Mutu Layanan Kesehatan di

Rumah Sakit Pada Era Jaminan Kesehatan Nasional pada tanggal 20 November 2014 di Auditorium RS RK Charitas.

Trisnantoro, L. 2009. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah

Sakit, Cetakan Keempat. Yogyakarta: Gadjah Mada Universtity Press. Wakefield, John. 2012. Patient Safety and Quality Improvement Service. Center for Health Care

Improvement, Queensland Version 3,1,2012).

Zelman, Et Al. 2004. Financial Management of Health Care Organizations, an Introduction to Fundamental Tools, Concepts, and Applications. Blackwell publishing,

2004, second edition.

Page 88: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 255

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien CAD dengan Tindakan PCI

No. Karakteristik N (Kasus) Persen (%)

1 Umur

Anak-anak (0-17) 0 0

Muda (18-<45) 1 3%

Tua(>60) 31 97%

Total 32 100%

2 Jenis Kelamin

Laki-laki 22 69%

Perempuan 10 31%

Total 32 100%

Tabel 2. Lama Hari Rawat Pasien CAD dengan Tindakan PCI

Diagnosa Lama Hari Rawat

Total Mean Modus 3 4 5 6 7 8 12

Murni 1 1 1 - - - - 12 4

Penyulit 10 6 6 3 - 1 - 110 4,2 3

Penyerta 1 - - - 1 1 1 46 6,5

Tabel 3. Distribusi Pasien dan Rerata Lama Hari Rawat Pasien CAD dengan

Tindakan PCI Berdasarkan Cara Bayar

Kelas

Perawatan

BPJS JAMKESDA PRIBADI

Total

Kasus

Persen

(%) PBI Non PBI

I 24 - - 24 79%

II 5 - - 5 16%

III 1 2 - 3 9%

TOTAL 30 2 32 100%

Tabel 4. Clinical Pathway Pasien CAD dengan Tindakan PCI

Diagnosa Murni Penyerta Penyerta dan Penyulit

CP CP CP

Tabel 5. Cost of Treatment (Tanpa Akomodasi) Berdasarkan Clinical Pathway Pasien

CAD dengan Tindakan PCI, di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Kegiatan CAD Murni CAD Penyerta CAD Penyerta+Penyulit

(Rp) (%) (Rp) (%) (Rp) (%)

LOS 3 3 6

Pendaftaran 15.879 0,05 % 15.879 0,05% 15.879 0,04%

Penegakan

Diagnosa 1.778.375 5,64 % 1.778.375 5,22% 1.778.375 4,91%

Pra Operasi 174.289 0,55 % 1.399.518 4,11% 1.937.078 5,35%

Operasi 29.284.773 92,91 % 29.284.773 86% 29.284.773 80,82%

Post Operasi 195.087 0,62 % 1.445.306 4,24% 3.085.435 8,52%

Pulang 69.652 0,22 % 129.085 0,38% 132.564 0,37%

COT 31.518.054 100% 34.052.935 100% 36.234.104 100%

Tabel 6. Cost Indeks (Tanpa Akomodasi) Berdasarkan Clinical Pathway Pasien

CAD dengan Tindakan PCI Tanpa Perhitungan Jumlah Stent

Kegiatan CAD Murni CAD Penyerta CAD Penyerta+Penyulit

Cost Index (%) Cost Index (%) Cost Index (%)

LOS 3 3 6

Pendaftaran 0,05 % 0,05% 0,04%

Penegakan Diagnosa 5,64 % 5,22% 4,91%

Pra Operasi 0,55 % 4,11% 5,35%

Operasi 92,91 % 86% 80,82%

Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015

Page 89: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 256

Kegiatan CAD Murni CAD Penyerta CAD Penyerta+Penyulit

Cost Index (%) Cost Index (%) Cost Index (%)

