MERETAS BATAS FORMALITASdpmd.madina.go.id/wp-content/uploads/2020/01/Meretas...i MERETAS BATAS...

72
1 MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK MERETAS BATAS FORMALITAS Geliat Kelembagaan TKPK Seri Buku Advokasi Daerah

Transcript of MERETAS BATAS FORMALITASdpmd.madina.go.id/wp-content/uploads/2020/01/Meretas...i MERETAS BATAS...

1

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

MERETAS BATASFORMALITAS Geliat Kelembagaan TKPK

Seri Buku Advokasi Daerah

2

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

MERETAS BATAS FORMALITASGeliat Kelembagaan TKPK

Cetakan Pertama, April 2019ISBN: 978-602-275-173-1

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang ©2019 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

Foto Sampul: Sekretariat TNP2K Anda dipersilakan untuk menyalin, menyebarkan dan mengirimkan karya ini untuk tujuan non-komersial.

Untuk meminta keterangan lebih lanjut mengenai Buku Panduan ini, silakan hubungi TNP2K melalui Unit Advokasi Daerah ([email protected]) .Buku Panduan ini juga tersedia di Website TNP2K (www.tnp2k.go.id)

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (TNP2K)

Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat 10110Telepon: (021) 3912812 | Faksimili: (021) 3912511 Email: [email protected] Website: www.tnp2k.go.id

i

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Penurunan tingkat kemiskinan merupakan upaya bersama semua pihak, termasuk kerja sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Efektivitas penggunaan sumber pembiayaan, baik yang bersumber dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, menjadi kunci penurunan tingkat kemiskinan. Selain itu, upaya penanggulangan kemiskinan akan semakin ditentukan oleh kemampuan Pemerintah Daerah dalam menggalang partisipasi semua pihak. Khususnya kemampuan daerah dalam memobilisasi perangkat kelembagaan pemerintah maupun masyarakat untuk melakukan upaya penurunan tingkat kemiskinan.

Dalam konteks ini, keberadaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kesmikinan (TKPK) di seluruh provinsi dan hampir seluruh kabupaten/kota merupakan modal penting bagi upaya penurunan tingkat kemiskinan. TKPK yang dipimpin oleh wakil kepala daerah, dibentuk untuk memastikan berbagai prasyarat penanggulangan kemiskinan terpenuhi: (1) Dukungan politik pimpinan daerah terhadap misi penanggulangan kemiskinan; (2) Ketepatan program dan efisiensi pengalokasian anggarannya; (3) Ketepatan sasaran penerimanya; (4) Sinergi antarprogram dari setiap dinas atau organisasi perangkat daerah (OPD) terkait; dan (5) Komplementaritas antara program nasional dan daerah.

Buku ini menampilkan dinamika kelembagaan TKPK dalam mewujudkan upaya memenuhi prasyarat di atas. Buku ini disusun berdasarkan catatan dan pengalaman berinteraksi antara Unit Advokasi Daerah Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dengan TKPK selama sembilan tahun terakhir, serta hasil diskusi terfokus dengan TKPK diberbagai daerah. Kami berharap buku ini dapat menambah inspirasi bagi pemangku kepentingan di daerah dalam memperkuat kelembagaan TKPK.

Pengantar

Bambang WidiantoDeputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan selaku Sekretaris Eksekutif TNP2K

ii

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

PenghargaanProvinsi Jawa Timur: Dr. Emil Elistiano Dardak (Wakil Gubernur); Dr. Ir. Heru Tjahyono, M.M (Sekretaris Daerah); Dr. Bobby Soemiarsono, S.H, M.Si (Kepala Bappeda); Ir. Muhammad Yasin, M.Si (Kepala Dinas PMD); Ir. Sigit Panoentoen, M.Si (Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Bappeda); Mukhamad Nasikin, S.E (Staf Subbid Kesra Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Bappeda).

Kabupaten Trenggalek: Bambang Puji (Koordinator IST, anggota GERTAK)

Kabupaten Siak: Dr. H. Wan Muhammad Yunus, S.T, M.T (Kepala Bappeda); Rio Arta, M.Si (Kepala Sub- Bidang Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UMKM, Pertanian dan Ketahanan Pangan)

Propinsi Riau: Sri Gemala Melayu, S.T (Kabid Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Bappeda); Harry Prabowo, S.STP (Ksaubbid Pemerintahan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappeda); Ria Etika (Fungsionakl Perencana Bappeda); Dwi Sri rahayu, S.K.M (staff Dinas Kesehatan); Sri Endang Kornita (LPPM Universitas Riau).

Kota Surabaya: Whisnu Sakti Buana (Wakil Walikota); Djuniarti (Ketua KRPL Serpis Wonocolo).

Kabupaten Banyumas: Wakhyono, S.I.P (Kepala Bidang Pemkesos Bappedalitbang); Sri Rihastuti, S.P, M.Si (Fungsional Perencana Bappedalitbang).

Kota Bandung: Lukman Surya, S.Sos, M.P.S.Sp (Kasubid Perencanaan Sosial Budaya Bappeda); Lilis Rosidah (Kepala Seksi KSP Dinas Pangan dan Pertanian); Dwi MS (Kepala Bidang Penanggulangan Kemiskinan Dinas Sosial); Arvian (Pegiat Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung); Lilis Rosidah (Kepala Seksi KSP Dinas Pangan dan Pertanian)

Penulis: Marnia NESPengolah Data: Toton DartonoEditor: Taya Kadhita, Edi Safrijal, Muhammad Arif Tasrif

iii

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

PengantarPenghargaan Daftar IsiDaftar Istilah

Prolog

Bab 1: Menggalang KoordinasiMenerapkan KepemimpinanMembangun Struktur dan Kapasitas Membangkitkan MotivasiMemelihara Komunikasi

Bab 2: Meningkatkan Ketepatan SasaranMenyepakati IndikatorMemantapkan Basis DataMemadukan Pelayanan

Bab 3: Mempertajam Strategi IntervensiMenemukenali MasalahMerancang Strategi

Bab 4: Mengembangkan KemitraanMemanfaatkan Kepedulian SwastaMemperluas Manfaat ZakatMengajak Komunitas

Bab 5: Belajar dari PengalamanMembangun Sistem PemantauanMengevaluasi Kinerja

Epilog

DAFTAR ISIi

iiiiiiv

1

56

111315

21222528

333438

45464850

555658

63

iv

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

DAFTAR ISTILAHAPBD Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah ASN Aparatur Sipil Negara BAPPEDA Badan Perencana Pembangunan Daerah BAPPELITBANG Badan Perencana Pembangunan serta Penelitian dan PengembanganBDT Basis Data Terpadu BKM Badan Keswadayaan Masyarakat BPJS PBI Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial – Penerima Bantuan Iuran BPS Biro Pusat Statistik CSR Corporate Social Responsibility Dinsos Dinas Sosial Dinsosnangkis Dinas Sosial Penanggulangan Kemiskinan DPMD Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa GERTAK Gerakan Tengok Bawah Masalah Kemiskinan IST Ikatan Sedulur Trenggalek KIS BPJS Kartu Indonesia Sehat Badan – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial KUBE Kelompok Usaha Bersama LP2KD Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan DaerahNIK NMO Induk Keluarga OPD Organisasi Perangkat Daerah Perbup Peraturan Bupati Perda Peraturan Daerah Perwali Peraturan Walikota PPLS Pendataan Program Perlindungan Sosial Puskessos Pusat Kesejahteraan Sosial RAD Rencana Aksi Daerah RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah SIDATUK Sistem Terpadu Penanggulangan Kemiskinan SPKD Strategi Penanggulangan Kemiskinan DaerahTKPK Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan TNP2K Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan UKM Usaha Kecil Menengah

1

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

PrologKemiskinan umumnya memiliki banyak ciri dan faktor penyebab yang

kompleks. Faktor-faktor itu saling berkaitan sedemikian rupa, sehingga

membentuk kondisi ketidakmampuan seorang individu atau suatu

rumahtangga untuk memenuhi standar kebutuhan dasar untuk hidup

secara layak. Makin kompleks akar permasalahan kemiskinan itu, makin

besar keharusan mensinergikan intervensi untuk penanganannya.

Kesadaran akan hal tersebut telah mendorong berbagai upaya

pelembagaan koordinasi penanggulangan kemiskinan. Salah satunya

wujudnya adalah terbentuknya TKPK di seluruh provinsi (34 Provinsi) dan

hampir seluruh kabupaten/kota (484 dari 514) hingga saat ini. Tujuannya

untuk memastikan berjalannya fungsi-fungsi koordinasi perencanaan

maupun pengendalian pelaksanaan program-program penanggulangan

kemiskinan di daerah.

Keanggotaan TKPK terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, dunia

usaha, pihak swasta serta pemangku kepentingan lainnya. TKPK diketuai

oleh wakil gubernur di tingkat provinsi dan wakil bupati/wakil walikota di

tingkat kabupaten/kota. Sedangkan sekretaris lembaga ini masing-masing

adalah Kepala Bappeda daerah yang bersangkutan. Setiap tahun, TKPK

diperbaharui dasar hukum keberadaannya dengan SK Kepala Daerah.

Wujud nyata koordinasi perencanaan yang diharapkan dari TKPK antara

lain berupa terakomodasinya SPKD ke dalam RPJMD. Untuk kemudian

dijabarkan ke dalam rencana strategis hingga rencana kerja setiap OPD.

SPKD pada intinya menjelaskan isu strategis dan rencana aksi daerah

untuk penanggulangan kemiskinan, termasuk rencana sinergi program

2

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

daerah dengan program nasional. Secara lebih spesifik, koordinasi juga

diharapkan mampu mengintegrasikan sasaran penerima program, baik

individu maupun rumah-tangga/keluarga antar OPD.

Sedangkan, pengendalian oleh TKPK terhadap pelaksanaan program

pada intinya ditujukan untuk meng-update informasi umpan-balik untuk

perbaikan disain maupun pelaksanaan program, termasuk dari sumber

pengaduan masyarakat. Laporan hasil pemantauan oleh OPD pelaksana

program, sebagai unsur TKPK, sangat penting sebagai bahan evaluasi

pencapaian target, penggunaan anggaran belanja, dan penanganan

kendala pelaksanaan program. Laporan tahunan dari hasil pengendalian—

yaitu LP2KD adalah untuk dilaporkan oleh TKPK kepada kepala daerah

dan kepada pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri dan

Sekretariat TNP2K.

Agar tanggung-jawab tersebut dapat dijalankan oleh TKPK, dukungan

politik pimpinan daerah dan kapasitas teknis pelaksana fungsi lembaga

menjadi wajib terpenuhi. Untuk mendukung kebutuhan ini sejak tahun

2010, TNP2K terus berupaya memfasilitasi kegiatan-kegiatan Rapat

Koordinasi TKPK, pelatihan dan magang bagi tim teknis, konsultasi

kelembagaan, asistensi penyusunan dan review draft dokumen SPKD

dan LP2KD, hingga pendampingan khusus melalui proyek percontohan

dan replikasi model advokasi belanja publik untuk penanggulangan

kemiskinan di daerah.

Diantara hasil koordinasi perencanaan yang telah dicapai oleh TKPK

sejauh ini adalah tersusunnya SPKD di 271 daerah. Sebanyak 55 daerah

diantaranya kemudian menetapkan dokumen lima-tahunan tersebut

sebagai Peraturan Kepala Daerah ataupun Peraturan Daerah. Sementara,

kinerja pemantauan pelaksanaan program ditunjukkan oleh tingkat

3

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

penyampaian LP2KD. Sepanjang tahun 2015-2017, dokumen tahunan

ini telah secara rutin dilaporkan oleh hampir 70 persen dari keseluruhan

TKPK yang telah terbentuk hingga saat ini.

Namun demikian, dinamika kelembagaan TKPK kenyataannya tidak

hanya sebatas pemenuhan tanggung-jawab formal. Ada banyak kreasi

kelembagaan maupun produk kebijakan yang menjadi penanda tengah

berkembangnya peran kelembagaan TKPK yang positif di daerah: inovasi-

inovasi yang layak menjadi sumber inspirasi untuk menjadikan TKPK lebih

berdaya sebagai agen kunci percepatan penanggulangan kemiskinan di

daerah.

4

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

5

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

MENGGALANG KOORDINASI

Bab 1

6

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Adalah mustahil mengatasi kemiskinan tanpa terjalinnya kerjasama antar sektor dan antar pemangku kepentingan. Kerjasama ini berupa koordinasi untuk membentuk sinergi kebijakan dan mengonsolidasikan sumberdaya dalam mengatasi akar persoalan kemiskinan yang pada umumnya kompleks. Koordinasi ini seringkali dicibir, karena mudah diucapkan tetapi sulit dikerjakan. Namun demikian, pengalaman TKPK di sejumlah daerah dalam menjalankan koordinasi penanggulangan kemiskinan membuktikan bahwa sinisme itu tak selalu benar. Faktor-faktor kelembagaan seperti kepemimpinan, komunikasi, dan kapasitas tampaknya sangat menentukan hasil koordinasi.

Menerapkan Kepemimpinan

Kinerja kebijakan pemerintah daerah ditentukan oleh kualitas kepemimpinan dan keteladanan. Di dalam konteks pelaksanaan peran TKPK di beberapa daerah hal ini terbukti bukan sekedar jargon. Visi dan misi serta arahan kebijakan dari kepala daerah dan wakilnya benar-benar dijadikan acuan oleh TKPK dalam pengembangan program-program penanggulangan kemiskinan. Kendali langsung oleh pimpinan tertinggi di daerah juga mempermudah pelaksanaan koordinasi antar sektor oleh TKPK.

Di Jawa Timur, provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia, penanggulangan kemiskinan telah menjadi perhatian khusus pemerintah provinsi setidaknya sejak era kepemimpinan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2009-2019 ini mencanangkan misi ‘percepatan penanggulangan kemiskinan dengan melanjutkan, meningkatkan, dan menyempurnakan program penanggulangan kemiskinan dengan memangkas beban pengeluaran’.

Untuk menjalankan misi tersebut, pada masa awal periode pertama pemerintahan (2009-2014) Soekarwo-Saifullah Yusuf mengembangkan program Jalin Kesra (Jalan Lain Menuju Kesejahteraan Rakyat). Program ini berupa bantuan kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Pemerintah provinsi memberikan bantuan untuk modal usaha pada desa-desa terpilih yang mempunyai tingkat kemiskinan akut. Sedangkan pada periode kedua (2014-2019) pasangan ini mengembangkan program yang

7

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

sudah ada dengan meluncurkan Jalin Matra (Jalan Lain Menuju Mandiri dan Sejahtera). Berbeda dengan Jalin Kesra, Jalin Matra mempunyai sasaran khusus yaitu perempuan kepala keluarga. Pertimbangannya adalah adanya peningkatan jumlah rumah tangga miskin yang dikepalai oleh perempuan dan kepala rumah tangga perempuan lebih rentan terjebak kemiskinan dibanding kepala rumah tangga laki-laki.

