Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

30
Tim Penyusun: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis Kertas Kebijakan Wawan Ichwanuddin (Koordinator), Aisah Putri Budiatri, Dini Suryani, Atika Nur Kusumaningtyas, Dian Aulia, Khanisa, Nyimas Latifah Letty Aziz, Pandu Yuhsina Adaba, Sarah Nuraini Siregar, Yusuf Maulana Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK - LIPI) Jakarta, 2020

Transcript of Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Page 1: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Tim Penyusun:

Menuju Pemilu Serentakyang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan

Wawan Ichwanuddin (Koordinator), Aisah Putri Budiatri,

Dini Suryani, Atika Nur Kusumaningtyas, Dian Aulia, Khanisa,Nyimas Latifah Letty Aziz, Pandu Yuhsina Adaba,

Sarah Nuraini Siregar, Yusuf Maulana

Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK - LIPI)

Jakarta, 2020

Page 2: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK)Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Jakarta, 2020

Kertas Kebijakan

MENUJU PEMILU SERENTAK YANG EFEKTIF DAN DEMOKRATIS

Tim Penyusun:

Wawan Ichwanuddin (Koordinator), Aisah Putri Budiatri, Dini Suryani, Atika Nur Kusumaningtyas, Dian Aulia, Khanisa,

Nyimas Latifah Letty Aziz, Pandu Yuhsina Adaba, Sarah Nuraini Siregar, Yusuf Maulana

Page 3: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Diterbitkan oleh:

Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik - LIPI) Gedung Widya Graha LIPI, Lt. XI dan IIIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 - INDONESIATlp./fax : 021 - 520 7118 | Website: www.politik.lipi.go.id Twitter: @PolitikLIPI

ISBN: 978-602-5991-42-4

Desain Cover dan Isi: Anggih Tangkas Wibowo

vi + 22 hlm; 21 x 29,7 cm | Cetakan I, 2020

© Pusat Penelitian Politik - LIPI, 2020

Kertas Kebijakan

MENUJU PEMILU SERENTAK

YANG EFEKTIF DAN DEMOKRATIS

Tim Penyusun:

Wawan Ichwanuddin (Koordinator), Aisah Putri Budiatri, Dini Suryani, Atika Nur Kusumaningtyas, Dian Aulia, Khanisa, Nyimas Latifah Letty Aziz, Pandu Yuhsina Adaba, Sarah Nuraini Siregar, Yusuf Maulana

Page 4: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

DAFTAR ISI

Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Daftar Isi.............................................................................................................. iii

Kata Pengantar ................................................................................................. v

A. Pendahuluan ............................................................................................... 1

B. Evaluasi Pemilu Serentak 2019 …………………....................................... 3

C. Problematika Desain Pemilu Serentak (Borongan) 2019 ................. 11

D. Rekomendasi .............................................................................................. 16

Bibliografi .......................................................................................................... 18

Apendiks ............................................................................................................ 21

Page 5: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis
Page 6: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

vKertas Kebijakan - Kata Pengantar

KATA PENGANTAR

Tahun 2019 merupakan tahun politik bagi Indonesia karena pemilihan umum serentak dilaksanakan untuk pertama kalinya. Skema pemilu serentak ini, baik di level nasional dan lokal (provinsi dan kabupaten/kota) menyelenggarakan

pemilihan anggota legislatif (DPR/D dan DPD) bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017, Penyelenggaraan Pemilihan Umum bertujuan untuk menciptakan pemerintahan presidensial yang stabil dan efektif dimana dengan berlakunya coattail effect, pemilih cenderung memilih partai politik yang mendukung calon presiden pilihannya, pemerintahan yang terbelah (divided government) dapat dicegah. Kemudian juga untuk memberikan ruang bagi pemilih untuk memutuskan pilihannya secara cerdas.

Berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan oleh P2P LIPI, kertas kebijakan ini secara umum melihat bahwa skema pemilu serentak lima kotak yang diterapkan dalam Pemilu 2019 tidak berhasil mencapai tujuan yang melatarbelakangi pelaksanaan pemilu serentak. Pertama, efek ekor jas (coattail effect) pemilihan presiden (pilpres) terhadap pemilihan anggota legislatif (pileg) relatif terbatas. Terbatasnya efek ekor jas diakibatkan oleh komplikasi pemilu serentak yang dikombinasikan dengan sistem perwakilan proporsional daftar terbuka (open-list PR). Hal ini didukung juga dengan besaran daerah pemilihan (district magnitude) yang relatif besar. Dengan kata lain, Pemilu 2019 belum memberikan insentif yang signifikan bagi pemilih untuk menjadikan pilihan Pileg dan Pilpres mereka sebagai satu paket (straight ticket voting) sebagaimana yang menjadi tujuan awal pelaksanaan pemilu serentak. Kedua, Naskah Akademik RUU Pemilu meyakini bahwa pemilu serentak akan mendorong pemilih untuk memutuskan pilihan dengan lebih cerdas, juga tidak tercapai. Survei P2P LIPI memperlihatkan bahwa mayoritas responden (74%) merasa kesulitan karena harus mencoblos lima surat suara. Lebih jauh, keserentakan pemilu dengan kombinasi daftar terbuka dan daerah pemilihan yang besar telah memaksa pemilih kita dalam kategori pemilih dengan low information. Dengan kata lain, tujuan agar pemilih bisa dengan cerdas memilih juga tidak tercapai.

Oleh karena itu, kertas kebijakan yang ditawarkan P2P LIPI ini merekomendasikan tiga hal. Pertama, skema pemilu serentak dengan lima jenis pemilihan sebagai mana yang dilakukan dalam Pemilu Serentak 2019 mendesak untuk diubah. Skema pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal merupakan alternatif terbaik yang penting untuk dipertimbangkan. Kedua, perubahan skema pemilu harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan perbaikan sistem pemilu, yang mencakup isu ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, besaran daerah pemilihan, dsb. Ketiga,

Page 7: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Kata Pengantarvi

transisi untuk perubahan skema pemilu serentak dapat dilaksanakan dalam periodisasi berikut ini: (1) penyesuaian akhir masa jabatan; (2) revisi UU Pemilu dan UU Pilkada masuk ke Prolegnas 2020; (3) persiapan dan penyelenggaraan pemilu nasional; dan (4) persiapan dan penyelenggaraan pemilu lokal. (DS) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai lembaga riset negara, khususnya Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakat LIPI memiliki tanggung jawab akademis untuk memberikan analisis yang objektif melalui kegiatan survei dan riset kualitatif. Kegiatan survei yang dilakukan meliputi survei opini publik . Survei opini publik bertujuan untuk fokus pada isu-isu yang terkait dengan penguatan lembaga-lembaga politik yang berintegritas untuk memperkuat sistem presidensial yang pada akhirnya dapat mendorong stabilitas politik dan ekonomi. Penguatan lembaga-lembaga politik dapat dilakukan melalui perubahan sistem dan mekanisme pada lembaga-lembaga politik itu sendiri maupun perubahan hubungan antar lembaga-lembaga politik. Di samping itu, penguatan lembaga-lembaga politik akan berhasil jika diiringi dengan penguatan partisipasi masyarakat sipil untuk mendorong konsolidasi demokrasi substansial.

Jakarta, Januari 2020

Page 8: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

1Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

A. Pendahuluan

Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden serentak telah diselenggarakan pada 17 April

2019. Pemilu serentak ini merupakan perintah dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan pemilu legilsatif, yaitu pemilu anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak konstitusional. Oleh karena itu, mulai Pemilu 2019 penyelenggaraan kedua jenis pemilihan tersebut harus diserentakkan.

Dalam pemilu serentak pertama dalam sejarah politik Indonesia tersebut, pasangan calon Joko Widodo-Ma’ruf Amin ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemenang Pilpres, dengan perolehan 85.607.362 suara (55,50%), dan telah dilantik sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019. KPU juga telah menetapkan hasil Pileg, dimana 9 dari 16 partai politik peserta pemilu berhasil melewati ambang batas parlemen 4% dan berhak menempatkan calegnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebanyak 575 caleg terpilih telah dilantik sebagai anggota DPR periode 2019-2024 pada 1 Oktober 2019.

