Menyemai Benih Budaya Ilmiah di Pembelajaran Matematika dan IPA

6

Click here to load reader

description

Naskah presentasi di Seminar “Pengembangan Budaya Ilmiah melalui Penyadaran Sains,” kerjasama Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar-AIPI dan Universitas Negeri Malang, Malang, 9 Februari 2013.

Transcript of Menyemai Benih Budaya Ilmiah di Pembelajaran Matematika dan IPA

Page 1: Menyemai Benih Budaya Ilmiah di Pembelajaran Matematika dan IPA

Menyemai Benih Budaya Ilmiah di Pembelajaran Matematika dan IPA1

Iwan Pranoto

2

Di penghujung akhir tahun lalu, tepatnya tanggal 11 Desember 2012, Sekolah Pendidikan Lynch di Boston College, sebagai pelaksana TIMSS

3

Untuk mengenali masalahnya, perlu dikaji

(Trends in International Mathematics and Science Study) mengumumkan hasil tes yang dilakukan tahun2011. Tes yang mengukur pencapaian siswa kelas 4 dan 8 dalam matematika dan sains ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juni di tahun 2011. Namun, untuk tahun 2011 lalu, Indonesia hanya turut di kelas 8 saja.

Hasilnya secara umum memang sangat buruk, matematika maupun sains. Dari 42 negara peserta, Indonesia di urutan ke-37 dalam matematika. Sedang dalam sains, lebih parah lagi, Indonesia di urutan ke-39 dari 42 negara peserta. Lebih meresahkan pula adalah kenyataan bahwa beberapa negara yang sedang dilanda peperangan saja performanya lebih baik. Memang ini meresahkan, namun bagi penentu kebijakan pendidikan dan juga pihak eksekutif informasi rangking seperti di atas tak terlalu berguna. Karena, pastilah pertanyaan logis setelah menyimak rangking itu adalah, “Apa yang salah dalam pendidikan matematika dan sains di Indonesia?” Informasi tentang rangking itu tentunya tak dapat menjawab. Serta selanjutnya adalah pertanyaan, “Lalu, bagaimana membenahinya?”

Mendiagnosa Kesehatan Pendidikan MIPA

Untuk mencari tahu masalahnya, pertama perlu dipahami kerangka tes TIMSS ini dahulu. Jika PISA (Programme for International Student Assessment) menguji literasi matematika dan sains, tanpa peduli kurikulumnya seperti apa, TIMSS justru menguji dua domain sekaligus. Domain yang dicakup adalah domain konten dan kognitif. Untuk domain konten TIMSS Matematika terdiri dari Bilangan, Aljabar, Geometri, dan Data & Peluang. Sedang domain konten TIMSS Sains terdiri dari Biologi, Kimia, Fisika, dan Ilmu Kebumian. Kemudian, pada domain kognitif, TIMSS Matematika dan Sains sama, yakni terdiri dari Mengetahui, Menerapkan, dan Bernalar. Untuk mengetahui porsi masing-masing domain, dapat dilihat di Laporan TIMSS 2011.

4

1 Seminar “Pengembangan Budaya Ilmiah melalui Penyadaran Sains,” kerjasama Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar-AIPI dan Universitas Negeri Malang, Malang, 9 Februari 2013. 2 Inovasi dan Kebijakan Pembelajaran MIPA, FMIPA, ITB

soal-soal yang ditanyakan dalam TIMSS 2011 serta dikaitkan dengan hasil pengerjaan siswa kita. Dari situ dapat ditafsirkan kekuatan dan kelemahan siswa kita. Pertama, perlu ditinjau soal tentang Kimia dan domain kognitifnya Mengetahui. Soal berbentuk pilihan ganda ini menanyakan rumus kimia untuk karbon dioksida (TIMSS 2011 Science: 121).

3 TIMSS 2011 Assessment. Copyright © 2012 International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA). Publisher: TIMSS & PIRLS International Study Center, Lynch School of Education, Boston College, Chestnut Hill, MA and International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA), IEA Secretariat, Amsterdam, the Netherlands. http://timss.bc.edu 4 Untuk lengkapnya kajian TIMSS 2011 (Matematika dan Sains), dapat dilihat di Catatan Mendiagnosa Kesehatan Pendidikan MIPA, pracetak.