Hasilnya, selama sepuluh tahun tersebut Jawa Timur berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 7,66 %, yaitu dari 18,51 % pada tahun 2008 menjadi 10,85 % pada tahun 2018. Selama masa itu, atas berbagai prestasi kebijakannya Pemerintah Provinsi Jawa Timur meraih 66 penghargaan. Diantaranya yang paling bergengsi adalah Samkarya Parasamya Purnakarya Nugraha, sebuah penghargaan kepada institusi pemerintah atau organisasi yang menunjukkan hasil karya tertinggi pelaksanaan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penghargaan ini diberikan kepada Pemda yang berhasil meraih kinerja terbaik selama tiga tahun berturut-turut. Bukan hanya itu, pada tahun 2018 Provinsi Jawa Timur juga meraih penghargaan UNSPA (United Nation Service Public Award) untuk inovasi penanggulangan kemiskinan yang berkeadilan gender.

Misi Pakde Karwo-Gus Ipul dilanjutkan oleh pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak. Pemerintahan baru ini melanjutkan program yang sudah terbukti efektif dengan penyempurnaan berdasarkan hasil evaluasi.

Konsisten dengan kebijakan pendahulunya, Emil Dardak selaku Ketua TKPK Provinsi. menggarisbawahi bahwa penyelesaian persoalan kemiskinan harus dimulai dari penyediaan pelayanan dasar. “Kalau orang miskin masih pusing untuk berobat, pusing untuk bayar sekolah, boro-boro bisa mentas,” ucapnya.

Sejak tahun tahun 2016, ketika masih menjabat Bupati Trenggalek, Emil bersama wakil bupatinya, Muhammad Nur Arifin selaku Ketua TKPK kabupaten tersebut menetapkan kebijakan pengembangan posko layanan terpadu yang dinamai GERTAK (Gerakan Tengok Bawah Masalah Kemiskinan). Pada awalnya pelaksanaan gagasan ini banyak mendapatkan

8

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

cibiran masyarakat, terutama dari komunitas Ikatan Sedulur Trenggalek (IST). Komunitas ini menjalankan kegiatan sosial tetapi juga mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun demikian, bupati dan wakil bupati berhasil melakukan pendekatan untuk mengajak mereka terlibat di dalam GERTAK. “Tidak ada gunanya kalau dilawan. Makin kuat dilawan makin kuat mereka melawan balik kebijakan kita”.

Praktik keteladanan juga ditunjukkan langsung oleh pimpinan daerah dalam program GERTAK ini. Mas Ipin, sapaan akrab wakil bupati, menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangan kerjanya kepada Baznas, sedangkan Bupati Emil menyumbangkan sebagian gajinya kepada Baznas. Dampaknya, animo dari ASN untuk menyumbangkan gaji masing-masing kepada Baznas tumbuh signifikan. Paling tidak setiap ASN memberikan 1% zakatnya melalui Baznas. Dukungan operasional GERTAK sendiri diambil dari mata anggaran yang ada di Bappeda, sedangkan sekretariat disediakan di rumah dinas Wakil Bupati.

Gagasan dan keteladanan yang diperlihatkan oleh pasangan pimpinan daerah ini membuahkan penghargaan bagi Trenggalek. Program GERTAK meraih Piala Emas Good Practice Award – Otonomi Awards 2018 yang diselenggarakan oleh Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) dan Pemerintah Provinsi Jatim. Penghargaan lain adalah ‘WOW Service Excellence’ yang diberikan oleh Mark Plus pada tahun 2017. Ketika itu, angka kemiskinan di Trenggalek menurun 0,28 persen dari 13,24 persen pada tahun 2016 menjadi 12,96 persen pada tahun 2017.

Kota Surabaya, di bawah walikota Tri Rismaharini dan wakil walikota Wishnu Sakti Buana juga memiliki catatan keberhasilan tersendiri. Salah satu misi Risma dan Wishnu yang berkaitan dengan kemiskinan adalah ‘memberdayakan masyarakat dan menciptakan seluas-luasnya kesempatan berusaha’. Dengan misi ini, kota Surabaya meletakkan fokus kebijakan pada peningkatan mutu warga agar mampu berdaya saing.

Strateginya adalah dengan mempermudah perijinan usaha dan mengupayakan ruang pemasaran. Dalam membantu pemasaran Pemerintah Kota Surabaya mewajibkan gerai-gerai retail dan hotel untuk menyediakan ruang bagi produk hasil usaha kecil. Kewajiban ini bahkan

9

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

dijadikan bagian dari syarat izin usaha hotel dan gerai retail. Pemkot juga menyediakan Mall khusus bagi para pelaku usaha mikro pemula untuk memasarkan produknya.

Tentu saja pemberdayaan ekonomi bukan satu-satunya jalan. Untuk mengupayakan keberlanjutan pengurangan kemiskinan, Pemkot Surabaya juga menjamin perlindungan sosial dan pelayanan dasar bagi warga miskin. . “Angka kemiskinan harus turun, bukan jadi turun temurun,” ujar Wishnu. “Dan tidak boleh lagi ada istilah ‘sadikin’, sakit sedikit menjadi miskin, bagi warga Surabaya,” lanjut Ketua TKPK Kota Surabaya ini.

Selama kepemimpinan Risma dan Wishnu, Kota Surabaya mampu menurunkan angka kemiskinan dari 7,07 persen tahun 2010 menjadi 5,39 persen tahun 2017. Berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, Pemkot Surabaya pada tahun 2012 memenangi Anugerah Parahita Ekapraya (APE) dari pemerintah pusat. Surabaya terpilih karena dinilai berhasil melaksanakan berbagai pelatihan bagi perempuan agar mereka dapat mandiri secara ekonomi. Pelatihan–pelatihan tersebut terbukti mampu menumbuhkan UKM-UKM baru. Penghargaan lain adalah Pro Poor Award kategori terbaik Bidang Pemberdayaan Masyarakat tahun 2012 dari Provinsi Jawa Timur.

Pengalaman lain dari Kota Bandung, selama periode 2013-2018 juga layak ditandai. Duet walikota-wakil walikota Ridwan Kamil- Oded M. Danial menjalankan misi khusus untuk penanggulangan kemiskinan dengan mengembangkan sedikitnya 23 program di tujuh sektor kunci yaitu yaitu pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, modal ekonomi kerakyatan, hunian subsidi, tata ruang ekonomi, dan sosial.

Guna meningkatkan pelayanan bagi warga miskin , Walikota Bandung membuat terobosan kelembagaan dengan mengembangkan Dinas Sosial menjadi Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan. Harapannya agar dinas ini bisa lebih mampu secara sistematis mewujudkan sinergi semua pihak terkait dalam penanggulangan kemiskinan. Selain untuk memastikan pelayanan bagi masyarakat kurang mampu bisa lebih cepat dan lebih mudah untuk dikendalikan.

10

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Di sisi lain, pelibatan lembaga masyarakat untuk memperluas dukungan bagi penanggulangan kemiskinan juga diupayakan oleh Pemkot Bandung melalui pengembangan kerjasama antara pemerintah daerah dengan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), suatu organisasi komunitas pegiat penanggulangan kemiskinan di tingkat kelurahan. Kerjasama ini sendiri digagas langsung oleh Wakil Walikota selaku Ketua TKPK. Dari kerjasama semacam ini diharapkan terbangun suatu modal sosial solidaritas antar warga, yang memang merupakan sasaran utama dari strategi pembangunan Pemkot Bandung. Menurut Ridwan Kamil, urusan negeri ini akan ‘jauh dari beres’ jika hanya mengandalkan pemerintah untuk menghadirkan perubahan. Atas kinerja yang berhasil dicapai, beberapa penghargaan diraih oleh Pemkot Bandung. Diantaranya adalah Satyalancana Kebaktian Sosial dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 2015 atas prestasi mengurangi kemiskinan dengan inovasi-inovasi sosial melalui alokasi APBD. Persentase penduduk miskin di Kota Bandung adalah 3,57% pada tahun 2018, turun sebesar 1,08% dari catatan 4.65% pada tahun 2014.

Namun demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Oleh karena itu Mang Oded, yang kemudian terpilih sebagai Walikota Bandung periode 2019-2023, melanjutkan dan mempertajam program-program yang sudah ada. Visi dan misi yang diemban dalam penanggulangan kemiskinan tetap dipertahankan. Penajaman yang dilakukan oleh Mang Oded bersama TKPK adalah memantapkan suatu kerangka logika (logical framework) perencanaan kebijakan yang bukan hanya untuk menurunkan kemiskinan, tetapi juga mengatasi ketimpangan, mengingat angka ketimpangan di Kota Bandung yang masih cukup tinggi. Kerangka logika tersebut memperluas sektor yang dilibatkan dalam penanggulangan kemiskinan dari 7 menjadi 10 sektor dengan pemilahan pelayanan untuk warga miskin.

Sementara di tingkat Provinsi Jawa Barat, Kang Emil yang terpilih sebagai gubernur periode 2019-2023 juga melanjutkan misi penanggulangan kemiskinan. Wakil Gubernur sekaligus Ketua TKPK Provinsi, Uu Ruzhanul Ulum (Mang Uu) di dalam misi ini menegaskan bahwa koordinasi dan kolaborasi adalah kunci penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat, provinsi dengan penduduk terbesar di Indonesia. Kolaborasi

11

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

yang dimaksud bukan hanya secara horizontal masing-masing antar pemangku kepentingan di tingkat provinsi dan kabupaten/kotatetapi juga secara vertikal antara pemangku kepentingan di tingkat provinsi dengan kabupaten/kota. Ketua TKPK, dalam pembukaan Rakor TKPK Provinsi Jabar bulan November 2018, juga menngingatkan bahwa selain sinkronisasi hal lain yang tak kalah penting adalah berbagi pengalaman antar antardaerah. Suatu daerah dapat menggali solusi untuk menanggulangi kemiskinan dengan menarik kesamaan kasus dan penanganannya dari daerah lain.

Menurut wakil gubernur, ada beberapa aspek krusial dalam penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat, yaitu aksesibilitas jalan atau infrastruktur bagi masyarakat untuk mempermudah perkembangan ekonomi masyarakat; irigasi untuk pertanian mengingat masyarakat Jawa Barat banyak bertumpu pada kegiatan pertanian; dan pengembangan UKM oleh pemerintah kabupaten/kota.

Membangun Struktur dan Kapasitas

Secara formal struktur kelembagaan TKPK diatur dalam Permendagri No. 42 Tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Tetapi dalam penerapannya, standar peraturan tersebut dimungkinkan untuk dimodifikasi oleh daerah menurut kondisi dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab menjalankan koordinasi dan pengendalian pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di daerah, TKPK harus mampu memobilisasi keterlibatan seluruh sektor terkait untuk saling mendukung di dalam struktur kelembagaan.

Salah satu daerah yang melakukan penyesuaian struktur TKPK adalah Provinsi Riau. Pada awal pembentukannya, sesuai Permendagri No. 42 Tahun 2010 berada di Bidang Ekonomi Bappeda. Tetapi karena dinilai kurang efektif untuk mempermudah koordinasi sektor-sektor yang menangani dimensi-dimensi pokok kemiskinan maka pada tahun 2017 peran tersebut dipindahkan ke Bidang Pemerintahan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia. Ada tiga sektor yang berada di bawah koordinasi Bidang Pemerintahan dan Sumberdaya Manusia, yaitu pendidikan, kesehatan dan sosial. Pada saat itu, fokus penanggulangan kemiskinan pemerintah Provinsi Riau diletakkan pada perlindungan sosial dan pelayanan dasar melalui ketiga sektor tersebut.

12

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Lain lagi, di Kabupaten Banyumas penguatan peran TKPK dilakukan melalui perluasan struktur kelembagaan hingga ke tingkat Kecamatan dan Desa, sejak tahun 2016. Inisiatif ini dilakukan karena Pemerintah Kabupaten Banyumas menyadari sangat tingginya angka kemiskinan, sehingga menempatkan Banyumas sebagai salah satu “daerah merah” kemiskinan di Jawa Tengah. Asumsinya, tidak mungkin besarnya jumlah penduduk miskin dan kompleksnya permasalahan itu dapat ditangani secara efektif jika hanya mengandalkan kendali dari tingkat kabupaten.

Untuk mendukung inisiatif perluasan struktur, Pemerintah Kabupaten Banyumas memberikan dukungan anggaran sebesar 30 hingga 40 juta rupiah per kecamatan per tahun. Anggaran diperuntukkan bagi biaya operasional rakor TKPK di tingkat kecamatan dan fasilitasi kegiatan seperti verikasi dan validasi (“verivali”) data BDT dan pengumpulan data-data lainnya. Sedangkan di tingkat desa, yang memiliki sumber pendanaan besar dari dana desa, TKPK didorong untuk turut memfasilitasi pemanfaatan dana tersebut untuk pemberdayaan masyarakat miskin dan rentan.

Di Kota Bandung, rekayasa kelembagaan oleh Walikota Ridwan Kamil dilakukan dengan memperkuat fokus dan kewenangan OPD penyelenggara program penanggulangan kemiskinan. Bentuknya adalah mengembangkan Dinas Sosial menjadi Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan (Dinsos Nangkis). Dengan perubahan ini diharapkan terwujud pelayanan satu pintu bagi warga miskin demi memperbaiki efisiensi dan efektivitas penanggulangan kemiskinan. Konsep ini ditetapkan pada tahun 2017 melalui Perda Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK), yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengalokasian anggaran yang lebih besar bagi OPD yang bersangkutan agar dapat bekerja sesuai harapan.

Spirit untuk menggerakkan fungsi TKPK juga ditemukan di Provinsi Jawa Timur, yang berinisiatif merekrut tenaga ahli untuk mendampingi tim teknis di sekretariat TKPK. Tenaga ahli tersebut (dua orang) adalah profesional non-ASN yang digaji dengan anggaran belanja Bappeda dimana sekretariat TKPK berada. Tugas mereka adalah mengelola website dan memperkuat pengelolaan data.

13

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Selain melalui pendampingan, peningkatan kapasitas tim teknis TKPK dilakukan dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan pelatihan, baik yang difasilitasi secara reguler oleh TNP2K maupun oleh pihak lain. Contohnya TKPK Provinsi Jawa Timur menyelenggarakan pelatihan aplikasi SEPAKAT untuk analisis kemiskinan, perencanaan, penganggaran, dan monitoring evaluasi. Peserta pelatihan bukan hanya TKPK Provinsi, tetapi juga dari TKPK Kabupaten/Kota. Selain pelatihan, peningkatan kapasitas dilakukan dengan studi banding kepada TKPK di tempat lain. Pada tahun 2018, TKPK Provinsi Jawa Timur memperkaya ilmu terkait monitoring dan evaluasi berbasis web dari Provinsi Jawa Barat, dan belajar pengelolaan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) dari Kabupaten Bandung.

Upaya yang sama untuk meningkatkan kapasitas ditempuh oleh TKPK Provinsi Riau. Anggota tim teknis secara rutin meng-update pengetahuan dan keterampilan analisis, terutama terkait perencanaan dan penganggaran, dari TNP2K, melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, magang maupun konsultasi. Selain itu mereka juga mengikuti pelatihan SEPAKAT yang diselenggarakan oleh Bappenas.

Hasilnya, berbekal pengetahuan dan keterampilan itu tim teknis bisa menjadi penggerak aktivitas TKPK sehari-hari di daerah. Peran mereka umumnya cukup menentukan. Mulai dari memfasilitasi pemanfaatan data dan hasil analisis bagi OPD dalam perencanaan program, menyediakan bahan bagi pimpinan OPD dalam Rakor TKPK, hingga mendampingi tim anggaran dalam penyusunan dan pembahasan anggaran dengan DPRD.