Secara umum pemilu serentak pertama tersebut berlangsung lancar dan aman. Gangguan keamanan yang paling menonjol terjadi saat penetapan hasil Pilpres dan menjelang pelantikan presiden dan wapres terpilih dimana terjadi rangkaian demontrasi yang berujung bentrokan dan mengakibatkan korban jiwa. Partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 menjadi salah satu yang paling tinggi di antara pemilu-pemilu pasca-Orde Baru, mencapai 80,9%. Meskipun demikian, berbagai persoalan masih menyertai penyelenggaraan pemilu serentak tersebut. Salah satu persoalan yang paling mendapatkan perhatian publik adalah meninggal dunianya ratusan petugas penyelenggara pemilu. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 16 Mei 2019, terdapat 527 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia dan 11.239 jatuh sakit.1 Banyaknya jumlah 1 “Data Kemenkes: 527 Petugas KPPS Meninggal, 11.293 Orang Sakit”, https://nasional.kompas.c o m / r e a d / 2 0 1 9 / 0 5 / 1 6 / 1 7 0 7 3 7 0 1 / d a t a -kemenkes-527-petugas-kpps-meninggal-11239-orang-sakit?page=all, diakses 2 November 2019. Belum diketahui apakah jumah tersebut sudah mencakup data korban meninggal dunia dari petugas pengawas pemilu (Bawaslu) dan petugas pengamanan (Polri). Bawaslu RI menyebutkan, ada 92 orang petugas pengawas pemilu yang juga meninggal dunia (data per 2 Mei 2019). Sementara itu, Mabes Polri menyebutkan, ada 22 anggotanya yang meninggal dunia selama menjalankan tugas

Kertas Kebijakan

MENUJU PEMILU SERENTAK

YANG EFEKTIF DAN DEMOKRATIS

Page 9: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis2

petugas yang meninggal dunia ataupun sakit diduga akibat beban kerja yang terlalu berat saat pelaksanaan Pemilu 2019.

Banyaknya korban yang berjatuhan ini mendorong munculnya banyak usulan evaluasi terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam pemilu serentak dan mempertimbangkan kembali penggunaan skema tersebut. Usulan evaluasi tersebut datang baik dari pengamat atau akademisi, politisi partai, pejabat pemerintah dan lembaga negara, maupun dari pihak penyelenggara pemilu sendiri.2

pengamanan Pemilu 2019 (data per 29 April 2019). Hingga 4 Mei, KPU baru mencatat 440 petugasnya yang meninggal dunia. Lihat “Total 554 Orang KPPS, Panwas dan Polisi Tewas di Pemilu 2019”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190507084423-32-392531/total-554-orang-kpps-panwas-dan-polisi-tewas-di-pemilu-2019, diakses 2 November 2019.2 Terkait usulan evaluasi dari kalangan pengamat atau akademisi, lihat, contohnya, Moch Nurhasim, “Evaluasi Pemilu Serentak 2019”, https://kompas.id/baca/utama/2019/10/08/evaluasi-pemilu-serentak-2019-2/, diakses 20 November 2019; “Menurut Perludem, Ini yang Harus Dievaluasi dari Pemilu Serentak 2019“, https://nasional.kompas.com/read/2019/05/11/14562271/menurut-perludem-ini-yang-harus-dievaluasi-dari-pemilu-serentak-2019, diakses 20 November 2019; “Tiga Hal yang Perlu Dievaluasi dari Pemilu Serentak Menurut Akademisi”, https://nasional.kompas.com/read/2019/04/30/14182141/tiga-hal-yang-perlu-dievaluasi-dari-pemilu-serentak-menurut-akademisi, diakses 20 November 2019; “Titi Anggraini: Catatan Evaluasi Pemilu 2019 dan Mendesaknya Revisi Terbatas UU Pilkada”, http://rumahpemilu.org/titi-anggraini-catatan-evaluasi-pemilu-2019-dan-mendesaknya-revisi-terbatas-uu-pilkada/, diakses 20 November 2019; M.Alfan Alfian, “Evaluasi Pemilu Serentak 2019”, Kompas, 8 Mei 2019. Elite partai politik juga menyuarakan evaluasi, lihat, contohnya, “Catatan Evaluasi Pemilu 2019 dari PDIP”, https://www.liputan6.com/news/read/3961113/catatan-evaluasi-pemilu-2019-dari-pdip, diakses 20 November 2019; “Golkar Dorong Evaluasi Sistem Pemilu Serentak”,

Sebagian di antara usulan evaluasi bahkan langsung disertai usulan alternatif skema pemilu serentak yang dianggap lebih tepat untuk digunakan. Ada dua jenis skema pemilu serentak yang paling banyak diusulkan. Pertama, pemilu serentak yang memisahkan antara pemilu nasional (pemilu presiden bersama pemilu anggota DPR dan DPD) dan pemilu lokal atau daerah (pemilu gubernur bersama pemilu anggota DPRD provinsi, pemillu bupati/wali kota bersama DPRD kabupaten/kota). Kedua,

https://www.gatra.com/detail/news/452999/politik/golkar-dorong-evaluasi-sistem-pemilu-serentak, diakses 20 November 2019. Beberapa pejabat pemerintah, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Ketua DPR Periode 2014-2019 Bambang Soesatyo juga menyampaikan usulan evaluasi. “Mendagri: Perlu Ada Konsultasi dengan MK Mengenai Pemilu Serentak”, https://nasional.kompas.com/read/2019/05/07/14020311/mendagri-perlu-ada-konsultasi-deng an-mk-mengenai-pemilu-serentak, diakses 20 November 2019; “Ketua DPR: Pemilu Serentak Perlu Dievaluasi secara Menyeluruh”, https://nasional.kompas.com/read/2019/05/08/16330371/ketua-dpr-pemilu-serentak-perlu-dievaluasi-secara-menyeluruh, diakses 20 November 2019. Komisioner KPU juga memberikan rekomendasi untuk melakukan evaluasi terhadap Pemilu Serentak 2019. “KPU: Desain Pemilu Serentak 2019 Cukup Berat”, https://nasional.kompas.com/read/2019/04/27/17281781/kpu-desain-pemilu-serentak-2019-cukup-berat, diakses 20 November 2019; “Komisioner KPU: Cukup Sekali Pemilu Serentak Seperti Ini”, https://nasional.kompas.com/read/2019/04/23/19451671/komisioner-kpu-cukup-sekali-pemilu-serentak-seperti-ini, diakses 20 November 2019; “Evaluasi 2019, KPU Wacanakan Pemilu Serentak Dipisah”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190423112 158-32-388749/evaluasi-2019-kpu-wacanakan-pemilu-serentak-dipisah , diakses 20 November 2019; “JK Usul Pilpres-Pileg Dipisah, Bawaslu Akui Rumitnya Pemilu Serentak”, https://news.detik.com/berita/d-4521754/jk-usul-pilpres-pileg-dipisah-bawaslu-akui-rumitnya-pemilu-serentak, diakses 20 November 2019.

Page 10: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

3Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

meningkatkan efektivitas kinerja parlemen, dan mencerdaskan kehidupan warga negara dalam membangun blok politik. Oleh karena itu, evaluasi yang dibutuhkan adalah menyeluruh, yaitu evaluasi yang memeriksa bukan hanya soal efisiensi penyelenggaraan tetapi juga seberapa berhasil pemilu serentak men-deliver hal-hal tersebut.

B. Evaluasi Pemilu Serentak 2019Dari penyelenggaraan pemilu serentak pertama pada 17 April 2019 yang lalu, ada berbagai hal positif yang layak mendapatkan apresiasi, berikut ini beberapa di antaranya. Pertama, naiknya tingkat partisipasi pemilih. Partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 menjadi yang tertinggi sejak Pilpres 2004 berlangsung. Hanya lebih rendah dari Pemilu 1999 dan Pileg 2004. Angka partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 mencapai 80,90%, atau melebihi target KPU sebesar 77,5%. Partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 lebih tinggi dibandingkan dengan rangkaian pemilu sejak Pilpres 2004 hingga 2014 yang berada pada rentang 70,7%-78,2%.4

Tingginya angka partisipasi pemilih ini sudah diduga sebelumnya, baik berdasarkan rujukan pengalaman negara lain yang menerapkan skema pemilu serentak5 maupun berdasarkan prediksi 4 Mohammad Mulyadi, “Membangun Demokrasi dengan Partisipasi Masyarakat dalam Memilih pada Pemilu 2019”, Info Singkat, Vol. XI (09), Mei 2019, hlm. 13-18.5 Moch Nurhasim, “Evaluasi Pemilu Serentak 2019”, https://kompas.id/baca/utama/2019/10/08/evaluasi-pemilu-serentak-2019-2/, diakses 2 November 2019.

memisahkan kembali pemilu untuk eksekutif (presiden, gubernur, walikota/bupati) dengan pemilu untuk anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota).