Post Operasi 0,62 % 4,24% 8,52%

Pulang 0,22 % 0,38% 0,37%

COT 100% 100% 100%

Tabel 7. Tarif INA CBG’s Pasien CAD dengan Tindakan PCI Murni

Diagnosa

PCI Murni Jumlah Stent Los Cot Tarif Ina Cbg %

KELAS I

Stent 1

3

51.342.045

44.640.500

87%

Stent 2 69.838.221 64%

Stent 3 88.334.396 51%

Stent 4 106.830.571 42%

KELAS II

Stent 1

3

50.764.230

40.920.500

81%

Stent 2 69.260.405 59%

Stent 3 87.756.580 47%

Stent 4 106.252.755 39%

KELAS III

Stent 1

3

50.453.730

37.198.600

74%

Stent 2 68.949.905 54%

Stent 3 87.446.080 43%

Stent 4 105.942.255 35%

Tabel 8. Tarif INA CBG’s Pasien CAD dengan Tindakan PCI Penyerta

DIAGNOSA CAD

DENGAN PENYERTA

JUMLAH

STENT LOS COT TARIF INA CBG %

KELAS I

Stent 1

3

53.876.926

82.969.900

154%

Stent 2 72.373.101 115%

Stent 3 90.869.276 91%

Stent 4 109.365.452 76%

KELAS III

Stent 1

3

53.299.110

73.774.300

138%

Stent 2 71.795.285 103%

Stent 3 90.291.461 82%

Stent 4 108.787.636 68%

KELAS III

Stent 1

3

52.988.610

64.578.600

122%

Stent 2 71.484.785 90%

Stent 3 89.980.961 72%

Stent 4 108.477.136 60%

Tabel 9. Tarif INA CBG’s Pasien CAD dengan Tindakan PCI Penyerta + Penyulit

Diagnosa CAD Dengan

Penyerta + Penyulit Jumlah Stent LOS COT Tarif INA CBG CRR (%)

KELAS I

Stent 1 6 56.058.095

104.584.800

188%

Stent 2 6 74.554.270 138%

Stent 3 6 93.050.445 109%

Stent 4 6 111.546.621 67%

KELAS III

Stent 1 6 55.480.279

92.294.000

168%

Stent 2 6 73.976.454 122%

Stent 3 6 92.472.630 96%

Stent 4 6 110.968.805 59%

KELAS III

Stent 1 6 55.169.779

82.969.900

152%

Stent 2 6 73.665.954 111%

Stent 3 6 92.162.130 87%

Stent 4 6 110.658.305 53%

Page 90: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 257

Tabel 10. Perbandingan CRR Tarif RS dan Tarif INA CBG’s pasien Kelas I, II, III

Berdasarkan Cost of Treatment Berbasis Clinical Pathway Pasien CAD dengan

Tindakan PCI Murni di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015

MURNI JUMLAH

STENT LOS

COT

(Rp)

TARIF RS

(Rp) CRR %

TARIF INA CBG

(RP) CRR %

KELAS I 3 3 93.895.871 87.973.106 94% 44.640.500 48%

KELAS II 3 4 93.318.055 88.534.317 95% 40.920.500 44%

Tabel 11. Perbandingan CRR Tarif RS dan Tarif INA CBG’s Pasien Kelas I, II, III

Berdasarkan Cost of Treatment berbasis Clinical Pathway Pasien CAD dengan

Tindakan PCI Penyertadi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015

Penyerta Jumlah Stent LOS COT Tarif RS CRR % Tarif

INA CBG CRR %

KELAS I

1 3 55.504.350 56.030.356 101%

82.969.900

149%

2 3 75.854.350 73.389.245 97% 109%

3 3 96.204.350 143.607.728 149% 86%

4 3 157.254.350 96.811.727 62% 53%

KELAS II 1 6 54.994.996 58.832.588 107% 73.374.100 100%

Tabel 12. Perbandingan CRR Tarif RS dan Tarif INA CBG’s Pasien Kelas I, II, III

berdasarkan Cost of Treatment berbasis Clinical Pathway Pasien CAD dengan Tindakan

PCI Penyerta & Penyulit di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015