Membangkitkan Motivasi

Proses pembelajaran selama berkecimpung di dalam TKPK terbukti tidak cuma mampu meningkatkan kapasitas individual tim teknis, tetapi juga mendukung kepercayaan diri dan motivasi mereka untuk menjadi motor penggerak dalam lembaganya.

Harry Prabowo, Kasubbid Pemerintahan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappeda Provinsi Riau, terlibat sebagai tim teknis sejak awal TKPK Riau dibentuk. Konsisten mengikuti kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas membuatnya bisa memahami dengan baik kondisi kemiskinan di

14

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

wilayahnya. Diakuinya, selama ini dia banyak belajar selama aktif di TKPK. Dengan bekal pengetahuannya itu, Harry mendapatkan kepercayaan besar dari pimpinannya untuk melaksanakan tugas-tugas penting terkait perencanaan program.

Harry menjelaskan, “angka kemiskinan kami sudah mencapai satu digit, jadi bisa dipahami jika tren penurunannya melandai. Tetapi itu artinya bahwa kami perlu strategi yang benar-benar menjamin ketepatan program supaya penurunan kemiskinan bisa lebih signifikan dari kondisi sekarang. Apalagi, masih banyak penduduk kami yang tergolong rentan sehingga jika ada goncangan sedikit saja bisa beralih menjadi penduduk miskin,” ungkapnya. Menurutnya hal ini pernah dialami pada saat ada kenaikan harga BBM dan bencana asap di Riau pada tahun 2015.

“Saya bisa memaparkan kondisi kemiskinan dan program-programnya ini karena belajar banyak selama di TKPK”, ungkapnya. Dengan kemampuannya itu pula Harry menjadi staf kepercayaan pimpinannya di Bappeda. Motivasinya bahkan tidak surut ketika beberapa tahun terakhir dana operasional TKPK Provinsi Riau dipangkas hingga hampir 70 persen, akibat berkurangnya sumber pendapatan keuangan daerah.

Seperti halnya Harry, Muchamad Nasikin, staf Subbid Kesra Bidang Pemerintahan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Bappeda di Provinsi Jawa Timur, juga aktif sebagai tim teknis TKPK. Motivasi untuk turut memerangi kemiskinan membuatnya berusaha untuk terus belajar memahami kondisi kemiskinan yang ada dengan meningkatkan kapasitasnya dalam analisis dan perencanaan.

Mengacu pada pengalamannya terlibat di dalam aktivitas TKPK sejak tahun 2013, Nasikin melihat pentingnya kemandirian TKPK bersama OPD dalam penyusunan semua dokumen perencanaan pemerintah daerah terkait penanggulangan kemiskinan. Selain karena hal tersebut memang merupakan tanggung jawab TKPK dan OPD, kemandirian akan lebih mengefisienkan biaya perencanaan. “Jikapun dibutuhkan bantuan dari luar, seperti perguruan tinggi, mereka harus tetap diposisikan sebagai narasumber,” pungkasnya.

15

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Di Kota Bandung, Lukman, Kasubdit Sosial Budaya Bappeda Kota Bandung, menjelaskan bahwa Bappeda menjadi pusat dari kegiatan teknis TKPK. Pria yang aktif di TKPK sejak tahun 2012 ini memahami dengan baik profil karakteristik kemiskinan di wilayahnya. “Angka kemiskinan di Bandung memang sudah kecil, tetapi ketimpangannya masih tinggi. Karenanya kami harus terus bekerja keras,” imbuhnya. Lukman biasa menyampaikan informasi seputar perkembangan kegiatan TKPK kepada Wakil Walikota selaku Ketua TKPK. Lukman juga menjadi motor penggerak pelaksanaan rapat-rapat koordinasi TKPK. Mengingat keberhasilan implementasi beberapa gagasan walikota Ridwan Kamil terdahulu, Lukman meyakini bahwa hal-hal baik tersebut akan diteruskan dengan beberapa penyempurnaan oleh walikota penggantinya, Mang Oded.

Ada juga cerita Wakhyono, motor penggerak Tim Teknis TKPK Kabupaten Banyumas. Kepala Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Sosial Bappedalitbang di kantor Bappeda ini juga memiliki kepedulian tinggi dan pemahaman yang baik tentang masalah kemiskinan. Meski demikian, Wakhyono tidak mau cepat puas oleh penurunan statistik kemiskinan di daerahnya. Dia masih menyimpan kekhawatiran jika program-program kemiskinan belum menyentuh akar persoalan di tengah masyarakat Banyumas. “Apakah program-program itu sudah tepat dan akan berkelanjutan, ataukah hanya akan menurunkan angka kemiskinan sesaat saja?” ungkapnya. Karena itu, agar dapat mengkaji ulang efektivitas program-program tersebut, Wakhyono berupaya terus meningkatkan kemampuannya dalam hal analisis perencanaan dan evaluasi kebijakan.

Memelihara Komunikasi

Guna mendorong terjalinnya komunikasi antar sektor dan antar pemangku kepentingan di daerah, TKPK oleh Permendagri No. 42 diamanatkan untuk menyelenggarakan rapat koordinasi minimal tiga kali dalam setahun.

Kenyataannya, frekuensi rapat koordinasi tiga kali setahun saja dirasa jauh dari cukup untuk membahas dinamika persoalan kemiskinan di tengah masyarakat. Seperti yang dituturkan Lukman, anggota tim teknis TKPK Kota Bandung, “Setiap ada persoalan kami selalu bahas di dalam rapat koordinasi untuk menemukan jalan keluarnya, tentu saja ini lebih dari tiga kali dalam setahun.”

16

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

TKPK Kota Bandung menyelenggarakan rapat koordinasi umum dan koordinasi khusus. Koordinasi umum diselenggarakan untuk membahas perencanaan dan evaluasi secara keseluruhan. Peserta rapat koordinasi adalah seluruh OPD yang berkaitan dengan kemiskinan. Koordinasi khusus diikuti oleh OPD yang berkaitan dengan program yang sejenis yaitu OPD yang berkaitan dengan program perlindungan sosial; OPD yang berkaitan dengan pelayanan dasar; dan OPD yang berkaitan dengan program penghidupan berkelanjutan.

Kesibukan pekerjaan seringkali menjadi hambatan bagi pimpinan OPD untuk hadir di dalam pertemuan koordinasi. Lukman punya kiat khusus supaya rapat koordinasi TKPK menjadi prioritas pimpinan OPD. “Undangan harus ditanda tangani oleh pak Wakil Walikota sebagai Ketua TKPK,” katanya. “Saya biasa berkomunikasi dengan Mang Oded (wakil walikota) dan meminta beliau yang mengundang, otomatis pimpinan OPD akan hadir dalam rakor,” lanjutnya. Menurutnya kehadiran kepala-kepala OPD sangat penting, terutama ketika pembahasan menyangkut keputusan-keputusan besar yang harus diambil oleh mereka. Lain lagi jika menyangkut urusan teknis, pertemuan cukup dihadiri oleh staf teknis dari masing-masing OPD yang mempunyai tugas dan kompetensi terkait.

Di Banyumas, rapat koordinasi tidah hanya rutin dihadiri oleh Wakil Bupati sebagai Ketua TKPK, tetapi juga dalam beberapa kesempatan dihadiri oleh Bupati Ahmad Husein untuk memberikan arahan secara langsung kepada TKPK. “Rapat koordinasi biasanya ada yang inti ada yang umum, kalau yang inti pesertanya dari sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kemiskinan seperi Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial. Sedangkan yang umum lebih banyak sektor yang dilibatkan, termasuk sektor swasta pengelola CSR,” terang Wakhyono, anggota tim teknis TKPK. Selain rapat koordinasi internal TKPK Kabupaten, juga diselenggarakan rapat koordinasi antara TKPK Kabupaten dan TKPK Kecamatan setahun sekali. Camat Sumbang, Drs. Nungky Harry Rachmat MSi, menjelaskan, “biasanya yang dibahas di dalam Rakor adalah hal-hal terkait capaian kegiatan, upaya-upaya yang sudah dilakukan, dan permasalahan yang harus dipecahkan”.

17

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Sebelum tahun 2017, TKPK Provinsi Riau termasuk TKPK yang cukup sering mengadakan rapat koordinasi. Salah satu rapat koordinasi yang dilakukan oleh TKPK Provinsi Riau menghasilkan tambahan indikator kemiskinan pada dimensi kesehatan yaitu penyandang penyakit tuberkulosis (TB). Namun sejak tahun 2017, rapat koordinasi TKPK mulai dikurangi karena alasan keterbatasan dana operasional. Menurut Harry Prabowo, tim teknis TKPK, untuk mengatasi kendala ini ditempuh cara gerilya. “Kami coba komunikasi dengan OPD-OPD untuk meminta update data dan informasi lainnya terkait kemiskinan, untuk kami olah sebagai bahan evaluasi,” ungkapnya.

Teknologi informasi juga menjadi pilihan praktis dalam melakukan intra TKPK. Whatsapp Group (WAG) merupakan pilihan paling populer. Media ini sudah digunakan oleh TKPK Kota Bandung, Kabupaten Trenggalek, dan Provinsi Jawa Timur untuk berkoordinasi antar OPD, merespon laporan masyarakat, dan membahas persoalan-persoalan lain di lapangan secara langsung dengan para pengambil keputusan di daerah. GERTAK di Trenggalek menggunakan WAG untuk membahas persoalan-persoalan yang muncul berdasarkan laporan masyarakat. Menurut Bambang ST, Koordinator Ikatan Sedulur Trenggalek yang juga anggota GERTAK, media ini sangat efektif untuk mendorong OPD lebih cepat dalam merespon kebutuhan warga miskin. “Pak Emil dan Mas Ipin kan ikut serta sebagai anggota WAG, jadi ketika ada persoalan yang dimunculkan di dalam WAG mau tidak mau OPD akan cepat merespon karena ditontoni oleh Bupati dan Wakilnya,” ungkap Bambang.

TKPK Jawa Timur menggunakan WAG untuk mempermudah komunikasi dengan TKPK Kabupaten/Kota. “Bahkan banyak bidang-bidang lain (di luar struktur TKPK sekalipun) yang titip informasi ke daerah melalui WAG TKPK,” ujar Sigit Panoentoen, Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Bappeda Provinsi Jawa Timur. Efektifitas komunikasi dengan media tersebut memang dirasakan oleh TKPK, karena informasi menjadi lebih cepat sampai kepada yang berkepentingan.

TKPK Provinsi Jawa Timur juga mengembangkan media website, yang gagasan awalnya berasal dari Proyek Perubahan (Proper) Diklat PIM 4 Nana Fadjar Prijantoro, Kasubbid Kesra Bappeda. Media yang

18

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

dikembangkan pada tahun 2013 ini, merupakan satu rangkaian dalam mewujudkan Sistem Informasi Terpadu Penanggulangan Kemiskinan Jawa Timur. Tujuannya untuk memudahkan informasi, sosialisasi, dan komunikasi seluruh pemangku kepentingan. semua data dan informasi kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan dapat diakses melalui https://tkpk.jatimprov.go.id. Selain berbasis web, sistem informasi ini juga dilengkapi dengan penerbitan “Jurnal Nangkis Jatim” setahun sekali, sejak tahun 2015.

Berkaitan dengan sistem informasi, TKPK Kota Bandung saat ini sedang merancang Dashboard TKPK. Dashboard ini akan digunakan untuk mengetahui informasi perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi kemiskinan Kota Bandung. Informasi yang akan dimuat terdiri dari program kegiatan perangkat daerah yang sudah terkunci; sasaran kemiskinan terintegrasi dengan satu data Dinsosnangkis; matriks dan grafik data kemiskinan; komplementaritas program dari penerima manfaat; informasi kemiskinan tingkat kota; dan Posisi proses perencanaan sesuai dengan Permendagri 86 tahun 2017.

Komunikasi vertikal juga biasa dilakukan oleh TKPK dengan dengan TNP2K di pusat. Konsultasi terus menerus dilakukan baik melalui tatap muka maupun maupun lewat media elektronik. Dalam konteks tatap muka, bukan hanya unsur TKPK yang sering berkunjung ke TNP2K, tetapi juga sebaliknya. Dalam kegiatan Rakor TKPK khususnya, TKPK tidak jarang mengundang TNP2K sebagai narasumber. Beberapa nama personil TNP2K bahkan dikenal dengan sangat baik dan dirasa sangat membantu oleh TKPK. Seperti diungkapkan oleh Harry Prabowo, “Tim dari TNP2K mudah sekali dihubungi dan diminta bantuan, bahkan mereka tidak keberatan walaupun dihubungi via telepon malam-malam.”

Sejak tahun-tahun awal hingga saat ini, banyak pihak yang skeptis dengan ide pemerintah mendorong koordinasi penanggulangan kemiskinan melalui pembentukan TKPK di daerah. Pendapat tersebut terbukti tidak sepenuhnya benar. Dengan visi dan misi yang jelas, kepemimpinan yang kuat, motivasi yang tinggi, dan strategi komunikasi yang tepat, koordinasi antar sektor dan antar pemangku kepentingan sama sekali tak terlihat sebagai semacam angan-angan.

19

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

20

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

21

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

MENINGKATKAN KETEPATAN SASARAN

Bab 2

22

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Salah satu permasalahan klasik dalam penyediaan pelayanan bagi warga kurang mampu adalah penentuan target sasaran penerima program yang tidak sama antar sektor. Oleh sebab itu dibutuhkan data status sosial ekonomi berdasarkan nama dan alamat warga tersebut supaya pelayanan yang diberikan tepat sasaran, sesuai pelayanan yang dibutuhkan warga yang bersangkutan. Maka mulai tahun 2011, TNP2K menginisiasi pengembangan Basis Data Terpadu (BDT). Sistem ini memuat data-data warga miskin dan rentan, yaitu 40 persen penduduk dengan status kesejahteraan terbawah, berdasarkan nama dan alamat mereka.

Kemudian setelah terbitnya SK Menteri Sosial Nomor 284/HUK/2016 tentang Kelompok Kerja Pengelolaan Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin, Kementerian Sosial mengembangkan sistem pemutakhiran atas basis data tersebut. Metodanya adalah dengan menarik data dari desa/kelurahan, melalui kegiatan veri-vali (verifikasi dan validasi) oleh musyawarah desa/kelurahan. Data yang lolos dari proses veri-vali dikirimkan ke pusat melalui pemerintah kabupaten/kota. Data inilah yang diarahkan sebagai acuan perencanaan, penganggaran, dan penentuan sasaran pelayanan warga miskin dan rentan.

Menyepakati Indikator

Ada beberapa dimensi kehidupan sosial-ekonomi yang lazim menjadi domain utama pengembangan indikator kesejahteraan/kemiskinan. Yaitu, dimensi konsumsi (pendapatan), pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, ketahanan pangan, dan ketenagakerjaan. Indikator-indikator utama dari dimensi-dimensi tersebut adalah yang dinyatakan secara global oleh MDGs dan SDGs dan secara nasional oleh RPJMN.

TNP2K mendorong daerah untuk menjadikan indikator-indikator kunci itu sebagai basis perencanaan tujuan jangka-panjang dan evaluasi keberhasilan penanggulangan kemiskinan, selain sebagai basis pengembangan indikator pendukung kesejahteraan/kemiskinan lokal. Diseminasi hal ini diupayakan melalui berbagai moda interaksi dengan TKPK, seperti rapat koordinasi, pelatihan, magang dan pertemuan konsultasi.