Page 2: Menyemai Benih Budaya Ilmiah di Pembelajaran Matematika dan IPA

Untuk soal ini, siswa kita performanya tinggi, mereka di atas rata-rata dunia. Bahkan siswa-siswa kita di atas teman sebayanya di Amerika Serikat. Sebagai tambahan, Australia, Norwegia, dan Selandia Baru bahkan di bawah rata-rata.

Namun demikian, pada soal sains lain yang juga dari domain Mengetahui, yakni soal berikut ini (TIMSS 2011 Science: 130) hasilnya sangat buruk.

Pada soal ini, siswa-siswa kita langsung merosot di urutan ke lima dari bawah, jauh di bawah rata-rata dunia. Jadi, walaupun sama-sama tataran kognitif Mengetahui, pada dua soal itu ada perbedaan yang sangat besar.

Pada soal pertama di atas, siswa sekedar menyampaikan ulang tentang informasi yang diserap. Namun, pada soal ke-dua di atas, siswa juga dituntut untuk mengolah informasi. Kecuali itu, pada soal terakhir ini, siswa dituntut untuk membuat keputusan, karena kemungkinan soal yang disajikan di atas tidak sama persis dengan yang biasa ditemui di kelas. Tetapi pada soal pertama, penyajian soal kemungkinan besar sama, rutin seperti itu.

Dari sisi kognitif, walau dua soal itu di tataran Mengetahui, namun sebenarnya dua soal itu di tataran yang berbeda. Yang pertama di tataran Mengingat, sedang yang ke-dua di tataran Merangkum. Ini berarti bahwa siswa kita di tataran kognitif paling rendah, yakni Mengetahui, pun belum sepenuhnya menguasai. Ini dikuatkan juga oleh hasil keseluruhan siswa kita yang justru paling rendah di tataran Mengetahui (TIMSS 2011 Science: 152), yakni Mengetahui : Menerapkan : Bernalar = 378 : 384 : 388. Dari dua soal di atas, dapat ditafsirkan bahwa siswa kita cakap di tataran Mengingat, tapi lemah di tataran Merangkum.

Untuk tataran Mengetahui di Matematika, hasilnya tidak se-ekstrem seperti sains. Untuk soal dari domain kognitif Mengetahui yang tatarannya Mengikuti Prosedur, walau di bawah rata-rata, 57% siswa kita menjawab benar (TIMSS 2011 Math: 122)

Page 3: Menyemai Benih Budaya Ilmiah di Pembelajaran Matematika dan IPA

Hasil lebih baik lagi dalam soal Aljabar (TIMSS 2011 Math: 123) berikut

Siswa kita di soal ini walau masih di bawah rata-rata, tetapi tidak dalam kuartil terbawah. Siswa kita malah lebih baik dari dua negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Thailand. Bahkan siswa kita lebih baik daripada Selandia Baru untuk soal ini.

Untuk soal yang sifatnya Menerapkan dan Bernalar, siswa kita pencapaiannya rendah di Matematika maupun Sains. Khususnya, satu soal yang siswa kita performanya terburuk di antara semua negara peserta adalah soal di domain kognitif Menerapkan berikut (TIMSS 2011 Science: 137)

Page 4: Menyemai Benih Budaya Ilmiah di Pembelajaran Matematika dan IPA

Pada soal yang menanyakan pada saat kapan seorang penerjun payung itu terkena gaya gravitasi, tampaknya siwa kita masih salah mengerti.

Pseudo-mathematics dan Pseudo-science

Hasil pencapaian siswa kita di TIMSS 2011 Matematika dan Sains tentunya bukan sesuatu yang mengejutkan. Pertama hasil ini konsisten dengan hasil TIMSS dan PISA (Programme for International Student Assessment) di periode-periode sebelumnya. Kedua, hasil ini konsisten dengan pernyataan para matematikawan dan saintis tentang keadaan pendidikan MIPA di Indonesia.