Beberapa pengamat, seperti Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz tidak sepenuhnya setuju jika evaluasi langsung ditujukan pada perubahan skema penyelenggaraan pemilu serentak. Ia mengingatkan bahwa evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilu serentak sebaiknya tidak dibuat tergesa-gesa. Oleh karena itu, ia menyarankan agar penyelenggara pemilu terlebih dulu melakukan evaluasi problematika teknis yang berada dalam kewenangannya masing-masing sebelum mengusulkan perubahan sistem atau skema pemilu. Menurutnya, skema pemilu serentak dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dan idealnya dievaluasi setelah diterapkan dua atau tiga kali.3

Namun, tidak sedikit kalangan yang meyakini bahwa desain pemilu serentak lima jenis pemilihan memang bermasalah sejak awal. Skema pemilu serentak tersebut tidak hanya memberikan beban yang sangat berat sehingga membawa korban di kalangan penyelenggara di tingkat bawah, namun juga gagal mewujudkan tujuan diselenggarakannya pemilu serentak itu sendiri. Tujuan pemilu serentak yang dimaksud, disebutkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain: memperkuat sistem pemerintahan presidensial,

3 “Catatan Sebelum Evaluasi Pemilu Serentak 2019”, https://mediaindonesia.com/read/detail/232892-catatan-sebelum-evaluasi-pemilu-serentak-2019, diakses 20 November 2019.

Page 11: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis4

turunnya tingkat kejenuhan pemilih akibat berkurangnya kegiatan pemilu (pemungutan suara) yang harus diikuti. Sebelum diterapkannya pemilu serentak dan pilkada serentak, pemilih harus hadir ke TPS 4 hingga 5 kali (jika Pilpres berlangsung dua putaran) untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten; memilih presiden; memilih gubernur; dan memilih bupati/walikota. Belum lagi jika memasukkan pemilihan kepala desa (pilkades).

Kedua, secara umum Pemilu serentak 2019 dinilai publik telah berlangsung bebas serta jujur dan adil (jurdil). Mayoritas responden dalam survei publik yang diselenggarakan Pusat Penelitian Politik LIPI pada akhir April hingga awal Mei 2019

di 34 provinsi menganggap Pemilu 2019 berlangsung bebas dan jurdil. Penilaian positif terhadap penyelenggaraan pemilu di tingkat TPS lebih tinggi dibandingkan penyelenggaraan pemilu secara nasional, masing-masing 91,2% dan 74,7%. Mayoritas responden juga menganggap penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu dan jajarannya telah menyelenggarakan pemilu dengan baik, masing-masing pada angka 82,5% dan 83,8%.6

Meskipun angkanya lebih rendah, mayoritas responden dalam survei tokoh yang diselenggarakan P2P LIPI pada akhir Juni hingga awal Agustus 2019 (71,4%) juga menilai bahwa Pemilu 2019 diselenggarakan dengan bebas 6 Survei Publik P2P LIPI 2019.

Tabel 1. Tingkat Partisipasi Memilih dalam Pemilu di Indonesia

Sumber: Diolah dari data KPU.

Page 12: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

5Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

dan jurdil. Masing-masing sebanyak 65,5% dan 67,9% responden tokoh yang memberikan penilaian baik terhadap kinerja KPU dan Bawaslu. Gugatan hasil pemilu yang diajukan salah satu pasangan calon tentang terjadinya kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematik, dan masif (TSM) ditolak oleh MK. Sebanyak 71,4% responden dalam survei tokoh tidak setuju terhadap pernyataan bahwa telah terjadi kecurangan yang bersifat TSM dalam pelaksanaan Pemilu 2019.7

Ketiga, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih didukung oleh 7 Survei Tokoh P2P LIPI 2019.

mayoritas kursi di DPR. Partai-partai pendukung pasangan calon Joko Widodo-Ma’ruf Amin berhasil memenangkan mayoritas suara dalam Pileg (62,29%) dan perolehan kursi di DPR (60,7%). Dengan dukungan mayoritas kursi di DPR ini diharapkan dapat memperkuat efektivitas pemerintahan presidensial dimana presiden mendapatkan dukungan yang diperlukan saat membuat dan menjalankan berbagai kebijakan, sesuai dengan tawaran program yang disampaikan kepada pemilih saat kampanye pemilu.

Tabel 2. Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu Anggota DPR 2019 Berdasarkan Partai Koalisi Pendukung Pemilihan Presiden

Sumber: Diolah dari data KPU, 2019.

Page 13: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis6

Keempat, naiknya persentase keterpilihan caleg perempuan di DPR, yaitu 20,56%. Angka ini adalah yang tertinggi dalam pemilu di Era Reformasi. Pada Pemilu 1999 hanya 9% caleg perempuan yang berhasil memperoleh kursi di DPR, selanjutnya 11,09% pada Pemilu 2004, 18,04% pada Pemilu 2009, dan 17,32% pada Pemilu 2014.8 Partai Nasdem memiliki persentase anggota DPR perempuan paling tinggi (32,2%), sedangkan yang terendah adalah PKS dan PAN, masing-masing sekitar 16%. Peningkatam jumlah perempuan di DPR ini diharapkan dapat membawa dampak positif dengan semakin terwakilinya kepentingan kelompok perempuan, dan kelompok marjinal lainnya, dalam pembuatan kebijakan di Indonesia.

8 “Ketua DPR Prihatin Keterwakilan Perempuan Belum 30 Persen”, http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/20546/t/Ketua+DPR+Prihatin+Keterwakilan+Perempuan+Belum+30+Persen, diakses 20 November 2019.

Di samping berbagai pencapaian positif, ada berbagai persoalan yang terjadi dan dihasilkan dalam Pemilu serentak 2019. Salah satu persoalan yang paling menonjol adalah jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan petugas KPPS, pengawas pemilu, dan personel pengamanan. Jatuhnya korban jiwa diduga akibat akumulasi beban kerja yang terlalu berat, terutama sejak satu hari sebelum dan sesudah pemungutan suara. Berdasarkan data KPU, jumlah petugas yang meninggal dunia pada Pemilu 2014 sebanyak 144 orang.9

Pelaksanaan pemilu serentak 2019 ternyata dianggap menyulitkan bukan hanya bagi penyelenggara, tetapi bagi pemilih. Survei publik P2P LIPI menemukan, mayoritas responden

9 “KPU Jawab Fahri Hamzah: Ada 144 Petugas KPPS Meninggal di Pileg 2014”, https://news.detik.com/berita/d-4539483/kpu-jawab-fahri-hamzah-ada-144-petugas-kpps-meninggal-di-pileg-2014, diakses 20 November 2019.

Grafik 1. Komposisi Anggota DPR-RI 2019-2024 per Partai Politik Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber: Diolah dari data KPU, 2019.

Page 14: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

7Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

(74%) mengaku bahwa pemilu serentak (mencoblos lima surat suara) lebih menyulitkan bagi pemilih dibandingkan jika pemilu legislatif dan pilpres diselenggarakan secara terpisah. Hanya 24% yang menyatakan sebaliknya. Dalam survei tokoh, mayoritas responden (86%) setuju jika disebutkan bahwa pemilu serentak menyulitkan bagi pemilih. Hanya sekitar 14% yang menganggap skema pemilu serentak yang pertama kali diterapkan tidak menyulitkan pemilih.

Politisi partai politik juga banyak yang mengeluhkan kerepotan yang terjadi karena harus bekerja memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang didukungnya bersamaan dan pada saat yang sama harus bekerja memastikan perolehan suara dan kursi partainya di DPR dan DPRD memenuhi target yang telah ditetapkan. Untuk Pileg DPR, ada ambang batas (parliamentary threshold) yang harus dilewati agar dapat diikutsertakan dalam pengalokasian kursi di DPR.