23

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Jajaran pelaksana TKPK di daerah pun memahami dengan baik dimensi dan indikator yang sudah diperkenalkan. Harry Prabowo, dari TKPK Riau, mengakui bahwa sebelum diseminasi pemahamannya mengenai kemiskinan hanya berkaitan dengan kemampuan konsumsi atau tingkat pendapatan. Namun setelah aktif dengan TKPK pemahaman Harry berubah, seperti yang dikatakannya, “ciri dan faktor penyebab kemiskinan itu multidimensi, bukan hanya soal beban pengeluaran dan pendapatan, tetapi juga berkaitan dengan tinggi rendahnya akses dan mutu pendidikan, kesehatan, ketersediaan infrastruktur dasar, kondisi ketenagakerjaan, dan faktor ketahanan pangan.”

Menyadari kompleksnya masalah kemiskinan, Provinsi Riau menambahkan angka pengidap penyakit tuberkulosis (TB) sebagai indikator kemiskinan dalam dimensi kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Mimi Yuliani Nizar, mengonfirmasi bahwa “berdasarkan hasil penjaringan, hingga Maret 2018 temuan kasus sudah mencapai (kenaikan) 107 persen,” (Harian CDN, 6 April 2018). Hal ini juga telah dilaporkan di dalam forum rapat koordinasi TKPK bulan Februari 2019 lalu.

Sri Gemala Melayu, Kepala Bidang Pemerintahan dan Sumberdaya Manusia Bappeda Provinsi Riau, menjelaskan “penyakit TB tumbuh subur di rumah-rumah kumuh yang tidak layak, dan mereka menjadi tidak produktif, selain itu juga pengobatan TB menambah beban pengeluaran.” Menurut sumber dari Dinas Kesehatan pemicu penularan TB di antaranya karena asupan gizi yang kurang dan kondisi lingkungan yang buruk. Tidaklah mengherankan jika kebanyakan pengidap TB adalah warga miskin. Alasan tersebut yang menjadi dasar TKPK Provinsi Riau memasukan TB sebagai indikator kemiskinan.

Namun demikian, Dinas Kesehatan mengakui masih menghadapi kesulitan serius dalam mendapatkan angka sebenarnya tentang penderita TB. Dengan alasan, pertama karena pengidap TB banyak yang tidak mau berobat, apalagi yang dari kalangan warga miskin. Kedua, karena Dinas Kesehatan hanya mempunyai kewenangan untuk mendapatkan data dari fasilitas kesehatan milik pemerintah, yang berarti tidak bisa menghitung data penderita ke fasilitas kesehatan yang dikelola oleh swasta.

24

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Sifat multidimensi dari masalah dan faktor penyebab masalah kemiskinan juga dipahami oleh TKPK Kabupaten Banyumas. Dikatakan oleh Wakhyono, tim teknis TKPK, sektor-sektor yang berkaitan dengan dimensi utama kemiskinan yang diperkenalkan oleh pemerintah pusat merupakan sektor inti. Tetapi ada sektor-sektor lain yang perlu dilibatkan walaupun indikator kinerjanya sejauh ini belum terukur. Pemahaman mengenai dimensi kemiskinan juga tergambar dari pernyataan Nungky, Camat Sumbang, di Banyumas. “Ternyata pemahaman kemiskinan itu sangat kompleks, tidak hanya dilihat dari income per capita tetapi juga pendidikan, kesehatan dan lainnya,” ujarnya. Sebelumnya, ketua TKPK Kecamatan Sumbang ini sempat mempertanyakan mengapa kecamatan Sumbang disebut sebagai kecamatan termiskin di Jawa Tengah, yang ditunjukkan oleh besarnya populasi penduduk Desil terendah berdasarkan data BDT 2015.

Salah satu fokus perhatian TKPK Kabupaten Banyumas, yang sedang dikaji untuk menjadi bagian dari indikator penanggulangan kemiskinan adalah penyandang disabilitas, terutama Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Menurut penuturan Wakhyono terdapat sekitar 25 ABK per kelurahan/desa di Banyumas. “Jika dikalikan dengan 301 desa dan 30 kelurahan secara keseluruhan diperkirakan ada sekitar 8275 ABK di Kabupaten Banyumas. Jika ini tidak diperhatikan dan dibina untuk bisa mandiri makan akan berpotensi menambah jumlah warga miskin atau menambah akut kondisi kemiskinan yang ada”.

Kota Bandung, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur bahkan sudah menyelaraskan indikator kemiskinan dengan SDGs (Sustainable Development Goals) sebagai kelanjutan dari MDGs (Millenium Development Goals). Daerah-daerah tersebut juga telah mulai menggodok tambahan indikator lokal yang direncanakan akan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda).

Indikator lokal sebagai pendukung dalam analisis perencanaan maupun evaluasi penanggulangan kemiskinan memang dibutuhkan karena ada perbedaan-perbedaan kondisi sosial-budaya dan sosial-ekonomi yang mempengaruhinya. Seperti dikemukakan oleh DR. Bobby Soemiarsono SH, MSi, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur, “Data BPS menunjukkan banyak warga Madura yang hidup dengan kemampuan di bawah garis

25

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

kemiskinan. Tetapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan penduduk Madura mampu berhaji. Artinya mereka sebenarnya mempunyai penghasilan lebih untuk ditabung”. Ini adalah contoh faktor sosial lokal yang mustahil diabaikan dalam menilai kondisi yang sesungguhnya dari masalah kemiskinan.

Memantapkan Basis Data

Idealnya, data sasaran penerima program penanggulangan kemiskinan yang digunakan di daerah adalah data BDT yang sekarang dikelola oleh Kementerian Sosial. Masalahnya, walaupun terhadap data tersebut telah dilakukan veri-vali, tetapi kemungkinan terjadi kesalahan, yang disebut exclusion error dan inclusion error, tetap ada. Ketua TKPK Jawa Timur, Emil Dardak, menyatakan “bisa jadi ada orang yang namanya masuk dalam BDT tetapi sebenarnya tergolong mampu, ini inclusion error. Atau sebaliknya ada orang yang kondisinya miskin tetapi tidak masuk ke dalam BDT, ini exclusion error.”

Merangkum pendapat TKPK, ada beberapa isu yang menonjol berkaitan dengan BDT selama ini. Pertama, proses pemutakhiran BDT tidak berhasil mengeluarkan orang-orang mampu dari hasil pemutakhiran, atau sebaliknya tidak mampu memasukkan orang-orang tidak mampu ke dalam hasil pemutakhiran.

Kedua, daerah menganggap bahwa pemutakhiran data tidak serta merta mengubah data penerima program nasional. Meskipun data BDT telah diperbaharui dua kali setahun melalui SK Menteri Sosial, tetapi penerima program, seperti Rastra, PKH, Indonesia Pintar, tidak mengalami perubahan dalam realisasinya di lapangan. Mengutip pernyataan Nungky Harry Rachmat, Camat Sumbang Banyumas, data yang tertulis tidak mencerminkan hal yang sesungguhnya di dalam pelaksanaan program, sehingga sering menimbulkan perdebatan.

Ketiga, ada kepentingan elit desa di dalam memasukan nama-nama tertentu ke dalam basis data by name by address. Masuknya kepentingan elite desa pernah terjadi di Kabupaten Siak. Hal ini antara lain dikemukakan oleh Rio Arta, Kasubbid Perdagangan, Perindustrian Koperasi, dan UKM

26

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Bappeda. Ditemukan data jumlah warga kurang mampu yang sulit diterima. Ketika dicek ke lapangan banyak nama-nama yang tidak layak menjadi penerima program perlindungan sosial, yang ternyata merupakan keluarga atau kerabat dekat elit desa setempat.

Pemerintah dan TKPK umumnya tidak tinggal diam. Banyak upaya dilakukan untuk mengurangi inclusion dan exclusion error tersebut. Seperti yang dituturkan Wan Muhamad Yunus, Kepala Bappeda Kabupaten Siak, data yang diusulkan oleh musyawarah desa/kelurahan dicek kembali oleh petugas khusus dari pemerintah kabupaten melalui veri-vali, dengan biaya dari APBD.

Di Kota Surabaya, pemutakhiran data dilakukan oleh Dinas Sosial dengan menggunakan form yang sama dengan yang digunakan dalam PBDT 2015. Dari hasil pemutakhiran tersebut, ternyata banyak daftar nama yang mencantumkan tambahan warga sasaran perlindungan sosial dibandingkan hasil PBDT.

Jika pemutakhiran dari pusat diarahkan untuk dilakukan 6 bulan sekali, di Kota Surabaya ini upaya ini dilakukan setiap hari sesuai Peraturan Walikota. Dinas Sosial sebagai lembaga yang bertugas menyelenggarakan pemutakhiran data menggunakan tenaga outsourcing di masing-masing kelurahan untuk melakukan pendataan. Mereka digaji dengan dengan dana APBD. Data-data baru tersebut kemudian ditetapkan oleh pemerintah kota setiap bulan, dengan harapan ketepatan sasaran untuk program pusat maupun daerah bisa lebih terjamin.

Agak berbeda, di Kabupaten Trenggalek, proses veri-vali dilakukan oleh Pasukan Pink, yaitu relawan-relawan GERTAK, yang sampai pada tahun 2018 berjumlah 157 orang. Menurut Emil Dardak, paradigma proses pemutakhiran data di Trenggalek bukan survei atau sensus melainkan self-defined poverty. “Kemiskinan itu bukan hanya diukur berdasarkan pengakuan seseorang saja. Kita lakukan musyawarah desa yang dinamakan musdes GERTAK. Di situ warga saling melihat, menengok ke bawah, apakah ada yang lebih miskin dari dirinya atau tidak,” Emil menjelaskan.

27

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Tujuannya agar ada semangat kebersamaan dan gotong royong masyarakat dengan menyadari bahwa ada yang lebih miskin yang perlu dibantu. Sehingga data kemiskinan dapat disepakati bersama. Meski demikian, secara prosedur data tersebut tetap diverifikasi dengan parameter sesuai pedoman yang dari Kementerian Sosial. Jika terjadi perbedaan data untuk kategori data exclusion error, pelayanan warga kurang mampu dicarikan dananya dari sumber lain.

Praktek lain terlihat di Kota Bandung. Pemutakhiran data di kota ini dilakukan melalui petugas yang ada di Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) tingkat kelurahan, berdasarkan pengaduan dari masyarakat. Data ini kemudian dicek apakah termuat dalam data BDT atau tidak. Jika tidak termuat, petugas Puskesos melakukan veri-vali melalui musyawarah kelurahan sebelum data tersebut dilaporkan ke Dinsosnangkis. Sama dengan di kota-kota yang sudah disebutkan sebelumnya, warga miskin yang masuk dalam kategori exclusion error tetap diberikan jaminan pelayanan oleh pemerintah kota dengan menggunakan dana dari APBD.

Data BDT yang berpusat di Pusdatin Kemensos bisa diakses oleh daerah dengan menggunakan password yang diberikan kepada Dinas Sosial. Dinas/lembaga lain bisa mengakses data tersebut melalui Dinas Sosial. Tetapi di beberapa tempat pembatasan kepemilikan password justru menghambat akses terhadap data itu sendiri. Untuk mengatasi masalah ini, Kota Bandung mengembangkan suatu sistem aplikasi yang dinamakan ‘Aksen’, untuk memudahkan pihak-pihak di luar Dinas Sosial mendapatkan data BDT. Dwi MS, Kepala Bidang Penanggulangan Kemiskinan Dinsosnangkis menyatakan, “data yang berupa nama-nama yang ada di BDT dicopy ke aksen, dan bisa diakses oleh pihak lain termasuk Puskesos di kelurahan. Sedangkan untuk data SIKS-NG secara utuh hanya Dinsosnangkis yang bisa membukanya.”

Kreativitas pemutakhiran basis data juga terjadi di Kabupaten Banyumas. Pada tahun 2018 daerah ini mengembangkan aplikasi SIDATUK (Sistem Terpadu Penanggulangan Kemiskinan). Aplikasi ini berupa angket yang merupakan self assessment bagi warga miskin dan rentan yang datanya termuat di dalam BDT. SIDATUK dikembangkan berdasarkan hasil kajian

28

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

bahwa prioritas kebutuhan warga kurang mampu selalu kalah oleh kepentingan sekelompok elit di tengah masyarakat, sehingga harus ada cara untuk menjaring suara langsung dari warga miskin.

Angket dapat diakses secara online melalui telepon genggam. Angket tersebut berisi daftar kebutuhan pelayanan yang dikategorikan ke dalam tiga bidang yaitu kesejahteraan sosial, infrasturktur, dan ekonomi. Dalam setiap pilihan program/pelayanan yang termuat dalam menu aplikasi tersebut, responden harus mengisi angka yang menunjukan prioritas pelayanan yang dibutuhkan. Responden adalah nama-nama yang ada di dalam daftar BDT. Rekap data yang menunjukan daftar rangking kebutuhan warga miskin dapat digunakan sebagai acuan Pemerintah Desa/Kelurahan dan Pemerintah Kabupaten dalam menentukan prioritas pelayanan.

Memadukan Pelayanan

Kesulitan warga miskin untuk mendapatkan pelayanan publik bukan lagi rahasia. Akses mereka seringkali terkendala oleh birokrasi yang bertele-tele. Pemerintah daerah berusaha membenahi sistem yang ada, yang memungkinkan kemudahan bagi warga kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan publik, terutama pelayanan dasar.

Sistem layanan terpadu menjadi pilihan di mana pelayanan untuk warga miskin bisa diakses melalui satu pintu. Pemerintah Kota Bandung, misalnya, mengembangkan pilot project reaksi cepat pelayanan di tingkat kelurahan pada tiga kecamatan. Pada lokasi pilot dikembangkan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) di setiap kelurahan.

Warga miskin yang mempunyai permasalahan dipersilahkan datang ke Puskesos untuk mendapatkan pelayanan. Petugas Puskesos yang disediakan oleh Pemerintah Kota, akan membantu untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka dan dirujuk kepada Dinas/lembaga terkait untuk mendapatkan pelayanan. Contohnya, jika masalah yang dihadapi adalah anak putus sekolah, maka akan dirujuk ke Dinas Pendidikan, jika masalah itu menyangkut kesehatan akan dirujuk ke Dinas Kesehatan.

29

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan pelayanan didasarkan kepada data BDT yang sudah dimuat di dalam aplikasi ‘Aksen’. Puskesos dapat mengakses data tersebut dengan password yang diberikan oleh Dinas Sosial. Identifikasi data dilakukan dengan mengetik NIK dari warga yang meminta pelayanan. Jika sesuai maka datanya akan keluar, jika tidak petugas Puskesos akan memastikan dengan melakukan veri-vali melalui musyawarah kelurahan.

Pelayanan satu pintu bagi warga miskin di Kabupaten Trenggalek dilakukan melalui GERTAK. Masyarakat yang membutuhkan pelayanan bisa melaporkan secara langsung ke posko GERTAK di ibukota Kabupaten atau melalui akun Facebook yang dikembangkan oleh Ikatan Sedulur Trenggalek, komponen komunitas yang tergabung dalam GERTAK. Siapapun bisa melaporkan orang yang membutuhkan pelayanan, tidak harus oleh orang yang bersangkutan.