Penyerta & Penyulit STENT LOS COT TARIF RS CRR % TARIF INA CBG CRR %

Kelas II 3 3 95.694.996 88.139.598 92% 92.294.000 96%

Kelas III 1 12 54684496 66.182.799 121% 82.969.900 152%

Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015

Page 91: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Juni 2016 258

Tabel 12. Cost Indeks Tindakan PCI Pada Penyakit CAD Dibandingkan

dengan Penelitian Terdahulu

Kegiatan

Tindakan PCI pada

CAD Murni tahun

2015

Appendiktomi Murni

RSU Kab. Tangerang

2014

Herniotomi

Murni

PMI Bogor

2013

Ca Payudara Murni

Bedah MRM

RS kanker

Dharmais 2008

LOS 3 4 4 4

Pendaftaran 0,05% 0,22% 0,24% 0,34%

Penegakan

Diagnosa 5,64 % 7,05% 9,03% 14,27%

Pra Operasi 0,55 % 6,30% 1,46% 0,97%

Operasi 92,91% 77,67% 1,46% 76,8%

Post Operasi 0,62% 8,51% 9,12% 5,9%

Pulang 0,22% 0,22% 5,02% 0,08%

Kontrol - - 1,23 % 1,55%

COT 100% 100% 100% 100%

Tabel 13. Tarif Tindakan PCI di RSUP dr. Mohammad Hoesin Sesuai

100/PMK.05/2014

No. Tindakan Tarif (Rp.)

1 PCI Dengan Satu Stent (DES) 55.000.000

2 PCI Dengan Dua Stent (DES) 71.000.000

3 PCI Dengan Tiga Stent (DES) 86.000.000

4 PCI Dengan Empat Stent (DES) 96.000.000

Page 92: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3

Jurnal ARSI/Oktober 2015 259

Tabel 14. Tabel Perbandingan CRR Tarif INA CBGs dan Tarif Rumah Sakit Terhadap COT dengan Investasi dan Gaji PNS, COT

Tanpa Investasi serta COT Tanpa Investasi dan Gaji PNS

Klasifikasi

CAD dengan

PCI

Stent LOS Tarif RS INA CBGs

COT CRR Rumah Sakit CRR INA CBGS

Investasi Dan

Gaji PNS Dihitung

Biaya Investasi

Tidak

Dihitung

Biaya

Investasi Dan

Gaji PNS Tidak

Dihitung

Investasi Dan Gaji

PNS

Dihitung

Biaya Investasi

Tidak

Dihitung

Biaya

Investasi Dan

Gaji PNS Tidak

Dihitung

Investasi Dan

Gaji PNS

Dihitung

Biaya Investasi

Tidak

Dihitung

Biaya

Investasi

Dan Gaji PNS Tidak

Dihitung

Murni Kelas I 3 3 87.973.106 44.640.500 88.334.396 86.174.132 79.407.050 99,59% 102,09% 110,79% 51% 52% 56%

Murni Kelas II 3 4 88.534.317 40.920.500 87.756.580 85.344.356 78.829.234 100,89% 103,74% 112,31% 47% 48% 52%

Penyerta

Kelas I 1 3 56.030.356 82.969.900 53.876.926 51.324.975 44.400.219 104,00% 109,2% 126,2% 154% 162% 187%

Penyerta Kelas I

2 3 73.389.245 82.969.900 72.373.101 69.821.150 62.896.394 101,40% 105,1% 116,7% 115% 119% 132%

Penyerta

Kelas I 3 3 88.450.637 82.969.900 90.869.276 88.317.325 81.392.569 97,34% 100,2% 108,7% 91% 94% 102%

Penyerta

Kelas I 4 3 96.811.727 82.969.900 109.365.452 106.813.501 99.888.745 88,52% 90,6% 96,9% 76% 78% 83%

Penyerta Kelas II

1 6 58.832.588 73.774.300 53.299.110 50.341.663 43.822.403 110,38% 116,9% 134,3% 138% 147% 168%

Penyerta

Kelas III 2 3 69.304.504 64.578.600 71.484.785 68.527.339 62008078,32 96,95% 101,1% 111,8% 90% 94% 104%

Penyerta+Peny

ulit Kelas II 3 6 88.139.598 92.294.000 93.222.630 90.452.350 83.428.059 94,55% 97,44% 105,65% 99% 102,04% 110,63%

Penyerta+Penyulit Kelas III

3 6 66.182.799 82.969.900 55.609.279 52.838.999 45.814.708 119,01% 125,25% 144,46% 149% 157% 181%

Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015

Page 93: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

ormulir F

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Alamat :

Telepon :

Email :

Bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) dengan sejumlah biaya cetak dan biaya kirim.