Selain menyulitkan bagi penyelenggara, pemilih, dan partai politik, berbagai persoalan-persoalan teknis penyelenggaraan yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya masih ditemui, seperti masalah daftar pemilih tetap (DPT) dan persoalan distribusi logistik. Selain masih ditemukan persoalan kekurangan jumlah logistik yang dikirimkan di beberapa daerah, pada Pemilu 2019 yang lalu juga terdapat surat suara yang tertukar di 3.411 tempat pemungutan suara (TPS). Sementara terkait persoalan DPT, hasil perbaikan tahap ke-3 dari DPT yang dilakukan oleh KPU baru tuntas pada 8 April 2019 atau sembilan hari menjelang pelaksanaan

pencoblosan. 10

Di luar persoalan-persoalan teknis pengelolaan pemilu, ada berbagai persoalan yang secara substansi berdampak serius pada kualitas pemilu, salah satunya politik uang. Mayoritas responden survei publik P2P LIPI 2019 menilai Pemilu 2019 telah berlangsung dengan bebas dan jurdil, baik di tingkatan terbawah yaitu TPS (91,2%) maupun di tingkat nasional (74,7%). Namun, temuan tentang persepsi dan pengalaman responden terkait politik uang menunjukkan hal yang menarik. Praktik pemberian atau janji pemberian uang, barang, atau jasa untuk memilih partai atau calon tertentu masih banyak terjadi, sebagaimana diakui oleh hampir setengah responden (47,4%), meskipun ‘hanya’ 28,1% dan 29,7% pemilih yang mengaku secara pribadi/keluarganya atau komunitasnya pernah menerima pemberian dari caleg/partai.11

Yang lebih memprihatinkan, pemilih kita cenderung permisif terhadap praktik politik uang dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Sebanyak 48% responden menyatakan praktik politik uang tidak dapat dimaklumi, namun hampir 47% pemilih lainnya menyatakan sebaliknya, politik uang adalah sesuatu yang wajar. Sebagian pemilih tidak memasukkan praktik politik uang yang mereka alami, lihat, atau dengar sebagai komponen yang membentuk penilaian terhadap integritas pemilu.12 Dalam survei tokoh P2P LIPI 2019, 83% responden percaya bahwa pemilih

10 Aryojati Ardipandanto, “Permasalahan Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019”, Info Singkat Vol. XI (11), Juni 2019: 26-30.11 Survei Publik P2P LIPI 2019.12 Survei Publik P2P LIPI 2019.

Page 15: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis8

mempertimbangkan pemberian uang, barang, atau jasa dari caleg atau parpol yang mereka terima saat memilih. Hanya 17% yang menyatakan hal tersebut tidak dipertimbangkan oleh pemilih.13

Temuan survei publik dan survei tokoh tersebut mengkonfirmasi apa yang digambarkan Edward Aspinall bahwa pemilih di hampir seluruh wilayah di Indonesia terlihat semakin pragmatis dan traksaksional. Pemilih tidak akan memberikan hak pilih mereka kepada orang yang tidak memberikan mereka keuntungan material, seperti uang atau bentuk pemberian lain. Karena itulah tidak mengejutkan, jika hampir semua calon dalam berbagai jenis pemilu menjalankan distribusi patronase, yakni distribusi uang, barang, dan bentuk materi lainnya sebagai pilar utama dalam kampanye strategi mereka.14

Di Indonesia, strategi klientelisme mengalami beragam variasi mulai dari praktik jual beli suara yang bersifat privat, donasi kepada komunitas, proyek gentong babi (pork-barrel) untuk komunitas, hingga kontrak pemerintahan yang diberikan atas dasar relasi patronase. Namun demikian, hubungan patronase yang bersifat individual dinilai lebih menjanjikan dibandingkan relasi patronase berbasis kelompok/komunitas karena partai memiliki kesulitan mengamankan sumber potensial untuk menjaga relasi patronase.15

13 Survei Tokoh P2P LIPI 2019.14 Edward Aspinall, Inside Indonesia. “Money Politics”, https://www.insideindonesia.org/money-politics, diakses pada 4 November 2019.15 Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and The State in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 2019, hlm. 35.

Padahal, dampak politik uang dalam pemilu membawa konsekuensi yang sangat serius terhadap demokrasi. Burhanuddin Muhtadi melihat praktik politik uang akan menimbulkan masalah yang rumit bagi akuntabilitas dan representasi demokrasi. Politik uang akan memperluas jarak relasi antara partai dengan pemilih, serta menjadikan biaya politik semakin mahal karena pemilih cenderung menggunakan pendekatan transaksional dengan partai.16 Dampak dari praktik politik uang yang terjadi di dalam partai politik, saat masa kampanye dalam pemilu dan ketika proses pembuatan kebijakan, menurut Mada Sukmajati, adalah semakin menguatnya praktik korupsi politik. Relasi antara politik uang dan korupsi adalah hubungan bilateral. Politik uang menjadikan kebutuhan atas modal bagi politisi untuk mendapatkan jabatan politik menjadi sangat besar. Akibatnya, setelah politisi mendapatkan jabatan politiknya, ia akan melakukan korupsi untuk memenuhi biaya politiknya tersebut.17

Dari segi hasil, jumlah calon anggota DPR petahana yang terpilih kembali mengalami kenaikan yang signifikan. KPU menyebutkan ada 298 orang caleg petahana atau sekitar 50,26% yang kembali melenggang ke Senayan. Sementara itu, dalam catatan Forum Masyarakat Peduli

16 Burhanuddin Muhtadi, “Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi Antara “Party ID”dan Patron-Klien”, Jurnal Penelitian Politik, 10 (1), Juni 2013: hlm. 55.17 Mada Sukmajati, “Money Politics and Corruption in Democratizing Indonesia.” Paper presented in the 3rd International Conference on Election and Democracy held by Department of Politics and International Relations, Faculty of Social Sciences, University Malaysia, Sarawak, Malaysia, on April 19-20, 2017, hlm. 11.

Page 16: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

9Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Parlemen Indonesia (Formappi) yang memasukkan mantan anggota DPR periode 2014-2019 yang mengalami Pergantian Antar Waktu (PAW), caleg petahana yang kembali terpilih mencapai 321 orang atau 55,8% anggota DPR hasil Pemilu 2019. Angka keterpilihan calon petahana ini merupakan yang tertinggi dalam pemilu pasca-Orde Baru, dimana sebelumnya hanya 40% (Pemilu 2014) dan 27,32% (Pemilu 2009). Persentase petahana di masing-masing partai berkisar antara 54,1% hingga 65,9%, kecuali Nasdem yang ‘hanya’ 32,2%. Keterpilihan caleg petahana di Nasdem relatif kecil karena perolehan kursi partai ini naik cukup signifikan dari pemilu sebelumnya, dari 35 menjadi 59 kursi.

Apakah naiknya keterpilihan caleg petahana dalam pemilu serentak lebih merupakan hasil dari pilihan pemilih yang relatif rasional yang menimbang biaya dan manfaat (cost and benefit) dari alternatif pilihan yang tersedia atau sebagai akibat faktor lain, seperti bekerjanya klientelisme petahana? Apa yang memungkinkan hal tersebut terjadi?

Edward Aspinall dan Ward Berenschot menyatakan bahwa kandidat petahana cenderung memenangkan pemilu. Hal ini dilatarbelakangi oleh tiga aspek, antara lain karena petahana didukung oleh aparat birokrat, memiliki kemampuan untuk mengendalikan sumber daya milik negara, dan dapat menggunakan program pemerintah untuk memelihara atau mendapatkan dukungan publik.18 Dalam hal anggaran, anggota DPR petahana relatif lebih diuntungkan oleh adanya dukungan Negara untuk berinteraksi dengan konstituen. Setiap tahunnya ada lima kali masa reses di DPR, dimana setiap kali reses setiap anggota difasilitasi untuk melakukan 15 kali pertemuan dengan konstituen. Anggaran yang disediakan untuk setiap kegiatan sebesar Rp 20 juta, atau total Rp 300 juta per satu kali masa reses. Dengan demikian, dalam satu tahun setiap anggota DPR memperoleh 18 Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and The State in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 2019, hlm., 194-195.

Tabel 3. Caleg Petahana DPR RI Terpilih pada Pemilu 2019

Sumber: Formappi, “Anatomi Caleg DPR RI Terpilih Pemilu 2019” dirilis 5 September 2019.

Page 17: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis10

alokasi anggaran reses Rp 1,5 miliar atau dalam lima tahun mencapai Rp 7,5 miliar. Di luar anggaran tersebut, anggota DPR juga dapat mengakses berbagai program kementerian atau lembaga pemerintah untuk disalurkan ke daerah pemilihannya. Dalam penyalurannya kepada konstituen, anggota DPR biasanya ‘mengkampanyekan’ peran atau jasa yang mereka dalam proses pengalokasian bantuan tersebut.