Laporan tersebut kemudian akan di-crosscheck dengan data BDT. Jika tidak ada di dalam BDT maka akan dilakukan veri-vali oleh Pasukan Pink ke lapangan. Jika datanya sudah valid, GERTAK memberi rekomendasi rujukan kepada Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Dinas lain yang terkait. Jika tidak bisa ditangani oleh anggaran belanja dinas-dinas tersebut, maka akan dicarikan dari sumber dana lain seperti Baznas atau Ikatan Sedulur Trenggalek. “Jadi GERTAK tidak memegang uang, hanya supervisi dan memberikan rekomendasi,” jelas Bambang Puji, Koordinator IST dan Anggota GERTAK

Selain mempunyai Pasukan Pink sebagai relawan kemiskinan, yang unik dari GERTAK adalah apa yang dikembangkan di dalam pelayanan kesehatan. Bukan hanya penderita yang dipikirkan untuk mendapatkan bantuan, akan tetapi juga keluarga yang kehilangan sumber penghasilan karena sakitnya penderita. Hal ini tidak terakomodasi dalam anggaran pemerintah daerah dan oleh sebab itu diupayakan dari BAZNAS atau lembaga lain. GERTAK juga mempunyai Rumah Singgah bagi pasien dan keluarga pasien yang dirujuk ke rumah sakit besar.

Saat ini Rumah Singgah ada di Surabaya dan Malang, dengan lokasi di sekitar rumah sakit rujukan. GERTAK juga direncanakan akan terintegrasi dengan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT).

30

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Upaya memadukan pelayanan bagi warga kurang mampu juga diupayakan di tingkat Provinsi Jawa Timur. Yaitu dengan mendorong pengembangan SLRT di seluruh kabupaten/kota. Hingga saat ini sudah 18 Kabupaten/Kota yang mendapatkan SLRT dengan mengembangkan Puskesos.

Menurut Sigit Panoehoen, Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Bappeda Provinsi Jatim idealnya satu desa memiliki satu Puskesos. Tetapi karena terkendala anggaran maka pemerintah provinsi hanya bisa mendukung 2 Puskesos per kabupaten/kota. Harapannya kabupaten/kota akan membiayai sisa kebutuhan. Contohnya Kabupaten Sidoarjo yang sudah menganggarkan untuk pembiayaan Puskesos, walaupun belum untuk seluruh desa yang ada.

31

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

32

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

33

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

MEMPERTAJAM STRATEGI INTERVENSI

Bab 3

34

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah daerah wajib memahami situasi kemiskinan sebagai titik tolak perencanaan kebijakan. Hal ini membutuhkan analisis dengan menggunakan pendekatan dan metodologi yang dapat menguraikan faktor-faktor penyebab yang kompleks dari kemiskinan, yang bisa jadi khas untuk masing-masing daerah.

Hasil analisis diperlukan untuk menjadi dasar koordinasi penanggulangan kemiskinan di semua sektor pembangunan, dan meningkatkan relevansi serta ketepatan program-program di setiap sektor. Selain itu hasil analisis juga untuk menyesuaikan program dengan kapasitas yang tersedia, baik dari sisi anggaran maupun sumberdaya manusia dan periode waktu tertentu.

Menemukenali Masalah

Analisis kemiskinan oleh daerah mengacu kepada indikator-indikator kemiskinan yang menjadi target pembangunan nasional dan daerah. Analisis tersebut diarahkan untuk mengetahui (1) posisi capaian suatu indikator di suatu daerah dibandingkan daerah-daerah lain dan target yang sudah dicanangkan, terutama oleh RPJMD; (2) perkembangan capaian indikator tersebut selama periode tertentu; (3) mengetahui efektivitas intervensi kebijakan selama periode tertentu terhadap indikator yang bersangkutan; (4) relevansi perkembangan capaian indikator itu terhadap perkembangan indikator yang sama di tingkat wilayah yang lebih luas.

Dalam melakukan analisis TKPK menggunakan tools berbasis komputer yang diperkenalkan oleh TNP2K, terutama melalui aktivitas pelatihan dan magang. Di samping itu ada juga TKPK yang memperkaya perspektif analisis dengan memanfaatkan alat bantu yang dibuat oleh pihak-pihak lain seperti dari tools SEPAKAT dari Bappenas, atau memakai aplikasi yang dirancang sendiri oleh daerah.

Data yang digunakan dalam melakukan analisis mencakup data makro yang terutama bersumber dari SUSENAS, SAKERNAS, DAPODIK, PODES, SDKI, SUPAS; dan data mikro dari BDT; selain data-data pendukung lain hasil pendataan oleh OPD di daerah. Hasil analisis oleh tim teknis TKPK dengan menggunakan kombinasi data-data tersebut umumnya kemudian dikonsultasikan kembali kepada masing-masing OPD untuk mendapatkan klarifikasi dan tanggapan.

35

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Oleh TKPK Provinsi Riau, misalnya, hasil analisis menghasilkan rumusan masalah bahwa meskipun angka kemiskinan sudah cukup rendah (7,21 persen) dibandingkan provinsi-provinsi lain maupun nasional, laju penurunan angka kemiskinan di Provinsi Riau menunjukkan tren yang melandai. Rata-rata penurunannya cukup kecil 0,24 persen per tahun. Jika tidak dilakukan upaya khusus maka tidak ada jaminan bahwa target angka kemiskinan Provinsi Riau 6-7 persen pada tahun 2024 akan tercapai.

Karenanya analisis perencanaan difokuskan kepada percepatan perbaikan indikator-indikator yang capaiannya belum memenuhi harapan. Indikator yang dimaksud antara lain adalah angka putus sekolah dan angka kematian ibu melahirkan. Menurut Sri Endang Kornita, dari LPPM Universitas Riau, masalah paling berat saat ini adalah tingginya angka kematian ibu melahirkan.

Lebih jauh, perempuan yang aktif di TKPK Provinsi Riau ini menjelaskan beberapa penyebabnya. Pertama, basis informasi perencanaan masih lemah karena hanya mengandalkan data dari fasilitas kesehatan. Sementara data yang diharapkan dari komunitas yaitu persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih/dukun bayi tidak tercatat. Kedua, fasilitas kesehatan di beberapa tempat sulit dijangkau karena letak geografis yang terpencil. Sebagai contoh di Kabupaten Kampar, dimana ada satu kecamatan yang untuk mencapai ibukota kabupaten harus memutar ke wilayah Provinsi Sumatera Barat. Ini berkaitan dengan relatif mahalnya biaya pembangunan jalan di Provinsi Riau dibandingkan di daerah lain karena banyaknya lahan gambut.

Terkait sulitnya menurunkan angka kemiskinan di Provinsi Riau, salah satu faktor yang musykil diabaikan menurut Ria Etika, seorang Tenaga Fungsional Perencana (TFP) di Bappeda, adalah tingginya tingkat migrasi dari provinsi tetangga. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Wan Muhamad Yunus, Kepala Bappeda Kabupaten Siak, secara spesifik banyak sekali pendatang dari provinsi lain di sekitar Siak yang bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit, yang dengan tingkat penghasilan belum cukup memadai potensial menambah jumlah penduduk miskin di daerah tersebut.

Kelompok rentan yang berada sedikit di atas garis kemiskinan masih cukup banyak di Provinsi Riau. Pada tahun 2015 angka kemiskinan di

36

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

wilayah tersebut naik menjadi 8,82 persen. Mengutip penjelasan tim teknis TKPK, sebuah analisis menyebutkan bahwa kenaikan itu disebabkan oleh bencana kabut asap dari kebakaran hutan yang cukup luas ketika itu, yang telah menghambat aktivitas perekonomian lokal. Tidak hanya itu, banyak warga masyarakat yang mengalami gangguan kesehatannya akibat kabut asap, sehingga meningkatkan pengeluaran untuk pengobatan dan mengganggu produktivitas kerja. Dampaknya sebagian penduduk yang kemampuan konsumsinya berada sedikit di atas garis kemiskinan, turun menjadi di bawah garis kemiskinan.

Di Provinsi lain, Jawa Timur, dari hasil identifikasi masalah kemiskinan oleh TKPK dinyatakan bahwa walaupun dalam lima tahun terakhir tren angka kemiskinan terus menurun, tetapi capaian indikator itu masih berada di atas angka nasional, yaitu 10,85 persen pada tahun 2017. Laju penurunan kemiskinan juga mulai menunjukkan perlambatan. Sepanjang September 2016 hingga Maret 2017 penduduk miskin di Jawa timur hanya turun 0,01 persen. Komposisinya, kemiskinan di perdesaan menyumbang angka kemiskinan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan.

Wilayah terparah menurut Heru Tjahyono, Sekretaris Daerah, adalah desa-desa di mana sebagian besar penduduknya menggantungkan diri pada sektor pertanian. Sebagian besar petani di Jawa Timur adalah buruh tani dengan lahan kurang dari 0,3 Ha. Sedangkan jika dibandingkan antar wilayah, Kepulauan Madura dan beberapa kepulauan lain di sekitarnya mempunyai angka kemiskinan paling tinggi dan paling parah. Faktor geografis diyakini menjadi akar utama masalah tersebut. Pemerintah provinsi sulit untuk memberikan pelayanan karena biaya transportasi air seperti kapal sangat mahal. Di samping itu, kondisi pasang air laut pada musim-musim tertentu menyulitkan ketersediaan transportasi air.

Sementara, di Jawa Tengah khususnya di Kabupaten Banyumas, penurunan persentase penduduk miskin selama periode 5 tahun (2011-2016) cukup siginifikan, yaitu 3,59 persen. Namun, relevansi perkembangan capaian indikator tersebut masih berada di atas rata-rata nasional dan provinsi. “Dengan angka kemiskinan 16,29 persen pada tahun 2017, daerah kami masih ada di kategori merah,” tutur Sri Rihastuti SP, Fungsional Perencana Bappedalitbang Kabupaten Banyumas. Bukan hanya pemerintah provinsi yang memberikan penanda merah pada

37

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

kabupaten yang angka kemiskinannya tinggi, TKPK Kabupaten Banyumas juga melakukan hal serupa untuk tingkat kecamatan di wilayahnya. Salah satu kecamatan yang termasuk dalam kategori merah adalah Kecamatan Sumbang.

Sumber-sumber di TKPK Banyumas mengatakan bahwa angka kemiskinan yang masih tinggi juga dipengaruhi oleh garis kemiskinan yang relatif lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Tengah. Tahun 2017, misalnya, garis kemiskinan Banyumas adalah sebesar Rp. 357.748, di atas garis kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, yaitu Rp. 333.224. Ini berarti bahwa biaya untuk mencapai standar kesejahteraan minimal di Kabupaten Banyumas relatif lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota lain secara umum di Jawa Tengah. Wakhyono memberi ilustrasi, “bisa saja jika seorang penduduk miskin di Banyumas, dengan tingkat pendapatannya yang ada sekarang, pindah ke Tegal yang garis kemiskinannya lebih rendah dia akan tergolong tidak miskin.”

Dalam menganalisis situasi kemiskinan, TKPK Kabupaten Banyumas tidak hanya berpegang pada statistik dari BPS. Mereka juga menganalisis kebutuhan yang dirasakan oleh warga miskin melalui aplikasi Sistem Informasi Data Terpadu Kemiskinan (SIDATUK). Analisis terhadap data yang diperoleh secara online dari pilihan nama-nama yang termuat dalam BDT ini menghasilkan daftar prioritas kebutuhan, khususnya yang terkait infrastruktur, ekonomi, dan sosial.

Dari Kota Bandung, hasil analisis TKPK menyatakan bahwa angka kemiskinan menunjukan persentase yang sudah sangat rendah yaitu 4,17 persen di tahun 2017, dengan tren yang menurun namun melambat dalam setidaknya lima tahun terakhir. Dengan capaian yang sudah mencapai satu digit, penurunan tersebut sejak tahun 2010 terjadi kurang dari satu persen per tahun, persisnya dengan rata-rata 0,78 persen per tahun. Meskipun angka kemiskinan rendah, ketimpangan di Kota Bandung masih cukup tinggi. Arvian, seorang pegiat kemiskinan Kota Bandung, bahkan mengingatkan bahwa ketimpangan di ibukota provinsi ini merupakan yang tertinggi di Jawa Barat.

38

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Analisis di atas juga dilakukan oleh TKPK Kota Bandung dengan menggunakan aplikasi yang diperkenalkan oleh TNP2K dan aplikasi SEPAKAT yang dikembangkan oleh Bappenas. Hasil identifikasi masalah semacam ini kemudian diperdalam lagi oleh TKPK Kota Bandung dengan menyusun sebuah logic model untuk membantu memetakan target pengurangan angka kemiskinan dan penurunan ketimpangan yang ingin dicapai hingga tahun 2024.

Merancang Strategi

Visi dan misi kepala daerah diterjemahkan ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD), untuk digunakan dalam lima tahun masa pemerintahan. Dokumen ini akan dirujuk sebagai arah kebijakan dalam penyusunan program dan kegiatan untuk menangani isu-isu pembangunan daerah. Dengan demikian, percepatan penanggulangan kemiskinan harus dapat dimulai dari pengarusutamaan isu-isu kemiskinan di dalam RPJMD agar program-program penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas pembangunan di daerah.

Oleh sebab itu salah satu misi advokasi TNP2K kepada TKPK adalah mendorong penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD), untuk dijadikan bahan masukan bagi penyusunan RPJMD. Pada prinsipnya SPKD menguraikan profil kemiskinan, terutama dalam dimensi-dimensi kunci, berikut determinan atau akar dari setiap masalah utama. Dari sini SPKD dapat menjelaskan prioritas sasaran yang perlu dipenuhi, lokus intervensi program, dan target capaian yang diharapkan dari setiap indikator kinerja program yang bersangkutan. Dengan sendirinya, SPKD tidak hanya akan berguna bagi pemerintah daerah. Dokumen ini juga dapat menjadi rujukan bagi pihak swasta dan unsur masyarakat lainnya untuk mengambil peran dalam penanggulangan kemiskinan di daerah. Secara teknis ada berbagai cara yang ditempuh oleh TKPK dalam penyusunan SPKD. TKPK Kabupaten Banyumas menggandeng Universitas Soedirman dalam proses ini. Selain menggunakan hasil analisis kuantitatif terhadap capaian indikator dan memperhatikan data SIDATUK, penyusunan SPKD juga dilakukan dengan penjaringan masalah melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak swasta melalui forum

39

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

CSR di tingkat Kabupaten. Menurut Wakhyono, pendekatan partisipatif ini dilakukan sebagai upaya untuk mengeliminasi dominasi kepentingan elit baik di tingkat kabupaten maupun desa/kelurahan.

SPKD diakui oleh TKPK Kabupaten Banyumas membantu mempertajam isu strategis kemiskinan di dalam RPJMD. “Tidak ada artinya SPKD dibuat kalau tidak masuk ke dalam RPJMD. Karena RPJMD ditetapkan sebagai Peraturan Kepala Daerah sehingga memiliki kekuatan hukum, dan oleh sebab itu mengikat Organisasi Perangkat Daerah.” ujar Wakhyono. “SPKD, RPJMD dan Rencana Kerja Pemerintah harus sinkron, SPKD itu seperti RPJMD-nya kemiskinan” tambahnya.