Hasil di atas sejalan dengan dugaan penulis melalui pengamatan kegiatan pembelajaran yang terjadi secara aktual. Pengajaran matematika dan IPA yang menekankan pada penyerapan informasi dan penghafalan rumus serta mengabaikan pemahaman merupakan sumber penyebabnya. Sebenarnya, pelajaran di Indonesia umumnya belum membelajarkan Matematika dan Sains. Siswa masih diposisikan sebagai spons penyerap fakta, tanpa perlu mengolahnya. Matematika dan sains hanya sekedar kata benda, bukan sebuah kata kerja yang memiliki nuansa petualangan. Pelajaran “matematika” yang mengabaikan langkah utama seperti meragukan, mempertanyakan, dan membuktikan itu diistilahkan sebagai Matematika Semu atau Pseudo-mathematics. Secara sejajar, pelajaran sains yang mengabaikan proses bersains, disebut Pseudo-science. Kerap, pada taraf parah, pseudo-science lebih menerapkan pencocokan daripada pengujian dan argumentasi.

Paul Lockhart menunjuk pseudo-mathematics, dalam artikel A Mathematician’s Lament5

Nilai-nilai buruk di atas ditambah dengan penerapan UN yang mengukur kognitif teramat rendah dan bersifat high-stakes merusak budaya belajar dan bernalar siswa. Tentunya sangat berlebihan jika menuntut tumbuhnya budaya ilmiah. Secara umum, kondisi pendidikan MIPA serta kebijakan pendidikannya sekarang sangat tak menguntungkan perkembangan budaya ilmiah. Kebiasaan serta sikap ilmiah mencakup mempertanyakan, meragukan, menyelidiki, membuktikan, menghargai hak

, bukan saja diterapkan dalam praktik pengajaran matematika, tetapi sudah membangun sebuah budaya yang buruk. Budaya buruk yang subur di kalangan siswa, dan juga guru matematika itu menomorsatukan manipulasi lambang yang tampak akurat, walaupun nirnalar. Budaya buruk ini juga telah menciptakan nilai sendiri, yakni penghargaan pada hasil serta mengabaikan argumentasinya. Secara persisnya, Lockhart mengatakan:

“… the perpetuation of this `pseudo-mathematics,’ this emphasis on the accurate yet mindless manipulation of symbols, creates its own culture and its own set of values.”

Karena Ujian Nasional (UN) sifatnya mengukur domain kognitif yang teramat rendah, yakni Mengingat dan Mengikuti Prosedur, ini sangat cocok dengan budaya buruk tersebut. Bahkan, nilai “yang penting dapat memilih jawab yang tepat, walaupun tak memahami pernalarannya” sangat diuntungkan atau disuburkan dengan UN yang mutunya teramat jelek itu. UN ini menguatkan keyakinan keliru siswa, bahwa “belajar sama dengan menghafal.”

5 Diunduh di www.maa.org/devlin/lockhartslament.pdf , hal. 6

Page 5: Menyemai Benih Budaya Ilmiah di Pembelajaran Matematika dan IPA

pendapat orang lain, memahami bahwa kemungkinan ada kebenaran di pendapat orang lain, dsb benar-benar tak dapat tumbuh di persekolahan kita.

Secara khusus, Pembuktian yang merupakan unsur utama dalam matematika telah diabaikan. Penelitian yang dilakukan mahasiswa penulis terhadap proses pembuktian ini, ditemukan bahwa guru dan siswa sudah mengabaikannya. Bahkan buku teks matematika yang resmi pun tak menyertakan pembuktian lagi. “Mengapa perlu mengajar atau belajar pembuktian, jika UN tak pernah menanyakannya?” demikianlah argumentasi guru dan siswa.

Pembudayaan ilmiah

Jika pengajaran Matematika dan Sains Semu diteruskan, bukan saja akan menggagalkan perkembangan sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika, tetapi akan berdampak langsung pada kehidupan sosial di masyarakat6

Namun, perlu dipahami pula, karena keadaan Republik Indonesia yang sangat luas dan banyak daerah tempat guru bertugas sangat sulit dijangkau, perlu sebuah strategi cerdas guna program pelatihan bagi guru itu mencapainya. Salah satu strategi yang sangat terjangkau saat sekarang adalah pemanfaatan teknologi informasi bagi penyebaran pelatihan-pelatihan tersebut secara elektronik. Program pendidikan atau pelatihan nirdinding ini saat sekarang satu-satunya cara yang masuk akal untuk

. Oleh karenanya, harus dirancang secara seksama strategi guna menyebarkan dan menyuburkan pembudayaan ilmiah.