…...…………………………, …………

(……………………………………….)

Untuk besaran biaya dan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Sekretariat Jurnal ARSI di nomor telepon 021-786 7370,

HP. 08568246932, e-mail: [email protected], atau kunjungi website: http://champs.fkm.ui.ac.id/content/jurnal.

Page 94: merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia

Kami Menyediakan Forum

Pelatihan Untuk Anda

1. Developing Hospital Business Strategy to Improve

Hospital Service & Quality

2. Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit

Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis

3. Strategic Leadership and Systems Thinking

C HAMPS Informasi Lebih Lanjut:

Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI

HP. 085284722766, Fax. 021-7867370,

E-mail: [email protected], [email protected]

Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis

TUJUAN

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan rumah

sakit dalam membuat clinical pathway dan panduan praktik klinis.

PESERTA

Peserta terdiri dari tim praktisi perumahsakitan baik pemerintah maupun

swasta yang tergabung dalam tim, yang terdiri dari:

1. Klinisi dan penunjang (dokter); 2. Perawat; 3. Tenaga farmasi; 4. Tenaga gizi;

5. Tenaga rekam medik; dan

6. Peserta maksimal 10 tim.

TEMPAT DAN TANGGAL

Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.

BIAYA

Biaya dalam pelatihan ini sebesar untuk satu tim rumah sakit (terdiri dari 5 orang) adalah Rp. 15.000.000/Rumah Sakit (belum termasuk biaya

akomodasi dan tiket narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).

Strategic Leadership and Systems Thinking

TUJUAN

Tujuan Umum:

Meningkatkan pemahaman para peserta mengenai

kepemimpinan strategis dan berfikir sistem.

Tujuan Khusus

1. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai berfikir sistem dan kepemimpinan

strategis;

2. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai mental model sebagai landasan

dalam berfikir sistem;

3. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai personal mastery sebagai modal

dasar dalam kepemimpinan;

4. Meningkatkan pemahaman peserta dan mampu mengaplikasikan theory of

constraint dan root cause analysis; dan

5. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai learning organization dan team

learning.

PESERTA

Peserta pelatihan ini dibatasi 30 orang.

TEMPAT DAN TANGGAL

Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.

BIAYA

Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (besaran

biaya belum termasuk biaya akomodasi, tiket narasumber dan outbond

bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).

“Bersama kami, mari beraktualisasi!”

- CHAMPS FKM UI

Developing Hospital Business Strategy to Improve Hospital Service & Quality

TUJUAN

Peserta akan memperoleh wawasan, pengetahuan, & keterampilan tentang:

1. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang peta kebijakan strategis pelayanan kesehatan;

2. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang konsep strategi bisnis untuk peningkatan mutu layanan RS;

3. Peningkatan motivasi seluruh peserta yang dilandasi core value dan core belief untuk mengadopsi konsep

manajemen strategi dalam meningkatkan mutu layanan di rumah sakit;

4. Tersusunnya rencana strategis bisnis RS; dan

5. Peningkatan kemampuan RS dalam melakukan praktik bisnis yang sehat yaitu mempunyai manajemen yang

baik, bermutu dan berkesinambungan yang semua itu berdampak pada meningkatnya kepuasan

pelanggan.

PESERTA

Peserta pelatihan ini adalah praktisi perumahsakitan dan pengambil keputusan strategis rumah sakit baik

pemerintah maupun swasta. Peserta dibatasi 30 orang.

TEMPAT DAN TANGGAL

Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.

BIAYA

Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (belum termasuk biaya akomodasi dan tiket

narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).

Hospital Management

Program (HMP)

Hospital Administration

Conference (HAC)

Program Kerja

Unggulan