Dengan target capaian angka kemiskinan 8,5 persen pada RPJMD 2020-2024, Pemerintah Kabupaten Banyumas menggunakan strategi yang fokus pada peningkatan kualitas pelayanan dasar bagi warga miskin dan pemberdayaan.

Dalam konteks pemberdayaan, pemerintah kabupaten mendorong pemerintah desa agar mengoptimalkan penggunaan dana desa untuk memberdayakan warga yang namanya masuk dalam daftar BDT. Menurut TKPK, selama ini penggunaan dana desa yang berkaitan dengan kemiskinan baru pada kegiatan perbaikan Rutilahu (Rumah Tidak Layak Huni).

Kota Bandung, dengan menggunakan logic model, memutuskan untuk memperluas sektor-sektor yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan. Ada sepuluh sektor pembangunan (OPD) yang dilibatkan. “Kemiskinan harus dikeroyok. Program secara indikatif sudah mulai terbaca dan akan dikunci atau dipastikan terakomodasi di dalam APBD,” ujar Lukman Surya. Berdasarkan penuturan Ety dan Taufik, staf Bapelitbang Kota Bandung, dengan model ini dilakukan pemilahan yang jelas dalam menentukan sasaran dan anggaran kemiskinan dari setiap sektor. Sasarannya mengacu kepada data yang termuat didalam BDT. Penyusunan logic model ini dilakukan oleh Bapelitbang Bersama dengan TKPK dan konsultan dari pegiat kemiskinan Kota Bandung. Hasil analisis ini menjadi bahan masukan bagi penyusunan SPKD dan RPJMD.

40

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Pada awalnya pengembangan logic model yang melibatkan lebih banyak sektor pelaksana program kemiskinan mendapatkan tantangan, khususnya dari OPD-OPD yang sebelumnya biasa dilibatkan. Tetapi setelah melalui berbagai diskusi dengan TKPK, ditambah dukungan dari Walikota, akhirnya OPD-OPD terkait itu sepakat untuk bersama-sama menjalankan strategi penanggulangan kemiskinan daerah. Pelaksanaan program-program baru itu sendiri baru akan dilakukan pada tahun 2020, karena untuk tahun 2019 masih meneruskan program-program lama.

Selain menyusun SPKD, TKPK Kota Bandung juga menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) sebagai penjabaran dan dilampirkan pada SPKD. Menurut pengakuan TKPK Kota Bandung, penyusunan RAD didorong dan didukung pendanaannya oleh TKPK Provinsi Jawa Barat melalui bantuan keuangan provinsi. SPKD yang sudah dilampiri RAD diajukan oleh TKPK kepada Bapelitbang untuk mempertajam RPJMD bidang kemiskinan.

TKPK Provinsi Jawa Barat mendorong penyusunan rencana aksi daerah sebagai suatu model perencanaan multipihak di masing-masing kabupaten/kota. “Hampir sebagian besar daerah merancang rencana aksi. Harapannya adalah terjadinya pembagian peran yang jelas antar stakeholder di daerah,” ungkap Arvian. Rencana aksi juga berisi upaya penguatan peran dan fungsi TKPK, khususnya untuk melakukan penajaman perencanaan program dan pengalokasian anggaran.

Tidak berhenti pada penyusunan rencana aksi. Dari dokumen ini akan dikembangkan model sistem informasi yang mengunci atau menjamin akomodasi semua sektor yang berkaitan dengan kemiskinan. Sistem informasi penganggaran ini dibuat sedemikian rupa sehingga rupiah yang dianggarkan benar-benar menyentuh fokus dan lokus kemiskinan di Kota Bandung. Sedangkan, untuk mengatasi ketimpangan pengembangkan strategi dititikberatkan pada model-model penghidupan berkelanjutan, melalui pemberdayaan ekonomi yang diharapkan bisa berkelindan dari hulu sampai ke hilir. Ini untuk bersinergi dengan program-program perlindungan sosial dan pelayanan dasar.

Program-program terakhir terutama ditujukan bagi warga miskin yang berada di dalam Desil-1 dan Desil-2 BDT. Sedangkan penduduk dalam Desil-3 dan Desil-4 lebih didorong untuk diintervensi dengan program-

41

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

program pemberdayaan. Gerakan Penguatan Usaha Ekonomi Keluarga (GEPUK) adalah contoh program yang dirancang untuk memberdayakan warga miskin yang sudah lulus (tergraduasi) dari Program Keluarga Harapan (PKH).

Di Provinsi Jawa Timur, target untuk menurunkan angka kemiskinan hingga mencapai 1 digit juga menjadi tantangan utama penyusunan RPJMD 2019-2023. Walaupun penurunan angka kemiskinan cukup signifikan selama sepuluh tahun terakhir peningkatan intervensi mutlak diperlukan.

Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur, Boby Soemiarsono, menyatakan bahwa RPJMD 2019-2023 yang sedang disusun akan melanjutkan kebijakan yang sudah terbukti efektif dari oleh pemerintahan periode sebelumnya, dengan beberapa penajaman dan inovasi. RPJMD tersebut juga akan dipastikan ada benang merahnya dengan SPKD. Analisis situasi kemiskinan hasil kerja TKPK yang sudah termuat di dalam SPKD menjadi masukan penting bagi penyusunan RPJMD. Proses analisis dalam penyusunan SPKD oleh TKPK Provinsi Jawa Timur dilakukan secara mandiri.

Seperti yang diungkapkan oleh Mukhamad Nasikin Tim Teknis TKPK, “dokumen sengaja kami susun dengan mengandalkan kemampuan sendiri supaya memaksa kami untuk belajar dan meningkatkan pengetahuan. Kalaupun ada unsur dari perguruan tinggi, mereka hanya kami posisikan sebagai narasumber dalam diskusi.”

Salah satu rekomendasi dari hasil analisis SPKD adalah perlunya perhatian khusus bagi wilayah Madura dan pulau-pulau di sekitarnya karena besarnya kendala transportasi. Oleh karena itu Gubernur baru Jawa Timur, Khofifah Indar Parawangsa, akan menyediakan pelayanan dengan menggunakan kapal bagi penduduk di wilayah-wilayah kepulauan. Kebijakan ini didukung oleh daerah lain. Wakil Walikota Surabaya, misalnya, mengakui bahwa Kota Surabaya sudah dianggap mampu sehingga bantuan dari provinsi diarahkan kepada wilayah-wilayah yang paling membutuhkan.

42

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Dari sisi kelompok sasaran pun, bukan hanya memperhatikan warga miskin 40 persen terendah akan tetapi juga memperhatikan kelompok rentan. Kota Surabaya mengembangkan strategi program untuk menangani kelompok rentan. Kelompok rentan yang tidak termasuk PBI BPJS dan mempunyai tunggakan BPJS akan dibayarkan oleh pemerintah kota.

Perhatian Provinsi Jawa Timur juga ditujukan kepada peningkatan kemampuan ekonomi para petani. Heru Tjahyono, Sekretaris Daerah, mengatakan setidaknya 40 juta penduduk Jawa Timur bermata pencaharian petani dan buruh tani. Rata-rata petani di Jawa Timur memiliki lahan kurang dari 1 hektar. “Dengan luas lahan kurang dari 1 hektar kalau tidak ada treatment dari pemerintah, mereka akan selamanya miskin,” ungkap Heru. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengembangkan kebijakan hulu–hilir dengan mendekatkan proses on-farm dan off farm. Heru mencontohkan komoditas jambu mete jika dijual gelondongan oleh petani harganya murah sekali. Tetapi jika sudah dikupas kulitnya akan ada penambahan nilai tambah yang signifikan. Oleh sebab itu pemerintah memberikan pelatihan dan membantu peralatan untuk pengupas kulit jambu mete.

Strategi lain Pemerintah Jawa Timur adalah meneruskan program Jalin Kesra dan Jalin Matra dari pemerintahan sebelumnya, dengan melakukan beberapa penyesuaian berdasarkan kondisi terakhir. Wakil Gubernur Emil Dardak menjelaskan bahwa penyesuaian akan dilakukan dari sisi jumlah bantuan yang diberikan dan juga dari pendekatan. “Ke depan mungkin akan lebih baik jika menggunakan pendekatan kelompok seperti Kelompok Usaha Bersama (KUBE),” jelas Emil. Program lain yang akan diluncurkan adalah JATIM BERKAH yang saat ini masih digodok persiapannya.

Di dalam RPJMD Provinsi Riau - 2019-2023, kemiskinan menempati misi ke tiga dan menjadi indikator kinerja gubernur. Berdasarkan hasil analisis TKPK yang dimuat di dalam SPKD, fokus penanggulangan kemiskinan akan diarahkan pada indikator yang belum cukup baik atau belum memenuhi harapan. Seperti, penurunan anak putus sekolah, penurunan angka kematian ibu melahirkan, dan penurunan angka penderita TB. Indikator-indikator ini akan menjadi fokus di dalam RPJMD untuk bidang kemiskinan.

43

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

SPKD menjadi bahan pertimbangan di dalam penyusunan RPJMD. Hal ini ditegaskan oleh Sri Endang Kornita, yang aktif di sekretariat SDGs, “berdasarkan dokumen SAF (SDGs Acceleration Framework) indikator yang digunakan di dalam SPKD termuat di dalam RPJMD, kecuali indikator pemenuhan wajib belajar 12 tahun.”

Proses penyusunan SPKD itu sendiri di Provinsi Riau dilakukan oleh Tim Teknis TKPK melalui beberapa tahapan. Tim Teknis melakukan analisis berdasarkan data makro dan mikro (BDT) dan beberapa data pendukung dari dinas pemerintah daerah. Hasil analisis dibahas di dalam rapat koordinasi TKPK untuk uji publik. Tahap selanjutnya tim teknis melakukan evaluasi anggaran untuk kembali dibahas hasilnya di dalam rapat koordinasi dengan OPD, sebelum tahap akhir penyusunan program.

Jajaran tim teknis TKPK sepakat bahwa analisis dan perencanaan yang termuat dalam SPKD memudahkan mereka untuk melakukan verifikasi program dan anggaran yang diajukan oleh OPD. “Bappeda menjadi kuat posisi tawarnya dalam menghadapi usulan dari Dinas, karena memiliki rencana yang berbasis data, bukan hanya asal coret. Jadi dinas tidak bisa secara sepihak memaksakan usulan program dan kegiatan,” ungka Harry Prabowo. Contohnya, ada ajuan pembelian iPad untuk mendukung kegiatan di sekolah. Hal ini ditolak karena tidak mencerminkan prioritas intervensi. Kebutuhan mendesak berdasarkan hasil analisis adalah perbaikan ruang kelas pada bangunan sekolah yang hampir runtuh (rusak berat).

44

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

45

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

MENGEMBANGKAN KEMITRAAN

Bab 4

46

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Mengatasi kemiskinan dengan hanya mengandalkan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah saja tidak mungkin mencukupi. Efektifitas penanggulangan kemiskinan bukan hanya ditentukan oleh koordinasi antar sektor publik, akan tetapi oleh peran pemangku kepentingan di luar pemerintahan. Karenanya upaya-upaya untuk membangun kemitraan antara pemerintah dengan berbagai pihak terus dilakukan di daerah, baik itu dengan sektor swasta, perguruan tinggi, maupun lembaga atau komunitas-komunitas tertentu di dalam masyarakat.

Menemukan pola yang tepat untuk pelibatan pemangku kepentingan di luar pemerintah merupakan bagian dari tugas penting TKPK. Perbedaan budaya kerja, sistem, dan kepentingan menjadi tantangan tersendiri. TKPK harus mampu meyakinkankan pihak-pihak yang diajak bekerja sama untuk mendukung pencapaian tujuan bersama.

Memanfaatkan Kepedulian Swasta

Kerjasama dengan sektor swasta adalah peluang yang banyak dilirik oleh pemerintah daerah. Salah satu yang paling populer adalah kerjasama dengan pengelola program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan swasta. Pilihan ini banyak ditemui di berbagai daerah. Model kerjsamanya ada yang dilakukan secara langsung dengan masing-masing perusahaan, tetapi ada juga yang melalui forum CSR antar-perusahaan.

Bekerjasama melalui forum CSR umumnya dirasakan pemerintah daerah sebagai cara yang lebih efektif dan efisien. Karenanya Pemkot Banyumas pada tahun 2017 menginisiasi pembentukan Forum CSR, yang dikuatkan basis hukum kelembagaanya dengan peraturan daerah. Jika sebelumnya kerjasama dilakukan langsung dengan perusahaan masing-masing, setelah adanya forum tersebut kerjasama cukup dilakukan melalui satu pintu.

Mekanisme yang disepakati adalah Pemerintah Daerah membuat permohonan bantuan dan jenis pelayanan yang dibutuhkan berdasarkan data melalui forum, kemudian forum menentukan pelayanan yang bisa diberikan oleh mereka. Pemerintah membebaskan masing-masing CSR untuk menentukan wilayah pelayanan, dengan syarat pelayanan itu dilakukan dengan mengacu pada data yang diberikan oleh pemerintah

47

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

daerah, khususnya data dari BDT, SIDATUK maupun dari hasil penggalian gagasan dan kebutuhan yang dilakukan oleh TKPK melalui focus group discussion (FGD) dengan Forum CSR.

Kegiatan lain yang dilakukan adalah forum lelang bantuan sosial. Bupati Banyumas, Ahmad Husein, secara periodik mengumpulkan forum CSR untuk mengupdate permasalahan dan capaian penanggulangan kemiskinan, sekaligus mengadakan ‘lelang’ bantuan sembako, yang diperuntukkan khususnya bagi warga yang berada dalam desil terbawah BDT.

Selain melalui CSR, skema lain adalah kerjasama dengan Bank untuk kredit usaha kecil. Pemerintah Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Bank Jatim untuk hal tersebut. Skemanya, dana APBD disimpan di Bank Jatim yang dipakai sebagai bantuan permodalan untuk usaha kecil. Skema ini kemudian direplikasi oleh kabupaten/kota dengan memanfaatkan keberadaan Bank Jatim di masing-masing daerah tersebut.

Skema yang serupa juga dilakukan oleh Kota Bandung melalui Kredit Melati (Melawan Rentenir). Sesuai dengan namanya, kredit ini memang ditujukan untuk membantu permodalan usaha kecil supaya tidak perlu lagi meminjam kepada pihak rentenir. Bekerjasama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), skema ini dimulai pada tahun 2015. Pemerintah Kota Bandung menyimpan 30 milliar rupiah dari sumber APBD di BPR untuk diakses oleh masyarakat sebagai modal usaha kecil.

Pinjaman modal usaha yang dilayani melalui Kredit Melati berkisar dari 500 ribu rupiah sampai 30 juta rupiah, yang boleh diakses secara perorangan maupun kelompok. Jika rentenir di Kota Bandung rata-rata mematok bunga 20 sampai 30 persen, Kredit Melati nyaris tanpa bunga. Bunga 8 persen hanya dikenakan pada saat awal pencairan saja, sementara untuk pengembalian selanjutnya sama sekali tidak dikenakan bunga.