Riset Muhammad Mahsun tentang Pemilu Legislatif 2014 di Sumatera Selatan juga menemukan bahwa anggota parlemen petahana memiliki keuntungan dalam pemilu karena memiliki akses menggunakan alokasi dana aspirasi parlemen untuk memelihara dan mendapatkan dukungan konstituen di daerah pemilihannya. Praktik ini menjadi khas praktik gentong babi di Indonesia.19 Seperti Mahsun, Alamsyah juga menemukan bahwa praktik gentong babi melalui penggunaan dana aspirasi dan berbagai dana APBN lain memberikan keuntungan bagi petahana untuk memenangkan pemilu.20

Lebih dari 90% petahana kembali maju dalam Pileg 2019, namun sebagian di antaranya gagal terpilih. Caleg non-petahana yang paling berpeluang untuk mengalahkan para caleg petahana adalah caleg yang mempunyai sumber daya 19 Muhammad Mahsun, “Palembang, South Sumatra: Aspiration Funds and Pork Barrel Politics”, Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (Eds.), Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage and Clientelism, Singapore: NUS Press, 2016, hlm. 120.20 Alamsyah, “Musi Banyuasin, South Sumatra: Nine Steps to Victory Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (Eds.), Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage and Clientelism, Singapore: NUS Press, 2016, hlm. 119.

substitusi yang benar-benar sebanding. Sumber daya yang dimaksud terutama jaringan di daerah pemilihan, baik karena pernah menjadi pejabat pemerintah di daerah tersebut ataupun karena memiliki hubungan keluarga/kerabat dengan pejabat/mantan pejabat atau orang kuat di wilayah tersebut. Modal finansial di atas rata-rata dan/atau popularitas sebagai figur publik dapat menjadi modal penting lain bagi caleg penantang untuk mengalahkan petahana. Dalam banyak kasus, beberapa sumber daya ini secara akumulatif dimiliki caleg penantang yang sukses terpillih.

Menurut Didik Supriyanto, pemilu serentak sebenarnya dapat mencegah semakin menguatnya politik dinasti dengan argumentasi bahwa skema pemilu ini akan membuat setiap orang, termasuk petahana dan kerabatnya, memiliki peluang terbatas untuk mencalonkan diri. Hal ini karena pemilihan legislatif dan kepala pemerintahan digelar secara bersamaan, atau berdekatan. Artinya, seseorang harus memilih salah satu jabatan yang hendak dicapai antara jabatan legislatif atau eksekutif.21 Namun, berdasarkan catatan Formappi, gejala dinasti politik tetap dihasilkan dalam Pemilu 2019. Menurut Formappi, ada 48 caleg DPR terpilih pada Pileg 2019 memiliki relasi kekerabatan dengan elite politik di dapilnya. Sistem proporsional daftar terbuka telah menjadikan figur personal memliki pengaruh yang lebih kuat untuk memenangkan caleg

21 Didik Supriyanto, “Cegah Politik Dinasti dengan Pemilu Serentak”, https://nasional.kompas.com/read/2013/03/21/02251623/cegah.politik.dinasti.dengan.pemilu.serentak?page=all, diakses pada 4 November 2019.

Page 18: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

11Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

dibandingkan partai politiknya.22

C. Problematika Desain Pemilu Serentak (Borongan) 2019Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, bahwa ada berbagai persoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu serentak 2019. Lalu, apa kontribusi skema pemilu serentak terhadap persoalan-persoalan tersebut? Pertanyaan ini penting dijawab karena terkait dengan perdebatan tentang evaluasi seperti apa yang perlu dilakukan. Apakah yang diperlukan cukup sebatas evaluasi atas isu-isu teknis manajemen pemilu dengan rekomendasi perbaikan oleh penyelenggara pemilu atau evaluasi tersebut juga harus menjangkau skema pemilu serentak yang digunakan pada Pemilu 2019 yang lalu?

Secara umum, kertas kebijakan ini sepakat dengan pendapat bahwa diperlukan evaluasi terhadap problematika teknis penyelenggaraan pemilu serentak yang telah membebani petugas di lapangan. Pemilu yang demokratis tidak hanya harus bebas, jurdil, tetapi juga mudah diselenggarakan. Penggunaan rekapitulasi elektronik, salinan dokumen digital, pengaturan batas maksimal jam kerja petugas, persyaratan yang lebih ketat dalam rekrutmen, terutama dari aspek kesehatan, dan usulan lainnya layak untuk dikaji dan diuji fisibilitasnya untuk digunakan dalam pemilu mendatang.

22 “Ketika Dinasti Politik Semakin Menguat.” Dalam https://www.kompas.com/tren/read/2019/ 10/06/073000765/ketika-dinasti-politik-semakin-menguat-?page=all, diakses pada 3 November 2019.

Namun, kertas kebijakan ini juga melihat bahwa skema pemilu serentak pada Pemilu 2019 tidak sepenuhnya berhasil men-deliver tujuan-tujuan yang melatarbelakangi penerapannya. Oleh karena itu, evaluasi terhadap skema pemilu serentak juga sangat relevan. Poin pertama terkait dengan efek ekor jas Pilpres terhadap Pileg. Dari berbagai data yang tersedia, efek ekor jas tersebut relatif terbatas atau lebih kecil dari yang diasumsikan.

Dalam Naskah Akademik UU No. 7/2017, pemilu serentak dianggap sebagai desain sistem pemilihan umum yang dapat menunjang penguatan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini terjadi dengan asumsi adanya coattail effect, di mana keterpilihan calon presiden akan memengaruhi keterpilihan calon anggota legislatif. Dengan kata lain, pemilih cenderung akan memilih partai/caleg dari partai dimana capres dan/atau cawapres yang dipilihnya berasal atau partai/caleg dari partai yang tergabung dalam koalisi partai yang mencalonkan pasangan capres-cawapres pilihannya.23

Partai-partai anggota Koalisi Indonesia Kerja (KIK) yang mendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin memperoleh 62,29% suara sah dalam Pileg 2019 dan menguasai 60,7% kursi DPR. Angka ini jauh lebih besar dari apa yang menjadi modal awal saat Joko Widodo-Jusuf Kalla memulai pemerintahan pasca-Pemilu 2014. Saat itu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung Jokowi sebagai pemenang Pilpres (53,15% suara) hanya memperoleh 39,98% suara Pileg dan gagal menguasai mayoritas kursi DPR. 23 Naskah Akademik RUU Penyelenggaraan Pemilu ( Jakarta: Kemendagri, 2016).

Page 19: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis12

Sementara itu, Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 48,92% suara dalam Pileg dan menguasai mayoritas kursi DPR. Namun, jika peta kekuatan hasil Pemilu 2014 tersebut dilihat berdasarkan peta koalisi pada 2019 (bukan koalisi pada 2014), kekuatan partai-partai pendukung Jokowi saat ini (KIK) sebenarnya tidak banyak berbeda dengan hasil Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014 total perolehan suara partai-partai yang pada Pemilu 2019 tergabung di KIK sekitar 63,7%; tidak jauh berbeda dengan total suara partai-partai tersebut pada Pemilu 2019 (62,29%).

Survei publik pasca-pemilu P2P LIPI juga menemukan rata-rata angka split-ticket voting di atas 20% dimana di kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno cenderung lebih besar dibandingkan di kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Di Koalisi Indonesia Kerja angkanya mencapai 20,3% dan di Koalisi Indonesia Adil Makmur sebesar 25,4%.24

24 Survei Publik P2P LIPI 2019

Jika dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang tidak menggunakan skema pemilu serentak dimana Pileg diselenggarakan beberapa bulan sebelum Pilpres, angka split-ticket voting relatif tidak banyak berubah. Survei pra-pemilu yang diselenggarakan Indobarometer pada Mei 2014 menemukan, jumlah split-ticket voting sebesar 20,3%, sedangkan pada survei Juni 2014 sebesar 19,2%. Straight-ticket voting di dua survei tersebut masing-masing sebesar 56,0% dan 61%. Adapun sebanyak 23,7% (Mei 2014) dan 19,8% ( Juni 2014) responden menjawab tidak tahu atau tidak bersedia menjawab.25

Berdasarkan perbandingan temuan survei P2P LIPI (2019) dan Indobarometer (2014) tersebut dapat disimpulkan bahwa efek ekor jas Pilpres terhadap Pileg dalam pemilu serentak yang lalu relatif terbatas atau, paling 25 Seperti dikutip dalam Muhammad Qodari, Split-Ticket Voting dan Faktor-Faktor Yang Menjelaskannya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Indonesia Tahun 2014 (Disertasi UGM, 2016), hlm. 188.

Grafik 2. Straight dan Split-ticket Voting pada Pemilu Serentak 2019

Sumber: Survei Publik P2P LIPI 2019

Page 20: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

13Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

tidak, tidak sebesar seperti diasumsikan oleh penyusun UU Pemilu. Dengan kata lain, jika bicara tentang perilaku memilih, pemilu serentak belum memberikan insentif yang signifikan bagi pemilih untuk menjadikan pilihan Pileg dan Pilpres mereka satu paket (straight ticket voting). Mengapa hal tersebut terjadi?