Yang pertama harus dibenahi adalah program pendidikan penyiapan guru matematika dan IPA. Programnya harus menekankan pada pemahaman konsep matematika dan sains, serta membuat calon guru mengalami kegiatan bermatematika dan bersains secara sungguh-sungguh. Secara khusus, harus ditekankan penguasaan domain kognitif Menerapkan dan Bernalar. Calon guru perlu mengalami langsung kegiatan bertanya, bernalar, berkomunikasi kompleks, berdebat, sekaligus melakukan kegiatan berpikir tingkat rendah. Kurikulum pendidikan calon guru MIPA harus secara eksplisit mengutamakan proses berbudaya ilmiah itu. Ini syarat mutlak untuk menjadi guru matematika dan sains. Kemudian, program pendidikan guru perlu dikembangkan guna meningkatkan gairah membelajarkan MIPA. Ini terkait pula dengan pemberdayaan guru serta penyadaran atas perannya dalam pembangunan bangsa.

Juga yang tak kalah penting dalam program penyiapan guru MIPA itu adalah peningkatan kecakapan pemanfaatan teknologi dalam membelajarkan matematika dan sains. Dengan semakin tersedianya teknologi informasi yang handal dan terjangkau, pembelajaran MIPA dengan falsafah klasik seperti konstruktivisme semakin relevan. Mewujudkan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran MIPA dengan bantuan teknologi semakin mudah.

Untuk guru yang sudah bertugas, perlu dibuatkan program pelatihan yang terstruktur guna mengembangkan dua unsur seperti di atas, yakni: Penguasaan konsep MIPA dan peningkatan gairah membelajarkan. Termasuk di sini adalah kecakapan guru dalam menciptakan budaya ilmiah yang mengundang setiap siswa mengembangkan serta merawat budaya ilmiah tersebut.

6 Iwan Pranoto, Menegur kembali pentingnya pembangunan budaya ilmiah, Pertemuan AIPI, Jakarta, 7 November 2012.

Page 6: Menyemai Benih Budaya Ilmiah di Pembelajaran Matematika dan IPA

membina para guru di pelosok. Dengan membuat program pelatihan yang menarik serta tepat pada kebutuhan para guru, program pelatihan nirdinding melalui Internet ini akan efektif. Juga perlu dibangun sebuah forum tempat guru dapat berbagi praktik terbaiknya (best practices) ke guru-guru lainnya.

Saat sekarang guru tersandra dengan berbagai hal. Pertama, para guru terpasung pada sistem kepegawaian yang sifatnya birokratis dan normanya adalah kepatuhan. Padahal guru yang mampu membelajarkan bernalar haruslah guru yang merdeka dalam berpikir. Norma kepatuhan tersebut akan membuat guru tak merdeka dan dampaknya siswa pun tak akan mampu merdeka dalam bernalar. Kemudian, guru juga tersandra dengan sistem penilaian kinerja yang berdasar tradisi jalan pintas. Misalnya, guru diukur performanya berdasarkan nilai UN siswanya. Ini akan merusak budaya kepemimpinan melayani (service leadership) dari guru secara total, sungguh-sungguh. Untuk itu, harus ada kemauan penentu kebijakan bukan untuk membuat aturan baru, tetapi justru meninjau aturan yang ada serta menghapuskannya jika dipandang tak sesuai dengan penumbuhan budaya ilmiah.

Standar Isi yang ada sekarang perlu dievaluasi ulang. Khususnya, penggunaan kata kerja dalam dokumen Standar Isi perlu ditinjau ulang. Kata-kata kerja yang digunakan haruslah yang operasional serta mewujudkan tataran kognitif menerapkan dan bernalar, agar guru dapat menerjemahkannya menjadi kegiatan pembelajaran di kelas yang secara langsung mengembangkan budaya ilmiah.

Sedang untuk AIPI, dapat menunjukkan kepeloporannya dalam menyadarkan masyarakat serta politisi atas mendesaknya pengembangan budaya ilmiah. Melalui Internet, AIPI dapat berperan lebih banyak lagi dalam advokasi masyarakat guna penguatan budaya ilmiah. Juga menghadapi suburnya ketakpedulian kolektif seperti sekarang bagi pengembangan sains, AIPI perlu menunjukkan kepeloporannya, seperti melakukan studi-studi terhadap kebijakan pendidikan sains.