Syaratnya juga mudah karena tanpa agunan. Pemohon hanya perlu menyerahkan fotokopi KTP, surat nikah, keterangan usaha dari RT/RW, dan pas foto pemohon. Dilansir dari merdeka.com, Kepala Bagian Ekonomi Kota Bandung, Lusi Lesminingwati, mengatakan bahwa sampai tahun 2018 Kredit Melati sudah diakses oleh 16 ribu nasabah dengan nilai pinjaman 52 miliar rupiah.

48

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Melihat animo masyarakat, pada Agustus 2017 Pemkot Bandung bekerjasama dengan Bank Perumahan Rakyat meluncurkan Kredit Mesra (Kredit Masjid Sejahtera). Skema ini menargetkan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan lembaga keuangan mikro berbasis Mesjid. Setiap jamaah bisa mengajukan pinjaman secara berkelompok minimal 5 orang dan maksimal 25 orang. Jumlah pinjamannya dari 500 ribu rupiah sampai 2,5 juta rupiah per orang. Pada akhir tahun 2018 kredit ini telah diakses oleh 274 nasabah dengan nilai pinjaman 306 juta rupiah.

Pada bulan November 2017, diluncurkan pula Kredit Bagja (Kredit Bangun Keluarga Sejahtera), khusus untuk kaum ibu. Melalui kredit ini kaum ibu bisa mengajukan pinjaman melalui program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K). Kredit ini bisa diakses oleh kader posyandu yang sekaligus bisa diberdayakan untuk mensosialisasikan kredit ini kepada warga di sekitar mereka. Sampai dengan awal tahun 2018 Kredit Bagja telah dimanfaatkan oleh 24 nasabah dengan nilai kredit 36 juta rupiah.

Provinsi Riau tidak mau ketinggalan. Mereka bekerjasama dengan CSR melalui Forum yang dikuatkan dengan SK Gubernur. Program yang dikembangkan dengan sumber daya dari CSR adalah pelayanan dasar bidang pendidikan dan kesehatan, bantuan sosial, serta pemberdayaan. Dalam bidang pemberdayaan pada umumnya berkaitan dengan pengembangan pertanian hortikultura dan peternakan serta peningkatan pendapatan masyarakat di desa-desa pinggiran hutan, mengingat sebagian besar penduduk Provinsi Riau berada di pedesaan yang sumber penghidupannya bertumpu pada pertanian dan kehutanan.

Memperluas Manfaat Zakat

Sebagai negara yang mayoritas penduduk beragama Islam, zakat di Indonesia merupakan sumber daya yang potensial bagi penanggulangan kemiskinan. Penggunaan zakat saat ini tidak hanya digunakan untuk bantuan makanan dan/atau pakaian, akan tetapi juga untuk pelayanan dasar dan pemberdayaan.

49

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Tidak sediit pemerintah daerah yang jeli melihat peluang ini dan menjalin kerjasama dengan lembaga pengelola zakat seperti Baznas, Rumah Zakat dan yang lainnya. Diantaranya pemerintah Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Trenggalek.

Provinsi Riau dan Kabupaten Siak bekerjasama untuk ATM beras, Kabupaten Banyumas untuk pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan serta kegiatan pemberdayaan, sedangkan Kabupaten Trenggalek sudah lebih sistematis karena menggandeng Baznas sebagai bagian dari komunitas GERTAK. Dalam kerjasama dengan Baznas, Pemkab Trenggalek bukan hanya mengakses sumber dana Baznas akan tetapi juga membantu untuk meningkatkan penerimaan zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF). Dalam mendorong penerimaan, Pemerintah Daerah menggerakkan ASN untuk menitipkan zakatnya paling tidak 1 persen.

Berdasarkan data yang dilansir dari website Baznas Trenggalek, pertumbuhan ZISWAF terus meningkat, tercatat pada tahun 2018 meningkat sekitar 13,38 persen dari tahun sebelumnya. Dengan kisaran penerimaan 250 juta per bulan, tahun 2018 terkumpul dana sejumlah 3,29 miliar. Jumlah tersebut menurut H. Mahmun Ismali, Ketua Baznas Trenggalek, belum maksimal. “Diperkirakan jika ASN tertib dalam membayar zakat atau infak, satu persen saja misalnya, dalam setahun bisa terkumpul 8 miliar,” jelas Mahmun sebagaimana dikutip dari koran Radar Tulungagung.

Berdasarkan data tahun 2018, sebanyak 62,98 persen dana ZISWAF digunakan untuk penanggulangan kemiskinan. Rinciannya 46,52 persen digunakan untuk program Trenggalek Peduli berupa pelayanan bedah rumah, alat bantu difabel, dan biaya hidup fakir miskin. Kemudian 11,46 persen digunakan untuk program Trenggalek Sehat berupa bantuan premi BPJS fakir miskin yang berupa biaya berobat dan akomodasi berobat baik di dalam maupun luar kota. Sisanya, 2,26 persen untuk program Trenggalek Makmur berupa bantuan pemberdayaan ekonomi dan 1,74 persen untuk Trenggalek Cerdas, berupa bantuan untuk bidang pendidikan.

50

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Optimalisasi zakat melalui Baznas juga mulai dipikirkan oleh Pemerintah Provinsi Riau. Syamsuar, Gubernur Riau terpilih tahun 2019-2024, mengeluarkan surat instruksi pengumpulan zakat profesi ASN. Setiap Organisasi Perangkat Daerah diminta untuk membentuk Unit Pengumpul Zakat yang berperan untuk mengumpukan zakat profesi di lembaganya. Zakat yang terkumpul dari setiap OPD akan disalurkan kepada Baznas, dan diatur peruntukannya berdarkan kesepakatan Pemerintah Daerah dengan Baznas. Sistem ini akan dijalankan mulai bulan Mei 2019.

Mengajak Komunitas

Komunitas merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakan proses-proses pembangunan. Pelibatan unsur kelompok masyarakat menjadi penting, baik di dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi program kebijakan pemerintah daerah. Bahkan dalam banyak kasus, inovasi yang dikembangkan oleh pemerintah daerah berawal dari gagasan masyarakat. Masyarakat yang disebut di sini bisa mewakili individu, kelompok atau lembaga-lembaga komunitas.

Inisiatif masyarakat salah satunya dapat dilihat dalam pelaksanaan kegiatan urban farming—disebut dengan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)—di Kelurahan Jemur Wonosari, Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya. Kegiatan ini berawal dari inisiatif Udin, salah seorang warga di kelurahan tersebut, yang menjadi juara pertama perlombaan Green and Clean yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya.

Udin dalam perlombaan itu menampilkan tanaman hidroponik yang dirawatnya. Setelah menang lomba, dia mengajarkan cara tanam hidroponik kepada kaum ibu yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kelompok Tani Wanita SerPis. Kelompok tani yang didirikan pada tahun 2017 ini mempunyai 30 orang anggota, dan dinamakan SerPis karena kegiatan mereka selain menanam dan beternak ikan juga membuat minuman yang berbahan dasar serai dan jeruk nipis.

Kegiatan swadaya masyarakat tersebut berada di gang yang padat penduduk. Lahan yang digunakan pun lahan milik salah satu pengusaha di jalan besar di depan gang. Lahan tersebut tadinya merupakan runtuhan bangunan rumah yang kemudian dibersihkan oleh warga dan disulap menjadi tempat berkebun. Melihat inovasi yang dilakukan

51

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

oleh masyarakat, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan kemudian menyambut baik dan menjadikan lingkungan tersebut menjadi salah satu Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kota Surabaya. Dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan adalah tambahan bibit, pendampingan berorganisasi, dan bimbingan teknis bertanam.

Pada tahun 2018 KRPL SerPis mendapatkan hibah dari Kementerian Pertanian berupa uang sejumlah 50 juta rupiah. Uang tersebut dipakai untuk membuat rumah kaca untuk pembibitan, memperbanyak jenis tanaman, dan membuat pagar yang sekaligus tempat rambatan tanaman.

Berdasarkan pengakuan ibu-ibu anggota KRPL SerPis, hasil sayuran di lahan tersebut sebagian dijual dan sebagian lagi dibagikan kepada penduduk di sekitar lokasi KRPL yang membutuhkan. Hasil penjualan dipakai untuk tambahan modal seperti pembelian bibit tanaman baru, pupuk dan alat-alat yang dibutuhkan. Menurut penuturan Djuniarti , Ketua KRPL, hal ini sesuai dengan visi kelompok yaitu berbagi dengan masyarakat sekitar, sehingga masyarakat bisa mendapatkan hasil tanam dan ikan gratis untuk memenuhi gizi keluarga.

Bagi anggota KRPL keuntungan didapatkan dari hasil tanam di tempat tinggal masing-masing karena mereka mendapatkan media tanam dan bibit gratis. Menurut pengakuan mereka hasilnya lumayan untuk dikonsumsi keluarga sehingga mengurangi beban pengeluaran. Keuntungan lain adalah mendapatkan hasil dari penjualan minuman SerPis, karena kelompok ini melayani pesanan untuk ulang tahun, hajatan, maupun acara-acara lainnya. Melihat keberhasilan tersebut, kelurahan lain yang berbatasan dengan wilayah mereka mengembangkan hal yang sama, dan Udin diminta menjadi pembimbingnya.

Inisiatif masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan juga dapat ditemui di Trenggalek melalui kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Ikatan Sedulur Trenggalek (IST). Komunitas ini didirikan pada tahun 2013 dengan Bambang Puji sebagai pelopor Ikatan Sedulur Trenggalek. Komunitas ini bergerak di bidang sosial dengan memberikan bantuan kepada warga miskin yang membutuhkan. Pada tahun 2016, IST digandeng oleh TKPK Kabupaten Trenggalek untuk menjadi bagian dari GERTAK.

52

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Media yang dipakai oleh IST untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan adalah Facebook. Mekanismenya adalah yang membutuhkan pelayanan melapor di akun Facebook IST. Relawan IST yang disebut Pasukan Pink, artinya pasukan kasih sayang, akan melakukan verifikasi ke lapangan. Jika datanya valid maka IST akan menggalang dana melalui akun media sosial mereka.

Anggota IST terdiri dari berbagai kalangan khususnya warga Trenggalek yang bertempat tinggal di dalam maupun di luar Trenggalek, juga termasuk yang bekerja di luar negeri. Sampai dengan akhir tahun 2018, IST mempunyai 157 relawan dari desa/kelurahan di Trenggalek, dan 30 orang yang berada di luar kota dan luar negeri. Dari sisi kepengurusan IST mempunyai Koordinator Wilayah di 14 kecamatan yang ada di Trenggalek, 20 kota-kota lain di Indonesia, dan 5 negara di luar Indonesia.

Relawan menjadi komponen yang merupakan salah satu kekuatan IST, yang akhirnya juga menjadi kekuatan di dalam GERTAK. Menurut Bambang Puji, perekrutan relawan dilalukan melalui IST yang kebetulan di setiap wilayah sudah ada cabangnya. Walaupun tidak dibayar, Bambang Puji menjelaskan ada kepuasan tersendiri di dalam membantu orang lain. “Ada ‘virus’ ketagihan untuk mencari orang yang harus dibantu,” ungkap Bambang Puji. Dia juga menjelaskan bahwa melalui contoh kerelawanan tersebut, IST berharap menjadi komunitas pelopor kegiatan sosial supaya mereka yang kaya menjadi terinspirasi untuk lebih peduli.

Menurut Emil Dardak, mantan Bupati Trenggalek, bagi pemerintah kunci memelihara kerelawanan adalah pengakuan atas keberadaan. Simbol pengakuan ini diwujudkan dengan pengukuhan mereka oleh Pemerintah Kabupaten Trenggalek dalam sebuah upacara khusus. Pemerintah melakukan hal tersebut bukan sebagai pencitraan atau pamer tetapi sebagai penghargaan dan bentuk transparansi. “Keuntungannya, ketika semua dilakukan dengan transparan maka akan muncul self-control dari komunitas,” ungkap Emil. Hal itu sejalan dengan yang disampaikan oleh Bambang Puji, bahwa mereka bangga karena walaupun mereka dari komunitas, tapi mereka diberikan peran untuk bersinergi dengan perangkat pemerintah daerah.

53

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Selain menggandeng IST, GERTAK juga menggandeng berbagai program yang ada di komunitas seperti Unit Pelaksana Keuangan (UPK) Kecamatan yang berasal dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pedesaan, Program Jalin Matra, Baznas, dan juga CSR.

Kemitraan dengan masyarakat juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung untuk program ATM beras. Mekanisme pengadaan ATM dilakukan bekerja sama dengan masjid dan gereja. Ada enam ATM beras di seluruh Kota Bandung, lima ATM ditempatkan di mesjid dan yang satu ditempatkan di gereja.

Beras yang digunakan awalnya adalah beras yang berasal dari cadangan pangan, yang menurut Peraturan Walikota Bandung tahun 2016, salah satu peruntukannya untuk menghadapi bencana seperti banjir atau kebakaran. Cadangan ini tidak seluruhnya terpakai, dan dengan pertimbangan beras jika disimpan terlalu lama akan menurun kualitasnya, maka sisa cadangan tersebut disalurkan sebagai bantuan kepada warga miskin melalui mekanisme ATM beras.

Pengadaan beras yang disediakan oleh pemerintah kota hanya cukup untuk satu tahun. Karena itu untuk tahun berikutnya pemerintah daerah mendorong Dewan Kerja Mesjid (DKM) agar bekerjasama dengan masyarakat untuk keberlanjutannya. Menurut penuturan Lilis Rosdiah, staf Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, dua bulan perjalanan program ini sudah melahirkan donatur-donatur dari masyarakat. “Salah satu donatur adalah warga masyarakat di wilayah Gedebage. Setiap bulan dia mengeluarkan uang 24 juta rupiah yang cukup untuk bantuan beras bagi 200 KK,” ujar Lilis.

54

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

55

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

BELAJAR DARI PENGALAMAN

Bab 5

56

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Perbaikan dalam rancangan maupun implementasi program kebijakan harus terus menerus dilakukan. Perbaikan ini penting untuk minimal mempertahankan keberhasilan yang sudah dicapai dalam indikator kinerja program, selain memperbaiki tingkat capaian indikator yang belum memenuhi harapan. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara rancangan target dan hasil pelaksanaan program, dalam setiap indikator yang sudah ditentukan. Kebutuhan ini dipenuhi melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi.

Pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh TKPK dan/atau OPD terkait dilakukan berkala triwulanan dan tahunan. Proses pemantauan dilakukan melalui kegiatan supervisi dan pemantauan pengaduan masyarakat. Sedangkan evaluasi dilakukan dengan menganalisis data dan infomasi hasil pemantauan serta melakukan pertemuan-pertemuan konsultasi atau koordinasi.

Membangun Sistem Pemantauan

Umumnya, pemantauan dilakukan oleh TKPK bersama OPD terhadap proses pemutakhiran data BDT (verifikasi dan validasi) yang dilakukan oleh daerah untuk mengetahui exclusion dan inclusion error dari proses tersebut; dan proses eksekusi program-program penanggulangan kemiskinan oleh OPD untuk mengetahui tingkat ketepatan pelayanan bagi warga kurang mampu.

Pemutakhiran data dipantau dengan cara membandingkan data hasil pendataan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, baik melalui pendataan langsung maupun melalui mekanisme pengaduan masyarakat, dengan BDT. Pendataan langsung yang dimaksud adalah pendataan yang dilakukan oleh petugas yang direkrut oleh pemerintah daerah dengan anggaran dari APBD. Contohnya di Kabupaten Siak dimana petugas lapangan direkrut di setiap kecamatan untuk bertugas melakukan veri-vali data BDT, sekaligus mencatat perubahan data, baik itu pengurangan atas data awal ataupun penambahan data baru.