Terbatasnya efek ekor jas diakibatkan oleh komplikasi pemilu serentak yang dikombinasikan dengan sistem perwakilan proporsional daftar terbuka (open-list PR) dan besaran daerah pemilihan atau district magnitude yang relatif besar. Kombinasi antara skema pemilu serentak, sistem perwakilan proporsional daftar terbuka, dan besaran daerah pemilihan yang relatif besar ini lah yang ‘memaksa’ pemilih kita umumnya masuk kategori pemilih dengan low information.

Dengan jumlah caleg setiap partainya di masing-masing dapil 3-10 orang dan jumlah partai peserta pemilu hingga 16 (atau 20 untuk DPRK/DPRA di Aceh), jumlah caleg dalam lembar surat suara untuk masing-masing pemilu angora DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dapat berjumlah puluhan bahkan lebih dari 100. Jumlah caleg DPD di masing-masing dapil (provinsi) bekisar antara belasan hingga empat puluhan. Ringkasnya, di lima lembar surat suara yang diterima pemilih di TPS ada sekitar 300 hingga lebih dari 400 nama calon yang dapat ia pilih. Alih-alih memudahkan pemilih, banyaknya jumlah partai dan kandidat yang harus dipilih membuat pemilih kesulitan. Survei publik P2P LIPI menemukan, mayoritas responden (74%) mengaku bahwa pemilu serentak lebih menyulitkan bagi pemilih dibandingkan jika pileg dan pilpres diselenggarakan

terpisah. Hanya 24% yang menyatakan sebaliknya.26

Jadi, dengan kata lain, kecenderungan pemilih untuk straight-ticket voting ataupun split-ticket voting sangat besar kemungkinannya tidak disebabkan oleh keinginan sadar pemilih untuk memilih dua pilihan yang sepaket atau terbelah (berbeda) pada Pilpres dan Pileg. Motivasi untuk mempengaruhi keseimbangan ideologis, kepemilikan isu, atau adanya mekanisme checks and balances yang kuat antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif setelah pemilu sulit kita temukan pada pemilih kita.27 Naskah Akademik RUU Pemilu menyebutkan bahwa di samping mempunyai coattail effect, pemilu serentak juga diyakini dapat memberikan ruang yang lebih besar kepada pemilih untuk memutuskan pilihan-pilihan dengan cerdas, sesuai dengan struktur keyakinannya, termasuk membuat sistem checks and balances menurut keyakinannya sendiri.28

Survei publik P2P LIPI menemukan, hanya sebagian kecil pemilih yang memilih partai politik tertentu (atau calegnya) dalam Pileg didasarkan pilihan mereka dalam Pilpres. Hanya sekitar 17% pemilih yang menjadikan dukungan partai politik terhadap capres-cawapres sebagai alasan utama memilih caleg/partai politik tertentu.29 Elektabilitas partai pada akhirnya lebih banyak ditopang oleh faktor lain, termasuk kerja para caleg dalam kampanye untuk mendulang

26 Survei Publik P2P LIPI 2019. 27 Untuk peta model analisis penyebab split-ticket voting, lihat Qodari, ibid., hlm. 190-192.28 Naskah Aakademik RUU Penyelenggaraan Pemilu ( Jakarta: Kemendagri, 2016).29 Survei Publik P2P LIPI 2019.

Page 21: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis14

suara bagi dirinya. Hal ini tidak terlepas dari strategi kampanye yang berpusat pada caleg atau candidate-centered yang berlaku dalam beberapa pemilu legislatif terakhir. Kecenderungan ini merupakan konsekuensi dari pilihan sistem pemilu proporsional yang berbasis daftar calon terbuka.

Thomas Zittel dan Thomas Gschwend membedakan dua jenis strategi kampanye, yaitu kampanye yang berpusat pada partai dan kampanye yang dipersonalisasi atau berpusat pada kandidat (caleg). Dalam kampanye party-centered, tujuan utama kandidat adalah untuk memaksimalkan bagian perhatian untuk partai politik mereka dan para caleg menempatkan diri mereka di tempat kedua. Karenanya, sebagian besar kandidat menekankan prestasi dan ideologi partai dan kurang fokus pada ide dan kelebihan pribadi mereka. Sebaliknya, dalam kampanye candidate-centered, tujuannya adalah untuk menarik perhatian sebanyak mungkin untuk iri caleg sebagai fokus. Politisi dapat menekankan pengalaman dan pencapaian yang mereka capai, mengedepankan masalah baru, atau secara ideologis membedakan diri dari partai.30 Gschwend dan Zittel membedakan kampanye yang lebih party-centered atau lebih candidate-centered berdasarkan kecenderungan dalam tiga aspek, yaitu norma kampanye, agenda kampanye, dan dana kampanye.31

30 Thomas Zittel and Thomas Gschwend, “Individualised constituency campaigns in mixed-member electoral systems: Candidates in the 2005 German elections”, West European Politics 31(5), 2008. Thomas Gschwend and Thomas Zittel, “Do constituency candidates matter in German Federal Elections? The personal vote as an interactive process”, Electoral Studies 39, 2015.31

Dengan menggunakan konseptualisasi Zittel and Gschwend ini kita dapat menyimpulkan bahwa pemilu legislatif di Indonesia cenderung personalized atau berpusat pada caleg. Strategi yang digunakan caleg lebih banyak memberikan informasi pribadi yang dapat membujuk pemilih untuk memberikan suara karena pemilih memilih seorang caleg yang mereka kenal atau mereka dapat mengidentifikasikan diri. Dari sisi agendanya, para caleg lebih banyak menonjolkan isu-isu lokal dengan disertai janji atau program yang akan dilakukan jika terpilih atau kontribusi yang telah diberikan caleg terkait isu-isu tersebut. Dari aspek pendanaan, kecuali dalam kasus yang sangat terbatas, para caleg lah yang menanggung hampir seluruh biaya kampanye mereka. Jika melihat laporan keuangan kampanye yang disampaikan partai-partai kepada KPU, dimana jumlahnya justru mengalami penurunan sebesar 22% dibandingkan Pemilu 2014, mayoritas penyumbang dana kampanye di semua partai adalah para caleg.

Dengan kecenderungan kampanye yang berpusat pada caleg, strategi kampanye pileg tidak selalu berjalan paralel dengan kampanye pilpres. Para caleg tidak selalu menggunakan figur capres dan/atau cawapres yang dicalonkan atau didukung partainya, kecuali dianggap menguntungkan bagi elektabilitas mereka. Di daerah yang menjadi basis kuat pendukung salah satu pasangan calon capres-cawapres, yang diidentifikasi baik dari hasil Pilpres 2014 maupun dari hasil survei pemilih menjelang Pemilu 2019, para caleg dari partai-partai pendukung pasangan tersebut akan menggunakan materi kampanye Pilpres atau figur dari

Page 22: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

15Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

pasangan capres atau cawapres. Para caleg harus memilih prioritas antara kampanye dirinya sebagai caleg dan kampanye Pilpres sebagaimana diinstruksikan oleh partainya.

Porsi kampanye partai politik dalam Pemilu 2019 dapat dikatakan sangat kecil. Dalam perdebatan tingkat nasional, kampanye partai politik terpinggirkan oleh keriuhan kampanye Pilpres. Bahkan, jika untuk Pilpres KPU menyelenggarakan lima kali debat yang disiarkan melalui stasiun-stasiun televisi nasional, KPU tidak menyediakan panggung yang sebanding. Sementara itu, di level akar rumput, kampanye partai juga terpinggirkan karena para caleg juga lebih sibuk mengkampanyekan janji, program, rekam jejak atau ikatan emosional pribadi mereka sebagai caleg kepada pemilih. Situasi ini membuat sulit mengharapkan kesebangunan isu kampanye partai dengan isu kampanye pasangan calon yang didukungnya, yang seharusnya menjadi representasi bahwa koalisi dibangun berdasarkan kesesuaian ideologis atau hal-hal yang lebih mendasar dari sekedar kalkulasi memenangkan pemilu dan/atau akses terhadap rente.