Kota Bandung menggunakan mekanisme pengaduan melalui layanan terpadu yang dilakukan oleh Puskesos di setiap kecamatan. Lain dengan Kabupaten Trenggalek yang memantau perubahan data berdasarkan

57

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

pengaduan masyarakat melalui media sosial yang dikembangkan oleh GERTAK. Baik Kota Bandung maupun Kabupaten Trenggalek menindaklanjuti hasil pemantauan dengan melakukan veri -vali data ke lapangan. Veri-vali di Kota Bandung dilakukan oleh petugas Puskessos, sedangkan di Kabupaten Trenggalek dilakukan oleh relawan Pasukan Pink yang tergabung di dalam GERTAK.

Hampir sama dengan Kota Bandung, Kota Surabaya melakukan pemantauan langsung melalui petugas khusus yang direkrut melalui Dinas Sosial. Pemantauan data dilakukan setiap hari dan hasilnya menjadi masukan untuk pemutakhiran data yang dilakukan setiap bulan. Menurut Whisnu Sakti Buana, Ketua TKPK Surabaya, pemantauan data ini diperlukan karena adanya perubahan yang dinamis di lapangan dan adanya perbedaan data daerah dengan BDT. Dia menjelaskan, “Berdasarkan data dari TNP2K warga miskin di Surabaya ada 115.000, hal itu sama dengan data yang dimiliki oleh Kota Surabaya. Akan tetapi ketika disandingkan ada perbedaan detail dari beberapa nama dan alamat dari kedua data tersebut.”

Terhadap program yang dilaksanakan oleh OPD, pemantauan bertujuan memastikan tingkat ketepatan sasaran dan kualitas pelayanan. Sebagai contoh, dalam pemantauan terhadap pelayanan pengobatan penderita TB di Provinsi Riau, Dinas Kesehatan bukan hanya memastikan pelayanan di fasilitas kesehatan tetapi juga menggunakan mobil puskesmas keliling dan motor ke kantong-kantong kemiskinan untuk melakukan tes cepat molekuler (tes TB) terhadap warga, selain melakukan layanan pengobatan bagi warga yang terdeteksi mengidap TB.

Sementara di Kota Bandung, Dinas Sosial memastikan pemantauan pelaksanaan PKH dan memantau perkembangan perkembangan kondisi keluarga penerima program sampai mereka dianggap memenuhi syarat atau ‘lulus’ dari layanan program tersebut.

Pelaksanaan pemantauan juga dilakukan melalui supervisi yang dilakukan oleh staf OPD yang mempunyai fungsi pembinaan kepada kelompok sasaran program. Cara ini diantaranya dilakukan oleh Dinas Koperasi dan Dinas Pertanian Kota Surabaya. Mereka melakukan supervisi ke lapangan bersamaan dengan melakukan pembinaan.

58

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Cara yang sama dilakukan oleh TKPK Provinsi Jawa Timur dalam memantau pelaksanaan Jalin Kesra dan Jalin Matra. Pemerintah provinsi memberikan bantuan keuangan khusus untuk pemantauan dan pembinaan kepada pemerintah kabupaten/kota, sehingga pelaksanaan pemantauan dan pembinaan menjadi tanggung tanggung jawab bersama. Sedangkan untuk kasus di Kabupaten Banyumas, pemantauan bukan hanya dilakukan oleh OPD dan TKPK di tingkat kabupaten/kota tetapi juga oleh TKPK Kecamatan.

Mengevaluasi Kinerja

Hasil pemantauan harus dianalisis dan dilaporkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan sebagai dasar evaluasi. Evaluasi dilakukan bersama oleh OPD dan TKPK, dan hasilnya menjadi bahan untuk pengambilan kebijakan penanggulangan kemiskinan selanjutnya. Sesuai dengan Peraturan Presiden No 15 tahun 2010 dan Permendagri No 42 tahun 2010, hasil evaluasi oleh TKPK terhadap hasil pelaksanaan penanggulangan kemiskinan seharusnya dimuat di dalam Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) yang disampaikan kepada Kepala Daerah, Kementerian Dalam Negeri dan Sekretariat TNP2K.

Proses evaluasi dilakukan untuk menilai efektifitas program, melalui analisis dengan menggunakan data dan informasi serta pembahasan di dalam rapat-rapat konsultasi dan koordinasi. TKPK Kabupaten Banyumas melakukan evaluasi di dalam rapat koordinasi dengan OPD minimal 3 kali di dalam satu tahun. Dalam konteks kebutuhan evaluasi, Rakor TKPK tidak jarang melibatkan sektor swasta pengelola CSR dan perguruan tinggi setempat. Dalam rapat koordinasi tahunan, evaluasi biasanya juga melibatkan TKPK Kecamatan untuk mempertajam pembahasan capaian, permasalahan, dan tindak lanjut yang harus dilakukan. Selain hadir di dalam rapat koordinasi tahunan, TKPK Kecamatan juga diwajibkan untuk membuat laporan tertulis untuk disampaikan kepada TKPK kabupaten/kota. Bagi yang tidak menyampaikan laporan tertulis diberikan sanksi berupa pengurangan anggaran operasional TKPK Kecamatan.

Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh TKPK Kabupaten Banyumas pada akhir tahun 2018, ada beberapa isu yang digarisbawahi. Pertama mengenai data sasaran pelayanan yang termuat di dalam BDT

59

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

yang diperoleh dari Pusdatin Kementerian Sosial, yang pemutakhirannya sering terbukti terlambat. Menurut penuturan Nungki, Camat Kecamatan Sumbang, data BDT masih saja memuat nama-nama yang dinilai tidak memenuhi kriteria miskin atau rentan, dan tidak memasukkan data-data baru hasil pemutakhiran.

Isu kedua adalah ketidakpahaman perencana kebijakan tentang pengertian dan keterkaitan antara data makro angka kemiskinan, yang mengacu pada kemampuan konsumsi sebagai proxy pendapatan, dengan data mikro by name by address dari BDT. Intinya, menurut Wakhyono, perdebatan seringkali muncul karena ketidakpahaman tentang mengapa berdasarkan data makro dari BPS, jumlah penduduk miskin seolah-olah sudah kecil, padahal menurut data mikro BDT jumlah penduduk kurang mampu sebagai calon penerima perlindungan sosial masih sangat besar. Isu ketiga adalah penentuan prioritas kebutuhan atau kegiatan untuk penanggulangan kemiskinan. Hasil evaluasi TKPK memperlihatkan jika penentuan prioritas kebutuhan seringkali ditumpangi oleh kepentingan elit desa. Untuk mengatasi hal tersebut, Bappeda Kabupaten Banyumas mengembangkan SIDATUK untuk menjaring kebutuhan warga miskin melalui aplikasi online.

Tidak puas hanya dengan mengandalkan pemantauan dan evaluasi seperti di atas. Beberapa pertanyaan seputar efektivitas program, menurut jajaran tim teknis TKPK, Banyumas masih memerlukan jawaban. Diantaranya terkait program apa sebenarnya yang paling efektif menekan angka kemiskinan di Banyumas; dan bagaimana strategi yang paling tepat untuk menangani masalah anak berkebutuhan khusus (ABK).

Sebagaimana halnya di Kabupaten Banyumas, hasil pemantauan dan evaluasi oleh TKPK Kota Bandung juga menunjukkan adanya perbedaan data BDT yang diumumkan, dengan data hasil pemutakhiran yang dilakukan oleh Dinsosnangkis melalui Puskessos. Jeda waktu pemutakhiran dinilai terlalu lama jika mengingat perubahan cepat kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Isu lain yang muncul dari Kota Bandung adalah ketidakjelasan kontribusi program OPD untuk penanggulangan kemiskinan. Tidak ada instrumen untuk melihat data terpilah program-program tertentu, misalnya untuk

60

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

program pendidikan dan kesehatan. Juga sulit menghitung berapa sebetulnya anggaran yang terpakai untuk warga miskin dan bagaimana efektivitasnya. Selain itu adalah persoalan faktor penyebab tingginya angka ketimpangan di Kota Bandung, yang merupakan yang tertinggi di Provinsi Jawa Barat. Menjawab hal tersebut, Walikota Bandung, Oded M. Danial, meminta Bapelitbang dan TKPK untuk menyusun logical framework bagi upaya penurunan ketimpangan dan menentukan indikator-indikator yang tepat bagi setiap program dan anggaran yang terpilah di setiap sektor untuk pelayanan warga kurang mampu.

Oleh TKPK Provinsi Jawa Timur, evaluasi dilakukan secara internal maupun dengan mengundang TKPK kabupaten/kota. Dalam evaluasi tahunan setiap kabupaten/kota diminta untuk memaparkan hasil capaian dan masalah di masing-masing wilayahnya untuk dibahas bersama bagaimana pemecahannya. Evaluasi terakhir dilakukan untuk mendorong keberlanjutan program dari pemerintahan terdahulu (Soekarwo-Saifullah Yusuf) kepada pemerintahan baru yang dipimpin (Khofifah-Emil Dardak).

Jika dilihat dari capaian program Jalin Kesra dan Jalin Matra, menurut Muhammad Yasin, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, yang menjadi pelaksana utama kedua program tersebut, sudah ada pergeseran tingkat kesejahteraan dari penerima layanan program, dari desil satu ke desil dua dan seterusnya. Tetapi menurut Yasin, capaian yang ada belum lagi maksimal.

Isu pertama hasil evaluasi Jalin Matra dan Jalin Kesra adalah persoalan intensitas pendampingan. Para pendamping di kabupaten dan kecamatan aktif hanya ketika akan dilakukan pencairan. Oleh karena itu rutinitas pendampingan perlu ditingkatkan dan diperketat pemantauannya. Isu kedua adalah persoalan besaran bantuan modal yang diberikan. Dengan bantuan 2-2,5 juta per orang penggunaannya tidak maksimal. Ada gagasan untuk mengembangkan bantuan menjadi bantuan kelompok, bukan lagi perorangan, agar modal dapat digunakan untuk usaha kelompok.

Evaluasi bersama oleh TKPK Provinsi dan TKPK kabupaten/kota juga dilakukan di Provinsi Riau melalui Rakor TKPK Provinsi. Selain melakukan evaluasi, forum ini juga dimanfaatkan sebagai tempat pertukaran pengetahuan dan gagasan. Sebagai contoh, Kabupaten Meranti yang

61

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

paling besar penurunan angka kemiskinannya diberi kesempatan untuk memaparkan strategi yang dikembangkan oleh kabupaten tersebut. Isu utama yang berkembang dari proses evaluasi pada tahun 2018 adalah terkait ketersediaan dan kualitas data; akses terhadap layanan; dan keterbatasan anggaran.

Persoalan data muncul pada rapat evaluasi bulan Maret 2019 yang diadakan di Kantor Bappeda Provinsi Riau. Diantara persoalan menyangkut data yang diungkapkan, data penderita TB, sebagai indikator lokal kemiskinan dimensi kesehatan, menjadi agenda pembahasan utama di dalam rapat evaluasi tersebut. Kesulitan untuk mendapatkan data yang tepat tentang jumlah penderita TB menjadi persoalan serius bagi Dinas Kesehatan.

Terkait jangkauan terhadap layanan, baik layanan Pendidikan maupun kesehatan, hasil utama evaluasi menandai pengaruh faktor kesulitan geografis dan keterbatasan fasilitas kesehatan serta pendidikan terhadap kondisi kemiskinan di sebagian besar daerah. Masalah keterbatasan anggaran karena sempitnya kemandirian fiskal juga mengemuka dari hasil evaluasi. Ini dikaitkan dengan kecenderungan menurunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) di beberapa daerah.

Secara lebih spesifik, daerah melalui rapat koordinasi TKPK juga melaporkan hasil evaluasi terhadap capaian indikator dari dimensi-dimensi kunci penanggulangan kemiskinan. Analisis dalam evaluasi dilakukan secara konsisten terhadap indikator yang termuat di dalam SPKD, dengan pendekatan dan metoda yang juga digunakan ketika penyusunan dokumen strategi tersebut. Tujuannya adalah agar TKPK dan masing-masing OPD terkait bisa membandingkan kesesuaian antara perencanaan dan hasil yang dicapai serta menandai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil evaluasi ini kemudian dituangkan oleh TKPK ke dalam laporan tahunan TKPK (LP2KD). Sebuah laporan yang dengan sendirinya penting sebagai dasar bagi perencanaan tahun berikutnya.

62

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

63

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

EpilogInovasi kelembagaan tidak hanya telah memperkuat posisi tawar TKPK dalam penentuan kebijakan pembangunan daerah, tetapi juga memperbesar peluang efektivitas program-program penanggulangan kemiskinan di daerah.

Untuk menggalang keterlibatan pemangku kepentingan, beberapa aspek kelembagaan yang penting untuk digarap mencakup kepemimpinan, struktur dan kapasitas, motivasi, dan komunikasi. Dengan modal dasar ini, fungsi-fungsi TKPK bisa lebih optimal dijalankan. Terutama yang berkaitan dengan peningkatan kualitas program melalui penajaman strategi intervensi, perbaikan ketepatan sasaran, pengembangan kemitraan, dan penguatan fungsi pengendalian pelaksanaan program dalam bentuk monitoring dan evaluasi.

Di dalam TKPK, pengaruh kepemimpinan sangat ditentukan oleh kejelasan visi dan misi, serta keteladanan dalam praktik kepemimpinan itu sendiri. Sementara, pengaruh struktur kelembagaan dan kapasitas individu di dalamnya masing-masing bergantung pada tingkat relevansinya terhadap kebutuhan koordinasi, dan kesempatan serta tingkat kepercayaan yang diberikan kepada individu staf. Faktor terakhir ini juga mendukung menguatnya motivasi individual pada staf yang bersangkutan. Selebihnya, dengan memelihara regularitas komunikasi internal maupun eksternal dari TKPK, keberlanjutan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan bagi percepatan penanggulangan kemiskinan akan bisa dipertahankan.

Dalam ranah perencanaan, kualitas suatu program penanggulangan kemiskinan ditunjukkan oleh tingkat ketajaman fokus program, dan ketepatan sasaran penerima manfaatnya. Hal ini memerlukan penguatan basis data perencanaan, dari tingkat makro hingga mikro. Sementara, dalam ranah implementasi, tidak ada program yang akan berjalan baik tanpa pemantapan sistem monitoring dan evaluasi; serta kerjasama untuk membangun sinergi (komplementaritas) dengan pemangku kepentingan lain.

64

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Publikasi ini didukung oleh Pemerintah Australia melalui Program MAHKOTA. Temuan, intepretasi dan kesimpulan yang ada pada publikasi ini tidak mencerminkan pandangan Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Australia. Dipersilakan untuk menyalin, menyebarkan dan mengirimkan publikasi ini untuk tujuan non-komersial.

65

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

66

MERETAS BATAS FORMALITAS: Geliat Kelembagaan TKPK

Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan KemiskinanGrand Kebon Sirih Lt.4, Jl.Kebon Sirih Raya No.35 Jakarta Pusat, 10110T.021 - 3912812

www.tnp2k.go.id