Kertas kebijakan ini melihat bahwa skema pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal, sebagaimana direkomendasikan oleh Electoral Reform Institute (ERI) LIPI dan KPU pada tahun 2016 layak untuk dipertimbangkan untuk diterapkan. Pemilu serentak nasional diselenggarakan untuk memilih presiden/wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD, sedangkan pemilu serentak lokal serentak diselenggarakan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/

kota. Di antara pemilu nasional serentak dan pemilu lokal serentak diberikan jeda sekitar dua setengah tahun agar penyelenggaraan dua pemilu itu mudah dikelola dan untuk memudahkan koordinasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah daerah.32 Meskipun demikian, alternatif perubahan sebaiknya didasarkan pada hasil evaluasi Pemilu serentak 2019 yang dilakukan secara menyeluruh, terbuka, dan melibatkan pakar independen. 32 Syamsuddin Haris (ed.), Pemilu Nasional Serentak 2019, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2016, hlm. 162-163. Skema pemilu nasional serentak terpisah antara pemilu nasional dan lokal dengan jeda waktu 2,5 tahun direkomendasikan karena memiliki banyak kelebihan, di antaranya: (1) menjanjikan terbentuk pemerintahan hasil pemilu yang lebih efektif karena presiden terpilih akan disertai terbentuknya kekuatan mayoritas di parlemen yang berasal dari partai atau koalisi partai yang sama; (2) jika pemerintahan hasil pemilu nasional serentak berkinerja baik, maka hasil pemilu lokal serentak akan berkemungkinan besar sama dengan hasil pemilu nasional serentak. Hal ini kemudian akan menghasilkan sinergi pemerintahan nasional-regional-lokal; (3) berlaku sebaliknya dari poin sebelumnya, apabila pemerintah hasil pemilu nasional serentak berkerja buruk maka ada peluang bagi publik untuk menghukum partai atau koalisinya melalui pemilu serentak lokal; (4) dapat diminimalkannya koalisi politik yang semata-mata dibentuk untuk kepentingan politik jangka pendek karena partai dipaksa berkoalisi sebelum ada hasil pemilu legislatif. Hal ini kemudian akan mengurangi kecenderungan terjadinya politik transaksional; (5) isu politik lokal yang selama ini tenggelam dapat kembali terangkat dengan adanya pemilu serentak lokal; (6) wakil rakyat dan pejabat eksekutif akan menjadi lebih akuntabel karena kinerjanya akan dievaluasi dalam pemilu berikutnya hanya berjarak hanya 2,5 tahun; (7) terjadi penyederhanaan jumlah partai sehingga menjanjikan bagi terbentuknya sistem multipartai sederhana (moderat); (8) menjanjikan peluang besar bagi elite politik lokal yang kepemimpinannya berhasil untuk bersaing menjadi elite politik di tingkat nasional. Haris (ed.), ibid., hlm. xii.

Page 23: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis16

Secara garis besar, perubahan yang kita rancang harus memperhatikan paling tidak dua hal pokok berikut ini. Pertama, skema pemilu serentak harus didesain sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Apakah tujuan yang hendak dicapai mencakup efisiensi biaya, peningkatan partisipasi pemilih, penguatan presidensialisme dengan dukungan mayoritas parlemen kepada presiden terpilih, reformasi sistem kepartaian, dan/atau ada tujuan lain? Mana yang menjadi prioritas di antara beberapa tujuan yang hendak dicapai?

Kedua, perubahan skema pemilu serentak juga harus memperhatikan konteks sistem politik. Perubahan skema pemilu serentak menjadi pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal tidak akan menjawab persoalan-persoalan yang muncul dengan diterapkannya skema pemilu serentak borongan. Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, sistem pemilu proporsional terbuka dan besaran dapil 3-10 berpengaruh terhadap efektivitas pemilu serentak untuk mencapai tujuan-tujuan yang melatarbelakangi diterapkannya pemilu serentak. Kita juga harus menghitung ulang relevansi ketentuan ambang batas parlemen 4% dan ambang batas pencalonan presiden 20%. Demikian pula, perubahan skema pemilu serentak juga harus memperhatikan upaya penyatuan waktu penyelenggaraan seluruh pilkada se-Indonesia telah ditempuh. Hingga saat ini tiga gelombang penyelenggaraan pilkada dilalui, dimana tahun 2020 merupakan gelombang keempat dari total enam gelombang sebelum pilkada serentak nasional digelar pada 2024 atau 2027.

D. Rekomendasi Berdasarkan uraian di atas, kertas kebijakan ini merekomendasikan beberapa hal untuk memperbaiki skema penyelenggaraan pemilu serentak ke depan. Pertama, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap persoalan-persoalan penyelenggaraan dan dampak dari pemilu serentak pada tahun 2019. Evaluasi harus melibatkan berbagai kalangan, termasuk tim pakar independen. Hasil evaluasi ini disampaikan kepada publik secara terbuka dan menjadi rujukan pemerintah dan DPR dalam menyusun rancangan perubahan sistem pemilu.

Kedua, revisi UU Pemilu sebaiknya tidak hanya ditujukan untuk mengubah skema keserentakan penyelenggaran pemilu. Perubahan skema pemilu harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pembahasan perbaikan sistem pemilu, yang mencakup isu yang lebih luas, antara lain ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, besaran daerah pemilihan, dan sebagainya. Selain itu, perubahan desain pemilu juga harus di didasarkan pada kesepakatan tentang desain sistem politik dan ketatanegaraan kita, seperti pelembagaan partai politik, sistem kepartaian, dan sistem perwakilan yang hendak dibangun ke depan.

Berikut ini ada beberapa usulan yang sudah lama berkembang di publik yang perlu dipertimbangkan untuk diakomodir dalam perubahan sistem pemilu:

a. Perubahan sistem pemilu legislatif proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup yang dikombinasikan dengan sistem proporsional terbuka (campuran)

Page 24: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

17Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

lebih memungkinkan terjadinya kampanye Pilpres dan Pileg yang lebih terhubung.

b. Besaran daerah pemilihan diperkecil, tidak lagi 3-10. Perubahan dapil, misalnya menjadi 3-6, yang dilakukan secara bertahap dalam dua kali penyelenggraan pemilu termasuk cukup moderat. Besaran dapil yang lebih kecil dapat mengurangi jumlah caleg yang perlu dipertimbangkan untuk dipilih sehingga memungkinkan pemilih untuk memilih secara lebih rasional.

c. Ambang batas pencalonan presiden sebaiknya dihapus sehingga setiap partai politik yang lolos menjadi peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon.

d. Diperlukan pengaturan kampanye yang lebih memfasilitasi debat program atau platform partai saat pemilu sehingga pemilih dapat melihat ada tidaknya benang merah dari apa yang ditawarkan partai dan caleg dengan tawaran capres dalam pemilu serentak nasional atau calon kepala daerah dalam pemilu serentak lokal.

Ketiga, jika skema pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dipilih sebagai alternatif yang menggantikan skema pemilu serentak borongan yang digunakan dalam Pemilu 2019, perlu disusun rancangan hal-hal yang harus diselesaikan pada periode transisi, antara lain: penyesuaian akhir masa jabatan baik kepala daerah maupun anggota DPRD,

jika pemilu serentak nasional tetap diselenggarakan sesuai jadwal yang ada saat ini; memasukkan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada ke dalam Prolegnas 2020; penyusunan dan pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.

Page 25: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis18

BIBLIOGRAFI

Alamsyah (2016). “Musi Banyuasin, South Sumatra: Nine Steps to Victory”. Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (Eds.). Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage and Clientelism. Singapore: NUS Press.

Alfian, M. Alfan (2019). “Evaluasi Pemilu Serentak 2019”. Kompas, 8 Mei 2019.

Ardipandanto, Aryojati (2019). “Permasalahan Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019”. Info Singkat Vol. XI (11): 26-30.

Aspinall, Edward (2019). “Money Politics”. Inside Indonesia. https://www.ins i d e in d on e s i a .or g / m on e y-politics, diakses pada 4 November 2019.

Aspinall, Edward dan Ward Berenschot (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and The State in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Gschwend, Thomas and Thomas Zittel (2015). “Do constituency candidates matter in German Federal Elections? The personal vote as an interactive process”. Electoral Studies, 39.

Haris, Syamsuddin (Ed.) (2016). Pemilu Nasional Serentak 2019. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Kemendagri (2016). Naskah Aakademik RUU Penyelenggaraan Pemilu. Jakarta: Kemendagri.

Mahsun, Muhammad (2016). “Palembang, South Sumatra: Aspiration Funds

and Pork Barrel Politics”. Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (Eds.). Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage and Clientelism. Singapore: NUS Press.

Muhtadi, Burhanuddin (2013). “Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi Antara “Party ID”dan Patron-Klien”. Jurnal Penelitian Politik, 10 (1): 41-58.

Mulyadi, Mohammad (2019). “Membangun Demokrasi dengan Partisipasi Masyarakat dalam Memilih pada Pemilu 2019”. Info Singkat, Vol. XI (09), Mei.

Nurhasim, Moch (2019). “Evaluasi Pemilu Serentak 2019”. https://kompas.id/baca/utama/2019/10/08/evaluasi-pemilu-serentak-2019-2/, diakses 2 November 2019.

Qodari, Muhammad (2016). Split-Ticket Voting dan Faktor-Faktor Yang Menjelaskannya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Indonesia Tahun 2014 (Disertasi UGM).

Sukmajati, Mada (2017). “Money Politics and Corruption in Democratizing Indonesia.” Paper presented in the 3rd International Conference on Election and Democracy held by Department of Politics and International Relations, Faculty of Social Sciences, University Malaysia, Sarawak, Malaysia, on April 19-20.

Supriyanto, Didik (2019). “Cegah Politik Dinasti dengan Pemilu Serentak”. https://nasional.kompas.com/read/2013/03/21/02251623/ceg ah.politik .dinasti .deng an.

Page 26: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

19Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

pemilu.serentak?page=all, diakses pada 4 November 2019.

Zittel, Thomas and Thomas Gschwend (2008). “Individualised consti-tuency campaigns in mixed-member electoral systems: Candidates in the 2005 German elections”. West European Politics, 31(5).

Sumber Berita Online

“Catatan Evaluasi Pemilu 2019 dari PDIP”, https://www.liputan6.com/news/read/3961113/catatan-evaluasi-pemilu-2019-dari-pdip, diakses 20 November 2019.

“Catatan Sebelum Evaluasi Pemilu Serentak 2019”, https://mediaindonesia.c o m / r e a d / d e t a i l / 2 3 2 8 9 2 -catatan-sebelum-evaluasi-pemilu-serentak-2019, diakses 20 November 2019.

“Data Kemenkes: 527 Petugas KPPS Meninggal, 11.293 Orang Sakit”, https://nasional.kompas.com/read/2019/05/16/17073701/data -kemen kes-527-p etug a s-kpps-meninggal-11239-orang-sakit?page=all, diakses 2 November 2019.

“Evaluasi 2019, KPU Wacanakan Pemilu Serentak Dipisah”, https://www.c nn i n d o n e s i a . c o m / na s i o na l /20190423112158-32-388749/evaluasi-2019-kpu-wacanakan-pemilu-serentak-dipisah , diakses 20 November 2019.

“Golkar Dorong Evaluasi Sistem Pemilu Serentak”, https://www.gatra.com/detail/news/452999/politik/golkar-dorong-evaluasi-sistem-

pemilu-serentak, diakses 20 November 2019.

“JK Usul Pilpres-Pileg Dipisah, Bawaslu Akui Rumitnya Pemilu Serentak”, h t t p s : / / n e w s . d e t i k . c o m /berita/d-4521754/jk-usul-pilpres-p i l e g - d i p i s a h-b awa s l u- a ku i -rumitnya-pemilu-serentak , diakses 20 November 2019.

“Ketika Dinasti Politik Semakin Menguat,” https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/06/073000765/ketika-dinasti-politik-semakin-menguat-?page=all, diakses pada 3 November 2019.

“Ketua DPR Prihatin Keterwakilan Perempuan Belum 30 Persen”, http ://www.dpr.go.id/berita/detail/id/20546/t/Ketua+DPR+Prihatin+Keterwakilan+Perempuan+Belum+30+Persen, diakses 20 November 2019.

“Ketua DPR: Pemilu Serentak Perlu Dievaluasi secara Menyeluruh“, https://nasional.kompas.com/read/2019/05/08/16330371/ketua-dpr-pemilu-serentak-perlu-dievaluasi-secara-menyeluruh, diakses 20 November 2019.

“Komisioner KPU: Cukup Sekali Pemilu Serentak Seperti Ini“, https://nasional.kompas.com/read/2019/04/23/19451671/komisioner-kpu-cukup-sekali-pemilu-serentak-seperti-ini , diakses 20 November 2019.

“KPU: Desain Pemilu Serentak 2019 Cukup Berat“, https://n a s i o n a l . k o m p a s . c o m /read/2019/04/27/17281781/kpu-desain-pemilu-serentak-2019-cukup-berat, diakses 20 November 2019.

Page 27: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis20

“KPU Jawab Fahri Hamzah: Ada 144 Petugas KPPS Meninggal di Pileg 2014”, https://news.detik.com/berita/d-4539483/kpu-jawab -fahri-hamzah-ada-144-petugas-kpps-meninggal-di-pileg-2014, diakses 20 November 2019.

“Mendagri: Perlu Ada Konsultasi dengan MK Mengenai Pemilu Serentak“, https://nasional.kompas.com/read/2019/05/07/14020311/mendagri-perlu-ada-konsultasi-dengan-mk-mengenai-pemilu-serentak, diakses 20 November 2019.

“Menurut Perludem, Ini yang Harus Dievaluasi dari Pemilu Serentak 2019“, https://n a s i o n a l . k o m p a s . c o m /read/2019/05/11/14562271/menur ut-p erludem-ini-yang -harus-dievaluasi-dari-pemilu-serentak-2019, diakses 20 November 2019.

“Tiga Hal yang Perlu Dievaluasi dari Pemilu Serentak Menurut Akademisi“, https://nasional.kompas.com/read/2019/04/30/14182141/tiga-hal-yang-perlu-dievaluasi-dari-pemilu-serentak-menurut-akademisi, diakses 20 November 2019.

“Titi Anggraini: Catatan Evaluasi Pemilu 2019 dan Mendesaknya Revisi Terbatas UU Pilkada”, http://rumahpemilu.org/titi-anggraini-catatan-evaluasi-pemilu-2019-dan-mendesaknya-revisi-terbatas-uu-pilkada/, diakses 20 November 2019.

“Total 554 Orang KPPS, Panwas dan Polisi Tewas di Pemilu 2019”, https://www.cnnindonesia.com/

nasional/20190507084423- 32-392531/total-554-orang-kpps-p anwa s- dan-p o l i s i -te wa s- d i -pemilu-2019, diakses 2 November 2019.

Page 28: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

21Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

APENDIKSMetodologi Survei Publik P2P LIPI 2019Populasi survei publik adalah seluruh warga negara Indonesia dewasa, yaitu mereka yang sudah berumur 17 tahun atau sudah menikah saat survei dilakukan; sekitar 190 juta orang. Sampel survei publik berjumlah 1.500 responden. Berdasarkan jumlah sampel ini, diperkirakan margin of error (MoE) sebesar ±2,53% pada tingkat kepercayaan 95%.

Pengumpulan data survei publik dilakukan melalui wawancara tatap muka (face to face interview) oleh enumerator yang telah dilatih dengan instrumen kuesioner. Satu pewawancara bertugas untuk mewawancarai 10 responden di 1 desa/kelurahan. Pengumpulan data dilakukan pada 27 April s.d. 5 Mei 2019. Kendali kualitas dilakukan secara random terhadap 43,1% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check) atau penyaksian wawancara.

Metodologi Survei Tokoh P2P LIPI 2019 Survei tokoh mewawancarai akademisi, politisi partai politik, jurnalis senior, pengurus asosiasi pengusaha, tokoh agama, budayawan, tokoh gerakan perempuan, NGO, dan pemuda di 5 kota, yaitu: Jakarta (39 orang), Padang (20 orang), Pontianak (20 orang), Surabaya (20 orang), dan Makassar (20 orang).

Responden survei tokoh berjumlah 119 orang yang dipilih secara purposif

berdasarkan pertimbangan tim peneliti bahwa yang bersangkutan kompeten untuk mewakili kalangan tokoh dari masing-masing kategori yang telah ditentukan. Responden tokoh dalam survei ini terdiri atas: akademisi (25 orang), politisi partai dari Koalisi Indonesia Kerja dan Koalisi Indonesia Adil Makmur (24 orang), jurnalis senior (11 orang), pengurus asosiasi pengusaha (12 orang), tokoh agama (13 orang), budayawan (10 orang), aktivis gerakan perempuan (7 orang), aktivis organisasi kepemudaan (5 orang), dan aktivis CSO lainnya (11 orang).

Pengumpulan data survei tokoh dilakukan melalui wawancara tatap muka (face to face interview) dengan enumerator dari tim peneliti dengan instrumen kuesioner. Pengumpulan data dilakukan pada 27 Juni s.d. 8 Agustus 2019.

Page 29: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Kertas Kebijakan - Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis22

Page 30: Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Pusat Penelitian Politik (P2 Politik) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gedung Widya Graha LIPI, Lt. XIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 - INDONESIATlp. / fax : 021 - 520 7118 | Website: www.politik.lipi.go.id Twitter: @PolitikLIPI

Kertas Kebijakan

Menuju Pemilu Serentak yang Efektif dan Demokratis

Diterbitkan oleh: